BIOEKOLOGI BERBAGAI JENIS SERANGGA PENGGANGGU PADA HEWAN TERNAK DI INDONESIA DAN PENGENDALIANNYA Upik Kesumawati Hadi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Dept Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor Jl. Agatis Kampus Darmaga Bogor 16880 email
[email protected]
Perjuangan manusia melawan gangguan hama (Artropoda pengganggu) sudah dimulai semenjak ia tercipta di muka bumi ini. Sebagian hama menyerang manusia dan hewan ternak baik secara langsung dengan menghisap darahnya, maupun tidak langsung sebagai penular berbagai jenis penyakit atau sebagai pengganggu dengan caranya “nimbrung” di tempat peternakan sehingga menimbulkan gangguan fisik maupun psikis pada ternak dan orang yang di sekitarnya. Lingkungan peternakan yang umumnya berupa suatu kompleks bangunan kandang yang sering berdekatan dengan tempat tinggal manusia berikut berbagai fasilitas yang berhubungan dengan pelbagai hajat hidupnya, termasuk juga jalan, selokan, berikut tanaman pekarangan dan hewan-hewan peliharaan lainnya, merupakan sebuah ekosistem tersendiri yang unik. Lingkungan itu seringkali pada kenyataannya banyak dimanfaatkan oleh hama pengganggu sebagai habitat, tempat istirahat serta tempat mencari makan. Berbagai jenis hama tersebut hidup atau berada di lingkungan peternakan, yang keberadaannya dapat merupakan gangguan atau bahkan bahaya bagi para hewan ternak dan juga orang-orang di sekitarnya. Hama pengganggu peternakan yang berasal dari kelompok Arthropoda dikenal dengan istilah Ektoparasit, karena hidupnya di luar tubuh inangnya (hewan atau manusia). Ektoparasit ini ada yang bersifat obligat dan fakultatif. Yang bersifat obligat artinya seluruh stadiumnya, contohnya, kutu penghisap (Anoplura), menghabiskan seluruh waktunya pada bulu dan rambut. Kelompok yang bersifat fakultatif artinya ektoparasit itu menghabiskan waktunya sebagian besar di luar inangnya. Mereka datang mengganggu inang hanya pada saat makan atau menghisap darah ketika diperlukannya. Contohnya, kutu busuk (Hemiptera: Cimicidae), datang pada saat membutuhkan darah, setelah itu bersembunyi di tempat-tempat gelap atau celah-celah yang terlindung, jauh dari inangnya. Demikian juga yang dilakukan oleh berbagai jenis serangga penghisap darah dari Ordo Diptera, khususnya famili Culicidae (nyamuk, agas, mrutu, lalat punuk), Tabanidae (lalat pitak, lalat menjangan), lalat kandang (Stomoxys calcitrans), dan lalat kerbau (Haematobia exigua). Ektoparasit yang banyak dijumpai di peternakan Indonesia antara lain adalah berbagai jenis kutu (Phthiraptera), kutu busuk (Hemiptera), kutu franki (Coleoptera), lalat (Muscidae), nyamuk (Culicidae), kecoa (Dyctioptera), pinjal (Siphonaptera). tungau (Parasitiformes), dan caplak (Acariformes), Peranan ektoparasit dalam kehidupan hewan maupun manusia sangat merugikan karena dengan adanya kegelisahan itu dapat membuatnya lupa makan, sehingga dapat menurunkan status gizi, produksi daging atau telur secara drastis.
1
Berikut ini disebutkan beberapa jenis hama yang umum dijumpai pada lingkungan peternakan antara lain berbagai jenis lalat, nyamuk, kutu, pinjal, caplak dan tungau. Konsep pengendalian hama pada hewan ternak juga diberikan pada akhir tulisan ini. Lalat Lalat yang berada di sekitar kandang ayam adalah lalat rumah Musca domestica dan lalat hijau Chrysomya megacephala, dan di kandang sapi umumnya lalat kandang Stomoxys calcitrans. Lalat ini berkembang biak pada habitat di tumpukan kotoran, sampah yang telah membusuk dan penuh dengan bakteri dan organisme patogen lainnya. Populasi lalat yang tinggi atau melimpah dapat mengganggu ketentraman hewan dan manusia karena menimbulakn ketidak nyamanan sekitar dan dapat menularkan berbagai jenis penyakit gangguan pencernaan akibat berbagai jenis bakteri yang ditularkannya. Semua lalat mengalami metamorfosis sempurna dalam perkembangannya. Telurnya diletakkan dalam medium yang dapat menjadi tempat perindukan larva. Larva seringkali makan dengan rakus. Umumnya larva lalat mengalami empat kali molting selama hidupnya. Periode makan ini bisa berlangsung beberapa hari atau minggu, tergantung suhu, kualitas makan, jenis lalat dan faktor lain. Setelah itu berubah menjadi pupa. Kebanyakan larva yang bersifat terestrial ini cenderung meninggalkan medium larva menuju tempat yang lebih kering untuk pupasi. Stadium pupa bisa beberapa hari, minggu atau bulan. Lalat dewasa muncul, kemudian terbang, mencari pasangan untuk kawin, dan yang betina setelah itu akan bertelur. Populasi lalat meningkat tergantung musim dan kondisi iklim, dan tersedianya tempat perindukan yang cocok. Suhu lingkungan, kelembaban udara dan curah hujan adalah komponen cuaca yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makhluk hidup di alam. Larva lalat amat rentan terhadap kelembaban udara, suhu udara yang menyimpang dan curah hujan yang berlebihan. Di daerah tropika, lalat rumah membutuhkan waktu 8-10 hari pada suhu 30 0C dalam satu siklus hidupnya, dari telur, larva, pupa dan dewasa. Lalat kandang Stomoxys calsitrans siklus hidup berkisar 3-5 minggu pada kondisi optimal. Lalat ini menghisap darah hewan dan cenderung tetap di luar rumah di tempat yang terpapar sinar matahari. Di Indonesia, lalat hijau yang umum di daerah peternakan dan permukiman adalah Chrysomyia megacephala., dan jenis lalat hijau di ternak yang digembalakan di padang rumput adalah Chrysomyia bezziana.
