38
BAB V KARAKTERISTIK PEMULUNG, KELUARGA PEMULUNG, KERJA PEMULUNG DAN LAPAK PEMULUNG 5.1 Karakteristik Pemulung Karakteristik pemulung merupakan ciri-ciri khusus yang memberikan gambaran tentang pemulung. Beberapa karakteristik pemulung yang akan dibahas diantaranya adalah usia pemulung, jenis kelamin, pendidikan terakhir, daerah asal pemulung, etnis pemulung, pengalaman kerja pemulung sebelumnya dan latar belakang kerja orang tua pemulung. Karakteristik individu dari pemulung disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik Pemulung di Lapak Pemulung Kelurahan Beji, Maret 2010 No.
Karakteristik Individu
Pemulung Frekuensi (n) Persentase (%)
Total (%)
Usia 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
a. Produktif ( 10-59) b. Non Produktif (> 59) Jenis Kelamin a. Laki-Laki b. Perempuan Pendidikan Terakhir a. Tinggi (> SMA) b. Rendah (< SMA) Daerah Asal a. Desa b. Kota Etnis a. Jawa b. Luar Jawa Pengalaman Kerja Pemulung Sebelumnya a. Petani b. Pedagang Kecil c. Pembantu Rumah Tangga d. Buruh bangunan Latar belakang Pekerjaan Orang Tua Pemulung a. Petani b. Pemulung c. Pembantu Rumah Tangga
Sumber : Data primer penelitian, Maret 2010.
9 0
100 0
9 (100) 0 (0)
5 4
55,6 44,4
5 (55,6) 4 (44,4)
0 9
0 100
0 (0) 9 (100)
9 0
100 0
9 (100) 0 (0)
9 0
100 0
9 (100) 0 (0)
4 1 2 2
44,5 11.1 22,2 22,2
4 (44,4) 1 (11,1) 2 (22,2) 2 (22,2)
6 2 1
66,7 22,2 11.1
6 (66,7) 2 (22,2) 1 (11,1)
39
5.1.1 Usia Pemulung Usia pemulung yang bekerja di Kelurahan Beji berada di dalam kisaran usia produktif, yakni 10-55 tahun. Usia produktif adalah usia dimana seseorang memiliki kemampuan untuk berusaha. Mengacu pada pendapat Chambers & Conway (dalam Ellis, 2000) yang dikutip oleh Stephanie (2008) menjelaskan mengenai unsur nafkah, bahwa dibutuhkan kemampuan atau kapabilitas agar dapat memanfaatkan aset yang dikuasainya sehingga ia dapat bertahan hidup. Pada kisaran usia produktif para pemulung dapat memanfaatkan semua modal yang mereka miliki untuk menjalankan usaha memulung. Pada lapak pemulung ini terdapat seorang anak (Tf) berusia 13 tahun yang turut serta memulung. Sebenarnya keikutsertaan Tf tidak diizinkan oleh kedua orang tuanya. Orang tuanya menginginkan Tf untuk melanjutkan sekolahnya yang terhenti di kelas 4 SD. Berikut pernyataan Ibu Snr :
“……….saya toh mba pengennya anak saya ngelanjutin sekolahnya. Waktu di wonosobo itu cuma sampai kelas 4, pengennya saya dia di Depok bisa ngelanjutin. Apalagi kan gratis kan ya mba SD itu. Tapi anak saya udah ga mau sekolah, pengennya mulung. Susah mba dibilanginnya..”
Keinginan Tf untuk memulung didasarkan atas kemauannya sendiri untuk membantu orang tuanya. Faktor lain yang mendorong Tf tidak mau melanjutkan sekolahnya adalah keengganannya untuk belajar kembali di sekolah.
5.1.2 Jenis Kelamin Profesi memulung mudah dimasuki oleh tenaga kerja, baik laki-laki ataupun perempuan. Mengacu pada Tabel 3, dapat terlihat bahwa perbandingan profesi memulung yang digeluti oleh laki-laki dengan perempuan hampir sama. Sebab baik laki-laki maupun perempuan yang tinggal di lapak ini turut serta bekerja sebagai pemulung. Bagi Ibu-ibu yang sedang memiliki bayi jam kerja memulung mereka akan dikurangi. Pemulung perempuan biasanya akan mengurus bedeng terlebih dahulu sebelum berangkat memulung. Beberapa pekerjaan yang rutin dilakukannya adalah memasak, menyapu, mencuci dan mengurus anak.
40
5.1.3 Pendidikan Terakhir Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh pemulung termasuk rendah. Mengacu pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa tidak ada pemulung yang menamatkan pendidikan SMA. Dari hasil penelitian di ketahui bahwa hanya terdapat empat pemulung yakni Bapak Sdr, Bapak Swn, Ibu Km dan Ibu Spn yang menamatkan pendidikan hingga SMP. Bapak Dmr dan Mas Agk hanya dapat menamatkan pendidikan sampai jenjang SD. Responden sisanya seperti Ibu Msm, Ibu Snr, dan Tf tidak menamatkan pendidikan di SD. Mereka memutuskan untuk berhenti sekolah ketika duduk di kelas 4 SD. Ibu Msm merupakan pemulung yang memiliki keterbatasan dalam membaca. Rendahnya tingkat pendidikan inilah yang membuat mereka tidak dapat memasuki sektor formal. Hal ini disebabkan oleh tingkat ekonomi keluarga yang miskin sehingga mereka hanya mampu sekolah sampai tingkat SD maupun SMP. Penghasilan yang kurang, jelas tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kondisi ini terlihat pada kasus Bapak Sdr, Ibu Km, Bapak Swn, Ibu Spn dan Ibu Msm yang orang tuanya dahulu hanya bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan yang rendah. Untuk memenuhi kebutuhan makan saja pas-pasan, apalagi untuk menambah pengeluaran untuk pendidikan. Masalah keterbatasan dana untuk sekolah terlihat pula pada kasus Mas Agk yang ibunya hanya bekerja sebagai buruh cuci. Keadaan ini membuat Mas Agk hanya mampu menamatkan pendidikan sampai tingkat SD. Berikut pernyataanya :
“……..orang tua saya ga bisa sekolahin saya sampai SMP mba, buat makan sekeluarga aja pas-pasan mba, apalagi buat ngelanjutin sekolah, kakak saya juga cuman sampai SD mba, ibu saya kan kerja nya cuma jadi buruh cuci, bapak saya juga udah meninggal waktu saya kecil”.
Keterbatasan dalam memperoleh pendidikan dirasakan pula oleh Ibu Msm. Ibu Msm tidak sempat menamatkan pendidikan SD. Hal ini karena, orang tuanya mengharuskan ia untuk bekerja. Berikut pernyataanya :
“…umur sembilan taun juga saya mah udah kerja jadi PRT neng, diajak ma tetangga, sekolah juga cuman sampe kelas 4, emak sama bapak nyuruh saya kerja, malah saya mah disuruh cepet-cepet, kata bapak biar ngurangin tanggungan, jadi ajah saya kawin umur tiga belas taun” .
41
Pendidikan yang rendah membuat para pemulung tidak dapat tertampung dalam sektor formal. Hal ini didukung pula oleh spesifikasi keterampilan yang dibutuhkan dan ditetapkan sektor formal tidak sesuai dengan keterampilan yang dimiliki oleh para pemulung.
5.1.4 Daerah Asal Dari penelitian yang ada selama ini, telah diketahui bahwa pekerja yang berada di sektor informal sebagian besar adalah masyarakat pedesaan yang ‘terlempar’ dari sektor pertanian karena kelebihan tenaga kerja ataupun pendapatan dari sektor pertanian tidak dapat menutupi kebutuhan hidup. Masyarakat dari desa, bermigrasi ke kota untuk mencari pekerjaan dan memperbaiki ekonomi rumah tangganya. Dari Tabel 3 diketahui bahwa para pemulung berasal dari desa. Para pemulung datang ke Depok dengan tujuan untuk mencari pekerjaan dan mengharapkan pendapatan yang lebih baik. Bapak Drm berasal dari Wonosobo, ia memutuskan pindah ke Depok karena menurutnya usaha pertanian sawah yang menjadi nafkah utamanya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Saat bekerja memulung di Depok Bpk Drm tidak membawa serta istri dan anaknya. Istri Bpk Drm yakni Ibu Snr akhirnya memutuskan merantau ke Depok mengikuti suaminya. Ia juga membawa kedua anaknya untuk turut serta tinggal dan menetap di Depok. Keputusan Ibu Snr untuk pindah ke Depok dilatarbelakangi oleh kurangnya keterampilannya dalam mengolah sawahnya. Berikut ini pernyataan dari Ibu Snr :
“…..di desa juga, saya ga ngapa-ngapain mba, ngerjain sawah juga saya ga bisa sendirian, mendingan ikut suami bisa kerja, sekalian ngurusin suami. Sekarang sawahnya saya titipin ke kakaknya suami saya mba”.
Profesi memulung ini juga digeluti oleh Mas Agk yang berasal dari Garut, Jawa Barat. Ia memutuskan untuk pindah ke Depok dengan harapan mendapatkan pekerjaan. Keputusannya untuk pindah juga dilatarbelakangi oleh tidak tersedianya lapangan pekerjaan di daerah asalnya. Pemulung di lapak ini seluruhnya berasal dari daerah Jawa. Tidak jarang pula asal daerah pemulung yang satu dengan pemulung yang lainnya sama. Keempat responden yang bekerja sebagai pemulung yakni Bapak Drm, Ibu Snr,
42
Bapak Sdr dan Ibu Snr memiliki hubungan darah dan hubungan geografis yang sama. Dengan kata lain, pekerjaan sebagai pemulung didukung oleh adanya jaringan kekerabatan dan letak geografis yang sama. Keluarga atau relasi yang sudah terlebih dahulu pernah atau sedang bekerja di bidang ini, berperan penting dalam memberikan informasi ataupun menunjukan peluang kepada relasi yang berminat bekerja pada profesi ini. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Bos Mch selaku bos pemulung di lapak ini. Berikut pernyataanya:
“…….usaha barang pulungan ini butuh anak buah (pemulung) yang banyak kalo mau sukses mba. Makanya dari satu anak buah, saya suruh dia ngajak tetangganya atau saudaranya untuk kerja sama saya. Setiap anak buah yang ngajak orang lain kerja sama saya, saya kasih dia bonus mba. Saya suka sama orang yang dari wonosobo mba, mereka itu biasa hidup di pegunungan, jadi jalan datar di Depok begini, dihajar aja mba. Dari satu anak buah, jadi dua anak buah, dari dua jadi empat anak buah, sampai sekarang ada 100 anak buah di tujuh lapak pemulung yang saya punya”.
Daerah asal pemulung lainnya di lapak Beji ini antara lain adalah Brebes, Garut, Ciamis, Lamongan, Tegal dan Solo. Berbeda dengan anak buahnya, bapak buah dalam hal ini bos pemulung berasal dari daerah Padang, Sumatera Barat. Kerabat Bos Mch sendiri yang berasal dari Padang yakni Mas Ags lebih banyak membantu dalam kegiatan penimbangan barang pulungan dan negosiasi harga dengan pabrik.
5.1.5 Etnis Pemulung Mengacu pada Tabel 3 profesi pemulung di lapak ini banyak digeluti oleh mereka yang beretnis jawa. Pada lapak ini tidak ditemukan adanya pemulung yang beretnis di luar Jawa. Bagi Bos Mch sendiri ia tidak memberikan kriteria khusus bagi mereka yang ingin bekerja sebagai anak buahnya. Berikut pernyataanya :
“……..untuk jadi anak buah saya, saya ga ngasih kriteria dia harus berasal dari mana mba, yang penting dia mau kerja sama saya jadi pemulung”.
43
Bos Mch mengakui bahwa dirinya lebih tertarik bekerja sama dengan anak buah yang berasal dari Jawa. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa ia akan memperkerjakan anak buah dari luar jawa. Berikut pernyataanya : “……Orang-orang dari Jawa itu punya sifat pekerja keras mba, jadi semua anak buah saya dari daerah jawa tengah, barat, sama timur. Anak buah saya, dulu ada yang dari Kalimantan, tapi cuma tiga bulan aja dia kerja sama saya”.
Hal inilah yang membuat Bos Mch memiliki lebih banyak anak buah yang berasal dari Jawa.
5.1.6 Pengalaman Kerja Pemulung Sebelumnya Mengacu pada Tabel 3 terlihat bahwa pengalaman pekerjaan pemulung sebelumnya bervariasi yakni petani, pedagang kecil, pembantu rumah tangga dan buruh bangunan. Penghasilan yang diterima pekerjaan sebelumnya ini dirasakan pemulung kurang mencukupi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk beralih pekerjaan menjadi pemulung. Pada umumnya pekerjaan sebagai pemulung ini merupakan tawaran dari pemulung lainnya atau tawaran dari bos pemulung itu sendiri. Pada kasus Ibu Km, Bapak Drm, Ibu Snr, dan Tf pekerjaan mereka sebelumnya adalah petani di sawah mereka sendiri. Kasus Tf sendiri ikut membantu orang tuanya bertani di waktu libur sekolah. Berikut pernyataan Bapak Drm : “….ga balik modal mba, jadi petani itu makanya saya cari kerja di sini”. Untung ditawarin kerja jadi pemulung. Mulung kan ga perlu modal, semua disedian bos, cuma modal kaki aja toh mba lagian dapet uangnya seminggu sekali, enak kan mba”.
Keputusan Bapak Drm pula didukung oleh orang tuanya yakni Bapak Sdr yang terlebih dahulu pindah ke Depok dan bekerja sebagai pemulung. Bapak Sdr yang sebelumnya bekerja sebagai buruh bangunan memutuskan untuk beralih profesi menjadi pemulung. Hal ini disebabkan pekerjaan menjadi buruh bangunan sangat menguras tenaga dan penghasilan yang diterimanya pun tidak sesuai. Pekerjaan menjadi buruh bangunan juga sebelumnya telah dilakoni oleh Mas Agk. Berikut pernyataan Mas Agk :
44
“……….sebelum kerja mulung saya kerja serabutan mba, jadi kuli bangunan pernah, jadi kenek sama sopir angkot di Jakarta juga pernah. Soalnya di Garut juga saya ga dapet kerjaan apa-apa mba”.
