Kepada Yth Pemimpin Redaksi Harian Serambi Indonesia Di Banda Aceh
Dengan hormat. Terlampir dibawah ini saya sampaikan tulisan saya yang berjudul : KABINET ADAM, jika mungkin berkenan dimuat di Harian Serambi Indonesia. Atas perhatian dan bantuan redaksi saya ucapkan terima kasih.-
Banda Aceh, 07 November 2012 Wass, Yuswar Yunus KTP : 1171041608530001 HP : 082161676253
KABINET ADAM Oleh : Yuswar Yunus Guru Besar Fakultas Pertanian Unsyiah Zikir telah mengumumkan kabinetnya, tentu anggota kebinet terdiri dari personal pilihan dengan pertimbangan figur yang dipilih sangat hati-hati dan politis, landasan utamanya keterwakilian daerah, walau jelas beberapa personal kabinet diantaranya tidak sesuai dengan keahliannya, karena pertimbangan psykis dari primordial kedaerahan yang tentu tidak bisa dikesamping begitu saja, untuk menuju Aceh sejahtera, Aceh milik bersama serta Aceh yang kompak dan bermartabat. Jika landasan utamanya keterwakilian, maka semua kabupaten harus terakomudir dalam kabinet, juga kompetensi anggota kebinet harus diperhitungkan. Namun kunci utama untuk pembangunan Aceh, seharusnya Zikir perlu memiliki keberanian untuk tidak basa basi dan perlu tegas (tidak hanya terfokus pada pertimbangan faktor politis dan psykis serta terkesan jatah-jatahan untuk duduk di kabinet). Untuk menentukan siapa anggota kabinetnya yang tepat, terutama yang harus dipertimbangkan adalah personal yang punya kompetensi kuat (ilmu, pengalaman dan kepemimpinan), figur yang bermoral (tidak bermental KKN) dan memiliki pola dan orientasi dalam kebijakan serta keberpihakan kepada rakyat yang jenuh dengan masa lalunya, akibat perang. Sistem dengan pertimbangan kuota-kuotaan untuk menentukan anggota kabinet dengan pertimbangan faktor politis, tidak perlu diperdebatkan berkepanjangan, karena Zikir telah mewanti-wanti masa percobaan anggota kebinetnya adalah selama enam bulan, akan
terjadi bongkar pasang kebinet (dari sisi tata pemerintahan sangat tidak baik, karenanya dengan system “Vit and proper test” akan sangat membantu, namun sistem tersebut bukanlah segalanya), karena untuk menentukan pembantunya, Zikir punya hak prerogatif, mau berhasil atau tidak dalam misinya, sangat tergantung kepada kompetensi anggota kebinetnya. Adalah Adam berasal dari singkatan “ ACEH DAMAI “ namun jika mau dikonotasi secara folosofis, maka bisa saja diberi julukan dengan sebutan Kabinet “ NABI ADAM “ singkatan dari : “ Nanggroe Aceh Binaan Indonesia Aman dan Damai ” . Jika mau dijabarkan lebih luas, maka nabi yang religius, sakral dan filosofis ini, adalah manusia pertama dibumi, adalah nenek moyang kita semua yang harus dihormati, pada awalnya terpaksa mengembara di planet bumi, karena diminta oleh Allah Swt turun dari Syurga bersama Siti Hawa, akibat memakan buah larangan - Quldi - menyebabkan Adam AS dan Siti Hawa berpisah 200 tahun lamanya dan akhirnya bertemu kembali di Jabal Rahmah. Begitulah Zikir juga ikut memakan buah Quldi Indonesia, akhirnya yang satu terdampar ke Swedia (Zaini Abdullah) dan yang satu lagi terdampar ke Libia untuk tempaan militer (Muzakir Manaf) hingga akhirnya masuk hutan belantara Aceh, untuk bergerilya dan kemudian dinobatkan sebagai Panglima Perang. Mereka persis seperti Adam dan Hawa, bertemu dalam Kabinet Aceh Damai (Adam) untuk membangun Aceh sesuai kejuangan yang fenomenal dengan diaroma perjuangan suka dan duka, dengan landasan nyawa menjadi taruhannya. Zikir, bakal berada dalam kemasan kabinetnya. Jika mereka mau melihat ke belakang maka perlu disadari benar bahwa, perjuangan mereka dengan simbol “GAM“ adalah identik dengan perjuangan Aceh untuk menuntut keadilan dan membela martabat Aceh yang pembangunannya tertinggal, kini mereka telah memanen hasil perjuangannya untuk
