III.
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Penawaran dan Permintaan Udang 3.1.1.1. Tahapan Produksi Udang
Menurut Ling et al., (1996) pasar udang merupakan pasar yang terkoordinasi secara vertikal. Keefe (2002) menambahkan bahwa produk udang segar, beku, dan olahan dunia saling bersubstitusi satu sama lain dengan tingkat substitusi berbeda tergantung pada budaya, dan alokasi pengeluaran. Oleh karena itu, pada studi ini diasumsikan pasar udang segar, beku, dan udang olahan saling berinterelasi satu sama lain. Gambar 12 menyajikan tahapan produksi udang, sejak permintaan faktor produksi sampai dengan produk udang olahan. Berdasarkan Gambar 12 industri udang melibatkan berbagai tahapan sejak produksi udang dari hasil budidaya dan hasil penangkapan, industri udang beku, dan industri udang olahan. Tiap tahapan memiliki pasar berbeda, penawaran dan permintaan yang terinterelasi untuk menjadi input bagi tahapan selanjutnya. Dari sisi produksi, keterkaitan ketiga pasar dapat ditunjukkan oleh adanya permintaan input dan penawaran output. Permintaan input pada masing-masing pasar merupakan permintaan turunan dari pasar lainnya. Dalam analisis ini permintaan faktor produksi merupakan tahap awal produksi. Pembudidaya dan nelayan menggunakan input berupa benur, BBM, dan pakan sebagai faktor produksi. Berikutnya, usaha budidaya udang di tambak dan penangkapan dengan output berupa udang segar. Udang tersebut merupakan input utama untuk pasar udang segar. Penawaran udang segar domestik merupakan produksi udang segar
64
ditambah impor udang segar, dikurangi ekspor, dan konsumsi domestik (rumah tangga), sedangkan stok udang diasumsikan tidak ada. Termasuk kedalam konsumsi domestik yaitu permintaan udang segar oleh industri udang beku. Udang segar tersebut merupakan input untuk industri udang beku dan output yang dihasilkan berupa udang beku. Dari produksi udang beku sebagian diekspor, dikonsumsi rumah tangga, sedangkan impor udang beku diasumsikan tidak ada. Udang beku tersebut selanjutnya merupakan input/bahan baku untuk industri udang olahan dengan output berupa udang olahan. Penawaran udang olahan domestik merupakan produksi udang olahan dikurangi ekspor, sedangkan stok dan impor diasumsikan tidak ada. Pada analisis ini, harga dunia udang segar diasumsikan eksogen. Indonesia diasumsikan negara kecil untuk udang segar, dan sebagai negara besar untuk udang beku dan udang olahan. Dalam rangka menjaga mutu udang maka dilakukan penerapan sistem rantai dingin sejak udang dipanen dari tambak atau ditangkap dari laut. Dengan demikian, udang segar yang dokonsumsi oleh industri udang olahan antara lain untuk pengolahan tradisional seperti pembuatan kerupuk udang diasumsikan relatif kecil sehingga diabaikan. Dalam model yang dibangun, produksi udang olahan seluruhnya berasal dari produk udang beku.
65
Tahap Produksi
Pasar Permintaan Konsumsi RT
Produksi udang olahan
Penawaran output
Pasar udang Olahan
Permintaan input
Produksi udang beku
Penawaran output
Permintaan
Pasar udang Beku
Permintaan input
Produksi udang segar
Penawaran output
Ekspor udang olahan
Konsumsi RT
Ekspor udang Beku
Konsumsi RT
Pasar udang Segar
Ekspor udang Beku Impor udang Segar
Produksi udang
Produksi udang tangkapan
Permintaan input
Input/Faktor Produksi
Gambar 12. Tahapan Produksi dan Output yang Dihasilkan
66
3.1.1.2. Fungsi Produksi Udang Tambak
Fokus teori ekonomi produksi yaitu pengambilan keputusan oleh pelaku usaha budidaya. Pembudidaya udang dalam menentukan keputusan produksi dapat didasarkan atas pilihan (1) meminimumkan biaya pada target produksi tertentu (efisiensi alokasi), atau (2) memaksimumkan produksi pada ketersediaan biaya tertentu (efisiensi teknis). Kedua pilihan tersebut merupakan kondisi optimasi dengan kendala. Adapun optimasi tanpa kendala yaitu memaksimumkan profit membuat pembudidaya udang dapat mencapai efisiensi ekonomi (mengakomodir sebagian efisiensi alokasi maupun efisiensi teknis). Secara umum, produksi udang tambak di tambak QT (ton per tahun) merupakan fungsi produksi dari masukan utama: B = benur (ekor per tahun), P = jumlah pakan (ton per tahun), dan Z = faktor produksi lainnya. Pakan merupakan komponen penting karena menyumbang sekitar 60% - 70% terhadap biaya produksi (Muhdi, 2006). Fungsi produksi udang dapat digambarkan sebagai berikut: QT = f (B, P, Z) ....................................................................................
(1)
Dari fungsi produksi dapat dibangun fungsi permintaan input maupun fungsi penawaran output melalui penurunan fungsi keuntungan atau fungsi biaya. Pendekatan pertama dikenal dengan pendekatan primal, sedangkan pendekatan kedua dikenal dengan pendekatan dual, sehingga dikenal dengan pendekatan primal-dual, dan hasilnya akan sama. Jika P B sebagai harga input B (benur), P P sebagai harga input P (pakan), dan P Z sebagai harga input Z (BBM), dan F merupakan biaya tetap, maka Biaya Total (BT) yang dikeluarkan untuk memproduksi sejumlah output udang tambak (QT) dapat dituliskan:
67
BT = P B .B + P P .P + P Z .Z + F .............................................................
(2)
oleh karena itu, fungsi keuntungan produksi udang tambak dapat dirumuskan sebagai berikut: πt = Pq.QT – BT ..................................................................................
(3)
πt = Pq. f (B, P, Z) – (P B .B + P P .P + P Z .Z + F) .................................
(4)
dimana πt = keuntungan udang tambak (Rp/Ha) dan Pq = harga udang tambak (Rp/Kg). Maksimisasi keuntungan harus memenuhi first order condition,yang diperoleh dengan menentukan turunan pertama fungsi keuntungan terhadap B, P, dan Z sama dengan nol atau nilai produk marjinal tiap faktor harus sama dengan harga tiap faktor yang digunakan. Adapun second order condition ditunjukkan dengan turunan kedua fungsi keuntungan mempunyai nilai Hessian Determinant lebih besar nol. ∂π / ∂B = Pq * ∂f / ∂B − P= 0 atau P= Pq * MPPB ............................ B B
(5)
∂π / ∂P = Pq * ∂f / ∂P − P= 0 atau P= Pq * MPPP ... ........................ P P
(6)
∂π / ∂Z= Pq * ∂f / ∂Z − P= Pq * MPPZ .. ........................ 0 atau P= z z
(7)
Penyelesaian terhadap persamaan (5), (6), dan (7) akan menghasilkan fungsi permintaan input sebagai berikut: B = b(P B , P P , P Z , P q ) ..........................................................................
(8)
P = p(P P , P B , P Z , P q ) ..........................................................................
