PERSEPSI PEMULUNG TERHADAP NILAI KERJA DAN HARAPANNYA DI MASA DEPAN (Kasus Pemukiman Pemulung di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang)
Oleh: ANGGRAENI PARAMAGITA (A14204014)
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
ANGGRAENI PARAMAGITA. PERSEPSI PEMULUNG TERHADAP NILAI KERJA DAN HARAPANNYA PEMULUNG DI MASA DEPAN. Kasus: Pemukiman Pemulung di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten. (Dibawah bimbingan EKAWATI SRI WAHYUNI). Penelitian ini mengangkat fenomena pekerjaan di sektor informal yaitu pemulung. Pemulung dianggap masyarakat sebagai pekerjaaan yang tidak mempunyai prestise dan pekerjaan yang hina, namun kenyataannya jumlah pemulung semakin bertambah banyak setiap tahunnya. Penelitiann ini bertujuan untuk mengetahui pandangan pemulung sendiri mengenai nilai kerja dan harapannya di masa depan pemulung khususnya pemulung yang berada di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten. Metode yang digunakan adalah metode penelitian survai dengan pendekatan kuantitatif yang didukung data-data kualitatif. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner dan wawancara mendalam, sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumentasi Desa Sawah. Responden dalam penelitian ini berjumlah 34 orang dipilih dengan menggunakan teknik acak satu tahap (Cluster Random Sampling). Informan terdiri dari dua orang pemilik lapak, satu orang aparat desa, satu orang masyarakat dan satu orang tokoh masyarakat. Teknik analisis menggunakan tabel frekuensi, tabulasi silang dan uji Chi-square. Pemulung di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten dominan laki-laki, usia muda (15-38 tahun), tingkat pendidikan SD, lama bekerja 1-5 tahun, dan rata-rata belum
menikah. Alasaan menjadi pemulung paling banyak dikarenakan pekerjaan ini tidak memerlukan syarat apapun dan karena pemulung tidak mendapatka pekerjaan lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh pemulung menilai baik pekerjaannya karena secara ekonomi menjadi pemulung dapat dijadikan sumber penghasilan utama. Pemulung yang menilai baik pekerjaannya mempunyai harapan untuk merubah mata pencahariannya suatu saat nanti, walaupun tidak sedikit yang hanya menjadi angan-angan saja. Pemulung yang menilai buruk pekerjaannya mempunyai harapan untuk dapat mempertahankan pekerjaannya. Karena pemulung sangat takut untuk kehilangan pekerjaannya yang telah memberikan keuntungan bagi pemulung.
PERSEPSI PEMULUNG TERHADAP NILAI KERJA DAN HARAPANNYA DI MASA DEPAN (Kasus Pemukiman Pemulung di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang)
Oleh: ANGGRAENI PARAMAGITA A14204014
SKRIPSI Sebagai Prasyarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh: Nama
: Anggraeni Paramagita
Nomor Pokok : A14204014 Judul
: Persepsi Pemulung Terhadap Nilai Kerja dan Harapannya Di Masa Depan (Kasus pemukiman Pemulung di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang.)
Dapat diterima sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing Skripsi;
Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS NIP. 131 622 687
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PERSEPSI
PEMULUNG
TERHADAP
NILAI
KERJA
DAN
HARAPANNYA DI MASA DEPAN” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MAUPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Juli 2008 Anggraeni Paramagita A14204014
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 24 Januari 1987. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari Bapak Primaseno Heri Hasta dan Ibu Margareta. Semenjak memasuki usia sekolah penulis tinggal di kawasan Ciputat. Penulis menamatkan pendidikannya di TK Pondok Hijau tahun 1992, SDN Legoso tahun 1998, SMPN 1 Ciputat tahun 2001 dan SMUN 2 Ciputat tahun 2004. Kemudian pada tahun yang sama penulis diterima menjadi Mahasiswa IPB Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama di kampus, penulis akif dalam beberapa organisasi kampus diantaranya ICC (IPB Crisis Center) periode 2004-2005, kepengurusan BEM-A (Badan eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian IPB) kabinet “Metamorfosa” periode 2005-2006 dan Himpunan Profesi MISETA (Mahasiswa Peminat IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian) periode 2006-2007. Penulis aktif menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Sosiologi Umum (selama tiga semester) dan Mata Kuliah Dasar-Dasar Komunikasi (selama tiga semester). Penulis pernah menjadi tutor mahasiswa dalam rangka pelaksanaan Program Pendidikan Keaksaraan Fungsional yang diselenggarakan LPPM IPB (Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat IPB) dalam dua periode hingga desember 2007 dan tergabung dalam pengajar pada bimbingan belajar BTA hingga juni 2008.
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah, segala puji dan syukur terbesar hanya kepada ALLAH SWT atas segala nikmat dan anugerah yang tak terkira yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik secara langsung ataupun tidak langsung, antara lain: 1. Seluruh Pemulung dan masyarakat di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat. 2. Dr. Ekawati Sri Wahyuni, MS selaku Dosen Pembimbing Skripsi, Dosen Pembimbing Studi Pustaka dan Dosen Pembimbing Akademik atas kesabarannya serta bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. 3. Ir. Said Rusli, MA sebagai Dosen Penguji Utama terima kasih atas saran dan masukannya. 4. Ratri Vitrianita, S.Sos, MSi selaku Dosen penguji wakil departemen terima kasih atas saran dan masukannya. 5. Kedua Orangtuaku yang telah memberikan segalanya yang tak terhingga bagi anakmu ini dan kedua kakak kembarku (Nong dan Fie) serta adikku Angga. Hanya karya kecil ini yang baru dapat ku berikan untuk membuat Bapak Dan Mama tersenyum bangga. 6. Mbak Aisyah KPM’38 yang telah memberikan informasi dan literatur yang berguna bagi penulis dalam menyelesaikan Studi. 7. Keluarga besarku yang selalu memberikan doa dan semangatnya bagi penulis. Buat Bi Isam dan Om Nundun Terima Kasih atas semuanya. 8. Teman-teman terbaikku di KPM’41 Qori, Uchay, Nau, Ani, Uma yang sama-sama berjuang, saling membantu dan saling menyemangati agar kita semua dapat menyelesaikan skripsi kita. Semoga persahabatan kita tak putus dihengkang waktu. amin
9. Sahabat-sahabatku Achie, Rangga, Greenly, Anto, Anggie, Anggun, Jayanthi, Bayu, Endro dan Pur yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis. 10. KPMers 41, selama empat tahun banyak hal menyenangkan yang kita lakukan bersama dan akan menjadi kenangan yang tak terlupakan. Terima kasih untuk Lala dan Nessa yang selalu konsultasi bareng serta saling menyemangati dan berbagi informasi. Refi terima kasih atas pinjeman buku ESDMnya. Yudi bule terima kasih atas ajaran crosstabnya dan interpretasinya. 11. Kakak-kakakku di kosan “Naura” Uni Yeyen dan Mbak Bibah terima kasih atas pinjeman laptopnya. Mbak Andri terima kasih atas saransarannya. Mbak Sari dan Mbak Tutu terima kasih atas semangatnya. Terima kasih tak terhingga atas persaudaraan yang kita jalin selama ini. Semoga tali silaturahmi kita tak akan putus. 12. Daus STK 40, Irub SEIP 41 dan Ani SEIP 41 terima kasih atas ajaran SPSSnya; Mas Rizal, Mas Anton dan Mbak Hana Terima Kasih atas saran dan masukannya; Adon THH 41 dan Gita Ardia THH 41 (terima kasih atas bantuan dan semangatnya). Ade TPG 41 dan Mbak Pipit EPS 40 (terima kasih atas siraman penyejuk hatinya). Kebaikan kalian takkan ku lupakan. 13. Mbak Rahma, Mbak Rina, Mas Iqbal, Uni Tuti dan siapa pun penghuni DOKIS KPM terima kasih atas semua saran, semangat, informasi dan cerita-ceritanya. Aku beruntung mengenal kalian semuanya. 14. R Dang Pina M, SKH terima kasih atas semangat, kritikan, masukan dan semuanya. 15. Mbak Nisa dan Mbak Maria terima kasih atas bantuannya membuatkan surat-surat untuk penelitian dan hal lainnya. Mas Piyat, Mas Wawan, Pak Haji dan keluarga besar Dept KPM terima kasih atas semuanya. 16. Segala pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penyelesaian skripsi ini dan doa yang diberikan.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
Halaman xiv viii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah .................................................................................... 6 1.3 Tujuan ......................................................................................................... 8 1.4 Kegunaan .................................................................................................... 8 BAB II PENDEKATAN TEORITIS .................................................................. 9 2.1 Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 9 2.1.1 Pemulung.. ........................................................................................ 9 2.1.1.1 Alasan Menjadi Pemulung ....................................................... 11 2.1.1.2 Kehidupan ekonomi Pemulung................................................ 14 2.1.1.3 Kehidupan Sosial Pemulung .................................................... 18 2.1.2 Persepsi ........................................................................................... 20 2.1.3 Nilai Kerja ...................................................................................... 22 2.1.4 Harapan........................................................................................... 23 2.2 Kerangka Pemikiran.................................................................................. 25 2.3 Hipotesis Uji ............................................................................................. 27 2.4 Definisi Konseptual .................................................................................. 28 2.5 Definisi Operasional ................................................................................. 29 BAB III METODE PENELITIAN ................................................................... 31 3.1 Metode Penelitian ..................................................................................... 31 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 31 3.3 Teknik Pemilihan Responden dan Informan............................................. 32 3.4 Metode Pengumpulan Data....................................................................... 33 3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ...................................................... 33 BAB IV GAMBARAN UMUM DESA ........................................................... 35 4.1 Lokasi dan Wilayah Desa ......................................................................... 35 4.2 Karakteristik Penduduk............................................................................. 37 4.3 Fasilitas Umum ......................................................................................... 39 BAB V GAMBARAN UMUM PEMULUNG ................................................. 41 5.1 Pembahasan Gambaran Umum Pemulung................................................ 41 5.2 Faktor Internal Pemulung ......................................................................... 42 5.2.1 Jenis Kleamin................................................................................... 42 5.2.2 Usia .................................................................................................. 43 5.2.3 Tingkat Pendidikan .......................................................................... 44 5.2.4 Lama Bekerja ................................................................................... 45 5.2.5 Status Pernikahan............................................................................. 46 5.3 Daerah Asal Pemulung ............................................................................. 47 5.4 Tempat Tinggal Terakhir Pemulung ......................................................... 48
5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10 5.11 5.12 5.13
Pekerjaan Pemulung di Daerah Asal........................................................ 49 Alasan Pemulung Meninggalkan Daerah Asal ........................................ 51 Keterampilan yang Dimiliki Pemulung ................................................... 52 Modal yang Dimiliki Pemulung............................................................... 54 Pekerjaan yang Dilakukan Sebelum Menjadi Pemulung......................... 55 Alasan Memilih Menjadi Pemulung ........................................................ 56 Persepsi Masyarakat Mengenai Nilai Kerja Pemulung............................ 57 Kebijakan Pemerintah Mengenai Pemulung............................................ 59 Ikhtisar ..................................................................................................... 62
BAB VI PERSEPSI PEMULUNG TERHADAP NILAI KERJANYA........... 63 6.1 Gambaran Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerja................................ 63 6.1.1 Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerja Dimensi Prestise ............ 64 6.1.2 Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerja Dimensi Ekonomi.......... 65 6.2 Hubungan Faktor Internal dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya ............................................................................ 67 6.2.1 Usia Pemulung dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya ................................................. 68 6.2.2 Jenis Kelamin dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya ................................................. 69 6.2.3 Tingkat Pendidikan dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya ................................................. 71 6.2.4 Lama Bekerja dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya ................................................. 73 6.2.5 Status Pernikahan dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya ................................................. 74 6.3 Hubungan Faktor Eksternal dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya ........................................................................... 75 6.3.1 Persepsi Masyarakat terhadap Nilai Kerja Pemulung dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya ................................................................................. 76 6.3.2 Kebijakan Pemerintah dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya ................................................. 80 6.4 Ikhtisar ..................................................................................................... 83 BAB VII HARAPAN PEMULUNG DI MASA DEPAN ................................ 84 7.1 Gambaran harapan Pemulung di Masa Depan......................................... 84 7.1.1 Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Perubahan Mata Pencaharian ........................................... 86 7.1.2 Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Peningkatan Pendapatan................................................... 87 7.2 Hubungan Antara Faktor Internal dengan Harapan Pemulung di Masa Depan ......................................................................................... 88 7.2.1 Usia Pemulung dengan Harapan Pemulung di Masa Depan .......... 89 7.2.2 Jenis Kelamin dengan Harapan Pemulung di Masa Depan ............ 90 7.2.3 Tingkat Pendidikan dengan Harapan Pemulung di Masa Depan ... 92 7.2.4 Lama Bekerja dengan Harapan Pemulung di Masa Depan ............ 93 7.2.5 Status Pernikahan dengan Harapan Pemulung di Masa Depan ...... 96
7.3
7.4
Faktor Eksternal dengan Harapan Pemulung di Masa Depan.................. 97 7.3.1 Persepsi Masyarakat terhadap Nilai Kerja Pemulung dengan Harapan Pemulung di Masa Depan ................................... 98 7.3.2 Kebijakan Pemerintah dengan Harapan Pemulung di Masa Depan ................................................................................ 99 Ikhtisar ................................................................................................... 100
BAB VIII HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PEMULUNG TERHADAP NILAI KERJANAYA DENGAN HARAPAN PEMULUNG DI MASA DEPAN ................................................. 101 8.1 Hubungan Persepsi Pemulung dan Harapan Pemulung.......................... 101 8.2 Dimensi-Dimensi Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Perubahan Mata Pencaharian .................................................................. 104 8.2.1 Persepsi Pemulung Dimensi Prestise dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Perubahan Mata Pencaharian.......................................................105 8.2.2 Persepsi Pemulung Dimensi Ekonomi dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Perubahan Mata Pencaharian ...................................................... 105 8.3 Dimensi-Dimensi Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Peningkatan Pendapatan ......................................................................... 106 8.3.1 Persepsi Pemulung Dimensi Prestise terhadap Nilai Kerjanya dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Peningkatan Pendapatan ............................................................. 107 8.3.2 Persepsi Pemulung Dimensi ekonomi terhadap Nilai Kerjanya dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Peningkatan Pendapatan ............................................................... 108 8.4 Pembahasan............................................................................................. 109 8.5 Ikhtisar .................................................................................................... 110 BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 111 9.1 Kesimpulan ............................................................................................. 111 9.2 Saran ....................................................................................................... 112 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 113 LAMPIRAN.................................................................................................... 116
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
Tabel 1
Variabel, Definisi Operasional, Indikator dan Skala Pengukukran Data ............................................................ 29
Tabel 2
Jumlah Penduduk Desa Sawah Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, 2008 .................................................................... 37
Tabel 3
Faktor Internal Pemulung di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah , Mei 2008 ........................................... 42
Tabel 4
Jumlah Pemulung Menurut Daerah Asalnya, di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, Mei 2008 ............................................ 47
Tabel 5
Jumlah Pemulung Menurut Tempat Tinggal Terakhir Pemulung, di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, Mei 2008.............................................................. 48
Tabel 6 Jumlah Pemulung Menurut Intensitas Pindah Lapak, di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, Mei 2008 ..................... 49 Tabel 7
Jumlah Pemulung Menurut Pekerjaan di Daerah Asal, di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, Mei 2008 .................... 50
Tabel 8 Jumlah Pemulung Menurut Alasan Meninggalkan Pekerjaan di Daerah Asal, di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, Mei 2008.............................................................. 51 Tabel 9 Jumlah Pemulung Menurut Pelatihan Keterampilan yang Pernah diikuti, di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, Mei 2008............................................................. 53 Tabel 10 Jumlah Pemulung Menurut Modal yang Dimiliki Pemulung, di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, Mei 2008 .................... 54 Tabel 11 Jumlah Pemulung Menurut Pernah atau Tidaknya Bekerja Sebelum Menjadi Pemulung, di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, Mei 2008.............................................................. 54 Tabel 12 Jumlah Pemulung Menurut Alasan Memilih Menjadi Pemulung, di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, Mei 2008.............................................................. 56 Tabel 13 Sebaran Responden Masyarakat Berdasarkan
Persepsinya terhadap Nilai Kerja Pemulung di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008......................................58 Tabel 14 Sebaran Responden Penelitian di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat Berdasarkan Skor Persepsi terhadap Nilai Kerja.............................................................63 Tabel 15 Faktor Internal dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008..................................... 67 Tabel 16 Faktor Eksternal dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008 .................................... 76 Tabel 17 Sebaran Responden Penelitian Berdasarkan Skor Harapan Pemulung di Masa Depan di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008..................................... 85 Tabel 18 Faktor Internal dengan Harapan Pemulung di Masa Depan di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008..................................... 88 Tabel 19 Faktor Eksternal dengan Harapan Pemulung di Masa Depan di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008..................................... 97 Tabel 20 Hubungan Persepsi Pemulung dan Harapan Pemulung di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008 ......................................................................................... 101 Tabel 21 Dimensi Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Perubahan Mata Pencaharian di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008 ..........................................................................................104 Tabel 22 Dimensi Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya Dimensi Prestise dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Peningkatan Pendapatan di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008 .........................................................................................107
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
Gambar 1. Kerangka Pemikiran...................................................................... 27
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, petunjuk, dan nikmat-Nya bagi penulis dalam mengerjakan Skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini berjudul “Persepsi Pemulung Terhadap Nilai Kerja dan Harapannya di Masa Depan” merupakan prasyarat unutk memperoleh gelar sarjana pertanian pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Ekawati Sri Wahyuni, MS selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu memberikan masukan dan saran untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam Skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada seluruh pemulung dan masyarakat di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat serta seluruh pihak yang telah membantu kelancaran dalam pembuatan skripsi ini.
Bogor, Juli 2008
Penulis
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengalami perubahan yang cukup pesat (Subri, 2003). Pembangunan yang terjadi hanya terpusat pada kota dan tidak merata pada semua wilayah sehingga terjadi ketimpangan antara kota dan desa. Ketimpangan ini menyebabkan berbagai masalah sosial mulai dari masalah di tingkat mikro hingga ke tingkat makro. Banyak penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan melihat pesatnya pembangunan di perkotaan menyebabkan mereka tertarik ke kota untuk mengadu nasib. Selain itu, akses terhadap sumber daya dan potensi lahan di pedesaan semakin langka karena rasio lahan terhadap manusianya semakin menciut (Wirakartakusumah, 1999). Keinginan penduduk desa mengadu nasib ke kota mencari mata pencaharian baru di kota terkadang tidak diimbangi dengan Sumber Daya Manusia yang berkualitas seperti rendahnya pendidikan, tidak mempunyai keterampilan ataupun tidak memiliki akses terhadap ekonomi dan teknologi sehingga tidak sedikit dari mereka menjadi pengangguran di perkotaan atau mencari alternatif lain yaitu bekerja di sektor informal (Wirakartakusumah, 1999). Perpindahan penduduk dari desa ke kota menurut Todaro (1982) dalam (Wirakartakusumah, 1999), banyak disebabkan oleh perbedaan penghasilan yang diharapkan, sering kali harapan tersebut meleset dari kenyataan. Para migran yang tidak dapat masuk ke sektor formal di kota terlempar keluar dan berusaha masuk ke sektor informal yang memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk masuk ke dalamnya (Wirakartakusumah, 1999) .
Di Indonesia, dalam kurun waktu terakhir ini sektor informal di daerah perkotaan menunjukkan pertumbuhan yang pesat (Wirakartakusumah, 1999). Membengkaknya sektor informal mempunyai kaitan dengan menurunnya sektor formal dalam menyerap angkatan kerja di kota, juga sebagai akibat migrasi desa kota yang lebih pesat daripada pertumbuhan kesempatan kerja. Hasil penelitian LP3ES dan USAID tentang ekonomi informal di Jakarta menunjukkan bahwa hampir 100 pekerja informal yang berasal dari pedesaan, kurang dari satu persen telah lebih dulu mencoba bekerja di sektor formal namun hampir semua (99 persen) memutuskan untuk memasuki sektor informal sejak awal. Dengan demikian, besarnya sektor informal merupakan pilihan angkatan kerja sendiri dan bukan penolakan dari sektor formal (Chandrakirana & Sadoko, 1994). Menurut data yang diperoleh Rachbini (2006) jumlah pekerja informal pada tahun 2005 mencapai 61 juta orang atau 64 persen dari seluruh penduduk yang bekerja. Angka tersebut meningkat dari waktu ke waktu karena penyerapan tenaga kerja di sektor formal tidak cukup signifikan dibandingkan dengan tahun 2004, angka tersebut lebih tinggi (sebesar 63,2 persen). Jumlah angkatan kerja mencapai tidak kurang dari 105,8 juta orang, tetapi yang bekerja hanya sekitar 94,9 juta orang. Setiap enam bulan jumlah penganggur baru bertambah sebesar 600.000 orang, itu berarti bahwa sebagian dari yang bekerja dari tambahan pekerja baru diserap oleh sektor informal. Sektor ini sejak dulu berperan sebagai penyangga, baik pada masa normal maupun masa krisis. Jadi, sektor informal adalah sebuah entitas besar di republik ini (Rachbini, 2006).
Hasil studi empiris di negara lain menunjukkan bahwa distribusi penghasilan di sektor informal sangat bervariasi dan tidak selalu lebih rendah daripada penghasilan di sektor formal (Wirakartakusumah, 1999). Penghasilan di sektor informal cenderung lebih tinggi daripada penghasilan buruh di sektor pertanian (Papanek, 1976 dalam Wirakartakusumah, 1999). Tampaknya tidak ada batasan yang pasti mendefinisikan sektor informal, karena hal ini tergantung dari jenis pekerjaaan yang dilakoninya. Secara umum, batasan mengenai sektor informal dapat dilihat dari ciri-ciri sektor informal seperti: (1) Kegiatan usaha tidak terorganisasikan secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas/kelembagaan yang tersedia di sektor formal. (2) Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha. (3) Pola kegiatan usaha tidak teratur baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. (4) Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini, (5) Unit usaha mudah keluar masuk dari satu subsektor ke subsektor lainnya. (6) Teknologi yang dipergunakan relatif primitif. (7) Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil. (8) Pada umumnya unit usaha termasuk golongan one-man-enter prises dan kalau mengerjakan buruh berasal dari keluarga (9) Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi. (10) Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan masyarakat kota/desa yang berpenghasilan menengah (Hidayat, 1978 dalam Subri, 2003). Salah satu contoh kegiatan atau pekerjaan di sektor informal adalah para pemulung sampah (barang bekas). Permintaan tenaga kerja untuk pekerjaan ini
sangat tinggi sebab produksi sampah kota yang jumlahnya cukup banyak (Guinnes, 1985). Para pemulung melakukan pengumpulan barang-barang bekas, seperti kertas bekas, botol bekas, plastik, kaca, bahan bekas lainnya bahkan besi, tembaga, dan lain-lain. Hasilnya ditukar dengan sejumlah uang yang menjadi haknya. Meskipun jika dilihat dari sisi lokasi tempat para pemulung tersebut bekerja sangat tidak memenuhi syarat kesehatan karena bekerja di tempat pembuangan sampah. Akan tetapi pekerjaan tersebut tetap dilakoni untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Bahkan setiap tahunnya jumlah pemulung semakin bertambah banyak (Lumingkewas, 1997). Pemulung tidaklah sama dengan gelandangan atau pengangguran (Twikromo,1999)
karena
pemulung
menghabiskan
waktunya
untuk
mengumpulkan barang bekas dan ditukarkan dengan sejumlah uang yang menjadi haknya. Kerja pun diartikan kegiatan dimana seseorang memperoleh bayaran (Daulay, 2006). Pemulung miskin bukanlah karena mereka tidak bekerja atau kurang jumlah jam kerjanya, tetapi mereka miskin karena faktor-faktor struktural yang menghalangi pemulung untuk memperoleh kelebihan keuntungan dari kegiatan pulungan yang mereka lakukan (Twikromo, 1999). Pemulung merupakan unsur yang penting dari rantai daur ulang sampah anorganik (barang bekas) karena mereka yang mengawali proses daur ulang sampah menjadi suatu barang yang mempunyai nilai. Dalam menjalankan fungsi ini, para pemulung perlu mengenali jenis-jenis sampah yang mempunyai nilai ekonomis serta mengetahui nilai masing-masing barang karena harganya berfluktuasi (Mangiang et al. 1979). Masih banyaknya tahap atau jalur dari
pemulung sampai ke pabrik. Pemulung tidak independen menentukan harga (Santoso, 2000). Karena harga barang bekas ditentukan oleh pabrik sebagai konsumen utama barang bekas. Ada dua jenis pemulung yaitu pemulung jalanan dan pemulung tetap. Pemulung jalanan, yaitu pemulung yang hidup bebas di jalanan dan pemulung tetap yaitu pemulung yang mempunyai rumah (bedengan) yang berada di sekitar TPA atau sekitar lapak (tempat menjual barang hasil pulungan pemulung). Pemulung pada kenyataannya dinilai sebagai aktivitas yang lebih positif dibanding dengan profesi jalanan lainnya dalam perspektif pemerintah maupun masyarakat kota sehingga banyak orang jalanan berganti profesi menjadi pemulung jika dinilai lebih menguntungkan (Twikromo, 1999). Walaupun terkadang pemulung masih mendapatkan kesulitan untuk bergabung di pemukima warga karena masyarakat masih menganggap pemulung adalah pekerjaan yang rendah. Dalam realitas di masyarakat, keberadaan pemulung dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda (Simanjuntak, 2002). Disatu sisi, profesi memulung ini mampu memberikan peluang kerja kepada pemulung dengan segala keterbatasan akan keterampilan dan pengetahuan. Disisi lain, keberadaan pemulung dianggap menganggu kebersihan, keindahan, ketertiban, kenyamanan dan keamanan masyarakat. Seringkali pemulung dipukuli atau diusir dari tempat mereka mencari nafkah, tanpa memberikan solusi yang terbaik bagi mereka (Chandrakirana & Sadoko, 1994). Selain itu, pemulung sering mengalami diskriminasi oleh pemerintah dalam mengurus administrasi ataupun surat keterangan tidak mampu.
