KAJIAN ETIKA KRISTEN TERHADAP PEMULUNG
KELOMPOK III ETIKA KRISTEN Nama: Angel Latuheru
(712012069)
Yurischa A. Makoni
(712013005)
Tyrsa N. Matau
(712013047)
Estrella Th. Kumiang
(712013093)
Mardike Vischa
(712013037)
Berma Sembiring
(71213099)
Lawrence Nadapdap
( 712012087)
Dimas Krisnadi
(712012078)
Fikitha Sirap
(712012003)
Universitas Kristen Satya Wacana 2015
A. DESKRIPSI SINGKAT Permasalahan sampah berjalan seiring dengan perkembangan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Semakin maju tingkat penguasaan teknologi dan industri suatu kelompok masyarakat maka sampah yang dihasilkannyapun semakin banyak. Selain itu, perubahan gaya hidup bagi sebagian besar penduduk perkotaan yang cenderung lebih konsumtif ikut memperbanyak kuantitas sampah. Keberadaan pemulung tentu menimbulkan berbagai asumsi tentang pemulung itu sendiri, masyarakat cenderung apatis dengan kehadiran pemulung. Hal ini mungkin dikarenakan di era globalisasi sekarang ini, status sosial menjadi sangat penting dalam kehidupan masyarakat modern. Status sosial seseorang selalu diukur dari pekerjaan apa yang dimiliki dan seberapa besar kontribusinya didalam masyarakat. Status sosial inilah yang mengakibatkan munculnya pandangan negatif terhadap mereka yang mempunyai pekerjaan yang dianggap “rendah dan kotor, tidak layak” seperti menjadi seorang pemulung. Pemulung adalah orang-orang yang memungut barang-barang bekas atau sampah tertentu, untuk proses daur ulang dan kemudian menghasilkan uang, atau pemulung juga dikatakan menjadi bagian dari jaringan pemanfaatan kembali, penggunaan kembali dan pendaurulangan barang buangan yang menautkan berbagai lapisan masyarakat, dari rumah tangga yang kaya ke para pengusaha kecil dan akhirnya ke gubug-gubug para penghuni liar. Beberapa alasan yang membuat seseorang atau sekelompok orang memilih untuk bekerja sebagai pemulung, antara lain: kurang atau tidak adanya lapangan pekerjaan, memenuhi kebutuhan hidup karena desakan ekonomi, tingkat pendidikan yang rendah, tidak memiliki keterampilan,tidak ada modal untuk membuka suatu usaha, dan sebagainya. Ada dua jenis pemulung dalam menjalani pekerjaannya. Pertama, pemulung tidak menetap yang artinya pemulung yang memungut sampah keliling dari gang-gang perumahan, TPS-TPS, taman kota, pinggir jalan, pinggir sungai, dst. Kedua, pemulung yang mencari sampah menetap, contoh di TPA. Sampah bagi pemulung bagaikan kepingan uang yang bertebaran meskipun nilainya sangat kecil, sehingga jumlah penghasilan akan tergantung pada seberapa banyak barang bekas yang mampu dikumpulkan. Namun disisi lain pekerjaan ini membuat mereka dipandang berbeda dikalangan masyarakat. Oleh karena itu pandangan masyarakat terhadap pemulung akan dibahas dalam pembahasan selanjutnya.
