KECERDASAN KOMUNIKASI ANTARPRIBADI DALAM MENJALANKAN FUNGSI MANAJEMEN PTS (Studi Kasus pada Pengelola PTS di Kopertis Wilayah IV Jawa Barat dan Banten) Ani Yuningsih1, dan Dadan Mulyana2 Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Bandung 1
[email protected]; 2
[email protected] 1,2
Abstrak Mengelola sebuah perguruan tinggi swasta berbeda dengan mengelola perusahaan, karena perguruan tinggi tidak berorientasi profit, serta memiliki rujukan regulasi tersendiri dari pemerintah melalui Dikti dan Kopertis di wilayah masing-masing tujuan Kopertis yaitu dapat membentuk dan membangun PTS yang otonom, transparan dan akuntabel. Pengelola PTS, mulai dari tingkat rektorat sampai dengan pelaksana operasional, dalam menjalankan fungsi tridharma perguruan tinggi yang dikelolanya, selain perlu menjalankan komunikasi organisasional yang efektif, juga membutuhkan keterampilan komunikasi antarpribadi. Pola komunikasi organisasi yang terbangun melalui kebiasaan-kebiasaan pengelola PTS, boleh jadi masih menunjukkan adanya kesenjangan informasi, sehingga organisasi menjadi kurang efetif dan tujuan belum tercapai secara optimal. Kebiasaan-kebiasaan komunikasi pengelola PTS, menggambarkan kecerdasan komunikasi antarpribadi antar pengelola satu dengan yang lainnya. Tahun 2015 dan 2016 dilakukan penelitian tentang “Fungsi Komunikasi Organisasional Kopertis dalam pengawasan, pengendalian dan pembinaan terhadap PTS”, di beberapa PTS wilayah Kopertis Wilayah Jawa Barat dan Banten, dengan menggunakan studi kasus. Salah satu hasil penelitian, menunjukkan ada hambatan komunikasi organisasional yang disebabkan beberapa factor, termasuk kurangnya kecerdasan komunikasi antarpribadi pengelola PTS. Untuk meningkatkan kapasitas SDM pengelola PTS, Kopertis sudah berupaya memberikan berbagai pelatihan. Kata kunci : kecerdasan komunikasi, komunikasi antarpribadi, fungsi komunikasi organisasional
PENDAHULUAN/LATAR BELAKANG Pengelola institusi pendidikan tinggi di Indonesia menghadapi tantangan yang sangat kompleks, dan sekaligus peluang yang lebih terbuka di era internasionalisasi, khususnya melalui kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kapasitas SDM pengelola perguruan tinggi swasta (PTS) diharapkan memiliki kemampuan khas dalam menyinergikan kapasitas potensi dirinya dengan potensi-potensi mitra kerjanya, untuk mencapai visi institusi pendidikan yang dipimpinnya, dan sekaligus mewujudkan cita-cita dirinya. Kemampuan tersebut dikenal sebagai kecerdasan komunikasi. Kecerdasan komunikasi pengelola PTS yang tinggi, dapat membangun pola komunikasi organisasi yang efektif, serta dapat meraih target yang ditetapkan secara optimal. Mengelola sebuah perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta berbeda dengan mengelola perusahaan, karena perguruan tinggi tidak berorientasi profit, serta memiliki rujukan regulasi tersendiri dari pemerintah melalui Dikti dan Kopertis di wilayah masing-masing. Khusus untuk Perguruan Tinggi Swasta (PTS), tantangan dan persaingan global lebih berat dirasakan, karena PTS hampir sepenuhnya mengandalkan kapasitas, infrastruktur serta potensi diri secara
