BAB 5 EKONOMI Pembangunan ekonomi nasional diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan disertai dengan upaya pelestarian lingkungan hidup agar pembangunan senantiasa berkelanjutan. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa kinerja pembangunan ekonomi Indonesia secara umum menunjukkan hasil yang menggembirakan di tengah belum stabilnya pemulihan ekonomi di negara maju dan meningkatnya harga-harga komoditas. Kinerja perekonomian nasional telah berada dalam koridor sasaran yang ditetapkan dalam RPJMN 2010-2014, RKP 2010 dan RKP 2011 (lihat Tabel 5.1). Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2011 mencatat pertumbuhan sebesar 6,5 persen (yoy). Pertumbuhan ekonomi yang relatif cukup tinggi tersebut ditopang oleh sumber-sumber pertumbuhan yang semakin berimbang seiring dengan kinerja investasi yang terus meningkat dan kinerja ekspor yang solid, sehingga mengimbangi solidnya kinerja konsumsi rumah tangga sebagai sumber pertumbuhan selama ini. Peran investasi untuk menambah kapasitas perekonomian, terutama melalui penanaman modal asing (PMA) menunjukkan peningkatan, sejalan dengan membaiknya peringkat kredit (sovereign credit rating) Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi tersebut diikuti dengan meningkatnya kualitas pertumbuhan ekonomi. Kondisi ketenagakerjaan menunjukkan perbaikan yang ditandai dengan menurunnya tingkat pengangguran. Pada Februari 2011, tingkat pengangguran terbuka sebesar 6,8 persen, menurun dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (7,4 persen). Dengan terjaganya momentum pertumbuhan ekonomi dan menurunnya tingkat pengangguran terbuka, indikator kemiskinan juga menunjukkan hal yang cukup menggembirakan. Jumlah penduduk miskin tercatat menurun, yaitu dari 13,33 persen pada Maret 2010 menjadi 12,49 persen pada Maret 2011. Hasil yang dicapai tersebut tentunya merupakan hasil kerja keras pemerintah bersama masyarakat dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam perekonomian Indonesia. Ke depan, perekonomian diproyeksikan tetap tumbuh tinggi meskipun dihadapkan pada beberapa tantangan. Selanjutnya, langkah tindak lanjut diperlukan pada masing-masing bidang ekonomi untuk menjawab tantangan dan permasalahan yang dihadapi.
5-2
TABEL 5.1 SASARAN EKONOMI DAN REALISASI 2010-2011 (PERSEN)
Pertumbuhan Ekonomi
Inflasi Tingkat Pengangguran (terbuka) Tingkat Kemiskinan
RPJMN 2010-2014 Rata-rata 6,3 – 6,8 persen pertahun, Sebelum tahun 2014 tumbuh 7% Rata-rata 4 6 persen pertahun 5 - 6 persen pada akhir tahun 2014 8 - 10 persen pada akhir tahun 2014
Sasaran RKP 2010 5,0
RKP 2011 6,3
Realisasi 2010 2011* 6,1
6,5
5
7,0
6,96
4,61 (yoy)
8,0
7,0
7,41
6,8
12,0 13,5
11,512,5
13,33
12,49
Catatan: * )
Data pertumbuhan ekonomi 2011 sampai dengan Triwulan II 2011 Data inflasi sampai dengan Juli 2011 Data tingkat kemiskinan Maret 2011 **) Data tingkat pengangguran Februari
5.1
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
5.1.1 Investasi Berbagai permasalahan yang masih dihadapi dan dikeluhkan oleh para investor terutama adalah: (i) pelayanan proses perijinan, dinilai masih lama dan sulit, terutama dibandingkan dengan negaranegara anggota ASEAN lainnya, juga prosedur dan peraturan perijinan yang cukup bervariasi di masing-masing daerah karena 5-3
pandangan daerah yang berbeda terhadap pentingnya investasi; (ii) banyaknya perda yang kontra produktif serta tidak kondusif bagi iklim investasi di daerah; (iii) belum harmonisnya berbagai peraturan perundangan antar sector di pusat dan belum sinkronnya berbagai peraturan antara pusat dengan daerah; (iv) masih sulitnya akses kredit usaha, dan masih tingginya suku bunga kredit usaha terutama bagi investor domestik. Masalah yang cukup mendesak dan harus segera ditangani adalah percepatan penyediaan infrastruktur dan energi seperti pelabuhan laut dan bandar udara, jalan, serta listrik dan air bersih. Sebagai salah satu upaya untuk memenuhi tersedianya dukungan infrastruktur dan energy yang membutuhkan dana investasi yang sangat besar, maka pemerintah juga telah mempersiapkan skema pendanaan kemitraan pemerintah dan swasta (KPS). Namun demikian, implementasi KPS saat ini masih terkendala terutama dalam antara lain oleh penyediaan lahan akibat sulitnya pembebasan tanah. Selain faktor domestik, sebagaimana telah diuraikan di atas, faktor eksternal juga berpotensi untuk diwaspadai bagi perkembangan perekonomian Indonesia. Tantangan perekonomian global yang dihadapi pada tahun 2011, di antaranya adalah: (i) potensi berlanjutnya gejolak pasar keuangan yang terjadi di beberapa negara Eropa; (ii) perlu diwaspadainya dampak dan semakin meningkatnya beban hutang Amerika Serikat dalam satu dekade terakhir; serta (iii) belum pulihnya arus kredit perbankan dunia yang menyebabkan perbankan global mengurangi ekspansi kredit ke sektor riil. 5.1.2 Ekspor Kondisi perekonomian global pada tahun 2010 secara bertahap kembali pulih lebih baik dari yang diperkirakan semula, walaupun dengan tingkat kecepatan pemulihan yang berbeda-beda di antara 5-4
negara-negara maju dengan negara berkembang. Di sepanjang tahun 2010 ekspor non migas Indonesia kembali pulih dengan pertumbuhan sebesar 33 persen. Meskipun demikian, Indonesia masih menghadapi permasalahan utama di bidang perdagangan luar negeri, yang antara lain disebabkan karena: 1.
Semakin tingginya tingkat kompetisi produk di pasar internasional. Hal ini disebabkan meningkatnya efisiensi produksi dan strategi perdagangan dari negara-negara pesaing Indonesia (seperti: RRT, Malaysia, Vietnam, dan Korea Selatan), di mana negara-negara tersebut dapat menjual produk berkualitas dan harga yang sangat kompetitif;
2.
Masih belum kuatnya daya saing produk Indonesia di pasar internasional yang disebabkan oleh masih tingginya biaya produksi dan logistik di Indonesia. Adapun faktor penyebab utamanya adalah belum memadainya ketersediaan infrastruktur dan masih adanya berbagai pungutan tidak resmi;
3.
Masih rendahnya kualitas produk ekspor dan masih tingginya ekspor bahan non-olahan yang bernilai tambah masih rendah;
4.
Masih belum memadainya teknologi pendukung produk, seperti: desain, finishing, sertifikasi dan laboratorium uji komponen, dimana faktor pendukung ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas produk ekspor;
5.
Masih adanya hambatan nontarif di beberapa negara tujuan ekspor, terutama terkait dengan aspek kesehatan, keselamatan, dan lingkungan;
6.
Masih belum optimalnya proses ekspor-impor, terutama terkait pengeluaran barang dari dan internasional maupuan Kawasan Pelabuhan Bebas;
penyederhanaan prosedur dengan pemasukan dan ke kawasan pelabuhan Perdagangan Bebas dan
5-5
7.
Belum tingginya pemahaman industri domestik terhadap instrumen safeguard dan antidumping yang sebenarnya dapat dioptimalkan pemanfaatannya untuk melindungi industri dalam negeri dari serbuan barang-barang impor.
5.1.3 Pariwisata Meskipun kepariwisataan nasional telah menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan, beberapa permasalahan masih dihadapi antara lain: 1) destinasi pariwisata yang belum sepenuhnya siap bersaing di pasar global, dikarenakan: (a) belum optimalnya pengelolaan destinasi pariwisata (destination management) yang berbasis pada penilaian destinasi (destination assessment), dan berorientasi pada pengembangan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism development); (b) terbatasnya sarana dan prasarana pendukung pariwisata, seperti transportasi darat, laut dan udara, dan ketersediaan fasilitas umum yang layak dan terpelihara dengan baik; dan (c) belum optimalnya kemitraan dan kerja sama antara pemerintah dan swasta termasuk masyarakat (public and private partnership); 2) belum efektifnya pelaksanaan promosi dan pemasaran pariwisata antara lain oleh: (a) terbatasnya informasi dan belum memadainya promosi destinasi pariwisata di dalam dan luar negeri; (b) belum optimalnya kemitraan antar pemangku kepentingan dalam melakukan pemasaran dan promosi; (c) belum optimalnya pemanfaatan media massa, elektronik, dan media cetak serta teknologi informasi dan komunikasi (information and communication technology/ICT) sebagai sarana promosi; dan (d) masih terbatasnya dukungan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam mendukung promosi pariwisata daerah; dan 3) belum optimalnya kapasitas sumber daya pariwisata dikarenakan antara lain oleh: (a) terbatasnya jumlah, jenis, dan kualitas SDM di bidang pariwisata; dan (b) belum optimalnya kapasitas dan kualitas penelitian dan pengembangan di bidang pariwisata. 5-6
Peringkat daya saing pariwisata Indonesia meningkat dari peringkat 81 dari 133 negara pada tahun 2009 menjadi peringkat 74 dari 139 negara pada tahun 2011, namun peringkat tersebut masih jauh di bawah negara ASEAN lainnya, seperti Singapura (peringkat 10), Malaysia (35), dan Thailand (41), oleh karena itu masih diperlukan kebijakan-kebijakan yang dapat mendorong percepatan pembangunan kepariwisataan nasional. 5.1.4 Konsumsi Masyarakat Perekonomian Indonesia tahun 2010 yang tumbuh sebesar 6,1 persen didukung oleh pertumbuhan terbesar di sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 12,8 persen serta sub sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 9,7 persen. Pertumbuhan sub sektor perdagangan besar dan eceran pada tahun 2011 diperkirakan akan terus membaik, seiring dengan perkiraan meningkatnya aktivitas perekonomian Indonesia di tahun ini. Namun demikian, beberapa permasalahan masih dihadapi di bidang perdagangan dalam negeri yang memerlukan solusi dan kebijakan yang tepat untuk penyelesaiannya, seperti: 1.
Masih belum optimalnya upaya-upaya untuk penataan distribusi dan peningkatan sarana perdagangan, sehingga: (i) masih terdapatnya disparitas harga antar wilayah dan fluktuasi harga di beberapa wilayah; (ii) masih belum memadainya sarana dan prasarana perdagangan, seperti: pasar induk dan pasar ritel, terutama di daerah tertinggal dan terpencil; (iii) masih belum seimbangnya antara penyebaran sentra produksi dan sentra distribusi, yang menyebabkan tidak optimalnya sistem rantai pasok; serta (iv) masih terdapatnya pungutan dalam pengangkutan barang dari produsen sampai ke konsumen, yang mengakibatkan meningkatnya biaya distribusi; 5-7
2.
Masih relatif rendahnya kesadaran masyarakat terhadap penggunaan produksi dalam negeri, menyebabkan produk dalam negeri kurang dapat bersaing dengan produk impor;
3.
Masih belum optimalnya upaya untuk melindungi konsumen dan menata kelembagaan pengawas perdagangan, seperti: lembaga perlindungan konsumen, kemetrologian, pengawasan barang beredar, persaingan usaha, dan komoditas berjangka;
4.
Masih belum optimalnya pelaksanaan kebijakan persaingan usaha yang antara lain disebabkan oleh: (i) masih belum intensifnya pengawasan persaingan usaha baik di pusat maupun di daerah; (ii) masih belum optimalnya dukungan publik dan kerjasama antar lembaga terkait persaingan usaha dan proses penyelesaian hukum perkara persaingan usaha; dan (iii) masih rendahnya pemahaman stakeholder mengenai peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan arti penting nilai persaingan usaha yang sehat.
5.1.5 Keuangan Negara Hingga semester I tahun 2011, kinerja keuangan negara (APBN) menunjukkan peningkatan. Peningkatan ini ditopang oleh peningkatan kinerja perekonomian domestik seperti membaiknya pertumbuhan ekonomi dan menguatnya nilai tukar. Meski secara umum mengalami peningkatan, kinerja keuangan negara tetap menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan dalam pengelolaannya. Di sisi penerimaan perpajakan, semakin meningkatnya kebutuhan belanja Negara perlu diimbangi dengan peningkatan penerimaan Negara sehingga sasaran defisit anggaran dalam rangka menciptakan kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dapat tercapai. Peningkatan penerimaan perpajakan perlu diupayakan dengan tetap memperhatikan kendala, potensi, perkembangan dunia usaha dan aspek keadilan sehingga tidak menghambat atau 5-8
mematikan perkembangan kegiatan ekonomi yang menjadi basis pajak. Sementara itu di sisi belanja pemerintah pusat, masih terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaannya, antara lain: (a) terbatasnya kemampuan keuangan Negara untuk memenuhi semua usulan kebutuhan dari Kementerian Negara/Lembaga; (b) rendahnya daya serap anggaran Kementerian Negara/Lembaga terutama pada triwulan pertama tahun anggaran, terkait dengan proses tender pengadaan barang dan jasa pemerintah; dan (c) kurang optimalnya alokasi dan pelaksanaan anggaran dari sisi pembelanjaannya. Terkait dengan belanja subsidi, khususnya subsidi BBM, tantangan dan permasalahan yang dihadapi adalah tingginya harga minyak mentah dunia peningkatan volume konsumsi BBM bersubsidi. Hal ini mendorong meningkatnya beban subsidi BBM dalam APBN. Dari sisi pembiayaan anggaran, permasalahan yang dihadapi dalam pembiayaan utang di antaranya adalah: (a) ketergantungan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) pada kondisi pasar, baik dalam negeri maupun luar negeri; (b) tingginya beban pemerintah dalam pengelolaan SBN sebagai akibat struktur jatuh tempo SBN yang tidak merata; (c) fluktuasi yield; serta (d) masih rendahnya efisiensi dan likuiditas pasar sekunder SBN. Sementara itu untuk pembiayaan utang luar negeri menghadapi risiko fluktuasi nilai tukar dan politik (dalam bentuk keterikatan pandangan politik dengan Negara kreditor) Memasuki semester II tahun 2011, kinerja keuangan Negara diperkirakan masih terus menghadapi tantangan yang harus diantisipasi ke depan. Di sisi internal, keuangan Negara dituntut untuk tetap memberikan dukungan fiskal agar perekonomian semakin menguat, terutama dari segi pemberantasan kemiskinan dan pengangguran. Sementara itu dari sisi eksternal, kecenderungan kenaikan harga pangan membutuhkan kebijakan antisipatif dari sisi 5-9
fiskal untuk tetap menjaga daya beli masyarakat. Perkembangan ekonomi global, krisis utang Eropa dan Amerika Serikat, dapat memberikan pelajaran, terutama terkait perlunya peningkatan manajemen utang yang menjadi lebih baik dan disiplin. 5.1.6 Moneter Secara umum tingkat inflasi selama tahun 2010 sampai dengan pertengahan tahun 2011 cukup terkendali. Kondisi ini antara lain ditopang oleh tersedianya pasokan barang dan jasa yang mencukupi, terutama bahan pangan yang harganya mudah bergejolak (volatile foods) serta terkendalinya harga barang yang ditentukan oleh Pemerintah (administered prices), terutama bahan bakar minyak, gas, dan listrik. Meskipun laju inflasi relatif terkendali dan menunjukkan perlambatan, namun masih terdapat beberapa permasalahan dan tantangan ke depan yang perlu disikapi dengan seksama, baik dari sisi eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal, permasalahan dan tantangan pertama adalah masih terus berlangsungnya konflik politik negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang memproduksi sekitar 36 persen dari pasokan minyak dunia. Konflik yang tak kunjung usai di kawasan tersebut berpotensi menyebabkan terganggunya pasokan minyak dunia sehingga dapat memicu gejolak harga. Sementara dalam dua tahun terakhir indeks harga energi dunia (Gambar 5.2) menunjukkan kecenderuangan meningkat dan pada bulan Juni 2011 telah mengalami kenaikan sebesar 110,16 persen dibandingkan dengan awal tahun 2009. Kedua, tersendatnya proses pemulihan ekonomi negara-negara maju, terutama prospek ekonomi Amerika Serikat yang tidak sesuai dengan harapan serta krisis hutang sebagian negara anggota Uni Eropa seperti Portugal, Irlandia, Italia, Yunani (Greece), dan Spanyol (PIIGS). Hal ini mendorong derasnya aliran modal yang masuk (capital inflow) ke negara-negara yang sedang berkembang 5 - 10
(emerging markets), termasuk Indonesia dan menopang kecenderungan penguatan nilai tukar Rupiah sekaligus meredam kenaikan harga barang dan jasa yang diimpor (imported inflation). GAMBAR 5.2 INDEKS PERKEMBANGAN HARGA KOMODITI DUNIA World Bank Commodity Price Index 2000=100
500,00 450,00 400,00 350,00 300,00 250,00 200,00 150,00 100,00 50,00
2006M01 2006M03 2006M05 2006M07 2006M09 2006M11 2007M01 2007M03 2007M05 2007M07 2007M09 2007M11 2008M01 2008M03 2008M05 2008M07 2008M09 2008M11 2009M01 2009M03 2009M05 2009M07 2009M09 2009M11 2010M01 2010M03 2010M05 2010M07 2010M09 2010M11 2011M01 2011M03 2011M05
0,00
Energy
Food
Metals & Minerals
Sumber : World Bank
Masalah dan tantangan ketiga adalah terus berlanjutnya perubahan iklim global (global climate change) yang berpotensi memicu timbulnya cuaca ekstrim di berbagai wilayah yang dapat mengganggu produksi dan pasokan bahan pangan dunia seperti beras dan gandum sehingga berpotensi menimbulkan gejolak harga pangan dunia. Sementara itu indeks harga makanan yang diterbitkan oleh Organisai Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pada bulan Juni 2011 adalah sebesar 205,7 (Gambar 5.3) dan hal ini menunjukkan peningkatan sebesar 43 persen dibanding bulan Juni 2010 (yoy).
5 - 11
GAMBAR 5.3 INDEKS PERKEMBANGAN HARGA PANGAN DUNIA FAO Food Index 2000-‐2004=100
380,0
330,0
280,0
230,0
180,0
130,0
Meat Price Index
Dairy Price Index
Cereals Price Index
Oils Price Index
Sugar Price Index
5/2011
3/2011
1/2011
9/2010
Food Price Index
11/2010
7/2010
5/2010
3/2010
1/2010
11/2009
9/2009
7/2009
5/2009
3/2009
1/2009
9/2008
11/2008
7/2008
5/2008
3/2008
1/2008
80,0
Sumber: Food and Agricultural Organization (FAO)
Permasalahan lain yang juga perlu diwaspadai adalah kebijakan harga dan perdagangan luar negeri produsen komoditi tertentu yang dapat mempengaruhi harga komoditi yang bersangkutan di pasar internasional. Ke depan salah satu komoditi yang beresiko mengalami kenaikan adalah beras karena Thailand sebagai salah satu produsen beras terbesar di dunia akan menerapkan kebijakan kenaikan harga ekspor beras yang diperkirakan bisa mencapai 100 persen. Hal ini dilatarbelakangi oleh keinginan Pemerintah baru hasil Pemilu Thailand untuk memberikan imbal jasa yang lebih tinggi kepada para petani sesuai dengan janjinya pada waktu kampanye. Kenaikan beras di pasar internasional akan 5 - 12
berpotensi menaikkan harga beras di dalam negeri karena untuk memenuhi sebagian kebutuhan beras domestik Indonesia masih mengimpor. Dari sisi internal, masalah dan tantangan yang harus dihadapi antara lain adalah ketersediaan infrastruktur yang masih belum memadai dalam kondisi geografis negara kepulauan menyebabkan distribusi barang menjadi tersendat, iklim usaha yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) sehingga menyebabkan tingginya biaya transaksi, serta cuaca ekstrim yang berpotensi mengganggu produksi/ pasokan dan distribusi barang terutama bahan makanan sehingga dapat memicu gejolak harga. Selain permasalahan di atas, masih terdapat sejumlah hal yang perlu mendapat perhatian karena menyumbang inflasi secara berarti sehingga bisa menjadi lebih tinggi dari yang diperkirakan. Risiko tersebut terkait dengan kenaikan harga minyak dunia, yang dapat direspon Pemerintah dalam rangka menjaga kesinambungan fiskal melalui penyesuaian harga barang atau jasa yang dapat ditentukannya seperti Tarif Tenaga Listrik (TTL), harga gas elpiji, harga BBM bersubsidi, maupun tarif angkutan 5.1.7 Sektor Keuangan Kinerja sektor keuangan sampai dengan triwulan II 2011 secara umum terus membaik, meskipun sempat mengalami tekanan yang bersumber dari faktor eksternal, yaitu dampak bencana Jepang, masalah krisis Yunani, dampak kebijakan moneter ketat China, volatilitas harga minyak dunia serta prospek pemulihan ekonomi Amerika Serikat. Namun, perkembangan fundamental ekonomi Indonesia yang tetap solid mampu meredakan tekanan tersebut. Ketahanan sektor keuangan Indonesia terus menguat yang antara lain ditunjukkan oleh beberapa indikator berikut yaitu: (i) kinerja sektor perbankan yang relatif baik dengan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio – CAR) di atas minimum (8 persen) dan kredit 5 - 13
bermasalah (non performing loans – NPL) di bawah batas maksimum (5 persen dari total kredit yang disalurkan); (ii) indeks harga saham gabungan yang terus menguat dan mencapai level 3.850,27 pada tanggal 8 Agustus 2011; serta (iv) nilai tukar yang stabil dan terus menguat. Meskipun demikian, sektor keuangan masih menghadapi sejumlah permasalahan dan tantangan, yaitu: pertama masih terkendalanya fungsi intermediasi perbankan. Salah satu penyebab masih terkendalanya fungsi intermediasi perbankan adalah masih tingginya net interest margin (NIM) yang didorong oleh masih tingginya tingkat suku bunga kredit di Indonesia. Kondisi tersebut mencerminkan masih lambatnya respon industri perbankan dalam menurunkan tingkat suku bunga kredit, meskipun Bank Indonesia telah menurunkan BI Rate sejak akhir tahun 2008. Nilai NIM di Indonesia mendekati angka 6 persen (Gambar 5.4) dan merupakan nilai tertinggi di kawasan Asia Timur. Tingginya nilai NIM yang didorong oleh tingginya suku bunga kredit perbankan dapat berpotensi menghambat investasi kepada sektor riil sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.
