Seminar Nasional PENINGKATAN DAYA SAING AGRIBISNIS BERORIENTASI KESEJAHTERAAN PETANI Bogor, 14 Oktober 2009
Keragaan Ketenagakerjaan dan Distribusi Penguasaan Lahan di Daerah Agroekosistem Sawah Irigasi oleh
Sugiarto
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2009
KERAGAAN KETENAGAKERJAAN DAN DISTRIBUSI PENGUASAAN LAHAN (Kasus di Pedesaan Patanas) Sugiarto Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl.A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT Agriculture development which has agribusiness concept never get realesed from the dynamic of social development in village wich is never get realed from human resource availabilty especially labor and natural resources especially land resources. So that, both of indicators have strong connection to take out poverty and increase community prosperous. The goal of this research is to give information about labor performance and agriculture land authority to agribusiness system in village. This research showed that in a whole work participation level in Java and outside Java are quite high with unemployment level relatively high. In the other hand, worg age group in village had increased to a higher level from up elementary school. Almost all of community in Java and outside Java still depend on agriculture sector. Beside that, land authority showed that agriculture land authority in Java and outside Java still less than 0.5 ha including 75%. Whereas, imbalance o farm land distribution hasn’t happened, except for dry land authority whisc has became imbalance (GI > 0,5). It happened because at first, land has social and spiritual value, then changed to economic value, and often become imbalance in belonging and authority (GI > 0,5). Finally, land ditribution will not spread even become pyramidal. Key words : labor, land authority distribution.agribusiness system ABSTRAK Pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis tidak terlepas oleh dinamika perkembangan sosial ekonomi di pedesaan yang tidak terlepas oleh ketersediaan sumberdaya manusia terutama ketenagakerjaan dan sumberdaya alam terutama sumberdaya lahan. Oleh karena itu, kedua indikator mempunyai keterkaitan yang kuat didalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi keragaan ketenagakerjaan dan penguasaan lahan pertanian didalam menunjang sistem agribisnis di pedesaan. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat pertisipasi kerja secara keseluruhan di Jawa dan luar Jawa cukup tinggi dengan tingkat pengangguran relatif tinggi. Dilain pihak angkatan kerja di pertanian telah meningkat kearah pendidikan yang lebih tinggi dari tamat SD keatas, serta sebagian besar di Jawa dan luar Jawa sumber matapencaharian yang dominan masih bergantung pada sektor pertanian. Sementara itu didalam penguasaan lahan menunjukan bahwa penguasaan lahan pertanian di Jawa dan luar Jawa dibawah 0,5 hektar yang meliputi 75 persen petani. Sedangkan ketimpangan distribusi lahan sawah belum terjadi ketimpangan, kecuali penguasaan pada lahan kering telah mengarah ketimpangan ( GI > 0,5).Hal ini disebabkan karena lahan pada awalnya mempunyai nilai sosial dan spiritual, beralih kenilai ekonomi dan sering terjadi ketidak seimbangan didalam pemilikan dan penguasaan (Gini indeks > 0,5) yang akhirnya akan terjadi distribusi lahan kurang merata, bahkan terjadi piramidal yang mengkerucut. Kata kunci: Ketenagakerjaa, distribusi penguasaan lahan dan sistem agribisnis
1
PENDAHULUAN Dalam upaya pembangunan pertanian berwawasan agribisnis secara strategis peranannya tidak terlepas oleh dinamika ekonomi pedesaan yang merupakan bagian integral dari sistem perekonomian tidak lepas dari sistem perekonomian nasional secara keseluruhan. Berbagai perubahan yang terjadi mewarnai perkembangan sosial ekonomi pedesaan dan perkotaan sebagai akses strategi pembangunan selama ini yang cenderung bersifat bias perkotaan, menyebabkan potensi perekonomian tidak dapat didayagunakan secara maksimal. Pembangunan pertanian yang dikembangkan tidak terlepas oleh ketersediaan sumber daya alam pertanian, disamping dibutuhkan sumberdaya modal dan sumberdaya manusia, serta dukungan kebijakan mulai dari perencanaan hingga implementasinya. Ketersediaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dikelola secara tepat akan merupakan strategi yang sangat kuat didalam pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis. Oleh karena itu kedua indikator ketersediaan sumberdaya alam terutama lahan dan sumberdaya manusia yang berkaitan dengan ketenagakerjaan ikut berperan dalam pembangunan pertanian. Hal ini cukup beralasan, karena sebagian besar penduduk yang bekerja disektor pertanian tinggal di pedesaan dan bergantung pada ketersediaan lahan sebagai sumber matapencaharian. Dalam aspek ketenagakerjaan dalam pembangunan pertanian selalu muncul rendahnya tingkat produktivitas dan kurang berkembangnya kesempatan kerja yang selanjutnya terjadi arus urbanisasi tenaga kerja muda terdidik ke perkotaan (Speare and Harris, 1986 dan Manning, 1992). Salah satu penyebab lambannya peningkatan produktivitas tenaga kerja adalah lambanya peningkatan upah riil buruh pertanian (Manning dan Suriya, 1996) atau mengalami stagnasi, sementara upah riil buruh disektor non pertanian terus mangalami peningkatan (Erwidodo et al., 1993). Sementara itu, keterlibatan tenaga kerja di sektor pertanian dengan produktivitas rendah diiringi dengan keterlibatan tenaga kerja muda dengan pendidikan tinggi untuk masuk pada pasar tenaga kerja di sektor pertanian, karena: a) terbatasnya kesempatan kerja pertanian bagi yang berpendidikan tinggi, b) sektor pertanian umumnya tidak mendatangkan pendapatan dalam waktu singkat, c) usaha pertanian mengandung banyak resiko, d) pendapatan disektor pertanian lebih rendah dari yang diharapkan dan e) kurang status sosial dan kenyamanan kerja, karena kesan usaha pertanian yang kumuh (Dewa, K.S. 2000). Secara umum, pembangunan pertanian telah berhasil meningkatkan produksi secara fisik, namun produktivitas tenaga kerja terutama di subsektor pertanian tanaman pangan dalam dua dekade terakhir tidak mengalami peningkatan yang berarti (Eng, 1993). Menurut Adyana et al., 2000; Hadi et al., 2003; Nurmanaf et al., 2004; dan Rusastra et al.,2005, melaporkan bahwa di beberapa lokasi penelitian Patanas (Panel Petani Nasional) dengan basis tanaman pangan, pada lahan sawah (basah) dan lahan kering menujukan 2
