PERUBAHAN PERUNTUKAN LAHAN SAWAH MENJADI LAHAN PERKEBUNAN KASUS IRIGASI BATANGHARI Faisal Kasryno dan Agusli Taher
Kabupaten Dhamasraya merupakan pemekaran dari kabupaten Sawah Lunto/ Sijunjung pada tahun 2004. PDRB kabupaten ini dalam lima tahun didirikan tumbuh relatif cepat dengan laju pertumbuhan 4,78%/tahun, di mana PDRB sektor pertanian tumbuh dengan laju mencapai 2,4%/tahun dalam periode tersebut. Sumbangan Sektor petanian pada PDRB menurun dari 39% tahun 2005 menjadi 36% tahun 2009 (Bappeda Kabupaten Dhamasraya 2010). Dari data ini terlihat bahwa sektor pertanian masih menjadi penggerak utama perekonomian daerah ini. Dalam upaya meningkatkan produksi tanaman pangan khususnya padi sawah di Provinsi Sumatera Barat dan Jambi, dibangunlah prasarana irigasi Batanghari. “PreFeasibility Study” dilakukan pada tahun 1976, yang dilanjutkan dengan “Feasibility Study” pada tahun 1980. Hasil pengkajian mengungkapkan bahwa prasarana irigasi layak untuk dibangun dengan sasaran areal yang akan menerima manfaat seluas 18.000 ha sawah di Kabupaten Damashraya Provinsi Sumatera Barat dan 1.500 ha sawah di Kabupaten Bungo Provinsi Jambi (BWS Sumatera VI 2008). Sebelum prasarana irigasi dibangun di Kabupaten Damashraya, sudah ada areal sawah beririgasi seluas 5.000 ha yang berasal dari tiga bendungan, yaitu bendungan Mimpi, Slat, dan Palangko. Dengan demikian, pembangunan irigasi Batanghari akan menambah penyediaan air sehingga luas areal yang akan mendapat manfaatnya dapat ditingkatkan menjadi 18.000 ha. Ini berarti bahwa irigasi Batanghari akan meningkatkan luas lahan sawah beririgasi sekitar 13.000 ha. Di samping itu, irigasi Batanghari juga diharapkan dapat meningkatkan intensitas tanam dari 125% menjadi 230%, dan meningkatkan produktivitas dari 2,5 ton/ha menjadi 4,5 ton/ha. Pembangunan sarana dan prasrana irigasi juga terkait dengan pengembangan program tranmigrasi. Mulai tahun 1972, telah dilakukan penempatan transmigran di kawasan Sitiung. Dalam program transmigrasi, di samping mengembangkan areal tanaman pangan, para transmigran juga diberi lahan perkebunan dengan program Perkebunan Inti Rakyat (PIR).
KONVERSI LAHAN
Warga transmigran di kawasan tersebut hidup berdampingan dengan penduduk lokal. Pada tahun 1976 diadakan “Kesepakatan Adat” yang menyatakan antara lain persetujuan masyarakat lokal (Adat) untuk ikut dalam program pencetakan sawah. Dengan kata lain, masyarakat adat sepakat lahan tanah ulayat mereka dijadikan lahan sawah beririgasi melalui pencetakan sawah baru di lingkungan tanah ulayat mereka. Perencanaan tata ruang dan perencanaan prasarna irigasi dilakukan antara tahun 1982– 1986 yang kemudian dilanjutkan dengan studi AMDAL pada tahun 1993. Sedangkan konstruksi prasarana irigasi dan pencetakan sawah baru dilakukan tahun 1996–2006. Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi mulai efektif tahun 2007, selanjutnya petani mulai memanfaatkan prasarana irigasi baru ini mulai tahun 2008. Data fisik sarana dan prasrana irigasi ini mencakup (1) bendungan sepanjang 121 meter, saluran pembawa utama 15,5 km, saluran primer sepanjang 79,6 km, dan saluran sekunder sepanjang 213,4 km. Debit air berkisar 25–31 m kubik/detik. Proyek ini dibangun menggunakan pinjaman dari Japan Bank International Corporation (JBIC) dan konstruksi dilakukan oleh Nippon Koei. Selanjutnya dibahas kinerja pembangunan sarana dan prasarana irigasi Batanghari, guna memetik pelajaran untuk pengembangan lahan pertanian beririgasi masa depan.
