KERTAS TEMA : KEHARMONIAN ASAS PEMBANGUNAN UMMAH OLEH : REPUBLIK INDONESIA
I.
Pendahuluan Islam sangat mementingkan keharmonian dalam hubungan antar manusia. Keharmonian tersebut diharapkan tumbuh dalam ikatan atau lingkup yang lebih kecil, seperti keluarga, perkumpulan, dan komunitas. Keharmonian juga diharapkan tumbuh dalam lingkup ikatan yang lebih besar, seperti, suku bangsa, bangsa dan ummah. Dengan demikian, keharmonian diharapkan berkembang secara luas dalam berbagai bentuk ikatan dan berlangsung terus menerus. Kata ummah dalam literatur keagamaan Islam, khususnya Al-Qur’an dan Hadis, dapat menunjuk kepada pengertian terbatas, yakni para penganut agama Islam (ummah muslimah) dan dapat pula menunjuk kepada manusia secara keseluruhan. Namun demikian, dalam tulisan ini kata ummah difokuskan pada ummah muslimah atau umat Islam. Sebutan lain untuk itu adalah al-ummah al-Islamiyyah dan al-ummah al-muhammadiyyah. Ajaran
Islam
mendorong
penganutnya
untuk
mengembangkan
keharmonian. Dorongan tersebut tersirat dalam berbagai perintah untuk dilaksanakan, larangan untuk dijauhi dan sifat-sifat positif yang dinisbahkan kepada mereka. Di antaranya: 1) ummah muslimah; 2) khaira ummah (umat yang terbaik); dan 3) ummatan wasatan (umat pertengahan). Jika tuntunan ini dikembangkan, maka keharmonian di antara umat Islam akan terbentuk dan senantiasa terpelihara. Realitas sosial menunjukkan bahwa pertikaian di antara umat Islam sering terjadi. Pertikaian yang mengganggu keharmonian terjadi sejak periode awal dalam sejarah umat Islam. Bahkan dewasa ini umat Islam di beberapa negara masih mengalami konflik kekerasan di antara mereka. Umat Islam di Indonesia pun pernah mengalami kondisi sosial yang diwarnai dengan konflik internal dalam skala yang kecil maupun agak besar. Konflik pernah terjadi
karena perbedaan pandangan keagamaan dalam masalah ibadah maupun siyasah, tetapi ada juga konflik karena sebab lain yang di dalamnya melibatkan umat Islam pada pihak-pihak yang bertikai. Mengacu pada penjelasan di atas, maka pada satu sisi ajaran agama mendorong terciptanya kondisi yang harmoni di antara umatnya, namun interpretasi mengenai teks-teks dasar ajaran agama sering melahirkan banyak penganut yang kemudian menjadi golongan tersendiri, bahkan menjadi kelompok atau organisasi yang diwarnai oleh paham tertentu. Interpretasi teks tersebut sebagian tekait dengan masalah akidah, masalah ibadah, muamalah, dan siyasah. Perbedaan pemahaman dalam bidang akidah dan ibadah yang tidak disikapi dan dikembangkan dengan baik, dapat menimbulkan kondisi yang kurang harmoni di antara umat. Lebih jauh dari itu, perbedaan interpretasi teks dalam bidang siayasah sering menimbulkan konflik yang lebih tajam. Pemahaman keagamaan berkembang secara dinamis. Di samping itu, kondisi sosial politik di setiap negera juga mengalami dinamika. Kedua faktor tersebut dapat mempengaruhi keharmonian atau ketidakharmonian di kalangan umat Islam. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan upayaupaya untuk secara terus menerus mengembangkan keharmonian yang berkelanjutan di kalangan umat Islam di Indonesia, negeri-negeri muslim dan dunia Islam pada umumnya.
II.
