Islam menganjurkan kepada umatnya untuk berbuat kebaikan antarsesama yakni dengan cara saling mengenal dan tolongmenolong. Karena tiada seorang pun manusia yang bias hidup di dunia ini sendiri pasti butuh orang lain. Oleh sebab itu Islam melarang umatnya untuk melakukan perbuatan tercela seperti takabur dan riya’ misalnya yang merupakan salah satu penyakit hati menusia. Sifat takabur biasa tumbuh dan subur di hati orang-orang yang tidak mau bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah. Dan merasa lebih jika dibandingkan orang lain. Sifat takabur juga hinggap pada diri orang yang tingkat keilmuan dan kepandaiannya belum seberapa. Seperti peribahasa “Air beiak tanda tak dalam”. Mereka tidak sadar bahwa manusia memiliki keterbatasan. 1. TAKABUR Takabur artinya membanggakan diri. Maksudnya ialah memuji diri sendiri, menganggap paling sempuna, merasa orang lain kagum terhadap dirinya, seolah-olah paling benar dan tidak pernah berbuat salah, biasanya suka merendahkan orang lain. Mereka tidak menyadari bahwa di atas orang pandai masih banyak orang yang lebih pandai. Sebagaimana firman Allah SWT berikut Artinya : Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengatuhan itu ada lagi Yang maha Mengetahui. ( QS. Yusuf: 76 ) Dalam sejarah, disebutkan bahwa di kala Nabi Musa dan Harun berdakwah dan mengajak Fir’aun agar menyembah kepada Allah SWT, dia sangat marah. Dianggapnya ajakan atau dakwah itu sebagai suatu penghinaan kepadanya karena dialah orang yang harus ditaati oleh seluruh umat manusia. Sifat takaburnya tampak dan dia mengatakan :
Artinya : Akulah tuhanmu yang paling tinggi ( QS. An Naazi’at: 24 )
Dengan segala kesombonganya, ia lupa dan tidak menyadari bahwa dirinya itu sebagai manusia yang daif ( lemah ), banyak kekurangannya, bisa sakit, dan juga bisa mati. Sebagai seorang mukmin tidaklah pantas memiliki sifat takabur, karena sifat tersebut hanya pantas dimiliki Dzat yang Maha Sempuna yaitu Allah SWT. Perhatikan firman Allah dalam hadits Qudsi berikut : Artinya : Sifat kebesaran dan kagungan itu adalah pakaian-Ku. Sifat takabur adalah pakaian Allah, maka dalam kitab ”Ta’lim Muta’alim” dijelaskan sebagai berikut :
Artinya : Sifat kebesaran adalah sifat yang khusus untuk Tuhan sendiri, oleh karena itu jauhilah sifat itu dan taqwalah kepada-Nya. Ciri-ciri orang yang bersifat takabur ( sombong ), antara lain : 1. Merasa puas atas kelebihan dirinya 2. Cenderung menutupi dan menghindari kekurangan sendiri 3. Suka mencela kekurangan orang lain 4. Tidak bisa menghargai orang lain Adapun jenis takabur yang lain diantaranya : 1. Menyombongkan diri 2. Menyombongkan diri 3. Menyombongkan diri 4. Menyombongkan diri
dirinya
dilakukan oleh seseorang di hadapan orang karena karena karena karena
kedudukannya lebih tinggi lebih kaya lebih pandai merasa lebih mulia keturunannya
Diantara dalil naqli tentang sifat takabur adalah 1. QS Al Israa’: 37-38
Artinya : Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, sebab sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.