internal, aksesibilitas terhadap bantuan eksternal cenderung lebih terbatas dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri (PTN). Akan tetapi pemerintah memfasilitasi peningkatan kapasitas SDM pengelola PTS melalui berbagai pelatihan dan melalui fungsi pengawasan, pengendalian dan pembinaan oleh Kopertis. Tujuan Kopertis yaitu dapat membentuk dan membangun PTS yang otonom, transparan dan akuntabel. Pembinaan yang dilakukan Kopertis diharapkan dapat meningkatkan kapasitas pengelola PTS, yang di dalamnya melekat kapasitas kecerdasan komunikasi organisasional dan kecerdasan komunikasi antarpribadi para pengelola PTS. Optimalisasi berbagai program pembinaan PTS agar lebih berkualitas dan berdaya saing, terus dijalankan, baik secara mandiri oleh PTS maupun melalui Kopertis. Hasil penelitian sebelumnya (2016), menunjukkan fakta masih terdapat kesenjangan informasi di dalam tubuh PTS secara internal, maupun antara PTS dengan Kopertis secara eksternal. Kesenjangan informasi yang terjadi, boleh jadi ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan masing-masing pengelola lembaga yang sudah terpolakan, dan polanya sendiri belum kondusif untuk kebutuhan yang semakin kompleks. Atau boleh jadi karena masih kurang memadainya kecerdasan komunikasi para pengelola PTS itu sendiri. Kecerdasan komunikasi antarpribadi yang belum memadai, ditambah pola komunikasi yang kurang kondusif, boleh jadi menyebabkan para pengelola PTS dan sivitas akedemikanya masing-masing terjebak dalam perspektifnya secara parsial, serta terjebak dalam zona nyaman yang lebih mengutamakan stabilitas rutinitas kegiatan administratif, dibandingkan proses komunikasi transaksional, posisional serta transformasional yang merupakan sebuah keniscayaan, bagi pemenuhan tuntutan serta kebutuhan terhadap pendidikan. Penelitian tahun 2015 dan 2016 tentang pola komunikasi internal PTS, serta pola komunikasi eksternal antar PTS dengan Kopertis, mencoba mengangkat isu aktual seputar pentingnya dilakukan perubahan radikal atas fungsi manajemen, sekaligus fungsi komunikasi organisasional PTS di bawah pengawasan, pengendalian serta pembinaan Kopertis. Perubahan fungsi manajemen PTS yang dimaksud, bukanlah perubahan fungsi tridharma perguruan tinggi yang sudah ada, akan tetapi lebih terkait dengan perubahan pola komunikasi internal dan komunikasi eksternal yang dilakukan pengelola PTS. Perubahan pola komunikasi agar lebih kondusif, koordinatif serta adaptif terhadap berbagai regulasi pendidikan tinggi yang dinamis, tentu saja tidak akan terjadi tanpa peningkatan kecerdasan komunikasi pada diri SDM pengelola PTS. Oleh karenanya penelitian tahun 2016 ini, selain mencoba memetakan pola komunikasi organisasi PTS secara internal dan eksternal, juga memetakan kecerdasan komunikasi seperti apa yang dibutuhkan dan sebaiknya ada pada diri para pengelola PTS. Berbasis pada hasil penelitian tersebut, ada dua identifikasi masalah yang akan dianalisis dalam tulisan ini, yaitu : Faktor-faktor apa yang menjadi penghambat fungsi pengawasan, pengendalian dan pembinaan PTS oleh Kopertis?; dan Bagaimana peta kecerdasan komunikasi yang dibutuhkan dalam menjalankan fungsi manajemen PTS ? KAJIAN TEORITIS/KONSEP Kecerdasan Komunikasi Kecerdasan komunikasi adalah kemampuan seseorang dalam mengkombinasikan kekuatan diri sendiri dengan potensi orang lain. Melalui kecerdasan komunikasi seseorang mampu melakukan upaya mewujudkan cita-cita tanpa merugikan diri sendiri dan orang lain. Kecerdasan komunikasi adalah kemampuan untuk membangun sinergi dan kerjasama yang berkesinambungan melalui aktivitas pengiriman dan penerimaan pesan. Kecerdasan komunikasi
