KEBIJAKAN PENGENDALIAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS BATAM
WALTER GULTOM P 062059444
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
i
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang berjudul Kebijakan Pengendalian Lingkungan di Kawasan Perdagangan Bebas Batam adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini. Bogor, Januari 2011
Walter Gultom NRP. P062059444
ii
ABSTRACT WALTER GULTOM. 2011. Environmental Control Policy at Batam Free Trade Zone. Under supervision of SANTUN RP SITORUS, ETTY RIANI, and BAMBANG PRABOWO SOEDARSO. Free trade, economics growth, and environment are chains of international free trade activity which is each other interconnected. Batam Region is one of free trade area (FTZ) which acted by the Government Regulation Number 46 year 2007. Openess policy in FTZ Batam is estimated having environmental impact for Batam region, so that environmental controlling policy must be studied .This research aims to: (1) Assess level of sustainability of FTZ Batam; (2) Analyses policy effectivity and law and regulation in FTZ Batam development; (3) Analyses role of stakeholders in environmental management at FTZ Batam; and (4) To determine policy alternative of environmental management at FTZ Batam. The results of research showed that the sustainability status of FTZ Batam is categorized bad, so that need improvements to the attributes that affect the sustainability of the region. Implementation of environmental control policies in the FTZ Batam had not been effective because of the constraints in the implementation of rules, inadequate regulatory supervision, law enforcement is still weak, lack of environmental awareness, and limited human resources in controlling environmental pollution. Understanding and interaction between stakeholders on the importance of environmental control is good enough, so that the process of policy formulation and implementation of environmental control in the FTZ Batam can be done quite well. Keyword: FTZ Batam, sustainability factors, environmental controlling policy
iii
RINGKASAN WALTER GULTOM. 2011. Kebijakan Pengendalian Lingkungan di Kawasan Perdagangan Bebas Batam. Dibimbing oleh: SANTUN RP SITORUS, ETTY RIANI, dan BAMBANG PRABOWO SOEDARSO. Perkembangan kegiatan ekonomi dunia di era globalisasi ekonomi menuntut dikuranginya hambatan perdagangan (trade barriers). Hambatan perdagangan seperti tarif, pajak dan kuota barang dikurangi atau dihilangkan di kawasan perdagangan bebas (KPB) untuk menarik investasi domestik dan asing. Akibat aktifitas perdagangan bebas tersebut menimbulkan eksternalitas terhadap lingkungan, karena lingkungan berperan sebagai barang konsumsi, penyedia sumberdaya alam, dan tempat menampung limbah. Dalam hal ini kegiatan perdagangan bebas tidak terlepas dari permasalahan lingkungan. Batam merupakan salah satu KPB yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Batam yang secara de facto telah lama menjadi kawasan perdagangan bebas merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang pesat di Indonesia dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7,5% per tahun. Pertumbuhan ekonomi di awal industrialisasi selain meningkatkan pendapatan juga menurunkan kualitas lingkungan. Indikator kualitas lingkungan di Batam selama ini mengindikasikan adanya permasalahan lingkungan (environmental problems) yang terjadi di dalam dan sekitar KPB Batam. Upaya merumuskan kebijakan pengendalian lingkungan untuk mengoptimalkan kegiatan perekonomian di KPB Batam yang bersinergis dengan perlindungan lingkungan dan ekosistemnya diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui tingkat keberlanjutan kawasan KPB Batam saat ini, (2) Mengetahui efektifitas kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam pengembangan KPB Batam dalam kaitannya dengan pengendalian lingkungan di kawasan tersebut, (3) Mengetahui peranan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pelaksanaan sistem pengendalian lingkungan di KPB Batam dan (4) Menyusun arahan kebijakan pengendalian lingkungan yang sesuai dengan pengembangan KPB Batam. Metode yang digunakan adalah metode pendekatan kritis (critical approach), analisis stakeholders dengan pendekatan 4Rs, metode AHP untuk menganalisis alternatif kebijakan pengendalian lingkungan di KB Batam, dan metode rapfish yang dimodifikasi untuk menganalisis status keberlanjutan kawasan perdagangan bebas Batam ( Rap-KAPERBA, Rapid Appraisal Kawasan Perdagangan Bebas Batam). Hasil analisis keberlanjutan wilayah Batam menunjukkan bahwa wilayah KPB Batam masih tergolong kategori sebagai wilayah yang belum berkelanjutan (not sustainable). Pertumbuhan ekonomi di KPB Batam akibat berlakunya perdagangan bebas belum diimbangi dengan kebijakan pengendalian lingkungan yang sesuai dan memadai (compatible environmental policies) sesuai dengan statusnya sebagai KPB bertaraf internasional. Kebijakan pengembangan KPB Batam masih lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi daripada kelestarian lingkungan, sehingga kebijakan pengembangan KPB Batam dalam perspektif lingkungan masih mengikuti hipotesis pollution havens yang menerapkan standar kualitas lingkungan secara lebih longgar. Para pemangku kepentingan
iv
(stakeholders) dengan peranannya masing-masing berpendapat sama bahwa pengendalian lingkungan perlu diintegrasikan dengan kebijakan pertumbuhan ekonomi. Keberlanjutan KPB Batam yang saat ini masih tergolong buruk perlu segera dibenahi dengan berbagai penataan kebijakan yang sifatnya mengatur dan mengendalikan (command and control policies), berupa peraturan legal yang mengikat para pemangku kepentingan (stakeholders). Kebijakan command and control perlu diterapkan dalam kondisi kepedulian para pemangku kepentingan terhadap pentingnya keterpaduan lingkungan dalam pembangunan ekonomi masih rendah. Oleh karena itu, dengan adanya aturan tersebut diharapkan akan meningkatkan ketaatan (compliance) para pemangku kepentingan tentang pentingnya pencapaian pembangunan berkelanjutan di KPB Batam. Rumusan kebijakan dalam pengendalian lingkungan untuk perbaikan keberlanjutan KPB Batam dalam jangka waktu menengah lebih diarahkan pada kebijakan yang bersifat command and control dengan memperhatikan 11 (sebelas) faktor kunci keberlanjutan KPB Batam, yaitu: (1) keanekaragaman hayati, (2) ketersediaan sumberdaya air, (3) kejadian erosi tanah, (4) upaya perlindungan lingkungan dari pencemaran; (5) pendapatan per kapita, (6) kawasan bisnis dan industri, dan (7) investasi asing; (8) tingkat pendidikan relatif, (9) konflik penggunaan lahan, (10) tingkat kesehatan masyarakat, dan (11) tingkat pertumbuhan penduduk. Usulan kebijakan perbaikan keberlanjutan KPB Batam dalam jangka menengah adalah sebagai berikut : a) melakukan pengamanan dan perlindungan kawasan lindung di KPB Batam; b) melakukan perlindungan daerah resapan air di KPB Batam yang menjadi sumber air bagi masyarakat di KPB Batam; c) melakukan kegiatan rehabilitasi lahan dan reboisasi hutan yang kritis; d) melakukan pemantauan dan pengendalian pencemaran, serta penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran; e) melakukan upaya-upaya peningkatan kapasitas ekonomi masyarakat; f) melakukan peningkatan kerjasama produksi antara industri kecil, menengah, dan besar dalam meningkatkan nilai kompetitif industri di KPB Batam; g) meningkatkan kemitraan bisnis antara investor asing dengan investor dalam negeri; h) meningkatkan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat; i) meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan; j) menyelesaikan konflik agraria dan tata ruang di KPB Batam; k) menerapkan kebijakan keluarga berencana untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk di KPB Batam.
v
@Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi undang-undang 1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b) Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpu izin IPB.
vi
KEBIJAKAN PENGENDALIAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS BATAM
WALTER GULTOM P 062059444
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
vii
Penguji luar komisi pada: Ujian Tertutup Tanggal
: 18 Nopember 2010 1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB). 2. Dr. Ir. Machfud , MS. Staf pengajar Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB)
Ujian Terbuka Tanggal
: 27 Januari 2011 1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. Staf pengajar di Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB). 2. Dr. Ir. Ning Purnomohadi, M.Si. Tenaga pengajar tidak tetap di Jurusan Ilmu Kelautan Program Pasca Sarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (UI). viii
Judul Disertasi
: Kebijakan Pengendalian Lingkungan di Kawasan Perdagangan Bebas Batam Nama Mahasiswa : Walter Gultom Nomor Pokok : P 062059444 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui : Komisi Pembimbing
Prof.Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Ketua
Dr. Ir. Etty Riani, MS. Anggota
Dr. Bambang Prabowo Soedarso,SH., MES. Anggota
Diketahui :
Plh.Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. drh. Hasim, DEA.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian : 27 Januari 2011
Tanggal Lulus :
ix
Prakata Perkembangan kegiatan ekonomi dunia yang mengarah pada globalisasi ekonomi menuntut dikuranginya hambatan di bidang perdagangan. Pengurangan hambatan tersebut juga merupakan kondisi yang memberikan peluang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan ekspor dan investasi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, di antaranya dengan adanya kebijakan pengembangan ekonomi wilayah tertentu untuk menarik potensi pasar internasional dan mendorong peningkatan daya tarik pertumbuhan suatu kawasan atau wilayah ekonomi khusus yang bersifat strategis. Kawasan ekonomi khusus tersebut berupa kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (free port) yang dimaksudkan untuk mendatangkan devisa bagi negara, memperluas lapangan kerja, meningkatkan kepariwisataan, serta meningkatkan penanaman modal asing dan dalam negeri. Adanya kawasan perdagangan bebas (KPB) atau Free Trade Zone (FTZ) tersebut diharapkan akan mendorong kegiatan perdagangan internasional yang mendatangkan devisa bagi negara yang pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi masyarakat. Wilayah Batam merupakan salah satu dari KPB yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Tujuan penelitian ini adalah: (a) menganalisis keterkaitan antara ancaman degradasi lingkungan dengan keberlanjutan investasi di KPB Batam; (b) menganalisis efektifitas kebijakan dan peraturan perundangundangan dalam pengembangan KPB Batam dalam kaitannya dengan pengendalian lingkungan di kawasan tersebut; dan (c) mendisain kebijakan pengendalian lingkungan yang sesuai dengan pengembangan KPB Batam. Puji dan syukur disampaikan kepada Tuhan karena atas perkenan-Nya-lah penulisan Disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik dengan judul “Kebijakan Pengendalian Lingkungan di Kawasan Perdagangan Bebas Batam” yang merupakan salah satu syarat penyelesaian pendidikan Program Doktoral (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
i
Dengan terselesaikannya Disertasi ini, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis, terutama kepada Yth: 1. Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus, Dr. Ir. Etty Riani, MS., dan Dr. Bambang Prabowo Soedarso, SH., MES. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi,
dan
saran-saran,
sejak
penyusunan
proposal
sampai
penyelesaian Disertasi ini 2. Prof. Dr. Ir.Surjono. H.Sutjahjo, MS. selaku Dosen dan orang tua yang selalu mengingatkan saya agar cepat menyelesaikan Disertasi supaya tidak menjadi beban dan berguna untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang. 3. Dr. drh. Hasim, DEA. selaku Plh Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana IPB, atas
bantuan,
perhatian,
dan
arahan
serta
bimbingan
dalam
menyelesaikan Disertasi ini. 4. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di PSL-IPB. 5. Dirjen Bea dan Cukai serta Bapak Kepala Kantor Wilayah V Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tanjung Balai Karimun Kepulauan Riau. 6. Dr. Ir. Hikmat Ramdan, M.Si. yang telah memberikan masukan dalam penulisan Disertasi ini. 7. Secara khusus diucapkan terima kasih kepada keluarga besar Gultom dan keluarga besar Girsang atas pengertian, perhatian, dan motivasinya. 8. Ucapan terima kasih disampaikan kepada istri tercinta Dr. Betty Setianingsih dan anak-anakku berlima yang paling saya sayangi Maria Pade Rohana, Rumondang Stella Retta, Dewata Vinansius Adam Gultom, Abraham Rodo Suryono Gultom, dan Patricia Gabe Ratu atas perhatian, pengertian, pengorbanan yang tulus serta semangat dan do’a yang selalu diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Disertasi ini.
ii
9. Kepada Oppung Pade boru khususnya yang selalu mendoakan penulis setiap saat. 10. Akhirnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan dukungan dan kontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis sampaikan terima kasih, atas segala sesuatu yang terbaik yang telah diberikan
agar senantiasa
menjadi berkat bagi kita semua. Penulis berdoa kepada Tuhan semoga pengorbanan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis diberkati oleh Tuhan serta semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin. Bogor, Januari 2011 Walter Gultom
iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sungkean Pulau Samosir, 13 September 1953. Penulis merupakan putra ke-7 (tujuh) dari 8 (delapan) bersaudara dari keluarga besar Bapak Payas Gultom (almarhum) dan Ibunda Muliana Br.Samosir (almarhumah). Penulis menikah dengan Betty Setianingsih pada tanggal 11 Februari 1983 dikaruniai 5 (lima) orang anak, yaitu: Maria Pade Rohana, Rumondang Stella Retta, Dewata Vinansius Adam Gultom, Abraham Rudo Suryono, Patricia Gabe Ratu. Pendidikan penulis dimulai dengan memasuki Sekolah Dasar pada tahun 1962 di Indrapura-Sumatera Utara, dan lulus tahun 1967. Lulus Sekolah Menengah Pertama di Pematang Panjang Indrapura-Sumatera Utara tahun 1970, lulus Sekolah Menengah Tingkat Atas Budi Mulia di Pematang Siantar tahun 1973. Pada tahun 1974 mengikuti Pendidikan Departemen Keuangan dan lulus kerja di Bea Cukai. Pada tahun 1986 memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Universitas Krisna Dwipayana Jakarta, dan pada tahun 2000 memperoleh gelar Magister Management (MM) dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Jakarta. Pada tahun 2005 penulis mengikuti Program Doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Semenjak tahun 1974 penulis bekerja di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan telah Pensiun tanggal 1 Oktober 2009 dan terakhir bertugas di Kantor Wilayah Khusus Kepulauan Riau (Kepri) Tanjung Balai Karimun.
Penulis
iv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... ix I. PENDAHULUAN ................................................................................................1 1.1. Latar Belakang ...........................................................................................1 1.2. Kerangka Pemikiran...................................................................................5 1.3. Perumusan Masalah ...................................................................................7 1.4. Tujuan Penelitian .......................................................................................8 1.5. Manfaat Penelitian .....................................................................................8 1.6. Kebaruan (Novelty) ....................................................................................9 II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................11 2.1. Perdagangan Bebas dan Lingkungan .......................................................11 2.2. Kawasan Perdagangan Bebas Batam .......................................................19 2.3. Analisis Kebijakan Pengendalian Lingkungan ........................................28 2.4. Pengelolaan Lingkungan ..........................................................................35 2.5. Analisis Stakeholders ...............................................................................41 III. METODOLOGI ...............................................................................................45 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................................45 3.2. Jenis Data dan Sumber Data ....................................................................45 3.3. Rancangan Penelitian ...............................................................................47 3.3.1. Analisis Keberlanjutan KPB Batam .............................................47 3.3.2. Analisis Efektifitas Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ..............................................................................49 3.3.3. Analisis Para Pihak dalam Pengendalian Kebijakan Lingkungan di KPB Batam ..........................................................50 3.3.4. Penentuan Alternatif Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ..............................................................................53 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................61 4.1. Keberlanjutan Wilayah KPB Batam ........................................................61 4.1.1. Perkembangan Wilayah Batam ......................................................61 4.1.2. Analisis Keberlanjutan Batam .......................................................72 4.2. Efektifitas Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ........................................................................................103 4.3. Peranan Para Pihak dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ........................................................................................117 4.4. Arahan Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ...............123 V. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................129 5.1. Kesimpulan ............................................................................................129 5.2. Saran........................................................................................................131 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................133 LAMPIRAN .........................................................................................................139 v
DAFTAR TABEL Nomor
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
20.
21.
22.
Teks
Halaman
Jenis data, sumber data, teknis analisis data dan keluaran yang diharapkan dari tiap tujuan penelitian .................................. 46 Atribut keberlanjutan KPB Batam ................................................ 48 Kerangka dasar pendekatan 4R ..................................................... 52 Relationship stakeholders dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam ............................................................ 52 Skala penilaian perbandingan berpasangan .................................. 58 Contoh matriks perbandingan berpasangan .................................. 58 Nilai indeks random (Saaty, 2001)................................................ 60 Perkembangan status Batam (1968-2007) .................................... 62 Perkembangan investasi di Batam ................................................ 74 Waduk dan kapasitas pengolahan air baku ................................... 78 Parameter kualitas air di Pelabuhan Sekupang ............................. 80 Parameter kualitas air di Pelabuhan Sagulung .............................. 81 Parameter kualitas air di Pelabuhan Batu Ampar ......................... 81 Perubahan hutan lindung di KPB Batam (Bapedalda Batam, 2007) ................................................................................. 82 Indikator lingkungan di Kota Batam ............................................. 83 Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan analisis Rap-Kaperba ............................................. 89 Atribut-atribut kunci kawasan perdagangan bebas (KPB) Kota Batam ................................................................................... 89 Penentuan status keberlanjutan KPB Batam ................................. 92 Hasil analisis Rap-KAPERBA untuk nilai stress dan koefisien determinasi (R2) kawasan pendagangan bebas Batam ............................................................................................ 92 Keadaan masing-masing faktor kunci status keberlanjutan KPB Batam dalam rangka penyusunan kebijakan pengendalian lingkungan sebagai kawasan perdagangan bebas ............................................................................................. 94 Hasil analisis skenario strategi peningkatan status keberlanjutan Kota Batam sebagai kawasan perdagangan bebas ............................................................................................. 96 Hasil analisis skenario strategi peningkatan nilai status keberlanjutan KPB Batam sebagai kawasan perdagangan bebas ............................................................................................. 97
vi
23.
24. 25. 26.
27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Perubahan nilai indeks keberlanjutan KPB Batam sebagai kawasan perdagangan bebas berdasarkan skenario 1,skenario 2 dan skenario 3........................................................... 97 Usulan materi perbaikan faktor kunci untuk perbaikan keberlanjutan KPB Batam dalam jangka waktu menengah .......... 98 Teknik pengelolaan, cara pembuangan, dan larangan pembuangan ................................................................................ 104 Kewajiban pemerintah serta hak dan kewajiban masyarakat dalam pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan ................................................................. 107 Kegiatan pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan .................................................................................. 108 Ketentuan pidana pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup ........................................................................ 111 Ketentuan sanksi administratif .................................................... 113 Pendapat bentuk tanggung jawab pengendalian lingkungan di KPB Batam .......................................................... 118 Pendapat, hak dan kewajiban pengendalian lingkungan di KPB Batam ................................................................................. 120 Bentuk manfaat pengendalian lingkungan di KPB Batam.......... 122 Tingkat interaksi antar pemangku kepentingan .......................... 123
vii
DAFTAR GAMBAR Nomor
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Teks
Halaman
Kerangka Pemikiran Penelitian ....................................................... 6 Hubungan antara tingkat pendapatan per kapita dengan jumlah ........................................................................................... 17 Proses pembuatan kebijakan (Cubbage, et al.1993) ..................... 31 Lokasi penelitian ........................................................................... 45 Kerangka 4R untuk mendefinisikan peranan stakeholders ........... 51 Hirarki kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam. ........................................................................................... 55 Pertumbuhan penduduk Batam (Kota Batam, 2008) .................... 73 Nilai ekspor non migas Batam tahun 2004-2008 (Batam, 2009) ............................................................................................. 74 Nilai penerimaan pajak Batam tahun 2004-2008 (Batam, 2009) ............................................................................................. 75 Nilai pendapatan daerah Batam (Batam, 2009) ........................... 75 Diagram layang-layang nilai indeks keberlanjutan kawasan perdagangan bebas Batam .............................................. 84 Status keberlanjutan dimensi lingkungan kawasan perdagangan bebas Batam ............................................................ 85 Peran masing-masing atribut dimensi lingkungan yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS). ............ 85 Status keberlanjutan dimensi ekonomi kawasan perdagangan bebas Batam ............................................................ 86 Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS). ............ 87 Status keberlanjutan dimensi sosial kawasan perdagangan bebas Batam .................................................................................. 88 Peran masing-masing atribut dimensi sosial yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS). ............ 88 Hirarki kebijakan pengendalian lingkungan KPB Batam ........... 124 Urutan prioritas faktor yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam .......................................................... 124 Urutan prioritas aktor yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam .......................................................... 127 Urutan prioritas tujuan yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam .......................................................... 128
viii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1 2
3
4 5 6
7
8
9 10 11 12
13
14
Teks
Halaman
Identitas responden kebijakan pengendalian lingkungan di Kawasan Perdagangan Bebas Batam ...................................... 140 Hasil kuesioner 4rs kebijakan pengendalian lingkungan di Kawasan Perdagangan Bebas Batam (Peraturan-peraturan daerah dan atau keputusan walikota yang terkait dengan pengelolan lingkungan di wilayah KPB Batam) ................................................................................ 142 Efektifitas peraturan daerah dan atau keputusan walikota yang terkait dengan pengelolan lingkungan di wilayah KPB Batam ................................................................................. 145 Kepentingan para pihak terhadap pentingnya pengendalian lingkungan di KPB Batam .................................... 147 Pemahaman para pihak terhadap pengendalian lingkungan di KPB Batam .......................................................... 151 Bentuk tanggung jawab dari instansi/lembaga responden terhadap kelestarian dan pengendalian lingkungan di KPB Batam ................................................................................. 155 Bentuk hak dan kewajiban instansi/lembaga responden dalam kelestarian dan pengendalian lingkungan di KPB Batam .......................................................................................... 158 Manfaat apabila dampak negatif lingkungan kegiatan pembangunan ekonomi di KPB Batam dapat dikendalikan ................................................................................ 161 Tingkat interaksi antar stakeholders dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam selama ini ......................................... 164 Kendala-kendala yang telah dan mungkin terjadi dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam .................................... 165 Bentuk kelembagaan yang dianggap efektif dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam .................................... 170 Apakah Pemkot Batam perlu mengeluarkan kebijakan yang bersifat insentif atau disinsentif untuk mendorong kesadaran pelaku usaha dan masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan di KPB Batam ........................................ 172 Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar faktor terhadap fokus pengendalian lingkungan di KPB Batam .......................................................................................... 174 Hasil pengolahan HIPRE 3+ perbandingan tingkat kepentingan antar faktor terhadap fokus Pengendalian lingkungan di KPB Batam .......................................................... 175
ix
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar faktor dalam mempengaruhi faktor daya tarik investasi di KPB Batam ................................................................................. 176 Hasil pengolahan HIPRE 3+ perbandingan tingkat kepentingan antar aktor dalam mempengaruhi faktor daya tarik investasi di KPB Batam ...................................................... 177 Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar aktor dalam mempengaruhi faktor perlindungan ekosistem di KPB Batam faktor : Perlindungan Ekosistem .................................................................................... 178 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Aktor dalam Mempengaruhi Faktor Perlindungan Ekosistem di KPB Batam ..................................... 179 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Aktor dalam Mempengaruhi Faktor Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di KPB Batam Faktor : Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ....................................................................... 180 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Aktor dalam Mempengaruhi Faktor Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di KPB Batam ......................... 181 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Aktor dalam Mempengaruhi Konflik Antara Masyarakat dan KPB Batam Faktor : Konflik Antara Masyarakat Dan KPB Batam ...................................................... 182 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Aktor dalam Mempengaruhi Konflik Antara Masyarakat dan KPB Batam ........................................... 183 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Pemerintah dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam Aktor : Pemerintah ......................... 184 Hasil Pengolahan HIPRE 3+Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Pemerintah dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam .................................. 185 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Pemerintah Daerah dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam Aktor : Pemerintah Daerah ...................................................................... 186 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Pemerintah Daerah dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ........................ 187 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Pelaku Usaha dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam Aktor : Pelaku Usaha ...................... 188
x
28
29
30
31
32
33 34 35
36
37 38 39 40 41 42
Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Pelaku Usaha dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam .................................. 189 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Masyarakat dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam Aktor : Masyarakat ......................... 190 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Masyarakat dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam .................................. 191 Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Legislatif dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam Aktor : Legislatif ............................ 192 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Legislatif dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam .................................. 193 Nilai (Bobot) Setiap Elemen dalam Hirarki Disain Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ................. 194 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Nilai (Bobot) Setiap Faktor terhadap Fokus Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ......... 195 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Nilai (Bobot) Setiap Aktor terhadap Faktor dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ............................................................................. 196 Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Nilai (Bobot) Setiap Tujuan bagi Aktor dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam ............................................................................. 197 Nilai status keberlanjutan kawasan perdagangan bebas Batam berdasarkan hasil analisis Monte Carlo ........................... 198 Kuesioner analisis keberlanjutan kawasan perdagangan bebas Batam ................................................................................ 201 Nilai Status Keberlanjutan Kota Batam ke Depan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas berdasarkan Skenario 1 ............... 205 Nilai Status Keberlanjutan Kota Batam ke Depan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas berdasarkan Skenario 2 ............... 206 Nilai Status Keberlanjutan Kota Batam ke Depan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas berdasarkan Skenario 3 ............... 207 Nilai Indeks Keberlanjutan Gabungan Kota Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas Berdasarkan Skenario 1, Skenario 2, dan Skenario 3. ..................................... 208
xi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan kegiatan ekonomi dunia yang mengarah pada globalisasi ekonomi menuntut dikuranginya hambatan di bidang perdagangan. Pengurangan hambatan tersebut juga merupakan kondisi yang memberikan peluang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan ekspor dan investasi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, diantaranya dengan adanya kebijakan pengembangan ekonomi wilayah tertentu untuk menarik potensi pasar internasional dan mendorong peningkatan daya tarik pertumbuhan suatu kawasan atau wilayah ekonomi khusus yang bersifat strategis bagi pengembangan perekonomian wilayah. Kawasan ekonomi khusus tersebut berupa kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (free port) dimaksudkan untuk mendatangkan devisa bagi Negara, memperluas lapangan kerja, meningkatkan kepariwisataan, serta meningkatkan penanaman modal asing dan dalam negeri. Adanya kawasan perdagangan bebas (KPB) atau free trade zone (FTZ) tersebut diharapkan
akan
mendorong
kegiatan
perdagangan
internasional
yang
mendatangkan devisa bagi negara yang pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi masyarakat. Wilayah Batam merupakan salah satu dari KPB yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Penunjukan kawasan Batam sebagai KPB ditetapkan untuk jangka waktu selama 70 (tujuh puluh) tahun sampai dengan tahun 2077. Pertimbangan utama penetapan Batam sebagai KPB didasarkan atas letaknya yang strategis di jalur perdagangan internasional paling ramai di dunia yang diharapkan menjadi salah satu gerbang bagi arus masuk investasi, barang, dan jasa dari luar negeri yang berguna bagi peningkatan pembangunan Indonesia. Kawasan Batam pun berfungsi sebagai tempat pengumpulan dan penyaluran hasil produksi dari dan ke seluruh wilayah Indonesia dan negara-negara lainnya, serta pusat pengembangan industri sarat teknologi. Letaknya yang tepat pada jalur kapal laut internasional memungkinkan kawasan tersebut dikembangkan menjadi pusat pelayanan lalu lintas kapal internasional. Selain faktor letak strategisnya
tersebut, Batam didukung pula dengan adanya ketersediaan lahan, infrastruktur dan industri pendukung yang memadai karena sebelum ditetapkan sebagai KPB kawasan Batam merupakan kawasan berikat (bonded area) daerah industri Pulau Batam. Oleh karena itu, sesuai dengan PP Nomor 46 Tahun 2007 telah ditetapkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang dapat dilakukan dalam KPB Batam meliputi kegiatan sektor perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata, dan bidang lainnya. Untuk mendorong pengembangan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, pemerintah telah menetapkan sejumlah insentif utama, diantaranya adalah dengan kebijakan pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan barang mewah, dan cukai. Dalam rangka pengembangan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di Indonesia, di tingkat nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2008 tanggal 7 Mei 2008 telah ditunjuk Dewan Nasional Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (DN-KPPB) yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Dewan tersebut bertugas untuk: (a)
menetapkan kebijakan umum dalam rangka percepatan pengembangan kawasan sehingga mampu bersaing dengan kawasan sejenis di negara lain; (b) membantu Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, termasuk dalam upaya penyelesaian permasalahan strategis yang timbul dalam pengelolaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPPB); serta (c) melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengelolaan KPPB. Dewan KPPB Batam ditunjuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2008 tertanggal 7 Mei 2008 yang diketuai oleh Gubernur Kepulauan Riau dengan wakil ketuanya adalah Walikota. Anggota dari Dewan KPPB Batam terdiri dari Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Provinsi Kepulauan Riau, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Provinsi Kepulauan Riau, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kepulauan Riau, Kepala Kepolisian Daerah Kepulauan Riau, Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Kepulauan Riau, Komandan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut IV, Komandan Gugus Keamanan Laut Wilayah Barat, Komandan Resort Militer 033/Wirapratama, dan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
2
Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam dengan kegiatan ekonominya yang berkembang pesat telah menjadi daya tarik bagi banyak orang untuk datang menetap dan bekerja. Pertumbuhan ekonomi dan kegiatan pembangunan di Batam yang pesat selain mendatangkan sejumlah keuntungan finansial dan ekonomi, juga menimbulkan eksternalitas negatif terhadap kelestarian ekosistem wilayah baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti adanya limbah domestik maupun limbah industri dan limbah B3, terjadinya kerusakan lingkungan akibat dari pembukaan lahan untuk kegiatan perumahan, menurunnya populasi mangrove akibat reklamasi, cut and fill, menurunnya populasi terumbu karang akibat eksploitasi yang tidak bertanggung jawab, penambangan pasir ilegal, terjadinya pencemaran laut akibat tumpahan minyak dari kapal, serta pembersihan lambung kapal kegiatan konstruksi kapal yang ada di pesisir pantai wilayah Kota Batam dan sekitarnya (Bapedalda Batam, 2006). Hasil studi Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Batam (2006) menunjukkan dari 12 (dua belas) titik pengambilan sampel air laut, parameter kualitas air laut baik fisik maupun kimia ada yang kadarnya melebihi ambang batas dan ada juga yang masih di bawah ambang batas yang ditetapkan. Dari semua parameter fisik yang ada, kekeruhan yang mendominasi dengan nilai yang mencapai bahkan melebihi baku mutu yang telah ditetapkan hampir di semua titik lokasi pengambilan sampel, seperti di Perkampungan Batu Merah, Tanjung Sengkuang–Sei Tering, Pantai Tanjung Uma, Pelabuhan Ferry-Reklamasi Pulau OB, Bengkong Laut, Pulau Belakang Padang, Pulau Bulan, Reklamasi Pulau Buluh, Pantai Melur, Pulau Kunangan. Sementara itu, kadar kekeruhan di Teluk Sinimba dan Pelabuhan Telaga Punggur masih dibawah baku mutu. Selain kekeruhan, kadar TSS dengan nilai di atas baku mutu juga dijumpai di Tanjung Sengkuang-Sei Tering, Pelabuhan Ferry-Reklamasi OB, Pulau Kunangan, Reklamasi Pulau Buluh. Tingginya nilai TSS dan kekeruhan kemungkinan berasal dari aktivitas transportasi laut dan kegiatan reklamasi. Selain itu, perumahan pasang surut di sekitar perairan juga menjadi sumber pencemaran limbah domestik, baik limbah padat maupun limbah cair, yang dibuang langsung ke perairan tanpa pengelolaan terlebih dahulu. Selain parameter
3
fisik tersebut, parameter kimia seperti salinitas DO, BOD, nitrat, ammonia dengan nilai tinggi terdeteksi di beberapa lokasi. Terdeteksinya parameter ini kemungkinan berasal dari aktivitas permukiman pasang surut seperti antara lain di perairan Pantai Tanjung Uma, Perkampungan Batu Merah sampai Tanjung Sengkuang. Di beberapa lokasi ada beberapa logam berat yang melebihi baku mutu seperti Cd, Zn, Cr6+, CU, Ni seperti pada Pelabuhan Telaga Punggur, Pelabuhan Ferry-reklamasi OB, Pulau Belakang Padang, Pulau Bulan dan reklamasi Pulau Buluh. Tingginya kandungan logam berat ini dapat berasal dari aktifitas transportasi laut yang berlangsung di daerah pelabuhan, dan pencemaran dari kegiatan industri lokasi sekitarnya yang membuang limbah ke perairan tanpa diolah terlebih dahulu. Secara umum logam berat tersebut merupakan bahan yang digunakan dalam suatu kegiatan industri dan sebagai elemen dari komponenkomponen manufaktur yang merupakan bahan pendukung kegiatan industri manufaktur di kawasan industri (Bapedalda Kota Batam, 2006). Uraian sebelumnya menunjukkan bahwa Batam yang secara de facto telah lama menjadi kawasan perdagangan bebas merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang pesat di Indonesia dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7,5% per tahun (Batam, 2009). Pertumbuhan ekonomi di awal industrialisasi selain meningkatkan pendapatan juga menurunkan kualitas lingkungan (Katz, 2000; Copeland dan Taylor, 2004). Dalam hal ini aktifitas perdagangan bebas selalu terkait permasalahan lingkungan, sehingga kebijakan perdagangan bebas pun dalam kerangka pembangunan berkelanjutan akan terkait dengan kebijakan lingkungan yang diterapkannya (Butler, 1992). Indikator kualitas lingkungan yang menurun sebagaimana diuraikan sebelumnya mengindikasikan adanya permasalahan lingkungan (environmental problems) yang terjadi di dalam dan sekitar KPB Batam. Permasalahan lingkungan tersebut perlu dikendalikan melalui sejumlah kebijakan (policy), sehingga pembangunan ekonomi KPB (FTZ) Batam dapat berjalan secara berkelanjutan.
Adanya
permasalahan
lingkungan
membutuhkan
upaya
pengendalian lingkungan melalui kebijakan, karena kebijakan dibuat untuk mengantisipasi dan menyelesaikan masalah yang ada dalam suatu komunitas serta menjadi salah satu instrumen dalam pengelolaan sumberdaya alam (Ramdan et
4
al., 2003). Upaya mencari alternatif kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam perlu dilakukan sebagai upaya mengoptimalkan kegiatan perekonomian di KPB Batam yang bersinergis dengan perlindungan lingkungan dan ekosistemnya. Adanya sinergitas antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan di KPB Batam diharapkan akan meningkatkan daya tarik masuknya investasi yang lebih besar ke kawasan Batam tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan di kawasan tersebut. Oleh karena itu, perlu dikaji tingkat keberlanjutan KPB Batam, kebijakan pengelolaan lingkungan, peranan para pihak dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam untuk mendapatkan alternatif kebijakan yang sesuai di KPB Batam yang mampu mensinergikan pembangunan ekonomi dengan kelestarian lingkungan.
1.2. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran penelitian yang dilakukan disajikan pada Gambar 1. Pasar bebas dunia yang mengarah pada globalisasi ekonomi telah mendorong dikembangkannya zona/kawasan perdagangan bebas (KPB). Pada umumnya suatu kawasan KPB yang juga dikenal sebagai export processing zone (EPZ) merupakan kawasan khusus di sebuah negara yang menghilangkan hambatan perdagangan (trade barriers) normal seperti tarif, pajak, dan kuota barang, serta menurunkan persyaratan birokrasi dengan harapan dapat menarik bisnis baru serta investasi domestik dan asing. Aktifitas ekonomi perdagangan bebas menimbulkan eksternalitas terhadap lingkungan, karena lingkungan berperan sebagai barang konsumsi, penyedia sumberdaya alam, dan tempat menampung limbah (Butler, 1992). Oleh karena itu, kegiatan perdagangan bebas tidak terlepas dari lingkungan. Kota Batam sebagai kawasan KPB telah berkembang menjadi pusat perdagangan internasional dan kawasan industri dengan sejumlah insentif kebijakan yang umumnya terkait dengan penurunan atau penghapusan sejumlah bea dengan harapan menjadi daya tarik investasi nasional dan internasional, sehingga investasi nasional dan internasional di kawasan tersebut meningkat. Dampak dari adanya peningkatan investasi tersebut adalah terciptanya pertumbuhan ekonomi wilayah dan nasional. Namun di sisi lain daya tarik
5
Pasar Bebas
Kawasan Perdagangan Bebas
Pusat Perdagangan dan Kawasan Industri Bebas Batam
Eksternalitas Kegiatan di Kawasan Perdagangan Bebas (KPB) Batam
Daya Tarik Investasi Nasional/Internasional
Peningkatan Investasi Nasional/Internasional
Pencemaran Lingkungan di Kawasan Perdagangan Bebas Batam
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah dan Nasional
Peningkatan Resiko Lingkungan di Kawasan Perdagangan Bebas Batam Keberlanjutan Wilayah KPB Batam
Analisis Kebijakan dan Regulasi terkait KPB Batam
Analisis Tingkat Keberlanjutan Wilayah KPB Batam
Analisis Peranan Stakeholders
Faktor Kunci Keberlanjutan KPB Batam
Arahan Kebijakan Keberlanjutan KPB Batam
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian kawasan perdagangan bebas tersebut menimbulkan eksternalitas negatif di kawasan tersebut yang diindikasikan dengan terjadinya pencemaran di KPB tersebut. Adanya pencemaran lingkungan dan degradasi lingkungan lainnya akan meningkatkan resiko lingkungan di kawasan tersebut yang akhirnya akan mempengaruhi keberlanjutan wilayah KPB Batam. Adanya permasalahan lingkungan di KPB Batam akibat kegiatan perekonomian yang berkembang pesat memerlukan upaya pengendalian lingkungan. Keberlanjutan wilayah KPB Batam berkaitan dengan tingkat keberlanjutan KPB Batam saat ini, peraturan dan kebijakan terkait dengan
6
pengembangan kawasan Batam, serta peranan dari masing-masing stakeholders. Oleh karena itu, diperlukan analisis tentang keberlanjutan wilayah, analisis peraturan-peraturan dan kebijakan pengembangan KPB Batam, serta analisis stakeholders untuk mendapatkan alternatif kebijakan pengendalian lingkungan yang sesuai (compatible environmental policy) dengan kondisi KPB Batam.
1.3. Perumusan Masalah Wilayah Kota Batam yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam, memiliki luas administratif 1.570,35 km2 yang terdiri dari pulau besar dan pulau kecil dibagi ke dalam delapan (8) kecamatan, yaitu: Kecamatan Belakang Padang, Kecamatan Bulang, Kecamatan Galang, Kecamatan Sei Beduk, Kecamatan Nongsa, Kecamatan Sekupang, Kecamatan Lubuk Raja dan Kecamatan Batu Ampar. Sejak tahun 2006 delapan kecamatan tersebut telah dimekarkan menjadi 12 (dua belas) kecamatan. Kota Batam yang sebelum ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas merupakan kawasan berikat (bonded area) yang memiliki daya tarik ekonomi bagi pengembangan kegiatan perdagangan dan industri. Sebagai kawasan perdagangan dan industri dengan status sebagai kawasan perdagangan
bebas
dan
pelabuhan
bebas
(KPPB)
telah
mendorong
berkembangnya pembangunan infrastruktur fisik, seperti pusat industri, pemukiman penduduk, serta pemrosesan kegiatan industri yang memiliki potensi dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan dari ekosistem di kawasan tersebut. Pertumbuhan ekonomi Batam dengan laju pertumbuhan ekonomi 7,5% per tahun selama ini cenderung menurunkan kualitas lingkungan, karena di awal kegiatan pertumbuhan industri membutuhkan kebutuhan sumberdaya alam yang banyak (air, lahan, bahan bakar minyak) dan membuang limbah ke lingkungan. Menurut Katz (2000) perdagangan bebas mendorong peningkatan pendapatan dan tingkat pencemaran sampai pada suatu titik balik dimana pendapatan akan meningkat dan kebutuhan masyarakat terhadap lingkungan yang lebih baik akan tinggi, sehingga publik akan menuntut ditetapkannya kebijakan pengelolaan
7
lingkungan yang lebih baik. Kondisi KPB Batam yang tingkat pendapatannya belum setinggi di negara maju masih memiliki potensi degradasi lingkungan yang cukup tinggi. Tanda (symptom) dari permasalahan lingkungan di kawasan tersebut adalah pencemaran lingkungan di KPB Batam, terutama pencemaran air yang dapat menurunkan keseimbangan dan daya dukung lingkungan dari ekosistem di kawasan tersebut. Atas dasar permasalahan pengendalian lingkungan di kawasan Batam tersebut, maka disusun empat pertanyaan penelitian sebagai berikut : a. Bagaimana tingkat keberlanjutan KPB Batam sekarang? b. Apakah kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan KPB Batam saat ini efektif dalam mengendalikan permasalahan lingkungan di kawasan tersebut ? c. Bagaimana peranan pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan sistem pengendalian lingkungan di KPB Batam ? d. Bagaimana kebijakan pengendalian lingkungan yang sesuai dan dapat diterapkan di KPB Batam ? 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui tingkat keberlanjutan kawasan KPB Batam saat ini. 2. Mengetahui efektifitas kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam pengembangan KPB Batam dalam kaitannya dengan pengendalian lingkungan di kawasan tersebut. 3. Mengetahui peranan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pelaksanaan sistem pengendalian lingkungan di KPB Batam 4. Menyusun arahan kebijakan pengendalian lingkungan yang sesuai dengan pengembangan KPB Batam. 1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa manfaat praktis dalam menata kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam. Selain itu, dari aspek pengembangan keilmuan diharapkan bermanfaat dalam mengembangkan ilmu lingkungan yang terkait dengan pengembangan kawasan perdagangan bebas.
8
1.6. Kebaruan (Novelty) Kebaruan (novelty) penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Melakukan penilaian keberlanjutan KPB Batam dengan analisis MDS Rap-KAPERBA (Multi Dimensional Scaling Rapid Apraisal Kawasan Perdagangan Bebas). Analisis tersebut merupakan pengembangan dari metode Rapfish yang didesain untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap; b. Mengembangkan metode analisis stakeholders 4 Rs sebagai instrumen analisis tentang peranan para pihak yang terkait dengan kinerja KPB Batam yang menyangkut analisis tentang rights, responsibilities, return dan relationship diantara para pihak. Analisis stakeholders 4Rs sebelumnya dikembangkan dan digunakan untuk menganalisis peranan stakeholders di dalam pengembangan masyarakat di sekitar areal hutan.
