PROSIDING SEMINAR NASIONAL PAK II DAN CALL FOR PAPERS, Tema: Profesionalisme dan Revolusi Mental Pendidik Kristen. Ungaran, 5 Mei 2017. ISBN: 978-602-60350-4-2
KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PROFESIONALISME PENDIDIK Bambang Suteng Sulasmono Universitas Kristen Satya Wacana Email:
[email protected]
ABSTRAK Tulisan ini dimaksudkan untuk memberi sedikit gambaran tentang kebijakan pemerintah Indonesia dalam bidang pengembangan profeseionalisme pendidik/guru di negeri ini. Hasil kajian literature menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia sudah cukup memiliki kebikana yang menopang proses profesionalisme pendidik. Namun demikian berbagai studi evaluative menunjukkan bahwa terhadap kesenjangan implementasi (implementatioan gap) dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan profesionalisme pendidik tersebut sehingga berbagai kebijakan tersebut belum mampu mengantar perwujudan perubahan yang siginifikan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Kata Kunci: Kebijakan Pemerintah, Profesionalisme Pendidik
PENDAHULUAN Pendidik memiliki peran strategis dalam proses pendidikan, karena merekalah yang berada pada garda terdepan dalam implementasi kebijakan dalam bidang pendidikan. Pendidik merupakan komponen pendidikan yang bersentuhan langsung dengan siswa dan mempunyai peran sentral dalam mempengaruhi siswa melalui proses pendidikan di kelas. Peran sentral pendidik antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan inspirator bagi peserta didik. Keterampilan pendidik dalam merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran akan menjadi titik tolak keberhasilan pendidik dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional dan membangun sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing (Hasyim, 2014: 269-270). Subhan (2014: 1), bahkan menyatakan bahwa kinerja pendidik mempunyai pengaruh yang tinggi terhadap nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI). Oleh karenanya, dalam rangka menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing, dibutuhkan pelaksana pendidikan (pendidik) yang berkualitas pula. Salah satu indikator tentang pentingnya peran pendidik bagi keberhasilan pendidikan adalah prestasi siswa. SurveyProgramme for Internasional Student Assessment (PISA) tahun 2015 menunjukkan perolehan skor rerata PISA siswa di
Singapura, Korea Selatan, Jepang, dan Finlandia misalnya, berada jauh di atas skor rerata Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Tabel 1 Pemetaan Skor Rerata PISA 2015 Negara Singapura Jepang Kanada Finlandia Korea Selatan Rerata OECD
Mathemathics 564 (rank. 1) 532 (rank. 5) 516 (rank. 10) 511 (rank. 13) 524 (rank. 7)
Reading 535 (rank. 1) 516 (rank. 8) 527 (rank. 3) 526 (rank. 4) 517 (rank. 7)
Science 556 (rank. 1) 538 (rank. 2) 528 (rank. 7) 531 (rank. 5) 516 (rank. 11)
490
493
493
Indonesia 386 (rank. 67)
397 (rank. 68) 403 (rank. 66)
Sumber: data OECD, 2015. Menariknya adalah bahwa negara-negara tersebut ternyata memiliki sistem rekrutmen, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan dan tingkat kesejahteraan pendidik yang relative baik. Masyarakat di negara-negara tersebut menempatkan profesi pendidik ke dalam status sosial yang tinggi. (OECD, 2015). Dengan kata lain, pretasi siswa yang tinggi terjadi di negaranegara yang memiliki kebijakan tentang profesionalisme yang sistemik dan komprehensif. Di lain pihak prestasi siswa Indonesia dalam PISA selalu menempati posisi 10 terbawah dari 70-an Negara dan komunitas politik yang di survey. Adakah hal itu karena Indonesia tidak
Kebijakan Pemerintah Tentang Profesionalisme Pendidik, Bambang Suteng Sulasmono – 9
memiliki kebijakan tentang profesionalisme pendidik? Tampaknya tidak demikian halnya. Indonesia juga memiliki sejumlah kebijakan di bidang profesionalisme Guru, namun ternyata hal itu belum berdampak pada naiknya prestasi akademik para siswa di negeri ini. Tulisan ini akan secara singkat memaparkan tentang profesionalisme pendidik, kebijakan pemerintah tentang profesionalisme pendidik, dan catatan evaluative terhadap implementasi kebijakan profesionalisme pendidik di Indonesia. PROFESIONALISME PENDIDIK Istilah profesionalisme memiliki kata dasar profesi. Profesi secara sederhana bermakna bidang pekerjaan, namun tidak setiap pekerjaan adalah profesi, karena profesi adalah bidang pekerjaan dilandasi oleh pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan, dsb) tertentu. StanLester (2015:1) menyebutkan bahwa the word‘profession’ stems from the Latin verb profiteri, to profess, in the sense of making a formal commitment or vow (a sintaking a monastic oath). This can be interpreted as suggesting that joining a profession requires a commitment to acquiring its knowledge and skills, and to adopting its ethos. Dari asal katanya, istilah profesi merujuk pada adanya komitmen resmi dari pelaku profesi, sehingga siapa pun yang bergabung dalam satu profesi haruslah memiliki komitmen untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang dipersyaratkan serta mengadopsi etos kerja yang berlaku. Profesi lebih dari sekedar tukang atau orang-orang yang mempunyai ketrampilan dalam satu pekerjaan tangan (tukang kayu, tukang batu, tuang besi dll) atau orang-orang yang pekerjaannya membuat sesuatu: tukang bakso, tukang mie, menjual sesuatu: tukang daging, tukang sayur, memperbaiki sesuatu: tukang arloji, tukang sepatu, dan lain-lain. Profesi juga lebih dari sekedar pekerja yaitu orang yang bekerja dan menerima upah seperti buruh dan sejenisnya. Longman Dictionary of the English Language bahkan mendefinisikan profesi sebagai pekerjaan yang mensyaratkan pengetahuan khusus dan memerlukan persiapan akademik yang intensif dalam jangka waktu lama. StanLester (2015:1) dengan mengutip pendapat Hoyle & John serta Freidson menyatakan bahwa profesi itu memiliki characteristics that gain fairly wide acceptance are the need for expert knowledge,