adalah kepekaan yang tinggi dalam memahami posisi psikologis lawan bicara, sehingga mampu mengemas pesan, verbal maupun non verbal, dengan tepat kepada audience yang tepat, pada saat yang tepat, dengan intensitas yang tepat. Kecerdasan Komunikasi Antarpribadi Di antara kecerdasan komunikasi yang paling utama perlu diasah dan ditingkatkan adalah kecerdasan komunikasi antarpribadi. Kecerdasan komunikasi antarpribadi, adalah kemampuan untuk membangun hubungan yang baik dengan orang lain secara berkesinambungan, dalam jangka waktu yang relatif lama, sehingga terjalin kerjasama yang saling menguntungkan. Kecerdasan antarpribadi adalah kemampuan untuk mengamati dan mengerti maksud, motivasi dan perasaan orang lain. Peka pada ekpresi wajah, suara dan gerakan tubuh orang lain dan ia mampu memberikan respon secara efektif dalam berkomunikasi. Kecerdasan ini juga mampu untuk masuk ke dalam diri orang lain, mengerti dunia orang lain, mengerti pandangan, sikap orang lain dan umumnya dapat memimpin kelompok. Orang yang memiliki kecerdasan antarpribadi yang rendah dapat memunculkan konflik antarpriadi, maupun konflik yang lebih luas. Hal ini ditegaskan oleh Sullivan dalam Chaplin (2000:257) bahwa penyakit mental dan perkembangan kepribadian terutama sekali lebih banyak ditentukan oleh interaksi interpersonalnya daripada oleh faktor-faktor konstitusionalnya. Kecerdasan Percakapan Kecerdasan antarpribadi umumnya dibangun melalui keterampilan melakukan percakapan. Bagi seorang pemimpin, kemampuannya dalam melakukan percakapan akan mempengaruhi efektivitasnya untuk menjadi pemimpin transformasional. Menurut Judith E. Glaser, Conversational Intelligence (CI) dapat dikembangkan pada tingkatan organisasi, tim, dan individu. Pada tingkatan organisasi, CI adalah kemampuan suatu organisasi untuk berkomunikasi dengan cara-cara yang dapat menciptakan suatu konsep realitas bersama. Pada tingkatan individu, CI adalah kemampuan yang ada pada semua manusia untuk berhubungan, bekerjasama, dan bernavigasi dengan orang lain. CI merupakan usaha bersama yang bersifat kolaborasi. Semakin sering digunakan bersama-sama maka CI akan semakin meningkat. Menurut Glaser, untuk meningkatkan CI kita ke tingkatan tertinggi yaitu Transformational Intelligence (TI), maka kita perlu menjadi master dan pencipta ritual percakapan yang memungkinkan sebesar mungkin kita mengekspresikan ide, perasaan, firasat, pikiran, dan aspirasi. Dengan CI yang transformasional maka jika terdapat perbedaan pendapat, selisih pendapat tadi akan semakin mengecil atau bahkan hilang sama sekali. Dengan demikian, menurut Glaser, CI pada tingkatan transformasional dapat menghasilkan perbaikan fungsi manajemen dan menciptakan kerangka untuk peningkatan hubungan dan kerjasama, mengeluarkan energi baru untuk pertumbuhan dan transformasi. Efektivitas Organisasi Menurut Miller (1977, dalam Siagian 1986:33) bahwa : “Efectiveness be define as the degree to wich a social system achieve its goals. Efectiveness must be distingiished from efficiency. Efficiency is mainly concered with goal attainments.” (Efektivitas dimaksud sebagai tingkat seberapa jauh suatu sistem sosial mencapai tujuannya. Efektivitas ini harus dibedakan