B. MASALAH ETIKA Pemulung merupakan bagian dari anggota masyarakat, masyarakat yang bekerja sebagai pemulung mempunyai tujuan yang sama dengan masyarakat yang bekerja di bidang yang lain yaitu, bekerja mencari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setiap hari Pemulung mencari barang-barang bekas dari tempat-tempat pengumpulan sampah, memilah-memilah kerdus dijual kepada penampung untuk mendapatkan sejumlah uang guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Ditinjau dari dimensi lingkungan, peran pemulung sangat besar. Mereka ikut mengambil bagian dalam menciptakan kebersihan di lingkungan perkotaan. Para pemulung akhirnya mampu mengurangi volume sampah yang tidak dapat diuraikan atau sukar hancur secara alamiah dan mengumpulkan barang-barang bekas, memilah-milah kertas yang sudah tidak terpakai. Meskipun secara kuantitatif pengurangannya kecil, sehingga kurang terlihat pengaruhnya. Sedangkan di lain pihak, dalam kegiatannya mengumpulkan barang-barang bekas, para pemulung kurang memikirkan kebersihan dan keindahan lingkungan. Pemulung juga merasa tidak wajib untuk turut menjaga keindahan dan kebesihan lingkungan. Seperti, banyak diantara mereka dengan seenaknya mendirikan gubuk-gubuk liar di sembarang tempat dan menumpuk barang-barang bekas di depan gubuk mereka. Perlu ditinjau dampak dari keberadaan pemulung terhadap aspek lingkungan yang lain, dalam hal ini sejauh mana pengaruhnya terhadap sistem keamanan lingkungan. Ternyata tidak semua pemulung berperilaku jujur, terkadang ada juga yang mau mengambil hak milik orang lain yang bukan barang-barang bekas. Dengan kenyataan yang demikian itu maka kehadiran para pemulung di lingkungan daerah pemukiman sering menimbulkan curiga dan khawatir pada sebagian penduduk. Pekerjaan sebagai pemulung juga membawa mereka dipandang rendah oleh masyarakat. Mereka kadang dianggap berbeda dengan anggota masyarakat lainya, masyarakatpun sering meremehkan keberadaan pemulung, dan hanya sedikit orang yang menerima keberadaan mereka. Keberadaan pemulung di masyarakat cenderung dikucilkan, padahal keberadaan pemulung sangat menguntungkan. Barang-barang bekas yang dipilih kemudian dijual di penampungan, dan dijual lagi ke pihak yang mengelola barang-barang bekas sehingga dapat digunakan lagi untuk menghasilkan produk baru (Saruji, 1985).1
1
Nunuk Hariyani, Hendro Prasetyo, Soemarno. Partisipasi Pemulung dalam Pengelolaan Sampah
Dalam kehidupan bermasyarakat, pekerjaan sebagai pemulung biasanya dilihat dari cara, proses dan tempat ia bekerja. Pandangan masyarakat terhadap lingkungan tempat tinggal pemukiman pemulung dinilai tidak layak huni, karena tidak memenuhi standar pemukiman yang sehat, selain itu kondisi lingkungan yang kurang tertata dengan baik, kotor, serta bau, akan memberikan kesan kumuh terhadap pemukiman dan tempat tinggal masyarat. Pandangan terhadap kondisi lingkungan yang buruk dan kurang sehat membuat masyarakat berpendapat bahwa hal tersebut juga akan berdampak bagi kesehatan pemulung. Pekerja pemulung rentan tekena penyakit yang berhubungan dengan pernapasan, penyakit kulit dan diare. Pandangan terhadap pendidikan pemulung sebagian masyarakat berpendapat bahwa mereka memiliki kemampuan dan visi pendidikan yang relatif cukup baik namun dilapangan ternyata tingkat pendidikan mereka masih cukup rendah bahkan ada diantara mereka yang tidak lulus sekolah, memiliki keterbatasan modal, dan skill membuat mereka tidak dapat bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.2 Jika dilihat dari penampilannya, pemulung dianggap sebagai orang yang kotor, menjijikan, tidak mengurus dirinya, bahkan penampilannya sering membuat orang-orang disekitarnya takut untuk mendekatinya terkhususnya ditakuti oleh anakanak. Pemulung dipandang sebagai strata kasta paling bawah didalam masyarakat Karena pekerjanya.3 Bahkan saat ini dijalan masuk perumahan tertentu ada tertulis “pemulung dilarang masuk”. Hal tersebut diakibatkan karena pendapat orang-orang terhadap pemulung negatif padahal dapat dikatakan bahwa pemulung adalah pahlawan lingkungan. Pekerjaan sebagai pemulung tidak selalu membawa dampak yang negatif tetapi juga membawa banyak dampak yang positif bagi kehidupan masyarakat. Dengan adanya pemulung maka warga semakin tertolong untuk membersihkan lingkungannya, dapat mengurangi pemanasan global sebab pemulung juga mengambil kertas bekas misalnnya Koran, majalah atau buku yang dibuang karena tidak digunakan atau didaur ulang.4 Pemulung juga memberikan kontribusi yang besar terhadap kebersihan kota atau dapat mengurangi volume atau tumpukan sampah yang tidak tertata dengan baik, menjaga kesehatan lingkungan dan secara umum mengurangi penumpukkan
