KEBERHASILAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM Abdul Rahmat Dosen Universitas Negeri Gorontalo PENDAHULUAN Sejarah manusia adalah sejarah pendidikan. Semenjak manusia lahir, sejak itulah pendidikan menunjukan eksistensinya, karena pendidikan tidak lain adalah sebuah proses interaksi individu dengan subjek lain seperti manusia, masyarakat maupun alam sekitar. Dari proses interaksi tersebut individu akan mendapatkan informasi, pengalaman, dan keterampilan baru untuk bisa menikmati kehidupan yang lebih baik. Itulah maka pada kurun terakhir ini pendidikan sering diartikan sebagai proses pembebasan manusia untuk menemukan harkat dan martabat insaninya. Manusia melalui mempunyai content yang mulia, sebagai suprastruktur ilmu. Oleh karena itu, sudah seharusnya manusia mempunyai kedudukan sesuai dengan martabatnya. Manusia tidak bisa dipertahankan apa adanya, tetapi untuk dikembangkan mencapai derajat kemuliaannya, sehingga manusia secara maksimal dapat mengembangkan dan mengakselerasi intelektualitas dan spiritualitasnya dan mengerjakan sesuatu dengan memiliki ilmunya (Al'isra':36). Dalam falsafah kehidupan bernegara dan berbangsa pada Sila ke satu Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa; Sila ke dua Pancasila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; Sila ke lima Pancasila Keadilan sosial bagi seluruh Bangsa Indonesia. Maka pendidikan Islam mempunyai korelasi signifikan dengan falsafah Bangsa dan Negara Indonesia tersebut. Eksistensi manusia untuk mencapai "Ketuhanan Yang Maha Esa"-nya dan mencapai "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab"-nya. Namun yang dimiliki manusia merupakan bagian juga untuk menerima "Keadilan sosial ". Pendidikan senantiasa harus dibangun untuk mencapai martabat manusia yang senantiasa berkembang, karena eksistensi pendidikan dalam menjawab tantangan zaman dan memberi kontribusi pada setiap perkembangan peradaban manusia. PEMBAHASAN A. Perilaku Perubahan Sudah bukan saatnya lagi terlambat menjawab tantangan zaman, dan tertinggal dalam pengembangan peradaban manusianya di era globalisasi dewasa ini.
Artinya : Barang siapa mempelajari suatu ilmu yang semestinya ilmu itu guna untuk menuju ke arah ridla Allah, akan tetapi ia tidak mempelajari itu kecuali niat agar memperoleh tujuan duniawi, maka pada hari kiyamat orang itu tidak dapat menerima bau surga ( apalagi untuk masuk). HR. Abu Huraerah Pendidikan mengangkat derajat orang lain dengan memberikan ilmu sebagaimana firman Allah dalam Al-quran, yang berbunyi :
Artinya : .......niscaya Allah akan meninggikan orang-orang beriman di antaramu, dan orang orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Suatu atau sejumlah perubahan selalu belaku pada semua masyarakat manusia, setiap saat di manapun mereka hidup dan berada. Manusia yang hidup bemasyarakat merupakan subjek serta sasaran perubahan. Perubahan dapat menyangkut tentang bebagai hal, perubahan fisikal oleh proses alami dan perubahan kehidupan manusia oleh dinamika kehidupan itu sendiri. perubahan yang menyangkut kehidupan manusia, atau terkait dengan lingkungan kehidupannya yang berupa fisik, alam, sosial disebut perubahan sosial.
Adapun manusia yang menuntut pelajaran agama Islam dengan pergi ketempat majlis taklim untuk menimba ilmu pengetahuan tentang keilahian juga terdorong atas kewajiban, dimana Islam mewajibkan kesetiap umatnya harus belajar, sebagimana yang telah digariskan dalam hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abdil Barr dari Anas, yang berbunyi sebagai berikut:
Artinya: mencari ilmu adalah wajib bagi setiap" muslim iaki-iaki maupun perempuan (A. Mudjab Mahali danumi Mujawazah Mahali, 1988:13).
