Kemelekan informasi (Information literacy) Sulistyo-Basuki 1. Pendahuluan Dalam Bahasa Indonesia istilah information literacy dapat diterjemahkan menjadi literasi informasi, kemelekan informasi, keberaksaraan informasi. Makalah ini menggunakan istilah kemelekan informasi dengan dasar bahwa literate dalam Bahasa Inggris diterjemahkan menjadi melek atau melek huruf, illiterate menjadi buta huruf atau tuna aksara. Walaupun banyak digunakan, tidak selalu istilah “information literacy” dapat diterima sepenuhnya. Ada yamg mengusulkan istilah “information mediacy” (Carbo, 1997) , “information competency” (Goetsch and Kaufman (1998). 2. Asal usul Seusai Perang Dunia 2, dunia ilmu pengetahuan menghasilkan informasi dalam jumlah yang besar sehingga literatur tahun 1950-an menjulukinya sebagai banjir informasi, ledakan informasi bahkan juga polusi informasi! Peningkatan produksi informasi dalam bentuk dokumen ini sering dilukiskan sebagai peningkatan eksponensial,artinya apa yang dihasilkan manusia selama 2000 tahun kini dapat disamai dengan penciptaan dokumen selama tahunan saja. Peningkatan dokumen itu menimbulkan dampak bagi pemakai yaitu pemakai semakin sulit memilih informasi yang diperlukannya. Bagi perpustakaan dan lembaga lain yang bergerak dalam bidang informasi terekam, peningkatan itu menimbulkan pengaruh berupa informasi yang berlebih-lebihan, namun distribusinya tidak merata sehingga memunculkan kaya informasi dan miskin informasi, cenderung ke kesepelean serta timbul keprihatinan di kalangan pustakawan maupun informasi akan kredibilitas informasi. Berlebih-lebihnya informasi terekam menimbulkan dampak terhadap pemakai berupa kesulitan dalam menemukan dan mengakses informasi yang mereka perlukan. Upaya yang dilakukan perpustakaan berupa pendidikan pemakai masih dirasakan kurang karena pendidikan pemakai relatif terbatas pada informasi yang dapat dikaitkan dengan perpustakaan. Dalam pengalaman pustakawan, pemakai seringkali tidak dapat mengungkapkan kebutuhan informasinya, misalnya mencari literatur tentang Pangeran Diponegoro, padahal yang dimaksudkannya ialah rumah-rumah di jalan Diponegoro. Munculnya teknologi infomasi dan komunikasi (disebut juga teknologi informasi) memang membantu pemakai dalam menelusur informasi. Munculnya internet pada tahun 1991 untuk keperluan sipil membantu sekaligus juga menyusahkan pemakai dalam mencari informasi,. Paul Zurkowski (Carbo, 1997) dianggap sebagai orang yang menciptakan istilah information literacy, yang dicantumkan dalam usulannya kepada US National Commission on Libraries and Information Science pada awal tahun 1970 an. Dalam usulan tersebut, Zurkowski mendesak pemerintah AS menyusun program nasional untuk mencapai kemelekan informasi, yang berkaitan dengan pekerjaan serta tersebar luas. Tahun 1970-an dan 1980-an berbagai badan dibentuk untuk melakukan kegiatan kemelekan informasi tanpa menyebutkan istilah ‘information literacy” secara khusus.
1
3. Definisi dan ciri informasi Walaupun banyak forum yang bergerak dalam bidang “information literacy”, baru pada tahun 1989, dalam Final Report American Library Asssociation’s Presidential Committee on Information Literacy memberikan definisi yang banyak digunakan... to be information literate, a person must be able to recogninise when information is needed and have the ability to locate, evaluate, and use effectively the needed information... (American Library Report, 1989). Definisi sederhana mengenai kemelekan informasi juga diberikan oleh Wijetungge dan Alakahoon (Wijetungge and Alakahoon, 2005) sebagai kemampuan untuk mengakses, menilai dan menggunakan informasi dari berbagai sumber. Dari definisi sederhana berdasarkan tindakan yang diperlukan berkembanglah definisi kemelekan informasi sebagai “kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan lokasi, menililai, mengorgansasi dan menciptakan secara efektif, menggunakan dan menggunakan informasi guna mengatasi sebuah masalah. Kemelekan informasi dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran sepanjang hayat. Sebagai atribut pribadi, Doyle (1992) mendefinisikan seseorang yang melek informasi sebagai orang yang: (a) merekognisi kebutuhan informasi; (b) merekognisi bahwa informasi yang akurat dan lengkap merupakan dasar bagi pengambilan keputusan yang cerdas; (c) mengidentifikasi sumber potensial informasi (d) mengembangkan strategi penelusuran yang berhasil (e) mengakses sumber informasi, termasuk sumber berbasis komputer serta teknologi lainnya; (f) mengevaluasi informasi (g) mengorganisasi informasi untuk keperluan praktis; (h) memadukan informasi baru ke batang tubuh yang ada