KODEFIKASI
RPI 24
Penguatan Tatakelola Kehutanan
Lembar Pengesahan
Penguatan Tatakelola Kehutanan
815
Daftar Isi Lembar Pengesahan.................................................................................815 Daftar Isi....................................................................................................817 Daftar Gambar..........................................................................................818 Daftar Tabel..............................................................................................819 Daftar Singkatan....................................................................................... 821 I. ABSTRAK......................................................................................... 823 II.
LATAR BELAKANG.......................................................................... 823
III.
RUMUSAN MASALAH..................................................................... 825
IV. HIPOTESIS....................................................................................... 827 V.
TUJUAN DAN SASARAN................................................................. 827
VI. LUARAN ......................................................................................... 828 VII. RUANG LINGKUP............................................................................ 829 VIII. METODE.......................................................................................... 829 IX.
INSTANSI PELAKSANA, TATA WAKTU DAN RENCANA BIAYA....... 839
X. ORGANISASI...................................................................................840 XI.
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................840
XII. KERANGKA KERJA LOGIS............................................................... 842
Penguatan Tatakelola Kehutanan
817
Daftar Gambar Gambar 1. Tiga Pilar Tatakelola Pemerintahan...................................... 832
818
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Tabel Table 1. Rencana instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya ........................................................................................ 839
Penguatan Tatakelola Kehutanan
819
Daftar Singkatan AHP
: Analytic Hierarchy Process
B-C
: Benefit - Cost
BBPD
: Balai Besar Penelitian Dipterokarpa
BPHPS
: Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat
BPK
: Balai Penelitian Kehutanan
BUMN
: Badan Usaha Milik Negara
CIFOR
: Center for International Forestry Research
DEPHUT
: Departemen Kehutanan
DFID
: Department for International Development
Ditjen
: Direktorat Jenderal
HPH
: Hak Pengusahaan Hutan
ICRAF
: International Centre for Research in Agroforestry
IDS
: Institute of Development Studies
IIED
: International Institute for Environment and Development
IPB
: Institut Pertanian Bogor
IUPHHK
: Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
KPH
: Kesatuan Pemangkuan Hutan
LHP
: Laporan Hasil Penelitian
Litbanghut : Penelitian dan Pengembangan Kehutanan LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
PHKA
: Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
RKT
: Rencana Kerja Tahunan
RLPS
: Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial
RPI
: Rencana Penelitian Integratif
RPTP
: Rencana Penelitian Tim Peneliti
SDH
: Sumber Daya Hutan
SWOT
: Strength Weakness Opportunity Threat
UI
: Universitas Indonesia
Penguatan Tatakelola Kehutanan
821
UGM
: Universitas Gajah Mada
UPT
: Unit Pelaksana Teknis
822
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
I. ABSTRAK Pengurusan hutan (forest administration) selama ini tanpa disadari telah mngabaikan tata kelola hutan yang baik (good forest governance) karena desakan pembangunan ekonomi. Hal ini diindikasikan oleh semakin meningkatnya permasalahan dan isu yang muncul baik yang berhubungan dengan sumberdaya hutan dan kaitannya dengan kondisi sosial, maupun terhadap lingkungan hidup. Fungsi pemerintah sebagai regulator, fasilitator, dan supervisor dalam pengurusan hutan di satu pihak masih sangat lemah, namun di pihak lain dipandang cenderung berlebihan dan tidak efektif. Tata kelola kehutanan yang baik (Good Forest Governance) hanya bisa diwujudkan apabila para pembuat kebijakan (decision makers) dan pelaksana (executive) dalam pembangunan kehutanan mampu mengkaji forest governance yang telah dipengaruhi oleh dinamika sosial seperti kebijakan seperti desentralisasi. Beberapa tahun terakhir, para pihak terkait (stakeholders) telah banyak menyoroti forest governance dalam implementasinya. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya permasalahan dan isu yang muncul baik yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan hutan maupun dampaknya terhadap lingkungan hidup. Faktor pendorong lain munculnya isu ini adalah kosekuensi logis dari proses desentralisasi pemerintahan (otonomi) yang implementasinya masih berlangsung hingga saat ini. Kajian ini dimaksudkan untuk menyediakan pengetahuan dan informasi yang relevan serta keterampilan untuk mengidentifikasi skema-skema dan mekanisme tata kelola kehutanan yang baik dengan melakukan analisis terhadap: (1) kelembagaan kehutanan; (2) administrasi peredaran hasil hutan; (3) sistem rujukan dan penilaian tata kelola kehutanan yang baik. Beberapa metode dan pendekatan yang sesuai dengan topik yang akan dikaji akan digunakan sebagai alat analisis. Penelitian ini direncanakan berlangsung selama 5 tahun dan akan dicapai melalui tiga tahap yaitu tahap pendahuluan, tahap pemantapan, dan tahap kolaborasi. Kata Kunci: tata kelola, desentralisasi, kelembagaan, peredaran, hasil hutan
II. LATAR BELAKANG Hal yang terakhir misalnya ditunjukkan oleh aturan-aturan yang sangat restrictive bagi pihak pengelola di lapangan (unit manajemen) untuk mengimplementasikan manajemen hutan yang kondisi biofisik dan sosiokulturalnya sangat beragam. Demikian pula kebijakan pemerintah dianggap kaku dan kurang kondusif terhadap kondisi pasar yang dinamis. Namun di sisi lain muncul pernyataan bahwa banyak pemilik hak pengusahaan hutan dan manajer perusahaan yang kurang peduli akan aturan-aturan yang dibuat untuk menjamin kelestarian hutan. Dengan demikian diperlukan
Penguatan Tatakelola Kehutanan
823
