Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
KEJAHATAN KORPORASI DALAM PENCEMARAN LINTAS BATAS NEGARA: STUDI PENCEMARAN KABUT ASAP KEBAKARAN HUTAN DI INDONESIA Deni Bram
Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta
[email protected]
Abstracts Corporations have become important actors in efforts to promote and implement environmental sustainability. This is true not only at the local level, but at the level of large multinational corporations. Such large corporations have already caused an effect on transnational pollution. Haze pollution that occurs almost every year in the ASEAN region is a disaster especially affecting Indonesia. This paper addresses the other side of forest fires in Indonesia, especially regarding the role of corporations in the creation of cross-border pollution. Keywords: Corporate, Transboundary Pollution, Economic A. Pendahuluan Pada perkembangan masalah lingkungan hidup di era saat ini dapat dikatakan menjadi semakin besar, meluas dan serius. Persoalannya pun tidak terbatas pada tingkat lokal atau translokal, melainkan regional, nasional, transnasional dan global. Salah satu hal penting yang menjadi pokok pembicaraan pada saat itu adalah penanganan terhadap pencemaran lingkungan yang bersifat lintas batas negara atau transnasional (transboundary pollution). Terlebih pada era globalisasi yang semakin mendorong banyak negara maju untuk semakin meningkatkan kemajuan ekonomi dengan paham kapitalisme yang dimiliki sehingga berdampak pada kerugian yang harus diterima oleh negara lain baik yang terjadi sebagai suatu bentuk akibat secara 377
Deni Bram: Kejahatan Korporasi Dalam Pencemaran Lintas Batas Negara: Studi...
langsung maupun tidak langsung.1 Dalam konteks kekinian, salah satu pembahasan hangat dari tahun ke tahun dalam kaitannya dengan pencemaran lintas batas negara adalah pencemaran udara yang terjadi di kawasan Asia Tenggara hingga ke daratan Australia yang disebabkan oleh kebakaran hebat yang melanda kawasan hutan Indonesia. Sebagai suatu bentuk pencemaran lingkungan yang bersifat transnasional, selain memberikan dampak bagi kesehatan dan kelayakan ekosistem udara pada tingkat lokal dan nasional, kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan di Indonesia juga telah berdampak pada kelangsungan hidup dan kegiatan ekonomi pada sebagian negara lain dalam lingkup regional ASEAN. Pada awal terjadinya kebakaran hutan hebat di Indonesia pada pertengahan tahun 1997, diperkirakan kerugian materiil yang dialami oleh Indonesia, Malaysia, dan Singapura mencapai 4,5 Billion US $ atau setara dengan Rp 9 Milyar pada saat itu, dan sebagai puncaknya kebakaran hutan yang terjadi, Indonesia pun dinobatkan sebagai pencemar udara terbesar di dunia.2 Berawal dari fenomena kebakaran hutan yang hebat melanda kawasan ASEAN pada tahun 1997 / 1998, para petinggi ASEAN mencoba merumuskan 1 Globalisasi menurut Mardjono Reksodiputro tidak hanya memberikan pengaruh pada lingkungan hidup semata, namun telah berpengaruh pula pada hubungan timbal balik pada perkembangan teknologi informasi dan perubahan dalam masyarakat, termasuk di bidang hukum antara negara maju dengan negara berkembang. Mardjono Reksodiputro, “Reformasi Pendidikan Tinggi Hukum untuk Memungkinkan Pendidikan Khusus Advokat” Disampaikan dalam Diskusi Panel “Reformasi Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia” di Kampus FHUI Depok, Jawa Barat, 28 Oktober 2004 terdapat dalam situs http://www.komisihukum.go.id/konten.php?nama=Artikel&op=detail_artikel&id=144 diakses pada tanggal 11 januari 2012. Lihat pula Mardjono Reksodiputro, “Challenges To Legal Education In Indonesia”, makalah pada seminar yang diadakan ASEAN Law Association. Sedangkan dalam perspektif Hikmahanto Juwana mengatakan terdapat 2 (dua) alasan utama tidak dapat dihindarkannya pengaruh globalisasi terhadap sistem hukum nasional, yaitu (i) Keinginan negara – negara berkembang untuk menjadi negara industri seperti halnya di negara barat dan (ii) Dorongan ekonomi internasional yang memaksa secara tidak langsung untuk menciptakan keseragaman aturan dalam suatu single market. Lihat Hikmahanto Juwana, Globalization and its Effect on Indonesia’s Legal System, terdapat dalam Globe Asia, Edisi Mei 2007. 2 Perkiraan ini dibuat pada bulan Mei 1998 oleh The Singapore based Economy and Environment Programme for Southeast Asia (EEPSEA) dan World Wide Fund for Nature (WWF); seperti yang termuat dalam Indonesia Fires and Haze of 1997 : The Economic Tool, (1998).
