Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
BAB I
PENDAHULUAN 1.1.1. Anggaran Publik dan Pemenuhan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Anak
Anggaran publik berbasis hak anak, semestinya merupakan anggaran yang berpijak pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak (KHA)/The Convention on The Rights of The Child (CRC) dan Konvensi Internasional Hak Asasi Manusia (HAM) yang lain. Dengan kata lain, apakah anggaran publik suatu negara menghargai, melindungi, dan memenuhi hak-hak anak dapat dianalisis dengan instrument hukum HAM internasional, sehingga dapat diketahui keberpihakan suatu rezim pemerintahan dalam memenuhi komitmennya setelah meratifikasi suatu instrumen hukum HAM internasional. Anggaran publik merupakan dokumen publik yang menggambarkan bagaimana Pemerintah merencanakan untuk mengumpulkan dan membelanjakan uangnya. Rencana tersebut merefeksikan prioritas kebijakan Pemerintah dan target pendapatannya, khususnya dari sektor fiskal. Dalam perspektif yang lain, anggaran mengekspresikan tujuan dan aspirasi suatu Pemerintah. Pada suatu masyarakat yang demokratis, tujuan dan aspirasi tersebut harus merefleksikan kehendak mayoritas pemilih. Dengan demikian yang dimaksud dengan anggaran adalah suatu instrumen yang mana Pemerintah mengembangkan dan mengalokasikan sumber daya keuangannya, kemudian melalui anggaran tersebut Pemerintah menyediakan kebutuhan dasar warga negara terkait dengan kewajibannya untuk memenuhi HAM. Anggaran publik lebih dari sekedar kumpulan angkaangka, anggaran merupakan deklarasi suatu masyarakat atau prioritas suatu bangsa. Terkait dengan kebijakan politik anggaran publik, Pasal 4 KHA menentukan bahwa negara akan mengambil semua langkah legislatif dan administratif, dan langkah-langkah lain untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam Konvensi Hak Anak. Sepanjang yang menyangkut hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, negara akan mengambil langkah-langkah maksimal dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia bila diperlukan dalam kerangka kerjasama internasional. Tindakan-tindakan sebagaimana diatur dalam pasal tersebut meliputi: Sumber hukum internasional tidak terbatas pada perjanjian internasional saja seperti kovenan, konvensi, protokol, dan bentuk lainnya. Pasal 38 Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional menyatakan bahwa dalam memutuskan perkaranya Mahkamah bersumber pada : (i) hukum perjanjian internasional; (ii) kebiasaan internasional; (iii) prinsip-prinsip hukum umum yang diakui diterapkan oleh negara; dan (iv) jurisprudensi pengadilan dan pendapat ahli hukum internasional.
Alexandra Vennekens dan Shun Govender, Local Government Budget Guide, IDASA Budget Information Service, 2005, hal. 4
Sebangun dengan ketentuan ini, Pasal 2 Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya paragraf pertama menyatakan bahwa setiap negara berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah, baik secara individual maupun melalui bantuan dan kerjasam internasional, khususnya dibidang ekonomi dan teknis sepanjang tersedia sumber dayanya secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
1. Memastikan bahwa semua peraturan perundang-undangan (legislative policy) secara penuh sesuai dengan prinsip-prinsip dan ketentuan KHA ; 2. Membuat suatu strategi nasional secara komprehensif guna memenuhi dan melindungi hak-hak anak; 3. Mengalokasian dan menganalisis anggaran publik berdasarkan kepentingan terbaik untuk anak. Butir ketiga kewajiban tersebut, kemudian diartikulasikan lebih detil dalam The Guidelines for Periodic Report CRC Committee, sebagai berikut: 1. Mengambil langkah-langkah guna memastikan terdapatnya koordinasi antara kebijakan ekonomi dan kebijakan layanan��������� s������� osial; 2. Pembagian anggaran publik yang proporsional untuk belanja layanan sosial baik di level pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bagi kepentingan anak, termasuk kesehatan, kesejahteraan, dan pendidikan; 3. Terdapatnya kecenderungan kenaikan anggaran publik untuk kepentingan anak; 4. Mengambil langkah-langkah guna memastikan semua kompetensi nasional dan daerah, termasuk para pengambil kebijakan anggaran publik, diorientasikan untuk kepentingan anak serta mengevaluasi penetapan prioritas alokasi anggaran yang ditujukan bagi kepentingan terbaik untuk anak; 5. Memastikan tindakan-tindakan yang telah diambil tidak menimbulkan disparitas antar wilayah dan kelompok anak dan tindakan tersebut dapat menjembatani keterkaitan kebijakan alokasi anggaran publik dengan perlindungan sosial; 6. Memastikan tindakan-tindakan yang diambil berdampak pada anak-anak khususnya kelompok anak yang tidak beruntung sehingga anak mendapatkan perlindungan terhadap risiko perubahan kebijakan ekonomi termasuk pengurangan alokasi anggaran untuk sektor sosial. Langkah-langkah di atas apabila dikerangkakan dalam perspektif HAM, khususnya pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya maka Prinsip-Prinsip Limburg�� (The Limburg Principles on the Implementation of the International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights/ UN doc. E/CN.4/1987/17) dapat dijadikan pijakan untuk menginterpretasi lebih jauh ketentuan Pasal 4 KHA. Konsekuensi logisnya, politik kebijakan anggaran publik, harus memenuhi nilai-nilai keadilan bagi setiap orang. Oleh karenanya, penetapan dan pemilihan skala prioritas kebijakan alokasi anggaran publik yang ditujukan bagi pemenuhan kebutuhan yang bersifat subsisten melalui ketersediaan layanan-layanan sosial menjadi penting dan mendesak untuk dilakukan. Kemudian, Pedoman Maastricht (����������������������������� The Maastricht Guidelines on ��������������������������������������������������� Violations of Economic, Social and Cultural Rights) untuk Pelanggaran Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menetapkan 3 (tiga) kewajiban yang berbeda pada setiap negara, yakni : kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) HAM. ���������� Kegagalan dalam melaksanakan salah satu kewajiban ini merupakan pelanggaran HAM. Kewajiban ���������������������������� untuk menghormati mengharuskan negara menahan diri untuk tidak campur tangan dalam penikmatan HAM. Selanjutnya kewajiban diakui oleh kovenan dengan cara-cara yang sesuai, termasuk mengambil langkah-langkah legislatif.
Rachel Hodgkin dan Peter Newell, Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child, UNICEF, New York, USA, 1998, hal. 57 – 67
Rachel Hodgkin dan Peter Newell, Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child,ibid, hal. 63. Lihat Pasal 3 ayat (1) KHA yang menentukan bahwa dalam semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara atau swasta, pengadilan hukum, penguasa administratif atau badan legislatif, kepentingan terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama. Prinsip-prinsip Limburg, khususnya bagian B merupakan upaya untuk menginterpretasikan ketentuan Pasal 2 Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang bunyi ketentuannya sebangun dengan Pasal 4 KHA. Lihat paragraf 27 dan paragraf 28 Prinsip-Prinsip Limburg
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
untuk melindungi mengharuskan negara mencegah pelanggaran HAM oleh pihak ketiga. Kemudian kewajiban untuk memenuhi HAM mengharuskan negara mengambil tindakan-tindakan legislatif, administratif, anggaran, hukum, dan semua tindakan lain yang memadai guna memenuhi sepenuhnya HAM. Politik kebijakan anggaran publik yang diambil oleh suatu negara merupakan wujud dari implementasi kewajiban negara untuk memenuhi HAM. Jika ditarik lebih jauh, kewajiban ini merupakan realisasi kewajiban kodrati dan filosofis didirikannya sebuah negara, yakni melayani rakyatnya. Pembukaan UUD 1945 sebagai landasan filosofis berdirinya Negara Indonesia, menegaskan 4 (empat) tujuan ideal negara yang meliputi : (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) memajukan kesejahteraan umum; (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, Perdamaian abadi dan keadilan sosial. Oleh karenanya politik kebijakan anggaran publik sudah semestinya merealisasikan tujuan negara tersebut. Dalam rangka itu, anggaran publik setidak-tidaknya mewujudkan 2 (dua) unsur kewajiban negara untuk menghargai, melindungi, dan memenuhi HAM, yakni: (i) kewajiban mengenai tindakan (obligation of conduct) dan (ii) kewajiban mengenai hasil (obligation of result). Kewajiban yang pertama membutuhkan tindakan yang diperhitungkan dengan cermat untuk menjamin dipenuhinya suatu hak tertentu. Sedangkan kewajiban yang kedua, mengharuskan negara untuk mencapai target tertentu guna memenuhi standar substantif terinci. Pencapaian hasil dari suatu hak, memang tergantung pada ketersediaan finansial yang memadai dan sumber daya yang lain. Namun, kurangnya sumber daya tidak mengurangi kewajiban negara untuk menjamin sedikitnya tingkat minimum dari hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya bagi semua penduduk. Terkait dengan hal ini, Komentar Umum (General Comment)10 Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya PBB Nomor 3 (1990) tentang Sifat dari Kewajiban-Kewajiban Negara Peserta (On the Nature of State Obligations) menegaskan bahwa realisasi progresif memiliki batas-batas. Dalam hal halangan sumber daya, negara harus menjamin sedikitnya tingkat minimal dari tiap-tiap hak untuk dipenuhi.11 Dengan kata lain, terdapat ambang batas (������������� minimum core obligations) ������������������������������������������������������������������������������������������������� di mana keterbatasan sumber daya tidak dapat dijadikan dalih bagi negara untuk mengingkari atau tidak mampu memenuhi hak-hak tersebut. Malah negara diharuskan menciptakan standar nasional yang spesifik yang akan memberikan dampak terpenuhinya setiap hak dalam tingkat yang esensial.12 Dalam konteks politik kebijakan anggaran publik di Indonesia, baik di level pemerintah pusat maupun level pemerintah daerah, nampaknya politik kebijakan yang diterapkan malah memproduksi kemiskinan yang semakin masif. Konstantasi ini dapat dilihat dari kecenderungan arah prioritas penetapan alokasi anggaran publik yang disusun oleh eksekutif dan ditetapkan oleh legislatif. Kecenderungan yang pertama, dilihat dari besaran alokasi anggaran publik di level pemerintah pusat tersedot untuk membayar utang dalam negeri dan utang luar negeri.13 ��������������������������������������� Pembayaran utang luar negeri dan dalam Lihat Pedoman Maastricht, bagian II Paragraf 2 Lihat Kovenan Hak Ekonomi, Sosila, dan Budaya, Pasal 4 yang menyatakan bahwa Negara mengakui dalam hal pemenuhan hak-hak yang dijamin oleh Negara sesuai dengan Kovenan ini, Negara hanya dapat mengenakan pembatasan hak-hak tersebut sesuai dengan ketentuan hukum, sepanjang hal ini sesuai dengan sifat hak-hak tersebut, dan semata-mata dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis. 10 Komentar Umum (General Comment) adalah interpretasi legal yang dilakukan oleh Komite HAM atau Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya atau komite lain terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam sebuah instrumen hukum HAM internasional. 11 Allan McChesney, Memajukan dan Membela : Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Yogyakarta, Insist Human Right, 2003, hal. 29 12 Office of the United Nation High Commissioner For Human Rights, Economic, Sosial and Cultural Rights Handbook for National Human Rights Institutions, Professional Training Series No. 12, New York & Geneva, 2005, hal. 22 13 Pembayaran utang dalam anggaran pemerintah adalah bentuk penyaluran dana masyarakat yang dikumpulkan melalui penerimaan pajak dan penerimaan dalam negeri lainnya kepada pihak kreditor. Untuk pembayaran utang luar negeri dananya diterima oleh kreditor
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
negeri telah menghabiskan anggaran publik sebesar Rp 80 triliun-Rp 90 triliun setiap tahunnya. Kedua, beban desentralisasi keuangan daerah yang harus ditanggung Pemerintah melalui DAU dan DAK, pada awal tahun 2000an kurang dari 150 triliun, kini mencapai Rp 230 triliun.14 Di sisi lain, penggunaan dana tersebut, realisasinya lebih besar untuk belanja rutin negara ketimbang belanja pembangunan baik pada level pemerintah daerah maupun level pemerintah pusat, rata-rata mencapai 2/3 (dua pertiga) dari total belanja. Sebagian besar belanja rutin tersebut dialokasikan untuk belanja pegawai.15 Ketiga, beban ���������������������������������������������� subsidi minyak dan subsidi energi, terutama listrik yang berjumlah hampir Rp l00 triliun.16 Kecenderungan-kecenderungan di atas, berdampak pada gagalnya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak anak yang menjadi kewajiban inherent Negara Indonesia. Kegagalan negara ini merupakan bentuk kekerasan struktural yang dilakukan secara sistematis melalui upaya legal. Dalam doktrin hukum HAM situasi ini merupakan bentuk pelanggaran HAM melalui tindakan (act of commission).17
1.1.b. Dampak Anggaran Publik terhadap Pemenuhan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Anak Struktur anggaran publik18 suatu negara sebenarnya merefleksikan memperlihatkan keberpihakan suatu rezim. Indikatornya nampak pada berapa besaran alokasi anggaran untuk pembangunan fasilitas layanan publik yang meliputi kesehatan, pendidikan, dan permukiman; berapa banyak disiapkan untuk subsidi bahan kebutuhan pokok; berapa pula alokasi untuk membayar utang luar negeri, belanja rutin, atau modernisasi angkatan bersenjata. Kalau alokasi dana untuk keperluan yang terakhir ini, lebih besar ketimbang bagi dua kelompok yang pertama, hampir pasti dapat disimpulkan bahwa rezim ini tidak berpihak kepada rakyat miskin.19 Seharusnya, anggaran publik menjadi akses bagi sekelompok masyarakat yang secara tradisional mengalami diskriminasi untuk menikmati hak asasinya. Dalam posisi ini, anggaran dapat dijadikan sebagai alat asing, sedangkan pembayaran utang dalam negeri dananya akan dinikmati oleh pihak perbankan sebagai subsidi. Lihat Catatan Pengantar Diskusi Advokasi dan Kampanye APBN P 2005, www.kau.or.id 14 Media Indonesia, 16 Juli 2007 15 Nina Toyamah & Saikhu Usman, Alokasi Anggaran Pendidikan di Era Otonomi Daerah : Implikasinya terhadap Pengelolaan Pelayanan Pendidikan Dasar, Laporan Lapangan SMERU, Juni 2004, hal. 13. 16 Media Indonesia, 16 Juli 2007 17 Lihat Kovenan Hak Sipil dan Politik Pasal 5 (1) yang menyatakan bahwa tidak ada satu hal pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberikan hak kepada suatu Negara, perorangan atau kelompok, untuk terlibat dalam suatu kegiatan atau melaksanakan tindakan apapun, yang bertujuan untuk menghancurkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diakui dalam Kovenan ini, atau untuk membatasi hak-hak tersebut dalam tingkat yang lebih besar daripada yang diperbolehkan dalam Kovenan ini. 18 Struktur anggaran publik bisa dibedakan atas: struktur yang konservatif dan struktur yang ekspansif. Struktur yang pertama, berarti pengeluaran pemerintah dilakukan secara hati-hati atau kontraktif. Indikasinya struktur anggaran ini memfasilitasi dan menstimulasi investasi baik asing maupun domestik bukan pengeluaran pemerintah. Sedangkan struktur yang kedua kinerja pembangunan didorong oleh pengeluaran pemerintah. Struktur yang pertama kebijakan pemerintah merefleksikan ideologi neoliberal. Sedangkan yang kedua merefleksikan ideologi di luar neoliberalisme (populisme, sosialisme atau nasionalisme). Lihat Coen Husain Pontoh, Anggaran Partisipatif: Pengalaman Sukses di Porto Alegre, Brazil dalam Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global, Yogyakarta, Resist Book, 2005, hal. 39-40. 19 Coen Husain Pontoh, Anggaran Partisipatif, ibid
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
oleh negara untuk menjalankan tindakan affirmatif (affirmative action). Tindakan afirmatif adalah kebijakan, peraturan, atau program khusus yang bertujuan untuk mempercepat persamaan posisi dan kondisi yang adil bagi kelompok-kelompok yang termarjinalisasi dan lemah secara sosial dan politik. Tindakan ini merupakan suatu koreksi dan kompensasi atas diskriminasi, marjinalisasi, dan eksploitasi yang dialami oleh kelompok masyarakat tersebut agar memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna tercapainya kesetaraan dan keadilan pada semua bidang kehidupan.20 Dalam konteks penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak anak, doktrin hukum HAM internasional menegaskan kewenangan atributif negara untuk mengambil tindakan affirmatif bagi sekelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai kelompok rentan (vulnerable groups). Anak-anak termasuk ke dalam kelompok ini.21 Artinya negara seharusnya melakukan intervensi secara aktif untuk menjamin hakhak anak melalui upaya-upaya yang secara khusus ditujukan kepada kelompok ini sebagai penerima manfaat (benefeciaries). Dalam titik ini mengubah paradigma pembangunan yang semula tidak berorientasi kepada kepentingan anak menjadi pembangunan berparadigma kepentingan terbaik bagi anak. Perubahan ini benarbenar menjadi langkah fundamental.22 Dengan demikian, children mainstreaming policy menjadi solusi terbaik untuk memecahkan persoalan-persoalan yang melingkupi anak-anak. Children mainstreaming policy merupakan upaya mengintegrasikan prinsip-prinsip dan norma-norma hak asasi anak dalam setiap kebijakan publik yang ditetapkan Negara. Dalam konteks penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak anak, karakteristik hak-hak anak berkaitan erat dengan konsepsi HAM secara umum, sebagai berikut: 1. Menitikberatkan pada integritas dan martabat kehidupan manusia; 2. Dijamin oleh standar yang bersifat internasional; 3. Mendapatkan perlindungan melalui hukum dan ditegaskan sebagai kewajiban negara; 4. Melindungi setiap individu dan kelompok; 5. Menempatkan negara dan aparatnya sebagai pemegang kewajiban; 6. Dilekatkan secara khusus pada setiap individu; 7. Tidak dapat dicabut tanpa dilandasi oleh hukum 8. Universal, saling bergantung, tidak dapat dipisah-pisahkan, dan saling terkait 9. Dapat diajukan melalui proses hukum (justiciability).23 Melihat karakteristik di atas, kebijakan anggaran publik (publik budget policy) merupakan bagian dari kewajiban konstitusional negara (constitutional obligation of the state) dalam rangka menghormati , melindungi, dan memenuhi HAM warga negaranya baik individu maupun kelompok. Dalam ������������������������������������� kerangka seperti ini, anggaran 20 Pojka Advokasi Kebijakan Publik, Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia, Kertas Posisi: Tindakan Khusus Sementara: Menjamin Keterwakilan Perempuan, Jakarta, 2002, hal. 2 21 Berdasarkan Revised General Guidelines Regarding the Form and Contents of Reports to be Submitted by States Parties under Articles 16 and 17 of the International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights 17/06/91. UN Doc. E/C.12/1991/1 (Basic Reference Document), Pasal 11, paragraph 2 (b) (i) yang dimaksudkan �������������������������������������������������������������������� kelompok rentan sebagai berikut : petani yang tidak memiliki tanah (����� landless peasants)�, pekerja di desa (��������������� rural workers)�, pengangguran di desa (rural unemployed), pengangguran di kota (������������������ urban unemployed)�, kaum miskin kota (urban poor), anak-anak (children), usia lanjut (elderly people), dan buruh migrant (migrant workers), masyarakat adat (indigenous people) dan kelompok khusus lainnya 22 Elaborasi kewajiban negara juga dikembangkan oleh Komite Hak Anak melalui Komentar Umum (General Comment) sebagai upaya membangun interpretasi legal untuk menegaskan lingkup kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak anak. Komite Hak Anak PBB telah mengeluarkan Komentar Umum No. 5 Tahun 2003 yang menyangkut tindakan umum untuk mengimplementasikan KHA (Pasal 4, 42, dan 44 (6). 23 Judith Asher , The Right to Health : A Resource Manual for NGOs, 2004, London, Commonwealth Medical Trust, AAAS, & HURIDOCS, hal. 12
