Keberhasilan Afrika Selatan Mendapatkan Hak Istimewa Menjadi Tuan Rumah Piala Dunia 2010 (1999-2004) O.K. Fachru Hidayat dan Edy Prasetyono Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Soft power merupakan komponen dari power yang berbeda dengan hard power. Ketika hard power menggaris bawahi pentingnya keberadaan kekuatan militer dan ekonomi, soft power lebih mengutamakan pada potensipotensi masyarakat, budaya, dan olahraga. Dalam panggung internasional saat ini, soft power telah banyak mendapat sorotan dari berbagai negara, seperti pergelaran Mega Sporting Events (MSE). Dari sudut pandang ini, pergelaran MSE menjadi perlu untuk dilihat dari sisi pengejawantahan soft power. Pergelaran Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan sebagai salah satu MSE terbersar di dunia menjadi menarik untuk diteliti mengingat pertama kalinya perhelatan ini di Afrika. Dengan mengkaji dari konsep soft power dapat dilihat dalam penelitian ini bahwa komponen soft power Afrika Selatan yang dominan dalam menghasilkan Piala Dunia 2010 adalah lobby politik, interaksi kepentingan dan solidaritas Afrika yang diusung oleh Afrika Selatan dengan gaung „Afrikanis.‟
Kata kunci: Soft power, Pop culture, Sepakbola, Afrika Selatan, Mega Sporting Events, Piala Dunia Sepakbola, FIFA
The Success of South Africa to Become The Host of FIFA World Cup 2010 Abstract Soft power is one of power components besides hard power. While hard power mainly highlight about military and economic power, soft power mainly argue about the importance of people, culture, and sports instead. In current international stage, many international actors see the importance of soft power, which may be seen by the hosting Mega Sporting Events (MSE). Through this perspective, MSE could be seen as a conduct of soft power. World Cup 2010, as one of the biggest MSE, and become appealing to be examined since it was the first time the event took place in Africa. By examining elements of soft power, this research leads to the main components of soft power that successfully brought World Cup 2010 to South Africa: political lobby, mutual interest interaction, and African solidarity which sounded by South Africa with the term „Africanist‟.
Key words: Soft power, Pop culture, Football, South Africa, Mega Sporting Events, World Cup, FIFA
Pendahuluan Pesatnya perkembangan dunia internasional setelah Perang Dingin membawa dunia internasional mengenal dua konsepsi power baru yang dinilai cukup signifikan untuk dimiliki
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
dan dikembangkan oleh negara. Setelah pentingnya hard power dalam bentuk kekuatan militer pada masa sebelum Perang Dingin, dan setelah Perang Dingin kekuatan ekonomi mendominasi permasalahan dalam dunia internasional, masifnya globalisasi saat ini membawa peranan penting bagi soft power yang menjadi cukup dominan menentukan dan mendukung dua kekuatan terdahulu. Soft power yang dimiliki suatu negara, pada dasarnya bergantung pada tiga sumber utama, yakni: budaya (di mana setiap orang memiliki ketertarikan terhadapnya), nilai-nilai politis/ political values (ketika orang merasakannya, baik itu di dalam maupun luar negeri), dan terakhir kebijakan luar negeri (ketika orang melihatnya sebagai suatu legitimasi dan mempunyai otoritas moral).1 Nye juga menjelaskan sumber-sumber soft power adalah kebijakan luar negeri, politik dan nilai-nilai domestik, high culture, dan pop culture.2 Keempat sumber ini dapat dieksploitasi secara parsial, kombinasi, maupun secara utuh guna memaksimalkan segala potensi yang dimiliki oleh negara. Dalam keempat sumber soft power, penelitian ini mencoba memahami lebih dalam aspek kebijakan luar negeri dengan eksploitasi sumber pop culture yang dimiliki oleh negara. Pop culture sendiri, menurut Nye, merupakan hiburan publik yang memiliki sumber paling luas dari empat sumber utama soft power.3 Pop culture dapat dieksploitasi menjadi sebuah sajian yang dapat diterima seluruh dunia. Salah satu bentuk pop culture adalah olahraga. Signifikansi proporsi olahraga dalam kehidupan modern ditunjukkan oleh posisi olahraga sebagai bagian dari analisis budaya. Olahraga memenuhi aspek untuk disebut sebagai pop culture karena mengandung makna dan nilai budaya melalui partisipasi, kompetisi dan menonton dapat yang membentuk jati diri masing-masing individu maupun kolektif.4 Dalam hubungan antara olahraga, nasionalisme, dan budaya dapat dilihat dari enam tema besar, yaitu, pertama, olahraga bukan hanya membantu mempererat identitas lokal, tetapi juga identitas nasional. Kedua, kegiatan olahraga menyediakan alat kontrol emosi yang aman bagi orang maupun bangsa yang frustasi (olahraga adalah subsitusi bagi kegiatan politik). Ketiga, olahraga adalah arena bagi negara yang ingin menunjukkan jati dirinya dan memainkan peran dalam hubungan internasional. Keempat, perkembangan olahraga dibentuk oleh aspek-aspek dalam masyarakat dan negara, dan sebaliknya, seperti bias kultural dan kelas yang ada di masyarakat. Kelima, olahraga seringkali memperkuat romantisme 1
Joseph S. Nye, Jr, “Soft Power” dalam Foreign Policy Autumn, no. 80 (1990): 153. Ibid. 3 Joseph S. Nye Jr, Public Diplomacy and Soft Power. 4 Annette Muller, “Women in sport and society,” dalam The International of Sport in the Twentieth Century ed. James Riordan dan Arnd Kruger (London dan New York: Taylor & Francis e-Library, 2004), 146. 2
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
kelompok pekerja dan memungkinkan terjadinya mobilisasi sosial. Keenam, sebagai bentuk dari budaya politik, olahraga membantu memperkuat persatuan nasional. 5 Peranan olahraga menjadi sangat luas bagi negara dan dunia internasional. Olahraga dapat digunakan sebagai alat propaganda, alat politik serta alat penguasaan ekonomi (melalui industrialisasi olahraga). Selanjutnya, salah satu bentuk dari penggunaan kebijakan luar negeri dengan pendekatan soft power adalah melalui diplomasi publik. Diplomasi publik dapat diartikan sebagai usaha resmi dari pemerintahan suatu negara untuk membentuk lingkungan komunikasi di luar negeri, di mana kebijakan luar negerinya dijalankan, dengan tujuan mengurangi kesalahpahaman dan mispersepsi yang dapat menyulitkan hubungan negaranya dengan negara-negara lain.6 Dalam berbagai bentuk diplomasi publik, pergelaran budaya dan olahraga secara besar-besaran merupakan salah satu pilihan diplomasi publik yang dapat digunakan negara, meskipun dirasakan beberapa pihak sebagai kebijakan yang tidak prodevelopment. Salah satu pergelaran budaya olahraga masif yang dikenal cukup luas dalam dunia internasional adalah Mega-Sporting Events (MSE). Awalnya hanya negara maju yang tampak tertarik dan mampu menyelenggarakan MSE, namun dewasa ini banyak negara berkembang yang juga turut berperan dalam proses bidding dan penyelenggaraan MSE. 7 Hal-hal yang menyebabkan negara berkembang ikut andil dalam MSE dijelaskan Black dan Van der Westhuizen, yaitu potensi keuntungan dan pendanaan dari MSE telah menjadi strategi yang populer bagi pemerintah, perusahaan dan dunia iklan di seluruh dunia. Pemerintah beranggapan bahwa keuntungan pembangunan, politik, dan sosial-budaya yang besar akan didapatkan, di sisi lain dengan mudahnya mengabaikan biaya dan resiko.8 Potensi pembangunan dari penyelenggaraan MSE menarik banyak perhatian, mulai dari pembangunan olahraga lokal, proses pembangunan sosial dan ekonomi yang dibawa MSE, potensi akumulasi modal, pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas pariwisata, pembangunan sumber daya manusia (penciptaan lapangan pekerjaan dan regenerasi masyarakat perkotaan), hingga keuntungan yang instan dari pariwisata, cinderamata, dan penjualan tiket. Selain keuntungan ekonomi yang didapatkan, Roche berpendapat bahwa potensi dari MSE untuk merepresentasikan dan membangun citra dari negara untuk 5
Grant Jarvie dan Irene Reid, “Sport in South Africa,” dalam The International of Sport in the Twentieth Century ed. James Riordan dan Arnd Kruger (London dan New York: Taylor & Francis e-Library, 2004), 243. 6 Hans N Tuch, Communicating with the World (New York: St. Martin Press 1990), 7. 7 Scarlett Cornelissen, “Sport Mega-Events in Africa: processes, impacts and prospects,” dalam Tourism and Hospitality Planning & Development 1, no.1 (2004), 2. 8 Black dan Van Der Westhuizen, “The Allure of Global Games for Semi-Peripheral Polities: A Research Agenda,” dalam Third World Quarterly 25, no.7 (2004), 1205.