Bagi Mas Agk pekerjaan memulung ini dirasakan lebih baik dalam hal penghasilan bila dibandingkan dengan pekerjaan yang sebelumnya telah dilakoninya. Pada kasus Ibu Msm dan Ibu Spn pekerjaaan mereka sebelum beralih profesi menjadi pemulung adalah pembantu rumah tangga. Menurut mereka pekerjaan menjadi PRT tidak dapat menutupi kebutuhan hidupnya seharihari. Pemberian gaji oleh majikan yang terkadang menunggak pula menjadi alasan mereka beralih profesi. Berikut pernyataan Ibu Msm :
“…yah neng, dapet uang pembantu mah paling nu gede mah pantar dua ratus ribu rupiah. Majikan saya juga kadang-kadang nunggak neng. Jadi males saya kerja jadi pembantu. Kalo kerja gini, seminggu saya bisa dapet seratus atau kalo lagi sepi dapet sembilan puluh lima ribu neng”.
Pada kasus Bapak Swn pekerjaan pedagang kecil.
sebelum menjadi pemulung adalah
Namun, usaha dagangnya ini mengalami kerugian sehingga
Bapak Swn dan Ibu Spn terpaksa menutup dagangannya. Pada saat itu temannya yang berprofesi sebagai tukang becak menawarkan pekerjaan menjadi pemulung. Resiko pekerjaan yang kecil dan hanya membutuhkan modal tenaga menjadi alasan Bapak Swn memutuskan beralih profesi menjadi pemulung. Berikut pernyataan Bapak Swn :
“……dulu saya dagang mba sebelum kerja mulung gini, waktu itu dagang pecel sama bubur. Istri saya juga kadang-kadang bantu – bantu mba. Tapi dagangan saya ini, ga nutupin modal mba. Dagangan saya juga akhirnya bangkrut. Kalo kerja begini kan saya ga bangkrut mba, yang penting kerja yang rajin buat mulungin barang mba, uangnya lumayan kok mba daripada waktu saya dagang”.
Dapat diketahui bahwa profesi menjadi pemulung merupakan pekerjaan yang sampai saat ini merupakan pekerjaan yang mereka anggap baik dan menguntungkan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka seharihari.
45
5.1.7 Latar belakang Pekerjaan Orang Tua Pemulung Mengacu pada Tabel 3 terlihat bahwa latar belakang pekerjaan orang tua para pemulung diantaranya adalah petani, pemulung, dan pembantu rumah tangga. Enam dari sembilan orang tua pemulung memiliki latar belakang pekerjaan menjadi petani. Orang tua Bapak Sdr, Ibu Km, Ibu Snr, Ibu Spn, dan Bapak Swn memiliki lahan sawah sendiri. Namun, pendapatan dari hasil bertani ini kurang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang relatif mempunyai tanngungan sekitar tiga sampai tujuh anggota keluarga. Pada umumnya orang tua para pemulung ini memiliki sawah sekitar satu sampai dua petak sawah. Saat ini, sawah tersebut dimanfaatkan oleh sanak saudara mereka yang berada di desa. Gagal panen merupakan salah satu resiko yang harus ditanggung oleh para petani. Oleh karena itu, tidak jarang terdapat petani yang rela menjual lahan sawahnya pada orang lain untuk menutupi kerugian yang ditanggungnya. Hal ini terjadi pada kasus orang tua Ibu Msm yang saat ini hanya bekerja sebagai buruh tani di Ciamis. Ibu Mas Agk yang tinggal di Garut berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Penghasilan yang diterima Ibu Mas Agk hanya dapat menyekolahkan Mas Agk dan kakaknya hingga tingkat SD. Setelah lulus SD, Mas Agk dan kakaknya mulai merantau ke kota untuk mencari pekerjaan dan menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Profesi memulung ini turut dipengaruhi oleh pekerjaan orang tua sebelumnya yang juga berprofesi sebagai pemulung. Hal ini terlihat pada kasus Bapak Drm dan Tf yang memiliki orang tua dengan profesi sebagai pemulung. Orang tua yang berprofesi sebagai pemulung ini dapat dengan mudah menginformasikan pekerjaan ini kepada anaknya untuk turut serta bekerja sebagai pemulung sepanjang pekerjaan ini dipandang dapat memberikan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
5.2 Ikhtisar Profesi memulung di lapak Beji digeluti oleh kaum laki-laki dan kaum perempuan yang berada pada usia kerja. Mayoritas etnis pemulung di lapak Beji ini adalah suku Jawa. Tingkat pendidikan pemulung termasuk rendah. Mereka
46
yang berprofesi sebagai pemulung ini merupakan penduduk migran yang datang ke Depok dengan harapan mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Alasan mereka pindah ke Depok dilatarbelakangi beberapa hal diantaranya, pekerjaan sebagai petani tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan tidak adanya lowongan pekerjaan di daerah asal, seperti pada kasus Bpk Drm dan Mas Agk. Pekerjaan para pemulung ini sebelumnya bervariasi yakni petani, pedagang kecil, pembantu rumah tangga dan buruh bangunan. Latar belakang pekerjaan orang tua para pemulung diantaranya adalah petani, pemulung dan pembantu rumah tangga. Profesi menjadi pemulung merupakan pekerjaan yang sampai saat ini merupakan pekerjaan yang mereka anggap baik dan menguntungkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
5.3 Karakteristik Keluarga Pemulung Kehidupan pemulung dapat dilihat dari karakteristik keluarga pemulung itu sendiri. Keluarga pemulung dinilai sebagai satu kesatuan dari anggota rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Karakteristik keluarga pemulung adalah ciri-ciri khusus yang melekat pada keluarga pemulung. Beberapa karakteristik keluarga pemulung yang akan dibahas diantaranya adalah jumlah anggota keluarga pemulung, fasilitas tempat tinggal, barang-barang kepemilikan, dan penggunaan perolehan penghasilan.
5.3.1 Jumlah Anggota Keluarga Pemulung Jumlah anggota keluarga pemulung yang tinggal di lapak Beji berkisar antara 1 sampai dengan 4 orang. Bpk Swn dan Bpk Sdr tinggal di bedeng hanya bersama istrinya. Bapak Swn memiliki tiga orang anak perempuan yang telah menikah dan tinggal bersama suaminya. Pendidikan terakhir ketiga anak perempuannya ini hanya sampai tingkat SMP. Ketiga anaknya ini memiliki usaha dagang masing-masing yang dijalankan bersama suaminya. Usaha dagang anak pertamanya adalah dagang ketoprak, anak keduanya menikah dengan seorang pedagang pecel, dan anak ketiganya membuka usaha dagang bubur ayam. Bapak Sdr memiliki lima orang anak dimana empat orang anaknya telah menikah. Penghasilan Bapak Sdr sebagai pemulung dapat membiayai sekolah
47
kedua anaknya ini hingga tingkat SMP dan kedua anaknya lagi hanya sampai tingkat SD. Perbedaan pendidikan terakhir yang dimiliki anaknya ini dipengaruhi oleh kondisi keuangan untuk membiayai sekolah dan motivasi anak untuk belajar. Berikut pernyataan Bapak Sdr :
“……anak saya ada lima mba, 3 perempuan dan dua laki-laki. Dua anak saya yang nomer satu sama nomer dua itu sekolahnya hanya sampai SD. Wong waktu itu, lagi ga ada duit mba buat nyekolahin sampai SMP. Anak saya juga pengennya kerja cari duit, ga mau nerusin sekolah. Kalo yang dua lagi itu sampai SMP mba. Alhamdullilah, anak saya yang ketiga ada yang kerja di salon mba di daerah bandung sana, buat bantu-bantu suaminya. Dia dapet suami karyawan di pabrik mba. Sekarang tanggungan saya cuma yang paling kecil, yang masih SMP mba.”
Saat ini Bpk Sdr masih memiliki tanggungan satu anak yang sedang bersekolah di SMP Wonosobo. Tanggungan diartikan sebagai anggota keluarga yang tidak memberikan kontribusi pada pendapatan rumah tangga tetapi berkontribusi pada pengeluaran rumah tangga. Tanggungan ini juga dirasakan oleh Ibu Msm Bpk Drm, dan Mas Agk. Ibu Msm yang hanya tinggal di bedeng seorang diri, memiliki tanggungan anak yang saat ini tinggal di Ciamis bersama orang tua Ibu Msm. Keluarga inti Bpk Drm hidup bersama di bedeng lapak pemulung. Keluarga inti ini terdiri dari seorang istri (Ibu Snr) dan kedua anaknya yakni Tf dan Td. Tanggungan anggota keluarga juga dirasakan oleh Mas Agk yang memiliki tanggungan yakni orang tuanya yang berada di Garut.
5.3.2 Fasilitas Tempat Tinggal Fasilitas tempat tinggal mengacu pada segala sesuatu yang diberikan Bos Mch kepada pemulung. Fasilitas ini digunakan oleh pemulung dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan sebagai sarana untuk menunjang aktivitas memulung mereka. Bos di lapak Beji ini memberikan fasilitas kepada anak buahnya seperti tempat tinggal (bedeng), air bersih, kamar mandi, lampu penerangan, listrik, biaya perawatan bila sakit, peralatan untuk memulung, dan pinjaman uang. Bpk Drm dan istrinya Ibu Snr merasa senang dengan fasilitas yang diberikan Bos Mch. Berikut pernyataanya :
48
“………kalo kerja mulung gini mba, bos ngasih fasilitas rumah (bedeng), air, listrik juga ga bayar mba, lampu juga dikasih mba, kalo lampunya rusak, tinggal bilang sama bos, entar bos ganti sama lampu yang baru mba, tenan aku mba, enaknya gitu mba kerja mulung”.
Kasus Bpk Drm dan Ibu Km memperlihatkan bahwa fasilitas yang diberikan Bos dapat menjadi salah satu poin yang penting dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Keberadaan bedeng dan listrik yang gratis menjadi fasilitas yang bernilai tinggi di mata pemulung. Hal ini dikarenakan mereka tidak perlu membayar uang sewa tempat maupun membayar tagihan pemakaian listrik selama mereka menetap di lapak pemulung ini. Hal ini terlihat dari pernyataan Ibu Km sebagai berikut :
“……..di kota begini mba, kalo ga punya rumah kan harus ngontrak toh, nah kalo kerjanya mulung di Bos rumah nya gausah bayar mba, listrik juga gratis ga bayar, jadi uang hasil mulungya gausah di pake buat bayaran rumah sama listrik, nah coba kalo kerja jadi yang laen terus tidak punya rumah, wah..uang ne entek mba kanggo bayar kontrakan omah karo listrik”.
Fasilitas yang diberikan Bos seperti peminjaman uang juga mempermudah anak buahnya dalam meminjam uang ketika sewaktu-waktu terdapat kebutuhan mendesak. Hal ini dapat terlihat dari kasus Ibu Snr yang meminjam uang kepada Bos Mch untuk membeli kebutuhan pokok seperti sembako. “……,kalo lagi butuh saya ngutang mbak sama bos, biasanya buat beli sembako lah mba, paling besar ngutang lima ratus ribu”. Hutang tersebut kemudian dibayar dengan cara menyicil. Biasanya Ibu Snr akan mengurangi jatah penghasilan timbangan barang pulungannya kepada Bos Mch. Bayar utangnya ya dikurangi sama yang saya dapet waktu nimbang mba”.
Tidak jarang para pemulung mengalami gangguan kesehatan . Gangguan kesehatan yang biasanya diderita oleh pemulung adalah demam, batuk-batuk, dan gatal badan. Hal ini biasanya dikarenakan lingkungan tempat tinggal pemulung yang tidak sehat dan cenderung kumuh. Apabila terdapat pemulung yang sakit, maka biaya akan ditanggung oleh Bos Mch. Sebab Bos Mch bertanggung jawab terhadap kesehatan para anak buah yang telah bekerja untuknya. pernyataan Mas Ags, orang kepercayaan Bos Mch sebagai berikut :
Seperti
49
“….kalo pemulung disini ada yang sakit, langsung dibawa ke Puskesmas mba, nanti uang berobatnya diganti sama Bos, mereka tinggal bilang aja mba sama saya atau Bos. Pernah ada kejadian waktu balita dari salah satu pemulung kena demam yang panas. Akhirnya saya ngebawa anak tersebut ke bidan terdekat. Tapi karena udah ga tertolong lagi balita nya meninggal. Saya nganter jenazah balita sama ibunya ke daerah asalnya di Leuwiliang dekat dengan Gunung Pongkor. waktu itu pake angkot mba jalannya. Untuk transport habis lima ratus ribu mba. Bos Mch juga ngasih uang duka kepada keluarga anak buahnya itu mba.”
Kejadian tersebut memperlihatkan bahwa bos memiliki tanggung jawab atas apa yang terjadi dengan anak buahnya. Memberikan fasilitas yang baik kepada anak buahnya merupakan suatu bentuk tanggung jawab yang mengarah pada kepuasaan anak buah atas apa yang diberikan oleh seorang bapak buah (bos). Semakin baik fasilitas yang diberikan Bapak Buah (Bos) maka semakin puas dan semakin loyal anak buah terhadap Bapak buah (Bos) . Hal ini tergambar dari kasus Bpk Sdr, Bpk Sdr (58 tahun) adalah pemulung yang paling lama bekerja dengan Bos Mch. Ia menjadi anak buah Bos Mch sejak tahun 2005. Ia senang bekerja dengan Bos Mch karena Bos memberikan fasilitas yang baik bagi para anak buahnya. Bpk Sdr selama ini tidak pernah menjual hasil pulungnnya kepada bos lain. Hal ini disebabkan ia tidak mau mengecewakan bos nya yang telah begitu baik terhadap dirinya dan keluarganya. Menurut Bpk Sdr, rekannya sesama pemulung harus membayar uang sewa untuk kamar yang ditempatinya dan listrik yang dipakainya. Dalam sebulan ia harus membayar sekitar Rp. 150.000,00 - Rp. 200.00,00. Oleh karena itu, rekannya tersebut pindah ke lapak orang lain.