(9)
Z = z(P Z , P B , P P , P q ) ............................................................................ (10) dimana B = permintaan akan benur, P = permintaan pakan. Z = permintaan terhadap input lainnya (BBM). Dengan mensubstitusikan persamaan (8), (9), dan (10) ke persamaan (1) maka penawaran individu udang tambak:
68
QT = q 1 (Pq, P B , P P , P Z ) ...................................................................... (11) artinya penawaran udang dapat dinyatakan sebagai fungsi dari harga output, harga input itu sendiri, dan harga input lainnya. Selanjutnya, persamaan penawaran pasar udang tambak adalah dengan menjumlahkan secara horisontal penawaran individu-indidvidu pembudidaya udang. Usaha tambak udang juga dipengaruhi oleh pasar kapital, terutama jika melakukan pengembangan usaha yang membutuhkan jumlah dan jenis input yang lebih besar. Tambahan dana dapat bersumber dari bank, artinya produksi udang juga dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Selain harga produk dan harga faktor produksi, penawaran atau produksi juga dipengaruhi oleh teknologi (Koutsoyiannis, 1979). Devi dan Prasad (2006) menambahkan bawa penyakit merupakan hambatan terbesar pada budidaya udang. Dengan demikian penawaran udang tambak diformulasikan sebagai berikut: QT t = q 1 (P Q , P B , P P , P Z , i, T, Dpeny, QT t-1 ) ...................................... (12) dimana: PQ PB PP PZ i T Dpeny ‘
QT t-1
: : : : : : : :
Harga udang Harga benur Harga pakan Harga input lainnya (BBM) Tingkat suku bunga Teknologi (diproxy oleh pertumbuhan TFP) Dummy penyakit
Penawaran udang tambak t-1
3.1.1.3. Produksi Udang Hasil Tangkapan Selain dari hasil budidaya di tambak, udang Indonesia juga berasal dari hasil penangkapan di laut dan perairan umum. Pendekatan produksi udang hasil tangkapan diperoleh dengan menggunakan peubah yang mempengaruhi nelayan
69
atau pengusaha baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mengambil keputusan menangkap udang. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa respons harga dalam komoditi perikanan tidak mempengaruhi produksi secara langsung, melainkan mempengaruhi jumlah usaha penangkapan (kapal). Nelayan akan tetap bertahan dalam usaha penangkapan selama biaya rata-rata sama dengan penerimaan rata-rata, sehingga jumlah dan jenis kapal yang digunakan dalam penangkapan udang sangat dipengaruhi nilai output dan besarnya biaya. Gambar 13 menunjukkan bahwa perubahan harga ikan akan menggeser kurva penerimaan ke atas, sehigga mengakibatkan jumlah usaha penangkapan udang meningkat. P R O D U K S I
TC
P=2 P=1
TR E Sumber: Henesson (1976) dalam Soepanto (1999) Gambar 13. Kurva Penerimaan Nelayan dalam Penangkapan Udang 3.1.1.4. Permintaan Udang Segar oleh Industri Udang Beku dan Permintaan Udang Beku oleh Industri Udang Olahan Udang segar merupakan bahan baku udang beku, dan udang beku merupakan bahan baku untuk udang olahan. Permintaan terhadap udang beku dapat diturunkan melalui fungsi permintaan turunan (derived demand), yaitu
70
melalui fungsi keuntungan.Bila π keuntungan, P adalah harga output Y dan ri adalah harga input xi, maka persamaan keuntungan dapat dituliskan sebagai berikut:
π = P * Y − ∑ r i . X ) ...................................................................... i
(13)
Dengan menurunkan fungsi di atas terhadap masing-masing input maka diperoleh: ∂π / ∂X i = P.∂Y / ∂X i − ri = 0 .......................................................................... (14)
atau P.PM i = ri
............................................................................................. (15)
dimana PMi adalah produk marginal dan P.PMi adalah nilai produk marjinal dari input i (udang segar). Penggunaan input yang optimal dicirikan oleh kondisi dimana nilai produk marjinal dari masing-masing input (P.Pmi) sama dengan harga input yang bersangkutan. Implikasinya, permintaan input oleh suatu industri sangat dipengaruhi oleh harga input yang bersangkutan/udang segar (r), harga output/ udang beku (P) dan teknologi produksi (PM). Permintaan suatu input dapat pula dipengaruhi oleh harga input substitusi dan faktor lain yang dapat mendistrosi pasar. Permintaan udang segar oleh industri udang beku selain dipengaruhi oleh harga udang segar, juga dipengaruhi oleh harga udang beku, harga input alternatif seperti sewa cold storage, harga es, dan tingkat suku bunga. Permintaan input tersebut dapat dituliskan sebagai berikut: D t = f (Ps t , Pb t , Pk t , i t , D t-1 ) ................................................................ (16) dimana Dt adalah permintaan udang segar oleh industri udang beku, Pstadalah harga udang segar, Pbt harga udang beku, it = tingkat suku bunga, Pkt harga input
71
alternatif, dan Dt-1 adalah permintaan udang segar oleh udang beku tahun sebelumnya. Demikian halnya untuk permintaan udang beku oleh industri udang olahan. 3.1.1.5. Penawaran Ekspor Udang Indonesia dan Thailand Penawaran ekspor dianalisis berdasarkan negara tujuan ekspor utama yaitu AS, UE, dan Jepang dengan pertimbangan ketiga wilayah tersebut merupakan importir udang utama di dunia dengan pangsa pasar pada tahun 2008 sekitar 74%. Secara teoritis penurunan fungsi ekspor udang berasal dari kelebihan penawaran, karena harga domestik lebih rendah dibandingkan harga internasional. Kenaikan harga ekspor dihipotesakan akan meningkatkan jumlah ekspor. Kenaikan harga akan direspons oleh produsen atau eksportir untuk meningkatkan produksi atau pasokannya. Ekspor udang juga dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar. Jika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS maka menyebabkan peningkatan daya beli konsumen. Artinya, udang Indonesia dianggap relatif lebih murah oleh konsumen luar negeri sehingga permintaan diduga akan meningkat. Kenaikan produksi udang juga akan memberikan peluang kenaikan ekspor. Labys (1973) menyatakan bahwa untuk komoditas yang diperdagangkan di pasar internasional maka perlu pembedaan antara penawaran domestik dan penawaran ekspor. Kedua peubah tersebut biasanya terkait melalui suatu persamaan identitas. Persamaan tersebut adalah bahwa ekspor pada periode tertentu merupakan selisih antara produksi (Q t ) dengan konsumsi (C t ) selama periode tersebut ditambah perubahan stok (S t ). Secara matematis dituliskan sebagai berikut:
72
X t = Q t – C t + S t-1 - S t .......................................................................... (17) Pada persamaan (17) menurut Labys (1973) konsumsi dianggap dapat dipenuhi sehingga impor tidak ada. Persamaan ekspor tersebut dapat berupa persamaan identitas atau perilaku tergantung tujuan penelitian. Komoditas udang dianggap gampang rusak, maka stok dianggap tidak ada. Sebagai persamaan perilaku, ekspor suatu komoditi dipengaruhi oleh harga ekspor, nilai tukar riil, tingkat suku bunga riil (Salvatore, 1996). Selain itu, ekspor dipengaruhi oleh tekanan permintaan di negara importir dan kebijakan perdagangan di negara eksportir dan importir (Labys, 1973). Salah satu bentuk kebijakan tersebut adalah pajak ekspor atau tarif impor. Jika e merupakan disagregasi dari bentuk udang, dan j merupakan negara tujuan ekspor, maka fungsi penawaran ekspor Indonesia ke berbagai negara tujuan digambarkan sebagai berikut: Jumlah ekspor udang bentuk e Indonesia ke negara tujuan j: QXiej t = f(PXiej, ERi, Z t , QXiej t-1 ) .................................................. (18) dimana QXiej t adalah jumlah ekspor udang bentuk e Indonesia ke negara tujuan j (ton per tahun). Pxiej merupakan harga ekspor udang bentuk e Indonesia ke negara tujuan j (US$ per kg), ERi merupakan nilai tukar (Rp per dollar), Z t faktorfaktor lain yang mempengaruhi ekspor udang bentuk e ke negara tujuan j (US$ per kg), dan QXiej t-1 adalah lag jumlah ekspor udang. Selanjutnya, jumlah total ekspor udang bentuk e Indonesia ke pasar dunia merupakan penjumlahan secara horizontal dari jumlah penawaran ekspor Indonesia ke negara-negara Jepang, AS, dan UE-27 (∑QXiej): QXiew= ∑QXiej + QXier .................................................................... (19)
