KELUARGA PEMULUNG DI KELURAHAN LEGOK, KECAMATAN TELANAIPURA, KOTA JAMBI NISAUL FADILLAH & WENNY DASTINA Abstrak Artikel ini membicarakan tentang keadaan pemulung di Kelurahan Legok, sebuah daerah di Jambi yang sering identik dengan kemiskinan. Memakai pendekatan antropologis, artikel ini mengambil delapan informan pemulung. Dalam artikel ini, penulis memfokuskan pada keadaan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan mereka. Keadaan sosial tersebut menjadi pijakan untuk mengidentifikasi harapan-harapan pemulung. Kata Kunci: pemulung, keadaan sosial, harapan, kemiskinan.
Pendahuluan Berdasarkan data dari BPS dan Depsos, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2002 mencapai 35,7 juta jiwa dan 15,6 juta jiwa (43%) di antaranya termasuk kategori miskin dan fakir miskin. Secara keseluruhan, persentase penduduk miskin dan fakir miskin terhadap total penduduk Indonesia adalah sekitar 17,6% dan 7,7%. Ini berarti bahwa secara rata-rata jika ada 100 orang Indonesia berkumpul, sebanyak 18 orang di antaranya orang miskin, yang terdiri atas 10 orang bukan fakir miskin dan 8 orang fakir miskin. Perkembangan kota yang pesat, sempitnya lapangan kerja, serta banyaknya masalah tenaga kerja yang belum teratasi di daerah, menyebabkan kaum migran datang ke kota untuk mencari pekerjaan. Semakin padat jumlah penduduk dan semakin meningkat pengangguran akibat PHK dan rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dimiliki serta sulitnya mencari pekerjaan akibat keterbatasan lapangan
312
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
pekerjaan yang tersedia, mengakibatkan kaum migran tersebut bertahan hidup dengan memilih pekerjaan sebagai pemulung. Pemulung pada umunya mengambil berbagai barang bekas tersebut di tempat pembuangan sementara (TPS), tempat pembuangan akhir (TPA), jalan raya, rumah-rumah makan, supermarket, pasar tradisional, pertokoan, terminal, tempat wisata/rekreasi, rumah ibadah, sekolah maupun kampus dan perkarangan rumah orang. Pola kehidupan mereka di wilayah perkotaan cenderung kumuh dan mengelompok di kantong-kantong kemiskinan. Di samping itu, tidak dapat dipungkiri, kehadiran pemulung di tengah-tengah kehidupan masyarakat kota Jambi mempunyai peran tersendiri dalam membantu warga masyarakat dan pemerintah untuk menciptakan kebersihan di lingkungan Kota Jambi. Selain itu, memberikan keuntungan bagi pabrik-pabrik tertentu, karena jasa-jasa dari para pemulung yang telah mengumpulkan barang-barang bekas yang diperlukan oleh pabrik untuk didaur ulang kembali. Jenis-jenis pemulung itu sangatlah variatif sesuai dengan pekerjaan mereka di lapangan. Di antara mereka ada yang disebut pengais langsung di lokasi tertentu dan pengais yang bergerak (mobile), pengepul/lapak (kolektor/pedagang pengumpul barang bekas yang didapat dari pemulung), dan pendaur ulang barang-barang bekas. Namun, kehidupan sosial ekonomi mereka sangatlah memprihatinkan karena tidak mampu memberikan kesejahteraan yang layak bagi keluarganya. Pemulung menjual barang bekas tersebut kepada pengepul/lapak dengan nilai harga yang sangat rendah, sedangkan pengepul/lapak meraup untung yang sangat besar. Pada umumnya jika orang tuanya bekerja sebagai pemulung maka anaknya ikut membantu orang tuanya bekerja sebagai pemulung juga agar dapat menambah pendapatan keluarga. Dengan demikian, anak-anak dalam hal ini menjadi korban kemiskinan terpaksa mengikuti jejak orang tuanya sebagai pemulung, padahal seharusnya waktu mereka pergunakan untuk menikmati pendidikan di bangku sekolah. Berdasarkan fenomena tersebut di atas, penulis ingin mengetahui
Nisaul Fadillah & Wenny Dastina, “Keluarga Pemulung di Kelurahan...” |
313
lebih jauh tentang bagaimana profil keluarga pemulung yang bermukim di Kelurahan Legok, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi.