TPA Supit Urang, Mulyorejo, Sukun, Kota Malang, (Malang: Universitas Brawijaya, 2013), 12. 2Indra
Taufik, “Persepsi Masyarakat terhadap Pemulung di Pemukiman TPA Kelurahan Bukit Pinang Kecamatan Samarinda Ulu”, Jurnal Sosiologi (2013), 90-92 3
https://alfarolamablawa.wordpress.com/tag/pemulung
4https://marumpa.wordpress.com/2009/09/09/sampah-pemulung-tony-dan-maureen-wheeler-serta-pemanasan-global/
sampah dimuka bumi ini.5 Dari kehidupan sehari-harinya kita dapat melihat bahwa pemulung adalah orang yang menghargai hidupnya, mensyukuri apa yang terjadi dan tidak kenal lelah untuk terus berjuang demi kehidupannya dan kehidupan keluarganya. Pemulung juga merupakan pekerja yang mandiri sebab kekurangan lapangan pekerjaan oleh pemerintah tidak membuatnya putus asa tetapi ia menciptakan lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri meskipun pekerjaaan ia lakukan sangat berbahaya untuk kesehatan dirinya sendiri. Pandangan-pandangan yang negatif dari masyarakat itulah yang menjadi masalah etika Kristen yang akan kami bahas pada pokok selanjutnya. Apakah secara Etis, masyarakat yang memandang rendah martabat seorang pemulung dapat dibenarkan? C. TANGGAPAN KRISTEN Pada dasarnya, pekerjaan menjadi suatu patokan dalam masyarakat untuk menilai kehidupan seseorang. Suatu pekerjaan dikatakan baik apabila hal itu dapat menghasilkan sesuatu yang positif (kebahagiaan, kesenangan, rahmat dll) dan tidak melanggar norma-norma yang berlaku di tempat tersebut. Dan suatu pekerjaan dikatan buruk jika hal itu memberikan sesuatu yang negatif dan bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di tempat tersebut. Dengan adanya ukuran untuk menilai suatu pekerjaan maka pemulung dikategorikan kedalam suatu pekerjaan yang buruk karena banyak membawa dampak negatif dalam kehidupan sosial. Mereka tidak lagi dianggap sebagai sesama manusia bahkan nilai hidup mereka sebagai manusia diabaikan dalam komunitas masyarakat. Padahal, nilai hidup seorang manusia tidak dinilai dari tinggi rendahnya gaji seseorang dalam berkerja, tidak juga dari pendidikan dan penampilan fisik. Seseorang memiliki nilai hidup ketika dia bermanfaat bagi lingkungan sosialnya. Ini berarti bahwa nilai, norma dan prinsip moral dijadikan sebagai dasar dalam menjalani kehidupan. Hidup bermartabat sangatlah penting karena artinya diri kita diterima oleh oleh orang lain baik oleh tetangga, teman sekerja, atasan dan lain sebagainya. Tanpa memiliki martabat, biasanya hidup kita akan diremehkan atau dipandang sebelah mata oleh orang lain. Hal inilah yang terjadi dalam kehidupan pemulung, mereka mendapat tekanan yang begitu berat dalam kehidupan bermasyarakat sehingga prinsip moral dan martabat mereka seakan tidak berguna 5https://alfarolamablawa.wordpress.com/tag/pemulung
karena mereka dipandang sebagai manusia yang tidak layak hidup. Dalam hal ini, pemerintah perlu untuk memperhatikan kesejahteraan kehidupan pemulung karena secara tidak langsung para pemulung membawa dampak positif bagi kesehatan lingkungan, dia juga membantu menjaga kebersihan kota, membantu dinas-dinas kebersihan yang tidak berfungsi secara baik. Produktifitas atau keahlian pemulung ini bisa ditingkatkan, tentu dengan peran pemerintah yang memfasilitasi pengolahan sampah yang lebih baik, perhatian terhadap kesehatan dan pendidikan keluarganya serta disediakan perumahan yang layak. Selain peran pemerintah, gerejapun harus turut ambil bagian dalam masalah tersebut karena gereja sebagai komunitas yang terpanggil untuk menjadi contoh dari cita-cita kerajaan Allah harus memberikan kesaksian tentang paradoks kemiskinan, kemiskinan yang erat hubungannya dengan ketidakadilan. Kita harus membenci ketidakadilan dan mencintai kerendahan hati. Gereja harus bisa menjadikan nilai-nilai kristiani sebagai dasar bagi warga jemaatnya. Sebab Allah menciptakan manusia segambar dan serupa dengan-Nya. Baiklah manusia sebagai ciptaan-Nya saling menghargai tanpa memandang perbedaan yang ada. Perbedaan harus dianggap sebagai pelengkap hidup, karena dengan adanya sesuatu yang beda akan menumbuhkan hal baru yang bisa didapatkan sebelumnya. Namun, dalam bekerjapun tentu harus menggunakan prinsip-prinsip kerja yang sesuai dengan nilai-nilai Kristen yaitu:
Pekerjaan harus dijalankan dengan ikhlas karena ketika seseorang ikhlas maka pekerjaan
tidak akan menjadi suatu beban yang berat tetapi kerja merupakan wujud syukur kepada Tuhan.