normally drawing on some for mof theoretical base; the presence of an ethos that serves the public good; and independence of thought and judge menttha ttranscends any employ mentor contractual relationship. Sementara Ingersoll & Perda (2008: 2) menyebut ciri ciri profesi mencakup a) credential and licensing requirements forentry, b) induction and mentoring programs forentrants, c) professional development support, opportunities and participation, d) specialization, e) authority over decision-making, f) compensation levels, g) prestige and occupational social standing. Tampaknya terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu pekerjaan dapat dikategorikan sebagai profesi yaitu: a) memiliki fungsi yang signifikan dalam kehidupan masyarakat dimana profesi tersebut berada, b) memerlukan keahlian dan keterampilan tertentu yang tidak dapat dijangkau oleh masyarakat awam pada umumnya, c) keahlian yang diperlukan dikembangkan berdasarkan disiplin ilmu yang jelas dan sistematik, d) memerlukan pendidikan atau pelatihan yang panjang, sebelum seseorang mampu memangku profesi tersebut, e) memiliki otonomi dalam membuat keputusan yang terkait dengan ruang lingkup tugasnya, f) memiliki kode etik jabatan yang menjelaskan bagaimana profesi itu harus dilaksanakan oleh orang yang memegangnya dan g) memiliki organisasi profesi yang merupakan tempat pemegang profesi berasosiasi dan mengembangkan profesi tersebut. Secara lebih singkat karakteristik sebuah profesi adalah: 1) memiliki fungsi dan signifikansi sosial bagi masyarakat, 2) menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang cukup yang dilakukan oleh lembaga pendidikan yang dapat dipertanggawabkan, 3) memiliki kompetensi yang didukung oleh suatu disiplin ilmu tertentu (a systematic body of knowledge), 4) memiliki kode etik yang dijadikan sebagai satu pedoman perilaku anggota beserta sanksi yang jelas dan tegas, dan 5) sebagai konsekuensi dari layanan dan prestasi yang diberikan kepada masyarakat, berhak memperoleh imbalan finansial/material. Kata profesional (sebagai kata benda) menunjuk kepada orang atau subyek pelaku profesi, yaituorang yang terlibat dalam kegiatan secara profesional. Orang yang menyandang suatu profesi disebut dengan profesional yang harus menampilkan unjuk kerja sesuai dengan
10 – Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Agama Kristen dan call for Papers, 5 Mei 2017.
profesinya. Sedang sebagai kata sifat, profesional berarti memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, terikat pada standar teknis, dan etika profesi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) mendefinisikan kata “profesional” sebagai orang yang yang memiliki keahlian dan keterampilan. Karena, pendidikan dan latihan, berarti profesionalisme seseorang harus lahir berbarengan pada saat ia memutuskan untuk menjadi seorang profesional. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 tahun 2005 dinyatakan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Glickman (2007) menyatakan bahwa seseorang bekerja secara profesional bilamana orang tersebut memiliki: kemampuan (ability) dan motivasi (motivation). Kemampuan dan motivasi merupakan dua faktor yang sangat menentukan profesionalitas seseorang. Profesionalitas dengan demikian menunjuk kualitas sikap para anggota suatu profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki untuk dapat melakukan tugastugasnya secara optimal. Sebutan profesionalitas lebih menggambarkan suatu “keadaan” derajad keprofesionalan seseorang dilihat dari sikap, pengetahuan dan keahlian yang diperlukan untuk melaksanakan tugasnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) sebutan lain dari kemampuan, atau kecakapan adalah kompetensi. Dengan demikian salah satu unsur dari profesionalitas seorang profesional kompetensi. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru merumuskan kompetensi sebagai “seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh Guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.” Kompetensi guru dengan demikian adalah kemampuan atau kecakapan yang semestinya dikuasai oleh seorang Guru. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ditentukan bahwa kompentensi pendidik (Guru) sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan kompetensi sosial. Slavin (2000) menyebutkan bahwa Guru seharusnya menguasai empat kemampuan pokok yaitu (a) penguasaan bidang studi dan sumber-sumber pengajaran, (b)
pengetahuan tentang pebelajar dan bagaimana mereka belajar, (c) ketrampilan berkomunikasi dalam mengajar, dan (d) ketrampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah. Di samping itu seorang guru haruslah seorang yang bisa memahami dan mengatur dirinya sendiri, mampu mengambil keputusan yang mendidik, selalu melakukan refleksi atas tindakan mengajarnya, dan selalu menerapkan hasil penelitian kependidikan untuk kepentingan pembelajarannya. Profesionalisme, (professionalism) dapat dipahami sebagai faham yang menempatkan profesi sebagai titik perhatian utama dalam hidup seseorang. Orang yang menganut faham profesionalisme selalu menunjukkan sikap profesional dalam bekerja dan dalam keseharian hidupnya. Oleh karena itu profesionalisme ditandai oleh pola perilaku khusus yang konsisten, yang diarahkan/dilandasi oleh tujuan-tujuan mulia atau yang bermanfaat bagi kemaslahatan kehidupan bersama. Motivasi terkait dengan profesionalisme yaitu sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Pada dasarnya profesionalisme itu merupakan motivasi intrinsik pada diri pelaku profesi sebagai pendorong untuk mengembangkan dirinya ke arah perwujudan profesionalitas dalam menjalankan tugas-tugasnya. KEBIJAKAN PROFESIONALISME PENDIDIK DI INDONESIA Kedudukan pendidik sebagai profesi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 31 ayat (1) yang menentukan Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Ketentuan di atas menunjukkan bahwa sebutan resmi bagi pendidik (orang yang mendidik) di Indonesia bisa bermacam-macam tergantung lembaga pendidikan di mana masing-masing pendidikan itu menjalankan tugasnya. Sebutan guru misalnya, lazim digunakan untuk menyebut pendidik pada lembaga pendidikan formal, jenjang pendidikan dasar dan menengah; sedang sebutan dosen lazim digunakan untuk menyebut pendidik pada lembaga pendidikan formal, jenjang pendi-
Kebijakan Pemerintah Tentang Profesionalisme Pendidik, Bambang Suteng Sulasmono – 11
dikan tinggi. Lebih lanjut dalam pasal 39 ayat (2) Undang undang No. 20 Tahun 2003 dinyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Selanjutnya Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Tampak bahwa secara yuridis formal jabatan guru merupakan suatu profesi. Sebagai suatu profesi maka guru/ pendidik harus memenuhi syarat-syarat sebagai profesi. Upaya pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme pendidik diantaranya adalah meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai berpendidikan tinggi. Program penyetaraan Diploma II bagi seluruh pendidikSD, Diploma III bagi seluruh pendidik SLTP dan Strata I (sarjana) bagi seluruh pendidik SLTA. Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi, dan pembentukan PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG (Kelompok Kerja Guru). Di samping itu adanya peningkatan kesejahteraan dengan mengupayakan adanya tunjangan profesi pendidik (Mustofa, 2007:87). Menurut Danim (2012: 44) kebijakan untuk mewujudkan guru yang benar-benar professional di Indonesia memiliki alur dan mencakup: (1) penyediaan guru berbasis perguruan tinggi, (2) induksi guru pemula berbasis sekolah, (3) profesionalisasi guru berbasis prakarsa institusi, dan (4) profesionalisasi guru berbasis individu atau menjadi guru madani. Dalam tulisan ini uraian butir dan 4 di atas disajikan dalam satu kesatuan. Penyediaan Guru Berbasis PT Menurut UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru penyediaan guru menjadi kewenangan lembaga pendidikan tenaga kependidikan, yaitu perguruan tinggi yang diberi tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk
menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan non kependidikan. Guru dimaksud harus memiliki kualifikasi akademik sekurang-kurangnya S1/D-IVdan bersertifikat pendidik. Jika seorang guru telah memiliki keduanya, statusnya diakui oleh negara sebagai guru profesional. UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen maupun PP No. 74 tentang Guru, telah mengamanatkan bahwa ke depan, hanya yang berkualifikasi S1/D-IV bidang kependidikan dan non kependidikan yang memenuhi syarat sebagai guru. Itu pun jika mereka telah menempuh dan dinyatakan lulus pendidikan profesi. Dua produk hukum ini menggariskan bahwa peserta pendidikan profesi ditetapkan oleh Menteri, yang sangat mungkin didasari atas kuota kebutuhan formasi. Dalam pendidikan profesi guru, ditegaskan bahwa: 1) calon peserta pendidikan profesi berkualifikasi S1/D-IV; 2) sertifikat pendidik bagi guru diperoleh melalui program pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi, baik negeri maupun swasta yang ditetapkan oleh pemerintah, 3) sertifikasi pendidik bagi calon guru harus dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel; 4) jumlah peserta didik program pendidikan profesi setiap tahun ditetapkan oleh Menteri; 5) program pendidikan profesi diakhiri dengan uji kompetensi pendidik; 6) uji kompetensi pendidik dilakukan melalui ujian tertulis dan ujian kinerja sesuai dengan standar kompetensi; 7) ujian tertulis dilaksanakan secara komprehensif yang mencakup penguasaan: (a) wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum atau silabus, perancangan pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar; (b) materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi mata pelajaran, kelompok mata pelajaran, dan/atau program yang diampunya; dan (3) konsep-konsep disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang secara konseptual menaungi materi pelajaran, kelompok mata pelajaran, dan/atau program yang diampunya; 8) ujian kinerja dilaksanakan secara holistic alam bentuk ujian praktik pembelajaran yang mencerminkan penguasaan kompetensi pedagogic, kepribadian, professional dan sosial pada satuan pendidikan yang relevan. Induksi Guru Pemula Berbasis Sekolah Tentang rekrutmen pendidik/Guru Undang-ndang No 14 Tahun 2005 menyatakan bah-
12 – Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Agama Kristen dan call for Papers, 5 Mei 2017.
wa “pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah atau pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah“ (pasal 25 ayat 2). Sedang pasal 25 ayat (3) menyatakan bahwa “pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama“. Manakala seseorang yang telah memenuhi kualifikasi dan lolos seleksi direkrut untuk menjadi guru, mereka belum bias langsung bertugas penuh sebagai guru karena mereka masih harus memasuki fase pra kondisi yang disebut dengan induksi. Melalui program ini seorang guru pemula akan dibimbing dan dipandu oleh mentor terpilih untuk kurun waktu sekitar satu tahun, agar benar-benar siap menjalani tugastugas profesional. Jadi, walaupun guru yang direkrut telah memiliki kualifikasi minimum dan sertifikat pendidik, sehingga secara hukum dilegitimasi sebagai telah memiliki kewenangan penuh, namun dipandang perlu untuk menjalani program induksi agar pada akhirnya dapat memposisikan mereka menjadi guru yang benar-benar profesional. Program induksi merupakan masa transisi bagi guru pemula (beginning teacher) terhitung mulai dia petama kali menginjakkan kaki disekolah atau satuan pendidikan hingga benar-benar layak dilepas untuk menjalankan tugas pendidikan dan pembelajaran secara mandiri. Ketika guru selesai menjalani proses induksi dan kemudian menjalankan tugas-tugas profesional, profesionalisasi atau proses penumbuhan dan pengembangan profesinya terus berlanjut. Diperlukan upaya yang terus-menerus agar guru tetap memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan kurikulum serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kegiatan ini dapat dilakukan atas prakarsa institusi, seperti pendidikan dan pelatihan, workshop, magang, studi banding, dan lain-lain. Prakarsa ini menjadi penting, karena secara umum guru pemula masih memiliki keterbatasan, baik finansial, jaringan, waktu, akses, dan sebagainya. Profesionalisasi Guru Sertifikasi Guru Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 membedakan antara pembinaan dan pengembangan kompetensi guru yang belum dan yang sudah berkualifikasi S-1 atau D-IV. Pengembang-
an dan peningkatan kualifikasi akademik bagi guru yang belum memenuhi kualifikasi S-1 atau DIV dilakukan melalui pendidikan tinggi program S-1 atau program D-IV pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan tenaga kependidikan dan/atau program pendidikan non kependidikan yang terakreditasi. Selanjutnya manakala para Guru tersebut sudah memenuhi kualifikasi akademik S1 maka yang bersangkutan berhak mengikuti proses sertifikasi Guru. Memang pendidik di Indonesia wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetisi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang RI No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan PP RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada pendidik sebagai tenaga profesional. Adapun tujuan sertifikasi pendidik antara lain: 1) Menentukan kelayakan pendidik dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran; 2) Meningkatkan profesionalisme pendidik; 3) Meningkatkan proses dan hasil pendidikan; 4) Mempercepat terwujudnya tujuan pendidikan nasional. Sertifikat tersebut dapat diperolah melalui pra-jabatan maupun dalam jabatan (inservice training) (Rubandi, 2008). Sertifikasi Pendidik Prajabatan Sertifikasi pendidik pra-jabatan telah diatur dalam Permendikbud No. 87 Tahun 2013 tentang Program Pendidikan Guru Prajabatan. Program Pendidikan Profesi Guru Prajabatan yang selanjutnya disebut program PPG merupakan program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan S1 Kependidikan dan S1/DIV Nonkependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi pendidik agar menguasai kompetensi pendidik secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan sehingga dapat memperoleh sertifikat pendidik profesional pada Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah. Program ini dilakukan melalui pendidikan profesi di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang terakreditasi (paling rendah B) dan ditetapkan oleh Menteri diakhiri dengan uji kompetensi (Permendikbud No. 87 Tahun 2013).
