KEPERCAYAAN RAKYAT MASYARAKAT ENIM; MEMAKNAI TANDA SEBAGAI REPRESENTASI MAKNA Enim Society Faith; to Interprate Sign as Representation of Meaning Frenky Daromes Ardesya Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan Jalan Seniman Amri Yahya, Kompleks Taman Budaya, Seberang Ulu I, Jakabaring, Palembang. Tel. (0711) 5739500, Faks. (0711) 7539555, Nomor Hp. 085367518184 Pos-el:
[email protected] Diajukan: 18 Juli 2016, direvisi: 24 Oktober 2016
Abstract Something supernatural or mystical still trusted by the people of Indonesia until now. Although modernization has grown in all orders of life, it does not make them live in the modern world in the real sense. Confidence about things mystical survive and thrive in the community, including community of Enim. This paper aims to represent the meaning contained in Enim public trust. The method used in this research is descriptive qualitative method by referring to the theory pointed by Peirce. The results showed that public confidence Enim divided into three major groups, namely taboo for men, a taboo for women, and the sign that comes from nature. Keywords: Society Faith, Enim Society, Sign Representation
Abstrak Sesuatu yang bersifat gaib atau mistis masih dipercaya oleh masyarakat Indonesia hingga kini. Walaupun modernisasi telah berkembang di semua tatanan hidup masyarakat, hal itu tidak menjadikan mereka hidup dalam dunia modern dalam arti yang sesungguhnya. Kepercayaan tentang hal-hal yang bersifat mistis tetap hidup dan berkembang di tengah masyarakat, termasuk masyarakat Enim. Tulisan ini bertujuan untuk merepresentasikan makna yang terdapat pada kepercayaan masyarakat Enim. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan merujuk pada teori yang di kemukakan oleh Peirce. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat Enim dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu pantangan bagi kaum laki-laki, pantangan bagi kaum perempuan, dan tanda yang berasal dari alam. Kata kunci: kepercayaan rakyat, masyarakat Enim, representasi makna
Kelasa Vol. 11 No. 2, Desember 2016: 165—178
1. Pendahuluan Kepercayaan rakyat merupakan salah satu fakta budaya yang berkembang di masyarakat hingga kini. Terlepas dari keberadaan agama yang ada di Indonesia, kepercayaan rakyat tetap memiliki ’pengikutnya’ sendiri. Masyarakat Indonesia yang kini telah hidup di zaman yang serba modern tetap percaya pada hal-hal gaib atau bersifat mitos. Sukatman menyatakan bahwa kepercayaan rakyat adalah ungkapan yang bersifat tahayul, tetapi sering dijumpai ‘betul-betul terjadi’. Kejadian itu seperti nyata karena orang terlalu mempercayainya, atau karena faktor kebetulan (koinsidental). (2009:37). Dengan kata lain dapat dikatakan jika kepercayaan rakyat adalah kepercayaan kolektif yang terjadi di tengah masyarakat sehingga menjadikan mereka betul-betul percaya akan sesuatu yang bersifat irrasional. Sebagai salah satu bentuk tradisi lisan, kelisanan kepercayaan rakyat ini bersifat primer yang artinya hanya berlaku bagi masyarakat tertentu saja, sedangkan bagi masyarakat yang berasal dari daerah lain kemungkinan untuk sama belum tentu terjadi. Seperti diungkapkan oleh Ong yang menjelaskan bahwa kelisanan primer ini memiliki beberapa ciri seperti: (1) aditif, yaitu gaya penuturan disesuaikan dengan penuturnya, (2) agregatif, yaitu menggunakan ungkapan yang menyatukan kelompok (kolektif), (3) menggunakan ungkapan yang diulangulang dan terasa berlebihan yang tujuannya untuk memudahkan pemahaman dan mudah di ingat, (4) konservatif, yaitu memegang teguh nilai tradisional sebagai cara untuk mempertahankan tradisi lama yang dianggap bernilai tinggi, (5) dekat dengan kehidupan manusia, (6) 166
agonistik, yakni menjaga agar pengetahuan dan tradisi tetap kompetitif dan mampu bersaing dengan pengetahuan dan tradisi baru, (7) empatetis-partisipatori, yakni belajar atau mengetahui dalam masyarakat tradisi lisan berarti terlibat langsung, menghormati, dan membentuk kesadaran bersama, (8) homestatik, yakni masyarakat budaya lisan berupaya membangun keseimbangan hidup, (9) situasional, bahwa dalam masyarakat budaya lisan konsepkonsep yang berlaku lebih bersifat khas sesuai dengan situasi masyarakat setepat dan kurang abstrak. (1989:37— 56). Kepercayaan rakyat sedikit berbeda dengan keberadaankeberadaan tradisi lisan yang lain seperti puisi rakyat, cerita prosa rakyat, maupun bentuk tradisi lisan lainnya yang cenderung di lupakan ataupun tersingkir dengan sendirinya seiring dengan perkembangan zaman. Kepercayaan rakyat sedikit bisa lebih bertahan dari bentuk tradisi lisan lainnya karena tingkat kepercayaan masyarakat yang masih sangat besar pada kepercayaan-kepercayaan itu sendiri. Masyarakat Enim, khususnya masyarakat yang tinggal di daerah Rambang Dangku adalah masyarakat yang cukup heterogen. Banyak penduduk setempat yang bukan penduduk asli Rambang, akan tetapi, jika mereka menetap atau tinggal di daerah sekitar, merekapun akan turut mempercayai kepercayaan-kepercayaan yang berkembang di tengah masyarakat setempat. Kepercayaan-kepercayaan ini berfungsi sebagai alat pelestarian ajaran dan juga bahan pembujuk yang bersifat mistis. Sebagai alat pelestarian ajaran, kepercayaan-kepercayaan ini biasanya di tuturkan oleh kaum tua pada kaum muda baik yang telah menikah ataupun
