21
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
Kinerja Pembangunan Kabupaten Bojonegoro: Mengentaskan Kemiskinan Melalui Peningkatan Ekonomi Rakyat Kecil dan Antisipasi Kutukan Sumberdaya Alam Sutia Budi Wakil Ketua III Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ahmad Dahlan (STIEAD) Jakarta
[email protected]
Abstrak
Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi, pada hakekatnya pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem social secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individu maupun kelompok-kelompok sosial yang ada didalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual. Kata Kunci: Pembangunan, Mengentaskan, Kemiskinan Ekonomi dan Sumberdaya Alam Abstract
Development must be viewed as a multidimensional process that covers a wide range of fundamental changes on social structure, attitudes of society and national institutions, while still pursuing economic growth acceleration, handling income inequality, and poverty alleviation. So, in essence development must reflect the total change in a society, or adjustment of the overall social system without ignoring the diversity of basic needs and desires of individuals and social groups that are inside to move forward toward a condition of a life of better material and spiritual. Keywords: Development, Eradicating Poverty and Natural Resource Economics Pendahuluan
Menurut Todaro (2003), pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu kecukupan (sustenance) memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (self esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih. Todaro berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
22
Jadi, pada hakekatnya pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem social secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individu maupun kelompok-kelompok sosial yang ada didalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual. Paradigma pembangunan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pandangan para pakar ekonomi pembangunan terhadap pembangunan diwarnai oleh dikotomi antara paradigma “pertumbuhan” dan “pemerataan”. Kontroversi tersebut muncul disebabkan karena penerapan strategi pembangunan ekonomi yang mengacu pada pertumbuhan (growth) dan pemerataan (equity) belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Namun demikian, para ekonom sependapat bahwa pembangunan merupakan suatu proses untuk mencapai kemajuan. Paradigma pembangunan baru diarahkan pada terjadinya pemerataan, pertumbuhan dan keberlanjutan dalam pembangunan ekonomi. Paradigma baru ini dapat mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan bahwa sebenarnya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi yang diinginkan melalui transfer, perpajakan dan subsidi (Rustiadi, 2008). Kinerja pembangunan merupakan capaian-capaian pembangunan yang diraih oleh suatu daerah yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Untuk mengetahui dan mengidentifikasi angka kemajuan pembangunan yang dicapai suatu daerah, diperlukan data yang akurat dan terbaru (up to date). Data dapat dijadikan alat evaluasi terhadap langkah dan upaya yang dilakukan pemerintah dalam berbagai bidang. Kinerja juga merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/ program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan misi, dan visi organisasi (LAN sasaran tujuan, misi (LAN, 1999:3). Kane dan Johnson (1995) memberi pengertian bahwa kinerja merupakan outcome hasil kerja keras organisasi dalam mewujudkan tujuan stratejik yang ditetapkan organisasi kepuasan pelanggan serta organisasi, kontribusinya terhadap perkembangan ekonomi masyarakat. Dari pengertian di atas, Solihin (2008) mendefinisikan bahwa indikator kinerja adalah uraian ringkas dengan menggunakan ukuran kuantitatif atau kualitatif yang mengindikasikan pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah disepakati dan ditetapkan. Untuk mengukur kinerja pembangunan bisa dilihat dari beberapa indikator. Indikator adalah variabel yang membantu kita dalam mengukur perubahan-perubahan yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung (WHO, 1981). Indikator adalah variabel-variabel yang mengindikasi atau memberi petunjuk kepada kita tentang suatu keadaan tertentu, sehingga dapat digunakan untuk mengukur perubahan (Green, 1992). Namun demikian, alat ukur yang dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan pembangunan dalam beberapa hal tidaklah mudah. Tolok ukur yang selama ini sering digunakan untuk menilai kualitas hidup hanya terbatas pada tataran kualitas fisik. Hal ini disebabkan karena untuk menilai keberhasilan pembangunan dalam tataran non-fisik cukup sulit. Menurut beberapa kalangan, kesulitan tersebut muncul karena indikatornya relatif lebih abstrak dan bersifat komposit. Tulisan ini akan menguraikan tentang kinerja pembangunan Kabupaten Bojonegoro selama di bawah kepemimpinan Bupati Suyoto dan Wakil Bupati Setyo Hartono. Adapun kinerja pembangunan yang akan dibahas dalam tulisan ini terdiri dari beberapa indikator pembangunan yang meliputi: Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, dan indeks pembangunan manusia (human development index).
