PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PROGRAM RINTISAN DAN AKSELERASI PEMASYARAKATAN INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN (PRIMA TANI) OLEH PETANI (Kasus di Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat)
LALU NOFA SETIAWAN PUTRA I34051860
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ABSTRACT LALU NOFA SETIAWAN PUTRA. Innovation Decision-Making of Pilot and Acceleration of Agricultural Technology Program (Prima Tani) by Farmer, Case on Jatiwangi Village West Java Province (Under Consultant DWI SADONO)
The purpose of this study are to: (1) Knowing Prima Tani innovation decision-making by farmers and (2) Analyze the factors associated with Prima Tani innovation decision-making by farmers. This research is survey explanatory research using quantitative approaches, supported by qualitative data which took place within the Jatiwangi Village, Garut in February 2009. Data collection techniques are applied by researchers using a questionnaire and interview techniques. Respondents of this study is the farmer members and non-members of farmer groups. Total respondents is 44 persons using stratified random sampling technique. The data have been analyzed using descriptive analysis and Spearman rank correlation test. Most farmers in the Jatiwangi Village Prima Tani innovation decisions. Prima Tani innovation decision-making correlate by farmer perception of extension agent abilitys, farmer perception of extension agent roles, farmer activity in farmer group, compability, complexity, triability, and observability.
Keywords: Innovation Decision-Making, Prima Tani, Farmer
ii
RINGKASAN LALU NOFA SETIAWAN PUTRA. Pengambilan Keputusan Inovasi Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian oleh Petani, Kasus di Desa Jatiwangi Kecamatan Pakenjeng Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat (Di bawah bimbingan DWI SADONO)
Banyak lembaga penelitian di Indonesia telah mampu menghasilkan teknologi agribisnis tetapi hasil penelitan tersebut belum dikenal secara luas oleh masyarakat khususnya petani. Oleh karena itu, perlu dibangun sistem inovasi yang mampu mempercepat transfer inovasi yang berasal dari lembaga penelitian kepada pengguna. Untuk itu mulai tahun 2005, Badan Litbang Pertanian melaksanakan Program Rintisan dan Akselarasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) Mengetahui pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh petani dan (2) Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh petani. Penelitian ini adalah penelitian survei explanatory dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif yang mengambil lokasi di Desa Jatiwangi, Garut pada bulan Februari tahun 2009. Teknik pengumpulan data yang diterapkan oleh peneliti adalah teknik wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Responden penelitian ini adalah petani anggota dan non-anggota kelompok tani. Total seluruh responden adalah 44 orang. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik stratified random sampling. Data yang telah diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif dan uji korelasi rank Spearman.
iii
Pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh petani adalah dimana petani dihadapkan dalam pemilihan untuk menentukan pilihan apakah akan menerima atau menolak inovasi Prima Tani. Sebagian besar petani di Desa Jatiwangi mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani yaitu sebesar 86,36 persen dan sebesar 13,64 persen tidak mengadopsi. Pada PNKT maupun PKT, sebagian besar petani mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani, masing-masing sebesar 85,00 persen pada PNKT dan 87,50 pada PKT. Pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh petani berhubungan nyata pada taraf (P < 0,10) dengan persepsi petani terhadap kemampuan penyuluh, persepsi petani terhadap peran penyuluh, tingkat aktifitas petani dalam kelompok tani, tingkat kesesuain, tingkat kerumitan, tingkat kemudahan dicoba, dan tingkat kemudahan diamati, sedangkan umur, pendidikan formal, luas lahan garapan, intensitas menghadiri penyuluhan, tingkat kemudahan mendapatkan benih, tingkat kemudahan mendapatkan pupuk, tingkat kemudahan mendapatkan obat-obatan, dan tingkat keuntungan relatif tidak berhubungan dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh Petani. Saran dari penelitian ini, adalah: (1) Pemerintah diharapkan dapat menyediakan kendaraan operasional bagi penyuluh untuk meningkatkan kinerja penyuluh, (2) Kelompok tani harus dapat diakses oleh semua petani tidak terbatas pada keluarga dan kerabat ketua kelompok tani saja, dan (3) Pemerintah harus segera mengatasi serangan hama “ku uk” agar petani dapat menanam padi gogo lagi di lahan ladangnya.
iv
PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PROGRAM RINTISAN DAN AKSELERASI PEMASYARAKATAN INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN (PRIMA TANI) OLEH PETANI (Kasus di Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat)
LALU NOFA SETIAWAN PUTRA I34051860
SKRIPSI Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
v
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh: Nama Mahasiswa : Lalu Nofa Setiawan Putra NRP : I34051860 Departemen : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul : Pengambilan Keputusan Inovasi Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani) oleh Petani, Kasus di Desa Jatiwangi Kecamatan Pakenjeng Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Dapat diterima sebagai salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Dwi Sadono, M.Si NIP. 19641102 199203 1 003
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus Ujian:________________________
vi
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL "PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PROGRAM RINTISAN DAN AKSELERASI PEMASYARAKATAN INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN (PRIMA TANI) OLEH PETANI" BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK
LAIN
KECUALI
SEBAGAI
BAHAN
RUJUKAN
YANG
DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Juni 2010
Lalu Nofa Setiawan Putra I34051860
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Lalu Nofa Setiawan Putra yang dilahirkan pada tanggal 16 Nopember 1986 di Labuhan Lombok Nusa Tenggara Barat. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Lalu Mohammad Natsir dan Ibu Fatimah Hasan. Penulis memulai pendidikan formal di Sekolah Dasar Negeri 04 Taliwang. Setelah tamat, penulis melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Taliwang selama enam tahun pada tahun 1999-2005. Selama di pondok pesantren, penulis aktif mengikuti kegiatan belajar mengajar di SMP Al-Ikhlas dan SMA Al-Ikhlas. Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi santri pondok pesantren Al-Ikhlas (OSPI). Pada tahun 2003, penulis diberi amanah menjadi ketua OSPI. Tidak lama setelah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren, penulis mengikuti tes Program Beasiswa Santri Berprestasi Departemen Agama Republik Indonesia (PBSB Depag RI) dan alhamdulillah berkat rahmat Allah penulis lulus tes. Dengan lulus tes tersebut penulis diberi kesempatan oleh Depag RI untuk kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2005 melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah). Di IPB penulis mengambil studi mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dengan minor Ilmu Konsumen. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif menjadi pengurus dalam organisasi kemahasiswaan IPB. Selama dua periode berturut-turut penulis diberi amanah menjadi Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (DPM FEMA) yaitu pada masa periode kepengurusan 2006-2007 dan 2007-2008. Pada saat bersamaan penulis juga diberi amanah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor
viii
(MPM KM IPB) perwakilan dari DPM FEMA. Pada masa periode kepengurusan berikutnya yaitu masa periode kepengurusan 2008-2009 penulis diberi amanah menjadi Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Mahasiswa Kelurga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (DPM KM IPB) dan Ketua Badan Pekerja Mahkamah Konstitusi MPM KM IPB. Di luar kampus, penulis aktif dalam Community of Santri Scholars (CSS), suatu komunitas mahasiswa PBSB. Pada tahun 2005, penulis diberi amanah menjadi koordinator mahasiswa CSS IPB dan berlanjut sampai tahun 2007. Pada tahun 2008, penulis bersama koordinator CSS Perguruan Tinggi Negeri lain diantaranya Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN Syarif Hidayatullah), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Sunan Kalijaga), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UIN Sunan Ampel) sepakat membentuk dan mendirikan CSS Nasional.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulisan skripsi ini dapat penulis selesaikan. Skripsi ini berjudul "Pengambilan
Keputusan
Inovasi
Program
Rintisan
dan
Akselerasi
Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani) oleh Petani". Misi utama Badan Litbang Pertanian adalah menemukan atau menciptakan inovasi pertanian (teknologi, kelembagaan dan kebijakan) yang maju dan strategis, mengadaptasikannya menjadi tepat guna spesifik pemakai dan lokasi, serta menginformasikan dan menyediakan materi dasarnya, namun demikian, evaluasi eksternal dan internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi tersebut cenderung melambat, bahkan menurun. Oleh karena itu, Badan Litbang Pertanian melaksanakan Prima Tani untuk mempercepat penyampaian informasi dan bahan inovasi baru. Dalam rangka itu, BPTP Jawa Barat membawa Prima Tani ke Desa Jatiwangi yang dinilai dapat mendayagunakan lahan kering di daerah tersebut. Pengambilan keputusan inovasi Prima Tani belum banyak diteliti, karena itu menarik menurut peneliti untuk dilakukan penelitian. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan pemahaman dan manfaat pada pembaca mengenai pengambilan keputusan inovasi Prima Tani petani.
x
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak yang dengan tanpa bantuan mereka penulisan skripsi ini tidak akan selesai. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ir. Dwi Sadono, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan bimbingan dan arahannya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Anna Fatchiya, M.Si dan Martua Sihaloho, SP, M.Si selaku penguji sidang skripsi yang telah memberikan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini. 3. Petani Desa Jatiwangi yang telah bersedia menjadi responden penelitian skripsi ini. 4. Departemen Agama RI yang telah membiayai penelitian skripsi ini. 5. Mama tercinta serta adik-adik tersayang (Adi, Yayie, dan Tata) yang selalu mendoakan penulis. 6. NoCan, yang senantiasa membantu dan memotivasi penulis. 7. Teman-teman CSS IPB, DPM FEMA, DPM KM, MPM KM, SKPM, dan teman-teman asrama NTB yang selalu mendukung penulis. 8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Bogor, Juni 2010 Lalu Nofa Setiawan Putra
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL................................................................................................ xiv DAFTAR GAMBAR DAN BOX....................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xvii BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ....................................................................................... 2 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 3 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 5 2.1 Inovasi ........................................................................................................... 5 2.2 Adopsi Inovasi ............................................................................................... 6 2.3 Program Rintisan dan Akselarasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani) ................................................................................... 7 2.4 Pengambilan Keputusan Inovasi..................................................................... 8 2.5 Faktor yang Mempengaruhi Inovasi ............................................................. 11 2.6 Hasil Penelitian Terdahulu ........................................................................... 12 BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN................................................................ 19 3.1 Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 19 3.2 Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 22 3.3 Definisi Operasional .................................................................................... 22 BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 28 4.1 Metode Penelitian ........................................................................................ 28 4.2 Lokasi dan Waktu ........................................................................................ 28 4.3 Teknik Pengumpulan Data ........................................................................... 29 4.4 Teknik Analisis Data.................................................................................... 29 BAB V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN .................................... 30 5.1 Letak dan Kondisi Geografis ........................................................................ 30 5.2 Penduduk dan Mata Pencaharian .................................................................. 32 5.3 Pola Tanam dan Sistem Upah ....................................................................... 35 5.4 Pendidikan ................................................................................................... 37
BAB VI. PELAKSANAAN PRIMA TANI DI DESA JATIWANGI ................. 40 6.1 Pengadaan Inovasi Teknologi Pertanian ....................................................... 40 6.2 Inovasi Kelembagaan Agribisnis .................................................................. 44 6.3 Dampak Inovasi Teknologi dan Kelembagaan Agribisnis ............................. 45 BAB VII. KARAKTERISTIK INTERNAL, KARAKTERISTIK EKSTERNAL, DAN KARAKTERSTIK INOVASI PRIMA TANI................................................................................................ 47 7.1 Karakteristik Internal Petani ......................................................................... 47 7.2 Karakteristik Eksternal Petani ...................................................................... 48 7.3 Karakteristik Inovasi Prima Tani .................................................................. 53 BAB VIII. PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PRIMA TANI OLEH PETANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA ................................................................. 58 8.1 Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani .............................. 58 8.2 Hubungan Karakteristik Internal Petani dengan Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani ................................................... 58 8.3 Hubungan Karakteristik Eksternal Petani dengan Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani ................................................... 62 8.4 Hubungan Karakteristik Inovasi Prima Tani dengan Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani ................................................... 72 BAB IX. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 76 9.1 Kesimpulan .................................................................................................. 76 9.2 Saran .................. ......................................................................................... 77 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 80 LAMPIRAN ……………………………………………………………………..81
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Luas Lahan dan Peruntukannya di Desa Jatiwangi, 2008 .................. 31
2.
Penduduk Desa Jatiwangi Berdasarkan Mata Pencaharian, 2008 ................................................................................................. 32
3.
Penduduk Desa Jatiwangi Berdasarkan Pendidikan, 2008 ................. 38
4.
Lembaga Pendidikan yang Terdapat di Desa Jatiwangi, 2008 ........... 40
5.
Hasil Produksi Empat Varietas Unggul Padi Gogo di Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Garut MH 2005/2006 ................... 42
6.
Perkembangan Populasi Ternak Domba di Kelompok Tani Kooperator ....................................................................................... 43
7.
Pendapatan Keluarga Petani Kooperator di Desa Jatiwangi, 2007 ................................................................................................. 46
8.
Sebaran Karakteristik Petani Berdasarkan Kelompok Umur, Tingkat Pendidikan Formal, dan Luas Lahan Garapan di Desa Jatiwangi, 2008 ................................................................................ 47
9.
Sebaran Karakteristik Eksternal Petani Berdasarkan Intensitas Petani Menghadiri Penyuluhan, Persepsi Petani terhadap Kemampuan Penyuluh, Persepsi Petani terhadap Peran Penyuluh, dan Tingkat Aktifitas Petani dalam Kelompok Tani di Desa Jatiwangi .......................................................................................... 50
10.
Sebaran Karakteristik Eksternal Petani Berdasarkan Tingkat Kemudahan Petani Mendapatkan Benih/Bibit, Pupuk, dan ObatObatan di Desa Jatiwangi ................................................................. 52
11.
Sebaran Petani Berdasarkan Pendapatnya Terhadap Karakteristik Inovasi Prima Tani di Desa Jatiwangi ............................................... 54
12.
Sebaran Petani Berdasarkan Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani di Desa Jatiwangi ........................................................... 59
13.
Hubungan Antara Karakteristik Internal Petani dengan Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani di Desa Jatiwangi .......................................................................................... 60
14.
Hubungan Antara Karakteristik Eksternal Petani dengan Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani di Desa Jatiwangi .......................................................................................... 63
15.
Hubungan Antara Karakteristik Eksternal Petani dengan Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani di Desa Jatiwangi .......................................................................................... 68
16.
Hubungan Antara Karakteristik Inovasi Prima Tani dengan Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani di Desa Jatiwangi .......................................................................................... 71
DAFTAR GAMBAR DAN BOX
Nomor
Halaman
1.
Kerangka Pemikiran Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani..........................................................................................21
2.
Petani yang Menggarap Lahan Petani Lain Karena Tidak Memiliki Lahan Sendiri ............................................................................34
3.
Petani yang Memiliki Lahan Luas Tetapi Tidak Dapat Menggarap Semua Lahannya.....................................................................35
4.
Petani Wanita.............................................................................................36
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Sketsa Desa Jatiwangi................................................................................82
2.
Output Uji Korelasi Rank Spearman..........................................................83
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Banyak lembaga penelitian di Indonesia telah mampu menghasilkan
teknologi agribisnis tetapi hasil penelitan tersebut belum dikenal secara luas oleh masyarakat khususnya petani. Oleh karena itu, perlu dibangun sistem inovasi yang mampu mempercepat transfer inovasi yang berasal dari lembaga penelitian kepada pengguna. Untuk itu mulai tahun 2005, Badan Litbang Pertanian melaksanakan Program Rintisan dan Akselarasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). 1 Prima Tani adalah suatu model atau konsep baru diseminasi teknologi yang dipandang dapat mempercepat penyampaian informasi dan penyebaran inovasi teknologi pertanian, beserta umpan baliknya. Prima Tani diharapkan dapat berfungsi sebagai jembatan penghubung langsung antara Badan Litbang Pertanian sebagai penghasil inovasi dengan lembaga penyampaian (delivery system) maupun pelaku agribisnis (receiving system) pengguna inovasi. Selain sebagai wahana diseminasi, Prima Tani juga merupakan wahana pengkajian partisipatif, yang berarti merupakan implementasi dari paradigma baru Badan Litbang, yakni Penelitian untuk Pembangunan (Research for Development) menggantikan paradigma lama Penelitian dan Pengembangan (Research and Development).2 Salah satu pendekatan Prima Tani adalah agroekosistem. Sebagian agroekosistem lokasi dilaksanakannya Prima Tani merupakan lahan kering. 1 2
http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/339/ [diakses tanggal 7 Maret 2009] http://primatani.litbang.deptan.go.id/ [diakses tanggal 1 Maret 2009]
2
Berdasarkan data survei pertanian Badan Pusat Statistik, pada tahun 2007 luas lahan kering di Indonesia adalah 36.799.427 hektar3, sementara luas lahan kering di Provinsi Jawa Barat adalah 1.774.493 hektar, sampai saat ini produktivitas usahataninya masih rendah. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang mempunyai potensi sumberdaya alam sangat besar, terutama potensi sumberdaya di sektor pertanian. Hal ini sebenarnya dapat memberikan dukungan dalam mempercepat pengembangan pembangunan perekonomian Jawa Barat, akan tetapi belum semua potensi yang dimiliki dapat dikelola secara optimal. 4 Pada tahun 2005, BPTP Jawa Barat mengimplementasikan Prima Tani di Garut. BPTP Jabar membawa teknologi sederhana ke Desa Jatiwangi. Sekalipun sederhana tapi sangat dibutuhkan masyarakat tani yang sebagian besar lahannya (255.705 hektar atau 83,42 persen) merupakan lahan kering yang pengairannya sangat bergantung kepada hujan5. Pengambilan keputusan inovasi Prima Tani belum banyak diteliti, karena itu menarik menurut peneliti untuk dilakukan penelitian.