Kepercayaan Rakyat Masyarakat… (Frenky Daromes Ardesya)
belum menikah baik berupa tuntunan hidup maupun hal-hal yang ditabukan dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan sebagai bahan pembujuk yang bersifat mistik biasanya berbentuk kepercayaan-kepercayaan yang berkaitan dengan sesuatu yang mistis yang tidak boleh dilakukan. Danandjaja dalam Sukatman menyatakan bahwa secara umum tradisi lisan empat fungsi penting yang salah satunya berfungsi sebagai alat legitimasi pranata-pranata kebudayaan. (2009:7). Sebelum malakukan analisis makna sebagai representasi makna, penelitian ini juga melalui tahapan kajian struktur bentuk/ pola kepercayaan. Sukatman yang menyatakan bahwa struktur kepercayaan rakyat setidaknya dapat di tinjau dari tujuh jenis struktur yaitu: (1) pertanda + akibat negatif, (2) pertanda + pantangan, (3) pertanda + akibat negatif + penetral, (4) pertanda + akibat tak tentu, (5) pertanda + akibat positif, (6) pertanda + fungsi positif, dan (7) pertanda simbolik + deskripsi makna simbolik (2009:38). Akan tetapi, struktur/ pola ini bukanlah kajian utama dalam penelitian ini. Hal ini merupakan langkah awal yang peneliti lakukan sebelum melakukan pemaknaan terhadap tanda-tanda yang ada. Permasalahan yang akan dikaji pada tulisan ini adalah representasikan makna-makna apa saja yang terkandung dalam setiap kepercayaan yang dipahami oleh masyarakat Enim. Tujuannya adalah memeberikan alasan yang setidaknya cukup logis untuk memercayai setiap tanda-tanda yang dimunculkan dalam setiap pantangan atau larangan. Pada tulisan sebelumnya telah dibahas tentang struktur dan isi kepercayaan masyarakat Enim. Namun,
dalam tuisan tersebut belum menyinggung masalah pemaknaan yang lebih mendalam. Penulis baru ‘membongkar’ struktur kepercayaan tersebut berdasarkan sebab-akibatnya. Sementara itu, dalam tulisan ini, penulis akan memaknai setiap tanda yang muncul berdasarkan beberapa teori pemaknaan, salah satunya adalah teori yang dikemukakan oleh Peirce (dikutip Sobur, 2009:41) yang menyatakan bahwa tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Jika dikaitkan dengan representasi makna yang akan dibahas, tanda yang dimaksudkan dalam tulisan ini mungkin lebih dekat padaa indeks menurut Peirce. Setiap tanda-tanda yang muncul dari kepercayaan masyarakat Enim pasti tidak terlepas dari hubungan sebab-akibat dan berdasarkan hasil pengamatan serta pemahaman yang cukup lama. Hampir serupa dengan Peirce, Saussure mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai "objek" sebagai referensi dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Dengan demikian, dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut "referent". Pendapat tersebut, didukung oleh pendapat Saussure 167
Kelasa Vol. 11 No. 2, Desember 2016: 165—178
lainnya (dikutip Sobur, 2009:47) yang menyatakan bahwa setiap tanda kebahasaan, pada dasarnya menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra suara (sound image), bukan menyatakan sesuatu dengan sebuah nama. Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda (signifier), sedangkan konsepnya adalah petanda (signified). Dua unsur ini tidak bisa dipisahkan sama sekali. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Penelitian sebelumnya telah dilakukan pada tahun 2013 oleh penulis sendiri. Penelitian kuantitatif tersebut dilakukan dengan menemui Lembaga Adat Masyarakat Enim, khususnya Lembaga Adat Kecamatan Rambang Dangku.
induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Sementara itu, untuk pemaknaan penulis akan menggunakan teori yang dikemukakan oleh Pierce. Analisis data akan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) data akan dianalisis berdasarkan struktur yang membangunnya sesuai pola yang dikemukakan oleh Sukatman yang menyatakan bahwa struktur kepercayaan rakyat setidaknya memiliki tujuh pola, (2) langkah selanjutnya adalah dengan mengaitkan tanda-tanda yang terdapat dalam kepercayaan rakyat tersebut berdasarkan teori Pierce, (3) Tandatanda kemudian dikaitkan dengan kondisi kekinian yang berkembang di masyarakat.
