Kata yang menyingkap teka-teki dan misteri alam. Serta memecahkan salah satu rahasia agung Alquran.
KALIMAT KETIGA PULUH
Sebuah huruf dari kitab “Aku” yang besar Setitik lautan “Partikel” yang agung
Kata ini berisi penjelasan tentang dua tujuan: Tujuan Pertama: Membahas tentang Substansi dan Buah “Aku” Tujuan Kedua: Membahas tentang Gerakan dan Tugas “Partikel.”
Tujuan Pertama Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung. Semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Manusia amat zalim dan bodoh.1 Lewat perbendaharaan ayat di atas kami akan menunjukkan salah satu permata darinya. Yaitu bahwa amanat yang enggan dipikul oleh langit, bumi, dan gunung memiliki sejumlah pengertian dan memiliki sejumlah aspek. Di antara pengertian dan aspeknya adalah “aku” atau “ego”. Ya, “aku” merupakan benih yang menjadi asal-muasal pohon tuba yang bercahaya dan agung sekaligus merupakan asal-muasal pohon zaqqum yang menakutkan. Ranting-ranting dari keduanya membentang dan cabang-cabangnya menjalar ke seluruh penjuru dunia manusia dari sejak Adam as hingga masa sekarang. Sebelum membicarakan hakikat yang luas ini, kami akan memberikan sebuah pendahuluan untuk memudahkan, yaitu yang mudah dipahami sebagai berikut: 1
Q.S. al-Ahzab: 72.
Pendahuluan “Aku” adalah kunci untuk membuka kekayaan nama-nama Allah yang tersembunyi dan rahasia alam yang terkunci. Ia merupakan misteri menakjubkan dan teka-teki yang aneh. Namun, dengan memahami substansi “aku” misteri menakjubkan tersebut akan terpecahkan serta teka-teki aneh itupun akan tersingkap. Yang pada gilirannya Dengannya tekai-teki alam dan kekayaan alam yang wajib ada terbuka. Persoalan ini secara khusus telah kami bahas dalam risalah “Semerbak Hembusan Petunjuk Alquran” sebagai berikut: Ketahuilah! Kunci dunia berada di tangan manusia dan berada dalam dirinya. Meski pintu seluruh entitas terbuka namun keadaannya tertutup. Allah Swt. menitipkan amanat kepada manusia sebagai kunci yang dengannya ia bisa membuka seluruh pintu alam dan sandi untuk membuka perbendaharaan milik Sang Pencipta alam. Kunci tersebut adalah “aku” atau ego yang terdapat dalam dirimu. Hanya saja, ego tersebut juga buta, tertutup, dan terkunci. Apabila engkau membuka ego dengan mengenali esensinya maka seluruh alam menjadi terbuka. Allah Swt telah memberikan kepada tangan manusia sebuah amanat berupa “ego” yang di dalamnya terlipat sejumlah isyarat dan model sebagai petunjuk atas berbagai hakikat sifat rububiyah yang agung dan kondisinya yang suci. Dengan kata lain, ego merupakan satu standar analogi untuk memahami sifat-sifat rububiyah dan urusanurusan ilahi. Seperti diketahui standar analogi tidak harus bersifat memiliki wujud hakiki. Namun, ia bisa terbentuk lewat asumsi dan imajinasi seperti garis-garis asumsi dalam geometri. Artinya, ego tidak mesti memiliki wujud hakiki lewat pengetahuan dan pembuktian. Muncul sebuah pertanyaan: mengapa pengetahuan tentang sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya yang mulia terkait dengan ego manusia?
Jawabannya: sesuatu yang bersifat mutlak dan integral tidak memiliki batas dan ujung. Karenanya ia tidak memiliki bentuk dan ketentuan lantaran tidak ada wujud dan bentuk yang definit. Karena itu, hakikat substansinya tidak dapat dipahami. Misalnya cahaya permanen yang tidak dihiasi dengan kegelapan. Ia tidak dapat dirasakan dan wujudnya tidak dapat dikenali kecuali jika dibatasi dengan kegelapan hakiki atau ilusi. Demikian pula sifat-sifat Allah seperti mengetahui dan berkuasa, serta namanama-Nya yang mulia, seperti Maha Bijaksana dan Maha Penyayang. Karena ia bersifat mutlak, tidak terbatas, dan mencakup segala hal; tanpa ada sekutu bagi-Nya, ia tidak mungkin dijangkau atau diikat dengan sesuatu. Substansinya tidak dapat diketahui dan dirasakan. Karena itu, harus ada batasan yang bersifat hipotesis dan imajinatif terhadap sifat-sifat dan nama-nama-Nya yang bersifat mutlak itu sebagai sarana untuk memahaminya karena ia tidak memiliki batasan hakiki. Inilah yang dilakukan oleh ego atau yang dilakukan oleh “aku.” Ia membayangkan dalam dirinya satu bentuk rububiyah imajinatif berikut kepemilikan, kekuasaan, dan pengetahuan-Nya. Ia memberikan batasbatas tertentu terhadap sifat-sifat komprehensif dan nama-nama-Nya yang bersifat mutlak. Misalnya ia berkata, “Dari sini sampai sana adalah milikku. Sesudahnya kembali kepada sifat-sifat tersebut.” Yakni, ia meletakkan satu bentuk pembagian. Dan dengan ini ia menyiapkan diri untuk memahami substansi sifat-sifat yang tak terhingga itu sedikit demi sedikit. Yaitu lewat standar kecil dan ukuran sederhana yang ada padanya. Sebagai contoh, lewat kekuasaannya yang ia bayangkan dalam wilayah kerajaannya, ia memahami rububiyah Penciptanya yang bersifat mutlak dalam wilayah makhluk. Lewat kepemilikannya secara lahiriah ia memahami kepemilikan Penciptanya yang bersifat hakiki. Ia berkata, “Jika aku pemilik dari rumah ini, Tuhan Sang Pencipta adalah Pemilik alam ini.” Lewat pengetahuannya yang terbatas, ia menyadari pengetahuan Allah yang tak terbatas.
Lewat kemahiran yang didapat, ia mengenali indahnya kreasi Sang Pencipta Yang Mahaagung. Misalnya ia berkata, “Jika aku yang mendirikan dan menata rumah ini, tentu ada Zat yang mendirikan dan menata rumah dunia.” Demikian seterusnya. Di dalam diri dan ego tersimpan ribuan kondisi, sifat, dan perasaan yang mengandung ribuan rahasia tersembunyi di mana dalam batas tertentu ia dapat menunjukkan dan menjelaskan sejumlah sifat ilahi dan urusan-Nya yang penuh hikmah. Dengan kata lain ego tidak membawa makna dalam dirinya sendiri. Tetapi, ia menunjukkan pada makna yang terdapat pada selainnya. Ia ibarat cermin pemantul, standar analogi, alat untuk menyingkap, serta makna literal. Ia merupakan untaian sensitif dari tali wujud manusia yang besar. Ia merupakan benang mulia dari tenunan pakaian susbstansi manusia. Ia huruf alif dalam kitab sosok umat manusia di mana huruf tersebut memiliki dua sisi: Sisi yang mengarah kepada kebaikan dan wujud. Dengannya manusia hanya sebagai penerima limpahan karunia ilahi. Pasalnya ia tidak mampu menghadirkan apapun pada sisi ini. Ia bukan pelaku di dalamnya karena tangannya terbatas tak memiliki kemampuan mencipta. Sisi yang lain mengarah kepada keburukan dan ketiadaan. Pada sisi ini ia berposisi sebagai pelaku. Selanjutnya substansi ego bersifat ilusi, pemeliharaannya bersifat imajiner, dan eksistensinya sangat lemah sehingga dirinya tak mampu memikul atau diberi beban apapun. Ia hanya laksana neraca untuk menerangkan sifat-sifat Allah di mana ia mutlak dan komperehensif mencakup segala sesuatu. Kondisinya seperti termometer, ukuran udara, dan berbagai neraca lainnya yang mengukur kadar sesuatu dan tingkatannya. Orang yang mengetahui substansi ego dalam sisi ini lalu bekerja sesuai dengannya dan dengan konsekwensinya masuk ke dalam kabar gembira dari Allah yang berbunyi, “Sungguh beruntung orang yang telah membersihkannya.”2 Dengan begitu ia telah menunaikan amanat dengan benar. 2
Q.S. asy-Syams: 9
Lewat teropong ego ia dapat memahami hakikat alam dan berbagai tugas yang dilaksanakannya. Ketika berbagai informasi dari luar datang ke dalam dirinya, ego atau “aku” akan membenarkannya. Maka, informasi itupun akan menjadi pengetahuan yang bercahaya dan hikmah yang benar. Ia tidak akan berbalik kepada gelapnya kesia-siaan. Apabila ego telah menunaikan tugasnya dalam bentuk demikian, ia akan meninggalkan kekuasaan dan kepemilikannya yang bersifat ilusi di mana ia hanya merupakan standar analogi. Ego akan menyerahkan kekuasaan kepada Allah semata dengan berkata, “Segala kekuasaan, pujian, dan ketetapan hanya milik-Nya. Kepada-Nya kalian dikembalikan.” Ia memakai pakaian ubudiyahnya dan naik menuju derajat (ahsan taqwim) bentuk terbaik. Namun, jika ego telah lupa kepada hikmah penciptaannya lalu melihat dirinya dengan makna hakiki, seraya meninggalkan tugas fitrinya dengan merasa dirinya sebagai pemilik, berarti ia telah mengkhianati amanah. Iapun masuk ke dalam ancaman ilahi “Sungguh merugi orang yang mengotorinya.”3 Demikianlah rasa takut langit, bumi, dan gunung dalam memikul amanah adalah dilihat dari sisi ini. Dari sana lahir kemusyrikan, keburukan, dan kesesatan. Ya, ego atau “aku” meskipun berupa huruf alif yang kurus namun jika substansinya tidak diketahui, ia akan tumbuh dalam kondisi samar laksana benih yang tumbuh di dalam tanah. Sedikit demi sedikit ia membesar hingga menyebar ke seluruh wujud manusia hingga menelannya seperti ular besar yang menelan. Maka, manusia secara totalitasnya dan dengan segala perangkat halus dan perasaannya menjadi ekspresi dari ego. Kemudian ia bertambah besar dengan ‘ego kelompok’ dan sikap bersandar kepadanya sehingga laksana setan yang menentang dan melawan perintah Allah. Setelah itu, ia mulai mengukur manusia dan bahkan segala sesuatu dengan dirinya sendiri dan sesuai hawa nafsunya. Ia membagi kekuasaan Allah kepada sejumlah hal serta kepada sejumlah sebab sehingga terjatuh pada syirik yang besar. Di sini makna ayat Alquran menjadi jelas, “Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar.”4
3 4
Q.S. asy-Syams: 10. Q.S. Luqman: 13.
