Implementasi Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Kerangka Normatif dan Standar Internasional∗
Oleh: Ifdhal Kasim∗
Pendahuluan Makalah ini akan membahas isu-isu yang diajukan dalam term of reference seminar ini, yakni: (i) berbagai kerangka normatif danm standar internasional yang mengatur hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; (ii) sistem dan mekanisme internasional implementasi hakhak ekonomi, sosial dan budaya, termasuk badan-badan internasional yang terkait; (iii) berbagai kelemahan dan kekurangan dalam sistem dan mekanisme internasional menyangkut hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta langkah-langkah internasional dalam penyempurnaannya; (iv) kerangka normatif kewajiban negara menurut sistem dan standar internasional dalam pemenuhan dan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; dan (v) sumber-sumber acuan normatif kewajiban negara termasuk Prinsipprinsip Linburg dan Maaastricht.
Kerangka Normatif Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Marilah kita awali dengan bahasan mengenai tempat hak ekosob di dalam hukum hak asasi manusia internasional, sebelum kita memasuki bahasan pokok tulisan ini. Tidak berbeda dengan hak-hak sipil dan politik, hak ekosob merupakan bagian yang esensial dalam hukum hak asasi manusia internasional; bersama-sama dengan hak-hak sipil dan politik ia menjadi bagian dari the international bill of human rights. Sebagai bagian dari ∗
Disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional tentang “Menuju Perlindungan dan Pemantauan yang Efektif Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR), di Yogyakarta, 16 April 2007. ∗
Adalah Direktur Hukum dan Legislasi Reform Institute, Jakarta.
1
international bill of human rights, kedudukan hak ekosob dengan demikian sangat penting dalam hukum hak asasi manusia internasional; ia menjadi acuan pencapaian bersama dalam pemajuan ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian hak ekosob tidak dapat ditempatkan di bawah hak-hak sipil dan politik
--sebagaimana telah
dikesankan selama ini. Pengikatan terhadap hak eksob itu diwujudkan dengan mempositifikasikan hak-hak tersebut ke dalam bentuk perjanjian multilateral (treaty). Rumusannya tertuang dalam Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya –yang dalam bahasa aslinya dikenal dengan Covenan on Economic, Social and Cultural Rights (selanjutnya disingkat CESCR), yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1966 –bersama-sama dengan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Kedua kovenan ini memang dilahirkan secara bersamaan, sebagai bentuk kompromi dari pertentangan pada saat perumusannya ketika itu.1 Negara-negara yang telah menjadi pihak pada Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya itu --dengan meratifikasinya, mencapai berjumlah 142 Negara,2 dan kini ditambah satu negara lagi yang baru meratifikasi, yaitu Indonesia. Tingginya tingkat ratifikasi terhadap kovenan ini menunjukkan, bahwa kovenan ini memiliki karakter universalitas yang sangat kuat. Karena ia telah diterima oleh lebih dari seratus negara. Sebagian ahli hukum hak asasi manusia internasional menganggap, perjanjian dengan karakter yang demikian ini, telah memiliki kedudukan sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional (international customary law);3 ia mengikat setiap negara dengan atau tanpa ratifikasi. Tetapi bagi kita sekarang, kovenan tersebut telah 1
Pada saat perumusannya, para perancangnya berupaya merumuskan sebuah international bill of human rights, yang mencakup kedua kategori hak tersebut. Bukan memisahkannya ke dalam dua kovenan. Tetapi karena pertentang politik pada saat itu, yang berada dalam atmosfir Perang Dingin, akhirnya dipisahkan menjadi dua kovenan. Uraian ringkas mengenai ini dapat dibaca dalam Thomas Buergental, International Human Rights in A Nutshell (Wset Publising Co, 1995). 2
Menurut data ratifikasi yang dikeluarkan PBB, hingga tanggal 15 Juni 2000 CESCR telah diratifikasi oleh 142 Negara dan ditandatangani oleh 61 Negara. Kemudian pada tahun 1997, Cina menyusul meratifikasi kovenan ini, persisnya 27 Oktober 1997. Lihat, Millenium Summit Multilateral Treaty Framework (New York: United Nations, 2000). Oktober 2005, menyusul Indonesia meratifikasinya. 3
Argumen seperti ini diajukan dan dipertahankan oleh, di antaranya, yang paling vokal adalah Prof. Lois B. Sohn dan Browlie. Lihat Lois B. Sohn & T. Buergental, International Protection of Human Rights, 1973; dan Ian Browlie, Principles of Public International Law (New York: Oxford University Press, 1990).