2. Metode Penelitian
3. Hasil dan Pembahasan
Penelitian kepercayaan masyarakat Enim ini menggunakan metode kuantitatif yang menekankan pada analisis data berdasarkan pada makna daripada sebuah generalisasi. Artinya semua hasil analisis yang bertumpu pada pemaknaan tanda-tanda yang dikemukakan Pierce tidak akan melenceng diluar konteks data. Sugiyono (2011:9) menyatakan bahwa metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) peneliti adalah sebagai instrumen kunci, jadi, data akan diperlakukan seobjektif mungkin.Unsur objektivitas dalam memaknai sebuah tanda merupakan fokus utama penelitian. Teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilauka, sistem kepercayaan masyarakat Enim dapat dibagi kedalam tiga kategori, yaitu pantangan bagi kaum perempuan, pantangan bagi kaum laki-laki, dan pantangan yang muncul dari pertanda alam. Ketiga pertanda tersebut memiliki makna yang bermuara pada larangan/pantangan bagi yang memercayainya. Jika dianggar, sesuatu yang buruk dapat saja terjadi pada mereka. Namun, sebenarnya ada makna lain yang terkandung dalam pantangan/larangan tersebut. Ada nilainilai kearifan yang hanya dapat dilihat melalui proses berpikir yang logis. Tiap-tiap larangan atau pantangan dibuat bukan untuk membatasi ruang gerak masyarakat itu sendiri, namun lebih pada bagaimana cara menata hidup dengan lebih baik, bertindak dengan bijaksana, serta memahami semua pertanda yang berasal dari lingkungan sekitarnya atau
168
Kepercayaan Rakyat Masyarakat… (Frenky Daromes Ardesya)
bisa hidup harmonis berdampingan dengan alam. Karena semua yang dilakukan pasti akan menimbulkan sebab-akibat bagi individu ataupun masyarakat itu sendiri. Dalam setiap pantangan/ larangan mengajarkan bagaimana cara berpikir secara logis, bijaksana, menaati dan menghormati budaya yang ada, dan menjaga keselarasan hidup dengan alam. Berikut pantangan/larangan yang harus ditaati oleh masyrakat Enim berdasarkan jenis kelamin. 3.1 Pantangan bagi Perempuan Berikut ini adalah pantanganpantangan atau sesuatu yang tidak boleh dilanggar oleh para perempuan masyarakat Enim, yang jika tetap dilanggar akan mendatangkan kesialan atau bencana baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya. Pantanganpantangan ini ada yang berlaku hanya pada kaum muda, wanita hamil, ataupun yang berlaku pada semua wanita. Berikut beberapa contoh pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh perempuan di daerah Enim: 3.1.1 Gadis dek ilok makan ndai kitel, kele susah jodoh (Tidak baik seorang anak gadis mengambil nasi langsung dari periuk, nanti susah dapat jodoh)” Pantangan atau larangan mengambil nasi langsung dari periuk dianggap bisamenghambat si gadis mendapatkan jodohnya nanti. Secara logika, tidak ada hubungan yang jelas antara mengambil nasi dari periuk langsung dengan jodoh. Namun, dibalik pantangan tersebut sebenarnya ada pesan yang ingin disampaikan oleh orang-orang terdahulu. Mengambil nasi langsung dari dalam periuk dianggap perbuatan bagi orang yang pemalas.
Di masyarakat Enim, sebelum dihidangkan, nasi akan dimasukan ke dalam bakul terlebih dahulu, baru dihidangkan. Jika seorang gadis, mengambil nasi langsung dari dalam periuk untuk makan, maka dia akan dicap gadis yang pemalas. Orang yang pemalas pastinya akan kesulitan untuk mendapatkan calon pendamping. Karena kebanyakan orang-orang Enim pada umumnya, mereka adalah masyarakat yang dikenal giat bekerja. Melalui pantangan tersebut para orang terdahulu hendak menyampaikan pesan jika seseorang harus bekerja dengan giat dan dapat melakukan segala hal sesuai dengan aturan-aturan yang berkembang dimasyarakat. 3.1.2“Dek ilok calon mangian bejalan neman men lah nak kawin(Tidak baik calon pengantin sering bepergian jika sudah dekat waktu menikah)” Pantangan/larangan ini ditujukan pada calon pengantin baik perempuan atau laki-laki. Mereka dihimbau untuk tidak sering bepergian ketika waktu pernikahan mereka mulai dekat. Biasanya, kurang lebih 40 hari dari hari pernikahan, calon pengantin tidak boleh lagi berjalan jauh. Hal ini hampir serupa dengan kepercayaan yang berkembang di masyarakat Jawa yang dikenal denga istilah dipingit. Larangan ini dibuat oleh para tetua bukan tanpa alasan. Mereka melalukan hal tersebut semata-mata untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada calon pasangan pengantin tersebut. Seseorang yang akan menikah diyakini memiliki banyak godaan yang harus mereka hadapi. Disamping itu, keadaan pada zaman dahulu dan sekarangpun sebenarnya tidak jauh berbeda, hanya situasinya saja yang mungkin berbeda. Seorang calon pengantin dilarang untuk bepergian jauh karena memikirkan 169
Kelasa Vol. 11 No. 2, Desember 2016: 165—178
keselamatan mereka sendiri. Jika pada zaman dahulu keselamatan seseorang bisa terancam karena faktor alam, misalnya terjadi bencana alam, diserang binatang buas, ataupun hal lainnya. Pada zaman modern seperti saat inipun, keselamatan seseorang juga bisa terancam kapan saja. Kecelakaan, perampokan, atau masalah lainnya. Pernikahan bagi masyarakat Enim adalah hal yang sangat sakral, oleh karena itu, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, bukan hanya pihak calon mempelai wanita yang menanggung malu, akan tetapi pihak calon mempelai laki-lakipun akan malu. Oleh karena itulah, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka kedua calon pengantin ini biasanya akan dilarang untuk bepergian jauh ketika waktu pernikahan mereka sudah dekat. Pantangan/larangan selanjutnya diperuntukkan bagai kaum perempuan yang tengah mengandung. Muncul sebuah larangan yang berbunyi: 3.1.3”Dek ilok uhang buntengdudok didepan pintu, kele anaknye susah keluagh(Tidak baik wanita hamil duduk dipintu, nanti anak yang di kandungannya susah keluar)” Pantangan yang satu ini hingga saat ini masih sangat dipercayai oeh masyarakat Enim. Seseorang yang sedang hamil sangat dilarang untuk duduk di depan pintu karena dipercaya jika seorang wanita hamil duduk di pintu, maka anak yang dikandungnya akan sulit untuk keluar nantinya. Pintu dianalogikan sebagai mulut rahim, jika sang calon ibu sering duduk di depn pintu maka dipercaya aan kesulita saat hendak melahirkan, anak yang dikandungnya dipercaya seolaholah tidak mau keluar dari rahim ibunya. Satu alasan yang paling logis dari pantangan/larangan ini adalah pintu 170
sebagai tempat keluar-masuk atau tepat orang berlalu lalang memang bukanlah tempat yang baik untuk dijadikan tepat duduk. Bukan hanya bagi kaum ibu hamil saja, akan tetapi semua orang sebenarnya tidak diperbolehkan untuk duduk-duduk didepan pintu karena akan menghalangi aktivitas orang yang ada di dalam rumah tersebut. 3.1.4”Dek ilok uhang bunteng melilitkan andok ke liagh, kele anaknye dililit tali pusat(Tidak baik wanita hamil melilitkan handuk ke lehernya, nanti anak yang di kandungannya terlilit tali pusar)” Pantangan melilitkan handuk ke leher hingga saat ini masih menjadi mitos yang dipercaya masyarakat Enim. Seorang wanita yang tengah mengandung pantang untuk melilitkan handuk ke leher karena dipercayai jika si jabang bayi yang dikandungnya akan ikut terlilit tali pusarnya laiknya handuk yang dia gunakan. Hubungan melilitkan handuk dan tali pusar atau tali plasenta pada bayi sebenarnya tidak ada sama sekali, namun kepercayaan ini masih sangat dipercaya. Wanita yang tengah hamil tidak akan berani untuk melilitkan handuk ke lehernya saat selesai mandi. Jika dikaitkan dengan fenomena sekarang, bayi yang terlilit tali plasenta juga tidak dalam ancaman bahaya. Kalaupun berbahaya, saat ini dunia medis sudah sangat maju dan hal tersebut dapat diatasi dengan baik. Padahal, ada mitos lain yang turut menyertai mitos terlilit tali plasenta ini. Konon, bayi yang lahir dengan terlilit tali plasenta akan diberkahi keserasian dalam penampilan. Dia akan terlihat pantas untuk mengenakan pakaian apa saja. Artinya, lahir dengan posisi terlilit tali plasenta tidak selamanya bersifat buruk.