5 - 14
GAMBAR 5.4 PERBANDINGAN NET INTEREST MARGIN (NIM) BANK UMUM DI KAWASAN ASIA
Sumber: Website Bank Sentral masing-masing negara
Kedua, terkait dengan penyaluran kredit kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), permasalahan yang masih dihadapi yaitu adanya kesenjangan antara jumlah pinjaman yang diberikan oleh bank dengan jumlah pinjaman yang dibutuhkan UMKM khususnya usaha mikro (kesenjangan skala), kesenjangan antara persyaratan yang ditetapkan bank seperti perizinan dan agunan dengan pemenuhan persyaratan tersebut oleh UMKM (kesenjangan formalitas), dan kesenjangan informasi antara produk kredit dari bank dan persyaratannya dengan pengetahuan yang dimiliki oleh UMKM terhadap produk-produk kredit tersebut (kesenjangan informasi).
5 - 15
Ketiga, meskipun perbankan syariah terus berkembang pesat, perannya dalam perbankan nasional masih relatif terbatas, yaitu sebesar 3,2 persen terhadap total aset perbankan nasional. Peran perbankan syariah yang relatif kecil ini tidak terlepas dari beberapa permasalahan antara lain: (i) pemahaman publik yang belum menyeluruh dan mendalam tentang perbankan syariah sehingga memerlukan edukasi dan promosi yang lebih intensif; (iii) jumlah SDM perbankan syariah yang belum memadai untuk mendukung pertumbuhan industri sehingga memerlukan peningkatan jumlah SDM baik secara kuantitas maupun kualitas; dan (iv) pasar keuangan syariah (pasar sukuk, pasar saham, dll) yang belum berkembang. Keempat, dari sisi pembiayaan mikro, industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) masih menghadapi sejumlah permasalahan, antara lain: (i) kondisi permodalan sebagian besar BPR yang relatif kecil dan terbatas menyebabkan BPR kurang optimal dalam menjalankan usahanya; (ii) gap industri BPR yang cukup besar dari sisi aset, modal serta produk dan pelayanan membutuhkan kebijakan pengawasan dan pengaturan yang lebih spesifik sesuai dengan kondisi masing-masing BPR; (iii) kemampuan BPR menghimpun dana murah dari masyarakat (tabungan) masih terbatas yang mengakibatkan biaya dana BPR cukup tinggi sehingga berpengaruh terhadap tingginya suku bunga kredit BPR. Kelima, peran lembaga keuangan bukan bank (LKBB) masih sangat kecil dalam perekonomian, sehingga belum dapat menjadi sumber pendanaan jangka panjang secara memadai. Total aset yang terhimpun melalui asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, perusahaan modal ventura dan pegadaian baru sekitar 12,1 persen dari PDB pada tahun 2010. Nilai tersebut masih jauh jika dibandingkan dengan perbankan yang mendominasi sektor finansial dengan total aset yang mencapai sekitar 47,6 persen dari PDB tahun 2010. Di sisi lain, pasar modal sebagai penggerak dana jangka panjang bagi sektor swasta juga masih perlu ditingkatkan. 5 - 16
Keenam, kebutuhan akan lembaga seperti Otoritas Jasa Keuangan yang berfungsi untuk mengawasi kesehatan dan stabilitas keseluruhan sistem keuangan dirasakan semakin penting, terutama pascakrisis keuangan global. Peran lembaga ini mencakup: (i) pengumpulan, analisis, dan pelaporan informasi terkait interaksi dan risiko yang ada di pasar keuangan, (ii) meneliti kemungkinan adanya lembaga keuangan yang menyebabkan sistem keuangan terekspos terhadap risiko sistemik, (iii) merancang dan mengimplementasikan regulasi di pasar keuangan, (iv) serta melakukan koordinasi dengan lembaga regulator lainnya, termasuk otoritas fiskal, dalam mengelola krisis-krisis sistemik yang mungkin timbul. 5.1.8 Industri Permasalahan yang dihadapi sektor industri secara umum dapat dikelompokkan atas permasalahan yang ada dalam sektor itu sendiri (masalah internal) dan permasalahan yang berada di luar sektor industri (masalah eksternal). Isu internal industri ditandai tiga masalah utama yakni: (i) populasi industri yang rentan baik jumlah maupun posturnya, (ii) struktur industri nasional yang belum kokoh, dan (iii) produktivitas yang masih rendah. Sedangkan permasalahan eksternal industri mencakup (i) ketersediaan dan kualitas infrastruktur (jaringan jalan, pelabuhan, kereta api, listrik, pasokan gas) yang belum memadai, (ii) pengawasan barang-barang impor yang belum mampu menghentikan peredaran barang impor illegal di pasar domestik, (iii) hubungan industrial dalam perburuhan belum terbangun dengan baik, (iv) masalah kepastian hukum, dan (5) suku bunga perbankan yang relatif masih tinggi. Sedangkan permasalahan yang dihadapi oleh subsektor industri pupuk, industri gula, dan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) umumnya adalah banyaknya pabrik yang sudah tua sehingga tidak efisien serta tingkat konsumsi energi yang semakin boros. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya restrukturisasi permesinan 5 - 17
industri. Untuk industri karet, masalah yang dihadapi adalah masih lemahnya penelitian dan pengembangan untuk produk karet inovatif dan bernilai tambah tinggi, seperti: aspal karet, seismic rubbber, komponen otomotif, dsb. Untuk industri pengolahan rumput laut masalah utama yang harus diselesaikan adalah belum berkembangnya industri penyedia bahan pendukung dan penghasil alat pengolahan merupakan masalah utama. Untuk industri kendaraan bermotor masalah utama yang dihadapi adalah ketergantungan pengadaan bahan baku/komponen impor yang masih tinggi, sedangkan untuk industri mesin listrik dan peralatan listrik permasalahan yang dihadapi adalah terbatasnya kemampuan SDM dalam rangka pemenuhan kebutuhan untuk program pemerintah, serta penguasaan teknologi dan riset yang masih kurang kuat. 5.1.9 Ketenagakerjaan Pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat hingga Triwulan I tahun 2011 memungkinkan pertumbuhan kesempatan kerja melampaui pertumbuhan angkatan kerja. Antara 2010-2011, lapangan kerja yang tercipta mencapai 3,87 juta dan angkatan kerja bertambah 3,4 juta. Dengan demikian, tingkat pengangguran terbuka (TPT) berhasil diturunkan menjadi 6,8 persen pada Februari 2011. Meskipun demikian, lapangan kerja yang tersedia sampai saat ini masih didominasi oleh lapangan kerja informal. Selain itu, jumlah setengah penganggur pada tahun 2011 meningkat 457.000 juta orang dibandingkan dengan tahun 2010, yaitu mencapai 15,73 juta orang atau 14,14 persen dari jumlah orang yang bekerja. Dari sisi pendidikan pekerja, sebagian besar masih berpendidikan rendah. Pada Februari 2011, 68,60 persen dari orang yang bekerja adalah lulusan SMP ke bawah, 23,44 persen berpendidikan setingkat SMA, dan hanya 7,96 persen memiliki ijazah diploma/universitas. Kondisi ini lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi pada bulan Februari 2010 dengan 70,39 persen dari penduduk yang bekerja masih memiliki pendidikan setingkat SMP ke 5 - 18
bawah, 22,32 persen berpendidikan setingkat SMA/SMK, dan 7,29 persen berpendidikan diploma/universitas. Secara umum, TPT menurut tingkat pendidikan telah menurun, tetapi untuk TPT SMA mengalami peningkatan dari 11,90 persen menjadi 12,17 persen. TABEL 5.5 PEKERJA DAN TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA BERDASARKAN PENDIDIKAN FEBRUARI 2009—FEBRUARI 2011 Tingkat Pendidikan
SD ke bawah SMP SMA SMK Diploma I/II/III Universitas Total
Pekerja (juta orang) Feb09
%
Feb10
%
Feb11
%
55,43 19,85 15,13 7,19 2,68 4,22 104,49
53,05 18,99 14,48 6,88 2,56 4,04 100,00
55,31 20,30 15,63 8,34 2,89 4,94 107,41
51,49 18,90 14,55 7,76 2,69 4,60 100,00
55,12 21,22 16,35 9,73 3,32 5,54 111,28
49,53 19,07 14,69 8,74 2,98 4,98 100,00
Tingkat Pengangguran Terbuka (%) FebFebFeb09 10 11 4,51 9,38 12,36 15,69 15,38 12,94 8,14
3,71 7,55 11,90 13,81 15,71 14,24 7,41
Sumber: Sakernas (BPS)
Meskipun meningkat setiap tahun, produktivitas tenaga kerja masih termasuk rendah, terutama jika dibandingkan dengan produktivitas negara-negara ASEAN lainnya. Hal ini terjadi akibat rendahnya pendidikan angkatan kerja, terbatasnya lembaga pelatihan kerja berkualitas, dan masih rendahnya pengakuan sertifikat kompetensi oleh pengguna tenaga kerja. Akibatnya, posisi daya saing Indonesia pun masih rendah. Posisi daya saing Indonesia menurut IMD World Competitiveness Yearbook 2011 berada di urutan ke 37 dari 59 negara, sementara dalam Global Competitiveness Index 2010–2011 dari World Economic Forum Indonesia masih berada di posisi 44 dari 139 negara. 5 - 19
3,37 7,83 12,17 10,00 11,59 9,95 6,80
Selain rendahnya produktivitas tenaga kerja, pasar kerja Indonesia hingga saat ini masih belum ramah terhadap iklim industry, sehingga Indonesia masih menempati urutan 149 dari 183 negara di dunia. Jika dibandingkan dengan negara-negara pesaing dalam menarik investasi di Asia Pasifik, Indonesia bahkan menempati urutan 23 dari 24 negara (Doing Business 2010). Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terutama yang terkait dengan pemberian pesangon, antara lain juga berdampak memberatkan perusahaan dalam merekrut dan memberhentikan pekerjanya. Terkait konteks migrasi, Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di luar negeri, setiap tahun terdapat sekitar 700.000 orang yang diberangkatkan melalui jalur formal. Saat ini terdapat sekitar 4 juta tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri yang sekitar 70 persennya adalah perempuan dan mayoritas bekerja di sektor domestik. Tingkat pendidikan TKI yang bekerja di luar negeri sebagian besar hanya lulusan SD sehingga kemampuan mereka dalam mengurus dokumen persyaratan bekerja juga sangat terbatas. Permasalahan regulasi penempatan dan perlindungan TKI masih mengalami kendala sehingga menimbulkan berulangnya kasus yang sama menimpa tenaga kerja di luar negeri. 5.1.10 Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Secara umum, permasalahan yang dihadapi dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM mencakup iklim usaha yang kurang kondusif, keterbatasan sistem pendukung, dan rendahnya kapasitas dan kualitas sumber daya manusia. Masalah iklim usaha umumnya terkait dengan tingginya biaya transaksi sebagai akibat dari ketidakjelasan perijinan, adanya pungutan tidak resmi, keterbatasan infrastruktur penunjang, dan belum efektifnya pengawasan terhadap persaingan usaha yang tidak sehat. Masalah sistem pendukung berkaitan dengan keterbatasan akses koperasi dan UMKM kepada sumber daya produktif, terutama bahan baku, 5 - 20
pembiayaan, informasi, pasar, dan teknologi. Sementara itu permasalahan sumber daya manusia berkaitan erat dengan tingkat produktivitas dan kapasitas pengelolaan usaha yang rendah, sehingga koperasi dan UMKM sulit untuk berkembang dan bersaing. Pemberdayaan koperasi juga masih menghadapi permasalahan khusus yaitu masih rendahnya pemahaman masyarakat mengenai prinsip dan praktik berkoperasi. Pemasyarakatan praktek-praktek berkoperasi yang benar masih kurang intensif, sehingga minat masyarakat untuk memilih koperasi sebagai bentuk lembaga ekonomi lokal untuk mewadahi dan memfasilitasi usaha ekonomi produktif masih rendah. Akuntabilitas koperasi juga masih perlu ditingkatkan karena proporsi koperasi aktif yang menjalankan rapat anggota tahunan (RAT) pada tahun 2010 hanya mencapai 44,71 persen, dan jumlah koperasi yang sudah menerapkan sistem pelaporan keuangan yang terstandarisasi masih terbatas. Struktur usaha dan pengelolaan koperasi juga masih terbatas sehingga belum mencapai skala usaha yang memadai dan kemandirian untuk dapat merespon perubahan pasar yang dinamis. Permasalahan yang secara khusus dihadapi oleh UMKM yaitu masih rendahnya motivasi dan kemampuan berwirausaha. Kondisi ini dan ditambah dengan masalah rendahnya keterampilan dalam pengelolaan usaha dan pemasaran menyebabkan kelayakan usaha, khususnya pada usaha mikro dan kecil, masih rendah. Penerapan teknologi oleh UMKM juga masih terbatas sehingga sistem produksi yang dijalankannya belum efisien dan belum dapat menghasilkan produk dengan kualitas yang memadai. Rendahnya kelayakan usaha juga menjadi salah satu penyebab keterbatasan akses UMKM kepada sumber pembiayaan. Di sisi lain, fasilitas pembiayaan yang ada belum dapat memenuhi kebutuhan UMKM sesuai dengan taraf perkembangannya, terutama untuk modal awal usaha (start-up capital). Program dan kegiatan pemberdayaan UMKM telah diupayakan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, 5 - 21
meskipun masih menghadapi tantangan berupa keragaman lokasi dan bidang usaha UMKM. Penguatan kapasitas produksi dan sumber daya manusia, fasilitasi pengembangan pemasaran, dan penguatan struktur usaha UMKM, baik dari sisi sistem, produk, dan lembaga pendukung, sebenarnya telah memberikan hasil yang memadai sebagai stimulan. Namun hasil tersebut masih belum efektif untuk mendorong perkembangan kapasitas, produktivitas dan daya saing UMKM karena fasilitasi dan perkuatan yang diberikan belum dilaksanakan secara terintegrasi. Keterbatasan jumlah dan kapasitas lembaga penyedia jasa pengembangan usaha juga menyebabkan lembaga-lembaga ini belum dapat melengkapi peran pemerintah dalam menyediakan pembinaan dan pendampingan bagi UMKM. Kondisi ini membutuhkan adanya perbaikan, baik dari sisi UMKM, maupun dari sisi kebijakan. 5.1.11 Jaminan Sosial Pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia, sesuai hasil pendataan Sensus Penduduk diperkirakan mencapai 237,6 juta jiwa. Berbagai tantangan dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial masih akan dihadapi, artinya belum seluruh masyarakat dapat menikmati hasil-hasil pembangunan. Dalam menghadapi tantangan tersebut, pemerintah telah mengupayakan menyelenggarakan perlindungan sosial selain melalui bantuan sosial (social assistance), juga melalui jaminan sosial (social insurance). Namun, paradigma berpikir akan pentingnya jaminan sosial belum berkembang di Indonesia, selain itu kebijakan di bidang ini masih terbatas dan terpisah-pisah. Jaminan sosial merupakan elemen penting dalam perlindungan sosial karena menyangkut intervensi dalam melindungi seluruh masyarakat termasuk kelompok miskin dan rentan dalam menghadapi berbagai risiko, misalnya krisis ekonomi, dan ketidakpastian. Untuk mengurangi risiko dan ketidakpastian tersebut, 5 - 22
Pemerintah wajib menyelenggarakan jaminan sosial yang layak. Namun, cakupan penyelenggaraan jaminan sosial saat ini masih sangat rendah, dengan pelayanan yang terbatas dan tidak terintegrasi. Selain itu, masyarakat belum banyak mengenal prinsip jaminan sosial yang berbasis asuransi terutama mengenai ketentuan mengenai kepesertaan wajib. Pelaksanaan jaminan sosial nasional adalah program pemerintah dan masyarakat yang bertujuan memberi kepastian perlindungan kesejahteraan sosial, agar setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pengembangan SJSN pada dasarnya merupakan upaya memenuhi amanat konstitusi. Namun, hingga saat ini Indonesia hanya melaksanakan sistem jaminan sosial yang terbatas bagi pegawai negeri dan sebagian kelompok pekerja sektor formal melalui program jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pensiun, dan jaminan hari tua.
5.2
LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN HASIL YANG DICAPAI
DAN
HASIL-
5.2.1 Investasi Dengan memperhatikan permasalahan dan tantangan yang dihadapi akan terus dilakukan upaya untuk meningkatkan kinerja investasi seperti: (i) Dimulainya penerapan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dengan Sistem Pelayanan Informasi dan Perijinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Batam pada Januari 2010. Penerapan SPIPISE merupakan langkah untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dan meminimalisir birokrasi yang panjang; (ii) Terbitnya Inpres No. 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional tahun 2010, yang salah satu 5 - 23
fokusnya memuat prioritas nasional ke-7: Iklim investasi dan iklim usaha, lengkap dengan kegiatan dan instansi penanggungjawabnya; (iii) Terwujudnya pola kerjasama pemerintah dan swasta (KPS), dengan dikeluarkan Perpres No. 13 tahun 2010 yang merupakan revisi atas Perpres No. 67 tahun 2005 tentang Kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur, guna meringankan pendanaan, meningkatkan transparansi, efisiensi dan kualitas pelayanan pada masyarakat; (iv) Terbitnya Perpres No. 36 tahun 2010 tentang Daftar Negatif Investasi (DNI) perubahan resmi terhadap Perpres No. 77 tahun 2007 dan Perpres No. 111 tahun 2007. Revisi DNI ini diharapkan untuk menghindarkan ketidakpastian dalam berinvestasi dan untuk melindungi kepentingan nasional dalam kerangka penciptaan iklim investasi yang sehat dengan mempertimbangkan dinamika yang bersifat lintas sektor; (v) Terbitnya Perpres No. 33 tahun 2010 tentang Dewan Nasional dan Dewan Kawasan untuk Kawasan Ekonomi Khusus; (vi) Terbitnya Kepres No. 8 Tahun 2010 tentang Keanggotaan Dewan Nasional KEK; dan (vii) Penghapusan terhadap berbagai Perda bermasalah untuk meningkatkan iklim investasi di seluruh Indonesia. Selain itu, dalam rangka menarik investor telah dilakukan promosi baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Promosi investasi yang dilakukan adalah: (i) Forum Gelar Potensi Investasi Daerah (GPID); (ii) Talkshow di media elektronik; (iii) Pameran investasi di dalam dan di luar negeri; (iv) Kegiatan door to door untuk mendatangi investor asing; dan (v) Peningkatan kelembagaan promosi di luar negeri melalui kantor perwakilan investasi di luar negeri (Indonesia Investment Promotion Center/IIPC) di Tokyo, Los Angeles, London, Singapura, dan Sydney. Kondisi makro ekonomi domestik yang relatif stabil, perkembangan mata uang dolar AS yang cenderung tertekan, dan belum selesainya masalah hutang Yunani, berkontribusi mendorong aliran modal asing ke wilayah Asia, termasuk Indonesia. 5 - 24
Membaiknya iklim investasi dan prospek ekonomi Indonesia, tercermin dari meningkatnya peringkat Indonesia di beberapa survei yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat internasional. Prospek untuk berinvestasi di Indonesia dalam World Investment Prospect 2009-2011, Indonesia menduduki peringkat ke 9 (sembilan) dan UNCTAD menilai Indonesia cukup prospektif terutama karena pertumbuhan pasar dan ketersediaan sumber daya alam yang dimilikinya. Meskipun demikian, faktor-faktor tersebut belum cukup untuk meningkatkan daya tarik bagi investor, apabila tanpa didukung oleh iklim investasi yang berdaya saing, terutama ketersediaan infrastruktur dan energi. Untuk indikator pengukuran daya saing, Indonesia menduduki peringkat ke 44 dari 133 negara dalam penilaian Global Competitiveness Index (GCI) tahun 2010-2011 berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh World Economic Forum. Peringkat ini naik dari posisi Indonesia tahun 2009-2010, yang menempati peringkat ke 54. Peringkat Indonesia di GCI masih lebih baik dibandingkan dengan Brazil, Rusia dan India, selain China, yang dikenal dengan kelompok BRIC. Berdasarkan hasil survei British Broadcasting Corporation (BBC) pada Mei 2011 telah menempatkan Indonesia dalam peringkat pertama dari 25 negara yang disurvei dalam hal iklim terbaik bagi pengusaha untuk memulai usaha, yang antara lain diikuti oleh Amerika Serikat, Kanada, India dan Australia. Hasil survei lainnya, dari Bloomberg, terkait dengan Indeks Momentum Ekonomi 2011, menempatkan Indonesia pada peringkat ke-7 negara di Asia untuk kategori stabilitas pertumbuhan ekonomi sampai dengan 5 tahun ke depan. Dalam indeks “The Foreign Direct Investment Confidence” yang diselenggarakan oleh A. T. Kearney, Indonesia masuk dalam 20 besar tujuan investasi perusahaan-perusahaan multinasional. Pada semester I tahun 2011, Moody’s Investors Service juga telah memperbaiki rating Indonesia dari Ba2 menjadi Ba1, satu level lagi menuju “investment grade”. Sementara itu, Fitch menegaskan 5 - 25
peringkat utang Indonesia atau longterm foreign and local currency issuer default ratings (IDRs) pada rating BB+ dan merevisi outlook keduanya menjadi positif dari stabil. Outlook positif tersebut memberikan peluang yang lebih besar bagi sovereign rating Indonesia untuk meningkat dalam jangka waktu 12-18 bulan ke depan. Peningkatan rating ini merupakan cerminan perbaikan persepsi terhadap situasi perekonomian Indonesia. Predikat investment grade akan menambah kepercayaan investor asing dalam menanamkan modalnya di Indonesia. TABEL 5.6 REALISASI NILAI PMDN DAN PMA SEKTOR NONMIGAS TAHUN 2004 S.D TRIWULAN I TAHUN 20111) Tahun2) 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Semester I 20103) Semester I 2011
PMDN Proyek Rp. Miliar 130 15.409,4 215 30.724,2 162 20.649,0 159 34.878,7 239 20.363,4 248 37.799,8 875 60.626,3 530 21.888,1 761 33.013,5
PMA Proyek USD Juta 548 4.572,7 907 8.911,0 869 5.991,7 982 10.341,4 1.138 14.871,4 1.221 10.815,2 3.081 16.214,8 1.572 7.613,7 2.358 9.180,0
Sumber : BKPM Catatan: 1) Diluar Investasi Perbankan, Lembaga Keuangan Non Bank, Asuransi, dan Sewa Guna Usaha 2) Sampai dengan tahun 2009 pencatatan nilai PMDN dan PMA berdasarkan Ijin Usaha Tetap (IUT) 3) Mulai Tahun 2010 pencatatan nilai PMDN dan PMA berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM)
5 - 26
Mulai tahun 2010 Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah melakukan perubahan pencatatan realisasi penanaman modal dengan menggunakan data Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) yang menggantikan Ijin Usaha Tetap (IUT). LKPM merupakan metode pencatatan investasi berdasarkan aliran modal masuk pada suatu periode pelaporan tertentu. Oleh karena IUT tidak lagi dilaporkan sebagai pencatatan realisasi investasi karena merupakan data akumulasi seluruh kegiatan investasi yang dilakukan selama pelaksanaan pembangunan proyek investasi yang bersangkutan. Pada tahun 2010, realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri/PMDN (berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal/LKPM) mencapai Rp. 60,6 triliun, sedangkan Penanaman Modal Asing/PMA mencapai USD 16,2 miliar (Tabel 5.1). Pada semester I tahun 2011, realisasi PMDN maupun PMA mencapai Rp. 33,0 triliun dan USD 9,2 miliar, atau masing-masing meningkat sebesar 50,8 persen dan 20,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2010.
