KINERJA PENYALURAN KREDIT USAHA MIKRO MELALUI KEMITRAAN PT BANK BUKOPIN, TBK PADA SWAMITRA KOPMISO BOGOR
FERYANTO HUTAPEA
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Kinerja Penyaluran Kredit Usaha Mikro melalui Kemitraan PT Bank Bukopin, Tbk pada Swamitra Kopmiso Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2013
Feryanto Hutapea H34104120
ABSTRAK FERYANTO HUTAPEA. Kinerja Penyaluran Kredit Usaha Mikro melalui Kemitraan PT Bank Bukopin, Tbk pada Swamitra Kopmiso Bogor. Dibimbing oleh DWI RACHMINA. Swamitra Bogor memiliki perkembangan kinerja yang baik selama tiga tahun terakhir. Hal ini dilihat dari pertumbuhan realisasi kredit sebesar 16,76 persen per tahun serta perolehan Sisa Hasil Usaha (SHU) sebesar 304,19 persen per tahun. Kajian ini dilakukan untuk melihat bagaimana upaya Swamitra Bogor memiliki perkembangan tersebut, melalui analisis kinerja Swamitradan analisis penilaian nasabah. Penelitian ini dilakukan di Swamitra Kopmiso Bogor yang memiliki kinerja baik, dilihat dari perkembangan SHU yang baik di wilayah Bogor tahun 2012. Penilaian kinerja Swamitra dilakukan dengan analisis deskriptif terhadap kinerja Swamitra Kopmiso Bogor selama tahun 2010-2012. Sedangkan penilaian persepsi nasabah dilakukan dengan Skala Likert. Berdasarkan hasil penelitian, kinerja Swamitra Kopmiso Bogor berada pada kondisi yang baik. Hal ini dilihat pemanfaatan Modal Tidak Tetap (MTT) dan perolehan SHU yang terus bertumbuh, serta rasio kredit bermasalah yang berhasil ditekan di bawah lima persen. Sedangkan penilaian nasabah menyatakan bahwa aktivitas penyaluran kredit usaha mikro di Swamitra Kopmiso Bogor baik, dengan skor penilaian sebesar 423 pada selang penilaian 180-540. Kata Kunci : linkage program, kinerja kredit, persepsi nasabah ABSTRACT FERYANTO HUTAPEA. Performance of Micro Credit through PT Bank Bukopin, Tbk’s Partnership on Swamitra Kopmiso Bogor. Supervised by DWI RACHMINA. Swamitra Bogor has a good development of performance during the last three years. It is seen from the growth of credit realization about 16.76 % per year and also the growth of net profit about 304.19 % per year. This research was conducted to see how the efforts of Swamitra Bogor to have the development, through the analysis of Swamitra’s performance and analysis of customer’s perception. This research was conducted at Swamitra Kopmiso Bogor that has good performance, viewed from the growth of net profit in the area of Bogor in 2012. The analysis of Swamitra’s performance had done with the descriptive analysis on Swamitra Kopmiso Bogor’s performance during 2010-2012. The analysis of customer’s perception had done with Likert Scale. Based on the research results, Swamitra Kopmiso Bogor’s performance is in good condition, this is seen in the growth of use unfixed capital and net profit, also Bad Debt Ratio (BDR) that succesfully pressed under five percent. While analysis of customer’s perception states that the channeling of distribution credit at Swamitra Kopmiso Bogor is good, with a score of 423 about interval 180-540. Key words : linkage program , performance of credits, customer’s perception
KINERJA PENYALURAN KREDIT USAHA MIKRO MELALUI KEMITRAAN PT BANK BUKOPIN, TBK PADA SWAMITRA KOPMISO BOGOR
FERYANTO HUTAPEA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Kinerja Penyaluran Kredit Usaha Mikro melalui Kemitraan PT Bank Bukopin, Tbk pada Swamitra Kopmiso Bogor Nama : Feryanto Hutapea NIM : H34104120
Disetujui oleh
Dr. Ir. Dwi Rachmina, MSi Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2012 sampai Mei 2013 ini ialah Linkage Program, dengan judul Kinerja Penyaluran Kredit Usaha Mikro melalui Kemitraan PT Bank Bukopin, Tbk pada Swamitra Kopmiso Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Dwi Rachmina, MSi selaku dosen pembimbing, Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi selaku dosen evaluator, Dr. Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku pembimbing akademik dan dosen penguji utama, dan Dr. Ir. Wahyu Budi Priatna, MS selaku dosen komisi pendidikan yang telah banyak memberi saran dalam penulisan skripsi. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Muhhib selaku pimpinan Divisi UMKM Bank Bukopin Kantor Cabang Bogor, Bapak Rusli dan Bapak Hardiman selaku staf Divisi UMKM Bank Bukopin Kantor Cabang Bogor, Bapak Muji selaku perwakilan dari Koperasi Paguyuban Pedagang Mie dan Bakso Megapolitan (KOPMISO), Ibu Wihartati, Ibu Nani Suhartini dan seluruh pengurus Swamitra Kopmiso Bogor atas waktu, kesempatan, informasi dan dukungan yang diberikan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah dan Ibu (Almarhum) tercinta, adik-adikku Samerson Immanuel Hutapea dan Vivi Maria Hutapea, serta Winda Santa Maria Silaban yang kukasihi untuk setiap dukungan cinta kasih dan doa yang diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Mei 2013
Feryanto Hutapea
vi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
5
Tujuan Penelitian
7
Manfaat Penelitian
7
TINJAUAN PUSTAKA
7
Perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
7
Manfaat Pelaksanaan Linkage Program
9
Kinerja Penyaluran Kredit Pada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis
10 13 13
Konsep Kemitraan Perbankan
13
Konsep Kredit
15
Analisis Kinerja Perbankan
17
Kerangka Pemikiran Operasional
17
METODE PENELITIAN
18
Lokasi dan Waktu Penelitian
18
Jenis dan Sumber Data
19
Metode Penentuan Sampel
19
Metode Pengolahan dan Analisis Data
20
Analisis Kinerja Penyaluran Kredit Usaha Mikro melalui Kemitraan Swamitra Bank Bukopin
20
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
22
Gambaran Umum Bank Bukopin
22
Sejarah dan Perkembangan PT Bank Bukopin, Tbk
22
Visi dan Misi PT Bank Bukopin, Tbk
24
Gambaran Umum Swamitra
24
Gambaran Umum Swamitra Kopmiso Bogor
25
vii
KINERJA PENYALURAN KREDIT USAHA MIKRO DARI SEGI SWAMITRA KOPMISO BOGOR
27
Mekanisme Penyaluran Kredit Usaha Mikro Pada Swamitra Kopmiso Bogor
27
Kinerja Swamitra Kopmiso Bogor Dalam Penyaluran Kredit Usaha Mikro
29
PERSEPSI NASABAH SWAMITRA KOPMISO BOGOR TERHADAP AKTIVITAS PENYALURAN
36
KREDIT USAHA MIKRO
36
Karateristik Responden
36
Penilaian Nasabah Mengenai Kinerja Swamitra Kopmiso Bogor
41
SIMPULAN DAN SARAN
49
Simpulan
49
Saran
49
DAFTAR PUSTAKA
50
LAMPIRAN
54
viii
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2009-2010 Daftar Bank Umum Peserta Linkage Program Tahun 2009 Kinerja Swamitra di Indonesia Tahun 2010-2011 Kinerja Swamitra Wilayah Bogor Tahun 2010-2012 Perkembangan Sisa Hasil Usaha pada Outlet Swamitra Bogor Tahun 2010-2012 Skor Penilaian Kinerja Swamitra Menurut Nasabah Anggaran dan Realisasi Kredit Swamitra Kopmiso Bogor di Tahun 2010-2012 Anggaran dan Realisasi Dana Pihak Ketiga Swamitra Kopmiso Bogor di Tahun 2010-2012 Anggaran dan Realisasi Modal Tidak Tetap Swamitra Kopmiso Bogor di Tahun 2010-2012 Anggaran dan Realisasi Sisa Hasil Usaha Swamitra Kopmiso Bogor di Tahun 2010-2012 Anggaran dan Realisasi Kredit Bermasalah Swamitra Kopmiso Bogor di Tahun 2010-2012 Jenis Kelamin Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Tahun 2012 Usia Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Tahun 2012 Tingkat Pendidikan Terakhir Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Tahun 2012 Bidang Usaha Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Tahun 2012 Pendapatan Bersih Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Tahun 2012 Jumlah Realisasi Pinjaman Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Tahun 2012 Frekuensi Peminjaman Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Tahun 2012 Pendapat Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Terhadap Persyaratan Awal Kredit Usaha Mikro di Tahun 2012 Pendapat Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Terhadap Prosedur Pinjaman di Tahun 2012 Pendapat Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Terhadap Waktu Merealisasikan Kredit di Tahun 2012 Tanggapan Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Terhadap Tingkat Bunga di Tahun 2012 Tanggapan Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Terhadap Pelayanan Pengurus di Tahun 2012 Tanggapan Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Terhadap Jarak Swamitra di Tahun 2012
1 3 4 5 6 22 30 32 33 34 35 37 37 38 39 40 40 41 42 43 45 46 47 48
ix
25 Total Penilaian Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Mengenai Kinerja Swamitra dalam Penyaluran Kredit Usaha Mikro
48
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7
Model Pola Pembiayaan Executing Model Pola Pembiayaan Chanelling Pola Pembiayaan Joint Financing Kerangka Pemikiran Operasional Pola Kerja Sama Swamitra Logo Swamitra Struktur Organisasi Swamitra Kopmiso Bogor
14 15 15 18 24 25 26
DAFTAR LAMPIRAN 1
Mekanisme Penyaluran Kredit Usaha Mikro di Swamitra Kopmiso Bogor
54
PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan sektor usaha yang memiliki peranan penting dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Hal ini dilihat dari banyaknya kontribusi positif yang diberikan UMKM, antara lain sebagai sumber mata pencaharian, sumber bahan pangan dan gizi yang diperlukan masyarakat serta sumber devisa negara melalui kegiatan ekspor produk UMKM. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (2011) mendukung pernyataan tersebut melalui survei perkembangan sektor usaha di Indonesia tahun 2009-2010, dimana menyatakan bahwa UMKM merupakan sektor usaha mayoritas dalam menciptakan lapangan pekerjaan. Hal ini dilihat dari besarnya persentase kontribusi UMKM sebesar 99 persen terhadap total unit usaha di Indonesia (lihat Tabel 1). Jumlah unit usaha tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber lapangan pekerjaan. Tabel 1. Perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2009-2010 Indikator Unit Usaha (unit) a. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah ·Usaha Mikro ·Usaha Kecil ·Usaha Menengah b. Usaha Besar Tenaga Kerja (orang) a. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah ·Usaha Mikro ·Usaha Kecil ·Usaha Menengah b. Usaha Besar
2009 52.769.280
2010 Pertumbuhan (%) 53.828.569 2,01
52.764.603
53.823.732
2,01
52.176.795 53.207.500 546.675 573.601 41.133 42.631 4.677 4.838 98.886.003 102.241.486
1,98 4,93 3,64 3,43 3,39
96.211.332
99.401.775
3,32
90.012.694 3.521.073 2.677.565 2.674.671
93.014.759 3.627.164 2.759.852 2.839.711
3,34 3,01 3,07 6,17
Sumber: Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia (2011), diolah
Tabel 1 juga menunjukan bahwa UMKM menjadi sektor usaha yang mendominasi dalam penyerapan tenaga kerja, dimana UMKM memberikan kontribusi sebesar 97 persen dari total tenaga kerja di Indonesia. Hal ini disebabkan mudahnya usaha mikro menjangkau dan menjadi bagian dari masyarakat, terutama pada masyarakat pedesaan. Namun demikian, kondisi UMKM masih termarginalkan dengan berbagai macam permasalahan. Salah satunya adalah lemahnya permodalan, dimana menjadi hambatan utama bagi banyak pelaku UMKM dalam menjalankan aktivitas usaha serta pengembangannya (Tunas Bangsa, 2011). Lemahnya permodalan yang dihadapi UMKM sering terjadi di salah satu unitnya, yakni sektor pertanian. Hal ini dilihat
2
pada kondisi sektor pertanian yang sangat memperihatinkan, didominasi oleh kaum petani miskin atau petani gurem yang terbatas pada modal usaha. Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, jumlah rumah tangga petani gurem mengalami peningkatan sebesar 2,6 persen per tahun, dimana dari 10,8 juta rumah tangga di tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003. Salah satu solusi yang dianggap tepat dalam mengatasi permasalahan tersebut adalah memberikan pinjaman modal atau kredit pada pelaku UMKM. Keberadaan kredit ditujukan untuk membiayai kebutuhan pelaku UMKM dalam penyediaan input produksi. Sebagai contoh, keberadaan kredit pada sektor pertanian dimanfaatkan untuk membiayai penyediaan input produksi seperti benih, pupuk, obat-obatan atau alat-alat dan mesin pertanian. Kredit juga tidak hanya dipandang sebagai penyedia input produksi, melainkan sebagai instrumen yang memungkinkan petani untuk memperoleh akses dan perluasan kontrol terhadap sumber daya (Direktorat Pembiayaan 2004, diacu dalam Ashari dan Friyatno 2006). Penyaluran kredit umumnya dilaksanakan oleh perbankan nasional, seperti Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Adapun bentuk pemberian kredit yang dapat dilayani perbankan nasional berupa kredit modal kerja, kredit investasi dan juga kredit konsumsi. Namun demikian, perbankan nasional masih mengalami berbagai macam permasalahan dalam merealisasikan kredit. Terdapat empat permasalahan umum yang dihadapi perbankan nasional dalam merealisasikan kredit (Ibrahim 2009, diacu dalam Machmudy 2011). Pertama, jaringan perbankan nasional kurang menjangkau hingga ke pelosok-pelosok daerah (sub-urban coverage). Hal ini menyebabkan ketimpangan (disequilibrium) dari perbankan dalam menyalurkan kredit pada UMKM yang banyak berlokasi di daerah pelosok. Kedua, terdapat ketidakseimbangan antara jumlah tenaga analis kredit dengan pihak yang mengajukan kredit. Seorang analis kredit suatu bank dapat menangani puluhan atau bahkan ratusan permohonan kredit. Ketiga, sistem persetujuan kredit perbankan nasional masih menggunakan pola-pola tradisional. Kondisi ini menyebabkan interval waktu relatif lama untuk pengajuan hingga hingga merealisasikan kredit. Keempat, tidak adanya metode pembinaan yang akurat terhadap sektor UMKM. Berdasarkan permasalahan tersebut menyebabkan sisi pelayanan bank mendapat sorotan minor dari masyarakat dan fungsi intermediasi perbankan nasional menjadi semakin tidak efektif. Bank Indonesia selaku bank sentral telah mengupayakan solusi atas permasalahan tersebut, dimana mencanangkan strategi Linkage Program di tahun 2002. Linkage Program merupakan bentuk kemitraan yang saling menguntungkan antara Bank Umum dengan Lembaga Keuangan Mikro dalam menyalurkan kredit kepada UMKM (Bank Indonesia, 2009a). Tujuannya adalah mendorong intermediasi perbankan nasional agar lebih efisien melaksanakan penyaluran kredit. Namun demikian, perbankan nasional baru memberikan perhatian penuh melaksanakan Linkage Program di tahun 2009. Hal ini dilihat dari banyaknya perbankan nasional yang ikut serta dalam aktivitas penandatanganan Surat Pemberitahuan Persetujuan Pemberian Kredit (SP3K) yang difasilitasi oleh Bank Indonesia pada April 2009, dimana diikuti oleh 19 Bank Umum dan lebih dari 500 BPR/Koperasi Simpan Pinjam (Kospin), untuk menjalin kemitraan dalam menyalurkan kredit pada sektor UMKM (lihat Tabel 2).
3
Tabel 2. Daftar Bank Umum Peserta Linkage Program Tahun 2009 Plafon Kredit No Nama Bank Umum Mitra Program (Rp) PT Bank Negara Indonesia BPR dan 1 512.000.000.000,00 (Persero), Tbk Koperasi BPR dan 2 PT BPD Jawa Barat Dan Banten 22.550.000.000,00 Koperasi 3 PT Bank Muamalat Indonesia BPRS dan BMT 66.586.747.138,00 BPRS, Koperasi, 4 PT BPD Sumatera Utara 3.285.000.000,00 dan BMT PT Bank Rakyat Indonesia 5 Koperasi 600.000.000,00 (Persero), Tbk 6 PT Bank Central Asia, Tbk BPR 9.970.000.000,00 7 PT Bank Syariah Mandiri BPR dan BPRS 27.000.000.000,00 BPR dan 8 PT BPD Jawa Timur 15.500.000.000,00 Koperasi BPR dan 9 PT BPD Sumatera Barat 15.950.000.000,00 Koperasi PT Bank Internasional BPR dan 10 235.762.146.000,00 Indonesia, Tbk Koperasi 11 PT Bank Mega, Tbk BPR 15.000.000.000,00 12 PT BPD Riau BPR dan BPRS 5.500.000.000,00 13 PT Bank Bukopin Koperasi 54.110.203.694,00 BPR dan 14 PT Bank DKI 2.500.000.000,00 Koperasi 15 PT BPD Sulawesi Selatan Koperasi 3.128.000.000,00 16 PT Bank Ganesha BPR 10.000.000.000,00 BPR dan 17 PT Bank CIMB Niaga, Tbk 509.777.234.275,00 Koperasi PT Bank Himpunan Saudara 18 Koperasi 1.500.000.000,00 1906, Tbk 19 PT Bank Danamon, Tbk BPR 84.600.000.000,00 Total Plafon Kredit Linkage Program 1.595.319.331.107,00 Sumber : Bank Indonesia (2009b)
Pelaksanaan Linkage Program umumnya didominasi melalui kemitraan antara perbankan dengan BPR. Namun demikian, salah satu Peserta Linkage Program yakni PT Bank Bukopin, Tbk (Bank Bukopin), memiliki fokus perhatian sangat besar dalam menjalankan kemitraan dengan koperasi. Berdasarkan Tabel 2 dijelaskan bahwa Bank Bukopin telah menyediakan plafon kredit sebesar 54.110.203.694 rupiah. Jumlah plafon kredit tersebut termaksud kategori jumlah plafon yang sangat besar bila dibandingkan dengan tiga bank umum lainnya yang juga berfokus bermitra dengan koperasi, seperti PT BPD Sulawesi Selatan, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk dan PT Bank Himpunan Saudara 1906, Tbk. Keikutsertaan Bank Bukopin dalam Linkage Program didasari komitmen Bank Bukopin melayani segmen Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi yang mengalami kelangkaan modal.