sebuah kajian komprehensif mengenai akar permasalahan pengelolaan hutan baik di sisi pemerintah, swasta maupun masyarakat dalam kerangka kebijakan desentralisasi. Setelah lebih dari 30 tahun menjalani sistem pengelolaan hutan sentralistik, UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih luas kepada Pemerintah Kabupaten di Indonesia dalam mengelola sumberdaya alam di daerahnya. Dengan adanya UU tersebut, daerah mempunyai hak untuk menetapkan kebijakan daerahnya sendiri secara otonom. Sementara itu, pemerintah tingkat provinsi pada prakteknya masih lebih banyak berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Pada tahun berikutnya, Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000. Semestinya PP ini dapat memperjelas pembagian tanggung jawab antara Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Pusat dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Sayangnya, PP tersebut hanya mengatur kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pusat, sedangkan kewenangan Pemerintah Kabupaten tidak dinyatakan secara jelas. Menyadari adanya beberapa kelemahan UU No 22 Tahun 1999, maka pemerintah kemudian merevisi UU tersebut menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Dengan direvisinya UU Nomor 22 Tahun 1999 menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004, maka kewenangan antara Provinsi dan Kabupaten setara, sehingga semua urusan pemerintahan (hak, kewajiban, kewenagan dan tanggung jawab) lintas kabupaten menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi. Meskipun oleh beberapa kalangan UU No 32 dipandang sebagai bentuk resentralisasi, namun bagi proponennya UU No 32 merupakan langkah penataan kembali hierarki hukum yang sebelumnya mengalami kesenjangan. Peraturan setingkat menteri yang sebelumnya tidak mendapat tempat dan menjadi salah satu sumber permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya alam, termasuk hutan, kembali mendapat tempat (sebagai acuan bagi peraturan daerah) sepanjang peraturan tersebut diamanatkan atau menjadi turunan dari suatu peraturan pemerintah (PP). Demikian pula UU No 32 melakukan penataan terhadap kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan daerah dalam urusan pemerintahan termasuk didalamnya bidang kehutanan. Konsekuensi dari perubahan-perubahan UU di sektor pemerintahan berimbas pada penyesuaian-penyesuaian kebijakan dan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan yang pada gilirannya menjadi salah satu faktor penentu arah tata kelola kehutanan yang menyangkut pengurusan dan pengelolaan hutan di Indonesia. Berkaitan dengan hal
824
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
tersebut beberapa PP yang diturunkan dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pun mengalami beberapa kali penyesuaian, termasuk aturanaturan di bawahnya. Proses desentralisasi dalam tata kelola kehutanan belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Proses ini baru direspons sebatas jargonjargon maupun wacana-wacana daripada langkah-langkah konkrit yang membuahkan hasil. Konflik atau ketidak harmonisan antara pemerintah pusat – daerah serta meningkatnya peranan politik dalam pemerintahan cenderung mengorbankan dan menimbulkan tekanan-tekanan yang baru terhadap hutan (at the expense of forest resources). Kondisi open access kawasan hutan dewasa ini terjadi akibat lemahnya pengelolaan hutan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, serta pemegang ijin usaha akibat ketiga pihak dimasa lalu. Kelemahan ini menjadi salah satu penyebab tidak dapat dikendalikannya penebangan kayu, sumber kegagalan pelaksanaan rehabilitasi hutan maupun lahan, maupun lemahnya pelaksanaan perlindungan dan konservasi hutan (Kartodihardjo, 2006). Dalam sisi rantai suplai (supply chain) hutan, telah terjadi kemerosotan mulai dari penetapan kawasan, pemberian ijin pemanfaatan, pembuatan RKT hingga peredaran kayu bulat. Hal ini ditunjukkan dengan semakin merosotnya jumlah Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) maupun Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang beroperasi maupun volume produksi kayu bulat dari IUPHHK/HPH di berbagai wilayah seperti di Sumatera. Penyebab utama adalah disamping oleh kemorosotan potensi hutan produksi juga lemahnya tata kelola hutan yang ada. Pembentukan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) secara teoritis pada kawasan hutan negara sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 6 Tahun 2007 dapat menutup kesenjangan pengelolaan hutan dewasa ini oleh karena itu memerlukan penelitian untuk pelaksanaannya. Peraturan pusat sering mengalami perubahan (berganti) atau tidak serta merta diikuti peraturan pelaksanaan (petunjuk teknis) kerapkali menyulitkan pemerintah daerah maupun pelaku ekonomi. Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan indikasi dari lemahnya tata kelola kehutanan di Indonesia yang memerlukan kajian mendalam mengenai akar permasalahan di balik gejala tersebut.
III. RUMUSAN MASALAH Beberapa sisi yang banyak disorot dalam upaya perbaikan tata kelola kehutanan antara lain adalah yang berhubungan dengan: (i) lemahnya kontrol pemerintah pusat dan daerah dan kurangnya sinergi keduanya
Penguatan Tatakelola Kehutanan
825
sehingga merugikan negara maupun sumberdaya hutan; (ii) tidak ditegakkannya aturan dan hukum untuk keuntungan pihak-pihak tertentu; (iii) masih lemahnya kelembagaan (kurangnya efektivitas organisasi dan perumusan kebijakan di tingkat pemerintahan) secara umum; (iv) lemahnya pengendalian pada sisi produksi dan peredaran hasilnya karena lemahnya integritas tata kelola kawasan; (v) belum adanya rujukan dan batasan kinerja yang jelas tentang performa tata kelola kehutanan yang baik. Dari kelima isu tata kelola kehutanan tersebut dapat dirumuskan beberapa akar masalah yang potensial untuk diteliti sebagai berikut: 1. Perumusan kebijakan yang tidak tepat dan merugikan negara, masyarakat dan lingkungan; 2. Tidak terjadinya sinergi dan adanya konflik antar instansi dalam pengurusan sumberdaya hutan yang mengakibatkan deforestasi dan degradasi; 3. Ketidakpastian hukum yang menimbulkan konflik kepentingan dan mengakibatkan tidak terurusnya sumberdaya hutan secara baik antara lain diindikasikan oleh belum terbangunnya unit-unit pengelolaan hutan produksi dan hutan lindung; 4. Dinamika sosial, ekonomi, politik dan budaya, tidak terantisipasi dengan baik; 5. Kelemahan peraturan mengakibatkan kerusakan sumberdaya hutan, kerugian pada penerimaan negara, pelaku ekonomi dan masyarakat; 6. Belum adanya kesepakatan tentang kriteria untuk acuan pelaksanaan tata kelola kehutanan yang baik; Dari keenam akar masalah tata kelola kehutanan tersebut dapat dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh pada perubahan politik, ekonomi dan internasional dalam perumusan kebijakan di bidang kehutanan? Bagaimana proses-proses perumusan kebijakan di bidang: (1) Penentuan kawasan hutan; (2) Land Tenure; (3) Perlindungan dan Pelestarian SDH; (4) Pemanfaatan hasil hutan; dan (5) Bagaimana pola intervensi kelompok kepentingan dalam perumusan kebijakan atau perundang-undangan di bidang kehutanan? 2. Sampai sejauhmana keutuhan dan kekonsistenan peraturan yang dibuat sehingga dapat diikuti dan dilaksanakan oleh pelaksana di lapangan? 3. Apakah terjadi tumpang tindih dan kekosongan wewenang antar instansi internal DEPHUT, antara DEPHUT dan instansi lain, serta antara instansi pusat dan daerah? Bagaimana strategi penyelesaian
826
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
permasalahan kekosongan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan dan konflik antar peraturan perundang-undangan bidang kehutanan dengan bidang-bidang lainnya serta intra peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan? 4. Bagaimana struktur organisasi DEPHUT harus dibangun dan dikembangkan untuk menyesuaikan dengan permasalahan kehutanan dan prinsip-prinsip tata kelola yang baik? 5. Faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam membangun kriteria operasional yang dapat dipergunakan untuk menilai tata kelola kehutanan berdasarkan prinsip-prinsip umum good governance di lingkup Pemerintah Pusat dan daerah, dan perusahaan.
