KEPEMIMPINAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA DI KAWASAN PERBATASAN INDONESIA - MALAYSIA (Kasus Pembangunan Kesehatan di Desa Nanga Bayan, Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat)
GUSTI MUHAMMAD FADLI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kepemimpinan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Desa di Kawasan Perbatasan Indonesia dengan Malaysia (Kasus Pembangunan Kesehatan di Desa Nanga Bayan, Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Februari 2010
Gusti Muhammad Fadli NIM I353070121
ABSTRACT Gusti Muhammad Fadli. Community Leadership And Participation Of Village Development In Boundary Area Of Indonesia – Malaysia. Under the Supervision of Titik Sumarti and Djuara P Lubis Village government leadership has a role as the agency that responsible for the development whether physical and non physical. In terms of community service, village government leadership acts as a community facilitator. The purpose of this study was to 1) Describing the mayor's leadership in formulating and implementing development policies, 2) Describing community participation in development. This study employed a qualitative descriptive method because it is based on a particular object. The only research site is the village of Nanga Bayan. The research result indicates that health development program was not able to motivate community participation in village health center development program. Begin with planning process, implementation and control. The community participation is not optimal yet, especially in ideas and suggestions and in decision making. The problems in village health center development, mostly because of facilitator failure in socialization and facilitating the phase of activities. Pattern and approach conducted were less providing space availability for public to determine the program agenda. The form of community participation observed in this program is only physic, i.e., cooperation that already becomes a tradition in the village. Community participation in the village health center development implementation majority empowered by motives that they require village health center development. Thus, the program were not become an empowerment process to improve the ability of village government in the development activity. Keyword: Leadership, Participation, Development.
RINGKASAN Gusti Muhammad Fadli. Kepemimpinan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Desa di Kawasan Perbatasan Indonesia - Malaysia. Dibimbing oleh Titik Sumarti dan Djuara P Lubis Penelitian secara umum bertujuan untuk : (1) mendiskripsikan peran kepemimpinan kepala desa dalam merumuskan kebijakan dan mengimplementasikan pembangunan, (2) mendiskripsikan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di Desa Nanga Bayan (3) menganalisis interaksi antara kepemimpinan pemerintahan desa dengan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan di Desa Nanga Bayan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif karena berdasarkan fenomena tertentu, yaitu kasus program pembangunan kesehatan di desa kawasan perbatasan. Penelitian ini dilakukan di Desa Nanga Bayan. Pengumpulan data dengan menggunakan tekhnik bola salju (snowball). Penggalian informasi secara umum dengan mengadakan diskusi kelompok. Diskusi ini ditujukan untuk melihat gambaran umum mengenai pemerintahan desa dan permasalahannya dari sudut pandang subjek kasus yang terdiri dari: kepala adat, kepala dusun, ketua adat, tokoh masyarakat, ketua RT, dan mantan kepala desa. Penggalian lebih dalam mengenai informasi yang dibutuhkan dilakukan dengan wawancara mendalam. Hasil penelitian di analisis dengan menggunakan model analisis interaktif. Dalam penelitian ini di analisis bahwa pembangunan merupakan proses yang membutuhkan kepemimpinan dan partisipasi. Kepemimpinan dan partisipasi sulit dipisahkan, keduanya seperti dua sisi mata uang. Kepemimpinan yang bagus tetapi dilandasi dengan partisipasi yang jelek tidak akan membawa proses pembangunan mencapai hasil secara maksimal. Demikian juga sebaliknya, partisipasi yang bagus tetapi kepemimpinan tidak mendukung juga membuat tujuan pembangunan sulit dicapai sesuai harapan. Di Desa Nanga Bayan terdapat kepemimpinan yang bersifat dualistik yang masing-masing memiliki legitimasi dan pengaruh yang kuat terhadap masyarakat dengan karakteristik yang berbeda yaitu kepemimpinan formal (kepala desa) dan kepemimpinan informal (temenggung). Pemerintah desa memperoleh legitimasi secara formal melalui surat pengangkatan dari Bupati sedangkan lembaga adat memperoleh legitimasi secara informal dari masyarakat. Meskipun pemerintah desa juga memperoleh legitimasi dari masyarakat melalui pemilihan langsung, namun kedua komponen ini tidak saling berebut pengaruh melainkan yang terjadi adalah pembagian fungsi pelayanan terhadap masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah desa lebih berfungsi untuk hal-hal yang berkenaan dengan masalah/urusan administrasi sedangkan lembaga adat lebih cenderung difungsikan untuk masalah/urusan yang berkenaan dengan kehidupan sosial di desa seperti penyelesaian perkara, ritual, perkawinan, termasuk aktivitas pertanian. Pelaksanaan fungsi kedua tipe kepemimpinan ini memiliki landasan yang berbeda dimana pemerintah desa lebih dominan berlandaskan pada aturan-aturan formal sedangkan lembaga adat lebih dominan merujuk pada hukum-hukum adat. Dugaan sementara bahwa tipe kepemimpinan di desa Nanga Bayan baik formal maupun informal cenderung lebih menunjukkan tipe kepemimpinan demokratis dimana aspek pengambilan keputusan dilakukan secara bersama-sama
dengan konstituen (masyarakat). Namun hasil analisis menunjukkan bahwa type kepemimpinan yang ada di desa Nanga Bayan cenderung otoriter. Hal ini tercermin lewat pembangunan pos kesehatan desa lebih didominasi oleh pemerintahan desa dan mekanisme pelaksanaan pembangunannya secara umum masih bersifat top down, mulai dari aspek perencanaan hingga pengawasan. Oleh sebab itu partisipasi warga masih terbatas pada mobilisasi dalam kegiatan pembangunan desa. Artinya warga berpartisipasi hanya pada saat ada kegiatan pembangunan saja. Dualisme kepemimpinan yang dijumpai di Desa Nanga Bayan tidak dipandang sebagai masalah oleh masyarakat karena adanya aspek pembagian fungsi sebagaimana diutarakan di atas. Dengan kata lain, meskipun pemerintah desa dan lembaga adat memiliki konstituen yang sama namun hal ini tidak menimbulkan benturan baik secara fungsi maupun pengaruh. Adanya hubungan antara kepemimpinan dengan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan pos kesehatan desa dilandasi oleh aspek sosial budaya yaitu: Pertama, terdapat hubungan antara kepemimpinan kepala desa dengan warga desa. Dalam hal ini, intensitas dalam memotivasi masyarakat, membimbing dan interaksi komunikasi yang dilakukan kepala desa, serta pemberian kesempatan kepada warga desa untuk berpartisipasi dalam sosialisasi perencanaan kegiatan telah dan meningkatkan partisipasi warga desa dalam pembangunan desa. Kedua, nilai-nilai budaya tradisional tentang pola perilaku interaksi dalam hubungan kekerabatan mempengaruhi hubungan antara kepemimpinan kepala desa dengan partisipasi warga desa. Dalam hal ini, posisi otoritas kepala desa dilegitimasi nilai-nilai tradisional telah menempatkan kepemimpinan kepala desa dalam posisi ideal untuk menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
KEPEMIMPINAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA DI KAWASAN PERBATASAN INDONESIA – MALAYSIA (Kasus Pembangunan Kesehatan di Desa Nanga Bayan, Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat)
GUSTI MUHAMMAD FADLI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Tesis
:
Nama
:
Kepemimpinan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Desa di Kawasan Perbatasan Indonesia – Malaysia ( Kasua Pembangunan Kesehatan di Desa Nanga Bayan, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat) Gusti Muhammad Fadli
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Titik Sumarti, M.S Ketua
Dr. Ir. Djuara P Lubis, M.S Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi/Mayor Sosiologi Pedesaan
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc
Tanggal Ujian: 3 Februari 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Lulus:
PRAKATA Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Kepemimpinan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Desa di Kawasan Perbatasan Indonesia – Malaysia (Kasus Pembangunan Kesehatan di Desa Nanga Bayan, Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat). Penghargaa dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Dr. Ir. Titik Sumarti, M.S dan Dr. Ir. Djuara P Lubis, M.S selaku komisi pembimbing atas arahan dan wawasan yang telah diberikan selama penulisan berlangsung. 2. Ir. Said Rusli, MA selaku penguji luar komisi 3. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc selaku Ketua Program Studi Mayor Sosiologi Pedesaan. 4. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, dan koordinator Mayor Sosiologi Pedesaan yang telah memberikan kesempatan bagi penulis mengikuti pendidikan Strata 2 di IPB. 5. Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang yang telah memberikan kesempatan bagi penulis mengikuti pendidikan Strata 2 di IPB. 6. Teman-teman seperjuangan di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Sintang atas dukungan kepada penulis selama mengikuti pendidikan. 7. Bapak Andreas kepala desa Nanga Bayan, masyarakat desa Nanga Bayan Kecamatan Ketungau Hulu yang telah menerima penulis untuk melakukan penelitian di daerahnya dan kepada seluruh informan yang telah bersedia memberikan informasi untuk kepentingan penelitian ini. 8. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman angkatan 2007 Program Studi Mayor Sosiologi Pedesaan yang tidak pernah habis-habisnya memberikan dukungan dan semangat kepada penulis hingga penulisan ini selesai. 9. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua Adi Nurman Iskam (alm) dan Mas Rusmini (alm) serta ananda Mas Ashifa Vera Fadila (alm) semoga mendapat tempat yang layak di sisi Allah SWT. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada isteri Lisnawati dan anak Mas Sufefty Febby Chairani, Gusti Alvi Ridho Fadhel dan Gusti Fatih Nurfadhel atas segala pengertiannya dan pengorbanannya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas belajar pada Program Pascasarjana IPB.
Bogor, Februari 2010
Gusti Muhammad Fadli
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sintang tanggal 19 April 1967 dari pasangan Bapak Adi Nurman Iskam (alm) dan Ibu Mas Rusmini (alm) sebagai putra pertama dari empat bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh di SD Negeri X Sintang, pendidikan SLTP di SMP Purnama Sintang dan pendidikan SLTA di SMAN I Sintang. Pada Tahun 2001 penulis lulus dari Universitas Kapuas Sintang pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi Negara dan pada tahun 2007 diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister pada Sekolah Pascasarjana IPB melalui tugas belajar dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang. Pada saat ini penulis bekerja di Pemerintahan Daerah Kabupaten Sintang pada instansi Dinas Kesehatan Kabupaten Sintang sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL………………………………………………………… DAFTAR GAMBAR……………………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………
iii iv v
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1.2. Rumusan Masalah ..................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian .......................................................................
1 1 5 6 6
II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Konsep Pembangunan ..................................................... 2.1.2. Pemerintahan Desa .......................................................... 2.1.3. Kekuasaan dan wewenang .............................................. 2.1.4. Kepemimpinan (leadership) ............................................ 2.1.5. Type Kepemimpinan ....................................................... 2.1.6. Kepemimpinan formal dalam membangun perekonomian desa .......................................................... 2.1.7. Kepemimpinan Informal Dalam Pembangunan Desa ..... 2.1.8. Beberapa Studi tentang Kepemimpinan .......................... 2.1.9. Partisipasi ……………………………….……………... 2.2. Kerangka Pemikiran .................................................................
8 8 8 11 13 15 18 24 26 27 28 31
III METODE PENELITIAN …………………………………………. 3.1.Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 3.2.Pendekatan dan Strategi Penelitian ............................................ 3.3.Metode Pengumpulan Data ......................................................... 3.4.Metode Analisis Data ................................................................. 3.5.Definisi Konseptual ......................................................................
36 36 37 37 40 43
IV GAMBARAN UMUM DESA …………………………………….. 4.1. Kondisi Geografis ............................................................................. 4.2. Kondisi Demografis ……..……………………................................ 4.3. Kondisi Perekonomian ………….………………………................ 4.4. Tradisi Masyarakat …………………………………………........... 4.5. Kelembagaan Desa ………………………………........................... 4.6. Kondisi Sarana dan Prasarana ………………..……………………
44 44 47 48 52 56 60
V PROGRAM PEMBANGUNAN DI DESA NANGA BAYAN DAN MEKANISMENYA …………………………………………. 5.1. Peningkatan Kualitas Pendidikan ................................................ 5.2. Peningkatan Sistem Pelayanan Kesehatan ................................... 5.3. Peningkatan dan Pemberdayaan Masyarakat ...............................
63 65 68 73
5.4. Pembangunan Infrastruktur .......................................................... 5.5. Mekanisme Perencanaan Program di Desa Nanga Bayan .......... 5.6. Pembangunan Pos Kesehatan Desa Sebagai Prioritas ...............
76 79 84
89 VI KEPEMIMPINAN DALAM PEMBANGUNAN POSKESDES 6.1. Situasi Kepemimpinan di Desa Nanga Bayan .................…...… 89 6.2. Kepemimpinan Formal (Pemerintahan Desa) .................…... 90 6.3. Kepemimpinan Informal (Pemerintahan Adat) ….................. 97 6.4. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Poskesdes ............. 101 6.5. Analisis Interaksi Kepemimpinan dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Program Pembangunan Desa 108 6.6. Manfaat Program Pembangunan Desa …..……........................... 118 VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan .................................................................................
122
7.2. Saran ...........................................................................................
122
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 124 LAMPIRAN ................................................................................................. 129
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Jumlah informan dan subjek kasus................................................................
38
2.
Matriks Data Penelitian ................................................................................
40
3.
Jumlah Penduduk Desa Nanga Bayan berdasarkan jenis kelamin dan dusun Tahun 2009 ..................................... Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan formal tahun 2009 ........
47
4.
48
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka pemikiran penelitian...................................................
34
2.
Lokasi Penelitian .......................................................................
36
3.
Model analisis interaktif ............................................................
41
4.
Hubungan antara lembaga desa dalam bekerja ..........................
79
5.
Mekanisme Perencanaan Program di Desa Nanga Bayan .........
83
6.
Pola interaksi kepemimpinan dan partisipasi masyarakat ..........
111
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Pedoman wawancara ..................................................................
129
2.
Form catatan harian ....................................................................
132
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Kabupaten Sintang merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara lain, yaitu Malaysia khususnya Negara Bagian Sarawak. Kondisi ini membawa konsekwensi, baik dari segi ekonomi, sosial dan politik terhadap Kabupaten Sintang pada khususnya dan kehidupan nasional pada umumnya. Dari segi ekonomi, kawasan perbatasan akan memicu pola hubungan yang diwarnai persaingan atau perbedaan ekonomi yang cukup tajam. Dari segi sosial, kawasan perbatasan berpotensi melahirkan pola interaksi berbagai dampak baik positif maupun negatif. Sedangkan dari segi politik, kawasan perbatasan akan berimplikasi pada kadaulatan negara serta harga diri bangsa di mata negara lain. Keberadaan dan peranan pemerintahan desa sangat diperlukan untuk memberikan kontribusi dalam pembangunan dan pengembangan kawasan perbatasan tersebut sebagai kawasan prioritas, wilayah maju dan berkembang sehingga menjadi “halaman depan” yang menentukan citra dan kedaulatan negara dengan melaksanakan fungsi pemerintahan seperti yang termuat dalam UU No. 32/2004 bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan Nasional sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Secara teoritis, menurut Davey (1988). ada tiga fungsi utama yang harus dilaksanakan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu public service funtion (fungsi pelayanan masyarakat), development function (fungsi pembangunan) dan protection function (fungsi perlindungan). Fungsi pelayanan masyarakat lebih berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintah, kegiatan pemberian berbagai pelayanan umum maupun fasilitas – fasilitas sosial kepada masyarakat seperti penyediaan pendidikan, kesehatan, pengurusan sampah, air minum, dan sebagainya. Fungsi pembangunan mendudukkan pemerintah sebagai agen pembangunan, terutama dalam merangsang dan mendorong pembangunan untuk meningkatkan taraf hidup warganya. Pemerintah
2
mengeluarkan
berbagai
kebijakan
ekonomi,
mendirikan
pasar-pasar,
mengeluarkan surat ijin berusaha, menyiapkan jaringan jalan dan jembatan serta fasilitas-fasilitas lainnya yang menunjang pembangunan. Fungsi perlindungan memberikan peran kepada pemerintah untuk melindungi warganya baik dari gangguan alam maupun gangguan yang disebabkan oleh manusia. Reformasi dan otonomi desa telah menjadi harapan baru bagi pemerintah dan masyarakat di desa untuk membangun desanya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Bagi sebagian besar aparat pemerintahan desa, otonomi adalah satu peluang baru yang dapat membuka ruang kreativitas bagi aparatur desa dalam mengelola desa (Setiawan, 2008). Hal itu jelas membuat pemerintah desa menjadi semakin leluasa dalam menentukan program pembangunan yang akan dilaksanakan, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat desa tanpa harus didikte oleh kepentingan pemerintah daerah dan pusat. Sayangnya kondisi ini ternyata belum berjalan cukup mulus. Sebagai contoh, aspirasi desa yang disampaikan dalam proses musrenbang senantiasa kalah dengan kepentingan pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) dengan alasan bukan prioritas, pemerataan dan keterbatasan anggaran. Dalam pembangunan desa, hal yang perlu diketahui, dipahami dan diperhatikan adalah berbagai kekhususan yang ada dalam masyarakat pedesaan. Tanpa
memperhatikan
adanya
kekhususan
tersebut
mungkin
program
pembangunan yang dilaksanakan tidak akan berjalan seperti yang diharapkan. Kekhususan pedesaan yang dimaksud antara lain adalah bahwa masyarakat desa relatif sangat kuat keterikatannya pada nilai-nilai lama seperti adat istiadat maupun agama. Dalam pelaksanaan program pembangunan pedesaan, keberadaan pemimpin informal bagi masyarakat desa di daerah perbatasan ini memiliki posisi strategis, karena melalui mereka-lah berbagai informasi dan komunikasi dapat dialirkan bagi kepentingan masyarakat. Segala bentuk perilaku dan sikap seringkali bersumber dari seseorang yang dianggap sebagai panutan dan sumber pengetahuan. Sosok sebagai figur panutan biasanya diperoleh seseorang melalui berbagai cara yang secara otomatis dilekatkan oleh masyarakat setempat, seperti karena pengaruh kewibawaannya, kepandaiannya, kekayaannya, keberaniannya
3
atau karena kekuasaannya. Jika seseorang telah mendapatkan predikat sebagai panutan maka biasanya menjadi sumber segala perhatian masyarakat, yang secara emosional menjadi acuan sikap dan perilakunya. Melalui
figur
kepemimpinan
informal
tersebut,
berbagai
program
pemerintah dan missi pembangunan dapat diselenggarakan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu dalam berbagai kegiatan pembangunan masyarakat tradisional, sosok pemimpin informal tidak bisa diabaikan peranannya. Meskipun demikian, penggunaan saluran formal tetap berdaya guna, karena dengan cara formal biasanya disertakan pula alat pemaksa berupa sanksi hukum formal. Dengan demikian akan menjadi lebih baik jika digunakan kedua-duanya sekaligus, sebab di satu sisi pemberdayaan masyarakat harus tetap berjalan, di sisi yang lain penegakan hukum formal juga perlu terus ditegakkan. Pembahasan mengenai pembangunan dalam kaitannya dengan aspek kepemimpinan dan partisipasi menjadi sangat penting ketika dikaitkan dengan kasus desa di daerah perbatasan. Hal ini mengingat desa-desa di perbatasan sangat rentan dipengaruhi oleh negara lain melalui sentuhan pembangunan dan ketika nilai manfaat pembangunan tersebut dirasakan oleh masyarakat bisa saja mendorong mereka untuk cenderung menerima pengaruh yang lebih besar lagi. Isu strategis konsultasi publik nasional di Jakarta, pada tanggal 18 Nopember 2007 (sumber Bappeda Kab. Sintang, 2007), mengemukakan bahwa kondisi ketidakberdayaan masyarakat desa di kawasan perbatasan tersebut dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut; pertama, aspek ekonomi ditandai dengan suasana kehidupan masyarakat yang diliputi rendahnya taraf kesejahteraan masyarakat terutama jika dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakat negara tetangga. Ada beberapa alasan mengapa penduduk pedesaan atau dari daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia lainnya seperti di kabupaten Sintang lebih memilih berinteraksi ke seberang (baca Malaysia). Alasannya antara lain adalah, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi, dan sebagainya. Orientasi ekonomi masyarakat pada kawasan tapal batas cenderung dominan pada negara tetangga Malaysia, hal ini disebabkan wilayah negara tetangga tersebut lebih mampu memberikan kontribusi perkembangan sektor perekonomian karena kelancaran proses perdagangan dan fasilitas lainnya
4
yang dapat mengakomodasikan masyarakat perbatasan. Berkaitan dengan bidang ekonomi, kegiatan masyarakat di bidang koperasi, usaha kecil dan menengah serta perdagangan belum berkembang sebagaimana yang diharapkan. Dalam hal ini masih terdapat Koperasi yang sudah dibentuk, akan tetapi tidak aktif, dan belum semua jenis usaha termasuk perdagangan memiliki perizinan. Kedua, aspek sosial yang disebabkan masih sangat minimnya sarana dan prasarana transportasi seperti angkutan umum baik melalui jalan darat maupun maupun melalui sungai. Selain itu minimnya sarana dan prasarana pendidikan di daerah tersebut yang menyebabkan banyak anak-anak hanya lulusan sekolah dasar serta relatif mahalnya biaya untuk memperoleh pendidikan dikarenakan jarak antara sekolah dengan rumah penduduk sangat jauh. Disisi lain juga, untuk melanjutkan ke tingkat lebih tinggi mereka harus ke ibukota kecamatan yang merupakan satu-satunya SMP yang ada di kecamatan tersebut. Masyarakat di Kawasan Perbatasan masih mengalami tingkat/derajat kesehatan yang rendah. Kondisi kehidupan masyarakat khususnya anak-anak yang mengalami kekurangan gizi dan lingkungan pemukiman yang kurang sehat. Selain itu sarana dan prasarana atau fasilitas penunjang kesehatan masyarakat kurang memadai dan terbatasnya tenaga kesehatan baik kualitas maupun kuantitasnya. Sampai akhir tahun 2007 tercatat satu buah pondok kesehatan desa dengan satu orang tenaga perawat/bidan. Sedangkan untuk sarana dan prasarana lainnya seperti pusling air dan kendaraan operasional lainnya belum tersedia. (Bappeda Kabupaten Sintang, 2007). Ketiga, aspek politik, akibat dari adanya permasalahan di bidang ekonomi seperti tersebut di atas, secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada kehidupan di bidang politik. Misalnya masyarakat di Kawasan Perbatasan lebih mengetahui dan mengenal pemimpin atau pejabat di negara tetangga Malaysia dibandingkan dengan di negara sendiri, ataupun cenderung lebih sering menggunakan mata uang negara tetangga dari pada mata uang sendiri. Selain itu stabilitas dan keamanan di Kawasan Perbatasan sangat rawan. Hal ini mengingat belum jelasnya batas negara, sehingga rawan pencurian sumber daya alam, penyelundupan barang-barang maupun keluar masuknya tenaga kerja ilegal, masuknya budaya asing yang kurang sesuai dengan nilai dan adat istiadat maupun
5
agama, sehingga berpengaruh dan mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat baik lahir maupun bathin. Semua program pembangunan yang dilaksanakan pemerintahan desa di kawasan perbatasan seakan tidak pernah ada hasilnya dalam mengatasi masalah sosial, ekonomi dan politik. Hal ini tercermin dalam aktivitas perekonomian lebih berorientasi bahkan terserap ke pusat-pusat perekonomian/perdagangan di negara tetangga. Kurangnya nilai manfaat dari pembangunan yang bisa dirasakan oleh masyarakat mengindikasikan adanya kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dan program-program pembangunan yang mereka terima. Salah satu sarana penghubung kedua elemen tersebut adalah partsipasi masyarakat yang tidak lepas dari peran-peran pemimpin lokal, baik pemimpin formal maupun informal dalam menggerakkan partisipasi dimaksud. Berdasarkan uraian di atas, peneliti memandang penting dilakukan penelitian yang fokus mengkaji keterkaitan antara kepemimpinan, partisipasi, dan pembangunan sehingga fenomena kecenderungan masyarakat di desa perbatasan menerima pengaruh dari negara lain bisa dijelaskan.
1.2. Rumusan Masalah Pelaksanaan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 di seluruh wilayah Republik Indonesia dimaksudkan untuk mewujudkan perangkat pemerintahan desa yang mampu melayani dan mengayomi masyarakat, menggerakkan partisipasi aktif masyarakat serta mampu melaksanakan fungsi pemerintahan secara lebih efektif dan efisien. Dalam konteks desa di perbatasan, keberadaan pembangunan yang manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung sangat penting karena hal ini ada kaitannya dengan aspek pengintegrasian, apakah masyarakat tersebut cenderung menerima pengaruh dari Malaysia atau Indonesia. Dengan demikian konsep pembangunan yang diperlukan adalah pembangunan yang berorientasi kebutuhan. Konsep semacam ini diyakini bisa diwujudkan jika dalam proses pembangunan tersebut terdapat unsur partisipasi masyarakat teruma dalam perencanaan, dengan tidak mengabaikan partisipasi dalam pelaksanaan, monitoring, dan evalusasi. Jika pemimpin
6
didefinisikan sebagai kemampuan seseorang mempengaruhi orang lain, maka untuk mengggerakkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan sangat diperlukan peran-peran pemimpin lokal. Oleh karenanya penting untuk dilihat lebih dalam
mengenai peran-peran kepemimpinan lokal dalam
menggerakkan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan sehingga masalah kurangnya nilai manfaat pembangunan yang dirasakan oleh masyarakat di daerah perbatasan dapat dijelaskan. Atas dasar uraian di atas, beberapa pertanyaan sebagai masalah penelitian yang akan dijawab dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana peran kepemimpinan pemerintah desa dalam merumuskan kebijakan dan mengimplementasikan pembangunan? 2. Bagaimana partisipasi masyarakat terhadap pembangunan di Desa Nanga Bayan? 3. Bagaimana interaksi antara kepemimpinan pemerintahan desa dengan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan Desa Nanga Bayan? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, penelitian ini bertujuan : 1. Mendiskripsikan peran kepemimpinan pemerintah desa dalam merumuskan kebijakan dan mengimplementasikan pembangunan. 2. Mendiskripsikan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di Desa Nanga Bayan. 3. Menganalisis interaksi antara kepemimpinan pemerintahan desa dengan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan di Desa Nanga Bayan. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis yaitu sebagai berikut: 1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi secara ilmiah serta dapat memperkuat teori mengenai sosiologi pedesaan khususnya dalam
hal
kepemimpinan
pemerintahan
desa
dalam
melaksanakan
pembangunan di kawasan perbatasan Indonesia dengan Malaysia.
7
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa dalam pelaksanaan pembangunan desa di kawasan perbatasan baik kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, maupun Pemerintah Kecamatan.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Konsep Pembangunan Disadari bahwa pembangunan pedesaan telah dilakukan secara luas, tetapi hasilnya dianggap belum memuaskan dilihat dari pelibatan peran serta masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Rencana pembangunan desa harus disusun berdasarkan pada potensi yang dimiliki dan kondisi yang ada sekarang. Kondisi yang ada itu meliputi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya modal, prasarana dan sarana pembangunan, kelembagaan, aspirasi masyarakat setempat, dan lainnya. Karena dana anggaran pembangunan yang tersedia terbatas, sedangkan program pembangunan yang dibutuhkan relatif banyak, maka perlu dilakukan: (1) penentuan prioritas program pembangunan yang diusulkan, penentuan prioritas program pembangunan harus dilakukan berdasarkan kriteria yang terukur, dan (2) didukung oleh partisipasi masyarakat untuk menunjang implementasi program pembangunan tersebut. Penentuan program pembangunan oleh masyarakat yang bersangkutan merupakan bentuk perencanaan dari bawah, dan akar rumput bawah atau sering disebut sebagai bottom-up planning. Peningkatan partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat (social empowering) secara nyata dan terarah. Menurut pandangan Haq, (1985) tujuan pokok pembangunan adalah memperluas pilihan-pilihan manusia. Pengertian ini mempunyai dua sisi. Pertama, pembentukan kemampuan manusia seperti tercermin dalam kesehatan, pengetahuan dan keahlian yang meningkat. Kedua, penggunaan kemampuan yang telah dipunyai untuk bekerja, untuk menikmati kehidupan atau untuk aktif dalam kegiatan kebudayaan, sosial, dan politik. Paradigma pembangunan manusia yang disebut sebagai sebuah konsep yang holistik mempunyai 4 unsur penting, yakni: (1) peningkatan produktivitas; (2) pemerataan kesempatan; (3) kesinambungan pembangunan; serta (4) pemberdayaan manusia. Pandangan bahwa pembangunan tidak seyogyanya hanya memperhatikan tujuan-tujuan sosial ekonomi, berkembang luas. Masalah-masalah demokrasi dan hak-hak asasi manusia menjadi pembicaraan seperti yang dikemukakan oleh Goulet (1977) yang mengkaji falsafah dan etika pembangunan, misalnya,
9
mengetengahkan bahwa proses pembangunan harus menghasilkan (1) terciptanya "solidaritas baru" yang mendorong pembangunan yang berakar dari bawah (grassroots oriented), (2) memelihara keberagaman budaya dan lingkungan, dan (3) menjunjung tinggi martabat serta kebebasan bagi manusia dan masyarakat. Nilai-nilai lama atau biasa disebut dengan budaya tradisional itu sendiri menurut Dove (1985) sangat dan selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi, sosial dan politik dari masyarakat pada tempat di mana budaya tradisional tersebut melekat. Dalam penelitian Dove (dikutip oleh Suwarsono, 1994) yang melakukan penelitian tentang budaya lokal dan pembangunan di Indonesia, antara lain suku Punan di pedalaman Kalimantan, suku Samin di pedalaman Jawa Tengah, suku Wana di Sulawesi Tengah, penduduk Bima dan masyarakat Ngada di Flores. Hasil penelitian Dove ini menyatakan bahwa budaya lokal dan agama di beberapa suku tersebut ternyata sangat berperan dalam proses pembangunan dan dinamika sosial perkembangan masyarakat. Karena bagaimanapun juga dalam kehidupan seharihari masyarakat tidak bisa dilepaskan dari agama dan budaya, bahkan nilai-nilai budaya tersebut adalah merupakan faktor mental yang menentukan perbuatan ataupun aktifitas seseorang maupun kelompok masyarakat (Koentjaraningrat, 1971). Dalam era reformasi dilakukan perombakan dari sistem sentralistik menjadi sistem desentralistik Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance) diterapkan tiga prinsip yang mendasar, yaitu : transparansi (keterbukaan), akuntabilitas (bertanggung jawab), dan resfonsivitas (daya tanggap). Dalam perencanaan pembangunan, penerapan pendekatan yang tadinya adalah bersifat top down digantikan oleh pendekatan bottom up. Dalam pendekatan bottom up masih dirasakan pengaruh top down meskipun relatif kecil. Demikian sebaliknya dalam perencanaan top down, harus tetap memperhatikan aspirasi masyarakat bawah. Memperhatikan kekurangan perencanaan pembangunan pedesaan pada masa yang lalu, maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap pendekatan pembangunan pedesaan yang sesuai dengan dinamika perkembangan dan kompleksitas pembangunan serta aspirasi masyarakat. Konsep pendekatan pembangunan yang lalu yang bersifat sentralistik harus direformasi menjadi
10
desentralistik, disesuaikan dengan masalah, potensi, kondisi, dan kebutuhan masyarakat setempat, secara spasial dan terpadu, tetapi harus pula berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Setelah memperhatikan berbagai pendekatan pembangunan pedesaan yang cukup banyak seperti dikemukakan di atas, maka pendekatan
perencanaan
pembangunan
pedesaan
sekurang-kurangnya
menggunakan pendekatan bottom up, partisipatif dan berkelanjutan; dan diantaranya adalah pendekatan partisipasi yang perlu mendapat penekanan. Pembangunan pedesaan yang partisipatif merupakan suatu konsep fundamental yang berlaku dan diterapkan sejak dahulu hingga sekarang dan tetap relevan untuk masa depan. Partisipasi masyarakat itu mengikuti perkembangan zaman dari sistem pemerintahan yang berlangsung dalam suatu kurun waktu. Dalam
sistem
pemerintahan
yang
sentralistik,
mekanisme
perencanaan
pembangunannya adalah top down, dan partisipasi masyarakatnya adalah bersifat mobilisasi atau pengerahan massa. Sedangkan dalam sistem pemerintahan yang desentralistik (otonomi daerah), mekanisme perencanaan pembangunannya adalah bottom up dan partisipasi rnasyarakatnya dilakukan dengan kesadaran dan kebersamaan yang tinggi. Oleh sebab itu partisipasi masyarakat sangat diperlukan sebagai kekuatan dinamis dan merupakan perekat masyarakat akar bawah (pedesaan) untuk menunjang pembangunan pedesaan. Dari sisi masyarakat, menurut (Setiawan, 2008) poin penting yang dirasakan di dalam era otonomi adalah semakin transparannya pengelolaan pemerintahan desa dan semakin pendeknya rantai birokrasi yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif terhadap jalannya pembangunan desa. Ditambah lagi oleh setiawan, dalam proses musrenbang keberadaan delegasi masyarakat desa dalam kegiatan musrenbang di tingkat kabupaten/kota gagasannya adalah membuka kran partisipasi masyarakat desa untuk ikut menentukan dan mengawasi penentuan kebijakan pembangunan daerah. Namun demikian, lagi-lagi muncul persoalan bahwa keberadaan delegasi masyarakat ini hanya menjadi kosmetik untuk sekedar memenuhi qouta
adanya partisipasi masyarakat dalam proses
musrenbang. Menurut Kartasasmita (1997), menyebutkan bahwa kegagalan pembangunan atau pembangunan tidak memenuhi sasaran karena kurangnya partisipasi
11
masyarakat, bahkan banyak kasus menunjukkan rakyat menentang upaya pembangunan. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa hal: 1). pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil orang dan tidak menguntungkan rakyat banyak bahkan pada sisi estrem dirasakan merugikan. 2). pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksud tersebut. 3). pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat memahaminya, tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman tersebut. 4). pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi rakyat tidak diikutsertakan.
2.1.2. Pemerintahan Desa Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa. Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada dasarnya susunan organisasi pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari unsur staf, unsur pelaksana dan unsur wilayah. Unsur staf terdiri dari Sekretaris Desa dan Kepala-kepala Urusan, sedangkan unsur pelaksana terdiri dari Kepala-kepala Seksi dan unsur wilayah terdiri dari Kepala-kepala Dusun. BPD dalam pemerintahan desa berkedudukan sebagai lembaga legislatif, yaitu sebagai badan untuk tempat berdiskusi bagi para wakil masyarakat desa. Dalam proses berdiskusinya itu, para anggota BPD berkedudukan sebagai wakil dari kelompok masyarakat yang memilihnya. Dengan demikian, BPD berada dalam posisi/kedudukan di pihak masyarakat, bukan di pihak lembaga eksekutif desa, yaitu bukan sebagai pelaksana pemerintahan desa sebagaimana kedudukan kepala desa beserta perangkatnya. Pada masa berlakunya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 yang lalu, Kepala Desa dan perangkatnya merupakan satu-satunya aktor penyelenggara pemerintahan desa. Pada saat itu banyak mengandung kelemahan karena programprogram pembangunan seringkali berasal dari atas dan pengawasan terhadap kepemimpinannya sangatlah lemah. Dalam kaitannya dengan desa UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999, ingin menutupi kelemahan-kelemahan yang ada dalam UU. No.5 tahun 1979.