Pencapaian Pembangunan Prasarana Irigasi Batanghari Pada tahun 1986, di lokasi ini juga dikembangkan program “Tree Crops Smallholders Development Program” yang antara lain mengembangkan perkebunan karet rakyat. Pada saat tersebut lahan yang tersedia di kawasan ini juga meliputi areal yang semula direncanakan untuk pencetakan sawah, yang kemudian dialihfungsikan untuk pengembangan perkebunan karet rakyat melalui program TCSDP tersebut. Penduduk lokal memang sudah melakukan usaha tani karet rakyat selama ini, tentunya mereka sangat tertarik mengikuti program. Petani transmigran memang telah ikut sebagai petani plasma yang juga telah mengenal usaha tani karet. Namun, mereka juga tertarik untuk memanfaatkan lahan yang semula diperuntukan untuk lahan sawah beririgasi, karena lambatnya realisasi pengembangan prasarana irigasi mereka memanfaatkan lahan mereka untuk menanam karet dengan program TCSDP. Di kawasan ini, selain mengembangkan perkebunan karet, program PIR juga mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian sebagian petani juga sudah mengenal usaha tani kelapa sawit. Dengan kemampuan sendiri, selanjutnya sebagian lahan yang semula diperuntukan untuk pengembangan areal sawah dialihkan penggunaannya oleh petani menjadi kebun kelapa sawit rakyat. Perkembangan areal pertanian kabupaten Dhamasraya disajikan dalam Tabel 1. Dari data yang disajikan dalam Tabel 1 memang terjadi peningkatan lahan sawah beririgasi teknis 176
PERUBAHAN PERUNTUKAN LAHAN SAWAH MENJADI LAHAN PERKEBUNAN KASUS IRIGASI BATANG HARI
seluas 2.574 ha, dan lahan irigasi desa meningkat pula 948 ha dalam periode 2005–2009. Ini berarti luas pencetakan sawah yang telah dilakukan oleh program irigasi Batanghari seluas 2.574 ha saja dari rencana seluas 13.500 ha, atau hanya 7,5% dari sasarannya untuk kabupaten Dhamasraya. Tabel 1. Perkembangan areal pertanian Kabupaten Dhamasraya 2005–2009 Jenis lahan pertanian
Luas Lahan Pertanian (ha) Tahun 2005
Tahun 2009
2.783
5.357
2. Irigasi desa
821
1.769
3. Tadah hujan
1.058
807
4. Tegalan & Huma
71.123
23.460
1. Sawah Irigasi Teknis
5. Rawa
845
2.000
6. Perkebunan
83.431
102.380
7. Hutan rakyat
109.798
60.777
8. Hutan negara
15.000
13.155
t.a.d
73.309
284.859
283.014
8. Sementara tak digunakan Jumlah
Sumber data: BPS Luas lahan dan penggunaannya (2005) dan Statistik Dinas Pertanian Dhamasraya (2010)
Menurut data Dinas Pertanian Kabupaten Dhamasraya, dari lahan irigasi sederhana 1.769 ha ini terdapat 1.710 ha sementara tak ditanami dan 230 ha lahan tadah hujan juga tak ditanami. Sedangkan dari lahan beririgasi teknis, seluas 311 ha juga tidak bisa ditanami, terkait masalah konflik penggunaan lahan antara petani transmigran dan penduduk lokal. Dari areal sawah irigasi teknis seluas 1.965 ha ditanami padi tiga kali setahun dan 2.782 ha ditanami 2 kali setahun, sehingga total luas areal panen menjadi 9.716 ha (Statistik Dinas Pertanian Kabupaten Dhamasraya 2010). Adanya areal yang tidak ditanami disebabkan saluran tersier dan kuarternya tidak bisa dibangun karena pembangunan saluran ini harus melewati areal perkebunan yang semula adalah lahan untuk sawah yang sudah terlanjur ditanami kebun karet dan kelapa sawit rakyat. Dalam Tabel 2 disajikan perkembangan luas lahan sawah dari 2005–2009. Data Tabel 2 menunjukkan terjadinya kenaikan lahan sawah irigasi teknis 3.197 ha. Luas areal panen juga mengalami peningkatan sebesar 4.505 ha, dari 5.211 ha tahun 2006 menjadi 9.716 ha tahun 2009 (Tabel 3). Keadaan ini juga menunjukan sebagian areal sawah yang sudah dibangun irigasinya tidak dapat dimanfaatkan dan menjadi lahan sementara tak digunakan.
