nya. „Di sana silahkan kiesoe memberi penjelasan kepadaku." Koei Hoa Seng menerima baik undangan itu, setelah mana ia memberikan penuturannya dari pengalamannya di Kota Iblis, bagaimana ia dapat mempergoki gerak-geriknya putera raja Nepal, sampai ia menerima pesan Maskanan untuk ia menyampaikan amanat dari raja agama Putih. Mendengar semua itu, Dalai Lama menghela napas. „Peribahasa bangsa Tibet mengatakan, 'Musuh yang jujur memenangkan sahabat, manusia hina penjilat mesti ada permintaannya,' inilah tepat sekali," katanya. Ia lantas menghaturkan terima kasih, kemudian ia menitahkan seorang lhama mengajak tetamunya ini ke kamar tetamu seraya memesan bahwa tetamunya harus dilayani sebagai tetamu yang agung. „Apakah kedudukannya lie-hoehoat itu?" tanya Hoa Seng kepada lhama yang melayani ia. Paling dulu ia menanyakan halnya si nona baju putih itu. Lhama itu merangkap kedua tangannya, sikapnya sangat menghormat. „Siapa yang berjasa besar terhadap agama Buddha, dia barulah dapat dikurniakan kedudukan sebagai hoehoat, ialah pelindung agama kami," sahutnya. „Demikian dengan lie-hoehoat tadi." „Siapakah itu yang mengurniakannya?" Hoa Seng menanya pula. „Ialah kepala dari kuil Nalanto di India. Untuk India, kedudukan kepala itu sama dengan kedudukannya Buddha Hidup, Kuil Nalanto itu mempunyai dua lembar surat jimat daun peiyeh, katanya di jaman dahulu, tempo Sang Buddha berceramah di bawah pohon bodhi, dia memetiknya daun itu dan dihadiahkan kepada muridnya yang bernama Kayap. Di kuil Nalanto itu, setiap seidaran tahun diadakan rapat besar agama Buddha, di sana daun suci itu dihadiahkan kepada orang-orang yang berjasa terhadap agama Buddha, yang pun dikurniakan menjadi hoehoat atau pelindung agama. Rapat diadakan setiap enampuluh tahun sekali tetapi dalam enampuluh tahun itu, belum dapat dipastikan ada orang yang sangat berjasa yang berhak mendapatkan kurnia itu. Maka itu, sudah kurnia pelindung itu sukar didapat, lebih sukar lagi didapatkannya oleh seorang wanita." Keterangan ini membuatnya Hoa Seng kagum dan girang sekali lagi heran. Walaupun begitu, tetap ia belum mengetahui jelas tentang dirinya si nona baju putih itu. Kenapa dia diangkat menjadi hoehoat? Dan asalnya, siapakah dia? Pendeta lama itu sebaliknya tidak suka omong banyak tentang itu nona pakaian putih, yang dia sebutkan hoehoat wanita. Sampai di lain harinya, Hoa Seng masih belum berhasil mengetahui hal ikhwal si nona. Ia menjadi masgul, hingga ia berniat berangkat pergi saja. Ketika si lhama pelayan diberitahukan niat orang untuk berlalu, dia berkata: „Menurut pesan Buddha Hidup, jikalau kiesoe menyukainya, kiesoe disilahkan tinggal lebih lama di istana ini." Hati Hoa Seng sudah tawar, hendak ia menampik kebaikan budi tuan rumah itu, atau si lhama pelayannya sudah berkata pula: „Ketika kemarin ini lie-hoehoat hendak berlalu, dia meninggalkan pesan, dan Buddha Hidup membilang bahwa pesan itu harus disampaikan kepada kiesoe." „Apakah pesan itu?" tanya Hoa Seng. Sejenak itu datanglah kegembiraannya.
„Lie-hoehoat memesan mengundang kiesoe melakukan perjalanan ke Nepal," menerangkan si lhama. „Jikalau ada jodohnya, mungkin kiesoe akan bertemu pula dengannya, katanya." „Memang aku berniat pergi ke Nepal," berkata Hoa Seng. „Dalam istana kami ini ada orang yang mengerti bahasa Nepal," kata pula si lama. „Sebelum kiesoe berangkat ke sana, apakah kiesoe hendak mempelajari dulu bahasa Nepal itu?" Hoa Seng setujui usul ini. Memang, karena ia tidak bisa bahasa itu, lebih baik ia belajar dulu di sini sebab kalau ia pergi dulu dan baru belajar di sana, itu mestinya sulit. „Baiklah," jawabnya seraya mengucap terima kasih. Maka dengan manis budinya Buddha Hidup, ia berdiam terus di istana Potala itu. Ia belajar rajin setiap hari, siang dan malam, dari itu selang dua bulan, mengertilah ia sudah bahasa omongan setiap hari, kasar-kasar bolehlah itu dipakai. Karenanya, segera datang harinya yang ia tetapkan untuk keberangkatannya. Pagi-pagi sekali Hoa Seng minta diajak menghadap Buddha Hidup, untuk menghaturkan terima kasihnya, guna meminta diri. Lhama pelayannya itu mengantarkan ia sampai di ruang istana undak ke-tigabelas. Di sana ada sebuah taman, di dalam taman itu Dalai Lama tengah berjalan-jalan. Karena taman berada di tempat tinggi sekali, dari situ dapat orang memandang panorama seluruh Lhasa, ibukota Tibet. Bahkan dengan melihat jauh, tertampak pula gunung Himalaya dengan saljunya yang putih berkilauan. Di situ Hoa Seng bertemu sama Buddha Hidup kepada siapa ia mengutarakan niatnya untuk berangkat ke Nepal. Buddha Hidup sangat ramah tamah, ia memujikan keselamatan tetamunya ini. Ia pun memesan, sesampainya di Nepal, apabila Hoa Seng menemui sesuatu kesulitan, dia dianjurkan menghadap raja Nepal untuk memohon bantuan. Untuk ini Buddha Hidup membekali sepucuk surat yang mana dapat diserahkan kepada raja itu setiap waktu datangnya keperluan. Lebih jauh Buddha Hidup memberitahukannya bahwa ia sudah mengirim utusan pada hoat-ong agama Putih guna melakukan pembicaraan, dalam hal mana hoat-ong itu sudah bersedia mengirim muridnya yang berkedudukan sebagai hoehoat pergi ke Nepal, guna mengambil pulang tongkat suci. Katanya, murid itu mungkin Maskanan adanya. „Apakah kiesoe memikir untuk menantikan Maskanan, untuk pergi bersama dengan dia?" Buddha Hidup menanya, mengajukan pikiran. Hoa Sang berkeinginan keras lekas-lekas menemui si nona baju putih, ia tidak dapat bersabar lebih lama lagi, dari itu sambil mengucap terima kasih ia mengatakan hendak berangkat seorang diri saja. „Kalau begitu, terserah kepada kiesoe," berkata Dalai Lama. Lagi sekali Hoa Seng menghaturkan terima kasihnya, kemudian ia memberi hormat untuk pamitan, terus ia mengundurkan diri, untuk berangkat. Satu bulan lamanya Koei Hoa Seng berada di dalam perjalanan, ia melintasi gurun kuning, ia berjalan di padang rumput datar, akhirnya tibalah ia di kaki gunung Himalaya di perbatasan Nepal dan India. Ia menyaksikan puncak yang tinggi-rendah tak ketentuan, ia mendapatkan puncak yang
bersalju hingga mirip dengan tiang langit saking tingginya. Kalah Thian San, Koen Loen dan Ngo Bie kalau dibandingkannya. Tanpa merasa Hoa Seng memuji gunung itu gunung kenamaan nomor satu di kolong langit ini. Sebenarnya Hoa Seng dapat jalan mengitari gunung itu, atau mendadak ia mendapat suatu pikiran luar biasa, ialah walaupun ia ketahui, tak dapat ia mendaki puncak, ingin ia mencobanya, untuk melihat puncak itu. Ia bersedia sampai sesampaisampainya, untuk itu ia bersedia juga menggunai temponya beberapa hari, asal ia memperoleh kepuasan. Ketika itu ada di pertengahan musim panas, kalau di Kanglam, itulah saatnya keindahan bunga delima, tetapi di gunung Himalaya ini, yang tampak adalah kembang salju putih meletak yang berterbangan, banyak puncak yang putih melulu, bagaikan dunia dari kristal. Empat hari sudah Hoa Seng mendaki, ia baru tiba di tengahtengah. Di sini hawa udara, makin lama makin dingin, sebaliknya pemandangan yang langka, makin lama makin banyak, bahkan ada binatang liar yang tidak terdapat di lainlain tempat. Ada anak-anak beruang, yang berlompatan di atas salju bagaikan bocah binal, sedang gagak gunung paruh kuning berterbangan di atas kepala orang sambil mengasi dengar suara gegaokannya. Sapi yang besar luar biasa pun nampak seperti perahu di atas es. Sejumlah anak kambing gunung berlari-lari pesat umpama kata bagaikan angin. Yang aneh semua binatang itu, karena belum pernah melihat manusia, tidak pada lari menyingkir. Di hari ke empat itu Hoa Seng jalan seantrero hari, magribnya ia merasa letih juga, maka ia memikir buat mencari guha untuk mondok. Ia melintasi sebuah sungai es, diatas es itu terbentang sinar lajung yang indah yang berwarna tujuh rupa. Ia gembira sekali hingga ia lupa letihnya. Kemudian ia melihat lagi lain pemandangan yang sangat mengagumkan. Di samping sungai es itu ada sumber air, yang airnya mancur, yang airnya panas, air mana tertiup buyar sang angin. Ditujuh sinar lajung, pemandangannya jadi indah luar biasa. Di samping sumber ini, di mana ada tumbuh pepohonan, ada pohon bunga yang tak ketahuan apa namanya. Di Tibet, di pelbagai tempat, ada kedapatan sumber-sumber air panas, sekalipun sumber itu diketemukan di atas gunung yang bersalju, itu masih tidak aneh, hanya yang membuat Hoa Seng heran sekali adalah, di antara pepohonan bunga di samping sumber air itu kedapatan seorang bocah wanita tengah bermain-main dengan gembira! Maka mau atau tidak, ia terbengong mengawasinya. Bocah itu berumur belum lewat lima tahun, mukanya potongan telor yang merah segar sungguh manis sekali. Dia tengah memetik bunga, yang dia jadikan semacam buket. Tumplak perhatian bocah itu kepada bunganya, sampai dia tidak merasa bagaimana Hoa Seng datang mendekati padanya. Di puncak bersalju dari Himalaya ada orang berumah tangga sudah heran, maka itu lebih heran lagi akan mendapatkan penghuni seorang bocah. Siapa orangtua seorang ini? Bagaimana dia sanggup melawan hawa dingin di atas gunung? Semua ini merupakan pertanyaan bagi Hoa Seng. Maka dengan perlahan ia menghampirkan bocah itu dengan niat mengajak bicara. Justeru di saat itu, terjadilah hal yang lebih aneh pula. Di belakang sumber itu ada sebuah es batu yang besar, dari belakang itu mendadak lompat muncul dua orang yang
