PGM 2W9,32(2):131-138
Pengaruh pemberian kefirbening
Judiono: dkk
PENGARUH PEMBERIAN KEFlR BENING TERHADAP K A D A R GLOKOSA DARAH P A D A TlKUS WlSTAR HlPERGLlKEMlA YANG DllNDUKSl STREPTOZOTOCIN (STZ) EFFECTS OF P L A I N KEFlR PROBIOTIC O N B L O O D GLUCOSE LEVEL IN STREPTOZOTOCIN INDUCED HYPERGLICEMIA WlSTAR RATS RRJ. ~jokomoe!janto', dan Suharyo ~ao7saputd ~udiono'.Endang ~uwaningsih~.
ABSTRACT Background: Hyperglycemia in diabetes caused by excessive free-radicals, which in turn increases reactive oxygen species, reduced immune function and antioxidant, the beta cell damage. Objectives: To validate the effects of plain kefir probiotic on blood glucose level in streptozotocin (STZ) induced hyperglycemia Wistar rats. Methods: The experiment using randomized pretest-posttest control group design was carried-out on 48 male hyperglycemia Wistar rats induced by 40 mgikg body-weight of STZ. Rats were divided randomly into four groups: (1) negative control fed ad libitum standard diet; (2) positive control induced by STZ, (3) insulin treated 0.76 Uli200 g body weight, and (4) plain kefir 3.6 cc per day. Kefir is prepared by the use of pasteurized skim milk fermented by kefir commercial inoculums. Blood glucose was measured with Super Glucocard I1 meter (Arkray, Kyoto. Japan). Results: Kefir supplementation 3.6 cc per day had significantly effect on blood glucose reduction after 30 days. Results showed that blood glucose levels before and after the treatment in each group as follows: in negative control group, before and after the treatment were 92.7 i 6.6 mgdL and 89.4 f 5.3 mgdL, respectively; in positive control group, before and after treatment were 263.9 61.7 mgdL and 290.9 i 99.8 mgdL; in insulin group, before and after the treatment were 286.9 i 73.2 mgdL and 168.3 i 53.3 mgdL; and in kefir group, before and after the treatment were 234.0 i 61.1 mgdL and 147.8 i 52.6 mgdL. Conclusions: Kefir supplementation significantly reduced blood glucose in vivo. Isolation and identification of probiotic involved on biomolecular and to find out the role of specific probiotic originated from kefir in diabetes mellitus are very challenging to be implemented in clinical application. [Penel Gizi Makan 2009, 32(2): 131-1381
*
Keywords: pmbiotic, kefir, diabetes mellitus, hyperglicemia, streptozotocin PENDAHULUAN
D
iabetes melitus (DM) merupakan masalah kesehatan global yang serius di dunia, termasuk di lndonesia.' Penyakit ini berpengaruh terhadap 4-5% dari total populasi dunia, serta menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. WHO memprediksi jumlah penderita di Indonesia akan meningkat dari 8.4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21.3 juta pada tahun 2030' dan angka-angka ini cenderung meningkat sehingga dapat menurunkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. DM merupakan penyakit sindrom hiperglikemia kronik dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak serta protein yang berhubungan dengan
defisiensi sekresi atau aksi insulin atau keduanya2 DM diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu diabetes tipe 1 dan tipe 2.' Diabetes tipe 1 disebabkan ketidakmampuan tubuh menghasilkan insulin, akibat kerusakan sel P-pankreas sehingga diperlukan insulin dari luar. Diabetes tipe 2 diakibatkan ketidakefektifan atau ketidakcukupan insulin memasukkan glukosa ke dalam jaringan, yang menyebabkan peningkatan asam lemak bebas, resistensi insulin, pengecilan organ Langerhans dan penurunan volume sel ppankreas sebesar 60%, serta hilangnya sekresi insulin granula yang menimbulkan hiperglikemia.'