177
KONVERSI LAHAN
Tabel 2. Perkembangan lahan sawah di Kabupaten Dhamasraya 2005–2009 Perkembangan luas lahan sawah (ha)
Jenis Lahan Sawah
2005
2006
2007
2008
2009
3.393
4.362
5.061
6.040
6.590
2. Irigasi Sederhana
253
308
469
469
469
3. Irigasi Desa
832
485
542
1.300
1.300
4. Tadah Hujan
1.058
1.068
1.048
806
807
Total lahan sawah
5.536
6.223
7.120
8.615
9.166
1. Irigasi Teknis
Sumber data: Dinas Pertanian Kab. Dhamasraya 2010 (data statistik)
Dalam Tabel 3 disajikan perkembangan areal panen padi sawah selama lima tahun terakhir. Data tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan areal tanam, akan tetapi intensitas tanam/panen hanya mencapai 106% pada tahun 2009. Tabel 3. Perkembangan produksi dan produktivitas padi sawah Kabupaten Dhamasraya 2005–2009 Tahun
Luas Panen (ha)
Produktivitas ton/ha
Total Produksi (ton GKG)
2005
6.658
4,48
29.841
2006
5.211
4,17
21.753
2007
8.731
3,88
33.929
2008
8.533
4,35
37.121
2009
9.716
4,45
43.236
Sumber data: Basis Data Departemen Pertanian dan Statistik Dinas Pertanian Kab. Dhamasraya (2010)
Pada Gambar 1 disajikan perubahan pola panen padi sawah di kabupaten Dhamasraya tahun 2006 dan 2009. Dari data yang disajikan, terlihat telah terjadi peningkatan areal panen padi sawah beririgasi tahun 2006 seluas 4.039 ha menjadi 9.154 ha tahun 2009, dengan intensitas tanam lahan beririgasi hanya naik dari 112% tahun 2006 menjadi 128% tahun 2009. Baik data yang disajikan dalam Gambar 1 maupun data yang disajikan pada Tabel 2 dan 3, jelas terlihat bahwa sasaran peningkatan areal tanam masih belum tercapai pada tahun 2009 hal ini mungkin dapat dipahami karena air irigasi baru mulai mengalir tahun 2008.
178
PERUBAHAN PERUNTUKAN LAHAN SAWAH MENJADI LAHAN PERKEBUNAN KASUS IRIGASI BATANG HARI
1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0 1
2
3
4
5
PadiSawah2006
6
7
8
9
10
11
12
PadiSawah2009
Sumber data: Basis Data Padi Sawah BPS 2006 dan 2009 (Diolah).