4
Bentuk kemitraan yang dilaksanakan oleh Bank Bukopin diwujudkan pada Bisnis Mikro atau disebut dengan Swamitra. Swamitra merupakan bentuk kerja sama Bank Bukopin dengan koperasi simpan pinjam dalam menyalurkan kredit usaha mikro, namun tetap berpedoman pada Undang-undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Simpan Pinjam, yang dalam pelaksanaan kegiatan usahanya melakukan penghimpunan dan penyaluran dana melalui kegiatan simpan pinjam dari dan untuk anggota koperasi yang bersangkutan, calon anggota koperasi yang bersangkutan, serta koperasi lain dan atau anggotannya (Bank Bukopin, 2011). Berdasarkan Laporan Tahunan Bank Bukopin periode 2011, Swamitra telah memberikan layanan kredit usaha mikro kepada nasabahnya sebesar 1.050 miliar rupiah di tahun 2011. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar 11,23 persen dari jumlah kredit yang disalurkan pada tahun sebelumnya (lihat Tabel 3). Besarnya jumlah kredit yang tersalurkan kepada pengusaha UMKM menunjukan bahwa, Swamitra memiliki kinerja yang baik guna mendukung program Bank Bukopin melayani sektor UMKM. Tabel 3. Kinerja Swamitra di Indonesia Tahun 2010-2011 Satuan
Aset Pinjaman Yang Diberikan Dana Pihak Ketiga Pinjaman Yang Diterima Dari Bukopin Sisa Hasil Usaha Tahun Berjalan Bad Debt Ratio (BDR) Jumlah Swamitra Online Jumlah Debitur Jumlah Nasabah
Miliar Rp
1.180
Miliar Rp
944
1.050
11,23
Miliar Rp
446
416
-6,73
Miliar Rp
590
736
24,75
Miliar Rp
34,53
20,35
-41,07
10,29 530 106.572 369.986
9,19 583 106.822 416.315
-10,69 10,00 0,23 12,52
% Outlet Orang Orang
2010
Pertumbuhan (%) 1.321 11,95
Uraian
2011
Sumber : Bank Bukopin (2011)
Kesuksesan program kemitraan Swamitra tidak terlepas dari peran beberapa outlet Swamitra yang dikembangkan oleh Bank Bukopin, salah satunya di wilayah kerja Bogor. Wilayah kerja Bogor dikenal sebagai daerah pusat wisata yang dilingkupi oleh berbagai macam UMKM dengan jumlah unit usaha yang cukup banyak. Wilayah kerja Bogor melalui Bank Bukopin Cabang Bogor telah sukses menjalin kerja sama dengan koperasi simpan pinjam, hal ini dilihat diwujudkan tujuh outlet Swamitra di akhir tahun 2012. Berdasarkan Tabel 4, kinerja Swamitra Bogor selama tiga tahun terakhir mengalami peningkatan dengan persentase laju pertumbuhan sebesar 16,76 persen per tahun. Adanya peningkatan jumlah pinjaman yang disalurkan melalui Swamitra, disebabkan meningkatnya calon debitur yang memiliki kelayakan menerima pinjaman dilihat dari segi usaha dan jaminan yang diberikan. Hal ini juga diikuti dengan meningkatnya pertumbuhan Sisa Hasil Usaha (SHU) selama tiga tahun terakhir, dimana Swamitra mampu mencapai laju
5
pertumbuhan sebesar 304,19 persen per tahun. Adanya peningkatan perolehan SHU disebabkan perubahan positif manajemen Swamitra Bogor pada aktivitas penyaluran kredit usaha mikro. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa Swamitra dapat diandalkan sebagai media terbaik bagi Bank Bukopin dalam menyalurkan kredit. Swamitra diharapkan dapat menggerakan sektor rill, mendukung program pemerintah untuk pemberdayaan UMKM yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi pengangguran. Tabel 4. Kinerja Swamitra Wilayah Bogor Tahun 2010-2012 Uraian Aset Pinjaman Yang Diberikan Dana Pihak Ketiga Pinjaman yang diterima dari Bank Bukopin (MTT) Sisa Hasil Usaha Tahun Berjalan Bad Debt Ratio (BDR) (%)
2010 (ribu Rp)
2011 (ribu Rp)
Laju Pertumbuhan (% per tahun) 10.245.662 15,54
2012 (ribu Rp)
6.642.560
7.295.163
5.848.050
6.509.771
9.308.716
16,76
5.215.430
5.037.937
4.161.784
-7,25
1.187.440
2.648.176
6.032.647
71,91
(59.530)
(123.186)
506.832
304,19
5,48
4,31
3,81
-11,41
Sumber : Bank Bukopin Cabang Bogor (2012)
Perumusan Masalah Swamitra Bogor merupakan salah satu media Bank Bukopin yang ditujukan untuk memperluas layanan pembiayaan pada sektor UMKM, terutama bagi pengusaha mikro Bogor. Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa Swamitra Bogor berhasil meraih kinerja baik di tahun 2012. Hal ini dilihat dari beberapa kategori kinerja yang berhasil tumbuh seperti nilai aset, jumlah pinjaman yang direalisasikan, perolehan SHU dan upaya menekan Bad Debt Ratio (BDR). Namun bila melihat kondisi Swamitra Bogor di tahun 2010-2011, dapat diketahui bahwa Swamitra Bogor memperoleh SHU dengan hasil yang kurang baik. Hal ini disebabkan menurunnya kinerja dari beberapa outlet Swamitra Bogor pada aktivitas layanan pembiayaan sektor UMKM. Berdasarkan penilaian Bank Bukopin terhadap Swamitra, SHU merupakan acuan terbesar dalam menilai kinerja outlet Swamitra dengan proporsi penilaian sebesar 50 persen. Hal ini bertolak belakang terhadap penilaian Bank Bukopin, serta menunjukan bahwa Swamitra Bogor mengalami perkembangan kinerja yang kurang baik di tahun 2010-2011. Dengan demikian, diperlukan sebuah peninjauan kembali mengenai kinerja masing-masing outlet Swamitra yang diwujudkan dalam sebuah penelitian. Penelitian dapat dilakukan dengan menganalisa kinerja Swamitra dilihat dari dua sisi penilaian, yaitu penilaian kinerja Swamitra dan penilaian nasabah peminjam dana (debitur) terhadap aktivitas penyaluran kredit. Namun demikian, penelitian hanya dilaksanakan pada salah satu outlet Swamitra Bogor, yang
6
dinyakini memiliki kinerja baik dari segi perolehan SHU. Penentuan tersebut dinyakini dapat mewakili kondisi Swamitra Bogor. Berdasarkan Tabel 5 dijelaskan mengenai perolehan SHU dari outlet Swamitra Bogor selama tiga tahun terakhir. Masing-masing outlet Swamitra Bogor memiliki perolehan SHU yang cenderung meningkat. Namun hanya Swamitra Kopmiso Bogor menjadi salah satu outlet Swamitra memiliki laju pertumbuhan SHU sangat besar di wilayah kerja Bogor. Swamitra tersebut berhasil menumbuhkan perolehan SHU sebesar 183 persen per tahun. Tabel 5. Perkembangan Sisa Hasil Usaha pada Outlet Swamitra Bogor Tahun 2010-2012 Sisa Hasil Usaha Swamitra Laju Pertumbuhan Nama Swamitra 2010 2011 2012 (% per tahun) (ribu Rp) (ribu Rp) (ribu Rp) Cileungsi 169.010 78.027 301.799 21,00 Kopwil Merdeka (131.540) (280.554) (46.118) 29,00 Bogor Giri Bhakti 53.030 114.723 199.787 56,00 Kopmiso (131.540) 4.745 74.162 183,00 KKB (44.420) 0,00 Karya Sejahtera (92.330) (136.098) (67.780) -10,00 Al Barokah 73.840 95.971 89.402 7,00 Total (59.530) (123.186) 506.832 304,19 Sumber : Bank Bukopin Cabang Bogor, 2012
Swamitra Kopmiso Bogor merupakan salah satu outlet yang berhasil dikembangkan oleh Bank Bukopin Cabang Bogor, melalui kerjasama dengan Koperasi Paguyuban Pedagang Mie dan Bakso Megapolitan (KOPMISO) di tahun 2009. Swamitra Kopmiso Bogor memiliki fokus melayani pengusaha mikro di wilayah Pasar Bogor. Mewujudkan pelayanannya pada sektor usaha mikro, Swamitra Kopmiso Bogor menerapkan aktivitas penyaluran kredit usaha mikro. Keberhasilan Swamita Kopmiso Bogor dalam meningkatkan perolehan SHU, disebabkan adanya upaya manajemen pengurus Swamitra Kopmiso Bogor berupa menekan biaya operasional, menurunkan rasio kredit bermasalah serta peningkatan jumlah kredit yang disalurkan pada nasabah. Namun demikian, Swamitra Kopmiso Bogor juga masih mengalami kendala yang memberatkan kinerja Swamitra, seperti masih ditemukan kondisi kredit macet yang disebabkan keterlambatan debitur membayar kewajiban pinjaman. Berdasarkan hasil tersebut, Swamitra Kopmiso Bogor dipilih sebagai Swamitra percontohan dalam penelitian ini. Berdasarkan uraian tersebut dimunculkan beberapa pertanyaan yang akan dibahas dalam penelitian ini, antara lain: 1) Bagaimana mekanisme penyaluran kredit usaha mikro melalui Swamitra Kopmiso Bogor? 2) Bagaimana kinerja Swamitra Kopmiso Bogor, dilihat dari sisi kinerja Swamitra dan sisi penilaian debitur terhadap aktivitas penyaluran kredit usaha mikro?
7
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka dalam penelitian ini akan dicapai tujuan sebagai berikut : 1) Mendeskripsikan mekanisme penyaluran kredit usaha mikro melalui Swamitra Kopmiso Bogor. 2) Menganalisa kinerja Swamitra Kopmiso Bogor dalam aktivitas penyaluran kredit usaha mikro, dilihat dari sisi kinerja Swamitra dan sisi penilaian debitur terhadap aktivitas penyaluran kredit usaha mikro.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak, antara lain : 1) Bagi perusahaan, sebagai informasi dan masukan mengenai keragaan kinerja penyaluran kredit usaha mikro dan pendapat nasabah mengenai aktivitas penyaluran kredit usaha mikro melalui studi kasus Swamitra Kopmiso Bogor. 2) Bagi penulis, mendapatkan kesempatan untuk mengaplikasikan keilmuan yang dimiliki mengenai studi Agribisnis pada penelitian ini. Penulis juga mendapat pengalaman baru mengenai aktivitas pembiayaan kredit di lembaga keuanga mikro, melalui pengamatan langsung di Swamitra Kopmiso Bogor. 3) Bagi pihak akademisi dan masyarakat dapat digunakan sebagai informasi dan masukan mengenai keragaan program kemitraan perbankan nasional dalam menyalurkan kredit usaha mikro dengan melihat pengalaman kemitraan PT Bank Bukopin, Tbk dengan Koperasi Simpan Pinjam Bogor.
TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sering digambarkan sebagai sektor usaha yang memiliki peranan penting dalam pembangunan perekonomian Indonesia, khususnya dalam hal penyerapan tenaga kerja dan mengurangi kesenjangan dan tingkat kemiskinan. Pemerintah sering kali menetapkan UMKM sebagai prioritas dalam agenda pembangunan nasional. Hal ini dibuktikan ketika sektor UMKM dipromosikan untuk membangun sektor hulu perekonomian nasional pasca krisis ekonomi yang berkepanjangan tahun 1998. UMKM menjadi sektor usaha ekonomi paling kuat bertahan sementara sektor usaha dengan skala yang lebih besar mengalami keruntuhan. Menurut Partomo (2004), terdapat lima alasan mengapa sektor UMKM dapat bertahan dan cenderung meningkat pada masa krisis ekonomi, antara lain : Pertama, sebagian besar sektor UMKM memproduksi produk dengan elastitas pendapatan yang rendah, sehingga pendapatan rata-rata masyarakat tidak banyak
8
berpengaruh pada permintaan produk hasil sektor UMKM. Kedua, akses permodalan pada perbankan sangat rendah. Hal ini disebabkan sektor UMKM mempergunakan modal sendiri. Implikasinya pada saat perbankan mengalami keterpurukan di masa krisis ekonomi, maka tidak banyak mempengaruhi sektor UMKM. Ketiga, sektor UMKM memiliki hambatan keluar-masuk yang sangat rendah. Hal ini memungkinkan sektor UMKM mudah untuk berpindah dari satu usaha ke usaha yang lainnya. Keempat, sektor UMKM memiliki banyak pilihan dalam pengadaan bahan baku sehingga menyebabkan penurunan biaya produksi dan peningkatan efisiensi dalam memproduksi barang dan jasa. Kelima, adanya peningkatan pengusaha UMKM yang berasal dari pekerja-pekerja yang menggangur dari aktivitas sektor usaha besar sehingga memperkaya kuantitas dan kualitas pada UMKM. Seiring dengan pertambahan waktu, UMKM mengalami perkembangan dalam jumlah unit. Jumlah UMKM di akhir tahun 2011 berkisar 55,2 juta unit usaha, terjadi peningkatan dari dua tahun sebelumya berkisar 52,8 juta unit usaha (PKL, 2012). Seiring dengan peningkatan jumlah unit UMKM maka turut meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Rata-rata UMKM mampu menyerap tiga hingga lima tenaga kerja. Adanya penambahan sekitar tiga juta unit UMKM pada periode tahun 2009 hingga tahun 2011, menyebabkan terserapnya tenaga kerja sebanyak 15 juta orang. Hal ini menunjukan bahwa UMKM memiliki potensi menjadi sektor penggerak perekonomian nasional. Namun demikian, perkembangan UMKM yang meningkat dari segi kuantitas tersebut belum diimbangi dengan meratanya kualitas UMKM (Tejasari, 2008). Hal ini disebabkan oleh masalah internal dan eksternal yang dihadapi oleh UMKM. Adapun permasalahan internal pada UMKM meliputi : Pertama, terbatasnya akses pengusaha UMKM terhadap permodalan. Hal ini disebabkan pengusaha UMKM tidak memenuhi syarat administrasi yang dibutuhkan bank dalam merealisasikan kredit. Kedua, rendahnya kualitas sumber daya manusia UMKM dalam manajemen, organisasi, penguasaan teknologi dan pemasaran. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki pengusaha UMKM, sehingga mempengaruhi kualitas UMKM. Sedangkan permasalahan eksternal pada UMKM meliputi : Pertama, biaya transaksi yang besar akibat iklim usaha yang kurang mendukung dan kelangkaan pada bahan baku. Hal ini berdampak buruk pada aktivitas UMKM. Kedua, perolehan legalitas formal UMKM yang dipersulit. Pelaku UMKM diharuskan mengeluarkan biaya tinggi untuk mengurus perizinan. Ketiga, kurangnya pemahaman dari pengusaha UMKM mengenai kelembagaan yang dapat menaungi UMKM dalam posisi tawar-menawar, sebagai contoh koperasi. Berdasarkan permasalahanpermasalahan tersebut menyebabkan produktivitas sektor UMKM sangat rendah. Menanggapi permasalahan tersebut maka diperlukan pengembangan strategi, salah satu strategi pengembangan dari perbankan seperti perbankan melaksanakan fungsi intermediasinya dengan mendistribusikan kredit usaha baik secara langsung kepada pengusaha UMKM maupun dengan pola kemitraan terhadap kelembagaan yang dapat menaungi sektor UMKM. Selain itu juga diberikan pembekalan dan penyuluhan dari pemerintah untuk mengatasi masalah sumber daya manusia UMKM yang rendah. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan kembali nilai tambah pada UMKM dalam persaingan bisnis.
9
Manfaat Pelaksanaan Linkage Program Linkage Program merupakan program kemitraan saling menguntungkan antara bank umum dan BPR/koperasi simpan pinjam. Program ini dimaksudkan untuk menciptakan pasar yang harmonis bagi perbankan dalam menyalurkan kredit. Linkage program juga memiliki fungsi sebagai jembatan penghubung atas keterbatasan dua belah pihak dalam menjangkau pasar UMKM. Secara nasional terdapat 19 bank umum dan lebih dari 500 BPR/Koperasi yang telah berpartisipasi dalam Linkage Program di tahun 2009, enam diantara bank umum merupakan bank pembangunan daerah. Jumlah plafon kredit yang telah disiapkan mencapai 1,5 triliun rupiah selama periode Juli 2008 hingga Februari 2009 (lihat Tabel 2). Salah satu bentuk kemitraan yang sukses diimplementasikan perbankan nasional adalah Swamitra. Swamitra merupakan terobosan dari PT Bank Bukopin, Tbk (Bank Bukopin) dalam aktivitas pembiayaan sektor ekonomi nasional, dimana diwujudkan pada jalinan kerja sama antara Bank Bukopin dengan koperasi simpan pinjam maupun lembaga keuangan mikro, dengan prinsip kebersamaan dan saling menguntungkan. Swamitra diharapkan dapat menjadi sebuah solusi dalam mengatasi permasalahan lemahnya permodalan, kepercayaan dan manajemen yang selama ini dihadapi sektor UMKM. Selain itu, dilaksanakan program kemitraan Swamitra dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan serta memperkuat struktur permodalan koperasi yang selama ini menghadapi banyak kendala. Mochtar (2008) menjelaskan bahwa terdapat empat konsep yang diterapkan Bank Bukopin pada kemitraan Swamitra antara lain : Pertama, pemberdayaan ekonomi rakyat melalui dukungan teknis, pemasaran dan pembiayaan melalui kemitraan antara Bank Bukopin dengan Koperasi. Hal tersebut dimaksudkan guna menumbuhkan kepercayaan anggota Koperasi untuk ikut serta dalam aktivitas Koperasi. Kedua, menghubungkan kebutuhan produsen/pengusaha UMKM dengan konsumen melalui penyedian informasi dan komunikasi bisnis. Hal ini dimaksudkan untuk mengefisiensikan jalur distribusi yang panjang, sehingga pengusaha UMKM dan konsumen dapat menikmati nilai tambah dalam aktivitas bisnis. Ketiga, memperluas pelayanaan transaksi perbankan guna mempermudah pengusaha UMKM melakukan aktivitas saving dan kredit untuk memperlancar arus perdagangan. Keempat, membangun jaringan kerja dengan dukungan teknologi untuk mempererat hubungan kemitraan Bank Bukopin dengan Koperasi. Aktivitas kemitraan juga masih menghadapi beberapa kendala yang sering dihadapi perbankan pada umumnya. Salah satu kendala yang menjadi hambatan utama bagi kemitraan perbankan adalah risiko kredit bermasalah (non performing loan). Namun hal tersebut mampu ditekan oleh Bank Bukopin, hal ini disebabkan kemampuan manajemen Bank Bukopin dalam membina koperasi simpan pinjam, sehingga memperkecil kemungkinan kredit yang bermasalah (Glenardi 2009, diacu dalam Gemari 2009). Hal ini dibuktikan melalui 640 Koperasi yang berhasil dibina oleh Bank Bukopin. Dengan demikian, disimpulkan bahwa pola kemitraan Swamitra semata-mata bukanlah aktivitas bisnis Bank Bukopin, melainkan membantu pemerintah meningkatkan ekonomi masyarakat. Keberadaan kemitraan Swamitra Bank Bukopin banyak memberikan dampak positif bagi perkembangan UMKM. Susilowati (2002) menyatakan terdapat tiga manfaat positif yang diterima pengusaha mikro ketika ikutserta pada
10
kemitraan Swamitra Bank Bukopin. Hal ini ditinjau dari partisipasi Primkopti Handayani dalam Swamitra. Pertama, pendapatan anggota Primkopti Handayani yang berprofesi sebagai produsen tahu dan tempe mengalami peningkatan. Hal ini berkaitan dengan pinjaman yang disalurkan Bank Bukopin pada Swamitra Primkopti Handayani, sehingga menyebabkan anggota Primkopti Handayani dapat meningkatkan volume usaha mereka melalui pengadaan input produksi yang lebih maksimal dari kondisi sebelumnya. Kedua, anggota Primkopti Handayani mendapat pembinaan usaha dari Swamitra. Hal ini membantu para anggota Primkopti Handayani menjalankan usaha produksi tahu dan tempe dengan manajemen yang baik. Ketiga, terjadinya peningkatan partisipasi anggota Primkopti Handayani dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT) dan pertemuanpertemuan lainya. Mochtar (2008) juga menambahkan mengenai dampak yang diterima pelaku UMKM mengikuti kemitraan Swamitra Bank Bukopin, antara lain peningkatan aset dan skala usaha, peningkatan penyerapan tenaga kerja, perluasan pasar dan peningkatan pendapatan. Hal ini ditinjau dari seluruh unit Swamitra di Kota Pekanbaru. Dari segi aset yang dimiliki para pelaku UMKM, baik aset finansial dan aset riil (rumah, tanah dan kendaraan) meningkat rata-rata sebesar 36,50 persen. Jumlah tersebut dikategorikan kecil, namun demikian masih dinyakini akan terus meningkat setiap tahunnya. Sedangkan segi penyerapan tenaga kerja, pelaku UMKM mengalami peningkatan rata-rata sebesar 45,89 persen. Hal ini berkaitan dengan meningkatkan volume usaha pengusaha UMKM setelah menerima kredit Swamitra sehingga menyebabkan perluya tambahan tenaga kerja. Dari segi pasar, UMKM mengalami peningkatan rata-rata sebesar 57,93 persen. Hal ini disebabkan sokongan dana Swamitra berupa kredit modal yang mempermudah pengusaha UMKM melakukan ekspansi usaha dengan membuka usaha lain. Dari segi pendapatan juga mengalami peningkatan rata-rata sebesar 68,23 persen, hal ini berkaitan dengan meningkatkan volume usaha setelah menerima kredit Swamitra yang berdampak pada peningkatan produktivitas dan penjualan pengusaha sektor UMKM. Dari hasil kedua penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaku UMKM akan menerima peningkatan produktivitas, peningkatan pendapatan petani dan kemudahan petani menjual produk UMKM. Kesamaan tersebut menyebabkan adanya indikasi bahwa kemitraan merupakan solusi yang terbaik dalam mengatasi permasalah pembiayaan sektor UMKM.