9
10
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perdagangan Bebas dan Lingkungan Perdagangan internasional merupakan hubungan kegiatan ekonomi antar negara yang diwujudkan dengan adanya proses pertukaran barang atau jasa atas dasar suka rela dan saling menguntungkan dengan harapan akan terbangunnya kemakmuran dan perbaikan distribusi pendapatan melalui sistem perdagangan bebas (Modjo, 2003; Muhsin, 2007). Perdagangan internasional tersebut dipengaruhi oleh : (a) kemampuan suatu negara dalam memproduksi barang atau jasa yang terbatas; (b) adanya manfaat yang diperoleh dari adanya perbedaan harga; (c) adanya perbedaan produksi yang dimiliki masing-masing negara; (d) perbedaan sosial budaya; (e) perbedaan selera masyarakat; serta (f) adanya sarana komunikasi dan transportasi (Muhsin, 2007). Teori perdagangan dunia menyatakan bahwa setiap negara memiliki keunggulan komparatif absolut dan relatif dalam menghasilkan suatu komoditas dibandingkan negara lainnya. Suatu negara akan mengekspor komoditas yang memiliki keunggulan komparatif lebih tinggi dan mengimpor komoditas yang keunggulan komparatifnya lebih rendah (Yusdja, 2004). Lebih lanjut Yusdja (2004) menyebutkan bahwa adanya perdagangan antar negara akan membawa dunia pada penggunaan sumberdaya langka secara lebih efisien dan setiap negara dapat melakukan perdagangan bebas yang menguntungkan dengan melakukan spesialisasi produksi sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Konsep perdagangan bebas pertama kali dirumuskan oleh Adam Smith yang kemudian dikembangkan oleh David Ricardo tahun 1887. Masa itu adalah zaman negara-negara Eropa melakukan penjajahan dan ahli-ahli ekonomi di negara tersebut sedang berdebat sengit antara pro dan kontra tentang peran pemerintah dalam perdagangan. Ricardo adalah salah seorang ekonom yang tidak menyetujui kebijakan pemerintah dalam pembatasan perdagangan. Menurut Ricardo alasan utama yang mendorong perdagangan internasional adalah perbedaan keunggulan komparatif relatif antar negara dalam menghasilkan suatu komoditas. Suatu negara akan mengekspor komoditas yang dihasilkan lebih murah dan mengimpor komoditas yang dihasilkan lebih mahal dalam penggunaan
11
sumberdaya (Lindert dan Kindleberger, 1983). Perdagangan internasional semacam itu akan mendorong peningkatan konsumsi dan keuntungan. Sebaliknya, kebijakan pembatasan perdagangan oleh pemerintah justru memberikan kerugian yang lebih besar bagi masyarakat dalam negeri dibandingkan manfaat yang diperoleh. Setelah Ricardo, banyak ekonom lain muncul memberikan kritikan atau memperluas dan mendorong penyempurnaan konsep perdagangan keunggulan komparatif. Pada umumnya para ahli ekonomi tidak ada yang membantah thesis Ricardo tetapi lebih memfokuskan diri dalam mengembangkan konsep perdagangan yang lain seperti konsep keunggulan daya saing dan sebagainya. Dalam semua konsep perdagangan internasional yang pernah ada, terdapat kesamaan pijakan yakni bahwa pasar adalah bebas dan bahwa persaingan akan meningkatkan efisiensi dan bahwa dunia benar-benar secara absolut dipisahkan oleh batas-batas negara. Namun demikian model perdagangan Ricardo merupakan gagasan besar dalam ilmu ekonomi (Krugman dan Obstfel, 2002). Liberalisasi perdagangan dunia muncul makin kuat bersamaan dengan krisis dunia tahun 1929. Samuelson (2007) menjelaskan bahwa pada saat itu ada kepercayaan bahwa adanya proteksionisme akan memperparah kondisi great depression. Faktor lain pendorong diberlakukannya liberalisasi adalah terkait dengan perang dingin yaitu dengan adanya keyakinan bahwa komunisme dapat dilawan dengan saling mensejahterakan negara-negara melalui perdagangan bebas. Pertimbangan tersebut selanjutnya memperkuat tentang pentingnya perdagangan internasional yang bebas. Yusdja (2004) menyebutkan bahwa teori ekonomi konvensional perdagangan internasional telah menjelaskan bahwa dengan adanya perdagangan dunia yang bebas dapat meningkatkan kesejahteraan negara-negara yang terlibat dalam perdagangan tersebut. Gang (1999) menyebutkan
bahwa
globalisasi
ekonomi
bermanfaat
terhadap
negara
berkembang, terutama dalam: (a) mendorong industri domestik masuk ke dalam persaingan global yang menuntut standar kualitas tinggi; serta (b) investasi langsung asing (foreign direct investment, FDI) membawa modal yang lebih besar dan teknologi yang lebih efisien. Teori keunggulan daya saing berkembang lebih jauh dengan meletakkan harga dunia sebagai acuan lalu lintas pertukaran barang-barang antar negara
12
dengan harapan bahwa penggunaan sumberdaya dunia akan lebih efisien dan menciptakan kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi. Semua teori perdagangan memperlihatkan bahwa perdagangan bebas membawa manfaat bagi negara yang berdagang dan dunia (Yusdja, 2004). Dengan didasarkan atas teori tersebut maka hampir sebagian besar negara di dunia bersepakat melakukan liberalisasi perdagangan internasional dengan membentuk WTO (World Trade Organization) pada tahun 1995. Menjadi anggota WTO berarti bersedia membuka pasar dalam negeri bagi produksi negara lain dan menerima segala konsekuensi perdagangan bebas. WTO diciptakan untuk meluaskan liberalisasi perdagangan dengan memaksa pemerintahan negara-negara lain untuk memecahkan masalah tenaga kerja, lingkungan, dan standar-standar keamanan yang dianggap sebagai penghambat bagi perdagangan. Tujuan utama dari WTO adalah untuk “menghilangkan semua hambatan atau penghalang bagi perdagangan bebas di seluruh dunia”. Sejak WTO diresmikan hingga tahun 2003, tidak ada sebuah negara pun yang bersedia begitu saja membuka keran impor. Bahkan negara maju seperti Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) yang merupakan penggagas perdagangan bebas ternyata tidak berhati penuh membuka keran impor dengan menggunakan sejuta dalih (Gilpin dan Gilpin, 2000). Azis (2008) menyebutkan bahwa Amerika Serikat (AS) tergolong macan kertas, yang dari posisinya yang keras menuntut liberalisasi sektor pertanian yang sangat ditentang oleh Eropa, mereka akhirnya tunduk juga pada UE. Perubahan posisi ini yang kemudian membuat Putaran Uruguay berhasil diselesaikan tahun 1994. Perubahan sikap tersebut sebenarnya dipengaruhi oleh tekanan terhadap AS dimana satu pasal dalam undang-undang pertanian AS menyebutkan bahwa "tidak semua sektor pertanian siap untuk masuk ke pasar bebas". Banyak negara anggota WTO mengadukan berbagai penyimpangan dan ketidakjujuran serta ketidakadilan dalam perdagangan dunia, namun WTO hampir selalu gagal membuat penyelesaian atau bahkan mendapat kesulitan membawa masalah itu ke dalam sidang anggota-anggota WTO (Buckinghann et al., 2001). Azis (2008) menyebutkan pula bahwa di bidang jasa AS tidak berminat untuk menciptakan perdagangan bebas, tetapi mereka menginginkan akses pasar yang lebih besar bagi industri jasa mereka. Kondisi
13
yang sama terjadi pula di kawasan Amerika Latin yang walaupun sudah ada FTAA dan Mercosur, banyak negara anggota yang tidak terlalu bersemangat menjalankan
perdagangan
bebas, misalnya
Brasil
yang
dengan
defisit
perdagangan yang makin besar cenderung untuk menangguhkan ide pasar bebasnya (Azis, 2008). Di kawasan Asia Pasifik yang di awal tahun 1990-an bersemangat dengan perdagangan bebas, dan sejumlah statistik klasik selalu dipaparkan untuk menunjukkan dampak positif dari peningkatan perdagangan di kawasan ini akhirnya mendorong lahirnya AFTA dan APEC. Namun, setelah banyak negara anggota mengalami kesulitan neraca pembayaran maka tindakan mengurangi impor mulai diterapkan. Oleh karena itu, prinsip perdagangan bebas banyak dilanggar demi kepentingan nasional masing-masing negara (Modjo, 2003; Yusdja; 2004; Azis, 2008). Dalam kerjasama ekonomi ASEAN, negara-negara anggotanya telah bersepakat untuk : (a) mempercepat tercapainya jadwal perdagangan bebas ASEAN, yaitu dari tahun 2008 menjadi tahun 2003; (b) pada tahun 2003, tarif dari produk hasil industri menjadi 0-5%, hambatan non-tarif dihapus, sehingga diharapkan ada peningkatan perdagangan intra ASEAN; (c) mengikutsertakan produk-produk hasil pertanian yang tidak peka dan jasa-jasa (Soemarno, 2001). Liberalisasi perdagangan di tingkat APEC pun telah menyepakati diwujudkannya perdagangan bebas di wilayah APEC, tahun 2010 untuk anggota maju dan tahun 2020 untuk anggota berkembang yang ditunjang oleh kebebasan arus investasi. Dalam deklarasi tersebut ditekankan pula, pola dasar kemitraan karena keanggotaan APEC yang beranekaragam. Oleh karena itu, selain adanya akses pasar di negara maju pada tahun 2010 yang dapat dimanfaatkan oleh negara berkembang, maka dikembangkan pula kerjasama pengembangan ekonomi yang mencakup kerjasama dalam pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan lnfrastruktur, pengembangan usaha kecil dan menengah, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pelestarian lingkungan (Soemarno,2001). Keterbukaan dalam perdagangan bebas internasional berpengaruh terhadap kualitas lingkungan sejalan dengan meningkatnya perhatian global terhadap masalah lingkungan global (Antweiler et al., 2001; Frankel dan Rose, 2002; Copeland dan Taylor, 2004). Perdagangan, pertumbuhan, dan lingkungan pun
14
terus menjadi fokus perhatian dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas (Copeland dan Taylor, 2004). Liang (2006) mengemukakan bahwa isu masalah lingkungan terkait dengan perdagangan sudah dimulai sejak tahun 1970-an dengan riset yang masih bersifat normatif. Riset positif untuk menguji hipotesis tentang kebijakan perdagangan dan dampak pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dipelopori oleh Grossman dan Kruiger pada tahun 1993 di NAFTA dengan mengkaji data dari 58 negara (Antweiler et al., 2001; Liang, 2006). Antweiler et al. (2001) menyebutkan apabila keterbukaan pasar internasional meningkat, baik input maupun outputnya sebesar 1%, tingkat polusi akan menurun sebesar 1% pula akibat diterapkannya teknologi yang lebih ramah lingkungan dalam kegiatan produksinya. Antweiler et al. (2001) juga membedakan dampak lingkungan dan sumber pendapatannya, yaitu pendapatan yang diperoleh dari perdagangan cenderung menurunkan polusi, akan tetapi pendapatan yang diperoleh dari akumulasi modal cenderung meningkatkan polusi; sehingga perdagangan yang lebih bebas cenderung baik untuk lingkungan. Kondisi sebaliknya dikemukakan oleh Vutha dan Jalalain (2008) yang menyebutkan bahwa perdagangan bebas menyebabkan degradasi lingkungan khususnya terjadi di negara-negara berkembang dengan regulasi lingkungan yang longgar tetapi memiliki kapasitas besar untuk mengabsorbsi polusi. Apak (2003) menyebutkan beberapa faktor perdagangan bebas yang berdampak terhadap lingkungan adalah: a. Efisiensi alokatif. Perdagangan bebas umumnya menggunakan faktorfaktor produksi secara lebih efisien, sehingga penggunaan sumberdaya alam dapat lebih hemat dan ramah lingkungan; b. Dampak skala kegiatan. Skala kegiatan ekonomi yang mendorong pertumbuhan dan peningkatan pendapatan akan cenderung mengikuti kurva lingkungan Kuznet dimana pada tingkat pendapatan tertentu yang tinggi, maka kebutuhan akan lingkungan yang bersih makin tinggi dan kerusakan lingkungan makin menurun; c. Komposisi output. Ketika pendapatan makin tinggi maka kegiatan sektor jasa lebih penting daripada kegiatan manufaktur, sehingga akan menurunkan tingkat pencemaran per kegiatan ekonomi;
15
d. Penggunaan teknologi. Peningkatan penggunaan inovasi teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan akan menurunkan tingkat pencemaran; e. Kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk mengadopsi dan menerapkan standar kualitas lingkungan internasional akan mendorong penurunan tingkat kerusakan lingkungan akibat perdagangan bebas. Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan untuk mengetatkan arus barang
dan
jasa
dalam
perdagangan
bebas
yang
dianggap
membahayakan lingkungan.
Perdagangan internasional akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Adanya pertumbuhan ekonomi berdampak terhadap lingkungan. Lingkungan secara bertahap mengalami degradasi mengikuti pertumbuhan ekonomi global yang cepat. Salah satu teori yang menjelaskan tentang pertumbuhan ekonomi dengan dampak lingkungan adalah Environmental Kuznet Curve (EKC) atau kurva lingkungan Kuznet (Antweiler, 2001; Copeland dan Taylor, 2004; Vutha dan Jalalain, 2008). Kurva EKC menunjukkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan kualitas lingkungan dalam bentuk kurva U terbalik. Kurva EKC melukiskan hubungan antara pendapatan per kapita (absis) dengan kualitas lingkungan (ordinat), dan memprediksikan bahwa kerusakan lingkungan akan meningkat pada tingkat pendapatan rendah (environmental decay phase), mencapai tingkat maksimum (turning point income), dan menurun sesudahnya (environmental improvement). Logika hubungan EKC tersebut adalah bahwa pada tahapan awal dari industrialisasi dan pembangunan, kegiatan ekonomi menggunakan banyak sumberdaya alam dan teknologi kotor sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan. Ketika kualitas kehidupan meningkat sebagai hasil pembangunan, maka orang akan membutuhkan kualitas lingkungan yang lebih baik dan mendorong pemerintahnya untuk menetapkan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas lingkungannya (Vutha dan Jalalain, 2008). Grossman dan Krueger (1995) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahap awal membawa pada fase penurunan kualitas lingkungan. Selanjutnya dengan meningkatnya pendapatan akan menuju pada fase peningkatan kualitas
16
lingkungan. Titik balik pendapatan per kapita ketika kebutuhan publik akan lingkungan yang lebih baik minimal sebesar US$ 5.000 per kapita per tahun (CEC, 2002) sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Gallageher (2004) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi menimbulkan polusi, tetapi dampak skala (scale effect) ditanggulangi dengan dampak komposisi dan dampak teknis. Dampak komposisi terjadi ketika ekonomi yang telah tumbuh cenderung meningkatkan kegiatan jasa dan mengurangi kegiatan ekonomi yang kurang polusi, sedangkan dampak teknis menunjukkan bahwa dengan meningkatnya pendapatan akan cenderung meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan melalui penggunaan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Dengan demikian kebijakan lingkungan yang lebih kuat dapat diartikan sebagai kebutuhan kelas masyarakat menengah untuk mendapatkan kualitas lingkungan yang lebih baik, sehingga penurunan polusi berkaitan dengan dengan kesejahteraan (CEC, 2002, Gallageher, 2004).
Gambar 2. Hubungan antara tingkat pendapatan per kapita dengan jumlah emisi pencemar (CEC, 2002) Kurva lingkungan Kuznets tersebut secara umum dipakai untuk menggambarkan pola hubungan antara tingkat pendapatan dan kualitas lingkungan, tetapi pola tersebut tidak akan terjadi walaupun pendapatan tinggi apabila perhatian pemerintah terhadap program perlindungan lingkungannya kurang (Gallagher, 2004). Lebih lanjut Gallagher (2004) menyebutkan bahwa kondisi tersebut terjadi di Mexico yang walaupun pendapatannya telah mencapai
17
US$ 5.000 per kapita per tahun, tetapi degradasi lingkungannya tetap tinggi. Hal tersebut dikarenakan kebijakan lingkungan dinilai lebih longgar terhadap industri dan kegiatan ekonomi yang menghasilkan limbah. Liberalisasi perdagangan dapat memberikan dampak positif atau dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini tergantung pada keunggulan komparatif yang dimiliki, kebijakan-kebijakan perdagangan dan lingkungan yang ada, serta manajemen sumberdaya alam yang dimiliki. Dalam negosiasi perdagangan, koordinasi dan harmonisasi kebijakan lingkungan diantara mitra perdagangan dan lingkungan masih sedikit diperhatikan. Oleh karena itu, mengkaitkan antara pengelolaan lingkungan dengan perdagangan bebas adalah hal yang mendesak untuk dilakukan sebagai upaya melindungi lingkungan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (Vutha dan Jalalain, 2008). Adanya keterkaitan antara perdagangan dan lingkungan di tingkat global tersebut telah mendorong berkembangnya standarisasi lingkungan. Conference on Human and Environment oleh PBB pada tahun 1972 di Stockholm telah melahirkan pemikiran bahwa pembangunan industri yang tidak terkendali akan mempengaruhi kelangsungan dunia usaha. Pemikiran tersebut ditindaklanjuti dengan pembentukan United Nations Environment Program (UNEP) dan World Commission on Environment and Development (WCED). Istilah Sustainable Development (pembangunan berkelanjutan) yang diperkenalkan dalam laporan WCED pada tahun 1987 juga mencakup pengertian bahwa kalangan industri sudah harus mulai mengembangkan sistem pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan secara efektif.
Selanjutnya diselenggarakan United Nations
Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro tahun 1992.
Menindaklanjuti
gagasan
tersebut,
lnggris
mengeluarkan
standar
pengelolaan lingkungan yang pertama kali di dunia pada tahun 1992, yaitu British Standard (BS) 7750. Komisi Uni Eropa mulai memberlakukan Eco-Management and Audit Scheme (EMAS) pada 1993. Dengan diberlakukannya EMAS, BS 7750 direvisi dan kembali ditetapkan pada tahun 1994. Beberapa negara Eropa yang lain juga mulai mengembangkan standarisasi pengelolaan lingkungan Soemarno (2001) menyebutkan bahwa di tingkat internasional, dengan dorongan kalangan dunia usaha International Standardization Organization (ISO) dan
18
International Electrotechnical Commission (IEC) membentuk "Strategic Advisory Group on the Environment" (SAGE) pada bulan Agustus 1991. SAGE merekomendasikan kepada ISO akan perlunya suatu Technical Committee (TC) yang khusus bertugas untuk mengembangkan suatu seri standar pengelolaan lingkungan yang berlaku secara internasional. Pada tahun 1993, ISO membentuk TC 207 yang khusus bertugas mengembangkan standar pengelolaan lingkungan yang dikenal sebagai ISO seri 14000 dengan mengembangkan standar yang meliputi : Environmental Management System (EMS); Environmental Auditing (EA); Environmental Labelling (EL); Environmental Performance Evaluation (EPE); Life Cycle Analysis (LCA); Term and Definitions (TD). Soemarno (2001) menyatakan bahwa beberapa pokok pikiran yang mendasari ISO seri 14000 adalah : (a) menyediakan elemen-elemen dari suatu sistem pengelolaan lingkungan yang efektif dan dapat dipadukan dengan persyaratan pengelolaan lainnya; (b) membantu tercapainya tujuan ekonomi dan lingkungan dengan meningkatkan kinerja lingkungan dan menghilangkan serta mencegah terjadinya hambatan dalam perdagangan; (c) tidak dimaksudkan sebagai hambatan perdagangan non-tarif atau untuk mengubah ketentuan-ketentuan hukum yang harus ditaati; (d) dapat diterapkan pada semua tipe dan skala organisasi; (e) agar tujuan dan sasaran lingkungan dapat tercapai maka harus didorong dengan penggunaan Best Practicable Pollution Control Technology (Teknologi Pengendalian Pencemaran Terbaik yang Praktis) dan Best Available Pollution
Control
Technology
EconomicaIly
Achieveable
(Teknologi
Pengendalian Pencemaran Terbaik yang Tersedia). Gang (2004) dan Linde-Rahr (2005) menyebutkan bahwa keterbukaan pasar bebas harus diikuti dengan perangkat kebijakan pengelolaan lingkungan yang sesuai (compatible).
2.2. Kawasan Perdagangan Bebas Batam Untuk menarik investasi yang lebih besar, berbagai negara telah menetapkan satu atau beberapa titik wilayahnya sebagai kawasan perdagangan bebas (free trade zone), misalnya wilayah Batam di Indonesia yang ditunjuk sebagai kawasan perdagangan bebas berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007. Pengembangan suatu wilayah sebagai kawasan perdagangan bebas berpengaruh
19
terhadap kondisi lingkungan di wilayah tersebut, sehingga pengendalian lingkungan perlu dilakukan dengan mengembangkan kebijakan pengendalian lingkungannya khusus di kawasan perdagangan bebas tersebut. Kawasan perdagangan bebas atau export processing zone (EPZ) adalah suatu kawasan khusus yang ditetapkan di suatu negara dimana beberapa hambatan perdagangan normal seperti tarif dan kuota dihapuskan serta persyaratan birokrasi diturunkan dengan harapan akan menarik masuknya investasi dan bisnis baru di kawasan tersebut (Wikipedia, 2008). Zone perdagangan bebas dapat digambarkan sebagai pusat pabrikasi tenaga kerja yang intensif yang melibatkan impor dari komponen atau bahan baku serta ekspor dari produk pabrik. Kebanyakan FTZ berada di negara berkembang. Kawasan perdagangan bebas di Amerika Latin dimulai sejak awal dekade dari abad 20. Peraturan perdagangan bebas yang pertama di daerah ini ditetapkan di Uruguay dan Argentina pada tahun 1920-an. Pada tahun 2002, ada 43 juta tenaga kerja di sekitar 3000 FTZ di 116 negaranegara yang memproduksi pakaian, sepatu, sepatu karet, elektronika, dan mainan. Sasaran dasar dari EPZ adalah untuk meningkatkan devisa, mengembangkan industri berorientasi ekspor dan untuk menghasilkan peluang ketenaga-kerjaan (Wikipedia, 2008). Terminologi FTZ dan AFTA dalam prakteknya mempunyai perbedaan yang mendasar. AFTA lebih ditekankan pada upaya untuk mengurangi hambatan perdagangan baik tarif maupun non tarif. Salah satu hambatan perdagangan yang akan dikurangi dalam konsep ini, adalah tarif bea masuk hingga mencapai nol persen sampai 5 persen. Jika Indonesia tidak siap, maka akan berakibat pada membanjirnya produk luar negeri yang mempunyai kualitas dan harga bersaing yang pada akhirnya bermuara pada terancamnya produk dalam negeri. Konsep FTZ sendiri difokuskan pada upaya menarik investasi asing yang berorientasi ekspor. Industri seperti ini mempunyai beberapa manfaat yaitu menghasilkan setoran pajak (PPh), menyerap tenaga kerja, menumbuhkembangkan industri lokal (UKM) yang menjadi mitra perusahaan PMA dan tumbuhnya industri jasa pendukung. Industri lokal didaerah FTZ tidak akan terganggu, karena produk dari PMA di daerah FTZ adalah berorientasi ekspor sehingga tidak akan menyaingi ataupun mematikan produk lokal. Ditinjau dari prosedur ekspor dan impor,
20
meskipun diberlakukan AFTA, prosedur ekspor impor tetap mengacu pada prosedur bea cukai masing-masing negara anggota. Bagi wilayah yang ditunjuk sebagai FTZ yang memberikan insentif berupa pembebasan bea masuk, PPN dan PPnBM, maka prosedur ekspor dan impor yang harus dilalui menjadi lebih mudah dan cepat, karena tidak perlu melalui pemeriksaan yang berkaitan dengan pemungutan bea masuk, PPN dan PPnBm. Seperti di Batam yang selama ini telah berfungsi sebagai FTZ, prosedur keluar masuk barang dapat dipangkas dari 25 proses menjadi 11 proses (Bagian Pemasaran Otorita Batam, 2001). Kawasan perdagangan bebas (KPB) atau free trade zone (FTZ) telah berkembang sejak tahun 1934 di Amerika Serikat setelah Undang-Undang tentang KPB di Amerika Serikat disahkan, tetapi baru tahun 1970-an perusahaanperusahaan merasakan manfaat dari keberadaan KPB tersebut, baik untuk kepentingan ekspor dan impornya (Alavi dan Thompson, 1988). Perusahaan memanfaatkan KPB dalam melakukan kegiatan pengujian, penyortiran, pengemasan kembali, penyimpanan, dan persiapan penjualan barang ke penyalur. Alavi dan Thompsom (1988) lebih lanjut menjelaskan manfaat KPB dalam kegiatan impor dan ekspor barang, yaitu : (a) Di dalam KPB importir dapat menguji dan menyortir barang yang cacat dan rusak, sehingga dapat dikembalikan; (b) Beberapa barang seringkali perlu dirakit sebelum dipasarkan dengan menggunakan beberapa komponen lainnya yang berasal dari dalam negeri atau negara lainnya; (c) Kawasan KPB menjadi pusat distribusi barang sebelum barang diekspor ke luar negeri; (d) Barang domestik yang masuk ke KPB dapat memperoleh status ekspor. Mongelluzzo (2003) menyebutkan bahwa KPB dapat memangkas biaya dan mengetatkan roda suplai barang. Riset Mongelluzo (2003) di Los Angeles menunjukkan bahwa perbandingan total biaya kegiatan ekonomi di kawasan non-KPB dengan KPB masing-masing adalah US$ 11.615.000 dan US$ 10.845.920, sehingga adanya KPB dapat menghemat biaya sebesar US$769.080. Keberadaan KPB memungkinkan terjadinya pemindahan kegiatan ekonomi dari negara investor ke negara yang memiliki KPB (host country). Pemindahan kegiatan tersebut selain berdampak terhadap peningkatan pendapatan negara pemilik KPB juga akan memberikan dampak terhadap lingkungan wilayah KPB.
21
Katz (2000) menyebutkan bahwa adanya pengurangan tarif di KPB akan meningkatkan investasi dalam fasilitas produksi dan arus transportasi lebih besar, sehingga menciptakan resiko terhadap peningkatan : (a) konsumsi air dan polusi yang bersumber dari kegiatan industri dan rumah tangga; (b) polusi udara yang bersumber dari kegiatan industri dan rumah tangga; (c) produksi limbah padat yang berasal dari peningkatan kegiatan produksi dan konsumsi rumah tangga; (d) kehilangan lahan terbuka, termasuk berkurangnya zona resapan air dan habitat satwa liar; (e) ekstraksi sumberdaya alam, termasuk penambangan bahan bakar dan mineral; serta (f) polusi perairan laut dan tekanan terhadap wilayah pesisir. Kawasan perdagangan bebas pun memiliki daya tarik ekonomi bagi pekerja, sehingga terjadi kenaikan populasi penduduk. Lebih lanjut Katz (2000) menyebutkan bahwa kebijakan penghilangan penghambat perdagangan (trade barriers) di Eropa menjadi penyebab langsung peningkatan kegiatan transportasi, polusi udara dan polusi limbah rumah tangga. Setiap kenaikan 1,5% pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan 10-20% emisi polusi udara di Eropa (Katz, 2000). Namun hasil riset Liang (2006) tentang dampak investasi asing terhadap KPB di Cina menunjukkan bahwa adanya investasi memberikan manfaat terhadap perbaikan lingkungan karena investor tersebut menerapkan teknologi yang lebih efisien sehingga produktifitas lebih tinggi dan penggunaan sumberdaya alam lebih hemat. Perbedaan dampak dari KPB terhadap lingkungan tersebut terkait dengan kebijakan pemerintah masing-masing dalam penyelenggaraan KPB (Katz, 2000; Liang, 2006). Linde-Rahr (2005) menyebutkan bahwa di tingkat nasional kebijakan lingkungan yang keras (stringent environmental policy) tidak cukup signifikan dalam pemilihan lokasi industri dibandingkan dengan pertimbangan faktor transportasi dan pertumbuhan ekonominya, tetapi di tingkat provinsi kebijakan lingkungan yang keras dapat mengurangi investasi asing. Dampak lingkungan KPB dianalisis dengan mengacu pada kurva EKC (Katz, 2000; Copeland dan Taylor, 2004; Liang, 2006). Katz (2000) menyebutkan bahwa titik pendapatan dimana kepedulian terhadap lingkungan meningkat dicapai pada pendapatan per kapita per tahun sebesar US$5.000 di kawasan Mediteranian, sedangkan menurut Grossman dan Krueger (1999) sebesar US$8.000. Untuk mencapai pendapatan sebesar US$5.000 per kapita di Mesir
22
diprediksikan akan tercapai setelah 40 tahun dengan asumsi bahwa ada kegiatan ekonomi yang agresif melalui ekspansi ekonomi secara konsisten (Katz, 2000). Setiap negara tentunya memiliki kebijakan yang berbeda terkait dengan penerapan KPB di negaranya. Frankel dan Rose (2002) menyebutkan terdapat dua proposisi yang berkaitan dengan dampak lingkungan dari KPB, yaitu hipotesis pollution haven dan hipotesis Porter. Hipotesis pollution haven umumnya dilakukan oleh negara yang mengadopsi standar lingkungan yang longgar (lax environmental standards) dengan tujuan untuk menarik minat investasi dari perusahaan multinasional yang regulasi pengendalian lingkungan di negara asalnya dilakukan ketat. Hipotesis ini umumnya dilakukan oleh negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang yang memiliki KPB cenderung lebih kotor daripada negara maju yang menerapkan standar kualitas lingkungan lebih tinggi. Misalnya Sarkar (2009) menyoroti perjanjian di kawasan perdagangan bebas antara Amerika Serikat dan Dominika, dimana walaupun dalam perjanjian tersebut dimasukkan aspek lingkungan tetapi investor lebih tertarik menanamkan investasi di Dominika karena upah yang murah dan persyaratan lingkungan yang rendah, sehingga berdampak terhadap menurunnya peluang kerja dan investasi modal di wilayah Amerika Serikat. Cole dan Fredikkson (2005) menyatakan bahwa hipotesis pollution haven akan terjadi pada kondisi dimana keterlibatan struktur legislatif dan partisipasi publik rendah. Hipotesis Porter dilakukan dengan menerapkan kebijakan pengaturan lingkungan yang lebih ketat terhadap investor di KPB dengan tujuan untuk mendorong digunakannya inovasi teknologi dalam kegiatan produksi ekonominya yang lebih ramah lingkungan. Dalam hal ini regulasi lingkungan akan mendorong pemanfaatan sumberdaya alam yang lebih efisien dan lebih produktif, sehingga tekanan terhadap lingkungan dapat dikurangi. Hipotesis Porter akan efektif dilakukan pada KPB yang kebijakan pengendalian lingkungannya bersifat merit system atau insentif/disinsentif (Frankel dan Rose, 2002). Cole et al. (2006) menyebutkan bahwa investasi asing mempengaruhi kebijakan lingkungan dan dampaknya bersifat kondisional tergantung tingkat korupsi (degree of corruptibility) dari pemerintah setempat, yaitu pada tingkat korupsi pemerintahannya tinggi maka investasi asing cenderung menurunkan
23
standar
kualitas
lingkungan
dan
sebaliknya
dengan
makin
bersihnya
penyelenggaraan pemerintahan maka investasi asing cenderung mendorong peningkatan standar kualitas lingkungan. Dalam hal ini transparansi, demokrasi, dan tata kelola pemerintahan menjadi kunci penataan kebijakan perdagangan bebas yang sinergis dengan pengendalian lingkungan (CEC, 2002). Integrasi kebijakan lingkungan dan perdagangan bebas masih lemah, padahal keduanya tidak bisa dipisahkan (Butler, 1992; CEC, 2002). Seale dan Fairchild (1994) menyebutkan bahwa sejumlah kelompok pro lingkungan telah sejak lama meminta pelaksanaan perdagangan internasional dikaitkan dengan regulasi lingkungan, karena kebijakan perdagangan dapat digunakan untuk mempengaruhi negara lain dalam hal perbaikan lingkungan. Upaya untuk mengintegrasikan lingkungan ke dalam pengelolaan KPB dilakukan oleh CEC (2002) dengan meningkatkan partisipasi publik terhadap kegiatan pengembangan KPB. Lebih lanjut CEC (2002) menyebutkan bahwa keterlibatan publik sejak awal KPB penting difasilitasi untuk memantau dampak lingkungan dari perdagangan bebas yang terjadi. Hal ini terkait dengan dijalankannya pemerintahan yang transparan dan demokratis. Keterlibatan publik dalam pemantauan lingkungan KPB penting sebagai legitimasi bagi pengelola kawasan bahwa kegiatannya tidak menurunkan kualitas lingkungan, karena kebijakan lingkungan banyak yang memerlukan komitmen dan dukungan publik (CEC, 2002). Lebih lanjut CEC (2002) menyebutkan bahwa untuk mendorong partisipasi publik terhadap pengendalian lingkungan di KPB yang berada di Amerika Utara telah difasilitasi terbentuknya kelompok penasehat (advisory group) yang beranggotakan pakar dan kelompok pemerhati lingkungan untuk memberikan masukan dan memantau kualitas lingkungan di KPB dan sekitarnya kepada badan pengelola kawasan secara mandiri (independent). Salah satu wilayah di Indonesia yang ditetapkan sebagai KPB adalah Batam. Pembangunan Pulau Batam dimulai oleh Pertamina berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971 tentang Pengembangan Pembangunan Daerah Pulau Batam dan dimaksudkan sebagai basis logistik dan operasional untuk industri minyak dan gas bumi guna menunjang eksplorasi minyak dan gas bumi lepas pantai. Dengan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1974 tentang
24
Penunjukan dan penetapan beberapa wilayah usaha bonded warehouse di daerah industri Pulau Batam, wilayah di daerah Batu Ampar, dan wilayah di daerah Sekupang bagian barat Pulau Batam ditetapkan lokasi tersebut sebagai bonded warehouse. Adapun perusahaan yang bertindak sebagai bonded warehouse adalah PT. Persero Pengusahaan Daerah Industri Pulau Batam. Sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1972 tentang bonded warehouse, bonded warehouse adalah suatu sarana institusional dalam bidang perekonomian dan perdagangan yang mempunyai wilayah pengusahaan tertentu dalam daerah pabean Indonesia sebagai suatu tempat untuk menyimpan, menimbun, meletakkan, mengemas, dan atau mengolah barang-barang yang berasal: (a) dari luar daerah pabean tanpa terlebih dahulu dikenakan pungutan bea, cukai, pajak, dan atau pungutan negara lainnya sampai barang-barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor atau tujuan re-ekspor tanpa diolah terlebih dahulu di dalam bonded warehouse, atau (b) dari dalam daerah pabean tanpa terlebih dahulu dikenakan pengutan bea, cukai, pajak, dan atau pungutan negara lainnya sampai barang-barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan ekspor (Ditjen Bea Cukai, 2008). Dalam perkembangan selanjutnya seluruh daerah industri Pulau Batam ditetapkan sebagai wilayah usaha bonded warehouse berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1978 tentang Penetapan Seluruh Daerah Industri Pulau Batam sebagai Wilayah Usaha bonded warehouse. Kemudian dengan Keputusan Presiden Nomor 28 tahun 1992 tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan penetapannya sebagai wilayah usaha Kawasan Berikat (Bonded Zone), wilayah lingkungan kerja daerah industri Pulau Batam ditambah dengan Pulau Rempang dan Pulau Galang. Kemudian dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007, Nomor 47 Tahun 2007, dan Nomor 48 Tahun 2007, Kawasan Batam, Kawasan Bintan, dan Kawasan Karimun masing-masing ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) dengan mendapat fasilitas fiskal berupa bebas dari pengenaan bea masuk, PPN, PPnBM, dan cukai atas pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KPBPB. Kawasan Batam meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setotok, Pulau
25
Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru (Ditjen Bea Cukai, 2008). Batam selaku kota industri yang terkemuka di Asia Pasifik telah lama memikirkan akibat-akibat yang ditimbulkan globalisasi ekonomi terhadap kinerja pertumbuhan Batam. Sebagai barometer pertumbuhan ekonomi nasional, Batam secara signifikan harus mampu memperbaiki kinerjanya dalam meningkatkan jumlah investasi dan pertumbuhan ekonominya. Salah satu hal yang menjadi isu utama di Batam saat ini setidaknya adalah mengenai penerapan FTZ terhadap Batam. Seperti diketahui, selama ini Batam hanya dijadikan sebagai bonded zone, yang telah mengalami banyak perkembangan, sehingga diperlukan adanya satu perubahan konsep dari bonded menjadi FTZ. Namun sebagian orang ada yang menentang penerapan free trade ini dengan alasan bahwa pasar bebas yang akan diterapkan di ASEAN dengan adanya AFTA akan menjadikan status FTZ Batam menjadi percuma. Alasan yang dikemukakan dengan menghadapkan antara free trade dan AFTA sebenarnya tidak relevan dalam memandang Batam, karena ada perbedaan yang mendasar antara FTZ dan AFTA, walaupun keduanya berarti pasar bebas yang ada di suatu kawasan. Jadi pada dasarnya upaya menjadikan Batam sebagai FTZ tak lain adalah mempertahankan situasi dan kondisi Batam yang ada sekarang ini yang sebenarnya telah menjalankan fungsi-fungsi FTZ. (Ditjen Bea Cukai, 2008). Bagi Batam, dengan diterapkannya free trade zone, tidak ada sesuatu yang baru dan tidak ada perubahan yang mendasar. Hal ini merupakan legitimasi baru bagi pulau Batam untuk melanjutkan fungsi pulau Batam sebagai daerah industri yang berstandar internasional dan kompetitif di Asia Pasifik dan memberikan manfaat bagi masyarakat disekitarnya. Kesalahan persepsi atas konsep free trade zone yang dialami oleh segelintir pihak belakangan ini dapat berdampak negatif bagi perkembangan Batam, khususnya di mata investor asing yang sangat membutuhkan kepastian hukum bagi status pulau Batam. Perusahaan Penanaman Modal Asing berorientasikan ekspor bersedia merelokasikan pabriknya sematamata untuk mencari efisiensi ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara asalnya. Penerapan FTZ secara de facto di Batam, diakui telah mampu memberikan kontribusi signifikan dalam meningkatkan efisiensi biaya produksi.
26
Oleh sebab itu, Batam dilukiskan sebagai kawasan yang memenuhi persyaratan yang diperlukan bagi PMA berorientasi ekspor untuk menjalankan aktivitasnya. Motivasi para pengusaha swasta dalam relokasi adalah untuk memperluas pasar bagi produksinya di luar negara asal dan dalam perkembangan selanjutnya, karena persaingan global yang semakin ketat, maka perusahaan tersebut harus merelokasikan usahanya ke negara lain yang dapat memberikan efisiensi ekonomi yang lebih menarik (Ditjen Bea Cukai, 2008).. Sementara itu, fasilitas perpajakan merupakan salah satu tolak ukur bagi perusahaan-perusahaan PMA untuk menentukan lokasi industrinya setelah membandingkan dengan kawasan-kawasan lain di berbagai negara. Batam tetap menarik minat investor untuk menanamkan investasinya. Fasilitas keringanan berupa keringanan perpajakan dan bea masuk yang diberikan kepada Batam telah mampu memberikan nilai tambah yang cukup besar bagi Batam dalam bersaing memperebutkan investasi atas kawasan sejenis lainnya yang ada di Asia Pasifik seperti Subic (Filipina), Johor (Malaysia), Shenzhen (Cina), Vietnam dan Thailand. Hingga akhir tahun 2007, ada 978 perusahaan PMA yang telah menanamkan investasinya di Batam.Lebih dari 8000 perusahaan skala kecil dan menengah (UKM) juga menjalankan aktivitasnya di Batam sebagai pendukung atau subcontractor bagi perusahaan PMA. Pertambahan jumlah perusahaan ini juga berimplikasi pada naiknya nilai investasi yang masuk ke Batam. Untuk tahun 2007 nilai investasi tercatat 4.765 juta untuk investasi PMA. Berlandaskan dari banyaknya perusahaan baru yang berorientasi ekspor di Batam menjalankan aktivitasnya, nilai ekspor non migas untuk tahun 2007 sebesar 6,06 milyar. Nilai ekspor tersebut meningkat sekitar 0.82 milyar dari ekspor tahun 2006 sebesar 5,24 milyar (Batam, 2008). Negara-negara tujuan ekspor Batam masih tetap didominasi oleh negara-negara yang menanamkan investasinya di Batam seperti Singapura, Jepang, Amerika Serikat, Thailand, Uni Eropa, Bulgaria, Polandia dan beberapa negara lainnya di berbagai belahan dunia. Rata-rata negara yang menjadi tujuan ekspor telah menandatangani perjanjian penghapusan maupun pengurangan bea masuk yang ditandai dengan penerbitan CO (certificate of origin) pada produk perusahaan tersebut (Abdulah, 2001).
27
Meskipun era globalisasi akan membentuk persaingan pasar internasional yang terbuka, Indonesia harus dapat mempersiapkan diri agar dapat menjadi salah satu pemeran dalam kawasan Asia Pasifik. Dengan pertumbuhan pesat dan keadaan Batam hingga saat ini, prospek Indonesia untuk dapat berkancah dalam dunia internasional semakin besar. Dengan memanfaatkan lokasi yang strategis pada jalur pelayaran yang ramai di Selat Malaka, disertai dengan fasilitas dan infrastruktur serta sumberdaya manusia yang memadai, Batam dapat menjadi pusat ekspor Indonesia. Eksportir-eksportir Indonesia dapat menggunakan momentum free trade zone Batam untuk berinvestasi di Batam, sebagai langkah awal dalam upaya menjangkau pasar dan persaingan global (Abdulah, 2001). Uraian
sebelumnya
menunjukkan
bahwa
globalisasi
ekonomi
dan
penunjukan Batam sebagai KPB diprediksi akan berdampak terhadap lingkungan di kawasan tersebut. Selama ini walaupun sejak lama kawasan Batam secara de facto merupakan wilayah perdagangan bebas, tetapi pengendalian lingkungannya masih belum efektif.
2.3. Analisis Kebijakan Pengendalian Lingkungan Uraian sebelumnya menunjukkan bahwa pengembangan wilayah Batam sebagai kawasan perdagangan bebas menghadapi permasalahan lingkungan yang dapat mengganggu keberlanjutan KPB Batam. Seberapa besar perdagangan bebas akan mempengaruhi lingkungan tergantung pada skala ekonomi yang dilakukan, faktor persaingan, dampak lokasi kegiatan, dan dampak kebijakan (CEC, 2002). Perdagangan bebas meningkatkan aktifitas ekonomi total wilayah dan memberikan tekanan terhadap lingkungan melalui penggunaan sumberdaya alam dan pembuangan limbah dari kegiatan industri, transportasi, dan kegiatan ekonomi
lainnya.
Faktor
persaingan
bagi
beberapa
negara
cenderung
melonggarkan standar kualitas lingkungannya untuk menarik minat investasi yang lebih besar yang dikenal sebagai kebijakan pollution havens. Dampak lokasi terjadi apabila pemerintah pusat dan pemerintah lokal menetapkan standar kualitas lingkungan yang ketat bagi industri, maka industri cenderung akan memindahkan ke wilayah yang menerapkan kebijakan lingkungan yang lebih longgar untuk menghindari biaya pengolahan limbah yang menjadi beban biaya produksinya.
28
Regulasi lingkungan memiliki peranan penting terhadap perdagangan bebas karena aspek lingkungan saat ini telah dimasukkan di hampir semua perjanjian perdagangan internasional. Apabila pemerintah setempat tidak mengubah kebijakan pengelolaan lingkungannya, pemerintah setempat akan melanggar ketentuan internasional yang telah disepakati (CEC, 2002). Adanya masalah (lingkungan) tersebut memerlukan kebijakan untuk mengendalikannya karena kebijakan dibuat untuk mengantisipasi permasalahan yang ada dan timbul di dalam suatu komunitas dan mengatur perilaku anggota masyarakat (publik) dalam aktivitas tertentu. Kebijakan disusun dengan suatu tujuan tertentu untuk memecahkan masalah yang ada, didukung oleh seperangkat keputusan publik, dibuat oleh sekelompok orang yang memiliki otoritas untuk membuat
kebijakan,
merefleksikan
sehingga
pilihan-pilihan
kebijakan
sosial.
Suatu
yang
ditetapkan
kebijakan
seharusnya
direncanakan
dan
dilaksanakan untuk menjamin bahwa suatu aksi atau kegiatan akan memberikan kontribusi pada beberapa hasil, tujuan atau sasaran yang diharapkan oleh masyarakat. Kebijakan juga merupakan preposisi atas preskripsi (rekomendasi atau resep) dari masalah nyata (real world) di masyarakat. Kebijakan dibuat untuk menjawab pertanyaan : What ought to be done? atas isu atau masalah yang mengemuka dalam perbincangan publik (masyarakat). Menurut Ramdan et al. (2003), suatu kebijakan memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Kebijakan tidak eksis secara tunggal, tetapi ganda (berantai). Suatu kebijakan terkait dengan kebijakan lainnya. Sebagai contoh kebijakan membuka kembali ekspor kayu bulat diduga meningkatkan kegiatan penjarahan kayu di hutan alam Indonesia, sehingga untuk menjaga hal tersebut berlanjut diperlukan kebijakan lain untuk menekan laju penjarahan tersebut. b. Keberhasilan suatu kebijakan harus didukung oleh sistem. Buruknya kondisi sistem politik mempengaruhi keberhasilan suatu kebijakan, sehingga perubahan kebijakan harus didukung oleh sistem yang baik. c. Kebijakan mengubah/mempengaruhi sesuatu keadaan yang almost impossible menjadi possible.
29
d. Kebijakan yang baik didukung oleh informasi yang lengkap dan akurat. Informasi/ data yang tidak lengkap dan akurat menimbulkan misinterpretation,
misperception,
dan
poor
guidelines
dalam
mengimplementasikan kebijakan. Proses penyusunan kebijakan tertera pada Gambar 3. Studi analisis kebijakan pada prinsipnya menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut (Dunn, 1999) : a. Apa hakekat dari permasalahan yang akan dianalisis ? b. Kebijakan apa yang sedang atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa akibatnya ? c. Seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah ? d. Alternatif-alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab masalah-masalah, dan hasil-hasil apa yang diharapkan ? Masalah dapat timbul sebagai bentuk ketidakpuasan individu atau sekelompok masyarakat terhadap kebijakan yang ada (status quo policy). Masalah dan isu (issue) adalah dua istilah yang dalam prakteknya sering dipertukarkan satu dengan lainnya. Cubbage, et al. (1993) menyatakan bahwa isu menggambarkan lebih dari suatu debat atau kontroversi terhadap situasi tertentu. Terdapat banyak masalah dalam pengelolaan lingkungan,
namun hanya sedikit yang dapat dijadikan
sebagai isu penting. Isu juga merupakan masalah yang dipertimbangkan dan diperdebatkan oleh publik serta dipandang sebagai hasil gabungan dari kejadiankejadian dan aksi kelompok masyarakat. Masalah yang dapat dijadikan isu memiliki beberapa ciri, yaitu : a. Memiliki konflik yang potensial atau konflik sedang berlangsung. b. Memiliki potensi untuk suatu perubahan dalam rencana pengelolaan. c. Memiliki pengaruh terhadap alokasi sumberdaya. d. Berhubungan dengan kondisi di suatu tempat dan waktu saat ini. e. Dapat dirumuskan dalam bentuk sebuah pertanyaan f. Dapat diverifikasi melalui keterlibatan publik. Kebanyakan masalah yang ditemukan dalam pengelolaan lingkungan merupakan masalah yang rumit atau kompleks. Keputusan melibatkan banyak stakeholders dengan keragaman latar belakang individual atau kelompok yang 30
FORMASI MASALAH Masalah atau diterima dan adanya kebutuhan untuk membuat aksi
AGENDA KEBIJAKAN Kebutuhan dikenali dan masalah ditempatkan sebagai agenda untuk aksi
FORMULASI KEBIJAKAN
Perubahan yang diharapkan Perubahan yang diharapkan dari perbaikan dalam kebidari perbaikan dalam kebijakan yang dikenali dan jakan diformulasikan yang dikenali dan diformulasikan
Bagian-bagian aksi yang dapat diterima dikembangkan sesuai dengan masalah
ADOPSI KEBIJAKAN Kebijakan diseleksi untuk mengatasi masalah dan dibuat sebagai pernyataan kebijakan (
policy statement
)
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN Kebijakan diimpelemtasikan oleh instansi/badan pemerintah yang sesuai, termasuk di dalamnya pengawasan legislatif dan peran yudikatif
EVALUASI KEBIJAKAN Determinasi informal atau formal dari efektifitas kebijakan yang dibuat, menyarankan perbaikan kebijakan yang harus dipertimbangkan
Gambar 3. Proses pembuatan kebijakan (Cubbage, et al.1993) tinggi menjadikan karakteristik utama yang muncul adalah konflik diantara tujuan-tujuan yang saling bersaing. Cubbage et al. (1993) menjelaskan pertentangan atau konflik yang sering timbul ketika menetapkan suatu tujuan, yaitu : 31
a. Ketidakmungkinan fisik (physical impossibility), misalnya pembuatan jalan hutan dapat memberikan dampak menurunnya kualitas air. b. Konflik ekonomi (economic conflicts), misalnya keterbatasan dana yang disediakan oleh pemerintah untuk PSDAL. c. Konflik atas nilai (value conflicts), misalnya perbedaan pandangan diantara kelompok-kelompok masyarakat terhadap penggunaan dan pelestarian SDA. d. Perspektif Waktu (time perspectives), misalnya setiap individu atau kelompok memiliki preferensi waktu yang berbeda dalam memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki dan kepentingan pelestariannya. Perumusan masalah adalah aspek yang paling penting dalam analisis kebijakan tetapi paling sering sulit dipahami oleh analis kebijakan. Proses perumusan masalah kebijakan seringkali tidak mengikuti aturan yang baku atau jelas, sedangkan masalah itu sendiri seringkali sangat kompleks dan sulit dibuat sistematis. Dalam merumuskan masalah yang spesifik, perlu upaya untuk menjadikan masalah tersebut sebagai informasi yang akan menarik perhatian kelompok pembuat keputusan seperti pemerintah sebelum perubahan kebijakan lainnya terjadi. Dalam tahapan proses sesudah perumusan masalah adalah upaya menjadikan isu atau masalah menjadi agenda (kebijakan) dari pembuat kebijakan. Abidin (2002) menyebutkan bahwa masalah strategis memenuhi empat syarat, yaitu: (a). luas cakupannya; (b). jangka waktu panjang; (c). memiliki keterkaitan yang luas; dan (d). mengandung resiko dan keuntungan yang besar. Tipe agenda kebijakan dapat bersifat umum atau sistematik. Abidin (2002) menyebutkan bahwa agenda umum dalam mengangkat isu yang belum jelas tujuan khususnya (vague issues) mengakibatkan isu-isu tersebut bersifat umum. Agenda yang sistematik merupakan agenda yang sudah memiliki gambaran yang sangat jelas yang dihasilkan dari suatu diskusi atau perdebatan publik mengenai isu penting. Sebagai contoh, agenda yang sistematik adalah isu polusi udara, keanekaragaman hayati, degradasi lahan, dan sebagainya. Untuk memperoleh perhatian
pembuat
kebijakan,
masyarakat
publik
harus
bersatu,
mengorganisasikan diri, dan menghubungi lembaga perwakilannya di dewan perwakilan dengan tujuan untuk memasukkan isu yang telah dirumuskan ke dalam
32
agenda pembuat keputusan. Tekanan publik diperlukan apabila pembuat kebijakan memiliki sikap yang apriori terhadap isu publik yang diangkat. Bentuk tekanan publik dapat dilakukan dengan beragam media, seperti : diskusi, opini di media massa, demonstrasi, dan sebagainya. Namun dengan banyaknya masalah yang berkembang dan potensial untuk dijadikan isu seringkali menyebabkan perlunya penyusunan prioritas dalam mengagendakan isu publik. Semakin penting masalah atau isu yang akan ditempatkan sebagai agenda publik, maka semakin tinggi peringkat perioritas dari isu publik tersebut. Setelah masalah atau isu dijadikan agenda publik, para pembuat kebijakan dan stakeholder lainnya secara bersama-sama menyusun formulasi kebijakan yang difokuskan untuk mencari alternatif kebijakan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dunn (1999) menyatakan bahwa alternatif kebijakan juga melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan pengadilan, dan tindakan legislatif lainnya. Hasil formulasi kebijakan akan menghasilkan alternatifalternatif kebijakan baru terhadap kebijakan lama atau yang sedang berlangsung. Untuk menjamin efisiensi dan efektifitas pelaksanaan kebijakan, diperlukan upaya untuk menyusun peringkat atau prioritas alternatif kebijakan yang harus diimplementasikan.
Alternatif
kebijakan
yang
telah
tersusun
kemudian
diadopsikan dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus di antara eksekutif, dukungan lembaga peradilan, serta diterima oleh
mayoritas
stakeholders lainnya. Kebijakan yang telah diadopsi diimplementasikan oleh unit-unit administrasi dan pelaksana pemerintah, masyarakat, lembaga swasta, dan komponen stakeholders lainnya. Implementasi kebijakan pun difokuskan untuk memobilisasi sumberdaya yang ada, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Dengan kebijakan yang efektif diharapkan masalah atau isu yang muncul pada tingkat publik akan dapat diselesaikan secara baik, berkeadilan, dan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya. Implementasi kebijakan harus dievaluasi untuk menguji apakah pelaksanaan kebijakan yang telah dilaksanakan telah sesuai dengan persyaratan dan aturan yang ada dalam kebijakan yang telah ditetapkan. Beragam kriteria digunakan untuk menganalisis kebijakan tersebut. Kriteria merupakan standar perbandingan yang digunakan dalam pembuatan keputusan
33
tentang kebijakan-kebijakan alternatif. Kriteria dapat menggabungkan fakta dengan keputusan valuatif atau normatif. Dalam mengevaluasi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan (PSDAL) dibutuhkan standar atau kriteria evaluasi yang menyangkut aspek ekologis, ekonomi, sosial, dan politik, sehingga secara umum evaluasi PSDAL dikemas dalam perspektif sustainability (kelestarian). Ukuran efektifitas kebijakan yang perlu diperhatikan adalah (Ramdan, et al., 2003) : a. Efisiensi.