12
Kehadiran BPD dianggap sebagai penyeimbang dan mitra kerja. Berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 maka BPD diganti dengan Badan Permusyawaratan Desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Badan Permusyawaratan Desa ini diharapkan bisa mengurangi kelemahan penyelenggaraan pemerintahan desa. Pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi negara modern yang bertugas mengelola barang-barang publik, termasuk melakukan pungutan pajak pada warga masyarakat. Sebagai institusi modern, pemerintah desa tidak cukup hanya memainkan legitimasi simbolik dan sosial, tetapi harus membangun legitimasi yang dibangun dari dimensi kinerja politik dan kinerja ekonomi. Legitimasi ini harus melewati batas-batas pengelolaan kekuasaan dan kekayaan secara personal di tangan kepala desa, seraya dilembagakan dalam sistem yang impersonal. Legitimasi pemerintah desa mau tidak mau harus disandarkan pada prinsip akuntabilitas, transparansi dan responsivitas. Pertama, akuntabilitas menunjuk pada institusi dam proses checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas juga berarti menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau kewenangan yang digunakan. Pemerintah desa disebut akuntabel bila mengemban amanat, mandat dan kepercayaan yang diberikan oleh warga. Secara gampang, pemerintah desa disebut akuntabel bila menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, tidak melakukan penyimpangan, tidak berbuat korupsi, tidak menjual tanah kas desa untuk kepentingan pribadi, dan seterusnya. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten (Wijaya, 2002). Rumusan defenisi Desa secara lengkap terdapat dalam UU No.22/1999 adalah sebagai berikut: “Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asalusul yang bersifat istimewa sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”.
13
Dengan adanya pengaturan desa diharapkan Pemerintah Desa bersama masyarakat secara bersama-sama menciptakan kemandirian desa. Kemandirian tersebut dapat dilihat dari kewenangan yang diberikan yang tertuang dalam pasal 206, yang menyebutkan bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.
2.1.3. Kekuasaan dan wewenang Kekuasaan dengan wewenang (authority/legalized power) memiliki pengertian yang berbeda, yaitu bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat. Suatu masyarakat yang kompleks susunannya dan sudah mengenal pembagian kerja yang terperinci, maka wewenang itu biasanya terbatas mengenai hal-hal yang diliputinya, waktunya dan cara menggunakan kekuasaan itu (Soekanto, 1973). Menurut Max Weber (1947) kekuasaan itu dapat diartikan sebagai suatu kemungkinan yang membuat seorang actor didalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang menghilangkan halangan. Walter Nord merumuskan kekuasaan itu sebagai suatu kemampuan untuk mencapai suatu tujuan yang berbeda secara jelas dari tujuan lainnya. Secara sederhana, kepemimpinan adalah setiap usaha untuk mempengaruhi, sedang kekuasaan diartikan sebagai suatu potensi pengaruh dari seseorang pemimpin tersebut. Adapun otoritas (Authority) dirumuskan sebagai suatu tipe khusus dari kekuasaan yang secara asli melekat pada jabatan yang diduduki oleh pemimpin. Dengan demikian otoritas adalah kekuasaan yang disahkan (legitimatized) oleh suatu peranan formal seseorang dalam suatu organisasi. Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mencapai sesuatu dengan cara yang diinginkan. Karena kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, maka mungkin sekali setiap interaksi dan hubungan sosial dalam suatu organisasi melibatkan penggunaan kekuasaan. Cara
14
pengendalian unit organisasi dan individu di dalamnya berkaitan dengan penggunaan kekuasaan. Kekuasaan selalu melibatkan interaksi sosial antar beberapa pihak, lebih dari satu pihak. Dengan demikian seorang individu atau kelompok yang terisolasi tidak dapat memiliki kekuasaan karena kekuasaan harus dilaksanakan atau mempunyai potensi untuk dilaksanakan oleh orang lain atau kelompok lain. Kekuasaan adalah kemampuan untuk bertindak atau memerintah sehingga dapat menyebabkan orang lain bertindak, pengertian disini harus meliputi kemampuan untuk membuat keputusan mempngaruhi orang lain dan mengatasi pelaksanaan keputusan itu. Biasanya dibedakan antara kekuasaan yang berarti dalam kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sehingga dapat menyebabkan orang lain tersebut bertindak dan wewenang yang berarti hak untuk memerintah orang lain. Wewenang (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu. Penggunaan wewenang secara bijaksana merupakan faktor kritis bagi efektevitas organisasi. Peranan pokok wewenang dalam fungsi pengorganisasian, wewenang dan kekuasaan sebagai metoda formal, dimana pemimpin menggunakannya untuk mencapai tujuan individu maupun organisasi. Wewenang formal tersebut harus di dukung juga dengan dasar-dasar kekuasaan dan pengaruh informal. Pemimpin perlu menggunakan lebih dari wewenang resminya untuk mendapatkan kerjasama dengan bawahan mereka, selain juga tergantung pada kemampuan ilmu pengetahuan, pengalaman dan kepemimpinan mereka. Pengertian tentang wewenang dapat dipandang secara klasik dan juga secara pengakuan. Secara klasik, wewenang dimiliki oleh atasan dan bawahan berkewajiban mematuhinya. Kondisi ini dapat menimbulkan kekuasaan yang sewenang-wenang. Pandangan pengakuan berdasarkan adanya pengakuan dari seseorang yang dipengaruhi terhadap orang lain yang mempengaruhi mereka. Dengan demikian, dalam lingkup sempit, wewenang yang sah belum tentu memperoleh pengakuan orang lain. Weber menyebut wewenang sebagai
15
wewenang yang legal dan sah. Weber juga membagi wewenang menjadi wewenang kharismatik, rasional, dan tradisional. Indonesia kini menuju kepada pembagian kewenangan antara pusat dan daerah, sehingga azas desentralisasi lebih tampak. Pembagian ini menuju kepada pemberian wewenang kepada daerah lebih besar dengan hak mengelola sendiri daerahnya untuk kegiatan-kegiatan tertentu, dan ada keseimbangan penerimaan antara daerah dan pusat. Hal ini dilakukan untuk mencegah usaha pemisahan diri oleh daerah-daerah.
2.1.4. Kepemimpinan (leadership) Sekarang hampir setiap pemimpin dengan daya tarik yang sangat populer disebut pemimpin kharismatik, seperti misalnya tokoh agama. Max Weber (1947), seorang sosiolog besar menganalisis suatu kharisma melalui hubungan darah, keturunan dan institusi. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kharisma adalah kualitas tertentu dari seorang individu yang karenanya ia berbeda jauh dari orangorang biasa dan dianggap memiliki kekuatan atau sifat supranatural. Kualitas ini dianggap tidak bisa dimiliki oleh orang biasa dan atas dasar itu individu yang bersangkutan diperlakukan sebagai pemimpin yang memiliki kekuasaan. Dalam proses selanjutnya pemimpin ini menjadi seorang panutan, sehingga kecil kemungkinan dia akan melakukan kesalahan. Dalam demokrasi, seorang pemimpin yang tidak menyelewengkan kekuasaan karena takut pada pengawasan, adalah pemimpin yang baik dan dia tidak perlu berusaha menjual tampang bahwa dia tidak tertarik untuk menyalahkan
kekuasaannya.
Kalau
demokrasi
sebagai
sistem
politik
mengandaikan bahwa pemerintahan harus berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat untuk kepentingan rakyat, maka pemimpin yang demokratis adalah seseorang yang berasal dari rakyat, bukan karena faktor darah atau keturunan. Akhirnya kita tidak hanya berharap pemimpin yang kharismatik tetapi lebih daripada itu kita mengharapkan pemimpin yang demokratis. Atau pemimpin yang kharismatik sekaligus demokratis Harapan memperkirakan
masyarakat dan
terhadap
seorang
mempertimbangkan
pemimpin
kesulitannya,
tidak
pernah
namun
hanya
16
permasalahannya tuntas. Pemimpin diharapkan menjadi tokoh yang selalu menyediakan solusi. Dalam keadaan yang terjepit secara financial dan kelembagaan dituntut untuk menjalankan program, kata-kata “tidak ada budget” bisa diungkapkan oleh departemen keuangan, tetapi pemimpin tetap tidak bisa mengelakkan kalau program harus dijalankan. Pemimpinlah yang harus putar otak dan mengarahkan semua sumber daya untuk mencari solusi (Simbolon, 1994). Hill dan Caroll (1997) berpendapat bahwa, kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan mendorong sejumlah orang (dua orang atau lebih) agar bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan bersama. Struktur organisasi adalah kerangka atau susunan unit atau satuan kerja atau fungsi-fungsi yang dijabarkan dari tugas atau kegiatan pokok suatu organisasi, dalam usaha mencapai tujuannya. Setiap unit mempunyai posisi masing-masing, sehingga ada unit yang berbeda jenjang atau tingkatannya dan ada pula yang sama jenjang atau tingkatannya antara yang satu dengan yang lain. Kepemimpinan akan berlangsung efektif bilamana mampu memenuhi fungsinya, meskipun dalam kenyataannya tidak semua tipe kepemimpinan memberikan peluang yang sama untuk mewujudkannya. Dalam hubungan itu sulit untuk dibantah bahwa setiap proses kepemimpinan juga akan menghasilkan situasi sosial yang berlangsung di dalam kelompok atau organisasi masingmasing. Untuk itu setiap pemimpin harus mampu menganalisa situasi sosial kelompok atau organisasinya yang dapat dimanfaatkan dalam mewujudkan fungsi kepemimpinan dengan kerja sama dan bantuan orang-orang yang dipimpinnya. Fungsi kepemimpinan menurut Hill dan Caroll (1997) memiliki dua dimensi sebagai berikut: a). dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan (direction) dalam tindakan atau aktivitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orang-orang yang dipimpinnya; b). dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pokok kelompok atau organisasi, yang dijabarkan dan dimanifestasikan melalui keputusan-keputusan dan kebijaksanaankebijaksanaan pemimpin. Ada tiga peran utama pemimpin menurut Mitzberg, (dikutip oleh Handoko (2003) yaitu: (1) interpersonal role, yaitu sebagai tokoh, (2) informational role,
17
yaitu sebagai pemicara, dan (3) decisional role, yaitu sebagai pemecah masalah dan pengambil keputusan. Dengan adanya keputusan berarti ada masalah yang dapat dipecahkan sehingga organisasi selalu dinamis dan berkembang. Menurut P. Hersey dan Blancard, (dikutip oleh Tohardi, 2002) Kepemimpinan didefinisikan sebagai proses mempengaruh kegiatan individu dan kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan. Siagian (2002) mengatakan kepemimpinan dari seseorang atau sekelompok orang adalah antara lain untuk memperoleh kepercayaan dari orang–orang yang dipimpin dan keterampilan untuk menggerakkan orang–orang yang dipimpin, sehingga pencapaian tujuan yang telah ditentukan dapat terlaksana dengan efisien, efektif dan ekonomis. Mengacu kepada Weihrich and Koontz (1994:490) “Leadership is definied as influence, that is, the art or process of influencing people so that they will strive willingly and enthusiastically toward the achievement of group goals” Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang dengan cara apapun, agar mampu mempengaruhi orang lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan kehendaknya dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Kepemimpinan memainkan peran penting dalam perkuatan dan peningkatan disiplin individu serta produktivitas tenaga kerja. Dalam sosiologi, bicara tentang kepemimpinan berarti bicara tentang ”status” dan ”otoritas”
menurut Marx
Weber, (dikutip oleh Syahyuti, 2006), ada 3 jenis kekuasaan atau otoritas kepemimpinan, yaitu kekuasaan tradisional berdasarkan kepercayaan yang telah ada, kekuasaan rasional berdasarkan hukum legal, dan kekuasaan kharismatis berdasarkan individual. Kepemimpinan ada dalam setiap sistem sosial, karena akan selalu ada interrelasi antara pihak yang mempengaruhi dan yang di pengaruhi, pada hakikatnya, seseorang dapat disebut pemimpin jika ia dapat mempengaruhi orang lain dalam mencapai suatu tujuan tertentu, meskipun tidak dalam ikatan formal sebuah kelembagaan. Pencapaian yang tertinggi dari seseorang pemimpin adalah memperoleh respek dan kepercayaan. Dalam kontek respek dan kepercayaan, suatu ungkapan yang populer dari Dwight D. Eisenhower, (dikutip oleh Syahyuti, 2006) ”Kepemimpinan adalah seni mendapatkan orang lain untuk melakukan hal lain yang ia ingingkan karena orang itu menginginkannya.
18
2.1.5. Type Kepemimpinan Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas dari berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal tentang kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut/karyawan (followers). Karena hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin. Dalam perkembangannya, type yang relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut sebagai type kepemimpinan transformasional. Type ini dianggap sebagai type yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi. (a). Watak Kepemimpinan ( Traits Model of Leadership) Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang watak individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran, kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, status sosial ekonomi mereka dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill, 1974). Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Disamping itu, watak pribadi bukanlah faktor yang dominan dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial para pemimpin. Apabila kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan. (b). Kepemimpinan Situasional ( Model of Situasional Leadership) Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studi-studi tentang kepemimpinan situasional
19
mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugastugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin. Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih efektif dalam situasi tertentu. (c). Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders) Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan (initiating
structure)
kelembagaan
dan
konsiderasi
menggambarkan
sampai
(consideration). sejauh
mana
Dimensi para
struktur pemimpin
mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan seperti misalnya
20
kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations). Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus dalam organisasinya. (d). Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model) Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabelvariabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel, 1987). Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power). Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk
21
mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugastugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions). Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House, 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan). Menurut Path-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan model-model sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional. (e). Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational Leadership) Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang
secara
eksplisit
mendefinisikan
kepemimpinan
transformasional.
22
Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas
organisasi.
Untuk
memotivasi
agar
bawahan
melakukan
tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya,
Burns
menyatakan
bahwa
model
kepemimpinan
transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya. Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or going beyond the self-interest exchange of rewards for compliance". Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus mempunyai
kemampuan
untuk
menyamakan
visi
masa
depan
dengan
bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar. Bass
dan
Avolio
(1994)
mengemukakan
bahwa
kepemimpinan
transformasional mempunyai empat dimensi, idealized influence (pengaruh ideal), inspirational motivation (motivasi inspirasi), intellectual stimulation (stimulasi intelektual), dan individualized consideration (konsiderasi individu).
23
Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan
Butchatsky,
1996).
Konsep
kepemimpinan
transformasional
ini
mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (misalnya Weber, 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns, 1978) Beberapa ahli menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan
transformasional
sebagai
kepemimpinan
yang
karismatik,
inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Bryman (1992) menyebut kepemimpinan
transformasional
sebagai
kepemimpinan
baru
(the
new
leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership). Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Dari pendekatan type yang berbeda, yang berdasarkan kebutuhan terdapat tiga type kepemimpinan yaitu : otokratik, demokratik, dan bebas terkendali. Type kepemimpinan otokratik adalah memusatkan kuasa dan pengambilan keputusan bagi dirinya sendiri. Mereka menata situasi kerja yang rumit bagi para bawahan dan melakukan apa saja yang diperintahkannya. Kepemimpinan otokratik umumnya negatif, yang berdasarkan atas ancaman dan hukuman (Kreitner, 1999).
24
Beberapa manfaat kepemimpinan otokratik adalah bahwa type ini sering memuaskan pemimpin, memungkinkan pengambilan keputusan dengan cepat, memungkinkan
pendayagunaan
bawahan
yang
kurang
kompeten,
dan
menyediakan rasa aman dan ketentuan bagi para bawahan. Kelemahan gaya ini yang utama adalah bahwa orang-orang tidak menyukainya, terutama apabila mencapai suatu titik yang menimbulkan rasa takut dan keputusasaan. Kepemimpinan
demokratik
adalah
mendesentralisasikan
wewenang.
Keputusan partisipatif tidak bersifat sepihak, seperti pemimpin otokratik, karena keputusan ini timbul dari upaya konsultasi dengan para pengikut dan keikutsertaan yang dipimpin. Pemimpin dan kelompok bertindak sebagai suatu sosial. Para pengikut memperoleh informasi dan pemimpin tentang kondisi yang mempengaruhi pekerjaan mereka dan didorong untuk mengungkapkan gagasan dan mengajukan saran. Kecenderungan yang umum adalah kearah penerapan praktek partisipasi lebih luas karena konsisten dengan perilaku organisasi. Pemimpin bebas kendali cenderung menghindari kuasa dan tanggung jawab. Mereka sebagian besar bergantung pada kelompok untuk menetapkan tujuan dan menanggulangi masalah sendiri. Pemimpin hanya memainkan peran kecil. Kepemimpinan bebas kendali mengabaikan kontribusi pemimpin dengan cara yang kurang lebih sama seperti kepemimpinan otokratik mengabaikan kelompok. Kepemimpinan ini cenderung memungkinkan berbagai unit organisasi yang berbeda untuk bergerak maju dengan tujuan yang bertentangan satu sama lain, dan ini dapat menimbulkan kekacauan. Karena alasan inilah type bebas kendali tidak digunakan sebagai type yang dominan, tetapi bermanfaat dalam situasi dimana pemimpin dapat memberi peluang sepenuhnya kepada kelompok untuk melakukan pilihan mereka sendiri.
2.1.6. Kepemimpinan formal dalam membangun perekonomian desa Peran kepemimpinan sangat besar bagi kemajuan maupun kemunduran perekonomian suatu masyarakat, terlebih pada masyarakat yang kandungan semangat patronasenya kuat. Keberadaan seorang pemimpin yang kuat dalam masyarakat pedesaan sangat menentukan peluang dan tingkat kemajuan ekonomi masyarakat pedesaan.
25
Aspek kepercayaan (trust) dalam kepemimpinan untuk menggerakkan masyarakat ke arah kemajuan merupakan sesuatu yang sangat penting, dan akan dihargai serta dihormati jika pemimpin tersebut memiliki keunggulan karena mampu memecahkan dan mengatasi masalah masyarakat termasuk masalah produksi dan ekonomi pertanian mereka. Hal ini penting untuk menghindarkan munculnya sifat ‘manja’ dan ‘ketergantungan’ petani terhadap bantuan pemerintah, yang akan menyebabkan kemerosotan daya kreatif petani dalam mengelola sumberdaya pertanian di daerahnya. Seorang pemimpin juga harus mampu merepresentasikan kepentingan masyarakat dan menghilangkan sifat mementingkan diri dan golongannya semata. Petani juga mengharapkan semangat “altruistik” (mau berkorban lebih dulu) dari seorang pemimpin, agar memperoleh simpati dan kepercayaan masyarakat yang otomatis tentu akan menjadi pendukungnya (misalnya, merintis jalur pemasaran lintas desa/daerah, memperhatikan sarana dan prasarana pertanian, irigasi dan mengembangkan usahatani). Seorang pemimpin diharapkan memiliki visi dan misi yang jelas dan ditranparansikan ke petani, memiliki pemahaman local knowledge yang baik, mampu menggerakkan inspirasi kekolektifitasan antar petani dan terorganisir dengan baik, serta mentransmisi dan mendinamisasi persaingan sehingga menjadi energi kolektif kemajuan masyarakat setempat. Pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan tradisional merupakan salah satu usaha dalam program pembangunan pedesaan (yang salah satunya dengan partisipasi masyarakat lokal) untuk memperkuat jaringan perekonomian masyarakat petani (agar tidak hanya sekedar subsisten dan agar mampu berkelanjutan),
agar
dapat
mendorong
usaha
pertanian
petani
untuk
berproduktivitas tinggi, meninggalkan konsep pertanian primitif subsistensi dan menuju pertanian yang modern serta mampu memenuhi pasar komersial.
2.1.7. Kepemimpinan Informal Dalam Pembangunan Desa (Sosial Budaya) Pemimpin informal tidak menjadi pemimpin karena faktor legalitas, tapi terutama karena faktor ”legitimasi”. Artinya, walaupun tak ada kongres atau muktamar yang menetapkan demikian, tapi rakyat dan umat dengan spontan menerima dan memperlakukan yang bersangkutan sebagai pemimpin mereka.
26
Seorang menjadi, misalnya ”Temenggung”, bukan karena ketetapan sidang atau melalui pemilu. Tapi masyarakat mencium tangannya dengan hormat yang tulus. Padahal seorang temenggung ini tidak mengendarai kendaraan dinas dengan bunyi sirene yang melengking-lengking. Tidak pula diiringi ajudan, yang siap membawakan semua benda, dari tas sampai kaca mata atau korek api. Orang dapat berencana dan kemudian berusaha untuk menjadi seorang ”pemimpin formal”. Tapi tidak untuk menjadi seorang ”pemimpin informal”. Sebab seorang ”pemimpin informal” itu ditetapkan oleh masyarakat bukan dengan surat suara, tapi dengan kata hati. Ikatan antar mereka tidak diatur secara resmi, tapi lahir secara spontan karena ada rasa hormat dan cinta yang tidak dipaksapaksa. Sebagian besar rakyat dan umat adalah orang-orang yang sangat sederhana. Rendah tingkat pendidikan mereka. Polos penampilan mereka. Lurus ucapan bibir dan cara berfikir mereka. Tapi mereka punya kepekaan tersendiri, untuk mengenali siapa yang layak menjadi pemimpin mereka, dan siapa yang tidak. Sebagaimana dikemukakan Thoha (2001) bahwa seorang pemimpin apapun wujudnya,
dimanapun
letaknya
akan
selalu
mempunyai
beban
untuk
mempertanggung jawabkan kepemimpinannya. Pemimpin lebih banyak bekerja dibandingkan berbicara, lebih banyak memberikan contoh-contoh yang baik dalam kehidupannya, dibandingkan berbicara besar tanpa bukti dan lebih banyak berorientasi pada bawahan dan kepentingan umum dibandingkan kepentingan pribadi. Namun demikian dalam Kartono (2001) bahwa pemimpin informal atau tradisional dapat berpengaruh positif atau negatif dalam peranan sosialnya di tengah masyarakat. Status sosial itu pada umumnya dicapai karena faktor keturunan, kekayaan, taraf pendidikan, pengalaman hidup, kharismatik, maupun jasa-jasanya kepada masyarakat. Sehingga pemimpin informal atau tradisional cirinya adalah tidak memiliki penunjukan formal legitimitas sebagai pemimpin, masyarakat menunjuk dan mengakuinya sebagai pemimpinya, tidak mendapat dukungan dari organisasi formal, tidak dapat di mutasikan atau promosi atau tidak mempunyai atasan dan apabila melakukan kesalahan tidak dapat dihukum (hanya saja akan ditinggalkan kelompoknya).
27
Keberadaan kepemimpinan informal di tengah-tengah kehidupan masyarakat desa tidak saja memberikan manfaat di bidang keagamaan dan tradisi belaka. Lebih dari itu, kehadiran kepemimpinan informal sebagai institusi yang bersifat terbuka sangat efektif pula sebagai pelaksana pembangunan desa. Lewat lembaga inipula berbagai komunikasi seputar pembangunan diterima masyarakat. Selama ini, Lembaga tradisional adalah merupakan pusat komunikasi dan informasi bagi masyarakat desa setempat dalam segala hal. Lewat Lembaga tradisional ini mereka dapat memperoleh berbagai informasi dan pula dapat menyampaikan informasi. Dalam forum seperti inilah masyarakat mendapatkan berbagai informasi yang mengalir deras, baik yang disampaikan oleh para tokoh mereka ataupun dari individu-individu yang saat itu berkumpul yang merupakan informasi yang didapat diluar komunitas, dan merekapun bisa mengutarakan segala uneg-uneg kepada pemimpinnya untuk disampaikan kepada pemerintah.
2.1.8. Beberapa Studi tentang Kepemimpinan Penelitian mengenai kepemimpinan pemerintahan desa bukanlah hal yang baru. Sebelumnya telah ada beberapa kajian/penelitian mengenai kepemimpinan pemerintahan desa. Pencantuman penelitian terdahulu ini bertujuan untuk memperlihatkan pada posisi penelitian yang akan dilakukan. Penelitian kepemimpinan disebut bidang retak tangan yang menentukan di masyarakat Jawa yakni negara-desa yang terpisah secara tradisional (Fagg dalam Nordholt, 1987). Ditambahkan oleh Fagg, dalam hubungan ini negara, keraton, merupakan pusat kekuasaan yang memancarkan pengaruhnya dalam ukuran yang semakin berkurang ke lingkaran paling jauh dari kerajaan sampai ke mancanegara. Menurut garis hirarki, dari “raja” sampai petani, pengaruh melalui banyak pejabat dalam rangkaian pemerintahan tersebut semakin menipis. Tetapi semua yang menganggap dirinya termasuk lingkungan negara, semua pejabat menganggap dirinya pemimpin. Dan setiap orang yang termasuk lingkungan desa dipandang sebagai pengikut. Beberapa penelitian lain yang bertitik tolak dari pemikiran Fagg adalah Nordholt (1987) yang mengaitkan antara pemimpin dan pengikut yang dapat memberi pandangan lebih luas tentang perkembangan yang terjadi di pedesaan
28
Jawa. Dalam kajiannya antara pemimpin dan pengikut apabila yang berkedudukan sosial lebih tinggi dalam sikap dan perkataannya dengan lebih jelas memperlihatkan bahwa dia adalah atasan, maka yang berkedudukan sosial lebih rendah itu akan merasa begitu tertekan dan terdesak, sehingga tak ada cara apapun yang dapat digunakan untuk menyatakan pendapatnya yang mungkin bersifat bertentangan. Karena atasan yang demikian itu sesungguhnya memang tidak mau tahu pendapat yang lebih baik. Tindakan semacam itu membuat setiap informasi dari bawah tertutup sama sekali. Dapat dibayangkan, apabila pemimpin itu sendiri berada dibawah tekanan untuk melaksanakan program-program dan proyek-proyek tertentu, maka ia akan memaksakan secara kasar pelaksanaan tersebut dengan menggunakan kata-kata yang bersifat intimidasi. Dengan cara demikian, ia yakin tidak akan di bantah. Sikap pemimpin semacam itu lebih mirip dengan menipu dirinya sendiri dan tidak ada hubungannya dengan each.....recognizes the other as valid, and legitimate within its own spere (Nordholt, 1987).
2.1.9. Partisipasi Dalam proses pembangunan, partisipasi masyarakat berfungsi sebagai masukan dan keluaran, artinya mulai dari penerimaan informasi, pemberian tanggapan terhadap informasi, perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan akhirmya penerimaan kembali hasil pembangunan. Sebagai masukan (input) pembangunan, partisipasi berfungsi untuk menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri. Sedangkan sebagai keluaran (output), partisipasi merupakan keluaran proses stimulasi atau motivasi melalui berbagai upaya, seperti lomba desa, subsidi desa, dan sebagainya. Apabila partisipasi yang dilakukan itu meliputi semua tahap dalam proses pembangunan, maka disebut partisipasi prosesional. Sebaliknya bila dilakukan hanya pada tahap-tahap tertentu saja maka disebut sebagai partisipasi parsial (Ndraha, 1987). Partisipasi memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar masyarakat senantiasa memiliki dan turut serta bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga desa. Partisipasi harus
29
diartikan bahwa setiap masyarakat harus ikutserta dalam setiap tahap pembangunan desa seperti perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam pembangunan. Dengan demikian masyarakat akan lebih terpanggil untuk ikut serta dan merasa bertanggung jawab dalam pembangunan desa untuk kepentingan bersama. Merujuk kepada tulisan Cohen dan Uphoff (dalam Nordholt, 1987) bahwa dalam pengertian partisipasi itu haruslah dibedakan antara dimensi ikutserta dalam pengambilan keputusan, dan dimensi ikutserta dalam tahap pelaksanaan. Untuk keadaan di Jawa dapat ditentukan bahwa dalam kedua dimensi tersebut terkandung pengertian tradisional. Dengan demikian pengertian musyawarah dapat dilihat sebagai suatu bentuk dimensi, pengambilan keputusan dan gotong royong, sebagai suatu bentuk dimensi tahap pelaksanaan. Dengan adanya partisipasi masyarakat maka keberhasilan pembangunan akan tercapai. Jika dicermati maka manfaat partisipasi bagi pemerintah diantaranya: (a) meningkatkan efesiensi pengadaan fasilitas, (b) mengurangi beban kelembagaan dan pembiayaan pemerintah; (c) masyarakat dapat berperan sebagai pelaksana pembangunan, (d) meningkatkan kepercayaan diri masyarakat. Sedangkan bagi masyarakat adalah: (a) dapat menikmati pembangunan yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhannya, (b) secara moral masyarakat merasa memiliki dan merupakan bagian dari pembangunan yang selanjutnya akan memelihara dengan suka rela. Menurut Cohen dan Uphoff (dalam Nordholt, 1987), partisipasi dalam pembangunan masyarakat pedesaan adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana caranya, keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program dan keputusan dengan menyumbangkan beberapa sumber daya atau bekerjasama dalam organisasi kegiatan tertentu, bagian manfaat dari program pembangunan, dan/atau keterlibatan masyarakat dalam upaya evaluasi program. Oleh karena itu, partisipasi dilakukan dengan melihat keterlibatan para pihak dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pemeliharaan serta pemanfaatan hasil kegiatan.
30
Namun demikian dalam implementasinya, kegiatan yang partisipatif terkadang harus melalui proses yang panjang karena beberapa persoalan yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Conyers dalam Slamet (1993) menyatakan bahwa seringkali kegiatan partisipatif terkendala oleh tidak adanya keinginan masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan tersebut. Menurut Ndraha (1982) partisipasi meliputi tiga hal, yaitu: 1) adanya keterlibatan mental dan emosional, 2) adanya kesediaan untuk memberikan sumbangan dalam pembangunan, 3) adanya kesediaan untuk bertanggung jawab. Partisipasi masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan dan mutlak diperlukan untuk keberhasilan pembangunan. Dalam hal ini Mubyarto (1988) menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dimulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pemanfaatan hasil-hasil pembangunan mutlak diperlukan. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa tanpa partisipasi masyarakat setiap proyek pembangunan harus dinilai tidak berhasil. Partisipasi
masyarakat
dalam
proses
pembangunan
dimulai
dari
perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan monitoring dan evaluasi mencerminkan upaya mewujudkan kemandirian daerah yang transparan dan akuntabel antara komponen pemerintah, masyarakat, yang dilandasi aturan kebijakan untuk berpartisipasi sesuai proporsi dan kompetensi yang dimiliki secara terukur dan berkelanjutan. Kondisi ini dapat berlangsung dengan mengedepankan prinsipprinsip dasar pemerintahan yang baik (good governance), yaitu: 1) partisipatif; 2) tranparansi; 3) akuntabilitas. Partisipatif dalam proses pembangunan diantaranya melalui berbagai program kebijakan pembangunan dimaksudkan agar dapat menjembatani antara aspirasi dan kebutuhan masyarakat di pedesaan. Selain itu, makna partisipatif juga diharapkan dapat menggugah kesadaran publik bahwa terjadinya keberhasilan maupun kegagalan proses pembangunan di pedesaan bukan tanggung jawab pemerintah semata, melainkan sangat bergantung pada keberhasilan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan tersebut, dari awal hingga akhir, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa unsur penting dalam partisipasi yaitu:
31
1. Dalam partisipasi terdapat unsur keterlibatan mental dan emosional dari individu yang berpartisipasi. 2. Dalam partisipasi terdapat unsur kesediaan secara sukarela untuk memberikan kontribusi atau sumbangan untuk mencapai tujuan bersama. 3. Partisipasi diikuti adanya rasa tanggung jawab terhadap kegiatan yang dilakukan dalam usaha mencapai tujuan bersama. 4. Partisipasi ditentukan oleh keterlibatan masyarakat untuk menentukan segala sesuatunya sendiri, bukan ditentukan oleh pihak lain.
2.2. Kerangka Pemikiran Prinsip penyelenggaraan pemerintah adalah efisiensi, transparasi dan demokrasi. Sebuah mekanisme kontrol diperlukan agar mandat yang diberikan kepada pejabat pemerintah, yang berasal dari rakyat, dapat diselenggarakan dengan sesungguhnya. Sejalan dengan RPJM Nasional 2005 – 2009, sasaran pokok pembangunan daerah perbatasan dan daerah tertinggal sebagai fokus dan prioritas pembangunan adalah untuk menciptakan kondisi ekonomi rakyat di pedesaan yang kukuh, tercapainya keterkaitan perekonomian di pedesaan dan terwujudnya masyarakat perdesaan
yang
sejahtera.
Sedangkan
dalam
perspektif
kelembagaan,
pembangunan desa ditujukan untuk semakin berfungsinya lembaga pemerintahan desa dan lembaga kemasyarakatan desa untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan pembangunan pedesaan, terjaminnya kepastian hukum bagi masyarakat pedesaan yang sesuai dengan tradisi dan adat istiadat setempat. Kebijakan program pembangunan desa, menitikberatkan pada aspek partisipasi masyarakat, respon terhadap program pembangunan dan aspek keberlanjutan program bagi masyarakat desa ditengah keberagaman kemampuan dan kepentingan masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang sangat terbatas akan mewujudkan pengembangan program pembangunan yang tidak melahirkan kelompok terpinggirkan baru, maka dalam upaya menyukseskan pelaksanaan pembangunan diperlukan adanya partisipasi aktif dari masyarakat. Selain itu dalam pelaksanaan pembangunan desa diharapkan partisipasi aktif masyarakat
32
untuk mengidentifikasi berbagai masalah pembangunan desa yang dihadapi dengan alternatif pemecahannya yang secara utuh dilaksanakan oleh masyarakat. Pemerintahan desa dalam menjalankan fungsi pembangunan tidak terlepas dari ikatan-ikatan norma atau aturan yang berlaku, tata kelakuan atau pola hubungan antara pemerintahan desa dengan masyarakat dalam membangun kerjasama merupakan bagian dari kelembagaan dengan ciri diketahui, dipahami, ditaati dan dihargai. Norma atau aturan tersebut ditaati sejalan dengan perilaku yang memenuhi kebutuhan masyarakat serta telah mendarah daging. Sehingga kepemimpinan memiliki peranan sebagai pedoman dalam berinteraksi. Dalam situasi dan kondisi bagaimana pun, jika seseorang berusaha untuk mempengaruhi perilaku orang lain, maka aktivitas seperti itu telah melibatkannya ke dalam aktivitas kepemimpinan. Jika kepemimpinan tersebut terjadi dalam suatu kelembagaan tertentu dan seseorang berupaya agar tujuan kelembagaan tercapai, maka
orang
tersebut
perlu
memikirkan
type
kepemimpinannya.
Type
kepemimpinan dapat dianggap sebagai “modalitas” dalam kepemimpinan, dalam arti sebagai cara-cara yang disenangi dan digunakan oleh seseorang sebagai wahana untuk menjalankan kepemimpinannya. Berdasarkan dari beberapa type kepemimpinan yang ada, penelitian ini akan mengevaluasi type kepemimpinan demokratis. Kepemimpinan demokratis dimana aspek
pengambilan
dilakukan
secara
bersama-sama
dengan
konstituen
(masyarakat). Tipe kepimpinan demokratis memiliki kelebihan dalam hal pengambilan keputusan yang lebih cermat/teliti namun lamban dalam mengambil keputusan karena harus melibatkan dan mempertimbangkan pendapat orang banyak. Seorang pemimpin berfungsi untuk memastikan seluruh tugas dan kewajiban dilaksanakan di dalam suatu organisasi. Fungsi kepemimpinan adalah : 1) pemimpin sebagai penentu arah, 2) pemimpin sebagai wakil dan juru bicara organisasi, 3) pemimpin sebagai komunikator yang aktif, 4) pemimpin sebagai mediator, 5) pemimpin sebagai integrator (Sondang dalam Nawawi, 2003). Seseorang yang secara resmi diangkat menjadi pemimpin dalam suatu kelembagaan/organisasi bisa saja ia berfungsi atau mungkin tidak berfungsi sebagai
pemimpin.