1 h e n Junnan Gin Polteknik Kesehatan Bandung. DepKes RI 'Pmgram Doktor lhnu Kedoktwan Universtas Dipmegm Semarang >Gum Besar Unlvenltas Diponegao Semarang ' K e M Rcgram Studi Program Ddrtor limu Kedoktmn, U n W i Dlponegao Semarang
FGM 20W. 32(2): 131-138
B ! & a ~ hpembenan kefirbening
Ada empat pilar pengobatan diabetes. yakni terapi perubahan perilaku, pengaturan diet, olahraga, penggunaan obat hipoglikemik oral (OHO) dan insulin7 Meskipun keempat pilar tersebut telah dilaksanakan, masih ditemukan adanya kegagaian mencapai kontrol glukosa darah optimal. Penggunaan insulin dan OH0 yang dianggap paling efektif acap kali tidak bisa dilaksanakan secara berkesinambungan, terkait rendahnya tingkat pendapatan masyarakat. Saat ini berkembang terapi pemberian suplemen antioksidan, zat gizi mikro, bioaktif herbal, imunoterapi (probiotik) dan vaksinasi. Namun, pemberiannya masih menimbulkan kontroversi. Kefir minuman probiotik berkhasiat dengan berbagai keunggulan. Kefir m e ~ p a k a nhasil fermentasi biji kefir (kefir grain) dengan susu dalam waktu dan suhu tertentu. Kefir grain merupakan koloni bakteri dan khamir yang bersimbiotik. Kultur ini mengandung lebih dari 35 bakteri probiotik yang bermanfaat bagi kesehatan. Mekanisme kerjanya memodulasi mikrobiota usus, memperbaiki sel yang ~ S a kdan biometabolisme zat, gizi serta meningkatkan sistem imun. Selama fermentasi menghasilkan metabolit dan zat b i ~ a k t i f . ~ . ' ~ Teknologi produksinya sederhana, mudah diterapkan di rumah tangga. Komponen bioaktif kefir meningkatkan kualitas hidup, namun belum semua terungkap secara ilmiah. Kefir berkemampuan sebagai imunomodulasi antioksidan, hipokolesterolemik 9.'0~"~'2.'3 dan hipoglikemik. Bakteri asam laktat kefir menghasilkan zat bioaktif berupa; asam amino, peptida, bakteriosin, peroksida (YO2), eksopolisakarida. Artikel ini bertujuan menyajikan hasil penelitian pemberian probiotik kefir bening terhadap perbaikan status glikemik pada tikus wistar hiperglikemia diinduksi STZ.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain Randomized Pretest-Posltest Control ~ r o u ~ . ' ~ . ' ~ . ' ~ Populasi penelitian adalah tikus &tar berumur 2.5-3 bulan, berat badan (BB) 1x1-250 gram, diperoleh dari LPPT Pra-Klinik Univenitas Gajah Mada, Yogjakarta. Penggunaan tikus wistar sebagai hewan coba dikarenakan hewan
Judim: dkk
ini memiliki karakteristik mirip manusia. baik secara fisiologis maupun biokimiawi glukosa darah, peroksidasi lipid, status antioksidan; dan pengambilan darah melalui vena ekor (plexus) relati m ~ d a h " . ' ~sehingga dimungkinkan adanya ekstrapolasi terhadap manusia. Jenis perlakuan pada tikus meliputi pemberian insulin dosis 0.76 Ullhari, pemberian kefir 3.6 cclhari, kontrol positif pemberian induksi ST2 dan kontrol negatif hewan dibiarkan dalam keadaan normal. Jumlah sampzl minimal sebanyak 48 ekor tikus wistar. Pada penelitian ini = 1,645), besaran digunakan a=0.05 (.Lo,, power = 80%. (q0.80 = 0,842). o = 50.3 mgdL. 6 = 80.4 sehingga diperoleh n sampel = 4,8, yang dibulatkan menjadi 5. Ke-48 hewan ini dibagi menjadi 2 subkelompok perlakuan dan 2 sub-keiompok kontrol sehingga masing-masing subkelompok terdiri atas 12 hewan ~ o b a . ' ~ , " Penghitungan besar sampel sangat diperlukan untuk menegakkan hipotesis penelitian, meskipun penelitian ini dilakukan pada hewan. Kriteria inklusi penelitian meliputi: BB 150-250 g, kondisi sehat, kadar glukosa puasa 4 1 0 mgdL, hiperglikemia dengan 2 200 mgdL seteiah diinduksi STZ. Tikus wistar hiperglikemia diperoleh dengan cara diinduksi ST2 pada konsentrasi 40 mg/kg BB (Sigma, USA). Hewan dikelompokkan menjadi empat yang dibedakan atas kelompok kontrol negatif (pakan standar ad libitum). Selanjutnya hewan yang diinduksi ST2 dikelompokkan menjadi kelompok kontrol positif, kelompok yang diberikan insulin. kelompok yang diberikan kefir bening 3,6 cclhari. Kefir bening terbuat dari susu skim difermentasi inokulum komersial. Hewan diberikan pakan mengacu AIN 93.'9 Kadar giukosa puasa diukur dengan Super Glucocard I1meter (Ark). Data disajikan dalam bentuk analisis univariat (rerata, standar deviasi), biiariat Etical-clearance (dependent t test). diperoleh dari Komisi Etik Penelitian ~esehatan 8 Kedokteran Univers~tas Diponegoro, Semarang. HASlL Data yang dikumpulkan pada awal penelitian me,iputi BB dan kadar glukosa darah puasa, Hasil disajikan Tabel berikut.