2
menjadi bagian dari hukum nasional kita; ia telah mengikat negara ini untuk melaksanakan isi kovenan tersebut di dalam negerinya. Pembahasan dari sudut legal ini menunjukkan betapa kuatnya kedudukan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Ia berkedudukan sama dengan hak-hak sipil dan politik. Tetapi persepsi atau pandangan yang berkembang mengenainya menunjukkan realitas yang lain, yakni memposisikannya dalam kedudukan yang tidak berimbang dengan hakhak sipil dan politik. Jadi dalam waktu yang lama telah berkembang persepsi yang menyangkal keberadaan hak-hak ekosob ini dalam rezim hukum hak asasi manusia, dengan mengatakan bahwa hak-hak ini bukanlah hak yang riel (not really right). Karena itu marilah kita periksa pula bagaimana penyangkalan tersebut dibangun.
Penyangkalan terhadap Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Selama ini telah terbangun suatu persepsi populer mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. –yang telah diterima secara umum. Yaitu persepsi atau pandangan yang mengontraskan hak ekosob dengan hak-hak sipil dan politik. Kedua kategori hak ini dikontraskan secara diametral. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya digambarkan sekedar sebagai statemen politik, sementara hak-hak sipil dan politik dikatakan sebagai hak yang riil. Karena kedua kategori hak ini, yang diatur dalam masing-masing kovenan, memang menggunakan formulasi hukum yang berbeda. Kalau CESCR menggunakan formulasi “… undertakes to take steps, … to the maximum of its available resources, with a view to achieving progressively the full realization of the rights recognized in the present Covenant …”.4 Dipihak lain, ICCPR (Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik) menggunakan: “… undertakes to respect and to ensure to all induvidual within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the present Covenant …”.5 Formulasi hukum yang berbeda ini dijadikan dasar untuk menarik garis pembeda yang tajam antara kedua kovenan tersebut.
4
Selengkapnya lihat pasal 2 (1) Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
5
Selengkapnya lihat pasal 2 (1) Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
3
Perbedaan tajam yang dibuat itu adalah dengan mengatakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak-hak positif (positive rights), sementara hak-hak sipil dan politik dikatakan sebagai hak-hak negatif (negative rights).6 Dikatakan positif, karena untuk merealisasi hak-hak yang diakui di dalam kovenan tersebut diperlukan keterlibatan negara yang besar. Negara di sini haruslah berperan aktif (obligation to do something). Sebaliknya dikatakan negatif, karena negara harus abstain atau tidak bertindak dalam rangka merealisasikan hak-hak yang diakui di dalam kovenan. Peran negara di sini haruslah pasif (obligation not to do something). Makanya hak-hak negatif itu dirumuskan dalam bahasa “freedom from” (kebebasan dari), sedangkan hak-hak dalam kategori positif dirumuskan dalam bahasa “rights to” (hak atas). Sebagai hak-hak positif, maka hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak dapat dituntut di muka pengadilan (nonjusticiable). Sebaliknya dengan hak-hak sipil dan politik, sebagai hak-hak negatif ia dapat dituntut di muka pengadilan. Misalnya, orang yang kehilangan pekerjaannya tidak dapat menuntut negara ke muka pengadilan, karena pelanggaran tersebut. Sebaliknya, orang yang disiksa oleh aparatur negara dapat dengan segera menuntut tanggung jawab negara atas pelanggaran tersebut ke muka pengadilan. Disamping membedakannya dengan cara positif dan negatif tersebut, juga dibuat perbedaan secara ideologis. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dikatakan bermuatan ideologis, sementara hak-hak sipil dan politik non-ideologis. Artinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya hanya dapat diterapkan pada suatu sistem ekonomi tertentu, sedangkan hak-hak sipil dan politik dapat diterapkan untuk semua sistem ekonomi atau pemerintahan apapun. Atau dalam kata-kata Philip Alston dan Gerald Quinn,7 “... civil and political rights are seen as essentially non-ideological in nature and are potentially compatible with most system of goverment. By contrast, economic, social and cultural rights are often perceived to be of a deeply ideological nature, to necessitate an unacceptable degree of intervention in the
6
Lihat Vierdag, “The Legal Nature of the Rights Granted by the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights”, Netherlands Yearbook of International Law 1978, 69-105. 7
Philips Alston dan Gerald Quinn, “The Nature and Scope of States Parties Obligations under the International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights”, Human Rights Quarterly, Vol 9 (May, 1987), No. 2.
4
domestic affairs of states, and to be inherently incompatible with a free market economy”.
