KERAGAMAN JENIS LALAT PENGGANGGU DAN POTENSI PERMASALAHANNYA PADA TERNAK SAPI POTONG DI DAERAH CIREBON
IKASARI ANANDA PUTRI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTUTUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keragaman Jenis Lalat Pengganggu dan Potensi Permasalahannya Pada Ternak Sapi Potong di Daerah Cirebon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Ikasari Ananda Putri NIM B04090013
ABSTRAK IKASARI ANANDA PUTRI. Keragaman Jenis Lalat Pengganggu dan Potensi Permasalahannya Pada Ternak Sapi Potong di Daerah Cirebon. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA. Tujuan dari penelitian ini untuk mempelajari keragaman jenis lalat pengganggu pada sapi potong di Cirebon, dominasi lalat, korelasi antara kepadatan lalat dengan suhu dan kelembapan, serta risiko penyakit yang ditularkan oleh lalat pada sapi potong. Sebanyak 18 peternakan rakyat dan 1 peternakan besar lalat diambil dengan menggunakan sweeping net. Pada peternakan rakyat lalat yang mendominasi adalah S. calcitrans (57.19%), sedangkan pada peternakan besar lalat yang mendominasi adalah H. exigua (97.64%). Korelasi antara kepadatan lalat dengan faktor cuaca (suhu dan kelembapan) dianalisis dengan menggunakan software Minitab 16, hanya di peternakan besar. Koefisien korelasi (r) antara kepadatan lalat dengan suhu, yaitu r=0.352 pada M. domestica dan r=0.158 pada H. exigua. Koefisien korelasi antara kepadatan lalat dengan kelembapan, yaitu r=0.233 pada M. domestica dan r=0.018 pada H. exigua. Hasil tersebut dapat terlihat bahwa tidak ada pengaruh antara kepadatan lalat dengan suhu dan kelembapan. Tingginya populasi S. calcitrans di peternakan rakyat dapat memunculkan risiko penyakit Trypanosomiasis dan Besnoitiosis, sedangkan tingginya populasi H. exigua di peternakan rakyat dapat memunculkan risiko penyakit, terutama miasis. Kata kunci: keragaman lalat, lalat pengganggu, sapi potong
ABSTRACT IKASARI ANANDA PUTRI. The Diversity of Filth Flies and Its Potensial Risks at Beef Cattle in Cirebon Area. Supervised by SUSI SOVIANA. The aim of this research was to find out the diversity of filth flies on beef cattle in Cirebon, the domination of flies, the correlation of flies density and temperature and humidity, and the risk of disease that can be transmitted by the flies. The filth flies were taken by sweeping net in 18 small husbandries and 1 large husbandry in Cirebon. The data showed that the small husbandries was dominated by S. calcitran (57.19%), while the large husbandry was dominated by H. exigua (97.64%). Correlation of flies density and climate factor (temperature and humidity) were analysed by Minitab 16 only in large husbandry. The coefisient correlation (r) of flies density and temperature r=0.352 on M. domestica and r=0.158 on H. exigua. On the other hand, coefisient correlation of flies density and humidity was r=0.233 on M. domestica and r=0.018 on H. exigua. These result showed that there were no influence of climate factor to flies density fluctuation. The high population of S. calcitrans in small husbandries were potensial to raise Trypanosomiasis and Besnoitiosis cases, whereas population of H. exigua in large husbandry was to raise disease, especially miasis. Keyword: beef cattle, flies diversity, filth flies
KERAGAMAN JENIS LALAT PENGGANGGU DAN POTENSI PERMASALAHANNYA PADA TERNAK SAPI POTONG DI DAERAH CIREBON
IKASARI ANANDA PUTRI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi
Nama NIM
Keragaman Jenis Lalat Pengganggu dan Potensi Permasalahannya Pada Temak Sapi Potong di Daerah Cirebon Ikasari Ananda Putri B04090013
Disetujui oleh
Pembimbing
Tanggal Lulus:
0 1 NOV LO lj
Judul Skripsi
Nama NIM
: Keragaman Jenis Lalat Pengganggu dan Potensi Permasalahannya Pada Ternak Sapi Potong di Daerah Cirebon : Ikasari Ananda Putri : B04090013
Disetujui oleh
Dr drh Susi Soviana, MSi Pembimbing
Diketahui
drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Wakil Dekan
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya, sehingga skripsi dengan judul Keragaman Jenis Lalat Pengganggu dan Potensi Permasalahannya Pada Ternak Sapi Potong di Daerah Cirebon dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr drh Susi Soviana, MSi selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr drh Savitri Novelina, MSi, PAVet selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Ungkapan terimakasih penulis ucapkan kepada drh Upik Kesumawati Hadi, MS, PhD, drh Supriyono, Pak Heri, Bu Juju, dan staf Bagian Entomologi Kesehatan atas dorongan, masukan, dan bantuan selama penelitian berlangsung. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa Slamet dan mama Siti Asiah yang selalu memberikan dukungan materil dan spiritual, kakak Wiki Aidin, SPt dan Adang Sudarto, ST, Mba Ira, Mba Alfiah, dan keponakan Adzkia Zhavira Aidin atas doa, kasih sayang, dan dukungan yang diberikan selama ini. Selanjutnya ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada teman seperjuangan selama penelitian Prillia. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada temanteman Fitri, Ebro, Ayu, Neta, Ina, Awit, Nindy, Rida, Ilmi, Pakupik, Ririn, Harmoniers (Dewi, Kak Tiwi, Eci, Sendy), Padasukaers (Mba Emil, Manda, Fika), adek-adek asrama putri Indramayu, dan teman-teman Geochelone 46 yang sama-sama berjuang dalam menempuh pendidikan di FKH IPB. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun sebagai evaluasi bagi penulis. Terlepas dari kekurangan yang ada, penulis berharap skripsi ini dapat memberi manfaat bagi yang membutuhkan.
Bogor, September 2013 Ikasari Ananda Putri
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Daerah Cirebon
2
Morfologi dan Siklus Hidup Lalat
3
Keragaman Jenis Lalat di Peternakan
4
Berbagai Jenis Lalat pada Peternakan Sapi Potong
4
Kerugian Akibat Keberadaan Lalat pada Peternakan Sapi Potong
5
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat
6
Metode Penelitian
6
Data Cuaca dan Hasil Wawancara
8
Analisis Data
8
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Peternakan Rakyat dan Peternakan Besar
9
Keragaman Jenis Lalat pada Peternakan Rakyat dan Peternakan Besar
12
Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominasi Spesies Lalat
15
Hubungan antara Kepadatan Lalat dengan Suhu dan Kelembapan di Peternakan Besar
17
Potensi Permasalahan akibat Lalat
19
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
20
Saran
20
DAFTAR PUSTAKA
20
LAMPIRAN
25
RIWAYAT HIDUP
28
DAFTAR TABEL 1 Jumlah dan persentase spesies lalat 2 Data kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominasi spesies pada peteternakan rakyat dan peternakan besar 3 Korelasi / hubungan antara kepadatan lalat dengan suhu dan kelembapan
12 15 18
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sweeping net Peternakan Rakyat Peternakan Besar (UPTD BPTP Kota Cirebon) Lalat M. domestica Lalat H. exigua Lalat S. calcitrans Lalat T. megalops dan T. rubidus Hubungan antara kepadatan lalat dengan suhu Hubungan antara kepadatan lalat dengan kelembapan
7 10 11 13 13 14 14 17 18
DAFTAR LAMPIRAN 1 Data suhu, kelembapan, dan keragaman spesies pada peternakan rakyat 2 Data suhu, kelembapan, dan keragaman spesies pada peternakan besar 3 Analisi Korelasi
26 26 27
PENDAHULUAN Latar Belakang Konsumsi daging sapi perkapita bangsa Indonesia tahun 2010, 2011, dan 2012 mencapai 0.365, 0.417, dan 0.365 kg per tahun (Deptan 2012). Angka ini menunjukkan terjadi peningkatan konsumsi daging sapi, tetapi kembali menurun dengan nilai yang sama. Penurunan yang terjadi karena pasokan daging sapi yang kurang maksimal sehingga masih sebagian mengandalkan produk daging sapi impor negara lain. Optimalisasi penyediaan daging sapi dapat terlaksana dengan manajemen yang baik dan penanggulangan yang optimal terhadap penyakit pada sapi potong, termasuk penyakit yang disebabkan oleh ektoparasit. Cirebon merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi sebagai pemasok daging sapi. Hal ini tidak didukung dengan baik karena manajemen peternakan sapi potong di Cirebon belum maksimal. Kebersihan kandang dan sapi potong kurang diperhatikan. Feses dan sisa pakan dikumpulkan begitu saja di sekitar kandang. Feses dan manure merupakan media yang sangat cocok untuk berkembangbiaknya ektoparasit, terutama lalat. Ektoparasit adalah parasit yang hidup di bagian luar dari tempatnya bergantung atau pada permukaan tubuh inangnya (Hadi dan Soviana 2010). Lalat merupakan jenis ektoparasit yang berperan sebagai penganggu, terdiri dari lalat pengisap darah dan lalat bukan penghisap darah. Tabanus, Haematopota, Chrysops, Stomoxys, dan Haematobia merupakan jenis lalat pengisap darah, sedangkan lalat bukan penghisap darah, contohnya Musca dan Hydrotaea (Ahmed et al. 2005, Thomas dan Jespersen 1994) Lalat menimbulkan kerugian pada sapi potong dan kerugian ekonomi bagi peternak. Kerugian pada sapi potong berupa kehilangan darah, tertular suatu penyakit, dan ketidaknyamanan sehingga sapi potong akan mengalami penurunan bobot badan dan produksi daging pun akan menurun. Lalat memiliki kemampuan mentransmisikan beberapa penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, dan parasit (Khoobdel et al. 2013). Kerugian ekonomi bagi peternak dapat dihitung dari penurunan produktivitas ternak yang mengakibatkan harga jual ternak menurun dan biaya tambahan untuk pengendalian lalat. Amerika Serikat mengalami kerugian US$2.211 juta per tahun akibat keberadaan lalat kandang (Stomoxys calcitrans) pada industri sapi potong (Taylor et al. 2012). Jumlah kerugian ini akan meningkat dari tahun ke tahun jika tidak dilakukan tindakan pengendalian terhadap keberadaan lalat pengganggu pada sapi potong. Perumusan Masalah Indonesia belum banyak memiliki data mengenai keragaman jenis lalat pengganggu pada hewan ternak, termasuk sapi potong. Lalat mengakibatkan gangguan pada kesehatan hewan ternak. Kekurangan data ini akan mengakibatkan sulitnya melakukan tindakan pengendalian lalat pada hewan ternak. Dengan demikian, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keragaman jenis lalat pada sapi potong di Cirebon.
