KELEMBAGAAN PROGRAM RINTISAN DAN AKSELERASI PEMASYARAKATAN INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN (PRIMA TANI)1 Bambang Irawan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani 70 Bogor
PENDAHULUAN Tidak dapat dipungkiri bahwa Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang Pertanian) telah cukup berhasil dalam pengadaan inovasi teknologi pertanian. Setiap tahun Badan Litbang Pertanian menghasilkan sejumlah inovasi teknologi tepat-guna. Beberapa diantaranya telah digunakan secara luas dan terbukti menjadi tenaga pendorong utama pertumbuhan serta perkembangan usaha dan sistem agribisnis berbagai komoditas pertanian. Beberapa contoh yang tergolong fenomenal, ialah Revolusi Hijau pada agribisnis padi dan jagung, hasil dari penemuan varietas unggul baru berumur pendek, ataupun perkembangan perkebunan sawit yang cukup pesat atas dukungan teknologi perbenihan/pembibitannya. Namun demikian, evaluasi eksternal maupun internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian cenderung melambat, bahkan menurun. Menurut hasil penelitian, diperlukan waktu sekitar dua tahun sebelum teknologi baru yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian diketahui oleh 50 persen dari Penyuluh Pertanian Spesialias (PPS), dan enam tahun sebelum 80 persen PPS mendengar teknologi baru tersebut. Tenggang waktu sampainya informasi dan adopsi teknologi tersebut oleh petani tentu lebih lama lagi. Segmen rantai pasok inovasi teknologi pada subsistem penyampaian (delivery subsystem) dan subsistem penerima (receiving subsystem) merupakan bottleneck yang menyebabkan lambannya penyampaian informasi dan rendahnya tingkat adopsi inovasi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Untuk mempercepat proses penyampaian dan pengadopsian teknologi pertanian maka mulai tahun 2005 Badan Litbang Pertanian akan melaksanakan Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Program tersebut dapat dipandang sebagai implementasi suatu model diseminasi teknologi yang dinilai dapat mempercepat penyampaian informasi dan bahan dasar inovasi baru yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Prima Tani diharapkan dapat berfungsi sebagai jembatan penghubung langsung antara Badan Litbang Pertanian sebagai penghasil inovasi teknologi dengan lembaga penyampaian (delivery system) 1
Makalah (yang telah disempurnakan) disampaikan pada Workshop Prima Tani, yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Ciawi, 2004.
101
maupun pelaku agribisnis (receiving system) pengguna inovasi teknologi. Selain sebagai wahana diseminasi, Prima Tani juga akan digunakan sebagai wahana pengkajian partisipatif, yang berarti merupakan implementasi dari paradigma baru Badan Litbang Pertanian, yakni Penelitian untuk Pembangunan (Research for Development) yang menggantikan paradigma lama Penelitian dan Pengembangan (Research and Development). KELEMBAGAAN PRIMA TANI Paradigma dan Strategi Pada masa lalu paradigma Badan Litbang Pertanian dapat disebut sebagai ”Penelitian dan Pengembangan” (Research and Development) dengan fokus melaksanakan penelitian dan pengembangan untuk menemukan atau menciptakan teknologi. Kegiatan diseminasi teknologi lebih dominan pada mempublikasikan karya ilmiah dan menginformasikan keberadaan inovasi teknologi. Dengan paradigma tersebut maka tugas dan tanggung jawab Badan Litbang Pertanian ditafsirkan sempit, terbatas pada menyediakan dan menginformasikan teknologi inovatif. Sedangkan penyebaran teknologi inovatif yang dihasilkan dipandang sebagai di luar mandat Badan Litbang Pertanian. Dengan paradigma seperti tersebut di atas maka sasaran Badan Litbang Pertanian berorientasi pada menghasilkan teknologi inovatif dan mempublikasikan karya ilmiah sebanyak-banyaknya. Kesesuaian teknologi yang dihasilkan dengan preferensi pengguna menjadi kurang diperhatikan. Penyaluran (delivery) dan penerapan (receiving/adopsi) teknologi yang dihasilkan dipandang sebagai di luar tugas pokok Badan Litbang Pertanian. Kegiatan yang dilakukan cenderung bersifat ”Penelitian untuk Peneliti” dan ”Penelitian untuk Publikasi” (Research for Publication). Barangkali paradigma inilah salah satu penyebab utama fenomena lamban dan rendahnya tingkat penerapan teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian oleh para pengguna teknologi. Menyadari hal itu, Badan Litbang Pertanian akan menerapkan paradigma baru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, yaitu ”Penelitian untuk Pembangunan” (Research for Development). Dengan paradigma baru ini, orientasi kerja Badan Litbang Pertanian adalah menghasilkan teknologi inovatif untuk diterapkan sebagai mesin penggerak pembangunan pertanian. Untuk itu, kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi inovatif haruslah berorientasi pada pengguna (user oriented) sehingga teknologi inovatif yang dihasilkan benar-benar tepat-guna spesifik lokasi bagi pengguna. Penelitian dan pengembangan haruslah dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan perwakilan calon pengguna outputnya. Dalam paradigma Penelitian untuk Pembangunan, peranan kegiatan diseminasi diposisikan sama penting dengan kegiatan penelitian dan pengembangan.