5 - 27
TABEL 5.7 5 BIDANG USAHA UTAMA SEKTOR NONMIGAS PMDN DAN PMA SEMESTER I TAHUN 2011 PMDN PMA Nilai Nilai No Bidang Usaha Investasi Bidang Usaha Investasi (Rp. Triliun) (USD Miliar) 1. Industri Makanan 4,6 Pertambangan 2,6 2. Tanaman Pangan 4,6 Transportasi, 1,1 dan Perkebunan Gudang, dan Telekomunikasi 3. Transportasi, 4,4 Industri Kimia 0,9 Gudang, dan Dasar, Barang Telekomunikasi Kimia dan Farmasi 4. Industri 3,5 Industri Logam 0,8 NonLogam Dasar, Barang Mineral Logam, Mesin dan Elektronik 5. Industri Logam 3,2 Tanaman Pangan 0,7 Dasar, Barang dan Perkebunan Logam, Mesin dan Elektronik 6. Lainnya 12,9 Lainnya 3,1 Sumber : BKPM Berdasarkan bidang usaha, pada semester I tahun 2011 untuk bidang-bidang usaha industri makanan; pertambangan; tanaman pangan dan perkebunan; serta transportasi, gudang, dan telekomunikasi adalah bidang-bidang yang paling diminati baik oleh PMDN maupun PMA (Tabel 5.7). Sementara itu, berdasarkan lokasi yang diminati PMDN dan PMA, umumnya masih didominasi di Pulau Jawa (Tabel 5.8). 5 - 28
TABEL 5.8 5 LOKASI UTAMA SEKTOR NONMIGAS PMDN DAN PMA SEMESTER I TAHUN 2011 PMDN PMA No Nilai Investasi Nilai Investasi Lokasi/Propinsi Lokasi/Propinsi (Rp. Triliun) (USD Miliar) 1. Jawa Barat 5,1 Jawa Barat 2,0 2. DKI Jakarta 5,0 DKI Jakarta 1,5 3. Jawa Timur 4,6 Papua 0,8 4. Kalimantan Tengah 2,3 Banten 0,8 5. Sulawesi Selatan 2,1 Sumatera Selatan 0,5 6. Lainnya 13,9 Lainnya 3,6 Sumber : BKPM Negara utama asal PMA sepanjang Semester I tahun 2011 adalah Singapura (USD 1,9 miliar), Amerika Serikat (USD 0,9 miliar), Jepang (USD 0,7 miliar), Belanda (USD 0,7 miliar), dan Korea Selatan (USD 0,3 miliar). Sebagai pedoman pelaksanaan perizinan dan nonperizinan penanaman modal, Pemerintah telah menerbitkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) penanaman modal. Pada proses pelayanan perizinan telah diperkenalkan mekanisme baru dalam perizinan penanaman modal yaitu front office dan back office yang di dalam proses penyelesaian perizinan tidak diperlukan face-to-face contact dengan investor. Dengan adanya proses pelayanan perizinan dengan mekanisme baru secara elektronik tersebut maka pelayanan dapat menjadi lebih cepat dari 51 hari kerja menjadi 32 hari kerja dan dapat diselesaikan sesuai dengan Standard Operation Procedure (SOP) yang telah ditetapkan dalam Peraturan Kepala BKPM No. 12 tahun 2009. Sementara itu, perkembangan dari penerapan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Bidang Penanaman Modal adalah telah terimplementasinya Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan 5 - 29
Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di 15 Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kabupaten/Kota, dari total target 50 PTSP pada akhir tahun 2011. 5.2.2
Ekspor
Meskipun kondisi pemulihan ekonomi global di tahun 2010 penuh dengan resiko dan ketidakseimbangan, kinerja perekonomian domestik selama tahun 2010 terus mengalami perbaikan. Bahkan, ekspor Indonesia pulih dengan sangat cepat di tahun 2010 dengan pertumbuhan total ekspor sebesar 33,4 persen dan ekspor nonmigas sebesar 31,3 persen. Perbaikan kinerja ekspor tersebut diiringi pula dengan meningkatnya neraca perdagangan Indonesia, membaiknya tingkat diversifikasi pasar tujuan ekspor, serta tingginya pertumbuhan ekspor produk manufaktur. Neraca perdagangan tahun 2010 mengalami surplus sebesar USD 21,4 miliar atau lebih tinggi 12,4 persen dari tahun 2009. Diperkirakan surplus neraca perdagangan di tahun 2011 akan mencapai angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2010, seiring dengan terus membaiknya kinerja perekonomian Indonesia dan perekonomian global. Selain itu, kontribusi 5 (lima) pasar tujuan ekspor Indonesia pada tahun 2011 terlihat lebih kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya; di mana pada tahun 2010 adalah sebesar 48,8 persen sedangkan di tahun 2011 (Jan-Jun) adalah sebesar 48,2 persen. Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa pasar ekspor nonmigas mulai bergeser sedikit demi sedikit ke negara non-utama, sehingga tingkat kebergantungan ekspor Indonesia ke pasar utama menjadi lebih kecil.
5 - 30
TABEL 5.9 PERKEMBANGAN EKSPOR INDONESIA 2009-2011 URAIAN Nilai Ekspor (Juta USD) Total Ekspor Ekspor Non Migas Pertanian Industri Pertambangan Pertumbuhan (%) **) Total Ekspor Ekspor Migas Ekspor Non Migas Pertanian Industri Pertambangan
2009
2010
116.490,7 157.779,1 97.472,4 129.739,5 4.363,2 5.001,9 73.430,2 98.015,1 19.679,0 26.722,5
-15,0 -34,7 -9,7 -4,8 -16,9 32,0
35,4 47,4 33,1 14,6 33,5 35,8
2011*)
98.644,0 79.061,6 2.564,4 60.736,8 15.760,4
36,0 48,8 33,2 17,8 36,7 23,5
Sumber: BPS (diolah Bappenas) Keterangan:* ) Periode Januari-Juni **) Pertumbuhan terhadap tahun sebelumnya dalam periode yang sama
5 - 31
TABEL 5.10 PANGSA NEGARA TUJUAN UTAMA EKSPOR Sumbangan Terhadap Total Ekspor NO Negara Tujuan Ekspor 2009 2010 2011*) 1 Jepang 12,3% 12,7% 11,4% 2 Amerika Serikat 10,7% 10,3% 10,2% 3 Singapura 8,2% 7,4% 7,1% 4 China 9,1% 10,9% 10,9% 5 India 7,5% 7,6% 7,8% Total 5 Negara Tujuan Utama 47,9% 48,8% 47,5% Total Pasar Ekspor Lainnya 52,1% 51,2% 52,5% Total Ekspor 100,0% 100,0% 100,0% Sumber: BPS (diolah Bappenas) Keterangan: * ) Periode Januari-Juni **)Pertumbuhan terhadap tahun sebelumnya dalam periode yang sama
Selain itu, beberapa hasil yang telah dicapai selama ini antara lain adalah: 1.
Secara kumulatif nilai ekspor Indonesia untuk periode JanuariJuni 2011 telah mencapai USD 98,6 miliar atau meningkat 36,0 persen dibanding periode yang sama tahun 2010, sementara ekspor nonmigas mencapai USD 79,0 miliar atau meningkat 33,3 persen. Angka pertumbuhan ini telah melampaui target ekspor nonmigas yang telah ditetapkan Pemerintah tahun 2011, yaitu sebesar 12,0 persen-15,0 persen.
2.
Di sisi impor, nilai impor nonmigas selama Januari-Jun 2011 mencapai USD 83,6 miliar atau naik 32,8 persen dibanding impor nonmigas periode yang sama tahun 2010 (USD 62,9 miliar). Nilai impor terbesar Januari-Juni 2011 adalah golongan barang peralatan mesin dan peralatan mekanik yang
5 - 32
nilainya mencapai USD 11,1 miliar atau meningkat 21,4 persen (USD 1,9 miliar) dibanding tahun sebelumnya. Adapun negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari-Juni 2011 masih ditempati oleh China dengan nilai USD 12,0 miliar dengan pangsa 18,7 persen, diikuti Jepang USD 8,7 miliar (13,5 persen) dan Thailand USD 5,2 miliar (8,1 persen). Impor nonmigas dari ASEAN mencapai 23,0 persen, sementara dari Uni Eropa sebesar 8,9 persen. 3.
Sepanjang tahun 2010, pameran dagang Indonesia di luar negeri telah dilaksanakan sebanyak 25 kegiatan dengan total transaksi yang dicapai sebanyak USD 38,2 juta yang dibagi dalam tiga kawasan, yaitu: Afrika dan Timur Tengah sebanyak 10 pameran dengan transaksi USD 33,1 juta dan peserta 69 UKM; Amerika dan Eropa sebanyak 9 pameran dengan transaksi USD 2,5 juta dan 120 peserta UKM; serta Asia, Australia dan Selandia Baru sebanyak 6 pameran dengan transaksi USD 2,5 juta dan 108 peserta UKM.
4.
Pada tanggal 13 - 17 Oktober 2010, Kementerian Perdagangan menyelenggarakan Trade Expo Indonesia (TEI) ke-25 tahun 2010 yang berlangsung bertempat di Jakarta International Expo-Kemayoran dengan mengangkat tema “Remarkable Indonesia”. TEI merupakan suatu pameran multiproduk bertaraf internasional dan sudah menjadi agenda pameran tahunan internasional (calendar of event). Total transaksi yang berhasil diraih oleh seluruh peserta (927 perusahaan) selama penyelenggaraan TEI 2010 mencapai USD 369,3 juta atau meningkat 29,4 persen jika dibandingkan dengan transaksi yang diperoleh tahun 2009 dan meningkat 23,1 persen dari target yang ditetapkan (USD 300 juta). Transaksi tersebut terdiri dari USD 224,9 juta untuk sektor produk dan USD 144,1 juta dari sektor jasa.
5 - 33
5.
Dalam rangka memperluas akses dan pangsa pasar, Kementerian Perdagangan telah mendirikan Indonesian Trade Promotion Centre (ITPC) di negara tujuan ekspor.Hingga pertengahan tahun 2011 telah berdiri 19 (sembilan-belas) kantor ITPC di berbagai benua. ITPC bertanggung jawab untuk melakukan terobosan pasar ekspor, membuka jaringan hubungan dagang, memfasilitasi dunia usaha dalam kegiatan promosi dan pemasaran di luar negeri, serta mempermudah akses mendapatkan jejaring bisnis dan informasi ekspor.
6.
Selain itu, dalam rangka memperluas akses dan melakukan penetrasi pasar ekspor, upaya-upaya lain yang dilakukan adalah: pengamatan langsung (market intelligence) terhadap pasar produk potensial segmen pasar, strategi pesaing, dengan melihat kondisi negara target pasar untuk melakukan kegiatan penetrasi pasar produk Indonesia; Pelayanan Inquiries; Buyer Reception Desk /BRD; serta Pengembangan SDM melalui Diklat Ekspor.
7.
Peningkatan penanganan terhadap sejumlah kasus tuduhan dumping, subsidi, dan safeguard untuk produk ekspor Indonesia. Kasus-kasus tersebut cenderung meningkat dalam satu tahun terakhir, karena dampak krisis finansial global telah membuat negara-negara tujuan ekspor cenderung meningkatkan proteksi untuk pasar dalam negerinya. Jumlah kasus tuduhan dumping terhadap Indonesia yang ditangani sampai dengan bulan Desember 2010 sebanyak 204 kasus, yang terdiri dari 166 kasus tuduhan dumping, 13 kasus tuduhan subsidi dan 25 kasus tindakan safeguards. Dari berbagai tuduhan tersebut, sekitar 49,5 persen telah dihentikan karena tidak terbukti melakukan dumping, subsidi dan tindakan safeguard. Namun masih terdapat 94 kasus (46,1 persen) yang dikenakan, dan sekitar 4.4 persen masih dalam proses penanganan kasus.
5 - 34
8.
Di sisi lain Pemerintah juga mengintensifkan penyelidikan anti-dumping dan subsidi terhadap produk impor yang merugikan industri sejenis di dalam negeri. Sebanyak 12 kasus anti dumping telah diinvestigasi sejak 2009 sampai dengan Juni 2011. Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) telah dikenakan terhadap 6 produk impor, yaitu Bi-Axially Oriented Polypropylene Film, Alumunium Mealdish dari Malaysia, Polyester Staple Fiber dari India, H&I Section (steel) dari RRT, Hot Rolled Coil dari Malaysia dan Korea, Review Uncoated Writing & Printing Paper dari Finlandia.
5.2.3 Pariwisata Berdasarkan permasalahan yang dihadapi, pada tahun 2010 sampai dengan Juni 2011, telah dilakukan berbagai langkah-langkah kebijakan untuk meningkatkan intensitas kepariwisataan yang berbasis pemberdayaan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan serta tetap memperhatikan tata pemerintahan yang baik, yaitu: (1) peningkatan daya saing destinasi pariwisata Indonesia di tingkat internasional, (2) peningkatan ketersediaan informasi pariwisata Indonesia di dalam dan di luar negeri sebagai sarana promosi, dan (3) optimalisasi koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi dalam pengembangan destinasi dan promosi pariwisata lintas sektor dan lintas daerah. Berbagai langkah kebijakan tersebut diharapkan mampu meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia, meningkatkan perolehan devisa dari wisman, dan meningkatkan pengeluaran wisatawan nusantara (wisnus). Perkembangan kepariwisataan Indonesia sampai akhir tahun 2010 menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kunjungan wisman pada tahun 2010 sebesar 7,00 juta orang dari 6,32 juta orang pada tahun 2009, atau mengalami peningkatan sebesar 10,74 persen. Perkembangan kepariwisataan ditunjukkan pula dengan meningkatnya pergerakan 5 - 35
wisnus menjadi 234,38 juta perjalanan pada tahun 2010, dari 229,73 juta perjalanan pada tahun 2009, serta total pengeluaran wisnus meningkat menjadi Rp150.49 triliun pada tahun 2010, dari Rp137,91 triliun pada tahun 2009. TABEL 5.11 PERKEMBANGAN PARIWISATA INDONESIA 2009—2010 Pertumbuhan Uraian 2009 2010 (%) Wisatawan Mancanegara: 6,32 7,00 10,74 − Jumlah kunjungan (juta orang) 6,30 7,60 20,63 − Devisa yang dihasilkan (miliar USD) 7,69 8,04 9,02 − Rata-rata lama tinggal 4,20 − Rata-rata pengeluaran per hari (USD) 129,57 135,01 9,02 − Rata-rata Pengeluaran per kunjungan 995.93 1,085.75 (US$) Wisatawan Nusantara 229,73 234,38 2,02 − Jumlah pergerakan (juta perjalanan) 137,91 150,49 9,12 − Total pengeluaran (Rp. triliun) Sumber: BPS 2011, Survei PES 2010 Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
Sementara itu, perkembangan jumlah kunjungan wisman selama periode Januari-Juni 2011 menunjukkan kecenderungan meningkat. Secara kumulatif, selama periode Januari-Juni 2011, jumlah kunjungan wisman mencapai 3,60 juta orang, atau mengalami pertumbuhan sebesar 6,42 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2010 yang sebanyak 3,38 juta orang. Selain itu, hasil-hasil yang dicapai dalam pembangunan kepariwisataan dalam kurun waktu tahun 2010 sampai dengan Juni 2011, antara lain: 5 - 36
1.
Pengembangan destinasi pariwisata antara lain (a) pengembangan daya tarik pariwisata yang meliputi pengembangan geopark nasional dan internasional yang telah diusulkan kepada UNESCO sebanyak 2 lokasi, penyusunan data base situs selam yang mencakup 10 dive sites, dan dukungan pengembangan daya tarik wisata di 20 provinsi (b) pemberdayaan masyarakat di destinasi pariwisata yang meliputi peningkatan sadar wisata masyarakat sebanyak 4.900 orang dan 126 kelompok; (c) pengembangan standardisasi pariwisata yang meliputi penyusunan 12 standar kompetensi, penyusunan 19 standar usaha, pelatihan 310 orang master asesor dan asesor, fasilitasi sertifikasi kompetensi pada 8.000 orang, dan pengembangan Lembaga Sertifikasi Profesi dan Lembaga Sertifikasi Usaha; (d) pengembangan industri pariwisata yang meliput penyusunan 2 buah pola perjalanan (travel pattern) yaitu trail of civilization dan wisata kesehatan, penyusunan 3 profil investasi, dan dukungan pada 4 industri/asosiasi pariwisata; (e) penyelenggaraan PNPM Mandiri Bidang Pariwisata di 200 desa wisata, yang mencakup 75 daya tarik wisata di desa, 25 usaha masyarakat desa berbasis industri kreatif di bidang pariwisata, dan 100 desa yang mendukung usaha pariwisata; (f) dukungan pengembangan tata kelola destinasi pariwisata (destination management organisation/DMO) di 15 destinasi yaitu Toba, Pangandaran, Flores, Bali, Borobudur, Kota Tua Jakarta, Wakatobi, Derawan, Raja Ampat, Tanjung Puting, Bromo Tengger Semeru, Rinjani, Sabang, Tana Toraja dan Bunaken; dan (g) dukungan amenitas pariwisata di 23 provinsi pada tahun 2010 dan 8 provinsi pada tahun 2011;
2.
Pengembangan pemasaran dan promosi pariwisata, antara lain (a) peningkatan promosi pariwisata di luar negeri yang meliputi partisipasi pada bursa pariwisata internasional sebanyak 74 event, antara lain Perth Holiday and Travel Expo 5 - 37
di Australia, ITB Berlin di Jerman, FITUR Madrid di Spanyol, Tour Expo Osaka di Jepang, World Travel Market di London, ASEAN Tourism Fair 2011 di Kamboja, MATTA Fair di Malaysia; pelaksanaan misi penjualan (sales mission) di fokus pasar wisatawan sebanyak 25 event, antara lain ke Korea, Jepang (Nagoya dan Osaka), Jeddah, Australia, China; penyelenggaraan festival Indonesia di luar negeri sebanyak 15 event, antara lain Festival Indonesia ASEAN, Pagelaran Seni Budaya di Manila, Indonesia Food Festival di Perth; penyelenggaraan Indonesia tourism promotion representative offices di 12 negara, yaitu Visit Indonesia Tourism Officers (VITO) Perancis, VITO Jerman, VITO Australia, VITO Belanda, VITO China-Beijing (China), VITO ChinaGuangzhou (China), VITO India, VITO Jepang, VITO Malaysia, VITO Singapura, VITO Rusia dan VITO Timur Tengah; (b) peningkatan promosi pariwisata dalam negeri yang meliputi penyelenggaraan promosi langsung (direct promotion) sebanyak 30 kali, antara lain di Yogyakarta, Solo, Makassar, Medan, Pekanbaru, Palembang, Bandung, Jakarta, Surabaya dan Batam; penyelenggaraan event pariwisata berskala nasional dan internasional sebanyak 27 event, antara lain Festival Cap Go Meh, Festival Legu Gam, Tour de Singkarak,Tournament of Flower 2010 Tomohon, ASEAN Jazz Festival di Batam, Festival Budaya Lembah Baliem; (c) pengembangan sarana dan prasarana promosi pariwisata yang meliputi penyediaan data dan informasi lengkap pada 10 daerah, yaitu Aceh, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, D.I. Yogyakarta, Bali, NTB, NTT, Maluku Utara dan Papua Barat; penyediaann bahan promosi cetak sebanyak 1 juta eksemplar terdiri dari bahan cetak umum, bahan promosi cetak khusus dan bahan promosi cetak lainnya, seperti Tourist Map, Calendar of Event 2011, Booklet “Welcome to Indonesia”, booklet “Indonesia Ecotourism”; pembuatan bahan promosi 5 - 38
elektronik sebanyak 149 ribu keping, antara lain E-brochure, CD/DVD, film promosi pariwisata dan film promosi internasional; publikasi melalui 76 media, yaitu media cetak, media elektronik, media luar ruang dan media on-line seperti Times Magazine, Majalah Venue, CNN, Kompas, Metro TV dan www.indonesia.travel; diseminasi bahan promosi elektronik sebanyak 90 ribu keping, yaitu E-Brochure, CD/DVD, film promosi pariwisata dan film promosi internasional; (d) pengembangan informasi pasar pariwisata yang meliputi tersusunnya 23 naskah hasil analisis pasar dalam dan luar negeri, seperti Analisis Pasar Nusantara, Pemantauan Hari Libur, Riset Pasar, Pemantauan Pintu Masuk Wisman, Analisis Perkembangan Pasar Luar Negeri dan Market Intelligence; penyebaran 640 eksemplar informasi produk pariwisata Indonesia ke fokus pasar seperti Malaysia, Jepang, Timur Tengah, Rusia dan India; penyelenggaraan familiarization trip/fam trip yang melibatkan 795 orang peserta, antara lain dari negara Jerman, China, Australia, Singapura; penerbitan 6.000 eksemplar Newsletter Pariwisata Indonesia; dan (e) peningkatan penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konvensi dan pameran (meetings, incentives travel, conventions and exhibitions/MICE) yang meliputi penyelenggaraan event internasional di Indonesia sebanyak 57 event, antara lain Seminar International Tourism Business Opportunities 2011-2015, International Ecotourism Business Forum and Mart, Global Spa Summit dan KTT ASEAN; dan 3.