2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keragaman jenis lalat pengganggu pada sapi potong di Cirebon. Dari data keragaman yang diperoleh ini maka akan dapat diketahui lalat yang mendominasi pada peternakan sapi potong. Penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kepadatan lalat dengan faktor cuaca (suhu dan kelembapan). Selain itu, bertujuan pula untuk mengetahui risiko penyakit yang ditularkan pada sapi potong yang dikaitkan dengan lalat sebagai vektor penyakit. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui gambaran keragaman jenis lalat pengganggu yang sering ditemukan pada sapi potong di Cirebon. Adanya pengetahuan mengenai keragaman jenis lalat pengganggu ini dapat dijadikan acuan untuk melakukan pengendalian terhadap risiko penyakit yang dapat terjadi.
TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Daerah Cirebon Cirebon merupakan wilayah yang berada di Jawa Barat terletak pada jalur pantai utara Pulau Jawa. Cirebon terdiri dari dua wilayah kepemerintahan, yaitu Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon. Cirebon merupakan daerah dengan iklim tropis dengan suhu minimum 22.3oC dan rata-rata suhu maksimum 33.0oC, serta banyaknya curah hujan 1,351 mm per tahun dengan hari hujan 86 hari. Cirebon memiliki kelembapan udara sebesar 50-90%. Dengan kondisi demikian, Cirebon merupakan daerah yang cocok untuk dikembangkan sebagai daerah peternakan sapi potong. Luas wilayah Kabupaten Cirebon 990.36 km2. Berdasarlan letak geografisnya, wilayah Kabupaten Cirebon dibatasi oleh wilayah Kabupaten Indramayu di sebelah Utara, sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Majalengka, sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kuningan, sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kotamadya Cirebon dan Kabupaten Brebes (Jawa Tengah). Faktor iklim dan curah hujan di Kabupaten Cirebon dipengaruhi oleh keadaan alamnya yang sebagian besar terdiri dari daerah pantai dan perbukitan terutama daerah bagian utara, timur, dan barat, sedangkan daerah bagian selatan merupakan daerah perbukitan. Luas wilayah Kotamadya Cirebon 37.35 km2. Secara geografis Kotamadya Cirebon dibatasi oleh Sungai Kedung Pane di sebelah Utara, sebelah Barat dibatasi oleh Sungai Banjir Kanal/Kabupaten Cirebon, sebelah Selatan dibatasi oleh Sungai Kalijaga, dan sebelah Timur dibatasi oleh Laut Jawa. Kotamadya Cirebon termasuk daerah iklim tropis, dengan suhu udara minimum rata-rata 22.3oC dan maksimun rata-rata 33.0oC dan banyaknya curah hujan 1,351 mm per tahun dengan hari hujan 86 hari.
3 Morfologi dan Siklus Hidup Lalat Umumnya tubuh lalat berukuran kecil, sedang, sampai tergolong besar (Hadi dan Sigit 2006). Tubuh lalat terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala, toraks, dan abdomen. Lalat memiliki dua tipe alat mulut (probosis), yaitu tipe alat mulut penghisap dan tipe alat mulut penusuk. Tipe probosis penghisap memiliki struktur seperti spons dengan bentuk probosis tumpul dan bagian ujung (labela) melebar. Probosis ini berfungsi menyerap makanan. Tipe probosis penusuk memiliki bentuk panjang dan mencuat ke depan kepala. Probosis tipe ini berfungsi menusuk kulit dan mengisap darah. Ciri morfologi dari lalat Musca, yaitu tubuh jantan berukuran 5.8-6.5 mm dan betina 6.5-7.5 mm. Toraks berwarna kelabu dengan empat ban hitam longitudinal di dorsal, tubuh tidak berwarna biru metalik atau hijau (Carvalho dan Mello-Patiu 2008). Lalat ini memiliki probosis tipe penghisap dengan bentuk seperti spons. Antena pendek dengan arista yang berambut (plumose) pada bagian ventral dan dorsal. Sayap jernih dengan vena sayap M 1+2 sangat khas membentuk lengkungan sudut yang tajam dengan sel R 5 agak tertutup di distal. Ciri morfologi dari lalat Stomoxys, yaitu ukuran tubuh hampir sama dengan lalat Musca dengan warna yang lebih gelap. Lalat memiliki empat ban hitam longitudinal pada toraks dan adanya bercak-bercak hitam pada abdomen (Masmeatathip et al. 2006). Tipe probosis penusuk dan pengisap darah dengan bentuk yang memanjang. Arista hanya berambut pada bagian dorsal. Venasi sayap berbeda dengan lalat Musca, yaitu sayap M 1+2 melengkung halus dan sel R 5 terbuka di distal. Haematobia exigua (H. exigua) merupakan spesies lalat yang berada di wilayah Asia dan Australia, termasuk Indonesia. Lalat ini memiliki kesamaan dengan Haematobia irritans (H. irritans) yang dapat ditemukan di wilayah Amerika, Afrika Utara, dan Eropa (Urech et al. 2005). Ciri morfologi dari lalat Haematobia, yaitu ukuran tubuh hanya setengah dari ukuran tubuh lalat Musca. Lalat ini mempunyai dua ban hitam longitudinal pada toraks. Lalat ini memiliki palpus maksila yang kokoh dan panjangnya sama dengan probosis. Arista dan venasi sayapnya mirip dengan lalat Stomoxys. Ciri morfologi lalat Tabanus, yaitu tubuhnya besar dan kokoh berukuran 625 mm dengan kepala yang berbentuk setengah lingkaran, dan memiliki mata yang dominan (Hadi dan Soviana 2010). Bentuk antena pendek dan memiliki tiga ruas dengan berbagai modifikasi pada ruas terakhirnya. Bagian mulut terdiri atas probosis yang pendek dengan maksila yang bekerja sebagai pisau untuk merobek, serta labrum-epifaring dan hipofaring sebagai penusuk dan pengisap. Lalat ini merupakan bagian lalat yang penting dalam dunia medik dan veteriner karena lalat ini termasuk dalam lalat pengisap darah (El-Hassan et al. 2010). Dalam melakukan perkembangbiakannya lalat mengalami beberapa siklus hidup. Lalat mengalami metamorfosis sempurna. Metamorfosis sempurna dapat disebut pula dengan holometabola (Mitra 2013). Siklus hidup lalat ini dimulai dari telur, larva, pupa, dan dewasa. Lalat bertelur biasanya diletakkan pada bahan organik yang membusuk seperti tumpukan sampah, manure sapi, dan feses segar. Dari telur tersebut, kemudian berkembang menjadi larva (belatung). Larva ini biasanya memakan semua bahan organik untuk menunjang hidupnya. Kemudian
4 berkembang menjadi pupa dalam puparium. Setelah beberapa hari pupa ini berubah menjadi lalat dewasa. Keragaman Jenis Lalat di Peternakan Parasitisme secara luas diakui sebagai faktor yang dapat mempengaruhi komposisi dan struktur alami hewan (Mouritsen dan Poulin 2002). Parasit adalah organisme yang hidupnya bergantung pada organisme lainnya. Parasit terdiri dari ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang tempat hidupnya biasa berada di luar tubuh inangnya, sedangkan endoparasit adalah parasit yang hidup di dalam tubuh inangnya. Jenis ektoparasit yang biasanya hidup pada tubuh hewan adalah lalat, kutu, nyamuk, caplak, dan tungau Pada peternakan kuda lalat yang sering ditemukan adalah deer flies dan horse flies (Diptera: Tabanidae). Gigitan lalat ini dapat mengakibatkan kesakitan. Lalat betina makan dengan mengisap darah, sedangkan makanan lalat jantan berupa nektar. Gigitan lalat betina ini dapat mengakibatkan iritasi pada kuda. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat diperoleh berbagai jenis lalat Tabanidae yang ditangkap dari peternakan kuda, yaitu Tabanus lineo, T. fulvulus, T. petiolatus, T. gladiator, T. melanocerus, T. nigripes, T. pumilus, T. sulcifrons, T. americanus, T. sparus, T. atratus, T. trimaculafus, Chrysops calidus, C. univittatus, dan C. vitfatus (Watson et al. 2007) Lalat yang berperan penting pada peternakan kambing dan domba adalah Oestrus ovis (O. ovis). Lalat ini merupakan penyebab Oestrosis. Oestrosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh larva lalat O. ovis yang dapat mengakibatkan miasis. Lalat dewasa biasanya meletakkan larva di sekitar hidung yang kemudian berkembang dan akan bergerak menuju hidung, sinus-sinus, dan faring. Larva lalat ini merupakan parasit obligat pada hidung dan sinus kambing dan domba (Gunalan et al. 2011). Keragaman jenis lalat pengganggu hewan ternak berbeda dalam setiap jenis ternaknya. Lalat pengganggu yang menyebar secara kosmopolitian di berbagai peternakan, yaitu M. domestica dan S. calcitrans. Peternakan sapi perah dengan pemeliharaan pada greenhouse banyak terperangkap lalat Stomoxys calcitrans (S. calcitrans) dan Musca domestica (M. domestica) (Kaufman et al. 2005). Pada peternakan unggas lalat pengganggu yang sering ditemukan, yaitu Muscina stabulans, M. domestica, Chrysomia putoria, Crysomia megacephala, dan S. calcitrans (Avancini dan Silveira 2000). Pada peternakan babi lalat pengganggu yang ditemukan, yaitu S. calcitrans, M. domestica, dan Fannia cannicularis (Meerburg et al. 2007). Berbagai Jenis Lalat pada Peternakan Sapi Potong Lalat yang sering ditemukan pada peternakan sapi potong adalah lalat yang termasuk dalam lalat pengisap darah dan lalat bukan pengisap darah. Lalat pengisap darah contohnya horn flies (H. irritans), buffalo flies (H. exigua), stable flies (S. calcitrans), horse flies (Tabanus sp.), deer flies (Chrysops sp.). Selain sebagai lalat pengisap darah, lalat-lalat ini dapat mengakibatkan stress dan ketidaknyamanan bagi sapi potong. Pada peternakan sapi potong ada juga lalat bukan pengisap darah, yaitu heel flies (Hypoderma bovis dan Hypoderma