Kepercayaan Rakyat Masyarakat… (Frenky Daromes Ardesya)
3.1.5 ”Men betine jangan kelanngkahan, kele sukagh jodoh (Kalau perempuan jangan sampai menikah didahului adik perempuannya, nanti susah dapat jodoh)” Pantangan/larangan agar tidak dilangkahi (didahului) oleh sang adik merupakan salah satu mitos yang berlaku bagi perempuan. Seorang perempuan yang didahului oleh adiknya menikah dipercayai akan semakin sulit untuk mendapatkan jodohnya. Hal inilah yang membuat para orang tua di masyarakat Enim berupaya untuk menikahkan anak gadis tertuanya menikah sebelum adik perempuannya yang lain. Jika terjadi hal di atas, biasanya si Kakak ataupun orang tua cenderung akan mempersulit pihak laki-laki yang melamar si Adik dengan permintaanpermintaan yang kadang tidak masuk di akal yang dikenal dengan istilah Kendak Semele. Jika disikapi secara logis, kecenderungan si Kakak kesulitan mendapatkan jodoh setelah didahului oleh si Adik adalah faktor usia yang akan relatif lebih tua dengan si Adik. Selain itu, beban psikologis si Kakak mungkin cenderung lebih pesimis lagi untuk mendapatkan jodoh setelah didahului oleh si Adik yang mungkin membuatnya semakin sulit bergaul di masyarakat. Keadaan ini dapat disikapi oleh si Kakak ataupun orang tua dengan berpikir secara positif, karena masalah jodoh seseorang tidak bisa dipaksakan. Pergaulan, sifat, dan kebiasaan mungkin menjadikan seseorang lebih menarik dibandingkan yang lainnya. Tidak terkecuali dalam hubungan kaka dan adik dalam suatu keluarga. 3.1.6 ”Dek ilok nyapu malam-malam, kelejaoh rejeki (Tidak baik menyapu
malam hari, nanti rezekinya menjauh)” Mitos menyapu malam hari menjauhkan rezeki juga berkembang di masyarakat Enim. Semua perempuan Enim tidak diperbolehkan menyapu malam hari. Mitos atau kepercayaan ini merupakan bentuk tanda jika waktu malam hari bukanlah waktu yang baik untuk menyapu. Bisa dibayangkan, pada zaman dahulu keadaan di desa-desa tidak sebaik sekarang. Listrik belum ada. Jika seseorang menyapu malam hari, apakah hasil yang diharapkan bisa sebaik jika dia menyapu pada siang hari? Hal ini menjadi pertanda jika sebaiknya menyapu dilakukan pada siang hari saat matahari terang yang tentunya hasil sapuan juga akan lebih bersih. Mitos ini sebenarnya mengajarkan sebuah nilai kebajikan, kelogisan, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Disamping suasana gelap pada malam hari, waktu malam adalah waktu semua keluarga untuk beristirahat. Tidak hanya pada zaman dahulu, di era modern seperti sekarang ini, kegiatan bersih-bersih rumahpun memang sebaiknya dilakukan pada siang atau pagi hari. Waktu malam adalah waktu istirahat dan bercengkrama dengan seluruh anggota keluarga setelah kesibukan yang dilakukan seharian. 3.2 Pantangan bagi Laki-laki Pantangan tidak hanya berlaku bagi kaum perempuan, kaum laki-laki Enim pun memiliki pantanganpantangan yang tidak boleh mereka langgar. Jika melanggar maka akan mendapatkan kesialan baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya. Berikut beberapa contoh pantangan yang tidak boleh dilakukan oleh kaum laki-laki: 171
Kelasa Vol. 11 No. 2, Desember 2016: 165—178
3.2.1 ”Men lanangdek ilok makan buntut ikan, kele dek jadi uhang(Lakilaki tidak baik makan buntut ikan, nanti tidak jadi orang yang berkedudukan)” Pantangan ini menjadikan kaum pria untuk selalu mendapatkan bagian kepala jika menyantap lauk ikan. Mereka meyakini jika kepala ikan dianggap sebagai simbol seorang pemimpin. Laiknya ikan, kepala adalah bagian yang selalu menjadi yang terdepan dan menentukan arah. Kepala juga yang bertangung jawan atas seluruh anggota tubuh lainnya karena pada bagian kepala lah otak berada. Jika dicermati, sebenarnya nilainilai yang hendak disampaikan dalam pantangan tersebut sangat mulia. Jika ditilik dari segi dagingnya, kepala ikan adalah bagian yang paling sedikit dagingnya. Namun, mengapa justru bagian tersebutlah yang harus dimakan oleh seorang kepala keluarga atau calon kepala keluarga. Artinya, seorang kepala keluarga harus memiliki tanggung jawab yang baik kepada seluruh anggota keluarganya, melindunginya dari segala marabahaya, menjadi pemimpin keluarga yang selalu bertindak adil dan bijak dalam menentukan segala keputusan, sekaligus menjadi teladan yang baik bagi seluruh anggota keluarganya. 