73
dimana QXiew merupakan jumlah ekspor udang bentuk e Indonesia ke pasar dunia (ton per tahun); QXier merupakan jumlah ekspor udang bentuk e Indonesia ke negara-negara selain Jepang, AS, dan UE-27 (ton per tahun). Dengan menggunakan pendekatan yang sama, fungsi penawaran dari negara pesaing utama adalah sebagai berikut: jumlah ekspor udang bentuk e negara pesaing c ke negara tujuan j : QXcej t = f(PXcej, ERc, Z t , QXcej t-1 ) ................................................ (20) jumlah total ekspor udang bentuk e negara pesaing c ke pasar dunia: QXcew = ∑QXcej + QXcer ................................................................. (21) 3.1.1.6. Permintaan Impor Udang Permintaan impor udang dunia dianalisis berdasarkan negara-negara konsumen utama udang dunia yaitu: Jepang, AS, UE, dan sisa dunia. Sisa dunia dianggap eksogen. Secara teoritis, impor udang oleh negara j untuk udang jenis e dapat diturunkan dari kelebihan permintaan, sebagai berikut: M t = C t – Q t + S t – S t-1 ...................................................................... (22) dimana M t = jumlah impor udang tahun t, C t = jumlah konsumsi udang tahun t, Qt = jumlah produksi udang tahun t, S t = stok udang tahun t, dan S t-1 = stok udang tahun t-1. Diasumsikan bahwa re-ekspor udang relatif kecil dibandingkan impor sehingga dapat diabaikan. Jika stok udang diasumsikan konstan, maka konsumsi udang negara konsumen akan konsisten dengan pola permintaan impornya. Fungsi permintaan impor udang dapat diturunkan dari fungsi konsumsi dan fungsi konsumsi pada dasarnya dapat diturunkan dari fungsi utilitas. Dari syarat maksimisasi utilitas dengan kendala pendapatan dan tingkat harga tertentu, fungsi konsumsi dapat dirumuskan sebagai berikut:
74
C t = f (Y t , PM r ) .................................................................................... (23) dimana Yt= pendapatan penduduk di negara pengimpor dan PMt = harga udang di negara pengimpor. Menurut Koutsoyiannis (1979) selain faktor-faktor di atas, permintaan juga dipengaruhi oleh selera, distribusi pendapatan, jumlah penduduk, kebijakan pemerintah, dan tingkat pendapatan sebelumnya. Jumlah penduduk dapat meningkatkan pangsa pasar atau dapat juga bersifat negatif jika penambahan populasi menurunkan pendapatan/kapita. Selanjutnya, menurut US International Trade Commision (1985) dalam Diop (1999) di AS sekitar 80% udang impor masuk ke restoran dan institutional market, maka udang berkompetisi dengan produk ikan, daging, dan ternak. Dengan demikian variabel yang diduga mempengaruhi impor udang bentuk e dari masing-masing negara j adalah harga udang dunia, harga barang substitusi, pendapatan yang diproxy dari GDP riil, dan impor udang t-1. QMje t = f (P qw , P r , Y, QMje t-1 ) ........................................................... (24) selanjutnya, total impor dunia untuk udang bentuk e merupakan gabungan dari importir utama dan importir sisa dunia: QMwe= ∑QMje + QMre ...................................................................... (25) 3.1.1.7. Harga Udang Sebagai sebuah sistem pasar, harga udang di pasar internasional (PWe t ) ditentukan oleh kekuatan penawaran ekspor dunia (QXew), permintaan impor dunia (QMwe), dan harga udang di pasar internasional t-1. Harga akan tinggi jika laju permintaan atau impor lebih tinggi, sebaliknya harga akan turun jika terjadi kelebihan penawaran. Dengan demikian, persamaan harga dunia udang bentuk e:
75
PWe t = f(QXew, QMwe, PWe t-1 ) ........................................................ (26) karena pasar internasional dan pasar domestik di negara-negara pengekspor saling terkait, perubahan harga ditingkat dunia akan diteruskan ke pasar domestik. Harga internasional akan dijadikan panduan dalam pembentukan harga domestik. Pembentukan harga domestik juga dipengaruhi oleh nilai tukar. Pada komoditas udang, harga ditentukan oleh ukuran, perbedaan mutu, preferensi konsumen dan fluktuasi nilai tukar (Shang et al. 1998); species, ukuran, mutu, dan asal negara (Ling et al. 1996). Ling et al., (1998) menggunakan pendekatan Engle-Granger untuk menganalisis transmisi harga periode 1990-1993 di pasar Jepang, hasilnya menunjukkan eksportir di Thailand dan Indonesia terintegrasi. Perkembangan nilai tukar juga berpengaruh terhadap pembentukan harga impor. Harga komoditas pertanian pada umumnya lebih berfluktuasi dibandingkan harga komoditas non pertanian dan jasa. Ketidakstabilan tersebut disebabkan oleh sifat biologis komoditas pertanian dan adanya pengaruh yang kuat dari faktor hama dan penyakit, cuaca, dan variasi musim sehingga jumlah yang dihasilkan sering berbeda dengan yang direncanakan. Faktor lain yang juga berpengaruh antara lain kesenjangan waktu yang cukup nyata antara keputusan untuk memproduksi dengan diperolehnya hasil produksi. Dengan asumsi pasar cukup terintegrasi, maka informasi harga di Jepang akan tertangkap di pusat-pusat pasar lainnya. Kenaikan harga riil udang diperkirakan akan menurunkan jumlah permintaan atas udang tersebut. Stok udang di pasar domestik akan meningkat dan akan mempengaruhi permintaan. Berdasarkan hubungan di atas maka:
76
harga ekspor udang bentuk e Indonesia ke negara tujuan j: PXiej t = f(PWe, ERi, PXiej t-1 ) ............................................................ (27) total nilai ekspor udang bentuk e, Indonesia ke pasar dunia: Xiew = ∑Xiej + Xier ............................................................................ (28) harga ekspor udang bentuk e negara pesaing c ke negara tujuan j: PXcej t = f(PWe, ERc, PXcej t-1 ) ........................................................... (29) selanjutnya, share ekspor udang bentuk e Indonesia terhadap dunia: SQXiew = QXiew/QXew ..................................................................... (30) dimana SQXiew adalah share ekspor udang bentuk e Indonesia terhadap total ekspor udang bentuk e di dunia. Walaupun harga bukan merupakan ukuran pasti untuk mutu akan tetapi harga ekspor merupakan “indikator” dari mutu (Wooldridge, 2002 dalam Hallak, 2005). SDM dapat dijadikan penghubung antara selera dan faktor bawaan yang tidak tewakilkan dalam standar teori perdagangan (Murphy dan Shleifer, 1997 dalam Hallak, 2005). Secara umum harga udang ditentukan oleh ukuran, jenis, mutu, dan merk dagang (Suryana, et al., 1989); ukuran, penawaran, mutu, asal, dan species atau warna (Yakoyama, Nakamoto dan Wanitprapha, 1989) dalam Wirth dan Davis, 2003). Negara Australia mempunyai keunggulan yaitu dengan menjual udang hidup. Untuk komoditi udang, Jepang merupakan pasar yang dominan mempengaruhi harga dunia. Oleh karena itu, harga dunia yang berlaku di Jepang dapat digunakan mewakili harga udang dunia. Vinuya (2006) menggunakan teknik kointegrasi memperoleh hasil bahwa harga udang di AS, UE, dan Jepang terintegrasi dan berlaku “the law of one price”.
