KETAHANAN PANGAN DI KAWASAN TIMUR INDONESIA
TRIANA RACHMANINGSIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ketahanan Pangan di Kawasan Timur Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Triana Rachmaningsih NRP: H151104474
ABSTRACT
TRIANA RACHMANINGSIH. Food Security in Eastern Indonesia. Under direction of DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO and MUHAMMAD FIRDAUS. This study aims at analyzing the dynamics of food security and the factors that influence food security in Eastern Indonesia. Food security levels for household are grouped into four, namely food secure, vulnerable, questionable and food insecure. The methodology used is panel data tobit model of 190 districts/cities in the Eastern Indonesia from 2008 to 2010. Results of the research showed that overall consumption of calories and protein in the KTI is below the standard limit of nutritional adequacy. The shares of food expenditures of the eastern Indonesia population are greater than for non-food expenditures. Based on the classification of the food security degree, the majority of households in KTI are including the vulnerable category. Food security is affected by percentage of poor people, GRDP per capita, female illiteracy and average of school. Food availability does not guarantee an increasing in the food security degree in the Eastern Indonesia, but food security is also determined by the accessibility and utilization of food. Education has the highest contribution in improving food security in the KTI. It is seen from the value of the elasticity of average of school the most high. Keywords: food security, Eastern Indonesia, tobit panel data
RINGKASAN
TRIANA RACHMANINGSIH. Ketahanan Pangan di Kawasan Timur Indonesia. Dibimbing oleh DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO dan MUHAMMAD FIRDAUS. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi individu dan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (UU No.7 Tahun 1996). Dalam perspektif sistem ekonomi pangan, ketahanan pangan memiliki tiga pilar utama yaitu ketersediaan pangan (food availability), akses pangan (food accessibility), dan pemanfaatan pangan (food utilization). Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2009 yang diluncurkan oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP) menetapkan bahwa terdapat 100 kabupaten paling rentan terhadap kerawanan pangan. Dari 100 kabupaten yang paling rentan tersebut, 80 kabupaten di antaranya berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Berdasarkan data rasio konsumsi normatif terhadap produksi pangan serealia per kapita, terlihat bahwa dari 80 kabupaten rentan rawan pangan di KTI, ada 62,5 persen (50 kabupaten) di antaranya dikategorikan sebagai daerah surplus pangan. Hal ini menunjukkan suatu kontradiksi karena daerah yang dikategorikan rentan terhadap kerawanan pangan ternyata surplus pangan. Dengan kata lain, swasembada pangan di Kawasan Timur Indonesia belum disertai dengan pemenuhan dimensi-dimensi lain untuk mencapai ketahanan pangan yaitu akses dan pemanfaatan pangan. Pada dasarnya, Kawasan Timur Indonesia sangat berpotensi menjadi kekuatan ekonomi karena menyimpan berbagai keunggulan untuk diberdayakan antara lain sumber daya alam yang melimpah. Namun, sumber daya manusia yang tersedia di kawasan ini sangat terbatas, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sumber daya alamnya sangat berpotensi tetapi pengolahannya masih sangat minim atau belum optimal. Keberhasilan membangun KTI akan menciptakan kesejahteraan tidak hanya di KTI saja tetapi juga bagi seluruh bangsa, karena potensi ekonomi di kawasan tersebut terutama di sektor pertanian luar biasa besarnya. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika dan situasi ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia serta faktorfaktor yang memengaruhi ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia. Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi, yang dihitung berdasarkan besar kalori dan protein yang dikonsumsi. Besarnya konsumsi kalori dan protein dihitung dengan mengalikan kuantitas setiap makanan yang dikonsumsi dengan besarnya kandungan kalori dan protein setiap jenis makanan, kemudian hasilnya dijumlahkan. Angka kecukupan konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) menetapkan patokan kecukupan konsumsi kalori dan protein per kapita per hari masing-masing 2000 kkal dan 52 gram protein. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) antara lain data Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) Panel 2008-2010, produksi tanaman pangan, kemiskinan, PDRB, panjang jalan, angka harapan hidup, angka melek huruf dan data pendukung lainnya. Dalam penelitian ini, tanaman pangan meliputi tujuh komoditas yaitu padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, dan kacang kedelai. Data yang dikumpulkan merupakan data panel yaitu gabungan antara data time series 3 tahun (2008-2010) dan data cross section 190 kabupaten/kota di KTI. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan dengan metode regresi model tobit data panel. Analisis deskriptif dilakukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Jumlah rumah tangga sampel Susenas Panel di KTI tahun 2008 sebesar 19.002 rumah tangga, tahun 2008 sebesar 19.137, dan pada tahun 2010 sebesar 18.966 rumah tangga. Penghitungan ketahanan pangan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua indikator yaitu ketercukupan kalori yang dikonsumsi dan besarnya pangsa pengeluaran pangan. Berdasarkan hasil analisis dapat ditunjukkan bahwa dinamika ketahanan pangan di KTI dari tahun 2008 sampai dengan 2010 berfluktuasi terutama untuk daerah perkotaan. Tahun 2009, persentase rumah tangga tahan pangan di perkotaan merosot tajam dan kembali meningkat pada tahun 2010. Berdasarkan penghitungan derajat ketahanan pangan, didapatkan bahwa pada tahun 2008-2010 sebagian besar rumah tangga di KTI terutama di perdesaan termasuk ke dalam kategori rentan terhadap rawan pangan. Ketahanan pangan dipengaruhi secara signifikan oleh persentase penduduk miskin, PDRB per kapita, persentase perempuan buta huruf dan rata-rata lama sekolah. Peubah rata-rata lama sekolah sebagai proksi pemanfaatan pangan memiliki nilai elastisitas tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dan pengetahuan dalam pemanfaatan pangan memiliki pengaruh terbesar terhadap ketahanan pangan di KTI. Terkait dengan itu maka pendidikan hendaknya menjadi prioritas utama dalam meningkatkan ketahanan pangan di KTI. Rata-rata lama sekolah penduduk di KTI baru berkisar sebesar 7,25 tahun, sehingga program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun perlu mendapatkan prioritas kebijakan di KTI. Kata kunci: ketahanan pangan, Kawasan Timur Indonesia, model tobit data panel
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KETAHANAN PANGAN DI KAWASAN TIMUR INDONESIA
TRIANA RACHMANINGSIH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Nunung Kusnadi, M.S.
Judul Penelitian Nama NRP Program Studi
: Ketahanan Pangan di Kawasan Timur Indonesia : Triana Rachmaningsih : H151104474 : Ilmu Ekonomi
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. D.S. Priyarsono, M.S. Ketua
Muhammad Firdaus, S.P., M.Si., Ph.D. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 1 Agustus 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Ketahanan Pangan di Kawasan Timur Indonesia. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moral dan material kepada penulis, khususnya kepada: 1. Kepala BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. 2. Dr. Ir. D.S Priyarsono, M.S. dan Muhammad Firdaus, S.P., M.Si., Ph.D. selaku komisi pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat. 3. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, M.S. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi dan Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr. selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. 4. Teman-teman di Direktorat Diseminasi Statistik, khususnya Subdit Rujukan Statistik atas dukungannya dalam bentuk data, saran, dan masukan yang sangat membangun. 5. Ibu, bapak, dan keluarga besar di Klaten atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. 6. Suamiku tercinta dan anakku tersayang, serta janin dalam kandunganku atas segala pengertian dan kesabarannya selama ini. Kalian adalah motivator terbesarku dalam menyelesaikan penelitian ini. 7. Teman-teman seperjuangan tugas belajar BPS IPB batch 3 khususnya Nurina, Mbak Beta, dan Mbak Fitri atas segala saran dan masukannya. 8. Rekan-rekan kantor lainnya khususnya Mbak Ida (layanan), Mbak Gustin (publikasi), Mbak Nday (perpustakaan), Mas Soni (harga pedesaan), Mbak Ipeh (BPS Kabupaten Bogor), dan Mbak Anna (pemetaan) atas bantuan data dan bimbingannya. Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2012
Triana Rachmaningsih
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Triana Rachmaningsih, dilahirkan di Klaten pada tanggal 15 Mei 1983 dari pasangan Samono dan Sri Lestari. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menikah dengan Joko Sarjito dan dikaruniai satu orang putri bernama Khansa Gaida Salsabila. Penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Tonggalan 1 Klaten pada tahun 1989 sampai dengan tahun 1995, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Klaten pada tahun 1995 sampai dengan tahun 1998, dan Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Klaten pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2001. Kemudian pada tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikan jenjang D4 di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta Jurusan Komputasi Statistik sampai dengan tahun 2005. Selanjutnya penulis bekerja di Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS RI) dan bertugas di Direktorat Diseminasi Statistik, Subdit Rujukan Statistik, hingga sekarang. Pada tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang S1 jurusan Matematika di Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta dan tamat pada tahun 2007. Kemudian tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor setelah sebelumnya mengikuti program alih jenjang pada perguruan tinggi yang sama. Program Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi FEM IPB ini merupakan kerja sama BPS dan IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................... xix DAFTAR TABEL ............................................................................................ xxi DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xxiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xxv I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah.................................................................................. 4 1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 9 1.4. Manfaat Penelitian.................................................................................. 10 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... 10 II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 11 2.1. Tinjauan Teori ......................................................................................................... 11 2.1.1. Ketahanan Pangan ....................................................................... 11 2.1.2. Kerawanan Pangan ...................................................................... 14 2.1.3. Pangsa Pengeluaran Pangan ........................................................ 15 2.1.4. Kerawanan Pangan dan Kemiskinan............................................ 16 2.1.5. Ketahanan Pangan dan Pertumbuhan Ekonomi............................ 18 2.1.6. Kawasan Timur Indonesia (KTI) ................................................. 19 2.2. Tinjauan Empiris .................................................................................... 20 2.3. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian......................................... 22 III. METODE PENELITIAN ............................................................................. 25 3.1. Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 25 3.2. Metode Analisis ..................................................................................... 26 3.2.1. Analisis Deskriptif ...................................................................... 26 3.2.2. Analisis Regresi Model Tobit Data Panel .................................... 28 3.3. Spesifikasi Model ................................................................................... 32 3.4. Perangkat Lunak (Software) ................................................................... 35 IV. SITUASI DAN DINAMIKA KETAHANAN PANGAN DI KAWASAN TIMUR INDONESIA ............................................................................... 37
xix
4.1. Kondisi Kecukupan Kalori dan Protein ........................................................ 37 4.2. Ketersediaan Pangan (Food Availability) .................................................... 39 4.3. Akses Pangan (Food Accessibility)............................................................... 41 4.4. Pemanfaatan Pangan (Food Utilization) ...................................................... 44 4.5. Pola Konsumsi Rumah Tangga ...................................................................... 46 4.6. Pola Pengeluaran Kawasan Timur Indonesia .............................................. 49 4.7. Derajat Ketahanan Pangan di Kawasan Timur Indonesia ........................ 50 V.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KETAHANAN PANGAN DI KTI................................................................................... 59
5.1. Pemilihan Model Terbaik ........................................................................ 59 5.2. Hasil Estimasi ......................................................................................... 60 VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 67 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 71 LAMPIRAN ...................................................................................................... 69
xx
DAFTAR TABEL Halaman 1
Rasio Produksi terhadap Konsumsi Beras Beberapa Negara ASEAN (Persen) ...................................................................................................... 2
2
Produksi dan Impor Beras di Indonesia Tahun 2000-2010 .......................... 3
3
Jumlah Kabupaten Paling Rentan terhadap Kerawanan Pangan ................... 7
4
Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2010 (Persen) ...................................................................................................... 9
5
Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga ............................................... 27
6
Produksi Padi per Kapita Provinsi di KTI Tahun 2002-2010 (Ton) ........... 40
7
Rasio Panjang Jalan Baik dan Sedang terhadap Luas Wilayah (km/km2) .. 43
8
Persentase Rumah Tangga Penerima Raskin di KTI Tahun 2008-2010 (Persen) .................................................................................................... 44
9
Persentase Perempuan Buta Huruf di KTI Tahun 2008-2010 (Persen)....... 45
10
Rata-rata Konsumsi Kalori per Kapita Sehari Menurut Kelompok Makanan dan Klasifikasi Desa di KTI Tahun 2008-2010 (Kkal) .............................. 47
11
Persentase Rumah Tangga yang Mengkonsumsi Beberapa Komoditas Pangan di KTI Tahun 2008-2010 (Persen) ................................................ 48
12
Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita Sehari Menurut Kelompok Makanan dan Klasifikasi Desa di KTI Tahun 2008-2010 (Gram) ............................. 49
13
Rata-rata Pangsa Pengeluaran per Kapita untuk Makanan dan Bukan Makanan di KTI ....................................................................................... 50
14
Derajat Ketahanan Pangan (Persen) .......................................................... 51
15
Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketahanan Pangan di KTI........................................................................................................... 64
xxi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Persentase Kabupaten Rentan Pangan Menurut Ketersediaan Serealia di KTI Tahun 2009................................................................................................. 8
2
Pilar Ketahanan Pangan. ........................................................................... 13
3
Kurva Engel untuk Kebutuhan Pokok. ...................................................... 16
4
Kerangka Pemikiran. ................................................................................ 23
5
Rata-rata Konsumsi Kalori per Kapita Sehari Menurut Provinsi di KTI Tahun 2008-2010 (Kkal)........................................................................... 37
6
Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita Sehari Menurut Provinsi di KTI Tahun 2008-2010 (Gram). ........................................................................ 38
7
Produksi Tanaman Pangan di KTI Tahun 1993-2010. ............................... 39
8
Pertumbuhan Produksi Pangan di KTI Tahun 1994-2010. ......................... 41
9
Peta Klasifikasi Ketahanan Pangan Tahun 2008-2010. .............................. 55
10
Peta Persentase Rumah Tangga Tahan Pangan di KTI Tahun 2008-2010. . 57
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Rata-rata Konsumsi Kalori dan Protein per Kapita Sehari Menurut Provinsi di KTI Tahun 2008-2010 (kkal) ................................................................ 77
2
Produksi Pangan di KTI Tahun 2008-2010 (Ton)...................................... 78
3
Persentase Rumah Tangga berdasarkan Konsumsi Kelompok Makanan di KTI........................................................................................................... 80
4
Persentase Rumah Tangga Menurut Derajat Ketahanan Pangan di KTI Tahun 2008-2010...................................................................................... 81
5
Daftar 100 Kabupaten Paling Rentan terhadap Kerawanan Pangan di Indonesia Tahun 2009 ............................................................................... 83
6
Persentase Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Kabupaten di KTI Tahun 2008............................................................................................... 85
7
Persentase Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Kabupaten/Kota di KTI Tahun 2009 ....................................................................................... 89
8
Persentase Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Kabupaten di KTI Tahun 2010............................................................................................... 93
9
Dinamika Ketahanan Pangan 2008 dibandingkan 2010 ............................. 97
10
Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketahanan Pangan di KTI . ................................................................................................................. 99
xxv
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan pokok yang harus tersedia setiap saat, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas, keamanan, gizi, dan keterjangkauan oleh daya beli masyarakat. Kekurangan pangan tidak hanya dapat menimbulkan dampak ekonomi tetapi juga dapat mengancam keamanan sosial. Oleh karena itu, pemenuhannya menjadi salah satu hak asasi yang harus dipenuhi secara bersamasama oleh negara dan masyarakat. Sebagaimana tujuan pertama Millennium Development Goals (MDGs) yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan yang ekstrem, dimana ditargetkan pada tahun 2015 tingkat kemiskinan dan tingkat kelaparan
berkurang
hingga
setengah
dari
tingkat
yang
ada
ketika
penandatanganan kesepakatan tersebut bulan September 2000. Keberhasilan untuk memperkuat ketahanan pangan dan mengurangi jumlah penduduk miskin merupakan tantangan besar bagi pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan nasional. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi individu dan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (UU No.7 Tahun 1996). Bank Dunia dalam Hanani (2012) menyatakan bahwa ketahanan pangan yang ditujukan untuk perbaikan gizi merupakan suatu
investasi yang sangat
menguntungkan. Setidaknya ada tiga alasan suatu negara perlu melakukan ketahanan pangan. Pertama, memiliki economic return yang tinggi. Kedua, terbukti mendorong pertumbuhan ekonomi. Dan ketiga, membantu menurunkan tingkat kemiskinan melalui perbaikan produktivitas kerja, pengurangan lamanya sakit, dan pengurangan biaya pengobatan. Pertanian merupakan sektor ekonomi yang strategis dalam memperkuat sektor pembangunan. Sebagai negara berkembang, agraris, dan berpenduduk besar, seperti Indonesia ini, sektor pertanian tidak dapat tergantikan atau diambil alih perannya oleh sektor-sektor lainnya. Sektor ini berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan mempekerjakan sebagian besar angkatan kerja. Hal ini terlihat dari data PDB BPS yang menunjukkan bahwa pada tahun
2 2010 sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar kedua setelah sektor industri pengolahan yaitu sebesar 15,34 persen. Sedangkan data ketenagakerjaan menunjukkan bahwa pada kondisi Agustus 2010, persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian merupakan yang tertinggi dibandingkan sektor yang lain yaitu sebesar 38,35 persen. Keterpurukan pada sektor pertanian, menyebabkan terganggunya stabilitas negara. Kekeliruan besar dalam mempertahankan swasembada pangan disebabkan oleh kegagalan dalam melihat bahwa telah terjadi perubahan besar dalam tata hubungan ekonomi industri dunia, dan gagal memahami perlunya revolusi hijau gelombang kedua yaitu usaha dalam memperkenalkan manajemen dalam produksi pangan dan memandang bahwa sektor pertanian bukan sebagai industri rumah tangga namun sebagai industri modern (Sumodiningrat, 2000). Salah satu komoditi pangan yang utama adalah beras. Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar negara-negara di ASEAN dapat memenuhi kebutuhan beras dalam negerinya yang ditunjukkan dengan nilai rasio diatas 100 persen, termasuk salah satunya adalah Indonesia. Brunei Darussalam memiliki nilai rasio produksi terhadap konsumsi beras yang sangat kecil sehingga negara tersebut melakukan impor beras sangat tinggi, sebagaimana data FAO menyebutkan rasio impor terhadap konsumsi beras di Brunei Darussalam sebesar 118,2 persen pada periode 2006-2008. Tabel 1 Rasio Produksi terhadap Konsumsi Beras Beberapa Negara ASEAN (persen) Nama Negara 1990-1992 1995-1997 2000-2002 2006-2008 Brunei Darussalam 2,90 1,30 2,60 2,10 Kamboja 81,40 106,50 110,10 169,60 Indonesia 105,70 102,10 101,80 108,40 Laos 107,20 100,00 142,60 147,90 Malaysia 78,90 73,80 71,90 74,20 Philippina 104,70 97,70 93,80 87,70 Thailand 186,50 213,70 227,50 264,70 Vietnam 122,10 134,40 150,60 154,40 Sumber: FAOSTAT 2010 Pada tahun 2010 produksi beras Indonesia mencapai 38,78 juta ton dan digunakan untuk memberi makan 237,6 juta jiwa penduduk. Jika rata-rata konsumsi beras per kapita sebesar 113,48 kg maka beras yang dikonsumsi selama
3 setahun adalah sebesar 26,96 juta ton (113,48 kg dikalikan 237,6 juta). Selain itu, diperlukan sekitar 3,15 juta ton beras yang digunakan pada penyaluran raskin (program beras murah bagi rumah tangga miskin) untuk 17,5 juta rumah tangga yang dianggarkan masing-masing sebesar 15 kg per bulan per rumah tangga miskin. Cadangan beras nasional yang harus ada di BULOG adalah sebesar 1,5 juta ton. Dengan demikian, kebutuhan beras yang dibutuhkan sebesar 31,61 juta ton (26,96 juta ditambah 3,15 juta ditambah 1,5 juta). Tabel 2 Produksi dan Impor Beras di Indonesia Tahun 2000-2010 (Juta Ton) Tahun Produksi Padi Produksi Beras Impor Beras 2000 51.898 30.282 1.356 2001 50.460 29.442 645 2002 51.489 30.043 1.805 2003 52.137 30.421 1.428 2004 54.088 31.559 237 2005 54.151 31.596 190 2006 54.454 31.773 438 2007 57.157 33.350 1.407 2008 60.325 35.199 290 2009 64.398 37.575 250 2010 66.469 38.783 688 Sumber: BPS, Statistik Indonesia 2000-2010 Berdasarkan Tabel 2, produksi beras Indonesia tahun 2010 sebesar 38,78 juta ton. Nilai ini sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan beras sebesar 31,61 juta ton sehingga masih ada surplus sebesar 7,17 juta ton. Namun demikian, ternyata masih ada impor beras selama tahun 2010 sebesar 688 ribu ton sebagai antisipasi pemenuhan kebutuhan beras untuk operasi pasar pada musim paceklik dan musim harga beras tinggi di tingkat konsumen. Swasembada pangan nasional sebenarnya sudah terpenuhi, namun masih terdapat masalah distribusi pangan antardaerah yang berdampak pada aksesibilitas pangan yang tidak merata. Dengan demikian, persediaan pangan yang cukup secara nasional belum menjamin perwujudan ketahanan pangan pada tingkat wilayah (regional), rumah tangga atau individu. Beberapa daerah di Indonesia merupakan daerah yang defisit pangan. Wilayah Indonesia yang terdiri dari kepulauan dan dihubungkan dengan lautan yang cukup luas menimbulkan salah satu kendala dalam transportasi untuk pendistribusian beras dari daerah yang surplus ke daerah yang defisit. Pada
4 umumnya, daerah yang mengalami defisit beras adalah Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang relatif sulit dijangkau sehingga membutuhkan biaya yang besar. Oleh karena itu, perlu dibangun swasembada pangan di masing-masing daerah dalam KTI itu sendiri. Selain itu, Pulau Jawa dan Sumatera adalah produsen tanaman pangan terbesar di Indonesia. Kepadatan penduduk di kedua pulau ini semakin lama semakin tinggi, sehingga banyak lahan pertanian yang berubah menjadi lahan pemukiman dan industri. Oleh karena itu, perlu dikembangkan pembangunan pertanian di Kawasan Timur Indonesia. Pada dasarnya, Kawasan Timur Indonesia sangat berpotensi menjadi kekuatan ekonomi karena menyimpan berbagai keunggulan untuk diberdayakan antara lain sumber daya alam yang berlimpah. Namun, sumber daya manusia yang tersedia di kawasan ini sangat terbatas, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sumber daya alamnya sangat berpotensi tetapi pengolahannya masih sangat minim atau belum optimal. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud menganalisis ketahanan pangan regional di Kawasan Timur Indonesia. Pembangunan Kawasan Timur Indonesia masih diwarnai beberapa permasalahan umum seperti permasalahan pertanian tradisional dan subsistemnya, masih adanya kasus busung lapar yang diderita warga, tingginya angka kematian, kemiskinan dan keterisolasian, terbatasnya pasokan air minum, listrik, dan energi, masih terbatasnya sarana dan prasarana transportasi untuk memudahkan aksesibilitas, bencana alam, masih rendahnya kualitas hidup masyarakat, serta masih rawannya ancaman separatisme. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor yang menjadi penyebab pembangunan di Kawasan Timur Indonesia berjalan lambat karena masih minimnya sarana dan prasarana/infrastruktur dasar, sumber daya manusia yang rendah, serta industrialisasi yang belum berkembang.