Kinerja Penyaluran Kredit Pada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Kredit dikenal sebagai salah satu sumber permodalan pada aktivitas sektor usaha riil, baik usaha skala mikro hingga usaha skala besar. Aktivitas penyaluran kredit dianggap dapat memberikan banyak dampak positif bagi perkembangan sektor usaha di Indonesia, dimana meningkatkan kemampuan para pengusaha agar menjadi lebih kuat dan mandiri melalui pemanfaatan dana pinjaman. Namun demikian, muncul pertanyaan apakah perbankan memiliki kinerja yang baik dalam aktivitas penyaluran kredit. Hal ini dapat dijelaskan melalui penelitian mengenai kinerja perbankan dalam menyalurkan kredit yang telah banyak dilakukan sebelumnya oleh Aprilia (2004), Novitasari (2006) dan Fitrianingsih
11
(2008). Dari ketiga penelitian tersebut dilakukan identifikasi kinerja perbankan dalam pelaksanaan kredit usaha. Aprilia (2004) menjelaskan kinerja perbankan syariah terhadap perkembangan perekonomian nasional selama periode 2002-2003 dan bagaimana persepsi masyarakat selaku nasabah bank syariah dan bank konvensional mengenai pembiayaan syariah. Hasil penelitian menunjukan bahwa kinerja perbankan syariah berada pada posisi yang baik, hal ini dapat dilihat dari posisi aset total bank syariah mengalami peningkatan sebesar 3,813 triliun rupiah pada akhir tahun 2003 atau sebesar 32,03 persen dari tahun sebelumnya. Selain itu perbankan syariah berhasil menghimpun Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 5,724 triliun rupiah pada akhir tahun 2003 atau meningkat sebesar 32,48 persen dari tahun sebelumnya. Hasil kinerja tersebut menunjukan perbankan syariah juga tidak kalah bersaing terhadap bank konvensional, dilihat dari jumlah persentase Financing Deposit Ratio (FDR) yang diraih lebih dari 100 persen. Sedangkan persepsi masyarakat mengenai pembiayaan syariah ditinjau atas beberapa faktor yakni bunga bank, pengetahuan perbankan syariah, tingkat keuntungan relatif atau bagi hasil, tingkat kompabilitas dan tingkat aksebilitas. Pada penelitian tersebut, diambil sampel nasabah dari beberapa bank umum dan bank syariah di wilayah Bogor. Berdasarkan persepsi nasabah terhadap bunga bank secara umum menyatakan bahwa bunga adalah haram dengan tingkat persentase sebesar 50 persen dari total responden. Berdasarkan persepsi nasabah terhadap pengetahuan perbankan syariah dijelaskan bahwa mayoritas responden dengan jumlah persentase sebesar 29,1 persen menyatakan bank syariah adalah bank yang sesuai dengan prinsip syariah. Berdasarkan persepsi nasabah terhadap bagi hasil menyatakan hal tersebut disetujui dalam pembiayan perbankan syariah dengan jumlah persentase sebesar 68 persen dari total responden. Berdasarkan persepsi nasabah terhadap tingkat kompabilitas menyatakan bahwa responden puas dengan pelayanan bank syariah dengan jumlah persentasen sebesar 46 persen dari total responden. Sedangkan persepsi nasabah terhadap tingkat aksebilitas menyatakan bahwa responden tidak mengalami kendala dalam menjangkau bank syariah, hal ini dilihat dari 76 persen dari total responden menyatakan pendapat tersebut. Novitasari (2006) membahas kinerja penyaluran Kredit Umum Pedesaan (Kupedes) yang dilihat dari penilai Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan nasabah BRI. Penelitian ini dilakukan pada salah satu unit kerjac BRI wilayah Jakarta yakni Kantor Unit BRI Unit Kreo, hal ini dikarenakan BRI Unit Kreo menjadi unit kerja BRI yang mampu menyalurkan Kupedes terbesar dibanding dengan unit lainnya yakni mencapai 2,091 miliyar rupiah. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kinerja penyaluran Kupedes baik dilihat dari target dan realisasi kredit, persentase tunggakan kredit, jangkauan kredit dan frekuensi pinjaman. Sedangkan penilaian kinerja penyaluran Kupedes menurut nasabah dilihat dari beberapa faktor antara lain persyaratan awal, prosedur pinjaman, realisasi kredit, biaya administrasi, tingkat bunga, lokasi bank, jaminan atau anggunan, pelayanan petugas dan pendapatan usaha. Berdasarkan target dan realisasi kredit selama tahun 2003-2006, BRI Unit Kreo telah berhasil merealisasikan Kupedes dengan rata-rata pencapaian sebesar 109,72 persen dari target yang ingin dicapai. Pada persentase tunggakan kredit, BRI Unit Kreo mampu menekannya dengan sebesar 2,18 persen selama periode 2003-2006. hal berkaitan dengan adanya perbaikan
12
manajemen BRI dalam menyeleksi calon nasabah dan membina nasabah lama dalam aktivitas membayar kewajibannya. Berdasarkan jangkauan kredit, BRI Unit Kreo mampu menjangkau berbagai macam sektor yakni sektor pertanian, sektor perindustrian, sektor perdagangan dan sektor jasa komersil. Namun demikian, diketahui bahwa sektor perdagangan menjadi sektor usaha yang paling banyak dibiayai oleh Kupedes dengan jumlah sebesar 1,292 miliyar rupiah di akhir Maret 2006. Hasil tersebut menunjukan bahwa BRI Unit Kreo memiliki fokus pelayanan nasabah di bidang perdagangan. Sedangkan pada frekuensi pinjaman menunjukan bahwa mayoritas nasabah telah mengambil Kupedes lebih dari tiga kali, dengan jumlah persentase sebesar 45 persen dari total responden. Hasil tersebut menunjukan bahwa adanya indikasi bahwa nasabah mengerti manfaat dari Kupedes, sehingga mampu memanfaat fasilitas kredit BRI dalam frekuensi berulang kali. Sedangkan penilaian nasabah menyatakan bahwa persyaratan awal, prosedur pinjaman, realisasi kredit, biaya administrasi, lokasi bank, pelayanan petugas dan pendapatan usaha merupakan faktor yang mendukung perkembangan kinerja BRI pada aktivitas penyaluran kredit. Sedangkan Fitrianingsih (2008) membahas kinerja penyaluran Kupedes yang dilihat dari segi BRI dan pendapat nasabah BRI. Penelitian ini menggunakan studi kasus pada salah satu unit kerja BRI yakni BRI Unit Citerup, hal ini didasari bahwa BRI Unit Citerup merupakan kantor BRI unit terbesar wilayah Bogor. Penilaian kinerja penyaluran Kupedes menurut bank dilihat dari target dan realisasi kredit, persentase tunggakan kredit, jangkauan kredit dan frekuensi pinjaman. Sedangkan penilaian kinerja penyaluran Kupedes menurut nasabah dilihat dari beberapa faktor antara lain persyaratan awal, prosedur pinjaman, realisasi kredit, biaya administrasi, tingkat bunga, jaminan atau bunga dan pelayanan petugas bank. Berdasarkan target dan realisasi, jumlah Kupedes yang mampu direalisasikan BRI Unit Citerup berfluktuatif, namun BRI Unit Citerup mampu mencapai target yang ditetapkan dengan rata-rata persentase pencapaian sebesar 98,08 persen selama periode 2005-2007. Berdasarkan persentase tunggakan kredit, BRI Unit Citerup berhasil mencapai 2,64 persen dari target yang ingin dicapai. Hasil tersebut diperoleh atas perbaikan manajemen BRI dalam menyeleksi calon debitur sehingga dapat menekan persentase tunggakan. Berdasarkan jangkauan pelayanan, BRI Unit Citerup mampu menjangkau berbagai macam sektor yakni sektor pertanian, sektor perindustrian, sektor perdagangan dan sektor jasa komersil. Namun demikian, sektor perdagangan menjadi sektor mayoritas dalam pembiayaan Kupedes BRI Unit Citerup, dengan jumlah kredit sebesar 5,058 miliyar atau sebesar 88,96 persen dari total Kupedes yang disalurkan pada akhir Juni 2008. Sedangkan pada frekuensi pinjaman, nasabah telah mengambil Kupedes lebih dari tiga kali kesempatan dengan jumlah nasabah sebanyak 548 orang. Hal ini disebabkan nasabah mengetahui manfaat dari Kupedes BRI Unit Citerup, sehingga mampu memanfaat fasilitas kredit berulang kali. Atas keempat faktor yang dipergunakan dalam menilai kinerja Kupedes menurut bank menunjukan bahwa BRI Unit memiliki kinerja yang baik. Sedangkan penilaian nasabah menunjukan bahwa persyaratan awal dan pelayan pengurus yang memberikan pengaruh baik dalam meningkatkan kinerja BRI Unit Citerup dalam menyalurkan Kupedes.
13
Dari ketiga hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya penyaluran kredit usaha yang dilaksanakan oleh lembaga keuangan/perbankan memiliki kinerja yang baik. Tidak terdapat hal yang membedakan dari kinerja penyaluran kredit atas lembaga keuangan yang dilakukan penelitian. Namun demikian, terdapat kesamaan mengenai faktor-faktor yang dipergunakan dalam menilai kinerja penyaluran kredit usaha dilihat dari segi bank dan segi nasabah. Target dan realisasi kredit serta persentase tunggakan kredit menjadi kriteria yang dipergunakan dalam menilai kinerja perbankan, sedangkan penilaian kinerja menurut nasabah dapat dilihat pada beberapa kriteria : persyaratan awal, prosedur peminjaman, realisasi kredit, tingkat bunga, pelayanan petugas Swamitra, dan lokasi Swamitra. Dengan demikian, kriteria tersebut dapat dijadikan referensi untuk variabel penelitian ini.
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan suatu pemahaman penulis mengenai sekumpulan pemikiran atau teori dari berbagai literatur untuk mendukung variabel-variabel penelitian. Sumber literatur tersebut seperti buku, jurnal ilmiah, skripsi, tesis, disertasi dan karya ilmiah lainnya yang dinyakini kebenarannya guna mendukung penelitian ini. Konsep Kemitraan Perbankan Pada dasarnya kemitraan merupakan jenis entitas bisnis yang diwujudkan dalam kerja sama antara pengusaha kecil dengan pengusahaan besar, dalam pelaksanaannya disertai pembinaan dan pengembangan oleh pengusaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan (Tohar, 2000). Hal yang mendasari dilaksanakannya kemitraan yakni adanya persoalan internal dan eksternal yang dihadapi pengusaha dalam mengembangkan usaha, sehingga memerlukan pertolongan pihak lain yang memiliki kemampuan lebih. Hutabarat dan Huseini (2006) menambahkan bahwa kemitraan berjalan atas orientasi kondisi lingkungan usaha yang tidak menentu, sehingga memerlukan sebuah media pengembangan agar perusahaan mendapat keunggulan bersaing. Kemitraan dapat diwujudkan melalui tranfer teknologi, transfer pengetahuan dan keterampilan, tranfer sumber daya (manusia dan bahan baku), transfer metode kerja, transfer modal atau berbagai hal yang dapat diperbantukan sehingga terpadu dalam wujud yang utuh. Namun pada aktivitas perbankan nasional, program kemitraan merupakan salah satu upaya pengembangan penyaluran kredit perbankan nasional, hal tersebut didasari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995. Pelaksanaan kemitraan pada perbankan bertujuan untuk mengurangi dampak intensifikasi debitor UMKM atau aktivitas perbankan yang hanya menggarap UMKM yang telah mendapat kredit dari perbankan, sehingga mempengaruhi manfaat perbankan terhadap perkembangan perekonomian nasional (trickle down effect). Program kemitraan perbankan dapat diwujudkan melalui Linkage Program. Program tersebut dianggap sebagai terobosan baru dari perbankan
14
dalam menggarap potensi UMKM melalui perluasan customer care (Hadinoto dan Retnadi, 2007). Linkage Program merupakan program kemitraan antara bank umum dengan lembaga keuangan mikro guna menyalurkan kredit. Pelaksanaan program tersebut tidak mengharuskan perbankan menyalurkan kredit secara langsung kepada sektor rill, melainkan melalui perusahaan kemitraan seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR) maupun koperasi simpan pinjam atau disebut dengan istilah two steps financing (Bank Indonesia, 2009). Program tersebut memberikan manfaat baik bagi bank umum seperti proses penyaluran kredit menjadi efisien serta memperluas jangkauan terhadap pengusaha UMKM. Sedangkan pada perusahaan mitra memperoleh manfaat berupa penguatan permodalan guna membiayai pengusaha UMKM yang memiliki potensi berkembang. Penerapan Linkage Program dapat diwujudkan pada tiga pola pembiayaan (Bank Indonesia, 2007) yakni : a. Pola Executing merupakan skema penyaluran kredit dimana perbankan memberikan modal pinjaman pada perusahaan mitra, guna disalurkan kembali sebagai pinjaman kepada pengusaha UMKM sebagai end user (lihat Gambar 1). Kredit yang disalurkan dicatat bank umum sebagai pinjaman perusahaan mitra, sedangkan perusahaan mitra mencatat kredit yang tersalur sebagai pinjaman kepada pengusaha UMKM. Pada skema pembiayaan ini, perusahaan mitra memegang kuasa penuh dalam aktivitas menyalurkan kredit, termasuk menentukan target debitur. Hal ini akan berdampak pada risiko yang akan diterima dimana sepenuhnya menjadi tanggungan perusahaan mitra.
Perbankan Nasional
Perusahaan Mitra Pengusaha UMKM (end user)
Gambar 1. Model Pola Pembiayaan Executing b. Pola Chanelling merupakan skema penyaluran kredit perbankan melalui perusahaan mitra (lihat Gambar 2). Pada skema pembiayaan ini, perusahaan mitra bertindak sebagai agent dan tidak memiliki kewenangan dalam memutuskan perjanjian kredit, kecuali bila mendapat surat kuasa dari perbankan. Penetapkan target debitur sepenuhnya menjadi tanggung jawab perbankan. Pada skema pembiayaan ini, kredit yang disalurkan dicatat perbankan sebagai pinjaman kepada pengusaha UMKM, sedangkan perusahaan mitra mencatatkan pinjaman tersebut pada off balance sheet. Risiko yang diterima dalam skema pembiayaan ini menjadi tanggungan perbankan, namun demikian perusahaan mitra diwajibkan membantu memelihara dan menyehatkan debitur guna mengurangi risiko yang akan diterima perbankan.
15
Perbankan Nasional
Perusahaan Mitra
Pengusaha UMKM (end user)
Gambar 2. Model Pola Pembiayaan Chanelling c. Pola Joint Financing merupakan skema penyaluran kredit dengan modal bersama antara perbankan dengan perusahaan mitra. Dengan demikian, kredit yang disalurkan dicatat perbankan dan perusahaan mitra sebagai pinjaman kepada pengusaha UMKM berdasarkan porsi masing-masing pada modal pinjaman. Pada skema pembiayaan ini, kesepakatan bersama menjadi acuan dalam menentukan target debitur. Hal ini berdampak pada risiko yang diterima menjadi tanggungan bersama perbankan dan perusahaan mitra sesuai dengan porsi masing-masing. Perbankan Nasional
Perusahaan Mitra
Pengusaha UMKM (end user) Gambar 3. Pola Pembiayaan Joint Financing Konsep Kredit Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa latin yakni credere yang memiliki arti kepercayaan. Maksudnya adalah seseorang diberikan kepercayaan terhadap sejumlah uang dan diharapkan pada masa yang akan datang diadakan pengembalian uang tersebut, sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Pengertian tersebut senada dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 mengenai perbankan, menjelaskan bahwa kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersama-kan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dalam merealisasikan kredit kepada masyarakat, perbankan sering dihadapkan dengan permasalahan risiko berupa kredit yang bermasalah. Timbulnya permasalahan tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan debitur membayar kewajibannya sesuai perjanjian atau akad kredit yang disepakati. Diperlukan suatu cara untuk meminimalkan risiko tersebut guna menghindarkan kerugian pada perbankan, salah satunya dengan menggunakan analisis kelayakan kredit. Bank Indonesia telah membuat acuan standar mengenai penilai kelayakan seeorang debitur menerima kredit, yakni Prinsip 5C atau Five Cs of Credit. Namun demikian, implementasinya pada masing-masing perbankan memiliki cara
16
yang berbeda-beda tergantung bentuk manajemen risiko yang dianut masingmasing perbankan. Untuk memahami mengenai Prinsip 5C yang dterapkan perbankan, maka diperlukan pengertian umumnya mengenai definisinya. Leon dan Ericson (2007) menjelaskan secara umum bagaimana perbankan melakukan penilaian kelayakan kredit dengan mempergunakan Prinsip 5S, yakni: a) Character (watak/itikad baik) Salah satu bentuk analisa kelayakan kredit mengenai penilaian karakter atau kepribadian calon debitur. Hal tersebut berhubungan dengan sistem kepercayaan kredit sehingga perbankan perlu mengetahui integritas calon debitur dalam membayar kewajibannya sesuai perjanjian atau akad kredit. Penilaian terhadap karakter calon debitur dianggap agak sulit untuk dilakukan, dikarenakan perbankan tidak mengenal baik calon debitur. Mengatasi permasalahan tersebut, perbankan dapat melakukan pencarian informasi melalui bank to bank information baik melalui bank central seperti Bank Indonesia maupun melalui bank umum setempat. Hal tersebut memungkinkan perbankan mengetahui lebih dalam mengenai calon debitur, dampaknya akan lebih banyak mengurangi risiko kredit yang bermasalah. b) Capital (permodalan/aset) Bentuk analisa kelayakan kredit mengenai informasi jumlah modal yang dimiliki dalam aktivitas usaha yang dijalankan. Tujuan dilakukan analisa ini adalah untuk menilai kondisi kelayakan calon debitur dan seberapa besar plafon pembiayaan yang layak diberikan. Umumnya sumber informasi yang diperlukan untuk analisis berasal dari data mengenai modal sendiri (self financing) yang disediakan oleh calon debitur, bisa berbentuk neraca, laporan rugi-laba, struktur permodalan, ratio-ratio keuntungan yang diperoleh seperti return on equity, return on investment. c) Capacity (kapasitas) Bentuk analisa kelayakan kredit mengenai kemampuan calon debitur dalam memenuhi kewajibannya, dalam perjanjian atau akad kredit yang disepakati bersama antara perbankan dengan calon debitur. Dalam melakukan analisa ini diperlukan fokus perhatian pada : (1) kemampuan calon debitur menyediakan dana (self financing) untuk usahanya yang akan dibiayai oleh kredit, (2) kemampuan melaksanakan proyeknya sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan dan ditetapkan, dan (3) kemampuan usaha calon debitur mengenai produktivitas serta peroleh keuntungan yang dapat diraih. d) Condition of Economy (kondisi perekonomonian) Bentuk analisa kelayakan kredit mengenai faktor-faktor ekonomi yang dapat mempengaruhi usaha yang dijalankan oleh calon debitur ataupun proyek debitur yang akan dibiayai oleh kredit. Sebagai contoh, kondisi usaha yang dimiliki calon debitur pada saat ini dan prospeknya ke depan, sejauh mana usaha yang dijalankan calon debitur bergantung pada bahan baku impor, perundang-undangan yang dapat membatasi ruang gerak usaha calon debitur hingga kondisi perekonomian global apakah mendukung usaha yang dijalankan calon debitur. e) Collateral (agunan) Bentuk analisa kelayakan kredit mengenai nilai jaminan yang diberikan calon debitur untuk menutupi risiko kredit yang bermasalah apabila suatu hal menyebabkan calon debitur mengalami kegagalan dalam menjalankan usahanya.
17
Hal tersebut didasari atas Undang-Undang Perbankan yang menyatakan bank dilarang memberikan kredit kepada calon debitur tanpa adanya agunan atau jaminan yang mencukupi. Namun hasil analisis dari collateral dipertimbangkan paling akhir, dalam artian bila terdapat suatu kesangsian dalam pertimbangan dari prinsip lainnya maka perbankan dapat menilai harta calon debitur yang memungkinkan dijadikan sebagai jaminan Analisis Kinerja Perbankan Kinerja sering diartikan sebagai hasil kerja yang nyata atas berbagai aktivitas yang dilakukan oleh sebuah perusahaan. Kinerja sering dijadikan sebagai acuan para pimpinan perusahaan untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam menjawab berhasil atau tidaknya tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Rai (2008) menyatakan bahwa analisis kinerja merupakan sebuah proses sistematis dalam mengevaluasi fakta-fakta yang timbul dari aktivitas yang dijalankan oleh sebuah perusahaan. Analisa terhadap kinerja dapat dilakukan berdasarkan aspek ekonomi dan efisiensi operasi, efektivitas dalam mencapai hasil yang diinginkan, serta kepatuhan terhadap peraturan, hukum dan kebijakan yang terkait. Hal senanda juga disampaikan oleh Ruky (2006), dimana menyatakan bahwa audit kinerja merupakan bentuk penilaian prestasi kerja sebuah organisasi dari segi tahap perencanaan hingga tahap akhir proses aktivitas yang dijalankan oleh organisasi tersebut. Berdasarkan teori beberapa para ahli tersebut, dapat dijelaskan bahwa analisis kinerja menggambarkan evaluasi secara periodik terhadap aktivitas organisasi yang berlangsung berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Sebagai contoh, apabila suatu tugas dapat terselesaikan dengan pemilihan metode ditentukan sebelumnya maka aktivitas tersebut telah sesuai dengan tujuan organisasi. Analisis kinerja perbankan dapat dilihat dari dua sisi penilaian, yakni penilaian kinerja menurut pihak pemberi kredit dan penilaian nasabah terhadap aktivitas penyaluran kredit (Pardosi 1998 diacu dalam Novitasari 2006). Analisa kinerja dari segi bank menggunakan beberapa kriteria ukur, seperti Target dan realisasi kredit, Persentase tunggakan kredit, Jangkauan kredit dan Frekuensi pinjaman. Apabila perbankan memiliki kemampuan mencapai atau melebihi target dari masing-masing kriteria ukur, maka perbankan memiliki kinerja yang baik. Sedangkan analisis kinerja bank menurut penilaian nasabah terhadap aktivitas penyaluran kredit didasari oleh beberapa kriteria, seperti Persyaratan awal, Prosedur pinjaman, Realisasi kredit, Biaya administrasi, Tingkat Bunga, Lokasi Bank, Anggunan dan Pelayanan Petugas. Apabila nasabah memberikan pendapat yang mendukung kinerja perbankan dari masing-masing kriteria ukur, maka perbankan memiliki kinerja yang baik.