Semua kejahatannya itu adalah amat dibenci di sisi Tuhanmu ( QS Al Israa’: 37-38 ) 2. Hadits Riwayat Baihaqi Nabi saw bersabda yang artinya : ”Tiga perkara yang dapat merusak yaitu : kikir yang diikuti, hawa nafsu yang selalu diikuti dan mengagumi diri sendiri.” Dari kedua dalil tersebut hendaknya kita sebagai seorang muslim menjauhi sifat sombong, apabila kita dikaruniai harta yang melimpah , ilmu yang luas, kedudukan yang tinggi dan keturunan yang terhormat, sebaliknya kita harus tetap mensyukuri nya dan bersikap rendah hati Perhatikan firman allah, berikut : Artinya : Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. ( QS. As Syu’ara : 215 ) Adapun tiga perkara dalam hadits tersebut harus kita jauhi karena dapat merusakkan mental dan harga diri di hadapan Allah dan masyarakat. Akibat negatif dari sifat takabur antara lain : 1. Merasa selalu benar dan tidak pernah bersalah 2. Merasa paling mampu dan paling pandai 3. Dijauhi oleh orang lain 4. Diancam oleh Allah akan dimasukkan ke neraka. Perhatikan firman Allah berikut :
Artinya : Sesungguhnya orang-oran yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk ke neraka jahanam dalam keadaan hina dina. ( QS Al Mu’min : 60 ) 5. Tidak mempunyai teman dan susah mencari teman 6. Kegoncangan jiwa. Orang yang takabbur dan merasa lebih tinggi dari pada orang lain, berkeinginan agar orang lain menundukkan kepala kepadanya. Tetapi harga diri manusia sudah barang tentu tidak mau berbuat demikian, dan memang pada dasarnya mereka tidak disiapkan untuk hal itu. Karena keengganan orang lain
untuk menundukkan diri kepadanya, berarti ia gagal memasuki keinginannya. Maka sebagai akibatnya timbulah kegoncangan dalam jiwanya. "Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit." (Q. S. Thaha : 124) "Dan barang siapa berpaling dari peringatan Tuhannya, Tuhan akan memberinya siksaan yang berat." (Q. S. Al-Jin : 17) 7. Terhalang dari memperhatikan terhadap sesuatu.
dan
mengambil
pelajaran
Hal ini disebabkan orang yang takabbur merasa lebih tinggi dari hamba-hamba Allah yang lain. Maka secara sadar atau tidak sadar ia telah melampaui batas hingga menempati kedudukan Ilahi. Orang seperti ini sudah barang tentu akan terkena sangsi, dan sangsi atau hukuman yang pertama ialah terhalang dari memperhatikan dan mengambil pelajaran terhadap sesuatu. " Dan betapa banyak tanda-tanda di langit dan dibumi yang mereka lewati, tapi mereka berpaling dari padanya." (Q. S. Yusuf : 105 ) 8. Selalu dalam keadaan aib dan kekurangan. Hal ini disebabkan orang yang sombong mengira dirinya telah sempurna dalam segala hal, maka ia tidak mau intropeksi diri sehingga ia tidak mau menerima nasehat, pengarahan dan bimbingan dari orang lain. "(Bukan demikian), yang benar, barangsiapa berbuat dosa dan ia telah meliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (Q. S. Al-Baqarah : 81 ) Sebab-sebab Takabur 1. Rusaknya penilaian dan tolak ukur kemuliaan manusia. Diantara factor yang menyebabkan timbulnya takabbur ialah terjadinya nilai dan cara pandang manusia yang rusak. Mereka memandang mulia dan hormat kepada orang-orang yang kaya harta, meskipun dia itu ahli maksiat dan menjauhi manhaj dan aturan Allah. Orang yang hidup dalam kondisi seperti ini sudah barang tentu akan begitu mudah sombong, merendahkan dan meremehkan orang lain, kecuali orang yang dirahmati Allah. "Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaika kepada mereka ? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar." (Q. S. Al-Mu'minun : 55-56)
"Dan mereka berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (dari pada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diadzab. Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rizki bagi siapa yang dikehandi-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang di kehendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan pula anak-anak kamu yang mendekatkatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal sholeh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa ditempat-tempat yang tinggi (dalam surga)." (Q. S. Saba': 35-37) 2. Membandingkan nikmat yang diperolehnya dengan diperoleh orang lain dengan melupakan Pemberi nikmat.