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
berbasis HAM menjadi faktor signifikan untuk menunaikan kewajiban tersebut. Anggaran ini secara filosofis mendasarkan pembentukkannya pada kontrak sosial yang dibuatnya dengan masyarakat sipil (civil society). Secara konseptual anggaran berbasis HAM adalah anggaran yang disusun dengan memenuhi prinsipprinsip dan tanggung jawab negara terhadap pemenuhan HAM. Terdapat 2 (dua) aspek penting anggaran berbasis HAM, yaitu formal prosedural dan aspek substansial. Dari aspek formal prosedural, anggaran publik dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi harus dilakukan dengan menjamin partisipasi penuh masyarakat. Syarat utama adanya partisipasi masyarakat ini adalah: (i) terpenuhinya hak warga negara atas informasi terhadap data dan dokumen kebijakan publik; (ii) adanya akses bagi setiap warga negara untuk mengikuti tahapan-tahapan pembahasan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi; dan (iii) adanya akses bagai masyarakat untuk menyatakan pikiran dan pendapatnya secara damai dan bebas dari rasa ketakutan dalam memberikan usulan atau keberatan atas perencanaan anggaran publik. Sedangkan, aspek substansial anggaran berbasis HAM adalah anggaran ditujukan untuk pemenuhan HAM, seperti hak atas pangan yang layak, hak atas pekerjaan dan mata pencaharian, hak atas perumahan yang layak, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak untuk bebas dari rasa takut, hak atas lingkungan hidup yang layak dan nyaman, hak atas seni dan budaya, dan lain-lain. Dalam perspektif lain, terdapat anggaran pro orang miskin (pro poor budget)24 yang mensyaratkan adanya kebijakan awal seperti pro-poor policy (kebijakan umum yang memihak pada orang miskin), pro-poor institutions (adanya institusi-institusi – khususnya institusi pemerintah – yang melayani orang miskin), dan yang lebih penting lagi adalah adanya pro-poor government (pemerintahan yang memihak orang miskin).25 Anggaran pro orang miskin setidak-tidaknya dapat memenuhi 10 (sepuluh) hak asasi yang bersifat mendasar yaitu hak atas layanan pendidikan, hak atas layanan kesehatan, hak atas perumahan, hak atas pekerjaan, hak atas tanah, hak atas air bersih, hak atas pangan, hak atas lingkungan hidup dan sumber daya, hak atas rasa aman, dan hak partisipasi.26 Doktrin hukum HAM �������������������������������������������������������������������������������� kesepuluh hak ini dapat dikategorikan dalam rumpun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya - kecuali hak atas partisipasi dan hak atas rasa aman - di mana penghormatan, perlindungan, dan pemenuhannya menghendaki intervensi peran negara secara aktif (positive rights).27 Pelaksanaan kewajiban 24 Anggaran pro poor menurut definisi Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), adalah praktik kebijakan penganggaran yang melibatkan kepentingan dan kebutuhan dasar masyarakat yang paling miskin. Oleh sebab itu kecuali perlu mencermati jumlah besaran uang yang tercantum tabel anggaran, beberapa asumsi dan target kegiatan yang termuat dalam dokumen Nota Keuangan perlu pula dikritisi. Asumsi dasar dan target penting diketahui untuk melihat apakah kegiatan yang dibelanjakan ditujukan pada rakyat miskin atau tidak, misalnya memberikan kredit mikro atau penyediaan layanan sosial dasar seperti pendidikan, kesehatan, santunan sosial, dan kegiatan yang sejenis. Lihat, �������� Bagaimana Mencermati Anggaran: Agenda Gerakan Anti Kemiskinan Struktural di Indonesia, www.ipcos.or.id 25 Sulton Mawardi & Sudarno Sumarto, , Kebijakan Publik yang Memihak Orang Miskin (Fokus : Pro Poor Budgeting), SMERU, Maret 2003, hal 4. Kebijakan pro poor budget merupakan amanat konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 34 UUD 1945 dan menjadi hak konsitutif setiap orang miskin. 26 Kesepuluh hak ini dimuat dalam dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinana (SNPK). Penyusunan dokumen ini dengan menggunakan pendekatan berbasis hak. Lihat ��������������������������� INFID Annual Lobby, Overview Proses dan Substansi PRSP di Indonesia, Background Paper, 2004, hal. 10. Ketentuan ini sebangun dengan Deklarasi Habitat II (Deklarasi Istanbul Hunian Manusia), paragraph 7 menyatakan bahwa pelaksanaan penghapusan kemiskinan harus memperhatikan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia serta kebebasan dasar bagi semua melalui jaminan pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan, nutrisi, layan kesehatan dasar dan secara khusus pemenuhan hak atas perumahan yang layak . 27 Terdapat irisan-irisan antara jaminan pemenuhan dan perlindungan antara HAM yang termasuk dalam rumpun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya dengan HAM yang termasuk dalam rumpun hak-hak sipil dan politik sehingga pada dasarnya kedua rumpun HAM ini saling terkait (interrelated), saling bergantung, (interdependent) dan tidak saling terpisah (indivisibility). Hasil Konvensi Wina 1993 tentang HAM menegaskan hal ini.
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
tersebut jika mendasarkan pada Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya melalui upaya-upaya, sebagai berikut : 1. Memaksimalkan sumber daya yang tersedia (to the maximum available resources) untuk menghormati hak-hak subsistensi minimum bagi semua orang;28 2. Mengambil langkah-langkah (undertakes to take steps) ke arah realisasi sepenuhnya hakhak yang tercantum dalam kovenan secara sendiri maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional; 3. Melakukan cara-cara yang sesuai, termasuk secara khusus penerimaan ukuran-ukuran legislatif (by all appropriate means including particulary adoption of legislatif measures); 4. Bertahap mencapai realisasi sepenuhnya atas hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (achieving progressively the full realization); 5. Perlindungan terhadap kelompok rentan;29 Meskipun, negara berkewajiban mengupayakan langkah-langkah terencana dan terukur dalam memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negaranya. Namun, upaya ini, tidak dapat mengabaikan adanya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang sifat pemenuhannya seketika. Hakhak yang bersifat mendasar harus disediakan dan difasilitasi oleh negara. Pelanggaran kewajiban ini berakibat pada hilangnya kepercayaan rakyat pada sistem dan rezim pemerintahannya. Di sisi lain komunitas internasional akan meminta pertanggung jawaban secara internasional atau sekurangkurangnya mempermalukan secara politis di tingkat internasional. Dalam tingkat yang paling buruk, kegagalan dalam pemenuhan HAM suatu negara akan mengakibat negara tersebut masuk dalam katagori negara yang gagal. Pada gilirannya, negara gagal ini tidak akan diperhitungkan secara politik maupun ekonomi di tingkat internasional. Oleh Karena itu, komunitas internasional kemudian mendorong hak-hak ini, tidak saja menjadi hak-hak konstitusional, tetapi juga sebagai hak-hak hukum, sehingga hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya dapat diajukan melalui proses hukum (justiciable) dan pemenuhannya dapat ditegakkan (enforceable). Klaim hukum ini dapat merujuk pada kegagalan negara dalam pemenuhan hakhak ekonomi, sosial, dan budaya yang diatur dalam norma dan standar hukum internasional dan domestik.30 28
Sumber daya untuk mengimplementasikan ketentuan suatu konvensi terbagi ke dalam 3 (tiga) kategori, yakni : 1. Sumber daya manusia, ialah “orang-orang” : kapasitas, tindakan, waktu dan energi dari setiap individu atau komunitas. 2. Sumber daya ekonomi, ialah “sesuatu” : keuangan negara yang direfleksikan dalam anggaran publik, termasuk pembiayaan untuk kepentingan sosial 3. Sumber daya organisasi ialah “lingkungan yang mendukung” : persetujuan informal dan formal antara orang-orang melalui suatu prosedur. Kemudian tindakan-tindakan ini terstruktur dalam tatanan masyarakat, termasuk di dalamnya keseluruhan sumber daya dan distribusi kekuasaan serta komitmen politik untuk mengalokasikan secara efektif sumber-sumber ekonomi. Lihat Rachel Hodgkin dan Peter Newell, op.cit, hal. 56 29 Philip Alston dan Henry J. Steiner, International Human Rights in Context: Law, Politics, Morals, New York, Oxford University Press, 2000, hal. 265-266 30 A. Patra M. Zen, Justisiabilitas Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya : Menarik Pengalaman Internasional, Mempraktikannya di Indonesia, makalah, tanpa tahun, hal. 3. Lihat ketentuam Kovenan Hak Sipil dan Politik, Pasal 2 (3) yang menyatakan bahwa Setiap Negara :
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Dalam konteks pemenuhan hak anak, jika menilik alokasi anggaran publik baik di level pemerintah pusat (Anggaran pendapatan dan Belanja Negara/APBN) dan daerah (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/ APBD), terlihat ketidakberpihakkan negara terhadap kepentingan terbaik bagi anak. Malahan anggaran publik menjadi faktor yang signifikan melanggengkan terjadinya proses pemiskinan secara besar-besaran. Pemiskinan struktural ini pada gilirannya berdampak pada terhambatnya penikmatan hak-hak anak. Padahal fungsi fundamental anggaran publik adalah fungsi keadilan yaitu untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara. Data-data berikut menjadi bukti empiris terjadinya pelanggaran hak-hak anak yang bersumber pada alokasi anggaran publik yang tidak berpihak kepada kelompok orang miskin dan anak-anak. Data Nasional a. Menurut survey BPS, pada 2006, terdapat 39,3 juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan. Kemudian, pada 2007, BPS ������������������������������������������������������������������������������������� melansir jumlah penduduk miskin di Indonesia berkurang sebanyak 2,13 juta orang menjadi 37,17 juta orang atau turun menjadi 16,58% dari 17,75% pada Maret 2006.31 Sementara ���������� menurut Laporan Bank Dunia pada �������������������������������������������������������������������� Oktober 2006 lalu menyebutkan bahwa sebanyak 49 persen dari total penduduk Indonesia atau 108,7 juta jiwa tergolong miskin dengan memperhitungan kemampuan daya beli mereka kurang dari 2 dolar AS per hari. 32 Kemiskinan yang menjadi ruang hidup dan kehidupan anak-anak ini berdampak pada terhambatnya jaminan penikmatan hak asasi anak yang bersifat mendasar sebagaimana tampak pada data-data berikut : • Diperkirakan terdapat 2 – 3 juta anak-anak sebagai generasi yang hilang (the lost generation) akibat kekurangan pangan,33 berpenyakitan, dan kurang berpendidikan; • Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia berturut-turut: 68/1000 (1991), 45/1000 (2001), 35/1000 (2002), 46/1000 (2003), sementara itu, Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 1994, 390/1000 dan pada 2003 masih tetap tinggi, 307/1000; • ILO memperkirakan, anak yang terlibat dalam pekerjaan berbahaya berjumlah 4.201.452, dari jumlahtersebut lebih dari 1,5 juta orang diantaranya anak perempuan. Sementara, jumlah pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia sebesar 2,6 juta, dari jumlah tersebut sedikitnya 34,83 persennya tergolong anak, dan sekitar 93 persennya anak perempuan • Menurut UNICEF, diperkirakan 30 persen pekerja seks komersil perempuan berumur kurang dari 18 tahun. Bahkan ada beberapa yang masih berumur 10 tahun. Diperkirakan pula ada 40.00070.000 anak menjadi korban eksploitasi seks dan sekitar 100.000 anak diPerdagangkan tiap tahun; • Menurut penelitian UNICEF, 60 persen dari 83,4 juta anak-anak Indonesia dibawah umur 18 tahun tidak punya akte kelahiran, dari jumlah tersebut yang mempunya akte kelahiran hanya 30-35 persen. 1. Menjamin setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya dilanggar akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi; 2. Menjamin setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut melalui lembaga peradilan, administratif, atau legislatif yang berwenang, atau oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh sistem hukum Negara , dan untuk mengembangkan segala kemungkinan upaya penyelesaian peradilan; 3. Menjamin, bahwa lembaga yang berwenang tersebut akan melaksanakan penyelesaian demikian apabila dikabulkan. 31 Investor Daily Indonesia, 4 Juli 2007 32 www.antara.co.id/arc/2007/7/6/kondisi-indonesia-saat-ini-terburuk-dalam-36-tahun 33 Badan Pangan Dunia (World Food Programme/WFP) menyatakan kondisi kelaparan pada anak-anak di Indonesia sangat memprihatinkan, tiap hari diperkirakan ada 13 juta anak di Indonesia yang kelaparan. Lihat Koran Tempo, 11 Juli 2007
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
b. Ruang kelas SD yang rusak mencapai 489.573 atau hampir 60% dari total ruang kelas SD di Tanah Air sebanyak 877.772 ruang. Kerusakan ini belum termasuk kerusakan bangunan di tingkat SLTP dan SLTA; c. Data Balitbang Depdiknas mengungkapkan bahwa di tingkat sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (usia 7-12 tahun) terdapat 1.422.141 orang (5,50 persen) yang tidak terlayani pendidikannya. Untuk tingkat SLTP/MTs (usia 13-15 tahun) yang tidak terlayani mencapai 5.801.122 anak (44,30 persen). Adapun di tingkat SMU/MA (usia 16-18 tahun) terdapat 9.113.941 anak (67,68 persen) yang tidak terlayani pendidikannya. Sementara itu, dari 26 juta anak usia 0-6 tahun, baru 7,5 juta atau 27 persen yang terlayani pendidikannya melalui berbagai satuan pendidikan usia dini. Khusus anak usia 4-6 tahun yang berjumlah 12,6 juta baru terlayani 4,6 juta anak. Artinya, masih ada 8 juta (63,4 persen) yang pendidikannya belum terlayani; d. Hingga tahun 2005, 64,7% orang Indonesia berpendidikan SD dan lebih rendah dari SD��������������� , padahal saat awal kemerdekaan 90% penduduk Indonesia berpendidikan SD ke bawah. Dengan demikian, meskipun Indonesia telah 60 tahun lebih merdeka, Pemerintah belum secara signifikan mampu menurunkan angka tersebut; e. Sampai 2002, masih ada ± 4,3 juta rumah tangga yang belum memiliki rumah, jumlah tersebut belum termasuk kebutuhan rumah yang berasal dari pertambahan penduduk setiap tahunnya sekitar 800 Kepala Keluarga (KK). Dari data statistik, jumlah yang ada tersebut ternyata 25 % (kurang lebih 13 juta) rumah dalam kondisi belum memenuhi standar teknis kelayakan hunian 34 Data DKI Jakarta : a. Terdapat 291.324 penduduk DKI Jakarta yang tergolong miskin, kemiskinan ini berdampak pada • Terdapat 16.158 anak yang terlantar; 7991 anak jalanan; 3424 “anak nakal”; 17.241 anak menggelandang dan mengemis; • Anak putus sekolah di DKI berjumlah 15 ribu; b. Gedung SD Negeri yang ambruk berjumlah 68 dan SLTP Negeri berjumlah 50. Sementara, ruangan rusak berat dan sedang pada: SD mencapai 4.066 ruang dari total 14.306 ruang; SMP mencapai 1.252 dari total 7 .948; SMA mencapai 182 dari total 5.568 ruang; dan SMK mencapai 280 dari total 5.169 ruang. 35 Jika data-data tersebut jika disandingkan dengan persepsi dan perspektif anak yang membutuhkan perlindungan khusus (children in need special protection/CNSP), terhadap pemenuhan hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman, khususnya di DKI Jakarta,36 memperlihatkan kausalitas dan korelasi positif antara politik kebijakan anggaran publik terhadap rendahnya upaya dan komitmen pemerintah untuk memenuhi hak anak. Persepsi dan perspektif anak-anak tersebut terungkap sebagaimana tersebut dalam data di bawah ini : 1. Permasalahan penikmatan hak atas pendidikan yang teridentifikasi sebagai berikut : • Mengalami kekerasan di sekolah; 34 YPHA, Kertas Posisi : Merubah Paradigma dan Alokasi Anggaran 2006 Akan Merubah Nasib Anak-Anak dan Orang Miskin : Dampak Alokasi APBD DKI 2005 terhadap Pemenuhan Hak-Hak Anak Atas pendidikan, Kesehatan, dan Permukiman, Jakarta, 2005 35 YPHA, Kertas Posisi : Merubah Paradigma dan Alokasi Anggaran 2006, ibid 36 Persepsi dan perspektif ini merupakan hasil konsultasi anak yang diselenggarakan oleh YPHA terhadap 79 partisipan anak yang termasuk kategori CNSP pada tahun 2005. Konsultasi ini dilakukan untuk menggali pengalaman anak atas penikmatan hak-hak anak khususnya hak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman.