dengan efisiensi. Efisiensi terutama mengandung pengertian perbandingan antara biaya dan hasil, sedangkan efektivitas secara langsung dihubungkan dengan pencapaian suatu tujuan). Selanjutnya dikatakan oleh Georgopualos dan Tannebaum (dalam Etzioni, 1969: 82) bahwa: “.....organization effectiveness as the extent to which an organization as a social system, given certain resources and mean, ulfil it ‟s objective without incapacitating it ‟s means and resours and without placing strain upon it ‟s members.” (Pandangan tersebut dapat diartikan bahwa efektivitas organisasi adalah tingkat sejauhmana suatu organisasi yang merupakan sistem sosial dengan segala sumber daya dan sarana tertentu yang tersedia memenuhi tujuan-tujuannya tanpa pemborosan dan menghindari ketegangan yang tidak perlu diantara anggota-anggotanya). Argris membahas bagaimana mencapai tingkat efektivitas (Argyris, 1964) yang mengatakan:“Organizational efectiveness then is balanced organisation optimal emphasis upon achieving object solving competence and human energy utilization”. (Efektivitas organisasi adalah keseimbangan atau pendekatan secara optimal pada pencapaian tujuan, kemampuan dan pemanfaatan tenaga manusia). Hambatan Komunikasi Organisasional Menurut Prof. Onong Uchjana Effendy, MA dalam bukunya Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi (Effendy, 2003). Ada 4 jenis hambatan komunikasi, yaitu gangguan, kepentingan, motivasi terpendam dan prasangka. Terdapat 2 jenis gangguan terhadap jalannya komunikasi yang menurut sifatnya dapat diklasifikasikan sebagai gangguan mekanik dan semantik. Gangguan mekanik, yaitu gangguan yang disebabkan oleh saluran komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik. Sementara itu gangguan semantik, yaitu gangguan jenis ini bersangkutan dengan pesan komunikasi yang pengertiannya menjadi rusak. Gangguan semantik tersaring ke dalam pesan melalui penggunaan bahasa. Lebih banyak kekacauan mengenai pengertian suatu istilah atau konsep yang terdapat pada komunikator, akan lebih banyak gangguan semantic dalam pesannya. Gangguan ini terjadi dalam salah pengertian. Sementara itu, faktor kepentingan akan membuat seseorang selektif dalam menanggapi atau menghayati suatu pesan. Dalam faktor motivasi terpendam, Motivasi akan mendorong seseorang berbuat sesuatu yang sesuai benar dengan keinginan, kebutuhan, dan kekurangannya. Semakin sesuai komunikasi dengan motivasi seseorang semakin besar kemungkinan komunikasi itu dapat diterima dengan baik oleh pihak yang bersangkutan. Sebaliknya, komunikan akan mengabaikan suatu komunikasi yang tak sesuai dengan motivasinya. Faktor prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat bagi suatu kegiatan komunikasi, oleh karena orang yang mempunyai prasangka belum apa-apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang hendak melancarkan komunikasi. PTS dan Kopertis sebagai Organisasi Pembelajaran Senge (1990) menggarisbawahi bahwa learning organization yang sukses diindikasikan dari adanya ciri-ciri sebagai berikut: proses pembelajaran individu berjalan dengan baik; proses knowledge sharing berjalan baik; budaya perusahaan mendukung proses dan aktifitas pembelajaran; karyawan dimotivasi dan didukung penuh untuk mampu berpikir kritis dan berani
mengambil resiko atas inovasi dan ide baru yang dijalankannya; serta organisasi berpandangan bahwa karyawan memiliki kontribusi penting terhadap kemajuan organisasi. “Learning Organization are organizations where people continually expand their capacity to create the result they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see the whole together” (Senge, 1990). Sehingga organisasi tidak hanya dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan tetapi juga dituntut untuk mampu menciptakan pengetahuan baru untuk meraih masa depan. “The learning organization seems to work on the assumption that “learning” is valuable, continuous, and most effective when shared and that every