77
3.1.1.8. Konsep Elastisitas
Konsep elastisitas digunakan untuk memperoleh ukuran kuantitatif respon suatu fungsi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam jangka pendek dan jangka panjang, dapat dirumuskan sebagai berikut: Es(Y t ) = a*X t /Y t .................................................................................. (31) El(Y t X t ) = Es(Y t X t )/1-b ................................................................... (32) dimana: Es(Y t X t ) = Elastisitas jangka pendek peubah endogen terhadap peubah eksogen El(Y t X t ) = Elastisitas jangka panjang peubah endogen terhadap peubah eksogen a = Koefisien dugaan dari peubah-peubah eksogen b = Koefsien dugaan dari peubah-peubah lag-endogenous X t = Rataan peubah eksogen Y t = Rataan peubah endogen (mean predicted atau mean dari hasil validasi model) Dalam kaitannya dengan penawaran, dua konsep elastisitas yang penting adalah elastisitas harga atas penawaran dan elastisitas silang atas penawaran. Terkait dengan permintaan, terdapat tiga konsep elastisitas yang penting yaitu elastis harga atas permintaan, elastisitas silang atas permintaan, dan elastististas pendapatan atas permintaan. 3.1.2. Daya Saing: Keunggulan Komparatif dan Keunggulan Kompetitif Konsep daya saing awalnya bukan konsep ekonomi, melainkan konsep politik (Sharples, 1990 dalam Gonarsyah, 2007) dan atau konsep bisnis untuk meningkatkan kinerja perusahaan (Lall, 2001 dalam Gonarsyah, 2007). Pembahasan daya saing tidak dapat terlepas dari dua istilah yaitu keunggulan
78
komparatif dan keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif tiap negara akan menentukan apa yang terjadi jika terjadi perdagangan diantara mereka. Menurut Pyndick dan Rubinfeld (2005) perdagangan internasional memungkinkan konsumsi d i luar Kurva Kemungkinan Produksi (KKP) (Gambar 14). Pakaian
Pakaian TOT0B
TOT0W = TOT1A
QB
RA I1A I0A
PA
B
S SA
Negara A
QA
TOT0A
Makanan
RB PB I0B
Negara B
I1B TOT0W = TOT1B
Makanan
Sumber: Pyndick dan Rubinfeld (2005)
Gambar 14. Manfaat Perdagangan karena Adanya Keunggulan Komparatif Diasumsikan Negara A kaya akan tenaga kerja dan memproduksi makanan, sedangkan Negara B kaya akan kapital dan memproduksi pakaian. Berdasarkan Gambar 14, sebelum melakukan perdagangan, Negara A memperoleh utilitas terbesar dengan memproduksi dan mengkonsumsi di titik PA. Slope pada titik A tersebut menunjukkan Term of Trade (TOT) produk yang intensif tenaga kerja relatif terhadap produk yang intensif kapital. Adanya perdagangan memungkinkan kemampuan produksi meningkat ke titik QA dan selain itu dapat mengkonsumsi kedua barang di titik RA yang merupakan persinggungan antara TOTW (TOT dunia) dengan kurva indiferen yang baru I1A, yang lebih tinggi dibanding titik
79
semula di I0A. Negara A akan dapat mengekspor sebesar SAQA (makanan) dan mengimpor pakaian sebesar SAPA (pakaian). Dengan memanfaatkan keunggulan komparatif berupa tenaga kerja dalam melakukan perdagangan, maka dapat dicapai pertumbuhan produksi dan konsumsi yang lebih tinggi. Adanya perdagangan, harga relatif pakaian dan makanan menjadi 1:1. Dengan demikian, adanya perdagangan bebas memungkinkan utilitas meningkat yang ditunjukkan oleh perubahan kurva indifferen dari U1 ke U2. Demikian halnya untuk Negara B dan hasilnya diringkas pada Tabel 13. Sumber keunggulan komparatif tidak hanya berasal dari faktor alamiah saja, akan tetapi dapat juga diciptakan. Selain itu, dinamika dari keberlimpahan dan pengelolaan sumberdaya mengakibatkan keunggulan komparatif tidak hanya bersifat statis melainkan dinamis. Sumber keunggulan komparatif suatu negara dalam memproduksi suatu produk dapat berasal dari: (1) keunggulan komparatif dari faktor pengetahuan (learning factor) disebut sebagai keunggulan dinamis, dan (2) keunggulan komparatif dalam proses produksi dengan memanfaatkan tenaga kerja dan atau modal yang disebut sebagai keunggulan statis. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki keunggulan statis berupa tenaga kerja, sementara negara-negara maju sebagai penyedia teknologi memiliki keunggulan dinamis berupa teknologi.
80
Tabel 13. Manfaat Perdagangan karena Adanya Keunggulan Komparatif No 1. 2. 3.
Parameter Titik Produksi Titik Konsumsi Kesejahteraan
4.
TOT
5. 6.
Sebelum perdagangan Negara A Negara B PA PB PA I0A
PB I0B
TOT0 A
TOT0B
Ekspor
0
0
Impor
0
0
Setelah perdagangan Negara A Negara B QA QA RA I1A
RB I1B
TOT1A = TOTW S AQ A (makanan) SARA
TOT1B= TOTW SBQB (pakaian) SBRB
(pakaian)
(makanan)
Sumber: Gonarsyah (2007)
Salah satu metode untuk menganalisis keunggulan komparatif adalah Revealed Comparative Advantage (RCA). Konsep RCA merupakan rasio antara pangsa pasar dari sebuah produk suatu negara dalam pasar dunia, dengan pangsa pasar ekspor dari suatu negara terhadap total ekspor dunia. Makin tinggi nilai RCA, berarti makin tinggi spesialisasi. Rumus yang digunakan yaitu:
X i j / Yi RCA = .................................................................................... (33) Xi /Y X ij / X i RCA = ................................................................................... (34) Yi / Y dimana X i j merupakan nilai ekspor produk i dari negara j ke negara k, Yi merupakan total ekspor negara j ke negara k, Xi merupakan ekspor total produk i dari dunia ke negara k, dan Y merupakan total ekspor dunia ke negara k. Kelemahan metode ini yaitu jika terdapat subsidi atau distorsi lainnya tidak konsisten dengan pola keunggulan komparatif. Menurut Gonarsyah (2007) para ekonom seperti Barkema, Drabenstotti dan Tweeter, dan Sharples mengartikan keunggulan kompetitif sebagai hasil
81
kombinasi dari distorsi pasar dan keunggulan komparatif seperti ditujukan Gambar 15. Distorsi pasar dapat bersumber karena kebijakan pemerintah (government
policy)
maupun
adanya
ketaksempurnaan
pasar
(market
imperfectionist). Kebijakan pemerintah dapat bersifat langsung seperti tarif, maupun tak langsung seperti regulasi. Ketidaksempurnaan pasar misalnya adanya monopoli/monopsoni domestik. Menurut Gonarsyah (2007), sejalan dengan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan, pada masa mendatang hanya komoditas yang memiliki keunggulan komparatif yang dapat memiliki keunggulan kompetitif (daya saing). Upaya peningkatan daya saing harus lebih bertumpu pada upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi. Pemerintah berperan sebagai fasilitator, regulator, dinamisator melalui kebijakan penelitian dan pengembangan, penyuluhan, peningkatan akses pasar, perbaikan infrastruktur dan sarana informasi pasar. Dalam jangka panjang, upaya-upaya tersebut lebih memberikan proteksi bagi masyarakat. Sudaryanto (2005) menambahkan bahwa keunggulan komparatif tidak menjamin keunggulan kompetitif. Disamping keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif ditentukan oleh kemampuan memasok produk dengan atribut sesuai keinginan konsumen. Keunggulan kompetitif merupakan hasil interaksi dari tiga tingkatan pasar yaitu pasar internasional dari produk, pasar domestik dari produk, dan pasar sarana produksi. Dengan kata lain, keunggulan kompetitif merupakan hasil resultan dari rantai agribisnis secara vertikal mulai dari perolehan sarana produksi, usahatani, pemasaran domestik, dan pemasaran internasional. Untuk itu,
82