Agas atau Mrutu (biting midges) Agas termasuk Famili Ceratopogonidae, dengan 4 genus di antaranya menyerang hewan berdarah panas lainnya dan manusia. Keempat genus tersebut adalah Culicoides, Forcipomyia (subgenus Lasiohelea), Austroconops dan Leptoconops, meskipun demikian Culicoides adalah yang paling mendapat perhatian utama. Di Indonesia tercatat sebanyak 100 spesies Culicoides tersebar di 19 daerah propinsi di
2
Indonesia. Spesies yang umum dijumpai antara lain adalah Culicoides fulvus, C. peregrinus, C. orientalis, C. oxystoma, C. sumatrae, C. guttifer, C. huffi, C. palpifer, dan C. parahumeralis (Hadi et al., 2000). Culicoides dewasa berukuran sangat kecil (1.5-5.0 mm), toraks sedikit bongkok dan menonjol ke atas kepala. Sayapnya sempit dengan sedikit venasi tanpa sisik-sisik sayap (scales), bening dan berambut halus, pada beberapa spesies berbintik-bintik (bertotol-totol). Ketika istirahat sayap terlipat di atas abdomen. Antenanya panjang terdiri atas 14 segmen sedangkan palpi terdiri atas 5 segmen. Bagian dorsal toraks terdapat liang humerus (humeral pits). Telurnya berukuran 350-450 um, berbentuk lonjong diletakkan satu persatu. Larvanya berbentuk seperti cacing berwarna putih, mempunyai kepala, dan toraks yang terdiri dari tiga ruas, serta abdomen dengan 9 ruas. Pupanya berukuran 2-4 mm, berbentuk khas, lonjong dengan sepasang corong pernafasan di daerah toraks. Culicoides betina mengigit dan menyerang hewan pada waktu senja hari dan malam hari yang tenang, tanpa angin. Pada siang hari lalat berkerumun di dekat kolam dan rawa-rawa, serta tanah yang lembab tempat berkembang biak yang disukainya. Culicoides mengalami metamorfosis sempurna, yaitu dari telur, larva, pupa dan dewasa. Habitat telur dan larva bersifat akuatik atau semiakuatik. Telur diletakkan pada tanaman atau bahan tumbuh-tumbuhan dalam air dangkal misalnya tepi kolam dan lubang-lubang pohon, bahan-bahan yang telah membusuk seperti batang pepaya, pangkal batang pisang, dan bahkan pada lubang tempat kotoran sapi. Dalam waktu kira-kira tiga hari kemudian telur menetas menjadi larva yang halus, panjang dan berputar berbelit masuk ke dalam dasar lumpur, tempat ia makan sisa tumbuhan dengan mandibulanya yang bergerigi. Periode larva ini berlangsung selama 1-12 bulan, setelah itu berubah menjadi pupa. Lalat dewasa keluar dari pupa dalam waktu 3 sampai 5 hari. Hanya lalat betina yang mengisap darah (0.139-0,410 mikroliter), sedang yang jantan menghisap cairan tumbuh-tumbuhan. Peranan Culicoides dalam dunia kesehatan adalah sebagai penghisap darah yang sangat mengganggu dan juga sebagai vektor penular Leucocytozoonosis pada ternak unggas. Kutu (Lice) Kutu merupakan serangga ektoparasit obligat karena seluruh hidupnya berada pada dan tergantung pada tubuh inangnya. Oleh karena itu secara morfologi kutu ini sudah beradaptasi dengan cara hidupnya, misalnya dengan tidak memiliki sayap, sebagian besar tidak bermata, bentuk tubuh yang pipih dorsoventral, bagian mulut disesuaikan untuk menusuk-isap atau untuk mengunyah, dan memiliki enam tungkai atau kaki yang kokoh dengan kuku yang besar pada ujung tarsus yang bersama dengan tonjolan tibia berguna untuk merayap dan memegangi bulu atau rambut inangnya. Kebanyakan ahli Amerika menempatkan kutu dalam dua ordo yaitu Anoplura dan Mallophaga, sedangkan ahli-ahli dari Inggris, Jerman dan Australia menempatkan dalam satu ordo tunggal yaitu Phthiraptera dengan sub ordo Anoplura (kutu penghisap), Mallophaga (kutu penggigit) dan Rhynchophthirina (kutu gajah).