romannya aneh, sebab mata mereka celong, hidung mereka, mancung, jidat mereka lebar rambut mereka kuning, di jidat itu ada gubatan cita putih yang tebal. Hoa Seng lantas menduga kepada dua orang Arab. Selama dua bulan ia berdiam di istana Potala, selagi mempelajari bahasa Nepal, ia pun melihat kumpulan buku-bukunya Dalai Lama, yang menyimpan banyak macam kitab, maka ia mendapatkan gambar dari orang pelbagai bangsa, seperti bangsa Arab dan Eropah di samping bangsa Nepal. Maka sekarang ia bisa segera menduga. Tapi yang membuatnya ia kaget, semunculnya itu, dua orang Arab itu berlompat kepada si bocah wanita untuk mencekuk dia dengan empat tangan mereka yang besar dan kasar! Bocah itu kaget hingga dia menjerit-jerit. „Kenapa kamu mengganggu bocah cilik?" Hoa Seng menegur. Ia gusar. Ia menggunai bahasa Tibet. Dua orang itu agaknya tak mengerti perkataannya Hoa Seng, tetapi yang di tempat demikian mereka menemukan seorang asing, rupanya itu membuat mereka heran dan kaget, hingga keheranannya Hoa Seng sendiri. Nona cilik itu melihat ada orang yang membelai dia, dia hilang kagetnya. „Kamu berani menggoda aku!" katanya nyaring. „Nanti aku minta ayah menghajar mampus pada kamu!" Dan dia bicara dalam bahasa Tionghoa yang lancar! Dua orang luar biasa itu seperti tidak mengerti perkataan orang, tapi mereka dapat menduga yang mereka lagi ditegur, maka yang satu maju terus kepada nona cilik itu, sedang kawannya menghampirkan Hoa Seng. Dia ini mengasi lihat wajah menyeringainya, agaknya dia hendak menerjang, seperti kambratnya hendak mencekuk si nona cilik. Hoa Seng tahu apa yang ia mesti lakukan. Menolong si bocah adalah tindakan yang utama. Maka ia menjejak tanah, tentu ia berlompat, lewat di atas kepala orang yang mau menyerang kepadanya. Ia sampai tepat selagi tangan orang itu diulur kepada bocah itu. Orang itu terperanjat, ia tinggalkan si nona, ia balik tubuhnya, untuk terus menyerang orang yang ia tidak kenal ini. Hoa Seng berlompat dengan tipusilat Ngo Kim Ciang-hoat, suatu tipu dari dalam kitab rahasia „Tat-mo Pit-kip," karena ia tengah berlompat, lagi berlompat turun cocok sekali ia mengerahkan tenaganya. Begitulah ketika tangannya bentrok sama tangan si orang asing, tidak ampun lagi dia ini roboh jumpalitan! Segera setelah itu, tibalah si orang asing yang ke dua. Hoa Seng melihat datangnya orang itu. Tanpa bersangsi lagi, ia memapaki untuk menerjang terlebih dulu. Ia melonjorkan duadua tangannya, akan menyerang dengan jurus „Siang liong coet hay" atau „Sepasang naga keluar dari dalam laut." Orang itu ternyata tangguh, di waktu menangkis, walaupun benar ia tidak terguling seperti kawannya, ia toh terhujung mundur. „Aku mau lihat apa kamu masih berani menghina seorang bocah?" Hoa Seng menegur. Dua orang itu berdiam. Sekarang mereka sudah menghadapi Hoa Seng dengan berdiri berendeng. Bahkan berbareng keempat tangan mereka bergerak, untuk menyerang. Hoa Seng tidak takuti itu. Bukankah barusan hanya dengan segebrakan ia dapat menggempur mereka? Maka ia pikir, walaupun mereka mengepung, paling lama dalam lima jurus ia akan dapat merobohkan pula mereka itu.
Tapi dugaannya ini meleset. Ketika ia menangkis keempat tangan itu, ia kena tertolak keras, ia terpelanting, hampir ia jatuh terguling! 10. Orang Luar Biasa di Kaki Gunung Hoa Seng menahan tubuhnya dengan memberati diri dengan kuda-kuda „Jatuh seribu kati." Ia mengeluarkan jari tangannya dengan jurus „Pembagian im dan yang," menurut ilmu silat Tiat Cie Sin-kang, atau Jeriji Besi. Ia menggurat tangannya kedua orang luar biasa itu. Ilmu silat Tiat Cie Sin-kang ini Hoa Seng memperolehnya dari Tat-mo Pit Kip, yaitu Kitab rahasia Tat-mo Couwsoe. Itulah kepandaian menggunai jeriji tangan yang mirip dengan It Cie Sian-kang dari Boe Tong Pay. Siapa kena tergores, sebagai diris, otot-otot nadinya tentulah putus. Dua orang tengah menerjang, Hoa Seng menyambuti. Ia percaya ia bakal berhasil. Di luar sangkaannya, dua manusia aneh itu liehay sekali. Begitu melihat orang memperkuat diri, mereka batal mendekati, sebaliknya mereka pun memasang kuda-kuda, tangan mereka didorongkan dengan perlahan-lahan. „Heran," pikir Hoa Seng. „Ilmu apakah ini? Inilah rada sesat? Baik aku mencoba pula." Maka mendadak ia mengubah serangannya. Ia menyerang dengan pukulan „Lima paku membuka gunung," suatu pukulan dari tenaga raksasa Taylek Kim-kong Ciang-hoat. Kesudahannya ini membuatnya terkejut. Kedua tangan lawan itu digeraki ke kiri dan ke kanan, maka bebaslah mereka dari serangan. Yang membikin Hoa Seng kaget yaitu tubuhnya sendiri, ia lantas seperti kena ditarik hingga berputar beberapa putaran. Hoa Seng tidak ketahui dua orang itu ialah murid-muridnya Timotato, Bapak Daud, jago nomor satu dari Arabia. Timotato pandai ilmu mengolah tenaga, ia mengerti segala cara untuk menghadap lawan, untuk melayani dengan cara sebalikannya. Itulah yang dinamakan tenaga im-yang. Liehaynya Timotato ialah, seorang diri ia dapat mengerahkan tenaga dua orang, cuma murid-muridnya ini, mereka mesti berada berdua untuk dapat menggunai ilmu silat itu. Setelah mencoba beberapa kali, perlahan-lahan Hoa Seng dapat membade ilmu silat dua orang aneh ini, maka lantas ia memikirkan daya untuk menentangnya. Ia menggunai ilmu pukulan Tay Kek Twie-cioe. Ia mengikuti tenaga menarik itu, dengan begitu ia dapat memecahkan serangan, kemudian ia membalas. Untuk mengundurkan lawan, hingga mereka tidak dapat merapatkan diri, beberapa kali ia menotok jalan darah mereka itu, sampai mereka tidak berani mendesak. Demikian mereka jadi berkutat. Menyaksikan demikian, si bocah wanita lantas berseru: „Paman, jangan kuatir! Nanti aku panggil ayah untuk membantumu!" „Bagus!" menyahut Hoa Seng sambil tertawa. Ia justeru ingin menemui ayah dan ibunya bocah itu. „Aku bakal tidak sanggup melayani dua orang jahat ini, lekas kau panggil ayahmu!" Bocah itu memetik sehelai daun, ia masuki itu ke dalam mulut, atau di lain saat terdengarlah suara tiupannya. Suara itu nyaring. Hanya sekira lamanya semakanan teh, di situ lantas muncul seorang lelaki dengan tubuh jang¬kung kurus, yang berusia lima puluh lebih. Dia datang sambil berlari-lari sambil dia menegur: „Kamu dua orang busuk, kamu tidak tahu malu, kamu menghina anak kecil?" Tapi ketika ia melihat Hoa Seng, dan Hoa Seng pun melihat