5 lineatum). Lalat ini mengakibatkan agitasi selama masa bertelur, larva lalat ini akan berinfestasi pada kulit dan mengakibatkan miasis. Terdapat pula lalat sebagai vektor mekanik virus, bakteri, dan penyakit parasit lainnya, yaitu face flies (Musca autumnalis) dan M. domestica. Jenis lalat Musca yang distribusinya secara kosmopolitan adalah M. domestica. Lalat ini dapat ditemukan di seluruh penjuru dunia dan dapat ditemukan di setiap jenis peternakan, baik peternakan sapi potong, sapi perah, unggas, babi, kerbau, kambing, dan domba. Di Arab Saudi pernah dilakukan penelitian pada tahun 2008 dan 2009, ditemukan lalat M. domestica pada peternakan sapi potong baik peternakan out-door dan in-door (Albarrak 2009). S. calcitrans merupakan jenis lalat Muscidae yang distribusinya secara kosmopolitan. Lalat ini banyak mengakibatkan kerugian bagi peternakan, terutama peternakan sapi potong. Menurut penelitian Broce et al. (2005) di Amerika Serikat, S. calcitrans merupakan hama utama yang bertahan selama dua dekade yang ditemukan pada peternakan sapi potong dan kuda. Haematobia hidup secara bergerombol pada sapi potong. Terdapat dua jenis lalat Haematobia sesuai dengan distribusinya, yaitu H. irritans dan H. exigua. Di wilayah Asia dan Australia, termasuk Indonesia hanya terdapat lalat jenis H. exigua. Menurut Changbunjong et al. (2012) H. exigua merupakan hama utama pada peternakan yang menyebabkan banyak kerugian, terutama kerugian ekonomi pada peternakan sapi potong di Thailand. Kerugian Akibat Keberadaan Lalat pada Peternakan Sapi Potong Diptera ini merupakan salah satu bagian terbesar pembawa patogen yang sangat berperan penting dalam medis dan kedokteran hewan (Habeeb 2012). Lalat hidup sebagai ektoparasit yang berada di sekitar tubuh hewan ternak. Pada peternakan lalat berperan sebagai pengganggu dan berbahaya bagi kesehatan manusia dan hewan ternak. Lalat memiliki perilaku dan cara hidup yang memungkinkan untuk melakukan transmisi kuman ke manusia dan hewan ternak (Albarrak 2009). Lalat menyebabkan masalah ekonomi untuk semua hewan ternak (sapi, unta, dan domba). Lalat mengurangi produksi daging pada peternakan sapi potong karena lalat pengganggu dapat menghisap darah dan sapi potong membutuhkan energi ekstra untuk menangkis keberadaan lalat penganggu tersebut. Lalat mengganggu pekerja dan menurunkan produktivitas pekerja peternakan, seperti saat memberi makan dan membersihkan kandang. Lalat pengganggu memainkan peran utama dalam transmisi mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada hewan dan manusia (Brazil et al. 2007). Lalat dapat meningkatkan frekuensi penularan penyakit pada hewan ternak, sehingga menyebabkan peningkatan biaya untuk jasa pengobatan hewan, tindakan pengendalian dan pemberantasan, serta tindakan menekan potensi penyebaran penyakit pada manusia. M. domestica yang biasa disebut lalat rumah, lalat ini biasanya berada di lingkungan peternakan dan perumahan. Menurut Vazirianzadeh et al. (2008) lebih dari 100 agen patogen terkait dengan lalat rumah dapat menyebabkan penyakit pada hewan dan manusia. Agen patogen ini dapat mengakibatkan penyakit tipus, kolera, disentri basiler, TBC, antraks, ophtalmia dan diare, serta sebagai pembawa parasit protozoa dan cacing.
6 S. calcitrans disebut juga stable fly atau lalat kandang. Lalat pengganggu ini memiliki probosis tipe penusuk dan penghisap darah. Lalat ini juga mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar bagi produksi hewan karena rasa sakit dan energi yang terbuang pada hewan dalam upaya menghindari gangguan yang dihasilkan dari gigitan lalat (Castro et al. 2007). Adanya gigitan lalat ini mengakibatkan inang akan kehilangan berat badan. Selain itu, kelemahan pada inang ini akan mengakibatkan hewan lebih rentan terhadap penyakit. Haematobia merupakan masalah kesehatan terbesar bagi hewan ternak di Kanada dan Argentina (Torres et al. 2012). Lalat jantan dan betina makan 24-38 kali per hari dan menelan rata-rata 14.3 mg darah per terbang (Cupp et al. 1998). Selain mengakibatkan penurunan produk daging, lalat ini juga sebagai vektor mekanik penyakit trypanosomiasis (Sinshaw et al. 2006), Corynebacterium pseudotuberculosis (Spier et al. 2004), Staphylococcus aureus (Gillespie et al. 1999), dan bovine anaplasmosis (Rodriguez et al. 2009). Lalat pengganggu lainnya ada Tabanus. Lalat ini dapat disebut lalat kuda (horse fly). Lalat ini merupakan penerbang yang tangguh dan penggigit persisten yang aktif pada siang hari. Lalat ini selain sebagai penghisap darah yang ganas, juga dapat menularkan beberapa penyakit yang berbahaya (Hadi dan Soviana 2010). Penyakit yang dapat ditularkan melalui lalat ini, yaitu trypanosomiasis (Hennekeler et al. 2008), tularemia, dan antraks (Ihemanma et al. 2013).
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama periode Juli 2012 sampai Januari 2013. Penangkapan lalat dilakukan selama lima minggu, sejak 9 Juli 2012 hingga 10 Agustus 2012 pada siang hari pukul 09.00 sampai 17.00 WIB. Penangkapan lalat dilakukan pada hari Senin sampai Jumat. Pada tiga minggu pertama penangkapan lalat dilakukan di 18 peternakan rakyat Kabupaten Cirebon yang tersebar di 4 kecamatan (Kecamatan Sumber, Kecamatan Dukuh Puntang, Kecamatan Depok, dan Kecamatan Talun). Pada dua minggu terakhir penangkapan lalat dilakukan di peternakan besar Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Pengembangan Ternak Potong (UPTD BPTP) Kecamatan Harjamukti, Kotamadya Cirebon. Identifikasi dilakukan di Laboratorium Entomologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Metode Penelitian 1. Koleksi Sampel Lalat Metode penangkapan lalat dilakukan dengan menggunakan sweeping net (Gambar 1). Sweeping net (jaring serangga) digunakan untuk menangkap lalat dan serangga terbang lainnya. Penggunaan sweeping net dilakukan dengan cara mengayunkan jaring ke arah lalat yang akan dicari di sekitar sapi potong. Pada peternakan rakyat penggunaan sweeping net ini dilakukan dengan cara
7 mengayunan jaring pada tiga titik berbeda di setiap kandang. Masing-masing titik ini dilakukan pengayunan selama 10 menit. Pada peternakan besar penggunaan sweeping net dilakukan pada tiga titik yang sama setiap harinya. Masing-masing titik penangkapan dilakukan selama 10 menit. Penangkapan ini dilakukan berulang sebanyak 10 kali selama 10 hari. Lalat yang diperoleh dimatikan dengan kloroform. Penggunaan kloroform ini sangat diperlukan karena dapat langsung mematikan lalat, sehingga lalat yang telah tertangkap tidak banyak bergerak dan tidak merusak bagian-bagian tubuh lalat tersebut. Semua lalat yang diperoleh dilakukan pencatatan dengan pemberian label pada masing-masing tempat penangkapan.