dari pengetahuan; (i) menggunakan informasi dalam pemikiran kritis serta pemecahan masalah. Tidak selalu istilah “information literacy” dapat diterima sepenuhnya. Ada yamg mengusulkan istilah “information mediacy” (Carbo, 1997) , “information competency” (Goetsch and Kaufman (1998). The Association of College and Research Libraries (2000) yang mensintesiskan karya sebelumnya, lalu menyatakan bahwa mahasiswa yang melek informasi adalah mahasiswa yang mampu: (a) menentukan sifat dan keluasan informasi yang dibutuhkannya; (b) mengakses informasi yang diperlukannya secara efektif dan efisien; (c) menilai secara kritis informasi serta sumbernya dan memadukan informasi yang dipilihnya ke dalam basis pengetahuan serta sistem nilainya; (d) sebagai perorangan maupun anggota kelompok, menggunakan informasi secara efektif untuk mencapai tujuan spesifik; (e) memahami berbagai persoalan ekonomi, hukum, dan sosial menyangkut penggunaan informasi, akses serta penggunananya secara etis dan sah. Adapun tujuan kemelekan informasi menanamkan kebiasaan belajar sepanjang hayat dalam wujud mengidentifikasi kebutuhan informasi serta secara efisien menelusur dan menggunakan sumber informasi elektronik, cetak, lisan asli serta sumber informasi
2
lainnya guna memenuhi kebutuhan informasi dengan dengan demikian memperkuat kepentingan sosio-ekonomi pribadi, komunitas dan nasional (Aiyepeku, 2002). Kemelekan masih berdasarkan membaca, menulis dan berhitung. Ketiga dimensi kemelekan itui mulai dirasakan kurang cukup dengan berkembangnya teknologi informasi, khususnya internet sejak awal tahun 1990-an. Ketiga dimensi itu lazim disingkat 3 R yaitu Reading, Writing, Arithmetic dan kini menjadi 4 R ditambah dengan Research. Pentingnya kemelekan informasi disadari oleh UNESCO sehingga mengatakan kemampuan kemelekan informasi merupakan bagian peningkatan kemampuan manusia sehingga setiap orang punya peluang untuk mendapatkan ketrampilan tersebut untuk memudahkan dia memahami, berpartisipasi secara aktif dan mengambil manfaat dari masyarakat pengetahuan yang muncul. Pentingnya kemelekan informasi dinyatakan dalam Deklarasi Praha (2004) yang memaklumatkan bahwa kemelekan informasi merupakan bagian dari masyarakat informasi serta merupakan bagian dari United Nations Millenium Development Goals. 4. Model Keberadaan model memungkinkan untuk mengidentifikasi berbagai komponen serta menunjukkan hubungan antarkomponen. Juga model dapat digunakan untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan kemelekan informasi. Dari situ kita dapat memusatkan pada bagian tertentu ataupun keseluruhan model. Model kemelekan informasi ada 3 yang terkenal yaitu The Big 6, Seven Pillars, dan Empowering 8 serta satu lagi The Seven Faces of Information Literacy sebagaimana diusulkan oleh Bruce. 4.1. The Big 6 The Big 6 dikembangkan di AS oleh dua pustakawan, Mike Eisdenberg dqan Bob Berkowitz. The Big 6 menggunakan pendekatan pemecahan masalah untuk mengajar informasi dan ketrampilan informasi serta teknologi. Model The Big 6 terdiri dari 6 tahap pemecahan masalah, pada masing-masing tahap dikelompokkan dua sublangkah atau komponen. 1. Definisi tugas Definisikan masalah informasdi yang dihadapi Identifikasi informasi yang diperlukan 2. Strategi mencari informasi Menentukan semua sumber yang mungkin Memilih sumber terbaik 3. Lokasi dan akses 3.1. Tentukan lokasi sumber secara intelektual mauopun nfisik 3.2. Menemukan informasi dalam sumber 4. Menggunakan informasi 4.1. Hadapi, misalnya membaca, mendengar, menyentuh, mehalamati 4.2. Ekstrak informasi yang relevan 5. Sintesis 5.1. Mengorganisasikan dari banyak sumber 5.2.Sajikan informasi 6. Evaluasi 5.1. Nilai produk yang dihasilkan dari segi efektivitas
3
6.2. Nilai prosese, apakah efisien Model The Big 6 memiliki kekurangan yaitu mayoritas sumber dan contoh berdasarkan sekolah dan kegiatan kelas di AS. Kedua The Big 6 merupakan produk komersial yang mensyaratkan hak cipta dan perlindungan merek dagang sehingga tidak dapat digunakan begitu saja Sungguhpun demikian, pembuat The Big 6 masih mengizinkan penggunaannya untyuk kepertluan pendidikan asal memberitahu mereka. 4.2. The Seven Pillars of Information Literacy SCONUL (Standing Conference of National and University Libraries) di Inggris mengembangkan model konsdeptual yang disebut Seven Pillars of Information Literacy. Bila digambar nampak sebagai berikut:
Information Literacy
Basic library skills
IT skills
4