PGM 2009,32(2):131-138
Judiono: dkk
Pengaruh pernbenan kefir beninq
Tabel 1 Karakteristik BB dan Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar No 1
Max
P
170,5
150,O
200,O
0.20
98,O
74,O
123,O
0.20
181,2 f 1 7 , ~
180,5
142.8
216.8
0,Ol
232.4 i 101,l
207,O
77,O
434.0
0.01
Median
169.9 i 12,5 98,6 f 12,5
Data Dasar BB (9) Glukosa darah (mgdL)
2
Min
Mean f SD
lnduksi STZ BB (g) Glukosa darah (mgdL)
Tabel 1 memperlihatkan, hasil pengukuran rerata BB hewan coba dalam keadaan normal berkisar 169,9 i 12,5 g, sedangkan rerata kadar glukosa darah puasa sebesar 98,6 t 12.5 g. Sebaliknya, setelah hewan diinduksi STZ, pada hari ke3 rerata BB-nya berkisar 181.2 f 17,2 g. Rerata kadar glukosa darah puasa hewan normal sebesar 98,6 f 12.5 g, sedangkan setelah dilakukan induksi ST2 terjadi perubahan nilai rerata menjadi sebesar 232,4 i 101,l g, sehingga proses induksi diyakini telah memberikan peningkatan kadar glukosa darah sesuai dengan inkiusi penelitian. Hal ini juga teramati selama proses hewan mengalami peningkatan urinari (poliuri), makan terus (polifagi), dan minum (polidipsi). BB hewan selama
proses juga ditemukan naik. Hasil uji statistik terhadap BB sebelum dilakukan perlakukan diperoleh p=0.20, di mana p>0,05 maka dikatakan tidak berbeda secara signlfikan. Ada beberapa jenis perlakuan intervensi yang diberikan pada hewan coba dalam penelitian. Gambaran perubahan hewan coba selama intervensi disajikan pada grafik-grafik berikut. Hasil pengamatan khusus memperlihatkan bahwa BB mengalami perubahan vang fluktuatif, terutama pada perlakuan insulin dan STZ. Pada hasil midtest terlihat BB cenderung menurun dan kembali meningkat pada pengamatan akhir (post-test). Gambaran perubahan BB disajikan pada Grafik 1
Perlakuan Intervend
Grafik 1 Gambaran Berat Badan Hewan Coba Menurut Kelompok Perlakuan
PGM 2M)9,32(2): 131-138
Judiono: dkk
PeIIga~hpernbekan hefir tening
Nilai kadar glukosa darah paling tinggi ditemukan pada hewan coba kontrol positii (STZ), yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu hingga puncaknya sebesar 441 mgdL. Hal ini berbanding
terbalik dengan kelompok perlakuan, baik dengan insulin maupun kefir, yang cenderung menurun. Uraian lengkap data perubahan kadar glukosa darah disajikan pada Grafik 2.
Perlakuan lntervens 0 Re-Test
-
Mid-Test 0 --Test
Grafik 2 Gambaran Kadar Glukosa Darah Hewan Coba Menurut Kelompok Perlakuan
Tampak pada Grafik 2, kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan insulin dan kefir mengalami penurunan dibandingkan dengan kadar sebelum diberikan intervensi. Sebaliknya, pada kelompok kontrol positif dengan STZ, kadar glukosa darah cenderung meningkat
hingga mencapai rerata sebesar 316,6 i 98,3 g pada mid-test, lalu menurun di akhir penelitian sebesar 290.9 99.8 g. Adapun pada kelompok hewan kontrol negatii (normal), kadar glukosa didapati tidak terlalu berubah. Delta perubahan berat badan dapat dilihat pada Tabel 2.