102
Jika pada masa lalu diseminasi praktis hanya untuk menginformasikan dan menyediakan teknologi dasar secara terpusat di Balai Penelitian, maka dengan paradigma Penelitian untuk Pembangunan, diseminasi diperluas dengan melaksanakan pengembangan percontohan sistem dan usaha agribisnis berbasis teknologi inovatif dan penyediaan teknologi dasar secara terdesentralisasi sebagai inisiatif untuk merintis pemasyarakatan teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Sasaran kegiatan diseminasi juga disesuaikan, dari tersebarnya informasi kepada masyarakat pengguna teknologi menjadi tersedianya contoh konkrit penerapan teknologi di lapangan. Prima Tani merupakan strategi dalam mengimplementasikan paradigma baru Badan Litbang Pertanian tersebut. Dipandang dari segi pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan, Prima Tani merupakan wahana untuk pelaksanaan penelitian dan pengembangan partisipatif dalam rangka mewujudkan penelitian dan pengembangan berorientasi konsumen/pengguna (consumer oriented research and development). Dilihat dari segi pelaksanaan kegiatan diseminasi, Prima Tani merupakan wahana untuk menghubungkan secara langsung Badan Litbang sebagai penyedia teknologi dasar dengan masyarakat luas atau pengguna teknologi secara komersial maupun lembagalembaga pelayanan penunjang pembangunan sehingga adopsi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian tidak saja tepat guna, tetapi juga langsung diterapkan dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis, setidaknya dalam tahapan rintisan atau percontohan. Rintisan atau percontohan tersebut diharapkan akan menjadi titik awal difusi massal teknologi inovatif yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Dengan demikian Prima Tani dilaksanakan dengan empat strategi yaitu : 1. Menerapkan teknologi inovatif tepat-guna melalui penelitian dan pengembangan partisipatif (Participatory Research and Development) berdasarkan paradigma Penelitian untuk Pembangunan. 2. Membangun model percontohan sistem dan usaha agribisnis berbasis teknologi inovatif dengan mengintegrasikan sistem inovasi dan sistem agribisnis. 3. Mendorong proses difusi dan replikasi model percontohan teknologi inovatif melalui ekspose dan demonstrasi lapang, diseminasi informasi, advokasi serta fasilitasi. 4. Basis pengembangan dilaksanakan berdasarkan wilayah agroekosistem dan kondisi sosial ekonomi setempat. Model Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) Pelaksanaaan Prima Tani pada intinya adalah membangun suatu model percontohan Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) yang selanjutnya dapat berperan sebagai “laboratorium agribisnis”. Di dalam laboratorium agribisnis dikembangkan interaksi langsung antara kegiatan Penelitian–Penyuluhan–Agribisnis–Pelayanan Pendukung. Di dalam laboratorium tersebut para peneliti, penyuluh, praktisi agrbisnis, dan pengelola lembaga pelayanan pendukung agribisnis dapat saling berinteraksi langsung dalam mengembangkan dan mewujudkan AIP di lokasi kegiatan Prima Tani.
103
Tiga upaya pokok yang dikembangkan melalui pembentukan model AIP yaitu : Pertama, merajut ulang hubungan sinergis Penelitian–Penyuluhan yang cenderung semakin melemah atau bahkan terputus di beberapa wilayah sebagai akibat belum mantapnya pelaksanaan otonomi daerah. Dalam hal ini Badan Litbang Pertanian akan mengintegrasikan kegiatannya dengan lembaga penyuluhan pertanian di daerah dan membekali penyuluh dengan pengetahuan dan bahan penyuluhan mengenai teknologi inovatif, serta menyediakan teknologi dasar. Dengan demikian, model AIP yang dikembangkan dapat berfungsi untuk mensinergikan kegiatan penelitian dan kegiatan penyuluhan, dan sekaligus merupakan inisiatif untuk revitalisasi penyuluhan yang akhirakhir ini terkesan mengalami kejenuhan. Kedua, merajut hubungan sinergis Badan Litbang Pertanian dengan petani dan praktisi agribisnis secara umum, baik secara tidak langsung melalui perantaraan penyuluh lapang dan lembaga pelayanan, maupun secara langsung melalui kolaborasi dalam pembangunan dan pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP). Praktisi agribisnis yang dimaksud mencakup pelaku usahatani rumah tangga skala kecil maupun perusahaan berskala besar. Sedangkan bidang usaha pertanian meliputi usaha produksi komoditas pertanian, produksi dan penyediaan sarana serta prasarana pertanian, penanganan pascapanen dan pemasaran, serta pengolahan hasil pertanian. Ketiga, merajut hubungan sinergis antara seluruh elemen lembaga agribisnis dan lembaga pendukungnya dalam suatu bingkai kelembagaan AIP. Elemen lembaga yang dimaksud meliputi seluruh lembaga yang terkait secara langsung maupun tak langsung dengan kegiatan produksi pertanian hingga pemasaran hasil pertanian kepada konsumen. Hubungan sinergis antar elemen lembaga agribisnis dikembangkan melalui harmonisasi keterkaitan fungsional dan institusional diantara elemen lembaga agribisnis. Melalui pendekatan kelembagaan AIP diharapkan dapat diwujudkan usaha pertanian yang berorientasi