Gambar 1. Perkembangan areal panen padi sawah irigasi Kabupaten Dhamasraya 2006 dan 2009 Apabila luas sawah total dikoreksi dengan areal sawah yang sementara tidak ditanami, intensitas panen efektif sebenarnya adalah 156% pada tahun 2009. Apabila tahun 2005 intensitas panen adalah 112%, ada kenaikan intensitas panen padi sawah irigasi sebesar 44%, dan masih di bawah target total intensitas panen 230% pada sasaran dari pembangunan irigasi Batanghari. Pada Tabel 3 disajikan data perkembangan produksi dan produktivtas padi sawah tahun 2005–2009. Jika diperhatikan data yang disajikan pada Tabel 1 terlihat bahwa penggunaan lahan pertanian yang dominan adalah untuk perkebunan terutama untuk karet dan kelapa sawit rakyat. Pada Tabel 4 disajikan data perkembangan areal perkebunan karet, kelapa sawit dan kakao rakyat kabupaten Dhamasraya tahun 2004–2008. Data kedua tabel menunjukan terjadinya secara konsisten peningkatan areal perkebunan rakyat terutama untuk kelapa sawit, karet, dan kakao. Lahan yang digunakan umumnya adalah lahan yang semula direncanakan untuk pencetakan sawah baru. Perkembangan perkebunan karet rakyat pada awalnya didorong oleh pelaksanaan projek TCSDP (Tree Crops Development Project) pada tahun 1986, dengan difasilitasi penyediaan kredit pengembangan perkebunan karet rakyat kepada petani selaku peserta. Kemudian petani dengan kemampuan sendiri memperluas perkebunan karet, selanjutnya diikuti pula dengan pengembangan kelapa sawit rakyat, terakhir kakao juga mulai berkembang. Laju pertumbuhan areal karet rakyat mencapai sekitar 2,0%/tahun, sedangkan petumbuhan areal perkebunan kelapa sawit rakyat mencapai 2,6%/tahun. Tanaman kakao juga mulai dikembangkan. 179
KONVERSI LAHAN
Tabel 4. Perkembangan perkebunan rakyat utama Kabupaten Dhamasraya 2005–2009 Komoditi
2005
2006
2007
2008
2009
Luas Areal (ha) Karet Rakyat 1. Total areal
35.264
37.464
37.654
38.074
38.102
2. Tan. Belum Menghasilkan
13.918
11.616
10.251
9.671
9.619
3. Tanaman Menghasilkan
21.346
25.848
27.403
28.403
28.483
1,38
1,09
1,07
1,06
1,17
25.801
27.117
27.945
28.439
28.550
3.178
3.591
3.437
3.431
3.441
22.623
23.526
24.508
25.008
25.109
15,40
15,40
17,20
16,20
17,30
47
303
827
1.396
1.396
4. Produktivitas (ton/ha) Kelapa Sawit 1. Total areal 2. Tan. Belum Menghasilkan 3. Tanaman Menghasilkan 4. Produktivitas (ton/ha) Kakao Luas Tanaman
Sumber data: Dinas Perkebunan Kab. Dhamasraya (2010)
Dalam kerangka pengembangan teknologi pertanian dan agribisnis di kawasan irigasi Batanghari, di Kabupaten Dhamasraya juga dibangun 10 buah “Tertiary Development Unit” atau TDU yang difasilitasi dengan berbagai perlengkapan/alat dan mesin pertanian. Sebanyak 8 TDU berada di kabupaten Dhamasraya dan 2 TDU dibangun di kabupaten Bungo (Jambi). Aset yang diserahkan kepada setiap TDU ini terdiri atas: 1. Kantor lengkap dengan peralatan kantornya, dan dilengkapi pula dengan ruang pertemuan. 2. Lahan percontohan seluas 1 ha. 3. Bengkel Alsintan lengkap dengan peralatan perbengkelan. 4. Traktor tangan. 5. Alat penyemprot pestisida. 6. Combine Harvester. 7. Pusat Komunikasi dan informasi. 8. Alat pascapanen berupa RMU (Rice Milling Unit). 9. Lantai jemur. TDU ini dikelola oleh GAPOKTAN dan P3A yang wilayahnya mencakup kawasan satu saluran tersier dalam satu desa. Sebenarnya, insentif yang diberikan kepada masyarakat cukup memadai, mungkin karena kurang baiknya pemberdayaan yang antara lain menyebabkan kegagalan pencapaian target, di samping waktu pelaksanaan SIDCOM yang mencapai 30 tahun. 180