dia, keduanya heran. „Poei Loocianpwee, kau di sana?" mengambil kesempatan Hoa Seng menanya. „Hai, Hoa Seng Laotee, kenapa kau datang ke mari?" orang tua itu balik menanya. Ia memanggil si pemuda dengan panggilan adik. Ia sebenarnya bernama Poei Kin Beng (Poei Keng Beng). Di jamannya Kaisar Kong Hie, dialah seorang kosen yang kesohor, gelarannya pun Sin Koen Boe-tek, Kepalan Tak Lawan. Tempo belasan putera kaisar itu berebut kekuasaan, ia ditarik oleh Capsie-hongcoe In Tee, putera ke-empatbelas. Kemudian ia kena diambil oleh Soe-hongcoe In Ceng, putera raja yang ke empat, yang kemudian menjadi Kaisar Yong Ceng, sedang In Tee terbinasakan saudaranya itu setelah si saudara menjadi kaisar. Setelah itu Kim Beng mendengar nasihatnya Tayhiap Tong Siauw Lan, maka sejak itu ia tidak membantu lagi pemerintah Boan. Ia mengenal Hoa Seng tempo Hoa Seng berumur sepuluh tahun lebih, tetapi sekarang selewatnya beberapa puluh tahun, mereka masih saling mengenali. Belum lagi ia datang dekat, Poei Kin Beng sudah menyerang dua lawannya Hoa Seng itu. Mereka itu lantas saja terhuyung, karena mereka tidak roboh. Mereka lantas mencaci, dalam bahasanya sendiri. Antaranya terdengar kata-kata „Timotato". Hoa Seng pernah mendengar dari si nona baju putih tentang orang liehay, ia ingat itu nama Timotato, maka itu, ia lantas serukan si orang tua. Katanya: „Poei Loocianpwee, tak usahlah turun tangan! Lihat nanti aku bereskan mereka!" Dua orang aneh itu berdiri berendeng, lagi-lagi mereka menggunai ilmu silatnya yang luar biasa itu, tenaganya im dan yang, atau positip dan negatip. Menyaksikan serangan Hu, Hoa Seng berseru keras, ia menyambut dengan Taylek Kim-kong-cioe, dengan keras juga. Dua orang itu nampaknya girang. Rupanya inilah sambutan yang diharap mereka. Maka mereka lantas bergerak, untuk menyerang pula. Tapi tiba-tiba lenyaplah tenaga melawan dari Taylek Kim-kong, mereka mendorong tempat kosong, hingga tubuh mereka terjerunuk ke depan. Hoa Seng ternyata telah mencelat ke samping, selagi orang mau jatuh, ia berjingkrak untuk terus menendang dengan kedua kakinya berbareng kepada kempolan mereka itu, maka tidak ampun lagi, keduanya roboh terguling. Yang satu lebih liehay dari kawannya, dengan gerakan „Ikan gabus meletik," dia berlompat bangun, agaknya mau dia membuat pembalasan. Hoa Seng menduga aksi orang itu, ia mendahului, dengan kesebatannya, ia mengulur tangannya, menyambak tulang piepee di pundak, lalu dia membalingkannya dengan tenaga Toa-soet Pay-cioe dari Siauw Lim Pay. Maka hebatlah kesudahannya orang aneh itu. Bukan saja dia telah robek bajunya, tulang piepeenya pun pecah-hancur, tubuhnya terpelanting roboh. Dia tak bergerak lagi. Nyatalah Hoa Seng, setelah mengetahui tenaga besar dan ulet dari lawan, ia menggunai tipu. Mulanya ia lawan keras dengan keras, lalu mendadak ia menarik pulang tenaganya itu, tubuhnya mencelat ke samping, maka di saat orang nyelonong ke depan, ia mendupak mereka. Si nona bersorak seraya menepuk tangan. „Bagus, bagus!" demikian pujiannya. „Mereka dihajar dan berkaok-kaok!" Poei Kin Beng pun memuji: „Hebat, Laotee, hajaranmu ini
keras bercampur lunak. Aku dinamakan Sin Koen tetapi aku harus mengagumi kau. Baiklah aku bilangi kau, aku juga sudah beberapa kali bertempur sama mereka, mereka tidak pernah dapat kemenangan, aku pun belum dapat mengalahkan mereka." Hoa Seng merendahkan diri. „Siapa sebenarnya mereka?" ia tanya. „Nanti aku menjelaskan," menyahut Kin Beng. „Aku berdiam menyendiri di sini, dengan tahun ini adalah tahun yang ke sepuluh. Selama sepuluh tahun itu, belum pernah ada orang datang ke mari. Kira lima atau enam hari yang lalu, setahu dari mana datangnya, tiba-tiba muncul dua orang ini. Mereka datang ke rumahku, mereka minta makan dan minta minum. Itulah tidak apa. Celakanya, kemudian mereka hendak mengusir aku pergi, mereka hendak merampas rumahku ini! Belum pernah aku menemui orang demikian tidak tahu aturan. Maka itu, sejak itu hampir setiap hari aku bertempur sama mereka. Anak ini besar nyalinya, sebenarnya aku kurung dia di rumah, aku larang dia keluar, siapa tahu selagi aku menyiram bunga di kebunku, dia keluar dengan diam-diam ………..” Nona itu menjebi. „Beberapa hari aku tidak keluar rumah, pikiranku pepat!" katanya. Nyata dia manja. „Sekalipun banteng aku tidak takuti, apa pula baru ini dua makhluk aneh!" Hoa Seng heran. „Sebetulnya mau apa mereka datang ke mari?" ia menanya. „Sayang tidak mengerti bahasa mereka, mereka jadi tidak dapat dikompes." Lantas Hoa Seng menghampirkan musuh yang terbinasa itu, yang ia robek bajunya, untuk menggeledah padanya. Di situ ada dua lembar papan persegi tiga, setiap satunya panjang lima atau enam dim dan dipasangi dua palangan besi sebagai kaki. Masih ada lagi beberapa helai gambar, gambar dari papanpapan itu. Hoa Seng dan Kin Beng ti¬dak mengerti maksudnya gambar dan papan itu, mereka terpaksa tidak mencari tahu lebih jauh. Tentu sekali mereka ini tidak ketahui niatnya Timotato. Sebenarnya Timotato berminat mendaki puncak gunung paling tinggi di kolong langit ini, lebih dulu dia mengirim dua muridnya untuk membuat pengukuran. Papan-papan itu ialah alat-alatnya. Tidak dinyana, dua murid ini bertemu sama Hoa Seng dan jadi bertempur. Celaka sekali, mereka terlemparkan ke bawah gunung. Yang terluka pundaknya itu mati lantas. Yang lainnya luka bercacad, dia kabur selang sepuluh tahun kemudian dia pulang ke Eropah, di sepanjang jalan dia mengemis. Adalah di kemudian hari Timotato akan mencoba mewujudkan cita-citanya itu. Sampai di situ, Kin Beng undang Hoa Seng datang ke rumahnya. Mereka baru bertemu pula, tetapi bertemunya di gunung Himalaya ini, mereka jadi girang sekali, mereka lantas saja bergaul dengan erat. Dari sumber air mancur itu ke rumahnya Kin Beng cuma beberapa lie, tidak lama sampailah mereka. Itulah rumah dengan tiga ruang, yang dikurung dengan tembok batu. Rumah itu jelek tetapi mengambil model rumah-rumah di Kanglam. Maka itu sejak tiba di Tibet, baru kali ini ia melihat rumah model Kanglam itu. Ia gembira, sekali. Ia mau percaya, bukan tanpa banyak tempo dan tenaga yang Kin Beng dapat membangun rumahnya ini di tanah pegunungan itu.
Kemudian Hoa Seng ingat pertemuannya sama Hoa Giok, nona baju putih, di Puncak Bidadari, di mana mereka bergurau, katanya si nona, nanti ia hendak membikin yaitu istana dingin, di atas Thian Ouw, Tengri Nor, puncak salju. Tentu saja, ia menguatirkan itu hanya
si telah lengkiong, di khayal
belaka. Tapi toh ia membayangi, kalau dapat ia tinggal bersama nona itu, biar mereka tinggal di rumah seburuk rumah Kin Beng ini, ia akan puas sekali. Hanya, kapan ia pikirkan, kapan nanti datangnya itu hari, bulan dan tahun, ia berdiam ………… Di samping rumah Kin Beng itu ada sebuah taman kecil, tuan rumah mengajak tetamunya pergi ke kebun bunga itu di mana ia mendapatkan banyak macam bunga, justeru bunganya sedang pada mekar. „Sayang aku tidak bisa mendapatkan bunga-bunga dari Tiongkok," kata Kin Beng tertawa. „Karena dekat sama sumber air panas, hawa di sini rada hangat, tak perduli keletakan tempat di atas gunung yang hawanya dingin." „Loocianpwee," tanya Hoa Seng kemudian, „kenapa kau datang ke mari dan tinggal menyendiri di sini? Sukakah kau menuturkan sebabnya?" Poei Kin Beng tertawa. „Tak lebih tak kurang karena aku jeri,” sahutnya terus-terang. „Dulu hari itu aku membantu Capsie-hongcoe berebutan takhta kerajaan sama Yong Ceng, selagi aku membenci Yong Ceng, Yong Ceng pun tentu benci sangat padaku. Yong Ceng ada punyai banyak sekali pahlawan, begitu juga ia mempunyai Lian Keng Giauw sebagai panglima perangnya yang sangat kejam, mana dapat aku menaruh kaki di Tiong-goan? Terpaksa aku menyingkir ke mari" „Yong Ceng dan Lian Keng Giauw sudah mati, yang memerintah sekarang puteranya Yong Ceng," Hoa Seng memberitahu, „ialah kaisar Kian Liong." Kin Beng agaknya girang. „Bagaimana matinya Yong Ceng dan Keng Giauw itu?" ia menanya. „Lian Keng Giauw telah besar jasanya, Yong Ceng turunkan pangkatnya delapan belas tingkat dan membuang padanya ke kota Hangcioe di mana dia ditugaskan menjaga pintu kota," menerangkan Hoa Seng. „Dia terhina sangat, sudah begitu kemudian dia tak terluput daripada kebinasaan. Yong Ceng sendiri mati terbunuh Lu Soe Nio di dalam keratonnya!" Kin Beng tertawa melenggak, ia puas sekali, ia berseru menyatakan kepuasannya itu. „Musuh-musuhku itu sudah terbinasa," katanya kemudian, „tapi aku sudah jadi biasa tinggal di sini, aku tidak niat turun gunung lagi." Atas sikap tuan rumah ini, Hoa Seng tidak membilang suatu apa. Masih sekian lama mereka berdiam di taman itu, baru Kin Beng ajak tetamunya masuk ke dalam. Kin Beng datang ke Tibet seorang diri, ia menikah sama seorang nona Tibet. Kebetulan isteri itu pun pernah belajar ilmu silat kalangan Agama Merah dan tubuhnya kuat. Inilah untuk pertama kali dia melayani tetamu suaminya, dia girang sekali, dia melayani dengan telaten. Dia menggorengi daging harimau dan menyuguhkan juga susu. Hoa Seng dahar dengan bernapsu, ia menenggak susunya.