Karakteristik Ummah Ummah adalah kata benda (ism) dalam bentuk tunggal. Ini digunakan sebanyak 51 kali di dalam Al-Qur’an. Sementara itu umam sebagai bentuk jamak dari ummah digunakan sebanyak 13 kali.1 Dengan mengacu pada pemakaian kosakata tersebut di dalam Al-Qur’an, kata ummah menurut arRagib al-Asfahani berarti setiap kumpulan yang dipersatukan oleh faktor tertentu, baik itu satu agama, satu zaman, satu tempat, secara terpaksa atau 1
Muhammad Fuad ‘Abd al-B±q³, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim (Kairo: Dar alHadis, 2007), h. 98-99. Rincian penggunaannya, kata ummat yang berdiri sendiri 49 kali, dan ummah yang digandengkan dengan damir dua kali)
karena kehendak sendiri.2 Penjelasan seperti itu juga dikemukakan oleh Muhammad Mahmud Hijazi dalam at-Tafsir al-Wadih. Ia menyatakan bahwa ummah
menunjuk
pada
kelompok
manusia,
namun
ada
kalanya
dipergunakan berdasarkan agama yang dipeluk, atau umat beragama. 3 Sementara itu, menurut penulis Tafsir Jalalain, pada dasarnya manusia itu satu dalam hal keimanan, kemudian mereka berselisih, sebagian beriman, namun sebagian lainnya menolak untuk beriman.4 Manusia sebagai satu kesatuan dinyatakan dalam Al-Qur’an:
Artinya: Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan) Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara mereka tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yan telah datang kepada mereka keterangan-keteragan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.5
2
Al-Ragib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an (Beirut: al-Dar al-Samiyyat, 1992), h. Muhammad Mahmud Hijazi, at-Tafsir al-Wadih (Kairo: Maktabat al-Istiqlal al-Kubra, juz II, 1968), h. 47. 3
4
Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din as-Sayuti, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), h.29. Tafsir ini lebih populer di kalangan santri dengan sebutan Tafsir Jalalain. 5
Al-Qur’an, surah Al-Baqarah/2: 213.
Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya satu. Selain itu, Al-Qur’an juga mengakui adanya penggolongan atau pengelompokkan berdasarkan ikatan tertentu. Salah satunya berdasarkan
keyakinan
keagamaan atau agama. Al-Qur’an menyebut pemeluk agama Islam sebagai satu ummah:
Artinya: Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempattempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.6 Al-Qur’an memberi petunjuk untuk memahami kedudukan para penganut agama Islam sebagai satu ummat. Petunjuk tersebut dinyatakan dalam bentuk sifat yang kemudian dijelaskan dengan beberapa ciri tertentu. Sifat tersebut dapat ditelusuri pada ayat-ayat yang berbicara tentang sifat-sifat terpuji dari al-muslimun dan al-mukminun. Akan tetapi, ciri-ciri ummat pada tulisan ini dibatasi pada ayat-ayat yang secara eksplisit menyebut kata ummah. Al-Qur’an menyebut umat Islam sebagai ummatan wasatan.7
6
Al-Qur’an surah al-Baqarah/2: 128. Surah Al-Baqarah/2: 143.
7
Ummatan wasatan, menurut Abdullah Yusuf Ali, mengandung arti: umat yang berimbang. Inti ajaran Islam ialah
menghindari hal yang berlebihan
dalam segala hal, sebagai agama wajar dan praktis.8 Sementara itu, menurut Mahmud Hijazi, umat Islam dijadikan sebagai umat yang senantiasa menjaga keseimbangan, menghindari hal-hal yang berlebihan dalam urusan dunia dan agama, juga umat
yang menempuh keseimbangan pada prinsip-prinsip
akidah yang melindungi raga dan roh (al-maddah wa ar-ruh). Prinsip-prinsip ini juga menumbuhkan keseimbangan dalam membina hubungan dengan individu dan kelompok.9 Islam yang pertama kali diturunkan di jazirah Arab dicermati oleh sebagian mufassir sebagai posisi tengah umat Islam dari segi geografis. Menurut Yusuf Ali, kata bahasa Arab wasath juga mengandung arti perantaraan. Dalam arti geografis, dalam Dunia Lama (bumi Belahan Timur, Eropa, Asia dan Afrika) jazirah Arab ini berada dalam posisi perantara, sebagaimana dibuktikan oleh sejarah dengan pesatnya meluas ke utara, selatan, barat, dan timur ( )10. Posisi jazirah Arab dan negeri-negeri muslim, seperti Asia Tenggara, sampai hari ini tetap penting dalam mengembangkan tugas-tugas dakwah ke berbagai penjuru dunia.