23
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bojonegoro
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu. PDRB juga merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB merupakan salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun berjalan, sedang PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar. PDRB juga dapat digunakan untuk mengetahui perubahan harga dengan menghitung deflator PDRB (perubahan indeks implisit). Indeks harga implisit merupakan rasio antara PDRB menurut harga berlaku dan PDRB menurut harga konstan. PDRB menurut harga berlaku digunakan untuk mengetahui kemampuan sumber daya ekonomi, pergeseran, dan struktur ekonomi suatu daerah. Sementara itu, PDRB konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi secara riil dari tahun ke tahun atau pertumbuhan ekonomi yang tidak dipengaruhi oleh faktor harga. Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan dalam periode jangka waktu tertentu akan membawa suatu perubahan yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan-perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi suatu wilayah atau yang lebih dikenal dengan perubahan struktur ekonomi. Struktur ekonomi dapat diartikan sebagai sebaran/distribusi dari masing-masing komponen yang membentuk ekonomi suatu wilayah dan biasanya disajikan dalam bentuk persentase. Adapun kegunaan dari PDRB antara lain: a) untuk melihat laju pertumbuhan ekonomi daerah baik secara sektoral maupun secara keseluruhan; b) mengetahui gambaran struktur perekonomian daerah; c) mengetahui potensi ekonomi daerah; d) mengetahui tingkat perubahan harga yang terjadi; dan e) mengetahui perkembangan pendapatan regional perkapita di suatu daerah selama satu tahun. Grafik di bawah ini akan memperlihatkan perkembangan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku Kabupaten Bojonegoro di bawah kepemimpinan Kang Yoto, sejak tahun 2008. BPS Bojonegoro mencatat besaran PDRB atas dasar harga berlaku, besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada tahun 2008 mencapai 15,484 trilyun rupiah. Kemudian pada tahun 2009 meningkat menjadi 17,783 trilyun rupiah, dan terus melambung hingga 33,291 trilyun rupiah di tahun 2010. Pada tahun 2011, PDRB Bojonegoro terus melesat ke angka 41,357 trilyun rupiah, kemudian menjadi 43,686 trilyun rupiah di tahun 2012. Pada tahun berikutnya kembali naik menjadi 48.129 trilyun rupiah (angka sementara) pada tahun 2013 dan menjadi 50,634 trilyun rupiah (angka sangat sementara) di tahun 2014. Berikut ini adalah grafik perkembangan PDRB Kabupaten Bojonegoro Atas Dasar Harga Berlaku dari tahun 2008 hingga tahun 2014.
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
24
Grafik 1.1 Perkembangan PDRB Kabupaten Bojonegoro Atas dasar harga berlaku (2008-2014)
Sumber data: BPS Bojonegoro, Bojonegoro Dalam Angka (2010 & 2015) * Angka sementara ** Angka sangat sementara
Sektor pertambangan dan penggalian merupakan penyumbang terbesar bagi perkembangan PDRB Bojonegoro. Sektor tersebut, tahun 2008 menyumbang 30,19 persen dari total nilai tambah yang terbentuk di Kabupaten Bojonegoro. Tahun 2009 menyumbang 31,49 persen, dan semakin melonjak di tahun 2010 menjadi 50,17 persen, lalu menjadi 54,92 persen (2011), kemudian menjadi 52,31 persen (2012). Pada tahun 2013, sumbangan sektor pertambangan dan penggalian sebesar 51,22 persen dan 48,45 persen di tahun 2014. Sementara sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan menjadi penyumbang terbesar kedua bagi PDRB Kabupaten Bojonegoro. Pertumbuhan PDRB Bojonegoro yang demikian pesat tentu menjadi isyarat bahwa Bojonegoro memasuki babak baru, menyongsong kemajuan. Kabupaten Bojonegoro terus berbenah, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mempersiapkan diri menjadi Kabupaten yang maju dan memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Laju pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan PDRB tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil (Sukirno, 2000). Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan dan merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan tingkat kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya ialah bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut efektif dalam mengurangi tingkat kemiskinan (Siregar dan Wahyuniarti, 2007). Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran dinamis yang digunakan untuk melihat perubahan tingkat ekonomi antar periode. Perubahan ini diukur dengan satu ukuran / satu periode yang disebut kondisi ekonomi pada tahun dasar. Pertumbuhan ekonomi Bojonegoro secara umum dari tahun 2008 kian melesat menjadi Kabupaten yang memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi di Provinsi di Jawa Timur, bahkan secara nasional. Tabel dan grafik berikut ini memperlihatkan angka pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur, dan pertumbuhan ekonomi Nasional.
25
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, dan Nasional (2008-2011)
Pertumbuhan Ekonomi Bojonegoro tanpa Migas Bojonegoro dengan Migas Jawa Timur Nasional
2008 5,82 10,24 5,94 6,06
2009 5,93 10,44 5,01 4,55
2010 6,45 11,84 6,67 6,10
2011 6,66 9,19 7,22 6,50
Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik 1.2 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, dan Nasional (2008-2011)