Sebagaimana orang yang mencuri empat puluh dinar dari harta negara harus membiarkan semua sahabat yang bersamanya mengambil satu dirham darinya agar tindak pencuriannya dibenarkan, demikian pula dengan orang yang berkata, “Aku adalah pemilik diriku.” Orang tersebut harus berkata dan berkeyakinan bahwa segala sesuatu adalah pemilik bagi dirinya. Demikianlah ego dalam posisinya yang demikian yang memakai busana pengkhianatan terhadap amanah, ia betul-betul sangat bodoh. Bahkan ia entitas yang paling bodoh. Ia jatuh ke dalam tingkat kebodohan rangkap meskipun memiliki ribuan ilmu dan pengetahuan. Pasalnya, cahaya makrifat yang tersebar di alam yang ditangkap oleh indera dan pemikirannya tidak mendapatkan unsur untuk bisa membenarkan, menerangi, dan mengekalkannya. Karena itu, seluruh pengetahuan tersebut segera padam sehingga menjadi gelap gulita. Seluruh yang datang kepadanya tercelup dengan celupan dirinya yang demikian pekat. Bahkan meskipun sebuah hikmah cemerlang masuk ke dalamnya maka ia akan hilang percuma. Sebab, warna ego dalam kondisi tersebut berupa syirik, sikap melepaskan Sang Pencipta dari sifat-sifat-Nya yang mulia, serta mengingkari wujud-Nya. Lebih dari itu, andaikan seluruh alam dipenuhi dengan sejumlah tanda yang demikian terang dan lentera petunjuk, titik gelap yang terdapat dalam ego akan menutupi semua cahaya yang datang itu sekaligus menghijabnya sehingga tidak tampak. Dalam ‘kata kesebelas’ kami telah menjelaskan substansi manusia dan ego yang terdapat dalam dirinya dilihat dari makna harfiyah atau simbolik. Di sana kami telah menegaskan bagaimana ia menjadi neraca alam yang sensitif, ukuran yang cermat, indeks yang integral dan komprehensif, peta yang sempurna, cermin yang mencakup, serta perhitungan yang lengkap. Siapapun dapat merujuk kepada risalah tersebut. Kami menutup pendahuluan ini sampai di sini dengan mencukupkan penjelasan yang terdapat pada risalah tersebut. Wahai saudara pembaca, jika engkau telah memahami pendahuluan di atas, marilah kita sama-sama masuk ke dalam hakikatnya.
Dalam sejarah umat manusia, sejak masa Nabi Adam as hingga sekarang, terdapat dua aliran besar dan dua rangkaian pemikiran. Keduanya berjalan melintasi bentang waktu dan zaman. Keduanya seperti dua pohon besar yang dahan dan cabangcabangnya terurai pada setiap tingkatan dan jenjang manusia. Pertama, rangkaian kenabian dan agama. Kedua, rangkaian filsafat dan hikmah. Ketika keduanya menyatu dan bercampur, yakni manakala filsafat berlindung kepada agama serta tunduk dan taat kepadanya, umat manusia akan hidup bahagia dan bisa merasakan kehidupan sosial yang tenang. Namun, manakala muncul perpecahan di antara keduanya dan terpisah, cahaya dan seluruh kebaikan akan terkumpul di seputar rangkaian kenabian dan agama. Sebaliknya, keburukan dan kesesatan berkumpul di sekitar rangkaian filsafat. Sekarang marilah kita menelusuri asal-muasal dari kedua rangkaian dan pilar tadi. Rangkaian filsafat yang menentang agama, mengambil bentuk seperti pohon zaqqum yang buruk yang menyebarkan kegelapan syirik dan menebarkan kesesatan di seputarnya. Bahkan ia telah mempersembahkan kepada tangan akal manusia pada dahan ‘kekuatan rasionalnya’ sejumlah buah berupa kaum atheis, materialis, dan naturalis. Ia juga melemparkan kepada kepala manusia pada dahan ‘kekuatan amarahnya’ sejumlah buah berupa Namrud, Firaun, dan tiran. Ia pun menumbuhkan pada dahan ‘kekuatan syahwat kebinatangannya’ sejumlah buah berupa tuhan-tuhan dan berhala yang disembah. Nah, disamping pohon buruk ini, pohon zaqqum, terdapat pohon tuba pengabdian kepada Allah. Ia merupakan rangkaian kenabian. Ia menghasilkan buah yang matang dan baik dalam kebun bola bumi. Lalu ia mengulurkannya kepada umat manusia sehingga terjulur dan mudah dipetik lewat dahan ‘kekuatan rasionalnya’ yang berupa para nabi, rasul, kaum shiddiqin, dan wali yang salih. Pada dahan ‘kekuatan pendorong’ ia menghasilkan para penguasa yang adil dan raja-raja yang bersih laksana malaikat. Lalu
pada dahan ‘kekuatan penarik’ ia melahirkan orang-orang yang mulia dan dermawan dalam perjalanan hidup yang indah, bersih, dan suci. Pada akhirnya pohon penuh berkah itu memperlihatkan bahwa manusia benarbenar merupakan buah termulia dari pohon alam. Demikianlah asal muasal dari pohon yang diberkahi dan pohon yang buruk di atas. Keduanya adalah sisi dan wajah ganda dari ego. Dengan kata lain, ego yang merupakan benih asli bagi kedua pohon tersebut kedua sisinya menjadi tempat tumbuh masing-masing. Penjelasan atas hal tersebut adalah sebagai berikut: Kenabian berlalu dengan mengambil sebuah sisi dari ego. Sementara filsafat datang dengan mengambil sisi lain dari ego. Sisi pertama yang mengarah kepada hakikat kenabian menjadi tempat tumbuhnya pengabdian yang tulus kepada Allah. Artinya, ego mengenali dirinya sebagai hamba Allah dan taat kepada Tuhannya. Ia memahami bahwa substansinya hanya bersifat simbolik, yakni menunjukkan sebuah makna pada selainnya. Ia meyakini bahwa wujudnya hanya bersifat asesoris. Yakni ia tegak dengan keberadaan Zat selainnya dan dengan penciptaan-Nya. Ia mengetahui bahwa kepemilikannya terhadap sesuatu hanyalah ilusi. Artinya, bersifat sementara dan lahiriah sesuai dengan izin Sang Pemilik hakiki. Hakikatnya hanyalah bayangan, bukan asli. Artinya bersifat mungkin, ciptaan, kecil, dan bayangan lemah yang memantulkan manifestasi hakikat Wajibul wujud. Sementara tugasnya adalah taat kepada Tuhan secara total karena ia menjadi neraca untuk mengenali sifat-sifat Penciptanya dan standar untuk mengetahui kondisiNya. Demikianlah para nabi dan rasul, serta kalangan mulia dan para wali melihat ego diri lewat sisi tersebut. Mereka menyaksikannya sebagaimana hakikatnya. Karena itu mereka menggapai hakikat yang benar. Mereka serahkan seluruh kekuasaan kepada Sang Pemiliknya, Allah Swt. Mereka semua juga mengakui bahwa Sang Pemilik tersebut
tidak memiliki sekutu dan tandingan; entah dalam kerajaan, pemeliharaan, atau dalam uluhiyah-Nya. Dia Mahatinggi di mana tidak membutuhkan kepada sesuatu. Dia tidak memiliki pembantu atau menteri. Di tangan-Nya tergenggam kunci perbendaharaan segala sesuatu. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Adapun ‘sebab’ tidak lain merupakan tirai dan hijab lahiriah yang menunjukkan kekuasaan dan keagungan-Nya. ‘Alam materi’ tidak lain merupakan ketetapan fitri serta kumpulan rambu-rambu-Nya yang berlaku di alam guna di mana ia memperlihatkan kekuasaan dan keagungan-Nya. Sisi terang yang bercahaya dan indah ini telah berposisi sebagai benih yang hidup di mana ia memiliki maksud dan hikmah. Darinya Allah menciptakan pohon tuba pengabdian yang dahan-dahan penuh berkahnya membentang ke seluruh penjuru alam manusia. Ia dihiasi dengan buah yang baik dan terang yang memecah seluruh kegelapan masa lalu. Ia juga menegaskan bahwa masa yang telah berlalu dan lama ini tidaklah seperti pandangan filsafat yang memposisikannya laksana kuburan luas dan medan pelenyapan tersembunyi. Namun, ia adalah salah satu taman cahaya bagi ruh yang telah menunaikan tugas berat guna berpisah meninggalkan dunia. Ia merupakan salah satu orbit cahaya dan tangga bersinar yang memiliki tingkatan beragam di mana ia dipersiapkan untuk ruh yang bergerak menuju akhirat, masa depan bersinar, dan kebahagiaan abadi. Adapun sisi kedua telah menjadi alat filsafat. Ia melihat ego dengan makna hakiki. Dengan kata lain ia berkata, “Ego menunjukkan dirinya lewat dirinya.” Hal ini berarti bahwa makna dan esensinya terdapat pada dirinya dan bekerja untuk dirinya. Wujudnya dianggap otentik dan asli, bukan bayangan. Artinya, ia memiliki karakter pribadi yang khusus. Ia juga merasa dirinya memiliki hak dalam kehidupan serta sebagai pemilik hakiki dalam wilayah kekuasaannya. Ia menganggap dugaannya itu sebagai hakikat yang permanen. Selain
itu
ia
memahami
bahwa
tugasnya
adalah
peningkatan
penyempurnaan diri di mana hal itu muncul dari kecintaan terhadap diri sendiri.
dan
Demikianlah mereka menyandarkan jalan mereka kepada pilar-pilar yang rusak. Mereka membangunnya di atas pilar-pilar yang rapuh dan lemah itu. Kami telah menunjukkan dengan sangat jelas kelemahan pilar-pilar tersebut berikut kerusakannya dalam berbagai risalah. Terutama dalam al-Kalimat (buku ini). Lebih khusus lagi dalam ‘kata kedua belas’ dan ‘kedua puluh lima’ ‘kelima belas’ yang secara khusus berbicara tentang mukjizat Alquran. Berdasarkan pilar-pilar yang rusak tersebut sejumlah tokoh filsafat dan para penganutnya seperti Plato, Aristoteles, Ibnu Sina, dan al-Farabi meyakini bahwa tujuan utama kesempurnaan manusia adalah berlaku seperti Sang Wajib al-wujud, Tuhan Sang Pencipta.
Akhirnya, mereka melahirkan hukum ala Firaun yang tiran. Mereka
menyiapkan jalan bagi banyak kelompok yang dekat dengan beragam bentuk kemusyrikan seperti penyembah sebab, penyembah berhala, penyembah alam, dan penyembah bintang. Hal itu dengan cara merangsang ego mereka untuk berlari bebas dalam lembah kemusyrikan dan kesesatan. Mereka membendung jalan penghambaan kepada Allah. Mereka menutup pintu-pintu kelemahan, ketidakberdayaan, kefakiran, rasa butuh dan papa yang terdapat dalam fitrah manusia. Mereka tersesat dalam kubangan alam materi, tidak selamat dari lumpur kemusyrikan, serta tidak mendapat jalan menuju pintu syukur yang demikian luas. Sebaliknya, mereka yang berada di jalan kenabian menetapkan hukum yang dipenuhi dengan pengabdian yang tulus kepada Allah semata. Mereka memutuskan bahwa tujuan utama umat manusia dan tugas fundamental mereka adalah meniru sejumlah akhlak ilahi. Yaitu menghias diri dengan berbagai perilaku mulia dan terpuji yang Allah perintahkan seraya menyadari kelemahan diri sebagai manusia sehingga bersandar pada kekuasaan-Nya, melihat ketidakberdayaannya sehingga berlindung pada kekuatan-Nya, menyaksikan kefakirannya sehingga berharap rahmat-Nya, menatap kebutuhannya sehingga bergantung kepada kekayaan-Nya, mengenali keterbatasannya sehingga meminta ampunan kepada-Nya, serta menginsafi kekurangannya sehingga bertasbih dan menyucikan kesempurnaan-Nya.
