KEJAKSAAN AGUNG REPUBLlK INDONESIA JAKARTA R-045a/ F/2./ 2001 Nomor Rahasia Sifat Lampiran : 1 (satu berkas Perihal Kewenangan jaksa sebagai Penyidik berdasarkan UU No 31 Tahun 1999
Jakarta, 16 Februari 2001
KEPADA KEPALA KEJAKSAAN TINGGI 01SELURUH INDONESIA
Sehubungan dengan adanya pertanyaan dari beberapa Kajati tentang kewnangan Jaksa untuk melakukan penyidikan berdasarkan Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tmdak Pidana Korupsi, dengan ini disampaikan hal - hal sebagai beriJrut : 1.
Jiwa dari era Refonnasi agar pembangunan dapat berdaya guna dan berhasil guna adalah Ketetapan MPR - RI Nomor XII MPRI 1998 ten tang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
2.
Mengacu kepada amanat MPR - RI tersebut, maka Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR - RI) bersama dengan Presiden RI telah berhasil mengundangkan beberapa undang - undang yang merupakan penjabarannya, yaitu antara lain Undang - undang Nomor 28 Tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan disusul kemudian dengan undang - undang Nomor 31 Tahun 1999 ten tang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3.
Diantara ketentuan - ketentuan yang ada didalam undang - undang Nomor 28 Tahun 1999 yang erat kaitannya dengan kewenangan Jaksa sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi ialah pasal- pasal 1, 12, 17, 18,20, 2 J , dan 22 beserta penjelasannya.
4.
Beberapa hal yang perJu dicennati dari isi pasal 17 dan 18 UU No 28 Tahun 1999 beserta penjelasannya adalah sebagai berikut :
129
4.1.
Pada pasal 17 digariskan tentang kewenangan Komisi Pemeriksa hanya sebatas melakukan penyelidikan yang tertera secara eksplisit pada ayat (2) huruf c dan d;
4.2.
Sebagai kelanjutannya, pada pasal 18 ayat (3) dinyatakan pula secara tegas bahwa apabila hasil pemeriksaan yang dilakukan Kornisi Pemeriksa menemukan petunjuk adanya perbuatan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme maka hasilnya akan diserahkan kepada Instansi yang berwenag. untuk ditindak lanjuti.
"Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mempertegas atau menegaskan perbedaan yang mendasar antara tugas Komisi Pemeriksa selaku pemeriksa harta kekayaan Penyelenggara Negara dan ~ Kepolisian dan Kejaksaan". Yang perlu mendapat perhatian dari penjelasan ini adalah ditegaskannya perbedaan yang mendasar antara tugas Komisi Pemeriksa yang tidak bersifat 'pro yutitia' dengan fungsi Kepolisian dan Kejaksaan sebagai penyidik yang bersifat "pro yustitia" atau "Untuk Keadilan". Dari rangkaian kalimat yang tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa menurut VU No. 28 Tahun 1999. Jaksa adalah sebagai penyidik, khususnya dalam pekara tindak pidana korupsi.
Yang dimaksud dengan "Instansi yang berwenang" menurut penjelasan pasal18 ayat (3) adalah Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan. Kejaksaan Agung, Kepolisian. Dalarn hubungan itu, apabila Kornisi Pemeriksa menyerahkan hasil penyelidikannya kepada Kejaksaan Agung, pertanyaan yang timbul adalah dalam kapasitas apa kejaksaan Agung menerima hasil penyelidikan tersebut, apakah sebagai penyidik, penuntut umum atau sebagai eksekutor? Sudah pasti bukan sebagai eksekutor karena hasil penyelidikan dari Kornisi Pemeriksa itu belum pernah diputus/ disidangkan oleh Pengadilan. Demikian halnya juga bukan sebagai Penuntut Umum, karena hasil penyelidikan dari Komisi Pemeriksa itu tidak dibuat secara "Pro Justia" (untuk Keadilan), dan Komisi Pemeriksa bukanlah aparat penyidik yang diatur oleh KUHAP. Apabila hasil penyelidikan oleh Komisi Pemeriksa tersebut oleh Penuntut umum langsung dilimpahkan ke Pengadilan, maka sudah pasti akan ditolak oleh pengadilan sehingga supaya hasil penyelidikan komisi pemeriksa dapat diterima oleh Pengadilan maka harus dilakukan penyidikan dahulu oleh aparat yang berwenang. Jika demikian halnya, maka hasil penyelidikan dari Komisi Pemeriksa yang diterima oleh Kejaksaan Agung terse but adalah dalam kapasitasnya sebagai penyidik, dengan tujuan untuk ditindak lanjuiti What pasal 18 (3), Yaitu untuk dilakukan penyidikan dengan bertitik tolak dari hasil penyelidikan Komisi Pemeriksa tersebut. 4.3.