Kerangka Pemikiran Operasional Kerangka pemikiran yang dibangun dalam penelitian ini adalah menganalisa kinerja penyaluran kredit usaha mikro melalui kemitraan Bank Bukopin (Studi Kasus Swamitra Kopmiso Bogor, dilihat dari segi Swamitra dan segi pendapat nasabah (debitur). Hal ini berhubungan dengan tujuan awal, yakni melihat perkembangan Swamitra dalam menyalurkan kredit usaha mikro. Pada segi
18
Swamitra akan dilakukan deskripsi mengenai kinerja Swamitra dalam menyalurkan kredit usaha mikro dengan beberapa kriteria ukur . Adapun kriteria yang diukur pada kinerja Swamitra antara lain Jumlah pinjaman yang direalisasikan, Dana pihak ketiga yang diraih, Pemanfaatan Modal Tidak Tetap (MTT), Jumlah Sisa Hasil Usaha (SHU), Rasio Kredit Bermasalah. Sedangkan pada segi pendapat nasabah juga dilakukakn analisis deskripsi penilaian persepsi nasabah dengan dibantu alat analisis Skala Likert. Analisis ini berguna untuk menggambarkan persepsi debitur Swamitra mengenai terhadap beberapa kriteria penilaian. Adapun kriteria-kriteria penilaian yang diminta tanggapannya pada responden adalah persyaratan awal, prosedur peminjaman, realisasi kredit, tingkat bunga, pelayanan petugas Swamitra, dan lokasi Swamitra. Dari hasil kedua analisis tersebut dapat digunakan sebagai masukan untuk evaluasi dan rekomendasi guna peningkatan pelayanan kemitraan Swamitra. Hal ini akan berdampak kualitas pembiayaan kredit kemitraan Bank Bukopin yang lebih baik di masa mendatang (lihat Gambar 4). Kebutuhan Evaluasi Mengenai Kinerja Penyaluran Kredit Usaha Mikro Melalui Swamitra
Penilaian Kinerja Kemitraan Swamitra
Penilaian Kinerja Menurut Swamitra Kopmiso Bogor : 1. Jumlah Pinjaman yang Diberikan 2. Dana Pihak Ketiga yang Diraih 3. Pemanfaatan Modal Tidak Tetap (MTT) 4. Jumlah Sisa Hasil Usaha (SHU) 5. Rasio Kredit Bermasalah (BDR)
Rekomendasi Hasil Penelitian
Penilaian Kinerja Menurut Pendapat Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor : 1. Persyaratan Awal 2. Prosedur Peminjaman 3. Realisasi Kredit 4. Tingkat Bunga 5. Pelayanan Petugas Swamitra 6. Lokasi Swamitra
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada dua tempat penelitian yakni PT Bank Bukopin, Tbk (Bank Bukopin) Kantor Cabang Pembantu Bogor yang beralamat di jalan Raya Padjajaran, Warung Jambu Bogor dan Swamitra Kopmiso Bogor yang beralamat di jalan Otista Bogor. Pemilihan Bank Bukopin Kantor Cabang Pembantu Bogor sebagai tempat penelitian dilakukan secara sengaja (purpoise), dengan mempertimbangkan informasi yang beredar bahwa Bank Bukopin Kantor
19
Cabang Pembantu Bogor merupakan pusat pelaksanaan kemitraan Swamitra. Sedangkan pemilihan Swamitra Kopmiso Bogor sebagai tempat penelitian didasari indeks prestasi yang baik dari segi perkembangan sisa hasil usaha, sehingga menjadikan Swamitra tersebut sebagai Swamitra percontohan untuk wilayah Bogor. Waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini selama dua bulan, yakni Bulan Desember 2012 hingga Januari 2013. Namun secara keseluruhan dalam penyusunan skripsi ini membutuhkan waktu selama lima bulan.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang berkaitan dengan penyaluran kredit usaha mikro melalui kemitraan Bank Bukopin terhadap koperasi simpan pinjam. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan pihak Operasional dan Financing Bank Bukopin dan pengurus outlet Swamitra Bogor, serta melakukan wawancara secara khusus kepada anggota kemitraan Swamitra Kopmiso Bogor periode 2012 dengan menggunakan kuisioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai laporan administrasi Bank Bukopin Kantor Cabang Pembantu Bogor mengenai kinerja Swamitra periode 2010-2012, laporan administrasi Swamitra Kopmiso Bogor mengenai kinerja Swamitra periode 2010-2012, laporan Bank Indonesia mengenai daftar pelaku Linkage Program periode 2009, laporan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah mengenai perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) periode 2009-2010, laporan Badan Pusat Statistik Nasional mengenai perkembangan sektor UMKM periode 1993-2003 dan literatur lainnya yang berkaitan mengenai program kemitraan perbankan nasional terhadap lembaga keuangan mikro (Linkage Program).
Metode Penentuan Sampel Penelitian ini menggunakan desain deskriptif mengenai kinerja Swamitra Bogor dalam menyalurkan kredit usaha mikro. Namun demikian, pada penelitian ini masih memerlukan responden guna sebagai rujukan untuk melengkapi hasil penelitian. Metode yang digunakan dalam penentuan sampel atau responden adalah Simple Random Sampling, dimana dilakukan pengambilan sampel dari semua anggota populasi dilakukan secara acak (Umar, 2002). Populasi yang dimaksud adalah debitur Swamitra Kopmiso Bogor, baik debitur lama maupun debitur baru. Jumlah besaran responden yang diperlukan pada penelitian ini berkisar dari 30-40 persen dari populasi. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari data debitur Swamitra Kopmiso Bogor di akhir tahun 2012, terdapat 78 orang debitur aktif. Dengan demikian, akan dilakukan pengambilan sampel 30 orang debitur Swamitra Kopmiso Bogor secara acak. Jumlah sampel tersebut diyakini mampu mewakili subjek yang ingin dianalisa mengenai pendapat nasabah terhadap penyaluran kredit usaha mikro Swamitra Bank Bukopin.
20
Metode Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode pengolahan dan analisis data secara kuantitatif dan kualitatif. Metode kualitatif disajikan dalam bentuk menggambarkan fakta-fakta yang ditemukan dari data yang diperoleh dalam penelitian ini atau disebut analisis deskriptif. Sedangkan metode kuantitatif disajikan dalam bentuk analisis skala likert. Analisis Kinerja Penyaluran Kredit Usaha Mikro melalui Kemitraan Swamitra Bank Bukopin Analisis ini dimaksudkan untuk membantu melengkapi analisis deskriptif mengenai kinerja penyaluran kredit usaha mikro melalui Swamitra yang bersifat kuantitatif. Pengukuran kinerja dapat dilihat dari sisi pemberi kredit (Swamitra Kopmiso Bogor) dan sisi kelompok penerima kredit (anggota Swamitra), antara lain : a. Kriteria Pengukuran Kinerja menurut Sisi Pemberi Kredit Kriteria pengukuran yang dipergunakan dalam menganalisa kinerja pemberi kredit atau Swamitra didasari oleh beberapa tinjauan teoritis, dan disesuaikan dengan kriteria ukur yang dipergunakan Bank Bukopin dalam menilai kinerja Swamitra, seperti : 1) Kriteria jumlah pinjaman yang direalisasikan, yakni menggambarkan jumlah kredit usaha mikro yang mampu disalurkan melalui outlet Swamitra. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia di tahun 2013, kredit yang direalisasikan minimal mencapai 20 persen dari anggaran yang ditetapkan oleh perbankan (Ramadhani, 2013). Namun demikian, pada penelitian ini menggunakan target realisasi minimal 50 persen dari anggaran yang ditetapkan oleh Swamitra. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah Swamitra memiliki kemampuan besar dalam menyalurkan kredit bila ditetapkan target lebih besar melebih dari target yang ditentukan Bank Indonesia. Apabila Swamitra mampu merealisasikan kredit melebihi target yang ditentukan, maka Swamitra memiliki kinerja yang baik dalam penyaluran kredit usaha mikro. 2) Kriteria dana pihak ketiga yang diraih yakni menggambarkan jumlah dana pihak ketiga berupa simpanan dan deposito yang dapat dihimpun Swamitra dari nasabahnya. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia di tahun 2013, dana pihak ketiga yang direalisasikan minimal mencapai 20 persen dari anggaran yang ditetapkan oleh perbankan (Purwanto, 2013). Namun demikian, pada penelitian ini menggunakan target realisasi minimal 50 persen dari anggaran yang ditetapkan oleh Swamitra. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah Swamitra memiliki kemampuan besar dalam menghimpun dana pihak ketiga bila ditetapkan target lebih besar melebih dari target yang ditentukan Bank Indonesia. Apabila Swamitra mampu menghimpun dana pihak ketiga melebihi target yang ditentukan, maka Swamitra memiliki kinerja yang baik dalam menghimpun dana pihak ketiga. 3) Pemanfaatan Modal Tidak Tetap (MTT), yakni menggambarkan kondisi Swamitra dalam memanfaatkan modal yang diberikan Bank Bukopin untuk disalurkan kembali kepada nasabah sebagai pinjaman. Pada
21
kondisi umum tidak ditemukan ketentuan atau target realisasi dalam pemanfaatan MTT, namun penelitian ini ditetapkan target realisasi minimal 50 persen dari anggaran yang ditetapkan oleh Swamitra. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah Swamitra memiliki kemampuan besar dalam memanfaatkan MTT. Apabila Swamitra mampu memanfaatkan MTT melebihi target yang ditentukan, maka Swamitra memiliki kinerja yang baik dalam menghimpun dana pihak ketiga. 4) Jumlah Sisa Hasil Usaha (SHU), yakni menggambarkan kondisi SHU yang mampu diperoleh Swamitra dalam pelaksanaan aktivitas penyaluran kredit usaha mikro. Pada kondisi umum tidak ditemukan ketentuan atau target realisasi perolehan SHU, namun penelitian ini menetapkan target realisasi minimal 50 persen dari anggaran yang ditetapkan oleh Swamitra. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah Swamitra memiliki kemampuan besar dalam meraih SHU. Apabila Swamitra mampu meraih SHU melebihi target yang ditentukan, maka Swamitra memiliki kinerja yang baik dalam menghimpun dana pihak ketiga. 5) Frekuensi tunggakan nasabah, yakni menggambarkan bagaimana kondisi pengembalian kredit oleh anggota Swamitra apakah menimbulkan tunggakan kewajiban atau kredit macet. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia di tahun 2013, frekuensi tunggakan nasabah yang direalisasikan maksimal mencapai 3,79 persen dari anggaran yang ditetapkan oleh perbankan (Purwanto, 2013). Namun demikian, pada penelitian ini menggunakan target realisasi maksimal empat persen dari anggaran yang ditetapkan oleh Swamitra. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah Swamitra memiliki kemampuan besar dalam menekan frekuensi tunggakan nasabah bila ditetapkan target lebih besar melebih dari target yang ditentukan Bank Indonesia. Apabila Swamitra mampu menekan frekuensi tunggakan nasabah melebihi target yang ditentukan, maka Swamitra memiliki kinerja yang baik dalam menghimpun dana pihak ketiga. b. Kriteria Pengukuran Persepsi Nasabah terhadap Kinerja Swamitra Menilai kinerja Swamitra menurut pendapat penerima kredit atau debitur Swamitra dapat diukur dengan beberapa kriteria ukur seperti persyaratan awal, prosedur peminjaman, realisasi kredit, tingkat bunga, pelayanan petugas Swamitra, dan lokasi Swamitra. Guna membantu penilaian kinerja menurut nasabah dipergunakan bantuan analisis Skala Likert. Pemilihan skala Likert dianggap tepat untuk mengukur persepsi, sikap atau pendapat responden mengenai serangkaian pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner penelitian (Rangkuti, 2007). Wawancara dilakukan kepada debitur Swamitra mengenai kriteria ukur diatas, kemudian responden diminta memberikan tanggapannya berdasarkan pilihan jawaban yang disediakan dengan menggunakan skala tiga seperti mudah, sedang dan sulit. Pemilihan skala tiga pada pilihan jawaban responden dikarenakan untuk mempermudah pemahamam responden mengenai kriteria ukur yang ditanyakan. Jawaban yang mendukung kinerja penyaluran kredit usaha mikro melalui kemitraan Swamitra Bukopin dapat diberikan nilai skor tiga sedangkan jawaban yang bertentangan akan diberikan nilai skor satu. Berdasarkan skor yang diperoleh dari skala Likert maka dilakukan penentuan selang atau rentang skala, hal ini dimaksukan untuk menentukan
22
skor rataan kinerja Swamitra dalam menyalurkan kredit usaha mikro. Selang diperoleh dari selisih nilai maksimal kriteria yang mungkin dengan nilai minimal kriteria yang mungkin dibagi dengan jumlah kategori penilaian yang ditentukan, hasil tersebut kemudian dikurangi nilai satu poin (Umar, 2002). Hasil selang yang diperoleh maka dapat ditentukan skor kinerja Swamitra dalam menyalurkan kredit usaha mikro. Selang =
Nilai Maksimal − Nilai Minimal − 1 Jumlah Kategori Penilaian
Pada penelitian ini, kemungkinan nilai maksimal yang diperoleh apabila keseluruhan responden menjawab enam pertanyaan yang mendukung kinerja Swamitra adalah 540. Sedangkan kemungkinan nilai maksimal yang diperoleh apabila keseluruhan responden menjawab enam pertanyaan yang tidak mendukung kinerja Swamitra adalah 180. Hasil nilai maksimal dan nilai minimal tersebut akan dihitung nilai selisihnya, lalu dibagi nilai lima sebagai jumlah kategori penilaian. Kemudian hasil tersebut akan dikurangi dengan nilai satu sebagai selisih dari masing-masing kategori penilaian. Berdasarkan perhitungan tersebut akan menghasilkan selang sebesar 71. Selang =
540 − 180 − 1 = 71 5
Berdasarkan nilai selang tersebut maka dapat ditentukan kategori penilaian dari penilaian terendah (sanggat buruk) hingga penilaian tertinggi (sangat baik). Penilaian terendah menyatakan bahwa kinerja Swamitra bernilai sangat buruk, sedangkan selang tertinggi menyatakan bahwa kinerja Swamitra bernilai sangat baik dalam penyaluran kredit usaha mikro. Tabel 6. Skor Penilaian Kinerja Swamitra Menurut Nasabah Kategori Penilaian Kinerja Sangat Buruk Kinerja Buruk Kinerja Cukup Kinerja Baik Kinerja Sangat Baik
Bobot Nilai Rataan 180 – 251 252 – 323 324 – 395 396 – 467 468 – 540
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Gambaran Umum Bank Bukopin Sejarah dan Perkembangan PT Bank Bukopin, Tbk PT Bank Bukopin, Tbk (Bank Bukopin) pada awalnya merupakan bank nasional dengan status badan hukum koperasi yang didirikan oleh delapan induk
23
koperasi pada tanggal 10 Juli 1970 dengan nama Bank Umum Koperasi Indonesia, disingkat BUKOPIN (Bank Bukopin, 2011). Seiring dengan perkembangan perekonomian nasional yang terus membaik maka pada tahun 1985 seluruh bank berbadan hukum koperasi melakukan penggabungan usaha (merger) untuk membentuk Bank Bukopin. Proses penggabungan tersebut dimaksudkan sebagai usaha untuk menopang kegiatan perkoperasian di Indonesia. Untuk mengubah citra BUKOPIN sebagai bank yang lebih baik di lingkungan masyarakat maka dilakukan pengubahan nama menjadi Bank Bukopin di tahun 1989. Pada tahun 1993, Bank Bukopin mengubah status badan hukum koperasi menjadi badan hukum perseroan terbatas dengan nama PT Bank Bukopin, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan likuiditas permodalan agar dapat menjamin operasional Bank Bukopin. Pada tahun 1996, Bank Bukopin ditetapkan sebagai Bank Devisa sehingga membuka peluang untuk berkiprah dalam aktivitas perbankan internasional. Namun krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998 menyebabkan Bank Bukopin masuk program rekapitalisasi perbankan bersama dengan perbankan lainnya yang dijalankan oleh pemerintah. Selama masa program rekapitalisasi, Bank Bukopin berhasil tumbuh melampaui target yang ditetapkan pemerintah dalam rancangan Rencana Kinerja Usaha (performance plan) yang diakui secara nasional maupun internasional. Pada tahun 2001, Bank Bukopin berhasil menyelesaikan program rekapitalisasi serta menjadi perbankan pertama yang keluar dari program tersebut. Kini sejarah itu telah berjalan selama empat dasawarsa dan Bank Bukopin telah tumbuh dan berkembang menjadi bank yang masuk ke kelompok bank menengah di Indonesia dengan jumlah aset sebesar 57.183 miliar rupiah pada akhir tahun 2011, meningkat sebesar 20,41 persen dari tahun sebelumnya. Bank Bukopin merupakan salah satu bank swasta di Indonesia yang berfokus memberikan pelayanan perbankan pada segmen Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKM). Hal tersebut diwujudkan pada salah satu bentuk pembiayaan Bank Bukopin yakni kerja sama Bank Bukopin dengan Koperasi Simpan Pinjam untuk menyalurkan kredit usaha mikro yang disebut dengan Swamitra. Swamitra merupakan jaringan micro-banking yang melibatkan peran serta pengusaha usaha mikro di sentra ekonomi pedesaan dan pasar tradisional sejak tahun 1998 dan terus berkembang menjadi 583 gerai Swamitra yang tersebar di 22 provinsi di Indonesia pada akhir tahun 2011. Selain melayani segmen UMKMK, Bank Bukopin juga membuka layanan perbankan pada segmen konsumer dan komersial serta ditambah dengan Divisi Perbankan Internasional dan Divisi Treasury sehingga memperkuat fundamental Bank Bukopin dalam aktivitas perbankan. Bank Bukopin juga memiliki dua anak perusahaan antara lain PT Bank Bukopin Syariah dan PT Bukopin Finance yang merupakan hasil akuisisi saham yang dilakukan Bank Bukopin di tahun 2006. Hingga akhir tahun 2011, Bank Bukopin memiliki jaringan pelayanan yang terdiri dari 36 kantor cabang, 106 kantor cabang pembantu, 92 kantor fungsional, 134 kantor kas dan 51 payment point di 22 provinsi Indonesia. Seluruh jaringan kantor pelayanan Bank Bukopin, anak perusahaan dan jaringan Swamitra terhubung satu sama lainnya melalui jaringan teknologi informasi muktahir.
24
Visi dan Misi PT Bank Bukopin, Tbk PT Bank Bukopin, Tbk (Bank Bukopin) memiliki visi yakni menjadi bank yang terpercaya dalam pelayanan jasa keuangan. Untuk dapat mewujudkan visi tersebut maka Bank Bukopin merancang misi yakni memberikan pelayanan yang terbaik kepada nasabah, turut berperan dalam pengembangan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKMK), serta meningkatkan nilai tambah investasi pemegang saham dan kesejahteraan karyawan. Bank Bukopin juga menyadari bahwa aspek budaya perusahaan sangat mempengaruhi produktivitas untuk mewujudkan misi Bank Bukopin sehingga dilakukan pengelolaan yang diwujudkan pada nilai-nilai perusahaan yakni PRIDE (Profesionalism, Respect Others, Integrity, Dedicated to Customer dan Excellence). PRIDE mencerminkan aturan perilaku umum yang mengikat seluruh jajaran di Bank Bukopin agar bertindak profesional tinggi dan berintegritas di seluruh aspek perusahaan serta mematuhi undang-undang, tata tertib, peraturan dan kebijakan perusahaan (Bank Bukopin, 2011).
Gambaran Umum Swamitra Swamitra merupakan lembaga keuangan mikro yang dibentuk atas kerja sama atau kemitraan antara Bank Bukopin dengan Koperasi Simpan Pinjam atau sejenisnya dengan memanfaatkan jaringan teknologi dalam aktivitas transaksi perbankan di Outet Swamitra (lihat Gambar 2). Hal yang mendasari kerja sama ini berasal dari komitmen awal Bank Bukopin untuk mendorong pertumbuhan ekonom lapisan bawah atau yang disebut dengan pengusaha usaha mikro yang sulit bersentuhan dengan perbankan. Melalui kerja sama ini, setiap anggota koperasi yang bergabung sebagai anggota Swamitra dapat memperoleh akses permodalan, pengelolaan likuiditas efektif, transaksi keuangan yang efisien dan penerapan teknologi yang modren. KOPERASI
Unit Pertokoan
Unit Usaha Lainnya
BANK BUKOPIN
USP
· Modren Technology · Management · Working capital
SWAMITRA
Gambar 5. Pola Kerja Sama Swamitra Sumber : Muchtar (2011) Swamitra berasal dari dua suku kata yakni dari kata Swa dalam bahasa Kawi yang berarti sendiri dan mitra yang memiliki arti bekerja sama, sehingga Swamitra dapat didefinisikan sebagai kerja sama atas keinginan sendiri atau tanpa paksaan. Swamitra memiliki tujuan untuk mengembangkan serta memodrenisasi Usaha Simpan Pinjam (USP) Koperasi melalui pemanfaatan jaringan teknologi (network) dan dukungan sistem manajemen sehingga memiliki kemampuan pelayanan transaksi keuangan yang lebih luas namun tetap memperhatikan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kemitraan Swamitra diwakili sebuah logo yang tampak seperti dua tangan yang saling memberi dan menerima (lihat
25
Gambar 3), hal ini dimaksudkan sebuah kerja sama yang saling menguntungkan antara Bank Bukopin dengan Koperasi Simpan Pinjam.
Gambar 6. Logo Swamitra Perbedaan yang mendasar Swamitra dengan lembaga keuangan mikro lainnya dilihat dari kepemilikan Swamitra yang sepenuhnya milik koperasi sedangkan lembaga keuangan lainnya masih dibawah kendali atau perpanjangan tangan bank yang bersangkutan dalam kemitraan. Pada pelaksanaan kemitraan Swamitra, Bank Bukopin telah merancang tiga tahapan yang dianggap mampu menumbuhkembangkan koperasi sebagai mitraan (Bank Bukopin, 2011), antara lain : 1. Tahap Awal berupa pelayanan transaksi keuangan (transaction mechanism), yakni pemberian layanan simpan pinjam dan transaksi keuangan lainnya yang berkaitan dengan usaha simpan pinjam seperti simpanan, pinjaman, pengiriman uang dan pembayaran tagihan. 2. Tahap Antara berupa media informasi dan komunikasi bisnis (business information system), yakni menyediakan informasi dan komunikasi bisnis terkait barang dan jasa. 3. Tahap Lanjutan berupa pemberian dukungan pada terlaksananya jual-beli barang dan jasa (physical distribution), yakni dukungan yang terjadinya transaksi jual beli dan pemanfaatan jaringan distribusi yang lebih efisien.