1.2
Perumusan Masalah Misi utama Badan Litbang Pertanian adalah menemukan atau menciptakan
inovasi pertanian (teknologi, kelembagaan dan kebijakan) yang maju dan strategis, mengadaptasikannya menjadi tepat guna spesifik pemakai dan lokasi, serta menginformasikan dan menyediakan materi dasarnya, namun demikian, 3
BPS (2007), termasuk: lahan tegal/kebun, lahan lading/huma, lahan sementara tidak diusahan, rawa-rawa yang tidak ditanami 4 http://www.diperta.jabarprov.go.id/index.php?mod=manageMenu&idMenuKiri=439&idMenu=6 01 [diakses tanggal 7 Maret 2009] 5 http://primatani.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=206&Itemid =66 [diakses tanggal 1 Maret 2009]
3
evaluasi eksternal dan internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi tersebut cenderung melambat, bahkan menurun. Oleh karena itu, Badan Litbang Pertanian melaksanakan Prima Tani untuk mempercepat penyampaian informasi dan bahan inovasi baru. Dalam rangka itu, BPTP Jawa Barat membawa Prima Tani ke Desa Jatiwangi yang dinilai dapat mendayagunakan lahan kering di daerah tersebut. Prima Tani adalah suatu model atau konsep baru diseminasi teknologi yang dipandang dapat mempercepat penyampaian informasi dan penyebaran inovasi teknologi pertanian, beserta umpan baliknya. Selain sebagai wahana diseminasi, Prima Tani juga merupakan wahana pengkajian partisipatif, yang berarti merupakan implementasi dari paradigma baru Badan Litbang, yakni Penelitian untuk Pembangunan (Research for Development) menggantikan paradigma lama Penelitian dan Pengembangan (Research and Development). Sehubungan dengan hal tersebut, permasalahan yang dirumuskan dan ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh petani? dan (2) Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh petani?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya dan untuk menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1.
Mengetahui banyaknya petani yang mengambil keputusan inovasi Prima Tani.
4
2.
Menganalisis
faktor-faktor
yang
berhubungan dengan pengambilan
keputusan inovasi Prima Tani oleh petani.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti tentang
pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh petani. Disamping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi pengambil kebijakan dalam menyusun dasar-dasar perbaikan dan pengembangan Prima Tani dan dalam upaya pemasyarakatannya kepada sasaran (petani) dalam rangka peningkatan pendapatan petani dan menjamin ketersedian bahan pangan nasional.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Inovasi Rogers (2003) mengartikan inovasi sebagai ide, praktik atau objek yang
dirasa baru oleh individu atau unit adopsi lain. Sifat dalam inovasi tidak hanya pengetahuan baru. Seseorang mungkin telah mengetahui tentang inovasi untuk suatu waktu tetapi belum mengembangkan sikap baik atau tidak baik terhadap inovasi tersebu, atau belum adopsi atau menolaknya. Secara lebih jelas Lionberger dan Gwin dikutip Mardikanto (1996) mengartikan inovasi tidak sekedar sebagai sesuatu yang dirasa baru, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat. Pengertian “baru” disini mengandung makna bukan sekedar “baru diketahui” oleh pikiran (cognitive) tetapi juga “baru” karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat dalam arti sikap (attitude) dan juga “baru” dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan atau diterapkan oleh seluruh warga masyarakat setempat. Lebih dari itu, pengertian inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil produksi saja, tetapi mencakup ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku atau gerakan-gerakan menuju proses perubahan di dalam segala bentuk tata kehidupan masyarakat, oleh karena itu Mardikanto (1996), menjelaskan lebih luas pengertian inovasi sebagai suatu ide, perilaku, produk, informasi, dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui/diterima/ diterapkan/dilaksanakan oleh sebagaian besar masyarakat dalam lokalitas tertentu,
6
yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan.
2.2
Adopsi Inovasi Menurut Soekartawi (1988) adopsi inovasi mengandung pengertian yang
kompleks dan dinamis. Hal ini disebabkan karena proses adopsi inovasi sebenarnya adalah menyangkut proses pengambilan keputusan, dimana dalam proses ini banyak faktor yang mempengaruhinya. Rogers dan Soemaker dikutip Soekartawi (1988) memberikan definisi tentang proses pengambilan keputusan untuk melakukan adopsi inovasi sebagai proses mental sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya. Lebih lanjut, menurut Soekartawi (1988) karena dalam proses adopsi inovasi diperlukan informasi yang cukup, maka calon adopter biasanya senantiasa mencari informasi dari sumber informasi yang relevan. Ada tiga hal yang diperlukan bagi calon adopter dalam kaitannya dengan proses adopsi inovasi ini, yaitu: (a) adanya pihak lain yang telah melaksanakan adopsi inovasi dan berhasil dengan sukses. Pihak yang tergolong criteria ini dimaksudkan sebagai sumber informasi yang relevan, (b) adanya suatu proses adopsi inovasi yang berjalan secara sistematis, sehingga dapat diikuti dengan mudah oleh calon adopter, (c) adanya hasil adopsi inovasi yang sukses dalam artian telah memberikan keuntungan, sehingga dengan demikian informasi seperti ini akan memberikan dorongan kepada calon adopter untuk melaksanakan adopsi inovasi.
7
2.3
Pengambilan Keputusan Inovasi Dalam banyak kenyataan petani biasanya tidak menerima begitu saja ide-
ide baru (teknologi baru) pada saat pertama kali mereka mendengarnya. Waktu pertama kali itu, mereka mungkin hanya “mengetahui” saja tetapi untuk sampai tahapan mereka mau “menerima” ide-ide baru tersebut diperlukan waktu yang relatif lama. Suatu keputusan untuk melakukan “perubahan” dari yang semula hanya “mengetahui” sampai sadar dan mengubah sikapnya untuk melaksankan suatu ide baru tersebut, biasanya juga merupakan hasil dari urut-urutan kejadian dan pengaruh-pengaruh tertentu berdasarkan dimensi waktu. Dengan kata lain, suatu “perubahan” sikap yang dilakukan oleh petani adalah merupakan proses yang memerlukan waktu dimana tiap-tiap petani memerlukan waktu berbeda satu sama lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh berbagai hal yang melatarbelakangi petani itu sendiri, misalnya kondisi petani itu sendiri, kondisi lingkungannya, dan karakteristik dari teknologi baru yang mereka adopsi (Soekartawi, 1988). Adapun tahapan-tahapan proses pengambilan keputusan inovasi menurut Rogers (2003) adalah sebagai berikut: (1)
Pengenalan (knowledge), terjadi ketika individu atau unit pembuat keputusan lain membuka diri terhadap keberadaan inovasi dan memperoleh beberapa pengertian mengenai bagaimana inovasi tersebut berfungsi. Informasi yang diterima oleh individu ataupun unit pembuat keputusan ini masih bersifat umum.
(2)
Persuasi (persuasion), tahap ini terjadi ketika individu atau unit pembuat keputusan lain membentuk sikap senang atau tidak senang terhadap inovasi.
8
Pada tahap ini seseorang terlibat secara psikologis dengan inovasi dan giat mencari keterangan atau informasi mengenai inovasi. (3)
Keputusan (decisions), terjadi bila individu atau unit pembuat keputusan lain dihadapkan pada situasi untuk menentukan pilihan apakah akan menerima atau menolak inovasi.
(4)
Implementasi (implementation), tahap ini terjadi ketika individu atau unit pembuat keputusan lain mulai menjalankan atau melaksanakan apa yang telah diputuskannya pada tahap keputusan.
(5)
Konfirmasi (confirmation), tahap ini terjadi ketika individu atau unit pembuat keputusan lain mencoba memperkuat keputusan inovasi atau sebaliknya menarik keputusan inovasi. Seseorang dapat berubah pikiran dari yang sudah menerima keputusan adopsi inovasi menjadi menolak adopsi inovasi dan sebaliknya. Inovasi baru dapat diterima atau ditolak oleh individu-individu anggota
dari sistem sosial tersebut atau oleh keseluruhan sistem sosial, keputusan untuk menginovasi diambil (ditentukan) secara kolektif atau dengan keputusan yang diambil oleh penguasa (authority decisions). Berdasarkan penentu keputusan inovasi, menurut Rogers (2003) terdapat tiga model keputusan inovasi, yaitu (1) keputusan inovasi oleh individu anggota sistem sosial, (2) keputusan inovasi kolektif, dan (3) keputusan inovasi otoritas. Keputusan inovasi oleh individu anggota sistem sosial (optional innovation decisions), merupakan keputusan untuk adopsi atau menolak sebuah inovasi yang dibuat atau diputuskan oleh individu tersebut tidak tergantung kepada anggota lain dari sistem sosial. Keputusan yang diputuskan oleh individu
9
ini mungkin dipengaruhi oleh norma-norma dalam sistem dan oleh komunikasi, terutama melalui jaringan komunikasi interpersonal. Aspek khusus dalam tipe keputusan inovasi ini bertumpu pada individu sebagai unit pengambil keputusan daripada sistem sosial, sedangkan keputusan inovasi kolektif (collective innovation decisions) merupakan pilihan untuk adopsi atau menolak sebuah inovasi yang dibuat berdasarkan konsensus diantara anggota-anggota sistem sosial. Semua unit di dalam sistem biasanya harus menyesuaikan diri ke dalam keputusan kolektif yang sudah dibuat. Berbeda dengan dua model keputusan inovasi di atas, keputusan inovasi otoritas (authority innovation decisions), adalah keputusan untuk adopsi atau menolak inovasi yang dibuat oleh sedikit orang yang memiliki kekuatan (kekuasaan), status sosial yang tinggi, ataupun orang yang memiliki keahlian teknik tertentu.
2.4
Program Rintisan dan Akselarasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani) 6 Misi utama Badan Litbang Pertanian adalah menemukan atau menciptakan
inovasi pertanian (teknologi, kelembagaan dan kebijakan) yang maju dan strategis, mengadaptasikannya menjadi tepat guna spesifik pemakai dan lokasi, serta menginformasikan dan menyediakan materi dasarnya, namun demikian, evaluasi eksternal dan internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi tersebut cenderung melambat, bahkan menurun. Disadari sepenuhnya bahwa kinerja dan citra publik terhadap Badan Litbang amat
6
http://primatani.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=206&Itemid =66 [diakses tanggal 1 Maret 2009]
10
ditentukan oleh pemanfaatan dan dampak inovasi yang dihasilkannya. Oleh karena itu, Badan Litbang merasa terpanggil harus melakukan segala upaya yang mungkin agar inovasi yang telah dihasilkan tidak saja diketahui oleh para pengguna (beneficiaries), tetapi juga dimanfaatkan secara luas dan tepat guna oleh praktisi agribisnis khususnya petani. Untuk itu, mulai tahun 2005, Badan Litbang melaksanakan Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Ini adalah suatu model atau konsep baru diseminasi teknologi yang dipandang dapat mempercepat penyampaian informasi dan penyebaran inovasi teknologi pertanian, beserta umpan baliknya. Prima Tani diharapkan dapat berfungsi sebagai jembatan penghubung langsung antara Badan Litbang sebagai penghasil inovasi dengan lembaga penyampaian (delivery system) maupun pelaku agribisnis (receiving system) pengguna inovasi. Selain sebagai wahana diseminasi, Prima Tani juga merupakan wahana pengkajian partisipatif, yang berarti merupakan implementasi dari paradigma baru Badan Litbang, yakni Penelitian untuk Pembangunan (Research for Development) menggantikan paradigma lama Penelitian dan Pengembangan (Research and Development). Prima Tani pada dasarnya merupakan strategi baru dalam melaksanakan TUPOKSI Badan Litbang Pertanian. Prima Tani mengandung dua unsur pembaruan: (a) Inovasi teknologi tepat guna siap terap dan manajemen usaha agribisnis, (b) Inovasi kelembagaan yang memadukan sistem atau rantai pasok inovasi (innovation system) dan system agribisnis (agribusiness system). Dalam implementasinya Prima Tani menggunakan lima pendekatan, yaitu: agroekosistem, agribisnis, wilayah, kelembagaan dan kesejahteraan, yang
11
mengarah kepada pembangunan suatu laboratorium agribisnis menjadi suatu unit agribisnis industrial pedesaan. Pada tahap awal tahun 2005 Prima Tani dilaksanakan di empat belas propinsi, mencakup 21 Laboratorium Agribisnis, dan pada tahun 2006 bertambah menjadi 25 provinsi yang meliputi tiga puluh desa, sedangkan pada tahun 2007 pelaksanaan Prima Tani diperluas ke 200 kabupaten di seluruh provinsi di Indonesia. Selanjutnya kegiatan Prima Tani akan dimasalkan atau direplikasikan di lokasi-lokasi lain yang memiliki sub-agroekosistem yang sama.
2.5
Faktor yang Mempengaruhi Inovasi Menurut
Rogers
(2003),
proses
pengambilan
keputusan
inovasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu variabel penerima inovasi, sistem sosial, dan karakteristik inovasi. Variabel penerima inovasi meliputi: (1) sifat-sifat pribadi seperti sikap terhadap perubahan, (2) sifat-sifat sosial seperti sifat kekosmopolitan, dan (3) kebutuhan nyata terhadap inovasi. Variabel sistem sosial meliputi: (1) norma-norma sistem sosial, (2) toleransi terhadap penyimpangan, dan (3) kesatuan komunikasi. Variabel karakteristik inovasi terdiri dari: (1) keuntungan relatif yaitu tingkatan dimana suatu inovasi dirasakan lebih memberikan keuntungan dibandingkan dengan inovasi sebelumnya,
(2)
kompabilitas yaitu sejauhmana suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilainilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan penerima, (3) kompleksitas yaitu tingkat dimana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan digunakan, (4) triabilitas yaitu tingkat dimana suatu inovasi dapat dicoba dalam
12
skala kecil, dan (5) observabilitas yaitu tingkat dimana hasil-hasil suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Menurut Lionberger dikutip Eriyani (1999), kecepatan seseorang adopsi dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut: (1) pendapatan, (2) umur, (3) tingkat pendidikan, (4) partisipasi dalam kelompok atau organisasi di luar lingkungan, dan (5) sumber informasi yang dapat dimanfaatkan. Faktor lain dari seseorang yang dipandang memberikan pengaruh terhadap keputusan inovasi adalah tipe/jenis pengambilan keputusan terhadap inovasi yang ditawarkan. Sistem sosial memiliki peran penting yang berpengaruh terhadap difusi ide-ide baru.
2.6
Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian Lestari (1994) yang bertopik hubungan status sosial ekonomi
petani dengan tingkat adopsi inovasi sapta usaha pertaniaan mengungkapkan bahwa luas lahan petani, tingkat pendapatan petani, dan pendidikan mempunyai hubungan positif nyata dengan tingkat adopsi teknologi sapta usaha pertanian. Ini berarti semakin luas penguasaan lahan petani, semakin tinggi tingkat pendapatan petani, dan semakin tinggi tingkat pendidikan formal petani maka semakin tinggi pula tingkat adopsi, sedangkan umur dan pengalaman berusaha tani memiliki hubungan negatif nyata dengan tingkat adopsi. Ini berarti semakin tinggi umur petani dan semakin lama pengalaman berusaha taninya maka semakin rendah tingkat adopsinya, sementara besar tanggungan keluarga berhubungan tidak nyata dengan tingkat adopsi, berarti tidak terdapat keeratan hubungan antara besar tanggungan keluarga dengan tingkat adopsi teknologi sapta usaha pertanian.
