“Kehidupan itu terlalu penuh dengan kebahagian bagi orang yang menyadarinya” Tommy membaca kalimat terakhir dari sebuah novel yang diterbitkan melalui salah satu blog yang sudah lama ia ikuti. Blog yang diperuntukkan untuk para remaja yang memiliki kegemaran yang sama, menulis. Tommy menyandarkan badannya ke kursi yang dia duduki. Kursi kayu yang tak lagi tampak bagus tetapi masih bisa digunakan. Kedua bola matanya masih terpaku pada kalimat terakhir itu. Membuatnya membaca berulang-ulang, kalimat tersebut seperti meminta untuk dipahami. Tommy mencoba menenangkan hatinya. Mencoba mempercayai dan mengajak pikirannya bahwa kalimat itu benar. Namun, entah mengapa dia merasa hidup itu penuh dengan kesedihan seperti yang sudah dialaminya. Tommy Fais Suryanto, remaja yang sedang menempuh bangku kuliahnya dan terlahir dari keluarga yang sederhana. Keluarga yang jelas menyayanginya lebih dari apapun. Tommy mempunyai seorang kakak perempuan. Kakak yang memiliki rambut hitam yang lurus jatuh sebahu. Matanya bulat dan berbibir tipis. Hidungnya tajam seperti hidung milik Tommy. Tetapi badannya tak lebih tinggi dari Tommy meskipun dia lebih tua 5 tahun, hanya sebahu Tommy. Dia bernama Nadia Kharisma Prawiranti. Hidup mereka dulu sempurna. Keluarga lengkap dan berkecukupan. Risma pun sempat merasakan indahnya bangku kuliah di kampus ternama. Namun petaka itu datang ketika ayah mereka membuat keputusan yang teramat menyakitkan hati. Bukan hanya untuk mereka berdua. Tetapi juga untuk sang ibu yang sepenuh
hati melakukan tugasnya sebagai ibu rumah tangga yang baik. Ayah dan ibu mereka memutuskan berpisah ketika Risma, sang kakak, lulus mengenyam bangku sarjana ekonominya. Membuat mereka berdua harus memilih untuk tinggal. Tinggal dengan seorang nahkoda yang gagal membawa penumpangnya pergi dari ombak besar, atau tinggal dengan seorang yang tulus, yang tak meminta belas kasih dan imbalan dari mereka, sampai mereka besar? Keputusan berat menjadi kenangan buruk bagi mereka. Terutama Tommy. Kenangan pahit itu tak mau Tommy ingat lagi. Tetapi kalimat terakhir dari novel tersebut membuatnya tertawa sekaligus menangis dalam hati. Dia merasa orangorang yang berpikir demikian adalah orang-orang yang tak pernah merasakan sakit hati, orang-orang yang hanya ingin dipuji akan kehidupannya yang indah. Mereka tidak merasakan bahwa rasa sakit keluarga yang hancur lebih sakit dari apapun. Kesakitan melihat tugas kepala keluarga berpindah tangan kepada seorang kakak yang seharusnya masih bisa tertawa bersama teman- temannya. Kesakitan melihat seorang ibu yang masih bekerja membuat kue-kue ulang tahun dengan harga yang tak sepadan. Harga murah yang sengaja diberikan hanya agar bisa terus menabung untuk bertahan hidup. “Tom kamu nggak kuliah?” tanya seorang wanita yang seharusnya menikmati masa tuanya di kursi goyang. Wanita yang membuka pintu dengan halus dengan maksud tak ingin mengganggu anaknya. “Iya, Bu. Sebentar lagi.” jawab Tommy seadanya. “Ibu masuk ya?”