IV. HIPOTESIS Hipotesis yang dikembangkan dari pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Konstelasi politik, perubahan ekonomi dan tekanan internasional berpengaruh pada pola intervensi kelompok kepentingan dalam perumusan kebijakan atau perundang-undangan di bidang kehutanan 2. Implementasi desentralisasi urusan kehutanan khususnya desentralisasi pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi masih mengalami berbagai hambatan 3. Tumpang tindih dan kekosongan wewenang antar instansi di bidang kehutanan merupakan salah satu masalah utama deforestasi dan degradasi hutan. 4. Pembangunan KPH masih berjalan lamban karena kelembagaan yang ada belum sesuai dengan kepentingan para pihak. 5. Struktur organisasi Departemen Kehutanan dan perumusan kebijakan saat ini masih belum mampu menangani persoalan kehutanan secara efektif dan akuntabel. 6. Sampai saat ini belum ada kriteria operasional untuk menilai tata kelola kehutanan berdasarkan prinsip-prinsip umum good governance yang disesuaikan dengan kondisi politik, sosial budaya masyarakat, dan ekonomi
V. TUJUAN DAN SASARAN Tujuan umum rencana penelitian integratif ini adalah: Menguatkan dan meningkatkan tata kelola kehutanan dan kinerja Dephut melalui penataan organisasi dan proses pengambilan keputusan. Tujuan tersebut
Penguatan Tatakelola Kehutanan
827
dicapai melalui kajian-kajian terhadap status tata kelola kehutanan saat ini serta berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian tata kelola kehutanan yang baik, serta bentuk-bentuk organisasi departemen serta skema, mekanisme pengambilan keputusan lingkup departemen. Tujuan RPI Tata Kelola Kehutanan secara khusus adalah: 1. Meningkatkan tatakelola dalam implementasi desentralisasi Hutan Lindung dan Produksi dengan mengkaji proses implemantasinya 2. Meningkatkan kinerja Dephut melalui penataan organisasi dan proses pengambilan keputusan 3. Meningkatkan pembangunan KPH melalui perbaikan kelembagaan dan kebijakan KPH 4. Mengkaji sistem rujukan prinsip-prinsip good governance dan penilaian atas tata kelola kehutanan yang baik berdasarkan kesepakatan para pihak melalui pembentukan indikator kemajuan forest governance Adapun sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Tersedianya rekomendasi menuju terbangunnya desentralisasi hutan lindung dan produksi yang dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan kebijakan kehutanan 2. Tersedianya rekomendasi bentuk organisasi dan skema dan mekanisme perumusan kebijakan Dephut dan peran UPT dalam implementasi desentralisasi kehutanan serta rekomendasi kelembagaan KPH 3. Tersedianya rumusan indikator/ indeks kemajuan forest governance
VI. LUARAN 1. Rekomendasi kelembagaan dalam implementasi desentralisasi pada hutan lindung khususnya tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk berjalannya desentralisasi pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi 2. Rekomendasi peran Pusat khususnya UPT dalam implementasi desentralisasi 3. Rekomendasi struktur organisasi Dephut dan skema dan mekanisme perumusan kebijakan di Dephut 4. Rekomendasi kebijakan pembangunan KPH 5. Rumusan indikator (indeks) kemajuan forest governance Luaran tersebut akan dikemas dalam bentuk produk Laporan Hasil Penelitian, publikasi ilmiah dan policy brief.
828
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
VII. RUANG LINGKUP Aspek-aspek penelitian yang dikaji adalah masalah-masalah yang researchable terkait dengan persoalan: (1) kelembagaan desentralisasi; (2) rantai peredaran hasil hutan; (3) indikator tata kelola yang baik. Cakupan penelitian dibatasi pada beberapa isu: 1. Organisasi dan Perumusan kebijakan di sektor kehutanan 2. Pelaksanaan peraturan perundangan-undangan dalam desentralisasi di bidang kehutanan (hutan lindung dan produksi) 3. Peran dan tata hubungan kerja lembaga-lembaga di bidang kehutanan 4. Tata kelola kawasan melalui pembentukan unit manajemen 5. Insentif dan disinsentif pelaksanaan tata kelola kehutanan yang baik 6. Perumusan indikator tata kelola kehutanan yang baik Penelitian ini difokuskan pada pilar pemerintah, dari tiga pilar tata kelola kehutanan yaitu pemerintah, kalangan bisnis dan masyarakat. Namun demikian pilar kalangan bisnis dan masyarakat tetap dikaji secara terbatas. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan sumberdaya dan adanya asumsi bahwa pihak-pihak lain sudah banyak meneliti tentang tata kelola kehutanan dari aspek masyarakat dan kalangan bisnis.
VIII. METODE A. Kerangka Teoritis Tata Kelola Kehutanan Tata Kelola (Pemerintahan) Kehutanan (forest governance) dapat didefinisikan sebagai seperangkat kesepakatan-kesepakatan yang mengatur interaksi para pihak dalam mengelola sumberdaya hutan dan untuk menentukan kebijakan-kebijakan pengelolaan hutan. Pada dasarnya prinsip-prinsip umum good governance dapat diterapkan di bidang kehutanan. Prinsip-prinsip tersebut meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (1) partisipatif (participatory); (2) orientasi kesepakatan (consensus oriented); (3) akuntabel (accountable); (4) transparan (transparent); (5) cepat tanggap (responsive); (6) efektif dan efisien (effective and efficient); (7) adil dan inklusif (equitable and inclusive); (8) mengikuti aturan hukum (follows the rule of law); dan (9) memiliki visi strategis (strategic vision). Hasil workshop parapihak Good Governance tahun 2007 menyimpulkan bahwa dari 9 prinsip tersebut, bagi Indonesia saat ini yang paling utama adalah 5 prinsip yaitu: partispatif, akuntabilitas, transparansi, keadilan didepan hukum, dan efektivitas pemerintahan. Terlepas dari prinsip-prinsip tersebut perlu ada indikator yang dapat mengukur kemajuan tata kelola
Penguatan Tatakelola Kehutanan
829
kehutanan (yang baik) berdasarkan persepsi para pihak yang berkecimpung dalam sektor kehutanan Indonesia, Tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) harus menjamin keterlibatan para pihak secara bebas dengan tetap memandang hak dan kewajiban masing-masing yang dapat diketahui secara transparan dan akuntabel. Tata kelola pemerintahan yang baik juga harus menjamin kesetaraan, dalam pengertian bahwa pemberlakuan hukum adalah harus berimbang dan diperlakukan bagi setiap individu pada tataran yang sama dan harus mampu menjadi penengah berbagai macam kepentingan untuk mencapai tujuan terbaik bersama. Aturan hukum dalam tata pemerintahan yang baik harus tidak berpihak dan tidak berlaku secara khusus. Aturan hukum tidak hanya berlaku sepihak artinya hanya mengatur kewajiban bagi pihak ketiga dalam hal ini perusahaan (pelaku bisnis) dan atau kelompok masyarakat, namun juga haknya secara berimbang, misalnya kejelasan mengenai tata waktu proses, biaya yang harus dibayarkan atau gratis, peringkat penilaian secara wajar dan adil. Aturan hukum juga mengatur apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah sebagai pihak regulator dan pihak lain sebagai objek regulasi. IIED telah mengidentifikasi 5 sistem utama yang menunjang tata kelola pemerintahan yang baik, jika sistem-sistem tersebut mencakup atribut tata kelola yang baik (dalam kurung), yaitu: (1) Informasi (akses, jangkauan, mutu, transparansi); (2) Mekanisme partisipasi (keterwakilan, kesamaan peluang, akses); (3) Pendanaan (internalisasi eksternalitas, efisiensi biaya); (4) Keterampilan (kesamaan dan efisiensi dalam pengembangan modal sosial dan personal); dan (5) Manajemen perencanaan dan proses (penentuan prioritas, pengambilan keputusan, koordinasi dan akuntabilitas). Sejauh mana sebuah organisasi mampu mengadopsi beragam prinsip-prinsip di atas menunjukkan seberapa baik tatakelola organisasi tersebut yang pada akhirnya akan menjadi jaminan bagi keberhasilan program pembangunan dan pengembangan yang telah dirumuskan. Dalam satu sistem negara tiga pilar utama penyangga governance yang saling terkait dan tidak terpisahkan adalah elemen penyelenggara negara, elemen pelaku bisnis dan elemen masyarakat yang membangun perwujudan suatu trilogi. Masing masing elemen dalam trilogi memiliki karakteristik tersendiri, namun dalam pencapaian perikehidupan ke depan yang lebih baik ketiganya harus bersinergi dan berinteraksi untuk menggapai tujuan yang sama. Ketiga pilar tersebut adalah: (1) Penyelenggara Negara; (2) Pelaku Bisnis; dan (3) Masyarakat.