pasar, bernilai tambah tinggi, berdaya saing tinggi dan menghasilkan pembagian nilai tambah secara proporsional diantara pelaku usaha agribisnis. Dengan ketiga upaya tersebut di atas maka model AIP yang dikembangkan melalui Prima Tani pada dasarnya merupakan perpaduan dari dua sistem yaitu : sistem inovasi pertanian dan sistem agribisnis. Keterpaduan antara kedua sistem di dalam model AIP diperlihatkan dalam Gambar 1. Paduan antara sistem inovasi dan sistem agribisnis dirajut melalui simpul elemen lembaga “Klinik Agribisnis” yang dikelola oleh BPTP dan melibatkan para penyuluh, peneliti, dinas pertanian daerah, dan swasta produsen sarana produksi pertanian. Tiga fungsi utama dari elemen lembaga tersebut yaitu : (1) membantu pengguna agribisnis dalam mengatasi masalah teknis dan manajemen usaha, (2) menyediakan informasi yang berkaitan dengan teknologi siap guna, pasar komoditas dan permodalan, dan (3) sebagai media umpan balik bagi pengembangan teknologi pertanian yang sesuai dengan kebutuhan pengguna teknologi. Pada intinya Klinik Agribisnis merupakan tempat penyuluh, peneliti dan petugas dinas terkait dalam memberikan pelayanan terpadu kepada pelaku agribisnis. Lembaga tersebut dapat dipandang sebagai elemen lembaga lokal yang memasok teknologi
104
S I S T E M I N O V A S I
Produsen teknologi komersial (benih unggul)
Balit/puslit (teknologi terapan)
Institusi daerah/ universitas (teknologi dasar)
KLINIK AGRIBISNIS -Informasi teknologi matang -Informasi pasar -Informasi permodalan -Umpan balik kebutuhan teknologi
S I S T E M A G R I B I S N I
BPTP (teknologi matang/ spesifik lokasi dan pengguna)
Sarana produksi
Produksi pertanian Jasa alsintan
Permodalan Pascapanen/ pengolahan
Pemasaran hasil
Alur dukungan atau alur produk pertanian Alur informasi Alur kaitan timbal balik
Gambar 1. Kerangka Model Agribisnis Industrial (AIP)
105
spesifik lokasi dan spesifik pengguna teknologi. Klinik Agribisnis terkait secara langsung dan tak langsung dengan lembaga inovasi milik pemerintah yang menghasilkan eknologi dasar (Universitas), teknologi terapan (Balit/Puslit), teknologi matang yang bersifat spesifik lokasi dan pengguna (BPTP), dan produsen teknologi komersial seperti produsen benih varietas unggul, industri pupuk, industri pestisida serta industri rancang bangun alat dan mesin pertanian. Sedangkan secara langsung Klinik Agribisnis memberikan pelayanan jasa kepada pelaku agribisnis melalui kegiatan konsultasi, advokasi dan penyampaian informasi teknologi (benih, budidaya, dan pascapanen), informasi pasar komoditas, dan informasi permodalan. Dalam praktiknya lembaga tersebut melibatkan empat institusi utama dengan peran masing-masing sebagai berikut 1. BPTP yang berperan sebagai pemasok materi penyuluhan, menyiapkan teknologi matang, dan advokasi kelembagaan. 2. Penyuluh (dari Dinas Daerah dan BPTP) yang berperan sebagai konsultan inovasi teknologi, manajemen usaha, manajemen finansial, dan pengembangan jaringan usaha. 3. Dinas pertanian yang berperan menyiapkan informasi pasar dan permodalan, memperkuat kelembagaan AIP, advokasi dan konsultasi pengembangan jaringan usaha. 4. Asosiasi komoditas yang berperan menyediakan informasi pasar dan konsultasi pengembangan jaringan usaha. Implementasi Model AIP Pendekatan dan Pola Implementasi Model AIP diimplementasikan dengan pendekatan kawasan dan pendekatan agroekosistem. Pendekatan kawasan yang dimaksud meliputi wilayah administrasi desa sedangkan pendekatan agroekosistem meliputi tujuh agroekosistem yaitu : (1) sawah intensif, (2) sawah semi intensif, (3) lahan kering dataran rendah iklim basah, (4) lahan kering dataran rendah iklim kering, (5) lahan kering dataran tinggi iklim basah, (6) lahan kering dataran tinggi iklim kering, dan (7) lahan rawa pasang surut. Berdasarkan kondisi lokasi sasaran terdapat dua pola implementasi model AIP yaitu: pola introduksi dan pola lanjutan atau pola renovasi. Secara operasional perbedaan antara kedua pola tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pola introduksi : merupakan implementasi model AIP yang dilaksanakan di daerah agroekosistem dimana komoditas dominan yang diusahakan petani di daerah tersebut belum tersentuh program pengembangan yang dilaksanakan oleh Departemen Pertanian dan institusi lainnya, misalnya, Kimbun, Proksimantap dan sebagainya. 2. Pola lanjutan atau pola renovasi : merupakan implementasi model AIP yang dilaksanakan di daerah agroekosistem dimana komoditas dominan yang
106
