Kerja Sama antara Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dengan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
2012 1
TIM BUKU
Pengarah Indroyono Soesilo, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Adang Setiana, Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat Panut Mulyono, Dekan Fakultas Teknik UGM ♦ Penanggung Jawab Nyoman Shuida, Asisten Deputi Urusan Perumahan dan Permukiman Bakti Setiawan, Ketua Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM ♦ Penulis Budi Prayitno Alfredo Sani Fenat Mahditia Paramita ♦ Penyunting Endah Dwi Fardhani Endang Sri Rahayu Erlia Rahmawati Pratiwi Utami Hellatsani Widya Ramadhani ♦ Tata Grafis Lailia Rachmani Yuhendra ♦ ISBN : 978-602-9476-25-5 KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2012
2
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
SAMBUTAN
SEKRETARIS KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera untuk semua, Kota adalah jantung dari aktivitas masyarakat Indonesia semenjak mayoritas masyarakat kini telah hidup di kota. Pemberian hak bermukim kepada seluruh penghuni kota, akan didapatkan efek balik yang bernilai strategis, karena keamanan bermukim yang dirasakan seluruh warga kota merupakan modalitas potensial yang mampu memicu produktivitas dan pertumbuhan lebih lanjut dari kota. Dengan demikian, sangatlah penting untuk melakukan suatu kajian untuk menelaah upaya perlindungan terhadap hak bermukim di kota dalam kerangka hak akan kota. Hak untuk bermukim mengindikasikan kondisi di mana rumah yang ditinggali oleh warga kota berada dalam keadaan layak dan sehat. Dalam konstruksi ini, maka rumah yang dikategorikan sebagai rumah kumuh menjadi indikasi bahwa penghuninya belum mendapatkan hak bermukim yang sesungguhnya. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan intervensi melalui pembentukan pola ruang permukiman yang memicu munculnya peningkatan produktivitas kerja dan adanya akses atas pelayanan publik dasar, yakni pendidikan dan kesehatan. Dengan
3
adanya fasilitas pelayanan publik, infrastruktur, dan investasi sosial memadai yang berada di lingkungan kawasan kumuh, maka lambat laun akan terjadi transformasi menjadi kawasan yang lebih layak. Pemba ngunan infrastruktur dan akses layanan publik adalah perlindungan yang efektif untuk mencegah meluasnya kawasan kumuh, khususnya di perkotaan. Selama ini, komitmen untuk menjamin hak bermukim di kota dari seluruh penghuninya kurang ditunjukkan oleh pemerintah. Peng huni liar (squatter) misalnya, walaupun mereka membangun rumah nya di atas tanah ilegal, bukan berarti pemerintah dapat secara mudah mengusir mereka. Hak bermukimnya perlu dilindungi, sehingga akan lebih baik apabila pemerintah melakukan kebijakan relokasi, dengan menyediakan aset-aset penghidupan seperti yang telah ada di tempat tinggal sebelumnya, sehingga pendekatan sosial dan kemanusiaan masih dapat dirasakan oleh mereka. Buku ini berusaha memaparkan secara komprehensif tantangan dan peluang yang dihadapi dalam mewujudkan penanganan permukiman berbasis hak, juga langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mewujudkannya. Apabila rekomendasi dan pertimbangan yang dimuat dalam buku ini dijadikan sebagai bahan masukan bagi para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan lainnya secara konsekuen, maka kita dapat optimis bahwa krisis yang melanda sektor perumahan dan permukiman saat ini akan segera teratasi. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jakarta, Desember 2012 Sekretaris Kemenko Kesra
Indroyono Soesilo
4
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh, Salam sejahtera untuk semua,
Hak untuk bermukim di kota merupakan salah satu hak dasar yang sering diabaikan oleh pemerintah. Ini merupakan hal yang ironis mengingat urgensi dari pemenuhan hak tersebut terlihat sedemikian mencoloknya di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Untuk membuktikan hal ini, kita dapat menyodorkan fakta bahwa masih banyak jumlah backlog yang diderita masyarakat dan masih cukup luasnya kawasan kumuh yang bertebaran di pusat-pusat kota besar. Salah satu manifestasi nyata dari pemenuhan hak akan kota adalah hak untuk bermukim. Hak untuk bermukim ini sangat dibutuhkan terutama oleh penduduk kota yang tinggal di kawasan kumuh. Selama ini mereka sering dianggap sebagai beban oleh pemerintah kota. Pandangan demikian menyebabkan pemerintah mengingkari hak bermukim dari penghuni kawasan kumuh, yakni dengan menggusur tempat tinggal mereka. Demikian juga halnya dengan penghuni liar, yakni mereka yang tinggal dikawasan ilegal. Meskipun tinggal dikawasan ilegal namun mereka tetap warga negara yang semestinya mendapat perlindungan. Pemerintah tidak dapat serta merta mengusir tanpa peduli dengan nasib mereka nantinya. Akan lebih baik apabila pemerintah melakukan kebijakan relokasi sehingga pendekatan kemanusiaan masih dapat dirasakan oleh mereka. Dalam kondisi demikian, kita patut bersyukur dengan diluncurkannya buku ini. Semoga buku ini hadir sebagai jawaban atas apa yang
5
dibutuhkan selama ini, yaitu pegangan dan panduan yang jelas dan komprehensif tentang perlindungan hak bermukim bagi MBR dan warga miskin di perkotaan. Memang, buku tersebut bukan panacea atau obat yang mujarab untuk mengatasi segala masalah. Namun demikian, buku tersebut setidaknya mampu menjadi panduan/pedoman dasar yang merangkai kebijakan perumahan di masa depan agar lebih efektif dan berhasil. Kami mengapresiasi tim penyusun buku beserta pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunannya, di antaranya seluruh peserta dari rangkaian diskusi, karena kami menyadari bahwa penyusunan buku tersebut bukanlah hal yang sederhana. Membuat analisis kebijakan tentang Perlindungan terhadap Hak Bermukim bagi MBR dan Warga Miskin di Perkotaan merupakan kerja yang multidimensi karena melibatkan lintas aktor, lintas disiplin ilmu, dan lintas sektor juga membutuhkan usaha, energi, dan dana yang tidak sedikit. Selamat atas diluncurkannya buku ini. Kami harapkan para pemangku kepentingan dapat menjadikan buku yang ada sebagai acuan dalam bertindak dan melakukan evaluasi dalam pembangunan permukiman. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,
Jakarta, Desember 2012 Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat
Adang Setiana
6
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR__5 DAFTAR ISI__7 DAFTAR SINGKATAN__8 PROLOG__11 BAB I HAK BERMUKIM DI PERKOTAAN__11 A. Kontribusi MBR dan Warga Miskin Kota__14 B. Kebijakan Pertanahan di Perkotaan__17 C. Bermukim di Perkotaan Indonesia__22 D. Jaminan Keamanan Bermukim dan Kepemilikan Tanah__29 E. Perspektif HAM dan Hak Bermukim__41 BAB II PENGATURAN PEMERINTAH DALAM HAK BERMUKIM__49 A. Pengaturan Penguasaan atas Tanah__54 B. Pengaturan Lembaga dan Pembiayaan Pertanahan__63 C. Pembelajaran dari Negara Lain__74 BAB III STRATEGI PERLINDUNGAN HAK BERMUKIM DI PERKOTAAN__93 A. Peralihan Hak Bermukim bagi MBR dan Warga Miskin__109 B. Kepemilikan Tanah Komunal__111 C. Tata Kelola Tanah melalui Good Governance___116 EPILOG__149 DAFTAR PUSTAKA__151
7
DAFTAR SINGKATAN APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BAB Buang Air Besar BKM Badan Keswadayaan Masyarakat BLUD Badan Layanan Umum Daerah BPD Bank Pembangunan Daerah BPN Badan Pertanahan Nasional BPS Badan Pusat Statistik BUMN Badan Usaha Milik Negara CCO Certificate of Customary Ownership CSR Corporate Social Responsibility HAM Hak Asasi Manusia HGB Hak Guna Bangunan HGU Hak Guna Usaha HP Hak Pakai Jamkesmas Jaminan Kesehatan Masyarakat Kemendagri Kementerian Dalam Negeri Kemenpera Kementerian Perumahan Rakyat KK Kepala Keluarga KSM Kelompok Swadaya Masyarakat KTP Kartu Tanda Penduduk LIS Land Information System LSM Lembaga Swadaya Masyarakat MAP Management Assistane Program MBR Masyarakat Berpenghasilan Rendah MCK Mandi, Cuci, Kakus MDGs Millenium Development Goals
8
DAFTAR SINGKATAN NLIS National Land Information System P2BJ Panitia Pengadaan Barang Jasa P2BPK Pembangunan Perumahan Berbasis pada Kelompok PBB Pajak Bumi dan Bangunan PAMSIMAS Penyediaan Air Minum Sanitasi Berbasis Masyarakat Perum Perumnas Perusahaan Umum Perumahan Nasiona PKH Program Keluarga Harapan PKK Program Kredit Komunitas PNPM Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PP Peraturan Pemerintah PPP Public Private Partnership PPAT Pejabat Pembuat Akta Tanah PPSP Program Pembangunan Sanitasi Permukiman PRT Pembantu Rumah Tangga RAB Rincian Anggaran Belanja Raskin Beras Miskin RS/RSS Rumah Sederhana/Rumah Sangat Sederhana RSRTLH Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni RTLH Rumah tak layak huni SANIMAS Sanitasi Berbasis Masyarakat SDM Sumber Daya Manusia SHCF Social Housing Finance Corporation SPK Surat Perintah Kerja SPM Standar Pelayanan Minimal SPPIP Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan
9
UKM Usaha Kecil-Menengah UU Undang-Undang UU PKP Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman WNI Warga Negara Indonesia WSLIC Water Supply and Sanitation for Low Income Commu nities Project
10
PROLOG
Isu tentang hak bermukim di kota berkaitan erat dengan penghuni kawasan kumuh. Meski bukan berarti isu tersebut hanya berhubung an secara eksklusif dengannya. Ini dikarenakan diskursus hak bermukim di kota sesungguhnya menyentuh dimensi pembangunan kota secara makro dan holistik. Ketersediaan lapangan kerja dan besarnya perputaran uang di perkotaan menjadi faktor penarik banyaknya orang yang pindah dan tinggal di kota. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 memprediksikan bahwa urbanisasi akan mencapai 68 persen pada tahun 2025 dan tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa sudah di atas 87 persen. Keberadaan para pendatang selain menambah kepadatan penduduk dan membutuhkan perlindungan kepastian bermukim, juga rentan memperluas kawasan kumuh dan hunian liar. Secara konstitusional, negara harus memenuhi hak dasar warga negaranya, sehingga intervensi pemerintah diperlukan untuk menjamin hak bermukim masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan warga miskin di perkotaan. Keterkaitan erat antara hak bermukim dan kawasan kumuh muncul karena para penghuni kawasan kumuh merupakan pihak yang haknya untuk bermukim di kota paling rentan untuk dicabut dan diabaikan. Ini karena kawasan kumuh sebagai tempat mereka tinggal dan bertahan hidup sangat jarang dilindungi oleh status keamanan bermukim (secure tenure) oleh pemerintah. Buku ini akan membahas potensi MBR dan warga miskin di perkotaan sebagai gold dust urban economy yang sering terlupakan,
11
dan gagasan tentang hak akan kota. Pembahasan dilanjutkan dengan pentingnya jaminan keamanan bermukim serta dampak negatif yang muncul apabila jaminan bermukim tersebut tidak terpenuhi. Penyelesaian kawasan kumuh sering kali dianggap bisa diselesaikan dengan penataan kawasaannya saja. Faktanya, diperlukan regulasi yang tegas dan rinci, yang tidak hanya menonjol pada awal perencanaan tetapi juga harus konsisten hingga tataran implementasi. Karenanya diperlukan pula lembaga khusus yang mengatur pertanahan dan perlindung an hak bermukim. Dalam buku ini dibahas pula tata kelola tanah melalui good go vernance dan strategi perlindungan yang dilakukan pemerintah baik dari aspek regulasi, kelembagaan, dan pembiayaan. Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk memperbesar akses MBR dan warga miskin dalam mengakses sumber daya permukiman serta mendapatkan jaminan kepastian bermukim.
12
BAB I HAK BERMUKIM DI PERKOTAAN Kota merupakan mesin pembangunan yang menjadi tempat ideal untuk melakukan kerja sama. Orang-orang dengan berbagai latar belakang dan kapasitas secara kolektif menciptakan dinamika ekonomi atas dasar variasi kemampuan, operasi, sumber daya, pengetahuan, dorongan personal, kepemimpinan, dan kemauan politik. Modalitas ini akan mampu didayagunakan secara maksimal manakala kota diorganisasi secara efisien melalui kombinasi perencanaan spasial dan perencanaan sumber daya secara bersama-sama. Perencanaan ini dilakukan dengan memperhatikan berbagai komponen yang ada dan berbagai proses ekonomi yang eksis, baik yang bersifat primer maupun sekunder, pencipta atau pendorong, produsen maupun konsumen (Mutter dalam Payne, 2002: v). Kota juga merupakan pusat kegiatan masyarakat yang tingkat pertumbuhan penduduknya terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan ini dapat berasal dari migrasi dari perdesaan ke perkotaan, migrasi antar kota, maupun pertumbuhan penduduk alami. Beberapa faktor terjadinya migrasi ke kota adalah karena faktor dorong dan tarik. Faktor dorong misalnya terjadinya bencana alam atau perubahan ekologi yang mengakibatkan berkurangnya peluang kerja, sedangkan faktor tarik ke kota karena adanya peluang kerja, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan yang lebih baik. Penghasilan yang rendah dari bidang pertanian merupakan faktor lain yang menyebabkan migrasi ke kota. Perubahan iklim yang terjadi sekarang ini sangat memengaruhi masa dan hasil panen. Banyak petani terlilit utang dan kehilangan tanah, lalu terpaksa mencari
13
lapangan kerja lain di kota. Migrasi ke kota juga merupakan strategi hidup masyarakat perdesaan. Seringkali migrasi terjadi secara temporer dan berulang; masyarakat desa pergi ke kota, mencari peluang kerja dengan menjadi pedagang kaki lima atau berjualan di warung. Setelah mengumpulkan sejumlah uang, mereka akan kembali ke desa.
Kontribusi MBR dan Warga Miskin Kota Menjadikan kota sebagai habitat yang ramah bagi warganya merupakan pengakuan terhadap kontribusi MBR dan warga miskin kota sebagai warganegara yang berharga. Mereka sesungguhnya memiliki potensi yang signifikan untuk menunjang kemajuan kota, sedemikian rupa sehingga mereka seringkali dijuluki sebagai debu emas dari ekonomi perkotaan (gold dust of urban economy). Istilah ini merupakan metafora yang menarik karena mampu mengilustrasikan posisi orang miskin dalam perkotaan. Di satu sisi, mereka seringkali dianggap sebagai Mereka debu yang tidak berharga dan tidak sesungguhnya diperhatikan oleh pemerintah dan kaum elit kota sehingga kebijakan memiliki potensi yang dibuat seringkali tidak menginyang signifikan dahkan efek bagi kemanfaatan dan untuk menunjang keadilan kaum miskin. Namun di kemajuan kota, balik stereotip dan tampilan permukaannya yang seringkali dipandang sedemikian rupa sebelah mata tersebut, sesungguhsehingga mereka nya MBR dan warga miskin kota seringkali dijuluki memberikan manfaat yang signifisebagai debu kan bagi berlangsungnya kehidupan kota secara lancar dan efektif. Diamemas dari ekonomi diam, tanpa mendapatkan bantuan kota ( gold dust of dari pemerintah –jika malah bukanurban economy ). nya direpresi– mereka memberikan
14
manfaat yang besar bagi pertumbuhan ekonomi melalui pengisian posisi dan peran sosio-ekonomi informal. MBR dan warga miskin kota memberikan kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi kota, terutama bagi kota yang sedang mengalami geliat industrialisasi. Periode industrialisasi sangat bergantung pada keberadaan tenaga kerja murah berjumlah banyak. Keberadaan mereka sangat dibutuhkan sebagai daya tarik investasi di kota. Jenis tenaga kerja semacam ini biasanya merupakan golongan penduduk miskin yang berpendidikan rendah dan rela dibayar murah. Golongan pekerja ini dapat dikerahkan untuk memba ngun objek dan infrastruktur yang dibutuhkan oleh kota yang sedang berkembang, seperti rumah, jembatan, jalan, hotel, atau pusat perbelanjaan. Selain itu, hanya golongan pekerja ini pula yang bersedia untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan krusial untuk menjaga kebersihan kota seperti mengangkut sampah, memelihara saluran pembuangan, atau merawat taman. Demikian pula dengan pekerjaan-pekerjaan “marjinal” seperti pengasuh bayi, pembantu rumah tangga (PRT), pelayan, pembersih, tukang cuci, sopir taksi, dan porter. Semua ini tidak akan ada yang melakukan apabila tidak ada penduduk miskin, yang biasanya tinggal di kawasan kumuh dan ilegal di kota. MBR dan warga miskin kota juga biasanya menyelenggarakan usaha-usaha ekonomi informal seperti makanan kaki lima, perdagang an asongan dan eceran, dan warung pinggir jalan. Melalui usaha-usaha tersebut, ekonomi rakyat dapat digiatkan karena perputaran uang terjadi secara deras di antara sesama rakyat kecil, baik itu produsen maupun konsumennya. Di negeri ini, sebagaimana pengalaman historis telah membuktikan, kegiatan ekonomi riil seperti itu seringkali menjadi penyelamat di saat krisis ekonomi yang parah melanda. Untuk memastikan bahwa MBR dan warga miskin kota mampu merealisasikan potensinya, tidak cukup memproteksi mereka dengan berbagai kebutuhan dasar seperti kesehatan, tempat tinggal yang la yak, nutrisi, keamanan, dan pembebasan dari eksploitasi. Mereka juga
15
memerlukan penjaminan atas kemampuan mereka untuk berkembang melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan. Dalam rangka mengikutsertakan mereka dalam dinamika ekonomi, mereka perlu mendapatkan kepastian tentang tempatnya di dalam masyarakat dan eksistensinya dalam terminologi fisik-spasial. Untuk itu perlu diupaya kan perluasan kebebasan MBR dan warga miskin kota agar mereka dapat menjadi agen perubahan yang mampu menyumbangkan nilai tambah lebih banyak lagi bagi kota secara umum, dan mampu mengurangi kemiskinan di komunitasnya secara khusus. Potensi mereka harus dijaga agar tetap bisa memberikan kontribusi. Untuk itu banyak cara yang bisa dilakukan, terutama jika pemerintah mengembangkan kemitraannya dengan pihak swasta. Perusahaan-perusahaan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang masif menjalankan proses produksi di kota bisa dijadikan sasaran untuk mengembangkan dan melanggengkan potensi MBR dan warga miskin, salah satu contohnya adalah melakukan program pemberdaya an masyarakat. Atau apabila pemerintah lebih serius menangani perlindungan potensi tersebut, pemerintah kota dapat menegaskan langkahnya dengan membuat program resmi yang berkerja sama dengan pemangku kewajiban dari pihak swasta. Sebagai bentuk pengakuan atas keberadaan gold dust urban economy, pemerintah bisa melibatkan mereka dalam proses pemanfaatan tanah yang adil. Dalam keseluruhan upaya tersebut, pemberian jaminan hak bermukim di kota menempati posisi yang fundamental. Ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, pemberian jaminan hak bermukim merupakan hak utama yang menjadi syarat dari ketahanan dan keberlanjut an kehidupan MBR dan warga miskin kota. Kedua, kebanyakan MBR dan warga miskin kota merupakan penduduk yang tinggal di yakni kawasan kumuh dan ilegal. Kawasan semacam ini rentan untuk dicabut hak keamanan bermukimnya, dengan cara penggusuran atau peng usiran paksa.
16
Untuk bermukim, tanah adalah kebutuhan setiap orang. Namun di sisi lain, banyak orang terutama orang kaya, hanya menggunakan tanah sebagai komoditas dan investasi harta, karena harga tanah yang dinamis sesuai dinamika dan keadaan ekonomi negara. Kepemilikan tanah juga mempunyai kekuatan dalam integrasi sosial maupun kepen tingan individu. Identitas sosial dalam kepemilikan tanah sangat berguna untuk memperebutkan kekuasaan ataupun sumber pendapatan. Dengan alasan itulah, dibutuhkan struktur yang bertanggung jawab pada administrasi tanah dan atribusinya, adanya intervensi-intervensi terkait distribusi tanah, dan bisa menjadi sarana mediasi konflik yang kerap muncul karena perampasan dan penggunaan tanah yang tidak sesuai. Maka dari itu, keberadaan kebijakan pertanahan di perkotaan sangatlah penting untuk meregulasi kepemilikan dan melindungi hak bermukim warga negara dengan adil. Manfaat kebijakan pertanahan sangat luas, tidak hanya pada tataran yang berdampak langsung pada tanah tetapi juga bisa mendukung kondisi ekonomi global dan sosial politik.
Kebijakan Pertanahan di Perkotaan Dengan adanya kebijakan pertanahan, masalah kepemilikan tanah harus menjadi fokus tersendiri untuk dikaji, karena kebijakan kepemilikan tanah yang komprehensif sangat diperlukan untuk meminimalisir dampak dari hak bermukim yang tidak terjamin dan diharapkan akan mampu menangani isu-isu permasalahan spesifik di setiap negara, sehingga akan ada jaminan keamanan bagi penduduk. Menurut Dey (2006), terdapat enam tujuan kebijakan kepemilikan. Penjelasannya dapat dilihat pada skema berikut.
17
Tabel 1.1 Enam Tujuan Kebijakan Kepemilikan Adanya peningkatan kegiatan urbanisasi akan mendorong peningkatan kebutuhan perumahan. Untuk mencegah peningkatan permukiman kumuh, maka diperMendorong adanya investasi lukan pembangunan perumahan pembangunan dan perbaikan dengan kondisi layak huni dan saperumahan. rana prasarana yang memadai. Jaminan kepemilikan menjadi dasar bagi setiap orang untuk melakukan pembangunan baru atau perbaikan perumahan di atas tanah yang didiaminya. Pembangunan pprumahan perlu didukung adanya kredit yang memadai. Salah satu syarat kredit forMeningkatkan akses kredit mal adalah kepemilikan tanah. Seformal hingga kepemilikan tanah dapat menjadi jaminan dalam kredit formal tersebut. Salah satu pendapatan daerah adalah pajak kepemilikan tanah, dengan adanya pembayaran pajak Meningkatkan pendapatan atas kepemilikan tanah maka akan daerah dari pajak. meningkatkan pendapatan daerah. Hasil dari pembayaran pakan tersebut dapat digunakan pemerintah dalam meningkatkan fasilitas sosial.
18
Pembangunan dilaksanakan bukan untuk kepentingan keuntung Meningkatkan pengaruh sek- an pengembang swasta, dengan tor publik atas pasar tanah demikian pembangunan lebih didan perumahan. arahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyak terutama masyarakat miskin. Kebijakan harus jelas untuk memMeningkatkan efisiensi pasar berikan arahan dalam pemantanah dan perumahan. faatannya, mengingat sifat tanah yang terbatas. Kebijakan tidak hanya melayani kaum elit, sehingga dengan adanya Meningkatkan ekuitas pasar kebijakan tanah akan memberikan tanah perumahan. hak dan jaminan keamanan yang sama bagi semua lapisan masyarakat. Sumber: Dey, dkk, 2006 Di akhir abad 20, banyak kebijakan yang mengkaji tentang tanah lebih fokus pada intervensi langsung oleh pemerintah, misalnya meningkatkan kepemilikan tanah negara, redistribusi penguasaan lahan, pembatasan tanah dan kepemilikan, membentuk agen pertanahan dan asosiasi pengembang, dan lain-lain. Kebijakan tersebut jarang mencapai sasaran karena alasan teknis dan politis seperti kurangnya sumber finansial dan kemauan politik, hubungan kekuasaan yang menghambat perubahan, atau korporatisme yang mengekploitasi status quo (French Development Cooperation, 2009). Fokus yang sama juga terjadi pada kebijakan tanah di perkotaan pada 1970 dan 1980-an. Ada tiga topik utama yang saling melengkapi dan mengisi tergantung pada perhatian Negara, yaitu nasionalisasi tanah, langkah-langkah untuk membatasi kepemilikan tanah, dan pem-
19
bentukan agen pengembangan properti atau asosiasi pengembang. Nasionalisasi tanah, yang dapat diperpanjang hingga terhapusnya semua kepemilikan privat, mayoritas terjadi di negara-negara sosialis di Asia dan negara di bawah rezim Afrika yang mengikuti model sosialis. Kebijakan ini menunjukkan pembatasan terhadap sentralisme yang berlebihan terhadap administrasi tanah, kontrol yang tidak efektif dan alokasi penggunaan tanah untuk mengamankan kehendak atas pemilihan pemanfaatan tanah.
Pembatasan kepemilikan bertujuan untuk membatasi jumlah tanah yang bisa dimiliki individu di desa dan kota. Tujuannya agar distribusi tanah untuk warga negara bisa merata dan menghindari kondisi ketika banyak tanah tidak dipakai sedangkan di sekitarnya terdapat area kumuh dan hunian liar. Pembatasan kepemilikan bertujuan untuk membatasi jumlah tanah yang bisa dimiliki individu di desa dan kota. Tujuannya agar distribusi tanah untuk warga negara bisa merata dan menghindari kondisi ketika banyak tanah tidak dipakai sedangkan di sekitarnya terdapat area kumuh dan hunian liar. Kebijakan ini menggunakan peraturan hukum untuk mencegah orang memiliki banyak tanah untuk tujuan spekulasi, serta memfasilitasi terciptanya persediaan tanah untuk publik dengan adanya kelebihan tanah yang layak. Saat inisiatif mengenai nasionalisasi dan pembatasan kepemilikan tanah dilakukan, di saat itu juga akan terbentuk agensi tanah dan asosiasi pengembang. Peran agensi tanah adalah menentukan persediaan tanah publik yang kemudian bisa dikembangkan, sementara asosiasi pengembang melakukan proyek-proyek terkait perumahan baik industrial maupun komersial di lokasi persediaan tanah tersebut, atau bekerja sama dengan pemilik tanah privat.
20
Inisiatif ini digunakan banyak negara hingga awal 1990-an dan secara teoretis memungkinkan otoritas publik memengaruhi pilihan pengembang dan menyediakan tanah produktif melalui pasar tanah. Namun pada kenyataannya, inisiatif tersebut mengecewakan karena adanya pembatasan teknis dan sistem politis yang ada. Kelemahan sistem tersebut secara politis telah menuai banyak kecaman. Banyak yang berargumen bahwa agensi tanah mengganggu kinerja pasar tanah karena menerapkan sistem harga ganda dan ada nya kompetisi dengan pihak swasta yang tidak bersubsidi. Meskipun kritik terhadap model intervensi publik pada tahun 1970-an dibenarkan, tetap saja harus diingat bahwa model dari pertumbuhan kota yang sangat bergantung pada sistem pasar tidaklah realistis, dan tidak ada model seperti itu yang secara liberal dikembangkan oleh negara. Dalam kebijakan pertanahan ada dua intervensi yang dibedakan menjadi intervensi langsung dan tidak langsung dari pemerintah. Intervensi langsung mencakup identifikasi jenis-jenis hak atas tanah yang mempunyai dasar hukum, kemungkinan status hukumnya, serta kewajiban, larangan, dan kewenangan untuk menggunakan tanah. Intervensi pun tidak dilakukan serta merta. Ada perangkat dan prosedur khusus yang digunakan pada jenis intervensi ini, di antaranya adalah pengembangan skema dan rencana yang telah dirancang karena dalam setiap aksi yang dilakukan pemerintah pasti didahului perencanaan baik dari segi anggaran maupun jangka waktu intervensinya. Selain itu juga bisa berupa perencanaan manajemen tanah, pembuatan masterplan, serta reorganisasi, pembagian, dan penyediaan layanan yang berhubungan dengan tanah. Prosedur dan perangkat khusus tersebut kemudian diaplikasikan di wilayah yang termasuk dalam kota administratif atau di daerahdaerah khusus yang sengaja dipilih seperti di area yang sedang dikembangkan, wilayah irigasi, dan wilayah dalam jaringan infrastruktur. Ini dilakukan agar kebijakan dapat terimplementasi dengan luas hingga ke semua wilayah, mengingat urgensi kepemilikan tanah dan jaminan atas hak bermukim juga ada di semua wilayah.
21
Inisiatif yang dilakukan pemerintah terkadang tidak tepat sasaran. Tak jarang pula terjadi tumpang tindih dengan peraturan yang sudah ada sebelumnya. Untuk menghindari hal tersebut, maka prosedur-prosedur di dalam kepemilikan tanah perlu dicermati misalnya transfer dan penilaian tanah publik. Setelah semua prosedur itu dilalui baru kemudian intervensi bisa diimplementasikan oleh pihak-pihak yang berkecimpung dalam ranah itu seperti administrator yang bertanggung jawab atas manajemen tanah, institusi-institusi khusus, agensi pertanahan, atau asosiasi pengembang. Sedangkan untuk intervensi tidak langsung, aksi yang dilakukan pemerintah tidak langsung berimbas pada kepemilikan tanah itu sendiri namun pada hal-hal yang menaunginya. Pemerintah memberikan perhatian terhadap jenis-jenis yang berbeda dari penggunaan tanah yang produktif dengan melakukan kontrol pada perubahan fungsi tanah dan memengaruhi pasar tanahnya. Pemerintah juga menentukan persediaan tanah publik dan memanfaatkan perangkat perpajakan seperti pajak tahunan dan pajak perubahan fungsi tanah atau penambahan nilai pada tanah tersebut. Kebijakan pinjaman, meregulasi aktivitas yang berhubungan dengan pengembangan tanah, dan mempromosikan serta mengatur kepemilikan tanah.
Bermukim di Perkotaan Indonesia Sebelum membahas mengenai jaminan keamanan bermukim berikut strategi-strategi untuk mengimplementasikannya, perlu terlebih dahulu didapatkan gambaran mengenai kondisi empiris yang terjadi di Indonesia. Dengan mencermati penjelasan yang telah disampaikan di atas, data yang perlu dicermati antara lain tingkat kemiskinan, tingkat urbanisasi, luas kawasan kumuh, struktur tenaga kerja, dan jumlah kekurangan rumah (backlog). Pencermatan atas data tersebut dapat digunakan sebagai latar belakang untuk menggambarkan seberapa besar tantangan yang dihadapi dalam upaya untuk memberikan jaminan keamanan bermukim. Sebab, data yang definitif mengenai jumlah akurat dari penduduk yang membutuhkan jaminan keamanan bermukim, berikut sebaran lokasi dan profesinya, tidak tersedia di Indonesia.