dalam rangka meningkatkan keunggulan kompetitif diperlukan koordinasi vertikal petani- agribisnis antara - agribisnis hilir. Keunggulan Statik (Static Advantage) • SDA • SDM • Lokasi Strategis Keunggulan Komparatif Keunggulan Pembelajaran (Learning Advantage) • Pendidikan dan Pelatihan • Pengalaman termasuk Kearifan • Penelitian dan Pengembangan Biaya Transaksi
Kebijakan Pemerintah
Distorsi Pasar
Keunggulan Kompetitif
Ketidaksempurnaan Pasar
Sumber: Gonarsyah (2007)
Gambar 15. Anatomi Keunggulan Kompetitif Komoditas Berbasis Sumberdaya Alam Analisis keunggulan kompetitif dapat dilakukan melalui pendekatan pangsa pasar konstan atau Constant Market Share Analysis (CMSA). CMSA secara umum adalah prosedur akunting untuk mengetahui sumber pertumbuhan ekspor dari suatu negara. Asumsi dasar dari model pangsa pasar konstan adalah pangsa pasar suatu negara di pasar dunia tidak berubah sepanjang waktu. Menurut Learner dan Stern (1970) dalam Susilowati (2003) permintaan ekspor di negara
83
tertentu dari dua negara pemasok yang berkompetisi dapat direpresentasikan dengan hubungan:
p q1 = f 1 ........................................................................................ (35) q2 p2 dimana q 1 dan p 1 adalah jumlah dan harga suatu komoditas yang berasal dari pemasok i. Hubungan tersebut dikenal sebagai bentuk dasar dari elastisitas substitusi. Dengan mengalikan (p 1 /p 2 ) untuk mendapatkan persamaan: p 1 q 1 /p 2 q 2 = p 1 /p 2 * f (p 1 /p2) .............................................................. (36) Pangsa ekspor Negara 1 dapat ditulis sebagai persamaan: −1
p q p1 q1 = 1 + 2 2 ............................................................................. (37) p1 q1 + p 2 q 2 p1 q1 p = g 1 ............................................................................................ (38) p2 persamaan (38) mengindikasikan bahwa pangsa ekspor suatu negara di pasar yang bersangkutan akan tetap konstan, kecuali jika rasio harga (p 1 /p 2 ) berubah. Seperti disebutkan di atas, asumsi dasar dari model CMSA adalah daya saing yang dipunyai suatu negara untuk ekspor satu atau sekelompok komoditas pada tingkatan yang sama, mempunyai pangsa pasar konstan. Akibatnya, setiap perbedaan antara perubahan aktual ekspor dari suatu negara dan penjumlahan pasar dari pesaing menjadi penyebab perubahan komposisi ekspor atau daya saing. Nilai negatif menunjukkan bahwa negara tersebut gagal mempertahankan pangsa pasarnya. Efek daya saing pada analisis CMSA ini lebih bersumber dari daya saing harga.
84
Salah satu kelebihan model CMSA dibandingkan RCA yaitu CMSA dapat mendekomposisi perubahan ekspor menjadi beberapa komponen (Kustiari, 2007). Pertumbuhan ekspor suatu negara dapat dipisahkan menjadi: komposisi komoditas, distribusi pemasaran, dan efek daya saing (competitiveness) yang menggambarkan interaksi permintaan dan penawaran. Rumus CMSA:
∑∑ i
j
∆qij = s0∆Q + ...................................................................... (39a)
∑∑
s0ij∆Qij +
∑
s0i∆Qi +................................... (39b)
∑∑
s0ij∆Qij +
∑
s0j∆Qj + .................................
i
j
i
j
i
i
( ∑ s0i∆Qi) – ( ∑∑ s0ij ∆Q ij i
i
j
∑ j
(39c)
s0j∆Qj )+ ........ (39d)
∑∑
∆sijQ0ij ) + ...................................................... (39e)
∑∑
∆sij Qij ................................................................
i
i
j
j
(39f)
dimana: q = nilai ekspor negara yang sedang diteliti, Q= nilai ekspor total dunia (jumlah seluruh negara), s = share ekspor (q/Q), 0= tahun dasar, i = komoditi yang diteliti, dan j = negara atau wilayah negara.
Dari persamaan di atas: (39a) Efek skala (scale effect): menyatakan pertumbuhan ekspor suatu negara yang terjadi jika semua share komoditi dan share pasar secara geografis tetap konstan. (39b) Efek pasar (geographical market effect): menyatakan pertumbuhan ekspor yang terjadi jika share komoditi tertentu dan share pasar secara geografis tetap konstan, kemudian dikoreksi oleh pertumbuhan share pasar menurut jenis komoditi. (39c) Efek komoditi (commodity effect): menyatakan pertumbuhan ekspor yang terjadi jika share komoditi tertentu dan share pasar secara geografis tetap
85
konstan, kemudian dikoreksi oleh pertumbuhan share pasar secara geografis. (39d) Efek interaksi (interaction effect) menyatakan interaksi efek (39b)dan (39c). (39e) Efek statis (static effect): menyatakan pengaruh perubahan share ekspor jika ukuran pasar tujuan konstan. Bagian ini dapat ditafsirkan sebagai indikator perubahan persaingan dengan negara yang sama-sama pengekspor ke suatu negara tertentu. (39f) Efek dinamis (dynamic effect), efek ordo kedua yang menunjukkan interaksi antara perubahan market share dan penambahan arus perdagangan. Penggunaan model CMSA mempunyai keterbatasan antara lain bahwa persamaan untuk menguraikan pertumbuhan ekspor merupakan persamaan identitas. Oleh karena itu, alasan-alasan terjadinya perubahan daya saing tidak dapat dievaluasi dengan hanya menggunakan analisis CMSA saja. Kelemahan lainnya yaitu mengabaikan perubahan daya saing pada titik waktu yang terdapat diantara dua titik waktu yang digunakan. Selanjutnya, rentan terhadap panjang waktu, sifatnya statik dan deterministik (Gonarsyah, 2007). Namun demikian, analisis ini sangat berguna untuk mengkaji kecenderungan daya saing produk yang dihasilkan suatu negara. 3.1.3. Produktivitas dan Daya Saing Produktivitas terjadi karena peningkatan efisiensi, skala usaha, dan perubahan teknologi. Produktivitas yang lebih tinggi dapat terjadi jika output yang dihasilkan lebih banyak dengan menggunakan input yang sama, atau dapat juga output sama untuk penggunaan input lebih sedikit. Squires (1988) menyajikan
86
kerangka dasar untuk mengukur perubahan produktivitas (Gambar 16). Fungsi produksi untuk kasus 1 (satu) output dengan 2 (dua) input adalah sebagai berikut: Y (t ) = A(t ) fK (t ) L(t ) ............................................................................ (40)
dimana Y(t) = output, K(t) menunjukkan penggunaan kapital pada waktu t, L(t) penggunaan tenaga kerja pada waktu t, dan A(t) menggambarkan parameter efisiensi yang memungkinkan pergeseran fungsi produksi. Y(f) D
Y” Y’
E
Y
Y1 (t ) = A1 (t )[K (t ), L(t )]
C
Yo (t ) = A0 (t )[K (t ), L(t )]
B
X’
X”
Xt
Sumber: Squires (1988)
Gambar 16. Fungsi Produksi yang Menggambarkan Produktivitas Faktor Total Gambar 16 menyajikan dua tingkat fungsi produksi sesuai persamaan (40) dimana Y 1 (t) > Y(t). Sumbu vertikal menggambarkan output dimana Y” > Y’, sedangkan sumbu horizontal menggambarkan indeks dari input agregat dimana X” > X’. Jika teknologi tetap, tetapi input lebih banyak digunakan, maka produksi bergerak dari B ke C. Jika terdapat inovasi teknologi, dengan menggunakan jumlah input sama, maka output akan bergeser dari B e E dan output meningkat dari Y ke Y’. Pada analisis produktivitas diperlukan data jumlah dan harga baik
87
output maupun input. Penghitungannya dilakukan dengan cara menurunkannya dari persamaan (40) sebagai berikut: d ln Y (t ) = dY / dt )(1 / Y ) ...................................................................... (41) = [∂ ln Y (t ) / ∂ ln K (t ) / dt ][d ln K (t ) / dt ] = [∂ ln Y (t ) / ∂ ln L(t ) / dt ][d ln L(t ) / dt ] = [∂ ln Y (t ) / ∂ ln A(t ) / dt ][d ln A(t ) / dt ]
[∂ ln Y (t ) / ∂ ln A(t ) / dt ][d ln A(t ) / dt ]