3
Secara umum jenis-jenis kutu yang banyak menyerang hewan di Indonesia adalah Menopon gallinae, Menacanthus stramineus, Cuclotogaster heterographus, Goniocotes dissimilis, Goniodes gigas, dan Lipeurus caponis pada ayam; Columbicola columbae pada burung merpati dang unggas liar lainnya; Heterodoxus longitarsus dan Trichodectes canis pada anjing; Felicola subrostratus pada anjing; Damalinia ovis, D. caprae, Linognathus ovillus, dan L. stenopsis pada domba dan kambing; Haematopinus eurysternus dan H. tuberculatus pada sapi dan kerbau; dan Haematomyzus elephantis pada gajah. Adapun jenis-jenis kutu yang menyerang manusia terdiri atas tiga subspesies yaitu Pediculus humanus capitis (kutu kepala), P. humanus corporis (kutu badan) dan Phthirus pubis (kutu kemaluan). Kutu kepala dan badan ternyata merupakan varietas dari satu spesies. Keduanya dapat melakukan perkawinan (interbreeding), keturunannya fertil dan perbedaan morfologinya juga sedikit. Kutu mengalami metamorfosis tidak sempurna, mulai dari telur, nimfa instar pertama sampai ketiga lalu dewasa. Seluruh tahap perkembangannya secara umum berada pada inangnya. Telurnya berukuran 1–2 mm, berbentuk oval, berwarna putih dan pada beberapa jenis permukaan telur bercorak-corak dan dilengkapi dengan operkulum. Telur kutu disebut nits (lingsa, Jawa), yang direkatkan pada bulu (rambut) inangnya dengan semacam zat semen pada bagian ujung dasar telur. Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor induk kutu mencapai 10–300 butir selama hidupnya. Telur menetas menjadi nimfa (kutu muda)setelah 5–18 hari tergantung jenis kutu. Warna nimfa dan kutu dewasa keputih-putihan, dan makin tua umurnya makin berwarna gelap. Kutu dewasa bisa hidup 10 hari hingga beberapa bulan. Kutu Frengki (lesser mealworms) Alphitobius diaperinus atau lebih dikenal oleh praktisi sebagai kutu frenki tergolong ordo Coleoptera dengan ciri umum sayap depan tebal sebagai pelindung sayap belakang (elitron), dan dalam keadaan istirahat, bertemu pada satu garis lurus ke mediodorsal. Pasangan sayap belakang bening, dan dilipat di bawah elitra. Bagian-bagian mulutnya disesuaikan untuk menggigit. Serangga ini mengalami metamorfosis sempurna. Kutu ini dapat mejadi hama pada peternakan ayam, banyak ditemukan di manure, gudang pakan, makanan ayam secara berkelompok dalam jumlah banyak. Frengki ini memakan tepung, beras, kedelai, dan kacang-kacangan yang lembab dan telah berjamur yang banyak terdapat di sekitar peternakan ayam.. Kutu Alphitobius diaperinus meletakkan telurnya di litter pada alas atau kolong kandang, gudang pakan.Telur berukuran 1.5 mm berwarna krem keputihan, diletakkan pada celah dan retakan di dalam manure atau litter dan akan menetas dalam waktu 3 sampai 6 hari menjadi larva. Larva beruas-ruas dan mempunyai tiga pasang kaki. Larva ini berwarna kuning sampai coklat. Larva akan menembus kayu-kayu kandang, panel, dinding dan bahkan selubung kabel, bahkan bisa berpindah ke bangunan yang ada di sekitarnya. Ketika berada di dalam kerangka kayu ini, larva banyak menimbulkan kerusakan-kerusakan. Setelah itu larva berubah menjadi pupa. Stadium pupa berlangsung 3-10 hari dan berubah menjadi dewasa. Frengki dewasa bisa hidup selama 3 bulan sampai satu tahun. Secara umum daur hidup ini sangat tergantung pada suhu,
4
waktu yang diperlukan untuk perkembangan dari telur hingga menjadi dewasa menjadi singkat dengan meningkatnya suhu. Frengki tidak akan terlihat dalam jumlah banyak sampai manure mulai menumpuk paling tida 20-24 minggu. Pinjal (Flea) Serangga ektoparasit ini bersifat semiobligat atau temporer, karena tidak seluruh siklus hidupnya berada pada tubuh inangnya. Hanya tahap dewasa yang menghisap darah, oleh karena itu sering dikatakan sebagai ektoparasit penghisap darah yang eksklusif. Tubuhnya berbentuk pipih bilateral dan mempunyai kakikaki yang panjang terutama kaki belakang. Pinjal tidak memiliki sayap, hal ini merupakan bentuk adaptasi untuk tinggal dan menghisap darah di antara bulu-bulu inangnya. Sampai saat ini diketahui terdapat sekitar 2500 jenis pinjal dari 239 genera. Dari jumlah ini 94% di antaranya menyerang mamalia sedangkan sisanya merupakan parasit pada burung. Ordo Siphonaptera terdiri atas beberapa famili, tetapi yang terpenting sebagai ektoparasit adalah famili Pulicidae. Dari famili ini, terdapat beberapa genus yang penting yaitu Tunga (pinjal chigoe), Ctenocephalides (pinjal kucing dan anjing), Echidnophaga (pinjal ayam), Pulex (pinjal manusia) dan Xenopsylla (pinjal tikus). Adapun jenis-jenis yang sering dijumpai sebagai ektoparasit utama dan menimbulkan masalah di Indonesia adalah Pulex irritans, Ctenocephalides felis, C. canis, dan Xenopsylla cheopis. Pinjal mengalami metamorfosis sempurna, yang didahului dengan telur, larva, pupa kemudian dewasa. Pinjal betina akan meninggalkan inangnya untuk meletakkan telurnya pada tempat-tempat yang dekat dengan inangnya, seperti sarang tikus, celahcelah lantai atau karpet, di antara debu dan kotoran organik, atau kadang-kadang di antara bulu-bulu inangnya. Telurnya menetas dalam waktu 2–24 hari tergantung