1.2. Perumusan Masalah Ketahanan pangan terdiri dari tiga pilar utama yaitu ketersediaan, aksesibilitas, dan pemanfaatan. Pilar ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Pilar aksesibilitas berfungsi
5 mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan pilar pemanfaatan berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan, dan kehalalannya. Ketersediaan pangan melalui peningkatan produksi pangan dalam negeri dihadapkan pada masalah pokok yaitu semakin terbatas dan menurunnya kapasitas produksi. Jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan pertumbuhan penduduk yang positif menyebabkan permintaan pangan terus meningkat. Padahal ketersediaan sumber daya lahan semakin lama semakin berkurang, karena desakan peningkatan penduduk beserta aktivitas ekonominya menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian ke non pertanian, menurunnya kualitas dan kesuburan lahan akibat kerusakan lingkungan, semakin terbatas dan tidak pastinya penyediaan air untuk produksi akibat kerusakan hutan, rusaknya sekitar 30 persen prasarana pengairan, dan persaingan pemanfaatan sumber daya air dengan sektor industri dan pemukiman (Nainggolan dalam Purwaningsih, 2008). Artinya, ketersediaan pangan diperkirakan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan penduduk yang terus bertambah jika tidak ada perhatian khusus dari pemerintah. Permasalahan dalam distribusi pangan antara lain prasarana distribusi yang diperlukan untuk menjangkau seluruh wilayah konsumen belum memadai, sehingga wilayah terpencil masih mengalami keterbatasan pasokan pangan pada waktu-waktu tertentu. Keadaan ini menghambat aksesibilitas masyarakat terhadap pangan baik secara fisik maupun ekonomi, karena kelangkaan pasokan akan memicu kenaikan harga dan mengurangi daya beli masyarakat. Kelembagaan pemasaran belum mampu berperan, baik sebagai penyangga kestabilan distribusi maupun harga pangan. Pada masa panen, pasokan pangan berlimpah ke pasar sehingga menekan harga produk pertanian dan mengurangi keuntungan usaha tani. Sebaliknya pada masa paceklik atau masa dimana panen tidak berhasil, harga meningkat dengan tajam, sehingga mengurangi aksesibilitas masyarakat terhadap pangan. Bervariasinya kemampuan produksi antar wilayah dan antar musim menuntut kecermatan dalam mengelola sistem distribusi pangan, agar pangan
6 tersedia sepanjang waktu di seluruh wilayah konsumen. Keamanan jalur distribusi dan adanya pungutan liar mengakibatkan biaya distribusi tinggi pada berbagai produk pangan. Permasalahan mengenai konsumsi penduduk Indonesia adalah mengenai konsumsi yang sebagian besar dari padi-padian. Dengan demikian diperlukan diversifikasi konsumsi pangan untuk mengurangi ketergantungan konsumsi beras per kapita, serta mengembangkan industri dan bisnis pangan yang lebih beragam. Selain itu, konsumsi energi penduduk Indonesia masih lebih rendah dari yang direkomendasikan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) yaitu menetapkan patokan kecukupan konsumsi kalori dan protein per kapita per hari masing-masing 2000 kkal dan 52 gram protein. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2009 yang disusun oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP) menetapkan bahwa berdasarkan indeks ketahanan pangan komposit terdapat 100 kabupaten yang paling rentan terhadap kerawanan pangan. Indeks komposit ini menggunakan 13 indikator antara lain: 1) Rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan bersih padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar. 2) Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. 3) Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai. 4) Persentase rumah tangga tanpa akses listrik. 5) Angka harapan hidup pada saat lahir. 6) Berat badan balita di bawah standar. 7) Perempuan buta huruf. 8) Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih. 9) Persentase rumah tangga yang tinggal lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan. 10) Bencana alam. 11) Penyimpangan curah hujan. 12) Persentase daerah puso. 13) Deforestasi hutan. Berdasarkan penghitungan indeks komposit tersebut didapatkan bahwa Papua merupakan pulau dengan jumlah kabupaten rentan pangan terbesar yaitu 24 kabupaten, disusul kemudian Pulau Kalimantan sebanyak 21 kabupaten. Dari 100
7 kabupaten yang paling rentan tersebut, 80 kabupaten diantaranya berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Tabel 3 Jumlah Kabupaten Paling Rentan terhadap Kerawanan Pangan Pulau Jumlah Kabupaten Rentan Pangan KBI 20 - Sumatera 14 - Jawa 6 KTI 80 - Kalimantan 21 - Nusa Tenggara 18 - Maluku 7 - Sulawesi 10 - Papua 24 Sumber: DKP (diolah) Berdasarkan data rasio konsumsi normatif terhadap produksi pangan serealia per kapita tahun 2009 (Lampiran 6), terlihat bahwa dari 80 kabupaten rentan pangan di KTI, 50 kabupaten diantaranya memiliki nilai rasio konsumsi terhadap produksi kurang dari 1, artinya daerah tersebut surplus pangan untuk produksi serealia. Definisi dan perhitungan produksi serealia ini didasarkan pada data rata-rata produksi bersih padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar dihitung dengan menggunakan faktor konversi standar. Rata-rata produksi bersih ubi kayu dan ubi jalar dibagi dengan 3 (faktor konversi serealia) untuk mendapatkan nilai yang setara dengan serealia, kemudian dihitung total produksi serealia yang layak dikonsumsi. Konsumsi normatif serealia/hari/kapita adalah 300 gram/orang/hari dan selanjutnya dihitung rasio konsumsi normatif perkapita terhadap ketersediaan bersih serealia per kapita. Rasio lebih besar dari 1 menunjukkan daerah defisit pangan dan daerah dengan rasio lebih kecil dari 1 merupakan daerah surplus pangan untuk produksi serealia. Ketersediaan pangan di suatu daerah belum menjamin terciptanya ketahanan pangan di daerah tersebut. Gambaran di atas menunjukkan adanya kontradiksi karena beberapa daerah yang dikategorikan paling rentan pangan oleh DKP, 62,5 persen diantaranya adalah surplus pangan. Dengan kata lain, swasembada pangan di Kawasan Timur Indonesia belum disertai dengan dimensidimensi lain untuk mencapai ketahanan pangan antara lain akses dan pemanfaatan pangan.
8
30 kabupaten (37,50%) 50 kabupaten (62,50%)
defisit
surplus
Sumber: DKP (diolah)
Gambar 1 Persentase Kabupaten Rentan Pangan Menurut Ketersediaan Serealia di KTI Tahun 2009. Ketertinggalan pembangunan di salah satu kawasan berpotensi menjadi sumber masalah nasional yang jika tidak ditangani secara proporsional dapat menjadi sumber pemicu ketidakadilan yang dapat mengkristal menjadi ancaman disintegrasi bangsa. Kawasan Timur Indonesia adalah bagian integral dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memerlukan sentuhan, perhatian, dan keadilan dalam pembangunan. Keberhasilan membangun KTI akan menciptakan kesejahteraan tidak hanya di KTI tapi bagi seluruh bangsa, karena potensi ekonomi di kawasan tersebut terutama di sektor pertanian besar. Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi di KTI memiliki kontribusi sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan tertinggi dibandingkan sektor lainnya. Nuhung (2010) menyatakan bahwa Kawasan Timur Indonesia merupakan sleeping potential. Hal ini dikarenakan KTI memiliki sumber daya lahan, pertanian, perairan, fauna dan flora yang sangat bervariasi sehingga hampir semua jenis tumbuhan dan hewan dapat ditemukan di kawasan ini. Namun, potensi tersebut belum bahkan masih sangat sedikit dikembangkan sehingga kontribusi dalam pembangunan nasional masih jauh dari optimal. Oleh karena itu, perlu adanya terobosan yang didukung oleh kebijakan dan program pembangunan di semua sektor KTI.
9 Tabel 4 Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2010 (Persen) Provinsi
1 19,89 8,45 25,00 28,59 21,33 5,86 19,50 28,95 39,36 25,77 49,79 33,20 31,73 36,37 9,45 20,71
2 36,30 1,31 1,98 8,98 21,91 47,88 4,03 1,18 4,02 6,08 0,87 4,90 0,73 5,16 63,15 10,22
3 3,32 1,54 18,29 7,87 9,58 24,74 8,07 4,85 7,63 12,27 7,25 7,14 4,50 13,05 1,39 35,45
Lapangan Usaha*) 4 5 6 0,43 6,32 12,97 0,42 6,97 16,76 0,51 9,14 22,87 0,64 5,57 20,90 0,59 6,10 15,30 0,27 2,79 8,15 0,78 16,50 16,96 0,54 6,92 10,37 0,65 6,72 12,04 0,92 5,55 17,34 0,44 4,12 13,01 0,93 8,26 18,13 0,59 1,89 28,93 0,58 2,95 23,44 0,13 7,81 4,41 0,43 9,03 8,38
NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Keterangan: *) 1. Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan 2. Pertambangan dan penggalian 4. Listrik, gas, dan air bersih 6. Perdagangan, hotel, dan restoran 8. Keuangan, real estat, dan jasa perusahaan
7 6,83 5,78 7,60 8,74 9,09 3,75 11,49 9,03 7,17 8,02 2,13 9,29 9,33 7,83 4,35 6,38
8 4,36 4,07 4,74 5,85 5,16 2,32 6,10 10,39 4,81 6,63 6,09 5,52 4,48 3,78 2,08 2,18
9 9,58 24,69 9,87 12,88 10,93 4,24 16,55 27,78 17,59 17,42 16,31 12,62 17,81 6,85 7,24 7,23
3. Industri Pengolahan 5. Konstruksi 7. Pengangkutan dan komunikasi 9. Jasa-jasa
Sumber: BPS
Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan dalam penelitian ini, antara lain: 1. Bagaimana situasi dan dinamika ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia? 2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis situasi dan dinamika ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia. 2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia.
10 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menentukan arah dan strategi kebijakan ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia yang lebih baik. Selain itu, penelitian ini diharapkan bisa menjadi tambahan kajian dan wawasan keilmuan untuk penelitian lebih lanjut yang lebih spesifik dan mendalam khususnya dalam bidang ketahanan pangan.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi dua aspek penting yaitu menganalisis situasi dan dinamika ketahanan pangan di KTI serta menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia. Penelitian ini mencakup 190 kabupaten/kota dan 16 provinsi di Kawasan Timur Indonesia pada tahun 2008-2010. Data yang digunakan merupakan data sekunder antara lain data Kor dan Modul Konsumsi Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel 20082010, PDRB, penduduk miskin, angka melek huruf, panjang jalan, dan data pendukung lainnya. Tingkat kecukupan gizi dihitung berdasarkan besar kalori dan protein yang dikonsumsi. Besarnya konsumsi kalori dan protein dihitung dengan mengalikan kuantitas setiap makanan yang dikonsumsi dengan besarnya kandungan kalori dan protein setiap jenis makanan, kemudian hasilnya dijumlahkan. Tembakau dan sirih dalam Susenas termasuk ke dalam bahan makanan yang dikonsumsi penduduk, namun karena tembakau dan sirih tidak mengandung kalori dan protein maka tidak dicakup dalam penelitian ini. Angka kecukupan konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) menetapkan patokan kecukupan konsumsi kalori dan protein per kapita per hari masing-masing 2000 kkal dan 52 gram protein.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Ketahanan Pangan Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Dalam rangka mewujudkan pemenuhan kebutuhan akan pangan bagi seluruh penduduk di suatu wilayah, maka ketersediaan pangan menjadi sasaran utama dalam kebijakan pangan bagi pemerintahan suatu negara. Ketersediaan pangan tersebut dapat dipenuhi dari tiga sumber, yaitu: (1) produksi dalam negeri; (2) pemasukan pangan; dan (3) cadangan pangan. Bila terjadi kesenjangan antara produksi dengan kebutuhan pangan di suatu wilayah dapat diatasi dengan melepas cadangan pangan, oleh sebab itu cadangan pangan merupakan salah satu komponen penting dalam ketersediaan pangan. Konsep ketahanan pangan menurut UU Nomor 7 Tahun 1996 menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Konsep ketahanan pangan tersebut sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) yaitu akses setiap rumah tangga dan individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat. Sementara pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dimana semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat. Ketahanan pangan merupakan konsep yang fleksibel dan biasanya diterapkan pada tiga tingkat agregasi yaitu nasional, regional, dan rumah tangga
12 atau individu. Pilar utama yang menentukan ketahanan pangan adalah (DKP, 2009): 1) Ketersediaan pangan (food availability) Merupakan tersedianya pangan secara fisik di daerah, yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor/perdagangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari produksi domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan bantuan pangan. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten atau tingkat masyarakat. 2) Akses pangan (food accessibility) Adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelimanya. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut di atas. 3) Pemanfaatan pangan (food utilization) Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan penyiapan makanan termasuk penggunaan air dan bahan bakar selama proses pengolahannya serta kondisi higiene, budaya atau kebiasaan pemberian makan terutama untuk individu yang memerlukan jenis makanan khusus, distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan masing-masing individu (pertumbuhan, kehamilan, menyusui dll) dan status kesehatan masing-masing anggota rumah tangga. Gross et al (2000) menyatakan bahwa selain ketiga dimensi di atas, terdapat satu dimensi ketahanan pangan lagi yaitu stabilitas. Namun, stabilitas di sini merupakan faktor temporer dari ketahanan pangan dan sifatnya memengaruhi ketiga dimensi yang lainnya. Stabilitas dari ketiga dimensi tersebut di atas menentukan kekuatan ketahanan pangan (FAO, 2007). Apabila salah satu dari
13 dimensi tersebut tidak terpenuhi, maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh. Demikian pula, walaupun ketersediaan dan aksesibilitas masyarakat dapat dikatakan cukup, namun jika stabilitas harga pangan tidak mampu terjaga secara baik maka ketahanan pangan tidak dapat dikatakan cukup kuat. Ketersediaan pangan juga mencakup kuantitas dan kualitas bahan pangan agar setiap individu dapat memenuhi standar kebutuhan kalori dan energi untuk menjalankan aktivitas ekonomi dan peningkatan standar hidup sumber daya manusia Indonesia.
Sumber: FAO, 2007 Gambar 2 Pilar Ketahanan Pangan. Berdasar konsep tersebut, maka terdapat beberapa prinsip yang terkait dengan ketahanan pangan (food security) baik langsung maupun tidak langsung, yang harus diperhatikan (Sumardjo, 2006):
Rumah tangga sebagai unit perhatian terpenting pemenuhan kebutuhan pangan nasional maupun komunitas dan individu.
Kewajiban negara untuk menjamin hak atas pangan setiap warganya yang terhimpun dalam satuan masyarakat terkecil untuk mendapatkan pangan bagi keberlangsungan hidup.
Ketersediaan pangan mencakup aspek ketercukupan jumlah pangan (food sufficiency) dan terjamin mutunya (food quality).
14
Produksi pangan yang sangat menentukan jumlah pangan sebagai kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali dan atau mengubah bentuk pangan.
Mutu pangan yang nilainya ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan makanan dan minuman.
Keamanan pangan (food safety) adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan pencemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan keadaan manusia.
Kemerataan pangan merupakan dimensi penting keadilan pangan bagi masyarakat yang ukurannya sangat ditentukan oleh derajat kemampuan negara dalam menjamin hak pangan warga negara melalui sistem distribusi produksi pangan yang dikembangkannya. Prinsip kemerataan pangan mengamanatkan sistem pangan nasional harus mampu menjamin hak pangan bagi setiap rumah tangga tanpa terkecuali.
Keterjangkauan pangan mempresentasikan kesamaan derajat keleluasaan akses dan kontrol yang dimiliki oleh setiap rumah tangga dalam memenuhi hak pangan mereka. Prinsip ini merupakan salah satu dimensi keadilan pangan yang penting untuk diperhatikan.
2.1.2. Kerawanan Pangan Permasalahan kerawanan pangan yang bersifat kronis dan transien di Indonesia perlu ditangani dengan lebih serius dan terprogram dengan baik. Kerawanan pangan kronis adalah ketidakmampuan jangka panjang atau yang terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor strukural, yang tidak dapat berubah dengan cepat, seperti iklim setempat, jenis tanah, sistem pemerintah daerah, kepemilikan lahan, hubungan antar etnis, tingkat pendidikan, dan lain-lain. Kerawanan pangan yang bersifat sementara (transient food insecurity) adalah ketidakmampuan jangka pendek atau sementara untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor dinamis yang berubah dengan cepat seperti
15 penyakit infeksi, bencana alam, pengungsian, berubahnya fungsi pasar, tingkat besarnya hutang, perpindahan penduduk (migrasi), dan lain-lain. Kerawanan pangan sementara yang terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan menurunnya kualitas penghidupan rumah tangga, menurunnya daya tahan, dan bahkan bisa berubah menjadi kerawanan pangan kronis. Kerentanan terhadap kerawanan pangan mengacu pada suatu kondisi yang membuat suatu masyarakat yang beresiko rawan pangan menjadi rawan pangan. Tingkat kerentanan individu, rumah tangga atau kelompok masyarakat ditentukan oleh tingkat keterpaparan mereka terhadap faktor-faktor resiko/goncangan dan kemampuan mereka untuk mengatasi situasi tersebut baik dalam kondisi tertekan maupun tidak.
2.1.3. Pangsa Pengeluaran Pangan Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk makanan ke pengeluaran bukan makanan. Pergeseran pola pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan pada umumnya rendah, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada umumnya tinggi. Keadaan ini jelas terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang bukan makanan atau ditabung. Hubungan antara pendapatan dan konsumsi barang telah dipelajari secara meluas oleh para ekonom, salah satunya adalah Engel. Hasil penelitian Engel menyatakan bahwa proporsi pengeluaran total yang ditujukan untuk makanan menurun sementara pendapatan meningkat. Dengan kata lain, makanan merupakan bahan kebutuhan pokok konsumsi yang meningkat lebih lambat daripada pendapatan. Hipotesis ini dikenal sebagai “Hukum Engel”. Hukum Engel merupakan penemuan empiris yang begitu konsisten sehingga para ekonom menyarankan agar proporsi pendapatan untuk makanan digunakan sebagai indikator kemiskinan. Hubungan antara pengeluaran total dengan jumlah kebutuhan pokok terlihat dalam Kurva Engel pada Gambar 2.
16 Kurva Engel yang diturunkan dari kurva kepuasan yang sama dari individu menunjukkan bahwa pada kebutuhan pokok, pangsa pengeluaran untuk barang tersebut akan menurun sementara pendapatan meningkat.
Sumber: Nicholson, 1995 Gambar 3 Kurva Engel untuk Kebutuhan Pokok. Penggunaan pangsa pengeluaran dalam menetukan ketahanan pangan rumah tangga juga digunakan oleh Jonsson et al. dalam Maxwell et al. (2000) dengan menggunakan klasifikasi silang antara jumlah ketercukupan kalori dan pangsa pengeluaran makanan. Kedua indikator ini dinilai sederhana namun mampu merepresentasikan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Begitupula hasil penelitian Ilham dan Sinaga (2007) yang menyatakan bahwa pangsa pengeluaran pangan layak dijadikan indikator ketahanan pangan karena mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai ukuran ketahanan pangan yaitu tingkat konsumsi, keanekaragaman pangan, dan pendapatan serta memiliki ciri yang dapat diukur dengan angka, cukup sederhana untuk memperoleh dan menafsirkannya, objektif dan responsif terhadap perubahan-perubahan akibat adanya perubahan kondisi perekonomian, kebijakan dan program pembangunan.
2.1.4. Kerawanan Pangan dan Kemiskinan Kemiskinan yang meluas di kalangan masyarakat berkorelasi dengan kerawanan pangan, meskipun banyak faktor penentu lainnya seperti kegagalan produksi, terisolasinya kawasan pemukiman penduduk dari sumber pangan, dan rusaknya infrastruktur produksi dan transportasi (Mulyana, 2011). Kemiskinan mempunyai pengertian yang luas dan tidak mudah mengukurnya. Untuk mengidentifikasi fenomena kemiskinan seringkali menggunakan istilah standar
17 hidup, pendapatan, distribusi pendapatan dan stratifikasi sosial. Bagi yang memperhatikan konsep tingkat hidup yaitu tidak hanya menekankan tingkat pendapatan saja tetapi juga masalah pendidikan, perumahan, kesehatan dan kondisi-kondisi sosial lainnya dari masyarakat. Hariyati dan Raharto (2012) menyatakan bahwa definisi kemiskinan bisa dilihat dari beberapa segi: 1) Dilihat dari standar kebutuhan hidup yang layak/pemenuhan kebutuhan pokok. Golongan ini mengatakan bahwa kemiskinan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok/dasar disebabkan karena adanya kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk memenuhi standar hidup yang layak. Definisi ini merupakan kemiskinan absolut/mutlak yakni tidak terpenuhinya standar kebutuhan pokok/dasar. 2) Dilihat dari segi pendapatan/penghasilan income Kemiskinan oleh golongan ini dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan/ penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. 3) Dilihat dari segi kesempatan/opportunity Kemiskinan
adalah
karena
ketidaksamaan
kesempatan
untuk
mengakumulasikan (meraih) basis kekuasaan sosial. Kemiskinan di Indonesia merupakan fenomena yang erat kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi di perdesaan pada umumnya dan di sektor pertanian pada khususnya. Oleh sebab itu, fenomena kemiskinan di Indonesia tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa memahami fenomena kemiskinan di perdesaan atau di sektor pertanian. Banyak peneliti lain juga menekankan sangat pentingnya pertumbuhan pertanian dan ekonomi perdesaan pada umumnya bagi penurunan kemiskinan di Indonesia selama ini. BPS mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2100 kkal perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di perdesaan dan 480 kg/kapita/tahun di perkotaan. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar untuk makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar
18 lainnya. BPS setiap tahun menetapkan besarnya garis kemiskinan berdasarkan hasil Susenas modul konsumsi. Garis kemiskinan berbeda-beda untuk tiap provinsi tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing provinsi.
2.1.5. Ketahanan Pangan dan Pertumbuhan Ekonomi Ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi berinteraksi saling menguatkan dalam mencapai pembangunan nasional. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh masyarakat miskin atau yang dikenal dengan pro poor growth adalah salah satu komponen strategi pencapaian ketahanan pangan (Timmer, 2004). Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang pesat adalah sarana utama negara-negara Asia untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan. Ilham (2006) dalam analisisnya menunjukkan hubungan antara pangsa pengeluaran pangan dengan PDRB per kapita memiliki arah yang berlawanan. Semakin tinggi PDRB per kapita maka pangsa pengeluaran pangan cenderung makin menurun. Namun, jika diamati lebih cermat, terlihat adanya hubungan yang sedikit anomali antara pangsa pengeluaran pangan dengan PDRB per kapita. Ada beberapa provinsi yang PDRB per kapitanya relatif rendah, memiliki pangsa pengeluaran yang juga relatif rendah seperti Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebaliknya Kalimantan Timur memiliki PDRB per kapita yang lebih tinggi, tetapi pangsa pengeluaran pangan penduduknya masih relatif tinggi. Anomali tersebut membuktikan bahwa bukan hanya PDRB per kapita yang menentukan ketahanan pangan atau tingkat kesejahteraan penduduk suatu daerah. Ketersediaan pangan, pengetahuan gizi dan pola konsumsi juga menentukan ketahanan pangan di suatu daerah. PDRB per kapita yang tinggi belum menjamin bahwa penduduk di daerah itu memiliki pendapatan riil yang tinggi. Hal ini sangat mungkin terjadi karena PDRB yang tinggi di suatu daerah bisa jadi tidak hanya dinikmati oleh penduduk daerah tersebut saja, namun juga dinikmati oleh penduduk di luar daerah tersebut. Namun demikian, dari hasil analisis sebelumnya pangsa pengeluaran pangan untuk Indonesia masih relevan untuk digunakan sebagai indikator ketahanan pangan atau tingkat kesejahteraan penduduk baik di tingkat rumah tangga maupun di tingkat provinsi.
19
2.1.6. Kawasan Timur Indonesia (KTI) Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2000 Tentang Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia memutuskan bahwa provinsi-provinsi yang termasuk dalam KTI antara lain: 1) Nusa Tenggara Barat
8) Sulawesi Selatan
2) Nusa Tenggara Timur
9) Sulawesi Tenggara
3) Irian Jaya
10) Kalimantan Timur
4) Maluku
11) Kalimantan Selatan
5) Maluku Utara
12) Kalimantan Tengah
6) Sulawesi Utara
13) Kalimantan Barat
7) Sulawesi Tengah Selama ini pembangunan di Kawasan Barat Indonesia (KBI) jauh lebih baik dari pada pembangunan di KTI. Hal ini timbul sebagai konsekuensi dari alokasi proyek pembangunan yang ditetapkan atas dasar jumlah penduduk. Kebijakan ini tidak berhasil membangun fundamen ekonomi rakyat yang kuat. Akan lain halnya jika kebijakan alokasi proyek tersebut ditetapkan atas dasar luas wilayah. Kawasan Timur Indonesia, yang wilayahnya jauh lebih luas dan memiliki potensi maupun sumberdaya pembangunannya lebih bervariasi akan lebih berkembang. Fundamen ekonomi rakyat di kawasan itu akan lebih kokoh, dan sekaligus akan memperkuat ketahanan sosial, ekonomi, budaya dan politik nasional. Mappamiring (2006) menyatakan bahwa untuk menyingkirkan kesan adanya pusat dan daerah pinggiran, dan adanya polarisasi kemajuan pembangunan di Kawasan Barat dan Timur Indonesia, maka perlu pembangunan infrastruktur di berbagai sektor di KTI. Namun, perlu dipahami bahwa ada banyak kendala untuk membangun KTI. Karena itu niat baik pemerintah dan wakil-wakil rakyat di pusat sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Disisi lain, leading sectors pembangunan termasuk perikanan dan kelautan, perkebunan, pertambangan, peternakan dan lain sebagainya di KTI cukup menjanjikan, jika dikelola dengan baik. Sektor tersebut dapat memperkuat fundamen ekonomi rakyat dan dapat meningkatkan perolehan devisa negara.
20 Bagaimanapun, keberhasilan pengembangan Kawasan Timur Indonesia dapat mengurangi beban kependudukan di Kawasan Barat, terutama di Jawa. Melalui transmigrasi, tekanan kependudukan di Jawa dapat dikurangi dan pembangunan di KTI dapat ditingkatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di kawasan itu dan di Indonesia. Wilayah yang begitu luas dengan potensi SDA yang memadai, sudah barang tentu dapat memberi kontribusi yang besar pada pengembangan ekonomi nasional. Namun demikian, hal ini akan terjadi, jika seluruh elemen bangsa menyadari pentingnya paradigma baru pembangunan yang spesifik daerah, tanpa meremehkan aspek kesatuan negara-bangsa, terutama untuk pengembangan Kawasan Timur Indonesia yang masih tertinggal. Pembangunan regional ialah bagian integral dari pembangunan nasional. Sejak awal strategi pembangunan di Indonesia bertumpu pada pembangunan nasional. Ada harapan bahwa pada gilirannya hasil pembangunan nasional akan terdistribusi ke tingkat regional. Kenyataan ini menunjukkan bahwa yang dianut pada awal strategi pembangunan adalah penerapan fungsi alokatif atau distribusi dalam perencanaan pembangunan nasional, yang dijabarkan lebih jauh dalam strategi pembangunan regional. Uraian-uraian tersebut di atas mengisyaratkan bahwa Kawasan Timur Indonesia mendambakan kebijakan dan program yang Go to East, yang didasarkan pada keyakinannya bahwa cahaya kemajuan bangsa ke depan bersinar dari ufuk timur yang tidak hanya akan menerangi wilayah nusantara tapi dunia.