22
Gambar 1.1. Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia
miskin pedesaan
miskinperkotaan perkotaan miskin
jumlah penduduk miskin
0
10
20
30
40
Maret 2011 Maret 2012
Sumber: BPS 2012
Dari keterangan di atas, terlihat bahwa jumlah penduduk miskin, meskipun mengalami penurunan, sampai saat ini jumlahnya masih cukup besar. Di perkotaan, persentasenya mencakup 8,78 persen atau 10,65 juta orang. Jumlah sebesar ini merupakan angka populasi MBR dan warga miskin kota yang menjadi kontributor utama atas gold dust of urban economy. Meskipun jumlah penduduk miskin di perkotaan lebih sedikit daripada yang ada di desa, namun data tersebut sebaik nya tidak dibaca secara optimis. Justru dengan banyaknya penduduk miskin di pedesaan, dikhawatirkan akan ada banyak di antara mereka yang melakukan urbanisasi di kota. BPS memprediksikan bahwa urbanisasi akan mencapai 68 per sen pada tahun 2025 atau naik dari 48 persen pada tahun 2005. Bahkan, tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa pada 2025 sudah di atas
23
80 persen, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten. Padahal pola-pola yang ada selama ini menunjukkan, alih-alih meraih kesejahteraan yang lebih layak, kondisi kesejahteraan mereka tidak bertambah baik di kota. Artinya, apa yang terjadi hanyalah perpindah an lokasi kemiskinan dari desa ke kota. Problem ini terkait erat dengan gagalnya pemerintah melakukan pemerataan pembangunan, suatu masalah yang sudah terjadi sejak lama. Gagalnya para pendatang bersaing dalam kehidupan kota niscaya juga akan meningkatkan luas kawasan kumuh dan liar. Pada tahun 2009 saja, jumlah luas kawasan kumuh telah mencapai 57.000 ha, naik dari tahun 2004 sebesar 54.000 ha. Kecenderungan kenaikan ini diperkirakan akan terus berlanjut. UN-Habitat (2007) pernah memperkirakan, tidak kurang dari dua juta masyarakat perkotaan di Indonesia akan tinggal di kawasan kumuh pada 2030. Ini merupakan suatu prediksi yang seolah mementahkan optimisme pemerintah, yang de ngan program akselerasinya melalui pencanangan tahun 2020 sebagai “tahun kota bebas kumuh”. Berkaitan dengan struktur ketenagakerjaan di Indonesia, mayo ritas tenaga kerja bergerak di sektor informal. Berdasarkan data BPS tahun 2011, dalam 117 juta angkatan kerja, 109 juta di antaranya telah mendapatkan pekerjaan. Rinciannya, 41,5 juta tenaga kerja formal dan sisanya merupakan tenaga kerja informal (sebanyak 68,2 persen). Di antara para pekerja sektor informal yang bekerja di kota, dapat diperkirakan bahwa banyak di antara mereka yang menjadi bagian dari gold dust of urban economy. Hampir dapat dipastikan pula, banyak di antara mereka yang sangat membutuhkan jaminan keamanan bermukim karena mereka tinggal di kawasan yang rentan. Walaupun disebut sebagai gold dust urban economy, MBR dan warga miskin kota tetap saja merupakan kelompok yang paling membutuhkan jaminan atas hak bermukim. Sebab, menurut perspektif ini, MBR dan warga miskin kota mempunyai kontribusi besar dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara, namun mereka juga merupakan kelompok yang paling rentan dalam masyarakat.
24
Kerentanan tersebut disebabkan oleh kemampuan ekonomi mereka yang lemah. Dengan kondisi tersebut, mereka akan kesulitan untuk mengakses rumah yang layak dan aman, yakni rumah yang didirikan di atas tanah dengan status legal terjamin. Sebagai akibatnya, mereka terpaksa tinggal di rumah tanpa jaminan keamanan bermukim sehingga seringkali menjadi korban penggusuran pemerintah. Tanpa adanya kriteria yang jelas tentang MBR mengakibatkan segala desain, kebijakan, dan rancangan sebaik apapun belum bisa berjalan dengan baik karena hal itu membuat birokrasi sebagai organ pelaksana kebijakan tidak dapat bekerja dengan efektif. Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan efektif, birokrasi harus bekerja secara terukur, fokus, dan terkontrol. Kejelasan sasaran dan tujuan merupakan variabel penting yang mendeterminasi keberhasilan dari operasionalisasi kerja birokrasi. Dalam kaitannya dengan MBR, kejelasan tersebut terkait dengan pengertian yang jelas dan baku tentang kriteria warga yang dikategorikan sebagai MBR. Kejelasan tentang siapa yang dimaksud dengan MBR ini penting karena tanpanya, kebijakan dan program yang dijalankan oleh berba gai kementerian akan menjadi tumpang tindih dan tidak sinkron. Bank Dunia menyebutkan kriteria orang miskin yaitu orang yang pendapat an per kapitanya kurang dari 2 dolar per hari. Namun ternyata kriteria ini tidak serta merta diadopsi oleh berbagai kementerian yang meng urusi kemiskinan di Indonesia. Setiap kementerian di Indonesia yang bertanggung jawab dalam hal pengatasan masalah kemiskinan memiliki kriteria masing-masing dalam menentukan kelompok masyarakat yang akan dilayani. Idealnya, terdapat satu kriteria umum untuk menentukan kategori warga yang dikatakan sebagai golongan MBR. Selanjutnya, kriteria umum tersebut diturunkan ke dalam kriteria-kriteria khusus yang didasarkan pada perbedaan profesi (petani, nelayan, buruh, penganggur an, dan lain-lain) atau perbedaan kondisi (anak jalanan, lansia, korban narkoba, penyandang cacat, masyarakat adat terpencil, dan lain-lain). Kriteria yang baku dan komprehensif tersebut akan menjadi bagian in-
25
tegral yang fundamental dari usaha pemberian jaminan hak bermukim. Sebagai masyarakat yang hidup di perkotaan, hak bermukim MBR dan warga miskin harus dijamin. Kelima hak itu adalah tanah, rumah, prasarana, aset komunitas, dan kelembagaan. Berikut adalah tabel yang menunjukkan jenis hak yang perlu dijamin beserta programprogram yang perlu dilakukan pemerintah untuk mencapai target perlindungan keamanan bermukim. Tabel 1.2 Hak yang Dijamin dalam Keamanan Bermukim
26
Jenis hak yang dijamin dalam keamanan bermukim
Target
TANAH (penyediaan tanah) Hak Milik dan Hak Sewa Program : Distribusi penguasaan tanah secara berkeadilan
Aman dan berkeadilan
RUMAH Program : Bedah kampung, Pembangunan Perumahan Berbasis pada Kelompok (P2BPK), Perumahan sosial, Subsidi perumahan, dan Bantuan stimulan
Rumah sosial/rumah singgah, rumah sewa, rumah subsidi yang layak dan terjangkau
PRASARANA Program : Keterpaduan pembangunan permukiman dengan prasarana perkotaan (Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan/SPPIP), dan Program PAMSIMAS, SANIMAS
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Penataan Ruang, Perumahan dan Permukiman dalam pelayanan air bersih, pengelolaan sanitasi dan limbah, pengelolaan sampah, transportasi publik, jaringan drainse, sistem penerangan/ jaringan listrik
ASET KOMUNITAS Program : SDM, ruang komunal, dan finansial
Harmonis, guyub, berkelanjutan; Ruang bersosialisasi/ruang terbuka publik; Kedekatan dengan sumber mata pencaharian
KELEMBAGAAN Program : lembaga keuangan mikro, kelompok arisan dan menabung, dan lembaga usaha
Kemitraan
Menurut Nurmandi (2006: 127), ada enam sektor yang saling berhubungan di perkotaan yang harus ditangani pemerintah yaitu lingkungan, infrastruktur, pertanahan, perumahan, fasilitas sosial, dan pembangunan ekonomi. Skema 1.1 Sektor yang harus Mendapat Perhatian Pemerintah di Perkotaan Pembangunan ekonomi
Jumlah penduduk miskin
Infrastruktur
SEKTOR PERKOTAAN YANG PERLU MENDAPAT PERHATIAN PEMERINTAH
Fasilitas sosial
Perumahan
Pertanahan
Lingkungan mencakup penyediaan dan penanganan penggunaan sumber daya air, udara, dan tanah yang berkesinambungan. Sektor infrastruktur meliputi air bersih, jalan dan jembatan, fasilitas pendukung seperti komunikasi, sanitasi, hingga fasilitas pengelolaan sampah. Sektor pertanahan adalah pendaftaran tanah, pemetaan, prosedur peralihan hak atas tanah, perencanaan penggunaan lahan, dan sistem perpajakan atas tanah. Penyediaan perumahan bagi semua golongan masyarakat dan pengorganisasian pembiayaan pembangunan perumahan termasuk dalam sektor perumahan. Fasilitas sosial yaitu tersedianya layanan pendidikan, kesehatan, keamanan yang memadai, program penanganan kaum miskin yang optimal, bahkan fasilitas rekreasi. Sektor terakhir
27
adalah sektor ekonomi yang sangat berpengaruh pada perkembangan perkotaan seperti manufaktur, distribusi barang dan jasa, jasa konstruksi, perbankan, serta asuransi. Agar jaminan bermukim di perkotaan bisa efektif maka dua hal yang perlu dilakukan adalah, pertama penjaminan hak bermukim MBR dan warga miskin harus masuk dalam satuan kinerja pelayanan dasar perkotaan yang nantinya akan dievaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri. Kedua, perlu diformulasikan jabaran yang rinci dan teknis untuk pelayanan dasar di dalam pemenuhan hak bermukim. Selain itu, problem mengenai backlog juga terkait erat dengan wacana pemberian keamanan bermukim. Seseorang yang tidak mempunyai rumah secara otomatis juga tidak memiliki jaminan keamanan bermukim. Harga rumah dan tanah yang terlalu mahal serta kurangnya keberpihakan pemerintah pada kaum tak berumah adalah faktor yang melatarbelakangi fenomena ini. Dari data BPS tahun 2012, jumlah backlog setiap tahun semakin meningkat, dari 5,8 juta unit pada 2004 menjadi 7,4 juta unit tahun 2009, kemudian mencapai 13,6 juta unit pada 2010. Setiap tahun, jumlah permintaan rumah meningkat sebanyak 900.000 dengan kemampuan membangun yang hanya 200.000 sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap tahun jumlah backlog meningkat sebanyak 700.000. Dari data BPS Dengan rumus tersebut, maka pada tahun 2012, jumlah tahun 2012 diperkirakan jumlah back log telah mencapai 15 juta. backlog setiap tahun Dengan mencermati data di atas, dapat disimpulkan bahwa upaya untuk memberikan jaminan keamanan bermukim bagi seluruh warga kota merupakan tantangan yang sangat berat dan untuk itu membutuhkan kerja keras. Pola pembangunan nasional secara umum dan pembangunan perkotaan secara khusus telah berkontribusi da
28
semakin meningkat, dari 5,8 juta unit pada 2004 menjadi 7,4 juta unit tahun 2009, kemudian mencapai 13,6 juta unit pada 2010.
lam menciptakan kondisi tersebut. Suatu upaya pembaruan dan reorientasi pembangunan perlu dilakukan dengan segera dengan tanpa melupakan perencanaan yang matang. Upaya pemberian jaminan keamanan bermukim merupakan salah satu langkah penting yang perlu dijadikan prioritas bersama oleh semua pihak karena apabila jaminan tersebut telah ada, inisiatif-insiatif pembangunan lain akan menjadi lebih mudah dan efektif untuk dilakukan.
Jaminan Keamanan Bermukim dan Kepemilikan Tanah Kepemilikan tanah (land tenure) adalah cara untuk menguasai atau memiliki suatu tanah, atau seperangkat hubungan di antara orangorang yang terkait dengan tanah dan produk-produknya. Sistem kepemilikan tanah dapat bersifat formal maupun informal. Sistem formal diciptakan atas dasar UU dan peraturan hukum yang berlaku, sedang kan sistem informal biasanya tidak tertulis dan didasarkan atas adat istiadat serta tradisi. Konsep kepemilikan tanah juga dapat ditinjau dari sudut pandang jaminannya. Menurut UN-Habitat, jaminan bermukim (secure tenure) merupakan suatu persetujuan di antara individu atau kelompok atas hak menggunakan tanah dan properti sebagai tempat tinggal. Jaminan atas keamanan bermukim tidak hanya melalui bentukbentuk legal formal seperti hak yang terdaftar atau sertifikat tanah, melainkan juga melalui instrumen dan aspek-aspek lain, misalnya kontrak sewa jangka panjang yang jelas, pengakuan atas hak-hak adat, dan permukiman informal yang notabene perselisihan di dalamnya bisa diselesaikan dengan efektif dan aksesibel.
29
Skema 1.2 Syarat Kepemilikan Tanah SYARAT KEPEMILIKAN TANAH YANG AMAN DAN TERJAMIN Mendapatkan perlindungan efektif dari negara dalam menghadapi penggusuran paksa Mendapat kebebasan untuk menjual tanah dan mengalihkan hak atas tanah melalui warisan Penghuni memiliki akses terhadap kredit di bawah kondisi-kondisi tertentu Sumber: FIG/UNHCS dalam UN-Habitat, 2003 Sementara itu, kepemilikan dikatakan tidak terjamin apabila warga yang tinggal di atasnya dapat diusir setiap saat. Terdapat berbagai kondisi bermukim yang lazimnya tidak terjamin, misalnya permukiman yang sepenuhnya ilegal, pendudukan tanah yang ditoleransi hanya sesaat, atau pendudukan yang legitimasinya atas dasar adat. De ngan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem bermukim formal pasti mendapat jaminan, berbeda dengan sistem bermukim informal. Tantangan terbesar adalah bagaimana memberikan jaminan bermukim bagi semua model kepemilikan tanah yang ada, termasuk yang bersifat informal. Hal ini penting dan mendesaj untuk segera diwujudkan karena ikhtiar untuk memberikan jaminan bermukim bagi semua warga negara merupakan salah satu wujud pokok dari pemenuhan hak asasi untuk bertempat tinggal dengan layak, nyaman, dan aman.
30
Banyak negara yang mencantumkan “hak akan rumah yang la yak” dalam konstitusinya. Hak yang sama juga muncul dalam berbagai traktat Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, hak yang lebih penting berupa hak untuk dapat secara bebas memiliki dan mentransfer properti, sebagai cerminan dari jaminan keamanan bermukim, ternyata justru absen dari pertimbangan para pembuat konstitusi dan traktat. Tidak diberikannya hak untuk memiliki, menukar, dan mentransfer properti secara bebas justru berkontribusi pada terbentuknya kawasan kumuh itu sendiri. Orang-orang tinggal di kawasan kumuh karena hak mereka untuk tinggal di kawasan formal tidak dijamin oleh pemerintah. Hal ini kemudian menyebabkan terjadinya disinsentif atas upaya investasi penghuni kawasan kumuh terhadap rumah dan lingkungannya. Ketiadaan hak atas properti juga membuat mereka tidak bisa mengakses kredit dan modal yang dibutuhkan untuk memulai usaha produktif. Terdapat suatu pola laten yang menghubungkan pemberian jaminan hak akan keamanan bermukim dengan peningkatan kese jahteraan umum yang selama ini kurang disadari pemerintah. Pola tersebut dirumuskan ke dalam siklus peralihan utilitas: hak atas keamanan bermukim membuahkan kapital, kapital membuahkan inovasi dan kreativitas, dan selanjutnya membuahkan kesejahteraan. Pemberian jaminan keamanan bermukim mampu membangkitkan kekuatan kawasan kumuh yang disebut oleh ekonom Peru Hernando de Soto sebagai modal mati (dead capital). Modal mati merupakan hilangnya manfaat yang mungkin diperoleh dari nilai-nilai suatu aset tertentu. Menurut de Soto, kebanyakan modal mati terendap dalam kawasan kumuh, yang merupakan kawasan yang propertinya dimiliki secara informal oleh penghuninya namun tidak diakui secara legal oleh pemerintah. Ketidakjelasan status bermukim pada properti tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya ketiadaan sistem pemberian hak yang jelas karena kebijakan pemerintah yang buruk, atau restriksi birokrasi yang mempersulit upaya pemberian hak. Ketidakjelasan status bermukim menyebabkan terhambatnya upaya kapitalisasi properti,
31
misalnya dengan cara Terbengkalainya modal mati dalam jumlah besar seperti ini sangatlah merugikan, karena sesungguhnya apabila mampu dimanfaatkan secara semestinya, yakni melalui upaya pengakuan dan pengintegrasian ke dalam ekonomi pasar, maka modal mati tersebut dapat memicu pertumbuhan. Untuk mengubah orientasi berbasis perencanaan dan proyek menuju ke arah baru yang berbasis pada hak dan kepastian hukum, beberapa langkah substantif perlu segera dilakukan. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menghilangkan berbagai peraturan restriktif yang selama ini menghambat jaminan keamanan bermukim. Selanjutnya, melalui berbagai terobosan inovatif dan strategis, lambat laun diharapkan semua penghuni kota tinggal di atas tanah yang dijamin keamanan bermukimnya. Selain itu, pemerintah perlu menghapus pandangan negatif bahwa orang miskin tidak mau untuk membayar pajak dan biaya layananlayanan publik apabila kelak mereka mendapatkan jaminan keamanan bermukim dan kawasannya ditingkatkan levelnya menjadi kawasan formal. Pandangan ini tak berdasar, patronistik, dan ignoran. Sebab, fakta membuktikan, selama ini orang-orang miskin dengan senang hati membayar kewajibannya dan sekaligus melakukan investasi jangka panjang untuk rumah dan lingkungannya apabila mereka mendapatkan jaminan keamanan bermukim.
32
Konsep Dasar Kepemilikan Tanah Kepemilikan tanah merupakan penguasaan sebidang tanah yang dipegang atau dimiliki atas tanah. Sistem kepemilikan tanah terdiri dari dua yaitu kepemilikan formal dan informal. Sistem kepemilikan formal dilaksanakan berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kepemilikan tanah informal pada dasarnya dimiliki secara adat. Kepemilikan tanah yang tidak terjamin tergantung pada kondisi yang bersangkutan, dari seluruh kepemilikan yang tidak legal dipenga ruhi oleh kondisi adat. Menurut UN-Habitat, jaminan kepemilikan menjelaskan bahwa penggunaan tanah dan propertinya dilakukan kesepakatan antara individu atau kelompok. Jaminan kepemilikan tersebut dilakukan berdasarkan peraturan dan hukum yang berlaku. Kepemilikan tanah secara legal mempunyai kekuatan hukum yang akam menguatkan keamanan seseorang atau sekelompok orang dalam kepemilikan tanah sehingga terhindar dari penggusuran. Meskipun demikian, dalam usaha menyelesaikan permasalahan kemiskinan tidak hanya terbatas pada faktor sistem kepemilikan legal atau ilegal, melainkan keduanya. Karena hal yang penting dalam kegi atan mengetaskan kemiskinan bukan terletak pada sistem formalitas kepemilikan tanah, melainkan keamanannya.
33
34
Sumber: Dey, 2006
Skema 1.3 Klasifikasi Sistem Kepemilikan
Perbedaan antara sistem kepemilikan legal dan ilegal dibuat berdasarkan kebijakan bagaimana suatu negara mengakui keberadaan kepemilikan legal dan ilegal serta cara penyelesaian permasalahan legal dan ilegal. Karena dalam kondisi yang sebenarnya, tidak semua keadaan ilegal akan mendapatkan permasalahan seperti penggusuran, dapat kita lihat permasalahan permukiman ilegal masih sering mendapatkan toleransi untuk tetap tinggal di tanah mereka. Meski demikian, negara tetap berusaha untuk mengarahkan permukiman yang legal. 1. Kepemilikan tanah yang terdokumentasi • Merupakan sistem kepemilikan pribadi yang telah terdokumentasi atau terdaftar secara lengkap sesuai peraturan yang berlaku, dilakukan pembayaran pajak kepada nega ra, dan menaati tatanan penggunaan tanah (tata ruang wilayah) yang berlaku sebagai upaya pengendalian pemanfaatan tanah agar tidak berbenturan dengan kepen tingan umum. Sering disebut dengan kepemilikan mutlak (freehold), yang merupakan sistem kepemilikan privat sepenuhnya yang bebas dari berbagai kewajiban terhadap negara kecuali pembayaran pajak dan kepatuhan terhadap aturan kontrol penggunaan tanah atas nama kepentingan publik. Adapula tanah yang terdokumentasi namun tidak terdaftar. Ada beberapa jenis kepemilikan yang terkategorikan ke dalamnya, di antaranya kepemilikan sewa tidak terdaftar, rental, hak menghuni (occupancy right), hak guna (termasuk subsewa, subrental, menyewa bersama, dan hak menghuni bersama). Dalam hubungannya dengan jaminan bermukim, berbagai jenis hak kepemilikan tersebut mempunyai derajat jaminan bermukim yang berbeda. Hal itu bergantung dari faktor-faktor eksternal yang memengaruhinya, seperti kebijakan tanah yang ada di suatu daerah dan kekuatan ekonomi politik
35
pihak-pihak yang terlibat. Meskipun terkadang tidak dimuati dengan jaminan bermukim yang pasti, jenis-jenis kepemilikan sewa yang tidak terdaftar tetap diminati oleh banyak pihak.
Dalam hubungannya dengan jaminan bermukim, berbagai jenis hak kepemilikan tersebut mempunyai derajat jaminan bermukim yang berbeda. Hal itu bergantung dari faktorfaktor eksternal yang memengaruhinya,
Dibandingkan de ngan sistem kepemilikan mutlak, sistem sewa memiliki beberapa keuntu ngan seperti harga yang lebih murah, dapat diakses dengan lebih cepat, bersifat lebih fleksibel, dan dapat ditingkatkan kualitasnya oleh penyewa secara bertahap. Selain itu, dalam beberapa kasus, sewa kadang kala juga dapat tetap berlangsung bahkan ketika tengah terjadi pertikaian terkait kepemilikan tanah.
2. Kepemilikan tanah tidak terdokumentasi penuh Sistem kepemilikan ini merupakan kepemilikan dengan batas waktu dan pembayaran tertentu untuk menempati sebidang tanah oleh pemilik baik pemerintah maupun swasta. Pada umumnya, kepemilikan atas dasar sewa tidak dapat dipindah tangankan, tetapi sebagian hak dari sewa dapat dipindahta ngankan sesuai, tanah sewa yang sebagian mencakup hakhak tersebut pada umumnya didaftarkan. 3. Kepemilikan tanah yang terdaftar Termasuk kedalam tipe ini yakni kepemilikan sewa, hak guna tanah dan sebagainya. Kondisi ini dapat dilihat pada kebijakan pemerintah yang melakukan sewa tanah, ketika terdapat beberapa hak yang dimiliki oleh pihak pengguna. Keamanan
36
penguasaan tanah tergantung pada beberapa faktor seperti kesepakatan, jenis sewa yang diberikan dan sebagainya. Termasuk juga di dalamnya kepemilikan sewa yang terdaftar (registered leasehold –termasuk kepemilikan bersama). Kepemilikan sewa merupakan kepemilikan selama jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian pembayaran sewa. Pemilik tanah legal adalah pihak di luar dia yang menempati atau menyewa tanah, yang dapat berupa pihak negara atau swasta. Pada umumnya, status kepemilikan seperti ini tidak dapat dialihkan atau ditransfer. Akan tetapi, hak-hak dan properti-properti lain, yang bergantung pada perjanjian sewamenyewa yang telah disepakati kedua belah pihak, dapat ditransfer oleh pihak penyewa. Berbeda dengan kepemilikan tanah yang terdokumentasi secara penuh, kepemilikan sewa ini lebih murah, membutuhkan waktu yang tidak lama, lebih fleksibel, dan apabila terjadi sengketa kepemilikan tanah dapat diselesaikan secara bertahap dan tidak menggunakan biaya yang terlalu mahal. 4. Kepemilikan kelompok Kepemilikan kelompok dapat berupa blok atau bidang tanah, bangunan, atau area yang dimiliki oleh kelompok adat tertentu. Unit-unit tersebut dapat dimiliki secara mutlak maupun disewakan atas nama kolektivitas tertentu, misalnya perkumpulan, komunitas, atau community land trust. Kelompok tersebut yang secara kolektif menentukan berbagai hal ihwal terkait tanah yang dimilikinya: jangka waktu dan persyaratan sewa, pewarisan, aturan tentang transfer hak kepada pihak diluar kelompok, dan lain-lain. Dibandingkan dengan model kepemilikan individual, kepemilikan kelompok sifatnya lebih terjangkau karena tidak membutuhkan administrasi tanah yang terspesialisasi untuk menjamin hak-hak individu. Sistem ini mengurangi jumlah unit-unit yang biasanya diperlukan
37
serta mengurangi biaya survei, registrasi, dan administrasi tanah publik, dengan biaya pengurusan yang jauh lebih sedikit. Contoh tipe kepemilikan seperti ini adalah kepemilikan tanah atas nama kerja sama yang dipercaya oleh masyarakat, asosiasi perumahan dan sebagainya. selanjutnya hak-hak kepemilikan atau sewa diberikan oleh kelompok. 5. Sistem Kepemilikan Tanah Komunal Kepemilikan ini sering dijumpai di negara-negara Islam, karena dalam tipe kepemilikan ini dikenal beberapa istilah seperti:
38
5. Kepemilikan tanah formal yang tidak terdokumentasi Model ini mengandung keamanan bermukim sampai pada derajat tertentu. Beberapa contoh dari jenis bermukim ini adalah adverse possession, proteksi legal atas penggusuran paksa, dan hak penggunaan/bermukim tanpa disertai sertifikat. 6. Kepemilikan tanah nonformal Terdapat contoh luas dalam kategori ini. Berbagai contoh tersebut ada yang bersifat legal maupun ilegal. Pengakuan de facto atas penghunian (karena patronase politik, bukti pembayaran atas hak penggunaan, bukti lisan, hak adat yang diakui secara informal, persepsi atas keamanan bermukim, dan lain-lain) merupakan tipe-tipe bermukim yang biasanya eksis dalam kawasan kumuh dan liar. Selain itu, termasuk juga di dalamnya bangunan liar reguler dan nonreguler, subdivisi tak resmi atas tanah yang dimiliki secara legal, dan berbagai bentuk dari pengaturan sewa tak resmi. Beberapa kategori informal ini bisa dilihat sebagai bentuk ketidakmampuan pemerintah melakukan sistem alokasi dengan adil dan tidak bisa menyediakan kebutuhan bagi MBR dan warga miskin kota. Namun, seiring berjalannya waktu permintaan akan tipe kepemilikan ini justru meningkat. Secara de facto, pengakuan kepemilikan bisa dilihat dari rekening tagihan listrik, bukti lisan, dan hak adat yang diakui secara informal. Kepemilikan semacam ini sering ditemui pada permukiman informal dan permukiman kumuh. Sistem tanah neo-adat terdapat di beberapa negara seperti di kota Sub-Sahara Afrika. Di sana dilaksanakan hak pakai tanah terhadap tanah komunal, kepemilikan tanah adat di pinggiran kota dijual untuk perumahan.
39
Skema 1.3 Rangkaian Kepemilikan dari Informal ke Formal
Sumber: Dey, 2006 Selain didasarkan atas kategori di atas (seberapa formal/informal suatu tipe kepemilikan tanah), sistem kepemilikan tanah juga dapat diklasifikasikan atas dasar siapa pihak yang berwenang untuk meng atur dan mengendalikan alokasi atas tanah. Dalam hal ini, sistem kepemilikan tanah dibagi menjadi dua: 1. Kepemilikan Privat atau Hak atas Tanah Milik
Sistem ini dicirikan oleh penggunaan dan penukaran tanah secara bebas tanpa hambatan. Melalui kebebasan tersebut, tanah diharapkan dapat digunakan dengan cara yang paling intensif dan efisien. Harga tanah bergantung pada dinamika penawaran dan permintaan di pasar tanah.
2. Kepemilikan publik atau Hak atas Tanah Pakai
40
Sistem ini merupakan reaksi atas keterbatasan dari sistem privat untuk menjamin akses MBR dan warga miskin akan tanah. Sistem ini didesain agar seluruh segmen dalam masyarakat mampu mendapatkan akses akan tanah di tengah persaingan dan harga yang semakin meningkat. Akan tetapi,
meskipun dirasa lebih adil daripada sistem privat, sistem ini juga mempunyai kelemahan, di antaranya rendahnya efisiensi karena inefisiensi birokrasi atau munculnya sistem patronase dan klientelisme. Pada dasarnya, tak ada satupun jenis kepemilikan yang mampu memenuhi kepentingan dari beragam kelompok sosial. Oleh karena nya, upaya untuk memberikan keamanan bermukim hendaknya tetap mempertahankan pluralitas jenis-jenis kepemilikan. Pengakuan legal atas berbagai jenis kepemilikan justru akan memperkuat pembangun an dari dinamika pasar tanah, terutama di negara berkepadatan tinggi dan berkebutuhan variatif.
Perspektif HAM dan Hak Bermukim Di Indonesia, masih banyak warga yang hak bermukimnya belum terpenuhi. Hal itu termanifestasi melalui berbagai macam bentuk, seperti tunawisma, gelandangan, tinggal di rumah kumuh, atau tinggal di rumah tanpa jaminan keamanan bermukim (secure tenure). Ini merupakan cerminan yang jelas bahwa kemampuan negara dalam memberikan jaminan konstitusional bagi warga negara masih belum optimal. Jaminan konstitusional tersebut berupa hak untuk bermukim yang telah diakui sebagai salah satu elemen HAM. Sebagai negara demokrasi dan negara hukum, sudah sewajarnya pemerintah menghormati pranata-pranata utama yang mencerminkan kedemokratisan suatu negara, yang salah satu di antaranya adalah pranata tentang HAM. Terdapat beberapa rujukan dalam dokumen-dokumen HAM yang menyatakan hak akan rumah atau hak bermukim merupakan bagian dari HAM dan wajib dijamin oleh seluruh negara yang mengadopsi prinsip-prinsip HAM dalam penyelenggaraan pemerintahan. Rujukan tersebut di antaranya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 25 Ayat (1), Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap
41
Perempuan Pasal 14 Ayat (2) dan Pasal 16h, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras Pasal 5e Ayat (iii), Konvensi tentang Hak-hak Anak Pasal 27, dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Pasal 11 Ayat (1) yang berbunyi: “[Persetujuan ini] mengakui hak setiap orang atas standar kehidup an yang layak baik bagi dirinya dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian, dan perumahan yang memadai, dan atas peningkatan yang berkelanjutan atas kondisi hidup.”