bahwa jenis pekerjaan sebagai petani dan buruh tani tidak lagi dominan seperti ditahun 1988. Sementara itu, jenis pekerjaaan di sektor luar pertanian telah menggeser peran sektor pertanian dengan ragam jenis pekerjaan dan kesempatan kerja. Struktur ketenagakerjaan diluar sektor pertanian yang memegang peranan dominan adalah sektor jasa yang dicirikan oleh besarnya kontribusi usaha informal sebagai salah satu pilihan untuk bertahan hidup (Simatupang dan Mardianto, 1996). Indikator kedua dalam pembangunan pertanian di pedesaan yang bergantung pada sumberdaya lahan sangat penting bagi petani maupun bagi pembangunan pertanian dan ekonomi nasional secara keseluruhan. Kepemilikan lahan yang sempit menjadi salah satu penyebab tidak efesiensinya usahatani. Kondisi pemilikan yang demikian sangat rentan terhadap alih fungsi lahan. Konversi lahan pertanian ke non pertanian menyebabakan makin berkurangnya lahan pertanian dan keadaan ini menyebabkan makin berkurangnya lahan pertanian dan menyebabkan ketimpangan dalam distribusi lahan. Oleh karena itu, dalam pembangunan pertanian peran lahan sangat penting, bukan hanya sebagai faktor produksi dan ekonomi, tetapi sebagai fungsi sosial budaya dan religious. Didalam kebijakan yang mementingkan pembangunan ekonomi, maka fungsi lahan telah berubah sebagai komoditas. Kurang terkontrolnya alih fungsi lahan pertanian di luar pertanian menyebabkan lahan pertanian yang subur dan produktif semakin terbatas. Beberapa bentuk peraturan perundang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan dan penguasaan lahan telah diatur dalam bentuk Undang-Undang Pokok Agraria yang bermakna untuk meningkatkan produktivitas tanah dan pemerataan pendapatan (Ali.S. Husein. 1995; A.P. Parlindungan, 1991). Akan tetapi dalam pelaksanaan timbul berbagai permasalahan karena konflik kepentingan, dan kurang konsistenya kebijakasanaan penggunaan lahan untuk usaha pertanian dan non pertanian. Disamping itu dengan adanya peranan kelembagaan penguasaan lahan yang secara dinamis mampu mempengaruhi pengusaan lahan pada kondisi ketimpangan distribusi lahan yang semakin sempit, mengakibatkan penggunaan komponen paket teknologi baru kurang efesien dan akan semakin efesien pada penguasaan yang semakin luas. Hal yang sama dikemukakan oleh Lutfi Nasution, 1991, bahwa dengan peranan kelembagaan lahan dan perkembangannya telah terjadi konsentrasi atau polarisasi oleh sekelompok kecil orang, dan muncul rumahtangga yang tidak berlahan atau petani yang berlahan sempit yang menguasai lahan kurang 0,10 hektar dan meningkatnya jumlah petani yang memilik tanah diatas 2 hektar. Hal yang sama menurut Endang Suhendar (1995); yang didukung oleh hasil Sensus Pertanian (1993), menunjukan bahwa ada kecenderungan yang semakin meningkat dari petani berlahan sempit dibawah 0,5 hektar dalam piramida struktur pemilikan dan penguasaan lahan di pedesaan. Kondisi ini di perkuat dari kajian Adnyana; et al (2000), bahwa sekitar 88,0 persen rumahtangga petani di Jawa mengusai lahan sawah kurang dari 0,50 hektar. 3
Dalam tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran kinerja ketenagakerjaan dan distribusi lahan didalam menunjangn sistem agribisnis damasukan dan memberikan masukan bagi penentu kebijakan pembangunan pertanian dari aspek ketenagakerjaan struktur penguasaan dan peranan kelembagaan lahan pertanian di pedesaan. METODOLOGI Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian Patanas TA 2007. Penentuan lokasi didekati melalui sampling tipologi lahan dengan menggunakan dua variabel yaitu: tipe lahan pertanian dan jenis komoditas yang diusahakan petani.Data luas lahan dan jenis komoditas berdasarkan tingkat produksi di desa, diperoleh dari data BPS tahun 2004. Penetuan basis lahan pertanian dan basis komoditas disetiap desa dilakukan dengan menggunakan LQ (Location Quotient) yang memiliki persamaan sebagai berikut: LQxk = P xk/Pxp Dimana, LQxk = Pxk = Pxp =
Koefesien LQ jenis lahan x di desa k pangsa luas jenis lahan x di desa k Pangsa jenis lahan x di propinsi x
Desa yang memiliki koefesien LQ > 1 untuk jenis lahan x menunjukan bahwa pada tingkat propinsi yang bersangkutan (proponsi p) struktur sumberdaya lahan pertanian di desa tersebut relatif terkonsentrasi jenis lahan x. Mengingat tipologi desa yang dihasilkan mampu menggambarkan keragaman ditingkat nasional, maka perhitungan koefesien LQ sumberdaya lahan juga dilakukan untuk tingkat nasional. Dengan pendekatan tersebut, maka basis sumberdaya lahan di setiap desa dapat diidentifikasi, baik tataran provinsi yang bersangkutan maupun tataran nasional. Hal yang sama digunakan dalam mengidentifikasi basis komoditas pertanian, sebagai berikut : LQik = P ik/Pip Dimana, LQik = Koefesien LQ jenis lahan i di desa k = pangsa luas jenis lahan i di desa k Pik Pip = Pangsa jenis lahan i di propinsi x Setelah LQ tipe desa dan LQ basis komoditas, maka dipilih lokasi desa berdasarkan kedua kombinasi LQ tersebut, dan desa dengan nilai LQ yang tertinggi akan dipilih menjadi lokasi penelitian. Selanjutnya untuk memilih lokasi dalam desa yang akan ditetapkan sebagai wilayah sensus, maka dilakukan dengan memilih blok sensus hamparan lahan sawah irigasi yang ditetapkan BPS (Biro Pusat Statistik) sebagai lokasi blok sensus yang representatif dapat mewakili desa tersebut. Untuk responden yang dipilih adalah petani penggarap lahan yang ada pada blok hamparan tersebut. Jumlah responden yang terpilih antara 100 hingga 200 rumahtangga. Jumlah desa dan jumlah rumahtangga sensus dapat dapat disimak pada Tabel 1. 4
Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yaitu pengumpulan data yang dilakukan wawancara langsung dengan responden dalam bentuk kuesioner terstruktur dan wawancara dengan kelompok. Sementara itu, data sekunder diperoleh dari hasil kompilasi di perpustakaan atau informasi instansi terkait. Analisis data, menggunakan analisis statistik deskriptif dengan tabulasi silang dan time series. . Sedangkan untuk melihat distribusi pemilikan/penguasaan lahan diugunakan indeks Gini (Gini Coeficient) dengan formula sebagai berikut (Szal dan Robinson, 1992) : n G = 1 + 1/n – 2/(n 2 / Yr) (∑ Yr) dimana :
i=1 n = Jumlah rumahtangga contoh Yi = Luas lahan yang dimiliki/dikuasai oleh rumahtangga ke-i Yr = rata-rata luas lahan yang dikuasai/dimiliki
Kreteria Nilai indeks Gini (GI) bervariasi antara 0 – 1. Untuk mengukur tingkat ketimpangan menurut Oshima (1976) adalah apabila nilai GI < 0,4 termasuk ketimpangan rendah, 0,4 < GI < 0,5 ketimpangan sedang dan GI > 0,5 ketimpangan berat. Tabel 1. Sebaran Desa Contoh Patanas dan Jumlah Rumahtangga Sensus di Pedesaan Berbasis Agroekosisten Sawah Irigasi, 2007 Provinsi 1. Jawa
Total 2. Luar Jawa
Kabupaten 1. Indramayu 2. Subang 3. Pati 4. Klaten 5. Sragen 6. Cilacap 7. Lamongan 8. Jember 9. Banyuwangi
Desa Tugu Simpar Tambah Rejo Demangan Mojorejo Sindang Sari Sunge Geneng Pedomasan Kaligondo
1.Serdang Badagai 2. Asahan 3. Sidrap 4. Luwu
Lidah Tanah Kuala Gunung Carawali Salujambu
Total Total (1 + 2) Sumber: data primer 2007.
