KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KOPI DI BAWAH TEGAKAN DALAM SISTEM PHBM DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PENDAPATAN PETANI (Kasus di Desa Kemuning BKPH Candiroto KPH Kedu Utara Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah)
HAYATUN ALAIKA DEWI
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KOPI DI BAWAH TEGAKAN DALAM SISTEM PHBM DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PENDAPATAN PETANI (Kasus di Desa Kemuning BKPH Candiroto KPH Kedu Utara Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah)
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Oleh: HAYATUN ALAIKA DEWI E14050763
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN
HAYATUN ALAIKA DEWI. Kelembagaan Pengelolaan Kopi di bawah Tegakan dalam Sistem PHBM dan Kontribusinya terhadap Pendapatan Petani (Kasus di Desa Kemuning BKPH Candiroto KPH Kedu Utara Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah). Dibimbing oleh IIN ICHWANDI. Pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dapat dipahami sebagai suatu sistem pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat sekitar hutan dengan jiwa berbagi serta dengan tujuan yang spesifik. PHBM memiliki ruang lingkup kegiatan baik objek kegiatan yang berada di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Salah satu contoh pengelolaan hutan bersama masyarakat yang objek kegiatannya berada di dalam kawasan hutan yaitu kegiatan pengelolaan lahan di bawah tegakan. Dalam pelaksanaannya kegiatan pengelolaan lahan di bawah tegakan membentuk suatu kelembagaan yang didalamnya mengatur mengenai pihak-pihak yang terlibat, aturan yang digunakan, serta hak dan kewajiban masingmasing pihak tersebut. Tujuan pengelolaan lahan di bawah tegakan dalam sistem PHBM diantaranya adalah meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelembagaan pengelolaan kopi di bawah tegakan, teknik pengelolaan kopi di bawah tegakan serta kontribusi pengelolaan kopi di bawah tegakan dalam sistem PHBM. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kemuning BKPH Candiroto KPH Kedu Utara Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah pada bulan Agustus sampai September 2009. Data diolah dan dianalisis menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif (pengumpulan data, pengelompokan dan identifikasi responden dan kontribusi pendapatan). Informasi yang diperoleh selanjutnya dikelompokkan dan disajikan dalam bentuk tabulasi angka dan gambar sesuai hasil yang diperoleh. Hasil penelitian ini yaitu dalam sistem kelembagaan pengelolaan kopi di bawah tegakan melibatkan beberapa pihak diantaranya Perhutani sebagai penyedia lahan, LMDH sebagai lembaga bentukan masyarakat yang berfungsi sebagai penampung dan penyalur aspirasi dari masyarakat, petani yang mengelola kopi di bawah tegakan, LSM sebagai pendamping petani dan pedagang yang terkait dalam kegiatan pemasaran kopi. Kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan di Desa Kemuning awalnya berstatus illegal namun telah diperbolehkan oleh pihak Perhutani sejak tahun 1985 serta dibuat perjanjian kerjasama pada tahun 2009. Pengelolaan kopi di bawah tegakan memberikan kontribusi terhadap pendapatan petani di Desa Kemuning rata-rata sebesar 35,25%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah dalam kelembagaan pengelolaan kopi di bawah tegakan terhadap hubungan kerjasama kolaboratif yang bersinergi antara pihak-pihak yang terlibat. Kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan telah memberikan kontribusi nyata terhadap pendapatan petani di Desa Kemuning yang berimbas pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di Desa Kemuning.
Kata kunci: Kelembagaan, pengelolaan kopi, kontribusi
SUMMARY HAYATUN ALAIKA DEWI . Institutional Management of Coffee under the stands in PHBM System and its Contribution to Farmer’s income (Case in Kemuning Village BKPH Candiroto KPH Kedu Utara Perum Perhutani Unit I Central Java). Under supervision of IIN ICHWANDI. Community forest management (CFM) can be understood as a system of forest management involving forest communities with a shared spirit and with a specific purpose. CFM has good scope of activities that are the object of activities in the forest and outside forest areas. One example of community forest management with the object of its activities located in the area of forest land management activities under the stands. In the implementation of land management activities under the stands are formed inside an institutional set of parties involved, the rules used, and the rights and obligations of each party. The purpose of land management under the stands in such CFM system is increasing the active participation of communities in forest management and increase people's income. This study aims to determine the institutional management of coffee under the stands, coffee management techniques under the stands and the contribution of coffee under the stands management in CFM system. The study was conducted in the village of Kemuning BKPH Candiroto, KPH Kedu Utara, Perum Perhutani Unit I Central Java in August to September 2009. Data is processed and analyzed using qualitative and quantitative methods (data collection, classification and identification of respondents and the contribution of income). Obtained further information grouped and presented in the form of tabulation of numbers and pictures as the results obtained. The results of this research is the institutional system of management of coffee under the stands of which involve some Perhutani as a provider of land, as an institution LMDH community formation that serves as a reservoir and channel the aspirations of the community, who manages the coffee farmers in the stands, NGOs as co-farmers and traders involved in coffee marketing activities. Management activities of coffee under the stands in the village of Kemuning initially illegal status but has been allowed by the Perhutani since 1985 and the agreement made in 2009. Management of coffee under the stands contributes to the income of farmers in the Kemuning village average of 35.25%. The conclusion of this research is in the institutional management of coffee under the stands of the collaborative relationships that synergy between the parties involved. Coffee management activities under the stands have a real contribution to the income of farmers in the village of Kemuning the impact on the improvement of social welfare in the village of Kemuning.
Keywords: Institutional, management of coffee, contribution
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Kelembagaan Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan dalam Sistem PHBM dan Kontribusinya terhadap Pendapatan Petani (Kasus di Desa Kemuning, BKPH Candiroto, KPH Kedu Utara Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan pada karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2010
Hayatun Alaika Dewi E14050763
Judul Skripsi
: Kelembagaan Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan Dalam Sistem PHBM dan Kontribusinya terhadap Pendapatan Petani (Kasus di Desa Kemuning BKPH Candiroto KPH Kedu Utara Perum perhutani Unit I Jawa Tengah)
Nama
: Hayatun Alaika Dewi
NRP
: E14050763
Menyetujui: Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc.F. Trop NIP. 19641217 199002 1 001
Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr.Ir. Didik Suharjito, Ms NIP. 19630401 199403 1 001
Tanggal lulus:
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt atas segala limpahan rahmat, hidayah dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, dengan judul “Kelembagaan Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan dalam Sistem PHBM dan Kontribusinya terhadap Pendapatan Petani (Kasus di Desa Kemuning BKPH Candiroto KPH Kedu Utara Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah)”. Penulis menyadari bahwa bantuan dari berbagai pihak sangat berarti bagi penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Bapak Suratman, Ibu Sri Nuryani, dan Zunidha Ratmanawati yang telah mengajarkan bahwa doa, usaha dan kesabaran merupakan kombinasi terbaik untuk mencapai kesuksesan. 2. Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc.F.Trop selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Agus Hikmat, MSc selaku dosen penguji wakil dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 4. Dr. Ir. Achmad, MS selaku dosen penguji wakil dari Departemen Silvikultur. 5. Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, MSc selaku dosen penguji wakil dari Departemen Hasil Hutan. 6. Bapak Agus Ruhiyana selaku Administratur KPH Kedu Utara, Bapak Deden Faozi selaku Asper BKPH Candiroto, dan Bapak Sugeng Hariyanto selaku KRPH Candiroto yang telah memberikan ijin dan bantuan kepada penulis selama melakukan penelitian. 7. Tri Handayani, dan Devi Sita Pratiwi sahabat sekaligus teman satu bimbingan, serta kepada Angga Aleksander atas perhatian dan kesabarannya. 8. Risma, Die2, Ai, Mb vin, Miku, Agem, dan Veni kalian lebih dari sekedar teman kosan.
9. Manajemen hutan 42 (Mr Thanks, Nilam, Apry, Gareng, poche, Daryl, Ragel, Anne, Irma, Eva) Teman se-PKL (Mara, Mita, Nando, Kura, Coki dan Ka satrio). 10. Keluarga besar Manajemen Hutan. 11. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, besar harapan penulis adanya sumbangan pemikiran dari berbagai pihak untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat berfungsi dan memberikan manfaat bagi pembaca.
Bogor, Maret 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Temanggung pada tanggal 27 Februari 1987 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Suratman dan Ibu Sri Nuryani. Penulis memulai pendidikan dasar di SD Negeri I Gemawang dari tahun 1993 sampai tahun 1999. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri I Ngadirejo sampai tahun 2002, kemudian melanjutkan pendidikannya di SLTA Negeri I Parakan pada tahun 2002 sampai tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi masuk IPB (USMI) dan masuk ke Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menjadi mahasiswa di IPB penulis aktif di organisasi Forest Management Student Club (FMSC) staf kelompok Pemanfaatan Sumber Daya Hutan (PSDH) pada tahun 2006-2007. Penulis juga tergabung dalam organisasi mahasiswa daerah Paguyuban Mahasiswa Temanggung Makukuhan (PMTM). Kegiatan praktek yang diikuti penulis diantaranya Praktek Pengelolaan Ekosistem Hutan (P2EH) di Sancang dan Kamojang Jawa Barat. Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi Jawa Barat. Praktek Kerja Lapang (PKL) di KPH Kedu Utara Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Untuk menyelesaikan pendidikan dan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul Kelembagaan Pengelolaan Kopi di bawah Tegakan dalam Sistem PHBM dan Kontribusinya terhadap Pendapatan Petani (Kasus di Desa Kemuning BKPH Candiroto, KPH Kedu Utara Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah) dibawah bimbingan Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc.F. Trop.
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ..............................................................................
i
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................
iii
DAFTAR ISI .............................................................................................
iv
DAFTAR TABEL .....................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
ix
I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1.1. Latar Belakang Penelitian ........................................................ 1.2. Perumusan Masalah ................................................................ 1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................
1 1 2 3 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 2.1. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ................... 2.2. Kelembagaan ........................................................................... 2.3. Kelompok Tani Hutan (KTH) .................................................. 2.4. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) ............................. 2.5. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) .................................... 2.6. Kopi (Coffea spp) .................................................................... 2.7. Pengelolaan Hutan dan Pelestarian Hutan ................................ 2.8. Karakteristik Rumah Tangga dan Masyarakat Desa Hutan ...... 2.9. Pendapatan rumah tangga petani ............................................. 2.10Penelitian Terdahulu ...............................................................
4 4 4 6 6 7 7 9 9 9 10
III. METODE PENELITIAN ..................................................................... 3.1 Kerangka Pikir Penelitian ....................................................... 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 3.3. Bahan dan Alat ........................................................................ 3.4. Populasi dan Sampel ................................................................ 3.5. Jenis dan Metode Pengumpulan Data ....................................... 3.6. Metode Pengambilan Contoh .................................................. 3.7. Batasan Penelitian .................................................................. 3.8. Teknik Analisis Data .............................................................. 3.9. Metode Pengolahan Data ........................................................
10 11 13 13 13 13 15 16 16 17
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ......................................... 4.1 Letak Lokasi Penelitian .......................................................... 4.2. Luas Wilayah dan Pola Penggunaan Lahan ............................. 4.3. Topografi dan Iklim ................................................................. 4.4. Potensi Lahan dan Komoditas yang Dihasilkan ........................ 4.5. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk ......................................... 4.6. Kebudayaan Masyarakat ......................................................... 4.7. Kondisi Lokasi Penelitian Ditinjau dari Pangkuan Hutan ........
19 19 20 21 21 21 23 23
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 5.1 Sejarah dan Latar Belakang Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan 5.2 Kelembagaan Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan ................ 5.2.1 Pihak yang Terlibat serta Peranan Masing-masing Pihak . 5.2.2 Pihak yang Terlibat serta Bentuk Keterlibatannya ........... 5.2.3 Hak dan Kewajiban Masing-masing Pihak yang Terlibat . 5.3. Karakteristik Responden ......................................................... 5.3.1 Umur Responden ............................................................ 5.3.2 Tingkat Pendidikan ........................................................ 5.3.3 Mata Pencaharian ........................................................... 5.3.4 Luas Kepemilikan dan Penguasaan Lahan ...................... 5.4. Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan ....................................... 5.4.1 Pengolahan Tanah dan Pengadaan Bibit ......................... 5.4.2 Teknik Penanaman ......................................................... 5.4.3 Teknik Pemeliharaan ...................................................... 5.4.4 Teknik Pemanenan dan Pengolahan Pasca Panen ........... 5.4.5 Teknik Penjualan ........................................................... 5.4.6 Ketenagakerjaan ............................................................. 5.5. Kontribusi Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan ..................... 5.5.1 Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan ............................. 5.5.1.1 Biaya Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan ....... 5.5.1.2 Pendapatan Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan 5.5.2 Rumah Tangga ............................................................... 5.5.2.1 Biaya Rumah Tangga .......................................... 5.5.2.2 Pendapatan Rumah Tangga ................................ 5.5.3. Analisis Kontribusi Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan Terhadap Pendapatan Petani .......................................... 5.6. Kendala dan Solusi dalam Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan ................................................................................... 5.7. Monitoring dan Evaluasi dalam Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan ..................................................................................
27 27 29 29 35 39 40 41 41 42 42 43 43 45 45 50 52 53 53 54 54 56 57 57 59
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 6.1 Kesimpulan .............................................................................. 6.2 Saran .......................................................................................
64 64 65
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
66
LAMPIRAN
61 62 63
DAFTAR TABEL No
Halaman
1 Data primer dan metode pengumpulan data ...........................................
14
2 Data sekunder dan metode pengumpulan data .......................................
14
3 Cara perhitungan pendapatan petani dari tanaman kopi dibawah tegakan.................................................................................................
17
4 Jumlah dan persentase penduduk menurut tingkat pendidikan ..............
22
5 Jumlah dan persentase penduduk menurut jenis pekerjaan pokok ..........
23
6 Fungsi kawasan hutan di KPH Kedu Utara ...........................................
24
7 Resort Pemangkuan Hutan (RPH) di BKPH Candiroto .........................
25
8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan latar belakang penanaman kopi dibawah tegakan .........................................................
29
9 Pihak yang terlibat dan bentuk keterlibatannya dalam pengelolaan kopi dibawah tegakan ...........................................................................
36
10 Hak dan kewajiban pihak yang terlibat dalam perjanjian Pengelolaan kopi di bawah tegakan .......................................................
40
11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kelompok umur .............
41
12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan .........
41
13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kategori luasan ..............
42
14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan asal bibit yang digunakan dalam penanaman kopi di bawah tegakan ............................
44
15 Persentase responden dalam kegiatan pemeliharaan kopi di bawah tegakan...................................................................................
49
16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tempat penjualan dan keadaan kopi yang dijual ................................................................
53
17 Biaya pengelolaan kopi PLDT menurut kategori luas lahan ...................
55
18 Pendapatan sharing yang diterima masing-masing pihak menurut kategori luas lahan ................................................................................
56
19 Pendapatan bersih kopi PLDT yang diterima responden menurut kategori luas lahan ...............................................................................
57
20 Biaya rumah tangga responden menurut kategori luas lahan ..................
58
21 Pendapatan total rumah tangga responden menurut kategori luas lahan ..............................................................................................
60
22 Pendapatan bersih rumah tangga responden menurut kategori luas lahan ..............................................................................................
60
23 Analisis kontribusi pengelolaan kopi di bawah tegakan terhadap pendapatan responden menurut kategori luas lahan .................
61
24 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan ..............................
62
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1 Kerangka pikir penelitian ......................................................................
12
2 Lokasi penelitian ...................................................................................
20
3 Kondisi hutan di lokasi Desa Kemuning ................................................
26
4 Tanaman kopi di bawah tegakan hutan ..................................................
28
5 Kelembagaan dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan .......................
30
6 Struktur organisasi kepengurusan LMDH Agro Sejahtera......................
31
7 Kegiatan diskusi antara LSM, petani, dan Perhutani .............................
34
8 Grafting tanaman kopi ..........................................................................
47
9 Teknik pemetikan buah kopi ..................................................................
51
10 Proses penggilingan kopi.......................................................................
51
11 Proses penjemuran kopi ........................................................................
52
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1 Peta lokasi penelitian dan kawasan hutan yang mengelilinginya ...........
69
2 Hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian kerjasama pengelolaan kopi di bawah tegakan ......................................
70
3 Jenis dan harga pupuk yang digunakan petani dalam kegiatan PLDT kopi ...........................................................................................
76
4 Data umum responden dan luas lahan untuk kegaiatan kopi PLDT ........
77
5 Pendapatan kotor yang diterima responden, Perhutani, dan LMDH serta pendapatan bersih responden berdasarkan urutan keluasan ...............................................................................................
78
6 Biaya rata-rata yang dikeluarkan responden untuk kegiatan selain kopi PLDT ............................................................................................
80
7 Pendapatan rata-rata non PLDT serta sumber pendapatan non PLDT berdasarkan kategori luas ......................................................................
81
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan lahan yang dapat dikelola per
orangnya menjadi berkurang. Pulau Jawa adalah pulau terpadat diantara 17.000 pulau di Indonesia. Lebih dari 120 juta manusia menghuni pulau ini dengan ratarata kepemilikan lahannya sepertiga sampai setengah hektar tiap keluarga. Jumlah petani tanpa lahan terus meningkat sekitar 20 juta orang atau dengan kata lain seperempat penduduk jawa tinggal di kawasan yang di kelola oleh Perum Perhutani. Ketimpangan antara jumlah penduduk dengan luas lahan ini mendorong masyarakat untuk mengkonversi lahan hutan hutan sehingga mengancam keberadaan hutan. Untuk menanggulangi fenomena tersebut salah satu alternatif pemecahannya yaitu Perum Perhutani sebagai pengelola hutan membentuk suatu program pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat yaitu Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Kegiatan PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolan sumber daya hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial secara proporsional (Pemerintah Provinsi Jawa Tengah 2001). Tujuan PHBM adalah untuk meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup dan kapasitas ekonomi dan sosial masyarakat desa hutan dengan kelestarian hutan tetap terjaga. Tanaman kopi merupakan salah satu komoditi non kayu yang memiliki potensi untuk dikembangkan di KPH Kedu Utara selain itu tanaman kopi juga sesuai dengan kebudayaan masyarakat secara turun temurun. Melalui kegiatan PHBM tanaman kopi dapat dimanfaatkan sebagai tanaman dalam kegiatan pemanfaatan lahan di bawah tegakan (PLDT). Desa Kemuning merupakan salah satu desa di BKPH Candiroto yang melakukan kerjasama pengelolaan kopi di bawah tegakan dalam program PHBM. Desa tersebut berbatasan langsung dengan hutan dan sebagian besar penduduknya tidak memiliki lahan milik sehingga kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan dalam program PHBM merupakan alternatif yang baik untuk mengatasi permasalan ini. Kerjasama pengelolaan kopi di
bawah tegakan dalam sistem PHBM diharapkan mampu menjaga kelestarian hutan karena masyarakat merasa berkepentingan baik terhadap tanaman kopinya maupun tegakan kayunya sebagai pelindung tanaman kopi. Kerjasama dalam sistem PHBM tersebut melibatkan beberapa pihak sehingga terbentuk kelembagaan dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan. Keterlibatan petani di Desa Kemuning dalam kerjasama pengelolaan kopi di bawah tegakan dalam program PHBM diwujudkan dalam wadah Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). LMDH merupakan lembaga yang berbadan hukum, mempunyai fungsi sebagai wadah bagi masyarakat desa hutan untuk menjalin kerjasama dengan Perum Perhutani dengan prinsip kemitraan dan mendapat bagi hasil dari kerjasama tersebut. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut penelitian mengenai bagaimana kelembagaan pengelolaan kopi di bawah tegakan dalam sistem PHBM dan kontribusinya terhadap pendapatan petani perlu dikaji untuk mengetahui kelembagaan pengelolaan kopi di bawah tegakan, pengelolaan kopi di bawah tegakan, serta mengukur kontribusi kopi di bawah tegakan terhadap pendapatan petani kopi. 1.2
Perumusan Masalah Perumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana kelembagaan pengelolaan kopi di bawah tegakan dalam sistem PHBM di Desa Kemuning, BKPH Candiroto, KPH Kedu Utara.
2.
Bagaimana sistem pengelolaan kopi di bawah tegakan dalam sistem PHBM di Desa Kemuning, BKPH Candiroto, KPH Kedu Utara.
3.
Menghitung kontribusi dari pengelolaan kopi di bawah tegakan dalam sistem PHBM terhadap pendapatan petani di Desa Kemuning, BKPH Candiroto, KPH Kedu Utara.
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui kelembagaan pengelolaan kopi di bawah tegakan dalam sistem PHBM di Desa Kemuning, BKPH Candiroto, KPH Kedu Utara.
2
Mengetahui sistem pengelolaan kopi di bawah tegakan dalam sistem PHBM di Desa Kemuning, BKPH Candiroto, KPH Kedu Utara.