Menjalankan pekerjaan yang bertanggungjawab. Ini berarti bahwa ketekunan dan
kerajinan sangat diperlukan karena ketekunan akan menghasilkan hasil yang baik.
Saling ketergantungan dalam bekerja. Ini berarti bahwa sebagai manusia kita merupaka
makhluk sosial yang membutuhkan sesama untuk saling melengkapi dan menolong.
Bekerja dengan nilai-nilai hidup yang benar. Nilai-nilai tersebut ialah kejujuran, keadilan,
disiplin, dsb. Allah tidak memandang umat-Nya dari pekerjaan apa yang ia tekuni. Allah tidak membeda-bedakan penyataan kasihnya terhadap umat ciptaan-Nya.Bahkan Allah datang dalam wujud manusia sebagai Yesus untuk menebus dosa manusia, menebus manusia dari setiap perbuatan-perbuatan yang melawan kehendak Allah. Pemulung bekerja ditempat yang kotor dan kumuh namun mereka tetap mempunyai kedudukan yang sama dengan manusia lainnya. Sampah
tidak mempunyai arti bagi masyarakat pada umumnya, namun bagi pemulung berkat dan rezeki datangnya dari sampah. Ada beberapa pandangan Alkitab dan sikap terhadap Pekerjaan. 1.
Bekerja adalah perintah Allah. perintah untuk bekerja telah ada sebelum manusia jatuh kedalam dosa (Kej. 1 : 28, 2:15, 19).
2.
Siapa yang tidak bekerja janganlah ia makan. Paulus menasehatkan kepada jemaat di Tesalonika “jika seseorang tidak mau bekerja janganlah ia makan” (Kis 18:3). Paulus sebagai hamba Tuhan dan rekan sepelayanannya tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini ia lakukan agar tidak membebani siapapun dan mengajarkan kepada jemaat agar mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka, serta tidak mengharapkan berkat melalui jeripayah orang lain.
3.
Orang yang rajin bekerja akan diberkati. Ams.10:4 “berkata tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya”. Alkitab mengatakan bahwa Tuhan yang mempunyai segala-galanya dan kita bisa meminta apa saja dalam doa tetapi Alkitab tidak pernah mengajar kita untuk menjadi orang malas. Bahkan Alkitab sendiripun menentang sifat malas (Amsal 6:6-11).