yang
Karena hikmah yang hanya diketahui Allah sendiri, Dia memberikan nikmat secara berbeda-beda antara sebagian orang dan sebagian yang lain. "Dan berikanlah kepada mereka (orang-orang mukmin dan orang-orang kafir) sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang."(Q. S. Al-Kahfi: 32) "Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika ia bercakap-cakap dengan dia: 'Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikutpengikutku lebih kuat.'" (Q. S. Al-Kahfi: 34) 3. Sikap tawadhu' orang lain yang berlebihan. Kadang-kadang ada sebagian orang yang bersikap tawadhu' secara berlebihan hingga tidak mau berhias dan mengenakan pakaian yang bagus, tidak peduli terhadap orang lain, bahkan tidak mau tampil ke depan untuk memikul amanat dan tanggung jawab. Sikap yang demikian ini kadang-kadang menimbulkan kesan negatif pada sebagian orang yang melihatnya, yang tidak mengetahui hakekat masalah sebenarnya. Lalu syaitan membisikkan ke dalam hatinya bahwa orang tersebut tidak menghias diri, tidak mengenakan pakaian bagus, dan tidak pernah tampil ke dalam mengurusi urusan umat adalah sematamata karena miskin dan tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab. Anggapannya ini
kemudian berkembang dengan memandang orang tersebut dengan pandangan rendah dan hina, dan sebaliknya menganggap dirinya lebih besar dan lebih agung. Inilah dia penyakit Takabur telah muncul. AlQur'an dan As-Sunnah telah mengantisipasi masalah ini. Karena itu disuruhnya manusia menampakkan nikmat yang diberikan Allah kepadanya. "Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)." (Q. S. Adh-Dhuhaa : 11) Sabda Nabi SAW, "Sesungguhnya Allah itu bagus dan menyukai keindahan." (HR Muslim). Para Salaf mengerti betul akan hal ini, karena itu mereka sangat antusias menceritakan nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepada mereka (dengan penuh rasa syukur, bukan sombong) dan mencela orang yang melalaikan hal ini. Al-Hasan bin Ali Radhiyallahu'anhu berkata: "Bila engkau memperoleh kebaikan atau melakukan kebaikan, maka ceritakanlah kepada orang yang dapat dipercaya dari antara teman-temanmu." (Al-Qurtubi, Al-Jami'Li Ahkamil Qur'an ) 4. Mengira nikmat yang diperolehnya akan kekal dan tidak akan lenyap. "Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: 'Aku kira kebun ini tidak akan binasa selamalamanya.' Dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebunkebun itu." (Q. S. Al-Kahfi : 35-36) 5. Karena mengungguli yang lain dalam memperoleh keutamaan. Adakalanya yang memicu takabbur bagi seseorang ialah karena lebih unggul dari pada yang lain dalam keutamaan. Atau lebih banyak melakukan keutamaan-keutamaan, misalnya dalam bidang ilmu, dakwah, jihad, pendidikan dll. Keunggulan sematamata tidak ada artinya di hadapan Allah kalau tidak disertai dengan keikhlasan dan kejujuran.(Q. S. Al-Hasyr : 8-10) 6. Melupakan akibat buruk takabbur. Diantara sebab timbulnya rasa takabbur adalah melupakan akan akibat buruknya Cara Mengobati Takabbur 1. Mengingat akibat-akibat dan bahaya yang ditimbulkan oleh takabbur, baik yang mengenai dirinya sendiri maupun mengenai amal Islami, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi.