3
Mengukur kontribusi dari pengelolaan kopi di bawah tegakan dalam sistem PHBM terhadap pendapatan petani di Desa Kemuning, BKPH Candiroto, KPH Kedu Utara.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai
kelembagaan, sistem pengelolaan dan kontribusi pengelolaan kopi di bawah tegakan terhadap pendapatan rumah tangga petani di Desa Kemuning dalam usaha pemenuhan kebutuhan sesuai dengan keberadaan dan prinsip kelestarian hutan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat adalah suatu sistem pengelolaan
sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau Perum Perhutani dengan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional (Perum Perhutani 2001). PHBM adalah semua pengelolaan hutan yang dilakukan secara swadaya, untuk kesejahteraan masyarakat dalam perlindungan hutan dan konservasi sumberdaya alam. PHBM mempunyai cakupan yang luas mulai dari perencanaan, pemanenan, pemeliharaan, pengamanan hutan, pengambilan hasil, pemasaran sampai dengan konservasi, rehabilitasi dan sebagainya (Raden & Nababan 2003). Tujuan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yaitu (Pemerintah Provinsi Jawa Tengah 2001): 1. Meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup, kemampuan dan kapasitas ekonomi dan sosial masyarakat. 2. Meningkatkan peran dan tanggung jawab Perum Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. 3. Meningkatkan mutu sumberdaya hutan, produktifitas dan keamanan hutan. 4. Mendorong menyelaraskan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kegiatan pembangunan wilayah dan sesuai kondisi dinamika sosial masyarakat desa hutan. 5. Menciptakan lapangan kerja,
meningkatkan kesempatan berusaha dan
meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara. 2.2.
Kelembagaan Kelembagaan sosial disebut juga pranata sosial. Menurut Koentjaraningrat
(1984), pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktifitas yang memenuhi komplek-komplek kebutuhan khusus
dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, lembaga kemasyarakatan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia maka lembaga kemasyarakatan dapat digolongkan berdasarkan jenis kebutuhan tersebut. Menurut Soemardjan dan Soelaeman (1964), lembaga mempunyai fungsi sebagai alat pengamatan kemasyarakatan (sosial kontrol) karena dengan mengetahui adanya lembaga-lembaga itu setiap orang dapat mengatur perlakuannya menurut kehendak masyarakat. Komponen utama kelembagaan yang ada di masyarakat rimba dalam hal pengelolaan hutan seperti di jelaskan oleh Anwar (2001) bahwa harta bersama yaitu hak kepemilikan kelompok orang rimba terhadap hutan dan hasil hutan serta hak milik adalah hak kepemilikan secara utuh yang dimiliki oleh individu merupakan property right. Bentuk pemilikan ini dalam masyarakat rimba meliputi hak milik atas pohon sialang, durian, ludang dan benuaron. Batas yuridiksi ditandai dengan adanya batas wilayah adat untuk keseluruhan orang rimba. Sedangkan, aturan representatif dipresentasikan oleh penghulu (Pasaribu 2007). Menurut Pakpahan (1989) dalam suatu kelembagaan, dicirikan oleh tiga hal utama yaitu batas yuridiksi (yuridiction of boundary), hak kepemilikan (property right) dan aturan representative (rule of representation). Berikut dijelaskan 3 perspektif utama kelembagaan tersebut: 1. Hak kepemilikan (property right) Konsep property atau pemilikan sendiri muncul dari konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) yang diatur oleh hukum adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingan terhadap sumberdaya. 2. Batas yuridiksi (yuridiction of boundary) Batas yuridiksi adalah hak hukum atas batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna keduaduanya. Penentuan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu organisasi atau kelembagaan dalam masyarakat ditentukan oleh batas yuridiksi.
3. Aturan representatif (rule of representation) Aturan representatif mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Aturan representatif menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya. 2.3.
Kelompok Tani Hutan (KTH) Kelompok tani hutan (KTH) adalah perkumpulan orang yang tinggal di
sekitar hutan yang menyatukan diri dalam usaha-usaha dibidang sosial ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan para anggotanya dan ikut serta dalam melestarikan hutan dengan prinsip kerja dari, oleh dan untuk anggotanya (Perum Perhutani 1991). Perum Perhutani (1991) menyatakan bahwa tujuan dibentuknya KTH adalah: 1. Membina dan mengembangkan usaha anggota dibidang proses produksi, pengelolaan dan pemasaran hasil usaha. 2. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anggota. 3. Ikut serta membangun dan melestarikan hutan melalui kerjasama dengan Perhutani. 4. Memberikan pelayanan dan menyalurkan bantuan kepada anggota yang menyangkut kebutuhan usaha produktif seperti bibit, pupuk dan alat-alat pertanian. 5. Meningkatkan kesejahteraan anggotanya. 2.4.
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Lembaga masyarakat desa hutan merupakan suatu komunitas masyarakat
yang tergabung dalam suatu wadah atau organisasi baik karena kesamaan profesi antara lain Kelompok Masyarakat Desa Hutan (KMDH), Kelompok Tani Hutan (KTH), Kelompok Tani Penghijauan (KTP), maupun karena kesamaan tempat tinggal di dalam suatu desa (Pemda Nganjuk 2002). Menurut Sudaryanti (2002) pembentukan kelompok pada masyarakat yang tinggal di sekitar desa hutan merupakan upaya untuk mewujudkan keberhasilan pelaksanaan pengelolaan hutan bersama masyarakat. Kelompok yang dibentuk tersebut dapat merupakan sarana masyarakat desa hutan menyampaikan aspirasi
dan atau menerima informasi dari pihak Perum Perhutani sehingga hubungan antar keduanya diharapkan terjalin dengan baik. 2.5. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wirosardjono (1985) diacu dalam Hagul (1985) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah organisasi masyarakat yang bergerak atas motivasi dan swadaya yang bangkit dari kesadaran solidaritas sosial dan merupakan salah satu bentuk wadah yang menyalurkan peran serta masyarakat corak kegiatanya khas karena dilandasi oleh motivasi yang khas pula. Ada lima motivasi yang dapat dikategorikan sebagai ciri LSM yaitu: 1. Ada naluri religi yang tertanam dalam hati sanubari untuk berbuat bagi kebaikan manusia. 2. Ada naluri kesetiakawanan sosial, kesadaran untuk memperhatikan mereka yang kekurangan dan miskin. 3. Ada kebutuhan menjalin hubungan antar manusia hubungan sosial, solidaritas sosial, sekurang-kurangnya rasa persaudaraan dan persahabatan 4. Ada motivasi untuk berbuat sesuatu secara mandiri. 5. Ada motivasi setiap orang untuk berprestasi. Menurut Suparian (1987) diacu dalam Utomo et al (1989), banyak keuntungan dalam kerjasama antara LSM dengan pemerintah antara lain: 1. Pemerintah dapat menghemat pembiayaan untuk menangani masalah-masalah lokal yang bersifat mikro. 2. Program-program pemerintah yang selalu top down sehingga LSM dapat berfungsi sebagai perantara (mediator) untuk menyampaikan inspirasi-inspirasi dari bawah dengan permasalahan mikro yang ada di tengah-tengah masyarakat dengan demikian selain masyarakat diuntungkan dengan penyampaian aspirasi dari bawah tersebut, juga berbagai dampak negatif dapat diidentifikasi oleh LSM dan ditanggulangi secara swadaya oleh masyarakat melalui kegiatan-kegiatan LSM. 2.6.
Kopi (Coffea spp.) Tanaman yang dimanfaatkan untuk kegiatan pemanfaatan lahan di bawah
tegakan dalam sistem PHBM dilokasi penelitian adalah tanaman kopi. Kopi adalah
spesies tanaman berbentuk pohon yang termasuk dalam family Rubiaceae dan genus Coffea. Tanaman ini tumbuh tegak, bercabang dan bila dibiarkan tumbuh dapat mencapai tinggi 12 m. Daunya bulat telur dengan ujung agak meruncing. Daun tumbuh berhadapan pada batang, cabang dan ranting-rantingnya. Kopi mempunyai sistem percabangan yang agak berbeda dengan tanaman lain, tanaman ini mempunyai beberapa jenis cabang yang sifat dan fungsinya agak berbeda (Najiyati & Danarti 1999). 1.
Sistem perakaran Meskipun tanaman kopi merupakan tanaman tahunan tetapi umunya
mempunyai perakaran yang dangkal. Oleh karena itu, tanaman ini mudah mengalami kekeringan pada musim kemarau yang panjang bila di daerah perakarannya tidak diberi mulsa. Secara alami tanaman kopi memiliki akar tunggang sehingga tidak mudah rebah. Tetapi, akar tunggang tersebut hanya dimiliki oleh tanaman kopi yang bibitnya berupa bibit semaian atau bibit sambungan (okulasi) yang batang bawahnya merupakan semaian. Tanaman kopi yang bibitnya berasal dari bibit stek, cangkokan, atau bibit okulasi yang batang bawahnya merupakan bibit stek tidak memiliki akar tunggang sehingga relatif mudah rebah (Najiyati & Danarti 1999). 2.
Bunga dan buah Tanaman kopi umumnya akan mulai berbunga setelah berumur ± 2 tahun.
Bunga kopi akan mekar pada permulaan musim sehingga pada akhir musim kemarau telah berkembang menjadi buah yang siap dipetik. Pada awal musim hujan, cabang akan memanjang dan membentuk daun-daun baru yang siap mengeluarkan bunga pada awal musim kemarau mendatang. Buah terdiri dari daging buah dan biji. Daging buah terdiri dari 3 bagian lapisan kulit luar (eksokarp), lapisan daging (mesokarp) dan lapisan kulit tanduk (endokarp) yang tipis dan keras. Buah kopi umumnya mengandung dua butir biji, tetapi kadangkadang hanya mengandung satu butir biji atau bahkan tidak berbiji (hampa) sama sekali (Najiyati & Danarti 1999) Jenis kopi yang dikembangkan dalam pengelolaan lahan dibawah tegakan di BKPH Candiroto KPH Kedu Utara adalah jenis kopi robusta. Untuk penanaman kopi robusta memiliki syarat tumbuh pada ketinggian 400-800 mdpl, rata-rata
temperatur harian 210-240 dengan curah hujan rata-rata 2000-3000 mm/tahun dan pH atau keasaman 5,5-6,5. 2.6.
Pengelolaan Hutan dan Pelestarian Hutan Pemanfaatan lahan dibawah tegakan jenis kopi seperti yang dilakukan di
KPH Kedu Utara merupakan salah satu kegiatan pengelolaan dan pelestarian hutan. Pengelolaan hutan adalah kegiatan masyarakat untuk membuat aturan-aturan mengenai bagaiman mereka memanfaatkan hutan. Kegiatan tersebut berupa cara menentukan luas dan batas wilayah. Cara menentukan pengorganisasian tenaga kerja dan cara menjaga sumberdaya hutan serta aturan-aturan dalam pemanfaatan hutan. Menurut Steinlin dalam Yanti (2004) pengelolaan hutan adalah kegiatan manusia secara keseluruhan yang bertujuan untuk mengarahkan sistem ekologi hutan atau memelihara sistem tersebut dalam keadaan yang memungkinkan sistem ini untuk memenuhi kebutuhan manusia akan produksi dan atau jasa pelayanan dalam jangka panjang. 2.7.
Karakteristik Rumah Tangga dan Masyarakat Desa Hutan Menurut Saharudin (1985), rumah tangga adalah sekelompok orang yang
mendiami sebagian atau seluruh bangunan dimana biasanya mereka tinggal dan makan dari satu dapur. Anggota rumah tangga bisanya terdiri dari suami, istri, anak-anak, famili dan anggota bukan famili termasuk pembantu rumah tangga. Sedangkan, yang dimaksud kepala rumah tangga ialah orang yang bertanggung jawab terhadap rumah tangga tersebut. Yayasan Penelitian Survei Agro Ekonomi (1986) menyatakan bahwa sumber pendapatan rumah tangga digolongkan menjadi dua sektor, yaitu sektor pertanian dan sektor non pertanian. Pendapatan rumah tangga sektor non pertanian bersumber dari tiga jenis kegiatan yang cukup dominan yaitu industri rumah tangga, perdagangan dan berburuh. 2.8. Pendapatan Rumah Tangga Petani Biro Pusat Statistik (2000) menyatakan bahwa pendapatan rumah tangga petani tidak hanya berasal dari usaha pertanian saja tetapi juga berasal dari sumbersumber lain diluar sektor pertanian seperti perdagangan, jasa, angkutan, industri,
pengelolaan dan lain-lain. Bahkan kadang pendapatan di luar pertanian justru lebih besar daripada pendapatan dari pertanian. Birowo dan Suyono (1982) mengelompokkan pendapatan rumah tangga di pedesaan menjadi tiga yaitu: 1. Pendapatan dari usaha bercocok tanam padi. 2. Pendapatan yang mencakup usaha bercocok tanam padi, palawija dan kegiataan pertanian lainya. 3. Pendapatan yang diperoleh dari seluruh kegiatan termasuk sumber-sumber mata pencaharian di luar bidang pertanian. 2.9
Penelitian Terdahulu. Menurut
penelitian
Widianingsih (2006) di Desa Pulosari, BKPH
Pengalengan, KPH Bandung Selatan menyimpulkan bahwa pada strata I yaitu petani dengan pemilikan lahan seluas > 0,50 ha kontribusi usaha tani PHBM sebesar 12,49%, pada strata II dengan pemilikan lahan seluas 0,25 - 0,50 ha kontribusi pendapatan usaha tani PHBM sebesar 52,75%, sedangkan untuk strata III dengan pemilikan lahan seluas < 0,25 ha usaha tani PHBM memberikan kontribusi sebesar 100%.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Kerangka Pikir Penelitian Desa Kemuning merupakan desa yang terletak di Kecamatan Bejen dan
termasuk dalam Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Candiroto wilayah RPH Petung dan RPH Candiroto. Posisi Desa kemuning berada di tengah kawasan hutan yang dikelola Perhutani sehingga hal tersebut menyebabkan lahan milik terbatas. Sejak tahun 1980 karena terbatasnya lahan milik tersebut maka masyarakat Desa Kemuning memanfaatkan lahan hutan untuk ditanami kopi di bawah tegakan, namun pada tahun tersebut belum ada perjanjian kerjasama yang mengatur mengenai aturan yang terkait dalam pemanfaatan lahan di bawah tegakan dan pengelolaan lahan dibawah tegakan pada tahun tersebut masih bersifat illegal. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan sistem yang dibentuk Perhutani sejak tahun 2001 yang mengatur mengenai aturan serta hak dan kewajiban kerjasama antara Perhutani, petani serta pihak lain yang terlibat. Pengelolaan kopi di bawah tegakan dengan sistem PHBM di Desa Kemuning dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama (PKS) antara pihak-pihak yang terlibat dengan tujuan untuk mengatur sistem pengelolaan kopi di bawah tegakan serta mengetahui hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat. Perjanjian kerjasama tersebut dibentuk pada 21 Maret 2009 dan ditandatangani oleh ketua LMDH sebagai perwakilan warga Desa Kemuning. Dalam PKS tersebut diatur pula mengenai aturan bagi hasil antara Perhutani dengan petani yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan. Dalam pengelolaan kopi dibawah tegakan terbentuk kelembagaan yang didalamnya terdapat pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Petani membentuk LMDH sebagai lembaga yang berfungsi sebagai wadah dalam kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan dengan melibatkan Perhutani sebagai mitra kerjanya. Kelembagaan pengelolaan kopi dibawah tegakan ini melibatkan beberapa pihak yang terlibat diantaranya petani yang tergabung dalam LMDH, Perhutani, LSM serta pedagang. Kerjasama yang sinergis dalam pemanfaatan lahan di bawah tegakan untuk ditanami kopi antara Perhutani sebagai pengelola lahan hutan dengan
masyarakat sebagai pengolah lahan hutan serta pihak-pihak lain yang terlibat diharapkan dapat menguntungkan khususnya untuk petani dapat menambah pendapatan dan meningkatkan kesejahteraannya.
Masyarakat desa hutan Latar belakang dan sejarah PHBM Kopi
Kelembagaan pengelolaan kopi di bawah tegakan
1. Organisasi 2. Aktor-aktor 3. Hak dan kewajiban 4. Mekanisme aturan main
Lahan hutan
Sistem pengelolaan PHBM
PLDT kopi
Perjanjian Kerjasama (PKS)
Petani kopi
Sistem bagi hasil
Kontribusi pendapatan petani dari PLDT kopi
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian.
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian
Perhutani
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kemuning, Kecamatan Bejen yang merupakan wilayah RPH Candiroto dan RPH Petung, BKPH Candiroto, KPH Kedu Utara, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Petak hutan yang menjadi tempat penelitian yaitu petak 23 F dengan luas 136,5 ha. Kegiatan penelitian dan pengambilan data dilaksanakan pada bulan Agustus sampai September 2009. 3.3
Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner, daftar
pertanyaan untuk key person, alat perekam, kamera digital, kompas, meteran, alat hitung dan komputer. 3.4
Populasi dan sampel Populasi adalah sekelompok orang, kejadian, atau hal-hal yang menarik untuk
diteliti yang telah dibatasi oleh peneliti itu sendiri. Sampel adalah bagian dari populasi yang terdiri dari anggota-anggota populasi yang terpilih. Populasi dalam penelitian ini adalah penduduk Desa Kemuning yang tergabung dalam LMDH Argo Sejahtera dan melakukan penanaman kopi di bawah tegakan dalam sistem PHBM yang berjumlah 123 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah penduduk Desa Kemuning yang tergabung dalam LMDH Argo Sejahtera dan melakukan penanaman kopi di bawah tegakan dalam sistem PHBM yang terpilih secara purposive sampling sebanyak 30 orang untuk menjadi responden. Purposive sampling (Pengambilan sampel bertujuan) dilakukan dengan mengambil sampel dari populasi berdasarkan suatu kriteria tertentu (Jogiyanto 2008) 3.5
Jenis dan Metode Pengumpulan Data. Menurut Zulganef (2008), jenis data yang dapat digunakan dalam penelitian
adalah berupa data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti melalui wawancara maupun pengisian kuesioner. Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung atau melalui sumber lain seperti data atau arsip perusahaan, publikasi pemerintah, atau yang disediakan media masa.
1.
Data Primer
Tabel 1 Data primer dan metode pengumpulan data No
Jenis data
Data yang diperlukan
Sumber data
Metode
1.
PHBM Kopi
- Latar belakang PHBM kopi
Responden
Wawancara
2.
Produktivitas tanaman kopi
- Potensi kopi/ha
Observasi langsung
3.
Kondisi tanaman pokok
- Jenis tanaman pokok
4.
Karakteristik responden
Lahan hutan yang dimanfaatkan untuk PHBM kopi Lahan hutan yang dimanfaatkan untuk PHBM kopi Responden
Responden
Kuesioner
5.
6.
7.
- jumlah anggota keluarga - Mata pencaharian dan perekonomian - kepemilikan/aset Sistem - Penyediaan bibit kopi pengelolaan - Teknik penanaman kopi kopi di bawah - Teknik Pemeliharaan kopi tegakan - Teknik pemanenan kopi - sistem pemasaran kopi Kelembagaan - Organisasi kelompok tani - Aktor-aktor yang terlibat - Hak dan kewajiban -Mekanisme aturan main yang digunakan. Kontribusi - Sumber pendapatan petani pengelolaan - Pendapatan petani diluar kopi di bawah PHBM kopi tegakan. - Pendapatan petani dari PHBM kopi - Pengeluaran petani
Observasi lansung Kuesioner
-Pengurus LMDH Wawancara -Petugas Perhutani - Ketua kelompok tani Responden Kuesioner
2. Data sekunder Tabel 2 Data sekunder dan metode pengumpulan data No 1.
2. 3.