Pemulung secara tidak langsung telah turut membantu pihak Dinas Kebersihan setempat dalam mengurangi jumlah sampah karena sampah plastik yang setiap hari pemulung diambil adalah sampah yang mencemari lingkungan. Namun, pemulung adalah kaum marginal yang kerap kali dilecehkan (Santoso, 2000) seperti kehadiran pemulung di TPA juga dinilai menganggu Dinas Kebersihan setempat. Masalah tersebut biasanya karena pemulung tidak menaati peraturan yang telah dibuat oleh Dinas Kebersihan (Simanjuntak, 2002). Penelitian mengenai fenomena pemulung sebagai salah satu masalah sosial di Indonesia sangat tertarik untuk diteliti dan dikaji lebih lanjut. Penelitianpenelitian terdahulu mengenai fenomena pemulung difokuskan pada kehidupan sosial pemulung, karakteristik pemulung, kehidupan ekonomi pemulung dan pemberdayaan pemulung. Namun, dari para peneliti terdahulu belum ada yang meneliti mengenai persepsi (pandangan) dari pemulung sendiri mengenai nilai kerja dan harapannya di masa depan. Selama ini, hanya terdapat penialian mengenai pemulung dari sudut pandang orang luar. Untuk itu, peneliti tertarik untuk meneliti dan mengetahui bagaimana persepsi dari pemulung sendiri mengenai nilai kerja dan harapannya dimasa depan.
1.2
Perumusan Masalah Kehadiran pemulung menjadi bagian dari kota-kota di Indonesia
merupakan suatu fenomena yang sampai saat ini belum dapat terpecahkan. Jumlah pemulung saat ini bertambah banyak karena berbagai faktor pendukungnya, seperti terbatasnya kesempatan memasuki sektor formal, tidak memiliki akses terhadap ekonomi dan teknologi, serta ketidakmampuan pemerintah dalam
menangani masalah sampah yang menyebabkan sebagaian orang termasuk pemulung melihat peluang untuk memanfaatkan sampah-sampah tersebut menjadi sumber penghasilan mereka. Pemulung secara tidak langsung telah membantu Dinas Kebersihan mengurangi jumlah sampah. Pemulung tetap saja termarginalkan oleh pemerintah. Dinas Kebersihan menganggap pemulung sebagai pengganggu pekerjaan Dinas Kebersihan. Bagi pemerintah, pemulung mengganggu keindahan, kenyamanan dan ketertiban kota Pemulung saat ini, banyak yang tinggal bergabung dengan warga masyarakat sekitar. Secara defacto mereka telah menjadi bagian rukun warga namun, tidak sedikit warga yang tidak menganggap mereka sebagai bagian dari warganya sehingga tidak melibatkan pemulung dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh warga. Akibatnya tidak sedikit pemulung yang acuh dan tidak peduli mengenai kehidupan bertetangga dan kegiatan-kegiatan yang diadakan rukun warga. Berdasarkan latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang menjadi titik perhatian dalam penelitian ini, yaitu: 1. Apakah faktor internal dan faktor eksternal berhubungan dengan persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya? 2. Apakah faktor internal dan faktor eksternal berhubungan dengan harapan pemulung di masa depan? 3. Apakah persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya berhubungan harapan pemulung di masa depan?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal terhadap persepsi pemulung mengenai nilai kerjanya sebagai pemulung. 2. Menganalisis hubungan antara faktor internal dan eksternal terhadap harapan pemulung di masa depan. 3. Menganalisis hubungan persepsi pemulung mengenai nilai kerjanya sebagai pemulung terhadap harapan pemulung di masa depan
1.4 Kegunaan Penelitian Dengan penelitian ini, diharapkan dapat menambah wawasan peneliti secara pribadi. Bagi mahasiswa dan peneliti selanjutnya yang tertarik dengan fenomena keberadaan pemulung, maka skripsi ini dapat menjadi data sekunder yang dapat bermanfaat dan menambah khasanah pengetahuan. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para pemerhati masalah sosial yang dapat menjadi salah satu rujukan dalam penyusun rancangan program untuk pemulung. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat sehingga masyarakat menyadari dan mengakui keberadaan pemulung sebagai bagian dari warga setempat.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pemulung Pemulung adalah seorang atau sekelompok manusia yang penghidupannya diperoleh dari mencari atau mengumpulkan barang-barang bekas yang telah terbuang di tempat pembuangan sampah sebagai ”barang bekas” (Pramuwito, 1992 dalam Ameriani, 2006). Pemulung adalah mereka yang bekerja mendayagunakan barang-barang yang diperoleh dari sampah kota, tidak termasuk rumah tangga dan pembantu yang memilah-milah koran kemudian dijual bilamana waktunya tepat dan pengusaha besar yang membeli dan menjual barangbarang bekas (Birkbeck, 1976). Pemulung sampah merupakan komponen yang tampak dalam suatu sistem, ditandai dengan karung yang dibawa ataupun gerobak kecil. Pemulung tidak sama dengan pengangguran yang menggunakan waktu sambilan untuk mengumpulkan carikan kertas. Banyak orang yang terjun menjadi pemulung dalam tempo yang singkat. Pemulung bukanlah pekerja Dinas Kebersihan Kotamadya (Birkbeck, 1976). Dinas Kebersihan DKI Jakarta Tahun 1990 (Simanjuntak, 2002) mendefinisikan pemulung sebagai : 1. Pemulung merupakan bagian masyarakat atau WNI yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan UUD 1945
2. Pemulung adalah pelaku penting dalam proses daur ulang (recycling) sampah sebagai salah satu bagian dalam penanganan sampah perkotaan maupun pedesaan. 3. Pemulung adalah salah satu pemelihara lingkungan hidup yang menyerap sebagian sampah untuk dapat diolah menjadi barang yang berguna bagi masyarakat. 4. Pemulung adalah orang yang bekerja memunguti dan mengumpulkan sampah dan memanfaatkan sampah-sampah tersebut untuk menambah penghasilan mereka. Pemulung pun dikategorikan menjadi dua, yaitu pemulung jalanan atau pemulung keliling, yaitu pemulung yang hidup bebas di jalanan dan pemulung tetap, yaitu pemulung yang mempunyai rumah (bedengan) yang berada di sekitar TPA atau sekitar lapak (tempat menjual barang hasil pulungan pemulung) (Twikromo, 1999). Peranan pemulung adalah mengumpulkan barang-barang buangan dari berbagai lokasi pembuangan sampah di kota untuk mengawali proses penyalurannya ke tempat-tempat produksi. Dalam menjalankan fungsi ini, para pemulung perlu mengenali jenis-jenis sampah yang mempunyai nilai ekonomis serta mengetahui nilai masing-masing barang karena harganya berfluktuasi (Chandrakirana & Sadoko, 1994). Usia pemulung sampah beraneka ragam, mulai dari anak-anak yang secara subtansial menganggur dipaksa untuk membantu ekonomi rumah tangga hingga usia diatas 40 tahunan. Lebih dari separuh pemulung tidak mengecap pendidikan SLTP, mereka memang sempat sekolah namun hanya sekedar dapat baca tulis.
Latar
belakang
pendidikan
pemulung
yang
rendah
memberi
cermin
ketidakmampuan untuk menyekolahkan anak dan terpaksa mengeluarkan anak dari sekolah dalam usia relatif muda untuk membantu keluarga (Birkbeck, 1976).
2.1.1.1 Alasan Menjadi Pemulung Gambaran tepat tentang pemulung tidak diperoleh secara pasti. Hal ini karena lemahnya perhitungan statistik karena para peneliti mengalami kesulitan untuk menghitung mereka. Jumlah pemulung tidak pernah konstan, tetapi mengalami pasang surut. Pekerjaan pemulung itu mudah dan tidak memerlukan modal atau keterampilan tinggi sehingga banyak orang yang terjun menjadi pemulung dalam tempo yang singkat (Lumingkewas, 1997). Banyak faktor dan sebab yang membuat sebagian besar dari masyarakat melakukan kegiatan memulung atau yang lebih sering disebut sebagai pemulung. Salah satu faktor yang mengakibatkan meningkatnya pemulung adalah akibat memburuknya kondisi ekonomi nasional. Faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah harga-harga barang bekas meningkat dalam beberapa tahun ini (Guinnes, 1985). Alasan menjadi pemulung sangat beragam, namun alasan yang paling banyak dikemukakan adalah profesi ini tidak memerlukan persyaratan tertentu, seperti pendidikan, keterampilan dan modal, tidak ada alternatif pekerjaan lain, pekerjaan ini mudah dilakukan dan ada relasi yang sudah bekerja lebih dulu di kota. Alasan berikutnya, pekerjaan memulung memiliki resiko rendah karena hanya bermodalkan tenaga (tidak mengeluarkan modal seperti ketika bercocok
tanam) maka pemulung sudah dapat merasakan hasilnya secara langsung asalkan pemulung tersebut rajin bekerja (Ameriani, 2006). Bekerja sebagai pemulung tidak akan mengalami kerugian material secara langsung. Dapat dilihat bahwa terdapat kemungkinan besar bahwa pemulung tidak berani mengambil resiko yang besar untuk mendapatkan sesuatu hasil yang besar pula (Ameriani, 2006). Hal ini disebabkan bekerja sebagai pemulung tidak memerlukan modal sama sekali, mereka hanya perlu tenaga yang kuat, tidak ada rasa malu dan berani bekerja di tempat yang kotor. Menjadi pemulung adalah salah satu pilihan terburuk diantara yang buruk karena tidak ada pilihan lain (Santoso, 2000). Dalam hal ini tidaklah berarti bahwa mereka tidak mempunyai keinginan untuk hidup dalam suatu keadaan sosial ekonomi yang lebih baik, tetapi mereka percaya bahwa hal itu adalah mustahil (Suparlan, 1981). Walaupun tidak selalu, namun alasan utama orang-orang itu meninggalkan rumah kediaman mereka di desa ialah krisis keuangan dan sosial bukan untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik. Walaupun mereka tidak mempunyai sarana sukses di kota, mereka tidak ingin kembali ke desa (Suparlan, 1981). Beberapa di antara alasan untuk meninggalkan desa mereka ialah mengelakkan kawin paksa atau dijualnya tanah keluarga, perlakuan buruk orangtua, kecopetan dan sebagainya. Adapun alasan lain yaitu disuruh oleh orang tuanya, mencari pengalaman di bidang lain, mengikuti suami, menganggur (karena menunggu panen) biasanya dilakukan oleh pemulung yang berasal dari Indramayu yang ingin mempunyai uang tambahan selama menunggu panen ataupun ketika masa paceklik. Selain itu,
pendapatan bekerja sebagai pemulung, memang lebih tinggi dibanding mereka yang bekerja sebagai buruh tani di desanya (Ameriani, 2006). Beberapa pemulung sebelum mereka menjadi pemulung pernah bekerja menjadi tukang becak, pedagang kaki lima, supir angkot bahkan tukang todong di pasar. Mereka berpendapat pekerjaan pemulung merupakan pekerjaan terakhir yang dapat mereka lakukan. Menjadi pemulung berarti dapat bekerja secara bebas/tidak terkekang dan mengubah gaya hidup orang jalanan menjadi orang yang lebih baik (Ameriani, 2006). Pemulung sebagai pekerja di sektor informal juga merupakan “katup pengaman” yang efektif dalam mengatasi kesulitan dan keterbatasan lapangan pekerjaan di kota Jakarta (Simanjuntak, 2002). Pekerjaan sebagai pemulung dapat bersifat sementara saja sambil menunggu kesempatan untuk beralih ke profesi yang lebih baik. Mereka biasanya bekerja menjadi pemulung untuk beberapa tahun saja, walaupun ada juga pemulung yang telah bekerja selama 20-25 tahun. Tak seorang pun diantara mereka yang langsung menjadi pemulung melainkan berkelana dulu di berbagai kota kecil, tidur di kaki lima, dan mempertahankan hidup dengan mencuri, menarik becak, menjajakan barang, memulung dan menggali pasir. Kebanyakan dari mereka merasa bahwa kondisi hidup mereka memberi kebebasan lepas dari berbagai pembatasan kehidupan desa (Suparlan, 1981). Pemulung yang dikategorikan sebagai orang jalanan pada kenyataannya, dinilai sebagai aktivitas yang lebih positif dibanding dengan profesi jalanan lainnya dalam perspektif pemerintah maupun masyarakat kota sehingga banyak
orang
jalanan
berganti
profesi
menjadi
pemulung
jika
dinilai
lebih
menguntungkan (Twikromo, 1999). Bagi mereka, aktivitas pemulung dapat dilakukan dengan suasana santai dan tidak perlu bekerja keras. Karena jika bekerja terlalu keras dan akhirnya sakit malah tidak bisa bekerja sama sekali dan tidak mempunyai uang karena tak seorang pun akan memperdulikan dan memberi uang untuk makan. Mereka juga dapat menentukan sendiri kapan saja mereka mulai bekerja karena akan selalu tersedia selama 24 jam. Mereka tidak akan ketakutan kehabisan sampah apabila terlambat bekerja (Simajuntak, 2002) Pemulung selalu diidentikkan oleh kaum yang miskin, namun penelitian di Cali Colombia memaparkan bahwa pemulung merupakan suatu pekerjaan dan pendapatan mereka jauh lebih besar dari buruh pabrik (Birkbeck, 1976). Tetapi tetap saja walaupun penghasilan lebih tinggi dari buruh pabrik namun mereka dalam situasi yang berbeda. Akan tetapi tampak jelas bahwa orang akan keluarmasuk dari dan ke pekerjaannya sebagai pemulung dan pekerjaan tersebut lebih berfungsi sebagai penyangga hidup, yang berlainan dengan konsep kemiskinan absolut yang dikemukakan oleh Keith Hart tahun 1985.
2.1.1.2 Kehidupan Ekonomi Pemulung Ada hal menarik dari hasil pengamatan yang dilakukan di Cali, Colombia mengenai pemulung yaitu suatu ungkapan bahwa pemulung adalah cerminan dari kemiskinan dan bukan penyebab kemiskinan (Birkbeck, 1976). Seperti yang kita ketahui bahwa pemulung adalah sekelompok orang yang terpaksa melakukan pekerjaan memulung barang bekas karena tidak ada pekerjaan yang dapat mereka
lakukan. Dan terkadang masyarakat dan pemerintah tidak menyadarinya bahwa pemulung merupakan suatu profesi (pekerjaan). Hal ini juga sesuai dengan konsep kerja menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayan tahun 1991 (Ameriani 2006), bahwa kerja adalah kegiatan melakukan sesuatu. Pemulung jelas melakukan sesuatu yaitu mengumpulkan barang bekas. Oleh karena itu, pemulung bukanlah pengangguran yang tidak mempunyai kegiatan. Dalam tulisan Chris Birkbeck (1976) menjelaskan bahwa pemulung bergantung pada pabrik. Namun, pernyataan itu dibantah oleh Suparlan (1981) yang menyatakan bahwa pemulung merupakan armada murah buat pabrik. Pemulung yang selalu mensuplai kebutuhan pabrik namun ia dibayar dengan sangat rendah sekali. Pemulung bukanlah karyawan pabrik, namun mereka bagian dari sistem industri tersebut. Mereka bekerja untuk pabrik tetapi mereka tidak memperoleh gaji dari pabrik. Oleh karena itu kemiskinan mereka terletak pada hubungannya dengan industri. Pemulung merupakan ujung tombak bagi para pedagang sampah daur ulang. Pemulung tidak independen menetukan harga, bahkan untuk memilih pembeli yang lebih baik pun tidak bisa. Pabrik yang menentukan harga untuk harga barang bekas, hal itu yang mendasari pembatasan aliran pendapatan ke pemulung sehingga para pemulung perlu menyatu dengan rekannya dan berserikat kerja serta menuntut harga yang lebih tinggi atau meningkatkan produktivitasnya (Santoso, 2000). Dalam hal ini bukan menambah jam kerja mencari pulungan tetapi lebih ke ketrampilan pemulung. Mengingat aktivitas pemulung sangat tergantung dari ketersediaan sampah yang dibuang oleh warga masyarakat, maka sebenarnya secara tidak langsung
juga mendesak aktivitas pemulung di siang hari, karena selama siang hari jumlah sampah yang dibuang oleh para warga relatif sedikit. Mereka juga harus bersaing tidak hanya dengan sesama pemulung tetapi juga dengan para petugas sampah yang terkadang juga mengumpulkan barang-barang layak jual dari tempat-tempat sampah keluarga sebelum dibuang ke bak-bak sampah tempat pembuangan akhir (Twikromo, 1999). Cara pemulung jalanan dalam melaksanakan aktivitasnya dipandang sangat kotor, karena mereka bergulat dengan sampah setiap harinya. Walaupun jumlah penghasilannya mungkin lebih tinggi dari pada pegawai negeri golongan paling rendah, mereka tetap dipandang inferior. Melihat pemulung dengan segala kekurangan bukan berarti menanggap mereka sama sekali tidak memiliki potensi (Twikromo, 1999). Pemulung merupakan bagian dari kejelian dan kegigihan seseorang melihat peluang dan mau bekerja keras yang didukung ekonomi kota yang memberikan kemungkinan lebih besar bagi para anggota rumah tangga miskin untuk mengakses peluang kerja di sektor informal kota. Pendapatan pemulung tergantung dari banyaknya hasil pulungannya. Jadi setiap pemulung mempunyai pendapatan yang berbeda tergantung seberapa gigih pemulung berusaha (Twikromo, 1999). Usaha lapak, meskipun merupakan usaha yang memberikan keuntungan relatif besar, tetap saja dianggap usaha yang tidak mengandung prestise artinya aktivitas usaha ini merupakan aktivitas yang tergolong marginal karena terkesan kumuh dan kotor. Diantara penguasa-penguasa lapak itu, ada yang berasal dari pemulung sendiri. Orang-orang seperti ini, umumnya adalah mereka yang terlihat
lebih pintar dimata agen, dapat dipercaya, dan kemudian diberi kesempatan menjadi penampung barang rongsokan (Mangiang, 1979). Ada pula diantara mereka yang memasuki usaha itu dengan sedikit modal dan memiliki keterampilan. Keterampilan berdagang serta membangun hubungan dengan para agen yang menjadi penyalur ke pabrik-pabrik namun, dari mana pun asal mereka, ”rantai” yang membelenggu para kepala lapak itu, adalah sesuatu yang teramat kuat untuk mereka putuskan (Mangian et al., 1979). Dalam kehidupan sehari-hari, pemulung jalanan biasanya menghabiskan uang mereka untuk kebutuhan makan dan minum, atau jika mereka mempunyai uang lebih mereka juga menghabiskan untuk bersenang-senang, seperti judi kecilkecilan. Akan tetapi banyak juga yang jarang sekali mendapatkan uang lebih untuk bisa bersenang-senang. Kondisi kehidupan telah memaksa mereka untuk tidak menyimpan uang dan pakaian dalam jumlah yang relatif banyak atau menyimpan barang-barang bernilai jual tinggi. Mereka cenderung menghabiskan hampir semua uang yang mereka dapatkan hari itu (Mangiang et al. 1979). Beberapa pemulung tidak jarang harus melakukan beberapa aktivitas sekaligus sebagai strategi untuk bertahan hidup ataupun melibatkan anggota keluarga termasuk anak-anaknya untuk membantu menambah penghasilan dengan menjadi pemulung (Lumingkewas, 1997). Namun, ada juga anggota keluarga yang bekerja tidak menjadi pemulung tetapi menjadi tukang cuci baju atau mengasuh bayi. Bagi pemulung sangat sulit untuk dapat menyimpan uang. Kebanyakan diantara mereka terlibat hutang. Oleh karena itu, orang-orang yang memberikan pinjaman kepada pemulung dapat menjadi tokoh yang berpengaruh dan berkuasa.
Hubungan diantara pemulung dalam bidang uang dengan para tetangga dapat berubah menjadi suatu ikatan hubungan pelindung dengan yang dilindungi (patron client relationship) (Mangiang et al. 1979). Pemulung menjadi miskin bukanlah karena mereka tidak bekerja atau kurang jumlah jam kerjanya. Tetapi mereka miskin karena faktor-faktor struktural yang menghalangi pemulung untuk memperoleh kelebihan keuntungan dari kegiatan pulungan yang mereka lakukan dan untuk pemulung mengakumulasikan uang. Selain itu, karena pemulung tidak dapat mendayagunakan kesempatan yang ada karena kesempatan tersebut dikuasai oleh satu pihak dalam hal ini lapak ataupun bandar-bandar (Mangiang et al. 1979).
2.1.1.3 Kehidupan Sosial Pemulung Pada dasarnya, banyak batasan dihadapi oleh para pemulung yang hidup di daerah perkotaan. Banyak peraturan dan common sense masyarakat kota yang mendukung pembangunan kota telah membuat pemulung hidup dibawah tekanantekanan sosial-budaya. Walaupun demikian, beberapa di antara mereka masih dapat menemukan kebahagiaan dalam kehidupannya (Twikromo, 1999). Sebagian besar pemulung masih menyadari keberadaannya dalam masyarakat kota. Pemulung menerima sikap-sikap diskriminatif masyarakat kota seperti tidak diperbolehkan masuk ke daerah tertentu. Banyaknya tulisan ”pemulung dilarang masuk” di sudut-sudut perkampungan/perumahan ataupun perkantoran juga menandakan keberadaan mereka belum sepenuhnya dihargai masyarakat. Larangan-larangan itu resistensi yang menyakitkan bagi kaum pinggiran seperti mereka (Twikromo, 1999).
Pemerintah cenderung menggunakan langkah penekanan daripada memberi kelonggaran terhadap keberadaan orang jalanan termasuk pemulung. Dengan demikian, pemulung akan terperangkap ke dalam suatu pengucilan sosial dari masyarakat kota pada umumnya. Masalah keindahan dan tata kota kerap menjadi alasan pemerintah untuk menata kawasan kumuh. Padahal tidak sedikit juga pemulung menata tempat yang dianggap kumuh menjadi lebih baik (Twikromo, 1999). Perkampungan kumuh yang usang bertahan karena tidak ada penggantinya yang lebih murah biayanya dan lebih cocok penggunaannya (Santoso, 2000). Kehidupan di perkampungan kumuh (slum area) tidak selalu menandakan kemerosotan (Adams, 1993). Mungkin saja merupakan tahap pertama dalam peralihan dari kehidupan gelandangan menuju berumah tangga, ataupun sebagai tempat peralihan dari kemiskinan menuju Pemulung
tidak
pernah
terlibat
pada harapan yang lebih baik atau
dilibatkan
dalam
proses
perkembangan kota. Mereka juga jarang disentuh oleh dampak positif perkembangan kota. Kepentingan-kepentingan mereka tidak pernah terwakili atau cenderung diabaikan oleh pemerintah kota. Pengabaian ini dimaksudkan untuk menekan peningkatan jumlah orang jalanan di daerah perkotaan (Twikromo, 1999). Dalam menghadapi tekanan budaya dominan masyarakat kota yang direkomendasikan oleh sejumlah peraturan pemerintah, pemulung mempunyai strategi untuk mengurangi tekanan atau melawan dominasi yang kadang berbeda satu sama lain. Strategi tersebut diantaranya pura-pura mematuhi peraturan atau perintah petugas, berpura-pura mau mengikuti transmigrasi, bergaya seperti orang
bodoh, bergaya sebaagi wisatawan dan membentuk penampilan seperti tukang becak atau bakul (Twikromo, 1999). Pemulung mungkin dapat membentuk masyarakat yang lebih stabil tanpa bantuan pemerintah dan mengaitkan diri sendiri ke lapangan pekerjaan yang stabil. Gambaran ini mengubah kesan yang sering melukiskan pemulung sebagai golongan yang tak layak bertempat tinggal dan merupakan benalu di kota. Padahal pemulung mempunyai kontribusi yang besar pada lingkungan kota (Suparlan, 1981).
2.1.2 Persepsi Persepsi adalah pandangan atau sikap seseorang terhadap sesuatu hal, yang menumbuhkan
informasi
atau
kekuatan
dorongan
atau
tekanan
yang
menyebabkan seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu kegiatan (Pasaribu, 1988 dalam Rinaldi, 2002), sehingga karakteristik personal penting dari faktor-faktor pribadi yang dapat mempengaruhi persepsi (Osley, 1973 dalam Rinaldi 2002) Banyak para ahli yang mendefinisikan konsep persepsi seperti Rakhmat (1999) mengemukakan persepsi sebagai suatu tanggapan atau pendapat yang di dalamnya terkandung unsur penilaian seseorang terhadap objek dan gejala berdasar pengalaman dan wawasan yang dimiliki. Persepsi adalah pandangan seseorang terhadap peranan yang telah dirumuskan kemudian dapat diungkap kembali. Proses persepsi seseorang terhadap stimulus, dalam hal ini peranan sangat dipengaruhi oleh pengetahuannya, sedangkan pengetahuan sendiri berhubungan dengan masa lalu.