Kebijakan
dalam
pengelolaan
SDA
harus
mampu
meningkatkan efisiensi penggunan SDA secara optimal. Kebijakan pengelolaan
SDA
yang
tidak
mencerminkan
efisiensi
dapat
menimbulkan degradasi lingkungan. b. Adil (fair). Bobot kebijakan harus ditempatkan secara adil, dimana kepentingan publik tidak terabaikan. Sebagai contoh rusaknya hutan tropis Indonesia disebabkan oleh tidak tercerminnya rasa keadilan publik. Masyarakat lokal selama 32 tahun rejim orde baru tidak mendapatkan kesempatan untuk menikmati langsung manfaat hutan yang berada di lingkungannya. Kebijakan konsensi hutan yang tidak fair dalam prakteknya telah memperkaya sekelompok pengusaha (pusat) dan memiskinkan masyarakat lokal. Ketidakadilan ini menyebabkan konflik sosial. c. Mengarah pada insentif. Perbaikan lingkungan adalah tanggung-jawab bersama karena SDA ini prinsipnya kewajiban bersama yang harus dijaga. Namun untuk menciptakan attitude diperlukan insentif. Oleh karena itu, kebijakan dalam pengelolaan SDA harus mengarah pada insentif untuk merangsang tindakan dalam perbaikan lingkungan. d. Penegakan hukum (enforceability). Kebijakan tidak akan efektif berjalan dalam kondisi disorder dan poor law enforcement. Penegakan hukum akan memaksa setiap anggota masyarakat untuk mentaati kebijakan yang ditetapkan. e. Diterima oleh publik (public acceptability). Kebijakan pengelolaan SDA selalu menyangkut kepentingan publik. Dengan demikian kebijakan yang baik harus dapat diterima oleh publik.
34
f. Moral. Kebijakan yang baik tidak akan ada pengaruhnya dalam perbaikan SDA dan lingkungan apabila tidak dilandasi oleh moral yang baik. Moral adalah aspek normatif yang sangat penting dalam menjamin aspek positif dari suatu kebijakan. Moral menjadi spirit of soul dalam pengelolaan SDA. Kerusakan SDA di Indonesia yang meningkat selama ini dipengaruhi oleh pelaksanaan kebijakan tanpa moral. Oleh karena itu, terjadinya moral hazard menjadi titik awal kerusakan SDA dan lingkungan.
2.4. Pengelolaan Lingkungan Pengelolaan lingkungan merupakan upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan,
pemeliharaan,
pengawasan,
pengendalian,
pemulihan
dan
pengembangan lingkungan hidup (Pasal 1 angka (2) UULH No. 4 Tahun 1982). Menurut isi pasal 1 angka (2) UULH No. 23 Tahun 1997 sebagai pengganti undang-undang lingkungan hidup yang lama, pengelolaan lingkungan diartikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rumusan antara kedua undang-undang lingkungan hidup tersebut tidak bertentangan satu sama lain, bahkan rumusan baru dalam undang-undang yang baru merupakan penjabaran lebih lanjut. Ada delapan pengertian dari rumusan pasal yang merumuskan pengertian tentang lingkungan hidup, yaitu: 1. Melestarikan fungsi lingkungan hidup Asal kata melestarikan adalah kata lestari, yang artinya keadaan, kondisi, situasi, sifat, kuantitas, kualitas dan fungsi yang tetap atau relatif tidak berubah fungsinya. Dari aspek pendekatan proses biologi misalnya, maka hukum termodinamikanya tidak berubah (homeostatis) dan dalam keadaan “ a stable system is one that responds to changes from a steady state by developing forces to restore it to the original condition”. 2. Kebijakan penataan lingkungan hidup Penataan disini diartikan sebagai pengaturan, sehingga kebijakan penataan mempunyai konotasi bahwa pembuatan aturan-aturan hukum
35
(baca: penetapan kaidah-kaidah hukum) tentang pengelolaan lingkungan harus memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan individu, kelompok dan kepentingan negara, maupun kepentingan pelestarian lingkungan itu secara arif (bijaksana), baik secara lokal maupun global. Dengan demikian penataan merupakan produk hukum dalam usahausaha melestarikan fungsi lingkungan. 3. Pemanfaatan lingkungan hidup Sejalan dengan sifat pembangunan yang berwawasan lingkungan (sustainable
development),
maka
pemanfaatan
unsur-unsur
atau
komponen-komponen lingkungan hidup (sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan sumberdaya manusia) harus dikelola secara rasional dan bertanggung jawab. Kiranya hal ini sesuai dengan asas lestari dari sistem pengelolaan lingkungan hidup itu sendiri. 4. Pengembangan lingkungan hidup Agar supaya lingkungan hidup dapat diteruskan secara berlanjut penggunaannya oleh generasi yang akan datang, maka kondisi lingkungan hidup yang sudah ada bukan hanya dimanfaatkan oleh generasi sekarang, tetapi kepadanya juga dibebani kewajiban untuk menjaga, melestarikan, bahkan wajib pula untuk meningkatkan fungsi maupun kuantitas serta kualitasnya dan menjaga jangan sampai merosot secara kuantitas dan kualitasnya. 5. Pemeliharaan lingkungan hidup Fungsi lingkungan hidup tidak boleh berubah, tetapi diharapkan dapat meningkat. Oleh karena itu, sistem alamiahnya (ekosistem) harus tetap dijaga agar azas manfaat dari lingkungan hidup tetap dapat memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang. Untuk itu diperlukan pengaturan yang sedemikian rupa, terorganisasi dan terkoordinasi dengan baik pula. 6. Pemulihan lingkungan hidup Pemulihan lingkungan merupakan usaha untuk memulihkan kondisi lingkungan kembali ke keadaan semula sesuai dengan fungsinya, sehingga dapat dinikmati manfaatnya oleh generasi sekarang dan generasi masa mendatang.
36
7. Pengawasan lingkungan hidup Pengawasan merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pengawasan dapat meliputi aspek-aspek yang bersifat teknis, yuridis, ekonomis, sosiologis dan anthropologis (pendekatan holistik). Pengawasan juga merupakan unsur logis dari suatu sistem pengelolaan. Pengawasan sebagai suatu sub sistem pengelolaan harus menetapkan perangkat pengelola yang mana yang mempunyai tugas dan fungsi mengenai hal itu. Pengelola juga harus memberikan batasan-batasan tentang hak dan kewajibannya secara tegas kepada perangkat pengelola yang ditunjuknya. Apakah hak itu menyangkut tentang hak pengawasan secara teknis, yuridis, ekonomis, sosiologis ataupun anthropologis. Penunjukan perangkat pengelola harus ditunjuk secara proporsional, dalam arti sesuai dengan bidang kemampuannya masing-masing, dan harus secara tegas di “back up” dengan peraturan-peraturan hukum yang jelas sebagai landasan kewenangannya. Disamping itu, harus pula dipahami bahwa lingkungan hidup tidak boleh dikaji sistem pengelolaannya secara parsial, tetapi harus secara holistik. Untuk itu kiranya diperlukan organisasi yang tersusun secara baik dan koordinasinya juga baik antar perangkat pengawasan tersebut. Dengan demikian, keterlibatan perangkatperangkat pengawasan harus ditetapkan secara proporsional, sehingga mencerminkan pendekatan yang multidisiplin dari masalah tersebut. 8. Pengendalian lingkungan hidup Pengendalian sebagai salah satu unsur dalam suatu sistem pengelolaan ibarat satu keping uang logam dengan kedua sisinya yang mempunyai arti dan nilai yang sama meskipun terdapat perbedaan dalam penggambaran atau pemaparannya. Disatu sisi, pengendalian merupakan perencanaan secara sistematis tentang upaya pelestarian lingkungan (preventive approach), sedangkan di sisi lainnya, pengendalian merupakan tindakan atau usaha-usaha untuk memulihkan ke tingkat kelestarian lingkungan pada mulanya (bahkan seharusnya ditingkatkan fungsinya).
37
Pelaksanaan pengelolaan lingkungan tidak hanya menetapkan 8 (delapan) perangkat tersebut di atas, tetapi juga membutuhkan piranti-piranti lainnya, baik yang sifatnya lunak (software) maupun yang sifatnya keras (hardware). Piranti atau perangkat lunak merupakan cerminan kebijakan yang tertuang dalam kaidahkaidah hukum formal maupun yang non-formal sifatnya. Kaidah-kaidah hukum formal biasanya dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan nasional ataupun berdasarkan suatu konvensi akan menjadi patokan dalam peraturan secara global bagi negara-negara yang ikut menandatangani konvensi internasional tersebut. Sementara itu, kaidah-kaidah hukum yang non formal dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan tertentu yang sudah melembaga (dianut) baik secara nasional ataupun internasional oleh individu ataupun kelompok untuk kebutuhankebutuhan yang tertentu pula sifatnya. Kaidah-kaidah hukum formal yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan nasional (termasuk akibat dari penandatanganan konvensi internasional mengenai suatu hal tertentu) sifatnya mandatory atau memaksa. Oleh karenanya, apabila terjadi pelanggaran terhadapnya akan mendapatkan sanksi sesuai yang tertera dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Pelanggaran terhadap kaidah-kaidah hukum non formal dalam kegiatan-kegiatan tertentu (misalnya akibat desakan perdagangan global), sanksi yang akan diderita si pelanggar adalah berupa “pengucilannya” dalam kegiatan-kegiatan tertentu. Di dalam negeri misalnya dapat berupa pemboikotan oleh konsumen untuk menuntut lingkungan yang baik dan sehat. Misalnya, pemboikotan terhadap hasil produksi adalah akibat tidak ditetapkanya proses produksi bersih, sehingga hasil produksinya tidak dapat dinilai sebagai “green product” atau “clean product”. Kaidah-kaidah hukum non formal dipatuhi bukan karena hal itu tertuang dalam peraturan perundang-undangan dalam negara nasional, akan tetapi pelaksanaannya berdasarkan asas kesukarelaan atau “voluntary”.
Namun
demikian, kaidah-kaidah tersebut seringkali dirasakan sangat mengikat. Meskipun menurut kaidah-kaidah
tersebut digolongkan sebagai norma moral, namun
apabila ditilik dari unsur memaksanya yang begitu kuat. Karena begitu kuatnya hak-hak konsumen, maka kaidah-kaidah yang sifatnya “voluntary” tersebut dalam penerapannya menjadi “mandatory” sifatnya.
38
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di kawasan Asia Pasifik mempunyai ambisi untuk menjadi negara industri baru di abad ke dua puluh satu. Ambisi ini diwujudkan melalui transformasi andalan sektor pembangunan dari sektor pertanian menjadi sektor industri dengan basis pertanian yang tangguh. Tanpa upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan pengelolaan lingkungan khususnya pengendalian pencemaran, tingginya pertumbuhan ekonomi akan dibarengi oleh terus meningkatnya pencemaran lingkungan (Soemarno, 2001). Untuk mengurangi pencemaran lingkungan dilakukan tiga pendekatan dalam pengendalian lingkungan. Pertama, command and control: merupakan perangkat yang diterapkan oleh pemerintah melalui baku mutu lingkungan dan program lain. Kedua, self regulation: merupakan tindakan proaktif dalam pencegahan pencemaran oleh perusahaan yang membawa keuntungan adanya kelenturan pada perusahaan untuk mengembangkan teknologi yang sesuai dengan kondisi perusahaannya. Ketiga, instrumen ekonomi: dapat dilakukan melalui insentif, disinsentif, dan tradeable emission permit. Untuk tradeable emission permit, industri diberi hak menggunakan jasa lingkungan untuk membuang limbah; hak ini dapat diperjualbelikan. Fungsi utama perangkat ekonomi di sini adalah untuk menciptakan sebuah perubahan perilaku dengan cara menghukum atau memberi penghargaan secara moneter. Pada masa mendatang diperkirakan akan terjadi pergeseran struktur ekonomi dari sektor pertanian ke sektor industri. Lokasi industri diperkirakan akan terkonsentrasi di sekitar perkotaan yang mengakibatkan beban pencemaran semakin meningkat. Tanpa langkah-langkah untuk mengatasinya, beban pencemaran air dari bahan organik yang terlihat dan BOD diperkirakan akan terus meningkat. Demikian pula dengan B3 yang diperkirakan akan meningkat. Pencemaran udara yang dicirikan oleh peningkatan kadar debu timah hitam (Pb), S0 2 , dan NO x juga akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan sektor industri dan sektor transportasi. Tanpa upaya yang nyata, beban pencemaran udara dari limbah industri berupa S0 2 diperkirakan akan meningkat.
Oleh karena itu, tantangan bagi pembangunan lingkungan hidup
adalah mengurangi produksi limbah, memanfaatkan kembali limbah, dan
39
sekaligus mengembangkan strategi pencapaian baku mutu lingkungan dan baku mutu limbah yang tepat. Kerusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan terjadi karena aspek lingkungan tidak dimasukkan ke dalam kegiatan pembangunan. Berlangsungnya hal ini karena semata-mata sumberdaya alam masih dipandang sebagai barang bebas dari sisi ekonomi. Dengan mengintegrasikan aspek lingkungan ke dalam seluruh kegiatan ekonomi maka seluruh sumberdaya yang ada di bumi ini bukan lagi sebagai barang bebas, tetapi merupakan barang yang memiliki nilai ekonomis. Untuk barang-barang yang dimiliki masyarakat (private goods) institusi pasar dengan harga sebagai indikator kelangkaan dapat berfungsi, sedangkan pada pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan tidak ada institusi dan mekanisme yang menyeimbangkan permintaan dan persediaannya.
Oleh
karena itu, diperlukan institusi dan mekanisme yang mencerminkan kelangkaan dan keseimbangan tersebut. Negara adalah institusi yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dari sisi kebijakan pengelolaan publik melalui pemerintahannya. Ada tiga pendekatan dasar digunakan untuk mengelola sumberdaya alam dan lingkungan, yaitu pendekatan regulasi, pendekatan ekonomi, dan pendekatan masyarakat. Ketiga pendekatan tersebut mengupayakan agar biaya-biaya kerusakan dan pencemaran lingkungan diinternalisasikan ke dalam biaya kegiatan pembangunan (Soemarno, 2001; Ramdan et al.,
2003). Menurut Soemarno
(2001) pada awalnya (sekitar tahun 1950-an) pendekatan pengeluaran sumberdaya alam dan lingkungan dititikberatkan pada kegiatan regulasi. Dari pengalaman negara-negara maju yang telah melaksanakan pendekatan tersebut disimpulkan bahwa pendekatan yang dititikberatkan pada regulasi ternyata tidak efisien. Ditetapkannya baku mutu lingkungan yang harus diindahkan oleh kegiatanpembangunan ternyata tidak mendorong kegiatan pembangunan mengambil inisiatif untuk menurunkan tingkat pencemarannya. Melalui penelitian teoritik dan empirik, dibuktikan bahwa pendekatan ekonomik, baik sistem insentif maupun sistem disinsentif mendorong pelaksana kegiatan pembangunan untuk menurunkan tingkat pencemarannya. Dengan semakin dikuasainya teknologi bersih, pendekatan yang tadinya hanya terpusat pada pengolahan limbah di ujung
40
pembuangan (pendekatan "end of pipe") bergeser menjadi pendekatan minimisasi limbah
(pendekatan
"cleaner
production").
Transformasi
pendekatan
pengendalian limbah dari pengolahan limbah (pendekatan reaktif) menjadi minimisasi (pendekatan proaktif) dapat meningkatkan efisiensi yang sekaligus juga mengurangi beban pencemaran lingkungan. Dilihat dari perspektif indikator kesejahteraan masyarakat, salah satu instrumen ekonomi makro yang dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi sorotan tajam adalah belum adanya suatu indikator ekonomi makro yang dapat menggambarkan keadaan sebenarnya perekonomian suatu negara. lndikator produk domestik bruto (PDB) atau pendapatan per kapita telah banyak mendapat kritikan bahwa indikator ini sama sekali belum dapat diandalkan.
Kritikan
umumnya ditujukan pada belum masuknya penghitungan dimensi lingkungan ke dalam indikator tersebut.
Naiknya angka PDB pada kurun waktu tertentu
umumnya dikatakan bahwa kesejahteraan masyarakat tersebut menjadi lebih baik, atau negara tersebut dalam keadaan lebih baik (better off). Dengan masuknya dimensi lingkungan ke dalam PDB, di mana sering disebut sebagai 'green PDB', disadari merupakan indikator yang 'lebih baik' ketimbang indikator terdahulu. Dengan adanya paradigma baru ini, maka pembahasan instrumen ekonomi juga akan memasukkan apa yang disebut sebagai neraca lingkungan (Soemarno, 2001).
2.5. Analisis Stakeholders Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan memerlukan kolaborasi diantara stakeholders (pemangku kepentingan) yang berbeda-beda. Kolaborasi tidak membangun persetujuan diantara masyarakat tentang apa yang akan dilakukan, tetapi lebih sering menyangkut pengaturan perbedaan dalam kepentingan (interests) dan kekuatan (power) dalam penggunaan yang berkaitan dengan sumberdaya
alam. Oleh karena itu, pendekatan dalam menganalisis
stakeholders difokuskan terhadap hak-hak yang dimiliki (rights), tanggung-jawab (responsibilities), keuntungan yang diperoleh (revenues), dan hubungan diantara stakeholders (relationships). Analisis stakeholders tersebut disebut sebagai pendekatan 4Rs (Dubois, 1998).
41
Pendekatan 4Rs sebagai alat analisis stakeholders dapat diterapkan dalam : (a) menganalisis situasi multi-stakeholders dan mendiagnosa permasalahan; (b) menilai dan membandingkan kebijakan-kebijakan; (c) berperan dalam proses negosiasi; (d) alat evaluasi dalam siklus proyek; (d) merestrukturisasi kelembagaan dan desentralisasi (Dubois, 1998). Pendekatan 4Rs merupakan perangkat yang dapat digunakan untuk mengklarifikasi peranan (roles) yang dimainkan oleh stakeholders yang berbeda dan sifat hubungan (relationship) diantara mereka (IIED, 2005). Peranan merupakan bentuk dari perilaku, kebiasaan dan respon. Untuk memainkan peranan yang baik setiap stakeholder perlu untuk menginterpretasikan peranannya, mengidentifikasinya, mengembangkannya, dan bekerja dengannya. Kerangka 4 Rs membongkar peranan dari stakeholders ke dalam rights, responsibilities, revenues (dapat disamakan dengan return, rewards¸ atau benefits), serta menilai relationship diantara stakeholders yang terlibat (IIED, 2005). Dalam hal ini peranan stakeholders dianalisis berdasarkan karakteristik hak-haknya (rights), tanggung-jawab (responsibilities), manfaat atau hasil yang akan diperolehnya (revenues), dan hubungan yang terbangun diantara stakeholders (relationships). IIED (2005) menyebutkan bahwa kerangka pendekatan 4Rs ini dapat diterapkan pada berbagai tingkatan yang berbeda, baik di tingkat lokal atau proyek, wilayah, dan nasional. Pendekatan 4Rs dianggap paling efektif sebagai participatory tool untuk membangun dialog diantara stakeholders. Dalam prakteknya, penggunaan pendekatan 4Rs meliputi dua komponen utama, yaitu : (a) penilaian keseimbangan dari tiga R (rights, responsibilities, dan revenues) di dalam dan diantara stakeholders (assesment of the balance of three Rs); serta (b) penilaian status dari R keempat yaitu relationship diantara stakeholders. Tiga Rs menunjukkan progress yang sering menunjukkan kualitas dari hubungan antar stakeholders, politik lokal dan budaya, serta pengaruh tekanan eksternal (IIED, 2005). Analisis 4 Rs sebaiknya dilakukan secara bersamaan daripada sendiri-sendiri dan di dalam serta diantara kelompokkelompok stakeholders, karena keseimbangan (balance) diantara hak, tanggungjawab, dan manfaat merupakan indikasi yang baik dalam menggarisbawahi struktur kekuatan serta insentif atau disinsentif dalam mencapai pengelolaan
42
sumberdaya alam berkelanjutan. Sebagai contoh : (a) tanggung-jawab yang tinggi akan meningkatkan insentif yang diberikan; dan (b) pelaksana swasta memiliki hak dan pendapatan dari pengelolaan sumberdaya alam tetapi memiliki beban tanggung-jawab rendah atau tanggung-jawab terhadap publik yang kurang. Hubungan diantara stakeholders dianalisis dengan memperhatikan : (a) kualitas hubungan (misalnya : baik, sedang, atau terjadi konflik); (b) kekuatan hubungan, berkaitan dengan frekuensi dan intensitas kontak diantara stakeholders; (c) formalitas hubungan, berkaitan dengan tipe hubungan yang bersifat formal atau informal; serta (d) ketergantungan (dependence) antar stakeholders (IIED, 2005).
43
44
III. METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di KPB Batam selama 13 (tiga belas) bulan mulai Bulan April 2008 sampai April 2009. Lokasi penelitian tertera
pada
Gambar 4.
Gambar 4. Lokasi penelitian
3.2. Jenis Data dan Sumber Data Jenis data, sumber data, teknik analisis data, dan keluaran yang diharapkan dari tiap tujuan penelitian disajikan pada Tabel 1.
45
Tabel 1. Jenis data, sumber data, teknis analisis data dan keluaran yang diharapkan dari tiap tujuan penelitian No
Tujuan Penelitian
• Data sekunder yang diambil dari instansi terkait di tingkat pusat dan daerah : Bea Cukai, Otoritas Batam, Pemerintah Kota Batam, Badan Pengendalian Lingkungan • Data sekunder yang diambil dari instansi terkait di tingkat pusat dan daerah : Bea Cukai, Otoritas Batam, Pemerintah Kota Batam, Badan Pengendalian Lingkungan
• Deskriptif,AHP dan Rafish
• Critical Approach
• Diketahuinya efektifitas kebijakan pengendalian lingkungan di KPB berdasarkan perbandingan dengan kondisi kualitas lingkungan di Batam
• Hasil wawancara dan pengisian kuesioner dengan para pemangku kepentingan yang berkepentingan dengan pengendalian lingkungan di Kota Batam • Pengisian kuesioner dengan para pihak yang dianggap mengetahui permasalahan pengendalian lingkungan di Batam
• Pendekatan 4R
• Diketahuinya peranan masing-masing pemangku kepentingan menurut haknya, tanggung-jawab, manfaat yang diperolehnya, dan hubungan antar pemangku kepentingan • Diketahuinya prioritas kebijakan yang harus dilaksanakan dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam
Mengetahui tingkat keberlanjutan kawasan KPB Batam saat ini.
• Data indikator ekonomi , lingkungan, dan sosial Batam
2
Mengetahui efektifitas kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam pengembangan KPB Batam dalam kaitannya dengan pengendalian lingkungan di kawasan tersebut
3
Mengetahui peranan pemangku kepentingan (stakeholders) terkait dalam pelaksanaan sistem pengendalian lingkungan di KPB Batam
4
Menyusun arahan kebijakan pengendalian lingkungan yang sesuai dengan pengembangan KPB Batam.
• Undang-undang terkait dengan KPB Batam • Peraturan Pemerintah terkait KPB Batam • Peraturan dan Kebijakan Pengendalina Lingkungan di Batam • Data kualitas lingkungan di Batam • Wawancara • Uraian tugas pokok dan fungsi masing-masing pihak dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam • Kuesioner dan wawancara langsung
• AHP
46
44
Sumber Data
1
Teknik Analisis Data
Keluaran (Output) yang Diharapkan • Informasi tentang keberlanjutan wilayah KPB Batam
Jenis Data
3.3. Rancangan Penelitian 3.3.1. Analisis Keberlanjutan KPB Batam Penelitian ini bertujuan untuk menilai kondisi keberlanjutan wilayah KPB. 3.3.1. Metode Pengumpulan Data Jenis data yang diperlukan dalam analisis keberlanjutan KPB Batam adalah data primer berupa atribut-atribut yang terkait dengan tiga dimensi keberlanjutan, yaitu dimensi lingkungan, dimensi ekonomi, dan dimensi sosial. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian kuisioner (lampiran 45) oleh responden yaitu pakar terpilih dan stakeholders, serta hasil pengamatan langsung di lapangan. Metode pengumpulan data dalam menganalisis keberlanjutan KPB Batam dilakukan melalui wawancara, diskusi, kuisioner, dan survei lapangan dengan 26 responden di wilayah studi yang terdiri dari pakar dan stakeholders yang memahami dan terkait dengan topik penelitian. 3.3.2. Analisis Data Analisis keberlanjutan
KPB
Batam
dilakukan
dengan
pendekatan
Multidimensional Scaling (MDS) yang disebut dengan pendekatan RapKAPERBA (Rapid Appraisal Kawasan Perdagangan Bebas Batam) yang merupakan pengembangan dari metode Rapfish yang didisain untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap. Analisis keberlanjutan dinyatakan dalam Indeks Keberlanjutan KPB Batam (Si-Batam, Sustainability Index of Batam). Tahapan analisis yang dilakukan yaitu (a) menentukan atribut keberlanjutan Batam yang meliputi dimensi lingkungan, ekonomi, dan sosial; (b) penilaian atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi; serta (c) menyusun indeks dan status keberlanjutan KPB Batam. Atribut keberlanjutan untuk setiap dimensi disusun dengan mengacu pada penelusuran pustaka sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Setiap atribut pada masing-masing dimensi diberikan skor berdasarkan scientific judgement dari pembuat skor. Selang skor antara 0-3 yang diartikan mulai dari yang buruk (0) sampai baik (3).
47
Tabel 2. Atribut keberlanjutan KPB Batam Dimensi
Lingkungan
8
Atribut Kondisi Penggunaan Lahan Erosi Tanah Kualitas Udara Keanekaragaman Hayati Ketersediaan Sumberdaya Air Kawasan Terbuka Hijau Upaya Perlindungan Lingkungan dari Pencemaran Pengelolaan Limbah
Sumber Atkisson (1996) Atkisson (1996) Atkisson (1996) Zavadskas et.al (2007) Zavadskas et.al (2007) Zavadskas et.al (2007) Atkinson (1996); Zavadskas et.al (2007), MacMohan (2002)
1 2 3 4
Pendapatan Per kapita Pertumbuhan ekonomi wilayah Investasi Asing Kawasan bisnis dan industry
Atkisson (1996) MacMohan (2002) Ng dan Hills (2003) Zavadskas et.al (2007)
1 2 3 4 5 6 7
Pertumbuhan Penduduk Konflik Pengangguran Tingkat Pendidikan Kesehatan Masyarakat Kepadatan Penduduk Keamanan Wilayah
Atkisson (1996) Zavadskas et.al (2007) Atkisson (1996) Atkisson (1996) MacMohan (2002) Huang et.al. (1998) Atkisson (1996)
1 2 3 4 5 6 7
Ekonomi
Sosial
Nilai skor dari masing-masing atribut untuk setiap dimensi dianalisis dengan analisis leverage. Analisis ini menghasilkan nilai standard error yang menunjukkan besarnya pengaruh dari setiap attribut (Pitcher 1999). Semakin panjang diagram batangnya mengindikasikan atribut tersebut memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap ordinasi dimensi (Kavanagh dan Pitcher 2004). Selanjutnya posisi titik keberlanjutan divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertical. Dengan proses rotasi, maka posisi dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan diberi nilai skor 0% (buruk) dan 100% (sangat baik). Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih kecil dari 50%, maka status keberlanjutan sistem dikategorikan buruk. Jika nilainya berada pada kisaran 50 – 75 maka status keberlanjutan dikategorikan baik, dan apabila nilainya lebih besar dari 75%, maka status keberlanjutan sistem dikategorikan sangat baik (Budiharsono, 2007). Nilai indeks keberlanjutan dari setiap dimensi divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram).
48
Untuk melihat atribut yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan KPB Batam dilakukan analisis sensitifitas dengan melihat bentuk perubahan root means square (RMS) ordinasi pada sumbu X. Semakin besar perubahan nilai RMS, maka semakin sensitif atribut tersebut dalam pengembangan KPB Batam. Menurut Alder et al. (2004) untuk meneliti ketidakpastian analisis digunakan simulasi Monte Carlo. 3.3.2. Analisis Efektifitas Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keefektifan berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum dalam mengatur pengelolaan lingkungan di KPB Batam.
3.3.2.1. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum pengaturan pemanfaatan KPB Batam meliputi : undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri yang terkait dengan pengelolaan KPB Batam. Sumber data diperoleh dari beberapa instansi/lembaga yang berkaitan langsung dengan pengelolaan kawasan di KPB Batam. Instansi tersebut adalah Pemda Kota B atam, Bapedalda Kota Batam, BadanOtorita Batam, Departemen Keuangan,dan Badan Pusat Statistik.
3.3.2.2. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kritis (critical approach). Muhadjir (2000) mengemukakan tahapan dalam pendekatan kritis kajian hukum dan perundang-undangan, yaitu : (a) mengadakan kritik terhadap teori dan praktek dari peraturan perundang-undangan yang ada, (b) membangun konstruksi teoritik yang baru, (c) dari konstruksi teoritik baru dituangkan dalam program institusional sebagai pijakan pengembangan kelembagaan, dan (d) menelaah implikasi peraturan perundang-undangan berupa konsekuensi logis internal dan eksternalnya. Hasil analisis kritis tersebut dijadikan dasar dalam mengkaji apakah peraturan perundang-undangan yang selama ini digunakan 49
dalam pengaturan pengendalian lingkungan di KPB Batam sudah efektif dalam mengendalikan permasalahan lingkungan,terutama pencemaran lingkungan di kawasan tersebut. 3.3.3. Analisis Para Pihak dalam Pengendalian Kebijakan Lingkungan di KPB Batam Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan para pihak (stakeholder) dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam. 3.3.3. 1.Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil kuesioner melalui wawancara terstruktur dengan stakeholders yang berkaitan dengan perencanaan, perumusan, penetapan, dan implementasi kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam, yaitu : pemerintah, otorita Batam, pemerintah daerah (dinas/instansi daerah yang mengurus SDA), DPRD Provinsi Kepulauan Riau, partai politik, akademisi, tokoh masyrakat, serta LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang selama ini menaruh perhatian terhadap pengendalian lingkungan hidup di Provinsi Kepulauan Riau, dengan jumlah responden adalah 26 orang. Kuesioner dalam penelitian ini memuat informasi tentang : identitas umum responden, pendapat responden terhadap sistem pengendalian lingkungan hidup di KPB Batam, serta hak-hak, tanggung-jawab, manfaat yang akan didapatkan, dan intensitas keterkaitan antar stakeholders dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari hasil penelusuran data dan informasi yang telah ada sebelumnya dan dipublikasikan. Sumber data sekunder diperoleh dari beberapa instansi/lembaga yang berkaitan langsung dengan pengendalian lingkungan di KPB Batam, seperti Badan Perencanaan Daerah Provinsi Kepulauan Riau, pengelola kawasan, Pemda Kota Batam, Dinas/instansi di Provinsi Kepulauan Riau dan Kota Batam yang mengurus pengelolaan lingkungan, perguruan tinggi, LSM dan sebagainya.
3.3.3.2. Analisis Data Peranan para pihak pemangku kebijakan (stakeholders) dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam dianalisis dengan menggunakan kerangka 4R (4Rs 50
Framework). Kerangka 4R dikembangkan oleh IIED (International Institute for Environment and Development) sebagai alat untuk menilai peranan dan kekuatan stakeholders untuk meningkatkan kolaborasi komunitas dalam pengelolaan SDA (Dubois, 1998). Kerangka 4R bertujuan untuk mendefinisikan peranan stakeholders yang berkaitan dengan rights (hak-hak yang dimiliki stakeholders), responsibilities (tanggung-jawab yang dimiliki stakeholders), revenue/returns (hasil/manfaat yang didapatkan
stakeholders),
dan
relationship
(hubungan
antar
stakeholders)
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5.
RESPONSIBILITIES
RIGHTS
STAKEHOLDERS ROLES
REVENUES
RELATIONSHIP
Gambar 5. Kerangka 4R untuk mendefinisikan peranan stakeholders (Dubois, 1998). Kerangka 4R ini membantu dalam menunjukkan permasalahan (issues) kritis terkait keterlibatan stakeholders dan juga mengidentifikasi butir-butir pengaruhnya terhadap suatu program atau kebijakan (Dubois, 1998). Tabel 3 menunjukkan struktur dasar dari Kerangka 4R. Khusus untuk relationship antar stakeholder dibuat dalam tabel tersendiri sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Tabel 3 mendeskripsikan tanggung-jawab, hak-hak, serta hasil/manfaat dari masing-masing stakeholder dalam merencanakan, merumuskan, menetapkan, dan mengimplementasikan pengendalian lingkungan di KPB Batam sebagai hasil analisis dari data dan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara, kuesioner, dan penelusuran data sekunder. Tabel 4 mendeskripsikan derajat Relationship diantara Stakeholders yang terlibat dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam yang terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu Baik, Cukup Baik, dan Buruk. 51
Penilaian relationship dilakukan dengan menganalisis bentuk hubungan (formal/informal), frekuensi kontak, dan tingkat konvergensi (convergence) atau pertemuan dari pendapat stakeholders. Relationship antar stakeholder juga dipengaruhi
oleh
beberapa
faktor,
seperti
services
(pelayanan/jasa),
legal/contractual (hukum/kontraktual), market (dinyatakan dengan demand and supply dari barang dan jasa), information exchange (pertukaran informasi), interpersonal (hubungan antar pribadi) dan power.
Tabel 3. Kerangka dasar pendekatan 4R Stakeholders
Responsibilities
Rights
Revenues
Relationship
1 2 3 4 5 6 7 8
Tabel 4. Relationship stakeholders dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam Stakeholder
1
2
3
4
5
6
1 2 3 4 5 6
52
3.3.4. Penentuan Alternatif Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam Penelitian ini bertujuan untuk menentukan alternatif dan prioritas kebijakan pengendalian lingkungan di kawasan KPB Batam.
3.3.4.1.Metode Pengumpulan Data Disain kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam harus sesuai dengan karakteristik wilayahnya, termasuk di dalamnya karakteristik sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Prioritas disain sistem pengendalian lingkungan dianalisis melalui pendekatan AHP (analytical hierarchy process) yang berbasiskan pada expertise judgement, sehingga pemilihan responden ditujukan pada responden yang benar-benar memahami permasalahan lingkungan di KPB Batam. Responden dipilih dari kalangan birokrasi pemerintah provinsi, DPRD, pengelola kawasan KPB Batam, akademisi, tokoh masyarakat, dan LSM dengan jumlah responden 26 (dua puluh enam) orang. 3.3.4.2. Analisis Data Hirarki disain kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam ditunjukkan pada Gambar 6. Hirarki disusun mulai dari tingkatan (level) paling tinggi sampai paling rendah dalam hirarki. Tingkatan tertinggi merupakan fokus, disusul oleh faktor, pelaku (aktor), dan alternatif kebijakan. Prinsip penilaian dalam AHP adalah membandingkan secara berpasangan (pairwise comparisons) tingkat kepentingan atau tingkat pengaruh satu elemen dengan elemen lainnya yang berada dalam satu tingkatan (level) berdasarkan pertimbangan tertentu. Nilai yang diberikan berada dalam skala pendapat yang dikeluarkan oleh Saaty (2001) sebagaimana telah diuraikan terdahulu. Nilai ratarata geometrik dari semua responden dari setiap nilai pendapat yang dibandingkan diolah menggunakan perangkat lunak Criterium Plus Versi 3. Analisis ini digunakan untuk menginterpretasi prioritas dari faktor, aktor, dan sifat kebijakan yang mempengaruhi kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam.
53
Adapun tahapan analisis AHP adalah sebagai berikut (Saaty, 2001) : a. Penyusunan struktur keputusan Penyusunan struktur keputusan dalam penentuan prioritas pada suatu permasalahan dilakukan dengan melakukan dekomposisi dari permasalahan yang ada sehingga akan tergambar faktor-faktor yang mempengaruhi serta alternatif keputusan yang ditentukan dalam bentuk hirarki dari semua elemen yang ada dalam struktur keputusan.
b. Penyusunan matriks pendapat Penyusunan matriks pendapat untuk menentukan nilai kepentingan dari setiap elemen pada struktur keputusan. Dalam menentukan skala kepentingan mengacu pada skala komparasi dari Saaty. Skala prioritas dilakukan guna mempermudah pemahaman penggunaan metode analisis jenjang keputusan. Matriks pendapat dibuat berdasarkan tingkatan level dari masing-masing faktor. c. Prioritas elemen setiap level Penentuan prioritas elemen pada setiap level dapat diketahui dengan mencari nilai komparasi berpasangan. Nilai ini dapat diperoleh dengan melakukan normalisasi dari bobot skala prioritas dari matriks pendapat. Bobot normal dari matriks komparasi berpasangan dari masing-masing level dalam struktur keputusan adalah rata-rata terhadap nilai masing-masing baris. Pembobotan normal menunjukkan prioritas dari masing-masing elemen dalam suatu level struktur keputusan. Berdasarkan bobot normal akan didapatkan nilai eigen vector dan indeks konsistensi. Ketiga langkah ini diulang untuk mendapatkan bobot dari masing-masing elemen pada setiap levelnya.
54
Pengendalian Lingkungan di KPB Batam
FOKUS
FAKTOR
AKTOR
TUJUAN
Daya Tarik Investasi
Pemerintah
Perlindungan Ekosistem
Pemerintah Daerah
Perlindungan Ekosistem KPB Batam
Konflik Masyarakat dan KPB
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Pelaku Usaha
Peningkatan Daya Tarik Investasi KPB Batam
Masyarakat
Legislatif
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah secara Berkelanjutan
Gambar 6. Hirarki kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam.
d. Matriks pendapat gabungan Untuk mendapatkan matriks pendapat gabungan maka pertama-tama dilakukan penentuan skala kepentingan relatif serta bobot dua elemen pada suatu tingkat (level II) dalam kaitannya dengan elemen pada tingkat diatasnya (level I). Penentuan skala kepentingan diulang pada semua elemen pada suatu level terhadap masing-masing elemen pada level diatasnya. e. Prioritas pengambilan keputusan Penentuan prioritas keputusan yang akan diambil untuk dikembangkan di suatu daerah ditentukan dengan melakukan sintesis dari bobot prioritas dari semua variabel yang ada pada tiap-tiap level pada struktur keputusan. Jika konsistensi keseluruhan dari matriks gabungan < 10% maka prioritas tersebut sudah konsisten. Pendekatan AHP didasarkan atas 3 prinsip dasar yaitu (Saaty, 2001): 1. Dekomposisi Dengan prinsip ini struktur masalah yang kompleks dibagi menjadi bagian-bagian secara hierarki. Tujuan didefinisikan dari yang umum sampai khusus. Dalam bentuk yang paling sederhana struktur akan dibandingkan tujuan ,kriteria dan level alternatif. Tiap himpunan alternatif 55
mungkin akan dibagi lebih jauh menjadi tingkatan yang lebih detail ,mencakup lebih banyak kriteria yang lain.Level paling atas dari hirarki merupakan tujuan yang terdiri atas satu elemen. Level berikutnya mungkin mengandung beberapa elemen, di mana elemen-elemen tersebut bisa dibandingkan, memiliki kepentingan yang hampir sama dan tidak memiliki perbedaan yang terlalu mencolok. Jika perbedaan terlalu besar harus dibuatkan level yang baru. 2. Perbandingan penilaian/pertimbangan (comparative judgements) Dengan prinsip ini akan dibangun perbandingan berpasangan dari semua elemen yang ada dengan tujuan menghasilkan skala kepentingan relatif dari elemen. Penilaian menghasilkan skala penilaian berupa angka. Perbandingan berpasangan dalam bentuk matriks jika dikombinasikan akan menghasilkan prioritas. 3. Sintesis Prioritas Sintesis prioritas dilakukan dengan mengalikan prioritas lokal dengan prioritas dari kriteria bersangkutan di level atasnya dan menambahkannya ke tiap elemen dalam level yang dipengaruhi kriteria. Hasilnya berupa gabungan atau dikenal dengan prioritas global yang kemudian digunakan untuk memboboti prioritas lokal dari elemen di level terendah sesuai dengan kriterianya. AHP didasarkan atas empat aksioma utama yaitu (Amborowati, 2006) : a. Aksioma Resiprokal Aksioma
ini
menyatakan
jika
PC
(EA,EB)
adalah
sebuah
perbandingan berpasangan antara elemen A dan elemen B, dengan memperhitungkan C sebagai elemen parent, menunjukkan berapa kali lebih banyak properti yang dimiliki elemen A terhadap B, maka PC (EB,EA)= 1/ PC (EA,EB). Misalnya jika A 5 kali lebih besar daripada B, maka B=1/5 A. b. Aksioma Homogenitas Aksioma ini menyatakan bahwa elemen yang dibandingkan tidak berbeda terlalu jauh. Jika perbedaan terlalu besar, hasil yang didapatkan mengandung nilai kesalahan yang tinggi. Ketika hirarki
56
dibangun, kita harus berusaha mengatur elemen-elemen agar elemen tersebut tidak menghasilkan hasil dengan akurasi rendah dan inkonsistensi tinggi. c. Aksioma Ketergantungan Aksioma ini menyatakan bahwa prioritas elemen dalam hirarki tidak bergantung pada elemen level di bawahnya. Aksioma ini membuat kita bisa menerapkan prinsip komposisi hirarki. d. Aksioma Ekspektasi Struktur hirarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka pengambil keputusan tidak memakai seluruh kriteria atau obyektif yang tersedia atau diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap Selanjutnya Saaty (2001) menyatakan bahwa proses hirarki analitik (AHP) menyediakan kerangka yang memungkinkan untuk membuat suatu keputusan efektif atas isu kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pendukung keputusan. Pada dasarnya AHP adalah suatu metode dalam merinci suatu situasi yang kompleks, yang terstruktur kedalam suatu komponenkomponennya. Artinya dengan menggunakan pendekatan AHP kita dapat memecahkan suatu masalah dalam pengambilan keputusan. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subyektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin, 2004). Tahapan prosedur dalam AHP adalah sebagai berikut (Marimin, 2004) : a. Menyusun hirarki dari permasalahan yang dihadapi. b. Penilaian kriteria dan alternatif Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (2001), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala
57
terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Skala penilaian perbandingan berpasangan Intensitas Kepentingan 1 3
Keterangan Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya
5
Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya
7
Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya
9
Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya
2,4,6,8
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan
Perbandingan dilakukan berdasarkan kebijakan pembuat keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen terhadap elemen lainnya Proses perbandingan berpasangan, dimulai dari level hirarki paling atas yang ditujukan untuk memilih kriteria, misalnya A, kemudian diambil elemen yang akan dibandingkan, misal A1, A2, dan A3. Maka susunan elemen-elemen yang dibandingkan tersebut akan tampak seperti pada Tabel 6. Tabel 6. Contoh matriks perbandingan berpasangan A1 A2 A3
A1 1 (A2 vs A1) (A3 vs A1)
A2 (A1 vs A2) 1 (A3 vs A2)
A3 (A1 vs A3) (A2 vs A3) 1
Untuk menentukan nilai kepentingan relatif antar elemen digunakan skala bilangan dari 1 sampai 9 seperti pada Tabel 5. Penilaian ini dilakukan oleh seorang pembuat keputusan yang ahli dalam bidang persoalan yang sedang dianalisis dan mempunyai kepentingan terhadapnya. Apabila suatu elemen dibandingkan dengan elemen itu sendiri maka diberi nilai 1. Jika elemen i dibandingkan dengan elemen j mendapatkan nilai tertentu, maka elemen j dibandingkan dengan elemen i merupakan kebalikannya. Dalam AHP ini, penilaian alternatif dapat dilakukan dengan metode langsung (direct), yaitu metode yang digunakan untuk memasukkan data kuantitatif. 58
Biasanya nilai-nilai ini berasal dari sebuah analisis sebelumnya atau dari pengalaman dan pengertian yang detail dari masalah keputusan tersebut. Jika si pengambil keputusan memiliki pengalaman atau pemahaman yang besar mengenai masalah keputusan yang dihadapi, maka dia dapat langsung memasukkan pembobotan dari setiap alternatif. c. Penentuan prioritas Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan
(pairwise
comparisons).
Nilai-nilai
perbandingan
relatif
kemudian diolah untuk menentukan peringkat alternatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif, maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan penilaian yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik. Pertimbangan-pertimbangan terhadap perbandingan berpasangan disintesis untuk memperoleh keseluruhan prioritas melalui tahapan-tahapan berikut: (a) kuadratkan matriks hasil perbandingan berpasangan; dan (b) hitung jumlah nilai dari setiap baris, kemudian lakukan normalisasi matriks. d. Konsistensi Logis Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Matriks bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal. Hubungan tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut (Suryadi dan Ramdhani, 1998): Hubungan kardinal
: a ij . a jk = a ik
Hubungan ordinal
: A i > A j , A j > A k maka A i > A k
Hubungan diatas dapat dilihat dari dua hal: (a) dengan melihat preferensi multiplikatif, misalnya bila anggur lebih enak empat kali dari mangga dan mangga lebih enak dua kali dari pisang maka anggur lebih enak delapan kali dari pisang; (b) dengan melihat preferensi transitif, misalnya anggur lebih enak dari mangga dan mangga lebih enak dari pisang maka anggur lebih enak dari pisang. Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut, sehingga matriks tersebut tidak konsisten sempurna.
59
Hal ini terjadi karena ketidakkonsistenan dalam preferensi seseorang. Penghitungan konsistensi logis dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut : a. Mengalikan matriks dengan prioritas bersesuaian. b. Menjumlahkan hasil perkalian per baris. c. Hasil penjumlahan tiap baris dibagi prioritas bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan. d. Hasil c dibagi jumlah elemen, akan didapat λmaks. e. Indeks Konsistensi (CI) = (λmaks-n) / (n-1) f. Rasio Konsistensi = CI/ RI, dengan RI adalah indeks random konsistensi. Jika rasio konsistensi ≤ 0.1, hasil perhitungan data dapat dibenarkan. daftar indeks random dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai indeks random (Saaty, 2001) Ukuran Matriks 1,2 3 4 5 6 7 8
Nilai Indeks Random 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41
Ukuran Matriks 9 10 11 12 13 14 15
Nilai Indeks Random 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56 1,57 1,59
60
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keberlanjutan Wilayah KPB Batam 4.1.1. Perkembangan Wilayah Batam Sejarah pengembangan Pulau Batam dimulai sejak tahun 1969 ketika Perusahaan Negara Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional (PN Pertamina) menjadikannya sebagai pangkalan logistik dan operasional untuk menunjang kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak lepas pantai dan menunjuk Direktur Utama sebagai penanggung-jawabnya (Muliono, 2001). Manfaat dengan ditetapkannya Batam sebagai pangkalan logistik dan operasional tersebut adalah menghemat biaya, karena: (a) biaya pangkalan di Batam lebih murah dibandingkan Singapura; dan (b) biaya pangkalan di Batam akan diserap pasar dalam
negeri,
sehingga
dapat
menghemat
devisa
dan
menghidupkan
perekonomian dalam negeri. Rencana Induk Batam tahun 1972 yang disusun oleh Nissho Iwai Co.Ltd. (Jepang) dan Pacific Bechtel Inc.(Amerika Serikat) merekomendasikan strategi pembangunan Batam dengan fokus pengembangan pada industri eksplorasi minyak dan gas, serta kegiatan pemrosesan produk ikutannya (pusat industri petroleum dan petrokimia). Hasil kajian tersebut lebih dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global saat itu dimana sektor perminyakan menjadi primadona karena harganya di pasar dunia sangat tinggi. Oleh karena itu, posisi geografis Batam yang terletak tepat di simpang jalur lalu lintas Asia Barat-AsiaTimur sangat strategis untuk dapat menarik manfaat dari jalur distribusi minyak yang ada (Muliono, 2001). Dinamika perkembangan status Batam sejak tahun 1968 sampai dengan 2007 disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 menunjukkan bahwa adanya pengaturan kawasan Batam yang makin kuat tersebut membuktikan bahwa keberadaan Batam makin strategis bagi perekonomian nasional. Posisi Batam memiliki 4 (empat) ciri geografis, yaitu terletak dekat Selat Melaka, dekat Singapura, dekat Natuna, dan relatif di tengah kawasan Asia Tenggara yang memberi karakter bagi Batam, yaitu (Muliono, 2003) :
61
(a) Dekat dengan Singapura yang tujuan wisata dunia, tetapi batam bukan tujuan wisata dunia; (b) dekat dengan Singapura yang simpul distribusi dunia, tetapi batam bukan simpul distribusi dunia; (c) dekat dengan Singapura yang pusat keuangan dunia, tetapi batam bukan pusat keuangan dunia; (d) dekat dengan Singapura yang lahannya terbatas dan jenuh dengan industri, tetapi Batam (sekalipun juga berlahan terbatas),pada waktu dilakukan penelitian, wilayah tersebut belum jenuh dengan aktivitas industri. Tabel 8. Perkembangan status Batam (1968-2007) Dasar PP 27/68 Ordonansi Bea, Reglement A
Produk Keppres 65/70 19-101970 Keppres 74/71 26-101971
Substansi Batam basis operasi logistik Pertamina Batuampar sebagai Daerah industri berstatus entrepot partikulir
Pembentukan Badan Pimpinan Daerah Industri Batam
Penugasan dari Pertamina,1972
Kajian Nissho Iwai Co. Ltd. (Jepang) dan Oasific Bechtel Inc (Amerika Serikat)
Batam sebagai pusat industri petroleum dan petro kimia
Penjelasan Cukup jelas Entrepot Partikulir adalah suatu tempat Perusahaan Parikulir yang berfungsi sebagai pusat penerimaan barang untuk distribusi, dengan pelabuhan alih kapal barang impor atau penyimpanan sementara sebelum direekspor, tanpa kontrol pabean Tugas : Merencanakan dan mengembangkan pembangunan industri dan prasarananya, menampung dan meneliti permohonan izin usaha untuk diajukan ke intansi terkait, mengawasi pelaksanaan proyek industri. Di awal dasawarsa 70an minyak dan gas adalah primadona ekonomi Indonesia, di pasar internasional harganya kuat.