Kebijakan Pemerintah Tentang Profesionalisme Pendidik, Bambang Suteng Sulasmono – 13
Sertifikasi Pendidik dalam Jabatan (Inservice Training). Sejalan amanat Undang-Undang Guru dan Dosen No.14 Tahun 2005 program sertifikasi guru dalam jabatan telah dilaksanakan sejak tahun 2007 setelah diterbitkannya Peraturan Mendiknas Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi guru dalam Jabatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Berdasarkan hasil kajian pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan yang telah dilaksanakan dan kajian terhadap guru yang telah memperoleh sertifikat pendidik, mulai tahun 2016 dilaksanakan sertifikasi guru melalui Pendidikan Profesi Guru (SG-PPG) untuk pendidik yang diangkat sejak 31 Desember 2005 sampai 31 Desember 2015. Di samping itu, masih dilaksanakan sertifikasi guru dengan pola Portofolio (PF) dan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) bagi pendidik yang diangkat sebelum 31 Desember 2005 (Kemendikbud, 2016). Pengembangan dan peningkatan kompetensi bagi guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik dilakukan dalam rangka menjaga agar kompetensi keprofesiannya tetap sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dan/atau olah raga. Pengembangan dan peningkatan kompetensi dimaksud dilakukan melalui system pembinaan dan pengembangan keprofesian guru berkelanjutan yang dikaitkan dengan perolehan angka kredit jabatan fungsional. Kegiatan pengembangan dan peningkatan professional guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik dapat berupa: kegiatan kolektif guru yang meningkatkan kompetensi dan/atau keprofesian, pendidikan dan pelatihan, pemagangan, publikasi ilmiah atas hasil penelitian atau gagasan inovatif, karya inovatif, presentasi pada forum ilmiah, publikasi buku teks pelajaran yang lolos penilaian oleh BSNP, publikasi buku pengayaan, publikasi buku pedoman guru, publikasi pengalaman lapangan pada pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus, dan/atau penghargaan atas prestasi atau dedikasi sebagai guru yang diberikan oleh pemerintah pusat atau daerah. Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan PP No. 74 Tahun 2005 tentang Guru menetapkan bahwa terdapat dua alur pembinaan dan pengembangan profesi guru, yaitu: pembinaan dan pengembangan profesi, dan pembinaan dan pengembangan karir, Pembinaan dan pengembangan keprofesian guru meliputi pembinaan kompetensi-kompetensi pe-
dagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Sementara itu, pembinaan dan pengembangan karier meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi. Upaya pembinaan dan pengembangan karir guru ini harus sejalan dengan jenjang jabatan fungsional mereka. Pengembangan profesi dan karir tersebut diarahkan untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja guru dalam rangka pelaksanaan proses pendidikan dan pembelajaran di kelas dan di luar kelas. Upaya peningkatan kompetensi dan profesionalitas ini harus sejalan dengan upaya memberikan penghargaan, peningkatan kesejahteraan, dan perlindungan terhadap guru. Kegiatan ini menjadi bagian integral dari pengembangan keprofesian guru secara berkelanjutan. Pembinaan dan Pengembangan Profesi Semua guru memiliki hak yang sama untuk mengikuti kegiatan pembinaan dan pengembangan profesi. Program ini berfokus pada empat kompetensi di atas. Namun demikian, kebutuhan guru akan program pembinaan dan pengembangan profesi beragam sifatnya. Kebutuhan dimaksud dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu pemahaman tentang konteks pembelajaran, penguatan penguasaan materi, pengembangan metode mengajar, inovasi pembelajaran, dan pengalaman tentang teori-teori terkini. Pembinaan dan pengembangan profesi guru merupakan tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, penyelenggara satuan pendidikan, asosiasi profesi guru, serta guru secara pribadi. Kegiatan pembinaan dan pengembangan profesi dapat dilakukan oleh institusi pemerintah, lembaga pelatihan (training provider) non pemerintah, penyelenggara, atau satuan pendidikan. Di tingkat satuan pendidikan, program ini dapat dilakukan oleh guru pembina, guru inti, koordinator guru kelas, dan sejenisnya yang ditunjuk dari guru terbaik dan ditugasi oleh kepala sekolah. Analisis kebutuhan, perumusan tujuan dan sasaran, desain program, implementasi dan layanan, serta evaluasi program pelatihan dapat ditentukan secara mandiri oleh penyelenggara atau memodifikasi/mengadopsi program sejenis. Melalui Permennegpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Pendidik dan Angka Kreditnya pemerintah mengeluarkan kebijakan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), dalam rangka menjamin keprofesionalan pendidik pasca sertifikasi. PKB adalah pengembangan kompetensi pendidik yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuh-
14 – Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Agama Kristen dan call for Papers, 5 Mei 2017.