Informasi yang Informasi yang diperlukan Sumber Data akan diketahui Kondisi umum 1. Wilayah administrasi 1. Buku Monografi lokasi penelitian pemerintahan Desa Kemuning 2. Wilayah pangkuan hutan 2. RPKH KPH Kedu Utara Bagian Hutan Candiroto Keadaan Jumlah, umur, jenis kelamin Buku Monografi Desa penduduk dan mata pencaharian utama. Kemuning Peta Lokasi 1. Peta administrasi kawasan 1. PetaDesa Kemuning penelitian desa 2. Peta pangkuan hutan 2. Peta kawasan hutan BKPH Candiroto
Metode Studi literatur
Studi literatur Studi literatur
Menurut Zulganef (2008), dalam penelitian sosial terdapat beberapa metode yang digunakan untuk mengumpulkan data diantaranya: 1. Observasi langsung Metode observasi langsung yaitu pencarian informasi dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lapangan, baik yang menyangkut objek, kejadian proses, hubungan maupun kondisi masyarakat. 2. Wawancara Cara pengumpulan data dengan wawancara merupakan pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan kajian melalui kegiatan temu muka dengan informan atau key person. 3. Kuesioner Seperangkat pertanyaan tertulis yang sudah dirumuskan sebelumnya dan responden menulis jawaban. 4. Studi literatur Cara pengumpulan atau pencarian informasi secara tidak langsung seperti melalui data yang diperoleh dari pustaka, ataupun data dan arsip dari instansi yang terkait dengan penelitian. 3.6. Metode Pengambilan Contoh Pengambilan unit contoh responden dilakukan terhadap petani kopi di Desa Kemuning yang melakukan penanaman kopi di bawah tegakan dalam sistem PHBM dipilih 30 petani untuk menjadi responden. Responden yang terpilih tersebut
kemudian
dikategorikan
berdasarkan
luas
lahan
garapan
yang
dimanfaatkan untuk menanam kopi di bawah tegakan. Pengkategorian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi rata-rata pengelolaan kopi dibawah tegakan pada setiap kenaikan keluasan sebesar 0,5 ha pada setiap kategori sebagai berikut: Kategori I
: Luas lahan garapan < 0,5 ha
Kategori II
: Luas lahan garapan 0,5 ha – 1,0 ha
Kategori III
: Luas lahan garapan >1,0 – 1,5 ha
Kategori IV
: Luas lahan garapan >1,5 ha
3.7.
Batasan Penelitian
1. Kelembagaan adalah pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan (kopi PLDT). 2. Kopi PLDT adalah pengusahaan atau pengelolaan kopi yang dilakukan di bawah tegakan hutan. 3. Pengelolaan kopi di bawah tegakan yang menjadi objek dalam penelitian ini meliputi
kegiatan
penyediaan
bibit,
teknik
penanaman,
manajemen
pemeliharaan, teknik pemanenan hasil serta sistem pemasaran. 4. Pendapatan total kopi PLDT adalah seluruh pendapatan yang diperoleh petani per tahun, meliputi hasil penjualan kopi yang dipanen. 5. Biaya pengelolaan kopi PLDT adalah seluruh biaya yang dikeluarkan petani untuk pengelolaan kopi PLDT per tahun, meliputi bibit, pupuk, obat dan tenaga kerja. 6. Pengeluaran total rumah tangga petani adalah biaya yang dikeluarkan petani untuk mencukupi kebutuhan yang meliputi biaya pengelolaan kopi PLDT, biaya pengelolaan kopi dan jagung non PLDT, biaya konsumsi, biaya non konsumsi. 7. Pendapatan bersih kopi PLDT adalah hasil pengurangan pendapatan total kopi PLDT dengan biaya pengelolaan kopi PLDT. 3.8.
Teknik Analisis Data Analisis kelembagaan pengelolaan kopi di bawah tegakan dilakukan dengan
teknik analisis data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dari wawancara mendalam, diskusi dan observasi kemudian diolah dan dianalisis dan disajikan secara deskriptif. Data kuantitatif yang diperoleh dari penelusuran data sekunder diolah dan disusun dalam bentuk tabel. Teknik analisis data tentang kelembagaan ini dengan mengacu pada ciri kelembagaan yaitu property right (hak kepemilikan), batas yuridiksi, aturan representatif yang kemudin disajikan secara deskriptif. Teknik analisis data pengelolaan kopi di bawah tegakan yang dilakukan dengan metode analisis kualitatif dan disajikan secara deskriptif.
3.9. Metode Pengolahan data Metode pengolahan data ini digunakan untuk menghitung pendapatan petani, biaya yang dikeluarkan dan kontribusi tanaman kopi terhadap pendapatan rumah tangga petani. Langkah-langkah dalam pengolahan data adalah sebagai berikut: a. Analisis pendapatan bersih petani dari satu jenis usaha
Keterangan: Pb : Pendapatan bersih petani dari satu jenis usaha (Rp/tahun) P : Pendapatan (Rp/tahun) C : Biaya (Rp/tahun) np : Banyak sumber pendapatan nc : Banyak sumber biaya ip : Jenis pendapatan ic : Jenis biaya
Tabel 3 Cara perhitungan pendapatan petani dari tanaman kopi di bawah tegakan Keterangan (A). Penerimaan - Penjualan kopi - Penjualan kayu kopi (B). Biaya - Biaya pupuk - Biaya perawatan - Biaya alat - Tenaga kerja upahan - Tenaga kerja keluarga (C). Pendapatan (A-B)
Tunai (Rp)
Tidak tunai (Rp)
Total (Rp)
ν ν v ν ν ν ν
b. Analisis Pendapatan total rumah tangga petani Untuk mengetahui besarnya pendapatan rumah tangga petani kopi, dilakukan penjumlahan antara pendapatan petani dari beberapa jenis usaha. Dalam perhitungan analisis pendapatan total petani digunakan rumus:
Keterangan: Prt
: Pendapatan total rumah tangga petani (Rp/tahun)
P
: Pendapatan yang diperoleh dari jenis usaha ke-i (Rp/tahun)
i
: Jenis usaha
n
: Banyak sumber usaha
c. Analisis biaya total rumah tangga petani
Keterangan: Crt
: Biaya total rumah tangga petani (Rp/tahun)
C
: Biaya yang diperoleh dari jenis usaha ke-i (Rp/tahun)
i
: Jenis usaha
n
: Banyak sumber usaha
d. Analisis kontribusi pengelolaan kopi di bawah tegakan terhadap pendapatan petani.
Keterangan: KP
: Kontribusi pengelolaan kopi di bawah tegakan terhadap pendapatan petani hutan (%)
X
: Pendapatan total petani dari usaha pengelolaan kopi di bawah tegakan (Rp/tahun)
P
: Pendapatan total rumah tangga petani hutan (Rp/tahun)
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak lokasi penelitian Ditinjau dari administrasi pemerintahan Desa Kemuning merupakan desa yang terletak di Kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung, Propinsi Jawa Tengah. Jarak Desa Kemuning ke kota kecamatan terdekat berjarak 5 km dengan waktu tempuh ± 15 menit dengan menggunakan kendaraan umum berupa ojeg. Jarak Desa Kemuning ke kota kabupaten terdekat berjarak 36 km, dengan waktu tempuh 90 menit dengan menggunakan kendaraan umum berupa bus. Secara administratif Desa Kemuning berbatasan dengan: Sebelah Utara
: Desa Selosabrang dan Desa Tanjung Sari
Sebelah Selatan : Desa Kebondalem Sebelah Timur : Desa Tanjung Sari dan Desa Sidoarjo Sebelah Barat
: Desa Bejen
Desa Kemuning jika ditinjau dari lokasi pangkuan hutan termasuk ke dalam Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Utara, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Candiroto wilayah Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Petung dan Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Candiroto serta termasuk ke dalam Bagian Hutan (BH) Candiroto. Posisi Desa kemuning berada di tengah kawasan hutan milik negara yang dikelola Perhutani sehingga tanah milik masyarakat di desa tersebut berbatasan dengan kawasan hutan. Petak pangkuan hutan yang mengelilingi Desa Kemuning yaitu petak 23c, petak 23f dan petak 27n. Posisi Desa Kemuning dilihat dari pangkuan hutan dan kawasan hutan yang mengelilinginya selengkapnya disajikan pada Lampiran 1.
Skala 1:4.000.000
Sumber : http://myesia.wordpress.com/ http://www.temanggungkab.go.id/profil.php?mnid=27
Keterangan: : Desa tempat penelitian Gambar 2 Lokasi penelitian. 4.2
Luas Wilayah dan Pola Penggunaan Lahan Desa Kemuning terbagi menjadi empat Rukun Tetangga (RT) dan dua Rukun
Warga (RW) serta satu dusun. Desa Kemuning memiliki luas total sebesar 231,2 ha, yang didalamnya terdiri dari sawah tadah hujan 5,8 ha, tanah ladang 121 ha, tanah pemukiman 46 ha, tanah perkebunan swasta 56 ha, tanah fasilitas umum 2,4 ha. Petak pangkuan yang mengelilingi Desa Kemuning yaitu petak 23c dengan luas 138 ha, petak 23f dengan luas 136,50 ha dan petak 27n dengan luas 154,50. Ketiga petak tersebut memiliki fungsi sebagai hutan produksi dengan tegakan berupa tanaman jenis kayu yaitu jenis bendo, waru dan mangir. Luas petak hutan
yang dimanfaatkan untuk penanaman kopi di bawah tegakan yaitu pada petak 23f seluas 136,50 ha dan pada petak 27n seluas 10,15 ha. 4.3
Topografi dan Iklim Desa Kemuning berada pada 586 mdpl dengan curah hujan rata-rata 193
sampai 285 mm/tahun. Hal ini mengakibatkan suhu di Desa Kemuning ± 25 0C, dengan tipologi topografi dan bentang daerah berupa perbukitan. 4.4
Potensi Lahan dan Komoditas yang Dihasilkan Desa Kemuning berada pada ketinggian 700 mdpl hal ini menyebabkan posisi
desa terletak di atas sehingga warga kesulitan untuk mendapatkan air. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap komoditas pertanian yang dihasilkan. Dari luasan ladang sebesar 121 ha, lahan yang di usahakan untuk tanaman padi sebesar 5 ha dengan hasil tanaman padi setiap panen sebesar 1,5 ton/ha. Sedangkan, untuk tanaman jagung lahan yang diusahakan lebih luas daripada tanaman padi hal ini disebabkan kerena jagung tidak membutuhkan air yang banyak, pengairan pada jagung hanya mengandalkan air hujan. Luasan lahan yang ditanami jagung seluas 15 ha dengan hasil sekali panen 2,8 ton/ha. 4.5
Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk Jumlah penduduk di Desa Kemuning sebesar 444 jiwa yang terbagi menjadi
141 kepala keluarga dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 229 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebesar 215 jiwa. Tingkat pendidikan penduduk Desa Kemuning tergolong rendah hal ini terlihat pada jumlah penduduk yang hanya menamatkan jenjang pendidikannya hingga tingkat Sekolah Dasar (SD). Penduduk Desa Kemuning yang hanya tamat sekolah dasar memiliki jumlah jiwa terbanyak yaitu sebesar 308 jiwa atau sebesar 69,37%. Sebesar 4 jiwa atau 0,84% penduduk Desa Kemuning memiliki tingkat pendidikan perguruan tinggi dan jumlah ini merupakan jumlah paling sedikit diantara jumlah jiwa pada tingkat pendidikan yang lain hal ini disebabkan akses ke sekolah yang sulit serta keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan. Pengelompokkan penduduk menurut tingkat pendidikan selengkapnya disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Jumlah dan persentase penduduk menurut tingkat pendidikan Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah Belum Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP/SLTP Tamat SMA/SLTA Perguruan Tinggi
Jumlah Penduduk (Jiwa) 2 64 31 308 24 11 4
Total
Persentase (%) 0,45 14,41 6,98 69,37 5,41 2,47 0,9
444
100
Sumber: Monografi Desa Kemuning tahun (2008)
Jenis pekerjaan pokok yang dimiliki penduduk Desa Kemuning sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Hal ini terbukti sebagian besar penduduk Desa Kemuning bermatapencaharian pokok sebagai buruh tani dan petani. Penduduk yang bermatapencaharian sebagai buruh tani menduduki jumlah paling tinggi yaitu sebesar 180 jiwa atau 40,54%, hal ini disebabkan karena Desa Kemuning memiliki lahan
milik
yang
terbatas.
Penduduk
yang
memiliki
lahan
milik
bermatapencaharian pokok sebagai petani sebesar 96 jiwa atau 21,64%. Mata pencaharian lain di Desa Kemunig yaitu buruh dan swasta sebesar 23 jiwa atau 5,18%. Jarak Desa Kemuning yang jauh dari pasar melatarbelakangi penduduk untuk mendirikan warung dan bermatapencaharian sebagai pedagang, penduduk yang bermata pencaharian sebagai pedagang berjumlah 10 jiwa atau 2,25%. Sebesar 143 jiwa atau 30,18% penduduk Desa Kemuning belum atau tidak bekerja yang terdiri dari penduduk dengan usia tidak produktif yaitu anak-anak dengan usia dibawah umur dan lanjut usia. Penduduk yang bermata pencaharian sebagai pegawai negeri menduduki jumlah yang paling kecil yaitu sebesar 1 jiwa atau 0,23%. Sebaran mata pencaharian pokok penduduk Desa Kemuning disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5 Jumlah dan persentase penduduk menurut jenis pekerjaan pokok Mata pencaharian pokok Buruh tani Petani Buruh/swasta Pedagang Pegawai negri Belum atau tidak bekerja
Jumlah Penduduk (Jiwa) 180 96 23 10 1 134
Total
Persentase (%)
444
40,54 21,62 5,18 2,25 0,23 30,18 100
Sumber : Monografi Desa Kemuning tahun (2008)
4.6
Kebudayaan masyarakat Kebudayaan masyarakat di wilayah Desa Kemuning masih kental dan
memegang teguh adat-istiadat yang telah berlangsung secara turun temurun. Tradisi yang paling menonjol adalah “sadranan” yang dilakukan hampir setiap tahun. Acara sadranan ini dimaksudkan sebagai ucapan syukur atas keberhasilan panen. Sebelum panen juga dilakukan tradisi “wiwitan”. Tradisi wiwitan dilakukan pada saat panen kopi akan dimulai dengan membuat sejenis makanan tradisional yaitu “jenang candil” dan “sego gono” yang kemudian dibagikan ke tetangga dan saudara. Dalam bidang kesenian Desa Kemunig terdapat kelompok kesenian rebana, kesenian ini mengadakan pentas seni minimal setahun sekali terutama pada bulan Suro atau Muharam. Dalam bidang kemasyarakatan, sebagian besar masyarakat Desa Kemuning melestariakan budaya gotong royong. Kegiatan ini dapat tercermin dengan masih lestari dan berjalannya kegiatan kerja bakti. Kegiatan ini dimanfaatkan untuk membersihkan makam dan saluran air. Kerja bakti juga dilakukan setiap kali ada pekerjaan besar untuk kepentingan desa, seperti pembangunan jalan dan tempat ibadah. Kegiatan gotong royong juga dilakukan dalam kegiatan pengelolaan pertanian seperti gotong royong pada saat pengelolaan dan panen kopi dengan sistem “royongan”. 4.7
Kondisi lokasi penelitian ditinjau dari pangkuan hutan KPH Kedu Utara Secara geografis dan administratif terletak di antara 2 0 55‟
sampai 30 45‟ Bujur Timur serta + 70 sampai dengan 70 42‟ Lintang Selatan. KPH
Kedu Utara memiliki luas wilayah sebesar 36.353,19 ha yang terbagi kedalam dua kelas perusahaan yaitu kelas perusahaan pinus seluas 25.078,80 ha dan kelas perusahaan mahoni seluas 11.274,39 ha. Berdasarkan fungsinya kawasan hutan di KPH Kedu Utara dibagi menjadi tiga seperti yang disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6 Fungsi kawasan hutan di KPH Kedu Utara Fungsi Hutan
Luas (ha)
Persentase
Hutan Produksi
12.703,8
35%
Hutan Produksi Terbatas
11.684,5
32%
Hutan Lindung
12.036,6
33%
Sumber: RPKH KPH Kedu Utara
KPH Kedu Utara terbagi menjadi lima BKPH yaitu BKPH Candiroto, BKPH Temanggung, BKPH Wonosobo. BKPH Magelang dan BKPH Ambarawa dan dari kelima BKPH tersebut terbagi lagi menjadi 21 RPH. Dari kelima BKPH di KPH Kedu Utara terdapat 278 desa hutan dan 257 LMDH dengan 378.000 kepala keluarga. Menurut pembagian wilayah administratif pemerintahan KPH Kedu Utara berada pada lima kabupaten yaitu Kabupaten Temanggung, Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Kendal, Kabupaten Semarang. KPH Kedu Utara berbatasan dengan: Sebelah Barat
: KPH Pekalongan Timur dan KPH Banyumas Timur
Sebelah Utara
: KPH Kendal
Sebelah Timur : KPH Semarang dan Surakarta Sebelah Selatan : KPH Kedu Selatan dan Yogyakarta. BKPH Candiroto merupakan BKPH dimana Desa Kemuning tersebut berada secara geografis BKPH Candiroto berada antara 2055‟ sampai 3045‟ Bujur Timur dan 7000‟ sampai 7042‟ Lintang Selatan. Batas wilayah kawasan hutan di BKPH Candiroto adalah: Sebelah Utara : BKPH Sojomerto Sebelah Selatan: BKPH Temanggung Sebelah Barat : BKPH Wonosobo Sebelah Timur : BKPH Ambarawa.
BKPH Candiroto memiliki luas kawasan hutan 11.206,70 ha yang terbagi menjadi lima RPH yang tersaji dalam Tabel 6. Tabel 7 Resort Pemangkuan Hutan (RPH) di BKPH Candiroto Resort Pemangkuan Hutan (RPH)
Luas (ha)
RPH Kenjuran
2.349,60
RPH Candiroto
2.679,20
RPH Petung
2.219,00
RPH Tlogopucang
1.590,00
RPH Jumo
2.368,90
Sumber: RPKH KPH Kedu Utara
Wilayah kerja bagian hutan Candiroto terletak pada ketinggian antara 217 mdpl sampai dengan 2.675 mdpl. Topografi bervariasi mulai dari datar bergelombang, lereng, jurang sampai puncak gunung. Jenis tanah di Candiroto bervariasi seperti litosol, grumosol dan regosol. Sedangkan, iklim menurut sistem klasifikisi Schmit dan Ferguson termasuk ke dalam iklim zona B dengan curah hujan rata-rata 264 mm/tahun. Sungai-sungai yang ada di Candiroto umumnya mengalir kearah utara dan bermuara di laut utara. Daerah yang berada di sekitar aliran sungai masuk dalam kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bodri dan satuan pengelolaan DAS Pemali Comal. Mata pencaharian penduduk di BKPH Candiroto secara umum adalah sebagai petani hal ini membuktikan bahwa masyarakat masih sangat tergantung pada lahan untuk menopang kehidupannya. Kawasan hutan yang dekat dengan pemukiman menjadi sasaran masyarakat sekitar hutan untuk memenuhi kebutuhan akan lahan. Kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat di BKPH Candiroto yang berkembang adalah pemanfaatan lahan di bawah tegakan untuk tanaman kopi. Posisi Desa Kemuning berada di tengah kawasan hutan yang dikelola Perhutani seluas ± 429 ha dengan status hutan produksi. Kawasan hutan di BKPH Candiroto yang menjadi fokus penelitian yaitu petak 23 F. Petak 23 F mempunyai luas baku 136,5 ha dengan jenis tanaman diluar kelas perusahaan yaitu Hutan Alam
Kayu Lain (HAKL). Jenis tanaman yang terdapat dalam wilayah hutan tersebut adalah jenis rimba alam seperti bendo (Arthocarpus elastica), waru (Hibiscus tiliaceus), mangir (Ganophyllum falcatum) Pinus (Pinus merkusii). Strata bawah sudah tertutup oleh tanaman kopi yang ditanam oleh petani di sekitar kawasan hutan tersebut (kopi PLDT). Jenis tumbuhan bawahnya berupa semak-semak dan kirinyuh (Euphatorium inulifolium) dengan kondisi tanaman lebat. Jenis tanah pada petak tersebut berupa jenis tanah abu, latosol.
Gambar 3 Kondisi hutan di Desa Kemuning.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Sejarah dan Latar Belakang Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan Desa Kemuning merupakan desa yang wilayahnya dikelilingi kawasan hutan (enclave). Oleh karena itu, seiring dengan bertambahnya penduduk maka lahan milik yang dapat dikelola per orangnya menjadi berkurang. Untuk memenuhi kebutuhan ekonominya penduduk Desa Kemuning memanfaatkan lahan milik negara yang dikelola oleh Perhutani untuk menanam kopi di bawah tegakan. Awal mula penanaman kopi di bawah tegakan di Desa Kemuning tidak diketahui secara pasti, hal ini disebabkan karena awalnya penanaman kopi di bawah tegakan tersebut berstatus illegal dan bukan merupakan program dari Perhutani sehingga penanaman tidak dilakukan secara serentak oleh para petani namun diperkirakan tanaman kopi di bawah tegakan tersebut ditanam sejak tahun 1980. Tanaman kopi di bawah tegakan yang awalnya berstatus illegal tersebut kemudian lima tahun setelah penanaman atau tahun 1985 sudah diperbolehkan oleh pihak Perhutani akan tetapi belum ada perjanjian tertulis hanya berupa kesepakatan antara pihak Perhutani dengan petani. Bulan Maret Tahun 2009 dibuat perjanjian tertulis dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan yang berupa Perjanjian Kerjasama (PKS) antara petani kopi dengan Perhutani. Alasan petani memilih kopi sebagai tanaman yang ditanam di lahan Perhutani yaitu karena tanaman kopi sesuai dengan kultur masyarakat di wilayah tersebut khususnya masyarakat di BKPH Candiroto selain itu tanaman kopi juga cocok ditanam karena kondisi tanah dan iklim yang sesuai. Luasan lahan yang dimanfaatkan untuk penanaman kopi di bawah tegakan untuk masing-masing petani kopi berbeda-beda hal ini dikarenakan penanaman kopi di bawah tegakan tersebut yang awalnya berstatus illegal. Untuk membatasi luasan masing–masing petani menggunakan salah satu tanaman pembatas yaitu tanaman „endong‟ yang ditanam di batas-batas luasan lahan masing-masing petani. Pembagian hasil panen kopi yang ditanam di bawah tegakan antara petani dengan Perhutani dilakukan dengan sistem bagi hasil (Sharing).