PERUBAHAN PERUNTUKAN LAHAN SAWAH MENJADI LAHAN PERKEBUNAN KASUS IRIGASI BATANG HARI
Hingga proyek selesai tahun 2008, realisasi pencetakan sawah hanya mencapai 2.350 ha atau sekitar 18% dari target seluas 12.760 ha. Realisasi pembangunan saluran tersier dan kuarter hanya mencapai 20% dari target mendekati realisasi pencetakan sawah. Hal ini terjadi antara lain karena sudah dikembangkannya areal perkebunan rakyat di kawasan yang semula untuk pencetakan sawah, serta adanya konflik dengan masyarakat adat setempat. Dari semua indikator yang diungkapkan di atas terlihat bahwa kinerja proyek pembangunan irigasi Batanghari jauh dari sasaran yang ingin dicapai. Penyebab kegagalannya antara lain adalah kelemahan manajemen pelaksanaan, lemahnya koordinasi, tidak adanya pengaturan tata-ruang wilayah, dan lemahnya pemberdayaan masyarakat penerima manfaat. Walaupun demikian, proyek ini mempunyai dampak positifnya. Pengembangan sarana dan prasarana irigasi membuka keterisolasian daerah dengan dibangunnya jalan pengawas saluran irigasi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk sarana komunikasi dan transportasi pedesaan memperlancar dinamika ekonomi pedesaan.
Beberapa Permasalahan yang Dihadapi Pada Tabel 1 terlihat bahwa areal perkebunan di kabupaten Dhamasraya ini meningkat cukup pesat dari 83.431 ha tahun 2005 meningkat menjadi 102.380 ha atau dengan laju 5,25% pertahun. Di sisi lain, areal panen padi sawah hanya meningkat dari 5.211 ha menjadi 9.716 ha dengan upaya prasarana dan sarana irigasi serta pencetakan sawah. Pengembangan areal perkebunan hanyalah atas upaya dan inisiatif petani sendiri. Peningkatan areal pertanian tentunya meningkatkan produksi pertanian, yang dengan didukung oleh tersedianya sarana jalan penghubung akan mendorong pertumbuhan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. Indikator ekonomi terlihat dari relatif rendahnya tingkat kemiskinan di kabupaten ini yang mengalami penurunan sebesar 3,79%, dari 14,93% tahun 2006 menjadi 11,14% pada tahun 2009 dan angka pengangguran tahun 2009 adalah 3,3 % saja (Bappeda Dhamasraya 2010). Pada tahun 2005, dari 83.431 ha areal perkebunan rakyat, sekitar 31% ditanami kelapa sawit yang sedikit turun menjadi 28% pada tahun 2009, dan 42% ialah areal karet rakyat juga sedikit turun menjadi 38% tahun 2009. Tahun 2006 mulai masuk perkebunan kelapa sawit swasta nasional seluas 35.000 ha. Karena laju peningkatan areal karet rakyat meningkat 2,4%/tahun sedangkan laju peningkatan areal perkebunan kelapa sawit rakyat 2,5%/tahun, pangsa areal perkebunan kelapa sawit rakyat dan swasta tahun 2009 sudah mencapai sekitar 62% areal perkebunan tahun 2009. Perkembangan areal perkebunan kelapa sawit rakyat yang cepat berpengaruh pada alih fungsi lahan tanaman pangan ke lahan perkebunan. Keadaan ini akan menyebabkan 181
KONVERSI LAHAN
pemanfaatan air irigasi yang cukup besar untuk meningkatkan areal sawah beririgasi di kabupaten Dhamasraya mendapat kendala besar. Pengembangan areal perkebunan rakyat berpengaruh pula pada pengisolasian areal yang sudah dicetak sawahnya, tetapi tidak dapat dibangun saluran tersier dan kuarter melewati areal perkebunan rakyat. Kawasan ini menjadi lahan terlantar di kawasan lahan beririgasi yang cukup luas mencapai 1.321 ha yang terdiri dari 314 ha lahan irigasi teknis dan 1.007 ha lahan irigasi sederhana (Tabel 5). Sedangkan lahan tadah hujan yang sementara tak ditanami mencapai 393 ha. Tabel 5. Penggunaan lahan sawah Kabupaten Dhamasraya Tahun 2009 Intensitas Tanah (ha) Penggunaan Lahan 1. Irigasi Teknis 2. Irigasi Setengah Teknis