an, bertahap, berkelanjutan untuk meningkatkan profesionalitasnya. PKB merupakan salah satu komponen pada unsur utama yang kegiatannya diberikan angka kredit. Sedangkan, unsur utama yang lain, adalah: (a) Pendidikan dan (b) Pembelajaran/bimbingan. PKB terdiri dari tiga macam kegiatan, yaitu pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Hasil dari PKB ini akan berdampak pada prospek karier pendidik itu sendiri. Kegiatan PKB ini dikembangkan atas dasar profil kinerja pendidik sebagai perwujudan hasil Penilaian Kinerja Guru (PKG) yang didukung dengan hasil evaluasi diri. Bagi pendidik yang angka kreditnya PKG masih berada di bawah standar atau dengan kata lain berkinerja rendah, program PKB diorientasikan untuk mencapai standar tersebut; sementara bagi pendidik pendidik yang telah mencapai standar, kegiatan PKB diarahkan pada pencapaian jenjang karier yang lebih tinggi. Dampaknya tentu saja layanan pembelajaran yang berkualitas kepada peserta didik. Pembinaan dan Pengembangan Karir Pembinan dan pengembangan karir guru terdiri dari tiga ranah, yaitu penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi. Sebagai bagian dari pengembangan karir, kenaikan pangkat merupakan hak guru. Dalam kerangka pembinaan dan pengembangan, kenaikan pangkat ini termasuk ranah peningkatan karir. Kenaikan pengkat ini dilakukan melalui dua jalur. Pertama, kenaikan pangkat dengan system pengumpulan angka kredit. Kedua, kenaikan pangkat karena prestasi kerja atau dedikasi yang luar biasa. Kenaikan pangkat dan jabatan fungsional guru dalam rangka pengembangan karir merupakan gabungan dari angka kredit unsur utama dan penunjang ditetapkan sesuai dengan Permenneg PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009. Tugas-tugas guru yang dapat dinilai dengan angka kredit untuk keperluan kenaikan pangkat dan/atau jabatan fungsional guru mencakup unsur utama dan unsur penunjang. Unsur utama kegiatan yang dapat dinilai sebagai angka kredit dalam kenaikan pangkat guru terdiri atas: (a) pendidikan, (b) pembelajaran/pembimbingan dan tugas tambahan dan/atau tugas lain yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah, dan (c) pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB). Promosi dapat berupa penugasan sebagai guru pembina, guru inti, instruktur, wakil kepala sekolah, kepala sekolah, pengawas sekolah, dan
sebagainya. Kegiatan promosi ini harus didasari atas pertimbangan prestasi dan dedikasi tertentu yang dimiliki oleh guru. Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2008 tentang Guru mengamanatkan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesian, guru berhak mendapatkan promosi sesuai dengan tugas dan prestasi kerja. Promosi dimaksud meliputi kenaikan pangkat dan/atau kenaikan jenjang jabatan fungsional. Dalam rangka pengembangan karir guru, Permenneg PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009 telah menetapkan 4 (empat) jenjang jabatan fungsional guru dari yang terrendah sampai dengan yang tertinggi, yaitu Guru Pertama, Guru Muda, Guru Madya, dan Guru Utama. Menurut Permenneg PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009, penilaian dari tiap butir kegiatan tugas utama guru dalam rangka pembinaan karir, kepangkatan, dan jabatannya dilakukan melalui Penilaian Kinerja Guru (PKG). Pelaksanaan tugas utama guru tidak dapat dipisahkan dari kemampuannya dalam penguasaan pengetahuan, penerapan pengetahuan dan keterampilan, sebagai kompetensi yang dibutuhkan sesuai amanat Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Sebelum mengikuti PK Guru, seorang guru harus mengikuti uji kompetensi. Berdasarkan hasil uji kompetensi ini, guru akan dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu: (1) guru yang sudah mencapai standar kompetensi minimal yang ditetapkan, dan (2) guru yang belum memiliki standar kompetensi minimal yang ditetapkan. Guru yang sudah mencapai standar kompetensi minimum yang ditetapkan diberi kesempatan untuk mengikuti PK Guru. Sebaliknya, guru yang belum mencapai standar minimum yang ditetapkan, diharuskan mengikuti pendidikan dan pelatihan (Diklat) melalui multi mode, untuk kemudian mengikuti uji kompetensi. Jika hasil uji kompetensi memenuhi persyaratan, guru yang bersangkutan diberi peluang mengikuti PK Guru. Fokus utama PK Guru adalah (1) disiplin guru (kehadiran, ethos kerja), (2) efisiensi dan efektivitas pembelajaran (kappasitas transformasi ilmu ke siswa), (3) keteladanan guru (berbicara, bersikap dan berperilaku), dan (4) motivasi belajar siswa. Guru yang sudah mengikuti PK Guru, akan dihitung angka kredit yang diperoleh atas kinerjanya pembelajaran, pembimbingan, atau pelaksanaan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah yang dilakukannya pada tahun tersebut. Kegiatan penilaian kinerja dilakukan setiap tahun sebagai bagian dari proses pe-
Kebijakan Pemerintah Tentang Profesionalisme Pendidik, Bambang Suteng Sulasmono – 15
ngembangan karir dan promosi guru untuk kenaikan pangkat dan jabatan fungsionalnya. Kesejahteraan Pendidik Dalam pasal 14 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ditentukan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, pendidik berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Jaminan kesejahteraan pendidik tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2009, yang antara lain menentukan bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16, Pasal 18, Pasal 53, Pasal 55, dan Pasal 56 UndangUndang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru dan dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik dan/atau memiliki jabatan akademik profesor dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perlu diberi tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan/atau tunjangan kehormatan. Tunjangan profesi bagi guru dan dosen pegawai negeri sipil yang menduduki jabatan fungsional pendidik dan dosen diberikan sebesar 1 (satu) kali gaji pokok pegawai negeri sipil yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan tunjangan khusus, bagi pendidik dan dosen yang ditugaskan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah di daerah khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan diberi tunjangan khusus setiap bulan selama masa penugasan. Berkaitan dengan tunjangan kehormatan, dosen yang memiliki jabatan akademik profesor dan memenuhi persya1.