Pemulung, Kemiskinan, dan Sekilas Metode Artikel ini berangkat dari teori-teori tentang pemulung yang dikemukakan oleh Jhon Vogler,1 Parsudi Suparlan,2 dan Y. Argo Twikromo.3 Dalam pandangan pemerintah, pemulung dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu pemulung gelandangan (pemulung liar) dan pemulung menetap. BKKBN dalam menetapkan garis kemiskinan menggunakan lima lima tahap keluarga sejahtera, yaitu keluarga prasejahtera, keluarga sejahtera tahap I, keluarga sejahtera tahap II, keluarga sejahtera tahap III, dan keluarga sejahtera III plus.4 Sementara ciri-ciri kelompok rumah tangga miskin menurut Badan Pusat Statistik adalah: rumah tangga miskin dilihat dari jumlah pekerja dan keadaan tempat tinggal, pemilikan dan penguasaan lahan pertanian, tingkat pendidikan, dan pendapatan keluarga. Keadaan rumah tangga miskin diidentifikasikan dengan skor indeks komposit tempat tinggal untuk atap, dinding, dan lantai. Berdasarkan perhitungan, diperoleh kesimpulan bahwa sebagian besar keadaan tempat tinggal rumah tangga miskin belum memenuhi persyaratan kesehatan yang memadai begitu juga dengan lahan pertanian yang relatif sempit dan tingkat pendidikan rendah. Artikel tentang pemulung ini ditulis berdasarkan penelitian penulis di Kelurahan Legok, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi. Penelitian tersebut merupakan penelitian kualitatif menggunakan snowball sampling dan key person dalam penentuan informan.5 Kriteria informan
1
2 3
4 5
Jhon Vogler, Lapangan Kerja dari Sampah, (Nusa Tenggara Barat: Yayasan Swadaya Pembangunan, 1983). Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995). Y. Argo Twikromo, Pemulung Jalanan: Konstruksi Marginalitas dan Perjuangan Hidup dalam Bayang-bayang Budaya Dominan, (Yogyakarta: Media Presindo, 1999), hlm. 75. Twikromo, Pemulung Jalanan, hlm. 75. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, ( Jakarta: Kencana, 2008).
314
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
adalah keluarga pemulung yang ada di Kelurahan Legok yang memenuhi syarat, di antaranya pemulung tersebut sudah berkeluarga atau pernah menikah (janda/duda) dan keluarga pemulung tersebut berdomisili di Kota Jambi. Data dikumpulkan menggunakan wawancara mendalam (in-depth interview), observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yakni dengan menafsirkan data, mamaknai melalui kalimat-kalimat logis dan jelas berdasarkan perolehan dari temuan di lapangan. Teknik ini digunakan untuk menganalisa data tentang permasalahan yang dihadapi oleh informan.
Keluarga Pemulung di Kelurahan Legok, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi Keluarga Latif Latif (40 tahun) memiliki seorang istri dan 7 orang anak, 5 di antaranya sedang mengenyam pendidikan baik di kelas menengah atas maupun menengah pertama dan sekolah dasar serta satu anak balitanya yang masuk di kelas play group. Sementara dua anak lainnya masih batita. Latif sendiri dan istrinya adalah lulusan sekolah menengah atas. Keluarga Rusli Rusli (39 tahun) dan istrinya Almariza (37 tahun) tinggal satu lingkungan RT dengan Keluarga Latif, yakni RT 16, Kelurahan Jelutung. Semula ia bertolak dari Sekayu, Sumatera Selatan, karena penghasilannya sebagai penarik becak sudah tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Keluarga Hermanto Hermanto memiliki seorang istri dan tujuh anak, satu di antaranya pasangan kembar yang salah satunya diadopsi oleh saudaara istrinya sendiri. Saat ini Hermanto tinggal dengan dua anak gadisnya berusia 17 dan 15 tahun, karena empat anak lainnya sudah meninggal saat masih bayi.
Nisaul Fadillah & Wenny Dastina, “Keluarga Pemulung di Kelurahan...” |
315
Keluarga Husin Pasangan manula ini terdiri atas Husin (perkiraaan berumur 80 tahunan, tidak ada informasi yang jelas) dan Hamidah istrinya berusia 70 tahun. Husin dan Hamidah merupakan orang tua dari Rusli. Seperti halnya Rusli, Husin mengikuti jejak anak-anaknya di Kota Jambi dengan menjadi pemulung. Sebelumnya ia sendiri adalah tukang becak di kota asalnya Sekayu, sedangkan istrinya menjadi pembantu rumah tangga. Keluarga Megawati Megawati adalah seorang singel parent (40 tahun), ia ditinggal begitu saja oleh suaminya sejak tiga anaknya masih kecil-kecil di tempat asalnya, Sekayu, Sumatera Selatan. Untuk berjuang hidup, Megawati memenuhi ajakan saudaranya untuk mencari penghidupan di Kota Jambi. Keluarga Zaenab Zaenab (36 tahun) adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya 3 tahun yang lalu. Ia awalnya datang ke Jambi dari daerah asalnya Sekayu dengan menjadi seorang pedagang ayam potong bersama suaminya. Tempat tinggal sebelumnya di daerah Kasang. Setelah suaminya meninggal kehidupan Zaenab sangat menyedihkan. Ia terpaksa di usir dari rumah kontrakannya karena tidak sanggup lagi membayar, ditambah lagi utangnya sebagai modal berdagang ayam. Keluarga Yusmi Yusmi (45 tahun) beserta suami dan keluarganya terdiri atas lima anak, satu menantu, dan satu cucu tinggal satu atap. Walaupun ia mempunyai suami namun sejak lama sekitar 11 tahun yang lalu suaminya sudah tidak bisa mencari nafkah karena sakit yang menahun. Yusmi akhirnya berperan ganda baik sebagai ibu maupun pencari nafkah.