Tiga Kali
Sementara Tak Ditanami (ha) 10
4.804
1.007
1.769
Total (ha)
1.944
2.600
125
125
21
182
176
179
747
15
16
398
164
229
807
3.545
714
468
1.246
7.938
3. Irigasi Sederhana 4. Tadah Hujan 5. Total
Dua Kali Satu Kali
Tidak Ditanami (ha)
1.965
558
Sumber data: Dnas Pertanian Kabupaten Dhamasraya (2010)
Jika diperhatikan data pada Tabel 1, 3, dan 5 terlihat bahwa kenaikan areal sawah beririgasi tidak diimbangi oleh kenaikan yang sama pada areal tanam/panen. Hal ini disebabkan adanya lahan sawah yang sudah dicetak tidak dapat ditanami karena air irigasi belum sampai ke petakan sawah karena saluran tersier dan kuarter belum bisa dibangun melewati lahan perkebunan rakyat. Dalam pembangunan saluran tersier dan kuarter ini, tidak disediakan ganti rugi. Jika belum menjadi areal perkebunan, saluran ini bisa dibangun tidak dengan ganti rugi karena telah termasuk dalam areal pencetakan sawah. Hal yang menarik dan patut dipertanyakan bahwa debit air yang cukup tinggi atau air irigasi yang cukup besar tersebut disertai pula dengan tingginya lahan sawah yang tidak dimanfaatkan yang mencapai hampir 22% (1.714 ha). Di samping itu, dari areal irigasi teknis seluas 5,362 ha ini pun intensitas tanamnya masih rendah (171%) karena lahan sawah beririgasi seluas 1.311 ha tidak ditanami padi dan menjadi lahan terlantar. Air irigasi tidak sampai ke areal sawah berhubung saluran irigasi tersier dan kuarternya tidak dapat dibangun karena harus melewati areal perkebunan. Dengan demikian, pengembangan perkebunan rakyat atau alih penggunaan lahan sawah menjadi lahan perkebunan berdampak juga pada terisolasinya areal sawah dari sarana dan prasarana irigasi yang telah dibangun, sehingga prasarana ini tidak dapat dimanfaatkan petani. Di samping itu, alih fungi jelas mengurangi luas lahan sawah yang bisa dibangun. Memang telah terjadi kenaikan areal panen lahan sawah beririgasi sebesar 76%, dari 5.211 182
PERUBAHAN PERUNTUKAN LAHAN SAWAH MENJADI LAHAN PERKEBUNAN KASUS IRIGASI BATANG HARI
ha tahun 2006 menjadi 9.154 ha tahun 2009 sebagai dampak pembangunan sarana dan prasarana irigasi. Jika diperhatikan secara historis, pada tahun 1995 intensitas tanam padi sawah total mencapai 167%, turun menjadi 143% tahun 2001, dan terus turun menjadi 112% tahun 2006, yang kemudian naik menjadi 122% tahun 2009. Hal ini menunjukkan terjadinya perbaikan intensitas tanam, akan tetapi masih jauh dari sasaran proyek. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Dhamasraya, projek Irigasi Batanghari telah melakukan “Base Line Survey” di lokasi proyek dengan hasil analisis memperlihatkan bahwa sebelum proyek dibangun, intensitas tanam di kawasan proyek adalah 122% dan produktivitas padi sawah 3,0 ton GKG/ha pada sawah irigasi. Setelah proyek selesai dan air irigasi mulai dapat dimanfaatkan pada tahun 2008, intensitas tanam di lahan sawah beririgasi naik menjadi 173% dan produktivitas padi sawah naik menjadi 3,54 ton GKG/ha. Pola penggunaan lahan petani contoh sebelum proyek dibangun adalah 8% mengusahakan sawah beririgasi, 9% lahan usaha nonirigasi, 55% lahan usaha ditanami karet, 10% ditanami kelapa sawit, dan sisanya komoditas lainnya. Setelah proyek selesai, pola penggunaan lahan petani contoh di kawasan ini mengusahakan lahan sawah irigasi 50% dari luas lahan, mengusahakan karet 30%, mengusahakan