62
Tabel 8 (Lanjutan) Dasar
PP 20/72 13-06-72 tentang Bonded Warehouse
Produk
Substansi
Penjelasan
Keppres 41/73 22-111973
Seluruh Pulau Batam sebagai Daerah Industri. Pembentukan Otorita Daerah Industri Pulau Batam
Keppres 33/74 29-061974
Batuampar, sekupang, Kabil Bonded Warehouse
Tugas : • Mengembangkan dan mengendalikan pembangunan Pulau Batam sebagai Daerah Industri dan kegiatan alih kapal • Merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi dan fasilitas lain • Menampung, meneliti, permohonan izin usaha, mengajukan ke instansi terkait • Menjamin kelancaran dan ketertiban tata cara perizinan dan pemberian jasa agar menumbuhkan minat penanaman modal swasta di Pulau Batam Bonded warehouse adalah suatu kawasan dengan batas-batas tertentu di wilayah pabean Indonesia yang di dalamnya diberlakukan ketentuan khusus di bidang pabean, yaitu terhadap barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean atau dari dalam daerah pabean Indonesia lainnya tanpa terlebih dahulu dikenakan pungutan bea cukai dan atau pungutan negara lainnya sampai barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor, ekspor, atau reekspor. Dalam Bonded Warehouse hanya dapat dilakukan penyimpanan barang
63
Tabel 8. (Lanjutan) Dasar
Produk
Penugasan Otorita Batam, 1977
Kajian Crux, Co (Amerika) 1977
PP 31/77 23-07-77 tentang Bonded warehouse
Keppres 41/78 24-11-1978 Keppres 56/84 18-09-1984
Substansi Rekomendasi broad based- industry
Seluruh Pulau Batam, ditambag dengan lima pulau sekitarnya (Kasem, Moi-moi, Ngenang Tanjung Sauh, Janda Berias) sebagai Bonded Ware House
Penjelasan Akhir dasawarsa 70-an, minyak dan gas tidak lagi menjadi primadona ekonomi Indonesia. Diusulkan penyusunan Rencana Induk Batam Bonded warehouse suatu sarana institusional dalam bidang perekonomian dan perdagangan dalam daerah pabean Indonesia yang mempunyai wilayah pengusahaan tertentu dan ketentuan-ketentuan khusus di bidang pabean, impor, ekspor, lalu lintas devisa/barang, dan penanaman modal, sebagai suatu tempat untuk menyimpan, menimbun, meletakkan, mengemas, dan atau mengolah barang dari : a. luar daerah pabean Indonesia, tanpa terlebih dahulu dikenakan pungutan bea, cukai pajak, dan atau pungutan Negara lainnya sampai barangbarang tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor b. luar daerah pabean Indonesia, dengan tidak dikenakan dikenakan pungutan bea, cukai pajak, dan atau pungutan negara jika sampai barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan ekspor atau reekspor c. dalam daerah pabean Indonesia, tanpa terlebih dahulu dikenakan pungutan bea, cukaim pajak, dan atau pungutan Negara lainnya sampai barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan ekspor
64
Tabel 8 (Lanjutan) Dasar
Produk
Substansi
Penjelasan Batam sebagai kawasan industri, free trade zone, alih kapal, dan pariwisata Batam tetap sebagai kawasan industri, free trade zone, alih-kapal, dan pariwisata Batam tetap sebagai kawasan industri, alihkapal, gudang berikat, logistik, dan pariwisata Bonded Zone adalah suatu kawasan dengan batas-batas tertentu di wilayah pabean Indonesia yang di dalamnya diberlakukan ketentuan khusus di bidang pabean, yaitu terhadap barang yang dimasukkan luar daerah pabean atau dari dalam daerah pabean Indonesia, tanpa terlebih dahulu dikenakan pungutan bea, cukai, pajak, dan atau pungutan negara lainnya jika sampai barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor, ekspor atau re-ekspor. Dalam Kawasan Berikat (Bonded Zone) dapat dilakukan pengolahan dan penyimpanan barang.
Penugasan OB 1979
Rencana Induk Dep.PU
Penetapan 4 fungsi utama
Penugasan OB 1986
Rencana Induk LemTek-UI
Revisi Rencana Induk
Penugasan OB 1986
Rencana Induk LemTek-UI
Revisi Rencana Induk
PP 14/90 25-05-90 tentang Bonded zone jo PP 22/86 06-05-86 tentang Bonded zone
Keppres 28/92 19-0692
Wilayah kerja Daerah Industri Pulau Batam Barelang) Bonded Zone
UU 10/95 30-12-95 tentang Kepabeanan
Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun, mengolah, memamerkan, dan/atau menyediakan barang untuk dijual dengan mendapatkan penangguhan Bea Masuk.
65
Tabel 8 (Lanjutan) Dasar UU 10/95
Produk PP 33/96 04-06-96 Tentang Tempat Penimbunan Berikat
Substansi Pasal 1 Definisi Kawasan Berikat (bonded zone)
Pasal 2
Penjelasan Kawasan Berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan dengan batasbatas tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemerikasaan awal, pemerikasaan akhir, dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia lainnnya yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor. Gudang Berikat adalah suatu bangunan atau tempat dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha penimbunan, pengemasan, penyortiran, pengepakan, pemberian merek/label, pemotongan, atau kegiatan lain dalam rangka fungsinya sebagai pusat distribusi barang-barang asal impor untuk tujuan dimasukkan ke Daerah Pabean Indonesia lainnya, Kawasan Berikat, atau direekspor tanpa adanya pengolahah Barang impor yang dimasukkan ke Tempat Penimbunan Berikat, yang mendapat fasilitas penangguhan bea masuk dan bea cukai; dan tidak terkena pungutan PPN dan PPnBM, bukan merupakan batang untuk dikonsumsi sendiri di Tempat Penimbunan Berikat.
66
Tabel 8 (Lanjutan) Dasar
Produk
Letter of Intent Indonesia-IMF 15 Januari 98
Substansi
PP 39/98 09-03-98
Perlakuan PPN, PPnBM, BM
PP 45/2000 26-06-00
Penundaan Perlakuan PPN, PPnBM, BM
PP 13/2001
Penundaan Perlakuan PPN, PPnBM, BM
UU No.36 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2007
UU No.36 Tahun 2000 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2007 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2007
Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2008
Penunjukkan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Dewan Nasional Kawasan
Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2008
Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
Penjelasan Perlakuan PPN, PPnBM, BM di daerah Industri Pulau Batam mulai 1 April 1998 Penundaan perlakuan PPN, PPnBM, BM di daerah Industri Pulau Batam hingga 1 Januari 2001 Penundaan perlakuan PPN, PPnBM, BM di daerah Industri Pulau Batam hingga 31 Desember 2001 Penetapan Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Struktur organisasi Dewan Nasional Kawasan
Struktur organisasi Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
Perkembangan kawasan Batam diawali sejak tahun 1968 dengan dijadikannya
wilayah
tersebut
sebagai
basis
operasi
Pertamina
dalam
mendistribusikan barang, pelabuhan alih kapal barang impor, dan penyimpanan sementara untuk reekspor tanpa melalui pengawasan pabean. Sejak awal pengembangannya kawasan Batam telah mendapatkan perhatian dan perlakuan khusus dari pemerintah dengan pertimbangan bahwa posisi Batam sangat strategis dalam perdagangan internasional. Pemerintah sejak tahun 1977 telah menetapkan kebijakan khusus untuk menarik minat investasi di Batam dengan menetapkannya sebagai daerah industri. Kebijakan penghapusan pungutan pajak, bea, cukai, dan beberapa pungutan lainnya sebenarnya telah menunjukkan bahwa Batam secara de facto telah lama menjadi kawasan perdagangan bebas. Hampir 30 tahun sejak dikeluarkannya kebijakan fiskal yang menghapus beberapa pungutan, bea, cukai, dan pajak tertentu, baru pada tahun 2007 pemerintah secara de jure menetapkan Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang
67
diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007. Batam sebagai KPB memiliki keunikan dibandingkan dengan KPB di beberapa negara, dimana Batam menjadi salah satu KPB yang sebagian wilayahnya telah dihuni oleh penduduk dengan berbagai kegiatan ekonominya sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas. Hal ini berbeda dengan KPB di beberapa negara lain yang bebas dari aktifitas penduduk sebelum wilayahnya ditetapkan sebagai KPB. Dalam hal ini KPB Batam tergolong unik karena wilayahnya yang mencakup seluruh wilayah administratif Kota Batam. Untuk menunjang kelancaran kegiatan pengusahaan KPB Batam, Gubernur Kepulauan Riau selaku Ketua Dewan KPBB Batam telah menetapkan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang diatur dengan Peraturan Ketua Dewan KPBB Nomor 3 dan Nomor 6 Tahun 2008 tanggal 25 September 2008. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam adalah Badan yang mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengelolaan, pengembangan, dan pembangunan KPBB sesuai dengan fungsi-fungsi KPBB. Tugas Badan Pengusahaan KPBB Batam ini meliputi: (a) Melaksanakan percepatan Pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sehingga mampu bersaing dengan kawasan sejenis di negara lain; (b) Melakukan kegiatan-kegiatan dibidang ekonomi, seperti sektor industri, maritim, perdagangan, perhubungan, perbankan, pariwisata, dan bidang lainnya; (c) Pengembangan ekonomi dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam; dan (d) Memproses perijinan usaha yang telah dilimpahkan
kewenangannya
kepada
Badan
Pengusahaan
Batam
dan
melaksanakan Pelayanan Perijinan Terpadu bekerjasama dengan Pemerintah Kota Batam. Badan Pengusahaan Batam, dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan dan pengelolaan lahan di KPBB, dapat membuat kebijakan-kebijakan sepanjang tidak bertentangan dengan kewenangannya dan ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku dan melakukan kerjasama dengan Pemerintah Kota Batam serta mempedomani Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam. Badan ini memiliki struktur dan tugas sebagai berikut:
68
a. Kepala Badan Pengusahaan Batam; Tugas:
1. Melaksanakan pengelolaan, pengembangan, dan pembangunan KPBB sesuai dengan fungsi-fungsi KPBB. 2. Membuat ketentuan-ketentuan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Dengan
persetujuan
Dewan
Kawasan
dapat
mengadakan
peraturan dibidang tata tertib pelayaran dan penerbangan, lalu lintas barang dipelabuhan, dan penyediaan fasilitas pelabuhan dan lain sebagainya serta penetapan tarif untuk segala macam jasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Menyusun anggaran pendapatan dan belanja yang disahkan oleh Dewan Kawasan setiap tahunnya. 5. Mengelola keuangan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 6. Memproses
perijinan
kewenangannya memfasilitasi
usaha
kepada serta
yang
Badan
telah
Pengusahaan
mengkoordinasikan
dilimpahkan Batam
dan
penyelenggaraan
pelayanan perijinan terpadu bersama Pemerintah Kota Batam. b. Wakil Kepala Badan Pengusahaan Batam; Tugas: 1. Membantu Kepala Badan Pengusahaan dalam melaksanakan tugastugasnya. 2. Membantu Kepala Badan Pengusahaan dalam mengkoordinasikan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh anggota Badan Pengusahaan. 3. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan tugas-tugas anggota. 4. Memberikan
saran
pertimbangan
kepada
Kepala
Badan
Pengusahaan. 5. Melaksanakan tugas dan kewajiban lainnya yang diberikan oleh Kepala Badan Pengusahaan. 6. Melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Badan Pengusahaan apabila Kepala Badan Pengusahaan berhalangan.
69
7. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut di atas Wakil Kepala Badan Pengusahaan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pengusahaan. c. Anggota (1) Pelayanan dan Promosi; Membawahi: 1) Direktorat Bina Usaha, Marketing dan Humas; 2) Direktorat Pengelolaan Lahan; 3) Kantor Pelabuhan Laut Batam; 4) Kantor Bandar Udara Batam; 5) Rumah Sakit OB. Tugas:
1. Membantu sebagian tugas Kepala Badan Pengusahaan dalam memberikan pelayanan usaha/pelayanan investasi kepada investor di Wilayah KPBB Batam. 2. Membantu sebagian tugas Kepala Badan Pengusahaan dalam melakukan Promosi Kawasan Batam baik ke dalam maupun ke luar negeri. 3. Membantu sebagian tugas Kepala Badan Pengusahaan dalam melakukan penyebaran informasi kepada masyarakat tentang pembangunan dan pengembangan kawasan Batam. 4. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Badan Pengusahaan. 5. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya anggota bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pengusahaan.
d. Anggota (2) Bina Sarana dan Prasarana; membawahi: 1) Direktorat Perencanaan Teknik; 2) Direktorat Pembangunan; 3) Direktorat Pemukiman, Lingkungan dan Balai Agribisnis; 4) Direktorat Pengamanan; 5) Kantor Pengelolaan Air dan Limbah. Tugas:
1. Membantu sebagian tugas Kepala Badan Pengusahaan dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur dasar dan prasarana lainnya dalam upaya pengembangan KPBB Batam.
70
2. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Badan Pengusahaan. 3. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya anggota bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pengusahaan. e. Anggota (3) Administrasi dan Program; membawahi: 1) Biro Perencanaan Program dan Litbang; 2) Biro Umum; 3) Biro Kepegawaian; 4) Biro Keuangan; 5) Biro Sekretariat Protokol Tugas:
1. Membantu sebagian tugas Kepala Badan Pengusahaan dalam pelayanan administrasi dan penyusunan program. 2. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Badan Pengusahaan. 3. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya anggota bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pengusahaan.
f. Anggota (4) Pengendalian; membawahi: 1) Direktorat Pengendalian Teknik; 2) Direktorat Pengendalian Pembangunan; 3) Direktorat Pengendalian Organisasi dan Kinerja; 4) Direktorat Pengendalian Keuangan. Tugas:
1. Membantu sebagian tugas Kepala Badan Pengusahaan dalam melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan tugas-tugas Badan Pengusahaan. 2. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Badan Pengusahaan. 3. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya Anggota bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pengusahaan.
Sumber pembiayaan dalam pelaksanaan tugas-tugas Badan Pengusahaan KPBB Batam berasal dari sumber pendapatan sendiri, APBD Batam, APBD Provinsi Kepri, APBN, serta sumber-sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 71
Gubernur Kepulauan Riau selaku Ketua Dewan KPBB Batam telah menetapkan pembentukan Tim Konsultasi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang diatur dalam Keputusan Ketua Dewan KPBB Batam Nomor: Kpts/07/DK/2008 tanggal 25 September 2008 dalam upaya realisasi pelaksanaan tugas Dewan KPBB di Kawasan Batam. Tim ini bertanggung jawab kepada Ketua Dewan KPPB Batam dan mempunyai tugas sebagai berikut: 1. Memberikan masukan kepada Dewan Kawasan tentang upaya pengembangan iklim investasi di kawasan Batam demi terlaksananya iklim investasi yang kondusif; 2. Memberikan saran dalam rangka penyelesaian permasalahan investasi yang terjadi di kawasan Batam; 3. Melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diberikan oleh Dewan Kawasan Batam; dan 4. Melakukan rapat-rapat minimal satu kali setiap 2 (dua) bulan atau setiap saat bila dianggap perlu.
4.1.2. Analisis Keberlanjutan Batam 4.1.2.1. Perkembangan Ekonomi Perkembangan Batam menuju wilayah industri menjadi daya tarik masyarakat luar untuk datang dan bekerja. Pada akhir tahun 2007 mampu menarik investasi swasta asing dan nasional lebih dari US$ 13,340 milyar. Jumlah total investasi antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2008 mencapai US$142.34 milyar (Tabel 9). Pada tahun 1999 kawasan industri di Batam berjumlah 13 kawasan industri, namun pada tahun 2008 naik menjadi 26 kawasan industri atau naik dua kali lipat. Investasi asing terus menerus masuk ke Batam sehingga jumlahnya mencapai sekitar 470 perusahaan hingga akhir 2000 (Abdullah,2001), dan pada akhir tahun 2007 jumlah PMA di Batam mencapai 978 PMA. Banyaknya kawasan industri di Batam menarik minat orang untuk datang dan bekerja di Batam yang ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah pekerja di Batam. Pada tahun 2004 jumlah pekerja Indonesia dan asing masing-masing
72
berjumlah 221.163 orang dan 3.097 orang, dan pada tahun 2008 masing-masing meningkat menjadi berjumlah 246.638 orang dan 3.995 orang (Batam, 2009). Selain terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja, juga terjadi peningkatan jumlah penduduk di Batam dimana pada tahun 2004 berjumlah 591.253 orang meningkat menjadi 791.608 pada tahun 2008. Ledakan penduduk menimbulkan problem sosial, misalnya menjamurnya rumah-rumah liar (ruli), kemacetan yang mulai menghimpit pengguna jalan, dan kriminalitas.
Tahun
Gambar 7. Pertumbuhan penduduk Batam (Kota Batam, 2008) Perkembangan investasi Batam sejak tahun 1990 sampai dengan 2008 disajikan pada Tabel 9. Data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa selama kurun waktu delapan belas tahun perkembangan investasi di Batam naik hampir lima kali. Sebagian besar investasi ini diarahkan untuk tujuan ekspor. Investor memanfaatkan Batam sebagai tempat proses produksi. Total nilai ekspor non migas pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 mencapai US$22,359 milyar dengan nilai ekspor per tahun disajikan pada Gambar 8. Kegiatan perekonomian di Batam memiliki dampak terhadap pendapatan negara dan daerah. Dalam kurun waktu tahun 2004 sampai dengan 2008 (Gambar 9) total penerimaan dari pajak mencapai US$6832.06. Adapun kontribusi dari kegiatan ekonomi di Batam terhadap pendapatan daerah sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 mencapai US$ 993.69 (Gambar 10). Keterbukaan wilayah Batam sebagai KPB telah meningkatkan investasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi.
73
Tabel 9. Perkembangan investasi di Batam Tahun
Investasi Investasi Investasi Asing Total Domestik Investasi Swasta No (dlm US$ Pemerintah (dlm Investasi (dlm (dlm US$ (dlm US$ milyar ) milyar) US$ milyar ) US$ milyar ) milyar ) 1 2008 5,710 4,85 10,557 2,770 13,340 2 2007 5,710 4,765 10,475 2,606 13,081 3 2006 5,500 4,470 9,970 2,450 12,420 4 2005 5,470 4,080 9,550 2,340 11,890 5 2004 5,440 3,810 9,250 2,280 11,530 6 2003 4,460 3,630 8,090 2,190 10,280 7 2002 3,700 3,620 7,320 2,140 9,460 8 2001 3,300 3,400 6,700 2,100 8,800 9 2000 3,295 2,818 6,113 1,897 8,010 10 1999 3,019 2,332 5,351 1,626 6,977 11 1998 2,921 2,245 5,166 1,578 6,744 12 1997 2,916 2,145 5,061 1,513 6,574 13 1996 2,610 2,094 4,704 1,427 6,131 14 1995 2,532 1,916 4,448 1,205 5,653 15 1994 2,296 1,873 4,169 859 5,028 16 1992 2,033 1,088 3,121 681 3,802 17 1990 1,515 684 2,199 573 2,772 Sumber : Batam (2009)
7
6.06
Nilai Ekspor Non Migas (US$ milyar)
6 5
5.24 4.07
3.869
4
3.12
3 2 1 0 2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Gambar 8. Nilai ekspor non migas Batam tahun 2004-2008 (Batam, 2009)
74
Penerimaan Pajak (US$ milyar)
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
1806.08 1544.86 1233.7
1213.9
1033.52
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Gambar 9. Nilai penerimaan pajak Batam tahun 2004-2008 (Batam, 2009)
Pendapatan Asli Daerah (US$ milyar)
300
273.62 229.99
250 200
164.16
178.28 147.64
150 100 50 0 2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Gambar 10. Nilai pendapatan daerah Batam (Batam, 2009) Pertumbuhan kegiatan ekonomi di Batam secara signifikan berpengaruh terhadap penerimaan negara melalui pajak dan pendapatan daerah. Dalam hal ini penerimaan pajak dan pendapatan daerah cenderung mengikuti perkembangan kegiatan hasil ekspor non migas, dimana dengan makin meningkatnya kegiatan
75
ekspor hasil industri di Batam juga meningkatkan penerimaan pajak dan pendapatan asli daerah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ditetapkannya Batam sebagai KPB dapat meningkatkan pendapatan negara dan daerah. Selain itu, peningkatan kegiatan ekonomi juga meningkatkan pendapatan per kapita yang pada tahun 2007 mencapai US$2.400, lebih besar daripada pendapatan per kapita Indonesia sebesar US$ 2.271,2 per orang per tahun (Batam, 2009). Pengaruh dari pengembangan kawasan perdagangan bebas terhadap pendapatan per kapita terjadi di Batam dan cenderung sesuai dengan yang terjadi di KPB lainnya di dunia sebagaimana hasil telaahan yang dilakukan oleh Copeland dan Taylor (2004), dimana pengembangan kawasan perdagangan telah meningkatkan pendapatan per kapita. Pertumbuhan ekonomi di KPB Batam yang meningkatkan pendapatan berdampak terhadap lingkungan. Walaupun kegiatan perekonomian di KPB Batam telah meningkatkan pendapatan per kapita, tetapi apabila mengacu kepada Katz (2000) yang menetapkan nilai pendapatan per kapita sebagai titik balik pentingnya kebutuhan masyarakat akan kualitas lingkungan yang lebih baik sebesar US$5.000-US$8.000, maka nilai pendapatan per kapita di Batam yang berkisar US$2.400 belum bisa dikategorikan sebagai titik balik pentingnya kegiatan ekonomi dan konsumsi masyarakat terhadap kualitas lingkungan. Oleh karena itu dengan masih relatif rendahnya pendapatan per kapita di KPB Batam dibandingkan dengan standar pendapatan dari Katz (2000), maka dampak negatif dari kegiatan perekonomian terhadap lingkungan di KPB Batam masih terjadi. Apabila
dibandingkan
dengan
kurva
lingkungan
Kuznet
(EKC),
pertumbuhan ekonomi sebagai konsekuensi ditetapkannya Batam sebagai KPB berada masih berada dalam tahapan awal industrialisasi yang sesungguhnya, sehingga peningkatan pertumbuhan ekonomi yang memicu peningkatan pendapatan masih berpotensi untuk meningkatkan degradasi lingkungan di KPB Batam. Pendapatan per kapita yang relatif rendah yaitu kurang dari US$ 5.000 di Batam apabila merujuk pada kurva EKC menunjukkan bahwa dengan masih rendahnya pendapatan, maka kerusakan lingkungan masih terus terjadi. Fase inidalam EKC dikenal sebagai fase environmental decay yang berada di bawah turning point income, sehingga penurunan dampak negatif lingkungan
76
(environmental improvement) akibat meningkatnya pendapatan belum terjadi. Hasil ini tentunya perlu didukung oleh kondisi biofisik lingkungan di KPB sebagaimana akan diuraikan pada sub bab selanjutnya. Kondisi kualitas lingkungan biofisik menjadi salah satu ukuran dalam menentukan keberlanjutan KPB di Batam. Oleh karena itu upaya pengendalian lingkungan melalui penataan kebijakan lingkungan sangat mendesak untuk dilakukan. Sementara itu kebijakan penetapan Batam sebagai KPB lebih berat pada peningkatan ekonomi daripada pengaturan tentang
pengelolaan
lingkungan
hidup.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
pengembangan KPB Batam masih cenderung mengikuti hipotesis pollution haven yang pengaturan dan pengendalian lingkungannya lebih longgar dibandingkan dengan negara maju. Selain itu, penetapan Batam sebagai KPB melalui proses yang panjang, hampir 30 tahun sejak dihapuskannya hambatan perdagangan berupa penghapusan pungutan pajak, bea, dan cukai dengan kriteria tertentu, baru pada tahun 2007 secara de jure Batam ditetapkan sebagai KPB. Kondisi ini tentunya mempersulit penataan KPB Batam sebagai kawasan perdagangan bebas yang ideal, terutama berkaitan dengan banyaknya areal KPB Batam yang telah digunakan untuk pemukiman dan kegiatan ekonomi masyarakat, sehingga wilayah KPB Batam tidak benar-benar bebas sebagai KPB yang secara khusus diperuntukan sebagai wilayah kawasan perdagangan internasional bebas.
4.1.2.2. Kondisi Lingkungan Batam 4.1.2.2. Kondisi Lingkungan Biofisik Batam Jumlah
penduduk
dan
kegiatan
industri
yang
berkembang
pesat
meningkatkan kebutuhan air. Kendala utama penyediaan air bersih adalah adanya keterbatasan sumber air yang tersedia, dan ketergantungan pada besar kecilnya curah hujan Kota Batam yang ditampung melalui waduk. Sistem jaringan air bersih Kota Batam ditangani oleh PT. Adhya Tirta Batam dengan jangkauan yang masih terbatas. Pemenuhan air bersih oleh penduduk lainnya dipenuhi dengan pembuatan sumur gali atau sumber mata air dan air hujan. Penggunaan air ledeng merupakan persentase terbesar dari sumber air minum di Kota Batam (sekitar 43,12%), sumur (34,04%), pompa (3,65%), dan mata air (1,12%). Beberapa
77
waduk yang menjadi sumber air minum di Batam disajikan pada Tabel 10. Kapasitas pengolahan air dari waduk yang ada sebagaimana disajikan pada Tabel 10 menunjukkan masih rendah untuk dapat diolah sebagai sumber air baku minum.
Tabel 10. Waduk dan kapasitas pengolahan air baku No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Waduk
Lokasi
Sei Harapan P. Batam Muka Kuning P. Batam Sei Ladi P. Batam Baloi P. Batam Nongsa P. Batam Duriangkang P. Batam Sei Tembesi P. Batam Sei Rempang P. Rempang Rempang P. Rempang Utara/Sei Cia Sumber : PT. ATB Tahun 2006
Volume (m3) 8.000.000 13.400.000 8.800.000 200.000 700.000 62.000.000 6.650 3.273.000 8.200.000
Kapasitas Pengolahan (l/t) 210 310 240 30 60 3.000 1.000 232 275
Keterangan Beroperasi Beroperasi Beroperasi Beroperasi Beroperasi Beroperasi Rencana Belum Beroperasi Tahap Studi awal
Ketersediaan air untuk konsumsi juga berkurang akibat pencemaran oleh industri, dan rumah tangga. Berdasarkan hasil analisis sifat fisika dan kimia sampel air waduk yang diambil menunjukkan secara umum bahwa kualitas air waduk wilayah Kota Batam telah mengalami pencemaran yang mengakibatkan penurunan kualitas air (Bapedalda Kota Batam, 2007). Data Bapedalda Kota Batam (2007) juga menunjukkan bahwa sebagian waduk yang selama ini menjadi sumber air baku minum tercemar akibat limpasan limbah yang bersumber dari kegiatan industri dan rumah tangga, misalnya yang terjadi di Waduk Duriangkang, Waduk Sei Ladi, dan Waduk Sei Harapan. Penurunan kualitas sumber air baku di waduk tersebut terutama tercemar oleh bakteri colliform, Pb, dan Zn yang melebihi baku mutu air minum (Bapedalda Kota Batam, 2007). Ketiga unsur pencemar tersebut mengindikasikan bahwa pencemaran air yang terjadi bersumber dari limbah rumah tangga dan industri. Selain itu, banyaknya kegiatan perumahan bahkan kegiatan rumah sakit yang disinyalir belum memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL), yang membuang limbah domestik, limbah medis serta limbah MCK tanpa diolah terlebih dahulu penyebab tingginya kadar E.Coli dan Coliform di beberapa waduk. Dari informasi di atas dapat disimpulkan bahwa pembuangan limbah yang berasal dari kegiatan permukiman dan jasa lainnya seperti hotel dan perdagangan sangat memperngaruhi kualitas air waduk 78
di Kota Batam. Keberadaan bakteri E.Coli dan Coliform juga teridentifikasi di atas baku mutu, Dengan demikian, konsumsi air bersih tanpa melalui pengolahan lebih dahulu dapat membahayakan kesehatan manusia (Bapedalda Kota Batam, 2007). Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan aktifitas pembangunan di Kota Batam, menimbulkan timbunan sampah. Peningkatan ini tidak diiikuti dengan peningkatan sarana dan prasarana persampahan yang menjadi salah satu sumber pencemaran di Kota Batam. Terbatasnya lahan dan kurang memadainya pengelolaaan di tempat pembuangan akhir (TPA) Punggur adalah permasalahan yang dihadapi oleh Pemkot Batam. Permasalahan pada umumnya disebabkan oleh biaya operasional yang sangat tinggi untuk pengumpulan, pengangkutan, dan pengolahan lebih lanjut. Anggaran yang terbatas menyebabkan pemerintah daerah tidak dapat membangun TPA yang memperhatikan aspek sanitasi dan lingkungan (sanitasi landfill) sehingga sampah dibuang di tanah secara terbuka (open dumping), sehingga sanitasi landfill tidak dapat dilaksanakan sebagaimana syarat pengelolaan sampah. Disamping itu, budaya masyarakat untuk mensegregasi sampah dan merubah pola hidup menambah permasalahan sampah di Kota Batam. Pada tahun 2005 Kota Batam menghasilkan sampah sejumlah 164.353,510 ton dan hingga bulan November 2006 jumlah sampah mencapai 143.775 ton (Bapedalda kota Batam, 2007). Seiring dengan laju pembangunaan yang pesat dan bertambahnya investasi di bidang industri dan jasa, maka jumlah limbah B3 (hazardous waste) di Kota Batam juga meningkat yang dihasilkan dari kegiatan sektor industri, rumah sakit, dan rumah tangga. Sampai tahun 2007 di KPB Batam terdapat 267 perusahaan penghasil limbah B3, sedangkan perusahaan pengangkut limbah B3 hanyalah 18 perusahaan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa limbah B3 yang dihasilkan belum banyak dikelola dengan baik. Kualitas air laut di perairan Batam dipengaruhi oleh kegiatan reklamasi pantai, buangan limbah domestik dan industri yang dibawa aliran sungai ke arah lautan di pesisir Batam. Bapedalda Batam (2007) menunjukkan bahwa beberapa parameter kualitas air, seperti BOD, Ammonia, dan TSS di atas baku mutu air laut; juga teridentifikasi logam (Cd, Cr, Mn, Fe, Zn, Ni, Cu, dan Na) sehingga diprediksikan
79
akan berdampak terhadap ekosistem di perairan. Kualitas air di tiga pelabuhan, yaitu Pelabuhan Sekupang, Sagulung, dan Batu Ampar sebagaimana disajikan pada Tabel 11 sampai dengan Tabel 13 menunjukkan hasil masih di bawah baku mutu yang ditetapkan. Parameter kualitas air di tiga pelabuhan yang diambil contoh airnya menunjukkan bahwa kualitas air umumnya masih di bawah ambang baku mutu yang ditetapkan. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh gelombang laut yang membawa bahan limbah dari daratan. Kerusakan hutan di Kota Batam disebabkan oleh perubahan fungsi untuk pembangunan pusat jasa dan pemukiman, pembalakan liar, serta kebakaran hutan. Degradasi hutan menimbulkan akibat lanjutan yang berpengaruh bagi kehidupan masyarakat dan memperluas kawasan kritis hutan. Peningkatan kebutuhan lahan untuk kegiatan perumahan dan komersial telah banyak mengalihfungsikan hutan lindung sebagaimana disajikan pada Tabel 14. Tabel 11. Parameter kualitas air di Pelabuhan Sekupang Parameter
Unit
Hasil
Baku Mutu
Metode *)
- Odor -: Odorless Odorless Visual - Oil Layer -: Nil Nil Visual - Total Suspended Solid mg/lt : 2.00 80.00 APHA-2540-D - Temperature °C : 26.2 Nature APHA-2550-B - pH -: 7.70 7.0 - 8.50 APHA-4500-H+ - Salinity %0 : 32.40 Nature APHA-2520-B - Ammonia (NH3APHA-4500-NH3N) mg/lt : < 0.04 0.3 F - Sulfide (H2S) mg/lt : < 0.01 0.03 APHA-4500-S-D - Phenolic mg/lt : < 0.001 0.002 APHA-5530-D - Detergent LAS as MBAS mg/lt : < 0.05 1 APHA-5540-C - Oil & Grease mg/lt : < 0.20 5 APHA-5520-E - Mercury (Hg) mg/lt : < 0.0001 0.003 APHA-3500-Hg-B - Cadmium (Cd) mg/lt : < 0.001 0.01 APHA-3500-Cd-B - Copper (Cu) mg/lt : < 0.02 0.05 APHA-3500-Cu-B - Lead (Pb) mg/lt : < 0.008 0.05 APHA-3500-Pb-B - Zinc (Zn) mg/lt : < 0.01 0.01 APHA-3500-Zn-B *) Standard Method APHA-AWWA, 21st edition 2005; Pengujian sampel air dilakukan di Laboratorium PT. Sucofindo, Batam (Desember - 2005)
80
Tabel 12. Parameter kualitas air di Pelabuhan Sagulung Parameter
Unit
Hasil
Baku Mutu
Metode *)
- Odor -: Odorless Odorless Visual - Oil Layer -: Positive Nil Visual - Total Suspended Solid mg/lt : 6.00 80.00 APHA-2540-D - Temperature °C : 26.20 Nature APHA-2550-B - pH -: 7.60 7.0 - 8.50 APHA-4500-H+ - Salinity %0 : 32.30 Nature APHA-2520-B - Ammonia (NH3-N) mg/lt : < 0.04 0.3 APHA-4500-NH3-F - Sulfide (H2S) mg/lt : < 0.01 0.03 APHA-4500-S-D - Phenolic mg/lt : < 0.001 0.002 APHA-5530-D - Detergent LAS as MBAS mg/lt : < 0.05 1 APHA-5540-C - Oil & Grease mg/lt : < 0.21 5 APHA-5520-E - Mercury (Hg) mg/lt : < 0.0001 0.003 APHA-3500-Hg-B - Cadmium (Cd) mg/lt : < 0.001 0.01 APHA-3500-Cd-B - Copper (Cu) mg/lt : < 0.02 0.05 APHA-3500-Cu-B - Lead (Pb) mg/lt : < 0.008 0.05 APHA-3500-Pb-B - Zinc (Zn) mg/lt : < 0.02 0.01 APHA-3500-Zn-B *) Standard Method APHA-AWWA, 21st edition 2005; Pengujian sampel air dilakukan di Laboratorium PT. Sucofindo, Batam (Desember – 2008)
Tabel 13. Parameter kualitas air di Pelabuhan Batu Ampar Parameter
Unit
Hasil
Baku Mutu
Metode *)
- Odor -: Odorless Odorless Visual - Oil Layer -: Nil Nil Visual - Total Suspended Solid mg/lt : 36.00 80.00 APHA-2540-D - Temperature °C : 26.30 Nature APHA-2550-B - pH -: 7.40 7.0 - 8.50 APHA-4500-H+ - Salinity %0 : 32.40 Nature APHA-2520-B - Ammonia (NH3-N) mg/lt : < 0.04 0.3 APHA-4500-NH3-F - Sulfide (H2S) mg/lt : < 0.01 0.03 APHA-4500-S-D - Phenolic mg/lt : < 0.001 0.002 APHA-5530-D - Detergent LAS as MBAS mg/lt : < 0.05 1 APHA-5540-C - Oil & Grease mg/lt : < 0.13 5 APHA-5520-E - Mercury (Hg) mg/lt : < 0.0001 0.003 APHA-3500-Hg-B - Cadmium (Cd) mg/lt : < 0.001 0.01 APHA-3500-Cd-B - Copper (Cu) mg/lt : < 0.02 0.05 APHA-3500-Cu-B - Lead (Pb) mg/lt : < 0.008 0.05 APHA-3500-Pb-B - Zinc (Zn) mg/lt : < 0.01 0.01 APHA-3500-Zn-B *) Standard Method APHA-AWWA, 21st edition 2005; Pengujian sampel air dilakukan di Laboratorium PT. Sucofindo, Batam (Desember – 2008)
81
Tabel 14. Perubahan hutan lindung di KPB Batam (Bapedalda Batam, 2007) No
Kawasan Hutan
Sk. Menteri Kehutanan
Luas (ha)
Pengalihan fungsi
Perubahan luas (ha)
1
Hutan Wisata Muka Kuning
No.427/KPTS-II/1992
2065,00
Perubahan, komersial, kawasan OR,
525,00
No.428/KPTS
128,00
executive housing
8,00
No.428/KPTS
738,00
Fasilitas umum
-
No.428/KPTS
1770,00
Perumahan Tiban Selatan dan muka kuning
150,00
No.428/KPTS
59,37
Top view garden
2,00
No.719/KPTS
289,76
Perumahan
-
No.719/KPTS
79,00
Perumahan
79,00
No.719/KPTS
158,00
Open space, perumahan
75,00
No.719/KPTS
243,00
Turis, golf
243,00
No.202/KPTS
308,40
Pariwisata/golf
30,00
No.202/KPTS
142/95
Pariwisata/golf
125,00
No.202/KPTS
119/60
No.202/KPTS
6.075,00
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Hutan Lindung Bukit Dangas Hutan Lindung Sei Harapan Hutan Tiban
Lindung
Hutan Lindung Sei Ladi Hutan Lindung Tanjung Piayu Hutan Lindung Batu Ampar I Hutan Lindung Batu Ampar II Hutan Lindung Batu Ampar III Hutan Lindung Nongsa I Hutan Lindung Nongsa II Hutan Lindung Baloi Hutan Lindung Duri Angkang Jumlah
12.176,08
Perumahan komersial, TPU Komersial, perumahan, TPA
50,00 300,00 1.587,00
Perubahan alih fungsi tersebut berdampak terhadap keberlanjutan wilayah Batam. Kawasan hutan lindung di Batam selama ini berfungsi sebagai daerah resapan air bagi sumber air di wilayah tersebut. Keterbukaan lahan (land exposure) yang makin tinggi meningkatkan laju erosi dan menyebabkan terjadinya pendangkalan di waduk, misalnya pendangkalan waduk Sei akibat daerah tangkapan Bukit Tiban dialihfungsikan menjadi perumahan. Untuk itu Pemerintah Kota Batam telah mengalokasikan kawasan tangkapan air berupa hutan lindung di sekitar waduk yang dialokasikan seluas 1.959 ha atau 1,89% dari luas daratan Kota Batam yang saat ini telah mengalami penurunan dalam kualitas dan daya dukungnya. Hal ini disebabkan pembuangan limbah yang tidak terkontrol, pembangunan rumah liar, pembakaran hutan, perambahan hutan di sekitar dan di dalam kawasan tangkapan air. Selain kawasan hutan lindung areal ruang terbuka hijau banyak yang dialihfungsikan untuk penggunaan lain. Luas areal ruang 82
terbuka hijau kota secara keseluruhan di Kota Batam mencapai 11.584,85 ha atau 11,16% dari daratan Kota Batam. Perubahan alih fungsi lahan tersebut dapat meningkatkan laju erosi dan hilangnya unsur hara tanah (Bapedalda kota Batam, 2007). Adanya pelanggaran terhadap peruntukan lahan berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan di Pulau Batam Tabel 15. menunjukkan beberapa indikator lingkungan Kota Batam sebagai wilayah yang belum berkelanjutan yang disarikan dari uraian sebelumnya. Tabel 15. Indikator lingkungan di Kota Batam No 1
2
Indikator Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sumberdaya Air
3
Sampah rumah tangga Limbah B3
4
Air laut
5
Alih fungsi kawasan hutan lindung
Keterangan • Kuantitas pasokan air di Batam berubah akibat penurunan luas kawasan lindung yang dialihfungsikan untuk perumahan dan komersial; • Kualitas air menurun akibat pembuangan limbah industri dan perumahan • Sampah rumah tangga belum tertangani dengan baik, karena teknologi dan fasilitas pengolahan sampah belum memadai; • Jumlah limbah B3 lebih besar dari kapasitas industri pengolah limbah B3 yang ada di Batam, sehingga diindikasikan masih banyak limbah B3 yang tidak diolah dan dibuang ke lingkungan tanpa pengolahan lebih dulu; • Pembuangan limbah domestik, industri, reklamasi lahan dibuang ke laut dan menimbulkan pencemaran air laut; • Perubahan ekosistem hutan lindung yang menurunkan fungsi resapan air hutan lindung dan meningkatkan keterbukaan lahan
4.1.2.3. Penilaian Keberlanjutan KPB Batam Penelitian penilaian status keberlanjutan kawasan perdagangan bebas di Kota Batam menggunakan metode rapfish sebagaimana dikembangkan oleh Kavanag dan Pitcher (2004) sebagai salah satu teknik rapid appraisal penentuan status keberlanjutan bagi budidaya perikanan. Metode ini selanjutnya dimodifikasi untuk menganalisis status keberlanjutan kawasan perdagangan bebas Batam yang disebut Rap-KAPERBA (rapid appraisal Kawasan Perdagangan Bebas Batam). Dari hasil dari penelitian ini dapat diketahui kondisi status dan faktor-faktor (atribut-atribut) yang sensitif atau perlu diintervensi dalam pengembangan kawasan perdagangan bebas terutama terkait dengan penyusunan arahan kebijakan pengendalian dianalisis
lingkungan. Status
keberlanjutan
kawasan
yang
terdiri atas tiga dimensi pembangunan berkelanjutan sebagaimana 83
dikemukakan oleh Munasinghe (1993) yaitu dimensi lingkungan (ekologi), ekonomi, dan sosial. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan RapKAPERBA (MDS) seluruh dimensi secara lengkap disajikan dalam bentuk diagram layang-layang seperti pada Gambar 11.
Dimensi Lingkungan 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00%
33.01%
43.68%
Dimensi Ekonomi 69.40% Gambar 11. Diagram layang-layang nilai perdagangan bebas Batam
Dimensi Sosial indeks
keberlanjutan
kawasan
a. Status Keberlanjutan Dimensi Lingkungan Indikator-indikator lingkungan yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap status keberlanjutan kawasan perdagangan bebas Batam dilihat dari dimensi lingkungan terdiri atas delapan (8) atribut, yaitu (1) kondisi penggunaan lahan, (2) kejadian erosi tanah, (3) kondisi kualitas udara, (4) keanekaragaman hayati, (5) ketersediaan sumberdaya air, (6) ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH), (7) upaya perlindungan lingkungan dari pencemaran, dan (8) pengelolaan limbah Hasil analisis multidimensional scaling (MDS) dengan menggunakan RapKAPERBA diketahui nilai indeks keberlanjutan dimensi lingkungan kawasan perdagangan bebas Batam sebesar 33,01%. Kondisi tersebut berdasarkan klasifikasi status keberlanjutan Budiharsono (2007) termasuk dalam kategori buruk. Adapun status dimensi lingkungan secara skematis disajikan pada Gambar 12.
84
RAP-BATAM Ordination 60 Up
Other Distingishing Features
40
20
Bad 0 0
33,01 20
Good 40
60
80
100
120
-20
-40
Down -60 Status Keberlanjutan Dimensi Lngkungan Kota Batam
Gambar
12. Status keberlanjutan dimensi lingkungan kawasan perdagangan bebas Batam
Untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi lingkungan, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh empat (4) atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi lingkungan yaitu (1) keanekaragaman hayati, (2) ketersediaan sumberdaya air, (3) kejadian erosi tanah, dan (4) upaya perlindungan lingkungan dari pencemaran. Hasil analisis leverage dapat dilihat seperti Gambar 13.
Leverage of Attributes Pengelolaan limbah Upaya perlindungan lingkungan dari pencemaran
Attribute
Kawasan terbuka hijau Ketersediaan sumberdaya air Keanekaragaman hayati Kualitas udara Kejadian erosi tanah Kondisi penggunaan lahan 0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 13. Peran masing-masing atribut dimensi lingkungan yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS).
85
b. Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Indikator-indikator yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekonomi dalam pengembangan kawasan perdagangan bebas Batam terdiri dari empat (4) atribut. Atribut-atribut tersebut meliputi (1)
pendapatan per kapita, (2) pertumbuhan ekonomi wilayah, (3)
investasi asing, dan (4) kawasan bisnis dan industri Hasil analisis Rap-KAPERBA diketahui nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi dalam pengembangan kawasan perdagangan bebas di Kota Batam sebesar 69,49 %. Ini berarti bahwa status keberlanjutan kawasan termasuk dalam kategori baik dalam pengembangannya sebagai kawasan perdagangan bebas. Adapun hasil analisis MDS seperti terlihat pada Gambar 14. Hasil analisis Leverage diperoleh tiga (3) atribut yang sensitif terhadap nilai indeks
keberlanjutan
dimensi
ekonomi
dalam
pengembangan
kawasan
perdagangan bebas di Kota Batam. Ketiga atribut tersebut yaitu (1) pendapatan per kapita, (2) kawasan bisnis dan industri, dan (3) investasi asing. Hasil analisis leverage seperti pada Gambar 15.
RAP-BATAM Ordination 80
Other Distingishing Features
60
40
20
0 0 -20
20
40
60
80
100
120
69,40
-40
-60
-80 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Kota Batam
Gambar 14. Status keberlanjutan dimensi ekonomi kawasan perdagangan bebas Batam
86
Leverage of Attributes Kawasan bisnis dan industri
Attribute
Investasi asing
Pertumbuhan ekonomi wilayah
Pendapatan perkapita
0
2
4
6
8
10
12
14
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 15. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS).
c. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Indikator-indikator yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi sosial Kota Batam dalam rangka penyusunan kebijakan pengendalian lingkungan sebagai kawasan perdagangan bebas terdiri dari tujuh (7) atribut, antara lain (1) tingkat pentumbuhan penduduk, (2) konflik penggunaan lahan, (3) tingkat pengangguran, (4) tingkat pendidikan, (5) kondisi kesehatan masyarakat, (6) tingkat kepadatan penduduk, dan (7) kondisi keamanan wilayah. Hasil analisis Rap-KAPERBA diketahui nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial dalam pengembangan Kota Batam sebesar 43,68 % yang berarti bahwa status
keberlanjutan
kawasan
termasuk
dalam
kategori
buruk
untuk
pengembangan Kota Batam sebagai kawasan perdagangan bebas. Adapun status keberlanjutan dimensi sosial seperti terlihat pada Gambar 16.