Memperhatikan tabel dan grafik di atas, Pertumbuhan ekonomi Bojonegoro (dengan migas) di tahun 2008 adalah sebesar 10,24 persen dan tahun 2009 sebesar 10,24 persen. Sementara Pertumbuhan ekonomi Provinsi jawa Timur pada tahun 2008 hanya sebesar 5,94 persen dan Nasional berada di angka 6,06 persen, bahkan tahun 2009 pertumbuhan ekonomi secara nasional berada di angka 4,55 persen. Ketika pertumbuhan ekonomi Bojonegoro kembali naik di tahun 2010 yaitu sebesar 11,84 persen, Jawa Timur berada di angka 6,67 persen dan nasional sebesar 6,10 persen. Tahun 2011, pertumbuhan ekonomi Bojonegoro mengalami perlambatan yaitu sebesar 9,19 persen, namun tetap masih berada di atas pertumbuhan Jawa Timur (7,22 persen) dan Nasional pada angka 6,50 persen. Apresiasi atas meroketnya pertumbuhan ekonomi Bojonegoro berdatangan, baik dari pemerintah pusat, pengamat, akademisi bahkan Bank Dunia. Kabupaten Bojonegoro diperkirakan akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi nasional baru di Indonesia. Pada 4 Mei 2012 misalnya (lensaindonesia. com, diakses 27 Desember 2015), Pemerintah Pusat melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa mengatakan bahwa klaster industri, ketahanan energi dan peternakan Bojonegoro mempunyai peluang yang luar biasa, menjadi pusat pertumbuhan Jatim, serta pusat pertumbuhan
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
26
baru bagi Indonesia. Pada 4 Agustus 2015, Juru Bicara dari Bank Dunia Ruth Nikikuluw, menyimpulkan bahwa pertumbuhan berbagai sektor ekonomi, yang membawa pengaruh pemberantasan kemiskinan di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, melaju pesat, dalam 10 tahun terakhir. Bojonegoro masuk 10 besar kabupaten di Jawa Timur, yang paling cepat dalam memberantas kemiskinan. Dalam publikasi infopublik.id (diakses 27 Desember 2015), pada bulan Maret 2015 Bupati Suyoto menyatakan bahwa telah berusaha menstabilkan kondisi perekonomian di wilayah Bojonegoro dengan terus mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas komoditas unggulan, serta membentuk kawasankawasan unggulan, yakni di 13 kawasan. Kang Yoto bersama jajaran telah memiliki terobosan dalam meningkatkan produktivitas tanaman pangan, holtikultura dan buah-buahan, upaya pembangunan lingkungan hidup dan kebencanaan, peningkatan modal sosial dan modal manusia. Publikasi Situs Resmi Pemkab Bojonegoro (www.bojonegorokab.go.id, diakses 27 Desember 2015), Bupati Suyoto menyampaikan beberapa hal saat menjadi narasumber dalam program Economic Challenges, dengan Tema Outlook 2015 dan proyeksi Migas 2016, di Metro TV bersama Menteri ESDM, Sudirman Said, dan Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi. Dua diantara tujuh point penting yang disepakati dalam diskusi tersebut adalah, pertama, Konsep dana abadi yang digagas Bojonegoro harus jalan meski produksi minyak belum maksimal dan harganya turun. Dengan konsep itu sedikit-sedikit dana dari DBH Migas mulai dikumpulkan sebagai dana abadi (petrolium fund) tahun 2016 dengan target Rp100 milyar; Kedua, tata kelola migas di daerah sudah harus masuk domain eksklusif dan tidak inklusif lagi, karena harus mengkaitkan antara konsep pertumbuhan ekonomi daerah (produk demostik regional bruto/PDRB naik) melalui industrialisasi hilir secara luas (foreward linkage) dengan membangun industri listrik, refinery (kilang mini), pupuk dan lain-lain. Dengan begitu dapat menaikkan ekonomi rakyat Bojonegoro. Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Bojonegoro
Dalam pandangan Todaro (2003), pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi, dan institusional demi mencapai kehidupan yang serba lebih baik. Karena itu menurut Todaro, proses pembangunan di semua masyarakat hendaknya memiliki tiga tujuan inti, yaitu: pertama, peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan. Kedua, peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, melainkan juga menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan. Ketiga, perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan. Adapun ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan sebagai berikut: (a) tingkat ketimpangan pendapatan; (b) penurunan jumlah kemiskinan; dan (c) penurunan tingkat pengangguran. Sasaran akhir ketiga indikator di atas adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Kuznet dalam Tambunan (2001), pertumbuhan dan kemiskinan mempunyai korelasi yang sangat kuat, karena pada tahap awal proses pembangunan tingkat kemiskinan cenderung meningkat dan pada saat mendekati tahap akhir pembangunan jumlah orang miskin berangsur-angsur berkurang.
27
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
Senada dengan pendapat para pakar di atas, Sukirno (2000) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi tidak semata-mata diukur berdasarkan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) secara keseluruhan, tetapi harus memperhatikan sejauh mana distribusi pendapatan telah menyebar kelapisan masyarakat serta siapa yang telah menikmati hasil-hasilnya. Melesatnya angka PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bojonegoro faktanya berkorelasi kuat terhadap penurunan angka kemiskinan. Pada awal tahun 2008 angka kemiskinan Bojonegoro demikian tinggi, lebih dari 23 persen dari jumlah penduduknya. Secara bertahap, di bawah duet kepemimpinan Bupati Suyoto dan Wakil Bupati Setyo Hartono, angka kemiskinan Kabupaten Bojonegoro mampu ditekan ke level yang jauh lebih rendah. Grafik berikut ini menunjukkan penurunan angka kemiskinan yang luar biasa di Kabupaten Bojonegoro dari tahun 2008 hingga tahun 2013. Grafik 1.3 Penduduk Miskin di Kabupaten Bojonegoro Tahun 2008-2014
Mencermati grafik di atas, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bojonegoro tahun 2008 – 2013, mengalami penurunan yang sangat tajam. Pada tahun 2008 jumlah penduduk miskin sejumlah 292.710 jiwa (23,87 persen), tahun 2009 turun menjadi 262.040 jiwa (21,27 persen), dan pada tahun 2010 mampu ditekan lagi menjadi 227.200 jiwa (18,78 persen). Kemudian tahun 2011, jumlah penduduk miskin menjadi 212.860 jiwa (17,47 persen), lalu semakin menurun menjadi 203.300 jiwa dan pada tahun 2013 makin mampu ditekan ke angka 15,95 persen (196.000 jiwa). Secara total dalam kurun waktu 2008 hingga 2013, jumlah penduduk miskin mampu ditekan sebesar 7,92 persen (96.710 jiwa). Tentu, angka tersebut merupakan angka yang sangat fantantis untuk capaian kinerja sebuah kabupaten dalam kurun waktu kurang dari enam tahun. Menurut Biro Pusat Statistik (2011), persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Dalam proses penghitungan, besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan. Batasan penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