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
mendapatkan pengakuan dalam hubungannya dengan negara lain dan di dunia internasional. Negara juga mempresentasikan tradisi dan komunitas nasional termasuk keadaan masa lalu, sekarang, dan yang akan datang (kemajuan nasional, potensi, dan tujuan). Hal-hal ini bukan hanya untuk pencitraan terhadap negara lain, tetapi juga masyarakat internasional.9 Selain penggunaan MSE sebagai diplomasi publik, olahraga acapkali digunakan negara untuk melakukan diplomasi. Kunjungan tim tenis meja Amerika Serikat (AS) ke Beijing pada tahun 1971 adalah sebuah pencapaian high proile, low politic yang memicu keterbukaan publik AS terhadap China. “Ping-pong diplomacy” ini menjadi sangat penting bagi rangkaian kunjungan Presiden Nixon ke Beijing dan mempererat hubungan Sino-US.10 Hubungan lain yang juga meredakan ketegangan antar negara adalah hubungan China-Korea pada awal medio 1990an, partisipasi dari kedua negara pada perhelatan yang diadakan di kedua negara menunjukkan keinginan baik untuk bekerjasama dan meningkatkan kerjasama ekonomi. Keputusan China untuk ikut pada Asian Games 1986 dan Olimpiade 1988 sangat diapresiasi oleh pemerintah Korea Selatan dan menjadikan perhelatan sebagai the most wellattended. Korea Selatan pun membalasnya dengan membantu sepenuhnya penyelenggaraan Asian Games 1990 di Beijing. Korea Selatan mengirimkan delegasi tingkat tinggi yang merupakan kolega terdekat Presiden Chun dan menyediakan 15juta dollar untuk periklanan dan memberikan berbagai donasi untuk membantu Beijing menyukseskan Asian games 1990.11 Perkembangan di atas menunjukkan bahwa olahraga telah menjadi bagian penting dari hubungan internasional. Levermore menjelaskan hubungan antara olahraga dan hubungan internasional, dimana olahraga dapat banyak menjelaskan tentang hubungan internasional. Hubungan antara olahraga dan hubungan internasional dapat dilihat dari modernisasi yang membawa industrialisasi menjadikan olahraga salah satu bagian penting dari ekonomi politik internasional. Tim olahraga menjadi korporasi internasional dengan hak tersendiri, industri hiburan dan judi yang berkembang di seluruh dunia, dan pencarian bakat dan persebaran media di negara-negara berkembang. Jasa ini membawa olahraga menjadi salah satu sektor yang dominan dalam kapitalisme internasional. 12 Selain keterkaitannya 9
Maurice Roche, Mega-Events & Modernity – Olympics and Expos in the Growth of Global Culture (London: Routledge, Taylor and Francis Group, 2000), dikutip dalam Black dan Van Der Westhuizen, “The Allure of Global Games for Semi-Peripheral Polities: A Research Agenda,” dalam Third World Quarterly 25, no.7 (2004), 1205. 10 Victor D. Cha, “Japan-Korea Relations: The World Cup and Sports Diplomacy,” diakses pada tanggal 5 Juli, http://csis.org/files/media/csis/pubs/0202qjapan_korea.pdf. 11 Ibid. 12 Christoper Hill, “Prologue,” dalam ed. Levermore, & Budd, Sport and International Relations – An Emerging Relationship (New York: Routeledge, 2004), x.
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
dengan ekonomi politik internasional, olahraga juga berkaitan dengan pembentukan identitas, penggunaan sebagai alat diplomasi yang efektif sejak tahun 1930-an, dan menjelaskan sistem internasional yang berlaku, maupun keadaan sosial yang terjadi di suatu negara.13 Banyak negara yang mengalami berbagai masalah internal kemudian berpengaruh pada hubungan luar negerinya, khususnya olahraga. Afrika Selatan yang dikeluarkan dari badan olahraga internasional, komunitas internasional dan olahraga internasional karena kasus apartheid menjadikan pemerintahnya merespon dengan berbagai kebijakan. 14 Dalam konteks ini, Afrika Selatan merupakan negara Afrika yang sangat erat kaitannya dengan penyelenggaraan MSE. Afrika Selatan menjadi negara pertama di Benua Afrika yang menyelenggarakan MSE (Piala Dunia 2010) sebagai bagian dari upaya untuk mencoba memperbaiki citranya dalam dunia internasional. Afrika Selatan menjadi penyelenggara Piala Dunia 2010 dengan status masih negara berkembang mengharuskan Afrika Selatan banyak melakukan pembangunan yang sangat signifikan guna memenuhi syarat-syarat yang diajukan FIFA. Afrika Selatan mempunyai perhatian yang lebih kepada MSE, hal ini dapat dilihat dari penyelenggaraan Piala Dunia Rugby 1995, mengikuti bidding Piala Dunia Sepakbola 2006, Piala Dunia Kriket 2003, Piala Dunia Golf Wanita pada tahun 2004, dan berbagai perhelatan yang bertujuan untuk membangun citra politik Afrika pada umumnya dan Afrika Selatan khususnya.15 Tinjauan Teoritik Perkembangan dunia internasional yang membawa pergeseran kekuataan membawa economic power dan soft power menjadi suatu hal yang sangat penting. Konsep soft power adalah konsep yang diperkenalkan oleh Joseph S. Nye pada tahun 1990. Joseph Nye mendefinisikan soft power sebagai kemampuan untuk mendapatkan yang yang diinginkan dengan cara memunculkan ketertarikan (attraction) dibandingkan dengan menggunakan melakukan paksaan (coercion) atau bayaran (payments). 16 Contohnya adalah suatu negara dapat menggunakan olahraga sebagai sarana untuk mempromosikan warisan budaya, sejarah,
13
Peter J. Beck, “For World Footballing Honours: England versus Italy, 1933, 1934 and 1939,” dalam ed. J.A. Mangan, Europe, Sport, World: Shaping Global Society – European Sports History Review 3 (London: Frank Cass, 2001), 279. 14 Roger Levermore dan Adrian Budd, ed., Sport and International Relations – An Emerging Relationship (New York: Routeledge, 2004), x. 15 Scarlett Cornelissen dan Kamilla Swart, The 2010 Football World Cup as a political construct: the challenge of making good on an African promise (Blacwell Publishing Ltd: 2006), 112. 16 Nye, Jr, “Soft Power,” 153.