Persepsi
sosial
merupakan
suatu
proses
masyarakat
melakukan
penyeleksian, menerima, mengatur dan menafsirkan informasi yang ada di lingkungan. Persepsi atau pandangan seseorang diartikan sebagai pemahaman terhadap suatu obyek berdasarkan pengalaman, keadaan diri sendiri atau lingkungan (Schermerhon, Hunt dan Osborn, 1991 dalam Mustamin, 1999) sedangkan menurut (Robbins, 1991 dalam Mustamin, 1999). Persepsi adalah suatu proses dimana seseorang mengatur dan menafsirkan kesan melalui panca indera dalam memberi arti mengenai lingkungan. Persepsi tersebut bisa muncul dan berbeda bagi setiap orang, karena di duga turut dipengaruhi faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan status. Persepsi juga dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu seperti kondisi fisik dan kondisi psikologis. Faktor eksternal yaitu stimulus dan lingkungan (Walgito, 1978 dalam Damayanti, 2007). Persepsi sosial adalah pandangan kita terhadap orang lain (Calhoun, 1990). Cara kerja persepsi sosial ditandai dengan empat kiat yang menolong kita mengatur berbagai macam kenyataan. Pertama, dalam memahami orang lain kita berusaha menciptakan kesatuan dalam gambaran kita tentang mereka. Kedua, kita mencoba mencapai keajegan, yakni menggabungkan informasi baru yang sesuai dengan persepsi utama individu dan menolak informasi yang tidak tidak taat asas. Ketiga, individu dapat menambahkan informasi untuk melengkapi persepsinya. Keempat, individu cenderung menyusun persepsinya. Salah satu hasil yang paling penting dari persepsi sosial ialah daya tarik atau kesukaan. Ada empat faktor yang mempengaruhi daya tarik yaitu kedekatan,
kemiripan, kekomplemenan dan keuntungan. Kedekatan itu sangat penting, makin dekat seseorang dengan orang lain secara geografis, makin tertarik pula seseorang dengan orang lain. Karena individu tersebut mempunyai lebih banyak kesempatan berinteraksi dengan orang tersebut. Kemiripan juga sangat penting, individu cenderung tertarik kepada orang yang paling menyukainya secara fisik, emosi dan sikap. Sebaliknya, kekomplemenan mendorong individu tertarik kepada orang yang kepribadiannya berbeda dengannyan. Keuntungan mempengaruhi daya tarik. Individu cenderung suka kepada orang yang suka kepadanya dan berbuat sesuatu kepada untuknya.
2.1.3 Nilai Kerja Kerja diartikan sebagai bagian yang lebih khusus dari tindakan. (Pudjiwati 1985) dalam (Tjakrawati 1988) menyatakan ciri-ciri kerja meliputi: (1) pelaku mengeluarkan energi, (2) pelaku menjalin interaksi sosial dan mendapat status, (3) pelaku memberi sumbangan dalam produksi barang dan jasa, (4) pelaku mendapat penghasilan cash dan natura, dan (5) pelaku mendapat hasil yang mempunyai nilai waktu. Berdasarkan hal itu, kerja dapat dirumuskan sebagai aktivitas yang dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga baik bersifat fisik, mental maupun sosial dengan imbalan berupa isentif ekonomi. Makna kerja bervariasi karena perbedaan orang melakukannnya (Wallman, 1979 dalam Daulay, 2006). Beberapa pekerjaan dinilai lebih tinggi karena dibentuk oleh suatu kategori orang dibandingkan dengan beberapa kriteria yang berbeda, misalnya berdasarkan karakteristik fisik, seperti jenis kelamin, umur, kebangsaan, ras atau kasta. Pekerjaan dapat membentuk identitas dan
memperoleh status sosial. Kerja pun diartikan dimana seseorang memperoleh bayaran (Daulay, 2006). Nilai merupakan pilihan moral yang berkaitan dengan apa yang dianggap baik atau buruk. Nilai juga akan mengarahkan seseorang untuk melakukan tindakan sosial yang didukung oleh motivasi (Hendropupito, 1989 dalam Daulay, 2006). Nilai kerja dapat dirumuskan sebagai suatu persepsi atau penghargaan terhadap aktivitas yang menghasilkan suatu bentuk materi maupun non materi yang dapat memberi kepuasan bagi keluarga (Herlina, 2002). Dimensi yang ada dalam nilai kerja dapat terlihat dalam dimensi beban kerja, dimensi prestise, dimensi ekonomi dan dimensi waktu kerja. Nilai kerja menurut Parker (1992) dalam Sipahutar (1996) penelitian yang dilakukan Rosenberg dan rekan-rekannya tahun 1957 dapat dilihat dari aspirasi, harapan dan pilihan terhadap responden. Penelitian mereka tentang nilai-nilai kerja adalah keinginan mendapat pekerjaan yang sifatnya mengandung tantangan, keinginan mendapat pekerjaan yang memberi kesempatan untuk mengembangkan hubungan yang baik dengan masyarakat dan yang lainnya. Dengan bekerjanya faktor-faktor tersebut, maka berbagai aspek kehidupan berubah. Keinginan berubah lebih maju dapat disebabkan berubahnya nilai-nilai yang ada dalam dirinya terlebih dalam memandangi pekerjaan.
2.1.4
Harapan Harapan merupakan suatu keadaan yang menjadi angan-angan, yang
diinginkan seseorang supaya terjadi kelak dikemudian hari (Tjakrawati, 1988). Harapan sebagai kesediaan untuk mendapat penguat (reinforcement). Harapan itu
merupakan fungsi dari dorongan (drive), perkiraan tentang menyenangkan atau tidaknya hasil dan perkiraan tentang kemungkinan hasil itu akan benar-benar terjadi (Sarwono, 2003). Harapan (expentancy) menurut Victor Vroom dalam (Hasibuan, 2001) adalah suatu kesempatan yang diberikan terjadi karena prilaku .Harapan merupakan propabilitas yang memiliki nilai berkisar nol yang berati tidak ada kemungkinan hingga satu yang berarti kepastian Teori pengharapan berargumen bahwa kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dengan suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu pengharapan. Tindakan seseorang akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu, dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu tersebut (Hasibuan, 2001). Harapan atas peran yang dilakukan seseorang umumnya terdiri dari harapan agar seseorang dapat menjadi seperti yang diinginkan orang lain, pantas untuk melakukan peran tertentu, terlibat dalam perannya serta memperhatikan aspek ruang dan waktu (Lindzey & Aronson, 1968) dalam (Hikmawati,1997). Karena ego manusia yang selalu menginginkan hasil yang baik baik saja, daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang terkandung dari harapan yang akan diperolehnya pada masa depan (Hasibuan, 2001). Harapan menurut Stogdill dalam (Sarwono, 2003) adalah hasil interaksi antara perkiraan-perkiraan tentang desirability (menyenangkan atau tidaknya) dan probability (kemungkinan). Perkiraan-perkiraan ini bisa saling meningkatkan satu sama lain, bisa juga yang satu menekan atau mengurangi yang lain. Pada tiap orang pengaruh kedua perkiraan ini berbeda, sehingga reaksi setiap orang terhadap penguat juga akan berbeda. Karena setiap individu membawa sistem
nilai. Tentang pengaruh penilaian (value) terhadap harapan, Stogdill menyatakan bahwa hasil-hasil yang dinilai positif akan cenderung diperkirakan lebih mungkin terjadi dari sesungguhnya (over estimate) sedangkan hasil-hasil yang dinilai negatif cenderung dinilai lebih tidak mungkin terjadi dari yang sebetulnya (under estimate) tetapi hubungan ini tidak mutlak. Harapan pemulung mengenai masa depannya tidaklah berbeda dengan masyarakat pada umumnya, mereka menginginkan hidup layak (Santoso,2000). Tidak sedikit dari pemulung yang menginginkan perubahan dalam hidupnya yaitu menginginkan mendapatkan pekerjaan yang dipandang baik dan layak oleh masyarakat (Santoso, 2000). Bagi kaum kecil seperti mereka, mereka juga tidak berangan-angan terlalu tinggi. Mereka hanya butuh pengakuan serta ingin tetap dapat mempertahankan pekerjaan tersebut. Pemulung berharap bahwa hasil kerja mereka dibayar dengan tinggi (Werdiono, 2007).
2.2 Kerangka Pemikiran Pemulung adalah seorang atau sekelompok manusia yang penghidupannya diperoleh dari mencari atau mengumpulkan barang-barang bekas yang telah terbuang di tempat pembuangan sampah sebagai ”barang bekas” (Pramuwito, 1992 dalam Ameriani, 2006). Keberadaan pemulung sebagai dua sisi mata uang bagi pemerintah di negara ini. Di satu sisi menguntungkan, karena membantu Dinas Kebersihan mengurangi jumlah gunungan sampah, membantu pabrik dalam pengelolaan bahan daur ulang untuk mendapat bahan baku yang murah. Bagi pemerintah secara umum pemulung membantu mengurangi jumlah pengganguran yang tiap tahun semakin meningkat akibat tidak terserap di sektor
formal. Di sisi lain keadaan pemulung menganggu keindahan tata kota, karena pemulung membuat pemukiman-pemukiman liar atau pemukiman yang terkesan kumuh dan rawan penyakit. Penelitian mengenai fenomena pemulung dalam penelitian ini dibatasi hanya untuk mengetahui persepsi pemulung terhadap nilai kerja dan harapannya di masa depannya. Persepsi pemulung mengenai nilai kerjanya berhubungan dengan faktor internal dalam diri pemulung, yaitu tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, lamanya menekuni profesi pemulung ini dan status pernikahan. Faktor eksternal, yaitu persepsi dari masyarakat mengenai nilai kerja pemulung dan kebijakan pemerintah juga berhubungan dengan persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya. Persepsi pemulung yang dibentuk oleh faktor internal dan faktor eksternal berhubungan dengan harapan pemulung dimasa depan. Apakah pemulung telah akan merubah mata pencahariannya diluar pekerjaan mengambil barang bekas atau tetap bertahan menjadi pemulung dengan berharap pendapatannya meningkat.
Faktor Internal • Usia • Jenis Kelamin • Tingkat pendidikan • Lama Bekerja • Status Pernikahan
Persepsi Pemulung Terhadap Nilai Kerjanya • Prestise • Ekonomi
Harapan Pemulung Di Masa Depan • Peningkatakan Pendapatan • Perubahan Mata Pencaharian
Faktor Eksternal • Persepsi Masyarakat Mengenai nilai kerja pemulung • Kebijakan Pemerintah
→ : Berhubungan Gambar 1. Kerangka Pemikiran
2.3 Hipotesis Uji Berdasarkan hasil dari pemaparan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran yang diajukan, maka hipotesis yang dipakai untuk mengarahkan penelitian ini adalah: 1. Faktor internal dan faktor eksternal berhubungan dengan persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya. 2. Faktor internal dan faktor eksternal berhubungan dengan harapan pemulung dimasa depan. 3. Persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya berhubungan terhadap harapan pemulung dimasa depan.
2.4 Definisi Konseptual Berikut ini akan diuraikan definisi konseptual dari variabel-variabel yang terlibat dalam penelitian guna memperoleh batasan yang jelas dan menyamakan persepsi dari variabel serta konsep yang terdapat dalam penelitian ini, sehingga dapat dilakukan pengukurannya, sebagai berikut: 1. Pemulung adalah orang yang bekerja dengan cara memunguti barang bekas yang masih dapat dimanfaatkan kembali. 2. Nilai kerja adalah penghargaan terhadap aktivitas yang menghasilkan suatu bentuk materi maupun non materi yang dapat memberi kepuasan. Dimana terdiri dari dimensi prestise dan dimensi ekonomi. 3. Persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya adalah adalah penilaian pemulung terhadap pekerjaannya berdasarkan informasi yang didapat dari faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya. 4. Persepsi masyarakat terhadap nilai kerja pemulung adalah penilaian masyarakat terhadap profesi dan kehidupan pemulung berdasarkan perasaannya sendiri, informasi yang didapatkan mengenai pemulung dan kedekatan masyarakat terhadap pemulung. 5. Harapan pemulung merupakan suatu keadaan yang menjadi angan-angan dan yang diinginkan pemulung supaya terjadi kelak dikemudian hari. Harapan pemulung di masa depan terbagi menjadi dua yaitu pemulung yang ingin tetap mempertahankan profesi pemulung dengan pendapatan meningkat atau menjadi bos pemulung. 6. Kebijakan Pemerintah adalah aturan-aturan yang diterapkan pemerintah mengenai nilai kerja dan keberadaan pemulung.
7. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan sebagainya. 8. Faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar individu.
2.5 Definisi Operasional Tabel 1. Variabel, Definisi Operasional, Indikator dan Skala Pengukuran Data Variabel
Definisi Operasional
Indikator
Skala Pengukuran Data Nominal
Jenis Kelamin
Perbedaan seks berdasarkan aspek biologis yang dibedakan dalam laki-laki dan perempuan
Perbedaan seks Kategori : - Laki-laki - Perempuan
Usia
Lamanya seseorang hidup mulai dari lahir sampai saat dilakukan penelitian
Usia pemulung pada saat penelitian berlangsung Kategori : - Muda : 15-38tahun - Tua : > 38 tahun
Ordinal
Tingkat Pendidikan
Pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh seseorang
Jenjang pendidikan formal Kategori : - Tidak sekolah - SD - SMP - SMA
Nominal
Lama Bekerja
Lamanya seseorang menekuni profesi pemulung
Jumlah tahun, lamanya menekuni profesinya Kategori : - Baru : < 1 tahun - Sedang : 1-5 tahun - Lama : > 5 tahun
Ordinal
Status Pernikahan
Status dari pemulung yang terikat dalam perkawinan baik tinggal bersama maupun terpisah.
Nominal
Persepsi Masyarakat terhadap nilai kerja pemulung
Pandangan masyarakat terhadap profesi dan kehidupan pemulung 7yang dinilai oleh pemulung sendiri
Status dari pemulung yang terikat dalam perkawinan pada saat pencacahan, baik tinggal bersama maupun terpisah. Kategori: - Menikah - Belum Menikah Pernyataan sikap ditanggapi responden dengan jawaban Sangat Setuju (S), Ragu-ragu (R), dan Tidak Setuju (TS). Penilaian persepsi dilakukan dengan menggunakan skor 1-3. Skor tertinggi adalah 15
Nominal
Kebijakan Pemerintah
Aturan pemerintah dalam menangani pemulung baik pemerintah lokal ataupun pusat (Dinas Kebersihan) yang dinilai sendiri oleh pemulung.
Persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya
Penilaian pemulung terhadap pekerjaannya
Harapan pemulung di masa depan
Keinginan pemulung akan menjadi apa di masa mendatang.
dan terendah adalah 5. Dengan Kategori : a. Positif dengan nilai 11-15 b. Negatif dengan nilai 5-10 Penilaian dilakukan dengan menggunakan skor 1-3. Skor tertinggi adalah 10 dan terendah adalah 2. Dengan Kategori : Positif dengan nilai 2-6 Negatif dengan nilai 7-10 Penilaian persepsi dilakukan dengan menggunakan skor 1-3. Skor tertinggi adalah 60 dan terendah adalah 12. Dengan Kategori : Positif, dengan nilai 26-60 Negatif, dengan nilai 12-25 • Peningkatan Pendapatan • Perubahan Mata Pencaharian Pernyataan sikap ditanggapi responden dengan jawaban Setuju (S), Ragu-ragu (R), dan Tidak Setuju (TS). Penilaian persepsi dilakukan dengan menggunakan skor 1-3. Skor tertinggi adalah 18 dan terendah adalah 6. Dengan Kategori : Tinggi, dengan nilai 13-18 Rendah, dengan nilai 6-12
Nominal
Nominal
Ordinal
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survai dengan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data-data kualitatif. Penelitian ini dipilih dengan maksud untuk memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti (Singarimbun,1989). Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengukur bagaimana hubungan antara variabel penelitian. Data-data kualitatif digunakan agar dapat menggali lebih dalam masalah penelitian yang tidak tergali melalui pendekatan kuantitatif. Unit analisis penelitian ini adalah individu pemulung.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lokasi pemukiman pemulung di Kampung Sawah RT004/RW07, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten (Lampiran 1). Pemilihan lokasi tersebut dipilih secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan kemudahan akses penelitian, keterbatasan biaya, tenaga, dan waktu peneliti (Singarimbun, 1989). Alasan lain, karena di Kampung Sawah terkenal dengan lokasi pemukiman pemulung dimana jumlah pemulung yang menetap jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dikarenakan bertambahnya jumlah lapak yang terdapat di kampung sawah. Pemulung terorganisir dalam lapak dimana pemilik lapak merupakan bos mereka (patron) dan pemulung merupakan anak buahnya
(client). Besar kecilnya lapak tergantung dari jumlah pemulung yang menjadi bagian dari lapak tersebut dan lamanya usaha yang dijalankan. Pengumpulan data dilakukan selama satu bulan, yaitu minggu kedua bulan mei hingga minggu pertama bulan juni 2008. Pengolahan data dan penulisan hasil laporan penelitian dilakukan selama bulan mei hingga minggu pertama bulan juli 2008.
3.3 Teknik Pemilihan Responden dan Informan Populasi pada penelitian ini adalah pemulung yang berada di Kampung Sawah RT004/RW07, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat. Sampel pada penelitian ini adalah pemulung yang berada pada lapaknya sampai minggu pertama bulan juni tahun 2008. Pemilihan responden dilakukan dengan menggunkan teknik acak berkelompok satu tahap (Cluster Random Sampling), karena keterbatasan kerangka sampel (daftar nama seluruh anggota populasi) namun peneliti memiliki data yang lengkap tentang kelompok (Singarimbun, 1989). Untuk menentukan sampel yang dijadikan responden dilakukan undian nama-nama lapak yang berjumlah lima lapak kemudian dipilih secara acak. Lapak (gugus) yang terpilih dan seluruh pemulung yang berada dalam lapak tersebut sampai akhir mei 2008 dijadikan sampel. Jumlah pemulung yang menjadi responden berjumlah 34 orang. Responden diwawancarai dengan pertanyaan kuisioner. Selain itu, terdapat responden dari masyarakat sekitar yaitu masyarakat RT004/RW07
yang
tinggal
berdampingan
dengan
pemulung
dimana
diwawancarai dengan pertanyaan kuisioner mengenai persepsinya terhadap nilai
kerja pemulung. Masyarakat yang menjadi responden berjumlahn 30 orang. Sementara itu, untuk melengkapi informasi yang diperlukan, diwawancarai informan yang terdiri dari dua orang pemilik lapak, satu orang masyarakat, satu orang tokoh masyarakat dan satu orang aparat desa.
3.4 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data diperoleh dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan teknik (a) kuisioner, (b) wawancara (Lampiran 2). Kuisioner berisi sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya sebagai pemulung dan harapan di masa depannya. Teknik wawancara digunakan untuk menghimpun informasi secara mendalam yang tidak tergali dengan menggunakan pertanyaan kuisioner. Selain wawancara, peneliti juga melakukan observasi terhadap aktivitas pemulung ketika berada di lapak. Untuk sumber data sekunder diperoleh dari dokumentasi yang menunjang penelitian yang terdapat di Desa Kedaung.
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh, kemudian dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari kuisioner yang disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan tabulasi silang. Tabel frekuensi digunakan untuk menyajikan gambaran mengenai karakteristik pemulung. Tabulasi silang digunakan untuk menelaah kecenderungan hubungan antar variabel. Selain itu, juga digunakan alat analisis secara statistika, yaitu Uji Chi-Square yang digunakan untuk menguji
hubungan masing-masing variabel dimana skala pengukuran datanya adalah kategori nominal dan ordinal. Pengolahan data uji Chi-square menggunakan komputer dengan program SPSS for windows versi 13.0. Hal ini dilakukan guna ketepatan, kecepatan proses perhitungan dan kepercayaan hasil pengujian. Untuk menambah makna hasil interpretsi dan analisis maka ditambahkan data-data kualitatif. Data kualitatif yang diperoleh dari wawancara terhadap responden dan informan serta observasi terhadap aktivitas pemulung di lokasi penelitian kemudian dianalisis secara deskriptif-kualitatif sesuai dengan landasan teori yang terkait.
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA
4.1
Lokasi dan Keadaan Wilayah Desa Sawah merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan
Ciputat, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten. Luas daerah desa Sawah adalah 267,6 ha dengan luas pemukiman 261 ha; luas kuburan 1,7 ha; perkantoran 1,4 ha dan luas prasarana umum lainnya adalah 3,5 ha. Wilayah Desa Sawah sebelah utara berbatasan dengan Desa Kedaung, sebelah timur berbatasan , Desa Sawah Baru, sebelah barat berbatasan dengan Desa Cempaka Putih dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pondok Ranji. Dilihat dari faktor letaknya, jarak Desa Sawah ke kecamatan adalah 1,5 kilometer dengan waktu tempuh selama 10 menit, sedangkan jarak dari Desa Sawah ke ibukota kabupaten adalah 32 kilometer dengan waktu tempuh 1 jam 30 menit. Kondisi jalan yang menghubungkan antara Desa Sawah dengan Ibukota Kabupaten cukup baik. Alat transportasi antar desa dan kecamatan yang dapat digunakan adalah angkutan umum (angkot) ataupun sepeda motor (ojeg), dan becak. Alat transportasi yang dapat digunakan untuk ke ibukota adalah alat transportasi umum seperti angkot ataupun bis umum antar kota. Untuk mencapai kantor Kecamatan Ciputat, rute angkutan yang dapat ditempuh dari
Desa Sawah adalah melalui angkutan Pondok Aren-Ciputat,
Ciledug-Ciputat dan Jombang-Ciputat. Untuk mencapai Ibukota Tangerang, rute yang dapat ditempuh dari Desa Sawah adalah Ciputat-Pondok Aren dilanjutkan Pondok Aren-Serpong, atau Ciputat-Muncul, lalu dilanjutkan Muncul-Serpong
kemudian Serpong-Kali Deres, dan dilanjutkan dengan angkot menuju Pasar Anyar, Tangerang. Melihat jarak yang tidak terlalu jauh dengan didukung jalan yang baik dan jalan bebas hambatan (tol), serta kemudahan penggunaan alat transportasinya, akses untuk keluar desa menuju pusat kota termasuk mudah dijangkau. Ketersediaan angkutan relatif banyak dan mudah untuk diakses oleh penduduk karena angkutan tersebut selalu ada setiap saat. Topografi Desa Sawah berupa dataran dengan suhu rata-rata 29°C. Dengan curah hujan sebanyak 2.000/2.500 mm membuat tanah di desa ini memiliki tingkat kesuburan yang sedang. Mengenai pemulung, Pemulung tinggal di Kampung sawah RT 004/RW 07 bersama bosnya (pemilik lapak). Lapak tersebut berjumlah lima buah berada dalam kawasan pemukiman penduduk. Lapaknya berbeda besar kecilnya, disesuaikan dengan jumlah omset yang dicapai setiap bulannya dan jumlah anak buah (baik pemulung maupun pekerja tetap). Pemulung tinggal dalam bedeng yang berada dalam lapak bosnya. Pemulung kurang berinteraksi dengan masyarakat sekitar namun bos mereka (pemilik lapak) berinteraksi dengan warga sekitar. Keberadaan pemulung di Kampung Sawah sudah ada sejak tahun 1990an. Diawali oleh keberadaan Pak Udin sebagai pengumpul barang bekas. Pemilik lapak pertama adalah lapak milik Ibu Sunarsih (istri Pak Wahid) yang mempunyai anak buah dan mendirikan bedengan untuk tempat tinggal pemulung. Kemudian dilanjutkan dengan pemilik lapak lainnya seperti Pak Purnomo, Pak Sudarto, Ibu Isnen, dan Ibu wiwi. Lapak milik Ibu Wiwi adalah lapak terbaru yang ada di Kampung Sawah, baru sekitar 5 bulan (Sejak awal tahun 2008).
4.2
Karakteristik Penduduk Keadaan kependudukan Desa Sawah dapat dilihat dari jumlah penduduk
desa seluruhnya, jumlah kepala keluarga, jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dan golongan umur. Gambaran mengenai hal tersebut tersaji pada tabel 2. Tabel 2
Jumlah Penduduk Desa Sawah, Kecamatan Ciputat Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, 2008 Umur Jenis Kelamin Jumlah Laki-Laki Perempuan 0-4 1679 1542 3221 5-9 940 947 1887 10-14 789 883 1672 15-19 795 933 1728 20-24 1098 821 1919 25-29 1134 1046 2180 30-34 899 754 1653 35-39 642 601 1243 40-44 475 509 984 45-49 491 395 886 50-54 332 387 719 55-59 329 332 661 60-64 281 296 577 65-69 326 212 538 Jumlah 10.210 9.658 19.868
Sumber: Data Monografi Desa Sawah, 2008
Jumlah penduduk di Desa Sawah sampai akhir Februari 2008 mencapai 19.859 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 10.210 jiwa dan perempuan sebanyak 9.658 jiwa. Dilihat dari mutasi penduduknya, menurut data monografi Desa 2008, jumlah penduduk yang lahir sebanyak 22 jiwa dengan bayi laki-laki yang lahir berjumlah 12 orang dan perempuan berjumlah 10 jiwa. Jumlah penduduk yang meninggal sebanyak empat orang (tiga orang laki-laki dan satu orang perempuan). Jumlah penduduk Desa Sawah yang pindah sebanyak 38 orang (laki-laki 16 orang dan perempuan berjumlah 21 orang). Jumlah penduduk yang datang ke Desa Sawah sebanyak 35 orang (laki-laki 20 orang dan perempuan berjumlah 15 orang).