Tidak
semua
pemimpin
dapat
mencapai
tujuan
33
kelembagaan/organisasi. Sebagai pemimpin malah membawa kemunduran untuk sebuah kelembagaan/organisasi yang dipimpinnya. Artinya seorang pemimpin itu seseorang yang unik dan tidak diwariskan secara
otomatis tetapi seorang
pemimpin haruslah memiliki karekteristik tertentu yang timbul pada situasi-situasi yang
berbeda.
Keberadaan
fungsi-fungsi
kepemimpinan
sebagaimana
dikemukakan di atas merupakan kekuatan dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat, khususnya partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan. Pembangunan merupakan proses yang membutuhkan peran kepemimpinan dan partisipasi masyarakat. Kepemimpinan dan partisipasi merupakan dua elemen yang memiliki keterkaitan yang erat. Kepemimpinan yang tidak mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat tidak akan membawa proses pembangunan mencapai hasil secara maksimal. Demikian juga sebaliknya, partisipasi masyarakat akan minim dalam proses pelaksanaan pembangunan tanpa adanya peran kepemimpinan. Kepemimpinan didominasi oleh unsur-unsur aturan, tingkah laku atau kode etik, norma, hukum dan faktor pengikat lainnya antar anggota masyarakat yang membuat orang saling mendukung dan bisa menghasilkan sesuatu karena ada keamanan, jaminan akan penguasaan atas sumber daya yang didukung oleh peraturan dan penegakan hukum serta kemauan yang kuat untuk mentaati aturan. Tidak ada manusia atau institusi yang bisa hidup tanpa interaksi dengan masyarakat atau institusi lain yang saling mengikat. Menurut Kartasasmita (1997), kegagalan pembangunan atau pembangunan tidak memenuhi sasaran karena kurangnya partisipasi masyarakat, bahkan banyak kasus menunjukkan rakyat menentang upaya pembangunan. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa hal: 1). pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil orang dan tidak menguntungkan rakyat banyak bahkan pada sisi estrem dirasakan merugikan. 2). pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksud tersebut. 3). pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat memahaminya, tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman tersebut. 4).
pembangunan
dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi rakyat tidak diikutsertakan. Hal-hal yang digambarkan di atas diduga ada empat kemungkinan interaksi antara
34
kepemimpinan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa secara skematis dapat dilihat pada (gambar 1) Partisipasi
Y II Kurang baik (lemah) III Kegagalan kepemimpinan
I Ideal (kerjasama) IV Kepemimpinan Sangat dominan
X Kepemimpinan
Gambar 1. Alur Pikir Kepemimpinan dan Partisipasi Masyarakat dalam pembangunan desa
Dari gambar diatas dapat diuraikan bahwa pada garis vertikal terdapat sumbu Y yang menjelaskan arah partisipasi yang semakin tinggi, sementara garis vertikal pada sumbu Y yang mengarah ke bawah menjelaskan partisipasi masih lemah. Pada garis horizontal terdapat sumbu X yang menjelaskan tipe kepemimpinan pemerintahan desa yang semakin mengarah pada type demokratis, sedangkan sumbu X arah ke kiri menjelaskan kepemimpinan pemerintahan desa pada type masih otoriter sementara partisipasi baru tumbuh sampai pada pelaksanaan maka interaksi antara kepemimpinan pemerintahan desa belum mampu mendorong pembangunan. Untuk menyamakan persepsi dalam memahami alur pemikiran kiranya perlu dijelaskan beberapa hal : Kemumgkinan
I
menggambarkan
kondisi
“ideal”.
Kepemimpinan
pemerintah desa bekerja dengan baik karena adanya partisipasi masyarakat dalam bekerjasama secara sinergis melaksanakan pembangunan. Baik kepemimpinan maupun masyarakat desa telah melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing sesuai porsi. Dengan demikian kepemimpinan pemerintahan desa secara efektif dapat melaksanakan pembangunan bersama seluruh masyarakat.
35
Kemungkinan II menggambarkan kondisi kepemimpinan dan partisipasi masyarakat yang “kurang baik” dalam melaksanakan pembangunan. Hal ini karena kepemimpinan yang ada kurang dapat mendorong partisipasi atau bekerjasama dengan masyarakat desa dalam pembangunan. Secara umum, baik kepemimpinan desa maupun masyarakat desa sudah mempunyai tugas dan kewajiban masing-masing. Akan tetapi masyarakat desa dalam bekerja seringkali melampaui kewenangan kepemimpinan pemerintahan desa. Masyarakat desa turut melibatkan diri dalam urusan administrasi pemerintahan yang telah menjadi tugas wewenang aparat desa. Pada satu sisi campur tangan masyarakat desa dalam urusan administrasi pemerintahan cukup mengganggu kinerja pemerintah desa. Namun disisi lain kepemimpinan pemerintahan desa berhasil mengelola fungsifungsi pemerintahan sehingga kelembagaan pemerintahan desa dapat efektif dalam melaksanakan pembangunan di desa. Kemungkinan III menggambarkan kondisi “kegagalan kepemimpinan” pemerintahan
desa
dalam
menyelenggarakan
roda
pemerintahan.
Baik
kepemimpinan desa maupun masyarakat desa telah gagal melaksanakan fungsi, tugas, dan kewajiban masing-masing. Kegagalan kelembagaan pemerintahan desa ini memiliki tiga karakter dalam proses sosialnya: 1) Pemerintahan desa dalam pelaksanaan pembangunan desa sudah keluar dari aturan yang seharusnya, sehingga ketegangan kerap kali muncul dalam tubuh pemerintahan desa karena masing-masing pihak mengedepankan egoisme dan kepentingan pribadi atau kelompoknya; 2) Pemerintahan desa dominan dalam pelaksanaan pembangunan desa, sehingga ketegangan muncul manakala salah satu pihak menyalahkan dan menuntut kepada pihak lain agar melaksanakan fungsi, tugas, dan kewajibannya secara transfaran, meskipun secara riil pihak yang menuntut juga tidak mampu melaksanakan fungsi, tugas, dan kewajibannya secara transfaran. Kemungkinan IV menggambarkan meskipun kepemimpinan pemerintahan desa bekerjasama dengan masyarakat hampir dalam banyak urusan pemerintahan namun partisipasi masyarakat lemah sehingga kepemimpinan pemerintahan desa sangat dominan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewajiban. Dengan demikian pelaksanaan pemerintahan desa tidak dapat menghasilkan pelayanan yang ekonomis, efektif, dan akuntabel kepada masyarakat.
36
III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Nanga Bayan Kecamatan Ketungau Hulu Kabupaten Sintang. Lokasi penelitian secara geografis disajikan pada (gambar 2).
Lokasi Penelitian
(sumber: Bappeda Kabupaten Sintang, 2009). Gambar 2. Lokasi penelitian yang berbatasan langsung dengan Malaysia
Desa Naga Bayan dipilih sebagai lokasi penelitian atas pertimbangan bahwa desa Naga Bayan merupakan salah satu desa yang terletak pada daerah perbatasan Indonesia – Malaysia. Di samping itu, Desa Naga Bayan merupakan desa asli yang sudah berinteraksi dengan para pendatang dan akses masyarakatnya sangat tinggi ke wilayah Malaysia. Atas dasar pertimbangan ini, Desa Naga Bayan dinilai relevan untuk dijadikan lokasi penelitian ini. Penelitian lapangan dilaksanakan selama kurang lebih 3 (tiga) bulan yaitu pada tanggal 28 Juni – 25 Agustus 2009.
37
3.2.
Pendekatan dan Strategi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi studi
kasus, dengan pertimbangan bahwa : (1) pertanyaan penelitian berkenaan dengan “bagaimana” dan “mengapa”, (2) penelitian ini memberikan peluang yang sangat kecil bagi peneliti untuk mengontrol gejala atau peristiwa sosial yang diteliti, dan (3) menyangkut peristiwa atau gejala kontemporer dalam kehidupan yang riil (Yin, 1996). Pendekatan kualitatif dipilih karena lebih menekankan pada proses-proses dan makna-makna yang tidak diuji/diukur secara ketat dari segi kuantitatif, serta mencari jawaban atas pertanyaan yang menekankan pada pengalaman yang dibentuk dan diberi makna oleh tineli. Sementara, strategi studi kasus digunakan karene sesuai dengan pendekatan kualitatif. Dengan menggunakan strategi ini akan memungkinkan untuk memahami permasalahan penelitian secara lebih mendalam, karena yang dipelajari adalah aspek-aspek yang spesifik. Strategi studi kasus mensyaratkan adanya interaksi antara peneliti dengan tineliti dalam posisi subjek to subjek sehingga kesepahaman bersama diantara mereka dapat terbangun. Dengan kata lain pencarian jawaban atas pertanyaan penelitian akan melibatkan interaksi antara peneliti dan tineliti dalam posisi yang sejajar. Sesuai dengan pendapat Sitorus (1998) yang menyatakan bahwa studi kasus (case study) adalah studi tentang kekhasan dan sekaligus kompleksitas dari satu atau sejumlah kasus, guna memahami kegiatan subjek tineliti dalam kondisi tertentu, dengan menerapkan sejumlah metode pengumpulan data yang saling melengkapi. Pemilihan studi kasus sebagai strategi penelitian didasari atas keutamaan yang dimiliki oleh strategi ini yaitu kemampuannya mengungkap kedua tujuan utama penelitian kualitatif yaitu “kekhasan” dalam arti “mendalam” dan “kompleksitas” dari suatu kejadian atau gejala sosial.
3.3. Metode Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dengan metode pengamatan langsung di lapangan serta wawancara mendalam (in-depth interview) dengan subyek kasusu (tineliti) dan informan. Data sekunder berasal berasal dari kajian literatur dan dokumen terkait,
38
berfungsi sebagai pendukung terhadap data primer. Data sekunder ini berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan kewenangan pemerintahan desa, monografi desa, skripsi, tesis, jurnal, disertasi, dan media massa. Berikut adalah rincian informan dan subjek kasus yang akan dimintai keterangan: Tabel 1. Jumlah informan dan subjek kasus No 1
2
Informan Kepala Desa seorang kepala wilayah yang berpengaruh dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan Desa Kepala Adat merupakan seorang yang memiliki pengaruh dalam urusan adat dan dihormati oleh warga
Jumlah 1 orang
1 orang
Subyek kasus/tineliti 3
4 5
6
7 8 9 10
Ketua BPD merupakan orang yang mengawasi dan memberi pertimbangan kepada Kepala Desa tentang langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan pembangunan. Sekretaris Desa Nanga Bayan orang yang mengurus kegiatan administrasi. Kepala Urusan Pemerintahan Desa merupakan orang yang membantu Kepala Desa dalam pelaksanaan urusan pemerintahan di desa. Kepala Urusan Pembangunan merupakan orang yang membantu Kepala Desa dalam pelaksanaan urusan pembangunan desa Ketua adat Kepala dusun Ketua RT Tokoh masyarakat - tokoh agama (Islam & Kristen) - tokoh pemuda, - tokoh perempuan, - Bidan Desa - pengusaha, - petani, - pedagang, - tokoh masyarakat kecil Jumlah
1 orang
1 orang 1 orang
1 orang
6 orang 5 orang 12 orang 2 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 38 orang
39
Untuk pengumpulan data dan informasi yang diperlukan, pertama-tama dilakukan penggalian informasi secara umum dengan mengadakan diskusi kelompok. Diskusi ini ditujukan untuk melihat gambaran umum mengenai pemerintahan desa dan permasalahannya dari sudut pandang subjek kasus yang terdiri dari: ketua adat, tokoh masyarakat, sekretaris desa, kepala urusan pemerintahan desa, dan mantan kepala desa. Setelah pendapat para subyek kasus dapat dikelompokan, maka penggalian lebih dalam mengenai informasi yang dibutuhkan dilakukan dengan wawancara mendalam. Wawancara mendalam juga dilakukan dengan pejabat pemerintah Kecamatan Ketungau Hulu dan Kepala Desa Nanga Bayan, yang bertujuan ntuk mendapatkan informasi umum mengenai pemerintahan desa di Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang. Pemilihan subyek kasus dilakukan dengan menggunakan tekhnik bola salju (snowball). Sesuai dengan yang dikatakan oleh Creshwell (2002) bahwa ide penelitian kualitatif adalah dengan sengaja memilih informan yang dapat memberikan jawaban terbaik pertanyaan penelitian. Subyek kasus merupakan orang-orang yang dipilih dan diyakini mampu memberikan pemahaman atas permasalahan yang sedang diteliti. Sementara informan adalah pihak yang memberikan keterangan tentang pihak lain dan lingkungannya. Jumlah informan dan tineliti diatas, sesuai dengan teknik bola salju yang digunakan, maka dari tokoh-tokoh yang ditetapkan di atas selanjutnya ditelusuri tokoh-tokoh lain yang dianggap mampu memberikan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini. Selanjutnya pengamatan berperanserta dilakukan agar penulis dapat melihat, merasakan dan memaknai ragam peristiwa dan gejala sosial di dalamnya sebagaimana subjek penelitian melihat, merasakan dan memaknainya sehingga memungkinkan
pembentukan
pengetahuan
secara
bersama.
Pengamatan
berperanserta ini dilakukan terbatas pada kegiatan-kegiatan tertentu seperti pengamatan atas kegiatan di kantor desa. Berikut adalah matriks data penelitian (lihat tabel 2).
40
Tabel 2. Matriks Data Penelitian No 1
Subtopik Gambaran umum desa
2
Kepemimpinan desa dalam melaksanakan pembangunan desa
3
Menggambarkan peran kepemimpinan dalam pelaksanaan pembangunan desa
4.
Partisipasi masyarakat terhadap pemerintahan desa dalam pembangunan desa
Data - Sejarah desa - Batas desa - Jumlah penduduk - Mata pencaharian masyarakat - dan lain-lain - Kepemimpinan Desa - Program-program pembangunan desa - Perencanaan program pembangunan desa - Pelaksanaan program pembangunan desa - Gambaran perilaku pemimpin - Gambaran peran kepemimpinan - Gambaran hubungan pemimpin dengan masyarakat - Ikutserta dalam Perenc. Pemb. desa - Ikutserta dalam Pelaks pembangunan desa - Ikutserta dalam Evaluasi pembangunan desa
Sumber data Data primer • Wawancara mendalam kepada aparat desa Data sekunder • Monografi desa Data primer & sekunder • Kajian literatur • Wawancara mendalam Dengan aparat desa, BPD, kepala distrik • Pengamatan berperanserta • FGD Data primer & sekunder • Kajian literatur • Wawancara mendalam dengan kepala desa, kepala adat, • Pengamatan berperanserta Data primer & sekunder • Kajian literatur • Wawancara mendalam • Tokoh masyarakat • Pengamatan berperanserta
Pengumpulan data dan informasi juga dilakukan melalui penelusuran dokumen yang dilakukan pada institusi-institusi pemerintahan yang memuat data tentang peraturan pemerintahan desa. Monografi desa menjadi salah satu sumber yang dibutuhkan karena memuat informasi mengenai daerah penelitian seperti data jumlah penduduk, keadaan lokasi penelitian, dan lain-lain. 3.4. Metode Analisis Data Analisis data merupakan upaya mencari dan menata data secara sistematis untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Proses analisis data dalam penelitian kualitatif dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam
41
catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, photo dan sebagainya. Catatan dibedakan menjadi dua, yaitu yang deskriptif dan yang reflektif (Muhadjir, 2000). Catatan deskriptif lebih menyajikan kejadian daripada ringkasan. Catatan reflektif lebih mengetengahkan kerangka pikiran, ide dan perhatian dari peneliti. Lebih menampilkan komentar peneliti terhadap fenomena yang dihadapi. Data yang telah dikumpulkan terlebih dahulu dilakukan klasifikasi, verifikasi, interpretasi data, dianalisis sampai pada pembahasan hingga diperoleh kesimpulan sementara atas jawaban-jawaban dari informan sebagai pedoman. Analisis mencakupi penafsiran semua data yang dikumpulkan sehingga menjadi informasi yang jelas tentang kepemimpinan dan partisipasi masyarakat. Dalam menganalisis data peneliti menggunakan Model Interaktif. Pada Model Analisis Interaktif ini, mempunyai tiga komponen analisis, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman, 1992). Peneliti mengumpulkan berbagai data yang dikumpul pada lokasi penelitian, kemudian direduksi dan selanjutnya di sajikan, bila terdapat kekurangan data dalam mereduksi dan penyajian data, maka dilengkapi lagi dengan pengumpulan data yang menunjang kemudian selanjutnya dibuat kesimpulan-kesimpulan. (lihat gambar 3).
PPeenngguum mppuullaann D Daattaa PPeennyyaajjiiaann D Daattaa R Reedduukkssii D Daattaa
K Keessiim mppuullaann-K Keessiim mppuullaann
Gambar 3. Model analisis interaktif
Sumber : Miles & Huberman (1992) Model Analisis Interaktif
42
Setelah data terkumpul dilakukan reduksi dengan tujuan untuk penajaman, menggolongkan mengarahkan dan membuang yang tidak perlu. Proses reduksi ini dilakukan selama penelitian berlangsung. Selanjutnya data dikelompokkan sesuai dengan subtopik dalam penelitian. Sebelum data diolah maka kembali diadakan diskusi kelompok untuk tujuan pengecekan data. Setelah proses pengecekan ulang kepada tineliti, maka proses selanjutnya adalah menyajikan data dalam bentuk teks naratif yang menggambarkan lokasi penelitian dan bentuk pemerintahan desa di kawasan perbatasan. Kegiatan pengamatan dalam penelitian ini dibagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama kegiatan penelitian pada pengumpulan data sekunder tentang profil desa, serta berbagai data dan informasi perkembangan kelembagaan formal maupun kelembagaan informal. Wawancara langsung pada pelaku di pedesaan pada tahap ini adalah untuk mengumpulkan informasi yang bersifat garis besar dan dilakukan secara relative cepat dan tidak begitu mendalam. Pada tahap kedua dilakukan penggalian data dengan cara wawancara secara mendalam. Wawancara dilakukan dengan panduan daftar pertanyaan ringkas yang sudah dipersiapkan sebelum peneliti melakukan kegiatan pengamatan lapangan. Hasil wawancara dan pengamatan lapangan direkam dalam daftar pertanyan dan catatan harian lapangan. Pengumpulan data dan informasi yang digali melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan, baik secara individu maupun kelompok, ditujukan untuk dapat menjawab tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Untuk menjawab tujuan penelitian pertama, maka data disajikan dalam bentuk periodesasi. Periodesasi didasarkan atas faktor yang mendorong timbulnya perubahan dalam pemerintahan desa yaitu bentuk kelembagaan yang ada di desa. Periode pertama adalah gambaran mengenai kepemimpinan pemerintahan desa sebelum adanya program pembangunan desa. Periode kedua memuat informasi mengenai kepemimpinan pemerintahan desa dengan melihat rumusan kebijakan dan program pembangunan desa. Terakhir periode ketiga menyajikan data atau informasi mengenai interaksi kepemimpinan pemerintahan desa dengan partisipasi masyarakat.
43
3.5. Definisi Konseptual 1. Pembangunan adalah perubahan untuk kemajuan, artinya pembangunan pada hakekatnya adalah proses perubahan yang terus menerus, yang merupakan kemajuan dan perbaikan menuju ke arah tujuan yang ingin dicapai (Nordholt, 1987). 2. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mendorong sejumlah orang (dua orang atau lebih) agar bekerja sama dalam melaksanakan kegiatankegiatan yang terarah pada tujuan bersama (Hill dan Caroll, 1997). 3. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana caranya (Cohen dan Uphoff dalam Nordholt, 1987). 4. Yang dimaksud kekuasaan (power) dalam penelitian adalah kemampuan untuk bertindak atau memerintah sehingga dapat menyebabkan orang lain bertindak, pengertian disini harus meliputi kemampuan untuk membuat keputusan mempengaruhi orang lain dan mengatasi pelaksanaan keputusan itu. kekuasaan itu dapat diartikan sebagai suatu kemungkinan yang membuat seorang aktor didalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan
untuk
melaksanakan
keinginannya
sendiri
dan
yang
menghilangkan halangan (Weber, 1947). 5. Yang dimaksud kewenangan (authority) dalam penelitian ini adalah kekuasaan yang di legitimasi oleh hukum. Wewenang (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu (Weber, 1947). 6. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat (UU No.22/1999).
44
IV. GAMBARAN UMUM DESA 4.1. Kondisi Geografis Masyarakat yang hidup di kawasan perbatasan Kabupaten Sintang – Serawak sebagian besar adalah keturunan Suku Dayak. Pada bagian wilayah yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Sintang suku Dayak tersebut dapat dikelompokan menjadi: Dayak Iban, Dayak Desa, Dayak Sebaruk, Dayak Bugau, dan Dayak Kumpang. Desa Nanga Bayan adalah desa sekitar hutan, memiliki luas wilayah 2138,2 kilometer persegi yang terletak di wilayah Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Desa Nanga Bayan merupakan salah satu dari tujuh desa yang berbatasan langsung dengan Negara tetangga Malaysia. Desa lain adalah Desa Wana Bakti dan Desa Gut Jaya Bakti di wilayah Ketungau Tengah, Desa Nanga Bayan, Desa Jasa, Desa Rasau, Desa Senaning dan Desa Sungai Seria di wilayah Kecamatan Ketungau Hulu. Jarak desa Nanga Bayan dengan ibukota Kecamatan sekitar 59 kilometer atau lebih kurang sepuluh jam bila ditempuh dengan jalan kaki, sedangkan jarak antara Desa Nanga Bayan dengan Desa Gua Dungat, Seriaman-Malaysia sekitar 10 kilometer atau memakan waktu lebih kurang dua jam bila ditempuh dengan jalan kaki, serta jarak dari Ibukota Kabupaten Sintang 189 kilometer. Desa Nanga Bayan yang ada di wilayah perbatasan dengan Malaysia menjadi lokasi penelitian, dengan posisi wilayah perbatasan di lindungi oleh Bukit yang agung "Bukit Kelingkang" yang membatasi kedua negara. Masyarakat suku Dayak Kumpang adalah yang mendiami desa tersebut sangat memegang teguh aturan-aturan dan norma-norma adat-istiadat dan budaya nenek moyang mereka yang telah dilakukan secara turun-temurun mulai dari upacara kelahiran, mengelola sumber daya alam sampai pada masa kematian yang mereka lakukan sesuai dengan tradisi adat istiadat di dalam masyarakat Suku Dayak Kumpang. Sumber daya alam hutan yang luas dan kaya telah menjadikan alamnya sebagai tempat tinggal dan bertahan hidup (survival) dari alam yang bersahabat dengan mereka, misalnya dalam mengelola hutan dan alam, pengobatan, upacara, maupun dalam berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Dengan berpenghasilan dari berladang (padi dan karet) sebagai mata pencaharian utama, mereka sangat
45
tergantung dengan alam dan hutan, yang mana menurut masyarakat Kumpang, berladang itu bukanlah sekedar pekerjaan rutinitas melainkan suatu pekerjaan yang sudah sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Artinya dalam kehidupan suku dayak, Berladang (uma) bukan sekedar untuk hidup tapi ladang turut membentuk peradaban orang Dayak. Karena dari membuka lahan hingga akhir panen ada aturan yang hatus ditaati, ini terbukti dari mata pencaharian mereka bersumber dari hutan (berladang), semua unsur kehidupannya juga bersumber dari hutan seperti bahan-bahan untuk membuat rumah panjang (betang), semua didapat dari hutan. Maka tidaklah mengherankan jika ada ungkapan oleh Kepala Adat yang mengatakan bahwa hancurnya hutan akan menghancurkan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat Dayak. Dalam perkembangannya mereka juga berinteraksi dengan warga negara Malaysia yang lebih dekat jaraknya dibandingkan dengan pusat pemerintahan kecamatan. Hubungan itu lambat laun berjalan timpang sehingga menimbulkan ketergantungan. Pasalnya, kini sebagian besar kebutuhan pokok warga seperti pupuk untuk pertanian, makanan dan minuman dalam kemasan, gula, susu, terigu, pakaian, hingga peralatan elektronik misalnya tape, televisi, radio, mesin speed boat, termasuk juga pasokan bahan bakar minyak dipasok dari Malaysia melalui pos pelintas batas tradisional. Jauhnya jarak dari pusat perdagangan di kawasan Indonesia dan minimnya infrastruktur dasar yang memadai menyebabkan tersendatnya distribusi kebutuhan pokok ke kawasan itu. Kalaupun tersedia, harganya sangat mahal sehingga tidak ada pilihan kecuali mendatangkannya dari Malaysia. Pada kenyataannya di kawasan perbatasan, banyak sekali ditemukan fakta yang menyedihkan bahkan ironis. Setidaknya itulah yang terjadi di kawasan perbatasan darat yang memisahkan antara negara Indonesia dengan negara Malaysia di pulau Kalimantan. Bayangkan, untuk mencapai Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, membutuhkan waktu hampir 14 jam perjalanan darat dari Pontianak (Ibu Kota Kalbar). Sulitnya akses ke daerah perbatasan membuat kawasan ini sering luput dari pengawasan aparat, sehingga banyak ditemukan kasus pelanggaran keimigrasian, dan pencurian sumber daya alam.
46
Secara geografis batas wilayah desa Nanga Bayan sebagai berikut : a. Sebelah Timur, berbatasan dengan Desa Gut Jaya Bakti Kec. Ket. Tengah b. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Desa Sebetung Palu Kec. Ket. Hulu c. Sebelah Barat, berbatasan dengan Desa Jasa Kec. Ket. Hulu d. Sebelah Utara, berbatasan dengan Malaysia Timur (Sarawak) Kawasan perbatasan, seperti di Desa Nanga Bayan dan Desa Gut Dungat Seriaman-Malaysia, kesenjangan sarana dan pra-sarana wilayah antara kedua wilayah Negara, telah menjadi pemicu orientasi perekonomian masyarakat perbatasan ke Negara tetangga. Jalan menuju ke Malaysia ternyata jauh lebih mudah bilamana dibandingkan dengan Ibukota Kecamatan/Kabupaten di wilayah tersebut. Sedangkan jalan yang menghubungkan Desa Nanga Bayan dengan Ibukota Kecamatan Ketungau Hulu merupakan jalan tanah dengan lebar enam meter, dan tidak setiap harinya angkutan umum (angkutan pedesaan) melintasi jalan tersebut. Kondisi demikian mempersulit kegiatan administrasi, arus informasi dan komunikasi pemerintahan desa dengan pemerintahan kecamatan. Komunikasi antara pihak pemerintahan desa dengan pihak kecamatan tidak dapat dilakukan secara langsung, apabila ada hal penting yang menyangkut penyelenggaraan tugas pemerintahan, maka baik pihak desa mendatangi pihak kecamatan maupun pihak pemerintahan kecamatan mendatangi pihak desa. Dengan jarak tempuh yang dekat merupakan suatu resiko sekaligus keunikan bagi Desa Nanga Bayan sebagai salahsatu daerah di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan negara lain. Desa Nanga Bayan - Desa Gut Dungat memiliki kedekatan dari sisi letak geografis. Kehidupan warga di perbatasan bahkan seolah sudah tanpa batas identitas negara, seperti yang dialami warga di Desa Nanga Bayan yang kerap saling kunjung mengunjungi ke Desa Gut Dungat, Seriaman-Malaysia. Sisi keunikan letak geografis dan sosial itu bukan berarti tidak mengandung resiko, sebab ancaman besar tetap ada menyangkut keutuhan negara dalam hal batas wilayah. Juga akses keluar masuknya manusia dan barang di kedua negara tersebut, perambahan hutan serta kejahatan trans internasional. Dalam beberapa tahun terakhir di Nanga Bayan sering di jumpai mobilmobil asing Malaysia dalam berbagai jenis dan merk produksi. Mobil tersebut
47
memang gampang masuk tetapi lebih banyak yang tak kembali ke negara asalnya. Ada yang masih asli berplat Malaysia dan ada pula yang diragukan plat kendaraannya setelah dimodifikasi. Belakangan ini, mobil-mobil asing tersebut tidak kelihatan lagi seiring gencarnya razia mobil asing. Lebih dari 70 persen wilayahnya merupakan tanah perhutanan, sekitar 20 persen berupa tanah pertanian, dan selebihnya adalah daerah pemukiman dan bangunan umum. Di samping itu Desa Nanga Bayan terdapat Bukit Keburau sebagai sumber sarana air bersih desa. Dari bukit itulah warga desa memperoleh air bersih dengan membangun jaringan dari bukit untuk disalurkan kepada rumahrumah warga. Jumlah rumah tangga yang memanfaatkan sebagai sumber air bersih sebanyak 114 Rumah Tangga. Sarana dan prasarana lain seperti listrik dari pemerintah belum ada sama sekali, adapun keluarga yang telah memanfaatkan energi listrik (menggunakan genset) sebanyak
59 rumah tangga, sedangkan
sisanya menggunakan lampu minyak (petromak), serta lampu lentera dan pelita.
4.2. Kondisi Demografis Jumlah penduduk Desa Nanga Bayan berdasarkan kepala keluarga dan jenis kelamin yang terbagi dalam lima dusun pada tahun 2009. Tabel 3 : Jumlah Penduduk Desa Nanga Bayan berdasar jenis kelamin dan dusun.
P
(%)
26,22
224
29,99
Total Jumlah Penduduk 428
214
27,51
189
25,30
403
61
99
12,72
105
14,06
204
4 Idai
77
149
19,15
130
17,40
279
5 Semujan
63
112
14,40
99
13,25
211
407
778
100 %
747
100 %
1.525
Jumlah No
Nama Dusun
Jumlah Jiwa
KK
L
1 Keburau
102
204
2 Lubuk Ara
104
3 Belubu
Jumlah
(%)
Sumber : Monografi Desa Nanga Bayan Jumlah penduduk Desa Nanga Bayan berdasarkan tingkat pendidikan formal sebanyak 904 Orang. Sebagian besar penduduk berpendidikan tamat Sekolah Dasar (SD) Sedangkan jumlah penduduk yang berlatar belakang tamat pendidikan
48
perguruan tinggi (S1) relatif masih sedikit (hanya 6 orang), di antaranya penduduk yang tamat perguruan tinggi adalah kepala desa, mantan kepala desa, mantan ketua BPD, kepala sekolah menengah pertama, satu orang tenaga pengajar (guru) di sekolah menengah pertama Desa Nanga Bayan dan kepala dusun Keburau, sehingga akan mempengaruhi proses pengembangan masyarakat di desa Nanga Bayan.
Kondisi demikian secara umum mempengaruhi pengetahuan dan
ketrampilan yang dimiliki, tingkat pendapatan, dan jenis pekerjaan yang bisa dikerjakan serta mempengaruhi pemahaman masyarakat terhadap informasi mengenai pembangunan (lihat Tabel 4). Tabel 4 : Jumlah penduduk Desa Nanga Bayan berdasarkan tingkat pendidikan formal dan dusun tahun 2009.
No
Pendidikan Tamat Tamat Tamat Tamat SD (%) SMP (%) SMA (%) PT (%) 191 28,85 56 40,87 49 49,49 2 33,33
1
Nama Dusun Keburau
2
Lubuk Ara
189
28,55
54
39,42
41
41,41
3
50,00
3
Belubu
87
13,14
7
5,11
4
4,04
1
16,67
4
Idai
104
15,71
11
8,03
3
3,03
-
-
5
Semujan
91
13,75
9
6,57
2
2,02
-
-
Jumlah
662
100%
137
100%
99
100%
6
100%
Sumber : Data Monografi Desa Nanga Bayan tahun 2009
4.3. Kondisi Perekonomian Beban dirasakan masyarakat justru berbuah menjadi pola hubungan ekonomi masyarakat kedua wilayah menjadi lebih membebani masyarakat dan sekaligus juga, secara nilai ekonomis, antara pemasukan dan pengeluaran menjadi tidak berimbang. Misalnya, sebelum ada Pos Lintas Batas semua transaksi hasil pertanian dan perkebunan dapat dilakukan di wilayah perbatasan Tengkulak dari Malaysia atau dapat pergi ke wilayah Desa Gut Dungat. Kelancaran komunikasi bisnis seperti itu memang saling menguntungkan kedua pihak oleh karena dengan transaksi langsung harga dan penggunaan nilai tukar dapat dilakukan dengan kesepakatan atau cara-cara yang sudah lazim. Penggunaan uang rupiah atau ringgit Malaysia tidak menjadi hambatan.
49
Kegiatan perdagangan lintas batas yang terjadi sebagian besar adalah perdagangan kebutuhan alat-alat pertanian (pupuk), rumah tangga dan bahan makanan lainnya yang tersedia di kawasan perdagangan atau di Desa Gut Dungat Seriaman-Malaysia. Kegiatan lintas batas lainnya adalah kunjungan kekerabatan antar keluarga karena perkawinan dan menjadi warga Negara Malaysia sedangkan warga lainnya yang berkunjung ke Serawak-Malaysia adalah dalam rangka melakukan kegiatan perdagangan bahan makanan dan komoditi lainnya. Dari Desa Nanga Bayan masyarakat biasa menjual hasil bumi seperti lada, pisang, ketimun, sayur-sayuran, buah-buahan, anyam-anyaman serta hasil bumi lainnya, sebaliknya dari Sarawak mereka menjual berbagai kebutuhan hidup seperti gula, susu, terigu, makanan dan minuman dalam kemasan, pakaian, juga barang elektronik berupa tape, radio, televise serta barang lainnya. Dari hasil pengamatan peneliti, produk dominan yang terdapat pada toko di Desa Nanga Bayan hanya obat-obatan, pakaian dan rokok, sedangkan bahan pokok lainnya lebih banyak dari Malaysia termasuk juga kartu telepon seluler. Sebagai gambaran gula asal Malaysia di Desa Nanga Bayan harganya Rp. 7.000,(tujuh ribu rupiah) sementara gula dari Indonesia harganya Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dengan demikian masyarakat di Desa Nanga Bayan lebih memilih produk dari luar dengan harga yang murah serta mudah didapat daripada memilih produk dari dalam tetapi harus menempuh jarak yang jauh serta harga yang tinggi.
a.
Ekonomi Rumah Tangga dan Mata Pencaharian Sejak dari dahulu sebagian besar mata pencaharian penduduk desa Nanga
Bayan adalah sebagai petani ladang berpindah. Mereka dapat berkomunikasi untuk menukarkan hasil produksi pertanian dan perkebunan dengan kebutuhan sehari-harinya, sehingga bernilai ekonomi tinggi mengindikasikan kemampuan atau kesejahteraan rumahtangga yang bersangkutan. Lahan, terutama lahan pertanian sebagai asset produktif untuk menghasilkan produksi pertanian, contoh adalah lahan kering yang berbasis komoditas palawija dan perkebunan, maka lahan dominan yang diusahakan adalah ladang dan kebun. Di lokasi penelitian rata-rata petani memiliki perkebunan karet dan lada, tujuan dari perkebunan karet dan lada ini dominan untuk investasi jangka panjang.