316
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
Keluarga Rasmi Sama halnya dengan Megawati, Rasmi juga adalah seorang single parent. Ia ditinggal suaminya meninggal dunia sekitar 1 tahun yang lalu. Selanjutnya Rasmi hanya tinggal berdua dengan anaknya yang berusia 9 tahun dan masih duduk di kelas dua Sekolah Dasar.
Kendala Keluarga Pemulung dalam Menjalankan Kehidupan Menurut Yusmi (45 tahun), pekerjaan memulung lebih mudah ditekuni dibandingkan pekerjaan lain semisal pembantu rumah tangga atau buruh karena jam kerja yang bisa diatur sendiri, tidak terikat dengan aturan tertentu dan tidak perlu keterampilan khusus. Katanya, “Kalo (memulung) ini aku santai, cucu masih terurus, anak masih terurus…”6 Dirinya sudah bekerja menjadi pemulung sejak sebelas tahun lalu sampai sekarang. Selama ini dia merasa tidak terbebani apalagi suaminya sudah tidak lagi bisa memenuhi nafkah keluarga karena sakit yang menahun. Sebaliknya, Hermanto mengatakan bahwa awalnya dirinya bekerja sebagai buruh bangunan dengan upah yang dibayar mingguan dan kadang bulanan. Hitungannya cukup lumayan, namun dibandingkan dengan tenaga yang dikeluarkan, upah ini dinilai tidak sebanding. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk bekerja sebagai pemulung yang bisa dilakukan setiap hari.7 Lain halnya dengan Zaenab. Sebelumnya, dia berjaulan ayam di Pasar Angsoduo dengan modal pinjaman. Ternyata pekerjaan ini tidak sesuai dengan harapannya, karena terus merugi. Akhirnya dia memutuskan bekerja memulung.8 Keadaan Sosial dan Status Sosial Keluarga Pemulung Keluarga pemulung ini cenderung eksklusif, mengelompok. Di Kelurahan Legok sendiri terkonsentrasi di beberapa titik seperti di RT 16 6 7 8
Wawancara, 31 Agustus 2010. Wawancara, 4 September 2010. Wawancara, 7 September 2010.
Nisaul Fadillah & Wenny Dastina, “Keluarga Pemulung di Kelurahan...” |
317
dan RT 36 di lingkaran Danau Sipin dalam kelurahan yang sama. Kecenderungan mengelompok ini didasarkan atas pertimbangan kesamaan status sosial dimana masyarakat yang datang dari kelas sosial yang sama dan cenderung memiliki tingkat toleransi yang tinggi kepada sesamanya. Selain itu juga, tidak semua masyarakat mau meneriam kehadiran pemulung. Dari wawancara yang dilakukan, tampak penerimaan sosial antara pemulung dan lingkungannya berbeda satu sama lain. Di lingkungan Yusmi tinggal (Kelurahan Jelutung), penerimaan masyarakat terhadap keluarganya agak kurang. Kegiatan-kegiatan sosial warga di lingkungan RT maupun kelurahan baik itu formal misalnya kerja bakti, arisan RT maupun nonformal seperti pernikahan, kegiatan keagamaan pun tidak pernah melibatkan keluarganya. Lain halnya yang disampaikan oleh Hermanto, dia merasa lingkungan dimana dia tinggal sangat terbuka terhadap kehadiran pemulung. Dalam beberapa kegiatan di tingkat RT seperti pengajian,arisan mereka diundang secara rutin. Permasalahan justru datang dari pemulung itu sendiri karena bekerja berat sehingga waktu untuk bersosialisasi itu sendiri terbatas. Selain itu, ada kegiatan-kegiatan yang dilakukan dari rumah ke rumah. Sebenarnya warga pun tidak pernah keberatan jika Hermanto menjadi tuan rumah dengan fasilitas seperti apa adanya, namun justru Hermanto sendiri merasa minder dan rendah diri. Pernyataan ini sejalan dengan pengalaman Rasmi. Lingkungan tempat dia tinggal sebelumnya, Kelurahan Jelutung, cukup menerima kehadirannya. Dalam beberapa kegiatan arisan serta pengajian di lingkungannya, dia diajak serta oleh tetangganya. Keadaan Ekonomi Latif (40 tahun) merasa bahwa penghasilannya sendiri yang rata-rata Rp. 50.000 per hari, dengan 7 anak bersekolah dan 1 istri, tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Apalagi dia harus mengontrak sebuah rumah dengan biaya sewa Rp. 200.000 per bulan. Sebenarnya