Gambar 4 Tanaman kopi di bawah tegakan hutan. Latar belakang pengelolaan kopi di bawah tegakan yang dilakukan oleh petani kopi di lahan hutan di lokasi penelitian secara umum dipengaruhi oleh beberapa alasan yaitu alasan ekonomi, budaya turun temurun dan alasan ekologis. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan hidup dan lahan, alasan ekonomis menjadi alasan yang paling utama yang melatarbelakangi petani kopi untuk melakukan penanaman kopi di bawah tegakan. Kondisi lokasi penelitian yang memiliki lahan milik terbatas sehingga mendorong para warga secara turun-temurun mengolah lahan hutan untuk dijadikan lahan pertanian dan ditanami kopi. Dengan adanya pengelolaan hutan di bawah tegakan yang melibatkan masyarakat di sekitar hutan juga berpengaruh terhadap fungsi ekologis hutan, karena dengan adanya kerjasama yang baik antara pengelola hutan dengan masyarakat maka keamanan hutan dapat ditingkatkan dan keberlanjutan fungsi ekologis hutan dapat terjaga. Berdasarkan wawancara dengan responden mengenai latar belakang melakukan penanaman kopi di bawah tegakan alasan ekonomi merupakan alasan yang paling utama 76,67% responden melakukan penanaman kopi di bawah tegakan hutan dengan alasan ekonomi, adanya penanaman kopi di bawah tegakan secara langsung akan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan masyarakat yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Kondisi di lokasi penelitian yang memiliki lahan milik terbatas sehingga mendorong masyarakat untuk menanam kopi di bawah tegakan di lahan hutan secara turun temurun hal ini melatarbelakangi 20,00% responden melakukan penanaman kopi di bawah tegakan dengan alasan budaya turun temurun. Sebanyak 3,33 % responden melakukan
penanaman kopi di bawah tegakan dengan alasan ekologi yaitu dengan alasan untuk menjaga keamanan dan keberlanjutan hutan. Jumlah dan persentase responden berdasarkan latar belakang penanaman kopi di bawah tegakan disajikan dalam Tabel 8 Tabel 8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan latar belakang penanaman kopi di bawah tegakan Latar belakang penanaman Jumlah Responden Persentase (%) kopi (Jiwa) Budaya turun temurun 6 20,00 Ekonomi 23 76,67 Ekologi 1 3,33 Total 30 100 5.2
Kelembagaan Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan Kelembagaan sebagai satu kumpulan nilai, norma, peraturan dalam suatu
kumpulan orang, yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Kelembagaan terlahir karena adanya kesamaaan karakteristik dan tujuan yang ditandai dengan adanya kesamaan kepentingan yang menyebabkan adanya upaya untuk mencapai tujuan tersebut. Kelembagaan juga dapat diartikan sebagai himpunan aturan mengenai tata hubungan diantara pihak-pihak yang terlibat. 5.2.1 Pihak yang Terlibat serta Peranan Masing-masing Pihak Kelembagaan pengelolaan kopi di bawah tegakan dengan sistem PHBM melibatkan beberapa pihak, pihak-pihak tersebut diantaranya petani kopi, LMDH, Perhutani, LSM dan pedagang. Dalam kegiatannya antar masing-masing pihak terdapat hubungan dengan pola kolaborasi yang bersinergi. Hubungan kolaborasi tersebut terdapat pada hubungan kerjasama antara Perhutani dengan masyarakat desa hutan yang terwadahi dalam suatu organisasi masyarakat yaitu Lembaga masyarakat Desa Hutan (LMDH) selain itu terdapat pula hubungan dengan pihak lain yang berkepentingan dalam kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan dengan tujuan untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal. Dalam kegiatan kolaborasi antara Perhutani dengan petani ada beberapa faktor yang dijadikan pegangan demi tercapainya tujuan bersama. Rasa saling percaya, menghormati dan tanggung jawab merupakan faktor-faktor utama yang
dapat menentukan keberhasilan proses kerjasama antara Perhutani dengan petani. Kegiatan kerjasama dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan tersebut membentuk suatu kelembagaan pengelolaan kopi di bawah tegakan yang didalamnya mencakup mengenai pihak-pihak yang terlibat, aturan dalam kerjasama, serta hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat. Namun, dalam kegiatan kerjasama pengelolaan hutan di lokasi penelitian hanya kerjasama antara Perhutani dengan petani yang terwadahi dalam LMDH dan kerjasama antara Perhutani dengan LSM yang diatur dalam perjanjian kerjasama tertulis. Hubungan kerjasama antar pihakpihak yang lain tidak diatur dalam perjanjian kerjasama tertulis hanya merupakan kesepakatan bersama antara pihak-pihak yang bekerjasama. Kerjasama tertulis pada kegaiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan antara petani yang terwadahi oleh LMDH dengan Pehutani dituangan dalam Perjanjian Kerjasama pengelolaan kopi di bawah tegakan (PKS). Kelembagaan pengelolaan kopi dibawah tegakan dalam sistem PHBM dan pihak-pihak yang terlibat disajikan dalam Gambar 5.
LSM
Perhutani
LMD H Pengurus
Anggota
Petani
Petani
Pedagan g
Gambar 5 Kelembagaan dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan. Keterangan: : Kerjasama diatur dalam perjanjian tertulis. : Kerjasamanya tidak diatur dalam perjanjian tertulis.
a.
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Masyarakat sekitar hutan yang memiliki kedudukan penting dalam
pengelolaan sumberdaya hutan diwujudkan dalam bentuk kelembagaan masyarakat desa hutan. Pengembangan kelembagaan masyarakat desa hutan yang menjadi bagian penting dalam pengelolaan sumberdaya hutan dimulai dari pembentukan
organisasi masyarakat desa hutan. Wadah atau organisasi masyarakat desa hutan adalah Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Lembaga masyarakat desa hutan yang ada dilokasi penelitian adalah Lembaga Masyarakat Desa Hutan Argo Sejahtera (LMDH Argo Sejahtera). LMDH ini dibentuk oleh masyarakat Desa Kemuning pada tanggal 16 Mei 2005 namun baru dikukuhkan dengan akta notaris pembentukan LMDH Argo Sejahtera pada tanggal 16 Januari 2006 dengan akta notaris pembentukan nomor 35/I/V/2006. LMDH Argo Sejahtera merupakan lembaga bentukan masyarakat Desa Kemuning yang berfungsi sebagai penampung dan penyalur aspirasi petani. Pembentukan lembaga ini berawal dari kepentingan bersama antara masyarakat dengan Perhutani dalam mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan yang berada disekeliling desa. Dalam struktur organisasi kepengurusan LMDH terdapat tata hubungan kerja antar setiap komponen untuk menjamin proses kegiatan dalam lembaga tersebut agar dapat berjalan dengan lancar. Masing masing pengurus memiliki kewajiban, tanggung jawab serta hak yang berbeda-beda. Struktur organisasi LMDH Argo Sejahtera adalah sebagai berikut: Ketua LMDH
Wakil (Sucipto) LMDH Sekretaris Seksi keamanan
Bendahara Seksi ( Perlengkapan Parmin)
Seksi Humas
Gambar 6 Struktur organisasi kepengurusan LMDH Argo Sejahtera. Tujuan pembentukan LMDH adalah sebagai wadah bagi semua warga Kemuning dan dalam rangka peduli terhadap kelestarian kawasan hutan yang menjadi pangkuan Desa Kemuning tersebut melalui kegiatan implementasi PHBM. Fungsi LMDH yang terdapat dalam Anggaran Rumah Tanggga pasal 7 adalah sebagai pengayom dan pelindung semua warga Kemuning, penampung, pengolah dan penyalur aspirasi warga, mitra kerja yang kondusif, efektif dan efisien bagi
Perhutani dan sebagai pelopor dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia dan kesejahteraan warga. Keanggotaan LMDH yang diatur dalam Bab I pasal I anggaran rumah tangga LMDH Argo sejahtera. Syarat untuk mendaftar menjadi anggota LMDH adalah semua warga yang bertempat tinggal di Desa Kemuning serta harus mengajukan permohonan secara tertulis. Berakhirnya keanggotaan diatur dalam Pasal 2 anggaran rumah tangga LMDH Argo Sejahtera dengan alasan meninggal dunia, atas permintaan sendiri karena pindah keluar desa dan diberhentikan karena pelanggaran disiplin organisasi, sampai saat ini anggota LMDH Argo Sejahtera berjumlah 123 warga Desa Kemuning. Musyawarah dan rapat kerja LMDH diatur dalam anggaran rumah tangga LMDH Argo sejahtera Bab IV pasal 31. Rapat anggota merupakan suatu kegiatan pertemuan yang dilakukan oleh anggota LMDH dalam periode waktu yang tertentu dan seluruh anggota diwajibkan untuk mengikuti. Rapat anggota tersebut merupakan forum komunikasi, evaluasi dan konsultasi dalam pelaksanaan program LMDH. Rapat anggota LMDH Argo Sejahtera berupa kegiatan pertemuan rutin yang biasanya dilakukan tiap 35 hari sekali (Selapanan) yaitu setiap hari Sabtu Wage. Pengambilan keputusan dilakukan oleh ketua LMDH setelah melalui kegiatan musyawarah dengan pengurus LMDH. Hasil keputusan tersebut kemudian disampaikan kepada anggota LMDH melalui kegiatan sosialisasi di balai desa. Dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan LMDH terlibat dalam beberapa kegiatan diantaranya kegiatan dalam pembuatan perjanjian kerjasama, kegiatan pengelolaan kopi, kegiatan pembagian sharing, kegiatan penyuluhan dan kegiatan monitoring. Dengan adanya LMDH Argo Sejahtera dapat dimanfaatkan sebagai wadah kerjasama antar petani selain itu LMDH juga dimanfaatkan untuk melancarkan komunikasi dua arah antara petani dengan Perhutani. b.
Perhutani Perhutani sebagai pengelola sumber daya hutan dalam mewujudkan visi dan
misinya membutuhkan partisipasi aktif dari berbagai pihak, khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Melalui sistem PHBM yang dilakukan di lokasi penelitian, Perhutani melakukan kerjasama dengan petani dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta untuk menjaga
keberlangsungan fungsi ekologis hutan. Disamping itu dengan dijalankannya kegiatan kerjasama ini diharapkan petani akan sering ke hutan untuk merawat tanaman di bawah tegakan yang ditanam, hal ini secara otomatis para petani juga melakukan perawatan terhadap tanaman pokok sehingga areal hutan yang menjadi hak untuk diolahnya akan menjadi lebih terawat dan relatif aman dari gangguan. Peran Perhutani pada pengelolaan kopi di bawah tegakan di lokasi penelitian adalah sebagai mitra kerja LMDH baik dalam kegiatan formal seperti penyuluhanpenyuluhan dan pelaksanaan program-program yang lain. Kegiatan kerjasama antara Perhutani dengan masyarakat desa hutan tidak hanya dilakukan secara formal saja tetapi juga dilakukan secara informal seperti kunjungan ke lahan-lahan garapan anggota dan berdiskusi di lapangan. Pejabat Perhutani yang terlibat langsung dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan adalah mandor dan Kepala Resort Pemangkuan Hutan (KRPH) yaitu dalam kegiatan sharing produk kopi serta kepala urusan perencanaan dan kepala urusan produksi dalam kegiatan monitoring. Selain itu, Perhutani juga terlibat kerjasama seperti pembuatan perjanjian kerjasama pengelolaan kopi di bawah tegakan. c.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pengelolaan kopi di bawah tegakan di lokasi penelitian juga melibatkan
peranan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Nama LSM yang aktif memberikan penyuluhan dalam kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan adalah LSM Dipersani. LSM Dipersani merupakan tenaga pendampingan masyarakat yang bekerjasama dengan Perhutani KPH Kedu Utara untuk mendampingi petani dalam pelaksanaan program PLDT kopi. Peranan LSM dalam kegiatan tersebut yaitu sebagai fasilitator dan motivator bagi petani. LSM juga berperan dalam pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mampu mengatasi segala persoalan dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan. Kegiatan yang secara nyata dilakukan LSM di lapangan yaitu pemberian penyuluhan dan pelatihan kepada petani. Sebagian besar dari petani mengharapkan kegiatan penyuluhan dilakukan secara rutin. Petani menginginkan pengarahan yang lebih mendalam mengenai sistem PHBM dan pengelolaan kopi di bawah tegakan, sehingga maksud dan tujuan dari kegiatan kerjasama pengelolaan kopi di bawah tegakan dalam sistem PHBM tersebut dapat dimengerti oleh masyarakat secara luas
dan tidak terbatas pada pengurus saja. Sebelum melakukan penyuluhan LSM melakukan pengkajian terhadap petani mengenai kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan serta kebutuhan dan masalah yang dihadapi petani. Dengan dilakukannya penyuluhan secara intensif dapat mendorong masyarakat untuk terlibat lebih aktif dalam kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan dalam sistem PHBM serta dapat menambah pengetahuan para petani.
Gambar 7 Kegiatan diskusi antara LSM, petani dan Perhutani. d.
Petani kopi Dalam kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan petani kopi merupakan
pihak yang keterlibatannya berhubungan langsung dengan proses pengelolaan kopi di bawah tegakan. Manfaat yang dirasakan oleh petani dalam kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan adalah memperoleh hasil produk kopi yang secara langsung meningkatkan pendapatan petani. Manfaat lain dari pengelolaan lahan di bawah tegakan yang bisa dirasakan petani yaitu para petani yang sebagian besar tidak memiliki lahan garapan dengan adanya pengelolaan lahan di bawah tegakan memiliki kesempatan untuk mengolah lahan di bawah tegakan sehingga tingkat pengganguran di desa tersebut berkurang. Petani memiliki hak dan kewajiban yang harus dijalankan dalam kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan, hak dan kewajiban tersebut diatur dalam perjanjian kerjasama pengelolaan kopi di bawah tegakan nomor 15/059.9/PHBM/KDU/I ketua LMDH dengan Perhutani.
antara petani kopi yang diwakili oleh
Pada umumnya motivasi awal warga Desa Kemuning ikut serta dalam kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan adalah karena kebutuhan akan lahan yang akan digunakan untuk kegiatan pertanian terbatas. Disamping itu kesadaran masyarakat untuk melestarikan, menghijaukan dan meningkatkan keamanan hutan menjadi motivasi masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan pengelolaan lahan di bawah tegakan. Namun, seiring dengan itu pengelolaan kopi di bawah tegakan juga memberikan kontribusi yang nyata terhadap pendapatan petani yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani. e.
Pedagang Salah satu aspek kegiatan dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan adalah
kegiatan pengelolaan pasca pemanenan yang didalamnya terdapat kegiatan penjualan produk yaitu kopi. Dalam kegiatan penjualan produk kopi tidak lepas dari peranan pedagang kopi yang membeli hasil produk kopi dari petani, LMDH, maupun Perhutani. Karena jarak Desa Kemuning dengan pasar jauh serta akses untuk mencapai pasar yang sulit maka petani di Desa Kemuning biasanya menjual ke tengkulak. Jumlah tengkulak yang ada di Desa Kemuning sebanyak 6 orang, kemudian dari tengkulak tersebut baru dijual ke pedagang. Untuk hasil panen yang menjadi bagian Perhutani dan LMDH dijual langsung ke pedagang karena jumlah produk kopi yang dijual dalam jumlah besar. Keberadaan pedagang tersebut tidak diatur dalam perjanjian kerjasama tertulis dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan. 5.2.2 Pihak yang terlibat serta bentuk keterlibatannya Pada kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan seperti Perhutani, LMDH, petani, LSM dan pedagang memiliki keterlibatan baik terlibat langsung maupun tidak langsung. Pihak yang terlibat diharapkan mengetahui maksud dan tujuan dari pengelolaan kopi di bawah tegakan dalam sistem PHBM serta dapat mengemukakan tujuan dari kegiatan kerjasama tersebut sehingga tidak terjadi kesalah pahaman dan kesalahan pemanfaatan. Oleh sebab itu, kegiatan sosialisai kepada petani mengenai kaidah pengelolaan kopi di bawah tegakan dalam sistem PHBM sangat diperlukan.
Dalam kerjasama tersebut diharapkan pihak-pihak yang terlibat bersedia untuk mengemukakan ide yang dapat mendukung program-program yang akan dijalankan sehingga tujuan dari kerjasama tersebut dapat tercapai. Dalam menjalankan kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan masing-masing pihak yang terlibat dan bentuk keterlibatan mempunyai aturan yang dituangkan dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Pihak yang terlibat dan bentuk keterlibatannya dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Pihak yang terlibat dan bentuk keterlibatannya dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan Pihak yang terlibat
Jumlah
Peranan aktor Perhutani
LMDH
Petani
LSM
Pedagang
keterlibatan
Perjanjian Kerjasama
ν
ν
v
x
x
3
Pengelolaan kopi
v
ν
v
x
x
3
Pembagian Sharing
v
ν
v
x
x
3
Pemasaran kopi
x
x
v
x
v
2
Penyuluhan
v
ν
v
ν
x
4
Monitoring
v
ν
v
x
x
3
5
5
6
1
1
Jumlah keterlibatan
Keterangan: ν
: Terlibat
x
: Tidak Terlibat Perjanjian Kerjasama (PKS) adalah perjanjian tertulis dalam pengelolaan kopi
di bawah tegkan antara Perjutani dengan petani yang diwakili oleh LMDH yang mengatur mengenai ketentuan-ketentuan dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan, hak dan kewajiban pihak yang serta ketentuan bagi hasil (sharing) yang diterima oleh masing-masing pihak yang bekerjasama. Bagi hasil tersebut berupa buah kopi basah (glondong) dengan komposisi bagi hasil 55% untuk petani, 45% untuk Perhutani. Pihak yang terlibat yaitu Perhutani, LMDH dan petani. Perjanjian ini
berlaku untuk jangka waktu sepuluh tahun terhitung sejak ditandatangani perjanjian kerjasama dan dapat diperpanjang setelah masa berlaku habis. Perhutani memiliki hak untuk membatalkan perjanjian kerjasama jika ternyata petani tidak menyerahkan hasil panen kopi dari kawasan yang telah dikerjasamakan. Kaidah kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan diatur dalam akta perjanjian kerjasama PHBM dengan akta notaris nomor 11 tanggal 4 April 2006 antara pihak Perhutani, LMDH dan Petani. Dalam perjanjian kerjasama PHBM tersebut terdapat beberapa aturan diantaranya pemanfaatan lahan di bawah tegakan ditanami tanaman yang tidak mengganggu tanaman pokok. Penentuan pola tanam dilaksanakan berdasarkan musyawarah dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah pembuatan tanaman hutan dan sosial ekonomi setempat. Penanaman kopi di bawah tegakan diatur sesuai kesepakatan bersama ditanam mengikuti kontur-kontur tanah atau disela-sela tanaman pokok namun harus tetap memperhatikan aspek perlindungan dan konservasi sumberdaya hutan. Bagi hasil atau sharing yaitu pembagian hasil dari produksi kopi yang dipanen dari kegiatan pengelolaan kopi dibawah tegakan. Sharing ini dilakukan setelah panen kopi dalam bentuk buah kopi basah. Pembagian sharing dilakukan oleh pengurus LMDH, perwakilan dari Perhutani dan petani itu sendiri. Sharing diterima oleh pihak yang terlibat dalam perjanjian kerjasama pengelolaan kopi di bawah tegakan yaitu antara Perhutani, LMDH dan petani. Perbandingan sharing yang terdapat pada perjanjian kerjasama adalah 45% untuk Perhutani dan 55% untuk petani dengan ketentuan Perhutani berkewajiban menyediakan pupuk dan membiayai dalam kegiatan pengadaan angkutan dan pelaksanaan pemupukan sebesar Rp. 2.081/pohon/tahun. Ketentuan bagi hasil yang terdapat dalam perjanjian kerjasama tersebut belum dapat dilaksanakan di lapangan karena selama pengelolaan kopi di bawah tegakan pada tahun 2009 Perhutani belum melaksanakan kewajibannya berupa penyediaan pupuk dan membiayai pengadaan angkutan dan biaya pelaksanaan pemupukan. Perjanjian kerjasama tersebut baru akan direalisasikan dilapangan pada tahun 2010. Bagi hasil yang dilaksanakan di lapangan saat penelitian masih mengikuti kesepakatan lama yaitu
20% untuk
Perhutani, 70% untuk petani dan 10% untuk LMDH. Penyerahan bagi hasil ini
dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani pihak-pihak yang terlibat sesuai ketentuan yang berlaku. Hasil sharing yang menjadi bagian petani dikelola oleh petani dan dijual ke pasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam penjualan hasil sharing yang menjadi bagian petani melibatkan dua pihak yaitu antara petani dengan pedagang. Hasil sharing yang menjadi bagian LMDH dikelola oleh LMDH dan hasilnya menjadi dana operasional LMDH yang dipergunakan untuk keperluan LMDH seperti biaya pembangunan desa, biaya keperluan rapat, biaya pembinaan anggota dan lain-lain. Hasil sharing yang menjadi bagian Perhutani dikelola oleh Perhutani dan dijual melalui penjualan langsung dengan penawaran tertutup. Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan penyuluhan pengelolaan kopi di bawah tegakan yaitu Perhutani, LMDH, petani dan LSM. Penyuluhan dilakukan untuk memberikan informasi-informasi mengenai kaidah dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan. Monitoring adalah suatu kegiatan pengawasan yang dilakukan terhadap kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan. Kegiatan monitoring ini dilakukan oleh Perhutani yang diwakili oleh kepala urusan perencanaan dan kepala urusan produksi serta bekerjasama dengan LMDH minimal setiap satu bulan sekali. Monitoring dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait baik sendiri maupun bersamasama untuk melindungi hutan yang menjadi pangkuannya dari segala macam gangguan. Apabila ternyata ada pelanggaran yang mengakibatkan terganggunya fungsi dan manfaat hutan lestari maka akan dikenakan sanksi dan denda ditambah sanksi sosial terhadap pelaku. Pihak-pihak yang terlibat tersebut memiliki batas kewenangan serta hak dan kewajiban. Mengacu pada ciri kelembagaan menurut Pakpahan (1990), dalam suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga hal utama yaitu batas yuridiksi (yuridiction of boundary), hak kepemilikan (property right) dan aturan representatif (rule of representation). 1.