diusahakan petani di daerah tersebut sudah melaksanakan program pengembangan yang diprakarsai oleh Departemen Pertanian dan institusi lainnya. Dengan demikian implementasi model AIP di daerah tersebut hanya merupakan lanjutan dari program pengembangan yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Organisasi dan Pelaksanaan Prima Tani Pada dasarnya Prima Tani merupakan langkah inisiasi untuk mengatasi masalah kelambanan dalam penyampaian dan penerapan inovasi teknologi pertanian secara luas oleh pelaku agribisnis, yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Pertanian. Sebagai langkah inisiasi maka keterlibatan Badan Litbang Pertanian dalam mengembangkan model AIP di lokasi sasaran hanya bersifat sementara dan sesegera mungkin pengelolaan AIP diserahkan kepada masyarakat dan Pemerintah Daerah. Dengan kata lain, pengembangan model AIP dilaksanakan dengan prinsip : “Build– Operate–Transfer (BTO)” atau bangun, operasikan, dan serahkan kepada masyarakat dan pemerintah daerah. Secara langsung seluruh lembaga penelitian di lingkup Badan Litbang Pertanian dilibatkan dalam mengembangkan model AIP sesuai dengan tupoksi masingmasing. Sejalan dengan prinsip BTO maka keterlibatan langsung Badan Litbang Pertanian hanya bersifat sementara yaitu maksimal selama lima tahun pelaksanaan Prima Tani. Di lokasi sasaran (desa, kecamatan, kabupaten) pengembangan model AIP dilaksanakan dengan organisasi sebagai berikut: Penanggung Jawab
: Kepala BPTP
Manager lapangan
: Staf BPTP yang ditunjuk
o
Koordinator teknis
: Staf BPTP/Balit yang ditunjuk
o
Koordinator kelembagaan : Staf BPTP/Balit yang ditunjuk
o
Koordinator diseminasi
: Staf BPTP yang ditunjuk
Koordinator teknis bertugas mengkoordinir kelompok teknis yang beranggotakan para peneliti dengan berbagai disiplin ilmu dan didukung oleh Litkayasa, dan memiliki tugas : (a) merumuskan rakitan teknologi yang sesuai dengan kondisi lokasi sasaran, dan (b) melaksanakan pendampingan bersama-sama dengan kelompok diseminasi dalam penerapan rakitan teknologi tersebut. Koordinator kelembagaan bertugas mengkoordinir kelompok kelembagaan yang beranggotakan para peneliti sosial ekonomi yang memiliki tugas : (a) merumuskan inovasi kelembagaan agribisnis yang sesuai dengan kondisi lokasi sasaran, dan (b) melaksanakan pendampingan dalam penumbuhan kelembagaan agribisnis. Sedangkan Koordinator diseminasi yang beranggotakan para penyuluh, KTNA, dan petugas lapang memiliki tugas : (a) merumuskan dan menerapkan metoda diseminasi yang sesuai dengan kondisi setempat, (b) memfasilitasi dan mengembangkan komunikasi yang efektif dan efisien
107
antar pelaku agribisnis dan instansi terkait, dan (c) menyampaikan inovasi teknologi dan inovasi kelembagaan kepada para pengguna. PENUMBUHAN KELEMBAGAAN AIP Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) merupakan suatu model kelembagaan usaha pertanian sekaligus model kelembagaan inovasi yang akan dikembangkan melalui Prima Tani. Tiga tujuan utama yang ingin dicapai melalui pengembangan AIP yaitu: (a) mempercepat proses adopsi inovasi teknologi pertanian, (b) mengimplementasikan konsep pengembangan kawasan berbasis keunggulan sumberdaya lokal, dan (c) mewujudkan sistem usaha pertanian yang berorientasi pasar, bernilai tambah tinggi, berdaya saing tinggi dan menghasilkan pembagian nilai tambah secara proporsional diantara pelaku usaha agribisnis. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai meliputi: peningkatan pendapatan petani dan masyarakat pedesaan, peningkatan kesempatan kerja pedesaan, pemanfaatan sumberdaya secara optimal, peningkatan efisiensi usaha pertanian, peningkatan kualitas lingkungan, dan pembangunan pertanian serta pedesaan secara berkelanjutan. Dari sisi kelembagaan terdapat dua upaya pokok yang dilakukan dalam pelaksanaan Prima Tani yaitu: (a) Menumbuhkan seluruh elemen lembaga AIP yang dibutuhkan di setiap lokasi kegiatan Prima Tani, dan (b) Menumbuhkan keterkaitan fungsional yang harmonis dan keterkaitan institusional yang saling menguntungkan di antara pelaku usaha agribisnis, terutama antara petani dan pelaku usaha agribisnis lainnya. Uraian berikut mengungkapkan proses penumbuhan kelembagaan AIP tersebut. Prinsip Dasar Penumbuhan Kelembagaan AIP Kelembagaan AIP pada dasarnya merupakan suatu sistem inovasi teknologi yang memadukan inovasi aspek teknis sekaligus inovasi aspek kelembagaan yang berbasis keunggulan sumberdaya lokal. Keunggulan sumberdaya lokal yang dimaksud tidak hanya menyangkut sumberdaya ekonomi tetapi juga sumberdaya sosial dengan cakupan aspek yang luas (kemampuan sumberdaya manusia, budaya lokal, kepemimpinan lokal, sistem kekerabatan masyarakat, dsb.). Di setiap lokasi kegiatan yang meliputi seluruh propinsi wilayah BPTP inovasi teknis dan inovasi kelembagaan yang dikembangkan dapat berbeda satu sama lain, sesuai dengan permasalahan dan peluang pengembangan di masing-masing lokasi. Berdasarkan hal tersebut maka penumbuhan kelembagaan AIP tidak mungkin dilakukan dengan format yang seragam di seluruh lokasi kegiatan Prima Tani. Dalam penumbuhan kelembagaan AIP terdapat delapan prinsip dasar yang dapat diuraikan sebagai berikut :
108