Penjelasan pasal 18 (3) alinea pertama selengakapnya berbunyi sebagai berikut:
130
5.
Pasal26 Undang - undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan : "Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang - undang ini". Sebagian orang berpendapat bahwa pasal ini adalah merupakan "titik lemah" bagi Kejaksaan yang terdapat didalam UU No. 31 Tahun 1999, sehingga legitimasi Jaksa sebagai penyidik harus dipertanyakan. Dasar pemikiran dari kelompok ini adalah bertumpu kepada anak kalimat : "dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku", yang berarti seolah-olah dasar dilakukannya penyidikan dalam VU No. 31 Tahun 1999 ini hanyalah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, sehingga yang berwenang melakukan penyidik hanyalah penyidik Polri dan Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 KUHAP. Sesungguhnya pengertian anak kalimat "dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku" adalah tidak hanya terbatas pada VU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP saja, tetapi juga hukum acara pidana yang diatur didalam undang - undang lain selain KUHAP sepanjang mengatur ten tang tindak pidana korupsi, sebab pada anak kalimat itu juga hanya ditentukan "hukum acara pidana". Tidak menunjuk secara langsung kepada Undang - undang tertentu. Kini pertanyaan berikutnya adalah adakah "hukum acara pidana" yang lain selain dari pada yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981? Jawabannya ialah Ada, yaitu antara lain UU No. 28 Tahun 1999 tentang
131
Pasal21 "Setiap Penyelenggara Negara atau anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan Kolusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.- (satu milyar rupiah)" (Hukum Pidana Materiil)
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan didalam UU No. 31 Tabun 1999 sendiri serta pp No. 19 Tabun 2000. Berdasarkan doctrine! ilmu pengetabuan hukum pidana, "pengertian "hukum acara pidana" adalah cara bagaimana hukum pidana materiil dilaksanakan, sehingga beranjak dari pengertian tersebut, didalam UU No. 28 Tabun 1999 telah tersurat dan tersirat ketentuan - ketentuan hukum acara pidana sebagai berikut : Pasal12 (1) : "Komisi Pemeriksa mempunyai fungsi untuk mencegah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dalam penyelenggaraan negara" Korupsi, kolusi dan nepotisme berdasarkan VU No. 28 tahun 1999 adalab sebagai hukum pidana materiil, hal mana dapat dilihat dalam pasal 1 ayat (3), (4), (5) jo pasal20 ayat (2) jo pasal 21 jo pasal22 VU No. 28 Tabun 1999.