Pengembangan sumber daya pariwisata, antara lain: (a) pengembangan SDM kebudayaan dan pariwisata yang meliputi pelatihan untuk peningkatan kapasitas pelaku industri pariwisata dan masyarakat sebanyak 1.902 orang; pelatihan untuk aparatur pemerintah daerah sebanyak 1453 orang; (b) terlaksananya penelitian dan pengembangan (litbang) bidang 5 - 39
pariwisata sebanyak 16 buah antara lain litbang wisata bahari, penelitian trail of civilization, penelitian kerja sama ASEAN, penelitian dampak event pariwisata, penelitian daya saing pariwisata regional, penelitian destinasi unggulan, dan penerbitan jurnal kepariwisataan; (c) pendidikan tinggi bidang pariwisata yang meliputi kelulusan 2.233 orang mahasiswa dari lembaga pendidikan tinggi pariwisata (4 UPT). 5.2.4 Konsumsi Masyarakat Langkah-langkah kebijakan yang telah dilakukan dalam bidang perdagangan dalam negeri adalah peningkatan efisiensi perdagangan dalam negeri yang akan dititikberatkan pada pengembangan sarana perdagangan dan peningkatan pengamanan pasar domestik. Beberapa hasil-hasil yang dicapai selama ini adalah: 1.
Peningkatan kualitas layanan unit pelayanan perijinan (UPP) perdagangan dalam negeri, seperti ijin pembinaan pasar dan distribusi serta ijin bidang pembinaan usaha dan pendaftaran perusahaan, dengan layanan perijinan”single entry and single exit point” sehingga proses perijinan tidak lagi dilakukan secara tatap muka antara pemohon dengan pejabat pemroses. Sampai saat ini, 12 jenis Perijinan Perdagangan Dalam Negeri yang dilayani oleh Kementerian Perdagangan sudah dapat dilakukan secara online, dengan waktu penyelesaian sekitar 515 hari kerja dan tanpa dipungut biaya. Di samping itu, ratarata waktu penyelesaian permohonan perijinan bidang perdagangan berjangka komoditi dan sistem resi gudang menjadi lebih singkat, dari semula 45 hari kerja menjadi 32 hari kerja.
2.
Peningkatan iklim berusaha di Indonesia yang terlihat dari: (i) meningkatnya jumlah ijin pembinaan pasar dan distribusi yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan sebanyak 451 ijin usaha hingga Desember 2010; (ii) meningkatnya jumlah ijin
5 - 40
bidang pembinaan usaha dan pendaftaran perusahaan (terutama ijin keagenan yang banyaknya 1853 ijin); 3.
Peningkatan upaya kemetrologian, yang terlihat dari meningkatnya jumlah ijin bidang kemetrologian hingga Desember 2010, seperti ijin kalibrasi sebanyak 2.746 alat ukur dan ijin tera ulang sebanyak 2.410. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran pentingnya keakuratan dan ketertelusuran alat ukur yang digunakan dalam melayani konsumen.
4.
Pembangunan gudang SRG sebanyak 41 buah (35 Gudang Flat dan 6 Gudang Silo) serta 35 rumah dryer dan dryer di 35 kabupaten sentra produksi gabah, beras, dan jagung. Pada tahun 2010 telah dibangun 11 gudang di 11 kabupaten serta pada tahun 2011 akan dibangun 15 gudang di 15 kabupaten yang merupakan sentra produksi.
5.
Penguatan jumlah dan petugas pengawas barang beredar dan jasa (PPBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK). Total PPBJ di seluruh Indonesia yang telah dididik sampai dengan akhir tahun 2010 berjumlah 994 orang dan yang masih aktif adalah 710 orang. Sedangkan untuk pendidikan dan pelatihan telah dilaksanakan pendidikan dan pelatihan PPNS-PK untuk 3 (tiga) angkatan (88 orang). Total PPNS-PK diseluruh Indonesia yang telah dididik sampai dengan saat ini berjumlah 906 dan masih aktif adalah 797 orang.
6.
Pelaksanaan Pengawasan Berkala pada beberapa daerah untuk produk yang telah diterapkan SNI Wajib yaitu lampu swaballast, regulator, tabung baja, baja tulangan beton, baja lapis seng, kotak kontak, tusuk kontak, kipas angin, kompor gas satu tungku, selang karet, ban mobil, ban sepeda motor, air minum dalam kemasan, tepung terigu, semen, dan garam 5 - 41
beryodium. Pengawasan dilakukan melalui pengamatan secara kasat mata dan pembelian sampel terhadap beberapa merek untuk setiap komoditi, dan apabila terdapat produk yang diduga tidak sesuai dengan persyaratan SNI maka dilakukan pengujian laboratorium di Pusat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang (PPMB). 7.
Pengawasan barang terpadu di pasar-pasar dan inspeksi mendadak pengawasan barang beredar produk pangan dan non pangan di beberapa daerah. Tim Terpadu Pengawasan Barang Beredar (TPBB) telah menemukan sekitar 225.228 lembar produk Baja Lembaran Lapis Seng (BjLS) berbagai ukuran yang tidak memenuhi standar ukuran ketebalan, tinggi gelombang dan massa per luas barang, tidak terdapat penandaan SNI yang jelas, serta tidak memiliki Nomor Registrasi Produk (NRP) dan SPPT SNI. Selain itu, juga ditemukan adanya berbagai jenis produk perlengkapan makan dan minum impor berbasis melamine yang juga disinyalir tidak memenuhi standar SNI sebanyak 254.040 buah, serta ditemukan adanya 800 kotak produk impor makanan jenis asparagus kalengan dan 500 sawi putih kemasan plastik yang tidak sesuai standar serta tidak memiliki label bahasa Indonesia.
8.
Dikeluarkannya kewajiban Pencantuman Label Berbahasa Indonesia pada Barang berdasarkan Permendag Nomor 62/M.DAG/PER/12/2009 sebagaimana diubah dengan Permendag 22/M.DAG/PER/3/2010. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2010, proses permohonan Surat Keterangan Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia (SKPLBI) yang telah diterbitkan sebanyak 2315 permohonan yang terdiri dari 1967 untuk importir dan 348 untuk produsen. Sedangkan untuk permohonan Surat Pembebasan Keterangan Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia (SPKPLBI) telah
5 - 42
diterbitkan sebanyak 458 permohonan terdiri dari 397 untuk importir dan 61 untuk produsen. 9.
Upaya pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi dan Sistem Resi Gudang (SRG) telah dilaksanakan secara berkala setiap bulannya, serta audit pelaku usaha terhadap 14 Pialang Berjangka, yaitu audit rutin terhadap 4 Pialang Berjangka dan audit sewaktu-waktu terhadap 10 Pialang Berjangka. Sedangkan dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan telah dilakukan pelatihan Inspektur Pengawas SRG bekerjasama dengan IFC, kepada 30 orang.
10.
Peningkatan upaya untuk menegakkan hukum persaingan usaha tetap terus dilakukan, karena upaya ini merupakan bagian dari dukungan untuk menciptakan klim usaha yang lebih kondusif. Hasil yang dicapai adalah: (i) meningkatnya jumlah laporan yang ditangani oleh KPPU; (ii) meningkatnya jumlah laporan pemberkasan dan penanganan perkara; (iii) meningkatnya jumlah litigasi yang disertai dengan monitoring pelaksanaannya; serta (iv) meningkatnya jumlah penilaian dan pemberian notifikasi atas merger dan akuisisi kepada pelaku usaha yang dilakukan oleh KPPU. Selama kurun waktu tahun 2009 sampai dengan pertengahan tahun 2011 KPPU telah menerima 316 laporan/pengaduan dari masyarakat mengenai dugaan pelanggaran persaingan usaha yang sehat, dengan 70 resume laporan yang masuk ke dalam tahap laporan pemberkasan, 59 perkara yang sedang ditangani/diselidiki, 37 Putusan yang ditetapkan, 50 Putusan sedang dalam tahap litigasi/banding, dengan 39 laporan dalam tahap eksekusi atau pelaksanaan sanksi. Selain penanganan perkara, KPPU dalam menjalankan amanat UU No. 5/1999 juga telah melakukan penilaian atas merger dan akuisisi badan usaha, dimana dalam periode tahun 2009 sampai Juni 2011 KPPU telah
5 - 43
menindaklanjuti 11 laporan penilaian dan Notifikasi terhadap rencana merger dan akuisisi. GAMBAR 5.12 PERKEMBANGAN JUMLAH PENANGANAN PERKARA KPPU
Sumber: KPPU (2011)
Dalam pelaksanaan proses penanganan perkara, tentunya segala keputusan KPPU selalu dikoordinasikan dengan badan hukum lainnya, seperti Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, sehingga proses banding dan kasasi atas Putusan KPPU dapat berjalan dengan baik. Selama tahun 2011, putusan KPPU yang dikuatkan oleh badan hukum lainnya adalah sebesar 63%. 5.2.5 Keuangan Negara Sebagaimana tercantum dalam RPJMN 2010-2014, strategi kebijakan fiskal yang ditempuh dalam periode 5 tahun ke depan adalah mengupayakan terwujudnya optimalisasi pengeluaran pemerintah dengan memperhatikan keberlanjutan APBN yang sehat. Untuk itu, stabilitas ekonomi terus dijaga melalui pelaksanaan 5 - 44
sinergi kebijakan moneter yang berhati-hati, serta pelaksanaan kebijakan fiskal yang mengarah pada kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dengan tetap memberi ruang gerak bagi peningkatan kegiatan ekonomi. Reformasi struktural di bidang pengelolaan fiskal, diantaranya dilaksanakan melalui reformasi administrasi dan kebijakan di bidang perpajakan, kepabeanan dan cukai, belanja negara, serta pengelolaan aset pemerintah. TABEL 5.13 PERKEMBANGAN PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH 2010-2011 (RP TRILIUN) 2009 2010 2011 Realisasi Uraian APBNRealisasi Realisasi APBN Semester P I Pendapatan Negara dan Hibah 848,8 995,3 1.104,9 497.0 1.169,9 Penenerimaan Dalam Negeri 847,1 992,2 1.101,2 496,9 1.165,3 • Penerimaan Perpajakan 619,9 723,3 850,3 387,6 878,7 • Penerimaan Negara Bukan Pajak 227,2 268,9 250,9 109,3 286,6 Hibah 1,7 3,0 3,7 0,1 4,7 Sumber: Kementerian Keuangan
Melalui berbagai kebijakan yang diambil dan seiring dengan perkembangan indikator ekonomi makro yang membaik, dalam periode 2009-2011 perkembangan APBN menunjukkan kinerja yang baik. Di sisi penerimaan, realisasi pendapatan Negara dan hibah pada tahun 2010 meningkat sebesar 17,3 persen dibandingkan tahun 2009, dari Rp 848,8 triliun pada tahun 2009 menjadi Rp995,3 triliun pada tahun 2010. 5 - 45
Hingga semester I tahun 2011, seiring dengan membaiknya kinerja perekonomian domestik dan global, serta didukung oleh pelaksanaan kebijakan-kebijakan di bidang pendapatan Negara, realisasi pendapatan Negara dan hibah mencapai Rp497,0 triliun (44,98 persen dari pagu). Realisasi tersebut utamanya didukung oleh penerimaan perpajakan, yang mencapai Rp 387,6 triliun. Peningkatan tersebut didorong oleh langkah-langkah pembaharuan kebijakan serta penyempurnaan sistem dan administrasi perpajakan. Dengan berbagai kebijakan yang diterapkan pemerintah dan dikombinasikan dengan perkiraan meningkatnya pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun 2011, pendapatan Negara dan hibah tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp 1.169,9 triliun meningkat 17,5 persen dibandingkan dengan tahun 2010. Peningkatan akan didorong oleh peningkatan penerimaan perpajakan yang diperkirakan mencapai Rp 878,7 triliun di akhir tahun atau meningkat sekitar Rp 28,4 triliun bila dibandingkan dengan target APBN. Di sisi belanja, realisasi belanja Negara juga mengalami peningkatan sebesar 11,2 persen, yaitu dari Rp 937,4 triliun pada tahun 2009 menjadi Rp 1.042,1 triliun pada tahun 2010. Peningkatan tersebut selain disebabkan oleh perkembangan asumsi dasar ekonomi makro, juga terkait dengan tambahan belanja prioritas. Realisasi belanja pemerintah pusat pada tahun 2010 hanya sebesar 697,4 triliun atau 89,2 persen dari alokasinya di APBN-P. Di satu sisi, realisasi transfer ke daerah mencapai Rp344,7 triliun, tidak jauh berbeda dengan rencana di APBN-P, yang besarnya Rp344,6 triliun.
5 - 46
TABEL 5.14 PERKEMBANGAN BELANJA NEGARA 2010-2011 (RP TRILIUN) 2009
2010
Realisasi
Realisasi
APBN
Realisasi Semester I
APBN-P
Belanja Negara Belanja Pemerintah Pusat
937,4
1.042,1
1.229,6
442,3
1320,8
628,8
697,4
836,6
259,8
908,2
- Belanja Pegawai
127,7
148,1
180,8
80,5
182,9
- Belanja Barang
80,7
97,6
137,8
34,9
139,8
- Belanja Modal - Pembayaran Bunga Utang
75,9
80,3
135,9
22,9
136,9
93.8
88,4
115,2
46,7
106,6
138,1
192,7
187,6
62,0
237,2
- Belanja Hibah
0,0
0,07
0,8
0,04
0,4
- Bantuan Sosial
73,8
68,6
63,2
12,1
66,0
- Belanja Lain-Lain - Penyesuaian Pendidikan K/L
38,9
21,7
15,3
0,8
15,6
0,0
0,0
0,0
0,0
14,5
- Optimalisasi K/L
0,0
0,0
0,0
0,0
8,4
Transfer Ke Daerah
308,6
344,7
393,0
182,5
412,5
- Dana Perimbangan
287,3
316,7
334,3
164,5
347,5
+ DAU
186,4
203,6
225,5
131,5
225,5
+ DBH
76,1
92,2
83,6
25,9
96,8
21,0
25,2
7,2
25,2
28,0
58,7
18,0
65,0
Uraian
- Subsidi
+ DAK 24,7 - Dana Otsus dan Penyesuaian 21,3 Sumber: Kementerian Keuangan
2011
Hingga semester I tahun 2011, realisasi belanja Negara mencapai Rp442,3 triliun (35,97 persen dari pagu), terdiri dari Rp259,8 triliun belanja pemerintah pusat dan Rp182,5 triliun transfer 5 - 47
ke daerah. Perkembangan realisasi belanja Negara tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik eksternal maupun internal. Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap realisasi belanja Negara antara lain tingginya harga minyak mentah Indonesia (ICP) di pasar internasional. Kenaikan tersebut sebagai akibat dari krisis politik yang terjadi di kawasan Timur Tengah. Sementara itu faktor internal yang berpengaruh terhadap belanja antara lain perkembangan suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN), inflasi, kebutuhan belanja operasional pemerintahan, dan pelaksanaan langkah-langkah kebijakan administratif di bidang belanja yang ditetapkan dalam APBN tahun 2011. Terkait dengan belanja pemerintah pusat, dari realisasi semester I tahun 2011, sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai, subsidi, dan pembayaran bunga utang, yakni sekitar 72,8 persen (Rp189,2 triliun), sedangkan sebesar 27,2 persen (Rp70,6 triliun) untuk belanja barang, bantuan sosial, belanja modal, belanja hibah, dan belanja lain-lain. Secara keseluruhan perkiraan realisasi anggaran belanja pemerintah pusat mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan realisasi belanja pemerintah pusat dalam periode yang sama di tahun 2010. Faktor penting yang mempengaruhi realisasi belanja pemerintah pusat dari sisi kebijakan antara lain: (a) pencairan anggaran remunerasi pada sejumlah K/L di triwulan I tahun 2011; (b) penerapan kebijakan efisiensi belanja Negara (Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2011 tentang Penghematan Belanja K/L Tahun 2011); (c) implementasi Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang memperlancar penyerapan belanja modal; dan (d) realokasi bantuan operasional sekolah (BOS) ke pos transfer ke daerah. Dari pos belanja pemerintah pusat, belanja subsidi energi mengalami kenaikan yang cukup tinggi di semester I tahun 2011. Tingginya realisasi subsidi energi disebabkan oleh faktor tingginya realisasi rata-rata harga minyak mentah Indonesia, yang diperkirakan 5 - 48
mencapai USD111,0/barel, lebih tinggi USD31,0/barel bila dibandingkan dengan asumsi yang digunakan dalam APBN. Selain itu, tingginya volume konsumsi BBM bersubsidi yang diperkirakan mencapai 20 juta kilo liter juga menjadi faktor penyebab tingginya belanja subsidi energi, dalam hal ini untuk subsidi BBM. Berbagai faktor yang terjadi di semester I diperkirakan akan tetap berpengaruh pada kinerja dan perkiraan realisasi belanja negara di akhir tahun 2011. Sejalan dengan itu, realisasi belanja pemerintah pusat pada tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp908,2 triliun atau 108,6 persen dari pagu APBN. Di sisi transfer ke daerah, hingga semester I tahun 2011 realisasinya mencapai Rp182,5 triliun. Realisasi tersebut bersumber dari dana perimbangan yang mencapai Rp164,5 triliun pada semester I tahun 2011. Dilihat proporsinya, 79,9 persen dari perkiraan realisasi dana perimbangan berupa Dana Alokasi Umum (DAU), dan sisanya 15,7 persen Dana Bagi Hasil (DBH), serta 4,4 persen Dana Alokasi Khusus (DAK). Sementara itu, realisasi Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan Penyesuaian mencapai Rp18,0 triliun pada semester I tahun 2011 ini. Realisasi transfer ke daerah di akhir tahun 2011 diperkirakan sebesar Rp412,3 triliun. Jumlah tersebut lebih tinggi 5,0 persen bila dibandingkan dengan pagu APBN 2011. Bila dirinci, dana perimbangan diperkirakan mencapai Rp347,5 triliun dan Dana Otsus dan Penyesuaian sebesar Rp65,0 triliun. Dengan perkembangan pendapatan Negara dan hibah, serta belanja Negara tersebut, defisit anggaran mencapai Rp88,6 triliun (1,6 persen PDB) pada tahun 2009, dan sebesar Rp46,8 triliun (0,7 persen PDB) pada tahun 2010. Rendahnya defisit anggaran berdampak pada menurunnya tambahan pembiayaan defisit. Kondisi ini berdampak pada stok utang pemerintah yang turun hingga 26,0 persen PDB di akhir tahun 2010. Sementara itu, selama semester I 5 - 49
tahun 2011, realisasi APBN masih mengalami surplus sebesar Rp54,7 triliun, namun hingga akhir tahun 2011 diperkirakan akan mengalami defisit sebesar Rp150,8 triliun (2,1 persen PDB). Dalam rangka memenuhi pembiayaan defisit APBN tahun 2011, kebijakan pembiayaan melalui utang dilakukan antara lain dengan: (a) memprioritaskan instrument pembiayaan yang lebih cost efficient dengan resiko yang terkendali, terutama bersumber dari dalam negeri guna mendukung pengembangan pasar Surat Berharga Negara (SBN) yang aktif dan likuid; (b) peningkatan daya serap pinjaman agar sesuai dengan rencana penarikan; dan (c) mengarahkan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi dan mendorong penurunan rasio utang terhadap PDB secara berkelanjutan. Melalui strategi pengelolaan utang tersebut, diperkirakan rasio utang Indonesia di tahun 2011 akan mencapai 25,7 persen PDB. Rasio tersebut termasuk yang terendah di antara Negara-negara dunia dan berada jauh di bawah threshold World Bank sebesar 40 persen PDB atau batas utang yang ditetapkan dalam UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yakni sebesar 60 persen PDB. Melalui pengelolaan manajemen utang yang disiplin dengan didukung kondisi perekonomian Indonesia yang lebih baik, prospek utang Indonesia diperkirakan akan terus membaik. Kondisi ini dapat dilihat dari pergerakan yield SUN domestik dan credit default swap yang relatif menurun. Penurunan tersebut berdampak pada penghematan pembayaran kewajiban utang, baik pembayaran cicilan pokok maupun bunga utang. Selain itu, tiga lembaga rating, yakni Moodys’s, Fitch, dan S&P telah meningkatkan rating Indonesia. Moody’s pada tanggal 17 Januari 2011 meningkatkan rating Indonesia dari Ba2 menjadi Ba1, Fitch pada tanggal 24 Februari 2011 dari BB+ dengan outlook stable menjadi BB+ dengan outlook positive, dan S&P pada tanggal 8 April 2011 dari BB menjadi BB+
5 - 50
dengan outlook positive. Diperkirakan dalam waktu dekat, Indonesia akan masuk dalam kategori investment grade. GAMBAR 5.15 PERKEMBANGAN RASIO UTANG PEMERINTAH 2006-2011
Sumber: Website Dirjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan (dmo.or.id) Keterangan: * ) Angka Sangat Sementara **) Angka Sangat Sangat Sementara (Berdasarkan asumsi APBN 2011) 5.2.6 Moneter Dalam menyikapi berbagai permasalahan di atas, kebijakan moneter diupayakan untuk memantapkan kerangka kebijakan berbasis suku bunga yang lebih fleksibel melalui penguatan manajemen moneter dan stabilitas sistem keuangan untuk mencapai 5 - 51
sasaran inflasi. Kerangka kebijakan tersebut pada intinya terdiri dari bauran kebijakan moneter serta kebijakan makroprudensial terutama untuk pengelolaan ekses likuiditas dan arus modal asing. Keseluruhan kebijakan tersebut bertujuan untuk mengurangi dampak negatif dari aliran masuk modal asing dan ketidakstabilan perekonomian global terhadap perekonomian domestik dan sistem keuangan nasional. Beberapa kebijakan moneter yang telah ditempuh sampai dengan Juli 2011, antara lain sebagai berikut. Pertama, kebijakan suku bunga diupayakan antara lain melalui penyesuaian koridor suku bunga. Tujuan kebijakan tersebut terutama untuk menjaga kredibilitas sinyal kebijakan moneter serta menjaga stabilitas harga (inflasi) dan nilai tukar. Penyesuaian koridor suku bunga dilakukan melalui perubahan suku bunga instrumen standing facilities, yaitu dari ± 50 basis poin (bps) menjadi ± 100bps dari BI Rate. Kedua, penerapan kebijakan koridor suku bunga yang kemudian dilengkapi dengan penggunaan instrumen moneter term deposit dengan tenor kurang dari 3 bulan. Hal ini sejalan dengan derasnya aliran masuk modal asing sejak pertengahan Oktober 2010, pergerakan suku bunga pasar uang cenderung mendekati level bawah koridor (deposit facility). Di samping itu, juga dioptimalkan penggunaan instrumen lainnya, seperti pembelian kembali (repo) dan reverse repo Surat Utang Negara (SUN) dalam rangka pengelolaan likuiditas di pasar uang. Ketiga, pelaksanaan kebijakan stabilisasi nilai tukar yang sekaligus merupakan antisipasi terhadap pembalikan modal dengan menjaga cadangan devisa pada level yang memadai untuk memenuhi impor dan kewajiban valuta asing serta self insurance. Upaya stabilisasi nilai tukar tersebut dilakukan melalui kebijakan intervensi secara terukur di pasar valuta asing. Keempat, penetapan minimal masa endap kepemilikan SBI yang dipegang pemilik. Ketentuan ini berlaku baik bagi penduduk 5 - 52
