BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bagi setiap orang yang telah menikah, memiliki anak adalah suatu anugerah dari Tuhan. Selain itu, orang tua juga menginginkan yang terbaik bagi anaknya, tumbuh dan berkembang seperti layaknya orang normal. Naseef (dalam Kira, 2004) mengatakan bahwa ketika anak hadir, ada keseimbangan antara merawat kebutuhan anak dan menyiapkan waktu serta usaha dalam pemeliharaan dan pertumbuhan pernikahan. Namun, sering terjadi anak menunjukkan gejala adanya gangguan dalam perkembangannya. Warsiki (2007) mengatakan bahwa akhir-akhir ini para psikiater anak semakin banyak mendapat rujukan anak-anak usia 2-5 tahun, bahkan sampai usia 8-12 tahun oleh dokter umum atau dokter anak dengan gejala gangguan perkembangan yang ringan sampai berat. Salah satu gangguan perkembangan pada anak yang sering terjadi adalah autis. Autis atau gangguan autistik adalah salah satu gangguan terparah di masa kanak-kanak (Nevid, Rathus & Greene, 2005). Yayasan Cinta Harapan Indonesia (YCHI) (2010) mengatakan bahwa 1:1000 anak di Indonesia mengalami gangguan autis. Kira (2004) menambahkan bahwa autis dianggap merupakan hasil dari gangguan neurologis yang mempengaruhi fungsi otak. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Nevid, Rathus & Greene (2005) yang mengatakan bahwa gangguan autis merupakan gangguan yang bersifat kronis dan seumur hidup. Autis merupakan salah satu gangguan perkembangan pada anak dimana gejalanya muncul sebelum umur 3 tahun yang meliputi tiga gelaja utama yaitu mengalami kesulitan dalam interaksi sosial secara timbal balik, gangguan
1
2 komunikasi dan tingkah laku terbatas dan berulang-ulang disertai keterbatasan minat, aktivitas dan imajinasi (Schultz & Anderson dalam Warsiki, 2007). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM IV-TR) (2000) yang menjelaskan bahwa terdapat tiga karakteristik utama dari autis yaitu adanya gangguan dalam interaksi sosial yang timbal balik, komunikasi, dan munculnya perilaku yang terbatas, minat terbatas, perilaku yang berulang-ulang. Semua kelompok atau keadaan mirip autis disebut gangguan perkembangan pervasif atau Autism Spectrum Disorder (ASD) (Gilberg dalam Warsiki, 2007). Tidak mudah bagi orang tua untuk dapat menerima ketika pertama kali mengetahui bahwa anaknya mengalami gangguan autis. Kira (2004) mengatakan bahwa ketika orang tua melihat balita dan anak-anak lain berkembang berbeda dengan anaknya, maka mereka akan mulai cemas. Berbagai reaksi yang dimunculkan orang tua ketika mengetahui anaknya mengalami gangguan autis, seperti merasa terkejut, menyangkalnya, merasa tidak percaya, sedih, perasaan terlalu melindungi, cemas, perasaan menolak keadaan, perasaan tidak mampu dan malu, perasaan marah, bahkan ada perasaan bersalah dan berdosa (Safari, 2005). Hadirnya anak dengan gangguan autis dapat menimbulkan stres tersendiri bagi orang tua. Banyak media mengatakan bahwa gejala autis sukar disembuhkan sehingga menambah perasaan depresi pada orang tua yang anaknya mengidap gangguan autis (Warsiki, 2007). Memiliki anak autis dapat menambah tanggung jawab tersendiri bagi orang tua sehingga berpotensi menimbulkan stres terutama bagi ibu. Sebuah studi (Cox, Rutter, Newman, & Bartak, dalam Schopler & Mesibov, 1983) yang dilakukan pada ibu yang memiliki anak autis menunjukkan bahwa sepertiga dari ibu melaporkan gejala depresi dalam responnya terhadap stres.