Demikianlah, karena filsafat yang berlawanan dengan agama telah sangat sesat, akhirnya ego berpegang pada kendali dirinya serta menyeruak menuju kepada berbagai bentuk kesesatan. Begitulah pohon zaqqum tumbuh di atas puncak sisi ego yang ini. Dengan kesesatannya ia menutupi setengah umat manusia dan menyimpangkan mereka dari jalan yang benar. Lalu buah yang dipersembahkan oleh pohon buruk tersebut, pohon zaqqum, ke hadapan manusia adalah berhala dan patung-patung di dahan kekuatan kebinatangan dan syahwat. Pasalnya, filsafat menyenangi kekuatan itu dan menjadikannya sebagai pilar dan landasan baku bagi jalannya. Bahkan prinsip “kekuasaan adalah milik yang bisa mengalahkan” menjadi salah satu konstitusinya. Ia mengambil prinsip “kebenaran terdapat dalam kekuatan”5 sehingga secara tidak langsung tertarik dengan kezaliman dan permusuhan. Ia mendorong para tiran dan para penguasa zalim yang durhaka untuk mengklaim diri sebagai tuhan. Selanjutnya, ia menguasakan keindahan yang terdapat pada makhluk dan keapikan yang terdapat dalam bentuknya kepada makhluk itu sendiri serta kepada bentuknya. Ia mengabaikan hubungan keindahan tersebut dengan manifestasi keindahan suci milik Sang Pencipta Yang Mahaindah. Alih-alih berkata, “Betapa indahnya penciptaannya!” ia malah berkata, “Betapa indahnya ia!” Dengan kata lain, keindahan tersebut diposisikan sebagai berhala yang layak disembah. Kemudian ia memuji berbagai bentuk popularitas, serta kebaikan lahiriah pada sikap ingin dilihat dan didengar orang. Karena itu, ia mendorong orang-orang yang suka pamer dan riya untuk terus berada dalam kesesatan mereka seraya menjadikanya seperti berhala yang menyembah para penyembahnya.6 Di dahan ‘kekuatan amarah’ terhadap kalangan jelata ia menumbuhkan sosoksosok Firaun, Namrud, dan tiran-tiran kecil dan besar.
5
Adapun kenabian ia menegaskan bahwa kekuatan terdapat dalam kebenaran; bukan kebenaran terdapat dalam kekuatan. Dari sini kezaliman terhapus dan keadilan terwujud. 6 Dengan kata lain, mereka yang menyerupai berhala tersebut memperlihatkan kondisi yang serupa dengan ibadah di hadapan para pengagumnya guna mengharap sambutan mereka dan guna mendapatkan apa yang diinginkan oleh hawa nafsu mereka. Dengan demikian, di satu sisi mereka menyembah, sementara di sisi lain disembah.
Sementara di dahan ‘kekuatan rasional’ ia telah melahirkan kalangan atheis, materialis, dan naturalis serta yang sejenis mereka sebagai buah buruknya. Sehingga akal manusia menjadi tercerai-berai. Nah, untuk memperjelas hakikat ini, kita akan melakukan komparasi antara hasil yang berasal dari pilar-pilar yang rusak milik pendekatan filsafat dan hasil yang bersumber dari pondasi yang benar milik pendekatan kenabian. Kita akan membatasi pembahasan pada sejumlah contoh saja di antara ribuan perbandingan yang ada.
Contoh pertama: Di antara kaidah baku kenabian yang terdapat dalam kehidupan pribadi manusia adalah ‘meniru akhlak Allah’. Yakni, jadilah hamba Allah yang tulus seraya menghias diri dengan akhlak Allah, berlindung kepada perlindungan-Nya, dan mengakui segala kelemahan, kepapahan, dan kekurangan yang ada. Kaidah agung ini sangat berbeda dengan perkataan filsafat, “Berbuatlah layaknya Tuhan!” di mana ini dijadikan sebagai tujuan utama umat manusia. Substansi manusia yang bercampur dengan kelemahan, ketidakberdayaan, kepapahan, dan kefakiran tak terhingga sangat berbeda dengan substansi Sang Wajibul wujud, Allah Yang Mahakuasa, Mahakuat, Mahakaya, dan Mahatinggi.
Contoh kedua: Di antara kaidah baku kenabian dalam kehidupan sosial adalah bahwa ‘kerja sama’ merupakan rambu penting yang mengontrol alam, mulai dari mentari, bulan, hingga tumbuhan dan hewan. Engkau bisa melihat bagaimana tumbuhan memberi kepada hewan dan hewan memberi kepada manusia. Bahkan partikel-partikel makanan juga memberi kepada sel-sel tubuh serta bekerja sama dengannya. Rambu prinsip ini, rambu kerja sama, sangat berbeda dengan hukum “pertikaian dan persaingan” yang dikatakan oleh filsafat sebagai pengontrol kehidupan sosial. Apalagi pertikaian tersebut hanya dilakukan oleh kaum tiran dan makhluk buas lantaran salah dalam mempergunakan fitrah mereka. Dengan kesesatannya filsafat telah
menjadikan hukum pertikaian dan persaingan ini sebagai pengontrol seluruh entitas. Sehingga dengan sangat bodoh ia berkata, “Kehidupan adalah perdebatan dan konflik.”
Contoh ketiga: Di antara hasil ideal kenabian dan di antara kaidah tauhidnya yang mulia adalah bahwa ‘yang satu hanya bersumber dari yang satu’. Dengan kata lain Artinya, seluruh kesatuan hanya bersumber dari yang satu. Karena pada segala sesuatu terdapat sebuah kesatuan yang tampak nyata, tentu ia bersumber dari penciptaan Zat yang esa. Sebaliknya, rambu filsafat kuno dan keyakinannya berbunyi bahwa ‘yang satu hanya dapat menghasilkan yang satu’. Maknanya, yang bersumber dari zat yang esa hanya sesuatu yang satu. Adapun yang lainnya bersumber dari berbagai media dan perantara. Kaidah filsafat kuno ini memberikan kepada sejumlah sebab dan perantara satu bentuk keikutsertaan dalam rububiyah. Ia memperlihatkan bahwa Zat Yang Mahakuasa atas segala sesuatu dan Mahakaya membutuhkan perantara yang lemah. Bahkan mereka sangat sesat dengan menyematkan kepada Tuhan sang pencipta nama makhluk, yaitu “akal pertama.” Mereka membagi seluruh kekuasaan-Nya dengan berbagai perantara. Mereka membuka jalan menuju syirik besar. Dengan melihat kaidah yang dikotori oleh syirik dan kesesatan, ia sangat berbeda dengan rambu tauhid milik kenabian. Apabila para filosof dan ahli hikmah yang memiliki pemahaman paling tinggi mengucapkan perkataan semacam itu, apalagi kalangan naturalis dan materialis yang filsafat dan hikmahnya berada di bawah mereka.
Contoh keempat: Di antara rambu kenabian yang bijak adalah bahwa segala sesuatu memiliki banyak hikmah dan manfaat beragam. Bahkan buah juga memiliki hikmah sebanyak jumlahnya di pohon. Sebagaimana yang dipahami dari ayat yang berbunyi, “Segala sesuatu bertasbih memuji-Nya,” jika ada satu hasil atau buah tertuju kepada makhluk itu sendiri serta sebuah hikmahnya kembali kepadanya, maka ribuan hasilnya kembali
kepada Penciptanya Yang Mahabijak serta ribuan hikmahnya tertuju kepada penciptanya yang Maha agung. Adapun rambu filsafat berbunyi, “Hikmah dan manfaat penciptaan setiap makhluk hidup kembali kepada dirinya. Atau, kembali kepada manfaat dan kemaslahatan manusia.” Kaidah ini melenyapkan banyak hikmah yang terkandung di dalam entitas. Ia memberikan satu buah yang sangat kecil laksana sebiji sawi jika dibandingkan dengan pohon yang besar. Akhirnya, entitas berubah menjadi satu kondisi sia-sia. Hikmah yang benar di atas sangat berbeda dengan kaidah filsafat yang rusak yang kosong dari hikmah di mana seluruh eksistensi dicelup dengan celupan kesia-siaan. Kami membatasi pembahasan sampai di sini karena hakikat tersebut telah kami bahas secara agak rinci pada hakikat kesepuluh dari kata kesepuluh. Selanjutnya, engkau bisa membandingkan ribuan model lainnya dengan keempat contoh di atas. Kami telah membahas sebagiannya dalam risalah al-lawâmi (kilau-kilau cahaya). Dengan melihat kepada kondisi filsafat yang bersandar kepada landasan yang rusak serta kepada hasilnya yang rapuh, maka para filosof islam yang cerdas yang tertipu oleh tampilan filsafat sehingga terbawa oleh pendekatannya seperti Ibnu Sina dan al-Farabi, hanya mendapatkan tingkatan iman yang paling rendah, tingkatan mukmin biasa.
Bahkan sang Hujjatul islam, al-Imam Ghazali, tidak memberikan
tingkatan dan derajat itu sekalipun. Demikian pula dengan para tokoh Mu’tazilah. Mereka adalah para ulama ilmu kalam. Karena mereka asyik dengan filsafat dan sangat terpaut dengannya dengan menjadikan akal sebagai pimpinan, mereka hanya mendapatkan derajat mukmin yang berbuat bidah dan fasik. Juga Abu al-Ala al-Ma’arri yang termasuk tokoh sastrawan Islam dan dikenal dengan sikap pesimisnya, serta Umar al-Khayyam, dan serta para tokoh satsrawan lainnya yang tertarik kepada filsafat. Mereka telah menerima pelajaran dan tamparan penghinaan berikut pengkufuran dari para ahli hakikat. Para ahli hakikat tersebut berkata, “Wahai orang-orang bodoh, kalian melakukan kebodohan dan perilaku yang
buruk. Kalian meniti jalan kaum zindik dan mengembangkan pemikiran mereka dalam lingkungan adab dan sastra kalian.” Kemudian di antara hasil pilar filsafat yang rusak adalah bahwa ego yang sebenarnya merupakan substansi yang lemah laksana udara atau uap/asap, namun karena pandangan filsafat yang keliru dan karena dilihat dengan makna hakiki, akhirnya ia mencair. Lalu karena terbiasa dan tenggelam dalam dunia materi dan syahwat, iapun mengeras. Setelah itu ia dihadapkan pada kondisi lalai dan ingkar sehingga ego tadi membatu. Selanjutnya dengan sikap membangkang kepada perintah Allah, ego mengeruh dan kehilangan kebeningannya, iapun menjadi hitam pekat/gelap. Secara perlahan-lahan ia menjadi keras dan besar hingga menelan pemiliknya. Bahkan, tidak hanya sampai di situ. Ia juga semakin berkembang dan meluas dengan berbagai pemikiran manusia. Ia mulai menganalogikan manusia, bahkan berbagai sebab kepada dirinya sendiri. Ia memberinya sifat Firaun yang tiran meski ia sendiri menolak dan berlindung darinya. Ketika itulah ia memasuki fase memusuhi berbagai perintah ilahi. Ia berkata, ‘Siapa yang menghidupkan tulang-belulang yang sudah hancur ini?”7 Seakan-akan ia menantang Allah Swt dan menuduh-Nya tidak kuasa. Pada tahap selanjutnya bahkan ia ikut masuk ke dalam sifat-sifat Allah. Ia mengingkari atau merubah atau bahkan menolak semua yang tidak sesuai dengan hawa nafsunya atau tidak disenangi oleh sifat Firaun yang terdapat dalam dirinya. Misalnya sekelompok filosof menyebut Allah dengan al-Mûjib bi al-dzât (Zat Yang mengharuskan sendiri). Dengan demikian, mereka menafikan kehendak dan pilihan Allah. Mereka mendustakan kesaksian seluruh alam akan adanya kehendak Allah yang bersifat mutlak. Mahasuci Allah, betapa aneh manusia! Seluruh entitas, mulai dari atom hingga mentari, secara sangat jelas menunjukkan kehendak Sang Pencipta Yang Mahabijak dengan ketentuannya, keteraturannya, dan timbangannya. Bagaimana mungkin hal itu tidak terlihat oleh filsafat? Allah telah membutakan penglihatan mereka.
