BAB II KAJIAN PUSTAKA,
KONSEP,
LANDASAN
TEORI
DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka 2.1.1
Penelitian
Terdahulu Beberapa
hasil penelitian terdahulu dan
pernyataan
pengambil
kebijakan (
policy maker
)
yang dianggap relevan dengan penelitian ini khususnya
tentang
pengembangan
pariwisata
pedesaan, pariwisata kerakyatan, ekowisata antara lain : 1
penelitian Aristyawati (1991) tentang ”Potensi Bendungan Palasari sebagai objek wisata di Kabupaten Jembrana” menyatakan bahwa penduduk desa Palasari menyambut hangat program pemerintah setempat yang berencana mengembangkan Bendungan Palasari menjadi sebuah objek wisata dan program inipun akan berhasil dengan baik apabila ada kesatuan pendapat antara masyarakat, aparat desa, dan pemerintah daerah setempat. Penyediaan fasilitas yang baik dan lengkap akan menyenangkan pelancong dan wisatawan yang akan datang ke Bendungan Palasari; adanya aksesibilitas baik sarana maupun prasarana yang tersedia di sekitar wilayah tersebut. Penelitian yang lainnya yang memiliki fokus yang sama (mengkaji tentang pariwisata alternatif) dilakukan oleh Wijaya pada tahun 2008, dengan judul ”Strategi Pengembangan Desa Wisata Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem”. Penelitian ini dikembangkan karena adanya kejenuhan terhadap jenis kepariwisataan yang selama ini telah dikembangkan, yaitu pariwisata massal, yang merusak lingkungan dan juga sosial budaya masyarakat. Sehingga untuk mengantisipasi dampak negatif dari pariwisata massal, maka dikembangkanlah pariwisata alternatif, yakni pariwisata pedesaan. Penelitian ini berlokasi di Desa Tenganan Pegringsingan. Adapun potensi wisata yang dimiliki adalah panorama persawahan, bangunan bersejarah, suasana perkampungan, perumahan penduduk, kesenian tradisional, sistem kelembagaan dan sistem sosial kemasyarakatan. Adapun hasil penelitiannya adalah dikembangkannya jenis wisata agro dan juga wisata budaya. 2
Penelitian Puja Astawa, dkk (2002) tentang “Pola Pengembangan Pariwisata Terpadu Bertumpu Pada Model Pemberdayaan Masyarakat di Wilayah Bali Tengah” menyatakan bahwa berdasarkan profil wilayah Bali Tengah yang pada dasarnya mencerminkan satu kesatuan sosial budaya dan lingkungan agraris, maka ditetapkan “Pariwisata Subak” sebagai model hipotetik bagi pengembangan pariwisata yang berbasiskan potensi sosial budaya dan ekologi pertanian yang dalam pengelolaannya mengutamakan peran serta masyarakat setempat sehingga mampu memberikan manfaat kesejahteraan bagi masyarakat serta pelestarian budaya dan lingkungan setempat. Jenis – jenis potensi yang dapat dikembangkan sebagai daya tarik atau objek wisata meliputi : (1) potensi ekologis yang terdiri dari ekologi persawahan, perkebunan, hutan, sungai, mata air dan pegunungan; (2) potensi sosial budaya dari berbagai aspek kehidupan budaya petani masyarakat pedesaan; (3) revitalisasi dan konservasi kebudayaan lokal, yang ditandai dengan dibangkitkannya kembali berbagai jenis tradisi yang belakangan ini semakin terancam keadaannya, serta semakin mantap dan terpeliharanya keberadaan lembaga subak yang sangat penting artinya bagi ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan setempat; (4) meningkatkan perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap pemeliharaan dan penyelamatan peninggalan budaya masa lalu; (5) pengelolaan pariwisata subak dilakukan melalui kerjasama terpadu antara masyarakat sebagai pemegang peran sentral, pengusaha pariwisata sebagai mitra usaha dan pemerintah sebagai fasilitator dan sekaligus sebagai control terhadap pengembangan pariwisata setempat.
3
Penelitian Parining, dkk (2001) “Studi tentang implementasi Konsep Pariwisata Kerakyatan di Bali”, menyatakan bahwa beberapa pedoman yang bisa dijadikan model dalam pengembangan ke depan yaitu :
(1) skala kecil; (2)
kandungan impor rendah; (3) pemberdayaan masyarakat; (4) bisnis yang ramah lingkungan; (5) dasar pengembangan pariwisata ke depan adalah mengutamakan potensi ecotourism yang dimiliki oleh masing – masing kabupaten, tanpa mengganggu keaslian alam itu sendiri; (6) respon masyarakat lokal sangat “welcome” kepada penduduk pendatang, namun jumlahnya sebaiknya diatur dan tidak terlalu banyak, karena masyarakat lokal sudah merasa rusak dengan meningkatkan kriminalitas dan keamanan desa wisata sudah mulai terganggu; (7) belum adanya pemerataan pengetahuan di kalangan fungsionaris desa mengenai peraturan perundang-undangan tentang kepariwisataan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan penerapan asas pelestarian lingkungan; (8) belum adanya pemerataan pengetahuan dikalangan pengusaha pariwisata mengenai keharusan menerima tenaga kerja setempat sesuai perda nomor 8 Tahun 1999; (9) belum adanya sangsi yang termuat di dalam kebijakan kepariwisataan bagi pelanggarnya sehingga masyarakat lokal belum terlindungi haknya; (10) perlu sosialisasi mengenai ajaran Agama Hindu yang sesuai dengan ajaran kitab suci weda, supaya terjadi keseimbangan antara tatwa, etika dan upacara, sehingga tenaga kerja etnis Bali yang beragama Hindu bisa go nasional dan internasional; (11) Supaya terjadi pembenahan bagi aturan desa adat yang masih memiliki aturan “kaku”, sehingga bisa menguntungkan semua warga yang mengempon aturan tersebut dan mendorong 4
warganya untuk berprestasi tanpa ketakutan akan kesepekang oleh desa adatnya sendiri; (12) Perlu diadakan penyempurnaan Perda Pariwisata Budaya dengan memuat secara konsisten asas – asas pariwisata kerakyatan yang telah tertuang dalam peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi seperti GBHN 1999, UU No.9 Tahun 1990, dan PP No. 67 Tahun 1996. Penelitian Pitana, dkk (2000) tentang “Daya Dukung Bali Dalam Kepariwisataan ( Kajian Dari Aspek Lingkungan dan Sosial Budaya )” menyatakan antara lain : (1) apabila laju pertumbuhan penduduk maupun kehadiran dari imigran tidak dapat dikendalikan maka daya tampung terhadap kehadiran wisatawan akan semakin menurun dan pada tahun 2010 Bali tidak lagi menerima kehadiran wisatawan karena telah krisis sumber daya lahan dan air, (2) masyarakat Bali sangat “welcome” atas kehadiran wisatawan, dan dari segi sosial budaya kehadiran wisatawan masih dapat ditingkatkan jumlahnya sepanjang kehadiran migran luar daerah dapat dikendalikan, khususnya migran yang tidak mempunyai ketrampilan, (3) sampai dengan tahun 2005 sarana akomodasi (kamar) yang tersedia untuk kebutuhan wisatawan baik dari kelas melati maupun hotel bintang lima sudah mencukupi bahkan telah melampaui kebutuhan, yang memungkinkan hanya pondok wisata/ homestay, yang ada dipedesaan yang dimiliki oleh masyarakat pedesaan. Sesuatu yang perlu diupayakan adalah peningkatan diversifikasi objek dan daya tarik wisata yang lebih banyak menampilkan produk lokal dan kearipan lokal, dengan tetap menjaga konservasi budaya dan lingkungan, (4) Posisi Bali yang sangat strategis dengan dukungan infrastruktur yang memadai pada era mondial mendatang akan berakibat 5
pada perubahan fungsi lahan yang apa bila tidak dikendalikan melalui perencanaan yang menyeluruh dan integratif dalam suatu sistem akan bermuara pada berbagai kebijakan yang akan menjadi bumerang bagi tujuan pembangunan Bali dan, (5) Disisi lain kepentingan dan adanya kewenangan dalam pelaksanaan otonomi daerah yang diartikan dengan sempit, diperkirakan akan memperkuat ego sektoral yang semata – mata didasarkan atas pertumbuhan ekonomi (peningkatan PAD), sehingga persaingan yang tumbuh akan semakin menghalalkan segala cara khususnya dalam pemanfaatan sumber daya, khususnya lahan dan air, oleh karenanya didalam perencanaan Bali ke depan sudah sepatutnya memperhatikan lahan dan air yang tersedia untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan memperhatikan aspek kelestarian untuk kesejahteraan bersama. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Astuti (2008) tentang “Faktor yang Mempengaruhi Penurunan Jumlah Kunjungan Wisatawan Di Bagus Agro Pelaga Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung” menyatakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi penurunan jumlah kunjungan wisatawan di Bagus Agro Pelaga menunjukkan bahwa secara keseluruhan dimensi pelayanan yang dituangkan pada faktor produk, harga, orang, tempat, proses, fisik dan promosi merupakan faktor utama yang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan pelayanan yang diberikan di Bagus Agro Pelaga dan akan berimplikasi kepada jumlah kunjungan yang mengalami penurunan sesuai dengan tingkat kepuasan pelayanan yang diperoleh wisatawan selama berkunjung ke Bagus Agro Pelaga.