Jumlah RT 164 149 191 172 168 194 102 120 133 1393 192 147 143 111 593 1986
HASIL DAN PEMBAHASAN Partisipasi Tenaga Kerja dan Pengangguran Pada Tabel 2, menunjukan bahwa jumlah penduduk Jawa dan luar Jawa yang masuk dalam angkatan kerja dengan tingkat partisipasi angkatan kerja ada 77.3 persen 5
jauh lebih kecil dari jumlah penduduk bukan angkatan kerja, partisipasi kerja 80,2 persen dan peluang kesempatan kerja 62 persen serta tingkat pengangguran 21,6 persen. Hal ini berarti bahwa sebagian besar angkatan kerja yang bekerja mampu menyumbangkan potensi ketersediaan tenaga kerja kepada rumahtangga dengan berbagai sumber matapencaharian disektor pertanian dan non pertanian. Walaupun potensi tertsebut harus menanggung beban anggota rumahtangga yang tidak bekerja (menganggur) baik itu yang termasuk angkatan kerja yang tidak bekerja karena belum dapat pekerjaan, sedang mencari pekerjaan, sedang sekolah, mengurus rumahtangga, tenaga kerja tidak produktif (usia lanjut, jompo) dan bukan angkatan kerja anggota rumahtangga yang berumur dibawah 15 tahun. Dilain pihak tingkat partisipasi di perdesaan Jawa lebih tinggi dibanding dengan luar Jawa, dan tingkat pengangguran di Jawa (21%) lebih rendah dari luar Jawa (34%). Kondisi ini menunjukan bahwa peluang kesempatan kerja, mobilitas kerja dan peranan sarana dan prasarana di pedesaan Jawa lebih mendukung angkatan kerja yang bekerja keberbagai sumber matapencaharian di pertanian maupun non pertanian. Sementara itu beberapa desa di Jawa dengan tingkat partsipasi kerja, angkatan kerja, dan kesempatan kerja yang tinggi dan tingkat pengangguran yang rendah berturut adalah desa Demangan, Tambah Mulyo dan desa Sunge Geneng, sedangkan di luar Jawa adalah desa Carawali dan desa Kuala Gunung Tabel 2. Jumlah Anggota Rumahtangga, Angkatan Kerja dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja di Perdesaan Patanas, Tahun 2007
Propinsi/Desa
A. Jawa 1. Tugu 2. Simpar 3. Tambah Mulyo 4. Demangan 5. Mojorejo 6. Padang Sari 7. Sunge Geneng 8. Pedomasan 9. Kali Gondo Total B. Luar Jawa 1. Lidah Tanah 2. Kuala Gunung 3. Carawali 4. Salujambu Total
Jum Pend
Jumlah Angkatan kerja Tdk kerja Bekerja Jum
Bukan AK
Part Kerja
Partisipasi Kesemp Kerja
Angka Kerja
PenggGuran
470 463 735 557 694 830 356 473 467 5045
301 261 546 450 473 490 255 291 274 3341
49 113 52 31 112 193 30 77 103 760
350 374 598 481 585 683 285 368 377 4101
120 89 137 76 109 147 71 105 90 944
86 69.8 91.3 93.6 80.8 71.7 89.5 79.1 72.7 80.2
64 56.4 74.3 80.8 68.2 59 71.6 61.5 58.7 62
74.5 80.8 81.4 86.4 84.3 82.3 80.1 77.8 80.7 81.3
10.4 24.4 7.1 5.6 16.1 23.3 8.4 16.3 22.1 15.1
794 628 595 626 2643
388 361 371 304 1424
194 84 60 80 902
582 445 431 384 1842
212 183 164 242 801
66.1 81.1 86.1 79.2 77.3
48.9 57.5 62.4 48.6 53.9
73.3 70.9 72.4 61.3 69.7
24.4 13.4 10.1 12.8 34.1
7688 Total A + B Sumber : Data Primer 2007.
4765
1662
5943
1745
80.2
62.0
77.3
21.6
6
b. Tingkat Pendidikan Angkatan Kerja Pada Tabel 3, menunjukan bahwa keadaan angkatan kerja di pedesaan menurut tingkat pendidikan yang diperoleh menyebar tidak merata keseluruh tingkat pendidikan hingga ke perguruan tinggi tamat. Jumlah persentase angkatan kerja yang berpendidikan pada kelompok dibawah SD tamat jauh lebih besar (57%) dibanding dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi (43%). Di pedesaan Jawa, jumlah angkatan kerja yang berpendidikan tamat SMU berturutturut adalah desa Mojorejo, Demangan dan desa Kaligondo dengan jumlah diatas 29 persen, sedangkan di luar Jawa desa Salujambu. Sementara itu, jumlah persentase angkatan kerja yang tidak sekolah di Jawa lebih besar (14,5%) dibanding luar Jawa (7,7%). Beberapa desa di Jawa dengan jumlah persentase angkatan kerja yang tidak sekolah adalah desa Tugu (37%), Demangan (25%), Mojorejo (18%) dan desa Simpar (11%), sedangkan dipedesaan luar Jawa kurang dari 10 persen. Besarnya angka angkatan kerja yang tidak sekolah, merupakan tuntutan bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui berbagai jenis pendidikan dan pelatihan adalah merupakan suatu keharusan. Kebijakan pemerintah melalui Dinas Tenaga Kerja dan kerja sama dengan dinas terkait, telah mengupayakan pelatihan dan kursus bagi angkatan kerja untuk mampu mengembangkan ketrampilan menjadi pengusaha yang mandiri. Namun pada saat selesai pelatihan, peserta belum mampu membuka usaha sendiri karena keterbatasan modal. Tabel 3. Jumlah Persentase Angkatan Kerja menurut Tingkat Pendidikan di Pedesaan Patanas, Tahun 2007 Lokasi Provinsi/ Desa
Tingkat Pendidikan Tdk Sek
Tdk Tmt SD
Tmt SD
Tdk Tmt SMP
Tmt SMP
Tdk Tnt SMU
Tmt SMU
Tdk Tmt Dpl
Tmt Dpl
Tdk Tmt PT
Tmt PT
Total
1. Tugu 2. Simpar 3. T. Mulyo 4. Demangan 5. Mojorejo 6. Padang Sari 7. S Geneng 8. Pedomasan 9. Kali Gondo
37.1 11.5 8.4 25.2 18.5 9.2 7 9 7.2
