Kepada Yth Pemimpin Redaksi Harian Serambi Indonesia Di Banda Aceh
Dengan hormat. Terlampir dibawah ini saya sampaikan tulisan saya yang berjudul : RELIGIOSITAS SYEKH KUALA, jika mungkin berkenan dimuat di Harian Serambi Indonesia dalam rangka merespons wacana Perubahan nama Unsyiah. Atas perhatian dan bantuan redaksi saya ucapkan terima kasih.-
Banda Aceh, 27 Juni 2014 Wass,
Prof. Dr. Ir. Yuswar Yunus, MP KTP : 1171041608530001 Email :
[email protected]
RELIGIOSITAS SYIAH KUALA Oleh : Prof. Dr. Ir. Yuswar Yunus, MP Guru Besar Unsyiah
Unsyiah Akan Ganti Nama. Mencuat pada acara pelantikan Ketua Ikatan Alumni (Serambi, 26 Juni 2014). Benarkah Unsyiah akan ganti nama baru ? Yang pasti, I.A.I.N sudah pakai baju baru menjadi U.I.N, lalu Unsyiah pun, mulai membenah diri, untuk penyegaran ?. Sebahagian pendapat tentang adanya wacana pergantian nama Unsyiah, konon tidak mendasar karena hanya persoalan singkatan nama. Sehingga menimbulkan wacana baru untuk menggantikan nama Unsyiah dengan nama yang lain. Sungguh riskan untuk dijadikan sebuah argumen yang tidak substansial, jika ditilik lewat kebesaran sang tokoh besar yang legendaries dan namanya yang monumental tersebut, sebagai sufistik yang terkenal dan memiliki muridnya yang tersebar di seluruh nusantara, bahkan hingga ke Afrika Selatan. Satu sisi mungkin ada benarnya. Boleh jadi, orang-orang luar Aceh, terutama negaranegara yang mengerti sejarah Islam, saat membaca nama Un-Syiah diindentikkan dengan (kaum) Syiah di Iran. Atau anak-anak muda, senang dengan guyonan dan mengatakan : Unsyiah nama cewek yang berjilbab dan ia beradik kakak dengan, Kamariyah dan Sakdiyah. Faktual memang, Indonesia ini amat senang dengan singkatan. Kadangkala membingungkan, kadang-kadang salah menerjemahkan serta salah menafsirkan dan singkatan itu bisa merubah makna dan arti hakiki . Dulu angkutan kota (Angkot) Banda Aceh – Ulee Lheue diberi nama PMO (Persatuan Motor Olele). Jika ditilik dari nama yang benar seharusnya, kependekan tersebut bukan P.M.O tetapi P.M.U (U = Ulee Lheue). Dan, banyak yang lainnya.
Baik terjemahan antara bahasa Aceh ke bahasa Indonesia, kadang jauh dari hakikat yang sebenarnya. Misalnya Krueng Aceh, sering dibaca oleh orang-orang luar dengan sebutan (Krung-Eng) Aceh, atau nama Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh (ada yang membaca Beureu-uh atau Breuh). Begitu halnya dalam pertemuan-pertemuan nasional nama Unsyiah, sering disebut dalam makhrot (Un-Syiah). Surat-surat yang dikirim dari Jakarta, sering ditulis dengan nama Unsyah saja. Ketokohan Syiah Kuala tidak hanya dilihat dari sisi Religiotasnya, tetapi tokoh besar ini, sangat egaliter secara budaya dan sangat progresif dan heroik secara politik. Kenapa tidak, justru karena wibawa dan kharismanya di dalam wilayah hukum beliau disebut sangat adil (jabatannya saja sebagai Kadhi Malikul Adil atau Hakim dari Tuhan yang Maha adil). Di wilayah moral, beliau disebut sangat jujur. Sedangkan di wilayah keilmuan beliau disebut sangat objektif. Diwilayah budaya beliau terkenal karena kerendahan hati. Diwilayah cinta keacehan, beliau disebut sangat Setia. Di wilayah ketuhanan beliau berada dalam kepatuhan atau amanah. Sebagai hakim beliau sangat sportif dengan dalil-dalil yang mendukungnya. Lalu kita bertanya. Dari mana datang sebutan Un-Syiah ? Itu hanya singkatan yang tentu dinilai tidak benar (salah). Bahkan Unsyiah sering disingkat dengan USK. Menurut Guru Besar Universitas Gajah Mada, Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian (Alm) dalam tulisannya di buku “ Aceh kembali ke masa Depan “ (2005), “Syiah” itu berasal dari kata-kata “Syekh”. Yaitu Syekh (pakar) yang bertempat tinggal di Kuala Aceh. Syekh Abdulrauf Al-Singkily dengan gelar Tgk Syekh Kuala. Lalu mengapa pula dari Syekh berubah menjadi Syiah ? Boleh jadi kesalahan awal saat menulis. Tetapi menuruf Prof. Samsul Rizal, sang rektor Unsyiah, Surat Keputusan (SK) lahirnya