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
menjalin komunikasi dalam sebuah perbedaan, sehingga memunculkan daya tarik tersendiri, karena olahraga merupakan bahasa yang mudah dipahami.17 Soft power yang dimiliki oleh suatu negara, pada dasarnya bergantung pada tiga sumber utama, yakni: budaya (di mana setiap orang memiliki ketertarikan terhadapnya), nilai-nilai politis/ political values (ketika orang merasakannya, baik itu di dalam maupun luar negeri), dan terakhir kebijakan luar negeri (ketika orang melihatnya sebagai suatu legitimasi dan mempunyai otoritas moral). 18 Budaya adalah kumpulan nilai-nilai dan kebiasaan (praktek) yang mempunyai arti bagi sebuah masyarakat. Budaya memiliki banyak manifestasi, dan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu high culture, seperti sastra, seni, dan pendidikan yang biasa ditujukan bagi kalangan elit; dan popular culture yang diperuntukkan bagi masyarakat secara umum (massal). Apabila budaya suatu negara memiliki nilai universal serta mempromosikan values dan interest yang dibagi bersama, maka budaya tersebut dapat meningkatkan desired outcomes-nya karena daya tarik yang tercipta.19 Joseph S. Nye juga menjelaskan dalam tulisannya “Public Diplomacy and Soft Power” akan betapa pentingnya diplomasi publik dalam hubungan internasional sekarang ini.20 Nye melengkapi konsep diplomasi publik dengan menyebutkan ada tiga dimensi dalam diplomasi publik. Dimensi pertama adalah membangun komunikasi secara rutin, yang menjelaskan dari kebijakan domestik maupun luar negeri suatu negara. Dimensi kedua adalah membangun sebuah komunikasi strategis, dimana suatu tema khusus terus menerus dipromosikan negara kepada publik. Dimensi terahkir adalah membangun hubungan jangka panjang dengan individu-individu penting lewat program-program seperti beasiswa, pertukaran pelajar, budaya, atau tenaga ahli, pelatihan, seminar, dan sebagainya.21 Kemampuan Soft power suatu negara bersandar pada sumber kebudayaan, nilai-nilai, dan kebijakan-kebijakannya. Diplomasi publik telah mempunyai catatan panjang dalam melakukan promosi terhadap soft power suatu negara dan memegang peranan penting dalam kemenangan AS pada Perang Dingin. Menurut Nye diplomasi publik dibangun dari soft power yang bersumber dari kebudayaan (tempat dimana itu menarik orang lain), nilai-nilai politik (ketika kehidupan mereka di negara sendiri dan luar negeri), dan kebijakan luar negeri 17
Joseph S. Nye, Jr, “Sports as Cultural Diplomacy”, diakses pada 5 Mei 2013, http://www.hks.harvard.edu/news-events/publications/insight/international/joseph-nye. 18 Nye, Jr; “Soft Power,” 155. 19 Ibid. 20 Joseph S. Nye, Jr, Public Diplomacy and Soft Power diakses pada 5 Mei 2013, http://ann.sagepub.com/content/616/1/94.full.pdf. 21 Ibid.
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
(ketika mereka terlihat sebagai legitimasi dan mempunyai otoritas moral). Soft power bukan serta-merta berupa pengaruh, namun ia salah satu sumber dari pengaruh, karena pengaruh bisa jadi berupa hard power yang berbentuk ancaman dan bayaran. Tabel 1. Soft Power Sources, Referees, and Receivers Sources of Soft Power
Referees for Credibility or Legitimacy
Receivers
of
Soft
Power Foreign policies
Governments,
media, Foreign
nongovernmental (NGOs),
governments
organizations and publics intergovernmental
organizations (IGOs) Domestic values and Media, NGOs, IGOs
Foreign
policies
and publics
High culture
Governments, NGOs, IGOs
Foreign
governments
governments
and publics Pop culture
Media, markets
Foreign publics
Sumber: Joseph S. Nye, Jr, Public Diplomacy and Soft Power, diakses dari http://ann.sagepub.com/content/616/1/94.full.pdf.
Dalam penelitian ini, penjabaran keempat sumber utama sebagai investasi dari negara dijabarkan dalam pembahasan. Analisa akan bertumpu pada aktor-aktor yang berperan menghasilkan suatu kebijakan luar negeri yang bersumber dari keempat sumber utama. Berdasarkan tiga dimensi diplomasi publik yang dijelaskan oleh Nye, penelitian ini akan lebih fokus pada dimensi kedua diplomasi publik, yaitu membangun sebuah komunikasi strategis, dimana suatu tema khusus terus menerus dipromosikan negara kepada publik. Keberadaan MSE dapat dilihat sebagai sebuah kegiatan diplomasi publik dimensi kedua. Dalam pencapaian kepentingan nasional, setiap negara memiliki pendekatannya masing-masing. Ada pendekatan hard power dan juga pendekatan melalui soft power dan mengedepankan pendekatan kultural. 22 Salah bentuk dari penggunaan instrumen dengan pendekatan soft power adalah melalui diplomasi publik. Diplomasi publik dapat diartikan sebagai usaha resmi dari pemerintahan suatu negara untuk membentuk lingkungan komunikasi di luar negeri, di mana kebijakan luar negerinya dijalankan dengan tujuan mengurangi kesalahpahaman dan mispersepsi yang dapat menyulitkan hubungan negaranya 22
Christopher Hill, The Changing Poltics of Foreign Affairs (New York: Palgrave Macmillan, 2003), 135.