1. Prinsip kebutuhan. Pertanyaan awal dalam menumbuhkan kelembagaan AIP di setiap lokasi kegiatan adalah: apakah elemen lembaga tertentu dibutuhkan secara fungsional? Misalnya, apakah penumbuhan lembaga pascapanen dan pengolahan hasil perlu dilakukan di suatu lokasi tertentu ? Jawabannya sangat tergantung kepada ketersediaan pupuk, sifat produk, ketersediaan pasar produk yang dikembangkan, dan minimum skala usaha yang harus dibangun. Untuk pengembangan komoditas sayuran penumbuhan lembaga pascapanen sangat dibutuhkan karena komoditas tersebut cepat rusak sementara konsumen membutuhkan sayuran segar. Tetapi untuk komoditas ternak pengembangan lembaga pascapanen dapat dikatakan tidak dibutuhkan karena perdagangan ternak umumnya dilakukan dalam bentuk ternak hidup. Begitu pula pengembangan lembaga pengolahan yang membutuhkan skala usaha dan dana investasi reltif tinggi (contoh : pengolahan kelapa sawit) mungkin belum terlalu dibutuhkan jika belum ada dukungan kongkrit dari lembaga permodalan. 2. Prinsip efektivitas. Kelembagaan pada dasarnya hanyalah alat untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Sebagai alat maka elemen lembaga yang dikembangkan haruslah efektif dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Efektivitas pencapaian tujuan sangat tergantung pada struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi, serta kompatibilitas antara struktur yang dibangun dengan tupoksi yang harus dijalankan. 3. Prinsip efisiensi. Penumbuhan suatu elemen lembaga AIP akan membutuhkan dana dan waktu yang tidak sedikit. Oleh karena itu dalam penumbuhan elemen kelembagaan harus dipilih opsi yang paling efisien yaitu yang paling murah, mudah, dan sederhana namun mampu mencapai tujuan. Sebagai contoh, pada pengembangan ternak dengan sistem kandang kolektif pembentukan kelompok tani dapat dilakukan berdasarkan domisili petani untuk memudahkan perawatan ternak yang dilaksanakan secara bergiliran diantara anggota kelompok tani. Tetapi pada pengembangan komoditas perkebunan yang membutuhkan kesatuan hamparan lahan yang cukup luas untuk dapat meraih manfaat ekonomi skala usaha maka pmbentukan kelompok tani harus berbasis hamparan lahan petani. 4. Prinsip fleksibilitas. Penumbuhan kelembagaan AIP pada dasarnya merupakan suatu rekayasa sosial dalam rangka pemberdayaan secara optimal kapital sosial dan budaya yang melekat pada masyarakat setempat. Oleh karena itu elemen kelembagaan yang dikembangkan haruslah fleksibel dalam pengertian kelembagaan yang dikembangkan (format lembaga, aturan main) disesuaikan dengan kapasitas sumberdaya sosial dan budaya setempat. 5. Prinsip manfaat. Untuk dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri inovasi kelembagaan harus mampu memberikan manfaat kepada seluruh pihak yang terlibat. Manfaat yang dimaksud dapat berupa manfaat ekonomi, sosial dan
109
lingkungan. Pada umumnya manfaat ekonomi merupakan pertimbangan utama bagi masyarakat pedesaan dalam mengadopsi inovasi teknis maupun inovasi kelembagaan. Berdasarkan hal tersebut maka penumbuhan setiap elemen lembaga AIP harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi seluruh pihak yang terlibat. 6. Prinsip pemerataan. Kelembagaan agribisnis sedikitnya melibatkan empat elemen lembaga utama yang saling terkait secara hirarkis yaitu : lembaga sarana produksi, lembaga produksi, pascapanen/pengolahan hasil dan lembaga pemasaran hasil pertanian. Penumbuhan kelembagaan AIP sedikitnya harus mampu menciptakan pembagian nilai tambah agribisnis secara proporsional diantara ketiga elemen kelembagaan tersebut, terutama antara lembaga produksi yang anggotanya adalah petani dengan elemen lembaga lainnya. 7. Prinsip sinergitas. Pelaksanaan Prima Tani pada dasarnya meliputi dua komponen inovasi yaitu : inovasi teknis dan inovasi kelembagaan. Untuk dapat mengeksploitasi sumberdaya lokal secara optimal (sumberdaya ekonomi dan sumberdaya sosial) maka penumbuhan setiap elemen lembaga AIP harus saling sinergis dengan inovasi teknis yang dikembangkan. Sifat sinergitas tersebut dapat dirangsang melalui pentahapan penumbuhan elemen lembaga AIP yang diselaraskan dengan pentahapan inovasi teknis yang dikembangkan. Sebagai contoh, jika di suatu lokasi diintroduksi benih varitas baru maka penumbuhan elemen lembaga AIP diprioritaskan pada penumbuhan lembaga penangkar benih tersebut. 8. Prinsip keberlanjutan. Kelembagaan AIP diharapkan terus berlanjut meskipun pelaksanaan Prima Tani telah selesai dan bantuan langsung pemerintah semakin berkurang. Untuk itu pembinaan dan pendampingan langsung oleh pemda dan tokoh masyarakat setempat perlu dikembangkan. Mengacu pada delapan prinsip dasar di atas maka kegiatan penumbuhan kelembagaan AIP memiliki tiga sifat yaitu : (a) penumbuhan elemen lembaga AIP tidak harus sama di setiap lokasi kegiatan Prima Tani tetapi disesuaikan dengan kebutuhan, kapasitas sumberdaya dan budaya setempat, (b) elemen lembaga yang dikembangkan tidak harus merupakan bentukan baru tetapi dapat merupakan pengembangan dari elemen lembaga yang sudah ada atau sudah berkembang di lokasi kegiatan, dan (c) penumbuhan elemen lembaga secara keseluruhan dilaksanakan bertahap dan disesuaikan atau mengikuti tahap inovasi teknis yang dikembangkan. Pada pelaksanaannya kegiatan penumbuhan kelembagaan AIP ditempuh melalui beberapa tahapan yaitu : (a) inventarisasi elemen lembaga yang dibutuhkan dan elemen lembaga yang sudah tersedia, (b) penumbuhan elemen lembaga yang dibutuhkan tetapi belum tersedia, (c) inventarisasi elemen lembaga yang sudah tersedia tetapi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberikan dukungan kepada petani, (d) konsolidasi pada masing-masing kelembagaan tersebut (keanggotaan,