8
Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), h. 58
9
Muhammad Mahmud Hijazi, op.cit. Juz. I, h. 4
10
Abdullah Yusuf Ali, op.cit., h. 58
Ciri-ciri umat Islam seperti yang digambarkan di dalam Al-Qur’an sebaiknya digunakan untuk memlihara identitas umat Islam, baik secera pribadi maupun sebagai satu kesatuan. Ciri yang dimaksud, antara lain, pada penggunaan ungkapan khaira ummah. Allah Swt. berfirman:
Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.11 Ketaatan pada ajaran Islam sejatinya merupakan ciri yang mutlak harus melekat pada setiap individu penganut agama Islam, sesuai namanya ummah muslimah. Dengan dasar pemahaman seperti itu, dapat dipahami ketika Al-Qur’an menyebut seorang nabi, utusan Allah, sebagai umat. Nabi adalah guru sekaligus model yang terbaik bagi umatnya (Al-Qur’an surah anNahl/16: 120). Ayat 110 dari surah Ali Imran di atas menyebut umat Islam sebagai khaira ummah. Ungkapan tersebut tidak terlepas dari konteks perbandingan dengan umat
lain.
Pemberian
atribut
disertai dengan
beberapa
ciri,
yaitu:
melaksanakan amar ma‘ruf dan nahi munkar dan senantiasa beriman kepada Allah. Makruf menunjuk kepada setiap perbuatan yang diakui kebaikannya
11
Al-Qur’an surah Ali Imran/3: 110.
oleh akal dan syariah. Adapun kemungkaran adalah perbuatan yang ditolak oleh keduanya12 Dengan mengacu pada pengertian di atas, maka arah dari amar makruf ialah mendorong terciptanya kemaslahatan bagi individu dan masyarakat muslim. Berhubung dasar penegakan amar makruf bukan hanya syariah, tetapi juga akal, maka aspek ilmu pengetahuan, metode dan skill tertentu menjadi penting dalam
rangka
pembangunan umat.
Demikian
pula
sebailknya, upaya untuk menghindarkan individu dan masyarakat muslim dari berbagai bentuk keburukan harus dilakukan berdasarkan kajian agama dan kemasyarakatan, memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
III.
Umat Islam Indonesia, Organisasi, dan Paham Keagamaan Menurut data BPS tahun tahun 2010, penduduk Indonesia berjumlah 237.641.326 jiwa. Jumlah umat Islam sebanyak 207.176.162 (87.18%). Adapun komposisi pemeluk agama lainnya terdiri dari Kristen sebanyak 16.528.513 (6.96%), Katolik sebanyak 6.907.873 (2.91%), Hindu sebanyak 4.012.116
(1.69%),
Buddha
sebanyak
1.703.254
(0.72%),
Konghucu
sebanyak 117.091 (0.05%), dan penganut agama lainnya sebanyak 1.196.317 (0.50%).13 Persentase pemeluk agama Islam selama satu atau dekade terakhir tidak mengalami perubahan yang menonjol. Organisasi kemasyarakatan Islam besar yang berkembang hingga saat ini antara lain Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Kedua organisasi ini didirikan sekitar permulaan abad ke dua puluh. Kedua organisasi tersebut sama-sama dianggap penganut paham Ahlus Sunnah, namun mempunyai kecenderungan mazhab fikih yang berbeda. Muhammadiyah cenderung ke mazhab Hanbali dalam bidang fikih, sedangkan NU mengacu ke empat Imam mazhab,
dengan
kecenderungan
ke
mazhab
12
Syafi’i
lebih
menonjol.
Al-Ragib al-Asfahani, op.cit. h. 561. Pengertian lain tentang munkar dikemukakan oleh al-Ragib dengan mengatakan bahwa al-munkar adalah segala perbuatan yang dipandang buruk oleh akal sehat, atau akal tidak memberi penilaian akan keburukan maupun kebaikannya, namun syariah memandangnya buruk, h. 823. 13
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Laporan Tahunan 2011.