3.2.2”Neman-neman makan ketengayam, engke giat mencari(Sering-sering makan kaki ayam, supaya giat bekerja)” Kepercayaan tentang hal ini sbenarnya lebih dekat pada petuah atau nasihat yang diberikan kepada kaum laki-laki agar dapat lebih giat bekerja. Ketekunan dan kerja keras ini disamarkan melalui ayam yang mengais tanah untuk mencari makan. Jika seekor ayam yang hanya memiliki dua kaki saja 172
bisa memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari dengan baik, maka seharusnya manusia yang memiliki kesempurnaan fisik memiliki tingkat kehidupan yag lebih baik dari binatang tersebut. Melalui kepercayaan yang muncul tersebut, para tetua dulu mengajarkan bagaimana seseorang, khususnya kaum laki-laki yang memiliki tanggung jawab sebagai kepala keluarga untuk dapat bekerja keras, tekun, ulet, dan bersungguh-sungguh dalam memenuhi seluruh kewajibannya sebagai seorang kepala keluarga. Mereka dituntut untuk memaksimalkan seluruh potensi yang ada dalam diri mereka sebaik-baiknya. Kaum lelaki bagi masyarakat Enim adalah orangorang yang paling bertanggung jawab terhadap keluarga mereka, khususnya bagi laki-laki yang teah memiliki keluarga, mereka harus menafkahi keluarga mereka dengan laik dan bertanggung jawab terhadap seluruh anggota keuarga yang lainnya. 3.2.3 ”Jangan galak beketek, kele banyak utang(Jangan suka bergendang, nanti banyak utang)” Larangan untuk tidak bergendang ini juga merupakan bentuk nasihat. Jika dicermati, menabuh gendang merupakan perbuatan untuk menghibur diri dikala santai, sedang berkumpul-kumpul dengan teman, ataupun untuk menghabiskan waktu luang saja. Lain halnya jika orang tersebut memang seorang penabuh gendang di kelompok musik atau kelompok kesenian lainnya. Seseorang yang sering bergendang-gendang tanpa alasan yang jelas jelas memperlihatkan sifat malas mereka. Jika mereka sering bergendang, kapan mereka akan bekerja mencari nafkah. Hal inilah yang kemudian menimbulkan larangan di atas. Seorang
Kepercayaan Rakyat Masyarakat… (Frenky Daromes Ardesya)
lelaki harus memanfaatkan waktu mereka dengan sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan sesuatu yang berguna untuk masa depan mereka. Kaum lelaki harus bekerja lebih giat dan rajin karena tanggung jawab mereka sebagai calon kepala keluarga atau kepala keluarga bagi yang sudah menikah. 3.2.4 “Dek ilok mbunuh binatang men bini dang bunteng, keleanaknye luk binatangyang dibunuh tu(Tidak baik membunuh binatang jika istri sedang mengandung, nanti anaknya lahir seperti binatang yang telah dibunuh)” Pantangan/larangan untuk tidak membunuh binatang saat istri tengah mengandung masih juga sangat dipercaya oleh masyarakat Enim hingga saat ini. Membunuh binatang dipercaya akan mengakibatkan si jabang bayi memiliki rupa ataupun sifat yang sama dengan binatang yang sang ayah bunuh, apalagi binatang tersebut ternyata mati dengan cara yang mengenaskan, disiksa terlebih dahulu, ataupun sekedar cacat (tidak samapai mati). Nilai yang dapat diambil dari pantangan ini adalah nilai kasih sayang terhadap sesama dan lingkungan. Seseorang harus menjaga hubungan baiknya tidak hanya dengan manusia semata. Hubungan dengan binatang dan alam sekitar juga harus diperhatikan dengan baik agar terjadi keseimbangan. Manusia memiliki ketergantungan terhadap alam beserta isinya, salah satunya binatang. Binatang boleh saja diburu asalkan tepat caranya dan tidak merusak habitat dan tidak dilakukan secara serampangan. Pantang/ larangan ini juga mencerminkan pentingnya rasa saling mengasihi antar sesama makhluk ciptaan Tuhan. Tidak terkecuali kepada binatang sekalipun.
