KEPASTIAN HUKUM (RECHTSZEKERHEID) ‘ITSBAT NIKAH’* Oleh: Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH**
A. Pendahuluan Meskipun ulama Indonesia pada umumnya menyatakan setuju atas ketentuan pencatatan perkawinan sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun pada kenyataannya masyarakat muslim Indonesia masih ada yang menanggapi pencatatan perkawinan dengan mempertanyakan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu menjadi tidak sah dari segi agama. Efek domino dari penolakan secara diam-diam ini, melahirkan budaya hukum (meminjam istilah Lawrence Friedman: legal culture) orang Islam Indonesia melakukan kawin di bawah tangan tanpa memperdulikan akibatnya di kemudian hari. Dalam konteks ini, Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein,1 membagi ketentuan yang mengatur tentang pernikahan dalam 2 (dua) kategori, yaitu: 1) peraturan syara’, dan 2) peraturan tawsiq, yaitu peraturan tambahan yang bermaksud agar pernikahan di kalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat dengan memakai surat Akta Nikah secara resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang. Pengembangan dari teori tersebut, kategori pertama disebut juga dengan nau’ syar’iyah yaitu yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, sedangkan kategori kedua disebut juga dengan nau’ tautsiqiyah yaitu yang berkaitan dengan ketentuan pencatatan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Di lain segi, kepastian hukum sebagai salah satu dari tiga asas penegakan hukum yaitu 1) asas kepastian hukum (rechtszekerheid), 2) asas keadilan (gerechtstigheid), 3) asas manfaat (doelmatigheid), merupakan dimensi normative.
*Disampaikan dalam forum diskusi penelitian kepastian hukum itsbat nikah yang dilaksanakan oleh Balitbang Diklat Kumdil MA RI, di hotel Le Dian Serang, tanggal 15 Mei 2012. **Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Banten 1 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2005, cet. II, hlm. 29.
1
Dalam dimensi normative, kepastian hukum menjelma sebagai suatu peraturan yang diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Kepastian hukum dari perkawinan yang diitsbatkan inilah yang menjadi bahasan utama dalam makalah ini. B. Perkawinan di bawah tangan Perkawinan di bawah tangan atau nikah di bawah tangan selalu diidentikkan dengan pernikahan yang
memenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan
dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi dari instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setidaknya ada tiga alasan orang lebih memilih untuk nikah di bawah tangan: 1) untuk menghindari pembayaran biaya administrasi dan berbagai pungutan baik resmi maupun tidak resmi dari pencatatan perkawinan; 2) mencari barokah dari kiyai bagi pelaku perkawinan baik wali nikah maupun mempelai lakilaki dari kaum ‘santeri’; 3) pernikahan dalam rangka poligami liar untuk menghilangkan jejak sehingga bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari instansinya bagi pegawai negeri sipil, dan agar tidak diketahui oleh isteri yang sudah ada terlebih dahulu dan menghindari ijin poligami yang harus diurus di pengadilan.2 Dalam makalah ini, pernikahan di bawah tangan diangkat lantaran menjadi cikal bakal melonjaknya permohonan itsbat ke pengadilan3 menyertai keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengesahkan pernikahan di bawah tangan.4 Meski pembahasan mengenai masalah ini cukup alot, karena ada peserta ijtima’ yang semangat sekali mengharamkan dan ada pula yang bergairah untuk menghalalkannya tanpa catatan harus mendaftarkan ke Kantor Urusan Agama,5 tetapi peserta ijtima’ akhirnya menyepakati bahwa pernikahan di bawah tangan 2
Menurut catatan Inspektrat Kota Tangerang, setidaknya 30 pegawai Pemkot di antaranya eselon III dan IV yang beristeri lebih dari satu tanpa prosedur resmi, bahkan terdapat PNS perempuan yang masih bersuami menjadi isteri pejabat. www.radarbanten.com, 4 Mei 2012. 3 Di wilayah Pengadilan Tingg Agama Banten, itsbat nikah tahun 2011 berjumlah 2143 perkara. 4 Pengesahan ini dihasilkan dari Forum Ijtima’ yang dihadiri lebih dari 1000 ulama dari berbagai unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar di kompleks Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. www.mui.org 5 KH Ma'ruf Amin, Ketua Panitia Pengarah Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia II, www.hukumonline.com