*
Tabel 2 Delta Perubahan Berat Badan Hewan Coba Menurut Perlakuan lntewensi No
Kelopok Perlakuan
Mean t SD
Median
1
Insulin
2
Kefir
3
ST2 (Kontrol positif)
16.0 t 18.2
17,O
4
Normal (Kontrol negatif)
16,2 i6.1
163
Min
-
8,O 6,8
Max
P
47,O
0.78
24.7
0,95
PGM 2009.32(2):131-138
Judim; dkk
Pengnruh pemberian kelir bening
berarti bahwa data berada dalam sebaran normal. Untuk melihat ada tidaknya perbedaan 88, dilakukan uji statistik ANOVA (Analysis of Variance between groups) dengan tingkat kemaknaan p c 0.05. Hasil perhitungan menunjukkan, nilai F sebesar 0,05 dan nilai p sebesar 0,99, di mana p > 0.05. Berarti Ho ditolak dan Ha diterima sehingga data perubahan BB tidak berbeda secara signifikan. Data hasil pengamatan terhadap tejadinya delta perubahan BB disajikan pada Tabel 3.
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan insulin rerata nilai delta perubahan BB sebesar 13,8 + 16.1 g dengan kisaran nilai minimum -8.2 g dan maksimum 38,8 g, sedangkan pada kelompok perlakuan kefir sebesar 13,8 i 21,3 g dengan nilai minimum -16,9 g dan maksimum 47,l g. Untuk melihat derajat homogenitas, dilakukanlah uji homogenitas dengan uji statistik Shapiro Wilk dengan tingkat kemaknaan p c 0,05. Hasil perhitungan menunjukkan, nilai p pada kisaran 0.8-0,9 g, di mana p > 0.05, yang
Tabel 3 Delta Perubahan Kadar Glukosa Darah Hewan Coba M e n u ~Perlakuan t lnte~ensi No
Kelopok Perlakuan
Mean f SD
Median
1
Insulin
-118,6
* 55,8
-103,O
2
Kefir
-102.9 i 60,5
-117,5
3
ST2 (Kontrol positif)
12,7
4
Normal (Kontrol negatif)
-3,l
Tabel 3 menunjukkan, pada kelompok perlakuan insulin rerata nilai delta perubahan glukosa darah sebesar 118,7 55,8 g dengan kisaran nilai minimum -200 g dan maksimum -70 g, sedangkan pada kelompok perlakuan kefir 60,5 g dengan nilai sebesar -102.9 minimum -170 g dan maksimum 18 g. Untuk melihat derajat homogenitas dilakukan uji homogenitas dengan uji statistik Shapiro Wilk dengan tingkat kemaknaan D ~0.05. Hasil oerhitunoan menunjukkan: nilai' p pada kiiaran 0,523 s.d. 0,304. di mana p >0,05. yang berarti bahwa data berada dalam sebaran normal untuk data perlakuan kefir dan kontrol negatif. Untuk melihat ada tidaknya perbedaan kadar glukosa darah dilakukan uji statistik ANOVA dengan tingkat kemaknaan p <0,05. Hasil perhitungan menunjukkan, nilai F sebesar 8,585 dan nilai p sebesar 0,000, di mana p c0,05. Berarti Ho diterima dan Ha ditolak sehingga terdapat perbedaan penurunan kadar glukosa darah secara signifikan. Adapun untuk melihat perlakuan mana yang paling berbeda, dilanjutkan dengan uji Duncan Multi Range Test (DMRT) dengan tingkat kemaknaan
*
*
* 97,2
50.0
* 3,3
- 2,5
Min
- 200
- 170 - 165 - 10
Max
P
-70
0,027
18
0.30
100
0.05
11
0.22
pc0,05. Hasil perhitungan menunjukkan. nilai p 0.631 untuk perlakuan insulin dan kefir, sedangkan untuk perlakuan ST2 dan h e w n normal nilai p-nya 0.628 sehingga dapat dikatakan semua perlakuan berbeda dalam penurunan, kadar glukosa darah. Untuk perlakuan insulin dibandingkan dengan kefir ditemukan tidak berbeda secara signifikan: demikian pula pada perlakuan STZ dengan h e w n normal. BAHASAN Hasil penelitian menggunakan uji ANOVA, untuk membandingkan hasil antar-kelompok perlakuan, kemudian dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan's (DMRT) dengan derajat kepercayaan 95% menunjukkan pemberian kefir bening menurunkan kadar giukosa darah dan meningkatkan berat badan hewan pada tikus yang sebelumnya telah diinduksi oleh streptozotocin. Pada kelompok perlakuan insulin diperoleh nilai delta perubahan berat badan dan standar deviasi sebesar 13.8 16.1 g kisaran nilai minimum -8.2 dan maksimum 38,8, kelompok perlakuan kefir sebesar 13,8 21,3 g dengan nilai minimum -16,9 dan maksimum 47,l g. Untuk melihat derajat homogenitas dilakukan uji
*
*