jenis pinjal dan kondisi lingkungan. Larva pinjal sangat aktif, makan berbagai jenis bahan organik di sekitarnya termasuk feses inangnya. Larvanya terdiri atas 3-4 instar (mengalami 2–3 kali pergantian kulit instar) dengan waktu berkisar antara 10–21 hari. Larva instar terakhir bisa mencapai panjang 4–10 mm, setelah itu berubah menjadi pupa yang terbungkus kokon. Kondisi pupa yang berada dalam kokon seperti itu merupakan upaya perlindungan terhadap sekelilingnya. Tahap dewasa akan keluar 7–14 hari setelah terbentunya pupa. Lamanya siklus hidup pinjal dari telur hingga dewasa berkisar antara 2–3 minggu pada kondisi lingkungan yang baik. Pinjal dewasa akan menghindari cahaya, dan akan tinggal di antara rambut-rambut inang, pada pakaian atau tempat tidur manusia. Baik pinjal betina maupun yang jantan keduanya menghisap darah beberapa kali pada siang atau malam hari. Gangguan utama yang ditimbulkan oleh pinjal adalah gigitannya yang mengiritasi kulit dan cukup mengganggu. Selain itu dalam dunia kesehatan, pinjal tikus Xenopsylla cheopis berperan sebagai vektor penyakit pes (sampar), yang disebabkan oleh Yersinia pestis dan Ricketssia typhi. Pinjal anjing dan kucing, Ctenocephalides canis dan C. felis berperan sebagai inang antara cacing pita Dipylidium caninum dan Hymenolepis diminuta. Pinjal C. canis dan C. felis juga merupakan inang antara cacing filaria Dipetalonema reconditum. Adapun pinjal chigoe, Tunga penetrans betina dapat bersarang pada kulit manusia atau babi, terutama pada ujung-ujung jari kaki atau di
5
bawah kukunya dan menyebabkan pembengkakan berupa nodul-nodul abses yang menyakitkan . Kutu Busuk (Bed bug) Kepinding atau kutu busuk termasuk serangga ektoparasit dari ordo Hemiptera, Famili Cimicidae dan jenis yang terdapat di Indonesia adalah Cimex hemipterus . Kepinding memiliki tubuh yang berbentuk oval dan pipih dorso-ventral dengan panjang sekitar 4-7 cm. Berwarna merah kecoklatan dan mengkilat, dan akan berubah menjadi coklat tua dan membengkak setelah menghisap darah. Pasangan sayap depan kepinding telah bermodifikasi menjadi tonjolan hemelitra, sedangkan sayap belakang menghilang, sehingga kepinding dikenal tidak memiliki sayap. Dalam perkembangannya, kepinding mengalami metamorfosis yang tidak sempurna yang diawali dengan tahap telur, nimfa dan kemudian dewasa. Perkembangan sejak dari tahap telur hingga dewasa membutuhkan waktu sekitar enam minggu hingga beberapa bulan tergantung temperatur dan ketersediaan bahan makanan. Kepinding jantan dan betina menghisap darah sejak dari tahap nimfa hingga dewasa, di malam hari saat ternak atau orang sedang tidur. Tanpa gangguan, kepinding dewasa dapat menghisap darah selama 10–15 menit, dan akan kembali menghisap darah setelah tiga hari. Pada siang hari, kepinding bersembunyi pada tempat-tempat yang gelap seperti celah-celah kandang atau alas kandang yang juga menjadi tempat bertelur dan menetap kutu busuk. Gangguan kepinding terhadap inang terutama akibat gigitannya untuk memperoleh darah. Pada ternak dan beberapa orang, terutama pada infestasi kepinding dalam waktu yang panjang, gigitan kepinding tidak menunjukkan gejala apapun. Sebaliknya pada orang yang belum pernah, gigitan kepinding menimbulkan reaksi gatal dan diikuti peradangan lokal, sehingga biasanya akan digaruk berulangulang. Pada keadaan ini aktifitas tidur dan lainnya menjadi terganggu. Gigitan kepinding biasanya ditandai dengan benjolan kecil keputihan dikulit yang apabila digaruk berulang-ulang akan berdarah, dan berakibat timbulnya infeksi sekunder. Lipas atau Kecoa Jenis-jenis lipas yang paling banyak terdapat di lingkungan peternakan dan permukiman di Indonesia adalah Periplaneta americana dan Blatella germanica. Lipas tergolong serangga yang tidak disukai kehadirannya oleh penghuni daerah peternakan, permukiman dan perusahaan yang berkaitan dengan industri makanan. Selain itu sifatnya yang lincah, selalu berkeliaran mencari makan kesana kemari pada malam hari (nokturnal) baik di rumah maupun di tempat-tempat kotor di luar rumah. Cara mencari makan demikian juga menyebarkan
6
penyakit manusia dengan meletakkan agen penyakit pada makanan, piring atau barang-barang lain yang dilaluinya. Lipas tumbuh dan berkembang dengan cara metamorfosis sederhana. Kehidupan lipas berawal dari telur, kemudian nimfa dan dewasa. Generasinya tumpang tindih, sehingga semua stadium dapat ditemukan pada setiap saat dalam satu tahun. Celah dan retakan merupakan tempat persembunyian dan perkembangbiakan yang disukainya. Betina meletakkan telurnya tidak satu persatu di alam akan tetapi sekumpulan telur (16-50 butir) secara teratur di dalam satu kantung yang disebut dengan ooteka. Ooteka ini bentuknya seperti dompet, warnanya coklat sampai hitam kecoklatan. Ooteka pada setiap jenis berbeda dan bisa digunakan sebagai alat bantu dalam menentukan spesies apa dalam suatu tempat. Ooteka ini diletakkan pada sudut barang/perabotan yang gelap dan lembab. Pada beberapa jenis, ootheca menempel di bagian abdomen atau dibawa kemana mana samapai saatnya menetas. Di daerah tropis telur menetas dalam