10
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
• Putus sekolah karena tidak ada biaya; • Kesulitan membeli buku karena buku mahal; • Merasa kesulitan menerima pelajaran tetapi tidak di bantu oleh guru; • Dalam mengajar, guru tidak komunikatif; • Gurunya malas mengajar dan galak. 2. Permasalahan penikmatan hak atas kesehatan yang teridentifikasi sebagai berikut : • Banyak mengalami penyakit tetanus, typhus, demam dan gatal-gatal; • Memilih membeli obat di warung karena obat dokter mahal; • Berobat mahal khususnya di rumah sakit. 3. Permasalahan penikmatan hak atas permukiman yang teridentifikasi sebagai berikut : • Rumah sering kebanjiran; • Hanya mampu tinggal di kontrakan sempit dan kumuh; • Tidak ada privacy di rumah; • Lingkungan pemukiman tidak kondusif bagi anak karena adanya pertikaian antar kampung; • Tidak ada akses penerangan.37 Realitas tersebut di atas menempatkan Indonesia pada posisi bawah bila dilihat dari indikator Human Development Report (HDR) yang dikeluarkan oleh United Nation Development Program (UNDP). Tahun 2004, UNDP memasukkan Negara Indonesia berdasarkan Human Development Index (HDI) dalam peringkat 111 dari 175 negara. Untuk tahun 2005, HDI Indonesia berada pada peringkat 110 dari 175 negara. Peringkat ini belum bergeser jauh pada tahun 2006, di mana Indonesia menempati peringkat 108 dari 177 negara. Peringkat ini jauh dibandingkan dengan negara-negara utama kawasan ASEAN lainnya, berturut-turut sebagai berikut : Philipina (84), Thailand (74), Malaysia (61), Brunei Darussalam (34), dan Singapura (25).38 Indikator ini dapat menjadi salah satu rujukan bahwa negara mengabaikan kewajiban yuridisnya untuk memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak anak. Pada dasarnya HDI adalah satuan yang dikembangkan UNDP guna mengukur kesuksesan pembangunan suatu Negara berdasarkan 3 (tiga) dimensi, yaitu: panjang usia (longevity) dan kehidupan yang sehat (healthy life); penduduk yang berpendidikan (being educated) , dan standar hidup (standard of living) suatu bangsa. Dari �������������������������������������������������������������������������������������������������� berbagai indikator itu, HDI merupakan ukuran keberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi suatu bangsa. Implikasinya, HDI yang tinggi menunjukkan keberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Sebaliknya, HDI yang rendah menunjukkan ketidakberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi suatu negara.39 Selain, laporan UNDP, Concluding Observation CRC Committee terhadap Laporan Pemerintah Republik Indonesia kembali menegaskan kegagalan negara dalam mengimplementasikan kewajiban yuridisnya setelah meratifikasi KHA.40 Tanggapan CRC Committee pada sidangnya yang ke-35 terhadap pelaksanaan kewajiban Negara Indonesia dalam menjamin hak anak khususnya hak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman, 37 YPHA, Laporan, Persepsi dan Perspektif Anak-Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (CNSP) mengenai Dampak Alokasi APBD DKI Jakarta 2005 terhadap Pemenuhan dan Perlindungan Hak Anak atas Pendidikan, Kesehatan, dan Permukiman, Jakarta, 2005 38 www.hdr.undp.org 39 UNDP, Human Development Indicators 2006 40 Mekanisme pelaporan negara merupakan mekanisme monitoring yang dikembangkan oleh PBB berdasarkan instrument hukum HAM yang mengatur berdasarkan kebutuhan spesifik. Mekanisme ini dikenal dengan mekanisme berdasarkan perjanjian internasional (monitoring based treaty). Mekanisme ini digunakan untuk mengukur sampai sejauhmana kepatuhan suatu negara yang telah meratifikasi KHA. Empat tahun setelah ratifikasi dan kemudian setiap empat tahun sekali negara peserta diwajibkan untuk melaporkan kepada CRC Committee.
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
11
sebagai berikut : 1. Permasalahan hak anak atas pendidikan : • Pendidikan dasar masih dibebani biaya; • Pendidikan tinggi tidak mudah di akses oleh kelompok masyarakat miskin; • Angka drop out terus menerus tinggi; • Anak perempuan yang menikah dan hamil tidak bisa melanjutkan pendidikan; • Ratio guru-murid tidak seimbang, kualitas guru masih rendah; • Kekerasan terhadap anak di sekolah tinggi dan tidak ada peraturan yang melarang pendisiplinan murid dengan menggunakan hukuman fisik (corporal punishment). 41 2. Permasalahan hak anak atas kesehatan : • Angka kematian bayi tetap tinggi karena : malnutrisi; lahir dengan berat kurang; terinfeksi penyakit yang di sebarkan nyamuk; dan tingkat peserta imunisasi masih rendah. 42 3. Permasalah hak atas permukiman : • Anak sulit mengakses air bersih dan sehat; • Sanitasi di pemukiman sangat buruk. 43 Permasalahan-permasalahan pelanggaran hak-hak anak sebagaimana telah dipaparkan, jika ditelisik lebih jauh bermuara pada politik kebijakan anggaran publik yang tidak berparadigma childmainstreaming budget. Artinya anggaran publik yang ditetapkan Pemerintah dan parlemen, tidak berpijak pada upaya-upaya pemenuhan hak-hak anak (child rights based). Politik kebijakan anggaran publik yang tidak berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak merupakan bentuk kekerasan struktural44 yang berdampak tertutupnya akses bagi anak-anak untuk memenuhi hak-haknya. Dalam perspektif Fukuyama, Negara Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara yang gagal menjalankan perannya atau dapat disebut sebagai ”negara lemah”. Indikasinya, menurut Fukuyama, ditandai dengan berlanjutnya konflik horisontal, meningkatnya aksi terorisme, bertahannya tingkat kemiskinan, bencana kelaparan, penyebaran berbagai penyakit dan meningkatnya penderita HIV/AIDS. Fenomena-fenomena ini bukanlah hal yang berdiri sendiri, melainkan merupakan gejala politik di mana negara sebagai institusi terpenting dalam masyarakat gagal menjalankan perannya. Sebangun dengan pemikiran Fukuyama, studi Gunnar Myrdall, mengkategorikan Negara Indonesia sebagai ”negara lunak” (soft state) akibat ketidakmampuan negara menciptakan dan menerapkan hukum serta aturan yang jelas dan tegas. Dalam perkembangannya kemudian, konsepsi ini seringkali dipakai untuk menjelaskan pemerintah-negara yang tidak memiliki cukup kewibawaan dan kemampuannya mengatasi dinamika kehidupan masyarakat.45 Kemudian, berdasarkan Indeks Penilaian Negara yang Gagal tahun 2007 (��������������������������������� Failed States Index Scores 2007), yang mencakup 177 negara, Negara Indonesia di tempatkan pada urutan ke-55 sebagai Negara yang berpotensi mengalami kegagalan menjalankan perannya. Posisi Indonesia jika dibandingkan dengan Negara ASEAN terkemuka lainnya, maka posisi yang terdekat adalah 41 Lihat Concluding Observation Paragraf 61 42 Lihat Concluding Observation Paragraf 57 43 Lihat Concluding Observation Paragraf 57 44 Johan Galtung membagi tipologi kekerasan menjadi 3 (tiga) yaitu kekerasan langsung, kekerasan kultural, dan kekerasan struktural. Kekerasan langsung adalah sebuah peristiwa (event); kekerasan struktural adalah sebuah proses; sedangkan kekerasan kultural adalah sebuah sesuatu yang bersifat permanen. Ketiga tipologi kekerasan ini memasuki waktu secara berbeda , analog dengan perbedaan dalam teori gempa bumi antara gempa bumi sebagai suatu peristiwa (kekerasan langsung), gerakan-gerakan lempeng tektonik sebagai sebuah proses (kekerasan struktural), dan garis-garis retakan sebagai suatu kondisi yang permanen (kekerasan kultural). Johan �������������� Galtung, Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban, Surabaya, Pustaka Eureka, 2003, hal. 438 45 Manuel Kaisiepo, ”Soft State” dan ”Powerhouse State”, Kompas, 23 Februari 2006
12
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Philipina (56), Thailand (86), Brunei (109), Malaysia (120), dan Singapura (161) . Vietnam sebagai Negara anggota baru ASEAN menduduki posisi jauh lebih baik diurutan 79.46 Tesis di atas terbukti dengan fenomena semakin meluasnya wilayah ���������������������������������� kemiskinan di Indonesia yang berdampak pada pelanggaran HAM. Kemiskinan keluarga dan pelanggaran HAM tersebut berarti kemiskinan ruang hidup dan ruang sosial anak-anak dan pelanggaran terhadap hak-hak anak. Kondisi ini, di samping menghambat akses terhadap pemenuhan hak anak juga sekaligus mempercepat pereduksian penikmatan hak anak. Dampak lebih jauh, kemiskinan menempatkan anak dalam suatu situasi dan kondisi yang mengancam hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan, dan hak partisipasi. Situasi seperti ini menghadapkan pada suatu keharusan peran secara aktif negara untuk merespon fenomena tersebut melalui kebijakan tindakan afirmatif dan menempatkan permasalahan anak sebagai prioritas utama sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup anak-anak. Anggaran publik yang berpihak pada kepentingan terbaik seharusnya mempertimbangkan anak-anak dalam konteks yang lebih luas karena anak merupakan bagian dari keluarga, komunitas, dan kebijakan nasional dan internasional. Anak-anak merupakan bagian dari keseluruhan masyarakat dunia yang akan terpengaruh penikmatan hak-haknya oleh kebijakan baik regulasi dan anggaran yang dibuat tanpa berpihak pada kepentingan mereka. Keterkaitan anak dengan lingkungan kehidupannya yang luas nampak seperti gambar di bawah ini.47
46 Terdapat 3 (tiga) kategori indikator besar yang dinilai untuk memberikan penilaian tersebut yaitu : (i) Indikator sosial; (ii) indikator ekonomi; dan (iii) indikator politik. Indikator sosial terdiri dari 4 (empat) indikator, yaitu (1) Tekanan demografis; (2) Perpindahan penduduk yang massif dari pengungsi; (3) warisan dendam kekerasan kelompok-kelompok identitas; (4) Pelarian kemanusiaan yang berkelanjutan dan terus menerus. Indikator ekonomi terdiri dari 2 (dua) indicator, yaitu: (1) Pembangunan ekonomi tidak merata; (2) Penurunan ekonomi yang tajam. Sedangkan indikator politik, ditandai (1) Delegitimasi atau kriminalisasi negara; (2) Penurunan secara progresif layanan publik; (3) Kesewenang-wenangan penerapan hukum dan pelanggaran HAM yang meluas; (4) Pelaksanaan tugas aparat keamanan sebagai pengamanan “Negara dalam Negara”; (5) Berkembangnya Faksionalisasi Elit Politik; dan (6) Intervensi dari Negara Luar atau Pelaku Asing lainnya. Lihat http://www.foreignpolicy.com 47 Joachim Theis, Promoting Rights-Based Approaches: Experiences and Ideas from Asia and the Pacific, Save the Children Sweden, 2004, hal. 7
13
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
1.1.c. Landasan Pemikiran Dilandasi pemikiran di atas, Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA) merancang dan melaksanakan serangkaian tindakan dengan mengedepankan strategi pemenuhan hak anak melalui intervensi terhadap proses politik penyusunan anggaran publik (APBN/APBD)48sebagai pintu utama. Landasan pemikiran bagi upaya tersebut dilandasi konsep-konsep sebagai berikut: 1. Kewajiban Negara Indonesia (state responsibility) sebagai negara peserta (state party) untuk melaksanakan ketentuan hukum internasional HAM yang telah diratifikasi. Negara Republik Indonesia telah meratifikasi 2 (dua) instrumen hukum HAM utama yang dikenal sebagai bill of rights yakni Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik/ International Covenant on the Civil and Political Rights (ICCPR) dan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya/ International Covenant on the Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) pada tanggal 30 September 2005.49 Ratifikasi ini memperkuat justisiabilitas HAM sehingga setiap warga Negara dapat mengajukan tuntutan (rights to claim) kepada Negara agar memenuhi setiap jenis HAM yang melekat padanya. Sebelumnya, Indonesia telah meratifikasi instrumen Hukum HAM Internasional utama yang menjamin subyek hak berdasarkan karakteristik HAM yang spesifik. Tabel 1 : Instrumen Hukum HAM Internasional utama yang telah diratifikasi Instrumen Hukum HAM Internasional Utama
Landasan Hukum Ratifikasi
International Convention on the limination of All Forms of Racial Discrimination, 1965
Undang-Undang No. 29 Tahun 1999
Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1984
Undang-Undang No. 5 Tahun, 1998
Convention on the Rights of the Child,1989
Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990
Convention on the Elimination of All Forms Discrimination against Women (CEDAW), 1979
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984
48 APBN/APBD adalah perkiraan pendapatan dan belanja yang diharapkan akan terjadi dalam jangka waktu tertentu, dinyatakan dalam satuan mata uang dan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Lihat Khoirunurrofik, Membedah APBD, bahan presentasi, Formulasi DAU, Sumatera Utara, Juli 2002 49 UU No. 11 Tahun 2005 mengesahkan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan UU No. 12 Tahun 2005 mengesahkan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik
14
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Dengan demikian Indonesia terikat untuk mentaati dan menghormati pelaksanaan semua perjianjian internasional tersebut. Daya ikat ini berdasarkan prinsip hukum pacta sunt servanda. Pasal 26 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional menyatakan bahwa setiap perjanjian yang berlaku mengikat Negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik (in good faith). Alokasi anggaran publik merupakan refleksi kewajiban Negara untuk memenuhi (obligation state to fullfil) HAM warga Negara. Kewajiban negara untuk memenuhi dimaknai sebagai Negara mengambil semua langkah-langkah yang diperlukan melalui upaya legisltaif, administrasi, pengadilan, anggaran publik dan langkah-langkah lain guna memastikan bahwa setiap warga Negara memiliki kesempatan untuk menikmati HAM yang melekat padanya seperti yang tercantum dalam instrument hukum HAM internasional.50 Di sisi lain, kewajiban memenuhi ini juga memberikan implikasi yuridis bahwa Negara harus mengambil tindakan afirmatif untuk memastikan bahwa HAM yang dijamin tersebut tercapai. 51 2. Perlindungan hukum internasional terhadap aktivis hak anak Aktivis hak anak52 sebagaimana aktivis HAM lainnya, telah mendapatkan pengakuan secara legal secara hukum internasional. Hukum internasional mewajibkan setiap negara melindungi aktivis HAM dalam menjalani kerja-kerja pembelaan HAM. Perlindungan ini termaktub dalam Deklarasi Pembela Hak Asasi Manusia (Declaration on Human Rigths Defender).53 Pasal 1 deklarasi ini mengaskan bahwa setiap orang mempunyai hak secara sendiri-diri maupun bersama-sama untuk memajukan dan memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan HAM dan kebebasan dasar di tingkat nasional dan internasional. Kemudian Pasal 2 ayat (1) mengatur bahwa setiap negara mempunyai tanggung jawab utama untuk melindungi, memajukan, dan melaksanakan semua HAM dan kebebasan dasar, antara lain mengambil langkah-langkah yang mungkin perlu untuk menciptakan semua kondisi yang dibutuhkan dalam bidang sosial, ekonomi, politik maupun bidang lain serta jaminan hukum yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua orang di bawah yurisdiksinya, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dapat menikmati semua hak dan kebebasan manusia. Pasal 6 memperkuat jaminan tersebut bahwa setiap orang mempunyai hak, secara sendiri-sendiri mapun bersama-sama : (a) untuk mengetahui, mencari memperoleh, dan menyimpan informasi tentang HAM dan kebebasan dasar termasuk mempunyai akses terhadap informasi mengenai bagaimana hak-hak dan kebebasan manusia memberi pengaruh dalam sistem legislatif, judicial atau administrasi di dalam negeri. Demikian pula dalam Pasal 8 ayat (1) dinyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk mempunyai akses secara efektif atas dasar non diskriminatif, berpartisipasi dalam, pemerintahan dan dalam melakukan urusan-urusan publik suatu negara.