Model Tujuh Pilar hendaknya dilihat dari segi peningkatan mulai dari ketrampilan kemelekan informasi dasar melalui cara lebih canggih memahami serta menggunakan informasi, katakanlah dari novis menuju pakar. Model 7 Pilar terdiri dari 2 himpunan ketrampilan yaitu : (a) Mengetahui bagaimana menentukan lokasi informasi serrta mengaksesnya (b) Mengetahui bagaimana memahami serta menggunakan informasi. 4.2.1. Mengetahui bagaimana menentukan lokasi informasi serta aksesnya Empat pilar pertama terdiri atas ketrampilan dasar yang disyaratkan untuk menentukan lokasi serta akses informasi terdiri : (Pilar 1) Merekognisi kebutuhan informasi, mengetahui apa yang telah diketahui, mengetahui apa yang tidak diketahui dan mengidentifikasi kesenjangan antara yang diketahui dengan yang tidak diketahui (Pilar 2) Membedakan cara mengatasi kesenjangan, mengetahui sumber informasi mansa yang paling besar peluangnya memuaskan kebutuhan (Pilar 3) Membangun strategi untuk menentukan lokasi informasi. Contoh bagaimana mengembangkan dan memperbaiki strategi penelusuran yang efektif (Pilar 4) Menentukan lokasi dan akses informasi, mengetahui bagaimana mengakses sumbert infotmasi dan memeriksa alat untuk akses dan temu balik informasi
4.2.1. Mengetahui bagaimana memahami serta menggunakan informasi. Pilar ke lima sampai ke tujuh merupakan ketrampilan tingkat lanjut yang diperlukan untuk memahami serta menggunakan informasi secara efektif. Adapun ke tiga pilar tersebut ialah (Pilar 5) Membandingkan dan mengevaluasi, mengetahui bagaimana mengases relevansi dan kualitas informasi yang ditemukan (Pilar 6) Mengoraganisasi, menerapkan dan mengkomunikasikan, mengetahui bagaimana merangkaikan informasi baru dengan informasin lama, mengambil tindakan
5
atau membuat keputusan dan akhirnya bagaimana berbagi hasil temuan informasi tersebut dengan otarang lain (Pilar 7) Sintesis dan menciptakan, mengetahui bagaimana mengasimilasikan informasi dari berbagai jenis sumber untuk keperluan menciptakan pengetahuan baru. Bila digambar hasilnya sebagai berikut:
Ketrampilan dasar kemelekan informasi (pilar 1 sampai 4) merupakan dasar bagi semua isu dan topik, dapat diajarkan pada semua tingkat pendidikan. Ketrampilan tersebut juga diperkuat dan diperkaya melalui penggunaan berkala serta pembelajaran sepanjang hayat, umumnya melalui program dan sumber yang disediakan oleh perpustakaan. Untuk mencapai pilar 5 sampai 7, tantangan yang dihadapi lebih besar karena keanekaragaman orang. 4.3. Empowering Eight (E8) Pada tahun 2004, peserta International Workshop on Information Skills fort Learning di Colombo, Sri Lanka, mengembangkan model kemelekan informasi yang akan digunakan untuk negara-negara Asia Tenggara dan Selatan. Model yang dikembangkan disebut Empowering Eight atau E8 karena mencakup 8 komponen menemukan dan menggunakan informasi.
6
Kalau dijabarkan dalam langkah nampak sebagai berikut: Langkah
1
2
3
4
5
6
Hasil pembelajaran yang didemonstrasikan -Mendefinisikan topik/subjek -Menentukan dan memahami sasaran penyajian -Memilih format yang relevan untuk Mengidentifikasi produk akhir -Mengidentifikasi kata kunci -merencanakan strategi penelusuran -Mengidentifikasi berbagai jenis sumber informasi, di mana dapat ditemukan -Menentukan lokasi sumber yang sesuai dengan topik -Menemukan informasi yang sesuai Eksplorasi dengan toik Melakukan wawancara, kunjungan lapangan atau penelitian di luar lainnya -Memilih informasi yang relevan -Menentukan sumber mana saja yang terlalu mudah, terlalu sukar atau sesuai -Mencatat informasi yang relevan dengan cara membuat catatan atau membuat Memilih pengorganisasi visual seperti carta, grafik, bagan, ringkasan dll. Mengidentifikasi tahap-tahap dalam proses Mengumpulkan sitiran yang sesuai -Memilah informasi Membedakan antara fakta, pendapat dan khayalan -Mengecek ada tidaknya bias dalam sumber Mengorganisasi -Mengatur informasi yang diperoleh dalam urutan yang logis -Menggunakan pengorganisasi visual untuk membandingkan atau membuat kontras informasi yang diperoleh -Menyusun informasi sesuai dengan pendapat dalam cara yang bermakna Menciptakan -Merevisi dan menyunting, sendiri atau bersama-sama pembimbing Finalisasi format bibliografis Menyajikan -Mempraktekkan aktivitas penyajian Komponen
7
7
Mengakses
8
Menerapkan
-Berbagi informasi dengan orang atau pihak yang sesuai -Memaparkan informasi dalam format yang tepat sesuai dengan hadirin -Menyusun dan menggunakan peralatan yang sesuai -Menerima masukan dari siswa lain -Swaases kinerja kita sebagai tanggapan atas asesmen karya dari pihak guru -Merefleksi seberapa jauh keberhasilan yang telah mereka lakukan -Menentukan apakah masih diperlukan ketrampilan baru -Pertimbangkan apa yang dapat dilakukan lebih baik pada kesempatan berikut -Meninjau masukan serta asesmen yang masuk -Menggunakan masukan serta asesmen untuk keperluan pembelajaran/aktivitas berikutnya -Mendorong menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari berbagai situasi -Menentukan ketrampilan sekarang dapat diterapkan pada subjek -Tambahkan produk pada portofolio produksi