Hal ini menunjukan bahwa fasilitas yang diberikan Bos menjadi poin yang penting bagi anak buah untuk menentukan lapak mana yang dirasa memiliki keunggulan dan dapat dijadikan bapak buah (bos) bagi dirinya.
5.3.3 Barang-Barang Kepemilikan Barang-barang kepemilikan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dimiliki oleh responden dalam rangka menunjang kebutuhan hidupnya. Pemulung memiliki berbagai barang yang bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya. Berikut ini disajikan data tentang berbagai barang yang dimiliki oleh keluarga pemulung.
50
Tabel 4. Barang Kepemilikan Keluarga Pemulung di Lapak Pemulung Kelurahan Beji, April 2010
NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kepemilikan Barang-Barang Fasilitas Keluarga Kasur Lemari Pakaian Peralatan Masak dan Makan Magic jar Radio Televisi Perhiasan (Kalung dan Cincin) Kipas Angin Handphone DVd Motor
Keluarga Pemulung Bpk Sdr & Ibu Km √ √
Bpk Drm & Ibu Srn √ √
Ibu Msm
Mas Agk
√ √
√ −
Bpk Swn & Ibu Spn √ √
√
√
√
√
√
√ √ √
− √ √
− − −
− − −
− − −
√
√
−
−
−
√ √ − √
√ √ √ −
− − − −
− √ − −
− √ − −
Sumber : Data primer penelitian, April 2010
Tabel 4 memperlihatkan bahwa barang-barang yang dimiliki pemulung bervariasi menurut kebutuhannya. Pada kasus keluarga Bapak Sdr dan Ibu Km, dapat dikaterogikan bahwa barang-barang yang mereka miliki lebih lengkap dibandingkan dengan keluarga pemulung lainnya. Barang-barang yang dimiliki oleh keluarga ini adalah kasur, lemari beserta pakaian, magic jar, peralatan untuk masak dan perlengkapan untuk makan seperti piring, gelas dan sendok, perhiasan berupa kalung dan cincin, radio, televisi, kipas angin, handphone, motor. Barangbarang tersebut diperolehnya dari hasil penghasilannya sebagai pemulung dan sebagiannya lagi diperolehnya dari beberapa masyarakat yang memberikan barang atau membuang berbagai barang tersebut ke tempat sampah. Berikut pernyataan Ibu Km :
“….yang ada dirumah ini mba bisa diliat aja, TV sama radio saya beli masih rusak mba, lah kan harganya murah, bapaknya terus benerin di tukang service dimodalin dua ratus ribu, Alhamdulillah toh mba bisa nyala. Kalo kipas angin bapaknya nemu di tempat sampah perumahan Depok, didandani sendiri jadi bener. Magicjar saya dapet dari ibu yang rumahnya di perumahan Depok itu mba, katanya buat saya aja.Masak nasi jadi enak mba,
51
ga repot. Hp saya beli yang tiga ratus ribu mba, wong cuman buat nelpon anak saya yang di wonosobo. Wahh…kalo perhiasan mba, alhamdulliah banget bisa kebeli cincin sama kalung mba buat pantes pantes aja kalo pulang kampung (sambil tersipu-sipu). Bapak sama saya juga nabung dikitdikit, Alhamdulillah banget bisa beli motor bekas di Wonosobo (sambil tersenyum ke arah suaminya)”.
Hal serupa terjadi pada kasus keluarga Bapak Drm dan Ibu Snr yang memiliki barang-barang kepemilikan yang sama dengan ayahnya yakni keluarga Bapak Sdr. Kasus keluarga Bapak Drm ini pula memiliki kasur, lemari kecil dua buah beserta pakaian, peralatan untuk masak dan perlengkapan untuk makan seperti piring, gelas dan sendok, radio, televisi, kipas angin. Perbedaan barang kepemilikan antara kasus kedua keluarga ini adalah Bapak Drm saat ini belum memiliki motor dan perhiasan, namun memiliki DVD. Kepemilikan DVD ini dilatarbelakangi keinginan anaknya untuk menonton kartun dalam bentuk CD. Hal ini pula didorong oleh keinginan Ibu Snr agar anaknya tidak bermain-main ditempat yang jauh dari lingkungan lapaknya. Berikut pernyataan Ibu Snr :
“……..bulan kemarin nabung hampir dua bulan dibeliin DVD mba, buat Tf sama Td biar ga pada maen jauh toh mba. Taun kemaren ta beliin TV mba, biar pada anteng di rumah. Kalo kipas angin sama radio dikasih sama warga perumahan. Lah kan kalo orang kaya itu ya mba, barang yang udah ga kepake tapi masih dipake suka dibuangin mba”.
Tabel 4. memperlihatkan pula bahwa kepemilikan handphone dapat dikategorikan sebagai barang kebutuhan utama. Hal ini terlihat dari kasus keluarga Bapak Sdr, Bapak Drm, Mas Agk dan Bapak Swn yang memiliki alat komunikasi berupa handphone. Berbagai kasus tersebut menunjukkan bahwa handphone berfungsi sebagai alat komunikasi yang dapat memberikan kabar mengenai kondisi keadaan mereka kepada sanak saudara di daerah asalnya dan sebaliknya. Contohnya pada kasus Mas Agk berikut ini :
Mas Agk (30 thn) berasal dari Garut, Jawa Barat. Mas Agk sudah hampir dua tahun ikut bekerja bersama Bos Mch. Sebelum bekerja dengan Bos Mch di Depok, Mas Agk telah merantau ke daerah Surabaya dan Jakarta untuk mencari pekerjaan. Selama merantau Mas Agk bekerja serabutan, seperti kuli bangunan, kenek, dan sopir angkot. Pekerjaan menjadi seorang pemulung merupakan tawaran dari seorang temannya. Kemudian Mas Agk diperkenalkan ke Bos Mch. Setelah mendengarkan penjelasan mengenai
52
pekerjaan memulung dari Bos Mch, Mas Agk merasa tertarik untuk bekerja sebagai pemulung. Mas Agk merasa bahwa pekerjaan yang dilakoni sebelumnya kurang menguntungkan bagi dirinya. Keuntungan yang diperoleh antara lain fasilitas tempat tinggal dan biaya listrik yang gratis. Mas Agk saat ini hanya memiliki seorang ibu yang biasa dipanggil dengan sebutan emak. Ibu Mas Agk ini hanya tinggal sendiri. Keberadaanya yang jauh dari ibunya ini, membuat Mas Agk harus membeli handpone untuk meghubungi ibunya di Garut. Bagi Mas Agk keberadaan handphone dapat memudahkan ia menghubungi ibunya. Mas Agk akan menghubungi uwaknya yang tinggal bertetanggaan dengan ibunya untuk menanyakan kabar emaknya. Emak Mas Agk atau sanak saudaranya pun dapat mudah menghubungi mas Agk apabila terjadi sesuatu dengan emak.
Pada kasus Mas Agk, kepemilikan barang-barang yang dimiliknya tidak selengkap keluarga Bapak Sdr dan Bapak Drm. Mas Agk hanya memiliki kasur, peralatan masak dan makan, serta handphone. Untuk menyimpan pakaiannya, Mas Agk memanfaatkan kardus sebagai tempat untuk menyimpan pakaian. Saat ini, di bedeng Mas Agk terdapat tiga tumpukan kardus yang berisi pakaianpakaiannya. Kondisi berbeda digambarkan oleh kasus Ibu Msm yang hanya memiliki kasur, lemari beserta pakaian, peralatan masak dan alat untuk makan. Kasus Ibu Msm yang hanya tinggal seorang diri di lapak pemulung membuat dirinya tidak memperdulikan kebutuhan lainnya seperti yang dimiliki oleh para tetangganya sesama pemulung. Ibu Msm (41 thn) adalah seorang pemulung yang berasal dari Ciamis, Jawa Barat. Ia memiliki ciri khas yakni logat bahasa sunda. Sebelum menjadi pemulung, Ibu Msm telah menikah sebanyak dua kali. Saat ini hanya memiliki satu anak kandung dari hasil pernikahan keduanya. Pernikahan pertamanya ketika ia berumur 13 tahun dan dua tahun kemudian ia cerai. Ibu Msm menikah kembali pada umur 16 tahun. Ibu Msm menikah dengan seorang duda satu anak. Saat ini anak kandungnya tinggal di Garut bersama orang tua Ibu Msm. Ibu Msm sudah 12 tahun tidak bertemu dengan suami dan anak tirinya. Ibu Msm mulai merantau di Jakarta pada umur sembilan tahun. Saat itu, beliau diajak oleh tetangga untuk bekerja di Jakarta sebagai pembantu rumah tangga. Karena tidak betah menjadi PRT dengan gaji yang paspassan dan seringnya ditunda-tunda pembayarannya, Ibu Msm berpindah profesi menjadi pemulung. Pekerjaannya ini diperolehnya dari tawaran seorang temannya yang juga seorang pemulung. Ibu Msm yang hanya bekerja sendirian memulung memiliki penghasilan yang lebih sedikit dibandingkan dengan teman-teman sesama pemulungnya. Maka
53
tidak heran ia tidak memiliki barang-barang kepemilikan yang berharga. Bagi dirinya yang terpenting adalah dirinya bisa makan setiap hari.
Hal ini menunjukan bahwa barang-barang yang dimiliki oleh para pemulung bervariasi menurut kebutuhan dan penghasilan para pemulung dari memulung. Kasus keluarga Bapak Sdr dan Bapak Drm merupakan pemulung yang memiliki barang-barang kepemilikan yang lebih lengkap dibandingkan dengan pemulung lainnya. Hal ini karena kebutuhan para pemulung dan penghasilan memulung mampu untuk membeli barang-barang tersebut. Barang-barang fasilitas keluarga yang dimiliki oleh hampir semua pemulung adalah kompor yang terbuat dari tumpukan batu bata. Keluarga pemulung pada lapak ini tidak memiliki kompor yang berbentuk kompor gas maupun kompor minyak. Mereka menggunakan batu bata yang disusun menjadi huruf U. Penggunaan kayu bakar digunakan sebagai pengganti minyak tanah. Kayu bakar diperoleh dari ranting ataupun kayu-kayu yang dikumpulkan pada saat memulung.
5.3.4 Penggunaan Penghasilan Penghasilan yang diterima oleh suatu keluarga pemulung adalah sejumlah uang yang berasal dari anggota keluarga yang bekerja sebagai pemulung. Penghasilan ini digunakan sebagai sumber pemenuhan konsumsi anggota keluarga. Pada kasus keluarga pemulung, keikutsertaan perempuan (istri) dan anak dalam memulung ikut membantu dalam menambah penghasilan keluarga. Tabel 5 menyajikan penghasilan keluarga pemulung dan siapa saja yang turut serta menyumbang penghasilan dalam keluarga. Tabel 5 memperlihatkan besaran penghasilan yang diterima di setiap keluarga pemulung berbeda-beda setiap waktunya, namun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa penghasilan pemulung akan sama dengan penghasilan minggu sebelumnya. Penghasilan pemulung ini dipengaruhi oleh fluktuasi harga barang pulungan dan berat barang pulungan yang dikumpulkan pemulung selalu berbeda-beda. Mengacu pada tabel tersebut dapat terlihat bahwa penghasilan ratarata yang diterima oleh keluarga Bapak Drm dan Ibu Snr dalam sebulannya tergolong tinggi dibandingkan dengan keluarga pemulung lainnya. Pada kasus keluarga ini Bapak Drm, istrinya (Ibu Snr) dan anak pertamanya (Tf) ikut
54
berperan serta dalam menyumbangkan penghasilan. Penghasilan yang diterima per anggota keluarga tidak dapat dihitung secara terpisah sebab hasil barang pulungan yang didapatkan tidak ditimbang secara terpisah. Setiap barang pulungan yang diterima anggota keluarga disatukan dan dipisah berdasarkan jenis barang pulungannya. Tabel 5. Penghasilan Keluarga Pemulung Menurut Kontribusi Anggota Keluarga di Lapak Pemulung Kelurahan beji, April 2010
No
Keluarga Pemulung
I
II
III
IV
Penghasilan Rata-Rata Sebulan (dalam Rp.000)
Kontribusi Anggota Keluarga Suami
Istri
Anak
Penghasilan (dalam Rp.000) per minggu
1
Bpk Sdr & Ibu Km
√
√
−
400
575
400
400
1.775
2
Bpk Drm & Ibu Snr
√
√
√
450
480
430
440
1.800
3
Ibu Msm
√
−
−
100
95
90
110
395
4
Mas Agk
√
−
−
300
300
300
300
1.200
5
Bpk Swn & Ibu Spn
√
√
−
300
300
250
300
1. 150
Sumber : Data primer penelitian April, 2010
Penghasilan yang diterima oleh keluarga Bapak Drm digunakan untuk membeli kebutuhan pokok rumah tangga seperti, beras, sayur, lauk pauk, minyak goreng, dan sebagainya. Uang yang digunakannya juga digunakan untuk membeli pulsa handphone sebesar Rp. 15.000,00 dalam sebulan. Tidak jarang pula Ibu Snr menyisihkan sebagian uang yang diterimanya untuk membeli peralatan elektronik. Berikut pernyataan Ibu Snr;
“……..bulan kemarin nabung hampir dua bulan ta beliin DVD mba, buat Tf sama Td biar ga pada maen jauh toh mba. Kalo tahun kemaren uang nya saya beliin tv mba, biar pada anteng di rumah. Saya kasian juga sama anakanak, pengen nonton tv. Uang yang ditabung juga buat pulang kampung ke wonosobo mba. Saya biasanya pulang setahun dua kali. Sebelumnya Ibu Snr telah membeli Televisi dari hasil nabungnya.”