Batas yuridiksi Perhutani dan petani yang terwadahi dalam LMDH merupakan dua pihak
penting yang yang tercakup dalam kelembagaan pengelolaan kopi di bawah tegakan. Dalam kerjasama tersebut terdapat hubungan dengan pola kerjasama yang
berkolaborasi antara Perhutani yang berperan sebagai pengelola hutan negara dan petani yang berperan dalam pengolah lahan di bawah tegakan yang dikelola oleh Perhutani tersebut untuk ditanami kopi. Dalam kerjasama tersebut masing-masing pihak memiliki batas kewenangan yang berbeda-beda. Perhutani memiliki kewenangan memberi ijin pemanfaatan lahan di bawah tegakan dan melakukan monitoring kegiatan, LMDH memiliki kewenangan menilai PHBM sedangkan dan LSM memiliki kewenangan dalam memberikan penyuluhan dan pendampingan. Petani memiliki kewenangan untuk menanam kopi di lahan yang dikelola oleh Perhutani namun tidak boleh memindahtangankan atau menjual lahan tersebut. 2.
Hak kepemilikan (property right) Dalam hak kepemilikan (property right) terhadap sumberdaya hutan masing-
masing pihak yang terlibat berbeda-beda sesuai dengan perannya. Perum Perhutani memiliki hak dalam menerima sharing sebesar 20% dari hasil kopi yang ditanam di bawah tegakan, LMDH juga memiliki hak dalam menerima hasil sharing sebesar 10% dari kopi yang ditanam di bawah tegakan, sedangkan LSM memiliki hak menerima insentif dari Perhutani. Hak kepemilikan petani berupa tanaman kopi yang ditanam di bawah tegakan serta menerima sharing sebesar 70%. 3.
Aturan representatif Dalam kerjasama pengelolaan kopi di bawah tegakan antara pihak yang
berpartisipasi tidak terlepas dari aturan, baik aturan kerjasama yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang bekerjasama maupun aturan yang berasal dari pemerintah. LMDH merupakan representatif petani yang menjadi lembaga perwakilan petani dalam menyusun rencana, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi pelaksaan PHBM, menampung dan menyalurkan aspirasi petani serta menjadi mitra kerja Perhutani. Sedangkan Perhutani merupakan representatif dari negara dalam mengelola kawasan hutan di Jawa dan Madura. 5.2.3 Hak dan Kewajiban Masing-masing Pihak yang Terlibat Masing-masing pihak yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan memiliki hak dan kewajiban yang berbeda sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya. Hak dan kewajiban tersebut diatur dalam perjanjian kerjasama pengelolaan kopi di bawah tegakan. Hak dan kewajiban LMDH diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga LMDH Argo Sejahtera serta terdapat
dalam akta notaris pembentukan LMDH Argo Sejahtera. Hak dan kewajiban Perhutani dan petani kopi dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama (PKS) Pengelolaan kopi di bawah tegakan. Hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegkan secara lengkap disajikan dalam Lampiran 2 sedangkan ringkasan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan disajikan dalam Tabel 10. Tabel 10 Hak dan kewajiban pihak yang terlibat dalam perjanjian pengelolaan kopi di bawah tegakan Hak dan Kewajiban
Pihak yang terlibat 1. LMDH
2. Petani
3. Perhutani
5.3
Hak
Kewajiban
- Menyusun rencana, Menampung aspirasi petani melaksanakan, memantau dan dan menyampaikannya ke menilai pelaksanaan pengelolaan pihak Perhutani kopi dibawah tegakan - Memperoleh sharing sebesar 10% dari kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan Menjaga tanaman pokok - Memperoleh sharing sebesar 70% dan tanaman kopi di dari kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan bawah tegakan Melakukan evaluasi - Memperoleh sharing sebesar 20% dari kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan - Melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan
Karaktaristik Responden Responden yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah warga Desa
Kemuning yang melakukan pengelolaan kopi di bawah tegakan pada lahan hutan milik negara yang dikelola oleh Perhutani. Responden yang diteliti berjumlah 30 responden yang terpilih secara purposive sampling. Penentuan pengambilan data responden dilakukan berdasarkan kategori luas lahan garapan yang diolah, dimana luas lahan garapan tersebut dibagi menjadi empat kategori yaitu Kategori I dengan luas lahan garapan <0,5 ha, Kategori II dengan luas lahan garapan 0,5-1,0 ha,
Kategori III dengan luas lahan garapan >1,0-1,5 ha dan Kategori IV dengan luas lahan garapan >1,5 ha 5.3.1 Umur Responden Umur petani berkaitan dengan penyediaan banyak tenaga kerja potensial dan produktif. Usia produktif merupakan sumber utama tenaga kerja dalam usaha tani. Secara umum usia produktif berkisar antara 15-55 tahun, pada Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar responden termasuk dalam usia produktif. Data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa responden dengan kisaran umur 50-59 memiliki jumlah yang paling tinggi. Kisaran umur responden yang diteliti antara 32 tahun sampai 68 tahun.
Pengelompokan responden berdasarakan kelompok umur
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kelompok umur Kelompok Umur (Tahun) 30 – 39 40 – 49 50 – 59 60 – 69 Total
Jumlah Responden (Jiwa) 8 9 12 1 30
Persentase (%) 26,67 30,00 40,00 3,33 100
5.3.2 Tingkat Pendidikan Responden yang diteliti memiliki rentang pendidikan dari tidak tamat SD sampai SMA. Sebanyak
9 jiwa atau 33,33% dari responden tidak tamat SD
umumnya mereka sekolah sampai kelas 4 atau 5 SD kemudian tidak melanjutkan dengan alasan bekerja untuk membantu orang tua. Responden yang menamatkan pendidikanya hanya sampai tingkat SD menduduki jumlah yang paling tinggi yaitu sebanyak 19 jiwa atau 63,33%. Jumlah terkecil dimiliki oleh responden yang menamatkan pendidikanya hingga tingkat STM yaitu 1 jiwa atau 3,33%. Tingkat pendidikan responden yang relatif rendah disebabkan karena pendidikan belum menjadi prioritas utama. Sulitnya akses menuju sekolah dan besarnya biaya pendidikan juga mempengaruhi rendahnya tingkat pendidikan responden. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kategori tingkat pendidikan disajkan dalam Tabel 12.
Tabel 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat Pendidikan
Jumlah responden (Jiwa)
Persentase (%)
Tidak tamat SD SD SLTP SMA/STM
9 19 0 1
33,33 63,33 0,00 3,33
Total
30
100
5.3.3 Mata Pencaharian Jenis pekerjaan pokok yang dimiliki responden berkaitan erat dengan tingkat pendidikan. Pada umumnya pekerjaan pokok responden berhubungan langsung dengan lahan baik sebagai petani ataupun buruh tani yang menggarap lahan baik milik pribadi, lahan negara, maupun lahan sewa. Hal ini dibuktikan seluruh responden memiliki pekerjaan pokok sebagi petani. Meskipun ada beberapa responden yang memiliki pekerjaan sampingan seperti dagang, usaha angkutan, maupun usaha penggilingn kopi namun petani merupakan pekerjaan yang diutamakan dengan curahan waktu paling banyak untuk melakukan bidang pekerjaan tersebut. 5.3.4 Luas Pemilikan dan Penguasaan Lahan Luas
kepemilikan
lahan
masing-masing
responden
dalam
kegiatan
pengelolaan lahan di bawah tegakan berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena awalnya tidak ada aturan dari Perhutani yang mengatur pembagian luasan lahan tersebut namun setelah tahun 1985 Perhutani mulai mengatur luasan lahan masingmasing responden yaitu seluas 0,5-1,0 ha, hal tersebut menyebabkan sebagian besar responden mengelola lahan hutan untuk penanaman kopi dibawah tegakan pada luasan 0,5-1,0 ha. Luasan lahan masing-masing responden berdasarkan kategori luasan disajikan dalam Tabel 13. Sedangkan data umum responden dan luas lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan kopi PLDT disajikan pada Lampiran 4.
Tabel 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kategori luasan Kategori
Luasan (ha)
Jumlah Responden (Jiwa)
Persentase (%)
Kategori I
< 0,5
2
6,67
Kategori II
0,5-1,0
24
80,00
Kategori III
>1,0 – 1,5
2
6,67
Kategori IV
> 1,5
2
6,67
30
100
Jumlah 5. 4
Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan Kegiatan yang dilakukan oleh petani kopi di Desa Kemuning dalam
pengelolaan kopi di bawah tegakan antara lain pengolahan tanah dan pegadaan bibit, teknik penanaman, teknik pemeliharaan, teknik pemanenan dan pengolahan pasca panen dan teknik penjualan. Teknis yang digunakan dalam kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan merupakan teknis penanaman dan pengelolaan secara sederhana berdasarkan pengetahuan dari masing-masing petani. Tidak ada aturan khusus dari Perhutani yang mengatur tentang teknis penanaman dan pengelolaan kopi di bawah tegakan. Perhutani hanya memberikan aturan tidak boleh mengelola tanah secara intensif karena akan menyebabkan terpotongnya akar tanaman pokok dan mengganggu pertumbuhan tanaman pokok, harus menjaga keamaman hutan dan keutuhan tanaman pokok, dan menanami lahan di bawah tegakan dengan tanaman yang tidak mengganggu tanaman pokok sebagai mana yang diatur dalam perjanjian kerjasama PHBM. 5.4.1 Pengolahan Tanah dan Pengadaan Bibit Pengolahan tanah yang akan ditanami kopi dilakukan secara hati-hati agar lapisan humus tidak hilang dan rusak. Bila tanah terlalu miring disarankan membuat teras untuk mengurangi erosi serta membuat saluran drainase (parit) dan jalan (Najiyati & Danarti 2009). Pengolahan tanah pada pengelolaan kopi di bawah tegakan di lokasi penelitian dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki struktur tanah menjadi gembur dan subur sehingga mampu menyimpan unsur hara dalam tanah lebih banyak. Kegiatan pengolahan tanah yang dilakukan oleh petani di lokasi penelitian
dilakukan dengan sederhana yaitu hanya melakukan kegiatan pengolahan tanah dengan mengunakan cangkul dan membersihkan semak di sekitar tanaman kopi saja hal ini disebabkan karena adanya aturan dari Perhutani yang melarang untuk mengolah tanah secara intensif di lahan tersebut karena dikhawatirkan dapat mengganggu pertumbuhan tanaman pokok. Tanaman
kopi
merupakan
salah
satu
tanaman
perkebunan
yang
perbanyakannya diperoleh dari dua cara yaitu secara generatif dan secara vegetatif. Secara generatif bibit diperoleh dari benih yang berasal dari buah kopi yang sudah tua. Perbanyakan cara ini merupakan cara perbanyakan tanaman kopi yang pertama kali dikenal
oleh masyarakat luas.
Perbanyakan kopi dengan cara vegetatif
tergolong teknologi baru dalam teknik perbanyakan tanaman kopi. Perbanyakan secara vegetatif dilakukan dengan menggunakan berbagai macam teknik atau cara antara lain dengan cara stek, cangkokan dan sambungan (Nur 1998). Bibit kopi yang ditanam pada kegiatan penanaman kopi di bawah tegakan di Desa Kemuning adalah jenis kopi robusta (Coffea robusta). Petani kopi memperoleh bibit secara generatif dengan cara mengambil/mencabut bibit yang tumbuh secara liar di hutan (bibit cabutan) namun ada beberapa petani kopi yang memperoleh bibit dari membeli di pasar dengan tujuan untuk memperoleh bibit kopi dengan mutu yang lebih bagus. Bibit kopi yang tumbuh secara liar di hutan tersebut berasal dari biji kopi yang terdapat di dalam kotoran hewan jenis musang/luwak (Paradoxurus hermaphrodictus) yang dibawa dari perkebunan kopi PTP Bojong Rejo yang berada di sebelah barat Desa Kemuning. Biji tersebut kemudian jatuh di lahan hutan yang berada di sekeliling Desa Kemuning dan tumbuh menjadi bibit kopi liar. Berdasarkan wawancara sebanyak 86,67% responden memperoleh bibit yang digunakan untuk penanaman kopi di bawah tegakan yang berasal dari bibit yang tumbuh alami di hutan (bibit cabutan) hal ini disebabkan karena dengan cara cabutan bibit lebih mudah diperoleh selain itu lebih murah. Sebanyak 13,33% responden memperoleh bibit kopi yang akan ditanam dalam penanaman kopi di bawah tegakan dengan cara membeli bibit kopi dengan alasan untuk mendapatkan bibit kopi dengan kualitas yang baik agar mendapatkan hasil kopi dengan mutu
yang baik pula. Jumlah dan persentase responden berdasarkan asal bibit yang digunakan dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan disajikan dalam Tabel 14. Tabel 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan asal bibit yang digunakan dalam penanaman kopi di bawah tegakan Asal Bibit Beli Bibit alami di hutan Total
Jumlah Responden (Jiwa)
Persentase (%)
4 26 30
13,33 86,67 100
5.4.2 Teknik Penanaman Letak tanaman kopi antar baris dapat diatur secara berurutan sehingga membentuk bujur sangkar dan dapat pula zig-zag sehingga membentuk segitiga (Najiyati & Danarti 2009) Pada pengelolaan kopi di bawah tegakan di Desa Kemuning, bibit kopi yang diperoleh dari cabutan tersebut ditanam dengan menggunakan sistem koakan (complong) atau dengan menggunakan sistem ponjo. sistem koakan yaitu sistem penanaman bibit kopi dengan membuat lubang dengan ukuran 40 cm x 40 cm atau membuat koakan selebar akar kemudian ditimbun dengan tanah. Sistem ponjo yaitu teknik penanaman yang dilakukan dengan membuat lubang dengan menggunakan kayu yang diruncing bulat (ponjo) untuk membuat bulatan pada tanah yang akan dimanfaatkan untuk tempat menanam kopi. Sebagian besar petani tidak mengatur jarak tanam kopi dan menanan kopi di sela-sela tanaman pokok. Tanaman kopi yang baru ditanam biasanya tidak tahan kekeringan oleh karena itu biasanya para petani melakukan kegiatan penanaman pada awal musim hujan yaitu pada bulan November dan Desember. Berdasarkan wawancara dengan responden dalam penanaman bibit kopi sebanyak 30% responden menanam kopi dengan jarak tanam yang teratur yaitu dengan ukuran 2 m x 3 m. Sebesar 70% responden menanam bibit kopi dengan jarak taman tidak teratur dengan alasan karena jarak tanaman pokoknya tidak teratur sehingga dalam penanaman kopi di bawah tegakan juga ditanam dengan jarak yang tidak teratur di sela-sela tanaman pokok.
5.4.3 Teknik Pemeliharaan Pemeliharaan merupakan salah satu tahap budidaya kopi yang sangat penting dan menentukan produktivitas tanaman dengan tujuan agar kopi berproduksi secara optimum (Najiyati & Danarti 2009) Kegiatan pemeliharaan kopi di bawah tegakan di lokasi penelitian dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan produktifitas dan hasil dari tanaman kopi. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan oleh petani di Desa Kemuning antara lain kegiatan: a.
Babat rumput (Besik) Kegiatan babat rumput dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan yaitu
kegiatan membersihkan rumput pengganggu yang berada di sekitar tanaman kopi dengan tujuan untuk mengurangi terjadinya persaingan pengambilan unsur hara dalam tanah. Kegiatan babat rumput ini dilakukan dua kali dalam satu tahun yaitu pada pertengahan musim kemarau sekitar bulan mei sampai Juni dan pada saat musim penghujan yaitu bulan Desember sampai Januari. Dalam kegiatan babat rumput ini kotoran tidak dibuang di sekitar pohon karena hal ini akan mengakibatkan akar pohon menjadi lembab dan mudah terserang penyakit jamur upas. b.
Pemupukan Pemupukan
bertujuan
untuk
memenuhi
kebutuhan
hara
tanaman,
meningkatkan produksi dan mutu hasil serta untuk memperbaiki kondisi dan daya tahan tanaman tanaman terhadap perubahan lingkungan yang ekstrim, seperti kekeringan dan pembuahan yang terlalu lebat (over bearing) dan untuk mempertahankan stabilitas produksi yang tinggi. Tanaman yang dipupuk juga lebih tahan terhadap gangguan hama dan penyakit (Erwiyono 2001). Kegiatan pemupukan pada pengelolaan kopi di bawah tegakan di Desa Kemuning dilakukan dua kali dalam satu tahun untuk pupuk anorganik dan satu kali dalam satu tahun untuk pupuk organik. Pupuk anorganik yang dipakai yaitu jenis urea, TSP, NPK, dan KCL. Namun, sebagian besar petani hanya menggunakan pupuk Urea dan TSP saja dengan alasan sulitnya untuk mendapatkan pupuk dan juga harga pupuk yang mahal. Dalam kegiatan pemupukan tersebut perbandingan pemakaian urea dan TSP 4 : 1. Jenis dan harga pupuk yang
digunakan untuk kegiatan pemupukan dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan secara lengkap disajikan dalam Lampiran 3. Kegiatan pemupukan untuk jenis pupuk anorganik dilakukan pada saat awal musim penghujan yaitu bulan Oktober sampai November dan pada saat setelah panen yaitu bulan Agustus sampai September. Untuk pupuk organik yang dipakai adalah pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi dan kambing. Kegiatan pemupukan jenis ini dilakukan pada saat musim kemarau kira-kira pada bulan Desember. c.
Pemangkasan pemeliharaan (rempel) Bila dibiarkan tumbuh tinggi tanaman kopi akan mencapai 12 meter dengan
percabangan rimbun dan tidak teratur. Akibatnya, tanaman akan mudah terserang penyakit serta buah yang dihasilkan sedikit dan sulit dipanen. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan pemangkasan pada batang maupun cabang (Najiyati & Danarti 2009) Pada tanaman kopi robusta, dikenal dua sistem pemangkasan yaitu sistem pemngkasan batang tunggal (Single stem) yang terdiri dari pemangkasan bentuk, pemangkasan pemeliharaan, pemangkasan rejuvenansi dan pemangkasan batang ganda (multiple stem) (Wachjar 1984). Pada kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan di Desa Kemuning pemeliharaan pemangkasan atau rempel dilakukan dengan cara memotong batang kopi (satang) yang tidak produktif, cabang yang rusak, cabang yang terserang hama, cabang yang tidak menghasilkan buah kopi dan cabang yang mati. Kegiatan pemangkasan batang ini dilakukan dua kali dalam satu tahun yaitu setelah panen pada bulan Agustus sampai September dan pada bulan Mei. Tujuan petani melakukan pemangkasan yaitu untuk mendapatkan tanaman kopi tetap rendah dengan percabangan yang produktif dan produksi yang tinggi. d.