6
Penelitian Bawa, dkk (2001) tentang studi keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM) Bali dibidang Pariwisata menyatakan : (1) Keunggulan SDM etnis Bali dibidang Pariwisata diberbagai jenjang jabatan ternyata sebagian besar terletak pada aspek – aspek pribadi yang lebih banyak merupakan sifat – sifat bawaan ( personal quality) dan kemampuan dalam berkerjasama dengan orang lain (human relation); (2) Tidak dapat keunggulan atau kelebihan yang menonjol di bidang- bidang yang ada hubungannya dengan kemampuan konseptual (conceptual skill) dan kemampuan teknis (technical skills) yang justru sebenarnya lebih banyak diperoleh melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman di lapangan; dan (3) SDM etnis bali juga memiliki sejumlah kelemahan terutama yang berhubungan dengan aspek – aspek manajerial dan aspek bisnis lainnya, sehingga apabila dilihat dari jenjang jabatannya keunggulan SDM etnis Bali lebih banyak pada tingkat pelaksana, untuk itu perlu adanya kebijakan pengembangan SDM yang lebih terarah agar nantinya benar-benar dapat menghasilkan tenaga – tenaga yang profesional terutama sekali untuk jabatan – jabatan pimpinan dan pelaku bisnis pariwisata. Penelitian Palguna (2001) tentang “Dinamika Masyarakat Menuju Civil Society di objek Wisata Alas Kedaton Kabupaten Tabanan” menempatkan pemerintah sebagai fasilitator dan pengambil keputusan. Di pihak lain, masyarakat memajukan kemandirian beraktivitas dan mensejahterakan masyarakatnya sendiri mengimbangi bentuk intervensi pemerintah. Lain halnya dengan penelitian tentang “Korelasi Keragaman Budaya dan Pembangunan Berkelanjutan di Bedugul” menyatakan bahwa telah terjadi gejala 7
menekankan keuntungan ekonomis, eksploitasi sumber daya pertanian dan pergeseran budi daya holtikultura ke tanaman industri ( Artanegara,2002 ). Penelitian Fandeli dan Raharja, 2002 : 24-33 tentang potensi dan Peluang Kawasan Pedesaan sebagai Daya Tarik Wisata ( Studi Kasus di Pedusunan Tunggularum, Wonokerto, Turi Sleman). Dari hasil analisis SWOT dapat digambarkan sebagai berikut ; Kekuatan yang dimiliki oleh Tunggularum adalah : suasana pedesaan yang lebih alami, keanekaragaman daya tarik wisata, berbasis salak pondoh, peninggalan sejarah dan tata cara hidup masyarakat setempat.Kelemahannya adalah masih kurangnya prasarana terutama jalan masuk dan lembaga pariwisata lokal yang belum terbentuk. Sedangkan sisi peluang dan ancaman adalah dekat dengan kawasan hutan dan adanya persaingan dengan desa-desa yang berbasis agrowisata.
2.2 Konsep penelitian 2.2.1 Konsep pariwisata Kegiatan kepariwisataan adalah kegiatan yang mengutamakan pelayanan dengan berorientasi pada kepuasan wisatawan, pengusaha di bidang pariwisata, pemerintah dan masyarakat. Sebagai salah satu aktifitas fisik dan psikis manusia, pariwisata didefinisikan oleh banyak ahli dengan definisi yang tidak terlalu jauh berbeda. 8
Berdasarkan pasal 1 angka 3 Undang-undang No.9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan jo Pasal 1 angka 3 PP No.67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisatan Republik Indonesia serta pasal 1 huruf f Perda Propinsi Bali No.3 Tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya, kata pariwisata diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait dibidang tersebut. Definisi tentang pariwisata oleh Matheison & Wall yang dikutip oleh Chris Cooper sebagai berikut: “tourism is temporary movement to destination outside the normal home and workplace, the activities undertaken during the stay and the facilities created to cater for the needs of tourist” (Cooper, et al, 1993). Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa kegiatan kepariwisataan terjadi semata-mata merupakan kegiatan yang menempuh jarak dan waktu tertentu yang terlepas dari aktifitas keseharian seperti aktifitas kerja, berbisnis dan yang lainnya, tetapi aktifitas yang dilakukan jelas-jelas di luar kegiatan tersebut melibatkan berbagai pihak lainnya terutama dalam pemakaian fasilitas yang berhubungan dengan pariwisata. Pemberian
batasan
tentang
pariwisata
memang
sering
tidak
dapat
menghasilkan satu batasan yang memuaskan untuk berbagai kepentingan. Melihat batasan yang begitu luas dan beragam, Richardson dan Fluker dalam Pitana (2005:45) membedakan batasan pariwisata atas dua batasan, yaitu batasan konseptual dan batasan teknis. Batasan konseptual digunakan untuk memahami pariwisata secara 9
konseptual dan pemahaman akademis, sedangkan batasan teknis digunakan untuk kepentingan pengumpulan statistik. Batasan secara teknis diberikan oleh The World Tourism Organisation (WTO), bahwa: “Tourism comprises the activities of persons, travelling to and staying in place outside their usual environment for not more than one consecutive year for leisure, business dan other purposes” (Richardson dan Fluker dalam Pitana, 2005: 45). Ada beberapa komponen pokok yang secara umum digunakan dalam memberikan batasan mengenai pariwisata (khususnya pariwisata internasional), sebagai berikut: 1. Traveler, yaitu orang yang melakukan perjalanan antar dua atau lebih lokalitas. 2. Visitor, yaitu orang yang melakukan perjalanan ke daerah yang bukan merupakan tempat tinggalnya kurang dari 12 bulan dan tujuan perjalanannya bukanlah untuk terlibat dalam kegiatan untuk mencari nafkah, pendapatan, atau penghidupan di tempat tujuan. 3. Tourist, yaitu bagian dari visitor yang menghabiskan waktu paling tidak satu malam (24 jam) di daerah yang dikunjungi (WTO dalam Pitana, 2005). Apabila diperhatikan ketiga hal tersebut, maka pariwisata memiliki beberapa komponen penting yang terkandung di dalamnya, antara lain: traveler, visitor dan tourist, masing-masing komponen mempunyai hubungan yang erat satu sama lain.