3.2.5 ”Jangan galak makan sayap ayam kele di sipakkan uhang bai idopnye(Jangan suka memakan sayap ayam, nanti hidupnya selalu di singkirkan orang)” Kepercayaan makan sayap ayam akan membuat hidup selalu tersingkir di masyarakat merupakan salah satu mitos yang berkembang di masyarakat Enim. Hal ini tidak terlepas dari pertanda yang mengibaratkan ayam yang mengepakkan sayapnya akan membuat segala sesuatu yang ada disekitarnya menjadi berantakan. Justru logikanya, jika kibasan sayap ayam yang membuat berantakan apa yang ada disekitarnya merupakan pertanda baik. Artinya seseorang akan mampu mengatasi semua halangan yang ada disekitarnya. Seseorang harus menjadi orang yang tangguh dan mampu mengatasi maslah dalam hidupnya. Paling tidak kepercayaan yang seperti itu akan menumbuhkan rasa optimisme dan kepercayaan diri. 3.3. Kepercayaan tentang Firasat atau Isyarat Alam Kepercayaan firasat atau isarat adalah kepercayaan yang berisi tandatanda alam bagi manusia tentang adanya sesuatu yang perlu diketahui atau diwaspadai. Isarat bisa berasal dari alam lingkungan sekitar dan diri sendiri. berikut beberapa contoh kepercayaan tentang firasat atau isarat alam adalah: 3.3.1 ”Dek ilek ade ulagh masok ghumah, bakalan ade balak (Tidak baik jika ada ular yang masuk ke rumah, bakalan ada bencana/kesialan)” Pertanda berupa ular yang masuk ke dalam rumah merupakan sebuah pertanda yang dianggap kurang 173
Kelasa Vol. 11 No. 2, Desember 2016: 165—178
baik oleh masyarakat Enim. Ada sesuatu yang jahat tengah mengintai keluarga tersebut. Hal ini tidak terlepas dari sifatsifat ular yang mewakili sosok jahat, baik dipandang dari segi kepercayaan adat maupun dari sudut pandang agama. Ular dalam pandangan masyarakat Enim mewakili sosok jahat yang harus disingkirkan. Jika di rumah seseorag dimasuki seekor ular maka dipercayai jika mereka akan mengalami hal-ha yang kurag baik nantinya. Kepercayaan ini dalam pandangan secara logis bisa dipahami. Jika dalam rumah seseorang terdapat seekor ular berbisa, maka otomatis para penghuni rumah akan dihantui rasa was-was. Paling tidak kekhawatiran terhadap patukan ular tersebut membuat seisi rumah akan merasa ketakutan. Dan hal buruk yang difirasatkan bisa saja benarbenar terjadi jika si ular mematuk salah satu anggota keluarga yang bisa saja membahayakan nyawa orang tersebut. 3.3.2 “Dek ilok men mimpi gigi pacol, nandekan ade keluar geyang nakmati (tidak baik jika bermimpi gigi tanggal, menandakan ada anggota keluarga yang akan meninggal dunia)” Pertanda ini biasanya muncul melewati mimpi. Mimpi gigi yang tanggal dipercayai sebagai mimpi yang sangat buruk karena bisa menjadi pertanda jika seseorang dalam keluarga inti yang akan meninggal dunia. Jika dilihat relevansinya tentu tidak ada hubungan antara gigi dan anggota keluarga yang akan meninggal. Namun, pertanda dapat dimaknai dari pentingnya fungsi gigi bagi seseorang. Jika seseorang kehilangan salah satu giginya, maka akan meninggalkan rasa tidak nyaman yang berkepanjangan, makan menjadi tidak nikmat, mengunyah makanan menjadi tidak 174
maksimal, dan meninggalkan bekas yang tidak bisa hiang sampai kapanpun. Bagian gigi yang tanggalpun akan tetap menyisakan ruang yang selalu dapat dilihat. Setidaknya pertanda tersebut menjadi pertanda buruk dengan alasanalasan tersebut. Jika seseorang dalam anggota keluarga ‘tercabut’ dalam kehidupan kita, pastiya akan menyisakan banyak duka, kehilangan, hingga kenangan-kenangan manis tentang orang yang ditinggalkan dalam waktu yang lama. 3.3.3. ”Men ade suagheuhangmanggel di utan jangan di jawab men lum tige kali, kele dapat balak(kalau ada suara orang memanggil di hutan jangan di jawab sebelum tiga kali terdengar, nanti dapat bencana)” Pantangan/larangan berikut ini memiliki nilai magis yang sangat kuat. Hingga kini masyarakat masih percaya jika larangan yang satu ini tidak boleh dilanggar. Pantangan ini muncul dari aktivitas masyarakat yang pada zaman dahulu banyak dihabiskan di kebun atau ladang. Mereka meyakini jika di hutan memiliki kekuatan gaib yang tidak dapat diterima akal dan logika. Jika seseorang mendapat atau mendengar panggilan orang yang memanggilmanggil namanya di hutan, sebelum tiga kali, mereka tidak akan merespon atau menjawab, karena mereka yakini kalau panggilan tersebut bukan berasal dari manusia, akan tetapi dari makhuk halus penunggu hutan tersebut. Dan jika mereka menjawab panggilan tersebut maka berbagai kesialan akan mereka alami, misalnya demam panas, tersesat, atau hilang di tengah hutan. Kejadiankejadian orang-orang yang hilang selama beberapa hari atau beberapa bulan di hutan-hutan sekitar memang bukan cerita isapan jempol belaka. Tidak sedikit orang hilang tersebut
Kepercayaan Rakyat Masyarakat… (Frenky Daromes Ardesya)