Pada kasus keluarga Bapak Sdr, penghasilan diperoleh berasal dari dirinya dan istrinya (Ibu Km). Kondisi ini juga diperlihatkan pada kasus keluarga Bapak
55
Swn. Pada kasus Bapak Sdr penghasilan yang diterimanya selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok rumah tangganya juga digunakan untuk membiayai sekolah anak bungsunya di Wonosobo. Anak bapak Sdr yakni Rn saat ini duduk di kelas 2 SMP. Bapak Sdr dalam waktu sebulan secara rutin akan mengirimkan uang sejumlah Rp. 400.000,00. Penghasilan memulung ini pula digunakan Bapak Sdr untuk membeli sebuah motor. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Sdr berikut ini;
“…….Alhamdulilah mba, minggu ini lagi banyak, istri sama saya dapat lima ratus tujuh puluh lima ribu, biasanya kan saya empat ratus ribu. Uangnya ya buat makan sama kebutuhan sehari-hari mba. Anak saya kan ada yangmasih sekolah, sekarang kelas dua SMP di wonosobo mba, jadi saya sama istri selalu ngirim uang per bulan empat ratus ribu. Uang hasil mulung juga saya tabung mba dikit-dikit, taun kemaren saya bisa beli motor buat di jawa, yahh motor juga saya sambil nyicil mba tapi sekarang udah lunas mba” (sambil tertawa).
Pada kasus Mas Agk perolehan penghasilan yang diterimanya bersifat tetap. Dalam kurun waktu sebulan ia menerima uang sebesar Rp. 600.000,00 dari bos Mch. Hal ini disebabkan pekerjaan Mas Agk yang ditugaskan hanya untuk memilih dan menyortir barang pulungan yang telah tersedia di gudang dan kontainer Mall Depok Town Square (DETOS). Mas Agk pula mendapatkan uang makan dari Bos Mch sebesar Rp. 20.000,00 per harinya. Apabila dijumlahkan maka pendapatan yang diterima Mas Agk dalam sebulan adalah Rp. 1.200.000,00. Pekerjaan yang dilakukan Mas Agk ini tentu berbeda dengan pemulung lainnya yang bekerja mengitari jalan untuk mencari barang pulungan. Penghasilan yang diperolehnya ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk mengirimkan uang kepada Ibunya yang berada di Garut. Biasanya Mas Agk akan mengirimkan uang setiap dua bulan sekali. Pada kasus Bapak Drm, Bapak Sdr, Bapak Swn, dan Mas Agk diketahui bahwa penghasilan yang mereka terima dari memulung digunakan untuk membeli rokok. Kebutuhan akan rokok bagi mereka merupakan salah satu kebutuhan yang harus terpenuhi. Mereka mengganggap bahwa rokok dapat meningkatkan stamina untuk bekerja. Pada kasus Bapak Sdr dan Mas Agk, rokok wajib dibelinya sebanyak 1 bungkus untuk dua hari. Hal ini berbeda dengan kasus Bapak Drm dan
56
Bapak Swn yang hanya membeli rokok sebanyak satu bungkus untuk tiga hari. Berikut pernyataan Bapak Swn :
“…..kalo ga ada rokok saya ga bisa kerja mba, lemes badan rasanya. Tapi bisa dibilang irit mba, wong sebungkus buat tiga hari. Saya bisa ga makan pagi, kalo mau mulung, tapi ga bisa kalo ga ngerokok mba, kan bisa buat nemenin di jalan juga kan mba” (sambil merokok).
Hal ini memperlihatkan bahwa kebutuhan akan rokok menjadi suatu kebutuhan pokok yang tidak dapat terelakkan dari kehidupan pemulung. Rokok pula menjadi salah satu penghilang stres bagi pemulung yang terhimpit masalah ekonomi. Mengacu pada Tabel 5 penghasilan terkecil diperlihatkan pada kasus Ibu Msm. Sebab Ibu Msm hanya bekerja seorang diri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Keadaan ini didukung pula oleh kondisi kesehatan Ibu Msm yang sakitsakitan. Hal ini menyebabkan terganggunya aktivitas Ibu Msm untuk memulung. Tidak jarang pula dalam seminggu Ibu Msm tidak menyetorkan hasil pulungannya. Hal ini karena sedikitnya barang pulungan yang didapatkannya. Penghasilan yang diterima Ibu Msm dari hasil memulung digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ibu Msm pula mengirimkan uang setahun sekali untuk anaknya yang masih bersekolah di Garut. Berikut pernyataan Ibu Msm :
“…….kalo tetangga saya yang lain kan ada suami yang ngebantu, kalo saya mah sendirian neng. Jadi uang yang saya dapet juga sedikit. Seminggu juga palingan dapet saratus ribu. Tapi minggu ini dapetnya cuma sembilan puluh lima ribu aja neng. Kadang-kadang juga saya ga nimbang, ya atuh gimana orang barang pulungannya juga sedikit jadi saya nunggu minggu depan nimbangnya biar banyakan. Uang yang saya dapet mah buat makan ajah, buat anak saya sekarang kelas enem juga saya kirimin uang setaun sekali neng. Itu juga cuman empat ratus ribu neng, suka sedih saya kalo inget anak saya di sana”.
Untuk menambah penghasilannya Ibu Msm membuka jasa urut. Jasa urutnya ini dihargai Rp. 10.000,00 per orangnya. Apabila ada tetangganya yang sesama pemulung mengalami keseleo atau masuk angin biasanya akan menggunakan jasa Ibu Msm. Ibu Msm berharap usahanya ini dapat dikenal dan digunakan oleh
57
masyarakat sekitar sehingga ia dapat menambah penghasilannya selain dari memulung.
5.4 Ikhtisar Jumlah anggota keluarga pemulung
yang tinggal di lapak pemulung
berkisar antara satu sampai dengan empat orang. Beberapa keluarga pemulung memiliki tanggungan anak yang tinggal di daerah asalnya. Hal ini terlihat pada kasus Bapak Sdr dan Ibu Msm yang memiliki tanggungan anak yang masih bersekolah. Fasilitas yang diberikan bos kepada anak buahnya antara lain, tempat tinggal (bedeng), air bersih, kamar mandi, lampu penerangan, listrik, biaya perawatan bila sakit, peralatan untuk memulung, dan pinjaman uang. Keberadaan bedeng dan listrik yang gratis menjadi fasilitas yang bernilai tinggi di mata pemulung. Hal ini dikarenakan mereka tidak perlu membayar uang sewa tempat maupun membayar tagihan pemakaian listrik selama mereka menetap di lapak pemulung ini. Dapat disimpulkan bahwa semakin baik fasilitas yang diberikan bos pemulung (bapak buah) maka semakin puas dan semakin loyal anak buah terhadap bapak buah. Kepemilikan barang-barang fasilitas keluarga yang dimiliki pada umumnya adalah kasur, lemari beserta pakaian, peralatan untuk masak dan perlengkapan untuk makan seperti piring, gelas dan sendok. Kasus dua keluarga yakni Bapak Drm dan Bapak Sdr memiliki barang fasilitas keluarga yang lebih lengkap dibandingkan dengan pemulung lainnya. Hal ini dipengaruhi penghasilan mereka yang
cukup
untuk
membeli
ataupun
menyicil
berbagai
barang
yang
dibutuhkannya. Kondisi berbeda digambarkan oleh kasus Ibu Msm yang hanya memiliki kasur, lemari beserta pakaian, peralatan masak dan alat untuk makan. Sebab Ibu Msm hanya bekerja seorang diri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Keadaan ini didukung pula oleh kondisi kesehatan Ibu Msm yang sakit-sakitan. Hal ini menyebabkan terganggunya aktivitas Ibu Msm untuk memulung. Pada umumnya penghasilan memulung digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti beras, sayur, lauk pauk, minyak goreng, dan sebagainya. Penghasilan memulung ditentukan oleh beberapa faktor seperti kemauan untuk rajin dan bekerja keras dalam mengumpulkan barang-barang pulungan dan
58
flukutuasi harga barang pulungan. Harga barang pulungan dapat dinegosiasikan antara anak buah dengan bos apabila terjadi kenaikan atau penurunan harga. Jumlah penghasilan yang tidak teratur dan harga barang material pulungan yang dapat dinegosiasikan merupakan salah satu ciri-ciri sektor informal. Bagi pemulung itu sendiri kebutuhan akan pendidikan bukanlah menjadi hal pokok dan menentukan penghasilan mereka. Alasan inilah yang membuat profesi memulung sebagai salah satu sektor informal tidak mensyaratkan tingkat pendidikan.
5.5 Karakteristik Kerja Pemulung Karakteristik kerja pemulung didefinisikan sebagai suatu ciri-ciri khusus yang melekat dengan aktivitas dasar pemulung. Karakteristik kerja pemulung ini dapat dilihat dari lamanya menjadi pemulung, motivasi kerja pemulung, hari dan jam kerja dalam memulung, jarak tempuh memulung, jenis barang pulungan, berat barang pulungan, peralatan yang digunakan dalam memulung, pengetahuan mengenai barang pulungan dari sisi harga, dan pengetahuan barang pulungan dari sisi legalitas.
5.5.1 Lama Menjadi Pemulung Lama menjadi pemulung diartikan sebagai lamanya seorang responden menekuni profesi memulung. Pada kasus Bapak Sdr, profesi memulung digelutinya selama 10 tahun. Bapak Sdr sebelumnya telah menjadi pemulung di bawah bos pemulung lain di luar kelurahan Beji. Apabila dibandingkan dengan pemulung lainnya yang tinggal dalam satu lapak yakni, kelurahan Beji maka kasus Bapak Sdr memiliki waktu yang lebih lama. Pada kasus pemulung lainnya yakni Bapak Drm dan Ibu Snr, Tf, Ibu Msm, Mas Agk, Bapak Swn dan istrinya Ibu Spn, profesi memulung baru dijalani mereka di Kelurahan Beji dibawah lapak Mch. Data mengenai lamanya profesi memulung disajikan dalam Tabel 6 berikut ini :
59
Tabel 6. Profesi Pemulung Menurut Lamanya Menjadi Pemulung di Lapak Pemulung Kelurahan Beji, April 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kasus Pemulung Bapak Sdr Ibu Km Bapak Drm Ibu Snr Tf Ibu Msm Mas Agk Bapak Swn Ibu Spn
Lama Menjadi Pemulung (Tahun) 10 8 2 2 1 2 2 <1 <1
Sumber : Data primer penelitian, April 2010
Tabel 6. memperlihatkan bahwa profesi memulung relatif masih baru bagi sebagian orang. Hal ini terlihat pada kasus pemulung yang baru menjalani profesi ini selama kurun waktu dua tahun. Pada kasus Bapak Swn dan istrinya Ibu Spn memperlihatkan bahwa profesi ini baru digeluti mereka kurang dari setahun. Bapak Swn dan Ibu Spn merupakan anak buah yang baru direkrut oleh bos tahun ini. Mengacu pada Tabel 6 pula dapat diartikan bahwa profesi ini semakin banyak diminati dan berkembang di Kelurahan Beji mulai dua tahun belakangan ini.
5.5.2 Motivasi Kerja Pemulung Motivasi kerja yang dimiliki semua kasus adalah untuk memenuhi kebutuhan primer (pangan, sandang, dan papan), terutama pangan. Menurut teori motivasi dari Maslow, kebutuhan pangan (kebutuhan primer) berada pada hirarkhi yang rendah. Bagi pemulung kebutuhan akan pangan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar. Oleh karena itu, apabila terdapat pemulung yang mendapatkan kesulitan dalam keuangan untuk makan biasanya akan meminjam kepada bosnya. Berikut ini pernyataan dari Ibu Msm :
“…….saya mah neng, uang dari mulung dikit dapetnya, makan juga saya irit-irit, kalo ga ada uang saya minjem sama bos, uangnya saya kembaliin pas nimbang neng, bisa dicicil juga kok neng”.
60
Hal seperti inilah yang sering membuat pemulung tidak dapat menabung sebagian penghasilannya. Sebagian besar pemulung pernah menghutang kepada bosnya. Perilaku menghutang kepada bos sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan pemulung. Profesi sebagai pemulung ini sebagian dinikmati oleh beberapa pemulung. Hal ini terlihat pada kasus Bapak Sdr yang menjadi anak buah pertama dari Bos Mch. Berikut pernyataan Bapak Sdr :
“ …..saya seneng kok mba kerja begini, daripada nguli bangunan mba, uangnya pas-passan, tidur nya juga dempet-dempetan sama yang laen, lebih capek nguli mba. Nah, kalo mulung saya bisa ngajak istri, istri bisa dapet duit. Istri saya waktu di kampung itu jadi petani mba. Tapi yo gitu mba, ga untung jadi petani. Makanya istri saya ajak kesini mba. Kalo ada istri, saya juga ada yang ngerawat. Hasil mulung juga udah bisa ngebiayain sekolah anak saya yang masih SMP”.
Kasus Bapak Sdr memperlihatkan bahwa profesi memulung merupakan pekerjaan yang dianggapnya menyenangkan dan mudah dilakukan. Namun, pekerjaan memulung ini juga dianggap oleh sebagian pemulung sebagai pekerjaan yang tidak disenangi. Alasannya mereka merasa malu ketika memulung karena pekerjaan ini dianggap hina dan rendah oleh masyarakat. Tidak jarang pula mereka mendapat perlakuan yang tidak baik oleh masyarakat seperti menutup hidung ketika mereka melewati masyarakat. Berikut pernyataan Ibu Spn :
“….saya kerja mulung itu ikut suami ya mba, saya suka malu sebenernya kalo lewat ibu-ibu yang lagi ngumpul-ngumpul, kadang-kadang ada yang nutup hidung mba, saya suka sedih mba, tapi ini kan kerja halal mba. saya tetep jalan aja mba”.
Kasus Ibu Spn memperlihatkan bahwa profesi memulung masih belum dapat diterima oleh sebagian masyarakat sebagai suatu pekerjaan yang bernilai positif. Padahal keberadaan pemulung dapat membantu mengurangi sampah di lingkungan masyarakat setempat.
