SOCA ❖ 6 (1) : 1 - 4
Keragaan Pasar Kerja Pertanian-nonpertanian dan Migrasi Desa-kota: Telaah Periode Krisis EkonomiISSN: [Dessy Adriani] 1411-7177
KERAGAAN PASAR KERJA PERTANIAN-NONPERTANIAN DAN MIGRASI DESA-KOTA: TELAAH PERIODE KRISIS EKONOMI Dessy Adriani
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertaniann Universitas Sriwijaya
Abstract The objectives of this research are: 1) to analyze factors effecting labor market performance; 2) to analyze factors effecting migration in Indonesia. The research used pooling data and be analyzed using simultaneous equation with 2 SLS technique. The result showed that labor force is influenced by productive-age population in both urban and rural area. In rural area, rural-urban migration also influenced labor force. Demand for labor is influenced by Gross Domestic Product, Labor Intensive Program in urban area, and Infrastructure Development Program for Developing Village in rural area. Labor productivity is influenced by sectoral real wage, calorie consumption and Social Safety Net Program for health sector. Sectoral real wage is influenced by Sectoral Minimum Wage and rate of inflation. The result also showed that sectoral real wage is not the important factor on labor market in Indonesia economic crisis. Keywords: Rural, Urban, Labor Market, Migration PENDAHULUAN Krisis ekonomi membawa implikasi yang sangat luas bagi perekonomian Indonesia. Hal ini karena secara makro krisis tersebut mempengaruhi permintaan dan penawaran agregat. Ditinjau dari sisi permintaan agregat, krisis ekonomi telah menyebabkan aktifitas ekonomi menurun, terutama di wilayah perkotaan. Krisis ekonomi juga telah menyebabkan gangguan pada sistem produksi, distribusi dan konsumsi di seluruh wilayah. Dari sisi penawaran agregat, dampak krisis dapat dikaji dengan melihat keragaan pasar kerja. Krisis ekonomi mengakibatkan penurunan kesempatan kerja. Pada jumlah angkatan kerja yang terus meningkat, adanya krisis ekonomi akan mendorong meningkatnya jumlah pengangguran yang lebih besar. Peningkatan pengangguran ini tentu akan menambah berat beban, baik pemerintah maupun masyarakat. Hal ini karena secara moral pemerintah berkewajiban untuk menentukan solusinya. Bagi masyarakat hal itu dapat menjadi beban bila dengan naiknya jumlah pengangguran akan mengakibatkan peningkatan derajat keresahan sosial. Sejalan dengan hal tersebut, Laporan Misi Strategi Ketenagakerjaan (1999) menyarankan disusunnya suatu strategi terpadu bagi proses pemulihan dan rekonstruksi perekonomian dengan tenaga kerja sebagai ujung tombaknya. Sehubungan dengan hal tersebut, satu hal yang perlu disadari bahwa penyusunan kebijakan dan strategi tersebut harus didasarkan pada keragaan pasar kerja agar kebijakan dan strategi yang disusun diharapkan dapat memperbaiki kondisi pasar kerja pada khususnya dan kondisi perekonomian pada umumnya. Dengan demikian dipandang perlu untuk menganalisis bagaimana keragaan pasar kerja dan migrasi pada periode krisis ekonomi di Indonesia. Tujuan penelitian ini
adalah untuk: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keragaan pasar kerja pada periode krisis ekonomi di Indonesia 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi pada periode krisis ekonomi di Indonesia METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pooling data seluruh Provinsi di Indonesia kecuali DKI Jakarta dan Timor Timur tahun 1997-1998. Data yang digunakan dalam penelitian sebagian besar diperoleh dari hasil Survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) Badan Pusat Statistik. Spesifikasi Model Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keragaan pasar kerja dan migrasi pada periode krisis ekonomi di Indonesia. 1. Angkatan Kerja LUt= a 0 +a 1 WI t +a 2 (M t -M t-1 )+a 3 AU1 t +a 4 AU2 t +a5DJt+a6LUt-1+Ut1.......................................(1) LRt= b0+b1(WAt-WAt-1)+b2(Mt-Mt-1)+b3AR1t+b4AR2t +b5DJt+b6LRt-1+Ut2 ......................................(2) Hipotesis (parameter dugaan yang diharapkan): a1,b1,a2,a4,b4, a5,b5>0; b2,a3,b3<0 dan 0
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
DUAt= do+d1WAt+d2IAt+d3GDPAt+d4DJt+d5PKPt+d 6TRAKt+ut4..................................................(4 DUSt= eo+e1(WSt-WSt-1)+e2ISt+e3GDPSt+e4DJt+e5PK P+ut5............................................................(5) DRIt= fo+f1WIt+f2IIt+f3GDPIt+f4DJt+f5P3DTt+f6MES t+f7DUIt-1+ut6..............................................(6) DRAt= go+g1WAt+g2IAt+g3GDPAt+g4DJt+g5P3DTt+g 6TRAKt+ut7.................................................(7 DRSt= ho+h1WSt+h2ISt+h3GDPSt+h4DJt+h5P3DTt+h 6DRSt-1+ut8 ..................................................(8) DIt = DUIt + DRIt ...............................................(9) DAt = DUAt + DRAt ...........................................(10) DSt = DUSt + DRSt.............................................(11)
Parameter dugaan yang diharapkan: c1,d1,e1,f1,g1,h1,c6,d6,f6,g6<0;c2,d2,e2,f2,g2,h2,c3,d3,e3,f3,g3, h3,c4,d4,e4,f4,g4,h4 c5,d5,e5,f5,g5,h5,>0 ; 0
3. Upah Sektoral Riel WIt=i0+i1MIt+i2(LUt/DIt)+i3INFt+i4DJt+i5WIt-1+ut9 ..........(12) WAt = j0+j1MAt+j2(LRt/DAt)+j3INFt+j4DJt+j5WAt1+ut10 .........................................................(13) WSt = k0+k1MSt+k2DSt+k3INFt+k4DJt+ k5WSt-1 +ut11...........................................................(14) Parameter dugaan yang diharapkan: i1,j1,k1,k2,i4,j4,k4>0; i2,j2, i3,j3,k3<0; 00; 00; o2,o3,o5<0; 00; 00; r1,s1,r3,s3< 0; 0
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
8. Pendapatan Nasional GDPIt = t0 + t1 PTIt + t2 DIt + ut20 ...............(23) GDPAt = v0 + v1 PTAt + v2 DAt + ut21...........(24) GDPSt = w0 + w1 PTSt + w2 DSt + ut22.........(25) Parameter dugaan yang diharapkan: t1,t2,v1,v2,w1,w2 >0. 9. Pengangguran UUt = x0 + x1AWUt + x2LUt + x3DUIt + ut23........(26) URt = y0 + y1AWRt + y2LRt + y3DUAt + ut2.............(27) Parameter dugaan yang diharapkan: x1,x2,y1,y2 >0; x3,y3<0. Diagram keterkaitan masing-masing peubah di dalam model Keragaan Pasar Kerja dan Migrasi pada periode krisis ekonomi di Indonesia dapat disimak pada Lampiran 1. Identifikasi Model dan Metode Pendugaan Hasil identifikasi model berdasarkan order condition menunjukkan bahwa semua persamaan adalah overindentified. Pendugaan model dilakukan dengan two Stage Least Square (2 SLS). Pengolahan data dilakukan dengan program komputer SAS. Hasil dan Pembahasan Hasil Pendugaan Model Hasil pendugaan model dengan metode 2 SLS menunjukkan bahwa model cukup representatif untuk menganalisis keragaan pasar kerja dan migrasi pada periode krisis ekonomi di Indonesia dengan nilai koefisien determinasi (R2) berkisar antara 0.7661 hingga 0.9998. Peubah-peubah penjelas pada masing-masing persamaan secara bersama-sama cukup nyata menjelaskan keragaman peubah endogen dengan nilai statistik F berkisar antara 28.819 hingga 40612.672. Selain itu sebagian besar peubah penjelas di dalam persamaan berpengaruh nyata terhadap peubah endogen pada taraf nyata (α) 0.05, 0.10, 0.15, 0.20 dan 0.25. Semua tanda parameter dugaan dalam model sesuai dengan harapan berdasarkan teori maupun logika ekonomi. 1. Angkatan Kerja Peningkatan angkatan kerja di Indonesia dipengaruhi oleh pertambahan penduduk usia produktif dan jumlah angkatan kerja tahun sebelumnya baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Upah sektoral riel bukan merupakan faktor utama yang mendorong penduduk untuk masuk ke pasar kerja. Perilaku seperti ini dimungkinkan terjadi akibat besarnya jumlah angkatan kerja di kedua wilayah yang tidak didukung dengan kesempatan kerja yang memadai. Hasil dugaan menunjukkan bahwa migrasi desa-kota merupakan peubah yang berpengaruh nyata terhadap penurunan jumlah angkatan kerja pedesaan. Hal ini merupakan petunjuk bahwa peningkatan migrasi desa-kota secara besar-besaran akan mengarah pada terjadinya kelangkaan angkatan kerja di wilayah pedesaan dan limpahan angkatan kerja di perkotaan.
Keragaan Pasar Kerja Pertanian-nonpertanian dan Migrasi Desa-kota: Telaah Periode Krisis Ekonomi [Dessy Adriani]
2. Kesempatan Kerja Pendapatan nasional sektoral, Program Padat Karya di perkotaan dan Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal di pedesaan berpengaruh nyata terhadap peningkatan kesempatan kerja sektoral. Program Padat Karya dan Pembangunan Prasaran Desa Tertinggal lebih berpengaruh terhadap penciptaan kesempatan kerja daripada pendapatan nasional sektoral. Hal ini menunjukkan adanya indikasi pendapatan nasional sektoral, walaupun berpengaruh positif, lebih banyak digunakan untuk kegiatan penciptaan barang kapital daripada untuk penciptaan kesempatan kerja, sedangkan Pogram Padat Karya dan Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal benar-benar ditujukan pada penciptaan kesempatan kerja. Penggunaan mesin industri dan traktor berperan sebagai faktor produksi substitusi bagi faktor produksi tenaga kerja. 3. Upah Sektoral Riel Peubah penjelas yang berpengaruh terhadap perubahan upah sektoral riel adalah kebijakan Upah Minimum Regional Sektoral. Jika dilihat dari nilai elastisitasnya maka peubah penjelas tersebut paling responsif diantara peubah-peubah lainnya. Peubah lain yang juga mempengaruhi upah sektoral riel adalah inflasi. Jika inflasi terus meningkat maka upah riel akan menurun. Jika kita menghubungkan upah sektoral riel tersebut dengan daya beli pekerja, maka penurunan upah tersebut akan mengarah pada turunnya daya beli masyarakat. Peubah Dummy wilayah menunjukkan hasil di luar perkiraan. Berdasarkan hasil dugaan terlihat bahwa upah riel lebih tinggi di luar Jawa daripada di Jawa. Jika upah merupakan suatu faktor yang mempengaruhi seseorang bermigrasi, maka perbedaan upah tersebut diperkirakan akan mendorong terjadinya arus perpindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa. 4. Produktifitas Pekerja Produktifitas pekerja utamanya dipengaruhi oleh upah sektoral riel, konsumsi kalori, dummy program Jaring Pengaman Sosial bidang Kesehatan, dan peubah lag endogennya. Ditinjau secara sektoral, hasil dugaan menunjukkan bahwa upah riel sektor industri memberikan pengaruh terbesar bagi peningkatan produktifitas pekerja sektor tersebut dibandingkan dengan sektor lainnya. Penerapan Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan menunjukkan hasil yang positif bagi peningkatan produktifitas pekerja di ketiga sektor. 5. Migrasi Desa-Kota Hasil dugaan menunjukkan bahwa migrasi desa-kota dipengaruhi secara nyata oleh upah riel relatif sektor industri, jumlah penduduk desa usia produktif, dummy wilayah dan peubah lag endogennya. Upah riel relatif sektor industri lebih mempengaruhi proses migrasi desa-kota daripada upah riel sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa upah industri lebih menjadi perhatian para migran untuk bermigrasi. Selain itu, faktor usia juga merupakan faktor penting yang mendorong
seseorang untuk bermigrasi. Hasil dugaan menunjukkan bahwa migrasi desa-kota akan meningkat jika penduduk desa usia produktif naik. Ditinjau dari nilai elastisitasnya maka migrasi desa-kota lebih responsif terhadap perubahan tingkat pengangguran di perkotaan daripada di pedesaan. Jika kita mengkategorikan faktor upah riel relatif sektor industri dan tingkat pengangguran di perkotaan sebagai faktor penarik (pull-factor) untuk bermigrasi dan faktor upah riel sektor pertanian serta tingkat pengangguran di pedesaan sebagai faktor pendorong (push-factor) , maka hasil penemuan ini menunjukkan bahwa migrasi desa-kota lebih disebabkan oleh adanya faktor penarik dari perkotaan daripada faktor pendorong yang ada di pedesaan. 6. Added Worker Peubah upah sektoral riel bukan merupakan faktor yang menentukan seseorang untuk masuk ke pasar kerja. Hasil dugaan menunjukkan bahwa Added worker dipengaruhi secara nyata oleh peubah jumlah penduduk yang masuk ke pasar kerja dengan alasan membantu ekonomi keluarga dan menambah penghasilan serta putus/tamat sekolah. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada kasus krisis ekonomi, upah bukan merupakan hal penting yang mendorong seseorang untuk masuk ke pasar kerja. Situasi ekonomi yang sulit memaksa seseorang untuk masuk ke pasar kerja dengan upah berapapun, yang setidaknya dapat membantu memperbaiki ekonomi rumah tangga. 7. Discourage Worker Jika dalam pembahasan mengenai added worker, upah sektoral riel bukan merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang untuk masuk ke pasar maka pada discourage worker upah sektoral riel juga bukan faktor penentu seseorang untuk keluar dari pasar kerja. Tingginya jumlah pengangguran di kedua daerah merupakan faktor penentu yang penting bagi seseorang untuk keluar dari pasar kerja. Di perkotaan, investasi sektor industri juga berpengaruh nyata terhadap discourage worker namun tidak untuk pedesaan 8. Pendapatan Nasional Pendapatan nasional secara sektoral dipengaruhi secara nyata baik oleh produktifitas pekerja sektoral maupun kesempatan kerja sektoral. Hasil perhitungan elastisitas memperlihatkan bahwa pendapatan nasional sektoral cenderung lebih responsif terhadap perubahan kesempatan kerja sektoral daripada produktifitas pekerja. 9. Pengangguran Jumlah pengangguran perkotaan dipengaruhi secara nyata hanya oleh jumlah added worker perkotaan, sementara jumlah pengangguran pedesaan dipengaruhi tidak hanya oleh added worker pedesaan tetapi juga oleh angkatan kerja pedesaan dan kesempatan kerja pertanian di pedesaan. Ditinjau dari sisi kesempatan kerja, jumlah
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
pengangguran di perkotaan lebih disebabkan karena penurunan kesempatan kerja sektor industri di wilayah tersebut. Sebaliknya jumlah pengangguran di pedesaan lebih dipengaruhi oleh penurunan jumlah kesempatan kerja sektor pertanian di pedesaan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Peningkatan angkatan kerja di Indonesia lebih dipengaruhi oleh pertambahan penduduk usia produktif di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Upah bukan merupakan faktor utama yang mendorong penduduk untuk masuk ke pasar kerja. Migrasi desa-kota merupakan peubah yang juga berpengaruh nyata terhadap penurunan jumlah angkatan kerja pedesaan. 2. Pendapatan nasional sektoral, Program Padat Karya di perkotaan dan Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal di wilayah pedesaan berpengaruh terhadap peningkatan kesempatan kerja. Penggunaan mesin industri dan traktor akan mengurangi kesempatan kerja. 3. Upah sektoral riel dipengaruhi secara nyata oleh Upah Minimum Regional Sektoral Riel (UMRS) dan inflasi. Upah sektoral riel, konsumsi kalori dan Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan merupakan faktor utama yang menentukan produktifitas pekerja. 4. Migrasi desa-kota lebih disebabkan oleh faktor penarik (pull-factor) yang ada di perkotaan daripada faktor pendorong (push-factor) yang ada di pedesaan. 5. Peningkatan Added worker dipengaruhi oleh pertambahan penduduk yang mencari kerja dengan alasan membantu ekonomi rumah tangga-menambah penghasilan dan putus/tamat sekolah. Discourage worker dipengaruhi secara nyata oleh pengangguran. Upah sektoral riel bukan merupakan faktor yang penting bagi Added worker dan discourage worker pada periode krisis ekonomi. 6. Pendapatan nasional lebih responsif terhadap perubahan kesempatan kerja sektoral daripada produktifitas. 7. Pengangguran lebih responsif terhadap perubahan added worker di kedua wilayah daripada peningkatan jumlah angkatan kerja dan kesempatan kerja. Pengangguran di wilayah perkotaan lebih berkaitan dengan penurunan kesempatan kerja sektor industri, sementara pengangguran di pedesaan berkaitan dengan penurunan kesempatan kerja sektor pertanian pada masing-masing wilayah. Saran 1. Lebih tingginya upah sektoral riel di luar Jawa dan lebih tingginya angkatan kerja pedesaan di luar Jawa mengindikasikan selayaknya kebijakan pembangunan lebih diarahkan ke luar Jawa terutama wilayah pedesaan. 2. Kebijakan peningkatan UMRS, investasi dan penghapusan Inpres Sarana Kesehatan sebaiknya diikuti dengan usaha untuk meningkatkan konsumsi ma
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
syarakat. Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah lebih memusatkan perhatian pada program Usaha Perbaikan Pangan dan Gizi masyarakat. Akan lebih baik lagi, jika penghapusan kebijakan Inpres Sarana Kesehatan tidak dilakukan mengingat kebijakan tersebut memiliki pengaruh cukup besar terhadap perbaikan keragaan pasar kerja dan migrasi pada periode krisis ekonomi di Indonesia. 3. Sektor jasa, melalui perkembangan sektor informalnya, harus mendapat perhatian penuh dari pemerintah. Pemerintah sebaiknya lebih memberikan pembinaan dan perhatian khusus pada sektor jasa karena sektor ini terbukti mampu menjadi ‘katup pengaman’ pada periode krisis ekonomi. 4. Hasil analisis menunjukkan bahwa migrasi desa-kota berpengaruh nyata terhadap pengurangan angkatan kerja pedesaan. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kelangkaan angkatan kerja di pedesaan. Oleh karenanya, diharapkan pemerintah memberikan perhatian pada usaha yang dapat meredam arus migrasi tersebut misalnya dengan ‘rekayasa urbanisasi’. Upaya yang dapat ditempuh adalah meningkatkan fasilitas perkotaan di daerah pedesaan, sekaligus meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat pedesaan sendiri. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan Terima Kasih diberikan kepada yang terhormat: 1).Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA., 2). Dr. Ir. Sjafri Mangkuprawira, 3). Dr. Ir. Anny Ratnawati, M.S., atas dedikasi beliau yang tinggi dalam proses pembimbingan selama penulis menyelesaikan Thesis di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. DAFTAR PUSTAKA Bellante, D dan M. Jackson. 1990. Ekonomi Ketenagakerjaan. Lembaga Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Borjas, G.J. 1996. Labor Economics. McGraw-Hill Inc. New York. Kautsoyiannis. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometrics Methods. Second Edition. Harper & Row Publishers Inc. Inggris. Laporan Misi Strategi Ketenagakerjaan. 1999. Indonesia: Startegi Pemulihan dan Rekonstruksi dengan Tenaga Kerja sebagai Ujung Tombak (Ikhtisar Eksekutif). Organisasi Perburuhan Internasional. Pindyck , R. S. and D. L. Rubinfeld. 1991. Econometrics Models, and Economics Forcast.3rd. ed. McGraw-Hill Edition. Singapore.
SOCA ❖ 6 (1) : 5 - 12
Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja Serta Kualitas Sumberdaya Manusia di IndonesiaISSN: [Ketut1411-7177 Kariyasa]
PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA Ketut Kariyasa
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor
ABSTRACT The result of Assessment on “Changes of Economic and Employment Structure as well as Quality of Human Resource in Indonesia” showed that in 1995–2001 periods economic (GNP) structure in Indonesia has been changed from S-I-A (Services-Industry-Agriculture) pattern to I-S-A pattern. Meanwhile, during the same period employment structure was remain stable, namely A-S-I pattern. The unbalanced changes between economic and employment structures were predicted to be the factors causing labor productivity and society welfare in agricultural sector were declining. In agricultural sector itself the absorption of labor force was dominated by food crops sub sector. There was a quality improvement in human resource. However, the problem is government capability to create employment was not sufficient to provide job opportunity for improved human resource. Keywords: Changes, Structure, Economic, Employment, and Human Resource. PENDAHULUAN Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu: (1) pertumbuhan, (2) penaggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau transformasi ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Transformasi struktural merupakan prasyarat dari peningkatan dan kesinambungan pertumbuhan dan penanggulangan kemiskinan, sekaligus pendukung bagi keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Pembangunan di Indonesia telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang ditandai terjadinya perubahan struktur perekonomian. Proses perubahan struktur perekonomian ditandai dengan: (1) merosotnya pangsa sektor primer (pertanian), (2) meningkatnya pangsa sektor sekunder (industri), dan (3) pangsa sektor tersier (jasa) kurang lebih konstan, namun kontribusinya akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak disertai dengan perubahan struktur tenagakerja yang berimbang (Swasono dan Sulistyaningsih, 1993). Artinya laju pergeseran ekonomi sektoral relatif cepat dibandingkan dengan laju pergeseran tenagakerja, sehingga Manning (1995) dalam Suhartini (2001) mengatakan bahwa titik balik untuk aktivitas ekonomi (economic turning-point) tercapai lebih dahulu dibanding dengan titik balik penggunaan tenagakerja (labor turning-point). Sehingga masalah yang sering diperdebatkan adalah: (1) apakah penurunan panga PDB sebanding dengan penurunan pangsa serapan tenagakerja sektoral, dan (2) industri mana yang berkembang lebih cepat, agroindustri atau industri manukfaktur. Jika transformasi kurang seimbang maka dikuatirkan akan terjadi
proses pemiskinan dan eksploitasi sumberdaya manusia pada sektor primer. Tujuan Pengkajian Bertolak dari latar belakang dan permasalahan di atas, maka kajian ini bertujuan untuk melihat perubahan struktural yang terjadi dalam perekonomian Indonesia, khususnya dinamika perubahan struktur ekonomi (pangsa produksi terhadap PDB) dan kesempatan kerja baik antar sektor maupun antar subsektor pada sektor pertanian dan perubahan struktur kualitas sumberdaya manusia di Indonesia. KERANGKA TEORITIS Perubahan Struktur Sektor Pertanian Menurut Hayami dan Ruttan (1971), perubahan struktur sektor pertanian yaitu perubahan pola komposisi produksi, urutan produksi dan perubahan sumberdaya yang digunakan. Dalam proses pertumbuhan ekonomi, pangsa sektor pertanian baik dalam PDB maupun dalam kesempatan kerja menurun sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita. Proses pertumbuhan PDB juga disertai pertumbuhan sektor pertanian yang meningkat dengan cepat bersamaan dan bahkan mendahului pertumbuhan PDB. Sektor industri mempunyai ketergantungan yang erat dengan sektor pertanian. Perkembangan sektor industri akan disertai dengan penurunan keuntungan jika tidak didukung oleh perkembangan sektor pertanian. Hal ini disebabkan oleh karena sektor industri tidak menghasilkan bahan makanan. Sektor industri tidak dapat berkembang tanpa didukung perkembangan sektor pertanian. Dari uraian tersebut mudah dimengerti mengapa revolusi industri dan revolusi pertanian terjadi bersamaan dan mengapa negara dimana sekitar sektor
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
pertanian mengalami kemandegan, maka sektor industri pun tidak mengalami perkembangan. Adanya keserasian antara pertumbuhan sektor pertanian dengan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan sektor pertanian mempunyai keterkaitan dengan kebijakan ekonomi secara keseluruhan. Mobilitas Tenagakerja Pertanian Perbedaan antara keadaan negara-negara berkembang pada masa kini dengan keadaan negara maju pada waktu mereka baru mulai mengalami pembangunan bersumber dari masalah penduduk yang dihadapi. Adanya sifat perkembangan penduduk dan masalah pengangguran di negara berkembang, mendorong ahli ekonomi untuk membuat teori mengenai corak pembangunan dan perubahan strukur ekonomi dalam suatu masyarakat dimana: (1) penduduknya sebagian besar masih menjalankan kegiatan di sektor pertanian yang tradisional, dan (2) sektor tersebut mempunyai kelebihan jumlah tenagakerja sehingga menghadapi masalah pengangguran terbuka dan tersembunyi yang serius. Analisa yang demikian dipelopori oleh Lewis dan kemudian diperdalam oleh Ranis dan Fei (Sukirno, 1985). Teori pertumbuhan Fei-Ranis (1964) seperti yang ditulis Suryana (1989) merupakan konsep yang berkaitan dengan transfer tenagakerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Menurut Suryana (1989), meskipun ada beberapa keterbatasan yang melekat padanya, ada baiknya model ini dikaji ulang. Dalam model Fei-Ranis, tahapan transfer tenagakerja dibagi menjadi tiga berdasarkan pada produk fisik marginal (MPP) dan upah yang dianggap konstan dan ditetapkan secara eksogenus. Pada tahap pertama, karena tenagakerja melimpah maka MPP tenagakerja sama dengan atau mendekati nol sehingga surplus tenagakerja yang ditransfer dari sektor pertanian ke sektor industri mempunyai kurva penawaran yang elastis sempurna. Pada tahap ini walaupun ada transfer tenagakerja, total produksi di sektor pertanian tidak menurun, produktivitas tenagakerja meningkat dan sektor industri dapat tumbuh karena didukung oleh adanya tambahan tenagakerja yang disediakan sektor pertanian. Dengan demikian, transfer tenagakerja menguntungkan kedua sektor ekonomi. Dalam Gambar 1, MPP tenagakerja nol digambarkan pada ruas OA, tingkat upah sepajanjang garis W (Gambar 1.b), dan penawaran tenagakerja yang elastis sempurna sepanjang S0S1 (Gambar 1.a). Pada tahap kedua, pengurangan satu satuan tenagakerja di sektor pertanian akan menurunkan produksi karena MPP tenagakerja sudah positif (ruas AB) namun besarnya MPP masih lebih kecil dari tingkat upah W. Transfer tenagakerja dari pertanian ke industri pada tahap ini mempunyai biaya imbangan yang positif, sehingga kurva penawaran tenagakerja di sektor industri mempunyai elastisitas positif sejak titik S1. Transfer akan tetap terjadi, produsen di sektor pertanian akan dengan senang hati melepaskan tenagakerjanya walaupun mengakibatkan produksi menurun karena penurunan
Produk Marginal S2
S0
0
S1 F1
F2
Produk Fisik Marginal
F3
Tenagakerja
(1.a) Sektor Industri Produk Rata-Rata Produk Fisik Marginal
W
O
Upah (konstan)
A
B
Tenagakerja
I II III (1.b) Sektor Pertanian Gambar 1. Model Fei-Ranis tentang transfer tenagakerja dari sektor pertanian ke sektor industri
Gambar 1. Model Fei-Ranis tentang transfer tenagakerja dari sektor pertanian ke sektor industri.
tersebut lebih rendah dari besarnya upah yang tidak jadi dibayarkan. Di pihak lain, karena surplus produksi yang ditawarkan ke sektor industri menurun sementara permintaannya meningkat (karena tambahan tenagakerja masuk), harga relatif komoditi pertanian akan meningkat. Tahap ketiga adalah tahap komersialisasi di kedua sektor ekonomi, dimana MPP tenagakerja sudah lebih tinggi dari tingkat upah. Produsen pertanian akan mempertahankan tenagakerjanya sehingga masing-masing sektor berusaha efisien. Transfer masih akan terus terjadi jika inovasi teknologi di sektor pertanian dapat menigkatkan MPP tenagakerja. Sementara permintaan tenagakerja terus meningkat dari sektor industri dengan asumsi keuntungan di sektor ini diinvestasikan kembali untuk memperluas usaha. Mekanismenya diringkas pada Gambar 1. Dalam model FR ini kecepatan transfer tenagakerja dari sektor pertanian ke sektor industri tergantung pada: (a) tingkat pertumbuhan penduduk, (b) perkembangan teknologi di sektor pertanian dan (c) tingkat pertumbuhan stok modal di sektor industri dan surplus yang dicapai di sektor pertanian. Dengan demikian keseimbangan pertumbuhan di kedua sektor tersebut menjadi prasyarat untuk menghindari stagnasi dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Ini Berarti kedua sektor tersebut harus tumbuh secara seimbang dan transfer serta peneyarapan tenagakerja di sektor industri harus lebih cepat dari pertumbuhan angkatan kerja. Mobilitas tenagakerja di Idonesia saat ini tidak dapat
Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja Serta Kualitas Sumberdaya Manusia di Indonesia [Ketut Kariyasa]
diidentifikasikan hanya dengan salah satu tahapan dari model FR seperti diuraikan di atas. Dapat saja mobilitas tenagakerja di suatu daerah dicirikan oleh tahap 1, tetapi di daerah lainnya sudah berada pada tahap 3. Keadaan ini disebabkan besarnya keragaman tahapan perkembangan pembangunan pertanian di Indonesia yang bergantung pada kualitas sumberdaya, identitas campur tangan manusia dan inovasi teknologi. Namun demikian, asumsi bahwa MPP tenagakerja sama dengan nol yang mencirikan tahap pertama model FR tidak didukung oleh hasil-hasil penelitian sebelummnya (Suhartini dan Mardianto, 2001). Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa transfer tenagakerja dari sektor pertanian ke sektor industri masih tetap berlangsung. Transfer tersebut tidak berada pada tahap pertama dalam model FR, karena bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa dengan anggapan teknologi yang diterapkan saat ini relatif tetap, MPP tenagakerja masih positif dan penawaran tenagakerja pertanian di sektor industri tidak elastis sempurna. Bagi yang terjun di sektor pertanian, transfer yang terjadi didorong oleh adanya harapan upah (pendapatan) di sektor industri lebih tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian. Keadaan ini lebih cocok diterangkan pada tahapan kedua atau ketiga dari model FR.
pertanian berturut-turut 43,03 persen; 40,82 persen; dan 16,15 persen. Pada periode yang sama, pangsa sektor pertanian dan industri masing-masing cenderung meningkat 0,29 persen dan 0,72 persen, sebaliknya pangsa sektor jasa justru mengalami penurunan sebesar 0,76 persen. Walaupun pangsa sektor pertanian cenderung mengalami peningkatan terutama selama krisis ekonomi, akan tetapi dapat diduga bahwa sektor ini sangat sulit untuk memperbaiki posisinya, mengingat pangsanya yang relatif kecil dibandingkan dua sektor lainnya. Tabel 1. Perkembangan Pangsa masing-masing Sektor Terhadap PDB Indonesia 1995-2001 Berdasarkan Harga Konstan 1993 Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Rataan r (%/th)
Pertanian (P) 16,09 15,38 14,79 16,90 17,13 16,61 16,18 16,15 - 0,29
Sektor Industri (I) 41,83 42,86 43,18 42,75 43,25 43,66 43,66 43,03 0,72
Jasa (J) 42,08 41,76 42,03 40,35 39,62 39,73 40,16 40,82 - 0,76
Pola J–I–P I–J–P I–J–P I–J–P I–J–P I–J–P I–J–P I–J–P -
Sumber: BPS 1997, 2001 (diolah)
HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja Adanya tingkat pertumbuhan ekonomi atau produksi yang tidak merata, dan sisi lain tidak diikuti oleh kemampuannya dalam penyerapan tenagakerja akan membawa konsekuensi terjadinya perubahan struktur dari ke dua aspek tersebut yang semakin menjauh baik antar sektor maupun antar subsektor pada masing-masing sektor. Pada bahasan berikut berturut-turut akan dilihat perubahan dari struktur tersebut baik antar sektor maupun antar subsektor yang difokuskan pada sektor pertanian, mengingat sektor ini masih menjadi tumpuan sebagian pekerja Indonesia. Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja Antar Sektor Berdasarkan harga konstan 1993, pada tahun 1995 sektor jasa mampu memberikan kontribusi yang paling besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dibandingkan sektor lainnya yaitu sebesar 42,08 persen, disusul oleh sektor industri sebesar 41,83 persen dan yang relatif paling kecil adalah sektor pertanian (Tabel 1). Sehingga pada tahun ini pola struktur produksi terhadap PDB dilihat dari aspek kontribusi menurut sektor adalah J – I – P dimana J adalah jasa, I adalah industri, dan P adalah pertanian. Mulai tahun 1996, kontrubusi terhadap PDB terbesar telah beralih dari sektor jasa ke sektor industri, sementara itu sektor pertanian masih tetap berada pada urutan ketiga, sehingga mulai tahun 1996 struktur PDB telah berubah menjadi pola I-J-P. Pada Tabel 1 tampak juga bahwa selama tahun 1995-2001 rata-rata kontribusi sektor industri, jasa dan
Lebih lanjut kalau informasi pada Tabel 1 dikaitkan dengan hasil kajian Simatupang dan Mardianto (1996) dimana pada tahun 1960 pola strtuktur PDB Indonesia adalah P-J-I, maka dapat dikatakan bahwa di Indonesia telah terjadi perubahan struktur produksi (PDB) yang terlalu cepat dari P-J-I J-I-P I-J-P, sehingga terlihat bahwa kontribusi sektor pertanian secara dramatis digeser langsung ke urutan terakhir. Tabel 2. Perkembangan Penyerapan Tenagakerja masing-ma sing Sektor, Tahun 1995-2001 Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Rataan r(%/th)
Pertanian (P) 47,0 52,3 50,6 52,3 50,4 48,6 43,8 49,3 -0,95
Sektor (%) Industri (I) Jasa (J) 18,1 34,9 19,8 27,9 20,0 29,4 16,1 31,6 17,2 32,4 17,4 34,0 17,5 38,7 18,0 32,7 -0,09 2,35
Pola P–J–I P–J–I P–J–I P–J–I P–J–I P–J–I P–J–I P–J–I
Sumber: BPS 1997, 2001 (diolah)
Dari aspek kesempatan tenagakerja, selama periode 1995-2001 terlihat bahwa sektor pertanian menampung hampir separuhnya (49,3%) dari total jumlah pekerja Indonesia, disusul oleh sektor jasa sekitar 33 persen, sedangkan sektor industri baru hanya sekitar 18 persen (Tabel 2). Selama periode 1995-2001, yang cukup menarik bahwa disamping daya tampungnya yang relatif paling rendah, pangsa penyerapan sektor industri ter
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
hadap tenagakerja juga cenderung menurun sekitar 0,09 persen terutama terjadi pada awal-awal krisis ekonomi. Demikian juga pangsa penyerapan tenagakerja dari sektor pertanian cenderung menurun sekitar 0,95 persen, sebaliknya pangsa penyerapan tenagakerja dari sektor jasa justru mengalami peningkatan sebesar 2,35 persen. Informasi ini juga menunjukkan bahwa nampaknya tidak terjadi perubahan pola struktur penyerapan tenagakerja terutama periode 1995-2001. Berubahnya struktur pangsa masing-masing sektor terhadap PDB yang tidak dibarengi dengan adanya perubahan struktur penyerapan tenagakerja, tentunya akan berdampak terhadap rasio dari dua aspek tersebut, seperti disajikan pada Tabel 3. Selama periode 1995-2001 rata-rata rasio penyerapan tenagakerja dengan pangsa terhadap PDB dari sektor pertanian sebesar 3,06 dengan kisaran 2,71 – 3,42, dan untuk sektor industri rata-rata 0,42 dengan kisaran 0,38– 0,46, sementara untuk sektor jasa rata-rata 0,80 dengan kisaran 0,67 – 0,96. Tabel 3. Rasio Antara Penyerapan Tenagakerja Terhadap Pangsa dengan PDB pada masing-masing Sektor, Tahun
1995-2001 Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Rataan
Pertanian (P) 2,92 3,40 3,42 3,09 2,94 2,93 2,71 3,06
Sektor Industri (I) Jasa (J) 0,43 0,83 0,46 0,67 0,46 0,70 0,38 0,78 0,40 0,82 0,40 0,86 0,40 0,96 0,42 0,80
Pola P–J–I P–J–I P–J–I P–J–I P–J–I P–J–I P–J–I P–J–I
Sumber:Tabel 1 dan Tabel 2 (diolah)
Dari besaran rasio-rasio pada masing-masing sektor tersebut lebih lanjut dapat diinterpretasikan apakah telah terjadi peningkatan atau penurunan pangsa produksi yang proporsional dengan kesempatan kerja yang disediakannya. Nilai rasio > 1 menunjukkan bahwa jumlah tenagakerja yang harus ditampung oleh suatu sektor lebih besar dari pangsanya terhadap PDB, begitu sebaliknya jika nilai rasio < 1 menunjukkan bahwa jumlah tenagakerja yang baru bisa ditampung oleh suatu sektor lebih kecil dari pangsanya terhadap PDB. Suatu sektor dikatakan mempunyai kemampuan menyerap tenagakerja sesuai dengan kontribusinya terhadap PDB jika nilai rasio tersebut sama dengan 1. Dengan konsep di atas terlihat bahwa selama periode 1995-2001 sektor pertanian “dipaksa” menyerap tenagakerja yaitu tiga kali lipat dari kemampuannya dalam berkontribusi terhadap PDB, sebaliknya sektor industri hanya mampu menyerap tenagakerja sekitar 42 persen dari kontribusi terhadap PDB, sementara itu sektor jasa hanya mampu menyerap tenagakerja baru sekitar 80 persen. Walaupun sektor jasa belum mampu menyerap tenagakerja sesuai yang diharapkan, akan tetapi sektor ini sudah mendekati pada kondisi yang idial khususnya pada tahun 2001, dimana rasionya sudah mendekati
satu (0,96). Dari infromasi di atas menunjukkan bahwa telah terjadinya perubahan struktur pangsa produksi (PDB) yang tidak diikuti oleh terjadi perubahan struktur pangsa penyerapan tenagakerja secara proporsional dan bahkan cenderung struktur pangsa penyerapan tenagakerja tidak berubah akan menyebabkan terjadi penumpukan tenagakerja pada satu sektor. Sehingga fenomena ini akan menyebabkan semakin timpangnya produktivitas yang dihasilkan yang lebih lanjut berdampak pada semakin timpangnya juga pendapatan antara pekerja di sektor pertanian dan industri. Beberapa peneliti yang telah menganalisis pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi Indonesia dengan menggunakan data dari Tabel Input-output (I-O) Indonesia antara lain Dasril (1993), Erwidodo (1995), Sulistyaningsih (1997) dan Hastuti dan Mardianto (2001). Di tingkat regional, Sastrowiharjo (1989) menganalisa pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi provinsi Jambi, sedangkan Iskandar (1993) melakukannya di Sumatera Barat, serta Hagami H. (2000) melakukan pengkajian di Provinsi Sumatera Selatan. Dari hasil penelitian tersebut memberikan kesimpulan yang senada dengan kajian ini, bahwa perekonomian Indonesia maupun di masing-masing propinsi kajian telah mengalami transformasi struktural, yang dicirikan oleh adanya perubahan struktur PDB, struktur kesempatan kerja dan perubahan komposisi ekspor dan impor barang dan jasa. Temuan serupa juga diperoleh dari hasil kajian yang dilakukan oleh Simatupang dan Mardianto (1996). Dari hasil kajian ini juga menunjukkan bahwa pola perubahan struktur PDB Indonesia merupakan pola pintas. Dari hasil kajian ini dan didukung oleh hasil kajiankajian sebelumnya menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan struktur PDB atau produksi yang tidak seiring dan tidak sepadan dengan perubahan struktur penyerapan tenagakerja. Senjangnya perubahan struktur perekonomian Indonesia khususnya sebagai akibat dari rendahnya daya serap tenagakerja sektor industri (sektor yang paling pesat pertumbuhannya), sangat memberatkan sektor pertanian. Pertama, oleh karena sifatnya yang sangat akomodatif terhadap penyeraan tenagakerja, sektor pertanian terpaksa menampung tenagakerja melebihi kapasitasnya, sehingga menanggung beban pengangguran yang sangat tinggi. Hal ini didukung oleh adanya data yang menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1990-2000, pengangguran tak kentara praktis tetap sekitar 24-25 persen (Suhartini dan Mardianto, 2001). Tingginya pengangguran tak tentara ini tentu merupakan suatu pemborosan sumberdaya manusia. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa senjang perubahan struktur perekonomian telah turut menimbulkan inefisiensi perekonomian Indonesia. Kedua, perubahan PDB yang tidak seiring dan sepadan dengan perubahan struktur penyerapan tenagakerja telah menimbulkan kesenjangan pendapatan nasional yang lebar. Dengan lebih spesifik penurunan pangsa PDB sektor pertanian dan penurunan pangsa penyerapan tenagakerja sektor
Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja Serta Kualitas Sumberdaya Manusia di Indonesia [Ketut Kariyasa]
Tabel 4. Struktur Nilai Tambah dan Kesempatan Kerja Menurut Sektor 1980 - 2000 (%) 1980
Sektor
NT 42,4 35,1 7.3 12,1 6,7 3,9 1,5 45,6 100
I. PRIMER 1. Pertanian 2. Pertambangan II. SEKUNDER 1. Industri Pengolahan 2. Industri lain tanpa migas 3. Industri migas III. TERSIER TOTAL
1985 TK 64,4 64,2 0,2 6,5 4,7 1,5 0,3 29,1 100
NT 47,9 29,3 18,6 11,0 6,0 4,3 0,7 41,1 100
1990 TK 62,0 61,2 0,8 9,3 5,9 3,4 00,3 28,7 100
NT 50,3 21,6 25,7 10,3 6,6 3,5 02,0 39,4 100
1995 TK 59,0 58,3 0,7 9,6 6,8 2,8 0,04 31,4 100
NT 37,9 22,9 15,0 15,6 7,5 3,7 4,4 46,5 100
2000 TK 56,8 56,1 0,7 8,2 6,5 1,7 0,04 35,0 100
NT 33,6 19,8 13,8 16,5 6,6 5,3 4,6 49,9 100
TK 58,7 57,5 1,2 13,3 10,5 2,7 0,1 28,0 100
Sumber: Suhartini dan Mardianto, (2001) Keterangan: NT = Nilai Tambah; TK = Tenagakerja
Tabel 5. Pangsa Sektor Pertanian Menurut Subsektor Terhadap PDB 1995-2001 (Harga Konstan 1993) SUBSEKTOR Tan. Pangan (a) Perkebunan (b) Peternakan (c) Kehutanan (d) Perikanan (e) PERTANIAN Pola
1995 8,56 2,58 1,75 1,64 1,56 16,09 abcde
1996 8,12 2,49 1,72 1,54 1,51 15,38 abcde
1997 7,62 2,48 1,71 1,46 1,51 14,79 abced
1998 8,86 2,79 1,71 1,75 1,79 16,90 abedc
1999 8,97 2,82 1,80 1,66 1,88 17,13 abecd
2000 8,58 2,72 1,76 1,59 1,87 16,52 abecd
2001 8,25 2,70 1,78 1,56 1,88 16,18 abecd
Rataan 8,42 2,65 1,75 1,60 1,71 16,14 abced
Sumber: BPS 1997, 2001 (diolah)
pertanian yang tidak seimbang telah menimbulkan tingkat pendapatan per kapita di sektor ini yang jauh lebih rendah dari sektor lainnya. Hal ini dapat dilihat dari indek produktivtas tenagakerja sektor pertanian yang lebih rendah dari sektor lainnya, khususnya jika dibandingkan dengan sektor industri. Pada tahun 2000 indeks produktivitas tenagakerja sektor pertanian sebesar 0,4248, sedangkan industri dan jasa berturut-turut 2,2216 dan 1,2485 (Suhartini dan Mardianto, 2001). Ketiga, tingkat pengangguran yang tinggi dan rendahnya produktivitas tenagakerja merupakan penyebab utama tingginya proporsi penduduk miskin di sektor pertanian dan di pedesaan pada umumnya. Perubahan struktur produksi dapat pula diukur dari perubahan pangsa nilai tambah yang erat hubungannya dengan pangsa tenagakerja pada setiap sektor. Dengan meggunakan data hasil penelitian Suhartini dan Mardianto, (2001) seperti yang disajikan pada Tabel 4, terlihat secara jelas bahwa telah terjadi perubahan struktur pangsa nilai tambah dan pangsa penyerapan tenagakerja yang tidak seimbang pada masing-masing sektor. Perubahan pangsa nilai tambah setiap sektor terjadi karena tingkat pertumbuhan yang berbeda sebagai akibat intensitas sumber-sumber pertumbuhan yang berbeda. Pada sektor pertanian terjadi penurunan pangsa nilai tambah lebih cepat dari pada penurunan pangsa tenagakerja. Sebaliknya di sektor industri, peningkatan pangsa nilai tambah lebih cepat dari peningkatan pangsa tenagakerja. Dengan demikian terjadi ketimpangan antara pangsa nilai tambah dan pangsa tenagakerja di sektor pertanian dibandingkan sektor industri. Di sektor pertanian terdapat pangsa nilai tambah yang relatif lebih kecil dengan pangsa tenagakerja, sedangkan di sektor
industri pangsa nilai tambah dan pangsa tenagakerja relatif seimbang. Dari uraian di atas tampak bahwa transformasi struktural memang telah terjadi di Indonesia, dimana sektor primer secara berangsur mulai tergeser oleh sektor industri pengolahan dan manufaktur, perdagangan, jasa keuangan serta angkutan dan komunikasi. Proses industrialisasi telah berlangsung di Indonesia, terlihat dari semakin besarnya pangsa PDB dari sektor industri. Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja di Sektor Pertanian Selain melihat perubahan struktur pangsa produksi (PDB dan penyerapan tenagakerja secara umum (antar sektor) seperti disebutkan sebelumnya, yang tidak kalah menarik untuk dikaji adalah perubahan struktur kedua aspek tersebut menurut subsektor pada suatu sektor. Pada tulisan ini fokus kajian hanya dilakukan pada sektor pertanian, mengingat sektor ini di satu sisi masih diharapkan sebagai “leading sektor” dan di sisi lain masih tetap menjadi tumpuan terakhir bagi pekerja Indonesia baik bagi unskill labor maupun skill labor (seperti ketika banyak terjadi PHK). Pada sektor pertanian dalam periode 1995-2001, subsektor tanaman pangan merupakan kontributor terbesar terhadap PDB yaitu rata-rata 8,42 persen; disusul subsektor perkebunan 2,65 persen; subsektor peternakan 1,75 persen; subsektor perikanan 1,71 persen; dan terakhir adalah subsektor kehutanan 1,60 persen (Tabel 5). Pada Tabel 5 tampak juga bahwa selama periode 1995-2001 pada sektor pertanian walaupun subsektor tanaman pangan dan perkebunan tetap sebagai kontributor terbesar pertama dan kedua, akan tetapi secara
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
Tabel 6. Pangsa Penyerapan Tenagakerja Sektor Pertanian Menurut Subsektor, Tahun 1995-2001 SUBSEKTOR Tan. Pangan (a) Perkebunan (b) Peternakan (c) Kehutanan (d) Perikanan (e) PERTANIAN Pola
1995 42,98 2,23 0,57 0,22 0,99 47,00 abced
1996 47,30 2,47 1,15 0,38 1,00 52,30 abced
1997 42,85 3,76 1,89 0,79 1,30 50,60 abced
1998 42,91 5,27 2,12 0,55 1,45 52,30 abced
1999 39,80 5,01 3,45 0,80 1,34 50,40 abced
2000 36,91 5,40 3,92 0,85 1,52 48,60 Abcde
2001 33,11 4,93 3,61 0,76 1,39 43,80 abcde
Rataan 41,14 4,02 2,26 0,60 1,27 49,29 abcde
Sumber: BPS 1997, 2001 (diolah)
Tabel 7. Rasio Pangsa Penyerapan Tenagakerja Terhadap Pangsa PDB pada Sektor Pertanian Menurut Sbsektor Tahun 19952001 SUBSEKTOR Tan. Pangan (a) Perkebunan (b) Peternakan (c) Kehutanan (d) Perikanan (e) PERTANIAN Pola
1995 5,02 0,86 0,33 0,14 0,64 2,92 abecd
1996 5,83 0,99 0,67 0,25 0,66 3,40 abced
1997 5,62 1,52 1,11 0,54 0,86 3,42 abced
1998 4,84 1,89 1,24 0,31 0,81 3,09 abced
1999 4,44 1,78 1,91 0,48 0,71 2,94 acbed
2000 4,30 1,99 2,23 0,53 0,81 2,94 acbed
2001 4,01 1,83 2,03 0,49 0,74 2,71 acbed
Rataan 4,89 1,52 1,29 0,37 0,74 3,05 abced
Sumber: Tabel 5 dan Tabel 6 (diolah)
umum telah terjadi perubahan struktur produksi (PDB) khususnya pada peringkat ke tiga sampai ke lima, seperti terlihat pada baris terakhir. Pada sektor pertanian pangsa penyerapan tenagakerja terkonsentrasi pada subsektor tanaman pangan, dimana selama periode 1995-2001 subsektor ini menampung tenagakerja hampir sekitar 41,14 persen dari total pekerja Indonesia, walaupun pangsanya semakin menurun yaitu 42,98 persen pada tahun 1995 dan menjadi 33,11 persen pada tahun 2001 (Tabel 6). Jumlah pekerja berikutnya banyak terserap pada subsektor perkebunan, disusul oleh subsektor peternakan dan perikanan, dan terakhir adalah subsektor kehutanan. Dilihat dari struktur pangsa penyerapan tenagakerja, selama periode 1995-2001 telah terjadi perubahan struktur pangsa penyerapan tenagakerja pada sektor pertanian yaitu pada tahun 1995-1999 polanya adalah a-b-c-e-d (tanaman pangan-perkebunan-peternakan-perikanankehutanan), dan mulai tahun 2000 berubah dengan pola adalah a-b-c-d-e (tanaman pangan-perkebunanpeternakan-kehutanan-perikanan). Dari perbandingan Tabel 6 dan Tabel 5 (rasio penyerapan tenagakerja dan pangsa produksi (PDB) seperti disajikan pada Tabel 7, terlihat bahwa pada subsektor tanaman pangan jumlah orang yang bekerja rata-rata 4,89 kali lipat dari kemampuan produksi yang dihasilkan. Demikian juga pada subsektor perkebunan dan peternakan mulai tahun 1997 telah menampung tenagakerja lebih tinggi dari kapasitasnya, sedangkan pada subsektor perikanan baru sekitar 74 persen, bahkan pada subsektor kehutanan hanya 37 persen. Dari data pada Tabel 7 juga dapat diinterpretasikan bahwa selama ini beban tenagakerja yang ditanggung oleh sektor pertanian tidak terdistribusi secara merata pada masing-masing subsektor. Dengan kata lain, beban kelebihan tenagakerja yang selama ini terjadi pada sektor pertanian hanya ditanggung oleh tiga subsektor, terutama 10
subsektor tanaman pangan. Lebih lanjut kondisi ini menjukkan bahwa pada sektor pertanian sendiri juga telah terjadi ketimpangan perubahan struktur pangsa produksi dan penyerapan tenagakerja, sehingga mengakibatkan terjadi proses pemiskinan khususnya pada subsektor tanaman pangan. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus akan menyebabkan terjadinya kesenjangan pendapatan pekerja yang semakin melebar antar subsektor di sektor pertanian. Perubahan Struktur Kualitas Sumberdaya Manusia di Indonesia Secara umum peningkatan kualitas sumberdaya manusia dapat dicapai melalui pendidikan maupun berdasarkan pengalaman. Akan tetapi peningkatkan sumberdaya manusia melalui pengalaman dibutuhkan waktu yang relatif lama dibandingkan melalui pendidikan. Sehingga salah satu indikator yang lebih representatif untuk mengukur kualitas sumberdaya manusia adalah melalui tingkat pendidikan yang pernah dicapai. Berpedoman dengan indikator tersebut, terlihat bahwa pada periode 1961-1980, dapat dikatakan bahwa kondisi sumberdaya manusia Indonesia masih sangat rendah, hal itu terbukti lebih dari 50 persen penduduk Indonesia dengan tingkat pendidikan tidak tamat sekolah dasar ke bawah, bahkan selama periode tersebut sekitar 31,9 – 68,1 persen tidak pernah sekolah (Tabel 8). Penduduk yang berpendidikan setingkat sekolah dasar baru sekitar 11,8 – 22,1 persen dan berpendidikan menengah sekitar 3,1-12,4 persen, bahkan berpendidikan lanjutan ke atas baru 0,3-0,6 persen. Mulai tahun 1990, sumberdaya manusia Indonesia didominasi oleh kualitas setara sekolah dasar, dimana pada tahun tersebut proporsi penduduk Indonesia yang berpendidikan sekolah dasar sekitar 30,1 persen dan pada tahun 2001 menjadi 34,9 persen. Peningkatan jumlah pendudukan yang berpendidikan setingkat menengah
Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja Serta Kualitas Sumberdaya Manusia di Indonesia [Ketut Kariyasa]
dan lanjutan juga mulai mengalami peningkatan yang cukup berarti. Bahkan pada tahun 2001, komposisi penduduk yang berpendidikan setingkat pendidikan menengah sudah mulai mendominasi yaitu sebesar 38,2 persen dengan peningkatan sekitar 4,5 persen per tahun selama periode 1990-2001. Tabel 8. Jumlah penduduk Indonesia menurut tingkat pendidikannya tahun 1961-2001 (%) Tingkat Pendidikan
1961
Tidak Sekolah
68,1
Tidak Tamat SD
16,7
Tamat SD
11,8
Pendidikan Menengah (pertama dan atas) Pendidikan Lanjutan (akademi dan universitas) Total
3,1 0,3 100
1971 45,2 (-3,1) 25,1 (4,6) 21,6 (7,6) 7,7 (13,5) 0,4 (3,0) 100
1980 31,9 (-2,9) 33,0 (3,2) 22,1 (0,2) 12,4 (6,1) 0,6 (5,0) 100
1990 18,9 (-3,7) 24,6 (-2,3) 30,1 (3,3) 24,8 (9,1) 1,6 (15,2) 100
2001 8,0 (-4,8) 15,0 (-3,3) 34,9 (1,3) 38,2 (4,5) 3,9 (12,0) 100
Sumber: Hill, 1996 (1961-1990) dan BPS, 2001 (2001) Keterangan: - Angka dalam kurung menunjukkan tingkat pertumbuhan (%/th) pada masing-masing periode yaitu 1961-1971; 1971-1980; 19801990; 1990-2001
Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan sumberdaya manusia di Indonesia, terbukti adanya peningkatkan komposisi jumlah penduduk yang berpendidikan setingkat sekolah dasar, setingkat pendidikan menengah dan setingkat pendidikan lanjutan, sebaliknya disisi lain terjadi penurunan komposisi pendudukan yang berpendidikan tidak tamat sekolah dasar ke bawah. Namun masalahnya adalah apakah penduduk atau sumberdaya manusia yang mengalami perbaikan tingkat pendidikan tersebut akan otomatis bisa terserap oleh sektor yang mereka harapkan, atau dengan kata lain apakah khususnya sektor industri dan jasa mampu untuk menampungnya. Dilhat dari distribusi tenagakerja menurut tingkat pendidikan yang terserap menurut sektor (Tabel 9) terlihat bahwa selama periode 1976-2001 sumberdaya manusia Indonesia baik yang bekerja pada sektor pertanian maupun sektor non pertanian didominasi oleh sumberdaya manusia dengan kualifikasi tamat sekolah dasar ke bawah. Untuk sektor pertanian, selama periode 1976-1986, dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada tenagakerja dengan kualifikasi tamat perguruan tinggi
yang berkerja pada sektor ini karena jumlahnya relatif sangat kecil sekali, akan tetap pada tahun 2001 sudah mulai meningkat dan menjadi sebesar 0,17 persen. Sementara itu, selama periode 1976-2001 jumlah tenagakerja dengan kualifikasi tamat perguruan tinggi yang berkerja di sektor non pertanian berkisar 1,4 –2,7 persen terutama terserap pada sektor tersier (jasa keuangan dan perdagangan). Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa dari asepk pendidikan telah terjadi perbaikan kualitas sumberdaya manusia Indonesia, namun demikian adanya perbaikan kualitas sumberdaya manusia tersebut belum mampu diimbangi adanya peningkatan daya serap atau penciptaan lapangan kerja yang sesuai dengan kualitas dan kualifikasi perbaikan. Hal ini sangat menarik kalau dikaitkan kenapa masih banyaknya sumberdaya manusia Indonesia dengan kualifikasi sarjana yang menganggur. Sehingga sebenarnya lambannya pembangunan ekonomi di Indonesia kurang tepat kalau dikatakan penyebab utamanya adalah karena masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia di Indonesia, karena terbukti masih banyaknya sumberdaya manusia Indonesia dengan pendidikan menengah atas bahkan sarjana yang menganggur. Bahkan tidak aneh terdengar bahwa suatu pekerjaan pada instansi atau lembaga tertentu yang sebenarnya mampu dikerjakan oleh tenagakerja dengan kualifikasi pendidikan menengah atas dikerjakan oleh seorang sarjana, karena terpaksa harus menerimanya dari pada menganggur. Sebagai konsekuensinya, mereka rela dibayar lebih rendah dari tingkat produktivitasnya (MPL > W). Sebagai seorang manusia tentunya mereka ingin memaksimukan kepuasnya, yang bisa dicapai ketika MPL = W. Sehingga untuk mencapai kondisi tesebut, maka mereka akan mengurangi produktivitasnya melalui pola kerja yang tidak serius. Mungkin kondisi ini (karena ketidak mampuan pemerintah menciptakan lapangan kerja sesuai kualifikasi dan besarnya imbalan yang diharapkan setelah melakukan human investment) diduga sebagai salah satu pemicu maraknya moral hazard di Indonesia. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Keseimpulan (1) Telah terjadi perubahan struktur ekonomi (pangsa
Tabel 9. Distribusi Tenagakerja Menurut Tingkat Pendidikan 1976, 1986, dan 2001 (%) Tingkat Pendidikan Tidak Pernah Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat Perguruan Tinggi Total (%) Angkatan Kerja (000)
1976 34,7 37,9 25,3 1,7 0,4 -
Sektor Pertanian 1986 24,2 36,3 34,0 4,3 1,2 -
2001 11,83 23,92 45,61 13,10 5,37 0,17
1976 22,0 30,1 28,5 9,1 8,9 1,4
Sektor Non Pertanian 1986 12,5 23,4 33,1 12,3 15,9 2,8
2001 7,56 16,91 38,09 16,96 17,80 2,68
100 (29695)
100 (37645)
100 (39744)
100 (18620)
100 (30694)
100 (90807)
Sumber: Suryana, 1989 (1976,1986); BPS 2001 (2001) Ket : - menunjukkan persentase yang sangat kecil
11
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
produksi terhadap PDB) di Indonesia selama tahun 1995-2001 yaitu dari pola J-I-P (Jasa-Industri-Pertanian) ke pola I-J- P. Sementara itu, pada periode yang sama pola struktur pangsa penyerapan tenagakerja relatif stabil (tidak mengalami perubahan) dengan pola P-J-I. Dampak dari adanya perubahan struktur yang tidak seimbang menyebabkan terjadinya penumpukan tenagakerja di sektor pertanian. Hal ini terlihat dari rasio antara pangsa penyerapan tenagakerja dengan pangsa produksi (PDB) pada sektor pertanian rata-rata 3,06; sebaliknya rasio tersebut pada sektor industri dan jasa berturut-turut 0,42 dan 0,80. Kalau kondisi ini terus dibiarkan maka akan terjadi proses percepatan pemiskinan pada sektor pertanian. (2) Ternyata pada sektor pertanian sendiri juga telah terjadi perubahan struktur ekonomi antar subsektor yang tidak seimbang dengan perubahan struktur pangsa penyerapan tenaga kerja. Hal ini terbukti dari rasio antara pangsa penyerapan tenagakerja dengan pangsa produksi pada subsktor tanaman pangan hampir sekitar 5, sedangkan pada sektor kehutanan dan perikanan < 1. Artinya, beban penumpukan tenagakerja yang terjadi saat ini pada sektor pertanian tidak terdistibusi dengan merata pada masing-masing subsektor, dimana hampir semuannya ditanggung subsektor tanaman pangan sehingga tidak mengherankan jika kondisi keluarga petani tanaman pangan semakin memprihatinkan. (3) Secara umum telah terjadi perbaikan kualitas sumberdaya manusia di Indonesia, terbukti komposisi penduduk dengan pendidikan setara pendidikan menengah ke atas semakin besar, sebaliknya komposisi penduduk dengan tingkat pendidikan sekolah dasar ke bawah berkurang. Namun masalahnya adalah perbaikan kualitas sumberdaya manusia tersebut tidak diikuti oleh adanya kemampuan dari pemerintah Indonesia untuk menciptakan kesempatan kerja sesuai dengan kualifikasi dari perbaikan kualitas sumberdaya manusia tersebut. Fenomena ini dapat dilihat dari banyaknya pengangguran dengan tingkat pendidikan menengah ke atas dan bahkan dengan tingkat pendidikan sarjana. Implikasi Kebijakan (1) Upaya mengatasi terjadinya penumpukan tenagakerja di sektor pertanian yang nota bene pada umumnya berada di daerah pedesaan dapat dilakukan melalui pengembangan industri berbasis pedesaan, dengan harapan di satu sisi mampu menyerap kelebihan tenagakerja tersebut, dan di sisi lain mampu mendatangkan nilai tambah bagi produk pertanian. Sehingga pada akhirnya proses percepatan pemiskinan di sektor pertanian bisa diperlambat. (2) Pengembangan teknologi pertanian terutama pada daerah-daerah yang kelebihan tenagakerja seyogyangya diarahkan pada inovasi teknologi sarat tenagakerja, sehingga masalah kelebihan tenagakerja pada daerah tersebut dapat dikurangi. (3) Perlu adanya restrukturisasi industri di Indonesia 12
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
yang mengarah kepada kesesuaian dengan kualitas dan kualifikasi tenagakerja yang ada sekarang. Atau sebaliknya, jenis pendidikan yang harus dikembangkan harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar tenagakerja, khususnya pasar tenagakerja pada sektor industri. Sehingga fenomena banyaknya pengangguran dengan tingkat pendidikan sarjana bisa dikurangi. (4) Porsi jumlah dana yang dianggarkan pemerintah dalam bentuk investasi di sektor pertanian perlu ditingkatkan lagi, mengingat transformasi tenagakerja relatif lebih respon terhadap perubahan kesempatan kerja di sektor pertanian dibandingkan perubahan kesempatan kerja disektor industri dan jasa. DAFTAR PUSTAKA BPS.1997; 2001.Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta Dasril, A.S. 1993. Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Produksi Sektor Pertanan dalam Industrialisasi di Inonesia, 1971-1990. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Erwidodo. 1995. Transformasi Struktural dan Industrialisasi Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Hayami, Y. dan V.W. Ruttan. 1991. Agricultural Development: An International Perspective. The Johns Hopkins University Press, Baltimore and London. Iskandar, I. 1993. Transfromasi Perekonomian Sumatera Barat: Suatu Analisis Struktutal (1969-1990). Thesis, Pendidikan Pascasarjana KPK IPB-UNAND, Universitas Andalas, Padang. Kagami, H. 2000. Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja serta Transformasi Tenagakerja dari Sektor Pertanian ke Sektor Non Pertanian di Provinsi Sumatera Selatan. Tesis Magister Sains, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sastrowiharjo M. 1989. Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi Provinsi Jambi: Suatu Studi Simulasi Sistem Ekonomi Regional. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Simatupang, P. dan Sudi Mardianto. 1997. Pengaruh Kebijaksanaan Moneter dan Kurs Valuta Asing terhadap Transformasi Struktur Perekonomian Indonesia. Prosiding Seminar Nasional PERHEPI “Pertanian dan Pedesaan Indonesia dalam Transisi: Refleksi dan Perspektif ” Sukirno, S. 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan dasar Kebijaksanaan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Suhartini, S. dan S. Mardianto. 2001. Transfromasi Struktur Kesempatan Kerja Sektor Pertanian ke Non Pertanian di Indonesia. Agro-Ekonomika No.2 Oktober 2001. PERHEPI, Jakarta. Sulistyaningsih, E. 1997. Dampak Perubahan Struktur Ekonomi pada Struktur Kebutuhan Kualitas Tenagakerja di Indonesia, 1980-1990; Pendekatan Input-Output. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suryana, A. 1989. Perspektif Mobilitas Kerja dan Kesempatan Kerja Pedesaan dalam E. Pasandaran, et. al. Perkembangan Struktur Produksi, Ketenagakerjaan dan Pendapatan Rumah Tangga Pedesaan. Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Bogor. Swasono dan Sulistyaningsih. 1993. Pengembangan Sumberdaya Manusia: Konsepsi Makro untuk Pelaksanaan di Indonesia. Izufa Gempita, Jakarta.
Restrukturisasi Ketenagakerjaan dalam Proses Modernisasi Berdampak Perubahan Sosial pada Masyarakat Petani [Roosgandha Elizabeth] ISSN: 1411-7177 SOCA ❖ 6 (1) : 13 - 20
RESTRUKTURISASI KETENAGAKERJAAN DALAM PROSES MODERNISASI BERDAMPAK PERUBAHAN SOSIAL PADA MASYARAKAT PETANI Roosgandha Elizabeth
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor
ABSTRACT Sugar, one of the commercial plant state commodity for Indonesia; which are the necessary for human being, under any circumstances. But, sugar cane cause the land more tight to get rid of these difficult problems, by conducting “Tebu Rakyat Intensifikasi” programs. These purpose of research, to know about the labor concerning income, trend, and the restructurization become of labor transformation, which were depended the social change on social, economics, culture and politics trend of the sugar cane peasant, at Langkat and Deli Sedang districts, North Sumatera. “P.G” Kuala Madu is the cane industry manufactory, which the “TRI” program’s applied. The labor interaction caused the many social change problems. : “Social change is the significant alteration of social structure through time”. “Social structure means a persistent network of social relationships in which interaction gas become routine and repetitive”. (Harper, 1989). Sugar cane farming system, to increasing sugar cane productivity and farmer (peasant) incomes by “TRI” policy program, and aspect of it for competitive influence ability and sugar selling price in international market and domestic market. The identifying problems of sugar factory such BUMN’s inefficiency ; institution infractions, the weakness or dilated of governance to anticipatory the implication of many other sugar cane problem. Aim, the restructurization on labor of sugar cane farmers need government attended and, the restructurization of sugar factory should be directed to share owning removement to farmers of sugar cane. Keywords: Labor Restructuring, Modernization Process, Social Change, and Peasant Community PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan di pedesaan merupakan sebagian dari proses pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian wilayah, sekaligus mengindikasikan perubahan terhadap aspek kehidupan sosial ekonomi masyarakat desa. Dampak perubahan yang signifikan meliputi perubahan mata pencaharian, dimana terjadi pergeseran orientasi dari sektor pertanian menjadi sektor industri, jasa dan perdagangan yang berkembang pesat yang terakumulasi dari proses modernisasi dalam perkembangannya. Untuk memulai perkembangan, dalam historis setiap negara terdapat suatu momen optimal yang seharusnya mampu diselaraskan dalam berbagai perspektif baik ekonomi maupun sosial dan politik yang senantiasa dikait dengan sektor pertanian sebagai sumber penghidupan (way of life dalam perspektif klasik petani) mayoritas penduduk Indonesia. Dampak positip maupun negatip pembangunan ekonomi nasional yang telah dilaksanakan selama ini terhadap perubahan struktur ekonomi baik nasional maupun pedesaan, dimana terjadi pergeseran baik sektoral, spasial maupun institusional dan proses transformasi ekonomi. Dampak positip terutama pada perkembangan
tingkat pertumbuhan pendapatan masyarakat pedesaan yang terkait dengan perubahan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Dampak negatip seperti pencemaran lingkungan, meningkatnya kecemburuan sosial, munculnya kesenjangan masyarakat desa-kota, khususnya persaingan meraih kesempatan kerja dan pendapatan karena perbedaan produktivitas pertanian dan non pertanian akibat makin terbatasnya lahan usahatani, tingkat pendidikan dan ketrampilan. Bergesernya nilai-nilai dan norma-norma yang selama ini dialiniasi masyarakat desa merupakan dampak negatip pembangunan dalam aspek sosio-kultural akibat tekanan budaya dari para migran. Dampak negatip ini bukannya tanpa alasan. Kalau mau jujur, kita harus lebih mafhum atas rendahnya kualitas SDM pertanian, kondisi pencukupan gizi serta rendahnya proteksi dan jaminan panen dan pasca panen yang tentunya akan mempengaruhi motivasi para petani untuk hasrat berprestasi (need for achienement) dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas produk pertaniannya. Konsekuensinya adalah sektor pertanian menanggung beban penyerapan tenaga kerja yang berat yang mengakibatkan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian pedesaan lebih rendah dibanding sektor non pertanian di perkotaan. Perbedaan produktivitas tersebut merupakan insentif nyata bagi penduduk pedesaan untuk melakukan migrasi ke kota (urbanisasi); dimana sebagian besar
1 Kajian 2
terhadap Petani Tebu Rakyat Intensifikasi di Kab.Deli Serdang, Sumatera Utara. d/h Puslitbang Sosek Pertanian (PSE). Bogor.
13
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
masyarakat pedesaan, yang umumnya masih tergolong miskin terutama para buruh tani, merupakan kelompok yang mengandalkan tenagakerja sebagai sumber produksi. Aspek ketenagakerjaan pertanian yang melibatkan mereka, diharapkan dapat memberi peluang bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraannya (bukan sekedar subsisten belaka). Industrialisasi pada masyarakat pertanian (agraris)di pedesaan merupakan salah satu penyebab perubahan sosial yang mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakatnya. Proses industrialisasi diyakini mampu mengubah pola hubungan kerja tradisional menjadi modern rasional. Nilai gemeinschaft antar tenaga kerja dalam kehidupan pertanian tradisional berubah menjadi gesselschaft. Hubungan antara pemilik dan pekerja (atasan dan bawahan) yang semula bersifat kekeluargaan (ataupun patron-clien) berubah menjadi utilitarian komersial. Pola silaturahmi hubungan kekeluargaan dalam sistem kekerabatan termasuk frekuensi pertemuan (bertatap muka) akan turut mengalami perubahan. Terkait dengan pembangunan industri, dalam konteks ini yaitu industri pertanian, program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), merupakan kebijaksanaan pemerintah di bidang perindustrian gula. Program TRI awalnya berkembang di pulau Jawa sekitar tahun 1975, dan mulai diterapkan di Sumatera Utara sekitar tahun 1986, yaitu: di kabupaten Langkat dan meluas ke kabupaten Deli Serdang (sekitar tahun 1988). Dalam program ini, pemerintah mengalihkan sistem penyewaan lahan petani menjadi pengusahaan sendiri oleh petani di bawah bimbingan pabrik gula (PG) dan BRI sebagai institusi bantuan permodalan (dalam bentuk kredit). Tenaga kerja dari para petaninya merupakan faktor utama yang penting dalam pengusahaan pertanaman tebu rakyat, dimana tenaga kerja merupakan faktor produksi utama pula bagi seorang petani dalam berusaha di bidang manapun. Konsep ini sudah semestinya harus selalu dialiniasi oleh para penyusun dan pembuat kebijakan di negara ini terutama kebijakan di sektor pertanian, di pedesaan. Restrukturisasi ketenagakerjaan yang berhasil guna, bukanlah suatu keniscayaan bila suatu program kebijakan mampu mengaliniasi dan menstimulirnya (beserta dampaknya) dengan tepat dan bijaksana. Oleh sebab itu, oleh pemerintah sekarang, faktor tenaga kerja menjadi salah satu azas yang mendapat prioritas perhatian dalam program kebijakan di bidang pertanian di pedesaan. Dengan demikian, berkaitan dengan pencanangan “Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan” (RPPK), merupakan perwujudan komitmen Presiden, S. B. Yudhoyono dan wakilnya, M. J. Kalla. Sebagai salah satu janji untuk 3
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
direalisasikan, program ini menjadi sebagai pernyataan politik pemerintah dimana sektor pertanian sebagai prioritas pembangunan nasional. Pentingnya faktor tenaga kerja tersebut tertuang dalam pengimplementasian program RPPK, yang dilaksanakan dengan triple track strategy (“strategi 3 jalur”). Tujuan dan Manfaat Kajian 1. Mempelajari karakteristik dan kinerja pola TRI dalam kajian historis. 2. Mempelajari dan pemahaman atas perubahan sosial yang terjadi dalam perkembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat petani terkait dengan restrukturisasi ketenaga kerjaan pada petani TRI. 3. Mempelajari keterkaitan program TRI dengan restruktirisasi ketenaga kerjaan sebagai salah satu proses dalam modernisasi pertanian dengan kemunculan industri pergulaan di bidang pengusahaan tebu rakyat. 4. Sebagai masukan dan sumbangan pemikiran bagi stake holders yang berkepentingan baik kepada masyarakat, instansi pemerintahan desa maupun pengusaha dan mendorong penemuan akternatif solusi terhadap dampak pembangunan industri pertanian, dan sebagai bahan referensi dalam pengembangan studi selanjutnya. METODOLOGI Kerangka Pemikiran Intensifikasi merupakan salah satu cara pencapaian produktivitas yang lebih tinggi dengan cara yang lebih efisien; yang penerapannya dalam program TRI sebagai suatu program kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas per satuan luas areal pertanaman tebu. Hal ini mungkin tercapai dengan lebih mengkaji penggunaan faktor tenaga kerja yang terserap, ketersediaan modal intensif melalui kredit dari institusi yang diberi wewenang serta kualitas SDM selaku aktor pelaksana maupun aktor terkait (penyuluh, pada konteks ini termasuk pabrik gula/PG) dalam pengusahaan suatu usaha (termasuk usahatani), serta pembelian oleh BULOG. Faktor tenaga kerja dalam usahatani memiliki ciri-ciri yang khas, seperti: kebutuhan akan tenaga kerja dalam usahatani untuk tiap hektarnya tidak berkesinambungan dan merata serta sangat terbatas; kebutuhan akan tenaga kerja dalam usahatani tidak sama, tidak mudah distandarisasi, dirasionalisasi ataupun dispesialisasikan; kebutuhan akan tenaga kerja dari suatu usahatani beraneka ragam dan sering tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Menurut Schneider (1993), industri nerupakan sebuah faktor penting dalam membentuk berbagai masalah sosial yang kompleks.; dimana setiap helai jaringan dalam industri adalah menjamgkau hampir setiap aspek masyarakat, kebudayaan dan kepribadian.
4
Tertuang dalam Inpres No.9 tahun 1975. Tanggal 11 Juni 2005; dalam: “Buku Putih Pemilu 2004 –Membangun Indonesia yang Aman, Adil dan Sejahtera”; yang mengagendakan 2 program untuk membangun Indonesia, yaitu: Pertama: Program perbaikan ekonomi dan kesejahteraan, meliputi: revitalisasi pertanian dan pedesaan; revitalisasi kelautan dan wilayah pesisir; reforma agraria dan daya saing ekonomi pedesaan. Kedua: Program penghapusan kemiskinan, meliputi: pemantapan ketahanan pangan; revitalisasi pertanian dan pedesaan; revitalisasi kelautan dan wilayah pesisir; pengembangan infrastruktur pedesaan dan daerah terpencil. 6 Berazaskan: pro-growth, pro-employment, pro-poor (keberpihakan pada: pertumbuhan, kesempatan kerja dan kemiskinan/masyarakat miskin). 5
14
Restrukturisasi Ketenagakerjaan dalam Proses Modernisasi Berdampak Perubahan Sosial pada Masyarakat Petani [Roosgandha Elizabeth]
PETANI TEBU RAKYAT PESERTA TRI
Tenagakerja yang tersedia (dalam dan luar keluarga)
Luas Lahan Usahatani
Biaya Produksi (lainnya)
restrukturisa i
PRODUKSI PERUBAHAN SOSIAL
peningkatan
Lembaga Pendukung Peningkatan Produksi
Produktivitas
Pendapatan Petani TRI Keterangan skema:
= hubungan langsung. = hubungan terkait.