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
dengan negara-negara lain. 23 Melalui peningkatan aktivitas diplomasi publik, pemerintah suatu negara berharap bahwa upaya diplomasi akan berjalan lebih efektif dan memberikan dampak yang lebih luas dan besar pada masyarakat internasional. Di samping itu, pemerintah pun berharap keterlibatan publik dapat membuka jalan bagi negosiasi yang dilakukan wakilwakil pemerintah, sekaligus dapat memberikan masukan dengan cara pandang yang berbeda dalam memandang suatu masalah. Istilah diplomasi publik ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1965 oleh Edmund Gullion dalam Fletcher School of Law and Diplomacy di Tuffs University. Melalui diplomasi publik ini, opini publik dapat berperan untuk mendukung kebijakan negara. Tidak hanya itu, publik juga dapat membantu memengaruhi opini masyarakat negara-negara lainnya mengenai negaranya. 25 Salah satu alasan dari adanya keterlibatan publik ini didasarkan pada asumsi bahwa pemerintah dianggap tidak selalu dapat menjawab berbagai tantangan dalam isu-isu diplomasi yang kini semakin kompleks terlebih sifat khas yang melekat dari pemerintah adalah sangat kaku (rigid). Dalam artikel Foreign Policy tahun 2002, 26 Mark Leonard menjabarkan empat tujuan diplomasi publik di abad ke 21, yaitu: 1. Meningkatakan rasa keakraban, mengubah image atau pandangan mereka mengenai suatu negara. 2. Meningkatkan
rasa
apresiasi,
menciptakan
pandangan
atau
persepsi
baik/positif dengan membuat masyarakat melihat suatu isu dari sudut pandang negara tersebut. 3. Meningkatkan hubungan dengan suatu negara, dalam hal ini mengenai pendidikan, pariwisata, atau budaya-budaya dari negara tersebut yang dapat diadopsi dan bisa dipahami. 4. MempengaruhiMemengaruhi sikap masyarakat, meningkatkan dukungan masyarakat terhadap posisi suatu negara. Berbeda dengan diplomasi konvensional yang identik dengan pola government to government, diplomasi publik lebih mengarah kepada government to people. Diplomasi publik bukan semata-mata hanya aktor publik yang menjalankan proses diplomasi, aktor publik ini tetap merupakan bagian atau setidaknya tetap di fasilitasi oleh negara. Tiga pilar penting dalam diplomasi publik adalah informasi, pendidikan, budaya.
23
Tuch, Communicating With the world, 7. Daniell S. Papp, Contemporary International Relations, Frameworks for Understanding (United States of America: Allyn and Bacon, 1997), 442-443. 26 Kirsten Bound, Cultural Diplomacy (London: Demos, 2007), 23. 25
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
Dalam konsep diplomasi publik ini, aktor yang digunakan dalam analisa adalah negara dan INGO. Negara masih sebagai aktor utama dimana sesuai dengan definisi dari Hans N Tuch ada usaha resmi dari negara, dengan target seluas-luasnya. Untuk kepentingan penelitian, target pemerintah negara lain, dan INGO menjadi alat analisa mendukung konsep soft power yang lebih umum. Lebih spesifik dalam olahraga dan sepakbola dalam analisa, berikut penjabaran diplomasi olahraga menurut Stuart Murray yang merupakan berada dalam payung besar diplomasi publik. Menurut Stuart Murray, diplomasi olahraga berada di bawah payung luas diplomasi publik dimana aktivitas diplomasi dan representasi dari negara ikut berperan oleh orangorang olahraga. Kegiatan ini melibatkan dan merupakan representasi dari kegiatan diplomasi suatu negara yang dilakukan oleh atlit-atlitnya yang merupakan perwakilan dari suatu negara. Kegiatan ini pun masih difasilitasi oleh negara dengan menggunakan atau mengirimkan atlitatlitnya ke negara tujuannya. Kegiatan ini dilakukan pada umumnya dengan melakukan acara olahraga bersama untuk menjalin komunikasi yang baik, saling bertukar informasi, dan tidak hanya itu tapi sebagai sarana untuk menciptakan pencitraan yang baik bagi suatu negara dan membentuk persepsi atau opini publik untuk kepentingan nasional suatu negara. Saat diplomasi tradisional dilakukan sebagai sarana untuk mencapai kebijakan luar negeri suatu negara, diplomasi olahraga hadir bahkan untuk melengkapi aktivitas diplomasi tradisional dan mencapai kebijakan luar negeri suatu negara.27 Stuart Murray dalam tulisannya melihat ada beberapa alasan mengapa olahraga dapat menjadi bagian dari diplomasi dan memiliki pengaruh dalam hubungan antar negara. 28 Pertama, terjadi perubahan dalam dunia diplomasi untuk dapat beradaptasi dan bereksperimen. Salah satunya adalah dengan menggunakan olahraga. Penggunaan olahraga dalam diplomasi secara tidak langsung menjadi sarana kebijakan luar negeri suatu negara, dan dapat menjadi sarana yang efektif dalam memengaruhi opini publik, karena olahraga merupakan kegiatan yang digemari oleh seluruh masyarakat. Olahraga dapat meningkatkan dialog atau komunikasi antar individu dan sarana integrasi dalam komunitas yang multikultural. Olahraga dapat membangun pengalaman antar etnis dan mengembangkan kepercayaan kepada orang lain. Kerja sama dan persaingan sengit terhadap satu sama lain dalam olahraga dapat mengajarkan untuk saling menghormati tanpa berpikir mengenai ras, warna kulit, agama, atau karakteristik yang berbeda satu sama lain. 27
Stuart Murray, Sports-Diplomacy: a hybrid of two halves diakses pada 6 Mei 2013, http://www.culturaldiplomacy.org/culturaldiplomacynews/content/articles/participantpapers/2011symposium/Sports-Diplomacy-a-hybrid-of-two-halves--Dr-Stuart-Murray.pdf. 28 Ibid.
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
Ketiga, seluruh masyrakat dunia telah lelah melihat bagaimana tindak-tindak kekerasan yang telah terjadi. Masyarakat dunia lebih menyukai pendekatan-pendekatan yang lebih halus atau soft power, seperti olahraga. Di masa modern seperti ini, olahraga, budaya dan diplomasi dapat menjadi kekuatan tersendiri sebagai alat kebijakan luar negeri suatu negara. “Sports can be a powerful medium to reach out and build relationships…across cultural and ethnic divides, with a positive message of shared values: values such as mutual respect, tolerance, compassion, discipline, equality of opportunity and the rule of law. In many ways, sports can be a more effective foreign policy resource than the carrot or the stick.”29 Dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana Afrika Selatan cenderung menggunakan diplomasi publik dan olahraga dalam kebijakan luar negerinya. Hal ini dibuktikan dengan penyelenggaraan Piala Dunia (MSE) yang merupakan salah satu alat yang sangat efektif untuk melakukan diplomasi publik. Metode Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Afrika Selatan berhasil menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010. Meskipun keinginan Afrika Selatan untuk menyelenggarakan Piala Dunia telah diperlihatkannya sejak 1999, namun Afrika Selatan baru berhasil dalam bidding kedua yang diikutinya pada tahun 2004. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan bersifat eksplanatif yang berupaya memberikan penjelasan terhadap sebuah kasus. Terdapat sejumlah definisi diajukan mengenai penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur. Data yang digunakan adalah data sekunder yang didapatkan dari buku, jurnal ilmiah, artikel baik di media cetak maupun elektronik, dan laporan (report) dari lembaga resmi pemerintah maupun non-pemerintah. Data-data kualitatif yang dikumpulkan kemudian dianalisa untuk kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif.