Perbedaan lainnya di antara kedua organisasi ialah semangat pemurnian dalam hal akidah dan ibadah serta semangat pembaharuan dalam bidang sosial ekonomi sangat kuat di kalangan warga Muhammadiyah. Tekad untuk membasmi takhyul, bid’ah, dan khurafat sering dijadikan tema dalam ceramah dan pesan-pesan keagamaan tertulis yang mereka sampaikan. Di lain pihak, warga NU sangat akomodatif terhadap budaya dan tradisi lokal dan menjadi wadah tumbuhnya perkumpulan banyak organisasi tarekat, tradisi ziarah ke makam wali, perkumpulan manaqib, barazanji, tahlil dan Yasinan. Perbedaan paham keagamaan kedua organisasi ini pernah meruncing pada tahun 1960-an hingga tahun 1970-an. Kini setelah empat puluh tahun berlalu relasi sosial di antara warga kedua organisasi itu menjadi lebih harmoni. Walaupun demikian keharmonian itu masih sering dihadapkan pada kerikil-kerikil kecil yang tidak sampai menimbulkan konflik di kalangan warga. Perbedaan penetuan tanggal 1 Syawal masih sering terjadi yang secara garis besar memilah pandangan kedua organisasi itu, yang dikendalikan oleh para elit organisasi. Organisasi Islam yang cukup besar adalah Persatuan Umat Islam. Paham keagamaan yang dikembangkan lebih dekat pada Muhammadiyah. Satu organisasi Islam yang usianya relatif baru adalah Wahdah Islamiyah, juga mengusung semangat pemurnian. Adapun organisasi massa Islam lain yang cukup besar dan lebih dekat ke NU adalah Al-Wasliyah yang sangat kuat di Sumatera Utara dan Pesatuan Tarbiyah Islamiyah yang sangat kuat di Sumatera Barat. Organisasi yang disebut terakhir secara tegas menganut mazhab Syafi’i dalam bidang fikih. Ormas Islam Nahdatul Watan (NW) yang dominan di Nusa Tenggara Barat, Darud Dakwah wal Irsyad dan As’adiyah yang pusatnya di Sulawesi Selatan, dan Alkhairaat yang berpusat di Palu Sulawesi Tengah sangat dekat dengan NU dari segi paham keagamaan dan corak/tradisi keagamaan yang dikembangkan.
Kedekatan
antara
ormas
tersebut
pengurusnya menduduki jabatan rangkap pada dua ormas.
memungkinkan
Ormas Islam Matlaul Anwar (MA) yang berpusat di wilayah Banten mebiarkan warganya mengembangkan paham keagamaan sesuai dengan kecenderungannya. Paling tidak, ada fenomena yang menunjukkan bahwa ada sebagian pengurus MA yang mengamalkan ibadah dan tradisi keagamaan
yang
mirip
warga
NU,
namun
ada
juga
yang
mirip
Muhammadiyah.14 Ini menunjukkan bawa sikap saling pengertian dan menghargai serta kerjasama di antara penganut paham keagamaan yang berbeda semakin kuat. Pandangan politik kedua kelompok organisasi itu (Muhammadiyah dan NU) agaknya relatif sama, yakni tidak lagi mempersoalkan bentuk negara. Perdebatan tentang eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dasar negara Pancasila dianggap sudah final. Tahap selanjutnya yang mereka lakukan adalah memperjuangkan aspirasi pilitik melalui saluran yang tersedia, terutama melalui pemilu calon anggota lebislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilu kepala daerah. Harus diakui bahwa sebagian tokoh Islam yang turut merumuskan pembentukan NKRI telah memperjuangkan aspirasi umat untuk membentuk negara Islam. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan heterogenitas komponen bangsa mereka sepakat untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara. Artinya, para tokoh Islam pada masa itu tidak lagi mempersoalkan aspek
formal
dari
pengelolaan
pemerintahan,
tetapi
memilih
untuk
mengedepankan aspek substansial untuk mempejuangkan Islam dalam kehidupan berbangsa dan benegara. Semangat untuk mendirikan negara Islam tidaklah serta merta padam setelah proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Sekitar akhir tahun hingga awal tahun 1960-an beberapa daerah di Indonesia seperti Sulawesi Selatan dan Jawa Barat merasakan konflik bersenjata yang menimbulkan banyak korban jiwa dan materi. Konflik itu berpangkal pada ketidakpuasan
14
Wawancara dengan Wakil Pengurus PP MA di Jambi pada tanggal 6 Oktober 2013 di selah kegiatan Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural Intern Pemuka Agama Islam.