4.4. Bruce’s Seven faces of information literacy Bruce menggunakan pendekatan informasi terhadap kemelekan informasi. Ada tiga strategi yang diusulkannya yaitu (a) Ancangan perilaku (behaviourist approach), menyatakan untuk dapat digambarkan sebagai melek informasi, seseorang harus menunjukkan karakteristik tertentu serta mendemonstrasikan ketrampilan tertentu yang dapat diukur. Pendekatan semacam itu dianut oleh ACRL dalam standarnya. (b) Ancangan konstrukvis (constructivist approach), tekanan pada pembelajar dalam mengkonstruksi gambaran domainnya, misalnya melalui pembebelajaran berbasis persoalan, (c) Ancangan relasional, dimulai dengan menggambarkan fenomena dalam bahasa dari yang telah dialami seseorang. Adapun 7 wajah kemelekan informasi digambarkkan dalam tabel sebagai berikut: Seven faces of information literacy Kategori satu: Kemelekan informasi dilihat sebagai penggunaan Konsepsi teknologi informasi teknologi informasi untuk keperluan temubalik informasi serta komunikasi Kategori dua: Kemelekan informasi dilihat sebagai menemukan Konsepsi sumber ke informasi informasi yang berada di sumber informasi
8
Kategori tiga: Konsepsi proses informasi Kategori empat: Konsepsi pengendalian informasi Kategori lima: Konsepsi konstruksi pengetahuan Kategori enam: Konsepsi perluasan pengetahuan Kategori tujuh: Konsepsi kearifan
Kemelekan informasi dilihat sebagai melaksanakan sebuah proses Kemelekan informasi dilihat sebagai pengendalian informasi Kemelekan informasi dilihat sebagai pembuatan basis pengetahuan pribadi pada bidang baru yang diminatinya Kemelekan informasi dilihat sebagai berkarya dengan pengetahuan dan perspektif pribadi yang dipakai sedemikian rupa sehingga mencapai wawasan baru Kemelekan informasi dilihat sebagai menggunakan informasi secara bijak bagi kemudaratan orang lain
5. Kaitannya dengan kemelekan lain Kemelekan informasi memiliki hubungan erat dengan kemelekan lainnya. 5.1. Kemelekan visual Yang pertama ialah kemelekan visual artinya kemampuan untuk memahami dan menggunakan citra, termasuk kemampuan untuk berpikir, belajar, dan mengungkapkan diri sendiri dalam konteks citra. Kemelekan visual adalah kemampuan untuk memahami serta menggunakan citra visual dalam pekerjaan dan kehidupan harian. Kemelekan visual mencakup integrasi pengalaman visual dengan pengalaman yang diperoleh dari indera lain seperti apa yang didengar, apa yang dibau, apa yang dikecap , apa yang disentuh serta apa yang dirasakan. Kompetensi kemelekan visual memungkinkan seseorang untuk memilah serta menafsirkan berbagai tindakan visual, objek dan atau simbol. Dari situ, seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain, membuat pamflet, tengara, membuat halaman Web 5.2. Kemelekan media Kemelekan media ialah kemampuan seseorang untuk menggunakan berbagai media guna mengakses, analisis serta menghasilkan informasi untuk berbagai keperluan Dalam kehidupan sehari-hari seseorang akan dipengaruhi oleh media yang ada di sekitar kita berupa televisi, film, radio, musik terekam, surat kabar dan majalah. Dari media itu masih ditambah dengan internet bahkan kinipun melalui telepon seluler dapat diakses. 5.3. Kemelekan komputer Keterbiasaan dengan kompouter semua jenis, terutama komputer meja serta komputer jinjing. Dari komputer ini, seseorang dapat menciptakan dan manipulasi dokumen serta data.Penciptaan itu dilakukan melalui pengolah kata, lembar elektronik (spreadsheet), pangkalan data serta berbagai aplikasi lain dari perangkat lunak. Menurut pandangan pustakawan, ketrampilan komputer ini berbeda dengan ketrampilan informasi walaupun dalam praktik di luar perpustakaan kedua ketrampilan itu tidak selalu demikian (Pask and Saunders, 2004). Kadang-kadang timbul pertanyaaan apa saja yang dimaksud dengan kemelekan komputer. Kemelekan komputer adalah kemampuan untuk mengoperasikan komputer, menggunakan surat elektronik (e-mail) dan internet untuk berkomunikasi serta melokalisasi informasi, menciptakan lembaran elektronik dengan menggunakan
9