Jaminan keamanan bermukim masih menjadi sesuatu yang didambakan, terutama oleh penghuni kawasan kumuh dan ilegal (squatter) dan kelompok komunal atau suku yang tinggal di atas kawasan tanah adat agar terhindar dari penggusuran atau tercerabutnya hak mereka untuk bermukim. Isu tentang jaminan keamanan bermukim menempati posisi yang krusial. Sayangnya, lagi-lagi isu tentang hal ini pun masih menjadi masalah pelik di Indonesia. Jaminan keamanan bermukim masih menjadi sesuatu yang didambakan, terutama oleh penghuni kawasan kumuh dan ilegal (squatter) dan kelompok komunal atau suku yang tinggal di atas kawasan tanah adat agar terhindar dari penggusuran atau tercerabutnya hak mereka untuk bermukim. Ketiadaan kerangka regulasi yang jelas dan berpihak kepada kelompok rentan serta prefe rensi pembangunan pemerintah yang condong berpihak kepada kaum pemodal besar merupakan hal-hal yang menyebabkan absennya jaminan keamanan bermukim bagi kelompok-kelompok tersebut. Segala ketentuan, laporan, dan interpretasi yang terkait dengan hak atas rumah dan hak atas keamanan bermukim yang didasarkan atas dokumen-dokumen HAM merupakan hal yang mengikat entitas pemerintah di Indonesia. Ini mengingat bahwa pemerintah telah men-
42
jadikan HAM sebagai hak konstitusional warga negara melalui amandemen konstitusi dan penetapan beberapa instrumen hukum nasional, antara lain: perubahan kedua UUD 1945 Bab XA yang memuat mengenai HAM dalam 10 pasal (Pasal 28A-28J), TAP MPR No. XVII/MPR/1998, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 40 dari UU tersebut secara jelas menyatakan: “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”), UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Pada dasarnya, seluruh dokumen dan aturan hukum baik internasional maupun nasional yang menjadikan rumah sebagai bagian dari HAM memuat satu pesan yang sama dan konsisten, yaitu bahwa rumah hendaknya tidak dipandang sebagai komoditas yang pengadaannya dilempar kepada mekanisme pasar. Pesan ini disuarakan karena adanya situasi yang jelas bahwa rumah pada hakikatnya merupakan bagian dari kebutuhan primer/dasar yang dibutuhkan semua orang untuk dapat hidup secara layak. Pada titik itu, menyerahkan kebutuhan akan rumah kepada mekanisme pasar sama artinya dengan membiarkan sebagian warga negara untuk menjalani kehidupannya tanpa kelayakan dan martabat. Sebab, terdapat kelompok warga yang pendapatan dan tingkat kesejahteraannya tidak mencukupi untuk menjangkau rumah dengan harga pasar. Pelanggaran HAM yang seringkali tidak disadari ini merupakan aib bukan saja karena pemerintah telah menganut sistem demokrasi yang mesti mematuhi norma-norma HAM, melainkan juga karena Indo nesia adalah negara beradab yang memiliki sensibilitas moral tinggi untuk menjamin kehidupan layak bagi seluruh warganya tanpa kecuali. Jaminan bermukim menjadi hal krusial di perkotaan. Kawasan perkotaan tidak mampu menjamin kesejahteraan bagi masyarakat dan sebagai tempat bermukim yang layak bagi masyarakat. Jaminan bermukim memiliki konteks yang luas melalui ide hak akan kota (the right
43
to the city). Sosiolog urban Perancis memformulasikan konteks hak akan kota dalam berbagai varian disiplin ilmu dan varian tematis, misalnya isu-isu tentang gentrifikasi, imigrasi, perumahan, kewarganegaraan, ruang publik urban, dan eksklusi sosial. Dalam keluasan arti sekaligus pemanfaatan dari gagasan hak akan kota, isu tentang keamanan bermukim (security of tenure) juga tidak luput untuk masuk sebagai bagian dari diskursus yang tercakup di dalamnya. Sebelum membahas tentang keamanan bermukim ini di bagian selanjutnya, terlebih dahulu akan dilakukan survei dan paparan atas tulisan kesarjanaan mengenai hak akan kota. Hal ini penting untuk dilakukan, karena dalam buku ini gagasan hak akan kota menjadi wacana utama yang memayungi seluruh diskusi tentang keamanan bermukim di kota. Gagasan ini berperan sebagai paradigma yang menjadi rujukan bagi seluruh upaya tentang pemberian keamanan bermukim bagi seluruh warga di kota. Uraian tentang hak bermukim di kota akan mengikuti argumen yang ada dalam Attoh (2011).1 Hak atas kota dikonsepsikan pertama kali oleh Lefebvre pada karyanya yang ditulis tahun 1968, Writing on Cities. Bagi Lefebvre, kota dipahamai sebagai suatu oeuvre, yakni produk yang diciptakan melalui kerja dan aktivitas harian dari orang-orang yang tinggal di dalam kota. Adapun hak akan kota antara lain terdiri dari hak untuk bertempat tinggal di kota, hak untuk memproduksi kehidupan urban dalam modus baru (kehidupan yang bebas dari hegemoni kapitalisme dan pamrih untung-rugi ekonomis), dan hak dari para penghuni kota untuk bebas dari perasaan terasing dan tercerabut. Semua hak itu dirumuskannya secara singkat sebagai “hak akan kehidupan urban yang tertransformasikan dan terbarukan”. Meski demikian, dalam tulisannya Lefebvre kurang memaparkan petunjuk lebih jauh tentang apa persisnya yang dimaksud dengan “hak akan
1
44
Kafui A. Attoh, 2011, “What Kind of Right is the Right to the City?”, Progress in Human Geog raphy, vol. 35 (5), hal. 669-685.
kota”. Gagasannya masih berupa sketsa umum sehingga tidak memberikan petunjuk praktis kepada aktor-aktor sosial yang ingin mengusahakan hak tersebut. Karena batasannya yang longgar dan terkesan retoris, maka tak heran apabila para penulis yang melanjutkan gagasannya memanfaatkan, menginterpretasi, dan melengkapi konsep hak akan kota secara bervariasi. Terdapat berbagai macam pandangan tentang hak-hak apa saja yang tercakup dalam istilah hak akan kota, dan siapa saja pihak atau kelompok yang berhak mendapatkannya. Ada yang menginterpretasikan hak akan kota sebagai hak akan ruang politik yang berkait erat dengan hak atas kewarganegaraan (Dikec, 2005), hak untuk bertempat tinggal (Mitchell, 2003), hak atas desain (Van Deusan, 2005), dan hak untuk mendefinisikan arti dari ruang publik (Gibson, 2005). Bagi yang lain, hak atas kota adalah hak akan otonomi di hadapan kebijakan urban (Phillips & Gilbert, 2005) dan hak untuk melawan brutalitas polisi, pengawasan, dan turut campur yang berlebihan dari negara (Mitchell & Heynen, 2009). Selain itu, hak atas kota juga dipahami sebagai hak-hak sosial-ekonomi, seperti hak atas rumah (Marcus, 2008), transportasi (Bickl, 2005), dan sumber daya alam seperti air (Phillips & Gilbert, 2005). Ada pula yang memahaminya se bagai hak untuk mendapatkan kebaikan komunal, seperti estetika dan komunitas (Matilla, 2005). Dalam kaitannya dengan pertanyaan tentang siapa yang berhak mendapatkan hak akan kota, juga terdapat jawaban yang tidak tunggal. Beberapa jawaban tersebut di antaranya kaum tunawisma, imigran, minoritas rasial, orang cacat, perempuan, minoritas seksual, dan aktivis politik, yakni pihak-pihak yang dipandang seringkali diperlakukan tidak adil melalui kebijakan pemerintah kota. Sementara itu, Purcell (2005) bergerak lebih jauh dengan menegaskan bahwa hak atas kota sela yaknya diberikan kepada seluruh orang yang hidup di dalam kota. Wastl-Walter dan Staeheli (2005) menyatakan bahwa di tengah berbagai perbedaan interpretasi tentang hak akan kota, pada dasarnya
45
terdapat satu hal sama yang menjiwai berbagai pandangan yang ada, yakni kritik terhadap kebijakan kota. Kebijakan urban dan desain urban diimplementasikan dengan cara yang semakin tidak demokratis, mengeksklusikan kaum miskin, dan mendahulukan pemilik modal daripada mayoritas penduduk. Sementara itu, Mitchell dan Heynen (2009) mengatakan bahwa fakta mengenai adanya berbagai pandangan tersebut merupakan sesuatu yang bersifat positif karena dengannya, berbagai hak dapat diintegrasikan sedemikian sehingga hak akan kota menjadi seperangkat hak yang mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan warga kota secara komprehensif. Namun demikian, komprehensivitas dari macam-macam gagasan hak akan kota tidak dapat dikatakan koheren karena beberapa pandangan apabila dilaksanakan justru akan bertentangan dengan pandangan lain. Misalnya, Harvey (2008), Purcell (2003), McCann (2005), Busa (2009), Ascher (2009), dan Angotti (2009) merumuskan hak akan kota pertama dan terutama sebagai hak untuk mendemokratisasikan upaya pengelolaan kota, baik terkait upaya bagaimana kota dimanfaatkan dan bagaimana kota dikonstruksi dan didesain. Realisasi dari ideal ini terutama diwujudkan dalam bentuk hak warga kota untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan. Apabila prinsip tersebut menjadi pegangan utama dari pengupayaan hak akan kota, pelaksanaannya akan bertentangan dengan interpretasi lain tentang hak akan kota, terutama yang memaknainya sebagai hak sosio-ekonomi seperti hak untuk bertempat tinggal di kota. Hak semacam itu, dalam pandangan mayoritas warga kota, seringkali ditentang dan tak diakui karena mereka menganggapnya sebagai insentif untuk urbanisasi besar-besaran yang akan menambah masalah dalam kota. Dalam kaitannya dengan penghuni liar, pemberian hak bertempat tinggal kepada mereka juga bukan tidak mungkin ditentang oleh sebagian besar warga kota karena mereka menganggap okupasi tanah yang dilakukan para penghuni liar adalah ilegal. Pada titik ini, terjadi pertentangan antara pelaksanaan hak akan kota, sebagai wujud dari ketegangan antara prinsip demokrasi dan par-
46
tisipasi dengan prinsip hak. Karena inilah, Staeheli dan Mitchell (2008) memberikan peringatan bahwa kon sepsi yang berbeda-beda tentang hak akan kota selain dapat menimbulkan konflik politik yang serius juga berimplikasi pada karakter dan profil dari kota itu sendiri.
Untuk merekonsiliasi berbagai pertentangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan hak akan kota, pengertian tentang hak akan kota harus diangkat levelnya agar dia mampu menghindari terjadinya konflik-konflik keras.
Untuk merekonsiliasi berba gai pertentangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan hak akan kota, pengertian tentang hak akan kota harus diangkat levelnya agar dia mampu menghindari terjadinya konflik-konflik keras. Ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan hak akan kota ke dalam teori umum tentang keadilan sosial. Dalam perspektif keadilan sosial, demokrasi dimaknai secara lebih substantif, tidak hanya sekadar dalam dimensi mayoritarian atau proseduralisme. Satu hal lain yang perlu diperhatikan dalam pemahaman mengenai hak akan kota adalah keinsafan bahwa setiap institusionalisasi hak niscaya mempunyai dampak finansial atas peluangnya tersendiri. Artinya, implementasi dari suatu hak akan membawa konsekuensi tertentu berupa terhambatnya realisasi hak-hak lain. Selain itu, dalam konteks di mana suatu kota mempunyai keterbatasan sumber daya dan kapasitas, institusionalisasi hak akan kota juga haruslah mengantisipasi peluang kompromi dan substitusi. Dalam buku ini, hak akan kota difokuskan terutama sebagai hak akan keamanan bermukim. Karena itu, catatancatatan tersebut haruslah senantiasa disadari dan diperhatikan.
47
Sumber : UN-Habitat/Claudio Adoly, 2012
Gambar 1.1 Kurangnya ketersediaan lahan komunal pada permukiman informal di Lima, Peru.
48
BAB II PENGATURAN PEMERINTAH DALAM HAK BERMUKIM HAK BERMUKIM Paradigma kepemilikan tanah di Indonesia masih mengalami kerancuan. Status tanah yang hanya diakui oleh negara atau lembaga pertanahan, apabila masyarakat memiliki legalitas yang dibuktikan dengan sertifikat. Sedangkan kepemilikan tanah tidak sah juga marak terjadi di Indonesia, pada saat masyarakat mengakuisisi lahan strategis tanpa ada kepemilikan yang sah. Kepemilikan pada lahan tersebut ditandai dengan pendirian bangunan permanen beserta aktivitasnya. Kejadian tersebut telah berlangsung secara turun temurun, hingga penghuni telah merasa bahwa tanah tersebut adalah hak mereka. Permasalahan tersebut tidak hanya muncul di tanah adat daerah, tapi juga tanah-tanah di perkotaan.
Pengaturan Penguasaan atas Tanah Permasalahan tanah adat di Indonesia mengalami dinamika sesuai dengan perubahan otoritas pemerintah pusat. Pada zaman orde baru, konflik pemanfaatan hutan sering menjadi permasalahan yang tidak muncul di permukaan (laten), sehingga sangat sulit dipecahkan. Apabila ada penyelesaiaan hanya sebatas permasalahan di permukaan, tidak mencapai akar permasalahan. Proses penyelesaiannyapun dilakukan di bawah tekanan dari pihak-pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Setelah masa reformasi dan berlakunya desentralisasi, konflik yang sebelumnya laten mulai muncul ke permukaan dan merambah ke konflik lainnya dengan lingkup keterlibatan pihak yang semakin meluas. Kebebasan masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Euforia
49
reformasi mendorong pihak yang lemah untuk berani menuntut hak yang dirampas oleh pihak yang kuat (Wulan dkk, 2004). Tanah adat sebagai aset masyarakat lokal banyak yang dijual ke perusahaan untuk dialihfungsikan sebagai komoditas perekonomian. Masyarakat lokal semakin termajinalkan dengan kondisi tersebut. Masyarakat merasa bahwa pemerintah telah merampas hak milik mereka. Bahkan sebagai akibat alih fungsi lahan tersebut sering menimbulkan bencana bagi masyarakat lokal. Sedangkan perusahaan terkait tidak mau bertanggung jawab. Kondisi di daerah yang sangat ironis tersebut tidak mendapat perlindungan dari pemerintah. Eksploitasi lahan tanpa henti semakin merusak kondisi alam di daerah tersebut. Terlebih lagi eksploitasi tersebut mengakibatkan pelanggaran adat dan permasalahan tata batas. Hingga saat ini, permasalahan tersebut masih menimbulkan konflik antar daerah, masyarakat dengan pemerintah, dan sebagainya. Permasalahan semakin kompleks terjadi di perkotaan ketika muncul berbagai intervensi dari pihak yang terkait. Displacement sebagai akibat dari proses gentrifikasi yang menambah buruk kualitas hunian bagi masyarakat miskin. Slum and squatter bermunculan di kawasan perkotaan terutama di pusat kota. Ruang-ruang publik yang tidak boleh diakuisisi oleh individu atau kelompok. Pemerintah tidak tegas terhadap inventarisasi dan pendisiplinan status tanah publik. Timbulnya permukiman kumuh dan liar bagaikan fenomena gunung es. Permasalahan tersebut tidak disadari pada awalnya dalam skala kecil, tetapi pada saat permasalahan mulai meluas, barulah disa dari bahwa status tanah menjadi permasalahan signifikan di kawasan perkotaan. Peningkatan nilai atas tanah di perkotaan adalah akibat dari aktivitas masyarakat dalam berbagai bidang dan semakin bertambahnya penduduk dan kebutuhan manusia. Kedudukan tanah amatlah penting terutama dalam penguasaan, penggunaan, dan kepemilikannya. Khususnya dengan kemajuan aktivitas ekonomi, banyak tanah yang tersangkut di dalamnya, meluasnya aktivitas itu yang umumnya berupa
50
bertambah banyaknya jual beli, sewa menyewa, pewarisan, pemberian kredit, bahkan timbulnya hubungan hukum dengan orang atau badan hukum asing.
Peralihan status tanah menjadi hak individu bukanlah perkara yang mudah. Pelaksanaannya menimbulkan berbagai masalah atau sengketa mengenai kepentingan-kepentingan terhadap tanah, maka diperlukan adanya pengaturan yang tegas dan landasan hukum yang kuat dibidang pertanahan. Peralihan status tanah menjadi hak individu bukanlah perkara yang mudah. Pelaksanaannya menimbulkan berbagai masalah atau sengketa mengenai kepentingan-kepentingan terhadap tanah, maka diperlukan adanya pengaturan yang tegas dan landasan hukum yang kuat dibidang pertanahan. Sesuai dengan sifat-sifat dari ketentuan di atas masalah agraria menjadi tugas dari pemerintah pusat. Adanya wewenang dan tugas yang dimiliki pemerintah mengenai masalah agraria ini memberikan konsekuensi bahwa pemerintah pusat harus menyusun kebijaksanaan dalam rangka menyusun politik hukum dibidang agraria. Kebijaksanaan yang dimaksud adalah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang berisi mengenai Inventarisasi tanah-tanah di seluruh wilayah Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960 pa sal 19 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut “Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah. Adapun
51
yang bertugas untuk melakukan pendaftaran peralihan hak yang ada sekarang ini ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pemerintah sebatas melakukan administrasi tanpa adanya upaya untuk legalisasi tanah dalam konteks pemberian perlindungan kepada masyarakat miskin. Gebrakan baru yang dapat menjadi formula pe ngentasan kemiskinan dan mengurangi keberadaan kumuh atau liar adalah melalui perluasan konteks slum upgrading. Apabila pada periode sebelumnya slum upgrading hanya ditujukan pada penataan fisik kawasan kumuh, saat ini slum upgrading memasukkan parameter kelegalan tanah untuk meningkatkan kualitas hunian masyarakat. Keamanan bermukim masyarakat juga tidak hanya diukur dari kepemilikan sertifikat saja, tetapi juga ketersediaan infrastruktur. Penguasaan atas tanah diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: 1. Penguasaan Tanah Beraspek Hidup
52
Aspek publik dalam penguasaan tanah menurut Hukum Tanah Nasional adalah ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa hubungan hukum antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terdapat di wilayah Indonesia diberi pranata Hak Menguasai Negara. Isi kewenangan Hak Menguasai Negara tersebut secara resmi dijabarkan oleh pasal 2 ayat (2) UUPA, yang menyatakan Hak Menguasai Negara memberi wewenang kepada negara untuk: 1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; 2) Menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
2. Penguasaan Fisik atas Tanah Penjelasan mengenai penguasaan fisik atas tanah terkait de ngan konsep yang terkandung pada pengertian istilah hukum: occupation, possesion, seizin dan bezit. Pengertian occu pation, possesion, seizin, dan bezit menurut Al-Rashid (1997) dapat dilihat dalam skema berikut. Skema 2.1 Occupation, Possesion, Seizin, dan Bezit
Sumber: Al-Rashid, 2007
53
3. Penguasaan Yuridis atas Tanah Penguasaan yuridis atas tanah terkait dalam hak bermukim menyangkut hak-hak tanah sebagai hak milik, hak guna usaha, hak guna bangun, hak pakai. Hak milik sebagai hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara selama jangka waktu tertentu. Subjek hukum dari hak guna bangunan adalah warga negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia. Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempu nyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu tertentu yaitu 20 tahun atau 30 tahun. Subjek hukum dari Hak Guna Bangunan adalah warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang langsung dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam Surat Keputusan Pemberian hak atau perjanjian dengan pemiliknya yang bukan sewa menyewa atau perjanjian pengolahan.
Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah untuk pertama kali menurut Pasal 1 ayat 9 PP No. 24 Tahun 1997 adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau Peraturan Pemerintah ini. Berdasarkan PP No 24 Tahun 1997, dinyatakan bahwa pendaftaran tanah bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah agar dengan
54
mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak bersangkutan. Dalam pendaftaran tanah juga tersedia informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar mudah memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan pembuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan perlu dipertegas dalam pendaftaran tanah.
Berdasarkan PP No 24 Tahun 1997, dinyatakan bahwa pendaftaran tanah bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah agar dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak bersangkutan Pasal 13 PP No. 24 Tahun 1997 bahwa pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadis.
PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK
Pendaftaran Tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan. Dalam melaksanakan pendaftaran tanah secara sistematik kepala kantor pertanahan dibantu oleh panitia Ajudikasi yang dibentuk oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk
Pada pendaftaran tanah pertama kali secara sistematik kegiatan pendaftaran tanah menurut Pasal 46 s/d Pasal 72 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997, yaitu:
55
•
Penetapan lokasi pendaftaran tanah secara sistematik oleh Menteri atas usulan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Pemerintah diwajibkan melakukan kegiatan pendaftaran terhadap seluruh bidang tanah di wilayah Indonesia dalam suatu rangkaian kegiatan secara berurut an menjadi satu kesatuan rangkaian yang bermuara pada tersedianya data yang diperlukan dalam rangka menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan.
• Penyiapan peta pendaftaran berupa peta dasar yang berbentuk peta garis atau peta foto serta biaya pendaftaran dibiayai dari anggaran pemerintah swadaya. Pendaftaran peta perlu menyiapkan peralatan yang diperlukan, seperti peta garis atau peta foto. Peta tersebut sebagai gambaran umum kondisi tanah yang didaftarkan.
• Pembentukan panitia ajudikasi dan satuan tugas. Proses
pendaftaran tanah dilakukan oleh panitia ajudikasi maupun sporadik inisiatif pemilik tanah sendiri di kantor pertanahan. a. Penyelesaian permohonan yang ada pada saat mulainya pendaftaran tanah secara sistematik. Dengan didaftarkannya tanah secara sistematik maka masyarakat akan memperoleh kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah. Pendaftaran tanah akan menghasilkan sertifikat tanah yang diberikan kepada pemilik tanah. b. Penyuluhan mengenai akan adanya pendaftaran secara sistematik. Sebelum adanya persyaratan pendaftaran pertanahan perlu adanya penyuluhan kepada masyarakat, sehingga masyarakat mengerti prosedur pelaksanaan administratif. c. Pengukuran tanah, sangat diperlukan untuk me metakan batas-batas pemilikan tanah baik perorang an maupun perusahaan dan tanah negara. Selain itu
56
juga merupakan bank data yang meliputi informasi tata guna lahan dan sumber daya alam. Pengukuran digunakan untuk mendapatkan data yang diperlukan. d. Pengumpulan data fisik dan data yuridis. Data fisik dan yuridis yang telah terkumpul dalam lembaga pertanahan dapat sebagai informasi pertanahan yang dapat diakses oleh publik. Akan tetapi, pembatasan dilakukan untuk keperluan pelaksanaan tugas instansi pemerintah. e. Pengumpulan dan pengolahan data fisik meliputi: i) Pengukuran dan pemetaan, ii) Pembuatan peta dasar pendaftaran, iii) Penetapan batas-batas bidang tanah, iv) Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran, v) Pembuatan daftar tanah, dan vi) Pembuatan surat ukur (Pasal 14 PP No. 24 Tahun 1997). f.
Dalam kegiatan pengumpulan data yuridis diadakan perbedaan antara pembuktian hak-hak baru dan hakhak lama. Hak-hak baru adalah hak-hak yang baru diberikan atau diciptakan sejak mulai berlakunya PP No. 24 Tahun 1997. Sedangkan hak-hak lama adalah hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi hakhak yang ada pada waktu mulai berlakunya UUPA dan hak-hak yang ada pada waktu mulai berlakunya UUPA dan hak-hak yang belum didaftar menurut PP No. 10 Tahun 1961.
g. Pengumuman data fisik dan data yuridis di kantor ajudikasi/desa/kelurahan selama 30 hari. Updating data fisik dan yuridis dilakukan hingga skala kelurahan/ desa untuk menjamin inventarisasi tanah. h. Penegasan konversi, pengakuan hak, dan pemberian hak. Setelah tahapan inventarisasi, maka dilanjutkan dengan pemberian status akan tanah tersebut.
57
i.
Pembukuan hak. Hasil inventarisasi hak berdasarkan pengolahan data fisik, yuridis, dan juga hasil pengukuran. Hak tersebut perlu dibukukan untuk sebagai kelayakan inventarisasi. Pembukuan tersebut juga digunakan dalam rujukan sertifikat.
j.
Penerbitan sertifikat. Kelegalan pertanahan memerlukan bukti otentik yang dimiliki oleh masyarakat. Setiap pemilik tanah harus memiliki bukti status tanah sehingga tanah tersebut dapat dikatakan legal.
k. Penyerahan hasil kerja. Seluruh tahapan dalam pendaftaran tanah perlu didokumentasikan sebagai proses monitoring dan evaluasi.
PENDAFTARAN TANAH SECARA SPORADIS
Pada pendaftaran tanah secara sporadis menurut Pasal 73 s/d 93 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional kegiatan yang dilakukan antara lain 1) Permohonan pendaftaran tanah secara sporadis oleh pemohon, 2) Pengukuran, 3) Pengumpulan dan penelitian data yuridis bidang tanah, 4) Pengumpulan data yuridis dan data fisik serta pengesahannya, 5) Pengumuman data fisik dan data yuridis serta pengesahannya selama 60 hari, 6) Penegasan konversi pengakuan hak, 7) Pembukuan hak, dan 8) Penerbitan sertifikat.
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:
58
Berikut ini adalah penjelasan pasal 23 untuk keperluan pendaftaran: a. Hak atas tanah barum data yuridisnya dibuktikan dengan:
•
Penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku, apabila pemberian hak tersebut berasal dari tanah negara atau hak pengelolaan, yang diberikan secara individual, kolektif, ataupun secara umum;
• Asli akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang Hak Milik kepada penerima hak yang bersangkutan; apabila mengenai Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
b. Hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh pejabat yang berwenang; c. Tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf; ditinjau dari sudut objeknya pembukuan tanah wakaf merupakan pendaftaran untuk pertama kali, meskipun bidang tanah yang bersangkutan sebelumnya sudah didaftar sebagai tanah Hak Milik; d. Hak Millik atas Satuan Rumah Susun dibuktikan de ngan akta pemisahan, pembukuannya merupakan pendaftaran untuk pertama kali, walau hak atas tanah tempat bangunan gedung rumah susun yang bersangkutan berdiri sudah terdaftar; e. Pemberian Hak Tanggungan dibuktikan dengan akta pemberian Hak Tanggungan. Untuk pembuktian hakhak atas tanah yang sudah ada dan berasal dari konversi hak-hak lama data yuridisnya dibuktikan dengan
59
alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti tertulis, keterangan saksi, dan atau pernyataan yang bersangkutan dengan kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi/Kepala Kantor Pertanahan dianggap cukup sebagai dasar mendaftar hak, pemegang hak, dan hak-hak pihak lain yang membebaninya. Demikian ditetapkan dalam Pasal 24 ayat (1) di atas dapat berupa: a Grosse Akta Eigendom yang diterbitkan berdasarkan Over schrijvings Ordonnantie (Staatblad 1834-27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik, atau b Grosse Akta Eigendom yang diterbitkan berdasarkan Over schrijvings Ordonnantie (Staatblad 1834-27), sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut PP Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan, atau c Surat tanda bukti Hak Milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan Swapraja yang bersangkutan, atau d Sertifikat Hak Milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959, atau e Surat Keputusan Pemberian Hak Milik dari pejabat yang berwenang, baik sebelum atau sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut didalamnya, atau f Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang disaksikan oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, atau g Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan, atau
60
h Akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, atau i Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan, atau j Surat penunjukan atau pembelian kavling tanah pengganti tanah yang diambil oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah, atau k Petuk pajak bumi/landrete, girik, pipil, kekitir, dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya PP Nomor 10 Tahun 1961, atau l Surat Keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, atau m Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 6, dan Pasal 7 ketentuan-ketentuan konversi dalam UUPA. Pemilik sertifikat tanah sebagai pemegang hak milik atas tanah
Pemilik sertifikat tanah sebagai pemegang hak milik atas tanah tidak dapat diganggu gugat oleh pihak lain. Apalagi setelah usia sertifikat tersebut lebih dari lima tahun. Penegasan tersebut sesuai dengan Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. tidak dapat diganggu gugat oleh pihak lain. Apalagi setelah usia sertifikat tersebut lebih dari lima tahun. Penegasan tersebut sesuai dengan Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yaitu sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada
61
dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Penyediaan data fisik dan yuridis serta penyimpanan data dan dokumen tertera lebih rinci pada Peraturan Menteri No. 3 Tahun 1997. Menurut ketentuan Pasal 2 PP 24 tahun 2007, asas dan tujuan pendaftaran tanah di Indonesia dilaksanakan berdasarkan:
ASAS SEDERHANA
Asas ini dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.
ASAS AMAN
Asas ini menunjukkan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
ASAS TERJANGKAU
Asas ini menunjukkan pada keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak yang memerlukan.
ASAS MUTAKHIR
ASAS TERBUKA
62
Asas ini menunjukkan pada kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi dikemudian hari. Asas ini menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat. Untuk itu diberlakukan pula asas terbuka.
Pengaturan Lembaga dan Pembiayaan Pertanahan Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi wewenang untuk menguasai secara fisik hak atas tanah yang dimiliki. Ada juga penguasaan yang walaupun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dimiliki haknya secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain; (1) ketika tanah disewakan, maka penyewalah yang menguasai tanah secara fisik; (2) ketika tanah dikuasai pihak lain tanpa hak (diokupasi). Dalam kondisi “(2)” tersebut, pemilik tanah berdasarkan penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya; sedangkan dalam hal “(1)” penguasaan fisik itu akan kembali ketika hubungan sewa-menyewa sudah berakhir. Esensi persoalan tanah seakan-akan terlepas dari faktor penentu keberhasilan pembangunan Indonesia. Padahal, keberadaannya menjadi dasar dalam pelaksanaan aktivitas pembangunan. Dengan alasan itu, maka perlu adanya regulasi yang mengatur lembaga-lembaga atau para pemangku kewajiban yang mempunyai hubungan dengan pertanahan.