sebagian tokoh terhadap penyelanggaraan negara pada masa itu. Gerakan tersebut telah berakhir dan padam. Rumusan sila-sila Pancasila dinilai selaras dengan ajaran Islam. Selain itu, beberapa bagian dari Undang - Uandang Dasar Negara Republik Indonesia juga selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Sebagai contoh, pasal 29 ayat (1) menyatakan: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Perlindungan terhadap fakir miskin juga diakomodasi dalam UUD 1945. Pasal 34 ayat (1) menyatakan: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Dalam
perkembangan
selanjutnya,
umat
Islam
memperjuangkan
aspirasinya melalui pembuatan undang-unadang. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menyerap aspirasi umat Islam dan umat lain dengan memberi hak bagi setiap peserta didik untuk memperoleh pendidikan agama sesuai agama yang dianut dan diajarkan oleh guru yang seagama. UndangUndang ini juga memperjelas kedudukan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang untuk waktu yang lama terkesan bagi sebagian orang dimarginalkan. Selain itu, selama beberapa dekade terakhir, aspirasi umat Islam yang diperjuangkan melalui jalur konstitusional telah membuahkan sejumlah hasil, yaitu Undang-Undang Zakat, Undang-Undang Penyelenggaraan Haji
dan
Undang-Undang Wakaf adalah produk hukum yang secara khusus mengatur dan melayani kepentingan umat Islam. Selain itu, terdapat undang-undang yang tidak menggunakan istilah agama yang khas, namun menyerap kepentingan umat beragama, yakni Undang-Undang Anti Pornografi. Dalam bidang keuangan, kehadiran perbankan syari’ah merupakan suatu bentuk layanan kepada masyarakat yang mengakomodasi kepentingan umat Islam di bidang perbankan. Kehadiran perbankan syariah dapat diterima oleh segenap warga masyarakat, baik yang menganut agama Islam maupun umat lain. Kehadiran lembaga perbankan Islam ini tidak membawa pengaruh negatif
terhadap keharmonian warga masyarakat. Ini tidak terlepas dari strategi pemimpin bangsa dan umat yang menyadari pluralitas yang ada di masyarakat. Pilihan nama Bank Muamalat yang berdasar syariah pada saat pertama pendirian bank Islam di Indonesia didasarkan pada pertimbangan yang sangat bijak. Nama yang muncul belakangan, yakni bank syariah, asuransi syariah, dan pegadaian syariah dapat diterima oleh masyarakat luas tanpa prasangka negatif. Pendidikan tinggi Islam memperoleh dampak positif dari perkembangan perbankan syariah. Program studi ekonomi Islam, perbankan syariah dan sejenisnya diminati oleh banyak mahasiswa di sejumlah Perguruan Tinggi Agama Islam. Program studi ini sudah dikembangkan dari jenjang strata satu hingga strata tiga. Kesadaran akan adanya orang lain dan kesediaan untuk mengakui hakhak pihak lain menjadi salah satu landasan untuk membangun harmoni di Indonsia. Harmoni yang dimaksud tidak hanya di antara umat Islam, tetapi juga antara umat Islam dengan umat lain di Indonesia. Perguruan tinggi agama Islam dipacu untuk terus berkembang dengan kehadiran dan perkembangan perguruan tinggi agama selain Islam, negeri dan swasta.
IV.
Menjaga Keharmonian Keharmonian menunjuk pada keadaan yang harmonis.15 Harmony dalam kamus bahasa Inggris diartikan dengan a state of agreement (in feelings, ideas, etc.); dan peacfulness.16 Keharmonian akan tercipta dan terpelihara jika berbagai pihak mempunyai pandangan yang sama dan mampu menjembatani perbedaan termasuk dalam hal pemahaman keagamaan. Secara umum organisasi besar keagamaan yang lahir sebelum proklamasi kemerdekaan dan mampu melewati berbagai tantangan pada masa Orde Lama dan Orde Baru mempunyai pandangan politik yang sama Hasan Alwi, et.all. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011), h. 484. 16
Paul Procter, ed. Longman Dictionary of Contemporary English, (London: Longman Group Ltd, 1978), h. 517.