318
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
dia bisa sedikit berhemat dengan tinggal di rumah bedeng, namun karena anak yang masih kecil-kecil, yang dikhawatirkan menganggu kenyamanan tetangga, dia terpaksa menyewa sebuah rumah. Selama ini Latif memulung menggunakan gerobak yang dipinjamkan pemilik lapak. Seiring tuntutan, Latif membeli sepeda motor agar wilayah pulungannya lebih luas. Untuk membantu mencari tambahan penghasilan, istri Latif menjadi pembantu rumah tangga paruh waktu dengan gaji bulanan sebesar Rp. 500.000. Selain itu, anak-anak Latif yang lelaki, yang masih duduk di bangku SD, ikut bekerja mencari tambahan uang dengan menjadi penjual kantong plastik di Pasar Angsoduo. Masingmasing bisa mendapat rata-rata Rp. 20.000 per hari. Megawati, yang tinggal tidak jauh dari rumah Latif, memulung dengan langsung memungut dari rumah tangga dan tanpa modal. Dengan berjalan kaki bermodalkan karung dan ganco, Megawati keluar dari rumah dari pagi hingga siang. Hasil pulungannya kemudian dikumpulkan dan dijual ke pengumpul setelah seminggu kemudian. Sepengakuan Megawati, setiap hari dia bisa mendapatkan uang antara Rp. 4.000-Rp 10.000, tergantung barang bekas yang didapatkan. Jika mendapatkan kardus, botol bekas, dan plastik, dia hanya bisa mendapatkan sedikit uang. Tapi jika mendapat besi, alumunium, serta barang-barang bekas peralatan memasak, dia bisa mendapatkan uang lebih banyak karena biasanya barang-barang seperti itu masih mempunyai nilai jual lebih tinggi, yaitu Rp 7.500 per kg. Mereka selalu mengumpulkan semua barang bekas yang didapatkan selama seminggu sebelum kemudian menjualnya. Hal itu dimaksudkan agar mereka bisa mendapatkan uang lebih banyak dan terkumpul. Pendapatan yang diperoleh Megawati setiap minggu berkisar antara Rp. 60.000-Rp 150.000. Untuk menggambarkan penghasilan pemulung, berikut tabel ratarata jam kerja dan penghasilan per hari:
Nisaul Fadillah & Wenny Dastina, “Keluarga Pemulung di Kelurahan...” |
319
No Nama KK Kerja Per Hari Penghasilan Per Hari (Jam) (Rp) 1 Latif 11 s/d 12 50,000 2 Rusli 9 40,000 3 Hermanto 11 s/d 13 58,000 4 Husin 9 30,000 5 Megawati 4 s/d 5 15,000 6 Zaenab 6 21,000 7 Yusmi 6 20,000 8 Rasmi 7 40,000 Tabel: Rata-rata jam kerja dan penghasilan pemulung per hari
Pendidikan Pemulung umumnya tidak pernah mengenyam pendidikan, seperti Hermanto, Megawati, Yusmi, Rasmi. Akan tetapi tidak demikian dengan Pak Latif dan istrinya, keduanya lulusan SLTA. Latif menuturkan: Sebenarnya Bu, dengan mulung ajo dak sekolah anak. Terus terang bae tidak cukup, cuma istri sayo jugo kerjo rumah tanggo. Anak sayo sorenyo jual kantong asoy. Sekolah pagi, sore jual sangkek. Kalu dak cak itu, dak idup anak sekolah. Kalo cuman ngerobet, biso anak dak sekolah.9 (Sebenarnya dengan memulung saja anak tidak akan bisa bersekolah. Terang saja tidak cukup. Cuma istri saya juga ikut kerja sebagai pembantu rumah tangga. Anak saya sorenya juga bekerja. Sekolahnya di pagi hari, sore harinya berjualan kantong plastik. Kalau tidak seperti itu, bisa-bisa tidak hidup dengan anak-anak yang bersekolah. Kalau hanya mengandalkan hasil memulung, anak-anak tidak bisa bersekolah.)
Kondisi yang dialami oleh keluarga Latif kadang tidak terjadi pada semua keluarga pemulung, yakni anak-anak dari keluarga tersebut harus mengalami putus sekolah. Anak-anak Megawati sebanyak tiga orang terpaksa putus sekolah karena hasil pulungan Megawati tidak 9
Wawancara, 2 September 2010.