Pencanangan Guru sebagai profesi 4 Desember 2004
2004
2.
2005
1. Terbitnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen 2. Terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
2006
ratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan diberi tunjangan kehormatan setiap bulan.Tunjangan kehormatan bagi profesor pegawai negeri sipil diberikan sebesar 2 (dua) kali gaji pokok pegawai negeri sipil yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (PP No. 41 Tahun 2009). Selain itu, masih ada tunjangan-tunjangan lain disamping gaji pokok dan tunjangan yang disebutkan di atas. Tunjangan tersebut antara lain tunjangan pangan, tunangan jabatan umum, dan lain sebagainya (PP No. 12 Thn 2006). Di samping itu, sejak lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 dan PP No. 74 Tahun 2008, dimensi perlindungan guru mendapatkan titik tekan yang lebih kuat. Norma perlindungan hukum bagi guru tersebut di atas kemudian diperbaharui, dipertegas, dan diperluas spektrumnya dengan diundangkannya UU No. 14 tahun 2005. Dalam UU ini, ranah perlindungan terhadap guru meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Termasuk juga di dalamnya perlindungan atas Hak atas Kekayaan Intelektual atau HaKI. Dapatlah diringkaskan bahwa kebijakan pemerintah berkaitan dengan profesionalisme pendidik telah menyentuh mulai dari pendidikan pra jabatan, rekrutmen, in service training, kesejahteraan, dan perlindungan sebagaimana terpapar pada gambar 1. Lebih lanjut pada tahun 2012, kebijakan mengenai profesionalisme guru di Indonesia kembali dimantapkan sebagimana terpapar pada gambar 2.
Terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008 tentang Guru Pembayaran Tunjangan Profesi Pendidik bagi guru-guru yang sudah disertifikasi
2007
Pelaksanaan Sertifikasi Guru untuk Kuota Tahun 2006 dan 2007
2008
1. Terbitnya Permendiknas nomor 27 tahun 2010 tentang program induksi bagi guru pemula 2. Terbitnya Permendiknas nomor 35 tahun 2010 tentang Petunjuk teknis Jabatan Fungsional Guru dan Angka kreditnya
2009
1. Terbitnya PP no 41 th 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen serta Tunjangan Kehormatan Profesor. 2. Terbitnys PerMenneg PAN dan RB nomor 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya
2010
2011
Terbitnya Peraturan bersama Mendiknas, Men PAN&RB, Mendagri, Menkeu, dan Menang tentang Penataan dan Pemerataan guru PNS
Gambar 1. Milestone Pembinaan Profesi Pendidik (Danim 2012)
16 – Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Agama Kristen dan call for Papers, 5 Mei 2017.
Standar Seleksi Guru: S1/D4 Standar Kompetensi Jenjang Jabatan Guru Sistem pengendalian PK Guru dan dukungan PKB Pelaksanaan Sertifikasi Guru Pra dan Dalam Jabatan melalui PPG Bimbingan Teknis PK Guru dan PKB Penyesuaian Jafung Guru selesai (Permen 38/2010) Pembentukan Tim Penilai Jafung Guru Sistem Sanksi Rintisan Pelaksanaan PK Guru dan PKB
2012
2013
Permennegpan dan RB 16/2009 efektif berlaku (Penilaian Kinerja Guru dan PKB serta program Induksi dilaksanakan di seluruh sekolah) Pelaksanaan sistem pengendalian PK Guru dan dukungan PKB Sinergi kegiatan PK Guru dengan EDS Pelaksanaan PKB didasarkan pada hasil PK Guru Penuntasan Sergur di bawah S1/D4
Penuntasan Peningkatan Kualifikasi Guru ke S1/D4 Pelaksanaan PK Guru dan PKB berdasarkan hasil PK Guru
Pengangkatan calon Guru harus sudah bersertifikat
2015
2014
2016
Penuntasan Sertifikasi guru dalam jabatan Pendidikan profesi guru bagi calon guru
Gambar 2. Milestone Pembinaan Profesi Pendidik (Danim; 2012) CATATAN EVALUATIF TERHADAP KEBIJAKAN PROFESIONALISME GURU Gambaran kebijakan di atas menunjukkan bahwa dari sisi disain kebijakan, kebijakan tentang profesionalisme pendidik di Indonesia relatif cukup menjawab persoalan yang ada dan cukup komprehensif, mulai dari sisi persyaratan rekrutmen, rekrutmen, pembinaan profesi dan kesejahtaraan profesi pendidik. Sama seperti negara-negara dengan prestasi akademik yang baik semacam Singapura, Korea Selatan dan Jepang, Finlandia dan Kanada (Ismunandar, dkk, 2014; Kim, et.al, 2009; Ministry of Education, 2008; Sahlberg, 2007, 2010; The Council of Ministers of Education, Canada. 2011), Indonesia juga mendisain agar profesi Guru dimasuki oleh siswa terbaik dari sekolah menengah atas yang ada. Indonesia juga merancang sistem pembinaan karier, pembinaan profesi dan sistem kesejahteraan yang relatif memadai bagi para Pendidik sebagaimana dilakukan oleh negara negara maju di atas. Namun nampaknya disain kebijakan tersebut belum menghasilkan perubahan pendidikan sebagaimana diharapkan. Simpulan evaluatif tentang program sertifikasi oleh Bank Dunia (2012) menunjukkan bahwa “….Paying teachers more does not make them teach better”,yang bermakna program sertifikasi gagal mencapai tujuan kebijakannya. Sejumlah penelitian secara parsial juga menunjukkan bahwa kinerja Guru berserktifikasi memang tidak berbeda secara signifikan dengan Guru yang belum bersertifikasi (Astuti, 2016). Menjelaskan hal itu, Bank Dunia menya-
takan bahwa kegagalan itu bersumber dari tiga asumsi dasar yang ternyata tidak terwujud dalam implementasi kebijakan sertifikasi yaitu (1) the behavioral mechanism, (2) the academic upgrading mecahanism dan (3) the attraction mechanism. Secara teoritis diasumsikan bahwa perolehan penghasilan yang lebih tinggi dapat meningkatan upaya atau memungkinkan guru untuk lebih banyak mencurahkan waktu untuk mengajar dan lebih mempersiapkan pembelajaran dengan baik. Tetapi penelitian Bank Dunia menunjukkan bah-wa hal itu tidak terjadi di Indonesia. Memberi penghasilan lebih besar kepada Guru memang mengurangi kecenderungan Guru untuk “nyambi” di luar pekerjaan sebagai Guru, dan juga mengurangi beban finansial bagi Guru, tetapi tidak memperbaiki kinerja mengajar Guru. Dalam hubungan ini, Slameto (2014) juga menemukan bahwa sertifikasi belum memberikan dampak signifikan pada kemampuan professional pendidik termasuk terhadap peningkatan mutu pembelajaran. Bahkan muncul beberapa kasus yang tidak diharapkan, dimana ada pendidik yang menjadi lebih tidak disiplin pasca sertifikasi, ada pula yang mengasumsikan bahwa sertifikasi adalah suatu kondisi final dari profesi kependidikan. Jika sebelum sertifikasi, banyak pendidik yang sering mengikuti kegiatan pengembangan kemampuan melalui berbagai pelatihan, workshop dan seminar, maka setelah sertifikasi mereka cenderung tidak mengikuti lagi kegiatankegiatan tersebut. Lebih jauh, alokasi dana tunjangan profesi yang diterima para pendidik un-
10 – Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Agama Kristen dan call for Papers, 5 Mei 2017.