Berdasarkan monografi desa, agama yang dianut oleh penduduk Desa Sawah adalah mayoritas beragama Islam (94 persen), sisanya adalah agama kristen (2,84 persen), Katolik (1,74 persen), Hindu (0,72 persen) dan Budha (0,7 persen). Suku bangsa yang mendiami desa ini cukup beragam. Sebagian besar berasal dari Betawi dan Jawa sisanya adalah dari suku lain diluar Betawi dan Jawa termasuk etnis Cina (155 orang) dan etnis India (empat orang). Mata pencaharian penduduk Desa Sawah pada umumnya adalah buruh swasta sebanyak 10.264 orang, pegawai negeri 842 orang, pengrajin tujuh orang, pedagang 1056 orang, penjahit 37 orang, tukang batu 212 orang, peternak sembilan orang, montir 65 orang, dokter sembilan orang, sopir 52 orang, pengemudi becak delapan orang, TNI/polri 12 orang dan pengusaha sebanyak 10 orang. Tidak ada warga Desa Sawah berprofesi sebagai petani ataupun nelayan. Adapun informasi mengenai profesi pemulung tidak terdapat dan tidak tercatat di Desa Sawah. Dikarenakan pemulung tidak tercatat sebagai warga Desa Sawah yang sah menurut aparat desa. Tingkat pendidikan penduduk di Desa Sawah cukup beragam dimana penduduk terbanyak tamatan SLTP berjumlah 6.205, lalu dilanjutkan dengan tamatan SLTA sebanyak 5.732, tamatan SD sebanyak 3.0165, penduduk yang lulus D-1 sebanyak 235 orang, penduduk yang lulus D-2 berjumlah 137 orang, penduduk yang lulus D-3 berjumlah 172 orang, penduduk yang lulus S-1 berjumlah 1.231 orang, pendudk yang lulus S-2 sebanyak 106 orang, penduduk yang lulus S-3 35 orang. Selain itu, terdapat pula penduduk yang pernah sekolah SD tetapi tidak tamat berjumlah 232 orang, penduduk yang belum sekolah
berjumlah 755 orang dan sisanya adalah penduduk usia 7-45 tahun tetapi tidak sekolah.
4.3
Fasilitas Umum Fasilitas umum yang terdapat di Desa Sawah berupa prasarana air bersih,
prasarana olah raga, prasarana pendidikan, prasarana peribadatan, prasarana kesehatan dan prasarana perekonomian. Sumber air minum utama yang digunakan berasal dari air tanah melalui sumur pompa sebanyak 3.436 unit dan sumur gali sebanyak 26 unit. Di Desa Sawah tidak terdapat danau ataupun sungai untuk memenuhi kebutuhan air minum. Selain itu, warga juga tidak menggunakan air PAM (Perusahaan Air Minum). Di Desa Sawah terdapat delapan lapangan sepakbola dan delapan lapangan voli. Terdapat pula lapangan bulu tangkis sebanyak 15 buah, lapangan basket sebanyak tiga buah dan lapangan tenis sebanyak dua buah. Warga desa sangat menyukai olahraga sehingga lapangan yang terdapat di Desa Sawah sangat dijaga dan dirawat dengan baik. Olahraga sepakbola biasanya dimainkan oleh laki-laki dan voli dimainkan oleh perempuan. Jumlah prasarana pendidikan di Desa Sawah cukup banyak dimana terdapat Taman Kanak-kanak (TK) berjumlah enam buah, SD berjumlah enam buah, SLTP berjumlah lima buah, SLTA sebanyak satu buah. Selain itu juga terdapat Taman Pendidikan Alquran sebanyak 15 buah dan lembaga pendidikan kelembagaan sebanyak tiga buah namun satu diantaranya mengalami kerusakan.
Tempat peribadatan yang terdapat di Desa Sawah hanya Masjid sebanyak 11 buah dan mushola sebanyak 33 buah. Tidak terdapat tempat peribadatan agama lain. Dalam kegiatan keagamaan, penduduk Desa Sawah cukup banyak yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah majelis taklim yang aktif. Fasilitas kesehatan yang terdapat di Desa Sawah berupa satu buah puskesmas, 20 buah posyandu, satu toko obat dan dua unit tempat dokter praktek. Pada umumnya, masyarakat sudah mempercayai dokter untuk menangani permaslahan kesehatan mereka. posyandu yang berjumlah 20 unit yang tersebar di setiap rukun warga masih berjalan dengan akif. Pada program posyandu yag dijalankan tidak semua keluarga pemulung yang mempunyai balita mengikuti program ini. Sarana perekonomian di Desa Sawah antara lain terdapat satu unit koperasi, empat unit industri makanan, tiga unit industri mebel, delapan usaha perdagangan.
Selain
itu,
terdapat
usaha-usaha
kecil
yang
mendukung
perekonomian seperti warung makan yang berjumlah 20 buah, kios kelontong sebanyak 112 buah, bengkel sebanyak 9 buah, tiga buah Toko/Swalayan dan satu buah percetakan.
BAB V GAMBARAN UMUM PEMULUNG
5.1 Pembahasan Gambaran Umum Responden Gambaran umum responden (pemulung) dimaksudkan untuk lebih memperjelas dan memperkaya informasi yang diperoleh peneliti. Gambaran umum yang dijelaskan berupa informasi mengenai faktor internal pemulung; faktor eksternal pemulung; tempat tinggal terakhir sebelum di lapak; pindah lokasi (lapak); pekerjaan di daerah asal; alasan meninggalkan daerah asal; keterampilan yang dimiliki oleh pemulung; modal yang dibawa ketika meninggalkan daerah asal; pekerjaan yang dilakukan sebelum menjadi pemulung; alasan memilih pekerjan memulung. Secara umum di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah RT 004/07, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat terdiri dari lima lapak yang besarnya berbeda-beda. Dimana dalam setiap lapaknya terdapat seorang pemilik lapak (bos) dan memiliki jumlah pemulung (anak buah) yang berbeda-beda. Kemudian dilakukan pengundian secara acak dan terpilih tiga lapak. Lapak yang terpilih adalah lapak Ibu Wahid, Lapak Ibu Isnen dan Lapak Ibu Wiwi. Lapak Ibu Wahid mempunyai pemulung sebanyak 17 orang, lapak Ibu Isnen mempunyai pemulung sebanyak 13 orang dan lapak Ibu Wiwi mempunyai pemulung sebanyak tujuh orang. Dari ketiga lapak tersebut jumlah pemulung sebanyak 37 orang namun, ada tiga responden yang berada dibawah umur (belum berusia 15 tahun) sehingga responden penelitian berjumlah 34 orang.
5.2
Faktor Internal Pemulung Di bawah ini akan diuraikan mengenai faktor internal pemulung. Faktor
internal adalah faktor yang ada dalam diri individu dalam hal ini pemulung seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama bekerja dan status pernikahan. Untuk lebih jelasnya akan disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3
Faktor Internal Pemulung di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008
Faktor Internal Pemulung 1. Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan 2. Usia Muda (15-38 tahun) Tua (>38 tahun) 3. Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA 4. Lama Bekerja < 1 tahun 1-5 tahun > 5 tahun 5. Status Pernikahan Menikah Belum Menikah Jumlah
5.2.1
Jumlah (orang)
Persen
26 8
76,4 23,6
27 7
79,4 20,6
3 15 9 7
8,9 44,1 26,5 20,5
10 15 9
29,4 44,1 26,5
16 18 34
47,1 52,9 100
Jenis Kelamin Berdasarkan hasil kuisioner diperoleh gambaran bahwa profesi pemulung
ternyata lebih banyak digeluti oleh laki-laki dibanding dengan perempuan. Dari keseluruhan responden sebanyak 76,4 persen pemulung adalah laki-laki dan 23,6 persen pemulung adalah perempuan, seperti yang tertera pada Tabel 3.
Persentase terbesar berada pada laki-laki karena adanya pandangan bahwa laki-laki harus bekerja mencari nafkah. Bila perempuan menjadi pemulung adalah membantu pekerjaan laki-laki bisa suaminya ataupun keluarganya seperti ayahnya atau kakaknya. Tidak ada perempuan yang secara mandiri bekerja menjadi pemulung. Seperti yang di katakan oleh seorang responden : ” Di kampung sawah sangat jarang perempuan terjun langsung menjadi pemulung, kalau ada paling cuma bantu-bantu aja. Tapi kalo di Cibubur banyak perempuan yang langsung terjun jadi pemulung. Mereka malah enak banyak yang merhatiin”(Ami/ 27thn).
5.2.2 Usia Pemulung Keseluruhan responden penelitian dikategorikan dalam dua kelompok usia, yaitu usia muda dan usia tua. Usia pemulung paling banyak pada usia muda (15-38 tahun) yaitu 76,4 persen sedangkan kategori tua (> 38 tahun) yaitu 23,6 persen. Usia yang tertua di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah adalah 62 tahun dan yang termuda adalah 12 tahun namun usia dibawah umur tidak dijadikan responden. Responden dengan usia 15-38 tahun merupakan usia yang terbanyak dibanding dengan rentang usia yang lainnya. Hal ini dikarenakan, banyaknya pemulung usia muda yang baru berdatangan dari kampung dan menekuni profesi pemulung. Usia yang diatas 38 tahun bukan berarti responden tersebut sudah lama menekuni profesi pemulung. Bahkan ada yang baru memulai menekuni pekerjaan tersebut, alasan dari responden tersebut seperti kata responden dibawah ini: ” ibu mah baru mulai jadi pemulung, belum ada satu tahun. Sebenarnya suami ngelarang tapi ibu bandel aja, daripada diem aja di rumah gak ngapa-ngapain mending jadi pemulung dapet nambah-nambah uang belanja” (Nya/50thn).
Dari tujuh orang pemulung yang usianya diatas 38 tahun, ada dua orang yang menekuni profesi ini cukup lama bahkan ada yang sudah 20 tahun lebih. Alasan mereka berbeda dalam mempertahankan pekerjaan memulung ini. Ada karena sudah malas mengganti pekerjaan atau karena tidak ada modal untuk memulai usaha baru.
5.2.3 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh responden penelitian memiliki variasi. Berdasarkan definisi operasional yang digunakan dalam penelitian, tingkat pendidikan responden dikategorikan menjadi tidak sekolah, SD, SMP,dan SMA. Berdasarkan hasil kuisioner sebagian besar pemulung (44,1 persen) berpendidikan sampai SD kemudian 26,5 persen pemulung berpendidikan SMP, 20,5 persen pemulung berpendidikan SMA dan yang tidak mengecap bangku pendidikan sebesar 8,9 persen. Walaupun pemulung ada yang berpendidikan hingga jenjang SMA mereka lebih memilih menjadi pemulung dikarenakan pekerjaan pemulung tidak memerlukan persyaratan tertentu dan tidak perlu berfikir berat dalam bekerja namun hanya menggunakan fisik saja. Seperti yang dikatakan oleh responden: ”Pemulung adalah pekerjaan yang bebas, tidak diperintah oleh siapa pun dan tidak perlu berfikir “gak perlu pake otak” Keuntungan menjadi pemulung adalah pekerjaannya bebas, sesuai dengan kemampuan dan kemauan diri, menghasilkan uang, tidak perlu memakai modal “ (Apo/31 th). Pernyataan yang berbeda diutarakan oleh pemulung yang lainnya. Pemulung yang tamat SD menyatakan bekerja sebagai pemulung karena telah mencoba mencari pekerjaan namun karena tamatan SD tidak diterima. Rendahnya
pendidikan yang dimiliki oleh responden membuat mereka tidak dapat bekerja di toko atau pabrik-pabrik. Bila menjadi buruh tani atau bangunan, pekerjaannya tidak menentu sehingga mereka lebih memilih menjadi pemulung karena pemulung pekerjaan yang mendatangkan uang sesuai dengan hasil usaha yang dilakukan. Banyaknya pemulung yang berpendidikan SD baik tamat atau tidak tamat memperkuat hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Birkbeck (1976) mengatakan bahwa pendidikan pemulung itu rendah dan hanya sedikit yang mencapai jenjang sekolah menengah pertama (SMP). Hal tersebut berbeda dari hasil penelitian di lapangan bahwa pemulung tidak selalu berpendidikan rendah, karena ada pemulung yang berpendidikan SMA. Salah satu responden mengatakan bahwa sekarang ini pemulung dilakukan oleh semua orang dan sarjana pun ada yang menjadi pemulung.
5.2.4 Lama bekerja Profesi pemulung sudah dilakoni oleh responden dengan sangat beragam ada yang menekuni kurang dari satu tahun dan ada pula yang menekuni lebih dari 20 tahun. Berdasarkan hasil kuisioner, para pemulung sebanyak 44,1 persen telah bekerja menjadi pemulung sekitar 1-5 tahun. Sebanyak 29,4 persen pemulung bekerja kurang dari satu tahun dan sisanya 26,5 persen telah bekerja lebih dari lima tahun. Pemulung yang bekerja kurang dari satu tahun adalah pemulung yang baru datang dari kampung dengan usia yang masih relatif muda 18-20 tahun. Pemulung yang di pemukiman Kampung Sawah sudah ada yang bekerja menjadi pemulung
hampir 20 tahun. Anak-anaknya pun sudah ada yang mengikuti jejaknya menjadi pemulung. Pemulung sebesar 29,4 persen adalah pemulung yang bekerja kurang dari satu tahun. Hal ini bisa dikatakan pekerjaan memulung masih relatif baru bagi sebagian dari mereka dan hal ini dapat diartikan bahwa profesi ini semakin banyak diminati.
5.2.5 Status Pernikahan Responden penelitian yang berjumlah 34 orang memiliki status pernikahan yang berbeda-beda. Dalam definisi operasional dikategorikan menikah dan belum menikah. Berdasarkan hasil dari kuisioner diperoleh hasil bahwa sebanyak 52,9 persen pemulung atau sebanyak 18 orang responden mempunyai status belum menikah dan sebanyak 16 orang responden (47,1 persen) mempunyai status menikah. Banyaknya pemulung yang belum menikah dikarenakan, pemulung tersebut banyak yang masuk dalam usia muda (rata-rata berumur 20 tahun) walaupun terdapat pemulung yang usianya telah mencapai 31 tahun belum menikah. Jumlah pemulung yang masuk dalam usia muda pun rata-rata adalah laki-laki (bujangan) yang masih mencari pengalaman kerja di kota. Alasan sebagian besar dari mereka, belum siap untuk bekeluarga karena harus memikul tanggung jawab yang besar dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
5.3 Daerah Asal Pemulung. Berdasarkan kuisioner diperoleh hasil bahwa daerah asal pemulung yang menjadi responden dalam penelitian ini cukup beragam. Paling banyak (32,4 persen) atau 11 responden berasal dari Banjarnegara, kemudian berasal dari Bogor berjumlah tujuh orang (20,7 persen), Karawang berjumlah lima orang (14,8 persen). Sisanya berasal dari berbagai daerah seperti Rangkas, Brebes, Wonosobo, Subang, Medan, Banten dan Indramayu. Pemulung yang terdapat di Pemukiman pemulung Kampung Sawah tidak hanya berasal dari Pulau Jawa saja, tetapi ada yang berasal dari Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4
Jumlah Pemulung Menurut Daerah Asalnya, di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008
Daerah Asal Indramayu Bogor Karawang Rangkas Banjarnegara Sukabumi Kalimantan Banten Wonosobo Brebes Subang Medan Total
Banyaknya
Jumlah 2 7 5 1 11 2 1 1 1 1 1 1 34
pemulung
dari
Banjarnegara
Persen 5,9 20,7 14,8 2,9 32,4 5,9 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 100
dikarenakan
hubungan
kekerabatan. Hal ini sesuai dengan informasi yang diberikan pemilik lapak, bahwa banyaknya pemulung yang masih baru dikarenakan diajak oleh pemulung yang telah senior. Oleh karena itu, ada indikasi bahwa semakin banyak orang yang
bekerja pada profesi pemulung, karena ada relasi yang bekerja sebelumnya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh seorang responden. Berikut pernyataannya: “Di sumatera utara, selesai lulus STM saya membuka usaha bengkel kecil-kecilan namun usaha tersebut bangkrut sehingga dia pindah ke Jakarta dan bekerja di bengkel cuci mobil namun bengkelnya mengalami kebangkrutan. Akhirnya saya mengikuti teman. Satu-satunya orang yang dikenal dengan baik di Jakarta. Oleh temannya di ajak tinggal di salah satu lapak dan bekerja sebagai pemulung.”(Rob/27th). Tidak sedikit pemulung juga yang mengajak saudaranya untuk berprofesi pemulung seperti yang diutarakan oleh seorang responden: “Saya adalah orang Banjarnegara yang pertama jadi pemulung, ngapain malu jadi pemulung. Pekerjaannya halal ko, kita tidak mencuri. Sekarang mah jadi banyak orang Banjarnegara jadi pemulung termasuk adik saya dan paman saya. Saya ajakin mereka jadi pemulung. Walaupun beda lapak, Pemulung yang kampung Banjarnegara ya pasti kenal saya” (Ami/27thn).
5.4
Tempat Tinggal Terakhir Pemulung Berdasarkan hasil kuisioner diperoleh hasil bahwa pemulung sebanyak 14
orang responden langsung pergi ke kota menjadi pemulung karena tempat tinggal terakhir adalah desa kelahirannya sedangkan sebanyak 32,4 persen mempunyai riwayat bekerja dibidang lainnya sebelum menjadi pemulung karena tempat tinggal terakhir bukan dilapak namun tetap dikota. Sisanya sebanyak 26,4 persen atau sembilan orang pemulung tinggal di lapak lain, dengan kata lain sudah cukup lama bekerja menekuni profesi memulung. Tabel 5
Jumlah Pemulung Menurut Tempat Tinggal Terakhir, di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008
Tempat Tinggal Terakhir Di Kampung Lapak Lain Non Lapak Tetapi di Kota Total
Jumlah 14 9 11 34
Persen 41,2 32,4 26,4 100
Dari tempat tinggal terakhir responden yang berada di lapak lain maka dapat terlihat bahwa sebagian besar responden (55,6 peresn) atau sebanyak lima orang telah berpindah lapak sebanyak dua kali, sisanya responden hanya satu kali atau tiga kali Namun ada satu responden (11,1 persen) yang telah berpindah lapak enam kali. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 6. Tabel 6 Jumlah Pemulung Menurut Intensitas Pindah Lapak, di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008 Intensitas Pemulung Pindah Lapak 1 kali 2 kali 3 kali 6 kali Total
Jumlah 1 5 2 1 9
Persen 11,1 55,6 22,2 11,1 100
Bagi pemulung pindah-pindah lapak bukanlah hal yang mengherankan asalkan tidak mempunyai hutang maka pemulung bebas pindah lapak. Alasan pemulung pindah lapak karena sudah tidak nyaman dengan aturan yang ditetapkan bos (pemilik lapak) atau karena ada tawaran baru yang lebih memberikan keuntungan lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjan memulung merupakan pekerjaan yang tidak terikat. Mereka bebas akan tinggal pada lapak mana. Lama atau tidaknya pemulung mengabdi kepada bosnya (pemilik lapak) tergantung dari fasilitas yang diberikan oleh bos (Ameriani, 2006).
5.5 Pekerjaan Pemulung di Daerah Asal Berdasarkan hasil kuisioner diketahui bahwa dua orang responden tidak memberikan jawaban atas pertanyaan bagaimanakah pekerjaan di daerah asalnya
karena kedua responden sebelumnya tidak pernah bekerja apapun. Menjadi pemulung di kota adalah pekerjaan pertamanya. Dari 32 orang responden, sebagian besar responden (56,2 persen) mengatakan pekerjaan di daerah asal biasa saja, 28,2 persen mengatakan pekerjaan di daerah asal menguntungkan dan sebanyak 15,6 persen mengatakan pekerjaan di daerah asal tidak menguntungkan.
Tabel 7 Jumlah Pemulung Menurut Pekerjaan di Daerah Asal, di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008 Pekerjaan di Daerah Asal Menguntungkan Biasa Saja Tidak Menguntungkan Total
Jumlah 9 18 5 32
Persen 28,2 56,2 15,6 100
Sebagian besar responden (56,2 persen) atau sebanyak 18 orang responden mengatakan pekerjaan di daerah asal biasa saja dalam arti hanya cukup untuk makan sehari-hari. Seperti yang dikatakan oleh seorang responden : ”Pekerjaaan saya dikampung cuma tani, dibilang untung juga enggak, tidak untung juga gak yah biasa-biasa aja. Di desa kan pengen apa-apa tinggal ngambil tapi ya gak bisa beli macemmacem gak kayak dikota, bisa beli macem-macem (Ate/19th)” Sebanyak sembilan orang responden (28,2 persen) mengatakan pekerjaan di daerah asal menguntungkan, namun ada beberapa penyebab yang mengharuskan responden meninggalkan daerah asal. Seperti yang diungkapkan salah satu responden: “Pekerjaan saya sebagai petani sebenarnya sangat menguntungkan sekali. Cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan membiayai anak sekolah namun karena istri saya meninggal, saya tidak sanggup mengelola sawah sendiri. Tidak ada yang menyiapkan makanan untuk dibawa kesawah, tidak ada yang
menemani ketika di sawah. Maka saya memutuskan pergi ke Jakarta ikut teman menjadi pemulung (Suk/50th). Sisanya lima orang responden (15,6 persen) mengatakan pekerjaan di daerah asal tidak menguntungkan karena menurut penuturan beberapa responden di kampung mereka hanya bekerja sebagai buruh tani atau tukang ojeg yang penghasilannya tidak menentu.
5.6
Alasan Pemulung Meninggalkan Daerah Asal Berdasarkan hasil kuisioner dari 32 responden diketahui bahwa alasan
menjadi pemulung cukup beragam. Peneliti memberikan pertanyaan tertutup guna membatasi keanekaragaman yang diberikan oleh responden. Sebagian besar responden (56,2 persen) alasan meninggalkan daerah asal adalah menginginkan perbaikan hidup, sebanyak 31,3 persen mengatakan bahwa penghasilan tidak mencukupi kebutuhan, sebanyak 9,3 persen mengatakan bahwa untuk mendapatkan prestise dari masyarakat dan sebanyak 3,2 persen mengatakan bahwa alasan meninggalkan daerah asal karena bencana alam. Seperti yang tertera pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8
Jumlah Pemulung Menurut Alasan Meninggalkan Pekerjaan Di Daerah Asal, Mei 2008
Alasan Penghasilan Tidak Mencukupi Kebutuhan Bencana Alam Prestise dari Masyarakat Menginginkan Perbaikan Hidup Total
Jumlah 10 1 3 18 32
Persen 31,3 3,2 9,3 56,2 100
Hasil yang diperoleh adalah sebagian besar responden yang berjumlah 18 orang (56,2 persen) mengemukakan bahwa alasan menjadi pemulung adalah
menginginkan perbaikan hidup. Mereka menganggap bila bekerja di kota apapun pekerjaannya dapat memperbaiki hidup, karena di kota perputaran uangnya cepat sehingga setiap pekerjaan dapat langsung memperoleh penghasilan tidak seperti di desa yang harus menunggu panen untuk mendapatkan keuntungan. Sebanyak 10 orang responden (31,3 persen) mengemukakan bahwa alasan mereka memilih menjadi pemulung adalah penghasilan di daerah asal tidak mencukupi kebutuhan. Mereka berharap dengan bekerja di kota mendapatkan penghasilan yang besar sehingga cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Alasan lain yang dikemukakan oleh tiga orang pemulung (9,3 persen), mereka meninggalkan pekerjaan di daerah asal adalah untuk mendapat prestise di daerah asal. Mereka (responden) beranggapan bahwa apapun pekerjaannya ketika pulang ke kampung dan membawa uang maka mereka menjadi orang yang dihormati oleh orang sekampungnya dan mereka dikatakan telah berhasil bekerja di kota.
5.7 Keterampilan yang Dimiliki Pemulung Berdasarkan hasil kuisioner diperoleh hasil sebagian besar pemulung atau sebanyak 27 orang (79,4 persen) menjawab tidak memiliki keterampilan apapun ketika di desanya dan ketika di kota juga tidak pernah mengikuti kursus keterampilan. Hanya sebesar (20,6 persen) pemulung atau tujuh orang saja yang pernah mengikuti keterampilan, baik ketika di desanya ataupun ketika mereka telah berada di kota. Seperti yang tertera dalam Tabel 9 dibawah ini.
Tabel 9
Jumlah Pemulung Menurut Pelatihan Keterampilan yang Pernah Diikuti, di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008
Pelatihan Keterampilan Ya Tidak Total
Jumlah 7 27 34
Persen 20,6 79,4 100
Dari ke tujuh pemulung yang pernah mengikuti keterampilan dua diantaranya adalah wanita dan sisanya sebanyak lima orang adalah laki-laki. Keterampilan yang pernah diikuti antara lain membuat kerajinan dari sabun (satu orang wanita), pelatihan komputer (satu orang laki-laki), keterampilan menjahit (satu orang wanita), keterampilan mengemudi (satu orang laki-laki), teknik mesin (dua orang laki-laki) dan keterampilan dalam bidang mebeul (satu orang lakilaki). Keterampilan yang dimiliki oleh ke tujuh orang responden tidak diterapkan lagi, mereka lebih memilih menjadi pemulung karena berbagai alasan. Beberapa alasan diantaranya adalah dengan menjadi pemulung saja sudah dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari tanpa harus mengeluarkan kemampuan telalu keras. Selain itu, pemulung yang mempunyai keterampilan menjahit sebenarnya ingin memanfaatkan keterampilan yang dimilikinya namun karena tidak adanya modal maka keinginan tersebut tidak dapat terealisasi. Hal lain yang diutarakan pemulung yang mempunyai kemampuan mengemudi, menjadi sopir sangat melelahkan daripada menjadi pemulung. Pendapatan dari sopir tidaklah terlalu besar namun harus menguras fisik maka ia lebih memilih menjadi pemulung namun terkadang bila ada tawaran suka dilakukannya juga.