87
RAP-BATAM Ordination 60 Up
Other Distingishing Features
40
20
Bad
Good
0 0
20
40
60
80
100
120
43,68 -20
-40
Down -60 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Kota Batam
Gambar 16. Status keberlanjutan dimensi sosial kawasan perdagangan bebas Batam Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh empat (4) atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial yaitu : (1) tingkat pendidikan relatif, (2) konflik penggunaan lahan, (3) tingkat kesehatan masyarakat, dan (4) tingkat pertumbuhan penduduk. Hasil analisis leverage dapat dilihat seperti Gambar 17. Leverage of Attributes
Keamanan wilayah
Kepadatan penduduk
Attribute
Kesehatan masyarakat Tingkat pendidikan Tingkat pengangguran Konflik penggunaan lahan Pertumbuhan penduduk 0
1
2
3
4
5
6
7
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 17. Peran masing-masing atribut dimensi sosial yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS). 88
Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa nilai status keberlanjutan kawasan pendagangan bebas Batam pada taraf kepercayaan 95%, memperlihatkan hasil yang tidak berbeda (hampir sama) dengan hasil analisis Multidimensional Scaling/MDS (Rap-KAPERBA) pada setiap dimensi. Ini berarti bahwa kesalahan dalam analisis dapat diperkecil baik dalam hal pemberian skoring setiap atribut, variasi pemberian skoring karena perbedaan ini relatif kecil, dan proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang stabil, serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo tertera pada Tabel 16. Tabel 16. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan analisis Rap-Kaperba Nilai Indeks Keberlanjutan (%) Perbedaan Dimensi Keberlanjutan MDS Monte Carlo Dimensi Lingkungan 33,01 33,36 - 0,35 Dimensi Ekonomi 69,40 69,90 - 0,50 Dimensi Sosial 43,68 43,48 0,20 Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan KPB Batam dari tiga (3) dimensi sebagaimana diuraikan diatas, diketahui bahwa terdapat 11 atribut yang merupakan atribut kunci yang perlu diintervensi untuk meningkatkan status keberlanjutan Kota Batam ke depan sebagai kawasan perdagangan bebas (KPB). Adapun atribut-atribut kunci dimaksud seperti pada Tabel 17.
Tabel 17. Atribut-atribut kunci kawasan perdagangan bebas (KPB) Kota Batam No. I
Atribut Kunci KPB Kota Keterangan Batam Dimensi Lingkungan 1. Keanekaragaman Munculnya atribut kunci ini diduga bahwa Hayati intensitas pembangunan yang berjalan cepat di Kota Batan menyebabkan semakin berkurangnya keanekaragaman hayati 2. Ketersediaan Munculnya atribut kunci ini diduga bahwa Sumberdaya Air dengan berkembangnya kota Batam sebagai kota perdagangan menyebabkan intensitas pemakaian sumberdaya air semakin tinggi sehingga ketersediaan sumberdaya ini semakin terbatas. Selain itu, aktivitas pembangunan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air baku
89
Tabel 17. (Lanjutan) Atribut Kunci KPB Kota Keterangan No. Batam 3. Kejadian erosi Munculnya atribut kunci ini diduga disebabkan tanah oleh kurangnya kesadaran masyarakat dalam menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air dalam setiap pemanfaatan ruang sehingga laju aliran permukaan semakin besar dan terjadi sedimentasi pada badan-badan air yang menyebabkan terganggunya sumberdaya air Munculnya atribut kunci ini disebabkan oleh 4. Perlindungan kurangnya kontrol dan tidak adanya sanksi lingkungan dari hukum yang tegas dari pemangku kepentingan pencemaran bagi pelaku pembangunan yang menimbulkan pencemaran lingkungan II. Dimensi Ekonomi 1. Pendapatan Munculnya atribut kunci ini diakibatkan oleh perkapita berkembangnya kota Batam sebagai kawasan perdagangan bebas belum mampu menjamin terjadinya peningkatan pendapatan masyarakat secara signifikan 2. Kawasan bisnis Munculnya atribut kunci ini diduga diakibatkan dan industri oleh masih kurangnya ketaatan terhadap tata ruang yang ada sehingga arah pengembangan kawasan sebagai kawasan bisnis dan industri belum jelas. 3. Investasi Asing Munculnya atribut kunci ini diduga disebabkan oleh kebijakan pengembangan kawasan sebagai kawasan perdagangan bebas sehingga peluang investor asing semakin besar dan mengurangi kesempatan bagi investor lokal III Dimensi Sosial 1. Tingkat Munculnya atribut kunci ini diduga diakibatkan pendidikan relatif oleh berkembangnya kota sebagai kawasan perdagangan yang maju pesat sehingga arus urban cukup tinggi ke Kota Batam terutama penduduk yang hanya mengecap pendidikan dasar bahkan tidak menyelesaikan pendidikan dasarnya 2. Konflik Munculnya atribut kunci ini diduga disebabkan penggunaan lahan oleh banyaknya pengusaha yang tidak/belum menyelesaikan status pembebasan lahannya yang dibeli dari masyarakat setempat sehingga terjadi konflik penggunaan lahan. Disamping itu terdapat beberapa perijinan penggunaan lahan yang tumpang tindih antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya.
90
Tabel 17. (Lanjutan) Atribut Kunci KPB Kota Keterangan No. Batam 3. Tingkat kesehatan Munculnya atribut ini diduga diakibatkan oleh masyarakat berkembangnya kota sebagai kawasan industri yang menyebabkan semakin tingginya tingkat pencemaran lingkungan baik lingkungan perairan maupun udara. Sementara kontrol lingkungan dari pemangku kepentingan masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari kurangnya sanksi yang diberikan pada pengusahan yang mencemarkan lingkungan Munculnya atribut kunci ini diakibatkan oleh 4. Tingkat berkembangnya kota yang semakin pesat sebagai pertumbuhan penduduk kawasan perdagangan bebas sehingga arus urban juga semakin besar ke kota ini. Hasil analisis penentuan bobot setiap dimensi menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan gabungan untuk KPB Batam adalah 47,46 (Tabel 18). Ini berarti bahwa status keberlanjutan KPB Batam masuk kategori buruk. Secara teoritis apabila dikaji dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa nilai investasi di KPB Batam naik atau setidak-tidaknya menggambarkan mengenai indikasi semacam itu, namun apabila dipertemukan dengan hasil penelitian terhadap dimensi sosial ekonomi serta kependudukan, terdapat kecenderungan bahwa seakan-akan tidak ada hubungan antara kenaikan investasi asing dengan kesejahteraan penduduk. Oleh sebab itu berdasarkan ukuran yang ditetapkan oleh Monte Carlo secara teoritis kategori-kategori yang ditetapkan bukan merupakan hubungan sebab akibat antara kategori kenaikan investasi dengan kategori kesejahteraan penduduk. Karena penelitian ini tidak bermaksud untuk memfokuskan diri kepada hal-hal semacam itu maka di dalam laporan penelitian ini tidak dimunculkan mengenai aliran hasil-hasil investasi tersebut ke arah mana. Oleh sebab itu penggunaan analisis dalam Dimensi ini hanya sekedar untuk membuktikan apakah kategori kenaikan investasi mempunyai dampak positif Monte Carlo terhadap tingkat kesejahteraan sosial. Kenaikan tingkat sengketa lahan mempunyai tingkat kesehatan masyarakat tidak dapat diukur dari kenaikan investasi.
91
Tabel 18. Penentuan status keberlanjutan KPB Batam Bobot Dimensi Keberlanjutan Nilai Indeks Gabungan Lingkungan 0,35 0.41 Ekonomi 0,50 0.26 Sosial-Budaya 0,20 0.33 T O T A L
Jumlah (Nilai x Bobot) 13,20 11,36 22,90 47,46
Hasil analisis Rap-KAPERBA menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan kawasan perdagangan bebas Batam cukup akurat sehingga memberikan hasil analisis yang semakin baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini terlihat dari nilai stress yang hanya berkisar antara 13 sampai 16 % dan nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh berkisar antara 0,90 dan 0,96. Hal ini sesuai dengan pendapat Fisheries (1999), yang menyatakan bahwa hasil analisis cukup memadai apabila nilai stress lebih kecil dari nilai 0,25 (25 %) dan nilai koefisien determinasi (R2) mendekati nilai 1,0. Adapun nilai stress dan koefisien determinasi ditunjukkan pada Tabel 19. Tabel 19. Hasil analisis Rap-KAPERBA untuk nilai stress dan koefisien determinasi (R2) kawasan pendagangan bebas Batam Parameter Stress R2 Iterasi
Dimensi Lingkungan 0,15 0,95 3
Dimensi Keberlanjutan Dimensi Eonomi 0,17 0,91 3
Dimensi Sosial 0,13 0,96 3
Analisis keberlanjutan kawasan KPB Batam menunjukkan bahwa status keberlanjutan KPB Batam secara menyeluruh saat ini tergolong kategori buruk. Walaupun status keberlanjutan dimensi ekonomi termasuk kategori baik, tetapi dimensi lingkungan dan dimensi sosial status keberlanjutannya tergolong kategori buruk. Hasil tersebut menunjukkan bahwa selama ini kegiatan pengembangan KPB Batam lebih mengarah pada pertumbuhan ekonomi sebagai kawasan perdagangan bebas. Akibat pengembangan yang masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tersebut memberikan dampak eksternalitas negatif terhadap dimensi lingkungan dan dimensi sosial. Oleh karena itu, untuk mendorong pengembangan KPB Batam agar mencapai titik keberlanjutan kategori baik atau sangat baik, maka beberapa atribut dimensi lingkungan dalam pengembangan KPB Batam yang perlu lebih diprioritaskan. Adapun atribut tersebut berdasarkan
92
hasil analisis leverage adalah perlindungan terhadap keanekaragaman hayati, jaminan ketersediaan sumberdaya air, konservasi tanah untuk mencegah laju erosi tanah, serta peningkatan perlindungan lingkungan dari pencemaran. Dari sisi dimensi sosial, beberapa atribut yang dapat mendorong tingkat keberlanjutan KPB Batam berdasarkan analisis leverage adalah peningkatan tingkat pendidikan, penyelesaian konflik penggunaan lahan, peningkatan kesehatan masyarakat, serta pengendalian pertumbuhan penduduk.
4.1.2.4. Strategi Peningkatan Status Keberlanjutan KPB Batam Strategi peningkatan status keberlanjutan KPB Batam dalam rangka penyusunan kebijakan pengendalian lingkungan sebagai kawasan perdagangan bebas dilakukan dengan menggunakan analisis prospektif. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui besarnya perubahan nilai status keberlanjutan dimasa yang akan datang dengan mengintervensi atribut-atribut yang sensitif (faktor kunci) yang berpengaruh terhadap peningkatan nilai status keberlanjutan kawasan. Hasil analisis multi dimensional scaling (MDS) menunjukkan bahwa terdapat 11 faktor kunci yang merupakan gabungan dari tiga dimensi keberlanjutan yaitu : (1) keanekaragaman hayati, (2) ketersediaan sumberdaya air, (3) kejadian erosi tanah, (4) upaya perlindungan lingkungan dari pencemaran (dimensi lingkungan); (5) pendapatan per kapita, (6) kawasan bisnis dan industri, dan (7) investasi asing (dimensi ekonomi); (8) tingkat pendidikan relatif, (9) konflik penggunaan lahan, (10) tingkat kesehatan masyarakat, dan (11) tingkat pertumbuhan penduduk (dimensi sosial). Dari hasil penggabungan faktor kunci tersebut, selanjutnya disusun keadaan (state) yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang seperti tertera pada Tabel 20. Pada Tabel 20 terlihat bahwa terdapat faktor kunci yang peluangnya kecil atau tidak mungkin untuk terjadi secara bersamaan (mutual incompatible) seperti pada faktor kunci yang diberi tanda garis yaitu faktor kunci kejadian erosi yang meningkat melebihi dari batas ambang yang dapat ditoleransikan (3A) tidak mungkin akan berdampak terhadap peningkatan ketersediaan air yang melebihi dari kebutuhan (2C). Demikian pula dengan faktor kunci kawasan bisnis dan
93
Tabel 20. Keadaan masing-masing faktor kunci status keberlanjutan KPB Batam dalam rangka penyusunan kebijakan pengendalian lingkungan sebagai kawasan perdagangan bebas No
Faktor
1
keanekaragaman hayati
2
ketersediaan sumberdaya air
3
kejadian erosi tanah
4
upaya perlindungan lingkungan dari pencemaran
5
pendapatan per kapita
1A Terjadi penurunan yang sangat cepat sebagai dampak dari pembangunan
Keadaan (State) 1B Terjadi penurunan tetapi agak lambat karena ada upaya mempertahankan secara bertahap
2A Mengalami penurunan yang tidak terkendali sehingga tidak mencukupi kebutuhan
2B Ketersediaan air mencukupi kebutuhan
3A Tetap seperti saat ini (sangat tinggi dan melebihi dari batas yang ditoleransikan)
3B Menurun tetapi masih di atas dari batas ambang yang ditoleransikan
4A Tetap seperti saat ini (ada upaya tetapi belum optimal)
4B Meningkat tetapi hanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tertentu
5A Masih rendah dibawah dari rata-rata pendapatan nasional
5B Pendapatan per kapita mendekati atau sama dengan rata-rata pendapatan nasional
1C Keanekaragaman hayati tetap seperti sat ini dengan membuat zona-zona pelestarian keanekaragaman hayati 2C Ketersediaan air melebihi kebutuhan karena adanya konservasi sumberdaya air bagi masyarakat 3C Menurun dibawah batas yang ditoleransikan karena adanya upaya konservasi tanah dan air. 4C Meningkat yang dilakukan oleh semua pelaku pembangunan yang cenderung menimbulkan kerusakan lingkungan 5C Lebih tinggi dari rata-rata pendapatan per kapita nasional
92 94
Tabel 20. (Lanjutan) No
Faktor
6
kawasan bisnis dan industri
7
investasi asing
8
Konflik penggunaan lahan
9
Tingkat pendidikan
10
tingkat kesehatan masyarakat
11
Tingkat pertumbuhan penduduk
6A Tetap seperti sekarang (cukup tinggi)
7A Masih kurang dibandingkan dengan investasi dalam negeri
Keadaan (State) 6B Mengalami peningkatan secara proporsional antara kawasan bisnis dengan kawasan industri 7B Meningkat lebih tinggi dari investasi dalam negeri
8A Konflik penggunaan lahan sangat tinggi
8B Mengalami penurunan tetapi masih terjadi sebagai dampak dari ketidak taatan terhadap tata ruang yang ada
9A Rata-rata berpendidikan setingkat SD – SLTP 10A Tingkat kesehatan masyarakat masih rendah 11A Tetap seperti saat ini (sangat tinggi)
9B Rata-rata berpendidikan setingkat SLTA – Perguruan Tinggi 10B cukup baik tetapi masih belum optimal 11B Menurun secara bertahap seiring penerapan kebijakan pembatasan jumlah penduduk migran
6C Mengalami peningkatan tetapi ditata dalam suatu zona/kawasan seperti kawasan industri 7C Meningkat dan seimbang antara investasi dalam negeri dengan investasi asing 8C Tidak ada konflik penggunaan lahan karena kebijakan penggunaan lahan sudah sesuai dengan tata ruang yang ada 9C Umumnya masyarakat berpendidikan sarjana 10C sangat baik karena adanya pelayanan yang prima dari pemerintah. 11C Menurun secara bertahap seiring penerapan kebijakan pembatasan jumlah penduduk migran dan keluarga berencana (KB)
93 95
industri yang meningkat sangat cepat (6A) tidak mungkin akan berdampak pada pengurangan konflik penggunaan lahan (8C). Dari berbagai kemungkinan yang terjadi seperti tersebut di atas, dapat dirumuskan tiga kelompok skenario strategi peningkatan nilai status keberlanjutan KPB Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dimasa yang akan datang, yaitu : Skenario bertahan pada kondisi saat ini dan melakukan perbaikan seadanya terhadap faktor kunci (1) Skenario melakukan perbaikan terhadap faktor kunci tetapi tidak optimal (2) Skenario melakukan perbaikan terhadap seluruh faktor kunci. Adapun skenario peningkatan status keberlanjutan KPB Batam dalam rangka penyusunan kebijakan pengendalian lingkungan sebagai kawasan perdagangan bebas disusun seperti tertera di Tabel 21.
Tabel 21. Hasil analisis skenario strategi peningkatan status keberlanjutan Kota Batam sebagai kawasan perdagangan bebas No. 0 1.
2.
3.
Skenario Strategi Kondisi eksisting Bertahan pada kondisi eksisting sambil melakukan perbaikan seadanya Melakukan perbaikan terhadap faktor kunci tetapi belum maksimal Melakukan perbaikan terhadap seluruh faktor kunci
Susunan Faktor Kunci 1A, 2A, 3A, 4A, 5A, 6A, 7A, 8A, 9A, 10A, 11A 1A, 2B, 3B, 4B, 5B, 6A, 7A, 8B, 9A, 10A, 11A
1B, 2B, 3C, 4C, 5B, 6C, 7B, 8B, 9B, 10B, 11C
1C, 2C, 3C, 4C, 5C, 6C, 7C, 8C, 9C, 10C, 11C
Penyusunan skenario seperti pada Tabel 21 didasarkan pada pertimbangan kemampuan biaya dan alokasi waktu pelaksanaan program yang dapat dibagi ke dalam jangka pendek yaitu sekitar 1 – 2 tahun ke depan, jangka menengah sekitar 3 – 5 tahun ke depan, dan jangka panjang yaitu lebih dari 5 tahun ke depan. Perbaikan faktor kunci pada setiap skenario disusun seperti Tabel 22.
96
Tabel 22. Hasil analisis skenario strategi peningkatan nilai status keberlanjutan KPB Batam sebagai kawasan perdagangan bebas Strategi keberlanjutan ke depan Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario Perbaikan Skenario Perbaikan Skenario Perbaikan 1A 1 1B 1 1C 2 2B 1 2B 1 2C 2 3B 1 3C 2 3C 2 4B 1 4C 2 4C 2 5B 2 5B 2 5C 3 6A 2 6C 2 6C 2 7A 1 7B 2 7C 2 8B 1 8B 2 8C 2 9A 2 9B 2 9C 2 10A 2 10B 2 10C 2 11A 0 11C 1 11C 2
Hasil perbaikan faktor kunci seperti Tabel 22 pada masing-masing skenario, selanjutnya dianalisis kembali dengan menggunakan analisis multidimensional scaling (MDS) untuk melihat perubahan nilai indeks keberlanjutan ke depan pada setiap dimensi dan nilai indeks keberlanjutan gabungan masing-masing skenario. Hasil analisis MDS menunjukkan perubahan nilai indeks keberlanjutan kawasan KPB Batam sebagai kawasan perdagangan bebas (Tabel 23). Tabel 23. Perubahan nilai indeks keberlanjutan KPB Batam sebagai kawasan perdagangan bebas berdasarkan skenario 1,skenario 2 dan skenario 3 Perubahan Nilai Indeks Keberlanjutan Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Existing 33,01 43,77 61,51 75,80
1.
Dimensi Keberlanjutan Lingkungan
2.
Ekonomi
69,40
71,70
78,00
83,70
3.
Sosial
43,68
55,40
64,40
79,10
47,46
56,01
67,70
78,94
No.
Indeks gabungan
Skenario 3 memperlihatkan nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dan indeks keberlanjutan gabungan tergolong kategori sangat baik, tetapi skenario tersebut akan sulit dicapai dalam jangka waktu menengah, sehingga skenario 2 merupakan skenario yang disarankan untuk dipilih karena lebih realistis untuk dilaksanakan. Untuk mencapai skenario 2 dalam jangka menengah (dalam jangka waktu 3-5 tahun) diperlukan perbaikan terhadap faktor kunci secara menyeluruh dan terpadu dengan melakukan perbaikan secara bertahap sesuai kemampuan.
97
Rumusan kebijakan dalam peningkatan keberlanjutan KPB Batam dalam jangka waktu menengah lebih diarahkan pada perbaikan 11 (sebelas) faktor kunci keberlanjutan KPB Batam, yaitu (1) keanekaragaman hayati, (2) ketersediaan sumberdaya air, (3) kejadian erosi tanah, (4) upaya perlindungan lingkungan dari pencemaran; (5) pendapatan per kapita, (6) kawasan bisnis dan industri, dan (7) investasi asing; (8) tingkat pendidikan relatif, (9) konflik penggunaan lahan, (10) tingkat kesehatan masyarakat, dan (11) tingkat pertumbuhan penduduk. Materi usulan kebijakan dan arah kebijakan terhadap 11 faktor kunci tersebut disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Usulan materi perbaikan faktor kunci untuk perbaikan keberlanjutan KPB Batam dalam jangka waktu menengah Dimensi
Lingkungan
Faktor Kunci
Materi Usulan Kebijakan
Arahan Kebijakan
Keanekaragaman hayati
Melaksanakan pengamanan dan perlindungan daerahdaerah yang memiliki potensi keanekaragaman hayati, terutama kawasan hutan. Hutan yang mengalami degradasi perlu dihutankan kembali, sehingga potensi flora dan fauna sebagai sumber plasma nutfah tetap terjaga.Upaya perlindungan tersebut dilakukan dengan menyusun peraturan daerah untuk perlindungan wilayah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Soekotjo dan Naim (2009) menyebutkan bahwa di hutan Batam ditemukan Calophyllum lanigerum yang berkhasiat untuk anti virus HIV (sudah dipatenkan oleh USA dan Malaysia) dan Calophyllum cannum dan Calophyllum dioscorii untuk anti kanker .
Pengamanan dan perlindungan terhadap kawasan lindung
Ketersediaan sumberdaya air
Melakukan perlindungan terhadap daerah resapan air melalui kegiatan reboisasi hutan dan rehabilitasi daerah resapan air (catchment area).
Perlindungan daerah resapan air serta kegiatan rehabilitasinya
Erosi tanah
Melakukan inventarisasi kawasan dan lahan kritis Melaksanakan reboisasi pada kawasan hutan
Rehabilitasi lahan kritis dan reboisasi hutan
98
Tabel 24. (Lanjutan) Dimensi
Faktor Kunci
Perlindungan lingkungan dari pencemaran
Materi Usulan Kebijakan
Ekonomi
Pendapatan per kapita
Kawasan bisnis dan industri
Arahan Kebijakan
Pengawasan dan pengendalian kegiatan pembangunan yang berorientasi pada pelestarian lingkungan hidup. Meningkatkan sarana dan prasarana penunjang dalam pengelolaan lingkungan hidup. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pencemaran lingkungan hidup. Melaksanakan pengendalian pencemaran lingkungan hidup melalui pelaksanaan AMDAL. Melaksanakan pembinaan penyuluhan dan sosialisasi kepada pihak terkait, masyarakat, aparat tentang pengendalian pencemaran lingkungan hidup
Pemantauan dan pengendalian pencemaran, serta penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran
Menciptakan lapangan kerja, bahwa kawasan industri/bisnis harus dapat menggambarkan dampak positif dari kegiatankegiatan berupa multiplier effect Program pelatihan dan peningkatan keterampilan tenaga kerja Pendayagunaan Tenaga Kerja, dengan kegiatan melaksanakan penyebaran dan pendayagunaan tenaga kerja baik lokal maupun internasional. Penyesuaian terhadap Upah Minimum Daerah/Kota (UMD/K) dengan tingkat perkembangan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) Melaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja lokal di bidang industri dan perdagangan
Peningkatan kapasitas ekonomi masyarakat
Pengembangan kawasan bisnis dan industri yang kompetitif baik skala kecil, menengah dan besar. Pengembangan kemitraan antara industri kecil dan menengah dengan industri besar
Peningkatan kerjasama produksi antara industri kecil, menengah, dan besar
99
Tabel 24 (Lanjutan) Dimensi
Faktor Kunci
Investasi asing
Materi Usulan Kebijakan
Sosial
Pendidikan
Arahan Kebijakan
Peninjauan kembali peraturan tentang investasi, terutama komposisi perimbangan antara modal asing dan dalam negeri. Penerapan CSR (corporate social responsibility) bagi korporasi secara konsisten.
Kemitraan bisnis antara investor asing dan dalam negeri
Pengembangan sekolah kejuruan dan sekolah unggulan. Peningkatan dan pengadaan fasilitas sarana dan peralatan penunjang di bidang pendidikan. Melakukan pengawasan, pembinaan dan pengendalian terhadap lembaga-lembaga pendidikan. Menyusun dan mensosialisasikan perangkat hukum di bidang pendidikan. Peningkatan pembangunan dan rehabilitasi sarana dan prasarana infrastruktur dan suprastruktur di bidang pendidikan di wilayah perkotaan, hinterland dan wilayah pesisir. Beasiswa bagi siswa yang berprestasi dan golongan masyarakat yang kurang mampu pada semua strata pendidikan. Memberdayakan peran keluarga dalam bidang pendidikan. Mendorong peran masyarakat dan dunia usaha dalam pengembangan bidang pendidikan. Peningkatan kualitas SDM tenaga pendidik. Menumbuhkembangkan minat masyarakat terhadap peningkatan pengetahuan melalui jalur luar sekolah.
Pendidikan berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat
100
Tabel 24 (Lanjutan) Dimensi
Faktor Kunci
Kesehatan
Materi Usulan Kebijakan
Konflik penggunaan lahan
Peningkatan pemerataan pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat prasejahtera dan wilayah hinterland/pesisir. Meningkatkan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan masyarakat dan obat. Penambahan tenaga medis dan paramedis .Meningkatkan koordinasi lintas sektor dan daerah dalam pelayanan kesehatan. Meningkatkan kualitas dan kuantitas serta sistem manajemen pelayanan kesehatan.
Arahan Kebijakan
Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
Meningkatkan peran serta masyarakat dan dunia usaha serta organisasi kemasyarakatan dalam pelayanan kesehatan. Program penyuluhan kesehatan secara terencana kepada masyarakat. Pengawasan dan pengendalian terhadap obat-obatan, peredaran obat dan makanan Pencegahan dan pemberantasan penyakit, dengan melaksanakan operasional pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Peningkatan perbaikan gizi bagi masyarakat yang membutuhkan. Menyusun dan mensosialisasikan perangkat hukum di bidang penataan ruang. Penyusunan peraturan/pedoman/standar pemanfaatan ruang. Penyusunan rencana dan sosialisasi detail pemanfaatan ruang kawasan atau zoning (penataan kawasan) wilayah kota dan hinterland. Melaksanakan koordinasi, pengendalian, monitoring dan evaluasi pelaksanaan peraturan ketataruangan serta penegakan hukumnya.
Penyelesaian konflik agraria dan tata ruang
101
Tabel 24 (Lanjutan) Dimensi
Faktor Kunci
Pertumbuhan penduduk
Materi Usulan Kebijakan
Arahan Kebijakan
Menyusun, mensosialisasikan dan melaksanakan peraturan di bidang kependudukan untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk.
o Penerapan kebijakan keluarga berencana; o Kerjasama dengan pemerintah daerah asal tenaga kerja
Berdasarkan arahan kebijakan pada Tabel 24 terhadap 11 faktor kunci keberlanjutan KPB Batam, kebijakan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan status keberlanjutan KPB Batam dalam jangka menengah, yaitu : a. Melakukan pengamanan dan perlindungan kawasan lindung di KPB Batam; b. Melakukan perlindungan daerah resapan air di KPB Batam yang menjadi sumber air bagi masyarakat di KPB Batam; c. Melakukan kegiatan rehabilitasi lahan dan reboisasi hutan yang kritis; d. Melakukan
pemantauan
dan
pengendalian
pencemaran,
serta
penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran; e. Melakukan upaya-upaya peningkatan kapasitas ekonomi masyarakat; f. Melakukan peningkatan kerjasama produksi antara industri kecil, menengah, dan besar dalam meningkatkan nilai kompetetif industri di KPB Batam; g. Meningkatkan kemitraan bisnis antara investor asing dengan dalam negeri; h. Meningkatkan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat; i. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan; j. Menyelesaikan konflik agraria dan tata ruang di KPB Batam; k. Menerapkan kebijakan keluarga berencana untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk di KPB Batam;
102
4.2. Efektifitas Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam Pembangunan di Kota Batam sebagai bagian dari pembangunan nasional yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberlanjutan pembangunan perlu didukung oleh ketersediaan
sumberdaya
alam
yang
memadai.
Untuk
mendukung
keberlangsungan pembangunan di Kota Batam, maka perlu dijaga kondisi lingkungan hidup yang bersih dan hijau agar daya dukung dan daya tampungnya tetap terjaga. Kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam sampai kini diatur dengan Peraturan Daerah (Perda) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Batam. Ada dua perda yang terkait langsung dengan permasalahan lingkungan, yaitu Perda Nomor 5 Tahun 2001 tentang Kebersihan Kota Batam tertanggal 26 Juni 2001, dan Perda Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup. Peraturan daerah Nomor 5 Tahun 2001 tentang Kebersihan Kota Batam secara umum mengatur tentang pentingnya kebersihan sebagai salah satu segi kehidupan yang perlu dipelihara oleh pemerintah kota dan masyarakat Kota Batam dalam upaya mewujudkan terpeliharanya lingkungan hidup yang bersih, tertib, dan sehat. Dalam Perda tersebut diatur tentang cara-cara penanganan kebersihan dan retribusi sampah. Pengelolaan kebersihan merupakan rangkaian kegiatan yang bersifat sistematis tentang cara pengelolaan sampah mulai dari sumber sampah sampai tempat pembuangan akhir yang meliputi kegiatan pewadahan,
pengumpulan,
pengangkutan,
pengolahan,
pemanfatan,
dan
pembuangan akhir. Teknik pengelolaan sampah sesuai dengan Perda tersebut disajikan pada Tabel 25.
103
Tabel 25. Teknik pengelolaan, cara pembuangan, dan larangan pembuangan sampah di Kota Batam No
Perihal
A 1
Teknik Pengelolaan Sampah Pengumpulan Sampah
2
Pengangkutan Sampah
3
Pengelolaan Tempat Pembuangan Sampah
B
Deskripsi • Pengumpulan sampah dari sumber oleh petugas menggunakan gerobak dan dikumpulkan pada tempat penampungan sementara • Pengumpulan sampah dari sumbernya oleh petugas menggunakan kendaraan dinas atau kendaraan mitra kerja yang ditunjuk dan langsung dibawa ke tempat pembuangan akhir. • Orang atau badan membawa sendiri sampah yang sudah dibungkus dalam kantong plastik ke tempat penampungan sementara. • Sampah-sampah yang berasal dari pejalan kaki ataupun yang berasal dari kendaraan harus dibuang ke tempat penampungan sementara yang ditentukan. • Pengangkutan sampah dari tempat penampungan sementara dilakukan oleh kendaraan dinas kebersihan dan pertamanan atau kendaraan mitra kerja yang ditunjuk sesuai jadwal yang ditetapkan. • Setiap kendaraan yang memasuki tempat pembuangan akhir dilakukan pemeriksaan oleh petugas • Lokasi tempat pembuangan akhir hanya diperuntukkan untuk sampah domestik, nonBahan BerbahayaBeracun (B3) • Pembuangan sampah dari tiap-tiap kendaraan pengangkut diatur oleh petugas • Sampah-sampah yang telah ditentukan pembuangannya dilapisi dengan tanah sesuai dengan sistem yang diberlakukan • Selain petugas yang ditunjuk dilarang berada di dalam kawasan tempat pembuangan akhir • Tidak dibenarkan para pemulung yang ada di tempat pembuangan akhir untuk mendirikan bangunan atau menumpuk barang-barang bekas tanpa ijin dari dinas.
Cara pembuangan sampah • Sampah-sampah yang menurut jenis dan sifatnya tidak keras dimasukan ke dalam kantong plastik dan diikat • Sampah-sampah yang menurut jenis dan sifatnya keras agar dipotong-potong menjadi bagian terkecil dan diikat • Sampah-sampah yang telah terkumpul dalam kantong plastik atau diikat ditempatkan di bagian depan persil untuk diambil oleh petugas dan ditempatkan di tempat penampungan sementara.
104
Tabel 25 (Lanjutan) No
Perihal
Deskripsi
C
Larangan • Membuang sampah di luar tempat penampungan sampah • Membuang sampah di jalan, taman, jalur-jalur hijau, tempat fasilitas umum, parit, selokan, sekitar waduk, atau sungai dan pantai • Mengotori dan membuang kotoran pada tempat-tempat sebagaimana tersebut sebelumnya • Membakar sampah dan kotoran di jalan-jalan, jalur hijau, taman dan tempat umum • Menumpuk atau menempatkan barang-barang bekas yang masih mempunyai nilai ekonomis atau tidak pada kiri kanan bahu jalan, taman, jalur hijau, depan bangunan, dan tempat-tempat umum • Menumpuk dan menempatkan sampah bongkar bangunan tidak lebih dari 1(satu) hari • Menempatkan keranjang atau boks plastik pada media jalan maupun kiri kanan jalan • Menempatkan kendaraan yang tidak berfungsi (rongsokan) pada daerah milik jalan • Menempatkan penampungan oli bekas di luar persil • Mengotori jalan dalam proses pengangkutan barang • Membuang tinja di luar tempat yang ditentukan
Sanksi • Diancam dengan pidana kurungan selamalamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggitingginya lima juta rupiah. • Larangan berlaku juga bagi pengunjung yang datang ke Kota Batam
Kawasan KPB Batam sebagai kawasan strategis dalam kegiatan ekonomi nasional dan daerah berpotensi untuk terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sebagai akibat berbagai usaha dan kegiatan ekonomi yang dilakukan.
105
Kewenangan Pemda Kota Batam dalam pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup (Pasal 15 Perda Kota Batam Nomor 8 Tahun 2003), adalah: a. Menetapkan kebijakan pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup; b. Menerbitkan perijinan lingkungan dan atau yang terkait dengan lingkungan hidup; c. Membentuk Komisi Penilai Amdal; d. Menerbitkan rekomendasi AMDAL sesuai dengan peraturan perundangundangan; e. Menerbitkan rekomendasi Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL); f. Membentuk tim penanganan kasus lingkungan hidup; g. Melakukan pengawasan penataan; h. Memerintahkan
penanggung-jawab
untuk
melakukan
pencegahan,
penanggulangan, dan pemulihan lingkungan hidup; i. Melakukan upaya-upaya pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup berdasarkan arahan, pedoman, supervisi, dan pengawasan dari pemerintah pusat dan atau pemerintah provinsi; j. Melakukan penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; k. Mengembangkan
kerjasama
dan
kemitraan
dalam
penyelenggaraan
pengendalian dan pencemaran dengan pihak ketiga dan atau pihak luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewajiban pemerintah dan masyarakat di Kota Batam dalam pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan berdasarkan Perda Kota Batam Nomor 8 Tahun 2003 disajikan pada Tabel 26.
106
Tabel 26. Kewajiban pemerintah serta hak dan kewajiban masyarakat dalam pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan Hak dan Kewajiban Masyarakat
Kewajiban Pemerintah Kota Batam
Hak Masyarakat
Kewajiban Masyarakat
a. Melakukan inventarisasi dan valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan hidup; Menyusun neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup serta melakukan evaluasi sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sekali; b. Melakukan penilaian dokumen AMDAL sesuai dengan kewenangannya; c. Melakukan penilaian dokumen UKL dan UPL; d. Menyusun strategi pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup; e. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang kebijakan pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup; f. Melakukan pembinaan terhadap usaha dan atau kegiatan dalam pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup; g. Mengembangkan terminal data tentang lingkungan hidup; h. Menyediakan informasi tentang lingkungan hidup dan menyebarluaskannya kepada masyarakat;
a. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat, bersih, hijau, aman, dan nayaman; b. Setiap orang berhak untuk berperan serta dalam pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, berdasarkan : • hak untuk engetahui setiap informasi lingkungan hidup; • hak untuk melakukan • penelitian dan pengkajian; • hak untuk menyatakan pendapat; hak untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan; • hak untuk mengawasi pelaksanaan pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup;
Setiap orang berkewajiban mencegah, menanggulangi, dan memulihkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, melalui : a. pemberian informasi yang benar dan akurat tentang pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup; b. melakukan pengawasan dan pemantauan pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; c. memberikan laporan kepada pihak berwenang apabila terjadi dugaan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; dan d. Kewajiban lain yang dapat mendukung upaya pencegahan, penanggulangan, dan atau pemulihan lingkungan hidup.
i. Memberikan informasi kepada masyarakat yang berkaitan dengan pengendalian lingkungan hidup daerah; j. Memfasilitasi penyelesaian sengketa mengenai lingkungan hidup; k. Kewajiban lain yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
• hak akses pada keadilan.
Sumber : Perda Kota Batam No. 8 Tahun 2003
Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup dibuat dengan tujuan untuk melaksanakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan melalui upaya-upaya (Pasal 2) :
107
a. Memelihara lingkungan hidup yang sehat, bersih, hijau, aman, dan nyaman; b. Melestarikan fungsi lingkungan hidup untuk memelihara kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; c. Memelihara lingkungan hidup yang sehat, bersih, hijau, aman, dan nyaman; d. Melestarikan fungsi lingkungan hidup untuk memelihara kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; e. Mencegah terjadinya pencemaran terhadap media tanah, air, pesisir laut, dan udara; f. Mencegah terjadinya perusakan lingkungan hidup, sehingga tetap dapat dipertahankan daya dukung lingkungan hidup; g. Menanggulangi dampak akibat terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; h. Memulihkan keadaan lingkungan hidup pada suatu kondisi yang tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Ruang lingkup pengaturan pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan yang diatur dalam Perda Kota Batam Nomor 8 Tahun 2003 disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27. Kegiatan pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan No 1
Upaya Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Pencegahan
Kegiatan a. Penerapan prinsip kehati-hatian; b. Penerapan sistem peringatan dan pencegahan dini; c. Penerapan dan pengembangan teknologi ramah lingkungan; d. Sosialisasi peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup; e. Penyulihan hukum untuk meningkatkan kesadaran hukum dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan hidup; f. Pengembangan materi tentang lingkungan hidup sebagai muatan kurikulum lokal pada berbagai jenjang pendidikan dan pelatihan; g. Pemberian penghargaan bagi kegiatan masyarakat yang peduli lingkungan hidup.
108
Tabel 27. (Lanjutan) No 2
Upaya Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Penanggulangan
Kegiatan a. b. c. d.
3
Pemulihan
a. b. c. d.
Penghentian kegiatan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; Penanganan secara teknis media lingkungan hidup yang tercemar atau rusak; Pengamanan dan penyelamatan masyarakat, hewan dan tanaman; Mengisolasi lokasi terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup sehingga dampaknya tidak meluas atau menyebar; Pembersihan terhadp media air dan tanah yang tercemar; Penanaman kembali terhadap hutan dan atau hutan bakau yang mengalami kerusakan; Melakukan reklamasi terhadap bekas galian tambang; Melakukan upaya-upaya lain yang bertujuan untuk memulihkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Untuk menjamin pelaksanaan pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dibentuk Bapedalda Kota Batam yang memiliki kewenangan : a. Merumuskan
kebijakan
pengendalian
pencemaran
dan
perusakan
lingkungan hidup; b. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait; c. Menerbitkan ijin pembuangan air limbah/limbah; d. Menerbitkan rekomendasi pengelolaan limbah B3; e. Melakukan pengawasan terhadap tingkat penaatan; f. Melakukan penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Bapedalda Kota Batam melalui pejabat pengawas lingkungannya berwenang untuk : a. Melakukan pemantauan yang meliputi kegiatan pengamatan, pemotretan, perekaman audio visual dan pengukuran; b. Meminta keterangan kepada masyarakat yang berkepentingan, karyawan yang bersangkutan, konsultan, kontraktor, dan perangkat pemerintahan setempat;
109
c. Membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang diperlukan, yang meliputi dokumen perijinan, dokumen AMDAL, UKL, UPL, data hasil swapantau, dokumen surat keputusan organisasi perusahaan serta dokumen lainnya yang berkaitan dengan kepentingan pengawasan; d. Memasuki tempat tertentu; e. Mengambil contoh dari limbah yang dihasilkan, limbah yang dibuang, bahan baku, dan bahan penolong; f. Memeriksa peralatan yang digunakan dalam proses produksi, utilitas, dan instalasi pengolahan limbah; g. Meminta keterangan dari pihak yang bertanggung-jawab atas usaha dan atau kegiatan; h. Wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap penanggung jawab yang melakukan upaya penataan pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan melebihi dari apa yang seharusnya dilakukan berhak menerima insentif yang diberikan dalam bentuk yang mendorong keuntungan secara ekonomis bagi usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan. Insentif diberikan oleh Pemerintah Kota Batam untuk mendorong peningkatan penaatan secara sukarela terhadap pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. Sebaliknya, Pemerintah Kota Batam dalam memberikan disinsentif terhadap tindakan yang tidak sejalan dengan upaya pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Pengenaan disinsentif diberikan dalam bentuk pembebanan secara ekonomis terhadap penanggung jawab kegiatan/usaha, misalnya pengenaan pajak yang tinggi. Pembiayaan pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dapat diperoleh dari pemerintah dan masyarakat. Pembiayaan dari pemerintah dibebankan pada : (a) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); (b) subsidi dan atau sumbangan dari pemerintah; dan (c) sumber dana lain yang sah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembiayaan yang berasal dari pemerintah tersebut dialokasikan untuk : pengembangan kapasitas sumberdaya manusia, pengadaan sarana dan prasarana, pengawasan dan pemantauan,
110
penegakan hukum, peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengembangan sistem informasi lingkungan, pengembangan dan penelitian di bidang lingkungan hidup, pengembangan jaringan kerjasama dan kemitraan dengan pihak ketiga, serta koordinasi pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Dana masyarakat dalam pembiayaan pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan merupakan wujud kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan hidup secara sukarela berdasarkan kesepakatan. Pengumpulan, penggunaan, pengelolaan biaya masyarakat dilakukan masyarakat secara swadaya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas publik. Pelanggaran terhadap ketentuan perda dapat diberikan sanksi administrasi dan sanksi pidana. Untuk tindak pidana pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup tetap mengacu pada ketentuan yang tercantum dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan pidana tersebut diatur pada Pasal 41 sampai dengan Pasal 44 UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997 seperti disajikan pada Tabel 28.
Tabel 28. Ketentuan pidana pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup Pasal
Isi Pasal
Pasal 41
(1) Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 42
(1) Barang siapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
111
Tabel 28. (Lanjutan) Pasal
Isi Pasal
Pasal 43
(1) Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (2) Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), barang siapa yang dengan sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain (3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun dan denda paling banyak Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 44
(1) Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena kealpaannya melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
Adapun sanksi administratif terhadap pelanggaran Perda Kota Batam Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup disajikan pada Tabel 29.
112
Tabel 29. Ketentuan sanksi administratif No 1
2
Jenis Sanksi Administrasi Pencabutan ijin
Penghentian atau Penutupan Sementara Usaha dan atau Kegiatan
Jenis Pelanggaran
Tata Cara Pengenaan Sanksi
Pelanggaran : a. Persyaratan pokok yang diajukan ternyata mengandung cacat, masih dalam sengketa, kekeliruan, penyalahgunaan, ketidakbenaran, ketidakakuratan, kebohongan, dan atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Pelaksanaan ijin telah menyimpang dari ketentuan dan persyaratan yang tercantum dalam ijin; c. Dalam waktu selama-lamanya 6 (enam) bulan ternyata tidak terpenuhinya persyaratan yang dicantumkan dalam ijin; d. Usaha dan atau kegiatan telah dihentikan selama 12 bulan berturut-turut dan tidak dilanjutkan lagi.
a.
Kepada penanggung jawab diberikan teguran pertama secara tertulis dalam jangka waktu selama-lamanya 30 hari untuk segera menghentikan pelanggaran; Apabila teguran pertama sebagaimana dimaksud pada poin a belum diindahkan, maka dikenakan teguran kedua secara tertulis dalam jangka waktu selama-lamanya 30 hari untuk menghentikan pelanggaran; b. Apabila teguran kedua tidak diindahkan, maka diberikan teguran ketiga dalam jangka waktu selama-lamanya 30 hari untuk menghentikan pelanggaran; c. Apabila teguran ketiga belum diindahkan pula, maka pencabutan ijin dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
a. Sifat dan bobot pelanggaran pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup belum menimbulkan dampak yang besar; b. Belum terpenuhi persyaratan pokok perijinan yang telah ditentukan; c. Terdapat keberatan atau pengaduan dari pihak ketiga; d. Pelanggaran atau kesalahan yang bersifat teknis.
a.
Pemberitahuan secara tertulis kepada pemegang ijin dengan disertai alasan yang jelas dan wajar;
b.
Pemegang ijin wajib diberi kesempatan secukupnya untuk memberikan penjelasan;
c.
Pemberi ijin setelah mempertimbangkan berbagai aspek dapat melakukan pengenaan sanksi berupa penghentian atau penutupan sementara usaha dan atau kegiatan. Penghentian atau penutupan sementara dilakukan oleh pejabat pemberi ijin;
d.
e.
Kepala BAPEDAL untuk dan atas nama Walikota mengajukan surat rekomendasi penghentian atau penutupan sementara usaha dan atau kegiatan kepada pejabat pemberi ijin usaha atau kegiatan.
113
Tabel 29. (Lanjutan) No 3
Jenis Sanksi Administrasi Paksaaan Pemerintah
Jenis Pelanggaran
Tata Cara Pengenaan Sanksi
a. Ditujukan untuk menghentikan pelanggaran dan atau memulihkan pada keadaan semula; b. Tindakan pemulihan lingkungan dilakukan oleh penanggung jawab; c. Bentuk sanksi paksaan pemerintahan berupa : (1) penghentian mesin; (2) pemindahan sarana produksi; (3) penutupan saluran pembuangan limbah; (4) melakukan pembongkaran; (5) melakukan penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; (6) tindakan-tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran serta tindakan memulihkan lingkungan hidup pada keadaan semula.
a.
b.
c.
d.
Segala biaya dikeluarkan untuk penanggulan dan pemulihan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup dibebankan kepada penanggung jawab usaha; Pengenaan sanksi paksaan pemerintahan dapat digantikan dengan uang paksaan yang dibayarkan oleh penanggung jawab berdasarkan pertimbanganpertimbangan objektif, adil, dan wajar untuk kepentingan lingkungan hidup; Uang paksa yang dibayarkan oleh penanggung jawab seluruhnya ditujukan untuk biaya pemulihan lingkungan hidup pada lokasi pelanggaran terjadi; Jumlah uang paksa ditentukan berdasarkan penghitungan riil biaya penanggulangan dan atau pemulihan lingkungan hidup.
Efektivitas kebijakan tentang pengendalian lingkungan berdasarkan penilaian stakeholders yang diwawancarai menunjukkan bahwa : a. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pengendalian Pencemaran dan
Kerusakan
Lingkungan
Hidup
sudah
cukup
baik,
tetapi
implementasinya belum memadai yang diindikasikan masih terjadinya pencemaran lingkungan hidup. b. Efektifitas kebijakan diindikasikan dengan pencapaian implementasi kebijakan tersebut dalam mengatur pengendalian lingkungan di KPB Batam. Upaya pengendalian lingkungan di kawasan tersebut belum efektif semuanya, namun Kota Batam sendiri berhasil meraih penghargaan Adipura untuk kategori kota besar di Indonesia. Beberapa kendala yang menyebabkan Perda yang mengatur pengendalian lingkungan belum sepenuhnya efektif, yaitu :
114
1. Belum keluarnya keputusan-keputusan walikota petunjuk
pelaksanaan
dan
petunjuk
sebagai sebagai teknis
dalam
mengimplementasikan Perda yang terkait dengan pengendalian lingkungan; 2. Pengawasan masih belum memadai untuk memastikan Perda berjalan dengan baik; 3. Penegakan hukum dalam pengendalian lingkungan belum berjalan baik yang ditunjukkan dengan masih banyaknya pelaku usaha dan masyarakat
yang belum patuh terhadap peraturan pengendalian
lingkungan yang dibuat; 4. Sosialisasi tentang kesadaran lingkungan kurang, khususnya sosialisasi bagi masyarakat dan dunia usaha seperti dalam bidang properti masih banyak dijumpai pembukaan lahan dan perataan bukit tanpa memperhatikan fungsi dari lahan itu sendiri; 5. Banyaknya kendala-kendala seperti terbatasnya SDM, pengawas dan seringnya terjadi pelanggaran oleh oknum, masyarakat atau perusahaan yang mangkir serta tidak efektifnya sosialisasi perda yang sudah disahkan. Terkait dengan posisi Batam sebagai KPB yang bertaraf internasional, maka pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan khusus tentang pengendalian lingkungan di KPB Batam. Sejauh ini kebijakan pemerintah tentang KPB Batam tidak secara eksplisit mengintegrasikan lingkungan ke dalam kebijakan pengembangan KPB Batam dan lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonominya. Hipotesis pollution haven lebih menonjol dibandingkan dengan hipotesis Porter, sehingga dikhawatirkan KPB Batam secara ekonomi berkembang, tetapi kualitas lingkungannya terdegradasi. Belum adanya ketentuan pemerintah yang secara khusus mengatur pengendalian di KPB Batam sebagai kawasan perdagangan bebas internasional menunjukkan bahwa kebijakan pengendalian lingkungan di Batam masih bersifat lokal dan kurang “compatible” dengan perkembangan kawasan tersebut sebagai kawasan perdagangan bebas. Oleh karena itu, pemerintah perlu menjaga setiap kawasan
115
investasi di KPB Batam agar tunduk terhadap ketentuan dan kebijakan pengelolaan lingkungan yang telah ditetapkan. Salah satu upaya untuk mengendalikan lingkungan di Batam adalah dengan membangun kesepakatan dengan negara-negara investor yang menanamkan investasinya di Batam dengan tujuan untuk menjamin bahwa standar kualitas lingkungan harus diterapkan dengan baik dan tidak merugikan KPB Batam sebagai daerah investasi. Kesepakatan dilakukan untuk mengefektifkan upaya perlindungan lingkungan di kawasan perdagangan bebas yang mencakup program tentang: a. Hukum dan regulasi pengelolaan lingkungan. Program ini ditujukan untuk memperkuat kapasitas dalam mengembangkan, menerapkan, dan menegakkan hukum dan peraturan tentang lingkungan; dalam hal ini pemerintah dan badan pengelola kawasan perlu menegakkan peraturan pengelolaan lingkungan yang telah ada, termasuk mengimplementasikan beberapa perjanjian internasional tentang lingkungan, misalnya: Protokol Montreal (1957) yang bertujuan mengurangi emisi bahan yang merusak lapisan ozon, Konvensi CITES (1973) yang bertujuan untuk melindungi spesies flora dan fauna yang terancam punah akibat eksploitasi yang berlebihan melalui perdagangan internasional. b. Penilaian
dampak
lingkungan.