Proses pengalihan sistem penyewaan lahan petani menjadi pengusahaan sendiri oleh petani dengan bimbingan PG dan bantuan kredit dari BRI, seperti yang tertuang dalam Inpres No.9 tahun 1975, untuk memantapkan produk gula nasional dan mampu meningkatkan pendapatan petani peserta TRI. Pengembangan industri pergulaan pada TRI, yang terkait dengan proses modernisasi pertanian, membawa dampak seperti terjadinya restrukturisasi untuk lebih mengefisisienkan penggunaan tenaga kerja dalam pengusahaan tebu rakyat. Secara skematis, kerangka pemikiran di atas dapat digambarkan dengan sederhana sebagai berikut: Modernisasi mengindikasikan munculnya perubahan dari kehidupan kebersamaan yang tradisional, dalam konteks teknologi (material dan institusi sosial ekonomi masyarakat), ke arah kehidupan bersama yang modern. Restrukturisasi dapat diartikan sebagai salah satu dampak modenisasi pertanian melalui pembangunan industri pertanian di pedesaan terhadap tenaga kerja yang pada intinya terjadi pergeseran dan timbulnya berbagai akibat sebagai dampak ikutan. Bila berbicara mengenai tenaga kerja, maka akan terkait dengan manusianya termasuk kualitas SDM yang berkaitan erat dengan faktor pendidikan dan ketrampilan yang diyakini mampu mempengaruhi daya serap dan motivasi seorang pekerja yang berperan dalam memperlakukan dan memfungsikan suatu pekerjaan baginya. Modernisasi dengan pembangunan sebagai salah satu pendekatan yang berusaha membuat mobilisasi sosial dalam masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan sosial sebagai salah satu dampak modernisasi yang terjadi dalam masyarakat, merupakan penjelasan terjadinya peralihan karena perubahan pada struktur sosial yang berlangsung sepanjang waktu. Struktur sosial diartikan Harper (1989) sebagai suatu kejelasan pada jaringan kerja dalam hubungan relasi sosial yang pengaruhnya berlangsung secara rutin dan repetitive.
Analisis Data Penelitian ini pada dasarnya merupakan suatu pengkajian terjadinya pergeseran akibat restrukturisasi ketenagakerjaan pada pembangunan industri di perkebunan tebu rakyat melalui intensifikasi. Metode yang dilakukan mengutamakan pendekatan kualitatif dan pengamatan semi partisipatif, dan dikarenakan modelnya bersifat induktif, maka peran teorinya tidak seeksplisit dalam penelitian kuantitatif. Dalam kajian ini dilakukan pengamatan lapang (survei) dan wawancara mendasar (in-depth) terhadap beberapa responden (petani contoh), yang dinilai mempunyai kriteria pendukung yang sesuai atau paling mendekati karakteristik petani yang direncanakan, dengan mempergunakan kuesioner terstruktur sebagai alat bantuan. Kedalaman informasi yang digali baik melalui wawancara lapang maupun dari berbagai kajian literatur merupakan kegiatan utama yang terpenting untuk dapat mencapai tujuan penelitian ini. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lokasi dan Responden Masyarakat pertanian di pedesaan merupakan kelompok masyarakat yang sebagian besar mengandalkan tenaga kerja sebagai aspek utama sumber/faktor produksi. Salah satu konsekuensi yang harus dihadapi kaum petani dalam proses penbangunan dan modernisasi pertanian adalah terjadinya pergeseran maupun perubahan struktur tenaga kerja pertanian yang merupakan salah satu hasil kinerja restrukturisasi ketenaga kerjaan. Pembangunan sebagai proses modernisasi dalam kaitannya dengan transformasi di segala bidang secara signifikan berdampak terhadap perubahan struktur sosial, ekonomi, budaya dan iklim politik dalam masyarakat sebagai mahluk sosial. Indonesia sebagai negara agraris, pertanian berperan penting dalam perekonomian nasional, sebagai penghasil devisa negara yang terbesar. Sebagaian besar penduduknya bekerja dan hidup dari sektor pertanian atau dari produk nasional yang berasal dari sektor pertanian. Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) berkaitan dengan pembangunan industri pertanian, yaitu di bidang perindustrian gula. Program TRI awalnya berkembang di P. Jawa, yang bermula sekitar tahun 1975. Berhubung semakin sempitnya areal pertanaman tebu di P. Jawa, sementara permintaan akan gula sebagai salah satu komoditas komersial unggulan di pasar dunia yang meningkat secara signifikan, serta pengembangan industri pergulaan membutuhkan perluasan areal tanam, maka sekitar tahun 1986 program TRI mulai diterapkan di Sumatera Utara, yaitu: di kabupaten Langkat dan meluas ke kabupaten Deli Serdang sekitar tahun 1988. Kabupaten Langkat dan Deli Serdang merupakan bagian wilayah di propinsi Sumatera Utara yang letaknya bersebelahan. Sumatera Utara merupakan bagian
7
Ibrahim (2002). Harper (1989), menjelaskan bahwa: “Social change is the significant alteration of social structure through time” 9 “Social structure means a persistent network of social relationships in which interaction gas become routine and repetitive”. (Harper, 1989). 8
15
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
wilayah Indonesia yang terkenal sebagai perkebunan. Di samping sebagai daerah perkebunan tebu, daerah ini juga merupakan daerah perkebunan karet dan kelapa sawit, dan terkenal sebagai daerah penghasil rambutan. Di antara kedua kabupaten ini terdapat PG Kuala Madu sebagai perusahaan gula milik PTP IX Sei Semayang. Karena letaknya bersebelahan, maka kondisi lingkungan baik dari segi tata guna tanah, distribusi dan karakteristik penduduknya tidak berbeda jauh. Umumnya penduduknya bekerja sebagai petani, baik tanaman pangan maupun perkebunan. Tingkat pendidikan yang dimiliki umumnya relatif baik, karena sudah terjangkaunya akses ke daerah perkotaan yang memiliki sarana pendidikan lebih memadai. Dewasa ini dijumpai fenomena menarik dimana seiring dengan pembangunan industri yang pesat maka transformasi tujuan pekerjaan beralih ke bidang jasa dan buruh pabrik. Keadaan ini didukung oleh semakin sempitnya lahan pertanian karena tingginya konversi tanah dari pertanian menjadi non-pertanian serta munculnya persepsi semakin kurang menariknya pekerjaan sebagai petani. Hal ini lazim dijumpai di berbagai daerah yang sedang berkembang. Nafas kehidupan penduduk desa semakin dinamis seiring dengan pesatnya pembangunan wilayah baik di bidang perekonomian, industri dan perdagangan. Aktivitas Ekonomi dan Usahatani Tebu Rakyat, Tinjauan Historis Dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara), pembangunan pertanian dalam arti luas dilaksanakan melalui usaha intensifikasi, ekstensifikasi dan rehabilitasi yang terpadu, serasi dan merata, yang bukan saja bertujuan untuk ekspor, melainkan juga untuk meningkatkan pendapatan petani. Secara historis, program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) merupakan salah satu kebijakan pemerintah di masa “Orde Baru”, yang berhubungan dengan pembangunan di bidang perindustrian gula. Sebagai salah satu kebijakan pemerintah, program TRI tertuang dalam Inpres No.9 tahun 1975, yang mengalihkan sistem penyewaan lakan petani menjadi pengusahaan sendiri oleh petani dengan pola intensifikasi di bawah bimbingan pabrik gula (PG) dan bantuan kredit dari BRI, serta BULOG yang berperan untuk membeli dan menampung seluruh produksi gula.10 Program TRI merupakan salah satu usaha untuk peningkatan produksi gula, sebagai salah satu komoditas komersil dunia, dan meningkatkan pendapatan petani tebu di Sumatera Utara yang dilaksanakan berdasarkan SK Menteri Pertanian pada masa itu11, tentang Program Intensifikasi Pertanian dan SK Gubernur Kepala Daerah Tk. I Sumatera Utara12, tentang Program Intensifikasi Pertanian di Sumatera Utara. Berdasarkan peraturan hukum tersebut di atas, peneliti mengkaji pola ketenaga 10 Majalah
kerjaan petani perkebunan tebu rakyat dan perubahan pola yang terjadi baik yang disebabkan proses restrukturisasi dan perubahan sosial dalam masyarakat petani serta pola perekonomiannya. Beberapa defenisi dan batasan operasional yang perlu diperhatikan dalam kajian ini, seperti: 1. TRI adalah tanaman tebu rakyat yang dalam usahanya menghasilkan tebu dan gula menerapkan teknologi yang diamjurkan PG dan penyuluh agar dapat meningkatkan produksi dan produktivitas tebu dan pendapatan petani yang dilaksanakan berdasarkan peraturan hukum seperti yang tersebut di atas. 2. Petani TRI merupakan petani tebu dengan pola TRI dan kepemilikan lahan seluas tidak lebih dari 2 Ha.13 3. Produksi adalah jumlah tebu siap giling (ton) yang dihasilkan dalam setahun musim tanam per unit lahan. 4. Tenaga kerja menurut ilmu ekonominya adalah merupakan alat kekuasaan baik nerupa tenaga jasmani dan piliran yang ditujukan pada usaha produksi; dimana dalam konteks ini merupakan jumlah tenaga setara HKP/HOK yang dicurahkan untuk menghasilkan produksi dalam usahatani, yang berasal dari dalam dan luar keluarga. 5. Pendapatan petani adalah merupakan penerimaan dari panen tebu siap giling dikurangi dengan seluruh biaya produksi untuk setahun musim tanam (hasil penjualan dikurangi biaya produksi) dalam satuan rupiah. Dari hasil penelitian lapang, yang dikaji ulang oleh penulis, dapat dikemukakan dalam bentuk tabel, dengan maksud untuk mengakumulasi curahan tenaga kerja dan pendapatan petani tebu rakyat agar dengan mudah menggambarkan perolehan hasil dari penelitian tersebut, seperti yang disajikan berikut ini: Secara historis status gula sebagai sebagai salah satu komoditas komersial perkebunan Indonesia yang srategis (selain tebu, juga dilakukan perluasan perkebunan tanaman keras lainnya seperti tembakau, teh, kopi, kakao, karet, kelapa sawit), telah dimulai sejak masa penjajahan Belanda, yang diusahakan secara besar-besaran dengan perluasan perkebunan, sampai-sampai diberlakukannya sistem tanam paksa (kultur steelsell). Pengusahaannya dilakukan dalam bangunan ekonomi politik onderneming.14 Pada masa itu, kehidupan penduduk yang di dominasi oleh struktur yang bersifat feodal, meskipun kefeodalan “Kesultanan daerah Deli” tidak sekental di Jawa, bergeser menjadi struktur hubungan kolonial. Di masa sekarang ini, walau sistem tanam dan pekerja paksa sudah tidak berlaku lagi, namun konteks hubungan ekonomi politik kolonial (onderneming) tersebut masih melekat pada perusahaan-perusahaan perkebunan terutama yang diwariskan dari pemerintahan Belanda. Kebijakan penanaman tebu terus berlangsung dilalukan
Gula Indonesia (1986). IKAGI, Usaha Peningkatan Efisiensi Pabrik Gula. Mentan/XI/1989, tanggal 29 Nopember 1989. Gubernur No. 520/031/K/1990, oleh Gubernur KDh. Tk.I Sumut, tanggal 17 Januari 1990. 13 Kakanwil Deptan Sumut. Pedoman Pembibitan TRI tahun 1990/1991 di prop. Dati.I Sumut. 14 Pelzer, 1985 11 . SK 12 SK
16
Restrukturisasi Ketenagakerjaan dalam Proses Modernisasi Berdampak Perubahan Sosial pada Masyarakat Petani [Roosgandha Elizabeth]
Tabel 1: Barchart Jadwal Pekerjaan pada tanaman Plant Cane (PC) dan Ratoon Konversi. Uraian Pekerjaan Buka kebun. Pengolahan tanah. Tanam Cuci parit Pupuk 1x Herbisida Sulam/sisip Menyiang 1x Saluran air Memupuk 2x Membumbun Menyiang 2x Saluran air Menyiang 3x Klentek 1x Klentek 2x Tebang 1x Jumlah
Plant Cane Konversi Umur Tanaman (hari) 1-2 bln sebelum tanam 1 bln sebelum tanam 0- … 0- … saat tanam 0– 5 21 – 30 30 – 40 30 – 40 35 – 40 40 – 45 50 – 60 50 – 60 70 – 90 150 – 180 210 – 240 10 – 12 bulan
HK /Ha 2.00 11,20 19,70 4,50 5,70 2,50 2,00 13,80 2,25 6,30 17,25 13,80 2,25 13,80 19,70 19,70 borongan 156,35
Plant Ratoon Konversi Uraian Umur Pekerjaan Tanaman (hari) Menyusun bakar klaras 0-… Saluran air 0-… Tanam/kepras 0-… Trash rake/ripper 5 – 10 Pupuk 5 – 10 Sisip 5 – 15 Menyiang 1x 5 – 15 Menyiang 2x 30 – 40 Cuci parit 30 – 40 Membumbun 40 – 45 Menyiang 3x 50 – 60 Cuci parit 50 – 60 Herbisida 70 – 90 Klentek 1x 150 – 180 Klentek 2x 210 – 240 Tebang 10-12 bulan Jumlah
HK /Ha 2,00 3,00 4,00 mesin 12,10 5,00 13,80 13,80 1,25 17,25 13,80 1,00 2,50 19,70 19,70 borong 128,90
Sumber: Data sekunder dan primer di analisis. Keterangan: pekerjaan menyiang dan membumbun dapat diganti dengan mekanisasi.
Tabel 2: Perkembangan dan Peran Perkebunan Tebu terhadap Areal, Produksi dan Produktivitas Gula Nasional. Tahun 2001
Jenis Perkebunan Rakyat Swasta Negara
Areal (Ha) 173.335 (50,3) 512.512 (30,9) 64.903 (18,8) 344.750 (100) 578.578 (50,3) 276.276 (30,9) 65.368 (18,8) 347.222 (100)
Nasional 2002 Rakyat Swasta Negara Nasional
Produksi (ton) 145.145 (46,8) 928.928 (39,4) 239.496 (13,8) 1.727.569 (100) 617.617 (46,8) 266.266 (39,4) 262.158 (13,8) 1.891.041 (100)
Produktivitas (ton/ha) 4,66 6,38 3,69 5,01 5,07 6,94 4,01 5,45
Sumber: Malian, A. H. 2004. LHP.
Tabel 3: Perkembangan Areal dan Produksi Tebu di Luar Jawa, Jawa dan Indonesia Periode tahun 1991 – 2002. Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Luar Jawa Areal (000 ha) 94,82 97,36 100,94 107,55 112,17 125,25 126,36 128,61 130,92 130,77 142,11 132,26 137,23
Jawa Produksi (000 ton) 425,92 448,37 424,17 540,96 539,93 534,72 534,36 769,09 535,82 649,17 825,62 761,31 866,19
Areal (000 ha) 270,16 289,02 303,44 310,19 312,52 308,37 274,94 262,73 245,17 210,29 208,95 212,49 214,01
Indonesia Produksi (000 ton) 1.693,59 1.804,30 1.873,43 1.929,34 1.895,71 1.557,73 1.424,97 1.400,97 955,70 854,14 1.056,96 966,26 1.057,64
Areal (000 ha) 364,98 386,38 404,38 417,74 424,69 433,62 401,30 391,34 376,09 341,06 351,06 344,75 351,24
Produksi (000 ton) 2.119,51 2.252,67 2297,60 2.470,30 2435,64 2.092,45 1.959,32 2.196,54 1.491,52 1.503,31 1.882,58 1.727,57 1.923,83
Sumber: Malian, A. H. 2004. LHP.
pemerintah, salah satu programnya adalah melalui TRI, seperti dikemukakan di atas. Pengamatan terhadap perkembangan areal dan peran perkebunan (baik perkebunan rakyat, swasta, maupun negara), dewasa ini, dalam kontribusinya terhadap gula nasional dapat dikemukakan dalam tabel berikut: Produksi rata-rata yang diperoleh petani sampel adalah 73,12 ton tebu giling per hektar per tahun (per musim tanam) dengan kisaran antara 65–85 ton. Sementara itu, konversi penerimaan per musim tanam (per tahun) yang diperoleh petani tebu rakyat di kedua kabupaten tahun 1998 – tahun 2002 adalah sekitar Rp. 4 juta hingga Rp.
4,8 juta untuk tanaman tebu awal. Penerimaan sekitar Rp.3,3 juta dengan kisaran antara Rp.3 juta hingga Rp.3,8 juta, untuk tanaman ratoon (kepras) I. Untuk tanaman ratoon II sekitar Rp.2,5 juta dan ratoon III sekitar Rp. 1,5 juta. Untuk tanaman ratoon IV, penerimaan sudah jauh lebih kecil, sehingga berdasarkan pengalaman petani dan dengan mengukuti anjuran pihak PG dan penyuluh, maka tanaman ini kebanyakan sudah harus diganti dengan tanaman tebu awal kembali. Penerimaan ini termasuk tinggi bila dibandingkan penerimaan pada tahun 1988 – tahun 1995, hanya berkisar antara Rp.850 ribu hingga Rp.1,3 juta. 17
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
Tabel 4: Hubungan Luas Lahan, Curahan Tenaga Kerja, terhadap Produksi Responden (yang dikonversi) per Ha, di kabupaten Langkat dan Deli Serdang. No. Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Ratarata
Luas Lahan (Ha) 0,60 0,80 0,50 0,60 0,80 0,70 1,40 1,50 2,00 0,75 1,50 2,00 0,50 2,00 1,80 0,80 1,00 0,60 1,50 0,75 0,60 1,50 0,75 0,90 0,75 0,90 0,50 1,40 1,80 2,00 1,80
TK Tercurah (HOK) 150,60 158,59 159084 147,60 155,80 161,33 137,97 140,83 150,40 159,00 144,23 147,65 125,50 164,65 147,23 144,90 154,03 143,12 155,65 158,50 148,90 142,90 162,26 158,73 146,46 147,80 151,10 138,19 150,34 156,80 150,36
Produksi (ton) 70 77 68 68 72 85 76 75 75 75 72 78 65 73 69 70 70 82 76,5 75 73 68 65 70 72 78 74 70 70 70 73,12
Sumber: Data primer di analisis
Tabel 5: Penerimaan Rata-rata Petabi Tebu (per Ha) pada Tipe Lahan dan Status Tanaman di propinsi Jawa Timur 1997 – 2001.
Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 Ratarata
Penerimaan Petani (Rp.) Tebu Lahan Tegalan Tebu Lahan Sawah R- I
R-II
R-III
R-I
R-II
1.502.400 5.389.400 3.515.102 3.872.279 2.793.600
1.890.653 4.999.800 3.426.352 4.098.319 3.583.200
1.676.264 4.516.900 2.815.786 3.783.039 4.973.200
2.531.164 7.151.400 4.987.741 5.849.000 5.400.940
2.530.964 7.148.500 3.805.467 5.133.950 4.720.600
3.414.556
3.598.650
3.553.038
5.184.049
4.667.896
Sumber:Disbun. Prop. Jatim. 2002. Keterangan: R-I= tanaman awal; R-II= tanaman ratoon/keprasan.
Perbedaan penerimaan yang cukup tajam ini disebabkan karena pada tahun 1998 terjadi peningkatan nilai tukar dolar (valuta asing) terhadap rupiah, dimana booming harga melanda komoditas-komoditas perkebunan tanamana keras. Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena di akhir tahun 1998, dengan diberlakukannya kebijakan pemerintah mencabut subsidi pupuk yang mempengaruhi pendapatan petani pada tahun berikutnya. Walaupun demikian, pendapatan yang diterima petani di kedua kabupaten termasuk tinggi, dengan 15
18
Sudana, et al. (2000).
membandingkan pendapatan yang diterima oleh perani tebu di pulau Jawa, misalnya di Jawa Timur seperti yang diuraikan dalam tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa, selain dipengaruhi faktor luas lahan pengusahaan tebu, besaran penerimaan petani juga dipengaruhi oleh tipe lahan dan status tanaman tebu. Selain ketiga faktor tersebut, penerimaan petani masih dipengaruhi oleh pengeluaran untuk biaya non-teknis (misalnya Satpel Bimas, KUD, kelompok tani, berbagai retribusi dan lainnya; serta beberapa faktor15 lainnya yang bersifat institusional, antara lain: 1) Pola pemasaran tebu relatif terbuka, terutama tebu rakyat murni, dalam arti petani dapat menjual produk yang dihasilkan kepada PG yang mampu membeli dengan harga yang lebih tinggi. 2) Kelembagaan pengelolaan tebu secara berkelompok, mengeluarkan biaya transaksi yang lebih tinggi, karena adanya ketentuan kelompok bahwa kerugian yang dialami seotang petani anggota adalah ditanggung bersama. 3) Sistem penjualan kebanyakan dikuasai tengkulak, sebagai pemilik modal, yang merangkap sebagai penyewa lahan, sehingga bargaining position (posisi tawar) petani lemah tidak mempunyai karena harga ditentukan para tengkulak. Dari tabel 5 diperoleh gambaran curahan tenaga kerja di lapang adalah 150,36 HOK per hektar untuk setahun tanam dengan kisaran 125,5 hingga 164,65 HOK, yang tidak berbeda jauh dengan pedoman yang dikeluarkan Kanwil Disbun Sumut yaitu sekitar 156 HOK untuk pertanaman awal (Plant Cane) dan sekitar 129 HOK pada tanaman ratoon (keprasan). Hal ini mengimplikasikan bahwa usagatani tebu hanya membutuhkan alokasi tenaga kerja rumahtangga secara intensif selama lebih kurang 4 – 5 bulan saja per setahun tanam. Hal ini akan mempengaruhi pola dan strategi petani dalam mengalokasikan tenaga kerja mereka di luar usahatani tebu (sekitar 8-9 bulan) yang berkaitan dengan restrukturisasi tenaga kerja mereka ke bidang yang mereka rasa lebih menguntungkan dan jarak waktu yang lebih singkat: seperti pekerjaan di sektor jasa atau buruh pabrik dengan penghasilan nyata harian, mingguan atau bulan. Bila ditinjau dari pendapatan yang diperoleh tersebut, merupakan suatu nilai penerimaan yang tidak sedikit, namun tidak boleh lupa bahwa nilai tersebut merupakan penghasilan untuk setahun tanam. Bila dikonversi untuk kesehariannya, merupakan suatu nilai penghasilan yang termasuk rendah, apalagi di masa sekarang ini, dimana segala harga kebutuhan hidup termasuk biaya input produksi tidak dapat diprediksikan, demikian juga halnya dengan harga output pertanian yang dihasilkan oleh para petani. Kondisi inilah yang menjadi salah satu kendala dan penyebab semakin tidak menariknya usaha pertanian bagi masyarakat termasuk bagi petani itu sendiri. Kendala lainnya adalah masih lemahnya daya kerja PG sebagai pusat perhatian industri pergulaan, sep-
Restrukturisasi Ketenagakerjaan dalam Proses Modernisasi Berdampak Perubahan Sosial pada Masyarakat Petani [Roosgandha Elizabeth]
erti belum maksimalnya kapasitas giling tebu; belum maksimalnya hasil dari rendemen tebu giling ke level minimalis; belum maksimalnya sistem manajemen PG dalam menangani masalah teknis (pabrik maupun kebun pertanaman) dan non teknis (hubungan sosialisasi di antara PG dengan petani peserta dan masyarakat petani tebu rakyat lainnya). Keadaan ini mungkin juga di latar belakangi karena pengelolaan PG lebih terkonsentrasi di pulau Jawa ketimbang di luar Jawa (misalnya PG Kuala Madu, PTP IX Sei Semayang, di Sumatera Utara ini, tidak berbeda jauh dengan PG lainnya di luar Jawa). Program TRI sangat besar pengaruhnya, yang menyebabkan: perubahan sosial ekonomi petani tebu; perubahan sistem produksi, pemasaran, alokasi sumberdaya dan kodal; serta kelembagaan yang menunjang undustri pergulaan. Perubahan tersebut antara lain16: 1)terjadinya pemisahan antara sistem produksi dan subsistem pengolahan, dimana kegiatan PG sangat tergantung pada tersedianya bahan baku tebu dari produksi usahatani petani; 2) pengusahaan pertanaman tebu skala besar oleh PG, dengan pola TRI merupakan akumulasi usahatani skala kecil oleh petani, sehingga sangat bergantung pada pilihan petani untuk tetap mempertahankan usahatani tebunya; 3) melibatkan banyak lembaga penunjang, dimana keberhasilan industri gula tergantung pada efisiensi lembaga penunjang tersebut; 4) terjadi perubahan pasar input, output dan modal di pedesaan didasari Inpres No.9 tahun 1975 tersebut. Di pihak petani sendiri, bersedia ikut serta dalam melaksanakan intensifikasi dalam program TRI adalah dengan pertimbangan akan memperoleh peningkatan hasil yang mengindikasikan peningkatan pendapatan. Dalam pola intensifikasi mendorong peningkatan penggunaan pupuk. Sementara itu, kebijakan subsidi pupuk yang selama ini dicanangkan belakangan ini telah dicabut dengan mengalihkan melalui mekanisme pasar yang mendasari dilakukannya liberalisasi perdagangan pupuk sehingga harga dipasar domestik setara dengan di pasar internasional. Namun disayangkan, keadaan ini bersamaan dengan jatuhnya harga gula di pasar domestik, serta tidak sanggupnya BULOG untuk menampung/membeli semua produksi gula rakyat maupun swasta, yang menyebabkan petani tebu rakyat makin kelimpungan, kecewa, dan merasa dipermainkan oleh pemerintah. Dari hasil pengamatan penulis, terdapat berbagai permasalahan lain yang menyebabkan terpuruknya industri pergulaan di Indonesia, antara lain seperti: 1) kurangnya jenis dan modifikasi produk olahan gula; 2) kurang efektifnya institusi yang menangani usagatani dan pengolahan; 3) belum optimalnya jadwal tanam, tebang dan giling yang menyebabkan inefisiensi secara teknis; 4) belum oprimalnya kapasitas giling yang menyebabkan inefisiensi pengolahan di pabrik gula; 5)terlalu
berfluktuasinya harga gula di pasar dunia; 6) terjadinya persaingan yang timpang yang dihadapi antar industri gula; 7) pemerintah belum mampu bersikap tegas dalam mengangani melimpahnya gula import yang masuk secara legal maupun illegal; 8) pemerintah tidak mampu menjamin pemasaran dan harga gula di pasar dunia; 9) tingginya tariff ekspor yang ditetapkan. Hal ini didukung oleh berbagai penelitian yang dilakukan para peneliti seperti: hasil kajian yang menunjukkan bahwasanya industri gula tidak menguntungkan secara ekonomis dan tidak memiliki keunggulan komparatif, baik di luar Jawa bahkan di Jawa sekalipun. Namun bila dipilah lebih rinci, tebu tanam di lahan sawah dan lahan kering serta tebu kepresan di lahan kering, menjadi penting dalam penentuan keunggulan komparatif industri gula secara keseluruhan.17 Hasil Workshop Industri Gula Nasional (2003)18 menunjukkan identifikasi faktor-faktor penyebab yang berkaitan dengan aspek teknis, seperti teknis budidaya dan tebang angkut, kelembagaan petani, perkreditan, sistem distribusi dan juga kebijakan pemerintah. Pandangan yang didasari permasalahan ini menimbulkan suatu kebutuhan akan suatu upaya revitalisasi bagi industri gula Indonesia.19 Penelitian tahun 1999 mengungkapkan kondisi beberapa pabrik gula di Jawa dan luar Jawa yang tidak efisien secara teknis dan ekonomi, yang mengemukakan terjadinya gambaran suram pabrik gula berstatus BUMN terutama terjadi di Jawa. Sebagian besar mesin dan peralatan sudah tua, mutu tebu rendah, pasokan harian kurang, dan kesulitan meningkatkan efisiensinya.20 Terpecahnya konsentrasi dan merosotnya minat petani peserta TRI adalah merupakan akibat berbagai permasalahaan industri gula nasional dan kendala seperti yang mereka alami di atas, terlebih setelah pemerintah mencabut program kebijakan sistem dan pola tanam TRI melalui Inpres No. 5 tahun 1998. Sejak itu, petani bebas menentukan sendiri jenis komoditas perkebunan yang dirasa paling menguntungkan untuk mereka usahai. Hal ini menyebabkan perubahan struktur pola tanam tebu di Indonesia21, menyebabkan makin tingginya tingkat peralihan tenaga kerja ke sektor lain (non-pertanian). Hal ini menimbulkan pemikiran untuk perencanaan proses restrukturisasi ketenaga kerjaan oleh para petani tebu rakyat, antara lain seperti: mengusahakan tanaman lain yang lebih produktif dan jangka waktu pengusahaannya yang relatif singkat dan ringkas, tidak terlalu tergantung pada peran faktor institusi kelembagaan. Seiring dengan konteks tersebut, perubahan sosial maupun ekonomi yang telah terjadi pada masyarakat petani tebu rakyat seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, tidaklah dapat diabaikan begitu saja.
16
Malian, A. H. et al. (2004). Rusastra, et al. (1999). Dalam Malian, A. H, et al. (2004). 19 Dikaji penulis dalam tulisan yang lain. 20 Sawit, et al. (2003). Erwidodo (2004). 21 Arifin. (2000). 17 18
19
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Berbagai permasalahan lain yang menyebabkan terpuruknya industri pergulaan di Indonesia, di samping faktor internal dan eksternal institusi industri gula itu sendiri, antara lain seperti: 1) kurangnya modifikasi dan jenis produk olahan gula; 2) kurang efektifnya institusi yang menangani usahatani dan pengolahan; 3) belum optimalnya jadwal tanam, tebang dan giling yang menyebabkan inefisiensi secara teknis; 4)belum oprimalnya kapasitas giling yang menyebabkan inefisiensi pengolahan di pabrik gula; 5) terlalu berfluktuasinya harga gula di pasar dunia; 6) terjadinya persaingan yang timpang yang dihadapi antar industri gula; 7) pemerintah belum mampu bersikap tegas dalam menangani melimpahnya gula import yang masuk secara legal maupun illegal; 8) pemerintah tidak mampu menjamin pemasaran dan harga gula di pasar dunia; 9) tingginya tariff ekspor yang ditetapkan. Industri gula tidak menguntungkan secara ekonomis dan tidak memiliki keunggulan komparatif, baik di luar Jawa bahkan di Jawa sekalipun. Namun bila dipilah lebih rinci, tebu tanam di lahan sawah dan lahan kering serta tebu kepresan di lahan kering, menjadi penting dalam penentuan keunggulan komparatif industri gula secara keseluruhan. Berbagai permasalahan pergulaan nasional memunculkan suatu kebutuhan akan suatu upaya revitalisasi bagi industri gula Indonesia, mungkin saja bukan merupakan suatu jalan keluar bila tidak disusun dan direncanakan serta dielaborasi sebijak mungkin berkaitan dengan berbagai sektor. Implikasi Kebijakan Berdasarkan permasalahan tersebut, pemerintah diharapkan mampu sesegera mungkin mengantisipasinya dengan menyusun dan melaksanakan suatu program kebijakan dengan berlandaskan peraturan-peraturan terkait, yang menjamin terlaksananya penyelesaian permasalahan tersebut. Pemerintah diharapkan mampu mengantisipasi dan mengakomodasikan proses restrukturisasi ketenaga kerjaan oleh para masyarakat petani tebu rakyat, dimana perubahan sosial maupun ekonomi yang telah terjadi sebagai dampaknya pada mereka, bukanlah sebagai suatu keniscayaan semata. DAFTAR PUSTAKA Dewan Gula Indonesia. 1999. Restrukturisasi Gula Indonesia. April 1999. Jakarta. Arifin, B. 2000; 2004. Kebijakan Produksi dan Perdagangan Gula Nasional. Pros. Kebijakan Industri Gula Indonesia. Juli 2000; Pebr. 2004. Surabaya.
20
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
Etzioni, E – H. and Amitai E. (eds). 1973. Social Change Sources, Patterns, and Concequences. New York: Basic Books, Inc. (pp.1-174). FAO. 1984. Pedoman Management Usahatani. Yasaguna. Jakarta. Hagen, E. 1962. On The Theory of Social Change: … . The Dorsey Press, Inc. Harper, C. L. 1989. Exploring Social Change. New Jersey: Prentice Hall. Hayami, Y & M. Kikuchi. (1987). Dilema Ekonomi Desa. Obor, Jakarta. Husken, F. 1998. Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman. Grasindo. Jakarta. Kanwil Distan, Sumut. 1990. Pedoman Pembinaan TRI tahun 1990/1991. Bag Humas. Kasryno, F. 1984. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian dan Tingkat Upah. Pembangunan Ekonomi Pedesaan. Jakarta. Kasryno, F.& J. F. Stepanek. (1985).Dinamila Pembangunan Pedesaan. Obor dan Gramedia, Jakarta. Kuntohartono, T. 1984. Perkebunan Indonesia Di Masa Depan. Agro Ekonomika. Jakarta. Laeyendecker, L. 1983. Tata, Perubahan dan Ketimpangan. Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi. Gramedia (hal.350-360). Jakarta. Laurer, R. H. 2001. Perspektif Tentang perubahan Sosial. Rineka Cipta. Jakarta. Lembaga Penelitian IPB. 2002. Studi Pengembangan Agribisnis Pergulaan Nasional. Kerja Sama antara Ditjen Bina Produksi Perkebunan dengan KP. IPB. Bogor. Majalah Gula Indonesia. 1986. Usaha Peningkatan Efisiensi PT. PG. IKAGI. Vol. XII/4. Jakarta. Malian, A. H. et al. 2004. Revitalisasi Sistem dan Usaha Agribisnis Gula. LHP. PSE. Bogor. Pakpahan, A. 2002. Membalik Arus dan Gelombang Sejarah Perkebunan di Indonesia. Kumpulan Makalah. Br.Siang. Bogor. (akan diterbitkan). Pakpahan, A.. 2005. Bekerja Bermartabat dab Sejahtera. Membangun Pertanian Indonesia. H.Al. IPB. Pelzer, K. J. 1985. Toean Keboen dan Petani, politik Kolonial dan Perjuangan Agraria Di Sumatera Timur (1863 – 1947). Sinar Harapan. Jakarta. Rusastra, I. W. et al. 1999. Keunggulan Komparatif, Struktur Proteksi dan Perdagangan Internasional. IPB. Bogor. Sawit, M. H. 2001. Industri Gula Di Persimpangan Jalan. Jurnal Ek.dan Bisnis vol.16/2. UGM. Yogyakarta. _____.et al. 2003. Penyehatan dan Penyelamatan Industri Gula Nasional. AKP vol.1/3. PSE. Bogor. Schoorl, J. W. 1980. Modernisasi. Gramedia. Jakarta. Sudana, W. et al. 2000. Dampak Deregulasi Industri Gula tergadap Realokasi Sumberdaya Produksi Pangan dan Pendapatan Petani. PSE. Bogor. Sztompka, P. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada. Jakarta. Taylor, S. J.. R. Bogdan.(1984). Introduction To Qualitative Research Metods. John Willey & Sons. Weiner, M. 1980. Modernisasi Dinamika Pertumbuhan. UGM. Press. Yogyakarta. Wertheim, W. F. 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta.
SOCA ❖ 6 (1) : 21 -Profil 28
Rumahtangga Migran Perempuan dan Anak di Kabupaten Buleleng (Kasus di Kecamatan Tejakula) [Ni ISSN: Wayan Sri Astiti] 1411-7177
PROFIL RUMAHTANGGA MIGRAN PEREMPUAN DAN ANAK DI KABUPATEN BULELENG (Kasus di Kecamatan Tejakula) Ni Wayan Sri Astiti
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Udayana
ABSTRACT Declining employment opportunity in rural areas in addition to declreasing young generation wants to work in agricultural sector has led to migration from rural to urban areas. This paper aims at finding out the household profile that has migrating members. The result shows that the number of migrating members is 131 (32% of the total household members). The age of migrants is relatively young with the average age 22.33 years for woman and 25.74 years for man. The type of dominant job held is as an employee of the private companies and services with the average of income per month at Rp 383,849.43 (for woman migrant) and Rp 400,898.47 (for man migrant). The way migrants moves to destination is self-planned for the reason of limited financial sources. The length of migrated ranges from one to three years with main destination to Kuta (Badung Regency) and Denpasar City. The socio-economic conditions of migrants are; most household (97.53%) has their own permanent house. Also, a large number of household (58.08%) has bathing and toilet facilities. The average of land size holding is 60 are, where 35 are is land owned and the rest is tenant land. The average of migrant household income is Rp 10,656,269.30 per year, where only 11.63% comes from agricultural sector and 88.37% from non-agricultural sector. Keywords: Profile, Migrant, Household, Income PENDAHULUAN Gaya hidup masyarakat cenderung mengikuti perubahan jaman, oleh karena itu pada era global ini tuntuan hidup individu nampak semakin meningkat. Kebutuhan hidup masyarakat tidak lagi sekedar dapat memenuhi kebutuhan psikologisnya, kebutuhan rasa aman saja namun kebutuhan sekunder yang mengarah pada kebutuhan untuk aktualisasi dirinya yaitu ingin mendapat pengakuan di masyarakat sehingga mendorong masyarakat untuk mencari pekerjaan untuk dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya serta mendapat penghargaan di masyarakat. Disisi lain kesempatan kerja di desa semakin kecil karena kondisi lahan yang kurang subur dan kering sehingga sangat sulit mengembangkan usahatani seperti halnya daerah di Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng, hal ini merupakan faktor pendorong (push factor) penduduk untuk bermigrasi ke daerah lain disamping itu pula karena langkanya kesempatan kerja di daerah asal. Faktor pendorong yang lainnya adalah daya tarik (full factor) daerah tujuan yang memberikan kesempatan kerja yang lebih besar. Di daerah-daerah minus seperti halnya Kecamatan Tejakula sebagian besar penduduknya berpendidikkan rendah, sehingga penduduk yang bermigran in juga pendidikannya rendah disamping pula kurangnya ketrampilan, sehingga mengakibatkan para migran hanya terserap disektor informal yang tidak memerlukan ketrampilan yang tinggi. Migran perempuan yang berlatar belakang pertanian, menjadi pekerja keluarga dipertanian dan tidak memiliki ketrampilan, dan hanya mampu bekerja sebagai pembantu rumahtangga, buruh, atau
pekerjaan rendah lainnya. Namun bagi migran perempuan yang memiliki sedikit ketarmpilan maka terserap disektor yang lebih baik misalnya bekerja di garmen, bekerja sebagai penjaga toko, bekerja di restaurant dan lain sebagainya dengan penghasilan/upah yang relatif rendah ( Astiti, 2004). Umumnya penduduk yang bermigran ke luar desa dengan cara atau proses yang berbeda-beda antara lain ada yang atas kemauan sendiri, karena ajakan teman, dorongan orang tua atau famili lain. Di samping itu kadang-kadang di antara mereka ada juga yang pergi atas dorongan pihak lain dengan maksud menolong mencarikanpekerjaan dengan cara terselubung untuk maksud-maksud tertentu dengan memberi janji-janji tertentu atau dengan cara menekan/menakut-nakuti. Cara seperti ini seringkali berdampak kurang menguntungkan bagi para migran itu sendiri karena dalam situasi tertentu migran yang perginya dengan cara dan proses yang di dalamnya ada unsur pemaksaan atau penipuan, tenaganya disalahgunakan oleh oang yang tidak bertanggungjawab. Hal yang seperti in sangat memungkinkan terjadinya perilaku perdagangan (trafficking) terhadap migran terutama migran perempuan dan anak-anak (Cok Putra Astiti, 2003). Permasalahan yang ingin ditelaah dalam tulisan ini difokuskan pada Profil rumahtanga migran perempuan dan anak yang akan dikaji melalui bagimanakah karakteristik demografi dari migran tersebut yang berkaitan dengan proses migrasi, profil migran dan keadaan sosial ekonomi rumahtangga migran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui; (a) karakteristik demografi rumahtanga migran perempuan, (b) 21
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
Profil migran, (c) Proses migrasi dan (d) Kedaan sosial ekonomi rumahtangga migran. Studi tentang migran adalah studi tentang perpindahan penduduk (population mobility) atau studi tentang gerak penduduk (population movement) dari satu tempat ke tempat yang lain dalam suatu daerah. Dengan bermigrasi seseorang dapat mencapai mobilitas sosial, artinya, jika semula di daerah asal dia berada pada strata sosial bawah setelah bermigrasi apabila di tempat yang baru dia bisa memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik, maka ia akan masuk strata sosial yang lebih tinggi (S. Hidayati Amal,2000,). Todaro dan Stilkind (1981) menyatakan bahwa migrasi yang pesat berlangsung terus karena tingkat pertumbuhan penduduk di daerah pedesaan tetap tinggi, kemiskinan di desa semakin meningkat, dan upah serta pendapatan di kota lebih tinggi dibandingkan dengan keadaan pasar bebas. Sedemikian kuatnya faktor-faktor pendorong dan penarik ini, sehingga tingkat migrasi tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan dan tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran di kota. Faktor penarik meliputi; (a) adanya superior di tempat yang baru atau kesempatan untuk memasuki lapangan pekerjaan yang cocok, (b) kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih baik, (c) kesempatan mendapatkan pendidikkan yang lebih tinggi, (d) keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang lebih menyenangkan misalnya iklim, perumahan, sekolah dan fasilitas-fasilitas kemasyarakatan lainnya, (e) tarikan dari orang yang diharapkan sebagai tempat berlindung, (f) adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang dari desa atau kota kecil. Everett Lee (1965) berpendapat ada empat faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk bermigrasi; (1) faktor-faktor yang terdapat di daerah asal; (2) fakttor-faktor yang terdapat di daerah tujuan; (3) penghalang untuk bermigrasi; dan (4) faktor-faktor pribadi. Dinyatakan bahwa di setiap daerah asal ada sejumlah faktor positif yang menahan orang untuk tetap tinggal di situ, sedangkan di daerah tujuan juga ada faktor positif yang menarik orang kesana. Begitu pula ada faktor negatif di daerah asal yang mendorong orang untuk pindah dan di daerah tujuan dan membuat orang tidak ingin pindah. Dinyatakan pula bahwa selalu terdapat sejumlah rintangan yang dalam keadaan-keadaan tertentu tidak seberapa beratnya, tetapi dalam keadaan lain, tidak dapat diatasi. Rintangan-rintangan itu antara lain mengenai jarak (jarak daerah asal dengan daerah tujuan), Rintangan jarak ini mskipun selalu ada, bukan merupakan faktor penting (Everett Lee (1965) dalam Astiti, 2004). Susilowati (2005) menyatakan bahwa keputusan individu untuk bermigrasi sangat bervariasi dan komplek. Keputusan bermigrasi bukan hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi namun juga non ekonomi. Faktor-faktor tersebut diantaranya faktor sosisl, fisik, demografi budaya dan komunikasi.
22
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian ini dilakukan di tiga desa yaitu Desa Penuktukan, Desa Sambirenteng dan Desa Tembok di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Lokasi penelitian ditetapkan secara sengaja dengan pertimbangan di desa tersebut sebagian besar penduduk perempuan dan anak melakukan migrasi, karena daerah tersebut memiliki geografis yang tandus yang menyebabkan lapangan kerja yang tersedia baik di bidang pertanian maupun di luar pertanian relatif terbatas sehingga menodorong terjadinya migrasi. Responden Jumlah responden adalah 81 orang yang ditentukan secara sengaja yaitu dengan pertimbangan bahwa dalam satu rumahtangga ada anggota keluarga perempuan/ anak yang bermigrasi. Yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah kepala rumahtangga atau ibu rumahtangga atau anggota rumahtangga yang lainnya. Selain responden dipergunakan juga 10 orang informan yang diwawancarai secara mendalam. Sumber data meliputi data primer dan sekunder yang dikumpulkan dengan wawancara terstruktur dan wawancara mendalam dengan memepergunakan kuesioner dan pedoman wawancara. Metode Analisis Data Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian adalah deskriptif kuantitatif, yaitu mendeskripsikan atau memberikan gambaran terhadap data-data yang berbentuk angka. HASIL DAN PEMBAHASAN Umur Responden Rumahtangga Migran Karakteristik rumahtangga migran yang dibahas dalam kajian ini meliputi, tingkat umur, tingkat pendidikan dan mata pencaharian atau jenis pekerjaan yang ditekuni disajikan pada Tabel 1. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa jumlah responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 59 orang dan perempuan 22 orang. Rata-rata umur responden adalah 46,5 tahun dengan kisaran umur 17 tahun sampai dengan 75 tahun. Pada Tabel 1 tampak komposisi umur terbesar terdapat pada umur 14 sampai dengan 49 tahun yang 56% (47 orang), sedangkan sisanya adalah umur di atas 50 tahun. Ini menggambarkan hampir sebagian responden telah berusia lanjut, yang berarti masyarakat yang berusia lanjut memilih tetap tinggal di desa dan penduduk yang berusia produktif bermigrasi ke luar desa untuk mencari pekerjaan nafkah. Pendidikan Responden Rumahtangga Migran Rata-rata pendidikkan formal responden migran adalah 4,6 tahun yang setara tidak tamat SD. Ini berarti tingkat pendidikan responden rumahtangga migran adalah tergolong masih rendah yang setara
Profil Rumahtangga Migran Perempuan dan Anak di Kabupaten Buleleng (Kasus di Kecamatan Tejakula) [Ni Wayan Sri Astiti]
Tabel 1. Distribusi Responden Rumahtangga Migran Berdasarkan Tingkat Umur, Pendidikan dan Jenis Kelamin, di Daerah Penelitian, 2004. Perempuan Karakteristik Responden Kelompok Umur < 14 14 – 49 ≥ 50 Jumlah
Laki-Laki
Jumlah
Jumlah
%
Jumlah
%
Jum- % lah
19 3 22
23 4 27
28 31 59
35 38 73
47 34 81
58 42 100
Tingkat Pendidikan a.Tidak pernah sekolah
6
7
11
14
17
21
10
12
35
43
45
56
c. SLTP – Tamat SLTP
5
6
6
7
11
14
d. SLTA - Tamat SLTA
1
1
4
5
5
6
e. Diploma - Tamat PT
0
0
3
4
3
4
Sub Total Mata pencaharian a. PNS b. Petani
22
59 0 38
73 0 47
81
2 13
27 2 16
2 51
100 2 63
c. Buruh Tani
0
0
3
4
3
4
d. Tukang Bangunan
0
0
2
2
2
2
e. Buruh Bangunan
0
0
1
1
1
1
f. Karyawan Swasta
1
1
1
1
2
2
h. Pedagang i. Jasa
4 2
5 2
5 9
6 11
9 11
11 14
22
27
59
73
81
100
b. SD – Tamat SD
Total
Sumber : Diolah Dari Data Primer, 2004. Keterangan : Pr = Perempuan, LK = Laki-laki
tidak tamat sekolah dasar. Rata-rata lama pendidikan formal responden rumahtangga migran perempuan lebih tinggi (6,5 tahun) jika dibandingkan dengan responden rumahtangga migran laki-laki (4,1 tahun). Sebagian besar (54%) renponden hanya berpendidikan SD sampai dengan tamat SD dan bahkan 20 % reponden tidak pernah mengenyam pendidikan atau buta huruf. Hanya sebagian kecil (13%) saja yang berpendidikan sampai tingkat SLTP. Rendahnya pendidikan keluarga migran mengakibatkan rendahnya kualitas tenaga kerja yang dimiliki sehingga tidak tidak bisa bersaing pasar kerja. Rendahnya peluangnya kerja di desa mendorong anggota rumahtangga untuk bermigran keluar daerah dengan harapan untuk mendapat pekerjan yang lebih baik sehingga meperoleh pendapatan yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Jenis Pekerjaan Responden Rumahtangga Migran Pekerjaan responden rumahtangga migran bervariasi yaitu; PNS, karyawan swasta, petani, buruh tani, tukang, pedagang dan jasa. Untuk lebih jelasnya pekerjaan responden rumahtangga migran dapat dilihat dalam Tabel 1. Sebagian besar (65%) responden bekerja sebagai petani dan buruh tani, sedangkan bidang lain yang diminati oleh responden adalah sebagai pedagang yang mencapai 11%. Pada umumnya responden berdagang makanan ringan dan bahan kebutuhan sehari-hari. Pekerjaan berdagang ini tidak hanya diminati oleh perempuan
tapi juga diminati oleh laki-laki (6%). Anggota Rumahtangga Migran Anggota rumahtangga migran adalah jumlah anggota rumahtangga yang berada dalam satu unit anggaran belanja termasuk anggota rumahtangga yang bermigrasi ke luar desa. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa jumlah anggota rumahtangga migran adalah 408 orang yang meliputi 210 orang (51%) perempuan dan 198 orang (49%) laki-laki, yang tersebar di di Desa Samirenteng, Penuktukan dan Desa Tembok. Rata-rata jumlah anggota rumahtangga responden rumahtangga migran adalah 5,05 orang dengan jumlah rata-rata anak yang dimiliki rumahtangga adalah 2,86 orang (3 orang) anak. Anak yang dimasudkan disini adalah anggota rumhtangga yang berumur di bawah 14 tahun. Ini menggambarkan bahwa ukuran keluarga responden rumahtangga migran tergolong keluarga kecil yang terdiri atas lima orang anggota rumahtangga yang meliputi dua orang tua (bapak dan ibu) dua sampai tiga orang anak. Identitas anggota rumahtangga migran yang akan di ditelaah meliputi, tingkat umur, tingkat pendidikan dan mata pencaharian amggota rumahtangga yang disajikan dalam Tabel 2. Tingkat Umur Anggota Rumahtangga Migran Dari hasil wawancara diperoleh rata-rata umur anggota rumahtangga migran sebesar 31,19 tahun dengan kisaran umur 0,25 sampai dengan 70 tahun. Komposisi umur terbesar berada pada komposisi umur 20 sampai dengan 25 tahun yang mencapai 19%, dan sebagian besar (87%) anggota rumahtangga migran tergolong usia produktif. Ini menggambarkan bahwa sebagian besar anggota rumahtangga migran berada pada kelompok umur produktif dan merupakan usia kerja, karena hanya 13% anggota rumahtangga migran yang tidak tergolong usia kerja karena umurnya berada di bawah usia 14 tahun, dan hanya 17% anggota rumahtangga migran usianya berada di atas 50 tahun. Pendidikan Formal Anggota Rumahtangga Migran Tingkat pendidikan merupakan salah satu aspek umum yang penting dalam bidang ketenagakerjaan, karena tingkat pendidikan menunjukkan kualitas dari tenagakerja tersebut. Dengan tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seorang pekerja akan ldapat diukur kemampuannya untuk mengelola suatu usaha/pekerjaan sehingga dapat dipergunakan sebagai paotokan untuk memberi imbalan yang lebih layak (Kasryno, 1984). Dari hasil penelitian diperoleh bahwa tingkat pendidikan formal anggota rumahtangga migran tergolong rendah dengan rata-rata pendidikan formalnya selama 6,18 tahun, yang setara dengan tamat SD dengan kisaran. Melalui Tabel 2 dapat dilihat bahwa 51% (47 orang) anggota rumahtangga responden pendidikan formalnya hanya tingkat SD, yang terdiri atas 22% perempuan dan 29% laki-laki. Anggota rumahtangga yang tidak pernah 23
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
Tabel 2. Disrtibusi Anggota Rumahtangga Migran Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur, Pendidikan dan Mata Pencaharian di Desa Penelitian. Jenis kelamin Identitas Anggota Rumahtangga
Perempuan orang
Tingkat Umur < 14 22 14 - 19 31 20 - 25 45 26 - 31 21 32 - 37 5 38 - 43 20 44 - 49 21 >50 45 Total 210 Pendidikan a.Tidak pernah sekolah 29 b. Belum sekolah 8 c. SD - Tamat SD 88 d. SLTP - Tamat SLTP 31 e. SLTA - Tamat SLTA 47 f. Diploma - Tamat PT 7 Total 210 Mata pencaharian a. PNS 1 b. Petani 46 c. Buruh Tani 4 d. Tukang Bangunan 0 e. Buruh Bangunan 2 f. Karyawan Swasta 42 g. Karyawan Pariwisata 10 h. Pedagang 26 i. Jasa 52 j. Pembantu Rumahtangga 13 k .Lainnya 14 Total 210
%
Laki-laki Orang
%
Total Perem + Laki Orang
%
5 8 11 5 1 5 5 11 51
32 32 31 15 15 32 17 24 198
8 8 8 4 4 8 4 6 49
54 63 76 36 20 52 38 69 408
13 15 19 9 5 13 9 17 100
7 2 22 8 12 2 51
18 10 120 22 24 4 198
4 2 29 5 6 1 49
47 18 208 53 71 11 408
12 4 51 13 17 3 100
0 11 1 0 0 10 2 6 13 3 3 51
5 57 6 7 12 13 6 10 56 2 24 198
1 14 1 2 3 3 1 2 14 0 6 49
6 103 10 7 14 55 16 36 108 15 38 408
1 25 2 2 3 13 4 9 26 4 9 100
Sumber : Diolah Dari Data Primer, 2004.
mengenyam pendidikkan formal mencapai 12% yang terdiri atas 7% perempuan dan 5% laki-laki. Anggota rumahtangga migran yang pernah mengenyam pendidikan tingkat SLTP dan SLTA masing-masing mencapai 13% dan 17%. Melalui uraian di atas dapat diamati beberapa hal; (a) anggota rumahtangga perempuan lebih banyak yang tidak mengenyam pendidikkan formal jika dibandingkan dengan anggota rumahtangga laki-laki, (b) pendidikkan formal perempuan lebih rendah jika dibandingkan dengan pendidkan formal laki-laki pada tingkat pendidikan SD, sedangkan untuk pendidikan di atas SD dietukan hal yang menarik bahwa tingkat pendidikkan formal perempuan lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan laki-laki. Jenis Pekerjaan Anggota Rumahtangga Migran Jenis perkerjaan anggota rumahtangga migran terbesar adalah sebagai petani yang mencapai 25% (103 orang), dan 11% diantaranya adalah perempuan dan 14% adalah laki-laki. Pekerjaan lain yang diminati ada24
lah bidang jasa 26 %, dan sebagai karyawan swasta 13 %. Bidang jasa yang digeluti adalah sebagai sopir, pencari nira, kerajinan bambu (buat keranjang), nelayan, dan pencari pasir. Pekerjaan sebagai pembantu rumahtangga lebih diminati oleh perempuan yaitu 4% (15 orang) dari pada laki-laki (dua orang). Pekerjaan sebagai pedagang juga lebih diminati oleh perempuan dari pada laki-laki. Anggota rumahtangga lainnya adalah anggota rumahtangga yang tidak bekerja karena sedang bersekolah, belum bersekolah dan lansia (lanjut usia). Jumlah Anggota Rumahtangga Migran yang Bermigarsi Jumlah anggota rumahtangga migran yang bermigrasi adalah 131 orang yang terdiri atas 98 (74,81%) perempuan dan 33 (25,10%) laki-laki. Bila dilihat dari komposisi umur, 99,24% migran terdolong usia kerja (≥ 14 tahun) dan hanya satu orang migran tergolong anak-anak (< 14 tahun) yang berjenis kelamin laki-laki. Jumlah migran perempuan lebih banyak dari pada jumlah migran laki-laki. Sedangkan rata-rata jumlah anggota rumahtangga yang bermigrasi adalah 1,6 orang (Tabel 3). Tabel 3. Jumlah Anggora Rumahtangga yang Bermigrasi Menurut Umur dan Jenis Kelamin di Daerah Penelitian, 2004. Kelompok umur < 14 ≥ 14 Total
Jenis kelamin Perempuan Laki-laki orang % Orang % 0 0 1 0,76 98 74,81 32 24,43 98 74,81 33 25,19
Total Perem + Laki Orang % 1 0,76 130 99,24 131 100,00
Sumber : Diolah Dari Data Primer, 2004.
Dari hasil penelitian juga diperoleh bahwa sebagian besar 55,56% (45 orang) responden menyatakan memiliki satu orang anggota rumahtangga yang bermigrasi, 33,33% (27 orang) responden menyatakan memiliki dua orang anggota rumah yang bermigrasi, dan hanya 7,41% (6 orang) responden menyatakan memiliki empat orang anggota rumahtangga yang bermigrasi (Tabel 4). Tabel 4. Jumlah Migran per Rumahtangga Responden di Daerah Penelitian, 2004. Jumlah migran per rumahtangga responden (orang) Satu Orang Dua Orang Tiga Orang Empat Orang Jumlah
Julah (orang) 45
Persen 55.56
27 3 6 81
33,33 3,70 7,41 100
Sumber : Diolah Dari Data Primer, 2004.
Profil Migran Profil migran meliputi, umur, pendidikan, pekerjaan migran, tempat bekerja, dan pendapatan migran per bulan. Secara lengkap Profil migran disajikan pada Teble 5. Umur migran masih tergolong muda dengan
Profil Rumahtangga Migran Perempuan dan Anak di Kabupaten Buleleng (Kasus di Kecamatan Tejakula) [Ni Wayan Sri Astiti]
rata-rata umur 22,3 tahun untuk migran perempuan dan 25,7 tahun untuk migran laki-laki yang berkisar antara 12 tahun sampai dengan 46 tahun. Rata-rata usia migran perempuan lebih muda jika dibandingkan dengan migran laki-laki (Tabel 5). Tabel 5. Profil Migran di Daerah Penelitian Tahun, 2004 No 1 2 3 4
5
6
Profil Migran
Perempuan
Laki-laki
Laki + Perempuan (%)
Umur (th) 22,33 25,74 24,04 Jenis Kelamin 98 33 131 Pendidikkan formal 8,7 9,5 9,1 (th) Pekerjaan Tukang bangunan 5 5 (3,82) Buruh bangunan 1 5 6 (4,58) Karyawan Swasta 39 8 47 (35,88) Karyawan Pariwisata 10 1 11 (8,40) Pedagang 8 2 10 (7,63) Jasa 27 10 37 (28,24) Pembantu 13 2 15 ((11,45) Rumahtangga Total 98 33 131 (100,00) Tempat Bekerja (orang) Di luar desa di satu kecamatan Di luar kecamatan 4 4 (3,05) satu kabupaten Di luar kabupaten 92 28 120 (91,60) dalam Provinsi Bali Di luar Bali di NKRI 2 5 7 (5,34) Total 98 33 131 (100,00) Pendapatan/bulan 383.849,43 400.896,47 392.372,95 (Rp)
Sumber : Diolah Dari Data Primer, 2004.
Tingkat pendidikan fomal yang pernah dicapai oleh migran rata-rata 9,1 tahun atau setara dengan tamat SLTP. Tingkat pendidikan formal migran perempuan (8,7 tahun) lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan formal laki-laki yang mencapai 9,5 tahun. Ini menggambarkan laki-laki memperolh peluang lebih besar dalam mengenyam pendidikkan. Rendahnya tingkat pendidikkan migran mengakibatkan hanya terserap di sektor informal yang tidak memerlukan ketrampilan yang tinggi, misalnya terserap di sektor jasa, karyawan swasta, karyawan pariwisata dan sebagai pembantu rmahtangga. Pekerjaan yang paling diminati oleh migran adalah sebagai karyawan swasta (37,88%) yang lebih banyak diminati oleh migran perempuan daripada laki-laki. Bekerja sebagai penjaga toko dan bekerja di swalayan. Pekerjaan lain yang diminati adalah di bidang jasa (28,24%). Jasa yang dimaksudkan disini adalah pekerjaan selain sebagai buruh tanii dan bangunan yang meliputi garmen, penjahit, sopir taxi, bengkel dan massage. Migran perempuan lebih banyak memilih pekerjaan sebagai pembantu rumahtangga daripada migran laki-laki, karena pekerjaan sebagai pembantu lebih cocok dilakukan oleh perempuan karena pekerjaanya hanya megerjakan pekerjaan rumahtangga.
Pekerjaan sebagai pembantu rumahtangga ditekuni oleh 15 orang (11,45%), disamping itu migran juga menekuni pekerjaan sebagai pedagang hingga mencapai 10 orang (7,63%) yang lebih dminati oleh migran perempuan. Hampir semua (91,60%) migran tempat bekerja masih berada di wilayah Propinsi Bali, yang menjadii daerah tujuan adalah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar. Hanya sebagian kecil (5,34%) saja migran bekerja di luar Bali tapi masih di lingkungan Negara Republik Indonesia, dan tidak satupun migran yang bekerja di luar negeri. Berkaitan dengan pendapatan, ternyata pendapatan migran laki-laki lebih besar jika dibandingkan dengan pendapatan migran perempuan. Rata-rata pendapatan migran laki sebulsn adalah Rp 400.896,47 dan migran perempuan sebesar Rp 383.849.43, sedangkan rata-rata pendapatan migran sebulan adalah Rp 392.372,95. Pendapatan migran per bulan masih berada di bawah UMR Kota Denpasar dan di UMR Kabupaten Badung. Proses Migrasi Proses migrasi meliputi proses keberangkatan migran, alasan bermigrasi, tujuan bermigarsi, lama bermigrasi dan tempat tujuan. Secara terperinci proses migrasi disajikan pada Tabel 6. Pada Tabel 6 nampak bahwa proses keberangkatan migran ke daerah tujuan umumnya tanpa pertolongan orang lain atau berangkat sendiri yang dinyatakan oleh 55 orang (41,98 %) responden. Namun banyak pula migan menyatakan proses keberangkatannya ke daerah tujuan kerena diajak oleh famili yang telah terlebih dahulu bermigrasi, hal ini dinyatakan oleh 49 orang (37,40%) responden, ada pula migran yang berangkat ke daerah tujuan karena diajak oleh temannya yang sudah terlebih dahulu bermigrasi, hal ini dinyatakan oleh 24 orang (18,32 %) responden. Ternyata dalam proses keberangkatan itu, ada pula migran yang berangkat dengan perantaraan jasa calo, yang dinyatakan oleh sebagian kecil (1,53 %) responden. Migran yang berangkat dengan calo harus memberikan balas jasa berupa uang kepada calo tersebut yang besarnya berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Pada Tabel 6 nampak pula bahwa alasan para migran bermigrasi ternyata cukup bervariasi. Sebanyak 60 orang (44,12 %) responden menyatakan alasan bermigrasi adalah karena keterbatasan ekonomi. Disamping itu pula alasan migrasi kerana kurangnya lapangan pekerjaan di daerah asal, hal ini dinaytakan oleh 44 orang (32,35 %), dan alasan yang lainnya adalah mencari pengalaman di daerah lain, hal ini dinyatakan oleh 28 orang (20,58 %) responden. Ada pula yang menyatakan alasan bermigrasi adalah karena adanya konplik keluarga, disamping itu ada pula yang menyatakan alasan bermigrasi adalah karena untuk mengabdikan ilmu dan ketrampuilan yang dimilikinya. Alasan migran bermigrasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni alasan yang berorientasi ekonomis dan non ekonomis. Alasan yang berorientasi ekonomis, yakni karena keterbatasan ekonomi rumahtangga dan 25
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
Tabel 6. Disrtibusi Responden Berdasarkan Proses Migrasi, yang Berkaitan dengan Jenis Kelamin, Alasan Bermigrasi, Tujuan Migrasi dan Lama Bermigrasi, di Daerah Penelitian Jumlah
Proses Migrasi Cara Keberangkatan a. Berangkat Sendiri b. Diajak Teman c. Diajak Famili d. Diajak Calo e. Dijemput majikan Total Alasan Bermigrasi a. Keterbatasan Ekonomi b. Kurang Lapangan Kerja c. Cari Pengalaman d. Mengabdikan Ilmu dan Ketrampilan e. Konflik Keluarga Total Tujuan Bermigrasi a. Menambah penghasilan Keluarga b. Meningkatkan Kesejahteraan Rimahtangga Total Lama Bermigrasi a. < 1 tahun b. 1 tahun c. 2 tahun d. 3 tahun e. > 3 tahun Total
Orang
%
55 24 49 2 1 131
41,98 18,32 37,40 1,53 0,76 100,00
60 44 28 3 1 136
44,12 32,35 20,58 2,21 0,74 100,00
101 32
75,93 24,06
133
100,00
13 10 19 11 78 131
9,92 7,63 14,51 8,40 59,54 100,00
Sumber : Diolah Dari Data Primer, 2004. Catatan : Ada Responden yang memberikan jawaban lebih dari satu jawab an.
kekurangan lapangan pekerjaan di daerah asal, cendrung dimiliki oleh migran yang berusia lebih tua dan lebih berpengalaman bermigrasi. Mereka itu mempunyai rasa tanggung jawab yang lebih tinggi terhadap keadaan ekonomi dan kelangsungan hidup rumahtangganya. Sebaliknya alasan yang berorientasi non ekonomis, yakni ingin mencari pengalaman dan ingin mengabdikan ilmu pengetahuan yang dimiliki, cendrung dimiliki oleh migran yang berusia muda dan belum begitu lama bermigrasi (Astiti, dkk, 2004). Selanjutnya, dari 131 orang responden yang diwawancarai, dapat diketahui bahwa ada dua tujuan utama migran melakukan migrasi, yaitu (1) untuk menambah penghasilan rumahtangga dinyatakan oleh 101 orang (75,93%) responden, (2) untuk meningkatkan kesejahteraan rumahtangga, dinyatakan oleh 32 orang (24,06%) responden. Dengan demikian tujuan migran bermigrasi berkaitan dengan alasan bermigrasi yang berorientasi ekonomis seperti telah dikemukakan sebelumnya. Umumnya migran di daerah penelitian mempunyai pengalaman bermigrasi selama tiga tahun ke atas, hal ini dinyatakan oleh 78 orang (59,54%) responden. Dan migran yang memiliki pengalaman bermigrasi sampai dengan tiga tahun dinyatakan oleh 11 orang (8,40%). Ada juga migran yang mempunyai pengalaman ber26
migrasi antara satu sampai dengan dua tahun, yang dinyatakan oleh 30 orang (14,51%) responden. Migran yang memiliki pengalaman bermigrasi di bawah satu tahun dinyatakan oleh 13 orang (9,92%). Dari hasil pengamatan dilapangan diperoleh bahwa migrasi tersebut akan terus berlanjut dari masa ke masa, mengingat hasil yang diperoleh oleh migran mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi ekonomi rumahtangganya dan mampu pula memberikan dana punia (sumbangan sukarela) untuk pembangunan di daerah asal, di samping lapangan pekerjaan di daerah asal sangat terbatas, seperti telah diungkapkan sebelumnya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa daerah-daerah yang dituju oleh migran tersebut di antaranya Kecamatan Kuta (Badung) sebagai salah satu pusat aktivitas pariwisata di Bali, kota Denpasar (ibukota provinsi Bali) sebagai pusat segala aktivitas kehidupan yang menonjol di Bali dan kabupaten Gianyar yang merupakan daerah seni di Bali. Di luar Bali, terutama Surabaya (ibukota provinsi Jawa Timur) juga menjadi daerah tujuan bagi migran di daerah penelitian. Derahdaerah tersebut dipandang oleh mereka sebagai tempat yang sangat potensial untuk meraih rejeki. Keadaan Sosial Ekonomi Rumahtangga Migran Keadaan sosial ekonomi rumahtangga migran meliputi, keadaan imfrastruktur, penguasaan lahan dan pendapatan rumahtangga migran. Keadaan imfrastruktur rumahtangga migram meliputi; status rumah, keadaan rumah, keadaan mandi, cuci dan kakus (MCK), alat penerangan dan fasilitas komunikasi. Secara terperinci keadaan sosal ekonomi rumahtangga migran dapat dilihat pada Tabel 7. Pada Tabel 7 nampak bahwa hampir seluruh rumahtangga (97,53%) memiliki rumah sendiri sebagai hak milik dan hanya 2,47% dengan status rumah adalah menyewa. Sebagian besar (58,04%) responden memiliki rumah yang permanen, 39,50% semi permanen dan hanya 2,47% yang rumahnya masih darurat. Berkaitan dengan keadaam MCK (mandi, cuci, kakus) sudah cukup memadai karena sebagian besar (58,04%) rumahtangga sudah memiliki MCK secara lengkap dan rumahtangga yang belum memiliki MCK hanya 9,87%, sedangkan rumahtangga yang memiliki MCK kurang lengkap (hanya memiliki kamar mandi saja) sebanyak 6,17%. Rata-rata pemilikan luas lahan rumahtangga sebesar 35 are, yang terdiri atas tegalan seluas 31 are dan pekarangan atau rumah tempat tinggal seluas 4 are. Umumnya pekarangan hanya dimanfaatkan sebagai tempat tinggal dan tidak diusahakan tanaman pertanian, karena relatif sempit. Namun secara kecil-kecilan dan cenderung tidak begitu intensif, diusahakan ternak unggas seperti ayam dan ternak kecil seperti babi di pekarangan tersebut. Ini merupakan keadaan umum yang dapat dijumpai pada rumahtangga migran.Berbeda dengan tegalan, seluruh tegalan milik sendiri diusahakan oleh rumahtangga migran. Selain itu, ada juga dua rumahtangga migran yang mengusahakan tegalan milik
Profil Rumahtangga Migran Perempuan dan Anak di Kabupaten Buleleng (Kasus di Kecamatan Tejakula) [Ni Wayan Sri Astiti]
rumahtangga lain yang diperoleh dari menyakap, jika dirata-ratakan luas tegalan dari menyakap itu 12 are per rumahtangga migran. Di atas tanah tegalan seluas 12 are tersebut, rumahtangga migran mengusahakan beragam jenis tanaman pertanian dan ternak besar seperti sapi. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, jenis-jenis tanaman pertanian yang diusahakan itu meliputi tanaman semusim, seperti kacang-kacangan, ketela pohon, ketela rambat, jagung dan sebagainya, tanaman tahunan di antaranya meliputi kelapa, jambu mete dan mangga. Jenis-jenis tanaman itu tidak begitu optimal hasilnya, karena keadaan geografinya yang relatif kering, terutama pada musim kemarau. Tabel 7. Keadaan Sosial Ekonomi Rumahtangga Migran di Daerah Penelitian, 2004 No. Keadaan Sosial Ekonomi I 1.
2.
3.
Jenis Infrastruktur Status Rumah a. Hak milik b. Hak milik bersama Jumlah Keadaan Rumah a. Permanen b. Semi permanen c. Darurat Jumlah Keadaan MCK a. Sumur atau ledeng b. Kamar mandi c. WC atau kakus d. Sumur atau ledeng dan kamar mandi e. Sumur atau ledeng, kamar mandi dan WC atau kakus f. Tidak ada MCK Jumlah
Jumlah Rumah Tangga Rumah Persen Tangga
79 2 81
97,53 2,47 100,00
47 32 2 81
58,02 39,51 2,47 100,00
5 9 7 5
6,18 11,11 *) 8,64 *) 6,18
47
58,02
8
9,87
81
100,00
78 3
96,29 3,71
81
100,00
0 64 17
0,00 79,02 20,98
81
100,00
50 26 5 81 35 25 60
61,73 32,10 4,94 100,000 58,33 41,67 100,00
1.239.259,26 9.219.506,17 10.656.296,30
11,63 88,37 100,000
Keterangan : *)=mengambil dan memanfaatkan air dari sumur umum
Alat Penerangan a. Listrik b. Lainnya (strongking, lampu templek) Jumlah 5. Fasilitas Komunikasi a. Telepon sendiri b. Wartel c. Tidak menggunakan telepon /wartel Jumlah II Penguasaan lahan a.Status pemilik b. Status Penyakap c. Status penyewa Jumlah Rataan pemilikan lahan (are) Rataan lahan Menyakap (are) Jumlah (are) III Pendapatan Rumah Tangga a. Pertanian (Rp) b. Non Pertanian (Rp) Total Pendapatan (Rp) 4.
Sumber : Diolah Dari Data Primer, 2004.
Pendapatan rumahtangga migran dalam setahun sebesar Rp10.656.296,30 atau Rp 888.024,66 per bulan. Dari pendapatan itu, sebagian kecil (11,36%) bersumber dari sektor pertanian dan sebagian besar (88,64%) bersumber dari luar pertanian. Kecilnya pendapatan dari sektor pertanian itu dibandingkan dengan pendapatan yang bersumber dari luar pertanian, karena selain ratarata penguasaan lahan tegalan rumahtangga migran relatif sepit, juga beragam jenis tanaman pertanian yang diusahakan kurang produktif dan tidak memiliki nilai ekonomi tinggi. Keadaan lahan yang relatif kering di daerah penelitian tidak menguntungkan bagi pertumbuhan beragam tanaman pertanian secara optimal. Dengan demikian dapat dipahami bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi yang relatif kecil bagi pendapatan rumahtangga migran. Beragam jenis pekerjaan yang digeluti oleh migran dan anggota rumahtangga migran yang lain seperti telah diuraikan sebelumnya, menggambarkan berbagai sumber pendapatan rumahtangga migran di luar sektor pertanian. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Tingkat pendidikan migran masih tergolong rendah dan pekerjaan yang digeluti masih di sektor informal antara lain sebagai karyawan swasta, di bidang jasa dan pembantu rumahtangga dengan rata-rata pendapatan sebulan sebesar Rp. 383.849,43 (perempuan) dan sebesar Rp 400.890,47 (laki-laki)., masih berada di bawah UMR Kota Denpasar dan Kabuapeten Badung. 2. Cara keberangkatan migran ke daerah tujuan lebih dominan berangkat sendiri (41,98%) dengan alasan utama keterbatasan ekonomi rumahtangga, dan tujuan bermigrasi untuk menambah penghasilan rumahtangga atau pendapatan. Adapun lama bermigrasi satu tahun sampai tiga tahun dengan daerah tujuan antara lain Kabupaten Badung (Kuta), dan Kota Denpasar. 3. Keadaan sosial ekonomi rumahtangga migran antara lain; Sebagian besar (97,53%) rumahtangga memiliki rumah sendiri, dan permanen. Sebagian besar (58,08%) rumahtangga sudah memiliki MCK secara lengkap. Rata-rata pengausaan lahan adalah 60 are dengan luas pemilikan lahan rumahtangga 35 are dan menyakap 25 are, dengan rata-rata pendapatan rumahtangga migran dalam setahun sebesar Rp. 10.656.269,30,00 atau Rp 888.022,41 per bulan (11,637% dari sektor pertanian dan 88,37% dari luar pertanian). Saran Pekerjaan migran di tempat tujuan sebagian besar masih terserap di sektor informal yang tidak memerlukan ketrampilan yang tinggi. Oleh karena itu disarankan pihak terkait untuk memberikan pembinaan pada calon migran sehingga mempunyai ketrampilan yang lebih baik sehingga dapat pekerjaan di sektor formal yang 27
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
lebih baik dan memperoleh pendapatan minimal setara UMR Kota Denpasar atau Kabupaten Badung. DAFTAR PUSTAKA Astiti, Cok Putra, Arjani, Sudarta, Sri Astiti, Sudantra, (2003). Profil Migrasi Perempuan dan Anak Untuk Identifikasi Trafficking di Bali (Studi Kasus di Kabupaten Karangasem dan Buleleng). Pusat Studi wanita Universitas Udayana. Laporan Hasil Penelitian. Astiti, Sri, Sudarta, Arjani (2004). Keadaan Sosial Ekonomi Rumah Tangga Migran Perempuan di Desa Miskin Wilayah Bali Timur. Pusat Studi Wanita Universitas Udayana. Laporan Hasil Penelitian.
28
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
Everet S. Lee, 1965. Teori Sustu Migrasi. Disajikan pada Annual Meeting of the Mississippi Valley Historical Association, Kansas City, 23 April 1965, Mantra , Ida Bagus, 1981. Population movement in wet rice communities : a Case study of two dukuhs in Yogyakarta Special Region. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Munir, Rozy, 1981. Migrasi. Dikutip dari Buku Dasar-Dasar Demografi. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Ross Steele, 1981. Origins and Occupational Mobility of Lifetime Migrants to Surabaya, East Java. Disertasi Doktor. Australian National University, Canberra Susilowati, Sri Hery. 2005. Dampak Mobilitas tenaga Kerja terhadap pendapatan Rumah Tangga Pedesaan. Jurnal Soca, Vol. 5 No. 1, Februari 2005. Jurusan Sosek fakultas pertanian UniVersitas Udayana.