Gambar 1 Sweeping net 2. Preservasi Spesimen Preservasi spesimen lalat dilakukan dengan dua metode, yaitu preservasi dalam cairan dan preservasi dengan cara kering (Hadi et al. 2011). Preservasi dalam cairan ini, artinya lalat diawetkan dalam bentuk koleksi basah dengan cara dimasukkan ke dalam alkohol 70%. Preservasi ini dilakukan sesegera mungkin setelah lalat tersebut mati. Preservasi dalam cairan ini dilakukan pada lalat-lalat yang bentuknya kecil dalam jumlah banyak. Preservasi dengan cara kering dapat dilakukan dengan cara pinning atau menusuk tubuh lalat dengan jarum. Penusukan lalat dilakukan secara tegak lurus. Jarum ditusukkan pada bagian toraks sedikit ke sisi kanan atau kiri dari garis tengah. Lalat yang bentuknya lebih kecil tidak dapat dilakukan penusukan langsung. Lalat tersebut terlebih dahulu ditempelkan pada kertas segitiga dengan menggunakan lem kuteks, kemudian kertas segitiga tersebut ditusukkan dengan jarum. Setelah preservasi selesai dilakukan, spesimen-spesimen tersebut harus disimpan dengan cara hati-hati. Spesimen diberi label dan disimpan dalam kotakkotak penyimpanan lalat. Bagian dasar kotak penyimpanan ini harus lunak agar jarum mudah ditusukkan. Bagian pojok kotak penyimpanan tersebut diberi kapur barus. Penyimpanan secara hati-hati dan tepat ini dilakukan untuk memudahkan saat proses identifikasi dan spesimen dapat tersimpan dengan baik agar terhindar dari kerusakan bagian-bagian tubuh spesimen. 3. Identifikasi Spesimen Proses identifikasi dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi. Identifikasi terlebih dahulu dilakukan pengelompokkan lalat berdasarkan genus,
8 setelah itu dilakukan identifikasi spesies. Proses identifikasi ini dilakukan dengan melihat morfologi yang membedakan dengan kelompok spesies yang lain. Kunci identifikasi yang digunakan, yaitu Tumrasvin dan Shinonaga 1977, Tumrasvin dan Shinonaga 1978, dan Tumrasvin dan Shinonaga 1982. Data Cuaca dan Sistem Peternakan Pengumpulan data sekunder berupa data cuaca, yaitu jumlah hari hujan, jumlah curah hujan, suhu, dan kelembapan yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi Jatiwangi Majalengka Jawa Barat. Selain itu, data tentang sistem manajemen peternakan dikedua macam peternakan ini dikumpulkan melalui wawancara dan pengamatan. Analisis Data 1. Kelimpahan Nisbi Kelimpahan nisbi adalah perbandingan jumlah individu lalat pengganggu spesies tertentu terhadap total jumlah spesies lalat yang diperoleh dan dinyatakan dalam persen. Kelimpahan Nisbi = Kelimpahan nisbi dapat dibagi dalam 5 kategori yaitu (1) sangat rendah (kurang dari 1%), (2) rendah (1% sampai 10%), (3) sedang (10% sampai 20%), (4) tinggi (20% sampai 30%), dan (5) sangat tinggi (di atas 30%) (Hadi et al. 2011). 2. Frekuensi Lalat Tertangkap Frekuensi lalat tertangkap dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah penangkapan diperolehnya spesies lalat tertentu terhadap jumlah total penangkapan. Frekuensi =
3. Dominasi Spesies (%) Angka dominasi spesies dihitung berdasarkan hasil perkalian antara kelimpahan nisbi dengan frekuensi lalat tertangkap spesies tersebut dalam satu waktu penangkapan. Dominasi spesies = 4. Korelasi antara Kepadatan Lalat dengan Cuaca (Suhu dan Kelembapan) Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan cuaca (suhu dan kelembapan) terhadap fluktuasi kepadatan lalat. Analisis menggunakan software Minitab 16.
9
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Peternakan Rakyat dan Peternakan Besar Peternakan Rakyat Peternakan sapi potong rakyat merupakan usaha sambilan yang dilakukan oleh masyarakat desa. Pembentukan peternakan ini dengan tujuan sebagai pekerjaan sampingan dan bukan merupakan pekerjaan pokok. Peternakan rakyat dibatasi oleh usaha kecil, teknologi sederhana, sistem manajemen sederhana, produktivitas rendah, dan mutu produk tidak seragam, serta masih berbasis kekeluargaan. Kandang ternak biasanya berada di sekitar rumah dan wilayah pemukiman warga (Gambar 2A). Selain itu, jumlah sapi yang dipelihara sedikit berkisar 1 sampai 24 ekor sapi. Pada peternakan rakyat ini memiliki sistem perkandangan yang cukup layak untuk pemeliharaan sapi potong (Gambar 2B) . Secara umum kandang dibuat dari kayu atau bambu. Alas kandang sudah layak dibuat dari pasir dan semen. Atap kandang sudah dilengkapi dengan kanopi yang baik, sehingga sapi potong terlindungi dari panas matahari dan hujan. Kandang juga dilengkapi dengan tempat pakan dan minum yang mudah dijangkau oleh hewan ternak. Kepadatan cukup karena luasnya kandang sesuai dengan jumlah ternak yang dipelihara. Ada beberapa peternakan sapi potong menggunakan sistem perkandangan yang dicampurkan dengan hewan lain, seperti ayam dan kambing peranakan etawa (Gambar 2C). Pemeliharaan sapi potong pada peternakan rakyat dilihat dari segi pemberian pakan sudah cukup baik. Sapi potong yang dipelihara diberikan pakan dan minum cukup. Pakan biasanya diberikan sebanyak tiga kali sehari. Pakan berupa rumput dan jerami. Ada satu peternakan memberikan pakan dicampurkan dengan tetes tebu. Pencampuran tetes tebu ini bertujuan untuk mengurangi bau ternak. Pemberian air minum diberikan secara adlibitum. Pada beberapa peternakan rakyat pemberian air minum dicampur dengan air tempe dan garam dapur. Penanganan feses pada peternakan rakyat dapat dikatakan masih kurang baik. Terdapat beberapa peternakan rakyat yang belum memanfaatkan feses secara maksimal, feses hanya dibuang dan dikumpulkan di belakang kandang (Gamba 2D). Pembuangan feses sekitar kandang ini akan terjadi menumpukan feses dan bau yang tidak sedap yang dapat mengganggu kenyamanan hewan ternak dan masyarakat di sekitar peternakan. Cara pembuangan feses juga dilakukan dengan cara membuangnya ke dalam lubang pembuangan feses yang sengaja dibuat oleh peternak. Selain itu, feses ditangani oleh peternak dengan cara dikeringkan terlebih dahulu, kemudian feses dibakar, tetapi ada juga beberapa peternakan rakyat yang sudah mulai memanfaatkan feses secara maksimal, seperti pembuatan pupuk kompos dan pupuk kandang. Peternak sangat memperhatikan kebersihan sapi potong dan kandang. Sebagian besar peternakan tempat pengambilan sampel lalat ini membersihkan kandang sehari sebanyak dua kali, yaitu pada pagi dan sore hari, sedangkan sapi potong dimandikan sehari sebanyak satu kali. Perhatian yang lebih ini dilakukan
10 karena sebagian besar peternakan rakyat yang ada lokasinya berada di tengahtengah
Gambar 2 (A) Kandang ternak berada di sekitar pemukiman warga, (B) sistem perkandangan sudah cukup layak, (C) kandang sapi potong dicampurkan dengan ternak lainnya, seperti ayam dan kambing peranakan etawa, (D) feses dibuang dan dikumpulkan di sekitar kandang, (E) pembakaran rumput kering untuk mengusir lalat, (F) pemasangan jaring kelambu untuk mencegah lalat masuk ke dalam kandang. karena sebagian besar peternakan rakyat yang ada lokasinya berada di tengahtengah pemukiman warga, sehingga kebersihan lebih diperhatikan agar tidak mengganggu kenyamanan hidup warga sekitar. Kesehatan sapi potong pada peternakan rakyat lebih ditangani secara individu oleh peternak sendiri. Dokter hewan belum banyak terlibat dalam menangani masalah kesehatan sapi potong pada peternakan rakyat di daerah Cirebon ini. Ada beberapa peternakan rakyat yang sadar akan keberadaan lalat pengganggu yang biasa menyerang sapi potong. Peternak menyemprotkan insektisida pada sapi potong setiap harinya. Selain penggunaan insektisida, ada peternak yang melakukan pembakaran rumput kering di sekitar kandang untuk mencegah lebih banyaknya keberadaan lalat pengganggu pada sapi potong (Gambar 2E). Menurut para peternak, pencegahan terhadap lalat pengganggu dapat dilakukan pula dengan cara menaburkan abu di sekitar kandang dan terkadang pada tubuh sapi potong. Beberapa kandang pada peternakan rakyat ini
11 menggunakan kelambu untuk mengurangi masuknya lalat penganggu ke dalam kandang (Gambar 2F) Pada peternakan rakyat tujuan pemeliharaan sapi hanya untuk penggemukan saja tidak untuk pembibitan. Biasanya peternak membeli sapi potong pedet atau sapi dara, kemudian dipelihara untuk digemukkan. Peternak juga membeli sapi potong kurusan yang kemudian dipelihara untuk digemukkan. Sapi-sapi ini akan dijual pada musim kurban atau untuk kebutuhan hajatan warga sekitar. Peternakan Besar (UPTD BPTP Kota Cirebon) UPTD BPTP Kota Cirebon merupakan suatu balai pengembangan ternak sapi potong yang didirikan oleh pemerintahan Kotamadya Cirebon dibawah pengawasan Dinas Kelautan, Perikanan, Peternakan, dan Pertanian Kota Cirebon. Balai ini memiliki tugas pokok memberi petunjuk, membagi tugas, membimbing, memeriksa, mengoreksi, mengawasi, merencanakan, dan melaksanakan kegiatan teknis operasional urusan penyelenggaraan pelayanan perbibitan ternak potong. Tugas pokok ini meliputi pelaksanaan proses alih mudigah dan plasma nutfah ternak potong, pelaksanaan pemeliharaan, perkawinan, breeding, dan pencatatan (recording) pembibitan ternak potong, serta pemasaran hasil produksi ternak potong dan hasil ikutannya. Peternakan ini terletak di daerah yang jauh dari pemukiman warga (Gambar 3A). Di sekitar peternakan terdapat hutan dan tidak jauh dari wilayah peternakan ini terdapat tambang pasir. Lahan di sekitar peternakan dijadikan lahan untuk penanaman rumput gajah saat musim penghujan (Gambar 3B).