kelapa sawit 18% dan sisanya komoditas lainnya (Dinas Pertanian Dhamasraya 2010). Yang menarik dari data ini adalah areal sawah irigasi yang diusahakan naik, sawah nonirigasi berubah menjadi sawah beririgasi, persentase areal perkebunan karet menurun, dan areal kelapa sawit meningkat. Akan tetapi, jika diperhatikan data pada Tabel 1, 4, 5, dan 6 terlihat memang luas lahan sawah beririgasi naik, lahan sawah tadah hujan turun, akan tetapi areal perkebunan naik terutama perkebunan karet dan kelapa sawit. Lahan yang semula tahun 2005 diklasifikasikan sebagai lahan tegalan/ladang/huma berubah penggunaannya menjadi lahan beririgasi melalui kegiatan pencetakan sawah, dan lahan-lahan tadah hujan juga berubah menjadi lahan beririgasi. Mungkin lahan tegalan/ ladang/huma ini sebelumnya memang direncanakan menjadi lahan sawah dengan kegiatan pencetakan sawah baru karena memang tidak ada lagi kegiatan pengalihan fungsi lahan hutan. Tidak adanya kegiatan alih fungsi lahan dikarenakan kegiatan ini telah dilakukan waktu membangun program transmigrasi dulunya. Masalah lainnya yang dihadapi adalah konflik pengusaan lahan antara penduduk transmigran dan penduduk lokal. Sebagian tanah yang semula dialokasi untuk lahan tranmigran ternyata diakui oleh masyarakat adat sebagai tanah ulayat, sehingga tidak bisa dimanfaatkan oleh transmigran (LP3ES, Desentralization Support Facility, World Bank 2005).
183
KONVERSI LAHAN
Pelajaran yang Diperoleh Tenggang waktu pelaksanaan pembangunan prasarana irigasi SIDCOM yang memakan waktu lebih dari tiga dasawarsa, telah mendorong alih pemanfaatan lahan pangan pada komoditi bernilai tinggi. Petani sangat responsif dalam memanfaatkan sumber daya yang mereka kuasai untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga mereka. Lahan yang secara potensial telah diidentifikasi sesuai untuk pertanian lahan beririgasi, pada pelaksanaan penggunaannya secara efektif dan efisien dipengaruhi oleh keunggulan kompetitif komoditas pertanian yang dikembangkan, dan aksesibilitas petani terhadap teknologi. Efektivitas pencadangan lahan pertanian pangan menghadapi kendala yang cukup berat dalam pelaksanaannya, demikian juga halnya dengan perencanaan pengembangan pertanian tanaman pangan skala luas (Food Estate). Pembangunan sarana dan prasarana belum dapat menjamin keberlanjutan pembanguan kawasan pertanian pangan. Koordinasi dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pertanian beririgasi di daerah aliran sungai Batanghari ternyata lemah, dan kurang sinkron satu sama lainnya. Kelemahan juga terlihat dalam perencanaan tata ruang serta partisipasi aktif masyarakat dan kebersamaannya. Pembangunan pertanian dan pedesaan sangat ditentukan oleh pembinaan kebersamaan yang dibangun melalui pemberdayaan yang intensif berkelanjutan, sehingga memiliki persepsi yang sama dalam membangun kawasan mereka. Pengalihan peruntukan lahan pertanian untuk pengembangan berbagai komoditi pertanian mungkin juga antara lain disebabkan belum adanya tata ruang wilayah di kabupaten. Pemberdayaan masyarakat sepertinya tidak dilakukan, sehingga konflik pemanfaatan sumber daya lahan sering terjadi. Pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan untuk meningkatkan kebersamaan, dan saling menghargai dengan kebersamaan. Dengan pemberdayaan yang baik akan mampu mengubah persepsi “Aku” menjadi persepsi (mindset) menjadi “Kita”, sehingga kebersamaan dan saling pengertian dapat dibangun untuk mengurangi konflik.