378
Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
pola penanganan yang efektif dengan mengadakan pertemuan persiapan di Hanoi yang mengahasilkan Plan of Action dan Visi ASEAN 2020. Sebagai puncak pertemuan tersebut, para pemimpin ASEAN merumuskan pola penanganan pencemaran kabut asap di Asia Tenggara dalam suatu ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas) yang mengatur pendistribusian tanggung jawab dan penanganan pencemaran kabut asap pada kawasan regional Asia Tenggara. Perjanjian ini ditandatangani oleh 10 Negara peserta ASEAN pada Juni 2002, dan kemudian came into force pada 25 November 2003.3 Kejadian kebakaran hutan yang rutin dan terus meluas di Indonesia belakangan ini paling tidak dipengaruhi oleh dua hal penting. Pertama, yaitu Indonesia mempunyai deposit batu bara yang berlebihan di hampir setiap hutan tropis di Nusantara ini, yang akan dengan mudah memunculkan titik – titik api baru setiap tahunnya. Kedua, tingkah laku masyarakat peladang yang terbiasa dengan metode membakar lahan terlebih dahulu dalam rangka membuka lahan baru dan meningkatkan kesuburan tanah.4 Keadaan prilaku dari masyarakat peladang lokal pun semakin diperburuk dengan ditungganginya mereka oleh beberapa perusahaan besar pada tingkatan Multi National Corporation (MNC) yang menjadi aktor di belakang kejadian pembakaran hutan. Hal ini sangat terlihat mencolok pada saat beberapa titik api ditemukan berada pada wilayah konsesi yang dikuasi dengan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) di dalamnya.5 3 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, Art. 29. 4 Lihat Deni Bram, “Penanganan Kabut Asap Masih Setengah Hati”, Media Indonesia (1 September 2007): 7. 5 Pada tahun 2004 tercatat 10 Perusahaan pemegang HPH melakukan kegiatan pembakaran hutan dan lahan yang terbagi menjadi 24 titik api di sekitar Kalimantan Barat. Bahkan Lembaga Swadaya Masyarakat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengidentifikasikan telah terdapat 54 Perusahaan yang melakukan pembakaran hutan dan lahan, terdiri dari 30 di kawasan HPH, 8 di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), dan 26 di kawasan Perkebunan. Lihat “Kebakaran Di Taman Nasional Berbak Meluas”, Suara Pembaruan (31 Agustus 2004). Lihat pula WALHI, “Perusahaan Pelaku Pembakaran Hutan 2004” terdapat di alamat http://www.walhi. or.id/kampanye/bencana/bakarhutan/ diakses pada tanggal 11 Januari 2012.
379
Deni Bram: Kejahatan Korporasi Dalam Pencemaran Lintas Batas Negara: Studi...
Dalam kondisi di atas dapat dilihat bahwa keberadaan dari sebuah korporasi dengan motif ekonomi di tengarai menjadi salah satu pemicu dominan dalam kebakaran hutan. Dalam tulisan ini akan dikaji beberapa pertanyaan lebih mendalam, yaitu Pertama, tulisan ini akan mempertanyakan mengenai kondisi faktual keberadaan korporasi dalam areal yang dilanda kebakaran hutan. Selanjutnya, tulisan ini akan mempertanyakan pula latar belakang korporasi dalam melakukan tindakan pembakaran lahan / hutan. Terakhir, tulisan ini mempertanyakan upaya pendekatan yang efektif untuk dapat menanggulangi bencana kebakaran hutan akibat tindakan perusahaan. B. Kondisi Kebakaran Hutan di Indonesia sebagai Pencemaran Lintas Batas Negara Seiring dengan semakin terbuainya segelintir orang dengan keunggulan ekonomis yang dimiliki kawasan sumber daya hutan, kekayaan hutan Indonesia tergerus dan telah mencapai titik yang sangat memprihatinkan. Pada tahun 2004 kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar setahun. Hal tersebut berarti selama satu menit di bumi Nusantara ini terdapat 7,2 hektar hutan yang rusak. Jika masih terus terjadi dan kalau tidak dihentikan, maka hutan dataran rendah Sumatera akan habis pada tahun 2005. Juga dataran rendah di Kalimantan akan habis pada tahun 2010. Bahkan menurut World Research Institute, dari tutupan hutan Indonesia seluas 130 juta hektar, 72 persen diantaranya yang merupakan hutan asli Indonesia telah hilang. Data Departemen Kehutanan sendiri mengungkapkan 30 juta hektar hutan di Indonesia telah rusak parah atau setara dengan 25 persen.6 Data Departemen Kehutanan sendiri pada tahun 2004, menunjukkan bahwa kawasan lindung tak berhutan di Pulau Kalimantan mencapai 1,8 juta hektar. Bahkan, jika dijumlahkan dengan kawasan hutan produksi yang juga telah tidak berhutan, maka kawasan hutan Pulau Kalimantan yang tidak berhutan mencapai angka 10 juta hektar, atau setara 156 kali lipat luas 6 Kerusakan Hutan di Indonesia Tercepat di Dunia terdapat dalam situs http://www. tempointeraktif.com/hg/nusa/nusatenggara/2004/05/24/brk,20040524-14,id.html diakses pada tanggal 11 Januari 2012.