Memang selama di Tibet ini, ia seperti kekurangan makan, sebab selalu menangsal perut dengan rangsum kering. Malamnya tuan rumah dan tetamu duduk pasang omong. Kin Beng menanyakan keadaan kaum Rimba Persilatan selama sepuluh tahun ia menyingkir dari Tiong-goan. Hoa Seng menuturkan apa yang ia tahu, ia membuatnya tuan rumahnya gembira sekali. Kemudian Hoa Seng memberitahukan bahwa di Tibet ini ia bertemu sama puteranya Lian Keng Giauw, bahwa putera itu pintar tak kalah dari pada ayahnya. Kin Beng menghela napas, ia kata: „Mudah-mudahan dia jangan menelad sifat ayahnya itu....." „Loocianpwee," tanya Hoa Seng kemudian, „Cholmo Lungma adalah gunung paling tinggi di kolong langit ini, kau telah tinggal di sini sepuluh tahun, pernahkah kau mendakinya?" Tuan rumah tertawa. „Kalau gunung itu gampang dipanjatnya, cara bagaimana dia dapat disebut gunung paling tinggi di dalam dunia?" dia membaliki. „Untuk mendaki dari sini, bukan saja esnya bersusun tak habisnya, pun sukar sekali orang bernapas, makin lama makin sesak rasanya. Sekalipun orang yang tenagadalamnya sempurna, dia tidak kuat bertahan. Kabarnya juga Leng Bwee Hong dari Thian San Pay, dia gagal, dia turun kembali dengan sia-sia ……….” Mendengar itu, Hoa Seng menginsafi sulitnya mendaki puncak gunung itu. Besoknya, Hoa Seng berniat pamitan, tetapi tuan rumah menahan, ia diajak mendaki dua puncak es dari mana mereka bisa memandang jauh ke Cholmo Lungma. „Ilmu silat juga sama seperti mendaki gunung," pikir Hoa Seng selagi matanya mengawasi gunung itu, yang puncaknya masuk ke dalam mega, „naik sebuah puncak, ada lagi puncak lainnya. Di dalam halnya ilmu silat, siapa dapat mempelajari demikian liehay hingga dia tak dapat terkalahkan, seumpama tingginya puncak ini?" Karena ini, di waktu berjalan pulang, pemuda ini kurang gembira. Kin Beng seperti dapat membade hatinya tetamunya. „Laotee, tak usah kau jadi kecil hati," katanya tertawa. „Mendaki puncak memang sulit, tetapi kau telah berhasil sampai di sini, seharusnya kau sudah merasa puas." Hoa Seng tidak memikir demikian, ia ingin mendaki sebuah puncak, lalu mendakinya lagi yang lain, akan tetapi memandangi Coe Hong atau Puncak Mutiara itu, ia merasa dirinya kecil juga. Tanpa banyak bicara, ia ikut Kin Beng pulang. Baru mereka sampai di air mancur, di sana mereka mendapat dengar suara suitan daun, mendengar mana, Kin Beng jadi gusar. „Kurang ajar!" katanya sengit. „Sepuluh tahun sudah aku tinggal di gunung ini, biasanya aman dan tenteram, maka aku tidak menyangka, selama beberapa hari ini aku saban-saban mendapat gangguan dari manusia-manusia kasar!" Hoa Seng pun heran. „Baru kemarin kita merobohkan dua orang aneh itu, kenapa ada datang yang lainnya?" katanya. „Kenapa di kaki Puncak Mutiara ini ada begini banyak manusia aneh?" Keduanya lantas lari pulang. Begitu mereka sampai dan membuka pintu kebun bunga, di sana mereka menampak seorang muda yang mukanya hitam dan rambut terlepas sedang
berkata-kata seperti ngoceh, tangan dan kakinya pun digeraki berulang-ulang, dia tertawa-tawa terhadap Nona Poei. Melihat ayahnya pulang, nona itu mengadu sambil menjerit: „Ini si hitam-legam mengacau kebun bunga kita, dia main petik bunganya! Dia juga menghina aku!" Kin Beng menjadi gusar sekali, dengan satu lompatan, ia menerajang pemuda hitam itu. Si pemuda lagi bicara ketika ia merasakan sambaran angin. Dapat dimengerti jurus Pek-pou Sin Koen, koentauw Seratus Tindak, dari Kin Beng, liehay sekali. Ia berkelit, tubuhnya dua kali. Atas itu datanglah serangan yang ke dua. Tentu saja serangan ini dari dekat dan hebatnya dapat dikira-kirakan. Menampak itu, Hoa Seng terkejut. Ia pun melihat, walaupun dia hitam, wajah pemuda itu hitam-manis, agaknya dia tidak beroman jahat, dia beda daripada si dua manusia kemarinnya. Dia ini malah rada agung. Ia menduga, pukulan itu akan membikin tulangnya patah. Tidak ada tempo untuk si pemuda mencegah, maka telaklah serangan Kin Beng mengenai pundak anak muda muka hitam itu. Tapi anehnya, si anak muda tidak roboh, dia tidak menjerit, hanya tubuhnya itu seperti tertolak, lalu melejit, sedang tangannya si anak muda berbalik menyambar kepalan penyerangnya! Hoa Seng terperanjat. Selama di dalam Istana Potala ia pernah membaca sebuah kitab ilmu silat India, sekarang ia ingat itu disebabkan gerak-gerik anak muda hitam-manis ini. „Ah, bukankah ia bersilat dengan ilmu yoga?" pikirnya. Menurut ilmu yoga itu, tubuh dapat dibikin lemas sesuka kita, bahkan siapa telah meyakinkan itu sampai di puncak kemahiran, dia dapat bertahan atas serangan api atau pukulan martil, dan selama tujuh hari dapat menahan napas dan tidak mati karenanya. Ilmu itu sama dengan ilmu tenaga dalam Tionghoa. „Ah, mestinya dia mempunyai kepandaian yang tidak disebawahanku ……..” Dua orang itu masih berkutat, mereka berontak dan bertalian. Lekas juga si anak muda bermandikan keringat, tetapi cekalannya tidak mau dilepaskan dan Kin Beng tidak dapat meronta melepaskan diri, ia sukar bertindak. Maka itu, keduanya saling bertahan. Mereka sampai tidak berani membuka mulut untuk berbicara. Juga Kin Beng, tidak lama kemudian, dia mengeluarkan keringat pada kepalanya. „Paman, cobalah kau bantu ayah!" kemudian si nona meminta kepada Hoa Seng. Hoa Seng pun menginsafi, kedua orang itu sama liehaynya, kalau mereka diantap berkutat terus, dua-dua bakal terluka di dalam. Maka ingin ia bertindak. Dengan lantas pemuda ini mengerahkan tenaganya di tangannya, lantas ia berlompat maju, dengan satu gerakan „Kuda liar membuka suri," ia mengajukan kedua tangannya untuk segera dipentang. Begitu tangannya membentur tangan dua orang itu, ia merasakan tolakan tenaga yang keras, tetapi ia sudah bersedia, ia dapat bersiaga. Ia mementang terus tangannya sambil ia berlompat ke samping, hingga ia membentur patah sebuah pohon kembang. Di lain pihak, dua orang yang berkutat itu telah terpisah. Kin Beng masih gusar, hendak ia menerjang pula, ketika si anak muda muka hitam itu membuka mulutnya dalam bahasa Tibet: „Aku tidak bermaksud jahat, harap tuan tidak salah paham."
„Tetapi kau telah merusak pohon bungaku, kau mesti mengganti!" teriak si nona, yang cuma ingat kembangnya. Anak muda itu menjura kepada Kin Beng, lalu ia berpaling kepada nona kecil itu. „Aku mengganti dengan ini untukmu, nona," katanya. Ia mengeluarkan dan sakunya sebuah teropong, alat peranti melihat jauh. „Kau pakailah, lalu kau lihatlah!" Ia lantas mengajari bagaimana harus mengeker. Nona kecil itu memasang keker itu, ia melihat ke arah puncak. Ia melihat jauh dan tegas, bukan seperti hari-hari yang sudahsudah, bahkan ia menampak sebaris kambing gunung lagi berlerot. Tanpa merasa ia jadi tertawa, lenyap kedukaannya. „Terima kasih, paman!" ia mengucap. Kin Beng tidak suka puterinya menerima hadiah dari seorang asing, akan tetapi melihat kegirangannya anak itu, ia tidak mencegah. Sementara itu Hoa Seng telah meluruskan pernapasannya, ia menghampirkan si anak muda. „Kau liehay, tuan!" ia memuji sehabis mereka saling memberi hormat. Anak muda itu mengawasi karena orang ini tidak terluka di dalam badan. Ia berkata: „Aku pernah mendengar dari seorang pendeta berilmu di dalam negeriku halnya ilmu silat Tionghoa asal dari Siauw Lim Pay, bahwa ilmu silat Siauw Lim Pay itu sebenarnya berasal lebih jauh dari ajaran Bodhidarma dari negaraku, sekarang aku menyaksikannya, ilmu silat kamu luar biasa hebat. Ini dia yang dibilang, hijau itu asalnya biru! Aku percaya sekarang, ilmu silat negaramu telah memenangi ilmu silat negaraku!" Sekarang pasti sudah Hoa Seng mengetahui bahwa orang datang dari India. „Saudara memuji terlalu tinggi," bilangnya. „Aku mendengar kabar Liong Yap Taysoe dari negara tuan telah memahamkan ilmu silat sampai di puncaknya kemahiran, sayang aku belum pernah bertemu sendiri dengan Taysoe itu, tidak ada jodohku untuk memberi hormat kepadanya." „Liong Yap Taysoe itu justerulah guruku," berkata si anak muda. „Sayang aku bodoh, aku belum dapat mewariskan tiga bagian saja dari kepandaiannya guruku itu …….” Sembari berkata, anak muda ini mengawasi Hoa Seng tajam. Ia rupanya heran kenapa orang kenal gurunya. Sampai di situ, bertiga mereka saling belajar kenal. Pemuda itu adalah Jatsingh dari Rajaghra, India. Nama kota Rajaghra itu tak asing bagi Hoa Seng. Karena dalam riwayat agama Buddha ada disebut nama tempat itu di mana Hsuan Tshang pernah berkhotbah. „Untuk apa saudara mendaki Gunung Salju?" Hoa Seng tanya pemuda itu. Jatsingh menunjuk roman likat. „Bicara sebenarnya, aku hendak mencari teratai salju," sahutnya. „Teratai salju" ialah soat-lian. „Mencari teratai salju?" tanya Hoa Seng heran. „Benar. Aku mendengar kabar di gunung es di Tiongkok ada bunga teratai yang tumbuh di salju, bahwa katanya teratai itu dapat memunahkan seratus macam racun atau bisa. Entah benarkah itu atau tidak ……” „Yang tumbuh di atas gunung es, bukan selamanya teratai salju," berkata Hoa Seng. „Menurut apa pang aku ketahui di gunung Thian San, di puncak yang tinggi di barat daya, kadang-kadang bisa didapatkan teratai salju itu. Bahwa di
gunung Himalaya ini ada teratai salju itu atau tidak, kita harus menanyakan kepada Poei Loocianpwee." „Aku telah tinggal hampir sepuluh tahun di sini, belum pernah aku melihat teratai salju," berkata Kin Beng. Pemuda India itu nampaknya putus asa. Hoa Seng berpikir : „Ia itu menempuh bahaya datang ke mari mencari teratai salju itu, mestinya itu sangat dibutuhkan." Maka ia bersenyum dan berkata pada pemuda itu, „Aku justeru ada mempunyai tiga kuntum dari bunga itu, baiklah aku memberikan kau satu kuntum." Ia pun lantas mengeluarkan soat-liannya itu, yang terus saja menyiarkan bau harum. Jatsingh terperanjat hingga dia berjingkrak. „Inilah mustika!" serunya. „Kau hadiahkan ini padaku, mana berani aku menerimanya? Aku ada membawa barang permata, aku ……….” Hoa Seng memegat kata-kata orang. „Kau telah memberikan adik kecil ini teropong, aku memberikan kau sekuntum soat-lian," katanya tertawa. „Menurut cara kita orang Tionghoa, itulah yang dibilang melemparkan buah tho untuk membalas buah lie. Maka janganlah saudara sungkan." Hoa Seng mengatakan demikian meski sebenarnya dibanding sama teropong, soat-lian lebih berharga beribu berlaksa lipat ganda. Mengetahui orang demikian dermawan, Jatsingh melongoh. Kin Beng sebaliknya girang sekali, karena berhargalah ia mendapatkan kekernya orang India itu. Jatsingh menyambuti soat lian, untuk disimpan dengan berhatihati. „Aku telah menerima budimu yang besar ini, tidak dapat aku membalasnya," katanya dengan sangat bersyukur. kalau nanti saudara mendapat kesempatan mendatangi negaraku, pastilah aku akan melakukan apa yang aku bisa untuk menyambut kau." Hoa Seng bersenyum. Ia merasakan orang India ini sangat tergesa-gesa. Pikirnya, „Dia mengatakan datang ke Himalaya ini untuk mencari soat-lian, nampaknya dia tidak mendusta." Kin Beng lalu berkata: „Saudara Koei ini juga hendak turun gunung, maka itu kenapa kamu berdua tidak mau tinggal lagi beberapa hari sama kami di sini? Nanti kamu berdua dapat turun gunung bersama-sama, menjadi ada kawan seperjalanan." Jatsingh memperlihatkan roman girang, „Aku menyangka saudara Koei juga tinggal di gunung ini," ia berkata, „kiranya saudara pun hendak turun gunung. Aku menumpang bertanya, saudara hendak pergi ke mana?" „Aku memikir untuk pergi ke Nepal," sahut Hoa Seng terusterang. Mendengar itu, agaknya Jatsingh heran. „Apakah saudara Koei hendak pergi ke Nepal untuk turut juga dalam ujian?" ia bertanya pula tanpa ia menghendakinya. Sekarang adalah Hoa Seng yang keheranan. „Ujian apakah itu?" ia tanya. Di dalam hatinya sendiri, ia kata: „Mungkinkah di Nepal pun ada semacam ujian? Tapi aku ada seorang asing, apakah aku dapat turut mengambil bagian?" Jatsingh mengasi lihat roman tidak wajar. Nyata ia telah keterlepasan omong, ia menyesal. „Kiranya kau tidak ketahui hal itu, saudara Koei," katanya kemudian. „Kalau begitu lebih baik kita tidak membicarakannya." Hoa Seng menjadi heran sekali. Tetapi ia tertawa. „Apakah halangannya, untuk menyebutkan itu?" ia kata manis.