2.2.2 Konsep wisatawan 10
Wisatawan (tourist) adalah sebagai objek dalam kegiatan pariwisata. Wisatawan disebut sebagai objek karena kegiatan pariwisata tidak bisa terlepas dari pelayanan terhadap wisatawan atau orang sebagai objek pelayanan. The tourist is the actor in this system (Cooper, et al, 1993:3). Maksudnya adalah bahwa wisatawan merupakan yang menjadi perhatian oleh siapa pun yang terlibat dalam kegiatan pariwisata. Dari pendapat Cooper tersebut dapat dikatakan bahwa tidak selamanya wisatawan diperlakukan sebagai obyek, tetapi terkadang bisa saja sebagai subyek dalam pelayanan pariwisata. Definisi mengenai wisatawan juga ditegaskan oleh IUOTO (International Union of Official Travel Organization) dalam Pitana (2005: 43), pengertian wisatawan ini hanya berlaku untuk wisatawan internasional, tetapi secara analogis dapat juga berlaku untuk wisatawan domestik. Selanjutnya wisatawan dibedakan atas dua bagian, yakni (1) Wisatawan (tourist), yaitu mereka yang mengunjungi suatu daerah lebih dari 24 jam, dan (2) Pelancong/pengunjung (excursionists), yaitu mereka yang tinggal di tujuan wisata kurang dari 24 jam. Dari sisi yang lain, Inskeep (1991) mengidentifikasikan karakteristik wisatawan yang berkunjung ke suatu Daerah Tujuan Wisata (DTW) dimana mempengaruhi tingkat kunjungan wisatawan ditentukan oleh beberapa hal, antara lain; asal negara wisatawan, tujuan dari pada kunjungannya, lama tinggal, umur, jenis kelamin dan jumlah keluarga yang ikut berkunjung, pekerjaan dan tingkat penghasilan, jumlah kunjungan, individu atau kelompok, jumlah uang yang dihabiskan selama kunjungan serta perilaku dari kepuasan wisatawan itu sendiri. 11
Potensi menurut beberapa penulis seperti Pendit (1999: 21) menerangkan bahwa potensi wisata adalah berbagai sumber daya yang terdapat di sebuah daerah tertentu yang bisa dikembangkan menjadi atraksi wisata. Dengan kata lain, potensi wisata adalah berbagai sumber daya yang dimiliki oleh suatu tempat dan dapat di kembangkan menjadi suatu atraksi wisata (tourist attraction) yang dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dengan tetap memperhatikan aspek-aspek lainnya. Potensi menurut Kamus Besar Bahasa indonesia (2007: 890)adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan; kesanggupan; kekuatan; daya. Daya tarik atau atraksi wisata menurut Yoeti (2002:5) adalah segala sesuatu yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung pada suatu daerah tujuan wisata, seperti: a. Natural attraction: landscape, seascape, beaches, climate and other geographical features of the destinations. b. Cultural attraction: history and folklore, religion, art and special events, festivals. c. Social attractions: the way of life, the resident populations, languages, opportunities for social encounters. d. Built attraction: building, historic, and modern architecture, monument, parks, gardens,marina,etc. Adapun potensi wisata yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah semua daya tarik wisata yang terdapat di Desa Pelaga yang bisa dikembangkan menjadi daya tarik (tourism atraction) alternatif. 12
2.2.3
Konsep Tentang Strategi Menurut Stanton (dalam Amirullah, 2004: 4) mengatakan strategi sebagai suatu
rencana dasar yang luas dari suatu tindakan organisasi untuk mencapai suatu tujuan. Rencana dalam mencapai tujuan tersebut sesuai dengan lingkungan eksternal dan internal perusahaan. Begitu juga dengan Christensen dalam Rangkuti (2005: 3)mengungkapkan bahwa strategi merupakan alat untuk mencapai keunggulan bersaing. Porter dalam rangkuti (2005: 4) mengungkapkan bahwa strategi adalah alat yang sangat penting untuk mencapai keuggulan bersaing. Menurut Chandler dalam Rangkuti (2005: 3) strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan perusahaan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut serta prioritas alokasi sumber daya. Dari beberapa tinjauan di atas, maka dapat dicapai sebuah pengertian tentang strategi yang akan dipakai dalam penelitian ini, yaitu suatu kesatuan rencana dalam bentuk program-program yang terpadu dan menyeluruh untuk mencapai keunggulan bersaing dalam mencapai tujuan.
2.2.4 Konsep Pengembangan Ada beberapa pendapat para ahli tentang arti dari pengembangan itu sendiri. Menurut Paturusi (2001) mengungkapkan bahwa pengembangan adalah suatu strategi yang dipergunakan untuk memajukan, memperbaiki dan meningkatkan kondisi kepariwisataan suatu objek dan daya tarik wisata sehingga dapat dikunjungi 13
wisatawan serta mampu memberikan manfaat bagi masyarakat disekitar objek dan daya tarik wisata maupun bagi pemerintah. Selanjutnya Suwantoro (1997:120) pengembangan bertujuan untuk mengembangkan produk dan pelayanan yang berkualitas, seimbang dan bertahap. Sedangkan Poerwadarminta (2002:474). Lebih menekankan kepada suatu proses atau suatu cara menjadikan sesuatu menjadi maju, baik sempurna dan berguna. Disamping itu pengembangan pariwisata bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi wisatawan maupun komunitas tuan rumah. Dengan adanya pembangunan pariwisata diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui keuntungan secara ekonomi yang dibawa ke kawasan tersebut. Dengan kata lain pengembangan pariwisata melalui penyediaan fasilitas infrastruktur, wisatawan dan penduduk setempat akan saling diuntungkan. Pengembangan tersebut hendaknya sangat memperhatikan berbagai aspek, seperti ; aspek budaya, sejarah dan ekonomi daerah tujuan wisata. Pada dasarnya pengembangan pariwisata dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan permasalahan (Mill, 2000: 168) Pengembangan pariwisata secara mendasar memperhatikan beberapa konsep seperti : (1) Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan, (2) Pembangunan Wilayah Terpadu dan Pengembangan Produk Wisata; (3) Pembangunan Ekonomi Pariwisata; serta (4) Pengembangan Lingkungan.