184
PERUBAHAN PERUNTUKAN LAHAN SAWAH MENJADI LAHAN PERKEBUNAN KASUS IRIGASI BATANG HARI
Penutup Perlu dilaksanakannya upaya pemberdayaan masyarakat transmigrasi bersama-sama dengan masyarakat lokal untuk membangun kerbersamaan dan saling pengertian. Untuk itu, pemerintah daerah dengan pimpinan masyarakat lokal perlu lebih berperan aktif. Diperlukan upaya optimalisasi pencetakan sawah baru pada lahan lebak dan rawa yang bisa direklamasi menjadi sawah baru. Program ini sudah mulai dilaksanakan tahun 2009 dan 2010 oleh Direktorat Perluasan Areal Pertanian Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Kementerian Pertanian. Dengan demikian, kegiatan ini dapat tetap dilanjutkan. Pembangunan kolam ikan air tawar dilanutkan karena telah dimulai tahun 2010 seluas 450 ha. Upaya ini perlu dikembangkan lebih lanjut untuk mengembangkan komoditi perikanan bernilai tinggi sesuai dengan perkembangan pasar. Peningkatan produktivitas padi sawah dan palawija terutama jagung dan kedelai perlu terus dilanjutkan. Sebelum 1996, kabupaten ini menjadi sentra produksi kedelai. Hal ini diperlukan untuk memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan intensitas tanam di lahan sawah beririgasi guna mengoptimalkan pemanfaatan air irgasi. Pemberdayaan kelembagaan petani perlu dilaksanakan sehingga mampu memfasilitasi pengintegrasian kelembagaan P3A/GP3A yang mengelola TDU dan kelembagaan GAPOKTAN sehingga mampu pula mengembangkan kebersamaan penduduk lokal dan penduduk asal transmigran. TDU hendaknya lebih dikembangkan menjadi unit usaha agribisnis kelembagaan petani sehingga mampu meningkatkan daya saing petani dengan pelaku agribisinis lainnya secara sejajar. Untuk ini, kelembagaan petani pengelola TDU hendaknya diberikan pelatihan agribisnis, termasuk pengelolaan lembaga keuangan petani. Pelaksanaan program SIDCOM pembangunan prasarana irigasi di masa yang akan datang sebaiknya diperpendek waktunya menjadi kurang dari lima tahun, agar efisiensi program dapat ditingkatkan.
Daftar Pustaka Bappeda. 2010. Dhamasraya Membangun Tahun 2005–2009. Sungai Dareh: Bappeda Kabupaten Dhamasraya. BPS. 2010. Luas Panen bulanan Padi dan Palawija Indonesia tahun 2006 dan 2009 (Basis Data). Jakarta: BPS. BPS. 2007. Luas Lahan dan Penggunaanya di Indonesia tahun 2005. Jakarta: BPS. BWS Sumatera VI. 2008. Profile BWS Sumatera VI, BWS Sumatera VI, Jambi.
185
KONVERSI LAHAN
Dinas Pertanian Kabupaten Dhamasraya. 2010. Data Statistik Tanaman Pangan Kabupaten Dhamasraya 2010. Sungai Dareh: Dinas Pertanian. Dinas Perkebunan Kabupaten Dhamasraya. 2010. Data Statistik Perkebunan 2010. Sungai Dareh: Dinas Perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Statistik Perkebunan 2004–2009. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. LP3ES. 2007. Qualitative Baseline Survey on PNPM. Decentralization Support Facility— The World Bank. Jakarta: LP3ES.
186