Gambar 1. Model Analisis
29
Ibid.
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
-Soft power -Diplomasi Publik
-Pemerintah -FIFA
Piala Dunia 2010
Sumber: Gambar olahan penulis
Hasil Penelitian Hasil penelitian yang ditemukan dalam penelitian ini adalah: Pencapaian Afrika Selatan dalam mendapatkan hak istimewa menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010 adalah komponen-komponen dari soft power dan gencarnya diplomasi publik yang dilakukan Afrika Selatan. Komponen-komponen tersebut meliputi lobby politik, interaksi kepentingan dan visi Afrikanis yang digaungkan Afrika Selatan. Gambar 2. Komponen Soft Power Afrika Selatan
Interaksi Kepentingan Solidaritas Afrika
Lobby Politik
Piala Dunia 2010 Sumber: Gambar olahan penulis
Pasca-demokratisasi yang dialami oleh Afrika Selatan, keterbukaan dan pembenahan dilakukan. Banyaknya dukungan yang didapatkan dari berbagai pihak membawa keuntungan pembentukan citra yang baru dengan maksimal. Akses Afrika Selatan terhadap rehabilitasi hubungan politik, ekonomi, sosial, dan budaya pun berada pada titik maksimal. Hal ini menjadikan lobby politik Afrika Selatan pun semakin maksimal, khususnya untuk dapat
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
menyelenggarakan MSE pertama di Benua Hitam. Kemampuan ini tidak didapatkan dengan cuma-cuma, Afrika Selatan terus membangun ekonomi, keadaan politik, dan citra Afrika Selatan baru setelah apartheid. Selain itu, ketokohan yang mendunia dimiliki oleh pemimpin setelah masa apartheid, Nelson „Madiba‟ Mandela mendatangkan banyak keuntungan bagi Afrika Selatan. Kepercayaan akan pembangunan ekonomi dapat dicapai dengan stabilitas, dan stabilitas dapat dicapai dengan demokrasi menjadi bangunan dasar Afrika Selatan baru dibawah kepemimpinan ANC. Nelson Mandela telah memberikan banyak peranannya dari keempat sumber utama soft power, mulai dari kebijakan luar negeri, nilai-nilai domestik (politik), high culture, pop culture. Nelson Mandela merupakan salah satu tokoh Afrika Selatan yang menjadi tokoh Afrika yang akhirnya mendunia. Mandela menjadi Presiden pertama yang meletakkan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan. Dengan modal yang cukup guna meningkatkan posisi tawar, Afrika Selatan leluasa melakukan lobby politik untuk dapat menghadirkan Piala Dunia Sepak bola di Benua Afrika. Lobby politik dilakukan oleh Afrika Selatan, maupun setiap tokoh-tokoh yang bersinar di dunia internasional seperti Nelson Mandela, Thabo Mbeki, Danny Jordan, dan Irvin Khosa. Tidak hanya itu, tokoh sepakbola internasional seperti George Weah, Samuel Eto‟o, Michel Platini dari UEFA, Sepp Blatter dan Joao Havelange dari FIFA, maupun negara sahabat seperti Kanselir Jerman, Gerhard Schroder dan Presiden Brasil. Tokoh-tokoh internasional yang dominan dalam dunia internasional ikut berperan dalam memberikan dukungan kepada Afrika Selatan untuk menghasilkan Piala Dunia 2010. Dukungan dan galangan internasional ini memberikan dampak bagi kepercayaan yang terus meningkat pada kemampuan Afrika Selatan dalam menyelenggarakan perhelatan yang acap kali diselenggarakan oleh negara maju. Komponen soft power lain yang dominan dalam menghasilkan Piala Dunia 2010 adalah interaksi kepentingan. Afrika Selatan berhasil mengakomodasi berbagai kepentingan guna memaksimalkan peranan berbagai pihak untuk menghadirkan Piala Dunia pertama di Benua Afrika. Interaksi kepentingan seperti bantuan kepada Mali untuk menyelenggarakan Piala Afrika 2002. Afrika Selatan menyediakan bantuan kepada negara Afrika Barat ini dengan berbagai sektor, yaitu, sumberdaya manusia, bantuan keuangan, kemampuan teknis penyelenggaran, fasilitas komunikasi, hingga transportasi (melalui South African Airways). Selanjutnya, pada Piala Afrika 2008, Afrika Selatan juga membantu Ghana dalam perhelatan ini. Afrika Selatan kerap menggerakkan Bangsa Afrika dengan visi Afrikanis yang diusungnya. Interaksi kepentingan lain adalah Afrika Selatan mengakomodasi representasi dari
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
negara tetangga Mozambique, Swaziland dan Lesotho yang bertindak sebagai anggota komite dalam struktur resmi LOC Piala Dunia 2010 dalam sektor keramahan. Dalam struktur ini juga termasuk representasi dari pemerintah provinsi yang berbatasan langsung dengan ketiga negara tersebut. Negara lain seperti Botswana, Namibia, dan Angola (yang menggunakan Bahasa Portugis) juga tetap mendapatkan informasi penting dalam proses perencanaan karena mereka juga akan mendapatkan keuntungan ekonomi dari perhelatan ini. Pada bulan April 2009 Mozambique mendapatkan kontrak US$75 juta untuk merenovasi Mozambique International Airport yang akan digunakan pada Piala Dunia 2010. Dengan solidaritas yang baik, negara-negara juga bersatu dalam Southern African Power Pool (Mozambique, Republik Demokratik Kongo, dan Zambia) yang dikerahkan untuk menyediakan pasokan listrik darurat dan transmisi tambahan untuk memastikan Afrika Setalan tidak mengalami kekurangan suplai energi pada penyelenggaraan Piala Dunia.32 Komponen terakhir adalah visi Afrikanis yang diusung Afika Selatan sebagai landasan kebijakan luar negerinya berhasil membangkitkan solidaritas Afrika yang juga berperan sebagai sumber soft power dari high culture. Pernyataan Thabo Mbeki dalam Kick Off Workshop Piala Dunia 2010 di Cape Town 24 Oktober 2006, “Setiap hari, sebagai Orang Afrika, kita berbicara akan kebutuhan untuk menghargai jati diri dari setiap manusia dan menyebarkan
nilai-nilai
universal
dari
Ubuntu
(kebaikan
hati
dan
solidaritas
kemanusiaan).” 33 Selanjutnya Mbeki menjelaskan, “saya harus berasumsi bahwa kita berbicara sesuai dengan siapa kita, dengan pentingnya penyebaran dan pemahaman mengenai ubuntu, karena pengalaman penyiksaan kemanusiaan nyata kita rasakan, sangat bertentangan dengan kita, dan sangat berbekas dalam ingatan kita masing-masing.”34 Selanjutnya, Afrika Selatan mengajak FIFA, Konfederasi Sepakbola Afrika (CAF), komunitas olahraga internasional, dan sahabat Afrika untuk menyediakan bantuan apapun untuk Afrika Selatan dan persiapan untuk Piala Dunia 2010. AU juga megajak negara anggotanya untuk membentuk program nasional dan identifikasi duta olahraga AU untuk membantu implementasi International Year of African Football, Sport for All, dan program 2010 FIFA World Cup Legacy. Pada Januari 2007, pertemuan kepala negara dan pemerintahan AU meluncurkan 2007 sebagai International Year of African Football untuk memperkuat solidaritas dengan Afrika Selatan dalam penyelenggaraan Piala Dunia 2010. 32