hilang untuk selamanya, beberapa orang yang berhasil ditemukan juga dalam kondisi yang mengenaskan. Biasanya mereka sudah bertingkah laku seperti hewan buas, tidak mengingat apapun, dan sangat agresif untuk menyerang. Untuk pertanda yang satu ini, penulis tidak memiliki alasan untuk membenarkan atau menyalahkan kepercayaan tersebut. Satu yang dapat disimpulkan adalah sebaiknya seseorang dapat berhati-hati saat berada di tengah hutan dan menyimak dengan benar setiap pergerakan atau suara-suara yang ada agar dapat terhindar dari marabahaya dimanapun berada. 3.3.4 “Dek ilok men ade buhung numbur kace, usapi kepalenye ngan minyak, supaye dek mbawe balak(Tidak baik jika ada burung yang terbang menabrak kaca rumah, usap kepalanya dengan minyak, supaya tidak membaca bencana)” Mitos burung yang menabrak kaca rumah akan mendatangkan bencana atau petaka bagi si empu rumah juga masih dipercaya di masyarakat Enim. Biasanya, jika ada burung yang menabrak kaca rumah mereka, burung tersebut akan diusap dengan minyak kelapa di kepalanya sambil di sauri (diajak bicara). Cara menyaurinya ” men kamu mbawe rejeki, rejeki lah sampai, tapi men kamu mbawe balak bawelah lagi jaoh-jaou” (jika kamu membawa rezeki maka rezekinya sudah sampai, tapi jika kamu membawa bencana, maka bawalah pergi lagi jauhjauh) sambil melepas burungnya. Kepercayaan ini sebenarnya biasa saja terjadi di era modern seperti saat ini. Burung atau unggas lainnya bisa saja menabrak kaca rumah atau gedung karna mengira tidak ada penghalangnya. Namun nilai yang bisa
diambil dari mitos ini adalah nilai kasih sayang. Melalui mitos ini menandakan bahwa orang-orang zaman dahulu begitu bijaknya menyikapi berbagai peristiwa. Bahkan seekor burung yang menabrak kacapun bisa menjadi sebuah pertanda. Sauran kepada si burung merupakan sebuah doa yang juga tidak ada salahnya. Jika memang mendatangkan kebaikan maka harus diterima, namun jika mendatangkan keburukan diharapkan dapat dihindarkan. Kebiasaan atau mitos mengusap dengan minyak kelapa bisa jadi juga sebagai obat bagi si burung yang mungkin kepalanya terluka saat menabrak kaca. Dengan diusapkan minyak kelapa diharapkan bisa mengobati burung tersebut. 3.3.5 ”Men ade rame-rame masok ghumah, tandenye ade tamu yang nak datang(Kalau ada kupu-kupu (kecil berwarna coklat) masuk rumah, tandanya akan ada tamu yang datang)” Mitos tentang rame-ramemasuk rumah hingga kini masih sangat populer di masyarakat Enim. rame-rameadalah jenis kupu-kupu kecil berwarna coklat. Kehadiran rame-ramedi dalam rumah dipercayai akan kedatangan tamu baik dari lingkungan keluarga ataupun tamu lainnya. Kepercayaan ini kemudian membuat masyarakat Enim biasanya tidak terkejut lagi jika memang suatu hari kehadiran tamu tersebut benarbenar terjadi. Pertanda ini kemungkinan memang didapatkan dari hasil pengamatan orang-orang terdahulu, sama halnya keyakinan lainnya yang mengatakan jika ada dahan/pelepah kelapa yang jatuh itu tandanya hari/tanggal ganjil. 175
Kelasa Vol. 11 No. 2, Desember 2016: 165—178
Hasil pengamatan yang sangat lama dan berulang, kemudian dikaitkan dengan kehadiran seseorang ini membuat mitos rame-ramemasih bertahan hingga saaat ini. Hal positif yang dapat diambil dari pertanda ini adalah seseorang akan menjadi siap ketika rumahnya kedatangan tamu. Mereka mungkin dapat menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut kehadiran sang tamu. 3.3.6 ”Men nanam jagong jangan ketawe, kele buahnye jarangjarang(Kalau menanam jagung jangan sambil tertawa nanti jangungnya jarang-jarang buahnya)” Mitos menanam jagung sambil tertawa akan menghasilkan jagung yang isinya jarang juga berkembang di masyarakat Enim. Mereka memercayai jika menanam jagung sambil bercanda dan tertawa akan menghasilkan jagung yang jarang-jarang. Kepercayaan ini sebenarnya merupakan pertanda jika kita harus mengerjakan segala sesuatu dengan serius dan bersungguh-sungguh. Jika kita melakukan suatu pekerjaan dengan setengah hati, sambil bermain, dan tidak bersungguh-sungguh maka hasil yang diharapkanpun tidak akan sesuai dengan kenyataan. Kebiasaan masyarakat Enim yang menanam jagung dengan cara ditugalkan (dibuat lobang dengan kayu dengan jarak tertentu) merupakan kegiatan yang membutuhkan konsentrasi dan ketekunan. Hasil jarang yang dimaksud adalah hasil tanam, bukan buah jagungnya. Hal ini sangat mungkin terjadi, jika mengisi lobang sambil bercanda, maka besar kemungkinan ada lobang-lobang yang terlewatkan untuk diisi. Intinya, dalam melakukan sebuah pekerjaan harus dilakukan 176
dengan serius dan sungguh-sungguh agar mendapatkan hasil yang terbaik. 3.3.7 “Men nanam padi jangan liwat ndai due likur kele padinye pait(Kalau hendak menanam padi jangan lewat dari tanggal duapuluh satu, nanti padinya pahit)” Mitos menanam padi sesuai hitungan yang berlaku di masyarakat merupakan kepercayaan yang hingga kini dipercayai oleh masyarakat Enim. Dua likur merupakan bulan terakhir untuk jadwal menanam padi. Mitos padi yang ditanam setelah lewat hitungan dua likur akan terasa pahit adalah hasil panen yang diharapkan tidak akan sebanyak saat mereka menanam dijadwal sebelum dua likur. Dua likurbiasanya dihitung mulai musim penghujan tiba, yaitu sekitar bulan september. Jika melewati musim tersebut, maka cuaca sudah berubah ke musim kemarau yang tentu saja air sulit didapat. Hal ini tentunya berpengaruh pada hasil panen. Biasanya padi yang ditanam adalah jenis padi tahunan yang mengandalkan curah hujan sebagai sumber air. Selain kesulitan dalam hal pengairan, setelah lewat dua likurbiasanya tidak banyak lagi/tidak ada lagi petani padi lain yang menanam, sehingga hama penyakit yang menyerang padi akan lebih banyak karena tidak terbagi dengan kebunkebun yang lain yang sudah panen sebelumnya. Kesulitan-kesulitan inilah yang kemudian ditandai dengan ’Padi Pahit’. Terasa pahit bagi petani karena hasil yang diharapkan tidak sesuai dengan jika mereka menanam sesuai hitungan tanam yang seharusnya. 3.4 Masyarakat Enim dalam Memaknai Sebuah Pertanda.