Integrasi Gender dalam Penguatan Ekonomi Masyarakat Pesisir [Rita Nur Suhaeti ISSN: dan Edi Basuno] 1411-7177
SOCA ❖ 6 (1) : 29 - 37
INTEGRASI GENDER DALAM PENGUATAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR Rita Nur Suhaeti dan Edi Basuno
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor Badan Litbang Pertanian, Bogor
ABSTRACT To implement gender mainstreaming activity in relation to regional development, mainly for coastal development, a study on gender mainstreaming had been carried in two districts, namely Buton in Southeast Sulawesi and Cirebon in West Java out from June to December 2003. Data and information were collected using Focused Group Discussion approach as well as village level profiles and monograph. Gender analysis using Harvard Framework was implemented, covering profiles of participation, access, control and influencing factors. The study results showed that in Buton, labor division between man and woman in sea weed farming was relatively balanced. Participation rate of the household members, both in domestic, public and social sector in both studied locations was relatively similar. The role of Women Empowerment Division of The Agency for Society Empowerment (ASE) in Cirebon has not been optimal and still learning to find out suitable activities to meet its mandates. In Buton District, there was a coordination problem in implementing gender mainstreaming program, because there were two institutions both claimed responsible in implementing gender mainstreaming program. One important thing that has never been conducted in the two districts was to create collaboration among institutions responsible for the gender mainstreaming implementation. In the future, The District Level Marine and Fishery Service Office should work in collaboration with the ASE and they have to discuss how to incorporate gender aspects in coastal development including in Economic Empowerment for Coastal Community. Keywords: Gender Mainstreaming, Coastal Area, Fishery, Community Development PENDAHULUAN Setelah Otonomi Daerah diberlakukan sejak tahun 2001, terjadi perubahan paradigma pembangunan, yaitu dari yang berorientasi sentralistik ke arah desentralisasi. Perubahan tersebut tentunya membawa konsekuensi yaitu: pemerintah harus memberikan kesempatan yang lebih besar kepada masyarakat untuk ikut menentukan berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan berbagai permasalahan dan kebutuhan daerah setempat. Dari sisi pemerintah, dalam rangka memberikan fasilitasi kepada masyarakat sering tidak dilandasi oleh hasil-hasil identifikasi faktor-faktor penyebab yang berbasis gender. Banyak kalangan yang menilai pembangunan yang berjalan hingga saat ini masih netral gender, artinya masih banyak ketimpangan atau kesenjangan hubungan relasi antara berbagai pihak gender terutama antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh haknya. Hak tersebut dapat ditinjau dari aspek perolehan akses (peluang), partisipasi aktif dalam pelaksanaan, keikutsertaan untuk menentukan berbagai kebijakan pembangunan maupun perolehan manfaat dari hasil kegiatan atau aktifitas pembangunan yang telah dilaksanakan. Oleh sebab itu muncul berbagai penilaian bahwa kedudukan dan peran perempuan masih berada pada posisi termarjinalkan, tersubordinasi atau bahkan diperlakukan secara diskriminatif, selain berbagai tindak kekerasan lainnya. Sebagai gambaran adalah di bidang ekonomi, kemampuan perempuan untuk memperoleh peluang
kerja dan berusaha masih rendah, demikian juga halnya dengan akses terhadap berbagai sumber daya strategis seperti teknologi, informasi pasar, kredit dan modal kerja. Secara umum tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) laki-laki jauh lebih tinggi dibandingkan dengan TPAK perempuan, yaitu 83,6 persen berbanding 51,2 persen. Hal ini berbakibat pada tingkat pengangguran perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan lakilaki. Padahal upah yang diterima pekerja perempuan seringkali jauh lebih rendah dari laki-laki. Misalnya, dengan tingkat pendidikan yang sama, pekerja perempuan hanya menerima sekitar 50 sampai 80 persen dari upah yang diterima laki-laki. Banyak perempuan bekerja pada jenis-jenis pekerjaan yang marjinal, seperti buruh lepas, atau pembantu rumah tangga tanpa memperoleh upah atau jika memperoleh upah pun besarannya relatif rendah. Selain itu pekerja perempuan tidak memperoleh perlindungan hukum dan kesejahteraan. Khusus di sektor pertanian dalam arti luas, termasuk perikanan, kontribusi perempuan di sektor ini sangat signifikan, baik dalam proses produksi, panen maupun pascapanen. Peran tersebut mampu memberikan sumbangan yang besar bagi penghasilan keluarga dan kegiatannya dapat direpresentasikan melalui: (1) bekerja di lahan sendiri, (2) sebagai buruh tani, (3) bekerja di luar sektor pertanian, seperti meproduksi kerajinan, berdagang, serta (4) pekerjaan yang tidak langsung menghasilkan, yaitu pekerjaan mengurus rumah tangga (Sajogyo, 1987). Lebih ekstrem lagi, perempuan dari keluarga tani berlahan sempit berperan sebagai penghasil nafkah 29
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
utama dalam rumah tangga, bahkan bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya. Kondisi tersebut diperburuk dengan trend terjadinya bias gender, sehingga memperuncing terjadinya berbagai macam ketidakadilan, terutama terhadap perempuan (Fakih, 1996). Salah satu akibatnya adalah terjadinya proses marjinalisasi atau pemiskinan ekonomi, sosial dan budaya bagi kaum perempuan. Jumlah dan curahan waktu perempuan dalam kegiatan rumah tangga pada umumnya lebih tinggi dari curahan tenaga kerja laki-laki. Argumentasinya, karena perempuan merupakan penanggungjawab pekerjaan domestik (pengaturan rumah tangga) yang membutuhkan waktu yang lebih banyak. Pekerjaan rumah tangga tersebut dilakukan sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan mencari nafkah. Peran ganda inilah yang menyebabkan mobilitas tenaga kerja perempuan terbatas (Sajogyo, 1987). Secara kuantatif, peran ganda perempuan akan sangat besar apabila kegiatan pencaharian nafkah di lakukan di lahan kering dengan komoditas utama hortikultura yang memerlukan ketekunan, ketelitian dan kesabaran. Guna mengimplementasikan pengarusutamaan gender di daerah pengembangan wilayah, khususnya kegiatan lintas sektor pengembangan kawasan pesisir, dipilih dua kabupaten, yaitu Buton di Sulawesi Tenggara dan Cirebon di Jawa Barat. Kegiatan tersebut meliputi: pemetaan permasalahan gender dan melakukan sosialisasi pelaksanaan pengarusutamaan gender kepada para pelaksana PUG di dua lokasi studi. TINJAUAN PUSTAKA Peran perempuan di sektor pertanian dalam arti luas, termasuk sektor perikanan, tidak dapat disangsikan lagi, karena memberikan kontribusi yang cukup signifikan. Meskipun perannya sangat strategis, posisi perempuan masih dan cenderung terus termarginalkan terutama dalam akses dan kontrol sumberdaya dan manfaat seperti: kredit, teknologi, informasi dan kesempatan menambah pengetahuan. Kondisi ini diperburuk dengan kebijakan pemerintah dalam berbagai kegiatan pertanian yang belum memperhitungkan perempuan. Pada subsektor usahatani padi dan palawija, peran aktif perempuan lebih besar dibanding laki-laki, khususnya pada kegiatan penanaman, penyiangan, pascapanen dan pemasaran, namun akses dan kontrol sumberdaya lebih didominasi oleh laki-laki (Departemen Pertanian, 1991). Hal ini memerlukan solusi lebih lanjut terutama dalam hal optimasi peran perempuan, agar perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kegiatan pertanian selanjutnya dapat memperhitungkan dan memberi peran optimal kepada perempuan. Khusus di bidang perikanan, walaupun dari kegiatan penangkapan kontribusi perempuan tidak pernah terdengar, namun dari kegiatan pemasaran dan pengolahan pascatangkap kontribusi perempuan relatif dominan. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (BPS, 1999) menunjukkan bahwa dari 47,1 juta penduduk berumur 10 tahun ke atas, terdapat sekitar 23 juta orang yang 30
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
lapangan perkerjaan utamanya di sektor pertanian dengan rasio perempuan dan laki-laki sebesar 43,7 persen di perkotaan dan 63,1 persen di pedesaan. Dari jumlah tersebut, terdapat 3,3 juta orang miskin dan 500 ribu kepala keluarga diantaranya adalah kepala keluarga perempuan. Satu dari setiap sepuluh keluarga tersebut termasuk dalam kategori keluarga miskin (Asian Development Bank, 2001). Sejalan dengan perkembangan teknologi dan informasi yang tidak berbatas, perempuan di perkotaan mulai menyadari ketertinggalannya. Kesadaran ini mendorong kaum perempuan untuk memperjuangkan haknya dalam mengaktualisasikan dirinya agar lebih berperan dan mendapat akses yang seimbang di segala bidang pembangunan. Sebaliknya perkembangan tersebut relatif lambat untuk wanita yang tinggal di pedesaan karena keterbatasan fasilitas umum yang tersedia, seperti informasi dan sentuhan teknologi, sehingga aktualisasinya dalam pembanguan masih jauh dari harapan. Dalam rangka meningkatkan peran perempuan di pedesaan tersebut, diperlukan strategi dalam pemberdayaan peran perempuan sesuai kondisi sosial, ekonomi dan budaya setempat atau yang spesifik lokasi. Salah satu strategi akselerasi peran perempuan dalam rangka pemberdayaan perempuan adalah dengan memperhitungkan dan bekerja sama dengan kaum lelaki (Kantor Negara Pemberdayaan Perempuan, 2002). Pada intinya pengarusutamaan gender (Gender Mainstreaming) dilaksanakan dengan penekanan pada azas hubungan timbal balik, proporsionalitas, kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-laki (Vitayala, 2001). Melalui pendekatan semacam ini, maka persoalan ketidakadilan gender dan marginalisasi perempuan diharapkan secara sistematis dapat diminimalkan. Ketidakadilan gender dalam masyarakat pedesaan secara faktual sangat menonjol. Untuk pekerjaan yang sama di bidang pertanian, perempuan sering memperoleh upah yang lebih rendah dibandingkan upah yang diterima laki-laki. Selain itu laki-laki lebih mendominasi sektor publik, sedangkan perempuan hanya berada di sektor domestik yang secara ekonomis dianggap kurang strategis. Bahkan untuk berbagai pekerjaan yang secara tradisional merupakan pekerjaan perempuan, jika teknologi mekanis sudah masuk ke dalamnya dan secara ekonomis dianggap lebih menguntungkan, maka biasanya laki-laki akan mengambil peran tersebut atau menggantikan peran perempuan. Dengan demikian insentif ekonomi tampaknya memegang peranan penting dalam menentukan peran gender (Harsoyo et al., 1999). Untuk itu keterampilan perempuan perlu ditingkatkan agar dapat bekerja dengan kualitas yang sebanding, bahkan lebih baik dengan yang dilakukan laki-laki. Erat kaitannya dengan keterampilan tersebut adalah kegiatan pengolahan ikan di desa pantai. Kegiatan pengolahan ikan pascatangkap bertujuan untuk mempertahankan kualitas ikan agar dapat dikonsumsi dalam waktu lebih lama. Selain itu, pengolahan juga bertujuan untuk menghasilkan produk baru yang karakteristiknya jauh berbeda dari ikan segar. Jenis pengolahan ini ada
Integrasi Gender dalam Penguatan Ekonomi Masyarakat Pesisir [Rita Nur Suhaeti dan Edi Basuno]
yang sifatnya masih tradisional dan ada yang sudah lebih maju. Termasuk pengolahan tradisional, adalah pengeringan dengan sinar matahari, pengasinan, fermentasi dan pemindangan. Pada pengolahan yang sifatnya lebih maju telah memasukkan unsur teknologi yang lebih tinggi, misalnya pendinginan dan pembekuan (Anonim, 2002). METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan Pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui wawancara dengan nara sumber dan petani responden melalui pendekatan Focused Group Discussion (FGD) serta pengumpulan data profil dan monografi desa. Kegiatan FGD dilakukan dalam dua tingkatan, yakni tingkat kabupaten dan tingkat kecamatan/desa. Lokasi Penelitian Kajian ini dilakan di empat desa di Kabupaten Cirebon dan di dua desa di Kabupaten Buton. Untuk Kabupaten Cirebon, kajian dilakukan di Kecamatan Mundu dengan empat desa sebagai berikut: (1) Desa Mundu Pesisir, (2) Desa Citemu, (3) Desa Waruduwur dan (4) Desa Bandengan. Untuk Kabupaten Buton, kajian dilakukan di Kecamatan Lakudo, yakni di Desa Madongka dan Desa Wanepa-nepa. Tahapan Penelitian Tahapan dalam pelaksanaan penelitian meliputi (a) pengumpulan data sekunder, (b) pengumpulan informasi dari narasumber, (c) wawancara dengan responden, d) analisis gender dengan menggunakan Analysis Kerangka Harvard. Analisis Kerangka Harvard merupakan salah satu alat pengumpul informasi baik secara umum maupun terinci sesuai kebutuhan masing-masing sektor. Kerangka ini dipergunakan untuk membangun sebuah uraian dan analisis gender di kalangan masyarakat tertentu, kebutuhan strategi gender dan transformasi hubungan gender. Tiga komponen utama dalam Kerangka Harvard adalah (1) profil partisipasi, (2) profil akses dan kontrol serta (3) faktor-faktor yang mempengaruhi. Gambaran umumnya adalah profil aktivitas responden untuk mengidentifikasi ciri-ciri kegiatan publik, domestik dan kemasyarakatan yang relevan dengan tujuan penelitian, misalnya siapa melakukan apa, waktu melakukan kegiatan, frekuensi dan lokasi. Profil akses dan kontrol untuk mengidentifikasi sumber daya yang dipakai dalam melakukan aktivitas, sekaligus untuk mengetahui sistem pengambilan berkaitan dengan sumber daya tersebut. Hal ini akan menunjukkan siapa yang mempunyai akses terhadap sumberdaya. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Buton Kabupaten Buton dengan luas wilayah 54.190 km2 memiliki wilayah perairan seluas 47.697 km2 (88%).
Garis pantainya sepanjang 1.026 km dengan sumber daya perikanan sangat beragam dilihat dari jenis dan potensinya. Kecamatan Lakudo yang menjadi lokasi kajian terletak di P. Muna. Luas keseluruhan Kecamatan Lakudo 225 km2 dengan topografi datar, bergelombang sampai berbukit. Kecamatan ini meliputi 3 kelurahan dan 9 desa dengan 31 dusun/lingkungan dan 51 unit rukun tetangga. Jenis tanah dominan adalah kambisol dan kapur. Suhu rata-rata 28oC dengan kelembaban udara 71 persen. Curah hujan rata-rata sebesar 1.473 mm/th dengan kategori daerah semi kering (jumlah curah hujan kurang dari 1.700 mm/th). Musim hujan terjadi pada bulan Desember hingga Juli dan musim kemarau terjadi selama 7 bulan dari bulan Agustus sampai dengan November. Di Kecamatan Lakudo terdapat Teluk Lasongko yang merupakan teluk terluas di Kabupaten Buton, yakni seluas 42km2 dengan panjang pantai 29,6 km. Keberadaan teluk ini cukup unik dan memiliki nilai strategis bagi pengembangan sektor kelautan dan perikanan di Kabupaten Buton. Jumlah penduduk Kecamatan Lakudo pada tahun 2002 adalah 22.686 jiwa, terdiri dari 4.762 kepala keluarga (KK), sehingga ukuran keluarganya (family size) adalah 4,8 orang/KK. Artinya, seorang kepala keluarga harus menghidupi hampir 5 orang termasuk dirinya sendiri. Penduduk laki-laki sebanyak 11.291 orang dan penduduk perempuannya 11.395 orang, sehingga sex ratio-nya 0,99. Artinya untuk setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat 99 penduduk laki-laki. Etnis Buton merupakan etnis dominan di kecamatan ini. Mobilitas penduduk relatif tinggi dan ini dipengaruhi oleh kemampuan wirausaha masyarakat yang relatif tinggi. Data tahun 2001 menunjukkan bahwa mata pencaharian sebagian besar penduduk di Kecamatan Lakudo adalah di sub-sektor tanaman pangan (29,3%). Dari angka tersebut, 53 persennya merupakan pekerja perempuan. Di bidang perikanan yang memberikan kontribusi sebesar 17,8 persen pada lapangan pekerjaan, perempuan hanya menduduki 22,2 persen. Namun secara keseluruhan, tampaknya lebih banyak perempuan yang memiliki pekerjaan dibandingkan laki-laki (51% dan 49%). Dengan adanya Proyek Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di tujuh desa di Kecamatan Lakudo, sebanyak 72 unit kelompok usaha bersama (KUB) telah dibentuk untuk memperlancar pelaksanaannya. Kegiatan anggota kelompok tersebut terdiri dari berbagai bidang, seperti nelayan tangkap, pemindang, pemasok es batu, pedagang kecil ikan dan pembudidaya rumput laut. Total jumlah anggota sampai tahun 2002 sebanyak 485 orang. Di antara berbagai kelompok tersebut, kelompok pemindang merupakan kelompok yang paling prospektif untuk dikembangkan mengingat permintaan terhadap ikan pindang relatif tinggi. Dari dua desa yang menjadi lokasi kajian di Kecamatan Lakudo, Desa Madongka merupakan desa yang tingkat sosial ekonomi masyarakatnya relatif lebih rendah dibanding Desa Wanepa-nepa. Hal ini merupakan akibat dari isolasi, karena baru setahun terakhir ini 31
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
dibuka jalan ke desa ini. Selain itu tingkat pendidikan masyarakatnya juga lebih rendah, baru ada seorang sarjana agama di Desa Madongka. Hampir seluruh kepala keluarga memiliki pekerjaan sebagai nelayan tangkap skala kecil. Selain itu, budi daya rumput laut juga merupakan usaha yang memberikan kontribusi nyata pada pendapatan masyarakat Desa Madongka. Setiap bulan sekitar 20 ton rumput laut dikirim ke luar desa yang selanjutnya dibawa ke Bau-Bau dan kota-kota lain, sebagai bahan baku industri kosmetik dan pangan. Kabupaten Cirebon Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 986,0 km2 merupakan kabupaten paling timur di Provinsi Jawa Barat dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Secara topografis, Kabupaten Cirebon terletak pada ketinggian 0 – 130 m dpl. Iklim dan curah hujan di Kabupaten Cirebon dipengaruhi alam pantai terutama di bagian utara, timur dan barat sedangkan bagian selatan merupakan kawasan perbukitan di mana terdapat curah hujan paling tinggi, sekitar 1000-3000 mm, khususnya di kaki Gunung Ciremai. Lokasi kajian adalah Kecamatan Mundu, salah satu kecamatan yang memiliki wilayah pantai di antara 7 kecamatan lainnya di Cirebon. Kajian melibatkan empat desa, yakni Desa Waruduwur, Citemu, Bandengan dan Mundu Pesisir. Pemilihan Kecamatan Mundu didasarkan oleh potensi yang luar biasa, khususnya untuk usaha rajungan, baik yang dijual segar, dimasak maupun yang dikupas (diambil dagingnya). Selain itu, potensi udang, bandeng dan tongkol juga cukup baik. Khusus untuk bandeng dan tongkol diolah menjadi ikan pindang. Penduduk Kecamatan Mundu pada tahun 2002 berjumlah 58.785 orang terdiri dari 15.041 KK. Oleh karena itu angka ukuran keluarganya adalah 3,9 yang berarti setiap KK menanggung beban hampir 4 orang termasuk dirinya sendiri. Jumlah penduduk laki-lakinya sedikit lebih banyak yaitu 29.868 orang dan penduduk perempuannya 28.917 orang. Dengan demikian sex rationya sebesar 1,03. Masyarakat di ke empat desa contoh sebagian besar memiliki pekerjaan sebagai nelayan dan khusus di Desa Citemu lebih dari 85,4 persen. Di Desa Waruduwur, 29,8 persen penduduknya bekerja sebagai petani, ini lebih tinggi dari angka di tingkat kecamatan yang hanya 3,8 persen. Selain sebagai petani, buruh industri di Desa Waruduwur dan Mundu Pesisir juga cukup banyak, yakni masing-masing 22,5 dan 36,6 persen, sedang angka-angka tersebut di tingkat kecamatan masing-masing hanya 11,6 dan 19,1 persen. Tingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Mundu relatif rendah, sebagian besar hanya sampai sekolah dasar (SD), bahkan sebagian tidak tamat. Di Desa Waruduwur dan Citemu masih ditemukan penduduk yang buta huruf, baik huruf Arab maupun latin dan penduduk yang tidak tamat SD. Di dua desa lainnya tidak lagi terdapat penduduk yang buta huruf. Sebaliknya, di Desa Bandengan 8,2 persen penduduknya berpendidikan sarjana. 32
Partisipasi Anggota Keluarga dalam Sektor Domestik, Publik, dan Sosial Kemasyarakatan Karakteristik peserta kegiatan FGD di dua lokasi kajian dapat dilihat dari umur, tingkat pendidikan dan partisipasi dalam diskusi. Umur peserta di Cirebon relatif lebih muda, tingkat pendidikan peserta FGD di Buton lebih rendah, yakni SD dibandingkan dengan peserta kegiatan FGD di Cirebon, yakni SMP. Tingkat partisipasi perempuan dalam diskusi di Cirebon jauh lebih tinggi (72,72%) dibanding di Buton (42,5%). Dari kegiatan FGD yang telah dilaksanakan, terdapat kesan bahwa partisipasi anggota keluarga baik dalam sektor domestik, publik dan sosial kemasyarakatan di dua lokasi kajian relatif sama. Artinya tidak terdapat perbedaan yang mencolok di antara keduanya. Tabel 1 menyajikan partisipasi anggota keluarga yang terdiri dari laki-laki dewasa (LD), laki-laki anak-anak (LA), perempuan dewasa (PD) dan perempuan anak-anak (PA). Tabel tersebut menunjukkan bahwa dari 10 kegiatan domestik yang ditanyakan, perempuan dewasa melakukan semua kegiatan tersebut (100%), sedangkan laki-laki dewasa hanya melakukan 2 macam kegiatan domestik (20%). Perempuan anak-anak masih melakukan 4 macam kegiatan domestik (40%) lebih banyak dibanding laki-laki dewasa, sedangkan laki-laki anak-anak tidak melakukan satu pun kegiatan domestik. Hal ini menunjukkan sosialisasi yang timpang untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Tidak mengherankan jika setelah mereka besar, anak laki-laki beranggapan bahwa pekerjaan domestik adalah pekerjaan perempuan. Untuk mengubah persepsi seperti tampaknya memerlukan waktu yang panjang. Seperti pada perubahan sosial lainnya yang memerlukan proses lama, mungkin harus ada kampanye nasional yang mengajak seluruh keluarga agar tidak membeda-bedakan sosialisasi pekerjaan domestik. Pekerjaan domestik sebaiknya menjadi tanggung jawab seluruh anggota keluarga sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian pekerjaan tidak akan menumpuk pada salah satu pihak gender saja dan ketidakadilan serta ketimpangan gender akan dapat dikurangi. Tabel 2 menyajikan kegiatan harian perempuan dewasa di empat desa Kecamatan Mundu, Cirebon. Perempuan yang terlibat dalam pembuatan pindang Tabel 1. Kegiatan Domestik Masyarakat di Dua Lokasi Kajian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Jenis Kegiatan Memasak Mencuci baju Menyeterika Mencuci piring Mengambil air Menyapu rumah Menyapu halaman Mengepel Mengurus anak Belanja sehari-hari Frekuensi
LD
LA
PD
PA
V V 2
0
V V V V V V V V V V 10
V V V V 4
Integrasi Gender dalam Penguatan Ekonomi Masyarakat Pesisir [Rita Nur Suhaeti dan Edi Basuno]
mengalokasikan waktu lebih banyak dari pada yang terlibat dalam kegiatan mengupas rajungan. Mereka bangun lebih awal yakni pukul 03.00 dan pergi tidur pada waktu yang sama dengan mereka yang terlibat dalam kegiatan mengupas rajungan. Namun perempuan yang terlibat dalam pengupasan rajungan juga mengalokasikan waktu untuk membuat wadong atau jurai, yaitu alat tangkap rajungan yang ramah lingkungan. Alat ini dimodifikasi dari alat yang sama buatan Taiwan. Tabel 2. Kegiatan Harian Perempuan Dewasa di Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon No. 1.
2.
Waktu Rajungan • 04.00 – 06.30 • 06.30 - 11.00 • 11.00 – 21.00 • 21.00 – 04.30 Pindang • 03.00 – 11.00 • 11.00 – 14.00 • 14.00 - 18.00 • 18.00 – 21.00 • 21.00 – 03.00
Tabel 3. Urutan Masalah yang Dihadapi para Peserta Kegiatan FGD di dua Lokasi Kajian No. 1.
2.
Jenis Kegiatan Domestik Membuat wadong/jurai dan domestik Kupas rajungan diselang pekerjaan domestik Istirahat Ke pasar: jual pindang, beli bahan pindang Istirahat/domestik Membuat pindang Domestik Istirahat
Tabel 3 menyajikan permasalahan yang dialami peserta kegiatan FGD menurut urutannya. Masalah utama yang dihadapi adalah harga-harga yang tidak menentu dan harga-harga input cenderung tinggi, sebaliknya dengan harga produk. Khusus untuk usaha rajungan kupas, masalah bertambah dengan adanya sistim pembayaran kemudian oleh pengusaha, disamping dikeluhkan tidak adanya penyuluhan tentang teknik pengolahan hasil laut yang baik. Usaha Penangkapan dan Pengolahan Ikan serta Ke giatan Kemasyarakatan Nelayan di kedua lokasi pengkajian melakukan penangkapan ikan dengan cara yang relatif sederhana. Sebuah kapal kecil yang diawaki 1 – 3 orang melaut dengan lama melaut sekitar 6 – 8 jam. Modal untuk melaut terdiri dari bekal pangan, rokok, es batu dan bahan bakar. Rata-rata biaya sekali melaut berkisar antara Rp 100.000 – Rp 150.000,- dan hasil yang diperoleh rata-rata dua kali lipat. Memang ada masa puncak dan paceklik, namun angka tersebut menunjukkan rata-rata penghasilan nelayan. Setelah dipotong modal yang dikembalikan kepada juragan darat atau juragan laut, rata-rata penghasilan mereka sehari sekitar Rp 30 – 50 ribu/KK. Sebenarnya pendapatan demikian termasuk tinggi, namun karena sistim pengelolaan uang yang relatif buruk, maka keluarga nelayan tampaknya kurang sejahtera. Belum lagi jika dilihat sikap hidup yang cenderung konsumtif, termasuk gemar berjudi. Selain kegiatan penangkapan dan membuat jaring, masyarakat di empat desa di Kecamatan Mundu melakukan berbagai kegiatan yang berbeda. Misalnya, masyarakat Desa Mundu Pesisir melakukan kegiatan pengolahan ikan asin dan berjualan ikan segar (skala kecil). Ada juga pengusaha tepung kerang sebagai sumber kalsium untuk
3.
4. 5.
Jenis Usaha Rajungan Pindang Harga produk tidak stabil, cenderung rendah atau dipHarga bahan lebih tinggi, tidak ermainkan pihak pabrik atau sesuai dengan harga produk pedagang pengumpul Sistem pembayaran tunda (1-2 minggu setelah penye rahan barang), hal ini juga Mutu bahan kurang baik mengaterkait dengan ketersediaan kualitas produk juga modal yang kurang, padahal kibatkan kurang baik bahan harus dibayar secara tunai, tidak dapat menunggu 1-2 minggu Kualitas bahan yang kurang mendukung, terutama pada Ketersediaan BBM kadang-kamusim panas, ukuran kecilkecil dan kualitas dagingnya dang tidak mendukung kurang baik BBM kadang menjadi maKetersediaan modal kurang salah Ketersediaan bahan baku tidak Penyuluhan kurang menentu
pakan unggas. Namun saat ini usaha pembuatan tepung kerang agak mundur sehubungan dengan merebaknya penyakit flu burung. Masyarakat Desa Citemu dan Waruduwur banyak yang melakukan kegiatan pengupasan rajungan. Pengupasan rajungan ini tidak dapat dilakukan sepanjang tahun dan puncaknya hanya 2 bulan/tahun, yakni menjelang musim hujan. Rajungan disediakan oleh penjual rajungan atau nelayan. Di desa tersebut telah tercipta sistem pengupasan rajungan, di mana dari penyediaan rajungan, pengupasan dan penjualan ke pihak eksportir telah terpola sedemikian rupa. Pengupasan rajungan ini dalam banyak hal telah mampu memberi pendapatan kepada banyak rumah tangga, meskipun jumlahnya relatif kecil. Rajungan yang telah dikupas dijual ke eksportir yang ada di sekitar desa-desa tersebut. Harga daging rajungan ini ditentukan oleh pihak eksportir, sesuai dengan harga daging rajungan di pasar dunia. Masyarakat Desa Bandengan umumnya mengolah ikan pindang. Jenis ikan yang dipindang adalah bandeng, kembung, tongkol, layang dan teri nasi. Walaupun samasama melakukan pengolahan ikan pindang, masyarakat di Desa Wanepa-nepa, Kecamatan Lakudo, ikan yang biasa dipindang lebih sedikit jenisnya, yakni hanya ikan tongkal dan layang. Proses pembuatan pindang di dua lokasi pada prinsipnya sama. Tabel 4. menyajikan perbandingan proses pembuatan ikan pindang di dua lokasi kajian. Dalam kaitannya dengan penggunaan tenaga kerja dalam kegiatan pembuatan ikan pindang, di Kecamatan Mundu lebih banyak melibatkan perempuan karena dari 8 jenis kegiatan, semua dilakukan oleh perempuan dan laki-laki hanya terlibat dalam 2 macam kegiatan (25%). Sedangkan di Kecamatan Lakudo, laki-laki lebih aktif karena dari 5 jenis kegiatan, 3 kegiatan dibantu oleh lakilaki (60%). Perlu dicatat, bahwa pekerjaan menyusun ikan yang memerlukan ketelatenan hanya dikerjakan oleh perempuan, baik di Kecamatan Mundu maupun di Kecamatan Lakudo. Hal ini mungkin disebabkan karena 33
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
Tabel 4. Proses Pembuatan Pindang di Kecamatan Mundu dan Lakudo Kecamatan Lakudo Urutan Kegiatan
Kecamatan Mundu Pelaku Urutan Kegiatan Membeli ikan P/L Membeli ikan Menyusun ikan di panci (tempat memindang) sambil Mencuci ikan sampai bersih dicuci dan langsung diberi garam yang jumlahnya P tidak ada takaran yang khusus Mengangkut P/L Membalut dengan kertas minyak Merebus selama 0,5 jam (dengan sedikit air sampai di tempat pindang sambil diberi garam, sereh dan P/L Menyusun kering), siap jual daun salam dengan perbandingan 10:1 Jual P Merebus: 1-2 jam, air rebusan dibuang, disiram dengan air dingin Merebus kembali sampai kering, dinginkan, siap dijual Mengangkut Jual
yang menjual ikan pindang itu pun perempuan, maka yang menyusun ikan juga perempuan agar penempatan ikannya sesuai dengan keinginan pembeli. Selain melakukan penangkapan ikan, masyarakat di Desa Madongka, Kecamatan Lakudo juga melakukan budi daya rumput. Kegiatan utama yang dilakukan adalah pembuatan tali yang dikerjakan oleh perempuan (P), pemasangan tali dan penananam di laut oleh laki-laki (L), panen, pengeringan dan penjualan dikerjakan baik oleh laki-laki maupun perempuan (P dan L). Karena itu dapat dikatakan bahwa pembagian kerja antara lakilaki dan perempuan dalam kegiatan budi daya rumput laut relatif seimbang. Informasi dari tokoh masyarakat menyebutkan bahwa pada umumnya keadaan keluarga yang hanya laki-lakinya saja yang aktif mencari nafkah relatif kurang sejahtera dibandingkan dengan keluarga yang perempuannya saja yang aktif, apalagi dibanding dengan keluarga dengan suami isteri aktif. Dalam aspek sosial kemasyarakatan, sebagian besar kegiatan dilakukan secara bersama-sama. Namun kegiatan kemasyarakatan yang banyak menentukan keputusan di tingkat desa seperti gotong royong dan rapat RT dilakukan oleh laki-laki saja, sedangkan perempuan terlibat dalam kegiatan domestik untuk menyediakan konsumsi pada berbagai kegiatan tersebut (Tabel 5). Esensi yang dapat diambil dari semua ini adalah bahwa kegiatan sosial kemasyarakatan telah menjadi bagian integral dari semua anggota masyarakat desa baik laki-laki maupun perempuan. Walaupun demikian, masih ada kegiatan sosial kemasyarakatan yang masih menjadi domain laki-laki yakni kegiatan gotong royong dan rapat rukun tetangga (RT). Implikasinya adalah bahwa segala keputusan yang diambil di tingkat RT tanpa mengikutkan suara perempuan karena perempuan tidak terwakili (Tabel 6.) Akses dan kontrol perempuan terhadap sumber daya dan manfaat di kedua lokasi kajian rata-rata serupa, yakni baik perempuan maupun laki-laki memiliki akses dan kontrol yang relatif sama untuk mengelola sumber daya dan menerima manfaat. Sebagai contoh, dalam usaha budi daya rumput laut di Desa Madongka, Kecamatan Lakudo, perempuan dapat melakukan pekerjaan mulai dari membuat tali, panen dan mengeringkan hasil rumput laut. Keputusan untuk menjual pun dilakukan secara berunding, baik mengenai jumlah yang akan dijual maupun yang menyangkut harga. Begitu pula 34
Pelaku P P/L P P P P P/L P
Tabel 5. Partisipasi Laki-laki dan Perempuan dalam Kegiatan Sosial Kemasyarakatan Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon L saja P saja L +P Arisan √ Pengajian √ Remaja Masjid √ Karang taruna √ Perkawinan √ Sunatan √ Kematian √ Membesuk orang √ sakit Gotong royong √ Koperasi √ Rapat RT √ Jumlah (frekue2 0 9 nsi) Kegiatan
Kecamatan Lakudo, Kabupaten Buton L saja P saja L +P √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 2
1
8
Tabel 6. Tingkat Pengambilan Keputusan Dalam Keluarga di Dua Lokasi Kajian Jenis keputusan Pendidikan anak Kesehatan keluarga Perawatan anak Keluarga berencana Perkawinan Pengeluaran sehari-hari Penggunaan alat produksi Penjualan hasil usaha Jumlah Frekuensi
P saja
P dominan
P+L
L saja L dominan
√ √ √ √ √ √ √
0
√ 3
4
0
1
dengan usaha ikan pindang baik di Buton maupun di Cirebon, malahan dalam penjualan cenderung perempuan lebih dominan. Untuk penerimaan manfaat hasil usaha, seperti telah disinggung sebelumnya bahwa jika perempuan yang memiliki dan memanfaatkan uang maka akan terjadi perbaikan status gizi dan kesejahteraan keluarga, namun belum tentu jika yang memegang uang itu laki-laki. Dari informasi ini dapat disimpulkan bahwa keluarga yang isterinya bekerja memiliki anggota keluarga yang relatif lebih sejahtera dibandingkan dengan yang hanya laki-laki (kepala keluarga) saja yang bekerja. Jadi manfaat hasil usaha yang dilakukan perempuan dirasakan lebih menyeluruh oleh seluruh
Integrasi Gender dalam Penguatan Ekonomi Masyarakat Pesisir [Rita Nur Suhaeti dan Edi Basuno]
anggota keluarga. Manfaat lain dari kredit dan penyuluhan juga sudah dapat dirasakan baik oleh laki-laki dan perempuan. Apalagi dalam kegiatan proyek PEMP yang ternyata banyak juga melibatkan perempuan pengolah ikan. Jadi akses terhadap kredit tidak dibatasi hanya untuk kepala keluarga saja. Demikian juga penyuluhan dari dinas baik Dinas Kelautan maupun Dinas Perindustrian sudah melibatkan perempuan juga. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) di Masyarakat Pesisir Keberhasilan pembangunan, termasuk pembangunan subsektor perikanan, khususnya di daerah pesisir sangat ditentukan oleh kemampuan atau kapasitas sumber daya manusia (SDM) setempat sebagai pelaku pembangunan sekaligus sebagai pemanfaat pembangunan. Sebagai pelaku, nelayan diharapkan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam mengelola usahanya. Artinya, membangun SDM adalah membangun manusia agar mampu untuk membangun dirinya sendiri, dalam arti mengenali potensi diri, kendala yang dihadapi dan mampu memformulasikan solusi kendala tersebut, tentunya dengan bantuan fasilitator. Dalam kaitannya dengan membangun SDM ini, maka pada umumnya masyarakat telah bergabung dalam wadah kelompok nelayan. Pengembangan dan pemberdayaan kelompok nelayan dilaksanakan dengan cara menumbuhkan kesadaran anggota dengan memperkenalkan filosofi dari, oleh dan untuk anggota. Suatu kelompok yang terbentuk atas dasar adanya kesamaan kepentingan di antara anggotanya menjadikan kelompok tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan akses terhadap seluruh sumber daya yang ada, baik sumber daya alam, SDM, permodalan, informasi, maupun sarana dan prasarana. Oleh karena itu, kelembagaan kelompok mempunyai peran yang sangat strategis, yakni sebagai penghubung dengan lembaga-lembaga di luar kelompok, sebagai media dalam proses transfer informasi dan teknologi dan sebagai wadah anggota dalam bermitra dengan pihak luar. Disamping itu, kelompok juga berfungsi sebagai wadah interaksi antar anggota dalam satu kelompok dan antar kelompok dalam pengembangan usaha yang dilakukan. Pengembangan kelompok perlu dilakukan dengan pendekatan partisipatif, sehingga orang luar bertindak sebagai fasilitator, sedangkan orang dalam, yaitu kelompok sendiri harus ditumbuhkan inisiatifnya. Dalam rangka mewujudkan kelompok masyarakat pesisir yang berkemampuan, maka Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP) mempunyai keinginan untuk memberikan kontribusi, khususnya dalam kaitannya dengan pengarusutamaan gender. Melaksanakan pengarusutamaan gender dapat dimulai dari instansi formal secara terpadu, baik di tingkat Dati I maupun Dati II. Hasil keterpaduan yang terwujud kemudian baru dapat dilaksanakan di tingkat kelompok, misalnya melalui pendampingan dan pelatihan. Dengan kata lain, tanpa keterpaduan antar-instansi, tampaknya pengarusutamaan gender di tingkat kelompok menjadi sesuatu yang
sulit dikerjakan. Kaitannya dengan fokus lokasi, yakni masyarakat pesisir, maka sektor kelautan dan perikanan menjadi sektor yang langsung berkepentingan. Peran Instansi Pemda dalam Pengarusutamaan Gender di Kabupaten Cirebon Badan Pemberdayaan Masyarakat/Perempuan Struktur kelembagaan yang berkaitan dengan PUG di kabupaten ini relatif masih baru. Pada tahun 2000 unit kerja Pemberdayaan Perempuan berada di Badan Pemberdayaan Masyarakat, tahun 2001 unit ini bernaung di Sekretaris Daerah, yaitu di Biro Kesejahteraan Rakyat (Kesra) dan pada tahun 2002 Pemberdayaan Perempuan menjadi Bidang tersendiri dan berada kembali di Badan Pemberdayaan Masyarakat. Sosialisasi tentang pengarusutamaan gender di Dinas Kelautan dan Perikanan khususnya dan Pertanian belum pernah dilakukan di Cirebon. Dengan alasan mengikuti pola sosialisasi dari pusat, maka di lingkup unit kerja pertanian belum diadakan sosialisasi tersebut. Tetapi sosialisasi telah dilakukan di 9 unit kerja lainnya, yakni Bappeda, BPM, Pengadilan, Pendidikan, BPS, Kesehatan, Departemen Agama, BKKBN dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kelambanan dalam melaksanakan sosialisasi antara lain disebabkan oleh minimnya anggaran yang tersedia serta keterbatasan sumber daya manusia di lingkup unit bidang pemberdayaan perempuan. Di masa depan kegiatan sosialisasi perlu dilanjutkan dalam bentuk lokakarya, sehingga pemahaman tentang pengarusutamaan gender di antara peserta dapat ditingkatkan. Lokakarya semacam ini perlu dilakukan secara berjenjang sampai setiap pejabat di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa serta komponen masyarakat lainnya yang terlibat dalam pengarusutamaan gender memperoleh pemahaman secara memadai. Dengan tidak tersedianya fasilitator di tingkat kabupaten, maka sulit untuk mencapai target di dalam pengarusutamaan gender di tingkat akar rumput. Sosialisasi yang dilakukan selama ini umumnya memperoleh tanggapan positif dari para peserta, meskipun sifatnya masih satu arah, artinya, peserta masih relatif pasif. Peran Bidang Pemberdayaan Perempuan di kantor BPM di Kabupaten Cirebon belum signifikan, karena bidang ini baru dibentuk pada TA 2002. Sampai saat ini BPM masih mencari bentuk kegiatan yang pas dengan mandat yang diembannya, sedang kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan simpan pinjam dan yang menjadi fokus adalah ibu-ibu PKK. Khusus dengan Dinas Kelautan dan Perikanan, belum ada kerja sama kegiatan dalam pemberdayaan masyarakat pesisir. Dinas Kelautan dan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Cirebon mempunyai program pembinaan masyarakat pesisir. Proyek Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) merupakan salah satu kegiatan yang difokuskan pada penguatan modal pelaku usaha perikanan melalui kredit modal dengan bunga yag disepakati. Administrasi pengembalian pinjaman di tingkat masyarakat dikelola sebuah oleh tim managemen yang memperoleh insen35
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
tif dari bunga pinjaman. Kasus di Kecamatan Mundu menunjukkan belum semua kelompok memperoleh pinjaman karena keterbatasan dana yang tersedia. Kegiatan ini mampu mendidik masyarakat untuk berhubungan dengan manajemen keuangan secara formal dan dapat dikatakan sebagai proses mendekatkan masyarakat kepada sistem perbankan. Mengingat peran perempuan di dalam kegiatan pasca panen cukup menonjol, maka pelaksanaan program PEMP ini dapat diintegrasikan dengan program-program pengarusutamaan gender. Kerja sama antara DKP dengan kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat/Perempuan tentunya dapat menggarap pelaksanaan pembangunan sosial ekonomi masyarakat pesisir dengan persepsi gender. Peran Instansi Pemda dalam Pengarusutamaan Gender di Kabupaten Buton Badan Pemberdayaan Masyarakat/Perempuan Di lingkup Pemerintah Daerah Kabupaten Buton tampaknya terdapat masalah koordinasi di dalam program pengarusutamaan gender (PUG). Hal ini terlihat dari terdapatnya dua kantor berbeda yang mengurusi PUG di tingkat kabupaten. Pertama, adalah kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) yang di dalam strukturnya terdapat Sub-bidang pemberdayaan perempuan. Kedua, adalah kantor di lingkup Sekwilda, yaitu di bawah bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra), tepatnya di Sub-bagian Pemberdayaan Perempuan. Namun demikian, ke dua kantor tersebut belum saling berkoordinasi, tetapi masing-masing mempunyai kegiatannya sendiri. Hal ini menunjukkan masih terbatasnya pemahaman tentang PUG, sehingga terdapat duplikasi peran di dalam PUG diantara ke dua kantor tersebut. Berbagai kegiatan telah dilakukan oleh kantor Subbagian PP Sekwilda, antara lain sosialisasi gender bagi 100 orang Tim Penggerak PKK dan partisipasi Kepala Sub-bagian di dalam workshop mengenai gender yang diselenggarakan oleh KPP selama 5 hari di Kendari pada tahun 2003, dengan fasilitator dari Australia. Hasil workshop tersebut belum pernah disosialisasikan kepada staf di kantor yang sama, sehingga dapat dikatakan bahwa mekanisme kerja memerlukan perbaikan. Di masa mendatang diperlukan solusi secara menyeluruh kalau diinginkan pengarusutamaan gender dapat dilaksanakan dengan baik di Kabupaten Buton. Dinas Kelautan dan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton saat ini sedang melaksanakan program pembinaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP), antara lain di Kecamatan Lakudo, yakni di Desa Madongka dan Desa Wanepanepa. Di Kecamatan Lakudo, usaha masyarakat dilakukan di dua desa, yakni di Desa Madongka masyarakat mengusahakan rumput laut dan mencari ikan, sedang di Desa Wanepa-nepa masyarakat membuat ikan pindang. Di ke dua desa tersebut belum semua kelompok memperoleh pinjaman dari PEMP karena keterbatasan dana yang tersedia. Tampaknya tersedianya modal ini cukup membantu bagi kelompok dalam melanjutkan usahanya 36
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
sehari-hari. Dalam masa mendatang semestinya DKP dapat duduk bersama dengan kantor BPM untuk membicarakan integrasi antara PUG dengan pembangunan masyarakat pesisir melalui PEMP. Satu hal yang selama ini belum dilaksanakan di tingkat kabupaten adalah mewujudkan kerjasama antara instansi yang bertanggung jawab terhadap PUG dengan DKP. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan 1. Ketimpangan gender masih terjadi di kedua lokasi kajian. Ketimpangan terjadi terutama dalam sektor domestik yang secara dominan masih menjadi ranah (domain) perempuan. Dari alokasi waktu yang dicurahkan, kondisi laki-laki lebih baik, demikian pula waktu senggang laki-laki lebih banyak. Hal ini dapat mengarah kepada ketidakadilan gender dalam arti salah satu pihak bisa saja dirugikan. Walaupun demikian, di kedua lokasi kajian belum terdapat tanda terjadi ketidakadilan gender karena pihak perempuan belum merasa dirugikan dan merasa bahwa pekerjaan domestik adalah kodratnya. Dengan demikian semua anggota keluarga termasuk perempuan dapat berpartisipasi lebih baik dalam sektor publik dan sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, perempuan dapat berpartisipasi dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. 2. Hasil penangkapan ikan oleh para nelayan sebenarnya cukup, namun karena pengelolaan keuangan yang kurang baik menyebabkan para nelayan dan keluarga di lokasi penelitian terlihat kurang sejahtera. Berbagai usaha pengolahan ikan yang dilakukan oleh masyarakat di kedua lokasi kajian belum menunjukkan efisiensi yang optimal terbukti dengan hasil analisis finansial yang relatif rendah. 3. Pengarusutamaan gender di kedua lokasi kajian baru dilakukan dalam tahapan sosialisasi di kalangan yang sangat terbatas. Diperlukan waktu dan alokasi dana khusus untuk melakukan sosialisasi, advokasi dan fasilitasi pelaksanaan pengarusutamaan gender sebagai wujud pengintegrasian berbagai permasalahan, pengalaman dan kebutuhan gender ke dalam proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan aktivitas monitoring dan evaluasi terhadap berbagai penguatan ekonomi masyarakat lokal kawasan pesisir dan pantai. 4. Fasilitasi forum koordinasi lintas sektor yang terkait dalam program pengembangan kawasan pesisir secara terpadu, guna mengatasi berbagai kesenjangan gender yang terjadi di Kabupaten Buton dan Cirebon baru dilakukan untuk tiga unit instansi yakni Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Pemberdayaan Masyarakat serta Bagian atau Sub-bagian Pemberdayaan Perempuan, Biro Kesejahteraan Pemda masing-masing kabupaten. 5. Pelatihan teknologi tepat guna yang sangat diperlukan dalam mengembangkan potensi sumber daya alam pesisir dan desa pantai di Kabupaten Buton dan
Integrasi Gender dalam Penguatan Ekonomi Masyarakat Pesisir [Rita Nur Suhaeti dan Edi Basuno]
Cirebon adalah berbagai pengolahan ikan tangkap. Misalnya, cara membuat ikan kering, baik asin atau tawar tanpa menggunakan berbagai pestisida yang berbahaya, cara membuat ikan pindang yang rasanya lebih enak, cara mengupas rajungan dengan lebih mudah, budi daya rumput yang lebih baik dan sebagainya. Diharapkan kualitas hasil olahan menjadi lebih baik dan aman sehingga daya jualnya dapat ditingkatkan. Pelatihan tidak hanya menyangkut teknis pengolahan, tetapi juga menyertakan sistem manajemen usaha. 6. Masyarakat pesisir pada umumnya menunggu uluran tangan pihak luar untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Proyek PEMP dari DKP yang dimulai tahun 2001 bertujuan untuk mengatasi kesulitan modal masyarakat pesisir dalam melakukan usahanya. Modal hanya merupakan salah satu masalah dari banyak masalah, sehingga ketersediaan modal harus dibarengi oleh usaha-usaha lain agar masyarakat menjadi berdaya. 7. Mengingat kompleksnya permasalahan pengembangan desa pantai, maka kontribusi KPP di dalam pengembangan ekonomi wilayah tersebut dapat dilakukan melalui program pendampingan kelompok yang selama ini telah dibina oleh pihak DKP. Sedangkan partisipasi dari unit kerja lain tetap diperlukan sesuai dengan bidang tugas masing-masing. 8. Fokus kontribusi KPP pada pendampingan kelompok dalam rangka mewujudkan kelompok yang mandiri merupakan pilihan tepat mengingat kemandirian merupakan bukti masyarakat yang berdaya. Dengan menjadi berdaya, masyarakat tersebut akan mampu untuk menolong dirinya sendiri dengan kekuatan yang dimilikinya. 9. Pendampingan kelompok merupakan suatu proses, sehingga berbagai tahapan pendampingan perlu diikuti meskipun hasilnya tidak dapat dilihat dalam waktu yang singkat. Berbagai aspek mempengaruhi lamanya pendampingan, seperti kondisi kelompok pada saat awal pendampingan, kualitas fasilitator, dukungan aparat terkait di lokasi dsb. Rekomendasi 1. KPP perlu lebih menekankan pelaksanaan sosialisasi tentang pengarusutamaan gender kepada seluruh mitra kerja di tingkat kabupaten melalui pelatihan berjenjang. Untuk itu perlu dukungan nyata, terutama dalam hal manajemen pelatihan dan dana. Dengan demikian, masyarakat akan memperoleh pemahaman yang benar tentang pengarusutamaan gender. Pemahaman ini tentu saja akan mempengaruhi pembagian pekerjaan domestik, sehingga pekerjaan tersebut dapat dibagi secara adil di antara seluruh anggota keluarga. Dengan demikian semua anggota keluarga, terutama perempuan juga berpartisipasi lebih baik dalam pembangunan dan dapat menikmati hasil-hasilnya secara lebih adil. 2. Pelatihan yang direncanakan harus meliputi pengetahuan tentang pengelolaan keuangan keluarga, man-
agement berusaha, termasuk management pemasaran dan tata buku sederhana yang mudah dipakai oleh pengusaha skala kecil. 3. Khusus untuk pelatihan tentang teknologi kelautan dan perikanan tepat guna sebaiknya menyertakan pihak-pihak yang memiliki kompetensi di bidangnya, misalnya universitas, lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan serta LSM. Erat kaitannya dengan hal-hal di atas, pembentukan dan penguatan kelompok merupakan pra-syarat penting sebelum berbagai pelatihan tersebut dapat dimulai. 4. Perlu disediakan dukungan sumber daya yang tepat, terutama dana, mengingat penguatan kelompok memerlukan persiapan khusus, seperti rekruitmen fasilitator, pembekalan bagi mereka dsb. Oleh karena itu, akan lebih baik kalau pekerjaan pendampingan ini diserahkan kepada ahlinya, agar diperoleh tingkat keberhasilan yang optimal. 5. Pemilihan fasilitator yang berkualitas sangat menentukan hasil suatu pendampingan. Demikian pula pembekalan terhadap fasilitator merupakan langkah penting, sehingga harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Titik berat materi pendampingan hendaknya pada penguatan kelompok yang meliputi administrasi, organisasi, permodalan, perencanaan dan manfaat yang ditimbulkannya. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Monografi Kecamatan Mundu 2002. Cirebon. Anonim. 2002. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton 2001. Bau-Bau. Asian Development Bank. 2001. Gender Checklist In Agriculture. ADB. 53 p. Biro Pusat Stastistik, 1999. Survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS). Jakarta. Departemen Pertanian, 1991. Wanitatani-Nelayan Indonesia: Tinjauan Pustaka Mengenai Pola Pembagian Kerja Wanita dan Pria dalam Rumah Tangga Petani Nelayan Indonesia Dengan Analisis Gender. Depatemen Pertanian Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton. 2002. Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Pesisir Kecamatan Lakudo. Bau-Bau. Harsoyo, E. Harmayani, A. Suryantini. 1999. Dampak Pembangunan Pertanian Terhadap Marginalisasi Tenaga Kerja Wanita: Kasus Usahtani Salak di Kabupaten Sleman. Jurnal Gender Vol(1)1: 44-57. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. 2002. Bahan Pembelajaran Pelatihan Pengarusutamaan Gender Bidang Kesehatan Reproduksi dan Kependudukan. Kerjasama dengan UNFPA dan BKKBN. Jakarta. Fakih, M. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Sajogyo, P. 1987. Pengembangan Peranan Wanita Khususnya di Pedesaan Yang Sedang Berubah dari Masyarakat Pertanian ke Industri di Indonesia 1981-1987. Seminar Fungsi Sosial Ekonomi Wanita Indonesia. Vitayala, A.H. 2001. Gerakan Sosial Politik Perempuan di Indonesia: Perspektif Pendidikan Politik.Disampaikan pada Seminar Nasional Kontribusial Organisasi Perempuan Dalam Pendidikan Politik yang Berwawasan Moral. Jakarta.
37
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003 ISSN: 1411-7177
SOCA ❖ 6Volume (1) : 386 -Nomor 44 1 Tahun 200 6
APLIKASI ANALISIS SHIFT SHARE ESTEBAN-MARQUILLAS PADA SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BOYOLALI Ropingi
Jurusan/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Agrobisnis Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta
ABSTRACT In OTDA era, data and information about allocation effect is very important, becouse its became competitive advantage in this region. The other opportunity is investor pulled with this region. This research was done in Boyolali Regency. Assessing data from BPS Central Java., Boyolali Regency The data and information used in this research was data Gross Regional Domestic Product (GRDP) from 1998 to 2002.. Type of data is secundary. For analysing this research used Esteban-Marquillas Shift Share Analysis (Dinamic SSA/ E-M SSA). The result of this research is (i) Agriculture, Financing, Ownership and Bussiness Services included sectors have competitive advantage, specialized (Code 4). (ii)Electricity, Gas, Water Supply, Contruction and Services included sectors have competitive advantage, not specialized (Code 3). (iii) Mining and Quarrying, Industies included sectors have competitive disadvantage, not specialized (Code 2) (iv) Trade, Hotel, Restaurant, Transport and Comunication included sectors have competitive disadvantage, not specialized (Code 1). (v) Agricultural sector what it has competitive advantage, specialized (Code 4) are foodstuff plants, and plantation plants. It has competitive advantage, not specialized are foresting and fishing, whereas cattle sector included sector has competitive disadvantage, not specialized (code 1) (vi) The contribution of Agricultural Sector periode 1998 to 2002 in the economy Boyolali regency if seen income multiplier, it trend rise except in 2001, it contribution decreased. Keywords : Allocation Effect; Boyolali Regency; Esteban Marquillas SSA PENDAHULUAN Tujuan pembangunan ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang biasa diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan riel per kapita. Dengan demikian tujuan pembangunan ekonomi disamping untuk meningkatkan pendapatan nasional juga untuk meningkatkan produktivitas. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa tingkat output pada suatu saat tertentu ditentukan oleh tersedianya atau digunakannya baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, tingkat teknologi, keadaan pasar dan kerangka kehidupan ekonomi (sistem perekonomian) serta sikap dari output itu sendiri (Suparmoko, M. dan Irawan, 1995). Pembangunan ekonomi pada intinya adalah suatu proses meningkatnya kualitas kehidupan masyarakat ke taraf yang lebih baik/tinggi (Hulu, 1988). Di dalam proses pembangunan ekonomi tersebut biasanya akan diikuti dengan terjadinya perubahan dalam struktur permintaan domestik, struktur produksi serta struktur perdagangan international. Proses perubahan ini seringkali disebut dengan proses alokasi. Kejadian adanya perubahan struktur ini akibat adanya interaksi antara adanya akumulasi dan proses perubahan konsumsi masyarakat yang terjadi akibat adanya peningkatan pendapatan per kapita. Dalam pembangunan ekonomi ini, sektor pertanian masih diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti dalam peningkatan pendapatan nasional terutama dalam penyediaan 38
lapangan kerja dan penyediaan bahan pangan. (Winoto, 1995) Sektor pertanian selama ini masih memegang peranan penting baik di tingkat nasional maupun regional, namun peranan tersebut cenderung menurun sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita yang mencerminkan suatu proses transformasi struktural. Penurunan ini disebabkan oleh interaksi dari berbagai proses yang bekerja disisi permintaan, penawaran, dan pergeseran kegiatan. Akan tetapi dengan adanya kenyataan seperti itu sektor pertanian tidak berarti bahwa penurunan sektor pertanian dalam perekonomian nasional itu menyebabkan sektor pertanian kurang berarti (Ikhsan, dan Armand, 1993). Pembangunan ekonomi dikatakan berhasil apabila peranan sektor industri manufaktur senantiasa semakin meningkat dari waktu ke waktu, baik dalam struktur produksi atau dalam Produk Domestik Bruto (PDB) maupun dalam struktur ekspornya. (Winoto, 1996). Disamping itu suatu proses transformasi perekonomian yang terjadi itu diharapkan akan terjadi transformasi perekonomian yang matang atau seimbang secara berkelanjutan. Hal ini berarti bahwa penurunan pangsa relatif sektor pertanian dalam perekonomian harus pula diiringi atau diimbangi oleh penurunan persentase tenaga kerja di sektor pertanian dan semakin tingginya pangsa relatif sektor industri dan jasa harus pula diikuti oleh peningkatan persentase tenaga kerja yang berada di bawah sektor industri dan jasa.Apabila ini tidak terjadi maka salah satu
Aplikasi Analisis Shift Share Esteban-marquillas pada Sektor Pertanian di Kabupaten Boyolali [Ropingi]
sektor ekonomi akan menanggung beban tenaga kerja yang berlebihan (ini bisa dipastikan akan terjadi pada sektor pertanian), sementara sektor-sektor lainnya yang telah berkembang akan mengalami kelangkaan tenaga kerja dalam arti kualitas dan kuantitas. Disamping itu dengan diberlakukannya otonomi daerah, daerah diberi keleluasaan penuh untuk menggali dan mengolah sumberdaya yang dimiliki di daerah bersangkutan. Adanya kewenangan dan kelleluasaan tersebut daerah mempunyai banyak alternatif dalam mencapi tujuan pembangunan yang ditetapkan. Konsep ini sesuai dengan apa yang diutarakan Todaro (2000) yang menyatakan bahwa ada tiga komponen yang menjadi pedoman praktis dalam memahami pembangunan yaitu kecukupan, jati diri dan kebebasan. Untuk mencapai tujuan pembangunan yang telah ditetapkan, sudah seharusnya Kabupaten Boyolali dalam menggali informasi lebih mengandalkan potensi yang dimiliki daerah tersebut baik berupa potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya modal. Untuk mendapatkan informasi itu perlu adanya kajian mengenai sektor pertanian terutama yang berkaitan dengan bagaimana efek alokasi yang terjadi dan peranan sector pertanian di Kabupaten Boyolali. Berdasarkan uraian di atas, permaslahan yang dapat dirumuskan adalah : 1. Bagaimana efek alokasi yang terjadi pada sektor perekonomian di Kabupaten Boyolali? 2. Seberapa besar pengganda pendapatan sektor pertanian di Kabupaten Boyolali? Dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui efek alokasi yang terjadi di sektor pertanian dan sektor non pertanian di Kabupaten Boyolali. 2. Mengetahui besarnya pengganda pendapatan sektor pertanian di Kabupaten Boyolali. Dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan masukan atau input bagi pembuat kebijakan khususnya yang berkenaan dengan pengembangan dan penentuan sektor perekonomian terutama peranan sektor pertanian dalam penentuan kebijakan pengadaan pangan di era otonomi daerah yang nantinya bisa menjadi ciri khas daerah Boyolali, sehingga dapat menopang pembangunan serta keberlanjutan otonomi daerah (OTDA). METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kabupaten Boyolali Sedangkan waktu penelitian yang diperlukan selama 10 (sepuluh) bulan. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini, data yang diperlukan mengenai data time series tentang Produk Domestik Regional Bruto/PDRB Kabupten Boyolali dan Jawa Tengah selama lima tahun terakhir yang dapat diperoleh dari
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Boyolali, dan data lainnya yang masih ada kaitannya dengan tujuan penelitian ini. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis Shift Share Dynamic atau Esteban- Marquillas Shift Share Analysis. Analisis ini berbeda dengan analisis Shift Share klasik dimana dalam analisis klasik diasumsikan ada tiga komponen yaitu komponen pertumbuhan nasional, oponen pertumbuhan proporsional dan omponen pertumbuhan pangsa wilayah (Budiharsono, 2001; Ricardson, 1991; Arsyad, 1999). Sedangkan Analisis Shift Share dinamik, menurut Herzog dan Olsen (1977) omponen pertumbuhan pangsa wilayah diurai menjadi komponen spesialisasi dan komponen kompetitif, kedua komponen ini dinamakan dengan komponen efek alokasi (aij) Untuk mengetahui efek alokasi yang terjadi digunakan pendekatan Analisis Shift-Share Esteban-Marquillas, (E-M Shift Share) dengan formulasi sebagai berikut : dij = E ij r.. + E ij (ri. – r..) + Ê ij (rij –ri.) + (E ij - Ê ij) (rij –ri.) atau E ij (Ra – 1) + E ij (Ri – Ra) + Ê ij (rI – Ri ) + (E ij - Ê ij) (ri –Ri), dimana : dij
: perubahan pendapatan/PDRB sektor i pada wilayah j E’ ij : pendapatan/PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun akhir analisis; E ij : pendapatan/PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun dasar analisis; Ê ij : “Homothetic Production” sektor i pada wilayah j (Ra-1) : persentase perubahan pendapatan/PDRB yang disebabkan komponen pertumbuhan nasional; (=r..) (Ri-Ra) : persentase perubahan pendapatan/PDRB yang disebabkan komponen pertumbuhan proporsional; (ri-Ri) : persentase perubahan pendapatan/PDRB yang disebabkan komponen pertumbuhan pangsa wilayah. (ri-1) : persentase perubahan pendapatan/PDRB pada sektor i wilayah j (= rij) E i. = Σ E ij : Pendapatan/PDRB (Regional Jawa Tengah) dari sektor i pada tahun dasar analisis E‘ i. = Σ E‘ ij : Pendapatan/PDRB (Regional Jawa Tengah) dari sektor i pada tahun akhir analisis. E.. = Σ Σ E ij : Pendapatan/PDRB (Regional Jawa Tengah) pada tahun dasar analisis E‘ .. = Σ Σ E‘ ij: Pendapatan/PDRB (Regional Jawa Tengah) pada tahun akhir analisis. ri = E‘ ij/ E ij Ri = E‘ i. /E i. Ra = E‘../E..
Efek Alokasi (aij) sektor i pada wilayah j ditentukan dengan : aij = (E ij - Ê ij) (rij –ri.) atau (E ij - Ê ij) (ri –Ri) Dari aij akan diperoleh : 1. Spesialisasi sektor i pada wilayah j dengan simbol (E ij - Ê ij) 2. Keuntungan Kompetitif/daya saing wilayah yaitu besaran yang ditunjukanoleh nilai dari (rij –ri.) atau (ri –Ri) Kriteria keputusan yang diambil dapat dilihat pada tabel 1. 39
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
Tabel 1. Kemungkinan-Kemungkinan yang Terjadi Pada Efek Alokasi Kode
Kriteria
01
Competitive disadvantage, spesialized Competitive disadvantage, notspesialized Competitive advantage, not spesialized Competitive advantage, spesialized
02 03 04
aIj Komponen (Efek (E (ri –Ri) Alokasi) ij Ê ij) Negatif
Positif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Positif
Positif
Positif
Sumber : Herzog, H.W. and RJ Olsen. Tahun 1977
Untuk melihat besarnya pengganda pendapatan sektor pertanian di Kabupaten Boyolali digunakan rumus sebagai berikut : 1 MS = –––––––––––– 1 – (YN/Y)
Tabel 3 Kemungkinan Efek Alokasi Sektor Perekonomian Kabupaten Boyolali Tahun 1998 – 2002
∆Y = MS X ∆ YB Dimana :
MS: Pengganda Pendapatan Y : Pendapatan Total Wilayah Kabupaten Boyolali YN : Pendapatan Sektor Non Pertanian YB : Pendapatan Sektor Pertanian ∆Y :Perubahan Pendapatan Total Wilayah Kabupaten Boyolali ∆ YB : Perubahan Pendapatan Sektor Pertanian
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Efek Alokasi Sektor Perekonomian Efek alokasi adalah komponen dalam shift share yang menunjukkan apakah suatu daerah terspesialisasi dengan sektor perekonomian yang ada dimana akan diperoleh keunggulan kompetitif. Semakin besar nilai efek alokasi semakin baik pendapatan atau kesempatan kerja didistribusikan diantara sektor perekonomian dengan keunggulan masing-masing. Efek alokasi ini untuk sektor perekonomian secara umum dapat dilihat pada Tabel 2 Tabel 2. Efek Alokasi Sektor Perekonomian Kabupaten Boyolali Tahun 1998 – 2002 (Dalam Ribuan Rupiah) Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan &Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan dan Kontruksi Perdagangan, Restoran dan Hotel Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, persewaan & Jaa Perusahaan Jasa-Jasa Total
Efek Alokasi (aij) 1404329.40 1916219.28 12925941.97 -3820879.57 -2899501.59 -3961948.21 -351236.96 1679104.66 -6255726.09 636302.89
Sumber : Hasil Analisis Data PDRB Kabupaten Boyolali Tahun 1998-2002
Berdasarkan efek alokasi pada tabel tersebut di atas terlihat bahwa sektor perekonomian di Kabupaten Boyo40
lali mempunyai alokasi PDRB yang baik untuk setiap sektor perekonomian yang ada. Hal ini bisa dilihat dari nilai total efek alokasi yang bernilai positif yang berarti semakin baik PDRB didistribusikan di antara sektor-sektor yang berbeda sesuai dengan kelebihan masing-masing sektor tersebut. Dilihat dari distribusi per sektor ternyata sektor industri pengolahan mendapatkan keuntungan yang paling tinggi yaitu sebesar Rp 12925941.97 ribu disusul sektor penggalian dan pertambangan sebesar Rp 1916219.28 ribu, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar Rp 1679104.66 ribu dan sektor pertanian sebesar Rp 1404329.40 ribu. Ternyata sector petanian di Kabupaten Boyolali berdarkan nilai efek alokasi yang positif berarti sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai potensi sebagai penyumbang pendpatan daerah Kabupaten Boyolali. Jika dilihat dari sisi keunggulan kompetitif dan spesialisasi sektor maka dapat dilihat pada tabel 3.
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan dan Kontruksi Perdagangan, Restoran dan Hotel Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa
Efek Alokasi (aij) 1404329.40 1916219.28 12925941.97 -3820879.57 -2899501.59
Keuntungan Kom- Kode petitif 98854501.04 0.0142 4 -7143594.86 -0.2682 2
Spesialisasi (Yij – Y’ij)
-100500002.80
-0.1286
2
-4143313.52
0.9221
3
-12973466.06
0.2234
3
35226470.88
-0.1124
1
2089176.12
-0.1681
1
9351670.09
0.1796
4
-20761900.40
0.3013
3
-3961948.21 -351236.96 1679104.66 -6255726.09
Sumber : Hasil Analisis Data PDRB Kabupaten Boyolali Tahun 1998-2002 Keterangan Kode: 1. Tidak memiliki keunggulan kompetitif namun terspesialisasi (Competitive disadvantage, Specialized) 2. Tidak memiliki keunggulan kompetitif dan tidak terspesialisasi (Competitive disadvantege, not Specialized) 3. Memiliki keunggulan kompetitif namun tidak terspesialisasi (Competitive advantage, not spesialized) 4. Memiliki keunggulan kompetitif dan terspesialisasi (Competitive advantage, Specialized)
Berdasarkan pada tabel di atas terlihat bahwa sektor pertanian di Kabupaten Boyolali merupakan sektor yang memiliki keuntungan kompetitif dan terspesialisasikan. Keuntungan kompetitif sektor pertanian ini disebabkan lokasi dari Kabupaten Boyolali yang relatif strategis, apalagi dengan adanya jalur Solo Boyolali Magelang dengan paket wisata yang dikembangkan saat ini. Dengan adanya program tersebut Kabupaten Boyolali mempunyai keuntungan dengan menjual agrowisata di sekitar jalur wisata tersebut, dimana potensi untuk pengembangan agrowisata tersebut cukup besar seperti saat ini sedang dikembangkan agrowisata padi di Desa
Aplikasi Analisis Shift Share Esteban-marquillas pada Sektor Pertanian di Kabupaten Boyolali [Ropingi]
Kuwiran Kecamatan Banyudono, ataupun agrowisata hortikultura sayur-sayuran di Kecamatan Musuk dan Cepogo. Kondisi ini akan memperkuat keuntungan kompetitif sektor pertanian di Kabupaten Boyolali. Spesialisasi sektor pertanian yang terjadi di Kabupaten Boyolali ini disebabkan karena adanya kebijakan pemerintah daerah yang menjadikan sektor pertanian sebagai sektor prioritas/unggulan untuk menopang pembangunan wilayah bersangkutan. Hal ini diperkuat dengan relatif masih tingginya kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Boyolali selama lima tahun terakhir dengan rata-rata 32.10 persen. Efek Alokasi Sektor Pertanian Di bagian sebelumnya telah dijelaskan efek alokasi untuk sektor perekonomian secara umum, pada bagian ini akan diuraikan mengenai efek alokasi khusus sektor pertanian yang terdiri dari sektor tanaman bahan makanan, sektor kehutanan, sektor perkebunan, sektor peternakan dan sektor perikanan. Untuk lebih jelasnya efek alokasi sektor pertanian di Kabupaten Boyolali dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Kemungkinan Efek Alokasi Sektor Pertanian Kabupaten Boyolali Tahun 1998 – 2002 Lapangan Usaha Tanaman Bahan makanan Tanaman Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan
Efek Alokasi (aij) 680879.86 3448750.44 -31647940.14 -4610241.82 -26642780.22
Spesialisasi (Yij – Y’ij)
Keuntungan Kom- Kode petitif 41463627.86 0.0164 4 4119390.32
0.8371
4
71007516.32 -6498560.86 -11237472.60
-0.4457 0.7094 2.3709
1 3 3
Sumber: Hasil Analisis Data PDRB Kabupaten Boyolali Tahun 1998-2002. Keterangan Kode : 1. Tidak memiliki keunggulan kompetitif namun terspesialisasi (Competitive disadvantage, Specialized) 2 Tidak memiliki keunggulan kompetitif dan tidak terspesialisasi (Competitive disadvantege, not Specialized) 3. Memiliki keunggulan kompetitif namun tidak terspesialisasi (Competitive advantage, not spesialized) 4. Memiliki keunggulan kompetitif dan terspesialisasi (Competitive advantage, Specialized)
Berdasarkan pada tabel tersebut di atas terlihat bahwa sektor tanaman bahan makanan dan sektor tanaman perkebunan mempunyai kode 4 artinya sektor-sektor pertanian tersebut memiliki keuntungan kompetitif dan terspesialisasi di Kabupaten Boyolali. Hasil ini sesuai dengan karakteristik wilayah Kabupaten Boyolali, di mana dari luas wilayah yang dimanfaatkan untuk usaha pertanian, yang meliputi sawah, tegalan, dan pekarangan seluas 78.656 hektare atau sekitar 77,48 persen dari keseluruhan luas wilayah. Dari luas lahan tersebut 53,24 persen diantaranya berupa lahan sawah dan tegalan. Jika dilihat dari kontribusi sektor ini terhadap PDRB juga masih menunjukkan dominasinya dibanding dengan sektor-sektor lainnya. Secara keseluruhan sektor pertanian memberikan sumbangan sebesar 41,28 persen dan 24,68 persen diantaranya adalah sumbangan dari sub sektor tanaman bahan ma-
kanan. Sub sektor tanaman bahan makanan ini banyak memberikan sumbangannya berupa produksi makanan pokok misal; padi, jagung, yang setiap hektarerinya dikonsumsi masyarakat, sehingga hasil yang mencukupi bagi kebutuhan masyarakatnya sangat diharapkan. Dilihat pemanfaatan luas lahan, setiap tahunnya sebagian besar luas lahan yang digunakan sebagai lahan produksi komoditas mengalami penurunan, namun hal itu tidak berpengaruh terhadap produksi yang produktivitasnya justru meningkat. Dapat dilihat dari komoditas padi ladang dan sawah tahun 2002 meskipun luas panen dari komoditas tersebut menurun tetapi hasil produksi dari lahan tersebut justru meningkat sebesar 13,43 persen dari 243.945 ton menjadi 276.702 ton dengan luas lahan yang mengalami penurunan sebesar 840 hektare. Hal ini juga dapat dilihat pada komoditas jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan kedelai yang kesemuanya mengalami penurunan dari luas lahan yang ditanam tetapi mengalami peningkatan produksi. Khusus kacang tanah adanya peningkatan yang besar pada luas lahan yang ditanam dan produksi yang dihasilkan setiap tahunnya, hal ini dikarenakan bahwa komoditas ini sangat menarik untuk ditanam karena harganya yang relatif tinggi dan stabil di waktu panen dan penanaman yang dilakukan pada musim bero (setelah tanam padi II). Dari pengamatan keadaan di atas, berarti ada peningkatan produktivitas dari sektor pertanian terutama sub sektor tanaman bahan makanan karena adanya pembangunan pertanian yang berjalan baik di Kabupaten Boyolali, selain didukung oleh faktor internal petani dalam peningkatan pengetahuan dalam bidang pertanian. Selain komoditas di atas, buah-buahan sebagai salah satu komoditas sub sektor tanaman bahan makanan juga cukup berkembang di Kabupaten Boyolali. Salah satu buah yang menjadi andalan Kabupaten Boyolali, adalah pepaya. Dengan produksi pepaya sebesar 14.681 ton pada tahun 2002, Kabupaten Boyolali sebagai produsen buah pepaya terbesar di Jawa Tengah. Buah yang banyak dikembangkan di Kecamatan Mojosongo, Teras, Boyolali, Ampel dan Musuk ini banyak dikonsumsi sebagai buah segar, bahan baku saus, asinan, dan sari buah. Buah yang sudah tua digunakan sebagai campuran bahan baku industri saus di Kota Surakarta. Meskipun demikian perlu diperhatikan dimasa yang akan datang ternyata berdasarkan penelitian Sulistriyanto (2004) sektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Boyolali tidak bisa dunggulkan dimasa yang akan datang. Sektor tanaman bahan makanan, selain sebagai sub sektor yang belum mampu mencukupi kebutuhan daerah saat ini juga dari analisis DLQ dihasilkan sebagai sub sektor yang tidak dapat diharapkan unggul di masa yang akan datang. Meskipun didukung potensi pertanian (tanaman bahan makanan, khususnya) yang relatif baik, tetapi dalam perkembangannya relatif rendah produktifitas. Dengan pertumbuhan yang lebih rendah dari pertumbuhan sektoral Jawa Tengah (komponen PP) dan juga kaitan keterkaitan antar sektor yang kurang mendukung terhadap perkembangan sub sektor ini. Sehingga 41
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
di dalam perkembangannya, relatif tenggelam di bawah kabupaten lain; Klaten misalnya, yang mempunyai produksi dan produktivitas yang lebih baik. Sektor perkebunan sebagai bagian dari sektor pertanian, sektor perkebunan memberikan sumbangan yang relatif penting meskipun masih relatif kecil. Hal ini terlihat dari kontribusi yang diberikan sub sektor perkebunan terhadapperekonomian sebesar 1,84 persen atau 9,21 persen pada sektor pertanian menempati urutan ketiga setelah sub sektor tanaman bahan makanan dan peternakan. Berbagai komoditas yang ada di wilayah Kabupaten Boyolali, seperti: kelapa, cengkeh, jambu mete, kopi jahe, kencur dan tebu. Terlihat pada tiga tahun terakhir menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan produksi. Beberapa komoditas unggulan seperti tembakau menalami peningkatan yang cukup signifikan. Walaupun dari kuantitas produksi terlihat kecil, namun jika dibandingkan dengan penurunan luas panen yang relatif besar (49,10 persen) maka rata-rata peningkatan produksi masih menunjukkan angka positif. Komoditas unggulan lainnya seperti, kelapa, cengkeh, kenanga, kopi dan kasiavera juga mengalami peningkatan produksi yang cukup besar. Komoditas kelapa mempunyai pertumbuhan rata-rata 150,68 persen per tahun, kopi robusta 111,13 persen per tahun, cengkeh sebesar 124,71 persen per tahun dan kenanga sebesar 152,62 persen per tahun (BPS Kabupaten Boyolali, 2001). Sektor kehutanan dan perikanan berkode 3 yang artinya bahwa sektor-sektor tersebut memiliki keuntungan kompetitif namun tidak terspesialisasi di Kabupaten Boyolali. Sektor kehutanan memiliki keuntungan komp[etitif karena Boyolali memiliki areal hutan yang luasnya berkisar 14,00 persen dari luas total wilayah Kabupaten Boyolali. Adapun produk yang dihasilkan dari hutan di Boyolali dapat digolongkan menjadi tiga jenis yakni: kayu jati, kayu rimba dan kayu campuran (lain-lain). Hutan di Kabupaten Boyolali dibagi dua macam yaitu hutan negara dan hutan rakyat. Hutan negara banyak terdapat di Kecamatan Juwangi, Wonosegoro dan Kecamatan Cepogo yang berkisar sekitar 8.000 hektare. Sedangkan hutan rakyat hampir terdapat di setiap Kecamatan di Kabupaten Boyolali, kecuali Kecamatan Ngemplak, Sawit, Banyudono dan Kecamatan Nogosari. Hutan rakyat di Kabupaten Boyolali berkisar 6.105 hektare. Walaupun sumbangan sektor perikanan di tahun 2002 tergolong kecil (0,35 persen) namun sebenarnya potensi pengembangan perikanan khususnya perikanan darat menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Kecenderungan positif tersebut diikuti peningkatan produksi ikan secara keseluruhan di tahun 2001 yang sangat menonjol, meskipun tahun 2002 mengalami penurunan yang relatif tidak signifikan. Selama kurun waktu lima tahun terakhir jumlah produksi tertinggi pada tahun 2001 yang mencapai 3.132.123 kg, produksi tertinggi berasal dari lahan produksi ikan sawah. Sedangkan produksi terendah 42
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
adalah tahun 1998 dengan produksi sebesar 1.284.730 kg. Dari fenomena yang diamati peningkatan produksi ikan yang terjadi mulai tahun 1998 sampai sekarang diharapkan akan dapat mencukupi kebutuhan akan ikan bagi penduduk di Kabupaten Boyolali. Disamping itu jika dilihat masa yang akan datang ternyata berdasarkan hasil penelitian Sulistriyanto, 2004, sektor perikanan termasuk sektor yang dapat diunggulkan karena nilai DLQ sektor perikanan lebih besar dari satu. Sektor peternakan berdasarkan hasil analisis efek alokasi ternyata sektor peternakan di Kabupaten boyolali berkode 1 artinya bahwa sektor peternakan tidak mempunyai keunggulan kompetitif namun terspesialisasikan. Terspesialisasikanya sektor peternakan ini karena sektor peternakan merupakan salah satu komoditas primadona di Kabupaten Boyolali. Peternakan tidak bisa dipisahkan dari identitas Boyolali. hampir di setiap sudut wilayah terdapat patung sapi. Tahun 2001 kontribusi sub sektor peternakan dengan andalan sapi perah Rp. 425,25 milyar serta populasi sapi sebanyak 60.205 ekor (tahun 2002) merupakan yang terbesar di Jawa Tengah. Sapi sub tropis ini hanya bisa hidup di wilayah berhawa dingin seperti Kecamatan Selo, Cepogo, Ampel, Musuk, Boyolali, dan Mojosongo. Sebagai produk unggulan, seekor sapi perah menghasilkan susu 10-15 liter setiap hari. Tahun 2002 produksi susu 30,2 juta liter. Selain sapi perah, peternakan juga mengandalkan sapi potong. Produksi tahun 2002 sebesar 86.725 ekor lebih besar dari sapi perah, karena tidak bergantung pada wilayah berhawa dingin. Selain daging, sapi potong juga menghasilkan kulit untuk bahan tas, sepatu, dompet, bahkan makanan. Produksi daging tahun 2002 sebesar 6.767 ton dipasarkan di Boyolali, Kabupaten Semarang, Kota Surakarta, hingga luar Jawa Tengah. Produksi kulit 53.476 lembar merupakan yang terbesar di Jawa Tengah. Pada tahun 2002 sub sektor ini mampu memberikan sumbangan sebesar 10,66 persen terhadap PDRB atas dasar harga konstan yang menempati urutan kedua setelah sub sektor tanaman bahan makanan. Meskipun sektor peternakan hanya termasuk dalam kategori terspesialisasikan dan tidak mempunyai keunggulan ompetitif, namun berdasarkan hasil penelitian Ropingi (2004) dengan melihat keterkaitan sector peternakan, ternyata mempunyai keterkaitan baik ke belakang (1.75306) maupun ke depan (1.31439) tertinggi diantara subsektor petanian lainnya di Boyolali. Hal ini menunjukan bahwa subsektor peternakan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap sector perekonomian lainnya terutama pada sector perekonomian yang menggunakan output dari subsektort peenakan sebagai input dalam proses produksi. Disamping itu subsektor pertanian mempunyai sifat rentan terhadap pengaruh sektor peekonomian lainnya, karena subsektor peternakan ini banyak menggunakan output dari sector perekonomian lainnya sebagai input dalam proses produksi subsektor peternakan. Menurut Ropingi dan Agustono (2004) sektor peternakan di Kabupaten Boyolali ternyata selama periode
Aplikasi Analisis Shift Share Esteban-marquillas pada Sektor Pertanian di Kabupaten Boyolali [Ropingi]
tahun 1998 – 2002, selalu menjadi sektor basis. Dengan demikian meski tidak mempunyai keunggulan kompetitif namun mempunyai peluang untuk bisa memenuhi permintaan dari luar daerah. Dengan melihat nilai LQ yang selalu lebih besar dari satu selama tahun 1998 – 2002 tersebut, masih ada peluang bahwa peternakan di Kabupaten Boyolali dikembangkan lebih lanjut terutama yang berkenaan dengan upaya peningkatan kualitas outputnya. Dengan perbaikan kualitas dan manajemen diharapkan nantinya bisa berubah menjadi sektor yang memiliki keunggulan kompetitif di masa yang akan dating. Kontribusi Sektor Pertanian di Kabupaten Boyolali Kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian wilayah Kabupaten Boyolai didekati dengan menggunakan pengganda pendapatan dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Pengganda Pendapatan dan Kontribusi Sektor Pertanian dalam Perekonomian Kabupaten Boyolali Tahun 1998-2002 Tahun
Ytotal
Ypertanian
MS
▲Ypertanian
▲Ybyl
-
-
1998 874.143.425 281.205.780 3,10855 1999 884.481.688 286.631.898 3,08577 2000 902.682.449 300.452.013 3,00441
13.820.115 41.521.356,87
2001 935.467.985 291.286.906 3,21150 2002 987.113.470 310.946.056 3,17454
19.659.150 62.408.933,64
Rata-rata
5.426.118 16.743.781,98 -9.165.107 -29.433.743,85
3.11695 5.948.055.20 18.248.065,73
Sumber : Hasil Analisis Data PDRB Kabupaten Boyolali Tahun 1998-2002 Keterangan : Y total dan Y pertanian dalam Ribuan Rupiah
Dari Tabel 5 nilai angka pengganda pendapatan (MS) yang relatif stabil dengan nilai rata-rata selama lima tahun berkisar 3,11695, tertinggi pada tahun 2001 dengan nilai 3,211500297.. Pada tahun 1998 itu juga dihasilkan nilai MS 3,108554259, artinya bahwa setiap investasi satu rupiah pendapatan sub sektor pertanian menghasilkan pendapatan di sektor pertanian sekitar 3,108554259 rupiah pada tahun 1998. Perubahan pendapatan sektor pertanian ▲Ypertanian merupakan perkembangan/perubahan pendapatan sektor pertanian dari tahun ke tahun. Ternyata perubahan pendapatan sektor pertanian mengalami fluktuasi, terendah terjadi pada tahun 2001, dan meningkat di tahun 2002. Seperti halnya ▲Ypertanian, ▲Ybyl yang merupakan kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Boyolali, nilainya turun dari tahun 1998 sampai tahun 2001 dan meningkat ditahun 2002. Terjadinya penurunan kontribusi sektor pertanian pada tahun 2001, karena laju pertumbuhan PDRB sektor pertanian secara umum menurun sebesar 3,05 persen. Hal ini disebabkan adanya bencana alam yang berupa kemarau panjang juga diikuti oleh hama tikus di beberapa kecamatan di Kabupaten Boyolali, yaitu; Banyudono, Teras dan Sawit. Sub sektor peternakan dan tanaman perkebunan sebagai sub sektor yang mampu mencukupi kebutuhan daerah sendiri pada tahun 2001,
namun juga mengalami laju pertumbuhan –10,98 persen dan -9,38 persen. Sehingga memang pada tahun 2001, sektor pertanian Kabupaten Boyolali secara keseluruhan sedang mengalami penurunan. Kontribusi sektor pertanian dilihat dari pengganda pendapatan pada tahun 2002 kembali meningkat, hal ini karena Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali banyak memberikan dorongan dan pengarahan mengenai daya tarik pengembangan komoditas pertanian. Disamping itu karena faktor alam yang berjalan relatif mendukung. Misalnya dorongan terhadap pengembangan sub sektor tanaman perkebunan dan perikanan, yang sebenarnya di wilayah Kabupaten Boyolali berpotensi untuk dikembangkan kearah yang lebih baik dan ekonomis. Meski kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian berkecenderungan menurun, akan tetapi berdasarkan penelitian Sulistriyanto (2004), dilihat dari sisi lain dengan analisis dinamic location quotient (DLQ), sektor pertanian masih dapat diharapkan untuk unggul di masa yang akan datang. Jika dilihat dari perubahan struktur ekonomi daerah dari analisis shift share, hal ini disebabkan faktor peningkatan PDRB yang banyak disebabkan karena faktor pasar yang mendukung, keunggulan komparatif dan dukungan kelembagaan (komponen pertumbuhan pangsa wilayah). Lebih lanjut Sulistriyanto mengungkapkan bahwa dari Analisis dinamic location quotient (DLQ) menjelaskan bahwa sektor pertanian di masa mendatang masih dapat diharapkan untuk unggul/basis dengan nilai DLQ ≥ satu. Secara rinci, hanya sub sektor perikanan saja yang mempunyai nilai indeks DLQ ≥ 1. Hal ini didukung dengan peningkatan kontribusi sub sektor tersebut selama beberapa tahun terakhir yang sangat mencolok, selain itu faktor kebijakan pemerintah daerah dan potensi yang mendukung untuk pengembangan sub sektor ini, sedangkan empat sub sektor lainnya mempunyai nilai DLQ<1 (tidak bisa diharapkan basis dimasa yang akan datang).