Pengaturan Kelembagaan Pertanahan Kebijakan tata ruang sering tidak memperhatikan status tanah. BPN satu-satunya lembaga yang mengurus pertanahan. Koneksi antarlembaga masih sangat minim. Sebagai contoh, BPN harus berkoordinasi dengan Kementerian PU untuk zonasi kawasan lindung dan budaya dan koordinasi antara BPN dengan Kementerian Kehutanan dalam hal fungsi pengurusan tanah adat. Terkait dengan kondisi pertanahan di kawasan perkotaan yang didominasi fungsi permukiman, BPN harus bekerja ekstra keras beserta lembaga atau kementerian lainnya. BPN, Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), dan Perum Perumnas perlu menstrukturkan
63
kembali fungsinya masing-masing dalam upaya penyediaan permukiman layak huni bagi masyarakat miskin. Apabila selama ini BPN hanya melakukan inventarisasi tanah, maka eksekusi terhadap fungsi tanah tersebut dilakukan oleh lembaga lainnya. Peran BPN dalam hal administrasi tanah dapat ditunjang Kemenpera untuk mengkonsolidasikan tanah melalui ketetapan perundang-undangan. Sedangkan Perum Perumnas menjamin implementasi dari kebijakan tersebut. Reformasi kelembagaan pengurusan tanah sangat urgensi dite rapkan di Indonesia. Management struktur kelembagaan bertumpu pada keberlanjutan, efektivitas, dan dukungan dari stakeholder terkait. Kemenpera dapat dijadikan leader dalam penyedian permukiman layak huni. Kemudian, lembaga tersebut membentuk interaksi harmonis antar lembaga lainnya. Virtual actors belum lazim di Indonesia, tetapi peran dari aktor ini sangat direkomendasikan. Aktor ini terdiri atas wakil masyarakat dan lembaga donor yang ditunjuk oleh leader untuk mengembangkan lebih lanjut value tanah. Dalam hal penyediaan permukiman layak huni aktor ini sangatlah penting. Tentu saja kerja sama ini dapat berjalan setelah ada kejelasan terhadap status tanah. Keberhasilan reformasi kelembagaan pengurusan tanah ditentukan oleh koordinasi dari level pusat hingga regional. Kapasitas sumber daya manusia dalam kelembagaan ataupun virtual actors membentuk kerangka kerja yang kuat. FakReformasi kelembagaan tor fundamental lainnya sebagai penentu keberhasilan pengurusan tanah sangat reformasi kelembagaan penurgensi diterapkan di gurusan tanah, antara lain: 1) Indonesia. Pengelolaan Dukungan, kepercayaan, dan struktur kelembagaan komitmen dari stakeholder terkait, 2) Pemahaman stakeholder bertumpu pada terhadap masing-masing perkeberlanjutan, efektivitas, anannya dan bertanggung dan dukungan dari jawab terhadap tugas pokok stakeholder terkait. dan fungsi, 3) Kerja sama dalam
64
jangka panjang tanpa ada intervensi kekuatan politik. Oleh karena itu, konsensus dan dialog diadakan secara periodik untuk membahas isu seputar pertanahan di Indonesia. BPN menjadi satu-satunya lembaga yang mempunyai wewenang untuk mengatur pertanahan di Indonesia. Kewenangan yang dimiliki lembaga tersebut tidak terdeskripsikan secara rinci dalam visi, misi, dan fungsi. Visi BPN yang menyebutkan bahwa BPN akan berupaya untuk mewujudkan tanah dan pertanahan untuk kemakmuran rakyat yang disertai dengan keadilan dan keberlanjutan tidak tertuang dalam misi beserta fungsinya. Dalam misi hanya diulas kondisi ideal pertanahan di Indonesia tanpa ada implementasi nyata untuk diterapkan. Ketidaksesuaian juga terlihat pada penyelenggaraan fungsi BPN. Secara teoritis dan distribusi peran kelembagaan, BPN harus mengeluarkan kebijakan dalam level nasional yang kemudian diturunkan dalam level provinsi. Kebijakan yang dirumuskan oleh BPN diatur dalam UUPA. Akan tetapi, undangundang tersebut belum ada pembaruan. Padahal dinamika pertanahan Indonesia terus-menerus mengalami perubahan sebagai respon pluralitas Indonesia. Kelemahan undang-undang tersebut juga terdapat pada definisi agraria yang lingkupnya terbatas secara alamiah yang meliputi bumi (tanah), air, dan kekayaan alam. Pertanyaan besar muncul ketika fungsi tanah diwujudkan sebagai wadah aktivitas untuk kawasan permukim an. Hal tersebut menjadikan BPN tidak mampu mengendalikan persebaran tanah yang di akuisisi oleh masyarakat maupun lembaga lainnya. Permasalahan tersebut masih ditambah tanah-tanah adat yang harus berhadapan dengan masyarakat lokal. Dalam dimensi perkotaan, tanah menjadi isu strategis karena parameter eksistensi masyarakat perkotaan adalah kepemilikan hunian yang tidak dapat dilepaskan dari tanah. Peran BPN juga dapat dilihat berdasarkan struktur intern kelembagaan. Dalam pembagian peran, tugas pokok, dan fungsi BPN, dapat disimpulkan bahwa BPN hanya menyediakan pelayanan terkait tanah kepada masyarakat. Struktur kewenangan yang terdiri atas 1) Bidang
65
survei pengukuran dan pemetaan, 2) Bidang hak tanah dan pendaf taran tanah, 3) Bidang pengaturan dan penataan tanah, 4) Bidang pe ngendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat, dan 5) Bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan. Dari uraian sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi BPN hanya pada tataran administrasi dan legislasi, bukan sebagai eksekutif. Gejolak dinamika pertanahan khususnya di perkotaan perlu mendapatkan perhatian khusus. Terutama untuk mendisiplinkan tanahtanah ilegal perkotaan yang mengakomodir hak bermukim masyarakat miskin. Tanah menjadi poin utama untuk menyelenggarakan kegiatan di atasnya. Oleh karena itu, integrasi dan holistik dari stakeholder menjadi bagian yang sangat penting. Kerja sama dengan lembaga dan juga kementerian lainnya menjadi pengarusutamaan dari kelegalan tanah. Pada saat tanah akan digunakan sebagai kawasan permukiman, maka BPN harus mengajak lembaga dan kementerian terkait permukiman dan perumahan untuk bekerja sama. Sayangnya hingga saat ini masih terdapat sekat antar lembaga dan pemerintahan. Sehingga kebijakan dan program yang dihasilkan sering tumpang tindih atau berseberang an. Jaringan kerja sama antara lembaga pemerintah dalam menyediakan perumahan dan permukiman perlu dijabarkan peran dan fungsinya. Siklus kerja sama terjalin antara BPN, Kementerian Perumahan Rakyat, dan Perum Perumnas. Perubahan peran BPN menjadi eksekutif pertanahan khususnya diperuntukkan bagi tanah-tanah publik di perkotaan. Kemenpera dapat berperan sebagai pencipta iklim kerja sama yang kondusif. Dalam hal ini, Kemenpera seharusnya mengambil peran sebagai regulator dan mendelegasikan output kebijakan pelaksanaan kepada Perum Perumnas. Dengan mengacu pada kebijakan dari Kemenpera, maka Perum Perumnas sebagai pengembang yang menyediakan hunian bagi masyarakat. Perum Perumnas sebagai eksekutor pembangunan perumahan di Indonesia berhak membuat kebijakan dan program asalkan linier dengan kebijakan Kemenpera. Pada akhirnya, peran Perum Perumnas
66
adalah lembaga yang menangani pertanahan di Indonesia.
Perum Perumnas sebagai eksekutor pembangunan perumahan di Indonesia berhak membuat kebijakan dan program asalkan linier dengan kebijakan Kemenpera. Pada akhirnya, peran Perum Perumnas adalah lembaga yang menangani pertanahan di Indonesia.
Perum Perumnas belum sepenuhnya mendalami perannya sebagai land management di Indonesia. Hal tersebut tidak hanya disebabkan oleh legalitas tanah yang belum dijamin oleh BPN dan juga kebijakan dari Kemenpera yang belum menyentuh level dasar. Selain itu, pluralitas di Indonesia juga mengakibatkan pembangunan rumah layak huni tersendat. Setiap daerah memiliki kultur yang berbeda, sehingga penyediaan permukiman harus beradaptasi terhadap kultur tersebut. Kegagalan pembangunan permukiman di Indonesia salah satunya disebabkan desain perumahan yang tidak diadaptasikan dengan budaya lokal. Perum Perumnas sebagai Housing Development Board juga dapat dikembangkan lagi fungsinya. Perum Perumnas di masa yang akan datang dapat diusulkan sebagai lembaga konsultatif bagi masyarakat. Perum Perumnas akan memberikan pelayanan untuk mendapatkan kemudahan hunian bagi masyarakat. Kemudahan membeli single housing atau low rise housing dengan skim pembiayaan yang mudah dapat se bagai program utama Perum Perumnas. Lebih jauh lagi, Perum Perumnas dapat berperan sebagai perumus program upgrading dan menentukan kritera masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan. Konsep dan pendekatan baru sangat diperlukan untuk mengkoneksikan antara peran stakeholder dan administrasi lahan di Indonesia. Kebijakan tanah sering disalah artikan hanya terkait legalitas lahan yang menjadi tugas dari BPN. Padahal tanah tersebut di atasnya berdiri berbagai macam penggunaan lahan dan aktivitasnya. Sehingga mun-
67
cullah tarik-menarik kekuasaan terhadap lahan oleh instansi pemerintah, swasta, bahakan masyarakat. Arbitrasi menjadi jalan keluar untuk mencari benang merah dari konfik kepentingan tersebut. Selain itu, arbitrasi digunakan untuk mencapai kesepahaman mengenai kebijakan tanah, administrasi tanah, dan pemerintah. Peran pemerintah sebagai societies dalam mengeluarkan regulasi untuk harmonisasi hubungan antara lembaga dalam jangka panjang. Partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan tidak kalah penting. Masyarakat bukan hanya sebagai penerima dampak dari kebijakan, tetapi juga mengawal tahapan perumusan kebijakan. Secara pararel, masyarakat juga dapat memperkuat sistem sosial. Sehingga pada saat kebijakan tersebut disahkan tidak ada gesekan antara peme rintah dan masyarakat. Substansi dalam kebijakan tanah juga tidak hanya berisi paparan aturan yang bersifat normatif. Pengejawantahan kebijakan harus melindungi hak masyarakat dalam cakupan perlindungan hukum, pembiayaan, teknik implementasi, dan akses pasar. Berpijak dari pluralitas Indonesia yang berdampak pada variasi status tanah. National Land Information System (NLIS) adalah hal urgensi yang harus dilakukan BPN. Sistem ini harus memuat status tanah sebagai ruang publik yang terdapat di Indonesia. Hal ini akan menjadi progres jika dapat diakses oleh masyarakat ataupun stakeholder lainnya. Informasi tersebut dalam bentuk peta geografis. Sistem informasi yang menggunakan program komputerisasi juga dapat diterjemahkan sebagai suatu lembaga yang meng-capture, mengelola, dan menginformasikan informasi lahan. Berikut ini adalah variabel yang menjelaskan posibilitas implementasi land information system.
68
Tabel 2.1 Posibilitas Implementasi Land Information System Perbedaan konsep LIS
Pendekatan Fokus terhadap aspek
Fokus penguatan kelembagaan
Inventarisasi dan pengelolaan ketersediaan tanah meData ketersePerumusan pola kerja lalui sistem informasi yang diaan tanah sama antarlembaga didistribusikan dalam level nasional Data infrastruktur, properti, Pembaharuan platform data penggunaan lahan pada tanah
LIS fokus pada inventarisasi data (regulasi, kebijakan, capacity building, dan kepemilikan tanah)
Sumber: Laarakker, 2007 Di dalam UUPA, hakikat tanah adalah sebagai fungsi sosial, sehingga proses-proses komodifikasi harus segera dihentikan agar fungsi tanah kembali pada hakikatnya. Maka, ide dekomodifikasi pun muncul sebagai oposan dari komodifikasi yang marak terjadi, khususnya di perkotaan. Ide ini mencuat sebagai tantangan bagi pemerintah untuk menjawab masalah pertanahan dengan lebih konkrit karena keberadaan BPN dengan fungsi administrasi dan legalisasi saja belum cukup. Diperlukan lembaga setingkat kementerian yang mempunyai fungsi regulasi. Tidak tanpa alasan, dibutuhkannya lembaga yang mempunyai fungsi regulasi atas pertanahan ini tentu saja agar MBR dan warga miskin mendapat jaminan hak bermukim di perkotaan. Dengan adanya lembaga tersebut diharapkan keberpihakan pada warga negara lebih jelas, “political will” sebagai produknya, harus dirumuskan dalam kebijakan dan strategi. Pemerintah harus bersedia membeli tanah untuk
69
kepentingan publik, dalam hal ini adalah perumahan rakyat. Apabila pemerintah memang tidak mampu untuk menyediakan dan menjamin tanah bagi rakyatnya, menjalin kemitraan dengan pihak swasta tidaklah tabu untuk dilakukan. Upaya untuk memberikan jaminan dan hak bermukim mempunyai dimensi yang kuat. Masyarakat sipil harus bertindak aktif dengan melakukan checks and balances terhadap proses pembuatan keputusan dan implementasi dari kebijakan terkait pertanahan. Sebelum suatu kebijakan diputuskan, perlu dilakukan debat publik untuk mendiskusikan rentang pilihan kebijakan. Tidak hanya masyarakat sipil, partisipasi juga harus melibatkan kalangan lain seperti pihak swasta. Dengan adanya keterlibatan yang luas dari seluruh elemen masyarakat, suatu kebijakan akan meraih legitimasi, merefleksikan kepentingan publik, dan memproteksi kelompok rentan dalam masyarakat. Meskipun proses semacam ini memakan waktu, namun pada akhirnya justru lebih efisien dibandingkan pendekatan sepihak dan teknokratis.
Instrumen Finansial Penyediaan Lahan Land reform trust fund menjadi instrumen penting dalam sistem finansial penyediaan lahan untuk hunian masyarakat. Konsep finansial ini lebih efektif mendukung proyek dengan prosedur administrasi yang tidak berbelit-belit dan mudah diakses. Kemudahan akses ini tidak ha nya untuk masyarakat, tetapi juga lintas institusi. Pola kerja sama de ngan berbagai kemudahan karena memiliki satu visi untuk mempertegas kepemilikan lahan sehingga dapat dikembangkan sesuai dengan fungsinya. Kesuksesan land reform trust fund juga bergantung pada keseriusan institusi level nasional hingga regional. Tujuan dari diterapkannya trust fund antara lain: 1. Sebagai alternatif penyelenggaraan manajemen tanah yang menyentuh hingga masyarakat lokal. Sistem pembiayaan ini lebih fleksibel untuk program reformasi penyediaan tanah.
70
2. Kesempatan berkomitmen untuk memberikan jaminan manajemen finansial. Fokus pelaksanaannya untuk saat ini hingga di masa yang akan datang untuk membangun sistem finansial yang efektif dengan pencapaian titik equilibrium antara biaya dan reformasi penyelenggaraan tanah. Land reform trust fund belum Fungsi dari agen trust dipertimbangkan di Indonesia. fund, yaitu membentuk Seharusnya instansi yang mengelola funding harus terpisah dari peprosedur dalam trust fund, mangku kewajiban atau lembaga membuat kriteria terhadap yang berperan sebagai regulator, persetujuan dana dari administrator, dan regulator. Lemeksekutor, penyetujuan dana baga atau pemangku kewajiban yang mengurusi finansial akan yang didistribusikan untuk menjalin kerja sama dengan lemproyek, membuat prosedur baga donor yang menyuplai dana terhadap keuangan, untuk program reformasi pertanapelaporan, dan audit. han. Apabila diperlukan efisiensi kelembagaan atau pemangku kewajiban, trust fund dapat dilakukan oleh subdivisi dari BPN. BPN sendiri dapat menjalin kerja sama dengan lembaga donor ataupun pihak swasta dan BUMN dengan konsep CSR. Tugas dari agen trust fund antara lain menerima suplai dana dari rekan kerja sama, mentransfer dana yang didapatkan kepada lembaga atau institusi sebagai eksekutor, bertanggung jawab terhadap pengelolaan dana, pengawasan terhadap eksekusi dana tersebut. Sedangkan fungsi dari agen trust fund, yaitu membentuk prosedur dalam trust fund, membuat kriteria terhadap persetujuan dana dari eksekutor, penyetujuan dana yang didistribusikan untuk proyek, membuat prosedur terhadap keuangan, pelaporan, dan audit. Peran masyarakat sangat penting dalam hal ini, terkait dengan minimnya lahan permukiman di kawasan perkotaan. Alternatif terbaru yang dapat direkomendasikan kepada pemangku kewajiban adalah
71
pengalihan status ilegal ataupun tanah-tanah individu di ruang publik berubah statusnya menjadi tanah komunitas. Pengelolaan dilakukan oleh kelompok masyarakat sehingga dengan begitu, masyarakat dilatih untuk bertanggung jawab. Masyarakat tidak hanya mengakusisi sebagai kawasan terbangun, tetapi meningkatkan nilai lahan secara ekonomis dan ekologis. Kredit Usaha Rakyat dianggap sebagai program pembiayaan inovatif dan terpercaya. Menurut Deputi Bidang Pengkajian Sumber daya KUMK Kementerian Koperasi dan UKM, Indonesia sangat inovatif dalam mengembangkan kredit mikro dan sistem pembiayaan untuk usaha mikro. Konsep kredit mikro juga dapat diadopsi untuk penyelenggaraan pertanahan, melalui management komunitas masyarakat. Syarat utama dari pengelolaan tersebut adalah status tanah yang telah legal untuk kawasan permukiman. Apabila konsep multifinance berhasil dan dapat dikembangkan, konsep ini mengajak pihak swasta untuk ikut berperan meningkatkan kualitas bermukim dengan penyediaan infrastruktur. Dalam program Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia, pada tahun 2012 Kemenkokesra mempunyai empat klaster program pro rakyat dengan menempatkan Program Peningkat an Kehidupan Masyarakat Miskin Perkotaan pada klaster ke-4. Dalam rangka efektivitas pelaksanaan program tersebut, disusun rencana aksi terpadu yang mengintegrasikan 5 program klaster keempat dengan salah satu sasarannya adalah masyarakat miskin perkotaan. program kegiatan dalam upaya mencapai sasaran tersebut dilaksanakan pembangunan rumah sangat murah yaitu dengan rehabilitasi rumah dengan sumber dana dari APBN Kemenpera. Rehabilitasi rumah tersebut dilaksanakan dengan target capaian 81.067 unit rumah dengan alokasi anggaran Rp546,402 miliar, harga satuan rehabilitasi sebesar Rp6 juta per unit rumah. Program lain yang dilaksanakan dalam upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin perkotaan adalah dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Perkotaan. Konsep PNPM
72
Perkotaan dilaksanakan dengan 3 target yaitu dalam usaha bina lingkungan, bina manusia dan bina usaha. Kegiatan yang dilakukan untuk mendukung kegiatan bina lingkungan adalah dengan melakukan penataan khusus untuk masyarakat miskin perkotaan dengan tiga kriteria yaitu:
1
Masyarakat miskin yang membentuk kawasan kumuh di perkotaan. Upaya yang dilakukan adalah : peningkatan atau pembangunan infrastruktur kawasan, peningkatan kualitas lingkungan permukiman dengan peningkatan infrastruktur lingkungan, perbaikan perumahan dan pengembangan rusun umum, pengembangan permukiman baru, revita lisasi kawasan-kawasan fungsional
2
Masyarakat miskin yang membentuk kantong-kantong kumuh di perrmukiman. Dilaksanakan dengan cara peningkatan kualitas lingkungan permukiman yaitu dengan peningkatan infrastruktur lingkungan dan perbaikan perumahan.
3
Masyarakat miskin yang menggelandang atau menetap di daerahdaerah illegal. Dilaksanakan dengan pembangunan rumah singgah.
Dilaksanakan dengan pembangunan rumah singgah. Kegiatan yang dilakukan dalam mendukung kegiatan bina manusia dilaksanakan dengan cara: 1. Memberikan akses pada kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar tersebut meliputi bahan pangan pokok (Raskin), pelayanan kesehatan (Jamkesmas), pelayanan pendidikan dengan program beasiswa, program pendidikan formal-informal dan sebagainya, pembinaan keterampilan. 2. Pembinaan keluarga (PKH) 3. Pembinaan kelembagaan (BKM) 4. Kembali ke desa/ transmigrasi dan lain-lain.
73
Kegiatan yang dilakukan dalam mendukung kegiatan bina usaha dilaksanakan dengan cara: 1. Memberikan akses pada sumber dana baik dana bergulir maupun kredit usaha rakyat 2. Chanelling pada perusahaan-perusahaan besar 3
Pelatihan management perusahaan
4. Mendorong agar usaha masyarakat menjadi sanggup meng akses bank atau bankable .
Pembelajaran dari Negara Lain Ketiadaan keamanan bermukim bukanlah masalah yang eksklusif hanya ada di Indonesia. Berbagai negara di seluruh dunia, terutama negara-negara berkembang, juga mengalami problem yang serupa. Masing-masing negara menjalankan strategi dan kebijakan khusus untuk memberikan keamanan bermukim bagi penduduknya yang tinggal di kota. Kebijakan dan strategi yang diterapkan di beberapa negara dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran untuk Indonesia. Belajar kepada praktik-praktik terbaik yang ada di negara lain merupakan hal yang positif karena melaluinya pemerintah dan pemangku kepenting an yang lain dapat memperluas wawasan dan referensi. Wawasan dan referensi yang didapatkan tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam bangunan akumulasi pengetahuan yang telah dimiliki selama ini. Meski demikian, harus pula disadari bahwa pengalaman dari negara lain tersebut tidak bisa secara mutlak digunakan sebagai bench mark, yakni suatu kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan dan kegagalan dari kebijakan yang diterapkan di Indonesia. Alih-alih demikian, akan lebih tepat apabila praktik-praktik terbaik dari negara lain digunakan sebagai referensi yang berharga untuk kemudian diadaptasikan dengan kebutuhan dan kondisi partikular di Indoesia. Karena setiap kebijakan pada dasarnya juga dipengaruhi oleh karakter
74
permasalahan dan lingkungan khas yang ada pada suatu negara, maka menerapkan secara bulat apa yang dilakukan di negara lain merupakan suatu kekeliruan metodologis. Berikut dipaparkan tiga contoh praktik terbaik terkait dengan pemberian keamanan bermukim bagi penduduk kota yang dijalankan di negara lain. Tiga contoh tersebut dilihat dari perspektif yang berbeda-beda, yakni kelembagaan, regulasi, dan pendanaan.
Filipina: Program Kredit Komunitas2s1 Program Kredit Komunitas (Community Mortgage Program) merupakan contoh praktik terbaik dalam tataran kelembagaan. Program ini pertama kali diintroduksi di Filipina pada pertengahan tahun 1980an oleh para aktivis sosial yang peduli dengan nasib MBR dan warga miskin kota. Kemudian, pemerintah mengakuisisi program ini secara formal dengan menjadikannya sebagai bagian dari Program Tempat Tinggal Nasional, tepatnya yakni dalam UU Republik 7279. Tujuan dari Program Kredit Komunitas (PKK) adalah untuk memberikan bantuan legal bagi berbagai asosisasi warga kota yang miskin dan tunawisma untuk membeli dan mengembangkan tanah, serta memiliki bidang tanah yang telah mereka tinggali atau melakukan relokasi ke tempat lain dengan melali konsep kepemilikan komunitas. Melalui PKK, pemerintah meminjamkan dana bagi asosiasi warga miskin kota yang digunakan untuk membeli sebidang tanah untuk ditinggali secara permanen. Tanah yang dibeli tersebut dapat berupa tanah yang selama ini telah ditinggali oleh anggota komunitas atau tanah yang sama sekali baru di mana anggota komunitas berniat untuk melakukan relokasi di tanah baru tersebut. Pilihan ini biasanya dipilih oleh komunitas yang tinggal di daerah berbahaya atau di daerah yang terkena pembangunan infrastruktur atau penggusuran yang diperin-
2
Bagian ini didasarkan pada UN-Habitat, Innovative Urban Tenure in the Philippines: Chal lenges, Approaches and Intitutionalization (Summary Report), Nairobi, 2012, hal. 14-19.
75
tahkan pengadilan. Selain pinjaman untuk membeli tanah tersebut, PKK juga memberikan dana pinjaman untuk melakukan pengembang an lokasi (site improvement) dan pembangunan rumah. Sebagai syarat untuk mendapatkan bantuan pinjaman melalui skema PKK, anggota komunitas harus mengorganisasikan diri mereka ke dalam suatu asosiasi pemilik rumah dengan anggota minimal sembilan rumah tangga dan maksimal 200 rumah tangga. Setelah membentuk asosiasi dan memenuhi syarat-syarat lain, Perusahaan Pendanaan Rumah Sosial (Social Housing Finance Corporation/SHCF) sebagai instansi penyelenggara PKK memberikan persetujuan untuk memberikan pinjaman dan membayar uang muka ke pemilik tanah yang tanahnya dibeli komunitas. Pembayaran pinjaman dilakukan setiap bulan dalam rentang waktu sampai 25 tahun dan dengan bunga 6 persen per tahun. Tanah yang akan dibeli berfungsi sebagai jaminan peminjaman. Sebagai peminjam, asosiasi pemilik rumah bertanggung jawabuntuk menyiapkan berbagai dokumen persyaratan, bernegosiasi dengan pemilik tanah, mengumpulkan cicilan dari anggota, dan memenuhi kewajiban-kewaiiban finansial kepada institusi yang memberi bantuan pinjaman. Selain itu, asosiasi pemilik rumah juga memberikan sanksi bagi anggota komunitas yang melanggar aturan serta mengawasi kesesuaian pengembangan tanah dengan rencana tata ruang kota. Berbagai organisasi di luar asosiasi pemilik rumah yang berpe ran sebagai penyokong juga turut terlibat dalam pelaksanaan PKK ini, seperti misalnya LSM, pemerintah lokal, dan agensi-agensi yang terkait dengan urusan tempat tinggal. Organisasi-organisasi tersebut disebut dengan pemula (originator), karena merekalah yang menginisiasi dan mendorong anggota komunitas untuk terlibat dalam skema PKK. Pihak-pihak penyokong tersebut memberikan bantuan kepada asosiasi pemilik rumah dalam hal pengorganisasian komunitas dan evaluasi atas kelayakan dari anggota komunitas, dengan menyelidiki apakah mereka layak menerima bantuan atau tidak. Selain itu, mereka juga membantu asosiasi pemilik rumah untuk menyediakan berbagai
76
dokumen yang dibutuhkan, membantu menyusun sistem pengumpulan iuran yang efektif, dan mengawasi pengumpulan iuran tersebut. Pada tahun 2009, sudah terdapat 200 organisasi pemula yang terakreditasi di seluruh Filipina. Manajemen dan administrasi dari PKK dikelola oleh SHCF, instansi taktis milik pemerintah yang mengurusi pendanaan bagi program-program perumahan bagi warga miskin. SHCF memiliki kapasitas untuk berhubungan dengan komunitas berukuran kecil dan bekerja sama dengan LSM dan pemerintah daerah. Ini karena SHCF didesain sedemikian rupa sehingga memiliki fleksibilitas yang cukup untuk mengadopsi kebijakan dan mengembangkan produk pendanaan perumahan yang sesuai dengan kapasitas dan keterbatasan dari MBR dan warga miskin kota yang menjadi pihak penerima bantuan. Sebagai komponen dari Program Tempat Tinggal Nasional, penyelenggaaan PKK didanai melalui anggaran negara yang dialokasikan setiap tahun. Memang, pada mulanya, yakni pada tahun 1988 sampai 1994, BUMN asuransi menjadi sumber dana utama dari PKK. Baru sejak tahun 1995 dan seterusnya, dana dialokasikan melalui anggaran Pada mulanya, yakni pada tahunan negara dengan jumlah tahun 1988 sampai 1994, besarannya ditentukan oleh Kongres. BUMN asuransi menjadi Skema PKK memberikan jaminan keamanan bermukim yang cukup tinggi. Keutungan berupa kepemilikan tanah, meskipun atas nama komunitas, dirasakan oleh anggota komunitas yang mengakses PKK sebagai hal yang sangat bermanfaat karena hal tersebut lebih baik daripa-
sumber dana utama dari PKK. Baru sejak tahun 1995 dan seterusnya, dana dialokasikan melalui anggaran tahunan negara dengan jumlah besarannya ditentukan oleh Kongres.
77
da tinggal di perumahan informal. Total besaran iuran untuk melunasi pinjaman juga lebih kecil daripada biaya untuk menyewa atau membeli rumah dari program-program perumahan lain yang dirintis oleh pemerintah. Dengan PKK, para anggota komunitas merasakan rasa aman yang lebih tinggi dan rasa memiliki yang lebih erat terhadap kota tempat mereka tinggal. Selain itu, dampak positif lain yang timbul dari PKK adalah penerimaan sosial yang lebih luas dari segmen sosial lain yang ada dalam masyarakat serta insentif yang tinggi untuk melakukan investasi berupa pengembangan rumah. Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa PKK mempunyai beberapa kelebihan sekaligus kekurangan. Kelebihan dan kekurangan tersebut perlu dicermati apabila Indonesia ingin untuk mengadopsi atau mengadaptasi PKK sebagai strategi untuk memberikan jaminan keamanan bermukim bagi penduduk kota.
78
Tabel 2.2 Kelebihan dan Kekurangan PKK KELEBIHAN 1. Rumah di dalam kota: PKK memberikan kesempatan bagi penghuni perumahan informal untuk tetap tinggal di kota. Dengan tetap tinggal di dalam kota, mereka tidak perlu mendapatkan kesulitan untuk mengakses tempat kerja dan berbagai pelayanan publik. 2. Infrastruktur yang lebih baik: apabila suatu rumah tangga dan komunitas telah mendapatkan jaminan keamanan bermukim, maka secara bertahap infrastruktur yang ada dalam perumahan, permukiman, dan lingkungannya secara umum sistem drainase, jalan, jaringan listrik, dan suplai air akan beranjak menjadi lebih baik. Ini karena melalui keamanan bermukim, mereka tidak perlu lagi takut dengan ancaman penggusuran sehingga memiliki insentif untuk melakukan investasi infrastruktur. 3. Keterjangkauan: PKK memberikan syarat pengembalian pijaman dengan cara mencicil dalam jangka panjang dengan besaran yang terjangkau bahkan untuk rumah tangga yang sangat miskin sekalipun. Selain itu, garansi akan kepemilikan formal-legal bagi anggota komunitas setelah membeli tanah melalui PKK juga mendorong mereka untuk memiliki komitmen yang tinggi dalam menjaga rumah dan mengembalikan pinjaman secara tuntas dan tepat waktu.
KEKURANGAN 1. Cakupan yang terbatas: PKK hanya dapat dimanfaatkan oleh penghuni kawasan informal yang menduduki tanah privat yang bukan haknya. Selain itu, pemilik tanah yang diduduki tersebut juga harus teridentifikasi dan sudi untuk menjual tanahnya dengan harga yang tidak lebih dari plafon pinjaman PKK dan dapat dijangkau oleh penghuni kawasan informal. Dengan persyaratan-persyaratan tersebut, akan sulit apabila PKK diberlakukan di daerah metropolitan atau kotakota besar yang berkembang pesat karena pasti pemilik tanah akan keberatan apabila tanahnya dijual kepada para penghuni illegal dengan harga di bawah harga pasar. 2. Persyaratan yang banyak dan sulit: organisasi komunitas yang berkehendak untuk mengajukan proposal pinjaman PKK harus memenuhi persyaratan yang cukup ketat, baik itu syarat dokumen atau syarat bentuk organisasi. Untuk memenuhi berbagai persyaratan tersebut organisasi komunitas seringkali membutuhkan asistensi dari organisasi penyokong seperti LSM. Selain itu, waktu pemrosesan yang lama juga kadangkala menyebabkan keterlambatan pembayaran kepada pemilik tanah. Hal ini menyebabkan beberapa pemilik tanah membatalkan persetujuan mereka untuk menjual tanahnya kepada komunitas. Pada gilirannya, ini memberikan berbagai kesulitan dan kerumitan bagi organisasi penyokong yang telah berkomitmen untuk membantu komunitas
79
Afrika Selatan: Hukum Anti-Penggusuran Paksa Salah satu ciri yang paling esensial dari suatu kondisi keamanan bermukim adalah jaminan legal untuk bebas dari penggusuran paksa. Penggusuran paksa merupakan hal yang paling dikhawatirkan oleh para rumah tangga yang tinggal di kawasan tanpa keamanan bermukim. Adanya hukum yang melarang penggusuran paksa merupakan contoh praktik terbaik pemberian keamanan bermukim dalam dimensi regulasi. Melalui aturan hukum nasional yang menegaskan mengenai pelarangan penggusuran paksa, maka keamanan bermukim dalam pengertiannya yang minimal dapat dirasakan oleh seluruh wargane gara. Ini merupakan pemberian keamanan bermukim pada tataran preventif, yaitu mencegah hilangnya keamanan bermukim bagi warga. Dalam hal pemberlakuan hukum yang melarang penggusuran paksa, Afrika Selatan merupakan contoh negara yang dapat dijadikan contoh karena negara ini memiliki seperangkat aturan hukum yang menyatakan secara tegas mengenai larangan tersebut. Adanya aturan-aturan hukum yang melarang penggusuran paksa tersebut berakar dari ketentuan yang termuat dalam Konstitusi Afrika Selatan. Konstitusi tersebut mencantumkan beberapa pasal yang terkait tidak hanya dengan hak untuk mendapatkan keamanan bermukim, namun juga hak-hak lain terkait rumah yang lebih luas. Bagian 25 dari Pernyataan Hak-hak Asasi Manusia dalam Konstitusi menyebutkan bahwa: a) negara harus membuat UU dan tindakantindakan lain yang pantas, sesuai dengan sumber daya yang tersedia, untuk mengembangkan suatu kondisi yang memampukan wargane gara untuk memperoleh akses akan tanah secara adil; b) seseorang atau komunitas yang kepemilikan tanahnya tidak aman secara legal sebagai hasil dari hukum atau praktik diskriminasi rasial di masa lalu berhak atas, sampai dengan sejauh ketentuan yang termuat dalam UU, kepemilikan yang aman secara legal atau ganti rugi yang sepadan.