2
hukumnya sah, karena telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Namun dalam forum yang dihadiri sekitar seribu ulama ini keluar suatu pendapat bahwa nikah di bawah tangan bisa menjadi haram apabila di kemudian hari terjadi kemudharatan, seperti istri dan anak-anaknya telantar. Peserta ijtima ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negative mudharat (saddan li al-dzari ‘ah). Komisi Fatwa MUI sendiri memakai istilah nikah di bawah tangan, selain untuk membedakan dengan nikah sirri yang sudah dikenal di masyarakat, juga istilah ini lebih sesuai dengan ketentuan agama Islam. Nikah sirri yang sebenarnya adalah akad antara antara seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa wali dan tanpa hadirnya saksi. Dalam fiqh konvensional, sejatinya tidak dikenal istilah ‘nikah sirri’, sedangkan padanan yang cocok bagi istilah ‘nikah di bawah tangan’ adalah nikah ‘urfi. Meskipun dikenal secara sosiologis, ternyata istilah ‘perkawinan di bawah tangan’ itu sendiri tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia, sehingga tak heran jika perkawinan semacam itu tidak diatur secara khusus dalam sebuah peraturan. C. Akibat Hukum Tidak Dicatatnya Perkawinan Akibat hukum yang timbul dari perkawinan di bawah tangan dan tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah antara lain: Pertama,
meskipun
perkawinan tersebut dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. Kedua, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 43 UndangUndang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada6. Ketiga, baik anak maupun ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan. Akibatnya, baik 6
Perkembangan terkini setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 Tanggal 27 Februari 2012, anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahna.(Pasal 43 ayat (1) UUP baru hasil review Mahkamah Konstitusi).
3
isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Harta yang didapat dalam perkawinan di bawah tangan hanya
dimiliki oleh masing-masing
yang
menghasilkannya, karena tidak adanya harta bersama. Memang terasa kaku dan terang benderang akibat hukum dari tidak dicatatkannya suatu perkawinan, dengan mengutip asas umum hukum: lex dura sed tamen scripta
yang berarti bahwa Undang-Undang itu kejam, tetapi memang
demikianlah bunyinya, Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, menyatakan bahwa apa pun yang terjadi, peraturan harus ditaati dan diterapkan.7 Artinya, pencatatan perkawinan itu merupakan keniscayaan yang tidak memberi peluang sedikit pun terhadap kawin di bawah tangan. Menurut Habiburrahman, Hakim Agung bahwa kawin di bawah tangan tanpa akta nikah bagaikan pemilik kendaraan yang tidak memiliki BPKB atau STNK yang bebas menggunakan kendaraannya sepanjang tidak melanggar rambu lalulintas atau tertimpa kecelakaan. Ketika melanggar rambu lalulintas atau mengalami kecelakaan, muncullah masalah yang merepotkan pemiliknya.8 D. Perkawinan yang dimohonkan itsbat. Ada kesamaan persepsi di kalangan praktisi hukum, khususnya hakim peradilan agama, bahwa yang dimaksud dengan itsbat nikah merupakan produk hukum declarative
sekadar untuk menyatakan sahnya perkawinan yang
dilaksanakan menurut hukum agama namun tidak dicatatkan, dengan implikasi hukum setelah perkawinan tersebut diisbatkan menjadi memiliki kepastian hukum (rechtszekerheid). Dalam beberapa event pembinaan dan bimbingan tehnis hakim peradilan agama, H. M. Tahir Hasan, Ketua Pengadilan Tinggi Agama Banten menekankan bahwa itsbat nikah tidak identik dengan istilah ‘tashih nikah’ yang mengesahkan matter peristiwa akadnya atau subsansi nikahnya. Itsbat nikah hanya suatu pernyataan (declaratoir) terhadap perkawinan yang secara substantive telah sah 7
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Yogyakarta: Citra Aditya bakti, 1993, hlm. 3. 8 Dr. H. Habiburrahman, M. Hum, Anak Luar Nikah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, dalam Varia Peradilan Nomor 317 April 2012, Jakarta: IKAHI, hlm. 29.