2. Menengok orang sakit, meyaksikan orang yang akan meninggal dunia, menolong kesusahan, mengantarkan janazah dan ziarah kubur. 3. Tidak berteman dengan orang-orang yang takabbur dan sebaliknya bersahabat dengan orang-orang yang tawadhu' dan ahli ibadah. 4. Suka duduk-duduk bersama orang lemah, orang fakir dan miskin, bahkan makan dan minum bersama mereka; karena hal ini akan dapat membersihkan jiwa dan mengenbalikannya ke jalan yang lurus. 5. Suka memikirkan dirinya dan alam semesta, bahkan merenungkan semua nikmat yang diperolehnya sejak yang paling kecil hingga yang paling besar. Siapakah sumber semua itu? Siapakah yang dapat menahan dan menghalanginya? Dengan jalan bagaimanakah seorang hamba berhak mendapatkannya? Bagaimanakah keadaan dirinya seandainya salah satu kenikmatan itu dicabut, apalagi bila dicabut seluruhnya? 6. Memeprhatikan riwayat-riwayat orang takabur, bagaimana keadaan mereka dan bagaimana akhirnya, sejak iblis, Namrud, Fir'aun, Haman, Qorun, Abu Jahal hingga para thaghut-yhaghut, para dictator dan orang-orang yang gemar berbuat dosa pada setiap waktu dan tempat. 7. Menghadiri majlis-majlis taklim yang diasuh oleh ulama-ulama yang bisa diperca Yang dan sadar akan tugas, kewajiban dan akan dirinya. Lebih-lebih majlis yang di dalamnya sering diisi dengan peringatan-peringatan dan penyucian jiwa. 8. Meminta maaf kepada orang yang disombongi dan dihinanya. 9. Menampakkan nikmat yang diberikan Allah kepada dirinya dan menceritakannya kepada orang lain. 10. Selalu mengingat tolak ukur keutamaan dan kemajuan Islam. "Sesungguhnya orang yang paling mulia diantaramu pada pandangan Allah ialah orang yang paling bertakwa." (Q. S. AlHujarat: 13) 11. Rajin melakukan ketaatan semata-mata membersihkan jiwa dari bahkan akan meningkat
ketaatan, karena dengan melakukan mencari ridha Allah ini akan dapat kotoran-kotoran dan kehinaan-kehinaan, ke derajat yang lebih tinggi.
"Barang siapa yang melakukan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia beriman maka benar-benar Kami akan memberinya kehidupan yang baik..."(Q. S. An-Nahl: 97) 12. Melakukan instropeksi untuk mengetahui penyakitpenyakit hatinya sampai dapat mengobatinya hingga kelak akan memperoleh kebahagiaan dan keberuntungan. 13. Selalu meminta pertolongan kepada Allah SWT karena Dia akan menolong orang yang meminta pertolongna kepada-Nya dan akan mengabulkan do'a orang-orang yang sungguh memohon kepada-Nya. "Dan Tuhanmu berfirman: 'Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina.'" (Q. S. Al-Mu'min: 60) 2. Riya (Pamer) Riya adalah mencari pengaruh dan penghormatan di hati makhluk uantuk mendapatkan serta pujian mereka. Gila hormat, pengaruh, dan pujian hanyalah memperturutkan hawa nafsu yang membawa manusia ke jurangkebianasaan. Sesungguhnya rusaknya manusia itu kebanyakan disebabkan oleh kelakuannya sendiri. Sebagimana diterangkan dalam sebuah hadis Rasulullah SAW, “sesungguhnya pada hari kiamat kelak ada seorang yang mati syahid diperintahkan supaya masuk neraka.” Orang itu berkata, “Ya Tuhan, sesungguhnya saya adalah orang yang mati syahid dalam jihad karena Engkau.” Allah SWT berfirman pada orang itu, Kamu melakukan itu hanya ingin mendapatkan pujuan makhluk dan nama besar , serta ingin dikatakan sebagai pemberani. Dan itu semua telah kamu dapatkan di dunia.” Bahaya Riya Setiap manusia mempunyai kecenderungan ingin dipuji, dan keinginan itu merupakan proses pembentukan riya dalam diri seseorang. Sifat riya sangat lembut dan halus, bagaikan gumpalan asap yang memenuhi jiwa dan mengalir kesegenap pembuluh darah, dampaknya dapat menutup pandangan akal dan iman seseorang. Bila