80
Arti dari dua pokok ketentuan tersebut yakni bahwa pemerintah haruslah memastikan tersedianya akses akan tanah yang setara dan adil bagi warganya, serta pemerintah juga harus memastikan bahwa dalam kasus di mana warga tidak memiliki hak yang kuat atas tanah karena diskriminasi kepada orang kulit hitam di masa rezim apartheid dan kolonialisme, maka pemerintah haruslah memberikan hak yang kuat kepada mereka. Apabila hal ini tidak memungkinkan, maka kompensasi yang layak harus diberikan. Bagian 26 dari Pernyataan Hak-hak Asasi Manusia dalam konstitusi juga memuat tiga hak sebagai berikut: a) setiap orang mempunyai hak untuk dapat mengakses rumah yang layak; b) Negara harus membuat UU dan tindakan-tindakan lain yang pantas, sesuai dengan sumber daya yang tersedia, untuk mencapai realisasi yang progresif dari hak tersebut; dan c) tidak seorangpun dapat digusur dari rumahnya, atau mendapati rumahnya dihancurkan, tanpa melalui perintah peng adilan yang ditetapkan setelah memperimbangkan semua hal yang signifikan. Tidak ada legislasi yang memperbolehkan penggusuran secara manasuka. Apabila dirumuskan dengan bahasa nonlegal, maka ketentuan terebut berarti bahwa semua warga negara Afrika Selatan memiliki hak untuk mengakses rumah yang layak dan karenanya pemerintah wajib bekerja sekeras mungkin untuk memastikan seluruh warganya tanpa kecuali mendapatkan hak tersebut. Selain itu, setiap warga juga mendapatkan perlindungan dari penggusuran dan penghancuran rumah, bahkan meskipun rumahnya itu adalah gubuk sekali pun, kecuali apabila penggusuran atau penghancuran
Tidak seorangpun dapat digusur dari rumahnya, atau mendapati rumahnya dihancurkan, tanpa melalui perintah pengadilan yang ditetapkan setelah memperimbangkan semua hal yang signifikan. 81
tersebut diperintahkan oleh pengadilan setelah pengadilan mempertimbangkan secara hati-hati dampak dari penggusuran atau penghancuran tersebut bagi kepala rumah tangga beserta seluruh anggota keluarga lainnya. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dengan adanya konstitusi yang kuat melindungi hak akan rumah pada umumnya dan hak akan keamanan bermukim pada khususnya, maka tidak heran apabila Afrika Selatan memiliki seperangkat UU yang memberikan penegasan atas hak-hak tersebut secara lebih konkret dan operasional. Terdapat tiga undang-undang yang dilihat dari isinya memiliki implikasi yang kuat bagi pemberian keamanan bermukim bagi warga Afrika Selatan.3.2 Pertama adalah UU Perluasan Keamanan Kepemilikan (PKK). UU ini ditujukan untuk melindungi warga yang telah mendapatkan izin dari pemilik tanah atau perwakilannya untuk tinggal di atas suatu area yang dikate gorikan sebagai tanah pertanian. Kelompok warga tersebut mendapatkan perlindungan legal dari penggusuran, baik oleh pemerintah maupun pihak swasta pemilik tanah, tanpa melalui perintah pengadilan. Meski demikian, tidak semuanya berhak memperoleh “kekebalan” dari penggusuran paksa tersebut. Mereka yang berhak memperolehnya antara lain penduduk yang berpendapatan kurang dari 5.000 rand per bulan, penduduk yang telah tinggal di area selama lebih dari 10 tahun, penduduk yang berusia lebih dari 60 tahun, dan penduduk yang tidak dapat bekerja bagi pemilik tanah karena kondisi ke sehatan yang buruk, mengalami cedera, atau menderita cacat. Akan tetapi, bagi mereka yang tergolong ke dalam penerima manfaat sebagaimana kriteria di atas, hak untuk bebas dari penggusuran bisa menjadi tidak berlaku apabila penghuni melakukan bebe rapa tindakan sebagai berikut: secara sengaja dan ilegal menyakiti seseorang yang tinggal di atas area, secara sengaja merusak properti
3
82
Lih. Centre on Housing Rights & Evictions, Holding Your Ground: Resisting Evictions in South Africa, dalam http://abahlali.org/files/Holding_Your_Ground.pdf, hal. 6-14.
milik petani, mengancam orang lain yang ada di atas area, membantu orang lain untuk membangun rumah di atas areal tanpa seizing pemilik tanah, dan mencederai hubungan dengan pemilik tanah dengan suatu cara yang tidak dapat ditoleransi seperti menyerang pemilik tanah. Bagi mereka yang tidak tergolong sebagai kategori penghuni yang memenuhi persyaratan yang telah disebutkan di atas, meskipun penggusuran bukanlah merupakan sesuatu yang mustahil, namun penggusuran itu pun tidak data dilakukan secara sewenang-wenang karena harus didasarkan pada keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum keputusan melakukan penggusuran dari pengadilan dapat dieksekusi, di antaranya: penghuni harus menerima peringatan penggusuran dalam bahasa yang dipahaminya dua bulan sebelum pemeriksaan pengadilan dimulai, pemilik tanah harus telah membayar tanggungan gaji yang belum dibayarkan, Departemen Urusan Tanah (badan publik di Afsel yang bertanggung jawab terhadap urus an tanah) harus menyerahkan laporan tentang rencana penggusuran kepada pengadilan, pengadilan harus mempertimbangkan apakah penghuni yang rumahnya akan digusur memiliki akomodasi alternatif, dan pengadilan harus mempertimbangkan apakah penggusuran akan memengaruhi pemenuhan hak-hak lain dari rumah tangga yang rumahnya tergusur (misalnya hak akan pendidikan, layanan kesehatan, pekerjaan, dan lain-lain). Melalui berbagai persayaran dan prosedur sebelum suatu keputusan penggusuran dijatuhkan pengadilan di atas, terlihat jelas bahwa meskipun para penghuni yang tidak masuk kategori penerima “kekebalan” penggusuran dapat saja digusur, namun proses yang berlangsung dapat dipastikan berlangsung secara rigid sekaligus bijaksana. Pengadil an biasanya menjatuhkan keputusan penggusuran hanya apabila telah dipastikan terdapat rencana tentang akomodasi alternatif yang layak. Apabila penggusuran dilakukan tanpa perintah pengadilan, keluarga yang menjadi korban dapat maju ke pengadilan untuk mence-
83
gah pihak penggusur melakukan aksinya atau mengajukan gugatan pelanggaran kriminal kepada mereka. Langkah-langkah semacam ini biasanya didukung secara militant oleh berbagai organisasi akar rumput yang mewakili kepentingan kaum miskin di Afrika Selatan. UU kedua yang memberikan perlindungan dari penggusuran se bagai bagian dari langkah preventif mencegah hilangnya keamanan bermukim warga Afsel adalah UU Pencegahan Penggusuran Ilegal (PPI). UU PPI berlaku bagi setiap oran yang menduduki tanah tanpa persetujuan baik tertulis maupun lisan dari pemilik tanah. Yang termasuk ke dalam kategori ini tidak hanya para penghuni ilegal, namun juga para penghuni yang tinggal di atas tanah secara legal dan sah di masa lalu namun tidak lagi memperoleh izin dari pemilik tanah di masa yang sedang berjalan. Penerbitan dari UU PPI ditujukan untuk melindungi para peng huni yang tinggal tanpa izin tersebut dari penggusuran sewenangwenang, yakni penggusuran tanpa didahului oleh perintah pengadilan. Skema 2.2 Ketentuan dalam Penggusuran KETENTUAN DALAM PENGGUSURAN Pihak yang akan digusur harus menerima surat peringatan setidaknya 14 hari sebelum pemeriksaan dimulai. Surat peringatan tersebut harus diterakan dalam bahasa yang dipahami calon pihak tergusur dan memuat alas an dari dilakukannya penggusuran serta memuat pernyataan tentang hak calon pihak tergusur untuk mendapatkan bantuan hukum Sebelum menjatuhkan keputusan, hakim harus mempertimbangkan secara saksama hak dan kebutuhan dari penghuni illegal yang termasuk ke dalam kelompok rentan seperti orangtua, anak-anak, kepala rumah tangga perempuan, dan orang cacat Apabila penghuni ilegal telah bermukim selama lebih dari 6 bulan, hakim haruslah memastikan bahwa pemilik tanah atau pemerintah telah menyediakan tempat alternative untuk ditinggali setelah penggusuran. Tempat alternatif tersebut haruslah tidak mengganggu kehidupan penghuni yang digusur secara berlebihan.
84
Dengan demikian, sama dengan UU PKK yang memberikan perlindungan keamanan bermukim bagi penduduk yang tinggal di atas area pertanian, UU PPI juga memberikan perlindungan serupa bagi penduduk yang tinggal di atas tanah jenis apapun secara ilegal. Pengadilan biasanya tidak jadi membatalkan penggusuran apabila ternyata tidak terdapat rencana akomodasi alternatif yang layak. Pihak yang digusur mempunyai hak untuk memprotes apabila tempat tinggal alternatif tersebut terlalu jauh dari tempat tinggalnya semula. Saat ini di Afrika Selatan terdapat perdebatan terkait dengan apakah perkampungan transit (yang disebut juga dengan area relokasi sementara, area penuangan, amatins, dan pondok pemerintah) dapat dikategorikan sebagai tempat tinggal alternatif yang layak. Beberapa hakim menganggapnya sebagai hal yang layak, namun hal ini ditentang oleh berbagai organisasi rakyat miskin dan para pakar hak perumahan. Demikian juga apabila pemilik tanah, baik itu pemerintah ataupun pihak swasta, berusaha melakukan penggusuran tanpa perintah pengadilan maka pihak yang dirugikan dapat memohon kepada pengadilan untuk mencegah dilakukannya penggusuran. Sementara apabila rumah penghuni ilegal dihancurkan tanpa didahului perintah pengadilan, pihak yang dirugikan dapat meminta pengacaranya untuk memohon pengadilan agar memerintahkan pihak yang menghancurkan melakukan pembangunan kembali, atau mengajukan gugatan kriminal kepada pihak penghancur. UU ketiga adalah UU Rumah Sewa. UU ini berlaku bagi mereka yang menyewa flat atau rumah dari pihak pemilik tanah, tanpa peduli apakah kesepakatan sewa-menyewa tersebut dikukuhkan secara tertulis atau verbal. Sama dengan dua UU sebelumnya, para penyewa ini tidak dapat digusur tanpa melalui perintah pengadilan. Penggusuran hanya dapat dilakukan apabila: a) masa perjanjian sewa telah berakhir; b) penyewa tidak membayar biaya sewa; c) penyewa menjadi gangguan bagi lingkungan sekitar; d) penyewa secara sengaja merusak rumah atau flat yang disewanya; dan e) penyewa melanggar syarat dan ketentuan yang berlaku di dalam kontrak sewa.
85
Untuk mengantisipasi kelalaian penyewa, maka sebelum masa berlaku sewa berakhir, penyewa harus diberikan surat peringatan mengenai segera berakhirnya masa sewa. Bagi penyewa yang melakukan perjanjian dengan kontrak, periode pemberian surat peringatan dicantumkan dalam kontrak. Sedangkan bagi yang melakukan perjanjian secara verbal, surat peringatan diberikan sesuai dengan interval pembayaran sewa. Jadi misalnya jika pembayaran sewa dilakukan sebulan sekali, maka surat peringatan diberikan setidaknya sebulan sebelum masa sewa berakhir. Meskipun sekilas terlihat tidak memberikan jaminan keamanan bermukim yang memadai apabila dibandingkan dengan dua UU sebelumnya, sesungguhnya UU Rumah Sewa juga memuat beberapa ketentuan yang mencegah penggusuran dilakukan secara sewenangwenang atau tanpa pandan bulu. Terdapat beberapa klausul yang memberikan keuntungan bagi penyewa seperti: pemilik tanah tidak boleh melarang penyewa untuk masuk ke dalam rumah atau flat yang disewanya; pemilik tanah dilarang menyita properti penyewa untuk menutupi biaya sewa yang belum dibayar, kecuali atas perintah peng adilan; apabila penyewa menderita penggusuran yang tidak adil, dia dapat mengajukan protes kepada Pengadilan Perumahan Sewa atau datang ke pengadilan untuk meminta bantuan; apabila penyewa menolak untuk digusur dan bersikeras untuk tetap tinggal di rumah atau flat, pemilik tanah tidak dapat memaksa penyewa untuk keluar. Penye lesaian harus diproses melalui pengadilan melalui penerbitan surat pe rintah penggusuran; pengadilan akan berpihak kepada penyewa dalam kasus ketika penyewa telah membayar sewanya secara tepat waktu dan rutin namun disangkal oleh pemilik tanah.
86
Dalam kasus ketika pemilik tanah tidak melakukan perawatan yang baik atas rumah atau flat sehingga penyewa melakukan perawatan secara mandiri, penyewa juga mempunyai hak untuk mengintegrasikan biaya perawatan tersebut sebagai bagian dari pembayaran sewa sehingga biaya sewa menjadi lebih murah. Terakhir, UU Rumah Sewa juga memberikan hak kepada penyewa untuk bergabung ke dalam organisasi komunitas atau gerakan sosial yang dapat melindungi dan memajukan kepentingan para penyewa. Pemilik tanah tidak berhak untuk melakukan diskriminasi kepada penyewa hanya atas dasar karena dia bergabung ke dalam organisasi atau gerakan tersebut. Hukum anti-penggusuran merupakan instrumen keamanan kepemilikan dalam tataran yang sangat umum. Meski demikian, dalam beberapa kasus dan kondisi, instrumen semacam ini juga terbukti berguna bagi MBR dan warga miskin kota yang seringkali menjadi korban penggusuran sewenang-wenang. Selain Afrika Selatan, beberapa negara lain juga mempunyai hukum yang serupa, misalnya India, Brasil, dan Filipina. Kekurangan utama dari instrumen ini adalah seringkali agar manfaatnya benar-benar dapat dirasakan secara efektif, dibutuhkan prasyarat teknis yang justru seringkali diabaikan, yakni murahnya biaya untuk melakukan klaim dan gugatan di pengadilan. Tanpa adanya biaya murah tersebut, MBR dan warga miskin kota yang hak keamanan bermukimnya tercerabut akan enggan untuk menuntut dikembalikannya hak mereka. Mereka lebih memilih untuk pasrah digusur daripada terlibat dalam prosedur peradilan yang mahal dan tak dipahaminya. Kerumitan lain terkait dengan isu relokasi. Kebanyakan hukum antipenggusuran yang berlaku di beberapa negara mensyaratkan diberikannya tanah relokasi bagi para korban penggusuran. Ini membutuhkan kapasitas finansial, manajemen yang tertata, dan kesesuaian tata ruang. Hal-hal tersebut seringkali sulit untuk diusahakan oleh pemerintah.
87
Untuk mengantisipasi kesulitan-kesulitan yang mungkin muncul tersebut, peran organisasi masyarakat dan gerakan sosial sangatlah besar. Di Afrika Selatan, terdapat banyak organisasi dan gerakan semacam itu. Salah satu yang paling terkenal karena pengaruhnya yang kuat dan rekaman keberhasilan advokasi yang tinggi adalah Western Cape Antieviction Campaign.4.3
Usaha Pengalokasian Tanah Murah di Negara-Negara Asia Tanah yang mudah diakses, yakni yang terjangkau oleh MBR pada umumnya dan MBR dan warga miskin kota pada khususnya, merupakan prakondisi yang penting untuk tercapainya jaminan keamanan bermukim di kota. Ini karena ketiadaan tanah yang murah adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan munculnya kondisi ketika sebagian penduduk tinggal di atas area tanpa jaminan keamanan bermukim. Pengalokasian tanah murah dengan demikian dapat dipandang sebagai praktik yang mendukung dipenuhinya jaminan keamanan bermukim dari perspektif keterjangkauan (affordability). Sadar mengenai pentingnya pengalokasian tanah murah bagi warganya yang membutuhkan, banyak pemerintah negara-negara di Asia yang bekerja keras mengusahakan tercapainya hal tersebut. Paparan berikut menguraikan secara singkat usaha-usaha yang telah dilakukan beberapa negara Asia. Usaha-usaha tersebut barangkali bukanlah praktik terbaik yang ada di dunia terkait dengan pengalokasian tanah murah, namun dengan mencermati perkembangan yang terjadi
4
88
Lebih jauh tentang peran gerakan ini dalam melindungi hak kaum miskin Afsel akan keamanan bermukim, lih. Faranak Miraftah dan Shana Wills, 2005, “Insurgency and Spaces of Active Citizenship: The Story of Western Cape Anti-eviction Campaign in South Africa”, Journal of Planning Education and Research, Vol. 25, hal. 200-217. Lihat juga website gerakan ini www.antieviction.org.za.
di sesama negara berkembang dalam satu kawasan, Indonesia bisa menarik pelajaran yang cukup berharga.5 Kota-kota besar di Asia banyak yang mengalami kelangkaan tanah murah. Ini berlaku baik di kota yang sebagian besar kepemilikan tanahnya dikuasai oleh publik, misalnya New Delhi dan Karachi, maupun dikuasai oleh privat seperti Bangkok dan Seoul. Bagaimanapun pola nya, biasanya latar utama yang menyebabkan mahalnya harga tanah adalah keengganan pemilik tanah untuk menjual tanahnya dengan harga wajar. Di tengah kesulitan banyak negara Asia untuk menyediakan akses tanah yang murah bagi penduduknya yang miskin, beberapa negara berusaha mengatasi hal tersebut dengan beberapa cara. Salah satunya adalah dengan membentuk badan semi-publik atau BUMN yang bertanggung jawab salah satunya untuk melakukan pembangunan tanah dengan suatu cara yang dapat dijangkau oleh MBR. Di Indonesia sendiri, sesungguhnya telah terdapat lembaga semacam itu, yakni Perum Perumnas. Selain itu, terdapat pula langkahlangkah lain yang dijalankan untuk menyediakan tanah murah di daerah perkotaan.
5
Selain berfungsi untuk menjaga pembangunan kota, bank tanah juga mampu untuk meredam praktik spekulasi tanah, mendanai investasi infrstaruktur, dan terutama, meredistribusikan tanah kepada kaum miskin
Bagian berikut didasarkan padaUN-Habitat, Affordable Land and Housing in Asia, Nairobi, 2011, hal 33-35.
89
Pertama, bank tanah (land banking). Bank tanah merupakan suatu mekanisme pemerolehan tanah sebelum suatu kebutuhan pembangunan ditentukan sehingga dapat dibeli dengan harga murah. Selain berfungsi untuk menjaga pembangunan kota, bank tanah juga mampu untuk meredam praktik spekulasi tanah, mendanai investasi infrstaruktur, dan terutama, meredistribusikan tanah kepada kaum miskin. Agar bank tanah dapat berfungsi dengan baik, dibutuhkan kapasitas administratif dan finansial yang kuat. Negara di Asia yang termasuk sukses dalam mengembangkan lembaga bank tanah adalah Malaysia dan Singapura. Kedua, berbagi lahan (land sharing). Praktik berbagi lahan dilakukan oleh pemilik tanah yang tanahnya diduduki oleh penghuni liar. Alih-alih memperkarakan mereka ke pengadilan, pemilik tanah mengizinkan para penghuni ilegal tersebut untuk tetap tinggal di atas tanahnya. Mereka mendapatkan keutungan berupa akomodasi yang semakin meningkat dan aman, meskipun juga diiringi dengan kepadatan yang meningkat. Pemilik tanah kemudian berkonsentrasi untuk mengembangkan bagian dari tanahnya yang paling menguntungkan dan atraktif secara ekonomi. Terdapat empat fitur utama dari praktik berbagi lahan ini: kepadatan yang meningkat, rekonstruksi, partisipasi, dan subsidi silang. Di beberapa negara seperti India, Thailand, dan Filipina, praktik berbagi lahan cukup jamak terjadi. Ketiga, penyesuaian tanah (land readjustment). Ini merupakan variasi dari berbagi lahan yang lebih luas dipraktikkan di beberapa negara. Penyesuaian tanah dilakukan dengan menggabungkan bidang-bidang kecil tanah, memberikan pelayanan ke area yang lebih luas, dan kemudian mengembalikannya kepada pemilik tanah. Di Bangladesh dan India, tanah yang telah disesuaikan dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, bagian dari peningkatan nilai tanah sebagai hasil dari penyesuaian diberikan kepada pemerintah untuk kemudian didistribusikan kepada MBR.
90
Adapun di Korea Selatan, pemerintah menjual sebagian tanah penyesuaian kepada pemilik asli dan sebagian lainnya dijual seturut mekanisme pasar untuk menutupi biaya pengembangan. Sementara di Jepang, kira-kira 30 persen dari suplai tanah perkotaan dikembangkan menggunakan mekanisme penyesuaian tanah. Keempat, the power of eminent domain. Banyak negara di Asia memiliki peraturan yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk mengambilalih tanah privat demi kepentingan publik dan untuk menentukan jumlah kompensasi yang harus dibayarkan. Tanah yang diambilalih tersebut dapat digunakan sebagai bank tanah, misalnya. Peraturan semacam ini biasa disebut sebagai the power of eminent do main, dan biasanya merupakan produk hukum warisan era kolonial. Contohnya adalah di India. Otoritas Pembangunan Delhi (Delhi Devel opment Authority) merupakan organisasi publik yang menjalankan kewenangan ini sejak 1957. Kelima, pertukaran tanah, perjanjian patungan, dan pembelian yang dinegosiasikan. Ketiganya merupakan jenis-jenis mekanisme yang pada intinya bertujuan untuk mengakses tanah yang dimiliki oleh swasta untuk kepentingan publik. Di Filipina, sebuah instansi publik bernama Unit Pemerintah Lokal (Local Government Units) mengakses tanah swasta untuk pembangunan rumah sosial dengan menggunakan ketiga mekanisme tersebut sekaligus. Pendekatan yang serupa juga dilakukan di Thailand. Meski demikian, seringkali proses untuk mendapatkan tanah sulit untuk dilakukan karena ketiadaan standar metodolgis atas valuasi tanah, terutama ketika tanah yang akan dimanfaatkan telah diduduki oleh penghuni liar.
91
Sumber : Dok. HRC, 2006
Gambar 2.1 Salah satu potret permukiman padat perkotaan di Code, Kota Yogyakarta.
92
BAB III STRATEGI PERLINDUNGAN HAK BERMUKIM DI PERKOTAAN Kebutuhan MBR yang perlu dijamin bukan hanya tanah namun juga rumah, prasarana, aset komunitas, dan kelembagaannya. Elemenelemen tersebut penting dipenuhi demi melindungi hak bermukim mereka diperkotaan. Sebagai kebutuhan dasar, pemerintah perlu menjamin ketersediaannya rumah yang layak dan terjangkau. Infrastruktur yang aman dan lancar tidak boleh luput dari perhatian pemerintah. Kebutuhan akan hal tersebut, termasuk energi di dalamnya, kualitasnya harus terjamin. Infrastruktur yang ramah lingkungan perlu dikembangkan agar tercipta kondisi yang nyaman dan bersih. Jika kebutuhan itu bisa terjamin maka akan terbentuk lingkungan yang sehat bagi MBR di perkotaan. Begitu juga dengan sumber daya manusianya yang tidak kalah penting untuk diperhatikan. Walaupun telah ada beberapa intervensi pemerintah, namun keberadaan pemerintah secara langsung juga tetap dibutuhkan agar MBR merasa benar-benar didampingi dan diperhatikan. Pemerintah bisa membuat pembinaan atau pendampingan dengan program-program pemberdayaan masyarakat, sesuai UU Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP). Pemerintah harus proaktif memainkan perannya. Tanah, ruang, dan lingkungan yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan harus didistribusikan secara adil dan merata kepada seluruh masyarakat yang tinggal di perkotaan. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada tabel berikut:
93
Tabel 3.1 Bentuk Intervensi Pemerintah Jenis hak yang dijamin Tanah Rumah
Prasarana
Aset Komunitas
Kelembagaan
Intervensi pemerintah Hak milik: Sertifikasi Hak Sewa: Surat Perjanjian Subsidi perolehan rumah, stimulan rumah swadaya, insentif perpajakan, periizinan, asuransi penjaminan, teknik teknologi bahan bangunan, pembangunan rusunawa Menjamin kualitas kelayakan: stimulan PSU, pengembangan infrastruktur ramah lingkungan SDM: pembentukan forum perumahan Ruang Komunal: pendampingan LKM Finansial: Melibatkan CSR untuk peningkatan ekonomi masyarakat Pendampingan atau pembinaan sesuai UU PKP dan pemberdayaan masyarakat
Tanah Dalam keamanan bermukim, jenis perlindungan yang sangat melekat adalah kepemilikan tanah. Pengaturan terhadap kepemilikan tanah telah diatur dalam UUPA, yaitu kepemilikan tanah di Indonesia terdiri dari dua jenis yaitu hak milik dan hak sewa. Hak milik menurut undang-undang agraria adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Selain itu terdapat ketentuan dalam pasal UUPA menyebutkan bahwa semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial, hal ini mengandung pengertian bahwa meskipun dalam perlindungan kepemilikan tanah dengan hak milik, tetapi dalam penggunaan hak tersebut tidak diperkenankan merugikan kepentingan umum.
94
Kekuatan dan kepenuhan hak milik ini ditunjukkan dari tidak adanya jangka waktu yang membatasi kepemilikan atas tanah yang bersangkutan hal ini menunjukkan bahwa hak tanah tersebut dapat dimiliki tanpa adanya batasan waktu tetapi dengan menunjukkan ada nya surat bukti kepemilikan yang disebut juga sertifikat. Perlindungan terhadap kepemilikan tanah dalam UUPA juga disebutkan bahwa ha nya warga negara Indonesia yang dapat memiliki hak milik. Selain itu, pemerintah dapat menetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik beserta syarat-syaratnya. Hak milik ini hanya dapat hilang jika objek tanah yang bersangkutan musnah (karena bencana dan lain-lain) atau diambil negara. Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Perlindungan kepemilikan tanah dalam bentuk hak sewa di Indonesia juga telah diatur dalam UUPA. Hak sewa tersebut di Indonesia terdiri dari hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk bangunan. Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan, yang digunakan untuk perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. Hak Guna Usaha dapat terbit karena penetapan pemerintah. HGU diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar. Jika lebih dari 25 hektar, maka ada peraturan tambahan yang dibebankan. Hak Guna Usaha dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain. Selain itu, HGU diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun, kecuali ada izin khusus, bisa mencapai 35 tahun. Subjek HGU atau yang dapat memiliki HGU adalah warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Sama seperti Hak Milik, HGU juga dapat dijadikan agunan de ngan dibebani hak tanggungan. Hak guna usaha dapat terhapus karena jangka waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena suatu syarat yang tidak dipenuhi, dilepaskan oleh pemegang haknya, dicabut untuk kepentingan umum, ditelantarkan, dan tanahnya musnah.
95
Hak Guna Bangunan (HGB) Menurut UUPA, Hak adalah hak untuk mendirikan dan Pakai (HP) adalah hak mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sen diri untuk menggunakan dengan jangka waktu paling lama 30 dan/atau memungut tahun. HGB memiliki persamaan de hasil dari tanah yang ngan HGU yakni dapat beralih atau didikuasai langsung alihkan kepada pihak lain. Subjek HGB atau yang dapat memiliki HGB antara oleh negara atau lain; warga negara Indonesia atau tanah milik orang lain. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hak tersebut dapat terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan tanah milik, karena perjanjian yang dibentuk antara pemilik tanah dengan pihak yang akan memperoleh hak guna bangunan tersebut. Hak guna bangunan dapat dijadikan agunan de ngan dibebani hak tanggungan. Karakteristik lain dari HGB adalah hak tersebut dapat musnah karena jangka waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena kurangnya syarat, dilepaskan oleh pemegang haknya, dicabut untuk kepentingan umum, dite lantarkan, dan tanahnya musnah. Menurut UUPA, Hak Pakai (HP) adalah hak untuk mengguna kan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, sebagai sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan. Subjek atau yang dapat memiliki hak pakai antara lain Warga Negara Indonesia (WNI), orang asing yang bekedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut
96
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh negara, maka hak pakai hanya dapat di alihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat berwenang. Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan ba ngunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sewa.
Rumah Jenis hak kedua yang dijamin dalam keamanan bermukim adalah rumah. Beberapa program yang dapat dilakukan agar masyarakat miskin memperoleh hak bermukim berupa rumah antara lain adalah bedah rumah dan P2BPK. Bedah rumah merupakan salah satu program Kementerian Perumahan Rakyat untuk membantu perbaikan rumah tak layak huni (RTLH). Kemenpera berusaha merangkul berbagai pihak untuk memperoleh dana dari program sosial seperti Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan swasta dan BUMN. Selain itu, untuk mewujudkan terlaksananya program Bedah Rumah dengan baik, pemerintah pusat harus berupaya untuk mensinkronkan program dari pemerintah pusat sendiri, pemerintah daerah, serta perusahaan swasta. Kemenpera telah menyusun beberapa kriteria untuk menentukan sasaran dan prosedur pengusulan bedah rumah atau disebut Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni (RSRTLH), dapat dilihat pada tabel berikut.
97
98
6.
4. 5.
2. 3.
1.
Prosedur pengusulan
Sasaran penerima Prosedur pengusulan bantuan bebantuan bedah rumah dah rumah (RSRTLH) adalah : adalah rumah tidak 1. Kepala desa/ lurah mengajukan layak huni masyarakat proposal bedah rumah kepada miskin dengan kriteria : kepala daerah, tembusannya Diutamakan ukuran rumah disampaikan kepada camat tidak lebih dari 3 x 7 m2. setempat. Rumah tidak permanen 2. Proposal bedah rumah sekurangDinding rumah umumnya kurangnya memuat latar beterbuat dari bambu/palakang, maksud dan tujuan, serta pan/bahan yang mudah rincian anggaran belanja (RAB). rusak 3. Proposal yang diajukan dengan Lantai tanah melampirkan data pendukung, Tidak memiliki fasilitas antara lain data by name by ad mandi, cuci, kakus (MCK) dress, foto rumah calon peneriDiutamakan atap yang ma, fotokopi kartu kepala keluterbuat dari bahan yang arga (KK), fotokopi kartu tanda mudah rusak/lapuk penduduk (KTP), surat keterangan miskin dari desa/kelurahan.