PGM XK19.32(2): 131-138
penSanrh pembenan kefirbening
homogenitas tingkat kemaknaan p <0,05, diperoleh nilai p sebesar 0,778 s.d. 0,954. di mana p >0,05 yang berarti bahwa data berada dalam sebaran normal. Untuk melihat ada tidaknya perbedaan berat badan dilakukan uji statistik ANOVA dengan tingkat kemaknaan p c0.05, diperoleh F sebesar 0,05 dan nilai p sebesar 0.985, di mana p >0,05 berarti Ho ditolak dan Ha diterima bahwa data perubahan berat badan tidak berbeda secara signifikan. Data ini sangat menarik untuk disimak karena keempat perlakuan ternyata tidak mengalami BB yang mencolok. perubahan Kemungkinan ha1 ini disebabkan pakan yang diberikan mengandung kalori sangat tinggi, yakni didasarkan pada acuan komposisi basal diet (AIN 93) untuk tikus. dengan total kalori 3346.4 kkal." Uji ANOVA terhadap delta perubahan kadar glukosa darah, pada perlakuan kelompok diinduksi STZ menghasilkan kadar glukosa darah pada pre-test dengan rerata dan standar deviasi sebesar 263,9 i 61,7 g dibandingkan dengan hasil post-test sebesar 290,9 i 99,8 g, sedangkan nilai yang paling teftinggi dicapai saat akhir penelitian (441.0 mgIdL), suatu perbedaan yang sangat signifikan bila dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang lain. Hal ini terjadi karena pada kelompok ini tikus diinduksi oleh STZ dengan dosis 40 mgikgBB, telah m e ~ s a ksecara selektif sel-sel p pankreas yang menghasilkan insulin. Kerusakan sel p pankreas yang terjadi akan mengurangi pasokan insulin yang diperlukan untuk membawa glukosa masuk ke dalam sel sehingga terjadi hiperglikemia. STZ mempresipitasi respon inflamasi dalam pankreas yang akan menyebabkan rusaknya sel p pankreas dan menimbulkan gejala klinis yaitu hiperglikemia.20 Kerusakan pada sel f3 pankreas akibat induksi STZ mengakibatkan gangguan pada produksi insulin yang dibutuhkan untuk penurunan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah yang tinggi mengakibatkan produksi radikal bebas yang tidak terkontrol. Produksi radikal bebas yang tidak terkontrol sering berakhir dengan kerusakan makromolekul seluler seperti membran lipid bilayer. DNA, protein dan organel-organel sel yang lain. Jika membran sel endotel diserang oleh radikal bebas yang ditimbulkan sebagai akibat dari
Judiono; dkk
hiperglikemia, maka akan terjadilah suatu reaksi peroksidasi lipid yang merupakan suatu reaksi oksidasi berantai terusmenerus yang juga menghasilkan radikal bebas, sehingga mencetuskan peroksidasi lebih lanjut. Reaksi peroksidasi ini akan berlanjut pada membran sel sehingga rantai asam lemak terputus menjadi berbagai senyawa antara lain rnalondialdehid(MOA). Pada kelompok perlakuan insulin dan kefir ditemukan terjadi penurunan kadar glukosa darah selarna intervensi menuju keadaan normoglikemi yang bermakna bila dibandingkan dengan kelompok lain. Membaiknya keadaan glukosa darah, ha1 ini kemungkinan terkait dengan semakin menurunnya kadar peroksidasi, radikal bebas yang diakibatkan hiperglikemia. Pada penurunan ini kemungkinan juga menyebabkan destruksi jumlah sel p pada. kelompok tikus yang hanya diinduksi STZ mengalami pengurangan yang sangat bermakna. Perlakuan pada kelompok kontrol negatif (kelompok normal) didapati kadar glukosa darah dengan rerata dan standar deviasi sebesar 92,7 i 6,6 mgdL dan saat akhir penelitian 89,4 mgdL. Adapun nilai yang paling rendah, yaitu rata-rata 80.0 mgdL. Kelompok perlakuan ini merupakan kelompok yang berisi tikus-tikus normal, di mana pada kondisi normal terjadi pengaturan kadar glukosa darah yang juga normal. Pada kelompok ini, tidak ada faktor mencetuskan tejadinya yang hiperglikemia, sehingga produksi insulin tetap normal. Insulin yang merupakan pengatur terpenting dalam menjamin keseimbangan antara produksi glukosa hepatik dan penyerapan serta penggunaan