4
dan memenuhi ketentuan syari’at Islam. Oleh karena hanya bersifat declaratoir, itsbat nikah tak ubahnya bagaikan surat keterangan penting lainnya semisal surat kematian dan surat kelahiran. Prof. DR. Bagir Manan, SH, LLM, salah seorang narasumber dalam Seminar Sehari Hukum Terapan Peradilan Agama, tanggal 1 Agustus 2009, sebagaimana dikutip oleh Dr. H. Andi Syamsu Alam, SH, MH, Tuada Uldilag,9 menyimpulkan bahwa pencatatan perkawinan adalah suatu yang penting saja untuk dilakukan, oleh karena itu tidak mengurangi keabsahan perkawinan itu sendiri. Sedangkan Prof.DR.Mahfud MD, SH, Ketua Mahkmah Konstitusi, menyatakan bahwa perkawinan sirri tidak melanggar konstitusi, karena dijalankan berdasarkan akidah Agama yang dilindungi Undang-Undang Dasar 1945. DR.H.Harifin A, Tumpa,SH; MH., Ketua Mahkamah Agung saat itu berpandangan bahwa kalau perkawinan yang tidak dicatatkan merupakan gejala umum dan didasarkan atas itikad baik atau ada factor darurat, maka hakim harus mempertimbangkan. Sementara itu, dari ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI)10 dan Pasal 100 KUH Perdata,11 dapat disimpulkan bahwa adanya suatu perkawinan hanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah yang dicatat dalam register. Bahkan ditegaskan, akta perkawinan atau akta nikah merupakan satusatunya alat bukti perkawinan. Namun demikian, menurut Undang-Undang Perkawinan itu sendiri, akta nikah dan pencatatan perkawinan bukan satu-satunya alat bukti keberadaan atau keabsahan perkawinan. Oleh karena itu, walaupun dipandang sebagai alat bukti, akta nikah bukan sebagai alat bukti yang menentukan sahnya perkawinan. Hukum perkawinan agamalah yang menentukan keberadaan dan keabsahan perkawinan. Kalau demikian, fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (bagi pasangan
9
Dr. H. Andi Syamsu Alam (Tuada Uldilag), Beberapa permasalahan Hukum di Lingkungan Uldilag; Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI, 2009, hlm. 6-7. 10 Pasal 7 Ayat (1) KHI menyebutkan bahwa Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. 11 Pasal 100 KUH Perdata menentukan bahwa adanya perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan cara lain, melainkan dengan akta perlangsungan perkawinan itu, yang telah dibukukan dalam register-register catatan sipil, kecuali dalam hal-hal tertentu.
5
suami istri yang beragama Islam) adalah untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) semata. Bagi pasangan suami istri yang telah melangsungkan perkawinan menurut hukum agamanya,12 tanpa dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan, maka pasangan suami isteri tersebut dapat mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Akan tetapi, itsbat nikah dimaksud hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan: a) dalam rangka penyelesaian perceraian; b) hilangnya akta nikah; c) adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d) perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; e) perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974.13 Artinya, bila terdapat salah satu dari kelima alasan di atas, dapat diajukan permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama. Namun demikian, Pengadilan Agama hanya akan mengabulkan permohonan itsbat nikah, sepanjang perkawinan yang telah dilangsungkan itu memenuhi rukun dan syarat perkawinan secara syariat Islam dan tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur di dalam UndangUndang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Ditolaknya permohonan itsbat nikah Aisyah Muchtar alias Machicha Muchtar oleh majelis hakim Pengadilan Agama Tigarakra meneguhkan pernyataan, selain memenuhi ketentuan syari’at agama juga kepastian tidak adanya pelanggaran larangan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan.14 Perkembangan terakhir, permohonan itsbat nikah diajukan ke Pengadilan Agama dengan berbagai alasan di antaranya: 1) Itsbat nikah untuk melengkapi persyaratan akta kelahiran anak; 2) Itsbat nikah untuk melakukan perceraian secara resmi di pengadilan; 3) Itsbat nikah untuk mendapatkan pensiunan janda; 4) Itsbat nikah isteri poligami; E. Problematika sekitar itsbat nikah
12
Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. 13 Pasal 7 ayat (3) KHI. 14 Putusan Nomor 46/Pdt.P/2008/PA. Tgrs tanggal 18 Juni 2008.