Perubahan sosial dalam masyarakat Islam dimaksudkan sebagai perubahan menuju kualitas hidup yang lebih baik, atau perubahan menuju masyarakat yang Islami; adil, demokratis, dan egaliter. Dalam hal ini, Islam telah menegaskan prinsip-prinsipnya, yang sekaligus menegaskan pandangannya terhadap peranan agama dalam perubahan sosial. Prinsip-prinsip itu adalah: Pertama, Islam memandang bahwa kehadiran agama (Islam) di dunia ini dimaksudkan untuk mengubah masyarakat (an-naas) dari berbagai kegelapan kepada cahaya; min adh-zulumat ila annur. Sebagai manifestasinya Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan bahwa diutusnya beliau membawa agama Islam di atas bumi adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Islam adalah agama yang menghendaki “perubahan”. Ia datang bukan untuk membenarkan status quo, tetapi untuk memperbaiki (merubah) status quo. Zhulumat bentuk jamak dari zhulm yang berarti ketidaktahuan tentang syari’at, pelanggaran atas syari’at Allah, dan penindasan. Islam datang untuk membebaskan “umat” dari hidup yang berdasarkan kemaksiatan menuju ketaatan, dari kebodohan tentang syari’at menuju pengertian tentang halal dan haram, dari kehidupan yang penuh beban dan belenggu (penindasan) kearah kebebasan. Inilah misi Islam yang sebenarnya, juga misi para nabi serta para pelanjut nabi (QS.7:157). Kedua, Islam memandang perubahan sosial harus dimulai dari perubahan individual, dan ini harus disusul dengan perubahan institusional (QS.13:11). setelah mengajarkan kewajiban muslim terhadap sesamanya, Islam menetapkan institusi zakat. Setelah menganjurkan persaudaraan, Islam telah menetapkan institusi muakhat. Dan ini pula yang dalam pembahasan selanjutnya menjadi salah satu dasar lahirnya dakwah pengembangan masyarakat Islam, yakni sebagai manifestasi dari masyarakat yang “sadar” dan terorganisir. Ketiga, Islam memandang bahwa perubahan individual harus bermula dari peningkatan dimensi intelektual (pengenalan akan syari’at Islam), kemudian dimensi ideologikal (berpegang pada kalimat tauhid). Dimensi ritual harus tercermin pada dimensi sosial. Dimensi sosial Islam memperoleh proporsi yang jauh lebih besar dari pada dimensi ritual atau mistikal. Penegasan ini didasarkan pada kecenderungan al-Qur’an menghubungkan ibadah ritual dengan ibadah sosial, seperti shalat selalu dihubungkan dengan kehidupan bermasyarakat. Shalat harus mencegah fasya dan munkar (QS. 29:45); shalat selalu dikaitkan dengan zakat dalam banyak ayat al-Qur’an; Shalat diperintahkan bersamaan dengan perintah dalam kehidupan sosial (QS. 70:22, QS.107:1-7, QS.2:83), dan sebagainya. Prinsip-prinsip yang telah dijelaskan di atas merupakan paradigma Islam dalam menjawab kebutuhan ”umat” akan transformasi dan perubahan sosial menuju masyarakat yang Islami; adil, demokratis dan egaliter. Sebagai sebuah paradigma, prinsip-prinsip tersebut haruslah membimbing dan mengarahkan umat pada aksi-aksi (sosial) yang konkrit. Ini semua tergantung pada bagaimana “umat” (Islam) memahami agamanya, untuk kemudian mengamalkan ajaran-ajarannya di dalam kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, agama Islam dapat berperan dalam transformasi sosial selama “umat” Islam sendiri tidak memiliki kecenderungan yang sempit (bersifat normatif) dalam memahami aktivitas dakwah, yaitu diarahkan pada tujuan peningkatan aspek keagamaan (peribadatan) seperti: pengajian, tabligh, atau khutbah yang menyampaikan pengetahuan keagamaan (dakwah bil-lisan). Untuk menuju Islam sebagai agama transformasi dan perubahan sosial, yang menyentuh keseluruhan aspek kehidupan yang luas dan kompleks diperlukan dakwah yang lebih kompherensif, atau dikenal dengan istilah dakwah pengembangan masyarakat Islam (dakwah bil-hal). Pendidikan dalam perubahan sosial membutuhkan pemikiran yang lebih luas dan mendalam, karena masyarakat bukan sekedar masyarakat yang mengetahui dan mengamalkan ritual dan peribadatan keagamaan saja, yang seolah-olah kurang memperhatikan pengembangan fisik-material yang dapat