Sifiso Mxolisi Ndlovu, “Sport as cultural diplomacy: the 2010 FIFA World Cup in South Africa‟s foreign policy.” 33 M. Gevisser, Thabo Mbeki: The Dream Deferred. 34 Thabo Mbeki, “2010 FIFA World Cup South Africa Kick-Off Workshop,” diakses pada 25 September 2013, www.SA2010.gov.za/en/node/433
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
Selain pembangunan dan investasi soft power, Afrika Selatan juga didukung oleh berbagai jaringan dan kedekatan yang dimiliki dan dipelihara dengan baik. Hal ini mendukung hipotesa kedua penelitian ini yaitu dukungan faktor eksternal, FIFA yang berperan aktif memastikan dan cukup menentukan keberhasilan Afrika Selatan mendapatkan hak istimewa ini. Kedekatan historis yang dimiliki Afrika Selatan dengan FIFA sejak awal bergabungnya negara-negara baru merdeka di FIFA membawa konstelasi politik baru di FIFA. Adanya keinginan untuk perubahan dari negara baru yang menjadi mayoritas. Kesempatan ini memberikan ruang untuk munculnya blok baru yang dominan dan sampai sekarang memimpin FIFA. Pernyataan Presiden FIFA yang dikutip di awal secara eksplisit menerangkan bahwa perubahan kebijakan penetuan Piala Dunia menjadi rotasi dan bidding merupakan kepentingan Afrika, dan kebijakan ini bertujuan untuk kepentingan Afrika Selatan (yang pada proses bidding Piala Dunia 2006 kalah oleh Jerman). Para pemimpin FIFA sejak reformasi yang diusung oleh negara-negara baru (Asia dan Afrika) kerap melakukan lobby politik untuk kepentingan Afrika Selatan, khususnya Sepp Blatter. Interaksi kepentingan juga terjadi pada pemungutan suara yang dilakukan untuk pemilihan presiden FIFA antara Afrika Selatan dan FIFA (Sepp Blatter), kesuksesan Joao Havelange dan penerusnya Sepp Blatter sangat berkaitan dengan keberhasilan Afrika Selatan berhasil mendapatkan hak istimewa penyelenggaraan Piala Dunia 2010. Pembahasan Menilik sepak terjang Afrika Selatan dan kaitannya dengan olahraga internasional cukup menarik, mulai dari tahun 1964 Afrika Selatan dihukum tidak dapat beraktivitas sampai waktu yang tidak ditentukan oleh FIFA, dan pada tahun 1974 negara ini resmi dikeluarkan oleh FIFA dari organisasinya.35 Selain perlawanan universal terhadap apartheid, manajemen sepakbola absurd yang dibentuk apartheid telah menyerang dan mempermalukan FIFA. Pada tahun 1963 Afrika Selatan mengumumkan akan mengirimkan tim kulit putih untuk Piala Dunia 1966 di Inggris dan tim kulit hitam pada tahun 1970. 36 Pengasingan dan pengucilan yang dilakukan FIFA terhadap Afrika Selatan merupakan bagian dari kampanye global menolak apartheid yang bertujuan untuk isolasi sepenuhnya terhadap aktivitas Afrika Selatan. Bersama dengan isolasi diplomatik negara dan komersil, Afrika Selatan juga dikeluarkan dari keikutsertaan perhelatan akbar olahraga internasional dan keangotaannya. 35
Edward Griffith, Bidding for Glory (Johannesburg: Jonathan Ball Publisher Ltd., 2000), 78. Mail & Guardian, “Eye on the ball? Or: eyes on the brands?” diakses pada tanggal 4 April 2013, http://archive.mg.co.za/MGArchive/FrameSet.asp?Src=Adv 36
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
Selama kampanye pengajuan Piala Dunia, Thabo Mbeki mengelu-elukan FIFA dalam perlawanan terhadap apartheid. Dalam pidatonya kepada FIFA, Mbeki menyampaikan, “terima kasih FIFA untuk apa yang telah kalian lakukan untuk membantu kami mencapai kebebasan!”37 Perubahan yang terjadi dan inklusi Afrika Selatan terhadap komunitas internasional dengan cepat membuka pintu kepada olahraga Afrika Selatan. Bahkan, olahraga menjadi salah satu yang berubah dengan sangat cepat dalam penerimaan dan masuk kembalinya Afrika Selatan ke organisasi dan komunitas olahraga internasional. Pada tahun 1992 tim nasional kriket Afrika Selatan telah bermain dalam Piala Dunia Kriket di Australia, dan tim nasional sepakbola Afrika Selatan (Bafana Bafana) bermain dalam laga internasionalnya di kandang. 38 Partisipasi Afrika Selatan dalam Olimpiade Barcelona 1992 adalah sebuah penerimaan simbolik yang sangat penting. Dengan menerima Afrika Selatan kembali ke komunitas Olimpiade, dunia menyadari bahwa negara ini telah diterima lagi ke dalam komunitas internasional. Pentingnya olahraga bagi kebijakan luar negeri Afrika Selatan berlanjut dan memberikan hasil yang luar biasa. Badan sepakbola internasional, FIFA, juga dengan tangan terbuka menerima kembalinya Afrika Selatan dengan manajemen yang multi ras dan inklusif kembali masuk ke dalam rangking FIFA. Keanggotaan FIFA sama artinya mempunyai potensi yang besar untuk menyelenggarakan Piala Dunia bagi Afrika Selatan. Pada bulan Oktober 1997, Afrika Selatan secara resmi menyatakan intensi untuk mengikuti bidding Piala Dunia 2006.39 Afrika Selatan yang menjadi penyelenggara Piala Dunia 2010 (PD 2010) dengan status masih negara berkembang menjadi menarik karena Afrika Selatan banyak melakukan pembangunan guna memenuhi syarat-syarat yang diajukan FIFA. Afrika Selatan mempunyai perhatian yang lebih kepada MSE, hal ini dapat dilihat dari penyelenggaraan Piala Dunia Rugby 1995, mengikuti bidding Piala Dunia Sepak Bola 2006, Piala Dunia Kriket 2003, Piala Dunia Golf Wanita pada tahun 2004, dan berbagai perhelatan yang bertujuan untuk membangun citra politik Afrika pada umumnya dan Afrika Selatan khususnya.40 Gambar 3. Kegiatan Diplomasi Publik Afrika Selatan
37
Thabo Mbeki, Presentasi dalam bidding Piala Dunia 2010 Afrika Selatan di FIFA, diakses pada 6 April 2013, http://www.info.gov.za 38 Edward Griffith, Bidding for Glory, 16-17. 39 Ibid., 81. 40 Cornelissen dan Swart, The 2010 Football World Cup as a political construct: the challenge of making good on an African promise, 112.