50 Judith Asher , The Right to Health, op.cit, hal. 13 51 Fundar, Dignity Counts : A guide to using budget analysis to advance human rights, 2004, hal. 21 52 Aktivis hak anak, dalam perspektif pendekatan berbasis HAM (rights based approach) dapat berarti kelompok anak sebagai subyek hukum HAM atau kelompok dewasa yang berperan memfasilitasi kelompok anak menuntut (rights to claim) hak asasinya. 53 Disahkan oleh Majelis Umum PBB, tanggal 9 Desember 1998
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
15
3. Prinsip Justisiabilitas (justiciability) Hak-Hak Anak atas Pendidikan, Kesehatan, dan Permukiman Dalam disiplin HAM, pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, menempatkan negara melaksanakan kewajibannya untuk melakukan sesuatu (obligation to do something).54 Namun demikian, tidak sedikit doktrin yang menyatakan bahwa hak-hak ini tidak justiciable, dalam arti tidak dapat diputuskan pemenuhannya lewat pengadilan dan dipaksa pemenuhannya lewat sebuah vonis hakim. Kondisi ini tidak terlepas dari terdapatnya 2 (dua) prinsip utama yang membatasi prosedural hukum, yakni (i) pengadilan tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan suatu kasus di luar kapasitasnya; dan (ii) pengadilan tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan semua kasus di luar legitimasinya.55 Umumnya, doktrin mengemukakan, pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya bergantung pada sumber daya, sehingga tidak dapat diputuskan oleh badan peradilan. Keputusan untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya dalam konteks ini, dipercaya an sich menjadi ruang lingkup dan beban keputusan dari otoritas politik dan pemerintah.56 Argumen yang melandasi doktrin ini, sebagai berikut : a. Kecenderungan karakter kewajiban Negara (state obligation) lebih bersifat politik; b. Terdapat pembedaan antara obligation of result dan obligation of conduct dalam pemenuhan HAM. Pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya oleh Negara dikategorikan dalam obligation of conduct. Dengan kata lain, pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya merupakan sebuah tujuan yang hendak dicapai secara progresif sesuai dengan sumber daya yang tersedia, bukan hak yang pemenuhannya harus dilaksanakan dengan segera tanpa di tunda (justiciable rights of immideate application). 57 Namun, perkembangan kontemporer doktrin HAM, meletakkan posisinya pada pemajuan prinsip justisiabilitas hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Prinsip-prinsip Limburg yang dihasilkan oleh pakar hukum merupakan upaya untuk mempromosikan dan mengelaborasi justisiabilitas hak-hak ini. Dokumen tersebut menyatakan beberapa hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah hak-hak yang justiciable, 58 dan sebagian hak-hak lainnya pemenuhannya dilakukan secara menyeluruh dan terus-menerus. Kemudian, Michael Addo menjelaskan perbedaan antara justiciable dan enforceable HAM. Penegakan HAM (enforceable) diberlakukan dengan mengidentifikasi hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diciptakan oleh suatu rezim hukum, melalui rezim hukum tersebut hak dan kewajiban tersebut dijamin dan dilaksanakan. Di sisi lain, justiciable HAM mensyaratkan eksistensi suatu mekanisme peninjauan hukum jika Negara tidak melakukan kewajibannya sesuai dengan rezim hukum yang mengaturnya.59 Pengakuan dan standard setting yang diadopsi lembaga-lembaga HAM internasional tentang justisiabilitas60 hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya membawa kecenderungan baru dalam upaya pemenuhan 54 Martin Scheinin dalam A. Patra M. Zen, Justisiabilitas Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya : Menarik Pengalaman Internasional, Mempraktikannya di Indonesia, makalah, tanpa tahun, hal. 1 55 Jeff King, An Activist’s Manual on The International Covenant on the Economic, Sosial, and Cultural Rights, Law & Society Trust & Center for Economic & Sosial Rights, 2003, hal. 137 56 A. Patra M. Zen, Justisiabilitas Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Buday, ibid 57 A. Patra M. Zen, Justisiabilitas Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, ibid 58 Piagam ini menegaskan : state parties shall provide for effective remedies including, where appropriate, judicial remedies. 59 Jeff King, An Activist’s Manual op. cit, hal. 138 60 Lihat ketentuan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 101 menyatakan bahwa setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
16
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
hak-hak ini. Sebuah trend menuju pengikatan penuh (fully binding) negara dan pelaku non-negara untuk memenuhinya lewat mekanisme hukum dan akses terhadap peradilan yang fair.61 Setidaknya, terdapat 3 (tiga) manfaat dari promosi justisiabilitas hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pertama pelibatan masyarakat dalam pemberantasan korupsi dan mengelola APBN/APBD secara efektif. Kedua, memberi keberdayaan bagi kelompok-kelompok masyarakat yang marjinal, minoritas, tidak teruntungkan, dan miskin. Ketiga, merupakan praktik dari partisipasi masyarakat dalam distribusi hasil-hasil pembangunan.62 4. Indikator-Indikator Pemenuhan Hak atas Pendidikan, Kesehatan, dan Permukiman yang dapat dijadikan parameter untuk mengeksaminasi kewajiban negara Dalam konteks pemenuhan hak atas pendidikan, kesehatan, dan pemukiman, Committee on Economic, Sosial, and Cultural / Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya telah menetapkan kriteria terpenuhinya hakhak tersebut. 1. Hak atas pendidikan dikatakan telah terpenuhi apabila indikator-indikator kewajiban hukum Negara di bawah ini terpenuhi , yakni : a. Ketersediaan (availability)��, merujuk pada 3 (tiga) jenis kewajiban Pemerintah, yakni: (i) pendidikan sebagai hak sipil dan politik mensyaratkan bahwa Pemerintah menjamin kebebasan bagi setiap sekolah mengembangkan pendidikan formal dan non formal dan orang tua bebas memilih pendidikan bagi anaknya sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak; (ii) pendidikan sebagai hak ekonomi dan sosial, menyaratkan bahwa Pemerintah memastikan bahwa pendidikan dasar gratis dan tersedia bagi semua anak; dan (iii) pendidikan sebagai hak budaya menyaratkan penghormatan terhadap keragaman, khususnya bagi kelompok minoritas dan masyarakat adat; b. Aksesibilitas (accessibility�), dimaknai bahwa Pemerintah harus mengupayakan penghapusan praktikpraktik diskriminasi atas dasar gender dan ras, serta memastikan ������������������������������ akses pendidikan pada setiap tingkatan bagi setiap anak berdasarkan kesetaraan; c. Akseptibilitas (��������������� acceptability)�, menyaratkan jaminan minimum terhadap kualitas pendidikan dengan mempertimbangkan pengembangan sistem pendidikan yang menghormati budaya minoritas dan masyarakat adat. Kemudian, membuat aturan yang melarang pendisiplinan melalui penghukuman (corporal punishment). Kewajiban selanjutnya, mengembangkan kurikulum dan buku teks sesuai dengan nilai-nilai HAM; d. Adaptibilitas (��������������� adaptability), menyaratkan bahwa sekolah dapat merespon kebutuhan setiap individu anak sesuai ketentuan KHA dan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. 63 2. Hak atas kesehatan dikatakan telah terpenuhi apabila 4 (empat) standar dasar di bawah ini terpenuhi , yakni : 61 A. Patra M. Zen, Justisiabilitas �������������������������������������������������������������� Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, loc.cit. ��������� Lihat ketentuan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 7 menyatakan bahwa Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia. Kemudian Pasal 17 menyatakan bahwa setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. 62 A. Patra M. Zen, Justisiabilitas ��������������������������������������������������������� Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, ibid 63 Katarina Tomasevski, Manual on rights-based education: global human rights requirements made simple, Bangkok: UNESCO Bangkok, 2004, hal. 7-8. Lihat Komentar Umum (General Comment) No. 13 Committee on Economic, Sosial, and Cultural, paragraf 8
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
17
a. Ketersediaan (availability)��, artinya fasilitas kesehatan, distribusi obat-obatan dan pelayanan kesehatan publik serta program-program kesehatan mesti dapat dinikmati oleh setiap orang; b. Aksesibilitas (accessibility�), memiliki 4 (empat dimensi yaitu : non diskriminasi, aksesibiltas secara fisik, aksesibiltas secara ekonomi (affordability) dan aksesibilitas atas informasi; c. Akseptabilitas (��������������� acceptability)�, semua fasilitas kesehatan harus diberikan sesuai dengan HAM dan etika medis, menjunjung kehormatan pasien atau penghormatan terhadap klien, dan layak secara kultural; d. Kualitas (quality), prinsip kualitas mempunyai arti secara medis dan ilmu pengetahuan (scientifically) layak dan berkualitas baik. Pemenuhan prinsip ini berkaitan erat dengan keterampilan personel medis, dapat diuji berdasarkan ilmu pengetahuan, perlengkapan rumah sakit, air bersih, dan sanitasi yang memadai.64 3. Hak atas pemukiman, dikatakan telah terpenuhi apabila indikator-indikator di bawah ini terpenuhi , yakni: a. Aksesibilitas (accessibility), prinsip ini bermakna bahwa perumahan mesti dapat dimiliki setiap orang. Dalam prinsip ini dikenal dengan pemenuhan perumahan berdasarkan prioritas, seperti akses perumahan untuk komunitas atau golongan yang tak beruntung (disadvantaged groups) dan komunitas yang rentan seperti individu lanjut usia (lansia), anak-anak, kelompok difabel, individu yang menderita penyakit kronis; b. Afordabilitas (affordability) , prinsip ini bermakna setiap orang dalam praktek dapat memiliki rumah. Harga rumah harus dapat terjangkau bagi setiap orang; c. Habitabilitas (habitability) , prinsip ini juga merupakan prasyarat sebuah rumah dapat dikatakan ‘memadai’. Prinsip ini bermakna rumah yang didiami mesti memiliki luas yang cukup dan juga dapat melindungi penghuninya dari cuaca, seperti hujan, panas dan ancaman kesehatan bagi para penghuninya. d. Aspek hukum tenurial (legal security tenure), bahwa setiap orang harus dijamin tingkat keamanan atas kepemilikan tanah melalui perlindungan hukum dari penggusuran paksa, pelanggaran hukum dan tindakan-tindakan lain.65 5. Posisi dan Kepentingan Masyarakat terhadap Anggaran Publik a. Anggaran berdampak pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Tidak jarang, kalangan tertentu yang terpinggirkan – tanpa sumber daya ekonomi dan kemampuan mempengaruhi kebijakan politik pemerintah – berkepentingan dengan anggaran sampai pada tingkat yang memungkinkan mereka mendapatkan penghasilan dan jaminan sosial. Di sisi lain anggaran jika tidak dikelola dengan baik bisa berdampak hanya menguntungkan segelintir orang, menimbulkan kerusakan lingkungan, menelantarkan pendidikan dan kesehatan anak, perempuan dan sebagainya. Di samping itu anggaran juga bisa memicu konflik, mempertajam kesenjangan antar kelas maupun daerah.66 Wilayah ini merupakan locus otoritas negara sehingga kemauan politik (political will) penyelenggara negara menjadi signifikan. b. Anggaran merupakan produk politik dimana merupakan refleksi relasi politik antar aktor yang 64 Judith ��������������� Asher , The Right to Health, op.cit, hal. 37-38. Lihat General Comment No. 14. The right to the highest attainable standard of health (art. 12)., paragraf 12 65 A. Patra M. Zen, Upaya Pemenuhan Hak Rakyat atas Perumahan yang Memadai: Menduduki Rumah Pejabat Korup? Dalam Kumpulan, o������ p.cit. hal 14. Lihat pula Komentar Umum (General Comment ) No. 4 (1991), Committee on Economic, Sosial, and Cultural, paragraf 8 66 Ahmad Helmi Fuady, et.al., Memahami Anggaran Publik, Yogyakarta, IdeaPress, 2002, hal. 18 – 22.
18
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
c.
d.
berkepentingan terhadap alokasi sumber daya. Relasi kekuasaan tersebut berpengaruh terhadap bentuk kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah dan berkonsekuensi pula terhadap penyusunan anggarannya. Dengan demikian, anggaran – dalam setiap tahap-tahapnya – tidak pernah lepas dari konteks relasi politik tersebut. Relasi politik tersebut tidak selamanya berhubungan dengan seberapa jauh kepentingan masyarakat terakomodasi dalam anggaran.67 Oleh karena itu, penting bagi masyarakat sipil (civil society) untuk mengambil posisi dan sikap terhadap kebijakan anggaran. Raison d’etre sumber pembiayaan anggaran berasal dari sumber-sumber yang dimiliki oleh rakyat sendiri, seperti sumber daya alam, pajak, dan pungutan lain. Anggaran merupakan ekspresi konkrit komitmen pemerintah dan parlemen terhadap warga negaranya. Dengan demikian, secara fungsional anggaran merupakan instrumen pemenuhan tanggung jawab negara (obligation of state) sebagai konsekuensi logis terjalinnya kontrak sosial dalam kerangka negara bangsa sehingga negara dilekati tanggung jawab menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak atau kebutuhan warganya.68 Negara selalu berargumen dan menjustifikasi tidak memiliki dana yang mencukupi untuk melaksanakan kewajibannya. Dengan keterbatasan tersebut sangat penting untuk mengawasi penggunaannya agar mencapai dampak yang maksimum bagi pemenuhan HAM. Instrumen Hukum HAM Internasional memberikan pilihan bagi Negara agar dalam mempergunakan anggarannya tidak melanggar HAM. Di samping itu, Negara juga diberikan pilihan untuk memprioritaskan pengeluarannya untuk pemenuhan HAM, khususnya bagi kelompok rentan.69
6. Pengabaian Kepentingan Anak dalam Merumuskan Kebijakan Secara prinsip, setiap manusia merupakan penerima manfaat HAM. Tetapi terdapat kategori penerima manfaat yang biasanya harus dibedakan terlebih dahulu. Perbedaan perlakuan ini dikarenakan kelompokkelompok tersebut memang lebih rentan dari kelompok lainnya dan secara tradisional telah menjadi sasaran proses diskriminasi. Kelompok ini membutuhkan perlindungan khusus agar mendapat kesetaraan kesempatan untuk menikmati hak-haknya. Tindakan afirmatif (affirmative action) tertentu atau berbagai langkah-langkah khusus lainnya sangat di perlukan agar keadilan substantif dapat dicapai dalam waktu sesingkat mungkin, sehingga kelompok-kelompok tersebut segera memperoleh kesetaraan kesempatan. KHA dan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) merupakan upaya untuk menjamin kesetaraan hak, status, dan dan kebutuhan-kebutuhan khusus kelompok anak dan perempuan termasuk dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Merujuk pada konsideran menimbang KHA dikatakan bahwa anak karena alasan ketidakdewasaan fisik dan jiwanya, membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan hukum yang tepat. Meskipun, negara dibebani kewajiban untuk mengambil tindakan afirmatif, namun realitanya anakanak belum sepenuhnya dapat menikmati kondisi ideal sebagaimana dijamin dalam KHA. Partisipasi anak sebagai akses utama untuk menyuarakan aspirasinya tidak pernah mendapatkan ruang. Bagi kebanyakan orang dewasa memberikan apa yang seharusnya menjadi hak-hak anak dipandang sebagai ancaman terhadap pola relasi kekuasaan antara orang dewasa dengan anak-anak. Dampaknya adalah anggaran yang disusun tidak berpijak pada kepentingan terbaik untuk anak sehingga anggaran yang disusun tidak merefleksikan kebutuhan anak yang bersifat spesifik. 67 Ahmad Helmi Fuady, et.al., Memahami Anggaran Publik ibid, hal. 18 68 Kata Pengantar dalam Ahmad Helmi Fuady, et. al, op. cit, hal. iii-iv 69 Fundar, Dignity Counts, op. cit, hal. 3-4
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
19
7. Hak korban pelanggaran HAM atas Upaya Pemulihan Setiap pelanggaran HAM yang menimbulkan korban senantiasa menerbitkan kewajiban negara untuk mengupayakan pemulihan (reparation) kepada korbannya. Dengan demikian, pemenuhan terhadap hak-hak korban tersebut harus dilihat sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan HAM secara keseluruhan. Tidak ada HAM tanpa pemulihan atas pelanggarannya. Hal ini sama artinya dengan mengatakan bahwa impunitas akan terus berlangsung apabila tidak ada langkah konkret bagi pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM. 70 Korban pelanggaran HAM didefinisikan melalui studi van Boven dengan merujuk pada Deklarasi PrinsipPrinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Declaration of Basic Principle of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power) . Korban didefisinikan sebagai berikut : Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omission).71 Perlu ditegaskan bahwa korban dalam pengertian yang digunakan dalam deklarasi di atas bukan hanya terbatas pada perseorangan atau kelompok yang mengalami secara langsung, tetapi juga mencakup orangorang yang secara tidak langsung menjadi korban seperti kelurga korban, orang yang menjadi tanggungannya atau orang dekatnya (their relatives), dan orang-orang yang membantu atau mencegah agar tidak menjadi korban.72 Terkait dengan upaya pemulihan korban, studi van Boven mengemukakan bahwa hak-hak korban pelanggaran HAM secara komprehensif tidak hanya terbatas pada hak untuk tahu (rights to know) dan hak atas keadilan (rights to justice), tetapi mencakup juga hak atas reparasi (rights to reparation).73 Pemulihan adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi para korban pelanggaran HAM. Aspek-aspek pemulihan bagi korban meliputi kompensasi74, retitusi75, rehabilitasi76, kepuasan (satisfaction) dan jaminan terhadap tidak terulanginya lagi pelanggaran (guarantees of non-repetition).77
70 Ifdhal Kasim, “Prinsip-Prinsip van Boven” Mengenai Korban Pelanggaran Berat HAM, Kata Pengantar dalam Mereka yang Menjadi Korban : Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, Jakarta, ELSAM, 2002, hal. xiii 71 Ifdhal Kasim, “Prinsip-Prinsip van Boven, ibid 72 Ifdhal ��������������� Kasim, “Prinsip-Prinsip van Boven ibid, hal. viv 73 Ifdhal Kasim, Prinsip-Prinsip van Boven, ibid. , hal. xv 74 Kompensasi merupakan kewajiban yang harus dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan, dan tanah. Lihat Ifdhal Kasim, Prinsip-Prinsip van Boven, ibid. xvi 75 Restitusi merupakan kewajiban pengembalian harta milik atau pembayaran atas kerusakan, atau kerugian yang diderita, penggantian biaya-biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyediaan jasa oleh pelakunya sendiri. Lihat, Ifdhal Kasim, ibid 76 Rehabilitasi merupakan kewajiban untuk memulihkan korban secara medis dan sosial., ibid 77 Sedangkan kepuasan dan jaminan tidak terulangnya pelanggaran merupakan bagian dari kewajiban negara dan bentuk khusus dari reparasi. ibid
20
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
1.1.d. Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Kesenjangan antara jaminan yuridis (das sollen) dengan realitas (das sein) mengharuskan masyarakat sipil (civil society) mengambil langkah-langkah untuk mendekatkan realitas pemenuhan hak anak dengan tataran ideal sebagaimana telah dijamin dalam KHA. Upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat sipil adalah melakukan gugatan dan desakan kepada negara agar kebijakan anggaran publik yang ditetapkan tidak lagi mengabaikan pemenuhan hak-hak anak. Dengan demikian masyarakat sipil mulai memasuki ranah politik karena menyangkut upaya mempengaruhi penguasa tentang masalah-masalah yang menyangkut rakyat; terutama mereka yang telah dipinggirkan dan dikucilkan dari proses politik. 78 Dalam konteks anggaran publik beberapa hal mesti dipertanyakan: • Bagaimana persoalan dan kebutuhan anak dalam suatu wilayah pemerintahan dikenali? • Adakah kebijakan yang secara khusus dibuat untuk : mengatasi persoalan anak, mencegah terjadinya pelanggaran Hak Anak, menghentikan dan menanggulangi pelanggaran Hak Anak, dan upaya pemulihan bagi anak-anak korban pelanggaran Hak Anak? • Seberapa jauh kebijakan alokasi anggaran merefleksikan kebutuhan anak-anak dan menjamin terlaksananya kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk kepentingan anak? • Apakah anggaran telah menjamin pemenuhan hak-hak dasar anak? • Apakah anggaran menempatkan anak sebagai kelompok rentan sebagai pilihan dan prioritas utama yang harus menerima manfaatnya? Berpijak dari pertanyaan di atas, maka upaya advokasi menjadi signifikan untuk dilakukan oleh LSM Anak, mengingat dampak dari anggaran publik sangat berpengaruh pada kehidupan sosial, ekonomi dan politik seharihari. 1.1.d.1. Pengertian Advokasi Terdapat beberapa pengertian advokasi : 1. Advokasi adalah suatu tindakan yang ditujukan untuk mengubah kebijakan, kedudukan atau program dari semua jenis institusi.79 2. Advokasi terdiri atas sejumlah tindakan yang dirancang untuk menarik perhatian masyarakat pada suatu isu, dan mengontrol para pengambil kebijakan untuk mencari solusinya. Advokasi itu juga berisi aktivitasaktivitas legal dan politis yang dapat mempengaruhi bentuk dan praktik penerapan hukum. Inisiatif untuk melakukan advokasi perlu diorganisir, digagas secara strategis, didukung informasi, komunikasi, pendekatan, serta mobilisasi.80 3. Advokasi sebagai proses perubahan sosial yang ditujukan untuk membentuk partisipasi publik, kebijakan, dan program agar menguntungkan kaum yang terpinggirkan, mempertahankan HAM, dan melindungi
78 Valerie Miller dan Jane Covey, Pedoman Advokasi : Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005, hal.11 – 12 79 Ritu R. Sharma, Pengantar Advokasi :Panduan Latihan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hal. 7 80 Margaret Schuler dalam Sheila Espine-Villaluz et.al., Manual Advokasi Kebijakan Strategis, Jakarta, IDEA, 2004, hal. 28
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
4.