merealisasikan misinya untuk kepentingan rakyat Aceh yang konon masih terkurung dalam kemiskinan (sekitar 18,5 persen), lebih kurang seperlima penduduk Aceh yang miskin dan perlu didongkrak untuk bernafas lega sesuai visi perjuangan GAM yang diketahui oleh dunia dan duduk semeja dengan Indonesia di Helsinki – Firlandia untuk mewujudkan perdamaian. Sekarang saatnya menghapus kemiskinan Aceh dan memberi kemudahan kepada rakyat lewat pembangunan yang sangat dibutuhkan untuk kesejahteraan mereka, perioritas utama harus lewat “Badan Otorita Pertanian Aceh”, prioritas untuk memacu pembangunan, sebagai “ Good Will ” pemerintah Aceh dan ujung tombak di pedesaan agar Aceh segera tinggal Landas. Untuk menghapus kemiskinan Aceh, perlu segera membangun empat sub sektor : Pangan, Perikanan, Peternakan dan Perkebunan. Sub Sektor ini sangat penting, sebagai skala prioritas dan strategis untuk diprogramkan secara terpadu dengan pilarnya : Inovasi teknologi, infrastruktur pertanian, kelembagaan dan kebijakan pemerintah Aceh untuk mempercepat pembangunan dan menghapus kemiskinan dengan out put memacu perekonomian Aceh yang terus berkembang dan Sabang harus dipacu untuk perdagangan bebas. Kemiskinan Aceh bisa dirasakan di pedesaan. Maka jika berbicara pedesaan sama halnya berbicara sektor Pertanian sebagai salah satu aspek ekonomi. Konsep Zikir harus jelas untuk membangun sektor pertanian sebagai primadona, perioritas utama berada di sub sektor pangan. “Ketahanan pangan” identik dengan “komoditas andalan” yang harus bermuara kepada “Kedaulatan pangan” yang identik dalam paket yang harus dimulai dari “Komoditas Andalan” menjadi “Komoditas Unggulan”. Karenanya apapun bentuk kabinet yang dinobatkan, maka sangat perlu memprioritaskan pembangunan yang langsung menyangkut dengan harkat
dan martabat rakyat kecil, dimana masa periode Zikir berkuasa sekarang, perlu segera menghapus kemiskinan Aceh, maka solusinya perlu : Pertama : Kondisi masa lalu Aceh yang tidak kondusif akibat perang GAM – TNI begitu berkepanjangan, menyebabkan sektor pangan terabaikan, terbukti petani tidak berani turun ke sawah ketika itu dan para penyuluh pertanian tidak berfungsi dan akhirnya bubar, sehingga PPS (Penyuluh Pertanian Spesialis) dan PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) tidak pernah terdengar lagi untuk memberi bimbingan kepada petani. Institusi Sekretaris Bimas Propinsi, juga hilang tidak terdengar lagi, padahal lembaga untuk membina petani ini, masih sangat kita butuhkan di lapangan. Karenanya, untuk menghilangkan kemiskinan Aceh dan membangun sektor pertanian, Zikir harus segera mengambil jalan pintas dan potong kompas agar lebih fokus, yaitu perlu segera mewujudkan BADAN OTORITA PERTANIAN ACEH (BOPA). Maka Untuk Lounchingnya perlu mengundang Presiden R.I, dimana SBY harus memukul beduk sebagai dimulainya pencanangan BOPA dan perlu juga mengundang negara-negara luar yang berempati kepada Aceh sebagai pendonor utama untuk implementasi BOPA yang bertujuan melepaskan Aceh dari kemiskinan. Lembaga percepatan pembangunan seperti BOPA, sangat penting dan mirip-mirip seperti BRR (Badan Rekonstrusi dan Rehabilitasi) Aceh – Sumut, akibat tsunami Aceh – Nias banyak menerima bantuan dari negara pendonor. BOPA punya alasan kuat untuk didirikan, sebagai kopensasi atas perang GAM dan TNI yang berkepanjangan (sekitar 30 tahun), katakan sebagai pampasan perang dan Aceh butuh perioritas dana dari Jakarta, sebagai prioritas dari misi perjuangan GAM untuk menjadikan Aceh sebagai wilayah yang bermartabat, terutama