13
Pada penelitian Novarianto (1999) yang bertopik adopsi inovasi teknologi TABELA bagi petani padi sawah, faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi tidak hanya status sosial ekonomi petani seperti penelitian Lestari di atas. Secara garis besar, faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi terdiri dari karakteristik internal petani dan karakteristik eksternal petani. Karakteristik internal petani terpilih antara lain: umur, lama pendidikan formal, pengalaman berusaha tani, jumlah tanggungan keluarga, penghasilan usahatani, motivasi petani mengikuti TABELA, frekuensi mengunjungi sumber informasi, dan pandangan petani terhadap sifat-sifat inovasi. Karakteristik internal petani terpilih pada penelitian ini hampir sama dengan status sosial ekonomi petani pada penelitian Lestari, hanya saja ditambah dengan motivasi petani mengikuti TABELA, frekuensi mengunjungi sumber informasi, dan pandangan petani terhadap sifat-sifat inovasi. Adapun karakteristik eksternal petani terpilih adalah tingkat ketersedian informasi tentang TABELA, intensitas penyuluhan, dan ketersedian saprodi. Berdasarkan hasil uji korelasi rank Spearman, karakteristik internal petani yang berhubungan nyata dengan tingkat penerapan teknologi TABELA adalah lama pendidikan formal, frekuensi mengunjungi sumber informasi, tingkat keuntungan, dan tingkat kesesuaian sedangkan karakteristik eksternal petani yang berhubungan nyata dengan tingkat penerapan teknologi TABELA adalah intensitas penyuluhan. Lama pendidikan formal berhubungan nyata dengan tingkat adopsi inovasi pada dua penelitian di atas, namun pada penelitian Lestari (1994) berhubungan positif nyata sedangkan pada penelitian Novarianto (1999) berhubungan negatif nyata. Hal ini dikarenakan pada penelitian Lestari (1994), pendidikan bagi
14
responden akan membuka jalan pikiran seseorang sehingga memudahkan menerima sesuatu yang baru yang dirasakan bermanfaat, dengan kata lain bersedia adopsi inovasi. Pada penelitian Novarianto (1999), hubungan negatif nyata menunjukkan lamanya pendidikan satu tahun dan dua tahun sampai dengan enam tahun tidak memberikan pengaruh pada penerapan teknologi TABELA. Tingkat pendidikan mungkin hanya menciptakan suatu dorongan agar mental untuk menerima inovasi yang menguntungkan dapat diciptakan. Faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi inovasi pada penelitian Sadono (1999) yang bertopik tingkat adopsi inovasi pengendalian hama terpadu oleh petani, hampir sama dengan penelitian Novarianto (1999), yaitu internal petani dan eksternal petani akan tetapi karakteristik terpilih dari kedua faktor tersebut berbeda khususnya pada faktor eksternal petani, yaitu status keanggotaan dalam kelompok tani dan pemandu, sedangkan karakteristik terpilih pada faktor internal petani terdiri dari: luas lahan garapan, tingkat pendidikan formal, pekerjaan utama, dan persepsi terhadap PHT. Dari empat karakteristik terpilih faktor internal petani hanya dua karakteristik yang sama dengan penelitian Novarianto (1999), yaitu luas lahan garapan dan tingkat pendidikan formal. Faktor internal petani yang berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan PHT adalah pendidikan formal dan persepsi petani terhadap PHT, sementara luas lahan dan pekerjaan utama sebagai petani tidak berhubungan nyata dengan tingkat penerapan PHT. Faktor eksternal petani yang meliputi status keanggotaan dalam kelompok tani dan pemandu berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan PHT. Roswita (2003), dalam penelitiannya yang bertopik tahapan proses keputusan inovasi pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen hayati,
15
menambah satu faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi dari penelitian Sadono (1999) yaitu sifat inovasi sehingga faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi menjadi tiga faktor sebagai berikut: karakteristik internal petani, karakteristik eksternal petani, dan sifat inovasi. Faktor yang ditambahkan oleh Roswita, sebenarnya bukanlah faktor baru. Faktor ini dalam penelitian Novarianto (1999) merupakan bagian dari faktor internal. Karakteristik internal petani terpilih pada penelitian ini lebih banyak dibandingkan tiga penelitian di atas, yang terdiri atas: tingkat pendidikan formal, pengalaman berusaha tani, luas lahan usahatani, kekosmopolitan, keinovatifan usahatani, sikap kepemimpinan, sikap kewirausahaan, dan keanggotaan dalam kelompok tani. Faktor karakteristik eksternal petani terdiri atas: ketersediaan sumber informasi, intensitas penyuluhan, ketersediaan sarana, peluang pasar, dan intensitas promosi pestisida. Faktor lainnya adalah sifat inovasi yang terdiri atas: keuntungan relatif (relative advantage), kesesuaian (compatibility), kerumitan (complexity),
kemudahan
dicoba
(triability),
dan
kemudahan
diamati
(observability). Penelitian Roswita (2003) mengungkapkan terdapat beberapa faktor karakteristik internal petani, karakteristik eksternal dan sifat inovasi agen hayati yang berhubungan nyata dengan tahapan proses keputusan adopsi inovasi pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen hayati, dengan rincian pertahapnya sebagai berikut: a)
Pada tahap pengenalan, faktor yang berhubungan nyata, diurut dari yang paling
erat
hubungannya
adalah:
keinovatifan
usaha
tani,
sikap
kewirausahaan, ketersediaan sarana, ketersediaan sumber informasi,
16
kemudahan dicoba, kemudahan diamati, kerumitan (berhubungan negatif), intensitas penyuluhan, tingkat kesesuaian, keuntungan relatif, tingkat pendidikan formal, sikap kepemimpinan, kekosmopolitan, dan peluang pasar. b)
Pada tahap persuasi, faktor yang berhubungan nyata diurut dari yang paling erat adalah: kemudahan dicoba, keinovatifan usahatani, kerumitan (berhubungan negatif), ketersediaan sumner informasi, ketersediaan sarana, sikap
kewirausahaan,
sikap
kepemimpinan,
intensitas
penyuluhan,
keuntungan relatif, tingkat pendidikan formal, kemudahan diamati, kesesuaian, kekosmopolitan, peluang pasar, dan intensitas promosi pestisida (berhubungan negatif). c)
Pada tahap keputusan, faktor-faktor yang berhubungan, diurut berdasarkan nilai
2
hitung
adalah:
keinovatifan
usahatani,
kerumitan,
sikap
kepemimpinan, sikap kewirausahaan, peluang pasar, kemudahan diamati, keuntungan relatif, ketersediaan sumber informasi, intensitas penyuluhan, kekosmopolitan, ketersedian sarana, tingkat pendidikan formal, kemudahan dicoba, keanggotaan dalam kelompok tani, dan kesesuaian. d)
Pada tahap implementasi, faktor yang berhubungan nyata, diurut dari yang paling erat hubungannya adalah kemudahan diamati, intensitas penyuluhan, keinovatifan
usahatani,
tingkat
pendidikan
formal,
kesesuain,
kekosmopolitan, ketersediaan sumber informasi, keuntungan relatif, kerumitan (berhubungan negatif), ketersediaan sarana, sikap kewirausahaan, dan peluang pasar.
17
e)
Pada tahap konfirmasi, faktor-faktor yang berhubungan, diurut berdasarkan 2
hitung adalah: keuntungan relatif, kesesuaian, dan ketersediaan sumber
informasi. Tiga tahun setelah Roswita (2003) mengadakan penelitian, Nardono (2006) mengadakan penelitian dengan topik faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi pada pertanian lahan pasir pantai. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi dalam penelitian ini yaitu: faktor internal, faktor eksternal, dan karakteristik inovasi. Faktor-Faktor ini sama dengan faktor-faktor yang berpengaruh dengan tingkat adopsi inovasi pada penelitian Roswita (2003) hanya berbeda redaksional saja, begitu pula dengan karakteristik dari setiap faktor, namun setelah penelitian karakteristik (variabel) yang berkorelasi berbeda. Faktor internal yang berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi dalam penelitian ini adalah keinovatifan dalam berusahatani, sementara variabel lain tidak menunjukkan adanya korelasi dengan tingkat adopsi inovasi. Variabel eksternal yang berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi ini adalah variabel intensitas penyuluhan dan penggunaan sarana. Penyuluhan yang dilakukan oleh tim penyuluh memiliki peran utama dalam mengembangkan sistem pertanian lahan pasir pantai. Penyuluhan ini memiliki tujuan untuk mensosialisasikan hasil penelitian (terutama yang berkaitan dengan pertanian lahan pasir) kepada masyarakat dan sekaligus mengajak masyarakat untuk mengoptimalkan hasil pertanian lahan pasirnya, sementara penggunaan sarana lebih didasarkan pada kelengkapan sarana prasarana yang digunakan oleh petani dalam melaksanakan
18
pertanian lahan pasir pantai. Variabel ketersediaan sumber informasi dan peluang pasar tidak menunjukkan adanya hubungan dengan tingkat adopsi inovasi. Variabel pada karakteristik inovasi yang berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi adalah tingkat keuntungan relatif, tingkat kesesuaian, tingkat kerumitan, dan tingkat kemudahan dicoba. Hasil pertanian lahan pasir memberikan keuntungan kepada petani yang menggarap pertanian lahan pasir. Hasil panen yang dijual dengan sistem lelang mampu memberikan harga beli di atas harga pasar. Sistem pertanian lahan pasir juga sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat di Dusun Bugel II. Kerumitan yang dirasakan oleh petani adalah masalah penyiraman yang harus dilakukan setiap hari, namun secara keseluruhan tidak ada kerumitan yang berarti karena sistem pertanian ini hampir sama dengan sestem pertanian pada medium tanah. Sistem pertanian ini juga mudah dicoba pada lahan yang relatif sempit.
19
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Pemikiran Prima Tani merupakan salah satu program Badan Litbang Pertanian yang
di dalamnya terdapat unsur inovasi. Sebagai suatu inovasi, Prima Tani diperkenalkan kepada petani melalui penyuluhan. Setelah mengikuti penyuluhan, petani diharapkan mengalami perubahan perilaku baik dalam aspek pengetahun, aspek sikap, dan aspek keterampilan. Lebih dari itu, petani diharapkan mau menerapkan Prima Tani dalam usahataninya dan menyebarkannya kepada petani lain. Suatu inovasi yang diperkenalkan kepada petani tidak dengan serta merta diterima dan dipraktekkan oleh petani, melainkan melewati tahapan-tahapan tertentu. Petani memerlukan dasar-dasar pertimbangan yang dianggap benar, baik dan layak, baik yang telah dimiliki maupun yang berada di lingkungan sekitarnya. Pengambilan keputusan oleh petani untuk menerima dan selanjutnya menerapkan atau menolak suatu inovasi teknologi pertanian dipengaruhi secara umum oleh tiga faktor, yaitu karakteristik internal petani, karakteristik eksternal petani, dan karakteristik inovasi. Dalam penelitian ini, faktor karakteristik internal petani yang diteliti adalah umur, pendidikan formal, dan luas lahan garapan. Faktor karakteristik eksternal petani yang diteliti adalah peranan penyuluhan dan peranan kelompok tani, serta ketersedian sarana produksi pertanian. Peranan penyuluhan dan kelompok tani meliputi intensitas petani menghadiri penyuluhan, persepsi petani
20
terhadap kemampuan penyuluh, persepsi petani terhadap peranan penyuluh dan tingkat aktifitas petani dalam kelompok tani. Ketersedian sarana produksi pertanian meliputi tingkat kemudahan petani mendapatkan benih, tingkat kemudahan petani mendapatkan pupuk, tingkat kemudahan petani mendapatkan obat-obatan-obatan. Faktor karakteristik inovasi yang diteliti dalam penelitian ini adalah tingkat keuntungan relatif, tingkat kesesuaian, tingkat kerumitan, tingkat kemudahan dicoba, dan tingkat kemudahan diamati. Kerangka pemikiran di atas, disajikan dalam Gambar 1.
21
Karakteriktik Internal Petani (X1) Umur (X1.1) Pendidikan formal (X1.2) Luas lahan garapan (X1.3)
Karakteristik Eksternal Petani (X2) Peranan Penyuluhan dan Kelompok Tani Intensitas petani menghadiri penyuluhan (X2.1) Persepsi petani terhadap kemampuan penyuluh (X2.2) Persepsi petani terhadap peranan penyuluh (X2.3) Tingkat aktifitas petani dalam kelompok tani (X2.4)
Pengambilan Keputusan Inovasi oleh Petani (Y)
Ketersedian Sarana Produksi Pertanian Tingkat kemudahan petani mendapatkan benih/bibit (X2.5) Tingkat kemudahan petani mendapatkan pupuk (X2.6) Tingkat kemudahan petani mendapatkan obat-obatan (X2.7)
Karakteristik Inovasi (X3) Tingkat keuntungan relatif (X3.1) Tingkat kesesuaian (X3.2) Tingkat kerumitan (X3.3) Tingkat kemudahan dicoba (X3.4) Tingkat kemudahan untuk diamati (X3.5) Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pengambilan Keputusan Inovasi oleh Petani
22
3.2
Hipotesis Penelitian Hipotesis Penelitian ini adalah:
(1)
Terdapat hubungan nyata antara karakteristik internal petani dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh Petani.
(2)
Terdapat hubungan nyata antara karakteristik eksternal petani dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh Petani.
(3)
Terdapat hubungan nyata antara karakteristik inovasi dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh Petani.
3.3
Definisi Operasional Variabel-variabel
dalam
penelitian
ini
diberi
batasan
atau
didefinisioperasionalkan agar dapat ditentukan indikator pengukurannya dan batasan-batasan yang digunakan dalam memperoleh data dan menganalisisnya sehubungan dengan penarikan kesimpulan. Definisi operasional dari variabelvariabel tersebut adalah: (1)
Karakteristik internal petani adalah gambaran tentang sifat-sifat atau ciriciri pribadi yang dimiliki petani dan mempengaruhi peran dan kinerja petani tersebut meliputi: a. umur tingkat usia biologis petani pada saat penelitian dilaksanakan. Pembulatan umur dilakukan apabila kurang dari enam bulan ditiadakan dan apabila lebih dari enam bulan dibulatkan satu tahun. Umur dihitung dalam satuan tahun dan pengukurannya dengan menggunakan skala ordinal. Dalam penelitian umur petani responden diklasifikasikan dalam
23
tiga kategori, yaitu: 1= muda ≤ 30 tahun; 2= 31 ≤ sedang ≤ 45 tahun; dan 3= tua > 45 tahun, b. pendidikan formal adalah tingkat pendidikan tertinggi yang pernah dijalani atau diikuti petani secara formal. Tingkat pendidikan formal petani diukur dengan skala ordinal dan diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu: 1= rendah untuk SD; 2= sedang untuk SMP; dan 3= tinggi untuk SMA, Diploma, PT. c. luas lahan garapan adalah lahan yang digarap oleh responden dan dinyatakan dalam satuan hektar. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala ordinal dan diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu: 1= sempit ≤ 0,5 hektar; 2= 0,6 ≤ sedang ≤ 1 hektar; dan 3= luas > 1 hektar. (2)
Karakteristik eksternal petani adalah gambaran sifat-sifat atau ciri-ciri di luar pribadi petani yang berkaitan dengan pengambilan keputusan inovasi meliputi: a. Peranan penyuluhan dan kelompok tani adalah pengaruh penyuluhan dan kelompok tani dalam adopsi petani terhadap Prima Tani yang terdiri dari: a1. intensitas petani menghadiri penyuluhan adalah berapa kali petani menghadiri pertemuan dengan penyuluh, petak percontohan, dan temu lapang selama tahun 2008. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala ordinal, yaitu: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4=selalu,
24
a2. persepsi petani terhadap kemampuan penyuluh adalah pandangan petani terhadap kemampuan penyuluh terkait dengan tingkat pengetahuan, sikap, dan ketrampilan. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala ordinal, yaitu: 1= tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4=sangat setuju. Hasil pengukuran kemudian digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1= rendah; 2= sedang; 3= tinggi. Skor untuk setiap kategori didapatkan dari mengalikan jumlah pernyataan dengan nilai skala yang tertinggi kemudian dibagi dengan jumlah kategori yang diinginkan. Skor untuk kategori 1= 1-17; kategori 2= 18-34; dan kategori 3= 35-52, a3. persepsi petani terhadap peranan penyuluh adalah pandangan petani terhadap peranan penyuluh dalam adopsi Prima Tani. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala ordinal, yaitu: 1= tidak setuju; 2= kurang setuju; 3= setuju; 4= sangat setuju. Hasil pengukuran kemudian digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1= rendah; 2= sedang; 3= tinggi. Skor untuk setiap kategori didapatkan dari mengalikan jumlah pernyataan dengan nilai skala yang tertinggi kemudian dibagi dengan jumlah kategori yang diinginkan. Skor untuk kategori 1= 1-10; kategori 2= 11-21; kategori 3= 22-32, a4. tingkat aktifitas petani dalam kelompok tani adalah intensitas petani dalam melakukan hubungan kerjasama dengan kelompok tani. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala ordinal, yaitu: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering.
25
b. Ketersedian sarana produksi pertanian adalah tingkat kemudahan petani dalam mendapatkan benih/bibit, pupuk, dan obat-obatan. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala ordinal, yaitu: 1= sangat sulit; 2= sulit; 3= mudah; 4= sangat mudah. (3)
Karakteristik inovasi adalah sifat-sifat inovasi Prima Tani yang diperkenalkan Badan Litbang Pertanian menurut pendapat petani. Sifatsifat inovasi tersebut meliputi: a. tingkat keuntungan relatif (relative advantage) adalah perbandingan keuntungan relatif antara teknologi Prima Tani (inovasi baru) dengan teknologi sebelumnya (lokal). Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala ordinal, yaitu: 1= tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4=sangat setuju. Hasil pengukuran kemudian digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1= lebih merugikan; 2= sama saja; dan 3= lebih menguntungkan. Skor untuk setiap kategori didapatkan dari mengalikan jumlah pernyataan dengan nilai skala yang tertinggi kemudian dibagi dengan jumlah kategori yang diinginkan. Skor untuk kategori 1= 1-6; kategori 2= 7-13; dan kategori 3= 14-20, b. tingkat kesesuaian (compatibility) adalah sesuai atau tidaknya teknologi Prima Tani dengan nilai-nilai atau kebiasaan yang telah ada sebelumnya di dalam masyarakat, pengalaman sebelumnya, dan kebutuhan petani. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala ordinal, yaitu: 1= tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4=sangat setuju. Hasil pengukuran kemudian digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1= tidak sesuai; 2= sama saja; dan 3= sesuai. Skor untuk setiap kategori
26
didapatkan dari mengalikan jumlah pernyataan dengan nilai skala yang tertinggi kemudian dibagi dengan jumlah kategori yang diinginkan. Skor untuk kategori 1= 1-4; kategori 2= 5-8; dan kategori 3= 9-12, c. tingkat kerumitan (complexity) adalah rumit atau tidaknya teknologi Prima Tani untuk dilaksanakan. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala ordinal, yaitu: 1= tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4=sangat setuju. Hasil pengukuran kemudian digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1= lebih rumit; 2= sama saja; dan 3= lebih sederhana. Skor untuk setiap kategori didapatkan dari
mengalikan
jumlah pernyataan dengan nilai skala yang tertinggi kemudian dibagi dengan jumlah kategori yang diinginkan. Skor untuk kategori 1= 1-4; kategori 2= 5-8; dan kategori 3= 9-12, d. tingkat kemudahan untuk dicoba (triability) adalah mudah atau tidaknya teknologi Prima Tani dicoba pada kondisi yang ada. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala ordinal, yaitu: 1= tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4=sangat setuju. Hasil pengukuran kemudian digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1= lebih sulit, 2= sama saja; dan 3= lebih mudah. Skor untuk setiap kategori didapatkan dari mengalikan jumlah pernyataan dengan nilai skala yang tertinggi kemudian dibagi dengan jumlah kategori yang diinginkan. Skor untuk kategori 1= 1-2; kategori 2= 3-5; dan kategori 3= 6-8, e. tingkat kemudahan untuk diamati (observability) adalah ada atau tidaknya hasil yang dapat dengan mudah dilihat atau diamati. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala ordinal, yaitu: 1=
27
tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4=sangat setuju. Hasil pengukuran kemudian digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1= lebih sulit; 2= sama saja; dan 3= lebih mudah. Skor untuk setiap kategori didapatkan dari mengalikan jumlah pernyataan dengan nilai skala yang tertinggi kemudian dibagi dengan jumlah kategori yang diinginkan. Skor untuk kategori 1= 1-4; kategori 2= 5-8; dan kategori 3= 9-12. (4)
Pengambilan keputusan inovasi oleh petani, adalah pemilihan petani untuk menerima atau menolak inovasi. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala nominal, yaitu 0= tidak (tidak adopsi); 1= ya (adopsi).