perangkat lunak lembar elektronik, menciptakan dan memanipulasi pangkalan data, menciptakan dan memanipulasi berkas grafis serta menerapkan pengetahuan dan ketrampilan teknologi pada umumnya. Pengertian kemelekan komputer bukanlah kemampuan menulis program komputer, hal itu serahkan pada bidang mereka sementara pemakai tinggal menerapkan berbagai aplikasi perangkat lunak. Namun demikian kemelekan komputer mencakup memiliki pengetahuan yang cukup mengenai komponen sebuah komputer sehingga memungkinkan seseorang tahu sebelum membeli tentang komputer beserta periferalnya, menyusunnya serta menghubungkannya ke jaringan telekomunikasi 5.4. Kemelekan digital Artinya kemelekan untuk memahami serta menggunakan informasi dalam berbagai format dari sejumlah sumber tatkala menyajikannya melalui komputer. Termasuk dalam kompetensi itu ialah kemampuan mengenali sumber elektronik serta mengunduhnya ke komputer, mengekspor berkas. 5.5. Kemelekan jaringan Merupakan kemelekan dalam menggunakan jaringa digital secara efektif, yang banyak berkembang berkat keberadaan Internet. Bagi pustakawan kemelekan informasi menstaratkan perubahan pikir, dari “kepemilikan” ke “akses” artinya informasi milik perpustakaan namun dapat diakses oleh publik sehingga menimbulkan pertanyaan seberapa jauh konsep kepemilikan itu. Dalam konteks ekonomi informasi, hal itu menunjukkan ciri khas infromasi dilihat dari segi ekonomi, misalnya informasi yang telah dijual akan tetap menjadi milik penjual. Hal itu berbeda dengan penjualan benda misalnya makanan, sekali dijual maka makanan itu pindah ke tangan pembeli (Kingma, 2001). Kemelekan ini berarti seseorang memahami bagaimana informasi dihasilkan, dikelola, tersedia, dapat menelusur infromasi dari jaringan dengan menggunakan berbagai alat telusur, memanipulasi informasi berjaring dengan kombinasi berbagai sumber, menambahnya atau meningkatkan nilai informasi dari situasi tertentu. 6. Aplikasi kemelekan informasi Setelah membahas kemelekan infomasi, mungkin timbul pertanyaan di manakah kemelekan informasi digunakan. Kemelekan informasi digunakan di perguruan tinggi, sekolah, lingkungan bisnis juga dalam kehidupan sehari-hari. Semuanya itu sebagai bagian dari pembelajaran sepanjang hayat karena manusia tetap memerlukan infromasi sampai kematiannya. Bahkan ada lelucon, orang mati pun masih memerlukan informasi untuk pemakamannnya walaupun yang memerlukan adalah mereka yang masih hidup. Berikut ini contoh beberapa kegiatan kemelekan informasi. 6.1. Kemelekan informasi di perguruan tinggi Dalam kaitannya dengan mahasiswa, Association of College and Research Libraries (ACRL) dalam Information literacy competency standards for higher education mensintesiskan pendapat sebelumnya bahwa mahasiswa yang melek informasi adalah mahasiswa yang mampu: (1) menentukan sifat dan keluasan informasi yang diperlukannya; (2) mengakses informasi yang dibutuhkannya secara efektif dan efisien; (3) evaluasi informasi dan sumbernya secara kritis dan memasukkan informasi terpilih kedalam pangkalan pengetahuan dan sistem nilainya;
10
(4) sebagai perorangan atau anggota kelompok, menggunakan informasi secara efektif untuk mencapai tujuan khusus; (5) memahami berbagai masalah ekonomi, hukum dan sosial berkaitan dengan penggunaan informasi serta akses dan penggunaan informasi secara etis dan sah. 6.1.1. Pelaksanaan versi ACRL* ACRL membagi melek informasi menjadi 9 standar, setiap standar diberi definisi ciri, lalu indikator kinerja dan ditutup dengan hasil atau luaran (outcomes). Contoh : 6.1.1.1. Standar 1 Mahasiswa melek informasi memutuskan sifat dan keluasan informasi yang diperlukannya. 6.1.1.2. Indikator kinerja 1. Mahasiswa 1 melek informasi memutuskan sifat dan keluasan informasi yang diperlukannya. 6.1.1.3. Luaran termasuk A. Diskusi dengan instruktur dan berpartisipasi dalam diskusi kelas, kelompok pembimbing (peer), serta diskusi elektronik guna mengenai topik penelitian atau informasi lain yang diperlukannya. B. Mengembangkan judul tesis dan merumuskan pertanyaan berdasarkan informasi yang diperlukan. C. Menjelajah sumber informasi umum untuk meningkatkan kelaziman atau familiaritas dengan topik. D. Mendefinisikan atau memodifikasi kebutuhan informasi untuk mencapai fokus terkendalikan. E. Identifikasi konsep dan istilah utama yang mendeskripsikan kebutuhan informasi. F. Mengenali kenyataan bahwa informasi yang ada dapat dikombinasikan dengan pemikiran semula, eksperimen, dan/atau analisis untuk menghasilkan informasi baru. Berbagai negara juga melakukan kegiatan kemelekan informasi sebagaimana dilaporkan oleh Sinikara and Jarvelainen (2003), Saupert, Novljan, Grcar (2007). 6.2. Kemelekan informasi di sekolah Di Australia dieknal matriks pembelajaran yang diadaptasi serta dikembangkan dari Learning for the furure: developing information services in schools (ASLAAnd ALIA, 2001) oleh Australian School Library Association (2001) menjadi Learning for the future: a professional development kit.