21
lingkungan hidup.81 Advokasi lebih merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incrimental).82
1.1.d.2. Pengertian Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak Merujuk definisi tersebut dan dengan menempatkan anak sebagai korban kebijakan anggaran publik sebagai subyek utama maka advokasi anggaran publik berbasis hak anak merupakan upaya sistematis dan terencana yang ditujukan untuk merealisasikan perubahan anggaran publik yang menempatkan anak sebagai penerima manfaat utama dengan berpijak pada pemenuhan hak-hak anak. Advokasi anggaran berbasis hak anak mendasarkan aktivitasnya pada pengalaman dan pengetahuan anak sebagai korban (victim-based advocacy)83 untuk melakukan perubahan sosial (sosial transformation) dalam rangka mengurangi beban kehidupan anak-anak akibat salah urus negara. 84 Dalam perspektif lain, upaya ini merupakan upaya advokasi sosial untuk merubah anggaran publik sehingga secara substansif berbasis pada pemenuhan hak-hak anak. Advokasi sosial adalah bentuk demokrasi partisipatoris dalam arti bahwa ia menawarkan jalurjalur alternatif bagi kegiatan politik di luar kerangka hukum yang telah ada. Tujuan akhirnya adalah memberikan kompensasi kepada sekelompok masyarakat yang rentan. Di sisi lain mendobrak penyusunan anggaran publik yang restriktif yang mana hanya melibatkan lingkaran elit pemerintahan yang relatif tertutup. Advokasi ini juga merupakan upaya mengintervensi dominasi institusi-institusi politik dalam proses politik kebijakan anggaran publik.85 Dengan demikian untuk merealisasikan anggaran berbasis hak anak partisipasi anak merupakan prakondisi yang harus ada. David Hodgson mengidentifikasi 5 (lima) kondisi yang dibutuhkan agar anak-anak dapat berpartisipasi sehingga tujuan anggaran berbasis hak anak terealisasi, yakni : 1. Akses ke dalam proses pembuatan kebijakan; 2. Akses untuk memperoleh informasi yang relevan; 3. Kebebasan untuk memilih sesuai dengan pilihannya; 4. Institusi yang independent dan terpercaya yang dapat mendorong terepresentasikannya kepentingan dan kebutuhan anak; 5. Terakomodasikannya cara untuk mengajukan perbaikan. 86 Dengan demikian pijakan utama dalam membangun partisipasi anak adalah keterlibatan anak – sebagai pihak yang selama ini tidak terlibat – serta komunikasi dua arah atau dialog. Terjemahan dari keterlibatan semua pihak dan dialog antara lain : (1) membuka kesempatan ke banyak pihak, (2) membuat penawaran, (3) memperbanyak pilihan-pilihan, serta (4) membangun kesepakatan bersama. Pijakan ini menghendaki bentukbentuk keterlibatan anak sehingga tercapai jaminan dan perlindungan atas haknya, yang meliputi : (i) keterlibatan 81 Valerie Miller dan Jane Covey, Pedoman Advokasi : Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi, op. cit. hal. 13 82 Roem Topattimasang, et.al., Merubah Kebijakan Publik, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2000, hal. iv 83 Basis advokasi ini berangkat dari pengalaman dan persepsi anak-anak berkaitan dengan dampak alokasi anggaran terhadap pemenuhan hak-hak mereka melalui FGD terhadap 79 anak di DKI Jakarta. YPHA membatasi pada 3 (tiga) isu besar yaitu hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman. 84 Mengadopsi Makinuddin, Air untuk Secangkir Kopi Petani : Refleksi Pengalaman Advokasi Irigasi di Way Seputih, Bandung, Yayasan AKATIGA dan World Education Indonesia, hal.3 85 Lihat catatan kaki nomor 61, dalam Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif : Pilihan di Masa Transisi, Jakarta, HuMa, 2003, hal. 83 86 Save The Children, Empowering Children and Young People Training Manual : Promoting Involvement in Decision-Making, Children’s Rights Office, hal. 8
22
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
anak dalam menyampaikan ide atau inisiatif, (ii) keterlibatan anak dalam merencanakan, (iii) keterlibatan anak dalam mempersiapkan, (iv) keterlibatan anak dalam mengawasi atau mengontrol, termasuk dalam memberi masukan, dan (v) keterlibatan anak dalam pemanfaatan atau dalam mendapatkan manfaat. Sebangun dengan konsepsi di atas Roger Hart (1997) memaknai partisipasi anak dengan menekankan pada choice atau bagaimana anak terlibat dalam membuat pilihan dan decision-making proses atau bagaimana anak terlibat dalam proses pembuatan keputusan.87 1.1.d.3. Tujuan Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak Dalam konteks anggaran berbasis hak anak advokasi bertujuan sebagai berikut : b. Alokasi anggaran publik meningkat kebutuhan spesifik anak-anak.
secara signifikan yang diprioritaskan untuk memenuhi
Alokasi anggaran publik harus memadai dengan jumlah anak di seluruh penjuru tanah air dan diperuntukan bagi program-program88 yang secara konkret ditujukan untuk memenuhi hak-hak anak. Di samping hal tersebut, terdapat alokasi anggaran publik yang ditujukan secara khusus untuk melaksanakan program-program dalam rangka tindakan khusus (affirmative action) dan diprioritaskan bagi anak-anak keluarga miskin. Mengingat kemampuan mengatasi risiko berbeda antara individu anak yang satu dengan individu anak yang lain, bahkan untuk satu individu anak yang sama dalam waktu yang berbeda. Dalam titik inilah seharusnya kita meletakkan sudut pandang pemenuhan hak hak anak. Anak termasuk kelompok rentan yang harus mendapatkan perlakuan khusus oleh negara. Bahkan dalam kelompok anak pun terdapat kelompok anak yang lebih rentan lagi yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih dan perlindungan khusus oleh negara. ����������������������������������������������������� Kelompok ini disebut dengan Anak dalam situasi khusus (childern in need of special protection/CNSP). Mengacu pada Komite Hak Anak PBB terdapat setidak-tidaknya 4 (empat) kelompok anak yang termasuk kategori ini89 : 1. Anak-anak dalam situasi darurat (children in situation of emergency), yakni pengungsi anak (children refugee) baik pengungsi lintas negara maupun pengungsi dalam negeri (internally displaced people)90 dan anak yang berada dalam situasi konflik bersenjata (children in situation of armed conflict)91 2. Anak dalam situasi eksploitasi, meliputi eksplotasi ekonomi92, penyalahgunaan obat (drug abuse)93, eksplotasi seksual94, Perdagangan anak (trafficking) 95, dan ekploitasi bentuk lainnya96 3. Anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the Law)97 87 Agus Hartono, Memahami Anak dalam Berpartisipasi, Buletin Kelopak, Indonesia, Juni 2004, hal. 6-7 88 Lihat UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional , Pasal 1 butir 16 yang menyatakan bahwa program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah. 89 Lihat Overview of the reporting procedured : 24/10/94 CRC/C/33 90 Lihat Pasal 22 KHA 91 Lihat Pasal 38 KHA 92 Lihat Pasal 32 KHA 93 Lihat Pasal 33 KHA 94 Lihat Pasal 34 KHA 95 Lihat pasal 35 KHA 96 Lihat Pasal 36 KHA 97 Lihat Pasal 37, 39, dan 40 KHA
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
23
4. Anak yang berasal dari masyarakat adat dan kelompok minoritas (children from indigenous people and minorities)98 Berdasarkan pembagian tersebut YPHA mengidentifikasi lebih lanjut anak-anak dalam kondisi yang tidak menguntungkan sebagai berikut : a. Anak-anak di wilayah pedesaan, perkampungan nelayan, dan wilayah terisolasi; b. Anak-anak dalam wilayah miskin perkotaan (wilayah kumuh) dan yang dianggap sebagai penduduk liar/illegal, dan anak jalanan; c. Anak-anak Perempuan; d. Anak-anak laki-laki maupun perempuan korban eksploitasi seksual; e. Pekerja/buruh anak (di perkebunan, jermal, pekerja rumah tangga, buruh migran); f. Anak-anak di wilayah bencana alam dan pengungsian; g. Anak-anak di wilayah konflik; h. Anak-anak yang mengalami kecacatan; i. Anak-anak dari hubungan di luar perkawinan yang sah; j. Anak-anak tidak berkewarganegaraan; k. Anak-anak dengan HIV AIDS dan anak-anak yang hidup dengan penderita HIV/AIDS; l. Anak-anak korban Perdagangan obat-obat terlarang; m. Anak-anak dalam penjara; n. Anak-anak dalam masyarakat adat dan kelompok minoritas; o. Anak-anak korban kekerasan dalam rumah tangga; p. Anak-anak dengan orientasi seksual minoritas. Karena kondisinya maka anak-anak dalam kategori tersebut diatas mengalami tingkat kesulitan yang lebih besar dalam menikmati hak-haknya. Untuk itu negara perlu menetapkan pendekatan khusus untuk menjamin bahwa mereka dapat menikmati sebesar mungkin HAM mereka termasuk hak ekonomi, sosial, dan budaya. KHA telah menetapkan langkah-langkah implementasi umum sebagaimana tercantum dalam Pasal 4, Pasal 42, dan Pasal 42 KHA yang wajib dilaksanakan oleh negara. a. Pengarusutamaan hak anak terefleksikan dalam anggaran publik Children mainstreaming policy merupakan upaya �������������������������������������������������������� mengintegrasikan prinsip-prinsip dan norma-norma hak asasi anak dalam setiap kebijakan publik yang ditetapkan. Dengan kata lain seluruh alokasi dana dalam tiap-tiap kebijakan dan program pembangunan yang diterapkan diorientasikan bagi pemenuhan hakhak anak baik dari sisi jumlah penerima manfaat dan dampak dari kebijakan anggaran.99 Terkait dengan Children mainstreaming, perspektif anggaran berbasis jender100 melekat dalam upaya advokasi anggaran 98 Lihat Pasal 30 KHA 99 Deklarasi Dunia yang Layak bagi Anak, Paragraf 32 butir 3 menyatakan bahwa Pemerintah dan pejabat lokal melalui kemitraan yang kuat di segala tingkatan dapat memastikan bahwa anak-anak adalah pusat agenda-agenda pembangunan. Butir 4 menegaskan bahwa Para anggota parlemen merupakan kunci menuju implementasi rencana aksi yang keberhasilannya mengharuskan mereka giat membangkitkan kesadaran, membuat perundang-undangan yang diperlukan, memfasilitasi dan membagi setepatnya sumber daya keungan serta memantau keefektifan pemanfaatannya. 100 Anggaran Berperspektif Gender (ABG) adalah pengeluaran dan penerimaan yang diharapklan akan terjadinya pada suatu periode waktu tertentu, yang dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil mempertimbangkan keadilan bagi laki-laki dan perempuan. Lihat ������ Sri Mastuti dan Dian Kartikasari, Panduan Advokasi Anggaran, Jakarta, FTRA dan KPI, 2001, hal. 40
24
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
berbasis anak karena anak-anak perempuan tingkat kerentanannya lebih tinggi ketimbang anak-anak lakilaki. Dengan demikin anggaran berperspektif gender perlu didesakkan pula dalam upaya advokasi anggaran berbasis hak anak sehingga seluruh alokasi dana dalam tiap-tiap kebijakan dan program pembangunan yang diterapkan adil gender baik dari sisi jumlah penerimaan manfaat dan akibat dari kebijakan, program dan kegiatan yang telah dianggarkan. Adapun tujuan anggaran berperspektif gender meliputi : 101 1. 2. 3.
Mendukung terciptanya kesetaraan gender, yaitu kesetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan; Mengarahkan dan menjadi acuan secara menyeluruh dalam pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah yang berdampak pada kemajuan taraf hidup seluruh rakyat yang secara khusus dan diprioritaskan untuk kelompok miskin, anak-anak, dan perempuan; Pertanggung jawaban pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di wilayahnya. Pertanggung jawaban itu harus menunjukkan keadilan, keterbukaan dan hasil pembangunan yang memadai antara belanja (pengeluaran dana) dan pencapaian pembangunan.