2.2.5 Konsep Perencanaan Pariwisata Perencanaan merupakan pengorganisasian masa depan untuk mencapai tujuan tertentu (Inskeep, 1991). Menurut Sujarto (1986) dalam Paturusi, Definisi 14
perencanaan adalah suatu usaha untuk memikirkan masa depan (cita-cita) secara rasional dan sistematik dengan cara memanfaatkan sumber daya yang ada serta seefesian dan seefektif mungkin. Menurut Paturusi (2008), suatu perencanaan memiliki syarat-syarat sebagai berikut : a) Logis, yaitu bisa dimengerti dan sesuai dengan kenyataan yang berlaku. b) Luwes, yaitu dapat mengikuti perkembangan. c) Obyektif, yaitu didasarkan pada tujuan dan sasaran yang dilandasi pertimbangan yang sistematis dan ilmiah. Menurut Paturusi (2008) orientasi perencanaan ada dua bentuk yaitu : a) Perencanaan berdasarkan pada kecenderungan yang ada (trend oriented planning) yaitu suatu perencanaan untuk mencapai tujuan dan sasaran di masa yang akan datang, dilandasi oleh pertimbangan dan tata laku yang ada dan berkembang saat ini. b) Perencanaan berdasarkan pertimbangan target (target oriented planning) yaitu suatu perencanaan yang mana tujuan dan sasaran yang ingin dicapai di masa yang akan datang merupakan merupakan faktor penentu. Menurut Yoeti (1997), komponen dasar pengembangan pariwisata di dalam proses perencanaan adalah : a) Atraksi wisata dan aktivitasnya. b) Fasilitas akomodasi dan pelayanan c) Fasilitas wisatawan lainnya dan jasa seperti : operasi perjalanan wisata, tourism information, restoran, retail shopping, bank, money changer, medical care, public safety dan pelayanan pos. d) Fasilitas dan pelayanan transportasi e) Infrastruktur lainnya meliputi persediaan air, listrik, pembuangan limbanh dan telekomunikasi. f) Elemen kelembagaan yang meliputi program pemasaran, pendidikan dan pelatihan, perundang-undangan dan peraturan, kebijakan investasi sektor swasta, organisasi struktural private dan public serta program sosial ekonomi dan lingkungan. Perencanaan pariwisata merupakan suatu proses pembuatan keputusan yang berkaitan dengan masa depan suatu daerah tujuan wisata atau atraksi wisata yang merupakan suatu proses dinamis penentuan tujuan, yang secara sistematis mempertimbangkan berbagai alternatif tindakan untuk mencapai tujuan, implementasi terhadap alternatif terpilih dan evaluasi. Proses perencanaan pariwisata dengan melihat lingkungan (fisik, ekonomi, sosial, politik) sebagai suatu komponen yang saling terkait dan saling tergantung satu dengan lainnya ( Paturusi, 2008). 2.2.6 Konsep Pengembangan Daerah Wisata
15
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2007 : 538) pengembangan adalah proses, cara, perbuatan mengembangkan. Ditambahkan oleh Poerwa Darminta (2002: 474) pengembangan adalah suatu proses atau cara menjadikan sesuatu menjadi maju, baik, sempurna, dan berguna. Pengembangan dalam penelitian ini diartikan sebagai proses atau perbuatan pengembangan dari belum ada, dari yang sudah ada menjadi lebih baik dan dari yang sudah baik menjadi lebih baik, demikian seterusnya. Tahapan pengembangan merupakan tahapan siklus evolusi yang terjadi dalam pengembangan pariwisata, sejak suatu daerah tujuan wisata baru ditemukan (discovery), kemudian berkembang dan pada akhirnya terjadi penurunan (decline). Menurut Butler (dalam Pitana, 2005: 103) ada 7 fase pengembangan pariwisata atau siklus hidup pariwisata (Destination Area Lifecycle) yang membawa implikasi serta dampak yang berbeda, secara teoritis diantaranya: 1. Fase
exploration
(eksplorasi/penemuan).
Daerah
pariwisata
baru
mulai
ditemukan, dan dikunjungi secara terbatas dan sporadis, khususnya bagi wisatawan petualang. Pada tahap ini terjadi kontak yang tinggi antara wisatawan dengan masyarakat lokal, karena wisatawan menggunakan fasilitas lokal yang tersedia. Karena jumlah yang terbatas dan frekuensi yang jarang, maka dampak sosial budaya ekonomi pada tahap ini masih sangat kecil. 2. Fase involvement (keterlibatan). Dengan meningkatnya jumlah kunjungan, maka sebagian masyarakat lokal mulai menyediakan berbagai fasilitas yang memang khusus diperuntukan bagi wisatawan. Kontak antara wisatawan dengan masyarakat
dengan masyarakat lokal masih tinggi, dan masyarakat mulai 16
mengubah pola-pola sosial yang ada untuk merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Disinilah mulainya suatu daerah menjadi suatu destinasi wisata, yang ditandai oleh mulai adanya promosi. 3. Fase development (Pembangunan). Investasi dari luar mulai masuk, serta mulai munculnya pasar wisata secara sistematis. Daerah semakin terbuka secara fisik, dan promosi semakin intensif, fasilitas lokal sudah tesisih atau digantikan oleh fasilitas yang benar-benar berstandar internasional, dan atraksi buatan sudah mulai dikembangkan, menambahkan atraksi yang asli alami. Berbagai barang dan jasa inpor termasuk tenaga kerja asing, untuk mendukung perkembangan pariwisata yang pesat. 4. Fase consolidation (konsolidasi). Pariwisata sudah dominan dalam struktur ekonomi daerah, dan dominasi ekonomi ini dipegang oleh jaringan internasional atau major chains and franchises. Jumlah kunjungan wisatawan masih naik, tetapi pada tingkat yang lebih rendah. Pemasaran semakin gencar dan diperluas untuk mengisi fasilitas yang sudah dibangun. Fasilitas lama sudah mulai ditinggalkan. 5. Fase stagnation (kestabilan). Kapasitas berbagai faktor sudah terlampaui ( diatas daya dukung, carrying capasity), sehingga menimbulkan masalah ekonomi, sosial dan lingkungan. Kalangan industri sudah mulai bekerja keras untuk memenuhi kapasitas dari fasilitas yang dimiliki, khususnya dengan mengharapkan repeater guest dan wisata konvensi/bisnis. Pada fase ini, atraksi buatan sudah
17
mendominasi atraksi asli alami (baik budaya maupun alam), citra awal sudah mulai luntur, dan destinasi sudah tidak lagi populer. 6. Fase decline (penurunan). Wisatawan sudah mulai beralih ke destinasi wisata baru atau pesaing, dan yang tinggal hanya ’sisa-sisa’, khususnya wisatawan yang hanya berakhir pekan. Banyak fasilitas pariwisata sudah beralih atau dialihkan fungsinya untuk kegiatan non-pariwisata, sehingga destinasi semakin tidak menarik bagi wisatawan. Partisipasi lokal mungkin meningkat lagi, terkait dengan harga yang merosot turun dengan melemahnya pasar. Destinasi bisa berkembang menjadi destinasi kelas rendah atau secara total kehilangan jati diri sebagai destinasi wisata. 7. Fase rejuvenation (Peremajaan). Perubahan secara dramatis bisa terjadi (sebagai hasil dari berbagai usaha dari berbagai pihak), menuju perbaikan atau peremajaan. Peremajaan ini bisa terjadi karena inovasi dan pengembangan produk baru, atau menggali atau memanfaatkan sumber daya alam dan budaya yang sebelumnya
Number of Tourists
Time Rejuvenation
CRITICAL RANGE OF ELEMENTS OF CAPACITY
Stagnation
18
Decline Development
Involvement Exploration
Gambar 2.1 Siklus Evolusi Area Wisata (Sumber: Butler, 1980) Adapun beberapa kriteria sebagai arahan dalam pengembangan pariwisata menurut Grady (dalam Soewantoro, 2002: 50 ) adalah sebagai berikut: 1. Decision making about the form of tourism in any place must be made in consultation with the local people and be acceptable to them. 2. A reasonable share of the profit derived from tourism must be returned to the people. 3. Tourism must be based on sound environment and ecological principles, be sensitive to local culture and religious traditions and should not place any members of the host community in a position of inferiority. 4. The number of tourism visiting an area should not be such that they over the local population and deny possibility of genuine human encounter.