(residen) maupun non-residen. Pada bulan Juli 2010 masa endap kepemilikan SBI ditetapkan 1 bulan (one month holding period), namun kemudian diubah menjadi 6 bulan (six months holding period) sejak Mei 2011. Kebijakan ini diambil dengan mempertimbangkan bahwa aliran modal asing diperkirakan cukup besar dan sebagian dari dana tersebut bersifat jangka pendek sehingga rentan terhadap pembalikan secara tiba-tiba. Kelima, peningkatan manajemen perbankan melalui penyesuaian giro wajib minimum (GWM) valuta asing. Penyesuaian GWM dilakukan secara bertahap, yaitu menjadi 5% pada Maret 2011 dan menjadi 8% pada Juni 2011. Dalam kondisi likuiditas valuta asing yang melimpah, kenaikan GWM valuta asing diperkirakan dapat dipenuhi dengan memanfaatkan kelebihan likuiditas valuta asing tersebut. Di samping itu, kebijakan ini diperkirakan berdampak minimal terhadap biaya dana sehingga tidak akan mengganggu intermediasi perbankan. Kebijakan lain yang juga penting untuk dilaksanakan adalah kebijakan penjarangan lelang SBI dan penerbitan SBI dengan jangka waktu lebih panjang. Strategi ini selain bertujuan meningkatkan efektivitas pengendalian ekses likuiditas perbankan juga untuk mendorong penguatan manajemen risiko likuiditas dan mengurangi volatilitas aliran modal asing jangka pendek. Dengan diterapkannya strategi pengelolaan likuiditas tersebut, sejak triwulan I 2011 Bank Indonesia tidak lagi menerbitkan SBI 3 bulan dan 6 bulan, melainkan hanya menerbitkan SBI dengan tenor 9 bulan. Selanjutnya untuk menyerap kelebihan likuiditas, Bank Indonesia menyediakan transaksi Term Deposit (TD) secara non reguler dengan mengutamakan tenor di atas 1 bulan. Berbagai kebijakan moneter tersebut telah mempengaruhi perkembangan nilai tukar dan inflasi menjadi lebih stabil sepanjang tahun 2010 sampai dengan pertengahan tahun 2011 ini. 5 - 53
TABEL 5.16 LAJU INFLASI, BI RATE, DAN NILAI TUKAR 2004-2011 (PERSEN) Laju BI Nilai Periode Inflasi Rate*) Tukar Tahunan Rp/USD 2004 6,40 6,40 9.290 2005 17,11 12,75 9.830 2006 6,60 9,75 9.020 2007 6,59 8,00 9.419 2008 11,06 9,25 10.950 2009 2,78 6,50 9.400 2010 6,96 6,50 8.991 Jan 7,02 6,50 9.057 Feb 6,84 6,75 8.823 Mar 6,65 6,75 8.709 2011 Apr 6,16 6,75 8.574 Mei 5,98 6,75 8.537 Jun 5,54 6,75 8.597 Jul 4,61 6,75 8.508 Sumber: BPS dan BI Keterangan: *) posisi akhir periode untuk data tahunan
Di sisi nilai tukar, rupiah sepanjang tahun 2011 bergerak stabil dengan kecenderungan menguat sejak awal tahun. Pada akhir Juli rupiah ditutup pada level Rp8.508 per dolar AS, atau terapresiasi 5,37% dibandingkan dengan akhir tahun 2010. Perkembangan fundamental domestik yang cukup solid, di tengah faktor risiko global yang masih tinggi, menyebabkan secara umum rupiah bergerak menguat. Pemulihan ekonomi negara maju yang masih 5 - 54
diliputi ketidakpastian menjadi salah satu pendorong berlanjutnya aliran dana ke kawasan Asia, termasuk Indonesia. Beberapa faktor yang menghambat pemulihan ekonomi negara maju di antaranya adalah krisis utang Eropa, prospek perekonomian Jepang pascatsunami dan krisis nuklir, serta prospek perekonomian Amerika Serikat yang terancam resesi kembali. Pada triwulan I 2011 rupiah bergerak menguat dengan nilai tukar rata-rata sebesar Rp 8.897 per dolar AS dan ditutup pada level Rp 8.708 per dolar AS. Berbagai risiko ketidakpastian yang dihadapi negara-negara maju, serta melimpahnya likuiditas pascakebijakan stimulus di negara-negara maju menjadi pendorong pergerakan aliran dana menuju negera-negara emerging markets, termasuk Indonesia. Apresiasi rupiah masih berlanjut di triwulan II 2011. Hingga akhir Juli 2011, rata-rata nilai tukar rupiah mencapai Rp8.716 per dolar AS atau menguat 4,93 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2010. Negara-negara emerging markets Asia yang tumbuh lebih cepat menghadapi tekanan inflasi lebih awal sehingga harus menaikkan suku bunga. Hal itu justru menjadi daya tarik investasi bagi investor global, sehingga mata uang negara-negara di kawasan Asia masih mengalami penguatan, termasuk Indonesia. Minat investor terhadap aset rupiah tetap tinggi. Investor mempersepsikan investasi di aset rupiah relatif aman dan menguntungkan. Imbal hasil aset rupiah yang cukup menarik tercermin dari kondisi uncovered interest parity (UIP) maupun covered interest parity (CIP) yang terus meningkat. CIP yang meningkat tidak terlepas dari persepsi risiko ekonomi Indonesia yang terus membaik, tercermin dari indikator Credit Default Swap (CDS) yang terus bergerak menurun. Namun, penguatan rupiah ke depan akan dibayangi oleh meningkatnya risiko global terkait dengan penanganan krisis di Eropa serta berakhirnya kebijakan quantitative easing di negara maju.
5 - 55
Perkembangan inflasi di Indonesia masih tetap terkendali sehingga persen pada tahun 2010 tercatat sebesar 6,96 (yoy) dan menurun menjadi 4,61 persen (yoy) pada bulan Juli 2011. Tekanan inflasi sepanjang tahun 2011 masih cukup terkendali. Inflasi IHK 2011 sampai dengan Juli mencapai 1,74% (ytd), lebih rendah dari inflasi IHK periode yang sama tahun lalu yang mencapai 4,02% (ytd). Penurunan tekanan inflasi terutama berasal dari kelompok volatile food prices yang mengalami penurunan kenaikan harga. Penurunan kenaikan harga kelompok volatile food prices didorong oleh koreksi harga yang cukup signifikan komoditas pangan seperti cabai dan bawang merah. Selain itu, penurunan kenaikan harga beberapa komoditas pangan global, di antaranya minyak sawit mentah (Crude Palm Oil-CPO), mendorong harga komoditas domestik terkait, yaitu minyak goreng, untuk turun. Sampai dengan Juli 2011 inflasi inti mencapai 4,55% (yoy). Peningkatan inflasi kelompok inti terutama bersumber dari eksternal, terkait dengan kenaikan harga global dan inflasi mitra dagang. Namun, penguatan nilai tukar rupiah yang masih berlangsung mampu meredam peningkatan inflasi inti lebih lanjut. Dari sisi ekspektasi, hingga triwulan I 2011 ekspektasi inflasi relatif masih tinggi. Kebijakan menaikkan BI Rate sebesar 25 bps pada Februari 2011 mampu menahan pergerakan ekspektasi inflasi dari potensi peningkatan lebih lanjut. Pada triwulan II 2011 ekspektasi di pasar keuangan telah menunjukkan tren menurun, meskipun ekspektasi harga di tingkat pedagang dan konsumen masih meningkat. Dari sisi administered prices, tekanan inflasi hingga Juni 2011 relatif terjaga, meskipun meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Terjaganya inflasi kelompok administered prices terutama disebabkan oleh tidak adanya kebijakan strategis yang diambil Pemerintah. Inflasi administered prices hingga bulan Juli mencapai 4,54% (yoy). Komoditas administered prices yang berkontribusi pada inflasi tahun 2011 adalah rokok dan bahan bakar rumah tangga. 5 - 56
5.2.7 Sektor Keuangan Stabilitas sistem keuangan merupakan dampak langsung dari berbagai upaya serta kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Secara umum, langkah kebijakan perbankan tahun 2010 yang difokuskan pada penataan dan penguatan perbankan nasional dapat dicapai dengan baik. Namun, sejalan dengan tantangan yang semakin kompleks, maka kebijakan perbankan diarahkan pada bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, selain meningkatkan fungsi deteksi dini (early warning system) dan kegiatan surveillance untuk mendukung stabilitas sistem keuangan. Beberapa kebijakan yang telah ditempuh di sektor perbankan sampai dengan Juli 2011, antara lain: (i) penyempurnaan ketentuan terkait giro wajib minimum valuta asing dalam rangka memperkuat penerapan manajemen risiko likuiditas perbankan dengan meningkatkan kewajiban giro minimum dari 1 persen menjadi 8 persen yang dilakukan secara bertahap; (ii) penyempurnaan ketentuan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) menggunakan pendekatan standar yang ditujukan untuk meningkatkan daya tahan (resilience) perbankan nasional dalam menghadapi kondisi krisis dan persaingan global; (iii) Penerapan ketentuan Giro Wajib Minimum Loan-to-Deposit-Ratio (GWMLDR); (iv) Kewajiban pengumuman suku bunga dasar kredit (SBDK) kepada masyarakat yang ditujukan sebagai upaya meningkatkan transparansi dan mendorong kompetisi yang sehat dalam industri perbankan; dan (v) mendorong terbentuknya Biro Kredit Swasta dengan mengizinkan pihak swasta untuk turut serta dalam pengelolaan credit registry. Sementara itu, kebijakan yang telah ditempuh untuk meningkatkan akses kredit UMKM kepada perbankan antara lain: (i) percepatan pendirian Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD); (ii) percepatan pendirian lembaga pemeringkatan kredit bagi UMKM; (iii) pelaksanaan Program Financial Identification Number; 5 - 57
(iv) kerjasama dengan Pemerintah dan lembaga lainnya yang terkait, antara lain: Kerjasama Bank Indonesia dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam rangka Pengembangan Konsultan Keuangan/Pendamping UMKM Mitra Bank, Kerjasama dengan Kemenpera dan Bapepam-LK dalam bentuk penambahan dan sosialisasi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), dll. Di sisi perbankan syariah, arah pengembangan bank syariah tetap mengacu kepada Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia sebagai bagian dari Arsitektur Perbankan Indonesia (API), dimana sistem perbankan syariah dan konvensional secara sinergis mendukung pembiayaan sektor-sektor ekonomi yang produktif. Terkait pengembangan BPR, untuk mendukung program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme, telah dikeluarkan ketentuan yang memuat pedoman pelaksanaan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT) BPR. Di samping itu, sedang disusun Generic Model Apex BPR sebagai pedoman dalam pembentukan dan pelaksanaan Apex BPR, pengembangan assessment tools sebagai instrumen untuk menilai kelayakan BPR dalam memperoleh fasilitas pendanaan dari bank umum yang bertindak sebagai Apex BPR, dan pelaksanaan capacity building bagi SDM bank umum yang bertindak sebagai Apex BPR untuk mendukung pelaksanaan fungsi-fungsi Apex. Di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU), beberapa kebijakan yang ditetapkan, antara lain: (i) mengembangkan dan melaksanakan kebijakan, peraturan dan prosedur yang berkaitan dengan anti pencucian uang sesuai dengan UU TPPU; (ii) membangun kepedulian masyarakat akan pentingnya rezim anti pencucian uang; (iii) membantu penegak hukum dan lembaga terkait dalam melakukan penyidikan dan penuntutan TPPU; (iv) meningkatkan kerjasama dengan lembaga pemerintah domestik; (v) meningkatkan kerjasama dengan lembaga informasi intelijen di bidang keuangan internasional dan organisasi anti pencucian uang 5 - 58
lain; dan (vi) mengubah ketentuan-ketentuan yang terkait TPPU guna mengakomodasi international best practices. Dengan berbagai kebijakan tersebut di atas ketahanan sektor keuangan dapat terjaga serta kinerja fungsi intermediasi dan daya saing sektor keuangan semakin baik. Untuk sektor perbankan, antara lain ditunjukkan dengan kondisi rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio – CAR) bank umum yang berkisar antara 16-20 persen, yang berada jauh di atas ketentuan Bank Indonesia sebesar 8 persen. Rasio tersebut menunjukkan bahwa secara umum perbankan memiliki kemampuan yang cukup kuat untuk menghadapi potensi risiko ke depan. Seiring dengan perkembangan tersebut, kualitas pembiayaan perbankan pun terus membaik yang tercermin dari menurunnya indikator rasio kredit bermasalah (non performing loan – NPL) hingga mencapai 2,92 persen pada bulan Mei 2011 (Tabel 5.17). TABEL 5.17 INDIKATOR PERBANKAN NASIONAL 2010—2011 (PERSEN) Indikator 2010 20111) Rasio kecukupan modal (CAR) 17,18 17,41 Rasio kredit bermasalah (NPL) 2,56 2,92 Rasio pinjaman terhadap simpanan 75,21 78,45 (LDR) Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia Keterangan: 1) Angka Mei 2011
Fungsi intermediasi perbankan juga terus mengalami kenaikan yang tercermin dari peningkatan rasio pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio – LDR). Rasio tersebut cenderung meningkat dari 75,21 persen pada akhir tahun 2010 menjadi 78,45 persen pada 5 - 59
bulan Mei 2011 seiring dengan optimisme pelaku ekonomi terhadap prospek perekonomian. Di sisi pertumbuhan kredit, sampai dengan Mei 2011 kredit tumbuh sebesar 23,51 persen (yoy) dengan nilai Rp1.912,3 triliun. Jika dilihat dari komponennya, pertumbuhan kredit tertinggi terjadi pada kredit investasi sebesar 29,13 persen pada periode yang sama. Di sisi penghimpunan dana, simpanan masyarakat pada bank tumbuh sebesar 20,2 persen (yoy), yaitu dari Rp1.969,2 triliun pada Mei 2010 menjadi Rp2.366,9 triliun pada Mei 2011. Terjaganya kepercayaan masyarakat menjadi salah satu faktor pertumbuhan simpanan masyarakat yang tetap tinggi. TABEL 5.18 PERTUMBUHAN PENYALURAN DAN PENGHIMPUNAN DANA MASYARAKAT (RUPIAH DAN VALAS) 2010-2011 (PERSEN) Indikator 2010 20111) Penghimpunan Dana 20,45 20,20 - Deposito 18,62 16,02 - Tabungan 20,96 25,69 - Giro 23,70 21,71 Penyaluran Dana 23,28 23,51 - Kredit Investasi 16,85 29,13 - Kredit Modal Kerja 26,23 24,43 - Kredit Konsumsi 22,93 18,84 Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia Keterangan: 1) Angka Mei 2011
Sementara itu, penyaluran kredit Mikro, Kecil, dan Menengah (MKM) oleh perbankan juga terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 24,6 persen (yoy) pada Mei 2011 atau sedikit 5 - 60
menurun dibandingkan pertumbuhan kredit MKM pada Desember 2010 yang sebesar 25,7 persen. Kredit MKM pada Mei 2011 mencapai Rp1.009,9 triliun yang terdistribusi 53,2 persen untuk kredit konsumsi; 37,2 persen untuk kredit modal kerja, dan 9,6 persen untuk kredit investasi. Secara nominal masing-masing tumbuh sebesar 21,3 persen; 26,1 persen; dan 39,0 persen. Diharapkan di masa mendatang penyaluran kredit MKM dapat terus ditingkatkan. Pembiayaan melalui perbankan syariah juga terus meningkat. Pembiayaan melalui perbankan syariah tumbuh sebesar 47,7 persen (yoy) dari Rp53,2 triliun pada bulan Mei 2010 menjadi Rp78,6 triliun pada bulan Mei 2011. Dilihat dari komposisinya, pembiayaan yang keuntungannya telah disepakati dahulu (piutang murabahah) masih mendominasi. Selain itu, penghimpunan dana masyarakat pada Mei 2011 tumbuh sebesar 50,5 persen (yoy) dari Rp55,1 triliun menjadi Rp82,9 triliun pada periode yang sama. Walaupun pertumbuhan pembiayaan cukup baik namun masih lebih lambat jika dibandingkan pertumbuhan penghimpunan dana masyarakat sehingga menyebabkan rasio pembiayaan terhadap simpanan (financing to deposit ratio – FDR) melambat dari 96,7 persen menjadi 92,8 persen pada periode yang sama. Sementara itu kualitas pembiayaan perbankan syariah yang ditunjukkan dengan rasio pembiayaan bermasalah (non performing financing – NPF) cenderung stabil dan berada pada kisaran 3-5 persen. Terkait dengan pembiayaan mikro, jumlah BPR konvensional terus menunjukkan penurunan akibat konsolidasi industri dan pencabutan izin usaha BPR. Kredit yang disalurkan BPR tumbuh sebesar 20,6 persen (yoy) dari Rp 30,9 triliun pada bulan Mei 2010 menjadi Rp 37,2 triliun pada akhir Mei 2011. Dilihat dari komposisinya, sebagian besar kredit yang disalurkan BPR merupakan kredit modal kerja (49,4 persen), diikuti oleh kredit konsumsi (44,8 persen) kemudian kredit investasi (5,8 persen). Penghimpunan dana masyarakat pada BPR tumbuh sebesar 21,9 5 - 61
persen (yoy) dari Rp 27,9 triliun menjadi Rp 34,0 triliun pada periode yang sama. Dengan perkembangan tersebut, LDR BPR sebesar 81,6 persen pada Mei 2011. Kualitas kredit mengalami peningkatan yang ditunjukkan oleh menurunnya rasio NPL hingga mencapai 6,3 persen pada bulan Mei 2011. Namun perlu diwaspadai adanya potensi risiko pembiayaan kredit mengingat angka tersebut masih lebih tinggi dari ketentuan yang berlaku yaitu sebesar 5,0 persen. Sejalan dengan prospek perekonomian Indonesia yang membaik yang diikuti oleh menurunnya persepsi risiko, meningkatnya peringkat investasi Indonesia yang semakin mengarah pada peringkat layak investasi (investment grade) serta masih tingginya imbal hasil investasi rupiah yang masih menarik dibandingkan negara kawasan, indeks harga saham gabungan (IHSG) terus mengalami peningkatan. IHSG yang berada pada level 3.703,5 pada akhir Desember 2010 meningkat hingga mencapai 4.132,8 pada tanggal 26 Juli 2011. Namun, kinerja apik IHSG ini terganggu oleh gejolak harga saham yang terjadi di Amerika Serikat dengan turunnya indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) lebih dari 500 poin atau 4,3 persen pada 4 Agustus 2011. Kejatuhan ini juga dialami oleh indeks S&P 500 dan Nasdaq. Kondisi tersebut membawa imbas sentimen negatif terhadap bursa saham dalam negeri, di mana IHSG turun menjadi 3.850,27 pada sesi penutupan 8 Agustus 2011. Perkembangan IHSG ini tetap perlu dimonitor secara intensif dengan mencermati perkembangan global yang masih bergejolak. Selain itu, perkembangan IHSG juga perlu diwaspadai karena peningkatan harga yang terindikasi cenderung lebih tinggi dari perkembangan fundamentalnya sehingga berpotensi menimbulkan penggelembungan harga aset (asset price bubble). Dari segi kapitalisasinya, kapitalisasi pasar modal etrhadap PDB meningkat dari sebesar 47,8 persen terhadap PDB pada tahun 5 - 62
2009 menjadi sekitar 62,3 persen terhadap PDB pada tahun 2010. Meskipun demikian, peningkatan pesat dalam kapitalisasi pasar modal tidak diikuti peningkatan pesat dalam nilai emisi pasar modal yang hanya mengalami sedikit peningkatan dari 10,6 persen terhadap PDB pada tahun 2009 menjadi 11,1 persen terhadap PDB pada tahun 2010 (Tabel 5.19). TABEL 5.19 PERKEMBANGAN ASET LEMBAGA KEUANGAN DAN PASAR MODAL 2009—2010 2009 2010 Nilai
% PDB 45.8 45.1 0.7 11.1 5.8 1.8 3.1 0.1 0.3 56.9 10.6 7.5 3.1 47.8 36.0 11.8
Nilai
A. Perbankan 2,571.7 3,054,6 - Bank Umum 2,534.1 3,008.9 - BPR 37.6 45.7 B. Lembaga Keuangan 621.7 779.4 - Bukan Asuransi 325.7 399.7 Bank (LKBB) - Dana Pensiun 102.5 130.0 - Perusahaan Pembiayaan 174.4 230.3 Perusahaan Modal 3.2 3.5 - Pegadaian*) 15.9 n.a. Ventura C. Total (A + B) 3,193.4 3,834.0 D. Emisi Pasar Modal 594.9 710.5 - Nilai Emisi Saham 419.6 495.4 - Nilai Emisi Obligasi 175.3 215.1 Kapitalisasi Pasar Modal 2,682.4 4,003.7 - Saham 2,019.4 3,247.1 - Obligasi (korporasi & 663.0 756.6 Memorandum Item: SUN) PDB Nominal 5,613.4 6,422.9 Sumber: Kementerian Keuangan, BPS, dan Bank Indonesia
% PDB 47.6 46.8 0.7 12.1 6.2 2.0 3.6 0.1 n.a. 59.7 11.1 7.7 3.3 62.3 50.6 11.8
5 - 63
Selanjutnya, LKBB juga telah menunjukkan perkembangan yang cukup positif. Kepercayaan masyarakat terhadap LKBB sudah semakin baik, yang ditunjukkan oleh meningkatnya aset LKBB (asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, modal ventura, pegadaian) dari Rp 621,7 triliun pada tahun 2009 menjadi sekitar Rp 779,4 triliun pada tahun 2010 atau meningkat sekitar 24,3 persen per tahun. Kesadaran para penyedia jasa keuangan (PJK) untuk mematuhi ketentuan pelaporan semakin meningkat di berbagai industri keuangan. Luasnya cakupan wilayah Indonesia, besarnya jumlah penduduk, beragamnya bentuk kejahatan yang dilakukan memunculkan tantangan baru dan diperlukan kesungguhan dalam memanfaatkan semua sumber daya yang ada dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di Indonesia. Selama beberapa tahun terakhir, jumlah Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang disampaikan PJK kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terus meningkat pesat. Sampai dengan Mei 2011, sebanyak 160 PJK berbentuk bank dan 199 PJK non bank secara kumulatif telah menyampaikan 74.614 LTKM. Sedangkan Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) yang diterima oleh PPATK secara kumulatif berjumlah lebih dari 9,7 juta laporan. 5.2.8 Industri Arah kebijakan pembangunan industri dalam RPJMN 20102014 adalah melaksanakan revitalisasi sektor industri yang difokuskan untuk mencapai tiga hal. 1.