12.3 13.9 8.9 5 9.7 6.4 4.9 22.6 10.8
33.2 29.7 41.1 30.5 16.4 43.3 52.3 38.3 33.2
1.4 1.8 0.7 0.4 2.1 2.3 0.4 2.4 2.7
9.1 15 31.9 13.5 18.1 25.4 12.3 14.7 18
1.2 2.4 1 0.2 3.8 1.9 0 1.6 1.8
5.1 15.8 7.2 20.6 25.5 10.4 20.6 8.4 21
0 0.8 0 0 0.3 0 0 0.8 1.1
0 3.5 0.2 2.1 2.2 0.1 1.1 1.4 1.3
0.6 1.3 0 0 0.7 0.7 0 0.5 0.8
0 4.3 0.5 2.5 2.7 0.3 1.4 0.3 2.1
350 374 598 481 585 683 285 368 377
Total
14.5
10
34.8
1.6
19.1
1.7
14.8
0.3
1.2
0.4
1.5
4101
B. Luar Jawa 1. Lidah Tanah 2. K.Gunung 3. Carawali 4. Salu Jambu
9.3 5.6 6.1 9.4
31.2 28.8 25.1 12
24 24 23.2 25.2
1.7 4.7 4.6 3.2
13.7 13.9 16.1 17.4
0.5 5.8 2.9 2.8
17 14.8 18.3 24.4
0 0 0 1.2
0.5 0.7 3 1.8
1.1 1.2 0.2 0.5
1 0.5 0.5 2.1
582 445 431 384
Total
7.7
25.8
24.1
3.3
14.9
2.6
18.4
0.3
1.4
0.5
1
1842
12.4 11.7 Total (A + B) Sumber : Data primer 2007
34.6
2.1
17.9
1.9
15.9
0.3
1.3
0.5
1.3
5943
7
Angkatan Kerja Menurut Sumber Matapencaharian Berdasarkan pengelompokan bidang pekerjaan sesuai dengan sektor pertanian dan non pertanian, memperlihatkan bahwa jumlah angkatan kerja di pedesaan yang bekerja disektor pertanian lebih tinggi (79%) dibandingkan sektor non pertanian (21%)(Tabel 4). Sementara itu, pekerjaan disektor pertanian terutama bidang pekerjaan yang paling dominan adalah bidang produksi pertanian (77%) dibanding lainnya. Hal ini menunjukan bahwa di desa berbasis agroekositem lahan sawah irigasi, jenis pekerjaan sebagai petani pemilik dan penggarap maupun sebagai buruh tani dilahan sawah irigasi lebih dominan dibanding kegiatan lain disektor pertanian. Sedangkan jumlah penduduk yang bekerja di luar pertanian hampir merata, kecuali yang bekerja sebagai pegawai/karyawan lebih tinggi dari jenis pekerjaan lainnya. Sedangkan pekerjaan diluar sektor pertanian yang dominan sangat bervariasi antar daerah baik di Jawa maupun di luar Jawa.Umumnya jenis pekerjaan yang paling banyak berturut-turut adalah sebagai pegawai.karyawan profesional kemudian pegawai non profesional, pedagang dan jasa lainnya. Secara umum bervariasinya sumber matapencaharian dari masing- masing desa dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain : 1) adanya kesempatan kereja di luar sektor pertanian yang semakin terbuka, 2) sarana transportasi yang semakin lancar dan komunikasi yang semakin luas membuka peluang untuk akses bekerja diluar sektor pertanian ataupun diluar batas administrasi wilayah hingga ke luar negeri, 3) tingkat pendidikan atau ketrampilan dari sebagian tenaga muda di perdesaan mendorong untuk bekerja di luar sektor pertanian dan 4) semakin terbatasnya kesempatan kerja dan pemilikan aset produktif yang semakin sempit akan membatasi pola usaha yang lebih produktif dibanding sektor non pertanian yang cenderung terbuka. Sementara itu belum berkembangnya sumber matapencaharian yang berkembang ke sektor non pertanian adalah karena ; 1) kesempatan kerja di luar sektor pertanian yang terbatas, karena keterkaitan industri yang menggunakan bahan baku lokal belum berkembang, 2) kesempatan kerja dan bekerja di pertanian belum mangarah pada agroindustri dan masih berorientasi peningkatan produk. 3) rendahnya sarana dan prasarana komunikasi sehingga pola migrasi dan mobilitas sangat rendah dan 4) keterbatasan informasi pasar tenaga kerja dan 5) jejaring informasi belum merata, baik itu hubungan antar kelompok ataupun antara lingkungan komunitas.
8
Tabel 4. Jumlah Persentase Angkatan Kerja Rumahtangga yang Bekerja menurut Bidang Pekerjaan di Perdesaan Patanas, Tahun 2007. Jawa
Jenis Pekerjaan
Tugu
Simpar
T. Mulyo
Demangan
M.Rejo
Luar Jawa P. Sari
S. Geneng
Pedomasan
K. Gondo
Total
L. Tanah
K. Gunung
Carawali
Salujambu
Total Total
J + LJ
A. Pertanian 1. Input Pertanian
0
0
0
0.2
0
0
0
0.4
0
0.1
0.3
0
0.4
0
0.2
2. Prod Pertanian
85.8
72.8
80.7
77.1
67.5
83.4
76
77.1
77
77.6
73.5
78.7
59.5
87.1
75.5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1.3
10.3
0
2.5
4.Pengolah Hasil
0
0
0.4
0.2
0
0.4
0
1.1
0.3
0.3
0
1
0
2
0.8
5. Pemasaran hsl
1.4
0
0.6
0
1.1
0.6
1.3
2.5
0.7
0.8
0.6
0
0.8
0
0.3
Total
87.2
72.8
81.6
77.5
68.5
84.5
77.3
81.1
78
78.8
74.5
81
71.1
89.1
79.2
1. Peg/Kar Prof
4.5
4.5
13.4
9.7
12.4
3.2
18.2
2.5
6.9
8.7
7.5
6.2
9.9
3.3
6.6
2. Peg/Kar N Prof
3.8
1.3
1.1
2.2
8
6.9
1.3
2.9
0.3
3.5
5.6
5.9
2.5
1
3.8 2.6
3. Pasca Panen
0.1 77.2 0.7 0.2 0.7 78.9
B. Non Pertanian
3. Prod Non Pert
0.7
5.4
0
9
1.5
1.3
0
1.5
3.1
2.5
2.8
1
6.2
1
4. Pedagangan
1.4
0.4
0.6
1.1
2.8
2.8
3.1
2.9
4.8
2.1
2.5
1.6
4.5
2.3
2.6
5. Jasa Angkutan
0.7
0
0.2
0
0.4
0
0
2.2
0.7
0.4
1.2
0.7
3.7
2.6
2
6. Jasa Lain
1.7
2.2
2.9
0.4
6.3
1.3
0
5.1
5.2
2.9
5.9
3.3
2.1
2
3
7. Lain-lain
0
13.8
0.2
0
0
0
0
1.8
1
1.2
0
0.3
0
3
0.2
Total
12.8
27.2
18.4
22.5
31.5
15.5
22.7
18.9
22
21.2
25.5
19
28.9
0.2
20.8
T otal (A+B)
287
220
534
435
456
458
203
294
280
3175
374
326
320
20.8
1124
Sumber; Data primer 2007.