50
Pada dasarnya kebutuhan bahan pokok dipenuhi oleh lingkungannya. Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa Orang Dayak berburu dan berladang. Tanaman padi adalah suatu yang paling penting dalam kehidupan masyarakat Dayak. Masyarakat Dayak terdiri dari petani ladang berpindah. Ladang baru dipilih dengan izin kepala adat. Pada umumnya hanya ladang yang ditanam setidaknya tujuh atau sepuluh tahun sebelumnya digunakan lagi. Tanah hutan yang semakin lama tidak digunakan untuk ladang semakin subur. Keuntungan lain dari ladang berpindah bagi masyarakat dayak adalah karena setelah tanah bekas ladang (bawas) cukup lama tidak digunakan menjadi hutan lagi sehingga tidak banyak rumput yang tetap hidup. Itu berarti ladang tidak perlu digarap secara intensif setelah padi muncul dan tumbuh. Biasanya padi ladang di tanam pada bulan Agustus dan September setelah ladang di bakar dan dibersihkan. Masyarakat tidak menggunakan alat-alat canggih dan juga tidak menggunakan tenaga hewan seperti kerbau atau sapi. Mereka hanya menggunakan parang, kampak, cangkul dan tenaga manusia untuk mempersiapkan ladang. Petani-petani menggunakan abu dari kayu yang dibakar sebagai pupuk yang sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan padi di ladang. Seandainya ladang sudah siap untuk disebarkan bibit padi, petani membuat lubang dengan tongkat, beberapa bibit padi dimasukkan dan lubang ditutupi. Ada upacara pada saat bibit padi ditanam dengan gaya melingkar dan memberi korban ayam sebagai sesajen. Selama masa tumbuh padi ada ritual dengan memberi korban sesajen supaya roh jahat dan baik merasa puas dan panen tidak gagal tetapi berlimpah. Pada waktu ritual sesajen ada pantangan makanan pada keluarga sesuai dengan yang disuruh oleh kepala adat, misalnya tidak boleh makan rusa atau rebung selama beberapa minggu. Sedangkan pesta besar bernama Gawai yang dilaksanakan pada waktu panen. Pesta gawai yang dilaksanakan pada saat panen raya bukan hanya dilakukan oleh suku dayak yang ada di Desa Nanga Bayan, tetapi pada umumnya merupakan pesta adat suku dayak yang ada di Kalimantan Barat. Hal ini dilakukan setiap tahun pada musim panen tiba, yang jadwal pelaksanaannya disesuaikan oleh masing-masing suku. Bagi suku dayak kegiatan ini merupakan kegiatan wajib yang harus dilakukan untuk mengucapkan rasa syukur atas rezeki yang diberikan oleh sang dewata.
51
b.
Ekonomi Desa Potensi desa yang dihitung berdasarkan keseluruhan sumber daya yang
dimiliki atau yang digunakan oleh desa baik sumber daya alam, penduduk, kelembagaan, dan sarana/prasarana, maka desa ini termasuk dalam kategori sedang, sedangkan apabila ditinjau dari segi potensi pengembangan, maka desa ini mempunyai prospek dalam potensi pengembangan pekerbunan khususnya perkebunan karet dan lada. Ditinjau dari faktor pendukung wilayahnya, pada prasarana jalan, Desa Nanga Bayan mempunyai jalan sepanjang 59 kilometer yang menghubungan desa dengan ibukota kecamatan dalam kondisi rusak dan rusak berat, sedangkan jalan desa yang melintasi desa ini yang menghubungkan dengan Desa Gut Dungat Malaysia sepanjang kurang lebih 10 km kondisinya relative baik, namun untuk jalan yang menghubungkan antar dusun masih jalan tanah dan batu. Sedangkan jalan-jalan yang menghubungkan rumah mereka dengan kebunnya kondisinya masih jalan setapak dan jalan tersebut hanya dapat dijangkau dengan jalan kaki. Kehidupan masyarakat di Desa Nanga Bayan tergantung pada musim dan lokasinya. Pada musim kemarau bulan April sampai bulan Agustus masyarakat sibuk di perkebunan karet atau di ladang. Pada waktu hujan warga desa jarang di perkebunan karet. Seandainya tidak hujan, sebelum matahari terbit tukang sadap masuk perkebunan karet menggunakan lampu minyak tanah yang diikat di dahi supaya mereka bisa melihat dan tetap bisa menggunakan dua tangan untuk menyadap karet. Proses penyadapan itu dimulai dengan mendekati tiap pohon untuk memotong kulit pohon supaya getah mengalir ke tempat yang terletak di samping pohon. Tukang sadap sanggup memotong beberapa ratus pohon pada waktu pagi, tergantung kemampuannya dan lokasi pohon. Setelah memotong kulit, tukang sadap kembali ke pohon pertama dan mengambil air getah yang tadi mengalir ke tempat yang sudah disediakan di bawah. Setelah semua getah terkumpul, tukang sadap kemudian memasukkan ke dalam ember dan kemudian ember yang sudah berisi penuh dengan getah dibawa ke tempat khusus. Dalam beberapa jam getah tidak cair lagi dan setelah dibekukan kemudian direndam di sungai. Getah itu hanya bisa dipanen pada waktu tidak hujan, artinya bisa panen getah selama sekitar delapan bulan.
52
Pada musim hujan dari bulan September sampai Januari getah jarang bisa didapatkan, dan petani sibuk di ladang memotong rumput dan memelihara kebun. Pada waktu itu warga dusun menebang pohon untuk dibuat papan atau mencari sejenis rotan supaya bisa dibuat keranjang, dan sejenis tikar (bidai). Aktivitas tersebut dilaksanakan oleh perempuan maupun laki-laki, mereka bersama-sama membuat kerajinan tangan. Pada bulan Juni sampai Oktober, musim mencari ikan arwana (Siluk) di sungai, khususnya di sungai Ketungau yang mengalir lewat dusun Keburau. Ikan Siluk memang unik, pada waktu anaknya masih kecil mereka dipelihara di mulut induknya. Di Desa Nanga Bayan perantara membeli ikan Siluk untuk dijual di pasar lokal atau diekspor. Ikan Siluk bisa dijual oleh masyarakat Dayak sampai seratus lima puluh ribu rupiah per ekor. Pada bulan Pebruari sampai Mei petani sibuk memanen padi dan setelah panen ada pesta besar-besaran yang dinamakan Gawai. Pada bulan itu memang musim pesta seperti pernikahan, sunatan dan niat atau dalam bahasa Indonesia syukuran. Pada bulan Juni dan Juli masyarakat sibuk di kebun memanen kacang tanah, ketimun dan mempersiapkan ladang kembali. Khususnya bulan Juli dan Agustus masyarakat memilih lokasi ladang yang baru, menebang pohon dan membakar hutan untuk dijadikan ladang. Pada umumnya di Desa Nanga Bayan petani membakar ladangnya sebelum bulan Agustus, sebelum musim hujan mulai lagi. Kemudian setelah itu ladang ditanami supaya abu dari pembakaran dapat menyuburkan tanah dan ini bersamaan dengan datangnya musim hujan, saat yang baik untuk menanam bibit. 4.4. Tradisi Masyarakat Dari aspek kehidupan beragama, kesadaran melakukan ibadah keagamaan telah berkembang dengan baik. Hal ini antara lain didukung oleh menguatnya kesadaran di kalangan pemuka agama untuk membangun harmonisasi sosial dan hubungan intern dan antar umat beragama guna menciptakan rasa aman, damai dan saling menghargai di antara umat beragama melalui wadah seperti Lembaga Adat yang telah memberikan kontribusi cukup besar dalam menjamin kerukunan hidup umat beragama. Selain pertumbuhan secara spiritual, pertumbuhan fisik berupa sarana dan prasarana peribadatan yang dibangun atas swadaya masyarakat maupun melalui dukungan dari pemerintah desa juga tercatat meningkat seiring
53
dengan pertumbuhan jumlah umat beragama. Dari 1 buah gedung gereja dan 741 pemeluk agama Kristen Protestan pada tahun 2008. Pertumbuhan serupa dalam 1 dekade terakhir juga terjadi pada agama Kristen Katolik dan Islam. Pada tahun 2009, tercatat sebanyak 2 buah gedung gereja dan 669 orang pemeluk agama Kristen Katolik. Sementara untuk agama Islam, pada periode yang sama jumlah masjid sebanyak 1 buah dan surau 1 buah dengan 109 orang pemeluk agama Islam. Dari aspek adat, Desa Nanga Bayan memiliki aneka ragam adat dan nilainilai tradisi yang potensial dikembangkan. Aneka adat dan tradisi itu masih terpelihara di tengah kehidupan masyarakat. Sejumlah upacara tradisional antara lain Upacara Adat Sengkelan Batu, upacara adat pengobatan dan kesenian daerah lainnya sangat menunjang tumbuhnya rasa nasionalisme dan pembangunan ekonomi daerah (misalnya, melalui sektor pariwisata). a.
Upacara Adat Upacara Adat Sengkelan Batu merupakan salah satu khazanah kebudayaan
lokal ataupun tradisi turun-temurun masyarakat suku Dayak Kumpang di Desa Nanga Bayan. Adat Sengkelan Batu adalah istilah yang digunakan masyarakat Dayak di Desa Nanga Bayan untuk menyebut ritual upacara ataupun pesta setelah panen raya. Upacara ini dilakukan masyarakat Dayak Kumpang sebagai wujud ungkapan syukur atas hasil panen. Disebut Adat Sengkelan Batu karena upacara ini dilakukan selama lima sampai tujuh hari dengan melibatkan warga desa, baik dari desa dalam maupun desa luar seperti Desa Gut Dungat Seriaman-Malaysia. Upacara ini juga melibatkan aparat pemerintahan sebagai tamu undangan mulai dari pejabat pemerintahan setempat juga melibatkan pejabat pemerintahan dari desa lain dan kecamatan. Dalam sejarahnya, tidak diketahui secara pasti kapan tradisi Adat Sengkelan Batu ada dan resmi sebagai ritual yang terlembagakan di masyarakat Dayak di Desa Nanga Bayan. Namun, apabila melihat latar belakang dan substansi upacara Adat Sengkelan Batu, upacara ini diduga lahir bersamaan dengan dikenalnya tradisi berladang ataupun bercocok tanam masyarakat Dayak di Desa Nanga Bayan. Jadi ini merupakan tradisi yang usianya sama tuanya dengan aktivitas (berladang) di Desa Nanga Bayan.
54
Pelaksanaan prosesi upacara Adat Sengkelan Batu biasanya dilakukan setahun sekali yakni sesudah musim panen berakhir, antara Juli dan Agustus. Upacara ini dilaksanakan di Balai Adat, tempat utama seluruh pelaksanaan acara adat suku Dayak Kumpang. Upacara Adat Sengkelan Batu dipimpin seorang dukun, tokoh spiritual dan ritual yang dikenal memiliki pengetahuan luas akan seluk beluk adat dan tradisi. Sebelumnya, prosesi tradisi masyarakat ini diawali dengan musyawarah warga desa yang dipimpin ketua adat (temenggung). Dalam musyawarah adapt itu mereka warga desa dan ketua adat, membicarakan hasil panen dan kemungkinan diadakannya Adat Sengkelan Batu. Karena itu, jadi dan tidak dilangsungkannya upacara Adat Sengkelan Batu terkait dengan hasil panen yang diperoleh warga suku Dayak Kumpang. Apabila hasil panennya dalam jumlah besar dan dianggap cukup memuaskan, musyawarah membahas penentuan hari pelaksanaan upacara, tamu-tamu undangan, dan persiapan peralatan upacara. Sebaliknya, jika hasil panennya mengecewakan, upacara Adat Sengkelan Batu secara otomatis dibatalkan. Peralatan yang digunakan dalam ritual Adat Sengkelan Batu adalah alat-alat khusus yang wajib dipersiapkan seluruh warga atas petunjuk seorang dukun. Alatalat seperti ancak, tali rotan, dan kelungkong merupakan peralatan upacara yang tidak pernah ketinggalan ketika upacara itu dilaksanakan. Langatan merupakan induk ancak dan sajian yang disusun lima tingkat berdasarkan besar dan kecilnya ukuran sesajian. Biasanya, sajian dalam ukuran terkecil yang berada di tingkat teratas. Sajian ini memiliki nama-nama tertentu, seperti Ancak ka Gunung (tidak bertingkat) dan Ancak Balai Perau (berbentuk perahu). Nama-nama ancak tersebut merupakan simbol yang disesuaikan dengan isi dan tujuan upacara. lungkong adalah alat-alat berjumlah tiga buah dibuat sebagai simbol dari namanama dewa ataupun nenek moyang suku Dayak Kumpang. Sementara itu, tali rotannya berfungsi untuk mengikat sajian yang digantungkan di tengah balai adat. Setelah peralatan upacara lengkap, sempurna, dan siap digunakan, seorang dukun kemudian memimpin jalannya ritual upacara Adat Sengkelan Batu. Rangkaian acara itu meliputi bersemanang (berdoa dengan membaca mantramantra), bakanjat (tarian menyerupai burung elang oleh para pemuda).
55
Hal yang menarik sekaligus menjadi puncak dari rentetan rangkaian upacara tersebut adalah diselenggarakannya tarian-tarian khas suku Dayak Kumpang yang mereka sebut dengan Bekondan. Tarian ini dibawakan seluruh warga desa, baik laki-laki maupun perempuan, muda ataupun tua. Mereka membaur jadi satu, tenggelam dalam gerakan tarian khas dengan membentangkan tangan seperti burung terbang. b.
Nilai Relegius Bagi masyarakat Dayak Kumpang, upacara Adat Sengkelan Batu merupakan
puncak ritual religius yang dilakukan secara kolektif. Lebih dari itu, ritual ini diyakini sebagai salah satu medium paling utama untuk memperkuat tali persaudaraan. Dengan kata lain, ritual Adat Sengkelan Batu merupakan tradisi yang menyimpan nilai-nilai religius dan sosial. Nilai religius dan sosial dalam upacara Adat Sengkelan Batu ini bermula dari pemahaman filosofis yang dianut masyarakat Dayak Kumpang. Dalam masyarakat Dayak, pemahaman filosofis berkenaan dengan pemaknaan akan seluruh aktivitas keseharian mereka. Misalnya, dalam aktivitas ekonomi yang meliputi aktivitas berladang ataupun bercocok tanam. Menurut filosofis orang Dayak Kumpang, berladang tidak semata-mata sebagai sebuah aktivitas ekonomi yang terlepas dari pemaknaan nilai-nilai ketuhanan. Selain itu, Adat Sengkelan Batu juga menyimpan nilai sosial. Nilai ini terletak pada fungsi dan tujuan sosial dari upacara itu. Bagi masyarakat Dayak Kumpang, upacara Adat Sengkelan Batu seolah menjadi ajang paling efektif untuk menumbuhkan rasa solidaritas, saling mengenal pribadi atau individu lain. Hal itu tecermin dari aktivitas mereka dalam mempersiapkan peralatan upacara dan pemberian hasil panen kepada warga lain yang kurang mampu. Dengan senang hati dan penuh kesadaran mereka mempersiapkan peralatan agar upacara dapat berlangsung dengan baik. Tanpa kerja sama yang sehat, upacara Adat Sengkelan Batu mustahil dapat diselenggarakan. Oleh karena itu, dalam upacara tersebut sangat dibutuhkan tenaga manusia dalam jumlah yang besar. Selain nilai-nilai di atas, upacara Adat Sengkelan Batu juga menyimpan nilai politik. Nilai itu tecermin pada tradisi mengundang tamu dari desa lain dan dari aparat pemerintah. Tradisi undangan pada dasarnya bertujuan agar eksistensi
56
tradisi komunitas suku Dayak Kumpang tetap diakui di kalangan lain. Artinya, dengan upacara Adat Sengkelan Batu, masyarakat Dayak Kumpang ingin memperlihatkan kepada komunitas lain bahwa eksistensi mereka sebagai manusia yang berada dalam ruang lingkup komunitas terbatas juga dianggap dan tidak dimarginalkan. Meskipun masyarakat Dayak Kumpang mayoritas berdomisili di pedalaman yang terpisah dari komunitas luar, mereka tidak seharusnya dikucilkan. Sebab, bagaimanapun mereka tetaplah warga negara Indonesia yang berhak atas hak-hak mereka sebagai warga negara, seperti hak mendapatkan pengakuan, pendidikan, dan kesejahteraan. Setidaknya, lewat tradisi upacara Adat Sengkelan Batu, masyarakat Dayak Kumpang di Desa Nanga Bayan berusaha menjalin interaksi dengan masyarakat luar. Sudah sewajarnya, semua pihak merespons positif usaha yang mereka lakukan.
4.5. Kelembagaan Desa Kelembagaan yang tumbuh dan berkembang di Desa Nanga Bayan, baik berasal dari inisiatif warga maupun kelembagaan bentukan pemerintah merupakan wahana dalam menampung aspirasi warga dan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Kelembagaan yang mempunyai kegiatan rutin mengadakan pertemuan warga masyarakat seperti lembaga adat, Posyandu, Kelompok Remaja Masjid, Remaja Gereja dan Karang Taruna merupakan potensi kelembagan untuk dijadikan media pembelajaran masyarakat dalam pengembangan masyarakat. Kelembagaan yang muncul atas prakarsa pemerintah dengan penggalian potensi kelembagaan lokal dapat dijumpai pada Koperasi Simpan Pinjam, BPD, PKK/ Posyandu. Kelembagaan ini diharapkan berkembang menjadi wadah perjuangan masyarakat miskin untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui program-program pengembangan masyarakat yang telah berjalan di Desa Nanga Bayan, seperti JPS, RASKIN, BLT, dan PNPM. Dalam perkembangannya kelembagaan ini belum secara optimal memberikan kontribusi yang besar bagi pembangunan desa berkaitan dengan sumberdaya manusia yang ada di Desa Nanga Bayan masih perlu untuk ditingkatkan, terutama untuk mengolah sumber daya alam yang ada di Desa Nanga Bayan. Lembaga-lembaga kemasyarakatan penting yang ada pada komunitas desa di Desa Nanga Bayan sebagai berikut.
57
4.5.1. Lembaga Pemerintahan Desa Pemerintahan desa merupakan lembaga pelayanan publik tingkat pedesaan yang meliputi pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Lembaga pemerintahan ini sangat berperan atas proses perencanaan pembangunan desa. Berdasarkan peranan tersebut, pemerintah dalam memberikan pelayan publik sangat dirasakan oleh masyarakat. Pemerintah Desa terdiri dari kepala desa, sekretaris desa, beberapa kepala urusan (Kaur), beberapa Kepala Dusun. Pada proses pelayanan ini pemerintahan desa memiliki perpanjangan tangan disetiap wilayahnya yang terbagi dalam lima dusun yaitu : Dusun Keburau, Dusun Lubuk Ara, Dusun Idai, Dusun Semujan, dan Dusun Belubu yang dipimpin oleh Kepala Dusun dalam menjalankan roda pemerintahan desa. Pada pelaksanaan pemerintahan desa di Desa Nanga Bayan memiliki pengawas yaitu, Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Secara umum tugas dan fungi BPD adalah mengawasi jalannya pemerintahan desa. Selain itu tugas BPD adalah menampung aspirasi warga masyarakat baik berupa kritik yang membangun, usulan/ masukan maupun keluhan atas ketidak puasan pelayanan ataupun jalannya pemerintahan desa yang tidak baik, seperti masalah pelayanan kepada masyarakat, dan kebijakan yang tidak memihak pada kepentingan masyarakat desa, serta masalah-masalah sosial yang ada. BPD dan masyarakat adalah aktor yang melakukan kontrol untuk mewujudkan akuntabilitas pemerintah desa. Dalam melakukan kontrol, BPD mempunyai kewenangan dan hak untuk menyatakan pendapat, dengar pendapat, bertanya, dan memanggil pamong desa. Ketika ruang BPD ini dimainkan dengan baik secara impersonal, maka akan memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap akuntabilitas pemerintah desa. Meskipun tidak ditegaskan dalam peraturan, masyarakat juga mempunyai ruang untuk melakukan kontrol dan meminta pertanggungjawaban pemerintah desa. Pemerintah desa, wajib menyampaikan pertanggungjawaban tidak hanya kepada BPD, melainkan juga kepada masyarakat. Ketika kepala desa keliling beranjangsana tidak hanya digunakan untuk membangun legitimasi simbolik, tetapi juga sebagai arena untuk menyampaikan pertanggungjawaban.
58
4.5.2. Lembaga Kemasyarakatan Sebelum di bentuk berbagai institusi lokal atau lembaga kemasyarakatan oleh Pemerintah semisal LKMD, PKK, Kelompok Tani dan lembaga kemasyarakatan lainnya, sebagai akibat dari masuknya program pembangunan ke pedesaan demi percepatan pelaksanaan pembangunan pedesaan, serta di berlakukannya sistem birokrasi modern secara nasional (Suyanto:1996). Selama ini di desa telah ada seperangkat lembaga-lembaga yang muncul dan timbul dari inisiatif masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang harus dipenuhinya. Umumnya lembaga-lembaga lokal ini masih bersifat sangat tradisional dengan berbagai kekurangan-kekurangan yang ada dari segi organisasi/kelembagaan modern. Namun walaupun demikian adanya, ternyata lembaga tradisional khususnya lembaga adat yang ada di desa Nanga Bayan mampu berkiprah dalam kehidupan masyarakat desa, khususnya dalam pembangunan masyarakat desa itu sendiri bila dibandingkan dengan lembaga-lembaga buatan pemerintah. Hal ini merupakan sebuah fenomena yang unik dimana keberadaan lembaga adat yang masih begitu tradisional dengan berbagai keterbatasan yang ada bila dibandingkan dengan lembaga modern ternyata masih bisa bertahan di tengah proses modernisasi pedesaan dan bahkan mampu untuk berkiprah. Dalam praktek masyarakat Dayak di Desa Nanga Bayan memang tingkat sanksi adat didasarkan pada tingkat pelanggarannya. Pelanggaran adat besar seperti menghilangkan nyawa seseorang, pelanggaran kesusilaan (menghamili tanpa nikah) (ngampang) biasanya dikenai sanksi dengan keharusan menyembelih babi dan denda-dendanya. Misalnya, seorang yang melakukan perbuatan salah, tetapi tidak mau minta maaf atau malah sombong dan menyepelekan tuntutan adat, maka ketua adat dapat menjatuhkan sanksi yang mewajibkan membeli seekor babi yang mahal. Terkadang penjatuhan sanksi menjadi berat karena harga tempayan, guci sangat antik dan langka karena itu harganya menjadi mahal. 4.5.3. Lembaga Ekonomi Pada bidang ekonomi ini ditandai dengan suasana kehidupan masyarakat yang
diliputi
rendahnya
taraf
kesejahteraan
masyarakat
terutama
jika
dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakat negara tetangga. Orientasi
59
ekonomi masyarakat pada kawasan tapal batas cenderung dominan pada negara tetangga Malaysia, hal ini disebabkan wilayah negara tetangga tersebut lebih mampu memberikan kontribusi perkembangan sektor perekonomian karena kelancaran
proses
perdagangan
dan
fasilitas
lainnya
yang
dapat
mengakomodasikan masyarakat perbatasan. Berkaitan dengan bidang ekonomi, kegiatan masyarakat di bidang koperasi, usaha kecil dan menengah serta perdagangan belum berkembang sebagaimana yang diharapkan. Dalam hal ini masih belum semua jenis usaha termasuk perdagangan memiliki perizinan. Demikian juga kegiatan lain yang menunjang perkembangan sektor perekonomian masyarakat di kawasan perbatasan seperti pertanian dan perkebunan belum berkembang sebagaimana yang diharapkan. Tidak seperti daerah lainnya, di desa ini tidak dijumpai pasar untuk memasarkan produk pertanian mereka. Padahal lokasi ini merupakan salah satu desa penghasil lada bagi Kecamatan Ketungau Hulu dan Kabupaten Sintang. Lembaga perekonomian yang dijumpai di lokasi studi ini hanya koperasi, sedangkan bank atau lembaga keuangan lainnya serta pasar sebagai sarana perekonomian terpenting tidak ditemukan di kawasan ini. Walaupun demikian aktivitas perekonomian tetap berjalan dengan pelaku utamanya para tauke atau pedagang pengusaha. Tauke yang merupakan kelembagaan ekonomi informal sangat berperan di dalam menentukan roda perekonomian di kawasan ini. Peran tauke sangat dominan mulai dari menampung hasil pertanian, mensuplay pupuk dan kebutuhan sehari-hari sampai pemberian pinjaman modal kepada para petani dengan imbalan semua produksi pertanian lada dijual kepada tauke dengan harga yang telah ditentukan.
4.5.4. Lembaga Kesejahteraan dan Pemuda a. PKK atau Posyandu. Tugas dan fungsi PKK atau Poyandu secara umum, yaitu mengadakan penyuluhan mengenai pentingnya program keluarga berencana, kesehatan ibu dan anak, pendataan akseptor KB, Penimbangan Balita, dan lain-lain. PKK atau Posyandu inipun kegiatannya tidak hanya terfokus pada masalah kesehatan ibu dan anak, tetapi juga mengenai pentingnya bagaimana
60
cara mendidik anak yang baik pada usia balita. Program ini sudah berjalan dengan baik secara menyeluruh dan berkelanjutan dengan anggota 21 orang. b. Karang Taruna. Karang Taruna adalah wadah pengembangan generasi muda non partisipan yang tumbuh atas dasar dan rasa tanggung jawab sosial dari, oleh, dan untuk masyarakat, khusunya generasi muda, di wilayah desa atau komunitas sosial yang sederajat, bergerak dibidang kesejahteraan sosial. Fungsi Karang Taruna di desa Nanga Bayan adalah memelihara dan memupuk kesadaran dan tanggung jawab sosial, semangat kebersamaan, jiwa kekeluargaan, dan rasa kesetiakawanan sosial, memupuk kreativitas generasi muda untuk dapat mengemban tanggung jawab sosial kemasyarakatan, melaksanakan usaha-usaha pencegahan kenakalan remaja, penyalahgunaan obat-obat
terlarang,
dan
menangani
masalah-masalah
sosial
lainnya
sepertimengadakan kegiatan olah raga.
4.6. Kondisi sarana dan prasarana Pembangunan prasarana fisik merupakan upaya dalam mendukung dan memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk menumbuhkembangkan kegiatan ekonomi produktif dan pelayanan sosial, serta interaksi antara pelaku ekonomi diberbagai daerah. Dengan adanya pembangunan prasarana fisik yang memadai dapat menjadi faktor pendorong terciptanya pertumbuhan perekonomian yang dinamis. Sampai dengan akhir tahun 2009 ini, prasarana jalan yang menghubungkan Desa Nanga Bayan dengan ibukota kecamatan yakni Senaning dengan jarak lebih kurang 59 km masih merupakan jalan tanah berbatu. Sarana transportasi yang demikian sangat mempengaruhi perkembangan kehidupan masyarakat Desa Nanga Bayan terutama dari segi sosial ekonomi. Hal yang demikian karena kurang lancarnya hubungan dengan ibukota kecamatan yang merupakan pusat pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sektor kehidupan lainnya. Musim hujan merupakan saat yang sulit bagi masyarakat untuk berhubungan dengan desa lain maupun ibukota kecamatan, hal ini mengakibatkan terganggunya aktivitas sebagian masyarakat untuk pergi ke sekolah maupun melaksanakan aktivitas sosial ekonomi antar desa maupun ke ibukota kecamatan.
61
4.6.1. Perumahan Layaknya typologi pemukiman masyarakat desa lainnya, perumahan penduduk yang ada di Desa Nanga Bayan mengelompok dan terpusat terletak di kaki bukit yang mengeliling perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa kepemilikan rumah responden terdiri dari milik sendiri. Rumah dibangun di sepanjang kaki bukit dengan type rumah panggung. Bahan dasar rumah sebagian besar berasal dari bahan kayu dengan atap sirap, seng atau rumbia. Jika dilihat dari kondisi rumah yang ada dapat digolongkan ke dalam kategori rumah sangat sederhana terutama dilihat dari jenis bahan bangunan perumahan tersebut. Sangat sedikit perumahan masyarakat yang menggunakan atap sirap dikawasan ini walaupun harganya sedikit lebih murah daripada atap seng dikarenakan jenis atap sirap apabila ada kerusakan lebih sulit untuk menggantikannya. Sedangkan yang paling nyaman dan murah adalah atap daun tetapi lebih cepat rusak. Penerangan atau listrik merupakan suatu hal yang menjadi kebutuhan manusia yang sangat vital bagi aktivitas sehari-hari. Hal ini bergantung kepada kemampuan ekonomi masyarakat dan kebutuhan masyarakat terhadap sumber energi tersebut. Sumber penerangan yang umum digunakan masyarakat Desa Nanga Bayan adalah mesin listrik diesel (genset). Pada umumnya genset digunakan oleh masyarakat yang memiliki fasilitas rumah tangga untuk hiburan (sekunder) seperti televisi, radio tape, kulkas serta sarana hiburan lainnya. Selain itu masyarakat juga ada yang menggunakan sumber penerangan lampu petromax dan pelita.
4.6.2. Kesehatan Bidang kesehatan masyarakat di Kawasan Perbatasan masih mengalami tingkat/derajat kesehatan yang rendah. Kondisi kehidupan masyarakat khususnya anak-anak yang mengalami kekurangan gizi dan lingkungan pemukiman yang kurang sehat. Selain itu sarana dan prasarana atau fasilitas penunjang kesehatan masyarakat kurang memadai dan terbatasnya tenaga kesehatan baik kualitas maupun kuantitasnya. Sarana kesehatan utama yang terdapat di lokasi penelitian
62
adalah Poliklinik Desa (Polindes) dan Posyandu. Tenaga kesehatan yang ada adalah satu orang bidan desa. Sedangkan dalam melayani masalah yang berhubungan dengan kelahiran bayi selain dilakukan oleh bidan desa, dapat juga menggunakan dua orang bidan kampung yang terlatih serta empat orang dukun kampung yang belum terlatih. Dukun-dukun bayi yang ada di desa tersebut dilatih untuk membantu bidan dalam persalinan. Dukun merupakan orang-orang yang memegang peranan penting dalam pelayanan kesehatan di daerah terpencil, terutama dukun terlatih setelah adanya kerjasama dengan pihak puskesmas. Hal ini sejalan dengan penelitian Rygh dan Hjortdahl (2007) yang menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan di daerah terpencil yang berkesinambungan berjalan dengan baik jika adanya kerjasama antara petugas kesehatan dengan komunitas lokal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar. Pendapat lain yang mendukung penggunaan pengobatan tradisional adalah sebagai berikut, bahwa mengerti perbedaan latar belakang kebudayaan dan pengobatan tradisional akan membantu bidan dalam memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pasien.
4.6.3. Pendidikan Bidang Pendidikan Masyarakat di Kawasan Perbatasan pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah. Selain itu minimnya sarana dan prasarana pendidikan, terbatasnya tenaga pengajar baik kualitas maupun kuantitasnya dan relatif mahalnya biaya untuk memperoleh pendidikan. Sarana pendidikan yang ada di Desa Nanga Bayan hanya sarana pendidikan Sekolah Dasar (SD) serta Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dengan jumlah guru, prasarana belajar, dan kondisi gedung yang sangat terbatas. Bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi terpaksa harus ke daerah lain seperti ke Ibukota Kecamatan ataupun ke Ibukota Kabupaten.
63
V. PROGRAM PEMBANGUNAN DI DESA NANGA BAYAN DAN MEKANISMENYA Pada umumnya, masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan, tingkat kesejahteraannya relatif rendah yang disebabkan oleh kendala eksternal yaitu karena ketidakberdayaan masyarakat untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam karena kurang atau tidak adanya sarana transportasi untuk pemasaran di wilayah Indonesia. Hal ini dapat menimbulkan maraknya pencurian kayu di kawasan perbatasan yang dilakukan masyarakat setempat tertentu yang hasilnya dijual ke Malaysia, mengingat transportasi ke Malaysia lebih mudah. Kendala internal berupa rendahnya kualitas sumberdaya manusia di kawasan karena minimnya fasilitas pendidikan dan kesehatan yang tersedia, akan mengakibatkan kreativitas masyarakat menggali potensi-potensi ekonomi sangat terbatas selanjutnya pertumbuhan ekonomi, tingkat kesejahteraan, kondisi keseharian dan produktivitas masyarakat menjadi rendah. Memberdayakan ekonomi rakyat dengan mengembangkan pelaku ekonomi yang mampu memanfaatkan keunggulan potensi lokal akan lebih baik dalam konteks mengatasi masalah di perbatasan. Sedangkan fokus pembangunan sumber daya manusia (SDM) dilaksanakan melalui peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan guna memperbaiki indeks pembangunan manusia di wilayah perbatasan. Meningkatkan pendidikan yang berkualitas, relevan, efisien dan efektif yang dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat termasuk meningkatkan derajat dan kualitas kesehatan masyarakat melalui pelayanan yang dapat dijangkau seluruh masyarakat merupakan pilihan tepat bagi warga di perbatasan. Sementara
pembangunan
prasarana
wilayah
terutama
berkaitan
dengan
aksesibilitas wilayah dan prasarana pendukung ekonomi, kesehatan dan pendidikan warga perbatasan. Infrastruktur yang memadai dimaksudkan agar masyarakat dapat memiliki aksesibilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Dengan demikian masyarakat yang berada di kawasan perbatasan khususnya di Desa Nanga Bayan merasa berkecukupan. Seperti yang dikemukakan pada Bab IV, maka permasalah utama masyarakat desa di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia memerlukan penanganan dalam hal :
64
1. Pembangunan
infrastruktur
jalan
dan
jembatan
untuk
membuka
keterisolasian masyarakat di perbatasan Desa Nanga Bayan. 2. Pembangunan prasarana dan sarana pelayanan dasar bagi masyarakat perbatasan
(pendidikan,
kesehatan,
air
bersih,
pemukiman,
dan
kelistrikan). 3. Pemberdayaan masyarakat perbatasan dengan pendekatan peningkatan sumberdaya manusia melalui pelatihan tenaga kerja. Legitimasi pemerintah desa dalam menentukan kebijakan harus disandarkan pada prinsip akuntabilitas, transparansi dan responsivitas. Pertama, akuntabilitas menunjuk pada institusi dan proses checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas juga berarti menyelenggarakan
penghitungan
(account)
terhadap
sumber
daya
atau
kewenangan yang digunakan. Pemerintah desa disebut akuntabel bila mengemban amanat, mandat dan kepercayaan yang diberikan oleh warga. Secara gampang, pemerintah desa disebut akuntabel bila menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, tidak melakukan penyimpangan, tidak berbuat korupsi, tidak menjual tanah kas desa untuk kepentingan pribadi, dan seterusnya. Kedua, transparansi (keterbukaan) dalam pengelolaan kebijakan, keuangan dan pelayanan publik. Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi mengenai kebijakan, keuangan dan pelayanan. Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan dapat dipantau atau menerima umpan
balik
dari
masyarakat.
Transparansi
tentu
mengurangi
tingkat
ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan desa. Sebagai sebuah media akuntabilitas, transparansi dapat membantu mempersempit peluang korupsi di kalangan pamong desa karena terbukanya segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas. Ketiga, responsivitas atau daya tanggap pemerintah desa. Pemerintah desa dan BPD harus mampu dan tanggap terhadap aspirasi maupun kebutuhan masyarakat, yang kemudian dijadikan sebagai preferensi utama pengambilan keputusan di desa. Responsif bukan hanya berarti pamong desa selalu siap sedia memberikan uluran tangan ketika warga masyarakat membutuhkan bantuan dan
65
pelayanan. Responsif berarti melakukan artikulasi terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat, yang kemudian mengolahnya menjadi prioritas kebutuhan dan memformulasikannya menjadi kebijakan desa. Pemerintah desa yang mengambil kebijakan berdasarkan preferensi segelintir elite atau hanya bersandar pada keinginan kepala desa sendiri, berarti pemerintah desa itu tidak responsif. Pemerintah
desa
bisa
disebut
responsif
jika membuat
kebijakan dan
mengalokasikan anggaran desa secara memadai untuk mengangkat hidup rumah tangga miskin ataupun mendukung peningkatan ekonomi produktif rumah tangga. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka pemerintahan desa menyusun suatu kebijakan pembangunan desa dengan empat prioritas yaitu : a) peningkatan kualitas pendidikan, b) peningkatan sistem pelayanan kesehatan, c) peningkatan dan pemberdayaan masyarakat, dan d) pembangunan infrastruktur. 5.1.