2.2. Tinjauan Empiris Ilham (2006) menganalisis efektifitas kebijakan harga pangan terhadap ketahanan pangan dan dampaknya pada stabilitas ekonomi makro. Ukuran ketahanan pangan yang digunakan adalah tingkat ketersediaan dan konsumsi energi dan protein. Model hubungan antara pangsa pengeluaran dengan konsumsi energi dan konsumsi protein setiap penduduk dibangun dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara pangsa pengeluaran dan konsumsi. Fungsi yang diperoleh berupa hiperbola dengan elastisitas negatif. Tanda elastisitas yang negatif menunjukkan bahwa hubungan antara kedua
21 variabel yaitu pangsa pengeluaran pangan berlawanan arah dengan konsumsi energi dan konsumsi protein setiap penduduk. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada jangka pendek maupun jangka panjang kebijakan harga pangan dan PDB ternyata berpengaruh terhadap ketersediaan energi di tingkat nasional. Namun di sisi lain, ketersediaan pangan di tingkat nasional tidak menjamin ketahanan pangan rumah tangga. Omotesho et al (2006) menganalisis determinan ketahanan pangan rumah tangga perdesaan di Negara Bagian Kwara, Nigeria. Penelitian ini menggunakan data primer yang dikumpulkan dari 165 rumah tangga tani perdesaan dengan teknik sampling acak tiga tahap (three-stage random sampling). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sepertiga dari rumah tangga tani perdesaan termasuk rawan pangan. Variabel yang signifikan memengaruhi ketahanan pangan rumah tangga perdesaan di daerah ini antara lain ukuran rumah tangga petani, pendapatan kotor pertanian, serta ukuran rumah tangga dan total pendapatan non pertanian. Penelitian
ini merekomendasikan untuk mendiversifikasi sumber-sumber
pendapatan rumah tangga petani perdesaan agar mampu memenuhi kebutuhan minimum pangan khususnya ketika tidak musim panen. Demeke dan Zeller (2009) meneliti tentang pengaruh kondisi sosial ekonomi terhadap ketahanan pangan di perdesaan di Ethiopia dengan menggunakan data panel rumah tangga. Dalam penelitian ini dilakukan penghitungan indeks ketahanan pangan rumah tangga dan pengkategorian rumah tangga berdasarkan tiga kategori yaitu: tahan pangan, rentan pangan dan rawan pangan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, gender kepala rumah tangga (lakilaki/perempuan), umur kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga yang bekerja dalam rumah tangga, tabungan, pinjaman, income dari pertanian dan jumlah ternak yang dimiliki. Wang (2010) memberikan bukti empiris determinan ketahanan pangan di Cina yang meliputi pendapatan per kapita penduduk pedesaan, harga pangan, daerah bencana pertanian, dan jumlah tabungan penduduk desa dan kota. Penelitian ini mencakup 27 provinsi dalam kurun waktu 1985 sampai dengan 2007. Metode yang digunakan adalah analisis data panel dinamis dengan
22 pendekatan pooled ordinary least square, fixed effect, difference generalized method of moments dan system generalized method of moments. Hasil penelitian menyatakan bahwa perubahan iklim berpengaruh secara signifikan terhadap ketahanan pangan, namun harga pangan tidak berpengaruh. Pendapatan penduduk pedesaan berpengaruh negatif terhadap konsumsi pangan. Jumlah tabungan penduduk desa dan kota tidak memengaruhi konsumsi. Nurlatifah (2011) menganalisis ketahanan pangan regional dan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur. Data yang digunakan merupakan data Susenas modul konsumsi tiga tahunan yaitu tahun 2002, 2005, dan 2008. Metode analisis yang digunakan adalah metode regresi data panel untuk menggambarkan faktorfaktor yang memengaruhi ketahanan pangan regional dan menggunakan model logistik untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan rumah tangga di KTI tahun 2010. Hasil penghitungan ketahanan pangan menunjukkan bahwa persentase penduduk yang rawan pangan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
2.3. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian Ketahanan pangan yang stabil baik antarwaktu maupun antardaerah perlu mendapatkan perhatian yang serius. Kebijakan pangan yang komprehensif sangat dibutuhkan untuk menanggulangi berbagai tantangan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Ketahanan pangan akan tercipta jika tiga pilar utamanya saling mendukung dan menguatkan yaitu ketersediaan pangan, aksesibilitas pangan, dan pemanfaatan pangan. Apabila ada satu saja pilar yang tidak bekerja maka belum menjamin terciptanya ketahanan pangan yang stabil. Salah satu upaya dalam mewujudkan ketahanan pangan yang stabil yaitu melalui pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian. Oleh karena itu, peran penduduk yang terlibat di bidang pertanian perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius lagi dalam upaya peningkatan ketahanan pangan. Kawasan Timur Indonesia merupakan kawasan yang lebih banyak dijumpai kabupaten rentan pangan dibandingkan Kawasan Barat Indonesia. Dilihat dari ketersediaan pangannya, produksi padi dan palawija di KTI masih lebih rendah dibandingkan produksi padi dan palawija di KBI. Pembangunan
23 infrastruktur di KTI sebagai salah satu pendukung aksesibilitas pangan juga masih rendah dikarenakan daerah yang luas dengan dikelilingi lautan, hutan, dan sungai. Pemanfaatan pangan masyarakat KTI pun masih rendah dimana banyak dijumpai komoditas lokal yang tinggi akan gizi namun tidak dimanfaatkan/diolah dengan baik sehingga nilai gizinya turun. Hal ini dirasa menarik untuk menganalisis situasi ketahanan pangan di KTI.
Gambar 4 Kerangka Pemikiran. Penelitian ini pada awal analisis melakukan klasifikasi status ketahanan pangan hubungan antara pangsa pengeluaran pangan dengan ketahanan pangan yang dihitung dari konsumsi kalori dan protein. Selanjutnya dilakukan klasifikasi rumah tangga yang rawan pangan, rentan pangan, kurang pangan, dan tahan pangan. Pada tahap berikutnya dilakukan analisis determinan ketahanan pangan
24 dengan regresi model tobit data panel. Diharapkan dengan analisis ini diperoleh langkah-langkah kebijakan pembangunan ekonomi yang dapat meningkatkan ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia. Berdasarkan permasalahan, tujuan dan kerangka pemikiran tersebut, maka hipotesis dari penelitian ini adalah ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia dipengaruhi secara positif oleh produksi pangan, panjang jalan, PDRB per kapita, rata-rata lama sekolah serta dipengaruhi secara negatif oleh persentase penduduk miskin dan persentase perempuan buta huruf.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dewan Ketahanan Pangan (DKP). Beberapa data yang bersumber dari BPS antara lain data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), produksi tanaman pangan, PDRB, persentase penduduk miskin, rata-rata lama sekolah, dan data pendukung lainnya. Produksi tanaman pangan dalam penelitian ini meliputi produksi tanaman padi (padi ladang dan padi sawah), jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang kedelai, kacang hijau, dan kacang tanah. Pemilihan komoditas tanaman pangan disini mengikuti konsep BPS disamping karena sumber energi utama dari asupan energi makanan berasal dari serealia dan umbi-umbian. Data ketersediaan pangan dari perdagangan dan impor tidak diperhitungkan karena data tersebut tidak tersedia di tingkat kabupaten/kota. Beberapa data yang bersumber dari DKP antara lain data kabupaten rentan pangan dan rasio konsumsi normatif terhadap produksi per kapita. DKP menyebutkan bahwa besarnya konsumsi normatif serealia per hari per kapita adalah 300 gram yang didasarkan pada profil konsumsi Indonesia. Rentang waktu penelitian ini dari tahun 2008 sampai dengan 2010. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini berupa data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel 2008-2010. Susenas Panel merupakan survei rumah tangga yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun yang dilakukan pada bulan Maret dan dimulai tahun 2002. Pada tahun 2002–2006 jumlah sampel Susenas Panel hanya 10.000 rumah tangga, tetapi mulai tahun 2007 jumlah sampel naik menjadi 68.800 rumah tangga. Rumah tangga yang menjadi sampel akan selalu berubah setiap tiga tahun sekali. Sampel Susenas Panel tahun 2008 akan sama dengan tahun 2009 dan 2010. Sampel Susenas Panel 2008 meliputi 195 kabupaten/kota di KTI, begitupula untuk tahun 2009. Namun, ada 3 kabupaten yang tidak dilakukan pencacahan kembali pada tahun 2010 yaitu Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Sarmi dikarenakan kondisi lapangan yang tidak memungkinkan.
26 Susenas mengumpulkan data kor dan modul konsumsi/pengeluaran dan pendapatan rumah tangga. Data kor yang dikumpulkan mencakup antara lain keterangan umum anggota rumah tangga, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, fertilitas, perumahan, dan sosial ekonomi. Sedangkan susenas modul berisi tentang kuantitas dan nilai konsumsi makanan yang mencakup 215 komoditi dengan sub kelompok sebanyak 14 sub kelompok komoditi. Empat belas sub kelompok komoditi tersebut yaitu padi-padian, umbi-umbian, ikan/udang/kerang, daging, telur dan susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi lainnya, makanan dan minuman jadi, serta tembakau dan sirih. Pengeluaran/konsumsi rumahtangga untuk non makanan mencakup 108 item pengeluaran dengan sub kelompok sebanyak 6 sub kelompok yaitu perumahan dan fasilitas rumah tangga, barang dan jasa, pakaian/alas kaki dan tutup kepala, barang-barang tahan lama, pajak dan asuransi, serta keperluan pesta dan upacara serta berisikan pendapatan, penerimaan, dan pengeluaran bukan konsumsi. Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi, yang dihitung berdasarkan besar kalori dan protein yang dikonsumsi. Besarnya konsumsi kalori dan protein dihitung dengan mengalikan kuantitas setiap makanan yang dikonsumsi dengan besarnya kandungan kalori dan protein setiap jenis makanan, kemudian hasilnya dijumlahkan. Angka kecukupan konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) menetapkan patokan kecukupan konsumsi kalori dan protein per kapita per hari masingmasing 2000 kkal dan 52 gram protein.
3.2. Metode Analisis 3.2.1. Analisis Deskriptif Analisis data dilakukan secara deskriptif, baik deskriptif kualitatif maupun kuantitatif. Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan memberikan pemaparan dalam bentuk tabel, grafik, dan diagram. Oleh karena itu, analisis deskriptif menyangkut berbagai macam aktivitas dan proses. Salah satu
27 bentuk analisisnya adalah kegiatan menyimpulkan data mentah dalam jumlah yang besar sehingga hasilnya dapat ditafsirkan. Pengelompokkan atau pemisahan komponen atau bagian yang relevan dari keseluruhan data, juga merupakan salah satu bentuk analisis untuk menjadikan data mudah dikelola. Penghitungan
ketahanan
pangan
dalam
penelitian
ini
dengan
menggunakan dua indikator yaitu ketercukupan kalori yang dikonsumsi dengan besarnya pengsa pengeluaran makanan. Hal ini adalah berdasarkan klasifikasi silang yang digunakan Jonsson dan Toole dalam Maxwell et al. (2000). Adapun derajat ketahanan pangan rumah tangga berdasarkan ketercukupan gizi dan pangsa pengeluaran ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5 Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pangsa Pengeluaran Makanan Ketercukupan kalori Rendah < 60% Tinggi ≥ 60% Cukup > 80%
Tahan Pangan (food secure) Kurang ≤ 80% Kurang Pangan (questionable) Sumber: Jonsson dan Toole dalam Maxwell et al. (2000)
Rentan Pangan (vulnerable) Rawan Pangan (food insecure)
Pangsa pengeluaran pangan adalah rasio pengeluaran untuk belanja pangan dan pengeluaran total penduduk selama sebulan. Pangsa pengeluaran pangan penduduk diperoleh dengan menggunakan data di tingkat rumah tangga kemudian dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga. Besar pangsa pengeluaran terhadap total pengeluaran diperoleh dari data Susenas BPS. Perhitungan pangsa pengeluaran pangan pada berbagai kondisi, yaitu agregat, desa-kota, dan berbagai kelompok pendapatan penduduk menggunakan formula berikut: =
× 100%
dimana, PP = Pangsa pengeluaran pangan (%) EP = Pengeluaran untuk belanja pangan (Rp/bulan) TP = Total pengeluaran (Rp/bulan)
28 3.2.2. Analisis Regresi Model Tobit Data Panel Data yang dipergunakan dalam analisis ekonometrika dapat berupa data time series, data cross section, atau data panel. Data panel (panel data) merupakan gabungan data cross section dan data time series. Dengan kata lain, data panel merupakan unit-unit individu yang sama yang diamati dalam kurun waktu tertentu. Secara umum, data panel dicirikan oleh T periode waktu (t = 1,2,...,T) yang kecil dan n jumlah individu (i = 1,2,...,n) yang besar. Namun tidak menutup kemungkinan sebaliknya, yakni data panel terdiri atas periode waktu yang besar dan jumlah individu yang kecil. Regresi dengan menggunakan data panel disebut dengan model regresi data panel. Menurut Hsiao dan Klevmarken dalam Baltagi (2005), beberapa keuntungan penggunaan data panel adalah sebagai berikut: 1) Data panel mampu mengontrol heterogenitas individu. 2) Data panel dapat memberikan data yang lebih informatif, memiliki variabilitas yang lebih besar, mengurangi kolinearitas antar peubah serta meningkatkan derajat kebebasan yang artinya meningkatkan efisiensi. 3) Data panel lebih mampu untuk mempelajari dynamics of adjustment. 4) Data panel lebih mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak terdeteksi dalam cross section murni atau time series murni. 5) Model data panel memungkinkan untuk membangun dan menguji model perilaku yang lebih kompleks, misalnya fenomena skala ekonomi dan perubahan teknologi. 6) Data panel pada level mikro yang dikumpulkan menurut individu, perusahaan, dan rumah tangga dapat diukur secara lebih akurat dibandingkan variabel yang sama yang diukur pada level makro. 7) Data panel makro memiliki time series yang lebih panjang dan tidak seperti pada analisis time series yang memiliki masalah distribusi non standar dari uji unit root. Misalkan yit merupakan nilai varabel terikat untuk unit cross section ke-i pada waktu ke-t dengan i = 1, 2,…, N dan t = 1, 2,…,T . Dan misalkan terdapat K variabel penjelas yang masing-masing diberi indeks j = 1, 2,…,K serta dinotasikan sebagai
, yang menyatakan nilai variabel penjelas ke-j untuk unit
29 ke-i pada waktu ke-t. Cara yang sering digunakan untuk mengorganisir data panel adalah dengan menuliskannya ke dalam bentuk matriks sebagai berikut: ⎡ ⎢ = ⎢. ⎢. ⎢. ⎣
⎡ ⎤ ⎢ . ⎥ =⎢ . ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ . ⎥ ⎣ ⎦
.. .. . . .
.. .. .. ..
⎤ ⎥ .⎥ .⎥ .⎥ ⎦
⎡ ⎤ ⎢ . ⎥ =⎢ . ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ . ⎥ ⎣ ⎦
(3.1)
dengan εit menyatakan gangguan acak untuk unit ke-i pada waktu ke-t. Model standar data panel linier dapat diekspresikan sebagai: = ′
+
(3.2)
dengan β adalah matriks berukuran NT x1 yang diekspresikan sebagai: ⎡ ⎢ =⎢ ⎢ ⎢ ⎣
⎤ ⎥ .⎥ .⎥ .⎥ ⎦
(3.3)
Metode yang sering digunakan untuk mengestimasi parameter model data panel statis meliputi pooled estimator, fixed effects model dan random effects model. Metode sederhana yang sering digunakan adalah pooled estimator atau dikenal sebagai metode least square yang umumnya digunakan pada model cross section dan time series murni. Data panel memiliki jumlah observasi lebih banyak dibandingkan data cross section dan time series murni sehingga ketika data digabungkan menjadi pool data, regresi yang dihasilkan cenderung lebih baik dibandingkan regresi yang menggunakan data cross section dan time series murni. Akan tetapi, dengan mengabungkan data, maka variasi atau perbedaan baik antara individu dan waktu tidak dapat terlihat. Hal ini tentunya kurang sesuai dengan tujuan dari digunakannya data panel. Lebih jauh lagi, dalam beberapa kasus, penduga yang dihasilkan melalui least square dapat menjadi bias akibat kesalahan spesifikasi data. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ada dua metode yang biasanya digunakan dalam pemodelan data panel, yakni fixed effects model dan random effects model. Bentuk umum persamaan regresi data panel adalah: = ′
+
(3.4)
30 Dengan asumsi, untuk one way error components model, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk: εit = αi + uit
(3.5)
Sedangkan untuk two way error components model, komponen error dispesifikasi dalam bentuk: εit = αi + µt+ uit
(3.6)
Pada pendekatan one way, error term hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu (αi). Pada two way dimasukkan efek dariwaktu (µt) ke dalam komponen error. Jadi perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara αi dan µt dengan Xit.
Model Tobit Dalam pemodelan statistika, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah struktur data variabel terikat. Pemodelan statistika pada variabel terikat kontinu (skala rasio atau interval) akan cukup baik bila didekati dengan regresi klasik (metode kuadrat terkecil biasa) dengan asumsi kenormalan, kebebasan dan kehomogenan ragam. Namun, fenomena yang terjadi kadang menghasilkan respon yang berstruktur kontinu dengan kisaran yang mungkin sangat besar, dari nol sampai takhingga. Hal ini sering dijumpai pada survei konsumsi/pengeluaran rumah tangga, dimana sebagian rumah tangga tidak mengkonsumsi jenis komoditas tertentu, sedangkan rumah tangga yang lain mengkonsumsi dengan jumlah yang sangat bervariasi. Model tobit diperkenalkan oleh James Tobin (penerima nobel bidang ekonomi) pada tahun 1958. Tobin menghubungkan studinya berdasarkan analisis probit, sehingga modelnya kemudian disebut dengan model Tobit (Tobin’s probit). Jika dalam model probit fokusnya adalah mengestimasi peluang rumah tangga tahan pangan sebagai fungsi dari beberapa variabel bebas, maka model tobit digunakan untuk mendapatkan estimasi jumlah rumah tangga tahan pangan. Model tobit merupakan model regresi tersensor dimana peubah terikatnya banyak mengumpul
di
sekitar
nol
sehingga
sering
menimbulkan
masalah
heteroskedastisitas (ketidakhomogenan ragam). Beberapa contoh variabel terikat yang menggunakan model tobit antara lain pengeluaran membeli rumah, jumlah
31 jam kerja, upah pekerja, dan lain-lain. Variabel terikat pengeluaran membeli rumah akan bernilai nol jika unit observasinya tidak membeli rumah. Begitupula untuk variabel jam kerja atau upah kerja akan bernilai nol jika sampel yang diobservasi tidak bekerja. Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan di KTI, dimana variabel terikatnya adalah jumlah rumah tangga dalam bentuk persentase. Masalah yang dihadapi adalah bila dalam suatu kabupaten tidak terdapat rumah tangga yang tahan pangan, maka data persentase rumah tangga tahan pangan tidak akan tersedia (atau bernilai 0). Dengan demikian sampel dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu n1, sampel yang mempunyai informasi variabel bebas dan variabel terikat (persentase rumah tangga tahan pangan), dan sisanya n2 adalah sampel yang hanya mempunyai informasi variabel bebas tetapi tidak mempunyai informasi variabel terikat. Sampel dimana informasi variabel terikat hanya ada untuk beberapa observasi dikenal dengan censored sample atau sampel tersensor yang dikenal dengan model tobit (Gujarati, 2004). Model tobit data panel dapat dituliskan sebagai berikut (Maddala, 1987): ∗
=
+
= ∝+ ∝ ~
(0,
∝)
~
(0,
)
∗
=
= 1, 2, … . ,
(3.7)
= 1, 2, … . ,
(3.8) (3.9) (3.10)
∗
jika
>0
(3.11)
0
Misalkan: = 1 jika
∗
>0
(3.12)
= 0 selainnya Fungsi log kemungkinannya (log-likelihood) adalah: = ∑ , (1 − d ) Log ∅ ′
∝
+∑,
−
−
(
−∝ −
)
(3.13)
Tidak seperti pada model linier, sepanjang jumlah observasi cross section tetap (T tetap dan biasanya kecil), hal ini tidak mungkin untuk mengestimasi secara konsisten fixed effects ∝ dan hal ini juga menyebabkan estimasi
dan
32 tidak konsisten (Maddala, 1987). Model tobit panel bersyarat belum bisa diestimasi secara fixed effect karena tidak ada statistik yang mengijinkan fixed effect dijelaskan oleh fungsi likelihood. Honore telah mengembangkan estimator semiparametrik untuk model tobit fixed effect. Namun, estimasi model tobit fixed effect sifatnya masih bias. Selain itu, Kalwij (2004) menyatakan alasan utama pendekatan random effect lebih dipilih dibandingkan fixed effect adalah karena pendekatan random effect menghasilkan model spesifik yang dapat digunakan untuk menghitung marginal effects.
3.3. Spesifikasi Model Ketahanan pangan diperlukan bagi kelangsungan hidup suatu generasi. Oleh karena itu, penghitungan pangan yang representatif, akan berpengaruh sangat penting terhadap kebijakan yang diambil untuk ketersediaan pangan yang cukup bagi suatu daerah. Peubah respon yang digunakan pada penelitian ini adalah persentase rumah tangga yang tahan pangan di masing-masing kabupaten/kota di Kawasan Timur Indonesia. Sedangkan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi ketahanan pangan adalah produksi pangan, rasio panjang jalan, persentase penduduk miskin, persentase perempuan buta huruf, rata-rata lama sekolah, dan PDRB per kapita. Model
yang
digunakan
untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi ketahanan pangan regional diambil dari model Demeke dan Zeller (2009) yang dimodifikasi dengan sistem ketahanan pangan FAO (2007) sehingga menghasilkan persamaan sebagai berikut: =(
+ ln
+
)+ +
ln
+
+
+
Dimana: TAHAN
= Persentase rumah tangga tahan pangan (persen)
PRO
= Produksi pangan per kapita (ton/kapita/tahun)
JAL
= Rasio panjang jalan (km/km2)
MISKIN = Persentase penduduk miskin (persen) PDRB
= PDRB per kapita (juta rupiah)
BUTA
= Persentase perempuan buta huruf (persen)
RLS
= Rata-rata lama sekolah (tahun)
+ (3.14)
33 = Parameter yang diestimasi (j=0,1, …,6) = Efek individual kabupaten/kota ke i = Efek waktu pada tahun t i menunjukkan kabupaten/kota t menunjukkan tahun
Definisi Variabel Operasional Berikut ini penjelasan mengenai beberapa variabel operasional yang digunakan: 1) Persentase
rumah
tangga
tahan
pangan
(persen),
merupakan
hasil
penghitungan derajat ketahanan pangan menurut Jonsson dan Toole dalam Maxwell et al. (2000) 2) Produksi pangan (ton/kapita/tahun), meliputi produksi tanaman pangan yang berupa padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedelai, dan kacang hijau. Ketujuh komoditas tersebut memberikan nilai kalori yang berbeda terutama ubi kayu dan ubi jalar. Berdasarkan daftar konversi zat gizi, mengkonsumsi 1 kg beras sama dengan mengkonsumsi 3 kg ubi kayu/jalar. Oleh karena itu, besarnya produksi pangan ini terlebih dahulu dikonversikan ke dalam nilai kalori kemudian disetarakan ke dalam satuan berat ton padi. 3) Rasio panjang jalan (km/km2), berupa rasio panjang jalan kabupaten/kota kondisi baik dan sedang terhadap luas wilayah kabupaten/kota tersebut. Kondisi jalan yang baik dan sedang diharapkan lebih menentukan kelancaran kegiatan ekonomi dibandingkan jalan yang rusak, sehingga panjang jalan yang digunakan dalam penelitian ini tidak memasukkan jalan yang rusak. 4) Persentase penduduk miskin (persen), merupakan jumlah persentase penduduk miskin
menurut
konsep
BPS.
Untuk
mengukur
kemiskinan,
BPS
menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).
Dengan
pendekatan
ini,
kemiskinan
dipandang
sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.
34 5) PDRB per kapita (juta rupiah), berupa PDRB atas dasar harga berlaku dibagi dengan jumlah penduduk. Alasan digunakannya PDRB atas dasar harga berlaku adalah untuk mencerminkan kondisi perekonomian pada waktu itu dimana masih ada pengaruh inflasi, sebagaimana variabel pengeluaran per kapita yang mencerminkan keadaan ekonomi pada waktu itu juga.
Konsep Elastisitas Salah satu analisis penting dalam suatu model adalah mengetahui sampai dimana responsifnya perubahan peubah respon sebagai akibat dari perubahan peubah penjelas. Koefisien parameter dari model tobit dapat digunakan untuk menghitung elastisitas (Wooldridge, 2002). Elastisitas mengukur pengaruh satu persen perubahan dalam peubah penjelas X terhadap persentase perubahan peubah respon Y (Juanda, 2009). Besarnya elastisitas dapat digunakan untuk meramalkan perubahan yang akan terjadi pada peubah respon apabila terjadi perubahan peubah penjelasnya. Rumus umum dari elastisitas adalah sebagai berikut: =
(3.15)
.