9
8.1 3.6 2.5 2.3 0.8 2.9 1 21.1 4399
Penguasaan Lahan Penguasaan lahan di desa penelitian berbasis pada kondisi agroekosistem lahan sawah irigasi, adalah merupakan akumulasi penguasaan lahan sawah dan lahan kering. Di setiap desa contoh hampir seluruh kategori lahan tersebut diatas dapat dijumpai tetapi dengan dominasi luas lahan yang berbeda. (Tabel 5). Di pedesaan di Pulau Jawa sekitar 86 persen lahan yang dimiliki petani merupakan lahan sawah. Sedangkan di pedesaan di luar Jawa persentase lahan sawah tersebut lebih kecil yaitu sebesar 64 persen tetapi lahan kebun yang dimiliki petani umumnya cukup luas yaitu sebesar 21.4 persen dari total lahan pertanian yang mereka miliki. Adanya perbedaan pebguasaan lahan di luar Jawa, hal ini menunjukan bahwa petani di luar Jawa tidak menggantungkan kegiataannya pada usahatani komoditas tanaman padi, tetapi melakukan diversifikasi dengan ushatani komoditas tanaman perkebunan, seperti tanaman kopi dan coklat. Tabel 5. Rata-Rata Luas Pemilikan Lahan Petani Menurut Jenis Lahan, Tahun 2007 (ha) Propinsi/ Kabupaten Jabar 1. Indramayu 2. Subang Jateng 1. Cilacap 2. Klaten 3. Sragen 4. Pati Jatim 1. Jember 2. Banyuwangi 3. Lamongan Jawa Sulsel 1. Sidrap 2. Luwu Sumut 1. Asahan 2. Serdang Bedagai Luar Jawa
Desa
Pekarangan
Jenis lahan (ha/petani) Sawah Tegalan Kebun
Total
Tugu Simpar
0.021 0.038
0.341 1.166
0.002 0.002
0.005 0.034
0.368 1.239
Padangsari Demangan Mojorejo Tambahmulyo
0.068 0.053 0.088 0.085
0.223 0.320 0.465 0.314
0.004 0.001 0.001 0.008
0.010 0.000 0.002 0.007
0.304 0.374 0.555 0.414
Padomasan Kaligondo Sungegeneng
0.097 0.098 0.008 0.062 (11.7%)
0.317 0.427 0.484 0.451 (86.0%)
0.002 0.009 0.000 0.003 (0.6%)
0.012 0.010 0.000 0.009 (1.7%)
0.428 0.544 0.492 0.524 (100%)
0.059 0.093
0.262 0.448
0.001 0.000
0.013 0.241
0.335 0.782
0.093 0.060 0.076 (14.4%) 0.067 (13.0%)
0.290 0.350 0.338 (64.0%) 0.408 (79.0%)
0.000 0.004 0.001 (0.2%) 0.003 (0.5%)
0.168 0.030 0.113 (21.4%) 0.039 (7.5%)
0.551 0.444 0.528 (100%) 0.516 (100%)
Carawali Salu Jambu Kwala Gunung Lidah Tanah
Total
Sumber; Data Primer 2007
Kelembagaan Penguasaan Lahan
Penguasaan lahan sawah petani di pedesaan, pada umumnya dibagi dua yaitu; a) penguasaan lahan sawah yang berasal dari milik sendiri dan b) penguasaan lahan sawah yang berasal dari pihak luar. Pengusahaan lahan sawah dari pihak luar dapat diperoleh 10
melalui: (1) lahan sawah yang diperoleh dari menyewa, (2) lahan sawah yang diperoleh dari menyakap atau bagi hasil antara petani yang menggarap lahan dengan petani yang memilliki lahan, (3) lahan sawah yang diperoleh dari gadaian, (4) lahan sawah milik keluarga yang pemanfaatannya dilakukan secara bergilir diantara anggota keluarga yang memiliki hak waris, dan (5) lahan yang dimiliki desa seperti lahan titisara dan lahan bengkok. Selanjutnya sitem bagi hasil/sakap yang dimaksud adalah bentuk penyerahan hak atas tanah dari pemilik kepada penggarap yang sifatnya sementara untuk disesuaikan dengan perjanjian. Bentuk perjanjian bagi hasil adalah pembagian ongkos sarana saprodi dan tenaga kerja antara pemilik dan pengggarap, dan produksi yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan. Oleh karena itu si pemilik lahan ikut menaggung beban resiko kegagalan usahatani. Sistem Sewa yang dimaksukan adalah penguasaan lahan sementara kepada orang lain sesuai degan kesepakatan yang mereka lakukan, baik dari besarnya nilai sewa, jangka waktu sewa dan besarnya luas lahan yang disewakan. Penyerahan hak tanah dapat terjadi dalam jangka waktu satu tahun atau lebih dan musiman (per oyot). Menurut Van Thunen dalam Suparmoko (1989), bahwa besarnya nilai sewa tanah ditentukan oleh lokasi, yaitu adanya tambahan biaya transport dan daerah yang jauh dengan pusat perekonomian. Selain itu besarnya nilai sewa lahan ditentukan juga dengan tingkat kesuburan lahan dan tingkat kepadatan penduduk dari loaksi dimana lahan itu berada (David Ricardo dalam Reliegh Barlowe, 1972). Sistem gadai yang dimaksudkan adalah menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang tunai dengan ketentuan si penggadai lahan tetap berhak atas pengembalian lahan dengan jalan menebus kembali, dan hak garapan tanah masih dipegang oleh penerima gadai selama jangka waktu gadai belum habis (Imam Sudiyat dalam Gunawan Wiradi, 1983). a. Penguasaan Lahan Sawah Milik Sendiri Pada Tabel 6, Rata-rata luas total lahan pertanian yang dimiliki petani relatif sempit dan tidak berbeda signifikan antara petani di Jawa dan petani di luar Jawa yaitu sebesar 0.524 ha per petani dan 0.528 ha per petani. Namun luas pemilikan lahan sawah di Jawa (0.451 ha per petani) lebih tinggi dibanding di luar Jawa (0.338 ha per petani). Kondisi demikian antara lain dapat terjadi akibat kebijakan pembangunan masa lalu yang lebih mengutamakan pencetakan sawah di pedesaan di pulau Jawa daripada di Luar Jawa. Lebih lanjut pada Tabel 7, dapat dilihat bahwa lebih dari 95% lahan sawah yang dimiliki petani merupakan sawah beririgasi teknis/semiteknis, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa lahan sawah yang ada di lokasi penelitian pada umumnya tergolong berkualitas baik khususnya dari segi jaringan irigasi yang tersedia.