5.8 Modal yang Dimiliki Pemulung Berdasarkan hasil kuisioner diperoleh hasil bahwa sebagian besar pemulung (47,1 persen) atau berjumlah 16 orang ketika meninggalkan daerah asal tidak membawa modal sama sekali. Sebanyak 38,2 persen menjawab bahwa modal yang dibawa kurang Rp.200.000, sebanyak 8,9 persen mengatakan bahwa modal yang mereka bawa sekitar antara Rp.200.000-Rp.500.000 dan sebanyak 5,8 persen mengatakan bahwa modal yang mereka bawa di atas Rp.500.000.
Tabel 10 Jumlah Pemulung Menurut Modal yang Dimiliki Pemulung, di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008 Modal Tidak Ada Modal < Rp. 200.000 Rp. 200.000-Rp. 500.000 Rp> Rp. 500.000 Total
Jumlah 16 13 3 2 34
Persen 47,1 38,2 8,9 5,8 100
Sebanyak 16 reponden mengatakan tidak membawa modal ketika pergi ke kota. Mereka hanya modal nekat dan keberanian saja. Selanjutnya 38,2 persen atau sebanyak 13 orang pemulung membawa modal kurang dari Rp 200.000 untuk sekedar biaya transportasi. Bahkan ada yang hanya membawa beras sebanyak 30 kg. Mereka tidak memikirkan akan tinggal dimana karena mereka yakin bila ada usaha pasti bisa bertahan hidup. Dan sisanya beragam seperti sebanyak tiga orang pemulung (8,9 persen) membawa modal antara Rp.200.000-Rp.500.000. Selain itu sebanyak dua orang responden (5,8 persen) membawa modal diatas Rp.500.000 karena mereka butuh uang untuk bertahan hidup sebelum mereka dapat pekerjaan atau dijadikan uang simpanan bila sewaktu-waktu dibutuhkan.
5.9 Pekerjaan yang Dilakukan Sebelum Menjadi Pemulung Berdasarkan hasil kuisioner diperoleh hasil bahwa sebesar 70,6 persen atau sebanyak 24 responden mengatakan pernah bekerja sebelum akhirnya menggeluti profesi pemulung. Sisanya sebanyak 29,4 persen responden atau berjumlah 10 orang mengatakan tidak pernah bekerja sebagai apapun sebelum menjadi pemulung. Seperti yang dapat dilihat dalam Tabel 11 di bawah ini Tabel 11 Jumlah Pemulung Menurut Pernah atau Tidaknya Bekerja Sebelum Menjadi Pemulung, di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008 Pernah atau Tidaknya Bekerja Ya Tidak Total
Jumlah 24 10 34
Persen 70,6 29,4 100
Pekerjaan yang pernah dilakukan oleh responden sebelum akhirnya memutuskan menjadi pemulung merupakan pekerjaan pada sektor informal diantaranya kuli bangunan (tujuh orang), berdagang (empat orang), kondektur (dua orang), sales (dua orang), sopir (dua orang), pembantu rumah tangga (dua orang), buruh pabrik (dua orang), satpam (satu orang), dan montir bengkel (satu orang). Namun ada seorang pemulung yang awalnya menjadi guru berikut penuturannya: “Profesi awal saya adalah guru dan kepala sekolah di madrasah ibtidaiyah di Cisaat, Sukabumi. Selama menjadi guru yang pendapatan saya tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga, saya pun mulai berternak dan budidaya ikan koi. Usaha saya mengalami kemajuan, saya sempat mempunyai tanah 5 ha, masjid dan sekolah. Namun saya tidak memiliki waktu untuk istirahat sehingga saya jatuh sakit dan akhirnya seluruh harta yang telah dikumpulkannya dijual untuk biaya berobat. Kemudian saya ke Jakarta dan menjadi pemulung. Pekerjaan pemulung yang seperti ini sudah cukup, untuk makan sehari-hari terpenuhi bahkan saya
bisa mengirimi kedua anak saya yang sedang berada di pesantren setiap bulannya” (Las/55thn)
5.10
Alasan Memilih Menjadi Pemulung Berdasarkan hasil kuisioner diperoleh hasil yang cukup beragam alasan
responden akhirnya memilih menjadi pemulung seperti pada tabel. Sebanyak 11 orang pemulung (32,4 persen) mengatakan bahwa alasan mereka memilih menjadi pemulung adalah tidak memerlukan syarat. Selain tu, sebanyak 11 orang pemulung pun (32,4 persen) mengatakan bahwa alasan mereka menjadi pemulung adalah tidak mendapatkan pekerjan lain di kota. Sebanyak tujuh orang pemulung (20,5 persen) mengatakan bahwa alasan mereka memilih menjadi pemulung adalah adanya relasi yang bekerja sebelumnya dan sisanya sebanyak lima orang pemulung (14,7 persen) mengatakan bahwa alasan mereka memilih menjadi pemulung karena tidak terikat oleh apapun. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 12.
Tabel 12 Jumlah Pemulung Menurut Alasan Memilih Menjadi Pemulung, di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008 Alasan Tidak Memerlukan syarat Tidak Terikat Oleh Apapun Ada Relasi Yang Bekerja Sebelumnya Tidak Mendapat Pekerjaan Lainnya Total
Jumlah 11 5 7 11 34
Persen 32,4 14,7 20,5 32,4 100
Seperti yang dikatakan oleh seorang responden mengenai alasannya memilih menjadi pemulung : “Keputusan menjadi pemulung berdasar kemauannya sendiri tanpa ada paksaan atau ajakan dari siapa pun. Saya berfikir bahwa menjadi pemulung adalah pekerjaan yang bebas, tidak
diperintah oleh siapa pun dan tidak perlu berfikir “gak perlu pake otak” Keuntungan menjadi pemulung adalah pekerjaannya bebas, sesuai dengan kemampuan dan kemauan diri, menghasilkan uang, tidak perlu memakai modal “ (Apu/31 th).
5.11 Pesepsi Masyarakat Mengenai Nilai Kerja Pemulung Untuk mengetahui persepsi masyarakat yang sebenarnya terhadap nilai kerja pemulung, maka diadakan wawancara dengan kuisioner. Responden adalah warga masyarakat RT004/RW07 yang hidup berdampingan dengan pemulung. Responden sebanyak 30 orang dipilih secara acak. Dimana hasil dari kuisioner dianalisis dengan menggunakan tabel frekuensi untuk melihat persebaran persepsi masyarakat. Dari keseluruhan responden yang terdiri dari 30 orang. Sebanyak 53,3 persen adalah perempuan dan sebanyak 46,7 persen adalah laki-laki. Hal ini tidak menunjukan perbedaan jenis kelamin yang terlalu signifikan. Usia responden cukup beragam dimana hampir separuh atau 50 persen responden berusia dalam kisaran umur 23-36 tahun. Sisanya sebanyak 36,7 persen berkisar diumur 37-50 dan 13,3 persen berkisar diumur 51-65 tahun. Tingkat pendidikan responden beragam namun responden sebanyak 56,7 persen berpendidikan SMU kemudian dilanjutkan dengan tingkat pendidikan SMP sebanyak 33,3 persen, SD sebanyak 6,7 persen dan sarjana sebesar 3,3 persen. Jenis pekerjaan responden pun sangat beragam namun didominasi oleh ibu rumah tangga sebanyak 43,4 persen kemudian wiraswasta sebanyak 23,3 persen sisanya adalah di bidang jasa, guru, atlet, kader posyandu, karyawan bahkan pengangguran.
Dari keberagaman karakteristik responden masyarakat, hasil dari kuisioner dapat dilihat bahwa 66,7 pesen menilai pekerjaan pemulung positif dan sebanyak 33,3 persen masyarakat menilai pekerjaan Pemulung negatif. Seperti yang terlihat pada Tabel 13 di bawah ini. Tabel 13
Sebaran Responden Masyarakat Berdasarkan Persepsinya terhadap Nilai Kerja Pemulung, di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008
Persepsi Masyarakat Terhadap Nilai Kerja Pemulung Positif Negatif Total
Jumlah 20 10 30
Persen 66.7 33.3 100
Berdasarkan hasil kuisioner, terlihat bahwa sebagian besar masyarakat (66,7 persen) menilai positif pekerjaan pemulung dikarenakan saat ini susahnya mencari pekerjaan terutama di kota sehingga menjadi pemulung pun merupakan pekerjaan yang dapat menghasilkan uang. Pemulung menurut masyarakat merupakan pekerjaan yang halal. Pemulung yang berada di lingkungan masyarakat tidak menganggu atau tidak meresahkan warga. Pemulung pun tidak membuat kotor lingkungan. Tidak sedikit juga warga yang secara tidak langsung diberi pekerjaan oleh pemilik lapak (bos pemulung) yaitu menjadi supir antar barang ataupun yang lainnya. Masyarakat menilai bahwa pemulung akan semakin banyak karena semakin sulitnya mencari pekerjaan dan peluang untuk menjadi pemulung sangat mudah.
Apalagi
didukung
oleh
semakin
banyaknya
lapak-lapak
yang
bermunculan. Masyarakat yang menilai negatif terhadap nilai kerja pemulung ada sekitar 33,3 persen dikarenakan pekerjaan pemulung tidak etis dilakukan karena rentan
terhadap penyakit dan pekerjaan yang kotor. Selain itu, keberadaan pemulung yang tidak legal membuat lingkungan sekitar menjadi tidak asri dan terkesan kumuh. Pemulung pun kerap kali tidak mau membaur dengan warga. Pemulung juga dicurigai mengambil barang-barang warga hal ini dikarenakan pemulung suka beroperasi (keliling) pada malam hari. Masyarakat berharap bahwa tidak ada lagi pemulung di wiliyahnya ataupun di Indonesia. Masyarakat mengatakan walaupun mereka tidak menyukai keberadaan pemulung, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah bermunculannya pemulung baru atau lapak baru karena pemulung mempunyai pelindung (penyokong) yaitu orang yang berpengaruh (pejabat setempat). Masyarakat mengatakan kehadiran pemulung di wilayahnya tidak meminta izin terlebih dahulu atau tidak sesuai dengan prosedur semestinya. Hasil
wawancara
dari
kuisioner
dan
wawancara
mendalam
memperlihatkan bahwa persepsi masyarakat terhadap nilai kerja pemulung dipengaruhi oleh intensitas jalinan interaksi yang dilakukan pemulung dan masyarakat. Masyarakat yang menjalin interaksi dengan pemulung dan merasakan manfaat dari keberadaan pemulung memiliki penilaian positif terhadap nilai kerja pemulung. Masyarakat yang tidak menjalin interaksi dengan pemulung dan tidak merasakan manfaat dari pemulung menilai negatif keberadaan pemulung.
5.12 Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah dalam hal ini merupakan aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah. Baik Pemerintah Pusat ataupun Aparat setempat, Dinas Kebersihan, dan Dinas Sosial. Kebijakan yang dibuat pemerintah pusat dan daerah
merugikan pemulung secara langsung. Dalam usaha penanggulangan kaum marginal seperti pemulung, pemerintah menggunakan pendekatan normatif. Departemen Sosial dikategorikan sebagai kelompok gelandangan dan pengemis. Padahal pemulung berbeda dengan gelandangan dan pengemis. Keberadaan pemulung dianggap menganggu kebersihan, keindahan, ketertiban, kenyamanan dan keamanan masyarakat. Seringkali mereka dipukuli atau diusir dari tempat mereka mencari nafkah, tanpa memberikan solusi yang terbaik bagi mereka (Chandrakirana & Sadoko, 1994). Selain itu, pemulung terkadang mengalami diskriminasi oleh pemerintah dalam mengurus administrasi ataupun surat keterangan tidak mampu. Lingkungan pemulung dianggap termasuk salah satu pemukiman kumuh, tak lepas dari Perda No.11/1988 tentang keindahan, keamanan, kenyamanan, kebersihan dan menciptakan ibukota yang tertib, aman, nyaman, bersih dan indah, dan Perda No.1/1996 tentang kependudukan, yang pada intinya kedua perda tersebut dimanfaatkan hanya untuk menindas masyarakat miskin dan melindungi pihak-pihak tertentu (Ameriani, 2006) Bagi Dinas Kebersihan kehadiran pemulung di TPA dinilai menganggu pekerjaan Dinas kebersihan. Masalah tersebut biasanya karena pemulung tidak menaati peraturan yang telah dibuat oleh Dinas Kebersihan (Simanjuntak, 2002). Sebenarnya Dinas Kebersihan juga telah mempunyai rencana untuk mengajak pemulung terlibat dalam menangani sampah namun belum terealisasi. Kebijakan
yang
telah
dilakukan
menurut
Departemen
Sosial
menggunakan cara-cara penanggulangan seperti preventif atau persuasif, represif dan kuratif (Twikromo, 1999) seperti pembinaan terhadap pemulung dalam
bentuk penyuluhan, aksi sosial, pelayanan kesehatan serta peningkatan keterampilan kiranya dapat meningkatkan kinerja pemulung tersebut sehingga suatu saat dapat beralih ke profesi lain yang lebih baik namun menurut responden belum ada pembinaan di Kampung Sawah. Hasil dari wawancara mendalam kepada responden dengan sejumlah informan baik pemilik lapak, aparat desa dan tokoh masyarakat dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah belum menyentuh kehidupan pemulung. Pemulung disatu sisi dianggap bukan sebagai pekerjaan. Pemulung disebut sebagai Activities Not Adequately Defined (Kegiatan yang tidak atau belum jelas dianggap sebagai suatu pekerjaan). Keberadaan pemulung di tengah-tengah lingkungan warga masyarakat dikarenakan pemulung menjadi bagian dari lapaknya. Lapak-lapak di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat mendapat perlindungan dari Tantrib Kecamatan Ciputat. Lapak-lapak tersebut dianggap sebagai suatu usaha, namun pemulung yang terdapat di dalamnya tidak dianggap sebagai suatu pekerjaan. Aparat Desa menilai keberadaan pemulung merugikan desa karena membuat lingkungan desa menjadi tidak asri (kumuh). Selama ini pihak desa tidak dapat berbuat banyak untuk menangani keberadaan pemulung. Alasan pertama, karena rasa kemanusiaan, Kedua, jumlah pemulung yang tidak tetap (berfluktuasi) membuat aparat desa sulit melakukan pendataan dan pemulung juga tidak memiliki surat pindah dari desa kelahirannya. Ketiga, karena pemilik lapak meminta izin resmi dari Tantrib Kecamatan Ciputat maka aparat desa harus menyetujuinya juga.
5.13 Ikhtisar Gambaran umum responden (pemulung) dimaksudkan untuk lebih memperjelas dan memperkaya informasi yang diperoleh peneliti. Responden pemulung berjumlah 34 orang merupakan bagian dari tiga lapak. Hasil kuisioner menjelaskan bahwa usia pemulung dominan dalam usia muda (15-38 tahun), jenis kelamin dominan laki-laki, tingkat pendidikan dominan SD walaupun ada tujuh orang yang berpendidikan SLTA, Lama bekerja dominan 1-5 tahun dan pemulung dominan belum menikah. Adapun persepsi masyarakat dominan positif terhadap nilai kerja pemulung. Kebijakan pemerintah lebih banyak merugikan pemulung, bukan membantu ataupun memberikan perlindungan kepada pemulung. Tempat tinggal terakhir sebelum di lapak, paling banyak pemulung berada di desa kelahirannya. Pekerjaan pemulung di daerah asal (desa kelahiran) dominan adalah petani. Alasan pemulung meninggalkan daerah asal lebih banyak dikarenakan menginginkan adanya perbaikan hidup. Separuh pemulung tidak membawa modal ketika meninggalkan daerah asal. Hampir seluruh pemulung (79,4 persen) tidak memiliki keterampilan, namun 70,6 persen pemulung telah mencoba pekerjaan lain sebelum akhirnya menjadi pemulung. Alasan memilih pekerjaan memulung karena pekerjaan ini tidak memerlukan syarat apapun dan tidak mendapat pekerjaan lainnya. Pemulung pindah lapak paling banyak dua kali
BAB VI PERSEPSI PEMULUNG TERHADAP NILAI KERJANYA
Bab ini terdiri dari pembahasan tentang gambaran persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya yang diperinci persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya dimensi prestise dan dimensi ekonomi. Selain itu, juga dibahas hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal dengan persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya.
6.1
Gambaran Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerja Secara keseluruhan dari analisis data yang dilakukan terlihat bahwa
pemulung yang menjadi responden penelitian ini memiliki persepsi terhadap nilai kerjanya tergolong pada kategori positif. Hal ini terlihat pada Tabel 14 dimana 25 orang (73,5 persen) responden termasuk dalam kategori positif ini dan hanya sembilan orang (26,5 persen) yang termasuk kategori negatif. Tabel 14
Sebaran Responden Penelitian di Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat Berdasarkan Persepsi terhadap Nilai Kerja
Kategori A. Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerja A.1 Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerja Dimensi Prestise A.2 Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerja Dimensi Ekonomi
Jumlah Orang
Total
Positif
%
Negatif
%
n
%
25
73,5
9
26,5
34
100
26
76,5
8
23,5
34
100
25
73,5
9
26,5
34
100
Persepsi menurut Pasaribu (1988) dalam Rinaldi (2002) adalah pandangan atau sikap seseorang terhadap sesuatu hal, yang menumbuhkan informasi atau kekuatan dorongan atau tekanan yang menyebabkan seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu kegiatan. Responden
yang
persepsinya
positif
terhadap
nilai
kerjanya
menggambarkan bahwa menjadi pemulung adalah suatu pekerjaan yang halal dan dapat memenuhi kebutuhan hidup. Memulung dijadikan sebagai pekerjaan yang utama karena dengan kekuatan fisik saja sudah dapat menghasilkan uang. Menjadi pemulung tidak perlu syarat-syarat tertentu, tidak memerlukan modal dan waktu kerja yang dapat disesuaikan. Menurut penuturan responden untuk mendapatkan penghasilan yang besar hanya perlu menambah jam kerja. Responden yang persepsi terhadap nilai kerjanya tergolong negatif menggambarkan bahwa penilaian mereka terhadap nilai kerja pemulung merupakan sesuatu hal yang sebenarnya tidak layak untuk dilakukan. Namun, mereka terpaksa melakukannya untuk menyambung hidup mereka karena keterbatasan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki. Mereka tidak mempunyai pilihan lain sehingga tetap memulung. Responden juga mengatakan bila ada pekerjaan yang lebih baik maka mereka akan mengganti pekerjaan tersebut. Mereka juga berkeinginan untuk menjadi wirausaha yaitu membuka warung bila memiliki modal.
6.1.1 Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerja Dimensi Prestise Berdasarkan Tabel 14 responden yang berjumlah 26 orang memiliki persepsi terhadap nilai kerjanya yang tergolong kategori positif untuk dimensi
prestise. Nilai sebesar 76,5 persen menggambarkan bahwa responden (pemulung) menganggap bahwa pekerjaan yang mereka lakukan sudah benar dan halal. Mereka juga beranggapan bahwa menjadi pemulung tidaklah hina, sehingga jumlah pemulung sekarang ini bertambah banyak setiap tahunnya. Profesi pemulung tidak lagi digeluti oleh penduduk yang berpendidikan rendah tetapi yang lulusan SMA pun banyak yang menjadi pemulung. Masyarakat juga telah menerima keberadaan mereka secara baik dan menjalin interaksi sosial dengan baik. Pemulung secara prestise terlihat rendah karena melakukan pengumpulan barang bekas yang dinilai sudah tidak layak dan kotor, namun dari situlah terdapat sejumlah barang yang dapat ditukarkan dengan sejumlah uang yang cukup menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Responden yang memandang bahwa pekerjaan pemulung merupakan hal yang negatif dilihat dari dimensi prestise karena pandangan dari sebagian masyarakat yang memandang pekerjaaan memulung itu hina dan tidak manusiawi walaupun sebenarnya dari memulung terdapat pendapatan yang dinilai pemulung cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Mangiang et al. (1979) “Usaha lapak, meskipun merupakan usaha yang memberikan keuntungan relatif besar, tetap saja dianggap usaha yang tidak mengandung prestise artinya aktivitas usaha ini merupakan aktivitas yang tergolong marginal karena terkesan kumuh dan kotor”.
6.1.2 Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerja Dimensi Ekonomi Berdasarkan Tabel 14 responden yang berjumlah 25 orang memiliki persepsi terhadap nilai kerjanya yang tergolong kategori positif untuk dimensi
ekonomi. Nilai sebesar 73,5 persen menggambarkan bahwa responden (pemulung) menganggap bahwa pekerjaan memulung merupakan kegiatan yang menghasilkan pendapatan (uang). Pemulung selalu diidentikkan oleh kaum yang miskin, namun penelitian di Cali Colombia memaparkan bahwa pemulung merupakan suatu pekerjaan dan pendapatan mereka jauh lebih besar dari buruh pabrik (Birkbeck, 1976). Tetapi tetap saja walaupun penghasilan lebih tinggi dari buruh pabrik namun mereka dalam situasi yang berbeda. Pemulung merupakan bagian dari kejelian dan kegigihan seseorang melihat peluang dan mau bekerja keras yang di dukung ekonomi kota yang memberikan kemungkinan lebih besar bagi para anggota rumah tangga miskin untuk mengakses peluang kerja di sektor informal kota. Pendapatan pemulung tergantung dari banyaknya hasil pulungannya. Jadi setiap pemulung mempunyai pendapatan yang berbeda tergantung seberapa gigih pemulung berusaha (Mangiang et al. 1979). Pemulung merupakan ujung tombak dari rantai daur ulang barang bekas karena masih banyak jalur hingga barang bekas tersebut sampai di pabrik (Lampiran 4). Perputaran uang dalam rantai daur ulang sangat besar dan sangat menjanjikan bagi orang-orang yang dapat melihat peluang dari barang bekas. Responden yang berjumlah sembilan orang memiliki persepsi terhadap nilai kerjanya yang tergolong kategori negatif untuk dimensi ekonomi. Nilai sebesar 26,5 persen menggambarkan bahwa responden (pemulung) menganggap bahwa pekerjaan memulung mereka lakukan karena tidak ada pilihan lain. Keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh pemulung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Birkbeck (1976) ”... bahwa pemulung adalah
sekelompok orang yang terpaksa melakukan pekerjaan memulung barang bekas karena tidak ada pekerjaan yang dapat mereka lakukan”.
6.2 Hubungan Faktor Internal dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya. Tabel 15 Faktor Internal dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerja di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008 Faktor Internal
Persepsi Pemulung Terhadap Nilai Kerja Positif
Total
Negatif
N
%
N
%
n
%
Usia Muda (15-38 tahun) Tua (>38 tahun) X2 hitung = 0,672
19 6
70,4 85,7
8 1
29,6 14,3
27 7
100 100
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan X2 hitung = 0,654
20 5
76,9 62,5
6 3
23,1 37,5
26 8
100 100
Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA Tidak dapat diuji
3 8 9 5
100 53,3 100 71,4
7 2
46,7 28,6
3 15 9 7
100 100 100 100
Lama Bekerja < 1 tahun 1-5 tahun > 5 tahun X2 hitung = 4,650
9 9 7
90 56,3 87,5
1 7 1
10 43,7 12,5
10 16 8
100 100 100
11
68,8
5
31,2
16
100
14
77,8
4
22,2
18
100
25
73,5
9
26,5
34
100
Status Pernikahan Menikah Belum Menikah X2 hitung = 0,355 Total
Di bawah ini akan diuraikan tentang hubungan antara faktor internal dengan persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 15. Hubungan antar variabel dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan tabulasi silang dan uji Chi-square untuk mengecek kesesuaian data secara lebih akurat.
6.2.1 Usia Pemulung dengan Pesepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa pemulung dalam kategori usia muda sebanyak 70,4 persen mempunyai persepsi yang positif terhadap nilai kerjanya sedangkan sebesar 29,6 persen pemulung yang persepsinya negatif. Pemulung dalam kategori usia tua memiliki persepsi positif terhadap nilai kerjanya sebesar 85,7 persen sedangkan sebesar 14,3 persen pemulung yang persepsinya negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pemulung baik usia muda maupun tua memiliki persepsi yang positif terhadap nilai kerjanya. Hasil uji Chi-square terlihat bahwa X2 hitung = 0,672 dengan dB = 1 nilainya lebih kecil dari X2 tabel = 3,841 sehingga terima H0. Padahal agar terdapat hubungan pada α = 0,05 maka X2 hitung harus lebih besar dari X2 tabel. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara usia pemulung dengan persepsi terhadap nilai kerjanya. Untuk pemulung dalam kategori usia muda memandang bahwa menjadi pemulung merupakan hal yang positif karena mereka bekerja atas kemauan sendiri dan tanpa paksaan dari siapa pun. Mereka bekerja untuk mencari pengalaman dan
kebebasan. Selain itu, menjadi pemulung tidaklah perlu
keterampilan tertentu, tidak mengeluarkan modal, mereka hanya perlu menyiapkan fisik saja. Mereka juga mengatakan bahwa menjadi pemulung lebih
enak daripada menjadi buruh karena tidak ada aturan yang mengikat dan penghasilan yang diperoleh juga cukup untuk memenuhi kebutuhan. Pemulung dalam kategori usia tua memandang bahwa menjadi pemulung merupakan hal yang positif karena pemulung telah menjadi sumber nafkah utama untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, karena keterbatasan kemampuan serta
keterampilan yang mereka miliki, mengumpulkan barang bekas adalah
penyelamat untuk bisa bertahan di kota. Seperti yang dikatakan oleh seorang responden: ” Pekerjaan pemulung yang seperti ini sudah cukup, untuk makan sehari-hari terpenuhi bahkan saya bisa mengirimi kedua anak saya yang sedang berada di pesantren setiap bulannya” (La/55thn) Pemulung juga menganggap bahwa karena kemudahan untuk menjadi bagian dalam industri daur ulang menjadikan segala usia dapat memasukinya. Usia seseorang tidak membatasi untuk mengumpulkan barang pulungan. Menjadi pemulung bukanlah hal yang susah hanya perlu kemauan dan tidak malu dengan pekerjaannya.