Elastisitas dari beberapa bentuk fungsi model yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1) Model linear ( =
)
+
Turunan pertamanya: (3.16)
= =
.
=
.
(3.17)
≅
2) Model linear-log ( =
+
ln )
Turunan pertamanya: (3.18)
= =
.
=
.
=
≅
Keterangan: = Perubahan peubah respon
(3.19)
35 = Perubahan peubah penjelas = Koefisien parameter = Rata-rata peubah respon = Rata-rata peubah penjelas
3.4. Perangkat Lunak (Software) Penelitian ini menggunakan beberapa perangkat lunak dalam pengolahan maupun analisis data, antara lain: - Microsoft Excel 2007 Microsoft Excel merupakan perangkat lunak berbasis spreadsheet buatan Microsoft Corporation. Dalam penelitian ini, Microsoft Excel digunakan untuk pembuatan tabel, grafik, dan beberapa pengolahan data sederhana. - SPSS 11.5 SPSS merupakan sebuah program aplikasi yang memiliki kemampuan analisis statistik cukup tinggi serta sistem manajemen data pada lingkungan grafis dengan menggunakan menu-menu deskriptif dan kotak-kotak dialog yang sederhana sehingga mudah untuk dipahami cara pengoperasiannya. Dalam penelitian ini, SPSS digunakan untuk mengolah data Susenas seperti perhitungan konsumsi kalori dan protein serta digunakan untuk menghitung derajat ketahanan pangan rumah tangga. - StataMP 10 Stata merupakan software statistik yang cukup lengkap terutama untuk fungsi statistik deskriptif. Stata memiliki kelebihan dalam kemampuannya mengolah data dengan variabel yang banyak maupun dengan observasi yang besar. Karena itu Stata banyak digunakan untuk pengolahan data mikro maupun data survei dengan observasi yang besar. StataMP merupakan versi stata yang terbesar dan tercepat yang mempunyai kemampuan multiprocessor. Dalam penelitian ini, Stata digunakan sebagai tool untuk analisis regresi model tobit data panel. - Esri ArcView GIS 3.3 ArcView GIS merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk pembuatan dan manipulasi peta dalam bentuk layer. Software ini dikembangkan oleh
36 Environmental System Research Institute (ESRI) New York. Dalam penelitian ini, ArcView dimanfaatkan untuk analisis spasial dalam bentuk peta mengenai situasi dan dinamika ketahanan pangan di KTI. Peta dasar yang digunakan dalam pengolahan data spasial ini berasal dari Badan Pusat Statistik yang berupa peta dasar kabupaten/kota di Indonesia.
IV. SITUASI DAN DINAMIKA KETAHANAN PANGAN DI KAWASAN TIMUR INDONESI
4.1. Kondisi Kecukupan Kalori dan Protein Analisis deskriptif dilakukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Jumlah rumah tangga sampel Susenas Panel di KTI tahun 2008 sebesar 19.002 rumah tangga, tahun 2008 sebesar 19.137, dan pada tahun 2010 sebesar 18.966 rumah tangga. Tingkat kecukupan gizi di Kawasan Timur Indonesia yang dihitung dari besarnya kalori menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi kalori penduduk di KTI tahun 2008 sudah berada di atas batas standar kecukupan gizi yaitu sebesar 2001,56 kkal. Namun, nilai ini tidak jauh berbeda dari 2000 kkal sehingga masih harus mendapatkan perhatian serius karena sedikit saja terjadi perubahan perekonomian bisa menyebabkan konsumsi kalorinya turun. Hal ini terbukti, pada tahun 2009 akibat terkena dampak krisis pangan finansial dan energi, rata-rata konsumsi kalori penduduk KTI turun menjadi sebesar 1918,57 kkal dan tahun 2010 sebesar 1962,20 kkal. Artinya, sebagian besar penduduk KTI masih berada di bawah batas standar kecukupan kalori, dengan kata lain gizinya masih belum terpenuhi.
2000
0
2008
2009
2010
Sumber: BPS (diolah)
Gambar 5 Rata-rata Konsumsi Kalori per Kapita Sehari Menurut Provinsi di KTI Tahun 2008-2010 (Kkal).
38 Gambar 5 menunjukkan bahwa konsumsi kalori per kapita sehari Provinsi Kalimantan Timur berada di bawah standar kecukupan gizi, namun pada Gambar 6 terlihat bahwa konsumsi protein per kapita seharinya di atas standar kecukupan gizi (52 gram). Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Kalimantan Timur tidak hanya mengandalkan padi-padian yang tinggi kalori sebagai makanan mereka, namun juga mengkonsumsi ikan dan daging yang kaya akan protein. Konsumsi protein per kapita 16 provinsi di KTI memberikan gambaran yang tidak serupa dengan konsumsi kalorinya. Konsumsi kalori per kapita provinsi-provinsi di KTI sebagian besar berada di bawah standar kecukupan kalori, sedangkan konsumsi proteinnya sebagian besar sudah berada di atas batas standar kecukupan protein (52 gram). Hal ini wajar, sebab kalau kita telaah lebih jauh, wilayah KTI terdiri lebih dari 17 ribu kepulauan yang dikelilingi lautan. Dengan demikian tidak sulit dijumpai berbagai jenis ikan yang dapat dikonsumsi oleh penduduk KTI. Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi dengan konsumsi kalori dan protein tertinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di KTI.
52
0
2008
2009
2010
Sumber: BPS (diolah) Gambar 6 Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita Sehari Menurut Provinsi di KTI Tahun 2008-2010 (Gram).
39 4.2.
Ketersediaan Pangan (Food Availability) Ketersediaan pangan merupakan pilar pertama dari ketahanan pangan
sehingga merupakan syarat perlu untuk mencapai ketahanan pangan. Salah satu hal yang mencerminkan ketersediaan pangan adalah jumlah produksi pangan dalam negeri. Gambar 7 menunjukkan bahwa perkembangan produksi pangan di KTI selama tahun 1993-2010 mengalami kenaikan, kecuali untuk kacang kedelai yang mengalami penurunan. Faktor utama penurunan produksi kedelai adalah akibat konversi lahan dan keengganan petani kedelai menanam komoditas tersebut. Banyak petani kedelai beralih menanam jagung dan padi karena tidak ada intensif harga bagi petani dimana harga yang diterima petani kedelai paling rendah dibandingkan komoditas lain. Biaya pokok menanam kedelai tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat petani, sehingga petani cenderung beralih ke komoditas lain. 14
Produksi (ton)
12 10 8 6 4 2 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun Padi
Jagung
Ubi Kayu
Kac. Kedelai
Kac. Tanah
Kac. Hijau
Ubi Jalar
Sumber: BPS (diolah) Gambar 7 Produksi Tanaman Pangan di KTI Tahun 1993-2010. Apabila dilihat berdasarkan data produksi secara total menurut provinsi, Sulawesi Selatan merupakan daerah penghasil tanaman padi, jagung, dan kacang tanah terbesar di Kawasan Timur Indonesia. Predikat sebagai lumbung padi nasional mengukuhkan posisi Sulawesi Selatan sebagai produsen tanaman pangan yang cukup potensial. Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi dengan produksi kacang kedelai dan kacang hijau terbesar di KTI. Sedangkan untuk produksi
40 komoditas ubi kayu terbesar di KTI berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan ubi jalar berada di Provinsi Papua. Padi masih merupakan komoditas utama di KTI. Hal ini terlihat dari data produksi padi yang jauh di atas produksi komoditas lainnya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Data produksi padi juga dianalisis dengan menggunakan penimbang jumlah penduduk (produksi padi per kapita) dan didapatkan gambaran bahwa Sulawesi Selatan merupakan provinsi dengan produksi padi per kapita tertinggi sedangkan Papua merupakan provinsi dengan produksi padi per kapita terendah di KTI. Produksi pangan sangat tergantung pada berbagai faktor seperti iklim, jenis tanah, curah hujan, irigasi, komponen produksi pertanian yang digunakan, dan bahkan insentif bagi para petani untuk menghasilkan tanaman pangan, sehingga tidak mengherankan jika pertumbuhan produksi pangannya berfluktuasi. Tabel 6 Produksi Padi per Kapita Provinsi di KTI Tahun 2002-2010 (Ton) Provinsi NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
2002 0,33 0,12 0,23 0,20 0,44 0,17 0,17 0,33 0,47 0,15 0,18 0,00 0,01 0,00 0,00 0,04
2003 0,35 0,12 0,26 0,27 0,44 0,16 0,17 0,33 0,49 0,18 0,18 0,00 0,03 0,07 0,00 0,03
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 0,36 0,33 0,36 0,36 0,40 0,42 0,39 0,13 0,11 0,12 0,11 0,13 0,13 0,12 0,26 0,25 0,27 0,29 0,31 0,30 0,31 0,32 0,26 0,25 0,28 0,25 0,28 0,29 0,47 0,49 0,49 0,58 0,57 0,56 0,51 0,18 0,18 0,18 0,19 0,19 0,18 0,17 0,19 0,20 0,21 0,02 0,24 0,25 0,26 0,32 0,31 0,31 0,36 0,40 0,38 0,36 0,42 0,45 0,44 0,47 0,52 0,55 0,55 0,17 0,17 0,17 0,21 0,20 0,19 0,20 0,18 0,18 0,20 0,21 0,24 0,26 0,24 0,00 0,26 0,30 0,31 0,33 0,30 0,31 0,03 0,03 0,04 0,04 0,06 0,07 0,05 0,06 0,07 0,06 0,05 0,05 0,05 0,05 0,00 0,04 0,04 0,04 0,05 0,05 0,05 0,03 0,03 0,03 0,04 0,04 0,05 0,04
Sumber: BPS (diolah) Pertumbuhan sektor pertanian sebagai salah satu tolok ukur ekonomi kinerja pembangunan, sepanjang sejarah memang hampir selalu lebih rendah dibanding dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan yang dihitung antara lain dari nilai produksi setiap tahun yang relatif kecil tersebut mengindikasikan bahwa nilai produk pertanian primer memang lebih rendah dibandingkan dengan industri olahan. Namun, perlu ditekankan bahwa produk
41 pertanian juga menyumbang pada dua sektor dalam PDB nasional yaitu sektor pertanian dan sektor industri. 60
Pertumbuhan (%)
40 20 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 -20 -40 -60
Tahun Padi Ubi Jalar Kac. Hijau
Jagung Kac. Kedelai
Ubi Kayu Kac. Tanah
Sumber: BPS (diolah) Gambar 8 Pertumbuhan Produksi Pangan di KTI Tahun 1994-2010. Pertumbuhan produksi pangan di KTI dari tahun 2008 sampai dengan 2010 berfluktuasi bahkan untuk beberapa komoditas pertumbuhan produksinya negatif. Komoditas yang mengalami kemerosotan paling tajam adalah jagung dimana pertumbuhannya merosot dari 46,18 persen pada tahun 2008 menjadi 0,59 persen pada tahun 2010. Pada beberapa kabupaten di KTI, pertumbuhan produksi pangan yang menurun ini disebabkan antara lain karena meluasnya areal pertambangan terbuka, masih rendahnya produktivitas dimana beberapa program intensifikasi maupun ekstensifikasi belum efektif berjalan di KTI, dan adanya bencana alam karena penebangan hutan yang tidak dapat dihindari, kekeringan atau banjir. Hal ini akan mengancam keberlangsungan tingkat produksi saat ini dan di masa yang akan datang.
4.3.
Akses Pangan (Food Accessibility) Salah satu permasalahan dalam mewujudkan ketahanan pangan di KTI
adalah masih besarnya proporsi masyarakat yang mempunyai daya beli rendah dan yang tidak mempunyai akses terhadap pangan. Beberapa hal yang menyebabkan kurangnya akses masyarakat terhadap pangan antara lain karena
42 keterbatasan sumber daya manusia dan kurangnya infrastruktur yang memadai. Sumber daya manusia yang rendah antara lain kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi pangan, pengolahan pangan yang higienis, dan rendahnya kesadaran masyarakat akan keamanan pangan. Sektor infrastruktur di Indonesia memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan
ekonomi
dan
meningkatkan
standar
hidup
masyarakat.
Pembangunan infrastruktur yang lebih baik akan mendorong lebih banyak investasi di berbagai sektor. Dapat dikatakan bahwa sektor infrastruktur merupakan sektor antara yang menghubungkan berbagai aktivitas ekonomi. Kurangnya akses terhadap infrastruktur dapat menyebabkan kemiskinan lokal dimana suatu masyarakat menjadi terisolir dengan kondisi geografis yang sulit sehingga kurang mendapatkan kesempatan ekonomi dan pelayanan jasa yang memadai. Salah satu infrastruktur dasar yang perlu dikembangkan adalah prasarana jalan yang memiliki fungsi aksesibilitas untuk membuka daerah kurang berkembang dan fungsi mobilitas untuk memacu daerah yang telah berkembang. Pembangunan infrastruktur jalan dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Dengan pengembangan akses jalan, masyarakat dapat menjangkau pusat kesehatan yang lebih baik seperti rumah sakit besar sehingga angka kematian anak dapat dikurangi. Selain itu, pembangunan jalan dapat memberikan akses yang lebih baik ke pasar bagi para produsen, penjual dan pembeli. Tenaga pendidik dapat mengajar masyarakat sehingga bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia di wilayah tersebut. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dapat menjangkau petani pedesaan dalam menyediakan bantuan teknis dan informasi lainnya. Hasil penelitian Prasetyo dan Firdaus (2009) menyatakan bahwa panjang jalan mempunyai peranan yang cukup penting dalam pertumbuhan ekonomi. Distribusi faktor produksi ataupun barang dan jasa hasil produksi sangat tergantung dari keberadaan infrastruktur jalan. Provinsi yang memiliki rasio panjang jalan yang baik dan sedang berada di Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur jalan di Provinsi Sulawesi Selatan lebih bagus dibandingkan provinsi lain di KTI. Sebaliknya, Provinsi
43 Papua dan Papua Barat memiliki rasio panjang jalan yang paling kecil. Hal ini disebabkan karena kondisi geografis Pulau Papua yang sulit sehingga membutuhkan biaya yang sangat besar untuk membangun infrastruktur disamping kepadatan penduduknya yang masih rendah. Tabel 7 Rasio Panjang Jalan Baik dan Sedang terhadap Luas Wilayah (km/km2) Provinsi Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Total
2008 0,1431 0,1791 0,0420 0,0349 0,1287 0,0297 0,1690 0,0852 0,3717 0,1335 0,0972 0,1638 0,0520 0,0295 0,0174 0,0111 0,0591
2009 0,1324 0,1814 0,0415 0,0371 0,1444 0,0317 0,1990 0,0873 0,3853 0,1454 0,1669 0,1794 0,0477 0,0295 0,0174 0,0128 1,0549
2010 0,1555 0,1976 0,0426 0,0359 0,1515 0,0350 0,2081 0,1059 0,3987 0,1344 0,1800 0,1902 0,0543 0,0196 0,0322 0,0139 1,0706
Sumber: BPS (diolah) Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi kerawanan pangan adalah dengan program pendistribusian beras untuk masyarakat miskin secara langsung atau yang dikenal dengan Program Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin). Diharapkan dengan adanya program Raskin ini, dapat memberikan manfaat yang nyata dalam peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan sosial rumah tangga. Selain itu, program Raskin merupakan program transfer energi yang kaya akan kalori sehingga dapat memperbaiki gizi keluarga miskin. Namun, ada hal yang perlu diwaspadai dari program Raskin yaitu timbulnya ketergantungan masyarakat pada konsumsi beras. Beberapa daerah pada awalnya mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka dengan mengkonsumsi umbi-umbian seperti ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan lain-lain. Setelah adalah program Raskin, terjadi pergeseran pola pangan dari umbi-umbian beralih mengkonsumsi beras. Hal ini bukan hanya karena harga beras Raskin lebih murah, namun juga karena kemudahan untuk memperolehnya. Kalau sebelumnya keluarga miskin harus menanam sendiri maupun memperoleh pangan dengan
44 menempuh jarak yang jauh, dengan adanya Raskin keluarga miskin semakin mudah untuk mendapatkan pangan pokok mereka. Data mengenai besarnya persentase rumah tangga penerima raskin untuk sampel Susenas Panel 2008-2010 masing-masing provinsi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Persentase Rumah Tangga Penerima Raskin di KTI Tahun 2008-2010 (Persen) Provinsi Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
2008 85,59 34,30 39,95 41,43 27,12 18,88 35,75 48,88 28,61 33,64 44,50 44,24 35,60 21,05 41,83 32,34
2009 76,22 46,65 27,92 28,51 15,16 20,72 36,32 29,20 21,37 24,59 32,76 45,23 50,00 31,96 48,95 34,11
2010 81,39 53,16 44,62 32,67 23,99 18,62 38,52 42,15 29,40 53,36 46,98 52,87 51,73 37,79 48,74 37,40
Sumber: Susenas Panel 2008-2010 (diolah) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan provinsi dengan persentase rumah tangga penerima raskin yang paling besar. Padahal Provinsi NTB sendiri termasuk ke dalam daerah surplus beras dan juga sebagai salah satu daerah penyangga stok beras nasional. Jika dilihat dari data tingkat produktivitas padi tahun 2008-2010, Provinsi NTB berada di posisi tertinggi ketiga di KTI setelah Gorontalo dan Sulawesi Selatan dengan rata-rata sebesar 48,7 kuintal/hektar. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat petani di NTB masih berada pada kondisi miskin.
4.4.
Pemanfaatan Pangan (Food Utilization) Pemanfaatan pangan meliputi dua hal yaitu pemanfaatan pangan yang bisa
diakses oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap zat gizi. Dewan Ketahanan Pangan (2009) menyatakan bahwa pemanfaatan pangan oleh
45 rumah tangga tergantung pada: (i) fasilitas penyimpanan dan pengolahan makanan yang dimiliki oleh rumah tangga; (ii) pengetahuan dan praktek yang berhubungan dengan penyiapan makanan, pemberian makan untuk balita dan anggota keluarga lainnya yang sedang sakit atau sudah tua, serta pengetahuan dari ibu dan pengasuh, adat/kepercayaan dan tabu; (iii) distribusi makanan dalam keluarga; dan (iv) kondisi kesehatan masing-masing individu yang mungkin menurun karena penyakit, higiene, air dan sanitasi yang buruk serta kurangnya akses ke fasilitas kesehatan dan pelayanan kesehatan. Tabel 9 Persentase Perempuan Buta Huruf di KTI Tahun 2008-2010 (Persen) Provinsi Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Total KTI
2008 23,37 15,68 15,42 7,29 9,89 7,83 3,30 9,15 16,08 14,27 7,01 18,92 6,86 11,24 13,88 29,82 13,92
2009 25,67 17,90 18,33 8,04 9,28 8,01 3,82 9,82 16,94 15,15 8,06 19,79 7,81 10,98 13,73 35,96 15,24
2010 26,79 18,33 19,23 8,50 11,00 8,11 4,78 10,08 17,89 14,57 8,46 19,77 9,80 12,29 18,64 35,52 16,21
Rata-rata 25,28 17,30 17,66 7,94 10,06 7,98 3,97 9,69 16,97 14,66 7,84 19,50 8,16 11,50 15,42 33,77 15,12
Sumber: BPS (diolah) Perempuan yang bisa membaca dan menulis (melek huruf) terutama ibu dan pengasuh anak menjadi hal yang sangat penting dalam pemanfaatan pangan karena sangat berpengaruh terhadap status kesehatan dan gizi. Studi di berbagai negara menunjukan bahwa tingkat pendidikan dan kesadaran ibu dapat menjelaskan situasi gizi anak-anak di negara-negara berkembang. Hal ini sudah terbukti secara global bahwa kekurangan gizi berkaitan erat dengan tingkat pendidikan ibu. Pola perkembangan angka perempuan buta huruf di KTI dari tahun 2008 sampai dengan 2010 mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 15,12 persen. Persentase perempuan buta huruf tertinggi terdapat di Provinsi Papua dengan rata-rata sebesar 33,77 persen dan yang terendah terdapat di Provinsi
46 Sulawesi Utara. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di Papua masih rendah yang berdampak pada sumber daya manusia yang rendah pula.
4.5.
Pola Konsumsi Rumah Tangga Pada tahun 2009, konsumsi kalori rumah tangga di hampir semua
kelompok makanan mengalami penurunan kecuali kelompok makanan dan minuman jadi. Hasil penelitian Rachman dan Suryani (2010) menyatakan bahwa krisis Pangan Energi Finansial (PEF) merupakan penyebab terjadinya penurunan konsumsi kalori pada tahun 2009 di Indonesia. Hal ini juga dirasakan secara regional di KTI dimana akibat krisis PEF banyak rumah tangga yang tergolong rentan mengurangi jumlah dan kualitas pangan yang dikonsumsi. Pada tahun 2007-2008, harga pangan dunia bergejolak akibat krisis finansial yang dialami Amerika Serikat. Harga komoditas padi-padian melonjak hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Untuk komoditas jagung meningkat lebih dari tiga kali lipat yang semula $2,5 menjadi $8 per gantang. Para pakar sepakat bahwa dampak lonjakan harga ini dapat mengakibatkan kelaparan pada masyarakat miskin di negara berkembang. Selain itu, dengan makin berkembangnya jumlah penduduk dunia dan meningkatnya kebutuhan energi, padahal sumber bahan baku energi fosil semakin langka, maka terjadi persaingan dalam pemanfaatan bahan pangan untuk produksi energi nabati. Kondisi lonjakan harga pangan dunia dan persaingan pemanfaatan pangan untuk energi yang dipicu oleh krisis finansial dunia itulah yang dikenal dengan sebutan krisis Pangan Energi Finansial (PEF). Apabila dilihat berdasarkan kelompok makanan, konsumsi kalori per kapita KTI untuk kelompok makanan padi-padian merupakan yang terbesar jika dibandingkan dengan kelompok makanan lainnya. Besarnya kontribusi padipadian terutama beras menunjukkan bahwa sampai saat ini beras masih merupakan pangan pokok yang sangat penting dalam pola konsumsi di KTI dan mengandung asupan energi tinggi yaitu sesuai daftar konversi zat gizi sebesar 3622 kkal/kg.
47 Tabel 10
Rata-rata Konsumsi Kalori per Kapita Sehari Menurut Kelompok Makanan dan Klasifikasi Desa di KTI Tahun 2008-2010 (Kkal)
Kelompok Makanan Padi-padian Umbi-umbian Ikan Daging Telur dan susu Sayur-sayuran Kacang-kacangan Buah-buahan Minyak dan lemak Bahan minuman Bumbu-bumbuan Konsumsi lainnya Makanan dan minuman jadi
K
2008 D
K+D
933,88 1068,28 1029,80 91,69 231,05 196,14 80,53 75,34 76,84 111,88 123,25 118,94 86,57 51,07 63,58 40,22 50,29 47,48 62,74 76,26 71,25 66,48 77,00 73,90 237,95 239,19 238,84 124,44 15,23 91,08 278,37
132,99 13,04 68,36 161,35
130,49 13,65 75,44 197,51
K
2009 D
K+D
K
887,14 1038,28 1014,58 894,13 349,62 147,04 185,30 69,85 47,06 76,06 71,79 75,12 116,48 115,22 115,33 115,57 20,57 64,99 60,61 89,79 40,62 44,09 43,50 36,01 73,99 69,39 69,88 59,95 53,74 65,84 64,16 62,40 154,33 241,23 227,15 228,32 84,00 6,63 35,65 89,82
128,01 14,23 71,84 220,45
121,42 115,49 12,95 14,99 67,20 80,46 202,29 288,26
2010 D
K+D
1074,48 1023,62 224,13 185,12 73,54 74,00 123,45 120,41 58,41 69,23 44,58 42,16 72,47 67,85 68,74 66,87 237,56 234,90 125,76 13,15 63,06 172,76
122,72 13,68 68,53 209,07
Keterangan: K = Kota; D = Desa
Sumber: Susenas Panel 2008-2009 (diolah) Berdasarkan tipe daerah tempat tinggal, pada tahun 2008 sampai dengan 2010 terlihat bahwa rata-rata konsumsi kalori penduduk perdesaan lebih besar dibandingkan konsumsi kalori penduduk perkotaan. Hal ini wajar karena aktivitas penduduk di perdesaan pada umumnya membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan dengan penduduk di perkotaan. Tahun 2008 dan 2010, kelompok makanan dan minuman jadi memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap total konsumsi kalori di daerah perkotaan. Gambaran ini menunjukkan bahwa penduduk perkotaan lebih menyukai makanan dan minuman siap jadi yang meliputi roti, kue, makanan gorengan, air kemasan, dan aneka makanan serta minuman jadi lainnya yang disajikan oleh rumah makan. Tabel 11 menunjukkan bahwa lebih dari 96 persen rumah tangga di KTI mengkonsumsi beras. Ketergantungan penduduk terhadap beras sangat besar hingga di wilayah pedalaman. Hanya sebagian kecil masyarakat yang mengkonsumsi pangan pokok selain beras seperti sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan jagung. Masyarakat Papua dan Maluku yang dulunya terbiasa dengan makanan pokok berupa sagu dan umbi-umbian perlahan-lahan mulai tergantikan ke beras. Hal ini jika tidak diantisipasi, akan mengancam ketahanan pangan di Papua dan Maluku. Sebab jika suatu saat stok pangan lokal menipis dan suplai beras mulai tersendat dapat menjadi pemicu kelaparan di daerah pelosok. Oleh karena itu,
48 sangat diperlukan adanya kebijakan untuk menguatkan potensi pangan lokal di masing-masing daerah terutama wilayah pedalaman. Perbandingan data antara tahun 2008 dan 2010 menunjukkan bahwa konsumsi beras semakin meningkat sedangkan konsumsi komoditas lainnya semakin menurun. Kecenderungan peningkatan konsumsi beras dan penurunan konsumsi komoditas lainnya tersebut menunjukkan bahwa diversifikasi pangan di KTI belum berhasil. Tabel 11 Persentase Rumah Tangga yang Mengkonsumsi Beberapa Komoditas Pangan di KTI Tahun 2008-2010 (Persen) Komoditas Beras Jagung Pipilan Ubi Kayu Ubi Jalar Sagu Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Talas/keladi Kentang Gaplek
2008 96,56 9,21 35,20 10,04 7,43 4,89 2,35 9,15 6,96 6,70 0,31
2009 96,82 8,40 30,53 8,94 6,90 4,60 2,69 6,62 7,30 6,33 0,20
2010 96,80 7,76 28,50 9,00 7,02 4,72 1,86 6,37 5,68 6,25 0,13
Sumber: BPS (diolah) Pola konsumsi protein per kapita menurut kelompok makanan di KTI memberikan gambaran yang serupa dengan pola konsumsi kalori per kapita. Disamping padi-padian, kelompok makanan yang memberikan asupan protein yang besar di KTI adalah ikan. KTI merupakan kawasan yang terdiri lebih dari 17 ribu kepulauan yang dikelilingi oleh lautan dimana hampir semua jenis ikan dapat ditemukan di wilayah ini, sehingga tidak mengherankan jika sebagian besar penduduk di KTI mengkonsumsi ikan. Apabila dilihat dari klasifikasi daerah tempat tinggal, pada tahun 2008 dan 2010 asupan protein penduduk perkotaan lebih besar dibandingkan dengan penduduk di perdesaan. Sedangkan pada tahun 2009 kondisinya terbalik, dimana asupan protein penduduk perkotaan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan penduduk di perdesaan. Hal ini
menunjukkan pada tahun 2009, penduduk
perdesaan lebih mampu memenuhi kebutuhan pangannya meskipun dalam kondisi perekonomian yang sedang turun akibat dampak krisis global.