11
Tabel 6. Rata-Rata Luas Pemilikan Lahan Sawah Petani Menurut Jenis Lahan Sawah, 2007 (ha) Propinsi/ Kabupaten Jabar 1. Indramayu 2. Subang Jateng 1. Cilacap 2. Klaten 3. Sragen 4. Pati Jatim 1. Jember 2. Banyuwangi 3. Lamongan Jawa Sulsel 1. Sidrap 2. Luwu Sumut 1. Asahan 2. Serdang Bedagai Luar Jawa
Desa
Jenis lahan (ha/petani) Irigasi teknis/ Irigasi desa/ semi teknis sederhana
Total Sawah
Tadah hujan
Irigasi pompa
Tugu Simpar
0.341 1.166
0.319 1.033
0.000 0.001
0.022 0.116
0.000 0.017
Padang Sari Demangan Mojorejo Tambah Mulyo
0.223 0.320 0.465 0.314
0.220 0.306 0.456 0.308
0.002 0.000 0.006 0.001
0.000 0.013 0.000 0.005
0.000 0.000 0.002 0.000
Padomasan Kaligondo Sunge Geneng
0.317 0.427 0.484 0.451 (100%)
0.309 0.427 0.484 0.429 (95.2%)
0.004 0.000 0.000 0.002 (0.4%)
0.005 0.000 0.000 0.018 (4.0%)
0.000 0.000 0.000 0.002 (0.5%)
0.262 0.448
0.245 0.448
0.000 0.000
0.000 0.000
0.017 0.000
0.290 0.350 0.338 (100%) 0.408 (100%)
0.288 0.331 0.328 (97.1%) 0.389 (95.4%)
0.000 0.019 0.005 (1.4%) 0.003 (0.8%)
0.002 0.000 0.000 (0.1%) 0.013 (3.2%)
0.000 0.000 0.004 (1.3%) 0.003 (0.7%)
Carawali Salujambu Kwala Gunung Lidah Tanah
Total
Sumber; Data Primer 2007
b. Penguasaan Lahan Sawah dari Pihak Luar Dari kelima status penguasaan lahan sawah non milik tersebut diatas, kasus penyewaan lahan sawah di Jawa (14.2%) persen lebih rendah dari pada di luar Jawa ( 16.4%) (Tabel 7). Namun demikian penguasaan lahan sawah bukan milik di luar Jawa paling banyak terjadi melalui sistem sakap atau bagi hasil yang melibatkan sebesar 20.4 persen petani. Bagi petani berlahan sempit sistem sakap/bagi hasil tersebut dinilai lebih menguntungkan dibanding sistem sewa karena resiko usaha yang dapat disebabkan oleh kegagalan produksi tidak hanya ditanggung oleh petani penyakap tetapi ditanggung pula oleh petani pemilik lahan yang menyakapkan lahannya. Lebih lanjut pada Tabel 8, memperlihatkan bahwa sekitar 69 persen petani di Desa Carawali (Kabupaten Sidrap) menguasai lahan sawah bukan milik mereka sistem sakap atau bagi hasil. Sedangkan penguasaan lahan sawah bukan milik melalui sistem sewa yang tinggi di Desa Sunge geneng (Kabupaten Lamongan) dan Desa Kwala Gunung (Kabupaten Asahan) dimana sekitar 45 persen petani menyewa lahan sawah dari petani lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kelangkaan lahan sawah di ketiga desa tersebut relatif tinggi dibanding desa lainnya. 12
Tabel 7. Persentase Petani yang Menguasai Sawah Bukan Milik Menurut Status Penguasaan Lahan, 2007 (%) Propinsi/ Kabupaten
Desa
Jabar 1. Indramayu Tugu 2. Subang Simpar 3. Karawang Sindang Sari Jateng 1. Cilacap Padang Sari 2. Klaten Demangan 3. Sragen Mojorejo 4. Pati Tambah Mulyo Jatim 1. Jember Padomasan 2. Banyuwangi Kaligondo 3. Lamongan Sunge Geneng Jawa Sulsel 1. Sidrap Carawali 2. Luwu Salujambu Sumut 1. Asahan Kwala Gunung 2. Serdang Bedagai Lidah Tanah Luar Jawa Total Sumber; Data Primer 2007
Total petani
Status penguasaan sawah bukan milik Tanah Menyewa Menyakap Gadaian Lainnya keluarga
164 141 -
12.2 6.4 -
1.2 6.4 -
3.0 8.5 -
1.8 0.0 -
0.0 0.0 -
177 137 160 149
10.7 22.6 10.0 14.8
0.6 10.9 5.6 3.4
0.0 0.0 1.3 0.0
9.6 4.4 5.6 7.4
0.0 2.9 0.0 0.0
116 128 61 1233
1.7 3.9 45.9 14.2
1.7 1.6 0.0 3.5
0.0 0.0 0.0 1.4
0.9 5.5 1.6 4.1
0.0 0.0 0.0 0.3
139 112
0.7 1.8
69.1 10.7
1.4 3.6
6.5 4.5
0.7 0.0
146 191 588 1821
43.8 19.4 16.4 14.1
1.4 0.5 20.4 8.6
6.2 5.2 4.1 2.4
5.5 6.3 5.7 4.9
0.0 0.5 0.3 0.3
c. Total Penguasaan Lahan Sawah Salah satu dampak positip dengan adanya sistem transaksi lahan (sewa, sakap, dan seterusnya) adalah meningkatnya luas lahan sawah yang dikuasai oleh petani berlahan sempit. Akibat adanya transaksi lahan tersebut maka rata-rata luas sawah yang dikuasai petani di Jawa dapat mencapai 0.585 ha per petani yang terdiri atas 0.451 ha (77%) lahan sawah milik dan 0.134 ha (23%) lahan sawah bukan milik. Di Luar Jawa peranan transaksi lahan tersebut terhadap penguasaan sawah petani jauh lebih tinggi dimana sekitar 53 persen lahan sawah yang dikuasai petani bukan milik mereka tetapi diperoleh melalui penyewaan lahan, sakap, gadai, dan seterusnya. Akibat lainnya adalah luas penguasaan lahan sawah petani di Luar Jawa lebih tinggi dibanding petani di Jawa yaitu sebesar 0.638 ha per petani (Tabel 8).
13
Tabel 8. Rata-Rata Luas Penguasaan Lahan Sawah Petani Menurut Status Pemilikan Lahan, 2007. Propinsi/ Kabupaten
Desa
Jabar 1. Indramayu Tugu 2. Subang Simpar 3. Karawang Sindang Sari Jateng 1. Cilacap Padang Sari 2. Klaten Demangan 3. Sragen Mojorejo 4. Pati Tambah Mulyo Jatim 1. Jember Padomasan 2. Banyuwangi Kaligondo 3. Lamongan Sunge Geneng Jawa Sulsel 1. Sidrap Carawali 2. Luwu Salujambu Sumut 1. Asahan Kwala Gunung 2. Serdang Bedagai Lidah Tanah Luar Jawa Total Sumber; Data Primer 2007
Total penguasaan sawah (ha)
Luas (ha)
Persentase (%)
Luas (ha)
Persentase (%)
0.414 1.422 -
0.341 1.166 -
82.3 82.0 -
0.073 0.256 -
17.7 18.0 -
0.276 0.513 0.543 0.456
0.223 0.320 0.465 0.314
80.6 62.3 85.6 69.0
0.054 0.193 0.078 0.141
19.4 37.7 14.4 31.0
0.334 0.472 0.837 0.585
0.317 0.427 0.484 0.451
94.9 90.3 57.9 77.0
0.017 0.046 0.352 0.134
5.1 9.7 42.1 23.0
0.825 0.600
0.262 0.448
31.8 74.7
0.563 0.152
68.2 25.3
0.671 0.455 0.638 0.582
0.290 0.350 0.338 0.408
43.3 77.0 53.0 70.0
0.381 0.104 0.300 0.174
56.7 23.0 47.0 30.0
Sawah milik
Sawah bukan milik
Distribusi Pemilikan dan Penguasaan Lahan Pada Tabel 9, memperlihatkan bahwa dalam pengelompokan luas lahan terjadi penyebaran yang kurang merata, utamanya pada klas 0 hektar (tunakisma) hingga pada klas lahan 0,249 hektar dengan jumlah petani sebesar 55 persen (Jawa dan luar Jawa). Diantara petani yang memiliki lahan sawah luas pemilikan lahan yang dominan adalah sekitar 0.25-0.50 ha. Di Pulau Jawa terdapat sebesar 19.7 persen petani yang memiliki lahan sawah sekitar 0.25-0.50 ha sedangkan di luar Jawa terdapat sebesar 17.5 persen petani. Posisi kedua di tempati oleh pemilikan lahan sawah seluas 0.10-0.25 ha yang mencakup 17.5 persen petani di Jawa dan 15.0 persen petani di Luar Jawa. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar petani di Jawa dan luar Jawa memiliki lahan sawah kurang dari 0.50 ha, dan meliputi sekitar 75 persen petani.