Unsyiah, ditulis Unsyah bukan Unsyiah (tulisan Unsyah tersebut berat dugaan, mungkin lidah Jawa, seperti juga ditulis Cut Meutia menjadi Cut Meutiah). Karenanya, banyak kalangan yang tidak setuju merubah atau menghapus atau menghilangkan nama Syiah Kuala menjadi (umpama) Universitas Aceh (UA). Kesalahan nama asli atau penulisan yang salah arti bisa direvisi kembali dari “Syiah Kuala” menjadi “Syekh Kuala”. Kiranya tidak akan canggung jika nantinya setelah direvisi (mungkin harus lewat seminar) menjadi : Universitas Syekh Kuala – Banda Aceh. Singkatannya boleh jadi : UNSYEKH (kedengarannya kurang manis, kurang cantik karena tidak terbiasa, belum akrab dan masih canggung). Karenanya, disarankan tidak perlu ada kependekan seperti sebutan Unsyekh atau Un-Syiah tersebut,
singkatan demi singkatan dapat membuat salah pemaknaanya,
sebagaimana tidak disingkat Un ini atau Un itu, cukup dengan nama Universitas Syekh Kuala atau USK. Prof. Ali Hasymi sangat diyakini, sebagai gubernur Aceh ketika itu, beliaulah yang telah mengukir nama Syekh Kuala untuk kampus jantoeng hate rakyat Aceh tersebut. Tidak mungkin beliau yang juga ahli sejarah memplesetin nama tersebut dari Syekh menjadi Syiah. Dalam sejarah, nama asli Bung Hatta sang proklamator, juga bukan Hatta tetapi Attar. Perubahan tersebut, terjadi saat beliau masih umur sekolah rendah zaman kolonial, akibat salah dalam penulisan akhirnya tulisan tersebut menjadi permanen (Hatta) karena ijazah. Kronologis lahirnya Kopelma Darussalam tidak dapat dipisahkan dengan nama Syekh Kuala yang legendaries tersebut. Pasalnya sejarah kelahirannya sangat panjang dan tidak dapat dipisahkan dengan penyelesaian peristiwa Aceh (1953) meletus DI/TII, lahir Konsepsi Prinsipil dan Bijaksana yang digagas oleh Syamaun Gaharu (kemudian beliau menjadi Pangdam pertama
Kodam iskandarmuda), Lahirnya Ikrar Lamteh, lahirnya Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Lahirnya Musyawarah dan kerukunan Rakyat Aceh, hingga lahirnya Kopelma Darussalam dengan dua Perguruan Tinggi di dalamnya, yaitu Universitas Syiah Kuala dan I.A.I.N Ar-Ranirry, kemudian saat Prof. Farid Wajdi menjadi reKtor, mulai tukar baju dengan Universitas Islam negeri (U.I.N). Nama yang legendaries : Syekh Abd Rauf Al Singkily (Tengku Syekh Kuala), adalah sufi besar dan beliau satu angkatan dengan Rene Descartes (1596-1650) pengusung aliran Rasionalisme. Sedangkan Syehk Kuala (1591-1696) atau Syekh Abd.Rauf Al-Singkili, pengusung aliran Wujudiyah dan penemu Teori Penciptaan. Kepakaran Syekh Kuala dipercaya oleh Sultanah Aceh : Sri Ratu Safiatuddin menjadi
Khadi Malikul Adil di Kerajaan Aceh Darussalam dan posisinya tersebut sangat
menentukan, karena kharisma/wibawanya itulah, sehingga kerajaan Aceh Darussalam, lama dipimpin oleh para ratu, selama 59 tahun (sejak Ratu : Safiatuddin, Naqiatuddin, Zakiatuddin hingga ke Kamalatuddin), bertahannya kepemimpinan para ratu ini, karena pengaruh dan kharisma sufistik ini, beliau wafat dalam usia 105 tahun, setelah itu kerajaan Aceh Darussalam tidak dipimpin lagi oleh kaum wanita, tetapi beralih ke Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamalul’lail (beliau keturunan Arab), namun akhirnya kekuasaan kerajaan tetap dipimpin oleh keluarga sultan kerajaan Aceh Darussalam. Banyak buku karangan Syekh Kuala, dan yang terkenal adalah : Mir’at al-Tullab yang dikarang pada tahun 1672, menjelaskan hukum Islam tentang syariat, Buku tsb disebarkan kepada Khadi Malikul Adil di seluruh Aceh atas perintah Sri Ratu Safiatuddin (1641 – 1675) sebagai Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam ketika itu. .