6
Permasalahan yang timbul dari itsbat nikah adalah berkaitan dengan ketentuan waktu pelaksanaan perkawinan sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diatur Pasal 7 Ayat 3 (d) KHI, sedangkan kenyataaannya permohonan Itsbat nikah tersebut diajukan terhadap perkawinan yang dilaksanakan sesudah atau di atas tahun 1974. Terhadap hal demikian, hakim perlu meramu ratio legis
dan mencari alas hukum yang
membolehkan pengadilan agama menerima perkara itsbat nikah meski perkawinan yang dimohonkan itsbat tersebut terjadi setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan. Setidaknya terdapat dua alasan pengadilan agama dapat menerima dan memutus perkara itsbat nikah terhadap perkawinan pasca berlakunya UndangUndang Perkawinan. Pertama, berkaitan dengan asas ius curia novit yakni hakim dianggap mengetehui hukum itsbat nikah,
dan asas kebebasan Hakim untuk
menemukan hukumnya terhadap masalah atau kasus yang tidak terdapat peraturan hukumnya (rechtsvacuum).15 Kedua, pendekatan sosiologis yang mendorong hakim menganalisis suatu kasus dengan pendekatan sosiologi hukum dan melakukan penafsiran teleologis (penafsiran sosiologis) terhadap peraturan lain yang ada hubungannya dengan masalah yang dihadapi supaya hukum tidak stagnan, melainkan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat atau sesuai dengan hukum yang hidup dan berkembang (living law) di masyarakat. Langkah-langkah ini kemudian dikenal dengan sebutan penemuan hukum (rechtsvinding). Setidaknya ada tiga karateristik yang sesuai dengan penemuan hukum yang progresif: 1) Metode penemuan hukum bersifat visioner dengan melihat permasalah hukum tersebut untuk kepentingan jangka panjang ke depan dengan 15
Beberapa ketentuan yang menjadi alas hukum argumentasi ini antara lain: 1) Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. 2) Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; 3) Pasal 56 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berbunyi: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya;”
7
melihat case by case; 2) Metode penemuan hukum yang berani dalam melakukan terobosan (rule breaking) dengan melihat dinamika masyarakat, tetapi tetap berpedoman pada hukum, kebenaran, dan keadilan serta memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya; 3) Metode penemuan hukum yang dapat membawa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan juga membawa bangsa dan Negara keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan social seperti saat ini.16 Dalam sosiologi hukum, dikenal istilah the maturity of law atau hukum yang matang yaitu hukum yang benar-benar efektif sebagai busana masyarakat (clothes body of society), yang bersifat praktis, rasional dan actual sehingga dapat menjembatani dinamika nilai kesadaran hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat, tanpa terbelenggu formalistik melaksanakan suatu peraturan. Kalau perlu, dibutuhkan adanya keberanian untuk melakukan contra legem
untuk
menghadapi peraturan atau ketentuan yang kurang logis.17 Dengan demikian, menolak permohonan itsbat nikah sebelum dilakukan pemeriksaan dengan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya, bukan merupakan pilihan utama. Menurut Purnadi Purbatjaraka dan Soerjono Soekanto, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Rifai, hakim mempunyai diskresi bebas, perasaannya tentang apa yang benar dan apa yang salah merupakan pengarahan sesungguhnya untuk mencapai keadilan.18 Selanjutnya dikemukakan, ajaran hukum bebas (freirechtslehre) memberikan kepada hakim kehendak bebas dalam pengambilan keputusan. Hakim dapat menentukan putusannya tanpa harus terikat pada Undang-Undang. Indonesia sebagai Negara yang menganut ajaran hukum bebas, memberikan kebebasan kepada hakim untuk menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat untuk dijadikan dasar dari pengambilan putusannya.19 Karena fungsi dan peran Hakim untuk menggali hukum yang hidup dalam masyarakat lantaran tidak lengkapnya peraturan perundang-undangan