Penumbuhan Populasi Usaha Industri, dengan hasil peningkatan jumlah populasi usaha industri dengan postur yang lebih sehat.
2.
Penguatan Struktur Industri, dengan hasil yang diharapkan adalah semakin terintegrasinya IKM dalam gugus (cluster)
5 - 64
industri, tumbuh dan berkembangnya gugus (cluster) industri demi penguatan daya saing di pasar global. 3.
Peningkatan Produktivitas Usaha Industri, dengan hasil yang diharapkan adalah meningkatnya nilai tambah produk melalui penerapan iptek.
Dalam rangka mempercepat pemulihan kinerja industri periode 2010-2014, Kementerian Perindustrian telah menyusun serangkaian kegiatan yang tertuang dalam rencana pengembangan industri nasional dengan mengacu pada Kebijakan Industri Nasional (Perpres No. 28 Tahun 2008), RPJMN 2010-2014, dan Rencana Strategis Kementerian Perindustrian 2010-2014, serta strategi Kabinet Indonesia Bersatu I & II, yaitu pro growth, pro job, dan pro poor, yang kemudian disebut dengan Trilogi Pembangunan Industri, yang terdiri dari: 1.
Pertumbuhan industri, melalui pengembangan dan penguatan 35 klaster industri prioritas (pro growth),
2.
Pemerataan industri, melalui pengembangan dan penguatan industri kecil dan menengah (pro growth dan pro job),
3.
Persebaran industri, melalui pengembangan industri unggulan di 33 provinsi dan Kompetensi Inti Industri Kabupaten/Kota (pro job dan pro poor).
Langkah-langkah perbaikan dan kebijakan yang dilakukan dalam kurun waktu 2009-2010 tersebut ternyata dapat meningkatkan pertumbuhan industri nasional seperti yang diharapkan seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:
5 - 65
TABEL 5.20 PERTUMBUHAN INDUSTRI PENGOLAHAN (PERSEN) Cabang Industri 2010 2011* INDUSTRI PENGOLAHAN 4,48 6,09 Industri Pengolahan Migas -2,31 -0,10 Industri Pengolahan Non Migas 5,09 6,61 1) Makanan, Minuman, Tembakau 2,73 9,34 2) Tekstil, Brg. Kulit dan Alas Kaki 1,74 8,03 3) Brg. Kayu dan Hasil Hutan -3,50 3,01 4) Kertas dan Barang Cetakan 1,64 3,87 5) Pupuk, Kimia dan Barang Karet 4,67 6,62 6) Semen, Brg. Galian Non Logam 2,16 5,66 7) Logam Dasar Besi dan Baja 2,56 15,48 8) Alat Angkut, Mesin, dan Peralatan 10,35 4,41 9) Barang Lainnya 2,98 6,21 Sumber : BPS, 2011 Catatan : *) Angka Triwulan II 2011 (year on year)
Sementara itu, utilisasi rata-rata kapasitas produksi dari 9 sub sektor industri di atas menunjukkan angka yang cukup stabil dari tahun 2007 sebesar 72,92 persen, pada 2008 sebesar 72,27 persen, tahun 2009 sebesar 73,04 persen, dan pada 2010 sebesar 72,01 persen (Sumber: Kementerian Perindustrian). Jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri pengolahan dalam periode tahun 2010 sampai dengan 2011 mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Sakernas, BPS 2011) seperti yang terlihat pada tabel berikut:
5 - 66
TABEL 5.21 PENDUDUK USIA 15 TAHUN KE ATAS YANG BEKERJA DI SEKTOR INDUSTRI (JUTA ORANG) Lapangan Pekerjaan 2010 2011 Utama (Februari) (Februari) Sektor Industri 13,05 13,71 Seluruh Sektor 107,41 111,28 Sumber: Sakernas, BPS 2011 Sejalan dengan kondisi perbaikan pertumbuhan ekonomi dunia dan industri pengolahan, beberapa indikator lain menunjukkan bahwa sektor industri benar tumbuh dengan baik. Indikator-indikator tersebut antara lain adalah nilai ekspor produk industri, perkembangan penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing, serta jumlah kredit yang disalurkan oleh perbankan nasional ke sektor industri sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 5.22 dan Tabel 5.23. TABEL 5.22 EKSPOR PRODUK INDUSTRI TAHUN 2010 – 2011 Keterangan 2010 Total Ekspor (Milyar USD) 157,7 Produk Industri (Milyar USD) 98,0 Pertumbuhan Ekspor Produk Industri 33,5 (persen)
2011* 98,6 60,7 36,7
Sumber : Statistik Ekspor dan Impor BPS, 2011 Keterangan: *) sampai dengan Juni 2011
5 - 67
TABEL 5.23 PENANAMAN MODAL DAN PENYALURAN KREDIT DI SEKTOR INDUSTRI Keterangan 2010 2011 Jumlah Ijin Usaha Tetap 419 278 PMDN*) Nilai Realisasi Investasi 25,6 10,9 (Rp Triliun) Jumlah Ijin Usaha Tetap 1.096 542 PMA*) Nilai Realisasi Investasi 3,4 1,9 (USD Milyar) Posisi Pinjaman Bank ke Sektor 274,3 291,4 Industri (Rp Triliun) **) Sumber
:
*) **)
BKPM, 2011 : s.d Juni 2011 Bank Indonesia, 2011 : s.d Mei 2011
Untuk menunjang pertumbuhan industri, hasil-hasil yang dicapai per subsektor industri antara lain adalah sebagai berikut: 1.
5 - 68
Industri Pupuk: Dalam rangka pembangunan pabrik urea Kaltim-5, Natural Gas Supply Agreement (NGSPA) telah ditanda tangani antara PT. Pupuk kaltim dengan KKKS Eastkal untuk jangka waktu 10 tahun (2012-2021) serta kontrak pembangunan pabrik urea kapasitas 1,1 juta ton/tahun antara PT. Pupuk Kaltim dengan Konsorsium IKPT dan Toyo Engineering Corporation (TEC) pada tanggal 20 Juni 2011; telah ditandatangani MoA terkait alokasi pasokan gas bumi untuk pembangunan pabrik urea II PT. Petrokimia Gresik dari lapangan gas Cepu sebanyak 85 MMSCFD; telah ditandatangani Joint Venture Company antara PT. Petrokimia Gresik (Indonesia) dengan Jordan Phosphate Mines Company (JPMC) dari Jordan untuk membangun pabrik Phosphoric Acid (PA) di Gresik Jatim dengan kapasitas produksi 200.000 ton/tahun, pabrik diharapkan dapat beroperasi pada tahun
2013; telah ditandatangani MoU antara PT. Pusri (Persero) dengan Jordan Phosphate Mines Company (JPMC) tentang pembangunan pabrik pupuk NPK di Indonesia dengan kapasitas 200.000 – 300.000 ton/tahun dan penyediaan bahan baku phosphate dipasok oleh JPMC. 2.
Industri Gula: telah diberikan bantuan keringanan pembelian mesin/peralatan kepada 47 PG yang melakukan investasi dalam rangka peningkatan kapasitas produksi, efisiensi dan mutu gula; bantuan langsung mesin/peralatan kepada Pabrik Gula (PG) Semboro, PG Jatiroto dan PG Meritjanantara; telah diberikan bantuan kepada PT. Barata Indonesia dan PT. Boma Bisma Indra dalam bentuk peralatan foundry, peralatan las, CNC Cutting Machine, Deep Drill System, Electric Arc Furnace Heavy Duty, dll.
3.
Zona Industri di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK): telah disepakati kesepakatan/komitmen antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, PTPN III, serta instansi terkait lainnya dalam upaya percepatan pengembangan KEK Sei Mangkei; telah terbentuk kesepahaman antara pemerintah pusat dan daerah dalam perencanaan pengembangan KEK Bitung.
4.
Industri Hilir Kelapa Sawit: promosi investasi telah menarik beberapa investor untuk menanamkan investasinya, seperti Procter & Gambler dan Cargill International dari Amerika Serikat dan MEC dari UEA; telah diperoleh komitmen dari Kementerian PU untuk perluasan jalan menuju kawasan IHKS di Sei Mangke serta rencana pembangunan Rel Kereta Api yang akan menghubungkan kawasan Sei Mangke dengan Pelabuhan Kuala Tanjung oleh PT. KAI.
5.
Industri Tekstil dan Aneka: telah diberikan bantuan potongan harga pengadaan mesin peralatan kepada 511 perusahaan TPT; telah diberikan bantuan potongan harga pengadaan mesin 5 - 69
peralatan kepada 50 perusahaan industri Alas Kaki dan Penyamakan Kulit; meningkatnya investasi di sektor industri TPT dan aneka sebesar Rp.6,44 Triliun; meningkatnya efisiensi energi sebesar 6%-18%, produktivitas sebesar 7%17%, produksi sebesar 15%-28%, dan penyerapan tenaga kerja sebesar 55.000 orang 6.
Industri Kakao: pemberlakuan Bea Keluar biji kakao menyebabkan beberapa industri kakao yang sebelumnya berhenti beroperasi telah beroperasi kembali; volume ekspor biji kakao pada tahun 2010 turun sebesar 2% dibandingkan 2009, sementara itu volume ekspor kakao olahan naik sebesar 26%; investor Malaysia telah menanamkan modal dengan mendirikan pabrik PT. Asia Cocoa Indonesia di Batam yang mulai beroperasi pada bulan April 2011 dengan kapasitas 55.000 ton/tahun.
7.
Industri Karet: berkembangnya industri barang karet komponen otomotif yang high precision sehingga mampu mensuplai OEM permintaan principal; meningkatnya minat investasi barang karet di Sumatera Utara dan Jawa.
8.
Industri Rumput Laut: telah ditandatangani kesepakatan antar 6 (enam) Kementerian dalam rangka pengembangan industri rumput laut; meningkatnya jumlah unit usaha dan ekspor hasil industri rumput laut.
9.
Industri Kenderaan Bermotor: jumlah produksi KBM roda 4 pada tahun 2010 mencapai 702.781 unit dan diperkirakan pada akhir 2011 sebanyak 800.000 unit sedangkan KBM roda 2 pada tahun 2010 mampu memproduksi 7.395.390 unit dan diperkirakan sampai akhir tahun 2011 sebanyak 8.150.000 unit; beberapa perusahaan industri kendaraan bermotor roda 4 telah menyatakan keinginannya untuk berinvestasi dalam pembuatan kendaraan bermotor ramah lingkungan dan hemat energi seperti antara lain PT Astra Daihatsu Motor dan PT
5 - 70
Suzuki Indomobil; adanya komitmen investasi dari beberapa perusahaan mobil nasional di bidang otomotif seperti PT Suzuki Indomobil sebesar 800 juta USD, PT Astra Daihatsu Motor sebesar Rp. 2,1 Triliun dan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia sebesar Rp. 1,7 Triliun. Dengan komitmen investasi tersebut, diharapkan bisa menumbuhkan industri komponen sekitar 200 perusahaan. 10.
Industri Elektronika dan Telematika Meningkatnya investasi industri komponen elektronika untuk optical device pendukung industri telematika; meningkatnya kapasitas produksi industri printer; fasilitasi pembangunan pabrik batere kancing (coin battery) baru. Telah dikembangkan RICE (Regional IT Center of Excellence) di 10 (sepuluh) kota serta pengembangan IBC (Incubator Business Center) di 3 (tiga) kota, yang diharapkan dapat melahirkan wirausaha baru yang berkualitas dan mampu mendukung pengembangan industri Telematika; nilai belanja (Capex) peralatan telekomunikasi dalam negeri untuk 5 tahun ke depan senilai hampir Rp. 150 triliun, saat ini baru sekitar 3% nya yang dibelanjakan dari produk industri telekomunikasi dalam negeri; industri kabel optik dalam negeri telah mampu menghasilkan produk yang berkualitas dengan kandungan lokal mencapai lebih dari 40%. Dengan kapasitas terpasang produksinya sekitar 930.000 km per tahun, saat ini sedang diupayakan agar kemampuan industri kabel optik dalam negeri tersebut dapat dimanfaatkan dalam mendukung mega proyek "Palapa Ring".
11.
Industri Mesin Listrik dan Peralatan Listrik: pada tahun 2011, industri dalam negeri telah mampu melaksanakan produksi barang modal yang mampu bersaing dan memenuhi permintaan pasar dalam negeri dan luar negeri, seperti 5 - 71
memproduksi wastewater pump, pompa industri dan komponennya, dengan produk yang sudah digunakan di Pertamina Balongan, mesin diesel untuk keperluan industri, mesin proses untuk CNC; terpenuhinya berbagai kebutuhan untuk pengecoran keperluan industri dan manufaktur di dalam negeri; produksi dalam negeri (boiler) dalam rangka penyediaan 10.000 MW 12.
Pengembangan Industri Kecil dan Menengah: telah dilakukan revitalisasi sebanyak 40 UPT yang dapat melayani kurang lebih 30 IKM, sehingga dapat diasumsikan 1200 IKM yang dapat memanfaatkan teknologi; beberapa produk IKM seperti IKM makanan mengalami peningkatan nilai produksi disebabkan oleh banyaknya usaha IKM makanan ringan yang telah menerapkan teknologi proses, diversifikasi produk dan permintaan masyarakat yang semakin besar; beberapa produk IKM sandang seperti IKM batik, sutera, dan tenun mengalami peningkatan nilai produksi, hal ini terutama didorong tumbuhnya sentra-sentra baru di beberapa daerah dalam skala kecil, produk yang dihasilkan lebih bersifat spesifik dan khas daerah juga meningkatnya kontribusi ekspor dengan tujuan ke beberapa negara.
5.2.9 Ketenagakerjaan Dengan kondisi dan permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, maka kebijakan ketenagakerjaan diarahkan kepada: 1.
Mendorong terciptanya kesempatan kerja yang baik (decent work), yaitu lapangan kerja yang produktif dan memberikan perlindungan dan jaminan sosial yang memadai;
2.
Dalam rangka memperluas lapangan kerja seluas-luasnya, Pemerintah terus berupaya untuk menyempurnakan kebijakan ketenagakerjaan telah dilakukan dengan menekankan kepada prioritas pembangunan bidang ekonomi dalam rangka
5 - 72
meningkatkan daya saing ketenagakerjaan. Daya saing tenagakerjaan mempunyai tiga fokus prioritas, yaitu: (a) peningkatan kualitas dan kompetensi tenaga kerja untuk mempersiapakan calon pekerja/pekerja memasuki pasar kerja, (b) memperkuat kelembagaan hubungan industrial dan peraturan ketenagakerjaan, dan (c) meningkatkan mobilitas tenaga kerja dan fasilitasi perpindahan pekerja. Antara tahun 2010—2011, jumlah pengangguran terbuka telah menurun sekitar 472.000 orang dari 8,59 juta atau 7,41 persen dari seluruh angkatan kerja menjadi 8,12 juta atau 6,80 persen. Jumlah lapangan kerja yang berhasil tercipta mencapai 3,87 juta orang, yang sebagian besarnya adalah lapangan kerja sektor jasa (3,57 juta orang) dan disusul oleh sektor industri (657.000 orang), sementara lapangan kerja sektor pertanian berkurang 355.000 orang. Terus menyusutnya lapangan kerja di sektor pertanian dan meningkatnya lapangan kerja di sektor jasa menunjukkan gejala perpindahan pekerja dari sektor pertanian ke sektor jasa.
5 - 73
GAMBAR 5.24 ANGKATAN KERJA, BEKERJA, PENGANGGUR TERBUKA DAN TPT, 2009—2011 119,40
14%
111,28
116,53
108,21
116,00
107,41
113,83
104,87
104,49
12% 10%
80
8% 8,14%
7,87%
7,41%
60
7,14%
6,80%
6% 4%
20
2%
8,12
8,59
8,96
8,32
40
9,26
Jumlah (juta orang)
100
0
TPT (%)
120
113,74
140
0% Feb-‐09
Agt-‐09
Angkatan Kerja
Feb-‐10
Bekerja
Agt-‐10
Feb-‐11
Pengangguran Terbuka
TPT (%)
Sumber: Sakernas (BPS) TABEL 5.25 LAPANGAN KERJA MENURUT LAPANGAN KERJA UTAMA FEBRUARI 2009—FEBRUARI 2011 (JUTA ORANG) Lapangan Kerja Utama
Perubahan 2009-2010 2010-2011 -0,20 -0,36 0,43 0,66
Februari 2009
Februari 2010
Februari 2011
Pertanian 43,03 Industri 12,62 Jasa dan 48,84 Lainnya Total 104,49 Sumber: Sakernas (BPS)
42,83 13,05
42,47 13,71
51,53
55,10
2,69
3,57
107,41
111,28
2,92
3,87
5 - 74
Selain kuantitasnya meningkat, kualitas lapangan kerja yang tercipta pun membaik. Jumlah lapangan kerja formal meningkat 4,36 juta orang, sedangkan lapangan kerja informal menurun 485.000 orang. Dari seluruh lapangan kerja formal yang tercipta, sekitar 689.000 tenaga kerja atau 15,80 persen berhasil diserap melalui realisasi penanaman modal baik melalui penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA) antara tahun 2010 dan triwulan II/2011, dengan PMA memberikan andil terbesar, yaitu 10,65 persen. TABEL 5.26 LAPANGAN KERJA MENURUT STATUS PEKERJAAN (FORMAL-INFORMAL) FEBRUARI 2009—FEBRUARI 2011 Lapangan Kerja Menurut Status Pekerjaan
Perubahan
Februari 2009
Februari 2010
Februari 2011
2009-2010
2010-2011
31,88
33,74
38,10
1,86
4,36
72,60
73,67
73,18
1,07
-0,49
% Formal 30,51% Sumber: Sakernas (BPS)
31,41%
34,24%
Formal (juta orang) Informal (juta orang)
Untuk meningkatkan kualitas hubungan industrial, maka Pemerintah terus melakukan sosialisasi untuk menyamakan persepsi dan pemahaman tentang pelaksanaan hubungan industrial antara Pemerintah, pelaku bisnis dan pekerja yang antara lain tekait peraturan, tata cara penanganan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, serta peningkatan teknik-teknik bernegosiasi. Pemerintah telah mendorong terbentuknya lembaga tripartit di tingkat nasional dan provinsi serta lembaga bipartit di tingkat perusahaan; menyempurnakan peraturan-peraturan hubungan industrial; serta menangani kasus-kasus perselisihan di tingkat 5 - 75
provinsi dan kasus-kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) selama tahun 2010 dan 2011. Jumlah kasus perselisihan hubungan industrial tahun 2010 sebanyak 325 kasus yang terdiri dari kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 80 kasus yang melibatkan 6.357 pekerja, kasus yang bersifat hak sebanyak 201 kasus, dan kasus kepentingan sebanyak 41 kasus dan kasus antar serikat buruh/pekerja 3 kasus. Sekitar 70 persen kasus dapat diselesaikan melalui jalur musyawarah/mufakat (bipartit). Terkait penyempurnaan peraturan ketenagakerjaan, Pemerintah telah menyelesaikan draft penyempurnaan UndangUndang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan untuk selanjutnya dibahas dengan lembaga legislatif. Penyempurnaan dilakukan terhadap isu-isu antara lain tentang pengaturan mengenai kontrak kerja dan outsourcing, pengupahan, PHK, kompensasi uang pesangon, istirahat panjang dan penggunaan tenaga kerja asing. Terkait dengan penyelarasan peraturan pusat dengan daerah, Pemerintah telah mengidentifikasi dan menginventarisasi peraturan daerah tentang hubungan industrial dan jaminan sosial. Saat ini rekomendasi penyelarasan peraturan ketenagakerjaan daerah bidang hubungan industrial dan jaminan sosial sedang dibahas bersama antara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. Sementara itu, untuk memantapkan penerapan berbagai peraturan ketenagakerjaan, Pemerintah telah meningkatkan kualitas tenaga pengawas ketenagakerjan. Tahun 2010, jumlah tenaga pengawas kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang bersertifikat kompetensi meningkat 21,74 persen dari 69 orang menjadi 84 orang. Jumlah perusahaan yang menerapkan manajemen K3 pun meningkat dari 440 perusahaan pada tahun 2009 menjadi 508 perusahaan pada Oktober 2010 atau meningkat sebanyak 68 perusahaan (naik 15,45%).