terkait dengan bentuk negara yang ideal. Warga Muhammadiyah membidani partai politik yang sifatnya terbuka, yakni memberi kesempatan untuk menjadi anggota dan pengurus kepada orang-orang yang menganut agama di luar Islam. Hal yang sama dilakukan oleh warga NU. Dengan demikian, kebersamaan di bidang politik memberi landasan yang kokoh bagi bangsa ini untuk menciptakan dan memelihara keharmonian secara nasional. Fenomena lain yang harus diakui pula bahwa umat Islam tersebar di berbagai organisasi politik yang ada sekarang di Indonesia. Fenomena ini semakin mempertegas bahwa wadah perjuangan menjadi tidak esensial bagi sebagian orang. Bahkan koalisi antara sejumlah partai dalam pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan kepala daerah menjadi praktik yang lazim di negeri ini. Seiring dengan perkembangan kebebasan berserikat pada masa reformasi sejak tahun 1998, maka kelompok yang mempunyai pandangan politik yang berbeda tak dapat dielakkan kehadirannya. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang cikal bakalnya sudah ada pada tahun 1980-an mendapatkan
momentum
untuk
menyuarakan
dan
memperjungkan
aspirasinya secara terbuka dan masif, yang dalam beberapa hal menunjukkan perbedaan yang tajam dengan Muhammadiyah dan NU. Arah dakwah Hizbut Tahrir pertama adalah mengajak kaum muslimin kepada pengamalan seluruh hukum-hukum Islam dari masalah aqidah, ibadah, makanan, pakaian, akhlaq, dan dakwah hingga uqubat dan muamalah. Dan yang kedua dengan jalan menegakkan syariah dan khilafah. Hizbut Tahrir adalah kelompok politik, berdiri berazaskan pemikiran Islam, bukan kelompok spiritual, bukan lembaga ilmiah atau akdemis, bukan pula lembaga sosial.17 Pemahaman keagamaan yang dikembangkan oleh HTI berkaitan dengan tatanan pemerintahan dan hukum secara mendasar. Din Wahid menyebutnya 17
Muhammad Ismail Yusanto (juru bicara HTI) sebagaimana dikutip oleh Asnawati, “Jaringan Hizbut Tahrir Indonesia di Kota Depok Jawa Barat dan Semarang” dalam Ahmad Syafi’I Mufid, Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia. (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2011), h. 79.
sebagai gerakan yang berorientasi pada perubahan sosial politik secara fundamental. Sejauh ini apa yang diyakini itu diperjuangkan dengan cara-cara damai dan non kekerasan.18 Aktifis HTI aktif melakukan sosialisasi gagasannya kepada masyarakat dari berbagai lapisan, baik awam maupun intelektual. HTI melibatkan tokoh intelektual dari berbagai ormas keagamaan dan memberi peran sebagai pembicara dalam pertemuan yang terbuka untuk publik.19 Artinya mereka membuka diri untuk melakukan dialog. Kondisi ini perlu direspons oleh ormas Islam yang mengembangkan paham keagamaan moderat. Sementara itu, ormas Islam Front Pembela Islam (FPI) mempunyai pemahaman yang agak spesifik terkait dengan penegakan amar makruf dan nahi munkar. Terdapat hadis Nabi Muhammad Saw. yang menyatakan: Man ra a minkum munkaran falyugayyirhu biyadih³, fain-lam yastati‘ fa bilisanih³, fain-lam yastati‘ fabiqalbihi wa kadzalika adl’afu al-iman (HR. Muslim)20 Artinya, barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkran, maka hendaklah ia menghilangkannya dengan tangannya. Jika ia tidak sanggup, maka hendaklah ia menghilangkan dengan dengan lisannya. Jika ia tidak sanggup, maka ia menolak dengan hatinya. (Yang terakhir) ini tingkatan iman yang paling lemah. Pemahaman terhadap teks hadis ini di kalangan anggota FPI terlihat tekstual. Mereka memahami bahwa kemungkaran, dalam bentuk kemaksiatan seperti hubungan di luar nikah dan kegiatan warga masyarakat mengkonsumsi minuman keras harus dihilangkan dengan kekuatan. Ketika mereka melihat praktik kemaksiatan berlangsung untuk waktu yang lama dan belum mendapat penyelesaian sebagaimana mestinya menurut pandangan mereka dari segi agama, mereka
kemudian
bertindak. Bentuknya
antara
lain
dengan
melakukan sweeping di tempat maksiat yang terkadang menimbulkan kerugian material. Dalam beberapa kasus terjadi bentrok antara anggota FPI
18
Lihat Din Wahid dalam ibid. h. 131. Lihat Asnawati dalam ibid. h. 101-102 20 Abu al-Husain Muslim, Sahih Muslim, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 2011) I, h. 46. 19
dengan pihak yang ditertibkan oleh anggota FPI dan bentrok fisik antara anggota FPI dengan aparat keamanan. Bagi sebagian orang, penegakan amar makruf dan nahi mungkar seperti itu dipandang kurang tepat, karena menjadi domain aparat keamanan negara. Hal lain yang tak dapat dielakkan ialah timbulnya kesan bahwa kekerasan dalam bentuk seperti itu dilakukan atas nama agama. Padahal keabsahan pandangan seperti itu masih dipertanyakan atau perlu ditinjau ulang. Penegakan nahi mungkar versi FPI perlu dikaji dari perspektif kondisi sosial ekonomi politik umat Islam secara keseluruhan, termasuk para anggota FPI sendiri. Di samping itu, aktivitas yang dilakukan oleh FPI masih dititikberatkan pada aspek nahi mungkar, sementara dari segi amar makruf belum menonjol di kalangan mereka. Fenomena ini memperlihatkan kepada kita bahwa penafsiran teks-teks suci Islam yang sifatnya komprehensif masih perlu
terus dikembangkan
dan dialogkan.