experience is an opportunity to learn” (Sandra Kerka, 1995). METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berupaya melihat, mengamati, mengelaborasi, dan mengeksplorasi para informan yaitu pengelola Kopertis dan pengelola PTS di Jawa Barat. Narasumber adalah pengelola PTS, sebanyak 6 orang dari PTS yang berbeda, mereka adalah pelaku komunikasi organisasional baik secara internal maupun eksternal. Juga pengelola yang diharapkan memiliki kecerdasan komunikasi antarpribadi. Adapun metode yang digunakan adalah metode studi kasus. Adapun teknik pengumpulan data untuk dianalisis dengan beberapa cara, yaitu: melalui wawancara mendalam (Indepth-Interview), yang dilakukan kepada sebanyak 6 informan dari PTS di wilayah Jawa Barat dan Banten, serta 3 informan dari Kopertis wilayah Jawa Barat dan Banten; Focus Group Discussion, yaitu melakukan diskusi kelompok fokus yang dihadiri oleh peneglola PTS, serta pimpinan Kopertis yang terkait dengan perencanaan dan implementasi komunikasi organisasional; studi kepustakaan, yaitu mengumpulan data dan informasi dari bukubuku, dokumen, file, dan berbagai sumber tertulis lainnya yang berhubungan dengan komunikasi organisasional, kecerdasan komunikasi dan hambatan komunikasi dalam melaksanakan fungsi manajemen PTS; serta melalui observasi, peneliti melakukan pengamatan secara langsung kondisi di lapangan, serta mencatat secara sistematis fenomena yang berkaitan dengan peta kecerdasan komunikasi para pengelola PTS dalam menjalankan fungsi komunikasi organisasional. Hasil observasi dituangkan ke dalam analisis, dan secara lengkap ada dalam laporan penelitian. HASIL ANALISIS Hasil penelitian menunjukkan bahwa kendala atau hambatan komunikasi organisasional pengelola PTS, baik secara internal maupun secara eksternal dengan Kopertis, dalam mengoptimalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, meliputi 4 faktor utama, yang dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1. Hambatan Komunikasi dalam Mengoptimalkan Fungsi Tridharma Perguruan Tinggi Sumber : Hasil penelitian 2016
Faktor pertama yang menjadi penghambat komunikasi adalah konten komunikasi, yaitu pesan serta pengemasan pesan yang dikirimkan pengelola PTS, baik secara internal, maupun secara eksternal dengan Kopertis. yang terdiri atas kurangnya pemahaman serta persepsi yang tepat atas pesan yang dikirimkan; prosedur komunikasi yang kurang jelas dan tegas; regulasi atau kebijakan yang sering berubah namun proses sosialisasi dan implementasinya tidak seiring; kesesuaian antara infomasi yang dikirimkan dengan informasi yang dibutuhkan segera oleh masing-masing pihak; serta terakhir ketepatan pengemasan pesan, yang dianggap masih belum sesuai dengan kondisi psikologis para pengelola institusi satu sama lain. Faktor kedua yang menjadi penghambat komunikasi adalah media komunikasi. Media yang digunakan untuk berkomunikasi antara pengelola PTS baik secara internal mapun secara eksternal dengan kopertis, masih dianggap memiliki kesenjangan, terutama dalam hal media berbasis IT (media online), karena masih banyak PTS di Jawa Barat dan Banten yang tertinggal IT nya. Selain itu kesadaran pengelola PTS untuk mengakses media Kopertis secara proaktif masih rendah. Media konvensional masih tetap dominan digunakan, sehingga kecepatan komunikasi masih belum memadai, baik secara internal maupn eksternal. Terakhir, contact person di Kopertis, oleh pengelola PTS dipandang tidak jelas dan sering berubah oleh PTS, sehingga