rakyat yang ketakutan harus dimotifasi kembali yang akhirnya diharapkan mereka (petani) akan menimbulkan berbagai inovasi baru untuk membangun dirinya, lingkungannya yang berwujud kepada kesejahteraan Aceh sebagai dambaan. Kedua : Mengapa Bopa harus diwujudkan segera. Mari kita lihat kondisi infrastruktur pertanian Aceh yang jauh tertinggal dibelakang. Adalah irigasi yang menjadi kendala utama. Faktual sekali memang, karena Aceh masih memiliki sawah tadah hujan (tanpa irigasi) masih = 51 persen (wajar jika kemiskinan Aceh masih menganga dengan angka 18,5 persen. Irigasi teknis Cuma 3 persen, irigasi semi teknis 24 persen dan irigasi konvensional (irigasi sederhana 11 persen dan irigasi desa 11 persen, bahkan sebahagian masih peninggalan Belanda). Irigasi teknis hanya terdapat di Langkahan sekitar 21.000 ha sawah yang mampu diari, irigasi Nagan Raya sekitar 16.000 ha sawah yang mampu diari dan irigasi Baro Raya Pidie yang mampu diairi sekitar 19.000 ha sawah. Karenanya sawah tanah hujan yang 51 persen (lebih dari setengah persawahan di Aceh belum beririgasi, sungguh menyedihkan padahal Indonesia sudah merdeka sejak 1945. Ketiga : Teknologi Alsintan (Alat Mesin Pertanian). Perlu mendapat prioritas dalam program Bopa. Saat Abaz (Abdulah Puteh dan Azwar Abubakar) memimpin Aceh, pernah memprogramkan untuk memproduksi Hand Tractor dengan produk “Made in NAD” yang diproduksi oleh siswa SMK, ternyata programnya pupus hilang begitu saja. Mari kita lihat data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh, mereka telah mampu menghendel penggunaan teknologi Alsintan, namun masih terbatas : Traktor Roda 4 baru kita miliki 330 unit (32,73 %), Traktor Roda 2 baru kita miliki 5.524 unit (50,33 %), Pompa Irigasi baru kita miliki 2.540 unit (46,85 %), Power Thresher (mesin perontok) baru kita miliki 19.937 unit
(13,40 %) dan Alsintan yang lain 25.900 unit (34,29 %). Unit Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) yang kita miliki juga masih merangkak, dimana perbengkelan pertanian (workshop) masih dalam impian untuk pengembangannya, inilah salah satu kendala Alsintan, karena Aceh belum juga memiliki target bengkel Alsintan untuk pelayanan, bahkan Unsyiah juga belum mewujudkan Pusat Studi Mekanisasi dan Perbengkelan Pertanian untuk bekerja sama dengan Distan Aceh dan dialer mesin-mesin pertanian. Begitu halnya Kilang Padi (Rice Milling Unit) yang dimiliki Aceh, masih kurang untuk wilayah pangan dan lebih praktis sekarang banyak kilang padi keliling yang ukuran mini. Sekiranya sawah tadah hujan bisa mendapat pengairan yang lebih baik (sangat mendesak untuk membangun irigasi), maka Alsintan yang kita butuhkan otomatis akan bertambah meningkat, karena produksi pangan akan lebih cepat diproses untuk mengejar target pasar (selama ini produksi gabah Aceh didominasi oleh pengusaha Cina dari Medan). Malah diperhitungkan Aceh akan segera berswasembada pangan, jika pemerintah Aceh segera