Kriteria sasaran
Tabel 3.2 Sasaran dan Prosedur Pengusulan Bedah Rumah
Pelaksanaan Pemberian Bantuan Bedah Rumah (RSRTLH) dilakukan dengan beberapa langkah berikut : 1. Melakukan analisis proposal bedah rumah dan verifikasi serta kunjungan lapangan. 2. Penetapan penerima bantuan bedah rumah dengan surat keputusan kepala daerah. 3. Melaksanakan sosialisasi bedah rumah pada sasaran 4. Pekerjaan/pengadaan bahan bangunan dilaksanakan oleh pihak ketiga berdasarkan penetapan pemenang tender dari P2BJ sesuai dengan surat perintah kerja (SPK).
Pelaksanaan Pemberian Bantuan Bedah Rumah (RSRTLH)
Program bedah rumah sudah dilaksanakan oleh pemerintah sejak tahun 2011. Pada saat itu, bedah rumah dilaksanakan pada 60.000 unit rumah dengan nilai bantuan setiap rumah sebesar Rp5 juta per-rumah. Pada tahun 2012, jumlah tersebut mengalami peningkatan menjadi 250.000 unit rumah dengan nilai bantuan setiap unit rumah sebesar Rp6 juta. Selanjutnya, untuk tahun 2013, Kemenpera sudah mengajukan target untuk program Bedah Rumah sebanyak 500.000 unit rumah dengan nilai bantuan Rp7 juta per-rumah. Pelaksanaan program ini diprioritaskan pada daerah dengan indeks kemiskinan tertinggi. Selain program tersebut, untuk mendapatkan keamanan bermukim bagi masyarakat miskin dan MBR, pemerintah pusat juga telah menjalankan program P2BPK. P2BPK merupakan singkatan dari pembangunan perumahan bertumpu pada kelompok yang merupakan program pembangunan berbantuan (aided housing programme) yang memfasilitasi warga masyarakat berpenghasilan rendah untuk dapat menyelenggarakan perumahan mereka secara kooperatif/gotong ro yong. Kelembagaan P2BPK dimulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan MBR.
99
Skema 3.1 Kelembagaan P2BPK
Dalam melaksanaan Program P2BPK, pemerintah pusat didukung oleh pemerintah daerah serta BUMN/BUMD, sektor swasta, sektor kelompok masyarakat koperasi, dan individu. Penggerak P2BPK memiliki beberapa fungsi, diantaranya fungsi katalis pembangunan dan pengendalian oleh sektor pemerintah, fungsi konsultan pembangunan oleh sektor swasta, serta fungsi kader pembangunan oleh sektor masyarakat.
100
Dalam menjalankan program P2BPK tersebut, mekanisme yang harus dijalankan antara lain adalah:
Pembiayaan program P2BPK dilakukan melalui bank BTN. Pokok pelaksana berada pada tingkat Kabupaten/kota dengan pemberian kredit Triguna (end financing), yang memuat 3 paket kredit sekaligus, yaitu kredit untuk membeli tanah, kredit untuk membangun rumah, serta kredit untuk income generation (jika masih ada sisa). Skim Kredit Triguna disediakan BTN dengan pagu maksimum sesuai pembiayaan yang disediakan untuk RS/RSS. Program ini telah berjalan dibeberapa daerah, di antaranya:
101
Tabel 3.3 Program Kredit Triguna No 1
2 3
4
Nama Kelompok PalemKUD Tunas bang Sawitri Koperasi Pedatuan Makassar Koperasi Mitra Mas Bandung KOPEDI KOWAPERAK Jakarta Kop. Eko KuninDamai gan Mandiri KOPERSUP Kantor Cabang BTN
KOPRA Kop. PKGC
102
5
Bekasi
6
Solo
KUD Mina Singaperbangsa Kop. Tekad LPTP I Kop. Tekad LPTP II Mojosongo Berseri I
Akad Kredit 16 Januari 1996 07 Agustus 1995 2 Juni 1997
Jumlah (Unit)
Lama Progres (Tahun) (Tahun)
50
15
100
27
13,4
100
120
15
100
7 Juli 1994 5 September 1994 24 April 1994
116 160
20 15
93,87 61
181
15
100
29 Desember 1992 15 Juni 1996 10 September 1997 15 Januari 1997
156
20
100
200 100
15 15
40 100
250
15
50
11 April 1994 12 Juli 1996
74
15
100
110
15
100
8 Juli 1999
51
15
100
7
Denpasar/Mataram
Mojosongo Berseri II KPSRR
24 Juni 2000
37
15
100
18 April 1996
64
20
100
KOPAJALI Mataram
13 Mei 1997
45
20
100
Total 1.741 Sumber: PJM 2000-2004 (Review 2002), Ditjen Perkim, Depkimpraswil, 2002 Target dari keseluruhan program untuk memperoleh keamanan bermukim adalah tersedianya rumah yang layak dan terjangkau, yaitu rumah sosial/rumah singgah dan rumah sewa untuk masyarakat miskin, serta rumah subsidi untuk MBR. Selain program-program yang telah dipaparkan sebelumnya, adapula intervensi lain yang dapat dilakukan pemerintah, swasta, dan asosiasi yang terlibat dalam masalah perumah an dan permukiman. Intervensi yang perlu dilakukan pemerintah antara lain memberikan subsidi perolehan rumah, memberi insentif perpajakan, memudahkan perizinan penjaminan asuransi, memberi stimilus untuk pembangunan rumah swadaya, dan memaksimalkan tekonologi bahan bangunan. Pemerintah seharusnya menyediakan rumah singgah atau rumah susun sewa bagi mereka mengingat MBR masih berpenghasilan walaupun rendah. Berbeda dengan perlindungan sosial bagi fakir miskin, kemampuan ekonomi kelompok masyarakat ini sudah pada tahap sama sekali tidak berpenghasilan sehingga yang dibutuhkan adalah hunian gratis. Pemerintah perlu melancarkan manuver-manuver inovatif tersebut agar tujuan dapat tercapai.
103
Prasarana Jaminan perlindungan bermukim juga tidak dapat dilepaskan dari prasarana sebagai pelengkap permukiman. Hal tersebut terkait dengan prasarana adalah kelengkapan dasar yang dibutuhkan agar perumahan dan permukiman dapat berfungsi secara maksimal. Penyediaan kelengkapan tersebut menjadi bagian dari perlindungan kepada masyarakat untuk dapat hidup dengan layak. Prasarana memiliki peranan positif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan jangka pendek menciptakan lapangan kerja sektor konstruksi dan jangka menengah dan panjang akan mendukung peningkatan efisiensi dan produktivitas sektor-sektor terkait. Prasarana sepertinya menjadi jawaban dari kebutuhan negara-negara yang ingin mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan membantu penanggulangan kemiskinan, meningkatkan kualitas hidup, mendukung tumbuhnya pusat ekonomi dan meningkatkan mobilitas barang dan jasa serta merendahkan biaya aktivitas investor dalam dan luar negeri; Menyadari pentingnya prasarana tersebut dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan aktivitas masyarakat maka penyediaannya khususnya terkait permukiman menjadi salah satu hak bermukim. Adapun beberapa jenis prasarana perumahan dan permukiman meliputi penyediaan air bersih, pengelolaan sanitasi dan limbah, pengelolaan sampah, transportasi publik, jaringan drainase, sistem penerangan/jaringan listrik. Dalam upaya penyediaan tersebut, pemerintah telah melakukan beberapa program antara lain Program Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP), Program Nasional Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS), dan sebagainya. Pemerintah Indonesia melalui Program Percepatan Pembangun an Sanitasi Permukiman (PPSP) mempunyai 3 target yang harus dicapai pada tahun 2014, yaitu:
•
104
Stop BAB sembarangan, baik di perkotaan maupun di perdesaan
• •
Pengurangan timbulan sampah dari sumbernya dan pena nganan sampah yang berwawasan lingkungan Pengurangan genangan di sejumlah kota dan kawasan
Beberapa langkah strategis yang akan dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk mencapai target tersebut dilaksanakan melalui Program PPSP (tahun 2010-2014) dengan sasaran:
• •
Penambahan layanan jaringan air limbah terpusat sampai dengan 5% dari jumlah penduduk perkotaan (5 juta penduduk, 16 kota) dan pembangunan Sanimas di 226 kota prioritas Pelaksanaan praktik 3R untuk mengurangi timbulan sampah sebesar 20% dan perbaikan manajemen pelayanan persampahan di 240 kota prioritas.
Pelaksanaan Program PPSP ini ditargetkan pada kota-kota metropolitan, besar, dan sedang; kota-kota yang merupakan ibukota provinsi, kota-kota yang berstatus otonom, serta kawasan perkotaan di wilayah kabupaten/kota yang kondisi sanitasinya rawan. Diharapkan pada akhir tahun 2014, 330 kab/kota telah mempunyai Strategi Sanitasi dan 160 kab/kota di antaranya telah mulai melaksanakan pembangunan fisiknya. Pamsimas merupakan kelanjutan dari kegiatan sebelumnya, yaitu Water Supply and Sanitation for Low Income Communities Pro ject (WSLIC). Lokasi kegiatan ditetapkan berdasarkan empat kriteria, yaitu termasuk desa miskin, rendahnya ketersediaan air minum dan sanitasi, tingginya kejadian penyakit terkait air, dan belum menerima bantuan sejenis dalam dua tahun terakhir. Pemerintah menargetkan 15 provinsi, 110 kabupaten/kota, dan 4466 desa/kelurahan untuk proyek ini termasuk program replikasi 506 desa. Dengan demikian, Pamsimas diharapkan mampu mencakup 4.466 desa dari 36.000 desa tertinggal yang memiliki keterbatasan terhadap sarana air minum dan sanitasi. Tujuan Pamsimas secara umum adalah meningkatkan akses pelayanan air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin perdesaan
105
dan daerah pinggiran kota (periurban) serta menerapkan praktik hidup bersih dan sehat dengan membangun model penyediaan prasarana dan sarana air minum dan sanitasi berbasis masyarakat yang berkelanjutan dan mampu diadaptasi oleh masyarakat. Program ini akan menjadi model untuk direplikasi, diperluas (scalling up) dan diarusutamakan (mainstreaming) di daerah lain, dalam upaya mencapai target MDGs.
Aset Komunitas Selain mengikat kepada fisik, perlindungan atas hak yang dijamin dalam keamanan bermukim adalah aset komunitas. Aset komunitas merupakan aset yang dimiliki oleh masyarakat untuk mengembangkan diri baik melalui kegiatan komunitas, penyediaan ruang publik sebagai tempat berinteraksi masyarakat serta aset finansial yang terkait dengan komunitas dalam masyarakat. Selama ini pemberian bantuan ataupun intervensi pemerintah seringkali kurang tepat sasaran karena apa yang mereka berikan tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya MBR dan warga miskin butuhkan. Maka dari itu, pembentukan forum perumahan dirasa perlu sebagai penampung aspirasi akan apa yang mereka rasakan dan inginkan, sehingga forum tersebut bisa menjadi jembatan komunikasi yang menghubungkan dengan pemerintah. Sumber daya manusia menjadi modal dalam mengelola aset komunal, hal tersebt dikarenakan aset komunal sangat melekat pada aktivitas masyarakat yang dapat dikembangkan untuk mendapatkan kesejahteraan. Dengan demikian masyrakat juga membutuhkan sarana yang dapat mewadahi aktivitasnya sebagai tempat melakukan pengembangan masyarakat. ruang komunal tersebut dapat berupa ruang terbuka serta tempat-tempat publik lain. Penyediaan ruang publik yaitu berupa ruang terbuka taman, lapangan dan sebagainya. Selain itu, aset komunal juga dapat berupa tempat-tempat bersosialisasi seperti Posyandu, balai pertemuan, dan sebagainya. Dengan demikian pengembangan masyarakat dapat lebih maksimal karena terwadahi.
106
Pengembangan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari pengembangan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, aset komunitas juga merupakan aset ekonomi bagi masyarakat. Aset ekonomi tersebut dapat dilakukan de ngan melibatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan ekonomi. Maraknya program-program CSR dari perusahaan sekarang ini juga bisa dimanfaatkan pemerintah, keterlibatan CSR perlu dijadikan pertimbangkan untuk meningkatkan kemampuan finansial mereka. Namun, tentu tidak cukup hanya dengan CSR, perlu langkah lebih jauh yaitu dengan sharing antar pemerintah dengan pihak swasta seperti misal nya pemerintah mengijinkan perusahaan menggunakan sebidang tanah strategis, dengan syarat perusahaan harus mau menyisihkan tanahnya untuk MBR dan warga miskin.
Kelembagaan Aspek kelembagaan juga merupakan salah satu hak yang harus dijamin dalam keamanan bermukim. Aspek kelembagaan memegang peranan yang cukup penting untuk menjadikan suatu masyarakat memiliki kemampuan mendapatkan hak bermukimnya. Masyarakat miskin dan MBR membutuhkan adanya suatu lembaga yang dapat membantu mereka dalam mendapatkan hak dasar untuk bermukim. Lembaga yang dimaksud ini adalah semacam lembaga yang menjamin pembia yaan rumah tersebut. Dengan adanya keterbatasan dalam hal finansial, tentu masyarakat miskin dan MBR kesulitan untuk memperoleh akses pembiayaan secara formal. Saat ini masyarakat membutuhkan lembaga-lembaga penjaminan kredit. Syaratnya pun harapannya bisa lebih longgar, agar masyarakat dapat lebih mudah untuk mengaksesnya. Lembaga keuangan formal yang ada, misalnya bank pasti punya dana untuk dipinjamkan. Tetapi, masyarakat miskin dan MBR seringkali tidak dapat mengaksesnya karena tidak punya jaminan. Hal inilah yang mendasari pentingnya dibentuk suatu lembaga yang dapat manjadi penjamin kredit masyarakat miskin dan MBR untuk memperoleh keamanan bermukim. Salah satu lembaga yang dapat menjadi penjamin/pendukung pembi-
107
ayaan perumahan bagi warga miskin atau MBR adalah koperasi, lembaga keuangan, dan kelompok arisan.
Saat ini, pemerintah mulai menggalakkan program tabungan perumahan yang dilaksanakan oleh beberapa lembaga keuangan, seperti bank. Target dari program-program lembaga keuangan untuk menjadi penjamin masyarakat dalam mengakses pembiayaan perumahan adalah kemitraan. Saat ini, pemerintah mulai menggalakkan program tabungan perumahan yang dilaksanakan oleh beberapa lembaga keuangan, seperti bank. Target dari program-program lembaga keuangan untuk menjadi penjamin masyarakat dalam mengakses pembiayaan perumahan adalah kemitraan. Salah satu wujud kemitraan yang dapat terwujud untuk mendukung masyarakat memiliki akses terhadap pembiayaan perumahan adalah PPP (Public Private Partnership). Di sini, lembaga pemerintah dan swasta bekerja sama dalam mewujudkan pembia yaan perumahan bagi masyarakat miskin. Salah satu wujud kemitraan yang saat ini telah berjalan adalah adanya kerja sama antara UN Habitat dengan BLUD di Kota Surakarta. BLUD sebagai penyalur dana dari UN Habitat, bertugas untuk menjaring dan menseleksi masyarakat yang benar-benar membutuhkan dana untuk kredit perumahan. Sebagai salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk dapat menjembatani masyarakat untuk dapat mengakses pembiayaan perumahan melalui lembaga penjamin adalah dengan adanya pendampingan dan pemberdayaan masyarakat. Berbagai model pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengakses pembiayaan melalui lembaga penjamin. Selain itu, proses peralihan hak atas tanah yang sering kali terjadi juga perlu mendapat perhatian, agar tidak ada pihak yang merugi.
108
Peralihan Hak Bermukim bagi MBR dan Warga Miskin Sebagai salah satu strategi perlindungan terhadap hak bermukim di kota, peralihan hak atas tanah juga harus diatur prosedurnya. Hal ini untuk menghindari kecurangan warga miskin itu sendiri dalam mengalihkan haknya, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa yang dilakukan adalah agar bisa hidup lebih layak. Contohnya adalah seorang warga miskin diberi hak bermukim dalam bentuk sewa dengan biaya yang sudah ditentukan per bulannya, karena belum ada aturan tegas yang mengatur maka ia akan menyewakan kembali huniannya pada orang lain dengan biaya yang lebih tinggi. Ia lebih memilih untuk tinggal di hunian kumuh, dengan begitu walaupun ia tetap tinggal di kawasan kumuh namun ia bisa mendapatkan pemasukan tiap bulannya dari rumah yang ia sewakan. Selain itu, ada aspek lain yang tidak kalah penting terkait peralihan hak atas tanah, yaitu pengambilalihan tanah milik seseorang yang dilakukan oleh pihak lain. Menurut Sumardjono (2006: 87), ada nya paradigma baru yang belum diantisipasi membuat prinsip-prinsip dasar UUPA perlu diinterpretasi ulang dan dikembangkan. Di dalam UUPA belum ada prinsip keadilan saat terjadi pengambilalihan tanah. Salah satu contohnya adalah belum optimalnya perlindungan terhadap hak seseorang yang tanahnya diambil oleh pihak lain seperti instansi pemerintah karena tanah tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum atau diambil pihak swasta untuk menunjang usahanya. Peraturan perundangan yang ada belum bisa memberikan jaminan terhadap kesetaraan kualitas hidup mereka, sebelum dan sesudah terjadinya pengambilalihan tanah. Begitupun dengan kasus-kasus relokasi yang terjadi selama ini. Harus ada kondisi yang sama antara lokasi sebelum dipindahkan dengan sesudahnya, harus ada ketersediaan mata pencaharian agar masyarakat tetap bisa mendapat penghasilan. Sehingga jaminan bermukim tidak hanya menjamin masalah tempat tinggal namun juga
109
menjamin akses pekerjaan. Tentu saja ini dilakukan untuk memenuhi hak asasi MBR dan warga miskin di perkotaan. Jual beli tanah adalah salah satu contoh peralihan hak tanah. Kebanyakan bentuk peralihan yang ada bukanlah untuk tujuan komersial tetapi lebih pada maksud memberikan tanah untuk anggota keluarga, misalnya memberikan tanah kepada salah satu anggota keluarga yang menikah. Bisa juga peralihan tanah antar keluarga, misalnya memberi pinjaman tanah kepada saudara atau teman. Pengaturan peralihan hak tanah di dalam keluarga didasarkan pada norma sosial kekeluargaan yang ada dan diawasi oleh tetua dalam keluarga tersebut. Sedangkan proses peralihan di luar keluarga diatur oleh prosedur yang ketat untuk menghindari persaingan, di sinilah diperlukan fungsi regulasi negara. Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya, di Haiti prosedur registrasi tanah secara resmi sudah ada namun tidak diperbarui sehingga kontrak pribadi masih lazim digunakan, ini membuktikan bahwa pemerintah belum bisa memenuhi permintaan akan prosedur transaksi untuk mengamankan tanah. Pasar tanah memang memfasilitasi terjadinya peralihan hak di antara aktor, namun tidak selalu menjadi pertanda efisiensi eknomi. Para ekonom melihat jenis kepemilikan tidak langsung, khususnya sewa, bisa efektif hanya saat berada pada durasi yang cukup, dan sebaliknya saat tanah dalam jumlah besar ditempatkan pada pasar maka kepemilikan tanah untuk pertanian akan menjadi kurang produktif. Maka dari itu, pasar tanah yang dinamis tidak selalu sama artinya dengan efisiensi. Semuanya tergantung pada spekulasi ekonomi, perbedaan level antar aktor, strategi ekonomi yang lebih makmur bagi para aktor (contohnya agribisnis, pembelian tanah untuk spekulasi atau perluasan tanah untuk pertanian), dan juga alternatif investasi yang dimiliki para aktor. Peraturan tentang tanah biasanya mendefinisikan norma dan prosedur peralihan tanah serta aktor-aktor yang bertanggung jawab pada registrasi dan validasinya. Para aktor yang terlibat adalah notaris, agen resmi yang mengurusi tanah publik atau tokoh agama yang berwenang. Terkadang proses peralihan tanah menyebabkan konflik jika prosedur umum yang dilakukan tidak menyertakan sertifikat.
110
Kepemilikan Tanah Komunal Manajemen pertanahan erat hubungannya dengan aturan yang ada di masyarakat karena insitusi berakar pada kekuatan lokal yang memastikan bahwa perbedaan penggunaan tanah berkaitan dengan teritori dan pengelolaan kompetisi atas tanah demi mempertahankan kohesi di dalam kelompok masyarakat. Situasi inilah yang acap kali digambarkan sebagai hak atas adat. Namun, hak atas adat adalah termin yang ambigu karena tidak ada hak atas adat di dalam hak tradi sional yang notabene tidak bisa berubah. Perihal kepemilikan tanah muncul pada masa kini sebagai hasil perubahan sosial politik dan intervensi negara di masa lalu. Berbicara hak atas adat tidak lepas dari manajemen adat, situasi dimana tokoh adat mempunya peran yang signifikan dalam pengalokasian tanah. Pengelolaan tanah pada tanah adat diawasi oleh tokoh adat itu sendiri yang legitimasinya berasal dari status sebagai keturunan dari orang pertama yang bermukim di suatu wilayah adat tertentu, bisa juga berasal dari kepercayaan atau kekuatan magis yang berhubungan dengan roh lokal, juga tidak menutup kemungkinan berasal dari perubahan politik di wilayah itu (UN-Habitat, 2012). Jenis peraturan yang ada pada tanah adat adalah sosio-politis, ada kondisi di mana akses tanah dijamin untuk anggota komunitasnya sehingga hak mereka untuk menggunakan tanah adat terjamin, namun adapula yang hak atas tanahnya tergantung pada kedudukan sosialnya di dalam masyarakat itu sendiri, selain itu juga dimungkinkan adanya renegosiasi. Untuk melindungi tanah adat, diperlukan lembaga adat yang kuat agar bisa memperbaiki kondisi internal dalam administrasi pertanahan demi meminimalisir kemungkinan pihak lain, misalnya peme rintah atau pihak berwenang daerah yang akan mengalokasikan tanah adat untuk kepentingan lain tanpa berkonsultasi atau membuka ruang diskusi dengan masyarakat adat itu sendiri.
111
Contoh perbaikan kondisi internal itu adalah sekretariat tanah adat yang memperbaiki catatan alokasi lahan yang selama ini dimiliki. Lembaga adat ini juga perlu diperkuat untuk meningkatkan interaksi dengan pihak lain sehingga perselisihan antar kelompok adat bisa di selesaikan melalui kesepakatan sesuai batas-batas adat yang ada. Kemampuan untuk berinteraksi dengan pemerintah pusat dan daerah juga harus ditingkatkan. Menurut suatu penelitian, di Madagaskar interaksi antara sistem legal formal dan hak atas tanah adat dilihat dari kontrak bagi hasil, sehingga hal tersebut erat kaitannya pada hubungan tuan tanah dengan penyewa. Dalam masyarakat adat, masalah administrasi tanah biasanya diserahkan kepada tetua di sana, maka sudah menjadi hal yang wajar apabila para tetua tersebut memiliki dominasi dalam sistem kemasyarakatan yang selama ini telah berlaku. Secara otomatis mereka akan menjalankan proses administrasi tanah dengan menegakkan normanorma sosial yang telah langgeng di masyarakat adat tersebut, yaitu menentukan bahwa tuan tanah harus menanggung sendiri risiko-risiko pada produksi pertanian di area pertanahan yang mereka miliki (Bellemare, 2012). Aliansi grassroots menjadi pendukung dalam program slum up grading. Masyarakat sebagai poin penting untuk mewujudkan permukiman layak huni. Pengintegrasian antara kebijakan formal dan kulturalisasi yang tumbuh dalam masyarakat. Meskipun dalam batasan spasial lingkup masyarakat pada area tertentu, aliansi grassroot merupakan konsep untuk menuju kerangka city wide. Lima kunci dalam pengembangan grassroots antara lain: 1) Efektivitas implementasi kebijakan sesuai dengan tujuan dan sasaran, 2) Masyarakat sebagai informasi vital dan Sumber Daya Manusia, 3) Terjalinnya koordinasi efektif dalam organisasi, 4) Kebijakan yang tepat sasaran merupakan hasil dari tahapan learning by doing.
112
Partisipasi masyarakat dan pendayagunaan pro poor dan pembagian peran sesuai gender menjadi pengarusutamaan dalam aliansi masyarakat. Aliansi masyarakat sebagai syarat untuk akses dan keamanan tanah untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Sayangnya, akses dan keamanan tanah menjadi dua hal langka bagi masyarakat miskin. Terlebih lagi, kebijakan dan program dari pemerintah tidak memihak pada masyarakat miskin. Kebijakan yang menaungi masyarakat miskin juga tidak aplikatif untuk diimplementasikan. Sebagai contohnya adalah, tingginya pendanaan untuk manajemen tanah yang terdiri atas prosedur administratif dan survei dengan cakupan wilayah yang luas. Paradigma lama dengan menempatkan pengambilan keputusan melalui top down tidak menyentuh hingga lapisan bawah. Masyarakat hanya sebagai objek pasif yang hanya dimanfaatkan untuk inventarisasi data. Tanpa adanya intervensi dari aliansi masyarakat, maka segala kebijakan dan program sulit untuk direpresentasikan. Penerapan partisipasi pasti berbeda untuk setiap aliansi masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena, karakteristik dalam kearifan lokal memiliki ciri khas tersendiri. Pertanyaan yang perlu ditekankan untuk mendorong partisipasi dalam masyarakat adalah “how participatory is it?” Bukan lagi “is it participatory?”. Sebaiknya setiap aliansi masyarakat membangun kerangka kerja partisipatifnya untuk memudahkan masyarakat memahami skema kerja dari pelaksanaan partisipasi tersebut. Strategi implementasi partisipasi akan menjadi efektif melalui kekuatan aspirasi dari masyarakat. Masyarakat berinisiatif untuk mengubah tingkat kualitas hidup melalui kelayakan bermukim. Kritik yang membangun terhadap stakeholder yang melibatkan pemerintah dan masyarakat melalui proses pembelajaran. Berikut ini adalah tabel tahapan partisipasi aliansi masyarakat.
113
Skema 3.2 Tahapan Partisipansi Aliansi Masyarakat
Selain diperlukannya manajemen pertanahan yang dikelola oleh lembaga tanah adat setempat, pemerintah juga mempunyai peran penting untuk menjamin kepemilikan tanah adat, seperti yang terjadi di Uganda. Konstitusi Uganda tahun 1995 menyediakan Certificate of Customary Ownership (CCO) atau yang dikenal dengan sertifikat hak milik adat, sertifikat tersebut diperuntukkan bagi semua pemilik tanah adat, dan prosedur untuk mendapatkan CCO diatur dalam UU Pertanah an tahun 1998 (UN-Habitat, 2007: 15).
114
Undang-undang tersebut mengatur penerbitan CCO untuk individu, keluarga, dan komunal, yang kemudian bisa dijadikan bukti konklusif dari hak dan kepentingan adat yang disahkan dalam sertifikat tersebut. Meskipun tujuan dibuatnya CCO adalah untuk memberi gambaran pada masyarakat di sana tentang hubungan kepemilikan atas tanah adat, namun sertifikat itu tidak akan mengubah sifat dan sistem kepemilikan tanah karena hal tersebut telah diatur oleh hukum adat. Untuk mendapatkan CCO, pemegang tanah adat bisa meng ajukan permohonan pembuatan dan mengumpulkan formulir permohonan tersebut. Namun, proses ini tidaklah gratis, pemerintah tetap memungut bayaran. Biaya tersebut harus dibayarkan bersamaan saat formulir dikumpulkan ke komite pertanahan di kabupaten yang berada di wilayah paroki lokal di mana tanah tersebut terletak. Setelah prosedur itu dilalui, komite pertanahan kemudian akan melakukan survei, mereka akan mendatangi lokasi tanah untuk mengkonfirmasi batas-batas wilayah tanah yang akan dibuatkan sertifikat. Setelah sertifikat diterbitkan, komite harus mengumumkan hal itu di ruang publik, orang-orang yang berhubungan dengan CCO harus diundang untuk menghadiri pengumuman itu untuk mempertimbangkan klaim-klaim yang mungkin akan muncul ketika suatu area tanah adat dibuatkan sertifikat. Sertifikat tersebut bisa dimanfaatkan oleh pemiliknya untuk bertransaksi. UU Pertanahan mengharuskan lembaga keuangan untuk bersedia menerima CCO sebagai bukti yang bisa membantu pemegangnya untuk mendapatkan pinjaman dan bisa digunakan sebagai jaminan apabila pemegang ingin meminjam uang untuk berinvestasi. Semua transaksi tersebut harus dicatat secara resmi sehingga akan lebih mudah apabila suatu saat akan ada tambahan catatan yang berkaitan dengan bagian-bagian tanah terkait. Misalnya apabila ada seseorang yang akan membeli sebidang tanah tersebut atau meminjam uang, yang nilainya bisa naik sesuai dengan harga tanah pada umumnya, maka transaksi akan lebih mudah dilakukan dan ada kepastian prosedurnya.
115
Selain manfaat transaksional, sertifikat juga merupakan salah satu instrumen untuk menjamin dilindunginya hak bermukim MBR dan warga miskin. Agar mencapai hasil yang optimal, proses perlindungan hak tersebut harus diaplikasikan melalui prinsip tata kelola yang baik. Perihal kepemilikan tidak bisa dipisahkan dari tata kelola tanah, sumber daya alam, dan proses perubahan penggunaan tanah. Tata kelola tanah dapat dipahami sebagai proses saat keputusan dibuat terkait akses dan penggunaan tanah, bagaimana keputusan tersebut diimplementasikan, serta bagaimana mengatasi konflik kepentingan atas tanah.