Kedua kategori hak ini menuntut tanggung jawab negara yang berbeda. Kalau hak-hak ekonomi, sosial dan budaya menuntut tanggung jawab negara --meminjam istilah yang digunakan Komisi Hukum Internasional-- dalam bentuk obligations of result, sedangka hak-hak sipil dan politik menuntut tanggung jawab negara dalam bentuk obligations of conduct. Tetapi apakah argumen-argumen penyangkalan tersebut memiliki validitas yang kuat? Ternyata kontras yang dibuat itu hanya artifisial dan mitos belaka. Karena perbedaan tersebut tidak didasarkan pada pemahaman yang utuh mengenai legal nature hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Berdasarkan kajian-kajian mutakhir, seperti yang diprakarsai oleh ahli-ahli hukum seperti Philip Alston, Asbojrn Aide, Audrey Chapman, Scott Leckie, Katarina Tomasevski (sekedar menyebut beberapa di antaranya), mengungkapkan ketidaksahihan penyangkalan tersebut. Pandangan-pandangan mereka sangat mempengaruhi perumusan Prinsip-prinsip Limburg8 dan Pedoman Maastrict.9
Kebijakan Negara dalam Melindungi Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Berdasarkan pada kajian-kajian mutakhir hak-hak ekosob, ternyata diungkapkan bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu tidak sepenuhnya merupakan hak-hak positif. Sebab cukup banyak hak-hak yang diakui di dalamnya menuntut negara agar tidak mengambil tindakan (state obligation not to do something) guna melindungi hak tersebut. Bukannya melulu mengharuskan negara aktif mengambil tindakan. Hal ini dapat kita lihat pada klausul-klausul seperti hak berserikat, hak mogok, kebebasan memilih sekolah, kebebasan melakukan riset, larangan menggunakan anak-anak untuk pekerjaan berbahaya, dan seterusnya, yang terdapat di dalam CESCR. Ketentuan-ketentuan itu menunjukkan dengan gamblang, bahwa yang diatur di dalam CESCR bukan hanya hak8 Prinsip-prinsip Limburg ini dirumuskan oleh para ahli hukum internasional sebagai suatu usaha untuk mengefektifkan pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, dengan memberikan penafsiran baru terhadap ketentuan-ketentuan CESCR. Prinsip-prinsip ini tidak mengikat secara hukum. 9
Pedoman ini juga dirumuskan oleh para ahli hukum internasional yang tidak mengikat secara hukum. Prinsip-prinsip ini diharapkan dapat menjadi pedoman dalam memantau pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
5
hak dalam jenis “rights to”, tetapi juga hak-hak dalam jenis “freedom from”. Jadi mengatakan bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya semata-mata merupakan hak-hak positif jelas menyesatkan. Makanya frasa undertakes to take steps, to achieve progressively dan to maximum of its available resources pada pasal 2(1) CESCR harus dilihat sebagai ketentuan yang memiliki hubungan yang dinamis dengan semua pasal lainnya.10 Hakikat kewajiban hukum yang timbul dari pasal ini bukan hanya menuntut negara berperan aktif, tetapi juga menuntut negara tidak mengambil tindakan (pasif). Makanya kurang tepat, tanggung jawab negara di bidang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini dibedakan antara obligation of conduct dan obligation of result. Kedua kewajiban itu merupakan kewajiban yang sekaligus harus dipikul oleh negara dalam pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Misalnya, untuk mencukupi kebutuhan pangan, negara harus mengambil langkah-langkah dan kebijakan yang tepat agar tujuan mencukupi pangan tersebut berhasil (obligation of result). Tetapi dalam waktu yang bersamaan, negara juga tidak diberbolehkan mengambil tindakan yang menyebabkan seseorang kehilangan kebebasan memilih pekerjaan atau sekolah (obligation of conduct). Jadi jelas mengapa dikatakan keliru, jika tanggung jawab negara dikatakan terbatas pada obligation of result. Dalam sebuah konferensi yang diorganisir oleh International Commission of Jurist, David Matas11 --salah seorang yang terlibat dalam dalam konferensi tersebut, dengan tegas menolak pemisahan antara kedua bentuk tanggung jawab negara itu. Kita turunkan di sini pendapatnya:
10
Salah seorang sarjana yang memberi perhatian besar terhadap frasa-frasa kontroversial itu adalah Robert E. Robertson. Dalam tulisannya yang mengulas frasa ‘maximum available resources’, Robertson menunjukkan betapa tidak mudahnya memahami bahasa yang digunakan CESCR. Katanya, “It is a difficult phrase –two warring adjectives describing an undefined noun. ‘Maximum’ stands for idealism; ‘available’ stands for reality. ‘Maximum’ is the sword of human rights rhetoric; ‘available’ is the wiggle room for the State. Lihat, Robert E. Robertson, “Measuring State Compliance with the Obligation to Devote the “Maximum Available Resources” to Realizing Economic, Social and Cultural Rights,” Human Rights Quarterly, Vol. 16 (November 1994): Hlm.694.