Peningkatan Kualitas Pendidikan
5.1.1. Kebijakan Kebijakan ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia yang siap pakai. Melalui kebijakan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, penyediaan tenaga pendidik yang memadai baik secara kuantitas maupun kualitas, peningkatan kesejahteraan tenaga pendidik. Pembangunan Pendidikan diarahkan untuk meningkatkan harkat, martabat dan kualitas pelayanan pendidikan dengan penyediaan sarana pendukung pembelajaran yang memadai serta meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu dan terjangkau untuk semua jenis, jalur, jenjang pendidikan maupun pembebasan biaya pendidikan bagi peserta didik yang berasal dari keluarga miskin.
5.1.2. Jenis program yang dilaksanakan Kegiatan pokok dari Program Peningkatan Kualitas pendidikan, meliputi : a.
Penambahan ruang kelas Kebijakan peningkatan kualitas sarana dan prasarana pendidikan dengan
program penambahan ruang kelas untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 3 (tiga) lokal merupakan hal yang penting karena setiap tahun ajaran
66
peserta didik semakin bertambah. Hal ini dikarenakan di Desa Nanga Bayan hanya memiliki satu-satunya sekolah lanjutan pertama, sedangkan sarana dan prasarana yang ada tidak mampu untuk menampung siswa yang akan melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). Seperti yang dituturkan oleh Mrt (kepala SMP Nanga Bayan berusia 43 tahun) bahwa: “Sejak dua tahun ini jumlah siswa tamat Sekolah Dasar semakin meningkat sehingga ruang kelas pada SMP Nanga Bayan yang hanya tiga lokal termasuk ruang guru tidak cukup untuk menampung siswa yang melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Pertama (SMP)”
b.
Rehabilitasi rumah guru. Program rehabilitasi rumah dinas guru sangat didambakan oleh tenaga
pendidik dalam menjalankan tugasnya. Keberadaan sekolah yang begitu jauh dari tempat tinggal, menyebabkan terjadinya hambatan akan proses pembelajaran dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah tersebut. Dimana rumah dinas guru yang ada saat ini tidak layak dihuni lagi karena rumah tersebut merupakan exs-rumah dinas guru Sekolah Dasar (SD) yang dibangun pada masa orde baru. Banyaknya pihak pendidik karena alasan tempat tinggal yang tidak nyaman dan jauh dari sekolah ataupun kendala transportasi, tidak menjalankan tugas sebagaimana yang telah ditentukan. Akibat dari keadaan tersebut, maka pendidikan yang telah dicanangkan untuk kemajuan anak bangsa menjadi terhambat atau dapat dikatakan bahwa kualitas pendidikan bermutu rendah di suatu daerah, karena hambatan kondisi geografis. Keadaan geografis secara nyata telah menjadi salah satu faktor yang menghambat pembangunan manusia melalui jalur pendidikan.
5.1.3. Pelaksanaan Program Program-program dibidang pendidikan ini dilaksanakan oleh instansi terkait yaitu Dinas Pendidikan Kabupaten selaku pengguna anggaran dan pihak swasta (kontraktor) sebagai pelaksana kegiatan terutama yang berkaitan dengan pembangunan prasarana dan sarana yang berbentuk fisik seperti rehabilitasi rumah guru dan penambahan ruang kelas untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun demikian dalam pelaksanaan tersebut, kepemimpinan pemerintahan desa mengambil langkah-langkah agar masyarakat berpartisipasi dalam pelaksanaan dengan cara semua tenaga kerja untuk pembangunan tersebut berasal dari desa
67
dan juga bahan material yang digunakan berasal dari desa kecuali bahan-bahan yang tidak ada di desa disiapkan oleh pihak kontraktor seperti semen, atap seng dan lainnya. Seperti yang dituturkan oleh Mhd (warga dusun Semujan berusia 46 tahun) bahwa : “Dalam pelaksanaan pembangunan penambahan ruang kelas untuk SMP di Nanga Bayan, masyarakat ikut berpartisipasi dengan menjadi buruh (tenaga tukang) serta penyiapan bahan material yang dibutuhkan oleh pihak kontraktor untuk keperluan pembangunan tersebut”.
Namun demikian, dari program bidang pendidikan yang telah diuraikan diatas, yang telah dilaksanakan adalah penambahan ruang kelas untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal tersebut disebabkan seperti yang dituturkan oleh kepala desa setelah mengadakan koordinasi dan negosiasi dengan Instansi terkait bahwa : “Program-program lain di bidang pendidikan belum dapat terlaksana karena menyangkut pembiayaan yang ada di dalam anggaran Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten, oleh sebab itu pemerintahan desa mengambil kebijakan untuk melaksanakan program penambahan ruang kelas untuk SMP karena ruang kelas yang ada sekarang tidak dapat untuk menampung siswa”.
5.1.4. Penerima Manfaat Program Manfaat dari pelaksanaan program ini diharapkan akan diperoleh oleh Pemerintahan Desa dan Masyrakat. Manfaat yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu hasil yang dapat dirasakan setelah program ini selesai dilaksanakan, hal tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : Pertama, manfaat bagi pemerintahan desa antara lain adalah: a) adanya peningkatan pembangunan dalam aspek pengelolaan pemerintahan desa maupun dalam hubungannya dengan masyarakat desa, dengan adanya pembagunan penambahan ruang kelas sebayak 3 (tiga) lokal untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), berarti pemerintahan desa sudah memberikan pelayanan kepada masyarakat terkait dengan tugas-tugas umum pemerintahan dengan menyediakan fasilitas-fasilitas sosial kepada masyarakat seperti penyediaan pendidikan dengan pembangunan penambahan ruang kelas untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP). b) memberikan stimulasi bagi pemerintahan desa untuk meningkatkan aktivitasaktivitas di dalam melaksanakan program-program pembangunan desa di bidang
68
pendidikan. Dalam bidang pendidikan, aktivitas-aktivitas pemerintahan desa dalam melaksanakan program-program pembangunan di bidang pendidikan dapat diupayakan seperti menyelenggarakan pendidikan kesetaraan meliputi program Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA. Program ini ditujukan bagi peserta didik yang berasal dari masyarakat yang kurang beruntung, tidak sekolah dan putus sekolah, serta usia produktif yang ingin meningkatkan pengetahuan dan kecakapan. Kedua, manfaat bagi masyarakat antara lain adalah: a) Akses untuk menjangkau sarana pendidikan sudah lebih mudah terutama bagi kaum miskin, hal ini sangat dirasakan sekali manfaatnya bagi masyarakat karena sebelum dibangunnya fasilitas pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Desa Nanga Bayan, masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi harus keluar dari desa tersebut karena harus melanjutkan ke kecamatan atau ke kabupaten, dan itupun dilakukan oleh masyarakat yang mampu, sedangkan untuk masyarakat miskin, dengan terpaksa anak-anaknya tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena mahalnya biaya untuk mendapatkan pendidikan. b) masyarakat akan dapat menerima programprogram pendidikan. Upaya pemerintahan desa dalam meningkatkan programprogram pendidikan kesetaraan seperti yang telah diuraikan diatas, dapat diikuti oleh semua lapisan masyarakat karena akan menjamin penyelesaian pendidikan dasar yang bermutu bagi anak yang kurang beruntung (putus sekolah, tidak pernah sekolah), khususnya perempuan, dan anak yang bermukim di desa terbelakang, miskin, terpencil, atau sulit dicapai karena letak geografis, dan atau keterbatasan transportasi.
5.2.
Peningkatan Sistem Pelayanan Kesehatan
5.2.1. Kebijakan Kebijakan sistem pelayanan kesehatan desa berupaya untuk melakukan proses memandirikan masyarakat untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya melalui peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan, serta pengembangan lingkungan yang sehat melalui penyuluhan kesehatan.
69
Upaya meningkatkan kualitas masyarakat Desa Nanga Bayan juga diselenggarakan melalui kebijakan setiap bayi yang lahir harus dalam keadaan sehat dan cerdas secara alami. Implikasinya pelayanan kesehatan harus diberikan sejak bayi dalam kandungan. Kebijakan tersebut mampu meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Desa Nanga Bayan. Meningkatkan standarisasi pelayanan kesehatan diiringi pula dengan pengadaan, serta perbaikan sarana dan prasarana kesehatan desa, dan sarana penunjang lainnya seperti puskesmas keliling (pusling), maka kebutuhan kesehatan masyarakat di Desa Nanga Bayan dapat terwujud.
5.2.2. Jenis program yang dilaksanakan 1.
Program Peningkatan sarana dan prasaran Kesehatan
a.
Pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes) Program pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes) merupakan salah
satu program yang sejak lama telah direncanakan oleh masyarakat di Desa Nanga Bayan. Hal ini mengingat kondisi daerah tersebut terlalu mahal untuk mendapatkan pelayanan kesehatan khususnya kaum perempuan, dan anak yang bermukim di desa terbelakang, miskin, terpencil, sulit dicapai karena letak geografis, dan keterbatasan transportasi. Sehingga bagi masyarakat yang mampu mereka lebih memilih mendapatkan pelayanan kesehatan di negara tetangga Malaysia. Kondisi kesehatan masyarakat seperti yang diutarakan oleh Lyn (bidan desa berusia 22 tahun) bahwa : “Demam merupakan kasus yang paling tinggi di derita oleh masyarakat setempat. Kemudian diikuti oleh batuk-batuk, flu, malaria, typus, diare. Untuk menyembuhkan penyakit, kebanyakan masyarakat berobat ke polindes setempat, atau bahkan membeli obat-obatan yang bebas terjual di toko-toko atau warung terdekat.”
b.
Pengadaan poskesdes KIT Dengan di bangunnya Pos Kesehatan Desa (poskesdes) maka untuk
kelancaran pelayanan kesehatan kepada masyarakat dilaksanakan program pengadaan peralatan kesehatan seperti peralatan medis, instrumen medis dan peralatan non-medis. Program pengadaan peralatan pos kesehatan desa ini merupakan satu paket dengan pembangunan pos kesehatan desa. Peralatan ini merupakan peralatan penunjang untuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
70
5.2.3. Program peningkatan sistem pelayanan kesehatan Kegiatan pokok Program peningkatan sistem pelayanan kesehatan, meliputi: a.
Program Perbaikan gizi keluarga Walaupun masyarakat di daerah pedesaan atau pedalaman bisa menikmati
makan tiga kali setiap hari tapi menjadi pertanyaan dari aspek mutu makanannya. Pada umumnya makanan terdiri dari nasi, sayuran dan lauk pauk tersedia. Untuk meningkatkan mutu makanan program ini diarahkan untuk mempromosikan masyarakat untuk memelihara ternak seperti ayam dan menanam sayuran dengan cara yang lebih intensif untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga dan memungkinkan peningkatan pendapatan keluarga dengan menjualnya ke pasar. b.
Program Peningkatan kesehatan ibu, bayi, dan balita Program ini bertujuan untuk upaya pemeliharaan kesehatan bagi keluarga
miskin dengan melaksanakan pemberian makanan tambahan (PMT) bagi anak balita, dan ibu hamil dan menyusui, dan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin. c.
Program Peningkatan kesehatan masyarakat Dalam program peningkatan sistem pelayanan kesehatan, telah diupayakan
pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) melalui sekolah dan masyarakat, pelaksanaan imunisasi dasar lengkap terhadap ibu hamil, dan siswa SD. Pemberantasan penyakit demam berdarah melibatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Di samping itu dilakukan kerjasama dengan desa-desa lainnya agar setiap informasi kasus demam berdarah yang diderita warga desa dapat diketahui dan direspon dengan cepat, sehingga kasus demam berdarah dapat ditangani maksimal selama tiga hari, serta melaksanakan fogging focus pada kawasan yang terjadi kasus demam berdarah.
5.2.4. Pelaksanaan Program Kebijakan Peningkatan sarana dan prasaran Kesehatan diarahkan melalui program pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana kesehatan dengan kegiatan pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes) dan pengadaan sarana dan prasarana puskesmas keliling (pusling) serta pengadaan poskesdes.
71
Program pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes) dan pengadaan poskesdes KIT dilaksanakan oleh instansi terkait yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten selaku pengguna anggaran dan pihak swasta (kontraktor) sebagai pelaksana kegiatan pembangunan tersebut dengan mengacu kepada petunjuk teknis pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang kesehatan. Namun demikian dalam pelaksanaan tersebut, kepemimpinan pemerintahan desa memberi ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan poskesdes dengan menggunakan tenaga kerja dari desa dan menggunakan bahan material dari desa. Seperti yang dituturkan oleh Kdg (kepala dusun Lubuk Ara berusia 45 tahun) bahwa : “sebagai penanggungjawab dalam pelaksanaan pembangunan poskesdes, pemerintahan desa telah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan dengan pembagian pekerjaan kepada warga untuk menyiapkan bahan-bahan material yang diperlukan dalam pembangunan poskesdes”
Hal serupa dituturkan juga oleh Kdr (Ketua BPD berusia 36 tahun) bahwa: “apabila ada pembangunan yang masuk ke desa kami, kepemimpinan pemerintahan desa selalu melibatkan masyarakat untuk menyiapkan bahan material yang diperlukan, dengan cara seperti itu kepemimpinan pemerintahan desa bisa mensejahteraan masyarakat dan memberdayakan sumberdaya manusia yang ada di desa”
Sedangkan
untuk
program
pengadaan
peralatan
poskesdes
KIT
pemerintahan desa tidak bisa mengambil alih karena untuk pekerjaan pengadaan tersebut sifatnya teknis yang tidak bisa di sub kan kepada kontraktor manapun kecuali kontraktor yang memiliki kualifikasi badan usaha pengadaan alat-alat kesehatan. Dalam pelaksanaan kegiatan peningkatan sistem pelayanan kepada masyarakat, pemerintahan desa bekerjasama dengan instansi terkait mulai dari lembaga-lembaga yang ada didesa seperti polindes dan posyandu serta puskesmas dan tim dari kabupaten dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten selaku pengguna
anggaran.
Dari
uraian
diatas
pemerintahan
desa
sudah
mengimplentasikan kegiatan tersebut melalui kerjasama dan koordinasi dengan instansi teknis mulai dari tingkat desa, kecamatan sampai kabupaten. Dengan demikian pelaksanaan program bidang kesehatan dapat terlaksana dengan baik dan sesuai dengan perencanaan yang telah di rencanakan dalam musyawarah desa.
72
5.2.5. Penerima Manfaat Program Manfaat dari pelaksanaan program ini diharapkan akan diperoleh oleh Pemerintahan Desa dan Masyrakat. Manfaat yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu hasil yang dapat dirasakan setelah program ini selesai dilaksanakan : Pertama, manfaat bagi desa antara lain adalah: a) adanya peningkatan pembangunan dalam aspek pengelolaan Pemerintahan Desa maupun dalam hubungannya dengan masyarakat desa, dengan adanya pembagunan pos kesehatan desa (poskesdes), berarti pemerintahan desa sudah memberikan pelayanan kepada masyarakat terkait dengan tugas-tugas umum pemerintahan dengan menyediakan fasilitas-fasilitas sosial kepada masyarakat seperti penyediaan fasilitas kesehatan dengan pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes). Dengan demikian kesehatan masyarakat akan lebih terjaga dan tidak merasa cemas apabila ada keluhan sakit. b) Program-program kesehatan akan dapat terlaksana dengan baik oleh pemerintah desa dengan terus menggalang kerjasama dengan pihak terkait mulai dari desa, kecamatan dan kabupaten. Sehingga program-program akan terlaksana dengan baik dan diterima dengan baik juga oleh masyarakat. c) memberikan stimulasi bagi Pemerintahan Desa untuk meningkatkan aktivitasaktivitas di dalam melaksanakan program-program pembangunan desa. Dalam bidang kesehatan, aktivitas-aktivitas pemerintahan desa dalam melaksanakan program-program pembangunan di bidang kesehatan tidak akan berjalan dengan baik dan lancar apabila tidak didukung oleh partisipasi masyarakat. Berbagai pihak perlu terlibat secara terpadu seperti posyandu dan polindes. Oleh sebab itu perlu menumbuhkan rasa memiliki dari masyarakat dengan melibatkan masyarakat secara aktif pada berbagai tahapan pelaksanaan program kesehatan. Kedua, manfaat bagi masyarakat antara lain adalah: a) Akses bagi masyarakat miskin dan kaum perempuan lebih terjangkau, mengingat petugas kesehatan yang ada di pos kesehatan desa (poskesdes) sudah semakin komplit karena selain tenaga bidan, ada tenaga perawat, tenaga analis dan tenaga higiene sanitasi (HS) atau kesehatan lingkungan. sehingga kesehatan masyarakat akan lebih terjaga dan tidak merasa cemas apabila ada keluhan sakit. b) masyarakat akan semakin mengerti dengan kesehatan terutama dengan pola hidup bersih dan sehat, seperti untuk menghindari serangan aneka penyakit, terapkanlah pola hidup
73
bersih dalam kehidupan sehari-hari. Kunci utamanya adalah kebersihan, terutama sanitasi lingkungan. Hal ini bisa dimulai dengan: Menghilangkan kebiasaan menyiram tanaman dan jalanan dengan air comberan karena hal ini justru membuat kuman gampang menyebar, sediakan selalu dalam kotak obat di rumah: obat penurun panas, antiseptik, oralit, minyak kayu putih dan obat-obatan lainnya yang biasa dikonsumsi sebagai pertolongan pertama. d) masyarakat akan dapat menerima program-program kesehatan, seperti yang telah diuraikan diatas sehingga antara pemerintahan desa dengan masyarakat terjalin kerjasama yang sinergis dalam menjalankan program peningkatan sistem pelayanan kesehatan.
5.3.
Peningkatan dan Pemberdayaan Masyarakat
5.3.1. Kebijakan Kebijakan ini diarahkan untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang dilakukan dengan upaya penambahan tenaga guru, penambahan dan peningkatan fasilitas pendidikan, serta pelatihan keterampilan bagi penduduk setempat untuk dapat mengelola sumberdaya alam yang dimiliki. Upaya peningkatan sumberdaya manusia harus didukung dengan peningkatan kesehatan masyarakat. Kondisi yang ada saat ini memperiihatkan bahwa sarana dan prasarana kesehatan dan tenaga medis sangat minim, bahkan sebagian masyarakat yang mampu akan mencari kota-kota terdekat di Malaysia (Sarawak) untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Dengan sumberdaya manusia yang handal dan didukung dengan pelayanan kesehatan masyarakat yang memadai, pengembangan kawasan pusat pertumbuhan di sepanjang perbatasan akan berjalan lancar karena produktivitas masyarakat dan koordinasi antar pelaku pembangunan. Peningkatan
kualitas
sumberdaya manusia akan mengarah kepada
peningkatan kemampuan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya alam yang ada, sehingga bila tidak tercipta koordinasi antar pelaku pembangunan dalam pengelolaan sumberdaya alam, maka akan terjadi eksploitasi sumberdaya alam yang tidak sinkron antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Oleh sebab itu program dilakukan untuk meningkatkan keterampilan masyarakat dengan menggelar kursus-kursus agar masyarakat dapat memanfaatkan sumberdaya alam yang ada.
74
5.3.2. Jenis program yang dilaksanakan 1.
Program Pemberdayaan Masyarakat. Kegiatan pokok dari Program Pemberdayaan Masyarakat, meliputi :
a.
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia Memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan produktif yang dapat
didayagunakan untuk mengelola potensi sumberdaya lokal, sehingga memiliki nilai manfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakat. Melalui kursus-kursus seperti kursus meubel, mekanik, menjahit, perkebunan, pertanian, peternakan dan lain sebagainya yang dilaksanakan oleh pemerintahan desa merupakan wujud implementasi program Peningkatan kualitas sumberdaya manusia di lingkungan pedesaan dengan maksud untuk mengembangkan sumberdaya manusia dan lingkungan yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya dan pemanfaatan potensi lokal. Melalui kursus-kursus yang disediakan oleh pemerintahan desa kepada masyarakat diharapkan warga masyarakat dapat belajar dan berlatih menguasai keterampilan yang dapat dimanfaatkan untuk bekerja atau menciptakan lapangan kerja sesuai dengan sumberdaya yang ada di wilayahnya, sehingga taraf hidup masyarakat semakin meningkat. b.
Pemberdayaan lembaga-lembaga di desa. Program pemberdayaan masyarakat di Desa Nanga Bayan dilaksanakan
pemerintahan desa melalui lembaga-lembaga yang ada di desa. Dari lembagalembaga tersebut di prioritaskan untuk ikut dalam program peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui kursus-kursus dan keterampilan yang di fasilitasi oleh pemerintahan desa. Jenis keterampilan yang dikembangkan merupakan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola dan meningkatkan produksi serta nilai tambah potensi atau unggulan lokal pedesaan, sehingga berdampak langsung terhadap peningkatan produktivitas dan penghasilan masyarakat desa. Selain mengikuti kursus dan keterampilan, ada beberapa lembaga yang pada saat ini mendapat bantuan untuk menindaklanjuti hasil dari keikutsertaan wakil-wakil dari lembaga dalam kursus tersebut adalah : karang taruna dan PKK masing-masing mendapat bantuan dari pemerintahan desa sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Bantuan itu berupa uang tunai untuk kepentingan pengembangan organisasi.
75
2.
Program Pengelolaan SDA dan Lingkungan Hidup. Kegiatan pokok dari Program Pengelolaan SDA dan Lingkungan Hidup, meliputi :
a.
Pelestarian hutan Tanggung jawab pelestarian hutan tidak pernah terlepas dari peran
pemerintah dan masyarakat, terutama masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan. Peran pemerintah sebagai regulator tidak dapat dikesampingkan karena pemerintah memiliki kewenangan yang memungkinkannya untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan pengelolaan hutan secara tepat, sementara masyarakat desa sebagai struktur sosial terdekat dengan hutan tidak bisa dilepaskan dari interaksinya dengan hutan yang sedemikian intensif. Pemerintah desa dapat mewujudkan komitmennya terhadap pelestarian hutan dengan menciptakan suatu regulasi yang mencegah pemanfaatan hutan secara tidak bertanggung jawab. Di sisi lain, pemerintah desa juga harus memberikan ruang yang cukup untuk mengakomodasi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan. Hal ini dikarenakan hutan adalah merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat lokal sehingga tidaklah mungkin bagi masyarakat untuk merusak hutan. b.
Pembinaan dan penyuluhan terhadap bahaya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Menjadi suatu kenyataan bahwa terdapat kegiatan penambangan rakyat skala
kecil di Desa Nanga Bayan. Pada umumnya kegiatan-kegiatan tersebut dikelompokan sebagai pertambangan tanpa ijin atau PETI dan sering diartikan dengan pertambangan liar. Banyak kasus kegiatan-kegiatan semacam itu tidak mengikuti prosedur keselamatan yang standar apalagi analisis dampak lingkungan. Akibatnya adalah terjadi pencemaran dan merusaknya sumberdaya alam. Pada sisi lain kegiatan-kegiatan tersebut juga sangat mengandung resiko atau bahkan tidak memberikan sumbangsih terhadap peningkatan pendapatan keluarga juga terhadap tidak sehatnya lingkungan. Pembinaan dan penyuluhan perlu dilakukan oleh pemerintahan desa untuk mengatasi permasalahan tersebut agar tanah dan air perlu dikelola secara baik dan ramah lingkungan sehingga lingkungan yang bersih selalu tersedia untuk semua orang. Program-program lain yang berkaitan dengan lingkungan perlu dipromosikan.
76
5.3.3. Pelaksanaan Program Dalam
upaya
melaksanakan
program
peningkatan
pemberdayaan
masyarakat, telah diupayakan kegiatan-kegiatan berupa pembinaan dan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan masyarakat desa. Di samping itu juga guna meningkatkan keterampilan tenaga kerja dilaksanakan pelatihan tenaga kerja melalui pelatihan institusional di BLK berupa pelatihan pembibitan tanaman karet, jahit, bordir dan tata rias, serta pelatihan mekanik mobil, bangunan kayu, las karbit, reparasi TV dan lainnya. Program peningkatan pemberdayaan masyarakat ini dilaksanakan oleh pemerintahan desa selaku pengguna anggaran dengan mengirimkan anak-anak remaja yang memiliki minat untuk pelatihan keterampilan pada Balai Latihan Kerja (BLK) di Kabupaten selama tiga bulan. 5.3.4. Penerima Manfaat Program Manfaat dari pelaksanaan program ini diharapkan akan diperoleh oleh Pemerintahan Desa dan Masyrakat. Manfaat yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu hasil yang dapat dirasakan setelah program ini selesai dilaksanakan : Pertama, manfaat bagi desa antara lain adalah: a) adanya peningkatan kualitas
sumberdaya
manusia
dalam
hubungannya
dengan
pengelolaan
sumberdaya alam di desa, b) Program-program peningkatan pemberdayaan masyarakat ini dapat terlaksana dengan baik oleh pemerintah desa. c) memberikan stimulasi bagi Pemerintahan Desa untuk meningkatkan aktivitas-aktivitas di dalam melaksanakan program-program peningkatan sumberdaya manusia. Kedua, manfaat bagi masyarakat antara lain adalah: a) Akses untuk mengelola sumberdaya alam yang ada akan semakin mudah, b) keterampilan masyarakat akan lebih bermanfaat apabila dikembangkan di desa, c) masyarakat akan semakin mengerti dengan keterampilan yang dimiliki, d) masyarakat akan dapat menerima program-program untuk peningkatan sumberdaya manusia. 5.4.
Pembangunan Infrastruktur
5.4.1. Kebijakan Kebijakan ini diarahkan melalui penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Rendahnya pelayanan
77
infrastruktur wilayah yang meliputi aspek transportasi, aspek sumber daya air, listrik perdesaan harus segera diatasi. Pada aspek transportasi ditunjukkan belum optimalnya tingkat pelayanan jaringan jalan. Sedangkan aspek listrik pedesaan yang belum ada di desa tersebut harus segera diatasi, karena akses listrik masyarakat di daerah pedesaan masih menggunakan mesin genset secara individual. 5.4.2. Jenis program yang dilaksanakan 2. Program Peningkatan infrastruktur. Kegiatan pokok dari Program Peningkatan infrastruktur ini, meliputi : (a) Peningkatan jalan poros desa; (b) Penggantian jembatan jalan poros desa; (c) Rehabilitasi jalan dan jembatan, (d) Pembangunan Balai Dusun, (e) Rehabilitasi pagar kantor desa. 3. Program Pengembangan Listrik Pedesaan. Kegiatan pokok dari Program Pengembangan Listrik Pedesaan, meliputi : (a) Pemasangan jaringan; (b) Pemasangan sambungan rumah. 5.4.3. Pelaksanaan Program Kebijakan pembangunan infrastruktur ditempuh melalui
program
peningkatan infrastruktur dengan kegiatan peningkatan/rehabilitasi jalan dan jembatan, pembangunan balai dusun dan pembangunan pagar kantor balai desa. Program peningkatan infrastruktur untuk peningkatan/rehabilitasi jalan dan jembatan tidak dapat dilaksanakan karena tidak di anggarkan oleh instansi terkait yaitu Dinas Kimpraswil Kabupaten selaku pengguna anggaran, sedangkan untuk pembangunan balai dusun dan pembangunan pagar kantor desa dilaksanakan oleh pemerintahan desa selaku pengguna anggaran dengan melibatkan masyarakat desa sebagai tenaga kerja. Dalam pelaksanaan pembangunan tersebut masalah tenaga kerja bukanlah masalah yang rumit karena masyarakat sendirilah yang melakukan kegiatan tersebut mulai dari tenaga tukang sampai tenaga kasar. Masyarakat dalam hal ini menerapkan sistem gotong royong, jadi warga desa yang ada kesemuanya akan secara suka rela untuk membantu sesuai dengan waktu yang mereka bisa. Dengan demikian penjadwalan perlu dilakukan agar setiap warga secara merata dapat menyumbangkan tenaganya.
78
Dalam melaksanakan program pembangunan desa, pemerintahan desa selalu bersama-sama dengan masyarakat. Hal ini seperti yang dituturkan oleh Kns (warga desa berusia 48 tahun) sebagai berikut : ”Pemerintahan desa selama ini dalam hal pelaksanaan pembangunan desa selalu mengkoordinasikan kegiatan dari atas desa dilakukan atau dijalankannya dengan baik, tujuannya agar kegiatan dapat berjalan dengan lancar. Dan juga pemerintahan desa mengajak masyarakat agar terlibat langsung pada kegiatan tersebut yang dilakukan dengan kerjasama dan gotong royong”.
Hal yang sama juga yang dituturkan oleh Mly (warga desa berusia 42 tahun) bahwa : ”Selama ini pemerintahan desa dalam melaksanakan program pembangunan desa, yang dibantu oleh kepala dusun dan ketua RT selalu terlibat dan langsung turun tangan sendiri dalam pelaksanaan kegiatan tersebut bersama dengan warga desa”.
Sedangkan untuk pembangunan balai dusun dilaksanakan secara bergulir oleh pemerintahan desa dengan tenaga kerja berasal dari dusun yang mendapat giliran. Untuk tahun ini dusun yang mendapat giliran pembangunan balai dusun adalah Dusun Idai dan Dusun Semujan.
5.4.4. Penerima Manfaat Program Manfaat dari pelaksanaan program ini diharapkan akan diperoleh oleh Pemerintahan Desa dan Masyrakat. Manfaat yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu hasil yang dapat dirasakan setelah program ini selesai dilaksanakan : Pertama, manfaat bagi desa antara lain adalah: a) adanya peningkatan pembangunan dalam aspek pengelolaan Pemerintahan Desa maupun dalam hubungannya dengan masyarakat desa, b) Program-program pembangunan infrastruktur ini dapat terlaksana dengan baik oleh pemerintah desa. c) memberikan stimulasi bagi Pemerintahan Desa untuk meningkatkan aktivitasaktivitas di dalam melaksanakan program pembangunan desa. Kedua, manfaat bagi masyarakat antara lain adalah: a) balai dusun sebagai tempat kegiatan masyarakat di dusun, b) Balai dusun sebagai perekat hubungan kekerabatan di dusun, c) masyarakat akan dapat menerima program-program pembangunan desa.
79
Keberlanjutan dan keberhasilan program pembangunan di desa secara umum tentu saja sangat bergantung pada dukungan Pemerintahan desa dan masyarakat. Namun demikian bahwa keberhasilan program pembangunan senantiasa tidak akan pula cukup efektif manakala dalam implementasinya tanpa dukungan dan keterlibatan kelompok warga miskin sebagai penerima manfaat (beneficieries) langsung. Oleh karena pemerintahan desa sebagai lembaga yang dikhususkan untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan dan mekanisme monitoring dan evaluasi terkait dengan program pembangunan maka perlu terus didorong untuk menjadi “penggerak” dalam memperluas dukungan stakeholders lainnya.
5.5.
Mekanisme Perencanaan Program di Desa Nanga Bayan Dalam desa tidak hanya kelembagaan pemerintah desa dan Badan
Perwakilan Desa saja yang ada, tapi ada satu lembaga lagi yaitu Lembaga Kemasyarakatan (lembaga ekonomi dan lembaga sosial). Kelembagaan ekonomi terdiri dari kelompok-kelompok masyarakat yang berorientasi profit (keuntungan) dan dibentuk di desa berbasiskan pada pengelolaan sektor produksi dan distribusi. Contoh dari kelembagaan ekonomi adalah koperasi, kelompok tani, kelompok pengrajin, dan sebagainya yang ada di desa. Kelembagaan sosial meliputi pengelompokan sosial yang dibentuk oleh warga dan bersifat sukarela. Contoh dari kelembagan sosial adalah karang taruna, arisan, lembaga adat, forum Rt/Rw, organisasi masyarakat, (gambar 4)
Pemerintahan Desa
Kelembagaan Politik (BPD)
Pembagian Kekuasaan
Kelembagaan Ekonomi
Kelembagaan Sosial
Gambar : 4 Hubungan antara lembaga desa dalam bekerja
80
Dalam hubungan kerja, keempat lembaga tersebut berinteraksi secara dinamis (bisa merenggang maupun merapat) sesuai dengan kekuatan dan posisi yang dimiliki masing-masing lembaga pada waktu tertentu, dimungkinkan adanya satu lembaga yang lebih dominan dibandingkan dengan ketiga lembaga lainnya dalam interaksi sosial. Sebagai contoh dimana pada masa Orde Baru, Pemerintah Desa lebih dominan dibandingkan dengan lembaga politik masyarakat, ekonomi, dan masyarakat sipil. Oleh karena itu, mekanisme kerja kelembagaan pemerintahan desa yang ideal dalam kehidupan ditingkat desa adalah keempat lembaga tersebut dilibatkan dalam proses pembangunan desa. Dengan kalimat lain perlu dibangun adanya partisipasi yang menyeluruh dan saling menguatkan antar lembaga-lembaga yang ada di desa. Dalam bahasa akademis hubungan yang saling menguatkan tersebut dikenal dengan istilah Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance). Untuk memberikan peran yang lebih besar kepada masyarakat dalam kegiatan pembangunan sarana kesehatan di desa Nanga Bayan serta adanya tekad yang kuat dan sungguh-sungguh untuk mencerdaskan masyarakat, Pemerintah Desa
membuat program prioritas untuk mengusulkan pelaksanaan kegiatan
pembangunan desa. Dengan pola (bottom up planning) ini masyarakat dilibatkan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan di mana khusus untuk tahap perencanaan masyarakat sudah mulai terlibat dalam penetapan skala prioritas kegiatan yang diusulkan oleh pemerintahan desa dan kemudian dirumuskan bersama masyarakat. Dalam pelaksanaan musrenbang, semua elemen masyarakat terlibat didalamnya mulai dari perangkat desa, anggota BPD, ketua RT/RW, kepala dusun, kelompok perempuan (PKK), kelompok pemuda, organisasi sosial kemasyarakatan, tokoh adat/agama, pengusaha serta perwakilan dari kelompok buruh dan kelompok masyarakat miskin/masyarakat kurang mampu. Mekanisme perencanaan dari bawah (bottom up planning) yang selama ini dilaksanakan perlu dimodifikasi dan diadakan penyesuaian seperlunya. Modifikasi dan penyesuaian dimaksud hanya bersifat instrumental yang disesuaikan dengan kondisi daerah dan masyarakat. Pada prinsipnya mekanisme perencanaan pembangunan pedesaan ini lebih menekankan pada peran aktif masyarakat dalam
81
penentuan skala prioritas berdasarkan kebutuhan masyarakat, kemampuan teknis manajerial masyarakat serta kemampuan pendanaannya. Dalam proses penyusunan dan pengusulan rencana program atau proyek dilakukan dengan dua tahapan yaitu, tahap sosialisasi dan tahap perencanaan sebagai berikut :
5.5.1. Tahap Sosialisasi a.
Forum Antar Desa I Forum ini merupakan forum sosialisasi pada tingkat kecamatan yang
bertujuan untuk menyebarluaskan informasi mengenai program yang dapat dikembangkan di tingkat desa pada kecamatan yang bersangkutan. Pertemuan ini difasilitasi oleh Kepala Seksi Pelaksana Program (KPP) selaku penanggungjawab operasional kegiatan dipimpin oleh camat dan dihadiri oleh seluruh Kepala Cabang Dinas Tingkat Kecamatan atau Unit Pelaksana Teknis, para kepala desa atau Lurah, seluruh Ketua Badan Perwakilan Desa, tokoh masyarakat, tokoh agama, cendekiawan di tingkat kecamatan. Salah satu hasil dari forum ini diantaranya adalah ditetapkannya jadwal pelaksanaan musayawarah pembangunan desa I.
b.