Program
ini
ditujukan
untuk
meningkatkan kapasitas publik dan perorangan dalam melakukan penilaian dampak lingkungan di KPB Batam; c. Program insentif lingkungan. Program ini merupakan bagian yang saling melengkapi dengan kegiatan penegakan hukum dan regulasi lingkungan, dengan tujuan untuk mendorong pengembangan mekanisme insentif secara sukarela yang berkontribusi terhadap pencapaian perlindungan lingkungan; d. Perlindungan kualitas udara. Program ini ditujukan meningkatkan kualitas udara dan mengurangi dampak negatif polusi udara terhadap kesehatan; e. Perlindungan
sumberdaya
air.
Program
ini
dilakukan
untuk
meningkatkan manajemen sumberdaya air;
116
f. Perlindungan pesisir dan sumberdaya laut. Program ini ditujukan untuk melindungi zona pesisir dan estuari, serta mencegah eksploitasi sumberdaya laut yang berlebihan; g. Perlindungan spesies langka dan terancam punah. Program ini dilakukan untuk meningkatkan kapasitas dalam melindungi spesies yang terancam punah; h. Teknologi dan bisnis berbasis lingkungan. Program ini ditujukan untuk mempromosikan teknologi dan manajemen bisnis yang berbasis lingkungan.
4.3. Peranan Para Pihak dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam Peranan para pihak dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam yang dianalisis menyangkut : tanggung jawab, hak dan kewajiban, manfaat yang diperoleh, serta tingkat relasi antar stakeholder (pemangku kepentingan). Masingmasing pemangku kepentingan memiliki pendapat yang berbeda tentang tanggung-jawab, hak dan kewajiban, manfaat dari kegiatan pengendalian lingkungan di KPB Batam. Perbedaan pendapat tersebut dilatarbelakangi oleh : perbedaan peranan dan tugas masing-masing pemangku kepentingan, tingkat kepentingan dari masing-masing kepentingan, serta peraturan yang mengatur masing-masing pemangku kepentingan. Bentuk tanggung-jawab pengendalian lingkungan di KPB Batam disajikan pada Tabel 30. Tanggung-jawab pemerintah dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam lebih terfokus pada kepentingan peningkatan daya tarik investasi di wilayah tersebut serta pengawasan dan penangkalan arus barang berbahaya beracun (B3) yang mungkin masuk ke wilayah KPB Batam. Bentuk tanggungjawab pemerintah daerah secara umum lebih terfokus kepada kegiatan penataan lingkungan, pengawasan dan pengendalian kerusakan lingkungan, pemberian ijin terkait perlindungan lingkungan, serta perlindungan sumberdaya alam strategis bagi masyarakat, misalnya perlindungan sumber air.
117
Tabel 30. Pendapat bentuk tanggung jawab pengendalian lingkungan di KPB Batam No
Pemangku Kepentingan
Bentuk Tanggung Jawab Tanggung Jawab Langsung
Tanggung Jawab Tidak Langsung
1
Pemerintah
• Pengendalian lingkungan terkait daya tarik investor. • Pemeliharaan ruang terbuka hijau di Batam • Pengawasan arus barang yang mengandung limbah B3
• Mencegah Batam dari kerusakan lingkungan • Pencegahan penyelundupan bahan dan limbah B3
2
Pemerintah Daerah
• Pengawasan dan pengendalaian kerusakan lingkungan • Pengawasan dan pengendalian limbah B3 • Operasi penataan lingkungan • Ijin limbah cair, HO, Amdal, UKL/UPL
• Perencanaan sarana dan prasarana pembangunan • Pengawasan dan pengendalian limbah B3 dari atau ke Pulau Batam • Perlindungan sumber air masyarakat
• Menjaga agar limbah yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan • Mencegah bahan B3 yang membahayakan lingkungan • Mematuhi dan melaksanakan Perda pengendalian lingkungan 4 Masyarakat • Penataan lingkungan kawasan • Masukan Perda pengendalian lingkungan • Mematuhi dan melaksanakan Perda pengendalian lingkungan 5 Legislatif • Pengawasan terhadap Perda terkait pengendalian lingkungan di Batam Sumber : Pengolahan Data Primer 3
Dunia Usaha
• Kebijakan lingkungan di internal perusahaan • Pemeliharaan lingkungan • Kampanye lingkungan • Memberikan informasi lingkungan ke Bapedalda
• Terlibat dalam penyusunan raperda • Turut mengawasi pelaksanaan Perda pengendalian lingkungan di Batam • Sosialisasi program pelestarian lingkungan
Bentuk tanggung jawab dunia usaha dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam lebih terfokus pada upaya-upaya internal dunia usaha untuk mencegah limbah yang mencemari lingkungannya, termasuk penggunaan bahan B3 yang membahayakan lingkungan. Tanggung-jawab lainnya dari dunia usaha adalah menerapkan
kebijakan
perusahaan
yang
pro-lingkungan,
meningkatkan
118
kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, dan menyampaikan informasi lingkungan kepada Bapedalda. Bentuk tanggung-jawab masyarakat, termasuk akademisi, berkaitan dengan pengendalian lingkungan di KPB Batam adalah memberikan masukan tentang kebijakan atau peraturan pengendalian lingkungan di KPB Batam, mematuhi dan melaksanakan perda terkait pengendalian lingkungan, serta turut mengawasi pelaksanaan perda pengendalian lingkungan di KPB Batam. Adapun legislatif (DPRD) memiliki tanggung-jawab dalam pengawasan pelaksanaan perda terkait pengendalian lingkungan dan sosialisasi program pelestarian lingkungan di kawasan tersebut. Pendapat tentang hak dan kewajiban dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam dari masing-masing pemangku kepentingan disajikan pada Tabel 31. Pemerintah secara umum memiliki hak berkaitan dengan regulasi pengendalian lingkungan dan perlindungan kawasan di wilayah KPB Batam dari upaya-upaya yang mengarah pada degradasi sumberdaya alam dan lingkungan, termasuk melakukan proses pengawasan dan kepabeanan terhadap importasi barang-barang yang dianggap berbahaya bagi kelestarian lingkungan hidup di kawasan tersebut. Pemerintah Daerah Kota Batam berhak melakukan pengawasan untuk mengendalikan lingkungan terhadap ijin usaha yang telah dikeluarkannya secara sistematis, terprogram, dan terus-menerus. Kegiatan pemulihan dan rehabilitasi ekosistem yang terdegradasi menjadi program yang harus dilakukan. Pendapat hak dunia usaha dan masyarakat relatif sama, yaitu memperoleh lingkungan hidup di KPB Batam yang sehat, hijau, aman, nyaman, dan bebas pencemaran. Untuk itu dunia usaha mulai menyadari akan pentingnya pembangunan investasi berwawasan lingkungan dan pengelolaan limbah padat, cair, dan B3 yang aman bagi lingkungan. Masyarakat merasa bahwa kewajiban untuk menaati dan melaksanakan peraturan terkait pengendalian lingkungan perlu ditingkatkan, termasuk peransertanya dalam iuran kebersihan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Batam. Pendapat kalangan legislatif tentang haknya dalam perlindungan lingkungan di KPB Batam adalah mengawasi dan mengusulkan kawasan bebas polusi. Selain
119
itu juga berkewajiban untuk peka dan peduli terhadap permasalahan lingkungan di KPB Batam yang makin kompleks penanganannya. Tabel 31. Pendapat, hak dan kewajiban pengendalian lingkungan di KPB Batam No
Pemangku Kepentingan
1
Pemerintah
2
Pemerintah Daerah
3
Dunia Usaha
4
Masyarakat
5
Legislatif
Hak dan Kewajiban Pengendalian Lingkungan Hak Kewajiban
• Regulasi pengendalian lingkungan di Batam • Penindakan pelanggaran prosedur kepabeanan tentang importasi barang atau limbah B3 • Pengawasan pengendalian lingkungan • Ijin HO, UKL/UPL
• Hak mendapatkan lingkungan usaha yang nyaman, aman, dan bebas pencemaran • Lingkungan yang sehat dan bebas polusi • Informasi pengendalian lingkungan • Mengawasi dan mengusulkan kawasan bebas polusi
• Regulasi perlindungan kawasan • Wajib memproses sesuai kepabeanan terhadap importasi barang-barang yang dianggap berbahaya bagi lingkungan • Pengawasan pengelolaan lingkungan di Batam secara terprogram, sistematis, dan terus menerus. • Rehabilitasi ekosistem, misalnya di lahan tidur/kritis. • Pembangunan investasi berwawasan lingkungan • Pengelolaan limbah padat, cair, dan limbah B3 • Menaati dan melaksanakan peraturan terkait pengendalian lingkungan • Partisipasi dalam iuran kebersihan • Peduli dan peka terhadap permasalahan lingkungan dan pengendaliannya
Sumber : Pengolahan Data Primer
Upaya pengendalian lingkungan di KPB Batam menurut pendapat responden akan memberikan manfaat langsung dan tidak langsung (Tabel 32). Pemerintah merasakan bahwa manfaat dari pengendalian lingkungan adalah diperolehnya lingkungan yang bersih, sehat, dan indah; air baku tersedia dengan baik; serta berkurangnya tingkat pencemaran di wilayah tersebut. Semakin baiknya kualitas lingkungan akan menunjang produktifitas dan kualitas kerja instansi pemerintah. Kualitas lingkungan yang makin baik meningkatkan minat investasi ke KPB Batam karena tidak ada gejolak isu lingkungan. Pengendalian lingkungan di KPB Batam memberikan manfaat bagi pemerintah daerah dalam menjaga kualitas lingkungan yang lebih baik, sehingga tingkat kesehatan masyarakat pun meningkat. Pemerintah Kota Batam akan merasakan manfaatnya secara tidak langsung dari keberhasilan pengendalian
120
lingkungan berupa berkembangnya industri berwawasan lingkungan dan image bagi Kota Batam sebagai kota berwawasan lingkungan. Pengendalian lingkungan di KPB Batam bagi dunia usaha memberikan manfaat dalam menumbuhkembangkan gairah investasi yang berwawasan lingkungan, karena lingkungan hidup yang terpelihara baik menjadi jaminan bagi keberlanjutan usaha dalam jangka waktu panjang. Kegairahan investasi berbasis lingkungan tentunya akan meningkatkan peluang kerja dan pendapatan bagi masyarakat di KPB Batam. Selain itu bagi masyarakat, lingkungan yang terpelihara baik meningkatkan keasrian wilayahnya yang dapat dijadikan sebagai obyek wisata. Pendapat legislatif tentang manfaat dari kegiatan pengendalian lingkungan relatif sama dengan dunia usaha dan masyarakat, yaitu menyangkut daya tarik investasi, perekonomian wilayah, terhindar dari rawan bencana, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Interaksi antar pemangku kepentingan disajikan pada Tabel 33. Rata-rata interaksi antar pemangku kepentingan berdasarkan hasil analisis terhadap data kuesioner yang dilakukan menunjukkan tingkat interaksi sedang (nilai 2). Nilai interaksi sedang ini menunjukkan bahwa pemahaman dan interaksi antar pemangku kepentingan terhadap pentingnya pengendalian lingkungan relatif baik, sehingga perumusan dan pelaksanaan kebijakan pengendalian lingkungan dapat terprogram dengan baik. Kelembagaan pengendalian lingkungan yang ada selama ini dirasakan cukup baik, tetapi koordinasi pengendalian lingkungan belum berjalan optimal. Hal ini disebabkan belum terbangunnya sikap dan komitmen dari setiap stakeholders bahwa kelestarian lingkungan di Batam sebagai tanggung-jawab bersama.
121
Tabel 32. Bentuk manfaat pengendalian lingkungan di KPB Batam No
Bentuk Manfaat
Pemangku Kepentingan
Manfaat Langsung
Manfaat Tidak Langsung
1
Pemerintah
• Didapatnya lingkungan yang bersih, sehat dan indah • Tersedianya air baku yang bersih dan sehat sesuai standar yang di persyaratkan • Lingkungan nyaman baik ditinjau dari sisi kualitas air dan udara • Tidak terjadi banjir • Kualitas kehidupan di lingkungan KPB Batam akan lebih bagus dalam arti terhindar dari polusi-polusi yang ada
• Dengan lingkungan sehat tentu akan menunjang produktifitas dan kualitas kerja instansi • Masyarakat dapat meningkatkan pendapatan akibat tingginya minat investor dalam berinvestasi karena tidak ada gejolak isu lingkungan
2
Pemerintah Daerah
• Terjaganya kualitas lingkungan hidup yang baik • Terjaganya kesehatan masyarakat dari penyakit degradasi lingkungan • Terkelolanya limbah domestik dan limbah B3
• Berkembangnya industri berwawasan lingkungan • Image Batam sebagai kotayang berwawasan lingkungan
3
Dunia Usaha
• Bebas pencemaran dan polusi • Bebas banjir • Kesehatan dan Kenyamanan terjamin • Terciptanya ecogreen sehingga memberikan dampak lingkungan yang baik bagi masyarakat dan perusahaan,maka image perusahaan yang mengelola limbah B3 menjadi baik di mata masyarakat
• Bergairahnya dunia investasi • Menciptakan lapangan pekerjaan • Kenyamanan dan keamanan dalam bermasyarakat • Daya dukung lingkungan terjamin
4
Masyarakat
• • • •
Peningkatan Kesehatan Keindahan Kota Kebersihan Pelestarian lingkungan hidup
• Peningkatan ekonomi • Peningkatan wisatawan lokal dan mancanegara • Tidak hengkangnya penanam modal • Tumbuh dan berkembangnya budaya lokal dan nasional
5
Legislatif
• Terjaganya kelestarian ekosistem • Meningkatnya daya tarik investasi daerah • Tumbuhnya perekonomian daerah
• Terhindar dari rawan bencana alam • Timbulnya kepercayaan investor untuk berinvestasi • Tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat
122
Tabel 33. Tingkat interaksi antar pemangku kepentingan Pemerintah Kota 2
Pemerintah Pemerintah Pemerintah Kota
Dunia Usaha 2
Masyarakat
Legislatif
2
2
2
2
2
2
2
Dunia Usaha Masyarakat
2
Legislatif (Keterangan: 3 = Baik; 2 = Cukup Baik; 1 = Tidak/Kurang Baik)
Oleh karena itu, beberapa upaya untuk memperkuat kelembagaan dalam pengendalian lingkungan di Batam adalah: a. Membangun komitmen bersama diantara stakeholders, baik pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha di Batam untuk mengendalikan lingkungan hidup di Batam; b.
Melibatkan stakeholders di Batam dalam : -
Perencanaan program pengendalian lingkungan di Batam secara partisipatif;
-
Pelaksanaan program pengendalian lingkungan di Batam;
-
Pengawasan
kegiatan
yang
berdampak
negatif
terhadap
lingkungan; -
Koordinasi pengendalian lingkungan di Batam
4.4. Arahan Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam Penilaian
keberlanjutan
berdasarkan
hasil
analisis
MDS
dengan
menggunakan Rap-KAPERBA menunjukkan bahwa KPB Batam termasuk kategori buruk, sehingga upaya pengendalian lingkungan di KPB Batam perlu dilakukan. Upaya pengendalian lingkungan dilakukan dengan merumuskan alternatif kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam. Rumusan alternatif kebijakan
pengendalian
lingkungan
di
KPB
Batam
disusun
dengan
memperhatikan Faktor yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam, Aktor yang berperan dalam mengendalikan permasalahan lingkungan di KPB Batam, Tujuan pengendalian lingkungan di KPB Batam, serta Alternatif
123
kebijakan untuk mengendalikan permasalahan kebijakan lingkungan di KPB Batam.
FOKUS
FAKTOR
AKTOR
TUJUAN
Pengendalian Lingkungan di KPB Batam
Daya Tarik Investasi (0,483)
Pemerintah (0,376)
Perlindungan Ekosistem KPB Batam (0,536)
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah (0,141)
Perlindungan Ekosistem (0,276)
Pemerintah Daerah (0,276)
Pelaku Usaha (0,161)
Peningkatan Daya Tarik Investasi KPB Batam (0,301)
Masyarakat (0,105)
Konflik Masyarakat dan KPB (0,101)
Legislatif (0,085)
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah secara Berkelanjutan (0,163)
Gambar 18. Hirarki kebijakan pengendalian lingkungan KPB Batam Urutan prioritas faktor yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam adalah: daya tarik investasi (0,483), perlindungan ekosistem (0,276), pertumbuhan ekonomi wilayah (0,141), serta konflik antara masyarakat dan KPB (0,101). Urutan prioritas tersebut menunjukkan bahwa dalam mengendalikan permasalahan lingkungan, faktor daya tarik investasi memiliki peranan penting dalam menerapkan strategi skenario 3 (Gambar 19).
Gambar 19. Urutan prioritas faktor yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam
124
Faktor daya tarik investasi di KPB Batam berkaitan erat dengan banyaknya kegiatan ekonomi internasional yang telah lama berjalan di kawasan tersebut. Dalam hal ini pertimbangan-pertimbangan lingkungan hidup telah menjadi salah satu kepedulian utama dalam praktek perdagangan internasional. Salah satu konvensi internasional yaitu The Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal (Konvensi Basel) membatasi perdagangan internasional limbah bahan berbahaya Beracun (B3) yang dianggap membahayakan lingkungan hidup. Oleh karena itu, pertimbangan pengendalian lingkungan di KPB Batam akan lebih efektif apabila didorong oleh pertimbangan daya tarik investasi. Pengendalian lingkungan yang baik di KPB Batam menjadi daya tarik tersendiri bagi investor untuk menanamkan investasinya seiring dengan makin menguatnya pertimbangan lingkungan dalam sistem perdagangan internasional. Peningkatan status keberlanjutan KPB Batam terkait dengan upaya-upaya perlindungan ekosistem kawasan tersebut. Peningkatan kebutuhan lahan di KPB Batam telah mengubah sebagian ekosistem hutan (lindung) menjadi areal perumahan, perkantoran, dan kawasan industri akibat meningkatnya kebutuhan lahan. Perubahan tutupan lahan hutan ini meningkatkan laju erosi dan aliran permukaan, sehingga tata hidrologis kawasan terganggu. Selain itu, banyaknya industri dan perumahan telah meningkatkan volume limbah yang menyebabkan terjadinya pencemaran air, udara, laut akibat limbah domestik dan industri. Limbah industri sebagian menghasilkan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang dapat mengancam kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, ekosistem yang terlindungi dengan baik selain memberikan manfaat jasa lingkungan yang optimal bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya, juga meningkatkan fungsi pengendalian lingkungan di kawasan tersebut. Pertumbuhan ekonomi wilayah akan berjalan secara berkelanjutan apabila mampu berjalan sinergis dengan pengendalian lingkungan. Hal ini dikarenakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan terganggu atau berhenti apabila daya dukung dan daya tampung lingkungan terdegradasi. Dengan ditetapkannya Batam sebagai KPB, Octaveria (2003) memprediksi pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut akan mencapai 8% dengan kontribusi pajak terhadap pemerintah pusat mencapai 1
125
trilyun rupiah, pendapatan per kapita penduduk rata-rata di atas Rp.15 juta/tahun, pertumbuhan investasi di atas 10%. Oleh karena itu, untuk menyangga pertumbuhan ekonomi wilayah berjalan secara berkesinambungan maka upaya pengendalian lingkungan di KPB Batam secara konsisten harus dilakukan. Faktor konflik antara masyarakat dengan pengelola KPB Batam dapat mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam. Apabila terjadi konflik, maka upaya pengendalian lingkungan tidak akan efektif berjalan. Isu tentang tidak diperbolehkannya di dalam KPB ada aktifitas penduduk atau steril dari penduduk bisa menjadi konflik antara masyarakat dan pengelola KPB Batam. Konsep FTZ Batam berpenduduk dan menyeluruh menjadi ciri khas FTZ di Batam sama dengan FTZ di Langkawi (Malaysia) dan Subic Bay (Filipina) sebagai FTZ berpenduduk. Wilayah KPB Batam dianggap sebagai FTZ khas yang berpenduduk. Pembangunan Batam selain dibangun oleh aktifitas industri pengolahan yang sudah berjalan sejak tahun 1971, juga dipengaruhi oleh keberadaan masyarakat. Masyarakat berperan dalam mendukung berbagai kemudahan dalam proses produksi di kawasan bonded zone, seperti ketersediaan tenaga kerja, menyuplai berbagai jasa dan produk yang dibutuhkan industri, serta menciptakan suasana kehidupan kota yang layak. Kehadiran masyarakat di KPB Batam sebelum FTZ ditetapkan oleh pemerintah menjadi polemik tersendiri dalam pengembangan FTZ Batam. Sampai tahun 2003 jumlah tenaga kerja yang mampu diserap di Batam adalah 175.000 orang di sektor formal (Octaveria, 2003). Memasuki pertengahan tahun 2003 masyarakat yang mendiami Pulau Batam kembali diusik karena keberadaaanya dalam kawasan industri yang secara de jure adalah bonded area, sehingga oleh sebagian pihak keberadaannya dianggap ilegal dan dianggap semestinya tidak terjadi. Selama ini dalam prakteknya investor yang berada dalam 18 kawasan industri telah bekerjasama dengan masyarakat setempat, baik dari kalangan buruh, pedagang, maupun pengusaha UKM (Usaha Kecil Menengah). Konflik keberadaan penduduk dengan KPB terkait dengan Konvensi Kyoto, dimana KPB berpenduduk dianggap melanggar konvensi tersebut. Kekhawatiran ini tidak beralasan karena tidak ada satu pasal pun dalam konvensi tersebut yang menyatakan bahwa suatu FTZ harus steril dari penduduk di dalamnya. Walaupun
126
wacana di dalam pemberian status FTZ di Indonesia seharusnya tidak boleh berpenduduk, tetapi kondisi Batam yang telah lama berpenghuni sebelum ditunjuk sebagai KPB merupakan ciri khas bagi daerah Batam.
Gambar 20. Urutan prioritas aktor yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam Urutan prioritas aktor yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam adalah sebagai berikut: pemerintah (0,376), pemerintah daerah (0,276), pelaku usaha (0,161), masyarakat (0,105), dan legislatif (0,085) (Gambar 20). Pemerintah dengan kewenangan yang dimilikinya telah menunjuk Kota Batam sebagai KPB yang merupakan kawasan ekonomi khusus. Sebagai kawasan nasional ekonomi khusus maka kebijakan pengaturan pembangunan wilayah kawasan, termasuk pengendalian lingkungannya dipengaruhi oleh pemerintah yang mengeluarkan kebijakan. Namun demikian, kekhasan Batam sebagai KPB berpenduduk dan berpemerintah kota (Pemkot Batam) menjadikan posisi Pemerintah Kota memiliki kewenangan pengendalian lingkungan yang cukup kuat di wilayah KPB Batam. Pemerintah Kota Batam setidaknya mengeluarkan dua Perda Kota Batam yang terkait langsung dengan pengendalian lingkungan di Batam, yaitu Perda Nomor 5 Tahun 2001 tentang Kebersihan Kota Batam tertanggal 26 Juni 2001, dan Perda Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup. Pelaku usaha dan masyarakat merupakan kelompok yang memiliki kewajiban dan hak dalam peningkatan status keberlanjutan KPB Batam. Jumlah
127
kedua kelompok ini yang dominan akan mempengaruhi aktifitas pengendalian lingkungan di KPB Batam. Kesadaran akan kepedulian lingkungan yang tinggi dari pelaku usaha dan masyarakat berdampak pada sistem pengendalian lingkungan yang kuat di KPB Batam. Legislatif merupakan kelompok aktor yang berperan dalam peningkatan status keberlanjutan KPB Batam, khususnya dalam pengawasan pelaksanaan perda terkait pengendalian lingkungan. Selain itu, kelompok legislatif dapat memainkan peranan penting dalam merumuskan kebijakan pengendalian lingkungan yang lebih baik. Urutan prioritas tujuan dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam adalah: perlindungan ekosistem KPB Batam (0,536), peningkatan daya tarik investasi di KPB Batam (0,301), dan pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan (0,163) sebagaimana disajikan pada Gambar 21. Pengendalian lingkungan di KPB Batam diprioritaskan untuk : (a) melindungi ekosistem wilayah KPB Batam; (b) mendukung peningkatan daya tarik investasi di KPB Batam; dan (c) menyangga pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Ketiga prioritas tujuan peningkatan status keberlanjutan KPB Batam tersebut dirumuskan dalam kerangka pembangunan KPB Batam yang berkelanjutan. Dalam hal ini pengendalian lingkungan yang baik akan menciptakan perlindungan ekosistem yang mantap, menjamin keberlanjutan investasi, dan menyangga ekonomi wilayah.
Gambar 21. Urutan prioritas tujuan yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam
128
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 1. Hasil analisis keberlanjutan wilayah Batam menunjukkan bahwa status tingkat keberlanjutan KPB Batam termasuk kategori buruk. Untuk meningkatkan status tingkat keberlanjutan KPB Batam ke tingkat yang lebih baik, diperlukan intervensi atau perlakuan terhadap atribut-atribut yang paling berpengaruh pada setiap dimensi, terutama dimensi lingkungan (atribut: ketersediaan sumberdaya air, keanekaragaman hayati, kejadian erosi tanah, dan upaya perlindungan lingkungan dari pencemaran) dan dimensi sosial (atribut: tingkat pendidikan relatif, kesehatan masyarakat, konflik penggunaan lahan, dan tingkat pertumbuhan penduduk). 2. Implementasi kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam belum berjalan efektif karena beberapa kendala yaitu: a. Belum keluarnya keputusan walikota sebagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup. b. Belum memadainya pengawasan terhadap jalannya Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup. c. Belum berjalannya dengan baik penegakan hukum dalam pengendalian lingkungan d. Kurangnya sosialisasi kesadaran lingkungan dan sosialisasi Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup terutama terhadap masyarakat dan dunia usaha. e. Keterbatasan jumlah sumberdaya manusia, terutama yang berkaitan dengan pengawasan pengendalian pencemaran lingkungan. 3. Pemahaman dan interaksi antar pemangku kepentingan (stakeholders) terhadap pentingnya pengendalian lingkungan adalah cukup baik, sehingga proses
129
perumusan dan pelaksanaan kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam dapat dilakukan dengan cukup baik. 4. Arahan kebijakan pengendalian lingkungan untuk meningkatkan status keberlanjutan KPB Batam adalah sebagai berikut : a. Melakukan pengamanan dan perlindungan kawasan lindung di KPB Batam; b. Melakukan perlindungan daerah resapan air di KPB Batam yang menjadi sumber air bagi masyarakat di KPB Batam; c. Melakukan kegiatan rehabilitasi lahan dan reboisasi hutan yang kritis; d. Melakukan pemantauan dan pengendalian pencemaran, serta penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran; e. Melakukan upaya-upaya peningkatan kapasitas ekonomi masyarakat; f. Melakukan peningkatan kerjasama produksi antara industri kecil, menengah, dan besar dalam meningkatkan nilai kompetitif industri di KPB Batam; g. Meningkatkan kemitraan bisnis antara investor asing dengan investor dalam negeri; h. Meningkatkan
pendidikan
yang
berkualitas
dan
terjangkau
oleh
masyarakat; i. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan; j. Menyelesaikan konflik agraria dan tata ruang di KPB Batam; k. Menerapkan
kebijakan
keluarga
berencana
untuk
mengendalikan
pertumbuhan penduduk di KPB Batam; 5. Arahan kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam diprioritaskan untuk: (a) melindungi ekosistem wilayah KPB Batam; (b) mendukung peningkatan daya tarik investasi di KPB Batam; dan (c) menyangga pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Ketiga prioritas tujuan peningkatan status keberlanjutan KPB Batam tersebut dirumuskan dalam kerangka pembangunan KPB Batam yang berkelanjutan
130
5.2. Saran Berkaitan dengan kesimpulan yang telah dikemukakan sebelumnya, beberapa saran yang dapat direkomendasikan adalah sebagai berikut : 1. Untuk peningkatan status keberlanjutan KPB Batam diperlukan prioritas pembangunan terhadap atribut-atribut sensitif dari ketiga dimensi keberlanjutan (lingkungan, ekonomi dan sosial). 2. Terkait dengan posisi Batam sebagai KPB yang bertaraf internasional, maka pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan khusus tentang pengendalian lingkungan KPB Batam yang secara eksplisit mengintegrasikan lingkungan ke dalam kebijakan pengembangan KPB Batam. Untuk mengoptimalkan koordinasi pengendalian lingkungan hidup di KPB Batam, diperlukan langkahlangkah yang berkaitan dengan upaya untuk : (a) memperkuat komitmen di antara para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengendalian lingkungan, (b) melibatkan stakeholders dalam perencanaan dan pelaksanaan program pengendalian lingkungan, serta (c) melibatkan stakeholders dalam pengawasan dan koordinasi pengendalian lingkungan. 3. Pelaksanaan kebijakan yang bersifat Command and Control perlu ditegakkan dengan: a. Melakukan penegakan hukum terhadap setiap pelanggaran peraturan perundang-undangan yang mengatur pengendalian lingkungan KPB Batam. b. Melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pengendalian lingkungan di Batam c. Mewajibkan semua kegiatan ekonomi di setiap unit perusahaan untuk membuat petunjuk pelaksanaan (juklak) tentang pengendalian lingkungan di lingkungan/unit usaha masing-masing dan melaporkan hasilnya secara konsisten dan transparan kepada instansi yang berwenang memantau kualitas lingkungan di Batam.
131
132
DAFTAR PUSTAKA Abdulah, I. 2001. Menghalalkan disinsentif demi pertumbuhan ekonomi. Jurnal Usahawan. 5: 52-55. Abidin, S.Z. 2002. Kebijakan publik. Penerbit Yayasan Pancur Siwah. Jakarta. Alavi, J. and H. Thompson. 1988. Toward a theory of foreign trade zone. The International Trade Journal III (2) : 203-216. Alder, J., T.J. Pitcher, D. Preikshot, K. Kaschner, and B. Ferris. 2004. How Good is Good?: A rapid appraisal technique for evaluation of the sustainability status of fisheries of the north atlantic sea around us. Methodology Review. Amborowati, A. 2006. Sistem pendukung keputusan pemilihan karyawan berprestasi berdasarkan kinerja: studi kasus pada STMIK AMIKOM Yogyakarta. Laporan Penelitian STMIK AMIKOM Yogyakarta. Yogyakarta Antweiler, W., B.R.Copeland and M.S. Taylor. 2001. Is free trade good for environment? The American Economic Review. 91 (4) : 878-908. Apak, S. 2003. International trade, pollution, and environmental quality in Balkan countries. Journal of Environmental Protection and Ecology. 4 (4) : 900905. Atkisson A. 1996. Developing indicators of sustainable community: lessons from sustainable Seattle. Environment Impact Assessment Review. 16: 337– 350. Azis,
I.J. 2008. Dunia tidak siap dengan perdagangan bebas. http://www.pacific.net.id/pakar/iwan/spapec1.htm Accesed at [19 Nov 2008]
Badan Pengendalian Dampak lingkungan (Bapedalda) kota Batam. 2006. Pemantauan lingkungan hidup kota Batam. Bapedalda Kota Batam. Batam. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan [Bapedalda] kota Batam. 2007. Status lingkungan hidup kota Batam tahun 2007. Bapedalda Kota Batam. Batam. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Batam. 2004. Laporan perekonomian Batam. BPS Kota Batam. Batam. Batam, 2008. Indikator ekonomi Batam. http://www.batam.go.id/home/home.php. Accesed at : 9-5-2008. Batam, 2009. Indikator ekonomi Batam. Http : //www.batam.go.id//. Accessed at 15-3-2009.
133
Buckinghann, D.E, S. Tangerman and P. Farmese. 2001. Through the looking glass: an examination of governance issues in the WTO trough the mirror of WTO institution and jurisprudence affecting trade in livestock products. IATRC Symposium on Trade in Livestock. January 19-20, 2001. Auckland. New Zealand. Budiharsono, S. 2007. Manual penentuan status dan faktor pengungkit PEL. Direktorat Perekonomian Daerah BAPPENAS, Jakarta. 50 hal. Butler, A. 1992. Environmental protection and free trade zone : are they mutually exclusive ? Federal Reserve Bank of St.Louis Review. 74: 3-16. Carpentier, C.L. 2009. Trade and environment in North America. Institute for research on public policy (IRPP). Montreal. [CEC] Commision for Environmental Cooperation of North America. 2002. Free trade and environment: the pictures becomes clearer. Commision for Environmental Cooperation of North America. Montreal. Cole, M.A., and P.G.Frediksson. 2005. Institutionalized pollution havens?. Working Paper of Department of Economic University of Birmingham, Birmingham. Cole, M.A., R.J.R.Elliott, and P.G..Frediksson. 2006. Endogenous pollution havens : Does FDI influence environmental regulations ? Scandinavian Journal of Economics. 108(1) : 157-178. Copeland, R., and M.S. Taylor. 2004. Trade, growth, and the environment. Journal of Economic Literature. 42(1) : 7-71. Cornell, D.W. dan G.J., Miller. 1995. Kimia dan ekotoksikologi pencemaran, Yanti K. (Penerjemah). Terjemahan dari Chemistry and Ecotoxicology of Pollution. Jakarta. Cubbage, F.W., J.O. Laughlinn, and C.S. Bullock. 1993. Forest resource policy. John Wiley & Sons. New York. Darmono. 2006. Lingkungan hidup dan pencemaran, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 2008. Strategi Pelaksanaan Tugas DJBC pada Kawasan Perdagangan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Jakarta. Direktur Jenderal Bea dan Cukai. 2002. Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor : KEP-03/BC/2002 tanggal 15 Januari 2002 tentang Perubahan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor : KEP63/BC/1997 tanggal 25 Juli 1997 tentang Tata Cara Pendirian dan Tatalaksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan Berikat. Dubois, O. 1998. Capacity to manage role changes in forestry. International Institute for Environment and Development (IIED). London.
134
Dunn, W. N. 1999. Pengantar analisis kebijakan publik. Edisi kedua. Terjemahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Frankel, J.A., and A.K. Rose. 2002. Is trade good or bad for the environment. Working Paper of Kennedy School of Governance, Harvard University. Cambridge, USA. Gallagher, K.P. 2004. Mexico, NAFTA, and Http://www.americapolicy.org/ Accessed at 15-3-2009. Gallagher, K.P. and H. Blanco. 2003. Sustainability Http://www.americapolicy.org/.Accessed at 15-3-2009.
beyond. assessment.
Gang, F. 1999. Reform and opening in China : “sequencing” or “parallel partial changing”. National Economic Research Institute, China Reform Foundation. Beijing. Gilpin, R dan J. M. Gilpin. 2000. Tantangan Kapitalisme Global, Terjemahan: The Challenge on Global Capitalism. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hardjasoemantri, K. 2002. Hukum tata lingkungan, Edisi Ketujuh, Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta. Huang S. L., J. H. Wong and T. Ch. Chen. 1998. A framework of indicator system for measuring Taipei’s urban sustainability. Landscape and Urban Planning. 42: 15–27. [IDEP] Indonesian Development of Education for Permaculture. 2002. Transgenik: apakah itu?. IDEP (Indonesian Development of Education for Permaculture). Ubud, Bali. [IIED] International Institute for Environment and Development. 2005.The four Rs. International Institute for Environment and Development (IIED). London. Katz, D. 2000. The Euro-Mediterannean Free Trade Zone and The Environment, Issues and Evidence : Lessons from other trade agreement. David Katz, (Editor) : Environmental impacts of Euro-Mediterannean Free Trade Zone. Friend of the Earth Middle East. Amman. Kavanagh, P and T.J. Pitcher. 2004. Implementing Microsoft excel software for rapfish: a technique for the rapid appraisal of fisheries status. Fisheries Centre Research Reports Volume 12 Number 2. The Fisheries Centre, University of British Columbia, Canada. 75p. Ketua Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. 2008 a. Peraturan Ketua Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Tanjung Pinang.
135
Ketua Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. 2008 b. Peraturan Ketua Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor: Kpts/6/DK/IX/2008 tentang Penetapan Personel Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Tanjung Pinang. Ketua Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuahan Bebas Batam. 2008 c. Peraturan Ketua Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor: Kpts/07/Dk/IX/2008 tentang Pembentukan Tim Konsultasi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Tanjung Pinang. Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan. 1999. Kajian hukum dan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia menuju pengembangan desentralisasi dan peningkatan peranserta masyarakat, Cetakan pertama, Perpustakaan Nasional, Jakarta. Liang, F.H. 2006. Does foreign investment harm the host country’s environment? evidence from China. Working Paper of Haas School of Bussiness, UC, Berkeley. California. Linde-Rahr, L. 2005. Environmental policy and location of foreign investment in China. China Center for Economic Research at Peking University.Peking. Makmun. 2004. Pengaruh ketersediaan tenaga kerja dan pembentukan nilai tambah terhadap investasi di sektor industri : Studi kasus di Kota Batam. Kajian Ekonomi dan Keuangan. 8 (1): 19-31. Manik, K.E.S. 2007. Pengelolaan lingkungan hidup. Edisi Revisi. Penerbit Djambatan, Jakarta. McMahon S. K. 2002. The development of quality of life indicators – a case study from the City of Bristol, UK. Ecological Indicators. 2: 177–185. Menteri Keuangan RI. 1997a. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 291/KMK.05/1997 tanggal 26 Juni 1997 tentang Kawasan Berikat. Menteri Keuangan RI. 1997b. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 547/KMK.05/1997 tanggal 3 November 1997 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat. Menteri Keuangan RI. 1998. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 292/KMK.01/1998 tanggal 20 Mei 1998 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah disempurnakan dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 292/KMK.01/1998 tanggal 3 November 1997. Modjo, M.I., 2008. Globalisasi, Ketimpangan dan Kemiskinan. http://mimodjo. blogspot.com/2003_09_01_archive.html Accesed at [19 November 2008] Mongelluzo, B. 2003. Riding the benefits of FTZs. The Journal of Commerce. Http ://www.joc.com//. Accessed at 15-3-2009. 136
Muhadjir, N. 2000. Metodologi penelitian kualitatif. Edisi IV. Penerbit Rake Sarasin. Yogyakarta Muhsin, A. 2007. Perdagangan internasional. http://asepmuhsin.wordpress.com/ 2007/08/ 19 kerjasama-internasional/ [19 November 2008]
Accessed at: Perdagangan-dan-
Muliono, H. 2001. Merajut Batam masa depan: menyongsong free trade zone. Penerbit PT Pustaka LPES Indonesia. Jakarta. Notodarmodjo, S. 2005. Pencemaran tanah dan air tanah. Penerbit ITB, Bandung. Octaveria, D. 2003. Tinjauan suatu model ftx di Indonesia: free trade zone khas Batam, berpenduduk dan berpemerintah kota. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Pemerintah Kota Batam. 2001. Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 5 Tahun 2001 tentang Kebersihan Kota Batam. Pemerintah Kota Batam. 2003. Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup. Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam. Pemerintah Republik Indonesia. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Pemerintah Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2007 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Pemerintah Republik Indonesia. 2008a. Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2008 Tentang Dewan Nasional Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Pemerintah Republik Indonesia. 2008b. Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Pitcher, T.J. 1999. Rapfish, a rapid appraisal technique for fisheries, and its application to the code of conduct for responsible fisheries. FAO Fisheries Circular No. FIRM/C: No. 947. 47p.
137
Pusat Studi Lingkungan Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia, 1999. Lingkungan dan pembangunan, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Rachman, A. 2000. Masyarakat kecil dalam era global. Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur. Ramdan, H., Yusran dan D. Darusman. 2003. Pengelolaan sumberdaya alam dan otonomi daerah : perspektif kebijakan dan valuasi ekonomi. Penerbit Alqa Print. Jatinangor, Sumedang. Saaty, T.L. 2001. Decision making for leaders. Fourth Edition, University of Pittsburgh, RWS Publication, Pittsburgh. Samuelson, R. 2007. Goodbye to Global Free Trade. Newsweek Magazine: Edition 31 December-7 January 2008. New York. Sarkar, S. 2009. A study of the environmental issues-associated with Dominican Republic Central American Free trade zone (DR-CAFTA). International Bussiness and Economic Research Journal. 8 (1) : 113-118. Sastrawijaya, T. 2000. Pencemaran Lingkungan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Seale, J.L. and G.F. Fairchild. 1994. Trade agreement competition and environment : Gridlock of the crossroads. Journal of Agricultural and Applied Economics. 26 (1) : 97-107. Setiadi, B. 2002. Deplesi sumberdaya alam dan dampaknya terhadap pembangunan di era otonomi daerah. Penerbit Masyarakat Akuntansi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Indonesia (MASLI), Makasar. Soekotjo dan Naim. 2009. Mewujudkan hutan Indonesia yang bermanfaat, nilai ekonomi tinggi, sehat dan lestari. Http:// mgbugm_1.com//. Accesed at :99-2009. Soemarno. 2001. Sistem perdagangan global, instrumen ekonomi, neraca ekonomi dan lingkungan terpadu. Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Suryadi, K. dan M.A. Ramdhani. 1998. Sistem pendukung keputusan. PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Vutha, J. and H. Jalalain. 2008. Environmental impact of the Asean-China Free Trade Zone agreement on the Greater Mekong Sub Region. IISD (International Institute for Sustainable Development). Montreal. Wikipedia. 2008. Free Trade Zone. Http://wikipedia.com//. Accesed at: 20-32008. Yusdja, Y. 2004. Tinjauan teori perdagangan internasional dan keunggulan kooperatif. Forum penelitian agro ekonomi. 22 (2): 126 – 141 Zavadskas, E., M.Viteikienė, and J.Šaparauskas. 2007. Sustainable development assessment of cities and their residential districts. Journal Ecologica. 5(1): 49–54.
138
LAMPIRAN
139
194 Lampiran 33. Nilai (bobot) setiap elemen dalam hirarki disain kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam. Pengendalian Lingkungan di KPB Batam
FOKUS
FAKTOR
AKTOR
TUJUAN
DAYA TARIK INVESTASI (0,483)
PEMERINTAH (0,376)
PERLINDUNGAN EKOSISTEM (0,276)
PEMERINTAH DAERAH (0,276)
PERLINDUNGAN EKOSISTEM KPB BATAM (0,536)
PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH (0,141)
PELAKU USAHA (0,161)
PENINGKATAN DAYA TARIK INVESTASI DI KPB BATAM (0,301)
MASYARAKAT (0,105)
KONFLIK ANTARA MASYARAKAT DAN KPB (0,101)
LEGISLATIF (0,085)
PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH SECARA BERKELANJUTAN (0,163)
Lampiran 34. Hasil pengolahan HIPRE 3+ nilai (bobot) setiap faktor terhadap fokus pengendalian lingkungan di KPB Batam.
Faktor
Bobot
Daya Tarik Investasi
0.483
Perlindungan Ekosistem
0.276
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
0.141
Konflik Antara Masyarakat dan KPB Batam
0.101
195
196 Lampiran 35. Hasil pengolahan HIPRE 3+ nilai (bobot) setiap aktor terhadap faktor dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam.
Aktor
Bobot
Pemerintah
0.376
Pemerintah Daerah
0.276
Pelaku Usaha
0.161
Masyarakat
0.105
Legislatif
0.085
Lampiran 36. Hasil pengolahan HIPRE 3+ nilai (bobot) setiap tujuan bagi aktor dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam. Tujuan
Bobot
Perlindungan Ekosistem KPB Batam
0.536
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam
0.301
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara Berkelanjutan
0.163
197
Lampiran 37. Nilai status keberlanjutan Kawasan Perdagangan Bebas Batam berdasarkan hasil analisis Monte Carlo a. Dimensi Lingkungan Rapfish Ordination Monte Carlo (Median with 95% Confidence Interval Error Bars) 60
Other Distingishing Features
40
20
33,36 0 0
20
40
60
-20
-40
-60
-80 Fisheries Status
198
80
100
120
b. Dimensi Ekonomi Rapfish Ordination Monte Carlo (Median with 95% Confidence Interval Error Bars) 100 80
Other Distingishing Features
60 40 20
0
0 0
-20
20
40
60
80
100
120
69,90
-40 -60 -80 -100 Fisheries Status
199
c. Dimensi Sosial Rapfish Ordination Monte Carlo (Median with 95% Confidence Interval Error Bars) 60
Other Distingishing Features
40
20
0 0
20
40
60
-20
-40
-60 Fisheries Status
200
80
100
120
Lampiran 38. Kuesioner analisis keberlanjutan Kawasan Perdagangan Bebas Batam
KUESIONER PENELITIAN DISERTASI Kebijakan Pengendalian Lingkungan di Kawasan Perdagangan Bebas Batam Oleh : Walter Gultom NRP. P062059444 Prog. Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan
IDENTITAS PAKAR No. Kuesioner Nama Pakar Alamat Pekerjaan Hari/Tanggal
: …………………………………………………………… : …………………………………………………………… : …………………………………………………………… : …………………………………………………………… : ……………………………………………………………
Mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner penelitian ini. Data dan semua informasi yang diberikan akan saya pergunakan sebagai bahan untuk menyusun disertasidan saya akan jamin kerahasiaannya. Atas berkenannya Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner ini, saya mengucapkan terima kasih.
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 201
PETUNJUK PENGISIAN 1.
Bapak/Ibu dapat memberi skor setiap atribut keberlanjutan pada setiap dimensi keberlanjutan sesuai dengan kondisi saat ini Skor setiap atribut dapat dipilih sesuai dengan kriteria atribut keberlanjutan yang telah ditentukan. Misalnya atribut “Kondisi penggunaan lahan di Kota Batam” dapat memilih skor (0) tidak sesuai dengan tata ruang, (1) sebagian kecil mengikuti tata ruang, (2) sebagian besar mengikuti tata ruang, dan (3) semua mengikuti tata ruang wilayah.
2.
ANALISIS KEBERLANJUTAN No.
DIMENSI DAN ATRIBUT
KRITERIA
SKOR SAAT INI
A. Dimensi Lingkungan 1.
2.
3.
4.
5.
6.
202
Kondisi Penggunaan Lahan di Kota Batam
Kejadian erosi tanah
Kualitas udara
Keanekaragaman hayati
Ketersediaan sumberdaya air
Kawasan terbuka hijau
(0) Tidak sesuai dengan tata ruang, (1) Sebagian kecil mengikuti tata ruang, (2) sebagian besar mengikuti tata ruang, (3) semua mengikuti tata ruang (0) di atas yang ditoleransikan (>12 ton/ha/thn), (1) Dibawah batas batas toleransi (0) semua wilayah diatas baku mutu, (1) Sebagian besar wilayah di atas baku mutu, (2) sebagian kecil wilayah di atas baku mutu, (3) semua wilayah di bawah baku mutu (0) Perambahan dan konversi hutan lindung sangat tinggi, (1) Hutan lindung banyak dikonversi dan dirambah, (2) perambahan dan konversi hutan lindung sangat kecil (0) ketersediaan air lebih kecil dari kebutuhan, (1) Ketersediaan air mencukupi kebutuhan, (2) ketersediaan air melebihi dari kebutuhan. (0) RTH tidak ada, (1) RTH ada tetapi kurang dari 30 % dan belum tertata dengan baik, (2) RTH ada dan lebih dari 30 % tetapi belum tertata dengan baik (3) RTH ada dan lebih dari 30 % serta tertata dengan baik
1
0
1
1
0
1
ANALISIS KEBERLANJUTAN (Lanjutan) No. 7.