7
Q.S. Yasin: 78.
Sekelompok filsafat lainnya menyatakan bahwa ‘pengetahuan ilahi tidak terkait dengan hal-hal kecil’. Mereka menafikan pengetahuan-Nya yang bersifat komprehensif. Mereka menolak kesaksian yang jujur dari seluruh entitas akan pengetahuan-Nya yang meliputi segala sesuatu. Selanjutnya filsafat memberikan adanya pengaruh kepada sebab serta memberikan hak mencipta kepada alam. Ia tidak melihat sejumlah tanda yang demikian terang pada setiap entitas yang menunjukkan Sang Pencipta Yang Mahaagung sebagaimana telah kami tegaskan dalam kata kedua puluh dua. Di samping itu, filsafat juga menisbatkan penciptaan sejumlah makhluk yang merupakan hasil goresan ilahi kepada alam yang lemah, mati, dan tidak memiliki perasaan di mana yang ada padanya hanya proses kebetulan dan kekuatan buta. Filsafat menjadikan alam sebagai sumber penciptaan segala sesuatu dan faktor yang memberikan pengaruh. Dengan demikian, ia menghijab ribuan hikmah yang tersimpan di dalam entitas. Lalu, filsafat tidak mendapat petunjuk menuju pintu akhirat yang luas. Ia mengingkari kebangkitan dan mengakui keabadian ruh. Padahal, Allah Swt dengan seluruh nama-Nya, alam dengan seluruh hakikatnya, para nabi dan rasul yang mulia dengan seluruh kebenaran yang mereka bawa, serta kitab-kitab suci dengan seluruh ayatnya yang mulia menjelaskan adanya kebangkitan dan akhirat, seperti yang sebagaimana telah kami tegaskan dalam ‘kata kesepuluh’. Demikianlah, engkau bisa menganalogikan semua persoalan filsafat dengan berbagai khurafat rendah ini. Ya, seakan-akan setan telah mencabut akal para filosof atheis dengan pangkur “ego” seraya melemparkannya ke lembah kesesatan dan mengoyaknya hingga hancur. Ego di alam kecil—manusia—seperti materi di alam besar. Keduanya termasuk thoghut. “Barangsiapa yang ingkar kepada thoghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali buhuk yang amat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”8 # 8
Q.S. al-Baqarah: 256.
Aku telah menyaksikan sebuah peristiwa imajiner delapan tahun sebelum mulai menulis risalah ini. Yaitu ketika aku berada di Istambul pada bulan Ramadhan yang penuh berkah. Ketika itu “Said lama” yang sibuk dengan filsafat sudah semakin dekat menjadi “Said baru”. Pada masa tersebut ketika sedang merenungkan tiga jalan yang disebutkan pada penutup surat al-Fatihah, “Jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat; bukan jalan orang yang dimurka dan bukan pula jalan orang yang sesat,” aku menyaksikan kejadian imajiner tersebut. Ia kejadian yang menyerupai mimpi. Ketika itu ia kutulis dalam buku al-Lawâmi’ dalam bentuk perjalanan imajinasi dan menyerupai nadzam (untaian sajak/puisi). Sekarang tiba waktunya untuk menyebutkan dan menjelaskannya karena ia akan memperjelas hakikat di atas. Aku membayangkan diriku berada di tengah padang pasir yang luas dan besar. Sementara langit tertutup oleh awan tebal dan gelap. Nafas mulai terengah-engah. Tidak ada hembusan angin, cahaya, dan air. Semuanya tidak ada. Kubayangkan bagaimana bumi ini dipenuhi dengan makhluk buas dan binatang yang berbahaya. Terlintas dalam benakku bahwa pada di sisi bumi yang lain terdapat hembusan angin sepoi-sepoi, air yang segar, dan cahaya yang indah. Maka, tidak ada jalan lain kecuali pergi menuju kepadanya. Kemudian tanpa disengaja aku merasa diriku tergiring ke sana. Aku masuk ke dalam sebuah gua bawah tanah yang menyerupai terowongan di bawah gunung. Aku berjalan di rongga bumi tersebut selangkah demi selangkah seraya menyaksikan bahwa banyak orang yang telah lebih dulu menyusuri jalan ini tanpa pernah menyelesaikan perjalanan karena masih berada di tempat mereka dalam kondisi sulit. Aku melihat bekas jejak kaki mereka serta kadangkala mendengar sejumlah suara yang berasal dari mereka lalu suara itu hilang. Wahai sahabat yang imajinasinya sedang bersamaku dalam fantasi di atas! Bumi tersebut adalah alam dan filsafat naturalisme. Sementara terowongannya berupa jalan yang dilalui para filosof lewat berbagai pemikiran mereka agar sampai kepada hakikat. Jejak kaki yang kulihat adalah milik tokoh-tokoh filsafat ternama seperti Plato dan Aristoteles. Lalu berbagai suara yang kudengar berupa suara sekelompok orang cerdas seperti Ibnu Sina dan al-Farabi. Ya, aku menemukan sejumlah perkataan
Ibnu Sina dan berbagai hukumnya pada sejumlah tempat. Hanya saja suara-suara itu sudah lenyap. Artinya, ia tidak lagi bisa datang atau ia sedang terhimpit. Bagaimanapun adanya aku telah menjelaskan padamu sejumlah hakikat tersembunyi di bawah khayalan agar rasa sedih dan rasa rindumu agak berkurang. Sekarang aku ingin mengajak kembali kepada perjalanan imajinerku. Aku terus berjalan. Tiba-tiba dua hal berada di tanganku. Pertama, lampu listrik yang menerangi gelapnya alam di bawah tanah. Kedua, alat berat yang bisa menghancurkan karang sebesar gunung. Jalan itupun terbuka untukku. Ketika itu ada yang membisiki telingaku, “lampu dan alat ini telah diberikan kepadamu dari khazanah Alquran.” Demikianlah selama ini aku berjalan dengan membawa pangkur tadi sampai akhirnya diriku sampai ke sisi lain. Tiba-tiba mentari bersinar dengan terang di langit yang cerah dan indah tak berawan. Sekarang adalah musim semi yang indah. Angin berhembus seakan berisi ruh. Air salsabil yang segar mengalir. Aku menyaksikan sebuah alam yang dipenuhi dengan keindahan dan suka cita. Maka, akupun bersyukur memuji Allah. Setelah itu, aku melihat kepada diri ini. Ternyata ia bukan milikku dan aku tidak mampu menguasainya. Seolah-olah ada yang mengujiku. Secara tidak disadari, aku kembali melihat diriku berada di gurun yang luas itu. Awan yang tebal telah menutupi sehingga langit menjadi gelap. Nafas nyaris tercekik karena merasa terhimpit. Aku merasa ada yang menggiringku menuju jalan lain. Pasalnya, Kali ini aku melihat diriku berjalan di atas permukaan bumi, bukan lagi di bawah tanah. Dalam perjalanan aku melihat berbagai urusan yang menakjubkan dan sejumlah pemandangan yang aneh yang sulit digambarkan. Laut marah kepadaku. Topan membuatku takut. Segala sesuatu yang berada di hadapanku berupa hambatan dan kesulitan. Hanya saja berbagai persoalan dapat ditundukkan berkat sarana yang dianugerahkan kepadaku lewat Alquran. Dengan sarana tersebut aku bisa mengalahkan berbagai kesulitan yang ada. Aku mulai menempuh perjalanan tersebut selangkah demi selangkah. Kusaksikan jasad dan jenazah para pelancong tergeletak di kedua sisi jalan, di sana-sini. Dari seribu hanya satu yang bisa menyelesaikan perjalanan. Bagaimanapun aku telah selamat dari gelap
awan tadi. Akhirnya aku sampai ke sisi bumi yang lain. Kutatap mentari yang hakiki dan indah. Kuhirup angin yang sepoi-sepoi. Akupun mulai berjalan mengitari alam indah laksana surga itu. Seraya Aku terus mengucap alhamdulillah. Setelah itu aku sadar bahwa diriku tidak akan dibiarkan berada di sini. Di sana ada orang yang ingin memperlihatkan jalan lain sekaligus mengembalikanku kepada kondisi semula; ke padang pasir yang luas. Ketika kulihat, terdapat sejumlah hal yang turun dari atas seperti lift yang sedang turun dengan cara yang berbeda-beda. Sebagian menyerupai pesawat, sebagian lagi menyerupai mobil, serta sebagian lainnya menyerupai keranjang yang diturunkan. Siapapun dapat bergantung dengan salah satu darinya sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya. Ia dapat dinaikkan dengannya menuju tempat yang lebih tinggi. Maka, aku menaiki salah satunya. Sekejap aku sudah berada di atas awan dan berada di atas gunung yang indah. Bahkan, awan tersebut tidak sampai setengah dari gunung yang besar tadi. Pada setiap tempat tampak cahaya yang paling indah, air yang paling segar, dan hembusan angin yang paling lembut. Ketika kuarahkan pandangan ke semua sisi, aku menyaksikan sejumlah tempat bercahaya— menyerupai lift—tersebar di mana-mana. Hal yang sama pernah kusaksikan di sisi bumi yang lain pada kedua perjalanan terdahulu. Hanya saja, aku sama sekali tidak memahaminya. Namun Yang jelas sekarang aku memahami bahwa tempat tersebut tidak lain merupakan manifestasi dari ayat-ayat Alquran yang penuh hikmah. Demikianlah, jalan yang pertama adalah jalan kaum yang sesat yang disebut dengan adh-dhôllîn. Ia adalah jalan orang-orang yang tergelincir kepada pemahaman natural sekaligus menganut pandangan kaum naturalis. Kalian tentu dapat merasakan tingkat kesulitan untuk bisa sampai kepada hakikat kebenaran lewat perjalanan yang penuh dengan berbagai persoalan dan hambatan ini. Jalan yang kedua adalah yang disebut dengan orang-orang yang dimurkai (almaghdûb alayhim). Ia adalah jalan penyembah sebab dan orang-orang yang menisbatkan penciptaan kepada berbagai perantara. Mereka ingin mencapai hakikat dari berbagai hakikat serta ingin mengenal Allah lewat jalan akal dan pemikiran semata seperti para ahli hikmah (al-masysyâiyn).
Adapun jalan yang ketiga adalah yang disebut dengan orang-orang yang “Engkau beri nikmat” (alladzina an’amta alayhim). Ia adalah jalan lurus dan bercahaya yang diperuntukkan bagi mereka yang berpegang pada Alquran. Ia merupakan jalan paling singkat, paling selamat, dan paling mudah. Ia terbuka bagi semua orang untuk dilalui. Ia merupakan jalan langit yang bercahaya.