Bagi petani yang tidak mempunyai lahan (tuna kisma), biasanya dalam struktur pengusahaan lahan dapat menjadi rumahtangga yang berlahan melalui garapan yang diperoleh dengan cara sewa, sakap (bagi hasil ) atau gadai atau dalam bentuk lainnya (Mubyarto. 1983; Gunawan Wiradi, 1983 ).
14
Tabel 9. Persentase Petani Pemilik Lahan Sawah Menurut Kelas Luas Lahan, 2007 (%) Propinsi/ Kabupaten
Jumlah petani
Desa
Jabar 1. Indramayu Tugu 2. Subang Simpar 3. Karawang Sindang Sari Jateng 1. Cilacap Padang Sari 2. Klaten Demangan 3. Sragen Mojorejo 4. Pati Tambah Mulyo Jatim 1. Jember Padomasan 2. Banyuwangi Kaligondo 3. Lamongan Sunge Geneng Jawa Sulsel 1. Sidrap Carawali 2. Luwu Salujambu Sumut 1. Asahan Kwala Gunung 2. Serdang Bedagai Lidah Tanah Luar Jawa Total Sumber; Data Primer 2007 *) Kelas luas lahan : 1= tidak memiliki 2= dibawah 0.10 ha 5= (0.50-0.749 ha) 6= (0.75-0.99 ha) 9= (1.50-1.75 ha) 10= diatas 1.75 ha.
Kelas luas lahan *) 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
163 141 -
45.4 20.6 -
4.3 2.8 -
15.3 3.5 -
16.6 12.8 -
6.7 19.1 -
2.5 2.8 -
2.5 7.8 -
0.6 5.0 -
3.1 3.5 -
3.7 22.0 -
177 137 160 149
22.0 40.9 17.5 43.0
16.4 3.6 6.9 0.7
34.5 14.6 13.1 18.8
19.2 15.3 31.9 21.5
3.4 16.8 13.1 6.7
2.3 2.2 4.4 3.4
1.1 2.2 5.6 2.0
0.0 1.5 2.5 0.0
0.0 0.7 1.9 0.7
1.1 2.2 3.1 3.4
116 128 61 1232
40.5 16.4 27.9 30.4
12.9 5.5 0.0 6.4
13.8 27.3 8.2 17.5
16.4 20.3 24.6 19.7
3.4 14.8 18.0 10.7
3.4 3.9 6.6 3.2
4.3 5.5 4.9 3.8
1.7 2.3 6.6 1.9
1.7 0.8 0.0 1.5
1.7 3.1 3.3 4.9
139 112
53.2 19.6
0.7 1.8
11.5 7.1
10.8 25.0
8.6 20.5
7.9 8.9
5.0 11.6
0.0 1.8
1.4 2.7
0.7 0.9
146 191 588 1820
43.2 35.6 38.6 33.1
0.0 9.9 3.7 5.5
13.7 23.0 15.0 16.7
23.3 13.6 17.5 19.0
6.8 7.3 10.0 10.5
6.8 3.1 6.3 4.2
3.4 2.1 4.9 4.2
1.4 1.6 1.2 1.6
0.7 0.5 1.2 1.4
0.7 3.1 1.5 3.8
3= (0.10-0.249 ha) 7= (1.00-1.249 ha)
4= (0.25-0.499 ha) 8= (1.25-1.499 ha)
Untuk melihat ketimpangan penguasaan lahan, pendekatan yang digunakan adalah dengan membandingkan nilai Gini Indek (GI). Pada Tabel 10, memperlihatkan bahwa Nilai GI lahan sawah dan lahan kering di Jawa dan di luar Jawa relatif sama yaitu 0,63 atau terjadi ketimpangan penguasaan lahan yang relatif sedang. Ketimpangan penguasaan lahan yang cukup tinggi umunya terjadi pada penguasaan lahan kering, utamanya pada Desa Mojorejo (GI = 96), Pedomasan (Gi = 0,70), Sunge Geneng (0,79)dan Desa Carawali (GI = 0,93). Sementara itu nilai GI pada penguasaan lahan sawah pada umumnya sekitar 0,5, yang berarti belum terjadi ketimpangan distribusi pengusaan lahan. Hal ini berarti bahwa petani yang ada pada agroekosistem lahan sawah irigasi mampu menggarap lahan yang dimiliki sendiri atau garapan dari pihak lain, baik itu melalui garapan sewa, sakap/bagi hasil atau memperoleh gadai.
15
Tabel 10. Nilai Gini Indek di Pedesaan Berbasis Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi, Tahun 2007 Propinsi/ Kabupaten
Desa
Jabar 1. Indramayu Tugu 2. Subang Simpar 3. Karawang Sindang Sari Jateng 1. Cilacap Padang Sari 2. Klaten Demangan 3. Sragen Mojorejo 4. Pati Tambah Mulyo Jatim 1. Jember Padomasan 2. Banyuwangi Kaligondo 3. Lamongan Sunge Geneng Jawa Sulsel 1. Sidrap Carawali 2. Luwu Salujambu Sumut 1. Asahan Kwala Gunung 2. Serdang Bedagai Lidah Tanah Luar Jawa Total Sumber; Data Primer 2007
Nilai Gini Indek Penguasaan Lahan Lahan sawah + Lahan Sawah Lahan Kering Kering 0.5 0.51
0.64 0.63
0.69 0.63
0.54 0.49 0.39 0.41
0.63 0.47 0.96 0.49
0.6 0.63 0.86 0.52
0.53 0.54 0.35 0.47
0.70 0.57 0.79 0.65
0.68 0.63 0.53 0.64
0.42 0.5
0.93 0.62
0.7 0.58
0.41 0.59 0.47 0.47
0.63 0.45 0.66 0.66
0.56 0.61 0.63 0.63
KESIMPULAN Ketenagakerjaan dan distribusi penguasaan lahan yang berkaitan dengan sistem agribisnis di pedesaan masing-masing mempunyai keragaan sebagai berikut: Dari sisi ketenagakerjaan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja rumahtangga yang relatif besar jumlahnya, akan tetapi belum diimbangi dengan tingginya tingkat pengangguran.Sementara itu, partisipasi tingkat pendidikan angkatan kerja di pedesaan penelitian didominasi oleh tingkat pendidikan SD tamat kebawah. Namun demikian beberapa desa tertentu seperti desa Mojorejo, bahwa jumlah angkatan kerja yang tamat SMP hingga SMU lebih besar dibanding tamat SD kebawah. Tingkat partisipasi angkatan kerja rumahtanggayang yang bekerja di pedesaan didominasi oleh mereka yang bekerja disektor pertanian dibanding diluar sektor pertanian. Jenis pekerjaan di sektor pertanian yang utama adalah mereka yang bekerja pada bidang produksi hasil pertanian dibanding bidang pasca panen dan pemasaran hasil pertanian. Sedangkan diluar sektor jenis pekerjaan yang dominan adalah pekerja sebagai jasa atau perdagangan.