Gambaran Umum Swamitra Kopmiso Bogor Swamitra Kopmiso Bogor merupakan hasil kerja sama antara Bank Bukopin Cabang Bogor dengan Koperasi Paguyuban Pedagang Mie dan Bakso Megapolitan (KOPMISO). Kopmiso terbentuk pada tanggal 7 Oktober 2006 dengan jumlah anggota awal sebanyak 24 orang dan berlokasi di Jalan Wangun Tengah Rukun Tetangga 03, Rukun Warga 03 Kelurahan Sindangsari, Kecamatan Bogor Timur, Bogor (Koperasi Paguyuban Pedagang Mie dan Bakso Megapolitan, 2006). Anggota Kopmiso terdiri dari pedagang bakso, pengusaha bakso dan bumbu-bumbu bakso yang berdomisili di kota Bogor. Pada tanggal 5 Agustus 2009, Kopmiso melakukan kerja sama dengan Bank Bukopin Cabang Bogor yang diwujudkan pada pendirian Swamitra Kopmiso di Pasar Bogor. Hal yang mendasari kerja sama ini adalah kurangnya pengetahuan pengurus KOPMISO mengenai manajemen koperasi yang baik terutama mengenai penyaluran kredit usaha mikro kepada anggota koperasi serta kelangkaan modal
26
yang dimiliki koperasi dalam memenuhi kebutuhan pinjaman modal anggota koperasi. Struktur organisasi pada Swamitra Kopmiso Bogor secara umum memiliki kondisi yang sama dengan beberapa Swamitra yang dikelola Bank Bukopin Cabang Bogor yang terdiri dari satu orang Manajer, dua orang Pembina Pinjaman (Marketing dan Collector), satu orang Credit Support, satu orang Koordinator Operasi, satu orang Teller dan satu orang Eksternal Control. Seluruh operasional Swamitra Kopmiso Bogor berada dalam pengawasan divisi usaha koperasi, kecil dan mikro Bank Bukopin Cabang Bogor (lihat Gambar 7). Adapun penjelasan fungsi masing-masing bagian adalah sebagai berikut : 1) Manajer, memiliki peran sebagai penanggung jawab kepada kepala operasional Bank Bukopin Cabang Bogor mengenai operasional yang berjalan di Swamitra. Selain itu, manajer juga bertanggung jawab dalam menyusun program kerja tahunan untuk pengembangan Swamitra. 2) Pembina Pinjaman, terdiri dari dua fungsi tugas yakni Accounting Officer dan Collector. Accounting Office memiliki tugas memperkenalkan dan memasarkan produk Swamitra berupa Tabungan dan Kredit Usaha Mikro, sedangkan Collector memiliki tugas menagih kewajiban nasabah Swamitra. 3) Credit Support, memiliki tanggung jawab atas pengelolaan tansaksi jaminan serta menganalisa calon nasabah mencakup aspek legal untuk memastikan kesesuaian dengan peraturan perusahaan. Selain itu, Credit Support bertanggung jawab mempersiapkan akad/perjanjian pinjaman baik secara di bawah tanggan maupun secara notaril. 4) Koordinator Operasi, memiliki tanggung jawab untuk mengelola dan mensupervisi seluruh kegiatan operasional di Swamitra sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. 5) Teller, memiliki tanggung jawab atas pelayanan transaksi uang tunai mencakup simpanan dana serta pembayaran anggsuran kredit yang dilakukan oleh nasabah serta bertanggung jawab atas pembayaran tagihan listrik dan telepon yang dilakukan oleh masyarakat. 6) Eksternal Control, memiliki tanggung jawab untuk melakukan audit mengenai kinerja Swamitra berdasarkan laporan neraca dan laba rugi, daftar debitur serta pemeriksaan mutasi harian Bank Bukopin Cabang Bogor (Supervisi A/O UKKM)
Koperasi Paguyuban Pedagang Mie dan Bakso Megapolitan (KOPMISO)
Manajer Swamitra
Koordinator Operasional
Eksternal Control
Pembina Pinjaman (Accounting Officer dan Collector)
Teller
Credit Support
Gambar 7. Struktur Organisasi Swamitra Kopmiso Bogor
KINERJA PENYALURAN KREDIT USAHA MIKRO DARI SEGI SWAMITRA KOPMISO BOGOR
Mekanisme Penyaluran Kredit Usaha Mikro Pada Swamitra Kopmiso Bogor Kredit usaha mikro merupakan salah satu produk perbankan yang ditawarkan Bank Bukopin melalui outlet Swamitra. Produk perbankan tersebut ditujukan untuk mengembangkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang terkendala pada kelangkaan modal usaha. Hal ini didasari atas komitmen Bank Bukopin melayani pengusaha UMKM produktif dan feasible, namun sulit mengakses kredit perbankan akibat persyaratan administrasi perbankan yang sulit dipenuhi (bankable). Pola penyaluran kredit dalam kemitraan Swamitra adalah executing, dimana Bank Bukopin menempatkan dana pinjaman atau disebut dengan Modal Tidak Tetap (MTT) pada outlet Swamitra, kemudian dana tersebut disalurkan kembali sebagai kredit usaha mikro kepada pelaku UMKM yang mudah diakses oleh Swamitra. Namun demikian, penyaluran kredit usaha mikro tetap berpedoman pada prinsip 5C (Character, Capacity, Capital, Collateral dan Condition of Economy). Hal tersebut dimaksudkan untuk tetap menjaga aktivitas penyaluran kredit tidak terkendala oleh kredit bermasalah. Aktivitas penyaluran kredit usaha mikro dapat dilihat pada salah satu outlet Swamitra Bogor, yakni Swamitra Kopmiso Bogor dimana Swamitra tersebut bertindak sebagai Agent Executing dalam menyalurkan kredit kepada pelaku UMKM Bogor. Pada aktivitas penyaluran kredit usaha mikro, Swamitra Kopmiso Bogor menetapkan suku bunga kredit dengan kisaran 21,6 persen hingga 24 persen per tahun. Hal tersebut didasari oleh kondisi pasar yang berlaku serta besaran jumlah kredit yang diajukan. Pada umumnya proses realisasi kredit usaha mikro di Swamitra Kopmiso Bogor membutuhkan waktu lebih kurang tujuh hari kerja. Adapun mekanisme penyaluran kredit usaha mikro pada Swamitra Kopmiso Bogor meliputi hal-hal sebagai berikut (lihat juga Lampiran 1) : a. Pengajuan Proposal Kredit Aktivitas penyaluran kredit usaha mikro diawali dari langkah Accounting Officer (AO) melakukan sosialisasi produk kredit Swamitra Kopmiso Bogor kepada calon debitur baru maupun debitur lama yang memiliki rencana mengajukan permohonan kredit kembali. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang baik mengenai pelayanan kredit yang diberikan oleh Swamitra. Bila produk kredit usaha mikro dikehendaki, maka calon debitur diwajibkan mengajukan surat pengajuan kredit dalam bentuk aplikasi kredit. Umumnya aplikasi kredit memberitahukan tentang latar belakang calon debitur, maksud dan tujuan melayangkan permohonan kredit, besaran kredit yang dikehendaki, jangka waktu pengembalian serta kondisi usaha calon debitur untuk menyakinkan pihak Swamitra Kopmiso Bogor Bogor merealisasikan kredit kepada debitur. Selanjutnya calon debitur juga diwajibkan melengkapi beberapa dokumen persyaratan antara lain : 1) Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) 2) Fotocopy surat nikah/cerai (bagi yang sudah menikah/cerai)
28
3) 4) 5)
Fotocopy kartu keluarga Fotocopy rekening listrik Fotocopy data jaminan, calon debitur dapat memilih menyerahkan data jaminan sebagai berikut : · BPKB Mobil atau Motor beserta kelengkapannya seperti Kwitansi Blanko, Faktur Kendaraan dan STNK · Sertifikat Tanah atau Bangunan beserta kelengkapannya seperti IMB dan PBB terakhir.
Jika kelengkapan dokumen telah dipenuhi oleh calon debitur, maka pihak AO akan melanjutkan ke tahap selanjutnya. Apabila kelengkapan yang diberikan mengenai proposal kredit kurang, maka debitur diberikan waktu untuk segera mungkin melengkapi kekurangan pada proposal kredit yang diajukan. b. Penilaian Calon Debitur Pada tahap ini akan dilakukan survei keberadaan calon debitur berdasarkan dokumen yang diterima dari calon debitur. Hal ini dimaksudkan untuk melihat fakta yang dimiliki calon debitur apakah sesuai dengan informasi yang diberikan calon debitur. Setelah dokumen-dokumen yang diperlukan dalam permohonan kredit telah dipenuhi calon debitur, maka pihak AO dan Credit Support (BCS) akan melakukan analisis kelayakan usaha dengan melakukan survei langsung pada calon debitur meliputi : 1) penilaian karateristik calon debitur melalui wawancara langsung mengenai data aplikasi kredit yang diajukan oleh calon debitur, 2) penilaian aktivitas usaha yang dijalankan calon debitur yang tertera pada aplikasi kredit yang diajukan oleh calon debitur, 3) penilaian data jaminan yang diberikan oleh calon debitur. Pihak AO dan BCS dalam melakukan penilaian data jaminan berdasarkan pedoman besarnya nilai anggunan minimal 60 persen dari jumlah kredit yang akan direalisasikan Swamitra Kopmiso Bogor Bogor. Aktivitas analisis kelayakan usaha dimaksudkan agar pihak AO dan BCS dapat menganalisis kelayakan usaha dan keuangan calon debitur. Kemudian pihak AO akan membuat sebuah memo yang berisikan laporan ringkas mengenai hasil survei. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pihak Swamitra untuk menilai kondisi calon debitur dan usaha yang dijalankannya. c. Analisis Kredit Usaha Mikro Pada tahap ini, pihak AO akan meminta BCS melakukan analisis yuridis dan analisis taksasi terhadap calon debitur. Analisis yuridis dimaksudkan sebagai penilaian pihak Swamitra agar dapat mengetahui subyek dan obyek hukum calon debitur. Sedangkan analisis taksasi merupakan penilaian pihak Swamitra atas data jaminan atau anggunan yang diberikan calon debitur terhadap harga pasar yang berlaku. Kemudian kedua hasil analisis tersebut akan diserahkan kembali kepada pihak AO untuk dibuatkan proposal pengajuan kredit. Proposal pengajuan kredit meliputi kondisi calon debitur, tujuan penggunaan kredit yang diajukan dan jumlah kredit yang dibutuhkan, hasil analisis yuridis dan analisis taksasi serta lampiran mengenai dokumen informasi calon debitur. Hasil proposal pengajuan kredit tersebut akan diajukan pada Manajer Swamitra Kopmiso Bogor Bogor dan Pengurus Bidang (Supervisi A/O UKKM
29
Bank Bukopin Cabang Bogor) melalui komite kredit. Hal ini dimaksudkan agar pihak AO dapat melaporkan mengenai kelayakan calon debitur menerima kredit. Apabila hasil komite menyatakan calon debitur dianggap layak menerima kredit, maka pihak AO akan segera mempersiapkan draft SPPK mencakup jumlah kredit yang akan diterima, jangka waktu kredit dan biaya-biaya administrasi yang akan dikenakan pada calon debitur. Kemudian draft SPPK akan diberikan kepada BCS untuk dilakukan verifikasi dan melanjutkan tahap selanjutnya. Bila calon debitur dinyatakan tidak layak menerima kredit namun masih dapat diperhitungkan kembali untuk diberikan kredit maka pengurus bidang menyarankan pihak AO mengajukan revisi terhadap proposal kredit tersebut dimana melakukan kembali tahapan awal pengajuan proposal kredit. Namun bila calon debitur dinyatakan tidak layak dan tidak diperhitungkan untuk menerima kredit maka Bank Bukopin menyarankan pengurus Swamitra segera memberhentikan pengajuan kredit tersebut. d. Akad Kredit dan Realisasi Pemberian Kredit Tahap ini merupakan tahapan akhir dalam penyaluran kredit usaha mikro, BCS akan mempersiapkan dokumen akad kredit atau pengikatan dan segera menghubungi calon debitur untuk mengatur waktu melakukan akad kredit atau pengikatan di outlet Swamitra. Adapun proses pengikatan perjanjian kredit usaha mikro meliputi : 1. Internal (pihak Swamitra dengan calon debitur) 2. Eksternal, dimana BCS meminta dokumen pegikatan pada notaris. Setelah calon debitur selesai menandatangani semua pengikatan perjanjian dan dokumen-dokumen pendukunganya, maka calon debitur segera ditetapkan secara resmi sebagai debitur Swamitra Kopmiso Bogor Bogor. Pihak Swamitra segera mencairkan sejumlah dana yang disepakati pada perjanjian kredit antara pihak Swamitra dengan debitur.
Kinerja Swamitra Kopmiso Bogor Dalam Penyaluran Kredit Usaha Mikro Kredit usaha mikro merupakan sebuah terobosan Bank Bukopin yang diwujudkan melalui kemitraan Swamitra, hal ini dimaksudkan untuk membantu mengembangkan sektor UMKM. Penyaluran kredit melalui Swamitra diharapkan memberi dampak positif terhadap iklim usaha di Indonesia, termasuk pada jenis usaha di pasar tradisional. Dengan demikian, perlu diketahui kinerja Swamitra dalam penyaluran kredit usaha mikro yang diukur berdasarkan beberapa kriteria, antara lain jumlah pinjaman yang direalisasikan, dana pihak ketiga yang dapat diraih, pemanfaatan Modal Tidak Tetap (MTT), jumlah Sisa Hasil Usaha (SHU) yang dapat diraih dan rasio kredit bermasalah (Bad Debt Ratio). Faktor tersebut ditetapkan oleh Bank Bukopin untuk menunjukan performa Swamitra dalam aktivitas penyaluran kredit usaha mikro. a. Jumlah Pinjaman yang Direalisasikan Swamitra Kopmiso Bogor mulai menjalankan aktivitas pembiayaan pada Agustus 2009. Swamitra Kopmiso Bogor memfokuskan diri melayani para pengusaha mikro di Pasar Bogor, melalui realisasi kredit usaha mikro. Berdasarkan aktivitas penyaluran kredit yang berlangsung, terdapat anggaran atau
30
target realisasi kredit yang ditetapkan oleh Bank Bukopin Cabang Bogor. Penentuan anggaran tersebut dimaksudkan sebagai parameter kerja yang harus dicapai oleh Swamitra Kopmiso. Berdasarkan Tabel 7, Bank Bukopin Cabang Bogor telah menetapkan parameter realisasi kredit di kisaran dua miliar rupiah selama tiga tahun terakhir. Hal ini didasarkan rasa optimis yang tinggi dari Bank Bukopin Cabang Bogor bahwa Swamitra Kopmiso Bogor memiliki kemampuan besar dalam menyalurkan kredit. Berdasarkan ktivitas penyaluran kredit yang berlangsung pada tahun 2010, Swamitra Kopmiso Bogor diberikan parameter realisasi kredit sebesar 2.049.112.000 rupiah. Jumlah tersebut menjadi parameter kerja terkecil selama tiga tahun terakhir. Penentuan parameter tersebut dipengaruhi kemampuan Swamitra Kopmiso Bogor menyalurkan kredit diperiode sebelumnya, dilihat pada kondisi sebelum bermitra dengan Bank Bukopin Cabang Bogor maupun setelah bermitra menjadi Swamitra. Namun demikian, Swamitra Kopmiso Bogor hanya mampu mencapai realisasi kredit sebesar 37,16 persen dari target yang ditentukan di awal tahun. Tidak tercapainya target realisasi kredit disebabkan banyaknya calon debitur yang masuk memiliki kriteria kurang baik, dilihat dari karakter, prospek usaha dan jaminan yang dimiliki oleh calon debitur. Hal ini mempengaruhi jumlah realisasi kredit yang tidak maksimal. Tabel 7. Anggaran dan Realisasi Kredit Swamitra Kopmiso Bogor di Tahun 20102012 Anggaran Realisasi Pencapaian Tahun (ribu Rp) (ribu Rp) (%) 2010 2.049.112 761.390 37,16 2011 2.561.390 1.081.599 42,23 2012 2.324.000 948.829 40,83 Laju Pertumbuhan (% per tahun) 4,29 7,61 3,19 Sumber : Bank Bukopin Cabang Bogor, 2012
Namun demikian, kondisi tersebut tidak menggangu penilaian Bank Bukopin Cabang Bogor menentukan parameter realisasi kredit di tahun selanjutnya. Bank Bukopin Cabang Bogor menetapkan target realisasi kredit sebesar 2.561.390.000 rupiah di tahun 2011, dimana mengalami peningkatan sebesar 20 persen dari tahun sebelumnya. Hal tersebut juga dipengaruhi atas penetapan strategi Bank Bukopin Cabang Bogor, berupa peningkatan realisasi kredit wilayah Bogor di tahun 2011. Jumlah realisasi kredit yang dapat dicapai Swamitra Kopmiso Bogor sebesar 1.081.599.000 rupiah, meningkat sebesar 29,61 persen dari tahun sebelumnya serta menjadi realisasi kredit terbesar selama tiga tahun terakhir. Kondisi tersebut dipengaruhi banyaknya calon debitur masuk dalam kriteria baik sebagai debitur, dilihat segi usaha, jaminan serta pengalaman kredit yang dimiliki calon debitur dari aktivitas simpan pinjam Koperasi Paguyuban Pedagang Mie dan Bakso Megapolitan (KOPMISO). Kemudian terdapat faktor lain yang dimungkinkan mempengaruhi peningkatan kredit yang disalurkan, yakni adanya peningkatan permintaan produk dari konsumen pasar sehingga mendesak calon debitur Swamitra Kopmiso Bogor memperbanyak persedian produk yang diperdagangkan. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui
31
bantuan pinjaman Swamitra Kopmiso Bogor yang digunakan sebagai penyedian input produksi. Sedangkan pada saat penelitian dilakukan di tahun 2012, Bank Bukopin Cabang Bogor menetapkan parameter realisasi kredit sebesar 2.324.000.000 rupiah, dimana menurun sebesar 10,21 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini dipengaruhi menurunnya kenyakinan Bank Bukopin Cabang Bogor terhadap kemampuan Swamitra Kopmiso Bogor, dilihat dari pengalaman dua tahun sebelumnya. Dengan demikian, Bank Bukopin Cabang Bogor perlu melakukan penyesuaian parameter kerja terhadap kemampuan Swamitra. Jumlah realisasi kredit yang mampu dicapai Swamitra Kopmiso Bogor hanya sebesar 948.829.000 rupiah, atau menurun sebesar 13,99 persen dari total realisasi kredit tahun sebelumnya. Kondisi tersebut juga menunjukan Swamitra belum mampu mencapai minimal parameter kerja sebesar 50 persen. Kondisi ini disebabkan oleh banyaknya calon debitur masuk dalam kriteria kurang baik, dilihat dari segi usaha dan jaminan. Kemudian terdapat faktor lainnya yang mempengaruhi kondisi tersebut, yakni manajemen yang kurang baik dari Swamitra Kopmiso Bogor. Hal ini dilihat dari masih terbatasnya Swamitra menyalurkan kredit kepada anggota KOPMISO yang berada di Pasar Bogor, padahal wilayah Pasar Bogor memiliki pengusaha mikro yang beragam. Hal ini didasari Swamitra sebagai langkah mengurangi risiko, dikarenakan nasabah mudah dikenal karateristiknya untuk disalurkan kredit. Dengan demikian, hasil analisis ini menunjukan bahwa Swamitra Kopmiso Bogor belum memiliki kinerja yang baik terhadap jumlah realisasi kredit kepada nasabah. Hal ini dilihat dari kondisi Swamitra Kopmiso Bogor yang belum mampu mencapai minimal persentase pencapaian sebesar 50 persen. Selain itu, juga ditambah dengan jumlah realisasi kredit yang hanya memiliki laju pertumbuhan sebesar 7,61 persen selama tiga periode waktu terakhir. Bank Bukopin Cabang Bogor perlu menganalisa kemampuan Swamitra Kopmiso Bogor dalam merealisasikan kredit. Hal ini dimaksudkan agar memiliki kemampuan yang maksimal dan meraih kinerja yang baik. b. Dana Pihak Ketiga yang Dapat Diraih Swamitra Kopmiso Bogor tidak hanya melayani realisasi kredit usaha mikro, namun juga melayani aktivitas penghimpunan dana dari masyarakat atau disebut Dana Pihak Ketiga (DPK). Aktivitas penghimpunan dana tersebut diwujudkan dalam bentuk simpanan dan deposito. Hal ini berhubungan dengan landasan Swamitra pada Undang-undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Simpan Pinjam. Berdasarkan Tabel 8, diketahui bahwa Bank Bukopin Cabang Bogor telah menetapkan parameter dana pihak ketiga dalam jumlah yang terus bertumbuh selama tiga tahun terakhir. Hal ini dilihat dari parameter DPK sebesar 504.408.000 rupiah di tahun 2009 tumbuh menjadi 630.510.000 rupiah di tahun 2009. Kondisi ini dipengaruhi Bank Bukopin Cabang Bogor melihat Swamitra Kopmiso Bogor memiliki kemampuan besar menghimpun masyarakat menabung pada Swamitra. Berdasarkan Tabel 8, juga diketahui bahwa jumlah DPK terbesar yang berhasil dihimpun oleh Swamitra Kopmiso Bogor terjadi di tahun 2011, yakni sebesar Rp 310.536.000 rupiah atau mengalami peningkatan sebesar 4,66 persen dari tahun sebelumnya. Meningkatnya DPK yang berhasil dihimpun Swamitra
32
disebabkan tingginya antusias anggota Swamitra Kopmiso Bogor untuk menabung, dikarenakan masyarakat menyadari manfaat perolehan bunga simpanan Swamitra yang lebih kompetitif dibanding lembaga keuangan mikro lainnya dan juga keamanan dana yang disimpan pada Swamitra Kopmiso Bogor. Namun demikian, jumlah tersebut belum mencapai minimal target realisasi sebesar 50 persen. Hal ini memunculkan kesimpulan bahwa Swamitra Kopmiso Bogor belum memiliki kemampuan besar dalam menghimpun dana masyarakat di tahun 2011. Tabel 8. Anggaran dan Realisasi Dana Pihak Ketiga Swamitra Kopmiso Bogor di Tahun 2010-2012 Anggaran Realisasi Pencapaian Tahun (ribu Rp) (ribu Rp) (%) 2010 504.408 296.710 58,82 2011 630.510 310.536 49,25 2012 964.000 235.359 24,41 Laju Pertumbuhan (% per tahun) 24,10 -7,43 -25,41 Sumber : Bank Bukopin Cabang Bogor, 2012
Namun pada saat penelitian dilaksanakan di tahun 2012, jumlah DPK yang berhasil dihimpun oleh Swamitra Kopmiso Bogor baik berupa simpanan dan deposito hanya mencapai sebesar 233.359.000 rupiah, atau menurun sebesar 31,94 persen dari tahun sebelumnya. Jumlah realisasi DPK tersebut juga belum mencapai minimal target yang ditentukan di awal tahun, serta dikelompokan sebagai jumlah terkecil selama tiga tahun terakhir. Kondisi ini dipengaruhi banyaknya nasabah menarik dana yang disimpan untuk kebutuhan modal kerja, sehingga mempengaruhi jumlah simpanan secara perlahan. Berdasarkan hasil analisis ini, dapat disimpulkan bahwa Swamitra Kopmiso Bogor belum mampu memiliki kemampuan besar dalam menghimpun dana masyarakat. Hal ini dilihat dari kondisi Swamitra Kopmiso Bogor hanya mampu mencapai minimal target kerja sebesar 50 persen di tahun 2010, dan mengalami penurun persentase pencapaian pada periode selanjutnya. Kemudian ditambah dengan laju pertumbuhan DPK yang terus turun sebesar 7,43 persen per tahun. Bank Bukopin Cabang Bogor perlu menganalisa kemampuan Swamitra Kopmiso Bogor dalam menghimpun dana pihak ketiga. Hal ini dimaksudkan agar memiliki kemampuan yang maksimal dan meraih kinerja yang baik. c. Pemanfaatan Modal Tidak Tetap Modal Tidak Tetap (MTT) merupakan salah satu sumber modal yang dimiliki Swamitra untuk disalurkan sebagai kredit usaha mikro kepada masyarakat. MTT berasal dari modal pinjaman Bank Bukopin yang ditempatkan pada Swamitra. Berdasarkan Tabel 9 dijelaskan bahwa Bank Bukopin Cabang Bogor telah menetapkan parameter bagi Swamitra Kopmiso Bogor dalam memanfaatkan MTT. Hal ini mengacu pada besarnya realisasi kredit usaha mikro yang diberikan pada nasabah. Parameter tersebut berada dalam jumlah yang berfluktuasi selama tiga tahun terakhir. Namun demikian, parameter penggunaan MTT terbesar terjadi di tahun 2011. Hal ini dilihat dari jumlah parameter yang ditetapkan di tahun 2011 sebesar 2.644.170.000 rupiah, atau meningkat 20 persen dari jumlah anggaran tahun lalu. Kondisi tersebut dipengaruhi atas Bank Bukopin
33
Cabang Bogor yang masih mempercayai Swamitra Kopmiso Bogor mampu memanfaatkan MTT lebih baik lagi, meskipun di tahun sebelumnya Swamitra hanya mampu memanfaatkan MTT sebesar 29 persen dari target yang ditetapkan. Sedangkan jumlah pemanfaatan MTT terbesar pada Swamitra Kopmiso Bogor terjadi di tahun 2011 sebesar 907.419.000 rupiah, atau meningkat sebesar 47,27 persen dari tahun sebelumnya. Kondisi tersebut dipengaruhi atas meningkatnya jumlah pinjaman yang diberikan kepada nasabah, sehingga mendorong Swamitra Kopmiso Bogor memerlukan modal dana yang besar. Namun demikian, jumlah pemanfaatan MTT pada periode tersebut belum mampu melampaui target awal yang ditetapkan oleh Swamitra Kopmiso Bogor, dimana hanya mencapai 34 persen dari target yang ditentukan di awal tahun. Hal ini disebabkan Swamitra Kopmiso Bogor lebih banyak menggunakan modal sendiri dibanding modal penyerta dari Bank Bukopin. Kondisi yang sama pun juga terjadi di tahun 2010, dimana pada periode tersebut jumlah MTT yang dimanfaatkan Swamitra Kopmiso Bogor hanya mencapai sebesar 29 persen dari target yang ditentukan. Jumlah pemanfaatan MTT tersebut juga menjadi jumlah terkecil selama tiga tahun terakhir Tabel 9. Anggaran dan Realisasi Modal Tidak Tetap Swamitra Kopmiso Bogor di Tahun 2010-2012 Anggaran Realisasi Pencapaian Tahun (ribu Rp) (ribu Rp) (%) 2010 2.115.336 616.170 29,00 2011 2.644.170 907.419 34,00 2012 1.479.000 794.337 54,00 Laju Pertumbuhan (% per tahun) -11,24 8,83 23,03 Sumber : Bank Bukopin Cabang Bogor, 2012
Namun pada saat penelitian dilaksanakan yakni di tahun 2012, terjadi penurunan target pemanfaatan MTT oleh Swamitra Kopmiso sebesar 1.165.170.00 rupiah, atau menurun 28 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan adanya strategi penyesuaian Bank Bukopin Cabang Bogor mengenai target penggunaan MTT Swamitra Kopmiso Bogor yang belum, dilihat dari pengalaman dua tahun sebelumnya. Adanya strategi penyesuaian tersebut menyebabkan meningkatkan persentase pencapaian pemanfaatan MTT sebesar 54 persen. Namun demikian, hal tersebut tidak menyebabkan Swamitra Kopmiso Bogor mengalami peningkatan pemanfaatan MTT, melainkan menurun dari tahun sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis ini, dapat disimpulkan bahwa Swamitra Kopmiso Bogor memiliki kinerja cukup baik terhadap pemanfaatan MTT yang disertakan oleh Bank Bukopin. Hal ini dilihat dari pemanfaatan MTT dari Swamitra yang mampu mencapai minimal parameter kerja sebesar 50 persen. Selain itu, juga ditambah dengan laju pertumbuhan jumlah realisasi pemanfaatan MTT sebesar 8,83 persen selama tiga periode waktu terakhir. Namun demikian, Bank Bukopin Cabang Bogor masih memerlukan analisa terhadap kemampuan Swamitra Kopmiso Bogor dalam memanfaatkan dana MTT. Hal ini dimaksudkan agar memiliki kemampuan yang maksimal dan meraih kinerja yang baik.