Musyawarah Pembangunan Desa I Forum ini merupakan forum tahap sosialisasi lanjutan di tingkat desa. Forum
ini dipimpin oleh kepala desa dan dihadiri oleh seluruh kepala dusun, tokoh masyarakat, anggota BPD, tokoh agama, tokoh pemuda, cendekiawan di tingkat desa, kepala seksi pelaksana program kecamatan yang bersangkutan. Dalam forum ini kepala desa menyampaikan seluruh informasi hasil sosialisasi tingkat kecamatan yang berupa program-program pembangunan desa yang dapat diusulkan dalam forum antar desa I. Dari musyawarah ini tersosialisasinya program–program pembangunan desa kepada masyarakat, fungsi dan peranan kepala dusun selanjutnya adalah menginfomasikan kepada masyarakat dan mengkoordinasi usulan kebutuhan prioritas masyarakat pada tingkat dusun, serta penetapan jadwal pelaksanaan musyawarah pembangunan dusun.
82
c.
Musyawarah Pembangunan Dusun Merupakan forum sosialisasi program kepada masyarakat oleh kepala
Dusun, pemilihan kegiatan yang cocok di tingkat dusun serta penggalian gagasan atau usulan dari masyarakat yang akan diperjuangkan pada musayawarah pembangunan desa II. Pesertanya adalah warga dusun, dihadiri oleh kepala desa sebagai nara sumber. Dari musyawarah ini menghasilkan daftar usulan kebutuhan masyarakat, serta disepakatinya wakil-wakil dusun dan kelompok masyarakat (Pokmas) untuk menghadiri musayawarah pembangunan Desa II.
5.5.2. Tahap Perencanaan a.
Musyawarah Pembangunan Desa II Merupakan forum musyawarah tingkat desa tahap dua untuk menyeleksi
gagasan atau usulan program atau kegiatan hasil musayawarah pembangunan dusun dari tiap-tiap dusun secara demokratis. Forum dipimpin oleh kepala desa dengan bimbingan camat dan dibantu oleh
kepala seksi pelaksana program
kecamatan. Peserta forum adalah para kepala dusun atau wakil dusun, wakil pokmas, tokoh masyarakat, fasilitator desa. Kesepakatan yang dihasilkan dalam musyawarah ini adalah: a). Daftar usulan rencana program atau proyek baik yang dibiayai oleh dana swadaya masyarakat, maupun yang diusulkan untuk dibiayai oleh DAU, DAK dan APBN/BLN dan b). Daftar usulan hasil ketetapan musyawarah diteruskan oleh kepala desa atau lurah kepada camat untuk dibahas dalam forum antar desa II. b.
Forum Antar Desa II Forum ini dipimpin oleh Camat dengan bimbingan kepala Bappeda untuk
membahas kembali usulan hasil musayawarah pembangunan desa dari masingmasing desa untuk menghasilkan usulan program atau kegiatan yang benar-benar relevan untuk dilaksanakan. Peserta forum adalah seluruh kepala desa, ketua badan permusyawaratan desa, lima orang
wakil yang ditunjuk melalui
musyawarah desa, penanggung jawab operasional kegiatan atau kasi pelaksana program, cabang dinas atau pelaksana teknis operasional. Forum antar desa ini menghasilkan beberapa usulan seperti: a) usulan yang dibiayai oleh dana swadaya dikembalikan ke desa atau kelurahan yang bersangkutan dan b) usulan hasil
83
seleksi yang dibiayai oleh Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan APBN diteruskan ke Bupati untuk selanjutnya dibahas dalam Forum Antar Kecamatan. Dalam proses mekanisme perencanaan Program yang dilakukan dengan dua tahapan sebagai berikut (lihat gambar 5). TAHAP SOSIALISASI PROGRAM
TAHAP PERENCANAAN
TINGKAT KECAMATAN
FORUM ANTAR DESA I
FORUM ANTAR DESA II
TINGKAT DESA
MUSRENBANG DESA I
MUSRENBANG DESA II
TINGKAT DUSUN
MUSYAWARAH PEMBANGUNAN DUSUN
Gambar : 5. Mekanisme Perencanaan Program di Desa Nanga Bayan Proses perencanaan pada program pembangunan desa Nanga Bayan diawali dengan penggalian gagasan di tiap Dusun. Pada proses tersebut, masyarakat memperoleh pengalaman mengenai tahapan perumusan usulan kegiatan. Bahwa kegiatan yang diusulkan semestinya mendasarkankan pada permasalahan yang dihadapi masyarakat khususnya permasalahan sarana kesehatan. Mendasarkan pada tahapan tersebut, usulan kegiatan tiap-tiap dusun merupakan upaya pemecahan masalah mereka yang diperoleh dari penggalian gagasan secara partisipatif dan dilakukan bersama. Selanjutnya, usulan kegiatan tersebut dimusyawarahkan di tingkat desa melalui forum Musyawarah Desa (MD) yang akan menghasilkan usulan kegiatan program pembangunan Desa Nanga Bayan. Proses musyawarah pembangunan desa merupakan penggalian gagasan pada kegiatan Musrenbang Desa di lokasi penelitian, sesuai dengan penjelasan para
84
informan yang telah beberapa kali mewakili dusun-nya, pada forum Musrenbang Desa, pemerintah desa telah menyiapkan rancangan program pembangunan yang akan dibiayai dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Rancangan program tersebut kemudian ditawarkan kepada para peserta. Para peserta musyawarah, yang terdiri dari aparat desa, BPD, tokoh masyarakat,dusun, perwakilan RT dan RW, akan memberikan tanggapan serta persetujuan mereka atas usulan program pemerintah desa, dengan kriteria kemanfaatannya bagi masyarakat serta kemampuan desa untuk membiayai usulan tersebut. Kriteria itu pula yang digunakan untuk menentukan prioritas usulan forum Musrenbang Desa. Selain proses di atas, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah usulan desa melalui forum Musrenbang Desa masih harus melalui forum Musrenbang Kecamatan dan Rakorbang Kabupaten. Dengan demikian, tidak semua usulan Musrenbang Desa disetujui dan memperoleh pembiayaan melalui APBDes.
5.6.
Pembangunan Pos Kesehatan Desa Sebagai Prioritas Hasil Musrenbang tingkat desa yang menetapkan pembangun
Pos
Kesehatan Desa (Poskesdes) di Desa Nanga Bayan sebagai prioritas utama dinilai sudah sangat tepat oleh masyarakat mengingat jumlah penduduk yang cukup banyak dan letak desa yang berdekatan dengan negara tetangga (Malaysia). Besarnya jumlah penduduk maka kecenderungan penduduk yang sakit juga lebih besar. Namun demikian pemanfaatan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) akan lebih optimal lagi jika pelayanan yang disediakan lebih lengkap dan tidak ada batasan waktu untuk mengaksesnya. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan sudah semakin bertambah seiring dengan masalah kesehatan yang dihadapinya. Penelitian menggambarkan masih terbatasnya pelayanan yang disediakan oleh Pondok Bersalin Desa (polindes) saat ini yang hanya ditempati oleh seorang paramedis (bidan desa), sehingga masyarakat hanya dapat memanfaatkan pelayanan yang ada terutama pelayanan pengobatan. Sedangkan kebutuhan masyarakat tidak saja pada upaya kuratif tetapi juga upaya promotif dan preventif. Bertambahnya permintaan terhadap pelayanan kesehatan dikarenakan masyarakat semakin mengetahui akan kebutuhan kesehatannya. Hasil wawancara
85
dengan bidan Lay di polindes Nanga Bayan diketahui sebagian besar pasien yang memanfaatkan pelayanan polindes adalah kelompok dewasa. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pada kelompok dewasa proporsinya lebih besar diantara kelompok yang lain dan mempunyai risiko lebih besar terjadinya gangguan kesehatan. Beberapa kebijakan pemerintah telah memperhitungkan perbedaan antara daerah pedesaan dan perkotaan dan bagaimana perbedaan tersebut dapat berpengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan. Hal itu dapat mendorong terjadinya perbedaan pada hasil kebijakan antara desa dan kota sebab satu kebijakan tidak bisa untuk semua daerah (one size does not fit all). Kebijakan kesehatan lebih menguntungkan bagi daerah pedesaan jika pembuat kebijakan memperhatikan isuisu tertentu yang timbul pada masyarakat, seperti program dan kebijakan kesehatan. Dengan
menggunakan
sudut
pandang
masyarakat
pedesaan
untuk
mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan serta program diperlukan fleksibilitas rancangan kebijakan sehingga masyarakat dapat meningkatkan aksesnya ke sumber-sumber pelayanan kesehatan. Kebijakan pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) menjadi salah satu pilihan atau solusi yang tepat untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat di Desa Nanga Bayan. Kebijakan tersebut yang efektif mampu memenuhi tujuan kebijakan dalam ukuran waktu dan hasil yang diharapkan. Walaupun saat ini baru Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)) yang di bangun, namun mempunyai potensi yang besar dapat dimanfaatkan secara optimal dan ditingkatkan menjadi puskesmas yang ideal bagi masyarakat. Pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes) di Desa Nanga Bayan sebagai prioritas untuk mengatasi berbagai permasalahan di bidang kesehatan seperti: (1) peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sekitar kawasan perbatasan; (2) meningkatkan akses kesehatan terutama bagi penduduk miskin dan kaum perempuan. Dalam pelaksanaannya, pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes) untuk memprioritaskan upaya promotif dan preventif yang dipadukan secara seimbang dengan upaya kuratif dan rehabilitatif. Langkah-langkah yang ditempuh untuk mengatasi berbagai masalah adalah :
86
a.
Peningkatan akses masyarakat kurang mampu terhadap pelayanan kesehatan Pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes) di desa Nanga Bayan
dilakukan untuk meningkatkan akses dan keterjangkauan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu. Rendahnya status kesehatan penduduk miskin dan kaum perempuan terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala biaya. Sedangkan bagi warga desa Nanga Bayan yang mampu mereka lebih memilih mendapatkan pelayanan ke negeri seberang (Malaysia) apabila penyakit yang di derita tidak kunjung sembuh ketika mendapat pelayanan di polindes. Diantara penyakitpenyakit yang di derita diantaranya penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, diabetes mellitus, dan kanker. Hal ini terjadi karena akses untuk menuju kesana lebih lancar ketimbang harus mendapat rujukan dari polindes untuk mendapat pelayan yang lebih intensif di puskesmas ataupun di rumah sakit. Seperti yang dituturkan oleh Jel (warga Dusun Semujan berusia 42 tahun) bahwa: ”untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di Serawak-Malaysia warga desa Nanga bayan hanya cukup mengantongi surat keterangan berobat ke Malaysia dari kepala desa untuk melewati pos lintas batas dengan jangka waktu yang tidak di tentukan (sampai sembuh)”
Meskipun pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin dan kaum perempuan telah tersedia, belum
semua penduduk
miskin dan kaum perempuan
memanfaatkan pelayanan ini karena mereka tidak mampu menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan akibat kendala biaya, jarak dan kondisi geografis. Oleh karena itu kebanyakan penduduk lebih memilih cara pengobatan tradisional ketimbang harus menempuh jarak yang jauh. Dengan dibangunnya prasana dan sarana pos kesehatan desa secara kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan akan semakin lancar dengan tenaga paramedis yang terampil. Akses terhadap pos kesehatan desa sebagai upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan perbatasan umumnya dan desa Nanga Bayan khususnya. Dengan demikian masyarakat dapat menjangkau sarana kesehatan dalam jarak dan waktu tempuh yang pendek sehingga secara tidak langsung membangun masyarakat yang sehat jasmani dan rohani.
87
b.
Penanggulangan penyakit Dalam pelaksanaan program pembangunan poskesdes akan membuat
masyarakat semakin mudah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Selain sarana dan prasarana, secara kualitas dan kuantitas ditempatkan tenaga kesehatan seperti tenaga paramedis (perawat dan bidan), tenaga gizi dan tenaga analis. Permasalahan penting yang masih dihadapi oleh masyarakat Desa Nanga Bayan dalam program pembangunan pos kesehatan desa saat ini adalah terbatasnya aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas terutama pada kelompok penduduk miskin, mengingat Desa Nanga Bayan merupakan daerah tertinggal, terpencil dan yang berada di kawasan perbatasan IndonesiaMalaysia. Hal ini, antara lain, disebabkan kendala jarak, biaya dan kondisi fasilitas pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dan jaringannya yang belum sepenuhnya dapat dijangkau oleh masyarakat. Sedangkan fasilitas yang ada di Desa Nanga Bayan saat ini hanya polindes dengan satu orang petugas yaitu bidan desa. Selain itu, beberapa permasalahan lainnya seperti yang dituturkan oleh Lyn (bidan desa berusia 22 tahun) bahwa : ” terjadinya beban ganda penyakit (double burden of diseases), yaitu suatu keadaan ketika penyakit menular masih merupakan masalah, di lain pihak penyakit tidak menular menunjukkan kecenderungan meningkat, masih rendahnya akses masyarakat kurang mampu terhadap pelayanan kesehatan, dan terbatasnya sarana/prasarana”
Ditambahkan lagi oleh Lyn, bahwa : ”berdasarkan keparahan penyakit, demam merupakan kasus yang paling tinggi diderita oleh masyarakat stempat. Kemudian di ikuti oleh batuk-batuk, flu, malaria, thypus dan diare”
Untuk menyembuhkan penyakit, kebanyakan masyarakat berobat ke polindes setempat atau bahkan membeli obat-obatan yang bebas terjual di toko atau warung terdekat. Beberapa dari mereka mengungkapkan bahwa mereka takut terserang oleh beberapa penyakit seperti cholera, malaria, dan demam berdarah. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa penyakit-penyakit tersebut diatas juga dipengaruhi lingkungan yang kotor dan tercemar. Pada tingkat rumah tangga, studi ini menemukan tidak cukupnya ketersediaan obat-obatan dasar pada saat dibutuhkan. Begitupun dengan obat-obatan tradisional juga tidak tersedia dan biasanya baru mencari pada saat dibutuhkan.
88
Sejalan dengan dibangunnya fasilitas pelayanan kesehatan di Desa Nanga Bayan, keadaan kesakitan beberapa penyakit menular akan dapat diatasi. Demikian pula, dengan kematian dan kecacatan akibat penyakit menular akan dapat ditekan. Penyakit menular yang sampai saat ini masih menjadi masalah dan prioritas dalam penanggulangannya adalah Tuberculosis (TB), Malaria, Demam Berdarah.
89
VI. KEPEMIMPINAN DALAM PEMBANGUNAN POS KESEHATAN DESA
6.1. Situasi Kepemimpinan Di Desa Naga Bayan Di Desa Naga Bayan terdapat kepemimpinan yang bersifat dualistik yang masing-masing memiliki legitimasi dan pengaruh yang kuat terhadap masyarakat dengan karakteristik yang berbeda yaitu kepemimpinan formal (pemerintah desa) dan kepemimpinan informal (lembaga adat).
Pemerintah desa memperoleh
legitimasi secara formal melalui surat pengangkatan dari Bupati sedangkan lembaga adat memperoleh legitimasi secara informal dari masyarakat. Meskipun pemerintah desa juga memperoleh legitimasi dari masyarakat melalui pemilihan langsung, namun kedua komponen ini tidak saling berebut pengaruh melainkan yang terjadi adalah pembagian fungsi pelayanan terhadap masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah desa lebih berfungsi untuk hal-hal yang berkenaan dengan masalah/urusan administrasi sedangkan lembaga adat lebih cenderung difungsikan untuk masalah/urusan yang berkenaan dengan kehidupan sosial di desa seperti penyelesaian
perkara,
ritual,
perkawinan,
termasuk
aktivitas
pertanian.
Pelaksanaan fungsi kedua tipe kepemimpinan ini memiliki landasan yang berbeda dimana pemerintah desa lebih dominan berlandaskan pada aturan-aturan formal sedangkan lembaga adat lebih dominan merujuk pada hukum-hukum adat. Hal sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Soekanto (1982) yang menyebutkan bahwa kepemimpinan resmi di dalam pelaksanaannya selalu harus berada diatas landasan-landasan atau peraturan-peraturan resmi sehingga daya cakupnya agak terbatas. Kepemimpinan informal, mempunyai ruang lingkup tanpa batas-batas resmi karena didasarkan atas pengakuan dan kepercayaan masyarakat. Dualisme kepemimpinan yang dijumpai di Desa Naga Bayan tidak dipandang sebagai masalah oleh masyarakat karena adanya aspek pembagian fungsi sebagaimana diutarakan di atas. Dengan kata lain, meskipun pemerintah desa dan lembaga adat memiliki konstituen yang sama namun hal ini tidak menimbulkan benturan baik secara fungsi maupun pengaruh. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Naga Bayan memiliki mekanisme adaptasi terhadap munculnya sistem kepemimpinan baru paska diberlakukannya UU No. 5/19979 tentang Pemerintahan Desa.
90
Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa tipe kepemimpinan di desa Nanga Bayan baik formal maupun informal lebih cenderung menunjukkan tipe kepemimpinan demokratis dimana aspek pengambilan dilakukan secara bersama-sama dengan konstituen (masyarakat). Tipe kepimpinan demokratis memiliki kelebihan dalam hal pengambilan keputusan yang lebih cermat/teliti namun lamban dalam mengambil keputusan karena harus melibatkan dan mempertimbangkan pendapat orang banyak.
6.2. Kepemimpinan Formal Pembangunan Desa sebagai upaya dalam proses modernisasi dan memacu laju pembangunan secara menyeluruh dan berencana, menjadi pusat perhatian negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia pada tahun-tahun terakhir ini. Usaha untuk menggalakkan pembangunan desa yang dimaksudkan untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup serta kondisi sosial masyarakat desa yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat, melibatkan tiga pihak, yaitu pemerintah, swasta dan warga desa. Dalam prakteknya, peran dan prakarsa pemerintah masih dominan dalam perencanaan dan pelaksanaan maupun untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan teknis warga desa dalam pembangunan desa. Kasus pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes) di latar belakangi oleh rendahnya status kesehatan penduduk miskin dan kaum perempuan terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala geografis dan kendala biaya dan juga terbatasnya tenaga kesehatan yang ada di desa Nanga Bayan. Sedangkan bagi warga Desa Nanga Bayan yang mampu mereka lebih memilih mendapatkan pelayanan ke negeri seberang (Malaysia) apabila penyakit yang di derita tidak kunjung sembuh ketika mendapat pelayanan di polindes. Hal ini terjadi karena akses untuk menuju kesana lebih lancar ketimbang harus mendapat rujukan dari polindes untuk mendapat pelayan yang lebih intensif di puskesmas ataupun di rumah sakit kabupaten, karena kendala jarak dan waktu tempuh yang jauh. Keberadaan kepemimpinan desa sebagai ujung tombak pembangnan mendudukkan
pemerintah
sebagai
agen
pembangunan,
terutama
dalam
91
merangsang dan mendorong pembangunan untuk meningkatkan taraf hidup warganya. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam pelaksanaan pembangunan desa meliputi seluruh aspek kehidupan terkait pengembangan wilayah perbatasan seperti bidang kesehatan, masyarakat di kawasan perbatasan di desa Nanga Bayan masih mengalami derajat kesehatan yang rendah. Kondisi kehidupan masyarakat khususnya anak-anak yang mengalami kekurangan gizi dan lingkungan pemukiman yang kurang sehat. Selain itu sarana dan prasarana atau fasilitas penunjang kesehatan masyarakat kurang memadai dan terbatasnya tenaga kesehatan baik kualitas maupun kuantitasnya. Lemahnya berbagai perhatian dan pengawasan pemerintah tersebut berdampak pula dengan lemahnya berbagai peraturan dan norma yang berlaku di desa. Sementara pada sisi yang lain, di Malaysia mampu memberikan jaminan pelayanan kesehatan yang memadai bagi masyarakat. Hal ini ditunjang dengan semakin mudahnya masyarakat untuk mendapatkan ijin surat keterangan sakit dari Kepala Desa. Sedangkan aturan pemerintahan dan norma-norma adat setempat tidak pernah bisa mengatur permasalahan ini. Akibatnya banyak dari masyarakat yang mampu mendapat pelayanan kesehatan ke Malaysia. Sebagian yang lain (masyarakat yang tidak mampu) hanya pasrah dengan pelayanan kesehatan yang ada di desa. Dalam pembangunan pos kesehatan desa kepala desa berperan dalam hal: a) perencanaan b) pelaksanaan dan c) pengawasan terhadap pembangunan pos kesehatan desa, dan dibantu oleh aparat desa, kepala dusun dan ketua RT. Peran kepala desa sangat menentukan arah untuk kemajuan desa, karena maju mundurnya desa ada ditangan kepala desa.
6.2.1. Kepemimpinan Formal dalam Perencanaan Pembangunan Poskesdes Hasil musrenbang telah menetapkan pembangunan poskesdes sebagai prioritas utama. Peran kepala desa selanjutnya adalah penentuan lokasi pembangunan poskesdes yang diputuskan bersama dengan masyarakat. Pada saat proses perencanaan lokasi pembangunan pos kesehatan desa Nanga Bayan diawali dengan penggalian gagasan di tiap dusun. Bahwa lokasi yang diusulkan semestinya mendasarkan pada permasalahan yang dihadapi masyarakat,
92
khususnya permasalahan di bidang kesehatan yang lokasinya mudah dijangkau oleh masyarakat. Mendasarkan pada tahapan tersebut, usulan kegiatan tiap-tiap dusun merupakan upaya pemecahan masalah mereka yang diperoleh dari gagasan secara partisipatif dan dilakukan bersama. Selanjutnya, usulan kegiatan tersebut dimusyawarahkan di tingkat desa melalui forum musyawarah desa yang akan menghasilkan usulan lokasi perencanaan pembangunan pos kesehatan desa. Proses musyawarah melalui forum musyawarah desa pada akhirnya gagal mencapai mufakat. Hal tersebut disebabkan masing-masing dusun berusaha mempertahankan dan menganggap bahwa usulannya yang perlu diprioritaskan karena menyangkut kepentingan warga dusun. Pada akhirnya, pemilihan usulan lokasi kegiatan perencanaan pembangunan pos kesehatan desa ditentukan melalui voting. Perwakilan dusun yang hadir dalam musyawarah desa dipersilahkan memilih usulan lokasi yang memenuhi kriteria yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Berdasarkan proses tersebut,
pada akhirnya usulan lokasi
dibangunnya pos kesehatan desa berada di kompleks kantor desa Nanga Bayan.
6.2.2. Kepemimpinan Formal dalam Pelaksanaan Pembangunan Poskesdes Pada
kasus
pelaksanaan
pembangunan
poskesdes
ini,
masyarakat
berpartisipasi hanya pada saat membersihkan lokasi tempat dibangunnya pos kesehatan desa (poskesdes). Sedangkan untuk fisik bangunannya dilaksanakan oleh instansi terkait, dalam hal ini adalah Dinas Kesehatan Kabupaten selaku pengguna anggaran dan selaku pelaksana administrasi terhadap pembangunan poskesdes. Dalam pelaksanaannya pemerintah desa hanya menyiapkan lokasi tempat dibangunnya pos kesehatan desa. Seharusnya, Pelaksanaan kegiatan tersebut dapat dilaksanakan oleh masyarakat yang bertindak sebagai pengguna utama. Pendanaan dan bantuan teknis dapat diberikan oleh proyek maupun pemerintah kabupaten/propinsi jika diperlukan. Apabila ada kegiatan tertentu yang tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh masyarakat misalnya pembangunan fisik yang nilainya diatas seratus juta rupiah. Sedangkan kegiatan yang berbentuk fisik seperti pembangunan poskesdes saat ini yang nilainya tidak mencapai seratus juta rupiah dapat dilaksanakan dengan pemilihan langsung atau penunjukan langsung
93
mengingat kondisi desa yang terisolir. Hal ini sangat erat sekali kaitan dengan proses dan mekanisme serta prosedur yang berlaku dalam Kepres No 80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah serta perubahannya bahwa, untuk kegiatan proyek harus ada legalitas hukum (perusahaan) baik kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dari Dana Alokasi Khusus (DAK) maupun Dana Alokasi Umum (DAU), serta yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa. Kegiatan dalam rencana pengelolaan dapat disesuaikan sesuai kebutuhan dan perubahan yang terjadi di desa. Penyesuaian ini harus dilakukan secara terbuka dan atas persetujuan
masyarakat
dan
kelompok
pengelola bersama-sama
dengan
pemerintah desa.
6.2.3. Kepemimpinan Formal dalam Pengawasan Pembangunan Poskesdes Sebagai kontrol terhadap pelaksanaan kegiatan pembangunan desa tidak berjalan oleh masyarakat untuk menilai kegiatan dan hasil capaian dari setiap kegiatan. Oleh sebab itu kelambagaan informal selaku jalur masyarakat untuk berpartisipasi terhadap setiap kegiatan pembangunan di desa baik dalam perencanaa, pelaksanaan maupun pengawasan. Dalam hal ini, pemerintah desa lebih berfungsi untuk hal-hal yang berkenaan dengan masalah/urusan administrasi sedangkan lembaga adat lebih cenderung difungsikan untuk masalah/urusan yang berkenaan dengan kehidupan sosial di desa seperti penyelesaian perkara, ritual, perkawinan,
termasuk
aktivitas
pertanian.
Pelaksanaan
fungsi
kedua
kepemimpinan ini memiliki landasan yang berbeda dimana pemerintah desa lebih dominan berlandaskan pada aturan-aturan formal sedangkan lembaga adat lebih dominan merujuk pada hukum-hukum adat. Berkaitan dengan fungsi tersebut kelembagaan informal selaku jalur masyarakat untuk berpartisipasi tidak mau terlibat terlalu jauh dalam urusan formal mengingat pemerintah desa merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat untuk melaksanakan pembangunan di desa. Tidaklah mengherankan bila kepemimpinan pemerintahan desa Nanga Bayan mempunyai peranan yang begitu dominan di dalam pelaksanaan pembangunan desa yang secara geografis letak desa Nanga Bayan berada di
94
perbatasan Indonesia dan Malaysia, terutama proses pengambilan keputusan dalam pembangunan seperti mengeluarkan kebijakan pembangunan prasarana dan sarana kesehatan dengan program pembangunan pos kesehatan desa yang dilakukan untuk meningkatkan akses dan keterjangkauan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu. Selain itu juga kepemimpinan pemerintahan desa Nanga Bayan mempunyai peran sebagai penanggung
jawab
terhadap
pembangunan
yang
bersifat
fisik
seperti
pembangunan kesehatan, sedangkan yang bersifat non fisik kepemimpinan pemerintahan desa berperan untuk membangun mental warganya yang dilakukan dengan usaha-usaha yang betujuan untuk membuat agar warganya memiliki mental yang baik. Hasil pengamatan langsung di lapangan menunjukan bahwa peranan pemimpin informal tidak sebesar pemimpin formal. Namun ia tetap dipandang penting peranannya didalam menggerakan masyarakat, karena ia adalah patner kepala desa. Hubungan antara pemimpin informal dengan kepala desa adalah baik, hingga tidak ada pemimpin formal yang menarik diri dari perannya dalam proses pengambilan keputusan terhadap perencanaan pembangunan desa, terutama dalam pembangunan pos kesehatan desa. Dalam pembangunan pos kesehatan desa kepala desa berperan dalam hal: a) mengkomunikasikan; b) memotivasi; c) mengkoordinasi; dan d) pengambilan keputusan terhadap pembangunan pos kesehatan desa, dan dibantu oleh aparat desa, kepala dusun dan ketua RT. Peran kepala desa sangat menentukan arah untuk kemajuan desa, karena maju mundurnya desa ada ditangan kepala desa. Oleh sebab itu dalam pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes) kepala desa berperan dalam : a.
Mengkomunikasikan Di Desa Nanga Bayan, dimana kepala desanya selalu menyampaikan
informasi kegiatan-kegiatan pembangunan desa kepada warga desa, terutama lewat musyawarah desa, pertemuan dusun dan pertemuan RT masing-masing. Peran kepala desa tersebut seperti dalam kasus pembangunan pos kesehatan desa yang merupakan bagian dari kegiatan pembangunan di desa yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat dalam hal kesehatan.
95
Kenyataan ini menunjukan bahwa peran kepala desa mengkomunikasikan untuk memberikan informasi kepada masyarakat cukup berperan karena : 1) kepala desa lebih mengutamakan kepentingan orang banyak, 2) kepala desa dihormati oleh masyarakat desa. Hal ini seperti yang dituturkan oleh salah seorang warga Desa Nanga Bayan Rd (masyarakat Desa Nanga Bayan, berusia 51 tahun). ”Seperti kita lihat selama ini dalam pelaksanaan setiap kegiatan yang masuk ke desa, kepala desa sangat bertanggung jawab sekali dalam ikut serta sampai pelaksanaan kegiatan tersebut selesai. Dan dia yang turun tangan sendiri untuk memberitahukan/menginformasikan kepada warga desa tentang pelaksanaan kegiatan, agar masyarakat mau ikut terlibat membantu dengan sukarela tanpa adanya paksaan”.
Peran kepala desa terlihat juga pada saat hadir dalam pertemuanpertemuan baik di tingkat dusun maupun tingkat RT. Kepala desa menyempatkan hadir untuk memberikan informasi mengenai pelaksanaan yang akan dilaksanakan dalam pemerintahan desa. Penyampaian informasi kegiatan-kegiatan yang akan dilakkan di desanya dilakukan pada saat pertemuan desa, dusun dan pertemuan RT. Keaktifan kepala desa tersebut, tidak hanya dilihat dari satu sisi, yaitu anggota masyarakat tetapi beberapa pemimpin informal seperti lembaga adat, dan lembaga lainnya memberikan informasi yang sama dengan mayoritas pendapat tersebut. b.
Memotivasi Hasil penelitian di Desa Nanga Bayan bahwa kepala desa menggerakan atau
mendorong warganya untuk ikut dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan pos kesehatan desa. Kerjasama terjalin dengan baik antara warga desa dengan kepala desa, tujuannya supaya pelaksanaan kegiatan berjalan dengan baik seperti yang diharapkan. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Mrt (tokoh masyarakat kecil berusia 40 tahun) bahwa : ”Di desa kami kepala desa selalu aktif di setiap kegiatan dan selalu mengajak masyarakat desa supaya ikut terlibat dalam kegiatan pembangunan poskesdes dan dia juga banyak menyumbangkan baik sumbangan berupa materi maupun tenaga yang ia berikan untuk kemajuan desa”.
Selanjutnya penuturan Jpg (tokoh pemuda berusia 36 tahun) bahwa: ”Kepala desa kami sangat aktif di dalam setiap kegiatan apapun, seperti kasus pembagunan poskesdes saat ini, dan kepala desa sendiri yang turun tangan untuk mengajak warga desa agar bersama-sama ikut dalam kegiatan pembangunan poskesdes”.
96
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa peran kepala desa memotivasi masyarakat desa di dalam pembangunan pos kesehatan desa, dengan jalan terlebih dahulu melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan supaya pelaksanaan pembangunan pos kesehatan desa berjalan lancar. Warga desa diajak oleh kepala desa agar ikut terlibat dalam kegiatan pembangunan pos kesehatan desa melalui lembaga-lembaga yang ada di desa, yang dibantu oleh kepala dusun dan ketua RT selaku perpanjangan tangan dari kepala desa.
c.
Mengkoordinasi Peran kepala desa dalam mengkoordinasi pada desa penelitian tidak berbeda
juga dimana pada kasus pembangunan pos kesehatan desa, kepala desa sangat berperan mengkoordinasikan dalam kegiatan pembangunan poskesdes. Ini terlihat pada pembangunan pos kesehatan desa yang secara aklamasi masyarakat menyatakan bahwa masyarakat membutuhkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal ini seperti yang dituturkan oleh Kns (warga desa berusia 48 tahun) sebagai berikut : ”Peran kepala desa selama ini dalam mengkoordinasikan kegiatan pembangnan desa dilakukan atau dijalankannya dengan baik, tujuannya agar kegiatan dapat berjalan dengan lancar. Dan juga kepala desa mengajak masyarakat agar terlibat langsung pada kegiatan tersebut yang dilakukan dengan kerjasama dan gotong royong”.
Kepala desa yang dibantu oleh aparat desa, kepala dusun dan ketua RT untuk mengkoordinasi dalam pembangunan pos kesehatan desa untuk memenuhi kebutuhan di desa dan pembangunan desa. Kepala desa selalu terlibat dan langsung turun tangan sendiri dalam pelaksanaan kegiatan tersebut.
d.
Pengambilan Keputusan Bila peranan pemimpin formal dan pemimpin informal sebagai pemimpin di
dalam proses pengambilan keputusan. Peranan kepemimpinan desa lebih ditujukan kepada partisipasi masyarakat di dalam pengambilan keputusan, yaitu kepada dukungannya terhadap kepemimpinan kepala desa, kesediaannya untuk hadir dan mengeluarkan pendapat di dalam rapat-rapat desa. Ternyata bahwa partisipasi masyarakat secara tidak langsung, yaitu kesediaannya untuk mendukung keputusan desa cukup besar, tetapi partisipasi masyarakat secara
97
langsung, yaitu hadir dalam rapat-rapat desa dan mengeluarkan pendapat di dalam rapat-rapat desa sangat kecil. Pengambilan keputusan dapat dilihat sebagai salah satu fungsi seorang pemimpin . Dalam perencanaan kegiatan untuk menerjemahkan berbagi keputusan berbagai alternatif dapat dilakukan dan untuk itu pemilihan harus dilakukan. Pengambilan keputusan merupakan persoalan yang berat karena sering menyangkut kepentingan banyak orang. Tidak ada sesuatu yang pasti dalam pengambilan keputusan. Pemimpin harus memilih diantara alternatif yang ada dan kemungkianan implikasi atau akibat suatu pengambilan keputusan tertentu.
6.3. Kepemimpinan Informal Peran tokoh adat sangat kuat dan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap masyarakat yang ia pimpin bahkan dalam hal-hal tertentu kedudukan seorang tokoh adat “Temenggung” lebih kuat dari seorang kepala desa atau camat sekalipun. Hal ini terlihat di saat perencanaan pembangunan di desa, masyarakat lebih menghormati dan mempercayai kepemimpinan adat dalam setiap urusan sosial kemasyarakatan. Apabila pemimpin adat setuju dengan perencanaan kegiatan pembangunan di desa, maka masyarakat ikut setuju. Oleh sebab itu dalam menggerakan partisipasi masyarakat peran pemimpin adat lebih dominan. Dengan demikian seorang temenggung mempunyai peranan yang sangat menentukan baik dalam urusan upacara keagamaan, adat istiadat ataupun proses pengambilan keputusan apabila ada perselisihan antara warga serta keputusan menyangkut hal-hal baru kedalam sistem sosial yang dipimpinnya. Suatu cara baru yang tidak pernah dilakukan oleh nenek moyang mereka, tidak mau mereka lakukan dan apabila ia terima, dianggap itu suatu hal yang tabu (mali) yang menurut kepercayaan mereka akan mendapat kutukan dari leluhurnya. Oleh sebab itu masyarakat sangat mematuhi aturan dan keputusan yang di ambil oleh adat. Dibandingkan dengan sistem pemerintahan desa yang berlaku sekarang ini, sistem kepala adat lebih demokratis dari segi proses pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama. Namun, dari segi proses pengangkatan pemimpin di desa dapat dikatakan pemilihan kepala desa yang berdasarkan pada pemilihan langsung lebih demokratis, karena dari jabatan kepala adat (Temenggung) sifatnya turun
98
temurun. Dalam pembangunan pos kesehatan desa, temenggung selaku kepemimpinan kelembagaan informal juga mempunyai peran dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.