830
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administratif untuk mengelola urusan bangsa, mengelola mekanisme, proses dan hubungan yang memiliki kompleksitas tinggi antar warga negara dan kelompokkelompok yang mengartikulasikan kepentingannya (mandat) dan menuntut hak dan kewajibannya dapat dilakukan secara adil dengan mencari solusi atas perbedaan-perbedaan yang timbul merupakan gambaran dari arti governance dari mandat yang diemban penyelenggara negara. Berdasarkan pengertian governance tersebut, ada tiga kelompok aspek pada pilar-pilar governance, yakni economic governance (Tata Kelola Pemerintahan yang berkaitan dengan Ekonomi – Tata Kelola Ekonomi), political governance (Tata Kelola Pemerintahan yang berkaitan dengan Politik – Tata Kelola Politik) dan administrative governance (Tata Kelola Pemerintahan yang berkaitan dengan Administrasi – Tata Kelola Administrasi). Penciptaan struktur, sistem dan proses yang digunakan oleh suatu entitas bisnis untuk dapat memberikan jaminan keberlangsungan hidup perusahaan baik keberlangsungan ekonomi maupun finansial untuk jangka panjang, dengan tuntutan untuk tetap memperhatikan seluruh stakeholder yang terkait, yang memiliki arti adanya transparansi dalam menjalankan roda perusahaan dan adanya tanggungjawab sosial yang harus diemban melalui corporate social responsibility. Interaksi yang dibangun dalam bentuk struktur, sistem dan proses tersebut dipergunakan sebagai dasar mekanisme pengecekan dan perimbangan yang adil (checks and balances) atas kewenangan guna pengendalian dari peluang penyalahgunaan asset perusahaan dan pengelolaan yang tidak benar. Interaksi individu-individu dalam aspek sosial, ekonomi dan politik membuat kesatuan kemasan individu-individu tersebut menjadi suatu masyarakat yang memiliki satu kesatuan tujuan. Keberadaan masyarakat dalam wujud kelembagaan merupakan salah satu unsur yang turut mendukung keberhasilan tata pemerintahan yang baik. Kelembagaan masyarakat memfasilitasi interaksi sosial untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang bersinggungan dengan tiga elemen good governance, yakni politik, sosial dan ekonomi. Masyarakat dengan sendirinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan (embedded) dari kegiatan-kegiatan dalam tiga pilar tata pemerintahan itu sendiri sehingga tidak saja merupakan unsur pelaku checks and balances namun juga memberikan kontribusi dan memperkuat keberadaan 2 (dua) pilar lainnya.
Penguatan Tatakelola Kehutanan
831
PEMERINTAH PROGRAM PRIORITAS 2005 - 2009
outcome
TATA KELOLA EKONOMI, KEBIJAKAN DAN ADMINISTRASI
TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK
outcome
TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK
CHECK AND BALANCE YANG KUAT
CHECK AND BALANCE YANG KUAT
MASYARAKAT
PELAKU BISNIS CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Gambar 1. Tiga Pilar Tatakelola Pemerintahan
B. Kerangka Konseptual Penelitian Tata Kelola Kehutanan Penelitian ini didasarkan pada fenomena gejala kerusakan hutan dan inefisiensi serta ketidakefektifan pengurusan hutan saat ini sehingga memunculkan serangkaian persoalan-persoalan sosial ekonomi. Permasalahan-permasalahan tersebut akan dilihat dari empat aspek yaitu: (1) kelembagaan; (2) rantai peredaran hasil hutan; (3) kriteria dan indikator tata kelola yang baik; dan (4) pengelolaan sumberdaya manusia kehutanan. Dari masing-masing aspek tersebut akan dianalisis berbagai persoalan dan faktor-faktor yang berpengaruh baik pada sisi pemerintah, pelaku bisnis maupun masyarakat. Aspek kelembagaan akan dipelajari dengan menggunakan analisis kelembagaan yang antara lain berupa hubungan antar pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan hutan menyangkut peran para pihak dan pengaruh antara satu pihak dengan pihak yang lain. Indeks tata kelola kehutanan dikaji berdasarkan kriteria dan indikator tata kelola yang baik akan dikaji dengan menggunakan analisis sistem yang dimulai dari analisis faktor-faktor penentu hingga pengembangan seperangkat tolok ukur pencapaian tata kelola yang baik.