2.2.7 Konsep Daya Tarik Wisata
19
Menurut Cooper dkk (1995: 81) mengemukakan bahwa terdapat 4 (empat) komponen yang harus dimiliki oleh sebuah objek wisata, yaitu: 1.
Atraksi (Attraction), seperti alam yang menarik, kebudayaan daerah
yang menawan dan seni pertunjukan. 2.
Aksesibitas (accessibilities) seperti transportasi lokal dan adanya
terminal. 3.
Amenitas atau fasilitas (amenities) seperti tersedianya akomodasi,
rumah makan, dan agen perjalanan. 4.
Ancillary services yaitu organisasi kepariwisataan yang dibutuhkan
untuk pelayanan wisata seperti destination marketing management organization, conventional and visitor bureau. Undang-undang No. 10 Tahun 2009 menguraikan objek dan daya tarik wisata sebagai segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata. Objek dan daya tarik wisata yang dimaksud adalah: 1.
Daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan,
keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. 2.
Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut Distinasi Pariwisata
adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang didalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum,
20
fasilitas pariwisata, asesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan. Pasal 4 UU no.10 Tahun 2009 juga menguraikan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan kepariwisataan bertujuan untuk : a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi b. Meningkatkan kesejahteraan rakyat c. Menghapus kemiskinan d. Mengatasi penganguran e. Melestarikan alam, lingkungan, dan sumberdaya f. Memajukan kebudayaan g. Mengangkat citra bangsa h. Memupuk rasa cinta tanah air i. Memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa j. Mempererat persahabatan antar bangsa.
2.2.8. Konsep Pariwisata Alternatif Pariwisata alternatif secara luas didefinisikan oleh Valene (1992: 36) adalah sebagai bentuk dari kepariwisataan yang konsisten dengan alam, sosial, dan masyarakat serta yang mengijinkan interaksi dan berbagai pengalaman antara wisatawan dengan masyarakat serta yang mengijinkan interaksi dan berbagi pengalaman antara wisatawan dengan masyarakat lokal. Wisata alternatif juga sering diartikan sebagai bentuk pariwisata yang sengaja disusun dalam sekala kecil yang 21
memperhatikan aspek kepedulian lingkungan baik lingkungan abiotik, biotik dan sosial-budaya masyarakat setempat. Pariwisata alternatif juga muncul akibat kejenuhan terhadap pariwisata massal yang menimbulkan banyak kerusakan lingkungan sosial, serta tidak memperhatikan keberlanjutan dari objek wisata itu sendiri. Sehingga
dapat
disimpulkan
bahwa
pariwisata
alternatif
merupakan
kecendrungan baru dari bentuk pariwisata yang dikembangkan selama ini, yang memperhatikan kualitias pengalaman yang diperoleh wisatawan, kualitas lingkungan, dan kualitas sosial budaya masyarakat setempat serta kualitas lingkungan, dan kualitas pengalaman yang dikembangkan selama ini, yang memperhatikan kualitas sosial budaya masyarakat setempat serta kualitas hidup masyarakat lokal (host). Oleh Koslowski dan Travis (1985) dalam Smith (2001) pariwisata alternatif merupakan suatu kegiatan kepariwisataan yang tidak merusak lingkungan, berpihak pada ekologi dan menghidari dari dampak negatif dari pembangunan pariwisata berskala besar yang dijalankan pada suatu area yang tidak terlalu cepat pembangunannya. Selain itu menurut Saglio (1979), Bilsen (1987) dan Gonsalven (1984) dalam Smith (2001), menyebutkan bahwa pariwisata alternatif adalah kegiatan kepariwisataan yang memiliki gagasan yang mengandung arti sebagai suatu pembangunan yang berskala kecil atau juga sebagai suatu kegiatan kepariwisataan yang disuguhkan kepada wisatawan, dimana segala aktivitasnya turut melibatkan masyarakat. Middleton (1998) dalam Smith (2001), menyebutkan bahwa pariwisata alternatif merupakan suatu bentuk produk pariwisata yang mepertimbangkan bahkan menuntut lebih akrab lingkungan dan tidak merusak budaya. Archer dan Cooper (1993), menyebutkan bahwa pariwisata alternatif merupakan suatu pergerakan yang memiliki jalan keluar untuk “mengobati sakit” dari pariwisata massal (Mass Tourism). Cohen (1987) dan Gartner (1996) dalam Smith (2001), menyebutkan bahwa pariwisata alternatif bersumber dari dua pandangan ideology yang sejaman, yaitu bahwa pariwisata alternatif merupakan reaksi atas konsumerisme modern, dan
22
pariwisata alternatif merupakan reaksi dari ekploitasi yang dilakukan Negara berkembang. Alternatif Tourism is a process which promotion a just farm of travel between members of differet communities, it seeks to achieve mutual understanding, solidarity and equality amongst participants (Holden 1984:15 dalam Valene 2001) Dari pengertian di atas pariwisata alternatif merupakan suatu proses yang mempromosikan suatu destinasi yang kondisinya memang benar-benar layak dan pantas di antara komunitas yang berbeda-beda, dimana diputuskan untuk memperoleh pemahaman, solidaritas dan kesamaan diantara seluruh komponen. Lebih lanjut Holden (1984:45 dalam Valene 2001) menyatakan bahwa variasi pariwisata alternatif dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : 1. Pariwisata Adventure Merupakan suatu kegiatan pariwisata alternatif yang bernuansa petualangan (adventure). Petualangan dalam skala kecil dapat terdiri dari bird watching, scuba diving, dalam skala menengah terdiri dari kegiatan yang bernuansa olahraga seperi canoing dan rafting sedangkan dalam skala besar kegiatan petualangan seperti taman safari. 2. Pariwisata Alam Merupakan kegiatan pariwisata alternatif yang menfokuskan diri pada studi dan observasi yang berkaitan dengan flora (tumbuhan) dan fauna (binatang) serta kegiatan landscape. 3. Community Tourism Community tourism atau pariwisata kerakyatan merupakan suatu kegiatan pariwisata yang dijalankan oleh rakyat, baik dari segi perencanaan sampai evaluasi dan segala manfaat yang diperoleh dari kegiatan tersebut sepenuhnya untuk rakyat yang bersangkutan. 2.3 Landasan Teori 2.3.1. Perencanaan Pengembangan Pariwisata. Perencanaan menurut Sukarsa (1999) adalah proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu
tujuan
tertentu. Perencanaan merupakan alat untuk mencapai tujuan, untuk itu dapat berubah-ubah menurut tempat, waktu dan keadaan. Dalam pembangunan pariwisata suatu perencanaan yang baik sangat diperlukan sehingga dapat diperoleh hasil yang
23
optimal sesuai tujuan yang dimaksud. Perencanaan pariwisata merupakan proses pembuatan keputusan yang berkaitan dengan masa depan suatu destinasi atau atraksi wisata. Menurut Mill (2000) bila tidak ada perencanaan pada suatu tempat wisata dapat berakibat negative pada tempat tersebut. Akibat tersebut dapat berupa; (1) kerusakan atau perubahan permanen lingkungan fisik; (2) kerusakan atau perubahan permanen kawasan-kawasan historis/ budaya dan sumber-sumber alam; (3) terlalu banyak orang dan kemacetan; (4) adanya pencemaran; dan (5) masalah-masalah lalu lintas. Dalam perencanaan suatu destinasi maupun atraksi keterlibatan masyarakat sangatlah penting seperti dinyatakan oleh Porritti (1998) bahwa masyarakat punya hak dalam perencanaan, demikian pula Timoty (2003) menyatakan bahwa masyarakat lokal lebih tahu apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak sesuai dengan kondisi lokal (dalam Smith dan Robison, 2006) Dengan perencanaan pariwisata yang baik dan terpadu dapat memberikan manfaat (Paturusi, 2008) seperti: (1) dapat menjadi arahan dan pedoman baik pemerintah maupun swasta dalam pengembangan pariwisata karena kegiatan ini merupakan