menjangkau “kerahmatan” bagi kehidupan yang lebih makmur, kuat, dan progresif. Pendidikan mampu menggali akar persoalan yang benar-benar dibutuhkan masyarakat atau yang dikenal dengan transformasi, yakni memiliki fungsi sebagai transformasi sosial budaya, yang berakar pada keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Tauhid ; bukan berdasar pada orientasi materialistik, dalam Al-Qur’an di sebut dengan istilah hamiyyatul jahiliyyah. C.Y. Glock dan R. Stark dalam Religion and Society in Tension mengemukakan, bahwa dalam diskursus dakwah transformasi, paling tidak terdiri atas lima dimensi: ritual, mistikal, ideologikal, intelektual dan sosial. Dimensi ritual berkenaan dengan upacara-upacara keagamaan, ritus-ritus religius, seperti shalat, maulidan dan sejenisnya. Dimensi mistikal menunjukan pengalaman keagamaan yang sedikitnya meliputi aspek kegelisahan (concern), pemahaman (cognition) kepercayaan (trust), dan rasa takut (fear). Keinginan untuk mencari makna hidup, kesadaran dan kehadiran Tuhan Maha Kuasa, tawakal, dan takwa adalah dimensi mistikal. Dimensi ideologikal mengacu pada serangkaian kepercayaan yang menjelaskan eksistensi manusia vis a vis Tuhan dan makhluk Tuhan yang lain. Pada dimensi inilah, misalnya orang memandang manusia sebagai khalifatullah fi al-ardh, dan orang Islam dipandang mengemban tugas luhur untuk mewujudkan amar Allah di bumi. Dimensi intelektual menunjukan tingkat pemahaman orang terhadap doktrin-doktrin agama. Sedangkan dimensi sosial – disebut Glock dan Stark sebagai consequential dimensions- yakni manifestasi ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat. Ini meliputi dimensi-dimensi di atas, walaupun titik beratnya berlainan. Dengan demikian, menurut Edward Mortimer, dakwah transformatif lebih banyak menekankan dimensi sosial ketimbang dimensi ritual, sehingga ia melihat dakwah transformatif sebagai a political culture. B. Pengembangan Manusia Manusia adalah mahluk Allah yang paling sempurna di dunia ini. Hal ini, seperti yang dikatakan Ibnu 'Arabi manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga karena ia merupakan mazhaz (penampakan atau tempat kenyataan) asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh. Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya. Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya. Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan dari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya. Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan dibandingkan pembahasan tentang ruh (al-ruh), jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung (al-qalb). Ungkapan tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa pendidikan bagi manusia merupakan proses kegiatan yang sengaja, terencana dan terorganisir dalam mengoptimalkan kemampuan dan potensi yang dimiliki setiap manusia sehingga memperoleh pengetahuan, kemampuan serta ketrampilan tertentu yang dapat mendukung kiprah dan kehidupannya, kini maupun masa depan. Pendidikan merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi antara dua pihak yang saling membutuhkan dalam meningkatkan kemampuan peserta didik menuju kedewasaan. Ini bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kegiatan pendidikan yang diikuti oleh setiap orang bertujuan mendorong orang tersebut yang menjadi peserta didik untuk berkembang dalam aspek pengetahuan, ketrampilan serta sikap dan perilakunya ke arah yang positif dan memberi makna bagi kehidupannya. Tidak ada kegiatan pendidikan yang tidak mendorong suatu kemajuan bagi yang mengikutinya, mengingat tujuan dari kegiatan pendidikan tersebut adalah menggali, mengasah dan mengembangkan potensi insaniah yang diperlukan setiap individu dalam hidupnya, antara lain: a. Meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. b. Mempertinggi budi pekerti. c. Memperkuat kepribadian. d. Mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusiamanusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Dengan demikian, pendidikan dapat membawa perubahan yang besar dan signifikan bagi perkembangan dan peningkatan kemamampuan seseorang yang menjadi peserta didik maupun masyarakat yang menjadi peserta didik. 1. Ruh dan Jiwa (al-Ruh dan al-Nafs) Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad. Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal
dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci. Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang) dan jiwa insani. Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, di samping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah). Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, Dzatnya dan Penciptaannya. Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa (nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya. Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat. Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2). Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah dijamin Allah langsung masuk surga. Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (Bukhari dan Muslim). Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.