sifat itu dibiarkan berkembang mewarnai hidupnya, maka sudah dapat dipastikan, tidak mampu membendung riya menjelma jadi syirik. Sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Adz Dzahabi. “Maka takutlah kamu sekalian akan riya, karena sessungguhnya riya itu adalah menyekutukan (syirik) kepada Allah チ E Sifat riya sangat berbahaya bagi orang yang menjalankan ibadah, karena menelusup ke sela-sela niat. Padahal niat merupakan pangkal dari murni tidaknya suatu ibadah. Bila amal ibadah seseorang tidak mencerminkan kemurnian (keikhlasan), akan sia-sia. Sebab, Allah tidak pernah menyuruh hamba-hamba-Nya untuk berbuat ibadah, kecuali yang dilandasi niatan ikhlas (murni). Sesungguhnya setiap amal ibadah seorang hamba, tidak dilihat dari sisi lahiriahnya, melainkan apa yang terlintas dalam hatinya, yaitu niatan ikhlas. Barangsiapa mencampur adukkan niat ibadah dengan keinginan nafsunya, sekalipun surga yang diinginkannya, niscaya gugurlah segala amal ibadahnya. Pahala dan surga adalah makhluk Allah. Mengapa masih mengharap sesuatu selain Allah. “Maka perumpamaan orang (yang beramal serta riya) itu seperti batu licin yang diatasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, Allah menjadikan dia bersih (tidak bertanah) (Al Baqarah : 264 ) Mengapa harus mencari pujian dan sanjungan dari makhluk. Bukankah setiap perbuatan yang bersifat baik dan terpuji, dengan sendirinya pasti terpuji dan tersanjung. Begitu pula sebaliknya, setiap perbuatan yang tercela, walau berusaha mencari pujian dan sanjungan, tetap saja tercela. Yang sudah pasti, Allah tidak menerima amal ibadah yang disertai pamrih. Karena Allah Dzat Yang Suci. Seseorang yang mengharap perjumpaan dengan-Nya, hendaklah memakai busana yang suci lahir dan batin. Karena itu, barangsiapa beribadah mencari selain Allah, seperti popularitas, mengharap puji dan sanjung, Allah akan meninggalkan dan tidak peduli pada amal ibadahnya orang-orang yang bersifat riya. Perlu digaris bawahi, Allah tidak mau “dimadu チ E(didua-kan). Allah adalah Dzat yang Esa. Ia tidak butuh amal ibadah seorang hamba yang menduakan-Nya. Siapa pun mengerjakan ibadah yang disertai riya, berarti telah menyekutukan Allah alias syirik. Macam-macam Riya 1. Riya saat zakat
Sifat riya juga tumbuh pada jiwa orang yang memiliki harta, sifat tersebut dapat merubah seseorang menjadi kikir. Zakat dan sedekah yang ditunaikan acap kali diwarnai sifat riya. Tidak ada zakat dan sedekah baginya, kecuali hasrat dipuji dan disanjung. Ciri-ciri orang semacam itu, saat memberi selalu disertai katakata yang menyakitkan hati si penerima. Cara menghitung zakat harta, zakat infak, zakat fitrah dan zakat lainnya, cenderung menyimpang dari ketetapkan syari'at Islam. Orang yang menafkahkan hartanya karena riya, bukan termasuk golongan orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Bahkan mereka termasuk golongan orang yang merugi. Karena mereka telah mengambil setan-setan dari jenis manusia sebagai temannya. Padahal setan adalah seburuk-buruk teman bagi manusia. “Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil setan itu menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang seburuk-buruknya チ E (An Nisaa': 38). 2. Riya saat ibadah “Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah チ E Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan. (Al Anfaal: 47). Kemurahan Allah tercurah pada setiap orang yang mengamalkan ibadah. Apapun yang diniatkan dalam melaksanakan ibadah, niscaya akan dapat hasilnya sesuai dengan niatannya. Sebagaimana Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang beramal karena ingin didengar (cari popularitas), maka Allah akan mendengarkannya. Dan barangsiapa yang beramal karena ingin dilihat (mencari puji dan penghormatan), maka Allah akan memperlihatkannya. チ E (HR. Muslim bersumber dari Ibnu ’Abbas. ra.) “Dan sesungguhnya bagi setiap amal manusia akan mendapatkan apa yang diniatkan". (HR. Bukhari bersumber dari Umar bin Khaththab ra.)