16
Dari sisi penguasaan lahan di pedesaan telah terjadi ketimpangan yang mengarah dari ketimpangan sedang menuju ketimpangan penguasaan lahan yang semakin tinggi, dengan penyebaran penguasaan lahan dibawah 0,5 hektar semakin banyak jumlahnya hingga 40 persen, diantaranya hingga 19 persen adalah rumahtangga tidak berlahan atau tunakisma. Didalam kelembagaan penguasaan lahan, selain yang digarap sindiri, juga berlaku kelembagaan dengan sistem sakap/bagi hasil atau sewa. Sistem sewa dan sakap banyak dijumpai pada kondisi jenis lahan sawah, seperti sawah irigasi, irigasi sederhana dan tadah hujan. Utamanya banyak terjadi di wilayah yang berpotensi pengusahaan komoditas gagal panen rendah, nilai jual tinggi dan tanpa kesulitan dalam pemasaran, Sistem sakap/bagi hasil dan sistem sewa, di kedua agroekosistem tidak terjadi pada rumahtangga yang tidak berlahan/tunakisma, tetapi terjadi hubungan garapan antara petani berlahan sempit dengan petani berlahan luas atau ada upaya untuk mempeluas usaha, karena milik yang digarap terbatas. Didalam pengakuan hak milik masih belum terimplementasikan pengaturan land reform dan reforma agraria, sehingga masih banyak tumpang tindih hak penguasaan lahan pertanian dan non pertanian berdasarkan persepsi yang berbeda dan rawan konflik. Sebagai saran kebijakan bahwa ketenagakerjaan didalam menunjang sistem agribisnis diperlukan suatu upaya untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) di pedesaan yang berorientasi pembangunan pertanian, baik itu melalui peningkatan ketrampilan dan pengetahuan yang didukung dengan pembinaan, penyuluhan dan penguatan permodalan. Disamping itu, perlu pengembangan agribisnis atau agroindustri yang berbasis pada sumber daya alam setempat yang dapat diharapkan mampu menyerap tenaga kerja didalam desa dan bersaing di pasar tenaga kerja Sedangkan aspek penguasaan lahan diperlukan implementasi yang mempermudah pengelolaan usaha pertanian yang sehamparan, baik itu melalui konsolidasi manajemen maupun kosolidasi lahan dari seluruh aspek agibisnis. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dan memperlancar kegiatan sistem agribisnis mulai dari hulu hingga ke hilir, sesuai dengan komoditas unggulan yang mempunyai daya saing yang tinggi. Bagi daerah lahan kering atau dengan produktivitas rendah, perlu dialihkan kegiatan yang tidak bergantung pada lahan (land base) seperti usaha peternakan atau agroindustri yang berbasis komoditas spesifik lokasi. Sehingga pemanfaatan pada areal yang luas tidak saja meningkatkan pendapatan, namun dapat melindungi dan melestarikan sumberdaya alam. DAFTARA PUSTAKA Adnyana, M.O; et al. 2000. Assesing the Rural development Impact of the Crisis in Indonesia. CASER, Bogor, Indonesia and The World Bank, Washington, D.C. USA. 17
Barlowe, Reliegh. 1972. Land Resource Economic . Privatece Hall inc. Eng,P. Van der.1993. Agricultral Growth in Indonesia Sice 1880. Productivity Change and the Impact Policy Unversitei Sdurukkerij. Groningen. Erwidodo, Mat Syukur, B. Rachman. G.S. Hardono. 1993. Evaluasi Perkembangan Tingkat Upah di Sektor Pertanian. Monograph. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Dewa, K.S.. 2000. Dinamika Pasar tenaga Kerja Struktur Upah dan Harga di Pedesaan. Makalah disajukan pada seminar rutin Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Gunawan Wiradi dan Makali. 1983. Bentuk Penguasaan Tanah Tradisional dan Pelaporan Masyarakat Desa. Yayasan Penelitian Survey-Agroekonomi. Bogor. Husein, A.S. 1995. Ekomnomi Poliitik Penguasaan tanah. Pustaka Sinar Harapan Jakarta. Manning.C. 1992. Survey of Recent Development Bulletin of Economic Indonesian Studies. 28 (1). Indinesian Project. The Australian National University. Manning.C. and Suriya. 1996. Suvey of Recent Development Bulletin of Indonesian Economic Studies. (32) 1. Indonesian Project. The Australian National University. Nasution, L. 1991. Beberapa Masalah Nasional dan Alternatif Kebijaksanaan untu Menanggulangi. Dalam Masalah Tanah Semakin Meningkat. Analisis CSIS. Tahun XX No 2. Jakarta Nurmanaf.A.R., A. Djulin., Sugiarto., Herman Supriadi., Supadi., N.K. Agustina., J.F. Sinuraya dan Gelar.S.B. 2004. Dinamika Sosial Ekonomi Rumahtangga dan Masyarakat Pedesaan: Analisa Profitabilitas Usahatani Dan Dinamika Harga dan Upah Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Parlindungan, A.P. 1991. Beberapa Konsep Tentang Hak Hak Atas Tanah. Masalah Tanah Semakin Meningkat. Analisis CSIS N0 2. Jakarta Rusastra.I.W., Khairina.M.N., Supriyati, Erma Suryani, Mohamad Suryadi, dan Rosganda Elizabeth. 2005. Analisis Ekonomi Ketenagakerjaan Sektor Pertanian dan Pedesaan di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembanagn Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Spare. A.Jr and Harris. 1996. Education Farming and Migration in Indonesia. Economic Development and Cultural Change. Vol 24, No 2. 1986. The Unvercity of Chicago Press. Illionis. Suhendar, Endang. 1995. Ketimpangan Penguasaan Tanah di Jawa Barat. Akatiga Bandung. Suparmoko. 1989. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pusat Antar Universitas Studi Ekonomi Universitas Gajah Mada. Yoyakarta. Szal,R dan R. Robinsom. 1977. Meassuring Income Inequity, dalam G.R. Frank C.R dan R.C. Webb (eds) Income Distribution and Growth In Lies Development Countries. The Biochiny Instutition. .
18