8.
DIMENSI DAN ATRIBUT Upaya perlindungan lingkungan dari pencemaran
Pengelolaan limbah
KRITERIA (0) Belum ada upaya perlindungan lingkungan, (1) ada upaya tetapi belum optimal, (2) ada upaya dan sudah berjalan optimal (0) Belum ada unit pengelolaan limbah dan masih diolah diluar daerah, (1) sudah ada tetapi masih terbatas dari limbah yang dihasilkan, (2) sudah ada pada semua jenis limbah yang dihasilkan
SKOR SAAT INI 1
0
B. Dimensi Ekonomi 1.
2.
3.
4.
Pendapatan perkapita
Pertumbuhan ekonomi wilayah
Investasi asing
Kawasan bisnis dan industri
(0) sangat rendah, < US$2500, (1) rendah, US$ 2500-5000, (2) cukup tinggi, US$ 5000-7500, (3) tinggi, > US$ 7500 (0) Tidak ada perubahan, (1) cenderung naik tetapi masih dibawah pertumbuhan ekonomi nasional, (2) cenderung naik dan rata-rata diatas pertumbuhan ekonomi nasional (0) masih rendah, (1) cenderung naik tetapi masih seimbang investasi dalam negeri, (2) cenderung naik dan lebih tinggi dari investasi dalam negeri (0) tidak ada peningkatan, (1) ada peningkatan tetapi tidak signifikan, (2) ada peningkatan dan cukup tinggi.
1
2
1
2
C. Dimensi Sosial 1.
2.
3.
Pertumbuhan penduduk
Konflik penggunaan lahan
Tingkat pengangguran
(0) Pertumbuhan penduduk sangat tinggi dan melebih ratarata nasioanl, (1) sama dengan rata-rata nasioanal, (2) rendah dan umumnya dibawah rata-rata nasioanal (0) Konflik penggunaan lahan sangat tinggi dan mengganggu keberlanjutan industri, (1) Konflik ada tetapi tidak mengganggu keberlanjutan industri, (3) tidak ada konflik penggunaan lahan (0) sangat tinggi, (1) tinggi , (2) sedang, (3) rendah
0
0
1
203
ANALISIS KEBERLANJUTAN (Lanjutan) No. 4.
204
DIMENSI DAN ATRIBUT Tingkat pendidikan
5.
Kesehatan masyarakat
6.
Kepadatan penduduk
7.
Keamanan wilayah
KRITERIA (0) umumnya berpendidikan SD, (1) minimal SMP, (2) umumnya minimal SMA dan Perguruan Tinggi (0) sangat buruk, (1) buruk, (2) baik, (3) sangat baik (0) sangat padat, (1) padat, (2) penduduk jarang (0) kriminalitas tinggi, (1) kriminalitas cukup ttinggi, (2) kriminalitas rendah, (3) kriminalitas tidak ada
SKOR SAAT INI 2
2 1
1
Lampiran 39. Nilai Status Keberlanjutan Kota Batam ke Depan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas berdasarkan Skenario 1 RAP-KAPERBA Ordination 60 Up
Other Distingishing Features
40
20
43,77
Bad
Good
0 0
20
40
60
80
100
120
-20
-40
Down
-60
Status Keberlanjutan Kota Batam Dimensi Lingkungan (Skenario 1)
RAP-KAPERBA Ordination 60 Up
Other Distingishing Features
40
20
Bad
Good
0 0
20
40
60
80
100
120
55,40 -20
-40
Down -60 Status Kebelanjutan Kota Batam Dimensi Sosial (Skenario 1)
RAP-KAPERBA Ordination 100 Up
80
Other Distingishing Features
60
40
20 Good
Bad 0 0
20
40
60
80
100
120
-20 71,7 -40
-60
-80
Down Status Keberlanjutan Kota Batam Dimensi Ekonomi (Skenario 1)
205
Lampiran 40. Nilai Status Keberlanjutan Kota Batam ke Depan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas berdasarkan Skenario 2 RAP-KAPERBA Ordination 60 Up
Other Distingishing Features
40
20 61,51 Bad
Good
0 0
20
40
60
80
100
120
-20
-40
Down -60 Status Keberlanjutan Kota Batam Dimensi Lingkungan(Skenario 2)
RAP-KAPERBA Ordination 100 Up 80
Other Distingishing Features
60 40 20 Bad
Good
0 0
20
40
60
80
100
120
-20 78,9 -40 -60 -80 Down
-100
Status Keberlanjutan Kota Batam Dimensi Ekonomi (Skenario 2)
RAP-KAPERBA Ordination 60
Up
,
Other Distingishing Features
40
20
Bad
Good
64,4
0 0
20
40
60
80
100
-20
-40
Down -60 Status Keberlanjutan Kota Batam Dimensi Sosial (Skenario 2)
206
120
Lampiran 41. Nilai Status Keberlanjutan Kota Batam ke Depan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas berdasarkan Skenario 3 RAP-KAPERBA Ordination 60
Up
Other Distingishing Features
40
20 75,8 Bad 0 0
Good 20
40
60
80
100
120
-20
-40
Down -60 Status Keberlanjutan Kota Batam Dimensi Lingkungan (Skenario 3)
RAP-KAPERBA Ordination 100
Up
80
Other Distingishing Features
60 40 20 Bad
Good
0 0
20
40
60
80
83,7
100
120
-20 -40 -60 -80 Down -100 Status Keberlanjutan Kota Batam Dimensi Ekonomo (Skenario 3)
RAP-KAPERBA Ordination 60
Up
Other Distingishing Features
40
20 79,1 Bad
Good
0 0
20
40
60
80
100
120
-20
-40
Down -60 Status Keberlanjutan Kota Batam Dimensi Sosial (Skenario 3)
207
Lampiran 42. Nilai Indeks Keberlanjutan Gabungan Kota Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas Berdasarkan Skenario 1, Skenario 2, dan Skenario 3.
Skenario 1 Dimensi
Nilai Indeks
Bobot Gabungan
(Nilai x Bobot)
Lingkungan
43,77
0,41
17,95
Sosial
55,4
0,26
14,40
Ekonomi
71,7
0,33
23,66
TOTAL
56,01
Skenario 2
Lingkungan
Nilai Indeks 61,51
Bobot Gabungan 0,41
Sosial
64,4
0,26
16,74
Ekonomi
78
0,33
25,74
Dimensi
TOTAL
(Nilai x Bobot) 25,22
67,70
Skenario 3
Lingkungan
Nilai Indeks 75,8
Bobot Gabungan 0,41
Sosial
83,7
0,26
21,76
Ekonomi
79,1
0,33
26,10
Dimensi
TOTAL
208
(Nilai x Bobot) 31,08
78,94
140 Lampiran 1. Identitas responden kebijakan pengendalian lingkungan di kawasan perdagangan bebas Batam Nomor Responden
140
Nama Lengkap
Umur (Tahun)
Instansi/Lembaga
Jabatan
Alamat Kantor Komp. Ruko Permata Niaga C.18 Sukajadi Ruko Bukit Beruntung Blok B No 1
Nomor Telepon Rumah
1
Drs.H.M. Syahrir
49
Lembaga Adat Melayu
Sekretaris Umum
2
Budiman,SE
28
Ekspor import
Direktur
3
Kurniawan
39
PT. Desa Air Cargo Batam
Direktur
KPLI Otorita Batam
Tanah mas Blok D/04 Batam
4
Endang Suwenda
42
Otorita Batam
Staff Kawasan Pengelolaan Limbah B3
Jl. Raya Pelabuhan Kabil
5
Ir. Anggiat Sihombing
42
PT.Berdikari Insurance
Kepala cabang
6
Lusy Novita, ST
36
Badan Otorita Batam
7
Yurnalisdel,ST,MM
32
8
Hadjad Widagdo, S.Hut
38
9
Felix Harefa,ST
10
Ir. Dendi N Purnomo
11
Kantor
HP
Baldi Blok 2 Jl.Nangka 22
0778 430336
0811 778520
Baldi Blok IV / E No 51
0788 464284
08127700902
0788 7280999
08127049999
Komplek Pertamanan OB No.2
0788 711258
0811697813
Komp.Jodoh square blok A No 12
Komp.bandung Indah Raya Blok B3/10 Bandung
0788457937
081320585911
Staf Limbah B3
Gdg.BIDA Lt.5 Batam Centre
Jl.Parkit 9 No 20 KDA-Batam Centre Batam
0778 462048
08127010035
PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri
Account Manager
PT.Pertamina Tongkang Kabil, Batam
Puri Legenda B 19/5 Batam Centre
0778 711393
08121083244
Otorita Batam
Kasi Pertamanan Kota
Gdg.BIDA Lt.1 Batam Centre
Kurnia Djaya Jl.Parkit Raya No 20
0778 462240
0778 7023788
Swasta
Production Engineering
Jl.Bawal No1Batu Ampar Batam
Rusun RancangKuning
0778 405901
0811626296
45
Bapedal Kota Batam
Kepala
Jl. Engku Putri Batam Centre
-
0778 466743
081170389
D.djoko Wuwono, SE
41
Otorita Batam
Kabag Humas & Publikasi
Marketing Centre BIDA Building
-
0778 462047
08556592999
12
Moh.Zani, S.Si
31
Bapedal Kota Batam
Kasubbid
Jl Engku Putri No.1
Perumahan Tiban Ayu Blok M3 No 22 Cekupan
13
Siska Sukamawati,SH
27
Universitas Internasional Batam
Dosen
Jl. Gajah Mada Baloi Sei Ladi Batam
Komp.Tiban Mas Blok C No 5 Tiban Lama
0778 7437111
081364113421
14
DR.Handoko Karjantoro, M.Sc.Ak,CPA
65
Universitas Internasional Batam
Rektor
Jl. Gajah Mada Baloi Sei Ladi Batam
Perumahan Duta Mas Batam
0779 7437111
08127012915
15
Ir. Heru Setioko,MM
42
Ditjen Bea dan Cukai
Kabid BKLI
Jl. Kuda Laut Batu Ampar Batam
Komp.Bea dan Cukai Baloi Batam
0788458818
0788458818
08127036965
Lampiran 1. (Lanjutan) Nomor Responden
Nama Lengkap
Umur (Tahun)
Instansi/Lembaga
Jabatan
Alamat Kantor
Nomor Telepon Rumah
16
Edi, ST
29
Swasta
Marketing
komp. Golden Land
Komp. Orchid Park
17
Toyoferi Yanto, SE, HDSE
25
Swasta
Manager
Komp. Nagoya Square blok D 102 s.d. 110
Komp. Nagoya Square blok D 102 s.d. 110
18
PurwoAdi Winarso,ST
27
PT. Sanyo Energy Batam
Staff ISO
Lot II Batamingo Industrial Park Mukakuning
Permata Puri I Blok K No 5 Batu Aji Batam
19
Sukandi,SE
27
Asuransi
Branch Manager
Nagoya Hill
Balai Mas
20
Ir,Bastoni Solichin, M.Hum
50
DPRD Kota Batam
Ketua Komisi II
Jl.Engku Putri Batam Centre
21
Nofrial Anas
53
Ditjen Bea dan Cukai
Kepala Kantor
22
Ir. Binsar Tambunan
44
Otorita Batam
23
Tato Wahju
24
Tri Wuryani
25
Eli Nugrahini, ST
26
Diah Nilawati
Kantor
HP
0788 460169
0788 7236029
0778 7317216
085 6666 8811
0770611321
08157988929
07786051121
08127042121
Orchid Park Blok 3 No 115 Batam
0778467621
0811691659
Batu Ampar
Baloi
0778489818
Ka.Bag Ren Lingkungan
Gedung BIDA Annex II Lt.5 Batam Centre
Jl.Palapa V no 17 Sekupang Batam
0778462048
0811703121
Balai Pengelola Agribisnis
Kepala Balai
Jl.KH Ahmad Dahlan No33 Tg Riau
Jl. Palap V No.04 Sekupang – Batam
-0778310196
0811691307
39
Otorita Batam
Staf Perencana Lingkungan
Gedung BIDA Annex II Lt.5 Batam Centre
Taman Seruni Indah Blok C No 11 Batam Centre
0778460738
08127735757
34
Otorita Batam
Staf Sub Linkungan Hidup
Gedung BIDA Annex II Lt.5 Batam Centre
Jl.Nuri 1 No 4 Perum KDA
0778462047
08163664492
Otorita Batam
Kasubag Perencanaan dan Pertamanan
Gedung BIDA Annex II Lt.5 Batam Centre
0778462047
141 141
Lampiran 2. Hasil kuesioner 4rs kebijakan pengendalian lingkungan di Kawasan Perdagangan Bebas Batam A. Peraturan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam 1. Peraturan-peraturan daerah dan atau keputusan walikota yang terkait dengan pengelolaan lingkungan di wilayah KPB Batam. IDENTITAS RESPONDEN PERATURAN Nomor
Instansi/Lembaga
1
Lembaga Adat Melayu
Perda No 6 Thn 2002 dan Perda No 16 Thn 2007
Ketertiban sosial di Kota Batam dan Ketertiban umum
2
Ekspor import
Perda No 8 Thn 2003 dan Perda no 2 Thn 2004
Pengendalian lingkungan tentang pencemaran dan kerusakan lingkungan dan rencana tata ruang kota Batam
3
PT. Desa Air Cargo Batam
Perda no 5 Thn 2001 tentang kebersihan kota Batam
Penataan Kebersihan Kota Batam
Perda No.08 Tahun 2003 Tentang Pengendalin Pencemaran dan kerusakan Lingkungan Hidup
Pengendalian dan Perusakan lingkungan darat dan pesisir
Perda No 02 Tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang Kota Batam
Pengelolaan lingkungan dari aspek tata ruang
Perda no 5 Thn 2001 tentang kebersihan kota Batam
Penataan Kebersihan Kota Batam
Perda No.08 Tahun 2003 Tentang Pengendalin Pencemaran dan kerusakan Lingkungan Hidup
Mengendalikan kerusakan lingkungan darat dan pesisir
Perda No 02 Tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang Kota Batam
Mengelola lingkungan dengan aspek tata ruang
Wajib membayar iuran kebersihan
Dana pengambilan sampah
Dilarang buang sampah sembarangan
Agar masyarakat tidak sembarangan membuang sampah
Perda no 08 Thn 2003
Tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup
Perda No 05 Thn 2001
Tentang Kebersihan dan Pertamanan
Keputusan Walikota No 235/HK/IX/01
Tentang PembentukanTim Koordinasi Dokumen UKL dan UPL
PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri
Perda No 05 Thn 2001
Tentang Kebersihan dan Pertamanan
PP 18/1999
Pegelolaan Limbah B3
8
Otorita Batam
UU No 23 Thn 1997
Pengelolaan Lingkungan Hidup
9
Swasta
-
-
10
Bapedal Kota Batam
Perda 8 Th 2003 Tentang Pengndalian Kerusakan Pencemaran Lingkungan
Pengawasan dan pengendalian pencemaran lingkungan
Perwako 9 Thn 2008 tentang Tugas dan Fungsi
Sebagai pedoman untuk beberapa wewenang Bapedal
Mou antara ketua Otorita Batam, Walikota dan menteri Lingkungan Hidup
Implementasi pengawasan Limbah B3
4
5
6
7
142
DIGUNAKAN UNTUK
Otorita Batam
PT.Berdikari Insurance
Badan Otorita Batam
Lampiran 2 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN PERATURAN Nomor
DIGUNAKAN UNTUK
Instansi/Lembaga
11
Otorita Batam
-
-
12
Bapedal Kota Batam
Perda No 03 Th 2003
Pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup
Perda No 04 Thn 2007
Pengawasan dan pengendalian kebersihan
Perda Ketertiban Umum
Menjaga ketertiban Umum dan Pelestarian Lingkungan
Perda Kota Batam no 04 Thn 2001
Pola dasar pembangunan daerah kota Batam
Perda Kota Batam no 02 Thn 2004
Rencana Tata ruang Wilayah Kota Batam 2004-2014
Perda Kota Batam no 08 Thn 2003
Pengendalian dan Perusakan lingkungan hidup
Perda Kota Batam no 12 Thn 2001
Ketentuan pemberian ijin usaha industri,ijin perluasan dan daftar industri
Perda Kota Batam no 13 Thn 2001
Ketentuan pemberian surat ijin usaha perdagangan kota Batam
Perda Kota Batam no 04 Thn 2001
Pola dasar pembangunan daerah kota Batam
Perda No 05 Thn 2001
Tentang Kebersihan dan Pertamanan
Perda No 02 Tahun 2004
Tentang Rencana Tata Ruang Kota Batam
Perda Kota Batam no 08 Thn 2003
Pengendalian dan Perusakan lingkungan hidup
Perda No 02 Thn 2002
Ketentuan bangunan di kota Batam
13
14
Universitas Internasional Batam
Universitas Internasional Batam
15
Ditjen Bea dan Cukai
-
-
16
Swasta
Menjaga kebersihan
Mendapatkan Adipura
17
Swasta
Buanglah sampah pada tempatnya
Mengendalikan tempat pengumpulan sampah
18
PT. Sanyo Energy Batam
Perda Kota Batam no 08 Thn 2003
Pengendalian dan Perusakan lingkungan hidup
Perda No 05 Thn 2001
Ketentuan dan peraturan kebersihan Kota Batam
Perda No 05 Thn 2003
Badan yang berwenang dan bertanggung jawab atas pengendalian dampak lingkungan
19
Asuransi
Dilarang buang sampah sembarangan
Mengendalikan sampah
20
DPRD Kota Batam
Perda Kota Batam no 08 Thn 2003
Pengendalian dan Perusakan lingkungan hidup
Perda No 02 Tahun 2004
Tentang Rencana Tata Ruang Kota Batam
Perda No 05 Thn 2001
Tentang Kebersihan dan Pertamanan
Perda Kota Batam No.5 Tahun 2001
Tentang Kebersihan dan Pertamanan
Perda Kota Batam No 2 Tahun 2004
Tentang RTRW Kota Batam 2004-2014
Perda Kota Batam No Tahun 2007
Tentang Ketertiban Umum
Perda Kota Batam No Tahun 2008
Tentang Pengelolaan Terumbu Karang
Perda Kota Batam No.08 Thn 2003
Pengendalian dan Perusakan lingkungan hidup
21
Ditjen Bea dan Cukai
22
Otorita Batam
143
Lampiran 2 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN PERATURAN Nomor 23
24
25
26
144
DIGUNAKAN UNTUK
Instansi/Lembaga Balai Pengelola Agribisnis
Otorita Batam
Otorita Batam
Otorita Batam
Perda Kota Batam No.5 Tahun 2001
Tentang Kebersihan dan Pertamanan
Perda Kota Batam No 2 Tahun 2004
Tentang RTRW Kota Batam 2004-2014
Perda nO 02 Thn 2002
Ketentuan bangunan di kota Batam
Perda Kota Batam No.08 Thn 2003
Pengendalian dan Perusakan lingkungan hidup
Perda Kota Batam no 13 Thn 2001
Ketentuan pemberian surat ijin usaha perdagangan kota Batam
Keputusan Bapedal No 056 Tahun 1994
Pedoman Penentuan ukuran dampak penting
Perda Kota Batam No 9 Tahun 2001
Lalu lintas dan angkutan jalan kota Batam
Perda Kota Batam No.5 Tahun 2001 tentang Kebersihan Kota Batam
Pengelolaan dan Pemantauan lingkungan di bidang kebersihan
Perda Kota Batam No.08 Thn 2003 Tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup
Acuan penerapan upaya pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
Perda Kota Batam No 2 Tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang Kota Batam th 2004-2014
Acuan penetapan RTRW Kota Batam
Perda Kota Batam No Tahun 2008
Tentang Pengelolaan Terumbu Karang
Perda Kota Batam No Tahun 2007
Tentang Ketertiban Umum
Perda Kota Batam No.5 Tahun 2001
Tentang Kebersihan dan Pertamanan
Perda Kota Batam No 2 Tahun 2004
Tentang RTRW Kota Batam 2004-2014
Perda Kota Batam No Tahun 2007
Tentang Ketertiban Umum
Perda Kota Batam No Tahun 2008
Tentang Pengelolaan Terumbu Karang
Perda Kota Batam No.08 Thn 2003
Pengendalian dan Perusakan lingkungan hidup
Perda Kota Batam No.5 Tahun 2001
Tentang Kebersihan dan Pertamanan
Perda Kota Batam No.08 Thn 2003
Pengendalian dan Perusakan lingkungan hidup
Lampiran 3. Efektifitas peraturan daerah dan atau keputusan walikota yang terkait dengan pengelolaan lingkungan di wilayah KPB Batam. IDENTITAS RESPONDEN Nomor Responden 1
Sudah
Belum
Lembaga Adat Melayu
Masyarakat berasumsi dengan era reformasi segalanya serba boleh dan selalu tidak taat aturan
√ 2
Ekspor import
3
PT. Desa Air Cargo Batam
4
Otorita Batam
5 6
PT.Berdikari Insurance Badan Otorita Batam
7
PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri
8
Otorita Batam
9 10
Swasta Bapedal Kota Batam
11 12
Otorita Batam Bapedal Kota Batam
13
Universitas Internasional Batam
14 15 16 17
Universitas Internasional Batam Ditjen Bea dan Cukai Swasta Swasta
18
PT. Sanyo Energy Batam
√
Masih belum efektip dilaksanakan karena masih banyak masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan yang terjadi
√
Implementasi dilapangan belum sepenuhnya berjalan masih ada keputusan-keputusan walikota yang belum dikeluarkan berkaitan dengan Perda lingkungan hidup Terbukti dengan mendapat piala Adipura untuk tingkat kota besar di Indonesia
√ √ √
√ -
Asuransi DPRD Kota Batam
Karena belum ada petunjuk teknis yang jelas dalam pelaksanaannya Sudah berjalan namun perlu pengawasan lebih detil untuk memastikan Perda berjalan dengan baik
√
√
Belum patuhnya para pihak (pelaku usaha dan masyarakat) terhadap peraturan yang telah dibuat Perda masih harus ditindaklanjuti dengan Perwako, khusus limbah B3 masih ada kaitannya dengan KLH Perda 08 Thn 2003 namun masih perlu didukung Juklak dan Juknis
√
√
Pada umumnya Perda tersebut sudah baik namun masyarakat umum banyak yang tidak melaksanakan (kurang sosialisasi perda) jadi masih kurang berjalan baik di masyarakat
√ √
√
√
19 20
Komentar
Instansi/Lembaga
√ √
Memperoleh Adipura Masih banyak terdapatnya sampah berserakan Sosialisasi tentang kesadaran lingkungan kurang khususnya sosialisasi bagi masyarakat dan dunia usaha seperti dalam bidang property masih banyak dijumpai pembukaan lahan dan perataan bukit tanpa memperhatikan fungsi dari lahan itu sendiri
Banyak sampah dimana-mana Belum diimplementasikan secara optimal
145
Lampiran 3 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN Nomor Responden
Sudah
Belum
21
Ditjen Bea dan Cukai
22
Otorita Batam
23
Balai Pengelola Agribisnis
√ √
√
146
Komentar
Instansi/Lembaga Belum ada penegakan hukum dan belum menyeluruh Karena belum dibuatkan peraturan pelaksanaannya sehingga tidak ada acuan pelaksanaan Banyaknya kendala-kendala seperti terbatasnya SDM, pengawas dan seringnya terjadi pelanggaran oleh oknum, masyarakat atau perusahaan yang mangkir serta tidak efektifnya sosialisasi perda yang sudah disahkan
24
Otorita Batam
√
Belum ditetapkan dengan SK-SK walikota, realisasi pelaksanaan
25
Otorita Batam
√
Belum menyeluruh dan belum ada tindakan hukum
26
Otorita Batam
√
Belum menyeluruh dan belum ada tindakan hukum
Lampiran 4. Pengendalian lingkungan (kepentingan para pihak terhadap pentingnya pengendalian lingkungan di KPB Batam) IDENTITAS RESPONDEN Stakeholders
PEMKOT BATAM
OTORITA BATAM
Nomor Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Instansi/Lembaga
Penting
Lembaga Adat Melayu
√
Ekspor import PT. Desa Air Cargo Batam Otorita Batam
√ √ √ √ √ √ √ √ √
PT.Berdikari Insurance Badan Otorita Batam PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri Otorita Batam Swasta Bapedal Kota Batam Otorita Batam Bapedal Kota Batam Universitas Internasional Batam Universitas Internasional Batam Ditjen Bea dan Cukai Swasta Swasta PT. Sanyo Energy Batam Asuransi DPRD Kota Batam Ditjen Bea dan Cukai Otorita Batam Balai Pengelola Agribisnis Otorita Batam Otorita Batam
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
26
Otorita Batam
√
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Lembaga Adat Melayu
√
Ekspor import PT. Desa Air Cargo Batam Otorita Batam
√ √ √
PT.Berdikari Insurance Badan Otorita Batam PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri Otorita Batam Swasta Bapedal Kota Batam Otorita Batam Bapedal Kota Batam Universitas Internasional Batam Universitas Internasional Batam Ditjen Bea dan Cukai Swasta Swasta PT. Sanyo Energy Batam
Kurang Penting
Tidak Penting
-
-
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
-
-
147
Lampiran 4 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN Stakeholders
OTORITA BATAM
Nomor Responden Asuransi
√
20
DPRD Kota Batam
√
21
Ditjen Bea dan Cukai
√
22
Otorita Batam
√
23
Balai Pengelola Agribisnis
√
24
Otorita Batam
√
25
Otorita Batam
√
26
Otorita Batam
√
1
Lembaga Adat Melayu
√
2
Ekspor import
√
3 4
PT. Desa Air Cargo Batam Otorita Batam
5
PT.Berdikari Insurance
148
Badan Otorita Batam
Kurang Penting
Tidak Penting
√ √ √ √
7
PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri
√
8
Otorita Batam
√
9
Swasta
√
10
Bapedal Kota Batam
√
11
Otorita Batam
12
Bapedal Kota Batam
√
13
Universitas Internasional Batam
√
14
Universitas Internasional Batam
√
15
Ditjen Bea dan Cukai
-
-
√
Swasta
√
17
Swasta
√
18
PT. Sanyo Energy Batam
√
19
Asuransi
√
16
DUNIA USAHA
Penting
19
6
DPRD
Instansi/Lembaga
20
DPRD Kota Batam
√
21
Ditjen Bea dan Cukai
√
22
Otorita Batam
√
23
Balai Pengelola Agribisnis
√
24
Otorita Batam
√
25
Otorita Batam
√
26
Otorita Batam
√
1
Lembaga Adat Melayu
2
Ekspor import
√
3 4
PT. Desa Air Cargo Batam Otorita Batam
√
5
PT.Berdikari Insurance
√
6
Badan Otorita Batam
√
7
PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri
√
8
Otorita Batam
√
9
Swasta
√
10
Bapedal Kota Batam
√
11
Otorita Batam
12
Bapedal Kota Batam
√
13
Universitas Internasional Batam
√
14
Universitas Internasional Batam
√
15
Ditjen Bea dan Cukai
√
√ √
-
-
Lampiran 4 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN Stakeholders
DUNIA USAHA
MASYARAKAT
LSM
Nomor Responden
Instansi/Lembaga
Penting
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Swasta Swasta PT. Sanyo Energy Batam Asuransi DPRD Kota Batam Ditjen Bea dan Cukai Otorita Batam Balai Pengelola Agribisnis Otorita Batam Otorita Batam
√ √ √ √ √ √ √ √
26
Otorita Batam
√
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Lembaga Adat Melayu
PT.Berdikari Insurance Badan Otorita Batam PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri Otorita Batam Swasta Bapedal Kota Batam Otorita Batam Bapedal Kota Batam Universitas Internasional Batam Universitas Internasional Batam Ditjen Bea dan Cukai Swasta Swasta PT. Sanyo Energy Batam Asuransi DPRD Kota Batam Ditjen Bea dan Cukai Otorita Batam Balai Pengelola Agribisnis Otorita Batam Otorita Batam
26
Otorita Batam
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Lembaga Adat Melayu
Ekspor import PT. Desa Air Cargo Batam Otorita Batam
Ekspor import PT. Desa Air Cargo Batam Otorita Batam PT.Berdikari Insurance Badan Otorita Batam PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri Otorita Batam Swasta Bapedal Kota Batam Otorita Batam Bapedal Kota Batam
Kurang Penting
Tidak Penting
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
-
-
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
-
-
149
Lampiran 4 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN Stakeholders
LSM
150
Nomor Responden
Instansi/Lembaga
Penting
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Universitas Internasional Batam Universitas Internasional Batam Ditjen Bea dan Cukai Swasta Swasta PT. Sanyo Energy Batam Asuransi DPRD Kota Batam Ditjen Bea dan Cukai Otorita Batam Balai Pengelola Agribisnis Otorita Batam Otorita Batam
√ √ √ √ √ √ √ √ √
26
Otorita Batam
√
Kurang Penting
√ √ √ √
Tidak Penting
Lampiran 5. Pemahaman para pihak terhadap pengendalian lingkungan di KPB Batam. IDENTITAS RESPONDEN Stakeholders
PEMKOT BATAM
Nomor Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
OTORITA BATAM
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Baik Instansi/Lembaga Lembaga Adat Melayu Ekspor import PT. Desa Air Cargo Batam Otorita Batam PT.Berdikari Insurance Badan Otorita Batam PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri Otorita Batam Swasta Bapedal Kota Batam Otorita Batam Bapedal Kota Batam Universitas Internasional Batam Universitas Internasional Batam Ditjen Bea dan Cukai Swasta Swasta PT. Sanyo Energy Batam Asuransi DPRD Kota Batam Ditjen Bea dan Cukai
Otorita Batam Balai Pengelola Agribisnis
Otorita Batam Otorita Batam Otorita Batam Lembaga Adat Melayu
Kurang Baik
Tidak Baik
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
-
-
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Ekspor import PT. Desa Air Cargo Batam Otorita Batam
√ √ √
PT.Berdikari Insurance Badan Otorita Batam PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri Otorita Batam Swasta Bapedal Kota Batam Otorita Batam Bapedal Kota Batam Universitas Internasional Batam Universitas Internasional Batam Ditjen Bea dan Cukai Swasta
√ √ √ √ √
-
-
√ √ √ √ √
-
-
151
Lampiran 5 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN Stakeholders
OTORITA BATAM
Nomor Responden 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
DPRD
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
DUNIA USAHA
152
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Baik Instansi/Lembaga Swasta PT. Sanyo Energy Batam Asuransi DPRD Kota Batam Ditjen Bea dan Cukai
Otorita Batam Balai Pengelola Agribisnis
Otorita Batam Otorita Batam Otorita Batam Lembaga Adat Melayu
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
PT.Berdikari Insurance Badan Otorita Batam PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri Otorita Batam Swasta Bapedal Kota Batam Otorita Batam Bapedal Kota Batam Universitas Internasional Batam Universitas Internasional Batam Ditjen Bea dan Cukai Swasta Swasta PT. Sanyo Energy Batam Asuransi DPRD Kota Batam Ditjen Bea dan Cukai
-
√ √
-
√ √ √ √ √ √ √
-
-
√ √ √ √ √ √ √
Otorita Batam √
Otorita Batam Otorita Batam Otorita Batam Lembaga Adat Melayu
√ √
Ekspor import PT. Desa Air Cargo Batam Otorita Batam
√ √ √ √ √ √ √
PT.Berdikari Insurance Badan Otorita Batam PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri Otorita Batam Swasta Bapedal Kota Batam Otorita Batam Bapedal Kota Batam
Tidak Baik
√
Ekspor import PT. Desa Air Cargo Batam Otorita Batam
Balai Pengelola Agribisnis
Kurang Baik
√ √
√ √ √
-
-
Lampiran 5 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN Stakeholders
Nomor Responden 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
MASYARAKAT
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
LSM
1 2 3 4 5 6 7 8
Baik Instansi/Lembaga Universitas Internasional Batam Universitas Internasional Batam Ditjen Bea dan Cukai Swasta Swasta PT. Sanyo Energy Batam Asuransi DPRD Kota Batam Ditjen Bea dan Cukai
√ √ √ √
√
Otorita Batam Otorita Batam Otorita Batam Lembaga Adat Melayu
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
PT.Berdikari Insurance Badan Otorita Batam PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri Otorita Batam
-
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Balai Pengelola Agribisnis
Ekspor import PT. Desa Air Cargo Batam Otorita Batam
√
Otorita Batam Otorita Batam Otorita Batam Otorita Batam Lembaga Adat Melayu
√ √ √ √ √ √ √
Ekspor import PT. Desa Air Cargo Batam Otorita Batam PT.Berdikari Insurance Badan Otorita Batam PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri Otorita Batam Swasta Bapedal Kota Batam Otorita Batam Bapedal Kota Batam Universitas Internasional Batam Universitas Internasional Batam Ditjen Bea dan Cukai Swasta Swasta PT. Sanyo Energy Batam Asuransi DPRD Kota Batam Ditjen Bea dan Cukai
Tidak Baik
√ √ √
Otorita Batam Balai Pengelola Agribisnis
Kurang Baik
√ √ √ √ √ √ √ √ √
-
-
√
153
Lampiran 5 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN Stakeholders
LSM
Nomor Responden 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
154
Baik Instansi/Lembaga Swasta Bapedal Kota Batam Otorita Batam Bapedal Kota Batam Universitas Internasional Batam Universitas Internasional Batam Ditjen Bea dan Cukai Swasta Swasta PT. Sanyo Energy Batam Asuransi DPRD Kota Batam Ditjen Bea dan Cukai Otorita Batam Balai Pengelola Agribisnis
√
Otorita Batam Otorita Batam Otorita Batam
√
Kurang Baik
Tidak Baik
√ √
-
-
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Lampiran 6. Bentuk tanggung jawab dari instansi/lembaga responden terhadap kelestarian dan pengendalian lingkungan di KPB Batam IDENTITAS RESPONDEN BENTUK TANGGUNG JAWAB LANGSUNG Nomor Responden 1
BENTUK TANGGUNG JAWAB TIDAK LANGSUNG
Instansi/Lembaga
Lembaga Adat Melayu
Penghijauan, penanaman pohon, kebersihan, Penataan kawasan industri, Perumahan, Perkantoran, Pusat bisnis dan Perdagangan serta kawasan wisata
-Ceramah Keagamaan - Ceramah Kesehatan - Sosialisasi Budaya - Sosialisasi Pariwisata mice dan wisata religius - Kegiatan Seni Budaya
2
Ekspor import
Menghindarkan usaha yang berbau mengimpor/ mendatangkan bahan B3 ke wilayah KPB Batam yang dapat membahayakan lingkungan hidup
Menghindarkan Batam sebagai kota penimbunan limbah B3 yang merusak lingkungan hidup
3
PT. Desa Air Cargo Batam
- Terciptanya ketersediaan air baku di Barelang
- Ikut memelihara Catchment area di daerah waduk
- Terciptanya kenyamanan investasi dengan dukungan lingkungan hidup kondusif
- Ikut memelihara penghijauan di are kawasan-kawasan industri dan jalan arteri
4
Otorita Batam
Mengelola limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dari beberapa industri yang ada di Batam
Menghindarkan Batam dari kerusakan lingkungan terutama dari akibat limbah industri
5
PT.Berdikari Insurance
- Kebersihan lingkungan
Memelihara pohon di sekitar kantor
- Jangan buang sampah sembarangan - Bayar iuran sampah 6
Badan Otorita Batam
- Kewenangan Otorita Batam dalam pengendalian lingkungan hidup - Tetap bertanggung jawab terhadap pengelolaan lingkungan hidup karena menyangkut daya tarik investor
7
PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri
BAPEDALDA : Melaporkan kegiatan pengangkutan limbah B3 secara berkala per 3 bulan kepada Bapedal
Berpartisipasi aktif dalam mengkampanyekan 3R (Re-use, Recycle, Recovery) kepada setiap perusahaan yang ada di wilayah Batam
155
155
156 Lampiran 6 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN BENTUK TANGGUNG JAWAB LANGSUNG Nomor Responden 8
BENTUK TANGGUNG JAWAB TIDAK LANGSUNG
Instansi/Lembaga
Otorita Batam
Pemeliharaan ruang terbuka hijau di Pulau Batam
Memberikan pembelajaran kepada masyarakat tentang manfaat dan estetika ruang terbuka hijau
Pengawasan dan monitoring ruang terbuka hijau terhadap pengrusakan tanaman dll 9
Swasta
10
Bapedal Kota Batam
Ada pemisahan sampah atau limbah pada tempatnya, misalnya: dari perbedaan warna tempat sampah
Adanya slogan-slogan atau spanduk yang mengingatkan selalu menjaga kebersihan dengan membuang sampah dengan jenis sampahnya
Pengawasan dan pengendalian perencanaan kerusakan lingkungan
Perencanaan sarana dan prasarana
Wasdal Limbah B3
Pengawasan dan Dal Hutan
Operasi penataan lingkungan
Wasadal Mangrove dan Pesisir
Ijin limbah cair /HO/ AMDAL/ UKL dan UPL
Wasadal matrial B3 dari atau ke Pulau Batam
11
Otorita Batam
-
-
12
Bapedal Kota Batam
Pembinaan, Pengendalian lingkungan, Pelestarian Lingkungan, Penegakan Hukum dan Sosialisasi
13
Universitas Internasional Batam
Ikut mensosialisasikan Perda, ikut memberikan masukan dalam pembentukan peraturan daerah
Mematuhi dan melaksanakan Perda yang telah ditetapkan
14
Universitas Internasional Batam
- Melaksanakan sesuai dengan peraturan yang sah ditetapkan
Terlibat dalam penyusunan rancangan Perda
-
- Sosialisasi peraturan yang berlaku 15
Ditjen Bea dan Cukai
16
Swasta
-Pengusaha harus dapat menjaga limbah-limbah yang
-Ikut serta dalam program penghijauan
dihasilkan agar tidak mencemari lingkungan
- Penanaman pohon
- Proses pembuangan limbah 17
Swasta
- Pengurangan pencemaran udara dengan menggunakan sistem filtrasi
156
-
Lampiran 6 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN BENTUK TANGGUNG JAWAB LANGSUNG Nomor Responden 18
BENTUK TANGGUNG JAWAB TIDAK LANGSUNG
Instansi/Lembaga
PT. Sanyo Energy Batam
Memberikan pengarahan dan sosialisasi mengenai lingkungan pada setiap kawasan di lingkungan kerja
Membuat kebijaksanaan lingkungan di lingkungan perusahaan
Merawat lingkungan secara terus menerus di lingkungan perusahaan
Memberikan informasi Amdal ke Bapedal
19
Asuransi
Menjaga kebersihan
Mengajari pentingnya kebersihan kepada anak-anak
20
DPRD Kota Batam
Fungsi pengawasan perda terkait
Himbauan /sosialisasi terhadap program pelestarian lingkungan
21
Ditjen Bea dan Cukai
Tentang arus masuk barang terutama mengenai barang-barang yang beban limbah B3 perlu diawasi dan diproses dengan ketat untuk masuk ke wilayah KPB Batam
Tanggung jawab moril terhadap penyelundupan limbah B3 akibat kurangnya pengawasan di lapangan
22
Otorita Batam
Instalasi Pengolahan Limbah cair
Reboisasi hutan
Instalasi Pengolahan Limbah B3
Pertamanan dan estetika
Pengelolaan DTA Waduk
Pengelolaan air minum
Ketersediaan sumber air
Pengelolaan persampahan
23
Balai Pengelola Agribisnis
Melaksanakan pembangunan sesuai aturan lingkungan
Mendukung Perda Kota Batam yang sudah ditetapkan, yang berhubungan dengan kegiatan lingkungan dan perbaikan lingkungan juga peraturan pemerintah, keputusan menteri dan Keppres yang berhubungan dengan lingkungan serta peraturan Internasional (seperti Konversi Geneva)
24
Otorita Batam
Instalasi Pengolahan Limbah cair
Reboisasi hutan
Instalasi Pengolahan Limbah B3
Pertamanan dan estetika
Pengelolaan DTA Waduk
Pengelolaan air minum
Ketersediaan sumber air
Pengelolaan persampahan/TPA
- Pengelolaan Air dan pengelolaan air limbah dan B3
- Ketersediaan air bersih/pengendalian limbah B3 dan air limbah
- Pengelolaan DTA Waduk
- Pengelolaan persampahan / TPA
25
Otorita Batam
Otorita Batam
- Pengelolaan Air dan pengelolaan air limbah dan B3
- Ketersediaan air bersih/pengendalian limbah B3 dan air limbah
- Pengelolaan DTA Waduk
- Pengelolaan persampahan / TPA
157
- Reboisasi hutan
26
157
157
158 Lampiran 7. Bentuk hak dan kewajiban instansi/lembaga responden dalam kelestarian dan pengendalian lingkungan di KPB Batam IDENTITAS RESPONDEN Hak dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam Nomor Responden 1
Kewajiban dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam
Instansi/Lembaga Lembaga Adat Melayu
- Melestarikan budaya setempat
- Amanat UUD 45 dan Amanat AD/ART LAM KEPRI
- Melestarikan perkampungan asli
- Hidup berdampingan dan saling menghormati antar umat beragama
- Menata rumah ibadah sesuai SK.Menteri Agama dan Mendagri no 9 dan 8 tahun 2006 2
Ekspor import
- Berhak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang bebas dari pencemaran, polusi, limbah, air yang bersih dan udara yang segar
- Ikut berpartisipasi dalam mensukseskan perda dan peraturan pemerintah lain tentang lingkungan - Ikut menjalankan program penghijauan dan pengolahan limbah usaha di tempat usaha kita masing-masing
3
PT. Desa Air Cargo Batam
- Mendapatkan UWTO
- Membebaskan area kumuh dan lahan-lahan tidur
- Mendapatkan kenyamanan berusaha
- Penghijauan dan pembuatan landscape
- Mendapatkan bagian Pengelolaan / Pengolahan air
- Pengamanan di area pelabuhan dari Pungli
- Keamanan dan kenyamanan lingkungan
- Pembangunan investasi yang berwawasan lingkungan
- Kenyamanan transportasi
- Pengelolaan limbah padat, cair dan limbah B3
- Retribusi pelabuhan
- Percepatan pembangunan di lahan-lahan tidur sehingga sedimentasi bisa di minimalisir - Menciptakan sarana infrastruktur berstandar internasional
4
5
Otorita Batam
PT.Berdikari Insurance
Kenyamanan lingkungan
- Menjalankan Perda
bebas pencemaran
- Melaksanakan peraturan pemerintah dan undang-undang lingkungan
Menikmati sarana umum yang bersih
- Membayar iuran kebersihan - Membantu pemerintah dalam mengelola sampah
6
158
Badan Otorita Batam
-
- Menyiapkan/menyediakan lahan untuk pengelolaan lingkungan hidup
Lampiran 7 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN Hak dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam Nomor Responden
Instansi/Lembaga
7
PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri
8
Otorita Batam
9
Swasta
10
Bapedal Kota Batam
12
Otorita Batam Bapedal Kota Batam
13
Universitas Internasional Batam
14 15 16 17
Universitas Internasional Batam Ditjen Bea dan Cukai Swasta Swasta
18
PT. Sanyo Energy Batam
11
Kewajiban dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam
Melaksanakan upaya-upaya agar setiap perusahaan “serius” dalam penanganan limbah
- Mensosialisasikan tentang pengelolaan limbah B3 dengan baik sehingga akan berdampak kepada kelestarian lingkungan hidup untuk menunjang kesehatan masyarakat Batam
Memanfaatkan air baku untuk kebutuhan masyarakat
- Menjaga catchment area waduk untuk penyediaan air baku kepada masyarakat
Adanya suatu bentuk penghargaan akan kepedulian perusahaan dari pemerintah daerah akan kepedulian lingkungan
- Memberikan pengarahan kepada seluruh karyawan akan kepedulian lingkungan dan memonitor secara rutin atau berkala akan kepentingan tersebut
- Memasuki kegiatan usaha - Memperoleh informasi
- Wasdal Pencemaran dan kerusakan lingkungan
- Memberikan masukan-masukan saran atau rekomendasi
- Memberikan rekomendasi UKL /UPL
- Memberikan ijin HO dan memperoleh ijin kelayakan lingkungan -
-
- Meningkatkan pengawasan pengelolaan lingkungan
- Melakukan pengawasan secara terprogram dan continue
- Mendapat penjelasan tentang KPB Batam dari Pemkot Batam
- Mensosialisasikan kebijakan yang ada dan memberikan penyuluhan tentang KPB Batam
-Ikut serta dalam proses pembersihan dan pengendalian lingkungan - Turut serta menjaga kebersihan lingkungan
- Menjaga lingkungan
- Berhak untuk mengelola dan memantau lingkungan di wilayah lingkungan perusahaan sesuai dengan kebijaksanaan lingkungan masing-masing perusahaan - Berhak untuk memberikan masukan kepada pengelola kawasan industri dan pemerintah kota tentang isu-isu lingkungan yang dihadapi sebagai usaha bersama dalam menjaga, mengelola dan memantau kelestarian lingkungan
- Ikut berperan serta dalam menjaga pelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan daerah kota Batam yang telah ditetapkan
-Menjaga agar lingkungan tetap bersih - Memperoleh izin (HO) sebagai persyaratan lulus pengolahan limbah
- Memberikan peran aktif yang responsif terhadap isu-isu mengenai lingkungan baik secara regional maupun global
159
159
159
160
Lampiran 7 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN Hak dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam Nomor Responden
160
Kewajiban dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam
Instansi/Lembaga
19
Asuransi
- Mencanangkan program kebersihan
- Bersih itu sehat
20
DPRD Kota Batam
- Tersedianya kawasan-kawasan lingkungan bebas polusi (hutan kota, hutan mangrove)
21
Ditjen Bea dan Cukai
Berhak menindak segala bentuk pelanggaran prosedur kepabeanan tentang importasi barang limbah B3
22
Otorita Batam
Pengalokasian Lahan, penertiban fatwa planologi, ijin land clearing. Pengolahan limbah cair, pengolahan limbah B3, Pengelolaan Hutan/DTA dan pengelolaan air baku
Pembangunan IPAL, Pembangunan KPLI 03, Pemagaran, Reboisasi dan Penjagaan DTA
23
Balai Pengelola Agribisnis
Sesuai dimana saat ini sudah beralih ke kota Batam (bapedalda) dan Otorita Batam sifatnya mendukung dan melanjutkan yang sudah ada
Sesuai dimana saat ini sudah beralih ke kota Batam (bapedalda) dan Otorita Batam sifatnya mendukung dan melanjutkan yang sudah ada
24
Otorita Batam
Pengalokasian Lahan, penertiban fatwa planologi, ijin land clearing. Pengolahan limbah cair, pengolahan limbah B3, Pengelolaan Hutan/DTA dan pengelolaan air baku
Pembangunan IPAL, Pembangunan KPLI 03, Pemagaran, Reboisasi dan Penjagaan DTA
25
Otorita Batam
Pengalokasian Lahan, penertiban fatwa planologi, ijin land clearing. Pengolahan limbah cair, pengolahan limbah B3, Pengelolaan Hutan/DTA dan pengelolaan air baku
Pembangunan IPAL, Pembangunan KPLI 03, Pemagaran, Reboisasi dan Penjagaan DTA
26
Otorita Batam
Mendapatkan dukungan dalam rangka meningkatkan pengendalian lingkungan hidup
Pengelolaan air bersih dan pengelolaan air limbah dan B3
- Peduli, peka dan menanggapi pelaporan jenis pelanggaran yang ditindaklanjuti melalui proses hukum yang berlaku Wajib memproses secara ketat dan sesuai prosedur kepabeanan yang berlaku terhadap importasi barang-barang limbah
Lampiran 8. Manfaat apabila dampak negatif lingkungan kegiatan pembangunan ekonomi di KPB Batam dapat dikendalikan IDENTITAS RESPONDEN Nomor Responden 1
2
Manfaat Langsung
Lembaga Adat Melayu
Ekspor import
- Peningkatan Kesehatan
- Peningkatan ekonomi
- Keindahan Kota
- Peningkatan Wisatawan lokal dan mancanegara
- Kebersihan
- Tidak hengkangnya penanam modal
- Pelestarian lingkungan