C. Kerangka Pendekatan Penelitian Untuk melakukan riset kebijakan (policy research) maka perlu terlebih dahulu dipahami proses kebijakan (policy processes) khususnya:
832
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
faktor-faktor penentu hingga pengembangan seperangkat tolok ukur pencapaian tata kelola yang baik. 8.3. Kerangka Pendekatan Penelitian Untuk melakukan riset kebijakan (policy research) maka perlu terlebih dahulu dipahami proses kebijakan (policy processes) khususnya: “Bagaimana perumusan
“Bagaimana perumusan secara Tradisional vs Policy processes”. kebijakan secara Tradisional kebijakan vs Policy processes”. Dalam hubungan ini uraian berikut Dalam hubungan ini uraian berikut diambil dari materi yang dipublikasikan diambil dari materi yang dipublikasikan oleh Institute of Development Studies (2006). oleh Institute of Development Studies (2006). Proses kebijakan merupakan Proses kebijakan merupakan hubungan antara ilmu pengetahuan, keahlian dan hubungan antara ilmu pengetahuan, keahlian dan kebijakan, kepentingan kebijakan, kepentingan politik, partisipasi publik dan teori jejaring (network). politik, partisipasi publik dan teori jejaring (network). 1. Kebijakan Dalam Pandangan Tradisional Kebijakan Dalam Pandangan Tradisional
Model dari pembuatan kebijakan memandang proses ini Model tradisional tradisional dari pembuatan kebijakan memandang proses ini bersifat linear bersifat linear dimana keputusan yang rasional diambil oleh otoritas yang dimana keputusan yang rasional diambil oleh otoritas yang berwenang dalam bidang berwenang dalam bidang kebijakan tertentu. Pendekatan ini memandang kebijakan tertentu. Pendekatan ini memandang pembuatanyang kebijakan melalui sejumlah pembuatan kebijakan melalui sejumlah tahapan berakhir pada suatu tahapan yang berakhir pada suatu keputusan. keputusan. Pemahaman isyu atau permasahan kebijakan (agenda‐setting) Eksplorasi opsi‐opsi yang mungkin untuk memecahkan masalah Menimbang biaya dan manfaat setiap opsi Membuat pilihan yang rasional atas opsi terbaik (decision‐making) Implementasi kebijakan Evaluasi
Dalam model ini, implementasi kebijakan dipandang sebagai aktivitas terpisah yang dimulai begitu kebijakan dibuat atau diputuskan. Dan implementasi kebijakan seharusnya menuju penyelesaian masalah awal yang dicoba dipecahkan. iniTata menganggap pembuat kebijakan mendekati isu secara rasional, RPI Model Penguatan Kelola Kehutanan 11-25 melalui tahapan logis dari proses, dan secara cermat mempertimbangkan semua informasi yang relevan. Jika kebijakan tidak mencapai apa yang diinginkan, kesalahan tidak ditimpakan pada kebijakannya namun pada politik atau kegagalan manajemen dalam mengimplementasikannya karena kurangnya kemauan politik, manajemen yang lemah atau kekurangan sumberdaya.
Penguatan Tatakelola Kehutanan
833
Model tradisional juga menganggap bahwa terdapat pemisahan yang jelas antara fakta (pendekatan kebijakan yang rasional yang didasarkan pada bukti-bukti, ilmu dan pengetahuan yang obyektif) dan tata nilai (value). Pembuatan kebijakan merupakan proses yang bersifat birokratis dan admistratif. Peranan ekspert dipandang kritis dalam proses membuat keputusan yang rasional, dan ekspertise ilmiah dianggap independen dan obyektif. Pemikiran yang berlaku adalah semacam “kebijakan didasarkan bukti fakta” (evidence-based policy); atau kebijakan yang berakar dari ilmu yang baik. Meskipun asumsi-asumsi yang digunakan diatas sulit dipenuhi (pervasive), namun model linear masih banyak digunakan dalam praktek. Namun, riset atas proses kebijakan menunjukkan bahwa pendekatan tradisional diatas merupakan refleksi yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. 2. Apakah Policy processes ? Menggeser fokus analisis ke kebijakan yang didasarkan pada proses berarti menggeser model kebijakan yang linear dan rasional (Pendekatan Tradisional) kepada proses yang kompleks dan rumit melalui mana kebijakan dipahami, diformulasikan dan diimplementasikan, dan sejumlah aktor yang terlibat. Proses kebijakan memiliki karakteristik berikut: 1. Pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai proses politik sebagaimana sebagai suatu Analisis atau pemecahan masalah. Proses pembuatan kebijakan bukanlah bersifat teknis, aktivitas rasional murni yang sering diperkirakan. 2. Pembuatan kebijakan bersifat incremental, kompleks dan rumit, bersifat iterative, dan sering didasarkan atas eksperimentasi, belajar dari kesalahan, dan mengambil tindakan koreksi. Sehingga, tidak ada hasil keputusan kebijakan tunggal yang optimal. 3. Selalu terdapat tumpang tindih dan agenda yang kompetitif; dimungkinkan tidak tercapai kesepakatan yang utuh diantara para pihak atas permasalahan kebijakan yang riil. 4. Keputusan tidak diskrit (tunggal berdiri sendiri); fakta dan nilai-nilai (values) saling terkait. Penilaian atas value memainkan peranan yang besar. 5. Implementasi kebijakan melibatkan diskresi dan negosiasi oleh pekerja ujung tombak (memberi staf lebih banyak ruang gerak untuk inovasi daripada yang seharusnya).
834
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
6. Ekspert teknis dan pembuat kebijakan saling mengkonstruksi kebijakan. Atau dengan perkataan lain, peneliti berkontribusi pada pembuatan kerangka (framing) isyu kebijakan dengan mendefinisikan bukti fakta (evidence) yang dapat dihasilkan dan signifikansinya terhadap kebijakan. 7. Proses-proses kebijakan sering mengandung suatu perspektif yang merupakan biaya bagi pihak yang lain – dan seringkali perspektif si miskin dan pihak yang termarginalkan. Secara esensi, riset proses kebijakan mempertanyakan bagaimana permasalahan dan solusi kebijakan didefinisikan, oleh siapa, dan dengan dampak bagaimana ? 3. Konsep dan Pendekatan Terdapat 3 (tiga) pendekatan utama untuk memahami pembuatan kebijakan. Satu menekankan pada politik ekonomi dan interaksi antara negara dan masyarakat sipil, dan kelompok kepentingan. Yang lain mengkaji sejarah dan praktek yang terkait dengan pergeseran diskursus, dan bagaimana hal ini membentuk dan membimbing masalah kebijakan dan rangkaian tindakan. Yang ketiga memberi penekanan kepada peran dan agen (atau kapasitas untuk membuat perubahan) dari individu aktor-aktor. IDS (2006) mengembangkan dan mengelaborasi kerangka sederhana yang mengkaitkan ketiga tema yang saling terkait tersebut: 1. Pengetahuan dan diskursus (bagaimana narasi kebijakan) ? Bagaimana hal tersebut dibuat kerangkanya dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan riset, dsb. 2. Aktor dan jejaring (siapa yang terlibat dan bagaimana mereka saling terkait?) 3. Politik dan kepentingan (apa yang mendasari dinamika kekuatan?) Pada tingkat tertentu, memahami policy process datang dari pemahaman ketiga unsur tersebut – pada interseksi dari tiga perspektif yang tumpang tindih tersebut. Sehingga, untuk memahami mengapa kebijakan mengambil bentuk tertentu perlu memahami tidak saja pembentukan kerangka ilmiah dari isu – naratif yang menjelaskan cerita kebijakan, tetapi juga bagaimana posisi kebijakan menjadi terangkai kokoh dalam jejaring (aktor, pendanaan, professional dan hubungan lainnya, dan teristimewa institusi dan organisasi tertentu, dan dinamika kekuatan yang mengkungkungnya. “Policy narrative”. Cerita tentang perubahan kebijakan memiliki permulaan, pertengahan dan suatu akhir. Mereka menggambarkan