periode 42-81 hari tergantung pada suhu, kelembaban lingkungan. Telur menetas menjadi nimfa yang kecil, berwarna keputih-putihan dan belum bersayap. Nimfa berkembang agak lambat, tumbuh menjadi beberapa instar, setiap instar diakhiri dengan proses menyilih (ganti kulit) dan berukuran semakin membesar. Jumlah instar sangat spesifik untuk setiap jenis lipas, jumlahnya bervariasi 5-13 instar sebelum menjadi lipas dewasa. Stadium ini berlangsung 6 bulan sampai dengan 3 tahun tergantung pada jenis lipas, suhu dan kelembaban lingkungan. Lipas dewasa berumur beberapa bulan bahkan sampai dengan dua tahun. Dalam stadium ini seekor betina dapat menghasilkan 4-90 ooteka. P. americana umumnya merupakan penghuni dinding bak septik dan saluran air limbah peternakan dan akan berkelana mencari makan padamalam hari. Adapun B. germanica umumnya hidup di dalam gedung hunian manusia yaitu pada celah-celah dinding dan plafon, bergerombol, tidak senang berkelana. Kehidupan bergerombol pada lipas hanya berkait dengan habitat atau tempat huninya, yaitu berupa ruang atau rongga yang lembab, tertutup dan gelap. Lipas dianggap sebagai pengganggu kesehatan karena kedekatannya dengan hewan, manusia dan umumnya berkembang biak dan mencari makan di daerah yang kotor, seperti tempat sampah, saluran pembuangan, dan septik teng. Makanan serangga ini dari makanan yang masih dimakan manusia sampai dengan kotoran manusia. Disamping itu lipas mempunyai perilaku mengeluarkan makanan yang baru dikunyah atau memuntahkan makanan dari lambungnya. Karena sifat inilah, mereka mudah menularkan penyakit pada manusia. Agen penyakit yang dapat ditularkan oleh lipas adalah berbagi jenis virus, bakteri, protozoa, cacing dan fungi (cendawan). Nyamuk Nyamuk tersebar luas di seluruh dunia mulai dari daerah kutub sampai ke daerah tropika, dapat dijumpai pada ketinggian 5.000 meter di atas permukaan laut sampai pada kedalaman 1.500 meter di bawah permukaan tanah di daerah pertambangan. Nyamuk termasuk ke dalam odo Diptera, famili Culicidae, dengan 3 subfamili yaitu Toxorhynchitinae (Toxorhynchites), Culicinae (Aedes), Culex, Mansonia, Armigeres, dan Anophelinae (Anopheles). Nyamuk di
7
Indonesia terdiri atas 457 spesies, diantaranya 80 spesies Anopheles, 125 Aedes, 82 Culex, 8 Mansonia, sedangkan sisanya tidak termasuk begitu mengganggu (O’Connor dan Sopa, 1981). Beberapa contoh jenis nyamuk yang terdapat di Indonesia adalah nyamuk malaria seperti Anopheles aconitus, An. sundaicus, An. maculatus, An. vagus, An kochi, dan An. barbirostris; nyamuk demam berdarah seperti Aedes aegypti dan Ae.albopictus; nyamuk rumah seperti Culex quinquefasciatus, nyamuk rawa-rawa seperti Mansonia uniformes, nyamuk kebun, Armigeres subalbatus dan nyamuk gajah seperti Toxorhynchites amboinensis. Di dalam siklus hidupnya, nyamuk mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) yaitu telur, larva (jentik), pupa dan dewasa. Larva dan pupa memerlukan air untuk kehidupannya, sedangkan telur pada beberapa spesies seperti Aedes aegypti dapat tahan hidup dalam waktu lama tanpa air, meskipun harus tetap dalam lingkungan yang lembab. Nyamuk merupakan serangga yang sangat sukses memanfaatkan air lingkungan, termasuk air alami dan air sumber buatan yang sifatnya permanen maupun temporer. Danau, aliran air, kolam, air payau, bendungan, saluran irigasi, air bebatuan, septik teng, selokan, kaleng bekas dan lain lain dapat berperan sebagai tempat bertelur dan tempat perkembangan larva nyamuk. Nyamuk dewasa bisa tinggal di sekitar tempat perindukannya, tapi bisa juga terbang beberapa kilometer, tergantung spesies dan faktor lain. Nyamuk yang berada di sekeliling rumah seperti Culex quinquefasciatus, Ae. aegypti dan Ae. albopictus, tumbuh dan berkembang dalam genangan air di sekitar kediaman kita. Telur yang diletakkan di dalam air akan menetas dalam waktu satu sampai tiga hari pada suhu 30OC, tetapi membutuhkan 7 hari pada 16 OC. Larva mengalami 4 kali pergantian kulit (instar) dan segera berubah menjadi pupa. Bentuk pupa yaitu fase tanpa makan dan sangat sensitif terhadap pergerakan air, sangat aktif jungkir balik di air. Pupa menjadi dewasa di atas permukaan air yang tenang. Stadium ini hanya berlangsung dalam waktu 2-3 hari, tetapi dapat diperpanjang sampai 10 hari pada suhu rendah; di bawah suhu 10 OC tidak ada perkembangan. Waktu menetas (ekslosi), kulit pupa tersobek oleh gelembung udara dan oleh kegiatan bentuk dewasa yang melepaskan diri. Siklus hidup bisa lengkap dalam waktu satu mingggu atau lebih tergantung suhu, makanan, spesies dan faktor lain. Nyamuk dewasa jantan umumnya hanya tahan hidup selama 6 sampai 7 hari, sangat singkat hidupnya dan makanannya adalah cairan tumbuhan atau nektar, sedangkan yang betina dapat mencapai 2 minggu lebih di alam dan bisa menghisap darah berbagai jenis hewan atau manusia. Nyamuk ini selain menjadi pengganggu karena gigitannya yang menimbulkan kegatalan pada hewan dan menularkan penyakit malaria unggas yang disebabkan oleh Plasmodium gallinaceum, cacing jantung anjing (Dirofilaria immitis), bovine ephemeral virus, dan lain-lain.