Pengertian “tangan” yang
dibutuhkan dalam mencegah kemungkaran memerlukan penjabaran dan program nyata agar setiap individu dari umat ini memiliki power (kekuatan) dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Bentuk lain dari upaya memnjaga keharmonian yang perlu mendapat perhatian bersama adalah dari segi ekonomi. Pada masa sekarang kerja sama
ormas
Islam
dalam
menanggulangi
masalah
kemiskinan
dan
keterbelakangan pendidikan sangat diperlukan. Kebijakan pembangunan ekonomi yang menekankan pada pertumbuhan menimbulkan kesenjangan. Dampak dari kesenjangan tersebut lebih banyak dirasakan oleh umat Islam. Jaringan produksi dan perdagangan dikuasai oleh pemilik modal tertentu sehingga menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Hal ini menjadi tantangan yang harus dihadapi secara bersama oleh ormas Islam di Indonesia. Gejala ini berpotensi menimbulkan ketidakharmonian sosial pada masa datang bila tidak direspons dengan cepat dan tepat Tantangan bersama lainnya adalah peran umat Islam dalam mengelola media massa yang masih relatif kecil. Dewasa ini banyak sekali tayangan televisi yang dipandang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tayangan pada
bulan Ramdan banyak yang berseberangan dengan nilai-nilai Ramadan, tetapi diberi nama program yang berbau agama. Peran yang minim ini sewaktuwaktu bisa menimbulkan ketidakharmonian karena mendapat penilaian negatif dan protes dari banyak pihak.
V.
Penutup Dewasa ini Indonesia berada dalam suasana yang kondusif. Masyarakat berada dalam suasana yang relatif aman dan relasi sosial yang harmonis. Ini merupakan hasil jerih payah bersama antara pemerintah dan masyarakat. Ormas Islam telah memainkan peran secara sendiri-sendiri dan bersinergi dengan pemerintah melakukan usaha-usaha untuk memelihara keharmonian, baik intern umat Islam, maupun antara Umat Islam dengan umat agama lain. Pemahaman keagamaan di kalangan umat Islam dan sikap dewasa umat dalam menyikap perbedaan memberi andil yang besar terhadap terciptanya keharmonian. Akan tetapi, seiring dengan keterbukaan informasi dan kebebasan di alam demokrasi, maka persentuhan umat dengan pemikiran dan gerakan keagamaan yang bermacam-macam menjadi lebih terbuka. Dalam situasi seperti ini, ulama dan ormas Islam yang mengembangakn pemahaman yang moderat, bersama dengan pemerintah diharapkan dapat merespons pemikiran dan gerakan keagamaan yang sifatnya radikal dengan program-program yang tepat. Pemahaman keagamaan yang mementingkan aspek subtanstif di satu pihak dan pemikiran yang mengutamakan aspek formal dari agama akan berlangsung secara terus menerus. Kemampuan mengelola dinamika kedua corak pemikiran itu, di samping usaha-usaha untuk memajukan pendidikan dan ekonomi umat akan banyak menentukan kondisi sosial pada masa yang akan datang. Jika tingkat kecerdasan dan kesejahteraan umat mengalami kemajuan, maka keharmonian akan semakin berkembang. ______