mencetak sawah baru (ekstensifikasi), walau Aceh telah lama berstatus sebagai daerah surplus gabah padi yang sebahagian besar mengalir ke Sumatera Utara, namun rakyat di desa Aceh masih saja hidup dalam kemiskinan. Padahal PDPA (Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh) perlu segera menghendel semua keberadaan Kilang Padi dan pengembangan untuk pengadaan dan pemasaran produksi pertanian lainnya untuk kebutuhan domistik maupun ekspor. Keempat : Teknologi Benih Bersertifikat dan Balai Penangkar Benih. Kebutuhan benihbenih bersertifikat (lebel biru dan merah jambu) akan sangat membantu Aceh untuk menunjang produksi pangan. Balai Benih Induk (BBI) di Keumala – Pidie, harus difokuskan dalam pengembangan untuk penganekaragaman (diversifikasi) varitas padi unggul dan Balai
Benih Utama (BBU) di tiap kabupaten harus difungsikan kembali untuk penyesuaian varitas padi yang dijamin keunggulannya, terutama untuk memproduksi padi organik. Unit Pengolahan Benih (Seed Processing) milik PT. Pertani yang dibakar di Mereudu Pidie Jaya dan milik Puskud Aceh yang dibakar di Tambo - Jeunib – Kab Bireun, harus dimiliki kembali oleh Aceh agar tidak selamanya dipasok oleh PT. Sang Hiang Sri atau perlu peran PDPA maupun perusahaan lainnya. PDPA harus menjadi motor penggerak untuk menghapus kimiskinan Aceh. Padahal sebagai perusahaan daerah, PDPA tidak harus memikirkan tentang rencana untuk bisnis transportasi pesawat terbang (rencana lama), justru pekerjaan besar telah menghadang PDPA untuk berpikir kritis dengan enterpreunernya yang tinggi, bahkan bila perlu PDPA harus dapat menggantikan fungsi kejayaan Aceh masa lalu dengan peran perusahaan Aceh yang mampu mengekspor hasil bumi Aceh, seperti Aceh Kongsi, CTC, Dagang Sepakat, Indocolem, Permai, Puspa, Tawison, Azayma dan berbagai perusahaan lainnya milik pengusaha Aceh. Kelima : Peran pengusaha Aceh harus dilibatkan, untuk kemitraan. Kadin Aceh harus mampu mempolakan kerja sama untuk menghapuskan kemiskinan Aceh. Produk pertanian Aceh harus dapat memenuhi kebutuhan pasar domistik dan ekspor, terutama dalam mengantisipasi membanjirnya produk luar Aceh dalam misi perdagangan bebas. Kolaborasi dalam BOPA adalah faktor essensial untuk mempolakan peran Multi Stakeholder yang holistik (terpadu dan strategis) dalam kerja sama antara : Pengusaha, Akademisi, Birokrasi dan Petani yang semuanya terakomodir dalam BOPA, sehingga dengan adanya BOPA diharapkan akan memicu dan memberi peran atas keberadaan Pelabuhan Bebas Sabang yang masih merangkak dan belum menunjukkan jati dirinya.
Keenam : Strategi ekonomi pertanian harus jelas dalam program BOPA. Dari persiapan untuk pasar bebas versus ekonomi pasar hingga perlu adanya kebijakan pemerintah Aceh dalam konsep intervensi untuk menciptakan terobosan perdagangan bebas, subsidi pertanian masih kita perlukan untuk memotifasi petani Aceh dalam berproduksi, hingga Zikir harus mampu menciptakan otoritas pengembangan regional yang besar untuk seluruh kabupaten di Aceh. BOPA harus mampu menghasilkan produk pertanian untuk kepentingan bersama dan bernilai bisnis, bernilai kontinuitas untuk ekspor, menampung kesempatan kerja dan harus dapat memberdayakan rakyat Aceh serta komoditas pertanian (andalan - unggulan) yang dihasilkan berkualitas dengan nilai jual untuk kebutuhan domistik harus terjangkau oleh masyarakat, sehingga kedaulatan pangan Aceh dapat tercapai dengan baik.