Jatsingh bersangsi, tetapi ia lantas mengingat budi orang yang memberikan ia soat-lian yang demikian berharga sedang mereka tidak kenal satu pada lain dan baru saja bertemu dan berkenalan pada detik ini, ia merasa malu hati. Ia pun tidak dapat mendusta. „Memang di sana bakal diadakan ujian tetapi di Nepal ujian tak sama dengan ujian conggoan di Tiongkok," ia berkata, memberikan keterangannya. „Sebenarnya itulah ujian dari puteri Nepal yang hendak memilih bakal suaminya." Hoa Seng ketarik. Bukankah itu suatu kebiasaan aneh? „Bagaimana caranya pemilihan itu?" ia menanya. „Aku dengar kabar puteri Nepal itu cantik luar biasa dan pintar dan gagah sekali," menyahut Jatsingh, „maka itu pemudapemuda bangsawan bangsa Nepal, semuanya menginginkan memperolehnya sebagai isteri mereka, akan tetapi sebaliknya, di mata si puteri, tidak ada seorang juga yang cocok baginya. Hal itu membuatnya raja Nepal bergelisah, sebab ia tidak dapat sendirinya memilihkan, ia kuatir pilihan itu ditolak oleh puterinya. Di akhirnya tuan puteri sendiri yang mengajukan usul untuk mengadakan pemilihan dengan jalan ujian itu. Pertama-tama orang akan diuji dalam ilmu surat, habis itu baru dalam ilmu silat. Aku mendengar kabar juga ada pemudapemuda lain bangsa yang datang untuk mencoba peruntungan mereka ………..” Hoa Seng tertawa. „Mari kita bicara dari hal ujian yang pertama itu, ialah ilmu surat," katanya. „Bagaimana caranya ujian itu? Tidakkah di sini ada soal bahasa?" „Tetapi itu ada soal gampang," menyahut Jatsingh. „Puteri Nepal itu pintar luar biasa, ia bukan melainkan pandai bahasanya sendiri, ia mengerti juga bahasa asing seperti bahasa Tionghoa, Sangsekerta dan Arab. Pemuda-pemuda asing itu pun bukan lain dari pada pemuda-pemuda Tionghoa, India dan Arab. Maka kalau orang asing yang diuji itu, dia diuji dalam bahasanya sendiri. Hanya, biar bagaimana juga, sudah selayaknya saja dia mengerti sedikit-sedikit bahasa Nepal." „Dan bagaimana caranya menguji ilmu silat?" Hoa Seng menanya pula. „Untuk ujian ilmu silat, orang harus melewati beberapa 'kota penting' yang sangat sulit," Jatsingh menerangkan Lebih jauh. „Sesudah itu, orang mesti dapat menempur dayangdayang istana. Kalau orang lulus dari semua ujian itu, di akhirnya dia bakal diuji si puteri sendiri." „Begitu caranya puteri itu memilih suami, dia benarlah seorang wanita kesatria!" Hoa Seng memuji. „Memang!" berkata Jatsingh. „Hanya aku mendengar kabar, sejak dimulai tahun yang sudah, pemilihan telah sampai sekarang ini tetapi belum juga ada orang yang tepat yang terpilih." Hati Hoa Seng tergerak tiba-tiba. Ia ingat si nona baju putih. Ia bersenyum. „Ah, tidak nanti itulah dianya," ia berpikir. „Jikalau benar dia, mana dia dapat keluar seorang diri dari dalam istananya? Mustahil dia dapat muncul di Kota Iblis itu? Bahkan dia memperlihatkan diri di Istana Potala? Laginya, dia cuma satu puteri, kenapa putera raja Nepal demikian takut kepadanya?" Mengingat ini, Hoa Seng mau memastikan si nona baju putih bukannya si puteri Nepal, walaupun demikian, ia tetap heran, ia menjadi menduga-duga. Ia berpikir pula: „Kenapa di Nepal ada wanita demikian pintar dan gagah? Kalau nanti aku sampai di
negara itu, ingin aku melihat tuan puteri itu, untuk mendapat kepastian dia dapatkah atau tidak dibanding sama adikku si Giok ………..” Jatsingh sendiri, habis memberi keterangan, dia tertawa. „Orang dengan kepandaian sebagai kau, saudara Koei,” katanya, „jikalau kau pergi ke sana dan mencoba turut dalam ujian itu, mungkin kau mempunyai harapan. Apakah saudara mempunyai niat itu?" Hoa Seng tertawa bergelak. „Aku gemar merantau, aku merdeka sebagai burung hoo hutan!" katanya. „Jangan kata tidak ada harapan, sekalipun ada, tidak nanti aku membiarkan diriku masuk sendiri ke dalam jaring! Bukankah dengan begitu aku bakal jadi mengikat diriku sendiri? Laginya, aku tidak mengerti bahasa Nepal, mana bisa aku turut mengambil bagian?" Hoa Seng mengatakan demikian sedang hatinya terus memikirkan si nona baju putih, meskipun seorang bidadari tidak nanti dapat menarik hatinya itu. Hanya, karena si puteri Nepal ini demikian luar biasa, ia toh ketarik juga oleh keluarbiasaan itu ……… Mendengar Hoa Seng tidak berniat turut mengambil bagian dalam pemilihan calon suami puteri Nepal itu, perlahan-lahan wajahnya Jatsingh kembali wajar. „Saudara," ia menanya, „telah dengan susah-payah saudara mendaki gunung ini, saudara hendak tinggal di sini untuk berapa hari lagi?" Hoa Seng menatap orang, ia bersenyum. Ia seperti dapat membade hati pemuda itu. „Jikalau saudara mempunyai urusan sangat penting, tidak berani aku menahan kau," katanya. „Karena tujuan kita sama, mungkin di Nepal nanti kita dapat bertemu pula. Di sini aku hendak berdiam lagi satu atau dua hari." „Kalau begitu, ijinkanlah aku berangkat lebih dulu, sekarang juga," berkata Jatsingh, yang terus berbangkit. Lagi sekali ia menghaturkan terima kasih pada Hoa Seng, kemudian ia memberi hormatnya kepada itu anak muda, kepada tuan rumah dan puterinya juga. Ia turun gunung dengan lekas". „Orang itu aneh!" berkata Kin Beng. „Ketika tadi ia mendengar kau mau turun gunung, ia gembira sekali, agaknya ia senang sekali untuk berjalan sama-sama, akan tetapi sekejap kemudian, wajahnya berubah, agaknya ia menjadi takut untuk berjalan sama-sama kau, saudara Koei ……..” „Dia kuatir aku nanti merampas puterinya!" berkata Hoa Seng terus-terang. „Sebenarnya mana ada minatku semacam itu?" Dan ia tertawa lebar. Kin Beng mengerti, ia pun tertawa. Kemudian mereka bicara dari lain-lain hal. Masih dua hari Hoa Seng menumpang sama Kin Beng. Selama ini ia menggunai temponya juga untuk mendengari kebiasaan bangsa Nepal dari isterinya Kin Beng. Isteri Kin Beng, anaknya seorang penggembala Tibet, kebetulan pernah pergi ke Nepal dan dia mengetahui beberapa adat kebiasaan bangsa Nepal. Di harian ia mau berangkat, selagi berpisahan, Kin Beng membekali abon serta bebuahan kering, maka itu ia sangat berterima kasih, Kin Beng dan isteri dan anaknya pun mengantari sampai di kaki gunung dimana agaknya mereka berat sekali untuk berpisahan. Sebab meski belum lama pergaulan mereka, mereka kedua pihak sangat cocok satu dengan lain. Hoa Seng mulai perjalanannya dari kaki gunung di utara
memutar ke kaki gunung sebelah selatan, dari situ ia mulai memasuki wilayah Nepal. Waktu itu sudah pertengahan musim panas, di mana-mana terdengar ocehan burung-burung dan terlihat bunga-bunga mekar serta baunya yang harum. Bagaikan bedanya dua dunia kalau suasana Nepal ini dibandingkan dengan tanah pegunungan es dan salju. Nepal pun ada negara pegunungan, dari itu orang menyebutnya Zwitserland dari Timur, dan maka itu, orang dapat menduga keindahannya. Di negeri itu terdapat banyak telaga dan puncak-puncak gunung nampak putih semua. Air solokan gunung atau air tumpah, semua jatuh ke bawah masuk ke dalam telaga-telaga itu di mana pun tertampak ikan-ikan kecil. Di antara pepohonan kedapatanlah bunga-bunganya. Nepal ada sebuah Negara agama Buddha, bahkan Sang Buddha sendiri, Shakyamuni, terlahir di taman Lumbini, di bawah pohon Sala, di Behar, selatan Nepal. Maka itu di sepanjang jalan terlihat orang-orang yang datang dari pelbagai ternpat untuk bersujud. Menampak itu, Hoa Seng ingat pembilangannya si nona baju putih bahwa lain tahun di Nepal bakal dibikin upacara keagamaan yang besar, bahwa di saat pembukaan tentulah bakal datang banyak pendeta dari lain-lain negara. Ada lagi suatu pemandangan yang menarik perhatian Hoa Seng di negara Nepal ini. Ialah adanya menara suci, di atas menara itu, di empat penjuru, ada dilukiskan empat pasang mata. Mata itu, menurut penganut Sang Buddha di Nepal, ialah yang dinamakan „mata kecerdasan," diumpamakan kecerdasan dan kemurahan hati Sang Buddha. Tapi pun di dalam Kota Iblis, Hoa Seng pernah melihat menara semacam itu. Itulah yang pertama kali ia melihatnya, hingga ia merasa aneh. Sekarang melihatnya pula di Nepal, dan melihat banyak, ia menjadi biasa. Melainkan ia mendapat kenyataan, mata itu dilukis bagus dan hidup sekali, seperti ada tenaga menariknya. Sepuluh hari Hoa Seng melakukan perjalanan, tibalah ia di ibukota Nepal, ialah Khatmandu, kota yang duduknya di dalam lembah gunung, maka dia menjadi seperti dikitarkan gunung, jadilah dia sebuah kota wajar. Khatmandu diambil dari katakata „Khat" artinya „kaju" dan „mandu" artinya „biara," dari itu taklah heran, semasuknya ke dalam kota, Hoa Seng mendapatkan banyak biara kecil dan besar, yang semua terbuat dari kayu, sedang di biara-biara besar, panglari dan tiangnya berukirkan, mirip dengan bangunan dalam istana-istana di Tiongkok. Maka itu, dengan sendirinya Hoa Seng menjadi menyukai kota ini. 11. Tabib Sakti Papo Sesudah melalui beberapa jalan besar, Hoa Seng merasa perutnya lapar. Lantas ia memasuki sebuah rumah makan di mana ia memilih meja yang menghadapi jendela. Ia memesan beberapa rupa barang hidangan berikut arak Nepal. Dari jendela itu kebetulan ia menghadapi sebuah gunung yang di waktu matahari turun, memberikan pemandangan yang indah. Itulah gunung di sebelah barat ibukota, di atas gunung ada sebuah menara tujuh tingkat, yang sebagian, bahagian atasnya terbuat dari kuningan dengan wuwungannya terlapiskan emas, maka di sinar matahari lohor itu, cahayanya berkilau-kilau. Bangsa Nepal ada suatu bangsa yang terkenal ramah tamah terhadap orang asing, maka itu pelayan yang melayani Hoa Seng, mengetahui tetamunya datang dari Tiongkok, perlayanannya luar biasa manis. Ia menanyakan ini dan itu, umpama masakannya cocok atau tidak dengan lidah tetamunya,
