Ketidakmauan Atau Ketidakmampuan: Memikirkan Indikator bagi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya1 Sugeng Bahagijo Associate Director Perkumpulan Prakarsa
I. PENGANTAR
Indonesia telah meratifikasi Hak Ekosob. Dengan ratifikasi, secara internasional dan domestik, negara Indonesia – dan institusi-institusi HAM—memiliki tugas dan kewajiban yang jauh lebih intensif dan eskplisit. Salah satu kewajiban pokoknya adalah melaporkan, kepada publik Indonesia dan PBB (komite Ecosoc PBB) sejauh mana pemajuan dan pemenuhan Hak Ekosob telah terjadi dan akan dilakukan. Hak dasar bukan saja bebas dari penyiksaan, tetapi juga kemampuan untuk memenuhi dan menjalani hidup bermartabat. Jika Hak Ekosob dihormati (to respect), dilindungi (to protect) dan dipenuhi (to fulfill), maka dalam kurun waktu tertentu, sesuai dengan sumber daya yang ada (progressive realization), secara gradual akan terjadi perbaikan perbaikan secara nyata.
Meskipun sudah ada prinsip atau pedoman bagi pelaksanaan dan perwujudan Hak Ekosob (mengupayakan adanya sumberdaya yang maksimal, dan kewajiban hak secara minimum), pada tingkat praktis, pelaksanaan Hak Ekosob tidaklah mudah. Sebagian hal itu disebabkan oleh soal (i) bagaimana membedakan antara ketidakmampuan (inability) dengan ketidakmauan (unwillingness) dari pemegang kewajiban (duty bearers) yakni negara (pemeritah dan institusi politik dalam melindungi dan memajukan hak-hak ekosob). (ii) bagaimana memprioritaskan dan atau menyeimbangkan dua macam kewajiban : (a) untuk tidak melanggar (to respect
1
Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional Menuju Perlindungan dan Pemantauan yang Efektif Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya-PUSHAM UII, Yogyakarta bekerjasama dengan Noewegian Centre for Human Rights NCHR Universitas Oslo. 17 April 2007.
1
dan to protect- misal tidak melakukan penggusuran pedagang kakilima) di satu sisi dengan kewajiban (b) untuk pemajuan dan pemenuhan di sisi lainnya (to fulfill— misalnya dalam memenuhi hak atas pekerjaan)?
Salah satu kewajiban administratif/formal pemerintah, sebagaimana dikatakan oleh Clarence J. Dias (Toward Effective Monitoring..), dalam waktu dua tahun sesudah ratifikasi, Komite ESCR PBB memandatkan pemerintah untuk menyusun Comprehensive review atas berbagai perundang-udangan dan peraturan, prosedur dan tata cara pemerintahan, dan berbagai praktek yang ada. Dari proses itu, diharapkan negara sebagai pihak pemgang kewajiban (duty bearers) akan bisa melakukan (i) amandemen atas undang undang dan peraturan yang ada yang dinilai tidak sesuai dengan Konvensi Hak Ekosob; (ii) undang-undang atau peraturan baru dan langkahlangkah (measures and steps) dalam rangka pelaksanaan kewajiban di bawah Konvensi Hak Ekosob. Dalam proses penyusunan itu, maka soal penetapan indikator, benchmark, dan target termasuk menjadi inti dari proses comprehensive review, karena hal ini akan menjadi ukuran dan patokan dalam proses berikutnya, yakni pemantauan.
Dengan asumsi bahwa pekerjaan semacam itu sedang dan akan dilaksanakan, maka berbagai institusi HAM seperti Komnas HAM, Pusham di berbagai universitas dan NGOs memiliki peluang untuk mempengaruhi dan ikut menentukan kualitas laporan pemerintah. Salah satunya, dengan ikut menyumbangkan usulan tentang indikator, bechrmark dan target. Karena itu, adalah tepat waktu dan mendesak, apa yang ditulis oleh Panitia Pusham UII bahwa adalah satu langkah utama bagi stakeholders HAM di Indonesia adalah ”... perlu dirumuskan juga sejumlah indikator dan benchmark nasional terkait dengan kemauan, kapasitas, kerja dan capaian pemerintah dalam memenuhi dan melindungi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya”.