2. Akal Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa (nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di dada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati (rasa). Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan tertinggi --akal perolehan (akal mustafad)-- ia dapat mengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan (sorga). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka). Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal kebahagiaan, maka menurut alFarabi, jiwa yang demikian akan hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ke tingkat akal perolehan. 3. Hati Sukma (Qalb) Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb. Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung, bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita
memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang, bahkan bangkainya. Hati manusia merupakan kunci pokok pembahasan menuju pengetahuan tentang Tuhan. Hati, sebagai pintu dan sarana Tuhan memperkenalkan kesempurnaan diri-Nya. "Tidak dapat memuat dzat-Ku bumi dan langit-Ku, kecuali "Hati" hamba-Ku yang mukmin lunak dan tenang”. ( HR Abu Dawud). Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara, bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama merupakan daya berpikir. Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah atau sumber ma'rifat --suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa, wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah moralitas. Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja, sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani. Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9). Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh. Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari Allah Swt. Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya, ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya, dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi. Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani. C. Penutup: Implikasi bagi Akhlak, Emosi dan Sosial Hubungan antar individu dalam lingkungan keluarga sangat mempengaruhi kejiwaan anak dan dampaknya akan terlihat sampai kelak ketika ia menginjak usia dewasa. Suasana yang penuh kasih sayang dan kondusif bagi pengembangan intelektual yang berhasil dibangun dalam sebuah keluarga akan membuat seorang anak mampu beradaptasi dengan dirinya sendiri, dengan keluarganya dan dengan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, dalam proses pembentukan sebuah keluarga diperlukan adanya sebuah program pendidikan yang terpadu dan terarah. Program pendidikan dalam keluarga ini harus pula mampu memberikan deskripsi kerja yang jelas bagi tiap individu dalam keluarga sehingga masing-masing dapat melakukan peran yang berkesinambungan demi terciptanya sebuah lingkungan keluarga yang kondusif untuk mendidik anak secara maksimal.
1. Keterpaduan Program Pendidikan Keberadaan sebuah program yang jelas dalam menjalani kehidupan akan memberikan pengaruh yang positif terhadap perilaku seseorang. Jika kita benar-benar yakin pada nilai positif program tersebut dan menjalankannya dengan konsekuen, sebuah karakter positif dalam perilaku kita akan terbentuk. Adanya program hidup yang sama, akan menghasilkan perilaku yang sama pula. Oleh karena itu, program tunggal dapat dijadikan parameter untuk mengetahui sejauh mana tindakan dan perilaku kita sesuai dengan program itu. Suami isteri harus bersepakat untuk menentukan satu program yang dengan jelas menerangkan hak-hak dan kewajiban masing-masing dalam keluarga. Islam dengan keterpaduan ajaran-ajarannya menawarkan sebuah konsep dalam membangun keluarga muslim. Konsep ini adalah konsep rabbani yang diturunkan oleh Allah, Tuhan Yang Maha mengetahui. Dialah yang menciptakan manusia dan Dia pulalah yang paling mengetahui kompleksitas kehidupan manusia. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa konsep yang ditawarkan oleh Islam adalah satu-satunya konsep dan program hidup yang sesuai dengan fitrah manusia. Konsep Islam adalah sebuah konsep yang secara jelas dan seimbang mendistribusikan tugas-tugas kemanusiaan. Islam tidak pernah memberikan tugas yang tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia dengan segala keterbatasannya. Konsep ini tidak akan pernah salah, tidak memiliki keterbatasan, dan tidak mungkin mengandung perintah dan tugas yang tidak dapat dilakukan. Penyebabnya tentu saja, karena konseptornya adalah Allah SWT. Konsep keluarga Islami memberikan prinsip-prinsip dasar yang secara umum menjelaskan hubungan antaranggota keluarga dan tugas mereka masing-masing. Sementara itu, cara pengaplikasian prinsip-prinsip dasar ini bersifat kondisional. Artinya, amat bergantung pada kondisi dan situasi dalam sebuah keluarga dan dapat berubah sesuai dengan keadaan. Oleh karena itu, kedua orang tua harus bersepakat dalam merumuskan detail pengaplikasian konsep dan program pendidikan yang ingin mereka terapkan sesuai dengan garis-garis besar konsep keluarga Islami. Kesepakatan antara kedua orang tua dalam perumusan ini akan menciptakan keselarasan dalam pola hubungan antara mereka berdua dan antara mereka dengan anak-anak. Keselarasan ini menjadi amat penting karena akan menghindarkan ketidakjelasan arah yang mesti diikuti oleh anak dalam pendidikannya. Jika ketidakjelasan arah itu terjadi, anak akan berusaha untuk memuaskan hati ayah dengan sesuatu yang kadang bertentangan dengan kehendak ibu atau sebaliknya. Anak akan memiliki dua tindakan yang berbeda dalam satu waktu. Hal itu dapat membuahkan ketidakstabilan mental, perasaan, dan tingkah laku. 2. Hubungan Kasih Sayang Salah satu kewajiban orang tua adalah menanamkan kasih sayang, ketenteraman, dan ketenangan di dalam rumah.