Katanya sembari tertawa, „Ada tetamu yang tidak doyan, tetapi pun ada yang ketagihan hingga bilangnya dia ingin tinggal berumah tangga di sini!" „Mungkin aku pun akan tinggal tetap di sini!" Hoa Seng bilang. Selagi mereka bicara, ke dalam rumah makan itu ada masuk seorang tua umur lima puluh tahun lebih, punggungnya ada menggendol satu kantung kain hijau, pakaiannya sangat sederhana. Menampak dia, pelayan serta tetamu-tetamu yang lagi bersantap pada bangun berdiri, untuk memberi hormat. Menyaksikan itu, Hoa Seng dapat menduga-duga kedudukan orang tua itu. Segera terdengar suaranya pemilik rumah makan itu kepada si orang tua: „Tuan dokter Papo, hari ini siapakah yang sakit yang kau hendak menengoknya?" Orang tua itu tertawa. „Hari ini aku menghadapi semacam penyakit yang aneh," ia menyahut, „yang membuatku sulit. Karena penyakit itu tidak dapat aku sembuhkan, tak enak aku menyebutkannya padamu." „Kau pandai sekali bergurau, tuan!" berkata banyak orang. „Bagimu mana ada penyakit yang kau tidak dapat sembuhkan!" „Kecuali orang itu telah ditakdir rohnya bakal dibetot raksha!" berkata seorang lain sembari tertawa. „Walaupun demikian, kau tentunya mempunyai kepandaian akan merampas jiwa orang dari tangan iblis itu!" Mendengar kata-kata itu, rupanya tabib ini dipandang seperti tabib sakti di Tiongkok. Sementara itu Papo memandang ke arah Hoa Seng, lantas ia terlihat merasa heran. Menampak orang mengawasi ia, Hoa Seng berbangkit untuk memberi hormat. „Sudah banyak tahun aku belum melihat lagi tetamu dari Tiongkok," kata tabib itu. „Aku merasa beruntung dengan pertemuan kita ini!" „Silahkan tuan minum bersama aku!" Hoa Seng mengundang. Tabib itu tertawa, ia menerima undangan dengan gembira. Maka Hoa Seng lantas minta pelayan menambahkan barang makanan. Tabib itu duduk di sebelah ini kenalan baru. „Tuan seorang tabib pandai, aku kagum sekali!" kata Hoa Seng kemudian. „Ah, kau cuma dengar ngaco belo mereka itu!" kata si tabib merendahkan diri. „Aku cuma mengenal beberapa macam obat. Bicara tentang ilmu tabib, kau bangsa Tionghoa yang paling pandai, aku sendiri cuma mengetahui bulu atau kulitnya saja. Bahkan aku menerima hadiah dari kamu bangsa Tionghoa." „Apakah tuan pernah datang ke Tiongkok?" tanya Hoa Sang heran. „Meskipun aku belum pernah pergi ke Tiongkok, aku mengerti bahasa Tionghoa," menyahut tabib Nepal itu. „Mulanya aku pelajari ilmu tabib, aku meyakinkannya dari kitab kamu PEN TSAO KANG MU, itu kitab ilmu obat-obatan karangan Li Shih Chen di jaman Kaisar Tiat Cong dari Ahala Song. Sekarang aku masih meyakinkan terlebih jauh bahagian pemeriksaan nadi. Aku lagi memikir untuk menyalin kitab itu ke dalam bahasaku. Aku pun telah mendengar kabar tentang tabibmu di ini jaman yang pandai sekali, namanya Hoe Ceng Coe. Katanya dia pernah tiba di selatan dan utara gunung Thian
San serta Tibet juga. Menurut katanya seorang yang baru kembali dari Tibet, kakeknya pernah diobati Tabib Hoe itu serta dia masih menyimpan surat-obatnya. Mungkin tabib itu menulis buku tentang kepandaiannya itu, sayang ke negeriku ini, kitab itu masih belum sampai." Hoa Seng tidak mengerti ilmu ketabiban, tetapi ia menghargai tabib Nepal ini, maka ia menyesal tidak dapat berunding dalam ilmu itu. „Kalau begitu," katanya bersenyum. „meski kedua negeri kita dipisahkan tanah pegunungan, sebenarnya kita tidak asing satu dengan lain!" „Bukan saja tidak asing, aku bilang, malah boleh bersahabat," berkata Papo. „Dongeng kami ada banyak yang ada hubungannya sama dongeng kamu." Ia lantas menunjuk ke menara di luar itu, ia menambahkan: „Kabarnya ibukota kami ini pun dibuka oleh pendeta yang berilmu dari Tiongkok kamu." Hoa Seng jadi sangat ketarik hati. „Oh, ada cerita demikian rupa?" katanya. Lalu ia menanya: „Sebenarnya, raja kamu ada mempunyai beberapa puteri?" „Cuma satu," sahut Papo. „Kalau begitu putera raja di Kota Iblis itu bukannya putera mahkota," Hoa Seng kata dalam hatinya. Papo bersenyum dan berkata: „Mungkin kau telah mendengar kabar urusan perjodohan dari puteri kami! Kau tampan dan mengerti ilmu silat, kau boleh mencoba-coba peruntunganmu!" Hoa Seng heran. „Ah, mengapa dia ketahui aku mengerti silat?" pikirnya. Tapi ia berkata: „Hal itu aku tidak berani sekalipun untuk memikir saja. Ya, apakah banyak orang yang akan mengajukan lamaran?" „Ujian dimulai semenjak tahun yang lalu, hampir setiap hari ada orang yang datang mencoba-coba," menyahut tabib itu, „hanya kemudian, pelamar itu menjadi berkurang, makin lama jadi makin sedikit. Selama tiga bulan yang belakangan ini belum pernah terdengar ada seorang juga." Hoa Seng ingat suatu apa. „Kenapakah itu?" ia menanya. „Semua pelamar tidak dapat menjatuhkan dayangnya puteri, tentu sekali mereka tidak dapat melihat puterinya sendiri," menyahut Papo, „maka itu belakangan orang pada tahu diri dan mundur sendirinya." Hoa Seng tertawa. „Raja tak dapat menantu, apakah ia tidak jadi bergelisah?" „Ya, dia sangat bergelisah! Maka juga ……..” Mendadak tabib ini menghentikan omongannya. Hoa Seng heran. Ia tadinya hendak menanya pula ketika segera ia mendapatkan suasana dalam rumah makan itu telah berubah, kapan ia mengangkat kepalanya, ia melihat munculnya seorang pahlawan yang membawa golok. Ketika tuan rumah menanya pahlawan itu, dia lantas menyahuti: „Aku tidak mau minum arak!” Dia terus bertindak ke mejanya Hoa Seng, untuk menjura kepada Papo, dengan sangat menghormat ia mengangsurkan sebuah kotak perak, kemudian tanpa mengucap sepatah juga, ia mengundurkan diri, berlalu dari rumah makan itu. Kembali Hoa Seng merasa heran. Ketika ia mengawasi si tabib, yang memegang kotak perak itu, ia mendapatkan tangan orang sedikit bergemetar, seperti juga dia lagi menghadapi ancaman bahaya. „Ada apa, tuan?" ia lantas menanya. „Adakah kau menghadapi
sesuatu kesukaran?" „Terima kasih untuk perhatian Siangkong," berkata Papo. „Sekarang sudah tidak ada urusan apa-apa lagi, hari pun sudah tidak siang, aku sudah harusnya pulang." Hoa Seng heran. „Habis, kapan aku dapat bertemu pula sama Loo-tiang?" ia tanya. „Umpama kata kita masih berjodoh, lagi tiga hari biarlah aku menanti di sini untuk menerima pengajaran," katanya si tabib. Hoa Seng cerdas sekali, kata-kata orang itu membuatnya dapat menduga sesuatu. Pada ini mesti ada mengancam bahaya. Hanya, entah apakah itu. Jadi janji tiga hari itu masih sangat samar. Tapi di situ, di dalam rumah makan, ia tidak dapat omong banyak dan jelas. „Kalau begitu," katanya, „baiklah, tiga hari kemudian aku menanti di sini untuk menjamu Loo-tiang." Papo lantas berlalu. Hoa Seng lekas membayar uang minuman, lalu ia bertindak keluar, terus ia menguntit tabib itu. Waktu itu api telah dinyalakan. Hoa Seng menguntit terus. Papo nampaknya tidak ketahui ada orang menguntit padanya, ia jalan terus dengan tenang, melewati beberapa jalan besar dan kecil, sampai di sebuah gang kecil di kota barat. Gang itu sangat kecil dan sunyi. Di situ ada sebuah rumah berundakan dua. Itulah rumah Papo, sebab ia terus membuka pintu dan masuk ke dalamnya, lalu „Brak!", daun ditutup dengan digabruki! Hoa Seng menantikan sekian lama, ia melihat ke sekitarnya, setelah mendapat kenyataan di situ tidak ada lain orang, ia menghampirkan rumah itu, untuk terus berlompat naik ke atasnya. Dari wuwungan ia pergi ke belakang, lantas ia memasang kuping. Segera terdengar nyata elahan napas berulang-ulang dari Papo. Oleh karena keinginannya untuk mengetahui, Hoa Seng lantas mengintai. Papo telah membuka kotak yang diberikannya kepadanya oleh si Boesoe, isinya dia telah angkat dan meletakinya di atas meja. Itulah mutiara, batu permata dan beberapa potong uang emas. Menampak itu, Hoa Seng heran bukan main. „Tak sedikit hadiahnya si boesoe!" pikirnya. „Nah, habis kenapa dia menarik napas panjang-pendek ...........?” Papo masih menghela napas, kemudian dari dalam kotak ia menjumput keluar sehelai surat undangan, ia cekali itu dan mengawasinya dengan menjublak. Sampai di situ, Hoa Seng tidak mau menanti terlebih lama pula. Ia mencari jalan untuk lompat turun dan masuk ke dalam rumah. „Kau berduka kenapa, Loo-tiang? Bolehkah aku membantu meringankan kedukaan Loo-tiang?” katanya langsung. Papo terkejut hingga ia berjingkrak. Ketika ia mengangkat kepalanya, ia mengenali Hoa Seng. „Kau baik sekali, Lao-tee, aku bersyukur kepadamu," ia berkata. „Tentang urusanku ini lebih baik Lao-tee jangan mencampurinya." „Loo-tiang, begitu bertemu sama kau, aku merasa kita adalah sahabat-sahabat kekal," kata Hoa Seng membujuk, „maka itu kalau loo-tiang mendapat sesuatu kesukaran, tak dapat aku tidak membantunya." „Aku tahu kau liehay dalam ilmu silat, lao-tee," berkata si tabib, mengawasi. „Ah, jagan lao-tee heran! Aku tidak