II. PENTINGNYA HAK EKOSOB
Dalam arti yang netral, kita semua dewasa ini, di negara kaya dan negara miskin, di kota dan di desa, hidup dalam ekonomi pasar. Atau jika anda suka, dalam ekonomi
2
kapitalis. Tetapi hendaknya dipahami bahwa tidak ada model tunggal ekonomi pasar, tetapi beragam. Ekonomi pasar model Anglo Saxon (AS dan Inggris), berbeda dengan model Kontinental (Jerman dan Perancis) dan juga model ekonomi pasar ala Jepang (Hall dan Sockice, Varities of Capitalism, 2001)
Di dalam ekonomi pasar, sebagaimana diuraikan oleh berbagai literature dan hasil penelitian para sarjana, tujuan atau motif efisiensi ekonomi akan terus menjadi lebih penting dan utama ketimbang tujuan sosial lainnya: kohesi sosial, solidaritas dan keberlanjutan lingkungan hidup. Mendamaikan antara tujuan ekonomi (efisiensi) dengan tujuan masyarakat/sosial (keadilan sosial) terus menerus menjadi bahan kajian dan pergulatan para sarjana, pengambil kebijakan dan aktivis. 2
Sebagaimana diidentifikasi oleh ahli sosiologi dan welfare state, Esping-Andersen (1999)3 menyatakan bahwa resiko-resiko dalam senantiasa terjadi dan memiliki pola-pola yang bersifat social. “Some risk is are purely random, but most with sociological regularity”. Resiko
resiko dalam dunia industri secara umum
dikatakannya ada sedikitnya tiga jenis resiko: class risk, Life-course risk dan Intergenerational risk. Class (social) risk : Resiko sosial tidak terjadi secara rata pada semua golongan : “pekerja tambang lebih rawan kecelakaan kerja ketimbang dosen universitas” (miners are more prone to occupational injury than college professors) Life course risk: Resiko sosial tidak terjadi secara rata dalam umur seseorang (life course). Penelitian Rowntree di Inggris menunjukkan bahwa : kemiskinan bertumpuk pada usia
anak-anak (keluarga besar) and usia lanjut (karena berkurangnya
pendapatan). Intergenerational risk: pewarisan kemiskinan dan modal sosial. Dalam hal ini, mekanisme pasar biasanya menguatkan, dan bukan merubahnya. Kecuali ada kebijakan publik. Atkinson (1983) misalnya menyatakan bahwa “children from poor families were 2.6 times more likely than others of also becoming poor.”
2
Perdebatan mutakhir antara Joseph Stiglitz (kebijakan ekonomi yang plural bagi negara-negara berkembang) dengan ekonom-ekonom neoliberal di IMF (kebijakan ekonomi yang seragam), atau perdebatan antara ”kelompok Davos” dan ”kelompok Porto Alegre-World Social Forum” tidak lain merupakan contoh bagaimana perdebatan yang tiada henti.
3
Gosta Esping-Andersen (1999), Social Foundations of Postindustrial Economies, Oxford: Oxford University Press
3
Adalah pemikir Inggris TH Marshall (1963) yang menyatakan bahwa terbentuknya Negara Kesejahteraan (Welfare state) merupakan realisasi dan perluasan dari hakhak warga negara. Menurut Marshall, hak-hak warga negara itu terdiri atas tiga hak: hak-hak sipil, hak politik dan hak social. Selama 300 tahun, masyarakat modern secara perlahan berhasil mengakui dan memenuhi hak-hak warga negara itu. Hak sipil (kebebasan berbicara) warga diakui dan dipenuhi pada abad 18, hak politik (semua warga berhak memilih dalam pemilu) diakui dan dipenuhi pada abad 19, dan hak sosial diakui dan dipenuhi pada abad 20 ini. Marshall menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hak sosial adalah ”kesejahteraan dan jaminan ekonomi”.4
Evolusi Hak Menurut TH Marshall Hak sipil
Hak politik
Hak sosial
Kurun waktu
Abad 18
Abad 19
Abad 20
Prinsip utama
Kebebasan perorangann
Kebebasan politik
Kesejahteraan sosial
Wujud dan bentuk pengakuan
Habeas corpus (hak untuk diproses sesuai hukum), Kebebasan berbicara, berpendapat dan beragama; kebebasan untuk menigkatkan diri dalam perjanjian
Hak memilih, reformasi parlemen, pembayaran/gaji ke anggota parlemen
Pendidikan gratis, jaminan pensiun, pelayanan kesehatan (negara kesejahteraan)
kumulatif Sumber: Marshall (1963), dalam Pierson, 1998, h 21
Pemajuan hak Ekosob tidak lain adalah upaya-upaya masyarakat untuk mencapai dua tujuan ganda: (i) di satu sisi sebagai upaya-upaya kolektif yang bersifat perlindungan (protective) atas berbagai resiko-resiko dalam ekonomi pasar: resiko sosial, resiko usia, dan antargenerasi. Tambahan pula,
Amartya Sen ekonom
pemenang hadiah Nobel, menyatakan bahwa ”public goods” misalnya saja ”lingkungan yang bebas penyakit Malaria” tidaklah selalu bisa disediakan oleh mekanisme
pasar.
Karena
itu
kebijakan
publik/pemerintah
yang
harus
4
Dalam kata-kata Marshall sendiri, hak sosial mencakup ”the whole range from the right to a modicum of economic welfare and security to the right to share to the full in the social heritage and to live the life of a civilized being according to the standards prevailing in the society”. Lihat, Christopher Pierson, 1998. Beyond The Welfare State? The New Political Economy of Welfare. (2nd edition). Cambridge: Polity Press, h 20-22.