16
untuk
Ahmad Rifai, SH, MH, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perpektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. I, 2010, hlm. 93. 17 Abdul Manaf, Refleksi beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, Bandung: CV.Mandar Maju, Cet.I., 2008, hlm. 215. 18 Ahmad Rifai, SH, MH, Op. Cit, hlm. 78. 19 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
8
memenuhi segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum, maka dengan mengalaskan pada ajaran Cicero ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat di sanalah ada hukum), maka kekosongan hukum pun dipandang tidak pernah ada, dengan reasioning setiap masyarakat mempunyai mekanisme untuk menciptakan kaidah-kaidah hukum apabila hukum resmi tidak memadai atau tidak ada.20 Selain bersifat legal, suatu peraturan juga bersifat sociological, empirical yang tak bisa dipisahkan secara mutlak. Dengan menggunakan pisau interpretasi, hakim tidak semata-mata membaca peraturan melainkan juga membaca kenyataan yang terjadi dalam masyarakat sehingga keduanya dapat disatukan. Dari situlah akan timbul suatu kreatifitas, inovasi serta progresifisme yang melahirkan konstruksi hukum.21 Pola pikir inilah yang mengarahkan Pengadilan Agama untuk dapat menerima perkara permohonan itsbat nikah untuk keperluan Akta Kelahiran Anak meskipun berusia lebih dari satu tahun dengan merujuk pada Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu satu tahun dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan yang menyatakan anak itu anak orangtua yang bersangkutan.
Dengan demikian, itsbat nikah untuk keperluan
membuat akta kelahiran anak merupakan sintesa penyimpangan hukum (distortion of law) yang dibina atas dasar pengisian kekosongan hukum (rechtsvacuum) karena selain tidak ada peraturan yang mengatur secara khusus tentang hal itu, juga perkawinan secara syar’iyah tersebut dilaksanakan sesudah berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974; Lain halnya dengan itsbat nikah untuk melegalkan perkawinan isteri poligami liar, karena kasus ini ditengarai sekali lagi ditengarai sarat dengan unsur penyelundupan hukum. Untuk mencegah dan mengeliminasi penyelundupan hukum tersebut, maka proses pengajuan, pemeriksaan dan penyelesaian
20
Abdurrahman dkk, Bagir Manan Ilmuwan dan Penegak Hukum (Kenangan Sebuah Pengabdian), Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2008, hlm.13. 21 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, Cet.I , 2009, hlm. 127.
9
permohonan itsbat nikah mempedomani petunjuk Buku II khususnya ketentuan pada angka 3 dan 4 yang berkaitan permohonan Itsbat nikah yang diajukan sepihak maka ketentuannya adalah sebagai berikut:
Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh salah seorang suami atau isteri bersifat kontensius dengan mendudukkan isteri atau suami yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak Termohon, produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi.