Caplak Keras (Hard Tick) Caplak Keras termasuk Kelas Arachnida, Famili Ixodidae. Tubuh caplak keras bentuknya bulat telur dan mempunyai kulit (integumen) yang liat dan mempunyai 4 pasang kaki.. Bagian dorsal caplak ini mempunyai skutum atau perisai yang menutupi seluruh bidang dorsal tubuh pada caplak jantan, sedangkan pada yang betina skutum hanya menutupi sepertiga bagian tubuh anterior tubuh. Oleh karena
8
itu tubuh caplak betina dapat berkembang lebih besar dari pada yang jantan setelah menghisap darah. Matanya baik pada yang jantan maupun betina terletak pada sisi lateral skutum. Caplak keras sering ditemukan pada hewan-hewan domestik seperti sapi, kerbau, kuda, domba, kambing, anjing, kucing, dan unggas di berbagai wilayah di Indonesia. Jenis-jenis tersebut adalah Amblyomma testudinarium, Boophilus microplus, Haemaphysalis bispinosa, H. cornigera, H. hystricis, H. papuana, H. wellingtoni, Rhipicephalus haemaphysaloides, R. sanguineus, dan Dermacentor auratus. Daur hidupnya diawali dari telur yang diletakkan induknya di tanah. Caplak dewasa setelah kawin akan menghisap darah sampai kenyang, lalu jatuh ke tanah dan disinilah ia bertelur. Larva yang baru menetas segera akan mencari inangnya dengan pertolongan benda-benda sekitarnya serta bantuan alat olfaktoriusnya. Setelah mendapatkan inangnya, ia akan menghisap darah inang hingga kenyang (enggorged) lalu akan jatuh ke tanah atau tetap tinggal pada tubuh inang tersebut dan segera berganti kulit (molting) menjadi nimfa. Nimfa menghisap darah kembali, setelah kenyang akan jatuh ke tanah dan molting menjadi caplak dewasa. Satu siklus daur hidup berkisar antara 6 minggu sampai tiga tahun. Yang dewasa dapat bertelur sekitar 100 - 18.000 butir/caplak. Caplak sangat tahan terhadap perubahan fisik misalnya terendam air, kekeringan atau ketidakadaan makanan dalam waktu berbulan-bulan. Berdasarkan jumlah inang yang diperlukan caplak dalam melengkapi satu siklus daur hidupnya dikenal istilah caplak berumah satu, berumah dua dan berumah tiga. Caplak berumah satu yaitu semua stadiumnya (larva, nimfa dan dewasa) tinggal dalam satu inang yang sama, begitu pula proses pergantian kulit (molting) dan perkawinan. Setelah caplak dewasa kenyang darah barulah ia menjatuhkan diri dan bertelur di tanah, contohnya caplak sapi Boophilus microplus. Caplak berumah dua yaitu larva dan nimfa tinggal dalam satu inang sedangkan dewasa tinggal dalam inang yang lain, jadi dalam melengkapi siklus hidupnya caplak memerlukan dua inang. Contohnya Haemaphysalis. Caplak berumah tiga yaitu setiap stadium larva, nimfa dan dewasa masingmasing memerlukan inang yang berbeda. Larva berada pada inang pertama sampai kenyang menghisap darah, setelah jatuh dan berganti kulit menjadi nimfa segera mencari inang kedua. Nimfa yang kenyang darah akan menjatuhkan diri dan berkembang menjadi caplak dewasa. Caplak dewasa makan dan kawin pada inang ketiga. Contohnya Amblyomma. Selain sebagai pengganggu, caplak juga merupakan penghisap darah yang ganas sehingga inang yang terserang menjadi anemia dan teriritasi. Garukan yang hebat dapat menimbulkan infeksi sekunder oleh bakteri. Beberapa jenis caplak keras berperan sebagai vektor berbagai penyakit, beberapa jenis caplak ini juga menghasilkan toksin (ixovotoxin) yang mempengaruhi susunan syaraf pusat dan neuromuscular junction sehingga menimbulkan kelumpuhan (tick paralysis). Caplak dapat menularkan penyakit melalui dua cara yaitu secara transtadial dan trasovarial. Secara transtadial artinya setiap stadium caplak baik larva, nimfa maupun dewasa mampu menjadi penular patogen, sedangkan secara transovarial artinya caplak dewasa betina yang terinfeksi patogen akan dapat menularkannya pada generasi berikutnya melalui sel-sel telur.
9
Caplak Lunak (Soft tick) Caplak lunak termasuk kedalam Ordo Parasitiformes, Famili Argasidae Jenis yang paling banyak dijumpai adalah Argas persicus dan A. robertsi. Caplak lunak ini tersebar di Eropa, Asia dan beberapa negara di Afrika. Argas persicus dan A. robertsi merupakan ektoparasit ayam, kalkun, burung merpati, angsa, burung kenari, burung unta dan juga dapat menggigit manusia. Argas robertsi adalah jenis caplak lunak yang banyak dijumpai pada ayam di Indonesia. Caplak ini yang dewasa berukuran 4-10 x 2.5-6 mm dan bentuknya oval, bagian depan lebih sempit daripada posterior. Bagian pinggiran tubuhnya tajam. Caplak kenyang darah mempunyai warna kebiru-biruan, sedang yang belum makan darah berwarna coklat kekuningan dan saluran usus yang berwarna hitam tampak dari luar. Seperti halnya Argasidae yang lain, perbedaan jantan dan betina caplak ini sedikit sekali. Perbedaan kelamin hanya bisa dilihat pada bentuk lubang genital yang letaknya di bagian anterior permukaan ventral yaitu yang jantan lebih besar daripada yang betina. Larva caplak lunak ini bentuknya bulat dan akan menjadi gendut bila kenyang darah, demikian pula halnya nimfa dan yang dewasanya. Berbeda dengan Ixodidae, caplak lunak hanya menyerang inangnya bila menghisap darah. Argasidae adalah caplak yang senang hidup di sarang inangnya. Caplak lunak ini yang betina bertelur di celah-celah kandang ayam, liang-liang