320
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
mencukupi untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Hermanto pun memberikan kesempatan kepada dua anak yang ikut dengannnya untuk bersekolah sebatas kemampuannya. Namun satu diantaranya memilih tidak melanjutkan ke SLTA, sementara adiknya tetap meneruskan sekolahnya sampai ke jenjang SLTA. Hermanto sendiri sadar pendidikan sekolah dan agama penting, karena itu selain mendapat pendidikan agama di sekolah, di rumah pun anaknya disuruh mengaji dengan tetangganya Ibu Yusmi mengalami hal yang tak kalah getir. Dua anak laki-laki sulungnya juga tidak bisa disekolahkan dengan baik, hanya sebatas SMP karena persoalan biaya sehingga dinikahkan di usia muda. Kesehatan Lingkungan tempat tinggal pemulung di RT 16 adalah lahan ilegal, kawasan ini termasuk cagar budaya, namun dimanfaatkan oleh oknum pemerintah untuk lahan bisnis sewa rumah dan bedengan. Kondisi bangunan yang tidak permanen ini jauh dari kesan sehat dimana lantai masih tanah, sebagian ada yang sudah disemen, namun umumya tanah, atap dari daun rumbia, sebagian diganti seng oleh penyewa sendiri karena selalu bocor jika diterpa hujan, dan tidak ada ventilasi yang cukup serta umumnya tidak memiliki jendela, kalaupun ada hanya dibuat seadanya. Dinding bangunan umumnya dari serpihan papan dan gedek yang sebagain sudah rapuh dan ditempeli dengan kertas koran, kecuali bangunan rumah Latif yang semi permanen. Di RT 16 tempat Hermanto, Latif, Megawati, Rusli dan Hamidah tinggal tidak tersedia MCK. Sumur yang ada dibangun dengan dana swadaya pemulung, sedangkan untuk minum mereka harus membeli air dengan harga Rp. 100 per ember. Lainnya adalah buang air kecil dan besar dilakukan di kali. Belakangan kurang lebih setahun terakhir, pihak pemerintah mendirikan MCK umum namun ini pun tidak berfungsi maksimal karena air sumur yang tidak layak konsumsi dan mesin pompa air yang tidak disedikan sumber listriknya. Sementara itu Yusmi dan Rasmi sendiri menempati sebuah rumah
Nisaul Fadillah & Wenny Dastina, “Keluarga Pemulung di Kelurahan...” |
321
yang dibangun sendiri dari serpihan papan dan atap rumbia di atas lahan kosong. Kebetulan pemiliknya mengizinkan Yusmi dan Rasmi berserta keluarganya untuk tinggal di atas lahan kosong miliknya. Status kepemilikan itu pula yang membuat bangnan ini pun tidak punya kelengkapan layaknya rumah sehat, jamban yang terbuka yang dekat dengan rumah serta sumber air dari sumur yang ditinggal pemiliknya dan dipakai bersama-sama. Ukuran rumah pun sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah penghuninya seperti bangunan milik Rasmi yang tinggal berdua dengan anak lai-lakinya berusia 9 tahun berukuran 9 meter persegi, sedangkan Yusmi dengan 3 anak dan suaminya berukuran 20 meter persegi, tidak tersedia kamar tidur dan terkadang untuk memasak pun dilakukan di teras depan rumahnya. Fungsi rumah pun bagi keluarga pemulung umumnya menjadi tempat tumpukan barang rongsokan hasil pulungan yang tidak langsung dijual melainkan dikumpulkan untuk jangka waktu satu minggu sampai satu bulan di bawah rumah seperti yang dilakukan Yasmi dan Rasmi, atau Latif dan kawan-kawannya di RT 16, yang ditaruh di sekitar rumah. Barang-barang ini untuk selanjutnya dijual di lapak kecil. Hal ini menimbulkan persoalan lain, yakni bau yang menyengat, debu, serta genangan air. Kelompok ibu-ibu seperti Zaenab, Megawati, Yusmi, dan Rasmi bisa memulung dengan berjalan kaki. Biasanya mereka membawa kelengkapan seperti karung dan parang. Untuk memungut rongsokan seperti bahan plastik, kaleng dan lain-lain dia langsung memungutnya dengan tangan telanjang tanpa gancu. Alasannya adalah agar lebih efisien dan praktis saja. Seperti penuturan Zaenab, “Pake gancu tu payah… Apolagi kaleng nak ngambiknyo payah… Kalo bongkar pake gancu, ngambik pake tangan…” (Pakai gancu itu susah... Apalagi kaleng, untuk memungutnya susah… Kalau membongkar pakai gancu, memungut pakai tangan). Keluarga pemulung ini umumnya rentan dengan penyakit. Ketika penulis berkunjung ke rumah-rumah keluarga pemulung ini terlihat
322
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
banyak barang hasil pulungan di bawah rumah maupun disamping rumah, kebetulan suami Yusmi sedang di rawat di rumah sakit karena sakit paru-paru. Hermanto sendiri sudah kehilangan empat anaknya ketika masih bayi karena sakit muntaber. Malangnya tidak semua anggota keluargakekluarga pemulung ini memiliki akses untuk pengobatan murah seperti jamkesmass, seperti yang dialami oleh Yusmi. Ketua RT tidak mau mngeluarkan surat keterangan miskin sebagai syarat pembuatan kartu dengan alasan yang tidak masuk akal. Beratnya biaya pemulihan suaminya yang dirawat di rumah sakit, diselesaikan oleh Yusmi dengan meminjam dari rentenir. Kondisi ini juga menimpa Kelurga Zaenab, anak-anak Zaenab terpaksa berobat ke Puskesmas jika sakit. Dia tidak memiliki KK dan KTP karena biaya pengurusannya mahal sehingga untuk memperoleh kartu Jamkesmas pun menjadi terhambat. Zaenab akhirnya lebih memilih berobat ke puskesmas dengan layanan umum atau membeli obat-obatan dari warung.