suatu kegiatan ekonomi yang relative baru; (2) kegiatan pariwisata
merupakan kegiatan yang sangat komplek, multi sektor yang melibatkan berbagai bidang, maka untuk memadukan unsur-unsur tersebut diperlukan perencanaan dan koordinasi; (3) dapat mendatangkan keuntungan ekonomi yang optimal; (4) dapat digunaan untuk memilih unsur mana saja dari budaya yang dapat dikomersialkan dan mana yang tidak. ; (5) dalam membangun fasilitas pariwisata dan berbagai sektor ikutannya dapat ditentukan daya dukung lahan optimal yang dapat menjaga 24
kelestarian lingkungan; (6) untuk mengembangkan pariwisata yang berkelanjutan ; (7) meminimalkan hal-hal yang kurang menguntungkan bagi pengembangan pariwisata; 8) menyiapkan sumber daya manusia; (9) sebagai dasar dan acuan pembangunan
baik bagi pemerintah, swasta dan masyarakat; (10) untuk
mengantisipasi perkembangan dimasa yang akan datang dan juga sebagai dasar untuk mengadakan revitalisasi kawasan serta; (11) dapat meningkatkan kunjungan wisatawan, yang akan berimplikasi pada peningkatan devisa negara tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan dan sosial budaya masyarakat. Di dalam merencanakan pengembangan pariwisata dikenal beberapa hirarki dimana fokus perencanaan pada tiap tingkat hirarki tidak sama. Perencanaan di tingkat umum memberikan kerangka dan arahan
bagi perencanaan hirarki di
bawahnya, dan demikian seterusnya (Gunawan, 1993 dalam Paturusi,2008). Secara rinci fokus setiap jenjang hirarki perencanaan diuraikan sebagai berikut: 1.
Perencanaan Pariwisata di Tingkat Internasional (PPI) PPI merupakan arah kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang pariwisata
antar negara. Fokus perencanaan diletakkan pada: (1) jaringan transportasi internasional; (2) arus dan program wisata antar Negara; (3) rencana pengembangan yang komplementer antara negara tetangga, yang bersama sama menciptakan daya tarik dan penyediaan fasilitas dan sarana serta prasarana penunjang (fisik) dan; (4) program promosi dan pemasaran terpadu. 2.
Perencanaan Pariwisata di Tingkat Nasional (PPN)
25
PPN merupakan arah kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang pariwisata Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fokusnya pada: (1) kebijakan pengembangan pariwisata; (2) rencana struktur tata ruang pariwisata yang mencakup lokasi prioritas pengembangan yang didasari daya tarik utama, penentuan pintu gerbang international, dan jaringan pelayanan tansportasi domestik atau international; (3) pertimbangan pertimbangan prasarana pokok lainnya; (4) jumlah, jenis dan kelas fasilitas akomodasi; (5) rute-rute wisata utama dengan jaringan penghubungnya; (6) struktur organisasi, kebijakan investasi, dan perizinan; (7) Program pendidikan dan pelatihan; 8) pengembangan fasilitas dan standar disain; (9) pertimbangan sosial budaya, lingkungan, ekonomi, dan dampak makro dan; (10) aspek pelaksanaan di tingkat nasional: pertahapan, strategi jangka pendek, menengah dan panjang. 3.
Perencanaan Pariwisata di Tingkat Wilayah (PPW) PPW merupakan arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang pariwisata
wilayah yang melibatkan beberapa provinsi di Indonesia. Fokus pada: (1) kebijakan wilayah, (2) rencana struktur tata ruang pariwisata wilayah yang mencakup jaringan transportasi antarwilayah dan intrawilayah, lokasi pengembangan dan kawasan wisata, dan jenis serta lokasi sumber daya wisata dan daya tariknya; (3) jumlah, jenis dan kelas fasilitas penunjang akomodasi; 4) analisis dampak yang lebih spesifik di tingkat wilayah; (5) pendidikan dan pelatihan tingkat wilayah; (6) strategi pemasaran dan program promosi; (7) struktur organisasi, peraturan, dan kebijakan investasi dan; (8) implementasi mencakup: tahapan pengembangan, program proyek, dan aturan penetapan wilayah. 26
4. Perencanaan Pariwisata di Tingkat Provinsi (PPP) PPP merupakan arahan kebijakan dan strategi pariwisata wilayah provinsi. Fokus pada: (1) kebijakan pengembangan pariwisata provinsi yang disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan panjang di Wilayah Provinsi; (2) Rencana Struktur Tata Ruang Pariwisata Provinsi yang mencakup jaringan transportasi antar dan intraprovinsi sampai ke ojek-objek utama; (3) penentuan kotakota pintu gerbang menuju ke objek utama dan kebutuhan akan fasilitas pendukung (jumlah, jenis, kelas dan lokasi) dan; (4) rencana jaringan utilitas, pendukung kawasan, dan lokasi objek-objek menarik lainnya. 5. Perencanaan Pariwisata di Tingkat Kabupaten/Kota (PPK) PPK merupakan arahan kebijakan dan strategi pariwisata wilayah kabupaten/kota. Fokus pada: (1) kebijakan pengembangan pariwisata kabupaten/kota yang disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan panjang di wilayah kabupaten/kota; (2) Rencana Struktur Tata Ruang Pariwisata kabupaten/kota yang mencakup jaringan transportasi antar dan intra kabupaten/kota sampai ke ojekobjek utama; (3) penentuan kawasan pintu gerbang menuju ke objek utama dan kebutuhan akan fasilitas pendukung (jumlah, jenis, kelas dan lokasi) dan; (4) rencana jaringan utilitas, pendukung kawasan, dan lokasi objek-objek menarik lainnya. 6. Perencanaan Pariwisata Kawasan (PPKw) PPKw merupakan arahan kebijakan dan strategi pariwisata suatu kawasan dalam kabupaten/kota. Fokus pada: (1) penentuan lokasi daya tarik wisata, termasuk kawasan konservasi; (2) arahan lokasi hotel dan akomodasi lainya, pertokoan dan 27
fasilitas lainnya, tempat rekreasi, dan taman; (3) sistem jaringan transportasi, kawasan pejalan kaki( pedestrian), serta terminal; (4) perencanaan prasarana pendukung: air, listrik, air limbah, air hujan, sampah dan telekomunikasi; (5) studi dampak yang sangat spesifik; (6) kriteria perancangan (aplikasi arsitektur lokal, lansekap, dan ketinggian bangunan) dan (7) pola arus wisatawan dalam pemanfaatan fasilitas. 7. Rencana Tapak Kawasan Pariwisata (RTKP) RTKP merupakan teknik arsitektur suatu fasilitas pariwisata (hotel, vila, restoran). Fokus pada: (1) perencanaan proyek (bangunan dan/atau kompleks bangunan); (2) organisasi ruang dan rganisasi massa bangunan dan ; 3) denah, tampak-tampak, potongan, detil , dan perspektif. Berdasarkan hierarki perencanaan di atas maka Desa Pelaga bisa diletakkan pada hierarki Perencanaan Pariwisata Kawasan. Perencanaan yang dibuat tidak menyimpang dari fokus yang telah diberikan sehingga tidak menimbulkan dampak negative melainkan dapat memberikan keuntungan bagi semua pihak baik dalam bidang ekonomi, social budaya dan lingkungan. Perencanaan pariwisata mengunakan konsep perencanaan umum yang sudah terbukti
efektif
dalam
menghadapi
proses
pengembangan
modern,
tetapi
menyesuaikan diri dengan karakteristik pariwisata tertentu. Pendekatan perencanaan pariwisata mengarah pada aplikasi praktis dalam perumusan kebijakan dan pengembangan pariwisata. Proses perencanaan dasar yang diterangkan sebelum menyediakan kerangka perencanaan yang umum dan penekanan ditempatkan pada konsep perencanaan menjadi berkesinambungan, berorientasi sistem, menyeluruh, 28
terintegrasi, dan lingkungan dengan fokus pada keberhasilan pengembangan yang dapat mendukung keterlibatan masyarakat. Unsur-unsur dalam pendekatan tersebut adalah sebagai berikut (inskeep. 1991: 28-29): 1.