2
Tommy tak mengubris. Ibu Tommy berjalan masuk ke kamarnya. Kamar yang sebetulnya kurang layak untuk ditempati oleh seorang remaja. Kamar yang tak begitu besar. Di dalamnya hanya cukup untuk satu tempat tidur, lemari berukuran sedang dan meja belajar beserta bangku yang kini sedang diduduki anaknya. “Maafin ibu ya, Tom.” kata ibu Tommy tiba-tiba. Wanita itu tertunduk lemas. Di badannya masih tertempel kain celemek yang berlumuran tepung dan pewarna kue. Tommy menyadari apa yang ingin dikatakan ibunya. Perkataan yang selalu saja membuat Tommy sakit jika mendengarnya. Perkataan yang akan berujung airmata dan berulang ulang. Tommy dengan cepat mengambil buku-buku yang dia butuhkan untuk mata kuliah hari ini. Mengambil tas dan memasukkan beberapa buku tersebut ke dalamnya bersama notebook merah kecilnya. Tak ada waktu untuk berlama-lama sebelum ibunya membuka pembicaraan kembali. “Tommy jalan ya, Bu.” kata Tommy dingin seraya mengenakan tasnya itu dan berlari kecil menuruni anak tangga yang sudah rapuh di beberapa bagian sehingga membuat suara-suara berdecit ketika menapakan kaki. Ibu hanya terdiam. Wajahnya masih tertunduk lemas. Di genggamnya erat celemek yang dia kenakan. Air mata perlahan jatuh dari wajahnya yang kini nampak berkerut di satu dua sisi. Jelas dia merasakan perbedaan dari Tommy. Dulu ketika keluarga mereka masih lengkap, Tommy tak pernah sedikitpun mengacuhkannya. Tommy anak yang ceria dan sopan, berpamitan dan mencium 3
tangannya ketika ingin pergi. Selalu tertawa di ruang keluarga bersama dengan candaan hangat. Namun, sekarang hal itu tak pernah lagi dia rasakan. Saat ini, ia hanya merasakan kegagalan. Kegagalan untuk menyatukan sebuah keluarga, kegagalan untuk membuat anaknya tersenyum, kegagalan yang bertambah dengan tak bisa memenuhi permintaan Tommy untuk berkuliah di universitas ternama seperti kakaknya. Sehingga sekarang membuat hubungan kakak beradik itu menjadi kurang harmonis. Tommy merasa tidak diperlakukan secara adil. Rasa yang tak ingin ditunjukkan tetapi tetap bisa ia lihat. Seperti bintang ditengah malam, meskipun tertutup malam tetapi bias-bias sinarnya tetap menunjukkan bahwa dia ada. Dan memang menyakitkan ketika hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan indah berubah menjadi sesuatu yang janggal dan tak patut untuk terjadi. Namun, hal yang memang seharusnya terjadi memang akan tetap terjadi, siap tidak siap Tommy harus melakukan yang terbaik bagi dirinya dan untuk saat ini yang terbaik menurut dirinya adalah bersikap sesuka hati tanpa memperdulikan orang lain. “Kamu nggak sarapan dulu, Tom?” Risma muncul dari balik pintu kamarnya. “Nggak usah, nggak laper kok,” jawab Tommy seraya duduk di ruang tamu, mengikat tali sepatunya. “Ibu mana?” Tommy tak menjawab, seolah tak mendengar pertanyaan kakaknya itu. Risma melihat ke arah tangga ketika dia tahu Tommy tak akan menjawab pertanyaannya. Kebingungan 4
yang teramat dalam dia rasakan. Kebingungan akan hal apa yang harus dia lakukan agar keadaan seperti sedia kala. Di dalam hati, Risma sangat menyayangi adik semata wayangnya itu. Jika tidak, mana mungkin dia mau bekerja dan memberikan seluruh hasil jerih payahnya untuk ditabung oleh Ibu. Risma tahu kehidupan sudah berputar bagi keluarganya, keluarga yang dahulu bertelapak tangan putih dan sekarang terbalik menjadi punggung tangan yang hitam. Namun, mengapa Tommy tak pernah mau melihat perjuangannya dan Ibu. Perjuangan agar satu hal yang bernama “keluarga” tetap ada. “Kalau kamu nggak mau sarapan, minum susu aja ya, biar kamu ada tenaga.” Tangan Risma menjulur memberikan secangkir susu coklat hangat. Tommy terdiam. Dia hanya melihat cangkir putih tersebut. Cangkir yang bercorak kembang di sisi badannya. Tak lama, senyum sarkatis pun terkembang di bibirnya. “Gue jalan,” kata Tommy tanpa menghiraukan tawaran kakaknya yang ramah. Bahkan sampai dia melangkahkan kaki keluar dari pintu rumah pun, matanya tak menatap atau melihat Risma untuk sejenak.
5