Murid Syekh Kuala yang terkenal sebagai sufiistik adalah : Syekh Jamaludin Al-Tursani dan Syekh Yusuf Al-Makasari (beliau mendampingi Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, melawan kolonialisme Belanda. Kemudian beliau di tangkap V.O.C dan dibuang ke Afrika Selatan, lalu menyebarkan agama dan wafat disana pada tahun 1799). Nelson Mandella sangat mengagumi Syekh Yusuf Al-Makasari yang namanya diabadikan sebagai nama jalan di Afrika Selatan. Banyak yang tidak mengetahui pahlawan Afrika Selatan tersebut adalah orang Bugis dan murid Syekh Kuala dan sebagai alumnus dari Kuala Aceh. Soeharto, Megawati dan Yusuf Kalla, mantan presiden dan wapres ini, pernah berziarah ke makam Ulama besar ini. Konon Yusuf Kalla menyumbang beberapa dollar untuk memugar makam yang dinilai kharamah/keramat tersebut. Nelson Mandela menceritakan kepada Megawati, bahwa ia sanggup bertahan dalam penjara bertahun-tahun karena banyak membaca terjemahan buku karangan Syekh Yusuf Al-Makasari. Karenanya tidak salah jika Yusuf Kalla pernah berilustrasi, ada empat orang Yusuf yang terkenal dari Sulawesi, yaitu : Jenderal M. Yusuf, Yusuf Kalla, Syekh Yusuf Al-Makasari dan Yusuf Manggabarani (mantan Kapolda Aceh/mantan Waka Polri). Sedangkan murid Syekh Kuala lainnya adalah : Syekh Jamaluddin AlTursani pernah menjadi Kadi Malikul Adil di Kerajaan Aceh Darussalam pada abat ke 18 (Saat Aceh dipimpin oleh Sultan Alaidin Maharaja Ahmad 1727 – 1739) . Pengaruh kharismatik Tengku Syekh Kuala yang begitu besar, sehingga dalam pameo Aceh terkenal Hadih maja yang kini masih segar hidup di masyarakat Aceh, tetap terpatri untuk selalu menyebut nama Syekh Abdulrauf Al-Singkily, yaitu : Adat bak Po Teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Pang, Resam bak Laksamana. Hukoom ngon Adat, Lagee zat
ngon Sipeut. (terjemahannya : Adat berada pada keputusan raja, Hukum berada pada keputusan Tengku Syekh Kuala, Peraturan berada pada keputusan Putri Pahang, Protokuler kerajaan berada pada keputusan Laksamana. Hukum dan Adat, seperti zat dengan sifat). Luar biasa peran ulama besar ini dalam pemerintahan kerajaan Aceh Darussalam, yaitu sebagai Kadhi Malikul Adil (Mufti Kerajaan). Semua keputusan yang berhubungan dengan syariat dipercayakan dan (fatwa) berada ditangan beliau. Beliau adalah pemegang amanah Allah yang dikenang sepanjang masa. Dalam kehidupan rakyat Aceh, sampai sekarang hadih maja tersebut tetap dilantunkan dalam ekspresi keseharian saat inplementasi adat, dimana kita ketahui Aceh sampai sekarang masih tetap berlaku hukum adat. Dalam sejarah - Kerajaan Aceh Darussalam - dapat dilihat : Sultan yang mendapat mandat dari rakyat, namun dalam aplikasi roda pemerintahan yang kental dengan syariat itu, tetap diterjemahkan seperti mendapat mandat dari Tuhan Semesta Alam. Demikian pula para hakim, mereka diterjemahkan bukan hakim dari Sultan tetapi dari Hakim Agung dari Tuhan Semesta Alam. Hingga kita dapatkan jabatan kerajaan seperti : Sultan Malikul Adil (Raja dari Tuhan Yang Maha Adil) dan Kadi Malikul Adil (Hakim dari Tuhan yang Maha Adil). Akhirnya diharapkan, wacana perubahan nama Unsyiah harus dipertimbangkan dengan baik dan matang serta tidak merusak tatanan sejarah keilmuan seorang Filosof/Sufistik sekelas Syekh Abdulrauf Al-Singkily. Kepemimpinan Syekh Kuala tidak hanya bermakna otoritas dan singgasana serta kewenangan, kepemimpinannya lebih bermuatan cinta kasih dan istiqamah keadilan yang melindungi para Sultanah selama 59 tahun, hingga Aceh aman tanpa gejolak. Tidak lain karena wibawa dan kharisma Syekh Kuala. Pada kondisi kemajuan dan
pengembangan ilmu serta teknologi sekarang ini, mari bersama kita lindungi wibawa dan kharisma beliau dengan tidak mengganti nama Ulama Besar ini yang legendaries dan monumental tersebut. Mari kita simak dan hayati kembali Hadih maja “…. Hukom bak Syiah Kuala….” yang memiliki falsafah mendalam dan memperkaya khasanah keilmuan dan adat istiadat Aceh dengan berbagai manuskripnya yang sangat berharga.