tuk pengembangan profesi sangat sedikit, atau bahkan tidak digunakan untuk pengembangan profesi pendidik sama sekali. Para pendidik lebih banyak mengalokasikan dana tunjangan profesinya untuk pemenuhan sandang, pangan dan papan, seperti pembelian tanah, rehab rumah, pembelian kendaraan bermotor, ditabung di bank, dan sebagainya. Tentang mekanisme penyetaraaan akademik guru, Bank Dunia mencatat bahwa gelombang penyetaraan pendidikan para guru agar berpendidikan S1, itu hanya mendorong sedikit peningkatan mutu pendidikan. Bank Dunia mengatakan With limited supervision on the competency levels teachers attain in the process of obtaining their degrees, minimum quality standards are not guaranteed. Competency “on paper” (bachelor’s degrees) are not necessarily on a par with competency “in reality” (skills that are useful for teaching. Sedang mengenai “the attration mechanism” Bank Dunia mencatat bahwa kebijakan meningkatkan penghasilan guru agar menarik siswa siswa terbaik masuk ke LPTK dihambat oleh fakta bahwa LPTK sekarang berlebihan dalam menghasilkan calon Guru (rata-rata 250.000 per tahun sementara kebutuhannya hanya 50.000-100.000 pertahun) dan pemerintah daerah atau sekolah juga tidak selalu merekrut calon guru terbaik karena berbagai pertimbangan. Oleh karena itu Bank Dunia menyatakan: With massive overproduction of teachers, combined with unclear and potentially unfair hiring rules, the chances of finding a secure and well-paid teaching position are slim, even for the high-caliber candidates. When high-school graduates internalize the poor career prospects in teaching, the brightest among them should opt out first, because they have more and better outside options. The current system, therefore, potentially achieves the opposite of what it intended: deterring rather than attracting high-caliber high-school graduates to pursue a career in teaching Catatan evaluatif di atas menunjukkan terjadinya kesenjangan implementasi (implementation gap) dalam kebijakan profesionalisme Guru. Menurut Centre for International Private Enterpise & Global Integrity (CIPE-GI, 2012) “implementation DAFTAR PUSTAKA. Astuti. 2016. “Dilema Pendidik SD Terhadap Implementasi Kebijakan Pemerintah Ter-
gap is the difference between law son the books and how they are carried outin practice”. Studi tentang kebijakan publik, termasuk kebijakan publik dalam bidang pendidikan, memang menunjukkan bahwa selalu terdapat kesenjangan antara maksud kebijakan itu sendiri dengan apa yang terwujud dalam pelaksanaan kebijakan yang bersangkutan (Rosli & Rossi, 2014; Effiong, 2013; Iqbal Ahmad et.all, 2012; Center for International Private Enterprise and Global Integrity, 2012; Makinde, 2008; Okorama, 2006; Collins, 2005; O’donoghue & Vidovich,2004; Taylor, 2004; Morris & Scott, 2003; Lam, 2003; Morris, 2002; Meadmore, 2001). Hal itu tidak terlepas dari fakta bahwa di satu pihak sebuah kebijakan publik hakikatnya merupakan kompromi dari berbagai kepentingan yang ada dibalik pembuatan kebijakan itu sendiri, sementara di lain pihak kebijakan itu juga selalu diterima, dipahami dari berbagai sudut pandang/kepentingan, serta dilaksanakan atau tidak dilaksanakan sesuai kapasitas kinerja pihak-pihak yang semestinya melaksanakannya. Menurut CIPE-GI (2012) alasan alasan bagi terjadinya kesenjangan implementasi bisa terdapat dalam politik, ekonomi maupun kebudayaan. Faktor-faktor politik mencakup birokrasi Negara, keabsahan kebijakan, kualitas kebijakan, dan agenda politik yang saling berseberangan. Faktor-faktor ekonomi meliputi: sumberdaya untuk mengimplementasikan kebijakan, hambatan terhadap kegiatan ekonomi, dan kepentingan pribadi/kelompok. Sedang faktor sosial dan budaya meliputi: pengaruh elit lokal, struktur sosial, kebudayaan dan persoalan insentif serta kelembagaan. PENUTUP Pemerintah Indonesia telah berupaya meningkatkan kinerja pendidikan melalui berbagai kebijakan dalam bidang profesionalisme pendidik. Namun kebijakan-kebijakan tersebut mengalami kesenjangan implementasi dalam operasionalisasinya. Diperlukan studi yang lebih mendalam untuk menemukan penyebab mengapa disain kebijakan profesionalisme Pendidik yang sudah dirancang dengan baik di atas, belum menghasilkan perubahan yang signifikan dalam kegiatan pendidikan di negeri ini.