Hubungan antara suami dan isteri atau kedua orang tua adalah hubungan kasih sayang. Hubungan ini dapat menciptakan ketenteraman hati, ketenangan pikiran, kebahagiaan jiwa, dan kesenangan jasmaniah. Hubungan kasih sayang ini dapat memperkuat rasa kebersamaan antar anggota keluarga, kekokohan pondasi keluarga, dan menjaga keutuhannya. Cinta dan kasih sayang dapat menciptakan rasa saling menghormati dan saling bekerja sama, bahu-membahu dalam menyelesaikan setiap problem yang datang menghadang perjalanan kehidupan mereka. Hal ini sangat berperan dalam menciptakan keseimbangan mental anak. Suami isteri harus berusaha memperkuat tali kasih di antara diri mereka berdua dalam semua periode kehidupan mereka, baik sebelum masa kelahiran anak mereka maupun setelahnya. Memperkuat rasa cinta dan kasih sayang merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT. Karena itu, menjaga keutuhan kasih sayang termasuk dalam perintah Allah dan merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada-Nya.
3. Menjaga Hak dan Kewajiban Di dalam konsep keluarga Islami telah ditentukan hak-hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak suami dan isteri. Konsep ini jika benar-benar dijalankan akan menjamin ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarga. Jika suami dan isteri konsisten dengan kewajiban dan hak-hak mereka, hal itu akan dapat mempererat tali cinta dan kasih antara mereka. Selain itu, hal ini dapat menjauhkan
segala kemungkinan timbulnya perselisihan dan pertengkaran yang mengancam keutuhan rumah tangga yang dengan sendirinya berdampak negatif pada kejiwaan anak.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Munir Mulkhan. Teologi Kebudayaan dan Budaya Demokrasi Modernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995. Abu al-Wafi aI-Taftazani, Maduhal ila al-Tashawwuf al-Islamiy, Kairo: 1983. Achmadi. Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media. 1992. Ahmad Dandy, Allah dan Manusia Dalam Konsepsi Syeikh Nurudin al-Raniry, Jakarta: Rajawali, 1983. Ahmad Syafi’i Ma’arif. Islam dan Politik: Upaya Membingkai Peradaban. Cirebon: Pustaka Dinamika. 1999. Al-Farabi, Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo: 1906. Al-Ghazali, Asnan al-Qur'an fi Ihya 'Ulum al-Din, Kairo. Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Kairo, 1334 H. Al-Ghazali, Ma'arij al-Quds fi Madarij Ma'rifah al-Nafs, Kairo, 1327 H. Amin, M. Dinamika Islam; Sebuah Transformasi dan Kebangkitan. Yogyakarta: LKPSM. 1996. Compton, J.L. & McClusky, H.Y.(1980). Community Education For Community Development. London: Jossey-Bass Publisher. 1980 Dan R. Minnick. A. Guide to An Effective Lecture. Philippines: International Rice Research Institute. 1989. Telah diterjemahkan ke dalam judul Panduan Pengajaran Yang Efektif. Jakarta: Bina Desa Press. 2001. Dick Hartoko. Mamanusiakan Manusia Muda: Tinjauan Pendidikan Humaniora. Yogyakarta: Kanisius. 1985. Hadi Supeno. Pendidikan Dalam Belenggu Kekuasaan. Magelang: Pustaka Paramedia. 1999 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Hasan Langgulung. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: AlHusna Zikra. M. Djuransjah. Pengantar Filsafat Pendidikan. Malang: Bayu Media Publishing. 2004. M. Ngalim Purwanto. Psikologi Pendidikan. Bandung. Remaja Rosda Karya. 2002 Muhammad Athiyah Al-Abrasyi. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. Yogyakarta: Titian Ilahi Press. 1996 Muhammad Hanif Dhakiri. Paulo Freire, Islam dan Pembebasan. Jakarta: Djambatan. 2000. Muhyiddin Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, Kairo, 1949. Paulo Freire. Pendidikan Sebagai Proses; Surat Menyurat Pedagogis Dengan Para Pendidik Guinea–Bissau. (Penerjemah; Agung Prihantoro). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000 Paulo Freire. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999. Susan Kenny. Developing communities for the Future: Community development in Australia. Nelson: An International Thomson Publishing Company. 1994 Syamsu Mappa & Anisah Basleman. Teori Belajar Orang Dewasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994 Zamroni. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing. 2000