11
Lihat David Matas, “Economic, Social and Cultural Rights and the Rule of Lawyers: North American Perspectives”, International Commission of Jurist: Special Issue, December 1995.
6
“Put in terms of distinction between obligations of conduct and obligations of result, the notion that economic, social and cultural rights are always and only obligations of result, and that political and civil rights are always and only obligations of conduct is false. For countries like Canada and the US all economic and social rights are obligations of conduct and not just obligations of result. For countries like Canada and the US, if an economic, social or cultural rights is not being realised, the reason is unwillingness and not incapacity”.
Prinsip-prinsip Limburg juga menegaskan hal yang serupa. Kumpulan prinsip yang disusun oleh para ahli hukum internasional itu --yang didesain untuk memberi pedoman dalam mengimplementasikan CESCR, berusaha meletakkan arah baru dalam melihat tanggung jawab negara dalam konteks hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Yaitu dengan tidak memandangnya melulu bersifat positif. Hal ini dapat kita baca pada paragraf ke-16 Prinsip-prinsip Limburg itu. Di sana dikatakannya: “All States parties have an obligation to begin immediately to take steps towards full realization of the rights contained in the Covenant.”
Selanjutnya pada paragraf ke-22, ditegaskan lagi: “Some obligations unders the Covenant require immediate implementation in full by all States parties, such as the probihation of discrimination in article 2(2) of the Covenant.”
Jadi, meskipun CESCR menetapkan pencapaian secara bertahap dan mengakui realitas keterbatasan sumberdaya yang tersedia di satu sisi, pada sisi lain ia juga menetapkan berbagai kewajiban yang memiliki efek segera (immediate effect). Itu artinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak lagi dapat dilecehkan sebagai “bukan merupakan hak yang sebenarnya” alias sekedar “statemen politik”. Sama seperti hak-hak sipil dan politik, ia juga merupakan hak yang sebenarnya yang juga dapat dituntut pemenuhannya melalui pengadilan (justiciable). Terutama untuk hak-hak yang diatur pada pasal 3, 7(a) dan (i), 8, 10(3), 13(2), (3) dan (4), dan pasal 15(3). Hak-hak dalam pasal-pasal ini bersifat justiciable, yang dapat dituntut di muka pengadilan nasional masing-masing negara. Argumen maximum available resources atau progressive realization tidak dapat digunakan untuk mengesampingkan pemenuhan segera hak-hak tersebut. Jadi anggapan selama ini mengenai non-justiciable dari hak-hak ekonomi, sosial dan budaya jelas
7
menyesatkan. Selain tidak menyumbang apa pun bagi kepentingan advokasi pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Begitu juga mengenai anggapan, bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu tidak cocok bagi semua sistem pemerintahan atau ekonomi. Karena ia ideologis! Anggapan ini juga keliru, karena hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini tidak pernah didesain untuk salah satu sistem ekonomi atau pemerintahan tertentu. Dengan kata lain, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini bersifat netral. Penjelasan mengenai netralitas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu dikuatkan oleh General Comment dari Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dikatakannya:12 Thus, in terms of political and economic sytems the Covenant is neutral and its principles cannot accurately be described as being predicated exclusively upon the need for, or the desirability of, a socialist or a capitalist system, or a mixed, centrally planned, or laissez-faire economy, or upon any other particulary approach. In this regard, the Committee reaffirms that rights recognized in the Covenant are susceptible of realization within the context of a wide variety of economic and political systems.
Dalam konteks pemahaman legal nature hak-hak ekosob seperti dipaparkan panjang lebar di atas, kita dapat memastikan bahwa tanggungjawab negara (state obligation) dalam memajukan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak hanya dalam bentuk obligation of result, tetapi sekaligus dalam bentuk obligation of conduct. Dalam konteks tanggungjawab yang demikian ini, maka kebijakan-kebijakan negara dalam memajukan hak-hak ekosob harus dapat menunjukkan terpenuhinya kedua bentuk kewajiban tersebut. Itu artinya, ketika negara merancang kebijakan kesehatan atau kebijakan pendidikan, ia harus sudah menimbang hasilnya dapat menjamin terpenuhinya hak atas kesehatan atau hak atas pendididkan tersebut. Begitu pula negara harus menyediakan sarana atau mekanisme yang memberi akses kepada rakyat untuk menuntut apabila hak-hak tersebut tidak terpenuhi. Kebijakan negara dalam kontek pemenuhan hak-hak ekosob dengan demikian tidak terkait dengan pilihan sistem ekonomi yang diterapkan negara tersebut, apakah pro-pasar 12
Lihat General Comment 3, The nature of State parties obligations (Art. 2, para. 1 of the Covenant), UN Doc. HRI/GEN/1/Rev. 1 (1994), para. 11.