6.2.2 Jenis Kelamin dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa pemulung yang berjenis kelamin laki-laki memiliki persepsi yang positif terhadap nilai kerjanya sebesar 76,9 persen sedangkan sebesar 23,1 persen pemulung yang persepsinya negatif. Pemulung yang berjenis kelamin perempuan memiliki persepsi positif terhadap nilai kerjanya sebesar 62,5 persen sedangkan sebesar 37,5 persen pemulung yang
persepsinya negatif. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kelamin baik perempuan dan laki-laki memiliki persepsi yang dominan positif terhadap nilai kerjanya. Hasil uji Chi-square terlihat bahwa X2 hitung = 0,654 dengan dB = 1 nilainya lebih kecil dari X2 tabel = 3,841 sehingga terima H0. Padahal agar terdapat hubungan pada α = 0,05 maka X2 hitung harus lebih besar dari X2 tabel. Hal ini menjelaskan bahwa pemulung yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan mempunyai persepsi positif terhadap nilai kerjanya. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya. Pekerjaan pemulung tidak memandang jenis kelamin siapa pun dapat memasukinya dan melakukan pekerjaan tersebut. Walaupun pekerjaan pemulung dianggap pekerjaan laki-laki, namun saat ini sudah banyak perempuan yang melakukan pekerjaan tersebut. Pemulung perempuan menilai pekerjaan memulung merupakan hal positif, karena dengan mereka mencari bahan pulungan, mereka dapat menambah pendapatan
untuk
kebutuhan
berdiam diri di rumah saja
sehari-hari. Mereka beranggapan lebih baik
mencari
kegiatan
daripada
yang dapat
menghasilkan pendapatan. Pekerjaan yang mudah dilakukan saat ini adalah memulung. Mereka dapat mencari barang bekas setelah semua pekerjaan rumah diselesaikan. Dengan melakukan hal tersebut, mereka menganggap lebih bermanfaat. Mereka tidak peduli dengan anggapan miring tetangga/masyarakat mengenai pekerjaaan memulung. Pemulung laki-laki bahwa menganggap bahwa pekerjaannya memulung menjadi sumber nafkah yang utama. Mereka dapat menggantungkan hidupnya
dari memulung. Menurut mereka pemulung bukanlah pengangguran atau pekerjaan yang dilakukan untuk mengisi waktu luang. Walaupun pemulung tidak mempunyai jam kerja yang tetap. Hal tersebut dikarenakan mereka telah mengetahui waktu terbaik untuk mencari barang bekas. Pemulung laki-laki dan perempuan menganggap pekerjaan mereka bukanlah hal yang hina, walaupun terlihat
pekerjaan yang
kotor
namun
disanalah sumber uang mereka. Terkadang mereka mendapat penghasilan yang jauh lebih besar dari buruh. Pendapatan sehari-hari dari hasil memulung kurang lebih sama dengan buruh. Mereka menilai pekerjaan memulung jauh lebih baik daripada buruh atau yang lainnya karena mereka dapat leluasa mengatur jam kerjanya.
6.2.3 Tingkat Pendidikan dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa pemulung yang tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah memiliki persepsi yang positif terhadap nilai kerjanya sebesar 100 persen. Pemulung yang tingkat pendidikannya hanya sampai SD memiliki persepsi positif terhadap nilai kerjanya sebesar 53,3 persen, sedangkan sebesar 46,7 persen pemulung yang persepsinya negatif terhadap nilai kerjanya. Seluruh pemulung (100 persen) yang tingkat pendidikannya sampai jenjang SMP memiliki persepsi positif terhadap nilai kerjanya. Pemulung yang tingkat pendidikanya sampai jenjang SMA/sederajat memiliki persepsi positif terhadap nilai kerjanya sebesar 71,4 persen dan memiliki persepsi negatif sebesar
28,6 persen. Hal ini menunjukkan bahwa apapun latar belakang tingkat pendidikan responden, mereka tetap memandang positif pekerjaannya. Pemulung tidak setuju bila dikatakan bahwa untuk menjadi pemulung tidak perlu pendidikan yang tinggi. Pemulung sebanyak 64,7 persen mengatakan tidak setuju bila dikatakan pemulung berpendidikan rendah. Karena saat ini telah banyak lulusan SMA menjadi pemulung bahkan sudah ada sarjana yang bekerja menjadi pemulung. Pemulung di Kampung Sawah ada tujuh orang yang berpendidikan hingga jenjang SMA namun mereka lebih memilih menjadi pemulung dikarenakan pekerjaan pemulung tidak memerlukan persyaratan dan tidak perlu menggunakan otak dalam bekerja namun hanya menggunakan fisik saja. Seperti yang dikatakan oleh responden: ”Pemulung adalah pekerjaan yang bebas, tidak diperintah oleh siapa pun dan tidak perlu berfikir “gak perlu pake otak” Keuntungan menjadi pemulung adalah pekerjaannya bebas, sesuai dengan kemampuan dan kemauan diri, menghasilkan uang, tidak perlu memakai modal “ (Apu/31 th). Berdasarkan hasil kuisioner, sebanyak 47,1 persen pemulung mengatakan tidak setuju bila tamatan SMA menjadi pemulung, sedangkan sebanyak 26,5 persen pemulung mengatakan setuju bila tamatan SMA menjadi pemulung karena sulitnya mencari pekerjaan saat ini maka menjadi pemulung adalah hal yang paling mudah dilakukan dan menghasilkan uang. Mereka tidak peduli dengan tanggapan orang lain mengenai pekerjaan memulung, selama mereka masih mencintai pekerjaannya hal tersebut akan tetap mereka melakukannya. Sisanya sebanyak 26,4 persen pemulung mengatakan ragu-ragu untuk seorang yang
tamatan SMA menjadi pemulung karena
pekerjaan memulung merupakan
pekerjaan yang halal dan mengurangi jumlah pengangguran namun disis lain sebenarnya sangat disayangkan bila tamatan SMA menjadi pemulung.
6.2.4
Lama Bekerja dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya Berdasarkan hasil kuisioner dapat terlihat bahwa pemulung yang bekerja
kurang dari satu tahun yang memiliki persepsi positif terhadap nilai kerjanya ada sebesar 90 persen sedangkan sebesar 10 persen pemulung yang persepsinya negatif terhadap nilai kerjanya. Pemulung yang telah bekerja dalam rentang waktu 1-5 tahun dan memiliki persepsi yang positif terhadap nilai kerjanya sebesar 56,3 persen sedangkan sebesar 43,7 persen pemulung yang persepsinya negatif terhadap nilai kerjanya. Pemulung yang telah bekerja mengumpulkan barang bekas diatas lima tahun dan memiliki persepsi yang positif terhadap nilai kerjanya ada sebesar 87,5 persen sedangkan sebesar 12,5 persen pemulung yang memiliki persepsi negatif. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang bekerja baik kurang satu tahun ataupun lebih dari lima tahun memiliki persepsi yang dominan positif terhadap nilai kerjanya. Hasil uji Chi-square terlihat bahwa X2 hitung = 4,650 dengan dB = 2 nilainya lebih kecil dari X2 tabel = 5,991 sehingga terima H0. Padahal agar terdapat hubungan pada α = 0,05 maka X2 hitung harus lebih besar dari X2 tabel. Hal ini dapat disimpulkan bahwa lama bekerja tidak berhubungan dengan persepsi pemulung mengenai nilai kerjanya.
Adanya anggapan bahwa lamanya seorang pemulung menekuni pekerjaan memulung menjadi pemulung malas pindah pekerjaan dibantah oleh 64,7 persen pemulung. Mereka mengatakan bahwa menjadi pemulung adalah kegiatan yang menghasilkan uang dan menyenangkan namun bila ada kesempatan mereka ingin mengganti pekerjaan yang sesuai dengan keinginan mereka. Seperti yang diceritakan oleh seorang responden: ” Bapak telah menjadi pemulung sudah 20 tahun, sebenarnya hati nurani pengennya kembali megelola sawah. Tapi modal sudah gak ada lagi, menjadi pemulung pun sebenarnya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Kalau boleh memilih, pengennya tani aja di kampung (Suk/50 thn)”. Pemulung sebesar 35,3 persen mengatakan bahwa pekerjaan pemulung yang sekarang ini sudah sangat enak dan membuat mereka malas mengganti pekerjaan. Mereka berfikir, pekerjaan yang baru belum tentu enak seperti yang sekarang mereka jalani dan belum tentu mereka mampu melakukan pekerjaan sebaik pekerjaan memulung. Mereka juga beranggapan bila melepaskan pekerjaan memulung dan mencoba yang baru takut terjadi kegagalan yang merugikan mereka nantinya.
6.2.5
Status Pernikahan dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya Berdasarkan Tabel 15 diatas memperlihatkan bahwa pemulung yang telah
menikah dan mempunyai persepsi nilai kerja yang positif ada sekitar 68,8 persen, sedangkan sebesar 31,2 persen pemulung yang persepsinya negatif terhadap nilai kerjanya. Pemulung yang belum menikah dan memiliki persepsi positif terhadap nilai kerjanya ada sebesar 77,8 persen sedangkan sebesar 22,2 persen pemulung
yang persepsinya negatif terhadap nilai kerjanya. Hal ini menunjukkan bahwa pemulung baik yang sudah menikah ataupun belum menikah dominan memiliki persepsi yang positif. Hasil uji Chi-square terlihat bahwa X2 hitung = 0,355 dengan dB = 1 nilainya lebih kecil dari X2 tabel = 3,841 sehingga terima H0. Padahal agar terdapat hubungan pada α = 0,05 maka X2 hitung harus lebih besar dari X2 tabel. Hal ini dapat disimpulkan bahwa status pernikahan tidak berhubungan dengan persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya. Hal ini disebabkan mereka yang sudah menikah harus mempunyai penghasilan pokok untuk menghidupi keluarganya, sehingga mereka tetap mempertahankan pekerjaannya sebagai pemulung walaupun banyak diantara pemulung
yang
menilai
negatif
pekerjaannya
tersebut.
Mereka
tetap
mempertahankan profesinya karena keterbatasan sumber daya yang dimilikinya. Pemulung yang belum menikah lebih cenderung menilai pekerjaan memulung sebagai pekerjaan yang positif dan dapat dijadikan pekerjaan utama karena para pemulung banyak yang menyadari bahwa bekerja memulung merupakan pekerjaan yang menyenangkan dan tentunya menghasilkan. Dalam arti menjadi pemulung hanya mengandalkan fisik saja yang kuat, tidak memerlukan syarat-syarat tertentu, tidak memerlukan modal dan memiliki waktu kerja yang dapat disesuaikan dengan keinginan.
6.3 Hubungan Faktor Eksternal dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya. Faktor eksternal yaitu faktor yang berada di luar diri individu. Faktor eksternal yaitu stimulus dan lingkungan (Walgito, 1978 dalam Damayanti, 2007).
Dalam penelitian ini, yang menjadi faktor eksternal adalah persepsi masyarakat terhadap nilai kerja pemulung dan kebijakan pemerintah. Persepsi masyarakat terhadap nilai kerja pemulung dan kebijakan pemerintah diduga peneliti mempunyai hubungan dengan nilai kerjanya. Untuk menganalisis hubungan tersebut, peneliti menggunakan tabulasi silang dan uji Chi-square.
Tabel 16 Faktor Eksternal dengan Persepsi Pemulung Terhadap Nilai Kerja di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008 Faktor Eksternal Persepsi Masyarakat Positif Negatif X2 hitung = 0,650 Kebijakan Pemerintah Positif Negatif X2 hitung = 0,645 Total
Persepsi Pemulung Terhadap Nilai Kerja Positif Negatif n % n %
Total n
%
15 10
78,9 66,7
4 5
21,1 33,3
19 15
100 100
5
3 6
37,5 23,1
8
20
62,5 76,9
26
100 100
25
73,5
9
26,5
34
100
6.3.1 Persepsi Masyarakat terhadap Nilai Kerja Pemulung dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai kerjanya Persepsi Masyarakat Terhadap Nilai Kerja Pemulung dalam penelitian ini dinilai oleh pemulung itu sendiri. Persepsi masyarakat mengenai nilai kerja pemulung dibedakan menjadi dua yaitu persepsi positif dan persepsi negatif. Persepsi masyarakat terhadap nilai kerja pemulung dipengaruhi oleh seringnya interaksi yang dilakukan antara pemulung dan masyarakat, keuntungan atau kerugian yang didapatkan masyarakat mengenai keberadaan pemulung dan
pengetahuan serta informasi yang diketahui masyarakat mengenai kehidupan atau nilai kerja pemulung. Berdasarkan Tabel 16 terlihat bahwa persepsi positif masyarakat yang dinilai oleh pemulung yang berhubungan dengan persepsi positif pemulung terhadap nilai kerjanya sebesar 78,9 persen sedangkan pemulung yang menilai negatif terhadap nilai kerjanya ada sebesar 21,1 persen. Persepsi masyarakat yang dinilai negatif oleh pemulung yang berhubungan dengan persepsi positif pemulung mengenai nilai kerjanya ada sebesar 66,7 persen sedangkan persepsi pemulung yang negatif ada sebesar 33,3 persen. Hasil uji Chi-square terlihat bahwa X2 hitung = 0,650 dengan dB = 1 nilainya lebih kecil dari X2 tabel = 3,841 sehingga terima H0. Padahal agar terdapat hubungan pada α = 0,05 maka X2 hitung harus lebih besar dari X2 tabel. Kesimpulannya tidak ada hubungan antara persepsi masyarakat terhadap nilai kerja pemulung dengan persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya. Hal ini dikarenakan bahwa pemulung memandang pekerjaan memulung merupakan hal yang positif. Adanya anggapan positif atau negatif dari masyarakat mengenai pekerjaan mereka tidak menjadi persoalan. Mereka menganggap mereka melakukan apa yang mereka anggap baik. Dari memulunglah mereka dapat hidup dengan baik, bukan dari bantuan orang lain. Seperti kata seorang responden : ” Ya, terserah aja neng, orang mau bilang pekerjaan kita kayak gemana. Mau dibilang baik ya syukur, dibilang jelek juga gak papa. Yang tau pekerjaan kita kan ya kita sendiri. Memulung halal ko, kita kerja bukan ngemis. Kalo ada yang bilang pemulung itu kotor, hina ya terserah. Kalo kita gak kerja, gak ada uang, emang ada yang mau nolongin kita. Dari mulung aja udah bisa menuhin kebutuhan sehari-hari”. (Ami/28Thn)
Sebagian besar pemulung yang menganggap persepsi masyarakat positif terhadap pekerjaannya menyatakan bahwa masyarakat sangat baik kepada mereka. Masyarakat tidak mempermasalahkan pekerjaan sebagai pemulung, terkadang juga membantu pekerjaan pemulung. Antara pemulung dan masyarakat mempunyai hubungan yang hangat yaitu tetap dapat berinteraksi dan bertetangga dengan baik. Pemulung tidak dibedakan karena pekerjaannya dan tetap diakui sebagai bagian dari rukun warga. Berikut penuturan seorang responden: ” Masyarakat disini pada baik ko mbak, waktu anak saya yang kecil masuk rumah sakit, warga yang membuatkan saya surat miskin. Padahal saya gak punya KTP sini. Untung banget deh mbak, kalo gak saya bagaimana bayarnya ”(Wiw/28th). Hal tersebut didukung pula oleh pernyataan dari masyarakat setempat yang mengakui pemulung sebagai suatu pekerjaan yang mendatangkan pendapatan dan merupakan pekerjaan yang halal. Pemulung yang berada di lingkungan masyarakat tidak menganggu atau tidak meresahkan warga serta tidak membuat kotor lingkungan karena mereka menaruh kumpulan barang bekas dalam lapaknya. Tidak sedikit juga warga yang secara tidak langsung diberi pekerjaan oleh pemilik lapak (bos pemulung) yaitu menjadi supir antar barang ataupun yang lainnya. Masyarakat menilai bahwa pemulung akan semakin banyak karena semakin sulitnya mencari pekerjaan dan peluang untuk menjadi pemulung sangat mudah.
Apalagi
didukung
oleh
semakin
banyaknya
lapak-lapak
yang
bermunculan. Adanya dukungan dari masyarakat sekitar mengenai pekerjaan mereka, membuat pemulung menilai lebih positif pekerjaannya tersebut. Pemulung
menjadi tidak malu mengenai pekerjaannya sebagai mengumpulkan barang bekas. Pemulung menjadi semakin terbuka dan mengakui pekerjaannya. Walaupun ada penilaian bahwa memulung adalah pekerjaan yang kotor dan hina, dinilai pemulung sebagai suatu resiko dari pekerjaannya. Pemulung beranggapan bahwa tidak semua orang akan menilai positif terhadap suatu pekerjaan. Mereka berfikir, selama mereka dapat hidup dan tidak menyusahkan orang lain. Mereka akan tetap menjalani profesi itu. Persepsi positif dari masyarakat mengenai pekerjaan memulung ternyata tidak seluruhnya membuat pemulung menjadi menilai positif pekerjaanya. Ada sekitar 21,1 persen pemulung menilai negatif pekerjaannya. Pemulung menganggap bahwa masyarakat menilai positif mengenai pekerjaannya karena masyarakat mendapat keuntungan dari pemulung. Bukan karena mereka mengakui keberadaan dan profesi pemulung tersebut. Mereka menyadari bahwa menjadi pemulung merupakan pekerjaan yang sebenarnya tidak layak, namun mereka harus tetap melakukannya demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seperti yang diungkapkan dalam penelitian Ameraini (2006) bahwa 40 persen pemulung tidak pernah berinteraksi dengan masyarakat karena mereka merasa malu untuk berbicara dengan warga masyarakat. Menurut mereka, orang yang bekerja seperti ini tidak pantas berbicara dengan warga masyarakat yang cenderung mampu dan berpendidikan tinggi. Selain itu, mereka merasa minder dengan cara berbahasa mereka yang cenderung bicara apa adanya. Pemulung mengakui bahwa tidak sedikit masyarakat sekitar yang memandang rendah pekerjaan mereka. Banyak masyarakat yang tidak mau peduli
dengan urusan pemulung. Baik pemulung atau masyarakat tidak pernah berinteraksi secara langsung. Seperti yang dituturkan oleh seorang responden : ” Kalau sama bos mah mereka baik aja, ramah tapi kalu sama kita-kita ya mereka pada cuek. Kita juga mau negur jadi gak enak. Ya udah kita diem aja. Kita gak pernah diajakin acara 17 Agustusan, pengajian atau pas potong kambing. Ya merekamereka aja. Paling suka dikasih sama orang luar kayak dari Komplek disana atau dari Masjid deket Pasar. Malah pernah dari gereja, tiap bulan ngasih kita sembako. Tapi warga pada marah mbak, karena warga gak dapet terus pembagian diberhentiin”. (Din/26th) Tangapan-tanggapan negatif masyarakat seputar kehidupan pemulung seperti dituduh mencuri, dianggap orang gila membuat pemulung kehilangan kepercayaan diri. Pemulung mengatasi persoalan tersebut dengan bersikap cuek dan tidak memikirkan tanggapan miring warga sekitar mengenai mereka. Mereka melakukan sikap membentengi diri dengan menghindar dari ketemu atau interaksi denga warga sekitar. Bertambah banyaknya pemulung sekarang ini juga menjadi semangat bahwa mereka tidak sendiri dan menilai positif pekerjaannya.
6.3.2 Kebijakan Pemerintah dengan Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya . Berdasarkan Tabel 16 terlihat bahwa kebijakan pemerintah yang dinilai positif oleh pemulung dan persepsi positif pemulung ada sebesar 62,5 persen sedangkan persepsi pemulung yang negatif ada sebesar 37,5 persen. Kebijakan pemerintah yang dinilai negatif oleh pemulung dan persepsi positif pemulung terhadap nilai kerjanya sebesar 76,9 persen sedangkan yang persepsi pemulung menjadi negatif ada 23,1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa apapun kebijakan
pemerintah bagi pemulung, mereka tetap memiliki persepsi yang dominan positif terhadap nilai kerjanya. Hasil uji Chi-square terlihat bahwa X2 hitung = 0,645 dengan dB = 1 nilainya lebih kecil dari X2 tabel = 3,841 sehingga terima H0. Padahal agar terdapat hubungan pada α = 0,05 maka X2 hitung harus lebih besar dari X2 tabel. Hal ini memberikan kesimpulan tidak ada hubungan antara kebijakan pemerintah dengan persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya. Kebijakan yang telah dilakukan menurut Departemen Sosial seperti pembinaan terhadap pemulung dalam bentuk penyuluhan, aksi sosial, pelayanan kesehatan serta peningkatan keterampilan kiranya dapat meningkatkan kinerja pemulung tersebut sehingga suatu saat dapat beralih ke profesi lain yang lebih baik. Menurut pemulung, belum ada pembinaan atau pemberian bantuan dari pemerintah.
Pemulung
mengatakan
bahwa
pemerintah
tidak
pernah
memperhatikan nasib pemulung. Berikut pernyataan salah seorang responden: ” Pemerintah atau pihak lain belum pernah ngasih bantuan apalagi pelatihan-pelatihan. Orang raskin aja kita gak dapat mbak. Waktu BLT juga kita gak dapet padahal warga pada dapet, orang yang mampu aja dapet mbak” (Ami/28thn). Menurut Dinas Kebersihan, sebenarnya sudah ada rancangan untuk melibatkan pemulung dalam mengelola sampah namun hal tersebut belum terealisasi karena ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan. Salah satunya bahwa pemulung sulit menuruti aturan atau kesepakatan. Ketika ditanyakan kepada responden, pemulung mengatakan belum pernah diajak untuk melakukan apapun atau bertemu dengan Dinas Kebersihan.
Pemulung sebanyak 88,2 persen mengatakan setuju bila pemulung suatu saat dijadikan Pegawai Dinas Kebersihan. Hal ini mengindikasikan bahwa Pemerintah telah melegalkan pekerjaan pemulung. Pemulung nantinya tidak akan dipandang rendah dan diakui menjadi pekerjaan di sektor jasa. Sebanyak 11,8 persen pemulung mengatakan tidak setuju bila pemulung dijadikan pegawai Dinas Kebersihan. Karena menurut responden, pemulung tidak lagi menjadi pekerjaan yang menyenangkan dan bebas namun harus mengikuti peraturan. Berikut pernyataan salah seorang responden: ” saya mah tidak setuju mbak kalau pemulung jadi pegawai dinas kebersihan, berarti kita harus ngikutin maunya pmerintah. Kita jadi gak bebas lagi, gak bisa istirahat sesuka hati. Mana pasti pakai seragam, kan jadi dikenalin orang mbak. Menjadi pemulung aja udah pekerjaan yang dihina, apalagi pake seragam, semakin banyak orang yang menghina dong. Makin malu aja saya Belum lagi nanti pneghasilannya lebih kecil dari mulung doang.” (Alu/ 29thn) Kebijakan pemerintah lainnya adalah peraturan-peraturan seperti rencana pemerintah untuk melarang warganya menjadi pemulung. Pemulung sebanyak 70,6 persen mengatakan tidak setuju dengan rencana pemerintah untuk melarang warganya menjadi pemulung di Indonesia. Karena selama ini pemerintah tidak memperhatikan nasib rakyat kecil seperti mereka, berarti pemerintah tidak berhak melarang warganya untuk mencari nafkah. Seperti kata salah seorang responden: ” Pemerintah gak bisa begitu aja mau melarang kami jadi pemulung, selama ini kami makan dari mulung. Kalo gak boleh mulung, kami mau makan apa coba. Pemerintah pernah gak ngasih kami bantuan. Gak pernah mbak. Kerja di toko atau pabrik gak mungkin, Cuma mulung yang kerjanya gak ribet dan dapet uang yang lumayan” (Alu/29th) Sisanya
pemulung
mengatakan
setuju
dengan
dengan
peraturan
pemerintah melarang warganya berprofesi sebagai pemulung di Indonesia namun
pemerintah harus memberikan mereka pekerjaan yang baru. Pemulung juga sebenarnya ingin mengganti pekerjaan namun karena keterbatasan keterampilan dan modal mereka tetap bertahan menjadi pemulung.
6.4
Ikhtisar Secara keseluruhan dari analisis data yang dilakukan terlihat bahwa
pemulung yang menjadi responden penelitian ini memiliki persepsi terhadap nilai kerjanya tergolong pada kategori positif baik dari dimensi prestise dan dimensi ekonomi. Hasil tabulasi silang dan uji Chi-square ternyata tidak ada hubungan antara faktor internal yang terdiri dari usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama bekerja, status pernikahan. Selain itu, faktor eksternal yang terdiri dari persepsi masyarakat terhadap nilai kerja pemulung dan kebijakan pemerintah ternyata tidak berhubungan dengan persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya.