a. Prioritas Anggaran ditujukan untuk pemenuhan hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman Pemenuhan hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman dijadikan basis isu advokasi anggaran berbasis hak anak dengan pijakan pada hal-hal berikut ini : 1. Urgensitas pemenuhan hak anak atas pendidikan : a. Pendidikan merupakan prasyarat bagi pelaksanaan hak asasi manusia. Penikmatan hak sipil dan politik, seperti kebebasan atas informasi, kebebasan berekspresi, berkumpul dan berorganisasi, hak untuk memilih dan dipilih atau hak atas kesamaan kesempatan atas pelayanan publik, bergantung pada sekurang-kurangnya suatu tingkat pendidikan minimum, termasuk kemelekhurufan. Sejalan dengan itu, banyak hak ekonomi, sosial, dan budaya seperti hak untuk memilih pekerjaan, hak untuk menikmati keuntungan kemajuan ilmu pengetahuan dan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi berdasarkan kemampuan hanya dapat dilaksanakan secara berarti setelah seseorang memperoleh tingkat pendidikan minimum.102 Pelanggaran ������������������������������������������������ hak pendidikan khususnya pendidikan dasar berdampak pada pemenuhan hak-hak anak. Oleh karenanya akses terhadap pendidikan dasar menjadi signifikan karena : (i) tidak terpenuhinya hak ini, berpeluang besar menimbulkan pelanggaran dan kejahatan HAM yang lain. Dengan kata lain, seseorang, khususnya anak-anak yang tidak memperoleh pendidikan dasar, berpotensi besar mendapat ancaman, kejahatan dan pelanggaran HAM lainnya. Anak-anak dari keluarga miskin yang tidak bisa bersekolah rentan menjadi buruh kasar, kerja paksa dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya. (ii) Pendidikan dapat dipandang sebagai upaya pemberdayaan, sebagai “kendaraan” utama bagi setiap orang dan keluarga terlepas dari kemiskinan ekonomi dan keterpurukan sosial serta mewujudkan pemenuhan hak berpartisipasi dalam masyarakat;103 b. Pendidikan bertujuan memperkuat HAM Dalam rangka memajukan kesadaran HAM dan saling toleransi antar manusia Konferensi Dunia HAM di Wina tahun 1993, menyerukan kepada semua negara dan lembaga untuk memasukkan 101 Sri Mastuti dan Dian Kartikasari, Panduan Advokasi Anggaran, ibid 102 Manfred Nowak, Hak atas Pendidikan, dalam Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, op. cit. hal. 212 -214 103 A. Patra M. Zen, Pendidikan Dasar Gratis. Apa Bisa? Dialog tentang Hak Setiap Orang Atas Pendidikan, op. cit. hal. 19
25
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
HAM, hukum humaniter, dan demokrasi dan penegakkan hukum sebagai mata pelajaran dalam kurikulum semua lembaga pengajaran dan pendidikan, baik formal maupun tidak formal. Dengan demikian hak atas pendidikan merupakan sarana yang paling efektif untuk menciptakan suatu kebudayaan hak asasi manusia yang universal. 2. Urgensitas pemenuhan hak anak atas kesehatan : a. Peningkatan kondisi kesehatan anak akan memungkinkannya untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal; b. Hak anak atas kesehatan, harus mencakupi kesehatan dalam arti luas, mencakup kesehatan fisik dan mental c. Hak atas kesehatan berdimensi luas karena terkait dengan pemenuhan hak-hak yang lain seperti : hak atas pakaian yang layak, hak atas layanan imunisasi, hak atas air bersih, hak atas kecukupan pangan dan gizi, hak atas layanan kesehatan yang baik dan terjangkau, hak mendapatkan lingkungan yang layak termasuk di dalamnya hak atas permukiman yang layak dan sanitasi yang sehat, hak atas kesempatan bermain dan beristirahat, dan hak atas lingkungan yang aman, bebas dari kekerasan dan tindakan diskriminatif. 3. Urgensitas pemenuhan hak anak atas permukiman a. Hak atas standar kehidupan yang layak mensyaratkan terdapat tempat tinggal yang layak untuk dihuni oleh keluarga sebagai lingkungan sosiologis yang pertama bagi anak karena rumah menyediakan privacy, family, dan home b. Permukiman merupakan tempat untuk melindungi anak dari kondisi yang menghambat tumbuh dan kembang anak Dengan kata lain, jika salah satu dari ketiga aspek tersebut tidak terpenuhi, anak-anak tersebut memasuki kondisi sub human. Sub human merupakan kondisi di mana kemiskinan yang dialami anak-anak pada akhirnya menyebabkan kerusakan fisik, kerusakan psikologis, dan kerusakan moral.104 d. Terbukanya ruang-ruang partispasi yang memungkinkan anak-anak berpartisipasi pada struktur birokrasi dan kerangka hukum kebijakan publik Seharusnya partisipasi dimaknai sebagai melibatkan secara luas seluruh elemen masyarakat madani (civil society). Anak-anak termasuk selama ini belum dilibatkan dalam dialog dengan para pengambil kebijakan di tingkat nasional dan local dan sekaligus memberikan pengakuan terhadap kepentingan mereka. Instrumen demokrasi yang ada belum cukup merefleksikan kepentingan terbaik bagi anak. Oleh karena itu tanpa akses pada setiap peristiwa proses demokrasi, anak-anak tidak memiliki kekuatan untuk menuntut pemenuhan apa yang menjadi hak asasinya. Pengabaian anak berpartisipasi merupakan diskriminasi ganda terhadap anak (twofold discrimination on children).105 Padahal setiap legalisasi, regulasi, dan alokasi anggaran berdampak pada kehidupan anak-anak. Pengambil kebijakan selalu mengasumsikan bahwa mereka telah mewakili kepentingan anak. Hal yang bersifat mendasar yakni terdapatnya perbedaan perspektif antara anak-anak dengan dewasa mengenai bagaimana kehidupan yang sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak tidak pernah menjadi bahan pertimbangan. Pengembangan mekanisme untuk melibatkan perspektif anak-anak dalam berbagai kebijakan publik yang mempengaruhi kehidupan mereka sudah seharusnya menjadi agenda pemerintah. Kemudian 104 Dom Helder Camara, Spiral Kekerasan, Yogyakarta, Resist Book, 2005, hal.27 105 Gerison Lansdown, Promoting Children’s Participatiom in Democratic Decision Making,
UNICEF Innocenti Insight, 2001, hal. 7
26
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
kesempatan bagi anak-anak dalam melaksanakan hak-hak sebagai warga negara dalam perdebatan publik juga semestinya dikembangkan. Di sisi lain anak-anak juga dipastikan dapat memperoleh akses atas semua informasi yang dibutuhkan oleh mereka untuk meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Oleh karena itu membangun dan mengadaptasi struktur dan departemen/institusi yang ada guna menyediakan kondisi yang diperlukan bagi partisipasi anak sudah semestinya menjadi landasan dalam menetapkan kebijakan.106 Anak-anak sebagai bagian dari masyarakat yang tengah bertumbuh kembang, mereka memiliki harapan untuk dapat berpartisipasi secara luas dari ranah privat sampai ranah publik dan dapat mempengaruhi suatu kebijakan dari tingkat lokal hingga tingkat global. Dengan demikian ruang-ruang partisipasi anak dapat digambarkan sebagai berikut.107
Dalam pada itu KHA secara implisit mendorong setiap negara menciptakan kebijakan publik dengan sepenuhnya memperhatikan kepentingan-kepentingan, kebutuhan, dan perspektif anak selaku warga negara yang sederajat. Artinya pemerintah berkewajiban untuk menyediakan berbagai struktur yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan anak dan mendorong mereka berpartisipasi.108 Roger Hart memaknai partisipasi sebagai suatu proses pembagian pengambilan suatu kebijakan yang mempengaruhi kehidupan seseorang dan kehidupan komunitas di mana seseorang hidup. Ini diartikan sebagai demokrasi yang dibangun dan menjadi ukuran pada demokrasi.109 Sedangkan partisipasi anak merujuk pada partisipasi aktif anak-anak dan secara nyata untuk memberikan pengaruh pada sebuah kebijakan yang berdampak pada kehidupan anak-anak. Partisipasi anak tidak hanya sebagai manipulasi, asesori atau kehadiran anak bersifat pasif karena menjalankan kepentingan orang dewasa. Pasal 12 KHA 106 Victoria Johnson, et. al. Institusi dan Kekuasaan dalam Anak-Anak Membangun Kesdaran Kritis, op. cit, hal. 486 - 487
107 R. Nimi’s presentasi pada UNICEF’s, Global Lifeskills Workshop in Salvador dalam Carol Bellamy,The State of The World’s Children 2003, New York, UNICEF, 2002, hal. 3 108 Victoria Johnson, et. al. Institusi dan Kekuasaan, ibid, hal. 478 109 Carol Bellamy,The State of The World’s Children 2003, op.cit., hal. 4
27
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
menjadi landasan hukum anak-anak untuk berpartisipasi. Pasal ini menyatakan bahwa Negara-negara akan menjamin anak-anak hak untuk menyatakan pandangan-pandangannya secara bebas dalam semua hal yang menyangkut kehidupan anak, serta pandangan anak diberi akan diberikan bobot sesuai dengan usia dan kematangan anak. Namun hak anak untuk berpartisipasi dapat terjamin secara penuh apabila terdapat kondisi-kondisi berikut yakni : (i) anak bebas menerima, mencari, dan memberikan informasi (Pasal 13 dan 17 KHA); (ii) anak bebas menyatakan pikirannya (Pasal 14 KHA); dan anak memiliki kebebasan berorganisasi dan berkumpul (Pasal 15 KHA). Tangga partisipasi dari Roger Hart (Hart’s Ladder of Participation) dapat dijadikan parameter bagaimana partisipasi anak semestinya direalisasikan. Namun tangga partisipasi Roger Hart tersebut harus dikonstruksikan ketika anak-anak menjalin relasi dengan orang dewasa. Ketika anak-anak menjalin relasi dengan Negara melalui cara partisipasi anak, Negara lah yang harus melakukan kewajibannya terlebih dahulu mempersiapkan prasyarat sebagai berikut : 1. Terdapat akses bagi anak-anak dalam proses pembuatan kebijakan; 2. Terbuka akses bagi anak-anak untuk memperoleh informasi yang relevan; 3. Tersedia kesempatan bagi anak-anak menyuarakan aspirasi dan harapannya; 4. Terdapat pihak yang dituju yang bertanggung jawab apabila anak-anak mengajukan tuntutan; 5. Terdapat institusi/individu (sebagai pihak ketiga) yang independen dan terpercaya yang mendorong terepresentasikannya kepentingan dan kebutuhan anak;110 Roger Hart membagi 8 (delapan) tipologi relasi antara anak dengan orang dewasa dalam sebuah tangga partisipasi (ladder of participation). Tangga partisipasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.111 Tangga Partisipasi
Tingkat Partisipasi Anak
8. Young people-initiated, shared decisions with adults
Inisiatif dilakukan oleh anak atau remaja, sedangkan pembuatan keputusan dilakukan bersama antara anak/remaja dengan orang dewasa. Proses ini mendorong pemberdayaan anak/remaja yang pada saat sama mendorong kemampuan anak/remaja untuk meraih akses dan belajar dari pengalaman dan keahlian dari orang dewasa.
7. Young peopleinitiated and directed
Anak-anak menginisiasi suatu ide dan memutuskan bagaimana program tersebut dijalankan. Orang dewasa hanya mendukung dan tidak mengambil peran di dalamnya
6. Adult-initiated, shared decisions with young people
Orang dewasa menginisiasi ide tetapi anak-anak dilibatkan dalam setiap tahap perencanaan dan implementasi suatu program. Pandangan anak-anak menjadi bahan pertimbangan dan mereka dilibatkan dalam mengambil keputusan.
5. Consulted and informed
Program didesain dan dijalankan oleh orang dewasa tetapi berdasarkan konsultasi dengan anakanak. Anak-anak memiliki pemahaman yang penuh atas proses dan pandangan dijadikan bahan pertimbangan.
4. Assigned but informed
Orang dewasa memutuskan anak-anak dapat terlibat dalam suatu program. Orang dewasa telah memberitahukan kepada anak-anak informasi secara layak dan menghormati pandangan-pandangannya.
110 Mengadopsi Kathleen Comeau, Involving Children in Decision Making: A model for developing Children’s Participation, Surrey Children Fund, 2005, hal. 9 111 Commonwealth Youth Programme, One Participation in the Second Decade of Life What and Why? Commonwealth Secretariat, London, UK, 2005, hal. 18
28
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
3. Tokenism
Anak-anak hanya menanyakan dan memberikan jawaban atas apa yang mereka pikirkan mengenai suatu permasalahan, tetapi hanya memiliki sedikit atau tidak memiliki pilihan mengenai bagaimana mereka mengekspresikan pandangannya atau cakupan ide yang akan mereka kemukakan.
2. Decoration
Anak-anak hanya mengambil bagian pada suatu kegiatan, tetapi sesungguhnya mereka tidak memahami tujuan atau isu kegiatan tersebut.
1. Manipulation
Orang dewasa memimpin anak-anak sesuai dengan skema yang hanya diketahui oleh orang dewasa. Anak-anak tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Anak-anak tidak memiliki kebebasan untuk mengekplorasi pikiran atau tindakannya. Orang dewasa menggunakan idea anak-anak tetapi tidak mengakui ide tersebut.
Tiga (3) tangga pertama yakni, manipulation, decoration, dan tokenism bukan partisipasi (non participatory) karena orang dewasa masih memegang kuasa dan kontrol. Di sisi lain informasi dan keterlibatan anak juga sangat minimal. Lima (5) tangga berikutnya yakni assigned but informed, consulted ���������� and informed, adult-initiated, �������������������������������������������������������������������������������������������� shared decisions with young people, young people- initiated and directed, dan young people-initiated, shared decisions with adults dikategorikan sebagai partisipasi (participatory). Kondisi ideal partisipasi anak berada pada 2 (dua) tangga teratas yakni anak berinisiatif dan menjalankan idenya (child initiated and directed) dan anak-anak berinisiatif dan berbagi kekuasaan (child initiated and shared power). Pada posisi ini artinya anak-anak memegang kekuasaan dan mengontrol ide mereka sendiri, sementara orang dewasa memberikan dukungan dan arahan apabila dibutuhkan. Dengan kata lain, kondisi ini mengisyaratkan bahwa anak-anak telah terbangun rasa percaya diri (self-confidence), termotivasi (selfmotivated), dan telah berdaya (feel empowered). Tiga (3) tangga tengah yakni, assigned but informed, consulted and informed, ����������������������������������������������������� adult-initiated, shared decisions with young people, merupakan cara yang paling mungkin diterap bagi anak-anak rentan untuk berpartisipasi. Karena ketiganya menyaratkan : (i) menetapkan aturan khusus bagi anak untuk terlibat dalam pembuatan keputusan; (ii) pemberian informasi kepada anak-anak diprioritaskan; dan (iii) terdapat pembagian wilayah keterlibatan dalam pembuatan keputusan. 112 Dalam konteks advokasi anggaran berbasis hak anak, partisipasi anak dapat difokuskan pada tingkat partisipasi anak pada tangga tengah dari model Roger Hart. Hal ini disebabkan karena: (i) siklus anggaran yang meliputi penyusunan, pengesahan, pelaksanaan, dan audit serta penilaian menempatkan eksekutif (birokrasi) dan legislatif sebagai aktor dominan (highly political); (ii) siklus anggaran didominasi isu manajemen dan akuntansi;113 (iii) anggaran masih sangat sulit untuk diakses oleh publik; (iv) kerangka hukum yang ada (peraturan perundang-undangan) yang terkait dengan penganggaran belum membuka ruang partisipasi bagi anak. e.
Standar pencapaian pemenuhan HAM yang terformulasikan dalam instrumen Hukum HAM Internasional dijadikan rujukan dalam menetapkan suatu program Pasal 27 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional menyatakan bahwa Negara tidak dapat mengemukakan justifikasi kegagalan untuk melaksanakan ketentuan perjanjian internasional yang
112 Kathleen Comeau, Involving Children in Decision Making , op.cit, hal. 5 113 The International Budget Project, A Guide to Budget Work for NGOs, 2001, hal 21
29
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
diratifikasi dengan alasan melaksanakan ketentuan hukum nasionalnya. Karena pada dasarnya Negara memiliki kebebesan untuk menggunakan modalitas yang dimilikinya untuk mengimplementasikan kewajiban hukum internasional dan menyesuaikan ketentuan hukum nasional dengan kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian internasional. Dengan demikian konsekuensi hukum utama ketika telah meratifikasi instrument Hukum HAM Internasional adalah melakukan penyesuaian substansi hukum nasional dengan ketentuan hukum internasional. Penyesuaian tersebut melalui : (i) meninjau sistem hukum dan sistem pembuatan kebijakan publik; atau (ii) menerapkan dalam praktik-praktik pengadilan. Dalam konteks implementasi ketentuan instrument Hukum HAM Internasional ke dalam anggaran publik maka semua HAM yang dijamin dalam ketentuan tersebut semestinya terefleksikan melalui alokasialokasi anggaran. Secara skematik pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya anak tergambar sebagai berikut. DUHAM (Pasal 22)
Konvensi Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Pasal 2)
Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan (Pasal 2 dan Pasal 3)
KHA (Pasal 4)
Hukum Internasional
Inkorporasi
Hukum Nasional
UUD 1945
Undang-Undang
Anggaran Publik
Praktik-Praktik Peradilan
Instrumen Hukum HAM Internasional yang mengatur kewajiban Negara Indonesia untuk menjamin pemenuhan hak anak atas pendidikan, kesehatan dan permukiman melalui anggaran publik nampak pada tabel berikut.
30
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Hak Anak atas Pendidikan Konvensi Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Konvensi Hak Anak
Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan
Pasal 13 • Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang • Pendidikan lanjutan dan tinggi harus tersedia dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak • Pendidikan dasar harus sedapat mungkin ditingkatkan bagi orang-orang yang belum menyelesaikan pendidikan dasar • Pengembangan sistem sekolah pada semua tingkatan harus secara aktif diupayakan, suatu sistem beasiswa yang memadai harus dibentuk dan kondisikondisi materiil staf pengajar harus terus menerus diperbaiki. Pasal 14 • Pada saat menjadi pihak perjanjian Negara belum mampu menyelenggarakan wajib belajar tingkat dasar secara cumacuma harus berusaha dalam jangka waktu dua tahun, untuk menyusun dan menetapkan rencana kegiatan rinci untuk diterapkan secara progresif, dan dalam beberapa tahun yang layak harus melaksanakan prinsip wajib belajar dengan cuma-cuma bagi semua orang
Pasal 28 • Pendidikan dasar diwajibkan dan terbuka bagi semua anak • Mendorong perkembangan bentuk-bentuk pendidikan menengah • Membuat pendidikan-pendidikan tersebut tersedia dan dapat dimasuki oleh setiap anak • Mengambil langkah-langkah yang tepat seperti memperkenalkan pendidikan cuma-cuma dan menawarkan bantuan keuangan jika dibutuhkan • Membuat pendidikan yang lebih tinggi dapat dimasuki oleh semua anak berdasarkan kemampuan • Membuat informasi pendidikan dan kejuruan dan bimbingan tersedia dan dapat dimasuki oleh semua anak • Mengambil langkah untuk mendorong kehadiran yang tetap di sekolah dan penurunan angka putus sekolah. • Mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa disiplin sekolah dilaksanakan dalam cara yang sesuai dengan martabat
Pasal 10 • Memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan dan memperoleh ijazah dalam lembaga-lembaga pendidikan segala tingkatan • Pengikutsertaan pada kurikulum yang sama, ujian yang sama, staf pengajar dengan standar kualifikasi yang sama, serta gedung dan peralatan sekolah yang berkualitas sama; • Penghapusan tiap konsep yang stereotip mengenai peranan laki-laki dan perempuan di segala tingkat dan dalam segala bentuk pendidikan dengan menganjurkan ko-edukasi dan lain-lain jenis pendidikan, khususnya dengan merevisi buku wajib dan program-program sekolah serta penyesualan metode mengajar; • Kesempatan yang sama untuk mengambil manfaat dari beasiswa dan lain-lain dana pendidikan; • Kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam program pendidikan yang berkelanjutan, termasuk program pendidikan orang dewasa dan pemberantasan buta huruf fungsional, • Pengurangan angka putus sekolah pelajar perempuan • Penyelenggaraan program untuk anak perempuan yang sebelum waktunya meninggalkan sekolah. • Memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi secara aktif dalam olahraga dan pendidikan jasmani; • Memperoleh penerangan edukatif khusus untuk membantu meniamin kesehatan dan kesejahteraan keluarga, termasuk penerangan dan nasehat mengenai keluarga berencana.
Pasal 29 • Pengembangan kepribadian, bakat-bakat, dan kemampuan mental dan fisik pada potensi anak • Pengembangan penghormatan terhadap hakhak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar • Pengembangan penghormatan terhadap orang tua anak, jati diri budaya, bahasa dan nilai-nilai sendiri • Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab dalam suatu masyarakat yang bebas, dalam semangat saling pengertian, Perdamaian, tenggang rasa, persamaan jenis kelamin, dan persahabatan antara semua bangsa, etnis, warga negara dan kelompok agama, dan orang-orang asal pribumi • Pengembangan untuk menghargai lingkungan alam.
31
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Pasal 14 • Bagi perempuan pedesaan untuk memperoleh segala jenis pelatihan dan pendidikan, baik formal maupun non formal, pemberantasan buta huruf fungsional, serta manfaat semua pelayanan masyarakat dan pelayanan penyuluhan guna meningkatkan ketrampilan tehnik
Hak Anak atas Kesehatan Konvensi Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Konvensi Hak Anak
Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan
Pasal 11 • Standar kehidupan yang layak termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus dan bebas dari kelaparan Pasal 12 • Menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental. • Pengurangan tingkat kelahiran-mati dan kematian anak serta perkembangan anak yang sehat; • Perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri; • Pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan; • Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang.