Penguatan Tatakelola Kehutanan
835
kejadian-kejadian atau mendefinisikan dunia dalam cara tertentu, sehingga membentuk keputusan kebijakan. Policy narrative member baik diagnosa dan perangkat tindakan dan intervensi. Ia mendefinisikan masalah, menjelaskan bagaimana ia muncul ke permukaan, dan menunjukkan apa yang perlu dilakukan untuk menghindarkan bencana atau mencapai suatu akhir yang berhasil (happy ending), apa yang salah dan bagaimana hal tersebut diperbaiki. Ia mendapat validitas meskipun kenyataannya seringkali menyerdehanakan isyu dan proses yang kompleks. Simplifikasi cenderung memikat dalam hal menghindari kekaburan dan mendukung program aksi. Hal ini yang membuat narrative yang sederhana menarik bagi politisi atau manajer – mengabaikan pihak yang lemah. “Aktor dan Jejaring”. Jejaring, koalisi dan aliansi aktor-aktor (individu atau institusi) dengan visi yang sama – keyakinan yang serupa, codes of conduct, kesamaan pola perilaku – adalah penting dalam menyebarkan dan mempertahankan narrative melalui pembujukan publik dan pengaruh seperti jurnal, konferensi, pendidikan atau cara informal. Proses negosiasi dan tawar menawar diantara kelompok kepentingan yang saling berkompetisi adalah penting (sentral) dalam pembuatan kebijakan. Kebijakan dapat timbul dan tenggelam sebagai hasil dari perubahan dari efektivitas berbagai jejaring aktor-aktor yang terlibat (IDS, 2006). “Politik dan Kepentingan”. Politik membentuk proses kebijakan dalam beberapa cara: 1. Konteks politik terbentuk oleh kepentingan otoritas regim tertentu untuk tetap berkuasa. Kompetisi juga terjadi diantara kelompokkelompok dalam masyarakat karena perbedaan kepentingan terkait dengan alokasi sumberdaya, atau keprihatinan masyarakat. 2. Proses kebijakan dipengaruhi oleh sejumlah kepentingan kelompok yang menggunakan kekuatannya dan kewenangannya atas pembuatan kebijakan. Hal ini mempengaruhi setiap tahapan proses, dari pembentukan agenda, hingga identifikasi alternatif, pembobotan opsi, pemilihan yang paling menguntungkan dan implementasinya. Kepentingan aktor dalam kebijakan berasal dari instansi pemerintah, pelaksana organisasi donor dan ekspert independen – dibentuk dalam narrative tertentu. 3. Kebijakan dinyatakan sebagai obyektif, netral, bebas nilai, dan seringkali diberi kemasan secara hukum dan ilmiah, yang menekankan pada rasionalitas. Dengan cara ini, sifat politis dari kebijakan tersembunyi melalui penggunaan bahasa teknis, yang menekankan pada rasionalitas dan obyektivitas.
836
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
4. Birokrat tidaklah semata-mata pelaksana kebijakan; mereka juga memiliki agenda personal dan politik sendiri untuk bernegosiasi. Politik birokrat, misalnya seperti persaingan dalam kementrian-kementrian untuk memperoleh kendali atas arena kebijakan, merupakan hal yang relevan. 4. Ruang Kebijakan (Policy Space) Konsep policy space terkait dengan sampai tingkat mana pembuat kebijakan dibatasi dalam pembuatan kebijakan oleh kekuatan-kekuatan seperti pendapat jejaring aktor yang dominan atau naratif. Jika terdapat tekanan yang kuat untuk mengadopsi strategi tertentu, maka pembuat keputusan tidak memiliki ruang yang banyak untuk mempertimbangkan opsi-opsi yang lebih banyak. Dapat pula terjadi seorang individu memiliki kapasitas (leverage) yang sangat besar atas proses sehingga dapat memaksakan preferensinya dalam pembentukan pilihan kebijakan.
D. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi: 1. Desk study dengan bahan referensi hasil-hasil penelitian yang telah ada dalam tata kelola dan desentralisasi yang berasal dari berbagai lembaga penelitian, universitas, dan lain-lain, serta produk-produk peraturan perundangan yang ada 2. Survei dalam rangka pengumpulan data kuantitatif dan data kualitatif berupa pendapat pejabat kunci pada instansi terkait di pusat dan daerah (dinas kehutanan provinsi dan kabupaten/kota), BUMN dan HPH, serta masyarakat dan kalangan LSM, dalam rangka validasi (pengkayaan hasil desk study) 3. Wawancara dengan pakar yang terkait dari lembaga penelitian dan universitas, serta pakar-pakar lain yang dianggap relevan. 4. Group atau focused group discussions dengan para pihak
E. Metode Analisis Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian 8.2, beberapa metode analisis yang berbeda akan digunakan untuk mempelajari dan memahami aspek yang berbeda-beda, diantaranya adalah analisis kelembagaan, analisis sistem, analisis organisasi dan pengambilan keputusan dan lain-lain. Secara khusus, metode analisis akan diperjelas dalam masing-masing Rencana Penelitian Tim Peneliti (RPTP). Meskipun demikian pendekatan penelitian khususnya untuk Analisis kebijakan (policy analysis) secara umum mengikuti
Penguatan Tatakelola Kehutanan
837
materi yang diuraikan pada Sub Bab 8.3. Berbagai instrumen analisis dalam bentuk metoda kuantitatif maupun kualitatif dapat dijumpai pada berbagai buku teks tentang pembuatan kebijakan, manajemen dan ekonomi. Secara ringkas dibawah ini beberapa metoda kuantitatif sebagai pengantar. 1. B/C ratio Analisis ini digunakan untuk membandingkan benefit-cost ratio dari masing-masing pilihan kebijakan. Alternatif kebijakan yang memiliki nilai B-C ratio yang tertinggi memiliki prioritas tinggi untuk dipilih. Analisis B-C ratio memiliki beberapa bentuk dan merupakan metoda yang paling banyak digunakan. 2. Analytic Hierarchie Process (AHP) Analisis ini digunakan untuk membandingkan alternatif-alternatif kebijakan dengan cara memberi bobot pada setiap alternatif kebijakan melalui pembandingan berpasangan. AHP dapat mengintegrasikan halhal yang bersifat “intangible” di benak pengambil keputusan melalui pembandingan berpasangan tersebut. Alternatif kebijakan yang memiliki nilai bobot tertinggi memperoleh prioritas tertinggi untuk dipilih. 3. Analisis regressi (Multivariate) Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan faktor-faktor. Faktorfaktor mana yang paling berpengaruh atas suatu kejadian atau memberikan dampak yang besar perlu mendapat perhatian yang lebih besar dalam pembuatan kebijakan. 4. Model-model Optimasi Analisis ini digunakan untuk memperoleh solusi kebijakan yang optimal dari banyak (jumlah tak terbatas) pilihan-pilihan kebijakan. Model ini mensyaratkan permasalahan dirumuskan secara matematis dimana terdapat fungsi obyektif dan kendala-kendala yang membatasi pilihan kebijakan. Model-model optimasi yang umum dipakai adalah Linear Programming dan Goal Programming. a. Analisis SWOT (Strength Weakness Opportunity Threat) Analisis ini digunakan untuk mendapatkan strategi kebijakan yang sesuai dengan melihat Kekuatan, Kelemahan, Peluang, Ancaman yang dihadapi suatu organisasi pemerintahan atau perusahaan.