4
menciptakannya.5 (ii) disisi lain, perwujudan dan pemajuan hak Ekosob merupakan upaya-upaya kolektif yang bersifat perluasan dan pemerataan hak sosial ekonomi (promotif), untuk menjangkau kelompok sosial dan semua warga negara, guna menciptakan berbagai lingkungan dan aset, agar mereka memiliki kemampuan mengerahkan sumberdaya-sumberdaya yang memperbesar mobilitas sosial dan kesempatan hidup (life chances) menuju hidup lebih layak dan bermartabat (kebebasan dalam istilah Amartya Sen). III. PEMANTAUAN DAN INDIKATOR
Setidaknya, sejak Adam Smith, kemajuan dan kemakmuran bangsa-bangsa umumnya diukur dari sejauh mana/pertumbuhan dari produksi barang dan jasa (PDB/GNP). Di samping itu, kemakmuran penduduknya diukur dari sejauh mana pendapatan (income per kapita). Akan tetapi sejak tahun 1970an, muncul ukuran baru bagi kemajuan dan kemakmuran, yakni Human Development Index (HDI) yang dipelopori oleh Mahbub Ul Haq dan UNDP. Ketimbang mengukur besar kecilnya barang dan jasa yang tersedia secara agregat, HDI bertanya bagaimana pembangunan secara nyata berdampak pada kualitas hidup manusia (tingkat harapan hidup, pendidikan, dan pendapatan orang per orang). Dengan singkat, HDI sebagai indikator kemajuan dan kemakmuran sebuah bangsa atau sebuah masyarakat dipandang lebih sensitif ketimbang PDB/GNP. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi –pertumbuhan PDB/GNP – belum tentu berarti pertumbuhan kualitas hidup warga negaranya. Hal ini akan tampak pada kenyataan negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi HDI masih saja belum banyak berubah. Di kalangan ekonom pembangunan misalnya, tidak heran ada berbagai istilah kunci seperti ”Growth with Equity”, ”Growth Trough Redistribution” dan ”Growth with Redistribution”. Karena itu, jika tahun 1970an di Indonesia ada istilah dan strategi ”8 jalur pemerataan” hal ini bisa dimengerti karena pertumbuhan ekonomi waktu itu belum otomatis berarti tumbuhnya kemakmuran dan kualitas hidup warga negara.
5
Amartya Sen, (2000), Development as Freedom, New York: Anchor Books. Lihat bab 5, “Market, State and Social Opportunity” hal. 111-145.
5
Indikator. Indikator dan benchmark/target berperan penting dalam seluruh upaya pemajuan dan perlindungan Hak Ekosob. Tanpa indikator dan becnhmark, kita tidak tahu apakah kita sudah meraih kemajuan atau kemunduran. Dan Jika kita tidak tahu, maka akuntabilitas oleh berbagai pemangku kewajiban (negara dan non negara) akan susah untuk dilakukan. Dengan singkat, maka jika dikaitkan dengan pertanyaan awal di makalah ini, indikator berguna untuk secara rinci dan operasional membedakan antara ketidakmauan (unwillingness) dengan ketidakmampuan (inability) dari para pemegang kewajiban (negara dan non-negara).
Dalam rumusan yang sederhana, benchmark atau target/sasaran adalah ”patokan tentang derajat kemajuan yang hendak dicapai dalam kurun waktu tertentu”. Misalnya di Thailand, Rencana Jangka Pembangunan Social Ekonomi Ketujuh (1992-1996) misalnya ditetapkan sebanyak lebih dari 30 buah target. Antara lain, mencakup target sebagai berikut: (i)
Mengurangi angka kematian ibu menjadi 30 per 100.000
kelahiran dan mengurangi angka kematian bayi dan balita menjadi 23 dan 35 per 1000 kelahiran pada tahun 1996.; (ii) memperluas pendidikan dasar dari enam tahun menjadi 9 tahun dan memastikan tidak kurang dari 73% siswa yang lulus pendidikan 6 tahun melanjutkan ke pendidikan menengah; Dengan kata lain, benchmark dalam contoh ini tidak lain adalah semacam hasil-hasil yang hendak dicapai dalam kurun waktu tertentu.
Laporan HDR 2000 mencatat bahwa,
indikator sebagai perangkat pemantauan
memiliki 7 manfaat, yakni: (i) dapat mendorong penciptaan kebijakan yang lebih baik dan pemantauan yang lebih baik atas kemajauan-kemajuan; (ii) dapat menunjukkan dampak-dampak yang tak diharapkan (unintended impact) dari undangundang, kebijakan dan praktek-praktek yang ada; (iii) dapat menyingkapkan (revealing) sejauh mana kewajiban-kewajiban dari para pelaku/pemegang kewajiban telah dipenuhi; (iv) memberikan deteksi dini atas potensi-potensi pelanggaran hak, sehingga memungkinkan diambilnya langkah-langkah pencegahan; (v) memperkuat kesepakatan sosial tentang pilihan-pilihan yang harus diambil yang seringkali tidak
6
mudah sebagai akibat keterbatasan sumberdaya (trade offs); (vi) mencuatkan isu atau masalah yang selama ini terlupa atau diabaikan atau didiamkan. 6
Akan tetapi, timbul pertanyaan, bagaimana menghasilkan indikator yang dapat berfungsi seperti diatas. Secara teknis, agar indikator dapat bermanfaat dan menelurkan dampak, maka beberapa kriteria berikut perlu dipenuhi sebaik-baiknya: pertama, indikator itu haruslah policy relevant, yakni memberikan informasi tentang arah kebijakan yang dapat dan perlu dipengaruhi atau dirubah; kedua, reliable atau dapat diandalkan sehingga dapat dipergunakan oleh orang yang berbeda dan memberikan hasil yang konsisten; ketiga, indikator haruslah valid, dalam arti didasarkan pada kriteria-kriteria yang mudah diidentifikasi untuk mengukur apa yang hendak dipantau; keempat, konsisten secara waktu, untuk dapat dipergunakan melihat kemajuan dalam waktu yang berbeda dan sejauh mana sasaran/target telah terpenuhi; kelima, dapat dipilah-pilah dengan fokus kepada kelompok sosial yang berbeda-beda (laki dan perempuan).; dirancang untuk bersifat ”obyektif” dalam arti memisahkan antara yang memantau dan yang dipantau. (HDR, 2000, h. 90).