380
Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
negara Singapura. Hilangnya hutan primer Kalimantan seluas 10 juta hektar tersebut jelas akan menyulitkan ekosistem hutan Kalimantan melakukan pengendalian terhadap tanah longsor dan gangguan ekosistem lainnya, sehingga diperkirakan Pulau .Kalimantan akan kehilangan hutannya lebih dari setengah luas pulau pada tahun 2020.7
Gambar 1. Estimasi Laju Kerusakan Hutan Kalimantan 1950 – 2020 Salah satu variabel dominan dalam laju deforestasi di Indonesia hadir dari kebakaran hutan. Bagi Indonesia sendiri fenomena kebakaran hutan sebagai penyebab pencemaran kabut asap yang sejalan dengan adagium dimana ada asap di situ ada api, bukanlah hal baru. Masyarakat internasional bahkan telah terbiasa dengan agenda tahunan dari bencana kebakaran hutan di Indonesia. Perhatian awal dari masyarakat internasional pertama kali tertuju kepada Indonesia pada saat terjadinya kebakaran hutan pada skala yang sangat besar pada era tahun 1980 yang menghanguskan lebih dari 3,5 juta hektar hutan di Kalimantan Timur dengan radius kabut asap hingga 13.500 7 Greenomics Indonesia: Keamanan Ekologi Kalimantan Di Bawah Standar terdapat dalam situs www.greenomics.org/press/Release_20060704.doc diakses tanggal 11 Januari 2012.
381
Deni Bram: Kejahatan Korporasi Dalam Pencemaran Lintas Batas Negara: Studi...
mil persegi.8
Gambar 2. Sebaran Kabut Asap Indonesia Semenjak kejadian pada era 1980 tersebut, fenomena kebakaran hutan dan dampak kabut asap yang dikirimkan ke negara tetangga seakan – akan telah menjadi agenda rutin pada setiap musim kemarau melanda Indonesia. Kabut asap yang dihasilkan pun tidak hanya mengancam masyarakat pada tingkat nasional semata, melainkan telah merambah pada wilayah negara – negara tetangga dengan intensitas yang beragam dan memberikan dampak bagi kelangsungan hidup warga negara dalam wilayah yurisdiksi negara lain.9 Dampak dari kebakaran hutan Indonesia pun dapat dikatakan telah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Pada tahun 1997 dan 1998 8 Around The World; Fire Reported to Ravage Huge Tract in Indonesia terdapat dalam situs http://www.around the world;Fire Reported to Ravage Huge Tract in Indonesia New York Times.mht. 9 Negara tetangga yang sering terkena dampak kabut asap dari kebakaran hutan di Indonesia meliputi Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam bahkan Thailand. Lihat Alan Khee – Jin Tan, “Forest Fire of Indonesia : State Responsibility and International Liability”, (Singapore : Faculty of Law National University of Singapore), hlm.3. Lihat juga Fazed by the Haze, STRAITS TIMES, Nov. 10, 1997, hal.18-19
382
Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
misalnya, World Wide Fund for Nature (WWF) mencatat telah terjadi kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan yang menghanguskan lebih dari 2 juta hektar.10 Bahkan estimasi lain yang di dapat dari penglihatan oleh satelit menunjukkan angka 3,5 juta sampai dengan 7,5 juta hektar dan terus meluas setiap bulannya.11 Pada saat Kalimantan terjadi fenomena kebakaran hutan pada tahun 1998, kabut asap yang dihasilkan yang diikuti pula dengan badai El Nino pada saat itu melanda Indonesia bagian timur telah menewaskan lebih dari 500 orang di sekitar Papua dengan gejala infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).12 Kebakaran hutan pun bahkan pada kelanjutannya tidak hanya melanda Sumatera dan Kalimantan, di pulau Jawa bagian timur pun yang sebelumnya luput dari bencana kebakaran hutan merasakan kejadian serupa yang mengakibatkan gagal panen di lebih dari 12 juta ladang sawah petani dan tanaman palawija lainnya.13 Sebagai suatu bentuk pencemaran yang bersifat transnasional, terang saja bencana kebakaran hutan di Indonesia membawa dampak berupa pencemaran kabut asap ke negara tetangga. Pada saat terjadinya kebakaran hutan pada tahun 1998 di sekitar Sumatera dan Kalimantan terdeteksi pada alat Pollution Standard Index (PSI) sebagai parameter udara sehat yang terdapat di Malaysia seringkali melebihi nilai ambang batas yang semestinya yaitu 300 PSI yang tergolong kondisi membahayakan, bahkan di negara bagian Kuching, Malaysia Timur indeks mencapai titik 839 PSI. Dari kejadian tersebut Pemerintah Malaysia mencatat 18 juta warganya atau 83,2 % dari jumlah penduduk yang ada mengalami gangguan pernafasan akut sehingga perlu mendapatkan pertolongan yang serius.14 10 Nigel Dudley, the Year the World Caught Fire (1997)., hal. 7 11 Dominic Nathan, Haze is Back in Singapore, Straits Times, Nov. 28, 1998, hlm. 3. Lihat juga Douglas O. Fuller & Michele Fulk, Satellite Remote Sensing of the 1997-98 Fires in Indonesia: Data, Methods and Future Perspectives terdapat dalam situs http:// www.wwf.or. id/forest.html Lihat juga James Schweithelm, The Fire This Time terdapat dalam situs http://www.wwf.or. id/forest.html 12 Bush, Fires Spread in Rain-Scarce Indonesia, Straits Times, Feb. 13, 1998, hal. 29 13 Nicola Bullard et al., “Taming the Tigers: The IMF and the Asian Crisis”, in Tigers In Trouble (K.S. Jomo ed., 1998). 14 Todd Crowell & Peter Morgan, Twelve Months of Turning Points, Asiaweek, Dec. 26, 1997.