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bagian-bagian sebelumnya, dapat ditarik suatu kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut : 1. Berdasarkan nilai efek alokasi sektor perekonomian di Kabupaten Boyolali dapat dikelompokkan menjadi: a. Sektor pertanian dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan merupakan sektor yang mempunyai keunggulan kompetitif dan terspesialisasikan (kode 4) b. Sektor listrik, gas, air bersih; sektor bangunan dan kontruksi serta sektor jasa-jasa termasuk sektor yang mempunyai keunggulan kompetitif namun tidak terspesialisasi (kode 3). c. Sektor pertambangan, penggalian dan sektor industri pengolahan merupakan sektor yang tidak memiliki keunggulan kompetitif dan juga tidak terspesialisasi (kode 2) 43
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
d. Sektor perdagangan, restoran, hotel dan sektor transportasi, komunikasi termasuk sektor yang tidak memiliki keuntungan kompetitif namun terspesialisasi (kode 1). 2. Sektor pertanian yang memiliki keunggulan kompetitif dan terspesialisasi (kode 4) adalah sektor tanaman bahan makanan dan sektor tanaman perkebunan. Sektor kehutanan dan sektor perikanan termasuk sektor yang memiliki keunggulan kompetitif namun tidak terspesialisasi (kode 3), sedangkan sektor peternakan termasuk sektor yang tidak memiliki keunggulan kompetitif dan tidak terspesialisasi (kode 1). 3. Kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian Kabupaten Boyolali dilihat dari pengganda pendapatan selama tahun 1998 – 2002 berkecenderungan meningkat kecuali pada tahun 2001 mengalami penurunan.
Rekomendasi Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang diuraikan pada bagian sebelumnya yang digunakan sebagai dasar untuk merekomendasikan (kepada pihak yang berkepentingan dengan permasalahan perencanaan pembangunan wilayah dan pedesaan) sebagai berikut : 1. Dengan adanya otonomi daerah yang telah diberlakukan mulai tahun 2001 ini maka Kabupaten Boyolali dalam mengembangkan potensi daerahnya terutama yang berkenaan dengan sektor perekonomian harus mempertimbangkan aspek keunggulan kompetitif sektor bersangkutan. serta yang mampu menyerap tenaga kerja. Untuk itu diperlukan skala prioritas sektor–sektor perekonomian mana saja yang memberikan peluang peningkatan lapangan kerja perlu mendapat prioritas utama. 2. Di dalam melakukan pengembangan suatu sektor perekonomian di Kabupaten Boyolali hendaknya pertimbangan utamanya didasarkan pada sektorsektor yang mempunyai daya saing wilayah terbaik yang dikembangkan tanpa mengabaikan sektor pendukungnya. Pengembangan yang dilakukan ini hendaknya dilakukan secara integrated/lintas sektoral dan dilakukan secara konsisten dan istiqomah.
44
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, L. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan. Edisi Pertama. Penerbit BPFE. Yogyakarta BPS Kabupaten Boyolali, 2001. Kabupaten Boyolali dalam Angka. BPS. Boyolali. Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Pradnya Paramitha. Jakarta. Herzog, H.W and. Olsen, R. 1977. Shift-Share Analysis Revisited : The Allocation Effect and The Stability of Regional Structure. OAK Ridge National Laboratory. Tennesse. Ikhsan, M. dan Armand. 1993. Sektor Pertanian Pangan, Peternakan dan Perikanan Menuju Tahun 2000 dalam Anwar MA (Editor). Prospek Ekonomi Indonesia dalam Jangka Pendek, Peluang dan Tantangan dalam Sektor Riil dan Utilitas Pada Dasawarsa 1990-an. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hulu, E. 1988. Beberapa Metode Non-Survey Estimasi Koefisien IO. Pusat Antar Universitas Bidang Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Richardson, H. W. 1991. Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional (Terjemahan) LPFE UI. Jakarta. Ropingi. 2004. Analisis Keterkaitan Sektor Pertanian dalam Pembangunan Wilayah Kabupaten Boyolali. Jurnal Penududuk dan Pembangunan Vol 4 Nomor 2. Desember 2004. Penerbit Pusat Penelitian Kependudukan LPPM UNS. Surakarta. Ropingi dan Agustono. 2004. Analisis Identifikasi dan Peranan Sektor Pertanian dalam Menghadapi Otonomi Daerah di Kabupaten Boyolali (Identification Analysis and Role of Agricultural Sector in Facing regional Autonomy at Biyilali Regency). Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol IV No. 3 Desember 2004 – Maret 2005. Penerbit Lembaga Penelitian Universitas Jendal Sudiorman. Purwokerto. Sulistriyanto. 2004. Profil Sektor Pertanian dan Kontribusinya Dalam Perekonomian Wilayah Kabupaten Boyolali. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. (Tidak dipublikasikan). Suparmoko, M. dan Irawan. 1995. Ekonomika Pembangunan. Penerbit BPFE. Yogyakarta. Todaro, M. P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jilid 1. (Terjemahan Burhanuddin Abdullah dan Harris Munandar). Penerbit Erlangga. Jakarta. Winoto, J. 1995. Pembangunan : Sari Tema Teori-teori Pembangunan Lintas Madzhab. Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Winoto, J.1996. Transformasi Struktur Perekonomian dan Ketenagakerjaan Nasional (Tinjauan Teoritis dan Aplikasinya terhadap Transformasi Perekonomian dan Ketenagakerjaan Nasional yang Telah Terjadi dan Proyeksinya Sampai dengan Akhir PJP II). Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Perspektif Pengembangan Industri Gula di Indonesia [Kurnia Suci Indraningsih dan ISSN: A. Husni Malian] 1411-7177
SOCA ❖ 6 (1) : 45 - 53
PERSPEKTIF PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA DI INDONESIA Kurnia Suci Indraningsih dan A. Husni Malian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor
ABSTRACT Sugar cane planted-area in Java is limited and supply of raw material for sugar companies (PG) is possible through improvement of sugar cane productivity and sugar content. It is necessary to implement individual sugar content or minimal sugar content guarantee between farmers’ group and PG’s management. PG expansion to uotside Java (Sumatera, Sulawesi, Maluku and Papua) is urgent, at least 15 new PG, in order to lessen dependence on sugar production from Java Island. PG located outside Java are designed not to produce sugar only, but also to make derivative products such as ethanol, alcohol, etc. Revitalizing research and development activities is necessary to generate new technology. Keywords: Perspective, Development, Sugar Industry PENDAHULUAN Produksi gula di dalam negeri makin tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi, sehingga impor gula sejak awal 1990 terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001, impor gula meningkat menjadi 1,5 juta ton atau sekitar 50 persen dari kebutuhan dalam negeri. Angka ketergantungan impor telah mencapai 47 persen/tahun selama periode 1998-2002 (Sawit et al., 2003), suatu kenaikan yang pesat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum liberalisasi radikal industri gula pada tahun 1998. Kemelut pengelolaan impor gula di dalam negeri terus berlangsung sejak 1998. Berbagai cara telah dipakai untuk mengatasi penyelundupan gula, baik melalui instrumen NPIK (Nomor Pengenal Importir Khusus), pengawasan ketat (jalur merah) sampai penerapan kuota impor. Kuota impor gula putih hanya diberikan kepada importir terdaftar atau IT Gula yang memenuhi syarat, terutama penyerapan tebu rakyat lebih dari 75 persen. Departemen Pertanian sejak pertengahan 2003 telah mengambil inisiatif untuk merancang pembangunan Industri Gula Nasional (IGN) secara komprehensif, yang mampu mendorong peningkatan produksi gula nasional secara efisien, mengurangi impor gula dan meningkatkan pendapatan petani tebu. Kebijakan itu mencakup pemecahan berbagai masalah budidaya tebu, kemitraan antara pabrik gula (PG) dengan petani tebu, efisiensi PG, perdagangan dan impor, serta dukungan pemerintah terutama infrastruktur di lahan kering, penguatan Research and Development, dan dukungan harga yang menguntungkan petani (P3GI, 2003; LP IPB, 2002; Booker Tate Ltd, 1999). Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan petani tebu rakyat di Pulau Jawa masih rendah. Selain disebabkan oleh tingkat produktivitas dan kualitas hasil yang rendah, sebagian besar PG di Pulau Jawa masih menggunakan mesin-mesin tua yang tidak efisien, sehingga menghasilkan gula dengan
tingkat rendemen yang rendah. Data dari PG Krebet Baru (Kabupaten Malang, Jawa Timur) menunjukkan bahwa rendemen rata-rata yang diperoleh adalah 5,15 persen pada tahun 1998, 6,91 persen pada tahun 1999, 6,01 persen pada tahun 2000, 6,14 persen pada tahun 2001 (Hadi et al., 2002), 6,77 persen pada tahun 2002, dan 6,91 persen pada musim giling 2003 (Malian et al., 2004). Dengan demikian, efisiensi usahatani tebu tidak terlepas dari efisiensi PG di suatu daerah, khususnya dalam penentuan rendemen tebu. Tim Persiapan Revitalisasi Pergulaan Indonesia (1999) memberikan rekomendasi kebijakan dalam masa transisi untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing industri gula nasional, antara lain: (1) Pengembangan lahan kering yang sesuai untuk usahatani tebu, sebagai landasan pengembangan industri gula yang berbasis sumberdaya lahan kering; (2) Peningkatan efisiensi teknis PG, melalui peningkatan produktivitas gula hablur pada lahan kering sebesar 6 ton/ha; (3) Peningkatan efisiensi ekonomis PG melalui rasionalisasi pembiayaan, dengan sasaran biaya produksi sebesar Rp. 1.600/kg gula; (4) Re-engineering PG melalui penerapan prinsip zero waste dan total value creation, dengan menerapkan prinsip bagi hasil yang adil antara petani dengan PG; dan (5) Persiapan pengembangan industri gula di luar Jawa dan pengembangan sweeteners. Tulisan ini akan melakukan analisis dan sintesis terhadap industri pergulaan nasional, sehingga dapat ditentukan kebijakan yang diperlukan dalam revitalisasi industri pergulaan di Indonesia. KINERJA INDUSTRI GULA DI INDONESIA Ketersediaan Bahan Baku Tebu Data perkembangan luas areal tebu dan produktivitas gula hablur dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa industri gula nasional mengalami kemunduran yang signifikan (Tabel 1). Sebelum krisis ekonomi, ketersediaan bahan baku industri gula yang tercermin dari luas areal tebu pada tahun 1994 mencapai lebih 45
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
dari 428 ribu ha. Namun liberalisasi industri gula yang dilakukan atas tekanan International Monetary Fund (IMF) pada tahun 1998 telah menurunkan tingkat rendemen secara drastis, yaitu dari 7,83% pada tahun 1997 menjadi 5,49% pada tahun 1998. Akibatnya, produktivitas gula hablur secara nasional menurun lebih dari 30%, yaitu dari 5,68 ton/ha pada tahun 1997 menjadi 3,94 ton/ha pada tahun 1998. Penurunan produktivitas ini telah merugikan petani tebu, karena dalam waktu yang bersamaan biaya produksi tebu mengalami kenaikan. Dampak lanjutan dari kebijakan ini terlihat dari penurunan luas areal pertanaman tebu yang mencapai hampir 10% pada tahun 1999. Luas areal pertanaman tebu di Indonesia saat ini sesungguhnya hanya berkisar antara 340 – 350 ribu ha/tahun (Tabel 1). Sekitar 70% dari areal pertanaman itu merupakan tebu rakyat, sementara 63% diantaranya berada di Pulau Jawa. Kondisi ini tidak memungkinkan PG di Pulau Jawa dapat memperoleh tambahan bahan baku tebu dari pertambahan luas areal, sehingga satusatunya upaya yang dapat dilakukan adalah peningkatan produktivitas tebu di lahan petani. Dalam konteks ini program bongkar ratoon yang dilaksanakan pemerintah telah memberikan efek positif dalam peningkatan produktivitas dan rendemen tebu petani, sehingga mampu meningkatkan produktivitas gula hablur dari 4,02 ton/ha menjadi 6,12 ton/ha (Malian et al., 2004). Tahun 1. Luas Areal dan Rendemen Tebu, serta Produktivitas Hablur di Indonesia, 1994-2004. Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Luas Areal Tebu (000 hektar) 428,7 420,6 403,3 385,7 378,3 340,8 340,7 344,4 350,7 335,7 345,5
Rendemen Tebu Produktivitas Hablur (%) (ton/ha) 8,03 5,72 6,97 4,98 7,32 5,19 7,83 5,68 5,49 3,94 6,96 4,37 7,04 4,96 6,85 5,01 6,88 5,01 7,21 4,86 7,67 5,94
Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia, Jakarta.
Stagnasi areal pertanaman tebu di Indonesia dalam jangka panjang tidak menguntungkan, karena permintaan gula di dalam negeri terus mengalami peningkatan. Untuk itu pengembangan industri gula di Luar Jawa perlu mulai dirintis, dengan memberikan berbagai kemudahan kepada para investor. Dengan areal potensial untuk pertanaman tebu yang mencapai lebih dari 280 ribu hektar, maka pengalihan industri gula ke Luar Jawa merupakan upaya yang strategis untuk mengurangi ketergantungan pada impor gula. Kinerja Pabrik Gula Pemerintah saat ini memberikan proteksi yang sangat besar terhadap industri gula. Dalam tahun 2004, angka effective protection coefficient (EPC) berkisar antara 1,4 – 1,8, yang berarti tingkat proteksi kumulatif mencapai 46
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
40 – 80% (Malian et al., 2004). Penerapan tarif impor sebesar Rp. 550/kg untuk raw sugar dan Rp. 700/kg untuk gula putih, menyebabkan harga jual gula pada tingkat konsumen lebih tinggi dari yang seharusnya. Tingginya harga gula di pasar domestik ini tidak saja merugikan konsumen rumah tangga dan industri pangan yang menggunakan bahan baku gula, tetapi juga merugikan perekonomian nasional berupa pemanfaatan sumberdaya yang tidak optimal. Besarnya proteksi yang diberikan pemerintah terhadap industri gula telah dijadikan tameng untuk menutupi ketidak-efisienan PG, karena petani tebu tidak sepenuhnya merasakan kenaikan pendapatan dari proteksi yang diberikan oleh pemerintah. Produktivitas dan rendemen tebu yang diterima petani dari PG umumnya masih rendah, dan sampai saat ini masih menjadi faktor utama belum bersinerginya hubungan antara petani tebu dan PG. Dalam tahun 2004, PG-PG di Jawa memperoleh rendemen yang berkisar antara 5,88-8,66% (dengan ratarata 7,10%), sementara di Luar Jawa antara 5,97-9,77% (dengan rata-rata 8,66%). Dalam waktu yang bersamaan, PG-PG di Jawa memberikan produktivitas gula hablur yang berkisar antara 3,48-7,35 ton/ha (dengan rata-rata 5,66 ton/ha), sedangkan di Luar Jawa antara 2,56-8,18 ton/ha (dengan rata-rata 6,39 ton/ha) (Tabel 2). Rendahnya rendemen yang diberikan dan produktivitas gula hablur ini dipicu oleh ketidak-efisienan PG BUMN, yang ditunjukkan oleh beberapa indikator efisiensi teknis yang berada di bawah angka efisiensi normal. Apabila masalah ini tidak dapat diatasi, maka program bongkar ratoon yang bertujuan untuk mendapatkan kondisi ideal pertanaman sampai kepras 3 tidak akan memberikan pengaruh yang besar terhadap peningkatan rendemen dan pendapatan petani tebu. PG BUMN di Jawa sampai saat ini belum efisien, yang tercermin dari beberapa indikator yang ditunjukkan pada Tabel 3. Untuk komponen mill extraction (ME) diperoleh angka sebesar 84 - 85% dari tingkat efisiensi normal sebesar 95%, boiling house recovery (BHR) memberikan angka 70 - 80% dari efisiensi normal 90%, dan overall recovery (OR) yang memberikan angka 59 - 79% dari efisiensi normal sebesar 85%. Sementara itu, pol tebu memberikan angka 8 - 11% dari efisiensi normal 14%, dan rendemen 5 - 8,5% dari efisiensi normal sebesar 12%. Akibatnya, rendemen gula yang diterima petani menjadi rendah dan harga pokok gula hablur yang dihasilkan tidak memiliki daya saing. Ketidak-efisienan PG BUMN di Pulau Jawa juga dipicu oleh penurunan areal pertanaman tebu yang menyebabkan ketersediaan bahan baku kian terbatas. Bahan baku yang makin terbatas itu diperebutkan oleh banyak PG. Bahkan beberapa PG yang berada dalam PTPN yang sama saling memperebutkan bahan baku tebu. Selain itu, sebagian besar (53%) PG di Pulau Jawa didominasi oleh PG-PG dengan kapasitas giling kecil (<3.000 TCD), 44% berkapasitas giling antara 3.0006.000 TCD, dan hanya 3,0% yang berkapasitas giling >6.000 TCD. Sekitar 68% dari jumlah PG yang ada telah berumur lebih dari 75 tahun (umumnya berskala
Perspektif Pengembangan Industri Gula di Indonesia [Kurnia Suci Indraningsih dan A. Husni Malian]
kecil) serta kurang mendapat perawatan secara memadai (Malian et al., 2004). Akibatnya, biaya produksi gula/ton pada PG berskala kecil jauh lebih tinggi dibandingkan dengan PG berskala besar atau bermesin relatif baru. Tabel 2. Rendemen dan Produktivitas Gula Hablur Menurut Perusahaan Gula, 2004. Produktivitas Gula (ton/ha) RataRataKisaran rata rata
Rendemen (%) Perusahaan Gula Kisaran Jawa PT PG Rajawali I PT PG Rajawali II PTP Nusantara IX PTP Nusantara X PTP Nusantara XI PT PG Madu Baru PT Kebon Agung Rata-rata Luar Jawa PT PG Rajawali III PTP Nusantara II PTP Nusantara VII PTP Nusantara XIV PT Gunung Madu Plant. PT Gula Putih Mataram PT Sweet Indo Lampung PT Indo Lampung Perkasa Rata-rata Indonesia
6,59-7,21 7,50-7,86 5,88-8,66 6,60-7,60 6,32-7,73 6,61 6,35-7,26 5,88-8,66
7,04 7,62 6,92 7,03 7,21 6,61 6,92 7,10
5,77-6,15 4,82-5,88 3,48-7,35 5,14-7,00 4,72-7,30 5,52 4,01-5,28 3,48-7,35
6,00 5,40 4,64 6,25 5,86 5,52 4,76 5,66
7,03 5,73 7,44-7,52 5,97-8,14 9,77 8,44 9,40 9,57 5,97-9,77 5,88-9,77
7,03 5,73 7,49 7,12 9,77 8,44 9,40 9,57 8,66 7,67
4,65 2,25 4,82-5,18 2,56-2,79 7,95 6,98 8,18 8,16 2,56-8,18 2,56-8,18
4,65 2,25 5,03 2,69 7,95 6,98 8,18 8,16 6,39 5,94
Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2004.
Produktivitas gula hablur yang dihasilkan oleh PGPG di Luar Jawa relatif lebih tinggi dan cenderung terus meningkat. Keadaan ini khususnya terjadi pada PG-PG yang dikelola oleh swasta dengan penguasaan lahan HGU yang cukup memadai. Sebagian besar (75%) dari PG-PG tersebut berskala lebih besar dari 4.000 TCD serta berumur relatif muda (terbanyak dibangun pada tahun 1980an atau sesudahnya), sehingga teknologi yang digunakan relatif lebih mutakhir. PG-PG swasta di Lampung saat ini telah mengambil peran sekitar 30% dari produksi gula nasional atau 82% dari total produksi gula di Luar Jawa. Dari segi areal tebu, PG-PG di Luar Jawa menguasai sekitar 96% dari total areal tebu milik sendiri/HGU (yakni seluas 114,5 ribu ha pada tahun 2004). Produktivitas gula di Luar Jawa (juga secara nasional),
saat ini banyak dipengaruhi oleh PG-PG yang dikelola swasta dengan skala produksi cukup besar (>8.000 TCD), serta didukung oleh penguasaan lahan HGU dalam luasan yang memadai. PG-PG ini mampu meningkatkan efisiensi dengan menerapkan pola pengelolaan budidaya dan penggilingan dalam satu manajemen yang sama, serta mampu pula menggunakan peralatan modern (bersifat capital intensive) pada pengolahan lahan, kegiatan tebang-angkut, serta penyediaan air. Untuk melihat perbandingan produktivitas gula hablur di Pulau Jawa dan Luar Jawa selama 1999 - 2004 dapat dilihat pada Gambar 1. Selama kurun waktu 1999 2001, produktivitas gula di Pulau Jawa dan Luar Jawa meningkat. Peningkatan produktivitas yang besar terjadi di Luar Jawa, sementara di Jawa terlihat lebih lamban. Namun selama 2002 - 2003 produktivitas gula hablur di Luar Jawa menunjukkan kecenderungan yang menurun, tetapi di Pulau Jawa terus meningkat. Peningkatan yang besar terjadi pada tahun 2004, sehingga produksi gula nasional mencapai lebih dari 2 juta ton. Produksi dan Permintaan Gula di Pasar Domestik Produksi gula di Indonesia selama kurun waktu 19941996 (sebelum krisis moneter) menurun dengan laju ratarata 3,37% per tahun. Demikian halnya pada saat krisis moneter (1997-1999) produksi gula mengalami penurunan dengan laju rata-rata 6,24% per tahun. Namun pasca krisis moneter produksi gula Indonesia terlihat meningkat dengan laju rata-rata 5,62% per tahun, berarti industri gula di Indonesia tampak menggeliat. Hal ini sejalan dengan berbagai program akselerasi peningkatan produksi gula yang dicanangkan pemerintah. Sementara itu, konsumsi gula di Indonesia selama kurun waktu 1994-1996 (sebelum krisis moneter) mengalami peningkatan dengan laju rata-rata 4,84% per tahun dan pada saat krisis moneter konsumsi gula menurun dengan laju rata-rata 2,87% per tahun, seiring dengan menurunnya daya beli masyarakat terhadap kebutuhan pokok. Pasca krisis, konsumsi gula kembali mengalami peningkatan dengan laju rata-rata 1,99% per tahun. Apabila dilihat secara keseluruhan, produksi gula
Sumber : Gambaran Indonesia, Master Plan Perkembangan Perkebunan Tebu dan Industri berbasis Tebu di Jawa Timur.
Tabel 3. Beberapa Indikator Efisiensi Teknis PG di Indonesia, 2003. Normal Efisiensi PG (%) Efisiensi (%) Mill extraction (ME) 84 - 85 95 Boiling house recovery (BHR) 70 - 80 90 Overall recovery (OR) 59 - 79 85 Pol tebu 8 - 11 14 Rendemen 5 - 8,5 12 Komponen
Sumber: Studi Konsolidasi Pergulaan Nasional. Kerjasama Ditjen Bina Produksi Perkebunan dengan P3GI.
Sumber : Gambaran Indonesia, Master Plan Perkembangan Perkebunan Tebu dan Industri berbasis Tebu di Jawa Timur.
47
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
selama periode 1994-2004 (Tabel 4) terlihat mengalami penurunan dengan laju rata-rata 0,63% per tahun; sedangkan konsumsi gula pada periode yang sama tampak meningkat dengan laju rata-rata 1,39% per tahun. Diperkirakan konsumsi gula di Indonesia cenderung akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan serta pertumbuhan industri makanan dan minuman. Dengan performa seperti itu, laju pertumbuhan produksi menurun sementara kebutuhan konsumsi cenderung meningkat, maka sebagai konsekuensinya pemerintah perlu mendorong industri gula domestik untuk meningkatkan produksi. Disamping itu, pemerintah masih perlu melakukan upaya peningkatan impor secara legal. Tahun 4. Produksi dan Konsumsi Gula di Indonesia, 19942004. Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Laju (%/thn) Sumber:
Produksi Gula (000 ton) 2.460,9 2.104,6 2.100,5 2.196,5 1.491,5 1.488,6 1.690,7 1.725,5 1.755,4 1.631,9 2.051,6 -0,63
Konsumsi Gula (000 ton) 2.941,2 3.179,1 3.073,8 3.373,5 2.739,3 2.999,9 3.020,3 3.085,8 3.190,5 3.229,1 3.267,7 1,39
Sekretariat Dewan Gula Indonesia, Jakarta.
EFISIENSI INDUSTRI GULA DI INDONESIA Perkiraan Biaya Pokok Gula Hablur Dalam kondisi pasar gula di dalam negeri terintegrasi terhadap pasar gula dunia, biaya pokok produksi merupakan tolok ukur dari kinerja industri gula. Industri gula dapat bertahan, jika biaya pokok berada di bawah harga paritas impornya. Hal yang sangat unik bagi industri gula di Indonesia adalah adanya disintegrasi vertikal dalam memproduksi gula. Pada lahan non HGU, proses produksi dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu memproduksi tebu (usahatani tebu) yang dilaksanakan oleh petani dan memproses tebu menjadi gula (pengolahan) yang dilaksanakan oleh PG. Keunikan ini membawa implikasi bahwa daya saing industri gula tidak hanya ditentukan oleh biaya pokok industri yang dibandingkan dengan harga paritas impornya, tetapi juga ditentukan oleh kualitas bahan baku tebu. Dengan demikian, jika biaya pokok industri gula berada di bawah harga paritas impor, tetapi kualitas tebu memiliki rendemen yang rendah, maka produk gula yang dihasilkan tetap saja tidak akan memiliki daya saing. Berbagai hasil penelitian telah menunjukkan bahwa PG di Pulau Jawa dan Luar Jawa menghasilkan gula dengan biaya pokok yang masih belum kompetitif. Suatu PG akan dapat menjalankan usahanya secara sehat, apabila biaya pokok gula berada 25% dari harga jual. Jika harga jual gula diasumsikan setara dengan harga 48
dasar sebesar Rp. 3.100/kg (harga bersih setelah dipotong pajak), maka biaya pokok yang efisien pada tingkat proteksi saat ini adalah maksimum Rp. 2.480/kg. Dari hasil penelitian Malian et al. (2004) terungkap bahwa PG swasta di Provinsi Lampung mampu menghasilkan gula hablur dengan biaya pokok yang berkisar antara Rp. 2.100 - Rp. 2.300/kg. Sementara biaya pokok gula hablur yang dihasilkan oleh PG BUMN di Jawa diperkirakan berkisar antara Rp. 2.450 - Rp. 2.800/kg. Bahkan biaya pokok salah satu PG BUMN di Provinsi Sulawesi Selatan mencapai lebih dari Rp. 3.000/kg, sebagai akibat dari terbatasnya bahan baku tebu dibandingkan dengan kapasitas terpasang pabrik. Biaya pokok produksi gula ditentukan oleh tiga jenis biaya, yaitu biaya processing, biaya tanaman dan biaya industri. Dari tiga komponen biaya itu, biaya pokok gula di Jawa rata-rata sebesar Rp. 2.657/kg (Tabel 5). Biaya pokok ini lebih tinggi, jika dibandingkan dengan biaya pokok gula yang efisien pada tingkat proteksi saat ini sebesar Rp. 2.480/kg. Hal ini disebabkan masih banyaknya biaya tidak efisien yang harus ditanggung oleh PG, seperti upah tenaga kerja pada saat bukan musim giling, pemeliharaan peralatan pabrik yang umumnya sudah tua, dan biaya-biaya lain yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah biaya processing. Adanya kecenderungan turunnya kapasitas produksi dan hari giling pada setiap PG, telah mengakibatkan tidak digunakannya pabrik secara optimal. Hal ini disebabkan oleh kurangnya ketersediaan bahan baku dan adanya kerusakan pada mesin di beberapa stasiun, seperti penggilingan (pemerahan), pengolahan (pemasakan dan pemurnian), serta sarana pendukung utama (boiler/ketel dan listrik). Daya Saing Teknis dan Ekonomis Pabrik Gula Biaya pokok produksi gula sebesar Rp. 2.480/kg sebagaimana diuraikan di atas, merupakan biaya pokok dalam kondisi pasar gula di Indonesia diproteksi sebesar Rp. 550/kg untuk raw sugar dan Rp. 700/kg untuk gula putih. Keadaan ini tidak menguntungkan bagi perdagangan internasional komoditas pertanian, karena dalam Agreement on Agriculture WTO secara jelas disebutkan bahwa penerapan tarif impor secara bertahap harus dikurangi. Untuk itu perlu ditetapkan biaya pokok yang memiliki daya saing, yang dikaitkan dengan biaya pokok negara-negara produsen gula dunia. Produksi gula nasional akan memiliki daya saing, apabila PG BUMN dan swasta murni mampu menghasilkan gula putih yang memenuhi standar kesehatan untuk konsumsi dengan biaya pokok sebesar US $ cent 11 – 12/lb. Dengan menggunakan nilai tukar rupiah sebesar Rp. 9.000/US $, maka PG akan memiliki efisiensi ekonomis dan memiliki daya saing apabila menghasilkan gula dengan biaya pokok maksimum Rp. 2.100/kg. Biaya pokok seperti itu harus dicapai secara bersamaan dengan peningkatan efisiensi teknis, sehingga setiap PG mencapai target produktivitas minimum gula hablur sebesar 7 ton gula/ha. Biaya pokok dan produktivitas gula
Perspektif Pengembangan Industri Gula di Indonesia [Kurnia Suci Indraningsih dan A. Husni Malian]
Tabel 5. Biaya Pokok Industri Gula di Pulau Jawa, 2003. Biaya Produksi gula (ton) Biaya (juta Rp) Tanaman Processing Harga Gula (Rp/kg) Penerimaan (Rp/kg) Petani PG Biaya (Rp/kg) Petani PG Biaya Pokok (Rp/kg) Keuntungan/kerugian Petani (Rp/kg) PG (Rp/kg)
PTPN
Jawa
PTPN IX 121.956
PTPN X 287.052
PTPN XI 320.599
PT RNI 191.972
921.579
253.795 106.675 3.550
480.524 179.365 3.550
559.393 208.216 3.550
306.371 354.107 3.550
1.600.083 848.363 3.550
2.343 1.086
2.343 1.086
2.343 1.086
2.343 1.086
2.343 1.086
2.081 875 2.956
1.674 625 2.299
1.745 649 2.394
1.596 1.845 3.440
1.736 921 2.657
262 212
669 461
598 437
747 -758
607 166
Sumber: Gambaran Indonesia, Master Plan Perkembangan Perkebunan Tebu dan Industri berbasis Tebu di Jawa Timur.
hablur ini harus dapat dicapai oleh PG paling lambat pada tahun 2007. Untuk mengetahui daya saing teknis dan ekonomis PG pada saat ini, dalam Gambar 2 disajikan 4 kuadran yang mengukur kinerja semua PG di Indonesia. Sumbu vertikal menggambarkan efisiensi ekonomis PG, dengan patokan biaya pokok gula sebesar Rp. 2.100/kg. Sementara sumbu horizontal menggambarkan efisiensi teknis PG, dengan patokan produktivitas gula hablur sebesar 7 ton/ha. Empat kuadran itu menggambarkan posisi PG berdasarkan efisiensi teknis dan ekonomis. Kuadran I menggambarkan posisi PG yang efisien secara teknis dan ekonomis, kuadran II efisien secara ekonomis tetapi tidak efisien secara teknis, kuadran III tidak efisien secara teknis dan ekonomis, sementara kuadran IV efisien secara teknis tetapi tidak efisien secara ekonomis. Dari hasil analisis terlihat, hanya 3 PG yang masuk kuadran I (efisien secara teknis dan ekonomis), yaitu PG Gunung Madu Plantation (GMP), PG Sweet Indo Lampung, dan PG Indo Lampung Perkasa. Ketiga PG ini merupakan PG swasta murni dan terletak di Luar Jawa (Provinsi Lampung). Ada 3 PG yang masuk kuadran IV (efisien secara teknis, tetapi tidak efisien secara ekonomis), yaitu PG Sumberharjo, PG Mojopanggung, dan PG Jatiroto. Ketiga PG ini merupakan PG BUMN dan terletak di Pulau Jawa. Sementara itu 51 PG lainnya yang terdiri dari 43 PG BUMN dan 8 PG swasta murni masuk dalam kuadran III (tidak efisien secara teknis dan ekonomis). PG-PG ini memerlukan perhatian khusus, sehingga dalam 3 tahun (sampai 2007) mampu meningkatkan kinerjanya dan masuk dalam kuadran I. Ada 3 tahap yang harus ditempuh dalam peningkatan kinerja PG, khususnya PG BUMN, yaitu: (1) Teknologi yang diterapkan oleh semua PG BUMN harus diaudit; (2) Perbaikan teknologi melalui rehabilitasi PG BUMN yang secara finansial dan ekonomis masih layak dipertahankan. Sementara untuk PG-PG yang tidak layak dipertahankan, pemerintah harus berani menutupnya; dan (3) Restrukturisasi PG, di mana dalam jangka
panjang (sekitar 20 tahun) diarahkan untuk melakukan pengalihan kepemilikan saham ke pada petani tebu. Dalam program rehabilitasi PG BUMN, pemerintah hendaknya tidak mengarahkan untuk mendapatkan unified products dalam bentuk gula putih, tetapi dapat juga ditujukan untuk memproduksi raw sugar atau refined white sugar. Disamping itu, dalam waktu 10 tahun pemerintah hendaknya mengarahkan pengembangan PG ke Luar Jawa, dengan memanfaatkan lahan kering eks transmigrasi yang kurang kompetitif bagi pengembangan tanaman pangan. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA Perspektif Pengembangan Industri Gula di Luar Jawa Areal tebu di Pulau Jawa terdiri dari lahan sawah (40%) dan lahan tegalan (60%). Akibat tebu tidak mampu bersaing dengan tanaman alternatif (khususnya tanaman pangan), maka sejak akhir tahun delapanpuluhan tanaman tebu sudah tersingkir dari lahan sawah berpengairan teknis. Sebagai akibatnya, pertanaman tebu di Pulau Jawa saat ini sebagian besar berada di lahan sawah tadah hujan dan tegalan, sementara di Luar Jawa berada di lahan kering (tegalan). Persoalan pokok usahatani tebu di Pulau Jawa adalah kondisi pertanaman yang didominasi oleh tanaman keprasan (ratoon) yang frekuensinya sudah melampaui rekomendasi teknis. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan (2002) merekomendasikan bibit tebu sampai kepras 3, sementara petani di Pulau Jawa masih ada yang menggunakan bibit sampai kepras > 15. Kondisi pertanaman yang demikian membawa konsekuensi yang serius, antara lain: (1) Pertanaman tebu masih didominasi oleh varietas lama yang telah mengalami degradasi kemurnian bibit, karena rehabilitasi tanaman dengan varietas unggul baru terhambat; (2) Tingkat kesehatan tanaman kepras > 3 relatif rendah, dan mendorong berkembangnya hama dan penyakit tebu; dan (3) Produktivitas dan kualitas 49
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
tebu yang dihasilkan dari bibit kepras > 3 relatif rendah, sehingga menurunkan produktivitas gula hablur. Produktivitas gula nasional yang dicapai saat ini masih rendah, meskipun menunjukkan kecenderungan yang meningkat (Tabel 1 dan Gambar 1). Dalam tahun 1998 produktivitas gula di Indonesia sebesar 3,94 ton/ha, dan angka ini meningkat menjadi 5,01 ton/ha pada tahun 2001. Namun dalam tahun 2003 tingkat produktivitas ini kembali menurun, dan tahun 2004 meningkat lagi menjadi 5,94 ton/ha. Meskipun demikian, produktivitas yang dicapai hingga saat ini masih jauh di bawah target produktivitas Program Akselerasi Peningkatan Produksi Gula Nasional, yaitu berkisar antara 7 - 8 ton gula /ha. Produktivitas gula di Pulau Jawa selama periode 1999 – 2004 lebih rendah dibandingkan dengan di Luar Jawa, kecuali pada tahun 2003 (lihat Gambar 1). Hal ini terjadi, karena tanaman tebu di Luar Jawa diusahakan di atas tanah HGU dengan teknis budidaya yang lebih baik dan dikelola oleh perusahaan-perusahaan gula secara profesional, sementara di Pulau Jawa tanaman tebu hampir seluruhnya dikelola oleh petani tebu. Meskipun demikian, kenyataan ini menjadi kontradiktif karena dilihat dari kualitas lahannya, lahan di Pulau Jawa sebenarnya lebih subur dibandingkan dengan di Luar Jawa. Industri gula yang ada di Indonesia saat ini tidak mungkin lagi dapat memenuhi kebutuhan gula nasional yang selalu meningkat dari tahun ke tahun, sementara Indonesia termasuk negara potensial dalam pengembangan industri gula. Potensi ini akan semakin tinggi bila di masa mendatang distorsi pasar gula dunia akan hilang, dan berlangsung liberalisasi perdagangan gula dunia yang akan diikuti dengan kenaikan harga gula yang menguntungkan negara berkembang, termasuk Indonesia. Implikasinya adalah pemerintah harus mengurangi ketergantungan dengan produksi gula di Pulau Jawa, dan secara bertahap mengalihkan industri gula ke Luar Jawa. Dari areal tersedia seluas 576,8 ribu ha untuk pertanaman tebu di Luar Jawa, terdapat areal potensial sekitar 284,5 ribu ha yang tersebar di Sumatera, Sulawesi, Maluku dan Papua (Tabel 6). Wilayah Papua yang merupakan daerah asal tanaman tebu memiliki areal yang sesuai seluas 220 ribu ha atau 77% dari areal yang sesuai di Indonesia, sementara Sulawesi, Sumatera dan Maluku memiliki areal yang sesuai berturut-turut sebesar 29,5 ribu ha (10%). 19 ribu ha (7%), dan 16 ribu ha (6%). Areal potensial ini cukup untuk membangun sedikitnya 15 PG baru, dengan kapasitas antara 5.000 – 20.000 TCD (tons cane per day). Untuk menarik investor, pemerintah perlu memberikan fasilitas perpajakan berupa pajak penghasilan, bea masuk barang modal dan bahan pembantu, pajak pertambahan nilai dan pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dalam jangka waktu tertentu. Dalam program ini investor dapat memilih produk-produk yang akan dihasilkan (gula putih, raw sugar, refined white sugar, atau produk lainnya), sesuai dengan keunggulan 50
komparatif dan keunggulan kompetitif di setiap daerah. Dengan demikian, setiap produk gula yang dihasilkan oleh PG dari seluruh wilayah Indonesia memiliki daya saing di pasar internasional, dan Indonesia memiliki peluang untuk kembali menjadi negara eksportir produk gula dunia. Tabel 6. Areal Potensial untuk Tanaman Tebu di Indonesia, 2001. Lokasi Sumatera Sulawesi Maluku Papua Jumlah
Areal Tersedia (000 ha) 36,0 49,8 51,0 440,0 576,8
Areal Sesuai (000 ha) 19,0 29,5 16,0 220,0 284,5
Potensi Produksi (ton tebu/ha) >65 >65 >70 >70 -
Sumber: Studi Konsolidasi Pergulaan Nasional (P3GI, 2003).
Kendala utama pengembangan industri gula di Luar Jawa adalah masalah pertanahan dan masalah sosial yang mungkin timbul dengan masyarakat setempat. Pabrik gula swasta di Provinsi Lampung, misalnya, sampai saat ini masih menghadapi tuntutan atas Hak Guna Usaha (HGU) yang diperoleh. Tuntutan ini telah merugikan iklim investasi industri gula dan industri berbasis tebu, karena untuk membangun PG dengan kapasitas 10.000 TCD dibutuhkan investasi sekitar Rp. 3 trilyun, sehingga diperlukan ketenangan berusaha. Untuk menjamin kepastian berusaha PG-PG di Luar Jawa, diperlukan kerjasama antara PG dengan Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat. Salah satu kebijakan yang dapat ditempuh adalah melibatkan masyarakat di sekitar PG sebagai pemasok bahan baku tebu. Perspektif Revitalisasi Industri Gula Produksi gula di dalam negeri sampai saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi, sehingga ketergantungan terhadap gula impor masih terus berlanjut. Untuk mendorong peningkatan produksi gula nasional, pemerintah sampai sekarang masih memberikan proteksi yang besar terhadap industri gula, meskipun disadari bahwa hal itu merugikan perekonomian nasional. Stakeholders industri gula dan industri berbasis tebu nasional terdiri atas: (1) Petani tebu dan asosiasi petani tebu rakyat; (2) Pabrik gula (PG) milik BUMN dan swasta murni, serta industri gula rafinasi; (3) Konsumen rumah tangga dan industri pangan; (4) Importir dan pedagang gula; (5) Investor yang berminat melakukan investasi dalam bidang industri gula dan industri berbasis tebu; dan (6) Pemerintah sebagai regulator. Dari semua stakeholders itu, kebijakan industri gula dan industri berbasis tebu nasional dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang hendaknya ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap semua stakeholders, dengan menjaga stabilitas harga gula di pasar domestik serta menjaga perbedaan harga domestik dan harga internasional yang tidak terlalu besar. Namun tujuan kebijakan ini harus dicapai seiring dengan peningkatan produksi gula nasional yang efisien dan memiliki daya saing, berkurangnya impor gula secara signifikan,
Perspektif Pengembangan Industri Gula di Indonesia [Kurnia Suci Indraningsih dan A. Husni Malian]
serta peningkatan pendapatan petani tebu. Produksi gula nasional akan memiliki daya saing, apabila PG BUMN dan swasta murni mampu menghasilkan gula putih yang memenuhi standar kesehatan untuk konsumsi dengan biaya pokok maksimum Rp. 2.100/kg. Tingkat biaya pokok ini harus dapat dicapai oleh PG paling lambat pada tahun 2007. Kebijakan yang perlu diterapkan untuk petani tebu adalah upaya untuk menghilangkan pengaruh in-efisiensi PG BUMN dalam penetapan rendemen tebu petani. Untuk itu perlu dikembangkan pola rendemen individual atau jaminan rendemen minimum dalam bentuk peraturan khusus, seperti yang dilakukan oleh pemerintah India. Penentuan besarnya jaminan rendemen minimum itu hendaknya dilakukan secara bersama antara PG dan kelompok tani, sehingga dapat meningkatkan relasi dan sinergi antara petani dan PG. Untuk meningkatkan hari giling dan produktivitas gula hablur pada setiap PG, pemerintah hendaknya melanjutkan kebijakan peningkatan produktivitas dan rendemen tebu petani melalui program bongkar ratoon, dengan melibatkan beberapa petani terpilih sebagai penangkar tebu dalam penyediaan bibit. Keikut-sertaan petani penangkar dalam penyediaan bibit ini sangat diperlukan, karena selama 2 tahun program ini dilaksanakan baru sebagian kecil target peremajaan bibit tebu yang dapat dilaksanakan. Disamping itu, keterlibatan kelompok tani sebagai penangkar bibit tebu juga diharapkan dapat mendorong pelaksanaan bongkar ratoon secara swadaya. Kebijakan yang perlu dilaksanakan dalam jangka pendek terhadap PG BUMN di Jawa adalah melakukan penilaian (assessment) dan rehabilitasi terhadap PG-PG yang tidak efisien secara teknis dan ekonomis, sehingga mampu menghasilkan gula hablur dengan biaya pokok maksimum Rp. 2.100/kg. Program rehabilitasi ini hendaknya tidak diarahkan untuk mendapatkan unified products dalam bentuk gula putih, tetapi dapat juga ditujukan untuk memproduksi raw sugar atau refined white sugar. Dengan demikian, setiap PG dapat menentukan produk gula yang akan dihasilkan, sesuai dengan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang dapat dikembangkan PG itu. Dalam jangka menengah kebijakan industri gula nasional hendaknya ditujukan untuk pengembangan PG-PG di Luar Jawa, dengan memanfaatkan lahan kering eks transmigrasi yang kurang kompetitif bagi pengembangan tanaman pangan. Dalam kebijakan ini, pemerintah hendaknya tidak mengarahkan untuk pengembangan industri gula semata, tetapi juga pengembangan industri berbasis tebu seperti ethanol, alkohol untuk industri, bahan campuran bensin dan sebagainya. Untuk pengembangan industri berbasis tebu ini, diperlukan rencana terintegrasi dengan pengembangan industri-industri lainnya, serta sejalan dengan peningkatan permintaan terhadap produk tersebut di pasar domestik dan pasar internasional. Dalam jangka panjang kebijakan industri gula nasional hendaknya ditujukan untuk pengalihan kepemilikan PG BUMN ke pada petani tebu. Dalam pengalihan
kepemilikan PG ini diperlukan soft loan dengan jaminan pemerintah, yang akan dibayar oleh asosiasi petani tebu. Pengalihan kepemilikan ini sangat dimungkinkan, karena petani menguasai sebagian besar bahan baku yang diolah oleh PG. Pengalihan kepemilikan ini juga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas tebu yang dihasilkan oleh petani, sehingga efisiensi PG dapat terus dipertahankan. Kebijakan lain yang perlu mendapat perhatian adalah revitalisasi kegiatan Research and Development (R & D) melalui penyediaan dana penelitian dan pengembangan yang dapat dipungut dari: (1) Setiap kenaikan produktivitas gula hablur/ha, PG memberikan gain yang diperoleh dalam persentase tertentu; dan (2) Untuk penjualan gula yang dilakukan oleh PG dan asosiasi petani tebu, pemerintah memungut dalam besaran tertentu untuk kegiatan R & D. Dengan tersedianya dana untuk kegiatan R & D ini, pengembangan teknologi baru untuk meningkatkan produktivitas dan rendemen tebu diharapkan dapat terus berlangsung. Perspektif Kebijakan Proteksi Gula yang diperdagangkan di pasar dunia mencapai 35 juta ton/tahun, atau sekitar 28% dari total produksi gula dunia. Harga gula dunia saat ini tidak menggambarkan tingkat efisiensi pabrik gula di negara-negara produsen, karena dijual di bawah ongkos produksinya. Dalam tahun 2004, harga eceran raw sugar fob London rata-rata sebesar US $ cent 6,93/lb atau setara dengan Rp. 1.300/kg. Tingkat harga ini hanya sekitar sepertiga dari harga eceran gula putih di Indonesia. Rendahnya harga gula di pasar internasional ini disebabkan oleh kebijakan domestics support, export subsidy dan tarif impor yang diterapkan oleh negara-negara produsen dan konsumen gula dunia. Negara-negara produsen gula di Uni Eropa sampai saat ini masih memberikan subsidi ekspor terhadap gula yang dihasilkan oleh negara-negara di kawasan itu. Amerika Serikat memberikan subsidi domestik dalam bentuk penetapan harga gula di pasar domestik sebesar 50% lebih tinggi dari harga di pasar dunia. Sedangkan India juga memberikan subsidi domestik dalam bentuk biaya angkutan dari pabrik gula ke pelabuhan ekspor yang besarnya setara dengan Rp. 780/kg. Sementara itu, negara-negara eksportir dan importir gula dunia juga menerapkan tarif bea masuk untuk melindungi produksi gula di dalam negerinya. Sebagai contoh, Thailand menerapkan tariff rate quota (TRQ) sebesar 65% untuk kuota impor sebesar 23.700 ton, dan akan meningkat menjadi 96% untuk impor yang lebih besar dari kuota. Kebijakan yang diberikan pemerintah Indonesia untuk mendorong peningkatan produksi gula di dalam negeri adalah subsidi harga sarana produksi, serta penerapan tarif dan tataniaga impor gula. Subsidi harga sarana produksi diberikan dalam bentuk bibit (melalui program bongkar ratoon), dan harga pupuk Urea, TSP dan ZA yang lebih rendah dibandingkan dengan harga di pasar dunia. Perlindungan dalam bentuk tarif impor sebesar Rp. 550/kg untuk raw sugar dan Rp. 700/kg untuk gula 51
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
putih diberikan sejak tahun 2002. Sementara kebijakan tataniaga impor gula diberikan dalam bentuk impor kuota ke pada Importir Terdaftar (IT) untuk gula putih dan Importir Produsen (IP) untuk raw sugar. Kebijakan proteksi yang besar ini tidak saja merugikan konsumen rumah tangga dan industri pangan yang menggunakan bahan baku gula, tetapi juga merugikan perekonomian nasional berupa pemanfaatan sumberdaya yang tidak optimal. Perdagangan gula di dalam negeri sebenarnya memiliki struktur pasar yang bersifat oligopolistik. Dalam setiap lelang gula yang dilakukan oleh APTRI atau PTPN hanya beberapa pedagang yang terlibat, sehingga tingkat kompetisinya tidak mencerminkan kondisi permintaan dan penawaran gula yang sesungguhnya. Disamping itu, lemahnya penegakan hukum (law enforcement) untuk memberantas penyelundupan dan manipulasi dokumen gula impor, telah mempengaruhi penawaran dan harga gula di pasar domestik. Dari uraian di atas terlihat bahwa perdagangan dan harga gula di pasar dunia sampai saat ini masih terdistorsi. Dalam kondisi demikian, adalah tidak bijaksana apabila pemerintah menghapuskan proteksi yang telah diberikan kepada industri gula. Namun proteksi itu hendaknya tidak ditujukan untuk melindungi kinerja PG yang tidak efisien, tetapi justru untuk meningkatkan pendapatan petani tebu sebagai penyedia bahan baku. Dalam konteks ini, kebijakan proteksi dalam bentuk tarif dan tataniaga impor gula dapat dilanjutkan sampai tahun 2007, dengan memberikan kesempatan kepada PG untuk meningkatkan efisiensi teknis dan efisiensi ekonomisnya. Kebijakan ini hendaknya diikuti dengan penetapan rendemen individual atau rendemen minimum yang akan diberikan oleh setiap PG, sehingga dalam masa transisi ini petani dapat memperoleh keuntungan yang layak dari usahatani tebu. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Dari hasil analisis dan sintesis di atas, dapat diberikan beberapa kesimpulan dan implikasi kebijakan sebagai berikut: Kesimpulan 1. Kemampuan Pulau Jawa dalam penyediaan areal untuk pertanaman tebu saat ini telah terbatas, sehingga penyediaan bahan baku PG hanya dimungkinkan melalui peningkatan produktivitas tebu. Dalam konteks ini, kebijakan peningkatan produktivitas dan rendemen tebu petani melalui program bongkar ratoon perlu ditingkatkan, dengan melibatkan petani terpilih sebagai penangkar bibit tebu. 2. Untuk menghilangkan pengaruh inefisiensi PG BUMN dalam penetapan rendemen tebu petani, perlu dikembangkan pola rendemen individual atau jaminan rendemen minimum dalam bentuk peraturan khusus. Penentuan besarnya jaminan rendemen minimum itu hendaknya dilakukan secara bersama antara PG dan kelompok tani, sehingga 52
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
dapat meningkatkan relasi dan sinergi antara petani dan PG. 3. Hampir semua industri gula di Indonesia menggunakan kebijakan proteksi sebagai tameng untuk menutupi ketidak-efisienannya. Untuk itu, penilaian (assessment) terhadap PG BUMN di Jawa sangat diperlukan, agar mampu menghasilkan gula dengan biaya pokok maksimum Rp. 2.100/kg. Kebijakan ini hendaknya tidak diarahkan untuk mendapatkan unified products dalam bentuk gula putih, tetapi dapat juga ditujukan untuk memproduksi raw sugar atau refined white sugar. 4. Dari semua PG yang ada di Indonesia saat ini, hanya 3 PG yang efisien secara teknis dan ekonomis, yaitu PG swasta murni yang terletak di Provinsi Lampung. 3 PG BUMN di Pulau Jawa masuk dalam kategori efisien secara teknis, tetapi tidak efisien secara ekonomis, sementara 43 PG BUMN dan 8 PG swasta murni lainnya tidak efisien secara teknis dan ekonomis. PG-PG yang masuk dalam kategori efisien secara teknis tetapi tidak efisien secara ekonomis, serta PG-PG yang tidak efisien secara teknis dan ekonomis ini memerlukan perhatian khusus, sehingga dalam 3 tahun (sampai 2007) mampu meningkatkan kinerjanya dan masuk dalam PG dengan kategori efisien secara teknis dan ekonomis. Implikasi Kebijakan 1. Areal potensial untuk pengembangan tanaman tebu di Luar Jawa diperkirakan mencapai 284,5 ribu ha yang tersebar di Sumatera, Sulawesi, Maluku dan Papua. Dari areal potensial tersebut sedikitnya dapat dibangun 15 PG baru, dengan kapasitas antara 5.000 – 20.000 TCD. Pengembangan PG ke Luar Jawa hendaknya mulai dapat dirintis, untuk mengurangi ketergantungan terhadap produksi gula dari Pulau Jawa. 2. Pengembangan PG-PG di Luar Jawa hendaknya tidak diarahkan untuk pengembangan industri gula semata, tetapi juga pengembangan industri berbasis tebu seperti ethanol, alkohol untuk industri, bahan campuran bensin dan sebagainya. Untuk pengembangan industri berbasis tebu ini, diperlukan rencana terintegrasi dengan pengembangan industri-industri lainnya, serta sejalan dengan peningkatan permintaan terhadap produk tersebut di pasar domestik dan pasar internasional. 3. Kebijakan lain yang perlu mendapat perhatian adalah revitalisasi kegiatan Research and Development melalui penyediaan dana penelitian dan pengembangan yang dapat dipungut dari gain yang diperoleh dari setiap kenaikan produktivitas gula hablur/ha, serta pungutan yang dilakukan pemerintah dalam setiap kegiatan perdagangan gula. Dengan tersedianya dana untuk kegiatan R & D ini, pengembangan teknologi baru untuk meningkatkan produktivitas dan rendemen tebu dapat terus berlangsung.
Perspektif Pengembangan Industri Gula di Indonesia [Kurnia Suci Indraningsih dan A. Husni Malian]
DAFTAR PUSTAKA Booker Tate Ltd. 1999. Study of The Indonesian Sugar Industry, (Vol.13). Research Report for Meneg BUMN, UK. Jakarta. Dewan Gula Indonesia. 1999. Restrukturisasi Gula Indonesia April 1999. Publikasi Interen DGI dan Bahan Diskusi Reformasi Gula Indonesia. Jakarta. Ditjen Bina Produksi Perkebunan. 2002. Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional: 2002-2007, (Buku 1). Ditjen BPP Deptan, Jakarta. Hadi, P.U., A.H. Malian, A. Djulin, A. Agustian, S.H. Suhartini dan S.H. Susilowati. 2002. Kajian Perdagangan Internasional Komoditas Petanian Indonesia Tahun 2001; Laporan Akhir Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Lembaga Penelitian IPB. 2002. Studi Pengembangan Sistem Industri Pergulaan Nasional. Kerjasama antara Ditjen Bina Produksi Perkebunan dengan LP IPB, Bogor, Desember 2002.
Malian, A.H., M. Ariani, K.S. Indraningsih, A.K. Zakaria, A. Askin dan J. Hestina. 2004. Revitalisasi Sistem dan Usaha Agribisnis Gula; Laporan Akhir. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia (P3GI). 2003. Studi Konsolidasi Pergulaan Nasional. Kerjasama Ditjen BPP Deptan dengan P3GI, Jakarta. Sawit, M.H., Erwidodo, T. Kuntohartono, dan H.Siregar. 2003. Penyelamatan dan Penyehatan Industri Gula Nasional. Naskah akademis final (19 Agustus 2003). Tim Persiapan Revitalisasi Pergulaan Indonesia. 1999. Analisis dan Rekomendasi Kebijakan Pergulaan Indonesia. Ditjen Bina Produksi Perkebunan, Jakarta.
53
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003 ISSN: 1411-7177
SOCA ❖ 6Volume (1) : 546 -Nomor 60 1 Tahun 200 6
DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PADA HARGA PRODUSEN, HARGA KONSUMEN DAN LUAS TANAM PADI: BELAJAR DARI PENGALAMAN MASA LALU Prajogo U. Hadi
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Pertanian Bogor
ABSTRACT The government has launched various policies so as to increase rice production, one of which was floor price for husked rice. From the results of the analysis employing regression methods and time series data of 1969-1999, the following conclusions may be drawn. Firstly, the floor price of husked rice tended to increase during the period under study. Secondly, a 10% increase in the floor price of husked rice resulted in a 9,75% increase in the producer price; and a 10% increase in the producer price brought about a 8,39% increase in the consumer price of milled rice and a 0,61% increase in area planted of rice. This indicates that an increase in the floor price directly increased the producer price and indirectly increased the consumer price and the area planted of rice. Finally, the government policy successfully stabilised the domestic prices, and even the producer price was more stable than the consumer prices. It is suggested that the floor price policy needs to be continued with sufficient considerations of farmer’s profit and the world (Bangkok) price of milled rice. Keywords : Floor Price Policy, Producer and Consumer Price, Area Planted, Rice PENDAHULUAN Sejak awal Repelita I, pemerintah Indonesia ingin meningkatkan produksi beras yang merupakan bahan pangan pokok penduduk. Instrumen kebijakan yang ditempuh dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) kebijakan yang dapat menggeser kurve penawaran kekanan bawah (shifting the supply curve), dan (2) kebijakan yang dapat menggerakkan produksi di sepanjang kurve penawaran yang ada (movement along the supply curve). Kebijakan kelompok pertama mencakup perbaikan teknologi (Revolusi Hijau) melalui program Intensifikasi Masal (Inmas) dan Intensifikasi Khusus (Insus) serta perluasan areal melalui program Ekstensifikasi. Kebijakan kelompok kedua meliputi penetapan harga dasar gabah, stabilisasi harga petani dan harga konsumen, penetapan harga eceran tertinggi serta subsidi pupuk dan subsidi bunga kredit usahatani. Kebijakan kelompok kedua, terutama kebijakan harga dasar gabah, bersifat memberikan insentif kepada petani produsen yang diharapkan dapat mendorong perluasan areal tanam dan penggunaan teknologi lebih baik dalam budidaya tanaman padi (price-induced innovation). Di antara berbagai kebijakan tersebut, kebijakan harga dasar gabah tergolong sangat penting dan masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Harga dasar gabah ditetapkan pemerintah secara rasional dengan memperhatikan beberapa faktor, terutama tingkat keuntungan usahatani padi yang layak dan harga beras kualitas medium di pasar luar negeri (Bangkok) yang mencerminkan harga efisien (Hadi, 1998; Sudaryanto et al, 1999). Kebijakan-kebijakan selain harga dasar gabah sudah berkurang seperti anggaran pencetakan sawah 54
baru dan subsidi bunga kredit usahatani atau bahkan tidak ada lagi yaitu subsidi dan harga eceran tertinggi pupuk. Dengan meningkatnya harga dasar gabah, petani diharapkan akan mengambil keputusan secara rasional tentang alokasi lahan untuk padi dan komoditi alternatif yang akan meningkatkan produksi padi. Berkaitan dengan itu, makalah ini bertujuan untuk : (1) Mereview perkembangan kebijakan harga dasar gabah; (2) Menganalisis dampak harga dasar gabah terhadap harga jual gabah di tingkat produsen dan harga beras di tingkat konsumen; (3) Menganalisis dampak harga dasar dan harga jual gabah di tingkat petani terhadap luas areal padi; dan (4) Menganalisis stabilitas harga gabah di tingkat produsen dan harga beras di tingkat konsumen. METODOLOGI PENGKAJIAN Metode Analisis 1. Dampak Harga Dasar Gabah pada Harga Produsen Gabah Analisis untuk mengukur dampak harga dasar gabah (diwakili oleh Gabah Kering Giling = GKG) terhadap harga jual gabah (GKG) di tingkat produsen (petani) menggunakan persamaan logaritma ganda (1) berikut : HPGKGt = a0 + a1 HDGKGt..............................(1) dimana: HPGKGt = Harga produsen GKG tahun t (Rp/kg) HDGKGt = Harga dasar GKG tahun t (Rp/kg)
Parameter α1 menunjukkan elastisitas transmisi harga dasar ke harga produsen : α1 = 1 berarti seluruh kenaikan harga dasar ditransmisikan ke harga produ-
Dampak Kebijakan Harga Dasar pada Harga Produsen, Harga Konsumen dan Luas Tanam Padi: Belajar dari Pengalaman Masa Lalu [Prajogo U. Hadi]
sen; α1 < 1 berarti hanya sebagian kenaikan harga dasar ditransmisikan ke harga produsen; dan α1 > 1 berarti kenaikan harga produsen lebih cepat dibanding kenaikan harga dasar. Diharapkan nilai α1 mendekati 1 sehingga kenaikan harga dasar akan menaikkan harga produsen secara signifikan yang pada gilirannya akan merangsang petani untuk memperluas areal padinya. 2. Dampak Harga Produsen pada Harga Konsumen
Analisis untuk mengukur dampak harga produsen GKG terhadap harga beras di tingkat konsumen menggunakan persamaan logaritma ganda (2) berikut : HKONT= b0 + b1 HFGKGt + b2 HBBKDt + b3ERt.......(2) dimana : HKONt = Harga beras medium di tingkat konsumen kota tahun t (Rp/kg) HFGKGt = Harga produsen GKG tahun t (Rp/kg) HBBKD t = Harga beras medium di Bangkok tahun t (US$/ton). ERt = Nilai tukar tahun t (Rp/US$).
Dalam persamaan (2) tersebut, selain variabel harga dasar GKG, dimasukkan juga variabel lain yaitu harga beras di Bangkok dalam dolar AS dan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah. Penggunaan kedua variabel tambahan ini diperlukan karena Indonesia mengimpor beras dari Thailand dalam jumlah besar dan harga beras impor tersebut diasumsikan berpengaruh pada harga beras di tingkat konsumen di Indonesia. Makin tinggi nilai β1 mengindikasikan bahwa harga jual produsen GKG berpengaruh makin kuat pada harga beras di tingkat konsumen. Diharapkan bahwa nilai β 1 akan cukup besar (mendekati 1) dan lebih besar daripada β2 dan β3, yang berarti harga produsen mempunyai pengaruh lebih kuat dibanding harga beras di luar negeri (Bangkok) dalam dolar AS dan nilai tukar. Jika nilai β1 dalam persamaan (1) cukup besar (mendekati 1), maka harga dasar secara tidak langsung mempunyai pengaruh besar terhadap harga beras di tingkat konsumen. Jika ini benar, maka penetapan harga dasar sebaiknya memperhatikan dampak tidak langsungnya terhadap harga beras di tingkat konsumen. 3. Dampak Harga Dasar dan Harga Produsen pada Luas Areal Padi Analisis untuk mengukur dampak harga dasar dan harga produsen pada luas areal padi nasional digunakan dua persamaan Partial Adjustment Model secara terpisah, yaitu persamaan (3) untuk mengukur dampak harga dasar dan persamaan (4) untuk mengukur dampak harga produsen. n
At = δ 0 + δ 1 HDGKGt −1 + ∑ δ j HDKL jt −1 + δ 3 At −1 j =1
........(3)
n
At = γ 0 + γ 1 HPGKGt −1 + ∑ γ j HPKL jt −1 + γ 3 At −1 j =1
.........(4)
dimana : At = Luas areal padi tahun t (ha) At-1 = Luas areal padi tahun t-1 (ha) HDGKGt-1 = Harga dasar GKG tahun t-1 (Rp/kg) HFGKGt-1 = Harga produsen GKG tahun t-1 (Rp/kg) HDKLjt-1= Harga dasar komoditi alternatif j tahun t-1 (Rp/ kg). HPKLjt-1 = Harga produsen komoditi alternatif j tahun t-1 (Rp/kg) j = Komoditi alternatif (jagung, kedelai dan tebu)
Alasan penggunaan lagged dependent variable luas areal padi (At-1) pada kedua persamaan tersebut di atas adalah dihepotesakan terjadinya lagged response (respon yang terlambat) dari produsen karena adanya asset fixity seperti penguasaan lahan yang tidak bisa berubah secara cepat (instantaneous change). Dengan kata lain, hanya sebagian dari areal tanam yang diinginkan produsen (desired area planted) yang dapat direalisasikan. Konsep tentang respon penawaran (supply response) dapat ditemukan pada Cochran (1955), Nerlove (1958, 1979) dan Tomek and Robinson (1981). Diskusi mendalam tentang model lagged producers’ response dapat ditemukan pada Askari and Cummings (1977), Brandon (1958), Colman (1983), Echstein (1985) dan Rausser and Stonehouse (1978). Analisis empiris dengan menggunakan model ini untuk padi telah dilakukan antara lain oleh Flinn, Kalirajan and Castillo (1982) dan Krishna (1963), sedangkan untuk komoditas semusim lainnya telah dilakukan antara lain oleh Chinn (1978), Griffith and Anderson (1978) dan Jennings and Young (1980). Persamaan yang akan dipilih di antara dua persamaan tersebut adalah yang mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) dan t-ratio pada semua parameter lebih tinggi. Apabila persamaan (4) lebih baik dibanding persamaan (3), berarti petani cenderung lebih mempertimbangkan harga produsen dibanding harga dasar, walaupun harga produsen itu sebenarya sangat dipengaruhi oleh harga dasar. 4. Stabilitas Harga Stabilitas harga antar waktu dapat diukur dengan nilai koefisien variasi harga yang bersangkutan, sebagaimana ditunjukkan pada persamaan (5) berikut :
CV C V
{∑ (X − X )} = (∑ X )N *
t
t
−1
0.5
* 100% ..................(5)
dimana : CV = Koefisien variasil (%) Xt = Harga tahun t (Rp/kg) X* = Rata-rata harga selama periode pengamatan (Rp/kg) N = Jumlah tahun pengamatan (tahun).
Data Analisis ini menggunakan data deret waktu (time series data) 1969-1999 yang diperoleh dari beberapa sumber, yaitu Indikator Ekonomi dan Statistik Indonesia (Badan Pusat Statistik), Vademekum Pemasaran (Ditjen 55
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura), Statistik Perkebunan Tebu (Ditjen Perkebunan), Statistik BULOG dan sejumlah dokumen Inpres. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Kebijakan Harga Dasar Sejak awal Repelita I pembangunan pertanian, pemerintah menempuh kebijakan harga dasar (floor price) pada komoditi padi. Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan produksi beras dan pendapatan petani melalui jaminan harga yang wajar. Dengan adanya jaminan harga, petani diharapkan terdorong untuk mengusahakan dan meningkatkan produksi padi. Hal ini sangat penting karena pada awal pembangunan nasional yang dimulai dari Repelita I, kebutuhan beras Indonesia masih sangat tergantung pada impor. Pendekatan demikian juga ditempuh oleh negara-negara lain, termasuk yang sudah maju (Tomek and Robinson, 1972). Kebijakan harga dasar gabah telah dimulai sejak musim tanam awal Repelita I yaitu tahun 1969/1970 dan terus berlangsung hingga saat analisis ini dilaksanakan (2003). Setiap tahunnya, harga dasar gabah ditetapkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia tentang Penetapan Harga Dasar Gabah. Ada beberapa macam harga dasar yang ditetapkan pada setiap Inpres, yaitu harga dasar gabah, harga pembelian gabah terendah oleh KUD dan non-KUD dan harga pembelian beras oleh KUD dan non-KUD. Yang dimaksud dengan gabah dalam ketentuan tersebut adalah Gabah Kering Giling (GKG), yaitu gabah yang memenuhi persyaratan kualitas sebagai berikut : kadar air maksimum 14%, butir hampa/kotoran maksimum 3%, butir kuning/rusak maksimum 3%, butir mengapur/hijau maksimum 5% dan butir merah maksimum 3%. Bilamana petani atau kelompok tani belum mampu memenuhi persyaratan kualitas tersebut, mereka dapat menjual hasilnya dalam berbagai kondisi kualitas gabah kepada KUD sesuai dengan tabel harga yang berlaku. Contoh tabel harga beli KUD dari petani untuk tiga kualitas gabah, yaitu Gabah Kering Giling (GKG), Gabah Kering Simpan (GKS) dan Gabah Kering Panen (GKP) untuk tahun 1996 adalah seperti pada Tabel 1. Harga dasar GKP merupakan 85,55% dari harga dasar GKS atau 73,33% dari harga dasar GKG, sedangkan harga dasar GKS merupakan 85,71% dari harga dasar GKG. Pembedaan harga antar kualitas gabah tersebut tidak hanya didasarkan atas perbedaan kadar air saja, tetapi juga perbedaan komponen kualitas lainnya. Ketentuan-ketentuan tentang harga pembelian gabah oleh KUD dari petani di tingkat KUD adalah : (1) Apabila harga gabah sama atau di bawah harga dasar, maka untuk pengamanan harga dasar itu KUD harus membeli gabah dari petani atau kelompok tani pada berbagai tingkat kualitas sesuai dengan pedoman harga pembelian; (2) Apabila pembelian gabah oleh KUD dilakukan di tempat petani, maka harga pembelian adalah harga dasar dikurangi ongkos angkut ke gudang KUD; 56
dan (3) Apabila di suatu kecamatan tidak ada KUD atau apabila KUD yang ada tidak mampu mengamankan harga dasar, maka BULOG dapat menurunkan Satuan Tugas (Satgas) Operasional Pengadaan Dalam Negeri untuk melakukan pembelian langsung dari petani. Tabel 1. Harga Dasar Gabah Menurut Klas Mutu, 1996 (Rp/ kg). Komponen kualitas
GKG
GKS
GKP
Kadar air maksimum (%) Kotoran/hampa maksimum (%) Butir hijau/mengapur (%) Butir kuning/rusak (%) Butir merah maksimum (%) Harga dasar (Rp/kg)
14 3 5 3 3 525
18 6 7 3 3 450
25 10 10 3 3 385
Sumber : Vademekum Pemasaran 1986-1996 (Ditjen Tanaman Pangan dan Hortikultura, 1997).