Kepercayaan Rakyat Masyarakat… (Frenky Daromes Ardesya)
Berdasarkan hasil analisis terhadap beberpa kepercayaan masyarakat Enim yang terbagi dalam tiga kelompok besar di atas dapat dipahami bagaimana masyarakat Enim memaknai setiap fenomena alam disekitar mereka. Tanda-tanda yang berasal dari alam menjadi salah satu rujukan untuk mengambil keputusan, baik dalam hubungannya dengan kehidupan sebagi individu, kehidupan dalam bermasyarakat, maupun menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan lingkungan sekitar. Kehidupan sebagai makhluk pribadi tercermin dalam beberapa tanda yang berasala dari alam maupun keadaan sekitar yang juga tidak berlaku secara universal seluruhnya. Antara lelaki dan perempuan terdapat perbedaan-perbedaan pantangan yang tidak boleh mereka lakukan, hal ini menjadi sangat menarik. Bagaimana sebuah masyarakat yang belum begitu modern bisa membuat tatanan kehidupan yang sedemikian teratur dalam mengatur kehidupan sehari-hari sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan peran mereka dalam masyarakat. Tatanan kehidupan dimasyarakat-pun terbentuk melalui kepercayaan-kepercayaaan, pantanganpantangan, dan aturan yang bisa berlaku universal maupun individual. Contonya, bagaiamana aturan tempat mereka mandipun sudah mereka atur dengan baik. Lelaki tidak boleh mandi di pemandian perempuan, demikian juga sebailiknya. Jika ada yang melakukan pelangggaran maka akan ada sanksi adat yang bakal mereka terima. Semua ini menggambarkan keteraturan yang sangat baik yang justru menjadi tidak terpelihara di zaman modern saat ini. Masyarakat Enimpun diajarkan bagaimana menjaga keseimbangan
hidup dengan alam. Tanda-tanda dari alam menjadi pertanda bagi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tercermin dari pantangan-pantangan yang ada, misalnya tidak boleh berkebun memotong aliran sungai atau di bibir jurang/tebaran jala (tbaran al) karna dipercayai akan membuat si petani terbunuh yang sebenarnya jika dilakukan maka akan membahayakan si petani itu sendiri. Pertanda alam juga membuat mereka bijak dalam menyikapi sesuatu. Contohnya, jika ada seekor kupu-kupu yang mereka kenal dengan Rame-rame masuk rumah merupakan pertanda akan ada tamu yang datang. Pertanda seperti ini kemudian mereka jadikan alasan untuk membersihkan rumah, merapikan rumah, atau menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut tapi jika benar-benar datang. Paling tidak kegiatan ini akan menjadikan rumah mereka menjadi lebih bersih dan rapi. Sebuah mitos atau kepercayaan yang berasal dari tanda-tanda ini besar kemungkinan tidak hanya terjadi di masyarakat Enim saja. Oleh karena itu, setiap pertanda yang ada di lingkungan kita ataupun dari alam bisa kita manfaatkan dengan baik jika kita sikapi dengan positif. 4. Simpulan Kepercayaan rakyat merupakan suatu ungkapan yang mungkin bersifat tahayul bagi sebagian orang yang berpikir secara logis, tetapi sering kali ditemui ’benar-benar terjadi’. Hal ini disebabkan oleh tingkat kepercayaan masyarakat yang sangat tinggi dan juga faktor kebetulan atau ketidak sengajaan yang kadang terjadi. Sebagai salah satu bentuk tradisi lisan, kelisanan kepercayaan rakyat ini bersifat primer yang artinya hanya berlaku bagi masyarakat tertentu saja, 177
Kelasa Vol. 11 No. 2, Desember 2016: 165—178
sedangkan bagi masyarakat yang berasal dari daerah lain kemungkinan untuk sama belum tentu terjadi. Kepercayaan rakyat tidak boleh di pandang dari sudut pandang agama yang kadang tidak membenarkan bentuk kepercayaan-kepercayaan seperti ini akan tetapi kepercayaan rakyat dapat di lihat dari fakta budaya diluar dari ajaran suatu agama, karena hingga saat ini kepercayaan rakyat tetap memiliki ’penganut’ tersendiri. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, kepercayaan rakyat Enim dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitupantangan bagi kaum perempuan, pantangan kaum lakilaki, dan kepercayaan tentang firasat atau tanda yang berasal darialam. Masing-masing pantangan mengatur cara bertingkah laku yang baik dalam hubungan selaku individu, bermasyarakat, maupun dalam menjaga keharmonisan lingkungan di sekitarnya. Dengan adanya alasan-alasan yang cukup logi yang dikemukakan dalam tulisan ini setidaknya memberikan pemahaman dari sudut pandang yang berbeda terhadap sebuah kepercayaan rakyat. Kita tidak boleh menelan mentah-mentah semua informasi sebelum menemukan bukti yang logis untuk mendukung pendapat tersebut. Masih banyaknya data-data yang belum terolah secara maksimal dan pembahasan yang masih menyentuh ’kulit ari’ dari sebuah kajian tentang kepercayaan rakyat dalam segi pemaknaan menjadikan penelitian ini menyisahkan banyak ruang untuk dikaji dengan lebih mendalam lagi. Sebuah kajian antropologi sastra mungkin akan berhasil memaknai tanda-tanda lainnya yang tidak dapat dikupas oleh teori Pierce. Namun, melalui penelitian ini, setidaknya pembaca memiliki sedikit 178
gambaran tentang beberapa representasi tanda yang terkandung dalam kepercayaan rakyat yang berkembang di masyarakat Enim, khususnya di daerah Rambang Dangku. Daftar Acuan Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta. Grafiti Press. Ong, Walter J. 1983. Orality and Litelacy. New York. Metheun and Co.Ld Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Sugiyono. 2011. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta Sukatman. 2009. Butir-Butir Tradisi Lisan Indonesia, Pengantar Teori dan Pembelajarannya. Yogyakarta. LaksBang PRESSindo.