Gambar 3 (A) Peternakan terletak jauh dari pemukiman, (B) lahan di sekitar peternakan dijadikan untuk penanaman rumput gajah, (C) kandang terdiri dari tiga blok kandang, yaitu kandang A-B, C-D, dan E-F, (D) tempat pakan dan minum menyatu dengan kandang.
12 Peternakan ini memiliki tujuan pemeliharaan yang berbeda dengan peternakan rakyat. Tujuan pemeliharaan ini sesuai dengan tugas pokok yang diberikan oleh pemerintahan Kota Cirebon, yaitu tujuan pemeliharaan untuk pembibitan ternak potong, sedangkan peternakan rakyat hanya untuk penggemukan. Sapi potong yang terdapat dalam peternakan ini sebanyak 104 ekor sapi betina. Proses perkawinan melalui inseminasi buatan. Sistem kandang pada peternakan ini terdiri dari tiga blok kandang, yaitu kandang A-B, kandang C-D, dan kandang E-F (Gambar 3C). Masing-masing blok ini terdiri pula dari beberapa blok. Satu blok ini dapat berisi 3-4 ekor sapi dewasa atau 5-7 ekor sapi anak. Kandang berdiri kokoh terbuat dari pipa besi sebagai pembatas blok dan kayu kuat sebagai penyangga kandang. Atap kandang terbuat dari asbes, sedangkan alas kandang terbuat dari semen. Tempat pakan dan air minum menyatu dengan kandang terbuat dari semen (Gambar 3D). Pakan yang diberikan pada ternak berupa pakan hijauan dan konsentrat. Pemberian pakan sebanyak tujuh kali dalam sehari semalam. Pakan hijauan berupa jerami dan rumput gajah. Pakan jerami diberikan pada ternak saat musim kemarau, sedangkan pakan rumput gajah diberikan saat musim penghujan. Pakan hijauan ini selalu tersedia penuh dalam kandang. Pakan konsentrat berupa campuran onggok dan dedak. Pakan konsentrat ini diberikan pagi hari saja setiap hari. Penanganan kebersihan ternak dan kandang belum maksimal dilakukan. Kandang pada peternakan ini terlihat sangat kotor dengan feses dan urin sapi yang bertumpuk di alas kandang. Di pinggiran kandang banyak feses yang menumpuk. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari pekerja, peternakan ini dibersihkan sehari sekali, tetapi untuk kebersihan sapi itu sendiri hanya dilakukan dengan memandikan sapi satu kali dalam sebulan. Keragaman Jenis Lalat pada Peternakan Rakyat dan Peternakan Besar Pada penelitian ini ditemukan beberapa jenis lalat penganggu, yakni S. calcitrans, H. exigua, M. domestica, T. megalops, T. rubidus, dan M. seniorwhitei. Jenis-jenis lalat ini juga ditemukan pada peternakan besar. Selain itu, di peternakan besar juga diperoleh S. indicus. M. domestica yang diperoleh pada 18 peternakan rakyat sebanyak 53 lalat (16.56%), sedangkan pada peternakan besar diperoleh 254 lalat (2.19%) (Tabel 1). Tabel 1 Jumlah dan persentase spesies lalat Peternakan rakyat Spesies lalat Jumlah Persentase (%) 16.56 M. domestica 53 0.31 M. seniorwhitei 1 23.44 H. exigua 75 57.19 S. calcitrans 183 0.00 S. indicus 0 1.25 T. megalops 4 1.25 T. rubidus 4 Total 320
Peternakan Besar Jumlah Persentase (%) 2.19 254 0.01 1 97.64 11,312 0.12 14 0.01 1 0.02 2 0.01 1 11,585
13
4.86 mm
Gambar 4 (A) Bentuk umum M. domestica, (B) tipe mulut penghisap, (C) arista berambut pada bagian ventral dan dorsal, (D) venasi sayap, (E) toraks (F) abdomen. M. domestica dewasa berukuran panjang 5.8-6.5 mm untuk jantan dan 6.5-7.5 mm untuk betina (Gambar 4A). Ciri khas lalat ini terdapat pada bagian ujung probosis (labela) melebar dan memiliki struktur seperti spons berfungsi untuk menyerap makanan (Gambar 4B). Arista berambut pada bagian ventral dan dorsal (Gambar 4C). Vena sayap membentuk lengkungan sudut yang tajam pada bagian M 1+2 dan R 5 agak tertutup ke distal (Gambar 4D). Toraks berwarna kelabu dengan empat ban hitam longitudinal (Gambar 4E). Abdomen berwarna kuning juga merupakan ciri khas lalat M. domestica (Gambar 4F). M. seniorwhitei yang diperoleh pada peternakan rakyat hanya 1 lalat (0.31%), jumlah ini sama dengan di peternakan besar hanya 1 lalat (0.01%) (Tabel 1). Distribusi M. seniorwhitei di Indonesia berada pada Jawa dan Sumatera (Huang et al. 2007). M. seniorwhitei ini memiliki bentuk yang sama dengan M. domestica, ciri khas lalat ini terletak pada tibia bagian tengah anteroventral berbulu dan garis tengah berwarna hitam abdomen terbentuk sempurna (Tumrasvin dan Shinonaga 1977). H. exigua yang diperoleh pada peternakan rakyat sebanyak 75 lalat (23.44%), sedangkan pada peternakan besar diperoleh sebanyak 11,312 lalat (97.64%) (Tabel 1). Jumlah perolehan lalat H. exigua ini tertinggi pada peternakan
Gambar 5 (A) Bentuk umum H. exigua, (B) tipe mulut penusuk dan pengisap darah, (C) arista berambut pada bagian dorsal, (D) venasi sayap, (E) toraks (F) abdomen.
14
4.16 mm
Gambar 6 (A) bentuk umum S. calcitrans, (B) tipe mulut penusuk dan pengisap darah, (C) arista berambut pada bagian dorsal, (D) venasi sayap, (E) toraks, (F) abdomen. peternakan besar. H. exigua memiliki ukuran tubuh setengah dari lalat rumah, yaitu 4 mm (Gambar 5A). Panjang palpus maksila sama panjangnya dengan probosis. Probosis tipe penusuk dan pengisap darah (Gambar 5B). Arista berambut pada bagian dorsal saja (Gambar 5C). Venasi sayap mirip dengan venasi sayap pada S. calcitrans, yaitu vena sayap M 1+2 melengkung halus dan sel R 5 terbuka di distal (Gambar 5D). Toraks berwarna kelabu dengan dua ban hitam longitudinal pada permukaannya (Gambar 5E). Abdomen berwarna kelabu, bagian abdomen ini tidak memberikan ciri khas morfologi lalat H. exigua (Gambar 5F). S. calcitrans yang diperoleh pada peternakan rakyat sebanyak 183 lalat (57.19%), sedangkan pada peternakan besar diperoleh sebanyak 14 lalat (0.12%) (Tabel 1). Pada peternakan rakyat S. calcitrans yang diperoleh nilai persentasenya tertinggi dibandingkan dengan pada peternakan besar. Ukuran tubuh S. calcitrans hampir sama dengan M. domestica, yaitu 4-6 mm (Gambar 6A). Lalat ini memiliki probosis dengan tipe penusuk dan pengisap darah (Gambar 6B). Arista berambut hanya pada bagian dorsal (Gambar 6C). Sayap jernih dengan vena sayap M 1+2 melengkung halus dan sel R 5 terbuka di distal (Gambar 6D). Bagian toraks memiliki empat ban hitam longitudinal (Gambar 6E). Abdomen memiliki pola spoy diperoleh
Gambar 7 (A) bentuk umum T. megalops dan T. rubidus, (B) ukuran tubuh T. rubidus, (C) ukuran tubuh T. megalops, (D) tipe mulut, (E) kalus T. megalops.