KUD/BULOG sebelum melakukan pembelian gabah perlu menganalisis kualitas gabah terlebih dahulu, yang meliputi : (1) Kadar air dengan moisture tester; (2) Kadar hampa/kotoran dengan ayakan berdiameter 1,7 mm untuk butir gabah berdiameter kecil dan ayakan berdiameter 1,8 mm untuk butir gabah berdiameter besar; dan (3) Kadar komponen-komponen mutu lainnya secara visual. Perkembangan harga dasar GKG beserta nomor dan tanggal Inpres serta tanggal berlakunya harga dasar ditunjukkan pada Tabel 2. Terlihat bahwa harga dasar gabah tidak selalu diumumkan pada bulan yang sama, tetapi sebagian besar diberlakukan pada bulan yang sama setiap tahunnya. Selama 1969-1974, harga dasar diumumkan pada bulan Februari atau Maret dan mulai diberlakukan antara 1 Februari dan 24 Mei pada tahun yang sama. Selama 1975-1995, pengumuman harga dasar dilakukan lebih awal, yaitu antara Oktober dan Desember dan diberlakukan sejak 1 Februari tahun berikutnya. Dalam periode ini hanya diselingi pengumuman pada bulan Januari dan diberlakukan sejak 1 Februari atau 3 Mei tahun yang sama. Selama 1996-1997, pengumuman harga dasar kembali dilakukan pada bulan Januari atau Februari dan diberlakukan sejak Januari atau Februari pada tahun yang sama. Pada tahun 1999, pengumuman harga dasar dilakukan pada bulan Desember dan diberlakukan sejak bulan dan tahun yang sama. Perkembangan harga dasar GKG selama 1969-1999 sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2 dapat dikemukakan sebagai berikut. Selama periode 1969-1973 harga dasar GKG tidak berubah pada tingkat Rp 20,90 per kg, tetapi sejak 1975 terus meningkat sehingga pada tahun 1997 mencapai Rp 525 per kg. Selama 1969-1997, rata-rata peningkatan harga dasar adalah 11,68% per tahun. Tetapi selama dua tahun terakhir (1998-1999) yaitu selama krisis ekonomi berlangsung, terjadi peningkatan harga dasar sangat cepat. Pada tahun 1998 bahkan terjadi tiga kali perubahan harga dasar, yaitu menjadi Rp 600, Rp 700 dan Rp 1.000 per kg. Sampai dengan 1998, harga dasar di semua wilayah Indonesia
Dampak Kebijakan Harga Dasar pada Harga Produsen, Harga Konsumen dan Luas Tanam Padi: Belajar dari Pengalaman Masa Lalu [Prajogo U. Hadi]
Tabel 2. Perkembangan Harga Dasar Gabah dan Harga Pembelian Gabah dan Beras oleh KUD dan non-KUD serta Masa Berlakunya, 1969-1999. Tahun 1969/1970 1970/1971 1971/1972 1972/1973 1973/1974 I 1973/1974 II 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979 1979/1980 I 1979/1980 II 1980/1981 1981/1982 1982/1983 1983/1984 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989 1989/1990 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 I 1998 II 1998 III 1999
Harga Dasar GKG 20,9 20,9 20,9 20,9 25,6 30,4 41,8 58,5 68,5 71,0 75,0 85,0 95,0 105,0 120,0 135,0 145,0 165,0 175,0 175,0 190,0 210,0 250,0 270,0 295,0 330,0 340,0 360,0 400,0 450,0 525,0 600,0 700,0 1.000,0 1.400,0 1.450,0 1.500,0
Nomor Inpres 6/1972 2/1973 1/1974 17/1974 16/1975 16/1976 11/1977 3/1979 7/1979 22/1979 15/1980 13/1981 14/1982 16/1983 12/1984 11/1985 4/1986 6/1987 4/1988 7/1989 6/1990 5/1991 5/1992 4/1993 6/1994 1/996 2/1997 19/1998 32/1998 -
Tanggal Inpres 14/3/1973 1/2/1974 ?/11/1974 28/10/1975 18/12/1976 16/12/1977 27/1/1979 20/10/1979 20/10/1980 27/10/1981 1/12/1982 21/12/1983 15/12/1984 13/12/1985 1/12/1986 15/10/1987 15/10/1988 25/10/1989 20/10/1990 26/10/1991 22/10/1992 13/10/1993 6/10/1994 7/2/1996 24/1/1997 10/7/1998 31/12/1998 -
1600 1400
Tanggal 1200 mulai 1000 Berlaku 800 1/2/1969 600 400 1/4/1973 200 24/5/1973 0 1/2/1974 1/2/1975 76 79 82 85 88 91 94 97 70 73 1/2/1976 1/2/1977 H.Produsen H.Dasar 1/2/1978 1/2/1979 Gambar Perkembangan harga harga produsen 3/5/1979 Gambar 1. 1.Perkembangan hargadasar dasardan dan harga produsen GKG nominal, 1970-1999 (Rp/kg). 1/2/1980 GKG nominal, 1970-1999 (Rp/kg). 1/2/1981 1/2/1982 1/2/1983 Dampak Harga Produsen Harga Konsumen 1/2/1984 9,75%. NilaiTerhadap R2 sebesar 0,991 menunjukkan bahwa ha1/2/1985 sil regresi (6) dapat menjelaskan variasi harga produsen 1/2/1986Harga produsen ternyata mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap harg dengan sangat baik. 1/2/1987 beras medium di tingkat konsumen, sebagaimana ditunjukkan pada persamaan empiris (7 1/2/1988 HPGKGt = 0,295 + 0,975HDGKGt ............ (6) 1/1/1989 Koefisien elastisitas variabel harga(2,93) produsen (HPGKG) (56,32) ternyata cukup besar, yaitu 0,839 da 1/1/1990 2 = 15,73). IniRberarti = 0,991 sangat nyata (t-ratio bahwa sekitar 84% perubahan harga GKG tingk 1/1/1991 1/1/1992 Gambar 1 menunjukkan bahwa(HKON). harga produsen produsen ditransmisikan ke harga beras tingkat konsumen 1/1/1993 cukup paralel (konvergen) dengan harga dasar dengan 1/1/1994 + 0,839HPGKG ...................... (7) harga produsen sedikit lebih tinggi. Hal ini tmenunt = -0,135 t + 0,050HBBKD t + 0,176ER 1/1/1995HKONposisi 7/2/1996 (2,96) (15,73) (1,10)dasar (3,40) jukkan bahwa kebijakan harga dapat mengangkat 23/1/1997 harga produsen R2 = 0,991secara efektif. 1/6/1998 Dampak Harga Produsen Harga Konsumen Variabel lain yang berpengaruh positifTerhadap dan signifikan terhadap harga beras di tingk 31/12/1998 Harga produsen ternyata mempunyai pengaruh positif konsumen adalah nilai tukar (ER), namun dengan koefisien elastisitas jauh lebih kecil, yai dan signifikan terhadap harga beras medium di tingkat -
Sumber : 1969-1998 : Vademekum Pemasaran 1987-1997 (PIPTPH, 1998) 1999 : Inpres Nomor 32 Tahun 1998.
0,175. Variabel harga beras sebagaimana medium di Bangkok dalam dolar AS (HBBKD) juga mempuny konsumen, ditunjukkan pada persamaan
empiris elastisitas variabel harga produsen pengaruh positif, tetapi (7). tidakKoefisien signifikan (t-ratio = 1,1). Koefisien determinasi (R2) sebesar 0,99
cukup dapat besar,dijelaskan yaitu 0,839 sangat menunjukkan (HPGKG) bahwa variasiternyata harga konsumen oleh dan persamaan empiris terseb
nyata (t-ratio = 15,73). Ini berarti bahwa sekitar 84% perubahan harga GKG tingkat produsen ditransmisikan positif dan sangat signifikan uraiankonsumen sebelumnya), maka dapat dinyatakan bahwa harg pada masing-masing tahun adalah sama, tetapi pada ke harga beras(lihat tingkat (HKON). tahun 1999 dibedakan menjadi 3 wilayah, yaitu Rp HKON = dasar secara tidak langsung mempunyai pengaruh positif dan sangat signifikan terhadap harg t 1.400 untuk Wilayah I (Jawa, Bali, NTB, Sulsel, Sultra -0,135 + 0,839HPGKGt + 0,050HBBKDt + 0,176ERt beras di tingkat konsumen. dan Sulteng), Rp 1.450 untuk Wilayah II (Sumatera) (2,96) (15,73) (1,10) (3,40)......... (7) 10 dan Rp 1.500 untuk Wilayah III (Kalimantan, NTT, R2 = 0,991 Sulut, Maluku dan Irian Jaya). Pembedaan menurut wilayah ini berkaitan dengan biaya angkut, dimana Variabel lain yang berpengaruh positif dan signifikan biaya angkut di Wilayah I paling murah, sedangkan terhadap harga beras di tingkat konsumen adalah nilai di Wilayah III paling mahal. tukar (ER), namun dengan koefisien elastisitas jauh lebih kecil, yaitu 0,175. Variabel harga beras medium di Dampak Harga Dasar Terhadap Harga Produsen Bangkok dalam dolar AS (HBBKD) juga mempunyai Harga dasar GKG (HDGKG) ternyata mempunyai pengaruh positif, tetapi tidak signifikan (t-ratio = 1,1). pengaruh positif dan signifikan terhadap harga jual di Koefisien determinasi (R2) sebesar 0,991 menunjukkan tingkat produsen (HPGKG). Sebagaimana ditunjukkan bahwa variasi harga konsumen dapat dijelaskan oleh pada persamaan empiris (6), koefisien elastisitas varia- persamaan empiris tersebut dengan sangat baik. Oleh bel harga dasar GKG adalah 0,975 dengan t-rasio san- karena harga produsen itu sendiri dipengaruhi oleh gat tinggi (56,32). Variabel T (trend) yang dimasukkan harga dasar secara positif dan sangat signifikan (lihat ke dalam persamaan tersebut ternyata tidak signifikan uraian sebelumnya), maka dapat dinyatakan bahwa yang kemudian dikeluarkan. Ini berarti bahwa penga- harga dasar secara tidak langsung mempunyai pengaruh ruh harga dasar sangat kuat terhadap harga produsen. positif dan sangat signifikan terhadap harga beras di Setiap kenaikan 10% harga dasar, harga produsen naik tingkat konsumen.
dengan sangat baik. Oleh karena harga produsen itu sendiri dipengaruhi oleh harga dasar seca
57
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
58
96
93
90
87
84
81
78
75
72
69
Kedua hasil analisis tersebut mengindikasikan bahDampak Harga Dasar GKG Terhadap Luas Areal wa areal padi lebih dipengaruhi oleh harga produsen Padi dibanding harga dasar GKG. Namun hasil analisis Luas areal padi nasional selama 1969-1998 ber- persamaan empiris (6) menunjukkan bahwa harga profluktuasi tetapi cenderung meningkat sebagaimana dusen itu sendiri dipengaruhi oleh harga dasar secara ditunjukkan pada Gambar 2. Rata-rata peningkatan positif dan sangat signifikan dengan elastisitas 0,975 ampak Harga Dasar GKG Terhadap Luas Areal Padi luas areal tersebut adalah 1,33% per tahun, yang jauh (lihat uraian sebelumnya). Ini berarti bahwa kenaikan Luas areal nasional selama 1969-1998 berfluktuasi harga tetapi cenderung meningkat lebihpadi kecil daripada rata-rata peningkatan dasar harga dasar secara tidak langsung meningkatkan luas bagaimana ditunjukkan pada Gambar 2. Rata-rata peningkatan luas11,50% areal tersebut adalah dan harga produsen GKG yaitu masing-masing areal padi. danyang 11,66% Secara rata-rata teoritis,peningkatan harga dasar ataudasar danKecilnya 33% per tahun, jauh per lebihtahun. kecil daripada harga harga nilai parameter harga dasar dan harga proharga produsen mempunyai pengaruh positif terhadap dusen, yaitu masing-masing 0,054 dan 0,061 tersebut, odusen GKG yaitu masing-masing 11,50% dan 11,66% per tahun. Secara teoritis, harga dasar pengambilan keputusan petani tentang alokasi lahan mengindikasikan adanya kebijakan atau programau harga produsen mempunyai pengaruh positifpadi, terhadap pengambilan keputusan petani pemerintah di luar harga output dan faktor usahataninya untuk ditanami sedangkan harga program dasar atau harga produsen komoditi alternatif (pesaing) lain yang mempengaruhi luas areal padi. Diduga, ntang alokasi lahan usahataninya untuk ditanami padi, sedangkan harga dasar atau harga mempunyai pengaruh negatif, ceteris paribus.. faktor-faktor yang dimaksud antara lain adalah adanya odusen komoditi alternatif (pesaing) mempunyai pengaruh negatif, ceteris paribus.. program pencetakan sawah baru, rehabilitasi jaringan irigasi, kebijakan harga input (pupuk), dan kondisi iklim. Petani padi di luar lahan sawah beririgasi (seperti 14 lahan tadah hujan dan tegalan/huma, terutama di luar 12 Jawa) mungkin kurang memperhatikan harga dasar 10 atau harga produsen gabah, tetapi lebih memperhatikan 8 kondisi iklim dan keinginan untuk memproduksi padi 6 untuk cadangan pangan keluarga. 4 Hasil analisis dengan memasukkan variabel lain 2 yaitu harga provenue gula, harga dasar atau harga produsen jagung dan kedele, baik pada persamaan (8) 0 maupun (9), tidak memberikan hasil estimasi yang lebih baik dan semua variabel baru tersebut sangat tidak signifikan.Tidak adanya pengaruh harga komoditi Gambar 2. Perkembangan luas areal padi nasional, 1969-1999 lain menunjukkan bahwa petani lebih mementingkan Gambar 2. Perkembangan luas areal padi nasional, (juta ha). harga gabah sendiri dibanding harga tiga komoditi 1969-1999 (juta ha). alternatif tersebut, baik harga dasar maupun harga Hasil analisis dengan menggunakan model Nerlovian, produsen, Hasil analisis dengan menggunakan model Nerlovian, sebagaimana diperlihatkan pada dalam menentukan luas areal padi. sebagaimana diperlihatkan pada persamaan empiris (8) Ada dua hal lain yang perlu dicatat dari persaersamaan empiris (8) memberikan informasi bahwa areal padi nasional pada tahun t (At) memberikan informasi bahwa areal padi nasional pada maan (9). Pertama, areal padi tahun lalu (At-1) secara pengaruhi oleh hargat dasar GKG tahun sebelumnya (HDGKG ) secaratahun positif dansignifikan signifikan mempengaruhi areal padi tahun sekarang tahun (At) dipengaruhi oleh harga dasart-1GKG sebelumnya (HDGKG ) secara positif dan signifikan (A dengan koefisien elastisitas sekitar 0,482 yang beratio = 2,98), walaupun dengan koefisien t-1 elastisitas yang kecil, yaitu 0,054. Kenaikan t) harga (t-ratio = 2,98), walaupun dengan koefisien elastisitas2 rarti bahwa respon produsen terhadap harga produsen asar 10% hanya meningkatkan luas areal padi 0,54%. Koefisien determinasi (R ) cukup tinggi, yang kecil, yaitu 0,054. Kenaikan harga dasar 10% hanya kurang dinamis. Hal ini menunjukkan ada unsur rigidity aitu 0,942, yang mencerminkanluas bahwa persamaan empiris tersebut dapat menjelaskan variasi meningkatkan areal padi 0,54%. Koefisien determidalam pengambilan keputusan petani. Salah satu faktor 2 ) cukup tinggi, yaitu 0,942, yang mencerminkan penyebabnya adalah adanya pentargetan areal tanam as areal padi nasi secara(R baik. bahwa persamaan empiris tersebut dapat menjelaskan program intensifikasi oleh pemerintah setiap tahunnya At = 7,584 0,513A 0,054HDGKG (8) t-1 +padi t-1 ...................................................dengan variasi+ luas areal secara baik. pola tanam tertentu, terutama di lahan sawah (258,51) (3,33) (2,98) At = 7,584 + 0,513At-1 + 0,054HDGKGt-1 ......(8) beririgasi. Faktor lainnya adalah sangat sulitnya pet(258,51) (3,33) (2,98) ani merubah luas penguasaan lahannya dalam waktu R2 = 0,942 R2 = 0,942 singkat karena keterbatasan modal (asset fixity). Kedua, berdasarkan persamaan (4) di muka, paNamun hasil analisis pada persamaan (9) berikut rameter yang bernilai 0,482 adalah γ3. Berdasarkan 11produsen tahun sebelummenunjukkan bahwa harga persamaan (6) dan (7) pada Lampiran 1, nilai γ3 = 1– ρ. nya (HPGKGt-1) memberikan koefisien elastisitas lebih Oleh karena γ3 = 0,482, maka nilai ρ = 1 – 0,482 = 0,518 tinggi, yaitu 0,061 dan lebih signifikan (t-rasio lebih tinggi yang merupakan koefisien penyesuaian Nerlove. Dengan yaitu 3,42), disamping koefisien determinasi (R2) yang menggunakan nilai koefisien ini dan berdasarkan Lampisedikit lebih tinggi yaitu 0,943. Setiap kenaikan harga ran 1 dimana γ1 = ρb1, maka elastisitas jangka panjang produsen 10%, areal padi meningkat 0,61%. areal padi (mencerminkan elastisitas penawaran padi) At = 8,045 + 0,482At-1 + 0,061HPGKGt-1.......(9) dapat dihitung, yaitu b1 = γ1/ρ atau b1 = 0,061/0,518 = (281,52) (3,34) (3,42) 0,118. Terlihat bahwa elastistias penawaran padi sangat R2 = 0,943 tidak elastis.
Dampak Kebijakan Harga Dasar pada Harga Produsen, Harga Konsumen dan Luas Tanam Padi: Belajar dari Pengalaman Masa Lalu [Prajogo U. Hadi]
Stabilitas Harga Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur stabilitas harga adalah koefisien variasi harga yang bersangkutan. Makin besar koefisien variasi berarti harga makin tidak stabil. Untuk menentukan keberhasilan kebijakan stabilisasi harga dalam negeri, dilakukan pembandingan koefisien variasi antara harga dalam negeri terhadap harga luar negeri, dengan menggunakan data pada Lampiran 1. Hasil analisis dengan menggunakan data tahunan selama 1975-1999 menunjukkan bahwa koefisien variasi harga yang diperoleh adalah sebagai berikut : (1) Harga GKG di tingkat produsen : 96,8%. (2) Harga beras di tingkat konsumen : 103,9%. (3) Harga beras medium di pasar dunia (Bangkok) dalam dolar AS : 21,5%. (4) Harga beras medium di pasar dunia (Bangkok) dalam rupiah : 110,9%. Terlihat bahwa harga beras di pasar dunia (Bangkok) dalam dolar AS cukup stabil, jauh lebih stabil dibanding harga beras di tingkat konsumen dalam negeri. Namun karena nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sangat tidak stabil dengan koefisien variasi 103,0%, maka harga beras di pasar dunia dalam rupiah menjadi lebih tidak stabil dibanding harga beras di tingkat konsumen dalam negeri. Di pasar dalam negeri sendiri, harga GKG di tingkat produsen lebih stabil dibanding harga beras di tingkat konsumen. Dalam konteks ini, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah berhasil membuat harga dalam negeri lebih stabil dibanding harga dunia (dalam rupiah) dan harga gabah di tingkat produsen lebih stabil dibanding harga beras di tingkat konsumen. Keberhasilan pemerintah dalam menstabilkan harga padi/beras ini juga merupakan kesimpulan dari kajian Timmer (1999). Stabilnya harga padi/gabah tersebut tidak terlepas dari kebijakan harga dasar gabah dan operasi pasar (pembelian dan pelepasan stok) oleh BULOG pada saat itu. Lebih stabilnya harga beras mempunyai beberapa keuntungan (Timmer, 1999). Pertama, mengurangi risiko petani padi dalam melakukan investasi produktif dan inovasi teknologi baru sehingga akan meningkatkan produktivitas. Komponen penting dalam investasi adalah berupa sumberdaya manusia yang sangat penting bagi proses pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan (Chai 1995 yang dikutip Timmer 1999). Kedua, konsumen tidak perlu mengeluarkan biaya transaksi karena harus sering melakukan realokasi anggarannya atau risiko karena turunnya pendapatan nyata mereka secara tiba-tiba. Bagi penduduk miskin, stabilnya harga beras mempunyai dimensi pemerataan pendapatan dan meringankan beban rakyat miskin. Ketiga, stabilnya harga tidak hanya mempengaruhi sektor padi saja, tetapi juga investasi pada sektor ekonomi secara keseluruhan. Ini disebabkan sektor padi di masa lalu mempunyai pangsa yang besar dalam penciptaan pendapatan nasional dan kesempatan kerja dan harga beras di pasar dunia tidak stabil. Dengan stabilnya harga beras di pasar dalam negeri, konsumen tidak perlu
melakukan pencadangan dana besar untuk membeli beras dan petani tidak perlu menahan padinya karena takut harganya anjok, sehingga roda perekonomian dapat berjalan lebih lancar. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Harga dasar GKG nominal selama 1969-1999 cenderung meningkat, sesuai dengan tujuan pemerintah untuk memberikan rangsangan kepada petani untuk meningkatkan produksi padi. 2. Harga dasar GKG mempunyai pengaruh positif dan sangat signifikan terhadap harga produsen. Peningkatan harga dasar 10% telah meningkatkan harga produsen 9,75% dan harga produsen sedikit lebih tinggi dibanding harga dasar. 3. Harga produsen mempunyai pengaruh positif sangat nyata terhadap harga beras di tingkat konsumen. Kenaikan harga produsen 10% telah meningkatkan harga beras di tingkat konsumen 8,39%. Oleh karena harga produsen sangat dipengaruhi oleh harga dasar, maka hal ini berarti bahwa harga beras di tingkat konsumen secara tidak langsung juga sangat dipengaruhi oleh harga dasar. Faktor lain yang mempengaruhi harga beras di tingkat konsumen secara positif dan signifikan adalah nilai tukar dolar AS terhadap rupiah dengan elastisitas 0,176. Harga beras di Bangkok dalam dolar AS juga berpengaruh positif tetapi tidak signifikan dengan elastisitas 0,050. 4. Harga dasar gabah mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap luas areal padi nasional dengan elastisitas 0,054 tetapi harga produsen mempunyai pengaruh lebih kuat dengan elastisitas 0,061. Hal ini menunjukkan bahwa harga jual aktual yang diterima petani memberikan pengaruh lebih kuat dibanding harga dasar, namun harga dasar mempunyai peranan penting dalam meningkatkan harga produsen. 5. Selama periode 1969-1999 kebijakan stabilisasi harga dalam negeri, baik harga gabah di tingkat produsen maupun harga beras di tingkat konsumen, dapat dikatakan cukup berhasil, yang ditandai oleh lebih kecilnya koefisien variasi harga produsen dan harga konsumen dibanding harga beras di luar negeri (Bangkok) dalam satuan rupiah, yaitu masing-masing 96,9%, 103,9% dan 110,9%. Harga produsen tampak lebih stabil dibanding harga konsumen. 4.2. Saran Belajar dari pengalaman selama 1969-1999 tersebut di atas, dapat diberikan beberapa saran untuk perumusan kebijakan selanjutnya sebagai berikut : 1. Penetapan harga dasar GKG sebaiknya tetap memperhatikan tingkat keuntungan usahatani padi yang wajar dan harga beras di luar negeri (Bangkok) dalam rupiah, sebagaimana telah dilakukan selama ini. 2. Harga dasar GKG tetap diperlukan dan disesuaikan yang disertai dengan pembelian oleh KUD/BULOG agar harga jual GKG di tingkat petani tidak jatuh 59
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
sehingga luas areal padi tidak menurun dan stabilitas harga dalam negeri tetap terjaga. Namun peningkatan harga dasar sebaiknya tidak terlalu cepat karena akan meningkatkan harga beras di tingkat konsumen yang memberatkan konsumen kurang mampu. 3. Pengumuman harga dasar sebaiknya dilakukan sebelum musim tanam musim hujan Oktober karena luas areal musim tanam ini yang terbesar sehingga petani akan dapat membuat keputusan lebih tepat lagi. 4. Kebijakan pemerintah telah berhasil menstabilkan harga domestik, dan bahkan harga produsen lebih stabil dibanding harga konsumen. Oleh karena itu kebijakan harga dasar agar terus dilanjutkan dengan memperhatikan keuntungan petani dan harga di pasar luar negeri (Bangkok). DAFTAR PUSTAKA Anderson, K. 1974. Distributed Lags and Barley Acreage Response Analysis. Australian Journal of Agricultural Economics 18(2) : 119-132. Askari, H. and J.T. Cummings. 1977. Estimating Agricultural Supply Response with the Nerlovian Model : A Survey. International Economic Review 18(2) : 257-292. Brandow, G.E. 1958. A Note on the Nerlove Estimate of Supply Elasticity. Journal of Farm Economics 40(4) : 719-722. Chinn, D.L. 1978. Farmers Response to Foodgrain Controls in Developing Countries. Quarterly Journal of Economics 92(4) : 697-703. Cochran, WW. 1955. Conceptualizing the Supply Relation in Agriculture. Journal of Farm Economics 37(51) : 1161-1176. Colman, D. 1983. A Review of the Arts of Supply Response Analysis. Review of Marketing and Agricultural Economics 51(3) : 201-30. Doll, J.P. and F. Orazem. 1984. Production Economics : Theory with Applications. 2nd edn. John Willey & Sons. New York.
60
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
Eckstein, Z. 1985. The Dynamics of Agricultural Supply : A Reconsideration. American Journal of Agricultural Economics 67(2) : 204-217. Flinn, JC., K.P. Kalirajan and L.L. Castillo. 1982. Supply Responsiveness of Rice Farmers in Laguna, Philippines". Australian Journal of Agricultural Economics 26(1) : 39-48. Griffiths, WE. and JR. Anderson. 1978. Specification of Agricultural Supply Functions : Empirical Evidence on Wheat in Southern NSW. Australian Journal of Agricultural Economics 22(2) : 115-139. Hadi, P.U. 1998. Kajian Historis Kebijaksanaan Harga Gabah dan Pupuk serta Implikasi Kebijaksanaannya. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Jennings, A.N. and R.J. Young. 1980. Generalisation of the Nerlove Supply Model Using Time Series Methodology : An Application to Potato Plantings in Great Britain. Journal of Agricultural Economics 31(1) : 99-111. Krishna, J. 1963. Farm Supply Response in India-Pakistan : A Case Study of the Punyab Region. Economic Journal (September) : 477-487. Nerlove, M. 1958. Distributed Lags and Estimation of Long-run Supply and Demand Elasticities : Theoretical Considerations. Journal of Farm Economics 40(2) : 301-314. Nerlove, M. 1979. The Dynamics of Supply : Retrospect and Prospect. American Journal of Agricultural Economics 61(5) : 874-888. Rausser, G.C. and D.P. Stonehouse. 1978. Public Intervention and Producer Response. American Journal of Agricultural Economics 60(5) : 885-890. Sudaryanto, T., Prajogo U. Hadi, Sri H. Susilowati dan E. Suryani. 1999. Perkembangan Kebijaksanaan Harga dan Perdagangan Komoditi Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Timmer, C.P. 1999. “Does Bulog Stabilize Rice Price in Indonesia ? Should It Try ?”, in C. Silitonga et al. 1999. 30 Tahun Peran BULOG dalam Ketahanan Pangan. Badan Urusan Logistik. Jakarta. Tomek, W.G. and K.L. Robinson. 1972. Agricultural Product Prices. Cornell University Press. Ithaca and London.
SOCA ❖ 6 (1) : 6 1 - 6 9
Perhitungan Subsidi Pupuk 2004 Berdasarkan Alternatif Perhitungan Subsidi Atas Biaya Distribusi [Mohamad Maulana] ISSN: 1411-7177
PERHITUNGAN SUBSIDI PUPUK 2004 BERDASARKAN ALTERNATIF PERHITUNGAN SUBSIDI ATAS BIAYA DISTRIBUSI Mohamad Maulana
Pusat Analisis Sosial Ekonoi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian Bogor
ABSTRACT Economic crisis was decreasing farmer income. At the end, its would be difficult for the fertilizer producers to stabilized production for domestic supply. For stabilizing fertilizer production and price, it is necessary to government to subsidized fertilizer. This objective of this assessment was calculated the fertilizer subsidy through the distribution cost subsidy calculation method for 2004 compare to government fertilizer subsidy budget for 2004, Rap. 1.3 trillion. The result showed in 2004 the government had to budgeted about Rp. 1.64 trillion for fertilizer subsidy. In the other calculation using 2004 distribution cost and fee for distributor, the fertilizer subsidy increased to Rp. 1.875 trillion. This calculation bigger than the government fertilizer subsidy budget for 2004. It is necessary to reallocate the government budget for fertilizer subsidy and stabilized exchange rate for stabilizing fertilizer production and price at farmer level. Keywords: Fertilizer Subsidy, Cost Distribution, Exchange Rate, Highest Fertilizer Price PENDAHULUAN Pupuk memiliki peranan penting sebagai salah satu faktor dalam peningkatan produksi komoditas pertanian. Hal ini menjadikan pupuk sebagai sarana produksi yang strategis. Untuk menyediakan pupuk ditingkat petani diupayakan memenuhi azas 6 tepat yaitu : tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu dan harga yang layak sehingga petani dapat menggunakan pupuk sesuai kebutuhan. Pada tahun 2004 pemerintah kembali menerapkan subsidi pupuk untuk sub sektor tanaman pangan, perikanan, peternakan dan perkebunan rakyat dalam bentuk subsidi gas sebagai bahan baku utama produksi pupuk. Melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 107/ Kpts/Sr.130/2/2004 ditetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) ditingkat pengecer untuk Urea, SP-36, ZA dan NPK masing-masing sebesar Rp. 1.050, Rp 1.400, Rp 950 dan Rp. 1.600 per kg dan efektif berlaku mulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2004. Walaupun sistem distribusi pupuk dibuat begitu amat komprehensif ternyata tidak menjamin adanya ketersediaan pupuk ditingkat petani khususnya pupuk bersubsidi sesuai dengan HET yang telah ditetapkan (Simatupang, 2004). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Analisis Kebijakan 2004 Puslitbang Sosek Departemen Pertanian di Sumatera Utara dan Jawa Barat pada bulan April 2004 diketahui telah terjadi kelangkaan dan lonjakan harga pupuk. Harga urea yang ditetapkan HETnya sebesar Rp. 1.050/kg pada kuartal pertama 2004 bisa mencapai kisaran Rp. 1.300 – 1.600/kg. Bahkan pada saat normal pun sulit bagi pengecer menerapkan HET. Alasan utama adalah biaya distribusi yang lebih besar dari rata-rata yang digunakan pihak produsen dalam perhitungan usulan subsidi pupuk Kasus terjadinya kelangkaan pupuk terutama jenis urea merupakan fenomena yang terjadi secara berulang-
ulang hampir setiap tahun. Demikian halnya dengan lonjakan harga diatas HET yang terjadi mengiringi kelangkaan pupuk, padahal subsidi telah diberikan. Berkaitan dengan pemberian subsidi oleh pemerintah maka tujuan dari kajian ini adalah melakukan perhitungan besar subsidi pupuk melalui alternatif perhitungan subsidi atas biaya distribusi untuk tahun 2004 sebagai bahan perbandingan dengan jumlah subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk tahun 2004 sebesar Rp. 1.3 trilyun. METODOLOGI PENGKAJIAN Kerangka Pemikiran Pupuk merupakan salah satu sarana produksi penting dalam mendukung usahatani dan pencapaian ketahanan pangan nasional. Akibat terjadinya krisis ekonomi, kemampuan daya beli petani menurun sehingga kesulitan bila harus membeli pupuk dengan harga pasar. Dengan harga jual sesuai kemampuan petani, sulit bagi produsen pupuk untuk menjaga kelangsungan usaha dan kemampuannya dalam menjamin pemenuhan kebutuhan pupuk nasional. Agar harga pupuk terjangkau petani dan menjaga kelangsungan industri pupuk, pemerintah perlu menyediakan subsidi pupuk. Perhitungan subsidi pupuk dapat dilakukan dengan dua cara yaitu perhitungan subsidi atas biaya distribusi dan subsidi harga gas. Subsidi atas biaya distribusi adalah konsep yang selama ini telah disusun, yang pada dasarnya subsidi pemerintah kepada petani dihitung dari selisih antara Harga Eceran Tertinggi (HET) dengan seluruh biaya yang terjadi mulai dari produksi sampai dengan pupuk berada di Lini IV. Sedangkan subsidi harga gas dihitung dengan melihat jumlah subsidi yang tersedia digunakan untuk menekan biaya gas di masing-masing produsen, sedemikian rupa sehingga 61
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
total biaya produksi ditambah dengan marjin, biaya distribusi dari pabrik sampai dengan Lini IV (termasuk PPN 10 persen), menghasilkan HET seperti yang telah ditetapkan. Cara perhitungan subsidi pupuk melalui subsidi gas tidak dapat diberikan kepada semua jenis pupuk seperti yang telah ditetapkan bersubsidi sesuai Keputusan Menteri Pertanian karena tidak semua pupuk bersubsidi tersebut menggunakan bahan baku gas alam. Hal ini menyebabkan perlunya ketetapan dan perhitungan lain untuk pemberian subsidi pupuk non urea. Oleh karena itu perhitungan pupuk dalam kajian ini akan menggunakan perhitungan dengan alternatif subsidi atas biaya distribusi untuk semua jenis pupuk bersubsidi, urea dan non urea, Selain alternatif perhitungan, faktor biaya distribusi dan nilai tukar rupiah terhadap dollar akan menjadi faktor utama perhitungan subsidi pupuk disamping penentuan biaya produksi oleh masing-masing produsen pupuk yaitu PT. Pusri, PT. PIM, PT. Pupuk Kujang, PT. Petrokimia Gresik dan PT. Pupuk Kalimantan Timur. Untuk perkiraan nilai tukar rupiah terhadap dollar disesuaikan dengan RAPBN 2003 sebesar Rp. 8 700/US$ dan juga dua skenario nilai tukar lainnya yaitu Rp. 9 000/US$ dan Rp. 9 200/US$.
Dampak Krisis Ekonomi
Dampak Terhadap Petani
Dampak Terhadap Industri Pupuk Kelangsungan Usaha dan Penjaminan Pemenuhan Kebutuhan Pupuk Nasional
Daya Beli Pupuk Menurun
Subsidi Pupuk
Perhitungan Subsidi Pupuk
Subsidi Gas
Subsidi Atas Dasar Biaya Distribusi
Tercapainya HET di Lini IV
1. Kerangka Pemikiran Perhitungan Subsidi PupukSubsidi 2004. Gambar 1.Gambar Kerangka Pemikiran Perhitungan Pupuk 2004. Sumber Data Yang Digunakan
TabelKajian 1. ini Kapasitas Pupuk 1 menggunakanTerpasang data primer dan Pabrik sekunder. Data primer Nasional yang digunakanper berupa
Januari 2004 (000 ton). data biaya distribusi dan keuntungan distributor dan pengecer yang merupakan data rata-rata dari
dua propinsi yaitu Sumatera Utara dan Jawa Barat tahun 2004. Sedangkan data biaya produksi
Jenis Pupuk AmmoTSP/ Am. yang merupakan rata-rata nasional diperoleh dari Pusri Holding Co. nia Urea SP-36 Sulfat Phonska BUMN : PT. Pupuk Sriwi1 djaya 1,500 2,280 ------2 PT. Pupuk Kaltim 1,419 2,980 ------3 PT. Pupuk Kujang 396 570 ------PT. Pupuk Iskandar 4 Muda 792 1,170 ------PT. Petrokimia 5 Gresik 440 460 1,000 650 300 Sub Total BUMN 4,547 7,460 1,000 650 300 Proyek ASEAN 6 AAF 396 660 -------
masing-masing produsen pupuk tahun 2002, biaya distribusi, keuntungan distributor dan pengecer
No.
Metode Analisis Untuk menghitung besarnya perkiraan subsidi pupuk perlu ditetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) di tingkat petani dan perkiraan besarnya Harga Pembelian Pemerintah untuk setiap produsen pupuk. Disamping itu perlu ditetapkan pula perkiraan besarnya Biaya Distribusi sampai ke Lini IV. Penghitungan subsidi pupuk dilakukan dengan formula : Subsidi Pupuk = ((HPP + BD) + PPN – HET) x Volume Pupuk Yang Disubsidi Dimana : HPP = Harga Pembelian Pemerintah (Rp/ton). BD = Biaya Distribusi (Rp/ton). PPN = Pajak Pertambahan Nilai, 10 persen (Rp/ton). HET = Harga Eceran Tertinggi (Rp/ton).
Sumber Data yang Digunakan Kajian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer yang digunakan berupa data biaya distribusi dan keuntungan distributor dan pengecer yang merupakan data rata-rata dari dua propinsi yaitu Sumatera Utara dan Jawa Barat tahun 2004. Sedangkan data biaya produksi masing-masing produsen pupuk tahun 2002, biaya distribusi, keuntungan distributor dan pengecer yang merupakan rata-rata nasional diperoleh dari Pusri Holding Co. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Industri Pupuk Saat ini Secara nasional kapasitas terpasang pabrik pupuk yang terdiri dari lima pabrik perusahaan BUMN dan satu pabrik kerjasama ASEAN (PT. Asean Aceh Fer62
Perusahaan
Total
4,943
8,120
1,000
650
300
Sumber : APPI, 2004.
tilizer) sebenarnya sangat besar yaitu mencapai 10.07 juta ton pupuk per tahun. Sebagian besar pupuk yang diproduksi adalah urea yang mencapai 8.12 juta ton per tahun (Tabel 2). Departemen Pertanian merencanakan kebutuhan pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian pada tahun 2004 mencapai 6.03 juta ton per tahun yang 4.23 juta ton diantaranya adalah merupakan pupuk urea. Sehingga jika kapasitas terpasang pabrik bisa dicapai secara optimal, sebenarnya ada kelebihan produksi sekitar 1.08 juta ton per tahun. Pada kenyataannya yang terjadi sejak tahun 1992 hingga 2003 bahwa produksi yang dapat dicapai setiap tahunnya rata-rata hanya sebesar 5.770 ribu ton untuk urea atau sebesar 71.1 persen dari kapasitas terpasang. Sementara untuk ZA, TSP/SP-36 dan Phonska masingmasing mencapai 79.6, 81.6 dan 23.0 persen dari kapasitas terpasang (Kariyasa, et al, 2004). Ada beberapa penyebab pabrik tidak dapat beroperasi secara optimal
Perhitungan Subsidi Pupuk 2004 Berdasarkan Alternatif Perhitungan Subsidi Atas Biaya Distribusi [Mohamad Maulana]
pada kapasitas terpasang, yaitu: (a) rata -rata pabrik telah mencapai umur teknisnya (telah beroperasi lebih dari 20 tahun), sehingga pengoperasiannya kurang efiien bila dibandingkan dengan pabrik baru yang menggunakan teknologi terkini, mesin pabrik sering terjadi kerusakan sehingga produksi tidak optimal, (b) gas bumi sebagai komponen biaya produksi terbesar (50 – 60 persen) harus dibayar dalam US dollar sedangkan penjualan dalam negeri dalam Rupiah sehingga biaya produksi terbebani selisih kurs, (c) pabrik yang telah habis masa kontrak jual beli gas dan pabrik baru belum mempunyai ketetapan harga dan jaminan kelangsungan pasokan gas dan (d) penyaluran gas ke pabrik juga sering tersendat sehingga produksi terganggu (Pusri, 2002). Produksi pupuk urea hingga saat ini diutamakan untuk pemenuhan sektor pertanian didalam negeri. Tabel 3 menyajikan penjualan pupuk urea didalam negeri selama 2002 – 2004. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sekitar 70-90 persen produksi dan stok bulanan urea domestik digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sektor pertanian dan hanya sebagian kecil yang disalurkan kesektor lain seperti perkebunan dan industri. Sedangkan kebutuhan pupuk non urea dipenuhi dari impor. Asumsi Perhitungan Subsidi Pupuk Untuk menghitung besarnya subsidi pupuk untuk tahun 2004 perlu dilakukan penetapan beberapa asumsi. Beberapa asumsi yang digunakan: 1. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Tahun 2004 tentang Kebutuhan Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2004 maka rencana rencana kebutuhan pupuk bersubsidi sektor pertanian tahun 2004 disajikan pada tabel 2 berikut: Tabel 2. Rencana Kebutuhan Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian Tahun 2004 (ton). No. Sub Sektor Urea 1 Tanaman Pangan dan Hortikultura 3,358,106 2 Perkebunan 869,076 Rakyat 3 Peternakan 11,543 Jumlah 4,238,725
SP-36 595,222 202,400 2,377 800,000
ZA
NPK
456,352 400,000 142,613 1,035 600,000 400,000
Sumber : SK Menteri Pertanian 2004.
Data empiris berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh pihak Pusri Holding Co. menyatakan bahwa persentase realisasi penjualan pupuk dalam negeri adalah sebagai berikut : (a) realisasi urea mencapai 89.82 persen jika dibandingkan dengan kebutuhan pupuk periode 1991 – 2001, (b) SP-36 mencapai 72.81 persen jika dibandingkan dengan kebutuhan pupuk periode 1991 – 1998, (c) ZA mencapai 77.02 persen jika dibandingkan dengan kebutuhan pupuk periode 1991 – 1998. Berdasarkan perhitungan realisasi tersebut maka perkiraan realisasi penjualan pupuk tahun 2004 adalah perkalian antara persentase realisasi tersebut dengan kebutuhan pupuk bersubsidi tahun 2004. Urea = 89.82 % x 4.238.725 ton= 3.807.223 ton.
SP-36= 72.81 % x 800.000 ton = 582.240 ton. ZA = 77.02 % x 600.000 ton = 462.120 ton. NPK = 75.00 % x 400.000 ton = 300.000 ton (Pusri). Total = 5.151.583 ton. Untuk produksi pupuk urea bersubsidi masing-ma sing produsen dihitung berdasarkan persentase produksi setiap produsen terhadap produksi urea bersubsidi nasional pada tahun 2002. Hal yang sama juga dilakukan untuk menentukan produksi urea curah dan kantong berdasarkan persentase produksi urea curah dan kantong terhadap rencana realisasi tahun 2002. Rincian perhitungannya disajikan pada Tabel 3 berikut: Tabel 3. Rencana Produksi Produsen Pupuk Urea Tahun 2004 (Ton). Rencana Realisasi Urea Bersubsidi 2004 = 3.807.223 Persentase 2002 Produsen dan Jenis Rencana Realisasi Terhadap Total Produksi Urea 2004 Produksi Nasional Pusri * Curah * Kantong Kaltim * Curah * Kantong PIM * Curah * Kantong Kujang * Curah * Kantong Petro * Curah * Kantong
35.5 55.8 22.8 39.6 44.1 11.5 9.3 63.6 8.7 0 74.7 6.4 0 82.8
1.351.564 754.308 308.968 1.507.660 665.933 174.135 354.072 225.331 30.875 350.265 0 261.718 243.662 0 201.947
Sumber : Pusri 2002, diolah.
2. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dihitung dengan menggunakan data biaya produksi tahun 2002 dari masing-masing produsen pupuk. HPP ini merupakan penjumlahan dari jenis biaya bahan baku dan penolong, gaji dan kesejahteraan, pemeliharaan dan suku cadang, asuransi dan jasa, overhead, penyusutan dan amortisasi, bunga dan biaya lainnya. Ada dua jenis produksi pupuk bersubsidi dari produsen yaitu curah dan kantongan. Untuk produksi pupuk kantongan ada penambahan biaya kantong. 3. Biaya Distribusi (BD) digunakan dua macam yaitu biaya distribusi yang berdasarkan perhitungan rata-rata nasional yang dilakukan oleh Pusri Holding Co. dan Tim Analisis Kebijakan Puslitbang Sosek yang perhitungannya berdasarkan dua propinsi kasus yaitu Sumatera Utara dan Jawa Barat. Disamping itu ada besaran fee (keuntungan) yang diperoleh oleh distributor dan pengecer yang juga terdapat perbedaan berdasarkan kedua perhitungkan tersebut. Perbandingan biaya distribusi dan fee dapat dilihat pada tabel 4 berikut : 4. Harga Eceran Tertinggi (HET) digunakan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 107/Kpts/ Sr.130/2/2004 masing-masing jenis pupuk bersubsidi 63
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
Tabel 4. Perkiraan Besarnya Biaya Distribusi, Fee Distributor dan Fee Pengecer (Rp/ton). Jenis Biaya Biaya Distribusi di Lini III Biaya Distribusi di Lini III - IV Fee Distributor Fee Pengecer Total
Tim Analisis Pusri Holding Kebijakan 2004 Co. Puslitbang Sosek 232.821 250.000 30.000 50.000 18.500 20.000 25.350 30.000 306.671 350.000
Sumber : Pusri dan PSE, 2004.
adalah Rp. 1050/kg (urea), Rp. 1400/kg (SP-36), Rp. 950/kg (ZA) dan Rp. 1600/kg (NPK) yang berlaku efektif mulai 1 Januari – 31 Desember 2004. Analisis Perhitungan Subsidi Atas Biaya Distribusi Berdasarkan asumsi – asumsi yang telah diuraikan maka dapat dihitung besarnya subsidi pupuk yang diberikan oleh pemerintah untuk tahun anggaran 2004. Tabel 5 menguraikan besarnya subsidi urea untuk tahun 2004 berdasarkan biaya produksi masing-masing produsen dan rata-rata nasional biaya distribusi berdasarkan perhitungan pihak Pusri Holding Co. tahun 2002 dan Tabel 6 untuk subsidi pupuk non urea. Kedua perhitungan dalam tabel tersebut menggunakan asumsi nilai tukar Rp. 8.700/US$. Dari tabel 5 dapat dicermati bahwa biaya produksi dari masing-masing pabrik untuk menghasilkan satu ton urea berbeda-beda. Secara umum biaya produksi satu ton urea berkisar Rp. 762.840,- sampai dengan Rp. 905.093,-. Dengan pemberian marjin produksi yang telah disepakati sebesar 10 persen maka Harga Pembelian Pemerintah untuk urea bersubsidi berada pada kisaran Rp. 839.124 – Rp. 995.602 per ton untuk urea curah dan Rp. 879.956 – Rp. 1.047.450,- per ton untuk urea kantong. Dari Tabel 5 juga dapat dilihat bahwa setelah ditambah dengan biaya distribusi sampai ke Lini IV, fee untuk distributor dan pengecer, dan PPN 10 persen maka sampai ditingkat petani harga urea berkisar Rp. 1.258 – Rp. 1430,- per kg untuk urea curah dan Rp. 1.302 – Rp. 1.487,- per kg untuk urea kantong. Jika pemerintah menetapkan HET tahun 2004 sebesar Rp. 1.050,- per kg di Lini IV maka pemerintah harus mengeluarkan dana subsidi sekitar Rp. 208 – Rp. 437,- per kg. Berdasarkan rencana produksi urea berseubsidi masing-masing produsen, maka secara total selama tahun 2004 dana subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah sekitar Rp. 854.6 milyar dengan rincian Rp. 482.8 milyar untuk subsidi urea curah dan Rp. 371.8 milyar untuk urea kantong. Tabel 6 menyajikan perhitungan besarnya dana subsidi untuk pupuk ZA, SP-36 dan NPK. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa besarnya Harga Pembelian Pemerintah untuk ZA, SP-36 dan NPK masing-masing sebesar Rp. 785.835, Rp.1.182.420, dan Rp. 1.409.935 per ton untuk produksi curah dan Rp. 838.544, Rp. 1.232.515, dan Rp. 1.454.521 per ton untuk produksi dalam kantong. Sampai di pengecer (Lini IV) setelah ditambah biaya produksi, fee dan PPN maka harga jual pengecer untuk produksi dalam kantong masing-masing 64
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
untuk ZA, SP-36 dan NPK sebesar Rp. 1.260, Rp. 1.693, dan Rp. 1.937 per kg. Dalam perhitungan subsidi pupuk non urea yang digunakan biasanya adalah perhitungan produksi dalam kantong. Jika HET yang ditetapkan pemerintah untuk ZA, SP-36 dan NPK masing-masing sebesar Rp. 950, Rp. 1.400 dan Rp. 1.600 per kg maka besarnya subsidi mencapai Rp. 252, Rp. 238 dan Rp. 288 per kg. Secara total, dana subsidi pupuk non urea yang harus dikeluarkan pemerintah untuk tahun 2004 berdasarkan rencana produksi dari pabrik pupuk adalah sekitar Rp. 414.5 milyar untuk produksi dalam kantong. Berdasarkan perhitungan subsidi pupuk urea dan non urea tersebut maka total dana subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah untuk tahun 2004 adalah sebesar Rp. 1.64 trilyun. Selain perhitungan subsidi berdasarkan rata-rata biaya distribusi nasional dari Pusri Holding Co., Tim Analisis Kebijakan Puslitbang Sosek telah melakukan kajian lapang pada bulan Juli 2004 mengenai kelangkaan dan lonjakan harga pupuk. Berdasarkan informasi dilapang diketahui bahwa penyebab melonjaknya harga pupuk selain terjadinya kelangkaan adalah biaya distribusi dan fee distributor/pengecer yang lebih besar dari perhitungan dalam rencana subsidi. Oleh sebab itu berdasarkan informasi terbaru yang diperoleh di lapang maka naiknya biaya distribusi dan fee menyebabkan berubahnya perhitungan subsidi pupuk. Tabel 7 menyajikan perhitungan subsidi pupuk urea dan Tabel 8 untuk pupuk non urea berdasarkan perubahan biaya distibusi dan fee distributor/pengecer hasil kajian Tim Analisis Kebijakan PSE. Perubahan tersebut menyebabkan meningkatnya subsidi urea dan non urea. Subsidi urea membengkak menjadi Rp. 978.4 milyar yang terdiri dari Rp. 560.5 milyar untuk urea curah dan Rp. 417.9 untuk urea kantong. Sedangkan untuk non urea produksi kantong total subsidi meningkat menjadi Rp. 896.9 milyar. Jika digabungkan perhitungan subsidi urea dan non urea selama tahun 2004 berdasarkan peningkatan biaya distribusi dan fee maka total dana subsidi mencapai Rp. 1.875 trilyun atau meningkat sebesar 14.3 persen dibandingkan dengan perhitungan dengan dasar biaya distribusi dan fee tahun 2002. Bentuk Pemberian Subsidi Pemberian subsidi pupuk yang besarnya mencapai Rp. 1.64 trilyun atau berdasarkan perhitungan terbaru mencapai Rp. 1.875 trilyun dengan melihat komponen perhitungan subsidi pada Tabel 5 – 8 dapat dilakukan melalui beberapa alternatif pemberian subsidi yang dapat dipilih Pertama, produk pupuk ini dikenakan pajak berupa PPN yang besarnya mencapai 10 persen. Alternatif pemberian subsidi ini dapat dilakukan melalui penghapusan PPN atau dengan kata lain subsidi berupa PPN. Besar subsidi PPN ini berdasarkan perhitungan subsidi Rp. 1.64 trilyun mencapai Rp. 164 milyar sedangkan berdasarkan perhitungan subsidi Rp. 1.875 trilyun mencapai Rp. 187.5 milyar. Karena pemberian subsidi ini berupa
Perhitungan Subsidi Pupuk 2004 Berdasarkan Alternatif Perhitungan Subsidi Atas Biaya Distribusi [Mohamad Maulana]
Tabel 5. Perhitungan Subsidi Pupuk Urea Tahun 2004 Berdasarkan Perhitungan Biaya Produksi Masing-Masing Produsen dan Rata-Rata Biaya Distribusi Berdasarkan Perhitungan Pusri Holding Co. Tahun 2002 (Rp/Ton). No. 1
2 3
4
5
6 7
8 9
10
11
12 13
14
15
Jenis Biaya Tonase Produksi Bersubsidi Pemasaran DN Bersubsidi Curah Pemasaran DN Bersubsidi Kantong Biaya Bahan Baku dan Penolong (Gas) Biaya Produksi Biaya Produksi Urea Curah Biaya Produksi Urea Kantong Marjin Produksi (10 %) Urea Curah Urea Kantong Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Urea Curah Urea Kantong Biaya Distribusi Sampai Dengan Lini III Harga Pokok Lini III Urea Curah Urea Kantong Biaya Distribusi Lini III – Lini IV Fee Distributor Harga Beli Lini IV Urea Curah Urea Kantong PPN 10 % Urea Curah Urea Kantong Fee Pengecer Harga Jual Lini IV Urea Curah Urea Kantong HET 2004 Subsidi Subsidi Urea Curah Urea Kantong Subsidi Pupuk Urea Curah Urea Kantong Total Subsidi Urea Curah Urea Kantong
PUSRI 1,351,564 754,308 308,968 538,974
KALTIM 1,507,660 665,933 174,135 441,273
PIM 354,072 225,331 30,875 310,009
KUJANG 350,265 261,718 563,511
PETRO 243,662 201,947 547,202
816,273 892,031
877,018 908,670
762,840 799,960
833,489 895,144
905,093 952,227
81,627 89,203
87,702 90,867
76,284 79,996
83,349 89,514
90,509 95,223
897,900 981,234 232,821
964,720 999,537 232,821
839,124 879,956 232,821
916,838 984,658 232,821
995,602 1,047,450 232,821
1,130,721 1,214,055 30,000 18,500
1,197,541 1,232,358 30,000 18,500
1,071,945 1,112,777 30,000 18,500
1,149,659 1,217,479 30,000 18,500
1,228,423 1,280,271 30,000 18,500
1,179,221 1,262,555
1,246,041 1,280,858
1,120,445 1,161,277
1,198,159 1,265,979
1,276,923 1,328,771
117,922 126,256 25,350
124,604 128,086 25,350
112,045 116,128 25,350
119,816 126,598 25,350
127,692 132,877 25,350
1,322,493 1,414,161 1,050,000
1,395,995 1,434,294 1,050,000
1,257,840 1,302,755 1,050,000
1,343,325 1,417,927 1,050,000
1,429,966 1,486,998 1,050,000
272,493 345,995 364,161 384,294 318,057,742,677 297,328,451,537 205,543,938,336 230,409,554,433 112,513,804,341 66,918,897,104 854,566,413,064 482,786,262,603 371,780,150,462
207,840 252,755 54,636,591,012 46,832,769,833 7,803,821,178
293,325 367,927 96,293,210,514 0 96,293,210,514
379,966 436,998 88,250,417,325 0 88,250,417,325
PPN maka sebenarnya secara riil pemerintah tidak mengeluarkan dana tetapi hanya memangkas pendapatannya melalui pajak sebesar jumlah subsidi yang diberikan. Kedua, subsidi diberikan berupa dana riil yang diberikan kepada produsen yang tentunya besarnya sesuai dengan perhitungan subsidi yaitu Rp. 1.64 trilyun atau Rp. 1.875 trilyun. Jumlah ini biasanya diberikan pada akhir tahun anggaran setelah diperoleh data terakhir tentang penjualan pupuk bersubsidi dari produsen. Kombinasi dari kedua alternatif pemberian subsidi ini merupakan yang cocok untuk diterapkan. Dengan berorientasi pada penggunaan dana secara riil maka setidaknya pemerintah dapat “menghemat” dana subsidi sebesar Rp. Rp. 164 – Rp. 187.5 milyar.
Kelebihan dan Kelemahan Perhitungan Subsidi Atas Biaya Distribusi Perhitungan subsidi pupuk atas biaya distribusi ini mempunyai beberapa kelebihan antara lain : 1. Karena perhitungan subsidi pupuk ini sudah mempertimbangkan biaya distribusi dan HET maka seharusnya pencapaian HET sampai di Lini IV dapat terjamin. 2. Produsen, distributor dan pengecer “dipastikan “ memperoleh marjin keuntungan. Sehingga dengan adanya pemberian subsidi ini seharusnya mampu bagi Produsen, Distributor dan Pengecer untuk meningkatkan usaha dan pelayanannya kepada konsumen. 3. Pemberian subsidi dengan cara ini dapat dianggap telah mencukupi karena telah mempertimbangkan seluruh biaya sampai ditingkat pengecer. 65
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
Tabel 6. Perhitungan Subsidi Pupuk Non Urea Tahun 2004 Berdasarkan Perhitungan Biaya Produksi Masing-Masing Produsen dan Rata-Rata Biaya Distribusi Berdasarkan Perhitungan Pusri Holding Co. Tahun 2002 dan Nilai Tukar Rp. 8.700/US$ (Rp/Ton). No. 1 2 3
Jenis Biaya Tonase Produksi Bersubsidi Biaya Bahan Baku dan Penolong (Gas) Biaya Produksi Biaya Produksi Curah
Biaya Produksi Kantong Marjin Produksi 10 % Produksi Curah Produksi Kantong 5 Harga Jual Produksi (FOB) Produksi Curah Produksi Kantong 6 Biaya Distribusi Sampai Dengan Lini III 7 Harga Beli Lini III Produksi Curah Produksi Kantong 8 Biaya Distribusi Lini III - Lini IV Fee Distributor 9 Harga Beli Lini IV Produksi Curah Produksi Kantong Fee Pengecer 10 Harga Jual ke Petani Produksi Curah Produksi Kantong 11 PPN 10 % Produksi Curah Produksi Kantong 12 Harga Jual ke Petani + PPN Produksi Curah Produksi Kantong 13 HET Subsidi 14 Subsidi Produksi Curah Produksi Kantong 15 Subsidi Pupuk Produksi Curah Produksi Kantong 16 Total Subsidi Produksi Curah Produksi Kantong SUBSIDI TOTAL (Urea + Non Urea) Curah Kantong Total Urea + Non Urea Kantong
ZA 462,120 416,145
PETRO SP-36 582,240 849,174
NPK 300,000 1,005,318
714,395
1,074,927
1,281,759
762,313
1,120,468
1,322,292
71,440 76,231
107,493 112,047
128,176 132,229
785,835 838,544 232,821
1,182,420 1,232,515 232,821
1,409,935 1,454,521 232,821
1,018,656 1,071,365 30,000 18,500
1,415,241 1,465,336 30,000 18,500
1,642,756 1,687,342 30,000 18,500
1,067,156 1,119,865 25,000
1,463,741 1,513,836 25,000
1,691,256 1,735,842 25,000
1,092,156 1,144,865
1,488,741 1,538,836
1,716,256 1,760,842
109,216 114,487
148,874 153,884
171,626 176,084
1,201,371 1,259,352 950,000
1,637,615 1,692,719 1,400,000
1,887,881 1,936,926 1,600,000
251,371 309,352
237,615 292,719
287,881 336,926
116,163,589,626 142,957,667,680
138,348,823,685 170,432,931,811
86,364,447,000 101,077,926,000
4
4. Upaya pemerintah untuk mendorong petani menggunakan pupuk secara berimbang akan berjalan dengan baik karena subsidi diberikan untuk pupuk urea dan non urea. Selain kelebihan, perhitungan ini juga mempunyai beberapa kelemahan. Beberapa kelemahan tersebut adalah : 1. Pemberian subsidi dengan alternatif ini kurang mendorong efisiensi pabrik pupuk. Hal ini disebabkan biaya produksi pupuk telah diterima dan dibayar oleh 66
340,876,860,311 414,468,525,491 823,663,122,913 786,248,675,952 1,640,815,089,017
pemerintah sehingga upaya – upaya untuk melakukan efisiensi tidak menjadi prioritas utama lagi. 2. Karena alternatif subsidi ini menyangkut rantai distribusi sampai ke pengecer maka sangat diperlukan pengawasan dan monitoring yang lebih kompleks sampai tingkat petani. 3. Perolehan marjin perton tidak sama diantara produsen. Hal ini disebabkan perhitungan biaya produksi yang berbeda-beda. 4. Karena diatas kertas HET telah terjamin, maka jika
Perhitungan Subsidi Pupuk 2004 Berdasarkan Alternatif Perhitungan Subsidi Atas Biaya Distribusi [Mohamad Maulana]
Tabel 7. Perhitungan Subsidi Pupuk Urea Tahun 2004 Berdasarkan Perhitungan Biaya Produksi Masing-Masing Produsen Tahun 2002 dan Rata-Rata Biaya Distribusi Berdasarkan Perhitungan Tim Analisis Kebijakan Puslitbang Sosek Tahun 2004 (Rp/Ton). No. 1
2 3
4
5
6 7
8 9
10
11
12 13
14
15
Jenis Biaya Tonase Produksi Bersubsidi Pemasaran DN Bersubsidi Curah Pemasaran DN Bersubsidi Kantong Biaya Bahan Baku dan Penolong (Gas) Biaya Produksi Biaya Produksi Urea Curah Biaya Produksi Urea Kantong Marjin Produksi (10 %) Urea Curah Urea Kantong Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Urea Curah Urea Kantong Biaya Distribusi Sampai Dengan Lini III Harga Pokok Lini III Urea Curah Urea Kantong Biaya Distribusi Lini III - Lini IV Fee Distributor Harga Beli Lini IV Urea Curah Urea Kantong PPN 10 % Urea Curah Urea Kantong Fee Pengecer Harga Jual Lini IV Urea Curah Urea Kantong HET 2004 Subsidi Subsidi Urea Curah Urea Kantong Subsidi Pupuk Urea Curah Urea Kantong Total Subsidi Urea Curah Urea Kantong
PUSRI 1,351,564 754,308 308,968 538,974
KALTIM 1,507,660 665,933 174,135 441,273
PIM 354,072 225,331 30,875 310,009
KUJANG 350,265 261,718 563,511
PETRO 243,662 201,947 547,202
816,273 892,031
877,018 908,670
762,840 799,960
833,489 895,144
905,093 952,227
81,627 89,203
87,702 90,867
76,284 79,996
83,349 89,514
90,509 95,223
897,900 981,234 250,000
964,720 999,537 250,000
839,124 879,956 250,000
916,838 984,658 250,000
995,602 1,047,450 250,000
1,147,900 1,231,234 50,000 20,000
1,214,720 1,249,537 50,000 20,000
1,089,124 1,129,956 50,000 20,000
1,166,838 1,234,658 50,000 20,000
1,245,602 1,297,450 50,000 20,000
1,217,900 1,301,234
1,284,720 1,319,537
1,159,124 1,199,956
1,236,838 1,304,658
1,315,602 1,367,450
121,790 130,123 30,000
128,472 131,954 30,000
115,912 119,996 30,000
123,684 130,466 30,000
131,560 136,745 30,000
1,369,690 1,461,358 1,050,000
1,443,192 1,481,491 1,050,000
1,305,036 1,349,952 1,050,000
1,390,522 1,465,124 1,050,000
1,477,163 1,534,195 1,050,000
255,036 340,522 299,952 415,124 66,728,743,534 108,645,489,165 57,467,714,368 0 9,261,029,166 108,645,489,165
427,163 484,195 97,781,692,786 0 97,781,692,786
319,690 393,192 411,358 431,491 368,241,045,347 336,977,064,100 241,144,931,370 261,839,547,558 127,096,113,976 75,137,516,542 978,374,034,931 560,452,193,296 417,921,841,635
terjadi klaim masyarakat khususnya untuk penjualan pupuk yang melebihi HET harus segera diantisipasi. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Pemberian subsidi urea dan non urea pada tahun 2004 masih perlu diberikan agar harga pupuk terjangkau petani dan menjaga kelangsungan industri pupuk. Berdasarkan perhitungan subsidi atas biaya distribusi tahun 2004 dengan menggunakan data biaya produksi dan distribusi tahun 2002 serta patokan nilai tukar sesuai dengan RAPBN 2003 sebesar Rp. 8.700/US$ maka total dana subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah sebesar
Rp. 1.64 trilyun. Sedangkan bila dilakukan penyesuaian biaya distribusi dan fee distributor/pengecer delam perhitungan dengan menggunakan data tahun 2004 dari Tim Analisis Kebijakan Puslitbang Sosek maka dana subsidi meningkat menjadi Rp. 1.875 trilyun. Jumlah ini lebih besar dari dana subsidi yang telah disetujui untuk dikeluarkan pemerintah tahun 2004 sebesar Rp. 1.3 trilyun. Dua faktor yang sangat berpengaruh terhadap perhitungan subsidi ini adalah biaya distribusi dan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar sehingga fluktuasi secara signifikan dapat menyebabkan terhambatnya pasokan gas dan distribusi pupuk sampai ke Lini IV. Karena perhitungan ini sudah memasukan biaya distribusi, fee distributor/pengecer dan nilai tukar yang disesuaikan dengan RAPBN sampai di Lini IV maka 67
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
Tabel 8. Perhitungan Subsidi Pupuk Urea Tahun 2004 Berdasarkan Perhitungan Biaya Produksi Masing-Masing Produsen Tahun 2002 dan Rata-Rata Biaya Distribusi Berdasarkan Perhitungan Tim Analisis Kebijakan Puslitbang Sosek Tahun 2004 (Rp/Ton). No. 1 2 3
4
5
6 7
8 9
10
11
12
13 14
15
16
Jenis Biaya Tonase Produksi Bersubsidi Biaya Bahan Baku dan Penolong (Gas) Biaya Produksi Biaya Produksi Curah Biaya Produksi Kantong Marjin Produksi 10 % Produksi Curah Produksi Kantong Harga Jual Produksi (FOB) Produksi Curah Produksi Kantong Biaya Distribusi Sampai Dengan Lini III Harga Beli Lini III Produksi Curah Produksi Kantong Biaya Distribusi Lini III - Lini IV Fee Distributor Harga Beli Lini IV Produksi Curah Produksi Kantong Fee Pengecer Harga Jual ke Petani Produksi Curah Produksi Kantong PPN 10 % Produksi Curah Produksi Kantong Harga Jual ke Petani + PPN Produksi Curah Produksi Kantong HET Subsidi Subsidi Produksi Curah Produksi Kantong Subsidi Pupuk Produksi Curah Produksi Kantong Total Subsidi Produksi Curah Produksi Kantong
SUBSIDI TOTAL (Urea + Non Urea) Curah Kantong Total Urea + Non Urea Kantong
Harga Eceran Tertinggi (HET) seharusnya dapat terjamin. Implikasi Kebijakan Petani sangat mengharapkan tersedianya pupuk bersubsidi dengan harga sesuai HET. Dari hasil perhitungan terlihat perbedaan yang cukup besar dibandingkan dengan dana yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Oleh karena jika pemerintah mempunyai tambahan alokasi 68
462,120 416,145
PETRO SP-36 582,240 849,174
NPK 300,000 1,005,318
714,395 762,313
1,074,927 1,120,468
1,281,759 1,322,292
71,440 76,231
107,493 112,047
128,176 132,229
785,835 838,544 250,000
1,182,420 1,232,515 250,000
1,409,935 1,454,521 250,000
1,035,835 1,088,544 50,000 20,000
1,432,420 1,482,515 50,000 20,000
1,659,935 1,704,521 50,000 20,000
1,105,835 1,158,544 30,000
1,502,420 1,552,515 30,000
1,729,935 1,774,521 30,000
1,135,835 1,188,544
1,532,420 1,582,515
1,759,935 1,804,521
113,583 118,854
153,242 158,251
175,993 180,452
1,249,418 1,307,399 950,000
1,685,662 1,740,766 1,400,000
1,935,928 1,984,973 1,600,000
299,418 357,399
285,662 340,766
335,928 384,973
138,367,023,054 165,161,101,108
166,323,650,741 198,407,758,867
100,778,517,000 115,491,996,000
ZA
405,469,190,795 479,060,855,975
965,921,384,091 896,982,697,610 1,875,356,732,541
dana pembangunan maka demi terjaminnya HET di pengecer sebaiknya dialokasikan untuk penambahan dana subsidi pupuk. Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar sangat berpengaruh terhadap biaya gas yang akhirnya mempengaruhi biaya produksi. Agar produksi pupuk stabil maka pemerintah harus memainkan peran dan kebijakan yang maksimal untuk menjaga kestabilan nilai tukar.
Perhitungan Subsidi Pupuk 2004 Berdasarkan Alternatif Perhitungan Subsidi Atas Biaya Distribusi [Mohamad Maulana]
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1993-2003. Kebutuhan Pupuk Urea dan Non Urea. http : www.pusri.co.id/niaga. 8 September 2004. Anonim. 1999-2003. Perkembangan Laba Rugi. http : www.pusri. co.id/niaga. 10 September 2004. Anonim. 2002-2004. Realisasi Produksi, Pengadaan Pertanian, Industri dan Ekspor Pupuk Urea Oleh BUMN Pupuk. PT. Pupuk Sriwijaya Holding Co. Jakarta. Anonim. 2004. Keputusan Menteri Pertanian Tentang Kebutuhan Pupuk Bersubsidi Untuk sektor Pertanian Tahun Anggaran 2004. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta Anonim. Kajian Atas Perubahan Konsep Subsidi Dari Subsidi Distribusi Menjadi Subsidi Gas. PT. Pupuk Sriwidjaya. Jakarta. Kariyasa, K., Sudi Mardiyanto, Mohamad Maulana. 2004. Analisis Kebijaksanaan Pertanian : Kajian Kelangkaan Pupuk dan Usulan Tingkat Subsidi Serta Perbaikan Sistem Pendistribusian Pupuk di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Simatupang, P. Kembalikan Subsidi Pupuk Kepada Petani. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
69
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003 ISSN: 1411-7177
1 Tahun 200 6 SOCA ❖ 6Volume (1) : 706 -Nomor 75
ANALISIS KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PASCA KRISIS EKONOMI DI PROVINSI JAWA BARAT Mewa Ariani Dan Tri Bastuti Purwantini Peneliti Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian
ABSTRACT Food is the most fundamental need for household, directly related to the quality of human resources. The objective of this paper is to analyze the pattern of household food consumption in West Java province after economic crisis. Data are from SUSENAS year 1996,1999 and 2002. The results are : 1) Prosperity level of households after economic crisis is getting better, but it still lower than condition before crisis, 2) When the economic crisis happened, energy and protein consumptions of household decreased and the slope of it in West Java province was higher than national level. After economic crisis, consumption level of both nutrients then increase again, 3) Consumption of rice decrease after crisis, but consumption of instant noodle increase. The pattern of staple food consumption also change from rice pattern to rice-noodle pattern based of both region and income group. The implications of the policy is developing program of food diversification in the future must be implemented in more accurate way, supported by deeper research about consumer behavior. Besides, efforts to increase purchasing power and availability of some commodities such as animal foods, vegetables and fruits must be done. In accordance with that, people awareness of food, nutrition and health must be increase too. Political will and political power of governments are the success deciders. Keyword: Food, Consumption, Household, Economic Crisis, West Java. PENDAHULUAN Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang aktivitasnya sehari-hari sepanjang waktu (Saliem, dkk; 2002). Pangan sebagai bagian dari hak azasi manusia (HAM) mengandung arti bahwa negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pangan bagi warganya. Menurut Suryana (2004) pemenuhan kebutuhan pangan dalam konteks ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembentukan sumberdaya manusia berkualitas yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di tataran global. Beberapa studi terdahulu menyatakan bahwa ketersediaan pangan per kapita sampai dengan tahun 1996 cenderung berlebih dibandingkan dengan tingkat konsumsi riil penduduk (Sawit dan Ariani, 1997; Erwidodo dkk, 1999; Ariani dkk, 2000). Terjadinya krisis ekonomi sejak pertengahan 1997 berdampak pada perubahan pola konsumsi pangan penduduk. Hasil kajian Ariani dkk (2000) menunjukkan bahwa secara nasional krisis ekonomi antara lain berdampak pada peningkatan pangsa pengeluaran pangan rumahtangga dan peningkatan jumlah rumahtangga defisit energi dan protein, perubahan tersebut terjadi pada semua segmen rumahtangga baik kota/desa maupun kelompok pendapatan (rendah, 70
sedang dan tinggi). Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis konsumsi pangan pasca krisis ekonomi di Provinsi Jawa Barat. Aspek yang dianalisis adalah struktur pengeluaran pangan, konsumsi energi dan protein, pola dan tingkat konsumsi pangan. METODOLOGI PENGKAJIAN Sumber Data Data yang digunakan untuk menganalisis perkembangan konsumsi pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat adalah data Survei Sosial Ekonomi Pertanian (SUSENAS) tahun 1996, 1999 dan 2002. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam bentuk publikasi dan bentuk data mentah yang kemudian diolah dengan menggunakan Personal Computer (PC) dengan program SAS. Jumlah rumah tangga yang dianalisis dalam SUSENAS tahuan 1996, 1999 dan 2002 untuk Provinsi Jawa Barat berturut-turut sebesar 7.928, 7.928 dan 6.943 rumah tangga. Sementara total rumah tangga yang dianalisis untuk agregat nasional berturut-turut sebesar 50.893, 61.473 dan 62.555 rumah tangga. Metode Analisis Data Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dalam bentuk tabel-tabel berdasarkan wilayah (kota dan desa) dan kelompok pangan. Untuk mengetahui posisi perkembangan konsumsi pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat dibandingkan dengan daerah lain, maka
Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pasca Krisis Ekonomi di Provinsi Jawa Barat [Mewa Ariani dan Tri Bastuti Purwantini]
Tabel 1. Perkembangan Pangsa Pengeluaran Pangan Nasional dan Provinsi Jawa Barat Menurut Wilayah (Rp/kap/bulan)
Kota
1996 48 278 (48,0)
Indonesia 1999 101 394 (56,2)
Desa
33 345 (63,3)
76 854 (70,2)
Kota+Desa
38 725 (55,3)
86 511 (62,9)
Wilayah
2002 144 352 (52,8) 101 692 (66,6) 120 649 (58,5)
1996 52 022 (47,1)
Jawa Barat 1999 94 035 (55,4)
2002 138 936 (55,1)
38 661 (60,8)
79 791 (68,5)
106 742 (66,2)
44 418 (53,0)
86 582 (61,0)
123 685 (59,2)
Keterangan : Angka dalam kurung adalah pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran (%) Sumber: Susenas, 1996, 1999 dan 2002 (diolah)
dalam analisis ini juga disajikan data konsumsi pangan untuk tingkat nasional. Selain itu, juga disajikan data konsumsi pangan sebelum dan masa krisis ekonomi, sehingga dapat diketahui perkembangan konsumsi pangan secara komprehensif. HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Pengeluaran total dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu pengeluaran untuk pangan dan barang-barang bukan pangan. Proporsi antara pengeluaran pangan dan bukan pangan juga digunakan sebagai indikator untuk menentukan tingkat kesejahteraan atau ketahanan pangan rumah tangga. Dari proporsi pengeluaran pangan dapat diungkapkan bahwa semakin tinggi proporsi pengeluaran pangan berarti tingkat kesejahteraan atau ketahanan pangan rumah tangga semakin rendah atau rentan. Secara absolut, pengeluaran pangan baik pada tingkat nasional maupun di Provinsi Jawa Barat mengalami peningkatan. Selama tahun 1996-2002, laju peningkatan pengeluaran pangan tingkat nasional sebesar 49,9 persen, di kota sebesar 49,0 persen dan di desa sebesar 47,9 persen. Rata-rata peningkatan laju pengeluaran pangan di Provinsi Jawa Barat masih lebih kecil dibandingkan dengan nasional yaitu 45,7 persen di kota dan 45,3 persen (Tabel 1). Dengan membandingkan data pangsa pengeluaran antara kota dan desa menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat kota lebih baik dibandingkan dengan masyarakat pedesaan (Tabel 1). Kecenderungan ini tidak hanya terjadi pada agregat nasional tetapi juga di Provinsi Jawa Barat. Hal ini berarti kebijakan perekonomian yang salah satu tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat telah menunjukkan hasil. Kecenderungan tersebut terutama terjadi pada kondisi sebelum krisis ekonomi. Hukum Engel menyatakan dengan asumsi selera seseorang adalah tetap, proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan akan semakin kecil seiring dengan semakin meningkatnya pendapatan. Data pada Tabel 2 juga membuktikan bahwa semakin tinggi pendapatan akan semakin rendah pangsa pengeluaran pangan. Kecenderungan tersebut adalah konsisten, tidak hanya secara agregat nasional tetapi juga di Jawa Barat, kalaupun ada perbedaan terletak pada laju penurunan pangsa
pengeluaran pangan. Tingkat kesejahteraan masyarakat mengalami penurunan sejak terjadinya krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997, yang ditunjukkan oleh perubahan proporsi pengeluaran pangan antara tahun 1996 (sebelum krisis) dengan tahun 1999 (semenjak krisis). Penurunan proporsi pengeluaran di kota lebih besar dari pada di desa. Dengan demikian dampak negatif dari krisis ekonomi pada masyarakat kota lebih berat dibandingkan dengan masyarakat pedesaan. Juga berarti dampak krisis ekonomi terhadap sektor pertanian yang menjadi sumber pendapatan utama masyarakat desa lebih kecil daripada sektor non pertanian yang merupakan sumber pendapatan masyarakat kota. Untuk memulihkan perekonomian nasional, pemerintah telah menetapkan serangkaian kebijakan baik di bidang ekonomi maupun dibidang yang lain. Akibat hal tersebut, tingkat kesejahteraan masyarakat di tingkat nasional dan Provinsi Jawa Barat (kota dan desa) meningkat kembali. Sebagai contoh, pangsa pengeluaran pangan di Provinsi Jawa Barat pada waktu krisis ekonomi sebesar 61,0 persen menurun menjadi 59,2 persen. Namun demikian, tingkat kesejahteraan tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan keadaan sebelum krisis ekonomi. Pada Tabel 2 disajikan data pengeluaran pangan menurut kelompok pangan pasca krisis ekonomi . Dari tabel tersebut terlihat bahwa secara agregat proporsi pengeluaran makanan/minuman jadi di kota terbesar dan mengalahkan pengeluaran untuk padi-padian. Pola kehidupan masyarakat kota dan desa adalah berbeda. Masyarakat kota banyak yang bekerja di luar rumah termasuk kaum wanita, sehingga mereka sering makan siang dalam bentuk makanan/minuman jadi, dan juga membeli makanan jadi untuk dibawa ke rumah. Selain itu jenis makanan/minuman jadi di kota sangat banyak dan tersedia di berbagai tempat yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Namun untuk di Provinsi Jawa Barat, proporsi pengeluaran padi-padian masih terbesar, apalagi untuk wilayah pedesaan. Proporsi pengeluaran rumah tangga di perkotaan Jawa Barat untuk padi-padian sebesar 19,1 persen, sedangkan di pedesaan mencapai 9,0 persen. Kelompok padi-padian terdiri dari tiga komoditas pangan yaitu beras, jagung dan tepung terigu. Karena beras sebagai pangan pokok, proporsi pengeluaran untuk beras dalam kelompok padi-padian akan dominan. 71
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
Provinsi Jawa Barat adalah salah satu provinsi yang dekat dengan ibukota Indonesia, sehingga gaya hidup termasuk gaya makan rumah tangga di wilayah ini akan terimbas dengan kehidupan rumah tangga di Jakarta. Kondisi sarana dan prasarana seperti jalan dan alat transportasi antara Jakarta dengan Provinsi Jawa Barat sangat baik, yang berdampak pada peningkatan mobilitas masyarakat Jawa Barat. Karena keadaan seperti hal tersebut, pengeluaran makanan dan minuman jadi rumah tangga di Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta tidak jauh berbeda. Tabel 2. Pengeluaran Pangan di Indonesia dan Provinsi Jawa Barat Menurut Kelompok Pangan, 2002 (%) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Ikan Daging Telur+Susu Sayuran Kacang-kacangan Buah-buahan Minyak+Lemak Bahan Minuman Makanan/Minuman Jadi Tembakau+ Sirih Lainnya Total
Indonesia Kota Desa 16,4 27,0 0,9 1,4 8,5 9,2 6,3 3,3 6,8 4,2 7,6 8,6 3,3 3,6 5,4 4,2 3,4 4,3 4,2 5,2 21,2 11,4 10,7 12,7 5,3 4,9 100 100
Jawa Barat Kota Desa 19,1 29,0 0,9 1,0 7,4 7,1 6,8 3,4 7,1 4,3 7,0 6,8 3,6 3,4 5,3 4,3 3,3 3,3 3,8 3,5 18,0 15,2 12,0 13,7 5,7 5,0 100 100
Konsumsi Energi dan Protein Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VI, 1998, terjadi perubahan tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein menjadi 2200 Kalori/kapita/hari (AKE) dan 48 gram/kapita/hari (AKP). Mengacu pada standar anjuran tersebut dan data pada Tabel 3, terlihat tingkat konsumsi energi rumah tangga di Indonesia termasuk di Provinsi Jawa Barat masih dibawah standar yang dianjurkan. Sebaliknya tingkat konsumsi protein rumah tangga sudah melebihi anjuran bahkan sejak sebelum krisis ekonomi. Terdapat kecenderungan tingkat konsumsi energi di desa lebih tinggi daripada di kota dan sebaliknya tingkat konsumsi protein di desa lebih rendah daripada kota. Fenomena ini menunjukkan bahwa pada tingkat pendapatan tertentu, rumah tangga akan memprioritaskan pada pangan dengan harga murah seperti pangan sumber energi, kemudian dengan semakin meningkatnya pendapatan, akan terjadi perubahan preferensi konsumsi yaitu dari pangan dengan harga murah beralih ke pangan yang harganya mahal seperti pangan sumber protein. Seperti terlihat pada Tabel 1, pendapatan rumah tangga (yang diproksi dengan pengeluaran) di desa memang lebih kecil dibandingkan dengan di kota. Hal inilah yang memungkinkan terjadinya fenomena tersebut diatas. Berdasarkan data tahun 2002 secara agregat nasional, tingkat konsumsi energi baru 96,5 persen dari kecukupan yang dianjurkan, sedangkan di Provinsi Jawa Barat lebih kecil daripada rata-rata nasional yaitu 92,4 persen. Sementara untuk protein menunjukkan kebalikannya, tingkat konsumsi protein pada rumah tangga di Jawa 72
Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Energi dan Protein di Indonesia dan Provinsi Jawa Barat Menurut Wilayah. Zat Gizi Energi (kal/ kap/hr) •Kota •Desa
1996
Indonesia 1999 2002
1996
Jawa Barat 1999 2002
1983,6 (92,3)
1802,3 (81,9)
1953,4 (88,8)
2078,6 (94,5)
1784,6 (81,1)
1985,5 (90,3)
2040,2 (94,9)
1879,9 (85,5)
2011,5 (91,5)
2150,8 (97,8)
1984,7 (90,2)
2085,3 (94,8)
•Kota+Desa 2019,8 1849,4 1985,7 2119,3 1889,3 2032,8 (94,0) (84,0) (90,3) (96,3) (85,9) (92,4) Protein (gr/kap/hr) •Kota 55,9 49,3 56,0 59,1 48,6 56,6 (121,0) (102,7) (116,7) (123,1) (101,3) (117,9) •Desa
53,7 48,2 53,2 58,9 51,7 56,1 (116,2) (100,4) (110,8) (122,7) (107,7) (116,9)
•Kota+Desa
54,5 48,7 54,4 59,0 50,2 56,3 (118,0) (101,5) (113,3) (122,9) (104,6) (117,3)
Keterangan: Angka dalam kurung adalah % terhadap tingkat kecukupan anjuran untuk energi 2.200 kal/kap/hr dan protein = 48 gr/kap/hr.