28
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
survei explanatory dengan menggunakan pendekatan kuantitatif didukung oleh data kualitatif. Menurut Singarimbun dan Effendi (1989) penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Penelitian survei explanatory digunakan untuk menjelaskan suatu gejala dan hubungan faktor-faktor dengan gejala tersebut. Pendekatan kuantitatif dipilih oleh peneliti untuk mencari informasi faktual secara mendetail yang sedang menggejala dan mengidentifikasi masalahmasalah atau untuk mendapakan justifikasi keadaan dan kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan. Data kualitatif digunakan untuk mendukung data kuantitatif yang didapatkan dari pendekatan kuantitatif. 4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng,
Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja dengan pertimbangan bahwa lokasi ini adalah salah satu lokasi Prima Tani yang diduga berhasil7. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari tahun 2009.
7
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Ir. Kurnia Suci Indraningsih,M.Si dengan judul Inovasi Usahatani Terpadu pada Lahan Marjinal: Kasus Lahan Kering di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Disertasi. Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
29
4.3
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang diterapkan oleh peneliti adalah teknik
wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data tentang karakteristik internal petani, karakteristik eksternal petani, karakteristik inovasi, dan pengambilan keputusan inovasi oleh petani yang diperoleh dari responden. Data sekunder adalah keadaan umum lokasi penelitian, hasil penelitian terkait dan data-data yang relevan dengan penelitian. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait yaitu kantor Desa Jatiwangi dan situs resmi Prima Tani. Data diperoleh dari responden dan informan. Responden penelitian ini adalah petani di Desa Jatiwangi. Pemilihan responden dilakukan secara acak menggunakan teknik stratified random sampling dengan strata anggota kelompok tani (PKT) dan non anggota kelompok tani (PNKT). Teknik ini digunakan karena karakteristik responden dalam satu strata dianggap cenderung homogen atau sama dalam hal pengetahuan terhadap Prima Tani. Responden PKT terpilih sebanyak 24 orang dan responden PNKT terpilih sebanyak 20 orang sehingga total seluruh responden adalah sebanyak 44 orang. Informan penelitian ini adalah penyuluh dan ketua kelompok tani.
4.4
Teknik Analisis Data Data yang telah diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif dan
uji korelasi rank Spearman. Langkah awal yang dilakukan adalah analisis deskriptif, analisis tersebut digunakan untuk memperoleh gambaran data awal responden untuk mengungkapkan keadaan atau karakteristik data responden untuk
30
masing-masing variabel penelitian secara tunggal. Analisis deskriptif dilakukan menggunakan perangkat lunak microsoft excel 2007. Langkah berikutnya adalah melakukan uji korelasi rank Spearman untuk mengetahui hubungan antar variabel yang dinginkan. Uji korelasi rank Spearman dilakukan dengan bantuan perangkat lunak statistika yaitu SPSS versi 13.
31
BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
5.1
Letak dan Kondisi Geografis Desa Jatiwangi terletak di wilayah Kecamatan Pakenjeng Kabupaten
Garut. Desa Jatiwangi memiliki empat dusun (Ciakar, Pasir Kaliki, Halimun, dan Bojong), tiga belas rukun warga (RW), dan 54 rukun tetangga (RT) dengan luas wilayah 2.242,43 hektar yang membentang dari utara ke selatan, dengan lahan tegalan seluas 904,33 hektar. Ketinggian wilayah Desa Jatiwangi terletak antara 300-700 meter di atas permukaan laut (dpl) sedangkan jenis tanah termasuk jenis tanah latosol sebagian andosol dengan tekstur liat lempung sebagian berbatuan dan terjal dan pH-nya berkisar antara 4-6. Adapun batas–batas wilayahnya adalah sebagai berikut :
sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Pamulihan
sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sukamulya
sebelah timur berbatasan dengan Desa Talagawangi/Sukamulya
sebelah barat berbatasan dengan Desa Depok/Wangunjaya Kondisi alam wilayah Desa Jatiwangi pada umumnya berbukit
bergelombang dengan tipologi desa sekitar pangkuan daerah hutan serta diapit oleh dua aliran sungai yaitu sungai Cikandang dan Ciarinem. Suhu harian rata-rata di Desa Jatiwangi berkisar antar 20º C sampai 27º C dengan curah hujan 2.000 mm/tahun serta enam bulan hujan dalam setiap tahunnya. Sarana transportasi yang biasa digunakan masyarakat untuk berpergian ke luar desa adalah Elf. Terdapat ± 50 unit Elf yang beroperasi dengan rute
32
Bungbulang-Garut dan sebaliknya Garut-Bungbulang. Desa Jatiwangi dilalui oleh Elf karena berada diantara Bungbulang dengan Garut. Dari arah Bungbulang Elf beroperasi pukul 06.00-18.00 WIB dan dari arah Garut pukul 10.00-22.00 WIB dengan tarif Rp 35.000,00 sedangkan tarif perjalanan Bungbulang-Jatiwangi adalah sebesar Rp 15.000,00 dan tarif perjalanan Jatiwangi-Garut adalah sebesar Rp 20.000,00. Jalan yang dilalui Elf adalah jalan aspal sehingga tidak sukar untuk dilalui dan lancar hanya saja pada beberapa titik rentan terjadi longsor yang disebabkan oleh labilnya konstruksi tanah. Jarak dari Desa Jatiwangi ke ibukota propinsi adalah 115 kilometer dengan waktu tempuh sekitar empat jam dan jarak dari Desa Jatiwangi ke ibukota kabupaten 45 kilometer dengan waktu tempuh sekitar dua jam sementara jarak dari Desa Jatiwangi ke ibukota kecamatan satu kilometer dengan waktu tempuh sekitar sepuluh menit. Luas lahan di Desa Jatiwangi adalah 2.242,23 hektar yang diperuntukkan sebagai sawah tadah hujan, tegal/ladang, pemukiman, fasilitas umum, perkebunan rakyat, dan tanah negara. Data luas lahan dan peruntukkannya di Desa Jatiwangi disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Lahan dan Peruntukannya di Desa Jatiwangi, 2008 No Peruntukan
Luas (ha)
Persentase
1
Sawah Tadah Hujan
145,00
6,47
2
Tegal/ladang
940,93
41,96
3
Pemukiman
7,80
0,35
4
Fasilitas Umum
23,00
1,03
5
Perkebunan Rakyat
342,00
15,25
6
Tanah Negara
783,50
34,94
2.242,23
100,00
Jumlah Sumber: Data Monografi Desa Tahun 2008
33
Dari Tabel 1 dapat dilihat Tegal/ladang mendominasi pemanfaatan lahan di Desa Jatiwangi yaitu sebesar 41,96 persen dari luas total Desa Jatiwangi. Urutan kedua yang mendominasi pemanfaatan lahan di Desa Jatiwangi adalah tanah negara sebesar 34,94 persen dan urutan ketiga adalah perkebunan rakyat sebesar 15,25 persen.
5.2
Penduduk dan Mata Pencaharian Penduduk Desa Jatiwangi berjumlah 7.709 jiwa dengan komposisi 3.870
jiwa penduduk laki-laki dan 3.839 jiwa penduduk perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2.242 KK dan kepadatan penduduk (Man Land Ratio) Desa Jatiwangi termasuk dalam kategori jarang yaitu 34 orang/kilometer persegi. Data mengenai penduduk Desa Jatiwangi Berdasarkan Mata Pencaharian disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Penduduk Desa Jatiwangi Berdasarkan Mata Pencaharian, 2008 No Mata Pencaharian
Jumlah (orang)
Persentase
1.100
57,32
445
23,19
2
0,10
1
Petani
2
Buruh Tani
3
Buruh Swasta
4
Pegawai Negeri
95
4,95
5
Pengrajin
26
1,35
6
Pedagang
142
7,40
7
Jasa
109
5,68
1.919
100,00
Jumlah Sumber: Data Monografi Desa Tahun 2008
34
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa mata pencaharian utama sebagian besar penduduk di Desa Jatiwangi adalah bertani, baik sebagai petani dan buruh tani. Penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani sebesar 57,32 persen dan penduduk yang bermatapencaharian sebagai buruh tani sebesar 23,19 persen. Tidak semua petani memiliki lahan sendiri untuk digarap, ada petani yang menggarap lahan petani lain seperti yang dialami oleh responden dengan inisial ”N” (petani di Dusun Sindang Sari). Penjelasan lebih lengkap mengenai ”N” dapat dilihat pada Box 2.
Box 2. Petani yang Menggarap Lahan Petani Lain Karena Tidak Memiliki Lahan Sendiri ”N” adalah petani muda yang masih berumur 29 tahun. Beliau memiliki satu orang istri yang baru dinikahinya 1 tahun lalu. Orangtua beliau dan istrinya adalah petani tetapi orangtua mereka tidak meninggalkan warisan lahan bagi mereka karena lahan yang dimiliki orangtua mereka telah dijual untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Oleh karena itu, beliau tidak memiliki lahan sendiri untuk bertani. Beliau menggarap lahan petani lain. Luas lahan yang beliau garap tidak tentu tiap musim sesuai dengan permintaan petani yang meminta beliau menggarap lahannya. Petani-petani yang sering meminta beliau untuk menggarap lahannya adalah petani-petani sesama kelompok tani. Selain bertani, beliau juga beternak dan berdagang menjual sayuran keliling desa. Beliau memiliki dua ekor domba dari bantuan pemerintah. Selain dua ekor kambing tersebut, beliau juga memelihara dan merawat domba-domba (dari bantuan pemerintah juga) petani lain. Pemeliharaan dan perawatan terhadap domba-domba, beliau lakukan tiap hari tepatnya sore hari setelah menggarap lahan pada pagi hari sampai siang hari. Sementara berdagang beliau lakukan saat masa-masa transisi dari satu musim ke musim lain. Pendapatan dari bertani, beternak, dan berdagang, beliau gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagian beliau tabung untuk membeli lahan
Berkebalikan dengan kondisi petani di atas, ada petani yang memiliki lahan yang sangat luas tetapi tidak dapat menggarap semua lahannya karena kekurangan modal seperti yang dialami oleh responden dengan inisial ”D” (petani
35
di Dusun Arinem). Penjelasan lebih lengkap mengenai ”D” dapat dilihat pada Box 3.
Box 3. Petani yang Memiliki Lahan Luas Tetapi Tidak Dapat Menggarap Semua Lahannya ”D” memiliki lahan yang sangat luas yaitu 8 hektar untuk bertani tetapi karena kekurangan modal beliau hanya dapat menggarap 3 hektar. Pada lahan tersebut beliau menanami padi, cabai keriting, singkong, dan kacang panjang. Sedangkan 5 hektar lainnya tidak digarap sama sekali dan dibiarkan begitu saja. Bila memiliki modal, lahan tersebut ingin beliau tanami kayu alba. Menurut beliau kayu alba lebih menguntungkan daripada padi karena biaya produksinya lebih rendah dan harganya relatif mahal dari waktu ke waktu. Selain itu, jarak lahan yang sangat jauh dari rumah juga sedikit banyaknya mempengaruhi keinginan mananam kayu alba. “Bila menanam padi misalnya, terus terang saya tidak sanggup karena letaknya sangat jauh dari rumah saya. Tidak hanya itu, medannya juga berat karena harus melalui sungai dan mendaki bukit. Untuk jalan saja saya tidak kuat palagi sambil mengangkut bibit, pupuk, dan obat yang luar biasa berat. Kalau menyuruh orang saya harus mengeluarkan uang lagi. Terus kalau padi kan kita harus rajin merawatnya karena rentan dengan hama penyakit tetapi kalau kayu alba kan tidak”. ”D” pernah ditawari kerjasama oleh orang dari desa lain untuk menggarap lahan tersebut dengan bagi untung-rugi, 20 persen bagi beliau dan 80 persen bagi orang itu. Orang itu bersedia menanggung semua biaya produksi seperti membeli bibit, pupuk, dan obat-obatan dan lain-lain. Tawaran tersebut ditolak oleh ”D” dengan alasan panen kayu sangat lama, kurang lebih 5 tahun. “Pada selang waktu tersebut saya bisa berusaha mendapatkan modal dan kemudian menanam sendiri dengan keuntungan 100 persen”. Beliau juga pernah berencana menjual lahan tersebut untuk dijadikan tambahan modal untuk menggarap lahannya yang 3 hektar, tetapi beliau urungkan karena tanah menurut beliau adalah aset bagi keluarga khususnya anak-anaknya. “tanah dari waktu ke waktu harganya terus naik. Sayang sekali kalau saya jual sekarang. Biarlah tanah ini nanti buat sekolah anak-anak saya”. Keinginan beliau untuk memiliki modal agar dapat menggarap lahan 5 hektar-nya sangat besar. Beliau pernah berkeinginan menjadi anggota kelompok tani di dusunnya agar mendapatkan kemudahan dalam meminjam uang sebagai modal -hal ini beliau dengar dari petani lain yang menjadi anggota kelompok tani di dusunny- tetapi keinginan tersebut beliau urungkan karena beliau tidak enak mengajukan diri dan lagipula beliau tidak diajak atau diundang oleh pengurus kelompok tani untuk menjadi anggota. Menurut beliau hanya orang-orang tertentu saja yang berada dalam kelompok tani yaitu keluarga dan kerabat ketua kelompok tani.
36
Diantara sekian banyak petani pria yang terdapat di Desa Jatiwangi ada petani wanita yang harus mengganti pekerjaan suami di sawah dan ladang. Suami mereka bekerja di kota sebagai usaha untuk meningkatkan taraf hidup keluarga. Pendapatan dari bertani dirasakan tidak bisa diandalkan sebagai satu-satunya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti responden dengan inisial ”M” dan ”D” (petani wanita di Desa Jatisari). Penjelasan lebih lengkap mengenai ”M” dan ”D” dapat dilihat pada Box 4.
Box 4. Petani Wanita ”M” adalah salah satu petani wanita yang berada di Desa Jatiwangi Dusun Jatisari. Beliau memiliki satu orang anak buah perkawinannya dengan ”B” yang berumur sekitar 5 tahun. Beliau dan anak jarang sekali bertemu dan berkumpul bersama suami karena sang suami bekerja di luar desa tepatnya di kota Garut. Dalam setahun, mereka hanya bisa bertemu dan berkumpul selama 2 bulan, 10 bulan selebihnya tidak bisa. Pekerjaan suaminya adalah supir angkutan kota. Pekerjaan ini menuntutnya untuk jauh lebih lama tinggal di kota daripada di desa bersama istri dan anak. Pendapatan dari pekerjaan ini sedikit banyak dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Dalam seminggu pendapatan suaminya rata-rata sebesar Rp 120.000, sebulan sebesar Rp 480.000, dan setahun sebesar Rp 4.800.000. Selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pendapatan suami digunakan juga untuk membayar biaya-biaya produksi usahatani seperti membeli benih/bibit, pupuk, obat-obatan, dan membayar tenaga kerja. Dana biaya-biaya produksi ini, diatur dan dikelola sepenuhnya oleh bu Mulyati. Secara lebih besar, semua urusan mengenai usahatani dilakukan oleh bu Mulyati mulai dari menanam sampai memanen. Sama seperti ”M”, ”Diah” juga mengatur dan mengelola sepenuhnya urusan usaha tani di desa dan suaminya bekerja di kota. Hanya saja pekerjaan suami ”D” tidak sama dengan ”Mulyati”. Suami ”D” bekerja sebagai kuli bangunan. Suaminya bekerja di kota rata-rata 10 bulan/tahun dan upah dari pekerjaan suaminya rata-rata sebesar Rp 225.000/minggu, Rp 900.000/bulan, dan Rp 9.000.000/tahun Dalam berusaha tani beliau mengalami sedikit kerepotan karena beliau memiliki seorang baduta. Seringkali anaknya menangis apabila beliau titipkan di rumah neneknya atau di rumah kerabat keluarga lain. Oleh karena itu, mau tidak mau anaknya sering beliau bawa ke sawah dan ladang dalam merawat padinya.