Tujuan Kedua Tentang Berbagai Transformasi Partikel Menerangkan Partikel yang berasal dari Perbendaharaan Ayat Berikut: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang “Orang-orang kafir berkata, ‘Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami.’ Katakanlah, ‘Ia pasti datang demi Tuhanku yang mengetahui yang gaib. Sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu. Tidak ada satu partikelpun yang tersembunyi daripada-Nya entah yang ada di langit dan yang ada di bumi. Tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar melainkan tersebut dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).’”9
(Tujuan ini menerangkan hal seberat atom dari khazanah ayat Alquran yang agung di atas. Dengan kata lain ia menerangkan hakikat yang berisi kotak partikel serta membahas bagian yang amat kecil dari gerakan dan tugas partikel. Hal itu ditulis dalam tiga bagian ditambah disertai pendahuluan)
Pendahuluan Berbagai bentuk transformasi partikel dan perjalanannya merupakan penjelasan dari pergerakan dan perpindahannya saat penulisan pena kekuasaan ilahi terhadap ayat-ayat penciptaan dalam kitab alam. Ia tidak seperti sangkaan kaum materialis dan naturalis bahwa perjalanannya merupakan satu bentuk permainan dan kebetulan dalam sebuah gerakan yang tidak memiliki makna dan tujuan. Sebab, setiap partikel dan benih 9
Q.S. Saba: 3.
pada permulaan gerakannya selalu mengucap bismillâh sebagaimana seluruh entitas mengucapkannya seperti ucapan seluruh entitas. Ia memikul sejumlah beban besar yang melampaui kemampuannya yang terbatas. Misalnya benih pohon cemara yang di atas bahunya ia memikul pohonnya yang besar. Kemudian ketika selesai bertugas ia mengucap al-hamdulillah. Ia memperlihatkan jejak menakjubkan seakan-akan ia mendendangkan satu untaian bait yang indah dalam memuji Sang Pencipta Yang Mahamulia karena di dalammnya terdapat keindahan tatanan yang penuh hikmah serta bentuk yang mencengangkan akal. Engkau bisa melihat secara cermat buah delima dan benihnya buah jagung. Ya, berbagai transformasi dan perubahan partikel atau benih adalah ekspresi dari gerakan yang memiliki maksud mendalam. Ia bersumber dari penulisan kalimat qudrat ilahi dan penghapusannya di Lauhil mahwi wal itsbât (lembaran penghapusan dan penetapan) Mahfudz di mana ia merupakan hakikat zaman yang mengalir dan lembaran imajinernya sebagai bentuk salinan dengan menyalin dari kitab catatan (alkitâb al-Mubîn) yang menjadi perlambang qudrat dan kehendak ilahi serta poros perbuatan-Nya dalam mencipta dan membentuk sesuatu di alam nyata dan di waktu hadir sesuai dengan kitab induk (al-imâm al-mubîn) yang merupakan kumpulan bahan segala sesuatu dalam pokok dan cabangnya. Dengan kata lain ia merupakan pangkal dari segala sesuatu yang berlalu dan yang akan datang di mana ia dihijab oleh hal gaib berikut karakternya serta menjadi lambang pengetahuan ilahi dan perintah-Nya.10 10
Kata imâm mubîn dan kitâb mubin disebutkan dalam Alquran dalam sejumlah tempat. Sebagian mufassir berpendapat bahwa keduanya mempunyai makna sama. Sementara menurut sebagian yang lain makna keduanya berbeda. Mereka menefasirkan hakikat keduanya dengan beragam bentuk. Kesimpulan dari pernyataan mereka bahwa keduanya merupakan lambang pengetahuan ilahi. Dengan curahan nikmat Alquran aku merasa sangat tenang dan lapang bahwa al-imâm al-mubîn merupakan lambang bentuk pengetahuan dan perintah ilahi di mana ia lebih mengarah kepada alam gaib daripada mengarah kepada alam nyata. Yakni, ia lebih mengarah ke kepada masa lalu dan masa depan daripada ke masa sekarang. Dengan kata lain, ia merupakan catatan ketetapan ilahi yang lebih melihat ke kepada pangkal dan buah dari segala sesuatu, akar dan benihnya, daripada ke wujud sisi lahiriahnya. Keberadaan catatan ini telah ditegaskan dalam ‘kata kedua puluh enam’ dan dalam catatan kaki ‘kata kesepuluh’. Ya, al-imâm al-mubîn merupakan lambang bentuk pengetahuan dan perintah ilahi. Ini berarti penciptaan pangkal dan akar sesuatu dalam bentuk yang sangat indah dan cermat menunjukkan bahwa penataan tersebut berlangsung sesuai dengan catatan rambu pengetahuan ilahi. Di samping itu hasil dan buah segala sesuatu merupakan catatan kecil dari perintah ilahi di mana ia berisi sejumlah program dan indeks dari apa yang akan terwujud dari entitas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa benih partikel
Bagian Pertama Berisi Dua Bahasan Bahasan Pertama Pada gerak dan diam setiap partikel dua cahaya tauhid berkilau seakan-akan keduanya merupakan mentari yang terang. Kami telah menerangkan secara jelas dan global dalam petunjuk pertama dari ‘kata kesepuluh’ serta telah kami uraiakan dalam ‘kata kedua puluh dua’ bahwa setiap partikel jika tidak mendapat perintah Allah, jika misalnya merupakan penjelasan dari program dan indeks konkret dan miniatur bagi dari semua yang mengatur konstruksi pohon yang besar serta bagi perintah penciptaan yang menentukan disainnya. Sebagai kesimpulan, al-imâm al-Mubîn laksana indeks dan program pohon penciptaan yang akar, dahan, dan cabangnya terbentang di sekitar masa lalu, masa depan, dan alam gaib. Nah, al-imâm al-mubîn dalam pengertian tersebut merupakan catatan goresan ketentuan ilahi dan buku rambu-rambu-Nya. Partikel digiring menuju gerakan dan tugasnya dalam segala hal lewat pendiktean rambu-rambu tersebut. Adapun al-kitâb al-mubîn, ia lebih mengarah kepada alam nyata daripada ke dalam gaib. Artinya, ia lebih melihat ke masa kini daripada ke masa lalu dan mendatang. Ia lebih merupakan lambang qudrat dan kehendak ilahi daripada lambang pengetahuan dan perintah-Nya. Dengan kata lain, apabila al-imâm almubîn merupakan catatan ketentuan ilahi, maka al-kitâb al-mubîn merupakan catatan qudrat ilahi. Artinya, keteraturan dan kerapian yang terdapat pada segala sesuatu, entah pada wujudnya, substansinya, sifatnya, atau pada kondisinya, keduanya menunjukkan bahwa wujud tersebut dilekatkan pada sesuatu, bentuknya ditentukan, ukurannya ditetapkan, dan model khususnya diberikan lewat rambu qudrat yang sempurna dan hukum kehendak yang berlaku. Qudrat dan iradat ilahi tersebut dengan demikian memiliki hukum rambu-rambu yang bersifat universal dan tersimpan dalam catatan agung di mana pakaian model wujud khusus segala sesuatu dipotong, dijahit, dan dikenakan padanya dalam bentuk tertentu sesuai dengan hukum tadi. Keberadaan catatan itu telah ditegaskan disebutkan dalam risalah “Ketetapan Ilahi dan bagian kehendak makhluk.” Di dalamnya kami juga menegaskan ditegaskan/disebutkan tentang al-imâm al-mubîn. Lihatlah kebodohan para filosof serta kaum yang sesat dan lalai. Mereka telah menyadari keberadaan Lauhil Mahfudz yang berisi qudrat ilahi yang mencipta. Mereka mengetahui berbagai bentuk manifestasi kitab tersebut yang melihat hikmah rabbani berikut kehendak-Nya yang berlaku pada segala sesuatu. Mereka menangkap bentuk dan model-modelnya. Hanya saja, mereka menyebut semua itu dengan nama ‘natur atau alam’ sehingga memadamkan cahayanya. Demikianlah , lewat pendiktean al-imam al-mubîn, atau lewat hukum ketetapan ilahi dan rambu-Nya yang berlaku, qudrat ilahi dalam mewujudkannya menuliskan rangkaian entitas yang masing-masingnya merupakan tanda kekuasaan Tuhan. Ia menghadirkan dan menggerakkan partikel di ‘catatan penghapusan dan penetapan’ yang merupakan lembaran imajiner bagi perjalanan waktu. Dengan kata lain, gerakan berbagai partikel merupakan gerakan bagaimana entitas melintas dari tulisan tadi, dari salinan tersebut, dan dari alam gaib menuju alam nyata. Artinya, Atau, dari pengetahuan menuju kekuasaan. Adapun Lembar penghapusan dan penetapan tersebut merupakan catatan yang terus berganti bagi lauhil mahfudz yang paling agung dan permanen yang terus berganti. Lembar penulisan dan penghapusan berada di wilayah makhluk yang bersifat mungkin. Artinya ia adalah catatan segala sesuatu yang terus terhampar menuju kematian dan kehidupan, menuju fana dan wujud. Itulah hakikat zaman. Sebagaimana setiap sesuatu memiliki hakikat, maka apa yang kita sebut dengan zaman yang terus mengalir seperti aliran sungai panjang di alam ini hakikatnya laksana lembaran dan tinta tulisan qudrat ilahi dalam lembar penghapusan dan penetapan. Yang mengetahui persoalan gaib hanya Allah (penulis).
tidak bergerak dengan ijin-Nya, jika tidak berubah dengan pengetahuan dan qudrat-Nya, berarti masing-masing memiliki pengetahuan tak terhingga, kekuasaan tak terbatas, penglihatan yang bisa melihat segala sesuatu, wajah yang mengarah kepada segala sesuatu, serta perintah yang pasti berlaku pada segala sesuatu. Pasalnya, setiap partikel unsur bekerja atau dapat melakukan sebuah amal yang teratur pada tubuh setiap makhluk hidup. Apalagi sistem yang terdapat padanya serta rambu-rambu konstruksinya saling bertentangan. Sementara Melakukan sesuatu tidak mungkin dilakukan jika sistemnya tidak diketahui. Bahkan, kalaupun partikel melakukan sebuah pekerjaan ia tidak akan terlepas dari kekeliruan. Kenyataannya berbagai pekerjaan terlaksana tanpa ada kekeliruan. Dengan demikian, jika partikel-partikel pekerja itu tidak berbuat sesuai dengan perintah Zat yang memiliki pengetahuan yang mencakup segala sesuatu, serta tidak dengan ijin, ilmu, dan kehendak-Nya, berarti ia harus memiliki pengetahuan komprehensif dan kekuasaan mutlak seperti itu. Lalu, setiap partikel udara bisa masuk ke dalam tubuh setiap makhluk hidup, buah setiap bunga, bangunan setiap lembar, dan bekerja di dalamnya. Padahal, bangunan dan tatanan masing-masingnya berbeda. Andaikan pabrik buah Tin misalnya menyerupai pabrik tekstil, tentu pabrik buah delima serupa dengan pabrik gula. Jadi, desain masing-masingnya berbeda dan tidak sama. Partikel udara masuk ke masing-masingnya – atau dapat masuk ke dalamnya – sekaligus bekerja dengan kecakapan luar biasa dan dengan penuh hikmah. Di dalamnya ia mengambil posisi tertentu. Lalu ketika tugasnya telah berakhir ia pergi meninggalkannya menuju keadaannya. Demikianlah partikel yang bergerak di udara yang juga bergerak, bisa jadi ada dua kemungkinan, entah ia mengetahui bentuk gambaran yang dikenakan kepada hewan, tumbuhan, buah dan bunga serta mengetahui ukuran dan desain masingmasingnya. Atau bisa pula partikel tersebut diperintah oleh Zat yang mengetahui semua itu lalu bekerja sesuai kehendak-Nya.