tanah, retakan-retakan bangunan atau di bawah celah-celah pohon yang terlindung. Bentuk telurnya kecil, bulat, coklat dan diletakkan dalam kelompok yang terdiri atas 20-200 butir. Larva menetas setelah 3 minggu atau lebih. Larva akan mencari inangnya sendiri, seringkali menempel pada sayap dan kenyang darah dalam waktu 7 hari. Stadia nimfa pada Argasidae berganti kulit beberapa kali, bisa 8 kali maksimal. Argas robertsi memiliki dua tahap nimfa yang masing-masing perlu waktu dua minggu dan kenyang darah. Nimfa dan dewasa bersembunyi di tempat terlindung dan akan menyerang inangnya pada malam hari, makan darah selama kira-kira dua jam. Yang dewasa makan sebulan sekali atau lebih, dan yang betina akan bertelur setiap setelah makan. Larva dapat hidup tanpa makan selama kira-kira tiga bulan. Nimfa dan dewasa dapat bertahan tanpa makan selama kira-kira lima tahun. Caplak ini sangat mengganggu inangnya sehingga ia tidak dapat tidur atau istirahat sepanjang malam. Infestasi caplak yang tinggi dapat menimbulkan anemia, penurunan produksi telur dan daging. Tungau (Mites) Tungau termasuk ke dalam Ordo Acariformes, merupakan ektoparasit yang kecil (kurang dari 1 mm) dan hampir tidak kasat mata. Kebanyakan tungau hidup bebas di alam (free living) sedangkan yang hidup sebagai ektoparasit hanya beberapa jenis saja. Jenis-jenis yang paling banyak dijumpai di Indonesia antara lain adalah Sarcoptes scabiei penyebab kudis pada manusia dan hewan Psoroptes ovis pada domba, Otodectes cynotis penyebab otitis pada anjing, Knemidocoptes mutans pada unggas, Demodex canis pada
10
anjing, dan Ornitonyssus bursa pada unggas. Tungau yang banyak menyerang ayam kampung di Indonesia adalah Ornithonyssus bursa Tahap awal kehidupan tungau dimulai dari telur. Seekor tungau mampu menghasilkan beberapa ratus sampai ribuan telur. Telur akan berubah menjadi larva yang mempunyai tiga pasang tungkai. Periode larva dapat bertindak sebagai ektoparasit. Setelah kenyang menghisap darah segera berganti kulit (molting) menjadi nimfa. Tahap nimfanya sangat panjang dan dapat dibagi menjadi protonimfa, deutonimfa dan tritonimfa. Bentuk deutonimfa tungau Astigmata bentuknya berbeda dengan tungau yang lain dan juga perilakunya. Tahap ini dikenal dengan hypopus dan sangat tahan terhadap perubahan lingkungan. Ia mempunyai alat pelekat untuk menempelkan tubuhnya pada serangga lain atau benda-benda di sekitar kandang. Pada tahap ini tungau tidak makan. Bentuk nimfa sudah mirip dengan yang dewasa tetapi alat kelaminnya belum berkembang. Ornithonyssus bursa banyak ditemukan pada ayam, unggas lainnya, terutama saat mengeram. Tungau ini terutama tersebar pada bulu-bulu sayap dan juga bagian tubuh lainnya. Telurnya akan menetas dalam waktu tiga hari, dan menyebar menjadi larva dengan tiga pasang tungkai. Stadium larva ini tidak menghisap darah tetapi berganti kulit dalam waktu sekitar 17 jam menjadi protonimfa yang mulai menghisap darah unggas. Setelah satu sampai dua hari berganti kulit lagi menjadi deutonimfa yang menghisap darah dan kemudian menjadi dewasa. Tungau ini tidak hanya mengganggu unggas tetapi dapat juga menyerang manusia yang berada di sekitarnya. Pengendalian Hama pada Hewan Ternak Pada prinsipnya hama tidak dapat diberantas habis, kecuali di dalam suatu lokasi yang amat terbatas dan benar-benar terisolasi dari populasi-populasi lainnya. Oleh karena itu tidak digunakan istilah pemberantasan melainkan pengendalian hama. Jadi selama lapangan atau areal yang kita hadapi masih berupa lingkungan yang mempunyai hubungan bebas secara fisik, biologis serta sosial-ekonomis dengan lingkungan di sekitarnya, maka prinsip pengendalian adalah hanya menekan populasi hama sampai ke tingkat yang tidak membahayakan, tidak merugikan atau tidak merupakan gangguan bagi manusia. Cara-cara pengendalian hama pada hewan ternak dapt dilakukan secara fisik/ mekanik (pengelolaan lingkungan), kimia (insektisida), agen biotik (musuh alami) dan paduan dari cara-cara tersebut (pengendalian terpadu). Cara-cara tersebut dapat dilakukan sepanjang hasilnya dapat efektif dan efisien tertuju kepada stadium hama yang paling rawan (terhadap tindakan itu), mudah dilaksanakan, tidak memerlukan biaya terlalu besar, aman bagi manusia maupun makhluk bukan sasaran, serta dapat diterima oleh kalangan masyarakat. Selain itu perlu diingat bahwa bahwa tindakan ini tidak mengganggu kelestarian dan keseimbangan alam lingkungan yang bersangkutan, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pemilihan cara pengendalian harus disesuaikan dengan spesies hama yang akan ditindak serta dengan situasi dan kondisi setempat. Sebagai contoh untuk suatu kandang ternak di lokasi lokasi tertentu akan lebih mudah dan efektif apabila yang dijadikan sasaran adalah stadium pradewasanya, misalnya jentik nyamuk atau belatung lalat. Untuk lokasi lainnya, mungkin hanya dewasanya saja atau keduaduanya dapat ditindak sekaligus ataupun bergantian. Tindakan sanitasi lingkungan
11