menyulitkan berkomunikasi secara rutin tentang bidang tertentu. Sebaliknya contact person selaku pengelola PTS dipandang kurang kredibel di mata Kopertis, sehingga komunikasi dan informasi sering tidak tepat waktu dan tidak tepat sasaran. Informasi dari Kopertis sering tidak tersebar dengan baik secara internal kepada sivitas akademika, atau pun kepada pejabat berwenang di PTS yang bersangkutan. Faktor ketiga yang menjadi penghambat komunikasi adalah proses komunikasi, yang masih dipandang bersifat linier, satu arah, dan agak sedikit peluang untuk berinteraksi secara langsung. Arus pesan dinilai cenderung parsial tidak terintegrasi dengan baik, terlalu birokratis, serta mengakibatkan banyaknya pesan atau informasi yang tertunda dan terlambat diterima masing-masing pengelola PTS maupun dari dan ke Kopertis. Faktor keempat yang menjadi penghambat komunikasi adalah kecerdasan komunikasi. Kecerdasan komunikasi ini meliputi kecerdasan antarpribadi para pengelola, kecerdasan organisasioanl, maupun kecerdasan sosial yang dinilai masih belum memadai. Selain itu literasi media juga dinilai masih perlu ditingkatkan. Hasil Penelitian tentang peta kecerdasan komunikasi dalam pengelolaan PTS, memperlihatkan adanya 3 (tiga) kategori kecerdasan komunikasi yang dibutuhkan para pengelola PTS, yaitu kecerdasan organisasional, kecerdasan fungsional sebagai tim dan terakhir kecerdasan
antarpribadi para pengelola. Secara keseluruhan, kategorisasi kecerdasan komunikasi tersebut dapat digambarkan melalui model sebagai berikut :
Gambar 2. Kategorisasi Kecerdasan Komunikasi dalam Pengelolaan PTS Sumber : Hasil penelitian 2016
DISKUSI Kecerdasan komunikasi organisasional yang terdapat dalam konteks organisasi, sebaiknya melekat pada diri pimpinan penentu kebijakan, manajer pengatur teknis operasional, serta pada pelaksana teknis. Tentu saja bobot kecerdasan serta tingkat kompleksitasnya berbeda pada tiap tingkatan pengelola tersebut, sesuai dengan tanggung jawab serta tupoksinya masingmasing. Kecerdasan komunikasi fungsional tim, terdapat pada fungsi manajemen tim kerja yang sudah ditetapkan dalam visi organisasi, serta diatur dan diawasi oleh regulasi yang berlaku. Dalam hal ini terkait dengan kecerdasan melakukan fungsi pengawasan, pengendalian dan pembinaan, baik secara internal maupun eksternal. Kecerdasan komunikasi antarpribadi, melekat pada individu para pengelola PTS dan kopertis. Merujuk pada pendapat Glaser, kecerdasan antarpribadi dapat dikategorikan ke dalam tiga tingkatan kecerdasan, yaitu tingkatan transaksional, tingkatan posisional dan tingkatan transformasional. Di level pimpinan tertinggi, kecerdasan antarpribadi pengelola PTS dan kopertis relatif sudah tinggi, akan tetapi di level pelaksana teknis dinilai masih kurang memadai. Kecerdasan antarpribadi merupakan kemampuan memahami dan membedakan suasana hati, kehendak, motivasi dan perasaan orang lain. Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap ekspresi wajah, suara, maupun gerak isyarat tertentu. Individu yang memiliki kemampuan tinggi pada kecerdasan ini dapat memahami orang lain, sering menjadi pemimpin diantara temantemannya, mengorganisasi dan berkomunikasi dengan tepat. Kecerdasan antarpribadi juga mendukung pelaksanaan coaching dan conseling dengan tepat. Kemampuan yang terkait dengan kecerdasan antarpribadi antara lain : kepekaan terhadap emosi, perasaan dan kehendak orang lain; kemampuan bekerjasama dengan orang lain; serta kemampuan mengorganisir orang lain.