383
Deni Bram: Kejahatan Korporasi Dalam Pencemaran Lintas Batas Negara: Studi...
Selain memberikan dampak bagi kesehatan manusia pencemaran kabut asap yang dihasilkan dari proses kebakaran hutan juga memberikan dampak ekonomis yang tidak saja kepada Indonesia melainkan pula kepada negara tetangga lainnya. Semenjak adanya import kabut asap dari kebakaran hutan Indonesia yang telah mencapai bandar udara Palawan, Philipina 100 lebih pesawat ringan terpaksa menunda penerbangan ke Mindanao. Bandara Puerto Princesa juga ditutup. Biro Perhubungan Udara (ATO) pun telah mendesak perusahaan penerbangan lokal untuk mengamati isu meluasnya asap di berbagai bandara di selatan Filipina.15 Sektor pariwisata juga menerima imbas yang tidak sedikit dari bencana kabut asap yang terjadi, dari sektor penerbangan dan pariwisata yang meliputi penurunan angka hunian hotel dan biro perjalanan tercatat kerugian mencapai Rp 4,89 miliar. Serta banyak bisnis dan investasi yang batal atau tertunda sebagai suatu dampak ekonomi secara tidak langsung, sebesar Rp 25,69 miliar.16 Ditambah lagi dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah negara setempat untuk melakukan usaha pencemaran dengan pembelian masker yang tidak sedikit.17 Dampak tidak langsung lainnya yang dihasilkan dari kebakaran hutan serta asapnya adalah menurunnya kualitas tanaman serta keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna yang dimiliki baik oleh pemerintah Indonesia maupun negara tetangga sebagai suatu bentuk efek jangka panjang yang dihasilkan dari suatu bencana yang berkelanjutan. Salah satu penyebab yang sering menjadi kambing hitam dari kebakaran hutan di Indonesia adalah kebiasaan masyarakat peladang dalam membuka lahan dengan metode slash and burn.18 Hal tersebut dipilih oleh sebagian besar masyarakat peladang tradisional berdasarkan hitung – hitungan ekonomis yang tidak memerlukan biaya tinggi dan dapat dilakukan tanpa harus adanya keahlian tertentu, sehingga tidak mengherankan banyak perkebunan 15 “Kepungan Asap sudah Sampai Filipina, Kedubes RI di Malaysia Didemo” terdapat dalam situs http://www.republika.co.id/9709/24/24ASAP.01X.html 16 “Hak Pembakaran Hutan”, Republika, 30 Agustus 2006. 17 “Kebakaran Hutan Turunkan Kualitas Lingkungan dan Nilai Ekonomi”, Suara Pembaruan, 23 Januari 2008. 18 Lesley Potter, Forest Degradation, Deforestation and Reforestation in Kalimantan: Towards a Sustainable Land Use?, in Borneo In Transition: People, Forests, Conservation and Development 13, 24 (Christine Padoch & Nancy L. Peluso eds., 1996).