Harapan Keluarga Pemulung Keluarga-keluarga pemulung ini juga memendam harapan akan hidup yang lebih baik, namun umumnya karena hanya mengenyam pendidikan rendah, akhirnya mayoritas mereka menjadi pesimis. Seperti Rasmi, ia sendiri mau memperbaiki taraf hidupnya namun ia sendiri tidak yakin bisa mendapat pekerjaaan lain dengan menggunakan keterampilan yang butuh ketelitian dan ketekunan. Ketika ditawari dengan pelatihan dan kursus-kursus gratis pun ia sendiri pesimis bisa menguasai materi pelatihan dengan baik. Namun Rasmi mau memulai usaha yang diidam-idamkannya sejak lama, yakni berdagang sebangsa rokok, jajanan dan bahan manisan lainnya dengan menggunkan gerobak yang mangkal di pinggir jalan. Menurutnya pekerjaan ini cukup bagus dan menjanjikan. Sayangnya ia sendiri tidak punya modal untuk memulai usaha ini dan jika harus berurusan dengan bank ia pun mengalami kesulitan karena harus
Nisaul Fadillah & Wenny Dastina, “Keluarga Pemulung di Kelurahan...” |
323
menyertakan agunan dan syarat-syarat yang tidak mungkin ia penuhi. Jika ada bantuan atau pinjaman dengan bunga ringan, Rasmi berniat untuk mengajukannnya. Harapan Rasmi pun senada dengan keinginan Zaenab. Rasmi mendambakan memiliki gerobak sendiri dengan berjualan bensin di pinggir jalan. Namun Zaenab akan terus memulung, waktunya ia di siang hari sedangkan berjualan bensin dilakukan di malam hari. Menurutnya, menjual bensin di malam hari cukup menjanjikan, karena banyak ia temui kendaraan bermotor yang kehabisan bahan bakar di malam hari dengan membeli eceran di pinggir jalan. Menurut Zaenab, modal yang ia butuhkan lebih-kurang Rp. 400.000 ditambah gerobak. Ia sendiri tidak mau mengajukan pinjaman kepada pihak mana pun karena utangnya pun masih tersisa Rp. 700.000 kepada seseorang ketika ia berjualan ayam potong. Husin dan istrinya sebenarnya sangat mendambakan di masa tuanya ia tidak lagi memulung menyusuri jalan. Harapannya adalah memiliki toko kecil, namun lagi-lagi terbentur masalah biaya. Menurutnya, sekalipun dipinjami dari pihak bank, ia sendiri takut jika meninggal dunia masih harus dibebani dengan sejumlah utang yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Oleh karena itu, jika modal diberikan tanpa syarat pengembalian, barulah ia mau menerimanya. Rusli sebenarnya tidak selamanya mau menjadi pemulung keliling. Sejak lama ia bercita-cita ingin menjadi pengumpul (lapak). Namun ia sendiri sadar bahwa untuk menjadi pengumpul membutuhkan modal yang tidak sedikit, setidaknya ia harus menyediakan dana sekitar Rp. 5 juta untuk memulai usaha ini. Alternatif lain yang diidamkan oleh Rusli adalah menjadi montir. Ia selama ini sering diajak oleh pemilik bengkel untuk membantunya memperbaiki kendaraan pelanggannya yang rusak. Dengan belajar otodidak selama ini, ilmu montir yang dimiliki Rusli tentu sangat terbatas, karena itu pelatihan atau kursus montir sangat dibutuhkannya.