49 Tabel 12
Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita Sehari Menurut Kelompok Makanan dan Klasifikasi Desa di KTI Tahun 2008-2010 (Gram)
Kelompok Makanan Padi-padian Umbi-umbian Ikan Daging Telur dan susu Sayur-sayuran Kacang-kacangan Buah-buahan Minyak dan lemak Bahan minuman Bumbu-bumbuan Konsumsi lainnya Makanan dan minuman jadi
K 22,17 0,69 13,36 6,85 4,71 2,81 5,33 0,73 0,34 0,98 0,60 1,90 8,50
2008 D
K+D
K
2009 D
K+D
K
2010 D
K+D
25,87 1,51 12,17 6,55 2,74 3,81 5,69 0,83 0,61 1,12 0,48 1,44 3,99
24,81 1,31 12,52 6,66 3,43 3,53 5,55 0,80 0,53 1,08 0,51 1,58 5,38
21,00 2,65 7,52 5,15 1,30 3,20 5,35 0,55 0,40 0,73 0,23 0,78 2,21
24,41 0,95 12,42 6,64 3,63 3,22 5,59 0,71 0,49 1,04 0,54 1,52 5,99
23,86 1,27 11,69 6,52 3,40 3,22 5,57 0,69 0,47 0,99 0,49 1,42 5,47
20,99 0,56 12,62 7,02 5,10 2,48 5,28 0,79 0,28 1,00 0,63 1,69 8,66
25,29 1,53 11,99 6,73 3,37 3,30 5,55 0,84 0,54 1,15 0,50 1,33 4,33
24,05 1,28 12,18 6,84 3,97 3,07 5,45 0,82 0,47 1,11 0,54 1,44 5,69
Keterangan: K = Kota; D = Desa
Sumber: Susenas Panel 2008-2010 (diolah)
4.6.
Pola Pengeluaran Kawasan Timur Indonesia Data pengeluaran Susenas terdiri atas dua kelompok, yaitu pengeluaran
untuk makanan dan bukan makanan. Permintaan untuk kedua kelompok tersebut pada dasarnya berbeda. Dalam kondisi pendapatan terbatas, kita akan mendahulukan pemenuhan kebutuhan makanan, sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa
sebagian besar
pendapatannya digunakan untuk membeli makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan, maka lambat laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk bukan makanan. Pergeseran komposisi dan pola pengeluaran tersebut terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan secara umum rendah, sedangkan elastisitas permintaan terhadap kebutuhan bukan makanan relatif tinggi. Keadaan ini jelas terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang bukan makanan, sedangkan sisa pendapatan dapat disimpan sebagai tabungan/diinvestasikan.
50 Uraian di atas menjelaskan bahwa pola pengeluaran merupakan salah satu variabel yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan (ekonomi) penduduk, sedangkan pergeseran komposisi pengeluaran dapat mengindikasikan perubahan tingkat kesejahteraan penduduk. Secara keseluruhan, persentase pengeluaran penduduk di KTI untuk konsumsi makanan lebih besar dibandingkan dengan persentase pengeluaran untuk non makanan. Hal ini mengindikasikan bahwa akses masyarakat terhadap pangan dari sisi ekonomi masih terbatas. Ini juga menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan sebagian besar masyarakat di KTI relatif rendah, dimana lebih dari setengah pendapatannya dibelanjakan untuk kelompok makanan. Pola pengeluaran untuk makanan dari tahun 2008 sampai dengan 2010 masih cenderung tetap yaitu sebesar 62 persen yang artinya belum terjadi pergeseran tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk KTI. Tabel 13 Rata-rata Pangsa Pengeluaran per Kapita untuk Makanan dan Bukan Makanan di KTI Kelompok Makanan Non Makanan
2008 2009 2010 Kota Desa Total Kota Desa Total Kota Desa Total 0,54 0,65 0,62 0,68 0,61 0,62 0,54 0,65 0,62 0,46 0,35 0,38 0,32 0,39 0,38 0,46 0,35 0,38
Sumber: Susenas Panel 2008-2010 (diolah) Apabila dilihat dari klasifikasi daerah tempat tinggal, pada tahun 2008 dan 2010 persentase pengeluaran per kapita masyarakat perdesaan lebih besar dibandingkan dengan masyarakat di perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di perkotaan lebih tinggi dibandingkan penduduk di perdesaan. Namun gambaran yang sebaliknya terjadi pada tahun 2009 dimana pangsa pengeluaran penduduk perkotaan terhadap makanan lebih besar jika dibandingkan dengan pangsa pengeluaran penduduk perdesaan.
4.7.
Derajat Ketahanan Pangan di Kawasan Timur Indonesia Jonsson dan Toole dalam Maxwell et al (2000) menyatakan bahwa derajat
ketahanan pangan dapat diukur berdasarkan pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan konsumsi kalorinya. Berdasarkan klasifikasi tersebut, didapatkan bahwa sebagaian besar rumah tangga di Kawasan Timur Indonesia termasuk dalam kategori rentan terhadap rawan pangan. Hal ini disebabkan sebagian besar pendapatan masyarakat KTI digunakan untuk pengeluaran makanan sehingga
51 konsumsi kalorinya tercukupi. Tingkat kerentanan terhadap kerawanan pangan yang tinggi ini perlu diwaspadai dan mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Sebab, suatu masyarakat yang dikategorikan rentan terhadap rawan pangan, jika terjadi goncangan sedikit saja bisa membuat masyarakat tersebut berubah menjadi kategori rawan pangan. Tabel 14 Derajat Ketahanan Pangan (Persen) 2008
Kategori
2009
K
D
K+D
K
48,75
25,08
31,88
Rentan Pangan
27,14
52,65
Kurang Pangan
14,10
6,23
Rawan Pangan
10,02
16,04
Tahan Pangan
2010
D
K+D
K
D
K+D
2,68
35,11
30,62
45,40
24,68
30,63
45,32
31,85
44,44
42,69
27,56
51,56
44,67
8,49
15,94
9,26
10,18
15,70
6,71
9,29
14,31
49,53
11,19
16,51
11,35
17,05
15,41
Sumber: Susenas Panel 2008-2010 (diolah) Berdasarkan klasifikasi tempat tinggal, pada tahun 2008 dan 2010 sebagian besar rumah tangga di perkotaan termasuk ke dalam kategori tahan pangan. Hal yang menarik terjadi pada tahun 2009, dimana penduduk di perkotaan beralih sebagian besar menjadi kategori rawan pangan. Pergeseran kategori penduduk perkotaan pada tahun 2009 dari sebagian besar tahan pangan menjadi rawan pangan ini menunjukkan bahwa krisis PEF lebih berdampak terhadap penduduk perkotaan dibandingkan penduduk perdesaan. Sebagian besar penduduk perdesaan termasuk ke dalam kategori rentan pangan, yang artinya konsumsi kalorinya tercukupi namun lebih dari 60 persen pendapatannya digunakan untuk konsumsi makanan. Sebagian besar aktivitas penduduk perdesaan membutuhkan energi yang besar sehingga asupan kalorinya juga tinggi, namun dilihat dari tingkat kesejahteraan ekonominya, penduduk perdesaan masih lebih rendah dibandingkan dengan penduduk perkotaan. Selain itu, terbatasnya sarana di perdesaan menyebabkan tingginya kerentanan pangan di perdesaan bila dibandingkan dengan perkotaan. Akses pangan di perkotaan cenderung lebih mudah dibandingkan dengan akses pangan di perdesaan. Berdasarkan perhitungan provinsi, pada tahun 2008 hampir semua provinsi di KTI termasuk ke dalam kriteria rentan pangan kecuali Kalimantan Timur dan Maluku Utara yang termasuk ke dalam kategori tahan pangan. Menurut data Susenas 2008, Kota Balikpapan memberikan kontribusi yang tinggi terhadap ketahanan pangan di Kalimantan Timur dan Kota Ternate memberikan kontribusi
52 tertinggi terhadap ketahanan pangan di Maluku Utara. Sebagian besar kotamadya di KTI memberikan kontribusi yang besar terhadap ketahanan pangan di KTI. Hal ini disebabkan karena dukungan infrastruktur baik berupa sarana transportasi, gedung, pertokoan, sekolah dan lain-lain lebih banyak ditemukan di kotamadya dibandingkan di kabupaten. Derajat ketahanan pangan kabupaten/kota di KTI disajikan dalam bentuk peta spasial seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 9. Peta dasar yang digunakan dalam penelitian ini merupakan peta dasar yang didapatkan dari Badan Pusat Statistik untuk kondisi terakhir tahun 2010 dengan master file desa sebanyak 497 kabupaten/kota di Indonesia. Sedangkan untuk Kawasan Timur Indonesia, berdasarkan master file desa tersebut ada sebanyak 219 kabupaten/kota. Namun terkait dengan ketersediaan data, penelitian ini hanya menganalisis 190 kabupaten/kota saja di KTI, sehingga 29 kabupaten/kota sisanya ditampilkan dengan warna merah di peta. Derajat ketahanan pangan yang diklasifikasikan menjadi empat kategori digambarkan dalam bentuk warna yang kontras, yaitu warna hijau untuk kategori tahan pangan, merah muda untuk kategori rentan terhadap rawan pangan, kuning untuk kategori kurang pangan, dan abu-abu untuk kategori rawan pangan. Sedangkan warna merah pada peta tersebut menunjukkan bahwa kabupaten/kota tersebut tidak dianalisis. Perbandingan warna pada peta tematik tersebut dapat memudahkan untuk menggambarkan situasi ketahanan pangan antardaerah dan dinamika ketahanan pangan antarwaktu. Gambar 9 menunjukkan bahwa pada tahun 2008, 2009 maupun 2010, Pulau Kalimantan merupakan pulau dengan kabupaten/kota yang sebagian besar rumah tangganya dikategorikan tahan pangan. Provinsi Kalimantan Timur merupakan provinsi dengan jumlah kabupaten/kota tahan pangan terbesar di KTI. Apabila dilihat dari tingkat pendapatannya, Provinsi Kalimantan Timur memiliki PDRB per kapita tertinggi di KTI yang artinya tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk Kalimantan Timur tinggi. Sebaliknya, Pulau Papua merupakan pulau dengan sebagian besar rumah tangganya dikategorikan sebagai rawan pangan. Beberapa kabupaten yang tidak dianalisis dalam penelitian ini paling banyak
53 dijumpai di Pulau Papua. Hal ini disebabkan karena memang banyak kabupaten yang mengalami pemekaran di Papua. Kabupaten/kota yang dikategorikan sebagai kurang pangan sangat sedikit. Hal ini wajar, sebab jarang ditemukan rumah tangga yang sebagian besar pendapatannya digunakan untuk belanja non makanan namun ketercukupannya kalorinya rendah. Suatu rumah tangga yang pangsa pengeluaran pangannya rendah cenderung memiliki pendapatan yang tinggi, sehingga tentu saja pemenuhan kebutuhan kalorinya tercukupi. Rumah tangga yang dikategorikan kurang pangan ini bisa disebabkan karena sebagian besar masyarakatnya mengkonsumsi makanan yang rendah kalori atau kuantitas pangannya rendah. Dinamika ketahanan pangan tahun 2008 dan 2010 tidak banyak mengalami perubahan. Klasifikasi ketahanan pangan 146 kabupaten/kota di KTI sama antara tahun 2008 dan 2010. 146 kabupaten/kota tersebut meliputi 39 kabupaten/kota yang tetap dikategorikan sebagai tahan pangan dan 107 kabupaten/kota yang tetap dikategorikan sebagai rentan pangan. Kabupaten/kota yang kondisi ketahanan pangannya membaik antara tahun 2008 dan 2010 ada sebanyak 21 kabupaten/kota, yaitu 2 kabupaten dari rawan pangan menjadi tahan pangan, 14 kabupaten/kota dari rentan pangan menjadi tahan pangan, 4 kabupaten dari rawan pangan menjadi rentan pangan, dan 1 kota dari kurang pangan menjadi tahan pangan. Kabupaten/kota yang kondisi ketahanan pangannya memburuk ada sebanyak 23 kabupaten/kota, yaitu 15 kabupaten/kota dari tahan pangan menjadi rentan pangan, 1 kota dari tahan pangan menjadi kurang pangan, 4 kabupaten dari rentan pangan menjadi rawan pangan, dan 1 kabupaten dari kurang pangan menjadi rawan pangan (Lampiran 9).
54
(a)
Klasifikasi Ketahanan Pangan Tahun 2008
(b) Klasifikasi Ketahanan Pangan Tahun 2009
55
(c) Klasifikasi Ketahanan Pangan Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Gambar 9 Peta Klasifikasi Ketahanan Pangan Tahun 2008-2010. Persentase rumah tangga yang tahan pangan untuk masing-masing kabupaten/kota di KTI pada tahun 2008-2010 juga disajikan dalam bentuk peta spasial seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 10a, b, dan c. Besarnya persentase tahan pangan diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu kabupaten/kota dengan persentase rumah tangga tahan pangan (1) rendah (0-22 persen), (2) sedang (22-41 persen), dan (3) tinggi (41-73 persen). Perbandingan tingkat ketahanan pangan antarkabupaten/kota di KTI dapat dilihat berdasarkan warna yang disajikan, dimana semakin gelap warnanya menunjukkan bahwa kabupaten/kota tersebut semakin tinggi persentase rumah tangga tahan pangannya. Warna putih pada peta menunjukkan bahwa kabupaten/kota tersebut tidak dianalisis dalam penelitian ini. Peta spasial ini juga dapat digunakan untuk melihat dinamika ketahanan pangan di KTI antarwaktu, dimana semakin gelap warnanya maka semakin tinggi persentase rumah tangga tahan pangannya. Kabupaten/kota dengan persentase rumah tangga tahan pangan kategori tinggi paling banyak dijumpai di Pulau Kalimantan, khususnya Provinsi Kalimantan Timur. Sedangkan kabupaten/kota dengan persentase rumah tangga
56 tahan pangan rendah paling banyak dijumpai di Pulau Papua. Dilihat dari dinamika antarwaktunya, persentase rumah tangga tahan pangan di KTI semakin menurun dari tahun 2008 sampai dengan 2010. Beberapa kabupaten/kota pada tahun 2008 termasuk kategori dengan persentase rumah tangga tahan pangan tinggi (ditunjukkan dengan warna hijau tua), kemudian tahun 2010 berubah menjadi kategori dengan persentase rumah tangga tahan pangan sedang (ditunjukkan dengan warna hijau muda).
(a) Persentase Rumah Tangga Tahan Pangan di KTI Tahun 2008
(b) Persentase Rumah Tangga Tahan Pangan di KTI Tahun 2009
57
(c) Persentase Rumah Tangga Tahan Pangan di KTI Tahun 2010 Sumber: BPS (diolah) Gambar 10 Peta Persentase Rumah Tangga Tahan Pangan di KTI Tahun 20082010.
58
Halaman ini sengaja dikosongkan.
V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KETAHANAN PANGAN DI KTI
5.1. Pemilihan Model Terbaik Struktur data yang digunakan berupa data panel yang meliputi data cross section 190 kabupaten/kota di KTI (Lampiran 6-8) dan data time series selama 3 tahun (2008-2010). Provinsi yang termasuk ke dalam KTI meliputi 16 provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Penelitian ini menggunakan model tobit untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia. Alasan utama penggunaan model tobit ini karena ada beberapa kabupaten di KTI yang variabel terikatnya (persentase rumah tangga tahan pangannya) bernilai nol. Jumlah observasi dalam struktur data panel ini ada sebanyak 570 sampel yang terdiri dari 15 sampel tersensor dan sisanya 555 sampel tidak tersensor. Sampel tersensor disini mengandung arti nilai observasinya sama dengan nol. Penaksiran parameter dilakukan dengan menggunakan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE) yaitu teknik yang digunakan untuk mencari nilai parameter yang memberi kemungkinan (likelihood) yang paling besar guna mendapatkan data yang terobservasi sebagai estimator. Cara memaksimumkan likelihood berkaitan dengan estimasi dalam statistik, sedangkan cara mendapatkan estimasi untuk nilai parameter dengan memaksimumkan fungsi kemungkinan. Nilai statistik Wald Chi-Square sebesar 84,81 dengan p-value sebesar 0,0000, yang artinya tolak Ho. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 persen paling tidak ada salah satu peubah bebas yang berpengaruh terhadap peubah terikatnya (secara keseluruhan model dapat menjelaskan). Pengujian signifikansi masing-masing variabel dapat dilihat dari pvalue masing-masing variabel, dimana jika nilainya kurang dari α = 5 persen maka dapat dikatakan bahwa variabel bebas yang dimaksud signifikan secara statistik.
60 Likelihood-ratio test digunakan untuk membandingkan kesesuaian model keseluruhan antara model random effect dengan model pooled. Berdasarkan hasil pengujian likelihood-ratio diperoleh nilai p-value sebesar 0,000, sehingga cukup bukti untuk menolak Ho, yang artinya model random effect lebih sesuai digunakan dibandingkan model pooled. Pemilihan model terbaik juga bisa dilihat dari nilai log likelihood yang terbesar, dimana model pooled memiliki nilai log likelihood sebesar -2216,8193 sedangkan model random effect sebesar -2109,7211 seperti yang ditunjukkan oleh Lampiran 10.
5.2. Hasil Estimasi Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan di KTI dilihat dari tiga pilar utama ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan, aksesibilitas pangan, dan pemanfaatan pangan. Masing-masing pilar tersebut diproksi dengan variabel yang paling sesuai. Variabel produksi pangan digunakan sebagai proksi pilar ketersediaan pangan. Variabel rasio panjang jalan, persentase penduduk miskin, dan pendapatan per kapita digunakan sebagai proksi pilar aksesibilitas pangan. Sedangkan variabel rata-rata lama sekolah dan persentase perempuan buta huruf digunakan sebagai proksi pilar pemanfaatan pangan. Variabel yang digunakan dalam analisis regresi ini ada yang menggunakan logaritma natural (ln) dan ada yang tidak. Variabel yang datanya dalam bentuk persentase maupun rasio tidak dapat menggunakan logaritma natural seperti persentase rumah tangga tahan pangan, rasio panjang jalan, persentase penduduk miskin, dan persentase perempuan buta huruf. Sedangkan variabel rata-rata lama sekolah dikarenakan standar deviasinya kecil (1,48), maka tidak perlu menggunakan logaritma natural. Terkait dengan hal tersebut, rumus perhitungan nilai elastisitas untuk kedua tipe variabel tersebut berbeda. Untuk variabel yang menggunakan logaritma natural (produksi pangan dan PDRB per kapita) menggunakan rumus elastisitas Persamaan 3.19, sedangkan untuk variabel yang tidak menggunakan logaritma natural menggunakan rumus elastisitas Persamaan 3.17.
61 Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 15, dapat diketahui bahwa terdapat empat variabel bebas yang secara statistik signifikan memengaruhi ketahanan pangan di KTI yaitu persentase penduduk miskin, PDRB per kapita, persentase perempuan buta huruf, dan rata-rata lama sekolah. Sedangkan variabel yang secara statistik tidak signifikan memengaruhi ketahanan pangan antara lain produksi pangan dan rasio panjang jalan kualitas baik dan sedang. Berikut ini merupakan penjelasan masing-masing variabel yang digunakan dalam analisis regresi model tobit.
Produksi Pangan Variabel produksi pangan tidak signifikan memengaruhi ketahanan pangan di KTI. Beberapa hal yang bisa menjelaskan temuan ini antara lain data produksi pangan menurut kabupaten/kota kurang reliable digunakan. Priyarsono (2011) menyatakan bahwa data produksi padi cenderung overestimate. Namun berapa besar overestimate tersebut bervariasi menurut lokasi dan kurun waktu. Data produksi pangan didapatkan dari hasil perkalian produktivitas pangan dengan luas panen. Dengan demikian, untuk memperbaiki statistik padi dengan menerapkan faktor koreksi saja kurang efektif. Tindakan yang lebih fundamental seperti perbaikan pencatatan luas sawah dan pengukuran produktivitas perlu dilakukan. Salah satu yang perlu ditelaah adalah pengukuran luas sawah dengan bantuan satelit. Sedangkan untuk memperbaiki data produktivitas, pelaksaanaan ubinan perlu dikelola petugas netral yang bebas conflict of interest, misalkan dengan cara sepenuhnya melimpahkan pekerjaan ini kepada Badan Pusat Statistik dan tanpa melibatkan petugas dari Kementerian Pertanian. Hal lain yang bisa menjelaskan tidak signifikannya produksi pangan yaitu masyarakat KTI justru tidak menikmati produksi pangan mereka. Kontribusi Raskin cukup besar terhadap konsumsi masyarakat KTI terhadap beras sebagaimana ditunjukkan data pada Tabel 8, sehingga masyarkat KTI lebih mengandalkan bantuan Raskin dibandingkan dengan produksi pangan mereka sendiri. Selain itu, produksi pangan yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi tujuh komoditas yaitu padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedelai, dan kacang hijau. Produksi pangan lokal seperti sagu, talas, gaplek, dan
62 lain-lain belum dimasukkan ke dalam analisis regresi ini dikarenakan keterbatasan data pada level kabupaten/kota. Tidak signifikannya variabel produksi pangan memengaruhi ketahanan pangan di KTI ini menjadi salah satu penjelasan dari latar belakang penelitian ini yaitu adanya kontradiksi beberapa kabupaten yang sebenarnya surplus pangan namun dikategorikan sebagai rentan pangan.
Rasio Panjang Jalan terhadap Luas Wilayah Variabel rasio panjang jalan digunakan sebagai proksi dari pilar aksesibilitas pangan. Hipotesis dari variabel ini adalah semakin besar rasio panjang jalannya maka semakin memudahkan masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap pangan mereka sehingga ketahanan pangannya juga semakin tinggi. Namun, berdasarkan hasil estimasi regresi model tobit, rasio panjang jalan tidak signifikan memengaruhi ketahanan pangan di KTI. Wilayah KTI merupakan daerah yang masih banyak dijumpai gunung, hutan, dan lautan. Sarana transportasi yang digunakan di sana tidak hanya mengandalkan jalur darat saja, namun peranan jalur udara maupun air sangat penting di KTI. Transportasi udara dan air juga berfungsi mempercepat aktivitas perekonomian dan memperlancar suplai logistik khususnya ke daerah-daerah terpencil yang belum terjamah oleh pembangunan infrastruktur jalan darat.