384
Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
dan hutan tradisional yang menggunakan metode ini.19 Metode seperti ini lazimnya digunakan untuk melakukan upaya konversi lahan perkebunan ke kelapa sawit20, industri perkebunan dan palawija21, serta pembersihan lahan transmigrasi.22 Selain hal di atas tentu saja masyarakat peladang pada skala kecil juga memberikan sumbangsih dalam kebakaran hutan secara sporadis. Keadaan prilaku dari masyarakat peladang lokal pun semakin diperburuk dengan ditungganginya mereka oleh beberapa perusahaan besar pada tingkatan Multi National Corporation (MNC) yang menjadi aktor di belakang kejadian pembakaran hutan. Berdasar pada motivasi ekonomi yang serupa, perilaku dari korporasi berada pada tataran yang lebih massif. Hal ini sangat terlihat mencolok pada saat beberapa titik api ditemukan berada pada wilayah konsesi yang dikuasi dengan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) di dalamnya.23 Dalam beberapa proses hukum yang ditelusuri bahkan ditemukan 19 Pada akhir tahun 1997 pejabat di Kementerian Negara Lingkungan Hidup menyatakan bahwa 85 titik api yang terdeteksi berada di kawasan perkebunan dan hutan produksi. Lihat Office of the State Minister for the Environment & United Nations Development Programme, Forest and Land Fires in Indonesia, Vol. 1: Impacts, Factors and Evaluation, hlm. xi (1998). 20 Penanaman modal asing di bidang Kelapa Sawit mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 1980an tercatat terdapat 0,8 Juta hektar lahan kelapa sawit dan pada tahun 2004 meningkat hingga mencapai 5,3 Juta Hektar. Lihat Charles V. Barber & James Schweithelm, Trial by Fire: Forest Fires and Forestry Policy in Indonesia’s Era of Crisis and Reform (2000). 21 Industri Perkebunan dan Hasil Kayu merupakan salah satu cabang industri yang menyumbang mayoritas terjadinya deforestasi. Lihat Christopher Barr, Banking on Sustainability: Structural Adjustment and Forestry Reform in Post-Suharto Indonesia 60, 70-96. 22 Program transmigrasi di Indonesia merupakan salah satu kebijakan yang dibuat para rezim Orde Baru sebagai usaha memindahkan penduduk dari tempat yang padat seperti Pulau Jawa ke daerah yang masih kurang penduduk seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Lihat Charles V. Barber & James Schweithelm, Trial by Fire: Forest Fires and Forestry Policy in Indonesia’s Era of Crisis and Reform (2000). 23 Pada tahun 2004 tercatat 10 Perusahaan pemegang HPH melakukan kegiatan pembakaran hutan dan lahan yang terbagi menjadi 24 titik api di sekitar Kalimantan Barat. Bahkan Lembaga Swadaya Masyarakat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) meidentifikasi telah terdapat 54 Perusahaan yang melakukan pembakaran hutan dan lahan, terdiri dari 30 di kawasan HPH, 8 di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), dan 26 di kawasan Perkebunan. Lihat “Kebakaran Di Taman Nasional Berbak Meluas”, Suara Pembaruan (31 Agustus 2004). Lihat pula WALHI, “Perusahaan Pelaku Pembakaran Hutan 2004” terdapat di alamat http://www.walhi.or.id/kampanye/ bencana/bakarhutan/ diakses pada tanggal 12 April 2008.
385
Deni Bram: Kejahatan Korporasi Dalam Pencemaran Lintas Batas Negara: Studi...
fakta bahwa hutan produksi memiliki kerawanan tingkat kebakaran hutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis hutan lainnya.24 C. Kebakaran Hutan dan Kejahatan Korporasi : Hubungan Aksiomatik Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Perkebunan Kelapa Sawit secara besar – besaran menjadi salah satu faktor yang diduga memicu timbulnya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Banyak pihak termasuk pemerintah maupun LSM Lingkungan yang percaya bahwa sebagian besar perusahaan tersebut menggunakan api dalam kegiatan penyiapan lahan mereka. Api digunakan dalam kegiatan penyiapan lahan tersebut karena dalam kegiatannya biaya yang dikeluarkan akan lebih murah dan sangat efektif.25 Hal ini sangat terlihat mencolok pada saat beberapa titik api ditemukan berada pada wilayah konsesi yang dikuasi dengan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) di dalamnya.26 Bahkan dalam beberapa proses hukum yang ditelusuri lebih lanjut ditemukan fakta bahwa hutan produksi memiliki kerawanan tingkat kebakaran hutan yang lebih tinggi 24 Sekitar 45 persen kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi berada di kawasan hutan produksi. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Budidaya, mengemukakan, dari 772 hektar areal kebakaran di Jambi sepanjang tahun 2007, kebakaran paling luas terjadi di hutan produksi, yakni di areal hak pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), dan eks HPH yang luas totalnya 352 hektar. Adapun kebakaran di areal perkebunan besar 198 hektar, lahan pertanian 191 hektar, dan perkebunan masyarakat 31 hektar. Lihat Kompas Cyber Media, “Hutan Produksi Rawan Pembakaran”, terdapat di situs http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.02.28. 05335158&channel=2&mn=162&idx=162 diakses pada tanggal 1 April 2008. 25 Aprika R. Hernanda, 75% Kebakaran lahan di kebun sawit dalam Bisnis Indonesia 26 Pada tahun 2004 tercatat 10 Perusahaan pemegang HPH melakukan kegiatan pembakaran hutan dan lahan yang terbagi menjadi 24 titik api di sekitar Kalimantan Barat. Bahkan Lembaga Swadaya Masyarakat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) meidentifikasi telah terdapat 54 Perusahaan yang melakukan pembakaran hutan dan lahan, terdiri dari 30 di kawasan HPH, 8 di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), dan 26 di kawasan Perkebunan. Lihat “Kebakaran Di Taman Nasional Berbak Meluas”, Suara Pembaruan (31 Agustus 2004). Lihat pula WALHI, “Perusahaan Pelaku Pembakaran Hutan 2004” terdapat di alamat http://www.walhi.or.id/kampanye/ bencana/bakarhutan/ diakses pada tanggal 11 Januari 2012.