Pasal 24 • Memperoleh berbagai fasilitas untuk pengobatan penyakit dan rehabilitasi kesehatan • Menjamin bahwa tidak seorang anak pun dapat dirampas haknya atas aksers ke pelayanan perawatan kesehatan • Mengurangi kematian bayi dan anak • Menjamin penyediaan bantuan kesehatan yang diperlukan dan perawatan kesehatan untuk semua anak dengan penekanan pada perawatan kesehatan primer • Memerangi penyakit dan kekurangan gizi melalui, penerapan teknologi yang dengan mudah tersedia dan melalui penyediaan pangan bergizi yang memadai dan air minum bersih, dengan mempertimbangkan bahayabahaya dan resiko-resiko pencemaran lingkungan • Menjamin perawatan kesehatan sebelum dan sesudah kelahiran yang tepat untuk para ibu • Menjamin bahwa semua bagian masyarakat, terutama orang tua dan anak, diinformasikan, mempunyai akses pendidikan dan ditunjang dalam penggunaan pengetahuan dasar mengenai kesehatan dan gizi anak, manfaat ASI, kesehatan dan sanitasi lingkungan dan pencegahan kecelakaan • Mengembangkan perawatan kesehatan yang preventif, bimbingan bagi orang tua dan pendidikan dan pelayanan keluarga berencana.
Pasal 12 • Menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. • Menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan termasuk pelayanan yang berhubungan dengan keluarga berencana • Menjamin kepada perempuan pelayanan yang layak berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan masa sesudah persalinan, dengan memberikan pelayanan cuma-cuma • Pemberian makanan bergizi yang cukup selama kehamilan dan masa menyusui. Pasal 14 • Bagi perempuan pedesaan untuk memperoleh fasilitas pemeliharaan kesehatan yang memadai, termasuk penerangan, penyuluhan dan pelayanan dalam keluarga berencana
32
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Pasal 27 • Mengambil langkah-langkah yang tepat untuk membantu orang tua dan orang-orang lain yang bertanggung jawab atas anak itu untuk melaksanakan hak ini, dan akan memberikan bantuan material dan mendukung programprogram, terutama mengenai gizi, pakaian dan perumahan.
Hak Anak atas Permukiman Konvensi Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Konvensi Hak Anak
Pasal 11 • Standar kehidupan yang layak termasuk pangan, sandang dan perumahan
Pasal 27 • Mengambil langkah-langkah yang tepat untuk membantu orang tua dan orang-orang lain yang bertanggung jawab atas anak itu untuk melaksanakan hak ini, dan akan memberikan bantuan material dan mendukung programprogram, terutama mengenai gizi, pakaian dan perumahan.
Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan
Pasal 14 • Bagi perempuan pedesaan periakuan sama pada landreform dan urusan-urusan pertanahan termasuk pengaturan-pengaturan tanah pemukiman; • Bagi perempuan pedesaan menikmati kondisi hidup yang memadai, terutama yang berhubungan dengan perumahan, sanitasi, penyediaan listrik dan air, pengangkutan dan komunikasi.
Pemenuhan hak-hak yang bersifat mendasar seharusnya menjadi tujuan program melalui perencanaan pembangunan114 dan berprioritas tinggi (high-priority goals). Meskipun, pencapaian hak-hak ini secara bertahap dan mengakui realitas keterbatasan sumber daya yang tersedia, namun di sisi lain juga menetapkan berbagai kewajiban yang memiliki efek segera (immediate effect).115 Hak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman merupakan HAM yang bersifat mendasar bagi pencapaian kehidupan manusia yang bermartabat. Hak-hak ini bersifat justiciable, yang dapat dituntut di muka pengadilan. Argumen maximum available resources atau progressive realization tidak dapat digunakan untuk mengesampingakan pemenuhan segera hak-hak tersebut.116 Artinya tidak terpenuhinya hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman berpeluang besar menimbulkan pelanggaran HAM yang lain. Oleh karenanya akses pemenuhan hak-hak ini melalui peningkatan alokasi anggaran menjadi signifikan. Dengan demikian, alokasi anggaran publik harus 114 Lihat UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional , Pasal 1 butir 1 yang menyatakan bahwa perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. 115 Paragraf ke dua Pasal 2 Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menyatakan bahwa ����� setiap negara ... melaksanakan langkah-langkah ... sampai ke tingkat maksimum dari sumber-sumbernya yang tersedia ... (mencapai) secara progresif realisasi penuh hak-hak yang dinyatakan dalam kovenan ini dengan segala cara yang memungkinkan ...” 116 Ifdhal Kasim Kata Pengantar, Memajukan Advokasi terhadap Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dalam Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya : Esai-Esai Pilihan, op. cit, hal. xvii
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
33
responsif terhadap kebutuhan paling minimal anak, meskipun dalam suatu kondisi negara tidak memiliki kemampuan membiayai karena keterbatasan anggaran untuk melaksanakan kewajibannya itu. Oleh karena itu penilaian terhadap penggunaan sumber daya yang ada di dalam negeri secara maksimal berdasarkan skala prioritas harus dilakukan terlebih dahulu sebelum diputuskan penetapan kebijakan alokasi anggaran. 117 Menjauhkan alokasi anggaran yang ada untuk pemenuhan kebutuhan yang bersifat mendasar bagi anak sebagai prioritas, berarti negara tidak menerapkan kebijakan penggunaan sumber daya yang tersedia secara maksimal untuk menanggulangi masalah anak-anak. Oleh karenanya, Negara tidak dapat berdalih karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki menegasikan kewajibannya menghargai, melindungi, dan memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya anak-anak. Untuk itu, Negara memiliki kewajiban mengenai tindakan (obligations of conduct) dan kewajiban mengenai hasil (obligations of result). Dengan kata lain, Negara semestinya tidak hanya melakukan kewajiban mengambil langkah untuk memenuhi hakhak anak semata, tanpa disinergikan dengan kewajiban untuk menetapkan hasil (outcome) yang spesifik bagi pemenuhan hak asasi anak. Dalam hal penetapan kriteria dan indikator pencapaian keberhasilan dalam memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, Negara Indonesia terikat pada kewajiban moral melalui Millennium Development Goals (MDG’s) sebagai hasil KTT Millenium PBB 2000. Melalui KTT tersebut semua negara, baik negara maju dan berkembang/miskin sudah menggariskan jumlah penduduk miskin di dunia akan berkurang separuhnya pada tahun 2015.118 Indikator-indikator MDG’s seharusnya terakomodasi dalam kebijakan dan program melalui alokasi belanja publik adalah indikator yang tercantum dalam MDG’s. MDG’s dalam perspektif HAM khususnya implementasi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya merupakan eloborasi kewajiban mengenai tindakan (obligation of conduct) dan kewajiban mengenai hasil (obligation of result). Mengacu pada indikator-indikator yang tercantum dalam MDG’s paling tidak dapat dijadikan acuan bagi Negara untuk memenuhi kewajiban bagi pemenuhan hak anak. Kewajiban mengenai tindakan membutuhkan tindakan yang diperhitungkan secara cermat untuk memenuhi hak tertentu. Dalam MDG’s dipaparkan kewajiban negara untuk melakukan tindakan tertentu agar sasaran tersebut tercapai. Sedangkan kewajiban mengenai hasil dalam MDG’s mengharuskan negara untuk mencapai target tertentu (outcome) guna memenuhi standar substansif pada tahun 2015. Tujuan MDG’s secara lengkap dapat terlihat pada tabel di bawah ini.
117 Meskipun dengan keterbatasan sumber daya mengenai kewajiban negara untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi hak ekonomi, sosial, dan budaya dapat mengacu pada Prinsip-prinsip Limburg mengenai Pelaksanaan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Pengaturan tersebut khususnya mengacu bagian B yang memuat Prinsip-prinsip Interpretatif dan Secara Spesifik Berhubungan dengan Bagian II dari Kovenan khususnya frasa “sampai batas maksimum dari sumber daya yang tersedia”. Ketentuan tersebut diantara pada : (i) Paragraf 25 yang menyatakan bahwa Negara berkewajiban tanpa memandang tingkat pembangunan ekonominya, untuk memastikan penghormatan terhadap hak-hak subsistensi minimum bagi semua orang; dan (ii) Paragraf 28 menyatakan bahwa dalam penggunaan sumber-sumber daya yang tersedia, prioritas akan diberikan bagi terwujudnya hak-hak yang diakui dalam kovenan, dengan mengingat pada kebutuhan untuk memastikan bahwa setiap orang terpuaskan kebutuhan subsistensinya maupun tersedia pelayananpelayanan terpenting. 118 189 negara anggota PBB menandatangani Deklarasi Millennium pada KTT PBB bulan September 2000, yang berisi antara lain solidaritas internasional untuk pembangunan dan pengurangan kemiskinan di seluruh dunia termasuk Sasaran Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs).
34
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
TUJUAN DAN TARGET
INDIKATOR UNTUK MONITORING
Tujuan 1: Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan Target 1: Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah $ 1 per hari menjadi setengahnya antara 1990 - 2015
• • •
Target 2: Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015.
Proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional. Proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan kurang dari $ 1 per hari. Kontribusi kuantil pertama penduduk berpendapatan terendah terhadap konsumsi nasional.
• •
Prevalensi balita kurang gizi. Proporsi penduduk yang berada di bawah garis konsumsi minium (2.100 kkal/per kapita/hari).
• •
Angka Partisipasi Murni di sekolah dasar. Angka Partisipasi Murni di sekolah lanjutan tingkat pertama. Proporsi murid yang berhasil mencapai kelas 5. Proporsi murid di kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar. Proporsi murid di kelas 1 yang berhasil menyelesaikan sembilan tahun pendidikan dasar. Angka melek huruf usia 15-24 tahun.
Tujuan 2: Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua Target 3: Memastikan pada 2015 semua anak-anak dimana pun, laki-laki maupun perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar
• • • •
Tujuan 3: Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan Target 4: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015.
•
• • •
Rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan dasar, lanjutan, dan tinggi, yang diukur melalui angka partisipasi murni anak perempuan terhadap anak laki-laki. Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia 15-24 tahun, yang diukur melalui angka melek huruf perempuan/laki-laki (indeks melek huruf gender). Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor pertanian. Proporsi kursi DPR yang diduduki perempuan.
Tujuan 4: Menurunkan Angka Kematian Anak Target 5: Menurunkan angka kematian balita sebesar dua pertiganya, antara 1990 dan 2015
• • •
Angka kematian balita. Angka kematian bayi. Persentase anak di bawah satu tahun diimunisasi campak.
yang
35
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Tujuan 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu Target 6: Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga perempatnya antara 1990 - 2015
• • •
Angka kamatian ibu. Proporsi pertolongan persalinan oleh kesehatan terlatih. Angka pemakaian kontrasepsi.
tenaga
Tujuan 6: Memerangi HIV/AIDS, Malaria, dan Penyakit Menular Lainnya Target 7: Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada 2015.
• • • •
Target 8: Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan penyakit lainnya pada 2015
• •
Prevalensi HIV di kalangan ibu hamil yang berusia antara 15 -24 tahun. Penggunaan kondom pada hubungan seks beresiko tinggi. Penggunaan kondom pada pemakai kontrasepsi. Persentase anak muda usia 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS
•
Prevalensi malaria dan angka kematiannya. Persentase penduduk yang menggunakan cara pencegahan yang efektif untuk memerani malaria. Persentase penduduk yang mendapat penanganan malaria secara efektif. Prevalensi tuberkulosis dan angka kematian penderita tuberkulosis dengan sebab apa pun selama pengobatan OAT. Angka penemuan penderita tuberkulosis BTA positif baru. Angka kesembuhan penderita tuberkulosis.
Target 9: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan
• •
Proporsi luas lahan yang tertutup hutan. Rasio luas kawasan lindung terhadap luas daratan.
program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang.
•
Energi yang dipakai (setara barel minyak) per PDB (juta rupiah). Emisi CO2 (per kapita). Jumlah konsumsi zat perusak ozon metrik ton). Proporsi jumlah penduduk berdasarkan bahan bakar untuk memasak. Proporsi penduduk menggunakan kayu bakar dan arang untuk memasak.
• • •
Tujuan 7: Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup
• • • •
Target 10: Penurunan sebesar separuh, proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015
•
Target 11: Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh pada tahun 2020
•
•
Proporsi penduduk dengan akses terhadap sumber air minum yang terlindungi dan berkelanjutan. Proporsi penduduk dengan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak. Proporsi rumah tangga dengan status rumah milik atau sewa.
36
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Tujuan 8: Mengembangkan Kemitraan Global untuk Kemitraan Target 12: Mengembangkan lebih jauh lagi Perdagangan terbuka dan sistem keuangan yang melibatkan komitmen terhadap pengaturan manajemen yang jujur dan bersih, pembangunan dan pengurangan tingkat kemiskinan secara nasional dan internasional. Target 13: Membantu kebutuhan-kebutuhan khusus negara maju, termasuk pembebasan tarif dan kuota eksport, mengembangkan program pembebasan dan penghapusan utang untuk negara paling miskin, dan bantuan pembangunan untuk mengurangi kemiskinan. Target 14: Membantu kebutuhan-kebutuhan khusus negara-negara tertinggal, dan kebutuhan khusus dari negaranegara terpencil dan kepulauan-kepulauan kecil. Target 15: Secara komprehensif mengusahakan persetujuan mengenai masalah utang negara-negara berkembang.
Bantuan resmi pemerintah (ODA) • Total ODA untuk negara-negara kurang maju merupakan prosentase pendapatan nasional bruto negara-negara anggota OECD/DAC. • Proporsi dari seluruh bantuan bilateral ODA dari negaranegara donor OECD/DAC dialokasikan untuk layanan social dasar (pendidikan dasar, kesehatan dasar, pangan, air bersih, dan sanitasi). • Proporsi bantuan bilateral negara-negara OECD/DAC sebagai bantuan resmi tanpa ikatan. • ODA yang diterima di negara-negara berkembang di wilayah terpencil sebagai bagian dari pendapatan nasional bruto. • ODA yang diterima di negara-negara berkembang kepulauan kecil. Akses pasar • Proporsi total impor negara maju (tidak termasuk persenjataan) dari negara-negara berkembang dan negaranegara kurang maju, diperlakukan bebas pajak. • Tarif rata-rata diatur oleh negara maju terhadap produk pertanian, tekstil, dan pakaian dari negara-negara berkembang. • Perkiraan dukungan sector agrikultur untuk negaranegara anggota OECD merupakan prosentase domestic bruto. • Proporsi ODA untuk membantu peningkatan kapasitas dalam Perdagangan. Pengelolaan utang yang berkelanjutan (debt Sustainability) • Pengurangan Beban utang yang disepakati sesuai dengan inisiatif pengurangan utang bagi negara termiskin dengan beban utang yang berat • Komitmen pegurangan merupakan inisiatif negara-negara paling miskin dengan beban utang yang berat • Pembayaran utang merupakan prosentase dari eksport barang dan jasa
Target 16: Dalam kerjasama dengan negara maju, • mengembangkan dan melaksanakan strategi produktif yang baik, dijalankan untuk kaum muda
Angka pengangguran kaum muda usia 15-24 tahun, berdasarkan jenis kelamin dan jumlah.
Target 17: Dalam kerjasama dengan perusahaan farmasi, menyediakan akses pengobatan dasar yang terjangkau di negara-negara berkembang.
•
Angka pengangguran kaum muda usia 15-24 tahun, berdasarkan jenis kelamin dan jumlah.
Target 18: Dalam kerjasama dengan pihak swasta, membangun adanya penyerapan keuntungan dari teknologiteknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi.
•
Sambungan telephone dan cellular yang dijangkau orang per 100 penduduk Pengguna komputer secara individu per 100 penduduk.
•
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
37
Sejalan dengan MDG’s, Deklarasi Dunia yang Layak bagi Anak ( World Fit For Children) juga seharusnya menjadi acuan bagi Pemerintah dalam mengalokasikan anggaran publik. Bagian III, Paragraf 14 mendefisinikan Dunia yang Layak bagi Anak adalah dunia di mana semua anak mendapatkan awal kehidupan yang sebaik mungkin dan mempunyai akses terhadap pendidikan dasar yang bermutu, termasuk pendidikan dasar yang bersifat wajib dan tersedia tanpa bayaran bagi semua. Untuk membangun dunia yang layak bagi anak diperlukan komitmen Pemerintah untuk merealisasikan prinsip-prinsip dan tujuan deklarasi tersebut, yakni : (1) dahulukan kepentingan anak; (2) pemberantasan kemiskinan; (3) jangan sampai seorang anakpun tertinggal; (4) perawatan bagi setiap anak; (5) pendidikan bagi setiap anak.119
1.1. e.