Barat mencapai 117,3 persen lebih tinggi dibandingkan agregat nasional (116,9 %). Pola konsumsi seperti tersebut adalah tidak baik dan mahal, karena apabila energi yang dikonsumsi belum sesuai dengan kebutuhan yang dianjurkan maka protein akan dibakar oleh tubuh untuk menutupi kekurangan energi. Padahal harga per satuan energi yang berasal dari protein lebih mahal dibandingkan dengan energi yang berasal dari pangan sumber karbohidrat atau pangan pokok seperti beras, ubikayu dan lain-lain. Pada waktu krisis ekonomi, konsumsi energi dan protein mengalami penurunan. Penurunan energi pada rumah tangga di Jawa Barat lebih besar dibandingkan dengan rata-rata nasional yaitu masing-masing 10,6 persen dan 8,4 persen. Demikian pula penurunan konsumsi protein di Jawa Barat juga lebih besar daripada agregat nasional (nasional : 10,6% ; Jawa Barat : 13,9%). Dari kecenderungan ini dapat diartikan bahwa dampak negatif akibat krisis ekonomi pada rumah tangga di Jawa Barat lebih besar dibandingkan agregat nasional. Bila dilihat menurut wilayah, penurunan konsumsi energi dan protein di kota lebih tinggi daripada di desa. Hal ini juga menunjukkan bahwa dampak negatif krisis ekonomi lebih banyak dirasakan oleh rumah tangga di kota yang pada umumnya bekerja di sektor informal. Sektor informal terutama sektor industri terkena dampak yang parah sehingga harus menutup usahanya atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin. Menurut Irawan, dkk (2000) jumlah penduduk miskin pada tahun 1996 sebesar 22,3 juta orang meningkat menjadi 79,4 juta orang tahun 1999.. Pada waktu krisis ekonomi juga terjadi penurunan pendapatan dan kenaikan harga pangan dan non pangan, sehingga menyebabkan penurunan daya beli masyarakat. Pada pasca krisis ekonomi, konsumsi energi dan protein sudah meningkat kembali, namun demikian
Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pasca Krisis Ekonomi di Provinsi Jawa Barat [Mewa Ariani dan Tri Bastuti Purwantini]
tingkat konsumsinya masih lebih kecil dibandingkan dengan sebelum krisis ekonomi. Konsumsi energi dan protein pada rumah tangga di Jawa Barat pada tahun 1996 masing-masing sebesar 2119,3 Kalori/kapita/hari dan 58,9 gram/kapita/hari lebih tinggi daripada tahun 2002 masing-masing sebesar 2032,8 Kalori/kapita/hari dan 56,3 gram/kapita/hari. Dalam konsumsi pangan, selain kuantitas juga harus diperhatikan masalah kualitas pangan. Walaupun secara kuantitas terpenuhi namun pangan yang dikonsumsi kurang beraneka ragam dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan fisik dan kecerdasan manusia. Permasalah ini yang masih serius dihadapi oleh masyarakat Indonesia seperti terlihat pada Tabel 4. Pola pangan masyarakat Indonesia masih dominan pada pangan sumber karbohidrat atau pangan nabati. Konsumsi energi yang berasal dari pangan nabati mencapai sekitar 94 persen dan tertinggi berasal dari kelompok padi-padian. Demikian pula konsumsi protein juga dominan dari nabati sekitar 79 persen dan juga berasal dari kelompok padi-padian. Tabel 4. Pangsa Konsumsi Energi dan Protein di Indonesia dan Provinsi Jawa Barat Menurut Kelompok Pangan, 2002 (%) Kelompok Pangan
Indonesia Jawa Barat Energi Protein Energi Protein
1. Nabati - Padi-padian - Umbi-umbian - Sayuran - Kacang-kacangan - Buah-buahan - Minyak+lemak - Makanan/minuman jadi - Lainya
94,0 52,3 2,8 1,9 3,6 2,0 12,4 9,9 9,2
78,3 44,8 0,8 4,6 11,7 0,8 1,0 9,8 4,8
94,1 54,9 2,0 1,5 3,5 1,8 10,8 11,8 7,8
79,8 46,4 0,7 3,4 11,4 0,7 0,5 11,5 5,2
2. Hewani - Ikan - Daging - Telur+susu Total
6,0 2,1 1,8 2,0 100
21,7 13,2 4,2 4,3 100
5,9 1,7 2,0 2,2 100
20,2 10,9 4,7 4,6 100
Sumber: Susenas, 2002 (diolah).
Karena beras sebagai pangan pokok yang dikonsumsi dalam jumlah yang tinggi, maka sumbangan energi dari beras akan besar. Hasil rumusan Semiloka Penyusunan Kebijakan Perberasan (2000) menyebutkan bahwa beras menyumbang sekitar 60-65 persen dari total konsumsi energi. Dari aspek mutu gizi, ketergantungan yang tinggi terhadap pangan nabati adalah kurang baik karena kurang lengkapnya kandungan asam amino esensial pada pangan nabati. Padahal asam amino tersebut terutama berasal dari pangan hewani yang sangat berperanan dalam proses pertumbuhan dan kecerdasan manusia, yang berdampak pada kualitas sumberdaya manusia (Hardinsyah dan Martianto, 1992). Pola dan Tingkat Konsumsi Pangan Penentuan pola konsumsi pangan pokok rumah tangga didasarkan pada sumbangan energi dari setiap komoditas pangan pokok terhadap total energi pangan
pokok (pangan sumber karbohidrat). Kriteria yang digunakan seperti berikut : pola pangan pokok beras apabila sumbangan energi dari beras lebih besar dari 90 persen, sedangkan pola pangan pokok beras + komoditas lain bila masing-masing komoditas lain menyumbang lebih dari 5 persen (Puslit Agro Ekonomi,1989). Berdasarkan kriteria tersebut, hasil analisis dengan menggunakan data Susenas 1979 diperoleh 11 jenis pola pangan pokok, dimana beras menjadi pola pangan pokok tunggal atau utama di setiap provinsi. Sedangkan jenis pangan yang menjadi pola pangan pokok kedua adalah umbi-umbian, jagung, pisang dan sagu. Penentuan pola pangan pokok terdahulu tidak memasukkan mie karena tingkat konsumsinya masih rendah sehingga sumbangan energi mie terhadap pangan sumber karbohidrat belum mencapai 5 persen. Seiring dengan berkembangnya produk mie, maka penentuan pola pangan pokok dimasukkan mie karena mie telah dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia baik di kota maupun di pedesaan dan di berbagai lapisan masyarakat (Sawit, 2003; Ariani dan Ashari, 2003). Hasil analisis penentuan pola pangan pokok dengan menggunakan data Susenas tahun 1996 dan 2002 disajikan pada Tabel 5. Pada tahun 1996 secara agregat, pola konsumsi pangan pokok di Indonesia didominasi oleh beras, bahkan di pedesaan beras telah menjadi pola pokok tunggal. Namun setelah enam tahun kemudian, peranan umbi-umbian dan jagung telah tergeser dan diganti dengan mie instant. Sehingga pola pangan pokok pada tahun 2002 pada umumnya adalah beras+mie instant, bukan beras+umbi/jagung. Peran mie sebagai pangan pokok kedua terjadi di semua elemen masyarakat, tidak hanya pada rumah tangga menurut wilayah ( kota dan desa) tetapi juga menurut kelompok pendapatan. Mie instant tidak hanya dikonsumsi oleh kelompok pendapatan sedang dan tinggi tetapi juga kelompok pendapatan rendah. Menurut Sawit (2003) di Indonesia, pada kelompok rendah dan menengah, beralihnya pangan dari non terigu ke terigu atau produk olahannya begitu cepat dibandingkan di negara-negara Asia. Tabel 5. Perkembangan Pola Pangan Pokok di Indonesia dan Provinsi Jawa Barat Menurut Wilayah dan Kelompok Pendapatan, Tahun 1996 - 2002 Wilayah
Indonesia
Jawa Barat
1996
2002
1996
2002
Kota - Rendah
Beras
Beras+Mie
Beras
Beras+Mie
- Sedang
Beras+Mie
Beras+Mie
Beras+Mie
Beras+Mie
- Tinggi
Beras+Mie
Beras+Mie
Beras+Mie
Beras+Mie
Desa - Rendah
Beras
Beras
Beras
Beras
- Sedang
Beras
Beras
Beras
Beras
- Tinggi
Beras
Beras
Beras+Mie
Beras+Mie
Sumber: Susenas, 1996, 2002 (diolah)
73
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
Produk gandum sesungguhnya bukan makanan pokok Indonesia karena kondisi fisik lingkungan yang tidak cocok. Adanya kebijakan impor gandum untuk diproses menjadi tepung di dalam negeri yang berlangsung lama dan dijual dengan harga yang relatif murah mendorong masyarakat untuk mengkonsumsi mie. Monopoli impor gandum oleh Bulog dan proses penggilingannya oleh PT Bogasari Flour Mills serta kebijakan yang lain, mengakibatkan tepung terigu dapat dijumpai dimana-mana dalam jumlah yang melimpah. Selain itu rasa mie memang enak dan terdapat beragam jenis, bentuk dan cara masak seperti mie basah, mie kuah, mie instant dan produk mie lainnya. Banyak produk mie yang dengan cepat diolah, disajikan dan dikonsumsi dengan kemasan yang bagus dan dengan variasi harga yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan pilihan-pilihan produk mie sesuai dengan kemampuannya. Selain itu mie juga dengan mudah dijumpai di berbagai tempat, tidak hanya di swalayan tetapi juga di pasar tradisional atau warung kecil di pedesaan. Promosi beragam jenis mie juga dilakukan secara gencar melalui berbagai media seperti media elektronik, cetak, kegiatan sosial dan lain-lain. Beras telah menjadi makanan pokok masyarakat di berbagai wilayah, namun secara agregat konsumsi beras telah menurun, demikian pula di Provinsi Jawa Barat. Konsumsi beras pada rumah tangga di kota di Jawa Barat pada tahun 1996 sebesar 113,6 kg menjadi 99,8 kg/kapita/tahun, sedangkan untuk di desa dari 135,2 kg menjadi 112,1 kg/kapita/tahun (Tabel 6). Penurunan tersebut bukan disebabkan oleh faktor harga beras karena harga beras di pasaran relatif stabil bahkan cenderung menurun, namun karena semakin beragamnya pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga dan mungkin juga disebabkan semakin tingginya konsumsi makanan jadi belum dihitung dalam analisis ini. Berdasarkan data primer di kabupaten Subang, harga beras pada tahun 1998 sebesar Rp. 2014/kg menurun menjadi Rp.1926 tahun 2000 dan Rp.2087/kg pada tahun 2001 ( Malian, dkk ; 2003). Ini menunjukkan bahwa program stabilitas harga beras yang ditetapkan oleh pemerintah telah menunjukkan keberhasilan. Walaupun sebenarnya program ini menghadapi banyak tantangan dan hambatan dari berbagai pihak terutama masyarakat yang pro petani karena dengan alasan petani selain sebagai produsen juga konsumen maka pemerintah menerapkan harga beras murah yang salah satu kebijakannya dengan mengimpor beras apabila harga beras domestik mengalami lonjakan. Di negara maju, sudah banyak orang yang mengubah pola konsumsi pangan hewaninya, dari red meat (dagingdagingan) ke white meat (ikan-ikanan), karena makan ikan lebih menyehatkan daripada makan daging. Namun kondisi di Indonesia, tingkat partisipasi konsumsi daging masih tinggi dan cenderung meningkat, apalagi untuk daging ayam. Konsumsi daging sapi masih rendah karena harga daging relatif mahal sehingga tidak semua lapisan masyarakat mampu membelinya. Indonesia adalah negara maritim yang merupakan 74
negara penghasil berbagai jenis ikan, justru masyarakatnya cenderung meninggalkan ikan dan menyenangi daging yang bahan baku pakan ternaknya masih diimpor. Kecenderungan ini perlu mendapat perhatian dari semua pihak terutama dari pemerintah. Orientasi kebijakan ekspor ikan untuk memperoleh devisa jangan sampai menyebabkan harga ikan domestik menjadi mahal, sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat luas. Padahal peranan ikan dalam peningkatan kualitas sumberdaya sangat erat, karena asam amino yang diperlukan untuk kecerdasan pada ikan lebih lengkap dan juga efek sampingnya lebih sedikit. Mengkonsumsi ikan dapat terhindar dari penyakit jantung dan penyakit degeneratif lainnya. Pada tahun 2002, tingkat konsumsi ikan segar di Provinsi Jawa Barat setengahnya dari rata-rata agregat nasional yaitu 6,6 kg/kapita/tahun untuk di kota dan 8,7 kg/ kapita/tahun untuk di desa. Konsumsi ikan olahan di Jawa Barat sebesar l3,8 kg/kapita/tahun di kota dan 3,2 kg/kapita/tahun di desa, lebih besar dibandingkan dengan agregat nasional (Tabel 6). Sebenarnya konsumsi ikan masih bisa ditingkatkan mengingat potensi sumberdaya perikanan cukup besar baik dari perikanan tangkap (terutama untuk daerah pesisir) maupun hasil budidaya terutama ikan tawar. Selain itu pangan dari ikan tersedia di pasar dengan berbagai kualitas mulai dengan harga yang murah sampai harga mahal, sehingga masyarakat dapat memilih sesuai dengan daya beli yang bersangkutan, mungkin perlu penyuluhan pentingnya mengkonsumsi ikan dan hasil olahannya. Tabel 6. Perkembangan Tingkat Konsumsi Beberapa Jenis Pangan Agregat Indonesia dan Provinsi Jawa Barat (kg/kap/th), Tahun 1996, 1999 dan 2002 No. Jenis Pangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Beras -Kota -Desa Ubikayu -Kota -Desa Jagung -Kota -Desa Daging sapi -Kota -Desa Daging ayam -Kota -Desa Telur ayam -Kota -Desa Susu -Kota -Desa Ikan segar -Kota -Desa Ikan olahan -Kota -Desa
1996
Indonesia 1999 2002
1996
Jawa Barat 1999 2002
108,9 121,0
96,0 111,8
89,7 109,6
113,6 135,2
100,0 129,9
99,8 112,1
5,6 9,8
7,7 12,2
5,4 14,4
4,7 8,5
5,4 12,3
5,2 8,0
0,8 3,6
0,9 4,2
0,7 5,5
0,4 1,1
0,1 0,4
0,3 0,3
1,2 0,3
0,8 0,3
0,9 0,3
1,4 0,2
0,7 0,2
0,8 0,5
5,2 2,7
2,5 1,2
4.4 1,5
6,7 2,6
3,1 1,2
5,5 4,2
7,4 4,6
5,0 3,1
6,6 3,9
8,0 4,4
5,2 2,7
7,3 6,1
2,0 0,6
1,5 0,4
2,1 0,8
2,2 0,4
1,3 0,4
2,1 0,7
19,0 14,6
14,8 12,2
14,5 12,2
11,3 3,4
6,6 3,0
6,6 8,7
1,7 2,8
1,5 2,4
2,4 2,7
2,7 2,1
2,3 1,8
3,8 3,2
Sumber: Susenas, 1996, 1999, 2002 (diolah).
Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pasca Krisis Ekonomi di Provinsi Jawa Barat [Mewa Ariani dan Tri Bastuti Purwantini]
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan 1. Tingkat kesejahteraan masyarakat (baik di tingkat nasional maupun di Provinsi Jawa Barat) mengalami penurunan sejak terjadinya krisis ekonomi. Dampak krisis ekonomi lebih besar pengaruhnya pada masyarakat kota dibandingkan dengan di pedesaan. Tingkat kesejahteraan pada pasca krisis ekonomi sudah membaik, namun masih lebih rendah dibandingkan keadaan sebelum krisis ekonomi. 2. Konsumsi energi dan protein pada krisis ekonomi juga menurun dan penurunan kedua zat gizi tersebut di Provinsi Jawa Barat lebih besar daripada agregat nasional. Pada pasca krisis ekonomi, tingkat konsumsi energi dan protein meningkat kembali. Selain itu, kualitas konsumsi pangan masih rendah (baik di Jawa Barat maupun agregat nasional), masihh didominasi pada pangan sumber karbohidrat atau pangan nabati. 3. Konsumsi beras rumah tangga di Provinsi Jawa Barat menurun setelah pasca krisis, sedangkan tingkat konsumsi mie instan meningkat. Pola konsumsi pangan pokok juga berubah dari pola beras menjadi pola beras+mie instan, baik menurt wilayah maupun kelompok pendapatan. Implikasi Kebijakan 1. Kebijakan pengembangan program diversifikasi pangan di masa mendatang perlu dilakukan dengan lebih seksama, didukung oleh pengkajian-pengkajian yang lebih mendalam tentang perilaku konsumen. 2. Perl;u dilakukan upaya-upaya peningkatan daya beli serta peningkatan ketersediaan untuk beberapa komoditas seperti pangan hewani, sayuran dan buah, serta kacang-kacangan (kedele) untuk meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat Indonesia. 3. Penyadaran masyarakat akan pangan dan gizi serta kesehatan perlu ditingkatkan, sehingga jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhannya. Political will dan political power dari pemerintah menjadi ujung tombak keberhasilan hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Ariani, M., H.P. Saliem, S.H. Suharitini, Wahida dan M.H. Sawit. 2000. Dampak Krisis Ekonomi terhadap Konsumsi Pangan Rumahtangga. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Ariani, M dan Ashari. 2003. Arah, Kendala dan Pentingnya Diversifikasi Konsumsi Pangan di Indonesia. Forum Agro Ekonomi. Vol. 21, No. 2. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Erwidodo, H.P. Saliem, M.Ariani dan E. Ariningsih. 1999. Pengkajian Diversifikasi Konsumsi Pangan Utama di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Hardinsyah dan D.Martianto. 1992. Gizi Terapan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen.Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Bogor Irawan, P.B dan H. Romdiati. 2000. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kemiskinan dan Beberapa Implikasinya Untuk Strategi Pembangunan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII, 29 Februari-2 Maret. LIPI, Jakarta. LP-IPB. 2000. Laporan Kegiatan Seminar-Lokakarya Penyusunan Kebijakan Perberasan. LP-IPB Bekerjasama dengan Ditjen Tanaman Pangan dan Hortikultura, Deptan. Bogor. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. 1989. Pola Konsumsi Pangan, Proporsi dan Ciri Rumah Tangga Dengan Konsumsi Energi Dibawah Standar Kebutuhan. Kerjasama Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes. dengan PAE, Deptan. Bogor. Sawit, M.H. 2003. Kebijakan Gandum/Terigu: Harus Mampu Menumbuh-kembangkan Industri Pangan Dalam Negeri. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 1 (2): 100-109. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Sawit, M.H. dan M. Ariani. 1997. Ketahanan Pangan : Konsep, Kebijaksanaan dan Pelaksanaannya. Makalah disampaikan pada Seminar Pra-WKNPG VI, Bulog, Jakarta 26 – 27 Juni. Saliem, H.P.,M. Ariani, Y. Marisa dan T.B.Purwantini. 2002. Analisis Kerawanan Pangan Wilayah Dalam Perspektif Desentralisasi Pembangunan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Suryana,A. 2004. Ketahanan Pangan di Indonesia. Makalah pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta, 17-19 Mei. LIPI.
75
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003 ISSN: 1411-7177
SOCA ❖ 6Volume (1) : 7 66 -Nomor 79 1 Tahun 200 6
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEUNTUNGAN USAHATANI KAKAO DI SULAWESI TENGGARA Dewi Sahara, Dahya dan Amiruddin Syam Balai Pengkajian Teknologi Sulawesi Tenggara
ABSTRACT Cocoa is Southeast Sulawesi’s prime commodity which has area about 127.547,02 ha. Kolaka regency is the central of cocoa development which contributed 73,39 % with farmer involved about 101.062 head of family. This commodity is to be source of main farmer income and regional income, so to know value income of cocoa farming system, it was done analysis to the factors which influenced profit level. The research was survey method on November – December 2004 in Pinanggosi and Aladadio villages, Lambadia sub district, Kolaka regency. The result showed that farmer income can be increased through extensification and increasing the use of fertilizer. The average of area property was 2,69 ha and fertilizer used by farmer was still under recommendation. Therefore, cocoa farming system in this research area hasn’t given the maximal profit for farmers yet. Keywords: Cocoa Farming System, Profit, Production Factors PENDAHULUAN Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan dari sub sektor perkebunan yang berkembang di Sulawesi Tenggara, sebagian besar diusahakan oleh petani dalam bentuk perkebunan rakyat. Komoditi ini mampu mengangkat perekonomian penduduk dan menjadi komoditas primadona dengan serapan tenaga kerja yang mencapai 101.062 KK (Dinas Perkebunan dan Hortikultura, 2003). Minat petani untuk mengembangkan tanaman kakao semakin meningkat, pada tahun 1998 terjadi pertambahan jumlah petani sebanyak 7.608 KK atau meningkat 9,71 % dari tahun 1997. Hal ini disebabkan oleh melonjaknya harga kakao sebagai dampak dari melemahnya nilai tukar rupiah yang melambungkan harga komoditas pertanian berorientasi ekspor. Selama 12 tahun terakhir rata-rata perkembangan jumlah petani kakao sebesar 3,75 % per tahun. Daerah penghasil utama kakao di Sulawesi Tenggara terletak di Kabupaten Kolaka dengan kontribusi produksi sebesar 73,39 % dengan luas areal 74.834,24 ha atau 64,07 % dari seluruh areal perkebunan kakao. Sebagian besar produksi kakao ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan pasar ekspor sehingga perolehan pendapatan dari kakao cukup berarti baik bagi petani maupun bagi peningkatan pendapatan asli daerah. Besarnya kontribusi perkebunan kakao terhadap pendapatan petani merupakan masalah penting bagi pengembangan skala usahatani. Pendapatan yang diperoleh dari suatu usahatani berkaitan erat dengan produksi dan alokasi faktor produksi. Jika dibandingkan dengan produksi kakao di tingkat hasil penelitian yang mencapai 2-3 ton/ha, maka produksi kakao di Sulawesi Tenggara tergolong masih rendah. Rendahnya produksi ini dapat disebabkan oleh tingkat kesuburan lahan dan belum optimalnya teknologi budidaya. Mustaha (2002) menyatakan bahwa sebagian besar lahan pertanaman 76
kakao di Sulawesi Tenggara memiliki tingkat kesuburan tanah yang sangat beragam dari sangat rendah sampai sedang, sedangkan Kartono (2003) menyatakan bahwa sebagian besar lahan pertanaman kakao di Kabupaten Kolaka memiliki status bahan organik yang sangat rendah. Selain itu penanaman tanaman kakao yang dilakukan oleh masyarakat seringkali mengabaikan pertimbangan konservasi lahan akibatnya proses kehilangan kesuburan tanah semakin meningkat setiap tahunnya. Melihat permasalahan dan kendala tersebut maka produksi yang diperoleh belum optimal. Peningkatan produksi dapat diperoleh dengan mengalokasikan input produksi secara tepat dan berimbang. Hal ini berarti petani secara rasional melakukan usahatani dengan tujuan meningkatkan produksi untuk memaksimumkan keuntungan. Oleh karena itu diperlukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan usahatani kakao khususnya terhadap pendapatan petani. METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Kakao merupakan komoditi perkebunan yang potensial mengisi peluang pasar, baik pasar domestik maupun pasar internasional. Dengan melonjaknya harga komoditi pertanian yang berorientasi ekspor maka petani terdorong untuk meningkatkan produksi dengan tujuan mendapatkan pendapatan atau keuntungan yang lebih tinggi. Upaya peningkatan produksi tidak akan menguntungkan bila penggunaan input produksi tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh dan modal yang dikeluarkan oleh petani. Petani yang rasional tidak hanya berorientasi pada produksi yang tinggi, akan tetapi lebih menitikberatkan pada semakin tingginya pendapatan atau keuntungan yang diperoleh. Nicholson (1991) menyatakan bahwa petani sebagai produsen yang ra-
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Keuntungan Usahatani Kakao di Sulawesi Tenggara [Dewi Sahara, Dahya dan Amiruddin Syam[
sional akan memaksimumkan keuntungan atau akan menjalankan usahatani secara efisien. Keuntungan maksimum diperoleh apabila produksi per satuan luas pengusahaan dapat optimal, artinya mencapai produksi yang maksimal dengan menggunakan input produksi secara tepat dan berimbang Oleh karena itu pengaruh pemakaian input produksi terhadap pendapatan petani perlu diketahui sehingga petani dapat mengambil sikap untuk mengurangi atau menambah input produksi tersebut. Metode Analisis Untuk melihat hubungan antara keuntungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dipergunakan model fungsi keuntungan Cobb-Douglas. Fungsi keuntungan Cobb-Douglas ini digunakan oleh Saragih (1982) untuk menduga skala usaha pada perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara, Indrawanto dan Yuhono (1997) menggunakannya untuk menduga fungsi keuntungan dan skala usahatani pala rakyat di Sulawesi Utara. Fungsi keuntungan tersebut ditransformasikan ke dalam bentuk double logaritma natural (ln), sehingga merupakan bentuk linier berganda. Adapun model persamaannya adalah : Ln p = ln A + b1 ln X1 + b2 ln X2 + b3 ln X3 + b4 ln X4 + m dengan : p = besarnya keuntungan yang dinormalkan dengan harga kakao A = intersep bi = parameter yang ditaksir X1 = luas areal kakao X2 = harga pupuk yang dinormalkan dengan harga kakao X3 = harga pestisida yang dinormalkan dengan harga kakao X4 = upah tenaga kerja yang dinormalkan dengan harga kakao m = kesalahan pengganggu
Dalam analisis ini diasumsikan : 1) keadaan iklim, tanah, dan topografi dalam jangka pendek tidak ada perubahan yang menyolok, 2) petani dianggap rasional, artinya dalam berusahatani petani ingin mendapatkan keuntungan maksimal, dan 3) produk yang dihasilkan dalam bentuk biji kakao kering. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja, yaitu di Kabupaten Kolaka yang merupakan sentra perkebunan kakao, Desa Pinanggosi dan Aladadio, Kecamatan Lambadia. Lahan yang ditanami kakao merupakan lahan sendiri yang telah 17 tahun dikembangkan tanaman kakao sehingga umur tanaman berkisar antara 4 – 18,5 tahun. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober hingga Desember 2004 dengan menggunakan metode survey. Metode Pengumpulan Data Pengambilan petani contoh dilakukan dengan teknik penarikan contoh acak sederhana sebanyak 29 orang. Teknik penarikan contoh acak sederhana digunakan karena pada umumnya petani menggunakan teknologi,
pola budidaya, panen dan pasca panen yang cenderung homogen. Data primer diperoleh dari petani dengan menggunakan metode wawancara langsung terhadap petani terpilih dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan. Materi atau data dikumpulkan adalah semua biaya penggunaan sarana produksi yang meliputi harga pupuk, harga pestisida, dan upah tenaga kerja, sedangkan data output usahatani meliputi jumlah produksi dan harga kakao. Data sekunder diperoleh dari Biro Pusat Statistik dan Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sulawesi Tenggara. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Finansial Usahatani Dalam analisis finansial usahatani kakao didekati dengan memperhatikan biaya dan penerimaan. Biaya yang dimasukkan dalam penelitian ini meliputi semua biaya yang dikeluarkan petani untuk proses produksi selama satu tahun. Biaya tersebut merupakan biaya variabel yang terdiri dari biaya pembelian pupuk, pestisida dan upah tenaga kerja. Jumlah dan nilainya bervariasi sesuai dengan kebiasaan dan kemampuan petani. Rata-rata biaya dan pendapatan usahatani kakao disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata biaya dan pendapatan usahatani kakao per ha di Kecamatan Lambadia, Kabupaten Kolaka, 2004 No. Uraian 1. Penjualan kakao 2. Biaya: 1. Pupuk a. Urea b. SP-36 c. TSP d. KCl e. NPK 2. Insektisida 3. Herbisida 4. Tenaga kerja Total biaya 3. Pendapatan 4. R/C ratio
Fisik 767,63 kg
Harga Total (Rp) 9.534,46 7.318.952,88
199,65 kg 42,94 kg 88,77 kg 65,70 kg 6,57 kg 2,69 l
1.118,75 1.653,86 1.543,20 2.268,18 1.265,30 30.658,07
67,83 HOK
223.358,44 71.016,54 136.989,59 149.019,36 8.313,04 82.470,20 148.057,94 15.500 1.051.365,00 1.870.590,11 5.451.884,54 3,91
Pada Tabel 1 biaya total usahatani kakao sebesar Rp 1.870.590,11/ha/tahun. Biaya usahatani tertinggi digunakan sebagai upah tenaga kerja yang mencapai Rp 1.051.365,00 atau 56,20% dari total biaya, sedangkan 43,80% sisanya digunakan sebagai biaya pembelian pupuk dan pestisida. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam melaksanakan kegiatan usahatani, bahkan kekurangan tenaga kerja dapat mengakibatkan turunnya produksi. Pada usahatani kakao di Kecamatan Lambadia, tenaga kerja digunakan untuk kegiatan pemupukan, penyemprotan, panen dan pasca panen. Ratarata penggunaan tenaga kerja sebanyak 67,83 HOK/ha/ tahun, dalam skala usahatani kakao penggunaan tenaga 77
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
kerja tersebut tergolong kecil karena tenaga kerja hanya berasal dari dalam keluarga. Rata-rata jumlah anggota keluarga per rumah tangga petani sebanyak 4 orang, sehingga dengan terbatasnya jumlah anggota keluarga maka pengelolaan usahatani belum optimal. Penerimaan usahatani kakao berasal dari penjualan biji kakao kering. Harga kakao pada saat penelitian bervariasi antara Rp 9.000/kg - Rp 11.000/kg sehingga penerimaan petani dari usahatani kakao sebesar Rp 7.318.952,88/ha/tahun. Dengan demikian pendapatan bersih atau keuntungan petani yang diperoleh dari penerimaan setelah dikurangi dengan biaya produksi sebanyak Rp 5.448.362,77/ha/tahun. Perbandingan antara penerimaan dengan biaya usahatani (R/C ratio) sebesar 3,91. Ini berarti bahwa setiap pengeluaran biaya sebesar Rp 100 terhadap input yang diberikan akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 391. Analisis Fungsi Keuntungan Hasil analisis fungsi keuntungan disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis fungsi keuntungan tersebut mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,6823 yang berarti 68,23 % keuntungan petani kakao dipengaruhi oleh luas areal, harga pupuk dan pestisida, serta upah tenaga kerja, sedangkan 31,77 % diterangkan oleh variabel lain di luar model seperti dijelaskan dalam metode analisis. Hasil analisis regresi luas areal dan harga pupuk secara statistik berpengaruh nyata terhadap tingkat keuntungan petani pada tingkat kesalahan 1% dan 10%, sedangkan harga pestisida dan upah tenaga kerja tidak berpengaruh nyata. Tabel 2. Hasil analisis regresi fungsi keuntungan usahatani kakao di Kecamatan Lambadia, Kabupaten Kolaka, 2004 Variabel 1. Konstanta Constanta 2. Luas areal Cocoa area 3. Harga pupuk Fertilizer price 4. Harga pestisida Pesticide price 5. Upah tenaga kerja Cost of labor Koef. Determinasi (R2)
Koefisien Regresi 5,9838 *** 0,9751 *** 0,3335 * -0,0500 ns -02246 ns 0,6823
t-hitung 5,6208 3,1364 1,8480 0,9827 1,0969
Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf Significant at 10 % *** = berbeda nyata pada taraf Significant at 1 % ns = tidak berbeda nyata pada taraf Non significant at 10 %
Luas areal berpengaruh nyata terhadap besarnya keuntungan yang diterima petani dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,9751 yang berarti apabila petani melakukan perluasan areal 10 % maka keuntungan yang diterima akan meningkat 9,751 %. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekartawi (1994) yang menyatakan bahwa luas tanah mempunyai hubungan yang positip, artinya bila lahan diperluas maka produksi akan meningkat. Dengan meningkatnya produksi maka penerimaan petani bertambah sehingga keuntungan yang diperoleh akan meningkat. Dalam berusahatani, petani menggunakan input 78
produksi yang meliputi pupuk, pestisida, herbisida dan tenaga kerja. Dari hasil analisis fungsi keuntungan, harga pupuk mempunyai pengaruh yang nyata terhadap keuntungan dengan nilai koefisien regresi 0,3335. Hal ini berarti keuntungan petani masih dapat bertambah 3,335 % walaupun pengeluaran biaya untuk membeli pupuk meningkat 10 %. Rata-rata pupuk yang digunakan petani adalah 94,45 kg N/ha, 56,58 kg P2O5/ha dan 32,85 kg K2O/ha. Dosis pupuk yang diberikan masih dibawah dosis anjuran yaitu 106 kg N/ha, 290 kg P2O5/ha dan 90,5 kg K2O/ha, sehingga apabila petani melakukan penambahan pemupukan tanaman kakao mendekati kebutuhan tanaman maka produksi yang dicapai bisa optimal sehingga keuntungan yang diperoleh akan meningkat. Harga pestisida secara statistik tidak nyata pengaruhnya terhadap tingkat keuntungan. Pestisida yang digunakan terdiri dari insektisida untuk mengendalikan hama penggerek buah kakao (hama PBK) dan herbisida untuk mengendalikan gulma. Areal tanaman kakao di Sulawesi Tenggara telah terinfeksi hama PBK sejak tahun 1995 dan luas serangan pada tahun 2000 mencapai 9.535,5 ha (Dinas Perkebunan, 2001). Salah satu upaya yang dilakukan petani di daerah penelitian adalah dengan aplikasi insektisida sebanyak 6,08 l/ha dan herbisida sebanyak 15,80 l/ha. Tidak berpengaruhnya pestisida terhadap tingkat keuntungan petani diduga sampai saat ini pengendalian hama PBK secara efektif belum ditemukan. Menurut Sjafaruddin dan Sulle (2003) menyatakan bahwa pengendalian hama PBK selain secara kimiawi harus diiringi dengan tindakan lainnya seperti panen sering, penyelubungan buah dan pemangkasan tanaman. Demikian pula upah tenaga kerja tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap tingkat keuntungan petani. Hal ini diduga karena kecilnya tenaga kerja yang digunakan dalam berusahatani kakao sehingga pengaruhnya secara statistik tidak berbeda nyata. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan usahatani kakao secara nyata adalah luas areal dan harga pupuk. Keuntungan maksimal akan diperoleh petani dengan memperluas areal pertanaman dan meningkatkan penggunaan pupuk sampai batas rekomendasi dosis pemupukan. Rata-rata penguasaan areal usahatani seluas 2,69 ha/KK dengan keuntungan sebesar Rp 5.451.884,52/ ha/tahun. Disamping perluasan areal pertanaman, keuntungan masih dapat ditingkatkan dengan penambahan pupuk sesuai dengan acuan rekomendasi, artinya walau terdapat peningkatan biaya pupuk namun produksi yang dicapai akan optimal sehingga keuntungan akan meningkat. Pada saat penelitian perbandingan antara penerimaan dari usahatani kakao dengan biaya korbanan sebesar 3,92 yang mengindikasikan usahatani kakao di Kecamatan Lambadia layak untuk diusahakan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Keuntungan Usahatani Kakao di Sulawesi Tenggara [Dewi Sahara, Dahya dan Amiruddin Syam[
Saran Walaupun perluasan areal berpengaruh nyata terhadap tingkat keuntungan, namun pada umumnya petani mempunyai tenaga kerja yang terbatas. Oleh karena itu untuk meningkatkan keuntungan adalah dengan memaksimalkan penggunaan input produksi (pupuk) yang sesuai anjuran. Sampai saat ini petani belum bertindak secara rasional dalam mengalokasikan input produksi maka disarankan untuk menyebarluaskan informasi pemupukan yang meliputi dosis, jenis dan waktu pemupukan yang telah direkomendasikan hingga sampai ke daerah-daerah. DAFTAR PUSTAKA Dinas Perkebunan Sulawesi Tenggara, 2001. Statistik Perkebunan Sulawesi Tenggara 2000. Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Tenggara. _______________ dan Hortikultura, 2003. Statistik Perkebunan Sulawesi Tenggara 2002. Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Tenggara. Indrawanto, C dan J. T. Yuhono, (1997). Pendugaan fungsi keuntungan dan skala usahatani pala rakyat di Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian Tanaman Industri, Bogor.
Kartono, G., 2003. Pengelolaan sumberdaya lahan dalam upaya peningkatan pendapatan petani dan keberlanjutan sistem usahatani di Sulawesi Tenggara. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Inovasi Teknologi Tepat Guna Berorientasi Agribisnis Untuk Pemberdayaan Masyarakat Dalam mendukung Pembangunan Pertanian Wilayah, di Kendari, 6-7 Agustus 2002. Mustaha, M.A., Agussalim, Ihlas Landu dan Rusdi, 2002. Hasil analisis sample tanah Kabupaten Kolaka. Pelatihan Pengambilan Sampel Tanah. Kegiatan Proyek DAFEP Kabupaten Kolaka. Nicholson, W., 1991. Micro Economics Theory : Basic Principle and Extensions. 4th Edition. The Dryden Press Hindsdale, Illinois-USA Saragih, B., 1982. Skala usaha pada perkebunan kelapa sawit dan implikasinya terhadap pengembangan perkebunan rakyat. Jurnal Agro Ekonomi, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi, Bogor. Sjafaruddin, M dan A. Sulle, 2003. Pengelolaan hama penggerek buah kakao di Sulawesi Tenggara. Prosiding Penerapan Teknologi Spesifik Lokasi dalam Mendukung Pengembangan Sumberdaya Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Bogor. Soekartawi, 1994. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Produksi Cobb-Douglas. Rajawali, Jakarta.
79
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003 ISSN: 1411-7177
SOCA ❖ 6Volume (1) : 806 -Nomor 86 1 Tahun 200 6
PERAN NILAI TUKAR PETANI DAN NILAI TUKAR KOMODITAS DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI KEDELAI (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Roosgandha Elizabeth dan Valeriana Darwis Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor, Badan Litbang Departemen Pertanian.
ABSTRACT Based on the main objective of agricultural development in this case, which are to increase the prospering of farmers and peasants life, its role are in: 1)setting and built in the “PDB”; 2)increasing the state income; 3)providing the job opportunities, especially for farmers and peasants. The objectives of this research were to: (a) describe soy-bean agribusiness performance; (b) analyze soy-bean’s term of trade; (c)influencing factors on terms of trade; (d)identifying the agricultural development impact on farmers terms of trade and soy-bean terms of trade. The result of this study among other things: 1) the cost for purchasing inputs was smaller compared to that labor’s terms of trade; 2) the R/C ratio of soy-bean farming development showed beneficial in large scale; 3) adopted soy-bean farming technology, production input and productivity level were such of internal factors; 4) market system was such of external, influence for farmer’s bargaining position. Therefore in order to meet that objective and to fulfill those rules, in formulation of many policies, the terms of trade and soy-bean terms of trade is used to be one of main considerations. Keywords: Terms of Trade, Soybean, Prosperity of Farmer
PENDAHULUAN Sebagai negara yang mayoritas penduduknya hidup dari sektor pertanian, Indonesia selalu memprogramkan pembangunan pertanian dengan hakekatnya bertujuan demi kesejahteraan masyarakat petani baik sekedar mampu mencukupi kebutuhan subsisten yang terasa semakin sulit maupun demi peningkatan kesejahteraan petani itu sendiri. Indonesia pernah mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (sekitar 7 % per tahun) dalam PJPT I yang lalu. Pada masa tersebut terjadi keberhasilan pencapaian ketersediaan pangan, transformasi struktur ekonomi, berkembangnya sektor industri dan jasa yang banyak menyerap tenagakerja menyebabkan tingginya peralihan peran sektor pertanian ke sektor non-pertanian, pergeseran dari migas ke nonmigas. Kondisi ini (Simatupang, P. 1992) menciptakan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain. Masih tersisanya masalah yang belum terselesaikan dari pelaksanaan pembangunan periode lalu masih bertambah sebagai konsekuensi perubahan pola kebijakan pemerintah dan perubahan lingkungan strategis baik global maupun domestik serta berbagai dampak akibat krisis ekonomi yang makin terasa berat belakangan ini terutama bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah. Terlepas dari keberhasilan yang pernah dicapai dan peran trategis sector pertanian seperti tersebut diatas, tantangan pembangunan pertanian saat ini dan di masa mendatang juga terasa semakin berat. Pembangunan pertanian telah memberikan sumban80
gan dalam keberhasilan pembangunan nasional, seperti dalam pembentukan PDB, penyerapan tenagakerja, peningkatan pendapatan masyarakat, perolehan devisa melalui ekspor dan penekanan inflasi (Bunasor, 1997: Simatupang, P. 1992); dimana gerakannya diantisipasi dan diselaraskan searah dengan dinamika pembangunan yang terjadi. Sejak pelita VI orientasi pembangunan pertanian beralih dari fokus peningkatan produksi semata ke arah orientasi pendapatan (kesejahteraan) masyarakat pertanian, terutama pertanian di pedesaan. Untuk itu pengembangan agribisnis telah menempati posisi sentral pembangunan pertanian (Baharsyah, 1991). Sebagai relevansinya adalah upaya memberi masukan bagi pelaksanaan pembangunan pertanian selanjutnya dengan mengkaji dampak kebijaksanaan tersebut di tingkat mikro dan makro terhadap perbaikan kesejahteraan kaum petani. Untuk melihat dinamika tingkat kesejahteraan petani, salah satu alat bantu ukurnya adalah NTP (Nilai Tukar Petani) dan NTKP (Nilai Tukar Komoditas Pertanian), dimana peningkatan nilai tukar tersebut diharapkan mampu mengindikasikan peningkatkan kesejahteraan masyarakat pertanian maupun keadaan sebaliknya. NTP berkaitan dengan kemampuan dan daya beli petani dalam membiayai hidup rumahtangganya. NTKP berkaitan dengan kekuatan dari daya tukar ataupun daya beli dari suatu komoditas pertanian terhadap komoditas/produksi lain yang dipertukarkan. Keberhasilan pembangunan pertanian yang pernah dicapai tidak dapat dipungkiri, telah diikuti pula oleh
Peran Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Kedelai (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) [Roosgandha Elizabeth dan Valeriana Darwis]
perubahan secara struktural pada sektor perekonomian nasional, yang mana peran sector pertanian semakin menurun digeser oleh peran sektor industri; dimana tersirat pula adanya beban berat dari sektor pertanian. Hal ini terutama berkaitan dengan semakin melebarnya kesenjangan antara sector pertanian dengan sektor di luar pertanian, serta penurunan nilai tukar pertanian yang disebabkan penurunan nilai tukar komoditas pertanian. Krisis moneter yang turut memicu krisis ekonomi berpengaruh negatip yang salah satu dampaknya terlihat dengan meningkatnya pengangguran (yang umumnya berasal dari tenagakerja pedesaan) dan jumlah penduduk miskin. Pengaruh positip dengan salah satu dampaknya terlihat pada meningkatnya harga komoditas pertanian baik harga produk maupun harga beli input oleh petani. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya nilai tukar mata uang asing (US dollar). Apabila daya beli petani karena pendapatan yang diterima dari kenaikan harga produksi pertanian yang dihasilkan, lebih besar dari kenaikan harga barang yang dibeli, maka hal ini mengindikasikan bahwa daya dan kemampuan petani lebih baik atau tingkat pendapatan petani lebih meningkat. Alat ukur daya beli petani selintas dapat menunjukkan tingkat kesejahteraannya dirumuskan dalam bentuk Nilai Tukar Petani (NTP) yang terbentuk oleh keterkaitan yang kompleks dari suatu system pembentuk harga, baik yang harga yang diterima maupun harga yang dibayar petani. Dengan kata lain, Nilai tukar Petani dapat didefenisikan sebagai nisbah antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar oleh petani, sehingga merupakan ukuran kemampuan daya tukar produk yang dihasilkan terhadap produk dan jasa yang mampu dibeli rumahtangga petani, baik untuk biaya input usahatani maupun biaya konsumsi rumahtangga petani. Berbagai fenomena perubahan situasi (gejolak) yang terjadi baik yang bersifat alami (seperti gejolak produksi pertanian) maupun gejolak yang terjadi akibat adanya distorsi pasar (seperti penerapan kebijaksanaan yang disengaja, baik di sektor pertanian dan non-pertanian, di tingkat mikro maupun makro), akan mempengaruhi harga-harga, yang pada gilirannya akan mempengaruhi nilai tukar petani, akan menjadi masukan penting bagi penyusunan program kebijaksanaan ke arah pembentukan nilai tukar yang diinginkan. Keadaan ini dapat mengindikasikan bahwa kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dari awal yang terkait dengan input produksi usahatani sampai pada pemasaran hasil produk pertanian (antara lain: kejaksanaan harga input dan output, subsidi, modal/perkreditan dan lainnya) akan mempengaruhi nilai tukar petani secara langsung maupun tidak langsung. Fluktuasi nilai tukar petani akan menunjukkan fluktuasi kemampuan pembayaran ataupun tingkat pendapatan riil petani. Menurut Killick (1983), Timmer et al. (1983), kegiatan pertanian tentu saja tidak lepas dari kegiatan di luar sector pertanian, dengan demikian nilai tukar petani juga dipengaruhi oleh peran dan perilaku di luar sektor pertanian. Perbaikan dan peningkatan nilai tukar
petani yang mengindikasikan peningkatan kesejahteraan petani akan terkait dengan kegairahan petani untuk berproduksi. Hal ini akan berdampak ganda (Supriyati et al., 2000) tidak saja dalam peningkatan partisipasi petani dan produksi pertanian dalam menggairahkan perekonomian pedesaan, penciptaan lapangan pekerjaan di pedesaan dan menumbuhkan permintaan produk non=pertanian; tetapi juga diharapkan akan mampu mengurangi perbedaan (menciptakan keseimbangan) pembangunan antar daerah (desa-kota), maupun antar wilayah serta optimalisasi sumberdaya nasional. Keragaman penerimaan, pengeluaran dan nilai tukar petani antar daerah dan waktu dipengaruhi oleh mekanisme pembentukan dalam sistem nilai tukar petani yang berbeda antar daerah dan antar waktu sebagai akibat dari keragaman system pembentukan penawaran dan penerimaan. Dari sisi penerimaan petani, keragaman antar daerah dan waktu terjadi berkaitan dengan keragaman sumberdaya dan komoditas yang diusahainya serta diversivikasi sumber pendapatan lain. Keragaman pengeluaran petani terkait dengan keragaman pola konsumsi petani antar daerah dan waktu. (Supriyati et al, 2000). KERANGKA PEMIKIRAN Pelaksanaan maupun keberhasilan pembangunan telah menumbuhkan keragaman pada sumber pendapatan dan pola/kebutuhan konsumsi baru. Sumber pendapatan petani tidak lagi semata berasal dari usahatani dan buruh tani (on farm dan off farm), tetapi berkembang dari kegiatan non-pertanian (non-farm). Hal ini berkaitan dengan faktor pendorong yang berasal dari dalam diri petani untuk berusaha di luar sektor pertanian karena tidak/kurang mampunya sektor ini (on farm dan off farm) mencukupi kebutuhan konsumsi yang kian meningkat dan bervariasi. Faktor penarik yang berasal dari luar petani berkaitan dengan makin terbukanya peluang pekerjaan di luar sektor pertanian yang dirasa lebih nyaman dan lebih menjanjikan untuk meningkatkan taraf penghasilan dan penghidupan bagi petani. Besar kecilnya proporsi pendapatan rumahtangga petani dari sektor pertanian akan mempengaruhi besar kecilnya kekuatan nilai tukar pertanian bagi petani yang berkaitan erat dengan peran pertanian dalam pemenuhan kebutuhan rumahtangga petani. Perbedaan peran proporsi pertanian selain dipengaruhi dan terkait menurut kelompok masyarakat, antara petani berlahan luas dengan berlahan sempit dan buruh tani, juga dipengaruhi oleh tingkat profitabilitas usaha pertanian, kekuatan/kemampuan pasar dan kebijaksanaan pemerintah. Dengan demikian mekanisme komplek dari sistem permintaan, penawaran dan kebijaksanaan akan berpengaruh dalam pembentukan nilai tukar pertanian. Pembentukan harga tidak semata ditentukan oleh sector pertanian, tetapi juga oleh perilaku sector di luar pertanian baik sektor riil, fiskal, maupun moneter. (Killick, 1983: Timmer et al, 1983).
81
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
METODOLOGI Formulasi masalah dan tujuan studi ini akan meliputi: 1)Perilaku Nilai Tukar Petani (NTP); 2)Perilaku Nilai Tukar Komoditas Pertanian (NTKP) yang masingmasing menurut luas garapan; 3)Analisa faktor-faktor yang menentukan NTP dan NTKP; 4)Analisa dampak dari kebijaksanaan pembangunan pertanian terhadap NTP dan NTKP. Komoditas dalam penelitian ini adalah: kedelai. Dengan memilih beberapa daerah di Jawa Timur sebagai lokasi penelitian, dengan latar belakang bahwa daerah Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur dikenal sebagai salah satu daerah sentra produksi komoditas kedelai. Penentuan dan pemilihan petani responden dilakukan secara acak dengan berdasarkan pada strata kepemilikan/pengusahaan lahan untuk komoditi kedelai yang kisaran antara 0,25 ha < n < 1 ha sebanyak 60 petani. Metode analisa secara garis besar adalah sebagai berikut: (1)Keragaan perilaku nilai tukar pendapatan/ penerimaan komoditas pertanian; (2)Analisa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga sebagai pendekatan analisa kebijaksanaan pembangunan pertanian; (3)Analisa nilai tukar pendapatan. NTI = Px Qx / Py Qy Dimana NTI adalah menggambarkan tingkat profitabilitas usahatani komoditas tertentu, belum mencakup keseluruhan komponen pendapatan dan pengeluaran petani, hanya menggambarkan nilai tukar komodits tertentu. HKOMjt = f (PRKOMjt, INFt) Dimana: HKOMjt adalah harga komoditas j pada waktu t. PRKOMjt adalah produksi komoditas j pada waktu t INFt adalah inflasi pada waktu t (diproksi dengan IHK pedesaan).
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Agribisnis Kedelai Kedelai adalah salah satu komoditas tanaman palawija andalan di Indonesia, yang berprospek menguntungkan bila diusahai dengan penanganan yang sesuai dan tepat agar dapat memnuhi kebutuhan pangan nasional yang terus meningkat. Kedelai mampu memperbaiki gizi masyarakat bila dimasukkan dalam pola konsumsi sehari-hari karena mengandung kadar protein yang tinggi, vitamin dan mineral serta sumber lemak, baik dalam bentuk segar maupun olahan (seperti: tempe, tahu, keripik tempe, kecap, tauco, minuman sari/susu kedelai, dan sebagainya). Jawa Timur berpotensi sebagai daerah sentra produksi kedelai dan berpeluang mengembangkannya untuk memenuhi permintaan konsumsi dalam negeri maupun ekspor. Salah satunya adalah Kabupaten Pasuruan, yang dipilih sebagai lokasi contoh karena merupakan sentra produksi kedelai terbesar, dilihat dari luas tanam dan produksinya. Data setelah tahun 2000 terealisasikan dengan luas panen 37.131 ha, rata-rata produktivitas 14,99 kw/ha dan produksi 55.659 ton, melebihi dari 82
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
target semula dengan luas panen 32.000 ha, rata-rata produktivitas 14,41 kw/ha dan produksi 46.112 ton. Subsistem Produksi Di kalangan petani, tanaman kedelai masih merupakan tanaman pengisi waktu (sampingan) dari tanaman utama (padi, jagung), sehingga pembudidayaan belum seoptimal tanaman utama. Perbaikan teknologi seperti; pemilihan benih yang cocok lokasi dan berkualitas serta relatif tahan hama/penyakit, pengapuran dan perbaikan hara perlu dilakukan untuk mencapai peningkatan produktivitas dan efisiensi usahatani kedelai. Hal ini bertujuan agar usahatani kedelai mampu memberikan daya tarik, motivasi dan insentif bagi petani untuk mengusahainya, dengan menerapkan teknologi budidaya dan pengelolaan sistem produksi yang efektif dan efisien serta dukungan eksternal. Cakupannya seperti ketersediaan sarana dan prasarana produksi, penyediaan fasilitas kredit, kemudahan dan kejelasan pemasaran produk dengan system yang lebih efektif dan efisien serta yang terpenting adalah penyuluhan dan pembinaan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesiapan petani dalam mengadopsi teknologi (Sayaka, dkk., 1992: Ekonomi Kedele 1996). Produktivitas kedelai per hektar yang berbeda baik dalam agroekologi yang sama apalagi bila berbeda, dikarenakan perbedaan adopsi pengetahuan dan teknologi (masih rendah) dan manejemen di tingkat petani. Intensitas kendala ini berbeda dan tergantung antar daerah dan wilayah pengusahaannya. Untuk itu diperlukan penelitian adaptif untuk mendapatkan dan menguji keberhasilan teknologi yang spesifik serta tepat lokasi. Hal ini dibutuhkan dalam pengkajianan pengembangan sistem produksi berkelanjutan di masa mendatang termasuk pemilihan dan penggunaan benih bermutu dari varietas-varietas unggul yang cocok dan berpotensi hasil tinggi serta dengan mudah dan kontiniu dapat diperoleh petani. Faktor sosial ekonomi turut sebagai faktor penentu tercapainya produktivitas dimana petani umumnya akan membandingkan kemudahan dan keuntungan yang akan diperoleh, terpenuhi atau tidaknya kebutuhan hidup bila ia lebih memilih menanam kedelai dibanding komoditas lain. Analisa usahatani dilakukan menurut strata luas garapan yang diusahai petani di lokasi penelitian yaitu: lahan sedang (0,2 ha – 0,5 ha) dan lahan luas (0,5 ha – 1 ha). Dari nilai R/C pada Tabel 1 di atas, terlihat bahwa usahatani kedelai cukup menguntungkan. Pada garapan sedang, nilai R/C sebesar 1,31 dan 1,38 untuk garapan luas pada musim tanam MK II tahun 1999. Pada musim tanam MK I tahun 2000, nilai R/C sebesar 1,28 untuk garapan sedang, untuk garapan luas sebesar 1,32. Penurunan nilai R/C yang terjadi, bisa saja dipengaruhi oleh berkurangnya luas tanam yang berakibat berkurangnya luas panen pada tahun 2000, dan bisa juga disebabkan oleh lebih meluasnya serangan hama/ penyakit pada luas areal tanam yang sama, yang dise-
Peran Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Kedelai (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) [Roosgandha Elizabeth dan Valeriana Darwis]
Tabel 1: Analisa Biaya, Pendapatan Usahatani Kedelai di Kec.Sukorejo, Kab.Pasuruan, Jawa Timur, MK II 1999 dan MK I 2000, berdasarkan Luas Garapan. MK II - 1999
MK I - 2000
Luas Garapan
Uraian Sedang I Biaya (Rp. 000,-) 1. Sarana Produksi 1.1. Bibit 1.2. Pupuk - Urea - SP-36 - KCl 1.3. Obat-obatan 2. Tenagakerja 2.1. Pra panen s/d panen 2.2. Pasca Panen 3. Lainnya (pengairan) II. Penerimaan (Rp. 000,-) III. Keuntungan IV. R/C
Luas Garapan Luas
Sedang
Luas
1.029,25 331,25 75,00
2.026,00 637,50 150,00
914,00 329,00 100,00
1.769,50 602,50 187,50
82,50 26,25 22,50 125,00
165,00 52,50 45,00 225,00
99,00 35,00 95,00
165,00 70,00 180,00
648,00 50,00 30,00 1.350,00 320,75 1,31
1.246,00 97,00 45,00 2.790,00 764,00 1,38
505,00 50,00 30,00 1.170,00 256,00 1,28
1.025,00 97,00 45,00 2.340,00 570,50 1,32
Sumber: Analisis Data Primer.
babkan meningkatnya harga obat-obatan sehingga para petani mengurangi pemakaiannya. (lihat Tabel 1, sub obat-obatan). Pada struktur biaya usahatani kedelai di daerah penelitian, proporsi terbesar adalah biaya tenagakerja, yang berkisar antara 60,7% sampai dengan 67,82% dari total biaya. Hal ini mencerminkan sudah sulitnya mencari tenagakerja, yang menyebabkan tingginya upah tenagakerja di daerah tersebut. Subsistem Pengolahan Hasil dan Pemasaran Kedelai mengandung kadar protein yang tinggi serta berbagai vitamin yang penting sebagai zat pengatur tumbuh bagi tubuh manusia, menjadi pemasok zat bergizi bila dimasukkan dalam susunan pola makanan. Kedelai disamping dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan bergizi juga untuk berbagai keperluan, baik untuk industri bahan pangan seperti: tahu, tempe, kecap, tauco dan berbagai jenis makanan ringan lainnya, maupun untuk industri pakan ternak dari limbahnya. Di daerah penelitian, kedelai biasanya dijual dalam bentuk kedelai kering pipilan (KKP) sehingga tidak mengalami proses pengolahan menjadi berbagai bentuk lainnya. Namun di daerah lain di sekitarnya, kedelai diolah menjadi berbagai bentuk penganan termasuk tahu dan tempe. Rantai pemasaran yang terjadi secara umum relatif pendek, dengan beberapa pola seperti: Atau dengan beberapa pola lainnya seperti: Petani
Pedagang Desa
Dijual di pasar: -kecamatan -kabupaten (grosir/eceran)
Petani pedagang desa pedagang pengumpul pedagang besar (pemasok Kedelai untuk pedagang pasar) Petani pedagang pengumpul (dimodali pedagang besar) pedagang besar; untuk: 1. dijual antar kota (kabupaten dan propinsi); 2. dipasok ke pabrik pengolahan.
PUSKUD INDUSTRI
P E T A N I
PEDAGANG DESA
PEDAGANG DESA
GROSIR
GROSIR
P I A L A N G
PEDAGANG BESAR
KOPTI PEDAGANG BESAR INDUSTRI
PENGRAJIN TEMPE, TAHU
KONSUMEN
Keterangan: - - - - - : Kegiatan yang bersifat tidak tetap
Gambar 1. Saluran Pemasaran Kedelai untuk Kebutuhan Konsumsi:
Pemasaran dilakukan sekitar 3 minggu – 11/2 bulan setelah panen, tergantung keadaan cuaca saat penjemuran, agar kadar KKP sesuai dengan yang disepakati. Para petani umumnya menunggu agar harga sedikit lebih tinggi, sebab bila langsung dijual pada saat panen raya harga lebih rendah dan tidak bisa bersaing. Sistem pembayaran umumnya secara tunai, sebagai alasan untuk menghindari resiko pembayaran yang tidak sesuai dengan nilai yang sudah disepakati (karena bisa saja harga kedelai turun di pasaran). Subsistem Faktor Penunjang Faktor harga merupakan permasalahan untama bagi petani yang berkaitan dengan permodalan dan mempengaruhi kelanjutan usahataninya. Pembentukan KUB (Kerja Usaha Bersama) dirintis dengan membangun semacam kemitraan antara petani dan pedagang, namun pengembangannya masih terbentur pada keterbatasan modal. Peran pemerintah yang besar sebagai salah satu faktor penunjang dalam penyediaan fasilitas/prasarana umum seperti: jalan untuk transportasi, pengairan, komunikasi dan publikasi, serta pengendalian dan pengawasan harga dan pemasaran. Faktor lainnya yang tak kalah penting adalah peran pembinaan dan penyuluhan teknologi serta pelatihan yang perlu ditingkatkan untuk turut menunjang terserap83
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
Tabel 2: Analisis Nilai Tukar Penerimaan Komoditas Kedelai di Daerah Penelitian MK II 1999, Berdasarkan Tingkat Pendapatan dan Areal Garapan. MK II 1999 Uraian
Areal Garapan Sedang Sedang Tinggi 1.062,75 1189,00 326,25 405,00 75,00 87,50 131,25 157,50 120,00 160,00 706,50 754,00 30,00 30,00
I. Biaya (Rp. 000,-) 1. Sarana Produksi: 1.1. Bibit 1.2. Pupuk 1.3. Obat-obatan 2. Tenaga Kerja 3. Lainnya II. Penerimaan (Rp. 000,-) R/C
1170,00 1,26
1.350,00 1,27
1530,00 1,29
2.340,00 1,38
2.790,00 1,38
3.240,00 1,40
4,46 18,72 11,14 12,32 1,85
4,14 18,00 10,29 11,25 1,91
3,78 17,49 9,71 9,56 2,03
4.95 18,72 13,57 13,37 1,91
4,34 18,60 10,63 12,13 2,28
4,06 18,51 9,18 12,00 2,20
III.Nilai Tukar Penerimaan 3.1. Terhadap Saprodi 3.2. Terhadap Bibit 3.3. TerhadapPupuk 3.4. Terhadap Obat-obatan 3.5.Terhadap TenagaKerja
Rendah 1.742,50 472,50 125,00 172,50 175,00 1.225,50 45,00
Areal Garapan Luas Sedang Tinggi 2.016,00 2.317,75 642,50 797,75 150,00 175,00 216,50 352,75 230,00 270,00 1.382,50 1.475,00 45,00 45,00
Rendah 926,00 262,50 62,60 105,00 95,00 633,50 30,00
Sumber: Analisa Data Primer.
Tabel 3: Analisis Nilai Tukar Penerimaan Komoditas Kedelai di Daerah Penelitian MK I 2000, Berdasarkan Tingkat Pendapatan dan Areal Garapan. MK I 2000 Uraian I. Biaya (Rp. 000,-) 1. Sarana Produksi: 1.1. Bibit 1.2. Pupuk 1.3. Obat-obatan 2. Tenaga Kerja 3. Lainnya
Rendah 781,50 263,00 87,50 107,50 68,00 488,50 30,00
Areal Garapan Sedang Sedang Tinggi 921,00 1039,50 326,00 398,00 100,00 112,50 134,00 160,50 92,00 125,00 563,00 611,50 30,00 30,00
Rendah 1.478,75 458,75 137,50 173,75 147,50 975,00 45,00
Areal Garapan Luas Sedang Tinggi 1,733,00 2.097,00 592,50 756,50 187,50 237,50 235,00 296,50 170,00 222,50 1.095,50 1.295,50 45,00 45,00
II. Penerimaan (Rp. 000,-) R/C
990,00 1,27
1188,00 1,29
1332,00 1,28
2.106,00 1,42
2.304,00 1,33
2.610,00 1,24
III.Nilai Tukar Penerimaan 3.1. Terhadap Saprodi 3.2. Terhadap Bibit 3.3. TerhadapPupuk 3.4. Terhadap Obat-obatan 3.5.Terhadap TenagaKerja
3,76 11,31 9,21 14,46 2,03
3,64 11,88 8,87 12,91 2,10
3,46 11,84 8,30 10,66 2,18
4,59 15,32 12,12 14,28 2,16
3,89 12,29 9,80 13,55 2,10
3,45 10,99 8,80 11,73 2,01
Sumber: Analisa Data Primer.
nya teknologi yang adaptif. Turut direlisasikannya program Gema Palagung (Gerakan Mandiri Padi, Kedelai dan Jagung) merupakan salah satu program di antara berbagai program pemerintah sebagai upaya khusus yang diharapkan mampu menanggulangi dan merupakan upaya meningkatkan ketersediaan pangan nasional untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri serta upaya untuk mengurangi impor, yang berkaitan pada penurunan terhadap permintaan devisa. Nilai Tukar Penerimaan Komoditas Kedelai dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Nilai tukar penerimaan usahatani dapat diartikan sebagai rasio antara penerimaan dari komoditas terhadap biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi komoditas tersebut. Dari nilai tukar penerimaan dapat diketahui tingkat profitabilitas suatu usahatani. Dari Tabel 2 dan Tabel 3 dapat diketahui bahwa nilai tukar penerimaan petani yang areal garapannya luas 84
akan lebih baik dari nilai tukar penerimaan petani yang areal garapannya sedang, dengan melihatnya berdasarkan tingkat pendapatan petani, yaitu: tingkat pendapatan rendah, sedang dan tinggi. Rasio nilai tukar penerimaan terhadap saprodi dalam MK II 1999 pada petani dengan areal garapan sedang adalah pada tingkat pendapatan rendah (1,26 terhadap 4,46); pada tingkat pendapatan sedang (1,27 terhadap 4,14); dan pada tingkat pendapatan tinggi (1,29 terhadap 3,78). Pada petani dengan areal garapan luas, rasio nilai tukar penerimaan terhadap saprodi pada tingkat pendapatan rendah adalah I,34 terhadap 4,95; pada petani dengan tingkat pendapatan sedang (1,38 terhadap 4,34) dan pada petani dengan tingkat pendapatan tinggi adalah 1,40 terhadap 4,06. Rasio nilai tukar penerimaan terhadap saprodi dalam MK I 2000, pada petani dengan areal garapan sedang adalah pada tingkat pendapatan rendah (1,27 terhadap 3,76); pada tingkat pendapatan sedang (1,29 terhadap 3,64); dan pada tingkat pendapatan tinggi (1,28 terha-
Peran Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Kedelai (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) [Roosgandha Elizabeth dan Valeriana Darwis]
dap 3,46). Pada petani dengan areal garapan luas, rasio nilai tukar penerimaan terhadap saprodi pada tingkat pendapatan rendah adalah I,42 terhadap 4,59; pada petani dengan tingkat pendapatan sedang (1,33 terhadap 3,89) dan pada petani dengan tingkat pendapatan tinggi adalah 1,24 terhadap 3,45. Untuk lebih singkatnya kedua tabel diatas dapat dirangkum dalam tabel 4 berikut agar dapat melihat perbandingan rasio nilai tukar penerimaan terhdap saprodi pada kedua musim tanam tersebut. Selanjutnya dari tabel 4 tersebut, dapat diketahui bahwa rasio nilai tukar penerimaan terhadap saprodi (bibit, pupuk, obat-obatan) adalah lebih kecil pada petani areal garapan sedang (4,08) terhadap petani dengan areal garapan luas (4,38) untuk MK II 1999. Untuk MK I 2000 rasio nilai tukar penerimaan terhadap saprodi adalah lebih kecil pada petani areal garapan sedang (3,56) terhadap petani dengan areal garapan luas (3,88). Tabel 4: Analisis Nilai Tukar Penerimaan Komoditas Kedelai di Daerah Penelitian MK II 1999 dan MK I 2000, Berdasarkan Areal Garapan.
Uraian I. Biaya (Rp. 000,-) 1. Sarana Produksi: 1.1. Bibit 1.2. Pupuk 1.3. Obat-obatan 2. Tenaga Kerja 3. Lainnya II. Penerimaan (Rp. 000,-) R/C III.Nilai Tukar Penerimaan: 3.1. Terhadap Saprodi 3.2. Terhadap Bibit 3.3. Terhadap Pupuk 3.4. Terhadap Obat-obatan 3.5. Terhadap TenagaKerja
MK II 1999
MK I 2000
Areal Garapan
Areal Garapan
Sedang
Luas
Sedang
Luas
1.029,25 2.026,00 914,00 1.769,50 331,25 637,50 329,00 602,50 75,00 150,00 100,00 187,50 262,50 134,00 235,00 131,25 225,00 95,00 180,00 125,00 1.343,00 555,00 1.122,00 698,00 30,00 30,00 45,00 45,00 1.350,00 1.170,00 1,31 2.790,00 1,28 2.340,00 1,38 1,32 4,08 18,00 10,29 10,80 1,93
4,38 18,60 10,63 12,40 2,08
3,56 11,70 8,73 12,32 2,11
3,88 12,48 9,96 13,00 2,09
Sumber: Analisa Data Primer.