8
atau sistem komando. Sekalipun kebijakan ekonomi suatu negara didasarkan pada sistem pasar bebas atau liberalisme –seperti yang sekarang diterapkan pemerintahan saat ini, negara tersebut tetap memikul kewajiban merealisasi hak-hak ekosob warganya di dalam sistem ekonomi tersebut. Apabila kebijakan ekonomi negara tersebut gagal memberi jaminan terhadap pemenuhan hak-hak ekosob warganya, maka negara dapat dikatakan melanggar hak-hak yang terdapat dalam kovenan tersebut (violations of covenant obligations). Apalagi setelah kita menjadi pihak dari kovenan tersebut.
Kemiskinan sebagai Pelanggaran terhadap Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Permasalahan dasar kemiskina di Indonesia dapat digambarkan dengan kondisi dimana masih tingginya jumlah penduduk miskin yaitu 39,05 juta jiwa atau sekitar 17,75 persen (BPS, Maret 2006), masih tingginya Rumah Tangga Miskin di Indonesia yaitu 19,2 juta KK ( BPS, 2006), masih tingginya angka pengangguran sebesar 10,24 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah 103 juta jiwa (2006). Selain itu, dalam hal akses pelayanan
kesehatan,
pendidikan,
perumahan
&
permukiman,
infrastruktur,
permodalan/kredit dan informasi bagi masyarakat miskin dirasakan masih sangat terbatas. Jika diamati dengan seksama di sebagian wilayah nusantara ini, masih terdapat luasnya kawasan kumuh dan kantong-kantong kemiskinan yang jumlahnya sekitar 56.000 hektar kawasan kumuh di perkotaan di 110 kota-kota, dan 42.000 desa dari sejumlah 66.000 desa dikategorikan desa miskin. Tingkat kinerja penanggulangan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia kondisinya masih belum optimal. Koordinasi yang dalam hal pendataan, pendanaan dan kelembagaan masih lemah. Kelemahan ini juga dirasakan pada koordinasi antar programprogram penanggulangan kemiskinan di antara instansi pemerintah pusat dan daerah, begitu juga dengan integrasi program pada tahap perencanaan, sinkronisasi program pada tahap pelaksanaan, serta sinergi antar pelaku (pemerintah, dunia usaha, masyarakat madani) dalam penyelenggaraan keseluruhan upaya penanggulangan kemiskinan. Selain kelembagaan di pemerintah, kita masih dihadapkan pada fakta pada belum optimalnya dunia usaha, LSM, dan masyarakat madani dalam bermitra dan bekerjasama dalam penanggulangan kemiskinan serta penciptaan lapangan kerja. 9
Gambar 1 Perkembangan Jumlah Anggaran Program & Proyek Penanggulangan Kemiskinan di APBN 60 51
50 42 Triliun Rupiah
40 30 20
23 16,5
18 16
10 0 2002 Sumber : Catatan :
2003
2004
2005
2006
2007*
TKPK dan Bappenas Untuk Tahun 2007 diambil dari pagu indikatif program penanggulangan kemiskinan usulan Departemen dan LPND (RKP 2007)
Penutup Uraian yang dipaparkan tulisan ini tidak seluruhnya menjawab apa yang dirumuskan dalam term of reference, tetapi mungkin akan dilengkapi oleh pembahas yang lain. Saya hanya membahas sebagiannya, dan saya coba pusatkan pada pembahasan terhadap konsep tanggungjawab negara dalam konteks memajukan hak-hak ekosob. Karena dari sinilah kebijakan negara dalam mewujudkan perlindungan hak-hak ekosob tersebut seharusnya lahir. Artinya, kebijakan negara dalam menjamin hak-hak tersebut merupakan bentuk tanggungjawabnya terhadap pelaksanaan kovenan ekosob yang sudah diratifikasinya. Apabila negara tidak mengambil langkah-langkah apapun dalam memajukan, melindungi dan memenuhi hak-hak ekosob itu, maka negara telah melanggar kewajibannya melindungi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Lalu ujungnya adalah impunitas. ***
10