Pendekatan berkesinambungan, inkremental dan fleksibel. Pendekatan
ini didasarkan pada kebijakan dan rencana pemerintah, baik secara nasional maupun regional. Perencanaan pariwisata dilihat sebagai suatu proses berkesinambungan yang perlu dievaluasi berdasarkan pemantauan dan umpan balik dalam rangka pencapaian tujuan dan kebijakan pengembangan pariwisata. 2.
Pendekatan sistem. Pariwisata dipandang sebagai suatu sistem yang
saling berhubungan, demikian halnya dalam perencanaan dan teknik analisanya. 3.
Pendekatan menyeluruh. Pendekatan ini dikenal juga sebagai
pendekatan holistik. Seperti pada pendekatan sistem seluruh aspek yang terkait dalam perencanaan pariwisata mencakup institusi, lingkungan dan implikasi sosial ekonominya dianalisis dan direncanakan secara menyeluruh. 4.
Pendekatan yang terintegrasi. Suatu pendekatan yang dihubungkan
dengan sistem dan pendekatan menyeluruh. Pariwisata direncanakan dan dikembangkan sebagai suatu sistem terintegrasi dalam dirinya dan juga terintegrasi dalam keseluruhan rencana dan pola teladan pengembangan daerah.
29
5.
Pendekatan pengembangan berkelanjutan dan lingkungan. Pariwisata
direncanakan, dikembangkan, dan diatur berdasarkan sumber daya budaya dan alami dengan tidak menghabiskan atau menurunkan kualitasnya, tetapi merawat sumber daya secara permanen untuk penggunaan masa depan berkelanjutan. Analisa daya dukung adalah suatu teknik penting menggunakan pendekatan pengembangan berkelanjutan dan lingkungan. 6.
Pendekatan masyarakat. Adanya keterlibatan maksimum masyarakat
lokal di dalam perencanaan dan proses pengambilan keputusan pariwisata serta keikutsertaan masyarakat maksimum dalam pengembangan manajemen pariwisata dan manfaat sosial ekonominya. 7.
Pendekatan
pelaksanaan.
Kebijakan
pengembangan
pariwisata,
rencana dan rekomendasi dirumuskan untuk dapat dilaksanakan dan realistis, serta teknik implementasi dipertimbangkan sepanjang seluruh kebijakan dan perumusan
rencana
dengan
teknik
implementasi,
mencakup
suatu
pengembangan dan program tindakan atau strategi, secara rinci diadopsi dan diketahui. 8.
Aplikasi proses perencanaan sistematis. Proses perencanaan yang
sistematis diterapkan dalam perencanaan pariwisata berdasarkan pada suatu urutan aktifitas logis. Menurut Oka A Yoeti, 1997 mengatakan bahwa perencanaan (planning) merupakan suatu mata rantai yang esensial antar pemikiran (thought) dan pelaksanaan (action). Dengan perkataan lain kita dapat mengatakan bahwa 30
”Thought without action is merely philosophy, action without thought is merely is stupidity”
2.3.2. Teori Pengembangan Wilayah Pariwisata Menurut Poerwadarminta (2002) “Pengembangan adalah suatu proses atau cara menjadikan sesuatu menjadi maju, baik sempurna dan berguna”. Yoeti menegaskan bahwa pengembangan suatu produk pada dasarnya adalah usaha yang dilakukan secara sadar dan berencana untuk memperbaiki produk yang sedang berjalan dan menambah jenis produk yang dihasilkan atau pun yang akan dipasarkan (Yoeti, 1996:53). Pengembangan suatu objek wisata harus dapat menciptakan product style yang baik, dimana diantaranya adalah: 1.
Objek tersebut memiliki daya tarik untuk disaksikan maupun dipelajari.
2.
Mempunyai kekhususan dan berbeda dari objek yang lainnya.
3.
Tersedianya fasilitas wisata.
4.
Dilengkapi dengan sarana-sarana akomodasi, telekomunikasi, transportasi dan sarana pendukung lainnya.
Pengembangan objek wisata pada dasarnya mencakup tiga hal, yaitu: 1.
Pembinaan produk wisata. Merupakan usaha meningkatkan mutu pelayanan dan sebagai unsur produk pariwisata seperti jasa akomodasi, jasa transportasi, jasa hiburan, jasa tour dan travel serta pelayanan di objek wisata. Pembinaan tersebut dilakukan 31
dengan berbagai kombinasi usaha seperti pendidikan dan latihan, pengaturan dan pengarahan pemerintah, pemberian rangsangan agar tercipta iklim persaingan yang sehat guna mendorong peningkatan mutu produk dan pelayanan. 2.
Pembinaan masyarakat wisata
Adapun tujuan pembinaan masyarakat pariwisata adalah sebagai berikut: a.
Menggalakkan pemeliharaan segi-segi positif dari masyarakat
yang langsung maupun tidak langsung yang bermanfaat bagi pengembangan pariwisata. b.
Mengurangi pengaruh buruk akibat dari pengembangan
pariwisata. c.
Pembinaan kerjasama baik berupa pembinaan produk wisata,
pemasaran dan pembinaan masyarakat. 3.
Pemasaran terpadu
Dalam pemasaran pariwisata digunakan prinsip-prinsip paduan pemasaran terpadu yang meliputi: a.
Paduan produk yaitu semua unsur produk wisata seperti atraksi
seni budaya, hotel dan restoran yang harus ditumbuhkembangkan sehingga mampu bersaing dengan produk wisata lainnya. b.
Paduan penyebaran yaitu pendistribusian wisatawan pada
produk wisata yang melibatkan biro perjalanan, penerbangan, angkutan darat dan tour operator. 32
c.
Paduan komunikasi artinya diperlukan komunikasi yang baik
sehingga dapat memberikan informasi tentang tersedianya produk yang menarik. d.