BAB VII HARAPAN PEMULUNG DI MASA DEPAN
Bab ini terdiri dari pembahasan tentang gambaran harapan pemulung di masa depan. Selain itu, akan dibahas juga hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal dengan harapan pemulung di masa depan. Harapan pemulung di masa depan terbagi menjadi dua yaitu pertama, pemulung yang ingin tetap mempertahankan profesi pemulung dengan keinginan adanya peningkatan pendapatan meningkat. Dinilai peneliti sebagai harapan yang rendah. Kedua, pemulung yang ingin mengubah mata pencahariaan, yang dinilai peneliti sebagai harapan yang tinggi.
7.1
Gambaran Harapan Pemulung Di Masa Depan Secara keseluruhan dari analisis data yang dilakukan terlihat bahwa
pemulung yang menjadi responden penelitian ini memiliki harapan terhadap masa depannya tergolong pada kategori tinggi. Hal ini terlihat pada Tabel 17 dimana 21 orang (61,8 persen) responden termasuk dalam kategori tinggi dan ada 13 orang (38,2 persen) yang termasuk kategori harapan rendah.
Tabel 17
Sebaran Responden Penelitian Berdasarkan Harapan Pemulung di Masa Depan di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008 Kategori
A. Harapan Pemulung di Masa depan A.1 Harapan Pemulung di Masa depan Dimensi Perubahan Mata Pencaharian A.2 Harapan Pemulung di Masa depan Dimensi Peningkatan Pendapatan
Jumlah Orang
Total
Positif
%
Negatif
%
n
%
21
61,8
13
38,2
34
100
27
79,4
7
20,6
34
100
23
67,6
11
32,4
34
100
Tabel 17 menggambarkan adanya harapan
pemulung terhadap
masa
depannya yang dikategorikan harapan yang tinggi dan rendah. Harapan merupakan suatu keadaan yang menjadi angan-angan, yang diinginkan seseorang supaya terjadi kelak dikemudian hari (Tjakrawati, 1988). Responden yang mempunyai harapan yang tinggi menggambarkan bahwa pemulung menginginkan pekerjaan yang jauh lebih baik dari pekerjaan mereka yang sekarang. Banyak diantara responden yang ingin membuka usaha sendiri seperti warung kelontong atau usaha jasa seperti bengkel. Mereka menyadari bahwa harapan mereka hanya ingin sebatas angan-angan yang belum tentu dapat diwujudkan. Responden yang mempunyai harapan tinggi mengatakan bahwa mereka tidak ingin selamanya menjadi pemulung. Responden yang mempunyai harapan yang rendah menggambarkan bahwa pemulung tidak ingin mengganti pekerjaan. Responden menyadari bahwa keterbatasan kemampuan yang dimilikilah membuat mereka memilih menjadi pemulung. Untuk mengganti pekerjaan mereka mengatakan akan sulit. Harapan mereka hanya tetap dapat bertahan dan tentunya profesi yang mereka lakukan
dapat diakui oleh masyarakat. Harga barang bekas pun naik sehingga pendapatan mereka meningkat. Harapan mereka yang terbesar adalah mereka ingin mempunyai lapak sendiri.
7.1.1
Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Perubahan Mata Pencaharian Dari 34 responden penelitian ini terbagi menjadi kelompok yang kategori
mempunyai harapan yang rendah terhadap harapan pemulung di masa depan dimensi perubahan mata pencaharian ada tujuh orang (20,6 persen) sedangkan responden yang mempunyai harapan tinggi ada sebesar 27 orang (79,4 persen). Responden yang berjumlah 27 orang memiliki harapan yang tinggi mengenai masa depannya dimensi perubahan mata pencaharian. Nilai sebesar 79,4 persen menggambarkan bahwa sebagian besar pemulung mempunyai harapan untuk mengganti profesinya dan berusaha untuk mewujudkan keinginannya tersebut namun tidak sedikit juga yang hanya menjadi angan-angan dan merasa sulit untuk mewujudkannya. Mereka juga menginginkan adanya pelatihan keterampilan sehingga mereka bisa mencoba untuk merubah mata pencaharian yang baru. Responden yang berjumlah tujuh orang memiliki harapan yang rendah mengenai masa depannya dalam merubah mata pencahariannya. Nilai sebesar 20,6 persen menggambarkan bahwa responden pesimis untuk dapat merubah mata pencaharian. Hal tersebut karena mereka takut untuk mencoba sesuatu yang baru. Mereka menjadi pesimis karena keterbatasan keterampilan dan kemampuan yang dimiliki.
7.1.2
Harapan Pemulung Di Masa Depan Dimensi Peningkatan Pendapatan Dari 34 responden penelitian ini terbagi menjadi kelompok yang kategori
mempunyai harapan yang rendah terhadap harapan pemulung di masa depan dimensi peningkatan pendapatan ada sejumlah 11 orang (32,4 persen) sedangkan responden yang mempunyai harapan yang ada sejumlah 23 orang (67,6 persen). Sebaran responden berdasarkan harapan pemulung di masa depan dimensi peningkatan pendapatan seperti Tabel 17. Responden
yang
berjumlah 23 orang memiliki harapan yang tinggi
mengenai masa depannya dimensi peningkatan pendapatan. Nilai sebesar 67,6 persen
menggambarkan
responden
menginginkan
bahwa
mereka
dapat
mempertahankan pekerjaannya dikarenakan kemudahan yang dimiliki sektor ini seperti tidak perlu keterampilan, modal dan syarat-syarat tertentu. Mereka tidak ingin meninggalkan sektor ini karena dengan menjadi pemulunglah mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup. Responden yang berjumlah 11 orang memiliki harapan yang rendah mengenai masa depannya dimensi peningkatan pendapatan. Nilai sebesar 32,4 persen menggambarkan bahwa responden menginginkan adanya perubahan dalam hidupnya. Mereka tidak ingin selamanya menjadi pemulung. Menurut responden bila dapat tawaran pekerjaan yang lebih baik maka akan mengganti pekerjaannya tersebut.
7.2
Hubungan Fakor Internal dengan Harapan Pemulung di Masa Depan
Di bawah ini akan diuraikan tentang kemungkinan adanya hubungan antara faktor internal dengan
harapan pemulung di masa depan. Hubungan antar
variabel dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan tabulasi silang dan ujjui Chi-square.
Tabel 18 Faktor Internal dengan Harapan Pemulung di Masa Depan di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008 Faktor Internal
Harapan Pemulung di Masa Depan Tinggi
Total
Rendah
n
%
n
%
n
%
Muda (15-38 tahun)
15
55,5
12
44,5
27
100
Tua (>38 tahun)
6
85,7
1
14,3
7
100
Laki-Laki
16
57,1
10
42,9
28
100
Perempuan
5
62,5
3
37,5
8
100
Tidak Sekolah
2
66,7
1
33,3
3
100
SD
7
87,5
8
12,5
15
100
SMP
8
88,9
1
11,1
9
100
SMA
4
57,1
3
42,9
7
100
< 1 tahun
8
80
2
20
10
100
1-5 tahun
6
37,5
10
62,5
16
100
> 5 tahun
7
87,5
1
12,5
8
100
Menikah
10
62,5
6
37,5
16
100
Belum Menikah
11
61,1
7
38,9
18
100
21
61,8
13
38,2
34
100
Usia
X2 hitung = 2,141 Jenis Kelamin
X2 hitung = 0,002 Tingkat Pendidikan
X2 hitung = 4,346 Lama Bekerja
2
X hitung = 7,641 Status Pernikahan
2
X hitung = 0,007 Total
7.2.1
Usia Pemulung dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Berdasarkan Tabel 18 terlihat bahwa pemulung dalam kategori usia muda
sebanyak 55,5 persen mempunyai harapan yang tinggi sedangkan pemulung yang mempunyai harapan yang rendah ada sebesar 44,5 persen. Pemulung usia tua memiliki harapan yang tinggi mengenai masa depannya sebesar 85,7 persen sedangkan yang ada sebesar 14,3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pemulung baik yang usia tua maupun muda memiliki harapan yang dominan tinggi. Hasil uji Chi-square terlihat bahwa X2 hitung = 2,141 dengan dB = 1 nilainya lebih kecil dari X2 tabel = 3,841 sehingga terima H0. Padahal agar terdapat hubungan pada α = 0,05 maka X2 hitung harus lebih besar dari X2 tabel. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara usia pemulung dengan harapan pemulung di masa depan. Pemulung usia tua walaupun memiliki harapan yang tinggi namun mereka tidak mau berambisi terlalu tinggi. Mereka ingin dapat mewujudkan harapannya namun, mereka terlalu takut mengambil resiko kalau nantinya hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diinginkan. Seperti kata seorang responden : “ Bapak mah lebih pengen tani aja dikampung daripada kerja jadi pemulung, tapi kesempatan belum ada. Tapi ninggalin mulung juga masih berat, selama ini kita bergantung dari mulung. Kalo mulung dilepas ntar anak-anak gemana. Dalam hati bapak, jiwa petani itu tetap ada neng. Nunggu siap, anak-anak udah bisa mandiri saya mau tani lagi. (Suk/50th) Pemulung yang usianya tua dan memiliki harapan yang rendah karena mereka hanya ingin hidup cukup dan tidak ingin bekerja yang diluar kemampuannya. Mereka juga menyadari usia mereka yang tua menyebabkan mereka tidak mau mengambil resiko buruk dan berambisi mengajar cita-cita.
Pemulung yang usianya muda memiliki harapan yang tidak jauh berbeda antara kategori harapan yang tinggi dan harapan yang rendah. Hal tersebut dikarenakan pemulung yang usianya muda memandang bahwa hidup harus dijalani sebaik mungkin. Mereka masih menikmati profesi yang digeluti walaupun mereka terkadang memikirkan nasib masa depannya. Pemulung usia muda dan memiliki harapan yang tinggi karena mereka tidak ingin selamanya menjadi pemulung, mereka ingin memperbaiki nasib. Menurut responden, bila ada tawaran pekerjaan yang lebih menarik maka mereka akan menerimanya. Bagi pemulung yang usianya muda namun memiliki harapan yang rendah karena mereka melihat banyak keuntungan dari menjadi pemulung sehingga tidak perlu untuk mengganti pekerjaan, mereka hanya ingin pendapatan mereka meningkat.
7.2.2 Jenis Kelamin dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Berdasarkan Tabel 18 terlihat bahwa pemulung yang berjenis kelamin laki-laki mempunyai harapan yang tinggi terhadap masa depannya sebesar 57,1 persen sedangkan yang mempunyai harapan rendah ada sebesar 42,9 persen. Pemulung yang berjenis kelamin perempuan mempunyai harapan yang tinggi terhadap masa depannya sebesar 62,5 persen sedangkan pemulung yang mempunyai harapan yang rendah terhadap masa depannya sebesar 37,5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa responden baik yang jenis kelamin laki-laki maupun perempuan memiliki harapan yang dominan tinggi mengenai masa depannya. Hasil uji Chi-square terlihat bahwa X2 hitung = 0,002 dengan dB = 1 nilainya lebih kecil dari X2 tabel = 3,841 sehingga terima H0. Padahal agar
terdapat hubungan pada α = 0,05 maka X2 hitung harus lebih besar dari X2 tabel. Hal ini menjelaskan bahwa pemulung baik yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan mempunyai harapan yang tinggi mengenai masa depannya. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan harapannya di masa depan. Jenis kelamin tidak memiliki hubungan dengan harapan pemulung di masa depan karena sebagian besar pemulung mengatakan bahwa menjadi pemulung bukanlah keinginan mereka namun nasiblah yang menentukan mereka. Mereka punya harapan yang ingin diwujudkan, walaupun terkadang mereka pasrah terhadap keadaan mereka. Pemulung perempuan mempunyai harapan yang tinggi yaitu ingin mengganti pekerjaan mereka karena mereka menjadi pemulung untuk menambah penghasilan keluarga. Responden berharap mendapat pekerjaan yang tidak terlalu menguras energi seperti membuka warung kelontong. Pemulung laki-laki mempunyai harapan yang tinggi karena mereka berharap dari pekerjaan baru itu mereka dapat hidup lebih baik. Mereka juga ingin mempunyai usaha sendiri, sehingga mereka tidak perlu bergantung dari bos. Seperti yang diungkapkan oleh seorang responden: ”Cita-cita saya ingin buka bengkel motor, biar keahlian saya bisa diterapin. Kan kita juga pengen maju. Kalo sekarang sih, baru angan-angan dulu.duit belum ngumpul. Sekarang saya lagi rajin mulung, sapa tau bisa kekumpul buat buka usaha” (Rob/27th). Tidak sedikit juga dari pemulung yang mempunyai harapan namun pesimis untuk dapat mewujudkannya. Baik pemulung laki-laki dan perempuan yang mempunyai harapan yang rendah yaitu hanya ingin tetap menjadi pemulung dan mendapatkan penghasilan
yang lebih besar. Sebagian dari mereka takut untuk mempunyai cita-cita karena mereka sudah menyadari bahwa cita-cita mereka akan sulit untuk diwujudkan dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Terbatasnya keterampilan membuat mereka sulit untuk mengganti pekerjaan.
7.2.3 Tingkat Pendidikan dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Berdasarkan Tabel 18 terlihat bahwa pemulung yang tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah memiliki harapan yang tinggi mengenai masa depannya sebesar 66,7 persen sedangkan sebesar 33,3 persen pemulung mempunyai harapan rendah mengenai masa depannya. Pemulung yang tingkat pendidikannya hanya sampai SD memiliki harapan yang tinggi mengenai masa depannya sebesar 87,5 persen sedangkan sebesar 12,5 persen pemulung mempunyai harapan yang rendah. Pemulung yang tingkat pendidikannya sampai jenjang SMP memiliki harapan yang tinggi mengenai masa depannya sebesar 88,9 persen sedangkan sebesar 11,1 persen pemulung mempunyai harapan yang rendah.. Pemulung yang mengenyam pendidikan hingga SMA, yang mempunyai harapan yang tinggi mengenai masa depannya sebesar 57,1 persen sedangkan yang mempunyai harapan rendah sebesar 42,9 persen. Berdasarkan penyebaran datanya menunjukkan bahwa responden dengan latar belakang pendidikannya memiliki harapan yang dominan tinggi mengenai masa depannya. Hasil uji Chi-square terlihat bahwa X2 hitung = 4,346 dengan dB = 3 nilainya lebih kecil dari X2 tabel = 7,815 sehingga terima H0. Padahal agar terdapat hubungan pada α = 0,05 maka X2 hitung harus lebih besar dari X2 tabel.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan tidak memiliki hubungan dengan harapan pemulung dimasa depan. Sebagian besar pemulung dengan latar belakang pendidikan yang berbeda mempunyai harapan yang tinggi mengenai masa depannya. Mereka mempunyai harapan untuk dapat mengganti pekerjaan yang lebih baik namun, kesempatan tersebut belum ada. Pemulung yang tidak mengenyam pendidikan formal mengatakan harapan mereka tinggi namun mereka tidak berusaha untuk mewujudkannya. Sebagian lagi dari mereka hanya menjadikan angan-angan yang belum tentu diwujudkannya, mereka masih terlalu takut untuk mengganti atau kehilangan pekerjaan memulung mereka. Pemulung yang mempunyai harapan rendah mengatakan bahwa cita-cita mereka hanya bisa hidup dengan layak. Menurut responden, mereka tidak mempermasalahkan pekerjaan apapun yang penting halal. Penghasilan mereka dari memulung memang tidaklah besar, namun dari memulung mereka telah dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka hanya berharap bahwa pekerjaan pemulung tetap bertahan karena dari memulunglah mereka menggantungkan hidupnya. Mereka juga berharap harga jual barang bekas mereka dinilai lebih sehingga penghasilan mereka dapat bertambah.
7.2.4 Lama Bekerja dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Berdasarkan Tabel 18 terlihat bahwa pemulung yang bekerja kurang dari satu tahun memiliki harapan yang tinggi mengenai masa depannya ada sebesar 80 persen sedangkan pemulung memiliki harapan yang rendah hanya sebesar 20 persen. Pemulung yang telah bekerja dalam rentang waktu 1-5 tahun dan memiliki
harapan yang tinggi mengenai masa depannya sebesar 37,5 persen sedangkan pemulung yang memiliki harapan yang rendah ada sebesar 62,5 persen. Pemulung yang telah bekerja diatas lima tahun memiliki harapan yang tinggi mengenai masa depannya sebesar 87,5 persen sedangkan pemulung yang memiliki harapan yang rendah ada sebesar 12,5 persen. Berdasarkan hasil penyebaran datanya menunjukkan bahwa responden yang bekerja kurang dari satu tahun dan responden yang telah bekerja di atas lima tahun memiliki harapan yang dominan tinggi mengenai masa depannya sedangkan responden yang telah bekerja 1-5 tahun memiliki harapan yang dominan rendah mengenai masa depannya. Hasil uji Chi-square terlihat bahwa X2 hitung = 7,641 dengan dB = 2 nilainya lebih besar dari X2 tabel = 5,991 sehingga tolak H0 pada α = 0,05. Hal ini dapat disimpulkan bahwa lama bekerja berhubungan dengan harapan pemulung mengenai masa depannya. Pemulung yang masih tergolong baru mempunyai harapan yang tinggi terhadap masa depannya. Mereka ingin merubah mata pencahariannya menjadi yang lebih baik. Menurut mereka menjadi pemulung tidaklah buruk namun tidak ada salahnya mencoba sesuatu hal yang baru dan mewujudkan cita-cita. Pemulung yang bekerja kurang satu tahun sekitar 20 persen mengatakan bahwa harapan mereka hanya tetap dapat bertahan dan kuat untuk memulung. Mereka tidak berharap yang terlalu tinggi karena menjadi pemulung sudah menjadi pekerjaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di zaman yang serba sulit ini. Seperti kata seorang responden: ” saya sih tidak muluk-muluk, dari mulung aja udah cukup. Buat apa mikir-mikir ganti pekerjaan segala. Sekarang zaman serba sulit, kalo milih-milih kerjaan mau makan apa nanti. Mending mulung, daripada nganggur ”(Kas/20thn)
Pemulung yang telah bekerja sekitar satu sampai lima tahun lebih banyak mempunyai harapan yang rendah daripada harapan yang tinggi seperti pada Tabel 18. Hal ini dikarenakan mereka telah memutuskan menjadi pemulung adalah hal yang dinilainya baik sampai saat ini. Mereka belum terfikir atau bercita-cita merubah mata pencahariannya. Mereka beranggapan bahwa menjadi pemulung lebih bisa menjadi pegangan hidup karena permintaan akan barang bekas semakin banyak. Seperti kata salah seorang responden: ” saya tidak terfikir untuk bercita-cita mengganti pekerjaan karena saat ini saya hidup dari mulung. Pemulung juga enak, bebas, gak pusing, gak banyak aturan. Pemulung juga jadi dipilih sama orang-orang buktinya jumlah pemulung makin banyak, jadi banyak saingan. Barang bekas kan naik mulu harganya. Harga jual kita juga ikutan naik”. (Ami/28thn) Hal tersebut dikuatkan oleh seorang informan bahwa jumlah pemulung saat ini semakin banyak, begitu juga lapak-lapak yang semakin bertambah jumlahnya. Pemulung juga mengatakan bahwa mereka mengizinkan anaknya atau adiknya mengeluti profesi memulung ini karena menurut mereka menjadi pemulung bukanlah pilihan yang buruk atau hina. Seperti yang dituturkan oleh seorang responden: ”kalo nanti anak saya jadi pemulung, yah gak apa-apa. Saya sih terserah dya aja. Jadi pemulung juga gak hina kok, pekerjaannya halal. Semua pekerjaan sebenarnya sama saja, tergantung bagaimana kita melakukannya mbak”. (Ami/28th) Pemulung sebesar 87,5 persen yang telah bekerja lebih dari lima tahun bahkan ada yang sampai 20 tahun mempunyai harapan yang tinggi. Responden mengatakan bahwa menjadi pemulung adalah nasib namun mereka mempunyai harapan untuk jauh lebih baik. Memiliki pekerjaan yang jauh lebih baik. Bila ada tawaran pekerjaaan yang lebih baik tidak ada salahnya berubah. Tidak sedikit juga
hanya mengatakan bahwa harapan hanya sebatas angan-angan namun anak mereka jangan seperti mereka. seperti penuturan antara salah seorang responden: ” .. walau saya cuma bisa punya angan-angan untuk kerja kantoran, tapi anak saya mah kalo bisa janghan jadi pemulung. Harus kerja jadi orang kantoran, gak usah jalan kaki jauh-jauh, jangan sama kayak bapaknya”. (Alu/35thn)
7.2.5
Status Pernikahan dengan Harapan Pemulung di Masa Depan. Berdasarkan Tabel 18 diatas memperlihatkan bahwa pemulung yang telah
menikah dan mempunyai harapan yang tinggi mengenai masa depannya ada sekitar 62,5 persen dan pemulung yang memiliki harapan yang rendah mengenai masa depannya sebesar 37,5 persen. Pemulung yang belum menikah sebesar 61,1 persen mempunyai harapan yang tinggi mengenai masa depannya sedangkan harapan rendah ada sebesar 38,9 persen. Berdasarkan hasil penyebaran datanya menunjukkan bahwa pemulung yang mempeunyai status menikah ataupun belum menikah memiliki harapan yang dominan tinggi mengenai masa depannya. Hasil uji Chi-square terlihat bahwa X2 hitung = 0,007 dengan dB = 1 nilainya lebih kecil dari X2 tabel = 3,841 sehingga terima H0. Padahal agar terdapat hubungan pada α = 0,05 maka X2 hitung harus lebih besar dari X2 tabel. Maka dapat disimpulkan bahwa status pernikahan tidak berhubungan dengan harapan pemulung di masa depan. Pemulung baik yang sudah menikah ataupun belum menikah lebih banyak yang mempunyai harapan yang tinggi mengenai harapannya dimasa depan. Mereka mempunyai harapan untuk dapat merubah mata pencahariannya walaupun hanya sebatas angan-angan yang belum tentu dapat diwujudkan.
Pemulung
yang
sudah
menikah
mereka
tetap
mempertahankan
pekerjaannya walaupun banyak diantara pemulung yang menilai negatif pekerjaannya tersebut. Mereka tetap mempertahankan profesinya karena keterbatasan sumber daya yang dimilikinya. Pemulung yang belum menikah mengatakan pendapatan pemulung saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri namun bila untuk yang sudah berkeluarga tidak cukup. Mereka juga ingin kebutuhan keluarga mereka nantinya tercukupi dengan layak.
7.3
Hubungan Faktor Eksternal dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Persepsi Masyarakat Terhadap Nilai Kerja Pemulung yang dinilai oleh
pemulung dan kebijakan pemerintah juga dinilai menurut persepsi pemulung. Hubungan antar variabel dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan tabulasi silang. Selain itu, juga digunakan analisis statistika Chi-square untuk mengecek kesesuaian data secara lebih akurat. Tabel 19
Faktor Eksternal dengan Harapan Pemulung di Masa Depan di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008 Harapan Pemulung di Masa Depan
Faktor Eksternal
Tinggi
Total
Rendah
N
%
n
%
n
%
Positif
14
73,7
5
26,3
19
100
Negatif
7
46,7
8
53,3
15
100
Positif
6
75
2
25
8
100
Negatif
15
57,7
11
42,3
26
100
21
61,8
13
38,2
34
100
Persepsi Masyarakat
X2 hitung = 2,591 Kebijakan Pemerintah
X2 hitung = 0,776 Total
7.3.1 Persepsi Masyarakat terhadap Nilai Kerja Pemulung dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Berdasarkan Tabel 19 terlihat bahwa persepsi masyarakat yang dinilai positif oleh pemulung dan pemulung memiliki harapan yang tinggi ada sebesar 73,7 persen sedangkan pemulung yang mempunyai harapan yang rendah ada sebesar 26,3 persen. Persepsi masyarakat yang dinilai negatif oleh pemulung dan pemulung memiliki harapan yang tinggi mengenai masa depannya sebesar 46,7 persen sedangkan harapan pemulung yang rendah mengenai masa depannya sebesar 53,3 persen. Dilihat hasil penyebaran datanya responden yang menilai persepsi masyarakat positif memiliki harapan yang dominan tinggi mengeani masa depannya sedangkan responden yang menilai persepsi masyarakat negatif memiliki harapan hampir seimbang antara harapan tinggi atau rendah mengenai masa depannya. Hasil uji Chi-square terlihat bahwa X2 hitung = 2,591 dengan dB = 1 nilainya lebih kecil dari X2 tabel = 3,841 sehingga terima H0. Padahal agar terdapat hubungan pada α = 0,05 maka X2 hitung harus lebih besar dari X2 tabel. Kesimpulannya tidak ada hubungan antara persepsi masyarakat terhadap nilai kerja pemulung dengan harapan pemulung di masa depan. Harapan masa depan pemulung tidak berhubungan dengan persepsi masyarakat. Responden mengatakan bahwa mereka tidak pernah memperdulikan persepsi masyarakat mengenai nilai kerja atau kehidupan mereka. Menurut responden harapan-harapan mereka atau cita-cita yang mereka miliki bersumber dari hati sendiri tidak dipengaruhi oleh siapapun.