Grafting tanaman kopi Penyambungan batang kopi bisa dilakukan melalui tiga cara yaitu sambungan
celah (Cleft grafting), sambungan rata (Plak grafting) dan sambungan miring (Kina grafting) (Najiyati & Danarti 2009).
Gambar 8 grafting tanaman kopi. Penyambungan kopi di lokasi penelitian dilakukan dengan cara menyambung tanaman kopi jenis tertentu dengan jenis lainnya dengan tujuan untuk mendapatkan jenis kopi yang lebih unggul dari jenis kopi induk dengan produktivitas tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit serta menghasilkan buah yang lebih banyak. Jenis penyambungan pada kopi di lokasi penelitian adalah sambungan top dan sambungan tag. Sambungan top adalah sambungan batang kopi yang ke arah vertikal, sedangan sambungan tag adalah sambungan kopi ke arah horizontal. Jenis kopi yang digunakan untuk penyambungan top adalah jenis BP-38 dan jenis Banglan. Sedangkan untuk penyanbungan tag menggunakan jenis kopi BP-42 dan Tugu Sari (TS), e.
Pemberantasan penyakit. Tanaman kopi harus dihindarkan dari serangan hama, penyakit dan gulma.
Hal ini dikarenakan ketiga faktor tersebut dapat menurunkan produksi dan mutu kopi yang dihasilkan. Bahkan akibat serangan hama dan penyakit menyebabkan tanaman tidak mau berbuah sama sekali, atau bahkan sering mengalami kematian (Najiyati & Danarti 2009). Pemberantasan penyakit yang menyerang tanaman kopi di lokasi penelitian bertujuan untuk melindungi tanaman dari gangguan penyakit yang dapat menyebabkan dampak negatif, merugikan tanaman dan menyebabkan berkurangnya produksi kopi. Penyakit yang menyerang tanaman kopi yang ditanam di bawah tegakan di Desa Kemuning adalah penyakit jamur upas. Bagian tanaman kopi yang diserang adalah bagian akar dan daun muda. Serangan dapat terjadi pada cabang
yang di bawah, tengah maupun di ujung pohon bahkan dapat terjadi pada batang. Cara yang dilakukan oleh petani kopi di Desa Kemuning untuk upaya pemberantasan penyakit jamur upas yaitu dengan membersihkan batang yang terkena serangan jamur upas kemudian dimusnahkan dengan cara dibakar. Penyakit pada tanaman kopi berjenis jamur upas ini disebabkan Corticium salmonicolor. Penyakit ini menyerang bagian tanaman yang lembab seperti bagian bawah cabang dan ranting. Gejala awal adanya miselium tipis berserabut seperti sarang laba-laba pada bagian tanaman yang terserang. Selanjutnya, miselium membentuk bintil dan berubah menjadi kemerahan. Bila serangan terus berlanjut biasanya bagian tanaman yang terserang akan mengering lalu daun layu dan menggantung pada ranting (Najiyati & Danarti 2009). f.
Penyulaman Tanaman yang tumbuh merana atau mati harus segera disulam dengan bibit
yang baru. Cara memindahkan bibit sulaman jangan dengan cabutan tetapi dengan cara puteran agar tumbuhnya lebih cepat (Najiyati & Danarti 2009). Kegiatan penyulaman dalam penanaman kopi di bawah tegakan di lokasi penelitian dimaksudkan untuk mengganti tanaman kopi yang mati karena terserang penyakit maupun karena faktor lain. Kegiatan penyulaman ini dilakukan selama musim penghujan agar bibit kopi sulaman bisa terus bertahan hidup. Persentase responden dalam melakukan kegiatan pemeliharaan dapat dilihat dalam Tabel 15. Tabel 15
Persentase responden dalam kegiatan pemeliharaan kopi di bawah tegakan Persentase responden dalam kegiatan pemeliharaan Intensitas Babat Pemupukan Pencegahan Penyulaman Rumput (%) (%) Penyakit (%) (%) Ya 96,67 100 70 76,67 Tidak 0 0 13,33 3,33 Tidak tentu 3,33 0 16,67 20 Total 100 100 100 100 persentase Kegiatan babat rumput dilakukan oleh hampir semua responden, sebanyak
96,67% responden melakukan kegiatan babat rumput dengan alasan agar tanaman kopi tidak terganggu tanaman pengganggu yang berada disekelilingnya seperti rumput dan tanaman pengganggu lainya. Seluruh responden melakukan kegiatan pemupukan dengan alasan dengan dilakukannya kegiatan pemupukan maka hasil
kopi yang dipanen akan semakin banyak. Adanya serangan jamur upas yang berdampak pada kematian tanaman kopi melatarbelakangi 70% responden untuk melakukan kegiatan pencegahan hama dan penyakit dengan harapan agar serangan jamur upas tersebut dapat diberantas dan tidak menyebar. Sebanyak 76,67% responden melakukan kegiatan penyulaman, kegiatan penyulaman ini dimaksudkan untuk menjaga agar jumlah pohon kopi yang ditanam tidak berkurang dengan harapan hasil pada saat panen juga tidak berkurang. 5.4.4 Teknik Pemanenan dan Pengolahan Pasca Panen Tanaman kopi yang dirawat dengan baik sudah berproduksi pada umur 2,5-3 tahun. Jumlah buah kopi yang bisa dipetik pada panen pertama hanya sedikit. Jumlah tersebut meningkat dari tahun ke tahun dan mencapai puncaknya setelah berumur 7-9 tahun (Najiyati & Danarti 2009). Buah kopi dipanen satu tahun sekali pemanenannya dilakukan dengan cara memetik buah yang telah masak. Ukuran kematangan buah ditandai oleh perubahan warna kulit buah. Kulit buah berwarna hijau tua ketika masih muda, berwarna kuning ketika setengah masak dan berwarna merah saat masak. Kegiatan pemanenan yang dilakukan oleh petani di Desa Kemuning adalah dengan cara petik borong atau petik serentak. Petik borong yaitu pemetikan yang dilakukan apabila buah kopi merah sudah lebih dari 40%. Waktu pemetikan buah kopi yaitu sekitar bulan Juli sampai Agustus. Pemetikan dengan cara ini menyebabkan mutu kopi kurang bagus karena belum semua kopi masak dan berwarna merah. Namun, petani kopi tetap mempertahankan cara ini disebabkan karena lebih efisien serta pada saat dijual tidak ada perbedaan harga antara buah kopi yang dipetik ketika sudah berwarna merah dan buah kopi yang dipetik ketika masih muda. Alat yang dibutuhkan untuk pemanenan adalah keranjang bambu berukuran kecil atau karung goni. Bila tanaman kopi sudah cukup tinggi dan buah sudah tidak terjangkau oleh tangan maka diperlukan tangga untuk menjangkau buah kopi tersebut. Cara pemetikannya yaitu buah kopi dipetik satu persatu dengan menggunakan tangan dan dimasukkan kedalam keranjang. Sebelum dilakukan pemanenan kopi yang ditanam di bawah tegakan dilakukan taksasi antara petani dengan pihak Perhutani dengan tujuan untuk
menaksir besarnya hasil yang akan di bagi hasil. Kegiatan taksasi ini dilakukan satu bulan sebelum panen dengan cara menghitung jumlah tanaman kopi total kemudian dibagi menjadi tanaman kopi yang produktif dan tanaman kopi yang tidak produktif baru ditaksasi perkiraan produksi yang dihasilkan. Kegiatan taksasi ini dilakukan oleh mandor Perhutani, pengurus LMDH dan petani yang melakukan kegiatan penanaman kopi di bawah tegakan hutan. Selain itu kegiatan ini dimaksudkan sebagai salah satu bentuk kegiatan monitoring.
Gambar 9 Teknik pemetikan buah kopi. Berdasarkan wawancara sebanyak 60% responden memetik kopi secara serentak tanpa menunggu semua kopi masak dengan alasan lebih praktis, efisien dan hemat waktu. Sebanyak 40% responden memetik kopi secara bertahap yaitu dengan cara pemetikan bergilir pada buah kopi dan menunggu sampai buah kopi masak dengan alasan untuk mendapatkan mutu kopi yang lebih bagus agar bisa lebih lama disimpan.
Gambar 10 Proses Penggilingan buah kopi. Setelah dilakukan pemetikan tahap selanjutnya yaitu penggilingan buah kopi basah menjadi buah kopi pecah kulit yang kemudian dilakukan penjemuran selama tiga hari dan dilanjutkan proses selanjutnya yaitu penggilingan kopi pecah kulit yang sudah kering untuk mendapatkan hasil akhir yaitu biji kopi beras.
Gambar 11 Proses penjemuran buah kopi. 5.4.5 Teknik Penjualan Manajemen penjualan hasil kopi hasil pemanenan kopi di bawah tegakan di Desa Kemuning sebagian besar masih melalui tengkulak atau ke pasar terdekat
yaitu di Pasar Candiroto dan Pasar Sukorejo. Belum ada badan resmi maupun lembaga resmi yang mengurusi masalah penjualan atau pemasaran produk kopi. Biji kopi dapat dijual dalam kedaan biji kopi basah (glondong) ataupun biji kopi kering (kopi beras). Meskipun bagi hasil produksi kopi antara Perhutani dengan petani dilakukan pada saat keadaan buah kopi basah, namun para petani tetap mengolah hasih bagi hasil yang menjadi bagiannya menjadi bentuk biji kopi kering. Alasan para petani mengolah biji kopi sampai bentuk biji kopi kering yaitu biji kopi kering harganya lebih mahal dan lebih mudah dan tahan lama jika disimpan sehingga dapat dijual sewaktu-waktu ada kebutuhan mendesak. Berdasarkan wawancara dengan responden sebagian besar responden masih menjual kopi ke tengkulak (56,67%) dengan alasan karena tidak repot dan tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi untuk membawa kopi ke pasar. Sebanyak 43,43% responden menjual kopi ke pasar dengan alasan harga lebih tinggi. Karena alasan praktis dalam penyimpanan dan harga yang lebih mahal hal ini menyebabkan 80% responden menjual hasil produksi kopi dalam bentuk biji kopi kering. Sebanyak 20% responden menjual hasil produksi kopi dalam bentuk buah kopi basah, hal ini dilakukan oleh responden dengan tingkat ekonomi menengah kebawah dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tempat penjualan dan bentuk kopi yang dijual disajikan dalam Tabel 16. Tabel 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tempat penjualan kopi dan keadaan kopi yang dijual Jumlah responden Persentase Uraian (%) (Jiwa) Tempat penjualan kopi Tengkulak desa 17 56,67 Pasar 13 43.43 Keadaan kopi yang dijual Kopi basah 6 20 kopi kering 24 80 5.4.6 Ketenagakerjaan Sebagian besar petani yang melakukan penanaman kopi di bawah tegakan untuk kegiatan pengadaan bibit, penanaman, pemupukan dan pemberantasan hama menggunakan tenaga kerja sendiri dengan bantuan anggota keluarga. Untuk kegiatan penyiangan jika lahan yang di manfaatkan untuk kegiatan pengelolaan
kopi dibawah tengakan luas petani menggunakan tenaga bayaran. Tenaga bayaran ini dikenal dengan istilah royongan dengan jumlah pekerja sebanyak 15-20 orang dengan upah Rp. 8000/orang. Dalam kegiatan pemanenan buah kopi untuk petani yang lahan garapannya luas biasanya menggunakan tenaga kerja upahan yang upah petiknya dihitung berdasarkan banyaknya kopi yang berhasil dipetik yaitu sebesar Rp. 300/kg. Berdasarkan wawancara dengan responden dalam pemakaian tenaga kerja sebanyak 83,33% responden menggunakan tenaga kerja sendiri yang biasanya menggunakan tenaga kerja keluarga. Sebanyak 16,67% responden menggunakan tenaga kerja upah harian. 5.5
Kontribusi Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan Kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh masyarakat desa sekitar
hutan telah memberikan kontribusi yang nyata terhadap pendapatan rumah tangga. Besarnya nilai kontribusi sumberdaya hutan terhadap pendapatan rata-rata rumah tangga disetiap wilayah berbeda tergantung pada frekuensi, harga, volume dan jenis-jenis sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Besarnya nilai kontribusi sumberdaya hutan terhadap pendapatan rata-rata rumah tangga menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan yang ada di daerah tersebut tinggi. 5.5.1 Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan 5.5.1.1 Biaya Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan Biaya pengelolaan kopi di bawah tegakan adalah seluruh biaya yang dikeluarkan petani dalam kurun waktu satu tahun untuk melakukan kegiatan pengelolaan kopi yang ditanam di bawah tegakan (kopi PLDT). Biaya pengelolaan kopi PLDT diantaranya biaya pengadaan bibit, penyiangan, rempel, penyulaman, pemupukan, pemberantasan penyakit dan pemanenan . Biaya rata-rata pengelolaan kopi di bawah tegakan yang dikeluarkan responden selama tahun 2009 tiap ketegori keluasan disajikan dalam Tabel 17. Pada tabel tersebut dapat dijelaskan responden pada kategori IV memiliki biaya pengelolaan kopi PLDT paling besar yaitu sebesar Rp. 2.593.000 dengan biaya terbesar dikeluarkan untuk kegiatan pemupukan yaitu Rp. 1.275.000 atau 49,17% dari total biya yang dikeluarkan responden untuk kegiatan pengelolaan kopi PLDT pada kategori tersebut. Biaya pengelolaan kopi PLDT paling kecil di keluarkan oleh responden pada kategori I hal ini disebabkan
karena luasan lahan yang dikelola kecil maka sebagian petani memilih untuk mengelola sendiri tanpa mempekerjakan tenaga kerja sehingga pengeluaran untuk tenaga kerja lebih sedikit. Biaya pengelolaan kopi PLDT pada kategori I yaitu sebesar Rp. 585.000 dengan biaya terbesar dikeluarkan untuk kegiatan pemupukan yaitu Rp. 367.500 atau 62,82% dari total biya yang dikeluarkan responden untuk kegiatan pengelolaan kopi PLDT pada kategori tersebut. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin luas lahan yang diusahakan untuk kegiatan pengelolaan kopi PLDT maka biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan produksi juga semakin besar.
55
Tabel 17 Biaya pengelolaan kopi PLDT menurut kategori luas lahan Biaya pengelolaan kopi PLDT Kategori Bibit
%
Penyiangan
%
Rempel
%
Penyulaman
%
Pemupukan
%
Pemberantasan penyakit
%
Pemanenan
%
Total
I
Rp 12.500
2,14
Rp 108.000
18,46
Rp 15.000
2,56
Rp 8.000
1,37
Rp 367.500
62,82
Rp 8.000
1,37
Rp 66.000
11,28
Rp 585.000
II
Rp 8.333
0,79
Rp 276.625
26,37
Rp 31.250
2,98
Rp 12.750
1,22
Rp 572.346
54,56
Rp 12.625
1,20
Rp 135.188
12,89
Rp 1.049.117
III
Rp
-
0,00
Rp 540.000
32,95
Rp 50.000
3,05
Rp 20.000
1,22
Rp 805.000
49,12
Rp 20.000
1,22
Rp 204.000
12,45
Rp 1.639.000
IV
Rp
-
0,00
Rp 937.500
36,16
Rp 75.000
2,89
Rp 24.000
0,93
Rp1.275.000
49,17
Rp 24.000
0,93
Rp 257.500
9,93
Rp 2.593.000
Rp 5.208
0,73
Rp 465.531
28,48
Rp 42.813
2,87
Rp 16.188
1,18
Rp 754.961
53,92
Rp 16.156
1,18
Rp 165 672
11,64
Rp 1.466.529
Rata-rata
55
5.5.1.2 Pendapatan Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan a.
Pendapatan Sharing yang Diterima Masing-Masing Pihak Pendapatan sharing yang diterima oleh masing-masing pihak yaitu besarnya
sharing yang diterima oleh masing-masing pihak dari pemanenan produksi kopi PLDT sesuai kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya. Kategori IV merupakan kategori yang memiliki pendapatan sharing yang paling besar baik pendapatan sharing yang diterima petani, Perhutani maupun LMDH. Besarnya pendapatan sharing masing-masing pihak pada kategori IV pada tahun 2009 yaitu sebesar Rp. 9.310.000 untuk petani, Rp. 2.660.000 untuk Perhutani dan Rp. 1.330.000 untuk LMDH dengan pendapatan total dari kopi PLDT pada kategori tersebut sebesar Rp. 13.300.000. Pada kategori I memilik pendapatan sharing yang paling kecil jika dibandingkan dengan pendapatan sharing pada kategori yang lain. Besarnya pendapatan sharing masing-masing pihak pada kategori I pada tahun 2009 yaitu sebesar Rp. 1.653.750 untuk petani, Rp. 472.500 untuk Perhutani dan Rp. 236.250 untuk LMDH dengan pendapatan total dari kopi PLDT pada kategori tersebut sebesar Rp. 2.362.500. Dari uaraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendapatan sharing sangat di pengaruhi oleh hasil panen kopi PLDT yang diperoleh, luas lahan yang manfaatkan untuk penanaman kopi PLDT dan harga jual kopi. Pada saat penelitian harga jual buah kopi basah sebesar Rp 3.500/Kg dan harga jual biji kopi kering sebesar Rp. 14.500/Kg. Besarnya pendapatan sharing yang diterima masing-masing pihak berdasarkan kategori keluasan pada tahun 2009 disajikan pada Tabel 18. Sedangkan besarnya pendapatan kotor yang diterima masingmasing responden, Perhutani dan LMDH serta pendapatan bersih yang diterima responden berdasarkan urutan keluasan disajikan pada Lampiran 5. Tabel 18
Pendapatan sharing yang diterima masing-masing pihak menurut kategori luas lahan Pendapatan sharing kopi PLDT
Kategori
Pendapatan total kopi PLDT
Petani
%
Perhutani
%
LMDH
%
I
Rp 1.653.750
70
Rp 472.500
20
Rp 236.250
10
Rp
II
Rp 3.345.781
70
Rp
955.938
20
Rp 477.969
10
Rp 4.779.688
III
Rp 7.533.750
70
Rp 2.152.500
20
Rp 1.076.250
10
Rp 10.762.500
IV
Rp 9.310.000
70
Rp 2.660.000
20
Rp 1.330.000
10
Rp 13.300.000
Rata-rata
Rp 5.460.820
70
Rp1.560.234
20
Rp 780.117
10
Rp
2.362.500
7.801.172
b.
Pendapatan Bersih Kopi PLDT yang Diterima Petani Pendapatan bersih kopi PLDT yang diterima petani adalah pendapatan
sharing kopi PLDT yang diterima petani dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pengelolaan kopi PLDT. Pendapatn bersih rata-rata kopi PLDT pada tahun 2009 paling tinggi diperoleh oleh responden kategori IV yaitu sebesar Rp. 6.717.000. Pendapatan bersih rata-rata kopi PLDT pada tahun 2009 paling rendah diperoleh oleh responden kategori I dengan pendapatan bersih yang diterima sebesar Rp. 1.068.750. Pendapatan bersih kopi PLDT yang diterima petani berdasarkan kategori luas selama tahun 2009 disajikan dalam Tabel 19. Tabel 19
Pendapatan bersih kopi PLDT yang diterima kategori luas lahan Pendapatan Biaya pengelolaan Kategori sharing kopi kopi PLDT PLDT I Rp 1.653.750 Rp 585.000 II Rp 3.345.781 Rp1.049.117 III Rp 7.533.750 Rp 1.639.000 IV Rp 9.310.000 Rp 2.593.000 Rata-rata Rp 5.460.820 Rp 1.466.529
responden menurut Pendapatan bersih kopi PLDT Rp Rp Rp Rp Rp
1.068.750 2.296.665 5.894.750 6.717.000 3.994.291
5.5.2 Rumah Tangga 5.5.2.1 Biaya Rumah Tangga Biaya total rumah tangga adalah seluruh biaya yang dikeluarkan oleh petani selama satu tahun untuk kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan (pengelolaan kopi PLDT), biaya pengelolaan selain kopi di bawah tegakan (pengelolaan selain kopi PLDT), biaya konsumsi yang meliputi kebutuhan beras, lauk dan bahan bakar, serta biaya non konsumsi yang meliputi biaya sandang, biya pendidikan, iuran listrik, iuran desa, dan arisan RT. Biaya rata-rata pengelolaan kopi PLDT pada tahun 2009 paling tinggi dikeluarkan oleh responden pada kategori IV yaitu sebesar Rp. 2.593.000 atau sebesar 17,51% dari seluruh biaya rumah tangga yang dikeluarkan oleh responden pada kategori luasan tersebut. Biaya rata-rata kopi PLDT pada tahun 2009 paling rendah dikeluarkan oleh responden pada kategori I yaitu sebesar Rp. 585.000 atau sebesar 5,57% dari seluruh biaya rumah tangga yang dikeluarkan oleh responden pada kategori luasan tersebut.