*
Untuk kemudahan serta uraian tidak terlalu panjang maka kompetensi kemelekan informasi sebagaimana dikemukakan oleh ACRL cukup pada standar 1. Bagi pembaca yang ingin memeriksa lebih lanjut dipersilakan ke situs pada http://www.ala.org/ala/acrl/acrlstandards/information literacycompetency.htm. Diakses 1 Desember 2007 1 Dapat juga diartikan dosen dan orang lain
11
*
Berikut ini cuplikan contoh:
Mendefinisikan kebutuhan informasi
Melokalisasi informasi
*
Level 1 Level 2 Kemelekan informasi Murid Murid Mengajukan Memlih dari toik pertanyaan untuk yang luas, kemudian dikaji dengan mempesempit topik bantuan guru, dengan bantuan sebagai tanggapan guru. Ikut serta atas dikusi terarah dalam kelompok mengenai sebuah yang diarahkan toipik sambil guru, menggunakan alat mengelompokkan bantu audio gagasan, dan/atau visual pengembangan pertanyaan-terfokus serta menyelesaikan strategi peneluruan bagi kelompok Kemelekan teknologi informasi Ikut serta dalam Ikut serta dalam pengembangan pengembuatan pertanyaan yang dokumen dengan dibimbing guru kata sederhana yang dalam format grafis dipimpin oleh guru dan pengolahan kata berisi pertanyaan untuk tugas. Termasuk pemetaan konsep menggunakan format grafis Kemelekan literatur Ikut serta dalam Ikut serta dalam dikskusi bimbingan identifikasi pemeran guru untuk serta latar di bawah meperkirakan serta bimbingan guru mengenali latar cerita, mengeidentifikasi siapa tokoh utama Level 2 Level 1 Kemelekan informasi Murid Murid
Tidak diambil semua, sekadar contoh
12
Level 3 Murid Memlih dari toik yang luas, kemudian mempesempit topik dengan bantuan guru. Ikut serta dalam kelompok yang diarahkan guru, mengelompokkan gagasan untuk sampai ke pertanyaan terfokus serta strategi penelusuran yang serderhana. Mengembangkan format grafis untuk pemusatan topik, menyumbang pertanyaan serta strategi penelusuran dengan bantuan guru. Menggunakan tabel untuk membuat ringkasan tugas penelitian Dengan bantuan guru mengidentifikasi pemeran, genre dan latar
Level 3 Murid
Mengidentifikasi serta memilih sumber informasi dengan bantuan guru menggunakan sistem pengorganisasin koleksi perpustakaan, pengalaman pribadi dan / atau pengetahuan sebuah topik atau sumber primer dalam konteks seperti orang lain
Mengidentifikasi serta melokalisasi sumber sesuai dengan strategi penelusuran dengan bantuan pustakawan. Menggunakan entri pengarang, judul dan subjek dalam katalog, sistem Dewey Decimal Classification serta pengetahuan mengenai sumber ferensi. Sumber yang tepat dipilih menggunakan teknik dan perlengkapan pemayaran sederhana, fitur permukaan sebuah sumber dan daftar isi. Dengan bantuan pustakawan, data dikumpulkan dari sumber primer
mengidentifikasi dan melokalisasi sumber dengan bantuan pustakawan serta memodifikasi strategi penelusuran, menggunakan kata tunggal dari katalog serta menilai arti sumber informasi. Pemilihan dilakukan dengan pemayaran semua bagian buku/ catatan serta menggunakan pengetahuan mengenai struktur surat kabar serta ensiklopedia serta kebutuhan untuk hanya membaca/meninjau hanya bagian-bagian yang diperlukan saja
Tabel di atas dapat dilanjutkan ke pemlihan informasi (terdiri dari kemelekan informasi, kemelekan teknologi informasi dan literatur), mengorganisasi informasi (terdiri dari kemelekan informasi, kemelekan teknologi informasi dan literatur), menciptakanserta berbagi/berkongsi informasi (terdiri dari kemelekan informasi, kemelekan teknologi informasi dan literatur), menilai informasi serta proses informasi (terdiri dari kemelekan informasi, kemelekan teknologi informasi dan literatur). Dari kegiatan di atas terlihat bahwa kemelekan informasi di sekolah merupakan kerjasama guru, pustakawan sekolah ditunjang oleh fasilitas perpustakan termasuk akses ke internet. 6.3. Bisnis Mahasiswa pascasarjana bisnis (graduate business students) memerlukan 10 ketrampilan untuk melakukan penelitian pada abad informasi ini (Donaldson, 2004). Adapun kesepuluh ketrampilan itu ialah (a) Fokus pada topik (persempit topik/perluas ruang lingkup) (b) Bekerja dalam urutan kronologis terbalik, pertama kali menelusur infromasi terbaru (c) Memahami signifikansi terminologi dan tentukan tajuk subjek yang benar
13
(d) Menganekaragamkan sumber (gunakan buku, majalah, situs internet,dll) (e) Gunakan strategi Boole (AND,OR,NOT) pada penelusuran komputer (f) Gandakan sumber sampai tiga kali (identifikasi sebanyak tiga kali rujukan dari yang diperlukan) (g) Evaluasi secara kritis materi yang ditemubalik; harus memiliki keurigaan pada sumber yang berasal dari Web; (h) Asimilasikan informasi; jangan plagiat, masukkan gagasan sendiri kedalam topik penelitian (i) Sitir semua sumber Managing • Team • Self • Time
Information Need
Problem
Intuition
Data
Analyzing Information • Framing-Hypothesize-Issue Trees • Designing-Outline-Work Plan • Gathering Data-Facts-Interviews • Interpreting-Analyzing-Evaluating
Final Presentation • Be Structured • Keep it simple • Tailor to your Audience