37
5.3
Pola Tanam dan Sistem Upah Pada lahan sawah, dalam setahun petani dapat menanam sebanyak tiga
kali dengan pola menanam padi pada musim pertama dan musim kedua, pada musim ketiga (musim kemarau) menanam cabe keriting. Varietas padi yang banyak digunakan adalah Sarinah dan IR64. Dalam satu musim petani dapat memanen ± 8 ton GKP/hektar dengan satu kwintal padi biasa dijual dengan harga Rp 250.000,00-Rp 300.000,00. Benih/bibit tidak dibeli tetapi diambil dari bulir padi yang telah dipanen. Pupuk yang biasa digunakan adalah Urea, TSP, dan KCL dengan komposisi satu kwintal Urea, 50 kg TSP, 25 kg KCL pada luas lahan satu hektar sementara obat yang biasa digunakan adalah obat dengan merek dagang Matador sebanyak dua kaleng. Pupuk dan obat ini dibeli di Cikajang dengan harga masing-masing Urea Rp 1.500,00/kg, TSP Rp 2.500,00/kg, KCL Rp 3.000,00/kg, Matador Rp 15.000/kaleng. Komoditas cabe keriting banyak dipilih oleh petani untuk ditanami pada musim kemarau karena pendapatan dari panen cukup menjanjikan. Dalam satu musim, jumlah cabe keriting yang dapat dipanen adalah sebanyak ± 4 kwintal dengan harga Rp 1.500.000,00/kwintal dengan biaya produksi sebesar Rp 3.000.000,00 sehingga total pendapatan bersih petani adalah sebesar Rp 3.000.000,00. Varietas yang sering ditanam adalah TM 999, Lado F1, dan Tanamo F1. Pada lahan kering, dalam setahun petani dapat menanam padi paling banyak dua kali tetapi lebih sering satu kali tergantung ketersedian air. Varietas padi yang sering ditanami adalah varietas padi gogo Situ Patenggang dan Situ Bagendit. Dua varietas ini merupakan dua varietas unggul dari empat varietas yang diperkenalkan Prima Tani. Dalam satu musim petani dapat memanen ±
38
empat ton GKP/hektar dengan satu kwintal padi biasa dijual dengan harga Rp 250.000,00-Rp 300.000,00 sama seperti varietas Sarinah dan IR64. Benih dibeli di Cikajang, begitu pula pupuk dan obat. Untuk luas lahan satu ha, jumlah benih yang biasa dibeli adalah sebanyak sepuluh kantong dengan satu kantong berharga Rp 30.000,00 sementara pupuk dan obat yang digunakan sama seperti pada lahan sawah akan tetapi komposisinya lebih banyak. Selain padi gogo, pada lahan kering petani juga menanam kacang kedelai, kacang tanah, pisang, jagung, nilam, dan kayu-kayuan seperti Albasia, Alkasia, Belina, dan Kalicus. Dalam menjalankan usahataninya, petani sangat membutuhkan bantuan buruh tani untuk efektifitas kerja dan efisiensi waktu kerja. Upah untuk buruh tani berbeda antara pria dengan wanita, pria mendapatkan upah Rp 15.000,00/hari sedangkan wanita mendapatkan upah Rp 10.000,00/hari. Dasar dari perbedaan upah ini adalah tingkat kesulitan kerja yang dilakukan. Pekerjaan yang dilakukan oleh buruh tani pria lebih sulit dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh buruh tani wanita. Selain mendapatkan upah tersebut, buruh tani juga mendapatkan konsumsi makan siang dari petani. Dalam satu hari kerja, buruh tani biasa bekerja dari pagi sampai siang, namun ada juga yang bekerja sampai sore hari tergantung kesepakatan dengan petani.
5.4
Pendidikan Berdasarkan data monografi desa tahun 2008, masih sangat banyak
penduduk Desa Jatiwangi yang belum sekolah yaitu sebesar 44,83 persen dan penduduk tamat SD sebesar 18,61 persen serta tamat SLTP sebesar 11,21 persen. Walau begitu tetapi masih ada penduduk yang menempuh pendidikan sampai
39
jenjang diploma dan sarjana yaitu sebesar 0,32 persen dan 0,19 persen. Data lebih lengkap tersaji pada Tabel 3. Tabel 3. Penduduk Desa Jatiwangi Berdasarkan Pendidikan, 2008 No Pendidikan
Jumlah (orang)
Persentase
3.456
44,83
1
Belum Sekolah
2
Tidak Pernah Sekolah
485
6,29
3
Pernah sekolah SD
523
6,78
4
Tamat SD
1.435
18,61
5
Tamat SLTP
864
11,21
6
Tamat SLTA
315
4,09
7
Diploma
25
0,32
8
Sarjana
15
0,19
9
Pondok Pesantren
50
0,65
10
Madrasah
71
0,92
11
Kursus
40
0,52
12
Pendidikan Keagamaan
430
5,58
7.709
100,00
Jumlah Sumber: Data Monografi Desa Tahun 2008
Berdasarkan data monografi desa tahun 2008 lembaga pendidikan yang terdapat di Desa Jatiwangi adalah taman kanak-kanak (TK)/raudatul atfal (RA) sebanyak empat unit, sekolah dasar (SD) sebanyak lima unit, sekolah lanjut tingkat pertama (SLTP) sebanyak satu unit, dan sekolah menengah umum (SMU) sebanyak satu unit. Untuk SD, jumlah siswanya 1.047 sedangkan untuk TK/RA, SLTP, dan SMU tidak terdapat data disebabkan pada saat penelitian pengurus desa belum melakukan pendataan. Data mengenai lembaga pendidikan yang terdapat di Desa Jatiwangi pada tahun 2008 disajikan pada Tabel 4.
40
Tabel 4. Lembaga Pendidikan yang Terdapat di Desa Jatiwangi, 2008 No Lembaga Pendidikan
Jumlah (unit)
Jumlah Siswa
1
TK/RA
4
-*
2
SD
5
1.047
3
SLTP
1
-*
4
SMU
1
-*
11
1.047
Jumlah
Sumber: Data Monografi Desa Tahun 2008 (* : tidak ada data)
41
BAB VI PELAKSANAAN PRIMA TANI DI DESA JATIWANGI
Laporan mengenai pelaksanaan Prima Tani telah banyak dipublikasikan oleh BPTP Jabar dan Badan Litbang Pertanian di berbagai media. Berikut salah satu laporan pelaksanaan Prima Tani di Desa Jatiwangi yang dipublikasikan oleh Badan Litbang Pertanian.
6.1
Pengadaan Inovasi Teknologi Pertanian
6.1.1 Kondisi Awal di Tingkat Petani (2005) Permasalahan yang dihadapi petani dalam pengelolaan usahatani komoditas dominan diusahakan (padi gogo, kacang tanah, kedelai, dan pisang) adalah penerapan teknologi budidaya yang belum optimal, serangan hama tikus dan lundi pada padi gogo, pengairan tidak memadai, harga saprodi tinggi, dan sulitnya pemasaran sedangkan permasalahan pada usaha ternak domba yaitu penerapan teknologi budidaya belum optimal dan penyakit (cacingan, sakit mata).
6.1.2 Implementasi dan Kinerja Teknologi Inovasi Tahun 2005 dan 2006 TEKNIS: Konservasi Lahan. Kegiatan konservasi di lahan kering dengan kondisi yang berbukit dan bergunung mutlak harus dilakukan karena sangat berhubungan dengan tingkat kesuburan tanah, dimana pada lahan yang berbukit tingkat erosi sangat tinggi sehingga tingkat kesuburan tanah akan cepat berkurang dan tanah pun menjadi kritis. Pada lokasi Prima Tani yang bersub-agroekosistem lahan
42
kering dataran rendah iklim basah (LKDRIB) keadaan tanah telah berada pada tingkat agak kritis sampai kritis sehingga penataan konservasi harus dilaksanakan. Kegiatan konservasi yang telah dilaksanakan adalah: 1) pembuatan kontur dengan menggunakan alat-alat sederhana, 2) pembuatan teras dengan sistem teras kredit, 3) pembuatan saluran pembuangan air (SPA), 4) pembuatan terjunan air (Drop Structure), dan 5) pembuatan barrier erosi. Setelah berjalannya kegiatan Prima Tani selama 3 tahun konstruksi dasar dari konservasi lahan sudah mulai terbentuk terutama teras yang disesuaikan dengan kontur dengan keadaan sudah mulai kokoh yang diperkuat oleh tanaman rumput dan leguminosa sebagai tanaman penguat teras sekaligus sebagai penyedia pakan ternak.
Pengembangan Tanaman Pangan. Komoditas tanaman pangan yang dikembangkan dalam Prima Tani di Desa Jatiwangi meliputi: (1)
Padi Gogo Teknologi yang diterapkan yaitu model Pengelolaan Tanaman dan
Sumberdaya Terpadu (PTT). Komponen utama model PTT untuk padi gogo adalah : a) penggunaan varietas unggul produksi tinggi, tahan hama dan penyakit yaitu: Situ Patenggang, Situ Bagendit, Batu Tegi dan Limboto, b) penambahan bahan organik tanah, c) pemupukan berimbang berdasarkan status kesuburan tanah, dan d) efisiensi pemupukan dengan cara tanam legowo dan cara pemupukan dalam larikan serta waktu pemupukan yang tepat. Penerapan teknologi ini berhasil meningkatkan produktivitas padi gogo dari 1,44 ton GKP/ha menjadi 4,98 ton GKP/ha. Hasil produksi empat varietas unggul padi gogo tersaji pada Tabel 5.
43
Tabel 5. Hasil Produksi Empat Varietas Unggul Padi Gogo di Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Garut MH 2005/2006
Varietas
Rata-rata Hasil Produksi GKP (ton/ha) Ubinan
Riil
Situ Patenggang
5,90
4,10
Situ Bagendit
6,80
4,50
Limboto
6,51
4,20
Batu Tegi
5,24
3,80
-*
1,44
Lokal (* : tidak ada data)
(2)
Kacang Kedelai Hasil rata-rata produksi kedelai yang diperoleh pada saat panen adalah
Mahameru 2 ton/hektar, Baluran 1,5 ton/hektar, Orba 1,3 ton/hektar dan Anjasmoro 1,6 ton/hektar. Hasil ini lebih tinggi dari produksi kedelai yang diperoleh di tingkat petani sebelum menerapkan teknologi anjuran yaitu 0,6–0,8 ton/hektar. Produksi kedelai akan digunakan sebagai benih untuk pengembangan ke wilayah di luar Kecamatan Pakenjeng sebagai program Dinas Pertanian Kabupaten Garut. (3)
Kacang Tanah Hasil rata-rata produksi kacang tanah varietas Jerapah yang diperoleh di
lapangan pada saat panen adalah 1,95 ton/hektar berat basah. Hasil panen tertinggi mencapai 2,88 ton/hektar, dan terendah sebanyak 0,64 ton/hektar dengan umur panen 100 HST. Hasil kacang tanah direncanakan akan dijadikan benih untuk pengembangan penanaman kacang tanah ke wilayah sekitar Kecamatan Pakenjeng yang dilaksanakan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Garut.
44
(4)
Pisang Kegiatan dimulai dengan perbaikan dalam budidaya pisang mencakup
penanaman varietas unggul tahan penyakit layu fusarium dan Bunchy top, perbaikan pemupukan dan pembibitan bekerjasama dengan Balai Penelitian Buah Solok Sumatera Barat sedangkan untuk perbaikan kualitas bibit pisang telah diintroduksikan 2000 BST pisang nangka hasil kultur jaringan bekerjasama dengan Pusat Bioteknologi Pondok Pesantren Daarul Falah Bogor.
Ternak Domba. Selain mengembangkan tanaman pangan, Prima Tani juga mengembangkan ternak domba. Perkembangan usaha ternak domba dapat dilihat pada Tabel 6. Limbah peternakan domba dapat dimanfaatkan sebagai bahan pupuk kompos. Limbah peternakan utama adalah kotoran ternak dan limbah lainnya adalah sisa pakan ternak. Sejak bulan Desember hingga bulan Mei 2007 telah dilakukan empat kali proses pengomposan di Kelompok Tani.
Tabel 6. Perkembangan Populasi Ternak Domba di Kelompok Tani Kooperator
Populasi
Kelompok Tani Saluyu
Mekar Baru
Harapan Jaya
Arimba
2
2
2
2
Induk
23
21
20
21
Anak
30
23
19
15
Mati
9
4
7
7
46
42
34
31
Pejantan
Jumlah
45
6.1.3 Penyiapan Sistem Pengadaan/Penyebaran Teknologi Inovasi Salah satu kendala dalam pengembangan padi gogo adalah kebutuhan benih untuk memenuhi permintaan petani yang ingin adopsi teknologi yang telah dikembangkan di petani binaan. Dengan perkembangan yang sangat cepat, yaitu sepuluh ha pada tahun 2005 menjadi lebih dari 200 ha dan pada tahun 2007 terjadi perluasan areal tanam menjadi 500 hektar, maka kebutuhan benih sangat meningkat. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan benih pada musim berikutnya diupayakan penanganan benih secara khusus untuk mempertahankan kesinambungan yang dilakukan pada lahan basah dan lahan kering pada setiap musim dengan menggunakan sistem jabalsim (jaringan benih antar lingkungan dan antar musim).
6.2
Inovasi Kelembagaan Agribisnis
6.2.1 Kondisi Awal dan Kinerja Kelembagaan (2005) Pada kondisi awal lembaga kelompok tani dirasakan kurang manfaatnya oleh para petani sehingga petani belum merasa butuh untuk berkelompok. Oleh karena itu, dalam rangka merancang model kelembagaan kelompok perlu dimulai dari penguatan kelompok yang bertujuan meningkatkan manfaat berkelompok.
6.2.2 Penumbuhan/Pengembangan Agribisnis
Kelembagaan
Sistem
dan
Usaha
Kemajuan kelembagaan sampai tahun 2007 yaitu: tiga kelompok tani binaan Prima Tani mampu menangkar benih untuk melayani kebutuhan kelompok tani hingga kecamatan yang berbatasan, empat kelompok tani binaan Prima Tani
46
sudah memiliki aset lebih dari Rp 20.000.000,00, kelompok tani melayani dan menyediakan sarana produksi bagi anggotanya, telah terbentuk gabungan kelompok tani (Gapoktan) di Desa Jatiwangi sebagai cikal bakal Gapoktan di Kecamatan Pakenjeng, pelayanan simpan pinjam di tiap kelompok tani, telah bekerjasama dengan pihak swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) salah satu diantaranya dengan pihak Telkom dalam penangani konservasi dan penghijauan, dan telah bekerjasama dengan instansi-instansi terkait baik dengan pemerintah kecamatan dan pemerintah daerah sampai pemerintah provinsi.
6.2.3 Masalah dan Langkah-langkah Penyelesaian Pengembangan Kelembagaan Agribisnis serta Rencana Perbaikan ke Depan Tahun 2006 dan 2007 Penyelesaian masalah dalam pengembangan kelembagaan yaitu dengan mengaktifkan manajemen kelompok tani, mengelola fasilitas matrial di tingkat kelompok tani sebagai cikal bakal modal kelompok tani, mengaktifkan kelembagaan lokal yang produktif, penangkaran benih di tingkat kelompok tani, pelayanan dan penyediaan sarana produksi di tingkat kelompok tani, simpan pinjam di tingkat kelompok tani.
6.3
Dampak Inovasi Teknologi dan Kelembagaan Agribisnis Prima Tani pada lahan kering dataran rendah iklim basah (LKDRIB)
diharapkan akan memberikan manfaat dan dampak kepada pembangunan sektor pertanian dalam hal: 1) Peningkatan akselerasi pemasyarakatan inovasi baru dalam pengembangan sistem dan usaha agribisnis pada LKDRIB, 2) Meningkatnya efisiensi sistem produksi, perdagangan dan nilai tambah usaha
47
pertanian, 3) Meningkatnya akuntabilitas Badan Litbang Pertanian sebagai penghasil inovasi pertanian melalui percepatan penyebaran dan penerapan inovasi teknologi pertanian oleh pengguna, dan 4) Meningkatnya pendapatan keluarga tani. Pendapatan Keluarga Petani Kooperator di Desa Jatiwangi Kecamatan Pakenjeng Tahun 2007 setelah dilaksanakan kegiatan Prima Tani dapat dilihat pada Tabel 7, dimana kontribusi usahatani (on farm) adalah sebesar 43,96 persen.
Tabel 7. Pendapatan Keluarga Petani Kooperator di Desa Jatiwangi, 2007 No.
Uraian
1.
On Farm
Persentase
Pertanian
33,83
Ternak
10,13
2.
Off Farm (Buruh Tani)
24,35
3.
Non Farm (Di Luar Usahatani)
33,43
Jumlah Sumber : Baseline Survey Tahun 2007
100,00
48
BAB VII KARAKTERISTIK INTERNAL, KARAKTERISTIK EKSTERNAL, DAN KARAKTERSTIK INOVASI PRIMA TANI
7.1
Karakteristik Internal Petani Karakteristik internal petani adalah faktor yang datang dari dalam diri
petani sendiri dan mempengaruhi peran dan kinerja petani tersebut. Karakteristik internal petani dalam penelitian ini meliputi umur, tingkat pendidikan formal, dan luas lahan garapan. Sebaran karakteristik internal petani disajikan pada Tabel 8. Secara keseluruhan, sebagian besar petani di Desa Jatiwangi berumur sedang (antara 31-45 tahun) dengan tingkat pendidikan formal rendah (SD) dan luas lahan garapan sempit (≤ 0,5 hektar).
Tabel 8. Sebaran Karakteristik Petani Berdasarkan Kelompok Umur, Tingkat Pendidikan Formal, dan Luas Lahan Garapan di Desa Jatiwangi, 2008 Karakteristik
PNKT
PKT
Total
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Umur
Muda
8
40,00
4
16,67
12
27,27
Sedang
9
45,00
8
33,33
17
38,64
Tua
7
35,00
8
33,33
15
34,09
Pendidikan Formal
Rendah
14
70,00
18
75,00
32
72,73
Sedang
5
25,00
6
25,00
11
25,00
Tinggi
1
5,00
0
0,00
1
2,27
Luas Lahan Garapan
Sempit
14
70,00
20
83,33
34
77,27
Sedang
3
15,00
3
12,50
6
13,64
Luas
3
15,00
1
4,17
4
9,09
20
100,00
24
100,00
44
100,00
Jumlah
49
Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa sebagian besar petani berumur sedang (antara 31-45 tahun), yaitu sebesar 38,64 persen. Pada petani non kelompok tani (PNKT), persentase terbesar petani adalah berumur sedang, yaitu sebesar 45,00 persen sedangkan pada petani kelompok tani (PKT) berimbang antara umur sedang dan tua, masing-masing sebesar 33,33 persen. Tingkat pendidikan formal sebagian besar petani di Desa Jatiwangi tergolong rendah (SD), yaitu sebesar 72,73 persen. Baik pada PNKT maupun PKT, tingkat pendidikan formal sebagian besar petani tergolong rendah, masingmasing sebesar 70,00 persen pada PNKT dan 72,73 persen pada PKT. Berdasarkan luas lahan garapan, sebagian besar petani memiliki luas lahan garapan sempit (≤ 0,5 hektar), yaitu sebesar 72,27 persen. Pada PNKT persentase terbesar petani tergolong sempit, yaitu sebesar 70,00 persen begitu pula pada PKT, yaitu sebesar 83,33 persen.