kait Peningkatan Kompetensi dan Kualifikasi Pendidik.” Jurnal Pendidikan Te-
10 – Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Agama Kristen dan call for Papers, 5 Mei 2017.
matik DIKNAS Universitas JAMBI, Volume 1. No 1: 7-13. Center for International Private Enterprise and Global Integrity. 2012. Improving Public Governance Closing the Implementation Gap Between Law and Practice; Victoria: CIPE-GI Collins J., 2005. Schooling for Faith, Citizenship and Social Mobility: Catholic Secondary Education in New Zealand, 1924-1944; Journal of Educational Administration and History: Vol 37 (2) September: pp. 157-172. Danim. 2012. Kebijakan Pengembangan Profesi Guru; Jakarta: Badan PSDMPK-PMP Effiong,A.N,. 2013. “Policy Implementation and its Challenges in Nigeria.” International Journal of Advanced Legal Studies and Governance, Vol. 4, No. 3, December: 26 – 31. Fuji. 2017. Finlandia: Negara Dengan Pendidikan Terbaik Di Dunia Tanpa UN dan PR, Sedangkan Indonesia. http://www. selipan.com/story/finlandia-negaradengan-pendidikan-terbaik-di-duniatanpa-un-dan-pr-sedangkan-indonesia/ Glickman, C.D., Gordon, S.P., and Ross-Gordon, J.M. 2007.Supervision and Instructional Leadership A Development Approach. Seventh Edition. Boston: Pearson. Hasyim. 2014. Penerapan Fungsi Pendidik dalam Proses Pembelajaran. Auladuna, 1 (2): 265-276. Ismunandar, dkk. 2014. Mengenal Sistem Pendidikan Singapura. Bandung: Nuansa Cendekia Iqbal Ahmad,.Muhammad Rauf,. Imdadullah,. Alam Zeb,.2012. Implementation Gaps in Education Policies of Pakistan: Critical Analysis of Problems and Way Forward; International Journal of Humanities and Social Science, Vol 2 No. 21 November, pp: 240-245. Kim,et.al. 2009. Secondary Education and Teacher Quality in the Republic of Korea. Bangkok: Unesco Bangkok. Lam, C.C., 2003. The romance and reality of policy-making and implementation: a case study of the target oriented curriculum in Hong Kong; Journal of Educational Policy: Vol. 18 (6) November – December, pp. 641-655.
Makinde,T. 2005. Problems of Policy Implementation in Developing Nations: The Nigerian Experience; J.Soc.Sci., II(1) 63-69 Meadmore, P. 2001. ‘Free, compulsory and secular’ The reinvention of Australian public education; Journal of Educational Policy: Vol. 16 (2) 113-125. Ministry of Education. 2008. Culture, Sports, Science and technology-the development of education in Japan 2005-2008. National report of Japan. Presented at the 48 th session of the International Conference on Education, Geneva Morris, P., 2002. Promoting curriculum reforms in the context of a political transition: an analysis of Hongkong’s experience; Journal of Educational Policy: Vol. 17 (4) January-February, pp13-28. Morris, P. & Scott, I. 2003. Educational reform dan policy implementation in Hong Kong; Journal of Educational Policy: Vol. 18 (1) 71-84. Niemi. 2015. Teacher Professional Development in Finland: Towards a More Holistic Approach. Journal Psychology, Society, & Education, 7 (3): 279-294 O’donoghue, T. & Vidovich, L., 2004. Negotiating curriculum demands of ‘the Chruch’ and ‘teh state’: a case study of one Australian school; Journal of Educational Administration and History: Vol 36 (1) April; 9-18. OECD. 2016. Country Note: Indonesian Program for International Student Assesment (PISA) Result from PISA 2015 Okoroma, N.S,. 2006. “Educational policies and problem sof implementation in Nigeria.” Australian Journal of Adult Learning, Volume 46 Number 2, July. Rosli, A,. & Rossi, F,. 2014. Explaining the gap between policy aspirations and implementation: The case of university knowledge transfer policy in the United Kingdom; CIMR Research Working Paper Series. Richard M. Ingersoll & David Perda. 2008. "The Status of Teaching as a Profession." Chapter 12, pp 106-118 in Schools and Society: a Sociological Approach to Education. Edited by Jeanne Ballantine and Joan Spade. Los Angeles: Pine Forge Press Sahlberg, Pasi. 2007. Education policies for raising student learning: the Finnish ap-
Kebijakan Pemerintah Tentang Profesionalisme Pendidik, Bambang Suteng Sulasmono – 11
proach. Journal of Education Policy, 22 (2):147–171. Sahlberg, Pasi. 2010. The Secret to Finland’s Success: Educating Teachers. Stanford Center for Opportunity Policy in Education Research Brief. California: Stanford University School of Education. Slameto. 2014. “Permasalahan-Permasalahan Terkait dengan Profesi Pendidik SD.” Jurnal Scholaria, 4 (3): 42-53 Stan Lester.2015. On professions and being professional: Taunton,UK Taylor, S., 2004. “Researching educational policy and change in ‘new times’: using critical discourse analysis.” Journal of Educational Policy: Vol. 19 (4) July, pp 433452. The Council of Ministers of Education, Canada. 2011. Report Of Canada-The Development Of Education In Canada. http:// www.cmec.ca/Publications/Lists/Publicat ions/Attachments/34/ice46dev-ca.en.pdf World Bank. 2012. INDONESIA: Teacher certification and beyond. An empirical eva-
luation of the teacher certification program and education quality improvements in Indonesia; World bank: Report No. 94019-ID ----------2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. ----------2005. Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Depdiknas. ----------2016. Negara Yang Memberi Gaji Pendidik Tertinggi Di Dunia, Lalu Dimanakah Indonesia. http://info-menarik.net/negarayang-memberi-gaji-pendidik-tertinggi-didunia/ ----------2016. Permendikbud No. 87 Tahun 2013 tentang Program Pendidikan Profesi Prajabatan. Jakarta: Kemendikbud. ----------2016. Sertifikasi Pendidik dalam Jabatan Tahun 2016. Jakarta: Kemendikbud. ----------2006. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun.
12 – Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Agama Kristen dan call for Papers, 5 Mei 2017.