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
Piala Dunia Rugby 1995 Bidding Piala Dunia 2006 Bidding Olimpiade 2004 Piala Dunia Kriket 2003 Piala Dunia Golf 2004
Sumber: Gambar olahan Penulis
Afrika Selatan merupakan negara Afrika yang sangat erat kaitannya dengan penyelenggaraan MSE. Afrika Selatan bukan tanpa modal dan persiapan apa-apa dalam menjadi penyelenggara Piala Dunia Sepakbola yang merupakan tujuan utamanya. Afrika Selatan telah sukses menyelenggarakan Piala Dunia Rugby 1995 menjadikan pergerakan aktivitas yang kian berlanjut untuk menyelenggarakan MSE sebagai ambisi dan tujuan. Hal ini didukung oleh efek pertunjukkan yang membawa kepercayadirian kepada negara yang mempunyai kapasitas besar dalam melaksanakan perhelatan internasional dan keuntungan bukan uang yang didapatkan Afrika Selatan setelah menyelenggarakan Piala Dunia Rugby 1995. Diselenggarakan Afrika Selatan berhasil menyelenggarakan Piala Dunia Rugby pada masa-masa transisi demokratisasi dan menjadi juara dalam turnamen tersebut. Hal ini memberikan dampak terhadap persatuan masyarakat yang masih terpisah karena masalah ras. Hal ini juga menjelaskan tujuan politik (pembentukan bangsa nasional) yang dibawa oleh Piala Dunia Rugby 1995.41 Pemerintah Afrika Selatan melihat penyelenggaraan MSE sebagai instrumen utama dalam membantu proyek pembangunan identitas nasional. Selain itu, pemerintah Afrika Selatan melihat ini sebagai katalisator ekonomi dan pembangunan. Secara retorika, proses bidding yang dilakukan Afrika Selatan untuk dapat menyelenggarakan MSE digunakan untuk menyampaikan pesan penting kepada masyarakat Afrika Selatan, maupun dunia internasional mengenai masyarakat Afrika Selatan baru yang biasa disebut dengan African Renaissance. Di samping itu, kenyataan bahwa penyelenggaraan MSE membantu masyarakat Afrika Selatan masih terkotak-kotakan ras mencapai tahap rekonsiliasi. 41
Ibid.
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
Negara berkembang mulai mengikuti kompetisi penyelenggaraan MSE yang selama ini didominasi oleh negara maju. Negara berkembang menggunakan MSE untuk tujuan luar negeri dan kebijakan politiknya yang berarti mengirimkan pesan tertentu kepada komunitas internasional. Selain itu, MSE juga digunakan sebagai mekanisme untuk memberikan kompetensi dari kekurangan sumber kekuatan dan pengaruh di dunia internasional. Dalam berbagai MSE yang diselenggarakan di Malaysia, China, dan Afrika Selatan dapat dimengerti bahwa tujuan dari negara-negara ini adalah untuk berhasil mencapai tujuan-tujuan kebijakan luar negeri, seperti peningkatan citra dan profiliasi selain untuk mendapatkan keuntungan ekonomi semata dari penyelenggaraan MSE.42 Tabel 2. Penyelenggaran Piala Dunia Sepakbola Tahun Penyelenggaraan Piala Dunia 1930 Piala Dunia 1934 Piala Dunia 1938 Piala Dunia 1950 Piala Dunia 1954 Piala Dunia 1958 Piala Dunia 1962 Piala Dunia 1966 Piala Dunia 1970 Piala Dunia 1974 Piala Dunia 1978 Piala Dunia 1982 Piala Dunia 1986 Piala Dunia 1990 Piala Dunia 1994 Piala Dunia 1998 Piala Dunia 2002 Piala Dunia 2006 Piala Dunia 2010
Negara Penyelenggara Uruguay Italia Prancis Brasil Swiss Swedia Chili Inggris Meksiko Jerman Barat Argentina Spanyol Meksiko Italia Amerika Serikat Prancis Korea Selatan- Jepang Jerman Afrika Selatan
Juara Uruguay Italia Italia Uruguay Jerman Barat Brasil Brasil Inggris Brazil Jerman Barat Argentina Italia Argentina Jerman Barat Brasil Prancis Brasil Italia Spanyol
Sumber: “Piala Dunia yang telah berlangsung,” diakses pada 8 Desember 2013, http://www.fifa.com/worldcup/archive/index.html
Selain usaha yang dilakukan Afrika Selatan sendiri, perkembangan olahraga, khususnya sepakbola sebagai pop culture dalam perkembangan dunia internasional penting untuk dibahas. Selanjutnya, tata kelola serta kedekatan Afrika Selatan dengan FIFA sebagai organisasi pengelola utama sepakbola dunia juga menjadi bahasan penelitian. Olahraga telah membentuk dan menciptakan stabilitas sosial dan identitas politik dewasa ini yang berkembang sangat pesat dan tidak dapat diprediksi.43 Olahraga memobilisasi emosi kolektif dan acap kali berubah menjadi atau bahkan mengalihkan konflik sosial. Para pelaku olahraga juga muncul di berbagai film populer, seri televisi, dan berbagai bentuk siaran lainnya yang 42 43
Ibid. Ibid., 16.
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
menarik jutaan, bahkan milliaran penonton dari segala penjuru dunia. Olahraga telah menjadi bagian penting dari industri hiburan global. Dalam beberapa tahun terakhir, hiburan olahraga dari lanskap budaya ini membawa ketertarikan dan legitimasi sebagai subyek yang penting bagi penelitian intelektual. Perhelatan olahraga telah menjadi program paling banyak ditonton di dunia. Pada Piala Dunia 2006 yang diadakan di Jerman, setidaknya tiga puluh milliar penduduk dunia menyaksikan perhelatan akbar ini, dengan lebih dari dua milliar populasi dunia menonton pertandingan final.44 Sementara itu, pada Piala Dunia 2010, FIFA menyatakan enam puluh empat pertandingan yang dilakukan oleh tiga puluh dua negara menghasilkan tiga milliar penonton, atau 46,4% dari seluruh populasi dunia. 45 Suatu hal yang dapat dicermati lebih lanjut adalah rekor yang dipecahkan oleh Olimpiade Beijing yang mengubah jumlah penonton perhelatan ini di dunia. Ketika penonton global dapat menyaksikan Olimpiade Beijing melalui internet untuk pertama kalinya, hal ini berhasil meningkatkan secara signifikan jumlah penonton global bukan hanya dari penonton televisi konvensional.46 Kedua perhelatan olahraga ini memberikan perubahan yang berarti pada komersialisasi olahraga menjadi sebuah hiburan yang menarik dan menjual. Perubahan terhadap olahraga juga membawa sepakbola menjadi sebuah olahraga yang sangat berpengaruh, khususnya dengan adanya Piala Dunia Sepakbola yang merupakan salah satu perhelatan olahraga terbesar di dunia. Tak dapat dibantah bahwa Ronaldinho pada masa kejayaannya adalah tokoh Brasil yang sangat terkenal, begitu juga dengan Zidane, salah satu orang Prancis yang paling terkenal, Franz “Kaizer” Beckenbauer satu-satunya orang Jerman yang popularitasnya menyaingi Hitler. David Beckham, berada dalam jajaran selebritas terpopuler di Inggris dan superstar global yang tidak dapat disangkal merupakan tokoh berpengaruh di dunia hiburan. Keempatnya adalah para pemain sepakbola yang menggunakan bahasa universal, olahraga dan menjadi role model budaya global, simbol dari perkembangan budaya dan pasar olahraga yang terus berkembang ke seluruh penjuru dunia.47 Tata kelola sepakbola dunia juga bertambah rumit. Szymanski dan Kuypers mencatat bahwa sepakbola bukan hanya sebuah permainan, melainkan juga bisnis besar dengan uang berputar di seluruh dunia sekitar 150 milliar poundsterling. Berada diantara peperangan dan 44
FIFA, “Legacy Report,” diakses pada tanggal 19 Desember 2013 http://www.fifa.com/mm/document/afsocial/environment/01/57/12/66/2006fwcgreengoallegacyreport_en.pdf 45 Associated Press, “FIFA: At least 1 billion saw Cup final,” diakses pada tanggal 18 November 2013 dari http://espn.go.com/sports/soccer/news/_/id/6758280/least-1-billion-saw-part-2010-world-cup-final 46 Andrei S. Markovits & Lars Rensmann, Gaming the World: How Sports are Reshaping Global Politics and Culture, 15. 47 Ibid., 6.