- Tumbuh dan berkembangnya budaya lokal dan nasional
- Bebas pencemaran dan polusi
- Investasi pro lingkungan akan masuk
- Bebas banjir
- Generasi penerus terjamin kualitas hidupnya
- Kesehatan dan Kenyamanan terjamin 3
4
5
Manfaat Tidak Langsung
Instansi/Lembaga
PT. Desa Air Cargo Batam
Otorita Batam
PT.Berdikari Insurance
- Kondisi alam KPB Batam akan lebih nyaman dan kondusif
- Penerapan aturan-aturan lebih lancar
- Bergairahnya dunia investasi
- Bebas banjir
- Menciptakan lapangan pekerjaan
- Bebas Pencemaran
- Kenyamanan dan keamanan dalam bermasyarakat
- Udara segar dan tidak panas
- Daya dukung lingkungan terjamin
- Suasana kerja nyaman
- Transportasi lancar
- Bisa menikmati wisata alam
- Kriminalitas menurun
- Nyaman ber-entertainmen
- Terciptanya lapangan kerja
- Suasana nyaman
- Investor tertarik
- Bebas banjir dan pencemaran
- Udara bersih
- Penerapan aturan lebih lancar
- Dunia investasi bergairah
- Udara yang bersih
Ketersediaan ruang yang sehat bagi generasi baru
- Tidak ada bau busuk - Tidak banjir
161
161
162
Lampiran 8 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN Manfaat Langsung
Nomor Responden 6
Manfaat Tidak Langsung
Instansi/Lembaga Badan Otorita Batam
- Lingkungan nyaman baik ditinjau dari sisi kualitas air dan udara
Konsistensinya pertumbuhan ekosistem sehingga terjadi keseimbangan dan kelestarian alam
- Tidak terjadi banjir - Masyarakat dapat meningkatkan pendapatan akibat tingginya minat investor dalam berinvestasi karena tidak ada gejolak isu lingkungan 7
8
PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri
Otorita Batam
Terciptanya ecogreen sehingga memberikan dampak lingkungan yang baik bagi masyarakat dan perusahaan, maka image perusahaan yang mengelola limbah B3 menjadi baik di mata masyarakat
-
- Didapatnya lingkungan yang bersih, sehat dan indah
Menjadi salah satu daya tarik wisatawan
- Tersedianya air baku yang bersih dan sehat sesuai standar yang di persyaratkan
Menjadi salah satu daya tarik investor untuk menanamkan modal di Batam
9
Swasta
Kita bisa bekerja dengan kondisi yang sehat karena lingkungan yang sehat atau sebaliknya
Anak cucu kita akan terancam apabila dampak negatif lingkungan benar-benar terjadi
10
Bapedal Kota Batam
- Terjaganya kualitas lingkungan hidup yang baik
- Berkembang industri berwawasan lingkungan
- Terjaganya kesehatan masyarakat dari penyakit degradasi lingkungan
- Image pembangunan yang berwawasan lingkungan bagi kota Batam
- Terkelolanya limbah domestik dan limbah B3 11
Otorita Batam
12
Bapedal Kota Batam
- Terciptanya lingkungan yang bersih dan sehat
Dapat mewariskan lingkungan yang baik bagi anak cucu
- Kinerja dapat dinilai berhasil 13
Universitas Internasional Batam
- Perbaikan ekonomi
- Perekonomian masyarakat Batam membaik
- Kurangnya kriminalitas
- Banyaknya investasi dari luar - Berkurangnya pengangguran
162
14
Universitas Internasional Batam
-
-
15
Ditjen Bea dan Cukai
-
-
16
Swasta
-
-
Lampiran 8 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN Manfaat Langsung
Nomor Responden 17
Manfaat Tidak Langsung
Instansi/Lembaga Swasta
- Pertumbuhan ekonomi
- Peningkatan taraf hidup
- Udara di lingkungan bersih
- Kesehatan terhadap diri sendiri dan seluruh karyawan
- Air di sumur penampungan bersih 18
PT. Sanyo Energy Batam
Lingkungan yang sehat dan nyaman sehingga akan mendorong ke arah gaya hidup sehat
19
Asuransi
Kesehatan menunjang pembangunan
20
DPRD Kota Batam
- Terjaganya kelestarian ekosistem
- Terhindar dari rawan bencana alam
- Meningkatnya daya tarik investasi daerah
- Timbulnya kepercayaan Investor untuk berinvestasi
- Tumbuhnya perekonomian daerah
- Tingkat kesejahteraan masyarakat turut meningkat Dengan lingkungan sehat tentu akan menunjang produktivitas dan kualitas kerja instansi terkait
21
Ditjen Bea dan Cukai
Kualitas kehidupan di lingkungan KPB Batam akan lebih bagus dalam arti terhindar dari polusi-polusi yang ada
22
Otorita Batam
- Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan
Iklim investasi yang sehat dalam sektor pariwisata sehingga akan menambah pendapatan daerah -
- Ketertiban, Keamanan dan Lingkungan yang bersih 23
Balai Pengelola Agribisnis
- Pendapatan - Kesehatan Lingkungan - Tertib Lingkungan
24
Otorita Batam
- Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan - Ketertiban, Keamanan dan Lingkungan yang bersih
25
Otorita Batam
- Menarik wisatawan
Terjaga Kelestarian Lingkungan Hidup
- Menarik investor - Meningkatkan kesehatan - Ketertiban dn keamanan - Lingkungan yang bersih 26
Otorita Batam
- Menarik wisatawan
Terjaga Kelestarian Lingkungan Hidup
- Menarik investor - Meningkatkan kesehatan
163
163
164 Lampiran 9. Tingkat interaksi antar stakeholders dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam selama ini. Nomor Responden
Interaksi antar Stakeholders 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
Pemkot Batam - Otorita Batam
3
3
3
3
1
2
3
3
2
2
-
3
1
2
-
3
2
2
3
2
3
3
3
3
3
1
Pemkot Batam - DPRD
3
3
3
2
-
2
3
3
2
2
-
2
2
2
-
3
2
3
2
3
3
2
3
2
2
1
Pemkot Batam - Dunia Usaha
2
2
2
2
1
2
3
2
2
2
-
3
2
2
-
3
2
2
3
1
3
2
2
2
2
1
Pemkot Batam - Masyarakat
3
2
2
2
1
2
3
2
1
2
-
3
1
1
-
3
2
1
3
2
3
2
1
2
2
1
Pemkot Batam - LSM
2
1
1
1
-
1
3
2
2
1
-
3
1
1
-
2
2
1
3
2
3
2
1
2
2
2
Otorita Batam - DPRD
3
3
3
3
-
2
3
2
2
2
-
2
2
2
-
3
2
2
2
2
3
2
3
2
2
1
Otorita Batam - Dunia Usaha
2
2
3
2
-
2
3
2
2
3
-
2
2
2
-
3
2
2
3
1
3
2
3
2
2
1
Otorita Batam - Masyarakat
2
2
2
2
-
2
3
2
2
1
-
3
2
2
-
3
2
1
3
2
3
2
3
1
2
1
Otorita Batam - LSM
2
1
2
2
-
1
3
2
2
1
-
2
2
2
-
2
1
1
3
2
3
2
3
2
2
1
DPRD - Dunia Usaha
2
2
2
2
-
2
3
2
2
1
-
2
2
2
-
3
2
1
3
1
3
2
2
1
2
1
DPRD - Masyarakat
2
2
2
2
-
2
3
2
2
2
-
2
2
2
-
3
2
1
2
2
3
2
2
1
2
1
DPRD - LSM
2
1
2
2
-
1
3
2
2
2
-
2
2
2
-
2
2
1
3
2
3
2
1
2
2
1
Dunia Usaha - Masyarakat
1
2
2
2
-
2
3
1
3
2
-
2
2
3
-
3
2
1
3
1
3
2
2
1
2
1
Dunia Usaha - LSM
2
1
2
2
-
1
3
1
2
1
-
2
1
2
-
2
2
1
2
1
3
2
1
2
2
1
Masyarakat - LSM
2
1
2
2
-
1
3
2
2
3
-
2
3
2
-
2
2
1
2
1
3
1
1
1
1
1
Ketarangan :
164
3 2 1
= Baik = Cukup = Tidak/Kurang Baik
Lampiran 10. Kendala-kendala yang telah dan mungkin terjadi dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam. IDENTITAS RESPONDEN Nomor Responden
Instansi/Lembaga
Bentuk Kendala
Teknis
Kebijakan
Sosial
Koordinasi Antar Lembaga
Lainnya
1
Lembaga Adat Melayu
Pengawasan dan sangsi belum maksimal
Selalu berubah termasuk RTRW Kota Batam
Mobilisasi penduduk sangat tinggi, pendatang selalu memaksakan kehendak dan tidak memahami konsep pengembangan kota Batam
Sudah berjalan namun kurang komitmen
Daya serap Pulau Batam terbatas
2
Ekspor import
Tidak adanya perusahaan limbah langsung di KPB Batam, akibatnya harus dikirim ke KPLI di Jakarta
Kurang adanya sosialisasi dan ketegasan dalam menindak industri-industri yang tidak menjalankan peraturan-peraturan sebagaimana mestinya
Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai masalah, akibat dan penanggulangan pencemaran terutama masalah limbah akibatnya kurang kepedulian masyarakat
Cenderung menjalankan sesuai persepsi masingmasing (belum ada koordinasi terintegrasi)
Kalau di KPB Batam barubaru mendapatkan gelar Adipura untuk kota besar terbersih kenapa tidak juga diberikan kepada pengusaha atau masyarakat yang berprestasi bagi lingkungan
3
PT. Desa Air Cargo Batam
Belum tersedianya / kurang indtrumen-instrumen lingkungan hidup : Laboratorium lingkungan pemerintah, implementasi, lingkungan, penegak hukum, lingkungan
Belum adanya peraturan Lingkungan Hidup lainnya yang mendukung atau Surat Keputusan pemerintah
Kurang kesadaran masyarakat
Cenderung menyelesaikan masalah dengan cara sendiri-sendiri
Pengelolaan lingkungan kurang memberikan reward/penghargaan kepada masyarakat atau pelaku bisnis dan intansi
4
Otorita Batam
Kurang tersedianya instrumen lingkungan hidup, laboratorium lingkungan hidup dan penegakan hukum lingkungan hidup
Belum adanya peraturan Lingkungan Hidup yang mendukung dan Perda yang mendukung
Kurangnya tingkat kesadaran masyarakat
Cenderung selesai dengan cara sendiri-sendiri
Kurangnya penghargaan bagi pengelola lingkungan pada masyarakat atau pelaku bisnis dan instansi
5
PT.Berdikari Insurance
Pembangunan saluran airnkotor belum di tata dengan baik sehingga bila hujan turun sering terjadi banjir
-
-
Koordinasi antar lembaga masih rendah ditandai dengan masih semrawutnya pembangunan di Batam
-
165
165
166 Lampiran 10 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN Nomor Responden 6
166
Bentuk Kendala
Instansi/Lembaga Badan Otorita Batam
Teknis
Kebijakan
Belum jelasnya petunjuk teknis dalam melaksanakan aturan Personil /SDM yang kurang baik dalam segi jumlah maupun pendidikan
1. Sulitnya melaksanakan aturan / kebijakan yang diterbitkan akibat kurangnya sosialisasi antara pelaksana dan pelaku terhadap aturan 2.Kebijakan pemerintah terkadang tidak dipahami oleh kalangan dunia usaha
Sosial
-
Koordinasi Antar Lembaga 1. Belum adanya misi dan visi yang jelas dan sama antara lembaga pemerintah di KPB Batam 2. Adanya dua lembaga di Batam terkadang membingungkan dunia usaha
Lainnya
-
7
PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri
-
Seharusnya untuk pengelolaan lingkungan hanya emer ada one stop regulation sehingga tidak tumpang tindih kebijakan
Masyarakat belum sepenuhnya sadar mengenai pengelolaan lingkungan
Lemahnya koordinasi antar lembaga yang terkait dalam pengelolaan lingkungan
Sosialisasi lebih intensif kepada pelaku usaha agar lebih peduli dalam pengelolaan limbah domestikmataupun B3
8
Otorita Batam
Tidak terkelolanya limbah industri dengan baik apabila tidak disiapkan antisipasi terhadap limbah industri yang akan timbul
Tidak lengkapnya kebijakan untuk pengendalian lingkungan sebagai payung hukum untuk pengelolaan lingkungan
banyaknya demonstrasi dan keluhan masyarakat serta kasus hukim apabila tida disiapkan kegiatan sosialisasi dan pemantapan program pengendalian lingkungan
Saling mengandalkan apabila tidak diatur secara jalas tupoksi masingmasing lembaga dalam pengendalian lingkungan
Pindahnya investor apabila standar pengendalian lingkungan tidak disosialisasikan dengan baik
9
Swasta
Penambahan jumlah armada
Penambahan tempat pembuangan sampah (TPA) dan naik gaji
Kurangnya penyuluhan dari emerintah daerah/RTRW setempat
Rendahnya komitmen pimpinan dalam pengelolaan Lingkungan Hidup : Komitmen pemimpin seringkali tidak didukung oleh program dan anggaran yangdisediakan
-
10
Bapedal Kota Batam
Terbatasnya sarana dan prasarana pengelolaan limbah indusri dan domestik : saat ini hanya ada 2 IPAL dalam perencanaan di Batam memerlukan 6 IPAL terpadu
11
Otorita Batam
-
-
-
Rendahnya disiplin pelaku industri pelaku industri dalam mengelola Lingkungan Hidup : Terutama industri shipyard banyak memberi dampak lingkungan dan gangguan kepada masyarakat
Terdapat 3 lembaga OB, Pemkot,dan DPRD : Koordinasi antar intansi masih dibentukan oleh figur ketua OB,walikota dan ketua DPRD belum ada mekanisme tertulisnya
Masih rendahnya anggaran untuk mengelola Lingkungan Hirup ; Anggaran Lingkungan Hidup (Bapedal) setiap tahun masih rendah < 0,05% dari APBD,idealnya >2,5%
-
-
-
Lampiran 10 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN Nomor Responden
Bentuk Kendala
Instansi/Lembaga
Teknis
Kebijakan
Sosial
Koordinasi Antar Lembaga
Lainnya
12
Bapedal Kota Batam
Masih ada perusahaan yang belum memiliki fasilitas pengelolaan limbah B3
Masih belum ada perda yang mengatur tentang mekanisme menangani pelanggaran
Perusahaan belum 100 % menyalurkan program CDnya
Masih terjadi misunderstanding antara lembaga penegakan hukum dengan Bapedal tentang penanganan sengketa lingkungan
13
Universitas Internasional Batam
Dalam pembentukan kebijakan kurang diperhatikan alur-alurnya, seperti pasal demi pasalnya dan kata-kata yang digunakan terkadang tidak tepat
Kebijakan yang diambil belum menyentuh kepada sasarannya (masyarakat)
Kurang sosialisasi dari rancangan suatu perda terhadap masyarakat dan kalangan akademis
Kurang koordinasi antar badan / lembaga yang berkepentingan sehingga sasaran tidak tepat, dalam merancang KPO Batam banyak lembaga yang berkepentingan namun terkadang tidak diminta pendapat
-
Kurang sosialisasi dari pemerintah kepada aparat pelaksana (Juknis tidak jelas)
Kebijakan yang berlaku belum terlaksana dengan baik sehingga hasil yang diharapkan belum tercapai
Banyak peraturan yang dikeluarkan oleh masingmasing instansi, tumpang tindih antara satu dengan yang lainnya
-
14
Universitas Internasional Batam
Komunikasi antar pemerintah kota dengan masyarakat tidak kontinyu
Alokasi lahan yang tidak sesuai RTRW
15
Ditjen Bea dan Cukai
-
-
-
-
-
16
Swasta
-
-
-
-
-
17
Swasta
Program yang dicanangkan oleh pemerintah sudah baik dan benar, hanya pelaksanaan di lapangan kurang baik.
Keadaan sosial kita kurang merata, sehingga menyebabkan kurangnya kepedulian terhadap sesama
Kurangnya koordinasi antar lembaga yang menyebabkan tidak adanya tindakan cepat, dikarenakan prosedur yang panjang
-
Terlalu banyak kebijakan yang hanya dikarenakan oleh keuntungan pribadi saja
167
167
168
Lampiran 10 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN Nomor Responden 18
Instansi/Lembaga PT. Sanyo Energy Batam
Bentuk Kendala
Teknis 1. Teknis di lapangan masih sangat kurang, hal ini bisa dilihat dengan semakin berkurangnya kawasan hijau sebagai dampak pembangunan hunian bagi masyarakat, 2 Sistem sanitasi masih kurang
Sosial
Kebijaksanaan yang dimiliki masih kurang mendapatkan respon dari masyarakat karena belum adanya himbauan yang efektif yang bisa dicerna oleh seluruh lapisan masyarakat
Karena banyaknya warga kota Batam adalah pendatang, tingkat kesadaran dan koordinasi dalam menjaga lingkungan masih kurang, hal ini dibuktikan dengan minimnya warga yang mengikuti kerja bakti pada hari libur
Kebanyakan kebijakan sehingga karyawan bingung
Tidak ada Koordinasi
Koordinasi Antar Lembaga Koordinasi antar lembaga masih rendah dilihat dengan semakin berkurangnya lahan hijau, genangan air pada waktu hujan di jalan-jalan utama dan sekitar pemukiman warga serta limbah otomotif masih banyak dijumpai
19
Asuransi
20
DPRD Kota Batam
Belum Optimalnya implementasi pelaksanaan perda yang mengatur tentang pengendalian lingkungan
Melakukan tindakan tegas terhadap setiap pelanggaran sesuai perda atau aturan yang berlaku
Belum optimalnya upaya pemerintah daerah dalam sosialisasi menumbuhkan tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan
Belum optimalnya jalinan dan koordinasi terpadu antar lembaga dalam masalah pengawasan dan tindakan
21
Ditjen Bea dan Cukai
Kurangnya tenaga pelaksana di lapangan
Kurang ketegasan
Kurangnya partisipasi
Masih kurang koordinasi yang terjalin
22
Otorita Batam
- Kekurangan material timbun untuk reklamasi
- Belum lengkapnya peraturan atau juklak dalam pengelolaan lingkungan
- Pemberantasan/Ruli
Pembagian tugas atau hak dan kewajiban antar instansi otorita Batam dan Pemkot Batam
- Belum adanya/ ditetapkannya Baku mutu
-Kurangnya sosialisasi dan pemahaman tentang lingkungan
-
- Penurunan kualitas air laut dan permukaan
- Minimnya pengetahuan penegak hukum akan pengelolaan lingkungan
168
Kebijakan
-
Lainnya
-
Tingkat polusi yang sudah sangat tinggi perlu diantisipasi dengan pelestarian lingkungan serta tindak tegas terhadap pelanggaran yang terjadi
- RTRW yang selalu berubah terlalu cepat RTRW 2001,2004, 2008 Tekanan terhadap lingkungan bertambah
Lampiran 10 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN Nomor Responden
Instansi/Lembaga
Bentuk Kendala
Teknis
Kebijakan
Sosial
Koordinasi Antar Lembaga
23
Balai Pengelola Agribisnis
Terbatasnya SDM baik kualitas maupun kuantitas
Tidak efektif
Kurang sosialisasi
Cenderung merasa keakuan kemenangan bukan mencari solusi pengolahan lingkungan padahal lingkungan adalah masalah bersama yang harus diselesaikan bersama
24
Otorita Batam
- Kekurangan material timbun untuk reklamasi
- Belum lengkapnya peraturan atau juklak dalam pengelolaan lingkungan
- Pemberantasan/Ruli
- Belum adanya/ ditetapkannya Baku mutu
-Kurangnya sosialisasi dan pemahaman tentang lingkungan
Pembagian tugas atau hak dan kewajiban antar intansi otorita Batam dan Pemkot Batam
- Belum lengkapnya peraturan atau juklak dalam pengelolaan lingkungan dan Belum adanya/ ditetapkannya Baku Mutu
Pemberantasan Pengguguran Ruli dan kurangnya sosialisasi dan pemahaman tentang lingkungan hidup
- Penurunan kualitas air laut dan permukaan
Lainnya
- RTRW yang selalu berubah terllalu cepat RTRW 2001,2004, 2008 Tekanan terhadap lingkungan bertambah
- Minimnya pengetahuan penegak hukum akan pengelolaan lingkungan 25
Otorita Batam Pembagian tugas atau hak dan kewajiban antar instansi OB dan Pemkot Batam
26
Otorita Batam
-
-
-
Kurangnya material timbun untuk reklamasi, penurunan kualitas air dan permukaan serta minimnya pengetahuan penegak hukum akan pengelolaan lingkungan
- RTRW yang selalu berubah terlalu cepat dan RTRW 2001,2004, 2008 Tekanan terhadap lingkungan bertambah
-
-
169
169
Lampiran 11. Bentuk kelembagaan yang dianggap efektif dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam. IDENTITAS RESPONDEN Bentuk Kelembagaan Nomor Responden
Instansi/Lembaga
1
Lembaga Adat Melayu
Dewan kawasan segera direalisasikan dan KEPRES 63 tentang Otorita Batam segera dicabut serta UU 22 dan 32 tentang OTDA dapat berjalan dengan benar
2
Ekspor import
1(satu) instansi baru yang siap dari segi personilnya bisa merupakan gabungan dari Pemkot Batam, Otorita Batam, Unsur Pengusaha, Lingkungan Hidup dan LSM lingkungan supaya bisa disatukan persepsi dan tujuan
3
PT. Desa Air Cargo Batam
Buat badan khusus gabungan yang di dalamnya menangani seluruh permasalahan Lingkungan Hidup, personal yang handal, profesional dan dapat tunjangan yang cukup
4
Otorita Batam
Dibuat badan khusus gabungan dari instansi yang berkompeten dengan lingkungan hidup, menangani masalah lingkungan hidup dengan personil yang profesional
5
PT.Berdikari Insurance
Pemerintah daerah / Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup
6
Badan Otorita Batam
1. Di lembaga pemerintahan daerah telah memiliki Badan yang berwenang mengendalikan lingkungan tetapi terkadang anggaran yang diberikan tidak memadai dari program pengendalian yang akan dilakukan. 2. Perlu adanya koordinasi yang baik antara lembaga pemerintah dengan institusi DPRD yang memutuskan anggaran lingkungan tidak perlu membentuk suatu lembaga baru tapi mengaktifkan lembaga yang ada
7
PT.Prasadha Pamunah Limbah Industri
Pelayanan satu atap untuk Pengelolaan Lingkungan Hidup (Teknis, Kebijakan dsb)
8
Otorita Batam
Kelembagaan yang mampu mengelola lingkungan dengan menerapkan incentive dan dis-incentive kepada masyarakat dan pengusaha/ investor serta mampu melaksanakan penegakan hukum
9
Swasta
Adanya LSM yang terkoordinir yang berkonsentrasi terhadap pengendalian lingkungan
10
Bapedal Kota Batam
Kelembagaan Bapedal Kota Batam saat ini telah maksimum sesuai dengan ketentuan yang berlaku namun efektifitas lembaga perlu didukung oleh komitmen pimpinan dalam pengelolaan lingkungan hidup dengan cara : a. Menyediakan anggaran yang memadai b. Menyediakan SDM yang berkualitas c. Menyiapkan peraturan-peraturan yang mendukung
11
Otorita Batam
12
Bapedal Kota Batam
Undang-undang yang tegas harus ditunjang dengan PP dan Perda yang tegas dan profesional Kelengkapan peralatan pengawas Bapedal SDM yang memadai
13
170
Universitas Internasional Batam
Pemko Btam bersama otorita Batam dan DPRD membentuk kebijakan dengan saran dan pendapat masyarakat juga kalangan akademis serta pelaku usaha, kemudian mensosialisasikan kebijakan tersebut ke semua kalangan masyarakat
Lampiran 11 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN Bentuk Kelembagaan Nomor Responden
Instansi/Lembaga
14
Universitas Internasional Batam
Mengadakan kerjasama antara Pemkot, Otoritas Batam dan DPRD yang melibatkan akademisi termasuk pelaku usaha dan masyarakat
15
Ditjen Bea dan Cukai
16
Swasta
17
Swasta
Kelembagaan yang efektif haruslah yang berbentuk independent dimana tujuannya bukan untuk kepentingan pribadi
18
PT. Sanyo Energy Batam
Dengan membentuk Bapedalda lembaga ini bukan merupakan bagian dari Bapedal pusat dan tidak memiliki hubungan hirarki. Bapedalda dapat mengembangkan dirinya sesuai dengan dinamika pembangunan masing-masing daerah otonom, kewenangan perencanaan, pengelolaan lingkungan hidup daerah diserahkan pada masing-masing daerah otonom termasuk seluruh pendanaannya. Kewenangan mengelola sendiri lembaga dan tidak terkait dengan lembaga yang berfungsi sama di atasnya menjadi kekuatan untuk mengembangkan model kelembagaan yang tangguh dan efektif
19
Asuransi
Lembaga sosial yang independen
20
DPRD Kota Batam
Membentuk lembaga independen
21
Ditjen Bea dan Cukai
Secara terintegritas melibatkan semua komponen yang ada
22
Otorita Batam
Bapedal / Pemko memiliki struktur pengelola lingkungan yang lengkap sesuai dengan tugas pokok dan fungsi anggaran APBD untuk lingkungan mendapat porsi yang lebih besar. Hal-hal yang dianggap berpengaruh kepada lingkungan harus mendapat persetujuan Badan Pengelola Lingkungan Hidup mengingat Batam adalah pulau kecil seperti singapura dengan kementrian LH-nya (NEA)
23
Balai Pengelola Agribisnis
Masing-masing pihak membuat dan melaksanakan kelembagaan yang betul juga Realisasi pelaksanaannya.
24
Otorita Batam
Cukup yang sudah ada tinggal diefektifkan dan realisasi pelaksanaan
25
Otorita Batam
Cukup yang sudah ada tinggal diefektifkan dan realisasi pelaksanaan
26
Otorita Batam
Cukup yang sudah ada tinggal diefektifkan dan realisasi pelaksanaan
-
171
Lampiran 12. Apakah Pemkot Batam perlu mengeluarkan kebijakan yang bersifat insentif atau disinsentif untuk mendorong kesadaran pelaku usaha dan masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan di KPB Batam. IDENTITAS RESPONDEN Nomor Responden 1
Instansi/Lembaga
Kebijakan Insentif dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam
Kebijakan Disnsentif dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam
-
-
Lembaga Adat Melayu
2
Ekspor import
3
PT. Desa Air Cargo Batam
Tidak dikenakannya pajak untuk limbah B3 yang akan dikirim dari KPB Batam ke KPLI Jakarta
Sanksi-sanksi bagi pengusaha yang lalai menjalankan peraturan yang telah ada seperti pencabutan ijin usaha
- Keringanan pajak
- Pencabutan ijin
- Keringanan retribusi air limbah jika memiliki IPAL - Penghargaan per triwulan 4
Otorita Batam
- Keringanan pajak
- Peringatan keras
- retribusi limbah
- Pencabutan ijin usaha
- Penghargaan per 6 bulan 5
PT.Berdikari Insurance
- Menghargai masyarakat yang sadar lingkungan dengan memberikan kemudahan pelayanan publik seperti ;
-Memberikan denda atau mencabut ijin usaha bagi yang merusak lingkungan
- Akses jalan yang baik menuju tempat usaha atau rumah mereka 6
Badan Otorita Batam
7
PT. Prasadha Pamunah Limbah Industri
8
Otorita Batam
9
Swasta
perlu, agar dunia usaha tertarik untuk melaksanakan aturan yang ada
-
Reward / Penghargaan diberikan kepada perusahaan yang menjalankan fungsi kelestarian lingkungan. Contoh reward : Kemudahan dalam perijinan
Pencabutan ijin usaha bagi perusahaan yang ketahuan tidak melaksanakan fungsi pengelolaan dan pengendalian lingkungan dengan baik
Memberikan Penghargaan apresiasi terhadap pihak yang mengelola lingkungan dengan baik
Memberikan penilaian negatif yang berpengaruh terhadap reputasi perusahaan yang tidak mengelola lingkungan dengan baik
Perlu adanya insentif tetapi jangan sebatas pemerintah Kota Batam saja melainkan sampai pada masyarakat
- Adanya penambahan wawasan atau peningkatan tentang kelestarian lingkungan. Misal : dengan iklan - RTRW setempat ambil peduli dengan masalah kelestarian lingkungan
10
172
Bapedal Kota Batam
11
Otorita Batam
12
Bapedal Kota Batam
- Penghilangan pajak limbah B3
- Pencabutan ijin operasional
- Penghargaan industri berwawasan lingkungan
- Pengenaan sangsi pidana
Perlu dilaksanakan
- Pengenaan pajak progresif pencemaran air dan udara -
Lampiran 12 (Lanjutan) IDENTITAS RESPONDEN Nomor Responden
Instansi/Lembaga
Kebijakan Insentif dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam
Kebijakan Disnsentif dalam Pengendalian Lingkungan di KPB Batam
13
Universitas Internasional Batam
-
-
14
Universitas Internasional Batam
-
-
15
Ditjen Bea dan Cukai
-
-
16
Swasta
-
-
17
Swasta
-
-
18
PT. Sanyo Energy Batam
19
Asuransi
20
DPRD Kota Batam
21
Ditjen Bea dan Cukai
Perlu
22
Otorita Batam
Keringanan pajak, kemudahan perijinan, kemudahan bahan baku, kemudahan ekspor dan pemberian Reward
23 Balai Pengelola Agribisnis
Memberikan insentif berupa penghargaan bagi pelaku usaha yang ikut berperan aktif dalam pelestarian dan pengendalian lingkungan dalam kaitannya dengan kegiatan usaha yang dijalankannya
Memberikan disinsentif berupa denda dan larangan ijin usaha apabila terbukti usaha yang dijalankannya bertentangan dengan kaidah-kaidah pelestarian dan pengendalian lingkungan
-
-
Memberikan Reward bagi ppelaku usaha atau masyarakat peduli akan kelestarian lingkungan
Memberikan sangsi tegas bagi setiap bentuk pelanggaran sesuai peraturan perundangan yang berlaku
Penghargaan (reward) dan umumkan di media masa
24
Otorita Batam
Keringanan pajak, kemudahan perijinan, kemudahan bahan baku, kemudahan ekspor dan pemberian Reward
25
Otorita Batam
Keringanan pajak, kemudahan perijinan, kemudahan bahan baku, kemudahan ekspor dan pemberian Reward
26
Otorita Batam
Perlu
-
Buat penghargaan tapi dengan pembinaan
Perlu
173
174
174
Lampiran 13. Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar faktor terhadap fokus pengendalian lingkungan di KPB Batam
RESPONDEN
Rata-rata Geometris
FAKTOR
Daya Tarik Investasi – Perlindungan Ekosistem Daya Tarik Investasi – Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Daya Tarik Investasi – Konflik Antara Masyarakat dan KPB Perlindungan Ekosistem – Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Perlindungan Ekosistem – Konflik Antara Masyarakat dan KPB Pertumbuhan Ekonomi Wilayah – Konflik Antara Masyarakat dan KPB
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
9
1
1
1
3
1
1
1
3
1
1
1
7
7
7
1
9
3
7
7
7
5
7
5
5
1
3
9
1
1
3
4
1
1
5
1
7
3
3
6
6
1
8
9
7
8
1
1
5
7
5
5
1
3
1
3
1
1
1
1
1
1
2
3
1
1
9
9
7
1
9
9
7
7
7
7
7
7
7
1
3
9
1
3
1
2
3
3
3
3
1
3
3
1
3
7
8
9
3
1
1
3
7
5
7
7
1
3
5
1
5
3
1
1
1
1
3
5
3
1
9
9
7
9
9
9
8
1
3
9
1
9
9
1
3
5
3
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
7
7
1
9
9
9
9
7
1
3
1
3
3
1
2
Lampiran 14. Hasil pengolahan HIPRE 3+ perbandingan tingkat kepentingan antar faktor terhadap fokus pengendalian lingkungan di KPB Batam Daya Tarik Investasi Daya Tarik Investasi Pelindungan Ekosistem Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Konflik Antara Masyarakat dan KPB Faktor Daya Tarik Investasi Perlindungan Ekosistem Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Konflik Antara Masyarakat dan KPB
Perlindungan Ekosistem
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Konflik Antara Masyarakat dan KPB
3
3
3
3
3 2
Bobot 0.483 0.276 0.141 0.101
CR = 0,079
175
176
176
Lampiran 15. Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar aktor dalam mempengaruhi faktor daya tarik investasi di KPB Batam Faktor : DAYA TARIK INVESTASI RESPONDEN AKTOR 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pemerintah - Pemerintah Daerah
1
1
1
1
1
1
1
3
1
Pemerintah - Pelaku Usaha
9
1
3
2
1
1
1
3
3
Pemerintah - Masyarakat
5
3
2
1
1
3
1
1
Pemerintah - Legislatif
3
1
1
1
1
1
1
1
Pemerintah Daerah - Pelaku Usaha
9
1
1
1
3
1
1
Pemerintah Daerah - Masyarakat
5
1
1
1
1
7
Pemerintah Daerah - Legislatif
3
1
1
1
1
7
Pelaku Usaha - Masyarakat
5
1
1
1
1
Pelaku Usaha - Legislatif
3
1
1
1
Masyarakat - Legislatif
5
1
1
1
1
10
Rata-rata Geometris
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
1
7
1
3
3
1
8
7
7
8
1
7
3
1
3
3
1
2
3
3
1
7
7
3
9
9
7
8
7
7
5
1
5
5
1
3
2
5
3
1
9
9
7
9
9
9
7
9
7
9
1
9
9
1
4
5
5
3
1
8
8
5
8
9
7
9
1
7
7
1
7
7
1
3
1
9
3
1
1
9
9
9
9
1
8
7
7
3
1
3
3
1
3
1
1
2
3
1
1
7
7
1
9
9
1
7
3
7
7
1
7
7
1
3
1
1
1
1
1
1
8
8
5
8
9
1
8
1
7
5
1
5
5
1
2
7
1
1
9
3
1
1
7
7
3
9
9
1
8
3
7
5
1
5
5
1
3
7
1
3
2
3
1
1
7
7
3
8
9
1
9
3
3
3
1
3
3
1
2
1
1
1
5
1
1
1
6
6
1
9
9
1
7
3
3
3
1
3
3
1
2
Lampiran 16. Hasil pengolahan HIPRE 3+ perbandingan tingkat kepentingan antar aktor dalam mempengaruhi faktor daya tarik investasi di KPB Batam Pemerintah
2
Pemerintah Pemerintah Daerah Pelaku Usaha Masyarakat Legislatif Aktor Pemerintah Pemerintah Daerah Pelaku Usaha Masyarakat Legislatif
Pemerintah Daerah
Bobot 0.387 0.265 0.160 0.097 0.090
Pelaku Usaha
Masyarakat
Legislatif
3 3
4 3 3
3 2 2 2
CR = 0,070
177
178
178
Lampiran 17. Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar aktor dalam mempengaruhi faktor perlindungan ekosistem di KPB Batam Faktor : PERLINDUNGAN EKOSISTEM RESPONDEN 26
Rata-rata Geometris
3
0.3
2
5
3
3
AKTOR 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Pemerintah - Pemerintah Daerah
9
1
1
1
1
1
1
5
1
1
3
1
1
1
1
9
9
9
9
1
1
3
1
3
Pemerintah - Pelaku Usaha
9
1
1
1
3
1
1
5
3
5
3
1
3
3
7
9
9
1
8
1
7
5
9
5
Pemerintah - Masyarakat
9
3
1
1
1
Pemerintah - Legislatif
5
1
1
1
Pemerintah Daerah - Pelaku Usaha
9
1
1
1
Pemerintah Daerah - Masyarakat
9
3
1
Pemerintah Daerah - Legislatif
5
1
3
Pelaku Usaha - Masyarakat
7
3
Pelaku Usaha - Legislatif
5
Masyarakat - Legislatif
5
1
1
1
5
7
3
1
7
7
3
9
8
1
7
1
7
7
9
7
7
1
3
1
1
1
7
1
1
1
1
1
1
8
9
9
8
1
7
7
1
7
7
1
2
1
1
1
1
3
1
3
1
3
3
3
9
8
1
7
9
7
3
9
3
3
3
3
1
1
9
1
1
4
1
3
1
7
7
5
9
9
1
8
9
7
5
9
5
5
0.3
3
7
1
9
1
3
7
1
3
5
1
1
1
8
8
1
7
1
7
5
1
5
5
0.3
3
1
1
1
9
1
1
2
5
3
1
2
2
7
9
8
1
9
1
7
3
1
3
3
0.3
2
1
3
1
5
9
1
3
2
5
3
3
9
9
5
8
8
1
8
3
3
3
1
3
3
0.3
3
1
1
1
1
9
1
1
1
1
1
1
7
7
3
8
8
1
9
7
3
1
1
1
1
3
2
Lampiran 18. Hasil pengolahan HIPRE 3+ perbandingan tingkat kepentingan antar aktor dalam mempengaruhi faktor perlindungan ekosistem di KPB Batam Pemerintah
2
Pemerintah Pemerintah Daerah Pelaku Usaha Masyarakat Legislatif Aktor Pemerintah Pemerintah Daerah Pelaku Usaha Masyarakat Legislatif
Pemerintah Daerah
Bobot 0.357 0.287 0.160 0.108 0.087
Pelaku Usaha
Masyarakat
Legislatif
3 3
3 3 2
2 3 3 2
CR = 0,077
179
180
180
Lampiran 19. Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar aktor dalam mempengaruhi faktor pertumbuhan ekonomi wilayah di KPB Batam Faktor : PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH RESPONDEN AKTOR
Rata-rata Geometris
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
Pemerintah - Pemerintah Daerah
9
1
1
1
1
1
1
1
1
5
7
1
1
1
1
7
8
3
9
1
1
3
1
3
3
1
Pemerintah - Pelaku Usaha
7
1
3
1
1
1
1
1
3
5
5
1
3
3
5
9
8
7
7
1
1
5
1
5
5
1
3
Pemerintah - Masyarakat
9
1
3
3
1
3
1
1
2
5
5
3
1
1
3
8
9
3
9
1
7
7
1
7
7
1
3
Pemerintah - Legislatif
3
1
1
1
1
1
1
2
5
5
3
1
7
7
9
9
3
9
1
1
7
1
7
7
1
3
Pemerintah Daerah - Pelaku Usaha
7
1
3
3
1
1
1
1
5
5
5
1
5
5
3
8
9
1
9
1
7
3
1
3
3
1
3
Pemerintah Daerah - Masyarakat
9
1
5
5
1
1
1
1
7
1
5
8
1
1
3
9
8
1
7
1
7
5
1
5
5
1
3
Pemerintah Daerah - Legislatif
3
1
3
3
3
9
1
1
3
1
5
1
3
3
3
9
8
1
7
1
7
5
1
5
5
1
3
Pelaku Usaha - Masyarakat
7
3
3
3
1
9
1
1
1
5
5
1
1
1
5
9
8
1
9
1
7
3
1
3
3
1
3
Pelaku Usaha - Legislatif
7
1
1
1
1
9
1
1
1
5
5
1
7
7
3
9
8
1
7
1
7
3
1
3
3
1
3
Masyarakat - Legislatif
7
1
3
3
3
9
1
1
3
1
3
3
1
1
5
9
9
1
9
1
3
1
1
1
1
1
3
2
Lampiran 20. Hasil pengolahan HIPRE 3+ perbandingan tingkat kepentingan antar aktor dalam mempengaruhi faktor pertumbuhan ekonomi wilayah di KPB Batam Pemerintah
2
Pemerintah Pemerintah Daerah Pelaku Usaha Masyarakat Legislatif Aktor Pemerintah Pemerintah Daerah Pelaku Usaha Masyarakat Legislatif
Pemerintah Daerah
Bobot 0.367 0.281 0.172 0.110 0.070
Pelaku Usaha
Masyarakat
Legislatif
3 3
3 3 3
3 3 3 3
CR = 0,090
181
182
182
Lampiran 21. Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar aktor dalam mempengaruhi konflik antara masyarakat dan KPB Batam Faktor : KONFLIK ANTARA MASYARAKAT DAN KPB BATAM RESPONDEN AKTOR
Rata-rata Geometris
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
Pemerintah - Pemerintah Daerah
7
1
3
3
7
1
1
3
1
1
7
3
1
1
3
9
9
3
8
1
7
3
1
3
3
1
3
Pemerintah - Pelaku Usaha
3
3
1
1
7
1
1
1
3
1
5
1
3
3
1
9
9
5
8
7
1
7
1
7
7
1
3
Pemerintah - Masyarakat
2
1
1
1
7
1
1
1
9
1
5
1
2
2
3
9
9
3
8
7
1
5
1
5
5
1
2
Pemerintah - Legislatif
4
1
3
3
7
1
1
1
5
1
7
3
1
1
3
9
9
3
7
1
3
5
1
5
5
1
3
Pemerintah Daerah - Pelaku Usaha
3
1
3
3
1
1
1
1
2
5
5
1
3
3
1
9
9
3
8
9
7
9
1
9
9
1
3
Pemerintah Daerah - Masyarakat
2
1
1
1
3
1
1
1
2
5
5
3
1
1
3
9
8
7
9
7
1
5
1
5
5
1
2
Pemerintah Daerah - Legislatif
4
1
3
5
3
1
1
1
3
5
5
3
1
1
3
8
7
3
7
1
7
5
1
5
5
1
3
Pelaku Usaha - Masyarakat
2
3
1
1
1
9
1
1
1
5
5
1
2
2
3
8
8
7
9
3
1
3
1
3
3
1
2
Pelaku Usaha - Legislatif
4
3
1
1
1
9
1
3
2
1
5
1
6
6
1
9
7
3
8
3
3
3
1
3
3
1
3
Masyarakat - Legislatif
6
3
1
1
3
9
1
3
3
1
1
1
1
1
1
8
9
3
8
3
7
1
1
1
1
1
2
Lampiran 22. Hasil pengolahan HIPRE 3+ perbandingan tingkat kepentingan antar aktor dalam mempengaruhi konflik antara masyarakat dan KPB Batam Pemerintah
3
Pemerintah Pemerintah Daerah Pelaku Usaha Masyarakat Legislatif Aktor Pemerintah Pemerintah Daerah Pelaku Usaha Masyarakat Legislatif
Pemerintah Daerah
Bobot 0.391 0.249 0.159 0.126 0.075
Pelaku Usaha
Masyarakat
Legislatif
3 3
2 2 2
3 3 3 2
CR = 0,080
183
184
184
Lampiran 23. Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar tujuan bagi pemerintah dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam Aktor : PEMERINTAH RESPONDEN
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
Rata-rata Geometris
1
1
1
1
1
3
1
3
3
7
8
9
1
7
1
3
1
1
1
1
1
2
3
1
1
1
9
3
3
3
1
1
5
9
9
1
9
1
3
5
1
5
5
1
3
3
9
1
1
7
3
3
3
3
3
5
9
9
7
8
1
7
5
1
5
5
1
3
TUJUAN 1
2
3
4
Perlindungan Ekosistem KPB Batam Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam
9
1
1
1
Perlindungan Ekosistem KPB Batam Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara Berkelanjutan
9
1
3
3
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam - Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secar Berkelanjutan
9
1
3
3
5
Lampiran 24. Hasil pengolahan HIPRE 3+ perbandingan tingkat kepentingan antar tujuan bagi pemerintah dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam Perlindungan Ekosistem KPB Batam Perlindungan Ekosistem KPB Batam
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara Berkelanjutan
2
3 3
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara BerKelanjutan Tujuan
Bobot
Perlindungan Ekosistem KPB Batam
0.528
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam
0.333
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara BerKelanjutan
0.140
CR = 0,046
185
186
186
Lampiran 25. Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar tujuan bagi pemerintah daerah dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam Aktor : PEMERINTAH DAERAH RESPONDEN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
Rata-rata Geometris
Perlindungan Ekosistem KPB Batam Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam
9
1
3
3
7
1
1
3
1
1
1
3
1
1
7
9
9
1
8
7
3
1
1
1
1
3
2
Perlindungan Ekosistem KPB Batam Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara Berkelanjutan
9
1
9
9
7
1
1
1
1
1
3
9
9
5
3
9
9
1
9
9
1
5
1
5
5
1
3
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam - Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secar Berkelanjutan
9
1
1
1
1
1
1
1
1
3
1
1
3
3
5
9
9
7
7
9
1
5
1
5
5
1
2
TUJUAN
Lampiran 26. Hasil pengolahan HIPRE 3+ perbandingan tingkat kepentingan antar tujuan bagi pemerintah daerah dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam Perlindungan Ekosistem KPB Batam Perlindungan Ekosistem KPB Batam
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara Berkelanjutan
3
3 2
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara BerKelanjutan Tujuan
Bobot
Perlindungan Ekosistem KPB Batam
0.540
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam
0.297
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara BerKelanjutan
0.163
CR = 0,007
187
188
188
Lampiran 27. Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar tujuan bagi pelaku usaha dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam Aktor : PELAKU USAHA RESPONDEN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
Rata-rata Geometris
Perlindungan Ekosistem KPB Batam Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam
9
1
3
3
1
1
1
3
1
7
5
5
1
1
5
8
9
1
8
1
3
5
1
5
5
0.3
2
Perlindungan Ekosistem KPB Batam Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara Berkelanjutan
9
1
1
1
1
9
1
3
1
7
3
1
3
3
2
9
9
1
7
7
3
5
1
5
5
0.3
3
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam - Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secar Berkelanjutan
9
1
1
1
1
1
1
1
1
1
3
1
2
2
3
9
9
9
9
1
7
3
1
3
3
1
2
TUJUAN
Lampiran 28. Hasil pengolahan HIPRE 3+ perbandingan tingkat kepentingan antar tujuan bagi pelaku usaha dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam Perlindungan Ekosistem KPB Batam Perlindungan Ekosistem KPB Batam
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara Berkelanjutan
2
3 2
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara BerKelanjutan Tujuan
Bobot
Perlindungan Ekosistem KPB Batam
0.540
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam
0.297
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara BerKelanjutan
0.163
CR = 0,007
189
190
190
Lampiran 29. Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar tujuan bagi masyarakat dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam Aktor : MASYARAKAT RESPONDEN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
Rata-rata Geometris
Perlindungan Ekosistem KPB Batam Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam
9
1
1
1
1
1
1
3
1
3
1
1
1
1
3
1
1
1
7
1
1
5
1
5
5
3
2
Perlindungan Ekosistem KPB Batam Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara Berkelanjutan
9
1
1
1
1
1
1
3
3
5
3
1
1
1
1
2
1
1
1
1
1
3
1
3
3
3
2
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam - Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secar Berkelanjutan
9
1
1
1
1
1
1
1
1
1
3
2
1
1
1
1
1
1
8
1
1
3
1
3
3
1
1
TUJUAN
Lampiran 30. Hasil pengolahan HIPRE 3+ perbandingan tingkat kepentingan antar tujuan bagi masyarakat dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam Perlindungan Ekosistem KPB Batam Perlindungan Ekosistem KPB Batam
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara Berkelanjutan
2
2 1
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara BerKelanjutan Tujuan
Bobot
Perlindungan Ekosistem KPB Batam
0.500
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam
0.250
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara BerKelanjutan
0.250
CR = 0,0
191
192
192
Lampiran 31. Data responden perbandingan tingkat kepentingan antar tujuan bagi legislatif dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam Aktor : LEGISLATIF RESPONDEN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
Rata-rata Geometris
Perlindungan Ekosistem KPB Batam Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam
7
3
5
5
3
1
1
3
1
1
3
5
1
1
3
7
9
1
8
1
3
5
1
5
5
1
3
Perlindungan Ekosistem KPB Batam Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara Berkelanjutan
7
3
1
1
5
9
1
3
1
1
3
1
7
7
5
7
9
1
8
1
1
3
1
3
3
1
3
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam - Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secar Berkelanjutan
7
1
1
1
1
1
1
1
1
1
3
3
2
2
1
8
9
1
8
1
7
3
1
3
3
1
2
TUJUAN
Lampiran 32. Hasil pengolahan HIPRE 3+ perbandingan tingkat kepentingan antar tujuan bagi legislatif dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam Perlindungan Ekosistem KPB Batam Perlindungan Ekosistem KPB Batam
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara Berkelanjutan
3
3 2
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara BerKelanjutan Tujuan
Bobot
Perlindungan Ekosistem KPB Batam
0.594
Peningkatan Daya Tarik Investasi di KPB Batam
0.249
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Secara BerKelanjutan
0.157
CR = 0,046
193