glukosa periperal, selain faktor input neural, signal metabolik dan hormonhormon lainnya, menghasilkan suatu kontrol terhadap penyediaan dan penggunaan glukosa. Dalam keadaan puasa, kadar insulin yang rendah menyebabkan timbulnya glukoneogenesis dan glikogenolisis untuk menangani keadaan hipoglikemia. Proses ini sangat penting untuk menjaga pemenuhan glukosa ke daiam otak. Sedangkan pada keadaan postprandiaidial, kadar insulin akan rneningkat dan kadar glukagon menjadi rendah. Perlakuan pada kelompok perlakuan insulin dengan dosis 0,76 IU1200 g BB yang disuntikkan secara sub kutan
PGM 2W9,32(2): 131-138
Pengarul1 pemberian kefirbening
memberikan hasil kadar glukosa darah yang hampir mendekati normal. Ini disebabkan karena insulin merupakan regulator utama dalam pengaturan kadar glukosa darah. Insulin mempunyai efek yang penting terhadap beberapa molekul transpor yang memfasilitasi pergerakan glukosa menembus membran sel. Oleh karena itu glukosa dapat masuk ke dalam sel. Hal ini yang menyebabkan menurunnya kadar glukosa darah pada kondisi hiperglikemia seperti yang terjadi pada tikus yang diinduksi oleh STZ. Insulin juga menyebabkan transpor glukosa yang cepat ke dalam sel otot, sehingga kadar glukosa darah juga cepat menurun. Pemberian insulin menunjukkan hasil yang rendah dan hampir mendekati normal, jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang lain. Hal ini diduga karena efek antihiperglikemik dari insulin akan mengurangi kondisi hiperglikemia yang pada akhirnya bisa menurunkan stress oksidatif sehingga kadar MDA dalam darah menurun, menyebabkan regenerasi sel p pankreas yang terjadi pada kelompok ini. Hal ini disebabkan insulin juga berperan dalam meningkatkan sintesa protein yang digunakan untuk pembentukan sel-sel yang baru termasuk sel p pankreas. Insulin secara struktural dan fungsional mirip dengan molekul yang termasuk ~nsulin-like growfh factors di mana struktur tersier-nya memiliki aktivitas merangsang pertumbuhan, sehingga proses regenerasi sel-sel p pankreas dapat terjadi karena pemberian insulin ini. ada kelompok perlakuan dengan kefir mengalami penurunan kadar glukosa darah terjadi karena kefir dengan keunggulan komponen bioaktifnya seperti immunomodulasi, sebagai antioksidan mampu meredam radikal bebas yang terbentuk, sehingga mengurangi peroksidasi lipid dan kerusakan membran bilayer. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kefir berperan dalam perlindungan sel dan komponen sel terhadap radikal bebas dan kerusakan oksidatif. lnduksi STZ akan meningkatkan pembentukan radikal bebas di pankreas yang pada akhirnya menyebabkan dekstruki sel p pankreas. Kemampuan antioksidan yang dihasilkan kefir bening diduga dapat meredam radikal bebas, maka kerusakan set p pankreas dapat ditanggulangi dan menimbulkan regenerasi sel-sel p
Judiw dkk
pankreas yang menghasilkan insulin, sehingga dengan demikian, pasokan insulin akan bertambah dan kadar glukosa darah dapat menurun. Pada bagian lain kandungan eksopolisakrida berefek hipoglikemik, hipokolesterolemik, immunomodulasi pada hewan hiperglikemia, di mana senyawa tersebut diperkirakan dapat meningkatkan CAMP yang berada di pula11 langerhans pankreas yang berhubungan dengan peningkatan pelepasan insulin. Disamping itu unsur peptida dan zat gizi mikro diduga memegang peranan dalam mengubah proinsulin menjadi insulin dengan meningkatkan aktivltas cathepsin. Karena sekresi insulin meningkat, maka kadar glukosa darah dapat turun. Fenomena penurunan glukosa darah pada hewan coba memerlukan penelitian lanjutan secara komprehensif terhadap mekanisme yang menyebabkan terjadi penurunan glukosa D~perk~rakan Denurunan in1 terrtalt dengan - keberadaan eksopolisakarida dan kemampuan immunomodulasi yang dimiliki oleh kefir bening. KESIMPULAN 1.