Pasal22 "Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan Nepotisme sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.- (satu milyar rupiah]" (Hukum Pidana Materiil) Kembali pada pengertian Hukum Acara Pidana, siapakah yang mempunyai tugas dan wewenang dan cara bagaimana menegakkanl melaksanakan hukum pidana materiil sebagaimana diatur dalam ketentuan pasall ayat (3), (4). dan (5) jo, pasal20 ayat (2) jo, pasal21 jo, pasal 22 tersebut. Kiranya perlu dicermatil diperhatikan bahwa deliet (hukum pidana materiil) sebagaimana disebutkan diatas, adalah sebagai "lex specialis"dalam pengertian yang khusus dilakukan hanya oleh "Penyelenggara Negara dan Anggota Komisi Pemeriksa" Karena itu siapa yang mempunyai tugas dan wewenang serta cara bagaimana melakukan tindakan hukum terhadap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan tersebut, dengan kata lain dimana dan bagaimana hukum acaranya, dapat kita lihat pada pasal 17, 18 dan 19 VU No. 28 Tahun 1999, sebagai berikut:
Korupsi: Pasal 1 angka 3 : "Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang - undangan yang mengatur ten tang tindak pidana korupsi" (UU Nomor 31 Tahun 1999). Kolusi: Pasal 1 angka 4 "Kolusi adalah pemufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara" (Hukum Pidana Materiil). Nepotisme: Pasal 1 angka 5 "Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara" (Hukum Pidana M ateriil). Sanksi: Pasal 20 ayat (2) "~etiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang _ undangan yang berlaku" (Hukum Pidana Materiil).
132
Pasal17 : (1) Komisi pemeriksa mempunyai tugas dan wewenang pemeriksaan terhadap kekayaan Penyelenggara Negara. (2)
untuk melakukan
Thgas dan wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) adalab : a.
Melakukan pemantauan Penyelenggara Negara.
dan klarifikasi
133
atas
harta
kekayaan
b.
c.
d.
Meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, atau Instansi Pemerintah tentang dugaan adanya korupsi, kolusi dan nepotisme dari para Penyelenggara Negara ; Melakukan penyidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya korupsi, kolusi dan nepotisme terhadap Penyelenggara Negara yang bersangkutan ; Mencari dan memperoleh bukti - bukti menghadirkan saksi -saksi untuk penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau meminta dokumen - dokumen dari pihak pihak yang terkait dengan penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara Negara;
e.
Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepernilikan sebagian atau seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari korupsi, kolusi dan nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan terse but sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan yang berlaku.
(3)
Pemeriksa kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sebelum, selama, dan setelah yang bersangkutan menjabat.
(4)
Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal18 : ( 1)
Hasil pemeriksaan Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 disampaikan kepada Presiden. Dewan Perwakilan Rakyat, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
(2)
Khusus hasil pemeriksaan atas kekayaan Penyelenggara Negara yang dilakukan oleh Sub Kornisi Yudikatif, juga disampaikan kepada Mahkamah Agung.
(3)
Apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayar (1) ditemukan petunjuk adanya korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku, untuk ditindaklanjuti. 134
PasaI19 : (1)
Pemantauan dan evaluasi atau pelaksana tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa dilakukan oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2)
Ketentuan mengenai tata cara pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dari ketentuan tersebut yang perlu dicatat adalah selain merupakan "lex specialis" hukum acara diluar KUHAP" , adalah juga lex specialis dalam substansinya. Dalam hal ini dapat dikemukakan bahwa "mekanisme" penyelidikan dalam KUHAP sebagai sub sistem dari penyidikan, kewenangan penyelidik dibatasi yaiut bahwa dalam melakukan penyelidikan tidak sampai melakukanupaya paksa; akan tetapi penyelidik (khusus) dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 diberi kewenangan melakukan upaya paksa, sebagaimana terdapat dalam :
(a)
PasaI17 ayat (2)huruf d : Tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah "mencari dan memperoleh bukti - bukti, menghadirkan saksi - saksi, untuk penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme atau meminta dokumen dokumen dari pihak - pihak yang terkait dengan penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara Negara yang bersangkutan". Note: Tindakan menghadirkan dan meminta diserahkannya dokumen dokumen dari pihak terkait adalah sebagai upaya paksa.