61
5.5.3 Hari dan Jam Kerja dalam Memulung Hari dan jam kerja dalam memulung didefinisikan sebagai banyaknya hari dan jam yang dibutuhkan kasus untuk memulung dalam sebulan. Data mengenai jumlah hari kerja yang digunakan kasus untuk memulung dalam sebulan akan disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Jumlah Hari Kerja Pemulung dalam Sebulan di Lapak Pemulung kelurahan Beji, April 2010
1
Bapak Sdr
√
√
√
√
√
√
√
Total Jumlah Hari Kerja dalam Sebulan 28
2
Ibu Km Bapak Drm
√
√
√
√
√
√
√
28
−
√
√
√
√
√
√
Hari Kerja yang digunakan untuk Memulung No
3
Kasus Pemulung
Senin
Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu
24
4
Ibu Snr
√
√
√
√
√
√
√
28
5
Tf
√
√
√
√
√
−
−
20
6
Ibu Msm
√
√
√
−
√
√
−
20
Mas Agk Bapak Swn
√
√
√
√
√
√
−
24
√
√
√
−
√
√
√
√
√
√
−
√
√
√
7 8 9
Ibu Spn
24 24
Sumber : Data primer penelitian, April 2010
Tabel 7 memperlihatkan bahwa jumlah hari kerja tertinggi dalam sebulan adalah 28 hari dan hari kerja terendah dalam sebulan adalah 20 hari. Pada kasus Bapak Sdr, Ibu Km dan Ibu Snr terlihat bahwa setiap hari mereka bekerja memulung. Hal ini berbeda dengan suami Ibu Snr, yakni Bapak Drm yang bekerja hanya enam hari dalam seminggu. Pada kasus Bapak Drm, hari senin tidak digunakan untuk memulung sebab barang-barang pulungan hasil dari toko yang menjadi sasaran Bapak Drm tidak ada. Ketika tidak bekerja Bapak Drm akan membersihkan barang pulungan, menyortir barang pulungan sesuai dengan jenisnya dan menjaga anak bungsunya. Berikut pernyataan Bapak Drm :
“….dalam seminggu saya ga mulung cuma hari senin mba, kan saya itu ngambil barang pulungan kebanyakan dari toko-toko dagangan, nah kalo
62
hari minggu mereka kan tutup mba, jadi senin nya ga ada barang yang bisa saya ambil, selasanya baru saya berangkat mulung lagi mba. Kalo lagi ga berangkat mulung ya saya ngebersiin gelas-gelas aqua sama kopi mba, dibeda-bedain juga tergantung jenisnya, sama ngejagain Td mba”.
Pada kasus Tf, hari yang tidak digunakan untuk bekerja adalah hari sabtu, dan minggu. Hal ini disebabkan pada hari Sabtu dan Minggu merupakan hari Tf bermain bersama adiknya (Td), bilo (anjing putih yang hidup di lapak pemulung) dan beberapa temannya sesama penghuni lapak pemulung. Pada hari itu pula Tf akan asyik menonton tv atau menonton CD kesukaannya. Berikut pernyataan Tf:
“….hari lain saya kerja mba, tapi kalo sabtu sama minggu saya ga bantu ibu mulung. Saya jagain adek saya sambil maen sama bilo, sama temen yang laen juga. Saya juga nonton tv mba, kan kalo sabtu sama minggu itu banyak kartun yang bagus, ibu kan juga beliin CD power rangers mba”.
Kondisi berbeda terlihat pada kasus Ibu Msm yang tidak berangkat memulung pada hari Kamis dan hari Minggu. Hal ini disebabkan pada hari Kamis Ibu Msm sibuk membereskan barang-barang pulungan yang akan ditimbangnya. Bapak Swn dan Ibu Spn juga tidak memanfaatkan hari Kamis untuk berangkat memulung. Alasannya adalah hari Kamis digunakan untuk menimbang dan untuk beristirahat. Waktu istrirahat dari rutinitas memulung digunakan Ibu Msm pada hari Minggu. Pada kasus Mas Agk, selain hari Minggu dijadikan sebagai hari untuk beristirahat, digunakan pula untuk mencuci pakaian dan mengurus bedeng. Adapun jumlah jam kerja pemulung dapat dilihat dari jam kerja pemulung di hari kerjanya. Jam kerja ini merupakan jam dimana para pemulung biasanya melakukan aktivitas memulung. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa mereka dapat merubah jam kerja memulungnya. Faktor hujan besar dan kondisi badan yang kurang sehat menjadi alasan bagi mereka merubah jam kerja memulung. Data mengenai jumlah jam kerja pemulung menurut hari kerja pemulung dalam sebulan disajikan dalam Tabel 8.
63
Tabel 8. Jumlah Jam Kerja Pemulung Menurut Hari Kerja Pemulung dalam Sebulan di Lapak Pemulung Kelurahan Beji, April 2010
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kasus Pemulung Bapak Sdr Ibu Km Bapak Drm Ibu Snr Tf Ibu Msm Mas Agk Bapak Swn Ibu Spn
Jam kerja dalam satu hari Shift 1 08.00-11.00 03.00-06.00 20.00-03.00 03.00-06.00 09.00-12.00 06.00-11.00 12.00-06.00 07.00-17.00 10.00-13.00
Shift 2 15.00-17.00 15.00-17.00 − 15.00-17.00 15.00-17.00 − − − −
Total Jumlah Jam Kerja dalam Sehari 5 5 7 5 5 5 18 10 3
Total Jumlah Jam Kerja dalam Sebulan 120 140 168 140 100 100 432 240 72
Sumber : Data penelitian primer, April 2010
Tabel 8 memperlihatkan bahwa jam kerja pemulung masing-masing bervariasi. Jam kerja terendah dalam sebulan adalah 72 jam sedangkan jam kerja tertinggi dalam sebulan adalah 432 jam. Jam kerja ini ditentukan bebas oleh setiap pemulung. Namun berbeda dengan kasus Mas Agk yang tidak dapat menentukan bebas jam kerjanya. Jam kerja Mas Agk ini ditentukan oleh bos. Berikut ini pernyataan Mas Agk : “…Saya diminta sama Bos buat ngambilin barang bekas di Depok Town Square mba. Yang di DETOS itu mah mba, udah proyeknya Bos, jadi ga ada yang boleh mulung lagi selain anak buah Bos. kalo di DETOS mba, kerja nya mulai jam 12 siang sampai jam 6 pagi. Sebulan bisa empat kali saya ga masuk mba, tapi Bos udah ngizinin kok, lagian di DETOS kan masih ada dua teman saya, nanti masuknya gantian mba sama teman saya”.
Kasus Mas Agk memperlihatkan bahwa curahan waktunya untuk bekerja lebih besar dibandingkan dengan pemulung lainnya. Pekerjaan menyortir dan memilah barang-barang bekas di DETOS (Depok Town Square) dirasakan pemulung di lapak pemulung ini memang lebih berat. Hal ini pula diungkapkan oleh Ibu Snr : “….suami saya juga ditawarin kerja yang di DETOS mba, tapi ga kuat, wong jam 12 siang mulainya dan jam 6 pagi baru pulang. Kan ga tidur mba
64
kalo kerja disitu, kalaupun tidur juga cuma sebentar. Ya jadinya suami saya udah ga ngambil kerjaan itu mba, mendingan mulung biasa gini”.
Beberapa pemulung membagi waktu kerja mereka menjadi dua bagian (shift). Hal ini terlihat pada kasus Bapak Sdr, Ibu Km, Ibu Snr dan Tf. Alasan mereka membagi waktu kerja adalah agar terdapat waktu selingan untuk mengistirahatkan badan mereka. Berikut pernyataan Ibu Km : “….saya berangkat mulung itu dua kali sehari, setiap hari begitu mba. kalo pagi kan berangkat jam 3 pulang ke rumah jam 6, nanti berangkat lagi jam 3 sore sampai jam 5 sore. Kalo seharian ga bisa istirahat saya nya mba, lagian kan saya buat masak pagi bapaknya, nyuci baju juga sama ngerapiin bedeng mba”.
Kasus Ibu Km dan ibu-ibu pemulung lainnya memperlihatkan bahwa waktu senggang yang dimiliknya tidak hanya digunakan untuk beristirahat melainkan juga digunakan untuk mengurus anak dan mengurus bedeng mereka. Ibu Km dan Ibu Snr merupakan pemulung yang memilih waktu pukul 03.00 pagi untuk memulai berangkat memulung. Hal ini disebabkan tempat tujuan memulung mereka adalah Pasar Kemiri yang mulai beroperasi pada pukul 03.00 wib. Pasar Kemiri merupakan tempat dengan jumlah limbah yang banyak sehingga tempat ini menjadi tempat yang strategis bagi para pemulung yang berada di Kota Depok. Kasus Ibu Snr dan Ibu Km menunjukkan bahwa waktu memulung dipengaruhi oleh waktu beroperasinya tempat tujuan memulung. Pada kasus Bapak Drm jam kerja yang dipilihnya untuk memulung adalah pada waktu malam hari yakni pukul 20.00 wib hingga pukul 03.00 wib. Wilayah memulung Bapak Drm adalah sepanjang jalan raya Kota Depok hingga Lenteng Agung. Alasan Bapak Drm memilih waktu tersebut adalah adanya selang waktu yang panjang bagi dirinya untuk memulung. Faktor lainnya adalah agar waktu kerja antara dirinya dengan istri dan anaknya tidak bentrok. Berikut pernyataan Bapak Drm : “….saya mulai mulung jam 8 malem sampai jam 3 pagi. Yah, capek mba, kalo jam segitu sebenarnya. Wong orang-orang pada tidur, saya malah mulung. Karena udah biasa mulung jam segitu, badan saya enak-enak aja buat kerja, palingan juga masuk angin , kalo tiba-tiba ujan. Dari jam 8 sampe jam 3 itu saya bisa dapet banyak barang kok mba, kan ada toko-toko yang udah jadi langganan saya mba buat diambilin barang bekasnya.
65
Mereka tinggal taroh di tempat sampah depan tokonya. Lagian waktu yang saya pilih jadi ga bentrok sama waktu mulung istri saya sama anak saya Tf. Kalo saya, istri sama anak saya yang mulung pagi yang jagain Td kan ga ada mba. Nah, kalo saya mulung malem, paginya sampai sore kan Td sama saya.
Apabila mengantuk Bapak Drm tidak jarang untuk tidur di depan warungwarung yang sudah tutup. Kasus Bapak Drm memperlihatkan bahwa jam kerja pemulung dapat ditentukan sendiri dengan mempertimbangkan kondisi dirinya sendiri dan kondisi keluarganya. Pada umumnya pemulung yang memulung di daerah perumahan ataupun perkampungan memulai bekerja pada pagi hari, yakni sekitar pukul 07.00 wib dan kembali pada pukul 17.00 wib. Hal ini menyesuaikan dengan izin yang diberikan dari perumahan maupun perkampungan tempat mereka memulung bahwa pemulung baru diizinkan untuk memulung setelah jam 06.00 pagi dan selesai pada pukul 17.00 untuk menghindari adanya prasangka masyarakat terhadap pemulung. Melihat hari dan jam kerja pemulung yang cukup tinggi, maka anggapan bahwa profesi memulung merupakan profesi bagi orang-orang yang malas bekerja tidaklah benar.
5.5.4 Jarak Tempuh Memulung Jarak tempuh memulung yang dilakukan pemulung ketika bekerja biasanya tergantung
pada
tenaga
masing-masing
pemulung.
Biasanya
pemulung
perempuan menempuh jarak sekitar 7 km dalam sehari. Hal ini terlihat pada Kasus Ibu Km dan Ibu Snr yang menempuh jarak 3 sampai 3,5 km dalam sekali jalan. Artinya ketika mereka memulung dua kali dalam sehari mereka menempuh jarak sekitar 7 km. Ibu Msm pula menempuh jarak 7 km dalam satu hari bekerja namun Ibu Msm tidak membagi waktu memulungnya menjadi dua seperti kasus Ibu Km dan Ibu Snr. Berbeda dengan tiga kasus pemulung perempuan sebelumnya, kasus Ibu Spn memiliki jarak tempuh yang lebih rendah yakni sekitar 3 km dalam sehari. Hal ini disebabkan Ibu Spn baru tinggal di daerah Depok dan kurang mengetahui wilayah Depok sehingga ia memulung di tempattempat yang dekat dengan pemukiman pemulung. Pada umumnya kaum perempuan tidak mampu berjalan jauh karena beberapa alasan diantaranya, mempunyai tanggung jawab di rumah sehingga mereka akan cepat kembali ke
66
rumah dan mereka tidak terlalu kuat untuk membawa beban barang pulungan yang banyak. Berikut pernyataan Ibu Msm :
“ ….saya mah mulung yang deket-deket neng, sekali jalan juga palingan 7 kilo mah ada. Biasanya saya ke mulung ke daerah Beji, sekitar ITC Depok, Stasiun Depok Baru, Jalan Margonda Raya, Terminal Depok. Udah puter-puter disitu juga udah dapet banyak neng. Beda atuh kalo sama laki-laki mah jauh mulungnya, jaraknya juga lebih jauh. Saya mah ga bisa jauh-jauh neng, kan saya mesti masak sama beberes rumah. Lagian juga kalo jauh bawa barangnya berat neng”.
Pada kasus Tf pula, jarak yang ditempuhnya dalam sehari sekitar 7 km. Wilayah memulungnya adalah kampus UI, Beji dan Stasiun Depok Baru. Karena masih anak-anak Tf tidak diperbolehkan orang tuanya memulung ke daerahdaerah jauh. Sebab mereka takut Tf ke sasar atau mengalami kejahatan di jalan. Berikut pernyataan Tf :
“……saya mulungnya di kampus UI mba, nah kalo mau ke kampus kan ngelewatin Beji jadi sekalian jalan. Kalo di UI enak mba, ga kepanasan (sambil tertawa), banyak pohonnya, tempatnya juga bagus. Saya tinggal ngambilin di tong sampahnya aja. Kalo sore saya ke stasiun depok baru, muter-muter aja disitu mba. Waktu pertama kali saya dianter ibu mulungnya, sekarang bisa ke sana sendiri. Ibu sama Bapak ga ngebolehin jauh-jauh jalannya katanya takut ke sasar, sama takut ada yang malakin mba”.