Hal sama berlaku pada setiap partikel yang tenang tinggal di tanah yang juga tenang. Ia siap untuk menjadi tempat tumbuh semua benih tumbuhan yang berkembang berbunga dan pepohonan yang berbuah. Andaikan partikel tumbuhan dan benih pepohonan tersebut dilemparkan ke setumpuk tanah – yang tersusun dari sejumlah partikel sejenis – lalu bertemu dengan partikel yang berada di dalamnya, maka ada dua kemungkinan. Entah ia mendapati sebuah pabrik yang khusus untuknya berikut semua kebutuhan yang dibutuhkan untuk tumbuh. Dengan kata lain, di dalam setumpuk tanah itu terdapat sejumlah pabrik maknawiyah yang halus dan banyak sebanyak jenis tumbuhan, pohon, dan buah. Atau, terdapat pengetahuan yang luas dan kekuasaan yang mencakup segala sesuatu di mana ia dapat mencipta segala sesuatu dari tiada. Atau, berbagai pekerjaan itu terlaksana dengan daya dan kekuatan Allah Yang Mahakuasa dan Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Andaikan seseorang pergi ke Eropa sementara ia sama sekali tidak mengetahui tentang sarana dan fasilitas peradaban saat ini, lebih dari itu ia buta tidak bisa melihat, lalu di sana ia masuk ke seluruh laboratorium dan pabrik serta melakukan sejumlah pekerjaan menakjubkan dalam berbagai bidang produksi serta berbagai jenis bangunan secara sangat rapi dan mahir yang mencengangkan akal tentu semua akal akan terheran-heran. Sudah pasti orang yang memiliki perasaan akan mengetahui bahwa orang tersebut tidak melaksanakannya sendiri. Namun ada guru yang cerdas yang mengajari dan mempekerjakannya. Demikian pula kalau ada orang yang lemah, buta, dan lumpuh hanya berdiam di rumahnya yang kecil dan tidak bisa bergerak. Dalam kondisi demikian sejumlah batu kecil, beberapa potong tulang, dan secarik kapas didatangkan kepadanya. Kemudian tidak lama sesudah itu beberapa ton gula, lembaran tenunan, serta ribuan biji permata berikut pakaian yang dihias dengan perhiasan indah dan berbagai makanan lezat dihasilkan dari rumah tersebut. Tentu saja orang yang memiliki sedikit akal saja akan berkata, “Orang buta dan lumpuh itu hanya penjaga yang lemah dari pabrik yang menakjubkan tersebut. Ia hanya pelayan dari pemiliknya yang memiliki sejumlah mukjizat.”
Hal yang sama berlaku pada gerakan partikel udara dan tugasnya pada tumbuhan, pohon, bunga, dan buah yang masing-masingnya merupakan goresan ilahi, bagian dari kreasi Tuhan yang menakjubkan, salah satu mukjizat qudrat ilahi, dan hikmah-Nya yang luar biasa. Semua partikel itu tidak bisa bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain kecuali dengan perintah Sang Pencipta Yang Mahabijak dan agung serta dengan kehendak Tuhan Yang Maha Pemurah dan Mahaindah. Contoh lainnya adalah Bandingkan hal tersebut di atas dengan partikel tanah yang merupakan tempat tumbuh bagi bulir-bulir benih dan biji yang masing-masingnya laksana mesin menakjubkan, percetakan, hazanah perbendaharaan, serta papan pengumuman yang berbeda-beda yang memproklamirkan nama-nama Allah dan untaian bait yang menyanjung kesempurnaan-Nya. Sudah pasti benih tersebut tidak akan bisa menjadi tempat tumbuh dari pohon dan tumbuhan tadi kecuali lewat perintah Allah Sang Pemilik perintah kun fayakun. Semuanya tunduk pada perintah-Nya, tidak bekerja kecuali dengan ijin, kehendak, dan kekuatan-Nya. Ini adalah satu keyakinan yang pasti dan jelas. Kami beriman atasnya.
Bahasan Kedua Bahasan ini berupa penjelasan tentang petunjuk sederhana mengenai tugas dan hikmah gerakan partikel. Kaum materialis di mana akal mereka telah jatuh dengan beralih ke mata sehingga hanya bisa melihat materi. Dengan hikmah yang kosong dari hikmah dan dengan filsafat yang dibangun di atas landasan kesia-siaan wujud, mereka berpandangan bahwa berbagai transformasi partikel terikat dengan proses kebetulan. Bahkan mereka menjadikan proses kebetulan tersebut sebagai kaidah baku bagi seluruh rambu mereka seraya menjadikannya sebagai sumber penciptaan seluruh makhluk Tuhan. Orang yang memiliki sedikit perasaan saja akan menyadari secara pasti betapa mereka demikian jauh dari logika akal saat menyandarkan makhluk yang penuh hikmah kepada sesuatu yang kosong dari esensi dan hikmah.
Adapun perspektif dan hikmah Alquran melihat bahwa semua transformasi dan perubahan partikel memiliki banyak hikmah, tujuan tak terhingga, dan tugas yang tak terbatas. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh ayat, “Segala sesuatu bertabsbih memujiNya,” berikut ayat-ayat sejenis yang amat banyak. Di sini kami ingin menunjukkan sebagiannya saja sebagai contoh:
Pertama Untuk memperbaharui sejumlah manifestasi penciptaan di alam ini, Allah Swt. menggerakkan atom dan partikel sekaligus menundukkan dengan qudrat-Nya dengan menjadikan setiap ruh sebagai model yang diberi jasad baru dari mukjizat qudrat-Nya pada setiap tahun. Lewat hikmah-Nya yang sempurna Dia menyalin dari setiap kitab seseorang ribuan kitab beragam serta memperlihatkan sebuah hakikat dalam berbagai bentuk dan ragam, dan menyiapkan tempat bagi datangnya alam dan entitas baru.
Kedua Allah Pemilik kerajaan yang mahaagung telah menciptakan dunia ini—terutama permukaan bumi—dalam bentuk ladang luas. Yakni, Allah menjadikannya terhampar agar dapat menerima tumbuh-kembang hasil panen berbagai entitas serta kemunculannya dalam kondisi lunak agar bisa ditanami sejumlah mukjizat qudrat-Nya yang tak terhingga. Dalam ladangnya yang luas ini di mana ia seluas permukaan bumi, Allah memperlihatkan dari berbagai mukjizat qudrat-Nya sejumlah entitas baru pada setiap masa, setiap musim, setiap bulan, setiap hari, bahkan setiap saat. Dia memberi kepada permukaan bumi berbagai hasil beragam yang baru dengan menggerakkan partikel dan atom secara penuh hikmah dan dengan menungaskannya secara rapi. Lewat gerakan atom dan partikel tersebut Allah menampakkan hadiah rahmat-Nya yang bersumber dari hazanah-Nya yang tidak pernah habis dan model mukjizat qudrat-Nya yang tidak pernah lenyap.
Ketiga Allah Swt menggerakkan atom dan partikel dengan penuh hikmah serta menundukkannya dalam berbagai tugas yang rapi guna memperlihatkan aneka makhluk yang menakjubkan sehingga nama-nama-Nya mempersembahkan berbagai makna manifestasi-Nya yang tak terhingga. Pada tempat yang terbatas Allah mengeluarkan beragam bentuk yang indah yang menunjukkan menifestasi yang tak terhingga. Dia menuliskan pada lembaran yang sempit sejumlah ayat penciptaan yang tak terhingga yang menjelaskan beragam makna mulia tak terkira. Ya. Hasil dan buah entitas tahun lalu serta hasil dan buahnya pada tahun ini dilihat dari sisi esensi adalah satu. Hanya saja, makna dan kandungannya sangat beragam. Pasalnya dengan perubahan tampilan lahiriahnya berubah pula maknanya dan semakin bertambah. Meski tampilannya yang bersifat sementara berganti di mana – secara lahiriyah – bersifat fana, namun maknanya yang indah terjaga, permanen, dan tetap. Daun-daun, berikut bunga dan buah pohon ini yang terdapat pada musim semi yang lalu – karena tidak memiliki ruh seperti halnya manusia – sama dengan yang terdapat pada musim semi sekarang jika dilihat dari sisi hakikatnya. Perbedaan hanya pada kondisi tampilannya. Tampilan tersebut datang ke musim saat ini untuk menggantikan tampilan sebelumnya. Hal itu untuk mempersembahkan sejumlah makna nama-nama ilahi yang manifestasinya terus terbaharui.
Keempat Zat Yang Mahabijak dan agung dalam ladang dunia yang sempit ini menggerakkan dan merajut partikel di pabrik bumi dengan menjadikan entitas dan makhluk sebagai sesuatu yang berjalan bergerak. Hal itu untuk menyiapkan kebutuhan, hiasan, dan hasil yang sesuai dengan berbagai alam yang luas tak terhingga. Misalnya alam immateri dan alam malakut yang sangat luas berikut seluruh alam akhirat yang tak terbatas. Di bumi yang kecil ini Allah menyiapkan hasil dan buah maknawi yang sangat banyak untuk alam yang
besar dan sangat luas itu. Dia mengalirkan sesuatu yang tak terhingga dari dunia yang bersumber dari hazanah qudrat-Nya yang mutlak lalu dituang di alam gaib dan sebagiannya lagi dituang dengan di alam akhirat.
Kelima Allah Swt menggerakkan atom dan partikel dengan qudrat-Nya secara penuh hikmah seraya menundukkannya dalam berbagai tugas yang teratur dengan untuk menampilkan berbagai kesempurnaan ilahi yang tak terhingga, manifestasi keindahan yang tak terbatas, tampilan keagungan-Nya yang tak bertepi serta tasbih ilahi yang tak terhitung di bumi yang sempit dan terbatas ini dalam waktu yang sangat singkat. Allah Swt menjadikan entitas mengucapkan tasbih yang tak terhingga dalam waktu dan tempat yang terbatas. Dengan itu Dia memperlihatkan berbagai manifestasi-Nya yang indah, sempurna, dan agung seraya menghadirkan banyak hakikat gaib, buah ukhrawi, kreasi beragam makhluk yang fana di mana identitasnya kekal, serta banyak untaian yang penuh hikmah.
Zat yang menggerakkan partikel dan Yang menampakkan kasidah
berbagai tujuan agung dan beragam hikmah yang besar itu tidak lain adalah Zat Yang Mahaesa. Jika tidak, tentu setiap partikel memiliki akal sebesar mentari. Demikianlah, sangat banyak contoh tentang perubahan partikel yang digerakkan dengan penuh hikmah seperti lima contoh di atas. Bahkan barangkali bisa jadi ia lebih dari lima mencapai lima ribu contoh. Hanya saja, para filosof yang bodoh itu menganggapnya kosong dari hikmah. Mereka mengira bahwa dalam dua geraknya partikel yang dengan keduanya ia bergerak dengan penuh semangat – di mana yang satu di luar (âfâqiy) sementara yang satunya lagi di dalam diri (anfusiy) dengan terus berzikir dan bertasbih seperti pengikut tarekat al-Maulawi—mereka mengira semua itu muncul terjadi dengan sendirinya. Menari dan berputar tanpa sadar. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pengetahuan para filosof itu sebenarnya bukan merupakan ilmu pengetahuan; namun sebuah kebodohan. Sikap dan pandangan mereka demikian rendah dan kosong dari hikmah.