386
Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
dibandingkan dengan jenis hutan lainnya.27 Tabel 1. Luas Area Pertanaman Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Luas area (Ha) 3,901,802 4,158,077 4,713,435 5,067,058 5,283,557 5,284,723 5,453,817 6,074,926 6,425,061 6,775,196 7,125,331
Peningkatan per tahun (%) ***) 6.57 13.36 7.50 4.27 0.02 3.20 11.39 5.76 5.45 5.17
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian.
Selama bertahun-tahun, kelapa sawit memainkan peranan penting dalam perekonomian Indonesia dan merupakan salah satu komoditas andalan dalam menghasilkan devisa. Disamping memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap devisa negara, perannya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2003, total devisa yang dihasilkan industri ini mencapai US$ 2,6 miliar atau 4,3% dari total ekspor Indonesia seluruhnya yang mencapai US$ 61 miliar. Nilai ekspor ini mengalami kenaikan yang cukup signifikan dibanding nilai ekspor 2002 yang mencapai US$ 2,35 miliar (4,11% terhadap total nilai ekspor seluruhnya), maupun nilai ekspor pada 2001 yang mencapai US$ 1,23 miliar (2,18% terhadap total nilai ekspor seluruhnya).28 Dalam laporan terakhirnya berjudul “Burning up Borneo”, Greenpeace membeberkan bukti 27 Sekitar 45 persen kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi berada di kawasan hutan produksi. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Budidaya, mengemukakan, dari 772 hektar areal kebakaran di Jambi sepanjang tahun 2007, kebakaran paling luas terjadi di hutan produksi, yakni di areal hak pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), dan eks HPH yang luas totalnya 352 hektar. Adapun kebakaran di areal perkebunan besar 198 hektar, lahan pertanian 191 hektar, dan perkebunan masyarakat 31 hektar. Lihat Kompas Cyber Media, “Hutan Produksi Rawan Pembakaran”, terdapat di situs http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.02.28.0533515 8&channel=2&mn=162&idx=162 diakses pada tanggal 11 Januari 2012. 28 Potensi Dan Prospek Bisnis Kelapa Sawit Indonesia Oleh: Martha Prasetyani dan Ermina Miranti.
387
Deni Bram: Kejahatan Korporasi Dalam Pencemaran Lintas Batas Negara: Studi...
yang menunjukkan pemasok minyak sawit Unilever, perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang kosmetik merupakan salah satu perusak hutan lahan gambut. Unilever dalam laporan Greenpeace menggunakan 1,3 mega ton minyak sawit dan zat turunannya setiap tahun, tiga persen dari produksi global yang lebih dari separuhnya dipasok dari Indonesia.29 Kendala biaya memang menjadi faktor dominan yang menjadi trigger dalam praktek adanya pembakaran lahan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan besar. Pembukaan areal Hutan Tanaman Industri dan Perkebunan Kelapa Sawit menjadi salah satu faktor penyebab kebakaran di lokasi ini. Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan wawancara, sebagian besar perusahaan tersebut melakukan pembukaan dan penyiapan lahan dengan menggunakan api. Sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa sistem pembukaan lahan dengan api tersebut dilakukan sebelum tahun 1998. Pada saat itu, pemerintah belum gencar memberikan sanksi terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan di Indonesia. Walaupun pemerintah telah melarang penggunaan api dalam persiapan lahan perkebunan, tetapi hal tersebut kurang efektif, terlihat dari masih banyaknya perusahaan yang menggunakan api dalam aktivitas persiapan lahannya. Kurang efektifnya kebijakan tersebut terutama karena penggunaan api secara ekonomi sangat murah dan mudah. Dari segi teknis dan ekonomi, perbedaan utama sistem penyiapan lahan dengan bakar dan tanpa bakar adalah berada pada peralatan yang digunakan dan biaya yang dikeluarkan. Perbedaan biaya untuk penyiapan lahan untuk areal HTI pada tahun 1997 dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Perbandingan Biaya Pembukaan Lahan pada Areal HTI Aktivitas Pembukaan Lahan Imas Tumbang Cincang Bakar Injak Serak Total
Menggunakan Api (Rupiah/Hektar) 75,000 105,000 40,000 45,000 0 265,000
Mekanis (Rupiah/Hektar) 75,000 105,000 40,000 0 230,000 450,000
29 Perusahaan Multinasional Pemicu Pembabatan Hutan 23 April 2008 http:// beritasore.com/
388
Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
Data di atas merupakan data dari salah satu perusahaan HTI di propinsi Riau. Mereka menggunakan jasa kontraktor untuk penyiapan lahan. Pembayaran dilakukan berdasarkan jumlah luasan untuk setiap aktivitasnya. Dari tabel, dapat terlihat bahwa terdapat perbedaan biaya per hektar sebesar ± Rp. 200,000, jika penyiapan lahan dilakukan dengan menggunakan api dibandingkan dengan cara yang mekanis. Nominal tersebut sungguh menjadi pertimbangan bagi korporasi – korporasi besar dalam menjalankan usaha yang dimiliki. Tentu dengan adanya disparitas biaya yang besar, menjadikan metode pembakaran sebagai alternatif pembukaan lahan dengan biaya yang minimal namun tidak diiringi dengan adanya suatu kelanjutan usaha yang berkelanjutan. Sebagai perbandingan, di bawah ini terdapat pula perbedaan biaya untuk penyiapan lahan di perkebunan kelapa sawit, oleh salah satu perusahaan di Provinsi Riau. Tabel 3. Perbandingan Biaya Pembukaan Lahan pada Areal Kelapa Sawit Aktivitas Pembukaan Lahan Imas Tumbang Cincang Bakar Perun Mekanis Total
Menggunakan Api (Rupiah/Hektar)
Mekanis (Rupiah/Hektar)
148,500 396,000 148,500 33,000 0 726,000
108,000 156,000 117,000 0 663,000 1,044,000
Adanya gambaran komparasi mengenai dua metode yang dapat digunakan dalam pembukaan lahan Hutan Tanaman Industri dan Kelapa Sawit pada tahun 1997 di atas jelas menunjukkan adanya suatu pertimbangan variabel ekonomi yang menyebabkan makin marakanya praktek pembakaran lahan dan hutan di berbagai provinsi di Indonesia. Terlebih pada saat ini tentu biaya tersebut telah membengkak seiring dengan adanya peningkatan harga, tercatat paling tidak sat ini biaya pengembangan kelapa sawit 2008 di Kalimantan Timur (wilayah V), termasuk Kutai Timur per hektare sebesar Rp 389
Deni Bram: Kejahatan Korporasi Dalam Pencemaran Lintas Batas Negara: Studi...
28.753.000. Ini menunjukkan Kaltim menempati urutan ke-2 termahal setelah Papua (wilayah VI) Rp 32.762.000 per hektare. Sedangkan, yang termurah di wilayah I (Sumatra) Rp 25.962.000 per hektare.30 Bersandar pada serangkaian data di atas dapat terlihat bahwa motivasi ekonomi dari korporasi dalam tindakan pembakaran hutan menjadi salah satu variabel yang berpengaruh kuat dalam penanganan kebakaran hutan. Salah satu strategi yang dapat ditempuh dalam kondisi seperti ini adalah memahami secara utuh mengenai entitas hukum yang hendak dikenakan sebuah peraturan. Sumbangsih pemikiran Becker sebagai salah pemikir pendekatan ekonomi terhadap hukum mengatakan bahwa penaatan terhadap peraturan dalam optik pendekatan ekonomi terhadap hukum akan lahir salah satunya pada saat kondisi manusia dengan rasionalitas yang dimiliki memiliki perkiraan perhitungan bahwa manfaat yang akan diperoleh dari suatu penaatan akan jauh lebih besar daripada biaya yang harus dikeluarkan jika penaatan tersebut dilakukan. Namun sebaliknya, pada saat homo economicus memiliki hipotesa bahwa biaya yang harus dikeluarkan pada saat tidak menaati peraturan atau dikenakan sanksi dari peraturan tersebut lebih murah daripada untuk melakukan penaatan, maka kecenderungan untuk tidak melaksanakan peraturan akan cenderung besar.31 Dalam konteks kebakaran hutan dapat dilihat bahwa terdapat beberapa hal yang menjadi landasan pembenar bagi korporasi untuk melanjutkan kegiatan ini dalam perspektif hukum dan ekonomi. Pertama, kecenderungan dari lemahnya dari upaya penegakan hukum yang terjadi pada saat ini membuat dari korporasi menganggap kemungkinan mereka untuk dikenakan sanksi lebih sedikit. Selanjutnya, diskursus hukum lingkungan di Indonesia saat 30 Praktik seperti itu terungkap dalam persidangan Mr. C. Gobi, warga negara Malaysia, selaku General Manager PT Adei Plantation and Industri, yang terbukti melakukan pembakaran dalam rangka penyiapan lahan perkebunan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Bangkinang Provinsi Riau. Pembakaran dilakukan atas lahan seluas kurang lebih 2.000 Hektar di Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan antara tahun 1999 sampai 2000. Lihat “Biaya Sawit Rp 28 Juta Per Hektare” http://www.sapos. co.id/berita/index.asp?IDKategori=287&id=98371 diakses pada 11 Januari 2012. 31 Lihat Gary S Becker., “Crime and Punishment : Economic Approach”., Colombia Law Review.