5 - 76
Upaya peningkatan kualitas dan kompetensi tenaga kerja dilakukan antara lain dengan mengembangkan standar kompetensi kerja dan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja, memperkuat Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), mendorong terbentuknya lembaga sertifikasi profesi (LSP) dan tempat uji kompetensi (TUK), meningkatkan jumlah asesor kompetensi, serta melaksanakan berbagai pelatihan kerja―seperti pelatihan berbasis kompetensi (telah terlaksana untuk 11.300 orang selama Januari-Juli 2011) dan berbasis masyarakat (2.000 orang), pemagangan (5.150 orang), dan pelatihan kewirausahaan (4.120 orang). Selanjutnya, pengembangan lembaga pelatihan kerja dilakukan dengan meningkatkan kualitas tenaga pelatih/instruktur, kualitas sarana dan prasarana pelatihan, dan kualitas manajemen pengelolaan balai latihan kerja. Dalam rangka memberikan perlindungan TKI sejak proses penempatan, keberangkatan dan ketika bekerja di luar negeri, Pemerintah telah: (a) menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.14/MEN/X/2010 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri; (b) menyusun draft penyempurnaan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri; (c) mempertimbangkan secepatnya pelaksanaan ratifikasi konvensi buruh migran dan keluarganya agar Indonesia memiliki posisi tawar yang lebih kuat; (d) mengevaluasi dan memonitor kinerja PPTKIS agar diketahui dengan cepat jika terjadi PPTKIS yang melanggar norma-norma hukum yang berlaku; (e) meluncurkan program Kredit Usaha Rakyat bagi TKI (KUR-TKI) dengan tujuan untuk membantu TKI membiayai kebutuhan keuangan selama proses pengurusan dokumen, kesehatan, dan keberangkatan. Pada akhir tahun 2010, tiga bank siap menyalurkan KUR TKI yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, dan Bank Negara Indonesia (BNI). Kegiatan yang telah dilakukan terkait peningkatan pelayanan dan perlindungan TKI dapat dicermati dalam uraian Prioritas Nasional Bidang Ekonomi Lainnya. 5 - 77
Kegiatan yang telah dilakukan terkait pengembangan informasi pasar kerja adalah antara lain melanjutkan pengembangan infrastruktur pelayanan umum dan pendukung pasar kerja melalui pengembangan bursa kerja online di tingkat kabupaten/kota, penyelenggaraan job fair, peningkatan kerja sama antara lembaga bursa kerja dengan perusahaan, dan pembangunan pusat layanan informasi tenaga kerja percontohan. 5.2.10 Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Langkah-langkah perbaikan dalam pemberdayaan koperasi dan UKM telah dilaksanakan sesuai dengan arah kebijakan pemberdayaan koperasi dan UMKM di dalam RPJMN 2010-2014 yaitu: 1.
Meningkatkan iklim usaha yang kondusif bagi koperasi dan UMKM, yang mencakup penataan peraturan perundangundangan di bidang koperasi dan UMKM, serta pengembangan, pengendalian dan pengawasan koperasi;
2.
Mengembangkan produk dan pemasaran bagi koperasi dan UMKM, yang mencakup penyediaan dukungan pemasaran, produksi, kemitraan, investasi dan pengembangan produk unggulan;
3.
Meningkatkan daya saing sumber daya manusia (SDM) koperasi dan UMKM, yang mencakup pemasyarakatan dan pengembangan kewirausahaan, kapasitas dan kompetensi SDM, penyediaan layanan pengembangan bisnis, revitalisasi pendidikan dan pelatihan koperasi dan UMKM, serta peningkatan peran serta masyarakat dalam pengembangan SDM koperasi dan UMKM;
4.
Meningkatkan akses usaha mikro dan kecil kepada sumberdaya produktif, yang meliputi peningkatan askes permodalan, pengembangan dan pengendalian koperasi
5 - 78
simpan pinjam yang disertai dengan peningkatan kapasitas dan kompetensi pengelolanya, pengembangan jasa keuangan bagi koperasi dan UMKM, dan perluasan KUR; dan 5.
Memperkuat kelembagaan koperasi, yang mencakup peningkatan kualitas organisasi, badan hukum, dan ketatalaksanaan koperasi, pengembangan keanggotaaan koperasi melalui gerakan masyarakat sadar koperasi, peningkatan kapasitas kelembagaan koperasi dan pengembangan program pendanaan melalui koperasi.
Secara umum, kemajuan pemberdayaan koperasi ditunjukkan oleh jumlah koperasi yang mencapai 177.482 unit pada tahun 2010, dengan jumlah anggota mencapai lebih dari 30,46 juta orang. Jumlah koperasi dan anggota koperasi tersebut merupakan peningkatan masing-masing sebesar 4,15 persen dan 4,18 persen dibandingkan posisi pada tahun 2009. Kinerja usaha koperasi juga menunjukkan perbaikan. Volume usaha dan sisa hasil usaha koperasi pada tahun 2010 meningkat masing-masing sebesar 19,9 persen dan 5,2 persen, dibandingkan dengan posisi pada tahun 2009. Pemberdayaan UMKM juga menunjukkan kemajuan dari sisi penciptaan produk domestik bruto (PDB), penciptaan lapangan kerja, dan ekspor. Sumbangan UMKM dalam pembentukan PDB selama tahun 2010 adalah sebesar 57,12 persen dari total PDB Nasional. Jumlah UMKM pada tahun 2010 juga meningkat sehingga mencapai 53,82 juta unit, dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 99,40 juta orang. Jumlah unit UMKM dan serapan tenaga kerja tersebut meningkat masing-masing 2,01 persen dan 3,32 persen dibandingkan posisi di tahun 2009. Sementara itu produktivitas per unit UMKM (berdasarkan harga konstan tahun 2000) pada tahun 2010 juga menunjukkan peningkatan sebesar 3,69 persen dari produktivitas usaha pada tahun 2009. Namun sumbangan UMKM pada total ekspor non migas mengalami penurunan dari 17,02 persen pada tahun 2009 menjadi 15,81 persen pada tahun 2010. 5 - 79
Sementara itu berbagai hasil pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan koperasi dan UMKM pada tahun 2010 sampai dengan semester satu 2011, berdasarkan fokus-fokus prioritas dalam RPJMN 2010-2014 dan Renstra Kementerian Koperasi dan UKM 2010-2014, adalah sebagai berikut: 1.
Penyempurnaan dan peninjauan peraturan, yang meliputi (1) penyusunan dan penyempurnaan Rancangan Undang-Undang tentang Koperasi yang telah disampaikan Presiden RI kepada DPR-RI pada 1 September 2010, dan telah dilakukan tahap pembahasan awal di DPR-RI pada akhir tahun 2010; dan (2) peninjauan/evaluasi terhadap 60 Perda yang berpotensi menghambat perkembangan koperasi dan UMKM, dan mengusulkan 38 Perda untuk pembatalan/pencabutannya ke Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri. Untuk tahun 2011, jumlah Perda yang akan dievaluasi adalah sebanyak 40 Perda;
2.
Pemberian bantuan dana untuk mendukung pengembangan usaha koperasi yang bergerak di berbagai sektor telah dilaksanakan pada tahun 2010 dengan jumlah penerima sebanyak 62 koperasi di 44 kabupaten/kota di 13 provinsi. Pada tahun 2011, target koperasi penerima bantuan yaitu 84 koperasi, dan sampai dengan 30 Juni 2011 bantuan telah direalisasikan kepada 66 koperasi di 49 kabupaten/kota di 15 provinsi;
3.
Perbaikan sistem usaha, standarisasi produk dan pengembangan usaha, yang dilaksanakan melalui (1) perkuatan kelembagaan 2 koperasi garam di Jawa Barat pada tahun 2010 dan peningkatan produktivitas dan mutu garam dalam mendukung Program Pengembangan Usaha Garam Nasional (PUGAR); (2) sosialisasi dan pendampingan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) bagi UMKM di lima provinsi dengan melibatkan 250 UKM yang ditindaklanjuti dengan
5 - 80
pendaftaran sertifikasi merek sebanyak 100 produk UKM; (3) pengembangan sentra/klaster usaha mikro dan kecil di daerah tertinggal melalui bantuan dana bagi 500 usaha mikro dan kecil yang disalurkan melalui 25 KSP/USP koperasi di 19 Kabupaten di 5 Provinsi; (4) pengembangan rintisan one village one product (OVOP) melalui koperasi, yang pada tahun 2011 telah dilaksanakan di Bengkulu, Pacitan, Prabumulih, Tanggamus, dan Kota Palopo; dan (5) bimbingan teknis transaksi bisnis bagi 160 UKM industri kreatif/ produsen kerajinan kayu, rotan dan bambu yang berorientasi ekspor di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan NTB; 4.
Peningkatan jangkauan dan jaringan pemasaran produkproduk UMKM dan koperasi pada tahun 2010 dilaksanakan melalui: (1) revitalisasi 34 unit pasar tradisional dan 500 pedagang kaki lima (PKL) yang tersebar di 34 kabupaten/kota pada 22 provinsi dalam rangka perbaikan sarana dan sistem pengelolaannya; (2) pemberian bantuan sarana bagi PKL di daerah pasca gempa melalui 2 koperasi di Sumatera Barat dan 5 koperasi di Jawa Barat, serta PKL di 5 kabupaten/kota di 5 provinsi; (3) penyelenggaraan pasar rakyat di 6 lokasi dengan melibatkan sekitar 1.300 pengusaha skala mikro dan koperasi; (4) fasilitasi pengembangan kerja sama antara pemilik bisnis ritel besar dan koperasi dan UMKM dalam pemasaran produkproduk koperasi dan UMKM, serta dalam peningkatan sistem pengelolaan toko koperasi sehingga lebih modern dan berdaya saing; dan (5) pengembangan pusat-pusat promosi SMESCO (Small and Medium Enterprises and Coopetatives) yang sampai dengan tahun 2011 mencakup lima SMECO UKM di Provinsi DKI Jakarta, Sumatera Selatan; Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara;
5.
Peningkatan penyediaan pendampingan usaha dan jasa informasi/komunikasi melalui pemberdayaan Lembaga 5 - 81
Pendamping (LPB/BDS-P), pengembangan Pusat Komunikasi Bisnis Koperasi dan UMKM (PUSKOMBIS KUMKM) yang dikelola oleh koperasi di 10 provinsi, dan pengembangan kerja sama investasi dan pemasaran yang melibatkan 130 UKM; 6.
Pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi 4.035 orang SDM koperasi dan UMKM yang meliputi diklat kewirusahaan, keterampilan teknis di industri kreatif, perkoperasian; pengembangan tempat praktek keterampilan usaha (TPKU), peningkatan kapasitas manajerial dan teknis UMKM, dan sertifikasi pengelola koperasi jasa keuangan (KJK). Khusus untuk sertifikasi kompetensi manajer/kepala cabang KJK, pada tahun 2010 telah diberikan kepada 450 orang;
7.
Pemasyarakatan dan pengembangan kewirausahaan melalui: (1) penyelenggaraan Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) yang meliputi pembekalan kewirausahaan bagi 6.213 sarjana di 11 provinsi, pengembangan 200 unit TPKU pada lembaga pendidikan di pedesaan dalam rangka menumbuhkan calon wirausaha di kalangan siswa sekolah menengah, bimbingan penyusunan proposal usaha teknis bagi 544 calon wirausaha untuk mengakses permodalan dari Lembaga Pengelola Dana Bergulir-KUMKM, dan pengembangan aplikasi untuk mendukung penyediaan informasi bagi wirausaha; (2) penguatan UKM tenant di inkubator teknologi dan bisnis melalui matchmaking dengan lembaga keuangan, pelatihan emarket, dan temu bisnis; (3) penerbitan SKB Kementerian KUKM, Kementerian Diknas, dan Kementerian Ristek tentang Gerakan Pengembangan Inkubator Bisnis dan Teknologi dalam Menumbuhkembangkan Wirausaha Inovatif; dan (4) penyelenggaraan lokakarya internasional terkait pengembangan inkubator yang melibatkan peserta dari negaranegara ASEAN dan 11 inkubator dari Indonesia;
5 - 82
8.
Pemasyarakatan perkoperasian melalui Gerakan Masyarakat Sadar Koperasi (GEMASKOP) yang mulai diluncurkan pada tahun 2010 yang memiliki tujuan untuk (1) meningkatkan motivasi masyarakat untuk mau berkoperasi, dan berpartisipasi dalam memperbaiki kualitas kelembagaan dan usaha koperasi yang ada; dan (2) mendorong pertumbuhan koperasi berskala besar di tiap provinsi; dan
9.
Perbaikan kelembagaan koperasi pada tahun 2010 dilaksanakan melalui: (1) pembenahan koperasi tidak aktif, (2) peningkatan jumlah koperasi yang menerapkan pertanggungjawaban laporan keuangan yang transparan dan akuntabel; (4) peningkatan kapasitas aparat pembina koperasi; (4) penguatan kerja sama antar koperasi; (5) pemeringkatan koperasi dari aspek kelembagaan yang mencakup 1.503 koperasi, dengan hasil 1,321 unit koperasi dikategorikan sebagai koperasi yang berkualitas. Jumlah tersebut menambah daftar koperasi berkualitas yang sampai dengan tahun 2009 sudah mencapai 53.501 koperasi. Hasil penilaian ini tidak saja digunakan sebagai indikator kualitas kelembagaan koperasi, namun juga diharapkan dapat menjadi ukuran bagi mitra koperasi, terutama dari kalangan lembaga keuangan dan usaha besar, untuk dapat menjalin kerja sama dan kemitraan dengan koperasi.
5.2.11 Jaminan Sosial Langkah-langkah kebijakan dan hasil yang dicapai dalam perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat dilaksanakan melalui program-program dan kegiatan yang berkesinambungan. Dalam rangka pengembangan SJSN, sesuai amanat konstitusi, akan diterapkan beberapa strategi dan kebijakan untuk perbaikan pelaksanaan program dan kegiatan jaminan sosial, antara lain dengan menyusun peraturan perundangan dan peraturan teknis terkait 5 - 83
pelaksanaan jaminan sosial berikut strategi transformasi badan penyelenggara jaminan sosial. Selain itu, diperlukan upaya sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya jaminan sosial berbasis asuransi, serta pemahaman kepada masyarakat mengenai prinsip-prinsip asuransi seperti kepesertaan wajib. Selanjutnya, diperlukan sosialisasi kepada masyarakat, khususnya bagi kelompok masyarakat miskin dan tidak mampu yang akan menjadi penerima bantuan iuran, sehingga seluruh masyarakat tanpa kecuali akan tercakup dalam skema jaminan sosial. Saat ini, Pemerintah dan DPR sedang dalam proses melakukan pembahasan RUU BPJS (Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang merupakan amanat UU SJSN. Diharapkan pada tahun ini pula, RUU BPJS dapat diundangkan. Selain itu, kegiatan lain yang dilaksanakan pemerintah dalam waktu dekat adalah penyusunan peta jalan (roadmap) pencapaian kepesertaan menyeluruh (universal coverage) program jaminan kesehatan.
5.3
TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
5.3.1 Investasi Beberapa langkah penting ke depan yang perlu dilakukan dalam upaya peningkatan kinerja investasi antara lain adalah: 1.
5 - 84
Percepatan pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah, terutama di pusat-pusat pertumbuhan. Untuk itu, sebagai prasyarat diperlukan berbagai langkah perbaikan antara lain adanya kepastian hukum penanganan prosedur akuisisi lahan, peningkatan efektivitas koordinasi antar lembaga dalam proyek-proyek infrastruktur, termasuk kemitraan publikswasta.
2.
Memenuhi kebutuhan energi termasuk mengembangkan peluang dan berkembangnya penggunaan energi alternatif.
3.
Peningkatan efektivitas koordinasi antar lembaga, antar pusat dan daerah, serta sinkronisasi kewenangan dalam rangka peningkatan pelayanan investasi.
4.
Melaksanakan harmonisasi antar peraturan yang terkait dengan penanaman modal, baik horisontal maupun vertikal, serta menerbitkan perangkat peraturan lainnya untuk mempercepat implementasi UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
5.
Melakukan upaya simplifikasi berbagai perangkat peraturan untuk mengurangi panjangnya rantai birokrasi termasuk waktu dan biaya untuk memulai usaha baru, menerapkan efisiensi perijinan dengan menggabungkan berbagai ijin, dan mengurangi persyaratan untuk memperoleh perijinan. Menyelesaikan rencana aksi penerapan PTSP untuk penanaman modal, malakukan pembinaan, dan peningkatan kapasitas SDM pelaksana PTSP, termasuk memfasilitasi PTSP dengan Sistem Pelayanan Informasi dan Perijinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE).
5.3.2 Ekspor Untuk terus meningkatkan peran ekspor nonmigas terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, beberapa upaya tindak lanjut yang perlu dilakukan antara lain adalah: 1.
Meningkatkan efektivitas upaya untuk peningkatan penetrasi pasar ekspor, baik melalui promosi maupun diplomasi perdagangan, untuk dapat meningkatkan peran ekspor nonmigas di selain pasar ekspor utama.
2.
Meningkatkan upaya untuk memperbaiki kualitas dan mutu produk ekspor, sehingga dapat sesuai dengan standar produk internasional, yang antara lain akan dilakukan melalui: pertemuan teknis peningkatan mutu, koordinasi jejaring 5 - 85
laboratorium penguji mutu, serta fasilitasi sertifikasi terhadap dunia usaha dalam rangka penerapan SNI wajib. 3.
Meningkatkan kesadaran pelaku usaha dalam negeri tentang adanya instrumen pengamanan perdagangan yang dapat dimanfaatkan untuk melindungi produk domestik. Upaya ini antara lain akan dilakukan melalui desiminasi informasi berupa sosialisasi dan advokasi tentang mekanisme pengajuan dan penggunaan BMAD serta instrumen lainnya.
5.3.3 Pariwisata Dalam rangka meningkatkan kinerja pariwisata, tindak lanjut yang diperlukan antara lain: 1.
Meningkatkan daya saing destinasi pariwisata nasional melalui penataan dan penguatan manajemen destinasi pariwisata, peningkatan daya tarik wisata bahari dan budaya; mendorong dan memfasilitasi perbaikan dan peningkatan kualitas jaringan prasarana dan sarana pendukung pariwisata; melakukan konsolidasi akses transportasi mancanegara dalam dan luar negeri; meningkatkan daya tarik pariwisata di pulau-pulau terdepan dan wilayah perbatasan yang mempunyai potensi pariwisata; dan mengembangkan desa wisata melalui PNPM Mandiri;
2.
Mengembangkan usaha, industri dan investasi pariwisata, terutama yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja antara lain melalui penciptaan iklim yang kondusif dengan penataan kebijakan usaha pariwisata; penyusunan dan penerapan pedoman sertifikasi usaha, pengaturan usaha dan kompetensi tenaga kerja di bidang kepariwisataan;
3.
Mengembangkan pemasaran dan promosi pariwisata di dalam dan di luar negeri melalui peningkatan efektifitas pemasaran
5 - 86
dan promosi pariwisata terpadu berbasis teknologi informasi dan komunikasi, dan responsif terhadap pasar; pengembangan analisa dan informasi pasar; dan memfasilitasi pembentukan Badan Promosi Pariwisata Indonesia; 4.
Mengembangkan sumber daya pariwisata melalui penguatan sumber daya pariwisata dengan mendorong peningkatan kapasitas pemerintah dan pemangku kepentingan pariwisata lokal untuk mencapai tingkat mutu pelayanan dan hospitality management yang kompetitif di kawasan Asia; pengembangan dan penguatan kelembagaan kepariwisataan, dan mendorong peningkatan kualitas penelitian dan pengembangan kepariwisataan;
5.
Meningkatkan koordinasi lintas sektor pada tataran kebijakan, program, dan kegiatan kepariwisataan, terutama di bidang pelayanan kepabeanan keimigrasian, dan karantina; keamanan dan ketertiban; prasarana umum yang mencakup jalan, air bersih, listrik, telekomunikasi, dan kesehatan lingkungan; transportasi darat, laut, dan udara; promosi dan kerjasama luar negeri; dan koordinasi dan kerja sama dengan pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat.
5.3.4 Konsumsi Masyarakat Untuk terus meningkatkan peran perdagangan dalam negeri terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, beberapa upaya tindak lanjut yang perlu dilakukan antara lain adalah: 1.
Meningkatkan intensitas pemantauan harga dan suplai kebutuhan pokok di seluruh Indonesia melalui optimalisasi sistem peringatan dini (Early Warning System/EWS); serta efisiensi jalur distribusi, terutama barang-barang pokok, sehingga dapat dilakukan langkah antisipasi untuk meredam 5 - 87
kenaikan harga akibat adanya gangguan suplai maupun lonjakan permintaan di hari-hari raya keagamaan. 2.
Peningkatan upaya perlindungan terhadap konsumen dan pasar domestik, melalui upaya pencegahan barang-barang impor ilegal, penerapan SNI untuk produk-produk industri yang beredar, serta peningkatan efektivitas upaya perlindungan konsumen lainnya seperti meningkatkan awareness konsumen dengan memberikan advisory.
3.
Peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan peningkatan citra produk Indonesia, sehingga masyarakat Indonesia lebih memilih untuk menggunakan barang produksi dalam negeri dibandingkan dengan barang impor.
4.