Sampai saat ini Tf masih belum diperbolehkan untuk memulung dengan jarak yang jauh walaupun sudah hampir setahun Tf ikut memulung. Pada kasus pemulung laki-laki dewasa, biasanya mereka menempuh jarak lebih jauh dibandingkan dengan kaum perempuan. Hal ini terlihat pada kasus Bapak Sdr, Bapak Drm, dan Bapak Swn yang menempuh jarak antara 10 km hingga 13 km. Jarak tempuh memulung Bapak Swn biasanya sekitar 13 km dengan wilayah memulung di Beji, Beji Timur, Pondok Cina, UI, Lenteng Agung, Pancoran Mas, Margonda Raya, Depok Lama, Citayam. Berikut pernyataan Bapak Swn:
“…saya kan berangkat mulung pagi mba pulangnya sore jadi jaraknya ya lumayan jauh, ada kali ya 13 kilo mah kalo saya muter-muter. Biasanya dari pagi saya ke beji dulu terus kearah depok sampai lenteng agung. Kalo udah saya langsung balik ke margonda raya, depok lama kalau ga capek ya bisa sampai citayam mba. Dapet alhamdullilah banyak mba”.
67
Jarak yang ditempuh Bapak Swn tergolong jarak yang jauh bila dibandingkan dengan jarak tempuh pemulung laki-laki dewasa lainnya. Namun terdapat pengecualian pada kasus Mas Agk yang hanya menempuh jarak 3 km. Untuk sampai ke tempat tujuan, yakni Depok Town Square (DETOS), Mas Agk hanya menggunakan transportasi kereta api dan membayar karcis sebesar Rp. 1.000,00. Data mengenai jarak tempuh pemulung menurut wilayah memulung dapat dilihat di Tabel 10 (halaman 118).
5.5.5 Jenis Barang Pulungan Jenis barang pulungan yang biasanya dikumpulkan pemulung adalah semua jenis barang yang memiliki harga jual di pasaran. Pada umumnya barang yang dipulung adalah semua jenis barang kecuali sayuran. Sebab sayuran tidak memiliki nilai jual dan tidak dapat di daur ulang. Adapun barang-barang bekas atau barang pulungan yang sering dikumpulkan antara lain dupleks (kertas-kertas bekas), kardus, gelas A (gelas putih aqua dan botol), gelas B (gelas frutang, gelas kopi), plastik putih, keresek, besi, kuningan, tembaga, aluminium, kawat, karung, karpet, ember, sandal atau sepatu, dan beling. Semua pemulung di lapak pemulung Kelurahan Beji memulung jenis barang-barang ini. Terkadang terdapat pemulung yang tidak menjual hasil barang pulungannya kepada lapak. Sebab barang pulungan tersebut masih dapat dimanfaatkan kembali oleh dirinya dan keluarganya. Hal ini terjadi pada kasus Bapak Sdr yang memulung kipas angin bekas di salah satu tempat sampah perumahan Depok. Kipas Angin ini tidak dijual tetapi diperbaiki dan digunakan kembali oleh keluarganya untuk menyejukan bedeng mereka.
5.5.6 Berat Barang Pulungan Barang-barang pulungan yang diambil oleh setiap pemulung cukup bervariasi. Hal ini menyebabkan berat barang pulungan yang didapat pun akan bervariasi pula. Pada kaum perempuan biasanya berat barang pulungan yang dibawanya akan lebih ringan bila dibandingkan dengan berat barang pulungan yang dibawa kaum laki-laki. Sebab tenaga kaum perempuan tidak mampu untuk
68
membawa beban yang terlalu berat. Biasanya kaum perempuan dapat mengangkut dan membawa beban pulungan antara 7-15 kg. Berikut pernyataan Ibu Km :
“…..bisa sampai 15 kg saya mba bawa barang pulungan itu. Ya tapi, ga setiap kali mulung saya bisa dapet 15 kg mba, tergantung banyak apa engga saya dapetnya. Kalo udah lebih dari 15 kg saya ga kuat juga mba bawanya”.
Berbeda dengan Ibu Snr yang hanya mampu mengangkut beban pulungan sekitar 10 kg. Pundak Ibu Snr yang sering sakit mengakibatkan ia tidak mampu untuk membawa beban yang lebih berat dari 10 kg. Kondisi fisik yang lemah ini pula terjadi pada kasus Ibu Msm dan Ibu Spn. Ibu Msm hanya mampu mengangkut beban sekitar 8 kg sedangkan Ibu Spn hanya mampu mengangkut beban pulungan sekitar 6 kg. Tf yang masih anak-anak dapat mengangkut barang pulungan sekitar 7 kg dalam setiap kali memulung. Walaupun ia masih anak-anak ia memiliki tenaga yang kuat untuk membawa barang pulungannya ke bedeng. Kaum laki-laki biasanya dapat mengangkut barang pulungan antara 15 -25 kg. Kasus Bapak Sdr mampu mengangkut barang pulungan sekitar 18 Kg dalam setiap kali memulung. Kasus Bapak Swn dan Bapak Drm mampu mengangkut barang pulungan sekitar 25 kg dalam setiap kali memulung. Beban pulungan yang dibawa Bapak Drm dan Bapak Swn tergolong yang cukup berat. Sebab tenaga mereka lebih kuat sehingga mampu membawa beban yang lebih berat. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi Bapak Sdr yang umurnya lebih tua sehingga menyebabkan tenaganya tidak cukup kuat untuk membawa beban yang berat. Berikut pernyataan Bapak Sdr :
“….saya ini udah tua loh mba, lima puluh delapan tahun, udah punya cucu lima juga, ya jadi kalo mulung udah ga bisa kaya umur tiga puluh tahunan mba. Anak saya Drm itu bisa bawa sampai 25 Kg ya karena tenaganya masih kuat. Kalo saya bawa 18 Kg juga sebenernya udah pegel-pegel banget pundaknya mba. Maklum udah tua ya mba”.
Kasus Bapak Sdr memperlihatkan bahwa tenaga merupakan salah satu modal seseorang yang berprofesi sebagai pemulung. Apabila tenaga yang dimiliki pemulung kuat maka ia dapat mencari dan mengumpulkan barang pulungan yang
69
lebih banyak. Namun, apabila tenaga yang dimiliki pemulung tidak terlalu kuat maka hasil barang pulungannya pun tidak dapat banyak.
5.5.7 Peralatan yang Digunakan dalam Memulung Peralatan yang digunakan dalam memulung merupakan sarana yang disediakan Bos Mch untuk anak buahnya. Peralatan ini berfungsi sebagai alat untuk mempermudah pemulung untuk mengambil dan mengangkut barang pulungan. Data mengenai peralatan yang digunakan untuk memulung disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9. Peralatan yang Digunakan Pemulung di Lapak pemulung Kelurahan Beji, April 2010 No
Kasus Pemulung
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Bapak Sdr Ibu Km Bapak Drm Ibu Snr Tf Ibu Msm Mas Agk Bapak Swn Ibu Spn
Peralatan yang digunakan untuk memulung Gerobak Karung Ganco Becak Gerobak Tarik √ √ − − √ √ − − − √ √ − √ √ − − √ √ − − √ √ − − √ √ − − − √ − √ √ √ − −
Sumber: Data Penelitian Primer, April 2010
Tabel 9 memperlihatkan bahwa pada umumnya peralatan yang digunakan pemulung di Kelurahan Beji adalah karung dan ganco. Ganco adalah besi dengan ujung seperti kail ikan yang digunakan untuk mengambil barang pulungan yang ringan seperti, gelas minuman dan plastik.
Ganco dapat mempermudah dan
meringankan tenaga pemulung pada saat pengambilan barang pulungan. Adapun karung yang biasanya digunakan adalah karung-karung besar, seperti karung beras. Fungsi karung ini adalah sebagai tempat untuk menyimpan sementara barang-barang pulungan yang didapatkannya. Sifat karung yang lebih fleksibel untuk dibawa kemana-mana membuat pemulung lebih banyak menggunakan karung daripada gerobak becak maupun gerobak dorong. Seperti yang diungkapkan Ibu Snr berikut ini :
70
“……saya kalo mulung lebih suka pake karung sama ganco mba. kalo karung kan lebih gampang dibawanya daripada pake gerobak becak sama gerobak tarik. Pake karung kan tinggal di gendol di pundak mba. Beda sama gerobak becak yang harus di genjot dulu, kaki saya ga kuat mba, lebih capek lagian. Sama gerobak tarik juga repot bawanya, mendingan karung mba”.
Hal ini berbeda dengan Kasus Bapak Drm dan Bapak Swn yang lebih memilih menggunakan gerobak sebagai peralatan untuk memulung. Alasan Bapak Drm memilih menggunakan gerobak becak dilatarbelakangi oleh daya tampung gerobak yang lebih besar bila dibandingkan dengan daya tamping karung. Daya tampung yang besar dapat menampung barang-barang pulungan dalam jumlah yang banyak. Berikut pernyataan Bapak Drm :
“…..waktu kerja mulung saya kan lama ya mba, tujuh jam. Jadi kalo bawa gerobak becak saya bisa ngambil dan bawa barang pulungan yang banyak. Jalannya kan juga jauh mba, jadi mendingan saya genjot gerobak daripda jalan. Kalo saya bawa karung ga bisa nampung banyak mba. lagian saya rugi lah ya mba, mulung dari malem sampai pagi kalo cuma bawa dikit barang pulungan”.
Pada kasus Bapak Drm terlihat bahwa jarak tempuh memulung dan waktu kerja yang panjang membuat Bapak Drm berusaha untuk mengumpulkan berbagai barang pulungan sebanyak-banyaknya. Bapak Drm tidak mau menyia-nyiakan waktu panjang tersebut dengan hanya mendapatkan barang pulungan yang sedikit. Alasan ini pula yang membuat Bapak Swn lebih memilih gerobak tarik sebagai peralatan yang digunakannya ketika memulung.
5.5.8 Pengetahuan Barang Pulungan dari Sisi Harga Peranan pemulung dalam industri daur ulang adalah untuk mengumpulkan barang-barang bekas dari berbagai lokasi pembuangan sampah di kota untuk mengawali proses penyalurannya ke tempat-tempat produksi. Dalam menjalankan peranannya ini para pemulung perlu mengenali jenis-jenis barang pulungan yang mempunyai nilai ekonomis serta mengetahui harganya masing-masing. Karena harga barang-barang pulungan ini berfluktuasi, maka mereka harus senantiasa memperbaharui pengetahuannya. Oleh karena itu, pengetahuan tentang harga dari
71
setiap barang pulungan sangat dibutuhkan pemulung. Dalam hal ini, bos pemulung berperan sebagai sumber informasi harga jual barang bekas. Sebelumnya Bos telah mengetahui harga jual dari pemasok barang-barang pulungan daur ulang yang menjadi rekan bisnisnya. Pemasok berperan sebagai penyalur bahan-bahan daur ulang dari bos ke pabrik yang masih dalam bentuk aslinya. Bos berkewajiban untuk memberikan informasi mengenai harga per jenis komoditi barang pulungan. Berikut pernyataan Bos Mch :
“….saya pasti ngasih tau harga per kg nya barang pulungan ke anak buah saya mba. Kalo harga lagi naik atau lagi turun pasti saya langsung kasih tau mereka. Jadi anak buah bisa tau mana barang yang lagi naik atau yang lagi jatuh harganya. Kalo lagi jatoh harganya, saya kasih saran untuk disimpen dulu barangnya, tunggu sampe stabil lagi. Tapi itu, terserah mereka lagi mau dijual atau mau disimpen. Tapi alhamdullilahnya, dari saya mulai bisnis ini harga paling turun seratus sampai seribu per Kg mba dari harga biasanya. Sekarang ini, lebih banyak yang naik harganya mba, kaya tembaga, kuningan sama aluminium. Jarang yang turunlah mba kalo harga. Kalo stabil atau syukur-syukur naek terus, anak buah semangat mba kerjanya, saya juga seneng pendpatan jadi naek juga”.
Informasi mengenai harga jual barang pulungan ini dapat pula diketahui pemulung dari orang kepercayaan Bos Mch yakni Mas Ags. Mas Ags merupakan keponakan dari Bos Mch yang diberikan kepercayaan untuk mengontrol penimbangan barang bekas. Informasi harga per jenis komoditi barang pulungan setiap waktunya, membuat pemulung akan selalu bekerja keras untuk mencari dan mengumpulkan barang pulungan yang memiliki harga jual yang tinggi. Pemulung dapat pula mengetahui harga jual pulungan dari rekan sesama pemulung yang berbeda bos. Berikut ini pernyataan dari Kasus Bapak Sdr :
“…..semua anak buah bos Mch dikasih tau harga per kg nya barang mba. kalo engga bos ya mas Ags yang ngasih tau. Biasanya kita-kita disini juga dapet tahu harga barang dari pemulung laen tapi beda lapak. Ngobrolngobrol sama mereka, misalnya harga per kg gelas aqua berapa di bosmu?, misalnya harga kita lebih murah dibandingin sama lapak lain, ya..kita tinggal bilang sama bos. Saya juga pernah ngomong sama bos kalo harga per kg aqua di lapak lain naik dua ratus rupiah per Kg nya, entar bos bisa naekin harga mba”.
72
Kasus Bapak Sdr memperlihatkan bahwa pemulung sebagai posisi yang terbawah dalam jaringan industri ulang tampak memiliki kekuatan dalam menegosiasikan harga jual barang pulungan yang didapatkannya. Namun, tidak semua perbedaan harga jual antara satu lapak dengan lapak lain dapat diterima oleh bos. Hal ini dipengaruhi perbedaan fasilitas yang diberikan bos masingmasing terhadap anak buahnya.