Tata Kelola Tanah melalui Good Governance Untuk menjamin bahwa hak atas tanah bagi seluruh rakyat dapat diselenggarakan dengan baik oleh pemerintah, maka kebijakan dan penataan tanah harus dilandaskan pada prinsip-prinsip good gover nance. Pengejawantahan atas prinsip tersebut dapat dilakukan melalui berbagai hal berikut: Manajemen tanah publik oleh pemerintah. Pemerintah harus mengelola semua tanah publik dengan mode penggunaan yang secara sosial bersifat akuntabel dan secara ekonomis bersifat efisien. Untuk itu, portofolio tanah milik pemerintah dan agensi sektor publik yang luas dan tidak dimanfaatkan harus didayagunakan semaksimal mungkin. Pemerintah sebaiknya menciptakan suatu kerangka bersama agar properti umum dan sumber daya alam dapat dikelola secara efektif, termasuk regulasi yang mampu mengatur sengketa kepentingan dan klaim terkait hal tersebut. Sistem administrasi pertanahan dijalankan secara terjangkau, akuntabel, transparan, dan berorientasi kepada pencapaian tujuan (yakni pemenuhan hak bermukim), sedemikian sehingga kebutuhan dari berbagai pemakai tanah yang bervariasi dapat dipenuhi. Untuk itu, berbagai kerangka dan aturan legal yang
116
rumit, terbatas, dan inkonsisten harus segera direvisi atau di harmonisasikan karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip tata kelola tanah yang baik. Adanya manajemen konflik dan pertikaian tanah. Aturan tentang hak tanah seringkali bersifat kompleks dan tumpang tindih sehingga rentan tehadap sengketa antar berbagai pihak. Untuk itu, perlu diciptakan mekanisme yang efektif dan legitimate untuk menciptakan resolusi dan melaksanakan negosiasi di antara kelompok kepentingan yang bersengketa. Adanya mekanisme penyelesaian konflik dan sengketa yang mangkus tersebut lebih dibutuhkan dan penting daripada sekadar membuat kebijakan registrasi tanah secara komprehensif, yang berbiaya mahal dan cepat menjadi tidak aktual karena adanya perkembangan terusmenerus dalam transaksi dan transfer tanah. Selain hal-hal di atas, perbaikan tata kelola tanah juga mencakup penghilangan praktik-praktik yang selama ini menghambat dipenuhi nya hak bermukim warga, seperti vested interests, pencarian rente, inersia birokrasi, korupsi, dan kebijakan diskresi yang tidak akuntabel dan tidak adil. Dalam tataran administratif, perlu dibuat sistem kadastral yang efektif dan adaptif, inventarisasi menyeluruh atas tanah publik dan mekanisme yang tepat atas regulasi kepemilikan dan resolusi perselisihan. Dengan adanya hal-hal tersebut, maka pengelolaan atas tanah publik dan sumber daya properti bersama dapat dilakukan dengan mudah dan efektif, juga menjamin pembangunan tanah yang kuat serta menstabilkan efek dari perubahan penggunaan tanah. Kerangka tata kelola harus direncanakan melalui desain yang sesinergis mungkin. Artinya, pelayanan tidak hanya diberikan untuk hal-hal yang berkaitan dengan tanah per se, tetapi juga mencakup halhal lain seperti pelayanan publik dasar, kredit, pemasaran, dan dukungan bisnis. Semua itu harus tersambung secara integratif, tanpa melupakan prinsip akuntabilitas dan partisipasi.
117
Kepemilikan tanah mengacu pada aturan, kewenangan, hak dan norma yang mengatur akses dan kontrol atas tanah dan sumber terkait. Kepemilikan ini menetapkan aturan dan hak yang mengatur pengolahan, dan penggunaan sumber daya alam pada ruang ataupun bidang tanah, sehingga mengatur siapa yang dapat menggunakan sumber tersebut, untuk berapa lama, dan dalam keadaan seperti apa. Intinya adalah, bukan tanah tersebut yang dimiliki melainkan hak dan kewajiban atasnya.
Sistem kepemilikan tanah sangat kompleks. Kondisi nasional dan lokal tercipta karena banyak overlapping dan kadang bertentangan dengan aturan, hukum, adat, tradisi, persepsi, dan peraturan tentang bagaimana orang menggunakan, mengontrol, dan mentransfer tanah.
Sedangkan administrasi tanah yaitu peta, sertifikat, dan lain-lain hanyalah salah satu dari sistem kepemilikan tanah. Sistem kepemilikan tanah sangat kompleks. Kondisi nasional dan lokal tercipta karena banyak overlapping dan kadang bertentangan dengan aturan, hukum, adat, tradisi, persepsi, dan peraturan tentang bagaimana orang menggunakan, mengontrol, dan mentransfer tanah. Hal ini berimplikasi pada analisis mengenai isu kepemilikan tanah dan penting untuk mengurangi kemiskinan. Di beberapa kasus misalnya, orang yang berbeda akan mendeskripsikan situasi kepemilikan tanah berkaitan dengan sebidang tanah tertentu dalam termin yang berbeda.
Acuan jaminan kepemilikan tanah adalah kemampuan orang mengontrol dan mengelola sebidang tanah, menggunakan atau menjual dan terlibat dalam transaksi. Ada tiga karakter utama dalam jaminan kepemilikan tanah yaitu durasi (akan berapa lama perbedaan hak atas tanah berlangsung?), proteksi (akankah hak atas tanah dilindungi jika pemiliknya diancam?), kekebalan (apakah pemilik hak atas tanah
118
dapat menggunakan dan menjual hak tersebut dan bebas dari interfensi pihak lain?). Keberagaman agama, adat, tradisi, hukum, jangkauan pemerintah dan tingkat pemasukan masyarakat yang berbeda dari satu negara dengan yang lain menghasilkan sejumlah sistem kepemilikan, kontroversi, kesalahpahaman dan perselisihan antar tanah. Sehingga jika jaminan bermukim disetujui sebagai tujuan penting pemerintah, maka akan sulit berhasil dalam semua struktur sosial. Sebagai konsekuensi, jaminan bermukim berdampak buruk pada akses layanan dasar dan kesempatan mendapat penghidupan yang layak, dan otomatis berimbas berimbas pada kesejahteraan sosial. Namun, sebagai kebijakan dapat diterima karena memiliki beberapa tujuan positif. Jaminan bermukim mendorong investasi dalam pembangunan dan perbaikan rumah. Banyaknya penduduk desa yang masuk, bersamaan dengan makin buruknya kondisi kawasan kumuh di kota, membutuhkan tambahan perumahan dengan kualitas yang lebih baik. Jami nan bermukim adalah prasyarat dasar seseorang untuk membangun dan memperbaiki tanah yang ditempatinya. Akses untuk jaringan pinjaman resmi juga ditingkatkan, pembangunan perlu dibantu oleh ketersediaan pinjaman yang memadai namun pembangun harus mengambil tenaga informal dengan harga tinggi. Selama ini real estat sering digunakan sebagai jaminan atas pinjaman, namun jaminan bermukim tetaplah penting untuk mengakses kredit resmi. Selain itu, properti berbasis pajak pendapatan dari pemimpin lokal diperlebar, karena dengan adanya sejumlah pemerintah yang diketahui, permukiman resmi secara otomatis akan meningkatkan pajak pemimpin lokal, peningkatan pendapatan ini dapat menambah penyediaan fasilitas dasar. Meningkatkan pengaruh sektor publik atas pasar tanah dan perumahan juga merupakan tujuan dari kebijakan jaminan bermukim, yaitu meningkatkan pengaruh dari kewenangan publik sektor untuk kesejahteraan sosial akan bermanfaat bag masyarakat lapisan bawah.
119
Meningkatkan efisiensi dan keadilan atas pasar tanah dan perumahan, sehingga kebijakan tidak hanya melayani kaum elit namun harus menghargai hak atas tanah bagi semua lapisan masyarakat dengan memberi jaminan bermukim. Akses terhadap tanah adalah kemampuan untuk menggunakan tanah dan dan sumber daya lainnya, untuk mengontrol sumber daya dan mentransfer hak-hak terhadap tanah dan mengambil keuntungan dari peluang lainnya. Ada tiga aspek utama untuk meningkatkan akses terhadap tanah yaitu (i) memperkuat jaminan bermukim dan hak-hak atas tanah, (ii) meningkatkan jumlah tanah yang harus diakses seseorang, dan (iii) meningkatkan produktivitas tanah. Alternatif meningkatkan akses terhadap tanah untuk pertanian mungkin termasuk promosi kegiatan nonpertanian dan urbanisasi. Terdapat tiga hak utama terkait dimensi spasial tanah yaitu hak guna, hak kontrol, dan hak pengalihan. Hak guna adalah hak untuk menggunakan tanah sebaga jalan, menanam tanaman, peternakan, dan pemanfaatan produksi alam dan hutan. Hak kontrol adalah hak untuk memutuskan bagaimana tanah seharusnya digunakan dan bagaimana mengalokasikan keuntungan. Hak pengalihan adalah hak untuk menjual, menggadaikan, atau mewariskan tanah serta merealokasikan hak guna dan kontrol tanah. Jenis-jenis hak tersebut seringkali tumpang tindih sehingga menciptakan kombinasi hak yang berkaitan dengan pluralitas dan diversitas dalam hubungan sosial pada level yang beragam, termasuk di dalam hubungan rumah tangga (ayah, ibu, anak), kelas sosial (tuan tanah, penyewa, petani, dan buruh tani), pedesaan, komunitas, dan negara (penduduk asli), bahkan pada level multinegara (lintas batas). Dari tujuan yang telah dipaparkan di atas, pendekatan konvensional yang dipakai untuk menangani masalah kepemilikan tanah, sebagaimana yang didukung oleh World Bank, fokus pada pengembangan sistem market-oriented atas hak properti dan mengutamakan sertifikasi tanah dan mengatur kepemilikan di permukiman ilegal (Housing Policy Paer, 1993).
120
Pendekatan konvensional yang dipakai untuk menangani masalah kepemilikan tanah, sebagaimana yang didukung oleh World Bank, fokus pada pengembangan sistem market-oriented atas hak properti dan mengutamakan sertifikasi tanah dan mengatur kepemilikan di permukiman ilegal (Housing Policy Paer, 1993). Bentuk kepemilikan yang diusulkan sebagai tujuan jangka panjang adalah sertifikat bagi perorangan sebagai pemilik mutlak, atau kepemilikan privat. Pendukung pendekatan ini percaya bahwa penjaminan hak milik individu penting dalam membangun struktur ekonomi insentif untuk investasi pada kegiatan berbasis tanah. Semakin hak tersebut dibatasi, insentif investasi akan melemah dan produktivitas lahan menurun. Dengan demikian, dalam pasar tanah pemerintah berperan untuk menghapus peraturan yang menghambat operasi bebas. Dalam konteks kebijakan kepemilikan lahan, khususnya dalam tujuan mendorong investasi perumahan, asumsi bahwa sertifikasi tanah adalah satu-satunya wujud dari pemberian jaminan bermukim tidaklah akurat. Sertifikasi merupakan salah satu proses kepastian hukum, bukan jaminan hak bermukim, sehingga hanya melindungi status legal formal dari tanah yang dimiliki seseorang. Sedangkan kepastian atau jaminan bermukim adalah meskipun seseorang tidak mempunya rumah ataupun tanah namun sebagai warga negara ia harus tetap diberi hak untuk bermukim misalnya untuk menyewa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap warga negara berhak untuk hidup dan tinggal di perkotaan dan kewajiban pemerintah adalah untuk menyediakan rumah sewa yang murah atau terjangkau. Hak guna tanah yang sederhana sebenarnya bisa saja memberi jaminan bermukim apabila pengaturan dan durasi sudah diatur de
121
ngan spesifik sehingga perjanjian tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Namun sebaliknya, kondisi memiliki sertifikat tanah tapi tidak bisa menggunakan hak-haknya atas tanah tersebut bisa saja terjadi apabila ada klaim dari pihak lain atas tanah tersebut atau ada pihak yang memandang sertifikat tanah itu tidak sah karena merugikan banyak orang. Menurut Lavigne Delville, ada suatu teori evolusi tentang hak atas tanah yang melihat hubungan kepemilikan sertifikat dengan pe ningkatan produktivitas, di mana negara memberikan sertifikat kepemilikan privat dengan asumsi sebagai respon efektif dari tidak adanya jaminan dan insentif utama pada investasi tanah. Jika diaplikasikan dengan secara tekstual, teori ini terkesan teknis karena melihat tekanan atas tanah sebagai penyebab utama munculnya konflik dan berasumsi bahwa akses untuk mendapatkan sertifikat dan pinjaman adalah hal terpenting, setelah sertifikat dan pinjaman telah didapat maka dianggap kondisi telah pantas dikatakan terjamin. Sehingga dari teori tersebut bisa disimpulkan bahwa pemberian sertifikat kepemilikan dapat memberikan jaminan atas hak bermukim dan seseorang bisa memperoleh pinjaman, dengan begitu secara otomatis investasi atas tanah akan berjalan lancar sehingga meningkatkan produktivitas seseorang. Namun pada kenyataannya, setiap langkah yang dilakukan tidak serta-merta akan dan bisa diikuti langkah selanjutnya, terlebih lagi teori tersebut hanya bisa diterapkan pada kondisikondisi tertentu. Dari hasil penelitian menyarankan beberapa hal yang perlu dilakukan: 1.
122
Memperluas analisis dengan mempertimbangkan pengaruh dinamika sosial dan intervensi negara seperti faktor pasar dan demografi. Hal ini dapat membantu memahami perkembangan kepemilikan tanah, menganalisis intervensi publik yang sebe lumnya telah dilakukan dan imbasnya pada konflik dan ke tidakamanan.
2.
Mempertanyakan hubungan teknis antara kepemilikan adat dan komunal, informal dan tidak terjamin, dan lain-lain. Pertanyaan sebaiknya dikerangkai oleh ketidakamanan kepemilikan dan hubungan antara pasar tanah dengan pertumbuhan ekonomi. Hubungan otomatis antara status legal dengan investasi juga perlu dipertanyakan, melalui analisis mendalam dan menyeluruh tentang hambatan-hambatan investasi.
3.
Fokus pada norma kepemilikan tanah dan efek dualisme legal dan lemahnya mekanisme arbitrasi pada kepemilikan yang tidak aman. (French Development Cooperation, 2009: 49).
Apa yang selama ini dilihat bukanlah progres individualisasi secara teknis melainkan perubahan kompleks, penanda proses oleh intervensi umum yang sering kali memicu konflik dan perebutan tanah. Sehingga, perdebatan tentang kebijakan pertanahan tidak lagi berpusat pada model promosi kepemilikan privat yang seharusnya membawa efisiensi dan keadilan ekonomi namun pada bagaimana merespon arus ekonomi dan isu-isu sosial, mengingat secara kontekstual dan historisnya, serta bagaimana menyusun dan mengatur hak-hak atas tanah di saat kepemilikan privat tidak lagi bisa direspon. Banyak contoh yang menunjukkan, beberapa investasi berhasil hanya dengan pernyataaan bahwa suatu permukiman tidak akan dihilangkan, baik dengan penyediaan jasa atau menerbitkan sertifikat penggunaan. Dalam suatu kasus pada 1980-an, pemerintah Pakis tan menawarkan sertifikat kepemilikan tanah mutlak kepada sekitar 100.000 rumah tangga yang tinggal di permukiman ilegal Karachi, de ngan penawaran tersebut, penduduk menganggap mereka akan bebas tinggal di kavling mereka. Dengan konsekuensi, hanya 10 persen yang mengambil tawaran, sisanya menganggap biaya administrasi yang dibayarkan tidak sepadan dengan yang mereka dapat. Dalam meningkatkan akses untuk mendapat pinjaman resmi, pendekatan ini berasumsi bahwa hambatan masyarakat untuk mendapatkan pinjaman resmi bukanlah ma-
123
salah jaminannya, melainkan keengganan lembaga untuk meminjami. Hal ini dikarenakan pertimbangan utama dalam menyetujui pinjaman adalah kesanggupan peminjam untuk membayar, sedangkan masyarakat miskin dianggap tidak mampu untuk membayar kembali pinjaman yang sudah diberi. Dengan demikian, secara otomatis mereka tidak termasuk dalam pasar formal untuk dana pinjaman, dan pemberian sertifikat tidak bisa menyelesaikan masalah tersebut. Kelebihan dari pendekatan konvensional adalah mampu mena ngani langsung kurangnya integrasi antara pasar tanah formal dengan informal, dengan mengatur dan membawa permukiman ke lingkup hukum dan administrasi yang legal dalam kerangka kepemilikan tanah. Pendekatan ini juga dapat meningkatkan tingkat pemulihan pajak dan biaya bagi pemerintah, dan pemberian sertifikat memungkinkan pemiliknya untuk menggunakan tanah. Namun tentu saja pendekatan ini memiliki kekurangan di beberapa aspek, misalnya kesulitan di bidang teknis karena proses registrasi yang memberatkan struktur administrasi dan hukum dari pemerintah terkait. Pada aspek politik dan administrasi, pengimplementasian pendekatan ini sulit untuk dibuktikan, karena pada level institusional pengimplementasian kebijakan regularisasi memerlukan institusi khusus yang kuat dan reformasi politik dan administrasi. Dalam tataran ekonomi, hanya sedikit keluarga yang sanggup menjangkau harga pasar untuk perumahan, maka dari itu sebuah pendekatan kebijakan yang menekankan pada pemilik, akan menciptakan masyarakat kelas
124
Kelebihan dari pendekatan konvensional adalah mampu menangani langsung kurangnya integrasi antara pasar tanah formal dengan informal, dengan mengatur dan membawa permukiman ke lingkup hukum dan administrasi yang legal dalam kerangka kepemilikan tanah
bawah dalam jumlah besar, yang tidak bisa mengakses pemukiman layak. Sedangkan pada aspek budaya, pendekatan konvensional untuk jaminan bermukim tidak memberi ruang adanya kemungkinan bahwa perihal bermukim, pada kenyataannya bukanlah prioritas bagi sejumlah besar MBR dan warga miskin kota. Namun sebaliknya, banyak penyewa yang memilih sistem berbeda, yang dirasa cocok untuk memenuhi kebutuhan mereka. Misalnya, banyak rumah tangga berpendapatan rendah yang lebih memilih kohesi sosial dengan sistem adat, atau mobilitas yang ditawarkan oleh sistem bermukim sewa, sepanjang mereka bisa menikmati jaminan dan perlindungan hukum. Land Titling Programmes atau Program Sertifikasi Tanah dan Rental Market adalah contoh program yang termasuk dalam pendekatan konvensional. Menggunakan program rental market atau pasar sewa adalah salah satu contoh pendekatan konvensional, program ini bisa memperluas jangkauan pilihan bermukim yang tersedia, yang mungkin melibatkan pengakuan, legalisasi, dan pembangunan pada praktik sewa informal. Seraya memantau kemajuan pasar sewa, masyarakat dan pemerintah bisa belajar dari pengalaman dan menyesuaikan diri de ngan perubahan yang terjadi
Mekanisme Pengelolaan Tanah Pilihan untuk meningkatkan akses terhadap tanah dan keamanan bermukim akan bergantung pada kondisi dan sumber daya lokal, termasuk kapabilitas institusi di dalamnya. Tantangan dalam menghadapi pemerintah, pengembang, dan pemilik tanah (atas dasar undang-undang, adat, dan kepemilikan tidak resmi lainnya) adalah keharusan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan tanah, melindungi masyarakt miskin dan kaum rentan lainnya, dalam waktu bersamaan. Pembuatan kebijakan mengenai kepemilikan tanah dan hak kepemilikan harus mempertimbangkan manfaat dan kerugian dari opsi yang berbeda-beda.
125
Beberapa contoh opsi kebijakan kepemilikan itu adalah kebijakan mengusir penghuni tidak resmi, kebijakan sertifikasi individual, kebijakan yang mengintegrasikan kebijakan kepemilikan dengan pe rencanaan dan penyediaan infrastruktur seperti strategi pembangunan perkotaan, dan beberapa opsi kepemilikan sementara seperti lisensi penghuni sementara, para penyewa tanah, sertifikat atas hak, certificates of comfort, dan lain-lain. Adapula kebijakan memperkuat hak guna, menetap, membangun, dan kebijakan menyusun hak kepemilikan dan membangun sistem kepemilikan yang berdasarkan adat. Memperhatikan hal tersebut sangat penting untuk pembangunan yang berkelanjutan dan tata pemerintahan yang lebih baik. Pada administrasi kebijakan pertanahan, selain sebagai kerangka hukum, sistem administrasi pertanahan adalah instrumen yang utama. Termasuk di dalamnya adalah organisasi dan prosedur untuk survei, pembatasan dan pemetaan tanah, pencatatan hak atas tanah dan transaksi, melengkapi bukti-bukti dokumen hak atas tanah, juga resolusi atas sengketa tanah, dan perebutan klaim. Sistem administrasi pertanahan pada umumnya dikelola oleh lembaga ahli formal bidang pertanahan yang dibentuk pemerintah. Namun, tanggung jawab untuk alokasi, dokumentasi, dan pengelolaan hak dapat dilimpahkan pada pihak lokal, masyarakat atau lembaga adat, karena beberapa layanan dapat disediakan oleh sektor privat. Secara efektif, sistem administrasi pertanahan beradaptasi de ngan baik, memfasilitasi realisasi dari diterima secara luasnya tujuan dari kebijakan tanah tentang secure land sebagai layanan terkait pertanahan mudah diakses oleh semua pengguna tanah, termasuk masyarakat miskin dan rentan serta investor komersial. Jika hak atas tanah secara efektif terjamin, akses tanah membaik, pengalokasian tanah yang dibuat lebih adil, tanah yang produktif lebih banyak dan permintaan disesuaikan dengan penawaran yang tersedia, maka akan ada dua kondisi yang terjadi, pertama, pengaturan lembaga untuk administrasi pertanahan dapat diakses semua orang. Cara terbaik adalah dengan jalan desentralisasi sehingga kepentingan dan aspirasi masyarakat lokal
126
bisa ditanggapi. Kedua, sistem informasi pertanahan yang komprehensif dan up-to-date bisa menangkap kompleksitas dari keberadaan tanah yang ditempati, penggunaan dan klaim, termasuk beberapa hak yang tumpang tindih. Pelayanan formal terhadap administrasi pertanahan paling efektif jika diberikan pada level daerah. Salah satu pilihannya adalah semua hal yang berkaitan dengan jasa pertanahan bisa diselesaikan di daerah, pilihan yang lain adalah anggota dewan yang mengurusi pertanahan merepresentasikan dan menanggapi cakupan kepentingan dari stake holder yaitu kewenangan lokal dan adat, pemilik tanah, pengguna tanah baik laki-laki maupun perempuan, serta anggota masyarakat. Pelayanan formal terhadap administrasi harus mencakup pengaturan dalam pengelolaan tanah pada level kampung dan tetangga sekitar. Pemahaman yang lebih baik mengenai hasil dari administrasi pertanahan pada tingkat daerah bisa memberi kesempatan pemerintah untuk menyesuaikan pendekatan pada tata cara yang berbeda dan untuk meng-upgrade hak dan sistem. Penyediaan hak jaminan atas tanah secara efektif tergantung pada perbaikan di tingkat pusat, lembaga pertanahan negara yang menyerahkan tanggung jawab kepada pemerintah daerah dan lembaga adat yang ada. Desain atau revisi atas manajemen tanah dan kebijakan kepemilikan harus memperhatikan hal-hal berikut: Pengembangan sebaiknya dilakukan secara bertahap, di mana dalam setiap tahapan warga negara diberikan kebebasan untuk melakukan investasi atas hal-hal yang berada dalam jangkauan kemampuannya, baik di daerah kota maupun desa, dengan catatan bahwa hak mereka untuk bermukim tetap dijamin. Aturan-aturan yang menjadi penghalang bagi pengembangan tanah yang terjangkau dan bertahap haruslah ditinjau dan disesuaikan apabila dibutuhkan. Ini dilakukan untuk mengurangi biaya dan ketidakpastian dalam perencanaan pemrosesan dan aplikasi bangunan.
127
Apabila dikelola secara baik, sektor perumahan dapat menjadi sarana pembangunan ekonomi sehingga seharusnya tidak menjadi beban kesejahteraan bagi ekonomi negara. Demikian juga, pengelolaan yang baik atas pembangunan tanah desa, investasi agrobisnis, dan kosnservasi alam dapat meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan yang bersifat inklusif. Ini, sekali lagi, dengan catatan bahwa hak atas tanah dari warga desa terjamin. Pilihan yang variatif atas jenis kepemilikan tanah dapat memenuhi kebutuhan dari semua kelompok sosial, memperkuat pasar tanah, dan mendorong stabilitas ekonomi. Kebijakan tanah dan perumahan haruslah bersifat komprehensif dan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan hak asasi dari pembangunan. Dalam kerangka inilah, lima tindakan spesifik berikut mampu memberikan dampak langsung dan efektif atas perbaikan umum dari kondisi penghidupan dan perumahan warga, antara lain mempromosikan akses yang adil atas sumber daya tanah dan perumahan, mempromosikan keamanan bermukim dan hak properti, mencegah penggusuran paksa dan diskriminasi dalam sektor tanah dan perumahan, memberantas keadaan ketiadaan rumah dan tanah yang dialami sebagian warga dengan memberikan hak bagi tunawisma dan tuan tanah, dan mempromosikan akses atas bantuan legal, administratif, dan jenis-jenis bantuan lain. Sebelum mengeluarkan keputusan dari kebijakan terkait kepemilikan tanah dan hak kepemilikan, ada baiknya untuk meninjau ulang kondisi kepemilikan yang telah berjalan selama ini untuk memahami isu-isu di dalamnya. Diawali dengan melakukan survei siapa saja stake holder utama yang terlibat dalam penyediaan tanah dan perumahan, memilah data berdasar kategori kepemilikan yang dilanjutkan berdasar jenis-jenis hak yang tersedia bagi mereka yang menempati tanah. Langkah tersebut relatif lebih mudah untuk kategori kepemilikan menurut
128
Suatu pendekatan inkremental bisa menjadi alternatif solusi. Pendekatan ini mampu menaikkan skala bentuk jaminan bermukim jangka pendek dan menengah. sekaligus memberikan waktu pada pemerintah untuk memperbaiki kapasitasnya agar lebih komprehensif dan sensitif terhadap opsi jangka panjang yang diterapkan pada masyarakat. undang-undang, namun akan sulit untuk jenis kepemilikan adat atau kepemilikan yang tidak berlandaskan hukum lainnya ketika keamanan yang dirasakan, legal rights, dan hak bertindak, pada praktiknya semua berbeda. Survei seharusnya mengidentifikasi semua kategori kepemilikan baik formal maupun tidak. Mengidentifikasi berbagai bentuk kepemilikan dan hak bagi perempuan maupun laki-laki perlu dilakukan. Hal ini seharusnya secara langsung melibatkan penghuni kawasan kumuh, masyarakat yang memakai tanah adat, serta pemiliknya karena merekalah yang mengembangkan pemukiman kumuh. Interaksi langsung dengan me reka bermanfaat untuk mendapat pemahaman yang lebih mendalam dan menyeluruh tentang masalah yang terjadi di masyarakat setempat dan bisa memberikan alternatif kebijakan yang tepat. Saat sistem kepemilikan adat diberlakukan, praktik kepemilikan dan berbagai hak yang terlibat perlu diidentifikasi, karena akan berimbas pada hasil kebijakan yang berbeda antara mereka yang mengklaim sebagai pemilik properti dengan mereka yang menyewa atau menggunakan. Untuk meningkatkan jaminan bermukim, suatu pendekatan inkremental bisa menjadi alternatif solusi. Pendekatan ini mampu menaikkan skala bentuk jaminan bermukim jangka pendek dan mene ngah. sekaligus memberikan waktu pada pemerintah untuk memperbaiki kapasitasnya agar lebih komprehensif dan sensitif terhadap
129
opsi jangka panjang yang diterapkan pada masyarakat. Terdapat lima tahapan dalam pendekatan ini yaitu: 1.
Menyediakan jaminan dasar jangka pendek untuk semua rumah tangga yang tinggal di kawasan kumuh dan permukiman tidak resmi dan dengan hak atas dasar adat atau informal lainnya di perkotaan, pinggiran, dan desa. Jalan terbaik untuk mencapainya adalah dengan memberi pengumuman tentang anah atau pernyataan sederhana oleh kementerian terkait untuk periode tertentu, sedangkan jaminan jangka panjang bisa diberikan sesuai undang-undang.
2.
Selama tahap kedua ini, pemerintah melakukan survei terhadap semua permukiman extra-legal di area perkotaan dan pinggiran dan mengindentifikasi kebutuhan relokasi, memberi tawaran terutama pada penduduk yang direlokasi untuk pindah ke tempat yang memiliki kedekatan akses peluang kerja dengan opsi kepemilikan jangka panjang.
3.
Menentukan semua permukiman extra-legal lainnya sebagai bentuk kepemilikan jangka menengah dengan peningkatan hak. Salah satu pilihan sederhananya adalah dengan mengalokasikan masyarakat berbasis sewa untuk periode yang ditentukan dengan kebebasan untuk memperpanjang periodenya. Jika memungkinkan, ketepatan bentuk kepemilikan dan hak seha rusnya didasari oleh sistem kepemilikan yang familiar untuk masayarakat yang disasar. Hal tersebut akan meningkatkan jaminan tanpa membuat harga tanah naik dengan pesatnya yang mendorong pada market-driven sehingga masyarakat miskin harus dipindahkan dan diusir, yang dengan demikian akan menciptakan peluang untuk proses pembangunan fisik dan sosio-ekonomi yang lebih partisipatif. Untuk permukiman tidak resmi di tanah privat, opsi bisa mencakup pembagian tanah dimana penghuni bisa diberi kepemilikan jangka panjang untuk bagiannya dan pemilik bisa membangun sisanya.
130
4.
Saat pengaturan tanah lokal dikelola dengan efektif, masyarakat bisa mendapat tawaran kepemilikan jangka panjang misalnya melalui Community Land Trust, sertifikat berbasis komunitas atau kerja sama.
5.
Banyak rumah tangga mencari sertifikat individual dengan persetujuan komunitasnya, menyepakati batas-batas dengan tetangganya, dan bertanggung jawab atas pembiayaan dan penyelesaian keperluan hukum dan prosedur administrasi, termasuk penunjukan dan pembayaran penyurvei, pengacara, dan saat registrasi properti.
Langkah-langkah ini berkelanjutan, efektif dalam pembiayaan, dan lebih progresif di masyarakat untuk meningkatkan jaminan hak dan kepemilikan bagi jutaan masyarakat miskin. Kelompok masyarakat miskin bisa menikmati kemudahan dalam mengakses masalah pertanahan jika mendapat informasi yang jelas tentang hak legal mereka dan bagaimana sistem administrasi berope rasi. Kemudahan ini bisa dimaksimalkan tatkala layanan administrasi pertanahan juga tersedia di tempat tersebut, beroperasi dengan bahasa yang dimengerti masyarakat setempat, menggunakan unit peng ukuran yang mudah dipahami, menerima bukti tidak tertulis dalam mendukung klaim atas tanah dan menerapkan affordable user fees.
Kebijakan untuk Pengelolaan Tanah Perkotaan dalam Good Governance Kebijakan kepemilikan harus dipertimbangkan sebagai bagian dari pemerintahan, perencanaan spasial, dan penyediaan infrastruktur. Hal ini untuk memastikan bahwa keamanan dan hak seimbang dengan usaha pembangunan yang lebih luas dan meningkatkan akses layanan dan penghidupan. Di area perkotaan dan pinggiran, terdapat empat pilihan yang biasanya diadopsi untuk menyampaikan tujuan yaitu:
131
1.
Mengimplementasikan masterplan dan regulasi konvensional. Pengusiran dan relokasi pada permukiman ilegal sering terjadi. Standar konvensional tidak akan berhasil jika diterapkan pada populasi yang besar, sebagai hasilnya justru jumlah permukiman ilegal akan meningkat.
2.
Mengetahui kompleksitas dari keberadaan pasar tanah dan bangunan, yang memungkinkan publik, swasta, sipil, dan stakeholder memperluas kerja sama. Pemerintah bisa mempromosikan dan mengatur pluralistic land dan pasar pe rumahan yang penyedianya berkompetisi dengan bentuk serupa untuk memenuhi variasi kebutuhan dari populasi.