Memahami Lingkungan Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Mengupayakan suatu perubahan kebijakan publik stricto sensu anggaran publik, diperlukan pemahaman secara holistik tentang lingkungan advokasi. Lingkungan advokasi adalah konteks politik dan sosio-ekonomi spesifik yang melatarbelakangi advokasi. Dalam lingkungan advokasi terdapat para pemain, proses advokasi, dan produk advokasi. Pemain advokasi dapat dikategorisasi sebagai negara, masyarakat sipil, dan pemain-pemain pasar. Posisi advokasi berada di persimpangan antara negara, pasar, dan masyarakat sipil. Oleh karenanya dalam melakukan advokasi, diperlukan pemahaman yang jelas mengenai peranan dan interaksi antar negara120, pasar121, dan masyarakat sipil.122 Ukuran, kekuatan dan kekuasaan relatif masing-masing sektor tersebut yang dapat mempengaruhi pola relasi yang terjalin. Institusi masyarakat sipil berkaitan dengan ungkapan dan perlindungan inti nilai-nilai kemanusiaan, ideologisasi, dan keberpihakan pada kepentingan masyarakat melalui proses fasilitasi dan pengorganisasian, termasuk di dalamnya memajukan nilai-nilai bersama, kepentingan komunitas, dan warga negara. Pasar menimbulkan kegiatan ekonomi dan kekayaan material. Oleh karenanya, pasar dianggap mesin 119 Lihat Bagian I Paragraf 7, Deklarasi Dunia yang Layak bagi Anak, dalam Buku : Dunia yang Layak bagi Anak-Anak, UNICEF 120 Negara adalah orang-orang yang memiliki posisi atau wewenang politik formal di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif baik di level nasional maupun level lokal. Lihat Sheila Espine-Villaluz, op. cit., hal. 37 121 Pasar adalah orang-orang yang berkecimpung dalam pertukaran barang dan jasa, dan termasuk pula asosiasi-asosiasi pengusaha, bankir, pedagang, pemodal, dan lain-lain. Lihat Sheila Espine-Villaluz, Manual Advokasi Kebijakan Strategis, ibid 122 Masyarakat sipil adalah individu-individu atau kelompok-kelompok yang memperjuangkan kepentingan dan masakah sektoral, yang tergabung ke dalam kelompok-kelompok organisasi non pemerintah, partai poltik, organisasi kemasyarakatan, serikat pekerja, gerakan agama, paguyuban, dan sejenisnya. Sheila ������������������������ Espine-Villaluz, Manual Advokasi Kebijakan Strategis ibid.
38
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
ekonomi masyarakat. Berbeda dengan fokus masyarakat sipil yakni pada kelompok warga negara, ekonomi pasar cenderung memperlakukan orang secara individual. Bekerjanya pasar cenderung pada peluang ekonomi dan kemakmuran, tetapi dapat pula menimbulkan ketidakmerataan, ketidakadilan, pelanggaran HAM, dan masalah lingkungan. Sedangkan negara menentukan dan menegakan aturan untuk menata masyarakat. Oleh karena negara dianggap merepresentasikan wilayah publik maka kewenangannya tersebut menyentuh kehidupan semua warga negara. Wilayah ini merupakan wilayah politik, tempat di mana kebijakan publik dirumuskan, pemenuhan HAM setiap warga Negara direncanakan, dan pendistribusian sumber daya Negara dirancang. Tetapi dalam banyak situasi, kebijakan publik hanya dikuasai oleh elit politik, militer, pelaku ekonomi atau elit lain. Jaringan antar elit tersebut menyingkirkan sebagain besar masyarakat untuk berpartisipasi. Kalau kekuasaan ini tidak dibatasi oleh sektor lain, kekuasaan negara dan elit penguasa dapat menjadi makin korup, tidak tanggap, dan repersif.123 Dalam konteks advokasi, pola relasi para pelaku pada lingkungan makro ekonomi, politik, dan sosial dapat tergambarkan di bawah ini.
Masyarakat Sipil
Negara
Pasar
Upaya advokasi terjadi diperpotongan jalinan relasional antar ketiga sektor, dimana masyarakat sipil bertindak dari wilayah sipil menuju wilayah publik dengan mandat dari masyarakat. Advokasi merupakan upaya untuk mencegah dan menentang dominasi sektor negara dan sektor pasar yang dilekati kuasa. Negara yang mendapatkan kewenangan baik secara atributif maupun delegatif cenderung sewenang-wenang. Sedangkan pasar yang memiliki kekuatan finansial mampu melakukan intervensi kepada Negara agar memfasilitasi kepentingan ekonomisnya. Upaya advokasi merupakan klaim daulat rakyat agar kebijakan negara tertuju bagi kepentingan rakyat dan membatasi kekuatan pasar. 124 Dalam perspektif yang sebangun, dalam konteks peta politik daerah, John Price Gaventa seorang peneliti dari Institute of Development Studies Brightson memaparkan bahwa perubahan sosial sebuah masyarakat dapat dipahami melalui analisis kekuasaan (power). Power sangat berkaitan dengan partisipasi, advokasi, dan 123 Valerie Miller dan Jane, op. cit. hal. 29 - 32 124 Valerie Miller dan Jane, ibid
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
39
demokrasi. Terdapat 3 (tiga) jenis power yang harus diungkap untuk melihat bagaimana peta politik suatu daerah, yaitu visible, hidden, dan invisible. Invisible dan hidden power adalah 2 (dua) jenis power yang sama-sama tidak terlihat tetapi dapat dirasakan pengaruhnya dalam kehidupan. Oleh karena keberadaannya tidak terlihat, kedua jenis power ini menjadi lebih penting dibandingkan dengan visible power. Sementara itu, visible power merupakan jenis power yang dapat terlihat sebagai kekuasaan di atas kertas. Jadi power jenis ini mudah dipetakan karena merupakan power yang melekat pada institusi-institusi formal. Namun dalam kenyataannya, power jenis ini kerap tidak memiliki power yang sesungguhnya.125 Invisible power atau kekuasaan yang tersembunyi adalah jenis power yang membentuk dan menentukan makna, nilai, dan apa yang diasumsikan sebagai sesuatu yang normal. Power seperti ini dapat dikenali dari sosialisasi dan kontrol informasi. Pada akhirnya proses, praktek, kebiasaan, dan norma budaya ini membentuk pemahaman orang terhadap kebutuhan, peran, kemungkinan, dan tindakannya. Perasaan-perasaan yang menghinggapi kelompok-kelompok marginal seperti subordinasi, apatis, menyalahkan diri sendiri, tidak berdaya, atau marah merupakan bukti adanya invisible power. Beberapa strategi yang bisa digunakan untuk menyikapi masalah-masalah yang diakibatkan oleh invisible power ini adalah pendidikan bagi warga, kolaborasi, analisis dan kesadaran politik, dan penggunaan media alternatif.126 Hidden power atau kekuasaan yang tidak terlihat dapat berupa seperangkat aturan dan agenda yang dapat mempengaruhi suatu keputusan secara signifikan. Misalnya kelompok-kelompok elit dapat mempengaruhi perubahan kebijakan padahal kepentingannya sama sekali tidak mewakili kepentingan masyarakat. Untuk menyikapi power seperti ini, strategi yang harus disiapkan adalah membangun konstituen yang aktif, memperkuat akuntabilitas organisasi, koalisi, dan gerakan sosial. 127 Visible power atau kekuasaan yang terlihat adalah jenis power yang dapat membuat dan memperkuat aturan-aturan. Power seperti ini biasanya terdapat pada institusi-instituri formal seperti presiden, anggota parlemen, para menteri, kejaksaan, Bank Dunia, Kadin, IMF, Polisi, TNI, dan sebagainya. Contoh dari visible power yang harus dipetakan dari kerangka kerja advokasi misalnya bias hukum atau kebijakan seperti kebijakan kesehatan yang tidak bisa menjawab masalah-masalah yang dihadapi anak-anak miskin. Strategi yang bisa dibangun untuk menanggapi power seperti ini adalah lobi/monitoring, negosiasi dan litigasi, media dan pendidikan publik, penelitian kebijakan, inovasi model, kolaborasi, dan sebagainya.128 Dengan demikian lembaga-lembaga yang sedang melakukan kerja-kerja advokasi dan ingin meningkatkan partisipasi politik masyarakat harus dapat memetakan visible, hidden, dan invisible power di arena kerjanya. Seruan ini juga mungkin bisa ditujukan kepada elemen-elemen masyarakat dan warga yang ingin meningkatkan partisipasinya baik dalam perubahan sosial maupun dalam perubahan politik. Selain itu sukses sebuah advokasi bukan hanya dilihat dari perubahan kebijakan tetapi yang lebih penting adanya perubahan relasi kekuasaan yaitu makin dalam dan kuatnya kekuasaan rakyat.129 Untuk itu pemahaman relasi kekuasaan antar pelaku yang bisa mempengaruhi politik anggaran publik di daerah dapat digambarkan di bawah ini.130 125 126 127 128 129 130
BIGS, Meningkatkan Impak Politik dari Sebuah Advokasi, www.bigs.or.id BIGS, Meningkatkan Impak Politik dari Sebuah Advokasi,����� ibid BIGS, Meningkatkan Impak Politik dari Sebuah Advokasi������ , ibid BIGS, ibid BIGS ibid Ahmad Helmi Fuady, op. cit. 94
40
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Negara
Masyarakat sipil
(Legislatif dan eksekutif)
APBD
(Akuntabilitas, partisipasi, dan transparansi)
Institusi Global
Lembaga keuangan dan hukum multilateral : WB.IMF,WTO
Pasar
Penguasaha Korporasi Multinasional Institusi finansial
Relasi saling pengaruh mempengaruhi antar aktor-aktor fungsional di atas, pada akhirnya yang menentukan pilihan kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah daerah. Akibatnya prioritas-prioritas dan besaran-besaran anggaran ditentukan pula dari hasil interaksi relasi tersebut. Apakah kepentingan anak menjadi prioritas, apakah subsidi akan dikurangi, apakah akan ada pembangunan rumah murah, puskesmas, semuanya ditetapkan dalam anggaran menurut pola relasi yang terjadi.
41
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
BAB II
DASAR HUKUM ALOKASI ANGGARAN
Kebijakan alokasi anggaran publik berada pada locus kewenangan /otoritas negara. Dengan demikian alokasi anggaran merupakan pengejawantahan kewajiban negara untuk memenuhi HAM warga negaranya. Dalam titik ini terdapat 3 (tiga) komponen dari sistem HAM untuk menganilisis politik kebijakan anggaran publik, yakni : 131 Pertama, semua kategori HAM didasarkan pada ketentuan standar dasar yang menjamin kehidupan manusia. Di sisi lain secara legitimasi seluruh anggota komunitas memiliki hak untuk mengajukan tuntutan kepada negara untuk memenuhi hak-haknya. Kedua, permasalahan HAM mempertautkan relasi antara individu/kelompok dengan negara. HAM memberikan legitimasi kepada setiap orang untuk menuntut negara yang melalaikan kewajibannya. Ketiga, HAM mempunyai dimensi hukum dan mekanisme lain bagi korban pelanggaran HAM untuk menuntut negara agar melaksanakan kewajibannya. Dalam konteks hukum positif Indonesia, konstitusi Republik Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis mengelaborasi ketentuan konstitusi akan memperkuat jaminan HAM warga negara, apabila (i) berkesesuaian dengan norma-norma dan prinsip-prinsip yang menjadi substansi instrumen hukum HAM internasional;132 dan (ii) ketentuan tersebut diimplementasikan untuk memenuhi HAM warga negara. Oleh karena itu, secara yuridis negara harus memenuhi HAM warga negara karena jaminan yuridis tersebut melalui intervensi aktif negara133 yang terefleksikan dan terformulasikan ke dalam politik kebijakan anggaran publik. 131 Rolf Kunnemann dan Sandra Epal-Ratjen, The Right to Food : A Resource Manual for NGO’S, HURIDOCS, 2004, hal. 23 – 24 132 Komentar Umum No. 5 (2003) tentang Tindakan-Tindakan Umum untuk Mengimplementasikan KHA (CRC Committee), Bagian IV Tindakan Legislatif menyatakan bahwa Negara berkewajiban untuk memastikan bahwa ketentuan-ketentaun KHA diatur dalam sistem hukum domestik untuk memberikan landasan hukum hak-hak yang dijamin dalam KHA. Pengaturan ��������������������������������������������������� tambahan yang bersifat sektoral seperti kesehatan, pendidikan, tetap konsisten dengan ketentuan KHA 133 Lihat UU Nomor 39 Tahun 1999, Pasal 7 aya (2) tentang HAM menyatakan bahwa, ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional
42
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Anak dalam diskursus HAM merupakan kelompok rentan dimana peran aktif negara dibutuhkan untuk memenuhi hak-haknya. Untuk itu alokasi anggaran yang khusus ditujukan dan diprioritaskan kepada kepentingan anak sebagai penerima manfaat menjadi krusial untuk dilakukan. Pasal 4 KHA secara expressive verbis mengamanatkan negara untuk mengambil langkah untuk memenuhi hak-hak anak.134 Dalam hal pemenuhan hak-hak ekonomi dan sosial budaya khususnya yang bersifat mendasar, pada dasarnya tidak boleh dihalangi oleh keterbatasan finansial dan sumber daya Negara. Ini berarti bahwa betapa pun terbatasnya kemampuan finansial Negara, pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya anak yang meliputi hak-hak atas pendidikan, kesehatan, dan pemukiman tidak dapat di tunda. Hal ini ditegaskan kembali dalam Komentar Umum Komite Hak Anak (General Comment CRC) No. 5 yang menegaskan bahwa Pasal 4 KHA mengharuskan Negara mengambil langkah-langkah legislatif, administratif dan semua upaya untuk penghargaan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. Dalam konteks advokasi anggaran publik berbasis hak anak penggunaan ketentuan hukum nasional semestinya tetap diperkuat dengan ketentuan Hukum HAM Internasional karena: (i) beberapa ketentuan hukum nasional masih belum sesuai dengan rujukan instrumen Hukum HAM internasional; dan/atau (ii) ketentuan hukum nasional menimbulkan interpretatif yang berbeda-beda (kabur). Kedua kondisi ini merupakan reduksi substansi universalitas HAM. Reduksi universalitas nilai-nilai HAM tersebut biasanya diawali pada saat Negara meratifikasi suatu instrumen Hukum HAM Internasional, yakni melalui reservasi. Proses reduksi ini terus berlanjut manakala instrumen Hukum HAM Internasional diimplementasikan ke dalam ranah hukum domestik. Pertentangan perspektif universalitas dan perspektif partikularitas menjadi faktor signifikan mereduksi substansi instrumen Hukum HAM Internasional. Undang-undang yang semestinya mengelaborasi dan memperkuat instrumen Hukum HAM Internasional, materi muatannya justru merefleksikan kompromi politik partai politik yang membawa politik identitas. Pada posisi demikian, instrumen Hukum HAM Internasional tetap penting dijadikan sebagai kerangka hukum (legal frame work) dalam melakukan advokasi anggaran publik berbasis pemenuhan hak asasi anak. Di bawah ini beberapa cara mempergunakan pertautan antara ketentuan hukum nasional dan ketentuan Hukum HAM Internasional untuk advokasi anggaran berbasis hak anak.135
134 Lihat pula Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Pasal 2 (1) 135 Fundar, Dignity Counts, op. cit, hal
43
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Apakah Konstitusi dan peraturan perundang-undangan telah sejalan dengan ketentuan hukum HAM regional dan internasional
Bandingkan ketentuan hukum nasional dengan ketentuan Hukum HAM Regional dan Internasional
Jika ketentuan HAM dalam Konstitusi dan Peraturan PerundangUndangan telah kuat dan jelas maka dapat dipergunakan untuk melakukan advokasi
Jika Konstitusi dan peraturan perundang-undangan tidak memberikan perlindungan HAM
Merujuk pada ketentuan Hukum HAM Regional dan Internasional
Jika Hukum Nasional menjamin HAM tapi ketentuannya kabur
Menggunakan ketentuan Hukum HAM Regional dan Internasional sebagai standar untuk melakukan advokasi
Jika Konstitusi dan peraturan perundang-undangan lemah dalam menjaminan HAM
Menggunakan ketentuan Hukum HAM Regional dan Internasional untuk memperkuat upaya advokasi
Kendatipun, kewajiban hukum yang berasal dari ketentuan hukum nasional dapat dijadikan sandaran hukum untuk mengadvokasi anggaran publik berbasis hak anak, namun analitis kritis tetap dikedepankan untuk melihat kesesuaian substansi hukum nasional dengan instrumen perjanjian internasional yang menjadi acuannya. Kewajiban negara berdasarkan hukum nasional untuk mengalokasikan anggaran publik bagi kepentingan anak dapat identifikasi sebagai berikut.
44
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
2.1. Dasar Yuridis Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak Advokasi anggaran berbasis hak anak bertujuan merealisasikan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya anak sebagaimana telah dijamin dalam KHA melalui anggaran publik. Untuk mencapai tujuan ini maka dibutuhkan analisis kebijakan publik terhadap peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum Indonesia sehingga terpetakan dasar hukum upaya advokasi tersebut. Dalam perspektif pendekatan HAM (rights based approach) terdapat : (i) pihak yang bertanggung jawab untuk memenuhi hak asasi anak; dan (ii) pihak yang yang dilekati hak. Pihak yang disebut pertama, terdiri dari: (i) masyarakat sipil; (ii) korporasi; dan (iii) negara. Masing-masing pelaku ini mempunyai tanggung jawab yang sama namun dengan beban tanggung jawab yang berbeda. Berdasarkan KHA negaralah yang diberikan mandat utama bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajibannya memenuhi hak anak. Kemudian diikuti oleh korporasi yang kini semestinya juga bertanggung jawab untuk melindungi hak anak karena dalam menjalankan usahanya berpotensi turut berkontribusi dalam pelanggaran hak asasi anak. Sedangkan masyarakat sipil bertanggung jawab sekaligus sebagai pihak yang memiliki kewajiban moral dan hukum untuk mendukung upaya anak-anak menuntut hak-haknya. Pihak yang kedua, adalah kelompok anak sebagai subyek hukum yang dilekati hak berdasarkan KHA sehingga anak-anak memiliki legalitas untuk menuntut Negara untuk memenuhi haknya (claim rights). Diagram di bawah ini menunjukkan pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk memenuhi hak asasi anak.136
136 Save the Children Alliance, Child Rights Programming: How to Apply Rights-Based Approaches to Programming, Lima, Save The Children, Second Edition, 2005, hal. 36
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
45
Berdasarkan uraian di atas maka, peraturan-peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sandaran hukum bagi upaya advokasi pada dasarnya dapat dikategorikan: (i) ketentuan yang mengatur jaminan hakhak sipil dan politik warga negara untuk menuntut hak-haknya; dan (ii) ketentuan yang mengatur jaminan bahwa hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang melekat pada setiap warga negara akan dipenuhi oleh Negara. Dengan kata lain, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang semestinya dipenuhi melalui anggaran publik diadvokasikan dengan menggunakan hak-hak sipil dan politik warga negara. Landasan yuridis upaya advokasi anggaran berbasis hak anak dalam sistem hukum Indonesia dapat diklasifikasikan seperti pada tabel berikut.