324
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
Hermanto pun memendam harapan yang sama dengan Rusli, ia ingin menjadi pengumpul walaupun masih skala kecil. Untuk itu ia berharap bisa mendapat bantuan atau pinjaman berbunga lunak untuk menjadi modal usahanya. Walau demikian, cita-cita Hermanto untuk memiliki sepeda motor sudah tercapai walaupun hanya dengan cara mencicil. Latif pun tergerak untuk mendapat sejumlah uang untuk modal berdagang. Ia sendiri memprotes kebijakan pemberian bangtuan dan pinjaman kepada pihak yang sebenarnya tidak membutuhkan. Selama ini pemerintah memberikan bantuan memprioritaskan bagi peminjam yang telah memiliki usaha, padahal orang seperti Latif sangat ingin mendapat bantuan awal berupa modal dan kursus atau pelatihan untuk manajemen terkait dengan usaha tersebut. Yusmi pun lebih mengambil jalur dagang untuk memulai usahanya, namun lagi-lagi ia terbentur dengan modal. Oleh karena itu ia berharap dengan adanya pinjaman bunga riangan atau bantuan untuk suntikan modalnya. Namun demikian, ada juga yang sudah pesimis dengan hidupnya dengan memilih tetap menjadi pemulung. Mehgawati salah satunya. Dia merasa bahwa pekerjaaannya sekarang cukup untuk menghidupinya. Ia tidak mau terbebani dengan kebutuhan-kebutuhan di luar kemampuannya.
Pemulung dalam Analisis Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki kecenderungan untuk berkelompok. Jika melihat profil keluarga pemulung di Kelurahan Legok, pengelompokan yang terbangun ini terbatas pada kelompok masyarakat yang homogen kelas bawah seperti kuli bangunan, pedagang sayuran kakilima dan asongan, serta kelompok pemulung itu sendiri. Jenis pengelompokan kelas-kelas sosial yang hanya berlaku di kalangan para pemulung ini adalah jenis pengelompokan yang didasarkan pada setiap jenis usaha-usaha atau barang-barang yang didapatkan
Nisaul Fadillah & Wenny Dastina, “Keluarga Pemulung di Kelurahan...” |
325
oleh para pemulung serta alat transportasi yang digunakannya untuk menjalankan profesinya. Penghasilan yang mereka peroleh setiap hari umumnya tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan minimum (dasar) karena tingkat pendapatan yang kecil menyebabkan mereka berada pada standar tingkat hidup yang rendah dibandingkan dengan standar tingkat kehidupan yang umum. Mencari nafkah keluarga adalah kewajiban orangtua, namun pada keluarga pemulung keyataannya hampir semua anggota keluarga termasuk anak-anak di bawah umur pun terpaksa bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Setiap hari keluarga pemulung ini makan dengan frekuensi 2-3 kali sehari ditambah pula dengan variasi lauk-pauk mereka yang teramat sederhana. Bahanbahan baku biasanya mereka peroleh dari sisa-sisa sayuran ataupun ikan-ikan yang tidak terjual atau terjatuh yang mereka pungut ketika kebetulan melewati pasar pada saat memulung, sebagian lainnya membeli di warung. Walaupun pemerintah telah memberikan kebijakan terkait dengan pemenuhan hak-hak keluarga miskin seperti adanya Jamkesmas, Raskin, dan minyak tanah bersubsidi, kenyataannya masih ada yang belum bisa mengaksesnya. Keluhan yang umum disampaikan adalah kurangnya pengetahuan cara pengurusan dan kewajiban menyetor sejumlah uang kepada oknum petugas yang mengurusi masalah ini. Umumnya mereka tidak memiliki aset berupa tempat tinggal. Sebagian dari mereka hanya memiliki bangunan sederhana, sementara tanahnya adalah milik orang lain yang dipinjamkan sementara atau yang disewakannya. Sebagian lainnya menyewa tanah dan rumah yang tidak layak huni dengan sewa murah disertai kondisi rumah yang sangat memprihatinkan. Lingkungan tempat tinggal keluarga pemulung umumnya sangat kumuh. Kebiasaan mengumpulkan bahan hasil pulungan di sekitar rumah mengeluarkan yang tidak sedap, lembab dan berdebu. Kebiasaan lainnya adalah tidak semua pemulung membedakan antara pakaian kerja dan pakaian di rumah, selain itu
326
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
juga kebiasaan melakukan pekerjaan dengan peralatan seadanya tanpa sarung tangan atau pun menggunakan gancu, sehingga mereka rentan terhadap berbagai penyakit. Ketidakmampuan dari sisi ekonomi dan rendahnya tingkat pendapatan mereka berakibat seringnya keluarga pemulung ini meminjam uang kepada tetangga atau bos lapak. Ketika penghasilan keluarga pemulung saat ini tidak bisa membiayai kebutuhan anak-anak seperti pendidikan, generasi penerus dari keluarga pemulung ini akan putus sekolah. Minimnya pendidikan akan membawa mereka tidak bisa berkompetisi untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik, sehingga mereka pun tetap dalam lingkaran kemiskinan seperti orangtuanya. Lingkaran kemiskinan ini tentulah harus diputus rantainya. Pemerintah sebagai penjamin hak-hak pendidikan bagi warga negara Indonnsia harus dapat menelorkan kebijakan yang berpihak kepada kelompok masyarakat kelas bawah seperti pemulung. Tidak hanya itu, para orangtua kelompok miskin pun harus diselamatkan segera dengan memberdayakan potensi yang ada pada diri mereka. Banyak kendala yang dihadapi oleh keluarga pemulung ketika memilih berprofesi sebagai pemulung yang bisa dilihat dari berbagai aspek antara lain aspek sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Keluarga-keluarga pemulung ini juga memendam harapan akan hidup yang lebih baik, karena hanya mengenyam pendidikan rendah, akhirnya mayoritas mereka menjadi pesimis. Ada beberapa harapan yang diinginkan keluarga pemulung dalam penelitian ini, diantaranya adalah menginginkan diberikan bantuan modal usaha kecil atau pinjaman dengan bunga ringan dan bagi yang berusia lanjut (lansia) menginginkan modal usaha yang diberikan tanpa syarat pengembalian. Selain itu, ada pula yang menginginkan diberikan kursus atau pelatihan keterampilan serta pengetahuan manajemen yang terkait dengan usaha tersebut.