34
d. Jumlah Sisa Hasil Usaha yang Dapat Diraih Sisa Hasil Usaha (SHU) merupakan faktor terpenting yang dipergunakan Bank Bukopin dalam menilai kinerja sebuah Swamitra. Hal ini dikarenakan SHU menggambarkan hasil akhir atau laba bersih yang berhasil diraih melalui keseluruhan aktivitas Swamitra. Berdasarkan Tabel 10 Bank Bukopin Cabang Bogor telah menetapkan parameter SHU yang harus dicapai Swamitra Kopmiso Bogor, dimana mengalami fluktuasi selama tiga tahun terakhir. Hal ini disebabkan kemampuan yang kurang baik dari Swamitra Kopmiso Bogor dalam menjalankan aktivitas pembiayaan sektor UMKM. Parameter SHU terbesar terjadi di tahun 2011, dimana Bank Bukopin Cabang Bogor memberikan target perolehan SHU sebesar 215.180.000 rupiah. Penentuan target tersebut didasari atas sejumlah pinjaman yang diberikan pada periode sebelumnya dinyakini dapat diselesaikan dan kembali dari debitur. Sedangkan parameter SHU terkecil terjadi di tahun 2012, dimana ditetapkan target perolehan SHU sebesar 22.000.000 rupiah. Hal ini dipengaruhi atas kurangnya kemampuan Swamitra Kopmiso Bogor mencapai target yang ditetapkan pada periode sebelumnya, sehingga Bank Bukopin Cabang Bogor perlu melakukan penyesuaian terhadap kemampuan Swamitra. Namun demikian, Swamitra Kopmiso Bogor mampu menunjukan kinerja yang baik terhadap perolehan SHU. Hal ini dilihat dengan jumlah yang terus bertumbuh selama tiga tahun terakhir. Jumlah SHU terbesar yang berhasil diraih Swamitra Kopmiso Bogor terjadi di tahun 2012, dengan jumlah perolehan sebesar 74.162.000 rupiah. Meningkatnya jumlah SHU pada periode tersebut disebabkan kemampuan Swamitra Kopmiso Bogor menekan biaya operasional, menurunkan rasio kredit yang bermasalah, meningkatkan realisasi kredit usaha mikro kepada debitur hingga meningkatkan pendapatan pada aktivitas payment point. Namun demikian, perolehan tersebut dirasakan belum optimal. Hal ini dikarenakan masih terdapat penyumbang minus pada peroleh SHU, yakni biaya operasional Swamitra yang terlalu tinggi termasuk gaji karyawan, biaya bunga deposito, biaya sistem operasional hingga biaya pembinaan koperasi. Tabel 10. Anggaran dan Realisasi Sisa Hasil Usaha Swamitra Kopmiso Bogor di Tahun 2010-2012 Anggaran Realisasi Pencapaian Tahun (ribu Rp) (ribu Rp) (%) 2010 172.144 (131.540) -76,00 2011 215.180 4.745 2,00 2012 22.000 74.162 337,00 Laju Pertumbuhan (% per tahun) - 49,63 182,61 264,29 Sumber : Bank Bukopin Cabang Bogor, 2012
Sedangkan jumlah perolehan SHU terkecil pada Swamitra Kopmiso Bogor terjadi di tahun 2010, dengan jumlah perolehan sebesar minus 131.540.000 rupiah. Hal tersebut dipengaruhi kondisi awal Swamitra Kopmiso menjalankan usahanya, dimana Swamitra memiliki pengeluaran biaya operasional dalam jumlah yang tinggi seperti penyediaan aset Swamitra dan lain-lainya. Selain itu, masih banyak debitur yang belum mampu menyelesaikan kewajiban dan juga terjadi pelonjakan rasio kredit bermasalah pada periode tersebut. Berdasarkan hasil analisi ini, dapat disimpulkan bahwa Swamitra Kopmiso Bogor memiliki
35
kinerja sangat baik terhadap perolehan SHU. Hal ini dilihat dari kondisi Swamitra yang mampu bertumbuh dalam memperoleh SHU selama tiga periode waktu terakhir, dimana Swamitra tersebut mampu mencapai persentase pencapaian terbesar yakni 337 persen di tahun 2012. Selain itu, juga ditambah dengan laju pertumbuhan jumlah perolehan SHU sebesar 182,61 persen selama tiga periode waktu terakhir. Hasil tersebut menunjukan bahwa Bank Bukopin Cabang Bogor telah berhasil membina Swamitra melalui program pembinaan Swamitra yang telah dicanangkan. Namun demikian, Bank Bukopin Cabang Bogor masih memerlukan analisa terhadap kemampuan Swamitra Kopmiso Bogor dalam memperoleh SHU. Hal ini dimaksudkan agar memiliki kemampuan yang maksimal dan meraih kinerja yang baik. e. Rasio Kredit Bermasalah Aktivitas penyaluran kredit umumnya sering memunculkan risiko yang sering menghambat perkembangan lembaga keuangan, salah satunya adalah tunggakan pembayaran angsuran pinjaman atau disebut kredit macet. Berdasarkan aktivitas pembiayaan yang berlangsung pada kemitraan Swamitra, risiko kredit macet disebutkan sebagai Bad Debt Ratio (BDR). Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan seberapa besar gangguan yang terjadi pada debitur sehingga dapat mempengaruhi semua aktiva produktif yang dimiliki oleh Swamitra. Namun demikian, Swamitra memiliki strategi dalam menanggani atau mengurangi risiko tersebut berupa upaya melakukan kolektif langsung anggsuran pinjaman debitur, atau disebut dengan strategi jemput bola dengan ketentuan waktu harian, mingguan atau bulanan sesuai kesepakatan. Kondisi yang sama juga berlangsung pada aktivitas pembiayaan di Swamitra Kopmiso Bogor. Berdasarkan Tabel 11 dijelaskan bahwa Bank Bukopin Cabang Bogor telah menetapkan parameter kerja mengenai rasio kredit bermasalah bagi Swamitra Kopmiso Bogor. Parameter tersebut ditetapkan berada dikisaran dua persen selama tiga tahun terakhir. Penentuan parameter tersebut didasarkan pada ketetapan Bank Indonesia, dimana mengharuskan setiap lembaga keuangan menerima rasio kredit bermasalah dibawah lima persen. Selain itu, dimungkin terjadi faktor lainnya seperti Bank Bukopin Cabang Bogor menginginkan setiap Swamitra memiliki kredibilitas yang tinggi pada aktivitas pembiayaan, dilihat dari penetapan parameter rasio kredit yang dapat ditekan sekeciil mungkin. Tabel 11. Anggaran dan Realisasi Kredit Bermasalah Swamitra Kopmiso Bogor di Tahun 2010-2012 Tahun 2010 2011 2012 Laju Pertumbuhan (% per tahun)
Anggaran (%) 2,99 2,49 2,00 -12,54
Realisasi (%) 6,60 4,26 0,29 -64,71
Persentase (%) 221,00 171,00 15,00 -59,21
Sumber : Bank Bukopin Cabang Bogor, 2012
Berdasarkan Tabel 11 juga dijelaskan mengenai kondisi nyata rasio kredit bermasalah harus diterima oleh Swamitra Kopmiso Bogor, dimana rasio kredit bermasalah terbesar di tahun 2010 sebesar 6,6 persen. Hal ini dipengaruhi oleh
36
masih banyaknya debitur memiliki kesulitan membayar kewajibannya, serta tingginya biaya operasional yang telah dikeluarkan Swamitra pada periode tersebut. Namun demikian, Swamitra Kopmiso Bogor mampu mencapai rasio kredit bermasalah di tahun 2012, dengan jumlah pencapaian sebesar 0,29 persen. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya kemampuan debitur mencoba menyelesaikan angsuran pinjamannya, membayar sedikit kewajibannya serta hal-hal lainnya yang mempengaruhi turunnya rasio kredit bermasalah. Swamitra Kopmiso Bogor terus mengupaya beberapa strategi menekan rasio kredit bermasalah, antara lain melakukan komunikasi melalui telepon pada debitur yang mengalami keterlambatan membayar anggsuran kredit, serta melakukan kunjungan langsung pada debitur untuk melakukan kolektif kewajiban. Berdasarkan hasil analisi ini, dapat disimpulkan bahwa Swamitra Kopmiso Bogor memiliki kinerja baik terhadap rasio kredit bermasalah. Hal ini dilihat Swamitra yang mampu menurunkan rasio kredit bermasalah hingga 0,29 persen, atau nilai tersebut tidak melebih maksimal persentase rasio kredit bermasalah sebesar lima persen. Selain itu, juga ditambah dengan laju pertumbuhan rasio kredit bermasalah yang turun sebesar 64,71 persen selama tiga periode waktu terakhir. Hasil tersebut menunjukan bahwa Bank Bukopin Cabang Bogor telah berhasil membina Swamitra melalui program pembinaan Swamitra yang telah dicanangkan. Namun demikian, Bank Bukopin Cabang Bogor masih memerlukan analisa terhadap kemampuan Swamitra Kopmiso Bogor dalam menekan tingkat kredit bermasalah. Hal ini dimaksudkan agar memiliki kemampuan yang maksimal dan meraih kinerja yang baik.
PERSEPSI NASABAH SWAMITRA KOPMISO BOGOR TERHADAP AKTIVITAS PENYALURAN KREDIT USAHA MIKRO
Karateristik Responden Jumlah responden yang diambil sebagai sampel penelitian ini adalah 30 orang pemilik usaha mikro di Pasar Bogor, dimana aktif sebagai debitur di Swamitra Kopmiso Bogor. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa seluruh responden memiliki tujuan mengambil kredit di Swamitra Kopmiso Bogor sebagai tambahan modal usaha. Hampir keseluruhan responden mendapatkan informasi produk kredit Swamitra Kopmiso Bogor melalui rekomendasi sesama anggota Koperasi Paguyuban Pedagang Mie dan Bakso Megapolitan (KOPMISO). Kondisi tersebut mempermudah Swamitra Kopmiso Bogor untuk mencari calon debitur, sehingga berdampak pada proses penyaluran kredit yang lebih cepat. Karateristik responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan terakhir, bidang usaha, pendapatan bersih usaha, jumlah pinjaman yang direalisasikan dan frekuensi mengambil pinjaman pada Swamitra. Penentuan karateristik responden berdasarkan aplikasi kredit yang dipergunakan Swamitra dalam mengumpulkan informasi calon debitur. Dengan
37
demikian, kriteria tersebut diterapkan dengan tujuan mengenal responden yang diambil dalam penelitian ini. 1) Jenis Kelamin Berdasarkan hasil kuesioner yang diberikan secara acak kepada 30 orang debitur aktif Swamitra Kopmiso Bogor, diperoleh informasi bahwa responden adalah pria dengan jumlah sebanyak 18 orang dan responden wanita berjumlah 12 orang (lihat Tabel 12). Hasil tersebut menunjukan indikasi bahwa debitur pria mendominasi dalam program penyaluran kredit usaha mikro di Swamitra Kopmiso Bogor. Hal tersebut dimungkinkan terjadi bila dihubungkan dengan kondisi pria yang mendominasi sebagai pengusaha usaha mikro di Pasar Bogor. Pada aktivitas penyaluran kredit usaha mikro di Swamitra Kopmiso Bogor, tujuan nasabah pria mengambil kredit sebagai modal kerja guna mengembangkan usaha yang dijalankan. Sedangkan nasabah wanita mengambil kredit bertujuan untuk membantu mengembangkan usaha dari keluarga pria seperti suami, anak atau hubungan lainnya pada nasabah wanita. Hasil tersebut juga tidak menutup kemungkinan bahwa nasabah wanita memiliki tujuan yang seperti nasabah pria, dimana mengajukan kredit Swamitra Kopmiso Bogor sebagai modal kerja di usaha yang dimiliki pribadi. Tabel 12. Jenis Kelamin Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Tahun 2012 Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Total
Jumlah Responden (Orang) 18 12 30
Persentase (%) 60,00 40,00 100,00
2) Usia Karateristik usia responden dalam penelitian ini dibagi menjadi enam kategori usia yakni 21-30 tahun, 31-40 tahun, 41-50 tahun, 51-60 tahun, 61-70 tahun dan 71-80 tahun. Berdasarkan hasil kuesioner diketahui bahwa mayoritas responden berusia 31-40 tahun dengan jumlah 14 orang (lihat Tabel 13). Hasil tersebut menunjukan indikasi bahwa debitur di Swamitra Kopmiso Bogor merupakan nasabah dewasa, dimana dianggap memiliki pemikiran yang matang dalam mengajukan kredit serta mengerti manfaat atas kredit yang disalurkan melalui Swamitra Kopmiso Bogor. Hal tersebut dimungkinkan terjadi bila dihubungkan dengan kondisi pedagang mikro di Pasar Bogor, dimana rata-rata memiliki usia dewasa dan telah berkeluarga. Tabel 13. Usia Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Tahun 2012 Usia (Tahun) 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 Total
Jumlah Responden (Orang) 7 14 8 0 0 1 30
Persentase (%) 23,00 47,00 27,00 0,00 0,00 3,00 100,00
38
Namun demikian, kondisi tersebut juga tidak menutup kemungkinan bagi pengusaha mikro di usia muda untuk mengambil kredit usaha mikro Swamitra. Berdasarkan Tabel 13, terdapat tujuh orang responden dengan rentang usia 21-30 tahun yang berani mengajukan permohonan kredit di Swamitra Kopmiso Bogor. Responden tersebut memiliki tujuan yang sama dengan responden lainnya dalam mengajukan kredit. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Swamitra Kopmiso Bogor tidak membatasi masyarakat terutama para pengusaha mikro dari segi usia untuk memanfaatkan fasilitas kredit usaha mikro. 3) Tingkat Pendidikan Terakhir Karateristik tingkat pendidikan terakhir yang dimiliki responden dalam penelitian ini dibagi pada beberapa kategori, yakni tidak sekolah hingga memiliki tingkat pendidikan di perguruan tinggi atau universitas. Berdasarkan Tabel 13, diketahui bahwa terdapat responden sebanyak 17 orang merupakan mayoritas responden memiliki pendidikan terakhir di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajatnya (lihat Tabel 14). Hasil ini menunjukan indikasi bahwa debitur Swamitra Kopmiso Bogor memiliki pengetahuan yang luas mengenai aktivitas perbankan dan manfaat dari fasilitas kredit, sehingga memampukan responden dalam mengajukan permohonan kredit. Hal ini juga didukung dengan adanya responden yang memiliki tingkat pendidikan, seperti pendidikan diploma tiga maupun pendidikan sarjana (kategori pendidikan universitas) sebanyak empat orang atau sebesar 11 persen dari total responden. Namun demikian, hasil tersebut tidak menutup kemungkinan adanya debitur memiliki pendidikan yang rendah, bahkan tidak dapat merasakan pendidikan sekolah untuk mendapatkan kredit usaha mikro Swamitra Kopmiso Bogor. Berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa terdapat satu orang responden yang tidak merasakan pendidikan sekolah dan diikuti jumlah responden sebanyak lima orang yang memiliki pendidikan sekolah dasar, dimana responden-responden tersebut berani mengajukan permohonan kredit. Hasil karateristik ini menunjukan kesimpulan bahwa Swamitra Kopmiso Bogor tidak membatasi masyarakat dengan ragam pendidikan dalam memanfaatkan fasilitas kredit usaha mikro. Tabel 14. Tingkat Pendidikan Terakhir Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Tahun 2012 Tingkat Pendidikan Terakhir Tidak Sekolah SD SMP SMA Universitas Total
Jumlah Responden (Orang) 1 5 3 17 4 30
Persentase (%) 3,00 17,00 10,00 57,00 13,00 100,00
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak Swamitra Kopmiso Bogor, apabila masyarakat memiliki keterbatasan dalam pemahaman mengenai produk Swamitra maka para pengurus Swamitra segera memberikan bantuan melalui penyuluhan dan bimbingan mendetail mengenai produk Swamitra. 4) Bidang Usaha Pengusaha mikro di Pasar Bogor umumnya memiliki bidang usaha yang beragam. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 14, dimana dijelaskan bahwa Pasar
39
Bogor memiliki pengusaha mikro dengan bidang usaha yang beragam seperti jasa penggilingan bakso dan daging, jasa penggilingan bumbu dapur hingga penjual tahu dan tempe. Namun demikian, mayoritas responden memiliki usaha di bidang jasa penggilingan bakso dan daging dengan jumlah 10 orang responden. Hasil tersebut menunjukan indikasi bahwa debitur Swamitra Kopmiso Bogor didominasi oleh para pengusaha mikro di bidang usaha bakso. Kondisi tersebut dapat dibuktikan bila dihubungkan dengan kondisi Swamitra Kopmiso Bogor, dimana lebih didominasi oleh anggota Koperasi Paguyuban Pedagang Mie dan Bakso Megapolitan (KOPMISO) yang memiliki mata pencaharian sebagai pedagang bakso, pengusaha bakso dan bumbu-bumbu bakso. Tabel 15. Bidang Usaha Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Tahun 2012 Jumlah Responden Persentase (%) Bidang Usaha (Orang) Penggilingan Bakso dan Daging 10 30,00 Penggilingan Mie 1 3,00 Penggilingan Bumbu Dapur 5 20,00 Bahan Pelengkap Bakso 3 13,00 Penjual Buah 2 7,00 Penjual Telur 1 3,00 Penjual Tahu dan Tempe 2 3,00 Lain-Lain 6 20,00 Total 30 100,00 Namun tidak menutup kemungkinan bagi Swamitra Kopmiso Bogor melayani penyaluran kredit usaha mikro kepada pengusaha mikro di bidang non usaha bakso. Berdasarkan Tabel 15 dijelaskan bahwa terdapat responden yang memiliki usaha di bidang jasa penggilingan mie, jasa penggilingan bumbu dapur, penjual buah-buahan, penjual telur, penjual tahu dan tempe dan pengusaha di bidang usaha lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Swamitra Kopmiso Bogor telah menjalankan perannya dalam mendukung pengusaha mikro di berbagai bidang usaha, meskipun Swamitra tersebut memiliki latar belakang pendirian dari pengusaha mikro di bidang usaha bakso. 5) Pendapatan Bersih Usaha Karateristik pendapatan bersih usaha yang dimiliki responden dalam penelitian ini dibagi empat kategori, yakni pendapatan bersih sebesar 1-3 juta rupiah, 4-6 juta rupiah, 7-9 juta rupiah dan 10 juta rupiah. Berdasarkan Tabel 16 diketahui mayoritas responden memperoleh pendapat bersih usaha dikisaran empat hingga enam juta rupiah per bulan, dengan jumlah responden sebanyak 18 orang atau 60 persen dari total responden. Sedangkan jumlah responden terkecil berada diposisi kepemilikan pendapatan bersih sebesar 10 juta rupiah perbulan, dengan jumlah responden sebanyak dua orang atau tujuh persen dari total responden.