6.3.1. Kepemimpinan Informal dalam Perencanaan Pembangunan Poskesdes Dalam perencanaan pembangunan pos kesehatan desa, keberadaan kepemimpinan informal yang terdiri dari elemen masyarakat sebagai peserta musyawarah dalam merencanakan penentuan lokasi tempat dibangunya pos kesehatan desa. Keberadaan kepemimpinan informal di tengah-tengah kehidupan masyarakat desa Nanga Bayan tidak saja memberikan manfaat di bidang keagamaan dan tradisi belaka. Tetapi lebih dari itu dalam perencanaan penentuan lokasi pembangunan pos kesehatan desa, kepemimpinan dalam hal ini yang lebih kepemimpinan adat berperan sebagai penengah terhadap apabila ada ketegangan masing-masing dusun yang berusaha mempertahankan dan menganggap bahwa usulannya tentang lokasi pembangunan pos kesehatan desa yang perlu diprioritaskan karena menyangkut kepentingan warga dusun. Namun keputusan akhir tetap ada pada pemerintahan desa karena menyangkut tanggung jawab terhadap laporan keberhasilan pembangunan yang ada di desa tersebut.
6.3.2. Kepemimpinan Informal dalam Pelaksanaan Pembangunan Poskesdes Dalam pelaksanaan pembangunan pos kesehatan desa, kepemimpinan formal menggerakan masyarakat untuk berpartisipasi melalui kelembagaan informal pada lokasi yang telah disepakati untuk pembangunan pos kesehatan desa. Karena kelembagaan informal adalah mitra kerja pemerintah desa yang merupakan pusat komunikasi dan informasi bagi masyarakat desa setempat dalam segala hal. Lewat lembaga ini mereka dapat memperoleh berbagai informasi dan pula dapat menyampaikan informasi. Dalam pelaksanaan pembangunan pos kesehatan desa ini, kepemimpinan informal mendukung setiap langkah yang diambil oleh pemerintahan desa mengingat pembangunan adalah untuk kepentingan masyarakat, walaupun pelaksanaan pembangunannya dilakukan oleh instansi terkait selaku pengguna anggaran yaitu Dinas Kesehatan, yang didalam pelaksanaannya harus melalui
99
proses administrasi dan sesuai dengan aturan tentang pengadaan barang/jasa milik pemerintah yaitu kepres 80 tahun 2003 tentang tata cara pelaksanaan pengadaan barang/jasa milik pemerintah.
6.3.3. Kepemimpinan Informal dalam Pengawasan Pembangunan Poskesdes Kelambagaan informal selaku jalur masyarakat untuk berpartisipasi terhadap setiap kegiatan pembangunan di desa baik dalam perencanaa, pelaksanaan maupun pengawasan. Dalam hal ini, pemerintah desa lebih berfungsi dalam halhal yang berkenaan dengan masalah/urusan administrasi sedangkan lembaga adat lebih cenderung difungsikan untuk masalah/urusan yang berkenaan dengan kehidupan sosial di desa seperti penyelesaian perkara, ritual, perkawinan, termasuk aktivitas pertanian. Pelaksanaan fungsi kedua kepemimpinan ini memiliki landasan yang berbeda dimana pemerintah desa lebih dominan berlandaskan pada aturan-aturan formal sedangkan lembaga adat lebih dominan merujuk pada hukum-hukum adat. Berkaitan dengan fungsi tersebut kelembagaan informal selaku jalur masyarakat untuk berpartisipasi sangat mendukung karena pemerintah desa merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat untuk melaksanakan pembangunan di desa. Namun demikian, bukan berarti kepemimpinan informal lepas tangan terhadap pembangunan di desa, lebih dari itu kepemimpinan informal sangat mendukung karena menyangkut kesejahteraan masyarakat. Karena apabila masyarakat merasa terpenuhi segala kebutuhannya di desa tersebut, maka masyarakat tidak akan meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan guna mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi ketaatan masyarakat terhadap legitimasi kekuasaan lembaga adat antara lain : a.
Aspek politik Secara perlahan-lahan kebiasaan sistem adat diakui kembali seperti semula.
Beberapa Temenggung mulai dipilih secara demokratis namun kebanyakan posisi Temenggung yang berlaku secara turun-temurun nampaknya lebih disukai. Dengan perkataan lain, posisi Raja yang turun-temurun lebih memberikan legitimasi dari pada pemilihan Raja secara demokratis.
100
Posisi Temenggung benar-benar ditakuti dan dihormati. Karena masyarakat meyakini bahwa kekuasaan Temenggung mewakili seluruh kekuasaan para leluhur, dengan demikian dalam kasus tertentu bila ada indivudu dalam masyarakat yang ingin merebut kekuasaan Temenggung yang bukan berasal dari keturunan Temenggung, maka diyakini akan mendatangkan kemalangan keluarga tersebut dan akan menimpa masyarakat. Namun demikian bukan berarti posisi kekuasaan Temenggung berlaku otoriter dan sewenang-wenang. Temenggung adalah gelar adat yang diberi legitimasi oleh masyarakat untuk memelihara dan menyelenggarakan keamanan dan kesejahteraan masyarakat adat, ini berarti lembaga adat bertugas mengawasi dan menjamin pelaksanaan adat, karena hanya dengan cara demikian – menurut keyakinan, kemurahan dan bantuan arwah para leluhur dapat dipikat dan kesejahteraan masyarakat dapat terjamin. Temenggung dianggap sebagai wakil hidup dari para leluhur, karenanya pemenuhan adat harus diawasi. b.
Aspek Hukum Dalam konteks penyelesaian sengketa menurut mekanisme informal,
keberadaan institusi lokal dapat menjadi salah satu pintu yang dapat membantu masyarakat untuk mengakses keadilan. Secara umum, penyelesaian sengketa di tingkat komunitas di Sintang, kuhususnya di Desa Nanga Bayan terkonsentrasi pada posisi Temenggung. Lazimnya, Temenggung yang menjadi penyelesai utama sengketa di tingkat komunitas. Memang benar, selain Temenggung, terdapat pula Panglima Adat, Imam dan Pendeta sebagai pemimpin agama serta Ketua Adat yang dalam kesehariannya ikut membantu menyelesaikan persoalan yang terjadi di komunitas. Namun apabila kasus tak dapat diselesaikan maka Temenggung-lah yang akan mengambil keputusan. Penerimaan keputusan Temenggung dan hukum adat didasarkan pada penghormatan masyarakat terhadap mereka, keberadaan Temenggung bahkan dihubungkan dengan sesuatu yang mistik atau kekuatan supranatural. Pada saat yang bersamaan, Temenggung berperan menjadi pendamai pihak yang bersengketa. Dasar pengambilan keputusan terhadap kasus yang ditangani Temenggung dan perangkatnya tidak mengacu kepada suatu sumber tertulis. Temenggung hanya mengklaim bahwa dirinya menerapkan hukum adat. Denda
101
adalah sanksi yang sangat banyak dijatuhkan dalam keputusan akhir penyelesaian sengketa. Denda biasanya cukup beragam, dimana adatnya masih kuat dianut, denda dapat berupa Tempayan besar dan peralatan serta benda-benda yang berhubungan dengan adat misalnya kain tenun, binatang piaraan (babi), mandau (parang) dan tawa’ (gong). Masyarakat pada umumnya mempercayai dan mematuhi hasil putusan penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh perangkat adat/Suku. Sehingga apabila kepala suku, perangkat Adat/Desa dan pemimpin agama memberikan putusan atas kasus yang dialami, masyarakat pada umumnya mematuhi putusan tersebut. Mekanisme adat sampai saat ini merupakan pilihan utama dalam penyelesaian kasus yang terjadi di tingkat masyarakat. c. Aspek sosial Aspek sosial yang sangat kuat di Desa Nanga Bayan adalah Suku. Suku ini merupakan lembaga tradisional yang mengharuskan adanya kontak sosial secara teratur antara dua kelompok masyarakat. Misalnya ketika kelompok muslim membantu kelompok kristen anggota suku, atau sebaliknnya. Bantuan ini merupakan pernyataan komitmen tidak hanya kepada sekutu utama seseorang tetapi juga untuk kepentingan persaudaraan masyarakat secara keseluruhan.
6.4. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan di Desa Nanga Bayan Kebijakan program pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes), menitikberatkan pada aspek partisipasi masyarakat, respon terhadap program pembangunan dan aspek keberlanjutan program bagi masyarakat desa ditengah keberagaman kemampuan dan kepentingan masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang sangat terbatas akan mewujudkan pengembangan program pembangunan yang tidak melahirkan kelompok terpinggirkan baru, maka dalam upaya menyukseskan pelaksanaan pembangunan diperlukan adanya partisipasi aktif dari masyarakat. Selain itu dalam pelaksanaan pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes) diharapkan partisipasi aktif masyarakat untuk mengidentifikasi berbagai
masalah
pembangunan
desa
yang
dihadapi
pemecahannya yang secara utuh dilaksanakan oleh masyarakat.
dengan
alternatif
102
Salah satu partisipasi masyarakat dalam pembangunan Pos kesehatan desa Nanga Bayan di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia adalah keberadaan kelembagaan Kemasyarakatan, salah satu contoh adalah lembaga adat. Keberadaan Lembaga Adat di tengah-tengah kehidupan masyarakat desa Nanga Bayan tidak saja memberikan manfaat di bidang adat dan tradisi belaka. Lebih dari itu, kehadiran Lembaga Adat sebagai institusi yang bersifat grassroot (akar rumput) sangat efektif juga untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan desa. Seperti yang dituturkan oleh Jg (tokoh pemuda berusia 41 tahun) bahwa: ”Lembaga Adat adalah merupakan pusat komunikasi dan informasi bagi masyarakat desa setempat dalam segala hal. Lewat Lembaga ini kami dapat memperoleh berbagai informasi dan pula dapat menyampaikan informasi. Keunggulan yang bisa menjadikan Lembaga Adat sebagai pusat komunikasi dan informasi adalah tersedianya forum komunikasi bagi warga yang dilaksanakan setiap hari sabtu malam minggu”.
Didalam sebuah kelembagaan atau organisasi para individu juga dimungkinkan untuk bekerjasama satu dengan yang lain dalam rangka pemenuhan kebutuhan, kerjasama itu sendiri juga didasarkan atas faktor saling suka satu sama lain serta bersedia untuk bekerjasama. Alasan lain individu berpartisipasi dalam lembaga-lembaga lokal adalah adanya kebanggaan dari seseorang untuk menjadi bagian dari suatu lembaga serta juga harapan bahwa keterlibatannnya melalui lembaga akan memberikan kemudahan baginya untuk mencapai tujuan pribadinya. Dalam hal ini kedudukan kepala desa dalam pemerintahan desa adalah sebagai opinion leaders yang merupakan unsur pokok yang berperan sebagai saluran komunikasi dalam pembangunan desa. Lewat opinion leaders inilah pesan dari tingkat atas diterjemahkan untuk selanjutnya disampaikan kepada masyarakat bawah, apakah itu berupa inovasi-inovasi ataupun pesan-pesan pembangunan. Sebaliknya, masyarakat bawah pun akan menyampaikan informasi mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan kebutuhan hidup masyarakat lewat komunikasi antar pribadi yang biasa terjalin antar sesama warga. Dalam hal pemerintah desa merupakan titik sentral dalam mengembangkan komunikasi dua arah, dengan kata lain pemerintah desa adalah sebagai lembaga yang diandalkan untuk proses penyampaian informasi atau sebagai penerima informasi.
103
Lebih lanjut Hubungan antara lembaga tradisional, partisipasi, dan pembangunan desa dengan jelas dapat kita lihat dari catatan Darling (1977) bahwa Faktor penduduk asli adalah penentu utama pembangunan. Apa yang dikemukakan Steive (1977) dalam pelaksanaan program Minimum Package Project (MPP) oleh Bank Dunia, USAID dan SIDA di Ethiopia yang lebih memilih menciptakan organisasi baru dari pada memanfaatkan organisasi tradisional yang ada yang akhirnya mengalami kegagalan adalah merupakan contoh betapa sangat pentingnya kedudukan organisasi asli dalam keberhasilan pembangunan itu sendiri. Dari penemuan di lokasi penelitian, bahwa partisipasi masyarakat adalah dilakukan
lewat
jalur
kelembagaan
bukan
secara
pribadi.
Lembaga
kemasyarakatan, adalah sarana bagi mereka untuk melakukan partisipasi dalam setiap pembangunan. Walaupun didapati bahwa lembaga kemasyarakatan ini merupakan lembaga tradisional dan non formal tapi tidak menutup kemungkinan masyarakat untuk berpartisipasi. Karena pada dasarnya partisipasi masyarakat juga dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya yang ada. Pada
umumnya
warga
masyarakat
setempat
berpartisipasi
dalam
pembangunan sangat variatif. Dari data yang dapat dikumpulkan oleh peneliti dilapangan
menunjukkan,
bahwa
bentuk
partisipasi
masyarakat
dalam
pembangunan desa di wujudkan melalui berbagai bentuk yang meliputi: sumbangan tenaga, sumbangan material yang meliputi bahan bangunan dan uang serta sumbangan ide. Partisipasi dalam bentuk tenaga dalam hal ini diwujudkan lewat keikut sertaan masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilaksanakan. Mereka menyumbangkan tenaga untuk pembangunan seperti ikut serta membuat jalan, membuat jembatan, membangun rumah dan yang lainnya secara ikhlas tanpa upah. Bahkan tak jarang demi keikut sertaannya mereka rela untuk tidak pergi kesawah. Bentuk partisipasi semacam ini adalah merupakan bentuk partisipasi yang paling tinggi. Kontribusi mereka lewat sumbangan tenaga dalam hal ini juga bisa dikatakan sebagai aspek dominan dalam keberhasilan pembangunan. Umumnya mereka semuanya ikut terlibat dalam pelaksanaan pembangunan tanpa kecuali. Secara teknis sumbangan tenaga demikian ini
104
biasanya dilakukan secara gradual ataupun terjadwal sehingga tidak ada satupun anggota masyarakat yang tertinggal dalam menyumbangkan tenaganya. Andaikata ada udzur ataupun tidak bisa menyumbangkan tenaganya, biasanya masyarakat memberikan ganti rugi yang berwujud pemberian makan ataupun uang sesuai dengan kesepakatan yang ada. Dari sisi partisipasi yang lain, adalah partisipasi masyarakat dalam pembangunan dengan bentuk uang ataupun material (bahan bangunan). Sedangkan untuk partisipasi dalam wujud bahan material, adalah dilakukan oleh orang-orang yang notabene-nya adalah yang berkemampuan cukup dalam segi finansial. Seperti perangkat desa ataupun orang-orang yang dipandang kaya dalam masyarakat desa setempat. Mereka umumnya dimintai atau dengan suka rela menyumbangkan material bahan bangunan. Bentuk partisipasi yang terakhir adalah partisipasi masyarakat dalam bentuk ide. Yang dimaksud dengan partisipasi dalam bentuk ide ini adalah sumbangansumbangan masyarakat dalam pembangunan yang berupa usul-usul, ide-ide ataupun pemikiran yang disampaikan. Model dari pembangunan yang dilakukan oleh lembaga adat adalah didasarkan pada usulan-usulan anggota. Apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan yang dirasa para anggota ataupun masyarakat itulah yang kemudian dimusyawarahkan dalam pertemuan desa. Dengan demikian dapat disimpulkan mengenai bentuk dan jenis partisipasi tersebut, maka secara umum partisipasi dapat di kategorikan dua bentuk yaitu: 1) partisipasi dalam bentuk fisik seperti tenaga, barang dan uang, 2) partisipasi dalam bentuk non-fisik seperti sumbangan pemikiran atau ide dan dukungan. Terdapat dua alasan utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat yang sangat penting; pertama partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh suatu informasi mengenai kondisi kebutuhan dan sifat masyarakat yang tanpa kehadirannya, program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai kegiatan atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena akan lebih mengetahui seluk beluk kegiatan tersebut. Dilihat dari kualitas perencanaan yang dibuat oleh Pemerintahan Desa Nanga Bayan dimana rencana kegiatan yang dibuat sudah sesuai dengan tujuan
105
yang direncanakan semula yaitu kegiatan pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) yang tujuannya untuk mensejahteraan masyarakat itu sendiri. Namun, bila dilihat dari sumbangan yang diberikan ternyata masyarakat desa Nanga Bayan bersedia menyediakan tenaga (tanpa upah) untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat desa Nanga Bayan sudah tinggi dalam membangun desanya dari perencanaan dan pelaksanaan.
6.4.1.
Tahap Perencanaan Hasil penelitian menunjukan bahwa partisipasi masyarakat Desa Nanga
Bayan sangat baik. Hal tersebut terlihat dari kegiatan dalam pertemuan yang diadakan oleh kelembagaan pemerintahan desa terlihat bahwa kehadiran masyarakat desa Nanga Bayan lebih banyak. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat memang berkeinginan untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) yang akan dilaksanakan dan ini dapat dijadikan bukti bahwa partisipasi masyarakat desa Nanga Bayan menunjukan bahwa masyarakat menginginkan pembangunan. Kegiatan yang dilaksanakan ini adalah sosialisasi program-program pembangunan desa. Dalam hal ini masyarakat terlibat dalam forum musyawarah mulai dari musyawarah tingkat dusun sampai kepada musyawarah tingkat desa. Partisipasi masyarakat dalam tahap perencanaan ini dilakukan dengan menyampaikan usulan-usulan tentang berbagai jenis program pembangunan yang telah direncanakan oleh pemerintah desa pada saat sosialisasi di tingkat kecamatan. Keadaan ini juga didukung oleh respon-respon atau keaktifan masyarakat untuk mengemukakan pendapat dalam pertemuan yang ada. Dari respon-respon yang diberikan terhadap permasalahan yang dikemukakan terlihat bahwa pada tahap merumuskan perencanaan program, respon yang diberikan oleh masyarakat desa sangat baik dan bersemangat, yaitu masyarakat desa sangat antusias untuk memberikan masukan. Dilihat dari ide-ide yang dikemukan oleh masyarakat, nampak bahwa masyarakat betul-betul menginginkan pembangunan. Untuk memulai rencana program pembangunan desa diperlukan kelompok inti yang merupakan perwakilan masyarakat yang akan merumuskan rencana
106
pembangunan tersebut. Sebelum kelompok inti ini bekerja mereka dibekali terlebih dahulu dengan pelatihan penyusunan rencana pengelolaan dan mencoba membuat draft rencana program pembangunan yang akan menjadi pemicu dan dasar diskusi konsultasi dengan masyarakat dan pemerintah desa. Hasil dari draft rencana program ini kemudian disosialisasikan kepada masyarakat lewat pertemuan dan konsultasi baik secara formal dan informal untuk mendapatkan masukan, tambahan dan koreksi dari masyarakat, pemerintah desa dan stakeholder yang ada di desa.
6.4.2.
Tahap Pelaksanaan Pada tahap pelaksanaan, partisipasi masyarakat dalam tahap ini dapat kita
lihat dari swadaya yang di sumbangkan oleh masyarakat dalam pelaksanaan program ini. Dengan demikian masyarakat Desa Nanga Bayan dapat memanfaatkan hasil program dengan sebaik-baiknya agar dapat keluar dari lingkaran kesehatan (maksudnya pelayanan tenaga kesehatan yang tidak maksimal yang hanya dilakukan oleh seorang bidan dengan jumlah warga mencapai 1.525 orang
dan dengan kondisi geografis yang sulit ditempuh) sehingga program
tersebut benar-benar sesuai dari tujuan awal yaitu menjadikan masyarakat yang sehat. Dalam tahap pelaksanaan, ternyata masyarakat desa Nanga Bayan masih tetap antusias mengemukakan pendapat dan pertanyaan sebagai respon terhadap permasalahan yang disampaikan. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat desa Nanga Bayan masih ingin tetap terlibat dalam pelaksanaan kegiatan yang direncanakan karena masyarakat sangat membutuhkan pembangunan pos kesehatan desa. Umumnya para masyarakat setempat berpartisipasi dalam pembangunan sangat variatif. Dari data yang dapat dikumpulkan oleh peneliti dilapangan menunjukkan, bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan pos kesehatan desa di wujudkan melalui berbagai bentuk yang meliputi: sumbangan tenaga, sumbangan material yang meliputi bahan bangunan, uang serta sumbangan ide. Partisipasi dalam bentuk tenaga dalam hal ini diwujudkan lewat keikut sertaan masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan pembangunan seperti
107
pembangunan Pos kesehatan desa (poskesdes) yang sedang dilaksanakan saat ini. Dalam hal kegiatan pembangunan lainnya, mereka menyumbangkan tenaga untuk pembangunan seperti ikut serta membuat jalan, membuat jembatan, membangun rumah dan yang lainnya secara ikhlas tanpa upah. Dalam pelaksanaan kegiatan masyarakat lebih cenderung gotong royong tetapi sebatas apabila ada kegiatan saja. Artinya, pemerintah desa baru menggerakan warga untuk berpartisipasi apabila setiap ada kegiatan kepemimpinan desa baru memberi pengumuman kepada warga bahwa besok misalnya ada kegiatan gotong royong di balai desa. Oleh karena itu partisipasi masyarakat desa Nanga Bayan dalam pembangunan pos kesehatan desa hanyalah partisipasi dalam bentuk fisik yakni gotong royong yang memang sudah menjadi tradisi di desa.
6.4.3. Tahap Pengawasan Monitoring dari pelaksanaan rencana pengelolaan ini dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah desa untuk menilai kegiatan dan hasil capaian dari kegiatan pembangunan pos kesehatan desa. Proses dan pelaksanaan monitoring ini telah diintegrasikan dalam rencana pembangunan desa. Ada dua hal penting dalam akses keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan keikutsertaan (involvement). Keduanya mengandung kesamaan tetapi berbeda titik tekannya. Inclusion menyangkut siapa yang terlibat, sedangkan involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat. Dari data yang dikumpulkan oleh peneliti dilapangan menunjukkan, bahwa : a. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan kegiatan pembangunan pos kesehatan desa berjalan dengan baik. Terutama dari kegiatan dalam pertemuan yang diadakan oleh pemerintahan desa terlihat bahwa kehadiran masyarakat desa Nanga Bayan lebih banyak. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat memang
berkeinginan
untuk
terlibat
dalam
kegiatan
perencanaan
pembangunan pos kesehatan desa karena masyarakat sangat membutuhkan pembangunan di desa. Keterlibatan masyarakat melalui kelembagaan informal di dalam tahap perencanaan ini dilakukan dengan menyampaikan usulanusulan
tentang
sosialisasi
program
pembangunan
disosialisasikan kepala desa pada forum antar desa I.
desa
yang
telah
108
b. Dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan pos kesehatan desa, partisipasi masyarakat hanyalah partisipasi dalam bentuk fisik yakni gotong royong yang memang sudah menjadi tradisi di desa. Apalagi dengan kasus pembangunan pos kesehatan desa ini yang dilaksanakan oleh pihak swasta. Oleh karena itu keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan pos kesehatan desa lebih banyak di dorong oleh motif bahwa masyarakat membutuhkan pembangunan karena hal ini menyangkut kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian program ini belum menjadi sebuah proses untuk meningkatkan kemampuan kepemimpinan pemerintah desa dan partisipasi masyarakat dalam mensejahteraan masyarakat. Artinya program pembangunan ini hanya bersifat fisik dan belum ada sumberdaya manusia yang menempatinya karena masih menunggu keputusan pemerintah diatasnya. c. Partisipasi masyarakat dalam tahap pengawasan program pembangunan pos kesehatan desa ini dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah desa untuk menilai kegiatan dan hasil capaian dari kegiatan pembangunan pos kesehatan desa. Proses dan pelaksanaan monitoring ini telah diintegrasikan dalam rencana pembangunan desa sehingga apabila pemerintah desa maupun masyarakat tidak puas dengan hasilnya, maka masyarakat dapat menghentikan pembangunan saat itu juga karena masyarakat merupakan alat kontorl untuk setiap pembangunan. Namun hal ini hanya dilakukan oleh kepala desa sampai kegiatan selesai, dan kemudian dengan kekuasaan yang dimilikinya setelah kegiatan selesai, kepala desa mengeluarkan surat keterangan menyatakan bahwa pekerjaan sudah selesai dilaksanakan.
6.5. Analisis interaksi Kepemimpinan dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Pos Kesehatan Desa Jika dilihat dari interaksi kepemimpinan dengan partisipasi masyarakat di desa Nanga Bayan yang ada, menggambarkan kondisi yang menganut nilai-nilai kekerabatan yang sangat kuat. Nilai-nilai kekerabatan tersebut dapat dilihat dari aktivitas budaya seperti pernikahan dan acara adat di desa Nanga Bayan yang mana partisipasi masyarakat cukup baik dalam membantu proses kegiatan tersebut. Perbedaan suku yang ada di desa Nanga Bayan tidak serta merta menjadi masalah antar masyarakat yang tergambar dari interaksi sosial di lingkungan
109
masyarakat, penguatan nilai-nilai kekerabatan tersebut terbentuk melalui hubungaan antar kelompok sosial di masyarakat yang bertujuan dalam hal pembangunan desa. Kelompok sosial tersebut merupakan lembaga informal yang dapat mempererat kekerabatan dan solidaritas antar masayarakat. Dalam pelaksanaan program pembangunan desa yang dimaksudkan untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup serta kondisi sosial masyarakat desa yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat Indonesia, melibatkan pemerintah dan warga desa. Dalam prakteknya, peran dan prakarsa pemerintah masih dominan dalam perencanaan dan pelaksanaan maupun untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan teknis warga desa dalam pembangunan pos kesehatan desa. Dalam perkembangannya mereka juga berinteraksi dengan warga negara Malaysia yang secara geografis lebih dekat jaraknya dibandingkan dengan pusat pemerintahan kecamatan. Hubungan itu lambat laun berjalan timpang sehingga menimbulkan ketergantungan. Pasalnya, kini sebagian besar masyarakat di desa Nanga Bayan yang mampu lebih memilih mendapatkan pelayanan di negara tetangga itu melalui pos pelintas batas tradisional. Jauhnya jarak dari pusat kesehatan yang memadai untuk mendapatkan rujukan seperti ke puskesmas dan rumah sakit di kawasan Indonesia dan minimnya fasilitas yang ada di desa tersebut menyebabkan tersendatnya pelayanan kesehatan di desa Nanga Bayan. Kalaupun tersedia, harganya sangat mahal sehingga tidak ada pilihan kecuali menyeberang ke Malaysia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Berbagai persoalan dalam pembangunan fisik pos kesehatan desa (poskesdes) persepsi masyarakat tersebut di atas, seperti derajat kesehatan yang rendah, kondisi kehidupan masyarakat khususnya anak-anak yang mengalami kekurangan gizi dan lingkungan pemukiman yang kurang sehat, serta keterisolasian telah menyebabkan orientasi kesehatan yang cenderung ke negara tetangga terjadi di Kawasan Perbatasan Kabupaten Sintang dan Serawak. Secara langsung maupun tidak langsung masyarakat di desa Nanga Bayan tersebut terpengaruh pada kehidupan di Negara Malaysia. Misalnya masyarakat lebih sering menggunakan obat-obatan dari Malaysia, mereka umumnya lebih mengetahui dan mengenal obat-obatan di negara tetangga Malaysia dibandingkan
110
negara sendiri, ataupun cenderung lebih sering menggunakan pelayanan kesehatan di negara tetangga dari pada di negara sendiri. Kesadaran dan partisipasi warga desa menjadi kunci keberhasilan pembangunan pos kesehatan desa. Sedangkan untuk menumbuhkan kesadaran warga desa akan pentingnya usaha-usaha pembangunan sebagai sarana untuk memperbaiki kondisi sosial dan dalam meningkatkan partisipasi warga desa dalam pembangunan banyak tergantung pada kemampuan kepemimpinan desa khususnya kepemimpinan pemerintah desa. Sebab pada tingkat pemerintahan yang paling bawah, Kepala Desa sebagai pimpinan pemerintah desa atau aktor dalam menjalankan kepemimpinan pemerintah desa, menjadi ujung tombak pelaksanaan dan terlaksananya pembangunan desa maupun dalam menumbuhkan kesadaran warga desa untuk berperan serta dalam pembangunan desa. Untuk mencapai kepemimpinan pemerintah desa yang ideal dalam menggerakkan dan meningkatkan partisipasi warga desa dalam melaksanakan pembangunan, paling sedikit ada tiga aspek pokok yang penting diperhatikan. Pertama, intensitas dan kualitas aspek fungsional kepemimpinan, yaitu memberi dorongan, pengarahan, bimbingan, interaksi komunikasi dan pelibatan warga dalam pembuatan keputusan. Kedua, perilaku kepemimpinan yang digunakan dalam menjalankan aktivitas dan peranan kepemimpinan. Ketiga, agar dalam menjalankan aktivitas fungsi dan peranan kepemimpinan yang ideal untuk mempengaruhi atau meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan desa, maka perlu diperhatikan aspek nilai sosial dan budaya, khususnya tuntutan nilai-nilai budaya tradisional tentang pola perilaku interaksi hubungan kemasyarakatan dalam sistem hubungan kekerabatan di mana kepemimpinan itu berlangsung yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perilaku interaksi kepemimpinan desa dan warga desa. Diduga adanya hubungan antara kepemimpinan dengan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan pos kesehatan desa yang dilandasi oleh aspek sosial budaya/nilai budaya, yaitu: Pertama, terdapat hubungan antara kepemimpinan dengan partisipasi warga desa. Interaksi yang dilakukan kepala desa dengan memberi kesempatan yang luas kepada warga desa untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dalam
111
pembangunan pos kesehatan desa. Dengan kata lain, kepemimpinan yang bagus dilandasi juga dengan partisipasi yang baik. Kedua, nilai-nilai budaya tradisional tentang perilaku interaksi dalam hubungan
kekerabatan
mempengaruhi
hubungan
antara
kepemimpinan
pemerintah desa dengan partisipasi warga desa. Di sini, jika posisi kedudukan/otoritas kepemimpinan pemerintah desa dilegitimasi nilai-nilai tradisional dan kepemimpinan menempatkan posisi perilakunya dalam hubungan sistem kekerabatan dalam berinteraksi dengan masyarakat desa, maka kepemimpinan relatif ideal dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan pos kesehatan desa (lihat gambar : 6).
Lembaga Formal
Masyarakat
Poskesdes
Lembaga Informal
Gambar : 6 Pola interaksi kepemimpinan dan partisipasi masyarakat
Uraian di atas dapat menjadi sebuah gambaran bahwa kondisi interaksi antara kepemimpinan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pos kesehatan desa. Lemabaga formal dan informal merupakan kondisi yang saling bekerjasama dalam pembangunan pos kesehatan desa, dimana melalui pendekatan partisipasi masyarakat yang dikembangkan, agar dapat menyusun program pembangunan desa yang sesuai dengan kondisi masyarakat dalam mewujudkan pembangunan kesejahteraan melalui program pembanguan pos kesehatan desa. Dari gambar diatas menunjukkan bahwa hubungan antara kepemimpinan formal dan informal berjalan dengan baik dalam melaksanakan pembangunan desa dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Dalam konteks pembangunan,
112
kepemimpinan formal lebih mendominasi dalam menggerakan masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah desa lebih berfungsi untuk hal-hal yang berkenaan dengan masalah/urusan administrasi sedangkan lembaga adat lebih cenderung difungsikan untuk masalah/urusan yang berkenaan dengan kehidupan sosial di desa seperti penyelesaian perkara, ritual, perkawinan, termasuk aktivitas pertanian. Pelaksanaan fungsi kedua kepemimpinan ini memiliki landasan yang berbeda dimana pemerintah desa lebih dominan berlandaskan pada aturan-aturan formal sedangkan lembaga adat lebih dominan merujuk pada hukum-hukum adat.
6.5.1. Analisis Perencanaan Pembangunan Poskesdes Kepemimpinan pemerintah desa dengan partisipasi masyarakat desa dalam perencanaan pembangunan pos kesehatan desa memiliki keterkaitan yang erat. Partisipasi warga desa dalam perencanaan pembangunan pos kesehatan desa ternyata disebabkan oleh intensifnya kepala desa memberikan dorongan, pengarahan, dan diberikannya kesempatan kepada warga desa untuk ikutserta dalam pembuatan keputusan desa yang berhubungan dengan perencanaan pembangunan pos kesehatan desa. Keberhasilan kepala desa menggerakkan partisipasi warga desa dalam perencanaan pembangunan desa tidak terlepas dari dukungan atau legalitas dan ligitimasi dari pernimpin informal desa khususnya pemimpin informal tradisional. Pemerintah desa memperoleh legitimasi secara formal melalui surat pengangkatan dari Bupati sedangkan lembaga adat memperoleh legitimasi secara informal dari masyarakat. Meskipun pemerintah desa juga memperoleh legitimasi dari masyarakat melalui pemilihan langsung, namun kedua komponen ini tidak saling berebut pengaruh melainkan yang terjadi adalah pembagian fungsi pelayanan terhadap masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah desa lebih berfungsi untuk hal-hal yang berkenaan dengan masalah/urusan administrasi sedangkan lembaga adat lebih cenderung difungsikan untuk masalah/urusan yang berkenaan dengan kehidupan sosial di desa seperti penyelesaian perkara, ritual, perkawinan, termasuk aktivitas pertanian. Dalam perencanaan program pembangunan pos kesehatan desa, pemahaman pemerintah sebagai pelayan masyarakat merupakan fundamen pengembangan
113
partisipasi masyarakat sebagai alat komunikasi. Karena menempatkan pemerintah sebagai pelayan masyarakat maka masukan, pandangan dan pendapat masyarakat haruslah diposisikan sebagai masukan yang bernilai untuk mewujudkan keputusan yang responsif. Dengan konsep kemitraan, partisipasi masyarakat didayagunakan sebagai instrumen penting untuk mendapatkan masukan berupa informasi dari kelompok masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Sebenarnya
proses
pembuatan
kebijakan
perencanaan
program
pembangunan bersifat elitis, artinya pemerintahlah yang menjadi penentu kebijakan pembangunan, sedangkan masyarakat berperan memberikan masukan kepada pemerintah tentang apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Apabila hal ini diterapkan dalam upaya implementasi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, maka yang diperlukan adalah keterbukaan pemerintah untuk menjadikan masukan masyarakat sebagai dasar dalam menyusun perencanaan pembangunan desa. Selama ini permasalahan yang ditemukan adalah bukan karena kualitas dan kuantitas partisipasi masyarakat rendah tetapi justru terletak pada praktek-praktek pemerintah yang mengabaikan usulan masyarakat. Padahal partisipasi masyarakat merupakan syarat mutlak dan sangat penting untuk mencapai keberhasilan program. Masyarakat harus ikut serta didalam proses penyusunan perencanaan program hingga mengevaluasi keberhasilannya sehingga masyarakat tidak hanya dijadikan objek tetapi diikut sertakan sebagai subjek (pelaku). Keterlibatan masyarakat desa dalam proses perencanaan itu selesai di tingkat kecamatan, sehingga implementasi perencanaan tersebut dikritisi mengandung banyak kelemahan. Misalnya, partisipasi masyarakat selaku penerima manfaat sangat lemah, hasil berbagai forum koordinasi di tingkat lebih rendah tidak digubris oleh pemerintah yang lebih tinggi, mekanisme perencanaan hanya bersifat mencatat daftar kebutuhan masyarakat ketimbang sebagai proses perencanaan yang partisipatif, Yang nampak di permukaan adalah perencanaan dari bawah (bottom up), tetapi sebenarnya proses itu sentralistis (top down). Akibatnya program yang turun tidak menjawab permasalahan di desa. Hal ini mengindikasikan perencanaan pembangunan ternyata belum diterapkan, dan hanya bersifat formalitas. Setelah program pembangunan pos kesehatan desa
114
sebagai prioritas, maka hal lain yang menjadi kendala adalah lokasi tempat dibangunnya pos kesehatan desa tersebut.