110
kepengurusan, tupoksi), dan (e) menumbuhkan keterkaitan yang harmonis secara fungsional dan secara institusional antar elemen lembaga AIP. Penumbuhan Kelembagaan AIP Penumbuhan elemen lembaga AIP merupakan bagian penting dalam rangka mewujudkan sistem agribisnis yang berorientasi pasar, berdaya saing dan bernilai tambah tinggi. Dalam kaitan tersebut kelengkapan elemen lembaga AIP di setiap lokasi kegiatan Prima Tani merupakan kondisi yang harus dipenuhi. Secara keseluruhan terdapat delapan elemen lembaga AIP yang dapat dibentuk di setiap lokasi kegiatan, sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan sumberdaya lokal. Uraian berikut mengemukakan secara ringkas tujuan penumbuhan setiap elemen lembaga AIP tersebut dan proses penumbuhannya. Lembaga Produksi Lembaga produksi merupakan elemen lembaga AIP yang harus dibentuk untuk meningkatkan efisiensi kegiatan produksi pertanian yang dilakukan petani melalui pelaksanaan kegiatan dan pengambilan keputusan secara kolektif. Lembaga produksi berbentuk kelompok tani (KT) dan gabungan kelompok tani (Gapoktan). Pembentukan KT dapat berbasis pada domisili petani, hamparan lahan atau komoditas yang diusahakan, dan disesuaikan dengan kebutuhan. Yang perlu digarisbawahi dalam pembentukan KT adalah aktivitas msing-masing individu petani dapat dikoordinir untuk mencapai tujuan bersama. Dengan kata lain, aktivitas setiap individu petani dilaksanakan berdasarkan keputusan kolektif anggota KT. Aktivitas yang dimaksud meliputi seluruh kegiatan usahatani mulai dari perencanaan kebutuhan sarana produksi hingga pemasaran hasil. Lembaga Sarana Produksi Tujuan utama pengembangan lembaga sarana produksi adalah menyelaraskan kegiatan pengadaan sarana produksi dalam jenis, kuantitas, kualitas, waktu, tempat, dan harga yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan petani. Penumbuhan kelembagaan tersebut dapat ditempuh dengan mengkoordinasikan aktivitas pedagang sarana produksi dengan kebutuhan petani yang tergabung dalam KT. Lembaga Penyuluhan Akhir-akhir ini posisi ofisial para penyuluh dan peranan penyuluh dalam mendukung petani sangat bervariasi di setiap daerah, sejalan dengan otonomi daerah. Penumbuhan lembaga penyuluhan terutama ditujukan untuk memfungsikan kembali secara efektif peranan para penyuluh dalam melakukan kegiatan pembinaan kepada
111
petani. Bentuk organisasi penyuluh yang dikembangkan dapat bervariasi di setiap lokasi kegiatan Prima Tani. Tetapi yang terpenting adalah sumberdaya pertanian tersebut dapat diberdayakan secara optimal. Lembaga Klinik Agribisnis Pembentukan lembaga klinik agribisnis dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan informasi teknologi pertanian, informasi pasar dan informasi permodalan. Lembaga ini merupakan organisasi dengan anggota para penyuluh, peneliti BPTP dan petugas dinas terkait. Klinik agribisnis didukung pula oleh Puslit dan Balit di lingkup Deptan yang berperan sebagai pemasok inovasi teknologi pertanian. Dalam operasionalnya lembaga ini dapat pula melibatkan perusahaan swasta produsen sarana produksi pertanian. Lembaga Pascapanen/Pengolahan Hasil Pertanian Penumbuhan lembaga pascapanen/pengolahan hasil pertanian ditujukan untuk menekan kehilangan hasil panen, meningkatkan nilai tambah produk dan memperlancar hasil pertanian yang diproduksi petani sesuai dengan kebutuhan pasar. Lembaga ini dapat merupakan bentukan baru yang dikelola oleh KT atau membina lembaga yang sudah ada. Penumbuhan lembaga ini dapat dirintis dengan membentuk industri pengolahan skala kecil dan rumah tangga yang dikelola secara berkelompok. Untuk menjamin kesinambungan lembaga tersebut maka usaha pengolahan yang dikembangkan harus didukung ketersediaan bahan baku, pembinaan teknis dan manajemen agar dapat memberikan keuntungan yang layak dan jaminan pasar. Pengembangan industri pengolahan yang sudah ada juga dapat ditempuh dan diarahkan untuk menciptakan pembagian nilai tambah secara proporsional dengan petani pemasok bahan baku. Lembaga Jasa Alsintan Penumbuhan lembaga jasa alsintan dapat dirintis dengan membentuk organisasi petani yang menghususkan kegiatannya pada usaha pelayanan jasa penyewaan alat dan mesin pertanian. Usaha yang dijalankan harus dapat memberikan pelayanan jasa yang memadai kepada petani dan memberikan keuntungan yang layak kepada organisasi tersebut agar dapat berkesinambungan. Jika lembaga dengan jenis usaha tersebut sudah ada maka dapat dibina dan diarahkan untuk meningkatkan efisiensi usahanya dan meningkatkan pelayanannya kepada petani dengan biaya relatif murah. Dalam kaitan ini insentif tertentu mungkin perlu dikembangkan dalam kegiatan pembinaan tersebut, misalnya dengan membantu pelaku usaha jasa alsintan untuk memperoleh kredit murah.