Apabila dalam proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah tersebut, diketahui bahwa suaminya masih terikat dalam perkawinan sah dengan perempuan lain, maka isteri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika pemohon tidak mau merubah permohonannya dengan memasukkan istri terdahulu sebagai pihak, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. Oleh karena dalam perspektif global itsbat nikah akan membuka peluang
berkembangnya praktek nikah sirri, maka hakim harus mempertimbangan secara sungguh-sungguh apakah dengan mengitsbatkan nikah tersebut akan membawa kebaikan atau justru mendatangkan madharat bagi pihak-pihak dalam keluarga tersebut.22 Dengan menggunakan metode Argumentum a Contra riro (mungkin tidak pas), dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak mempunyai kekuatan hukum itu tidak berarti bahwa perkawinan tersebut tidak sah atau batal demi hukum. Pemikiran ini didasari pada pemahaman bahwa yang menjadi patokan keabsahan suatu perkawinan itu adalah dilaksanakan berdasarkan hukum Agama (Islam) dan kepercayaannya itu. Belum ditemukan satu pasal pun yang menyatakan bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan tidak sah atau batal demi hukum.
22
Prof. Dr. Muchsin, SH, Problematika Perkawinan Tidak Tercatat dalam Pandangan Hukm Islam dan Hukum Positif, Materi Rakernas Perdata Agama Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 21.
10
Dari sinilah hakim mempertimbangkan itsbat nikah apakah akan dikabulkan atau ditolak dengan pertimbangan yang memadai dan tidak terjebak oleh onvooldoende gemotiveerd (putusan yang kurang pertimbangan). Setelah terbit penetapan yang menyatakan sahnya suatu perkawinan, apakah penetapan tersebut dengan sendirinya sebagai bukti dari sahnya suatu perkawinan atau berdasarkan penetapan pengadilan tersebut perkawinan dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Ada dua pandangan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, penetapan itsbat nikah merupakan produk hukum pengadilan yang bersifat final, sehingga berfungsi sebagai alat bukti yang sah bagi suatu perkawinan dan karenanya tidak perlu dilakukan pencatatan pada kantor Urusan Agama. Masalah yang muncul dari model ini adalah tetapnya perkawinan tanpa tercatat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Kedua, penetapan pengadilan terhadap itsbat nikah tersebut menjadi alat bukti yang harus dicatatkan pada Kantor Urusan Agama untuk mendapatkan Akta Nikah. Dalam hal ini penyaji lebih cenderung pada pendapat yang menyatakan bahwa dengan penetapan itsbat nikah, pemohon dapat mengajukan ke KUA setempat untuk mendapatkan Kutipan Akta Nikah, karena yang menjadi masalah pokok adalah tercatatnya perkawinan dalam register khusus akta nikah pada Kantor Urusan Agama. Namun masalah yang timbul adalah peristiwa perkawinan manakah yang menjadi dasar pencatatan, karena ada perbedaan antara peristiwa perkawinan yang diitsbatkan
dengan peristiwa
pencatatan. Itulah sebabnya kemudian Pegawai Pencatat Nikah melakukan tajdid nikah, dengan memperbaharui pernikahannya. Jika dilakukan pembaharuan nikah, bagaimana status anak yang dilahirkan sebelumnya? Terlepas dari kedua model tersebut dengan implikasi masalahnya, pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah inilah, maka masingmasing suami isteri memiliki bukti autentik atas pernikahan sebagai perbuatan hukum yang mereka lakukan, sehingga hidup tenang dalam kehidupan masyarakat, dan dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing. Dengan demikian, itsbat nikah sebagai alas hukum dari pencatatan perkawinan, melahirkan kepastian hukum terhadap status perkawinan, status anak dan harta benda dalam perkawinan. 11
Kepastian hukum model apa yang lahir dari itsbat nikah? Kepastian hukum sesungguhnya merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normative, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normative adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis dalam arti ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. JIka konstatasi ini parameternya, maka kepastian hukum ‘itsbat nikah’ terhadap status perkawinan, status anak dan status harta bersama, masih terus menarik gairah untuk mempertanyakan dan membahasnya. F. Simpul dan saran Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah simpul sebagai berikut:
Perkara itsbat nikah yang akhir ini banyak ditangani oleh pengadilan agama, di satu sisi sebagai cerminan adanya kesadaran hukum dari pelakunya untuk mengoreksi kelalaiannya tidak mencatatkan perkawinannya, di sisi lain terbersit satu harapan kuat akan lahirnya
kepastian hukum atas
perkawinannya.