(Dalam bagian ketiga kami akan menyebutkan hikmah lain di mana ia merupakan contoh hikmah keenam).
Bagian Kedua Pada setiap partikel terdapat dua saksi yang jujur atas keberadaan Allah Swt dan keesaan-Nya. Ya, dalam melaksanakan berbagai tugasnya yang besar serta dalam memikul bebannya yang sangat berat yang berada di atas kemampuannya dengan penuh perasaan meski lemah dan tak bernyawa, partikel menjadi saksi atas keberadaan Allah Swt. Ia juga bersaksi secara jujur akan keberadaan Allah Swt serta akan keesaan Sang Pemilik kerajaan dan alam malakut dengan mengordinasikan gerakannya dan menyelaraskannya dengan tatanan umum yang berlaku di alam. Ia juga serta memperhatikan tatanan tersebut di mana saja berada sekaligus menjadikannya sebagai tanah airnya. Artinya, milik siapa partikel tersebut? Tempat-tempat peredarannya merupakan kerajaannya. Dengan kata lain, Zat pemilik partikel, juga merupakan pemilik dari seluruh tempat partikel itu berjalan. Melihat keberadaannya yang lemah, bebannya yang sangat berat, tugasnya yang sangat banyak tak terhingga, partikel menunjukkan bahwa dirinya tegak dan bergerak dengan nama Zat Yang Mahakuasa mutlak dan lewat perintah-Nya. Lalu, bagaimana ia menyelaraskan geraknya dengan tatanan alam yang universal di alam seakan-akan ia mengetahui tentangnya dan bagaimana ia masuk ke setiap tempat tanpa ada penghalang, hal itu menunjukkan bahwa partikel bekerja sesuai dengan qudrat Zat Yang Mahaesa dan mengetahui serta dengan hikmah-Nya yang luas. Ya, prajurit memiliki hubungan dan keterkaitan dengan masing-masing kelompok, pasukan, dan batalionnya. Di samping itu pada masing-masingnya terdapat tugas tertentu sesuai dengan kadar hubungan tadi. Pengordinasian dan penyelerasan gerak dengan semua hubungan tadi dengan mengenalinya dan mengenali berbagai tugasnya di berbagai wilayah disertai pelaksanaan sejumlah tugas kemiliteran dan yang
berupa latihan dan penunaian instruksi sesuai tatanannya, semua itu terwujud dengan tunduk pada perintah Sang Panglima yang memimpin semua wilayah dan mengikuti aturan-Nya. Jika demikian kondisi seorang prajurit, hal yang sama terjadi pada setiap partikel yang masuk ke dalam berbagai bangunan dan konstruksi yang saling bercampur. Ia memiliki sejumlah kondisi yang sesuai dengan masing-masingnya dan posisi yang sesuai yang di atasnya terbangun beragam kemaslahatan, tugas, dan hasil yang berbeda-beda yang penuh hikmah. Penempatan partikel di antara berbagai bangunan dan konstruksi tersebut dengan cara yang penuh hikmah yang bersumber dari kesesuaian dan tugas tadi sudah pasti hanya bisa bisa dilakukan oleh Zat Pemilik kerajaan yang di tangan-Nya tergenggam kunci perbendaharaan segala sesuatu. Misalnya, partikel yang terdapat di pelupuk mata “Taufik”11 memiliki korelasi dengan syaraf-syaraf mata, arteri dan urat-urat yang terdapat di dalamnya, wajah, kepala, tubuh, dan manusia secara keseluruhan. Di samping itu, pada masing-masingnya ia memiliki tugas dan manfaat tertentu. Adanya kesesuaian, Keberadaan hubungan, korelasi, dan manfaat pada masingmasingnya disertai hikmah sempurna dan keteraturannya menjelaskan bahwa Zat yang menciptakan tubuh dengan seluruh organnya itulah yang menempatkan partikel tadi di tempat tersebut. Terutama, partikel yang datang untuk memberi rezeki. Partikel yang berjalan bersama rombongan yang membawa rezeki itu berjalan dengan rapi dan dengan hikmah yang mencengangkan akal. Selanjutnya ia masuk ke dalam berbagai fase dan berjalan di dalam tingkatan yang beragam secara sangat rapi. Ia berjalan dengan langkah-langkah yang penuh perasaan tanpa keliru hingga secara berangsur-angsur sampai ke tubuh makhluk. Di sana ia difilter dalam empat tahapan hingga akhirnya sampai ke organ dan sel-sel yang membutuhkan rezeki. Ia memberinya dengan aturan kemurahan yang dibawa oleh sel-sel darah merah. Dari sini jelas bahwa Zat yang menjalankan partikel tersebut lewat celah ribuan tempat dan tingkatan berbeda serta menggiringnya dengan penuh hikmah tentu adalah 11
Nama salah seorang Murid Nur.
Zat Pemberi rezeki yang maha pemurah, Pencipta yang maha penyayang. Bagi qudratNya sama saja antara bintang dan atom. Selanjutnya setiap partikel menunaikan gambaran yang menakjubkan dan ukiran yang indah pada makhluk. Dalam hal ini, bisa jadi ia berada pada posisi sebagai penguasa yang mengendalikan semua partikel dan keseluruhannya yang pada waktu yang sama ia juga berada di bawah kendali setiap partikel dan perintah keseluruhannya serta di mana ia memiliki pengetahuan sempurna dengan mengenai bentuk menakjubkan yang mencengangkan akal dan dengan ukiran indah yang penuh hikmah tersebut sehingga ia dapat menciptakannya. Namun hal ini sangat mustahil. Atau, ia merupakan satu titik yang diperintah untuk bergerak sesuai dengan pena qudrat Allah dan ketetapan-Nya. Misalnya, bebatuan yang terdapat di kubah Aya Sophia. Jika ia tidak patuh terhadap perintah pihak yang membangunnya, berarti setiap batu memiliki kemahiran dalam membangun laksana arsitek Sanan12 sekaligus menjadi pengontrol atas batu-batu lainnya di mana pada waktu yang sama juga dikontrol. Dengan kata lain, ia bisa memimpin bebatuan lain dengan berkata, “Wahai batu, marilah kita bersatu agar tidak roboh.” Hal yang sama berlaku pada partikel yang terdapat di makhluk yang ribuan kali lebih menakjubkan, lebih rapi, lebih mencengangkan, dan lebih berisi hikmah dibandingkan dengan kubah Aya Sophia. Jika partikel-partikel tersebut tidak tunduk kepada perintah Sang Pencipta Yang Mahaagung, berarti ia harus memiliki memberikan kepada masing-masingnya sifat kesempurnaan yang mana hanya layak disandkangkan kepada Allah Swt. Mahasuci Allah dan sungguh sangat menakjubkan. Kaum materialis yang zindik dan kafir ketika mengingkari Allah, sesuai dengan pandangan mereka, mereka harus meyakini akan keberadaan tuhan-tuhan palsu sebanyak partikel. Dari sisi ini engkau bisa melihat bagaimana orang yang kafir dan mengingkari keberadaan Allah meskipun seorang filosof dan ilmuwan, sebetulnya ia sangat bodoh dan dungu.
12
Arsitek Turki paling ternama (1578-1489). Ia telah mengawasi pembangunan berbagai masjid. Misalnya Sulaymiyyah, Sulaymaniyyah, Syahzadah.
Bagian Ketiga Bagian ini menunjuk kepada hikmah keenam seperti yang dijanjikan di penutup bagian pertama. Yaitu dalam pertanyaan kedua dari ‘kata kedua puluh delapan’ disebutkan bahwa salah satu hikmah lain dari ribuan hikmah yang dikandung oleh berbagai transformasi dan gerakan partikel di jasad makhluk hidup adalah menerangi partikel dengan kehidupan serta meraih memberi makna dan tujuan agar menjadi partikel yang layak membangun alam ukhrawi. Ya, makhluk hidup dan manusia bahkan tumbuhan berposisi sebagai tempat jamuan, markas latihan, serta sekolah pendidikan yang di dalamnya partikel menerima sejumlah instruksi. Partikel tak bernyawa itu masuk ke dalamnya hingga bersinar. Seakan-akan ia menerima latihan, perintah, dan instruksi sehingga menjadi lembut dan terampil menunaikan tugas yang sesuai sehingga menjadi partikel yang siap dan layak menuju alam keabadian dan negeri akhirat yang seluruh bagiannya benar-benar hidup. Terdapat sebuah pertanyaan: Dengan apa wujud hikmah yang terdapat dalam gerakan atom atau partikel bisa diketahui? Jawabannya: pertama, wujudnya bisa diketahui dengan hikmah yang Allah berikan, sebuah hikmah yang permanen lewat tatanan yang berlaku pada seluruh entitas, dan lewat sejumlah hikmah yang terlipat terdapat di dalamnya. Pasalnya, hikmah ilahi yang mengaitkan hikmah universal yang sangat banyak dengan hal paling kecil tidak mungkin membiarkan gerakan partikel tersebut sia-sia tanpa hikmah. Itulah gerakan yang terwujud dalam aliran entitas, yang memperlihatkan aktivitas agung di alam wujud, dan yang menjadi sebab berbagai kreasi penuh hikmah ditampakkan. Selanjutnya hikmah dan kekuasaan ilahi yang tidak mungkin mengabaikan makhluk terkecil tanpa upah, atau tanpa kondisi sempurna, atau tanpa kedudukan, lantaran tugas yang dilakukannya, lalu bagaimana mungkin ia akan mengabaikan pekerja dan pembantunya yang sangat banyak, yaitu partikel, tanpa cahaya dan atau tanpa upah.
Kedua, Zat Yang Mahabijak dan maha mengetahui menggerakkan sejumlah unsur dan mempekerjakannya untuk menunaikan berbagai tugas mulia. Dia mengangkatnya kepada derajat tambang dan mineral sebagai upah baginya menuju kesempurnaan. Dia menggerakkan partikel mineral, menundukkannya dalam berbagai tugas, dan mengajarinya tasbih khusus miliknya, serta memberinya tingkatan kehidupan kepada
tumbuhan.
Kemudian
Dia
menggerakkan
partikel-partikel
tumbuhan,
memfungsikannya, serta menjadikannya sebagai rezeki bagi pihak lain. Maka, Dia pun mengangkatnya menuju derajat kehidupan hewan. Lalu Dia mempekerjakan partikel hewan lewat jalan rezeki sehingga mengangkatnya menuju derajat kehidupan manusia. Dengan memperjalankan partikel tubuh manusia lewat sejumlah tahapan dan dengan membersihkannya Dia mengangkatnya menuju tempat yang paling indah dan mulia dalam tubuh, yang berupa akal dan kalbu. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa gerakan partikel tidak sia-sia dan tidak kosong dari hikmah. Tetapi partikel tersebut digiring menuju satu jenis kesempurnaan yang sesuai dengannya. Ketiga, sebagian partikel makhluk hidup—seperti partikel benih dan biji— mendapatkan cahaya maknawi, kelembutan, dan keistimewaan di mana ia berkedudukan seperti berposisi sebagai ruh dan penguasa atas seluruh partikel atau atom dan atas pohon yang besar. Derajat ini adalah hasil dari penunaian berbagai tugasnya yang mulia di saat melewati fase pertumbuhan pohon. Hal ini menunjukkan bahwa ketika menunaikan tugas fitrinya sesuai perintah Tuhan Yang Mahabijak, partikel mendapatkan kelembutan dan cahaya maknawi serta kedudukan dan petunjuk yang mulia sesuai dengan jenis gerakannya serta sesuai dengan manifestasi nama-nama-Nya yang tampak padanya. Sebagai kesimpulan, Tuhan Sang Pencipta Yang Mahabijak menetapkan titik kesempurnaan untuk segala sesuatu sesuai dengan keberadaannya. Dia menentukan cahaya wujud yang cocok padanya. Lalu, Dia menggiringnya menuju titik kesempurnaan dengan potensi yang diberikan padanya.