28
kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Dalam mengukur kemiskinan, BPS menggunakan pendekatan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan cara ini dapat dihitung persentase penduduk miskin terhadap total penduduk. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan, sehingga muncul GK Daerah Perkotaan dan Pedesaan. Peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan sangat dominan dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat pada tingkat ekonomi rendah lebih dominan untuk pengeluaran kebutuhan makanan dibandingkan non makanan. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kkalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain). Sementara Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. Terdapat beberapa indeks untuk mengukur angka kemiskinan. Pertama, Head count Index, yaitu untuk mengukur persentase penduduk miskin terhadap total penduduk. Kedua, Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index), merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin thd garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Ketiga, Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index), semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Populasi referensi yang digunakan BPS adalah dengan menentukan populasi referensi yaitu 20 persen penduduk yang berada di atas Garis Kemiskinan. Sementara yang merupakan Garis Kemiskinan periode lalu yang di-inflate dengan inflasi umum (IHK). Dari penduduk referensi ini kemudian dihitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Penghitungan dilakukan terpisah menurut provinsi dan daerah (kota dan desa). Tabel di bawah ini memperlihatkan Indeks Kemiskinan Kabupaten Bojonegoro, yang didalamnya memuat Garis Kemiskinan dan Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Bojonegoro periode 2008-2013. Tabel 1.2. Indeks Kemiskinan Kabupaten Bojonegoro Tahun 2008-2013 Kemiskinan Garis Kemiskinan (Rp) Penduduk Miskin (000 jiwa) Penduduk Miskin (%)
Indeks Kemiskinan Kabupaten Bojonegoro 2008 149 846 292,71 23,87
2009 192 476 262,04 21,27
2010 211 213 227,20 18,78
2011 230 397 212,86 17,47
2012 246 454 203,30 16,60
2013 263 439 196,00 15,95
Sumber: Badan Pusat Statistik Bojonegoro, 2015
Besar kecilnya jumlah penduduk miskin tentu sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan yang ditetapkan, karena batasan penduduk miskin merupakan penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran
29
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Tahun 2008, garis kemiskinan di Kabupaten Bojonegoro sebesar Rp. 149.846,00. Tahun 2009 naik menjadi Rp. 192.476,00, dan pada tahun 2010 menjadi Rp. 211 213,00. Kemudian pada tahun 2011, garis kemiskinan menjadi Rp. 230.397,00, kembali naik menjadi Rp. 246 454,00 di tahun 2012, dan pada tahun 2013 menjadi Rp. 263.439,00. Mencermati data-data di atas, menjadi sebuah prestasi bagi Kepala Daerah Kabupaten Bojonegoro yang mampu menaikkan garis kemiskinan sebesar 75,8 persen (Rp. 113.593,00) dari angka Rp. 149.846,00 menjadi Rp. 263.439 serta menekan-menghilangkan angka kemiskinan sebesar 7,92 persen. Disadari bahwa angka kemiskinan masih tergolong tinggi yaitu 15,95 persen (tahun 2013), karena titik awalnya di tahun 2008 sangatlah tinggi yaitu 23,87 persen. Namun menekan-menghapus angka kemiskinan dalam jumlah yang besar (7,92 persen) dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, tentu merupakan hal yang tidak mudah. Berbicara tentang kemiskinan, dalam publikasi viva.co.id (diakses 27 Desember 2015), Kang Yoto berbagi strategi atasi kemiskinan saat diundang menjadi pembicara di forum internasional. Kang Yoto berbicara di sebuah workshop bertajuk “Modern Slavery and Climate Change: The Commitment of the Cities” di Akademi Pontificia Scientiavrm, Vatikan. Ia merupakan satu-satunya delegasi Indonesia yang diundang dan berbicara di forum yang digelar pada 21-22 Juli 2015. Acara tersebut itu dihadiri sekitar 1.000 peserta, termasuk dari PBB. Ia menawarkan solusi dan tawaran penting, yakni pembangunan ekonomi yang inklusif. Menurutnya, diperlukan penataan pembangunan, penciptaan pekerjaan yang tepat untuk menanggulangi kemiskinan, perlindungan lingkungan dan ekossistem. Tujuannya, untuk mengurangi polusi di semua sisi. Tetapi, hal tersebut harus dilakukan secara berkelanjutan dan memegang pedoman tujuan pembangunan berkelanjutan. Kang Yoto menegaskan bahwa demokrasi dan otonomi di Indonesia telah memungkinkan Pemda Bojonegoro untuk fokus kepada masalah lokal yang dihadapi yaitu kemiskinan. Untuk itu, Pemda Bojonegoro harus memastikan peran pemerintahan berjalan efektif dan transformatif dalam menyelesaikan tantangan itu. Potret kemiskinan Bojonegoro pernah diabadikan dalam bentuk buku foto oleh CLM Penders berjudul “Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North-East Java-Indonesia”. Lalu ia mengajak adanya upaya sistematis bersama, agar mengubah sistem ego ke sistem eco yang dianggap lebih ramah lingkungan. Pada Februari 2014, ia juga menjadi pembicara di Forum Global di Institut Teknologi Massachusetts, Boston. Tingkat Pengangguran di Kabupaten Bojonegoro
Pengangguran merupakan masalah bagi semua negara, tidak memandang negara maju atau sedang berkembang. Menekan angka pengangguran adalah pekerjaan besar bagi setiap kepala negara dalam skala yang lebih luas dan menjadi tugas berat kepala daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Menurut Sukirno (1994) dalam Alghofari (2010), pengangguran merupakan suatu keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Pengangguran dapat terjadi disebabkan oleh ketidakseimbangan pada pasar tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang ditawarkan melebihi jumlah tenaga kerja yang diminta. Pengangguran dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu: 1. Pengangguran Friksional (Frictional Unemployment). Adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