Dari segi tujuan, maka indikator perlu disusun untuk setidaknya 4 tujuan yang saling berkaitan; (i) untuk mengetahui apakah negara telah menghormati, melindungi dan memenuhi hak – sejauh mana akuntabilitas negara telah dijalankan ; (ii) memastikan bahwa prinsip-prinsip dari hak telah dipenuhi – sejauh mana realisasi hak dilaksanakan tanpa diskriminasi, partisipasi dan remedies (kompensasi) yang efektif; (iii) memastikan terwujudnya hak – sejauh mana norma-norma, institusi dan prsayarat ekonomi telah ada dan disiapkan untuk merubah kebutuhan sebagai hak; (iv) mengidentifikasi pelaku-pelaku non negara yang potensial mempengaruhi realisasi hak dan menyingkapkan apa saja dampaknya. (HDR, 2000, h. 92)
Sebuah ilustrasi. (i) Apakah program BOS (bantuan operasional sekolah) telah berjalan lancar, mungkin jawabannnya afirmatif, karena indikator (input) menyatakan bahwa pennyerapan dana BOS hampir 100 persen? (ii) Apakah sebagian besar
6
UNDP, 2000, “Human Development and Human Rights” Human Development Report 2000, hal 89-111
7
program BOS tepat sasaran, mungkin jawabannya agak ragu-ragu (sebagian ya, sebagian tidak) karena indikatornya tidak ada atau kalau ada, ternyata kabur dan multitafsir ? (iii) Apakah BOS berhasil mengurangi angka putus sekolah di propinsi Banten (indikator hasil/outcome) atau apakah BOS telah berpran penting dalam meningkatkan angka HDI propinsi Banten (indikator impact/dampak), jawabannya mungkin tidak tahu, sebelum Menko Kesra atau Bappenas, BPS dan UNDP mengeluarkan laporan Human Development Report yang akan datang (2007/2008)?
Ilustrasi berbagai tipe indikator: Tipe-tipe Indikator
Ilustrasi Kegiatan: ”Pelatihan Pemantau Pemilu” Tujuan : Melatih pemantau pemilu Agar Pemantauan Pemilu berjalan Efektif sebagai upaya mendorong terciptanya Pemilu yang Bebas dan Jurdil Pelatihan Pemantauan (pelatih, bahan-bahan training, dll) Jumlah pemantau yang telah dilatih
Indikator input: mengukur jumlah dan kualitas input yang disediakan Indikator Output: mengukur jumlah dan kualitas keluaran/ouput yang dihasilkan oleh input yang diberikan Indikator Hasil/Outcome: mengukur hasilPemantauan Pemilu yang lebih Efektif hasil yang diharapan Indikator Dampak/Impact: mengukur Pemilu yang Bebas dan Jurdil derajat/taraf kemajuan/pencapaian tujuan Sumber : Ilan Kapoor 1996, Indicators for Programming in Human Rights and Democratic Development: A Preliminary Study, CIDA. Hal. 5.
Belajar dari beberapa pengalaman. Sebelum kita merumuskan indikator dalam hak ekosob Indonesia, ada baiknya kita tinjau dan belajar dari berbagai laporan-laporan yang relevan yang sebelum ini sudah pernah disusun. Karena keterbatasan waktu dan literatur, maka berikut ini hanya akan diperiksa 4 dokumen.
Pertama. Di Afrika Selatan, IDASA telah menyelenggarakan pemantauan hak Ekosob khusus dalam Hak Anak. Dalam laporan berjudul ”Monitoring Child Socio Economic Rights in South Africa” (2004).7 Indikator yang dipakai untuk melihat realisasi hak Ekosob pada realisasi hak anak pada 4 bidang, yakni hak pangan, hak kesehatan, dan hak bantuan sosial, dan hak pendidikan. Hak Anak dianggap penting karena kemiskinan dan kerentanan yang meluas pada kelompok anak. Salh satu
7
Monitoring Child Socio Economic Rights in South Africa: Achivevements and Challenge”; 2004, Edited by Erika Coetze and Judith Streak, Cape Town: IDASA
8
gejalanya adalah banyak anak yang terpaksa hidup sebagai kepala rumah tangga, di pedesaan maupun di perkotaan, baik sebagai akibat warisan kebijakan sosial ekonomi apartheid maupun sebagai akibat pengabaian secara sistematis paska demokrasi. Kerangka pemantauan yang digunakan adalah (i) melihat dan menafsirkan cakupan dan isi hak-hak anak dalam kewajiban konsitusi dan kewajiban hukum Afsel; ini merupakan acuan dan rujukan untuk memerinci apa saja kewajiban hukum. Salah satunya dokumen yang dirujuk adalah putusan pengadilan, (ii) menganalisa anggaran dan program pemerintah dalam memajukan hak anak tersebut (identifikasi berbagai program yang ditujukan dan memiliki dampak pada pemajuan hak anak. Yang menarik dari laporan ini, adalah penggunaan kualitatif yakni dari suara anak-anak sendiri yang direkam dan dicatat melalui metode penelitian partisipatif (PRA).