838
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
b. Analisis resiko Analisis ini digunakan untuk melihat peluang terjadinya hasil (outcome) yang merugikan dan konsekuensi kerusakan yang terjadi jika hasil tersebut benar-benar terjadi. Analisis ini merupakan suatu proses mengidentifikasi resiko-resiko untuk memperkirakan dampaknya serta peluang terjadinya.
IX. INSTANSI PELAKSANA, TATA WAKTU DAN RENCANA BIAYA Pada prinsipnya, Puslitsosek memiliki tugas menyusun Rencana Penelitian Integratif, sebagai koordinator penelitian-penelitian, pelaksana penelitian yang bersifat makro (nasional) atau lintas wilayah, dan pembuat sintesa hasil-hasil penelitian. Sedangkan Balai Besar dan BPK menyusun RPTP dan melaksanakan penelitian (mikro) sesuai dengan kondisi lokal yang berkembang dalam wilayah kerja masing-masing balai sesuai yang digariskan dalam RPI. Keterkaitan penelitian makro dengan mikro menjadi sangat penting untuk penelitian-penelitian desentralisasi dan KPH dari sudut stakeholders yang terlibat, demikian pula dalam penelitian indikator kemajuan tatakelola kehutanan. Oleh karena itu penelitian mikro di daerah menjadi sangat penting dalam pencapaian sasaran penelitian (rekomendasi kebijakan, indikator tata kelola dll). Table 1. Rencana instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya
Kode
PROGRAM/RPI/LUARAN/ KEGIATAN
PELAKSANA
TAHUN PELAKSANAAN/ ANGGARAN (juta Rupiah) 2010 2011 2012 2013 2014
PROGRAM KEBIJAKAN
24
RPI 24 Penguatan Tata Kelola Kehutanan
24.1
Luaran 1 : Rekomendasi kelembagaan dalam Implementasi desentralisasi pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi
24.1.1.4
Kajian Implementasi Desentralisasi Urusan Kehutanan PUSLITSOSEK pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi
125
150
150
Penguatan Tatakelola Kehutanan
839
Kode 24.2
PROGRAM/RPI/LUARAN/ KEGIATAN
PELAKSANA
TAHUN PELAKSANAAN/ ANGGARAN (juta Rupiah) 2010 2011 2012 2013 2014
Luaran 2 : Rumusan bentuk dan organisasi Dephut dan skema perumusan kebijakan dan Peran UPT dalam implementasi desentralisasi
24.2.1.4 Analisis Peran UPT Lingkup Departemen Kehutanan Dalam Implementasi Desentralisasi Kehutanan
PUSLITSOSEK
150
24.2.2.4 Kajian Organisasi dan Mekanisme PUSLITSOSEK Perumusan Kebijakan di Pusat
150
150
24.3
Luaran 3 : Rekomendasi kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
24.3.1
Analisis Kelembagaan dan Kebijakan KPH
24.3.1.4
PUSLITSOSEK
125
150
24.3.1.19
BPK Manokwari 100
100
24.3.2
Kajian Pengaruh Hak Atas Lahan (Land Tenure) dalam pembangunan KPH
24.3.2.4
PUSLITSOSEK
24.3.2.15
BPK Banjarbaru
24.4
150
150
150
150 150
100
Luaran 4 : Indikator/indeks kemajuan forest governance
24.4.1.4 Kajian Indikator Kemajuan Forest PUSLITSOSEK Governance 24.4.2.4 Kajian Good Corporate PUSLITSOSEK Governance di Bidang Kehutanan TOTAL ANGGARAN
125
150
475 800 600 450 150
X. ORGANISASI Penelitian ini akan dilaksanakan dibawah koordinasi Puslitsosek dengan melibatkan instansi terkait lingkup Badan Litbang Kehutanan. Jika diperlukan akan ditempuh mekanisme outsourcing dari instansi terkait lainnya.
XI. DAFTAR PUSTAKA Badan Planologi Kehutanan, 2005. Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2005. Departemen Kehutanan, Jakarta. Badan Litbang Kehutanan.2009.Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.
840
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Fisher, R.J.2007. Devolution and decentralization of forest management in Asia and the Pacific. (http://www.fao.org). Diakses 30 Maei 20007. Greenpeace, 2007. Indonesia layak peroleh Rekor Dunia sebagai Penghancur Hutan Tercepat. http://www. greenpeace.org/seasia/id/press/pressreleases/Indonesia-layak-peroleh -rekor?mode=send. Diakses, 27 April 2007. Hari Sutanta, 2007. Indonesia duduki peringkat kedua setelah Brazil sebagai kawasan deforestasi terbesar di dunia (http://www.beritabumi.or.id/ aboutus /php). Institute of Development Studies.2006. Understanding Policy Processes. University of Sussex. Brighton BN1 9RE,UK. Mayers, J. dan Bass, S. 1999. Policy that works for forests and people. Policy that works series no. 7: Series Overview. International Institute for Environment and Development, London. PP No. 6 Th 2007 ttg Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. http://www.Dephut.go.id. Diakses, 15 Mei 2007. Rully, S, 2007. Pembalakan Liar dan Deforestasi http://www.walhi.or.id/ kampanye/ hutan/jeda/070328_pmblkn_liar_cu/ Sutton, Rebecca.1999. The Policy Process: An Overview. Overseas Development Institute. Portland House.London. Tim Kajian Forest Governance dalam Konteks Desentralisasi Badan Litbang Kehutanan. 2007. Tatakelola Kehutanan di Indonesia Tim Kajian Forest Governance dalam Konteks Desentralisasi Badan Litbang Kehutanan.2007.Agenda Riset Forest Governance Badan Litbang Kehutanan UU RI No. 32 Th 2004 tentang Pemerintah Daerah. Penerbit Citra Umbara, Bandung. UU RI No. 33 Th 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah. Penerbit Citra Umbara, Bandung. World Bank, 2005. Forest and Forestry Home Page, available from http:// web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTARD/EXTFO RESTS/0,,menuPK:985797~pagePK:149018~piPK:149093~theSite PK:985785,00.html, Last updated 13th September 2005, (Accessed 28/10/05).