Persentase Penduduk Miskin Salah satu variabel yang digunakan untuk proksi pilar aksesibilitas pangan adalah variabel persentase penduduk miskin. Hipotesis dari variabel ini adalah semakin besar jumlah penduduk miskin di suatu kabupaten/kota maka aksesibilitas pangan akan semakin rendah dan berakibat pada ketahanan pangan yang juga semakin rendah. Berdasarkan hasil estimasi, didapatkan bahwa persentase penduduk miskin signifikan memengaruhi ketahanan pangan di KTI secara negatif dengan nilai elastisitas sebesar 0,1604 persen. Artinya, apabila jumlah penduduk miskin meningkat 1 persen maka akan menurunkan jumlah rumah tangga tahan pangan sebesar 0,1604 persen. Kemiskinan sering dikaitkan dengan rendahnya tingkat pendapatan sehingga kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sangat rendah. Todaro dan
63 Smith (2006) menguraikan bila pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum maka orang tersebut dapat dikatakan miskin. Kemiskinan bisa menyebabkan terciptanya kondisi kelaparan yang pada akhirnya menurunkan tingkat ketahanan pangan di suatu daerah. Oleh karena itu, program penanggulangan kemiskinan harus tetap terus diprioritaskan guna mencapai ketahanan pangan yang kuat dan stabil. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh masyarakat miskin atau yang dikenal dengan pro poor growth adalah salah satu komponen strategi pencapaian ketahanan pangan (Timmer, 2004). Petani memiliki peranan yang sangat besar dalam menciptakan ketahanan pangan sebab petani merupakan produsen pangan sekaligus sebagai konsumen pangan. Dengan kata lain, petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Namun, pada kenyataannya kondisi ekonomi petani sangat dekat dengan kemiskinan yang berarti kesejahteraan petani relatif rendah. Dengan demikian, peranan pemerintah sangat diperlukan dalam pemberdayaan petani antara lain melalui peningkatan produktivitas dan daya saing, penyediaan fasilitas yang dibutuhkan petani, dan revitalisasi kelembagaan.
PDRB per Kapita Variabel kedua yang digunakan sebagai proksi akses terhadap pangan adalah PDRB per kapita. Berdasarkan hasil estimasi, didapatkan bahwa PDRB per kapita berpengaruh secara positif terhadap jumlah rumah tangga tahan pangan di KTI dengan nilai elastisitas sebesar 0,0786. Artinya, setiap kenaikan 1 persen PDRB per kapita penduduk KTI akan meningkatkan jumlah rumah tangga tahan pangan sebesar 0,0786 persen. Semakin tinggi PDRB per kapita suatu kabupaten/kota mengindikasikan semakin meningkat kesejahteraan penduduknya. Namun menurut Harper et al. (1986), PDRB hendaknya jangan digunakan sebagai satu-satunya ukuran pembangunan suatu wilayah, karena ia tidak selalu menunjukkan kualitas hidup rakyat yang bertempat tinggal di situ. PDRB per kapita terbukti memengaruhi ketahanan pangan di KTI. Dengan demikian, salah satu upaya dalam meningkatkan ketahanan pangan adalah melalui peningkatan pendapatan rumah tangga. Dengan adanya peningkatan pendapatan,
64 daya beli rumah tangga semakin tinggi dan akses masyarakat terhadap pangan akan meningkat. Kemampuan membeli tersebut akan memberikan keleluasaan bagi mereka untuk memilih pangan yang beragam guna mencukupi kebutuhan gizinya, sehingga pada akhirnya akan memperkuat ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, regional maupun nasional. Terkait dengan peningkatan daya beli masyarakat, maka salah satu upaya pemerintah adalah dengan strategi penciptaan lapangan kerja baru. Luas lahan pertanian semakin lama semakin sempit, sehingga kesempatan berusaha tidak harus selalu pada usaha tani tetapi diarahkan pada usaha agribisnis yang berdaya saing dan berkelanjutan. Tabel 15 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketahanan Pangan di KTI Std, Error Elastisitas Variable Coefficient C LNPRO JAL MISKIN LNPDRB BUTA RLS
14,5455* -1,0206 0,0509 -0,2829*** 2,3948** -0,2365*** 2,5149***
7,7251 0,6350 0,2457 0,0920 1,0859 0,0788 0,8133
0,1604 0,0786 0,1136 0,6179
Sumber: Pengolahan Data Keterangan: * nyata pada α=10 persen; ** nyata pada α=5 persen; *** nyata pada α=1 persen Persentase Perempuan Buta Huruf Salah satu variabel yang digunakan sebagai proksi pemanfaatan pangan adalah variabel persentase perempuan buta huruf. Persentase perempuan buta huruf signifikan secara negatif memengaruhi ketahanan pangan di KTI dengan nilai elastisitas sebesar 0,1136, artinya setiap kenaikan 1 persen perempuan buta huruf akan menurunkan jumlah rumah tangga tahan pangan sebesar 0,1136 persen. Pendidikan dan pengetahuan perempuan (terutama ibu dan pengasuh rumah tangga) akan pentingnya pengolahan pangan sangat mempengaruhi tingkat gizi anggota rumah tangga yang pada akhirnya akan memengaruhi tingkat ketahanan pangan. Terkait dengan hal tersebut, pemerintah perlu memberikan
perhatian
khusus terhadap pendidikan perempuan. Sejauh ini, upaya pemerintah untuk memberantas buta huruf perempuan dituangkan dalam bentuk peraturan bersama tiga menteri (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Dalam Negeri,
65 dan Menteri Pendidikan Nasional) tahun 2005 tentang percepatan pemberantasan buta aksara perempuan. Dalam peraturan tersebut pemerintah menetapkan program Aksi Nasional Pemberantasan Buta Aksara
Perempuan
yang
dioperasionalkan secara menyeluruh dan terpadu di seluruh Indonesia. Pemberantasan buta huruf perempuan dapat dilakukan dengan program pendidikan non formal seperti Kelompok Belajar Keterampilan (KBK), Kelompok Belajar Usaha (KBU), Taman Bacaan Masyarakat (TBM), dan sejenisnya dengan menggunakan seperangkat instrumen pembelajaran di provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan, dan desa. Namun pada prinsipnya, program tersebut sangat bergantung pada komitmen seluruh komponen pemerintah dan masyarakat untuk menjalankannya. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan sebagainya mempunyai tanggung jawab untuk memberantas buta huruf perempuan melalui program-program yang telah dicanangkan dan tentu saja program tersebut harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat di daerah masing-masing. Rata-rata Lama Sekolah Begitupula untuk variabel rata-rata lama sekolah berpengaruh signifikan positif terhadap ketahanan pangan di KTI. Rata-rata lama sekolah merupakan variabel yang memiliki pengaruh paling tinggi terhadap ketahanan pangan di KTI. Hal ini terlihat dari nilai elastisitasnya yang paling tinggi yaitu sebesar 0,6179 yang artinya setiap kenaikan rata-rata lama sekolah sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah rumah tangga tahan pangan sebesar 0,6179 persen. Perilaku konsumsi pangan rumah tangga sangat erat dengan wawasan dan cara pandang yang dimiliki. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka pengetahuan tentang gizi juga semakin tinggi. Tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap besarnya produktivitas dan output dalam mendapatkan mata pencaharian yang layak. Dari sisi ekonomi, tingginya produktivitas kerja dapat meningkatkan pendapatan seseorang. Begitupula dari sisi fisik, pendidikan yang tinggi dapat menciptakan sarana dan prasarana yang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan pangan mereka. Pendidikan dapat meningkatkan sumber daya manusia menjadi semakin
66 berkualitas sehingga akses terhadap pangan lebih mudah terjangkau baik dari segi daya beli maupun kemudahan sarana prasarana. Beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah terkait dengan pentingnya pendidikan terhadap ketahanan pangan di KTI adalah dengan peningkatan program pendidikan baik formal (program wajib belajar 9 tahun) maupun non formal (Kejar Paket A, B, dan Bimbingan Masyarakat). Peningkatan program pendidikan juga harus disertai dengan peningkatan sarana prasarana pendidikan seperti gedung, buku pelajaran, tenaga pengajar, dan sarana pendukung lainnya.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain: 1. Pada tahun 2008 sampai dengan 2010, dinamika ketahanan pangan kabupaten/kota di Kawasan Timur Indonesia berfluktuasi terutama untuk daerah perkotaan. Tahun 2009, persentase rumah tangga tahan pangan di perkotaan merosot tajam dan kembali meningkat pada tahun 2010. Berdasarkan penghitungan derajat ketahanan pangan, didapatkan bahwa pada tahun 2008-2010 sebagian besar rumah tangga di KTI terutama di perdesaan termasuk ke dalam kategori rentan terhadap rawan pangan. 2. Ketahanan pangan dipengaruhi secara signifikan oleh persentase penduduk miskin, PDRB per kapita, persentase perempuan buta huruf dan rata-rata lama sekolah. Variabel rata-rata lama sekolah sebagai proksi pemanfaatan pangan memiliki nilai elastisitas tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dan pengetahuan dalam pemanfaatan pangan memiliki pengaruh terbesar terhadap ketahanan pangan di KTI.
6.2. Implikasi Kebijakan Pada akhirnya, penelitian ini memberikan beberapa implikasi kebijakan yang diambil berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya. Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hak asasi manusia yang pada pelaksanaannya diatur oleh pemerintah. Tingginya tingkat kerentanan terhadap kerawanan pangan di KTI perlu diwaspadai, sebab terjadi goncangan sedikit saja bisa menyebabkan rumah tangga yang awalnya dikategorikan rentan terhadap rawan pangan berubah menjadi rawan pangan. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, beberapa implikasi kebijakan yang dapat diberikan antara lain: 1. Sosialisasi program diversifikasi pangan terhadap masyarakat harus lebih intensif dilakukan untuk mengurangi ketergantungan konsumsi terhadap beras di KTI. Salah satu kekuatan utama BULOG adalah penguasaannya dalam
68 logistik yang menguasai hampir seluruh pelosok tanah air. Dengan demikian dirasa sangat perlu bagi BULOG untuk mengembangkan diversifikasi komoditas lokal masing-masing daerah. 2. Dari sisi ekonomi, peningkatan aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan perlu upaya peningkatan pendapatan dan daya beli rumah tangga. Dalam hal ini sektor pertanian perlu mendapat dukungan kuat dari sektor lain terutama dalam peningkatan pendapatan penduduk di pedesaan. Terkait dengan itu, pengembangan agroindustri di pedesaan merupakan salah satu strategi yang perlu dikedepankan. 3. Terkait dengan nilai elastisitas rata-rata lama sekolah yang tertinggi dan persentase perempuan buta huruf yang juga cukup tinggi, maka pendidikan hendaknya menjadi prioritas utama dalam meningkatkan ketahanan pangan di KTI. Rata-rata lama sekolah penduduk di KTI baru berkisar sebesar 7,25 tahun, sehingga program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun perlu mendapatkan menjadi prioritas kebijakan di KTI.
6.3. Saran Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini masih bisa terus dikembangkan lebih lanjut. Variabel-variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini masih terbatas pada variabel-variabel yang merupakan proksi dari tiga pilar utama ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan, aksesibilitas pangan, dan pemanfaatan pangan. Dalam rangka penyempurnaan model, penelitian selanjutnya dapat menambahkan satu pilar lagi yang sifatnya temporer yaitu pilar stabilisasi pangan. Beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai proksi stabilisasi pangan antara lain curah hujan, inflasi yang didekati dengan deflator PDRB, jumlah bencana alam, dan lain-lain. Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan regional di KTI dengan unit analisis kabupaten/kota. Ketahanan pangan di tingkat regional belum menjamin terciptanya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Oleh karena itu, saran penelitian selanjutnya adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan di KTI dengan unit analisis rumah tangga. Unit sampel rumah tangga Susenas Panel sama pada tahun 2008
69 sampai 2010, sehingga bisa digunakan untuk analisis model data panel rumah tangga 2008-2010. Namun, memang ada beberapa (sedikit) unit sampel rumah tangga yang tidak sama antara 2008-2010 dikarenakan beberapa alasan seperti suatu rumah tangga tidak diketemukan lagi. Oleh karena itu, unit sampel rumah tangga Susenas 2008-2010 perlu disesuaikan/disamakan terlebih dahulu sebelum dianalisis lebih lanjut. Kawasan Timur Indonesia terkenal dengan komoditas lokal seperti sagu dan gaplek. Dalam penelitian ini, kedua komoditas tersebut dianalisis dari sisi konsumsinya. Dengan demikian sebagai saran untuk penelitian selanjutnya, dirasa sangat penting untuk menganalisis lebih lanjut komoditas lokal masing-masing daerah dilihat dari sisi produksinya. Penghitungan derajat ketahanan pangan dalam penelitian ini hanya memperhitungkan tingkat ketercukupan kalori. Sebagai saran selanjutnya dapat memperhitungkan tingkat ketercukupan protein, lemak maupun karbohidrat.
70
Halaman ini sengaja dikosongkan.
DAFTAR PUSTAKA Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data, Third Edition. Chichester: John Wiley and Son Ltd. Bello AL. 2006. Ensuring Food Security: A Case for ASEAN Integration. Asian Journal of Agriculture and Development 2(1&2): 87-108. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2008: Buku 2. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009-2011. Daerah Dalam Angka. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia 2006-2010. Jakarta: BPS. Demeke AB dan Zeller M. 2009. Using Panel Data to Estimate The Effect of Rainfall Shocks on Smallholders Food Security and Vulnerability in Rural Ethiopia. Research in Development Economics and Policy, Discussion Paper No. 2/2009, University of Hohenheim, Germany.
[DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2009. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia. Jakarta: Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan-BKP Deptan. FAO. 1996. Food Security; Some Macroeconomic Dimensions The State of Food and Agriculture. Rome: FAO. FAO. 2007. What is Food Security? http://www.bb.undp.org/uploads/file/ppts /poverty/FAO%20-%20About%20Food%20Security%20-%20070614.pdf [26 April 2012]. Gross R, Schoeneberger H, Pfeifer H, Preuss HJA. 2000. The Four Dimensions of Food and Nutrition Security: Definitions and Concepts. http://www.foodsec.org/DL/course/ shortcourseFA/en/pdf/P-01_ RG_Concept.pdf [15 April 2012]. Gujarati DN. 2004. Basic Econometrics Fourth Edition. Singapore: McGraw-Hill Companies. Hanani N. 2012. Strategi Pencapaian Ketahanan Pangan Keluarga. Agricultural Economics Electronic Journal 1(1): 1-10. Hariyati Y dan Raharto S. 2012. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Solusinya di ASEAN. Agricultural Economics Electronic Journal 1(1): 35-44. Harper LJ, Deaton BJ, Driskel JA. 1986. Pangan dan Gizi Second Edition. Penerjemah: Suhardjo. UI Press, Jakarta.
72
Hasan Y dan Saputra W. 2008. Ketahanan Pangan dan Kemiskinan: Implementasi dan Kebijakan Penyesuaian. Jurnal Ipteks Terapan 2(1): 146-168. Ilham N dan Sinaga BM. 2007. Penggunaan Pangsa Pengeluaran Pangan sebagai Indikator Komposit Ketahanan Pangan. Jurnal Sosial Ekonomi dan Agribisnis 7(3): 269-277. Ilham N. 2006. Efektivitas Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan dan Dampaknya pada Stabilitas Ekonomi Makro [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Juanda B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press. Kalwij AS. 2004. A Two-Step First-Difference Estimator for A Panel Data Tobit Model Under Conditional Mean Independence Assumptions. Center Discussion Paper Series No. 2004-67, Institute for the Study of Labor (IZA). Maddala GS. 1987. Limited Dependent Variable Models Using Panel Data. The Journal of Human Resources 22(3). University of Wisconsin Press. Mappamiring. 2006. Perspektif Alternatif Pembangunan Kawasan Timur Indonesia. Jurnal Penyuluhan 2(4). Maxwell D, Levin C, Klemesu MA, Ruel M, Morris S, Ahiadeke C. 2000. Urban Livelihoods and Food and Nutrition Security, in Greater Accra Ghana. Research Report No. 112. Washington DC: IFPRI. Mulyana A. 2011. Penguatan Ketahanan Pangan untuk Menekan Jumlah Penduduk Miskin dan Rentan Pangan di Tingkat Nasional dan Regional. Agricultural Economics Electronic Journal 1(1): 11-18. Nicholson W. 1995. Teori Mikroekonomi : Prinsip Dasar dan Perluasan. Jakarta: Binarupa Aksara. Nuhung IA. 2010. Pertanian, Kemiskinan, dan Kawasan Timur Indonesia. Jakarta: PT. Wahyu Promo Citra. Nurlatifah. 2011. Determinan Ketahanan Pangan Regional dan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Timur. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Omotesho OA, Adewumi MO, Lawal MA, Ayinde OE. 2006. Determinants of Food Security Among The Rural Farming Households in Kwara State, Nigeria. African Journal of General Agriculture 2(1): 7-15.
73 Prasetyo RB dan Firdaus M. 2009. Pengaruh Infrastruktur pada Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan 2(2): 222-236. Priyarsono DS. 2011. Dari Pertanian ke Industri Analisis Pembangunan dalam Perspektif Ekonomi Regional. Bogor: IPB Press. Purwaningsih Y. 2008. Ketahanan Pangan: Situasi, Permasalahan, Kebijakan, dan Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Ekonomi Pembangunan 9(1): 1-27. Rachman HPS dan Suryani E. 2010. Dampak Krisis Pangan-Energi-Finansial (PEF) terhadap Kinerja Ketahanan Pangan Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi 28(2): 107-121. Rachman HPS. 2010. Aksesibilitas Pangan: Faktor Kunci Pencapaian Ketahanan Pangan di Indonesia. Pangan. 19(1): 147-156. Sumardjo. 2006. Penduduk, Pangan dan Permasalahan Pembangunan Pertanian. Jurnal Penduduk dan Pembangunan 6(1): 25-35. Sumarwan. 2010. Perubahan Pola Konsumsi Pangan Beras, Jagung dan Terigu Konsumen Indonesia Periode 1999-2009 dan Implikasinya Bagi Pengembangan Bahan Bakar Ramah Lingkungan Berbasis Pangan. Pangan 19(2):157-167. Sumodiningrat G. 2000. Pembangunan Ekonomi Melalui Pembangunan Pertanian. Jakarta: PT Bina Rena Pariwara. Tambunan T. 2010. Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan. Jakarta: UI Press. Timmer CP. 2004. Food Security and Economic Growth: An Asian Perspective. Heinz W Arndt Memorial Lecture. Canberra. Todaro MP dan Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid I. Edisi ke Sembilan. Haris Munandar (penerjemah). Jakarta: Erlangga. Wang J. 2010. Food Security, Food Prices and Climate Change in China: a Dynamic Panel Data Analysis. International Conference on Agricultural Risk and Food Security 2010. Agriculture and Agricultural Science Procedia 1: 321-324. Wooldridge JM. 2002. Econometric Analysis of Cross Section and Panel Data. London: The MIT Press.
74
Halaman ini sengaja dikosongkan.