Dari laporan itu, maka ada beberapa catatan yang dapat dibuat. (i) indikator dan benchmark/target/sasaran dari pemajuan dan perlindungan hak ekosob yang digunakan adalah kinerja pemerintah pada realisasi hak-hak anak. (ii) dari indikator kinerja pemerintah itu, pemantauan juga melihat kebijakan pembangunan dan anggaran yang digunakannya, sejauh mana mencukupi. Kebijakan pemerintah diwakili oleh dokumen RDP dan GEAR. Ini semacam dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah (lima tahun), sebaya dengan RPJMN Indonesia. Sementara anggaran dilihat pada anggaran dan realisasi anggaran beberapa programn yang ditujukan kepada pemajuan dhak anak. (iii) laporan itu juga memantau kinerja (efektifitas) program-program yang secara khusus ditujukan kepada pemajuan hak anak, dan program lain yang dipandang memiliki dampak kepada pemajuan hak anak.
Kedua, dari Laporan Indonesia: Human Development Report 2004 atau Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 2004 (LPMI). Laporan ini relevan,
meskipun
bukan secara langsung ditujukan untuk menilai capaian Hak Ekosob. Laporan ini berfokus pada soal dua hal : (i) seberapa jauh HDI Indonesia secara nasional dan HDI tiap kabupaten dan porpinsi; (ii) seberapa jauh pendanaan dan belanja social dalam rangka mendukung pencapaian HDI dalam kurun waktu 3-5 tahun sebelum tahun 2004. Dalam laporan itu ditulis bahwa semestinya, belanja sosial Indonesia sebaya/setara dengan negara-negara tetangga, Malaysia, Thailand, Filipina, yakni
9
sebesar 5-6 persen PDB (produk domestic bruto/GDP). Sementara, data-data kumulatif selama 3-5 tahun terakhir, ditemukan bahwa, belanja kesehatan, pendidikan, pangan dan keamanan Indonesia secara total hanya sebesar 3 persen PDB. Belanja sosial yang dimaksud adalah belanja social mencakup kesehatan, pendidikan, pangan dan keamanan (bukan pertahanan). Jadi, data-data dan indikator belanja sosial ini secara makro dan agregat telah menjelaskan mengapa status HDI Indonesia lebih rendah ketimbang negara tetangga. Karena Indonesia kurang melakukan investasi, maka “kita juga kurang memanen hasil”. Mengapa demikian, kiranya ini banyak factor dan di luar skope paper ini. Laporan ini disusun bersama oleh tim UNDP, BPS, Bappenas, selama lebih dari 1 tahun.
Yang dapat dicatat dari laporan itu adalah, (i) Belanja sosial (anggaran) dalam beberapa bidang dijadikan sebagai indikator kuantitatif untuk melihat perubahan kinerja, (ii) Belanja sosial secara kumulatif (lebih dari satu tahun) negara-negara yang sebaya
dijadikan
sebagai
benchmark/target/sasaran
untuk
melihat
gap/deficit/capaian Indonesia;8 Dampak laporan ini menjadi penting, karena sejak laporan ini, karena pemerintah sendiri telah mengakui defisit ini dan kini telah menjadi acuan/benchmark bagi berbagai lembaga PBB dan Menko Kesra dalam memajukan dalam anggaran yang lebih memihak HDI dalam tahun-tahun mendatang.
Ketiga, Laporan yang disusun oleh Special Rapporteur Hak Pendidikan PBB Katarina Tomasevski (Economic, social and Cultural rights: The Right to Education; Report Submitted by Katarina Tomasevski, 2002). Laporan itu menggunakan 4 kerangka
kerja
:
availability
(ketersediaan),
accesibility
(keterjangkauan),
acceptability (keberterimaan), adaptability (daya adaptasi). Dalam hal availability, laporan ini misalnya mememeriksa pendanaan dan nasib guru dalam berbagai jenis sekolah (negeri dan swasta). Antara lain, laporan ini mencatat bahwa ”profesi guru kini sebagai profesi yang bergaji rendah dan kurang dihargai”. ”...80 persennya
8
Sebenarnya temuan LPMI 2004 ini – bahwa lebih belanja sosial kecil dan tidak memadai untuk memenuhi hak dasar --ini tidaklah baru dan mengejutkan. Sebab selama ini, berbagai NGO (INFID misalnya) telah menyuarakan pentingnya melindungi belanja sosial dalam APBN, antara lain dengan mengurangi atau menghapus beban pembayaran utang. Yang baru dari laporan ini – dan ini yang patut dipuji – adalah kuantifikasi (persentase belanja sosial atas PDB) yang dengan mudah bisa dikomparasikan dengan capaian negara lain.
10
memiliki pekerjaan ganda karena harus memenuhi kebutuhan hidup”. Dalam hal accesibility, laporan ini melacak mudah tidaknya kaum perempuan dan anak perempuan dan kelompok rentan lainnya (kelompok cacat dan pengungsi) dalam menikmati hak pendidikan. Dalam hal acceptability, laporan ini mencatat soal kualitas pendidikan, isi dan medium pendidikan (kurikulum) dan sejauh mana capaian dan kelemahan pendidikan Indonesia. Dalam hal, adaptability, laporan ini memeriksa soal seberapa jauh pendidikan Indonesia mewadahi keberagaman penduduk dan kaitan antara mutu pendidikan dengan lapangan kerja. Sumber laporan ini merupakan gabungan antara indikator kuantitatif dan kualitatif, baik dari sumber dokumen dan wawancara dengan stakeholders pendidikan, termasuk depdiknas, PGRI dan lembaga seperti studi dan laporan UNESCO, Bank Dunia, dan sebagainya.