Penguatan Tatakelola Kehutanan
841
XII. KERANGKA KERJA LOGIS NARASI
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
Dihasilkannya rekomendasi: • Kelembagaan dalam Implementasi desentralisasi pada hutan lindung dan hutan produksi • Peran Pusat khususnya UPT dalam implementasi desentralisasi • Struktur organisasi Dephut dan skema dan mekanisme perumusan kebijakan di Dephut • Rekomendasi kebijakan pembangunan KPH • Rumusan indikator kemajuan forest governance
Dokumen mengenai rekomendasi implementasi desentralisasi sektor kehutanan dan arah perbaikan di masa mendatang dan organisasi Dephut serta skema pengambial kebijakan yang dikemas dalam bentuk produk LHP, Publikasi ilmiah, dan Policy brief
Tidak terjadi perubahan signifikan terhadap UU 32 2004 serta UU dan peraturan pelaksanaan terkait lainnya
Telah dilaksanakan penelitian terkait dengan: Kelembagaan dan implementasi desentralisasi hutan lindung dan produksi;
Sintesis hasil penelitian terkait dengan desentralisasi sektor kehutanan
Tersedia hasilhasil penelitian yang menjadi bahan sintesis
TUJUAN Menguatkan dan meningkatkan tata kelola kehutanan dan kinerja Dephut melalui penataan organisasi dan proses pengambilan keputusan.
Dukungan penuh dari pihak-pihak yang terkait dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian
SASARAN a. Tersedianya rekomendasi menuju terbangunnya desentralisasi hutan lindung dan produksi yang dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan kebijakan kehutanan
842
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
b. Tersediannya rekomendasi bentuk organisasi dan skema dan mekanisme perumusan kebijakan Dephut dan peran UPT dalam implementasi desentralisasi kehutanan serta rekomendasi kelembagaan KPH
NARASI
Telah dilakukannya penelitian terkait degan aspek-aspek: (1) bentuk organisasi dan perumusan kebijakan Dephut; (2) Peran UPT dalam desentralisasi; (3) Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH);
LHP, Publikasi, dan Policy brief aspek-aspek: (1) Implementasi desentralisasi hutan lindung dan produksi; (2) bentuk dan skema perumusan kebijakan Dephut; (3) Peran UPT dalam desentralisasi kehutanan (4) pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
c. Rumusan indikator kemajuan forest governance
Telah dilakukannya penelitian terkait: (1) kriteria dan indikator tata kelola kehutanan yang baik; (2) Kajian good corporate governance
LHP, Publikasi dan Policy brief indikator tata kelola kehutanan yang baik
ASUMSI Tersedia hasil penelitian yang menjadi bahan rekomendasi kebijakan
Dilakukannya pembahasan tingkat pimpinan Badan Litbang atas hasil ringkasan kebijakan LUARAN 1 Rekomendasi kelembagaan dalam Implementasi desentralisasi pada hutan lindung dan hutan produksi
Dilaksanakannya penelitian-penelitian: (1) Implementasi desentralisasi hutan lindung dan produksi.
Dokumen sintesis tentang desentralisasi kehutanan Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief
Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab
Penguatan Tatakelola Kehutanan
843
NARASI
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
2 Rumusan bentuk dan organisasi Dephut dan skema perumusan kebijakan dan Peran UPT dalam implementasi desentralisasi
Dilaksanakannya penelitian-penelitian: (1)Kajian organisasi dan mekanisme perumusan kebijakan di pusat (Dephut), (2) Peran Unit-Unit Pelaksana Teknis lingkup Departemen Kehutanan dalam implementasi desentralisasi kehutanan
Dokumen sintesis tentang organisasi Dephut
3 Rekomendasi kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
Dilaksanakannya penelitian-penelitian: (1) Analisis Kelembagaan dan Kebijakan KPH; (2) Kajian pengaruh hak atas lahan (land tenure) dalam pembangunan KPH
Dokumen sintesis tentang kelembagaan KPH
4 Indikator kemajuan forest governance
Dilaksanakan penelitian: (1) Kajian indikator kemajuan forest governance, (2) Kajian good corporate governance
Dokumen sintesis tentang kriteria kemajuan forest governance
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan apakah arah implementasi desentralisasi hutan lindung dan produksi saat ini sudah benar dan faktor-faktor apa yang menghambat implementasi kewenangan
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief
Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief
Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief
ASUMSI Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab
Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab
Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab
KEGIATAN 1.1. Kajian implementasi Desentralisasi Urusan Kehutanan Pada:
844
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
NARASI
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
1.1.1. Hutan Lindung
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan seberapa jauh implementasi pemberian kewenangan Hutan Lindung kepada daerah; Syarat-syarat apa yang diperlukan bagi keterlaksanaan dalam implementasi kewenangan oleh daerah
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
1.1.2 Hutan Produksi
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan seberapa jauh implementasi pemberian kewenangan Hutan Produksi kepada daerah; Syarat-syarat apa yang diperlukan bagi keterlaksanaan dalam implementasi kewenangan oleh daerah; Bagaimana persepsi pelaku ekonomi tentang implementasi pemberian kewenangan kepada daerah
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
2.1 Analisis peran Unit-Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup Departemen Kehutanan dalam implementasi desentralisasi kehutanan
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan seberapa efektif dan efisien keberadaan UPT Departemen Kehutanan dalam mendukung desentralisasi urusan kehutanan: Bagaimana meningkatkan efektifitas UPT dalam peningkatan kinerja Dephut dan masa depan Dephut
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
Penguatan Tatakelola Kehutanan
845
NARASI
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
2.2. Kajian Organisasi dan Mekanisme Perumusan Kebijakan di Pusat 2.2.1 Analisis proses perumusan kebijakan atau perundangundangan di Departemen Kehutanan
2.2.2 Analisis organisasi Departemen Kehutanan
3.1. Analisis Kelembagaan dan Kebijakan KPH
846
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan bagaimana kelompokkelompok kepentingan dalam perumusan kebijakan atau perundang-undangan di Departemen Kehutanan dan skema perumusan yang akuntabel: Proses dan mekanisme perumusan kebijakan yang mampu melahirkan kebijakan yang efektif dan akuntabel
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan apakah struktur organisasi Departemen Kehutanan saat ini memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah kehutanan dan seberapa jauh daya adaptasinya untuk mencapai pengelolaan hutan lestari. Perbandingan dengan bentuk Holding dan Integratif
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan tentang struktur dan susunan organisasi yang mengakomodir kepentingan pusat dan daerah serta aturan yang membagi kewenangan pusat dan daerah secara seimbang berdasarkan azas manfaat
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
NARASI
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
3.2.Kajian pengaruh hak atas lahan (land tenure) dalam pembangunan KPH
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan tentang bagaimana hak atas lahan dalam pembangunan KPH. Bagaimana bentuk kelembagaan yang dapat mengakomodir kepentingan stakeholders atas pengelolaan KPH
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
4.1. Kajian indikator kemajuan forest governance
Penelitian berhasil mengidentifikasi kriteria dan indikator, dan indeks yang dapat dipakai mengukur kemajuan tatakelola kehutanan (Pemerintah pusat dan daerah serta pelaku ekonomi) secara operasional
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
4.2.Kajian Good Corporate Governance di bidang kehutanan
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan apakah saat ini perusahaan-perusahaan kehutanan telah melakukan prinsipprinsip tata kelola perusahaan yang baik dan indikator apa yang secara efektif dapat menilai kemajuan implementasi-nya; identifikasi faktor yang berperan dalam tata kelola perusahaan yang baik.
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
Penguatan Tatakelola Kehutanan
847