7.2
Karakteristik Eksternal Petani Karakteristik eksternal petani yang diteliti dalam penelitian ini adalah
intensitas petani menghadiri penyuluhan, persepsi petani terhadap kemampuan dan peran penyuluh, tingkat aktifitas petani dalam kelompok tani, tingkat kemudahan petani mendapatkan benih/bibit, pupuk, dan obat-obatan. Sebaran karakteristik eksternal petani disajikan pada Tabel 9 dan Tabel 10. Tabel 9 memperlihatkan sebaran karakteristik eksternal petani berdasarkan intensitas petani menghadiri penyuluhan, persepsi petani terhadap kemampuan penyuluh, persepsi petani terhadap peran penyuluh, dan tingkat aktifitas petani dalam kelompok tani sementara Tabel 10 memperlihatkan sebaran karakteristik eksternal
50
petani berdasarkan tingkat kemudahan mendapatkan benih/bibit, pupuk, dan obatobatan.
Tabel 9. Sebaran Karakteristik Eksternal Petani di Desa Jatiwangi Karakteristik
PNKT Jumlah
PKT
Persentase
Total
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Intensitas petani menghadiri penyuluhan
Rendah
14
70,00
23
95,83
37
84,09
Sedang
4
20,00
0
0,00
4
9,09
Tinggi
2
10,00
1
4,17
3
6,82
Persepsi petani terhadap kemampuan penyuluh
Rendah
0
0,00
5
20,83
5
11,36
Sedang
4
20,00
9
37,50
13
29,55
Tinggi
16
80,00
10
41,67
26
59,09
Persepsi petani terhadap peran penyuluh
Rendah
2
10,00
11
45,83
13
29,55
Sedang
5
25,00
5
20,83
10
22,73
Tinggi
13
65,00
8
33,33
21
47,73
Tingkat aktifitas petani dalam kelompok tani
Tidak pernah
2
10,00
16
66,67
18
40,91
Jarang
1
5,00
3
12,50
4
9,09
Sering
17
85,00
5
20,83
22
50,00
20
100,00
24
100,00
44
100,00
Jumlah
Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa sebagian besar petani (84,09 persen) tergolong rendah dalam menghadiri penyuluhan. Baik pada PNKT maupun PKT sebagian besar petani tergolong rendah dalam menghadiri penyuluhan, masingmasing sebesar 70,00 persen pada PNKT dan sebesar 95,83 persen pada PKT. Ini menunjukkan bahwa status petani tidak mempengaruhi petani untuk menghadiri penyuluhan atau dengan kata lain kelompok tani tidak mempengaruhi petani untuk menghadiri penyuluhan. Hal ini dikarenakan penyuluhan hanya dihadiri
51
oleh ketua kelompok tani dan petani yang memiliki hubungan kekeluargaan dan kekerabatan dengan ketua kelompok tani. Berdasarkan persepsi terhadap kemampuan penyuluh, sebagian besar petani (59,09 persen) berpersepsi bahwa penyuluh memiliki kemampuan tinggi dalam menyelenggarakan penyuluhan. Pada PNKT tidak ada petani yang berpersepsi bahwa penyuluh mempunyai kemampuan rendah sedangkan pada PKT sebesar 20,83 persen. Baik pada PNKT maupun PKT, petani berpersepsi bahwa penyuluh memiliki kemampuan tinggi, berturut-turut sebesar 80,00 persen pada PNKT dan 41,67 persen pada PKT. Penyuluh menurut petani hanya mengadakan penyuluhan pada kelompok tertentu saja sehingga sebagian besar petani tidak pernah bertemu dengan penyuluh. Walaupun begitu, menurut petani, penyuluh
pasti
memiliki
kemampuan
tinggi
dalam
menyelenggarakan
penyuluhan. Pada sebagian petani (PNKT), tidak mungkin penyuluh memiliki kemampuan rendah dalam menyelenggarakan penyuluhan. Berdasarkan persepsi terhadap peran penyuluh, sebagian besar petani (47,73 persen) berpersepsi bahwa penyuluh mempunyai peran tinggi dalam menyelenggarankan penyuluhan. Pada PNKT sebagian besar petani (65,00 persen) berpersepsi bahwa penyuluh mempunyai peran tinggi sedangkan pada PKT sebagian besar petani (45,83 persen) berpersepsi bahwa penyuluh mempunyai peran rendah. Pada PNKT sebagian besar petani jarang bertemu dengan penyuluh sehingga tidak terlalu tahu peran penyuluh. Menurut mereka penyuluh pasti memiliki peran tinggi dalam kelompok yang didatangi penyuluh. Berbeda dengan PNKT, pada PKT sebagian besar petani lebih sering bertemu
52
dengan penyuluh sehingga tahu peran penyuluh. Menurut mereka peran penyuluh rendah. Berdasarkan tingkat aktifitas dalam kelompok tani, sebagian besar petani (40,91 persen) tergolong sering. Pada PNKT sebagian besar petani (85,00 persen) tergolong sering aktif sedangkan pada PKT sebagian besar petani (66,67 persen) tergolong tidak pernah aktif. Hal ini terjadi karena selama tahun 2008, PNKT aktif bertanya kepada ketua kelompok tani di dusun tempat tinggalnya mengenai cara membasmi hama ”ku-uk” sedangkan PKT tidak. PKT telah aktif mencari tahu informasi tersebut ke penyuluh pada tahun awal serangan ”ku-uk”8, yaitu tahun 2007. Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa benih/bibit padi relatif mudah didapatkan petani di Desa Jatiwangi. Sebesar 50,00 persen petani mengatakan mudah dan 34,09 persen petani mengatakan sangat mudah dalam mendapatkan benih/bibit padi. Benih/bibit padi tidak dibeli tetapi didapatkan dari bulir padi yang telah dipanen. Walau harus dibeli, benih/bibit padi dapat dibeli di dalam desa yang dijual oleh beberapa ketua kelompok tani. Benih/bibit padi ini tidak hanya dijual bagi petani anggota kelompok tani melainkan dijual bebas bagi petani lain. Di sisi lain, ada petani yang mengatakan relatif sulit mendapatkan benih/bibit padi. Sebesar 13,64 persen petani mengatakan sulit dan 2,27 persen petani mengatakan sangat sulit mendapatkan benih/bibit padi. Petani ini biasa membeli benih/bibit di luar desa yang jaraknya lumayan jauh dengan alasan harga relatif murah dibanding benih/bibit di dalam desa.
8
Hama penyakit tanaman yang berkembangbiak di lahan kering, bentuknya seperti cacing dan seluruh permukaan tubuhnya berwarna putih.
53
Tabel 10. Sebaran Karakteristik Eksternal Petani di Desa Jatiwangi Karakteristik
PNKT Jumlah
PKT
Persentase
Jumlah
Total
Persentase
Jumlah
Persentase
Tingkat kemudahan petani mendapatkan benih/bibit
Sangat sulit
0
0,00
1
4,17
1
2,27
Sulit
2
10,00
4
16,67
6
13,64
Mudah
11
55,00
11
45,83
22
50,00
Sangat mudah
7
35,00
8
33,33
15
34,09
Tingkat kemudahan petani mendapatkan pupuk
Sangat sulit
0
0,00
1
4,17
1
2,27
Sulit
1
5,00
0
0,00
1
2,27
Mudah
10
50,00
12
50,00
22
50,00
Sangat mudah
9
45,00
11
45,83
20
45,45
Tingkat kemudahan petani mendapatkan obat-obatan
Sangat sulit
0
0,00
1
4,17
1
2,27
Sulit
1
5,00
0
0,00
1
2,27
Mudah
10
50,00
13
54,17
23
52,27
Sangat mudah
9
45,00
10
41,67
19
43,18
20
100,00
24
100,00
44
100,00
Jumlah
Dari Tabel 10 dapat dilihat juga bahwa pupuk relatif mudah didapatkan petani di Desa Jatiwangi. Sebesar 50,00 persen petani mengatakan mudah dan 45,45 persen petani mengatakan sangat mudah dalam mendapatkan pupuk. Pupuk dapat dibeli di dalam desa yang dijual oleh beberapa ketua kelompok tani. Pupuk ini tidak hanya dijual bagi petani anggota kelompok tani melainkan dijual bebas bagi petani lain. Di sisi lain, ada petani yang mengatakan relatif sulit mendapatkan pupuk. Sebesar 2,27 persen petani mengatakan sulit dan sangat sulit mendapatkan pupuk. Pupuk biasa dibeli di luar desa yang jaraknya lumayan jauh dengan alasan harga relatif murah dan mutu lebih terjamin dibandingkan dengan pupuk yang tersedia di dalam desa.
54
Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa obat-obatan relatif mudah didapatkan petani di Desa Jatiwangi. Sebesar 52,27 persen petani mengatakan mudah dan 43,18 persen petani mengatakan sangat mudah dalam mendapatkan obat-obatan. Obat-obatan dapat dibeli di dalam desa yang dijual oleh beberapa ketua kelompok tani. Obat-obatan ini tidak hanya dijual bagi petani anggota kelompok tani melainkan dijual bebas bagi petani lain. Di sisi lain, ada petani yang mengatakan relatif sulit mendapatkan obat-obatan. Sebesar 2,27 persen petani mengatakan sulit dan sangat sulit mendapatkan obat-obatan. Obat-obatan biasa dibeli di luar desa yang jaraknya lumayan jauh dengan alasan harga relatif murah dan mutu lebih terjamin dibandingkan dengan obat-obatan yang tersedia di dalam desa. Secara keseluruhan, intensitas sebagian besar petani dalam menghadiri penyuluhan tergolong rendah dengan persepsi terhadap kemampuan dan peran penyuluh tergolong tinggi sementara tingkat aktifitas dalam kelompok tani tergolong tidak pernah aktif. Dalam mendapatkan benih/bibit, pupuk, dan obatobatan sebagian besar petani mengatakan relatif mudah.
7.3
Karakteristik Inovasi Prima Tani Karakteristik inovasi adalah sifat-sifat inovasi Prima Tani yang
diperkenalkan Badan Litbang Pertanian menurut pendapat petani. Sifat-sifat inovasi tersebut adalah tingkat keuntungan relatif, tingkat kesesuaian, tingkat kerumitan, tingkat kemudahan dicoba, dan tingkat kemudahan diamati. Sebaran petani berdasarkan pendapatnya terhadap karakteristik inovasi Prima Tani disajikan pada Tabel 11.
55
Tabel 11. Sebaran Petani Berdasarkan Pendapatnya Terhadap Karakteristik Inovasi Prima Tani di Desa Jatiwangi PNKT
Karakteristik
PKT
Total
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
1
5,00
0
0,00
1
2,27
12
60,00
13
54,17
25
56,82
7
35,00
11
45,83
18
40,91
Tingkat keuntungan relative
Lebih merugikan
Sama saja
Lebih menguntungkan
Tingkat kesesuaian
Tidak sesuai
3
15,00
4
16,67
7
15,91
Sama saja
8
40,00
12
50,00
20
45,45
Sesuai
9
45,00
8
33,33
17
38,64
Tingkat kerumitan
Lebih rumit
1
5,00
0
0,00
1
2,27
Sama saja
5
25,00
8
33,33
13
29,55
Lebih sederhana
14
70,00
16
66,67
30
68,18
Tingkat kemudahan dicoba
Lebih sulit
1
5,00
1
4,17
2
4,55
Sama saja
2
10,00
1
4,17
3
6,82
Lebih mudah
17
85,00
22
91,67
39
88,64
Tingkat kemudahan diamati
Lebih sulit
1
5,00
0
0,00
1
2,27
Sama saja
1
5,00
2
8,33
3
6,82
Lebih mudah
18
90,00
22
91,67
40
90,91
20
100,00
24
100,00
44
100,00
Jumlah
Tabel 11 menunujukkan bahwa sebagian besar petani (56,82 persen) mengatakan Prima Tani tidak lebih menguntungkan daripada teknologi lokal atau dengan kata lain sama saja. Baik PNKT maupun PKT, mengatakan bahwa Prima Tani tidak lebih menguntungkan daripada teknologi lokal, masing-masing sebesar 60,00 persen pada PNKT dan 54,17 persen pada PKT. Pada tahun-tahun awal penyelenggaraan Prima Tani, yaitu pada tahun 2005 dan 2006, Prima Tani lebih menguntungkan
dibandingkan
teknologi
lokal
terbukti
dengan
dapat
56
meningkatkan produktivitas padi gogo dari 1,44 ton GKP/ha menjadi 4,98 ton GKP/ha. Hal ini membuat petani mendapatkan keuntungan yang relatif besar namun pada tahun 2007 terjadi serangan hama “ku-uk” yang menyebabkan petani mengalami kerugian besar. Setelah itu, keuntungan dari Prima Tani maupun teknologi lokal sama saja. Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa sebagian besar petani (45,45 persen) mengatakan Prima Tani sama saja dengan teknologi lokal. Pada PNKT sebagian besar petani (45,00 persen) mengatakan Prima Tani sesuai dengan teknologi lokal sedangkan pada PKT sebagian besar petani (50,00 persen) mengatakan sama saja. Petani PNKT tidak terlalu tahu mengenai komponen teknologi Prima Tani namun melihat dari petani yang telah menerapkan Prima Tani, sebagian besar mengatakan lebih sesuai diterapkan di Desa Jatiwangi. Berbeda dengan petani PNKT, petani PKT lebih banyak tahu mengenai komponen teknologi Prima Tani diantaranya penggunaan varietas unggul (Situ Patenggang, Situ Bagendit, Batu Tegi, dan Limboto) dan efisiensi pemupukan dengan cara tanam legowo atau dalam istilah setempat disebut cara tanam “caplak”. Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa sebagian besar petani (68,18 persen) mengatakan komponen teknologi Prima Tani lebih sederhana daripada teknologi lokal. Baik PNKT maupun PKT mengatakan komponen teknologi Prima Tani lebih sederhana daripada teknologi lokal, masing-masing sebesar 70,00 persen pada PNKT dan 66,67 persen pada PKT. Sebelum diterapkan, sepintas komponen teknologi Prima Tani lebih rumit dibandingkan teknologi lokal karena membutuhkan benih/bibit tertentu dan cara tanam berbeda tetapi setelah
57
diterapkan petani merasa lebih teratur dan rapi dalam melakukan usahatani yang pada akhirnya menjadi lebih sederhana daripada teknologi lokal. Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar petani (88,64 persen) mengatakan Prima Tani lebih mudah dicoba daripada teknologi lokal. Baik PNKT maupun PKT, mengatakan bahwa Prima Tani lebih mudah dicoba daripada teknologi lokal, masing-masing sebesar 85,00 persen pada PNKT dan 91,67 persen pada PKT. Komponen teknologi Prima Tani lebih mudah dicoba dibandingkan teknologi lokal karena komponen teknologinya sederhana. Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa sebagian besar petani (90,91 persen) mengatakan Prima Tani lebih mudah diamati daripada teknologi lokal. Baik PNKT maupun PKT, mengatakan bahwa Prima Tani lebih mudah diamati daripada teknologi lokal, masing-masing sebesar 90,00 persen pada PNKT dan 91,67 persen pada PKT. Petani dapat dengan mudah mengamati keberhasilan Prima Tani dalam meningkatkan produktivitas padi gogo di demplot. Dari demplot juga petani dapat dengan mudah mengamati varietas unggul yang ditanam dan cara tanamnya. Varietas unggul yang ditanam lebih cepat tumbuh dan lebat dibandingkan dengan varietas teknologi lokal. Cara tanamnya adalah dengan sistem tanam legowo. Sistem ini memungkinkan padi gogo cepat tumbuh dan lebat karena jarak tanam antara satu tanaman dengan tanaman lainnya cukup luas sehingga masing-masing tanaman memiliki cukup nutrusi untuk tumbuh tanpa harus “berebutan” nutrisi untuk tumbuh seperti dengan menggunakan sistem tanam teknologi lokal yang jarak tanamnya dekat antara satu tanaman dengan tanaman lainnya dan tidak beraturan.
58
Secara keseluruhan, petani mengatakan bahwa keuntungan melakukan usahatani dengan menggunakan Prima Tani maupun teknologi lokal sama saja. Petani juga mengatakan bahwa kesesuaian melakukan usahatani dengan menggunakan Prima Tani maupun teknologi lokal sama saja. Selain itu, petani mengatakan Prima Tani lebih sederhana diterapkan, lebih mudah dicoba dan diamati dibandingkan dengan teknologi lokal.
59
BAB VIII PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PRIMA TANI OLEH PETANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA
8.1
Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani Pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh petani adalah dimana
petani dihadapkan dalam pemilihan untuk menentukan pilihan apakah akan menerima atau menolak inovasi Prima Tani. Sebagian besar petani di Desa Jatiwangi mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani yaitu sebesar 86,36 persen dan sebesar 13,64 persen tidak mengadopsi. Data ini dapat dilihat pada Tabel 12. Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa baik pada PNKT maupun PKT, sebagian besar petani mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani, masing-masing sebesar 85,00 persen pada PNKT dan 87,50 pada PKT.
Tabel 12. Sebaran Petani Berdasarkan Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani di Desa Jatiwangi PNKT
Respon
PKT
Total
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
3
15,00
3
12,50
6
13,64
Mengadopsi
17
85,00
21
87,50
38
86,36
Jumlah
20
100,00
24
100,00
44
100,00
Tidak Mengadopsi
8.2
Hubungan Karakteristik Internal Petani dengan Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani Keeratan
hubungan
antara
karakteristik
internal
petani
dengan
pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh petani disajikan pada Tabel 13.
60
Menurut Soekartawi (1988), cepat tidaknya proses adopsi inovasi sangat bergantung dari faktor intern dari adopter itu sendiri. Latar belakang sosial, ekonomi, budaya ataupun politik sangat mempengaruhi cepat atau tidaknya proses adopsi inovasi. Hal penting lain yang mempengaruhi adopsi inovasi adalah umur. Makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum berpengalaman dalam soal adopsi inovasi tersebut.