Paduan pelayanan yaitu jasa pelayanan yang diberikan kepada
wisatawan harus baik sehingga produk wisata akan baik pula. Dalam pengembangan suatu daerah untuk menjadi suatu daerah tujuan wisata, agar menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan potensial dalam berbagai pasar, maka harus memiliki tiga syarat (Yoeti, 1996: 177), yaitu: 1. Daerah tersebut harus mempunyai apa yang disebut sebagai “something to see”. Artiya di tempat tersebut harus ada objek wisata dan atraksi wisata yang berbeda dengan apa yang dimiliki oleh daerah lain. 2. Daerah tersebut harus tersedia dengan apa yang disebut sebagai “something to do”. Artinya di tempat tersebut setiap banyak yang dapat dilihat dan disaksikan, harus pula disediakan fasilitas rekreasi yang dapat membuat wisatawan betah tinggal lebih lama di tempat itu. 3. Daerah tersebut harus tersedia apa yang disebut sebagai “something to buy”. Artinya di tempat tersebut harus tersedia fasilitas untuk berbelanja (shopping), terutama barang-barang souvenir dan kerajinan rakyat sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke tempat asal wisatawan. Ketiga syarat tersebut sejalan dengan pola tujuan pemasaran pariwisata, yaitu dengan promosi yang dilakukan sebenarnya hendak mencapai sasaran agar lebih
33
banyak wisatawan datang pada suatu daerah, lebih lama tinggal dan lebih banyak mengeluarkan uangnya di tempat yang mereka kunjungi.
2.3.3. Teori Adaptasi Adaptasi merupakan suatu proses yang menghubungkan sistem budaya dengan lingkungan (Kaplan, 2000: 112). Perubahan yang terjadi terhadap lingkungan, baik yang bersifat cepat maupun lambat, akan direspon oleh manusia dengan cara beradaptasi terhadap perubahan itu. Walaupun seringkali manusia tidak berhasil mengadaptasikan dirinya terhadap perubahan itu, sehingga menghasilkan
sifat
(perilaku)
yang
tidak
sesuai
dengan
lingkungan
(Soemarwoto),1997: 48). Swarbrooke (1998: 71) menjelaskan dengan lebih jelas, bahwa kunjungan wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata menyebabkan terjadinya proses adaptasi baik adaptasi terhadap lingkungan fisik maupun kultural masyarakat setempat. Hal ini terjadi karena perbedaan latar belakang kehidupan antara wisata yang datang dengan masyarakat dan lingkungan yang dikunjunginya. Berdasarkan teori diatas, dengan berkembangnya objek wisata alternatif di Desa Pelaga akan mendorong terjadinya perubahan terhadap lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat, baik yang terjadi dengan cepat maupun lambat. Perubahan tersebut berakibat pada terjadinya adaptasi oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat merumuskan strategi pengembangan yang mempertimbangkan proses adaptasi 34
yang terjadi di masyarakat yang ditimbulkan akibat dikembangkannya objek wisata alternatif di Desa Pelaga.
2.3.4. Teori Perubahan Budaya Perkembangan teori perubahan budaya, sangat dipengaruhi oleh teori Darwin yang dikenal dengan teori evolusi, dimana proses evolusi dipengaruhi oleh keadaan lingkungan alam. Menurut teori perubahan, yang kuat akan dapat bertahan hidup sementara yang lemah akan dikuasai oleh yang kuat ataupun tersingkir dari persaingan. Bahwa segala sesuatu pasti akan mengalami perubahan. Steward dan Harsojo (dalam Kaplan dan Manner, 2000: 63-64) adalah tokoh yang mengembangkan teori darwin. Selanjutnya Steward yang terkenal dengan
teori
evolusionisme
multilinear
mengemukakan
bahwa
proses
perkembangan berbagai kebudayaan itu memperlihatkan adanya beberapa proses perkembangan yang sejajar. Kesejajaran terutama nampak pada unsur yang primer, sedangkan unsur kebudayaan yang sekunder tidak nampak perkembangan yang sejajar dan hanya tampak perkembangan yang khas. Proses perkembangan yang sejajar mengenai beberapa unsur kebudayaan primer disebabkan karena lingkungan tertentu memaksa terjadi perkembangan ke arah itu. Stark (1987:440) salah satu pendukung teori perubahan budaya, mengemukakan bahwa perubahan yang terjadi dalam lingkungan fisik sering diikuti dengan perubahan sosial budaya masyarakat. Kaplan (2000:84) mensinyalir bahwa 35
perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan budaya akan dapat mengalami transformasi secara drastis. Pengembangan pariwisata tentu diikuti dengan pembangunan prasarana dan sarana penunjang seperti, pembangunan jalan raya, jaringan listrik, air; pembangunan hotel, restoran, toko souvnier dan lain-lain, akan jelas mengakibatkan perubahan pada lingkungan fisik.
Sisi lain dari pengaruh
pengembangan pariwisata dapat berimplikasi pada pergeseran pola hidup dari bertani ke industri pariwisata.
2.4. Model Penelitian Untuk menjawab dan memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan tersebut, diperlukan kerangka konsep atau model yang merupakan abstraksi dan sintesis dari kajian pustaka. Penelitian ini diawali dengan mengobservasi dan mencari tahu sebanyak mungkin potensi – potensi wisata yang terdapat di Desa Pelaga, Kabupaten Badung. Selain mencari potensi-potensi wisata yang ada di Desa Pelaga, dicari pula faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan, serta faktor eksternal berupa peluang dan ancaman.
Kemudian faktor-faktor tersebut diuraikan dan
dikelompokkan ke dalam lingkungan internal yang menguraikan faktor-faktor kekuatan ( strength ) dan kelemahan ( weakness ), serta lingkungan eksternal yang menguraikan faktor – faktor peluang (opportunity) dan ancaman (threat). Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan analisis SWOT (Strengths Weaknesses Opportunies and Threats) untuk merumuskan strategi alternatifnya. Strategi alternatif yang telah 36
dihasilkan akan diuraikan menjadi program-program pengembangan yang mengacu pada teori perencanaan dan teori adaptasi, serta pendekatan pariwisata berbasis kerakyatan, pendekatan pariwisata alternatif dan pendekatan pariwisata berkelanjutan. Hasil
akhir
yang
akan
dicapai
adalah
adanya
program-program
pengembangan pariwisata alternatif di Desa Pelaga sebagai objek wisata di Kabupaten Badung. Program-program tersebut dapat digunakan oleh semua pihak yang berperan dalam pengembangan kepariwisataan di Kabupaten badung. Berdasarkan model penelitian di atas, maka dapat digambarkan kerangka konsep atau model penelitian mengenai strategi dan program pengembangan objek dan daya tarik wisata alternatif di Desa Pelaga, seperti yang nampak pada Gambar 2.2.
37
• • •
Analisis SWOT Rekonsiliasi Pemerintah Pengelola pariwisata Masyarakat lokal Program Pengembangan Pariwisata Alternatif Desa Pelaga Pariwisata Kabupaten Badung Pengembangan Pariwisata Alternatif di Desa Pelaga Potensi
Strategi Pengembangan Daya Dukung Masyarakat SWOT Lingkungan Internal objek wisata alternatif di Desa Pelaga : - Kekuatan (strength) - Kelemahan (weakness) Lingkungan Ekternal objek wisata alternatif di Desa Pelaga: - Peluang (opportunity) - Ancaman(threat) Faktor internal Faktor Internal-Eksternal Faktor eksternal General Strategi Strategi Pengembangan Pariwisata Alternatif di Desa Pelaga Teori Adapdasi Teori Perencanaan • Pendekatan Pariwisata berbasis kerakyatan • Pendekatan Pariwisata berkelanjutan • Pendekatan Pengembangan Pariwisata alternatif •
38
Gambar 2.2 Model Penelitian
39