Yang menarik dari laporan ini adalah (i) penggunaan skema A-4 sebagai kerangka kerja; pada kenyataannya, skema ini juga digunakan oleh berbagai kelompok HAM, antara lain oleh CESR yang berkedudukan di New York.9 (ii) penggunaan indikator kuantatif dan kualitatif. Indikator kuantitatif, antara lain soal alokasi anggaran untuk pendidikan. Menurut laporan itu, belanja pendidikan Indonesia hanya sebesar 1 persen PDB, dan menurut benchmark UNESCO, maka alokasi itu harus dinaikkan sebesar 6 kalinya. Ketentuan 20 persen dalam APBN dan APBD akan sangat membantu ke arah sana. Akan tetapi, yang masih terus menjadi perdebatan adalah cakupan belanja dalam 20 persen alokasi anggaran.
Keempat. Dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK).10 Dokumen ini merupakan dokumen strategi penanggulangan kemiskinan, yang disusun lebih dari dua tahun. Intinya, dokumen ini memandatkan pemerintah dan masyarakat untuk (i) menggunakan pendekatan hak dalam penganggulangan kemiskinan (right base approach) dan (ii) memperjuangkan 10 hak dasar, antara lain hak atas pangan, pendidikan, kesehatan, air minum, dan hak partisipasi. Yang baru dalam dokumen ini adalah,
9
digunakannya cara pandang hak asasi manusia dan
Cek, www.cesr.org
10
Komite Penanggulangan Kemiskinan, RI, SNPK: Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, 2005, Jakarta: Menko Kesra.
11
pengakuan bahwa apa yang selama ini dipandang sebagai ”kebutuhan dasar” (basic needs) kini dipandang sebagai hak dasar warga negara. Dokumen ini disusun oleh Menko Kesra dan Bappenas bersama departemen lain dan kalangan NGO.11 Intisari dokumen ini telah dimasukkan dalam bab sendiri dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Yang secara teknokratis merupakan fokus dan prioritas pembangunan yang dijadikan pegangan pemerintah SBY-JK. Meskipun di sana sini
ada kekurangan (makro ekonomi dan
koherensinya/kesesuaiannya dengan pendekatan hak), dokumen SNPK barangkali merupakan dokumen resmi yang pertama kalinya penyusunan secara partisipatif. Indikasinya antara lain ditunjukkan oleh (a) berupaya melibatkan suara si miskin melalui metode PPA (participatory poverty assesment --- semacam PRA yang diterapkan pada kemiskinan) dan review kebijakan; (b) tim penyusunnya sendiri dari berbagai kalangan, termasuk NGO dan Ormas, jadi partisipasi tidak sekadar ”konsultasi” tetapi juga ”pengambilan keputusan bersama” (joint decision making) antar para stakeholders.12
Indikator dan benchmark dari SNPK Fokus
Target
-Menurunnya angka kematian bayi dan balita Kesehatan menjadi 25/1000 dan 40/1000 pada tahun 2009 -Meningkatnya jumlah anak yang diimunisasi campak sebelum usia satu tahun menjadi 90 persen Hak
IV.
11
Indikator
kebijakan
-angka kematian bayi (IMR) -angka kematian balita -angka cakupan imunisasi
-Revitalisasi Posyandu - Penempatan dokter dan bidan di desa Peningkatan ketersediaan obat -Peningkatan alokasi kesehatan
INDIKATOR DAN BENCHMARK UNTUK INDONESIA
Cek website menko kesra www.menkokesra.go.id atau www.tkpk.go.id
12
Tidak semua partisipasi selalu bermakna. Partisipasi ibarat anak tangga, dari yang ”rendah” (sekadar meminta input”) sampai yang ”tinggi”(mengajak stakeholders ikut menentukan bersama-sama). Lihat, Sugeng Bahagijo, ”Dari Pendekatan Teknokratis ke Pendekatan Partisipatif: Pengalaman Penyusunan SNPK” Paper untuk Forum FPPM, Lombok
12
Upaya mengukur kemajuan atau kemunduran Hak-hak Ekosob sebaiknya dimulai dengan menetapkan dan menyepakati beberapa (2-3) tujuan pokok dari pemantauan dan penyusunan indikator. Misalnya saja untuk (a) memperkuat kesepakatan sosial tentang pilihan-pilihan kebijakan yang harus diambil yang seringkali tidak mudah sebagai akibat keterbatasan sumberdaya (trade offs); (b) mendorong penciptaan kebijakan yang lebih baik dan pemantauan yang lebih baik atas kemajauankemajuan; (ii) menunjukkan dampak-dampak yang tak diharapkan (unintended impact) dari undang-undang, kebijakan dan praktek-praktek yang ada. Misalnya, pemantauan dan indikator alokasi anggaran untuk pendidikan dimaksudkan untuk mendorong adanya kesepakatan rinci tentang besaran anggaran pendidikan 20 persen di APBN dan APBD. Misalnya, realisasi hak anak dipilih sebagai jalan masuk dan upaya untuk memajukan penciptaan kebijakan yang lebih bersahabat dengan hak anak, antara lain dalam hal misalnya diperluasnya vaksinasi TBC dan digratiskannya surat akta kelahiran. Misalnya hak-hak pekerja perempuan dipilih sebagai fokus pemantauan untuk menemukan ketimpangan atas upah dan hak hak dasar kaum perempuan.