7.3.2 Hubungan antara Kebijakan Pemerintah dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Berdasarkan Tabel 19 terlihat bahwa kebijakan pemerintah yang dinilai positif oleh pemulung dan harapan pemulung yang tinggi ada sebesar 75 persen sedangkan harapan pemulung yang rendah mengenai masa depannya ada sebesar 25 persen. Kebijakan pemerintah yang dinilai negatif oleh pemulung dan harapan pemulung yang tinggi mengenai masa depannya sebesar 57,5 persen sedangkan harapan pemulung yang rendah mengenai masa depannya ada sebesar 42,3 persen. Dilihat hasil penyebaran datanya responden yang menilai kebijakan pemerintah
positif memiliki harapan yang dominan tinggi mengeani masa
depannya sedangkan responden yang menilai kebijakan pemerintah negatif memiliki harapan hampir seimbang antara harapan tinggi atau rendah mengenai masa depannya. Hasil uji Chi-square terlihat bahwa X2 hitung = 0,776 dengan dB = 1 nilainya lebih kecil dari X2 tabel = 3,841 sehingga terima H0. Padahal agar terdapat hubungan pada α = 0,05 maka X2 hitung harus lebih besar dari X2 tabel. Hal ini memberikan kesimpulan tidak ada hubungan antara kebijakan pemerintah dengan harapan pemulung dimasa depan. Kebijakan yang dibuat pemerintah baik dinilai negatif atau positif oleh pemulung tidak mempengaruhi harapan-harapan pemulung mengenai masa depannya. Sebanyak 61,8 persen pemulung mempunyai harapan yang tinggi mengenai masa depannya. Mereka menginginkan merubah mata pencaharian yang jauh lebih baik daripada memulung dan tentunya lebih menguntungkan.
Pemulung yang mempunyai harapan yang rendah takut untuk kehilangan pekerjaan. Sebagian besar dari responden setuju bila pemulung mempunyai gaji yang tetap, sehingga mereka tidak perlu bekerja terlalu keras bila ingin mendapat penghasilan yang lebih.
7.4
Ikhtisar Pemulung memiliki harapan yang tinggi mengenai masa depannya.
Pemulung ingin sejahtera menurut penilaian mereka baik dengan mengganti mata pencaharian ataupun tetap mempertahankan pekerjaannya namun pendapatannya meningkat. Lama bekerja berhubungan dengan harapan pemulung di masa depan karena adanya variasi jawaban dan pandangan pemulung mengenai masa depnnya. Faktor lainnya tidak berhubungan dengan harapan pemulung di masa depan.
BAB VIII HUBUNGAN PERSEPSI PEMULUNG TERHADAP NILAI KERJANYA DENGAN HARAPAN PEMULUNG DI MASA DEPAN
8.1
Hubungan Persepsi Pemulung dan Harapan Pemulung Persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya diduga mempunyai hubungan
yang nyata (signifikan) dengan harapan pemulung di masa depan. Untuk menganalisis hubungan tersebut, peneliti menggunakan tabulasi silang dan juga digunakan analisis statistika yaitu uji Chi-square untuk mengecek kesesuaian data secara lebih akurat.
Tabel 20 Hubungan antara Persepsi Pemulung dan Harapan Pemulung di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008 Persepsi Pemulung Positif Negatif Total
Harapan Pemulung Tinggi Rendah Jumlah Persen Jumlah Persen 10 76,9 3 23,1 11 52,4 10 47,6 21 61,7 13 38,3
Total 13 21 34
Berdasarkan Tabel 20 terlihat bahwa persepsi positif pemulung mengenai nilai kerjanya dan mempunyai harapan yang tinggi terhadap masa depannya ada sebesar 76,9 persen sedangkan yang mempunyai harapan yang rendah mengenai masa depannya ada sebesar 23,1 persen. Persepsi negatif pemulung mengenai nilai kerjanya dan mempunyai harapan yang tinggi terhadap masa depannya ada sebesar 52,4 persen sedangkan p harapan yang rendah mengenai masa depannya ada sebesar 47,6 persen. Hal ini
menunujukkan bahawa persepsi pemulung mengenai nilai kerjanya mempunyai harapan yang dominan tinggi mengenai masa depannya. Hasil tabulasi silang Chi-square terlihat bahwa X2 hitung = 1,555 dengan dB = 1 nilainya lebih kecil dari X2 tabel = 3,841 sehingga terima H0. Padahal agar terdapat hubungan pada α = 0,05 maka X2 hitung harus lebih besar dari X2 tabel. Hal ini dapat menjelaskan bahwa persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya tidak berhubungan dengan harapan pemulung dimasa depan. Pemulung sebanyak 76,4 persen menilai bahwa menjadi pemulung bukanlah hal yang buruk atau tidak memiliki prestise. Pemulung adalah suatu pekerjaan yang halal. Pemulung adalah pekerjaan yang menghasilkan uang untuk kebutuhan sehari-hari Pemulung bukanlah gelandangan ataupun pengangguran.. Pemulung mempunyai persepsi yang positif terhadap pekerjaannya namun mereka juga mempunyai harapan yang tinggi untuk merubah mata pencahariaanya bila ada kesempatan. Hal ini memang terlihat sangat kontras, pemulung mengatakan bahwa dari memulung mereka dapat hidup namun mereka juga ingin hidup dengan layak. Dalam arti mereka bahwa kehidupan mereka terkecukupi. Mereka ingin punya tempat tinggal yang layak di kota seperti masyarakat yang lainnya. Mereka juga ingin mempunyai usaha sendiri dan tidak tergantung dengan orang lain. Hampir seluruh pemulung (85,3 persen) mempunyai cita-cita, ada yang ingin mewujudkannya menjadi kenyataan namun tidak sedikit juga yang hanya menjadikannya angan-angan saja, tidak untuk diwujudkan. Tidak sedikit pemulung pesimis dengan harapannya. Satu-satunya harapan mereka yang masih dapat mereka wujudkan menjadi kenyataan adalah bahwa anak atau adik mereka bekerja menjadi karyawan kantoran. Seperti
seorang
responden
dimana
dengan
menjadi
pemulung
tetap
mampu
menyekolahkan anaknya ke pesantren. Berikut pernyataannya: “….untuk makan sehari-hari terpenuhi bahkan saya bisa mengirimi kedua anak saya yang sedang berada di pesantren setiap bulannya……. Biar mereka menjadi karyawan kantoran dan bekerja di kota…….” (Las/55thn). Pemulung yang mempunyai persepsi negatif terhadap nilai kerjanya memiliki ragam dalam memandang harapan mereka di masa depan. Pemulung yang mempunyai harapan yang tinggi terhadap masa depannya ada sebesar 52,4 persen. Mereka mengingikan perbaikan hidup yang lebih baik. Pemulung setuju dan ingin mendapatkan keterampilan seperti menyablon, menjahit atau keterampilan lainnya untuk dapat membuka usaha sendiri. Namun, sampai saat ini pemulung belum memperoleh keterampilan dari lembaga manapun. Responden menjadi pemulung karena tidak ada pilihan lain karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki dan kemudahan untuk menggeluti profesi tersebut. Persepsi negatif yang dimiliki pemulung mengenai nilai kerjanya dan mempunyai harapan yang rendah mengenai masa depannya ada sebesar 47,6 persen. Pemulung memandang bahwa sebenarnya pekerjaan yang tidak memiliki prestise di masyarakat namun secara ekonomi tetap memberikan keuntungan. Responden yang menilai negatif pekerjaan memulung mengatakan bahwa mereka juga tidak setuju bila tidak ada lagi pekerjaan memulung di Indonesia. Profesi pemulung adalah profesi yang paling mudah untuk digeluti dan mampu menunjang kehidupan mereka. Pemulung mengatakan bahwa mereka harus realistis bahwa mereka hanya berharap dapat hidup dengan layak. Mereka hanya ingin pendapatan mereka meningkatkan dan mencukupi kebutuhan sehari-
hari. Mereka juga setuju bahwa pemulung mempunyai gaji tetap seperti buruh atau karyawan.
8.2
Dimensi-Dimensi Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Perubahan Mata Pencaharian. Untuk mengetahui hubungan antara dimensi-dimensi perspesi terhadap
nilai kerjanya dengan harapan pemulung di masa depan perubahan mata pencaharian dilakukan analisa tabulasi sialng dan uji Chi-square. Hasilnya seperti disajikan pada Tabel 21 di bawah ini.
Tabel 21
Dimensi Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerja dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Perubahan Mata Pencaharian di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008 Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Perubahan Mata Pencaharian Tinggi Rendah N % N %
n
%
22 5
84,6 62,5
4 3
15,4 37,5
26 8
100 100
Persepsi Pemulung Dimensi ekonomi Positif Negatif X2 hitung = 0,360
15 12
83,3 75
3 4
16,7 25
18 16
100 100
Total
27
67,6
7
32,4
34
100
Kategori Persepsi Pemulung Dimensi Prestise Positif Negatif X2 hitung = 1,830
Total
8.2.1 Persepsi Pemulung Dimensi Prestise dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Perubahan Mata Pencaharian. Berdasarkan Tabel 21 terlihat bahwa persepsi positif pemulung mengenai nilai kerjanya dimensi prestise dan mempunyai harapan yang tinggi terhadap masa depannya dimensi perubahan mata pencaharian ada sebesar 84,6 persen sedangkan harapan yang rendah ada sebesar 15,4 persen. Persepsi negatif pemulung mengenai nilai kerjanya dimensi prestise dan mempunyai harapan yang tinggi terhadap masa depannya dimensi perubahan mata pencaharian ada sebesar 62,5 persen sedangkan harapan yang rendah ada sebesar 37,5 persen. Hal ini menunujukkan bahawa persepsi pemulung mengenai nilai kerjanya dimensi prestise mempunyai harapan yang dominan tinggi mengenai masa depannya dimensi perubahan mata pencaharian. Hasil tabulasi silang Chi-square terlihat bahwa X2 hitung = 1,830 dengan dB = 1 nilainya lebih kecil dari X2 tabel = 3,841 sehingga terima H0. Padahal agar terdapat hubungan pada α = 0,05 maka X2 hitung harus lebih besar dari X2 tabel. Hal ini dapat menjelaskan bahwa persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya dimensi prestise tidak berhubungan dengan harapan pemulung dimasa depan dimensi perubahan mata pencaharian.
8.2.2 Persepsi Pemulung Dimensi Ekonomi dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Perubahan Mata Pencaharian Berdasarkan Tabel 21 terlihat bahwa persepsi positif pemulung mengenai nilai kerjanya dimensi ekonomi dan mempunyai harapan yang tinggi terhadap
masa depannya dimensi perubahan mata pencaharian ada sebesar 83,3 persen sedangkan harapan yang rendah ada sebesar 16,7 persen. Persepsi negatif pemulung mengenai nilai kerjanya dimensi ekonomi dan mempunyai harapan yang tinggi terhadap masa depannya dimensi perubahan mata pencaharian ada sebesar 75 persen sedangkan yang mempunyai harapan yang rendah ada sebesar 25 persen. Hal ini menunujukkan bahawa persepsi pemulung mengenai nilai kerjanya dimensi ekonomi mempunyai harapan yang dominan tinggi mengenai masa depannya dimensi perubahan mata pencaharian. Hasil uji Chi-square terlihat bahwa X2 hitung = 0,360 dengan dB = 1 nilainya lebih kecil dari X2 tabel = 3,841 sehingga terima H0. Padahal agar terdapat hubungan pada α = 0,05 maka X2 hitung harus lebih besar dari X2 tabel. Hal ini dapat menjelaskan bahwa persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya dimensi ekonomi tidak berhubungan dengan harapan pemulung dimasa depan dimensi perubahan mata pencaharian.
8.3
Dimensi-Dimensi Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerjanya dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Peningkatan Pendapatan. Untuk mengetahui hubungan antara dimensi-dimensi perspesi terhadap
nilai kerjanya dengan harapan pemulung di masa depan dimensi peningkatan pendapatan dilakukan analisa tabulasi sialng dan uji Chi-square. Hasilnya seperti disajikan pada Tabel 22 di bawah ini.
Tabel 22 Dimensi Persepsi Pemulung terhadap Nilai Kerja dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Peningkatan Pendapatan di Pemukiman Pemulung Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Ciputat, Mei 2008 Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Peningkatan Pendapatan Kategori
Tinggi
Total
Rendah
n
%
N
%
n
%
Positif
18
69,2
8
30,8
26
100
Negatif
5
62,5
3
37,5
8
100
Positif
12
66,7
6
33,3
18
100
Negatif
11
68,8
5
31,3
16
100
23
67,6
11
32,4
34
100
Persepsi Pemulung Dimensi Prestise
X2 hitung = 0,127 Persepsi Pemulung Dimensi ekonomi
X2 hitung = 0,017 Total
8.3.1 Persepsi Pemulung Dimensi Prestise dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Peningkatan Pendapatan. Berdasarkan Tabel 22 terlihat bahwa persepsi positif pemulung mengenai nilai kerjanya dimensi prestise dan mempunyai harapan yang tinggi terhadap masa depannya dimensi peningkatan pendapatan ada sebesar 69,2 persen sedangkan harapan yang rendah
ada sebesar 30,8 persen. Persepsi negatif pemulung
mengenai nilai kerjanya dimensi prestise dan mempunyai harapan yang tinggi terhadap masa depannya dimensi peningkatan pendapatan ada sebesar 62,5 persen sedangkan harapan yang rendah ada sebesar 37,5 persen. Hal ini menunujukkan bahawa persepsi pemulung mengenai nilai kerjanya dimensi prestise mempunyai harapan yang dominan tinggi mengenai masa depannya dimensi peningkatan pendapatan.
Hasil tabulasi silang Chi-square terlihat bahwa X2 hitung = 0,127 dengan dB = 1 nilainya lebih kecil dari X2 tabel = 3,841 sehingga terima H0. Padahal agar terdapat hubungan pada α = 0,05 maka X2 hitung harus lebih besar dari X2 tabel. Hal ini dapat menjelaskan bahwa persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya dimensi ekonomi tidak berhubungan dengan harapan pemulung dimasa depan
8.3.2 Persepsi Pemulung Dimensi Ekonomi dengan Harapan Pemulung di Masa Depan Dimensi Peningkatan Pendapatan. Berdasarkan Tabel 22 terlihat bahwa persepsi positif pemulung mengenai nilai kerjanya dimensi ekonomi dan mempunyai harapan yang tinggi terhadap masa depannya dimensi peningkatan pendapatan ada sebesar 66,7 persen sedangkan harapan yang rendah ada sebesar 33,3 persen. Persepsi negatif pemulung mengenai nilai kerjanya dimensi ekonomi dan mempunyai harapan yang tinggi terhadap masa depannya dimensi peningkatan pendapatan ada sebesar 68,8 persen sedangkan harapan rendah ada sebesar 31,3 persen. Hal ini menunujukkan bahawa persepsi pemulung mengenai nilai kerjanya dimensi ekonomi mempunyai harapan yang dominan tinggi mengenai masa depannya dimensi peningkatan pendapatan. Hasil uji Chi-square terlihat bahwa X2 hitung = 0,017 dengan dB = 1 nilainya lebih kecil dari X2 tabel = 3,841 sehingga terima H0. Padahal agar terdapat hubungan pada α = 0,05 maka X2 hitung harus lebih besar dari X2 tabel. Hal ini dapat menjelaskan bahwa persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya dimensi ekonomi tidak berhubungan dengan harapan pemulung dimasa depan dimensi peningkatan pendapatan.
8.4 Pembahasan Pemulung menilai positif pekerjaannya karena dari memulunglah mereka dapat bertahan hidup. Selain itu, banyaknya teman dan kerabat yang menggeluti profesi yang sama membuat mereka semakin yakin akan pilihannya. Harapan pemulung mengenai masa depannya secara umum dominan tinggi baik di dimensi perubahan mata pencaharian ataupun peningkatan pendapatan. Hal tersebut dikarenakan
responden
menginginkan
kehidupan
yang
layak
apapun
pekerjaannya. Sebagian pemulung tidak mempermasalahkan status pekerjaannya namun sebagian dari pemulung juga memikirkan status pekerjaannya. Tidak sedikit juga yang mengatakan akan pindah pekerjaan bila ada pekerjaaan yang lebih baik statusnya dan penghasilan lebih besar. Pemulung sangat takut untuk mencoba hal-hal yang baru. Mereka terlalu takut untuk menghadapi resiko besar bila mencoba hal baru seperti kehilangan pekerjaan mencari bahan pulungan. Mereka takut kehilangan dari apa yang telah mereka dapat dari memulung seperti kebebasan yang selama ini mereka miliki. Usaha daur ulang ini dilihat oleh berbagai pihak termasuk pemulung memiliki kecenderungan untuk semakin berkembang karena beberapa hal, diantaranya adalah jumlah penduduk yang semakiin besar, konsumsi barangbarang anorganik yang semakin besar, konsumsi barang-barang anorganik yang semakin besar, dan kesadaran masyarakat untuk memilah sampah pada tingkat rumah tangga masih rendah. Pemulung pun memiliki prospek kesejahteraan kedepannya sesuai dengan harapannya, asalkan pemerintah turut membantu dan mendukung perkembangannya melalui kebijakan-kebijakannya (Ameriani, 2006)
8.5
Ikhtisar Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara persepsi
pemulung terhadap nilai kerjanya dengan harapan pemulung di masa depan baik diuji secara umum ataupun diuji berdasarkan dimensinya. Dapat disimpulkan bahwa persepsi pemulung terhadap nilai kerjanya tidak selamanya menentukan harapan pemulung di masa depan. Secara umum harapan pemulung di masa depan adalah menjadi lebih baik menurut penilaian mereka. Ada yang ingin sejahtera walaupun dengan tetap mempertahankan pekerjaannya atau pun mengganti pekerjaannya.
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN 9.1
Kesimpulan 1. Hampir seluruh pemulung menilai baik (positif) pekerjaannya baik dalam dimensi prestise maupun dimensi ekonomi. Namun, lebih dominan pada dimensi ekonomi. Walaupun secara prestise pemulung adalah pekerjaan yang rendah, namun secara ekonomi menjadi pemulung dapat menjadi sumber nafkah utama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 2. Pemulung yang menilai baik pekerjaannya memiliki harapan untuk merubah mata pencahariannya suatu saat nanti, walaupun tidak sedikit dari pemulung yang hanya sebatas angan-angan saja. Selain itu, pemulung yang menilai buruk pekerjaannya namun mereka berharap untuk dapat mempertahankan pekerjaan memulung. Karena pemulung takut untuk menghadapi resiko besar bila mencoba hal baru seperti kehilangan dari apa yang telah mereka dapat dari menjadi pemulung. 3. Hampir seluruh pemulung tidak memiliki faktor khusus yang menjadi penciri dalam membedakan persepsi pemulung terhadap nilai kerja dan harapannya pemulung di masa depan. Hal ini dikarenakan untuk menjadi pemulung tidaklah sulit, karena menjadi pemulung tidak memerlukan syarat-syarat tertentu seperti keterampilan, pendidikan bahkan modal. Faktor ekonomi juga menjadi alasan mengapa banyak masyarakat yang akhirnya memutuskan menjadi pemulung.
9.2
Saran • Untuk penelitian selanjutnya perlu memperbanyak sampel penelitian agar distribusinya benar-benar mewakili. Selain itu, diperlukan studi riwayat hidup pemulung agar lebih dapat mengetahui situasi yang menyebabkan seseorang menjadi pemulung dan berkembangnya pemulung di Indonesia. • Bagi pemerintah, perlu adanya kerjasama berbagai pihak terkait untuk lebih memperhatikan keberadaan pemulung. Dalam membuat kebijakan hendaknya tidak merugikan pemulung. Pemerintah juga sebaiknya memberdayakan pemulung dalam mengelola sampah yang sampai saat ini baru tahap perencanaan menjadi terealisasi. Pemerintah juga harus memberikan perlindungan bagi pemulung salah satu caranya adalah melegalkan pekerjaan pemulung bila pemerintah belum dapat membuat lapangan pekerjaan baru bagi rakyatnya. • Bagi para pemerhati masalah sosial, sebaiknya membuat program yang sesuai dengan kebutuhan pemulung karena saat ini banyak sekali programprogram yang tidak tepat sasaran atau tidak sesuai dengan kebutuhan sasaran. Pemulung saat ini membutuhkan keterampilan yang dapat langsung diaplikasikan dan tidak membutuhkan modal yang cukup besar.
DAFTAR PUSTAKA Ameriani, Aisyah 2006. Analisis Karakteristik Pemulung, Karakteristik Kerja, Hubungan Sosial, dan Kesejahteraan Pemulung (Kasus Pemukiman Pemulung di Desa Kedaung, Kecamatan Pamulang, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Calhoun, James F dan Acocella, Joan Ross 1990. Psikologi Tentang Penyesuaian Dan Hubungan Kemanusiaan. Terjemahan oleh Prof. Dr. Ny. R. S. Satmoko. Semarang: IKIP Press. Chandrakirana, Kamala dan Isono Sadoko 1994. Dinamika Ekonomi Informal di Jakarta : Industri Daur Ulang, Angkutan Becak dan Dagang Kaki lima. UI Press. Jakarta. Charles Adams 1993. Pertambahan Penduduk Dan Penyerbuan Daerah Kota dalam Kemiskinan Perkotaan. Penyunting Parsudi Suparlan. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Birkbeck, Chris 1976. Sampah, Industri dan Pemulung Tulang di Cali, Kolombia dalam Jurnal Galang Seri ’Nasib Gelandangan: Bertahan Seadanya’. Lembaga Studi Pembangunan: Jakarta. Damayanti, Ika 2007. Hubungan Antara Tingkat Kesadaran Gender dengan Persepsi Mahasiswa Terhadap Citra Perempuan Dalam Iklan Televisi (Kasus Mahasiswi TPB IPB). Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Daulay, Pardamean 2006. ”Sekali Buruh Tetap Buruh” : Studi Pembentukan Generasi Buuh Di Perkebunan Tembakau Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Thesis. Institut Pertanian Bogor. Hart, Keith 1985. ‘Sektor Informal’ dalam Chris Manning dan Tadjudin Noer Effedi (ed). Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal Kota. PT Gramedia. Jakarta. Hasibuan, 2008. Teori Harapan. http://Ramkur.blogspot.com/2008/05/teoriharapan.html. (Diakses pada tanggal 8 Juli 2008) Herlina, 2002. Orientasi Nilai Kerja Pemuda Pada Keluarga Petani Perkebunan (Studi Kasus Masyarakat Perkebunan Teh Rakyat di Desa Sukajembar, Kecamatan Sukunagara, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Thesis. Institut Pertanian Bogor.
Hikmawati, Dwi A. N 1997. Penilaian dan Harapan Ibu Menyusui Pada Peran Petugas Kesehatan Gizi (Studi Tentang Peranan Petugas Kesehatan dan Gizi Dalam Memasyarakatkan Program Peningkatan Penggunaan ASI). Thesis. Institut Pertanian Bogor. Lumingkewas, L.F 1997. Pemulung Anak: Kemiskinan dan Buruknya Kondisi Kerja Mereka. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Indonesia. Depok. Mangiang, Masminar, Jacob rebong dan Anthony Elena 1979. Ekonomi Gelandangan: Armada Murah buat Pabrik dalam Jurnal Prisma. Pengembangan Masyrakat : Menetaskan Partisipasi. Vol 3. hal 49-59. Mustamin 1999. Persepsi Petugas data-data tentang kinerja Pengembangan Program Diversivikasi Pangan dan Gizi. Jurusan Gizi dan Sumber Daya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Guinnes, Patrick 1985. Gelandangan Kota Yogyakarta dalam Jurnal Galang Seri Nasib Gelandangan: Bertahan Seadanya. Lembaga Studi Pembangunan. Jakarta. Rachbini 2006. Ekonomi Informal di Tengah Kegagalan http://kompas.com/kompas-cetak/0604/15/Fokus/2584996.htm (Diakses pada tanggal 15 Oktober 2007).
Negara.
Rakhmat, Jalaludin 1999. Psikologi Komunikasi. PT. Rosdakarya: Bandung. Rinaldi 2002. Hubungan Persepsi Calo Beras Terhadap Peranannyadengan fungsinya dalam tataniaga beras di Pasar Induk Cipinang. Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Santoso, Ferry 2000. Ekonomi Pemulung, Bukan Cuma Urusan Isi Perut. http://www.kompas.com/kompas-cetak/001026/ekonomi/ekon32.htm. (Diakses pada tanggal 29 Oktober 2007). Sarwono, SS 2003. Psikologi Sosial. UI Press. Jakarta. Simanjuntak, R.L 2002. Tinjauan Tentang Fenomena Pemulung dan Penanganan Sampah di DKI Jakarta Dan Bantar Gebang Bekasi. Thesis. Program Sosiologi Pedesaan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sipahutar, Kristina 1996. Pengaruh Industri di Desa Terhadap Kesempatan Kerja, Nilai Kerja dan Status Sosial (Studi Kasus di Desa Pangombusan,
Kecamatan Parsea, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara). Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Singarimbun, Masri dan S. Efendi 1989, Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta. Subri, Mulyadi 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Suparlan, Parsudi 1981. Orang Gelandangan di Jakarta: Politik Pada Golongan Termiskin dalam Jurnal Penelitian Sosial. No.9/10 Tahun ke V. hal 15-33. Tjakrawati, Sylvia 1988. Perubahan Nilai Kerja Pertanian di Deasrah Pedesaan(Studi Kasus kampung Sawah, Kecamatan Sawah, Kabupaten Karawang, Jawa Barat ). Thesis. Institut Pertanian Bogor. Twikromo, T. Argo 1999. Pemulung Jalanan : Konstruksi Marginalitas dan Perjuangan Hidup dalam Bayang-Bayang Budaya Dominan. Media Presindo. Yogyakarta. Werdiono, Defri 2007. Kaum Pinggiran Butuh Pengakuan. http://www.wikimu.com/09112007. (Diakses pada tanggal 9 November 2007). Wirakartakusumah, M. Djuhari. 1999. Bayang-bayang Ekonomi Klasik. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.