112
Lembaga Pemasaran Hasil Pertanian Penumbuhan lembaga pemasaran hasil pertanian dimaksudkan untuk memperluas pasar produk yang dihasilkan petani, meningkatkan posisi tawar petani, dan meningkatkan efisiensi pemasaran hasil pertanian yang dihasilkan petani. Lembaga ini dapat dikembangkan dengan membentuk kelompok pemasaran yang merupakan bagian dari organisasi kelompok tani. Pada kelompok pemasaran tersebut dapat dilibatkan petani anggota kelompok tani yang memliki pengalaman dalam kegiatan pemasaran hasil pertanian yang diusahakan petani. Pengembangan lembaga pemasaran dapat juga ditempuh melalui pembinaan lembaga pemasaran yang tersedia dengan sasaran utama menciptakan pembagian nilai tambah pemasaran secara proporsional antara petani dan pelaku pemasaran. Lembaga Permodalan Penumbuhan lembaga permodalan dapat merupakan bentukan baru atau memanfaatkan lembaga yang sudah ada tetapi belum menjangkau petani dan pelaku agribisnis lainnya. Penumbuhan lembaga permodalan baru dapat dirintis dengan mengembangkan pola Kredit Usaha Mandiri (KUM) yang melibatkan anggota kelompok tani. Sedangkan pemanfaatan lembaga permodalan yang sudah ada lebih diarahkan untuk membuka berbagai hambatan penyaluran kredit kepada petani anggota KT dan pelaku agribisnis lainnya. Dalam kaitan ini peranan pemda sebagai kekuatan politik dapat dilibatkan secara intensif. Penumbuhan Keterkaitan antar Elemen Lembaga AIP Dalam arti luas agribisnis didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan usaha yang menghasilkan produk pertanian hingga dikonsumsi oleh konsumen (Beierlein, 1986; Downey dan Ericson, 1992; Cramer and Jensen, 1994). Secara umum terdapat tiga jenis kegiatan atau bidang usaha yang tercakup dalam agribisnis yaitu kegiatan pengadaan sarana produksi pertanian, kegiatan produksi pertanian dan kegiatan pemasaran dan/atau kegiatan pengolahan hasil pertanian. Ketiga jenis kegiatan tersebut saling terkait secara fungsional-hirarkis dan membentuk suatu sistem agribisnis. Pelaku usaha sarana produksi pertanian berfungsi sebagai pemasok input usahatani kepada petani, sedangkan petani berfungsi sebagai produsen hasil pertanian dan pemasok produk pertanian kepada pedagang hasil pertanian, atau berfungsi sebagai pemasok bahan baku kepada industri pengolahan hasil pertanian. Idealnya seluruh kegiatan agribisnis mulai dari pengadaan sarana produksi hingga pemasaran produk yang dihasilkan terkoordinir dalam satu kendali manajemen agar setiap pelaku usaha agribisnis dapat menjalankan fungsinya sesuai kebutuhan. Dengan kata lain, di antara pelaku usaha agribisnis terjalin kaitan fungsional secara harmonis. Keterkaitan fungsional yang harmonis tersebut sangat dibutuhkan agar setiap usaha agribisnis dapat menerapkan asas Minimum Economic of Scale (MES).
113
Di samping keterkaitan fungsional yang harmonis, pembagian nilai tambah secara proporsional di antara pelaku usaha agribisnis merupakan keharusan dalam rangka mendorong pertumbuhan usaha agribisnis secara keseluruhan. Pembagian nilai tambah yang tidak proporsional dapat menyebabkan pelaku usaha agribisnis tertentu semakin lemah sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, dan dampak lebih lanjut adalah menghambat pertumbuhan usaha agribisnis secara keseluruhan. Pada umumnya pembagian nilai tambah yang proporsional tersebut dapat dirangsang dengan menumbuhkan keterkaitan institusional diantara pelaku usaha agribisnis. Dengan demikian, di samping penumbuhan kaitan fungsional penumbuhan kaitan institusional yang harmonis di antara pelaku usaha agribisnis harus dilakukan untuk dapat menjamin pertumbuhan usaha agribisnis secara berkelanjutan. Penumbuhan keterkaitan diantara elemen lembaga AIP meliputi empat aspek sebagai berikut : Penumbuhan Keterkaitan Fungsional Keterkaitan fungsional memiliki makna bahwa setiap elemen lembaga AIP tidak hanya harus berfungsi, namun antar elemen lembaga AIP memiliki hubungan fungsional yang harmonis. Sebagai gambaran, jika di lokasi kegiatan akan diintroduksikan benih varitas baru maka lembaga sarana produksi harus mampu menyediakan benih tersebut sesuai kebutuhan petani. Hal ini dapat dilakukan dengan menumbuhkan lembaga penangkar benih yang dibina secara memadai agar lembaga tersebut mampu memasok kebutuhan benih petani secara tepat jenis kuantitas, tepat kualitas, dan tepat waktu, serta harga. Upaya menumbuhkan keterkaitan fungsional ditempuh pula melalui temu lembaga AIP. Dalam forum temu lembaga AIP dibicarakan tentang pentingnya membangun keterkaitan fungsi antar masing-masing elemen lembaga AIP. Forum temu lembaga AIP ini diprakarsai oleh BPTP dengan bekerjasama dengan pemerintah daerah dan kelompok tani atau gabungan kelompok tani setempat. Penumbuhan Keterkaitan Institusional Terbentuknya keterkaitan fungsional antar elemen lembaga AIP dinilai belum mencukupi, karena masing-masing elemen lembaga AIP bisa jadi hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Jika hal ini terjadi maka keterkaitan fungsional antar elemen lembaga AIP diperkirakan akan rentan dalam menghadapi dinamika pasar dan aksi sepihak yang dilakukan oleh satu atau lebih elemen lembaga AIP yang kontraproduktif. Oleh sebab itu, keterkaitan fungsional antar lembaga AIP harus ditempatkan dalam bingkai hubungan keterkaitan institusional. Dalam hal ini, keterkaitan institusional antar elemen lembaga AIP harus tercerminkan dalam pembagian nilai tambah yang proporsional, terutama antara elemen lembaga produksi yang dikelola oleh kelompok tani dan elemen lembaga AIP lainnya.