3 Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Fisman dkk (dalam Ericzon, 2005) yang mengatakan bahwa ibu dengan anak ASD dilaporkan memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dan kemampuan pengasuhan yang lebih rendah dibandingkan ibu dari anak-anak normal. Stres merupakan aspek dari kehidupan yang tak terelakkan dan dapat membuat perbedaan dalam fungsi manusia dengan mengetahui bagaimana orang mengatasi stresnya (Lazarus & Folkman, 1984). Stres adalah reaksi alami tubuh untuk mempertahankan diri dari tekanan secara psikis (Wijono, 2006). Lazarus (1984) menyarankan agar stres diperlakukan sebagai konsep pengorganisasian untuk memahami berbagai fenomena yang sangat penting dalam adaptasi manusia dan hewan. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan stres disebut stresor. Seyle (1983) membedakan stresor menjadi 3 golongan, yaitu stresor fisikbiologik, stresor psikologis, dan stresor sosial budaya. Selain itu, kita juga dapat melihat darimana sumber stres yang dialami oleh subyek, dimana menurut Sarafino (2006) sumber stres dibagi menjadi tiga yaitu dari diri sendiri, keluarga serta komunitas dan masyarakat. Sumber stres dari diri sendiri berkaitan dengan adanya konflik dalam diri. Sumber stres dari keluarga dengan hadirnya anggota baru, sakit dan kematian dalam keluarga. Sumber stres dari komunitas dan masyarakat dapat menyediakan banyak sumber stres, misalnya: pengalaman anak di sekolah dan persaingan (Sarafino, 2006). Dalam penelitian ini, penulis melihat sumber stres yang berasal dari keluarga dimana terdapat anak autis yang dapat menambah beban di keluarga dan dapat menyebabkan stres bagi orang tuanya. Untuk mengatasi stres yang ada, maka diperlukan strategi untuk menanggulangi stres yang tepat.
4 Lazarus & Folkman (1984) menjelaskan bahwa cara menanggulangi stres adalah upaya merubah kognitif dan perilaku secara terus-menerus untuk mengelola tuntutan eksternal tertentu yang dinilai meningkat atau melebihi kemampuan seseorang. Cara menanggulangi stres dapat dilakukan dengan cara yaitu emotion focused coping dan problem focused coping (Lazarus & Folkman, 1984). Emotion focused coping dilakukan dengan mengurangi emosi negatif yang ditimbulkan oleh situasi yang tidak menyenangkan. Sedangkan problem focused coping dilakukan dengan melakukan tindakan langsung untuk memecahkan masalah. Pada penelitian ini, penulis ingin mengetahui sumber stres dan cara menanggulangi stres yang digunakan orang tua yang memiliki anak autis. Subyek yang diambil dalam penelitian ini adalah ibu dewasa muda yang berumur 20-40 tahun yang memiliki anak autis. Hal ini dikarenakan pada perkembangan psikososialnya, yang harus dilewati oleh ibu dewasa muda adalah intimacy. Intimacy adalah kemampuan mengembangkan identitas dirinya untuk siap memadukannya dengan identitas orang lain tanpa takut kehilangan identitas dirinya sendiri. Pada saat itu pula, seorang wanita menjalin hubungan yang serius dengan pasangannya dan menikah, memiliki anak, dan membantu anak-anak mencapai perkembangan kesehatan mereka sendiri. Penelitian ini dilakukan di beberapa tempat terapi anak autis yang terdapat di Jakarta. Hal tersebut dikarenakan terdapat banyak sekolah-sekolah autis, tempattempat terapi dan rumah sakit yang ditemukan di kota Jakarta dibanding kota-kota lainnya.
5 1.2 Rumusan Masalah Pada penelitian ini, rumusan masalahnya adalah bagaimanakah sumber stres dan cara menanggulangi stres yang digunakan ibu dewasa muda yang memiliki anak autis. 1.3 Tujuan dan Manfaat 1. 3.1 Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran sumber stres dan cara menanggulangi stres yang dialami ibu dewasa muda yang memiliki anak autis. 1.3.2 Manfaat 1) Manfaat praktis dari penelitian ini, agar orang tua yang memiliki anak autis dapat mengetahui gambaran sumber stres dan cara menanggulangi stres yang dilakukan mereka. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi para orang tua dalam strategi yang tepat untuk mengatasi stres yang mereka alami karena memiliki anak autis. 2) Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah agar dapat digunakan sebagai bahan kajian untuk penelitian lain menyangkut autis atau sumber stres dan cara menanggulangi stres ibu yang memiliki anak autis.