15 spot dengan garis tengah pendek dan luas, serta bagian tergite kedua dan ketiga terdapat spot membulat pada bagian lateral (Gambar 6F). Lalat Stomoxys lain yang diperoleh pada peternakan besar, yaitu S. indicus. Wilayah distribusi lalat ini berada pada Taiwan, Burma, China, India, Indonesia, Jepang, Filipina, Sri Lanka, dan Vietnam (Huang et al. 2007). Pada peternakan besar lalat ini diperoleh hanya 1 lalat (0.01%) (Tabel 1). Abdomen memiliki pola spot dengan garis tengah yang menyatu pada tergite kedua dan ketiga, serta pada tergite kesatu, kedua, dan ketiga terdapat spot horizontal panjang dan lebar (Tumrasvin dan Shinonaga 1978). Pada peternakan rakyat T. megalops dan T. rubidus yang diperoleh masingmasing 4 lalat (1.25%), sedangkan pada peternakan besar T. megalops yang diperoleh sebanyak 2 lalat (0.01%) dan T. rubidus 1 lalat (0.02%). Lalat Tabanus merupakan ektoparasit yang memiliki tubuh besar dan kokoh, berukuran 5-25 mm (Gambar 7B dan 7C). T. rubidus biasanya memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan T. megalops (Gambar 7A). Bagian mulut terdiri atas probosis yang pendek dengan maksila yang bekerja seperti pisau untuk merobek, serta bagian labrum-epifarings dan hipofarings sebagai penusuk dan pengisap (Gambar 7D). Kalus pada lalat T. megalops berwarna hitam memanjang tanpa ada celah pemisah (Gambar 7E), sedangkan kalus pada T. rubidus berwarna hitam dan terpisah oleh celah. Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominasi Spesies Lalat Pada peternakan rakyat diperoleh kelimpahan nisbi sangat tinggi pada lalat S. calcitrans (57.19%). Kelimpahan nisbi tinggi terdapat pada H. exigua (23.44%), kemudian kelimpahan nisbi sedang pada M.domestica (16.56%). Kelimpahan nisbi rendah terdapat pada lalat T. megalops dan T. rubidus (1.25%), diikuti oleh M. seniorwhitei (0.31%) dengan kelimpahan nisbi sangat rendah. Frekuensi tertinggi terdapat pada lalat S. calcitrans (1.00), diikuti dengan M. domestica (0.72), H. exigua (0.22), T. megalops (0.22), T. rubidus (0.11), dan M. seniorwhitei (0.06). Nilai frekuensi yang diperoleh ini dapat digunakan untuk perhitungan persentase dominasi spesies lalat. Persentase dominasi spesies lalat tertinggi, yaitu S. calcitrans (57.19%), diikuti dengan M. domestica (11.92%), H. senio Tabel 2 Data kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominasi spesies pada peternakan rakyat dan peternakan besar Peternakan Rakyat Peternakan Besar Spesies Lalat KN (%) Frek Dom (%) KN (%) Frek Dom (%) 16.56 0.72 11.92 2.19 1.00 2.19 M. domestica 0.31 0.06 0.02 0.01 0.10 0.00 M. seniorwhitei 23.44 0.22 5.16 97.64 1.00 97.64 H. exigua 57.19 1.00 57.19 0.12 0.90 0.11 S. calcitrans 0.00 0.00 0.00 0.01 0.10 0.00 S. indicus 1.25 0.22 0.28 0.02 0.20 0.00 T. megalops 1.25 0.11 0.14 0.01 0.10 0.00 T. rubidus KN = kelimpahan nisbi, Frek = frekuensi, Dom = dominasi
16 exigua (5.16%), T. megalops (0.28%), T. rubidus (0.14%), dan M. seniorwhitei (0,02%). Pada peternakan besar diperoleh kelimpahan nisbi sangat tinggi pada lalat H. exigua (97.64%). Kelimpahan nisbi rendah terdapat pada M. domestica (2.19%). Kelimpahan nisbi sangat rendah pada lalat S. calcitrans (0.12%), T. megalops (0.02%), M.seniorwhitei (0.01%), dan S. indicus (0.01%), dan T. rubidus (0.01%). Frekuensi tertinggi saat penangkapan terdapat pada lalat H.exigua (1.00) dan M. domestica (1.00), kemudian diikuti S. calcitrans (0.90), T. megalops (0.20), M. seniorwhitei (0.10), S. indicus (0.10), dan T. rubidus (0.10). Nilai frekuensi ini digunakan untuk menentukan nilai dominasi spesies lalat. Dominasi spesies lalat tertinggi pada lalat H. exigua (97.64%), kemudian diikuti lalat M. domestica (2.19%) dan S. calcitrans (0.11%). Hasil perhitungan tersebut dapat dibandingkan antara peternakan rakyat dengan peternakan besar. Pada peternakan besar kelimpahan nisbi spesies lalat lebih bervariasi, tetapi nilainya rendah. Berbeda dengan kelimpahan nisbi pada peternakan rakyat, kelimpahan nisbi spesies lalat cukup bervariasi dengan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan peternakan besar. Selama proses penangkapan spesies lalat yang selalu diperoleh dan tertangkap pada peternakan rakyat, yaitu S. calcitrans, sedangkan pada peternakan besar, yaitu H. exigua dan M. domestica. Spesies lalat yang mendominasi pada peternakan rakyat, yaitu S. calcitrans (57.19%). S. calcitrans lebih dominan ditemukan pada peternakan rakyat, hal ini terjadi karena peternakan rakyat memiliki luas peternakan yang lebih sempit dibandingakan dengan peternakan besar. Sempitnya luas peternakan ini mengakibatkan bau khas yang dihasilkan oleh ternak akan tercium lebih kuat oleh S. calcitrans. Bau khas yang dihasilkan oleh ternak berperan sebagai penarik beberapa jenis Stomoxys (Torr et al. 2006). Selain itu, S. calcitrans lebih menyukai meletakkan telur pada tumpukan manure yang banyak terdapat pada peternakan rakyat. S. calcitrans tidak mendominasi pada peternakan besar, lalat ini memiliki nilai dominasi yang sangat kecil dibandingkan dengan nilai dominasi pada peternakan rakyat. Menurut Muenworn et al. (2010) S. calcitrans tidak menyukai area yang luas dan terbuka. S. calcitrans lebih menyukai mengisap darah pada ternak yang dipelihara untuk tujuan penggemukan karena pada umumnya ternak ini ditempatkan pada area terbatas atau dikandangkan. Keragaman jenis lalat yang terdapat dalam peternakan rakyat tergolong bervariasi. Tetapi variasi ragam jenisnya tidak memiliki populasi yang cukup tinggi. Walaupun dengan manajemen yang sederhana, ada beberapa peternakan rakyat yang sudah menggunakan insektisida untuk mengendalikan lalat pada ternak. Insektisida merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk mengendalikan populasi serangga yang merugikan manusia, ternak, tanaman, dan sebagainya yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya agar kerugian dan gangguan dapat ditekan sekecil mungkin (Hadi dan Soviana 2010). Populasi lalat pada peternakan rakyat tergolong kecil juga dipengaruhi oleh tindakan para peternak yang dapat mengendalikan populasi lalat dengan cara pemberian abu pada kandang dan tubuh sapi. Pemberian abu ini bertujuan untuk mengurangi bau yang dihasilkan feses sapi potong dan mempercepat pengeringan feses dan manure sehingga dapat menghambat tempat perkembangbiakan lalat. Selain itu,
17 pengendalian sederhana yang dilakukan peternak dengan cara membakar rumput kering di sekitar kandang sehingga lalat di sekitar tubuh sapi potong berkurang. Dominasi spesies lalat tertinggi pada lalat H. exigua (97.64%) karena selain kelimpahan nisbi tinggi, juga diperoleh dalam seluruh frekuensi penangkapan. H. exigua merupakan jenis lalat yang lebih menyukai darah sapi (Kuramochi 2000). Tidak seperti diptera lainnya yang makan sedikit-sedikit untuk memenuhi perkembangbiakannya, sedangkan lalat H. exigua membutuhkan makan sepanjang 24 jam sehingga lalat ini selalu berada di dekat inangnya karena sifat tersebut H. exigua lebih banyak tertangkap. H. exigua juga merupakan lalat yang cenderung memilih inang yang cocok. Jika lalat ini telah menemukan inang yang cocok maka lalat ini tidak akan berpindah inang dan akan menjadikan inang yang ditempatinya sebagai inang tetap. H. exigua juga merupakan jenis lalat yang biasa hidup sebagai suatu kawanan (Pruett et al. 2003) sehingga setiap kali penangkapan diperoleh lalat H. exigua dalam jumlah banyak. Hal ini mengakibatkan nilai dominasi tertinggi lalat H. exigua pada peternakan besar. H. exigua akan lebih cenderung berkembang biak pada wilayah peternakan besar ini. Larva lalat akan berkembang dalam feses segar hewan ternak dengan bantuan bakteri yang terdapat dalam feses. Hal ini mengakibatkan lalat terus berkembang biak dalam peternakan dan mengalami siklus hidup tetap dalam peternakan ini. Kondisi peternakan besar ini yang kurang memperhatikan kebersihan kandang, sapi potong dimandikan hanya sebulan sekali, dan banyaknya tumpukan feses yang ada di sekitar kandang mengakibatkan lalat lebih menyukai tinggal di peternakan ini. Hubungan antara Kepadatan Lalat dengan Suhu dan Kelembapan di Peternakan Besar Perkembangbiakan dan distribusi lalat sangat dipengaruhi oleh perubahan kondisi cuaca, terutama mikroklimat di sekitar kandang. Suhu, kelembapan dan curah hujan merupakan faktor cuaca utama yang mempengaruhi peningkatan dan penurunan populasi lalat (Vazquez et al. 2004). Distribusi lalat akan berfluktuasi meng
Gambar 8 Hubungan antara kepadatan lalat dengan suhu
18