(b) Pasal 17 ayat (2)huruf e : Tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah "jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari korupsi, kolusi, dan nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku : Setelah dari hasil penyelidikan diperoleh alat bukti pemeriksaan yang cukup, selanjutnya peyelidik menyerahkannya kepada Pejabat yang berwenang khususnya bagi Kejaksaan untuk ditindak lanjuti dengan penyidikan sebagaimana telah dikupas pada butir 4.2 Dengan demikian menurut Undang - undang Nomor 28 Tahun 1999, secara tegas dinyatakan bahwa jaksa adalah penyidik, khususnya yang 135
7. dilakukan oleh Penyelenggara Negara. Sudah barang tentu hukum acara tersebut tidak diberlakukan untuk penyelidik diluar Undang - undang Nomor 28 Tahun 1999 , karena bagi penyelidik diluar Undang - undang Nomor 28 Tahun 1999 tetap berlaku KUHAP. Dengan demikian sebenarnya pasal 26 UU Nomor 31 Tahun 1999 bukanlah merupakan "titik lemah" bagi keabsahan kewenangan Kejaksaan sebagai penyidik, tetapijustru sebaliknya adalah merupakan pasal yang wajar, hanya sebagian orang dalam mengartikannya terpaku pada KUHAP saja, tanpa mengindahkan hukum acara pidana yang ada diluar KUHAP. 6.
Pasal 27 Undang - undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan : "Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sul it pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung." Selanjutnya penjelasan pasal27 mengemukakan, yang dimaksud dengan "tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya". Antara lain tindak pidana korupsi dibidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan, dan industri, komoditi berjangka atau dbidang moneter dan keuangan yang : a. Bersifat lintas sektoral; b. Dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih, atau ; c. Dilakukan oleh tersangka/ terdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara Negara sebagaimana ditentukan dalam Undangundang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi. Dengan mengacu kepada penjelasan pasal27, khususnya huruf c yang menunjuk kepada eksistensi Undang - undang Nomor 28 Tahun 1999 terhadap Undang - undang Nomor 31 Tahun 1999. sehingga dengan demikian memberlakukan dan menjadikan UU Nomor 28 Tahun 1999 sebagai dasar hukum terhadap UU Nomor 31 Tahun 1999, maka kesimpulan bahwa Jaksa dalah sebagai penyidik sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999telah mempunyai dasar hukum untuk diberlakukan pada UU nomor 31 Tahun 1999. Dengan demikian tugas yang dibebankan oleh pasal 27 kepada Jaksa Agung adalah merupakan "tugas khusus" dalam kapasitasnya sebagai penyidik, yaitu khusus terhadap perkara korupsi yang sulit pembuktiannya.
136
Pasal39 Undang - undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan "Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama - sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer." Pengertian "mengkoordinasikan", secara tegas menurut penjelasan pasal 39 adalah kewenangan Jaksa Agung sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang - undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Agung RI, yang berarti dilakukan bersama - sama dengan instansi lain, sedangkan pengertian "mengendalikan". Yang dihubungkan masing - masing dengan suku kata "penyelidikan" dan "penuntutan " adalah sebagai berikut : Mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, berarti Jaksa Agung memimpin, memerintah dan mengarahkan suatu kebijaksanaan dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sehingga dengan dernikian Jaksa Agung mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam suatu perkara Tindak Pidana Korupsi.
8.