5.5.9 Pengetahuan Barang Pulungan dari Sisi Legalitalitas Akses pemulung terhadap barang buangan yang menjadi sasarannya memainkan peranan berarti dalam menghidupi keluarga itu sendiri dan untuk pasokan industri daur ulang. Selama ini, pemulung beroperasi dalam kondisi dimana barang buangan yang dikumpulkan diperoleh secara bebas dan gratis dari tempat-tempat sampah kota. Dalam perjalanannya mencari dan mengumpulkan barang pulungan, pemulung di Kelurahan Beji dituntut untuk mengetahui legalitas barang pulungan. Maksud dari legalitas adalah apakah barang tersebut dapat diambil secara gratis atau boleh diambil dengan cara dibeli pemulung atau sama sekali tidak boleh diambil. Bos Mch selalu memperingatkan anak buahnya untuk tidak mencuri barang. Apabila terdapat anak buahnya yang ketahuan mencuri maka tidak segan-segan Bos Mch akan memecat anak buahnya. Berikut pernyataan Bos Mch :
“…….Semua anak buah saya udah kasih tahu kalo ga boleh ada yang mencuri. Tapi kalo ada yang ketahuan mencuri barang di masyarakat mba, bisa langsung saya pecat mba. Tapi alhamdulliah tujuh lapak pemulung yang saya punya sampai sekarang belum ada kasus mencuri. Kalo mencuri itu udah berat mba, bisa-bisa lapak saya ini diusir sama warga. Kita kan hidup di lingkungan masyarakat mba, masih bagus kita dapet tempat disini dan diterima sama masyarakat. Makanya saya harus tegas juga sama anak buah mba. Nyuri itu bisa-bisa berurusan sama polisi mba, anak buah juga bisa digebukin massa. Pemulung yang bukan anak buah saya pernah mba ketahuan nyuri, udah digebukin, di bawa ke kantor polisi juga. Kalo udah sama polisi urusan jadi ribet mba. Makanya saya udah kasih tau anak buah, kalo yang ada di bak sampah di jalan boleh kalian ambil, tapi misalnya ada di halaman rumah harus nanya dulu sama yang punya rumah, barang ini bisa diambil atau enggak”.
Hal ini memperlihatkan bahwa pengetahuan mengenai legalitas barang pulungan menjadi salah satu perhatian pemulung ketika beroperasi di jalan. Sebab
73
ketidaktahuan pemulung mengenai boleh atau tidaknya barang mereka ambil dapat menjadi resiko yang besar bagi mereka. Para pemulung tidak segan-segan berbagi pengalaman mereka tentang aktivitas memulung mereka yang berkaitan dengan legalitas suatu barang pulungan. Seperti yang diungkapkan Bapak Sdr berikut ini :
“….saya kan yang paling lama ikut sama bos mba, jadi saya suka ngasih pengalaman waktu mulung pertama kali, sebelum sama bos. Temen-temen disini juga suka ngobrolin itu mba. Ceritanya, waktu kerja sama bos KH mba, waktu itu ada botol-botol akih mba neng halaman rumah wong, ta ambil toh mba, eh yang punya rumah keluar, saya diteriakin maling, wes tenan kapok aku mba. wes mba, ma deredeg aku mba, takut digebukin sama orang-orang kan. Tapi untungnya to lagi sepi, yang punya rumah juga ga manjangin masalah, padahal kalo dipikir kan cuma botol ya mba, sampe begitu. Sekarang mau botol kek, kertas kek, kalo dihalaman orang saya minta izin dulu mba”.
Sampai saat ini Bapak Sdr dan rekan-rekan sesama pemulung tidak pernah melakukan tindakan mencuri. Mereka mengetahui bahwa mencuri memiliki resiko yang besar. Meminta izin untuk mengambil barang kepada pemiliknya merupakan jalan untuk menghindari tindakan mencuri. Sebagian pemulung dapat meminjam uang kepada Bos, ketika dalam situasi dimana pemulung menemukan barang buangan yang relatif memiliki harga jual tinggi atau dalam kuantitas besar yang hanya dapat diperoleh melalui transaksi jual beli. Hal ini terjadi pada kasus Bapak Drm yang membeli tembaga dari salah satu masyarakat yang memiliki bengkel. Pada saat itu, Bapak Drm mendapatkan tembaga dengan jumlah 4 kg. Karena tidak memiliki uang yang cukup, Bapak Drm pun meminjam uang ke Bos Mch untuk membeli barang tersebut. Pada kasus ini memperlihatkan bahwa transaksi jual beli dapat menjamin kelegalitasan suatu barang.
5.6 Ikhtisar Pada umumnya pemulung yang tinggal di Kelurahan Beji, telah menjalani profesi sebagai pemulung selama dua tahun. Sebab lapak pemulung yang berada di Kelurahan Beji ini baru dibangun 2008. Motivasi kerja yang dimiliki pemulung adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar terutama pangan. Terdapat pula
74
pemulung yang dapat membeli alat elektonik serta motor dari hasil memulung mereka selama ini. Pada kasus Bapak Sdr dan Bapak Drm diketahui bahwa mereka menikmati pekerjaannya sebagai pemulung. Bapak Sdr dan Bapak Drm mengganggap profesi ini menyenangkan karena resiko pekerjaan ini kecil dan hanya membutuhkan modal tenaga. Namun terdapat pula pemulung yang menganggap profesi memulung sebagai pekerjaan yang tidak disenangi. Mereka merasa malu ketika memulung karena pekerjaan ini dianggap hina dan rendah oleh masyarakat. Hal ini terlihat pada kasus Ibu Spn yang mendapat perlakuan yang tidak baik oleh masyarakat seperti menutup hidung ketika mereka melewati masyarakat. Pemulung yang berada di Kelurahan Beji setiap hari bekerja untuk memulung. Jumlah hari kerja tertinggi dalam sebulan adalah 28 hari dan hari kerja terendah dalam sebulan adalah 20 hari. Terdapat pemulung yang tidak bekerja pada hari sabtu dan minggu. Hal ini terlihat pada kasus Tf, Ibu Msm dan Mas Agk yang tidak memulung dan memilih hari tersebut untuk beristirahat. Jam kerja terendah pemulung dalam sebulan adalah 72 jam sedangkan jam kerja tertinggi dalam sebulan adalah adalah 432 jam. Jam kerja tertinggi dalam sebulan terlihat pada kasus Mas Agk sedangkan jam terendah dalam sebulan terlihat pada kasus Ibu Spn. Jam kerja pemulung merupakan jam dimana mereka biasanya melakukan aktivitas memulung. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa mereka dapat merubah jam kerja memulungnya. Faktor hujan besar dan kondisi badan yang kurang sehat menjadi alasan bagi mereka merubah jam kerja memulung. Pemulung kaum perempuan dapat menempuh jarak sekitar 7 km dalam sehari memulung. Pada umumnya kaum perempuan tidak mampu berjalan jauh karena beberapa alasan diantaranya, mempunyai tanggung jawab di rumah sehingga mereka akan cepat kembali ke rumah dan mereka tidak terlalu kuat untuk membawa beban barang pulungan yang banyak. Kaum laki-laki dapat menempuh jarak sekitar 10-13 km. Jenis barang pulungan yang biasanya dikumpulkan pemulung adalah semua jenis barang yang memiliki harga jual di pasaran. Adapun barang-barang bekas atau barang pulungan yang sering dikumpulkan antara lain kertas, kardus, plastik,
75
besi, kuningan, tembaga, aluminium, kawat, karung, karpet, ember, sandal atau sepatu, tulang, dan beling. Barang-barang pulungan yang diambil oleh setiap pemulung cukup bervariasi. Hal ini menyebabkan berat barang pulungan yang didapat pun akan bervariasi pula. Pada kaum perempuan biasanya berat barang pulungan yang dibawanya akan lebih ringan bila dibandingkan dengan berat barang pulungan yang dibawa kaum laki-laki. Sebab tenaga kaum perempuan tidak mampu untuk membawa beban yang terlalu berat. Biasanya kaum perempuan dapat mengangkut dan membawa beban pulungan antara 7-15 kg. Sedangkan kaum laki-laki dapat membawa berat barang pulungan antara 15-25 kg. Pada umumnya peralatan yang digunakan pemulung di Kelurahan Beji adalah karung, ganco, gerobak tarik dan gerobak dorong. Harga barang pulungan selalu berfluktuasi, oleh karena itu pemulung harus senantiasa memperbaharui pengetahuannya mengenai harga jual per jenis komoditi. Informasi mengenai harga per jenis komoditi barang pulungan didapat dari bos pemulung sendiri dan rekannya sesama pemulung yang berbeda bos. Dalam jaringan industri daur ulang, pemulung berada di posisi terbawah, namum mereka tampak memiliki kekuatan dalam menegosiasikan harga jual barang pulungan yang didapatkannya. Dalam perjalanannya mencari dan mengumpulkan barang pulungan, pemulung di Kelurahan Beji dituntut untuk mengetahui legalitas barang pulungan. Sebab ketidaktahuan pemulung mengenai boleh atau tidaknya barang yang akan mereka ambil dapat menjadi resiko yang besar bagi mereka.
5.7 Karakteristik Lapak Pemulung Pemukiman pemulung atau lebih dikenal oleh para pemulung dengan sebutan lapak ini cenderung agak menjauh dari pemukiman warga setempat. Bos Mch sendiri memiliki tempat tinggal yang berbeda dengan lapak pemulung yang dimilikinya yakni di Kecamatan Pancoran Mas, Depok. Bos Mch saat ini memiliki tujuh lapak pemulung dengan titik lokasi yang berbeda-beda yakni agung shop I, Agung Shop II ( terdapat di Kelurahan Beji), Ramayana, Pasar Kemiri, Raden Saleh, Sukmajaya, dan limbah Depok Town Square.
76
Lapak pemulung memiliki ciri-ciri khusus yang memberikan gambaran tentang
kehidupan
pemulung
di
lingkungannya.
Beberapa
karakteristik
pemukiman pemulung yang akan dibahas diantaranya adalah kondisi bedeng pemulung, ketersediaan air bersih, sanitasi, keberadaan lahan lapak dari sisi legalitas.
5.7.1 Kondisi Bedeng Pemulung Ketersediaan rumah (bedeng) merupakan salah satu fasilitas yang diberikan Bos Mch bagi anak buahnya. Saat ini terdapat 15 bedeng yang tersedia di lapak ini. Namun, hanya 10 bedeng yang ditinggali oleh para pemulung sedangkan sisanya masih dalam kondisi kosong. Bedeng-bedeng kosong tersebut disediakan untuk pemulung-pemulung baru yang akan tinggal di lapak ini. Letak susunan bedeng di lapak ini berbentuk U. Bahan utama bedeng pemulung adalah bilik-bilik kayu dengan bambu kuning sebagai pondasi bedeng. Atap bangunan terbuat dari kumpulan lembaran seng bekas yang dilapisi oleh terpal atau baliho-baliho bekas dan ditindih dengan ban bekas sebagai pemberat sehingga terpal atau baliho tidak terbawa angin. Adanya terpal atau baliho bekas tersebut melindungi bedeng dari air hujan. Berikut pernyataan Bapak Drm :
“…..bedeng-bedeng disini itu mba, gentengnya dari seng-seng bekas. Dari bos bedengnya udah kaya gitu. Tapi saya sama temen disini nambahin ditutupin terpal kalo engga baliho gentengnya mba biar ujannya ngalir kebawah, terus biar ga pada kabur sengnya kalo ada angin, ditarohin banban bekas mba. dinding bedeng juga ditutupin sama baliho-baliho bekas mba, biar ga pada ngerembes sama air ujan”.
Untuk menghindari rembesan air dari tembok bedengnya, pemulung pula memanfaatkan baliho-baliho bekas yang ditempel di setiap sisi bedeng. Pada beberapa bedeng pemulung, terlihat adanya pemulung yang membuat tempat penyimpanan barang-barang di bawah atap bedeng mereka. Tempat penyimpanan tersebut beralas bilik-bilik kayu yang dikaitkan dengan dua buah bambu agar posisinya kuat. Biasanya di tempat tersebut digunakan untuk menyimpan baju kering, alat mandi, mainan anak-anak, tembaga-tembaga hasil pulungan dan sebagainya.
77
Bangunan bedeng yang terdapat di lapak ini memiliki luas sekitar 2 m x 2 m. Untuk memasuki bedeng, pemulung harus sedikit merendahkan badan agar tidak terkena atas pintu. Namun, ketika sudah memasuki ke dalam bedeng, mereka tidak perlu merendahkan badan karena tinggi atap bedeng bagian dalam lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi atap bagian luar bedeng. Biasanya untuk alas bedeng, pemulung melapisi tanah dengan karpet plastik, terpal atau baliho yang disusun rapi. Bagian dalam bedeng pemulung biasanya berisi kasur kapuk yang diletakkan di lantai atau tempat tidur yang terbuat dari kayu kemudian dilapisi kasur kapuk. Peralatan elektronik seperti TV dan Dvd yang dimiliki keluarga Bapak Drm diletakan di depan kasur. Biasanya Tf dan Td akan tidur-tiduran dikasur sambil menonton TV. Lemari maupun rak-rak untuk menyimpan piring mereka atur posisi tempatnya sehingga bedeng dapat terlihat luas. Lemari atau rak biasanya ditempatkan mereka disamping TV atau di sisi pojok bedeng. Luas bedeng yang berukuran kecil membuat pemulung harus memasak di luar rumah. Halaman luar bedeng yang berukuran 1 meter tersebut mereka gunakan sebagai dapur. Berikut pernyataan Ibu Snr :
“……..semua pemulung yang ada disini kalo masak di depan bedeng mba. soalnya ga cukup kalo didalem, buat tidur sama naruh barang juga udah sempit. Kalo masak di dalem bisa-bisa kebakaran mba, wong bedeng nya semua dari bambu sama bilik-bilik gini. Bos emang bilang kalo masak di luar bedeng mba. kalo buat masak, ga ada yang pake kompor minyak, apalagi kompor gas, takut kobong mba, jadi kompornya pake batu bata ditumpuk sama pake kayu bakar mba, jadi irit”.
Para pemulung menggunakan kompor yang terbuat dari batu dengan menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya. Kompor tersebut diletakkan di depan bedeng masing-masing pemulung. Untuk menghindari adanya angin yang dapat membesarkan api, pemulung membuat pagar-pagar disamping kompor. Pagarpagar tersebut tersusun atas kumpulan seng-seng. Kondisi dan letak bedeng Mas Agk berbeda dengan pemulung lainnya. Letak bedeng Mas Agk berada di tempat penimbangan barang-barang pulungan. Bedeng Mas Agk lebih tinggi daripada bedeng pemulung lainnya di lapak ini. Sebab bedeng tersebut lebih mirip dengan rumah panggung. Untuk memasuki bedengnya, Mas Agk harus menaiki tangga yang terbuat dari kayu dan berjumlah
78
10 buah. Bedeng dan alas bedeng Mas Agk pula terbuat dari bilik kayu dengan atap yang dilapisi seng. Luas bedeng Mas Agk lebih kecil dibandingkan dengan pemulung lainnya yakni 1.5 m x 1 meter. Setiap anak buah memiliki kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya.