30
dengan pembuka lamaran pekerjaan. 2. Pengangguran Struktural (Structural Unemployment). Adalah keadaan di mana penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumberdaya manusia yang memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya. 3. Pengangguran Musiman (Seasonal Unemployment). Adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus nganggur. Contohnya seperti petani yang menanti musim tanam, tukan jualan durian yang menanti musim durian. 4. Pengangguran Siklikal. Adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pengangguran adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan. Data pengangguran dikumpulkan BPS melalui survey rumah tangga, seperti Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Sensus Penduduk (SP), Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS), dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Di antara sensus/survei tersebut Sakernas merupakan survei yang khusus dirancang untuk mengumpulkan data ketenagakerjaan secara periodik. Pengangguran di Indonesia menjadi masalah yang terus menerus membengkak. Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, tingkat pengangguran di Indonesia pada umumnya di bawah 5 persen dan pada tahun 1997 sebesar 4,68 persen. Tingkat pengangguran sebesar 4,68 persen masih merupakan pengangguran dalam skala yang wajar (Alghofari, 2010). Tingkat Pengangguran di Kabupaten Bojonegoro sejak tahun 2008 berhasil ditekan secara drastis. Grafik di bawah ini memperlihatkan penurunan angka pengangguran di Kabupaten Bojonegoro dari tahun 2008 hingga 2013. Grafik 1.4 Tingkat Pengangguran di Kabupaten Bojonegoro Tahun 2008-2013
Membaca grafik di atas, tingkat pengangguran di Kabupaten Bojonegoro pada tahun 2008 sebesar
31
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
112.241 jiwa, dapat ditekan secara drastis pada tahun 2009 menjadi 30.750 jiwa. Hal ini merupakan fakta yang luar biasa. Berarti pengangguran berkurang sebanyak 81.491 jiwa (72,60 persen) dari tahun sebelumnya. Kemudian pada tahun 2010 tingkat pengangguran di Kabupaten Bojonegoro kembali ditekan 14,31 persen (4.400 jiwa) dari tahun sebelumnya menjadi 26.350 jiwa. Tahun 2011 menjadi 22.856 jiwa atau berkurang 13,26 persen (3.494 jiwa) dari tahun 2010, tahun 2012 kembali berkurang 2.291 jiwa (10,02 persen) dan tahun 2013 berkurang 3,08 persen dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 19.932 jiwa. Mengikis angka penganguran di sebuah Kabupaten dari jumlah 112.241 jiwa menjadi 19.932 jiwa tentu bukan hal yang sederhana. Artinya, sebanyak 92.309 jiwa atau 82,24 persen dari jumlah penganggur, berhasil diserap dalam dunia usaha dan industri di Kabupaten Bojonegoro, dalam kisaran waktu kurang dari enam tahun. Siapa pun, tentu akan memberikan apresiasi atas capaian tersebut. Walaupun angka tersebut disadari masih tinggi, namun masih dalam skala yang wajar jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Kabupaten Bojonegoro. Bupati beserta jajaran tentu akan terus berupaya untuk mengikis angka pengangguran tersebut. Selain upaya keras dari pemerintah Kabupaten Bojonegoro, penurunan angka pengangguran ini juga didukung oleh program-program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh beberapa perusahaan, khususnya yang bergerak di sektor migas. Melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sosial (Disnakertransos), Pemkab Bojonegoro terus berupaya mengurangi pengangguran dengan bekerja sama dengan berbagai perusahaan. Untuk sektor non migas, Disnakertransos bekerjasama dengan perusahaan di bidang jasa maupun bank swasta. Pada sektor migas, menjalin kerja sama dengan kontraktor dari proyek Blok Bojonegoro. Pemkab juga memberikan pelatihan dan sertifikasi. Sejak 2013, sebagaimana dilansir oleh blokbojonegoro.com (diakses 27 Desember 2015), melalui Disnakertransos Pemkab Bojonegoro mempermudah jalur investasi. Disnakertransos juga terus memaksimalkan fungsi BLK dan Rumah Terampil Disnakertransos. Melalui BLK dan rumah terampil diharapkan mampu melahirkan pencari kerja dengan SDM yang handal dan profesional dan dapat memenuhi permintaan kebutuhan perusahaan di Bojonegoro. Pada 2014, penyerapan tenaga kerja melalui Job Fair mencapai 650 penganguran. Namun banyaknya jumlah kelulusan dan banyaknya pengurangan pekerja di beberapa perusahaan Migas, membuat tingkat penganguran meningkat. Hal ini disebabkan karena beberapa perusahan yang selama ini menangani pekerjaan dari Mobile Cepu Limitted (MCL) kontraknya sudah habis (suarabojonegoro.com, diakses 27 Desember 2015). Pada 2015, Pemkab Bojonegoro melalui Disnakertransos menyiapkan berbagai pelatihan wirausaha bagi 12.000 tenaga kerja lokal. Pelatihan ini untuk mewujudkan generasi emas Bojonegoro, tentunya akan mengurangi angka pengangguran. Para peserta pelatihan hanya diperuntukkan khusus warga asli Kabupaten Bojonegoro. Program pelatihan dimulai 2015 yang meliputi 21 bidang pekerjaan. Diantaranya, rias penagantin, salon, potong rambut, memasak juga wirausaha lainnya. Pemkab juga bekerja sama dengan asosiasi untuk memberikan sertifikasi bagi para peserta tenaga kerja. Anggarannya sebesar Rp 9,2 miliar (bangsaonline.com, diakses 27 Desember 2015). Kemudian, Disnakertransos Bojonegoro membuka bursa kerja atau job fair pada September 2015 (blokbojonegoro.com, diakses 27 Desember 2015). Kegiatan tersebut melibatkan 40 perusahaan ternama. Job fair tersebut adalah yang ketiga kalinya diselenggarakan yang diharapkan daya serap tenaga kerja bisa mencapai 80 persen. Menurut Disnakertransos, kondisi tenaga kerja di Kabupaten Bojonegoro masih dalam keadaan kondusif dan stabil.