Tabel 13. Hubungan Antara Karakteristik Internal Petani dengan Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani di Desa Jatiwangi Karakteristik
Jumlah
Keputusan adopsi
Orang
Persentase
Tidak
Persentase
Ya
Persentase
Rs (Nilai Peluang)
Umur
Tua
15
34,09
1
6,67
14
93,33
Sedang
17
38,64
3
17,65
14
82,35
Muda
12
27,27
2
16,67
10
83,33
0,219 (0,153)
Pendidikan
Rendah
32
72,73
5
15,63
27
84,38
Sedang
11
25,00
1
9,09
10
90,91
Tinggi
1
2,27
0
0,00
1
100,00
0,242 (0,113)
Luas Lahan Garapan
Sempit
34
77,27
4
11,76
30
88,24
Sedang
6
13,64
1
16,67
5
83,33
Luas
4
9,09
1
25,00
3
75,00
0,071 (0,649)
Pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa pada umur muda, petani yang mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani sebesar 83,33 persen sedangkan petani yang tidak sebesar 16,67 persen. Pada umur sedang, persentase petani yang mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani adalah sebesar
61
82,25 persen sedangkan petani yang tidak adalah sebesar 17,65 persen dan pada umur tua sebesar 93,33 persen petani mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani dan sebesar 6,67 persen tidak. Dari Tabel 13 dapat dilihat tidak terbentuk pola hubungan antara umur dengan pengambilan keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani dan dari uji korelasi rank Spearman didapatkan nilai korelasi sebesar 0,219 dengan nilai peluang sebesar 0,153. Nilai tersebut menunjukkan taraf hubungan tidak nyata antara umur dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan yang nyata antara umur dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani ditolak. Menurut Soekartawi (1988), faktor internal petani lain yang dapat mempengaruhi keputusan dalam melaksanakan adopsi inovasi adalah pendidikan. Petani yang berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Begitu pula sebaliknya petani yang berpendidikan rendah, agak sulit untuk melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat. Tabel 13 menunjukkan bahwa pada tingkat pendidikan rendah, sebesar 84,38 persen petani mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani dan sebesar 15,63 persen tidak. Pada tingkat pendidikan sedang, persentase petani yang mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani lebih besar yaitu sebesar 90,91 persen dan 9,09 persen tidak, sementara pada tingkat pendidikan tinggi, persentase petani yang mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani lebih besar lagi yaitu sebesar 100,00 persen. Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa terbentuk pola hubungan semakin tinggi pendidikan formal maka semakin tinggi pengambilan keputusan inovasi Prima Tani, namun dari uji korelasi rank Spearman didapatkan
62
nilai korelasi sebesar 0,242 dengan nilai peluang sebesar 0,113. Nilai tersebut menunjukkan taraf hubungan tidak nyata antara pendidikan formal dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan yang nyata antara pendidikan formal dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani ditolak. Ini menunjukkan bahwa pendidikan formal petani sebenarnya berhubungan dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani tetapi tidak signifikan. Hasil penelitian Yusnadi (1992) menemukan bahwa petani yang mempunyai luas garapan yang lebih sempit kurang responsif untuk menggunakan inovasi. Hal ini disebabkan mereka kurang memiliki kesanggupan dalam hal biaya dan keberanian menanggung resiko dalam menerapkan inovasi. Tabel 13 menunjukkan bahwa pada lahan garapan sempit, petani yang mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani sebesar 88,24 persen sementara pada lahan garapan sedang, lebih sedikit sebesar 83,33 persen dan pada luas lahan garapan luas semakin sedikit sebesar 75,00 persen. Dari Tabel 13 dapat dilihat tidak terbentuk pola hubungan antara luas lahan garapan dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani dan dari uji korelasi rank Spearman didapatkan nilai korelasi sebesar 0,071 dengan nilai peluang sebesar 0,649. Nilai tersebut menunjukkan taraf hubungan tidak nyata antara luas lahan garapan dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan yang nyata antara luas lahan garapan dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani ditolak. Luas lahan garapan sebagian besar petani adalah sempit yaitu sebesar 77,27 persen. Luas lahan garapan yang sempit ini disebabkan oleh kondisi alam yang berbukit dan bergelombang. Hal ini
63
membuat petani mengalami kesulitan dalam berusahatani. Kesulitan lain yang dihadapi petani diantaranya adalah pengairan yang belum memadai dan serangan hama penyakit tanaman. Kesulitan-kesulitan tersebut membuat petani kurang responsif untuk menggunakan inovasi teknologi pertanian.
8.3
Hubungan Karakteristik Eksternal Petani dengan Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani Keeratan
hubungan antara
karakteristik
eksternal petani
dengan
pengambilan keputusan inovasi disajikan pada Tabel 14 dan Tabel 15. Tabel 14 menunjukkan
hubungan antara
karakteristik
eksternal petani (intensitas
menghadiri penyuluhan, persepsi petani terhadap kemampuan penyuluh, persepsi petani terhadap peran penyuluh, dan tingkat aktifitas petani dalam kelompok tani) dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh petani dan Tabel 15 menunjukkan hubungan antara karakteristik eksternal petani (tingkat kemudahan mendapatkan bibit/benih, pupuk, dan obat-obatan) dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh petani. Dalam pelaksanaan Prima Tani diselenggarakan penyuluhan dengan bentuk pertemuan-pertemuan dengan penyuluh, petak percontohan (demplot), dan temu lapang. Setelah mengikuti penyuluhan, petani diharapkan mau mengadopsi Prima Tani. Tabel 14 menunjukkan bahwa pada intensitas menghadiri penyuluhan kategori rendah, sebesar 83,78 persen petani mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani sementara pada intensitas menghadiri penyuluhan kategori sedang dan tinggi masing-masing sebesar 100,00 persen.
64
Tabel 14. Hubungan Antara Karakteristik Eksternal Petani dengan Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani di Desa Jatiwangi Karakteristik
Jumlah Orang
Persentase
Keputusan Inovasi Tidak
Intensitas petani menghadiri penyuluhan Rendah 37 84,09 6 Sedang 4 9,09 0 Tinggi 3 6,82 0 Persepsi petani terhadap kemampuan penyuluh Rendah 5 11,36 1 Sedang 13 29,55 4 Tinggi 26 59,09 1 Persepsi petani terhadap peran penyuluh Rendah 13 29,55 4 Sedang 10 22,73 1 Tinggi 21 47,73 1 Tingkat aktifitas petani dalam kelompok tani Tidak pernah 18 40,91 4 Jarang 4 9,09 1 Sering 22 50,00 1
Rs (Nilai Peluang)
Persentase
Ya
Persentase
16,22 0,00 0,00
31 4 3
83,78 100,00 100,00
0,191 (0,215)
20,00 30,77 3,85
4 9 25
80,00 69,23 96,15
0,287 (0,059)*
30,77 10,00 4,76
9 9 20
69,23 90,00 95,24
0,272 (0,074)*
22,22 25,00 4,55
14 3 21
77,78 75,00 95,45
0,254 (0,096)*
Keterangan: * : Nyata ( P< 0,10 )
Dari Tabel 14 dapat dilihat tidak terbentuk pola hubungan antara intensitas menghadiri penyuluhan dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani dan dari uji korelasi rank Spearman didapatkan nilai korelasi sebesar 0,191 dengan nilai peluang sebesar 0,215. Nilai tersebut menunjukkan taraf hubungan tidak nyata antara intensitas petani menghadiri penyuluhan dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan yang nyata antara intensitas petani menghadiri penyuluhan dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani ditolak. Secara umum petani tidak pernah menghadiri penyuluhan hanya beberapa petani saja yang menghadiri penyuluhan. Petani tersebut adalah petani anggota kelompok tani dan memiliki hubungan kekeluargaan/kekerabatan dengan ketua kelompok tani. Petani yang
65
merupakan
anggota
kelompok
tani
tetapi
tidak
memiliki
hubungan
kekeluargaan/kekerabatan tidak pernah menghadiri penyuluhan karena tidak tahu dan tidak diajak untuk hadir oleh ketua kelompok tani. Hal ini diungkapkan oleh Tatang -petani anggota kelompok tani Sawaluyu- ”Kalau ada pertemuan penyuluhan, yang diundang hanya keluarga dan kerabatnya saja” Apalagi petani yang non kelompok tani, mereka sama sekali tidak pernah menghadiri penyuluhan.
Menurut
mereka
penyuluh
hanya
mengadakan
pertemuan
penyuluhan dengan petani-petani anggota kelompok tani saja. Sebagaimana yang dikatakan oleh Irin -petani di Dusun Bojong- ”Penyuluh hanya datang pada kelompok tani saja, tidak pernah datang pada petani seperti saya”. Rendahnya intensitas petani menghadiri penyuluhan ini menyebabkan petani tidak memiliki cukup informasi untuk mengambil keputusan inovasi Prima Tani. Penyuluhan yang diselenggarakan dalam Prima Tani dimotori oleh penyuluh. Kemampuan dan peran penyuluh sangat penting dalam suksesnya penyelenggaraan penyuluhan dan secara
tidak
langsung
dalam proses
pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh petani. Pada persepsi petani terhadap kemampuan penyuluh kategori rendah, sebesar 80,00 persen petani mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani dan pada kategori sedang sebesar 69,23 persen serta pada kategori tinggi sebesar 96,15 persen. Dari Tabel 14 dapat dilihat tidak terbentuk pola hubungan antara persepsi petani terhadap kemampuan penyuluh dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani, namun dari uji korelasi rank Spearman didapatkan nilai korelasi sebesar 0,287 dengan nilai peluang sebesar 0,059. Nilai tersebut menunjukkan taraf hubungan nyata antara persepsi petani terhadap kemampuan penyuluh dengan pengambilan
66
keputusan inovasi Prima Tani. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan yang nyata antara persepsi petani terhadap kemampuan penyuluh dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani diterima. Walaupun penyuluh hanya mengadakan penyuluhan pada kelompok tertentu saja, sebagian besar petani tetap menganggap penyuluh memiliki kemampuan tinggi terkait dengan tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Menurut petani penyuluh memiliki kemampuan tinggi dalam mengetahui produksi tanaman, mengetahui produksi ternak, dapat menjelaskan suatu teknologi baru sebagai teknologi yang dinilai lebih baik, mengetahui dengan baik potensi sumberdaya wilayah yang menjadi binaannya, memahami kebutuhan petani yang menjadi binaannya, mengetahui budaya masyarakat petani yang menjadi binaannya, dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan petani secara tuntas dan memberi penjelasan yang baik, selalu berpihak kepada petani, selalu beranggapan bahwa petani setara kedudukannya dengan penyuluh, dapat berkomunikasi dengan bahasa yang mudah dipahami petani, dapat membangun jaringan kerjasama antara petani dengan pihak lain sebagai mitra usaha, dapat mengembangkan usahatani baru secara berkelanjutan, dan selalu mendorong petani untuk mengembangkan kemampuannya. Menurut petani tidak ada hubungan antara intensitas penyuluh melakukan penyuluhan dengan kemampuan yang dimiliki. Alasan petani sederhana, seorang penyuluh tentunya memiliki kemampuan-kemampuan tersebut di atas tetapi belum tentu penyuluh yang memiliki kemampuan itu akan sering melakukan penyuluhan. Pengambilan keputusan inovasi Prima Tani dilakukan melalui proses sharing informasi, ide, dan pendapat secara informal dari petani lain yang sering
67
bertemu dengan penyuluh dalam pertemuan-pertemuan penyuluhan, demplot, dan temu lapang. Pada persepsi petani terhadap peran penyuluh kategori rendah, sebesar 69,23 persen petani mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani dan pada kategori sedang sebesar 90,00 persen, serta pada kategori tinggi sebesar 95,24 persen. Dari Tabel 14 dapat dilihat terbentuk pola hubungan semakin tinggi persepsi petani terhadap peran penyuluh maka semakin tinggi pengambilan keputusan inovasi Prima Tani dan dari uji korelasi rank Spearman didapatkan nilai korelasi sebesar 0,272 dengan nilai peluang sebesar 0,074. Nilai tersebut menunjukkan taraf hubungan nyata antara persepsi petani terhadap peran penyuluh dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan yang nyata antara persepsi petani terhadap peran penyuluh dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani diterima. Petani menganggap penyuluh telah berperan tetapi belum bisa menyentuh semua petani di wilayah binaannya disebabkan oleh wilayah binaan yang relatif luas. Luasnya wilayah binaan menjadi kendala utama penyuluh dalam melaksanakan tugasnya. Honor yang diterima penyuluh hanya habis untuk biaya transportasi turun ke wilayah binaan padahal penyuluh memiliki kebutuhan lain yang mau tidak mau harus dipenuhi seperti kebutuhan sandang, pangan, papan, dan pendidikan untuk anaknya. Untuk memenuhi kebutuhan itu, penyuluh harus mencari pekerjaan sampingan seperti bertani. Hal ini secara tidak langsung berdampak pada kinerja penyuluh salah satunya adalah intensitas dalam mengadakan pertemuan dengan penyuluh. Salah satu langkah yang dapat
68
dilakukan pemerintah untuk memecahkan masalah tersebut adalah menyediakan atau memberikan kendaraan operasional bagi penyuluh. Menurut petani penyuluh berperan
dalam
mengidentifikasi
permasalahan
petani,
mengidentifikasi
kebutuhan petani, mendorong petani untuk berubah, membangun dan memelihara hubungan dengan lingkungan petani, mendorong petani untuk menerapkan usahatani baru, mendorong petani mengembangkan skala usaha yang lebih luas, mendengarkan permasalahan-permasalahan petani dalam usahatani dan mencari pemecahannya, dan mendatangi petani/kelompok tani untuk melakukan kegiatan penyuluhan. Pengambilan keputusan inovasi Prima Tani dilakukan melalui proses sharing informasi, ide, dan pendapat secara informal dari petani lain yang sering bertemu dengan penyuluh dalam pertemuan-pertemuan penyuluhan, demplot, dan temu lapang. Tabel 14 menunjukkan bahwa pada tingkat aktifitas petani dalam kelompok tani kategori tidak pernah, sebesar 77,78 persen petani mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani dan pada kategori jarang sebesar 75,00 persen, sementara pada kategori sering sebesar 95,45 persen. Dari Tabel 14 dapat dilihat tidak terbentuk pola hubungan antara tingkat aktifitas dalam kelompok tani dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani, namun dari uji korelasi rank Spearman didapatkan nilai korelasi sebesar 0,254 dengan nilai peluang sebesar 0,096. Nilai tersebut menunjukkan taraf hubungan nyata antara tingkat aktifitas petani dalam kelompok tani dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan yang nyata antara tingkat aktifitas petani dalam kelompok tani dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani diterima. Ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat
69
aktifitas petani dalam kelompok tani maka semakin tinggi pula pengambilan keputusan inovasi Prima Tani. Dengan tingginya aktifitas petani dalam kelompok tani, petani mendapatkan informasi yang memadai untuk mengambil keputusan adopsi inovasi Prima Tani Dalam penerapan Prima Tani, sarana produksi pertanian seperti benih/bibit, pupuk, dan obat-obatan sesuai anjuran mutlak diperlukan petani. Tingkat kemudahan petani dalam mendapatkan sarana produksi pertanian tersebut akan mempengaruhi keputusan inovasi petani. Data mengenai hubungan antara tingkat kemudahan petani mendapatkan benih/bibit, pupuk, dan obat-obatan dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh petani disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Hubungan Antara Karakteristik Eksternal Petani dengan Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani di Desa Jatiwangi Karakteristik
Jumlah Orang
Keputusan Inovasi
Persentase
Tidak
Persentase
Ya
Tingkat kemudahan mendapatkan benih/bibit Sangat sulit 1 2,27 1
Persentase
100,00
0
0,00
Sulit 6 13,64 Mudah 22 50,00 Sangat 15 34,09 mudah Tingkat kemudahan mendapatkan pupuk Sangat sulit 1 2,27
0 4
0,00 18,18
6 18
100,00 81,82
1
6,67
14
93,33
1
100,00
0
0,00
Sulit 1 2,27 Mudah 22 50,00 Sangat 20 45,45 mudah Tingkat kemudahan mendapatkan obat-obatan Sangat sulit 1 2,27
0 3
0,00 13,64
1 19
100,00 86,36
2
10,00
18
90,00
1
100,00
0
0,00
Sulit Mudah Sangat mudah
1 23
2,27 52,27
0 3
0,00 13,04
1 20
100,00 86,96
19
43,18
2
10,53
17
89,47
Rs (Nilai Peluang)
0,131 (0,395)
0,145 (0,349)
0,130 (0,400)
70
Tabel 15
menunjukkan bahwa
tingkat
kemudahan mendapatkan
benih/bibit kategori sangat sulit, tidak ada petani yang mengambil keputusan adopsi inovasi Prima Tani dan pada kategori sulit sebesar 100,00 persen petani mengambil keputusan adopsi inovasi, sementara pada kategori mudah sebesar 81,82 persen, dan pada kategori sangat mudah sebesar 93,33 persen. Dari Tabel 15 dapat dilihat tidak terbentuk pola hubungan antara tingkat kemudahan mendapatkan benih/bibit dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani dan dari uji korelasi rank Spearman didapatkan nilai korelasi sebesar 0,131 dengan nilai peluang sebesar 0,395. Nilai tersebut menunjukkan taraf hubungan tidak nyata antara tingkat kemudahan mendapatkan benih/bibit dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kemudahan mendapatkan benih/bibit dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani ditolak. Petani di Desa Jatiwangi relatif mudah mendapatkan benih/bibit karena dapat dibeli di dalam desa namun harganya mahal dibandingkan dengan harga di luar desa. Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa pada tingkat kemudahan mendapatkan pupuk kategori sangat sulit, tidak ada petani yang mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani dan pada kategori sulit sebesar 100,00 persen petani mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani, sementara pada kategori mudah sebesar 86,36, dan pada kategori sangat mudah sebesar 90,00 persen. Dari Tabel 15 dapat dilihat tidak terbentuk pola hubungan antara tingkat kemudahan mendapatkan pupuk dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani dan dari uji korelasi rank Spearman didapatkan nilai korelasi sebesar 0,145 dengan nilai peluang sebesar 0,349. Nilai tersebut menunjukkan taraf hubungan
71
tidak nyata antara tingkat kemudahan mendapatkan pupuk dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kemudahan mendapatkan pupuk dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani ditolak. Sama seperti benih/bibit, pupuk juga relatif mudah didapatkan oleh petani karena dapat dibeli di dalam desa namun harganya mahal dan mutunya tidak terjamin dibandingkan dengan yang dijual di luar desa. Pada tingkat kemudahan mendapatkan obat-obatan kategori sangat sulit, tidak ada petani yang mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani dan pada kategori sulit sebesar 100,00 persen petani mengambil keputusan mengadopsi inovasi, sementara pada kategori mudah sebesar 86,96 persen, dan pada kategori sangat mudah sebesar 89,47 persen. Dari Tabel 15 dapat dilihat tidak terbentuk pola hubungan antara tingkat kemudahan mendapatkan obatobatan dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani dan dari uji korelasi rank Spearman didapatkan nilai korelasi sebesar 0,130 dengan nilai peluang sebesar 0,400. Nilai tersebut menunjukkan taraf hubungan tidak nyata antara tingkat kemudahan mendapatkan obat-obatan dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kemudahan mendapatkan obat-obatan dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani ditolak. Obat-obatan relatif mudah didapatkan oleh petani karena dapat dibeli di dalam desa namun harganya mahal dan mutunya tidak terjamin dibandingkan dengan yang dijual di luar desa.