Upaya mengukur kemajuan-kemunduran Hak Ekosob semestinya tidak saja melihat indikator-indikator sosial ekonomi yang statis, tetapi juga perlu melihat indikatorindikator sosial yang dinamis. Indikator seperti PDB, tingkat pendapatan dan alokasi anggaran (APBN dan APBD) semacamnya merupakan petunujuk yang berguna tetapi kurang memadai untuk mengukur kemajuan dan atau kemunduran realisasi hak ekosob. Oleh karena itu, data-data tentang belanja kesehatan (sebagai persentase atas belanja pemerintah –APBN dan APBD) perlu dilengkapi dengan data-data yang bersifat kualitatif dan dinamis seperti misalnya, (a) data-data ketersediaan dokter dan bidan dalam suatu wilayah, (b) data-data tentang penduduk yang tercakup dalam asuransi kesehatan; (c) data-data jauh jumlah anak/balita yang telah memiliki akta kelahiran.13
13
Seperti yang banyak diberitakan, sekitar 50 persen bayi/balita Indonesia tidak memiliki akta kelahiran. Langkah pemerintah menggratiskan akta kelahiran dalam 3 tahun terakhir ini merupakan kemajuan untuk memudahkan akses terutama bagi keluarga miskin dan keluarga yang tinggal di daerah terpencil.
13
Pemantauan dan pemajuan hak-hak ekosob di Indonesia dari diharapkan juga akan mendorong perubahan dan perbaikan dalam ketersediaan dan kualitas data-data statistik di Indonesia. Pemantuan oleh lembaga-lembaga universitas seperti Pusham di Indonesia dapat mendorong berbagai perbaikan dan ketersediaan data oleh BPS maupun oleh berbagai lembaga pemerintah di pusat dan di daerah. Seperti diketahui, sudah lama ketersediaan data-data yang vital di Indonesia menjadi masalah. Meski data-data itu bersifat kuantitatif dan sebenarnya BPS kita secara metodologi tidaklah susah untuk menghasilkannya. Satu contoh kiranya mencukupi: (a) data tentang pendapatan, selama ini yang dimiliki hanyalah data tentang pengeluaran. (b) data yang lebih mutakhir tentang tingkat ketimpangan (Gini indeks).
Sebagai satu contoh, pemantauan hak ekosob oleh berbagai lembaga suatu ketika dapat mendorong lembaga-lembaga pemerintah (BPS) melakukan pendataan dan survei sosial ekonomi yang lebih berbasis kepada hak ekosob. Satu contoh yang menarik yang perlu dipelajari dan dikembangkan adalah perangkat yang disebut NLLS (Nordic Level of Living Studies),14
yang tidak saja mencatat perubahan
perubahan agregat (statik) dari penduduk, tetapi mencatat dan mengukuti perubahanperubahan rumah tangga yang sama secara periodik. Di dalamnya dicatat termasuk sumber-sumber pendapatan (tidak saja dalam arti uang, tetapi sumberdaya secara umum dari berbagai sumber : negara, pasar, dan keluarga). Di Swedia, BPS nya melakukan survey (besar/nasional) ini setiap lima tahun sekali, dan setiap tahunnya diadakan survei yang lebih kecil. Beberapa data yang dikumpulkan dan indikatornya adalah : (i) pendapatan dan sumber keuangan (pendapatan, tabungan,
utang,
kesulitan keuangan, dll); (ii) kesehatan ( frekuensi sakit kepala, sakit punggung, dirwat di rumah sakit, lama sakit, kemampuan bergerak, kerja dan berfungsi secara norlmal; kesehatan mental); (iii) pendidikan (capaian pendididikan, pendidikan lanjutan, kursus/pendidikan informal, kebiasaan membaca/memperoleh informasi; (iv) perumahan (standar perumahan, akses ke pelayanan sosial, jarak ke tempat kerja dan belanja) (v) keluarga, jaringan sosial dan integrasi sosial (anggota 14
Gosta Esping-Andersen, “Social Indicators and Welfare Monitoring” United Nations Research Institute for Social Deve;opment (UNRISD, Social Policy and Development Programme Paper Number 2 May 2000 bisa diunduh di www.unrisd.org
14
keluarga, teman dan kenalan, frekuensi dan keteraturan kontak sosial; kemampuan mengandalkan diri pada keluarga dan jarinagn sosial);
(vi) Waktu luang dan
hiburan (kebiasan menggunakan waktu luang: membaca, nonton TV, hobbi, jalanjalan/wisata; jumlah dan intensitas waktu keluarga bagi anak-anak;) (vii) Kehidupan kerja (jenis kerja dan upah dan tunjangan,perubahan/promosi kerja, relasi dan intrekasi dengan teman kerja; otonomi, dll); (viii) sumberdaya politik ( partisipasi dalam kehidupan publik; keaktifan dalam organisasi sosial; kemampuan dalam mengeluarkan pendapat tentang isu sosial (menulis surat pembaca, menghubungi komisi Ombusdman/pengaduan, frekeunsi membahas isu politik; frekuensi ikut pemilu, dll). (ix) ketidakamanan (pengalaman mengalami kekerasan, pencurian, perampokan, kecelakaan, dll).