mengerti ilmu silat tetapi aku mengerti sedikit ilmu ketabiban. Tadi di rumah makan aku telah melihat sorot matamu, maka itu sengaja aku membentur lenganmu. Nyata nadimu bersih sekali, tenaga, dari itu aku dapat membade kau bukanlah sembarang orang." Hoa Seng kagum sekali. „Pantas dia sangat tersohor, kiranya, benar dia sangat pandai," pikirnya. „Benar lao-tee pandai ilmu silat tetapi urusan ini bukan urusan yang dapat dibereskan dengan mengandalkan ilmu silat," berkata pula Papo. „Pula aku tidak menghendaki lao-tee seorang lain bangsa nanti jadi bentrok sama pasukan Gie-limkoen dari negaraku ...." „Bagaimana eh, loo-tiang?" tanya Hoa Seng, heran. „Loo-tiang menjadi tabib, pekerjaan loo-tiang ialah menolong orang banyak yang menderita kesakitan, mengapa kau justeru mendapat urusan dengan Gie-lim-koen?" Papo menggeleng kepala. „Aku sendiri pun tidak mengerti," sahutnya. „Dan sekarang ini, aku bakal bercelaka atau bakal beruntung, aku pun tidak tahu pasti …….” „Loo-tiang tentu sudi anggap aku sebagai sahabat baikmu, maka aku minta sukalah loo-tiang memberi penjelasan padaku," Hoa Seng minta, mendesak. Papo mengawasi, ia berkata: „Surat undangan yang boesoe tadi sampaikan kepadaku ialah surat undangan dari pemimpin kepala dari pasukan Gie-lim-koen. Pemimpin pasukan pahlawan raja itu menginginkan aku sebentar jam tiga pergi ke rumah peristirahatannya. Dia melarang aku memberitahukan hal itu kepada lain orang." Hoa Sang lantas tertawa. „Kalau begitu mungkin di sana ada orang yang sakitnya aneh!" katanya. „Dia tentu mau minta loo-tiang menolong si sakit itu." „Tidak, tidak bisa jadi!" kata Papo menggeleng-geleng kepala. „Ah, aku ingat sekarang. Ketika tadi aku keluar dari istana, aku melihatnya pemimpin Gie-lim-koen itu celingukan memandang ke luar …………..” „Oh, kalau begitu tadi loo-tiang pergi ke istana memeriksa orang sakit?" tanyanya. „Sebenarnya urusan ini tidak dapat aku memberitahukannya kepada lain orang," berkata Papo, menyahuti, „akan tetapi laotee ada orang terpelajar dari negara lain, kau pun begini baik terhadap aku, baiklah, aku omong terus-terang padamu. Apa yang tadi aku ucapkan di rumah makan bukan kedustaan belaka, memang benar aku tengah menghadapi serupa penyakit aneh yang seumur hidupku paling sukar untuk diobatinya. Orang yang sakit itu ialah sri baginda raja. Turut pemeriksaanku kepada nadinya, dia seperti terkena semacam racun, racun yang luar biasa, yang sebelumnya tak pernah aku mengetahuinya. Penyakit itu membuatnya Sri baginda jadi lemah, tidak dapat ia menggunai pikirannya, yaitu otaknya. Jikalau racun itu tidak dapat disingkirkan, sesudah tiga bulan, dia bisa wafat dengan mendadak, lalu lainnya tabib tidak bakal mendapat tahu dia sakit apa …………” Mau atau tidak, Hoa Sang terperanjat. „Siapa begitu berani meracuni raja?" ia tanya. „Memang!" berkata Papo. „Istana terjaga kuat sekali, orang luar tidak nanti dapat masuk. Maka kalau dugaanku tidak
keliru, si orang jahat, mesti orang yang berdekatan dengan sri baginda sendiri." Hoa Seng berpikir. „Mungkinkah dia si pemimpin Gie-lim-koen itu?" „Di waktu aku menerima barang-barang ini, aku pun mulanya mau menduga dia," berkata Papo, „hanya kemudian aku berpikir, walaupun dia biasa mendampingi Sri baginda, sebenarnya sulit untuk dia turun tangan." „Kenapa sulit?" kata Hoa Seng. „Asal ada ketikanya, racun bisa dimasuki ke dalam teh atau arak! Tidakkah itu sederhana?" „Tidak, tidak demikian. Inilah racun yang sifatnya lunak, setiap dipakai, jumlahnya sedikit, dari itu dipakainya mesti sedikitnya tujuh kali. Dan si kepala Gie-lim-koen, tanpa firman raja tidak dapat dia masuk ke dalam keraton. Kecuali kalau dia berkongkol sama pelayannya sri baginda. Tapi dia meracuni rajanya, apakah faedahnya untuknya? Takhta toh bakal diwariskan kepada anak raja." „Aku menumpang bertanya. apakah rajamu mendapat dukungan rakjat, apakah dia dicintai dan dijunjung?" „Sri baginda bijaksana, dia dicintai rakyat, dijunjung." „Jikalau begitu, soal pasti bukan soal racun belaka. Di Tiongkok pun pernah terjadi peristiwa raja diracuni. Sembilan dalam sepuluh, ini mesti soal perebutan kedudukan kaisar." „Tapi semua rakyat tahu tuan puteri cerdas dan bijaksana," berkata Papo, „dia pun puteri tunggal dan sangat disayang, tidak ada alasannya kenapa dia mesti meracuni ayahnya. Oh! ……” Matanya tabib ini bercahaya secara tiba-tiba, agaknya dia kaget. Hoa Seng heran. „Kenapa?" dia menanya. „Sudah, kita jangan main terka tak keruan," katanya, airmukanya berubah pucat. „Sekarang sudah larut malam, aku mesti lekas pergi memenuhi panggilan kepala Gie-lim-koen ……." „Dia menjanjikan kau jam tiga, ini aneh," kata Hoa seng. Wajah si tabib tetap tak tenang. „Lao-tee, kita baru bertemu tetapi kita seperti sahabat kekal," katanya, „maka itu dengan kepergianku ini, apabila aku tidak pulang dalam tempo tiga hari, pasti aku sudah mati. Aku minta perkaraku ini jangan diumumkan, kau juga jangan cari aku. Aku sebatang kara, tanpa isteri tanpa anak, kegemaranku cuma meyakinkan ilmu obat-obatan. Kitab obat-obatanku adalah yang aku paling sayangi, kalau tiga hari kemudian aku tidak pulang, kau ambillah kitab itu. — Ah, lebih baik aku memberikannya sekarang!" „Tidak!" Hoa Seng memotong. „Nanti aku menemani kau pergi!" „Eh, mana kau dapat turut serta?” Papo tanya. „Aku menyamar jadi kacungmu." Tabib itu bersangsi, ia berdiam hingga sekian lama. „Ya, baiklah," katanya kemudian. „Aku tidak takut mati, hanya aku kuatir, sematinya aku, di dalam negara ini tidak lagi ada tabib yang sanggup mengobati sri baginda raja." Ia lantas menyuruh Hoa Seng salin pakaian, muka orang dicompreng sedikit, lain kepalanya dibungkus dengan sabuk, setelah dia menggendol kantung obat di punggungnya, Hoa Seng benar-benar mirip kacungnya seorang tabib. Papo ada mempunyai kereta dan kuda sendiri, yang ia sediakan
untuk ia pergi ke kampung-kampung yang jauh, supaya ia tidak usah berjalan kaki, sekarang ia pergi dengan menggunai kendaraannya itu. Villa dari congkoan, atau kepala, dari Gie-lim-koen, berada di sebuah gunung, ke sana Papo berangkat dengan dikawani Hoa Sung. „Tadi kau masuk ke istana, apakah ada yang mengetahui?" tanya Hoa Seng di tengah jalan. „Sebenarnya aku dipanggil oleh seorang pengawal pintu istana,” menjawab Papo. „Dialah seorang pendeta. Aku diajak masuk dari pintu belakang dari taman. Dia memesan aku agar aku jangan mengasi tahu siapa juga." „Sebenarnya kenapa kamu demikian takut pada kepala Gielimkoen itu?" Tabib itu tertawa menyeringai. „Sri baginda bijaksana, dia sebaliknya. Dan balai istirahatnya ini justeru ada tempat ia menyiksa dan mengompes orang, itulah mirip dengan penjara pribadinya." Kira setengah jam, sampailah sudah mereka di kaki gunung yang dituju. Di sana sudah menanti dua orangnya si kepala Gie-lim-koen. Begitu dia melihat orang tiba, yang satunya menuding Hoa Seng. „Ini orang apa?" dia menanya bengis. „Dia kacungku, yang menjadi juga pembantuku," sahut Papo, tenang. „Tunggu!" menitah orang itu, seorang boesoe. Dia lantas menitahkan kawannya untuk minta keputusan dari congkoan. Kawan itu pergi akan tak lama muncul pula: „Karena orang itu pembantunya, ajaklah dia masuk bersama." Kedua boesoe mengajak tabib dan kacungnya mendaki tanyakan. Sebentar saja mereka sudah sampai di muka balai istirahat, yang macamnya mirip benteng kuno, temboknya tersusun dari batu-batu merah dan tebal. Pintunya, yang terbuat dari besi, dicat merah juga. Hoa Seng mengikuti masuk dengan mulut bungkam sama sekali mereka melintasi tujuh unit pintu besi, pintu hek. Setiap masuk di satu pintu, pintu itu segera ditutup pula. Seram nampaknya keadaan di situ, malah samar-samar terhendus bau amis. Setelah itu tibalah mereka di sebuah ruang besar. Di sini berbaris sejumlah boesoe di kiri dan kanan. Di tengah ruang diatur sebuah meja bundar, di situ berduduk seorang yang mukanya berewokan, yang bajunya sulaman. Di belakang dia berdiri dua boesoe lainnya lagi. Diam-diam Papo melirik kepada Hoa Seng, maka pemuda ini lantas ketahui orang itu ialah si congkoan, kepala Gie-limkoen. Ia berlagak pilon tetapi ia memperhatikan. Di samping, meja bundar itu ada berduduk seorang lain, seorang pendeta dengan jubah merah. Papo tidak kenal pendeta itu, siapa telah Hoa Seng mengenalinya. Dialah pendeta jubah merah dengan siapa ia pernah bertempur di dalam Kota Iblis. Karena ia menyamar, si pendeta sebaliknya tidak mengenali ia. Melihat datangnya si tabib, congkoan itu lantas berbangkit. „Tabib pandai telah datang!" katanya. „Selamat datang, selamat datang!" Tapi tak menanti si tabib menyahuti, ia lantas menanya: „Apakah kacungmu ini ketahui tadi siang kau masuk ke istana mengobati raja?" „Dialah satu-satunya pembantuku," sahut si tabib. „Yang lain orang tidak tahu, dia mengetahuinya." Wajah si congkoan suram, tapi lantas dia tertawa dan berkata:
„Kalau begitu, suruhlah dia menantikan di bawah tangga itu!" Seram suara tertawa itu. 12. Misteri Penyakit Raja Nepal Dua boesoe lantas merintangi, melarang Hoa Seng mengikut si tabib. Congkoan Gie-lim-koen itu mempersilahkan Papo duduk, lalu dia menanya dengan suaranya yang sangat dingin: „Tadi aku menitahkan orangku membawa bingkisan untukmu, kau sudah terima atau belum?" „Sudah, congkoan," menyahut Papo. „Hambamu justeru hendak mohon menanya kenapa hamba dihadiahkan bingkisan sangat berharga itu? Hamba tidak berjasa, tidak berani hamba menerima bingkisan. Maka juga itu bingkisan hamba bawa bersama." Ia lantas mengeluarkan kotaknya itu dan meletakinya di atas meja. Menampak itu, si kepala Gie-lim-koen memperlihatkan roman tidak senang. „Apakah kau tidak sudi menerima barang dari aku?" dia menanya. „Seperti hamba sudah bilang, tanpa jasa hamba tidak berani menerima hadiah," Papo menjawab. Matanya congkoan itu melirik tajam, lalu dibuka lebar. „Asal kau suka turut perkataanku, kau berjasa sangat besar!" katanya. „Silahkanlah perintahkan," menyahut si tabib. Congkoan itu menatap dengan tajam. „Kau tadi masuk ke istana memeriksa penyakitnya raja, kau tahukah sakit apa itu?" dia menanya, suaranya keren. „Itu …….. itu ………..” „Semua orang di sini orang-orang kepercayaanku, kau boleh bicara, tidak ada halangannya!" berkata congkoan. „Aku ……. aku belum ……..” „Kau maksudkan kau belum mendapat tahu itu penyakit apa?" si congkoan tanya sambil tertawa dingin. „Hm! Kalau begitu, kecewa kau menjadi tabib sakti!" Papo menjadi tidak senang. Bangsanya telah menamakan dia tabib sakti karena kepandaiannya yang liehay dalam ilmu pengobatan, tapi sekarang dia dicela. „Aku belum dapat memikir obat untuk mengobati penyakit itu," ia bilang. „Dengan begitu kau jadi sudah ketahui sebabnya penyakit!" kata si Congkoan, suaranya tetap keras. „Penyakit apakah itu?" „Itu bukannjä penyakit ……….” „Habis bagaimana?" congkoan membentak. „Nampaknya raja terkena racun." Sekarang congkoan itu bersenyum. „Kau suka omong terus terang, itu bagus," katanya. „Nah, sekarang aku hendak memohon sesuatu dari kau." „Apakah itu dapat hamba melakukannya?" Papo tanya. „Sangat sedenhana!" coagkoan itu tertawa, „Besok kau pergi ke istana, untuk memberikan obat, kau obati raja dengan obat sakit kepala yang biasa saja. Kalau di istana ada yang minta kau memberikan obat cuci perut, kau mesti memberi kepastian bahwa raja dapat sakit kepala bukan sakit lainnya." Hoa Seng mendapat dengar semua pembicaraan itu, maka sekarang tahulah ia duduknya perkara. Ia lantas menduga-duga, „Kalau bukan coangkoan ini sendiri yang meracuni raja,
tentulah konconya. Papo tabib kenamaan satu-satunya di negara ini, kalau dia memastikan raja mati karena sakit kepala, pasti tidak ada orang yang berani mencurigai kematian itu." Papo mengangkat kepalanya, dia memandang si congkoan. „Paduka," katanya, „tadi paduka mengajari aku untuk omong dengan jujur, kalau begini, aku jadi bakal mendustai seluruh negara ………..” Congkoan itu melengak. „Jadi kau tidak suka menurut?" ia menegaskan. „Hm! Kau pikirlah biar betul! Jikalau kau menerima baik, uang emas dan perak dan barang permata, kau tinggal minta saja. Jikalau sebaliknya, hm!" „Aku lebih suka melindungi namaku sebagai tabib sakti dari negeri ini," berkata Papo, terang dan tenang. „Nama itu ada terlebih menang dari pada aku membawa semua harta dan permata ini ke liang kubur." Di dalam hatinya, Hoa Seng memuji tinggi tabib ini. Wajah si congkoan merah padam, agaknya dia hendak memperluap kemurkaannya, hendak dia melampiaskan itu, tetapi si pendeta jubah merah keburu mengasi dengar tertawanya yang dingin. „Sakitnya raja toh kau tidak mampu sembuhkan, apa itu namanya tabib sakti!" berkata dia, mengejek. „Sekarang kami hendak menyuruh kau menyebutnya penyakit itu penyakit kepala biasa, apakah itu dapat merusak nama baikmu?" Kata-kata itu sangat menyinggung Papo, tetapi belum lagi ia mengambil sesuatu sikap, sudah terdengar suara tertawa berkakak dan nyaring dari Koei Hoa Seng. „Kau kenapa?" menanya dua pahlawan yang menjaganya. Mereka kaget dan heran. Hoa Seng tidak menjawab dengan mulutnya, hanya dengan tangannya. Begitu tangan kirinya melayang, satu pahlawan roboh terjungkal ke tangga hingga tubuhnya bergulingan. Pahlawan yang ke dua menghunus goloknya dan membacok ke kaki. Hoa Seng mengangkat sebelah kakinya hingga ia berdiri dengan sikap „Kim kee tok lip," atau „Ajam emas berdiri dengan sebelah kaki." Dengan begitu ia bebas dari bacokan itu. Ia tidak berhenti sampai di situ, selagi tubuh si penyerang terjerunuk, ia meneruskan kakinya, menendang lengan orang, maka goloknya si pahlawan kena dibikin terbang. Melihat demikian, pahlawan-pahlawan lainnya, yang berdiri di kedua samping, sudah lantas menghunus senjata mereka. Hoa Seng tidak menjadi takut, bahkan dia tertawa bergelak. Dengan lincah luar biasa, tubuhnya mencelat ke atas meja. „Aku hendak bicara!" katanya nyaring. Pemimpin pasukan pengiring raja itu, ialah congkoan dari Gielimkoen, ada seorang kosen di negaranya, kedua tangannya kuat mengangkat barang berat seribu kati, akan tetapi melihat gerakannya Hoa Seng, ia terkejut, tapi meski begitu, ia tidak takut, maka juga ia lantas lompat maju, untuk membekuk. Kedua tangannya diulur guna mencekal pundaknya si anak muda she Koei. „Kau duduk!" dia berkata, seraya menekan. Gerakannya congkoan ini ada dua maksudnya, ialah di satu pihak untuk merusak tulang pundaknya si anak muda, di lain pihak guna menakut-nakuti Papo. Hanya ketika kedua tangannya mengenai pundak, kembali ia menjadi kaget. Ia bukannya dapat mencekal pundak yang bertulang keras hanya pundak yang lemas empuk seperti kapuk, dan selagi ia kaget itu, mendadak ia merasakan tenaga membal yang keras, yang
mengenai tangannya itu, hingga kedua tangannya nyernyaran dan seperti mati. Hoa Seng mengangkat kedua pundaknya. „Paduka yang mulia tidak duduk, hamba yang rendah mana berani duduk sendiri," ia berkata sambil tertawa. Si pendeta jubah merah menjadi kaget. Ia masih belum mengenali anak muda itu. Ia berbangkit tanpa merasa, di dalam hatinya ia kata: „Heran ini kacung tabib, kenapa dia begini liehay?" „Kau hendak bicara apa?" membentak si congkoan, yang dari kaget menjadi gusar sekali. „Aku memohon paduka yang mulia mengajak aku masuk ke istana," sahut Hoa Seng sabar. „Untuk apakah itu?" Congkoan itu masih gusar tetapi ia heran, maka ia mengajukan pertanyaannya itu. Hoa Seng tetap berlaku tenang, hanya sekarang ia tertawa dingin. „Kamu bilang guruku ini tidak sanggup mengobati Sri Baginda Raja," jawabnya. „Hm! Kamu keliru! Siapakah yang tidak tahu guruku ini tabib sakti nomor satu di dalam negara ini? Jangan kata guruku ini, untuk sakitnya Sri Baginda Raja itu, aku sendiri, mampu aku mengobatinya! Aku berani tanggung Sri Baginda Raja lantas sembuh!" „Ah, apakah kau memang sengaja hendak menyaterukan kami?" menanya si paderi jubah merah. Ia heran dan mendongkol tetapi ia mencoba menyabarkan diri. „Bukankah kamu memikir untuk mengobati hingga sembuh kepada raja?" Hoa Seng membaliki. „Kamu boleh pujikan aku kepada Sri Baginda, aku tanggung aku akan dapat menyembuhkannya! Bukankah dengan begitu kamu jadi turut berjasa?" Pendeta jubah merah itu tertawa. „Baik, baiklah!" katanya. „Mari aku ajak kau masuk!" Dengan mendadak, berbareng sama perkataannya itu, tubuh si pendeta melesat serta tangannya melayang kepada si anak muda, yang dia hendak hajar