Biaya pengelolaan selain kopi PLDT adalah biaya yang dikeluarkan petani untuk kegiatan pengelolaan lahan selain kopi PLDT. Jenis tanaman yang diusahakan dalam kegiatan pengelolaan ini adalah tanaman kopi dan jagung. Kegiatan pengelolaan lahan selain kopi PLDT ini tidak dilakukan oleh semua responden dikarenakan ada responden yang tidak memiliki lahan milik. Biaya pengelolaan selain kopi PLDT rata-rata paling tinggi dikeluarkan oleh responden pada kategori I yaitu sebesar Rp 2.337.250 atau sebesar 22,27% dari seluruh biaya pengelolaan selain kopi PLDT pada kategori tersebut. Biaya pengelolaan selain kopi PLDT rata-rata paling rendah dikeluarkan oleh responden pada kategori II yaitu sebesar RP 1.550.229 atau sebesar 14,80 % dari seluruh biaya pengelolaan selain kopi PLDT pada kategori tersebut. Biaya konsumsi sangat dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga dan tingkat kesejahteraan keluarga. Biaya konsumsi rata-rata paling tinggi dikeluarkan oleh responden kategori IV yaitu sebesar Rp 7.860.000 atau sebesar 53,08% dari seluruh biaya rumah tangga yang dikeluarkan oleh responden pada kategori luas tersebut. Biaya konsumsi rata-rata paling rendah dikeluarkan oleh responden pada kategori II yaitu sebesar Rp 5.602.800 atau sebesar 53,48% dari seluruh biaya rumah tangga yang dikeluarkan oleh responden pada kategori luas tersebut. Biaya non konsumsi rata-rata paling tinggi dikeluarkan oleh responden pada kategori IV yaitu sebesar Rp 2.745.000 atau sebesar 18,54% dari seluruh biaya rumah tangga yang dikeluarkan oleh responden pada kategori luasan tersebut. Biaya non konsumsi rata-rata paling rendah dikeluarkan oleh responden pada kategori III yaitu sebesar Rp 1.044.000 atau sebesar 9,68%. Biaya rumah tangga rata-rata responden selama tahun 2009 disajikan dalam Tabel 20. Tabel 20 Biaya rumah tangga responden menurut kategori luas lahan Biaya Rumah Tangga
I
585.000
5,57
Pengelolaan selain kopi PLDT (Rp) 2.337.250
II
1.049.117
10,01
1.550.229
14,80
5.602.800
53,48
2.275.000
III
1.639.000
15,20
2.011.750
18,66
6.087.000
56,46
1.044.000
9,68
10.781.750
IV Ratarata
2.593.000
17,51
1.609.000
10,87
7.860.000
53,08
2.745.000
18,54
14.807.000
1.466.529
12,08
1.877.057
16,65
6.307.725
54,29
1.989.000
16,99
11.640.311
Kategori
Pengelolaan PLDT (Rp)
%
%
Total (Rp)
54,13
Non Konsumsi (Rp) 1.892.000
18,03
10.495.350
21,71
10.477.146
%
Konsumsi (Rp)
%
22,27
5.681.100
5.5.2.2 Pendapatan Rumah Tangga Pendapatan total rumah tangga adalah seluruh pendapatan yang diterima oleh rumah tangga petani selama satu tahun pendapatan tersebut berasal dari berbagai macam jenis pekerjaan seperti petani dengan hasil kopi baik yang ditanam secara kopi PLDT maupun yang ditanan pada lahan milik, penadapatan dari produksi jagung, pendapatan dari usaha berdagang, pendapatan dari beternak, pendapatan dari usaha pertukangan, pendapatan dari usaha buruh, dan pendapatan dari pekerjaan perangkat desa. Dari beberapa sumber pekerjaan ini berpengaruh langsung terhadap pendapatan total yang diterima rumah tangga petani di Desa Kemuning. Pendapatan kopi PLDT merupakan pendapatan yang diterima petani dari hasil penjualan kopi yang ditanam di bawah tegakan. Pendapatan non PLDT adalah pendapatan yang diterima petani selain dari kopi PLDT sumber pendapatan tersebut seperti pendapatan dari lahan milik pribadi seperti kopi dan jagung, pendapatan dari usaha berdagang, pendapatan dari beternak, pendapatan dari usaha pertukangan, pendapatan dari usaha buruh, dan pendapatan dari pekerjaan perangkat desa. Pendapatan rata-rata rumah tangga responden dari kopi PLDT
paling
tinggi diperoleh oleh responden kategori IV yaitu memiliki pendapatan sebesar Rp. 9.310.000. Hal ini disebabkan karena dengan luasan yang besar maka pendapatan yang diperoleh dari kopi PLDT akan besar pula. Pendapatan rata-rata rumah tangga dari kegitan non PLDT diterima responden kategori I dengan pendapatan yang diterima sebesar Rp 13.257.500. Pada kategori I pendapatan yang berasal dari non PLDT yang tinggi disebabkan karena responden pada kategori luasan tersebut memiliki pendapatan dari PLDT kopi yang rendah sehingga responden berusaha menutupi kekurangan pendapatan dari sumbersumber pendapatan yang berasal dari non PLDT. Pendapatan rata-rata rumah tanggan rata-rata responden yang berasal PLDT paling rendah diperoleh oleh responden kategori I yaitu memiliki pendapatan sebesar Rp. 1.653.750. Hal ini menjadikan pengelolaan kopi di bawah tegakan menjadi usaha sampingan karena kecilnya luas lahan kopi di bawah tegakan yang dimiliki sehingga hasilnya juga kecil. Responden akan memilih jenis pekerjaan lain sebagai pekerjaan utama untuk dapat meningkatkan
pendapatan. Pendapatan paling rendah dari kegitan non PLDT diterima responden pada kategori III dengan pendapatan yang diterima sebesar Rp 7.400.000. Pendapatan total rata-rata rumah tangga responden adalah penjumlahan dari pendapatan rata-rata dari kopi PLDT dengan pendapatan yang diperoleh dari kegiatanNon PLDT. Pendapatan total rata-rata rumah tangga paling tinggi diperoleh oleh responden pada kategori IV yaitu memiliki pendapatan total sebesar Rp.
17.130.000. Pendapatan total rata-rata paling rendah diterima
responden pada kategori II dengan pendapatan yang diterima sebesar Rp. 13.315.365. Jumlah dan persentase pendapatan total rumah tangga responden pada tahun 2009 disajikan dalam Tabel 21. Sedangkan pendapatan rata-rata non PLDT serta sumber pendapatan dari kegaiatn non PLDT berdasarkan kategori luas disajikan pada Lampiran 7. Tabel 21 Pendapatan total rumah tangga responden menurut kategori luas lahan Pendapatan kotor Kategori Kopi PLDT Non PLDT* Total I Rp 1.653.750 Rp13.257.500 Rp 14.911.250 II Rp 3.345.781 Rp 9.969.583 Rp 13.315.365 III Rp 7.533.750 Rp 7.400.000 Rp 14.933.750 IV Rp 9.310.000 Rp 7.820.000 Rp 17.130.000 Rata-rata Rp 5.460.820 Rp 9.611.771 Rp 15.072.591 Keterangan:
*= pendapatan dari lahan milik pribadi seperti kopi dan jagung, pendapatan dari usaha berdagang, pendapatan dari beternak, pendapatan dari usaha pertukangan, pendapatan dari usaha buruh, dan pendapatan dari pekerjaan perangkat desa.
Pendapatan bersih rumah tangga adalah pengurangan pendapatan total yang diterima dengan biaya-biaya total yang dikeluarkan. Pendapatan bersih ratarata rumah tangga reponden paling tinggi diperoleh oleh responden kategori I yaitu sebesar Rp. 4.415.900. Pendapatan bersih rata-rata rumah tangga paling rendah diterima responden pada kategori IV dengan pendapatan yang diterima sebesar Rp
2.323.000. Pendapatan bersih rata-rata responden pada tahun 2009
disajikan dalam Tabel 22.
Tabel 22 Pendapatan bersih rumah tangga responden menurut kategori luas lahan Pendapatan total Biaya total Pendapatan bersih Kategori rumah tangga rumah tangga rumah tangga I Rp 14.911.250 Rp 10.495.350 Rp 4.415.900 II Rp 13.315.365 Rp 10.477.146 Rp 2.838.219 III Rp 14.933.750 Rp 10.781.750 Rp 4.152.000 IV Rp 17.130.000 Rp 14.807.000 Rp 2.323.000 Rata-rata Rp 15.072.591 Rp 11.640.311 Rp 3.432.280 Sumber : Diolah dari data pimer penelitan
5.5.3 Analisis Kontribusi Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan terhadap Pendapatan Petani Kontribusi pengelolaan kopi di bawah tegakan terhadap pendapatan rumah tangga petani diperoleh hasil pembagian antara pendapatan total petani dari hasil pengelolaan kopi di bawah tegakan dengan pendapatan total rumah tangga petani. Kontribusi pengelolaan kopi di bawah tegakan rata rata terbesar diterima oleh responden pada kategori IV yaitu sebesar 54,35% dan kontribusi pengelolaan kopi di bawah tegakan rata-rata paling kecil diterima oleh responden pada kategori I yaitu sebesar 11,09%. Kontribusi rata-rata pengelolaan kopi di bawah tegakan dari seluruh kategori luasan sebesar 35,25%. Dengan adanya kontribusi pengelolaan kopi di bawah tegakan terhadap pendapatan menunjukkan bahwa adanya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang ada di Desa Kemuning. Kontribusi pengelolaan kopi di bawah tegakan terhadap pendapatan responden pada tahun 2009 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Kontribusi pengelolaaan kopi di bawah tegakan terhadap pendapatan petani menurut kategori luas lahan Pendapatan Kontribusi Kategori (%) Kopi PLDT Rumah tangga I Rp 1.653.750 Rp 14.911.250 11,09 II Rp 3.345.781 Rp 13.315.365 25,13 III Rp 7.533.750 Rp 14.933.750 50,45 IV Rp 9.310.000 Rp 17.130.000 54,35 Rata-rata Rp 5.460.820 Rp 15.072.591 35,25 5.6
Kendala dan Solusi dalam Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan Dalam penanaman kopi di bawah tegakan meskipun sudah dilakukan oleh
petani di Desa Kemuning dari tahun 1980 namun masih terdapat beberapa
kendala. Dalam penelitian ini kendala yang dihadapi dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan dibedaka menjadi kendala yang dihadap petani dan kendala yang dihadapi Perhutani. Beberapa kendala yang dihadapi Perhutani dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan di Desa Kemuning yaitu kurangnya keterbukaan petani dalam menerima perubahan baru, hal ini berpengaruh pada lamanya proses penyelesaian perjanjian kerjasama dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan. Kendala yang dihadapi petani dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan diantaranya masih adanya tengkulak dan kegiatan penjualan masih dilakukan dengan tengkulak sehingga petani tidak bisa memperoleh keuntungan maksimum dari produksi kopi, hal ini disebabkan karena belum ada lembaga khusus yang mengurusi masalah penjualan produksi kopi. Persediaan pupuk yang terbatas dan harganya mahal juga merupakan kendala yang dihadapi petani dalam mengelola kopi di bawah tegakan. Kendala lain yaitu adanya serangan jamur upas yang masih belum bisa diberantas. Kendala adanya penyakit jamur upas yang menyerang tanaman kopi di alami oleh 53,33% responden. Sebanyak 36,67% responden mengalami kendala sulitnya
memperoleh pupuk.
Pemupukan merupakan salah satu aspek
pemeliharaan kopi di bawah tegakan yang penting dan sangat mempengaruhi hasil kopi. Sebanyak 10% responden mengalami kendala dalam kurangnya fungsi lembaga dalam menangani pengelolaan kopi di bawah tegakan. Responden mengharapkan adanya lembaga khusus yang menangani masalah pengelolaan kopi di bawah tegakan terutama bidang penjualan sehingga para responden tidak perlu lagi menjual hasil kopi ke tangan tengkulak. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kendala yang dihadapi responden dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan disajikan dalam Tabel 24. Tabel 24 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kendala yang dihadapi responden dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan Jumlah Responden Persentase Kendala (Jiwa) (%) Sulit pupuk 11 36,67 Penyakit jamur upas 16 53,33 Kurang fungsi lembaga 3 10,00 Total 30 100
Solusi yang dilaksanakan Perhutani untuk mengatasi kendala tersebut yaitu melakukan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi mengenai pentingnya pembuatan perjanjian kerjasama agar kerjasama dalam pengelolaan kopi di bawah tegakan memiliki dasar hukum. Untuk mengatasi kendala sulitnya petani dalam memperoleh pupuk maka dalam perjanjian kerjasama tersebut Perhutani berkewajiban memberikan bantuan pupuk. 5.7 Monitoring dan Evaluasi dalam Pengelolaan Kopi di Bawah Tegakan Tahap monitoring dan evaluasi merupakan tahap yang penting dalam kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan. Pada tahap ini dilakukan pengukuran keberhasilan program kerjasama yang telah dilaksanakan. Disamping itu, kegiatan ini bertujuan untuk menilai pelaksanaan pengelolaan kopi di bawah tegakan sehingga tujuannya dapat tercapai secara optimal sekaligus merupakan pembelajaran bagi perbaikan dan penyempurnaan lebih lanjut. Pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan di Desa Kemuning dilakukan oleh pihak Perhutani yang bekerjasama dengan LMDH Argo Sejahtera. Kegiatan monitoring dilakukan oleh petugas Perhutani secara rutin minimal satu kali dalam satu bulan. Pengawasan dilakukan untuk menjaga keamanan tanaman pokok dan tanaman di bawah tegakan. Masing masing petani yang menanam kopi di bawah tegakan juga bertanggung jawab terhadap keamanan tanaman baik tanaman pokok maupun tanaman di bawah tegakan, hal tersebut berdampak pada peningkatan keamanan. Selain itu frekuensi seringnya para petani ke hutan untuk mengelola kopi di bawah tegakan juga memberikan kotribusi dalam peningkatan keamanan hutan. Kerjasama yang baik antara Perhutani, LMDH dan petani dalam kegiatan monitoring berdampak pada peningkatan keamanan hutan.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan
1. Kelembagaan pengelolaan kopi di bawah tegakan melibatkan beberapa pihak yaitu Perhutani sebagai penyedia lahan, LMDH sebagai lembaga bentukan masyarakat yang berfungsi sebagai penampung dan penyalur aspirasi dari masyarakat, petani yang mengelola kopi di bawah tegakan, LSM sebagai pendamping petani dan pedagang yang terkait dalam kegiatan pemasaran kopi. Kerjasama pengelolaan kopi di bawah tegakan antara Perhutani dengan petani dituangkan dalam perjanjian kerjasama yang didalamnya diatur tentang hak dan kewajiban masing masing pihak yang terlibat serta besarnya sharing. Besarnya Sharing yang terjadi di lapangan yaitu 20% untuk Perhutani, 70% untuk petani dan 10% untuk LMDH. 2. Pengelolaan kopi di bawah tegakan di Desa Kemuning awalnya berstatus illegal namun telah diperbolehkan oleh pihak Perhutani sejak tahun 1985 serta dibuat perjanjian kerjasama pada tahun 2009. Kegiatan pengelolaan kopi di bawah tegakan meliputi kegiatan pengolahan tanah dan penyediaan bibit, teknik penanaman, teknik pemeliharaan (babat rumput, pemupukan, pemangkasan, grafting, pemberantasan hama penyakit dan penyulaman), teknik pemanenan dan pengolahan pasca panen serta teknik penjualan. 3. Kontribusi pengelolaan kopi di bawah tegakan rata rata terbesar diterima oleh responden pada kategori IV yaitu sebesar 54,35% dan kontribusi pengelolaan kopi di bawah tegakan rata-rata paling kecil diterima oleh responden pada kategori I yaitu sebesar 11,09% serta kontribusi rata-rata dari keempat kategori sebesar 35,25%. Dengan adanya kontribusi pengelolaan kopi di bawah tegakan terhadap pendapatan menunjukkan bahwa adanya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang ada di Desa Kemuning.
6.2
Saran
1. Lembaga masyarakat desa hutan hendaknya meningkatkan fungsinya sehingga lembaga tersebut bukan hanya berfungsi sebagai wadah para petani untuk bertukar informasi dan penyalur aspirasi saja namun dapat pula membantu para petani dalam pengadaan pupuk, serta mengelola proses penjualan kopi sehingga penjualan ke tengkulak dapat diminimalkan. 2. Lembaga masyarakat desa hutan hendaknya melakukan kerjasama dengan dinas perkebunan sehingga kendala dalam hal pengelolaan kopi dapat diatasi dan hasil dapat ditingkatkan. 3. Perum Perhutani KPH Kedu Utara hendaknya lebih intensif dalam melakukan pembinaan dan pendampingan masyarakat di Desa Kemuning. Pendekatan sosial kepada masyarakat merupakan langkah awal untuk mewujudkan keberhasilan dalam pengelolaan lahan di bawah tegakan.
DAFTAR PUSTAKA Anwar MK. 2001. Analisis Kelembagaan Pengelolaan Hutan Masyarakat Rimba [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Biro Pusat Statistik. 2000. Sensus Pertanian Indonesia. Jakarta: Biro Pusat Statistik. Birowo AT, Suyono I. 1982. Distribusi Pendapatan di Pedesaan Padi Sawah di Jawa Tengah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Erwiyono R. 2001. Penanaman dan Pemeliharan Tanaman Kopi. Tinjauan dari Hubungan Tanah-Tanaman. Makalah pelatihan Peningkatan Keterampilan Petani. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember. Jember. [Esia]. 2007. Bakrie Telecom Prioritaskan Jawa tengah Dalam Rencana Ekspansi ”Go National” http://myesia.wordpress.com/. [23 Mar 2010]. Hagul P. 1985. Pembangunan Desa dan LSM. Yogyakarta: Yayasan Dian Desa. Jogiyanto. 2008. Metodologi Penelitian Sistem Informasi. Yogyakarta: Andi Offset. Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga penerbit Fakultas Ekonomi UI. Najiyati S, Danarti. 1999. Kopi Budi Daya dan Penanganan Lepas Panen. Jakarta: Penebar Swadaya. Najiyati S, Danarti. 2009. Kopi Budi Daya dan Penanganan Pascapanen. Jakarta: Penebar Swadaya. Nur AM. 2000. Dampak La Nina Terhadap Produksi Kopi Robusta : Studi Kasus Tanah Basah 1998. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 16(1):50-58 Pakpahan A. 1989. Perspektif Ekonomi Institusi dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam. Vol XXXXVII No. 4. Jakarta: Ekonomi dan Keuangan Indonesia Pasaribu LO. 2007. Kelembagaan Pengelolaan Tana‟ Ulen Pada Masyarakat Dayak Kenyah di Pampana, Kecamatan Samarinda Utara Kalimantan Timur [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor [Pemda Nganjuk]. 2002. Panduan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Nganjuk: Kabupaten Nganjuk. [Pemprov Jateng]. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di Jawa Tengah. Semarang: Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. [Perum Perhutani]. 1991. Kelompok Tani Hutan (KTH). Jakarta: Perum Perhutani.
[Pemkab
Temanggung]. 2008. Kecamatan Bejen http://www.temanggungkab.go.id/profil.php?mnid=27. [23 Mar 2010].
[Perum
Perhutani]. 2001. Surat Keputusan Dewan Pengawas No. 136/kpts/Dir/2001 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Jakarta: Perum Perhutani.
[Perum Perhutani]. 2007. Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) Kelas Perusahaan Mahoni KPH Kedu Utara Jangka Perusahaan 1 Januari 2008 s/d 31 Desember 2017 Lembar Satu. Yogyakarta: SPH II [Perum Perhutani]. 2008. Buku Obor RPH Candiroto BKPH Candoroto KPH Kedu Utara Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Yogyakarta. SPH II Raden B, Nababan A. 2003. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Adat: Antara Konsep dan Realitas. http://dte.gn.apc.org/. [10 April 2005]. Saharudin S. 1985. Struktur Penguasaan Tanah dan Pendapatan Rumah Tangga Petani Generasi Keturunan Transmigrasi di Kecamatan Wonomulyo Kabupaten Daerah Tingkat II Poewali Mamasa Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soemardjan S, Soelaeman S. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sudaryanti S. 2002. Dinamika Kelompok Tani Hutan (Kasus Pada Program Perhutanan Sosial Desa Kemang BKPH Ciranjang Selatan Kabupaten Cianjur). [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Utomo BS, Sugiarto R, Sadilie A, Mardiharini M. 1989. Evaluasi hasil pembinaan kelompok pengrajin oleh yayasan PEKERTI (LPSM). Proyek pemeliharaan luar sector pertanian di Jawa Barat. PPLH-IPB. Bogor Yanti R. 2004. Peran Tokoh Adat dalam Mengkomunikasikan Usaha Pengelolaan dan Pelestarian Hutan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Yayasan Penelitian Survei Agro Ekonomi. 1986. Profil Pendapatan dan Konsumsi Pedesaan Jawa Timur. Bogor, Indonesia. Wachjar A. 1984. Pengantar Budidaya Kopi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Widianingsih Y. 2006. Kontribusi Pengelolaan kopi Di Bawah Tegakan Dalam Program PHBM Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Di Desa Pulosari BKPH Pengalengan, KPH Bandung Selatan. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Zulganef. 2008. Metode Penelitian Sosial dan Bisnis. Jogjakarta: Graha Ilmu.