5.7.2 Sarana Air Bersih Ketersediaan air bersih merupakan suatu komponen penting bagi seseorang guna memenuhi kebutuhan hidup seperti untuk air minum, mandi, mencuci pakaian, mencuci beras dan sebagainya. Pada lapak pemulung di Kelurahan Beji ini ketersediaan air bersih diperoleh dari air tanah. Dalam hal ini air diambil dengan menggunakan mesin jet pump. Terdapat dua mesin jet pump yang diletakkan di dua kamar mandi. Kamar mandi pertama berada di samping bedeng Ibu Msm sedangkan kamar mandi kedua terdapat di tempat penimbangan. Para pemulung bebas untuk memilih kamar mandi yang akan digunakan. Mesin jet pump yang tiba-tiba rusak menjadi kendala bagi para pemulung yang ingin mengambil air bersih. Hal ini sering terjadi pada mesin jet pump yang berada di tempat penimbangan. Berikut pernyataan Ibu Snr:
“….kamar mandi yang di tempat penimbangan itu toh mba, suka ngadat. Tapi ntar bisa dibenerin sama Mas Ags, kalo udah ngadat jadi suka pada ngantri di kamar mandi yang dideket Ibu Msm. Kita semua disini perlu air bersih mba, buat minum, mandi, nyuci pakaian, nyuci beras sama sayuran. Kalo ga ada air bersih bisa repot semua mba. Alhamdulillah, kalo air disini bersih kok mba, airnya diambil dari tanah mba.”
Kasus Ibu Snr memperlihatkan bahwa keberadaan air bersih sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Manfaat tersedianya air bersih ini dapat menjaga kesehatan bagi para pemulung yang tinggal di lapak pemulung ini. Namun kondisi bangunan kamar mandi yang digunakan pemulung untuk mengambil air bersih kurang layak digunakan. Kedua bangunan kamar mandi tersebut memiliki luas sekitar 2 x 3 meter. Bahan bangunan yang digunakan adalah bilik-bilik bambu dan bambu kuning digunakan sebagai pondasi kamar mandi. Pintu kamar mandi berbentuk persegi panjang dan terbuat dari seng bekas. Kamar mandi di lapak ini
79
tidak memiliki atap sebagai pelindung dari sinar matahari dan air hujan. Setiap kamar mandi dilengkapi satu bak besar yang berfungsi sebagai penampung air dan dua buah gayung. Posisi WC terdapat di setiap pojok kamar mandi. Letak WC dengan bak kamar mandi dibatasi oleh tembok setinggi 1 meter. Sarana WC pula kurang layak untuk digunakan para pemulung. Sebab WC tersebut terkadang mengalami macet ketika digunakan pemulung. Berikut pernyataan Ibu Spn:
“…..kondisi kamar mandinya emang begini adanya mba, namanya juga kamar mandi dipake bareng-bareng ya mba. kalo ujan saya sebenernya suka males ke kamar mandi, habis ga ada gentengnya gitu mba. Jadi saya harus pake payung biar ga kebasahan. Wc nya kadang-kadang juga suka macet mba, pokoknya WC nya itu harus diguyur pake aer banyak mba biar ga macet. Nyuci baju, nyuci sayuran ya di kamar mandi juga mba, semuanya juga pada begitu”.
Kasus Ibu Spn memperlihatkan bahwa sarana kamar mandi yang menjadi tempat sumber air bersih kurang layak digunakan oleh para pemulung. Tidak adanya sarana kamar mandi lain yang jauh lebih bersih membuat para pemulung bertahan untuk tetap menggunakan kedua kamar mandi tersebut. Belum ada upaya dari Bos Mch untuk merenovasi kamar mandi yang berada di lapak pemulung ini. Kondisi keuangan yang belum tersedia menjadi kendalanya.
5.7.3 Sanitasi Sanitasi didefinisikan sebagai cara seseorang membuang air limbah rumah tangga. Sistem sanitasi yang baik adalah yang higienis. Artinya, cara mereka membuang limbah rumah tangga tidak mempengaruhi kesehatan diri mereka sendiri, orang lain dan kebersihan lingkungan tempat tinggal. Kondisi lapak pemulung tidak memiliki sanitasi yang baik dan jauh dari kondisi yang higienis. Letak lapak yang bersebelahan dengan rawa, membuat air limbah rumah tangga pemulung mengalir ke daerah rawa. Kondisi rawa sendiri dipenuhi oleh sampahsampah rumah tangga masyarakat setempat. Akibatnya setiap malam para pemulung disengat oleh nyamuk-nyamuk yang besar. Bagian tubuh pemulung yang disengat nyamuk tersebut akan terasa panas, gatal, dan kulit memerah. Berikut pernyataan Bapak Sdr:
80
“……kalo abis magrib disini mba, akeh banget nyamukke. Gede-gede mba nyamuknya. Kalo digigit rasanya panas mba, kulitnya jadi agak merah, gatel lagi mba. Sudah saya kasih baygon juga ga mempan mba. Kalo udah malem ga enak aja mba, tidur nya sambil neplokin nyamuk”.
Air yang mengalir dari kamar mandi ke rawa kadang kala alirannya tersumbat. Hal ini karena banyak sampah yang menyumbat di saluran air buangan kamar mandi pemulung sendiri. Banyaknya nyamuk-nyamuk yang berada di lapak ini disebabkan pula oleh tumpukan barang pulungan yang ditimbun pemulung. Barang-barang pulungan tersebut kadang kala dibiarkan berserakan di depan rumah. Sebab pemulung kadang-kadang sudah lelah untuk menyortir barang pulungan sesuai jenisnya setelah memulung. Hal ini terlihat dari kasus Ibu Msm yang hampir setiap hari membiarkan barang pulungannya berserakan di depan bedeng. Para pemulung di lapak ini pula kurang menjaga kesehatan akan kebersihan tangan mereka. Hal ini terlihat pada kasus Tf yang setelah memulung akan segera makan tanpa terlebih dahulu mencuci tangan. Tf menganggap bahwa ia tidak akan sakit hanya karena tidak cuci tangan sebelum makan. Kasus Ibu Msm pula tidak memperhatikan kebersihan tangannya. Biasanya Ibu Msm setelah menyortir barang pulungannya akan segera makan tanpa terlebih dahulu mencuci tangan. Para pemulung yang berada di lapak ini biasanya mandi sekali dalam sehari. Biasanya mereka tidak akan mandi ketika memulung dan akan mandi ketika mau tidur. Berikut pernyataan Ibu Km :
“…..kalo mau mulung saya ga mandi mba, entar kan juga kotor lagi toh mba. saya baru mandi kalo udah mau tidur biar seger mba. yah, namanya juga kerjaan gini itu kotor terus mba, bersihnya cuma kalo mau tidur. Bapaknya juga gitu kok.”
Pada kasus Ibu Spn memperlihatkan bahwa kehidupan pemulung memang selalu berdekatan
dan berdampingan dengan barang-barang yang kotor dan
lingkungan yang tidak sehat. Namun para pemulung dapat bertahan hidup dengan kondisi tersebut. Salah satu hal yang membuat para pemulung dapat bertahan hidup di lapak ini adalah terbatasnya keterampilan untuk memasuki sektor formal.
81
Para pemulung hanya memiliki keterampilan untuk mencari dan mengumpulkan barang-barang pulungan yang memiliki nilai jual di industri daur ulang. Sebagai contoh, kasus Mas Agk yang tidak memiliki keahlian lain untuk bekerja selain memulung.
5.7.4 Keberadan Lahan Lapak dari sisi legalitas Lahan lapak pemulung yang berada di Kelurahan Beji, Depok ini memiliki luas sekitar 0,75 Hektar. Lahan ini adalah milik Bapak Tgr yang kemudian disewa oleh Bos Mch untuk digunakan sebagai lahan usahanya. Sebelum disewa lahan ini merupakan lahan kosong yang hanya berisi ilalang. Lahan pemukiman ini baru disewa oleh Bos Mch pada tahun 2008. Uang sewa yang dibayarkan Bos Mch untuk lahan ini sebesar Rp. 6.000.000,00 per tahun. Bos Mch mendapat izin dari RT setempat untuk mendirikan lapak pemulung ini. Namun, Bos Mch belum memiliki izin mendirikan lapak ini dari pihak Kelurahan Beji. Pihak Kelurahan Beji sendiri telah mengetahui keberadaan lapak pemulung ini dari pihak RT setempat. Berikut pernyataan Bos Mch :
“……..saya udah mendapatkan izin buat mendirikan lapak pemulung dari RT disini mba. Jadi saya rasa tidak perlu minta izin ke kelurahan, Pihak dari RT juga sudah memberitahu kelurahan kalo ada lapak pemulung disini. Pihak kelurahan juga pernah dateng kesini kok mba, mereka bilang untuk tetap menjaga kebersihan biar pemulung dan masyarakat setempat tetap terjaga kesehatannya”.
Bos Mch memberikan uang sebesar Rp. 100.000,00 - Rp. 200.000,00 per bulannya kepada pihak RT sebagai jaminan keamanan dari lingkungan RT setempat terhadap keberadaan lapak pemulung dan pemulung itu sendiri. Sebagian dari masyarakat setempat telah mengetahui adanya lapak pemulung di lingkungan tempat tinggal mereka. Letak lapak ini berada sekitar 500 meter dari pemukiman penduduk. Pada lapak ini terdapat tiga buah pohon kersen yang membuat lapak tampak sejuk. Letak tiga pohon ini berada di depan pintu masuk lapak pemulung, disamping bedeng Ibu Msm dan di tempat penimbangan barang pulungan. Untuk
82
membedakan lahan lapak dengan pemukiman masyarakat sekitar, Bos Mch membuat pagar dari seng-seng bekas yang digunakan untuk mengelilingi lahan ini. Tempat penimbangan barang pulungan dengan bedeng pemulung dibatasi oleh bilik-bilik bambu. Pada tempat penimbangan ini terdapat tumpukan karung besar ataupun plastik-plastik besar yang didalamnya terdapat kumpulan barang-barang pulungan yang sudah dibedakan menurut jenisnya. Para pemulung akan membakar barang pulungan yang dinilai tidak dapat dijual di tengah lahan lapak. Aktivitas membakar ini dapat mengurangi jumlah sampah yang berada di lapak pemulung. Pada lapak pemulung ini terdapat jemuran yang dibuat oleh para pemulung. Jemuran ini terbuat dari dua buah bambu yang dipasang di jarak yang berjauhan. Untuk menghubungkan bambu tersebut para pemulung menggunakan kawat bekas. Seluruh pemulung yang berada di lapak ini akan menggunakan fasilitas jemuran ini untuk mengeringkan pakaian atau sekedar menjemur bantal dan guling.
5.8 Ikhtisar Bahan utama bedeng pemulung adalah bilik-bilik kayu dengan bambu kuning sebagai pondasi rumah. Atap bangunan terbuat dari kumpulan lembaran seng bekas yang dilapisi oleh terpal atau baliho-baliho bekas dan ditindih dengan ban bekas sebagai pemberat sehingga terpal atau baliho tidak terbawa angin. Adanya terpal atau baliho bekas tersebut melindungi bedeng dari air hujan. Pemulung pula memanfaatkan baliho-baliho bekas yang ditempel di setiap sisi rumah untuk mneghindari rembesan air ketika hujan. Bangunan bedeng yang terdapat di lapak ini masing-masing memiliki luas sekitar 2 m x 2 m. Untuk alas bedeng, pemulung melapisi tanah dengan karpet plastik, terpal atau baliho yang disusun rapi. Halaman diluar bedeng yang berukuran 1 meter digunakan para pemulung sebagai dapur. Para pemulung menggunakan kompor yang terbuat dari batu dengan menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya. Pada lapak pemulung di Kelurahan Beji ini ketersediaan air bersih diperoleh dari air tanah dengan menggunakan mesin jet pump. Terdapat dua mesin jet pump yang diletakkan di dua kamar mandi. Tersedianya air bersih dapat
83
menjaga kesehatan bagi para pemulung yang tinggal di lapak pemulung ini. Namun kondisi bangunan kamar mandi yang digunakan pemulung untuk mengambil air bersih kurang layak digunakan. Bahan bangunan yang digunakan adalah bilik-bilik bambu dan bambu kuning digunakan sebagai pondasi kamar mandi. Kondisi lapak pemulung tidak memiliki sanitasi yang baik dan jauh dari kondisi yang higienis. Letak lapak yang bersebelahan dengan rawa, membuat air limbah rumah tangga pemulung mengalir ke daerah rawa. Kondisi rawa dipenuhi oleh sampah-sampah rumah tangga masyarakat setempat. Akibatnya setiap malam para pemulung disengat oleh nyamuk-nyamuk yang besar. Banyaknya nyamuknyamuk yang berada di lapak ini disebabkan pula oleh tumpukan barang pulungan yang ditimbun pemulung. Para pemulung di lapak ini pula kurang menjaga kesehatan akan kebersihan tangan mereka. Hal ini terlihat pada kasus Tf dan Ibu Msm yang setelah memulung akan segera makan tanpa terlebih dahulu mencuci tangan. Lahan lapak pemulung yang berada di Kelurahan Beji, Depok ini memiliki luas sekitar 0,75 Hektar. Lahan ini disewa Bos Mch sebesar Rp. 6.000.000,00 per tahunnya dari Bapak Tgr. Lahan lapak ini baru disewa oleh Bos Mch pada tahun 2008. Bos Mch mendapat izin dari RT setempat untuk mendirikan lapak pemulung ini. Namun Bos Mch belum memiliki izin mendirikan lapak ini dari pihak Kelurahan Beji. Pihak Kelurahan Beji sendiri telah mengetahui keberadaan lapak pemulung ini dari pihak RT setempat. Bos Mch akan memberikan uang sebesar Rp. 100.000,00- Rp. 200.000,00 per bulannya kepada pihak RT sebagai jaminan keamanan dari lingkungan RT setempat terhadap keberadaan lapak pemulung dan pemulung itu sendiri.