Sebenarnya model McKinsey merupakan pengembangan lebih lanjut dari model kemelekan informasi yang telah ada sebelumnya. Dimulai dari kebutruhan bisnis, namun karenas diadaptasikan untuk kemelekan informasi, maka dimulai dengan kebutuhan informasi. Kebutuhan ini muncul dari masalah bisis atau masalah penelitian, studi kasus ataupun tugas kuliah. Setelah masalah diidentifikasi, langkah selanjutnya ialah analisis masalah Oleh McKinsey disebut perangkaan masalah atau mendefinisikan batas masalah kemudian memecahnya menjadi unsur komponen untuk sampai ke hipotesis awal sebagai pemecahan. Langkah berikutnya disann analisys, kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan data, terutama dengan fact finding serta wawancara, Berikutnya
14
menafsirkan hasil, analisis serta evaluasi untuk menguji hipotesis. Langkah paling akgir dalam model McKinesy ialah penyajian akhir. 6.4. Pencegahan bencana alam Bencana alam serta kesehatan merupakan katakis bermanfaat bagi kemelekan informasi karena kedua bencana itu merupakan motivator pemaksa bagi keluarga serta komunitas untuk mencari serta menerapkan informasi. Tatkala terjadi bencana tsunami yang menerjang Asia Selatan dan tenggara pada tgl 24 Desember 2004, maka seorang gadis kecil berusia 10 bernama Tilly Smith dari Inggris berhasil menghindarikan korban tsunami karena dua minggu sebelum berlibur, dia mempelajari gejala tsunami kemudian ketika berlibur berhasil meyakinkan orang-orang tentang gejala tsunami sehingga pantai dikosongkan. Hasilnya tak seorangpun jadi korban tsunami(Sayers, 2006). Bila membaca surat kabar Januari 2005, korban bencana di Nias lebih sedikit daripada di Aceh karena penduduk Nias memahami gejala bahwa bila air tib-tiba surat pasti akan diikuti air pasang yang ebsar. Hal ini merupakan kearifan lokal yang sayangnya tidak disebarluaskan. Kesehatan serta munculnya penyakit dapat dicegah atau diatasi dengan kemelekan informasi. 7. Kendala kemelekan informasi Bila memeriksa literatur kemelekan informasi serta dikaitkan dengan negara berkembang, maka terdapat beberapa kendala sebelum kemelekean informasdi dapat diwujudkan. Kendala pertama ialah kesenjangan digital yaitu kesenjangan antara orang/komunitas yang punya akses ke komputer derngan orang/komunitas yang tidak memiliki akses ke komputer. Bila Internet dijadikan indikator kesenjangan digital, maka antara Indonesia dengan negara maju lainnya di Asia Tenggara masih terdapat kesenjangan digital. Bila dirunut lagi untuk Indonesia, maka kesenjangan digital dengan indikator akses ke Internet, pun di Indonesia masih terdapat kesenjangan.
Year 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tabel 1 Internet users in Indonesia Subscribers Users 134.000 512.000 256.000 1.000.000 400.000 1.900.000 581.000 4.200.000 667.000 4.500.000 665.706 8.080.000 1.087.428 11.226.143 1.500.000 16.000.000 Sources : Data statistik APJII 2004 http://www.apjii.or.id, 3 Desember 2006
Jumlah pemakai Internet masih berkisar sekitar 20% dari penduduk Indonesia. Kendala kedua ialah mayoritas literatur kemelekan informasi tercetak dalam bahasa Inggris yang tidak selalu dipahami komunitas. Dalam hal dokumen dalam bahasa Inggris, masih belum banyak dokumen yang tersedia dalam Bahasa Indonesia sehingga pemakai
15
yak selalu dapat mencernakannya. Kendala ketiga ialah informasi yang berlebih-lebihan sehingga penulis Shenk menjulukinya sebagai data smog (Sayers, 2006). Bagi mereka yang menghadapi kendala di atas akan menimbulkan kemiskinan informasi yang didefinisikan sebagai situasi tatkala individu/komunitas dalam konteks tertentu tidak memiliki ketrampilan yang diperlukan, kemampuan atau bahan yang diperlukan untuk mengakses informasi menafsirkan serta menggunakan informasi secara efisien (Britz, 2004). 8. Bagaimana dengan Indonesia. Kemelekan informasi sudah mulai dilakukan, terutama di perpustakaan perguruan tinggi serta perpustakaan sekolah dalam lingkungan terbatas. Berdasarkan wawancara, perguruan tinggi semacam UI, Universitas Brawijaya telah mulai melakukan kegiatan kemelekan informasi. Ailien (2004) menunjukkan adanya kegiatan melek informasi di sekolah di Jakarta. Lattuputy dalam berbagai kegiatan APISI. Di lingkungan perpustakaan umum praktis aktivitas melek informasi baru tahap awal berupa pendidikan pemakai. Dasar ini masih belum ditambah dengan kemelekan komputer karena banyak kepala kabupaten/kota menganggap komputer tidak perlu untuk perpustakaan. Dengan demikian masih terbentang jalan panjang kemelekan informasi meruyak sampai ke ruang publik. Peran perpustakaan banyak diharapkan dalam kegiatan kemelekan informasi, terutama dari perpustakaan umum, sekolah serta perguruan tinggi. 9. Penutup Kemelekan informasi dimulai sekitar tahun 1970an sebagai tanggapan atas mermbanjirnya informasi serta kesulitan dalam menelusur informasi yang banyak itu. Dalam konteks itu, kemelekan informasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengakses, menilai dan menggunakan informasi dari berbagai sumber. Definisi lain yang dikemukakan oleh sumber lain seperti ALA pun hampir sama. Pada kemelekan informasi terdapat 4 model yang lazim digunakan yaitu The Big 6, Seven Pillars of Information Literacy versi SCONUL, Empowering Eight yang menggunakan model Tujuh Pilar namun mengakui kondisi lokal dan budaya setempat serta Seven faces of information literacy versi Bruce, banyak digunakan di Australia. Pelaksanaan program kemelekan informasi menghadapi kendala adanya kesenjangan digital, kesulitan bahasa karena umumnya literatur dicetak dalam bahasa Inggris, informasi yang terlalu banyak yang menimbulkan kemiskinan informasi. Untuk mengatasi kendala tersebut, diperlukan kerjasama antara berbagai pihak. Kemelekan informasi digunakan untuk pendidikan, penelitian juga mengatasi dan atau mencegah bencana alam serta penyakit. Dalam aktivitas itu, di Indonesia sudah mulai dilakukan oleh perpustakaan perguruan tinggi, sekolah namun di lingkungan perpustakaan praktis tidak ada. Maka perjalanan menuju masyarakat yang melek informasi di Indonesia masih panjang dan lama