dimana
bernilai unity yaitu teknologi
merupakan parameter penggeser,
[∂ ln Y (t ) / ∂ ln K (t ) / dt ][d ln K (t ) / dt ] = [∂Y / ∂K ][K / Y ]
merupakan
elastisitas
kapital terhadap output, dan
[∂ ln Y (t ) / ∂ ln L(t ) / dt ][d ln L(t ) / dt ] = [∂Y / ∂L] [L / Y ] merupakan
elastisitas
tenaga kerja terhadap output. Perubahan tersebut diinterpretasikan sebagai laju pertumbuhan dan menjadi: Y (*) / Y = E K K (*) / K + E L L(*) / L + A(*) / A ..................................... (42)
tanda bintang menunjukkan penurunan terhadap waktu. Dengan demikian, pertumbuhan output merupakan pertumbuhan dari kapital, tenaga kerja, dan kemajuan teknologi. Dengan asumsi bahwa faktor produksi dibayar sesuai dengan nilai marginal produknya maka: ∂Y (t ) / ∂K (t ) = P K (t ) / P (t ), ∂Y (t ) / ∂L(t ) = P L (t ) / P(t ), .................. (43) dimana P(t), PK(t), PL (t) merupakan harga ouput, harga sewa kapital, dan upah tenaga kerja, maka dengan mensubstitusikan persamaan (43) ke persamaan (42) diperoleh: Y (*) / Y = S K K (*) / K + S L L(*) / L + A(*) / A ...................................... (44)
88
atau A(*) / A = Y (*) / Y − S K K (*) / K + S L L(*) / L ...................................... (45)
dengan demikian, produktivitas sebagai kemajuan teknologi dan perubahan sumberdaya melimpah merupakan residu dari pertumbuhan output dikurangi pertumbuhan input. Pengukuran produktivitas pada awalnya dilakukan secara parsial yaitu produksi rata-rata dari suatu produk yang diukur sebagai hasil bagi total produksi dan total penggunaan suatu faktor produksi. Konsep ini mempunyai kelemahan yaitu tidak mengukur kontribusi produktivitas seluruh faktor produksi yang terlibat dalam satu proses produksi. Selain itu, penggunaan produktivitas tenaga kerja akan berguna jika tenaga kerja merupakan faktor dominan. Kelemahan penggunaan produktivitas parsial tersebut di atasi jika menggunakan produktivitas total. Dengan demikian TFP mengukur produktivitas lebih komprehensif sehingga merupakan konsep yang sangat berguna dalam mengukur daya saing. Menurut Martinez-Cordero et al., (1999) TFP adalah ukuran kemampuan seluruh jenis faktor produksi sebagai satu kesatuan faktor produksi agregat dalam menghasilkan output keseluruhan. Otsuka (1988) dalam Maulana (2004) mendefinisikan TFP sebagai rasio indeks hasil produksi dengan indeks total produksi (input). Sebuah negara mempunyai daya saing jika industri mempunyai nilai TFP lebih tinggi dari pesaing. Kelemahan penggunaan TFP yaitu tergantung pada ketersediaan data, dan industri menjadi efisien jika permintaan tinggi. Dengan dihitung dalam bentuk angka indeks, maka dapat mencerminkan tingkat relatif antar waktu. Konsep produktivitas antar waktu sering digunakan untuk melihat perubahan teknis dalam penggunaan faktor produksi dan teknologi.
89
Penggunaan konsep TFP akan menjawab sumber-sumber pertumbuhan dari teknologi. Salah satu keterbatasan penggunaan angka indeks yaitu bahwa perubahan harga dapat menyebabkan pengukuran yang bias dari TFP karena pelaku usaha akan mengubah komposisi input akibat perubahan harga. Berbagai pendekatan pengukuran produktivitas disajikan Gambar 17. Pengukuran Produktivitas
Pendekatan Non-Frontier
Non-Parametrik Angka Indeks
•Growth Accounting •Divisia Index •Exact Index •Tornqvist Index
Parametrik
•Programing • Pendekatan
ekonometrik
Pendekatan Frontier
Non-Parametrik
Malmquist Productivity Index
Parametrik
Stochastic and deterministic Models (econometrics Model)
Sumber: Grosskopf (1993) dalam Kiani et al., (2008)
Gambar 17. Berbagai Alternatif Metode untuk Pengukuran Produktivitas Secara umum, metode penghitungan TFP ada dua yaitu growth accounting dan pendugaan parametrik atau ekonometrik (tidak langsung). Growth accounting lebih praktis dibandingkan dengan pendugaan parametrik atau ekonometrik. Akan tetapi pendekatan growth accounting hanya dapat menghitung efisiensi teknis, menggunakan asumsi Constant Return to Scale (CRS), tidak dapat menghitung efisiensi harga, dan tidak dapat menghitung elastisitas permintaan input maupun
90
penawaran. Keterbatasan tersebut dapat diatasi apabila menggunakan pendekatan ekonometrika. Salah satu cara penghitungan TFP menggunakan metode akuntansi adalah Indeks Tornqvist-Theil. Indeks Tornqvist-Theil tersebut telah meminimalisir pengaruh
perubahan
harga
(Fuglie,
2004).
Penghitungan
TFP
dengan
menggunakan indeks Tornqvist-Theil (Caves et al., 1982 dalam Maulana, 2004) sebagai berikut: ln(Qt / Qt −1 ) = 0,5 Σ( S jt + S jt −1 ) ln(Q jt / Q jt −1 ) ...................................... (46) j
cara yang sama dilakukan untuk menghitung indeks input.
ln( X t / X t −1 ) = 0,5 Σ( S it + S it −1 ) ln( X it / X it −1 ........................................ (47) i
perubahan proporsional pada TFP selama periode t dan t-1 adalah sebagai berikut: ln(TFPi / TFPt −1 ) = ln(Qi / Qt −1 ) − ln( X i / X t −1 ) ..................................... (48) dimana: Qt
= jumlah output tahun t
Q t-1 = jumlah output tahun t-1
Qjt = jumlah output j tahun t
Qj t-1 = jumlah output j tahun t-1
Xit = jumlah input i tahun t
X t-1 = jumlah input i tahun t-1
Sjt
= pangsa dari output j tahun t
Sj t-1 = pangsa dari output j tahun t-1
Sit
= pangsa dari input i tahun t
Si t-1 = pangsa dari input i tahun t-1
TFPt = faktor produktivitas total tahun t
TFP t-1 = faktor produktivitas total tahun t-1
Seperti produktivitas parsial, Deny dan Fuse (1983) dalam MartinezCordero et al., (1999) mengembangkan metodologi untuk penentuan angka indeks intertemporal (antar waktu) dan interspatial (antar tempat) atau gabungan keduanya. Hasil penghitungan TFP tersebut akan sama untuk fungsi produksi translog. Hasilnya akan tidak konsisten untuk perbandingan multilateral karena permasalahan transitivitas, maka Tornqvist Indek untuk antar wilayah dihitung
91
tersendiri, seperti dilakukan oleh Capalbo dan Antle (1986) dalam MartinezCordero et al., (1999) sebagai berikut: TIavg = ½∑m(logQmi-logQ mavg)(smi+s mavg)-½∑k(ski+s kavg)(logXki-logXkavg)… (49) dimana: TI avg = TFP tiap petak Qmi
= Jumlah output dari species m dari tambak i
Qmavg = Rata-rata output species m untuk seluruh tambak yang diuji smi
= Proporsi pendapatan dari tambak i
s mavg = Rata-rata proporsi seluruh tambak ski
= Proporsi input tambak i
s kavg
= Rata-rata proporsi input seluruh tambak
Xki
= Jumlah dari input k dari tambak i
X kavg = Rata-rata input k Kaitan antara produktivitas dengan daya saing terjadi jika dalam memproduksi udang, pembudidaya udang memperoleh keuntungan normal. Dasar pemikirannya dapat dijelaskan sebagai berikut: C = Xi Pxi ........................................................................................... (50) dimana C = biaya total, xi = biaya faktor produksi (i = 1,2,3, ...m, m = jumlah faktor produksi yang digunakan, dan Pxi = harga satuan faktor produksi. Dengan mengetahui besarnya nilai biaya produksi maka dapat ditentukan besarnya pendapatan usaha budidaya udang. Daya saing karena keunggulan biaya produksi dapat dijelaskan secara Grafik pada Gambar 18. Pada Gambar 18, P adalah harga, Q adalah output, MC merupakan marginal cost atau biaya marginal, dan BR merupakan biaya rata-rata. Dengan asumsi pasar persaingan sempurna dan dimisalkan dalam pasar ada dua perusahaan, perusahaan A dan B.