40 Tabel 16. Pendapatan Bersih Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Tahun 2012 Pendapatan Bersih Usaha (Juta Rp/Bulan) 1 s/d 3 4 s/d 6 7 s/d 9 10 Total
Jumlah (Orang) 7 18 3 2 30
Persentase (%) 23,00 60,00 10,00 7,00 100,00
Hal ini menunjukan indikasi bahwa nasabah Swamitra Kopmiso Bogor memiliki jumlah pendapatan bersih rata-rata cukup tinggi, sehingga memunculkan kemungkinan nasabah memiliki kemampuan yang tinggi membayar kewajiban pinjaman. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa usaha mikro maupun usaha kecil yang berjalan di Pasar Bogor sangat menjanjikan untuk disalurkan kredit usaha mikro melalui Swamitra. 6) Jumlah Pinjaman yang Direalisasikan Besarnya kredit yang disalurkan melalui Swamitra Kopmiso Bogor bisa mencapai 150 juta rupiah, umumnya ditujukan untuk membantu pengembangan usaha mikro. Dengan demikian, karateristik jumlah pinjaman yang direalisasikan dalam penelitian ini dibagi lima kategori, yakni kisaran kredit sebesar 1-30 juta rupiah, 31-60 juta rupiah, 61-90 juta rupiah, 91-120 juta rupiah dan 121-150 juta rupiah. Berdasarkan Tabel 16 diketahui mayoritas responden memperoleh kredit usaha mikro dikisaran 1-30 juta rupiah, dengan jumlah responden sebanyak 24 orang atau 80 persen dari total responden. Hal ini menunjukan indikasi bahwa Swamitra Kopmiso Bogor lebih fokus melayani pengusaha mikro, dimana hanya mampu melakukan pengajuan kredit hingga 30 juta rupiah. Namun tidak menutup kemungkinan Swamitra Kopmiso Bogor melayani pengusaha mikro yang membutuhkan bantuan modal kerja dalam jumlah besar, hal tersebut dapat dilihat pada jumlah responden terkecil yang memperoleh kredit dikisaran 61-90 juta rupiah dan 121-150 juta rupiah, dengan jumlah responden masing-masing sebanyak satu orang responden. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Swamitra Kopmiso Bogor mampu melayani kebutuhan dana pengusaha mikro di berbagai jumlah, namun tetap memperhatikan kelayakan debitur dari segi usaha yang dimiliki dan segi jaminan yang diberikan. Tabel 17. Jumlah Realisasi Pinjaman Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Tahun 2012 Jumlah Realisasi Pinjaman (Juta Rp/Bulan) 1 s/d 30 31 s/d 60 61 s/d 90 91 s/d 120 121 s/d 150 Total
Jumlah (Orang) 24 4 1 0 1 30
Persentase (%) 80,00 13,33 3,33 0,00 3,33 100,00
41
7) Frekuensi Peminjaman Karateristik frekuensi peminjaman yang digunakan pada penelitian ini dibagi beberapa kategori, yakni frekuensi peminjaman sebanyak satu kali hingga lima kali peminjaman. Berdasarkan Tabel 18 dijelaskan bahwa mayoritas responden mengambil kredit usaha mikro sebanyak satu kali dengan jumlah responden sebanyak 12 orang. Hal ini menunjukan indikasi bahwa Swamitra Kopmiso Bogor melayani debitur baru dalam jumlah yang cukup banyak. Namun demikian debitur baru yang dimaksud bukanlah pertama kali ikut serta dalam aktivitas layanan Swamitra Kopmiso Bogor, dikarenakan responden pernah mengambil peran sebagai nasabah simpanan dana. Berdasarkan Tabel 18 juga diketahui bahwa terdapat minoritas responden yang telah melakukan pengambilan kredit usaha mikro sebanyak lima kali, dengan jumlah satu orang responden. Hasil tersebut menunjukan indikasi bahwa nasabah memahami manfaat kredit Swamitra Kopmiso Bogor, sehingga memanfaatkan fasilitas kredit Swamitra berkali-kali. Tabel 18. Frekuensi Peminjaman Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Tahun 2012 Frekuensi Peminjaman 1 2 3 4 5 Total
Jumlah Responden (Orang) 12 9 8 0 1 30
Persentase (%) 40,00 30,00 27,00 0,00 3,00 100,00
Penilaian Nasabah Mengenai Kinerja Swamitra Kopmiso Bogor Aktivitas penyaluran kredit melalui Swamitra Kopmiso Bogor dirasakan sangat membantu mengembangkan sektor UMKM wilayah Bogor, terutama bagi pengusaha mikro di Pasar Bogor. Namun demikian perlu diketahui apakah aktivitas penyaluran kredit telah sesuai dengan yang diharapkan oleh nasabah. Berdasarkan permasalahan tersebut, dilakukan sebuah pengukuran kinerja Swamitra dilihat dari pendapat debitur. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk evaluasi bagi Swamitra Kopmiso Bogor terhadap kinerja yang dimiliki. Pengukuran kinerja Swamitra menurut pendapat nasabah dapat ditinjau dari beberapa faktor, antara lain persyaratan awal dalam pengajuan pinjaman, prosedur peminjaman, waktu realisasi kredit, tingkat bunga pinjaman, tingkat pelayanan pengurus Swamitra dan jarak Swamitra terhadap usaha nasabah. a. Persyaratan Awal Aktivitas pengajuan kredit pada lembaga keuangan mikro umumnya mewajibkan calon debitur memenuhi persyaratan awal, seperti penyediaan data pribadi dan data jaminan kendaraan maupun jaminan sertifikat. Hal ini dimaksudkan sebagai media informasi bagi lembaga keuangan mikro agar dapat mengenal calon debitur, apakah layak menerima bantuan realisasi kredit dari lembaga keuangan mikro. Namun demikian, tahapan tersebut sering menjadi hambatan bagi sebagian besar masyarakat yang ingin mengajukan pinjaman. Hal
42
ini disebabkan keterbatasan masyarakat terhadap sumber daya yang dimiliki, salah satunya adalah penyediaan anggunan. Kondisi yang berbeda berlaku pada Swamitra Kopmiso Bogor, dimana persyaratan awal lebih disesuaikan dengan kemampuan calon debitur. Hal ini berhubungan dengan tujuan awal Swamitra Kopmiso Bogor, dimana membantu pengembangan usaha mikro melalui penyaluran kredit namun tidak memberatkan para pengusaha mikro dengan berbagai ketentuan. Pengukuran kinerja Swamitra terhadap kriteria persyaratan awal dibagi menjadi tiga kategori penilaian, seperti mudah dipenuhi debitur (kategori mudah), sedikit sulit dirasakan untuk dipenuhi namun debitur masih memiliki kemampuan memenuhi persyaratan tersebut (kategori sedang) dan sulit dipenuhi debitur (kategori sulit). Indikator yang dipergunakan pada kriteria penilaian ini adalah melihat pengalaman debitur dalam memenuhi beberapa dokumen peryaratan yang diwajibkan Swamitra Kopmiso Bogor, seperti fotocopy KTP, fotocopy surat nikah/cerai, fotocopy kartu keluarga, fotocopy rekening listrik, dan fotocopy data jaminan. Kemudian, informasi yang diperoleh dari pengalaman debitur disesuaikan dengan kategori penilaian kinerja Swamitra. Hasil penilaian kinerja tersebut akan menunjukan bagaimana pendapat debitur terhadap persyaratan awal yang diterapkan di Swamitra Kopmiso Bogor. Berdasarkan Tabel 19, diketahui bahwa terdapat 24 orang responden menyatakan persyaratan awal dalam pengajuan kredit Swamitra Kopmiso Bogor mudah untuk dipenuhi. Hal ini disebabkan kemudahan yang diberikan oleh Swamitra Kopmiso Bogor pada tahapan persyaratan awal, sebagai contoh calon debitur dapat menyediakan kartu kuning sebagai anggunan untuk syarat awal permohonan pinjaman Swamitra. Dengan demikian, calon debitur merasa tidak dipersulit untuk memperoleh kredit Swamitra terhadap peryaratan yang dibutuhkan. Tabel 19. Pendapat Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Terhadap Persyaratan Awal Kredit Usaha Mikro di Tahun 2012 Persyaratan Awal Jumlah Responden (Orang) Persentase (%) Mudah 24 80,00 Sedang 6 20,00 Sulit 0 0,00 Total 30 100,00 Sedangkan enam responden lainnya menyatakan persyaratan awal dalam pengajuan kredit Swamitra Kopmiso Bogor termasuk kategori penilaian sedang. Hal ini dipengaruhi adanya informasi pembanding yang dimiliki responden mengenai persyaratan awal, Swamitra Kopmiso Bogor dirasakan masih memberatkan calon debitur dibandingkan dengan lembaga keuangan mikro lainnya. Sebagai contoh, pada lembaga keuangan mikro lainnya dapat menyalurkan kredit tanpa mewajiban debiturnya menyediakan anggunan sebagai salah satu persyaratan pengajuan kredit. Namun demikian, kondisi tersebut tidak menghentikan minat responden mengambil pinjaman pada Swamitra Kopmiso Bogor. Hal ini disebabkan masih terdapat faktor lain yang dapat menarik minat responden mengajukan permohonan kredit pada Swamitra Kopmiso Bogor. Berdasarkan hasil analisa kriteria persyaratan awal, dapat disimpulkan bahwa
43
Swamitra Kopmiso Bogor tidak mempersulit calon debitur dengan ketentuanketentuan yang umumnya berlaku pada lembaga keuangan mikro. b. Prosedur Peminjaman Seorang calon debitur umumnya akan menghadapi beberapa tahapan dalam proses pengajuan kredit di lembaga keuangan, seperti pengajuan proposal pinjaman, analisas kelayakan debitur hingga pengikatan perjanjian pinjaman. Kondisi yang sama juga berlangsung pada aktivitas penyaluran kredit usaha mikro di Swamitra Kopmiso Bogor, dimana calon debitur menghadapi beberapa tahapan sebagai langkah prosedural peminjaman. Namun demikian, prosedur peminjaman yang berlangsung pada Swamitra Kopmiso Bogor lebih disederhanakan dari ketentuan yang umumnya berlangsung pada lembaga keuangan mikro. Hal ini dimaksudkan agar calon debitur dapat memahami prosedur peminjaman yang berlangsung di Swamitra Kopmiso Bogor, serta menghindari keengganan calon debitur membatal pengajuan pinjaman. Dengan demikian dilakukan pengukuran kinerja mengenai prosedur peminjaman di Swamitra Kopmiso Bogor, hal ini dilakukan untuk menilai apakah prosedur peminjaman telah berjalan baik menurut pengalaman debitur Swamitra Kopmiso Bogor. Kriteria prosedur peminjaman yang dipergunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori penilaian, seperti mudah dihadapi oleh debitur (kategori mudah), dirasakan sedikit sulit untuk dihadapi namun debitur masih memiliki kemampuan melampaui prosedur peminjaman (kategori sedang) dan sulit dihadapi oleh debitur (kategori sulit). Indikator yang dipergunakan pada kriteria penilaian ini adalah melihat pengalaman debitur terhadap prosedur peminjaman yang berlangsung di Swamitra Kopmiso Bogor, seperti pengajuan proposal kredit hingga akad kredit. Kemudian, informasi yang diperoleh dari pengalaman debitur disesuaikan dengan kategori penilaian kinerja Swamitra. Hasil penilaian kinerja tersebut akan menunjukan bagaimana pendapat debitur terhadap prosedur peminjaman yang telah berjalan di Swamitra Kopmiso Bogor. Berdasarkan Tabel 20, terdapat 22 orang responden memiliki pendapatan bahwa prosedur peminjaman Swamitra Kopmiso mudah dipahami dan dihadapi oleh debitur. Hal ini dipengaruhi atas manajemen Swamitra Kopmiso Bogor yang dirasakan oleh responden, dimana Swamitra mampu menyederhanakan prosedur peminjaman sehingga mempermudahan pemahaman debitur menghadapi prosedur peminjaman. Selain itu terdapat faktor lain yang dimungkinkan mempengaruhi pendapat responden tersebut, yakni cepat tanggapnya pengurus Swamitra Kopmiso Bogor memberikan bantuan informasi kepada calon debitur baru maupun debitur lama, sehingga tahapan prosedur pinjaman dirasakan mudah dihadapi oleh debitur. Tabel 20. Pendapat Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Terhadap Prosedur Pinjaman di Tahun 2012 Prosedur Pinjaman Jumlah Responden (Orang) Persentase (%) Mudah 22 73,33 Sedang 8 26,67 Sulit 0 0,00 Total 30 100,00
44
Sedangkan delapan orang responden lainnya menyatakan bahwa prosedur peminjaman di Swamitra Kopmiso berada di kriteria penilaian sedang. Hal ini dipengaruhi tingkat pemahaman responden yang kurang baik terhadap prosedur peminjaman, sehingga memunculkan kesulitan bagi debitur menghadapi prosedur peminjaman Swamitra Kopmiso Bogor. Kondisi ini diharapkan dapat menjadi fokus perhatian Swamitra Kopmiso Bogor untuk dilaksanakan pembaharuan manajemen, sehingga mempengaruhi kualitas kinerja Swamitra. Berdasarkan hasil keseluruhan dari kriteria prosedur peminjaman, dapat ditarik kesimpulan bahwa debitur Swamitra Kopmiso Bogor tidak dipersulit melalui prosedur yang yang telah ditetapkan. c. Waktu Realisasi Kredit Waktu realisasi kredit umumnya menjadi pertimbangan calon debitur untuk mengambil pinjaman pada lembaga keuangan. Semakin lama waktu yang diperlukan untuk mencairkan pinjaman, maka mengurangi keinginan calon debitur untuk mengambil kredit. Berdasarkan aktivitas penyaluran kredit yang berlangsung pada Swamitra Kopmiso Bogor, waktu yang diperlukan untuk merealisasikan kredit adalah kurang dari satu minggu. Swamitra Kopmiso Bogor menyakini bahwa waktu yang dipergunakan dalam merealisasikan kredit merupakan waktu pelayanan tercepat dan terbaik dibandingkan dengan lembaga keuangan mikro lainnya. Hal ini menjadi nilai tambah tersendiri bagi Swamitra Kopmiso Bogor, sehingga mampu menarik minat pengusaha mikro melakukan peminjaman di Swamitra. Kriteria waktu realisasi kredit yang dipergunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori penilaian, seperti memakan waktu realisasi 1-3 hari (kategori cepat), memakan waktu realisasi 4-7 hari (kategori sedang) dan memakan waktu lebih dari tujuh hari (kategori lama). Indikator yang dipergunakan pada kriteria penilaian ini adalah melihat pengalaman debitur dalam prosedur peminjaman di Swamitra Kopmiso Bogor, apakah memakan waktu yang cepat atau lama. Kemudian, informasi yang diperoleh dari pengalaman debitur disesuaikan dengan kategori penilaian kinerja Swamitra. Hasil penilaian kinerja tersebut akan menunjukan bagaimana pendapat debitur terhadap prosedur peminjaman yang telah berjalan di Swamitra Kopmiso Bogor. Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden, diketahui bahwa sebanyak 21 orang responden menyatakan waktu yang diperlukan Swamitra Kopmiso Bogor dalam merealisasikan pinjaman adalah cepat (lihat Tabel 21). Hasil ini disebabkan atas responden memiliki respon yang cepat dalam menghadapi prosedur peminjaman, sehingga berdampak pada pemanfaatan waktu yang lebih singkat. Sedangkan sembilan orang responden lainnya memiliki pendapat bahwa waktu yang diperlukan Swamitra Kopmiso Bogor dalam merealisasikan kredit berada diposisi kriteria sedang atau dikisaran 4-7 hari, namun hal tersebut tidak menurunkan keinginannya memanfaatkan fasilitas kredit usaha mikro yang diberikan oleh Swamitra Kopmiso Bogor. Hal ini disebabkan tingginya aktivitas yang dimiliki responden, sehingga mempersulit responden menjalani tahapan prosedur peminjaman di Swamitra Kopmiso Bogor. Kondisi tersebut berdampak pemanfaatan waktu realisasi yang lebih lama.
45
Tabel 21. Pendapat Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Terhadap Waktu Merealisasikan Kredit di Tahun 2012 Lama Realisasi Kredit Jumlah Responden (Orang) Persentase (%) Cepat (1-3 hari) 21 70,00 Sedang (4-7 hari) 9 30,00 Lama (>7 hari) 0 0,00 Total 30 100,00 Berdasarkan hasil analisa ini, maka dapat disimpulkan bahwa lamanya waktu yang diperlukan dalam merealisasikan kredit dipengaruhi respon calon debitur. Semakin baik dan cepat respon calon debitur dalam menjalani tahapan prosedur peminjaman, maka semakin singkat waktu yang dipergunakan. Namun secara keseluruhan, Swamitra Kopmiso Bogor telah menjalankan aktivitas penyaluran kredit sesuai dengan prosedural yang berlaku, dimana tidak melebihi ketentuan waktu dalam merealisasikan kredit yakni kurang dari satu minggu. d. Tingkat Bunga Pinjaman Kredit merupakan sebuah fasilitas keuangan yang ditujukan untuk membantu mengembangkan usaha yang dijalankan oleh pengusaha, terutama pengusaha mikro. Namun demikian, sebagian masyarakat memiliki ketakutan melakukan permohonan pinjaman kepada lembaga keuangan. Hal ini disebabkan adanya pemahaman masyarakat mengenai beban bunga yang diterima pengusaha sangat tinggi, sehingga mempersulit masyarakat menyelesaikan kewajiban kredit. Kondisi yang sama berlaku pada Swamitra Kopmiso Bogor, dimana menetapkan ketentuan terhadap bunga pinjaman yang akan diberikan namun tidak memberatkan masyarakat yang memiliki keinginan menjadi debitur. Bunga yang ditetapkan oleh Swamitra Kopmiso Bogor sebesar dua persen per bulan, umumnya juga berlaku pada Swamitra lainnya di wilayah Bogor. Namun demikian, dimungkinkan negosiasi penurunan bunga kredit hingga 1,7 persen dengan ketentuan debitur memiliki catatan pengguna kredit yang baik dan tanpa tunggakan. Kriteria tingkat bunga pinjaman yang dipergunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori penilaian, seperti beban bunga ringan, beban bunga sedang dan beban bunga berat. Indikator yang dipergunakan pada kriteria penilaian ini adalah melihat pengalaman debitur terhadap beban bunga yang diterima dari Swamitra Kopmiso Bogor, apakah debitur menerima beban bunga kredit yang ringan ataupun berat. Informasi yang diperoleh dari pengalaman debitur akan disesuaikan dengan kategori penilaian kinerja Swamitra. Hasil penilaian kinerja tersebut akan menunjukan bagaimana pendapat debitur terhadap proseur peminjaman yang telah berjalan di Swamitra Kopmiso Bogor.