Inilah hukum rububiyah yang di samping berlaku pada semua tumbuhan dan hewan juga berlaku pada semua makhluk. Bahkan Allah memberikan kepada tanah biasa satu kondisi peningkatan yang membuatnya mencapai derajat permata dan batubatu mulia. Dari hakikat ini sisi hukum yang agung, yakni ‘hukum rububiyah’, menjadi tersingkap. Tuhan Sang Pencipta Yang Mahabijak dan Mahamulia di saat menundukkan hewan agar taat kepada hukum reproduksi Dia berikan padanya satu bentuk kenikmatan parsial sebagai upah atas tugas yang dikerjakannya. Dia memberikan kepada hewan yang dipekerjakan untuk melaksanakan sejumlah perintah ilahi seperti burung bulbul dan lebah, kedudukan yang memancarkan kerinduan dan kenikmatan sebagai upahnya. Dari hakikat ini sisi hukum yang agung yang berupa ‘hukum kemurahan-Nya’ tampak dengan jelas. Kemudian hakikat segala sesuatu mengarah kepada manifestasi nama-nama ilahi dan terpaut dengannya. Ia laksana cermin yang memantulkan sejumlah cahayanya. Maka, sesuatu tersebut betapapun telah mengambil kondisi yang indah, keindahannya kembali kepada kemuliaan nama-Nya. Pasalnya, ia dilahirkan dari nama tersebut, entah disadari atau tidak. Kondisi indah tersebut dalam pandangan hakikat merupakan sebuah tuntutan. Dari hakikat ini sisi hukum yang agung yang berupa ‘hukum dekorasi dan keindahan’ menjadi tampak. Lalu, kedudukan dan kesempurnaan yang Allah berikan pada sesuatu sesuai dengan hukum kemurahan-Nya, tidak diminta kembali ketika usia sesuatu itu telah berakhir. Akan tetapi, Dia membiarkan buahnya, hasilnya, identitas maknawinya, dan ruhnya jika ia memiliki ruh. Misalnya, Allah Swt mengekalkan berbagai makna kesempurnaan dan buahnya yang didapat manusia. Bahkan jika seorang mukmin bersyukur dan memuji-Nya atas
berbagai buah yang ia makan, hal itu Allah kembalikan lagi dalam bentuk buah yang baik di sorga. Dari hakikat ini sisi hukum yang agung yang berupa ‘hukum rahmat-Nya’ jelas terlihat. Setelah itu Tuhan Sang Pencipta tidak pernah berlebihan dalam apapun juga. Dia tidak pernah melakukan sesuatu yang sia-sia. Bahkan puing-puing materi dari makhluk yang telah mati di mana tugasnya telah selesai di musim gugur dipergunakan untuk membangun makhluk baru pada musim semi. Karena itu di antara konsekwensi hikmah ilahi, Dia masukkan partikel bumi yang mati dan tidak memiliki perasaan di mana ia telah menunaikan berbagai tugas mulia di muka bumi dalam sebagian bangunan akhirat yang hidup dan memiliki perasaan berikut seluruh bebatuan dan pohon yang berada di dalamnya. Hal ini sesuai dengan petunjuk ayat, (Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain.13 Sesungguhnya akhirat Itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.14 Di samping itu, membiarkan partikel dunia yang hancur serta melemparkannya kepada ketiadaan merupakan bentuk pemborosan dan kesia-siaan. Dari hakikat ini sisik hukum yang agung yang berupa ‘hukum hikmah-Nya’ tersingkap. Selanjutnya banyak sekali jejak dan buah dunia, hasil amal makhluk yang mendapat tugas taklif – seperti jin dan manusia – lembaran perbuatan mereka, serta ruh dan jasad mereka, yang dikirim ke pasar dan galeri akhirat. Di antara bentuk keadilan dan hikmah-Nya Dia juga mengirimkan partikel bumi yang menyertai buah dan makna tadi seiring dengan kehancuran dunia menuju alam ukhrawi dan dipergunakan untuk membangunnya. Hal itu dilakukan setelah tugasnya selesai dilakukan. Yaitu setelah ia mendapatkan cahaya kehidupan dan menjadi sarana bagi tasbih yang hidup.
13 14
Q.S. Ibrahim: 48. Q.S. al-Ankabut: 64.
Dari hakikat ini sisi hukum yang agung yang berupa ‘hukum keadilan-Nya’ tampak. Kemudian jika sebagaimana ruh berkuasa atas tubuh, maka perintah penciptaan atas materi tak bernyawa yang ditetapkan oleh Tuhan juga menjadi penguasa atasnya. Maka, materi tersebut mengambil posisinya dan berjalan sesuai dengan aturan yang jelas seperti yang didektekan oleh goresan takdir ilahi. Misalnya dalam berbagai jenis telur, sperma, benih, dan biji, materi tersebut mendapatkan cahaya dan kedudukan yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan perintah penciptaan yang digariskan oleh takdir ilahi lewat disain dan bentuk yang beragam. Pasalnya, dari sisi materi, materi tersebut adalah satu.15 Hanya saja, ia menjadi sarana bagi pertumbuhan makhluk yang jumlahnya tak terhingga. Akhirnya ia menjadi pemilik kedudukan dan cahaya yang berbeda-beda. Dengan demikian, andaikan benih terdapat dalam berbagai pengabdian yang hidup, lalu masuk ke dalam tasbih ilahi yang berkali-kali dijadikan tasbih kehidupan, tentu saja di dahinya akan dituliskan sejumlah hikmah dari berbagai makna tersebut. Pena takdir ilahi yang mengetahui segala sesuatu menuliskannya sesuai dengan pengetahuan-Nya yang komprehensif. Dari hakikat ini, sisi hukum yang agung yang berupa ‘hukum pengetahuan-Nya yang mencakup’ terlihat jelas. Berdasarkan uraian di atas, partikel bukan tanpa tujuan16. Kesimpulannya: Ketujuh hukum di atas; yaitu hukum rububiyah, hukum kemurahan, hukum keindahan, hukum rahmat (kasih sayang), hukum hikmah, hukum keadilan, serta hukum pengetahuan-Nya yang komprehensif serta berbagai hukum agung lainnya masingmasing-masingnya dari sisi yang tersingkap menampilkan nama Allah Yang Mahaagung berikut manifetsasi nama-Nya. Dari manifestasi tersebut dapat dipahami bahwa berbagai bentuk transformasi partikel di dunia juga seperti makhluk lainnya. Ia berjalan
15
Ya, seluruh bahan tersebut tersusun dari empat unsur: oksigen, hidrogen, nitrogen, karbon, dan sejenisnya. Karena itu, bahan-bahan tersebut dari segi susunan materinya serupa. Yang berbeda hanya pada tulisan ketentuan maknawi. 16 Jawaban atas tujuh paragraf sebelumnya.
sesuai dengan ketentuan ilahi yang telah digariskan, sesuai dengan perintah penciptaan yang diberikan oleh qudrat-Nya, serta berdasarkan neraca pengetahuan-Nya untuk berbagai hikmah yang mulia. Seolah-olah ia disiapkan untuk pergi menuju alam lain yang lebih tinggi.17 Dari sini jasad yang hidup seolah-olah seperti sekolah tempat partikel belajar, seperti kamp pelatihan, dan seperti tempat jamuan pendidikan baginya. Kita bisa mengatakannya demikian. Sebagai kesimpulan, seperti sebagaimana telah disebutkan dalam ‘kata pertama’ dan dijelaskan di sana bahwa segala sesuatu mengucap bismillah, maka partikel juga ibarat seperti seluruh entitas. Setiap kelompok darinya lewat kondisinya juga mengucap bismillah serta bergerak sesuai dengannya. Ya, lewat petunjuk ketiga bagian yang telah disebutkan, setiap kali akan bergerak setiap partikel mengucap bismillâhirrahmanirrahim. Yakni, “Aku bergerak dengan nama Allah, dengan kekuatan dan dengan ijin-Nya. Kemudian setiap kelompok darinya setelah menyelesaikan geraknya mengucap al-hamdulillah Rabbil alamin seperti ucapan makhluk yang lain. Setiap partikel memperlihatkan dirinya laksana mata pena kecil dari qudrat ilahi dalam membentuk setiap makhluk menakjubkan di mana ia ibarat untaian pujian kepada Allah Swt. Bahkan setiap partikel memperlihatkan dirinya dalam bentuk ujung jarum milik lengan maknawi yang tak bertepi dari narator ilahi. Jarum tersebut berputar di seputar lembar kepingan yang merupakan kreasi ilahi di mana ia menyuarakan untaian pujian dan sanjungan untuk Tuhan, serta mendendangkan nyanyian tasbih ilahi. 17
Sebab tampak di hadapan kita bahwa penyebaran cahaya kehidupan yang demikian deras di alam ini, bahkan penghembusan cahaya kehidupan lewat kuantitas yang banyak pada materi yang paling rendah lalu bagaimana materi yang hina itu diterangi dengan cahaya kehidupan sehingga menjadi halus, hal tersebut secara jelas menunjukkan bahwa Allah melarutkan alam padat dan mati ini sekaligus memperindahnya, dan membuatnya berkilau dengan gerakan partikel dan cahaya kehidupan untuk dipersiapkan menuju alam lain yang hidup, halus, tinggi, dan suci. Seakan-akan Dia menghiasnya untuk pergi menuju alam yang halus. Orang-orang yang dengan akal mereka yang sempit tidak bisa menangkap kebangkitan manusia andaikan melihat dengan cahaya Alquran dan dengan teropongnya pasti akan menyaksikan bahwa ‘hukum keabadian-Nya’ demikian jelas. Semua partikel akan dikumpulkan sebagaimana prajurit dalam sebuah pasukan dikumpulkan seperti yang tampak.
Doa
mereka
di
dalamnya
Ialah,
“Subhanakallahumma"”,
dan
salam
penghormatan mereka Ialah “Salam sejahtera”. Sementara penutup doa mereka, “Alhamdulilaahi Rabbil 'aalamin.” Mahasuci Engkau. Kami tidak memiliki pengetahuan kecuali yang Kau ajarkan pada Kami. Engkau Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Wahai Tuhan, jangan palingkan hati kami sesudah Engkau memberi petunjuk pada kami. Anugerahkan rahmat dari sisimu. Engkau Zat Maha Pemberi. Ya Allah limpahkan salawat dan juga salam kepada junjungan kami, Muhammad, serta kepada keluarga, sahabat, dan seluruh saudaranya. Selamatkan kami dan selamatkan agama kami. Amin, wahai Pemelihara semesta alam.