92
P
MC1 P MC2 BR1
P MC BR
Pe Pa
A
C
Pb
D
S1r
BR2
B D2f
Q2
Q
Perusahaan A
Q1 Q2
Q
Q2
Perusahaan B
Q
Pasar
Sumber: Edizal (1998)
Gambar 18. Peningkatan Daya Saing karena Keunggulan Biaya Produksi Berdasarkan Gambar 18, perusahaan A memperoleh keuntungan sebesar PeABPa dengan memproduksi pada tingkat output Q 2 , sedangkan perusahaan B dalam kerugian sebesar PbPeCD dengan output sebesar Q 1 . Perusahaan A memiliki keunggulan daya saing. Perusahaan B agar mampu bersaing dengan perusahaan A maka harus meningkatkan daya saing dengan cara meningkatkan produktivitas dan efisiensi produksi sehingga biaya produksi dapat ditekan. Pada Grafik, langkah ini ditunjukkan dengan bergesernya kurva MC 1 ke MC 2 dan BR 1 ke BR 2 dan output yang dihasilkan sebesar Q 2 . Pada usaha budidaya udang tambak, perbedaan produktivitas antara lain dapat
disebabkan
oleh
kebijakan
Pemerintah
dan
perbedaan
wilayah
pengusahaan/tipe pembudidayaan. Pertama, kebijakan pemerintah pada sisi produksi terkait pengembangan teknologi dan penyuluhan, penyediaan bantuan kredit, pembangunan dan pemeliharaan saluran irigasi termasuk pencetakan tambak baru. Program-program pemerintah yang dilakukan sejak Ditjen Perikanan
93
Departemen Pertanian sampai dengan Ditjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait peningkatan produktivitas antara lain Intam, Inbudkan,
dan Propekan. Peningkatan produktivitas dapat dipengaruhi oleh
investasi untuk penelitian, penyuluhan, SDM, dan infrastruktur. Upaya sertifikasi benur dan pergantian varietas benur dari udang windu ke vaname pada tahun 2000-2001 juga merupakan bagian dalam rangka mengurangi risiko serangan penyakit dan untuk meningkatkan produktivitas. 3.1.4. Mutu, Keamanan Hasil Produksi Perikanan, dan Daya Saing
Mutu merupakan faktor utama konsumen di Jepang membeli produk (Kagawa dan Bailey, 2003), bahkan di saat pasar sedang menurun sekalipun (Batt dan Marooka, 2003). Mutu udang ditentukan baik secara intrinsik seperti: species, ukuran, warna, dan kesegaran. Secara ektrinsik yaitu berupa penanganan udang sejak panen sampai sebelum dikonsumsi. Penurunan mutu tidak dapat dihindari akan tetapi hanya dapat diperlambat. Dari semua itu, kuncinya adalah pada pengaturan suhu. Salah satu teori terkait dengan mutu yaitu Teori Alchian - Allen (TAA) “Shipping the Good Apple out”. TAA menjelaskan bahwa produk bermutu, relatif lebih banyak dikonsumsi dibandingkan produk yang kurang bermutu. Menurut Saito (2007) beberapa peneliti seperti Borcherding dan Silberberg (1978), Staten dan Umbeck (1989), Betonazzi, Maloney dan Mc.Cormick (1993) mendukung teori tersebut.
Sebaliknya, sikap skeptis ditunjukkan oleh Gould dan Segall
(1969) yang menjelaskan apakah efek pendapatan atau efek substitusi yang lebih dominan, tergantung dari spesifikasi model.
94
Saito (2007) menjelaskan teori TAA tersebut dengan beberapa batasan pada fungsi sub-utilitas. Menurut penjelasannya, teori tersebut berlaku jika fungsi sub-utilitas bebas dari barang lainnya dan homotetik terhadap asumsi lainnya seperti monotonisitas dan dapat dibedakan. Kebijakan pemerintah terkait aspek mutu dan keamanan hasil produk perikanan pada komoditas udang antara lain berupa monitoring residu antibiotik, penerapan Good Aquaculture Practices (GAP)/Cara Berbudidaya ikan yang Baik (CBIB). Salah satu proxy mutu adalah sertifikasi ISO 9000. Aturan internasional mengenai mutu dan keamanan hasil produk perikanan terdiri atas: penerapan HACCP oleh AS tahun 1997, Minimum Required Performance Limit (MRPLs) oleh UE tahun 2002, dan the Food Safety Basic Law oleh Jepang tahun 2003 (Nguyen dan Wilson, 2009). Sriwichailamphan (2007) menambahkan indikator kinerja lingkungan dan tambak yaitu: (1) penerapan terhadap aturan lingkungan, (2) GMP, HACCP, ISO 9000, (3) keberadaan teknologi pengolah limbah, (4) ISO 14000, dan (5) sertifikasi Good Aquaculture Practices (GAP) untuk pembudidaya. 3.1.5. Kaitan Produktivitas, Mutu dengan Perdagangan
Kaitan antara produktivitas, mutu, dan perdagangan dijelaskan antara lain oleh Hallak dan Sivadasan (2009) melalui model perdagangan internasional bagi perusahaan dengan dua sumber keragaman. Keragaman tersebut yaitu: produktivitas (suatu kemampuan memproduksi output menggunakan input variabel lebih sedikit) dan “caliber” (kemampuan menghasilkan produk bermutu pada biaya tetap yang rendah). Peningkatan produktivitas berperan dalam menurunkan biaya marginal, sebaliknya peningkatan mutu akan meningkatkan biaya marginal. Eksportir membayar tenaga kerja lebih mahal dan menggunakan
95
kapital lebih intensif untuk memproduksi barang bermutu sehingga membutuhkan biaya produksi lebih tinggi. Peningkatan mutu merupakan penggeser permintaan yang memungkinkan diperoleh harga lebih tinggi. Mutu udang yang lebih tinggi diperlukan dalam rangka memasuki pasar ekspor, dan dengan asumsi perusahaan harus memenuhi persyaratan mutu tertentu agar dapat mengekspor. Menurut Asche (2007) efisiensi pada rantai pasokan sama pentingnya dengan produktivitas pada tingkat usaha tani. Kurangnya penelitian mengenai hal tersebut terutama disebabkan terbatasnya data. Selain itu, sulit juga mengetahui variabel yang mempengaruhi perilaku perusahaan ditingkat intermediary. Menggunakan perbandingan deskriptif melalui margin dapat diketahui indikasi efisiensi rantai pasokan, dan bagian yang diterima pembudidaya udang. Gambar 19 menjelaskan peningkatan daya saing karena efisiensi pemasaran. Sebelum dilakukan efisiensi, harga ditingkat produsen adalah P 1 f dan ditingkat eksportir adalah P 1 r dengan kuantitas yang di pasarkan adalah Q 1 . Berdasarkan
Gambar
19,
adanya
efisiensi
pemasaran
melalui
berkurangnya biaya pemasaran mengakibatkan permintaan ditingkat produsen meningkat, ditunjukan oleh bergesernya kurva D 1 f menjadi D 2 f. Dengan asumsi penawaran produsen tetap, maka harga ditingkat produsen naik menjadi P 2 f. Meningkatnya permintaan ditingkat produsen akan mendorong penawaran ditingkat eksportir yaitu bergesernya penawaran dari S 1 r menjadi S 2 r dengan asumsi harga ditingkat eksportir tetap, maka kuantitas udang ekspor meningkat menjadi Q 2 .