2.
Pemberian kefir dengan konsentrasi 3.6 cclhari 200 g BB pada tikus wistar hiperglikemia yang diinduksi ST2 menunjukkan efek dapat menurunkan kadar glukosa darah hampir mendekati penurunan kadar glukosa darah oleh insulin 0,76 uniV200 g BB. Pemberian kefir juga meningkatkan berat badan hewan coba.
SARAN 1.
2.
Penelitian terhadap status imun, status antioksidan, peroksidasi lipid dan uji histologis pada sel beta pankreas sangat diperlukan untuk menjawab penurunannya. Perlu dilakukan uji klinis pada manusia sebelum mempertimbangkan kelayakan penggunaan kefir bening dalam penatalaksanaan pengelolaan penyakit diabetes serta keunggulankeunggulannya dibandingkan dengan obat hipoglikemik oral (OHO).
Pengaruh pennkrien kefirkning
PGM 2009.32(2):131-138
UKAN WHO. Prevalence of diabetes worldwide. Geneva. WHO, 2008. hnp: 1 l w . w h o . i n t l diabeteslfacts /world-figureslenl American Diabetes Association (ADA). Diagnosis and classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care 2008; 31 Suppl 1: 55-60. Betteridge DJ. What is oxidative stress? Metabolism. Clinical and Experimental 2000; 49 (2 suppl 1): 38. Ceriello A. Oxidative stress and glycemic regulation. Metabolism, Clinical and Experimental 2000; 49 (2 Suppl 1): 27-29. Djokomoeljanto RRJ. 'Neuropati Diabetik. Dalam: Darmono dkk (editor). Naskah Lengkap Diabetes Melitus Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit Dalam Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007. p. 1-14. Ziegler, D., Christoph G.H. Jaffar NZ.Oxidative Stress and Antixidant Defense in Relation to Severity of Diabetic Polyneurophaty and Cardiovascular Autonomic Neuropathy. Diabetes Care 27, 9 2004 Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia. Jakarta: PB Perkeni, 2006. Surono IS. Probiotik. Susu Fermentasi dan Kesehatan. Jakarta: YAPMMI. 2004; 1-70. Hugenholtz J and Sybesma WF. Food fermentation by lactic acid bacteria for the prevention of cardiovascular disease. In: Amoldi A (Ed). Functional foods. cardiovascular disease and diabetes. England: Woodhead Publishing Limited and CRC Press. 2004. p. 448-469. Farnworth ER. Kefir a complex probiotic. Food Science and Technology Bulletin: Functional Foods 2005; 2(1): 117. Brown AC and Valiere A. Probiotics and Medical Nutrition Therapy. Nutr Clin Care. 2004; 7(2): 56-68.
-
Judiono; dkk
Khazrai YM, Manfrini S, and Pouilli P. Diet and diabetes: prevention and control. In: Arnoldi A (Ed). Functional foods, cardiovascular disease and'diabetes. England: Woodhead Publishing Limited and CRC Press, 2004. p. 126-140. Virtanen SM. Nutritional risk factors in the development of type 1 and type 2 diabetes. In: Amoldi A (Ed). Functional foods, card~ovascular disease and'diabetes. England: Woodhead Publishing Limited and CRC Press. 2004. p. 142154. Campbell DT and Stanley JC. Experimental and Quasiexperimental designs for research. Chicago: Rand McNally Company. 1963. p. 145-170. Sanchez FS Jr. Baltazar JC, and Agbayani BF. Research Methods in Health and Medicine, Volume 2. Manila: Philippine Council for Health Research and Development, 1990. p. 71-90. Portney LG and Watkins MP. Foundations of Clinical Research: Applications to Practice. East Norwaik. Connecticut: Appleton 8 Lange, 1993. p. 148-152. lnayati I. Pengaruh ekstrak etanol bahan mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (scheff) terhadap kadar MDA tikus diabetes melitus yang diinduksi dengan alloxan. Medika Kartika 2004; 2(2): 69-80. Srinivasan K and Ramarao P. Animal model in type 2 diabetes research: An overview. Indian J. Med. Res. 2007; 125: 451-472. Lwanga SK and Lerneshow S. Sample size determination in health studies: a practical manual. Geneva: World Health Organization. 1991. Reeves PG. Nielsen FH, and Fahey GC Jr. AIN-93 purified diets for laboratory rodents: final report of the American Institute of Nutrition ad hoc writing committee on the reformulation of the AIN-76A rodent diet. J. Nutr. 1993; 123(11): 19391951. Lenzen S. The mechanisms of alloxan- and streptozotocin-induced diabetes. Diabetologia 2008; 51: 216-226.