Nilai tukar penerimaan terhadap saprodi lebih besar dibanding nilai tukar penerimaan tenagakerja untuk areal garapan sedang dan luas. Hal ini menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan petani untuk tenaga kerja jauh lebih besar daripada biaya untuk sarana produksi (baik untuk bibit, pupuk, maupun obat-obatan). Keadaan ini disebabkan oleh banyaknya tenagakerja upahan yang dipergunakan dan tingginya tingkat upah yang dikeluarkan. Sementara itu dari dekomposisi nilai tukar penerimaan terhadap biaya saprodi menunjukkan bahwa nilai tukar penerimaan terhadap bibit lebih besar dibanding nilai tukar terhadap pupuk dan obat-obatan. Keadaan ini menunjukkan tingginya peningkatan harga pupuk dan obat-obatan dibanding harga bibit yang relatf stabil. Dampak Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Terhadap Harga Kedelai Kebijaksanaan pembangunan pertanian secara umum bertujuan untuk meningkatkan produksi dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat sekaligus meningkatkan pendapatan petani. Kebijaksanaan peningkatan produksi antara lain dilakukan melalui peningkatan intensifikasi dan penyediaan modal; sedang peningkatan pendapatan dilakukan melalui kebijakan harga yang meliputi kebijaksanaan harga domestik dan kebijaksanaan perdagangan. Menurut Hadi (2000) yang dikutip Sutrisno dan Winarno (2000), berbagai kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan komoditas pertanian seperti: 1)Program Pengembangan Agribisnis yang bertujuan meningkatpan pendapatan petani melalui peningkatan daya saing dengan cara peningkatan efisiensi manejemen usaha, penggunaan skala efisien dan pemilihan komoditas yang bernilai ekonomi yang berorientasi pasar domestik maupun ekspor; 2)Program Ketahanan Pangan bertujuan agar masyarakat mampu menjangkau pola konsumsi yang baik dengan harga terjangkau melalui peningkatan produksi, produktivitas, pendapatan/kesejahteraan petani serta kesempatan kerja on-farm dan off-farm; 3)Program Rintisan Korporasi melalui pembinaan kerjasama ekonomi dalam kelompok tani melalui konsolidasi manejemen usahatani dalam skala efisien usaha dan manejemen professional untuk menciptakan nilai tambah sehingga efisiensi usaha dan daya saing komoditas dalam jangka panjang dapat meningkat. Kebijaksanaan pembangunan pertanian oleh pemerintah didekati dengan tingkat produksi, sedangkan dampak yang diamati adalah tingkat harga yang diterima petani, yang didasari bahwa harga berperan penting dalam pembentukan penerimaan/pendapatan dari usahatani (Indraningsih, K. S et al, 2003) Pemerintah menetapkan tarif impor cukup tinggi pada perdagangan semula bertujuan untuk: 1)melindungi produsen dalam negeri dari persaingan komoditas impor sejenis sekaligus mendorong petani meningkatkan produksinya; dan 2)menciptakan pendapatan pemerintah. Kebijaksanaan harga dasar kedelai dimulai pada tahun 1979/1980 dan berakhir pada tahun 1991. Pada dasarnya kebijaksanaan pemerintah bias terhadap pengembangan kedelai disbanding padi untuk mempercepat peningkatan produksi kedelai (Sudaryanto, 1999), tetapi akhirnya kembali bias ke padi untuk mempercepat peningkatan produksi beras nasional. KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN Kesimpulan 1. Pengaruh negatip di satu sisi dari krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis moneter terhadap pertanian dan pedesaan antara lain seperti: meningkatkan pengangguran dan jumlah penduduk miskin; pengaruh positip di sisi lain adalah peningkatan harga komoditas pertanian karena meningkatnya nilai tukar mata uang asing. 2. Kenaikan harga produk yang dihasilkan petani lebih besar dari kenaikan harga barang yang dibeli, maka daya beli petani akan meningkat (mengindikasikan peningkatan kesejahteraan petani) yang diformulasi85
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
kan dalam bentuk nilai tukar petani. 3. Kebijaksanaan pemerintah di sector pertanian (kebijaksanaan harga, subsidi, perkreditan dan lainnya) mulai dari kegiatan usahatani sampai pemasaran hasil secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi nilai tikar petani. 4. Peningkatan/perbaikan nilai tukar petani berkaitan erat dengan kegairahan petani berproduksi, dengan dampak ganda yaitu peningkatan partisipasi petani dan produksi pertanian serta menghidupkan perekonomian pedesaan, penciptaan lapangan perkerjaan di pedesaan, yang berarti akan menciptakan sedikitnya keseimbangan pembangunan antar daerah dan antar wilayah serta optimalisasi sumberdaya nasional. 5. Faktor internal yang menyangkut sistem usahatani yang berkaitan dengan keputusan petani dalam mengadopsi teknologi maupun permodalan yang mempengaruhi penggunaan saprodi, ini juga mempengaruhi nilai tukar penerimaan kedelai; di samping faktor eksternal. 6. Sistem pemasaran sulit diantisipasi petani dimana tingkat penerimaan mereka sangat bergantung pada ‘harga jual’ yang diterima petani. ‘Posisi tawar’ petani yang lemah menempatkan petani pada situasi terpaksa menerima ‘keputusan pasar’, dengan tanpa atau sedikit sekali dilibatkan dalam penentuan harga; walaupun kenyataannya mereka berperan sebagai produsen 7. Faktor sosial ekonomi turut sebagai faktor penentu tercapainya produktivitas dimana petani umumnya akan membandingkan kemudahan dan keuntungan yang akan diperoleh, terpenuhi atau tidaknya kebutuhan hidup bila ia lebih memilih menanam kedelai dibanding komoditas lain. Saran Kebijakan 1. Pemerintah sebagaimana harapan petani hendaknya lebih mengantisipasi bagaimana pengarahan memajukan pertanian tanaman pangan sebagai pendorong utama dalam memantapkan pertanian pangan sebagai penyedia bahan pangan yang mampu mendorong pertumbuhan perekonomian di pedesaan (terutama di masa krisis yang masih berlanjut sekarang ini). Hal ini mungkin dapat dicapai melalui perluasan pemasaran dan kebijaksanaan harga yang menguntungkan petani, maupun melalui mekanisme pertanian dan penanganan pasca panen. 2. Dalam mengatasi kendala perluasan areal panen dan peningkatan produktivitas berkaitan erat dengan adopsi teknologi. Peningkatan adopsi teknologi dapat ditempuh antara lain dengan peningkatan penyuluhan dan pelatihan praktis sistem budidaya kedelai yang sesuai dengan kondisi agroekologi, tidak hanya berpatokan pada harus berjalannya suatu program pemerintah di bidang pertanian tanpa memperhatikan unsur petani dan kebutuhannya serta kondisi agroekologi yang berbeda antar wilayah. 3. Memperbaiki sistem pasar yang bersifat monopoli dan sangat tergantung pada harga yang ditetapkan 86
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
pedagang yang terasa sangat memberatkan para petani. Sekalipun penawaran dan permintaan relatif seimbang, namun membludaknya suplai kedelai dari luar negeri dengan kompisisi kualitas yang relatif lebih baik seperti warna dan besar yang lebih merata, kadar kotoran yang relatif sedikit, kadar kekeringan pipil yang cukup memadai, kontiniutas dan kuantitas terjaga, dan lainnya merupakan syarat yang harusnya lebih diperhatikan petani dengan penyuluhan dan bimbingan aktif dari pemerintah. Keadaan ini mengakibatkan harga kedelai sangat berfluktuatif. 4. Memberi perhatian/memperhitungkan faktor internal seperti sistem usahatani terkait pada keputusan petani dalam mengadopsi teknologi, serta permodalan yang terkait penggunaan saprodi, ini juga mempengaruhi nilai tukar penerimaan kedelai; disamping faktor eksternal. 5. Memperbaiki sistem pemasaran yang sering sulit diantisipasi petani, sehingga petani memiliki ‘posisi tawar’ yang memadai, terkait pada tingkat penerimaan mereka yang sangat bergantung pada ‘harga jual’ yang diterima petani. Petani diupayakan tidak selalu lemah atau selalu terpaksa menerima ‘keputusan pasar’, akan tetapi turut dilibatkan dalam penentuan harga; sebagai salah satu reward terhadap mereka dan perannya sebagai produsen. DAFTAR PUSTAKA Anwar, A. et al. 1991. Studi Kebijaksanaan Nilai Tukar Pertanian. Kerjasama PAE Dengan Departemen Ilmu-ilmu Sos.Ek. Fak.Pertanian. IPB. Bogor. BPS. 1989. Nilai Tukar Petani Jawa Madura (1983=100) dan sepuluh propinsi di Pulau Jawa (1987=100). ______.2000. Provinsi Jawa Timur Dalam Angka. Chrisman, S., dkk. 1966. Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB. Press. Dinas Pertanian Kab. Pasuruan. Jawa Timur. Laporan Tahunan. Diperta Dati I. Provinsi Jawa Timur. 2000. Laporan Tahunan. Hendayana, R. Herlina T. 1995. Dimensi Perubahan Nilai Tukar Petani dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian Kelembagaan dan Prospek Pengembangan Beberapa Komoditas Pertanian. Puslit Sos.Ek Pertanian. Bogor. Killick, T. 1981. Policy Economics. A Textbook of Applied Economics on Developing Countries. The English Language Book Society. Pramonosidhi. 1984. Tingkah Laku Tukar Komoditi Pertanian pada Tingkat Petani. Kerjasama PAE Univ. Satya Wacana. Salatiga. Sumarno et al. 1989. Analisis Kesenjangan Hasil Kedelai Jawa. Pusat Palawija. Sudaryanto, T. et al. 1999.Perkembangan kebijaksanaan Harga dan Perdagangan Komoditas Pertanian. Laporan Hasil Pengkajian. PSE. Bogor. Supriyati, M. Rachmat, K.S Indraningsih, Tj.Nurasa. Roosgandha Elizabeth, R.Sajuti. 2000. LHP. Studi Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas Pertanian Puslit Sos.Ek. Pertanian. Bogor. Timmer, C.P et al. 1083. Food Plicy Analysis. John Hopkins. Univ. Press. Baltimore. Tim Peneliti. 1994. Studi Prospek dan Kendala Pengembangan Palawija (kedelai, jagung, ubikayu dan kacang tanah). Puslitbangtan. Balitbangtan. Bogor.
Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada Perkebunan Rakyat Jambu Mete SOCA ❖ 6 (1) : 87 - 93
(Studi Kasus Petani Jambu Mete di Provinsi TengISSN:Nusa 1411-7177 gara Barat) [Ade Supriatna]
PENERAPAN TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) PADA PERKEBUNAN RAKYAT JAMBU METE (Studi Kasus Petani Jambu Mete di Provinsi Nusa Tenggara Barat) Ade Supriatna
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang pertanian Bogor
ABSTRACT This study was conducted in 2003 and took place in Nusa Tenggara Barat (NTB). The objectives of study were: to evaluate the implementation of the integrated pest management School on farmer field (IPM-FFS), farmers adoption of IPM technology, changes of farm productivity and income. The result showed, that majority of farmers have controlled the pest based on principles of IPM. Firstly, the farmer do preventive control by adopting some practices to make crops grow healthy, apply biological and mechanical control, and also use organic pesticide. Finally, if the intensity of pest's attack were still in the level of economic injury the farmer would use chemical pesticide. Agroecosystem observation has been adopted by alumni farmer (100%) and non-alumni (34,5%), mechanical control have been adopted by (100%) and non-alumni (66, 6%), and organic pesticide have been adopted by alumni (6,7%) and non-alumni (13, 3%). While the application of chemical pesticide not be found because the intensity of pest attack was still low and the costly pesticide price push reduction of chemical pesticide use. The alumni productivity was 300kg and non-alumni were 270 kg/ha/year. If all expenses of farm were counted, farm benefit of alumni and non-alumni would be disadvantage, namely Rp.206 thousand and Rp.287 thousand/ha/year, respectively. If family labor cost were not counted, they would be advantage, namely Rp.858 thousand and Rp.735 thousand/ha/year, respectively. Then if all expenditure coming from property of farmer (family labor and organic fertilizer) were not counted, they would be advantage, namely Rp.890 thousand and Rp.771 thousand/ha/year, respectively. Based on statistical test, productivity and farm benefit of alumni and non-alumni were not different. Introducing the low cost technology (IPM-FFS) is very suited for cashew nut farmer because their capital are still low such as using organic pesticides available in their field, biological and mechanical control, and organic manure. Considering its progress, IPM-FFS is suggested to overspread to other location. Keywords: Integrated Pest Management; Cashewnut; Farmers PENDAHULUAN Jambu mete (Anacardium moccidentale) merupakan komoditi perkebunan yang mempunyai prospek baik untuk dikembangkan sebagai komoditi ekspor. Tahun 2000, ekspor nasional jambu mete mencapai 27.617 ton atau sama dengan 31.502 US$ dengan laju pertumbuhan ekspor selama sepuluh tahun terakhir (tahun 1990-2000) mencapai 47,8 persen per tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan Rakyat, 2002). Provinsi NTB merupakan salah satu sentra produksi jambu mete nasional dengan total luas tanam tahun 2000 mencapai 53.321 hektar dan total produksi 4.607 ton biji kering, sebagian besar merupakan areal perkebunan rakyat (92,9%) dan sisasnya (7,1%) merupakan perkebunan swasta (Dinas Perkebunan Provinsi NTB, 2002). Dalam memasuki era perdagangan bebas, Indonesia sebagai negara produsen jambu mete, harus melakukan langkah-langkah perbaikan untuk meningkatkan daya saing produk. Upaya perbaikan disamping aspek efisiensi produksi dan kualitas produk, juga diproduksi secara ramah lingkungan. N. Hakim. (2003) menginformasikan, bahwa sebagian dari konsumen kopi yang sekaligus pemerhati lingkungan akhir-akhir ini menganggap bahwa beberapa negara produsen sudah tidak lagi memperhatikan tatanan lingkungan, hanya mengeksploitasi lahan
untuk tujuan memperoleh hasil yang sebesar-besarnya sehingga menyebabkan erosi dan banjir di musim hujan, hilangnya populasi satwa (burung, serangga, dan lainnya), serta rusaknya ekosistem mikro. Melihat permasalahan tersebut, pemerintah cq Departemen Pertanian sejak tahun 1997 mengintroduksikan teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang ramah lingkungan kepada petani perkebunan rakyat melalui Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT). Pelaksanaan SL-PHT mencakup enam komoditi utama yaitu kopi, kakao, jambu mete, teh, kapas, serta lada, masing-masing dilaksanakan di satu Provinsi sentra produksi. Pelatihan SL-PHT jambu mete dilaksanakan di Provinsi NTB tahun 2001, sampai tahun 2002 sudah dihasilkan 800 petani SL-PHT tersebar di Lombok Barat (65,6%), Lombok Timur (18,8%), dan Sumbawa (15,6%) . Seperti pada kasus introduksi teknologi baru lainnya, petani akan membutuhkan waktu untuk mampu menerapkan teknologi PHT dikarenakan mereka akan menemukan permasalahan atau kendala. Tulisan ini merupakan evaluasi pelaksanaan SL-PHT jambu mete di Provinsi N T B, penerapan teknologi PHT di tingkat petani, dan perubahan kelayakan ekonomi usahatani. Secara rinci penelitian bertujuan untuk; (1) mengetahui pelaksanaan SL-PHT, (2) mengevaluasi penerapan 87
R/C = 1, usahatani secara ekonomi berada pada titik impas (BEP) R/C < 1, usahatani secara ekonomi tidak menguntungkan (rugi)
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
teknologi PHT di tingkat petani, (3) mengevaluasi perubahan produktivitas dan pendapatan usahatani jambu mete.
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003 3. Analisis perbedaan produktivitas/pendapatan usahatani antara petani alumni dan non-alumni SL-PHT (uji t-Student).
| x 1- x 2 | T hit =
Dengan T tab ((n1-1) + (n2-1)} (n1-1) S1 + (n2-1) S2
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2003 dengan waktu penelitian selama 4 (empat) bulan, mulai bulan Juni sampai dengan September 2003. Dari tiga Kabupaten lokasi SL-PHT, terpilih Kabupaten Lombok Barat karena merupakan lokasi pelaksanaan SL-PHT paling awal dan diharapkan pengaruhnya semakin dapat terlihat. Untuk Desa penelitian, terpilih Desa Kayangan dan Desa Dangiang, keduanya termasuk Kecamatan Kayangan. Penelitian menggunakan metode survei dengan daftar pertanyaan terstruktur. Data primer dikumpulkan dari 60 (enam puluh) petani, terdiri atas 30 petani non-alumni dan 30 petani alumni SL-PHT yang diambil secara acak (random sampling). Data sekunder berasal dari Dinas/Instansi terkait, Dinas Perkebunan, Badan Pusat Statistik (BPS), kantor proyek SL-PHT, dan Lembaga penelitian. Metode Analisis Data Untuk pelaksanaan pelatihan SL-PHT dan penerapan teknologi PHT di tingkat petani dikemukakan secara deskriptif berdasarkan hasil analisis data tabulasi dengan parameter rata-rata dan persentase petani yang menerapkan. Sedangkan untuk analisis kelayakan ekonomi dan perbedaan produktivitas/ pendapatan usahatani jambu mete dianalisis dengan metoda sbb: 1. Pendapatan usahatani jambu mete n
π = Y.Py - ∑ Xi.Pxi - BL i=1
Dimana: π = Pendapatan bersih usahatani jambu mete (rp/ha/tahun) Y = Total produksi jambu mete (kg/ha/tahun) Py = Harga jual kopi (rp/kg) Xi = Tingkat penggunaan input usahatani ke-i (rp/ha/tahun) Pxi = Harga input usahatani ke-i (rp/kg) BL = Biaya lainnya (rp/ha/tahun)
2. Analisis kelayakan ekonomi Jambu mete (Nilai R/C ratio) R/C Ratio = NPT/BT
Dimana: R/C Ratio = Nisbah penerimaan dan biaya NPT = Nilai produksi total (rp) BT = Nilai biaya total (rp) Dengan keputusan: R/C > 1, usahatani secara ekonomi menguntungkan R/C = 1, usahatani secara ekonomi berada pada titik impas (BEP) R/C < 1, usahatani secara ekonomi tidak menguntungkan (rugi)
3. Analisis perbedaan produktivitas/pendapatan usahatani antara petani alumni dan non-alumni SL-PHT 88
(n1-1) + (n2-1)
X
1 n1
+
1 n2
(uji t-Student). Dimana: x = Nilai rata-rata yang dicapai petani alumni} 1
x 2 = Nilai rata-rata yang dicapai petani non-alumni Dimana: S1 2 = Ragam petani alumni 2 Ragam petani non-alumni x 1 =S2Nilai=rata-rata yang dicapai petani alumni} = Jumlah sample petani alumni x 2 =n1Nilai rata-rata yang dicapai petani non-alumni n = Jumlah sample petani non-alumni S1 2 =2 Ragam petani alumni 2 S2 =yang Ragam petani non-alumni Hipotesis diajukan: = Jumlah sample petani alumni H0 =nTidak terdapat perbedaan produktivitas/pendapatan antara petani alumni dan non1 alumni H1 n= Terdapat perbedaan produktivitas/pendapatan antara petani alumni dan non 2 = Jumlah sample petani non-alumni alumni
Hipotesis Kaidah keputusan:yang
diajukan: H0 = Tidak terdapat perbedaan produktivitas/ T hitung < T tabel (H0 diterima) pendapatan antara petani alumni dan non-alumni H1 = Terdapat perbedaan produktivitas/pendapatan antara petani alumni dan non 4 alumni Kaidah keputusan: T hitung < T tabel T hitung > T tabel
(H0 diterima) (H0 ditolak )
HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan SL-PHT di Tingkat Petani Sebelum program SL-PHT, sudah ada beberapa langkah pemerintah dalam upaya menuju ke budidaya berwawasan lingkungan (eco friendly cultivation), yaitu mulai dari Inpres No.3 tahun 1986 mengenai pelarangan penggunaan pestisida tertentu. Selanjutnya kebijakan pengurangan subsidi pestisida yang dilakukan secara bertahap sampai penghapusan keseluruhan subsidi pada tahun 1989. Kemudian disusul dengan program nasional penerapan PHT dalam upaya melindungi tanaman yang dimulai dari tanaman padi, palawija, dan sayuran teralhir diberlakukan untuk tanaman perkebunan. Rola dan Pringali (1993) menyatakan bahwa pengendalian hama terpadu (PHT) adalah sebuah pendekatan baru untuk melindungi tanaman dalam kontek sebuah sistem produksi tanaman. Selanjutnya, Untung (1997) menyatakan bahwa PHT memiliki beberapa prinsip yang khas, yaitu; (1) sasaran PHT bukan eradikasi/pemusnahan hama tetapi pembatasan atau pengendalian populasi hama sehingga tidak merugikan, (2) PHT merupakan pendekatan holostik maka penerapannya harus mengikutsertakan berbagai disiplin ilmu dan sektor pembangunan sehingga diperoleh rekomendasi yang optimal, (3) PHT selalu mempertimbangkan dinamika ekosistem dan variasi keadaan sosial masyarakat maka rekomendasi PHT untuk pengendalian hama tertentu juga akan sangat bervariasi dan lentur, (4) PHT lebih mendahulukan proses pengendalian yang berjalan secara alami (non-pestisida), yaitu teknik bercocok tanam dan
Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada Perkebunan Rakyat Jambu Mete (Studi Kasus Petani Jambu Mete di Provinsi Nusa Tenggara Barat) [Ade Supriatna]
Analisis Ekosistem
Pengambilan Keputusan Kelompok
Pemantauan/ pengamatan Ekosistem
Tindakan Pengelolaan Kebun
AGRO EKOSISTEM
Gambar 1. Proses pengambilan keputusan pengendalian hama di tingkat lapangan/petani (sumber: Untung, 1997)
pemanfaatan musuh alami seperti parasit, predator, dan patogen hama. Penggunaan pestisida harus dilakukan secara bijaksana dan hanya dilakukan apabila pengendalian lainnya masih tidak mampu menurunkan populasi hama, dan (5) program pemantauan/pengamatan biologis dan lingkugan sangat mutlak dalam PHT karena melalui pemantauan petani dapat mengetahui keadaan agro-ekosistem kebun pada suatu saat dan tempat tertentu, selanjutnya melalui analisis agro-ekosistem (AAES) dapat diputuskan tindakan yang tepat dalam mengelola kebunnya. Dengan bekal materi pelatihan, petani belajar melaksanakan pengambilan keputusan dalam pengelolaan kebun, terutama pengendalian hama penyakit tanaman. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil pengamatan dikebun, petani selanjutnya melakukan analisis agro-ekosistem (AAES) dan bermusyawaran dalam kelompok untuk mengambil keputusan yang tepat dalam pengelolaan kebunnya (Gambar 1). Sosialisasi program SL-PHT komoditi perkebunan telah dimulai sejak tahun 1997 melalui beberapa tahapan, yaitu (1) pelatihan untuk pelatih (master trainer) dan pemandu lapang, (2) pelatihan petani SL-PHT try out dan SL-PHT murni, (3) pelatihan petani SL-PHT tindak lanjut. Disbun Provinsi NTB (2002) menyatakan bahwa, Sekolah Lapang Pengendalian Hama terpadu (SL-PHT) jambu mete di NTB direncanakan dilaksanakan selama enam tahun (2001-2006) dan ditargetkan menghasilkan 18.175 petani SL-PHT. Sampai tahun 2002 sudah dihasilkan 800 petani SL-PHT tersebar di Lombok Barat (65,6%), Lombok Timur (18,8%), dan Sumbawa (15,6%). Untuk kelancaran pelatihan, ditetapkan persyaratan petani calon peserta SL-PHT; (a) merupakan petani jambu mete, (b) luas minimal penguasaan kebun 0,5 hektar, (c) bisa baca tulis, (d) bersedia mengikuti masa pelatihan 20 kali dengan frekuensi satu kali per minggu, (e) setiap kelompok terdiri dari 20 sampai 25 orang anggota, dan (f) secara proporsional 20 persen pesertanya adalah wanita (Disbun Provinsi NTB, 2002). Pelatihan SL-PHT dilaksanakan di kebun percontohan milik petani, berlangsung selama 20 kali pertemuan selama lima bulan dengan interval pertemuan satu minggu sekali. Satu kelompok belajar terdiri atas 25 individu dan terbagi lagi menjadi 5 kelompok kecil. Setiap kelompok dipandu atau didampingi oleh dua
orang Pemandu Lapang 2 (PL-2) yang sebelumnya pernah mengikuti pelatihan mengenai teknologi PHT dan teknik kepemanduan. Materi umum pelatihan SL-PHT mencakup delapan aspek, yaitu; (1) pengenalan hama penyakit dan musuh alami, (2) analisis agro-ekosistem (AAES), (3) pengendalian hama penyakit tanaman melalui teknologi PHT, (4) teknik pemangkasan yang baik, (5) pembibitan termasuk cara sambung dini dan okulasi, (6) pembuatan bokhasi dan pestisida alami (nabati), (7) pembuatan terasering dan lorak, dan (8) sanitasi kebun yang baik. Metoda pengajaran SL-PHT menggunakan metoda androgoni (pendidikan orang dewasa) secara partisipatif dengan menitik beratkan cara belajar sambil bekerja (learning by doing), nantinya petani diharapkan menguasai suatu proses penemuan ilmu (discovery learning) karena apa yang dipelajari berhubungan langsung dengan masalah sehari-hari di lapangan. Pelaksanaan SL-PHT pada umumnya sudah berjalan sesuai rencana, tetapi masih perlu perbaikan aspek teknis, yaitu salah satu persyaratan petani peserta harus bisa baca tulis perlu ditinjau kembali karena di lapangan ditemukan banyak petani yang punya motivator berusahatani tinggi tetapi tidak bisa mengikuti pelatihan dikarenakan buta huruf disamping itu penjadwalan materi pelatihan SL-PHT sebaiknya disesuaikan dengan keadaan perkembangan pertanaman di kebun sehingga petani dapat melihat langsung atau mempraktekan materi yang diajarkan, seperti menyesuaikan dengan fase pertumbuhan tanaman, keberadaan hama penyakit, dan kegiatan usahatani. Penerapan Teknologi PHT di Tingkat Petani Di Indonesia, termasuk Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), tanaman jambu mete pada awalnya ditanam sebagai tanaman penghijauan untuk merehabilitasi lahanlahan krisis. Sejalan dengan program pengembangan kawasan timur Indonesia, jambu mete di NTB mulai diusahakan secara intensif pada tahun 1990 melalui program Pengembangan Perkebunan Wilayah Khusus (P2WK). Selanjutnya tahun 1994, masuk program Eastern Island Cashew Development Proyect (EISCDP), International Fund for Agricultural Development (IFAD), dan lainnya. Cara bertanam pada umumnya sudah sesuai anjuran karena selama penanaman petani selalu dibimbing oleh petugas Unit Pelayanan Pengembangan (UPP) yang ditempatkan di lapangan. Pada waktu penelitian tanaman jambu mete sudah berumur antara 8 sampai 10 tahun (usia produktif), jumlah populasi 209 tanaman per hektar, dan kegiatan usahatani terdiri atas penyiangan, pemangkasan, pemupukan, dan pengendalian HPT, panen/pasca panen, dan pemasaran hasil dalam bentuk biji kering asalan. Pada dasarnya materi pelatihan SL-PHT mencakup empat prinsip yang dikembangkan, yaitu (a) petani mampu untuk mengusahakan budidaya tanaman sehat, (b) memahami dan memanfaatan musuh alami, (c) melakukan pengamatan agro-ekosistem kebun secara berkala, dan (d) petani mampu menjadi manager usahatani (Untung, 1997). Petani sebagai manager berarti petani harus 89
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
tahu dan mampu memutuskan penerapan tiga prinsip SL-PHT sebelumnya dalam mengelola kebunnya yaitu, mengusahakan budidaya tanaman sehat, memahami dan memanfaatan musuh alami, dan melakukan pengamatan agro-ekosistem kebun secara berkala, Mengusahakan Tanaman Sehat. Banyak jenis kegiatan budidaya yang mengarah kepada mengusahakan tanaman sehat, sesuai materi pelatihan teridentifikasi lima kegiatan utama, yaitu penggunaan bibit varietas unggul, penyiangan/dangir, pemberian pupuk berimbang, dan kegiatan pemangkasan. Setelah pelaksanaan SL-PHT, petani semakin menyadari pentingnya menanam bibit varietas unggul karena disamping memberikan produksi lebih tinggi juga lebih tahan terhadap gangguan hama penyakit. Tabel 1 menginformasikan, bahwa seluruh petani (non-alumni dan alumni) sudah menanam bibit unggul local muna, bibit berasal dari bantuan proyek pengembangan tahun 1992 dan 1997. Permasalahannya adalah bibit yang beredar di tingkat petani masih bibit varietas unggul lokal. Mayoritas petani (98,3%) sudah melakukan penyiangan, mereka menyadari bahwa, gulma disamping merupakan pesaing jambu mete dalam dalam penyerapan nutrient tanah, air, dan lainnya juga dapat merupakan tanaman inang untuk beberapa penyakit. Tabe 1. Penerapan Teknologi PHT Aspek Budidaya Tanaman Sehat menurut Klasifikasi Petani, 2003. Jenis komponen teknologi
1. Menanam varietas unggul a. Ya b. Tidak 2. Menerapkan penyiangan/dangir a. Ya b. Tidak 3. Aplikasi pupuk kandang a. Ya b. Tidak 4. Aplikasi pupuk Urea a. Ya b. Tidak 5. Aplikasi pupuk SP-36 a. Ya b. Tidak 6. Menerapkan pemangkasan a. Ya b. Tidak
Klasifikasi petani Non SL- SL-PHT Rata-Rata PHT Persentase (%) 100 -
100 -
100 -
96,7 3,3
100 -
98,3 1,7
100 -
100 -
100 -
96,7 3,3
93,4 6,6
95,6 4,9
3,3 96,7
29,7 70,3
30,0 83,5
83,4 16,6
100 -
91,7 8,3
Untuk mendapatkan produksi optimal, tanaman harus diberi pupuk sesuai anjuran, yaitu terdiri atas 450 gram Urea, 200 gram SP-36, dan 330 gram KCL per pohon per tahun (Disbun Provinsi NTB, 2002). Karena berbagai kendala, petani belum mampu mengadopsi paket pupuk rekomendasi tersebut. Tabel 2 menginformasikan, bahwa jenis pupuk buatan yang sudah diaplikasikan petani baru tiga jenis, yaitu pupuk kandang (100%), UREA (95,6%), dan SP-36 (30,0%). Takaran pupuk petani masih dibawah rekomendasi, yaitu 151 kg Urea dan 12 kg TSP per hektar atau sekitar 630 gram Urea dan 50 gram SP-36 per pohon per tahun. Takaran pupuk petani masih dibawah rekomendasi dikarenakan beberapa kendala, yaitu; (a) kekurangan 90
Tabel 2. Takaran Pupuk Petani Dalam Usahatani Jambu Mete menurut Klasifikasi Petani, 2003. Jenis pupuk 1. Urea 2. SP-36 3. Pupuk kandang 1)
Klasifikasi petani Non SL-PHT SL-PHT (kg/ha/tahun) 153 149 3 21 1.750 1.621
Rata-rata 151 12 1.687
Keterangan : 1) Kotoran ternak sapi
modal karena ekonomi petani pada umumnya masih lemah, (b) jenis pupuk KCL harganya sangat mahal sementara pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan masih diragukan petani, dan (c) harga jual biji jambu mete sangat fluktuatif dan tidak dapat diduga. Selama ini, petani mendapatkan pupuk buatan dengan cara meminjam dari kios pedagang yang merangkan pedagang hasil, pembayaran pinjaman dilakukan pada waktu panen. Cabang tanaman jambu mete diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu (a) cabang intensif yang akan menghasilkan bunga atau buah dan (b) cabang ekstensif merupakan cabang yang tidak atau sedikit menghasilkan bunga sehingga jenis cabang terakhir sebaiknya dibuang (Daras dan Zaubin (2002). Kegiatan pemangkasan sudah dilakukan oleh sebagian besar petani, yaitu petani alumni (100%) dan non-alumni (83,4%). Pengetahuan dan Pemanfaatan Musuh Alami. Menurut hasil pengamatan, ditemukan berbagai jenis musuh alami seperti laba-laba, semut merah, kumbang biru (urinus), belalang sembah, capung, dan lainnya. Tabel 3. Penerapan Teknologi PHT Aspek Pemahaman dan Pemanfaatan Musuh Alami menurut Klasifikasi Peta ni, 2003. Jenis komponen teknologi 1. Mengetahui musuh alami HPT a. Ya b. Tidak 2. Melestarikan musih alami a. Ya b. Tidak
Klasifikasi petani Non SL- SL-PHT Rata-Rata PHT Persentase (%) 16,6 83,4
100 -
58,3 41,7
50,0 50,0
100 -
75,0 25,0
Tabel 3 menginformasikan, bahwa pengetahuan petani alumni mengenai keberadaan dan peranan musuh alami jauh lebih baik dibandingkan petani non-alumni, yaitu masing-masing 100 persen dan 16,6 persen. Menyadari pentingnya keberadaan spesies musuh alami, mayoritas petani sudah berupaya melestarikan, yaitu petani alumni (100%) dan non-alumni (50%) dari yang sudah mengetahui. Cara pelestarian musuh alami yaitu menghindari penggunaan pestisida kimia (dapat membunuh musun alami dan serangga penyerbuk), dan upaya mempertahankan/memperbaiki habitat (tempat hidup) musuh alami. Pengamatan Agro-ekosistem Kebun. Pengamatan kebun lebih diutamakan untuk mengamati perkembangan intensitas gangguan HPT, kesuburan pertumbuhan tana-
Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada Perkebunan Rakyat Jambu Mete (Studi Kasus Petani Jambu Mete di Provinsi Nusa Tenggara Barat) [Ade Supriatna]
man, dan perkembangan populasi musuh alami. Tabel 4 menginformasikan, bahwa kegiatan pengamatan kebun sudah dilakukan oleh sebagian besar petani, yaitu petani alumni (100%) dan non-alumni (34,5%). Menurut frekuensinya, pengamatan teratur (berkala) sudah dilakukan oleh petani alumni (16,5%) sedangkan pada petani no-nalumni tidak ditemukan. Pengamatan tidak teratur dilakukan setiap ada kegiatan rutin di kebun sedangakan pengamatan teratur dilakukan sekitar 1 sampai 2 bulan sekali. Beberapa petani belum melakukan pengamatan dikarenakan berbagai kendala, yaitu tidak ada waktu, belum terbiasa, tidak merasa perlu, dan hanya menambah kegiatan serta biaya saja. Tabel 4. Penerapan Teknologi PHT Aspek Pengamatan Ekosistem Kebun menurut Klasifikasi Petani, 2003. Jenis komponen teknologi 1. Melakukan pengamatan ekosistem a. Ya b. Tidak 2. Frekuensi pengamatan a. Teratur b. Tidak teratur
Klasifikasi petani Non SLSL-PHT Rata-Rata PHT Persentase (%)
34,5 65,5
100 -
97,3 32,7
100
16,5 83,5
8,3 91,7
Pengendalian hama penyakit Tanaman. Dari hasil pengamatan, ditemukan banyak jenis HPT jambu mete, tetapi yang sering menimbulkan kerugian ada empat jenis yaitu, hama lawana (Lawana candida), Helopeltis (Helopeltis spp.), Aphis (Aphis sp.), dan penyakit jamur busuk akar (Fusarium solani). Untuk menunjang pengendalian hama secara hayati, Disbun Provinsi NTB mengintroduksikan beberapa agent hayati, yaitu; (a) Beauveria bassane dan Shynnematium sp. untuk mengendalikan hama lawana, dan (b) Trichoderma Spp. Untuk mengendalikan jamur busuk akar. Disamping itu, diintroduksikan cara pembuatan pestisida nabati (pesnab) dari sumberdaya pohon yang ada di kebun petani seperti daun nimbi, tembakau, sirsak, dll. Tabel 5 menginformasikan, bahwa setelah pelaksanaan SL-PHT, pengetahuan petani mengenai jenis hama penyakit utama semakin meningkat, yaitu petani alumni (100%) dan non-alumni (66,7%). Sudah terjadi perubahan sikap dalam mengendalikan hama penyakit, petani tidak lagi mengandalkan kepada penggunaan pestisida. Petani lebih mendahulukan metoda alami (non pestisida), yaitu mengkombinasikan antara teknik budidaya tanaman sehat, cara biologi, mekanik, dan penggunaan pestisida nabati. Selanjutnya apabila populasi hama masih tetap tinggi, petani baru akan menggunakan pestisida kimia. Disbun Provinsi NTB (2002) menginformasikan, bahwa petani dianjurkan untuk tidak melakukan pengendalian apabila intensitas serangan OPT masih dibawah 5 persen, menggunakan pestisida nabati apabila intensitas serangan antara 5-20 persen, dan diperbolehkan menggunakan pestisida kimia apabila serangan sudah diatas 20 persen. Sebagian besar petani berpendapat bahwa akan
Tabel 5. Penerapan Teknologi PHT Aspek Pengendalian Hama Penyakit menurut Klasifikasi Petani, 2003. Jenis komponen teknologi
1. Mengetahui HPT utama Jambu mete a. Ya b. Tidak 2. Pengendalian HPT cara mekanis a. Ya b. Tidak 3. Pengendalian HPT cara mekanis a. Ya b. Tidak 4. Takaran pestisida (Lt): a. Pestisida an organik b. Pestisida organik 2) 5. Keputusan menggunakan pestisida a. Ada gejala serangan b. Ambang ekonomi1)
Klasifikasi petani RataNon SL- SL-PHT Rata PHT Persentase (%)
66,7 33,3
100 -
83,3 16,7
66,7 33,3
100 -
83,3 16,7
13,3 86,7
6,7 93,3
10,0 90,0
20
30
25
6,7 93,3
100
3,8 96,6
Keterangan : 1) Tingkat ambang ekonomi menurut perkiraan petani 2) Pestisida nabati bentuk larutan dibuat sendiri dari daun nimba, sirsak, tembakau,dll.
memutuskan penyemprotan pestisida kimia apabila serangan HPT sudah di atas ambang ekonomi (menurut persi petani), yaitu petani alumni (100%) dan non–alumni (99,3%), sedangkan yang lainnya (6,7%) akan menyemprot begitu melihat ada gejala serangan. Setelah SL-PHT, petani hanya menggunakan pestisida nabati (pesnab), tidak ditemukan petani yang menggunakan pestisida kimia karena disamping keadaan intensitas serangan HPT termasuk ringan juga harga pestisida yang mahal turut menghambat petani untuk menggunakan. Perubahan sikap pengendalian hama ini cukup baik, sesuai dengan salah satu tujuan SL-PHT, yaitu meminimalkan penggunaan pestisida kimia, memanfaatkan potensi alam di sekitar kebun seperti pupuk organik (bokhasi, pupuk kandang, pupuk daun, dsb), pestisida nabati (daun nimba, sirsak, ubi gadung, dll), dan penggunaan musuh alami (predator, parasit dsb) dalam menanggulang permasalahan hama penyakit (Saptana, dkk., 2003). Kekuatan petani dalam memupuk modal masih lemah, sehingga introduksi teknologi biaya rendah (low cost technology) sangat cocok seperti penggunaan pestisida nabati yang tersedia di kebun, pengendalian secara mekanis dan biologis (hayati), dan penggunaan pupuk kandang dikarenakan mayoritas petani sudah memelihara ternak sapi. Produktivitas dan Pendapatan Usahatani Jambu Mete Prinsip dasar dari kegiatan usahatani berwawasan lingkungan adalah untuk memperoleh tingkat produksi yang optimal (bukan maksimal) dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Jenis biaya usahatani (production costs) dapat dikelompokan atas biaya untuk pengadaan sarana produksi (pupuk kimia, pupuk organik, dan obat-obatan), biaya tenaga kerja untuk kegiatan usahatani (pemeliharaan tanaman, panen/pasca panen, dan pemasaran hasil), dan biaya lainnya seperti pajak, 91
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
Tabel 6. Masukan dan pengeluaran usahatani menurut Klasifikasi Petani. 2003. Klasifikasi petani Rata-rata Non SLSLPHT PHT (satuan/ha/tahun)
Jenis Masukan/ pengeluaran
1. Sarana produksi (kg) a. Pupuk buatan 204.580 b. Pupuk kandang 35.000 c. Pestisida 1.330 Total (1): 240.920 2. Tenaga kerja (rp) a. Tenaga kerja keluarga 1.023.000 b. Tenaga kerja upahan 113.670 Total (2): 1.136.670 3. Pengeluaran lain (Rp)1) Total biaya (1+2+3): 4. Produksi a. Fisik (kg) b. Nilai (Rp) 5. Pendapatan (rp)2) (A) (B) (C) R/C ratio (A) R/C ratio (B) R/C ratio (C)
226.090 32.430 1.330 259.850
215.340 33.720 1.330 250.390
1.063.800 118.200 1.182.000
1.043.400 115.840 1.159.340
114.000 1.491.580
120.000 1.561.850
117.000 1.526.720
270 1.204.500
300 1.355.710
285 1.280.110
-287.080 735.920 770.920 0,81 2,57 2,78
-206.140 857.660 890.080 0,86 2,72 2,91
-246.610 796.790 830.500 0,84 2,65 2,85
Keterangan: 1) Pengeluaran lain: PBB, bunga pinjaman, dan penyusutan 2) A = Seluruh sumber pembiayaan diperhitungkan B = Biaya tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan. C = Boaya tenaga kerja keluarga dan pupuk organik tidak diperhitungkan
bunga Bank, dan nilai penyusutan modal tetap. Tabel 6 menginformasikan, bahwa petani alumni mengalokasikan biaya usatani sebanyak Rp.1.562 ribu sedangkan non-alumni sebanyak Rp. 1.492 ribu/ha/ tahun, terjadi perbedaan alokasi biaya sebanyak Rp.70 ribu/ha/tahun. Penambahan alokasi biaya dari petani alumni (senilai Rp.70 ribu) dapat memberikan tambahan produksi sebanyak 30 kg (dari 270 kg menjadi 300kg)/ ha/tahun. Perbedaan produktivitas tersebut masih tergolong rendah dan berdasarkan uji satatistik, tingkat produktivitas antara petani alumni dengan non-alumni tidak berbeda nyata (Tabel 7). Tabel 7. Perbedaan Tingkat Produktivitas Usahatani Jambu Mete menurut Klasifikasi Petani, 2003. No
Klasifikasi petani
Nilai Rata-Rata
1. Non-alumni
268
2. Alumni
301
T tabel
Nilai T hit.
.05
.01
0,13
2,00
2,66
Keterangan: Hasil analisis: T hit < T tabel (H 0 diterima) artinya: produktivitas petani alumni dan non-alumni tidak berbeda nyata).
Sumber masukan usahatani jambu mete tidak semua nya berasal dari luar petani tetapi sebagian berasal dari milik petani sendiri, seperti pupuk kandang dan tenaga kerja keluarga (sekitar 80 sampai 90 persen kegiatan usahatani dilakukan oleh tenaga kerja keluarga) sehingga petani tidak perlu mengeluarkan uang cash. Apabila seluruh biaya usahatani diperhitungkan (A), pendapatan usahatani akan mengalami kerugian, yaitu petani alumni 92
merugi sebanyak Rp.206 ribu dan non-alumni sebanyak Rp.287 ribu/ha/tahun. Usahatani termasuk tidak layak secara ekonomi karena nilai R/C ratio kurang dari satu, yaitu 0,86 (alumni) dan 0,81 (non-alumni). Apabila tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan, usahatani akan memperoleh keuntungan, yaitu petani alumni (Rp.858 ribu) dan non-alumni (Rp.736 ribu)/ha/tahun. Usahatani termasuk layak dengan nilai R/C ratio 2,72 (alumni) dan 2,57 (non-alumni). Pendapatan akan bertambah apabila biaya yang berasal dari petani (tenaga kerja keluarga dan pupuk kandang) tidak diperhitungkan (C), yaitu petani alumni (Rp.890 ribu) dan non-alumni (Rp.771 ribu)/ha/tahun dengan niali R/C raito 2,92 (alumni) dan 2,78 (non-alumni). Penambahan alokasi biaya dari petani alumni (senilai Rp.70 ribu) dapat memberikan tambahan nilai pendapatan (A) sebanyak Rp.81 ribu (dari -Rp.287 ribu menjadi -Rp.206 ribu), pendapatan (B) sebanyak Rp.122 ribu (dari Rp.736 ribu menjadi Rp.858 ribu), dan pendapatan (C) sebanyak Rp.119 ribu (dari Rp.771 ribu menjadi Rp.890 ribu). Perbedaan pendapatan tersebut masih rendah dan berdasarkan uji satatistik, tingkat pendapatan antara petani alumni dengan non-alumni tidak berbeda nyata (Tabel 8). Tabel 8. Perbedaan Tingkat Pendapatan Usahatani Jambu Mete menurut Klasifikasi Petani, 2003 No
Klasifikasi petani
Nilai Rata-Rata
1.
Non-alumni
-287.080
2.
Alumni
-206.140
T tabel
Nilai T hit.
.05
.01
0,40
2,00
2,66
Keterangan: Hasil analisis: T hit < T tabel (H 0 diterima) artinya: pendapatan petani alumni dan non-alumni tidak berbeda nyata.
Pendapatan yang diperoleh petani alumni akan jauh lebih tinggi dibandingkan non-alumni apabila pembeli sudah bersedia membeli produk petani PHT (alumni) lebih tinggi dibandingkan non-PHT. Sekarang ini, pembeli masih memberikan harga yang sama anatar produk PHT dan Non-PHT. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Sekolah Lapang Pengendalian Hama terpadu (SLPHT) jambu mete di NTB dilaksanakan selama enam tahun (2001-2006) dan ditargetkan menghasilkan 18.175 petani SL-PHT. Sampai tahun 2002 sudah dihasilkan 800 petani SL-PHT tersebar di Lombok Barat (65,6%), Lombok Timur (18,8%), dan Sumbawa (15,6%). 2. Pengamatan agro-ekosistem kebun sudah diadopsi oleh petani alumni (100%) dan non-alumni (34,5%), pengendalian cara mekanis sudah dilakukan oleh petani alumni (100%) dan non-alumni (66,6%), dan aplikasi pestisida nabati (pesnab) sudah diterapkan oleh petani alumni (6,7%) dan non-alumni (13,3%). Sedangkan penggunan pestisida kimia sudah tidak
Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada Perkebunan Rakyat Jambu Mete (Studi Kasus Petani Jambu Mete di Provinsi Nusa Tenggara Barat) [Ade Supriatna]
ditemukan lagi dikarenakan penurunan intensitas serangan hama dan harga pestisida yang mahal mendorong pengurangan penggunaan pestisida. 3. Petani alumni mengalokasikan biaya usatani sebanyak Rp.1.562 ribu sedangkan non-alumni sebanyak Rp. 1.492 ribu/ha/tahun. Penambahan alokasi biaya petani alumni (senilai Rp.70 ribu) dapat memberikan tambahan produksi sebanyak 30 kg (dari 270 kg menjadi 300kg)/ha/tahun. Perbedaan produktivitas tersebut masih tergolong rendah dan berdasarkan uji satatistik, tidak berbeda nyata. Apabila seluruh biaya usahatani diperhitungkan (A), pendapatan usahatani akan mengalami kerugian, yaitu petani alumni merugi sebanyak Rp.206 ribu dan non-alumni sebanyak Rp.287 ribu/ha/tahun. Apabila tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan (B), usahatani akan memperoleh keuntungan, yaitu petani alumni (Rp.858 ribu) dan non-alumni (Rp.736 ribu)/ha/tahun. Apabila biaya yang berasal dari petani (tenaga kerja keluarga dan pupuk kandang) tidak diperhitungkan (C), yaitu petani alumni (Rp.890 ribu) dan non-alumni (Rp.771 ribu)/ha/tahun dengan nilai R/C raito 2,92 (alumni) dan 2,78 (non-alumni). Perbedaan pendapatan antara alumni dan non-alumni masih rendah dan berdasarkan uji satatistik, tidak berbeda nyata. Sekarang ini, pembeli belum bersedia membeli produk alumni lebih tinggi dibandingkan non-alumni. Saran Satu persyaratan petani peserta harus bisa baca tulis perlu ditinjau kembali karena di lapangan ditemukan banyak petani yang punya motivator tinggi tetapi tidak bisa mengikuti pelatihan dikarenakan buta huruf disamping itu penjadwalan materi pelatihan SL-PHT sebaiknya disesuaikan dengan keadaan perkembangan pertanaman di kebun sehingga petani dapat melihat contohatau mempraktekan materi latihan.
DAFTAR PUSTAKA Daras Usman dan R.Zaubin. 2002. Pemupukan dan pemangkasan jambu mete. Dalam Robber,Z., M.Hadad,E.A., Usman,D., Ellyda,A.W., Djajeng,S., Ludi,M., Amrizal,M.R., Rita, dan Wiratno (Eds.). Monografi jambu mete. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm. 67-76. Dirjenbun. 2002. Statistik perkebunan Indonesia.2000-2002 Jambu mete. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta. 25 hal. Disbun Provinsi NTB. 2001. Latihan Pemandu Lapang (PL II). Kumpulan petunjuk lapang PHT jambu mete. 2001. Dinas Perkebunan Provinsi NTB. 150 hal. Hakim Nuril. 2003. Strategi Pemasaran Kopi dalam Menghadapi Over Supply, isu ekolabelling, dan Isu Ochratoxin. Dalam Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Volume 19 No 1. Februari 2003. Hal. 22-38. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. Oka,I.N. 1995. Pengendalian hama terpadu dan implementasinya di Indonesia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 255 hal Rola,A.C. and P.L. Pingali. 1993. Pesticides, Rice Productvity, and Farmer’s Health. An Economic Assessment. International Rice Research Institute, Los Banos, Laguna, Philippines. 100 pp. Saptana, Tri Panadji, Herlina Tarigan, and Adi Setiyanto. 2003. Laporan akhir Analisis kelembagaan pengendalian hama terpadu mendukung agribisnis kopi rakyat dalam rangka otonomi daerah. Bagian Proyek Penelitian Pengendalian Hama Terpadu Perkebunan Rakyat. Badan Litbang Pertanian. Deptan Untung, K. 1997. Penerapan Prinsip-prinsip PHT pada Sub Sektor Perkebunan. Bahan Ceramah pada Apresiasi Proyek PHT Tanaman Perkebunan Rakyat. Cipanas, Jawa Barat. Maret 1997.
93
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003 ISSN: 1411-7177
1 Tahun 200 6 SOCA ❖ 6Volume (1) : 946 -Nomor 101
ANALISIS DAYA SAING USAHATANI TEBU DI Provinsi JAWA TIMUR Mewa Ariani, Andi Askin dan Juni Hestina Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
ABSTRACT In the aspect of sugarcane farming system, increasing productivity and sucrose content of sugar cane (rendemen) are exactly needed to increase the productivity of sugar and farmer incomes. The objective of the research is to analyze competitiveness of farmer’s sugarcane farming system, which is measured by Policy Analysis Matrix (PAM). The research was held on sugar factories in East Java (Pesantren Baru in Kediri, Krebet Baru in Malang, Semboro in Jember, and Pagotan in Madiun). The data are collected by interviewing farmers, 20 farmers in each sugar factory. The results show that farmer’s sugarcane farming systems are financially profitable with average advantage about 2.5-8 million per hectare. Farmer’s advantage in Madiun and Kediri districts are lower than it is in Malang and Jember districts. Although financially sugarcane farming system is profitable, economically it is contrary. Farmer’s financial loss in from 2.0 to 4.0 million per hectare. Sugarcane farming system in Madiun dan Kediri districts are not having comparative advantage (DRCR<1), different from they are in Malang, Jember districts. Sugarcane farming system in Madiun and Kediri districts will have comparative advantage if the productivity is increased by 20 percent or the international sugar price is increased to 220 US$/ton. Keywords: Sugarcane, Farming System, Competitiveness. PENDAHULUAN Untuk meningkatkan efisiensi dan menghapuskan subsidi yang telah diberikan kepada petani dan industri gula di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 5 tahun 1998 mengenai pembebasan petani dari kewajiban untuk menanam tebu. Dalam waktu yang bersamaan, pemerintah juga menghapuskan peran Bulog dalam monopoli pengadaan dan distribusi gula, sehingga harga gula di pasar dunia ditransmisikan secara langsung ke pasar domestik. Pembebasan impor gula kepada pihak swasta telah menyebabkan gula impor membanjiri pasar domestik dan harga gula di tingkat perdagangan besar terus menurun (Malian dan Saptana, 2003). Membanjirnya gula impor di pasar domestik tidak hanya disebabkan oleh ketidakefisienan pabrik gula di Indonesia, tetapi juga oleh pasar gula dunia yang bersifat distortif. Sebagian besar gula dunia saat ini diperdagangkan dengan sistem kuota atau preferential treatment. Akibatnya, harga gula residual market tersebut cenderung rendah dan sangat fluktuatif, khususnya bila negara-negara produsen besar masuk ke pasar (Hutabarat, et al., 2001). Kelemahan utama industri gula di Indonesia saat ini adalah terkonsentrasinya pabrik gula (PG) di Pulau Jawa, sehingga tidak mampu bersaing dengan komoditas tanaman pangan yang mendapat perhatian dan proteksi yang lebih besar dari pemerintah. Penurunan produksi dan produktivitas tebu, khususnya di sentra produksi tebu di Jawa sebagai dampak adanya pergeseran pengusahaan tebu dari lahan sawah ke lahan kering (Soentoro, et al; 1999). 94
Perbaikan sistem produksi tebu di tingkat petani di Pulau Jawa memiliki arti yang sangat strategis, khususnya pada wilayah-wilayah yang secara teknis dan ekonomis mempunyai potensi untuk dikembangkan. Sampai saat ini sekitar 80 persen bahan baku pabrik gula (PG) di Pulau Jawa berasal dari tebu rakyat. Produktivitas tebu dan harga gula yang rendah serta biaya usahatani yang makin meningkat, telah mendorong terjadinya penurunan kualitas bahan baku yang disediakan petani. Berdasarkan beberapa hal tersebut, penelitian bertujuan untuk mengkaji daya saing usahatani tebu petani di Provinsi Jawa Timur dibedakan menurut tipe lahan (sawah dan lahan kering), tipe bibit (tanam awal dan kepras). METODOLOGI PENELITIAN Metode Analisis Untuk menganalis daya saing usahatani tebu petani, digunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM). Menurut Monke dan Pearson (1989), penggunaan PAM ditujukan untuk mengetahui efisiensi ekonomi dan insentif yang diperoleh dari intervensi pemerintah, serta dampaknya terhadap aktivitas usahatani. Dalam model PAM penerimaan, biaya dan keuntungan dibedakan menurut harga privat (pasar) dan harga sosial. Perbedaan kedua harga tersebut merupakan dampak kebijakan yang ditempuh pemerintah, serta terjadinya distorsi di pasar input dan/atau output (Tabel 1). Harga privat untuk gula adalah tingkat harga yang akan diterima petani tebu, berdasarkan harga lelang, sedangkan harga sosial diperoleh dari harga gula impor
Analisis Daya Saing Usahatani Tebu di Provinsi Jawa Timur [Mewa Ariani, Andi Askin dan Juni Hestina]
(fob) di pelabuhan terdekat, ditambah biaya freight dan asuransi serta bongkar-muat di pelabuhan dan ongkos angkut ke PG. Biaya produksi dibedakan menurut input tradable dan input domestik. Input tradable adalah input yang diperdagangkan di pasar internasional, sedangkan input yang tidak diperdagangkan di pasar internasional dimasukkan ke dalam kelompok input domestik. Harga privat input adalah harga yang dibayar petani tebu untuk musim giling 2003/2004. Sementara itu, harga sosial input adalah harga yang terbentuk dalam suatu kondisi perekonomian yang tidak mengalami distorsi. Untuk harga sosial input tradable digunakan harga di pelabuhan (border price), yaitu harga fob (free on board) untuk input yang diekspor, dan harga cif (cost insurance and freight) untuk input yang diimpor. Sedangkan harga sosial input domestik, seperti bibit, upah dan gaji tenaga kerja, serta sewa tanah, digunakan harga yang berlaku. Pendekatan yang seharusnya digunakan dalam penentuan nilai tukar rupiah untuk menghitung harga sosial output dan input tradable adalah pendekatan moneter (monetary approach). Pendekatan ini mempostulasikan bahwa nilai tukar uang dapat tercipta pada titik keseimbangan antara permintaan dan penawaran dari mata uang nasional di masing-masing negara. Penawaran uang diasumsikan dapat diciptakan secara independent oleh otoritas moneter di negara itu. Sedangkan permintaan uang ditentukan oleh tingkat pendapatan riil negara itu, atau tingkat harga umum yang berlaku serta tingkat bunga (Salvatore, 1995). Tabel 1. Policy Analysis Matrix (PAM). Biaya PeneriKeuntungan maan Input Trad- Input Non able Tradable Harga Privat A B C D Harga Sosial E F G H Divergensi I = A – E J = B – F K = C – G L = I – J – K = D – H Uraian
Sumber: Monke, E.A. and S.R. Pearson. 1989
Penerapan nilai tukar keseimbangan dengan pendekatan moneter seperti ini sangat sulit dilakukan, khususnya pada saat perekonomian masih berada dalam tahap pemulihan dari krisis ekonomi seperti yang dialami Indonesia sekarang. Untuk mengatasi hal itu, dalam penelitian ini digunakan nilai tukar rupiah yang berlaku dari Kurs Tengah Bank Indonesia (BI) sebesar Rp. 9.000/US$. Nilai pada masing-masing sel dalam Tabel PAM di atas untuk usahatani tebu dihitung dalam periode satu siklus produksi. Dari data tersebut, selanjutnya dianalisis berbagai indikator sebagai berikut: 1. Analisis Keuntungan a. Private Profitability (PP): D = A – (B + C) Keuntungan privat merupakan indikator daya saing (competitiveness) dari sistem komoditi berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Apabila D>0, berarti sistem komoditi itu memperoleh profit di atas normal. Hal ini memberi-
kan implikasi bahwa komoditi itu mampu melakukan ekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditi alternatif yang lebih menguntungkan. b. Social Profitability (SP): H = E – (F + G) Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif (comparative advantage) atau efisiensi dari sistem komoditi pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijakan yang efisien, apabila H > 0. Sebaliknya, bila H < 0, berarti komoditi itu tidak mampu bersaing tanpa bantuan atau intervensi dari pemerintah. 2. Efisiensi Finansial dan Efisiensi Ekonomi a. Private Cost Ratio: PCR = C/(A – B) PCR merupakan indikator profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem untuk membayar biaya domestik dan tetap kompetitif. Sistem bersifat kompetitif jika PCR<1. Semakin kecil nilai PCR, berarti semakin kompetitif. b.Domestic Resource Cost Ratio: DRCR = G/(E – F) DRCR merupakan indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Sistem mempunyai keunggulan komparatif, jika DRCR < 1. Semakin kecil nilai DRCR, berarti semakin efisien dan keunggulan komparatif makin tinggi. 3. Dampak Kebijakan Pemerintah a. Kebijakan Output a.1. Nominal Protection Coefficient on Output: NPCO = A/E NPCO merupakan tingkat proteksi pemerintah terhadap output domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap output, jika nilai NPCO > 1. Semakin besar nilai NPCO, berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap output. b. Kebijakan Input b.1. Nominal Protection Coefficient on Tradable Input: NPCI = B/F NPCI merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. Jika nilai NPCI < 1, berarti ada kebijakan yang bersifat protektif terhadap input tradable. c. Kebijakan Input – Output c.1. Effective Protection Coefficient: EPC = (A – B) / (E – F) EPC merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap output dan input tradable. Kebijakan masih bersifat protektif, jika nilai EPC>1. Semakin besar nilai EPC, berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas domestik. Sumber Data Penelitian ini dilakukan di empat PG yang tersebar di 4 Kabupaten di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2004. Adapun nama-nama PG seperti berikut : (1) PG Krebet Baru (Kabupaten Malang), (2) PG Semboro (Kabupaten Jember), (3) PG Pesantren Baru (Kabupaten Kediri) dan (4) PG Pagotan (Kabupaten Madiun). Pada setiap PG tersebut diwawancarai 20 orang petani contoh yang 95
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
menjual tebunya ke PG secara purposive sample dengan memperhatikan tipe bibit dan tipe lahan. Tipe bibit dibedakan tanam awal, kepras 1, kepras 2-3 dan kepras .3; sedangkan tipe lahan dibedakan antara lahan sawah dan lahan kering. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Fisik Input-Output Usahatani Tebu Provinsi Jawa Timur termasuk salah satu Provinsi di Pulau Jawa yang melaksanakan program akselerasi produktivitas gula nasional yang dicanangkan oleh Departemen Pertanian. Program ini direncanakan selama lima tahun (2002-2007) dengan kegiatan utama pembongkaran eks tanaman tebu ratoon dan pembangunan kebun bibit tebu. Di Jawa Timur, pada tahun 2003 dilakukan kegiatan bongkar ratoon yang melibatkan 40 kelompok sasaran koperasi yang tersebar di 22 kabupaten/kota pada 31 wilayah pabrik gula (Anonim, 2004). Salah satu dampak dari program ini, banyak dijumpai petani yang melakukan bongkar ratoon tanaman tebu dan diganti dengan bibit tebu yang berkualitas terutama yang dihasilkan oleh P3GI. Program bongkar ratoon menjadi dambaan petani untuk mengganti varietas tanaman tebunya. Varietas yang sedang dikembangkan di Provinsi Jawa Timur yaitu varietas PS 862, PS 863, PS 861, PB 851, PS 851 dan PB 861, sedangkan varietas yang sudah banyak ditanam oleh petani yaitu varietas Triton, PS 80142, BZ 132, PS 801424.. Produktivitas tanaman tebu dipengaruhi oleh berbagai faktor tidak hanya tipe lahan (sawah/tegalan) tetapi juga penggunaan sarana produksi dan teknik budidayanya. Pemupukan sebagai salah satu usaha peningkatan kesuburan tanah, pada jumlah dan kombinasi tertentu dapat menaikkan produksi tebu dan gula. Berdasarkan ini, rekomendasi pemberian macam dan jenis pupuk harus didasarkan pada kebutuhan optimum dan terjadinya unsur hara dalam tanah disertai dengan pelaksanaan pemupukan yang efisien yaitu waktu pemberian dan cara pemberian (Mubyarto dan Daryanti,1991). Kombinasi jenis dan jumlah pupuk yang digunakan berkaitan erat dengan tingkat produktivitas dan rendemen tebu. Produktivitas tebu di empat lokasi adalah berbeda antar tipe lahan, tipe bibit dan lokasi seperti pada Tabel 2. Produktivitas tebu di Kabupaten Madiun dan Kediri pada lahan sawah dan tanam awal cenderung lebih rendah dibandingkan dengan di lahan tegalan dan sebaliknya untuk keprasan. Sementara, produktivitas tebu di lahan sawah di Kabupaten Malang dan Jember relatif lebih tinggi daripada di lahan tegalan. Namun demikian rendemen yang diperoleh petani antar kabupaten relatif sama yaitu berkisar 6,0 -6,8 dengan pola bagi hasil untuk petani rata-rata sebesar 66 persen. Petani di Kabupatan Madiun, menggunakan pupuk urea, SP-36, KCL dan ZA untuk tanaman tebu di lahan sawah, sedangkan untuk di lahan tegalan hanya digunakan pupuk urea dan ZA (Tabel 3). Demikian juga pola penggunaan pupuk di Kabupaten Kediri relatif sama dengan di Kabupaten Madiun. Produktivitas tebu 96
di Kabupten Malang, pada tanam awal adalah 109,8 ton/ha lebih tinggi daripada produksi di lahan tegalan (94,9 ton/ha). Demikian pula, produktivitas tebu tanam awal yang ditanam di lahan sawah lebih tinggi daripada kepras 1. Bila diperhatikan data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa penggunaan pupuk pada lahan sawah di Kabupaten Malang pada kegiatan tanam awal lebih lengkap dibandingkan dengan tanam kepras baik pada kepras 1 maupun pada kepras 2 & 3. Pada tanaman kepras petani tidak menggunakan pupuk SP-36 dan KCl. Tabel 2. Produktivitas dan Rendemen Tebu di Jawa Timur Menurut Jenis Lahan dan Tipe Bibit, 2003/2004. Wilayah Madiun (PG. Pagotan) -Awal -Kepras I Kediri (PG. Pesantren Baru) -Awal -Kepras I -Kepras 2 & 3 Malang (PG. Krebet Baru) -Awal -Kepras I -Kepras 2 & 3 -Kepras >3 Jember (PG. Semboro) -Awal -Kepras I -Kepras 2 & 3 -Kepras > 3
Produktivitas Rendemen (%) (ton/ha) Sawah Tegalan Sawah Tegalan 104,6 108,8
108,6 88,0
6,7 6,4
6,3 6,2
106,3 115,2 73,7
126,7 104,2 100,0
6,6 6,7 6,7
7,0 6,7 6,8
109,8 76,7 80,0 -
94,9 91,3 95,0 77,7
6,7 6,6 6,5 -
6,6 6,6 6,6 6,5
125,4 110,7 91,6 61,5
94,9 88,0 74,8 -
6,3 5,8 6,1 5,9
6,0 6,0 6,2 6,1
Produktivitas tebu di Kabupaten Jember, pada tanam awal sebesar 125,4 ton/ha lebih tinggi daripada produksi tanam awal dilahan kering (94,9 ton/ha). Demikian pula produksi tebu pada tanam awal yang ditanam dilahan sawah. lebih tinggi dari pada pada kepras 1. Berbeda dengan di daerah lain, petani di Kabupaten Jember tidak menggunakan pupuk urea namun penggunaan pupuk ZA relatif lebih tinggi dibandingkan di Kabupaten atau Kabupaten Kediri. Disamping itu, keragaan produktivitas dan efisiensi usahatani tebu yang rendah disebabkan input yang rendah karena keterbatasan petani untuk membiayai usahataninya secara mandiri. Kondisi tersebut tercermin dari pemakaian bibit seadanya dengan kecenderungan melakukan kepras berulang kali, sehingga terjadi penurunan produktivitas lahan per hektar dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu, makin banyak petani di Jawa tidak bersedia menanam tebu sehingga areal pengusahaan tebu berkurang yang pada akhirnya semakin banyak PG kekurangan bahan baku. Luas areal tanam tebu di Jawa pada tahun 1995 sebesar 308,4 ribu hektar menurun menjadi 214,0 ribu hektar pada tahun 2002, sedangkan pada tahun yang sama untuk Luar Jawa, dari 125,3 ribu hektar meningkat menjadi 137,2 ribu hektar (Malian, et al; 2004). Kebijakan produksi gula dengan mengandalkan tebu
Analisis Daya Saing Usahatani Tebu di Provinsi Jawa Timur [Mewa Ariani, Andi Askin dan Juni Hestina]
lahan sawah di Jawa jelas sangat tidak bijaksana. Hal ini disebabkan potensi usahatani tebu lahan kering di Jawa masih dapat ditingkatkan produktivitasnya melalui perbaikan manajemen usahatani yang dibarengi kebijakan pemerintah terhadap insentif harga gula dan penyediaan kredit usahatani. Di sisi lain, Pulau Jawa juga merupakan sentra produksi beras, sehingga akan bersaing ketat dalam pemanfaatan lahan yang ada. Tabel 3. Rata-rata Penggunaan Pupuk Pada Usahatani Tebu di Jawa Timur Menurut Jenis Lahan dan Tipe Bibit, 2003/2004. Wilayah Madiun (PG. Pagotan) Sawah -Awal -Kepras I Tegalan -Awal -Kepras I Kediri (PG. Pesantren Baru) Sawah -Awal -Kepras I -Kepras 2 & 3 Tegalan -Awal -Kepras I -Kepras 2 & 3 Malang (PG. Krebet Baru) Sawah -Awal -Kepras I -Kepras 2 & 3 Tegalan -Awal -Kepras I -Kepras 2 & 3 -Kepras > 3 Jember (PG. Semboro) Sawah -Awal -Kepras I -Kepras 2 & 3 -Kepras > 3 Tegalan -Awal -Kepras I -Kepras 2 & 3
KCl
ZA
Pupuk lain (Rp/ha)
Urea
SP-36
161,2 163,2
220,8 295,8
71,5 45,9
509,8 394.167 719,8 513.333
350,0 350,0
87,5 0
0 0
583,0 109.200 525,0 493.000
212,5 122,2 0
162,5 191,5 249,3
125,0 56,8 25,0
793,4 375.000 695,6 133.337 717,9 150.000
0 40 0
185,2 219,5 200,0
100,0 710,0 933.610 0 746,7 552.460 200,0 1200,0 0
147,1 702,3 750,0
230,4 0 0
150,0 338,3 400,0 350,0
66,7 33,3 0 50,0
0 0 0 0
977,8 0 779,4 437.214 800,0 0 500,0 0
0 0 0 0
166,7 165,7 200,0 147,6
33,3 0 0 0
566,7 0 763,0 900.000 800,0 0 800,0 0
0 0 0
230,4 200,0 150,0
200,0 0 0
83,3 919,1 0 652,8 0 1.333,3
800,0 850,0 766,7
0 0 0
0 85.714 0
Daya Saing Finansial dan Ekonomi Usahatani Temu Justifikasi yang digunakan untuk menganalisis daya saing finansial dan ekonomi usahatani tebu seperti berikut: (1) Pupuk urea, SP-36, KCL, NPK, herbisida dan insektisida termasuk barang tradable (asing), sedangkan tenaga kerja, sewa lahan, modal, pupuk organik dan bibit termasuk barang non tradable (domestik). Walaupun terdapat bibit tebu yang berasal dari Luar negeri seperti Taiwan, namun sebagian besar petani telah menanam padi yang dihasilkan oleh P3GI, swasta dan pihak PG sendiri; (2) Tingkat suku bunga pinjaman petani sebesar 16%/tahun, namun karena dana pinjaman yang diterima
petani tidak sekaligus tetapi menurut jenis kegiatan (pengolahan tanah, pemeliharaan, tebang muat dan angkut (TMA) dan lainnya maka untuk suku bunga yang digunakan untuk perhitungan secara privat sebesar 8 persen; (3) Harga sosial untuk pestisida dan herbisida sebesar 80 persen dari harga aktual di masing-masing lokasi penelitian. Pengurangan 20 persen merupakan tarif impor (10%) dan pajak pertambahan nilai (10%), dan (4) Nilai tukar rupiah terhadap dollar sebesar Rp. 9000/US$. Selain itu justifikasi untuk harga gula dan pupuk yang digunakan dalam analisis sebagai berikut : berdasarkan Commodity Price data Pinksheet October 2004 yang dikeluarkan oleh World Bank Development Prospects menunjukkan bahwa harga gula rata-rata untuk bulan Juli, Agustus dan September 2004 sebesar 170.3 US$/ton, pupuk urea : 210,37US$/ton; ZA : 222,83 US$/ton; KCL : 120 US$/ton dan SP-36 : 193,8 US$/ton. Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani Tebu Keuntungan finansial (privat) merupakan indikator daya saing (competitiveness) dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Sedangkan keuntungan ekonomi (sosial) merupakan indikator keunggulan komparatif (comparative advantage) atau efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada distorsi pasar dan kebijakan pemerintah. Pertanaman tebu di Indonesia masih diusahakan di lahan sawah irigasi teknis, sawah tadah hujan dan lahan kering (tegalan). Pada musim tanam 2003/2004, usahatani tebu di empat kabupaten di Provinsi Jawa Timur secara finansial sangat menguntungkan seperti terlihat pada Tabel 4. Namun demikian tingkat keuntungan usahatani tebu bervariasi antar wilayah, tipe lahan dan tipe bibit. Rata-rata keuntungan usahatani tebu bekisar antara Rp. 2,5 juta sampai Rp.8 juta per hektar. Keuntungan ini akan lebih besar apabila dihitung dengan sewa lahan yang mencapai sekitar Rp.2,5 juta- Rp. 5 juta per hektar. Keuntungan yang diperoleh petani tebu di Kabupaten Madiun dan Kediri berkisar Rp. 2,5 juta-Rp. 5,5 juta per hektar; sementara di Kabupaten Malang dan Jember berkisar antara Rp. 5,0 juta-Rp.8,5 juta per hektar. Perbedaan ini bukan disebabkan oleh perbedaan produktivitas dan rendemen karena kedua hal tersebut relatif sama di empat wilayah tersebut (lihat Tabel 2), melainkan adanya perbedaan yang mencolok dalam hal biaya untuk sewa lahan dan tenaga kerja. Sewa lahan dan biaya tenaga kerja di Kabupaten Madiun dan Kediri lebih besar daripada Kabupaten .Malang dan Jember. Sehingga rasio penerimaan dengan biaya (R/C) secara finansial sebesar 1,2 di Kabupaten Madiun dan Kediri berbanding 1,5 di Kabupaten Malang dan Jember. Biaya usahatani tebu terdiri dari biaya untuk pembelian bibit terutama untuk tanam awal, pupuk, pestisida/herbisida, tenaga kerja, sewa lahan dan biaya lain. Komponen biaya tenaga kerja terdiri dari biaya persiapan dan pengolahan tanah, potong bibit, tanam, kepras, 97
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
Tabel 4. Profitabilitas Finansial dan Ekonomi Usahatani Tebu di Jawa Timur Menurut Jenis Lahan dan Tipe Bibit (Juta Rp), 2003/2004. Wilayah Madiun (PG Pagotan) Sawah -Awal -Kepras 1 Tegalan -Awal -Kepras 1 Kediri (PG P. Baru) Sawah -Awal -Kepras 1 -Kepras2&3 Tegalan -Awal -Kepras 1 -Kepras2&3 Malang (PG Krebet Baru) Sawah -Awal -Kepras 1 -Kepras2&3 Tegalan -Awal -Kepras 1 -Kepras2&3 -Kepras>3 Jember (PG Semboro) Sawah -Awal -Kepras 1 -Kepras2&3 -Kepras>3 Tegalan -Awal -Kepras 1 -Kepras2&3
Penerimaan Biaya Keuntungan Finan- Eko- Finan- Eko- Finan- Ekosial nomi sial nomi sial nomi
17,2 17,0
12,3 12,2
14,0 13,9
14,7 14,9
3,2 3,1
(2,4) (2,8)
16,8 13,5
12,0 9,6
14,0 11,1
14,9 12,0
2,8 2,4
(2,9) (2,4)
17,3 18,8 11,6
12,4 13,6 8,4
15,4 13,2 9,5
16,4 14,2 10,4
1,9 5,6 2,1
(4,0) (0,6) (2,0)
21,7 16,8 16,6
15,6 12,1 12,0
16,7 11,7 10,5
17,5 12,7 12,1
5,0 5,1 6,1
(1,9) (0,6) 0,2
18,1 12,3 13,4
12,9 8,9 9,1
12,4 8,3 11,9
13,5 9,6 13,4
5,7 4,0 1,5
(0,6) (0,7) (4,3)
15,6 14,8 15,4 11,5
11,0 10,6 10,9 9,0
9,7 7,8 7,1 6,2
10,6 8,9 7,7 6,3
5,9 7,0 8,3 5,3
0,4 1,7 3,2 2,7
18,9 15,6 13,4 9,1
13,8 11,2 9,8 6,4
11,9 9,9 9,4 9,4
12,6 10,7 10,4 10,1
7,0 5,7 4,0 (0,3)
1,2 0,5 (0,5) (3,7)
13,8 12,7 11,2
10,1 9,3 8,2
8,7 7,4 6,0
9,7 8,2 6,9
5,1 5,3 5,2
0,4 1,0 1,3
pemeliharaan dan tebang, muat, angkut (TMA). Biaya usahatani untuk tenaga kerja dan sewa lahan sangat besar, mencapai lebih dari 70 persen. Hal ini disebabkan sewa lahan terutama di Kabupaten Madiun dan Kediri relatif mahal yaitu berkisar Rp. 4,5 juta - Rp. 5 juta/ha. Sementara itu, komponen terbesar biaya tenaga kerja usahatani tebu adalah biaya TMA. Biaya ini dipengaruhi oleh produksi tebu per satuan luas dan jauh dekat lokasi panen dengan pabrik. Rata-rata biaya TMA per ton tebu adalah Rp.24.350 – Rp.30.000. Selain itu, biaya tenaga kerja untuk usahatani tebu di lahan sawah lebih tinggi dari pada lahan tegalan disebabkan pemeliharaan tanaman dilahan sawah lebih intensif dari pada di lahan tegalan, seperti kegiatan kletek dan bumbun. Keuntungan usahatani tebu secara finansial menurut tipe lahan dan tipe bibit bervariasi antar wilayah. Walaupun demikian, terdapat kecenderungan produktivitas tebu di lahan sawah lebih besar daripada di lahan tegalan, sementara tanaman awal (bongkar ratoon) dan kepras 1 lebih besar dibandingkan dengan kepras 2 dan seterusnya. Keuntungan usahatani tebu secara ekonomi dapat 98
dipandang sebagai cerminan efisiensi ekonomi suatu usaha. Berdasarkan data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa meskipun secara finansial usahatani tebu menguntungkan tetapi secara ekonomi tidak selalu demikian. Secara ekonomi, usahatani tebu di kabupaten Malang dan Jember masih menguntungkan, namun di Kabupaten Madiun dan Kediri mengalami kerugian sekitar Rp 2 juta- Rp 4 juta per hektar. Perbedaan nilai keuntungan secara finansial dan ekonomi ini merupakan petunjuk adanya distorsi pasar yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah atau ketidaksempurnaan pasar gula dan industri gula. Fenomena yang terjadi dalam usahatani tebu adalah harga input yang dibayar oleh petani lebih rendah, sementara harga output yang diterima petani lebih tinggi dari harga yang seharusnya (sosial). Dalam usahatani tebu, pemerintah telah menetapkan kebijakan proteksi baik terhadap input maupun output untuk melindungi petani tebu di pasar domestik. Subsidi berbagai pupuk terlihat dari Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk urea, SP-36, ZA dan NPK/Phonska berturut-turut sebesar Rp. 1150; Rp. 1400; Rp.950 dan Rp. 1600 (Kompas, 7 Desember 2004). Selain itu pemerintah juga menetapkan harga dasar gula petani sebesar Rp. 3410/kg, yang saat ini dapat dicapai berkat penerapan tarif impor gula sebesar Rp.700/kg. Pertanyaan lebih lanjut adalah sampai kapan pemerintah akan menerapkan kebijakan seperti tersebut diatas? Dengan keterbatasan keuangan pemerintah, maka selain kebijakan subsidi, pemerintah harus dengan seksama membuat kebijakan yang berkaitan dengan efisiensi terutama efisiensi pabrik gula. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan meninjau kembali penetapan besar dan lama gaji pegawai pabrik gula. Apakah masih relevan tenaga kerja pada pabrik gula harus dibayar satu tahun penuh, padahal musim giling hanya sekitar 4-5 bulan untuk setiap tahunnya. Pihak PTP perlu meninjau kembali dana-dana non budgeter yang selama ini dikeluarkan dan mana-mana yang perlu dikurangi atau dihilangkan sehingga pengeluaran non budgeter dapat ditekan. Daya Saing dan Tingkat Proteksi Usahatani Tebu Secara umum usahatani tebu di Kabupaten Madiun dan Kediri tidak mempunyai keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh besaran nilai koefisien DRCR lebih besar satu seperti terlihat pada Tabel 5. Usahatani tebu yang mempunyai keunggulan komparatif dapat ditemukan di Kabupaten Malang dan Jember terutama usahatani tebu di lahan kering, sedangkan di kabupaten Madiun dan Kediri menunjukkan kebalikannya. Data pada Tabel 5 juga menunjukkan bahwa koefisien PCR di semua wilayah lebih kecil dari satu, yang berarti sistem usahatani tebu mampu membayar korbanan biaya domestik yang efisien dalam pemanfaatan sumberdaya untuk memperoleh keuntungan secara finansial. Namun kemampuan membayar biaya domestik tersebut untuk setiap wilayah berbeda, seperti terlihat dari koefisien PCR yang berbeda. Disamping itu terdapat kecenderun-
Analisis Daya Saing Usahatani Tebu di Provinsi Jawa Timur [Mewa Ariani, Andi Askin dan Juni Hestina]
Tabel 5. Daya Saing dan Tingkat Proteksi Usahatani Tebu di Beberapa Wilayah Menurut Jenis Lahan dan Tipe Bibit , 2003/2004 Wilayah Madiun (PG Pagotan) Sawah -Awal -Kepras 1 Tegalan -Awal -Kepras 1 Kediri (PG Pesantren Baru) Sawah -Awal -Kepras 1 -Kepras2&3 Tegalan -Awal -Kepras 1 -Kepras2&3 Malang (PG Krebet Baru) Sawah -Awal -Kepras 1 -Kepras2&3 Tegalan -Awal -Kepras 1 -Kepras2&3 -Kepras>3 Jember (PG Semboro) Sawah -Awal -Kepras 1 -Kepras2&3 -Kepras>3 Tegalan -Awal -Kepras 1 -Kepras2&3
DRCR PCR NPCO NPCI
EPC
1,23 1,28
0,8 0,8
1,40 1,40
0,57 0,54
1,53 1,59
1,29 1,30
0,82 0,81
1,40 1,40
0,54 0,50
1,57 1,60
1,40 1,05 1,31
0,88 0,68 0,80
1,39 1,39 1,38
0,57 0,56 0,56
1,60 1,54 1,64
1,14 1,06 0,98
0,76 0,67 0,59
1,39 1,39 1,39
0,59 0,53 0,58
1,50 1,56 1,67
1,06 1,11 1,67
0,65 0,64 0,87
1,40 1,39 1,47
0,56 0,54 0,45
1,62 1,75 1,91
0,95 0,79 0,66 0,66
0,58 0,48 0,43 0,49
1,42 1,40 1,42 1,28
0,50 0,54 0,62 0,87
1,63 1,64 1,54 1,34
0,90 0,95 1,07 1,85
0,61 0,61 0,67 1,00
1,37 1,39 1,37 1,43
0,55 0,58 0,56 0,51
1,47 1,56 1,60 1,84
0,94 0,85 0,80
0,59 0,51 0,49
1,37 1,37 1,37
0,59 0,68 0,51
1,60 1,66 1,63
gan bahwa koefisien PCR pada usahatani tebu di lahan kering lebih kecil dibandingkan dengan di lahan sawah. Sementara koefisien PCR menurut tipe bibit tidak berbeda nyata, hal ini mungkin karena kategori tipe bibit yang dibuat relatif dekat antara satu dengan yang lain (tanam awal, kepras 1, kepras 2&3 serta kepras>3). Dampak kebijakan subsidi input (terutama pupuk) yang dilakukan oleh pemerintah dapat dilihat dari nilai transfer input melalui koefisien proteksi input nominal (NPCI). Sedangkan dampak kebijakan harga output dapat dilihat dari nilai transfer output melalui koefisien proteksi output nominal (NPCO). Kebijakan input yang diterapkan oleh pemerintah memberikan insentif bagi petani tebu berupa harga input yang dibayar petani hanya setengah dari harga input seharusnya, yang tercermin dari koefisien NPCI sekitar 0,5. Kecenderungan tersebut adalah sama untuk di empat kabupaten. Hal ini mencerminkan distribusi pupuk di Provinsi Jawa Timur cukup baik, sehingga harga pupuk di pasar antar wilayah tidak terdistorsi. Selain dari sisi input produksi, petani juga menikmati insentif harga output yang ditetapkan oleh pemerintah. Harga output yang dinikmati oleh petani lebih tinggi 35-40 persen dari harga jual yang seharusnya,
dengan koefisien NPCO sekitar 1,35-1,40 (Tabel 5). Hal ini memberikan makna bahwa produsen domestik menerima harga jual gula yang lebih tinggi dari harga di pasar dunia. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input produksi dan output tersebut dinikmati oleh semua petani tebu yang berada di Jawa Timur. Pengaruh tingkat proteksi secara simultan terhadap input tradable dan harga output dapat dilihat dari besaran koefisien EPC (effective protection coefficient). Semakin besar koefisien EPC berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas tebu. Pada Tabel 5, nilai EPC antar wilayah relatif sama yaitu bekisar 1,4-1,8 yang berarti tingkat proteksi kumulatif mencapai 40-80 persen. Besaran ini memberikan gambaran bahwa pemerintah sangat protektif terhadap petani tebu dan industri gula nasional. Simulasi Perubahan Harga Gula dan Produktivitas Tebu untuk Mencapai Keunggulan Komparatif Dalam penelitian ini telah dilakukan simulasi untuk mengetahui berapa harga gula dunia dan produktivitas tebu seharusnya untuk mencapai kondisi dimana usahatani tebu yang diusahakan oleh petani mempunyai keunggulan komparatif. Analisis ini hanya dilakukan pada wilayah yang nilai DRCRnya lebih besar dari satu, yaitu Kabupaten Madiun dan Kediri untuk tipe lahan sawah dan lahan kering serta Kabupaten Malang untuk lahan sawah. Berdasarkan simulasi tersebut menunjukkan bahwa usahatani tebu di ketiga wilayah tersebut akan mempunyai keunggulan komparatif apabila harga gula dunia lebih besar dari yang berlaku sekarang tetapi besarannya bervariasi antar wilayah, tipe lahan dan tipe bibit. Namun secara umum untuk mencapai hal tersebut, harga gula dunia mencapai sekitar 220 US$/kg (Tabel 6). Hasil analisis simulasi dengan variabel perubahan produktivitas tebu menunjukkan bahwa usahatani tebu di ketiga wilayah akan memiliki keunggulan komparatif, jika produktivitas dan atau rendemen tebu dapat ditingkatkan sekitar 20 persen dari kondisi saat ini. Hal tersebut sangat relevan dengan program yang dicanangkan oleh pemerintah (Departemen Pertanian) yaitu program akselerasi peningkatan produktivitas gula nasional. Program ini dilakukan sebagai langkah strategis dalam upaya peningkatan produktivitas, produksi dan mutu tebu untuk memenuhi kapasitas giling terpasang pabrik gula agar dapat beroperasi secara efisien dan menghasilkan gula dengan biaya produksi yang kompetitif. Program ini telah dilaksanakan pada tahun 2003, khusus di Jawa Timur dilakukan bongkar ratoon seluas 10.000 hektar dari luas tebu yang mencapai 148 000 ha. Hasil wawancara menunjukkan bahwa program ini telah berdampak positip berupa: (1) Terjadinya bongkar ratoon secara swadaya oleh petani seluas 16 000 ha, dengan menanam tebu varietas unggul tinggi; (2) Produktivitas tebu meningkat dari 65.75 ton/ha menjadi 92.55 ton/ha; (3) Rendemen meningkat dari 6.10 persen menjadi 6.63 persen; (4) Produksi hablur meningkat dari 4,02 ton/ha menjadi 6,12 ton/ha. Hasil analisis ini 99
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
Tabel 6. Simulasi Terhadap Harga Tebu International, dan Produktivitas Usahatani Tebu di Madiun, Kediri dan Malang yang DRCR >1 Menurut Jenis Lahan dan Tipe Bibit, 2003/2004
Wilayah
Aktual DRCR =1 Harga Kenaikan Harga ProduktiGula ProduktiGula vitas Tebu Dunia vitas Tebu Dunia (Kg/ha) (US$/kg) (%) (US$/kg)
Madiun (PG Pagotan) Sawah -Awal -Kepras 1
104.551 108.773
170.3 170.3
20 23
209 215
Tegalan -Awal -Kepras 1
108.000 88.000
170.3 170.3
24 24
218 218
Kediri (PG Pesantren Baru) Sawah -Awal -Kepras 1 -Kepras2&3
106.620 115.160 73.710
170.3 170.3 170.3
32 4 24
233 179 217
Tegalan -Awal -Kepras 1
126.670 104.170
170.3 170.3
12 05
194 179
Malang (PG Krebet Baru) Sawah -Awal -Kepras 1 -Kepras2&3
109.800 76.670 80.000
170.3 170.3 170.3
5 8 46
180 186 261
memberikan petunjuk bahwa program bongkar ratoon pada masa yang akan datang perlu diperluas, dengan melibatkan lebih banyak petani dan wilayah kerja pabrik gula. Perluasan program ini hendaknya dilakukan sejalan dengan penyediaan kredit dan pengintegrasian antara aktivitas budidaya (petani tebu) dan aktivitas pengolahan di PG, khususnya pada daerah-daerah yang secara ”emosional” pernah memiliki kaitan dengan industri gula. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan 1. Rata-rata produktivitas tebu di lahan sawah mencapai lebih dari 100 ton per hektar, lebih tinggi daripada di lahan tegalan. Produktivitas tebu di lahan kering di Kabupatan Malang dan Jember lebih kecil dibandingkan dengan di Kabupaten Madiun dan Kediri. Namun, rendemen di empat lokasi relatif sama yaitu antara 6-7 persen. 2. Proporsi biaya tenaga kerja dan sewa lahan usahatani tebu di lahan sawah dan tegalan di Jawa Timur mencapai sekitar 70 persen terhadap total biaya usahatani tebu, Sewa lahan di Kabupatan Madiun dan Kediri lebih mahal dibandingkan dengan di Kabupaten Malang dan Jember, yaitu berkisar Rp 4 juta – Rp 5 juta/ha. 3. Usahatani tebu di Provinsi Jawa Timur secara finansial menguntungkan. Rata-rata keuntungan sebesar Rp 2,5 juta – 8 juta per hektar. Keuntungan petani 100
di Kabupaten Madiun dan Kabupaten Kediri lebih kecil (Rp 2,5 juta – Rp 5,5 juta/ha) dibandingkan dengan Kabupaten Malang dan Kabupaten Jember (Rp 5,0 juta – Rp 8,5 juta/ha). Terdapat kecenderungan, keuntungan usahatani tebu yang ditanam pada lahan tegalan lebih tinggi daripada di lahan sawah dan pada tanam awal lebih tinggi daripada kepras. 4. Walaupun secara finansial usahatani tebu menguntungkan, namun secara ekonomi menunjukkan kebalikannya. Secara ekonomi, kerugian yang dialami petani di Kabupaten Madiun dan Kabupaten Kediri sebesar Rp 2 juta – Rp 4 juta per hektar. Perbedaan ini disebabkan adanya distorsi pasar yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah. 5. Usahatani tebu di Kabupaten Madiun dan Kabupaten Kediri tidak mempunyai keunggulan komparatif, sedangkan usahatani tebu di Kabupaten Malang dan Jember menunjukkan kebalikannya (DRCR
Analisis Daya Saing Usahatani Tebu di Provinsi Jawa Timur [Mewa Ariani, Andi Askin dan Juni Hestina]
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Meneropong Program pengembangan Tebu di Jawa Timur. RATOON. Media Komunikasi dan Informasi Petani Tebu di Jawa Timur. Edisi 4/th.1/Mei 2004. Hutabarat, B.M.S, T.Kuntohartono, Nahdodin dan Soedarsono. 2001. Restrukturisasi Industri Gula Nasional, (Mimeo). Kompas. 2004. Subsidi untuk Pupuk tetap dengan Pola yang lama. Kompas, 7 Desember, halaman 13. Monke, E.A. and S.K. Pearson.1989. The Policy Analysis Matrix For Agricultural Development. Cornell University Press. Ithaca and London. Mubyarto dan Daryanti. 1991. Gula. Kajian Sosial-Ekonomi. Penerbit Aditya Media. Yogyakarta Malian, AH. dan Saptana. 2003 Dampak Peningkatan Tarif Impor Gula terhadap Pendapatan Petani Tebu. Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. Vol 3 No.2: 107124. Denpasar Malian,A.H; M.Ariani; K.S.Indraningsih; A.Zakaria; A.Askin dan J.Hestina. 2004. Revitalisasi Sistem dan Usaha Agribisnis Gula. Laporan Penelitian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Salvatore, D. 1995. International Economics. Fifth Edition. Prentice Hall International, Inc., New Jersey, USA. Soentoro, N.Indiarto dan A.M.S.Ali. 1999. Usaha Tani Dan Tebu Rakyat Intensifikasi di Jawa. Dalam Ekonomi Gula di Indonesia. Penyunting M.H.Sawit, dkk. Penerbit Institut Pertanian Bogor.