Perkawinan di bawah tangan sesungguhnya merupakan pengbangkangan secara diam-diam terhadap keharusan pencatatan nikah yang dianggap assesoris dan bukan merupakan keharusan mutlak dari sumber agama, dipastikan akan menimbulkan madharat di kemudian hari terhadap hak anak dan status perkawinan, sehingga pencatatan perkawinan disepakati oleh ijtima’ ulama sebagai sesuatu yang harus dilakukan oleh orang yang melaksanakan perkawinan.
Kepastian hukum dari itsbat nikah masih mengundang diskusi panjang sebagai akibat dari kekosongan hukum dan imperatifnya ketentuan pencatatan nikah, sehingga muncul suatu kekhawatiran selain itsbat nikah sebagai pelegalan penyelundupan hukum, juga itsbat nikahnya itu sendiri bermuatan unsur-unsur penyelundupan dan penyimpangan hukum walau dengan metode yang benar dan lumrah dipergunakan dalam memutus suatu perkara. 12
Dari paparan yang seputar itsbat nikah, perkawinan di luar nikah dan simpul yang diuraikan penyaji, berikut ini penyaji menyampaikan saran-saran berikut:
Perlu adanya payung hukum terhadap kekosongan hukum itsbat nikah, baik berupa Peraturan Ketua Mahkamah Agung atau berujud Undang-Undang Terapan Peradilan Agama mengenai kebolehan itsbat nikah yang terjadi setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan, mengingat semakin banyak peristiwa perkawinan yang tidak tercatat yang pada saatnya selain merugikan hak sipil perempuan yang menjadi isteri dalam perkawinan di bawah tangan dan merugikan hak perdata anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Jika tidak demikian, perlu keberanian para ulama untuk memasukkan pencatatan perkawinan sebagai salah satu rukun perkawinan ala fiqh Indonesia, agar jelas status perkawinan yang tidak tercatat merupakan perkawinan yang tidak sah sehingga masyarakat muslim Indonesia akan lebih berhati-hati dalam menyikapinya.
Perlu upaya sosialisasi terhadap pentingnya pencatatan nikah di satu sisi dan pemahaman terhadap putusan itsbat nikah, apa pun jenisnya, telah melalui proses secara seksama dengan menggunakan metode interpretasi dan metode argumentum serta sistem lain yang lazim dipergunakan dalam pengambilan putusan oleh hakim, agar hakim tidak menjadi sorotan dan bulan-bulanan masyarakat atas produk putusannya.
13
DAFTAR PUSTAKA Abdul Manaf, Refleksi beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, Bandung: CV.Mandar Maju, Cet.I., 2008. Abdurrahman dkk, Bagir Manan Ilmuwan dan Penegak Hukum (Kenangan Sebuah Pengabdian), Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2008. Ahmad Rifai, SH, MH, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perpektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. I, 2010. Andi Syamsu Alam, Dr., SH, MH., (Tuada Uldilag), Beberapa permasalahan Hukum di Lingkungan Uldilag; Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI, 2009. Habiburrahman, Dr., M. Hum, Anak Luar Nikah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, dalam Varia Peradilan Nomor 317 April 2012, Jakarta: IKAHI. Mertokusumo, Sudikno, Prof. Dr. SH, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Yogyakarta: Citra Aditya bakti, 1993. Muchsin, Prof. Dr., SH., Problematika Perkawinan Tidak Tercatat dalam Pandangan Hukm Islam dan Hukum Positif, Materi Rakernas Perdata Agama Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008 M. Zein, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2005, cet. II. Putusan Nomor 46/Pdt.P/2008/PA. Tgrs tanggal 18 Juni 2008. Satjipto Rahardjo, Prof. Dr, SH., Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, Cet.I , 2009. www.hukumonline.com, KH Ma'ruf Amin, Ketua Panitia Pengarah Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia II. www.mui.org, Nikah di bawah tangan sah, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI siIndonesia. www.radarbanten.com, 4 Mei 2012, Puluhan Pejabat Beristeri lebih dari Satu.
14