Gambar 9 Hubungan antara kepadatan lalat dengan kelembapan mengikuti perubahan cuaca yang terjadi. Pada gambar 8 dapat terlihat hubungan antara kepadatan lalat dengan suhu. Pengambilan sampel sebanyak 10 kali memperlihatkan peningkatan kepadatan lalat pada hari ke-1 sampai hari ke-8, kemudian kepadatan lalat menurun pada hari ke-9 dan hari ke-10. Perubahan suhu yang terjadi tidak berbeda jauh dari hari ke hari selama 10 kali penangkapan lalat berada pada kisaran 25.3-28.8°C. Fluktuasi pengaruh kepadatan lalat terhadap suhu kurang terlihat karena perubahan suhu yang terjadi selama 10 kali penangkapan tidak terlalu signifikan. Pada gambar 9 terlihat hubungan antara kepadatan lalat dengan kelembapan. Kepadatan lalat mengalami peningkatan pada hari ke-1 sampai hari ke-8, kemudian menurun pada hari ke-9 dan hari ke-10. Kelembapan mengalami peningkatan dan penurunan selama 10 kali penangkapan tersebut pada rentang 5069%, sedangkan pada hari ke-9 terjadi penurunan kelembapan secara signifikan sebesar 50%. Pada hari tersebut terjadi pula penurunan kepadatan lalat baik lalat H. exigua maupun M. domestica. Kelembapan kembali mengalami peningkatanpada hari ke-10 sebesar 64%. Fluktuasi pengaruh kepadatan lalat terhadap kelembapan kurang karena perubahan kelembapan yang terjadi selama 10 kali penangkapan tidak terlalu signifikan. Pada pengukuran korelasi antara kepadatan lalat (M. domestica dan H. exigua) dengan suhu (Tabel 3) diperoleh koefisien korelasi (r) kecil (r=0.352 dan r=0.158) sehingga dapat dikatakan tidak ada korelasi. Tingkat hubungan korelasi dapat dikatakan kuat jika r=0.8-1.0. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Lysyk (1998) menyatakan bahwa perkembangan lalat pradewasa dan umur lalat dewasa sebanding dengan suhu. Peningkatan suhu akan memperpanjang umur lalat dewasa sehingga populasi lalat akan semakin meningkat Tabel 3 Korelasi / hubungan antara kepadatan lalat dengan suhu dan kelembapan M. domestica H. exigua 0.352 0.158 Suhu 0.233 0.018 Kelembapan
19 meningkat sedangkan penurunan suhu yang ektrim akan memperpanjang preoviposisi dan mengurangi durasi produksi telur oleh lalat betina dewasa. Pada pengukuran korelasi antara kepadatan lalat (M. domestica dan H. exigua) dengan kelembapan (Tabel 3) diperoleh nilai r kecil (r=0.233 dan r=0.018) sehingga dapat dikatakan pula tidak ada korelasi. Tingkat hubungan korelasi dapat dikatakan kuat jika r=0.8-1.0. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Vazquez et al. (2004) menyatakan bahwa kelembapan memiliki korelasi tinggi terhadap peningkatan populasi lalat S. calcitrans. Kelembapan ini akan berkorelasi tinggi dengan populasi lalat pada musim penghujan dimana kelembapan dipengurahi oleh adanya curah hujan. Waktu penelitian yang dilakukan dengan periode waktu yang singkat tidak memberikan korelasi yang tinggi antara kepadatan lalat dengan suhu dan kelembapan. Selain itu, pengukuran suhu dan kelembapan yang dilakukan bukan suhu dan kelembapan mikro yang ada di dalam kandang, melainkan suhu dan kelembapan makro untuk daerah Cirebon. Kepadatan lalat ini akan mengalami penurunan dan peningkatan sesuai dengan perubahan musim yang terjadi. Menurut Barros (2001) populasi lalat H. irritans di Brazil memiliki korelasi yang rendah jika dihubungkan dengan masing-masing parameter klimat (suhu, kelembapan, dan curah hujan), tetapi populasi H. irritans memiliki korelasi yang tinggi dengan periode pergantian musim. Potensi Permasalahan akibat Lalat Pada peternakan rakyat didominasi oleh lalat pengganggu jenis S. calcitrans. Gigitan lalat S. calcitrans mengakibatkan iritasi dan mentransmisikan beberapa patogen dalam gigitannya. S. calcitrans dapat mentransmisikan parasit darah, seperti Trypanosoma. S. calcitrans ini berperan sebagai vektor biologis terjadinya Trypanosomiasis. Kasus Trypanosomiasis yang terjadi pada sapi berasal dari Trypanosoma evansi yang tertelan oleh lalat S. calcitrans secara insidental (Hadi dan Amery 2012). S. calcitrans juga merupakan vektor mekanik Besnoitiosis (Lienard et al. 2013). Besnoitia besnoiti merupakan parasit penyebab Besnoitiosis pada sapi yang dapat menyebabkan beberapa kerugian ekonomi yang parah pada peternakan, seperti aborsi, kematian, penurunan kondisi tubuh, dan kerusakan pada kulit akibat infestasi bradyzoite pada jaringan kulit. Pada peternakan besar didominasi oleh lalat pengganggu jenis H. exigua. Lalat ini biasanya hidup bergerombol sehingga sangat mengganggu kenyaman hewan ternak. Gigitan lalat ini akan mengakibatkan reaksi alergi pada ternak, kemudian ternak akan menggosok-gosokkan tubuhnya pada bagian kandang yang kasar. Gosokan ini akan mengakibatkan terbentuknya ulkus, kemudian akan berkembang menjadi miasis. H. exigua diketahui sebagai vektor mekanik nematoda Stephanofilaria stilesi (Foil dan Hogsette 1994). Lalat ini menyebabkan lesio pada kulit. lesio berbatas jelas, berkerak, dan terletak di perut dekat garis tengah. Ulserasi ventral dermatits terjadi pada garis tengah terkait dengan bagian ini merupakan predileksi dari H. exigua. Lalat ini akan lebih sering hinggap pada bagian tubuh yang rambutnya telah rontok. H. exigua akan berkumpul di sekitar luka. Kejadian lebih fatal lagi akan terjadi sepsis dengan luka yang menyebar, sehingga dapat terjadi kematian pada hewan.
20
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Keragaman jenis lalat pengganggu yang terdapat pada peternakan rakyat, yaitu S.calcitrans, H. exigua, M. domestica, T. megalops, T. rubidus, dan M. seniorwhitei. Pada peternakan besar keragaman jenis lalat penganggu, yaitu H. exigua, M. domestica, S. calcitrans, T. megalops, M. seniorwhitei, S. indicus, dan T. rubidus. Dominasi spesies lalat pada peternakan rakyat adalah S. calcitrans, sedangkan pada peternakan besar adalah H. exigua. Tidak ada korelasi antara kepadatan lalat dengan faktor cuaca (suhu dan kelembapan) di peternakan besar. Potensi panyakit pada ternak sapi potong di peternakan besar yang ditimbulkan, yaitu mengakibatkan ulkus, bahkan sepsis dan merupakan vektor mekanik Stephanofilaria stilesi. sedangkan potensi penyakit di peternakan rakyat, yaitu Trypanosomiasis dan Besnoitiosis. Saran Penelitian ini sebaiknya dapat dilanjutkan dengan penggunaan periode waktu yang lebih panjang sesuai dengan pergantian musim, sehingga dapat diketahui fluktuasi lalat dari musim ke musim. Selain itu, penggunaan metode penangkapan harus lebih bervariasi karena semakin banyak metode penangkapan yang dilakukan akan memberikan hasil keragaman yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Ahmed AB, Okiwelu SN, Samdi SM. 2005. Species diversity, abundance and seasonal occurrence of some bitng flies in Southern Kaduna, Nigeria. 2005(8):113-118. Albarrak AS. 2009. Comparative studies on house fly, Musca domestica L., population in different animal farm in relation to attractants and control at hail province, Saudi Arabia. Pak Entomol. 31(2):1-7. Avancini RMP, Silveira GAR. 2000. Age structure and abundance in population of muscoid flies from a poultry facility in Southeast Brazil. Mem Inst Oswaldo Cruz. 95(2):259-264. Axtell RC. 1999. Poultry integrated pest management: status and future. Kluwer Academic Publisher. 4:53-73. Barros ATM. 2001. Dynamics of Haematobia irritans irritans (Diptera: Muscidae) infestation on Nelore Cattle in Pantanal, Brazil. Mem Inst Oswaldo Cruz. 96(4):445-450. Brazil SM, Dayton CS, Allen LS. 2007. Detection of pathogen DNA from filth flies (Diptera: Muscidae) using filter paper spot cards. J Agric Urban Entomol. 24(1):1-6.
21 Broce AB, Hogsette J, Paisley S. 2005. Winter feeding sites of hay in round bales as major developmental sites of Stomoxys calcitrans (Diptera: Muscidae) in pastures in spring and summer. J Econom Entomol. 98(6):2307-2312. Castro BGD, Milliane MS, Souza D, Avelino JB. 2007. Aerobic bacterial microbiota in Stomoxys calcitrans: preliminary studies in Brazil. J Vet Parasitol. 16(4):193-197. Carvalho CJB, Mello-Patiu CA. 2008. Key to the adult of the most common forensic species of diptera in South America. Revista Brasileira de Entomologia. 52(3):390-406. Changbunjong T, Weluwanarak T, Ratanakorn P, Maneeon P, Ganpanakngan M, Apiwathnasorn C, Sungvornyothin S, Sriwichai P, Sumruayphol S, Ruangsittichai. 2012. Distribution and abundance pf Stomoxyini flies (Diptera: Muscidae) in Thailand. Med Entomol. 43(6):1400-14210. Cupp EW, Cupp MS, Ribeiro JM, Kunz SE. 1998. Blood-feeding strategy of Haematobia irritans (Diptera:Muscidae). J Med Entomol. 35:591-595. Departemen Pertanian. 2011. Konsumsi Rata-rata per Kapita Setahun Beberapa Bahan Makanan di Indonesia, 2007-2012. www.deptan.go.id [Internet]. [diunduh 2013 Maret 10]. El-Hassan GMMA, Badrawy HBM, Mohammad AK, Fadl HH. 2010. Cladistic analysis of Egyptian horse flies (Diptera: Tabanidae) based on morphological data. Egypt Acad J Biolog Sci. 3(2):51-62. Foil LD, Hogsette JA. 1994. Biology and control of tabanids, stable flies and horn flies. Rev Sci Tech Off int Epiz. 13(4):1125-1158. Gillespie BE, Owens WE, Nickerson SC, Oliver SP. 1999. Deoxyribonucleic acid fingerprinting of Staphylococcus aureus from heifer mammary secretions from horn flies. J Dairy Sci. 82:1581-1585. Gunalan S, Kamaliah G, Wan S, Rozita AR, Rugayah M, Osman MA, Nabijah D, Shah A. 2011. Sheep oestrosis (Oestrus ovis, Diptera: Oestridae) in Damara crossbred sheep. Malaysian Journal of Veterinary Research. 2(2):41-49. Habeeb MA, Mohammed AM. 2012. Mechanical transmission of bacteria via animal agents truefly species. Advance Studies in Biology. 4(12):538-591. Hadi AM, Amery AMA. 2012. Isolation and Identification of some blood parasites from midgut of stable fly (Stomoxys calcitrans). J Vet Med Sci. 11(1):1-6. Hadi UK, Gunandini DJ, Soviana S, Sigit SH. 2011. Panduan Identifikasi Ektoparasit: Bidang Medis dan Veteriner. Bogor (ID): IPB Pr. Hadi UK, Sigit SH. 2006. Hama dan Permukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi dan Pengendalian. Bogor (ID): IPB Pr. Hadi UK, Soviana S. 2010. Hama Ektoparasit: Pengenalan, identifikasi, dan Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr. Hadi UK, Soviana S, Tatty S. 2011. Ragam jenis nyamuk di sekitar kandang babi dan kaitannya dalam penyebaran Japanese encephalitis. Jurnal Veteriner. 12(4):326-334. Hennekeler KV, Jones RE, Skerratt LF, Fitzpatrick LA, Reid SA, Bellis GA. 2008. A comparison of trapping methods for Tabanidae (Diptera) in North Queensland, Australia. Med Vet Entomol. 22:26-31.