Kesimpulan Eksistensi keluarga pemulung di Kelurahan Legok, Kota Jambi,
Nisaul Fadillah & Wenny Dastina, “Keluarga Pemulung di Kelurahan...” |
327
menjadi fenomena tersendiri sebagai potret kehidupan masyarakat migran yang tidak memiliki keterampilan dan pendidikan yang cukup sehingga kalah bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Umumnya alasan utama memilih profesi sebagai pemulung dilatarbelakangi rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya keterampilan. Di samping itu, profesi pemulung bisa dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja, tanpa terikat aturan dan modal uang. Keluarga pemulung di Kelurahan Legok umumnya adalah pendatang dari luar Provinsi Jambi. Mereka tinggal dalam pemukiman yang eksklusif dengan berkelompok di beberapa wilayah di Kelurahan Legok dalam lingkungan dengan kelas sosial yang homogen.
328
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu, Kamus Lengkap Sosiologi, (Solo: Aneka, 1991). Azhari, Kusumawati, “Sketsa Masyarakat Pemulung Kota Bandung”, dalam Jurnal Sosioteknologi, Edisi 17, Tahun 8, Agustus 2009. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kemiskinan, ( Jakarta,Bappenas, 1993). Bungin, Burhan, Penelitian Kualitatif, ( Jakarta: Kencana, 2008). Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Depdikbud , 1998). Hudri, 400 Istilah untuk Pekerjaan Sosial, (Bandung: BPLTS Lembang, 1994). Iskandar, Jusman, & Carolina Nitimihardjo, Pengantar Penelitian Pekerjaan Sosial, (Bandung: Kopma STKS, 1411 H.). Kaslan, A., Ekonomi Selayang Pandang, ( Jakarta: Sumir, 1983). Lestari, Fuji, “Faktor-faktor yang Menyebabkan Anak Usia Sekolah Bekerja sebagai Pemulung dalam Rangka Menambah Pendapatan Keluarga di TPA Bakung Kecamatan Teluk Betung Barat Kota Bandar Lampung”, laporan penelitian tidak diterbitkan. Soelaiman, M.I., Pendidikan dalam Keluarga, (Bandung: Alfabeta, 1994). Mutawalli, Kemiskinan Masyarakat Pedesaan, ( Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987). Purba, Elvis F., “Pemberdayaan Sektor Informal Melalui Pemanfaatan Sampah dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan: Kasus Pemulung di Kota Medan”, tesis di USU Medan, 2002, tidak diterbitkan. Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999). Soekanto, Soerjono, Kamus Sosiologi Edisi Baru, ( Jakarta: Rajawali Pers, 1985). Suparlan, Parsudi, Kemiskinan di Perkotaan, ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995).
Nisaul Fadillah & Wenny Dastina, “Keluarga Pemulung di Kelurahan...” |
329
Twikromo, Y. Argo, Pemulung Jalanan: Konstruksi Marginalitas dan Perjuangan Hidup dalam Bayang-bayang Budaya Dominan, (Yogyakarta: Media Presindo, 1999). Vogler, Jhon, Lapangan Kerja dari Sampah, (Nusa Tenggara Barat: Yayasan Swadaya Pembangunan, 1983). Waluyo, Harry, & H.J. Wibowo, Pola Hubungan Klien dan Jaringan Sosial Masyarakat Pemulung di Yogyakarta, (Yogyakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Depdikbud, 1991).