Riya akan menghanguskan semua amal ibadah yang telah dilakukan dengan susah payah. Sifat riya juga dapat tumbuh subur di lingkungan santri, dengan mengajak berangan-angan menjadi ulama besar dan terhormat yang disegani masyarakat. Bukan bercita-cita menjadi hamba Allah yang shaleh, tetapi cenderung menginginkan kemuliaan di dunia dan kemegahan derajat. Begitu pula di kalangan ahli zikir, sifat riya tumbuh dengan lintasan jiwa ingin meraih aura ruhani, sehingga mampu mengelabui di setiap desah zikirnya. Bahkan jiwanya akan membujuk hati untuk mempercepat zikir bahkan menuntut keistimewaan atau “karomah チ E Bagi ahli zikir, tak ada hijab yang menjelma syirik, kecuali riya'. Karena itu ikhlaskan niat agar benar-benar bersih dari noda syirik. “Aku tidak butuh sekutu dalam segala-galanya. Karena itu barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan, lalu dia menyekutukan-Ku dalam amalnya itu dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan amalnya itu padanya dan pada sekutunya. (Hadis Riwayat Muslim. Dari Abu Hurairah ra). 3. Riya dalam Shalat Tumbuh riya pada jiwa orang yang shalatnya diawali motivasi mengharap sesuatu dari manusia, Misalnya melakukan shalat, dengan harapan dikenal sebagai orang yang shaleh dan ahli ibadah. Atau mendirikan shalat karena ingin dikenang sebagai orang yang mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub). Seseorang tidak akan mengetahui riya yang tumbuh pada jiwa orang lain, karena sifat riya sangat halus dan lembut. Ia menelusup dalam diri setiap manusia. Tidak ada yang mengetahui riya, kecuali diri orang yang bersifat riya. Sifat riya pada orang yang melakukan shalat dapat muncul dari awal persiapan sampai akhir shalat. Shalatnya menjadi tidak khusyu' dan tidak bernilai, sebab shalatnya tidak dilakukan dengan tulus dan murni karena panggilan Allah. Sungguh sangat tercela, shalat orang yang dilandasi dengan riya. Betapa nista orang yang dapat dikelabui oleh setan, dengan pandangan dan bayangan kemuliaan. Sungguh celaka orang yang mengotori niat shalatnya dan melalaikan seruan Rasulullah saw.
”Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk bershalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali (An Nisaa': 142). Rasulullah saw. bersabda : “Barangsiapa yang menyempurnakan shalatnya ketika dilihat manusia dan menguranginya diwaktu sendirian. Maka itulah penghinaan terhadap Tuhannya (Allah) チ E (HR. At Thabrani dan Al Baihaqi) Penawar sifat riya Penawar sifat riya sesungguhnya ada pada diri orang yang bersangkutan. Yaitu dengan menyingkirkan segala keinginan yang bersifat duniawi maupun ruhani, karena semua itu hanyalah hiasan bagi orang yang sedang menuju Allah. ”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadanya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus" (Al Bayyinah: 5). Maka satu-satunya jalan menuju keselamatan hati adalah mawas diri, dan mengikis habis sifat-sifat tercela terutama riya. Tentu dengan cara senantiasa melatih dan meningkatkan kadar keimanan. ”Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.チ E(Al Anfaal: 47). Merupakan karakter dasar manusia yang selalu ingin dipuji dan dihormati, sehingga riya berkembang dalam diri. Namun bagi orang yang memiliki kesadaran diri, kesadaran spiritual, dan keimanan yang baik yang menyadari bahwa hanya Allah yang berhak dipuji dan menerima pujian dari setiap makhluk. Hanya Dia-lah Dzat yang patut dipuji. Apabila hasrat ingin dipuji muncul di dalam hati dan sulit dikendalikan maka ingatlah kepada Allah swt. dan tumbuhkan niat ikhlas dalam beribadah kepada-Nya. Barangsiapa yang hendak meraih kemuliaan dan kebesaran Tuhannya di dunia maupun di akhirat, beramallah dengan amalanamalan yang baik (shaleh) dengan memurnikan akidahnya dalam beribadah kepadaNya, dan tidak syirik dengan sesuatu apapun. Allah
adalah Dzat yang Esa, maka Allah cinta kepada hamba-hamba-Nya yang mengesakan niatnya dalam melaksanakan amal ibadah yang diserukan-Nya. Itu sebagai tanda bersih hatinya dari sifat riya. Jika hati tidak bersih dari sifat tersebut, maka riya akan menjelma jadi syirik. "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar." (An Nisaa': 48) Kalam Hikmah : 1. Setiap manusia mempunyai kecenderungan ingin dipuji, dan keinginan itu merupakan proses pembentukan riya dalam diri seseorang. 2. Jika hati tidak bersih dari sifat tersebut, maka riya akan menjelma jadi syirik. 3. Mengapa harus mencari pujian dan sanjungan dari makhluk. Bukankah setiap perbuatan yang bersifat baik dan terpuji, dengan sendirinya pasti terpuji dan tersanjung. 4. Riya akan menghanguskan semua amal ibadah yang telah dilakukan dengan susah payah.