46
Tabel 22. Tanggapan Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Terhadap Tingkat Bunga di Tahun 2012 Tingkat Bunga Jumlah Responden (Orang) Persentase (%) Ringan 15 50,0 Sedang 14 46,67 1 3,33 Berat Total 30 100,00 Berdasarkan Tabel 22, diketahui bahwa mayoritas responden memiliki pendapat bahwa beban bunga kredit di Swamitra Kopmiso Bogor dirasakan ringan. Hal ini dilihat dari 15 orang responden menyatakan kredit usaha mikro ringan. Munculnya pendapat responden tersebut dipengaruhi beban bunga yang diterima oleh responden sangat ringan, rata-rata responden menerima kredit dikisaran 1,8-19 persen. Hasil tersebut menunjukan indikasi bahwa Swamitra Kopmiso mampu memberikan pelayanan kredit yang terbaik, salah satunya memberikan beban bunga yang ringan. Sedangkan 15 orang responden lainnya menyatakan pendapat yang berbeda atas bunga kredit Swamitra Kopmiso Bogor, hal ini dilihat dari 14 orang responden memiliki pendapat terhadap bunga kredit Swamitra dirasakan sedikit berat dan satu orang responden menyatakan bunga kredit Swamitra sangat memberatkan pengusaha mikro. Hal ini disebabkan responden memiliki informasi pembanding mengenai ketentuan beban kredit yang lebih murah di beberapa lembaga keuangan mikro lain. Namun demikian, kondisi ini tidak memperhambat responden untuk mengambil pinjaman pada Swamitra Kopmiso dikarenakan terdapat faktor lain yang mempengaruhi pengambilan pinjaman. Berdasarkan hasil analisis ini, maka dapat disimpulkan bahwa Swamitra Kopmiso Bogor memiliki kinerja yang baik mengenai penentuan bunga kredit, dilihat dari pendapat debitur Swamitra. e. Tingkat Pelayanan Pengurus Swamitra Pengurus Swamitra merupakan salah satu atribut yang mempengaruhi terlaksananya penyaluran kredit usaha mikro dengan baik. Pada aktivitas penyaluran kredit usaha mikro, pengurus Swamitra berperan aktif dalam memberikan informasi detail mengenai produk kredit melalui pembinaan kepada debitur. Bentuk pelayanan tersebut menjadi nilai tambah bagi Swamitra Kopmiso Bogor, sehingga memunculkan ketertarikan masyarakat menjadi debitur. Selain itu, pengurus Swamitra Kopmiso juga melakukan strategi kunjungan langsung kepada nasabah atau disebut dengan strategi jemput bola. Hal ini dimaksudkan untuk dilakukannya kolektif langsung terhadap kewajiban anggsuran, terutama bagi debitur yang tidak dapat meluangkan waktu berkunjung pada Swamitra Kopmiso Bogor atas aktivitas yang tinggi. Kriteria tingkat pelayanan pengurus yang dipergunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori penilaian, seperti pelayanan yang baik (kategori baik), pelayanan yang biasa (kategori sedang) dan pelayanan yang buruk (kategori buruk). Indikator yang dipergunakan pada kriteria penilaian ini adalah melihat pengalaman debitur terhadap pelayanan dari Swamitra Kopmiso Bogor, apakah pengurus Swamitra memberikan pelayanan yang terbaik atau tidak. Informasi yang diperoleh dari pengalaman debitur akan disesuaikan dengan kategori
47
penilaian kinerja Swamitra. Hasil penilaian kinerja tersebut akan menunjukan bagaimana pendapat debitur terhadap proseur peminjaman yang telah berjalan di Swamitra Kopmiso Bogor. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada responden, diketahui bahwa mayoritas responden menyatakan pelayanan pengurus baik dengan jumlah responden sebanyak 28 orang (lihat Tabel 23). Hasil ini menunjukan adanya indikasi bahwa pengurus Swamitra Kopmiso Bogor telah memberikan pelayanan terbaik kepada nasabahnya, dilihat dari aktivitas pengurus Swamitra menginformasikan produk Swamitra serta pembinaan kepada pengusaha mikro. Sedangkan dua orang responden lainnya menyatakan bahwa pelayanan pengurus biasa saja. Hal ini disebabkan responden memiliki informasi pembanding mengenai pelayanan pengurus di beberapa lembaga keuangan mikro lain. Namun demikian, hal tersebut tidak memperburuk penilaian responden terhadap kualitas pelayanan pengurus Swamitra Kopmiso. Berdasarkan hasil analisis ini, maka dapat disimpulkan bahwa Swamitra Kopmiso Bogor memiliki kinerja yang baik dilihat dari pelayanan pengurus. Tabel 23. Tanggapan Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Terhadap Pelayanan Pengurus di Tahun 2012 Pelayanan Pengurus Baik Biasa Buruk Total
Jumlah Responden (Orang) 28 2 0 30
Persentase (%) 96,67 3,33 0,00 100
f. Jarak Swamitra Lokasi merupakan faktor penting dalam pelaksanaan penyaluran kredit, semakin strategis lokasi suatu lembaga keuangan maka semakin mempermudah nasabah menjangkaunya. Lokasi Swamitra Kopmiso dapat dikatakan sangat strategi. Hal ini dikarenakan Swamitra berada di pusat Pasar Bogor, sehingga mempermudah para pengusaha mikro untuk mencari informasi mengenai produk kredit usaha mikro Swamitra maupun berurusan langsung mengenai pembayaran angsuran. Wilayah jangkauan kerja Swamitra Kopmiso sejauh lima kilometer dari lokasi Swamitra berada, meliputi Pasar Bogor, Surya Kencana dan beberapa lokasi di daerah Baranangsiang. Kriteria jarak Swamitra yang dipergunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori penilaian, seperti jarak ditempuh 0-1 kilometer (kategori dekat), jarak ditempuh 2-5 kilometer (kategori sedang) dan jarak ditempuh lebih dari lima kilometer (kategori jauh). Indikator yang dipergunakan pada kriteria penilaian ini adalah melihat pengalaman debitur terhadap jarak yang ditempuh responden pada Swamitra Kopmiso Bogor. Informasi yang diperoleh dari pengalaman debitur akan disesuaikan dengan kategori penilaian kinerja Swamitra. Hasil penilaian kinerja tersebut akan menunjukan bagaimana pendapat debitur terhadap jarak yang ditempuh responden pada Swamitra Kopmiso Bogor. Berdasarkan Tabel 24 dijelaskan bahwa seluruh responden menyatakan bahwa Swamitra Kopmiso memiliki jarak yang dekat dengan usaha yang dijalankan oleh responden. Hal ini dipengaruhi jarak Swamitra dekat dan mudah diakses oleh pengusaha mikro, terutama bagi debitur yang memiliki usaha di
48
sekitar wilayah Pasar Bogor. Berdasarkan hasil analisa ini, maka dapat ditari kesimpulan bahwa Swamitra Kopmiso telah memposisikan diri dekat terhadap nasabahnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diberlaku oleh Bank Bukopin, dimana Swamitra harus memposisikan diri dekat dengan pengusaha mikro. Tabel 25. Tanggapan Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Terhadap Jarak Swamitra di Tahun 2012 Jarak Swamitra Dekat Sedang Jauh Total
Jumlah Responden (Orang) 30 0 0 30
Persentase (%) 100,00 0,00 0,00 100,00
Berdasarkan keseluruhan analisa pendapat responden terhadap kinerja penyaluran kredit usaha mikro melalui Swamitra Kopmiso Bogor, maka diraih total skor penilaian sebesar 423 dari kemungkinan skor minimal sebesar 180 dan skor maksimum sebesar 540 (lihat Tabel 25). Total skor penilaian tersebut diperoleh dari total pendapat responden yang mendukung kinerja Swamitra Kopmiso Bogor, kemudian pendapat tersebut dikalikan nilai skor tiga. Total skor penilaian pendapat responden digunakan untuk melihat apakah Swamitra Kopmiso Bogor memiliki kinerja yang baik dalam menyalurkan kredit usaha mikro. Bila mengacu pada Tabel 6, maka dapat disimpulkan bahwa Swamitra Kopmiso Bogor memiliki kinerja baik dalam menyalurkan kredit usaha mikro menurut pendapat nasabah. Berdasarkan Tabel 25 juga dijelaskan bahwa Lokasi Swamitra dan Tingkat Pelayanan Pengurus Swamitra merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi kinerja Swamitra Kopmiso Bogor dalam menyalurkan kredit usaha mikro dengan persentase pencapaian sebesar 100 persen dan 96,67 persen. Sedangkan faktor yang dianggap nasabah masih memberatkan kinerja Swamitra Kopmiso Bogor dalam menyalurkan kredit usaha mikro adalah tingkat suku bunga dengan persentase pencapaian sebesar 50 persen. Tabel 24. Total Penilaian Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Mengenai Kinerja Swamitra dalam Penyaluran Kredit Usaha Mikro No Parameter Skor Skor Maksimum Persentase 1 Persyaratan Awal 72 90 80,00 2 Prosedur Peminjaman 66 90 73,33 3 Waktu Realisasi Kredit 63 90 70,00 4 Suku Bunga 45 90 50,00 5 Tingkat Pelayanan 87 90 96,67 6 Lokasi Swamitra 90 90 100,00 Jumlah 423 540 78,33
49
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1) Mekanisme penyaluran kredit yang berlangsung pada Swamitra Kopmiso Bogor telah berpedoman pada Prinsip 5C. Hal ini dilihat dari beberapa tahapan prosedur peminjaman yang berlangsung di Swamitra, seperti pengumpulan persyaratan awal berupa dokumen data diri dan jaminan, dan survei langsung kepada calon debitur. Persyaratan pengajuan kredit yang lebih dimudahkan bagi pengusaha Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Swamitra juga telah menetapkan “Strategi Jemput Bola” atau pembinaan langsung pada nasabah sebagai salah satu strategi mengurangi risiko kredit bermasalah. 2) Kinerja penyaluran kredit usaha mikro melalui Swamitra Kopmiso Bogor berjalan dengan baik. Hal ini dinilai dari kondisi Swamitra selama tiga tahun terakhir mampu mencapai dan melampaui minimal target kerja sebesar 50 persen, dilihat pada kinerja pemanfaatan modal tidak tetap, Sisa Hasil Usaha serta rasio kredit bermasalah. Kemudian ditambah dengan tren positif pada kinerja pemanfaatan modal tidak tetap dan Sisa Hasil Usaha yang terus bertumbuh selama tiga tahun terakhir, dengan tingkat pertumbuhan diatas 20 persen per tahun. Rasio kredit bermasalah pada Swamitra Kopmiso Bogor mengalami tren penurunan sebesar 59 persen per tahun. Fakta ini menunjukan bahwa Swamitra Kopmiso Bogor masih dapat diandalkan sebagai perusahaan mitra yang baik menyalurkan kredit usaha mikro. 3) Berdasarkan penilaian nasabah Swamitra Kopmiso Bogor terhadap kinerja Swamitra dalam menyalurkan kredit usaha mikro, diketahui bahwa Swamitra telah memiliki kinerja baik pada aktivitas penyaluran kredit usaha mikro. Hal ini dilihat pada skor penilaian nasabah yang diraih sebesar 423 atau dinyatakan kinerja baik pada selang penilaian 180-540. Tingkat pelayanan pengurus dan lokasi Swamitra menjadi penilaian utama. Sedangkan penilaian suku bunga menjadi yang terkecil dalam kontribusi skor penilaian sebesar 45, hal ini menunjukan bahwa suku bunga dirasakan memberatkan nasabah. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh terdapat beberapa saran yang ingin disampaikan antara lain : 1) Bank Bukopin Cabang Bogor perlu menurunkan target kerja sesuai dengan kemampuan Swamitra Kopmiso Bogor. Berdasarkan analisa kinerja yang dilakukan, Swamitra tersebut dinyatakan belum memiliki kemampuan besar pada aktivitas penyaluran kredit usaha mikro. Hal ini dilihat dari kinerja jumlah realisasi kredit dan kinerja dana pihak ketiga yang belum mampu mencapai minimal target kerja awal sebesar 50 persen. Berdasarkan
50
2)
3)
penyesuaian target kerja tersebut, maka Swamitra Kopmiso Bogor dapat memaksimumkan kemampuannya mencapai target kerja dan meraih kinerja yang baik. Swamitra Kopmiso Bogor perlu menarik minat pengusaha kecil agar dapat memanfaatkan fasilitas kredit usaha mikro, melalui pelayanan penyaluran kredit lebih cepat dibandingkan dengan pelayanan lembaga keuangan lainnya. Swamitra Kopmiso Bogor juga hendaknya lebih memperhatikan calon debitur di luar anggota Koperasi Paguyuban Pedagang Mie dan Bakso Megapolitan (KOPMISO). Hal ini dikarenakan kredit usaha mikro merupakan bantuan pinjaman yang diperuntukan untuk perkembangan berbagai sektor usaha. Dengan demikian, pencapaian tujuan awal dari kerja sama Bank Bukopin dan Swamitra Kopmiso Bogor melayani segmen UMKM dapat tercapai, dan juga dapat meningkatkan jumlah kredit usaha mikro yang direalisasikan. Swamitra Kopmiso Bogor perlu mempertahankan kualitas pelayanan, dikarenakan nasabah memiliki pendapatan bahwa pelayanan merupakan faktor utama mempengaruhi kinerja Swamitra dalam menyalurkan kredit usaha mikro. Selain itu, Swamitra Kopmiso Bogor juga perlu memahami pendapat nasabah, mengenai suku bunga yang dirasakan masih memberatkan nasabah. Swamitra Kopmiso Bogor dapat mempertimbangkan pendapat tersebut sebagai masukan penting saat mengambil keputusan terhadap aktivitas pelayanan Swamitra. Hal ini disebabkan adanya nilai-nilai yang dibutuhkan para nasabah terhadap pelayanan yang diberikan oleh Swamitra Kopmiso Bogor.
DAFTAR PUSTAKA
Aprilia E. 2004. Kinerja Perbankan Syariah dan Preferensi Nasabah Kota Bogor Tentang Bank Syariah [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ashari, Friyatno S. 2006. Perspektif pendirian Bank Pertanian di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE), Vol 24 (2) : 107-122. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Pertumbuhan Rumah Tangga Petani di Indonesia (Sensus Pertanian 2003) [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [Diunduh 2012 Nov 12]. Tersedia pada : http://www.bps.go.id/brs_file/rttani-02jan04.pdf Bank Bukopin. 2011. Laporan Tahunan 2011 : Bekerja keras meraih hasil terbaik. Jakarta : PT Bank Bukopin, Tbk. Bank Bukopin Cabang Bogor. 2012. Rekap Performance Swamitra : 3 Tahun Terakhir. Bogor : PT Bank Bukopin, Tbk Cabang Bogor.
51
Bank Indonesia. 2007. Generic Model Linkage Program antara Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [Diunduh 2013 Mar 1]. Tersedia pada : http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/5EB18F75-216A-4E74-AE6B2442EB1897BE/938/GenericModelLinkageProgram.zip . 2009a. Plafon Kredit Linkage Program Capai Rp.6,4 Triliun [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [Diunduh 2013 Jan 7]. Tersedia pada: http : // www.bi.go.id /web/id/Ruang+Media /Siaran+Pers/sp_1111109.htm . 2009b. Daftar Bank Umum Pelaku Penandatangan Linkage Program [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [Diunduh 2013 Jan 7]. Tersedia pada: http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/562272FCB076-481E-9381-B00CAEB0D374/16385/lampiran_sp.pdf Fitrianingsih S. 2008. Kinerja Penyaluran Kredit Umum Pedesaan (Kupedes) Serta Dampaknya Terhadap Peningkatan Pendapatan Usaha Nasabah di PT Bank Rakyat Indonesia Unit Citerup Cabang Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Gemari. 2009. Pemberdayaan Usaha Mikro Melalui Swamitra. Edisi 107 tahun X desember 2009 Hadinoto S, Retnadi D. 2006. Micro Credit Challenge (Cara Efektif Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran di Indonesia). Jakarta : Penerbit PT Elex Media Komputindo. Hutabarat dan Huseini. 2006. Pengantar Manajemen Strategik Kontemporer Strategik di Tengah Operasional. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. 2011. Perkembangan data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [Diunduh 2012 Des 3]. Tersedia pada : http : //www.depkop.go.id/ index.php?option =com_phocadownload& view=file&id=255: data-usaha-mikro – kecil – menengah – umkm - dan – usaha – besar – ub - tahun-2009-2010&Itemid=93 Koperasi Paguyuban Pedagang Mie dan Bakso Megapolitan. 2006. Akta Pendirian Koperasi Paguyuban Pedagang Mie dan Bakso Megapolitan. Bogor : (Ny. Rosa Triana, SH) Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah di Bogor. Leon, B dan Ericson, S. 2007. Manajemen Aktiva Passiva (Bank Nondevisa). Jakarta: PT Grasindo.
52
Machmudy A. 2011. Kendala perbankan dalam penyaluran kredit UMKM [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [Diunduh 2012 Nov 12]. Tersedia pada: http://bankirnews.com /index.php ?option=com_content & view=article&id=476: kendala-perbankan-dalampenyaluran-kredit umkm&catid=123:opini&Itemid=185 Muchtar I. 2011. Swamitra Menggagas Pemberdayaan : Mensinergikan Bisnis Perbankan dengan Kredit Mikro Koperasi. Jakarta : PT Mega Primavista. Mochtar R. 2008. Pengembangan penyaluran kredit melalui Koperasi dengan pola Swamitra untuk peningkatan ekonomi daerah dan masyarakat di Kota Pekanbaru [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Novitasari. 2006. Analisis Kinerja dan Dampak Kredit Umum Pedesaan (Kupedes) Terhadap Peningkatan Pendapatan Usaha Kecil (Kasus : Bank Rakyat Indonesia Unit Kreo, Tanggerang) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Partomo TS. 2004. Usaha Kecil Menengah dan Koperasi. Working Paper Series No.9: 5-7. Purwanto D. 2013. 2013, Proyeksi Kredit Perbankan Nasional Naik Tipis [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [Diunduh 2013 Jan 7]. Tersedia pada : http://bisniskeuangan.kompas.com /read/ 2013/01/10/2235059/2013.Proyeksi.Kredit.Perbankan.Nasional.Naik.Tipis PKL. 2012. UMKM serap tenaga kerja lebih besar [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [Diunduh 2012 Nov 12]. Tersedia pada: http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id= 808:umkm-serap-tenaga-kerja-lebih-besar&catid=50:bind-berita<emid=97 Rangkuti F. 2007. Riset Pemasaran, Cetakan kedelapan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Rai, IGA. 2008. Audit Kinerja pada Sektor Publik : Konsep, Praktik dan Studi Kasus. Jakarta : Penerbit Salemba Empat. Ramadhani M. 2013. BI Tetapkan Aturan Penyaluran Kredit UMKM 20 Persen [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [Diunduh 2013 Jan 7]. Tersedia pada: http://www.republika.co.id /berita/ekonomi/mikro /13/01/16/mgpye3-bi-tetapkan-aturan-penyaluran-kredit-umkm-20-persen Ruky AS. 2006. Sistem Manajemen Kinerja (Performance Management System), Panduan Praktis untuk Merancang dan Meraih Kinerja Prima, Edisi keempat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
53
Susilowati D. 2002. Kajian pelaksanaan kemitraan koperasi dengan perbankan (studi kasus Swamitra Primkopti Handayani, kemitraan antara Primkopti Handayani Salatiga dengan Bank Bukopin [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tejasari M. 2008. Peranan sektor usaha kecil dan menengah dalam penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tunas Bangsa. 2011. Keterbatasan Modal Kendala Utama UMKM. http://www.tubasmedia.com/ berita/keterbatasan-modal-kendala- utamaumkm/ [12 November 2012] Tohar, M. 2000. Membuka Usaha Kecil, Cetakan ke-4. Yogyakarta : Penerbit Kansius. Umar H. 2002. Business an Introduction. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. _______.2003. Metode Riset Bisnis : Panduan Mahasiswa untuk Melaksanakan Riset Dilengkapi Contoh Proposal dan Hasil Riset Bidang Manajemen dan Akuntansi, Cetakan kedua. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Wahyono T, Pujiatmoko L. 2008. Pengembangan Aplikasi Akutansi Berbasis Microsoft Visual Basic.NET. Jakarta : PT Elex Media Kom
54
Lampiran 1. Mekanisme Penyaluran Kredit Usaha Mikro di Swamitra Kopmiso Bogor RENCANA PENGEMBANGAN USAHA
P E N G U S A H A
MENGISI FORMULIR APLIKASI KREDIT
K E C I L
MELENGKAPI PERSYARATAN: § DATA PRIBADI § DATA JAMINAN
TIDAK
PERSYARATAN LENGKAP?
YA
SURVEI LANGSUNG CALON DEBITUR OLEH AO DAN BCS
ANALISIS YURIDIS DAN ANALISIS TAKSASI OLEH BCS
PEMBUATAN PROPOSAL PENGAJUAN KREDIT OLEH AO
S W A M I T R R A
TIDAK
KOMITE KREDIT, SETUJU?
YA
PEMBUATAN DRAFT SPPK
YA
PENGIKATAN ?
REVISI? TIDAK
YA
STOP REALISASI KREDIT
Sumber : Swamitra Kopmiso Bogor (2012)
55
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Belawan pada tanggal 23 Juni 1989. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sahat Marulitua Hutapea dan Ibunda Rilse Simanjuntak. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Hang Tuah III Belawan pada tahun 2001 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SMP Hang Tuah I Belawan. Pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2007 di SMA Methodist 8 Medan. Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Keahlian Perencanaan dan Pengendalian Produksi Manufaktur/Jasa, Direktorat Program Diploma, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan lulus pada tahun 2010. Kemudian melanjutkan pendidikan sarjana pada Program Alih Jenis Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010 dan menyelesaikannya pada tahun 2013. Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis tercatat sebagai pengurus Forum Mahasiswa Kristen Diploma IPB periode tahun 20082009 dan sebagai pengurus Komunitas Mahasiswa Kristen Program Sarjana Alih Jenis Institut Pertanian Bogor Periode tahun 2010-2011.