96
P S1r P1r M1
M2
S2r S1f
P2f P1f
D2f D1f
O Sumber: Edizal (1998)
Q1
Q2
Q
Gambar 19. Peningkatan Daya Saing Melalui Efisiensi Pemasaran Margin pemasaran sebelum dilakukan efisiensi adalah M 1 dan berubah menjadi M 2 . Marjin pemasaran lebih rendah setelah dilakukan efisiensi pemasaran dan sekaligus menyebabkan bagian harga yang diterima pembudidaya udang meningkat. Dengan demikian, efisiensi pemasaran akan meningkatkan daya saing udang baik ditingkat eksportir maupun pembudidaya udang. Termasuk dalam margin tersebut adalah seluruh biaya pemasaran (marketing cost) dan keuntungan (marketing profit) yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran mulai dari pembudidaya sampai ke konsumen. Secara garis besar, biaya pemasaran yang digunakan yaitu biaya untuk pengumpulan, pengangkutan, biaya susut, biaya bongkar muat, dan biaya timbang.
97
3.2. Kerangka Pemecahan Masalah Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa konsep daya saing mempunyai beberapa karakteristik. Karakteristik tersebut antara lain: dinamik, tidak hanya tergantung pada keunggulan komparatif juga tergantung pada inovasi dan kemampuan meningkatkan diri secara terus menerus, strategi pemasaran dan juga praktek-praktek manajemen, dan faktor non-harga seperti : diferensiasi produk, inovasi teknologi, kapasitas logistik, mutu, dan keadaan permintaan. Akan tetapi, dalam studi ini tidak semua dibahas.
Pendekatan yang digunakan sebagai
kerangka pemecahan masalah disajikan pada Gambar 20. Berdasarkan Gambar 20, pengembangan industri udang terkendala dari eksternal dan internal. Dari sisi eksternal yaitu kecenderungan menurunnya harga udang di pasar internasional akibat kelebihan penawaran. Selain itu, preferensi konsumen akan produk bermutu dan aman dikonsumsi juga makin meningkat yang berimplikasi pada peningkatan hambatan non tarif. Dilain pihak, dari sisi internal industri udang terkendala antara lain produktivitas rendah, dan kesulitan memenuhi mutu yang dipersyaratkan oleh pembeli. Dari sisi produk, diferensiasi produk masih rendah yaitu ekspor masih didominasi udang beku. Demikian halnya dari sisi pemasaran berupa
masih
rendahnya efisiensi pemasaran. Selain itu, kebijakan pemerintah yang sedang dan sudah dilaksanakan belum sepenuhnya optimal.
98 dikonfirmasi PERDAGANGAN
KEBIJAKAN PEMERINTAH
1 Kelebihan penawaran menyebabkan harga udang di pasar internasional cenderung turun; 2 Meningkatnya preferensi konsumen akan mutu dan keamanan yang berimpliksi pada peningkatan biaya
Belum optimalnya kebijakan peningkatan produktivitas & mutu
Laba yang rendah
LAPANGAN TAMBAK 1. Produktivitas rendah 2. Biaya produksi tinggi; 3. Mutu rendah UNIT PENGOLAH IKAN 1. Diferensiasi produk rendah; 2. Kapasitas pengolahan belum optimal; 3. Mutu rendah DISTRIBUSI
Indikasi: 1 Pangsa pasar menurun; 2 Nilai ekspor stagnan; 3 Terjadi kekurangseimbangan produksi dengan pemasaran
Daya Saing Rendah
1. Distribusi belum efisien 2. Pelabuhan pengiriman masih terbatas PEMASARAN Efisiensi pemasaran rendah;
Analisis Ekonometrika Perdagangan Udang Dunia: Kaitan produktivitas, mutu dan keamanan hasil produk perikanan Udang dengan daya saing
Produksi dan Penawaran Indonesia
`
Penawaran ekspor Pesaing
Upaya peningkatan daya saing (Pangsa Pasar)
Permintaan impor dunia
EKSTERNAL (Permintaan) Peningkatan pangsa pasar Udang di pasar internasional Perumusan kebijakan Pengembangan Udang Tambak Indonesia
D A Y A S A I N G T I N G G I
Analisis manajemen rantai pasokan (efisiensi produksi dan pemasaran)
INTERNAL (Penawaran)
Peningkatan produktivitas dan efisiensi biaya produksi Efisiensi pemasaran (teknis dan harga) Peningkatan mutu dan keamanan produk Udang yang dihasilkan Kebijakan mengenai produktivitas dan mutu yang kondusif
Gambar 20. Kerangka Pemecahan Masalah Analisis Daya Saing Industri Udang Tambak Indonesia
99
Impikasi dari kendala eksternal berupa penurunan harga dan peningkatan hambatan non tarif menyebabkan tingkat persaingan meningkat sehingga laba yang diperoleh menurun. Demikian halnya implikasi dari kendala internal, berupa laba yang diperoleh akan menurun. Laba yang menurun berimplikasi pada daya saing rendah. Indikasinya yaitu pangsa pasar yang menurun, nilai ekspor yang relatif stagnan dikisaran US$ 1 milyar. Selain itu, terjadi kekurangseimbangan dari sisi produksi dengan pemasaran. Peningkatan produksi jauh melebihi dibandingkan peningkatan ekspor. Terhadap kondisi tersebut, analisis akan dilakukan melalui dua pendekatan. Pada tingkat nasional dari aspek produksi dan perdagangan, sedangkan pada tingkat lapangan dari aspek produksi, pengolahan, dan pemasaran. Upaya peningkatan daya saing dilakukan dari sisi penawaran dan permintaan. Dari sisi penawaran melalui penggunaan teknologi untuk peningkatan produktivitas, dan efisiensi pemasaran. Dari aspek permintaan antara lain melalui peningkatan mutu. Indikator yang digunakan berupa pangsa pasar menggunakan pendekatan RCA dan CMSA. Terkait dengan strategi yang akan dipilih, Gambar 21 menyajikan pengaruh peningkatan produktivitas, mutu dan keamanan hasil produk perikanan terhadap daya saing. Berdasarkan Gambar 21, peningkatan mutu akan meningkatkan elastisitas permintaan dan pada Gambar 21 ditunjukkan oleh bergesernya kurva permintaan dari D 0 ke D 1 pada tingkat harga P 0 dan Q 0 . Selanjutnya, pengaruh penggunaan teknologi untuk peningkatan produktivitas, efisiensi biaya produksi, dan efisiensi pemasaran ditunjukkan oleh bergesernya kurva penawaran dari S 0 ke S 1 atau S 2 . Jika perubahan penawaran lebih besar
100
dibandingkan perubahan permintaan dengan harga ekspor P 1 lebih rendah dari P 0 , maka keseimbangan pasar berubah menjadi P 1 Q 1 . Jika perubahan penawaran lebih kecil dibandingkan dengan permintaan maka keseimbangan pasar terjadi pada P 2 Q 2 dengan harga ekspor P 2 lebih tinggi dari P 0 .
P
S0
S2 S1
P2 P0 P1
D1 D0 Sumber: Edizal (1998)
Q0 Q2
Q1
Q Q
Gambar 21. Strategi Peningkatan Daya Saing Komoditas Udang Tambak Indonesia di Pasar Internasional