72
8.4
Hubungan Karakteristik Inovasi Prima Tani dengan Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani Keeratan hubungan antara karakteristik inovasi Prima Tani dengan
pengambilan keputusan inovasi disajikan pada Tabel 16. Menurut Soekartawi (1988) karakteristik inovasi akan menentukan kecepatan adopsi inovasi. Sejauh mana inovasi baru (teknologi baru), akan memberikan keuntungan daripada teknologi lama yang digantikannya. Bila teknologi baru akan memberikan keuntungan yang relatif besar dari nilai yang dihasilkan oleh teknologi lama, maka kecepatan proses adopsi inovasi akan berjalan cepat. Tabel 16 menunjukkan bahwa pada tingkat keuntungan relatif kategori lebih merugikan, tidak ada petani yang mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani dan pada kategori sedang sebesar 92,00 persen petani mengambil keputusan
mengadopsi inovasi Prima Tani
serta pada kategori lebih
menguntungkan sebesar 83,33 persen. Dari Tabel 16 dapat dilihat tidak terbentuk pola hubungan antara tingkat keuntungan relatif dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani dan dari uji korelasi rank Spearman didapatkan nilai korelasi sebesar 0,116 dengan nilai peluang sebesar 0,455. Nilai tersebut menunjukkan taraf hubungan tidak nyata antara tingkat keuntungan relatif dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan yang nyata antara tingkat keuntungan relatif dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani ditolak. Keuntungan yang didapatkan petani dari Prima Tani sama saja dengan teknologi lokal. Pada tahun awal yaitu tahun 2005, hasil demplot Prima Tani berhasil meningkatkan produktivitas padi gogo, dari 1,44 ton GKP/hektar menjadi 4,98 ton GKP/hektar. Dari keberhasilan itu, petani terpacu untuk memanfaatkan
73
lahannya dan mengadopsi Prima Tani. Pada musim tanam (MH 2006/2007) di Desa Jatiwangi terjadi peningkatan luas tanam padi gogo dari 25 hektar menjadi lebih dari 200 hektar. Pada awal tahun 2007 terjadi serangan hama (petani setempat mengenal hama tersebut dengan nama ”ku-uk”) yang memakan akar padi gogo yang ditanam di ladang. Hampir semua ladang di Desa Jatiwangi diserang ”kuuk”. Bencana ini membuat petani menderita kerugian besar karena gagal panen. Sejak saat itu, petani tidak berani menanami padi gogo di ladang, petani lebih memilih menanam kayu-kayuan. Tabel 16. Hubungan Antara Karakteristik Inovasi Prima Tani dengan Pengambilan Keputusan Inovasi Prima Tani oleh Petani di Desa Jatiwangi Karakteristik
Jumlah Orang
Keputusan Inovasi
Persentase
Tidak
Persentase
Ya
Persentase
Tingkat keuntungan relative Lebih 1 merugikan Sama saja 25 Lebih 18 menguntungkan Tingkat kesesuaian
2,27
1
100,00
0
0,00
56,82
2
8,00
23
92,00
40,91
3
16,67
15
83,33
Tidak sesuai
7
15,91
3
42,86
4
57,14
Sama saja
20
45,45
2
10,00
18
90,00
Sesuai
17
38,64
1
5,88
16
94,12
1
2,27
1
100,00
0
0,00
Sama saja
13
29,55
4
30,77
9
69,23
Lebih sederhana
30
68,18
1
3,33
29
96,67
Rs (Nilai Peluang)
0,116 (0,445)
0,261 (0,087)*
Tingkat kerumitan Lebih rumit
0,449 (0,002)*
Tingkat kemudahan dicoba Lebih sulit
2
4,55
1
50,00
1
50,00
Sama saja
3
6,82
1
33,33
2
66,67
39
88,64
4
10,26
35
89,74
Lebih mudah
0,289 (0,057)*
Tingkat kemudahan diamati Lebih sulit
1
2,27
1
100,00
0
0,00
Sama saja
3
6,82
1
33,33
2
66,67
40
90,91
4
10,00
36
90,00
Lebih mudah
Keterangan: * : Nyata ( P< 0,10 )
0,340 (0,024)*
74
Seringkali teknologi baru yang menggantikan teknologi lama tidak saling mendukung, namun banyak pula dijumpai penggantian teknologi lama dengan teknologi baru merupakan kelanjutan saja. Bila teknologi baru itu merupakan ”kelanjutan” dari teknologi lama yang telah dilaksanakan petani, maka kecepatan proses adopsi inovasi akan berjalan relatif lebih cepat. Hal ini disebabkan karena pengetahuan petani yang sudah terbiasa untuk menerapkan teknologi lama yang tidak banyak berbeda dengan teknologi baru tersebut (Soekartawi, 1988). Pada Tabel 16 dapat dilihat bahwa di tingkat kesesuaian kategori tidak sesuai, sebesar 57,14 persen petani mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani, di kategori sama saja sebesar 90,00 persen, dan di kategori sesuai sebesar 94,12 persen. Dari Tabel 16 dapat dilihat terbentuk pola hubungan semakin tinggi tingkat kesesuain maka semakin tinggi pengambilan keputusan inovasi Prima Tani dan dari uji korelasi rank Spearman didapatkan nilai korelasi sebesar 0,261 dengan nilai peluang sebesar 0,087. Nilai tersebut menunjukkan taraf hubungan nyata antara tingkat kesesuaian dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kesesuaian dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani diterima. Menurut Soekartawi (1988), inovasi suatu ide baru atau teknologi baru yang cukup rumit untuk diterapkan akan mempengaruhi kecepatan proses adopsi inovasi. Artinya, makin mudah teknologi baru tersebut dapat dipraktekkan, maka semakin cepat pula proses adopsi inovasi yang dilakukan petani. Pada Tabel 16 dapat dilihat bahwa tidak ada petani yang mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani di tingkat kerumitan kategori lebih rumit, di tingkat kerumitan
75
kategori sama saja sebesar 69,23 persen petani mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani, dan di tingkat kerumitan kategori lebih sederhana sebesar 96,67 persen. Dari Tabel 16 dapat dilihat terbentuk pola hubungan semakin sederhana Prima Tani maka semakin tinggi pengambilan keputusan inovasi Prima Tani dan dari uji korelasi rank Spearman didapatkan nilai korelasi sebesar 0,449 dengan nilai peluang sebesar 0,002. Nilai tersebut menunjukkan taraf hubungan nyata antara tingkat kerumitan dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kerumitan dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani diterima. Sebelum diterapkan, sepintas komponen teknologi Prima Tani lebih rumit dibandingkan teknologi lokal karena membutuhkan benih/bibit tertentu dan cara tanam berbeda tetapi setelah diterapkan petani merasa lebih teratur dan rapi dalam melakukan usahatani yang pada akhirnya menjadi lebih sederhana daripada teknologi lokal. Makin mudah teknologi baru dilakukan, maka relatif makin cepat proses adopsi inovasi yang dilakukan petani (Soekartawi, 1988). Tabel 16 menunjukkan bahwa pada tingkat kemudahan dicoba dengan kategori lebih sulit, sebesar 50,00 persen petani mengambil keputusan mengadopsi inovasi, pada kategori sama saja sebesar 66,67 persen, dan pada kategori lebih sulit sebesar 89,74 persen. Dari Tabel 16 dapat dilihat terbentuk pola hubungan semakin tinggi tingkat kemudahan dicoba maka semakin tinggi pengambilan keputusan inovasi Prima Tani dan dari uji korelasi rank Spearman didapatkan nilai korelasi sebesar 0,289 dengan nilai peluang sebesar 0,057. Nilai tersebut menunjukkan taraf hubungan nyata antara tingkat kemudahan dicoba dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani.
76
Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kemudahan dicoba dengan pengambilan keputusan adopsi inovasi Prima Tani diterima. Komponen teknologi Prima Tani lebih mudah dicoba dibandingkan teknologi lokal karena komponen teknologinya sederhana. Menurut Soekartawi (1988) seringkali ditemui bahwa banyak kalangan petani yang cukup sulit untuk diajak mengerti mengadopsi inovasi dari teknologi baru, walaupun teknologi baru tersebut telah memberikan keuntungan karena telah dicoba di tempat lain. Masalahnya adalah bagaimana memberikan pengertian itu semudah mungkin agar petani dapat mengerti sehingga ia mampu dan mau melakukan adopsi inovasi. Dari Tabel 16 dapat dilihat bahwa tidak ada petani yang mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani pada tingkat kemudahan diamati kategori lebih sulit sementara pada kategori sama saja sebesar 66,67 persen petani mengambil keputusan mengadopsi inovasi Prima Tani dan pada kategori lebih mudah sebesar 90,00 persen. Dari Tabel 16 dapat dilihat terbentuk pola hubungan semakin tinggi tingkat kemudahan diamati maka semakin tinggi pengambilan keputusan inovasi Prima Tani dan dari uji korelasi rank Spearman didapatkan nilai korelasi sebesar 0,340 dengan nilai peluang sebesar 0,024. Nilai tersebut menunjukkan taraf hubungan nyata antara tingkat kemudahan diamati dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kemudahan diamati dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani diterima. Petani dapat dengan mudah mengamati keberhasilan Prima Tani dalam meningkatkan produktivitas padi gogo di demplot. Dari demplot juga petani dapat dengan mudah mengamati varietas unggul yang ditanam dan cara tanamnya.
77
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN
9.1
Kesimpulan Sebagian besar petani di Desa Jatiwangi mengambil keputusan inovasi
Prima Tani. Berdasarkan uji korelasi rank Spearman, secara umum pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh petani berhubungan nyata dengan karakteristik eksternal petani dan karakteristik inovasi namun tidak semua variabel dalam karakteristik eksternal petani dan karakteristik inovasi berhubungan nyata, sedangkan semua variabel dalam karakteristik internal petani tidak berhubungan nyata dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh petani. Secara lebih rinci, pada karakteristik internal petani tidak ada variabel yang berhubungan nyata dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani oleh petani meliputi umur, pendidikan formal, dan luas lahan garapan sedangkan pada karakteristik eksternal petani, variabel yang berhubungan nyata adalah persepsi petani terhadap kemampuan penyuluh, persepsi petani terhadap peran penyuluh, dan tingkat aktifitas petani dalam kelompok tani sementara variabel yang tidak berhubungan nyata adalah intensitas petani menghadiri penyuluhan, tingkat kemudahan mendapatkan benih/bibit, tingkat kemudahan mendapatkan pupuk, dan tingkat kemudahan mendapatkan obat-obatan. Pada karakteristik inovasi, variabel yang berhubungan nyata dengan pengambilan keputusan inovasi Prima Tani adalah tingkat kesesuaian, tingkat kerumitan, tingkat kemudahan dicoba, dan tingkat kemudahan diamati sedangkan variabel yang tidak berhubungan nyata adalah tingkat keuntungan relatif.
78
9.2
Saran Peranan penyuluh sangat penting dalam pengambilan keputusan inovasi
Prima Tani oleh petani, ini ditunjukkan oleh persepsi petani terhadap kemampuan dan peran penyuluh yang sangat baik. Petani sangat berharap penyuluh tidak melakukan penyuluhan pada kelompok tertentu saja melainkan pada semua petani. Harapan ini sulit untuk diwujudkan apabila melihat kondisi yang ada yaitu luasnya wilayah binaan. Honor penyuluh hanya habis untuk transportasi penyuluh ke petani binaannya padahal penyuluh memiliki kebutuhan lain yang mau tidak mau harus dipenuhi seperti kebutuhan sandang, pangan, papan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, penyuluh harus mencari pekerjaan sampingan seperti bertani. Hal ini secara tidak langsung berdampak pada kinerja penyuluh salah satunya adalah intensitas dalam mengadakan pertemuan dengan petani. Salah satu langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk memecahkan masalah tersebut adalah menyediakan kendaraan operasional bagi penyuluh. Selain penyuluh, kelompok tani juga memiliki peran dalam pengambilan keputusan inovasi akan tetapi sangat disayangkan kelompok tani hanya dapat diakses oleh sebagian petani. Kelompok tani hanya dapat diakses oleh keluarga dan kerabat ketua kelompok tani dan seringkali hanya sebagai wadah formalitas untuk mendapatkan bantuan dana dari pemerintah padahal seharusnya kelompok tani dapat diakses oleh semua petani. Teknologi Prima Tani pada padi gogo sebenarnya sangat menguntungkan bagi petani. Ini terbukti dari terpacunya petani untuk memanfaatkan lahannya dan mengadopsi teknologi Prima Tani setelah melihat keberhasilan teknologi Prima Tani meningkatkan produktivitas padi gogo dari 1,44 ton GKP/hektar menjadi
79
4,98 ton GKP/hektar, namun keberhasilan itu tidak bertahan lama. Ladang petani diserang ”ku-uk” yang menyebabkan petani gagal panen. Setelah kejadian tersebut, petani tidak berani mengambil resiko untuk menanam padi gogo lagi di lahan ladangnya. Untuk mengatasi masalah ini, BPTP Jabar harus segera menghimbau petani untuk menanam lahan ladangnya dengan padi gogo varietas setempat yang terbukti tahan serangan ”ku-uk”.
80
DAFTAR PUSTAKA
Lestari, Eny. 1994. Hubungan Status Sosial Ekonomi Petani dengan Tingkat Adopsi Inovasi Sapta Usaha Pertanian. Studi Kasus di Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten Propinsi Jawa Tengah. Tesis. Bogor. Program Pascasarjana IPB. Mardikanto, T. 1996. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Nardono, Ibnu. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Adopsi Inovasi pada Pertanian Lahan Pasir Pantai. Skripsi. Bogor. Program Pascasarjana IPB. Novarianto, Rita. 1999. Adopsi Inovasi Teknologi TABELA bagi Petani Padi Sawah. Kasus Petani Padi Sawah di Kecamatan Tapa, Kabupaten Gorontalo, Propinsi Sulawesi Utara. Tesis. Bogor. Program Pascasarjana IPB. Rogers, E. M. 2003. Diffusion of Inovations. Third Edition. New York: The Free Press.. Roswita, Rifda. 2003. Tahapan Proses Keputusan Adopsi Inovasi Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman dengan Agen Hayati. Kasus Petani Sayuran di Kecamatan Banuhampu dan Sungai Puar Kabupaten Agam Sumatera Barat. Tesis. Bogor. Program Pascasarjana IPB. Sadono, Dwi. 1999. Tingkat Adopsi Inovasi Pengendalian Hama Terpadu oleh Petani. Kasus di Kabupaten Karawang Jawa Barat. Tesis. Bogor. Program Pascasarjana IPB. Santosa, P. B dan Ashari. 2005. Analisis Statistik dengan Microsoft Excel & SPSS. Yogyakarta: Andi. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES Indonesia. Soekartawi 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: UI-Press. Yusnadi. 1992. Adopsi Petani Kopi dalam Pengembangan Perkebunan Kopi Rakyat. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor
81
LAMPIRAN
82
Lampiran 1. Sketsa Kecamatan Pakenjeng
Desa Jatiwangi
Jatiwangi
83
Lampiran 2. Output Uji Korelasi Rank Spearman Correlations Spearman's rho
Status
Umur
Pendidikan
Luas Lahan Garapan
Intensitas Petani Menghadiri Penyuluhan
Persepsi Petani terhadap Kemampuan Penyuluh
Persepsi Petani terhadap Peran Penyuluh
Tingkat Aktifitas dalam Kelompok Tani
Tingkat Kemudahan Mendapatkan Benih/Bibit
Tingkat Kemudahan Mendapatkan Pupuk
Tingkat Kemudahan Mendapatkan Obat-obatan
Tingkat Keuntungan Relatif
Tingkat Kesesuaian
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
RESPON ,036 ,815 44 ,219 ,153 44 ,242 ,113 44 ,071 ,649 44 ,191 ,215 44 ,287 ,059 44 ,272 ,074 44 ,254 ,096 44 ,131 ,395 44 ,145 ,349 44 ,130 ,400 44 ,116 ,455 44 ,261 ,087 44
84
Tingkat Kerumitan
Tingkat Kemudahan Dicoba
Tingkat Kemudahan Diamati
RESPON
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
,449(**) ,002 44 ,289 ,057 44 ,340(*) ,024 44 1,000 . 44