3.
Mempromosikan partisipasi publik dalam suatu visi sebagaimana permukiman bisa direncanakan untuk memenuhi kebutuhan di masa yang akan datang, misalnya dengan memberikan suatu kerangka perencanaan untuk membangun dan meng implementasikan suatu visi.
4.
Meninjau ulang kerangka perencanaan dan peraturan pem bangunan, standar dan prosedur administrasi untuk memproses suatu pembangunan yang baru, perubahan penggunaan, pengalihan, dan lain-lain yang dimaksudkan untuk memastikan bahwa hal-hal tersebut merefleksikan kebutuhan dan sumber daya pada masyarakat lokal, dimana norma-norma dan prosedur yang berlaku menyebabkan ketidakpastian atau biaya yang berlebihan. Melakukan audit terhadap peraturan yang ada dapat membongkar ketidakleluasaan yang harus dihilangkan untuk memfasilitasi berjalannya pembangunan inkremental.
Permukiman, baik lama maupun baru dan baik di kota maupun di desa, mestilah memiliki akses yang memadai atas kesempatan-ke sempatan kerja dan pelayanan publik yang terjangkau bagi semua, termasuk MBR. Untuk itu, hal-hal berikut harus diperhatikan dalam setiap upaya penjaminan hak kepemilikan:
132
1.
Mendesentralisasikan sumber daya dan tanggung jawab sampai kepada level administratif yang paling rendah;
2.
Menguatkan partisipasi komunitas baik dalam formulasi maupun implementasi kebijakan pembangunan;
3.
Mempromosikan kemitraan dan usaha bersama antara pemerintah, pengembang, dan komunitas untuk mendapatkan keuntungan publik dari investasi dan pembangunan yang dilakukan oleh sektor swasta. Upaya semacam ini juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan subsidi silang internal dalam rangka memfasilitasi akses bagi MBR;
4.
Mendorong pengembangan penggunaan lahan campuran, kecuali untuk aktivitas yang menghasilkan polusi;
5.
Mendorong institusi-institusi finansial untuk memberikan kredit dengan tidak menjadikan sertifikat tanah sebagai jaminan;
6.
Menguatkan kapasitas administratif dari badan administrasi tanah dan pencatatan tanah;
7.
Meningkatkan jaringan transportasi antara area permukiman, komersial, dan industri.
Sebelum suatu reformasi kebijakan diluncurkan, perlu terlebih dulu dilakukan debat dan konsultasi publik tentang isu-isu kebijakan yang utama, dengan melibatkan berbagai kelompok kepentingan secara luas. Hasil dari debat dan konsultasi tersebut selanjutnya ditindaklanjuti oleh sebuah komisi penyelidikan atau kelompok pengarah kebijakan. Komisi atau kelompok tersebut harus bersifat interdisipliner dan lintas sektor. Elemen masyarakat sipil dan kalangan konsultan yang profesional serta independen harus dilibatkan di dalamnya, untuk mencegah dominasi dari satu kelompok kepentingan tertentu. Komisi tersebut dapat menghasilkan suatu paper kebijakan yang mengidentifikasi area dan pilihan dari reformasi kebijakan dalam bidang pertanahan, sebelum komite lebih formal yang terdiri dari perwakilan pemerintah
133
lintas partai mempertimbangkan proposal yang dibuat komite sebagai draf kebijakan. Reformasi kebijakan semestinya dijalankan paralel bersama dengan formulasi kebijakan dan rekomendasi perubahan institusional. Berbagai pemangku kepentingan merumuskan suatu peta jalan yang di dalamnya ditetapkan langkah-langkah kunci yang jelas untuk melakukan reformasi. Sebelum suatu kebijakan diputuskan, biaya untuk mengimplementasikan reformasi dan penguatan institusional harus dipertimbangkan dengan saksama.
Reformasi kebijakan semestinya dijalankan paralel bersama dengan formulasi kebijakan dan rekomendasi perubahan institusional. Berbagai pemangku kepentingan merumuskan suatu peta jalan yang di dalamnya ditetapkan langkahlangkah kunci yang jelas untuk melakukan reformasi.
Selain itu, kebijakan sebaiknya juga tidak memuat preskripsi dan timetable yang sangat mendetail, kecuali jika memang telah dipastikan bahwa hal yang telah direncanakan tersebut memang dapat dijalankan (feasible) dan biayanya dapat dipenuhi. Perubahan-perubahan institusional yang dapat dilakukan tersebut di antaranya penggabungan agensi-agensi pertanahan, penciptaan agensi pertanahan baru dengan wewenang yang lebih kuat, formalisasi atas status, mandat, dan otoritas dari institusi-institusi informal seperti dewan tanah lokal atau sekretariat tanah adat dan desa. Setelah garis besar dari proposal kebijakan disetujui, selanjutnya diinisiasi suatu skema pilot atau implementasi bertahap. Skema pilot dijalankan agar monitoring terhadap penataan institusi yang baru, proses, dan sistem teknis dapat dilakukan sehingga dapat dipetik pembelajaran sebagai perbaikan sebelum prosedur dan mekanisme yang lebih baku, detail, dan komprehensif di masa depan dapat dijalankan.
134
Pembangunan Kapasitas Pembangunan kapasitas merupakan jembatan yang mengantarai, di satu pihak, inovasi kebijakan pertanahan dengan praktik yang baik dan berhasil, serta, di pihak lain, antara diseminasi kebijakan dengan implementasinya. Tidak hanya memberikan sumber daya yang cukup untuk melaksanakan manajemen tanah dan operasionalisasi institusi administratif secara efektif, pembangunan kapasitas juga dilakukan melalui peningkatan keterampilan dan pengetahuan pada pembuat kebijakan dan praktisi. Pembangunan kapasitas merupakan hal yang vital karena dapat untuk mencapai tujuan-tujuan berikut: (1) restrukturisasi dan peningkatan proses administrasi tanah; (2) pemindahan pencatatan tanah dari format manual ke digital; (3) meningkatkan pelayanan bagi seluruh jenis pengguna tanah, dari mulai kelompok miskin dan rentan sampai pada pelaku bisnis. Dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan tersebut, pembangunan kapasitas dapat mengambil berbagai bentuk sebagai berikut: pelatihan pegawai, mempersiapkan rencana perencanaan untuk pengembang privat, pembuatan regulasi yang mengatur kepemilikan bersama atas dasar pernikahan atau hak adat, pemberantasan korupsi, network ing (termasuk pertukaran antar kolega dan dialog antar pemerintah daerah), manajemen pengetahuan, dan pembangunan SDM secara berkala (on-the-job training untuk lulusan anyar, pemberian asistensi teknis, dukungan informasi dan analitis, dan lain-lain). Untuk menjamin bahwa hak akan tanah bagi seluruh rakyat dapat diselenggarakan dengan baik oleh pemerintah, maka kebijakan dan penataan tanah harus dilandaskan pada prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance). Pengejawantahan atas prinsip tersebut dapat dilakukan melalui berbagai hal berikut: Manajemen tanah publik oleh pemerintah. Pemerintah harus mengelola semua tanah publik dengan mode penggunaan yang secara sosial bersifat akuntabel dan secara ekonomis bersifat efisien.
135
Untuk itu, portofolio tanah milik pemerintah dan agensi sektor publik yang luas dan tidak dimanfaatkan harus didayagunakan semaksimal mungkin. Pemerintah sebaiknya menciptakan suatu kerangka bersama agar properti umum dan sumber daya alam dapat dikelola secara efektif, termasuk regulasi yang mampu mengatur sengketa kepentingan dan klaim terkait hal tersebut. Sistem administrasi pertanahan dijalankan secara terjangkau, akuntabel, transparan, dan berorientasi kepada pencapaian tujuan (yakni pemenuhan hak bermukim), sedemikian sehingga kebutuhan dari berbagai pemakai tanah yang bervariasi dapat dipenuhi. Untuk itu, berbagai kerangka dan aturan legal yang rumit, terbatas, dan inkonsisten harus segera direvisi atau diharmonisasikan karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip tata kelola tanah yang baik. Adanya manajemen konflik dan pertikaian tanah. Aturan tentang hak tanah seringkali bersifat kompleks dan tumpang tindih sehingga rentan tehadap sengketa antar berbagai pihak. Untuk itu, perlu diciptakan mekanisme yang efektif dan legitimate untuk menciptakan resolusi dan melaksanakan negosiasi di antara kelompok kepentingan yang bersengketa. Adanya mekanisme penyelesaian konflik dan sengketa yang mangkus tersebut lebih dibutuhkan dan penting daripada sekadar membuat kebijakan registrasi tanah secaa komprehensif, yang berbiaya mahal dan cepat menjadi tidak aktual karena adanya perkembangan terusmenerus dalam transaksi dan transfer tanah.
136
Selain hal-hal di atas, perbaik an tata kelola tanah juga mencakup penghilangan praktik-praktik yang selama ini menghambat dipenuhinya hak bermukim warga, seperti vested interests, pencarian rente, inersia birokrasi, korupsi, dan kebijakan diskresi yang tidak akuntabel dan tidak adil.
Perbaikan tata kelola tanah juga mencakup penghilangan praktikpraktik yang selama ini menghambat dipenuhinya hak bermukim warga, seperti vested interests, pencarian rente, inersia birokrasi, korupsi, dan kebijakan diskresi yang tidak akuntabel dan tidak adil.
Dalam tataran administratif, perlu dibuat sistem kadastral yang efektif dan adaptif, inventarisasi menyeluruh atas tanah publik dan mekanisme yang tepat atas regulasi kepemilikan dan resolusi perselisihan. Dengan ada nya hal-hal tersebut, maka pengelolaan atas tanah publik dan sumber daya properti bersama dapat dilakukan dengan mudah dan efektif, juga menjamin pembangunan tanah yang kuat serta menstabilisasi efek dari perubahan penggunaan tanah.
Kerangka tata kelola harus direncanakan melalui desain yang sekoheren mungkin. Artinya, pelayanan tidak hanya diberikan untuk hal-hal yang berkaitan dengan tanah per se, tetapi juga mencakup halhal lain seperti pelayanan publik dasar, kredit, pemasaran, dan dukung an bisnis. Semua itu harus tersambungkan secara integratif, dengan tanpa melupakan prinsip akuntabilitas dan partisipasi. Hak bermukim hanya dipandang sebagai strukturisasi bangunan fisik dari sebuah rumah. Padahal target hak bermukim adalah masyarakat miskin yang menjadi kaum terpinggirkan di perkotaan. Bagaimana mereka dapat mencapai kelayakan hidup jika tidak ada akses untuk mendapatkan fasilitas perkotaan? Monopoli aspek vital perkotaan hanya dikuasai oleh kelompok sosialita dan juga elit.
137
Keterbatasan porsi infrastruktur bagi masyarakat miskin sebagai bentuk kerentanan perkotaan Mereka harus menemukan solusi untuk dapat bertahan hidup sebagai bentuk individual resilience. Upaya bertahan hidup merupakan daya lenting masyarakat dalam batas minimum agar tidak “terusir” di kawasan urban. Daya lenting yang dilakukan masyarakat dalam bentuk insidental hanya berlangsung dalam jangka pendek. Mereka tidak memperhitungkan efek masa depan terhadap upaya yang telah dilakukan. Sebagai contohnya, daya lenting bagi masyarakat yang tidak memiliki tempat tinggal adalah pembangunan rumah nonpermanen di lokasi strategis pusat kota. Titik-titik pertumbuhan permukiman yang sporadis mengacaukan morfologi perkotaan. Hal tersebut berdampak terhadap kekuatan kota sebagai wadah segala aktivitas. Ketimpangan terjadi antara aspek ekologis dan sosial-ekonomi. Hal tersebut diperparah dari berkembangnya simpul-simpul perekonomian. Masyarakat miskin sering dituding sebagai penyebab buruknya sistem perkotaan. Padahal mereka sebagai korban terhadap terjadinya dampak ketimpangan tersebut. Bencana alam di kawasan urban juga merupakan bentuk kerentanan yang tidak dapat dihindari masyarakat miskin. Sebagai contoh kasus kota-kota besar di Indonesia, seperti Kota Jakarta dan Semarang. Masyarakat dengan kemampuan menengah hingga atas, dapat melakukan adaptasi ataupun migrasi untuk mengurangi dampak bencana. Akan tetapi, masyarakat miskin harus mampu bersahabat dengan kerentanan tersebut. Bencana sebagai part of life dari masyarakat miskin. Masyarakat miskin tidak dapat dipersalahkan atas kondisi tersebut. Bersahabat dengan bencana menjadi cara mereka untuk beradaptasi. Livelihood dan vulnerability menjadi aspek krusial dalam pencapaian hak bermukim. Hak bermukim memiliki esensi yang universal, tidak hanya bangunan fisik dari rumah. Koneksi antara hunian, sumber mata pencaharian, akses terhadap infrastruktur. Masa depan bukanlah saatnya memisahkan masyarakat miskin dari komunitas masyarakat
138
kota, justru kelompok ini harus dikuatkan dengan menjadikan mereka sebagai komponen pengembangan perkotaan. Pembentukan clus ter permukiman untuk seluruh lapisan masyarakat menjadi salah satu contoh inisiasi. Masyarakat miskin tidak lagi tersisihkan karena mereka dianggap sebagai bagian dari masyarakat perkotaan. Inisiasi tersebut perlu mendapat respon dari pengembang yang ingin membangun permukiman. Syarat utama dalam membangun permukiman adalah menyediakan unit rumah dalam variasi willingness to pay. Skema berikut merefleksikan gambaran dari penjelasan di atas. Skema 3.3 Konektivitas Resilience dan Vulnerability dengan Hak Bermukim
Kawasan urban identik dengan sektor ekonomi formal dan defisiensi aktivitas ekonomi yang tinggi. Angkatan kerja sebagai SDM bersaing ketat untuk memperoleh pekerjaan. Peluang besar bagi individu yang memiliki potensi dan skill. Masyarakat miskin yang tinggal diperkotaan merupakan pendatang dari kawasan hinterland ataupun pedesaan.
139
Gaya hidup dan jenis matapencaharian di perdesaan dan perkotaan pastilah berbeda. Hal tersebut tidak dipertimbangkan kaum pendatang. Pada saat mereka datang kekota tanpa dibekali skill sebagai modal untuk mendapatkan pekerjaan. Pada akhirnya, mereka menjadi pengangguran struktural. Semakin maju perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan sumber daya manusia yang linier terhadap kualitas pencari kerja. Urbanisasi dan peningkatan jumlah pengangguran menjadi dilema besar bagi pemerintah. Di satu sisi, arus urbanisasi tidak dapat dibendung. Namun, di sisi lain pengangguran dapat sebagai pendorong munculnya permaslaahan di kota, seperti tingginya angka kriminalitas. Perlu alternatif untuk merespon kondisi kota. Perbaikan kualitas individu menjadi jalan pembuka bagi masyarakat untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Capacity building membentuk masyarakat yang mandiri. Tahapan yang diperlukan untuk membentuk masyarakat mandiri, melalui capacity building, antara lain 1) Pembekalan kepada masyarakat, 2) Training kepada masyarakat, 3) Pemberian finansial modal awal dalam bentuk barang, 4) Membuka market yang untuk mempromosikan hasil dari home industri.
140
Tabel 3.4 Tahapan Pengembangan Capacity Building
Industri rumah tangga adalah salah satu contoh dari sektor perekonomian informal. Alternatif tersebut menjadi peluang besar bagi masyarakat miskin untuk ikut berperan dalam pembangunan perkotaan dengan kemampuan yang dimiliki. Mereka tidak perlu bersaing untuk mendapatkan pekerjaan di sektor perekonomian formal. Sektor perekonomian informal memerlukan dukungan dari pemerintah. Pemerintah memberikan stimulus kepada masyarakat miskin dan juga menentukan pihak-pihak yang terlibat. Dalam hal ini, sangat memungkinkan untuk mengajak sektor swasta dan BUMN untuk terlibat. Setiap titik pertumbuhan sektor informal perlu dipetakan. Pemetaan tersebut terdiri atas kapasitas manusia, karakteristik ma-
141
syarakat, dan jenis perekonomian. Karakteristik jenis perekonomian informal akan menjadi identitas dari setiap area. Dengan begitu akan memudahkan dalam menentukan target market. Setiap daerah membentuk kluster usaha informal berdasarkan masing-masing komoditas. Varian sektor yang dikembangkan terdiri atas penyediaan barang-jasa dan pariwisata. Pemerintah dapat menciptakan atmosfer yang kondusif dalam persaingan antarindividu ataupun antararea. Kerja sama pemerintah, masyarakat, dan swasta tidak boleh mengalami pasang surut. Bantuan swasta dan BUMN harus stabil dan kontinu. Dalam hal ini, pemerintah dapat membentuk Management Assistance Program (MAP) untuk memberikan arahan kepada masyarakat, swasta, dan BUMN agar sektor perekonomian informal dapat terjaga kontinuitasnya. Pemerintah dapat membangun sektor perekonomian informal dalam bentuk pelatihan kewirausahaan microlevel. Pelatihan tersebut bertujuan untuk membekali masyarakat tentang kreativitas, teknik bisnis, dan marketing. Kerentanan dalam sektor perekonomian yang dialami masyarakat miskin menghasilkan tekanan dalam masyarakat. Hal itu disebabkan, masyarakat harus mengikuti transformasi perekonomian yang juga dipengaruhi globalisasi. Tekanan yang terjadi mencapai pada level kesejahteraan rumah tangga (household welfare). Oleh karena itu, perlu kemampuan untuk memulihkan keadaan tersebut dan menghadapi dampak negatif. Ketersediaan modal dan aset untuk mengurangi tekanan perekonomian, yang meliputi legalitas dalam pekerjaan dan kepemilikan lahan dan juga kemudahan akses mendapatkan infrastruktur. Implementasi yang diperlukan, antara lain 1) Pengakuan keberadaan masyarakat miskin, 2) Peraturan yang menyangkut akses dan peluang untuk mengaksesnya, 3) Pelibatan masyarakat dalam pemba ngunan perkotaan.
142
Tabel 3.5 Modal dan Aset yang digunakan MBR dan Warga Miskin untuk Bertahan Hidup di Perkotaan FINANSIAL
Simpanan
Klasifikasi pendapatan yang bersumber dari tenaga kerja, pensiun, remittances yang bersumber dari matapencaharian masyarakat. Dengan begitu terjadi aliran dana skala rumah tangga. Apabila terjadi surplus, maka dapat dijadikan simpanan modal atau dikonversi untukmendapatkan akses. Mekanisme simpanan dana untuk mendapatkan danaMekanisme. Mekanisme penyimpanan lebih terstruktur dalam wadah simpan pinjam.
Akses terhadap pinjaman lunak
Pemberian pinjaman lunak sangat diperlukan bagi masyarakat untuk dijadikan modal dalam usahanya.
SUMBER DAYA MANUSIA Tenaga kerja
Kemampuan bekerja menjadi modal uatama bagi masyarakat miskin.
Pendidikan dan keterampilan
Pendidikan informal dapat mengasah bakat dan ketrampilan masyarakat.
SUMBER DAYA ALAM Sumber daya alam menjadi sangat terbatas di perkotaan.Sungai menjadi sumber utama dalam penyediaan infrastruktur. Selain itu juga dapat dimanfaatkan sebagai potensi ekonomi.
FISIK Permukiman
Permukiman menjadi aset untuk hunian masyarakat. Selain itu, juga menciptakan fungsi tambahan se bagai rumah produktif.
Infrastruktur ekonomi
Akses pendidikan dan fasilitas menjadi peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Alat produksi
Alat produksi yang dapat digunakan dalam pelaksanaan rumah produktif
143
SOSIAL Mekanisme interaksi sosial
Ikatan interaksi sosial yang kuat akan menghasilkan sebuah lingkungan permukiman sekaligus pekerjaan yang erat.
Informasi
Informasi menjadi kunci dalam interaksi sosial.
Sumber: Rakodi (ed.), 2002 Gagasan tentang pendekatan penghidupan rumah tangga perlu diinisiasi untuk mencegah ketimpangan penghasilan antarmasyarakat. Konteks tersebut akan mewarnai keberadaan dan ketersediaan sumber daya penghidupan berupa manusia, modal sosial, modal alami, modal ekonomi/finansial dan modal fisik. Sumber daya penghidupan tersebut dikaitkan dengan institusi dan organisasi. Berbagai strategi penghidupan pun dilakukan, seperti intensifikasi/ekstensifikasi, dan diversifikasi penghidupan dan migrasi. Tiga elemen penghidupan berkaitan dengan ketenagakerjaan, pe nanggulangan kemiskinan, dan kapabilitas. Dua elemen penghidupan lainnya berkaitan dengan pemulihan dan keberlanjutan sumber daya alam. Penciptaan peluang kerja: Merupakan kemampuan meng kombinasikan berbagai strategi penghidupan untuk menciptakan kerja seoptimal mungkin dengan sistem tenaga bayaran ataupun produksi untuk mencukupi kebutuhan sendiri. 8.
Penanggulangan kemiskinan: Merupakan upaya penting dalam mengembangkan kehidupan. Kemiskinan tidak hanya dilihat dari pendapatan yang terendah tetapi juga kemerosotan ke mampuannya.
9.
Kapabilitas: Merupakan kemampuan yang tidak saja dilihat secara material, tetapi lebih dari itu sebagai kemampuan manusia.
144
10. Adaptasi untuk kerentanan dan pemulihan: Merupakan ke mampuan untuk mengatasi tekanan dan menghalau gangguan dalam kehidupan. Adaptasi merupakan kemampuan untuk menyesuaikan diri berkaitan dengan waktu dan tahapan proses perubahan. Dalam keadaan rentan, tekanan dan gangguan dapat menimbulkan kesulitan yang membelit dan sulit di atasi, namun ada kemampuan untuk melakukan pemulihan. 11. Keberlanjutan sumber daya alam: Merupakan kemampuan suatu sistem untuk mengelola sumber daya dalam batas daya dukungnya agar dapat terus berproduksi. Sistem terkadang terganggu oleh tekanan atau gangguan yang dapat memengaruhi ketersediaan dan keberadaan sumber daya untuk dapat berproduksi. Tabel 3.6 Pengembangan Penghidupan Rumah Tangga Tiga Aspek Makro Ekonomi Sumber daya Transformasi Preferensi Faktor Produk- Melalui aktivi- Individual si tas teknologi yang memung- Lahan kinkan - Modal - Tenaga Kerja X-barang dan Aktivitas, tenaga, faktor produksi, dan produksi penjualan
Z-barang, ditentukan penggunaan termasuk konsumsi
Kerangka Kerja/ Model Neo-klasik penyediaan dan permintaan ekonomi keseimbangan umum (Breman dan Mundle, 1991) Ekonomi rumah tangga baru dan model rumah tangga sesuai sektor basis (Becker, 1965, Banum dan Squire, 1979)
145
- Material
Cara reEntitlement produksi dan produksi, diferensiasi melalui reproduksi yang lebih besar Pemetaan me- Pengakuan Entitlement (Sen, lalui produksi (Entitle 1981) dan pertukaran ment)
Produksi rumah tangga, - Cara kerja produksi dan - Tenaga kerja reproduksi tenaga kerja keluarga upahan
Kemampuan, bakat (Endow ments) Modal persediaan, kapabilitas
Aktivitas, aliran Kesejahteraan
Penghidupan berkelanjutan (Chambers 1987, Chambers dan Conway, 1992)
Aset berupa:
Produksi, pertukaran, dan pemprosesan
Ketahanan pangan (Swift, 1993)
- Investasi - Persediaan - Claims Modal berupa - Sosialisasi - Fisikal - Natural - Manusia
MentransKesejahterformasikan aan struktur dan proses, institusi dan aktivitas
- Budaya Sumber: Rakodi (ed.), 2002
146
Konsumsi
Kebijakan makro dan dinamika sosial ekonomi (Scoones, 1999)
Urban livelihood strategies adalah suatu cara mewujudkan pe ningkatan pendapatan masyarakat baik sektor informal maupun formal. Peningkatan pendapatan ini sasarannya adalah kelompok kerja ataupun individual. Pelayanan finansial untuk masyarakat miskin melalui kredit mikro, pelayanan finansial yang diakomodir masyarakat, dan penguatan kewirausahaan masyarakat. Skema 3.4 Kerangka Kerja Livelihood
Sumber: Rakodi (ed.), 2002
147
Pendekatan lembaga keuangan kredit mikro telah sukses di beberapa negara. Masyarakat dengan pendapatan rendah dapat mengkoordinir pendapatannya melalui lembaga ini. Selain itu, kredit mikro dapat menjadi peluang bagi masyarakat yang memulai berwirausaha. Dari sudut pandang individu, bantuan kredit mikro dapat menjadi pilih an untuk bertahan hidup di perkotaan. Pelayanan finansial yang di akomodir masyarakat merupakan bentuk indigenous general to purpose financial services. Masyarakat membentuk lembaga keuangan yang dikelola oleh masyarakat. Keunggulan dari lembaga ini adalah kemudahan administrasi dengan bunga yang rendah. Terobosan baru bagi lembaga ini adalah dengan target wanita yang melelui lembaga keuangan ini dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Proses pengambilan dana yang fleksibel dapat menjadi pilihan jika ada pengeluaran sehari-hari ataupun mendesak. Penguatan kewirausahaan masyarakat melalui lembaga keuangan kredit mikro ataupun pelayanan finansial yang diakomodir masyarakat. Setidaknya lembaga keuangan tersebut dapat menumbuhkan kewirausahaan masyarakat yang membutuhkan pendanaan dalam jangka pendek. Tujuan lembaga dan penguatan kewirausahaan bermuara pada microenterprise. Urban Livelihoods Strategies harus diaplikasikan dengan prinsip tata kelola yang baik agar hasilnya optimal, sehingga di samping pendapatan MBR dan warga miskin dapat mening kat, kepemilikan atas hak bermukim di perkotaan pun bisa terjamin.
148
EPILOG
Selama ini, pendekatan yang biasa dilakukan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lain untuk mengatasi masalah kekumuh an adalah dengan membuat perencanaan teknokratis yang didesain sedemikian rupa untuk menstabilisasikan aspek-aspek tak terencana (khaotis) dari pertumbuhan kota. Skema-skema seperti slum upgrading dan relokasi, misalnya, menjadi representasi dari pendekatan berbasis perencanaan tersebut. Dengan merenungkan secara dalam akar dari masalah dan kerentanan, sesungguhnya pendekatan tersebut tidak tepat lagi untuk dipertahankan dan menjadi arus utama dari upaya pemenuhan hak bermukim warga kota. Pendekatan yang selama ini dilakukan hanya bersifat parsial dan tidak menyentuh akar masalah. Kebijakan relokasi misalnya, alih-alih meningkatkan kesejahteraan eks penghuni kawasan kumuh, justru memiliki efek merusak karena menyebabkan terjadinya disharmoni dan keruntuhan jaringan sosial serta modal sosial yang selama ini dibangun. Hal yang lebih dibutuhkan oleh penghuni kawasan kumuh adalah jaminan keamanan bermukim dan kepastian hukum, bukannya proyek dan perencanaan perumahan. Upaya untuk melindungi hak bermukim bagi MBR dan warga miskin tidak bisa diselesaikan satu pihak saja karena menyangkut ba nyak aspek. Perlindungan tersebut bisa tercapai apabila para pemangku kewajiban bersinergis serta dilakukan penguatan sistem dan kapasitasnya. Agar bentuk perlindungan bisa melembaga, legal, dan menjadi kewajiban pemerintah maka harus dicantumkan dalam kerangka kerja kebijakan yang menyangkut HAM.
149
Untuk mendukung tujuan pemenuhan hak bermukim bagi semua warga, pemerintah perlu mengembangkan tata kelola kota inklusif (inclusive urban governance). Tata kelola yang inklusif dilakukan dalam rangka untuk menghindari kota menjadi tempat yang penuh dengan jebakan-jebakan kemiskinan dan penderitaan seperti tinggi nya kriminalitas, parahnya polusi, dan rendahnya tingkat kesejahteraan serta kepuasan hidup. Apabila dilakukan dengan baik, tata kelola yang inklusif akan menghasilkan pembangunan dan pertumbuhan inklusif. Ini dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip partisipatif, transpa ransi, akuntabilitas, kapabilitas, integritas, dan service-oriented. Selain itu, perlu diusahakan pula pemerolehan legitimasi yang kuat melalui pengembangkan nilai-nilai demokratis yang diwujudkan melalui pelibatan sebanyak mungkin warga kota dalam forum-forum konsultatif yang berusaha untuk masukan secara langsung dari warga mengenai kebijakan dan strategi yang perlu dilakukan.
150
DAFTAR PUSTAKA
Al-Rashid, Harun. 1997. Sekilas Jual Beli Tanah, Jakarta: Ghalia Indonesia. Bellemare, Marc F. 2012. Insecure Land Rights and Share Tenancy: Evi dence from Madagascar. University of Wisconsin Press. Dey, Paramita Datta. dkk. 2006. Land Tenure Security: Is Titling Enough?. India: National Institute of Urban Affairs. Harsono, Boedi. 1971.Undang-Undang Pokok Agraria: Sejarah Penyusu nan, Isi, dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan. Harsono, Boedi. 1999. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan. Heryani. 2004. Land Administration in Indonesia. Dipresentasikan dalam 3rd FIG Regional Conference. Jakarta: Indonesia. Kansil CST dan Kansil, Christine. 2002. Kitab Undang-Undang Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika. Laarakker, Peter dan Suyus Winayara. 2008. Land Information Challenges in Indonesia. Nurmandi, Achmad. 2006. Manajemen Perkotaan: Aktor, Organisasi, Pen gelolaan Daerah Perkotaan dan Metropolitan di Indonesia. Yogyakarta: Sinergi Publishing. Rachman, Noer Fauzi. 2012. Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Tanah Air Beta.
151
Rakodi, Carole (ed.). 2002. Urban Livelihoods: A People-Centred Approach to Reducing Poverty. London: Earthscan Publications Limited. Siswotomo, Anggita Anggraini. 2009. Permasalahan Kepentingan Hak atas Tanah. Sitorus, Oloan. 2004. Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia. Yogyakarta. Suharto, Edi. 2009. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia. Bandung: Alfabeta. Sumardjono, Maria. 2006. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. UN-Habitat. 2012. Summary Report: Innovative Urban Tenure in The Phil ippines (Challenges, Approaches, and Institutionalization). Nairobi: UN-Habitat. UN-Habitat. 2012. Tapping The Potential: The Role of Grassroots in Land Policy Implementation. Nairobi: UN-Habitat. UN-Habitat. 2008. Secure Land Rights for All. Nairobi: UN-Habitat. UN-Habitat. 2007. Good Governance in Land Tenure and Administration. Rome: UN-FAO. UN-Habitat. 2003. Handbook on Best Practices, Secure Tenure, & Access to Land. Nairobi: UN-Habitat. UN-Habitat. 2009. Land Governance and Security of Tenure in Developing Countries. French Development Cooperation. UN-Habitat. 2007. A Guide to Property Law in Uganda. Nairobi: UN-Habitat. Wulan, Yuliani Yahya, dkk. 2004. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di In donesia 1997-2003. Bogor: Center for International Foresty Research.
152