16
Bibliografi American Library Association. (2204). Information literacy competency standards for higher education http://www.ala/org/ala/acrl/acrlstandards/informationliteracycompetency.ht m Association of College and Research Libraries. (2000). Information literacy competency standards for higher education. Chicago,IL.: American Library Association. http://www.ala.org/acrl/ilcomstant.html. Australian School Library Association. (2006). A teacher librarian advocate’s guide to building information literate school communities. 2nd ed. ASLA. Britz, Johannes J. (2004). To know or not to know: a moral reflection on information poverty. Journal of Information Science, 30 (3):192-204 Bruce, C. (1997). The seven faces of information literacy. Adelaide: Auslib Press Burke, Gerald; Germain, Carol Anne and Xu, Lijuan. (2005).iInformation literacy: bringing a renaissanve to reference. Portal: Libraries and the Academy 5 (3) July:353-370 Carbo, T. (1997). Mediacy: knowledge and skills to navigate the information superhighway. Dalam: Infoethics Conference: Monte Carlo, Monaco, 10-12 March 1997. Paris: Unesco. http://www.unesco.org/webworld/infoethics/speech/carbo.htm Development of Information Literacy Through School Libraries in Southeast Asian Countries Final Workshop, Bangkok, September 2005. (2005). Proceedings of the Final Workshop, 19-22 September 2005 Edited by Gerald H. Brown. Bangkok: UNESCO. Donaldson, Christy A. (2004). Information literacy and the McKinsey Model: the McKinsey strategic problem-solving model adapted to teach information literacy to graduate business students. Library Philosophy and Practice, 6 (2) http://www.webpages.uidaho.edu/~mbolin/donaldson.html. Diunduh 30 November 2007 Doyle, C. (1992) Outcome measures for information literacy within the national education goals of 1990: final report of the National Forum on Information Literacy: Summary of findings. Washington,D.C.: Department of Education. ERIC Document no.ED 351 033 IFLA/ALP Information Literacy and IT Workshop, Wellington, New Zealand. (2006). [Power point presentation.] Kenendy, Colleen. (2005), Teaching information literacy to the advanced writing class in three session. Electronic Jourbnal of cademic and Special Librarianship, 6 (1-2) http://southernlibrarianship.icaap.org/content/v06no1/kennedy_c01.htm Lloyd, Annemaree. (2003). Information literacy: the meta-competency of the knowledge economy? An exploratory paper. Journal of Librarianship and Information Science 35 (2):87-92 Lloyd, Annemaree. (2005). Information literacy: different context, different
17
concepts, different truth? Journal of Librarianship and Information Science, 37 (2):82-88 Mackey, Thomas P. and Ho, Jinwon.(2005). Implementing a convergent model for information literacy: combining research and web literacy. Journal of Information Science, 31 (6):541-555 Matoush, Toby Leigh. (2006). New forms of information literacy. Reference Service Review, 34 (1):156-163 Norgaard, Rolf. (2004). Writing information literacy o in the classroom. Reference & User Services Quarterly, 43 (3) Spring:220-226 Orr, Debbie and Cribb, Jackie. (2003). Information literacy: is it worth the investment? AARL, 34 (1) http://alia.org.au/publishing/aarl/34.1/full.text/orr.cribb.html. Pask, Judith M. And Saunders, E. Stewart. (2004). Differentiating information skills and computer skills: a factor analythic approach. Portal: Libraries and the Academy, 4 (1):61-74 The Prague Declaration. (2004). Teacher Librarian, 31 (3):53-4 Sauperl, Alenka, Novljan, Silva and Grcar, Andreja. (2007). Information literacy programs at the University of Ljubljana. Journal of Academic Librarianship, 33 (2):294 Sinikara, Kaisa and Jarvelainen, Leena. (2003). Information literacy in Finland. Library Review, 52 (7):333-39 Sayers, Richard. (2006). Principles of awareness-raising for information literacy: a case study. Bangkok: UNESCO Bangkok. http:www.nclis.gov/libin ter/infolitconf$meet/post-infolicobf&meet/Prague Declaration.pdf Standing Conference of College, National and University Libraries (SCONUL). (1999). Information skills in higher education: a SCONUL position paper. London: SCONUL http://www.sconul.ac.uk/pubs_stats/pubs/99104Rev1.doc Webber, Sheila and Johnston, Bill. (2000). Conceptions of information literacy: new perspectives and implications. Journal of Information Science, 26 (6):381-97 Wijetungge, Pradeepa anf Alahakoon, U.P. (2005). Empowering 8: the information literacy model developed in Sri Lanka to underpin changing education paradigms of Sri Lanka. Sri Lanka Journal of Librarianship and Information management, 1 (1):31-41
18