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
32
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bojonegoro
Barometer keberhasilan pembangunan suatu daerah bisa juga dilihat dari kemajuan pembangunan manusia secara umum, yang ditunjukkan indeks pembangunan manusia (IPM, Human Development Index). Mengutip isi Human Development Report (HDR) pertama tahun 1990, pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki oleh manusia. Diantara banyak pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan, dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mencerminkan capaian kemajuan di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi. IPM mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. IPM mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagi manusia dan secara proporsional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga aspek tersebut berkaitan dengan peluang hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan hidup layak (decent living). Dalam indeks harapan hidup, terdapat dua jenis data yang digunakan dalam perhitungannya, yaitu Anak Lahir Hidup (ALH) dan Anak Masih Hidup (AMH). Besarnya nilai maksimum dan minimumnya telah disepakati oleh semua Negara (175 negara) sebagai standar UNDP, yakni 85 tahun sebagai batas atas dan 25 tahun sebagai batas terendah. Sementara indeks pendidikan, dalam perhitungannya menggunakan dua indikator, yaitu : angka melek huruf (Lit) dan rata-rata lama sekolah (Man Years School [MYS]). Angka melek huruf adalah persentase dari penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis dalam huruf latin atau huruf lainnya. Selanjutnya indeks standar hidup layak, perhitungan UNDP menggunakan Produk Domestik Bruto riil yang disesuaikan, sedangkan BPS menggunakan rata-rata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan dengan formula Atkinson. Berdasarkan skala internasional capaian IPM dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu: kategori tinggi (IPM>80), kategori menengah atas (66
33
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
metode lama.
Grafik 1.5 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bojonegoro (2007-2010)
Trend naik yang diperlihatkan grafik di atas menunjukkan bahwa kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Bojonegoro terus meningkat. Tahun 2007, IPM Bojonegoro berada pada posisi 65,50 naik menjadi 65,83 pada tahun 2008. Kemudian tahun 2009 naik lagi menjadi 66,83, menjadi 66,92 pada 2010, menjadi 67,32 pada 2011, lalu menjadi 67,73 pada tahun 2012. Selanjutnya pada tahun 2013 kembali melesat menjadi 68,32. Jika dibandingkan dengan tahun 2008, IPM Bojonegoro naik 2,49 di tahun 2013. Walaupun IPM Bojonegoro masih di bawah angka 70, namun pertumbuhan IPM sebesar 2,49 dalam kurun waktu kurang dari enam tahun merupakan capaian yang sangat baik. Angka 68,32 menurut pengkategorian IPM tergolong “menengah atas” (66
Tabel 1.3. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bojonegoro Tahun 2008-2013
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bojonegoro Angka Harapan Hidup Angka Melek Huruf Rata-rata Lama Sekolah Pengeluaran Perkapita riil Indeks Harapan Hidup Indeks Pendidikan Indeks Daya Beli IPM Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bojonegoro
2008 66.87 84.55 6.39 607.27 69.79 70.57 57.14 65.83
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bojonegoro 2009 2010 2011 2012 2013 67.01 67.15 67.28 67.42 67.81 84.58 84.78 84.81 84.85 85.13 6.53 6.66 6.68 6.72 6.72 611.91 616.11 620.17 624.05 627.94 70.02 70.24 70.47 70.7 71.35 70.9 71.33 91.38 71.51 71.7 58.21 59.08 60.12 61.02 61.92 66,38 66,92 67,32 67,73 68,32
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
34
Mencermati tabel di atas, angka/indeks tersebut secara umum naik, walau indeks pendidikan mencapai puncaknya di tahun 2011 yaitu 91,38. Selebihnya, pada tahun 2013 merupakan posisi tertinggi, yaitu Angka Harapan Hidup sebesar 67,81, Angka Melek Huruf mencapai 85.13, Rata-rata Lama Sekolah adalah 6,72, Indeks Harapan Hidup mencapai 71,35, dan Indeks Daya Beli sebesar 61,92. Capaian yang diraih dalam kategori “menengah atas”. Dalam tulisan ini perlu diuraikan sebagaimana diulas oleh Martha (2015) dalam kompas.com (diakses 27 Desember 2015), bahwa Badan Pusat Statistik telah meluncurkan Indeks Pembangunan Manusia yang dihitung dengan metode baru. Selain merupakan kesepakatan global, metode tersebut diharapkan dapat memotret perkembangan pembangunan manusia dengan lebih tepat. Transformasi ini ditandai dengan penerapan metode baru yang dianggap lebih sesuai dengan kondisi masa kini. Dua dari empat indikatornya diganti untuk merepresentasikan secara tepat hal-hal yang dihadapi saat ini. Dua indikator tersebut ialah Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita. HLS, yang termasuk ke dalam dimensi pendidikan, menggantikan Angka Melek Huruf (AMH). Sementara PNB per kapita menggantikan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita sebagai indikator tunggal dalam dimensi standar hidup. Dalam dimensi standar hidup, PNB per kapita kini dihitung dengan memasukkan 96 komoditas Purchasing Power Parity (PPP). Sebelumnya, PDB per kapita dihitung dengan 27 komoditas saja. Lebih lanjut Martha (2015) menguraikan bahwa Dua indikator lain masih tetap dipertahankan ialah Angka Harapan Hidup saat lahir (AHH) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Dalam metode baru, batas usia penduduk dinaikkan menjadi 25 tahun pada RLS. Secara umum, wajah IPM tidak banyak berubah. Yang jelas, empat prinsip (produktivitas, pemerataan, keberlanjutan, serta pemberdayaan) untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia tetap dipertahankan. Dengan metode baru, hasil perhitungan IPM menjadi lebih rendah dibandingkan dengan metode lama. Dampak besar berpotensi terjadi di daerah. IPM digunakan sebagai salah satu indikator dalam menghitung besaran Dana Alokasi Umum (DAU). Implikasinya, semakin tinggi IPM, semakin tinggi pula DAU yang diterima daerah. Angka-angka bisa saja berganti. Namun, yang lebih penting ialah menjaga “roh” pembangunan manusia agar cita-cita yang diamanatkan para pendiri bangsa ini bisa terwujud. Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas, dapat dilihat bahwa kinerja pembangunan Kabupaten Bojonegoro, secara bertahap setidaknya memenuhi tiga komponen dasar “paradigma pembangunan” sebagaimana rumusan Todaro (2003). Bahwa pembangunan itu paling tidak meliputi tiga hal yaitu; kecukupan (sustenance), meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (self esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih. Pertumbuhan ekonomi yang demikian melejit memperoleh predikat tertinggi di Jawa Timur, melebihi provinsi dan nasional, tentunya harus mampu dipertahankan keberlanjutannya. Karena harus disadari bahwa penyumbang terbesarnya berasal dari sektor migas yang suatu saat akan habis, sehingga jangan sampai terjadi istilah yang sering disebut oleh Bupati Suyoto sebagai “kutukan sumber daya alam”. Kampanye Kang Yoto yang selalu mengajak agar adanya upaya sistematis secara berjamaah untuk mengubah sistem “ego” ke sistem “eco” (dimensi pembangunan yang lebih ramah terhadap lingkungan) harus benar-benar dapat diwujudkan dan dijaga keberlanjutannya. Capaian-capaian kinerja pembangunan yang demikian baik harus terus dipacu guna mewujudkan
35
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
kesejahteraan Bojonegoro. Secara sistematis dan terukur, Pemda Bojonegoro hendaknya terus menekanmenghapus angka kemiskinan dan pengangguran. Karena pengalaman Kang Yoto beserta jajaran telah membuktikan bahwa Bojonegoro ternyata bisa keluar dari jerat kemiskinan. Demikian halnya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia, Pemkab Bojonegoro ditantang untuk terus berjuang meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Kang Yoto beserta jajaran dituntut “tiada henti” untuk mendorong produktivitas, pemerataan, keberlanjutan, serta pemberdayaan masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan. Sisa masa bakti Kang Yoto memimpin Bojonegoro diharapkan mampu mencapai angka-angka terbaik dan terciptanya “pembangunan yang manusiawi”. Dengan begitu, maka penerus kepemimpinan di masa datang diharapkan mampu meneladani langkah dan polah pendahulunya. Pembangunan Bojonegoro bersama Kang Yoto dinilai banyak kalangan sudah berada pada rel yang benar, yaitu model kemajuan pembangunan yang memperhitungkan dan ramah terhadap lingkungan hidup. Karena pembangunan kini bersifat multidimensional dan terus dibayangi-bayangi berbagai kompleksitas masalah. Proses pembangunan meliputi semua aspek kehidupan manusia, baik aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, maupun lingkungan hidup, sekaligus masalah yang menyertainya. Pemikiran tentang pembangunan pada generasi awal, sering mengidentikkan pembangunan dengan perkembangan, pembangunan dengan pertumbuhan, pembangunan dengan modernisasi, bahkan westernisasi (developmentalisme – growthisme – modernism - westernisme). Pemahaman semacam itu telah mengantarkan sejumlah negara di dunia ketiga memasuki tahapan modernisasi dan industrialisasi sebagai titik lompatan menuju kesejahteraan dan kemakmuran. Namun paradigma itu banyak mendapat kritikan bahkan kecaman, karena hasil yang dirasakan adalah kerusakan lingkungan/ekologi, melahirkan ketimpangan, serta membelenggu hak-hak manusia. Paradigma pembangunan yang materialistik hanya mengukur pencapaian pembangunan dari aspek fisik semata, yang dihitung berdasarkan matematika dan angka statistika. Model pembangunan yang demikian cenderung mengabaikan dimensi manusia sebagai pelaku utama pembangunan dan mengabaikan lingkungan hidup tempat bernaung. Untungnya, model pembangunan Bojonegoro yang diusung Kang Yoto telah mensyaratkan terjaganya kelestarian lingkungan hidup. Terdapat hal yang menarik. suatu ketika di awal Januari 2013, Kang Yoto pernah membeberkan rahasia sukses menuju tahun kualitas (blokbojonegoro.com, diakses 27 Desember 2015). Selama satu minggu jajaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro serius membahas strategi pelaksanaan pembangunan tahun 2013 agar mencapai target optimal. Menurut Kang Yoto, untuk menuju tahun kualitas diperlukan langkah penajaman, sinkronisasi, sinergitas dan optimalisasi dukungan tata laksana pemerintahan. Dengan cara ini, bupati menilai akan menegaskan peran Pemkab Bojonegoro dalam membangun perekonomian daerah, peningkatan kualitas hidup, mengefektifkan dan meningkatkan pelayanan publik dan kemungkinan mempersiapkan tata laksana pemerintahan. Menurut Kang Yoto, nilai dasar untuk mewujudkan kualitas datang dari nilai-nilai utama. Terdapat 10 poin utama untuk percaya dan membangun diri yaitu: i) Mimpi besar; ii) Kepekaan, responsif dan proaktif; iii) Spirit of excellence; iv) Komitmen; v) Konsistensi; vi) Totalitas; vii) Kesanggupan dan semangat untuk terus belajar: open will, understanding complexity, dan dialog (open heart and mind); viii) Apresiasi atas kemajuan dan kebaikan; ix) Sinergitas, the spirit of ta’awun; dan x) Integrity and honesty.