PGM 2009.32(2): 139-149
Pengaruhpemberian minyahgoreng yang dibrtifihasi
Yuniar R ; dkk
PENGARUH PEMBERIAN MINYAK GORENG YANG DlFORTlFlKASl VITAMIN A TERHADAP CADANGAN VITAMIN A TUBUH PADA IBU NlFAS THE EFFECTS OF DISTRIBUTION OF VITAMIN A FORTIFIED COOKING OIL ON VITAMIN A BODY REVERSE OF BREAST FEEDING MOTHERS Yuniar ~osmalina',Dewi ~ermaesih',Tetra ~ajanvati'dan Susilowati ~erman' ABSTRACT Background: The vitamin A status depends on the vitamin A stores in the liver. Serum retinol is the most commonly used for determination of the vitamin A status, but this indicator is not the true because many factors influenced. The Modified Relative Dose Response (MRDR) is one of the techniques that can responsive to food or vitamin A supplementation by assessing the changes in total body vitamin A stores. The objectives of the study was determined the changes of vitamin A body reserves after 80 days intervention by 25 ppm vitamin A fortified into cooking oil. Methods: The respondent was mother with breastfeed baby age 14-28 days. Out of 142 mother were randomly assigned into 4 groups: I. received 25 ppm vitamin A fortified cooking oil combined with 2 capsules high dose vitamin A (200.000 IU). II received non fortified cooking oil combined with 2 capsules high dose vitamin A (200.000 IU), Ill received 25 ppm fortified cooking oil combined placebo capsule. IV received non fortified cooking oil combined with placebo capsules. The duration intervention was 80 days. Data collection including characteristic respondents, anthropometric measurements, serum retinol, vitamin A2, ratio MRDR before and after intervention and vitamin A recording intake during the study. Results: The characteristic (Body weight, parity, and educational level) were no significantly different between groups. Prior to study that serum retinol as well as MRDR ratio were no different among groups. After 80 days intervention serum retinol increasing in group 1.11, and Ill, while the control group (group IV) was decreasing. The changes of serum retinol was significantly different among groups. The change in group I was 5.30 ugldl, group 11 4.0 ugldl, group 111. 3.0 ugldl and group IV was decreasing about 4.6 ugldl. The deposit vitamin A in group I and Ill were improved after intervention, while in group II and IV were decreased. However there were no different between groups (p > 0.05). Rasio MRDR (vitamin A deposit) was significantly different after intervention among groups. However the changes between groups were no significantly different. Deposit vitamin A in group I and Ill were increased after intervention while in group II and IV were decreased, however there were no significantly different between groups. Conclusions:The effects of 25 ppm vitamin A fortified into cooking oil increasing serum retinol after 80 days intervention. The vitamin A body reserves of mothers who received vitamin A fortified cooking oil combined with high dose vitamin A as well as placebo capsules increased after 80 days intervention. The MRDR ratios were decreasing after supplementation. [Penel Gizi Makan 2009. 32(2): 138-1481 Keywords: forfified cooking oil, breastfeeding mother, mtinol, MRDR PENDAHULUAN
M
odified Relatife Dose Response (MRDR) tes salah satu metode untuk menentukan status cadangan v~tamin A dan telah digunakan untuk menentukan status vitamin A dan telah divalidasi dengan menggunakan cadanqan vitamin dalam hati hewan coba.', .3" Keuntungan dari MRDR tes adalah hanya memertukan satu kali pengambilan darah.= MRDR rasio digunakan untuk mengetahui cadangan vitamin A dalam hati .dimana bila cadangan vitamin A menurun apo3
retinol binding protein (apo-RBP) akan terakumulasi dalam hati. Setelah pemberian vitamin A2 test dose, sebagian vitamin A mengikat kelebihan apo-RBP dalam hati, kemudian keluar sebagai holoRBP ke dalam aliran darah.',2,6 Adanya vitamin A2 analog dengan akumulasi apoRBP pada hati, yang timbul selama test MRDR. Menurut Rice, 2000. MRDR rasio memberi gambaran status vitamin lebih baik dibandingkan dengan serum retinol.'
Purlilbang Giri dan Mabnan. Badan L'Vbang Kesehatan, Depkes RI
139