6.5.2. Analisis Pelaksanaan Pembangunan Poskesdes Dalam pelaksanaan pembangunan pos kesehatan desa, peran kepala desa sangat dominan. Hal ini disebabkan dalam pelaksanaan pembangunan pos kesehatan desa tidak melalui anggaran dana desa dan swadaya masyarakat tetapi proses pelaksanaannya melalui instansi terkait yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten Sintang selaku pengguna anggaran. Dan selaku pengguna anggaran juga bukan sebagai pelaksana dilapangan, tetapi sebagai fasilitator untuk mempersiapkan administrasi yang berkaitan dengan pembangunan pos kesehatan desa. Oleh sebab itu sebagai pelaksana dilapangan adalah pihak kedua/swasta (kontraktor). Untuk membuka peluang bagi komponen masyarakat untuk terlibat dan berperan serta dalam proses pembangunan pos kesehatan desa dengan mengadakan musyawarah desa untuk menentukan lokasi tempat dibangunnya pos kesehatan desa. Pemerintah desa melibatkan semua elemen masyarakat untuk menentukan lokasi, dengan demikian keterlibatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan pos kesehatan desa tetap terlaksana walaupun hanya sebatas penentuan lokasi dan pembersihan lokasinya tetapi nilai kebersamaan itu yang harus dibangun terus menerus karena menyangkut kesejahteraan masyarakat. Hal ini akan berakibat apabila masyarakat merasa tidak sejahtera, maka akan membawa dampak negatif pada masyarakat desa itu sendiri, sehingga dalam waktu lambat atau cepat masyarakat akan keluar dari desa untuk mencari pekerjaan dan mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Apalagi desa Nanga Bayan berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia, yang membawa konsekwensi baik dari aspek ekonomi, sosial maupun politik. Oleh sebab itu setiap kebijakan dan program pembangunan yang direncanakan betul-betul dapat mensejahterakan masyarakat setempat.
6.5.3. Analisis Pengawasan Pembangunan Poskesdes Kelambagaan informal selaku jalur masyarakat untuk berpartisipasi terhadap setiap kegiatan pembangunan di desa baik dalam perencanaa, pelaksanaan
115
maupun pengawasan. Dalam hal ini, pemerintah desa lebih berfungsi untuk halhal yang berkenaan dengan masalah/urusan administrasi sedangkan lembaga adat lebih cenderung difungsikan untuk masalah/urusan yang berkenaan dengan kehidupan sosial di desa seperti penyelesaian perkara, ritual, perkawinan, termasuk aktivitas pertanian. Pelaksanaan fungsi kedua kepemimpinan ini memiliki landasan yang berbeda dimana pemerintah desa lebih dominan berlandaskan pada aturan-aturan formal sedangkan lembaga adat lebih dominan merujuk pada hukum-hukum adat. Berkaitan dengan fungsi tersebut kelembagaan informal selaku jalur masyarakat untuk berpartisipasi tidak mau terlibat terlalu jauh dalam urusan formal mengingat pemerintah desa merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat untuk melaksanakan pembangunan di desa. Namun demikian, bukan berarti kepemimpinan informal lepas tangan terhadap pembangunan di desa, lebih dari itu kepemimpinan informal sangat mendukung karena menyangkut kesejahteraan masyarakat. Karena apabila masyarakat merasa terpenuhi segala kebutuhannya di desa tersebut, maka masyarakat tidak akan meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan guna mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Kondisi ini menyebabkan baik kepemimpinan desa maupun masyarakat desa telah gagal melaksanakan fungsi, tugas, dan kewajiban masing-masing. Karena kepemimpinan pemerintahan desa dalam pelaksanaan pembangunan pos kesehatan desa sudah keluar dari aturan yang seharusnya. Akibatnya, minim ruang bagi masyarakat desa untuk berpartisipasi secara optimal dalam proses pengawasan pembangunan pos kesehatan desa yang justru menyangkut hidup mereka sendiri. Maka sudah dapat ditebak, pelaksanaan pembangunan pos kesehatan desa yang dihasilkan tersebut akhirnya tidak berpihak pada desa atau tidak menjawab permasalahan yang ada di desa. Hal ini menjadikan pemerintahan desa selalu mendominasi, sehingga dengan demikian pelaksanaan pemerintahan desa tidak dapat menghasilkan barang dan jasa (pelayanan)
yang ekonomis,
efektif, dan akuntabel kepada seluruh masyarakat yang membutuhkannya. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik beberapa makna bahwa interaksi antara kepemimpinan pemerintahan desa dengan partisipasi masyarakat belum optimal:
116
a. Kepemimpinan pemerintahan desa dan masyarakat dalam perencanaan pembangunan pos kesehatan desa lebih banyak mengacu kepada programprogram perencanaan yang diterima kepemimpinan pemerintahan desa pada saat sosialisasi forum antar desa I. Oleh sebab itu keikutsertaan masyarakat dalam perencanaan pembangunan pos kesehatan desa lebih dipengaruhi oleh kepemimpinan formal yang lebih dominan dalam menggerakan masyarakat untuk berpartisipasi. Sehingga dalam perencanaan pembangunan pos kesehatan desa partisipasi masyarakat dilakukan melalui peran kelembagaan formal. Oleh karena itu kepemimpinan pemerintahan desa lebih dominan dalam perencanaan pembangunan pos kesehatan desa sehingga ruang yang diberikan kepada masyarakat sangat kecil hanya memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam sosialisasi program pembangunan dan dalam pengambilan keputusan. b. Dalam pelaksanaan pembangunan pos kesehatan desa, komponen masyarakat untuk terlibat dan berperan serta dalam proses pembangunan pos kesehatan desa tidak begitu menonjol sehingga partisipasi masyarakat tidak berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan kepemimpinan pemerintahan desa hanya memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi sangat kecil, karena partisipasi masyarakat dilakukan hanya bersifat momental. Artinya masyarakat hanya berpartisipasi pada saat membersihkan lokasi tempat dibangunnya poskesdes. c. Kelambagaan informal selaku jalur masyarakat untuk berpartisipasi terhadap setiap kegiatan pembangunan di desa baik dalam perencanaa, pelaksanaan maupun pengawasan. Dalam hal ini, pemerintah desa lebih berfungsi untuk hal-hal yang berkenaan dengan masalah/urusan administrasi sedangkan lembaga adat lebih cenderung difungsikan untuk masalah/urusan yang berkenaan dengan kehidupan sosial di desa seperti penyelesaian perkara, ritual, perkawinan, termasuk aktivitas pertanian. Pelaksanaan fungsi kedua kepemimpinan ini memiliki landasan yang berbeda dimana pemerintah desa lebih dominan berlandaskan pada aturan-aturan formal sedangkan lembaga adat lebih dominan merujuk pada hukum-hukum adat. Berkaitan dengan fungsi tersebut kelembagaan informal selaku jalur masyarakat untuk
117
berpartisipasi tidak mau terlibat terlalu jauh dalam urusan formal mengingat pemerintah desa merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat untuk melaksanakan pembangunan di desa. Namun demikian, bukan berarti kepemimpinan informal lepas tangan terhadap pembangunan di desa, lebih dari itu kepemimpinan informal sangat mendukung karena menyangkut kesejahteraan masyarakat. Karena apabila masyarakat merasa terpenuhi segala kebutuhannya di desa tersebut, maka masyarakat tidak akan meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan guna mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Sedangkan untuk partisipasi masyarakat yang bersifat langsung, sangat minim atau dapat dikatakan tidak ada, karena partisipasi masyarakat yang paling
dasar,
yaitu
sebagai
kontrol
terhadap
pelaksanaan
kegiatan
pembangunan pos kesehatan desa tidak berjalan, dengan baik. Kekurangan lain yang masih tampak pada tahapan dan bentuk partisipasi pada masyarakat di lokasi penelitian adalah tidak berlanjut pada tahapan evaluasi dan pemeliharaan. Sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang elit desa dan dibenarkan oleh informan lainnya, bahwa seolah telah mencapai klimaksnya, setelah selesai pelaksanaan pembangunan fisik, selesailah proyek tersebut. Tahapan lebih lanjut masih sangat kurang. Kondisi ini telah membawa baik kepemimpinan desa maupun masyarakat telah melaksanakan fungsi, tugas, dan kewajiban masing-masing. Karena kepemimpinan pemerintahan desa dalam pelaksanaan pembangunan pos kesehatan desa sudah mengacu kepada aturan. Dengan demikian, ruang akses sangat terbuka bagi masyarakat desa untuk berpartisipasi secara optimal dalam proses pengawasan pembangunan pos kesehatan desa karena menyangkut hidup mereka sendiri. Maka sudah dapat ditebak, pelaksanaan pembangunan pos kesehatan desa yang dihasilkan tersebut berpihak pada masyarakat atau sudah menjawab permasalahan yang ada di desa. Walaupun tidak sepenuhnya sudah menjawab kebutuhan masyarakat karena belum adanya sumberdaya manusia yang menempati pos kesehatan desa tersebut. Dari uraian diatas bahwa interaksi kepemimpinan pemerintahan desa dengan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan program pembangunan pos kesehatan desa belum optimal. Hasil penelitian menunjukan bahwa kepemimpinan
118
pemerintahan desa dalam pelaksanaan program pembangunan kesehatan belum mampu menggerakan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan pos kesehatan desa. Mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Partisipasi masyarakat masih belum optimal, terutama dalam bentuk ide dan gagasan dan dalam pengambilan keputusan. Belum optimalnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan poskesdes, sebagian besar disebabkan oleh kegagalan fasilitator dalam mensosialisasi dan dalam memfasilitasi tahapantahapan kegiatan tidak transparan. Pendekatan yang dilakukan kurang memberi ruang bagi publik untuk menentukan agenda program karena masih di dominasi oleh pemerintah sedangkan masyarakat hanya berpartisipasi dalam sosialisasi kegiatan. Bentuk partisipasi masyarakat yang terlihat dalam program ini hanyalah partisipasi dalam bentuk fisik yakni gotong royong yang memang sudah menjadi tradisi masyarakat di desa. Keikutsertaan warga dalam pelaksanaan pembangunan pos kesehatan desa lebih banyak didorong oleh motif bahwa masyarakat membutuhkan pembangunan pos kesehatan desa. Dengan demikian program ini belum menjadi sebuah proses untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pos kesehatan desa karena pemerintah lebih dominan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Oleh sebab itu type kepemimpinan pemerintahan desa masih otoriter dan partisipasi masyarakat masih lemah. Sehingga interaksi antara kepemimpinan pemerintahan desa dengan partisipasi masyarakat dapat disimpulkan ada di ruang tiga (III) yaitu kepemimpinan pemerintah desa sangat dominan dalam melaksanakan pembangunan, maka type kepemimpinannya adalah otoriter.
6.6. Manfaat Program Pembangunan Pos Kesehatan Desa Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat kurang mampu, pemerintahah desa telah mengambil kebijakan dengan program pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes). Program itu dapat meningkatkan akses penduduk miskin untuk menikmati fasilitas kesehatan yang ada di desa. Dari kebijakan tersebut nampak sudah menjawab kebutuhan masyarakat dalam jangka panjang, karena yang diinginkan masyarakat sebagai prioritas utama adalah program pembangunan pos kesehatan desa.
119
Namun dalam jangka pendek, permasalahan yang masih dihadapi dalam pembangunan pos kesehatan desa saat ini adalah belum optimalnya layanan kesehatan karena petugas paramedis seperti tenaga gizi, tenaga analis (laboratorium), paramedis (mantri), tenaga kesehatan lingkungan (higiene sanitasi) belum menempati bangunan pos kesehatan Nanga Bayan tersebut. Oleh sebab itu masyarakat belum dapat menerima manfaat pelayanan kesehatan pada saat ini, selain pelayanan yang diberikan bidan desa di lokasi penelitin. Dengan demikian sampai akhir tahun 2009 ini masyarakat masih melakukan pelayanan kesehatan seperti biasa yaitu di polindes. Hal itu antara lain, untuk masyarakat yang mampu, mereka tetap memilih pelayanan kesehatan di negara Malaysia, karena sampai saat ini belum ada surat pelarangan resmi dari Malaysia, mengingat masyarakat yang mendapat pelayanan disana (Malaysia) tidak memiliki pasport tetapi hanya mengantongi surat keterangan berobat dari kepala desa dengan waktu yang tidak ditentukan (sampai sembuh). Kesejahteraan itu sendiri sifatnya relatif, artinya bahwa peningkatan kesejahteraan dalam kurun waktu tertentu akan berbeda kualitas dan coraknya di banding dengan peningkatan yang akan terjadi dikurun waktu yang lain. Dengan demikian yang terpenting dalam pembangunan adalah keberhasilan yang dapat memberikan perbedaan keadaan yang dinilai lebih baik, sempurna, lebih sehat, lebih manusiawi dan bermanfaat. Persepsi jauh dalam kemanfaatan pembangunan berarti bahwa orang tersebut tidak melihat kemanfaatan yang segera atau yang dalam jangka pendek dapat diperoleh. Dalam hal semacam ini biasanya orang-orang menjadi tidak atau kurang responsive untuk ikut serta dalam pembangunan. Contohnya setelah pos kesehatan desa sudah melayani masyarakat dengan rutin dan tenaga-tenaga paramedis sudah siap ditempat, maka program-program kesehatan mulai dilaksanakan seperti misalnya program penyuluhan gizi yang mengajak masyarakat untuk memakan sayur-sayuran berdaun hijau guna memberantas atau mencegah kekurangan vitamin A. Kemanfaatan proyek pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes) barangkali lebih “dekat” terlihat dan terasa. Karena itu tidaklah mengherankan bila banyak warga desa yang menyambutnya dan ingin agar dapat cepat merasakannya dan memanfaatkannya.
120
Memang wajar bila orang yang menikmati hasil pembangunan seyogyanya juga ikut menyumbang bagi pembangunan. Namun demikian dalam programprogram
pembangunan
tertentu
tidak
perlu
yang
memanfaatkan
hasil
pembangunan harus ikut menyumbang secara langsung bagi pembangunan, karena dengan ikut memanfaatkan berarti mereka sudah ikut mensukseskan pembangunan. Masyarakat yang memanfaatkan pelayanan kesehatan pada Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) dapat dikatakan sudah berpartisipasi, sebab bila masyarakat tidak mau memanfaatkan maka pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) itu dapat dikatakan tidak berhasil karena yang menikmati hasil dari pembangunan itu adalah masyarakat itu sendiri. Manfaat dari pelaksanaan program ini diharapkan akan diperoleh oleh Pemerintahan Desa dan Masyrakat. Manfaat yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu hasil yang dapat dirasakan setelah program ini selesai dilaksanakan, hal tersebut dapat simpulkan sebagai berikut : Pertama, manfaat bagi desa antara lain adalah: a) adanya peningkatan pembangunan dalam aspek pengelolaan Pemerintahan Desa maupun dalam hubungannya dengan masyarakat desa, dengan adanya pembagunan pos kesehatan desa (poskesdes), berarti pemerintahan desa sudah memberikan pelayanan kepada masyarakat terkait dengan tugas-tugas umum pemerintahan dengan menyediakan fasilitas-fasilitas sosial kepada masyarakat seperti penyediaan fasilitas kesehatan dengan pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes). Dengan demikian kesehatan masyarakat akan lebih terjaga dan tidak merasa cemas apabila ada keluhan sakit. b) Program-program kesehatan akan dapat terlaksana dengan baik oleh pemerintah desa dengan terus menggalang kerjasama dengan pihak terkait mulai dari desa, kecamatan dan kabupaten. Sehingga program-program akan terlaksana dengan baik dan diterima dengan baik juga oleh masyarakat. c) memberikan stimulasi bagi Pemerintahan Desa untuk meningkatkan aktivitasaktivitas di dalam melaksanakan program-program pembangunan desa. Dalam bidang kesehatan, aktivitas-aktivitas pemerintahan desa dalam melaksanakan program-program pembangunan di bidang kesehatan tidak akan berjalan dengan baik dan lancar apabila tidak didukung oleh partisipasi masyarakat. Berbagai pihak perlu terlibat secara terpadu seperti posyandu dan polindes. Oleh sebab itu
121
perlu menumbuhkan rasa memiliki dari masyarakat dengan melibatkan masyarakat secara aktif pada berbagai tahapan pelaksanaan program kesehatan. Kedua, manfaat bagi masyarakat antara lain adalah: a) Akses bagi masyarakat miskin dan kaum perempuan lebih terjangkau, mengingat petugas kesehatan yang ada di pos kesehatan desa (poskesdes) sudah semakin komplit karena selain tenaga bidan, ada tenaga perawat, tenaga analis dan tenaga higiene sanitasi (HS) atau kesehatan lingkungan. sehingga kesehatan masyarakat akan lebih terjaga dan tidak merasa cemas apabila ada keluhan sakit. b) masyarakat akan semakin mengerti dengan kesehatan terutama dengan pola hidup bersih dan sehat, seperti untuk menghindari serangan aneka penyakit, dengan menerapkan pola hidup bersih dalam kehidupan sehari-hari. Kunci utamanya adalah kebersihan, terutama sanitasi lingkungan. Hal ini bisa dimulai dengan contoh menghilangkan kebiasaan menyiram tanaman dan jalanan dengan air comberan karena hal ini justru membuat kuman gampang menyebar, sediakan selalu dalam kotak obat di rumah obat penurun panas, antiseptik, oralit, minyak kayu putih dan obat-obatan lainnya yang biasa dikonsumsi sebagai pertolongan pertama.
122
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap fokus masalah yang ada dalam penelitian ini, maka selanjutnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat dualistik kepemimpinan yang masing-masing memiliki legitimasi dan pengaruh yang kuat terhadap masyarakat dengan karakteristik yang berbeda yaitu kepemimpinan formal (kepala desa) dan kepemimpinan informal (temenggung). 2. Kepemimpinan yang ada di desa Nanga Bayan cenderung otoriter. Hal ini tercermin lewat pembangunan pos kesehatan desa lebih didominasi oleh pemerintahan desa dan mekanisme pelaksanaan pembangunannya secara umum masih bersifat top down, mulai dari aspek perencanaan hingga pengawasan. Oleh sebab itu partisipasi warga masih terbatas pada mobilisasi dalam kegiatan pembangunan desa. Artinya warga berpartisipasi hanya pada saat ada kegiatan pembangunan saja. 3. Tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan lebih dominan bersumber dari peran-peran kepemimpinan formal dibandingkan peran-peran kepemimpinan informal serta partisipasi masyarakat dalam pembangunan lebih terpusat pada aspek perencanaan. 4. Interaksi antara kepemimpinan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pos kesehatan desa dilandasi oleh aspek sosial budaya.
7.2. S A R A N 1.
Secara teoritis, pembangunan dalam aspek apapun sangat diperlukan oleh masyarakat di kawasan perbatasan baik berupa pembangunan fisik maupun non fisik dan keduanya memerlukan adanya keseimbangan. Oleh sebab itu, disarankan agar di dalam menentukan kebijakan program pembangunan, pemerintah harus melihat apa yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga masyarakat dapat merasakan pembangunan itu benar-benar memberi manfaat dalam kehidupan masyarakat setempat.
123
2.
Secara praktis, kepemimpinan informal merupakan salah satu komponen yang mendorong proses dinamika kehidupan sosial melalui peran-perannya. Dalam hal ini, dipandang perlu untuk memberikan ruang bagi keterlibatan kepemimpin informal di Desa Nanga Bayan dalam ikut menumbuhkan partisipasi masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, disarankan agar pemerintah desa membangunan kerjasama dengan kepemimpinan informal di Desa Nanga Bayan agar pembangunan dapat dilaksanakan sesuai dengan arahan dan tujuan yang ingin dicapai.
3.
Dalam perencanaan program pembangunan desa diharapkan pemahaman pemerintah
sebagai
pelayan
masyarakat
merupakan
fundamen
pengembangan partisipasi masyarakat sebagai alat komunikasi. Karena menempatkan pemerintah sebagai pelayan masyarakat maka masukan, pandangan dan pendapat masyarakat haruslah diposisikan sebagai masukan dalam pengembangan wilayah dan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan Indonesia dengan Malaysia khususnya di Desa Nanga Bayan.
124
DAFTAR PUSTAKA Buku: Antlov, H. 2002. Negara dalam Desa. Lappera Pustaka Utama. Yogyakarta. Bass, B.M. and Avolio, B.J. 1994, Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership, Sage, Thousand Oaks. Bass, B.M. 1990. Bass and Stogdill’s Hand Book of Leadership. New York: FreePress. Berkes, F. 2001. Managing Small-scale Fisheries: Alternative Directions and Methods. Ottawa: International Development Research Centre. Bilton, Tony, Kevin Bonnet, Philip Jones, Michelle Stanworth, Ken Sheard, dan Andrew Webster. 1981. Introductory Sociology. Hong Kong: The Macmillan Press. Creshwell, John W. 2002. Reseach Design. Qualitative and Quantitative Approaches. Chrishnanda DI dan Bambang Hastobroto (editor). KIK. Press. Jakarta. Conyers, Diana, 1994. Perencanaan Sosial di University Press. Yogyakarta.
Dunia Ketiga. Gadjah Mada
Cohen, John M dan Uphoff, Norman T, 1977. Rural Development Participation: Conceptsand Measures for Project Design, Implementation and Evaluation. Cornell University, Ithaca. New York. Davey, K.J. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-praktek Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga. UI-Press. Jakarta. Dove, Michael. 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Yayasan Obor Jakarta. Jarkarta. Esman, Milton. J. 1972, dalam Eaton, Joseph. W., Institution Building and Development From Concep to Aplication. Sage Publication. London . Fiedler, F.E., 1967, A Theory of Leadership Effectiveness. McGraw-Hill. New York. Goulet, Denis. 1977. The Cruel Choice: A New Concept in the Theory of Development. New York: Atheneum. Handoko T. Hani. 1992. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi ke–2. Yogyakarta: BPFE Halpin, A.W. 1966. Theory and Research in Administration. Macmillan. New York. Hasibuan, Malayu SP. 1990. Manajemen Sumber Daya Manusia. PT. Gunung Agung, Jakarta.
125
Hayami, Y. and W. Ruttan. 1984. Agricultural Development, an International Perspevtive. The John Hopkins university Press. Baltimore and London. Hencley, S.P. 1973. Situational behavioral approach to the study of educational leadership', in L.C. Cunningham and W.J. Gephart (eds.). Leadership: The Science and Art Today, Peacock Publishers. Itaska. Hill, Tosi., Caroll, SJ. 1997. Organisational Theory and management. A Macro Approach. John willey and Sons Inc. New York. Hoy, W.K. and Miskel, C.G. 1987. Educational Administration. Theory, Research and Practice. Third Edition, Random House. New York. Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1984. Sociology. Sixth Edition. McGrawwHill Book Company. Sidney. Tokyo. Kartasasmita, Ginandjar. 1997. Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Cidesindo. Jakarta. Kartodirdjo, Sartono (Penyunting) 1984. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Jakarta. LP3ES Kartono, Kartini. 2001. Pemimpin dan Kepemimpinan (Apakah pemimpin abnormal itu) (edisi baru). PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Koentjaraningrat. 1964. Pengantar Antropologi. Cetakan kedua. Universitas Indonesia. Jakarta. Korten, David, dan Sjahrir. 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Maskun, Sumitro. 1993. Pembangunan Masyarakat Desa. Media Widya Mandala. Yogyakarta. Miles, Mattew B dan A. M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Universitas Indonesia. Jakarta. Moleong, L. J. 2001. Metologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosydakarya. Bandung. Nawawi. 2003. Kepemimpinan mengefektifkan organisasi, Penerbit Gajah Mada University Yogyakarta. Yogyakarta. Ndraha, Taliziduhu. 1990. Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Rineka Cipta. Jakarta Noeng Muhadjir. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Rake Sarasin. Yogyakarta. Nordholt, Nico Schulte. 1987. Ojo Dumeh. Kepemimpinan Lokal Dalam Pembangunan Pedesaan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
126
Rasyid, R. Dan Djohermansyah Djohan. 2004. Pengembangan Aparatur Pemerintah Daerah dalam menyongsong Era Otonomi Daerah. Rogers, Everett M & Soemaker, F.Floy, 1981, Usaha Nasional. Surabaya.
Memasyarakatkan Ide Baru.
Sa’id, G dan Intan, A.H. 2001. Manajemen Agribisnis. Ghalia Indonesia. Sarwono,Solita. 2004. Sosiologi Kesehatan Beberapa Aplikasinya. Gadjah Mada Press. Yogyakarta
Konsep
Beserta
Sirigne, M. Ndiaye. 1999. Promoting Rural Community Development in Africa: States Versus Grassroots Organizations. Centres for Disease Control and Prevention. Atlanta. Slamet, M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. IPB Press. Bogor Siagian, Sondang. 1989. Teori Dan Praktek Kepemimpinan. Cetakan Ke–3, Rineka Cipta, Jakarta. Sitorus, MT, Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Diterbitkan oleh Kelompok Dokumentasi Ilmu-Ilmu Sosial IPB Bogor. Suwarsono & Alvin Y So. 1994. Perubahan Sosial dan Pembangunan. LP3ES. Jakarta. Suyanto, Bagong. 1996. Perangkap Kemiskinan: Problem dan Strategi Pengentasannya Dalam Pembangunan Desa. Aditya Media. Yogyakarta. Soekanto, Soerjono. 1973. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Raja Grapindo Persada. Jakarta. Stogdill, R.M. 1974. Handbook of Leadership: A Survey of Theory and Research. The Free Press. New York. Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. PT. Bina Rena Pariwara. Jakarta. Thoha, Miftah. 2001. Kepemimpinan dalam Manajemen (Suatu pendekatan perilaku). PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Tohardi Ahmad. 2002. Pemahaman Praktis Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi I. CV. Mandar Maju. Bandung. Ul Haq, Mahbub. 1985. University Press.
Human Development Report. New York. Oxford
Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press. Weber, M. 1947. The Theory of Social and Economic Organization (A.N. Henderson and T Parsons, eds. and trans). The Free Press. Glencoe.
127
Weihrich Heinz and Koontz Harold, 1994. Management A Global Perspective. Tenth Edition. New York. McGraw Hill Inc. Wijaya, HAW. 2002. Pemerintahan Desa/ Marga: Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah (Suatu Telaah Administrasi Negara). PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Yadov, R.P. 1980. People’s Participation, Focus on Rural Poor Level Planning and Rural Development. Concept Publishing. Co. New Delhi. Yin, Robert K. 1996. Studi Kasus (Desain dan Metode) PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Yukl, Gary. 1998. Kepemimpinan dalam organisasi, Edisi ke-3. PT. Prenhallindo. Jakarta.
Jurnal dan Working Paper: Bass, B.M. 1997. Does Transactional – Transformational Leadership Paradigm Transcend Organizational and National Boundaries. Journal American Psychologist. Darling, Roger. 1977. A Return to Valid Development Priciples, International Development Review. Hater, J.J. and Bass, B. 1988. 'Supervisors' evaluations and and subordinates perceptions of transformational and transactional leadership. Journal of Applied Psychology. Howell, J.M., and Hall-Merenda, K.E. 1999. The Ties That Bind: The Impact of Leader-Member Exchange, Transformational and Transactional Leadership, and Distance on Predicting Follower Performance. Journal of Applied Psychology. House, R.J. 1971. A path goal theory effectiveness. Administration Science Quarterly. Nasdian, Fredian Tonny. 2004. Pengembangan Masyarakat (Community Development). Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Rygh & Hjortdahl. 2007. Continues and Integrated Health Services in Rural Areas. A literature study. Rural and Remote Health Journal. Seltzer, J., and Bass, B.M. 1990. Transformational Leadership: Beyond Initiation and Consideration. Journal of Management. Setiawan, D. 2008. Pelembagaan Partisipasi Masyarakat Desa melalui Pembangunan BKM. Artikel Field Coordinator DMC Pangandaran. Tichy, N.M. and Devanna, M.A. 1986. The Transformational Leader. John Wiley. New York.
128
Stieve, Benedict. 1977. Social Soundness Analysis of Ethopia’s Minimum People Program II. Paper Prapares for USAID. Washington DC. Sarros, J.C. and Butchatsky, O. 1996. Leadership, Australia's Top CEOs: Finding Out What Makes Them the Best. Harper Business. Sydney. Yammarino, F.J. and Bass, B.M. 1990. Longterm forecasting of transformational leadership and its effects among naval officers: some preliminary findings. in K.E. Clark and M.B. Clark (eds). Measures of Leadeship. Leadership Library of America. West Orange.
Skripsi, Tesis, dan Desertasi: Hartati. 1999. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Pemukiman Kumuh: Studi Kasus Kelurahan Karang Anyar. Tesis, PPS UGM. Yogyakarta. Intania, Ogi I. 2003. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian IPB. Simbolon, E.J.A. 1994. Peranan Kepala Desa dan Pemimpin lainnya untuk mengembangkan Partisipasi Masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Romadon, M.HE. 2004. Kepemimpinan dan lapisan Tengger di Daerah Bromo (Studi tentang kompetisi kepemimpinan Tradisional dan Pemerintahan Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo). Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya. Lainnya: Petunjuk Teknis Pengembangan dan Penyelenggaraan Pos Kesehatan Desa, Ditjen Bina Kesmas. tahun 2006. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tetang Pemerintahan Daerah. Sinar Grafika. Jakarta. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Restindo Mediatama. Jakarta.
129
Lampiran : 1 PEDOMAN WAWANCARA
c. Gambaran Umum Desa 1. Bagaimanakah sejarah desa Nanga Bayan ? 2. Bagaimanakah Gambaran sosial kemasyarakatan Kawasan Perbatasan dilihat dari aspek pendidikan, kesehatan dan keluarga berencana, keamanan serta kehidupan beragama di desa Nanga Bayan? 3. Bagaimanakah Gambaran geografi desa Nanga Bayan seperti Luas, dan batas desa yang berbatasan langsung dengan negara bagian Serawak (Malaysia Timur)? 4. Bagaimanakah Gambaran demografi desa Nanga Bayan dilihat dari Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga? 5. Bagaimanakah efektifitas ekonomi Perusahaan/Usaha Industri Kecil dan Menengah Di Kawasan Perbatasan seperti perindustrian, perdagangan, dan perkoperasian di desa Nanga Bayan? 6. Bagaimanakah gambaran sumber daya alam di Kawasan Perbatasan seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan, pariwisata, pertambangan, dan kehutanan di desa Nanga Bayan? d. Kelembagaan Pemerintahan Desa 1. Apakah peraturan desa dapat diterima oleh masyarakat secara luas? 2. Bagaimanakah peraturan desa itu di sosialisasikan kepada masyarakat? 3. Bagaimana jika ada masyarakat yang tidak menerima peraturan desa tersebut? 4. Mengapa program pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) menjadi prioritas utama dalam menyusun RPJMD? 5. Sejauhmana pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) menjamin kesejahteraan masyarakat? 6. Kelembagaan apa saja yang ada di desa ini yang terlibat dalam menentukan program pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)?
130
7. Bagaimanakah keterlibatan kelembagaan tersebut dalam menentukan program pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)? 8. Mengapa dalam Musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) tingkat desa selalu mengacu pada rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMD)? 9. Apakah Kelembagaan Pemerintahan Desa membentuk panitia untuk melaksanakan pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)? 10. Bagaimanakah panitia pelaksanaan pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) bekerja? 11. Siapakah yang mengangkat panitia pelaksanaan pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)? 12. Faktor-Faktor
apa
saja
yang
menghambat
proses
Kelembagaan
Pemerintahan Desa dalam menentukan pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)? 13. Upaya-upaya
apa
yang dilakukan
untuk
mengatasi
faktor-faktor
penghambat tersebut? e. Kepemimpinan 1. Mengapa pengambilan keputusan menerapkan prinsip transparansi dalam bentuk kejelasan informasi dan argumentasi yang digunakan? 2. Bagaimana asas akuntabilitas, dalam bentuk bisa dipertanggungjawabkan, diterapkan dalam setiap pengambilan keputusan? 3. Apakah keputusan yang diambil mengikuti asas rasionalitas yang jelas? 4. Mengapa keputusan yang diambil mengikuti asas rasionalitas yang jelas? 5. Apakah pengambilan keputusan merepresentasi kepentingan bersama dan dilakukan secara demokratis? 6. Mengapa setiap pengambilan keputusan merepresentasi kepentingan bersama dan dilakukan secara demokratis? 7. Apakah setiap keputusan yang diambil dapat dilakukan koreksi (diaudit secara
terbuka)
masyarakat?
disesuaikan
dengan
perkembangan
lingkungan
131
8. Mengapa setiap keputusan yang diambil dapat dilakukan koreksi (diaudit secara
terbuka)
disesuaikan
dengan
perkembangan
lingkungan
masyarakat? 9. Bagaimana jika keputusan yang diambil tidak dapat dilakukan koreksi (diaudit secara terbuka)? 10. Faktor-Faktor apa saja yang menghambat proses pengambilan keputusan Kepemimpinan Desa? 11. Upaya-upaya
apa
yang dilakukan
untuk
mengatasi
faktor-faktor
penghambat tersebut?
f. Partisipasi 1. Sejauhmana partisipasi masyarakat terlibat dalam menentukan program pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)? 2. Bagaimanakah partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)? 3. Bagaimanakah partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan perekonomian desa? 4. Mengapa masyarakat di ikutsertakan dalam perencanaan pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)? 5. Mengapa masyarakat di ikutsertakan dalam pelaksanaan pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)? 6. Mengapa
masyarakat
di
ikutsertakan
dalam
mengevaluasi
hasil
pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)? 7. Mengapa masyarakat di ikutsertakan dalam Musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) tingkat desa? 8. Faktor-Faktor apa saja yang menghambat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)? 9. Upaya-upaya
apa
yang dilakukan
penghambat tersebut?
untuk
mengatasi
faktor-faktor
132
Lampiran 2. Form Catatan Harian
No Kode Nama Informan Usia/Pendidikan Status dalam Desa Tanggal/Hari Tempat Wawancara Topik yang di bahas 1, ............................ 2, ............................
: : ....................................................... : ....................................................... : ....................................................... : ....................................................... : ....................................................... : .......................................................
Uraian tineliti terkait dengan topik yang dibahas .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... Interpretasi tineliti .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... Kesan terhadap tineliti .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... Deskrifsi fisik bangunan dan lingkungannya .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... Informasi yang perlu didalami lagi .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... ....................................................................................................................................