Ada orang yang membandingkan antara UU Nomor 31 Tahun 1999 dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 merupakan penerapan azas "Lex Posteriori derogat legi priori" yaitu hukum yang kemudian menyingkirkan hukum terdahulu, dalam hal ini dianggap bahwa dengan berlakunya UU Nomor 31 Tahun 1999, maka UU Nomor 28 Tahun 1999 tidak berlaku lagi, padahal dalam kenyataanya justru diantara kedua UU tersebut terjadi saling isi mengisi, apalagi kedua UU tersebut mempunyai sumber hukum yang sama yaitu Ketetapan MPR - RI Nomor XII MPRl1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sebagaimana diutarakan pada angka 1 dan angka 2. Sesungguhnya azas dimaksud baru dapat diterapkan apabila satu hal yang sama diatur oleh 2 (dua) Undang-Undang yang berbeda, sedangkan apabila mengatur tentang hal-hal yang berbeda maka azas tersebut tidak dapat diterapkan. Selain dari pada itu, perlu pula diungkapkan bahwa berdasarkan pasal 24 UU Nomor 28 Tahun 1999, dinyatakan bahwa : "Undang undang ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal diundangkan H, yang berarti mulai berlakunya UU No. 28 Tabun 1999 ini adalah pada
137
10.1. UU Nomor 28 Tahun 1999 beserta penjelasannya jo UU Nornor 31 Tahun 1999 beserta penjelasanny a;
tanggaII9 Nopember 1999, sedangkan UU Nomor 31 Tahun 1999 sudah muali berIaku sejak tanggal 16 Agustus 1999. Dengan demikian, meskipun UU No. 28 Tahun 1999 terlebih dahuIu disahkan dan diundangkan yaitu tanggal 19 Mei 1999, akan tetapi muIai berlakunya secara tegas dinyatakan baru pad a tanggal 19 November 1999, yaitu 3 bulan kemudian setelah berlakunya UU No 31 Tahun 1999. Itu berarti bahwa pada saat UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah berlaku pada tanggal 16 Agustus 1999, ternyata UU No. 28 Tahun 1999 dinyatakan berlaku. Dan baru pad a tanggal 19 November 1999 dinyatakan berlaku pada tanggal 19 November 1999 tersebut sudah tennasuk di dalamnya UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagai VU yang berlakunya kemudian. 9.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 31 Tahun 1999 ten tang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada pasall6 menyatakan secara tegas bahwa Jaksa masih tetap berstatus sebagai penyidik, yang untuk jelasnya bunyi pasal 16 tersebut adalah sebagai berikut : "Dalam hal penyidik Kepolisian Republik Indonesia atau Kejaksaan menemukan tindak pidana korupsi yang sulitpembuktiannya. maka alas persetujuan Jaksa Agung selaku koordinator maka penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tersebut dilakukan oleh Timg Gabungan" Dari bunyi pasal16 ini kiranya sangat jelas bahwa Kejaksaan masih tetap mempunyai kewenangan untuk meIakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, oIeh karena makna dari pasal tersebut adaIah seteIah terlebih dahuIu diIakukan penyidikan oIeh PoIri atau Kejaksaan terhadap suatu kasus tindak pidana korupsi. Barn dapat ditentukan apakah suatu kasus tennasuk suit pembuktiannya atau tidak, jika salah satu dari instansi tersebut meniIai bahwa kasus itu tennasuk tindak pidana korupsi yang mudah pembuktiannya maka penanganan tetap diIanjutkan oIeh instansi yang bersangkutan. Tegasnya proses penyidikan teIah terlebih dahuIu diIakukan oIeh Polri atau Kejaksaan.
10.
10.2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2(x)() beserta penjclasannya. Jaksa tetap mempunyai kewenangan untuk mel aku k arpenyelidikan dan penyidikan dalam perkara Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam dalam VU No. lJ Tahun 109') kecuali terhadap Tindak Pidana Korupsi sebagaimana ditentukau dalam Pasal 27 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 y,lng menjadi porst atau kewenagan dari Tim Gabungan Pcmberanta-u Tindak Pidana Korupsi. 11.
Sebagai bahan perbandingan bersama ini kami sampaikan photo CfT" be berap a putusan Pengadilan Negeri yang sejak awal mendv.ark..» penyidikannya kepada Undang - undang Nomor 31 Tahun 199Q o:·_~; Jaksa setempat.
Demikian agar dimaklumi dan dibarapkan keraguan - raguan alas kew cnun f!.
JAKSA AGUNG MUDA TINDAK PIDANA KHUSUS
Cap / ttd.
B. FACHRl NASUTION, Tembusan: 1. Yth, Bapak Jaksa Agung RI (sebagai laporan); 2. Yth. Para Jaksa Agung Muda; 3. Yth. Ses Jam Pidsus; 4. Yth. Para Direktur Pidsus; 5. Arsip.
Dengan mendasarkan kepada:
138
139
SH