serta pemasangan barier fisik seperti kawat kasa mungkin lebih tepat bagi peternakan tertentu. Urutan langkah pengendalian yang ideal adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui identitas hama sasaran. Apakah hama yang akan dikendalikan, lalat, tungau, atau kutu dari jenis apa? 2. Mengetahui sifat dan cara hidup (bioekologi) hama sasaran. Bagaimana daur hidup, habitat, waktu dan perilaku makan, waktu dan perilaku beristirahat, jarak terbang atau pemencarannya? Informasi ini penting untuk bahan penyusunan strategi pengendalian. Sebagai contoh habitat lalat pradewasa adalah tumpukan kotoran hewan, sampah, dan tempat-tempat pembusukan lainnya, maka sasaran pengendaliannya adalah dengan menghilangkan habitat yang disukai lalat. 3. Memilih alternatif cara pengendalian. Apakah cara-cara selain penggunaan pestisida bisa dilakukan? Ataukan harus digunakan pestisida? Andaikan ada cara lain diterapkan lalu, diselang-seling dengan penggunaan pestisida dapat dilakukan? Untuk menjawab hal ini perlu monitoring populasi hama secara terus menerus, sehingga dapat dipilih apakah perlu menggunakan pestisida ataukah cukup dengan pengelolaan lingkungan atau keduanya. 4. Memilih pestisida. Apabila keadaan mengharuskan penggunaan pestisida, maka yang harus diingat adalah kemungkinan terjadinya berbagai akibat samping seperti kemungkinan keracunan langsung pada ternak dan makhluk bukan-sasaran lainnya, pencemaran dan timbulnya resistensi pada populasi hama serangga sasaran setelah beberapa generasi. Golongan pestisida bermacam-macam dan masing-masing mempunyai target kerja terhadap serangga yang berbeda. Penggunaan yang terus menerus tidak terkendali dapat menimbulkan resistensi dan mengganngu ekosistem alam. Contoh insektisida yang saat ini banyak digunakan adalah golongan piretroid sintetik seperti sipermetrin, bifentrin, permetrin dll. 5. Menentukan cara aplikasinya. Bagaimana cara aplikasi juga merupakan satu persoalan yang krusial. Di mana dilakukannya, kapan waktunya, dengan cara apa, formulasi mana yang paling tepat, serta siapa yang akan melakukannya. Cara-cara aplikasi yang dapat dilakukan untuk hama penggannggu di peternakan dan permukiman adalah space spraying (penyemrotan ruang), residual spraying (penyemprotan permukaan), baiting (pengumpanan) atau fumigasi. Sebagai contoh pada aplikasi space spray , waktu merupakan hal yang sangat penting. Karena bersifat nonresidual, maka penyemprotan harus dilakukan pada saat serangga sasaran dalam keadaan aktif. Jadi, kalau melihat pertimbangan-pertimbangan di atas maka pengendalian hama itu sebenarnya memerlukan latar belakang pengetahuan yang luas, tidak sekedar menyemprot tanpa tanggung jawab. Apabila urutan langkah ini dijalankan maka pengendalian hama akan terlaksana secara konsepsional sesuai dengan program integrated pest management. Masalah hama di lingkungan peternakan dan permukiman sesungguhnya merupakan hasil rekayasa manusia pemukimnya sendiri, dengan menyediakan tempattempat untuk perkembang-biakan, mencari makan dan untuk berisitirahat dan berlindung. Beberapa jenis serangga tertentu seperti lalat dan kecoa telah mengadaptasikan diri dengan kehidupan hean ternak dan manusia di lingkungan permukimannya. Oleh karena itu, cara pengendalian hama peternakan dan
12
permukiman yang paling tepat adalah menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungannya, agar tidak dapat digunakan sebagai tempat berkembang biak, tempat mencari makan atau tempat berlindung dan bersembunyi. Ketika populasi hama sudah mencapai tingkat mengganggu, merugikan atau bahkan membahayakan terhadap ternak dan orang yang tinggal di sekitarnya, maka perlu ditindak dengan menggunakan pestisida tapi dengan penuh kehati-hatian. Daftar Pustaka Anastos, G. 1950. The scutate ticks, or Ixodidae, of Indonesia. Entomologica Americana. 30: 1-144. Beck, J. W. & J.E. Davies. 1981. Medical Parasitology. The C.V. Mosby Company. St. Louis, Toronto, London: viii + 355 hlm. Freeman, P. 1973b. Ceratopogonidae (biting midges, sand flies, punkies). (Dalam) K.G.V. Smith (ed.). Insects and other arthropods of medical importance. British Museum of Natural History, London: 181-187. Hadi, U.K. 1999b. Telaah nyamuk dalam hubungannya sebagai vektor potensial Dirofilariasis pada anjing di Bogor. Maj. Parasitol. Ind. 12(1-2): 24-38. Hadi, U.K., S. Soviana, & S.H. Sigit. 2000. Telaah taksonomi dan penyebaran geografik Culicoides (Diptera: Ceratopogonidae) di Indonesia. Laporan Akhir Penelitian Dasar Perguruan Tinggi, Institut Pertanian Bogor : viii + 71 hlm. Harwood, R. F. & M.T. James. 1979. Entomology in human and animal health. 7th Ed. Macmillan Publ. Co. In. New York. USA: vi + 548 hlm. Kettle, D. S. 1984. Medical and veterinary entomology. Cromm Helm Ltd., London, Sydney: 658 hlm. Kim, K.C. & H.W. Ludwig. 1978. The family classification of the Anoplura. Syst. Entomol. 3: 249-284. Krantz, G.W. 1978. A manual of acarology. 2nd Ed. Oregon State University, Book Stores Inc. Corvallis, Oregon: 509 hlm. Singgih H. Sigit.2005. Masalah Hama Permukiman dan falsafah dasar pengendaliannya. Materi Kursus Reguler Pengenalan dan Pengendalian Hama Permukiman Peringkat Instar 1, Bogor 8-10 Maret 2005 Soulsby, E. J. L. 1982. Helminths, arthropods and protozoa of domesticated animal. 7th Ed. The English Language Book Society, Bailliere Tindall, London: xi + 809 hlm.
13