22 Huang Y, Shinonaga S, Sasaki H. 2007. Studies on the muscid flies associated with pasturing cattle and water buffaloes in Taiwan (Diptera: Muscidae). J Rakuno Gakuen Univ. 32(1):15-20. Ihemanma CA, Etusim PE, Kalu MK, Adindu RU, Iruoha G. 2013. Diptera: the order of great public health nuisance. J Environ Sci Toxicol. 2(5):135-143. Kaufman PE, Rutz DA, Frisch S. 2005. Large sticky traps for capturing house flies and stable flies in dairy calf greenhouse facillities. J Dairy Sci. 88:176-181. Khoobdel M, Akbarzadeh K, Jafari H, Tavana MA, Izadi MD, Jazayeri M, Bahmani MM, Salari M, Akhoond M, Rahimi M, Esfahami A, Nobakht M, Rafienejad J. 2013. Diversity and abundance of medically-important flies in the Iranian triple island; the Greater Tund, Lasser Tund, and AbuMusa. Iranian Journal of Military Medicine. 4(14):327-336. Kuramochi K. 2000. Survival, ovarian development and blood meal size for the horn fly Haematobia irritans reared in vitro. Med Vet Entomol. 14:201206. Lienard E, Salem A, Jacquiet P, Grisez C, Prevot F, Blanchard B, Bouhsira E, Frane M. 2013. Development of a protocol testing the ability of Stomoxys calcitrans (Linnaeus, 1758) (Diptera: Muscidae) to transmit Besnoitia besnoiti (Henry, 1913) (Apicomplexa: Sarcocystidae). Parasitol Res. 112:479-486. Lysyk TJ. 1998. Relationships between temperature and life-history parameter of Stomoxys calcitrans (Diptera: Muscidae). J Med Entomol. 35(2):107-119. Masmeatathip R, Ketavan C, Duvallet G. 2006. Morphological studies of Stomoxys spp. (Diptera: Muscidae) in Central Thailand. Kasetsart J. 40(4):872-881. Meerburg BG, Vermeer HM, Kijlstra A. 2007. Controlling risks of pathogen transmission by files on organic pig farms. Agriculture. 36(3):193-197. Mitra A. 2013. How and why insects remodel their bodies between life stages. Current Science. 104(8):1028-1036. Mouritsen KN, Poulin R. 2002. Parasitism, community structure and biodiversity in intertidal ecosystems. Parasitism in Intertidal Sytems. 124:101-117. Muenworn V, Gerard D, Krajan T, Siripun T, Somchai T, Atchariya P, Pongthep A, Suprada S, Theeraphap C. 2010. Geographic distribution of Stomoxyine flies (Diptera: Muscidae) and diurnal activity of Stomoxys calcitrans in Thailand. J Med Entomol. 47(5):791-797. Pruett JH, Seelman CD, Miller JA, Pound JM, George JE. 2003. Distribution of horn flies on individual cows as a percentage of the total horn fly population. J Vet Parasitol. 116:251–258. Rodriguez SD, Garcia OMA, Jimenez OR, Vegay MC. 2009. Molecular epidemiology of bovine anaplasmosis with a particular focus in Mexico. Infect Genet Evol. 9:1092-1101. Sinshaw A, Abebe G, Desquesnes M, Yoni W. 2006. Biting flies and Trypanosoma vivax infection in three highland districts bordering Lake Tana, Ethiopia. Vet Parasitol. 142:35-46. Spier SJ, Leutenegger CM, Carroll SP, Loye JE, Pusteria JB, Carpenter TE, Mihalyi JE, Madigan JE. 2004. Use of real-time polymerase chain reaction-based fluorogenic 5′ nuclease assay to evaluate insect vectors of
23 Corynebacterium pseudotuberculosis infections in horses. Amer J Vet Res. 65:829-834. Taylor DB, Moon RD, Mark DR. 2012. Economic impact of stable flies (Diptera: Muscidae) on diary and beef cattle production. J Med Entomol. 49(1):198209. Thomas G, Jespersen JB. 1994. Non-biting Muscidae and control methodes. Rev sci tech Off int Epiz. 13(4):1159-1173. Torr SJ, Mangwiro TNC, Hall DR. 2006. The effects of host physiology on the attraction of tsetse (Diptera: Glossinidae) and Stomoxys (Diptera: Muscidae) to cattle. Bull Entomol Res. 96:71-84. Torres L, Consuelo A, Nieves A, Ruth C, Galindo, Rodrigo RC, Hector QR, Christian G, Jose DLF. 2012. Identification of microorganisms in partially fed female horn flies, Haematobia irritans. Parasitol Res. 111:1391-1395. Tumrasvin W, Satoshi S. 1977. Report of species belonging to the genus Musca Linne, including the taxonomic key (Diptera: Muscidae). Tokyo Med Dent Univ. 24(3):209-218. Tumrasvin W, Satoshi S. 1978. Studies on medically important flies in Thailand V. on 32 species belonging to the subfamillies Muscinae and Stomoxyinae including the taxonomic keys (Diptera: Muscidae). Tokyo Med Dent Univ. 25(4):201-227. Tumrasvin W, Satoshi S. 1982. Studies medically important flies in Thailand. Report on 73 species of muscid flies (excluding Muscinae and Stomoxyinae) with the taxonomic keys (Diptera: Muscidae). Jap J Sanit Zool. 33(3):181-199. Urech R, Brown GW, Moore CJ, Green PE. 2005. Cuticular hydrocarbons of Buffalo Fly Haematobia exigua, and chemotaxonomic differentiation from Horn Fly, H. irritans. J Chemic Ecol. 31(10):2451-2453. Vazirianzadeh B, Setareh SS, Mahmoud R, Reza H, Manijeh M. 2008. Identification of bacteria which possible transmitted by Musca domestica (Diptera: Muscidae) in the region of Ahvaz, SW Iran. Jundishapur J Microbiol. 1(1):28-31. Vazquez CC, Irene VM, Miguel RP, Zeferino GV. 2004. Influence of temperature, humidity and rainfall on field population trend of Stomoxys calcitrans (Diptera: Muscidae) in a semiarid climate in Mexico. Parasitol Latinoam. 59:99-103. Watson DW, Denning S, Calibeo-Hayes DI, Stringham SM, Mowreya RA. 2007. Comparison of twi fly trap for the capture of horse flies (Diptera: Tabanidae). J Entomol Sci. 42(2):123-132.
24
25
LAMPIRAN
26 Data suhu, kelembapan, dan keragaman spesies pada peternakan rakyat Peternakan rakyat
Suhu (oC)
Kelembapan (%)
Jumlah sapi potong
Spesies Lalat Total Musca domestica
Musca seniorwhitei
Haematobia exigua
Stomoxys calcitrans
57
11
A
27,6
70
24
4
B
27,5
67
2
C
27,2
74
12
9
1
D
27,6
66
2
1
6
E
27,9
67
2
2
6
F
27,8
58
4
3
G
28,1
61
1
4
6
H
27
69
4
2
11
I
27,7
76
5
13
J
27,3
61
1
9
K
27,4
59
5
37
L
27.4
59
1
5
M
27,7
61
7
6
N
27,4
62
18
8
O
27.4
62
15
9
5
P
28,2
61
6
1
9
Q
28.2
61
5
2
14
R
28.2
61
5
2
7
Stomoxys indicus
Tabanus megalops
Tabanus rubidus
1
12
2
1
53
Total
1
1
14
14
16
2
1
75
1
1
3
1
183
4
4
320
Data suhu, kelembapan, dan keragaman spesies pada peternakan besar Hari ke-
Suhu (oC)
Kelembapan (%)
Spesies Lalat
Jumlah Sapi Potong Musca domestica 104
12
64
104
17 8
1
27,4
63
2
27,5
Musca seniorwhitei
1
Haematobia exigua
Stomoxys calcitrans
391
1
742
1
791
1
3
26,9
58
104
4
26,6
58
104
16
1123
1
5
25,3
68
104
17
1293
2
6
27,6
69
104
54
1446
1
43
1661
2
Stomoxys indicus
28
68
8
28,3
56
104
54
1892
9
28,8
50
104
18
1175
1
10
28,2
64
104
15
798
4
1
11312
14
1
1
Total
1
7
254
Tabanus rubidus
1
104
Total
Tabanus megalops
1
2
1
11585
27 Analisi Korelasi
Suhu Nilai-p Kelembapan Nilai-p
H. exigua 0.158 0.663 0.018 0.960
Korelasi (%) M. domestica 0.352 0.352 0.233 0.517
S. calcitrans -0.025 0.946 0.416 0.232
28
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Indramayu pada tanggal 24 Januari 1991 dari ayah Slamet dan ibu Siti Asiah. Penulis adalah putri ketiga dari tiga bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Sindang dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif pada Himpunan Minat dan Profesi (Himpro) Ruminansia FKH-IPB sebagai staf divisi Eksternal tahun 2010, staf Divisi Sosling Organisasi Mahasiswa Daerah (Omda) Indramayu pada tahun 2010, bendahara umum Omda Indramayu pada tahun 2011.