390
Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
ini yang masih menempatkan korporasi sebagai subyek hukum hanya dalam tataran normatif belaka semakin memperkecil peluang untuk menghukum dari para pelaku kejahatan lingkungan. Terakhir, kultur masyarakat Indonesia yang belum mampu melakukan penghukuman terhadap brand tertentu melengkapi semakin kecilnya potensi kerugian yang terjadi. D. Kesimpulan Beberapa hal patut menjadi catatan penting dalam usaha penelaahan konsep kejahatan korporasi dalam konteks pencemaran lintas batas negara terungkap dalam hal – hal di bawah ini. Pertama, dalam beberapa kasus kebakaran hutan pada umumnya, lokasi terjadinya kebakaran hutan mayoritas berada di daerah dengan kategori Hutan Tanaman Industri (HTI) di dalamnya yang notabene merupakan bagian dari hutan produksi untuk pengembangan lahan kelapa sawit. Selanjutnya, dalam komparasi yang dilakukan dapat terlihat dari nyata bahwa alasan dari praktek pembakaran lahan di areal HTI dilatarbelakangi oleh alasan biaya. Kenyataan bahwa biaya pembukaan lahan dengan cara mekanis yang jauh lebih mahal membuat teknik pembakaran lahan menjadi pilihan. Terakhir, memperhatikan adanya motif ekonomi yang melatarbelakangi terjadinya pencemaran lingkungan transnasional di kawasan ASEAN akibat kebakaran hutan di Indonesia, maka pendekatan ekonomi juga dapat menjadi jawaban untuk proses penanggulangan hal tersebut. Rasionalitas yang menjadi tumpuan utama dari pelaku ekonomi dapat menjadi pertimbangan dengan memberikan insentif dan disinsentif terhadap pelaku pembakaran lahan selain mengandalkan efek jera dari proses penegakan hukum. Daftar Pustaka Buku Akehurst, Michael. A Modern Introduction to International Law., London : George Allen and Unwin, 1982 391
Deni Bram: Kejahatan Korporasi Dalam Pencemaran Lintas Batas Negara: Studi...
Dales, J.H. Pollution Property & Prices, Toronto : University of Toronto Press, 1986 Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan, Cet.19., Yogyakarta: UGM Press, 2006 Johnston, R.J. Nature, State, and Economy : A Political Economy of the Environment., New York : John Willy & Sons, 1989. Keraf, Sonny, Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas, 2006 Kolstad, Charles. Environmental Economics. New York : Oxford University Press, 2000 Marsh, George Perkins. Man and Nature, Cambridge : Harvard University Press, 1965 McCormick, John. The Global Environment Movement, New York : John Wiley & Son, 1989 Posner, Richard. Economic Analysis of Law. Kluwer : Aspen Law and Business, 1998 Rhiti, Hyronimus, Hukum Penyelesaian Sengeketa Lingkungan Hidup. Yogyakarta :Universitas Atmajaya, 2006 Riyanto, Budi, Hukum Kehutanan dan Sumber Daya Alam. Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, 2004 Sands, Philipe. Principle of International Environmental Law I, Manchester : Manchester University Press, 1995 Siahaan, NHT, Hutan, Lingkungan dan Paradigma Pembangunan. Jakarta: Pancuran Alam, 2007 Silalahi, Daud, Hukum Lingkungan Indonesia dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung : Alumni, 2001 Soemartono, Gatot P, Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2004 392
Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
Makalah dan Jurnal Anderson, Patrick. ”The Myth of Sustainable Logging: The Case for A Ban on Tropical Timber Imports”, The Ecologist, 1989 Klassen, A.W. “Menghubungkan Hutan dengan Pasar”, Hutan Indonesia, Edisi No. 25, Agustus 2003 Markandya, A. “The Costs of Environmental Regulation in Asia: Command and Control versus Market-based Instruments”, Asian Development Review, Vol. 16, No. 1, 1998 Mulyadi, “Permintaan dan Pasokan Kayu di Indonesia”, Rimbun, No. 2, 15 Februari 2000 Nollkaemper, Andre. “Protecting Forest through Trade Measure: The Search for Substantive Benchmarks”, Georgetown International Environmental Law Review, Vol. 8, 1996 Qadri, S. Tahir. Fire, Smoke, and Haze The ASEAN Response Strategy, 2005 Edited by Association of Southeast Asian Nations Sakumoto. Nauyoki. “The Participatory Forestry Management System in Indonesia”, Policy Trend Report, IDE/JETRO, 2002 Sloane, George B dan Barry N. Rosen. “Environmental Product Standards, Trade and European Consumer Good Marketing: Processes, Threats and Opportunities,” Columbia Journal of World Business, Vol. 30, No. 1,1995 Thürer, Daniel. The “Failed States” and International Law , International Review of the Red Cross , 1999 Weiss, Edith Brown. International Environmental Law: Contemporary Issues and the Emergence of a New World Order, 81 GEO. L. J. 675, 679 (1993)
393