Peningkatan penegakan hukum persaingan usaha ke depan akan difokuskan pada empat kegiatan prioritas yaitu: Investigasi Dugaan Pelanggaran Persaingan Usaha Sehat; Penindakan Pelanggaran Persaingan Usaha Sehat; Penilaian dan Notifikasi Merger dan Akuisisi, serta Harmonisasi Kebijakan Persaingan Usaha. Upaya ini tentunya akan diiringi pula dengan sosialisasi yang intensif kepada dunia usaha dan masyarakat luas, sehingga peran persaingan usaha dalam mendorong perekonomian akan menjadi lebih besar.
5.3.5 Keuangan Negara Dengan berbagai tantangan yang akan dihadapi, kebijakan fiskal diarahkan untuk menjaga defisit anggaran tetap terkendali tanpa mengurangi dukungan terhadap peningkatan pengelolaan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai sasaran tersebut perlu dilakukan kebijakan paralel berupa optimalisasi penerimaan Negara yang disertai dengan efisiensi belanja dan penyesuaian pembiayaan. 5 - 88
Dalam mencapai optimalisasi sumber-sumber pendapatan negara diperlukan berbagai langkah-langkah kebijakan. Untuk penerimaan perpajakan, pemerintah melakukan langkah-langkah kebijakan yang masih merupakan kelanjutan dari kebijakan tahuntahun sebelumnya, yaitu: (a) penggalian potensi perpajakan melalui perbaikan basis data WP dan pelaksanaan sensus pajak nasional; (b) peningkatan kualitas pemeriksaan pajak; (c) penyempurnaan mekanisme atas keberatan dan banding dalam proses pengadilan pajak; (d) peningkatan pengawasan dan pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai; (e) perbaikan sistem informasi; (f) konsistensi pelaksanaan road map cukai hasil tembakau; (g) pemberian insentif perpajakan dalam bentuk pajak DTP. Selain itu, untuk memperbaiki sistem administrasi perpajakan, pemerintah mengalihkan BPHTB menjadi pajak daerah pada tahun 2011, serta PBB perdesaan dan perkotaan secara bertahap sampai dengan 2014. Sementara itu di bidang kepabeanan, optimalisasi dilakukan antara lain melalui peningkatan akurasi penelitian nilai pabean dan klasifikasi barang impor, peningkatan efektivitas pemeriksaan fisik barang, peningkatan kolektibilitas piutang kepabaenan dan cukai, dan peningkatan pengawasan di daerah perbatasan, terutama jalur rawan penyelundupan, serta optimalisasi fungsi unit pengawasan melalui peningkatan patroli darat dan laut. Di bidang cukai, tindak lanjut yang diperlukan antara lain berupa konsistensi pelaksanaan road map cukai dan ekstensifikasi barang kena cukai. Dari sisi penerimaan negara bukan pajak, langkah-langkah optimalisasi juga akan terus dilakukan, terutama dari penerimaan SDA dan bagian laba atas BUMN. Dari sisi belanja, sebagai bentuk pengalokasian belanja yang efisien dan efektif, belanja pemerintah pusat diarahkan untuk mendukung program-program yang masuk dalam 11 prioritas pembangunan. Sementara itu, belanja pegawai diarahkan untuk mendukung pelaksanaan reformasi birokrasi dengan tetap 5 - 89
memperhatikan kemampuan anggaran. Alokasi belanja modal diarahkan untuk mendukung upaya percepatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Selain itu, upaya untuk mengurangi belanja subsidi yang tidak tepat sasaran tetap dilanjutkan. Transfer ke daerah terus diupayakan untuk: (a) meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah dan antar-daerah; (b) menyelaraskan kebutuhan pendanaan di daerah sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota; (c) meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan public antar-daerah; (d) mendukung kesinambungan fiskal nasional dalam rangka kebijakan ekonomi makro; (e) meningkatkan kemampuan daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah; (f) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; (g) meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional dengan rencana pembangunan daerah; (h) mendukung kesinambungan fiskal nasional dalam rangka kebijakan ekonomi makro. Dari sisi pembiayaan, langkah-langkah yang tetap harus dipertahankan adalah dengan tetap mengutamakan penerbitan SBN (SUN dan Sukuk) rupiah di pasar domestik, sementara pinjaman Luar Negeri/PLN diprioritaskan dari sumber yang efisien, berisiko rendah, dan tanpa agenda politik. Selain itu, penggunaan dana SAL untuk menutupi kekurangan pembiayaan juga harus menjadi prioritas. 5.3.6 Moneter Stabilitas harga dan nilai tukar Rupiah serta pengamanan pasokan bahan pokok, diarahkan pada peningkatan dan pemantapan koordinasi otoritas fiskal, moneter dan keuangan serta sektor riil (produksi, perdagangan dalam negeri dan ekspor-impor). Hal tersebut disertai dengan peningkatan koordinasi kebijakan kerjasama 5 - 90
luar negeri dan koordinasi kebijakan infrastruktur transportasi, serta meningkatkan kapasitas dan peran aktif para pemangku kepentingan daerah dalam pengendalian stabilitas ekonomi di tingkat lokal (Propinsi dan Kabupaten /Kota). Melalui kebijakan tersebut diharapkan laju inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah dapat terjaga. Selain itu, upaya tersebut didukung pula oleh upaya pembangunan dan pengembangan sarana distribusi, pengembangan pasar lelang daerah serta peningkatan perlindungan konsumen. Adapun strategi secara rinci akan ditempuh adalah sebagai berikut: 1.
2.
3.
4.
Meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter serta kebijakan terkait lainnya dalam rangka pengendalian inflasi sesuai dengan sasaran yang ditentukan (inflation targetting). Menjaga stabilitas harga dan pengamanan produksi/pasokan dan distribusi barang/jasa, terutama bahan makanan pokok yang harganya mudah bergejolak, baik di perkotaan maupun di perdesaan antara lain melalui percepatan pelaksanaan Sistem Logistik Nasional; Mendorong keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, baik di pusat (Kementerian/Lembaga terkait serta asosiasi produsen/ pedagang dan asosiasi konsumen) maupun di daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam pemantauan, evaluasi, dan pengendalian perkembangan harga bahan pokok secara intensif. Untuk itu akan didorong perluasan pembentukan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota terkait; Mengembangkan dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang terkoordinasi untuk mengatasi masalah struktural, seperti percepatan pembangunan infrastruktur serta reformasi regulasi/kebijakan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi,
5 - 91
5.
6.
7.
baik di pusat (Kementerian/Lembaga) maupun daerah (provinsi dan kabupaten/kota); Meningkatkan kualitas kelembagaan termasuk pola pikir dunia usaha dan masyarakat bahwa kenaikan harga yang rendah dan wajar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi tingkat kemiskinan; Meningkatkan fungsi pengawasan mandiri masyarakat untuk mengendalikan inflasi antara lain melalui sosialisasi kebijakan pengendalian harga dan kebijakan terkait lainnya, peningkatan peran lembaga konsumen dan lembaga-lembaga survei pemantau harga untuk ikut memantau perkembangan harga di daerah sehingga kenaikan harga selanjutnya dapat cepat diantisipasi. Mendorong pengembangan bauran kebijakan moneter serta kebijakan makroprudensial terutama untuk pengelolaan ekses likuiditas dan arus modal asing untuk mengurangi dampak negatif dari aliran masuk modal asing dan ketidakstabilan perekonomian global terhadap perekonomian domestik dan sistem keuangan nasional.
5.3.7 Sektor Keuangan Posisi perbankan hingga saat ini masih sangat diharapkan dan diperlukan sebagai agen pembangunan dan katalisator pertumbuhan ekonomi dalam pembiayaan terhadap sektor riil. Namun perlu diwaspadai masih tingginya marjin antara suku bunga kredit dan suku bunga deposito, yang menunjukkan adanya inefisiensi di dalam industri perbankan. Upaya untuk meningkatkan efisiensi perbankan telah dimulai semenjak 2010, antara lain dengan dikeluarkannya ketentuan kewajiban untuk mengumumkan suku bunga dasar kredit peminjam utama (prime lending rate). Namun, perlu terus diupayakan langkah-langkah proaktif untuk meningkatkan efisiensi industri perbankan dengan membantu bank untuk dapat mengindentifikasi sumber inefisiensi dan mencari cara 5 - 92
untuk meningkatkan efisiensi agar penetapan suku bunga kredit menjadi lebih wajar. Upaya peningkatan efisiensi industri perbankan juga didorong melalui pendalaman pasar keuangan (financial deepening). Di samping itu, program konsolidasi untuk mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan kompetitif tetap didorong untuk dilanjutkan yang disertai dengan upaya-upaya peningkatan sinergi antara berbagai jenis bank melalui penyempurnaan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Selain itu, untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan yang relatif masih rendah, sedang dirumuskan strategi nasional keuangan inklusif sebagai kerangka acuan yang memuat langkah-langkah strategis. Hal ini diupayakan dalam rangka membuka akses masyarakat yang belum terhubung dengan jasa keuangan, maupun lembaga perbankan, termasuk pencanangan Gerakan Ayo Menabung dan Program TabunganKu. Industri perbankan dan keuangan syariah secara umum memiliki potensi besar untuk berkontribusi secara lebih optimal dalam mendukung stabilitas makroekonomi, meningkatkan harkat dan kesejahterahan usaha mikro dan kecil, serta mengatasi permasalahan kesenjangan antara perkembangan sektor keuangan dan sektor riil (financial detachment). Kontribusi yang lebih optimal dapat lebih mudah diwujudkan apabila pangsa dan volume kegiatan usaha keuangan syariah di Indonesia mencapai besaran yang signifikan. Oleh sebab itu, diharapkan upaya maksimal dari seluruh pemangku kepentingan dalam: (i) memenuhi kebutuhan SDM bank syariah, (ii) meningkatkan pemahaman masyarakat dan kepedulian semua pihak terhadap perbankan syariah, (iii) mengeluarkan regulasi dan peraturan perbankan yang semakin mendukung perkembangan bank dan pasar keuangan syariah, (iv) meningkatkan infrastruktur pendukung operasi perbankan syariah, serta (v) meningkatkan peran pemerintah utamanya pengelolaan dana haji dan penempatan dana yang lebih besar di industri perbankan syariah. 5 - 93
Tindak lanjut yang perlu dilakukan untuk mendorong pengembangan dan pemberdayaan UMKM dari sisi pembiayaan antara lain: (i) meningkatkan upaya-upaya pemberian bantuan teknis kepada pemangku kepentingan yang terkait untuk akses pembiayaan perbankan, serta (ii) melakukan koordinasi dengan Otoritas Perbankan dalam upaya pengembangan kelembagaan seperti program linkage program, perluasan lembaga penjaminan kredit daerah, penguatan kelembagaan BPR, pendirian lembaga-lembaga yang mendorong akses kredit ke UMKM, pengembangan Apex bank bagi UMKM, serta kegiatan lainnya. Upaya pencegahan TPPU dan pendanaan terorisme dilakukan melalui penerapan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) antara lain: (i) pembuatan nomor identitas tunggal (single identiy number) bagi semua warga negara Indonesia, (ii) pengelolaan basis data secara elektronik dan ketersambungan (connectivity) basis data antar instansi terkait, serta (iii) peningkatan pengawasan kepatuhan penyedia jasa keuangan. Pada tahun mendatang arah kebijakan dalam meningkatkan ketahanan sektor keuangan akan dilakukan melalui: (i) pemantapan koordinasi kebijakan fiskal, moneter dan sektor keuangan termasuk kerja sama dengan otoritas pasar modal dan lembaga jasa keuangan di negara lain, (ii) perkuatan lembaga pengawas jasa keuangan (Otoritas Jasa Keuangan/OJK) termasuk infrastruktur pendukungnya seperti Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), Arsitektur Sektor Keuangan Indonesia (ASKI) dan sistem peringatan dini (early warning system – EWS) bagi potensi krisis keuangan sistemik, (iii) perkuatan kualitas manajemen dan operasional lembaga jasa keuangan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan kemudahan bertransaksi serta pelaporan di bidang pasar modal/lembaga jasa keuangan, serta (iv) perkuatan perlindungan bagi konsumen/investor lembaga jasa keuangan termasuk pemantapan koordinasi penegakan hukum di bidang pasar modal dan lembaga jasa keuangan. 5 - 94
5.3.8 Industri Pelaksanaan RPJMN 2010-2014 bidang industri ke depan akan diarahkan untuk menumbuhkan industri-industri komoditi unggulan di koridor-koridor ekonomi menurut Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Koridor ekonomi merupakan pendekatan pembangunan untuk lebih meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam pada lokasi yang bersangkutan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah penghasil. Untuk dapat mendorong pertumbuhan pemanfaatan sumber daya alam tersebut diperlukan berbagai infrastruktur yang terintegrasi dalam suatu struktur ruang spasial atau kewilayahan di Indonesia, serta dukungan berbagai instrumen yang dimiliki pemerintah baik berupa insentif fiskal maupun administratif. Pemerintah merencanakan pengembangan Koridor Ekonomi Indonesia, yang terbagi dalam 6 (enam) koridor, yaitu Koridor Ekonomi Pantai Timur Sumatera - Jawa Barat Laut, Koridor Ekonomi Jawa Utara, Koridor Ekonomi Kalimantan, Koridor Ekonomi Sulawesi, Koridor Ekonomi Jawa Timur – Bali - Nusa Tenggara, dan Koridor Ekonomi Papua. Sementara itu Klaster industri yang akan dikembangkan untuk mendukung MP3EI antara lain : (1) industri hilir kelapa sawit, (2) industri hilir karet, (3) industri berbasis migas kondensat, (4) industri baja, (5) industri nikel, (6) industri aluminium, (7) industri galangan kapal, dan (8) industri telematika. Mengingat sumber daya yang tersedia terbatas, maka diusulkan perlu difokuskan pembangunan koridor ekonomi pada 2 (dua) wilayah untuk dikembangkan yaitu (1) Koridor Pantai Timur Sumatera - Jawa Barat Laut, dan (2) Koridor Ekonomi Jawa Utara. Adapun klaster industri yang berlokasi di kedua koridor ekonomi tersebut di atas yaitu:
5 - 95
1.
2.
Koridor Pantai Timur Sumatera - Jawa Barat Laut • Industri Hilir Kelapa Sawit di Sei Mangke Sumatera Utara; • Industri Hilir Kelapa Sawit di Dumai dan Kab.Kuala Enok Riau; • Industri Hilir Karet di Sei Bamban, Sumatera Utara; • Industri Hilir Karet di Sarolangun, Jambi; • Industri Hilir Karet di Muara Enim, Sumatera Selatan; • Industri Hilir Karet di Bandung, Subang dan Bogor, Jawa Barat; • Industri Berbasis Migas di Cilegon Banten; • Industri Alumunium di Kuala Tanjung Sumatera Utara; • Industri Galangan Kapal di Karimun Kepulauan Riau. Koridor Ekonomi Jawa Utara : • Industri berbasis Migas Kondensat di Gresik dan Tuban, Jawa Timur; • Industri Galangan Kapal di Lamongan, Jawa Timur; • Industri Telematika di wilayah Jakarta-Bandung; • Industri Telematika di wilayah Solo-Kudus-Salatiga.
Pembangunan industri dalam rangka mendorong percepatan pembangunan Papua, Papua Barat dan NTT, akan dilaksanakan melalui: pembangunan Industri Semen di Manokwari; pembangunan Pabrik Pupuk Urea di Tangguh; pembangunan Pabrik Petrokimia di Tangguh; peningkatan Kemampuan SDM Perbengkelan Roda-2 dan Roda-4; penumbuhan Industri Kecil dan Menengah (IKM) kakao, kopi, ubi jalar, rumput laut, pengolahan ikan, pengolahan kayu dan rumput laut; pengembangan industri garam di NTT. Kemudian untuk mendukung penguatan program pro rakyat (6 program klaster 4), akan dilakukan fasilitasi desain kendaraan angkutan umum murah. Selain itu mengenai isu ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), peningkatan kemampuan industri nasional dalam menghadapi ACFTA akan dilaksanakan melalui peningkatan penggunaan produksi dalam negeri (verifikasi Tingkat 5 - 96
Kandungan Dalam Negeri /TKDN); penguatan Standar Nasional Indonesia (SNI); meningkatkan kemampuan infrastruktur laboratorium uji Balai Besar dan Baristand dalam mendukung percepatan penerapan SNI. 5.3.9
Ketenagakerjaan Tindak lanjut yang diperlukan adalah:
1.
Terkait penyempurnaan dan penegakan peraturan ketenagakerjaan: (a) mengupayakan penyelesaian penyempurnaan UU Nomor 13 Tahun 2003 pada tahun 2011 dan UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja; (b) menyusun data perusahaan yang berpotensi rawan masalah ketenagakerjaan dan rawan resiko kecelakaan kerja; dan (c) meningkatkan kualitas tenaga pengawas ketenagakerjaan.
2.
Terkait peningkatan kualitas dan kompetensi tenaga kerja: (a) bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk meningkatkan jumlah dan kualitas instruktur; (b) mengembangkan lembaga pelatihan kerja, baik milik Pemerintah maupun swasta, sesuai rencana pengembangan sektor pembangunan di wilayah koridor ekonomi; dan (c) menyelesaikan penyusunan peta kebutuhan kompetensi industri manufaktur dan nonmanufaktur.
3.
Terkait fasilitasi TKI bekerja di luar negeri dan mengurangi permasalahan TKI: (a) percepatan implementasi SIM-TKI dengan kementerian/lembaga terkait; (b) menetapkan mekanisme penanganan pengaduan, sehingga diharapkan pada tahun 2012 seluruh pengaduan yang diterima oleh hotline service dapat ditangani dalam waktu 2x24 jam; (c) sosialisasi komprehensif tentang prosedur dan persyaratan bekerja ke luar negeri secara terus menerus di kantong-kantong TKI; (c) meningkatkan pelayanan dokumen, kesehatan, keimigrasian, 5 - 97
termasuk pemberian kartu tenaga kerja luar negeri (KTKLN); (d) melakukan pendidikan dan pelatihan serta pembekalan sesuai kebutuhan TKI; (e) menetapkan sistem dan prosedur pengamanan TKI, dan meningkatkan akses layanan bantuan hukum di perwakilan RI; (f) melaksanakan perundingan dengan negara penempatan dalam bentuk pembuatan MOU; (g) meningkatkan kerjasama dalam forum-forum bilateral, regional, dan multilateral; (h) memaksimalkan fungsi shelter di perwakilan negara dan memperkuat citizen services; serta (i) mempercepat penyempurnaan UU Nomor 39 Tahun 2004 dan meratifikasi konvensi buruh migran dan keluarganya. 4.
Terkait pengembangan informasi pasar kerja: (a) memperbanyak pusat layanan informasi tenaga kerja terutama di pusat-pusat pengembangan koridor ekonomi; (b) menuntaskan pembuatan sistem informasi pasar kerja online; dan (c) meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di pusat layanan informasi pasar kerja.
5.3.10 Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Berdasarkan hasil-hasil pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan koperasi dan UMKM sampai dengan Juni 2011, beberapa tindak lanjut yang masih perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 1.
Percepatan pembahasan RUU tentang Koperasi untuk menggantikan UU No. 25 tahun 1992 mengenai Koperasi, serta pemantauan tindak lanjut dari penyampaian rekomendasi pembatalan/pencabutan 38 Perda yang menghambat perkembangan koperasi dan UMKM dari Kementerian terkait;
2.
Dukungan bagi pengembangan ragam fasilitas pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan koperasi dan UMKM sesuai taraf perkembangan dan bidang usahanya, seperti modal awal usaha (start-up capital), pembiayaan untuk UMKM berbasis
5 - 98
teknologi, anjak piutang, sewa guna usaha, dan skim kredit lainnya; 3.
Dukungan dalam perbaikan sistem produksi pada koperasi dan UMKM dalam rangka peningkatan produktivitas, yang disertai dengan penerapan standar kualitas produk dan penerapan teknologi;
4.
Dukungan bagi peningkatan akses koperasi dan UMKM kepada pasar, baik melalui peningkatan sarana prasarana, perbaikan sistem pemasaran, pengembangan kerja sama pemasaran, maupun penyediaan informasi pasar;
5.
Penyelesaian cetak biru (blueprint) pengembangan kewirausahaan nasional yang menjadi panduan bagi upayaupaya pemasyarakatan budaya usaha dan kewirausahaan baik dikalangan pemuda, wanita, maupun masyarakat secara umum;
6.
Revitalisasi sistem pendidikan dan pelatihan bagi SDM koperasi dan UMKM, termasuk menggiatkan kembali penyuluhan perkoperasian;
7.
Penguatan lembaga penyedia jasa pengembangan usaha sebagai mitra pemerintah dalam pembinaan dan pendampingan koperasi dan UMKM;
8.
Peningkatan pemahaman masyarakat mengenai praktik berkoperasi yang baik, yang disertai dengan pemasyarakatan contoh-contoh koperasi yang sukses yang dikelola sesuai dengan nilai dan prinsip-prinsip koperasi yang baik dan sesuai dengan jati dirinya; dan
9.
Peningkatan koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait di tingkat pusat, pemerintah daerah, BUMN, perguruan tinggi, dan organisasi kemasyarakatan dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM. 5 - 99
5.3.11 Jaminan Sosial Dalam mengatasi permasalahan dalam pembangunan perlindungan dan kesejahteraan sosial, diperlukan penyempurnaan sistem jaminan sosial khususnya bagi penduduk miskin, dan rentan melalui peningkatan kualitas pelayanan serta perluasan kepesertaan. Pelaksanaan jaminan sosial nasional akan memberikan banyak manfaat di masa depan, sehingga pengembangan SJSN ke depan akan memerlukan beberapa strategi dan kebijakan dalam rangka perbaikan pelaksanaan program dan kegiatan jaminan sosial, serta akan melibatkan peran dari pemangku kepentingan terkait penyelenggaraan jaminan sosial. Beberapa kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain adalah penyusunan peraturan perundangan dan peraturan teknis terkait dengan pelaksanaan jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun. Selain itu, juga akan disiapkan peraturan teknis mengenai pemberian bantuan iuran, dan kepesertaan, termasuk strategi transformasi badan penyelenggara jaminan sosial.
5 - 100