Beberapa contoh kesalahan yang dapat dilakukan oleh pengelola PTS dan Kopertis, jika memiliki kecerdasan antarpribadi yang rendah, antara lain mengabaikan perspektif pihak lain, fiksasi yang memaksakan posisi sebagai yang selalu benar, serta mementingkan pandangan yang sama dengan dirinya, tanpa memperhatikan sikap binaannya. Menurut Glaser, kecerdasan antar pribadi transformasional dimulai dengan adanya trust atau kepercayaan antara pemimpin dan para bawahannya. Dalam hubungan antara seorang pemimpin dan para bawahannya penting sekali bahwa hubungan tersebut didasarkan pada adanya saling kepercayaan diantara mereka. Untuk mendapatkan kepercayaan dari bawahannya maka seorang pemimpin harus mempunyai kredibilitas dimata para bawahannya. Salah satu sumber kredibilitas dari seorang pemimpin adalah dia melakukan apa yang dia katakan (walk the talk). Apabila hal-hal baik yang diucapkannya ternyata tidak dilakukannya dalam perilakunya sehari-hari maka pemimpin tersebut akan kehilangan kredibilitasnya di mata para bawahannya. Selain ketiga level tersebut, kecerdasan komunikasi antarpribadi juga ditandai dengan adanya tingkat keterampilan melakukan human relations dengan baik, yaitu menggunakan pendekatan psikologis humanistis dalam menjalankan komunikasi organisasional, sehingga perubahan yang terjadi pada lawan bicara berjalan alamiah atas keinginan dirinya sendiri, karena menerapkan berbagai teknik human relations. KESIMPULAN DAN SARAN Kendala atau hambatan komunikasi organisasional yang dihadapi pengelola PTS, dalam mengoptimalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, meliputi 4 faktor utama, yaitu pemahaman terhadap konten komunikasi, pemanfaatan media yang belum seimbang, proses komunikasi yang masih belum terstandarisasikan dan belum terintegrasi dengan baik, serta kecerdasan komunikasi yang masih relatif rendah, baik pada diri pengelola PTS maupun kopertis. Peta kecerdasan komunikasi dalam pengelolaan PTS, memperlihatkan adanya 3 (tiga) kategori kecerdasan komunikasi yang dibutuhkan para pengelola PTS, yaitu kecerdasan organisasional, kecerdasan fungsional sebagai tim, dan tingkat kecerdasan antarpribadi para pengelola. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan organisasional masih kurang memadai, kecerdasan fungsional tim sudah baik, dan kecerdasan antarpribadi relatif masih rendah. REFERENSI Argyris. 1952. Organizational Leadership dan Participation management. The Journal of Business. Vol. XXVII (January): 1-7. Chaplin,, J.P. 2000. Kamus Lengkap Psikologi (terjemahan Kartono, K). Jakarta : Raja Grafindo Persada. Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu Teori & Filsafat Komunikasi. Bandung : Citra Aditya Bakti. Etzioni, Amitai. 1961. A Comparative Analysis of Complex Organizations : On Power, Invovement, and Their Correlates, The Free Press of Glencoe, Inc. Glaser, Judith. E, “Build Trust Through Conventional Intelligence”. http://www.creatingwe.com/articles/716-build-trust-trough-conversational-intelligence, diakses tanggal 1 September 2016 Kerka, Sandra. 1995. Organisasi Pembelajaran : Mitos dan Realitas Eric Clearinghouse,http://www.cete.org/acve/docgen.asp?tbl=archive&ID=A208
Mulyana, Dadan, dkk. 2016. Pola Komunikasi Organisasioanl Kopertis. Laporan Penelitian Hibah Bersaing DIKTI. Mulyana Dadan, dkk. 2015. Hubungan Iklim Organisasi Kopertis dengan Kepuasan Kerja Dosen. Laporan Penelitian Hibah Bersaing DIKTI. Senge, Peter. (1990). The Fith Dicipline. Double day: USA Siagian, Sondang P. 1986. “Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi”. Jakarta: PT. Gunung Agung. Yuningsih, Ani. 2014. Pola Komunikasi Organisasional UNISBA. Laporan Penelitian Hibah LPPM UNISBA.