D. SOLUSI ATAU REKOMENDASI Etika Kerja adalah aturan normatif yang mengandung sistem nilai dan prinsip moral yang merupakan pedoman bagi seseorang yang bekerja. Ini berarti bahwa dalam menjalankan suatu pekerjaan, seseorang tidak seharusnya mengolongkan suatu pekerjaan (rendah atau tinggi) karena ketika seseorang memilih suatu pekerjaan, ia tentu memilki visi , misi dan tujuan yang hendak dicapai. Etika membantu kita untuk menggunakan sistem nilai dan prinsip moral dalam menghargai dan menghormati sesama sebagai keutuhan ciptaan. Etika kerja ini menjadi tolak ukur bagaimana seharusnya kita sebagai masyarakat menilai pekerjaan sebagai pemulung tidak saja dari segi nagatif tetapi juga melihat pemulung sebagai pekerjaan yang membawa dampak positif dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan. Seseorang memilih menjadi pemulung karena ia menganggap bahwa sampah adalah berkat dalam kehidupannya. Konotasi status ‘pemulung’ mengarah pada orang-orang
yang tidak mempunyai
pekerjaan (yang pantas), tuna wisma (gelandangan), bau, kumuh, dan sebutan-sebutan lain yang negatif. Pekerjaan pemulung sering dipandang hina dan tidak berharga oleh sebagian anggota masyarakat. Padahal dalam realitas sosial, pemulung merupakan bagian dari masyarakat, meski
mereka termarginalisasi dan diasingkan. Sebagai bagian dari kelompok masyarakat, mereka membutuhkan pengakuan selayaknya anggota masyarakat yang lain. Mereka ingin dihargai dan diakui hak-haknya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Ajaran Agama adalah pedoman hidup manusia, tidak mengenal perbedaan status sosial, ekonomi, warna kulit, kebangsaan, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Ajaran Agama, membuat orang hidup dengan baik dan benar, setiap orang dapat merasakan ketenteraman hidup dan kepuasan rohani. Di sinilah kehadiran agama menjadi sangat penting bagi kehidupan seseorang. Ajaran Agama pasti mempengaruhi perilaku dalam keseharian pemulung, baik secara langsung atau tidak langsung. Dengan demikian agama dalam kehidupan pemulung dimaksudkan dengan konsepsi-konsepsi mereka tentang nilai-nilai hidup dari ajaran agama, seperti tentang kewajiban, tanggung jawab, pekerjaan, rejeki, ibadah, dan Iain-lain sebagaimana yang diberitakan oleh agama, yang kemudian mewarnai sikap dan perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menyikapi persoalan seperti ini, keberedaan lembaga agama dipertanyakan kepedulian dan campur tangannya, terkhususnya peran gereja. Namun harus diakui bahwa, kurangnya peran Gereja dan lembaga-lembaga keagamaan Kristen yang menyentuh komunitas pemulung dalam melakukan pembinaan umat beragama. Demikian juga agenda-agenda pelayanan yang dilakukan oleh gereja pada umumnya kurang peduli kepada nasib komunitas pemulung. Hal ini menjadi penyebab rendahnya kesadaran beragama di kalangan pemulung. sekaligus turut mendukung terbentuknya kelompok pemulung sebagai kelompok masyarakat tersisih, termaginalkan, dan tertindas. Seharusnya setiap masyarakat yang memarginalkan pemulung memahami bahwa, Sifat khas manusia ialah bekerja. Alkitab menghubungkan kerja manusia dengan Allah yang bekerja karena dalam Alkitab terdapat banyak kisah tentang pekerjaan/perbuatan Allah. Perbedaan pekerjaan manusia dengan Allah yaitu, pekerjaan Allah ialah menciptakan dan manusia bekerja dengan bahan yang telah diciptakan Allah, itulah sebabnya kerja merupakan hakekat manusia. Setiap orang bebas untuk menentukan pekerjaanya agar ia mampu untuk bertanggungjawab. Pemulung bekerja untuk bertahan hidup dan memenuhi kewajibannya secara individu, namun pemulung juga memberikan kontribusi dan dampak positif yang besar bagi masyarakat. Pandangan masyarakat hanya terpusat pada bekerjaan pemulung
yang dianggap rendah,
sehingga masyarakat tidak mampu lagi melihat begitu banyak dampak positif yang dibawa
pemulung bagi masyarakat dan lingkungan. Secara etis pandangan yang merendahkan seorang yang bekerja sebagai pemulung tidak dapat dibenarkan, karena ketika masyarakat memarginalkan pemulung maka masyarakat telah menciptakan ketidakadilan bagi pemulung. Setiap individu yang membentuk masyarakat, seharusnya menciptakan konsep keadilan bagi setiap kalangan dengan menyadari bahwa setiap individu dari kalangan apapun mempunyai persamaan hak-hak kemanusiaan dan martabat.