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
36
Penutup
Kualitas itu hanya datang dari hati yang baik, pikiran yang terbuka cerdas dan berilmu, keterampilan dan kerja sama dengan semua potensi. Nilai kualitas dan alur untuk kecamatan : 1. Potensi apa yang ada di kecamatan yang bisa dioptimalkan, sasaran, peluang. 2. Nilai tambah apa yang bisa dikembangkan. 3. Dukungan apa yang diperlukan agar nilai tambah dapat terwujud (gunakan model manajemen proses). 4. Masing-masing kecamatan harus mampu dan nemilih Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) mana yang bisa mendukung. 5. Dukungan regulasi atau tata kelola pemerintahan apa yang diperlukan. 6. Apa peran kecamatan dan desa untuk sukses itu semua. 7. Raihlah pengakuan publik: tulis seluruh perjalanan belajar dan kisah sukses. Gambarkan keadaan sebelum, sesaat dan sesudah program atau kegiatan. Pelajaran apa yang diperoleh, apa yang perlu dihindari dan apa yang perlu dilestarikan dan diperkuat ke depan (nilai maupun sistem). Nilai kualitas untuk SKPD : 1. Agar mampu menangkap peluang berkarya mendukung potensi kecamatan sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi). 2. Memperjelas, target, cakupan, jumlah dan lokasi. 3. Menjelaskan outcome atau keuntungan maksimal yang akan diperoleh masyarakat. Penilaian kinerja yang kualitas akan melibatkan tim antara lain Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), Staf Ahli, Asisten, Inspektorat, Badan Lingkungan Hidup (BLH), Badan Kesatuan Bangsa Politik Daerah dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbangpolinmas), dan lain-lain. Tim juga telah dibekali tugas untuk membangun karakter kualitas yakni: 1. Melakukan penajaman, sinnkronisasi, optimasisasi berdasarkan sasaran yang tepat, baik kewilayahan maupun segmen kelompok. 2. Menetapkan agenda dukungan tata kelola dan regulasi. Pastikan semua yang telah diprogramkan dan RKA dapat optimal didayagunakan dalam rangka memastikan target pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan tahun 2013. Menciptakan lingkungan sosial yang dinamis, dan lingkungan alam yang indah, bersih, hijau dan berkualitas. 3. Pastikan manajemen inovasi pembangunan daerah terlaksana dengan baik. 4. Memastikan pelaporan dan publikasi, baik yang bersifat regional dengan indikator Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pelaporan keuangan dan kualitas lingkungan. Dan pengalaman pelaksanaan menajemen inovasi. Sepak terjang Kang Yoto dalam membangun Bojonegoro sungguh berkesan di hati masyarakatnya, ia patut mendapat apresiasi, walaupun masih sepi publikasi. Pasca mengabdi di Bojonegoro, Kang Yoto sangat layak untuk naik ke pentas nasional.
37
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
Daftar Pustaka
Alghofari, F., 2010, Analisis Tingkat Pengangguran Di Indonesia Tahun 1980-2007, FE Universitas Diponegoro, Semarang Badan Pusat Statistik Kabupaten Bojonegoro, Bojonegoro Dalam Angka 2008 – 2015, http://bojonegorokab. bps.go.id Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, Jawa Timur Dalam Angka 2014 – 2015, http://jatim.bps. go.id Budiriyanto, E., 2011, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Dalam Formulasi DAU, Ditjen Perimbangan Keuangan, Kemenkeu RI. Dadang Solihin, 2008, Penyusunan Indikator Kinerja Pembangunan, Bimbingan Teknis Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah Sanur-Bali, BAPPENAS. Dharmawan, A.H., 2008, Membebaskan Desa dari Ketertinggalan dan Kemiskinan: perspektif Sosiologi Pembangunan Pedesaan, Makalah Pemicu Diskusi ”Keluar dari Desa Tertingal”, Jakarta. Lembaga Administrasi Negara, 1999, LAN Sasaran, Tujuan, Misi, Jakarta. Luhur Fajar Martha, 2015, Memaknai Indeks Pembangunan Manusia yang Baru, 9 September 2015, http://print.kompas.com M. Anwar Mukhtadlo, Potensi Kabupaten Bojonegoro, Disampaikan pada kegiatan “Pembekalan Kuliah Kerja Nyata Belajar Bersama Masyarakat (KKN-BBM) UNAIR ke-50 Surabaya 22 Juni 2014 Rustiadi, E., et al., 2008, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Diktat Kuliah, IPB, Bogor. Sadono Sukirno, 2000, Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan Pembangunan, UI-Press, Jakarta. Todaro, M.P. dan Smith, Stephen C, 2003, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, edisi Kedelapan, New York: The Addison Wesley. Tulus Tambunan, 2001, Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris, Ghalia Indonesia, Jakarta.