3. Hasad Hasad artinya menaruh perasaan benci, tidak senang yang amat sangat terhadap keberuntungan orang lain. Hasad biasanya berkaitan dengan sifat iri. Wujudnya adalah sikap dan perbuatan tidak senang terhadap orang lain, seperti memusuhi, menjelekkan, mencemarkan nama baik orang lain dan lain-lain. Sikap dan perbuatan semcam ini biasanya dapat berkepanjangan sehingga menimbulkan perselisihan dan permusuhan, apabila yang bersangkutan tidak segera menyadari sikap buruknya tersebut. Hasad termasuk duri dalam masyarakat dan bangsa, bahkan sebagai racun dala agama. Perhatikan hadits berikut
Artinya :
Telah masuk ke dalam tubuhmu penyakit-penyakit umt dahulu yaitu benci dan dengki itulah yang bisa mencukur (membinasakan) agama, bukan mencukur rambut. ( HR. Al Tirmizi ) Sifat hasad tersebut merupakan penyakit hati yang cukup berbahaya, karena hasad merupakan sifat buruk yang muncul dari hati manusia akibat dorongan nafsu dan setan. Perbuatan hasad pada umumnya berkonotasi pemecah belah, dikarenakan tidak suka melihat kesuksesan dan kesenangan pihak lain. Dalam kitab Tanbiul Gafil“in (1980 : 237-238) diterangkan bahwa orang hasad itu telah ditentang oleh Allah swt. Dalam beberapa hal seperti berikut : 1. Membenci nikmat atau anugerah Allah swt. Yang diberikan kepada orang lain 2. Tidak rela menerima pembagian karunia Allah swt Atas dirinya 3. Pelit terhadap pemberian Allah swt. Kalau bisa kebaikan dan anugerah Allah swt. Jatuh pada dirinya, tidak perlu orang lain kalaupun orang lain memperoleh diharapkan di bawah derajat dirinya 4.
Hancurnya kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan
Sesuai dengan sabda Rasulullah saw : Arinya : Jauhilah dirimu dari sifat dengki karena sesungguhnya dengki itu memkan kebaikan seperti api makan kayu bakar. ( H.R.Dawud ) Bahaya sifat hasad : Begitu buruk sifat dan perbuatan dengki sehingga Rasulullah saw. Menggambarkan seperti api memakan kayu bakar, sebagai perusak dan penghancur sendi-sendi agama, artinya orang yang bersikap dan berbuat dengki pada dasarnya sama dengan penghancur agama. Sebagai rinci bahaya yang ditimbulkan dari sifat dengki, antara lain sebagai berikut : 1.
Menimbulkan permusuhan
2.
Menimbulkan perasaan dendam
3.
Menghilangkan persahabatan
4.
Menghilangkan kebaikan yang telah dilakukan
5.
Dibenci Allah swt. ( berdosa )
Cara menghindari sifat hasad antara lain dengan :
1. Mempererat tali persaudaraan guna terjalin kerukunan dan kebersamaan 2. Mendekatkan diri kepada Allah swt. Dengan harapan hati dan pikiran menjadi tenangdan 3. Menumbuhkan sikap qanaah (merasa cukup terhadap apa yang dimiliki )