LAMPIRAN
77 Lampiran 1 Rata-rata Konsumsi Kalori dan Protein per Kapita Sehari Menurut Provinsi di KTI Tahun 2008-2010 (kkal)
NTB
Kalori (Kkal) 2008 2009 2010 1999,77 1956,28 2052,74
Protein (Gram) 2008 2009 2010 56,35 54,79 57,95
NTT
1962,42 1971,79 1959,91
55,98
53,95
53,88
Kalimantan Barat
1983,82 1927,01 1917,69
55,81
52,93
53,57
Kalimantan Tengah
2196,37 2071,91 2072,18
62,92
60,6
60,89
Kalimantan Selatan
2083,34
2044,3 2090,12
58,76
58,32
60,14
Kalimantan Timur
1815,78 1742,48 1827,88
53,83
52,47
57,38
Sulawesi Utara
2049,63 1919,46 2020,11
56,64
52,17
55,74
Sulawesi Tengah
2124,36 1950,75 1897,06
55,84
51,66
51,07
Sulawesi Selatan
2105,25 2005,54 2056,22
61,79
57,38
59,96
Sulawesi Tenggara
2055,18 1931,55 1921,68
56,95
54,01
56,05
Sulawesi Barat
1996,01 1834,42 1905,12
55,36
49,12
54,02
Gorontalo
1971,96 1851,86 2100,84
51,62
51,77
57,87
Maluku
1928,33 1949,19 1840,11
53,09
49,94
46,82
Maluku Utara
1961,64 1736,86 1864,71
50,04
42,3
46,83
Papua
1913,03 1848,65 1872,44
52,37
51,42
52,2
Papua Barat
1878,02 1955,05 1996,38
46,63
49,61
47,78
PROVINSI
78 Lampiran 2 Produksi Pangan di KTI Tahun 2008-2010 (Ton)
Provinsi NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Total
2008 1.750.677 577.895 1.321.443 522.732 1.954.284 586.031 520.193 985.418 4.083.356 405.256 237.873 343.221 75.826 51.599 39.537 85.699 13.541.040
Total
2010 1.774.499 555.493 1.343.888 650.416 1.842.089 588.879 584.030 957.108 4.382.443 454.644 253.563 362.900 83.109 55.401 34.254 102.610 14.025.326
2008 196.263 673.112 181.407 5.982 95.064 12.795 466.041 136.907 1.195.691 93.064 753.598 40.252 18.924 11.493 1.711 7.155 3.889.459
Ubi Kayu
Provinsi NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
Padi 2009 1.870.775 607.359 1.300.798 578.761 1.956.993 555.560 549.087 953.396 4.324.178 407.367 256.934 310.706 89.875 46.253 36.985 98.511 13.943.538
Jagung 2009 308.863 638.899 166.833 8.048 113.885 12.520 450.989 164.282 1.395.742 71.655 569.110 58.320 15.859 18.229 1.585 6.787 4.001.606
2010 249.005 653.620 168.273 9.345 116.449 11.993 446.144 162.306 1.343.044 74.840 679.167 58.020 15.273 20.546 1.931 6.834 4.016.790
Ubi Jalar
2008
2009
2010
68.386 928.974 193.804 73.344 119.085 116.218 83.656 70.181 504.198 217.727 9.215 54.809 107.214 116.838 23.072 35.100
85.062 913.053 166.584 74.670 121.656 125.714 77.206 82.294 434.862 226.927 7.117 47.781 124.442 106.443 12.228 36.500
70.606 1.032.538 177.807 76.669 76.202 110.061 84.084 74.128 601.437 163.350 6.171 46.368 144.407 109.033 25.113 35.531
2.721.821
2.642.539
2.833.505
2008
2009
2010
10.985 107.316 12.871 12.153 25.903 29.372 42.062 27.689 66.546 30.892 3.947 15.895 21.778 35.094 15.340 337.096
11.276 103.635 11.735 10.763 29.968 31.947 53.121 29.821 68.372 25.577 3.456 15.756 22.338 30.381 10.599 343.325
13.134 121.284 14.959 9.583 25.007 25.156 51.838 26.332 57.513 25.304 2.926 15.666 20.734 27.666 10.557 349.134
794.939
802.070
796.793
79
Provinsi NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Total
Kacang Kedelai Kacang Tanah 2008 2009 2010 2008 2009 2010 95.106 95.846 93.122 32.348 38.615 33.666 2.295 2.101 1.780 25.678 22.465 20.069 1.562 2.046 3.477 2.012 2.107 2.125 1.860 2.136 2.764 1.417 1.365 1.032 3.818 3.838 3.809 16.476 15.221 14.445 2.578 2.255 2.204 2.465 2.547 2.468 7.217 7.667 7.627 8.640 8.493 8.671 2.927 4.722 3.555 8.758 10.225 8.424 29.125 41.279 35.711 36.269 32.331 41.898 3.812 5.615 3.203 6.938 5.089 4.942 2.514 5.527 3.403 1.849 1.655 2.261 2.054 3.153 3.195 744 1.001 2.022 1.563 1.579 1.183 3.077 3.133 2.950 1.278 652 944 4.951 3.181 4.235 1.740 1.208 600 978 751 568 3.983 3.998 4.152 2.851 2.464 2.541 163.432 183.622 170.729 155.451 150.643 152.317
Kacang Hijau 2008 2009 2010 39.756 33.774 50.012 23.392 20.447 13.462 463 1.309 1.310 205 145 170 1.529 1.598 1.337 1.136 1.212 932 2.381 2.680 2.184 873 1.014 1.031 23.995 23.299 26.458 1.640 1.131 900 411 287 281 1.293 1.093 839 638 740 888 383 331 299 557 291 245 969 645 800 99.621 89.996 101.148
80 Lampiran 3 Persentase Rumah Tangga berdasarkan Konsumsi Kelompok Makanan di KTI (%) Kelompok Makanan
K
2008 D
2009 D
K+D
K+D
K
Padi-padian
96,78
97,59
97,35
92,24
98,22
97,39
97,14
97,45
97,36
Umbi-umbian
43,27
53,96
50,89
54,17
45,54
46,74
37,18
46,66
43,94
Ikan
90,66
91,4
91,19
78,06
92,53
90,53
91,19
90,82
90,93
Daging
35,71
24,1
27,43
12,33
27,98
25,81
36,88
24,59
28,12
Telur dan susu
82,93
61,53
67,68
39,77
74,65
69,82
84,78
65,98
71,38
Sayur-sayuran
94,03
99,06
97,62
99,47
97,4
97,69
94,09
98,74
97,4
Kacang-kacangan
67,13
47,78
53,34
34,41
56,44
53,38
68,37
49,09
54,63
Buah-buahan
81,82
78,36
79,35
61,1
76,1
74,02
84,03
81,56
82,27
Minyak dan lemak
94,49
96,29
95,77
94,42
96,69
96,38
95,06
96,89
96,36
Bahan minuman
94,65
92,16
92,87
81
95,5
93,49
95,52
92,17
93,13
Bumbu-bumbuan
95,24
99,08
97,97
99,36
97,85
98,06
95,5
98,8
97,85
Konsumsi lainnya
80,19
70,46
73,26
55,6
76,26
73,4
79,03
69,44
72,2
Makanan dan
95,93
83,96
87,4
71,58
90,86
88,19
96,99
84,13
87,82
59,79
71,49
68,12
70,11
67,25
67,64
58,62
70,04
66,76
K
2010 D
K+D
minuman jadi Tembakau & Sirih
81 Lampiran 4 Persentase Rumah Tangga Menurut Derajat Ketahanan Pangan di KTI Tahun 2008-2010 TAHAN PANGAN Provinsi Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
2008 27,33 21,86 27,71 26,29 33,45 45,23 37,96 34,50 37,90 36,77 31,59 30,22 29,87 41,70 31,01 25,55
2009 30,30 21,80 24,99 24,69 34,41 39,24 33,04 36,19 36,34 38,16 27,70 32,69 28,69 35,29 24,06 20,77
2010 32,53 20,06 25,36 25,14 34,03 42,67 34,74 34,30 33,33 32,75 29,78 31,72 33,82 35,03 35,70 19,38
RENTAN PANGAN Provinsi Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
2008 51,40 51,99 50,27 57,66 47,35 19,96 42,12 46,81 44,32 41,11 47,06 47,66 41,73 35,22 37,26 39,82
2009 48,17 48,98 46,08 57,46 45,37 20,63 41,39 38,46 41,75 37,61 41,41 41,34 42,36 23,53 36,19 46,64
2010 52,07 49,08 46,39 52,45 48,69 24,06 44,68 37,82 44,99 39,10 43,13 52,69 34,39 32,48 33,64 51,94
82 KURANG PANGAN Provinsi Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
2008 6,90 5,37 6,91 5,62 8,55 23,83 7,26 6,74 6,82 10,51 6,78 5,40 10,27 9,51 9,62 11,38
2009 8,16 8,12 8,54 6,48 7,78 25,46 11,19 9,79 9,31 9,65 9,72 5,65 10,05 15,69 14,23 12,02
2008 14,37 20,77 15,11 10,43 10,66 10,97 12,65 11,95 10,97 11,61 14,58 16,73 18,13 13,56 22,12 23,25
2009 13,37 21,09 20,40 11,37 12,44 14,66 14,39 15,56 12,60 14,57 21,17 20,32 18,90 25,49 25,52 20,57
2010 5,21 8,85 8,88 8,98 7,82 19,63 7,65 11,19 8,92 11,50 9,50 3,76 11,56 8,70 13,04 9,30
RAWAN PANGAN Provinsi Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
2010 10,19 22,01 19,37 13,43 9,46 13,64 12,93 16,70 12,76 16,65 17,59 11,83 20,23 23,78 17,62 19,38
83 Lampiran 5 Daftar 100 Kabupaten Paling Rentan terhadap Kerawanan Pangan di Indonesia Tahun 2009 Rank
Provinsi
Kab
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
Papua Papua Papua Papua Papua Sumatera Barat Maluku Nusa Tenggara Timur Papua Papua Barat Papua Nusa Tenggara Timur Sumatera Utara Papua Papua Maluku Papua Nusa Tenggara Timur Maluku Sumatera Utara Jawa Timur Kalimantan Barat Papua Barat Papua Barat Papua Barat Nusa Tenggara Timur Papua Barat Nusa Tenggara Timur Papua Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Barat Papua Nusa Tenggara Timur NAD Kalimantan Barat Kalimantan Barat Sulawesi Tengah Riau Sulawesi Tenggara Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Sulawesi Barat Kalimantan Barat Papua Kalimantan Barat Maluku Kalimantan Selatan Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Papua
Yahukimo Paniai Tolikara Jayawijaya Asmat Kepulauan Mentawai Seram Bagian Timur Timor Tengah Selatan Mappi Teluk Wondana Waropen Sumba Barat Nias Selatan Boven Digoel Supiori Buru Nabire Sumba Timur Kepulauan Aru Nias Sampang Landak TelukBintuni Sorong Selatan Kaimana ManggaraiBarat Monokwari Manggarai Sarmi Kupang Kapuas Hulu Melawi Yapen Waropen Belu Simeulue Sekadau Ketapang Banggai Kepulauan Indragiri Hilir Bombana Timor Tengah Utara Lombok Barat Mamasa Bengkayang Biak Numfor Sambas Maluku Tenggara Barat Barito Kuala Alor Sintang Mimika
Rasio konsumsi normatif thd produksi per kapita 0,88 1,57 0,45 0,59 95,42 5,75 4,29 0,3 15,99 4,66 0,84 0,39 1,25 2,7 7,26 0,52 1,57 0,62 9,27 1,13 0,37 0,25 0,89 5,07 3,21 0,39 1,75 0,58 2,05 0,63 0,93 1,08 3,48 0,48 0,35 0,87 0,6 5,93 0,96 0,42 0,36 0,68 0,4 0,15 3,72 0,35 0,97 0,17 1,05 0,89 5,47
Prioritas 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
84
Rank
Provinsi
Kab
52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
NAD Maluku Nusa Tenggara Timur NAD Sulawesi Tenggara Nusa Tenggara Timur NAD Jawa Timur Kalimantan Timur Papua Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Timur Papua Nusa Tenggara Barat Jawa Timur Kalimantan Tengah Jawa Timur Nusa Tenggara Barat NAD NAD Kalimantan Barat Nusa Tenggara Barat Kalimantan Selatan Sulawesi Tengah Papua Barat Maluku Kalimantan Tengah Jambi Jawa Timur Papua Barat Maluku Utara Banten Kalimantan Timur Kalimantan Tengah Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Kalimantan Selatan Bengkulu Kalimantan Tengah Sulawesi Tengah Papua Barat Sulawesi Tengah Kalimantan Tengah Kalimantan Tengah Kepulauan Riau Sumatera Utara Kalimantan Barat Sulawesi Tengah
Gayo Lues Maluku Tenggara Sikka Nagan Raya Buton Ende Aceh Singkil Sumenep Nunukan Merauke Lembata Rote Ndao Keerom LombokTengah Pamekasan Murung Raya Probolinggo Lombok Timur AcehJaya AcehUtara Sanggau Dompu Balangan Donggala Raja ampat Seram Bagian Barat Seruyan Tanjung Jabung Timur Bangkalan Sorong Halmahera Selatan Lebak Malinau Pulang Pisau Bima Buol Kolaka Utara Hulu Sungai Utara Seluma Kapuas Morowali Fak-Fak Toja Una-Una Lamandau Gunung Mas Natuna Mandailing Natal Pontianak Parigi Moutong
Sumber: DKP
Rasio konsumsi normatif thd produksi per kapita 0,3 8,66 0,76 0,26 0,59 1,32 1,27 0,33 0,44 0,51 0,52 0,5 2,23 0,46 0,74 0,97 0,31 0,63 0,9 0,44 0,81 0,3 0,19 0,28 3,33 2,3 1,11 0,29 0,42 3,2 1,32 0,5 0,45 0,32 0,32 0,77 1,68 0,33 0,34 0,27 0,78 7,03 0,72 0,45 1,42 10,85 0,5 0,52 0,29
Prioritas 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
85 Lampiran 6 Persentase Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Kabupaten di KTI Tahun 2008 (Persen) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52.
Kabupaten/Kota Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Dompu Bima Sumbawa Barat Kota Mataram Kota Bima Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Barat Daya Sumba Tengah Nageko Kota Kupang Sambas Bengkayang Landak Pontianak Sanggau Ketapang Sintang Kapuas Hulu Sekadau Melawi Kayong Utara Kota Pontianak Kota Singkawang Kotawaringin Barat Kotawaringin Timur Kapuas Barito Selatan Barito Utara Sukamara Lamandau Seruyan Katingan Pulang Pisau Gunung Mas
Tahan Pangan 20,37 26,41 20,14 38,42 25,53 13,11 63,83 57,47 40,63 10,96 15,58 12,67 14,07 25,81 23,70 21,13 12,50 14,89 24,76 27,03 29,03 15,93 23,81 17,95 9,68 3,13 46,88 63,81 22,33 20,83 15,75 35,33 25,67 25,18 22,93 16,84 40,00 29,87 7,29 40,83 46,05 45,54 21,84 9,95 24,14 26,98 31,25 24,14 29,31 16,67 14,29 16,28
Rentan Pangan 57,67 61,17 62,87 38,42 30,85 56,83 14,89 12,07 31,25 57,53 61,04 61,33 42,22 53,76 56,30 46,48 72,92 59,57 37,14 48,65 59,68 62,09 35,71 58,97 61,29 68,75 37,50 15,24 55,81 64,58 67,72 42,27 41,18 64,03 70,06 74,74 36,25 61,04 64,58 16,51 28,95 18,75 68,39 73,82 70,69 68,25 62,50 37,93 63,79 78,21 59,74 83,72
Kurang Pangan 4,76 5,19 3,68 8,42 15,96 4,92 14,89 18,39 10,94 2,74 2,60 4,00 6,67 2,15 8,15 4,23 0,00 2,13 5,71 7,21 1,61 5,49 14,29 2,56 6,45 0,00 3,13 15,24 4,65 2,08 3,15 5,05 9,63 2,16 3,18 0,00 6,25 1,30 1,04 25,69 11,84 15,18 1,72 4,19 0,00 1,59 0,00 24,14 1,72 0,00 6,49 0,00
Rawan Pangan 17,20 7,22 13,31 14,74 27,66 25,14 6,38 12,07 17,19 28,77 20,78 22,00 37,04 18,28 11,85 28,17 14,58 23,40 32,38 17,12 9,68 16,48 26,19 20,51 22,58 28,13 12,50 5,71 17,21 12,50 13,39 17,35 23,53 8,63 3,82 8,42 17,50 7,79 27,08 16,97 13,16 20,54 8,05 12,04 5,17 3,17 6,25 13,79 5,17 5,13 19,48 0,00
86
No 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101. 102. 103. 104. 105. 106. 107. 108.
Kabupaten/Kota Barito Timur Murung Raya Kota Palangka Raya Tanah Laut Kota Baru Banjar Barito Kuala Tapin Hulu Sungai Selatan Hulu Sungai Tengah Hulu Sungai Utara Tabalong Tanah Bumbu Balangan Kota Banjarmasin Kota Banjar Baru Pasir Kutai Barat Kutai Kutai Timur Berau Malinau Bulungan Nunukan Penajam Paser Utara Kota Balikpapan Kota Samarinda Kota Tarakan Kota Bontang Bolaang Mongondow Minahasa Kep. Sangihe Talaud Kepulauan Talaud Minahasa Selatan Minahasa Utara Bolaang Mongondow Utara Minahasa Tenggara Kep. Siau Tagulandang Biaro Kota Manado Kota Bitung Kota Tomohon Kota Kotamobago Banggai Kepulauan Banggai Morowali Poso Donggala Toli-Toli Buol Parigi Moutong Tojo Una-Una Kota Palu Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto
Tahan Pangan 34,04 43,75 49,54 34,72 24,60 31,09 32,39 16,67 35,16 9,79 33,93 19,44 54,63 12,50 52,20 45,45 21,33 57,81 48,54 55,70 44,68 53,33 41,94 43,75 39,58 59,79 26,98 54,69 53,19 30,00 30,64 21,52 33,33 29,17 41,05 39,06 25,00 20,31 59,11 42,50 47,73 46,03 16,90 26,75 50,00 32,63 30,50 38,54 10,42 29,17 31,75 63,83 25,00 32,11 34,04 19,15
Rentan Pangan 36,17 45,83 28,44 52,78 58,73 59,24 55,63 43,59 55,47 79,02 48,21 35,19 24,07 80,36 23,05 15,58 28,00 26,56 22,82 11,39 36,17 0,00 25,81 21,88 39,58 11,11 14,42 20,31 25,53 57,27 46,82 36,71 29,63 61,46 47,37 53,13 37,50 67,19 15,76 31,25 36,36 46,03 57,75 53,50 44,59 47,37 57,00 42,71 56,25 48,21 44,44 19,15 68,75 47,71 42,55 70,21
Kurang Pangan 17,02 8,33 7,34 3,47 7,14 3,36 4,23 11,54 3,91 0,70 6,25 15,74 6,48 1,79 17,97 28,57 25,33 6,25 16,02 24,05 12,77 40,00 9,68 15,63 10,42 22,75 47,44 17,19 19,15 1,82 5,20 7,59 18,52 3,13 6,32 0,00 21,88 0,00 16,75 7,50 6,82 1,59 5,63 8,28 1,35 7,37 2,00 9,38 0,00 8,33 15,87 9,22 6,25 2,75 6,38 1,06
Rawan Pangan 12,77 2,08 14,68 9,03 9,52 6,30 7,75 28,21 5,47 10,49 11,61 29,63 14,81 5,36 6,78 10,39 25,33 9,38 12,62 8,86 6,38 6,67 22,58 18,75 10,42 6,35 11,16 7,81 2,13 10,91 17,34 34,18 18,52 6,25 5,26 7,81 15,63 12,50 8,37 18,75 9,09 6,35 19,72 11,46 4,05 12,63 10,50 9,38 33,33 14,29 7,94 7,80 0,00 17,43 17,02 9,57
87
No 109. 110. 111. 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128. 129. 130. 131. 132. 133. 134. 135. 136. 137. 138. 139. 140. 141. 142. 143. 144. 145. 146. 147. 148. 149. 150. 151. 152. 153. 154. 155. 156. 157. 158. 159. 160. 161. 162. 163. 164.
Kabupaten/Kota Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkajene Kepulauan Barru Bone Soppeng Wajo Sidenreng Rappang Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Kota Makasar Kota Pare-Pare Kota Palopo Buton Muna Konawe Kolaka Konawe Selatan Bombana Wakatobi Kolaka Utara Konawe Utara Kota Kendari Kota Bau-Bau Boalemo Gorontalo Pohuwato Bone Bolango Gorontalo Utara Kota Gorontalo Majene Polewali Mamasa Mamasa Mamuju Mamuju Utara Maluku Tenggara Barat Maluku Tenggara Maluku Tengah Buru Seram Bagian Barat Seram Bagian Timur Kota Ambon Halmahera Barat Halmahera Tengah Kepulauan Sula Halmahera Selatan Halmahera Utara Halmahera Timur Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan
Tahan Pangan 36,51 25,00 26,32 51,28 25,68 27,08 26,88 42,19 27,03 30,77 43,16 62,22 51,95 18,18 21,88 35,59 66,67 71,88 50,00 22,97 37,65 40,22 43,67 24,11 32,26 22,73 55,32 10,53 56,56 51,56 29,79 37,50 27,96 30,48 17,83 44,00 30,77 21,50 11,84 38,96 66,67 12,36 25,00 33,17 25,32 20,27 14,89 49,35 44,68 6,25 39,24 27,96 40,38 41,38 69,23 39,58
Rentan Pangan 36,51 58,13 56,14 28,21 32,43 66,67 38,17 37,50 56,76 47,44 51,58 24,44 40,26 67,27 75,00 61,02 16,18 9,38 43,75 31,08 43,53 47,83 36,71 60,99 48,39 11,36 27,66 71,93 25,41 17,19 62,77 48,08 61,29 42,86 54,78 16,80 46,15 49,50 68,42 46,10 14,58 55,06 61,11 45,37 62,03 24,32 40,43 18,83 36,17 75,00 41,77 49,46 27,88 55,17 6,41 33,33
Kurang Pangan 11,11 3,13 7,02 8,97 25,68 0,00 15,05 10,94 2,70 6,41 2,11 0,00 6,49 0,00 0,00 1,69 10,68 9,38 0,00 20,27 9,41 3,26 7,59 2,84 6,45 52,27 10,64 0,00 11,48 21,88 2,13 3,85 5,38 5,71 5,73 18,40 6,41 4,50 5,26 4,55 10,42 4,49 1,39 5,85 1,27 22,97 12,77 20,13 10,64 0,00 10,13 5,38 15,38 0,00 12,82 6,25
Rawan Pangan 15,87 13,75 10,53 11,54 16,22 6,25 19,89 9,38 13,51 15,38 3,16 13,33 1,30 14,55 3,13 1,69 6,47 9,38 6,25 25,68 9,41 8,70 12,03 12,06 12,90 13,64 6,38 11,11 6,56 9,38 5,32 10,58 5,38 20,95 21,66 20,80 16,67 24,50 14,47 10,39 8,33 28,09 12,50 15,61 11,39 32,43 31,91 11,69 8,51 18,75 8,86 17,20 16,35 3,45 11,54 20,83
88
No 165. 166. 167. 168. 169. 170. 171. 172. 173. 174. 175. 176. 177. 178. 179. 180. 181. 182. 183. 184. 185. 186. 187. 188. 189. 190.
Kabupaten/Kota Fak-fak Kaimana Teluk Wondama Teluk Bintuni Manokwari Sorong Selatan Sorong Raja Ampat Kota Sorong Merauke Jayawijaya Jayapura Nabire Yapen Waropen Biak Numfor Paniai Puncak Jaya Mimika Boven Digoel Mappi Yahukimo Pegunungan Bintang Tolikara Keerom Waropen Kota Jayapura
Tahan Pangan 7,89 3,85 25,00 60,71 25,00 12,50 31,15 18,75 49,53 28,57 32,24 25,86 13,64 10,87 9,09 0,00 6,67 60,26 63,64 0,00 0,00 0,00 0,00 37,50 6,25 60,00
Rentan Pangan 73,68 42,31 37,50 25,00 25,00 43,75 34,43 56,25 37,38 51,65 19,74 53,45 39,39 54,35 72,73 37,14 75,56 10,26 36,36 36,67 28,36 90,00 87,10 56,25 62,50 8,33
Kurang Pangan 0,00 3,85 25,00 7,14 19,83 0,00 9,84 0,00 5,61 7,69 19,74 10,34 21,21 0,00 9,09 0,00 8,89 11,54 0,00 0,00 7,46 0,00 0,00 3,13 0,00 25,83
Rawan Pangan 18,42 50,00 12,50 7,14 30,17 43,75 24,59 25,00 7,48 12,09 28,29 10,34 25,76 34,78 9,09 62,86 8,89 17,95 0,00 63,33 64,18 10,00 12,90 3,13 31,25 5,83
89 Lampiran 7 Persentase Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Kabupaten/Kota di KTI Tahun 2009 (Persen) Kode 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52.
Kabupaten/Kota Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Dompu Bima Sumbawa Barat Kota Mataram Kota Bima Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Barat Daya Sumba Tengah Nageko Kota Kupang Sambas Bengkayang Landak Pontianak Sanggau Ketapang Sintang Kapuas Hulu Sekadau Melawi Kayong Utara Kota Pontianak Kota Singkawang Kotawaringin Barat Kotawaringin Timur Kapuas Barito Selatan Barito Utara Sukamara Lamandau Seruyan Katingan Pulang Pisau Gunung Mas
Tahan Pangan 26,26 35,06 21,69 31,69 18,95 20,00 64,58 60,23 34,43 9,59 20,78 6,12 6,02 25,00 22,54 24,29 10,00 14,29 29,13 37,27 32,79 18,48 42,86 18,67 21,88 3,70 46,67 49,11 21,36 11,58 1,60 25,64 32,79 29,37 17,83 15,79 23,68 12,50 23,16 45,37 46,05 54,33 14,37 1,05 11,48 17,19 56,25 32,26 25,40 19,74 25,32 22,92
Rentan Pangan 51,19 57,30 60,67 27,32 33,68 49,73 12,50 17,54 40,98 47,95 57,14 61,22 40,36 41,30 54,23 35,71 40,00 79,12 40,78 37,27 52,46 58,15 28,57 65,33 59,38 77,78 40,00 18,75 44,09 41,05 73,60 40,71 42,08 54,55 73,25 52,63 40,79 63,75 45,26 18,52 30,26 25,98 70,69 90,00 88,52 81,25 43,75 41,94 30,16 57,89 51,90 60,42
Kurang Pangan 8,75 2,47 4,59 18,58 12,63 9,73 14,58 14,62 13,11 6,85 9,09 7,48 8,43 10,87 8,45 7,14 10,00 0,00 10,68 10,91 6,56 5,43 4,76 0,00 3,13 7,41 6,67 21,43 6,82 4,21 0,00 11,86 9,84 5,59 5,10 3,16 14,47 2,50 1,05 20,83 10,53 12,60 3,45 0,00 0,00 0,00 0,00 6,45 0,00 7,89 7,59 4,17
Rawan Pangan 13,79 5,17 13,05 22,40 34,74 20,54 8,33 7,60 11,48 35,62 12,99 25,17 45,18 22,83 14,79 32,86 40,00 6,59 19,42 14,55 8,20 17,93 23,81 16,00 15,63 11,11 6,67 10,71 27,73 43,16 24,80 21,79 15,30 10,49 3,82 28,42 21,05 21,25 30,53 15,28 13,16 7,09 11,49 8,95 0,00 1,56 0,00 19,35 44,44 14,47 15,19 12,50
90
Kode 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101. 102. 103. 104. 105. 106. 107. 108.
Kabupaten/Kota Barito Timur Murung Raya Kota Palangka Raya Tanah Laut Kota Baru Banjar Barito Kuala Tapin Hulu Sungai Selatan Hulu Sungai Tengah Hulu Sungai Utara Tabalong Tanah Bumbu Balangan Kota Banjarmasin Kota Banjar Baru Pasir Kutai Barat Kutai Kutai Timur Berau Malinau Bulungan Nunukan Penajam Paser Utara Kota Balikpapan Kota Samarinda Kota Tarakan Kota Bontang Bolaang Mongondow Minahasa Kep. Sangihe Talaud Kepulauan Talaud Minahasa Selatan Minahasa Utara Bolaang Mongondow Utara Minahasa Tenggara Kep. Siau Tagulandang Biaro Kota Manado Kota Bitung Kota Tomohon Kota Kotamobago Banggai Kepulauan Banggai Morowali Poso Donggala Toli-Toli Buol Parigi Moutong Tojo Una-Una Kota Palu Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto
Tahan Pangan 27,08 20,45 58,10 39,86 16,94 33,05 16,79 43,59 24,41 11,27 33,33 11,71 59,63 31,25 59,27 41,25 22,78 41,38 47,60 30,00 27,08 62,50 31,25 15,63 25,00 48,96 38,46 32,81 56,25 20,72 21,43 13,51 29,03 19,79 47,92 34,38 31,25 15,87 45,54 34,62 56,25 65,08 20,00 35,90 41,77 34,38 31,71 35,42 14,58 35,80 39,06 56,94 19,35 33,33 34,04 25,53
Rentan Pangan 68,75 29,55 14,29 46,15 52,42 54,81 59,85 39,74 52,76 72,54 64,76 28,83 20,18 57,81 21,52 37,50 34,18 15,52 24,52 15,00 41,67 0,00 9,38 25,00 43,75 9,38 11,97 45,31 18,75 63,96 54,76 39,19 48,39 61,46 38,54 56,25 43,75 52,38 12,87 35,90 18,75 26,98 47,50 33,33 40,51 53,13 47,32 33,33 64,58 41,48 15,63 16,67 74,19 46,30 44,68 64,89
Kurang Pangan 0,00 36,36 18,10 5,59 8,06 4,60 6,57 2,56 7,09 1,41 0,00 25,23 11,01 1,56 12,25 10,00 31,65 27,59 17,79 27,50 20,83 31,25 21,88 9,38 12,50 33,85 32,05 15,63 18,75 3,60 10,12 8,11 9,68 1,04 9,38 0,00 3,13 7,94 29,70 14,10 12,50 4,76 8,75 12,18 5,06 5,21 6,83 5,21 6,25 10,80 14,06 18,75 3,23 6,48 6,38 1,06
Rawan Pangan 4,17 13,64 9,52 8,39 22,58 7,53 16,79 14,10 15,75 14,79 1,90 34,23 9,17 9,38 6,95 11,25 11,39 15,52 10,10 27,50 10,42 6,25 37,50 50,00 18,75 7,81 17,52 6,25 6,25 11,71 13,69 39,19 12,90 17,71 4,17 9,38 21,88 23,81 11,88 15,38 12,50 3,17 23,75 18,59 12,66 7,29 14,15 26,04 14,58 11,93 31,25 7,64 3,23 13,89 14,89 8,51
91
Kode 109. 110. 111. 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128. 129. 130. 131. 132. 133. 134. 135. 136. 137. 138. 139. 140. 141. 142. 143. 144. 145. 146. 147. 148. 149. 150. 151. 152. 153. 154. 155. 156. 157. 158. 159. 160. 161. 162. 163. 164.