LAMPIRAN
Lampiran 1: Peta lokasi penelitian dan kawasan hutan yang mengelilinginya
Keterangan: : Desa Kemuning : Petak 23f : Petak 23c : Petak 27n
Lampiran 2
A.
Hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian kerjasama pengelolaan kopi dibawah tegakan.
Hak dan kewajiban kepengurusan LMDH Argo Sejahtera
A.1 Hak dan Kewajiban anggota LMDH Dalam keanggotaan LMDH setiap anggota LMDH Argo Sejahtera memiliki hak dan kewajiban yang diatur dalam akta pembentukan LMDH Argo Sejahtera Nomor 35/I/V/2006 Bab VI Pasal 8 dan pasal 9 mengenai hak dan kewajiban anggota LMDH Argo Sejahtera sebagai berikut : Hak anggota LMDH Argo Sejahtera: 1. Memilih dan dipilih menjadi pengurus ikut serta dalam kegiatan yang diadakan oleh LMDH Argo Sejahtera. 2. Memberikan suara, saran, pendapat dalam rapat anggota demi untuk kemajuan LMDH Argo Sejahtera. 3. Mendapat bagi hasil dari usaha yang dilaksanakan anggota LMDH Argo Sejahtera sesuai kesepakatan atau perjanjian. Kewajiban Setiap anggota LMDH Argo Sejahtera : 1. Menjunjung tinggi nama baik lembaga, memahami serta menaati peraturan, Aggaran Dasar (AD), dan Anggaran Rumah Tangga (ART). 2. Turut menyumbang kepada LMDH Argo Sejahtera baik berupa harta, tenaga, pemikiran, maupun keahliannya apabila dibutuhka. 3. Bertanggungjawab terhadap kelestarian hutan lindung. Hak dan kewajiaban anggota LMDH Argo Sejahtera juga diatur dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) LMDH Argo Sejahtera pasal 10 dan pasal 11 sebagai berikut: Hak anggota LMDH Argo Sejahtera: 1. Memperoleh pengakuan/perlakuan yang sama. 2. Mengeluarkan pendapat dan mengajukan saran. 3. Memperoleh perlindungan, pembelaan/advokasi selama dalam tahanan yang dibenarkan hukum/perundangan yang ada, pelatihan/bimbingan dari LMDH. 4. Memilih dan dipilih dalam kepengurusan, dengan pengecualian untuk anggota yang memegang jabatan sebagai mana disebutkan dibawah ini tidak mempunyai hak untuk duduk atau dipilih sebagai pengurus:
- Pengurus forum komunikasi PHBM di tingkat kecamatan maupun desa. - Pengurus lembaga sosial dan pengurus lainnya. - Para pejabat di desa maupun di kecamatan serta buka petugas Perhutani. Kewajiban anggota LMDH Argo Sejahtera: 1. Menaati hukum/perundangan/peraturan yang berlaku dan disepakati bersama. 2. Menjunjung tinggi nama dan kehormatan LMDH. 3. Menaati dan melaksanakan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, peraturan-peraturan, dan disiplin organisasi. 4. Membantu mensukseskan pelaksanaa program-program LMDH. B.
Hak dan kewajiban badan pengurus LMDH Argo Sejahtera Dalam keanggotaan LMDH setiap badan pengurus LMDH Argo Sejahtera
memiliki hak dan kewajiban yang diatur dalam akta pembentukan LMDH Argo Sejahtera Nomor 35/I/V/2006 Bab VI Pasal 12 dan pasal 13 mengenai hak dan kewajiban badan pengurus LMDH Argo Sejahtera sebagai berikut: Hak badan pengurus LMDH Argo Sejahtera: 1. Mewakili didalam maupun diluar pengadilan bertindak hukum atau melakukan tindakan yang penting mengenai kepengurusan maupun mengenai hak milik kelembagaan. 2. Badan pengurus terhadap pihak luaran dapat diwakili oleh ketua dan wakil ketua dengan didampingi sekertaris. 3. Badan pengurus dalam keadaan darurat berwenang untuk mengambil suatu tindakan guna menyelamatkan lembaga, kemudian dalam waktu paling lambat satu bulan harus dimintakan pengesahan dalam rapat anggota. Kewajiban badan pengurus LMDH Argo Sejahtera: 1. Menjunjung tinggi serta menjalankan tugas menurut Anggaran Dasar dan anggaran Rumah Tangga, serta keputusan-keputusa rapat anggota. 2. Bertanggung jawab atas seluruh kegiatan dan jalannya LMDH Argo Sejahtera kepada rapat anggota. 3. badan pengurus tidak diperbolehkan untuk meminjam atau meminjamkan atau melepaskan dan atau mengalihkan hak milik atas barang tak bergerak ataupun membebankan kekayaan lembaga, mengikat lembaga sebagai penjamin kecuali atas persetujuan rapat anggota pengurus.
B.
Hak dan
kewajiban
dalam perjanjian kerjasama Pengelolaan
Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Dalam perjanjian kerjasama pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) pihak yang terlibat yaitu Perum Perhutani dengan LMDH Argo Sejahtera. Hak dan kewajiban masing masing pihak yang dituangkan dalam akta notaris Nomor: 11 tanggal 4 April 2006 pasal 6 tentang hak dan kewajiban para pihak sebagai berikut: B.1 Perum Perhutani Perum Perhutani yang diwakili oleh Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan (KKPH) dalam perjanjian kerjasama pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut : Hak Perhutani : 1. Bersama masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan menyusun rencana, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). 2. Memperoleh dukungan masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan dalam melindungi sumberdaya hutan untuk melanjutkan fungsi dan manfaatnya. 3. Menentukan kaidah-kaidah pengelolaan berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku dan berdasarkan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Kewajiban Perhutani 1. Memfasilitasi masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan dalam proses penyusunan rencana dan aspek pengelolaan lainnya. 2. Memberikan kontribusi faktor produksi sesuai dengan rencana. 3. Mempersiapkan sistem dan budaya perusahaan yang kondusif. 4. Kerjasama dengan masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan dalam rangka mendorong proses optimalisasi dan berkembangnya kehidupan. B.2 LMDH Argo Sejahtera LMDH Argo Sejahtera yang diwakili oleh ketua LMDH dalam perjanjian kerjasama pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut: Hak LMDH Argo Sejahtera:
1. Bersama Perum Perhutani dan pihak yang berkepentingan menyusun rencana, melaksanakan,
memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan pengelolaan
sumberdaya hutan bersama masyarkat. 2. Melakukan semua kegiatan mulai dari persiapan lapang sampai dengan produksi demi keberhasilan tanaman. 3. Memperoleh manfaat dari hasil kegiatan sesuai dengan nilai dan proporsi faktor produksi yang dikontribusikan. 4. Kelompok yang memiliki persyaratan berhak menerima hak hasil hutan kayu setelah menerima perlindungan sumberdaya hutan yang menjadi tanggung jawab sekurang-kurannya 3 tahun sejak dimulainya perjanjian ini. 5. Dalam keadaan sangat khusus dengan pertimbangan aspek keamanan tegakan, kelompok masyarakat desa hutan dapat menerima haknya sebelum tiga tahun. Kewajiban LMDH Argo Sejahtera: 1. Bersama Perum Perhutani dan pihak yang berkepentingan melindungi dan melestarikan sumberdaya hutan untuk keberlanjutan fungsi dan manfaatnya. 2. Menaati petunjuk petunjuk-petunjuk teknis dan non teknis dari Perhutani agar tanaman pokok kehutanan tidak rusak dan berhasil. 3. Menjaga keamanan hutan baik di lokasi maupun di sekitarnya. 4. Memberikan kontribusi faktor produksi sesuai dengan kemampuannya. 5. Bekerjasama dengan baik dengan pihak yang berkepentingan dalam rangka mendorong proses optimalisasi dan berkembangnya kegiatan dengan persetujuan para pihak. 6. Menyusun program kerja ( rencana kegiatan setiap tahun ) yang disetujui oleh Perhutani. 7. Menjalin
terselenggaranya
Pengelolaan
Sumberdaya
Hutan
Bersama
Masyarakat (PHBM) secara optimal. C.
Hak dan kewajiban dalam perjanjian kerjasama pengelolaan kopi dibawah tegakan. Dalam perjanjian kerjasama pengelolaan kopi dibawah tegakan pihak yang
terlibat yaitu antara Perum Perhutani dengan LMDH Argo Sejahtera. Hak dan kewajiban masing masing pihak diatur dalam perjanjian kerjasama tanman kopi dengan nomor 15/059.9/PHBM/KDU/I sebagai berikut:
C.1 Perum Perhutani Perum Perhutani yang diwakili Kepala Kesatuan Pemngkuan Hutan (KKPH) dalam perjanjian kerjasama pengelolaan kopi dibawah tegakan memiliki hak : 1. Melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan yang dilakukan. 2. Mengetahui perkembangan dan kemajuan penanaman kopi. 3. Mengetahui hasil panen dan mengikuti proses pemanenan kopi yang dikerjasakan. 4. Memperoleh keuntungan berupa hasil sharing sebesar 45% dengan wujud hasil panen kopi basah. 5. Ikut serta dan atau mengetahui hasil panen kopi yang dikerjasamakan. Perum Perhutani dalam perjanjian kerjasama pengelolaan kopi dibawah tegakan memiliki kewajiban: 1. Menyediakan lokasi untuk kegiatan penanaman kopi. 2. Menyediakan pupuk untuk intensifikasi tanaman kopi yang dikerjasamakan. 3. Melakukan pembinaan kepada LMDH yang berkaitan dengan tanaman kopi yang dikerjasamakn untuk optimalisasi hasil. 4. Melakukan pengawasan baik berupa teknis penanaman, pemeliharaan, maupun pemanenan. 5. Melakukan monitoring dan evaluasi minimal satu kali dalam satu tahun terhadap tanaman kopi yang dikerjasamakan. C.2 LMDH Argo Sejahtera dan Petani kopi Petani kopi yang diwakili ketua LMDH Argo Sejahtera dalam perjanjian kerjasama pengelolaan kopi dibawah tegakan memiliki hak : 1. Melakukan pengawasan bersama Perhutani terhadap semua kegiatan yang dilakukan. 2. Melakukan semua kegiatan dari pemeliharaan sampai dengan pemanenan demi keberhasilan tanaman kopi. 3. Memperoleh keuntungan sebesar 55% dari hasil panen. Petani kopi dalam perjanjian kerjasama pengelolaan kopi dibawah tegakan memiliki kewajiban:
1. Melakukan intensifikasi berupa pemupukan, pendagiran, penyambungan (stek) dan perawatan lainnya guna menunjang optimalisasi produksi sesuai yang diharapkan dalam perjanjian kerjasama. 2. Menaati petunjuk-petunjuk teknis dan non teknis dari Perhutani agar tanaman pokok kehutanan tidak rusak dan berhasil. 3. Turut menjaga keberhasilan tanaman pokok kehutanan di lokasi yang telah ditetapkan. 4. Turut menjaga keamanan hutan baik di lokasi maupun disekitarnya. 5. Wajib menyetorkan kopi basah hasil panen kepada Perhutani sesuai dengan sharing (bagi hasil) yang sudah ditentukan..
Lampiran 3 Jenis dan harga pupuk yang digunakan petani dalam kegiatan kopi PLDT Jenis Pupuk Urea TSP NPK KCL Kandang
Harga (Rp) Rp Rp Rp Rp Rp
75.000 95.000 98.000 145.000 70.000
Satuan Per 50 Kg Per 50 Kg Per 50 Kg Per 50 Kg Per rit
Lampiran 4 Data umum responden dan luas lahan untuk kegiatan kopi PLDT Pendidikan terakhir
Jumlah Anggota Keluarga (orang)
Kemuning Rt.01 Rw.01 Kemuning Rt.01 Rw.01 Kemuning Rt.01 Rw.01 Kemuning Rt.01 Rw.01 Kemuning Rt.01 Rw.01 Kemuning Rt.01 Rw.01 Kemuning Rt.01 Rw.01 Kemuning Rt.02 Rw.01 Kemuning Rt.04 Rw.02 Kemuning Rt.02 Rw.01 Kemuning Rt.03 Rw.02
Tidak tamat SD SD SD SD SD SD Tidak tamat SD Tidak tamat SD Tidak tamat SD SD SD
6 4 5 5 5 4 6 5 3 3 1
Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani
54 54 35
Kemuning Rt.03 Rw.02 Kemuning Rt.03 Rw.02 Kemuning Rt.03 Rw.02
Tidak tamat SD STM SD
3 3 4
Petani Petani Petani
0,5 1,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 2 0,5 0,5 0,5 1,5 1 0,25 0,75
35 49 32 35 50 46 46 48 55 40 54 53 59 34 36
Kemuning Rt.03 Rw.02 Kemuning Rt.04 Rw.02 Kemuning Rt.04 Rw.02 Kemuning Rt.04 Rw.02 Kemuning Rt.04 Rw.02 Kemuning Rt.04 Rw.02 Kemuning Rt.02 Rw.01 Kemuning Rt.03 Rw.02 Kemuning Rt.02 Rw.01 Kemuning Rt.02 Rw.01 Kemuning Rt.04 Rw.02 Kemuning Rt.02 Rw.01 Kemuning Rt.02 Rw.01 Kemuning Rt.02 Rw.01 Kemuning Rt.03 Rw.02
SD SD SD SD Tidak tamat SD SD SD SD Tidak tamat SD SD SD SD Tidak tamat SD SD SD
5 4 3 4 5 3 4 5 3 5 2 3 2 4 4
Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani
1
58
Kemuning Rt.03 Rw.02
Tidak tamat SD
2
Petani
No
Luas Lahan kopi PLDT
Umur (tahun)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
2 0,5 1 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
58 47 40 50 59 35 59 46 68 36 48
12 13 14
1 1 0,25
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Alamat
Jenis Pekerjaan Pokok
Sampingan Pedagang Pisang Pedagang+Perangkat desa Tukang kayu Pedagang+ush penggilingan Pedagang Pedagang Pedagang Perangkat desa Usaha penggilingan kopi -
Lampiran 5 Pendapatan kotor yang diterima responden, Perhutani, dan LMDH serta pendapatan bersih responden berdasarkan urutan keluasan Pendapatan No
Luasan (ha)
Petani Kg/Thn
Rp/Thn
Perhutani Kg/Thn
Rp/Thn
LMDH Kg/Thn
Total
Rp/Thn
Kg/Thn
Rp/Thn
Pengeluaran Pengelolaan kopi PLDT Rp/Thn
Pendapatan Bersih Kopi PLDT Rp/Thn
1
0,25
490
7.105.000
140
2.030.000
70
1.015.000
700
2.450.000
572.500
6.532.500
2
0,25
455
6.597.500
130
1.885.000
65
942.500
650
2.275.000
597.500
6.000.000
3
0,5
910
13.195.000
260
3.770.000
130
1.885.000
1300
4.550.000
815.000
12.380.000
4
0,5
700
10.150.000
200
2.900.000
100
1.450.000
1000
3.500.000
940.250
9.209.750
5
0,5
910
13.195.000
260
3.770.000
130
1.885.000
1300
4.550.000
1.044.200
12.150.800
6
0,5
700
10.150.000
200
2.900.000
100
1.450.000
1000
3.500.000
938.000
9.212.000
7
0,5
875
12.687.500
250
3.625.000
125
1.812.500
1250
4.375.000
905.750
11.781.750
8
0,5
770
11.165.000
220
3.190.000
110
1.595.000
1100
3.850.000
953.500
10.211.500
9
0,5
1050
15.225.000
300
4.350.000
150
2.175.000
1500
5.250.000
969.750
14.255.250
10
0,5
665
9.642.500
190
2.755.000
95
1.377.500
950
3.325.000
1.010.000
8.632.500
11
0,5
630
9.135.000
180
2.610.000
90
1.305.000
900
3.150.000
934.000
8.201.000
12
0,5
717,5
10.403.750
205
2.972.500
102,5
1.486.250
1025
3.587.500
1.094.200
9.309.550
13
0,5
700
10.150.000
200
2.900.000
100
1.450.000
1000
3.500.000
943.250
9.206.750
14
0,5
840
12.180.000
240
3.480.000
120
1.740.000
1200
4.200.000
1.038.200
11.141.800
15
0,5
770
11.165.000
220
3.190.000
110
1.595.000
1100
3.850.000
971.000
10.194.000
16
0,5
875
12.687.500
250
3.625.000
125
1.812.500
1250
4.375.000
944.750
11.742.750
17
0,5
1050
15.225.000
300
4.350.000
150
2.175.000
1500
5.250.000
929.500
14.295.500
18
0,5
875
12.687.500
250
3.625.000
125
1.812.500
1250
4.375.000
958.250
11.729.250
19
0,5
770
11.165.000
220
3.190.000
110
1.595.000
1100
3.850.000
1.112.200
10.052.800
20
0,5
805
11.672.500
230
3.335.000
115
1.667.500
1150
4.025.000
932.000
10.740.500
21
0,75
1225
17.762.500
350
5.075.000
175
2.537.500
1750
6.125.000
978.500
16.784.000
78
Pendapatan No
Luasan (ha)
Petani
Perhutani
Kg/Thn
Rp/Thn
Kg/Thn
Rp/Thn
LMDH Kg/Thn
Rp/Thn
Total Kg/Thn
Rp/Thn
Pengeluaran Pengelolaan kopi PLDT Rp/Thn
Pendapatan Bersih Kopi PLDT Rp/Thn
22
1
1330
19.285.000
380
5.510.000
190
2.755.000
1900
10.150.000
1.435.000
17.850.000
23
1
1400
20.300.000
400
5.800.000
200
2.900.000
2000
7.000.000
1.156.000
19.144.000
24
1
1050
15.225.000
300
4.350.000
150
2.175.000
1500
5.250.000
1.530.500
13.694.500
25
1
1750
25.375.000
500
7.250.000
250
3.625.000
2500
8.750.000
1.376.000
23.999.000
26
1
1575
22.837.500
450
6.525.000
225
3.262.500
2250
7.875.000
1.269.000
21.568.500
27
1,5
2030
29.435.000
580
8.410.000
290
4.205.000
2900
5.425.000
1.644.000
27.791.000
28
1,5
2275
32.987.500
650
9.425.000
325
4.712.500
3250
11.375.000
1.634.000
31.353.500
29
2
2520
36.540.000
720
10.440.000
360
5.220.000
3600
12.600.000
2.663.000
33.877.000
30
2
2800
40.600.000
800
11.600.000
400
5.800.000
4000
14.000.000
2.523.000
38.077.000
1117,08
16.197.708
319,17
5.544.583
1.160.427
15.037.282
Rata-rata
4.627.917
159,58
2.313.958
1595,83
79
Lampiran 6 Biaya rata-rata yang dikeluarkan responden untuk kegiatan selain kopi PLDT Biaya Non PLDT Kategori
Prod selain kopi PLDT
%
Konsumsi
%
Non Konsumsi
%
Total
I II III
Rp Rp Rp
2.337.250 1.550.229 2.011.750
23,58 16,44 22,00
Rp 5.681.100 Rp 5.602.800 Rp 6.087.000
57,32 59,43 66,58
Rp 1.892.000 Rp 2.275.000 Rp 1.044.000
19,09 24,13 11,42
Rp Rp Rp
9.910.350 9.428.029 9.142.750
IV Rata-rata
Rp Rp
1.609.000 1.877.057
13,17 18,80
Rp 7.860.000 Rp 6.307.725
64,35 61,92
Rp 2.745.000 Rp1.989.000
22,47 19,28
Rp 12.214.000 Rp 10.173.782
Lampiran 7 Pendapatan rata-rata non PLDT serta sumber pendapatan non PLDT berdasarkan kategori luas Kategori
Pendapatan non PLDT Perangakat Dagang (Rp) Tukang (Rp) Desa (Rp)
Jagung (Rp)
Kopi Non PLDT (Rp)
Ternak (Rp)
Angkutan (Rp)
Penggilingan kopi (Rp)
I
6.270.000
2.975.000
4.012.500
-
-
-
-
-
13.257.500
Total (Rp)
II
4.180.000
1.173.958
2.603.125
1.425.000
50.000
192.500
150.000
37.500
9.812.083
III
5.500.000
-
1.900.000
-
-
-
-
-
7.400.000
IV
5.060.000
-
2.400.000
-
-
-
-
360.000
7.820.000
475.000
12.500
64.167
37.500
99.375
9.572.396
Rata-rata
5.252.500
1.037.240
2.728.906
81