114
Upaya menumbuhkan keterkaitan institusional ini merupakan kelanjutan dari penumbuhan keterkaitan fungsional antar elemen lembaga AIP. Oleh sebab itu upaya menumbuhkannya diawali dengan mempertemukan seluruh elemen lembaga AIP dalam forum temu lembaga AIP. BPTP bersama-sama dengan aparat pemda dan tokoh-tokoh masyarakat setempat pada tahap awal diharapkan memprakarsai upaya ini. Dalam pertemuan ini diharapkan dapat disepakati hubungan sharing system (mencakup cara pembagian kerja dan bagi hasil) yang didasarkan atas saling menghormati (mutual respect), saling percaya (mutual trust), dan saling menguntungkan (mutual benefit). Kesepakatan ini bisa dijadikan pedoman kerja bersama dalam kurun waktu tertentu. Perumusan Aturan Main Antar Elemen Lembaga AIP Aturan main berfungsi sebagai panduan bersama antar elemen lembaga AIP ataupun panduan intern antar anggota dalam satu elemen lembaga AIP. Aturan main dibuat agar setiap terjadi permasalahan antaranggota atau antarelemen lembaga AIP bisa diselesaikan secara kelembagaan. Dalam aturan main dirumuskan hak dan kewajiban masing-masing elemen lembaga AIP dan masing-masing anggota dalam satu elemen lembaga AIP disamping sangsi jika terjadi pelanggaran terhadap panduan yang telah disepakati bersama. Mengingat aturan main adalah panduan bersama, maka aturan main harus dibuat bersama oleh semua anggota dalam satu elemen lembaga AIP. Aturan main antar elemen lembaga AIP dibuat oleh perwakilan dari masing-masing elemen lembaga AIP. Untuk mempercepat dan mempertajam pembuatan aturan main maka BPTP, pemda, pakar lokal dan tokoh masyarakat perlu dilibatkan. Aturan main umumnya tidak bisa dibuat sekali jadi. Untuk menumbuhkannya agar memiliki fungsi dalam pengembangan AIP maka diperlukan modifikasi dari waktu ke waktu. Modifikasi tersebut disesuaikan dengan perkembangan mental anggotaanggota yang terlibat dalam elemen lembaga AIP, perubahan iklim usaha, kebijakan pemerintah daerah setempat dan aspek sosio-ekonomi-budaya yang belum diperhitungkan sebelumnya. Beberapa aturan main yang perlu dirumuskan secara khusus adalah yang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut : (1) pembagian risiko, (2) penentuan harga, (3) sistem pembayaran, (4) cara teransaksi, (5) sistem pemilikan usaha, dan (6) cara memperoleh modal dan penentuan harga modal. Organisasi Pendampingan Menumbuhkan kelembagaan AIP yang saling terkait secara harmonis baik dalam kaitan fungsional maupun kaitan institusional merupakan bagian dari sistem inovasi kelembagaan yang dikembangkan dalam pelaksnaan Prima Tani. Kelembagaan AIP akan sulit berkembang dengan sendirinya tanpa dipicu, dibantu atau dikawal dengan kelembagaan khusus. Untuk mempercepat terbentuknya kelembagaan AIP diperlukan bantuan dari luar berupa organisasi pendampingan. Secara ringkas format organisasi pendampingan dalam penumbuhan kelembagaan AIP diperlihatkan dalam Gambar 2.
115
BPTP
Pemda
Kelembagaan AIP
LSM/Ormas
Tokoh Masayarakat Gambar 2. Format Organisasi Pendampingan dalam Penumbuhan Kelembagaan AIP
Pada dasarnya organisasi pendampingan merupakan representasi dari masyarakat madani. Penumbuhan kelembagaan AIP merupakan bagian integral dari masyarakat madani. Kelembagaan AIP akan sulit ditumbuhkan jika sistem masyarakat madani yang melingkupinya belum tumbuh sehat. Oleh sebab itu peran BPTP secara sosio-budaya mencakup juga bagian dari pemrakarsa penumbuhan dan pengembangan masyarakat madani di wilayah pengembangan Prima Tani. Dalam kaitan ini BPTP perlu berinisiatif untuk menggalang kerjasama dengan pemerintah daerah untuk mengawali pembetukan Organisasi Pendampingan Prima Tani di wilayah setempat. PENUTUP Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani) pada dasarnya dikembangkan dalam rangka mengatasi kelambanan penyampaian dan penerapan inovasi teknologi pertanian. Pada intinya pelaksanaan Prima Tani mengupayakan terwujudnya hubungan sinergis : antara kegiatan penelitian dan penyuluhan, antara Badan Litbang Pertanian dan praktisi agribisnis terutama petani, dan antara praktisi agribisnis. Dalam pelaksanaanya upaya tersebut diwujudkan melalui pengembangan model Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP), yang merupakan perpaduan antara sistem inovasi dan sistem agribisnis. Model AIP tersebut diimplementasikan dengan pendekatan kawasan dengan unit terkecil berupa wilayah desa dan pendekatan agroekosistem. Dari sisi kelembagaan agribisnis, implementasi model AIP membutuhkan dua kegiatan utama yaitu: penumbuhan elemen lembaga agribisnis yang dibutuhkan, dan penumbuhan keterkaitan fungsional dan institusional yang harmonis di antara praktisi agribisnis. Selama ini kedua kegiatan tersebut dapat dikatakan relatif kurang dikembangkan karena inovasi pertanian lebih ditekankan pada aspek teknis daripada
116
aspek kelembagaan. Oleh karena itu implementasi model AIP secara utuh mungkin akan dihadapkan pada hambatan dan permasalahan yang cukup intensif. Dalam kaitan ini maka dukungan dari berbagai pihak (masyarakat lokal, pemerintah daerah, institusi terkait) sangat dibutuhkan dalam rangka mewujudkan sistem agribisnis berbasis teknologi yang berdaya saing, bernilai tambah tinggi, dan proporsional dalam pembagian nilai tambah. DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian. 2004. Rancangan Dasar : Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Badan Litbang Pertanian. 2004. Petunjuk Teknis Laboratorium Agribisnis. Badan Litbang Pertanian. 2004. Panduan Umum Penyusunan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Prima Tani. Beierlein, J.G. 1986. Principles of Agribusiness Management. A Reston Book. Prentice-Hall. New Jersey. Cramer, G.L. and Jensen, C.W. 1994. Agricultural Economics and Agribusiness. John Willey & Sons Inc. New York. Downey, W.D. dan Ericson, S.P. 1992. Manajemen Agribisnis. Penerbit Erlangga. Jakarta.
117