Kabupaten/Kota Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkajene Kepulauan Barru Bone Soppeng Wajo Sidenreng Rappang Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Kota Makasar Kota Pare-Pare Kota Palopo Buton Muna Konawe Kolaka Konawe Selatan Bombana Wakatobi Kolaka Utara Konawe Utara Kota Kendari Kota Bau-Bau Boalemo Gorontalo Pohuwato Bone Bolango Gorontalo Utara Kota Gorontalo Majene Polewali Mamasa Mamasa Mamuju Mamuju Utara Maluku Tenggara Barat Maluku Tenggara Maluku Tengah Buru Seram Bagian Barat Seram Bagian Timur Kota Ambon Halmahera Barat Halmahera Tengah Kepulauan Sula Halmahera Selatan Halmahera Utara Halmahera Timur Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan
Tahan Pangan 39,68 22,29 32,79 57,50 25,32 31,25 24,87 39,68 31,48 35,44 43,62 34,09 28,95 16,22 33,87 25,81 62,18 64,52 43,75 20,83 31,21 47,92 42,77 19,12 47,62 39,53 51,06 23,81 53,91 69,35 25,56 33,67 20,00 25,24 14,86 43,70 46,15 22,33 28,21 32,69 62,50 4,71 22,97 27,69 41,43 26,09 50,00 38,96 37,50 6,25 24,36 21,88 25,89 71,88 55,00 52,08
Rentan Pangan 46,03 50,32 54,10 27,50 20,25 60,42 39,15 36,51 62,96 36,71 37,23 50,00 30,26 63,06 53,23 61,29 16,99 9,68 43,75 43,06 43,35 39,58 35,85 43,38 38,10 30,23 36,17 68,25 20,31 17,74 60,00 34,69 51,58 36,89 55,41 16,81 47,44 41,75 55,13 35,26 27,08 49,41 58,11 48,21 51,43 32,61 43,48 22,73 22,92 50,00 19,23 30,21 32,14 12,50 5,00 27,08
Kurang Pangan 4,76 7,64 6,56 5,00 24,05 4,17 17,46 15,87 0,93 10,13 10,64 13,64 11,84 8,11 6,45 6,45 11,22 3,23 9,38 8,33 8,67 3,13 5,66 12,50 11,11 11,63 6,38 3,17 13,28 6,45 2,22 8,67 9,47 13,59 4,73 20,17 2,56 5,83 3,85 7,05 8,33 9,41 4,05 5,13 4,29 16,30 2,17 19,48 12,50 31,25 16,67 9,38 15,18 9,38 31,25 4,17
Rawan Pangan 9,52 19,75 6,56 10,00 30,38 4,17 18,52 7,94 4,63 17,72 8,51 2,27 28,95 12,61 6,45 6,45 9,62 22,58 3,13 27,78 16,76 9,38 15,72 25,00 3,17 18,60 6,38 12,50 12,50 6,45 12,22 22,96 18,95 24,27 25,00 19,33 3,85 30,10 12,82 25,00 2,08 36,47 14,86 18,97 2,86 25,00 4,35 18,83 27,08 12,50 39,74 38,54 26,79 6,25 8,75 16,67
92
Kode 165. 166. 167. 168. 169. 170. 171. 172. 173. 174. 175. 176. 177. 178. 179. 180. 181. 182. 183. 184. 185. 186. 187. 188. 189. 190.
Kabupaten/Kota Fak-fak Kaimana Teluk Wondama Teluk Bintuni Manokwari Sorong Selatan Sorong Raja Ampat Kota Sorong Merauke Jayawijaya Jayapura Nabire Yapen Waropen Biak Numfor Paniai Puncak Jaya Mimika Boven Digoel Mappi Yahukimo Pegunungan Bintang Tolikara Keerom Waropen Kota Jayapura
Tahan Pangan 25,00 0,00 13,33 12,50 15,97 12,50 23,44 18,75 48,65 27,10 3,94 18,33 34,78 12,20 16,67 5,88 4,26 52,78 64,29 0,00 0,00 0,00 0,00 32,14 0,00 52,53
Rentan Pangan 47,92 46,88 86,67 56,25 24,31 62,50 40,63 31,25 25,23 51,40 16,54 50,00 39,13 36,59 64,58 26,47 59,57 19,44 35,71 46,88 92,50 85,71 100,00 53,57 68,75 24,24
Kurang Pangan 2,08 6,25 0,00 15,63 21,53 0,00 15,63 18,75 14,41 15,89 30,71 10,00 15,94 26,83 4,17 11,76 0,00 11,11 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 10,71 0,00 17,17
Rawan Pangan 25,00 46,88 0,00 15,63 38,19 25,00 20,31 31,25 11,71 5,61 48,82 21,67 10,14 24,39 14,58 55,88 36,17 16,67 0,00 53,13 7,50 14,29 0,00 3,57 31,25 6,06
93 Lampiran 8 Persentase Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Kabupaten di KTI Tahun 2010 (Persen) Kode 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52.
Kabupaten/Kota Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Dompu Bima Sumbawa Barat Kota Mataram Kota Bima Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Barat Daya Sumba Tengah Nageko Kota Kupang Sambas Bengkayang Landak Pontianak Sanggau Ketapang Sintang Kapuas Hulu Sekadau Melawi Kayong Utara Kota Pontianak Kota Singkawang Kotawaringin Barat Kotawaringin Timur Kapuas Barito Selatan Barito Utara Sukamara Lamandau Seruyan Katingan Pulang Pisau Gunung Mas
Tahan Pangan 28,61 32,81 24,03 38,42 25,00 20,74 72,92 63,74 43,75 8,97 22,78 12,26 10,33 17,89 14,60 8,86 28,89 13,98 17,86 32,41 33,33 14,36 30,23 38,46 6,25 6,45 28,13 52,25 28,44 34,04 4,80 19,24 25,67 25,71 28,93 9,47 30,14 22,67 15,56 38,25 48,10 53,97 22,16 6,59 7,81 39,34 37,50 20,00 14,04 20,00 32,47 4,26
Rentan Pangan 56,17 58,20 62,72 41,05 51,04 57,98 6,25 11,70 50,00 69,23 54,43 53,55 48,37 50,53 48,18 35,44 48,89 58,06 33,93 46,30 48,33 61,17 46,51 52,56 68,75 58,06 43,75 18,02 45,87 47,87 76,00 45,74 43,85 51,43 52,20 68,42 20,55 61,33 58,89 20,28 27,85 24,60 59,88 78,57 64,06 36,07 25,00 73,33 50,88 70,00 53,25 87,23
Kurang Pangan 6,30 2,02 4,06 4,74 6,25 4,26 16,67 14,04 1,56 7,69 6,33 14,19 4,89 7,37 10,95 21,52 2,22 8,60 13,39 8,33 5,00 1,60 6,98 3,85 3,13 6,45 15,63 18,02 3,67 5,32 2,40 8,20 6,95 8,57 9,43 3,16 19,18 2,67 3,33 23,96 12,66 8,73 8,38 1,65 12,50 8,20 18,75 0,00 8,77 3,75 0,00 0,00
Rawan Pangan 8,92 6,97 9,19 15,79 17,71 17,02 4,17 10,53 4,69 14,10 16,46 20,00 36,41 24,21 26,28 34,18 20,00 19,35 34,82 12,96 13,33 22,87 16,28 5,13 21,88 29,03 12,50 11,71 22,02 12,77 16,80 26,81 23,53 14,29 9,43 18,95 30,14 13,33 22,22 17,51 11,39 12,70 9,58 13,19 15,63 16,39 18,75 6,67 26,32 6,25 14,29 8,51
94
Kode 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101. 102. 103. 104. 105. 106. 107. 108.
Kabupaten/Kota Barito Timur Murung Raya Kota Palangka Raya Tanah Laut Kota Baru Banjar Barito Kuala Tapin Hulu Sungai Selatan Hulu Sungai Tengah Hulu Sungai Utara Tabalong Tanah Bumbu Balangan Kota Banjarmasin Kota Banjar Baru Pasir Kutai Barat Kutai Kutai Timur Berau Malinau Bulungan Nunukan Penajam Paser Utara Kota Balikpapan Kota Samarinda Kota Tarakan Kota Bontang Bolaang Mongondow Minahasa Kep. Sangihe Talaud Kepulauan Talaud Minahasa Selatan Minahasa Utara Bolaang Mongondow Utara Minahasa Tenggara Kep. Siau Tagulandang Biaro Kota Manado Kota Bitung Kota Tomohon Kota Kotamobago Banggai Kepulauan Banggai Morowali Poso Donggala Toli-Toli Buol Parigi Moutong Tojo Una-Una Kota Palu Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto
Tahan Pangan 40,00 38,30 31,48 40,28 25,00 33,76 22,40 34,21 32,48 11,43 28,57 29,63 51,82 19,05 47,20 51,28 29,23 50,00 31,82 52,70 26,67 56,25 37,04 20,00 14,58 57,07 45,26 43,86 68,89 19,64 36,47 18,18 25,00 25,26 47,92 7,81 37,50 25,00 49,75 42,50 39,58 50,00 20,51 36,94 43,42 32,29 29,27 24,47 15,22 38,22 31,25 53,33 21,88 27,78 39,13 25,00
Rentan Pangan 45,00 38,30 11,11 42,36 61,67 53,85 64,00 39,47 57,26 67,86 57,14 49,07 41,82 74,60 25,17 24,36 21,54 31,25 37,37 20,27 28,89 0,00 51,85 30,00 47,92 14,13 15,09 19,30 15,56 68,75 44,71 45,45 56,25 58,95 36,46 73,44 37,50 56,25 15,27 38,75 50,00 46,88 42,31 35,67 40,79 37,50 46,34 34,04 45,65 41,40 50,00 13,33 65,63 44,44 47,83 62,50
Kurang Pangan 5,00 14,89 35,19 6,25 4,17 4,27 4,00 13,16 2,56 3,57 2,68 7,41 1,82 0,00 21,33 16,67 23,08 7,81 13,64 21,62 22,22 31,25 3,70 16,67 16,67 19,57 30,60 15,79 11,11 0,89 4,71 5,19 6,25 4,21 9,38 1,56 6,25 4,69 21,18 10,00 4,17 0,00 1,28 9,55 3,95 13,54 5,85 25,53 4,35 8,92 4,69 27,41 3,13 8,33 6,52 4,17
Rawan Pangan 10,00 8,51 22,22 11,11 9,17 8,12 9,60 13,16 7,69 17,14 11,61 13,89 4,55 6,35 6,29 7,69 26,15 10,94 17,17 5,41 22,22 12,50 7,41 33,33 20,83 9,24 9,05 21,05 4,44 10,71 14,12 31,17 12,50 11,58 6,25 17,19 18,75 14,06 13,79 8,75 6,25 3,13 35,90 17,83 11,84 16,67 18,54 15,96 34,78 11,46 14,06 5,93 9,38 19,44 6,52 8,33
95
Kode 109. 110. 111. 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128. 129. 130. 131. 132. 133. 134. 135. 136. 137. 138. 139. 140. 141. 142. 143. 144. 145. 146. 147. 148. 149. 150. 151. 152. 153. 154. 155. 156. 157. 158. 159. 160. 161. 162. 163. 164.
Kabupaten/Kota Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkajene Kepulauan Barru Bone Soppeng Wajo Sidenreng Rappang Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Kota Makasar Kota Pare-Pare Kota Palopo Buton Muna Konawe Kolaka Konawe Selatan Bombana Wakatobi Kolaka Utara Konawe Utara Kota Kendari Kota Bau-Bau Boalemo Gorontalo Pohuwato Bone Bolango Gorontalo Utara Kota Gorontalo Majene Polewali Mamasa Mamasa Mamuju Mamuju Utara Maluku Tenggara Barat Maluku Tenggara Maluku Tengah Buru Seram Bagian Barat Seram Bagian Timur Kota Ambon Halmahera Barat Halmahera Tengah Kepulauan Sula Halmahera Selatan Halmahera Utara Halmahera Timur Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan
Tahan Pangan 36,67 23,23 25,81 43,42 17,11 29,79 23,50 56,25 36,36 18,06 43,01 31,82 36,00 14,55 26,56 27,42 52,43 59,38 38,71 16,22 26,47 43,48 42,14 13,74 25,86 29,17 42,22 28,13 53,72 50,00 23,91 36,32 30,85 29,09 18,35 37,90 33,75 24,52 24,36 36,55 57,45 19,05 28,17 38,81 41,77 13,58 24,44 45,39 34,88 6,67 20,00 30,43 35,29 36,36 65,00 23,40
Rentan Pangan 50,00 56,77 56,45 38,16 46,05 63,83 33,88 23,44 56,36 62,50 39,78 47,73 38,67 60,91 51,56 54,84 26,21 28,13 32,26 37,84 37,65 27,17 42,14 48,85 46,55 16,67 35,56 60,94 27,27 25,81 54,35 35,82 37,23 49,09 62,66 20,97 62,50 59,62 64,10 36,55 36,17 9,52 49,30 36,82 45,57 46,91 60,00 14,47 34,88 66,67 34,29 38,04 37,25 18,18 1,25 55,32
Kurang Pangan 6,67 5,16 3,23 5,26 14,47 0,00 21,31 6,25 3,64 8,33 4,30 9,09 14,67 2,73 1,56 3,23 14,89 9,38 19,35 21,62 15,88 14,13 5,66 10,69 17,24 18,75 13,33 3,13 5,79 12,90 7,61 7,96 11,70 6,36 4,43 20,97 1,25 2,88 2,56 7,59 2,13 17,46 4,23 14,43 6,33 3,70 2,22 18,42 4,65 0,00 5,71 6,52 2,94 18,18 26,25 2,13
Rawan Pangan 6,67 14,84 14,52 13,16 22,37 6,38 21,31 14,06 3,64 11,11 12,90 11,36 10,67 21,82 20,31 14,52 6,47 3,13 9,68 24,32 20,00 15,22 10,06 26,72 10,34 35,42 8,89 14,29 13,22 11,29 14,13 19,90 20,21 15,45 14,56 20,16 2,50 12,98 8,97 19,31 4,26 53,97 18,31 9,95 6,33 35,80 13,33 21,71 25,58 26,67 40,00 25,00 24,51 27,27 7,50 19,15
96
Kode 165. 166. 167. 168. 169. 170. 171. 172. 173. 174. 175. 176. 177. 178. 179. 180. 181. 182. 183. 184. 185. 186. 187. 188. 189. 190.
Kabupaten/Kota Fak-fak Kaimana Teluk Wondama Teluk Bintuni Manokwari Sorong Selatan Sorong Raja Ampat Kota Sorong Merauke Jayawijaya Jayapura Nabire Yapen Waropen Biak Numfor Paniai Puncak Jaya Mimika Boven Digoel Mappi Yahukimo Pegunungan Bintang Tolikara Keerom Waropen Kota Jayapura
Tahan Pangan 17,02 35,48 60,00 28,13 30,56 25,00 39,34 6,67 50,89 31,19 7,19 8,93 25,97 15,22 19,15 1,59 4,44 44,16 50,00 0,00 0,00 0,00 0,00 35,48 13,33 47,32
Rentan Pangan 38,30 19,35 40,00 68,75 25,93 62,50 50,82 73,33 13,39 49,54 37,91 75,00 36,36 58,70 65,96 63,49 66,67 24,68 12,50 83,87 100,00 85,71 100,00 51,61 26,67 12,50
Kurang Pangan 10,64 29,03 0,00 0,00 13,89 6,25 1,64 0,00 23,21 1,83 16,34 3,57 19,48 13,04 2,13 0,00 4,44 14,29 31,25 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 24,11
Rawan Pangan 34,04 16,13 0,00 3,13 29,63 6,25 8,20 20,00 12,50 17,43 38,56 12,50 18,18 13,04 12,77 34,92 24,44 16,88 6,25 16,13 0,00 14,29 0,00 12,90 60,00 16,07
97 Lampiran 9 Dinamika Ketahanan Pangan 2008 dibandingkan 2010 A. KONDISI MEMBURUK Kondisi ketahanan pangan dari ‘tahan pangan’ tahun 2008 menjadi ‘rentan pangan’ tahun 2010 1. 2. 3. 4. 5.
Sumbawa Kota Bima Nageko Kutai Berau
6. 7. 8. 9. 10.
Bulungan Penajam Paser Utara Kepulauan Talaud Kota Tomohon Takalar
11. 12. 13. 14. 15.
Enrekang Luwu Halmahera Utara Kota Tidore Kepulauan Teluk Bintuni
Kondisi ketahanan pangan dari ‘tahan pangan’ tahun 2008 menjadi ‘kurang pangan’ tahun 2010 1.
Kota Palangkaraya
Kondisi ketahanan pangan dari ‘tahan pangan’ tahun 2008 menjadi ‘rawan pangan’ tahun 2010 1. 2.
Nunukan Jayawijaya
Kondisi ketahanan pangan dari ‘rentan pangan’ tahun 2008 menjadi ‘rawan pangan’ tahun 2010 1. 2. 3. 4.
Sikka Maluku Tenggara Barat Kepulauan Sula Waropen
Kondisi ketahanan pangan dari ‘kurang pangan’ tahun 2008 menjadi ‘rawan pangan’ tahun 2010 1.
Wakatobi
B. KONDISI MEMBAIK Kondisi ketahanan pangan dari ‘rentan pangan’ tahun 2008 menjadi ‘tahan pangan’ tahun 2010 1. 2. 3. 4.
Barito Utara Sukamara Murung Raya Pasir
5. 6. 7. 8.
Minahasa Utara Minahasa Tenggara Banggai Pinrang
9. Konawe 10.Gorontalo 11.Mamuju 12.Maluku Tengah
13. Halmahera Timur 14. Teluk Wondama
Kondisi ketahanan pangan dari ‘kurang pangan’ tahun 2008 menjadi ‘tahan pangan’ tahun 2010 1.
Kota Samarinda
Kondisi ketahanan pangan dari ‘rawan pangan’ tahun 2008 menjadi ‘tahan pangan’ tahun 2010 1. 2.
Kaimana Manokwari
98 Kondisi ketahanan pangan dari ‘rawan pangan’ tahun 2008 menjadi ‘rentan pangan’ tahun 2010 1. 2. 3. 4.
Seram Bagian Barat Paniai Mappi Yahukimo
C. KONDISI SAMA Kondisi ketahanan pangan tahun 2008 dan 2010 sama ‘tahan pangan’ 1. Sumbawa Barat 2. Kota Mataram 3. Kota Kupang 4. Sekadau 5. Kota Pontianak 6. Kota Singkawang 7. Kotawaringin Barat 8. Tanah Bumbu 9. Kota Banjarmasin 10. Kota Banjar Baru
11. Kutai Barat 12. Kutai Timur 13. Malinau 14. Kota Balikpapan 15. Kota Tarakan 16. Kota Bontang 17. Kota Manado 18. Kota Bitung 19. Kota Kotamobago 20. Morowali
21. Kota Palu 22. Maros 23. Soppeng 24. Kota Makasar 25. Kota Pare-Pare 26. Kota Palopo 27. Kolaka 28. Kolaka Utara 29. Kota Kendari 30. Kota Bau-Bau
31. Kota Gorontalo 32. Mamuju Utara 33. Kota Ambon 34. Halmahera Barat 35. Kota Ternate 36. Kota Sorong 37. Mimika 38. Boven Digoel 39. Kota Jayapura
Kondisi ketahanan pangan tahun 2008 dan 2010 sama ‘rentan pangan’ 1. Lombok Barat 2. Lombok Tengah 3. Lombok Timur 4. Dompu 5. Bima 6. Sumba Barat 7. Sumba Timur 8. Kupang 9. Timor Tengah Selatan 10. Timor Tengah Utara 11. Belu 12. Alor 13. Lembata 14. Flores Timur 15. Ende 16. Ngada 17. Manggarai 18. Rote Ndao 19. Manggarai Barat 20. Sumba Barat Daya 21. Sumba Tengah 22. Sambas 23. Bengkayang 24. Landak 25. Pontianak 26. Sanggau 27. Ketapang
28. Sintang
55. Bolaang Mongondow Utara 29. Kapuas Hulu 56. Kep. Siau Tagulandang Biaro 30. Melawi 57. Banggai Kepulauan 31. Kayong Utara 58. Poso 32. Kotawaringin Timur 59. Donggala 33. Kapuas 60. Toli-Toli 34. Barito Selatan 61. Buol 35. Lamandau 62. Parigi Moutong 36. Seruyan 63. Tojo Una-Una 37. Katingan 64. Selayar 38. Pulang Pisau 65. Bulukumba 39. Gunung Mas 66. Bantaeng 40. Barito Timur 67. Jeneponto 41. Tanah Laut 68. Gowa 42. Kota Baru 69. Sinjai 43. Banjar 70. Pangkajene Kepulauan 44. Barito Kuala 71. Barru 45. Tapin 72. Bone 46. Hulu Sungai Selatan 73. Wajo 47. Hulu Sungai Tengah 74. Sidenreng Rappang 48. Hulu Sungai Utara 75. Tana Toraja 49. Tabalong 76. Luwu Utara 50. Balangan 77. Luwu Timur 51. Bolaang Mongondow 78. Buton 52. Minahasa 79. Muna 53. Kep. Sangihe Talaud 80. Konawe Selatan 54. Minahasa Selatan 81. Bombana
82. Konawe Utara 83. Boalemo 84. Pohuwato 85. Bone Bolango 86. Gorontalo Utara 87. Majene 88. Polewali Mamasa 89. Mamasa 90. Maluku Tenggara 91. Buru 92. Seram Bagian Timur 93. Halmahera Tengah 94. Halmahera Selatan 95. Fak-fak 96. Sorong Selatan 97. Sorong 98. Raja Ampat 99. Merauke 100. Jayapura 101. Nabire 102. Yapen Waropen 103. Biak Numfor 104. Puncak Jaya 105. Pegunungan Bintang 106. Tolikara 107. Keerom
99 Lampiran 10 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketahanan Pangan di KTI Test likelihood-ratio membandingkan model panel RE dengan model pooled . xttobit tahan lnproberaskw jln misk rls buta lnpdrbjt,ll(0) ul(100) tobit Fitting comparison model: Fitting constant-only model: Iteration 0: Iteration 1: Iteration 2:
log likelihood = -2354.1369 log likelihood = -2353.8291 log likelihood = -2353.829
Fitting full model: Iteration Iteration Iteration Iteration
0: 1: 2: 3:
log log log log
likelihood likelihood likelihood likelihood
= = = =
-2219.6473 -2216.8252 -2216.8193 -2216.8193
Obtaining starting values for full model: Iteration Iteration Iteration Iteration
0: 1: 2: 3:
log log log log
likelihood likelihood likelihood likelihood
= = = =
-2151.6579 -2149.1628 -2149.1415 -2149.1415
likelihood likelihood likelihood likelihood
= = = =
-2111.0967 -2109.7303 -2109.7211 -2109.7211
Fitting full model: Iteration Iteration Iteration Iteration
0: 1: 2: 3:
log log log log
Random-effects tobit regression Group variable: kab
Number of obs Number of groups
= =
570 190
Random effects u_i ~ Gaussian
Obs per group: min = avg = max =
3 3.0 3
Log likelihood
Wald chi2(6) Prob > chi2
= -2109.7211 Std. Err.
z
128.89 0.0000
tahan
Coef.
lnproberaskw jln misk rls buta lnpdrbjt _cons
-1.020559 .0508076 -.2829024 2.514857 -.2365183 2.394808 14.5455
.6349594 .2457038 .0920065 .8132704 .0788377 1.085927 7.725055
-1.61 0.21 -3.07 3.09 -3.00 2.21 1.88
0.108 0.836 0.002 0.002 0.003 0.027 0.060
-2.265056 -.4307631 -.4632318 .920876 -.3910374 .2664297 -.5953255
.2239388 .5323782 -.102573 4.108837 -.0819992 4.523186 29.68633
/sigma_u /sigma_e
10.34896 7.870019
.6606843 .2921749
15.66 26.94
0.000 0.000
9.054045 7.297367
11.64388 8.442671
rho
.6335906
.0362513
.5606405
.7020006
Likelihood-ratio test of sigma_u=0: chibar2(01)= Observation summary:
P>|z|
= =
[95% Conf. Interval]
214.20 Prob>=chibar2 = 0.000
15 left-censored observations 555 uncensored observations 0 right-censored observations
.
Ho: Pooled Tobit lebih sesuai Keputusan: tolak Ho artinya model tobit panel lebih sesuai
100 Hasil estimasi model tobit panel RE . xttobit tahan lnproberaskw jln misk
lnpdrbjt rls buta, ll(0) ul(100)
Obtaining starting values for full model: Iteration Iteration Iteration Iteration
0: 1: 2: 3:
log log log log
likelihood likelihood likelihood likelihood
= = = =
-2151.6579 -2149.1628 -2149.1415 -2149.1415
likelihood likelihood likelihood likelihood
= = = =
-2111.0967 -2109.7303 -2109.7211 -2109.7211
Fitting full model: Iteration Iteration Iteration Iteration
0: 1: 2: 3:
log log log log
Random-effects tobit regression Group variable: kab
Number of obs Number of groups
= =
570 190
Random effects u_i ~ Gaussian
Obs per group: min = avg = max =
3 3.0 3
Log likelihood
Wald chi2(6) Prob > chi2
= -2109.7211 z
P>|z|
128.89 0.0000
tahan
Coef.
lnproberaskw jln misk lnpdrbjt rls buta _cons
-1.020559 .0508076 -.2829024 2.394808 2.514857 -.2365183 14.5455
.6349594 .2457038 .0920065 1.085927 .8132704 .0788377 7.725055
-1.61 0.21 -3.07 2.21 3.09 -3.00 1.88
0.108 0.836 0.002 0.027 0.002 0.003 0.060
-2.265056 -.4307631 -.4632318 .2664297 .920876 -.3910374 -.5953255
.2239388 .5323782 -.102573 4.523186 4.108837 -.0819992 29.68633
/sigma_u /sigma_e
10.34896 7.870019
.6606843 .2921749
15.66 26.94
0.000 0.000
9.054045 7.297367
11.64388 8.442671
rho
.6335906
.0362513
.5606405
.7020006
Observation summary:
Std. Err.
= =
[95% Conf. Interval]
15 left-censored observations 555 uncensored observations 0 right-censored observations