101
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003 ISSN: 1411-7177
6 Nomor SOCA ❖ 6Volume (1) : 102 - 107 1 Tahun 200 6
AN EQUILIBRIUM DISPLACEMENT MODEL OF THE BALI BEEF INDUSTRY I Gusti Agung Ayu Ambarawatia, Xueyan Zhaob, Garry Griffithc, and Roley Piggottd
Faculty of Agriculture, Udayana University, Denpasar 80232; Department of Econometrics Business Statistics, Monash University, Clayton, VIC 3800, Australia NSW Agriculture Beef Industry Centre, University of New England, Armidale, NSW 2351, Australia.
ABSTRAK Produksi daging sapi di Bali didominasi oleh peternakan rakyat, sama halnya dengan keadaan pertanian pada umumnya di Indonesia. Berbagai kebijakan telah dilaksanakan untuk mengembangkan sapi Bali. Pengetahuan mengenai distribusi manfaat/keuntungan yang diterima dari pengembangan sapi sapi Bali akan membantu dalam proses pengambilan keputusan. Tulisan ini menganalisis manfaat dari pengembangan sapi Bali dalam sistem produksi bertingkat dengan menggunakan model “equilibrium displacement’ (EDM). Manfaat/keuntungan diukur dari perubahan surplus ekonomi pada peternak, rumah potong hewan dan pengecer. Kata Kunci: Produksi Daging Sapi, Kebijakan Pemerintah, EDM, Surplus Ekonomi. INTRODUCTION Changes in food consumption patterns in Indonesia resulting from increases in income, urbanisation and population growth have led to changes in Indonesian agricultural production and trade. There have been some attempts to improve productive capacity, but in many cases such as beef cattle, production has not been able to keep pace with the increase in consumption, encouraging imports of live cattle and beef products. Smallholder farms using basic technology with relatively low levels of productivity dominate beef production, just like the majority of the Indonesian agriculture. The island of Bali is one of the cattle producing areas for Indonesia. An indigenous Indonesian cattle breed, Bali cattle (Bos sondaicus), is kept pure on the island of Bali despite the wide spread of this breed throughout the country. This policy was enacted to maintain and improve domestic animal genetic resources. Bali cattle are known for their desirable traits. These include good adaptation to arid conditions, high fertility and good meat production. They are highly efficient in producing lean with a low fat percentage beef (Masudana 1990). There are no cattle imported into Bali due to the absolute protection of Bali cattle. However, cattle from Bali are highly demanded outside Bali, especially in Jakarta. DPPB (2000) noted that about 60 per cent of cattle traded in Bali are sent off the island. The island is also known for its extensive tourist sector. Frozen and chilled beef are imported to fulfil the tourist demand. This imported beef competes with the local beef in the a
tourist sector. The Bali government has put in place policies for developing this indigenous cattle breed to increase inter-island cattle trade and to improve beef quality to compete with imported beef. A wide range of policies has been implemented to enhance development of Bali cattle including feed supplementation programs, artificial insemination programs and subsidised credit, as well as the national policies mentioned above (Beef NES, Food Security Credit and Food Security Project). However, adding value to livestock through marketing seems to be of little concern. Moreover, the implementation of local autonomy policies and budget self-reliance at the beginning 2001 has encouraged the Bali government to develop local resources such as cattle. Previous studies of the Bali cattle industry were mainly concerned with the physical productivity of the breed such as feed conversion and carcass weight, and there are very few policy evaluation analyses of the beef sector. Ambarawati et al. (2002) assessed the impact of cattle development schemes on farm performance in Bali, but they did not include any links to the marketing sectors. Knowledge about the distribution of the returns from the development of the cattle industry, including marketing, informs decision making. The objective of this paper is to develop an economic model of the Bali beef industry to simulate various policies and other exogenous changes. The impact of these changes on various industry groups such as smallholders, processor and consumers, can be estimated in terms of their welfare changes.
Faculty of Agriculture, Udayana University, Denpasar 80232; b Department of Econometrics and Business Statistics, Monash University, Clayton, VIC 3800, Australia ; c NSW Agriculture Beef Industry Centre, d University of New England, Armidale, NSW 2351, Australia
102
An Equilibrium Displacement Model of The Bali Beef Industry [I Gusti Agung Ayu Ambarawati, Xueyan Zhao, Garry Griffith, and Roley Piggott]
LITERATURE REVIEW The Bali Beef Industry The Bali beef industry in this study refers to beef industry on the geographical entity, Bali island (also the Province of Bali). The Bali beef industry involves multiple markets and marketing stages. Demand for beef in Bali comes from two different markets: the wet and higher end markets. The higher end market is also known as the HRI (hotel, restaurant and institutional) market. Demand for fresh beef at the wet market comes from the local population, while frozen and chilled beef are demanded to satisfy the star-rated hotels, selected supermarkets and catering companies. The quality of beef going to the wet market is not as well graded as the beef supplied to the HRI market. The wet market, which comprises some 80 per cent of the total beef demand in Bali, is fully supplied by Bali beef. On the other hand, the Bali HRI market is currently satisfied by both Bali beef and imported beef. Before the financial crisis in mid 1997, imported beef dominated beef supply to the HRI market and Bali beef accounted for only a small amount of the total beef demand. However, since the financial crisis Bali beef has increasingly been accepted to fulfil demand from the HRI market. Bali beef is now a substitute for imported beef in the HRI market. However, imported beef is not a substitute for Bali beef in the wet market because of preference and quality differences. Beef Production for the Wet Market Beef processing for the wet market in Bali is undertaken by public abattoirs. Retailers at the wet market cut the carcasses and sell to final consumers. Beef cuts at the wet market are not well-graded as the consumers seem to be indifferent to beef quality. Carcass production from public abattoirs is derived solely from Bali cattle. In terms of cattle requirements for slaughtering, there are no specific standards of cattle such as weight and age for carcass production at public abattoirs. However, the weight of cattle sold at cattle markets for this market is usually above 300 kg. There is no specification of a production system for cattle in Bali for different purposes such as for wet or HRI markets. Cattle are usually grazed on public fields or maintained under a shed by smallscale farmers. Cattle are sometimes fed with feed supplementation such as rice bran. Heavier cattle are usually selected for the higher end market and for the inter-island trade owing to better quality. Beef Production for the HRI Market Bali beef production for the HRI market is a different process from the wet market production in terms of cattle selection, processing and marketing phases. Bali beef for the HRI market comes from carcass production from private slaughtering houses. The carcasses produced from private abattoirs are of higher quality to meet retailers’ demand. Certain criteria are usually used for carcass production such as carcass weight and its composition
(percentage muscle, bone and fatty tissue). Retailers and packers at the HRI market cut and trim the carcasses and sell to the consumers. Beef cuts at the HRI market are graded to meet consumers’ requirements. Cattle are selected at the market by private abattoir operators to obtain higher quality carcasses. This selection is mainly based on physical appearance and cattle weight. The average cattle weight for the HRI market is 375 kg. Some private slaughtering houses have their own cattle contracts with farmers so they can control their cattle weight and quality. While carcasses produced from private abattoirs are mainly directed to the HRI market, by-products and off-cuts of these carcasses are sold to the wet market. It is estimated that 20 per cent of total carcass production from private abattoirs are sent to the wet market. Hence, carcass production from private abattoirs has a multi-output production function. The main difference between private abattoirs and the public abattoirs is in the processing facilities. Private abattoir operations are more mechanised than public slaughtering houses to meet certain grading criteria. Bali beef competes with imported beef at the HRI market. Hence, the link between the Bali beef and imported beef at the HRI market should be considered in developing the conceptual model. Also, the inter-island cattle trade to the rest of Indonesia market (ROI) should be included in a conceptual model of the Bali cattle market. Although Bali cattle are sold to different markets, there are no specific cattle producers for each market. All cattle traded come from the same smallholder producers without any product specification. Cattle are valued based on their liveweights. The higher the cattle weight the better the price is. This review of the Bali beef industry will assist the development of a conceptual model of the industry. A disaggregated model along both horizontal and vertical lines is required to capture policy changes occurring in the different markets. A Conceptual Model of the Bali Beef Industry The Bali beef industry is disaggregated into a horizontal and vertical structure to examine the benefits of government policies and research that occurs in various industry sectors and markets, as well as the distribution of benefits among different industry groups. Horizontally, the market is segmented based on the type of beef demanded: wet and HRI markets. Vertically, beef production and marketing are disaggregated into cattle supply, processing, marketing and consumption. This segmentation enables separate analyses of various policies at different stages of marketing. Inputs other than the cattle input are treated as a general ‘marketing input’ in all sectors. The demand for imported beef at the HRI market is included in this segmentation. The quantity of imported beef is treated as an endogenous variable in the model, but the price of imported beef is treated as an exogenous variable. As Indonesia is not a major player 103
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
in beef imports in the world market, it is considered that the supply of imported beef is perfectly elastic. On the other hand, the demand for imported beef is assumed to be downward sloping. The model also includes the rest of Indonesia (ROI) market in order to capture the impacts of inter-regional trade on Bali cattle production. It is believed that any changes in beef demand outside Bali will affect cattle production in Bali. The Bali geographical market and the ROI market are linked through quantity of cattle traded and the cattle price. Any policy changes occurring in the ROI market is treated as an exogenous shifter to the Bali cattle production. Based on the industry structure reviewed above, the model of the Bali beef industry is specified in Appendix 1. As shown in the figure, there are four production functions, represented by rectangles on the diagram. From each production function creates the demand and supply for a product represented by the ovals on the diagram. In each supply or demand schedule an exogenous shift may occur. The inclusion of the exogenous shifters in this model enables separate analyses of various policies at the farm level, processing stage and retail marketing. There are 13 factor or product markets involving 24 quantity and price variables. There are also two aggregated input and output index variables for the processing sector at private abattoirs. This gives 26 endogenous variables for the 26 equations and identities in the system. The definitions of all variables and parameters in the model are presented in Appendix 2. The structural model of the Bali beef industry which describes the links among the variables is presented in the Appendix 3. METHODOLOGY The Model This research is based on a synthetic model, often referred to as an Equilibrium Displacement Model (EDM). EDM has been frequently used in agricultural price and policy analysis. The EDM involves the application of comparative static analysis to general function models. The main strength is that it allows quantitative assessments to be made of the impacts on endogenous variables of small changes in exogenous variables in situations where there are no resources available to engage in econometric modelling (Piggott 1992). In the EDM approach, the market is disturbed by a change in the value of exogenous variable and the impacts of the disturbance are approximated by functions which are linear in elasticities. The exogenous shifters examined are improved productivity, promotion and policy changes in beef marketing arrangements. The relationships among changes in all endogenous variables due to exogenous shifters can
1
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
be derived by totally differentiating the system of equations at the initial equilibrium points. The consequent changes in producer and consumer surplus reflecting welfare changes at the various stages of marketing can then be estimated. The impacts of a 1 per cent reduction in per unit cost resulting from productivity advances in cattle production supported by the Bali government intervention program is simulated. However, the cost of achieving the 1 per cent change is not addressed in this study. Changes in prices and quantities in all markets due to this exogenous shift are estimated, and consequent changes in producer and consumer surplus in the relevant markets are presented. Finally, alternative scenarios of exogenous shifters resulting from increased efficiencies and policy changes in different industry sectors are simulated. Comparisons of welfare changes among different scenarios are conducted. Data Requirements Operation of the EDM requires three different sets of information. Firstly, base price and quantity values are needed for all endogenous variables to portray the base equilibrium status of the system. Secondly, various elasticity values are needed. Finally, values all exogenous shifters are needed to quantify the impact of policy changes at different levels of marketing. The availability of data is very limited. The Central Bureau of Statistics of Indonesia (CBSI) and the Directorate General of Livestock Services (DGLS) provide annual data on beef production for all provinces in Indonesia, measured in kilotons carcass weight. However, there is no published information on final beef products such as the quantity of beef entering the wet and HRI markets respectively. Information on the quantities of carcass produced from public and private abattoirs is also lacking. Hence, assumptions are made on the proportion of carcasses produced at different abattoirs and beef produced for the wet and HRI markets based on the information provided by DGLS staff, Bali Regional Livestock Services staff and other industry agencies. Considerable effort has been made in this study to assemble a set of equilibrium quantities and prices at different stages. These include a survey of public and private abattoirs, hotels and restaurants in Bali to obtain the required information. A combination of published information and the survey information has been used to estimate the data required at the different levels and market segments. Price and quantity values used in this study are based on the year 2000 assuming that the beef market situation in Indonesia had returned to normal after the 1997 financial crisis. There was a sharp increase in imported beef into Indonesia, from 10.55 kt in 1999 to 26.96 kt in 2000. Beef imported into the Bali HRI market increased
A larger version of the model is also available where the ROI sector is fully endogenous. However, given the relative sizes of the beef markets in the two geographic sectors, little extra information is provided by using this version.
104
An Equilibrium Displacement Model of The Bali Beef Industry [I Gusti Agung Ayu Ambarawati, Xueyan Zhao, Garry Griffith, and Roley Piggott]
Table 1. Eonomic Surplus Chnges (Rp billion) and Prcentage Shares of Total Surplus to Various Idustry Goups from Dfferent Scenarios in the Bali Beef Idustry Industry Group Bali cattle producers Public abattoirs Private abattoirs Wet market retailers HRI market retailers Sub total Producer surplus Wet market Consumers HRI market Consumers ROI market consumers Sub total Consumer surplus Total surplus
Scenario 1 Rp b % 1.95 64.56 0.009 0.29 0.005 0.17 0.002 0.06 0.004 0.13 1.97 65.23 0.33 10.93 0.12 3.97 0.60 19.87 1.05 34.77 3.02 100
Scenario 2 Rp b % 0.10 50.00 0.007 3.5 0.001 0.5 0.001 0.5 0.001 0.5 0.11 55 0.12 60 0.02 10 -0.05 -25 0.09 0.45 0.20 100
Scenario 3 Rp b % 0.05 45.45 0.001 0.91 0.004 3.64 0.00 0 0.002 1.82 0.057 51.82 0.036 32.73 0.047 42.72 -0.03 -27.27 0.053 48.18 0.11 100
Scenario 4 Rp b % 0.016 50 0.001 3.12 0.002 6.26 0.001 3.12 0.00 0 0.02 62.50 0.02 62.50 0.003 9.38 -0.011 -34.38 0.012 37.5 0.032 100
Table 1. Economic Surplus Changes (Rp billion) and Percentage Shares of Total Surplus to Various Industry Groups from Different Scenarios in the Bali Beef Industry (Continous). Industry Group Bali cattle producers Public abattoirs Private abattoirs Wet market retailers HRI market retailers Sub total Producer surplus Wet market Consumers HRI market consumers ROI market consumers Sub total Consumer surplus Total surplus
Scenario 5 Rp b % 0.04 43.00 0.001 1.07 0.002 2.15 0.00 0 0.003 3.25 0.046 49.47 0.021 22.58 0.046 49.46 -0.02 -21.57 0.047 50.43 0.093 100
Scenario 6 Rp b % 0.73 56.28 0.03 2.31 0.008 0.62 0.004 0.31 0.005 0.39 0.777 59.91 0.77 59.37 0.15 11.57 -0.41 -31.61 0.52 40.09 1.297 100
from 165 tonnes in 1999 to 300 tonnes in 2000. This is a good indication that the economy is gradually recovering from the financial crisis. Market parameters required in the model include the elasticity values of various beef demand and input supplies, input substitution and product transformation. Parameter values are selected on the basis of economic theory, past studies of the beef industry and intuition. There are eight exogenous shift variables in this study allowing different scenarios resulting from different policies and research in the Bali beef industry to be examined. Improved productivity of cattle production and increased efficiencies in processing and marketing sectors are modelled as reducing cost of production in the relevant sectors. This can be seen as an outward or downward supply shift. Beef promotion in the Bali market and policy changes in the ROI market are modelled as an outward shift in demand. Equal 1 per cent vertical shifts in the relevant supply and demand curves are assumed for all eight main scenarios. This allows for the simulation of the impacts of 1 per cent cost reductions in different production, processing and marketing sectors as well as 1 per cent increase in consumer’s willingness to pay at the final stage of the products. These are explained in Appendix 4.
Scenario 7 Rp b % 0.21 45.35 0.004 0.87 0.009 1.94 0.001 0.22 0.009 1.94 0.233 50.32 0.13 28.08 0.22 47.52 -0.12 -25.92 0.23 49.68 0.463 100
Scenario 8 Rp b % 1.20 70.17 -0.01 -0.58 -0.004 -0.22 -0.002 -0.11 -0.004 -0.22 1.18 69.06 -0.37 -21.64 -0.13 -7.75 1.03 60.23 0.53 31.94 1.71 100
RESULT AND DISCUSSION Returns from Alternative Cattle Development Policies Having specified initial prices and quantities and market elasticities, the resulting percentage changes in all prices and quantities are calculated by simulating the model described in the Appendix 3 for each of the scenarios described in Appendix 4. Using the changes in prices and quantities, the changes in economic surplus for the various groups are calculated. The results of the total welfare changes and their distribution among industry groups such as cattle producers, processors, retailers and consumers for each of the eight scenarios are presented in Table 1. Some prerequisite of the results should be noticed before any comparison is undertaken. This study relates to equal 1 per cent exogenous shifts in the relevant supply and demand curves but the costs required to bring about 1 per cent shift is not addressed here. Therefore, the monetary benefits from alternative scenarios in Table 1 are only comparable under the assumption of equal investment efficiency, in the sense that the investment costs of the 1 per cent shifts in all sectors are the same. This indeed is unlikely to be true in reality. Issues regarding the efficiency of investments have been discussed by a number of authors include Lemieux and Wohlgenant (1989), Scobie et al. (1991) and Zhao (2000). Zhao 105
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
(2000) also pointed out that despite the same amount of investments at different points of the industry may cause demand and supply shifts of different magnitudes, and despite the actual returns in monetary terms are dependent on the magnitudes of the initial shifts, the distribution of the total benefits among industry groups is independent of the size of the initial shift. Accordingly, it is always worthwhile to compare shares of benefits among alternative investment scenarios without knowledge of the efficiency of research investment. The results indicate that the size of total economic surplus changes is determined largely by the total value of the sector where the exogenous shift occurs. As can be seen from Table 1, for the same 1 per cent exogenous shift in the relevant market, improved productivity of Bali cattle production resulting from government intervention (Scenario 1) has the largest total benefits (Rp 3.02 billion, about A$ 0.60 million). This is about 1 per cent of the total value of Rp 301.83 billion at the farm gate. Meanwhile, policy changes from the ROI market (Scenario 8) amounts to Rp 1.71 billion (A$ 0.34 million). The total returns from the beef promotion scenario in the wet market is Rp 1.297 billion (A$ 0.26 million) but those are much smaller returns for beef promotion in the HRI market (Rp 0.463 billion). The total benefits from improved efficiencies in the processing and marketing sectors (Scenario 2 – 5) are very small, ranging from Rp 0.032 billion to Rp 0.20 billion. These small returns are due to the small value added to the beef products in those sectors and the highly elastic nature of the supply of other inputs. In terms of the distribution of returns among various industry groups, Bali cattle producers receive substantial benefits (43 per cent to 70.17 per cent of total returns) from any cost reduction or improved efficiency scenarios. This is because cattle production has the highest value within the industry group. On the other hand, Bali beef consumers in both the wet and HRI markets gain much less surplus than cattle farmers. Moreover, the ROI consumers only receive gains from the cost reduction in Bali cattle production but the benefits are much bigger than for beef consumers. The total value of cattle shipped outside Bali is much bigger than the beef value at the final stage in Bali. However, any improved efficiencies at the marketing level in Bali (Scenario 2 –5) result in a welfare loss to the ROI consumers. This is because less cattle are traded to the ROI market. The small portion of welfare gains to the processing and retails sectors are due to the assumption of very elastic supply curve for marketing inputs (with an elasticity of 5). This means that marketing firms can purchase more inputs without paying suppliers substantially higher prices. The results of these simulations also suggest that the quantity of imported beef entering the HRI market is reduced by 0.08 per cent for a 1 per cent cost reduction in any of the marketing stages. This implies that government policy aimed at reducing beef imports can be met by increasing efficiencies in the relevant sector, such as reducing the cost of Bali cattle production, resulting in 106
more Bali beef entering to the HRI market. These results can be ranked according to various criteria. Here it is ranked according to both absolute returns to farmers and the percentage share of total returns going to farmers (Table 2). Farmers are the focal point because the stated objectives of the cattle development policies are to enhance the livelihoods of the smallholder cattle producers. Scenarios 1 and 8, and to a lesser extent Scenario 6, dominate both rankings. Thus decreasing the cost of producing cattle, generating greater demand from the inter-island market, or inducing consumers in the Bali wet market to pay more for beef, are the three main ways that Bali cattle producers can benefit from industry development. Another way of looking at these results is to calculate the percentage shifts required in the other market sectors to provide the same return to cattle producers (Rp1.95 billion, about A$ 0.39 million) as greater efficiencies in cattle production (Table 3). Again, Scenarios 6 and 8 require greater shifts than Scenario 1 but of the same broad order of magnitude, while the other Scenarios require shifts between nine and 122 times larger, to provide Rp 1.95 billion to farmers. Table 2. Preferences to Farmers Among the Alternative Investment Scenarios Rank 1 2 3 4 5 6 7 8
In terms of absolute benefits in rupiah (Rp b) S. 1 (1.95) S. 8 (1.20) S. 6 (0.73) S. 7 (0.21) S. 2 (0.10) S. 3 (0.05) S. 5 (0.04) S. 4 (0.016)
In terms of % share of total benefits (%) S. 8 (70.17) S. 1 (64.56) S. 6 (56.28) S. 4 (50.01) S. 2 (50.00) S. 3 (45.45) S. 7 (45.35) S. 5 (43.00)
Table 3. Percentage Shifts Required to Provide the Same Benefits to Farmers as from Scenario 1 S1
Returns to Farmers 1.95 (Rp billion) Initial % shifts required (%) 1.00
S2
S3
S4
S5
1.95
1.95
1.95
1.95
19.5
39
S6
S7
S8
1.95 1.95 1.95
121.9 48.75 2.67 9.29 1.63
CONCLUSION AND POLICY IMPLICATION Conclusion The Bali government has put in place policies for developing the Bali cattle breed to increase the interisland live cattle trade and to improve Bali beef quality to compete with imported beef in the tourist sector in Bali. Information on the benefits from development of the cattle industry is limited and therefore evaluation of the policies is required to guide future policy development. In this paper, an economic model of the Bali beef industry was developed to simulate various policies and exogenous changes. The impacts of these changes on various industry groups were examined in terms of their welfare changes.
An Equilibrium Displacement Model of The Bali Beef Industry [I Gusti Agung Ayu Ambarawati, Xueyan Zhao, Garry Griffith, and Roley Piggott]
For a 1 per cent exogenous shift in the relevant market, improved productivity of Bali cattle production has the largest total benefits (Rp 3.02 billion, about A$ 0.6 million). Increased demand from the ROI market amounts to Rp 1.71 billion (A$ 0.34 million), and from the wet market is Rp 1.297 billion (A$ 0.26 million). The total benefits from improved efficiencies in the processing and marketing sectors are very small, ranging from Rp 0.032 billion to Rp 0.20 billion. In terms of the distribution of returns among various industry groups, Bali cattle producers receive substantial benefits (43 to 70 per cent of total returns) from any cost reduction or improved efficiency scenarios. This is because cattle production has the largest value within the industry sectors. Bali beef consumers in both the wet and HRI markets gain much less surplus than cattle farmers. Policy Implication The model seems appropriate for examining different types of R&D and policy scenarios to those described above. For example, estimates of the cost savings from particular types of policies (see Ambarawati et al. 2002) can be used as input rather than hypothetical 1 per cent shifts. However more research is needed in several areas. In particular, since the data are quite scarce and there is much uncertainty about some of the assumptions made, formal sensitivity analyses are required to ensure that the generated results are not highly dependent on particular assumed values. REFERENCE Alston, J.M. 1991, ‘Research benefits in a multimarket setting: A review’, Review of Marketing and Agricultural Economics 59 (1), 23-52. Alston, J.M., G.W. Norton and P.G. Pardey 1995, Science Under Scarcity: Principles and Practice for Agricultural Research Evaluation and Priority Setting, Cornell University Press, Ithaca and London. Alston, J.M. and Scobie, G.M. 1983, ‘Distribution of gains in multistage production systems: Comment’, American Journal of Agricultural Economics 65 (2), 353-56. Ambarawati, I.A., G.R. Griffith and H-S. Chang 2002, Assessment of Beef Cattle Development Schemes on Farm Performance in Bali, Paper presented to the 46th Annual Conference of the Australian Agricultural and Resource Economic Society, 12-15 February 2002, Canberra. CBSI 2000, Statistical Book on Wholesaler Prices, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Chiang, A.C. 1984, Fundamental Methods of Mathematical Economics, 3rd edition, McGraw Hill, Singapore. DGLS 1998, Livestock Development in Indonesia, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. DGLS 2000, Statistical Book on Livestock, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. DPPB 2000, Informasi Data Peternakan Propinsi Daerah Tingkat I Bali (Information on Livestock Data), Dinas Peternakan Propinsi
Bali, Denpasar. Erawan, N. 2002, Berdayakan Petani, Hapus Kesenjangan (Empowering Farmers, Remove Gaps), Bali Post Online, 24 December, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2002/12/24/ n5.html. Freebairn, J.W., Davis, J.S. and Edwards, G.W. 1982, ‘Distribution of gains in multistage production systems’, American Journal of Agricultural Economics 64 (1), 39-46. Freebairn, J.W., Davis, J.S. and Edwards, G.W. 1983, ‘Distribution of gains in multistage production systems: Reply’, American Journal of Agricultural Economics 65 (2), 357-59. Gardner, B.L. 1975, ‘The farm-retail price spread in a competitive food industry’, American Journal of Agricultural Economics 57(3), 399-409. Holloway, G.J. 1989, ‘Distribution of gains in multistage production systems: further results’, American Journal of Agricultural Economics 71(2), 338-43. Lemieux, C.M. and Wohlgenant, M.K. 1989, ‘Ex ante evaluation of the economic impact of agricultural biotechnology: The case of porcine somatotropin’, American Journal of Agricultural Economics 71(4), 903-914. Masudana, I.W. 1990, Perkembangan Sapi Bali di Bali dalam Sepuluh Tahun Terakhir (Development of Bali Cattle in Bali in the last decade), Proceedings of National Seminar on Bali Cattle, September 1990, Udayana University, Denpasar. Mullen, J.D., Alston, J.M. and Wohgenant, M.K. 1989, ‘The impact of farm and processing research on the Australian wool industry’, Australian Journal of Agricultural Economics 33(1), 32-47. Mullen, J.D., Wohlgenant, M.K. and Farris, D.E. 1988, ‘Input substitution and distribution of surplus gains from lower U.S. beef processing costs’, American Journal of Agricultural Economics 70(2), 245-54. Piggott, R.R. 1992, ‘Some old truths revisited’, Australian Journal of Agricultural Economics 36(2), 117-40. Piggott, R.R., Piggott, N.E. and Wright, V.E. 1995, ‘Approximating farm-level returns to incremental advertising expenditure: Methods and an application to the Australian meat industry’, American Journal of Agricultural Economics 77(3), 497-511. Scobie, G.M., Mullen, J.D. and Alston, J.M. 1991, ‘The returns to investment in research on Australian wool production’, Australian Journal of Agricultural Economics 35(2), 179-95. Wohlgenant, M.K. 1989, ‘Demand for farm output in a complete system of demand functions’, American Journal of Agricultural Economics 71(2), 241-52. ____________. 1993, ‘Distribution of gains from research and promotion in multi-stage production systems: The case of the U.S. beef and pork industries, American Journal of Agricultural Economics 75(3), 642-51. Varian, H.R. 1992, Microeconomic Analysis, 3rd edn, W.W. Norton & Company, New York. Voon, J.P. 1991, ‘Measuring research benefits from a reduction of pale, soft and exudative pork in Australia’, Journal of Agricultural Economics 42(2), 180-84. Zhao, X. 2000, The Economic Impacts of New Technologies and Promotions on the Australian Beef Industry, unpublished PhD thesis, Graduate School of Agricultural and Resource Economics, University of New England, Armidale. Zhao, X., J.D. Mullen, G.R. Griffith, W.E. Griffiths and R.R. Piggott 2000, An Equilibrium Displacement Model of the Australian Beef Industry, Economic Research Report No. 4 NSW Agriculture, Armidale.
107
Akreditasi: No. 34/Dikti/Kep/2003
SOCA ❖ Volume 6 Nomor 1 Tahun 200 6
PEDOMAN PENULISAN 1. Jurnal SOCA terbit tiga kali setahun: Februari, Juli, November. 2. Naskah adalah hasil karya asli yang belum pernah dipublikasikan atau dipertimbangkan akan dimuat dalam media publikasi lain. 3. Naskah dapat berupa hasil penelitian, kajian pustaka/teoritis, kajian metodologis, gagasan orisinal yang kritis, ulasan masalah penting/isu pembangunan yang sedang hangat, ulasan suatu hasil seminar, atau resensi buku.. 4. Naskah disusun dalam bahasa Indonesia yang baku sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan atau dalam bahasa Inggris. Untuk naskah berbahasa Indonesia, intisari (Abstract) ditulis dalam bahasa Inggris. Sedangkan naskah dalam bahasa Inggris, intisari (Abstrak) ditulis dalam bahasa Indonesia. Abstrak sebaiknya mengandung masalah, tujuan, metode, dan hasil. 5. Naskah diketik dua spasi ukuran kuarto (maksimal 20 halaman termasuk tabel, grafik, gambar dan lampiran), dikirim ke penyunting dalam bentuk cetakan sebanyak dua rangkap, juga disertakan disket ukuran 3.5’ dengam program MS. Word. 6. Naskah disusun dengan sistematika: Judul (diketik dengan huruf kapital), Nama Penulis (tanpa gelar), Alamat/Institusi Penulis, Abstract/Abstrak (tidak lebih 300 kata dan disertai kata kunci), Pendahuluan (mencakup pokok permasalahan/isu dan tujuan penelitian/penulisan), Tinjauan Pustaka atau Teoritis (bila ada), Metodologi Penelitian atau Metode
Analisis (bila hasil penelitian), Hasil dan Pembahasan, Simpulan dan Saran/Implikasi Kebijakan, Ucapan Terima Kasih (bila ada), Daftar Pustaka, dan Lampiran (sesuai dengan keperluan). 7. Tabel, Gambar atau Grafik dibuat sedekat mungkin dengan ulasan atau pembahasan dan diberi nomor secara berurutan sesuai dengan rujukan dalam naskah. Jika perlu cantumkan sumber data yang digunakan. Bila ada catatan kaki, penomoran dilakukan secara berurutan pada seluruh naskah, tidak halaman per halaman. 8. Daftar pustaka disusun menurut abjad mulai dari penulis pertama dan berikutnya. Apabila ada dua atau lebih pustaka yang sama penulisnya dan tahunnya, beri tanda a, b, c, …. dst setelah tahun terbit. Bagi pustaka yang merujuk dari jurnal, majalah ilmiah, dan prosiding, harus menyebutkan nama penulis, tahun, judul, tempat seminar, penerbit, halaman, dan editor (penyunting). Daftar pustaka hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam tulisan. 9. Naskah dikirim ke alamat penyunting: Journal on Social Economic of Agriculture and Agribusiness (SOCA) Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana Jl.P.B. Sudirman Denpasar, Bali-Indonesia 80232 Telp. (0361) 223544 E-mail: [email protected]
WRITING GUIDANCE 1. SOCA journal is issued 3d time a year: February, July, November. 2. Document is original works not published yet or would be publish to other Journal. 3. Document could be research result, literature review study, methodology study, critical originate idea, review of important issue in recent development, seminar review, book review. 4. Document is written in Indonesian standard appropriated to Ejaan Yang Disempurnakan or in English. For Indonesian document, abstract is written in English, whereas English document abstract is written in Indonesian. Problems, purposes, method and results are included in abstract. 5. Document is typed in 2 space, A4 paper, maximal 20 pages including tables, graphics, pictures and appendixes. Two typed documents should be sent to the SOCA’s editor included floppy disk with 3.5’ in size with MS Word program. 6. The structure of document: tittle (capital letters), writer name (without academic tittle), writer’s institution address, abstract (no more than 300 word and along with key word), introduction (included problems and purposes), literature review (if any), methodology or analysis (if research result), result and
108
discussion, conclusion and recommendation, thanks giving (if any), references and appendixes. 7. Table, picture and graphics are made as near as possible with the discussion with brief and clear title given a series number, included the sources of data. If there are footnotes, the number of them should be written in series for document, not per pages. 8. Reference is written follow alphabets series. If there are two or more references having the same writers, give a, b, c, etc. after year published. For reference taken from journal, science magazine, and proceeding have to write the same of writer, year, tittle, seminar place, publisher, pages and editor. Reference is a series of sources written in document only. 9. Address of editor: Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness (SOCA) Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Udayana Jl. PB. Sudirman Denpasar Bali-Indonesia 80232 Phone : (0361) 223544 E-mail: [email protected]
PENGANTAR
EKONOMI KETENAGAKERJAAN
D
alam masyarakat berorientasi pasar, partisipasi dalam proses produksi dan distribusi dapat mempunyai dua wujud, yaitu partisipasi pasif dan partisipasi aktif. Partisipasi pasif berupa keikutsertaan dalam menyumbang modal dalam proses produksi dan distribusi. Sedangkan partisipasi aktif berupa keikutsertaan dalam menyumbang tenagakerja dalam proses produksi dan distribusi atau dengan kata lain ikutserta bekerja secara produktif. Melalui bekerja, orang akan memperoleh pendapatan dan memberikan kepadanya dan keluarganya kemampuan untuk mengkonsumsi barang dan jasa hasil pembangunan. Dengan demikian siapapun yang mempunyai pekerjaan produktif dan remuneratif, maka dia telah berpartisipasi secara nyata, aktif dan produktif dalam pembangunan. Atau dilihat dari segi ekonomi, mempunyai pekerjaan merupakan satu-satunya wujud partisipasi dalam pembangunan yang konkrit, aktif dan produktif. Kuantitas dan kualitas pekerja sangat menentukan pembangunan ekonomi. Ini bukan hanya karena tenagakerja merupakan pelaksana pembangunan, tetapi juga karena pekerjaan merupakan sumber pendapatan utama masyarakat. Pendapatan yang diperoleh akan menciptakan permintaan berbagai macam barang dan jasa, selanjutnya akan direspon melalui pasokan oleh pihak-pihak lain, atau dengan kata lain akan tercipta pasar di dalam negeri, dan inilah yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Oleh karenanya, perluasan kesempatan kerja harus merupakan strategi pokok di dalam proses pembangunan. Hal ini dilakukan tidak hanya karena pertimbangan belas kasihan dan keadilan semata, tetapi juga demi pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tenagakerja mempunyai dua fungsi. Pertama, sebagai sumberdaya untuk menjalankan proses produksi dan distribusi barang dan jasa; Kedua, sebagai sarana untuk menimbulkan dan mengembangkan pasar. Kedua fungsi ini merupakan dua syarat yang sama mutlaknya bagi suksesnya pembangunan. Dalam proses produksi, tenagakerja dikombinasikan dengan faktor-faktor produksi lain seperti modal, lahan, manajemen untuk menghasilkan barang dan jasa. Dengan kata lain, jika terjadi proses produksi, maka akan ada penggunaan tenagakerja yang berarti akan tercipta kesempatan. Sedangkan proses produksi umumnya memerlukan modal yang diperoleh melalui investasi. Oleh karena itu, ada korelasi positif antara investasi dengan produksi barang dan jasa. Peningkatan produksi barang dan jasa secara agregat dalam konsep nilai tambah sering diistilahkan pertumbuhan ekonomi. Kajian empirik membuktikan bahwa setiap pertumbuhan ekonomi satu persen akan mampu menyerap tenagakerja sebanyak 400 ribu orang. Seseorang yang bekerja akan memperoleh empat macam manfaat, yaitu: (1) produksi barang dan jasa yang diperoleh pengusaha, (2) pendapatan bagi si pekerja, (3) manfaat sosial psikologis atau status sosial bagi si pekerja pengusaha, yang tinggi rendahnya tergantung jenis pekerjaan dan pendapatan yang diperoleh pekerja, dan (4) peningkatan kemampuan kerja dan produktivitas kerja, yang tergantung pada lama dan intensifnya pengalaman kerja yang diperoleh si pekerja. Menyimak dari multiguna yang ditimbulkan oleh pekerja, maka pemerintah harus terus berusaha memperluas lapangan kerja bagi masyarakatnya. Pada dasarnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu: (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau transformasi ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Transformasi struk
SOCA ❖ Volume 5 Nomor 3 Tahun 2005
tural merupakan prasyarat peningkatan dan kesinambungan pertumbuhan serta penanggulangan kemiskinan, sekaligus pendukung bagi keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Pembangunan di Indonesia yang dilaksanakan sejak 1969 sampai kini telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang ditandai terjadinya perubahan struktur perekonomian. Proses perubahan struktur perekonomian ditandai dengan: (1) merosotnya kontribusi sektor primer (pertanian), (2) meningkatnya kontribusi sektor sekunder (industri), dan (3) kontribusi sektor tersier (jasa) kurang lebih konstan terhadap PDB, tetapi kontribusinya akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak disertai dengan perubahan struktur tenagakerja yang berimbang. Artinya laju pergeseran ekonomi sektoral relatif cepat dibandingkan dengan laju pergeseran tenagakerja, sehingga titik balik aktivitas ekonomi (economic turning-point) tercapai lebih dahulu dibanding dengan titik balik penggunaan tenagakerja (labor turning-point). Hal ini menimbulkan masalah yang sering diperdebatkan, yaitu: (1) apakah penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sebanding dengan penurunan kontribusi serapan tenagakerja sektoral, dan (2) industri mana yang berkembang lebih cepat, agroindustri atau industri manukfaktur. Jika transformasi kurang seimbang, maka dikhawatirkan akan terjadi proses pemiskinan dan eksploitasi sumberdaya manusia pada sektor primer. Tampaknya hal yang disebutkan terakhir ini mulai terjadi, di mana terjadi proses pemiskinan di daerah-daerah pedesaan yang merupakan sentra pertanian di Indonesia. Hasil kajian “Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja serta Kualitas Sumberdaya Manusia di Indonesia” menunjukkan bahwa pada periode 1995-2001 telah terjadi perubahan struktur ekonomi (PDB) dari pola J-I-P (Jasa-Industri-Pertanian) ke pola I-J-P, sementara itu pada periode yang sama tidak terjadi perubahan secara signifikan pada struktur kesempatan kerja, yaitu tetap pada pola P-J-I. Fenomena perubahan yang tidak seimbang antara struktur ekonomi dengan struktur kesempatan kerja diduga sebagai penyebab semakin turunnya produktivitas tenagakerja dan tingkat kesejahteraan masyarakat di sektor pertanian. Di sektor pertanian sendiri tampaknya distribusi penyerapan tenagakerja masih bertumpu pada subsektor tanaman pangan. Walau telah terjadi perbaikan kualitas sumberdaya manusia, tapi masalahnya adalah kemampuan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja tidak sejalan dengan laju perbaikan kualitas sumberdaya manusia. Berdasarkan perkiraan pertambahan angkatan kerja yang dibuat oleh Departemen Tenagakerja 2003-2009, tahun 2009 penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah 228,9 juta orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 168,9 juta jiwa atau 73,7 persen di antaranya merupakan penduduk usia kerja. Dari jumlah ini, 116,5 juta orang atau 69 persen dari penduduk usia kerja dipastikan menyerbu pasar kerja, sehingga kondisi ini sangatlah “menakutkan”, karena pertumbuhan ekonomi di tahun-tahun mendatang diperkirakan tidak akan lebih daripada 6 persen per tahun, yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, kenaikan harga BBM yang hampir 100% di awal Oktober 2005 akan menurunkan aktivitas perekonomian, melandainya ekspor non migas Indonesia karena proteksi oleh beberapa negara maju atas ekspor negara berkembang, rendahnya arus investasi langsung luar negeri (Foreign Direct Investmen, FDI) ke Indonesia, berbagai regulasi dan perilaku birokrasi korup yang kurang mendukung tumbuhnya investasi dan pengembangan dunia usaha. Kondisi tersebut diperparah oleh persoalan lain di dalam negeri, seperti pelaksanaan otonomi daerah yang dalam banyak hal sering kontra produktif terhadap tumbuhnya investasi, yang berarti tidak mendukung penciptaan lapangan kerja. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4 atau 5 persen belum cukup mampu menyerap pertambahan jumlah pengangguran. Faktor stabilitas politik dan keamanan juga ikut memperparah masalah ketenagakerjaan. Koordinasi yang baik antar instansi pemerintah di pusat maupun di daerah sangat diperlukan agar dalam menyusun kebijakan dan program operasional diarahkan pada perluasan penciptaan kesempatan kerja. ii
Pengantar
Dalam Rencana Tahunan Ketenagakerjaan Nasional (RTKN) 20042009 dijelaskan bahwa rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Indonesia per tahun adalah 4,1 persen untuk kurun waktu 2000-2004 dan 6 persen untuk kurun waktu 2005-2009. Dalam kurun waktu 2005-2009 penyerapan tenagakerja oleh sektor pertanian diperkirakan melambat, sementara sektor industri dan konstruksi akan mulai pulih. Cuma pertanyaannya, bagaimana prediksi ekonomi itu berdampak terhadap dunia kerja. Sebab, dalam kurun waktu 2003-2005 diperkirakan ada 6,1 juta tenagakerja, yang 5,1 juta orang atau 83,5 persen di antaranya pekerja bukan di sektor pertanian. Sekitar 3,5 juta orang atau 68 persen dari pertambahan tenagakerja bukan pertanian merupakan tenagakerja di sektor industri, perdagangan, dan jasa. Ketiga sektor ini pada periode 2005-2009 masih merupakan sektor yang tertinggi penyerapannya, sekitar 7,6 juta orang atau 67,2 persen pertambahan tenagakerja nonpertanian. Dalam pemaparan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengenai gambaran ekonomi Indonesia tahun 2006, Kamis 22 Desember 2005 di Jakarta, memperkirakan pertambahan penganggur sebanyak 800.000 hingga di atas satu juta orang dibandingkan dengan angka tahun 2005. Bahkan diperkirakan angka pengangguran terbuka jauh di atas prediksi pemerintah yang hanya 9,64 juta orang. LIPI memperkirakan angka pengangguran 12,151 juta orang, sedangkan Indef memperkirakan 12 juta hingga 12,6 juta orang. Dalam proyeksi LIPI, angkatan kerja tahun 2006 mencapai 109,910 juta orang dan kesempatan yang tersedia hanya 97,759 juta orang. Jumlah penganggur berasal dari ”stok” sebanyak 11,650 juta dan tambahan 500.000 orang, sehingga total penganggur mencapai 12,151 juta orang. Peningkatan ini sebagai imbas kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Oktober 2005 terhadap puluhan ribu pemutusan hubungan kerja (PHK). Masalah semakin serius karena penganggur adalah tenagakerja terdidik, sehingga dapat menimbulkan kerawanan gangguan keamanan. Setiap tahun diperkirakan jumlah pencari kerja baru berkisar dua juta orang, sementara penyerapan tenagakerja terbatas karena rendahnya pertumbuhan ekonomi. Karena itu, tidak mengherankan jika penganggur akan bertambah pada tahun 2006. Dalam proyeksi yang disampaikan peneliti Indef, masalah pengangguran merupakan hal yang tidak terpecahkan selama empat tahun terakhir. Kebijakan pemerintah masih bertumpu pada upaya stabilisasi makro. Paradigma itu diperkirakan tidak akan ditinggalkan, sehingga angka pengangguran akan terus bertambah. Paradigma ini diperparah dengan kenyataan bahwa secara fiskal tidak ada ruang untuk manuver. Sepertiga anggaran akan dihabiskan untuk membayar utang dan sepertiga dialokasikan untuk anggaran daerah. Kebijakan fiskal yang berorientasi pada mengatasi masalah pengangguran menjadi tidak mungkin. Dampaknya, masalah pengangguran akan semakin parah. LIPI juga mencatat, jumlah penduduk miskin pada tahun 2005 bertambah akibat kenaikan harga BBM di atas 100 persen. Kenaikan jumlah penduduk miskin, dengan adanya kenaikan harga BBM, sebesar 47,5 juta. Jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM, angka kemiskinan hanya 37,9 juta orang. Kenaikan harga BBM pada bulan Maret dan Oktober 2005 mengakibatkan lonjakan inflasi dan menurunnya daya beli masyarakat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya jumlah penduduk miskin. Jumlah angkatan kerja yang tidak terserap dan peningkatan jumlah penganggur berimbas pada meningkatnya jumlah penduduk miskin. Tekanan eksternal yang dapat memengaruhi perekonomian Indonesia pada tahun 2006 akan melemah. Namun, target pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,6 persen. Harga minyak mentah di pasar global tidak akan terlalu berfluktuasi. Kalaupun ada faktor eksternal yang memengaruhi, misalnya ancaman terorisme dan wabah virus, dampaknya tak akan terlalu besar. Kunci utama untuk menstabilkan perekonomian Indonesia adalah menciptakan koordinasi yang baik antara Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla dan Menko Perekonomian Boediono. Pasalnya, kedua tokoh ini memiliki karakter yang iii
SOCA ❖ Volume 5 Nomor 3 Tahun 2005
berbeda. Wapres cenderung terbiasa mengambil keputusan dengan cepat, sementara Menko Perekonomian selalu berhati-hati dalam setiap pengambilan keputusan. Jika terjadi friksi dari para pembantu Presiden, maka ekonomi Indonesia bisa tumbuh hanya 5,4 persen. LIPI memperkirakan inflasi pada tahun 2006 sekitar 8,1 persen atau lebih tinggi dari prediksi pemerintah yang memperkirakan 7,0 persen, sementara suku bunga SBI sebesar 9,6 persen. Nilai tukar rupiah per dollar AS sebesar Rp 10.000, produk domestik bruto (PDB) mencapai Rp 3.294 triliun, harga minyak mentah sebesar 52 dollar AS per barrel, defisit anggaran mencapai Rp 27,7 triliun atau 0,8 persen dari PDB. Direktur Jenderal Bina Penempatan Tenagakerja Dalam Negeri, Departemen Tenagakerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) Mira Maria Handartani yang mengutip hasil Survei Angkatan Kerja Nasional 2005 Badan Pusat Statistik saat pembukaan Pameran Bursa Kerja di Balaikota Solo, Jumat 23 Desember 2005 mengatakan selama tahun 2005 jumlah penganggur di Indonesia tercatat 40,4 juta jiwa dari jumlah angkatan kerja 106 juta orang. Sebanyak 10,8 juta di antaranya merupakan penganggur terbuka dan sisanya, 29,6 juta, penganggur setengah terbuka. Tingkat pengangguran mencapai 10,21 persen. Menurut Mira, faktor yang paling berpengaruh terhadap angka pengangguran adalah kurangnya kompetensi angkatan kerja karena 55 persen angkatan kerja hanya lulusan SD dan sisanya lulusan SMP, SMA, D1, D3, dan S1. Dijelaskan bahwa pertumbuhan lapangan kerja akan sangat bergantung pada aktivitas ekonomi. Karena iklim ketenagakerjaan masih jadi persoalan, pihaknya berencana mengkaji ulang sektor ketenagakerjaan, terutama Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Mira menyatakan, pihaknya berencana meninjau kembali beberapa pasal dalam UU No 13/2003 yang selama ini dikeluhkan banyak pihak. ”Kalau ada investor asing yang masuk, dia lihat dulu regulasi ketenagakerjaannya, perpajakan, dan bea cukai,” ujarnya. Diharapkan perubahan pasal-pasal itu sudah bisa dimasukkan awal tahun 2006. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah (Jateng) mengemukakan, angka pengangguran di Jateng saat ini mencapai 1,2 juta dari 15 juta angkatan kerja. ”Banyaknya penganggur karena tidak sesuainya kualifikasi (tenaga kerja) dengan pekerjaan yang ada”. Seusai ditetapkannya upah minimum kabupaten/kota (UMK) di Jateng, sembilan perusahaan mengajukan penangguhan. Sebagian besar perusahaan tekstil dan garmen di eks Karesidenan Surakarta, wilayah pantai utara, dan Semarang. Dari Bali dilaporkan, Gubernur Bali berjanji akan merevisi keputusan upah minimum provinsi (UMP) dan UMK yang mulai berlaku 2 Januari 2006 sebesar Rp 510.000. Janji itu disampaikan Gubernur kepada pengunjuk rasa yang tergabung dalam Solidaritas Buruh Bali, di Denpasar, kemarin. Meski demikian, Gubernur mengelak menyebutkan besaran upah setelah revisi nanti. ”Kami tentu tidak bisa mengubah seenaknya, tanpa membicarakan terlebih dahulu dengan para wakil serikat pekerja dan kalangan pengusaha”. Masalah ketenagakerjaan di Indonesia, tidak hanya menyangkut ekonomi, tetapi juga nonekonomi, sehingga membutuhkan solusi yang multidimensi. Artinya, penanggulangan tidak hanya menjadi tanggung jawab satu departemen, tetapi harus melibatkan semua institusi pemerintah dan swasta. Memposisikan tenagakerja Indonesia agar mampu memasuki pasar kerja internasional dengan kualitas relatif tinggi akan menghasilkan remitansi kepada keluarganya dan perekonommian Indonesia, yang pada akhirnya akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam kaitannya remintansi tenagakerja migran dengan kelambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, Bank Dunia memilih topik remitansi pekerja migran sebagai the bank Issue of the Year. Dalam pengantar GEP 2006, Presiden Bank Dunia, mantan Dubes AS di Indonesia, Paul Wolfowitz, mengajak dunia lebih memerhatikan kecenderungan migrasi pekerja internasional dengan remitansinya. Kenyataannya pekerja migran membantu negara miskin mengatasi kemiskinan karena remitansi yang dikirim umumnya untuk iv
Pengantar
kesehatan, pendidikan, pangan, perumahan, dan modal kerja mikro sehingga membuka peluang kerja di negaranya. Untuk Indonesia lebih dari 80 persen TKI adalah wanita (TKW). Bank Dunia memperkirakan, remitansi pekerja migran yang dikirim ke negara asal pekerja tahun 2004 sebesar 175 miliar dollar AS dan diperkirakan menjadi 250 miliar dollar AS bila remitansi tak tercatat diperhitungkan. Bank Dunia memperkirakan tahun 2025 jumlah remitansi mencapai 772 miliar dollar AS. Potensi remitansi pekerja migran Indonesia diharapkan mendapat perhatian Tim Ekonomi Presiden SBY karena memiliki potensi ekonomi bila dikelola secara benar. Namun, hak-hak lainnya dari pekerja migran harus pula memperoleh perhatian, seperti HAM, hak perempuan karena kebanyakan TKI Indonesia adalah TKW, hak pelindungan terhadap ketidak adilan si majikan di negara tempat mereka bekerja, dll. Dalam upaya meningkatkan kualitas tenagakerja Indonesia dan siap berkompetisi di pasar kerja internasional, maka pemberdayaan lembaga pendidikan dan pelatihan ketenagakerjaan sangat perlu dilakukan. Namun untuk maksud ini diperlukan dukungan pendanaan secara bertahap yang diperkirakan mencapai proporsi 20 persen dari APBN. Tujuannya agar lembaga itu mampu mengacu pada Standar Kompetensi Nasional (SKN). Pemberdayaan lembaga pendidikan dan pelatihan di antaranya meliputi penyesuaian dan pengembangan perangkat lunak, sumber daya manusia (SDM) serta manajemennya. Sangat mendesak dilakukan usaha peningkat an kualitas tenagakerja yang produktif melalui jalur pendidikan, pelatihan, maupun pengembangan karier di tempat kerja. Ketiga jalur tersebut harus dikembangkan secara terpadu dalam satu kesatuan sistem pengembangan SDM Indonesia. Upaya lain mengarahkan kebijakan pendidikan pada pembentukan fondasi serta kemampuan dasar SDM yang berkualitas, terutama pendidikan bersifat umum dan akademis. Pendidikan kejuruan dan profesi harus difokuskan pada pembentukan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha. Pelatihan kerja juga harus dikembangkan dengan berbasis kompetensi yang dimantapkan melalui pengembangan karier di tempat kerja, sehingga tercipta kualitas tenagakerja yang profesional serta produktif. Langkah ini mudah diterapkan jika dijalankan sesuai perkembangan demografis, daya tampung pendidikan, dan perkiraan perkembangan ekonomi di berbagai sektor. Dengan kebijakan ini, angka pengangguran dapat dikurangi, dalam jumlah maupun predikat pengangguran. Sebab, dengan perkiraan jumlah angkatan kerja Indonesia bertambah dari 103,4 juta di tahun 2003 menjadi 116,5 juta di tahun 2009, maka jumlah angkatan kerja yang bekerja bertambah dari 90,1 juta orang tahun 2003 menjadi 96,3 juta tahun 2005 dan menjadi 109 juta orang tahun 2009. Dengan jumlah ini diharapkan angka pengangguran turun dari 11,4 juta orang di tahun 2003 menjadi 7,5 juta orang di tahun 2009. Sementara, tingkat pengangguran bisa turun dari 11 persen tahun 2003 menjadi 5,5 persen tahun 2009. Penurunan jumlah dan tingkat pengangguran secara signifikan akan terjadi di perkotaan bagi pengangguran muda usia, berpendidikan menengah ke atas, dan juga bagi kelompok perempuan. Selain penurunan pengangguran, juga akan terjadi penurunan jumlah setengah pengangguran yang signifikan, terutama di sektor pertanian di pedesaan serta pada kelompok umur muda dan berpendidikan rendah. Khusus di sektor non pertanian, penurunan setengah pengangguran akan terjadi pada sektor perdagangan, jasa, dan industri. Penurunan angka pengangguran akan dapat dicapai jika asumsi dasar bisa dilaksanakan. Seperti pertumbuhan tenagakerja rata-rata per tahun bisa ditekan 2 persen pada periode 20002005 menjadi 1,7 persen pada tahun 2005-2009. Selain itu, pertumbuhan angkatan kerja bisa ditekan dari 2,4 persen pada periode tahun 2000-2005 menjadi 1,9 persen pada periode tahun 2005-2009. Upaya lain termasuk transformasi sektor informal ke formal dapat dipercepat, baik di perkotaan maupun pedesaan, khususnya di sektor pertanian, perdagangan, jasa, dan industri. Jika semua ini hanya di atas kertas, maka kondisi menakutkan itu bakal jadi nyata. Dalam kaitan dengan tema Ekonomi Ketenagakerjaan, SOCA edisi
SOCA ❖ Volume 5 Nomor 3 Tahun 2005
Februari 2006 menurun beberapa tulisan, antara lain: “Keragaan Pasar Kerja Pertanian-Non Pertanian dan Migrasi Desa-Kota: Telaah Periode Krisis Ekonomi”, “Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja serta Kaulitas Sumberdaya Manusia di Indonesia”, “Restrukturisasi Ketenagakerjaan dalam Proses Modernisasi Berdampak Perubahan Sosial pada Masyarakat Petani”, “ ............”, “Integrasi Gender dalam Penguatan Ekonomi Masyarakat Pesisir”. Dalam proses pembangunan ekonomi yang berhasil, tidak hanya terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perubahan kelembagaan sosial, ekonomi dan politik, tetapi juga perubahan kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap perekonomian atau PDB. Perubahan hal yang terakhir ini sering diistilahkan dengan transformasi struktural sektor-sektor perekonomian, yang dapat diukur dengan suatu alat disebut metode analisis “Shift Share”. Dalam kaitan ini diturunkan tulisan yang berjudul “Aplikasi Analisis Shift Share Esteban-Marquillas pada Sektor Pertanian di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah”. Komoditi gula kerap menjadi isu nasional terutama berkaitan dengan tataniaga, karena Indonesia masih defisit gula sehingga harus mengimpor dari luar negeri, terutama Thailand atau Amerika latin. Kisruh tataniaga gula di tahun 2005 telah menyeret Mantan Ketua Inkud ke meja hijau dan membawa-bawa nama Menteri perdagangan di era Pemerintahan Presiden Megawati Sukarno Putri. Usaha ekstensifikasi industri gula di pulau Jawa sudah tidak mungkin dapat dilakukan lagi karena keterbatasan lahan. Di samping itu, mesin-mesin industri gula di Jawa sudah tua-tua yang merupakan peninggalan penjajah Belanda, sehingga cenderung tidak efisien. Sedangkan diluar Jawa masih tersedia lahan potensial dan prospektif untuk pengembangan industri gula. Dalam kaitan ini diturunkan tulisan “Perspektif Pengembangan Industri Gula di Indonesia”, dan “Analisis Daya Saing Usahatani Tebu di Propinsi Jawa Timur”. Harga dasar dan harga atap yang diberlakukan pemerintah terhadap komoditi gabah, kadang tidak dinikmati oleh petani, tetapi dinikmati oleh penebas atau perusahaan-perusahaan penyosohan beras. Hal ini disebabkan petani tidak menjual berupa gabah hasil panen sendiri, tetapi menjual borongan semasih di sawah kepada para penebas. Jadi walau ada kebijakan peningkatan harga dasar gabah oleh pemerintah melalui Bulog, tetap saja petani yang menebaskan gabahnya tidak menikmati. Sedangkan ketika terjadi kenaikan harga pupuk, petani langsung terkena dampaknya berupa peningkatan biaya produksi. Inilah dilema yang selalu dihadapi oleh petani padi di Indonesia. Apalagi di penghujung 2005 pemerintah memutuskan mengimpor beras dengan dalih pengamanan stok dalam negeri, yang sebenarnya sarat unsur-unsur rent seeking, maka lagi-lagi nasib petani padi dipertaruhkan, dan kebijakan pemerintah ini benar-benar tidak berpihak kepada petani padi. Dalam kaitan ini diturunkan beberapa tulisan, yaitu “Dampak Kebijakan Harga Dasar pada Harga Produsen, Harga Konsumen dan Luas Tanam Padi: belajar dari Pengalaman Masa lalu”, dan “Perhitungan Subsidi Pupuk 2004 Berdasarkan Alternatif Perhitungan Subsidi atas Biaya Distribusi”. Lebih jauh judul naskah lain dan substansinya dapat pembaca ikuti pada bagian dalam Jurnal SOCA Vol. 6 No. 1 edisi Februari 2006 ini. Harapan redaksi, agar tulisan-tulisan yang diturunkan dalam jurnal SOCA edisi Februari 2006 ini dapat digunakan sebagai referensi oleh para mahasiswa, dosen, peneliti dan dasar pengambilan kebijakan oleh para eksekutif, legislatif dan pebisnis. Terakhir, selamat kepada para pengirim naskah memperoleh Kum lebih banyak, karena sejak 10 Juni 2003 jurnal SOCA yang kita banggakan ini telah lulus akreditasi oleh Tim Akreditasi Dikti, dan sesuai dengan aturan perhitungan angka kredit yang dikeluarkan oleh Dikti, Depdiknas dan LIPI, setiap tulisan yang dimuat dalam jurnal terakreditasi berhak memperoleh Kum sebanyak 25. Bagi dosen dan peneliti dengan tulisan mandiri absah digunakan untuk promosi ke Guru Besar atau ke Ahli Peneliti Utama (APU) atau Profesor Peneliti. Terima kasih. REDAKSI vi
ISSN : 1411-7177
JURNAL SOSIAL-EKONOMI PERTANIAN DAN AGRIBISNIS
SOCA
DAFTAR ISI
JOURNAL ON SOCIO-ECONOMIC OF AGRICULTURAL AND AGRIBUSINESS
KETUA DEWAN PENYUNTING Dr. Made Antara, Ir., MS. DEWAN PENYUNTING: PENYUNTING PELAKSANA Prof. Dr. Ir. I Gde Suyatna Prof. Dr.Ir. I Wayan Arga Prof. Dr. Ir. Nyoman Sutjipta, MS. Prof. Dr. Nyoman Sutawan, MSc. Prof. Dr. I Gde Pitana, MSc. Prof. Dr. Ir. Made Narka Tenaya, MS. Ir. I G.A.A. Ambarawati, M.Ec., PhD Ir. Wayan Ginarsa, SU. PENYUNTING TAMU Prof. Dr. Gunawan Sumodiningrat, MSc. (Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta)
Prof. Dr. Ir. Kuntjoro (Jur. Sosek. Faperta. Institut Pertanian Bogor) Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. (Jur. Sosek. Faperta. Institut Pertanian Bogor) Dr. Ir. Made Oka Adnyana, MSc. (Pusat Analisis Sosek dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian Bogor. Dr. Ir. Wayan Rusastra, MSc. (Pusat Analisis Sosek dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian Bogor) Prof. Dr. John Janes (Muresk Institute of Agriculture, Curtin University, Australia) INSTITUSI/KELEMBAGAAN PENERBIT Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana Jalan PB. Sudirman Denpasar, Bali-Indonesia; Telp.: (0361) 223544; E-mail: [email protected] KESEKRETARIATAN Sekretaris : Ir. Dewa Putu Oka Suardi, MSi. Sirkulasi/Distribusi: Nyoman Kerti Bendahara : Ir. Ni Wayan Sri Astiti, MP. Jurnal SOCA diterbitkan sebagai media komunikasi, informasi, edukasi, dan pembahasan masalah-masalah pembangunan pertanian dan masyarakat, agribisnis/keuangan/manajemen/ekonomi dan politik pertanian, perubahan sosial, penyuluhan pembangunan, masalah kependudukan dan ketenagakerjaan, peranan wanita dan keluarga berencana, pangan dan gizi, ekonomi rumahtangga, ekonomi wilayah, ekonomi sumberdaya dan lingkungan hidup. Tujuan akhir penerbitan jurnal ini adalah meningkatkan kecerdasan dan kekritisan penulis, mahasiswa, dan pembaca pada umumnya, serta landasan pengambilan keputusan bagi para eksekutif, legislatif dan pebisnis.
ISSN : 1411-7177 Akreditasi: Kep.Dikti-Depdiknas-RI Nomor: 34/Dikti/Kep/2003 Pencetak Prasasti O. Denpasar
KERAGAAN PASAR KERJA PERTANIAN-NONPERTANIAN DAN MIGRASI DESA-KOTA: TELAAH PERIODE KRISIS EKONOMI Dessy Adriani..................................................................................
1-4
PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA Ketut Kariyasa . .............................................................................. 5-12 RESTRUKTURISASI KETENAGAKERJAAN DALAM PROSES MODERNISASI BERDAMPAK PERUBAHAN SOSIAL PADA MASYARAKAT PETANI Roosgandha Elizabeth.................................................................... 13-20 PROFIL RUMAHTANGGA MIGRAN PEREMPUAN DAN ANAK DI KABUPATEN BULELENG (Kasus di Kecamatan Tejakula) Ni Wayan Sri Astiti.......................................................................... 21-28 INTEGRASI GENDER DALAM PENGUATAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR Rita Nur Suhaeti dan Edi Basuno.................................................... 29-37 APLIKASI ANALISIS SHIFT SHARE ESTEBAN-MARQUILLAS PADA SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BOYOLALI Ropingi .......................................................................................... 38-44 PERSPEKTIF PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA DI INDONESIA Kurnia Suci Indraningsih dan A. Husni Malian................................ 45-53 DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PADA HARGA PRODUSEN, HARGA KONSUMEN DAN LUAS TANAM PADI: BELAJAR DARI PENGALAMAN MASA LALU Prajogo U. Hadi............................................................................... 54-60 PERHITUNGAN SUBSIDI PUPUK 2004 BERDASARKAN ALTERNATIF PERHITUNGAN SUBSIDI ATAS BIAYA DISTRIBUSI Mohamad Maulana........................................................................ 61-69 ANALISIS KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PASCA KRISIS EKONOMI DI PROVINSI JAWA BARAT Mewa Ariani Dan Tri Bastuti Purwantini........................................ 70-75 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEUNTUNGAN USAHATANI KAKAO DI SULAWESI TENGGARA Dewi Sahara, Dahya dan Amiruddin Syam...................................... 76-79 PERAN NILAI TUKAR PETANI DAN NILAI TUKAR KOMODITAS DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI KEDELAI (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Roosgandha Elizabeth dan Valeriana Darwis.................................. 80-86 PENERAPAN TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT)PADA PERKEBUNAN RAKYAT JAMBU METE (Studi Kasus Petani Jambu Mete di Provinsi Nusa Tenggara Barat) Ade Supriatna................................................................................. 87-93 ANALISIS DAYA SAING USAHATANI TEBU DI Provinsi JAWA TIMUR Mewa Ariani, Andi Askin dan Juni Hestina...................................... 94-101 AN EQUILIBRIUM DISPLACEMENT MODEL OF THE BALI BEEF INDUSTRY I Gusti Agung Ayu Ambarawati, Xueyan Zhao, Garry Griffith, and Roley Piggott.......................................................................... 102-107
vii