Belajar dari berbagai laporan itu, saya membayangkan kita bisa
memulai
merumus indikator dan benchmark untuk konteks Indonesia kannya sebagai berikut: Pertama, kemauan, kapasitas dan kinerja kita masukkan dalam satu kelompok dan soal capaian dan hasil-hasilnya kita masukkan dalam kelompok lain.
Kedua
pengelompokkan ini juga untuk bisa melihat dua sisi kewajiban negara/pemerintah: kewajiban tindakan (obligation of conduct) dan kewajiban hasil (obligation of results). Benchmark dan indikator untuk kemauan, kapasitas dan kinerja terpisah dengan benchmark dan indikator untuk capaian dan hasil-hasilnya. Benchmark dan indikator pada kelompok pertama untuk mengukur kemauan dan kapasitas, sementara benchmark dan indikator pada kelompok kedua untuk mengukur dan mengetahui hasil-hasilnya.
Ilustrasi Indikator dari Dua Kewajiban
Kewajiban tindakan (obligation of conduct).
Kuantitatif
Kualitatif
A budget analysis of health spending for the past 10 years-State’s obligation of conduct, the obligation to “take steps” to realize progressively better health for its citizens.
document content analysis of existing laws, policies, regulations, national action plans, proposed bills and court and quasi-judiciary rulings -- compatibility and compliance with or impact on economic, social and cultural rights and obligations
15
Kewajiban hasil (obligation of result)
Immunization rates could be one quantitative indicator or measure of the status of the right to health -- the State’s obligation of result.
access to immunization and other health care services -a series of interviews with parents and health care providers across urban and rural areas concerning
Misalnya, dalam kasus Hak Kesehatan di sebuah kota/kabupaten, data yang kita tahu adalah, adanya kekurangan tenaga kesehatan di Kabupaten Kupang, NTT (diperkirakan kabupaten Kupang kekurangan 100 orang tenaga dokter) kita anggap sebagai indikator bagi pemenuhan hak kesehatan di Kupang. Benchmarknya adalah bahwa pada tahun 2009/2010, kekurangan ini sudah bisa diatasi atau bahwa pada tahun itu, kurang 100 tenaga dokter sudah bisa dikurangi menjadi separohnya. Sementara, angka HDI dan lebih khusus angka kematian ibu dan bayi serta balita kita gunakan sebagai indikator pada capaian. Benchmarknya adalah pada tahun 20092010 adalah bahwa angka kematian ibu dan bayi serta balita berkurang separohnya.
Contoh lainnya, dalam hal kemauan, kapasitas dan kinerja di bidang hak kesehatan, kita bisa menggunakan alokasi anggaran sebagai indikator, dan bahwa pada 2-3 tahun berikutnya,
maka benchmarknya adalah adanya kenaikan 100 persen alokasi
anggaran untuk bidang kesehatan, artinya alokasi anggaran naik dari 4 persen APBD (2007) menjadi 8 persen APBD (2009/2010).
Contoh benchmark dan indikator dari RPJMN dan RKP 2007 Program Prioritas
Indikator
Benchmark
Perluasan akses masyarakat miskin atas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar; Perlindungan sosial; Penanganan gizi kurang dan kerawanan pangan; Perluasan kesempatan kerja; dan Peningkatan upaya pemberdayaan masyarakat
Angka partisipasi sekolah, Angka putus sekolah Cakupan asuransi social dan kesehatan (askeskin dan Jamsostek) Cakupan BLT Angka gizi buruk Angka kelaparan/kurang pangan Angka pengangguran Jumlah pelayanan dan cakupan pelayanan Depnaker Jumlah koperasi dan UMKM yang dilayani Cakupan dan pelayanan deptan dan program PNPM
Menurunkan penduduk miskin menjadi 14,4 % dari total jumlah penduduk miskin tahun 2007, dengan fokus utama:
Menurunkan angka pengangguran menjadi sebesar 9,0 %
16
Contoh Bechmark dan Indikator dalam bidang kesehatan Kriteria 1. Kemauan, dan kinerja
2. Capaian hasilnya
kapasitas
dan
hasil-
Indikator
Benchmark
*alokasi anggaran kesehatan dlm APBD/APBN (kuant) *tStandar pelayanan *Tenaga kesehatan/pendidikan *ada tidaknya laporan pemantaun kinerja *partisipasi warga yang meningkat dalam kebijakan kesehatan (kuant-kual) *efektivitas dan transparansi dan akuntabilitas anggaran kesehatan (kual)
*kenaikan 50% anggaran pada tahun 2010 *defisit tenaga kesehatan berkurang 50% *adanya 2 kali laporan tahunan pemantuan dan evaluasi *terbentuknya forum/komite warga negara kesehatan di tingkat kota (advisory/konsultatif) pada tahun 2008 (kual) *terbentuknya forum penganggaran kesehatan di tingkat kota pada tahun 2008/2009 (kual)
* data-data kesehatan yang mutakhir dan terpilah (kuant) *angka persalinan yang didampingi bidan/dokter/dukun yang telah dilatih. *angka kematian ibu, bayi dan balita *angka penyakit menular *survei warga negara dlm pelayanan kesehatan (kual)
* adanya verifikasi dan pemutakhiran data 2007 dan 2008 *meningktanya persalinan yang didampingi bidang dan dokter 50% *angka kematian ibu, bayi dan balita berkurang 50% *angka penyakit malaria, TBC berkurang hingga 75% *kepuasan warga meningkat dalam pelayanan kesehatan. (kual)
17