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
ekonomi, sepakbola menjadi gabungan dari kompetisi dengan tujuan meraih kemenangan dan di lain pihak kerjasama dan pertukaran di dalam liga dan piala yang membutuhkan pengaturan dan peraturan yang terus diperbaharui.48 Pada awal tahun 1990an, tata kelola sepakbola dunia mulai dipengaruhi oleh masuknya aktor-aktor dari sektor privat yang mencari pengaruh melalui berkembang pesatnya pendapatan dan kekayaan. Contoh yang dapat diambil pada tingkat klub adalah dua puluh klub elit Inggris keluar dari badan reprentasi yang sudah ada sebelumnya (The Football League) dan menciptakan badan pengelolaan tersendiri, The Premier League. 49 Dengan perubahan tata kelola ini, klub-klub Inggris dapat melakukan negosiasi pemisahan hak siar penayangan pertandingan dan pada musim 2000/2001, klub-klub ini mendapatkan 263 juta poundsterling (lebih dari 93% total hak siar penayangan).50 Sepakbola kemudian dipengaruhi oleh bisnis dan mengalami industrialisasi dengan perputaran uang yang luar biasa dalam berbagai kompetisinya. Masuknya bisnis dan kepentingan ekonomi ke dalam sepakbola juga menjadikan sepakbola sangat menarik dan membawa milliaran penonton di seluruh penjuru dunia. Hal ini membawa sepakbola menjadi bagian dari industri hiburan global. Olahraga yang bersifat subsitusi kegiatan politik mampu memuaskan penggemarnya dengan kemudahan mengakses informasi dan menyaksikan pertandingan-pertandingan terbaik di dunia. Selanjutnya olahraga (khususnya sepakbola) juga dapat menjadi salah satu pop culture yang ada di dunia dengan terpenuhinya kepentingan politik, hiburan, dan ekonomi. Kepentingan budaya dan perubahan budaya menjadi pop culture dalam hal sepakbola adalah adanya makna budaya dalam sepakbola yang dapat dibuktikan dengan partisipasi, kompetisi, dan penonton yang membantu untuk membentuk budaya kita, baik secara individu, maupun kolektif. Selain itu, sama halnya dengan pop culture yang lain, sepakbola juga sangat terpengaruh oleh struktur power dan ketidaksetaraan di masyarakat, begitu juga sebaliknya. 51 Banyaknya partisipasi, kompetisi, penonton yang dibawa oleh industrialisasi sepakbola telah menjadi suatu parameter untuk mengangkat sepakbola bukan hanya menjadi suatu permainan belaka, melainkan suatu pop culture yang dapat memengaruhi struktur power, agen perubahan, dan pembentukan identitas baru dalam kehidupan sosial dan politik. Oleh karena itu tidak berlebihan Bill Shankly menyatakan bahwa sepakbola lebih dari segalanya, bahkan hidup dan mati. 48
S. Szymanski dan T. Kuypers, Winners and Losers: The Business Strategy of Football (London: Viking, 1999). 49 Ibid., 114. 50 Ibid. 51 Annette Muller, “Women in sport and society,” dalam James Riordan dan Arnd Kruger ed., The International of Sport in the Twentieth Century (London dan New York: Taylor & Francis e-Library, 2004), 146.
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
Pengaruh politik dalam olahraga tidak dapat dihindarkan seiring dengan masifnya globalisasi. Olahraga membentuk suatu tampilan penting bagi otoritas politik, bahkan bertindak sebagai masalah politik yang paling sering dibicarakan. Selama abad ke-20, kediktatoran dengan berbagai bentuknya menggunakan kekuatan karismatik olahraga untuk berbagai kepentingannya, termasuk untuk kejahatan sekalipun. Sebagai contoh, Hitler menggunakan Olimpiade Berlin untuk tujuan propaganda, dan China juga menggunakannya untuk hal yang sama tujuh puluh dua tahun kemudian. 52 Dari Benito Mussolini yang membanggakan kemenangan kedua negaranya dalam Piala Dunia yang diselenggarakan oleh Fasis Italia, sampai junta militer Argentina yang mendapatkan legitimasi yang mereka butuhkan untuk memimpin dengan kemenangan tim nasional pada Piala Dunia 1978.53 Bagaimanapun juga, sudah hal yang wajar olahraga (khususnya sepakbola) memiliki keterikatan dengan politik. Bagi politisi demokrasi liberal dengan dunia industri olahraga yang matang, keterikatan ini lebih mengikat dibandingkan dengan rezim diktator. Selanjutnya, sangat wajar bagi seorang Tony Blair (Perdana Menteri Inggris) untuk menghentikan rapat kabinet yang krusial ketika mendapatkan kabar bahwa cederanya kaki kanan David Beckham membuatnya tidak dapat bermain pada pertandingan penting Inggris. Sama halnya dengan Tony Blair, Gerhard Schröder (Perdana Menteri Jerman) menyusun ulang jadwal rapat kabinet agar tidak berbenturan dengan jadwal pertandingan Jerman selama di Piala Dunia 2002 yang diadakan di Korea Selatan dan Jepang. 54 Hal ini menjelaskan bahwa adanya suatu keharusan bagi kepala negara maupun pemerintah di Eropa (termasuk suksesor Schröder, Angela Merkel) untuk menghadiri semua pertandingan penting dari tim nasional maupun tim dari negaranya. Merkel berulang kali mengunjungi Austria dan Swiss pada Juni 2008 untuk menghadiri pertandingan tim Jerman dalam European Championship dan menjadi suatu hal yang rutin dilakukan oleh kepala pemerintahan. Raja Spanyol sebagai contoh lain, bersama dengan Merkel menyaksikan pertandingan final klub representasi kedua negara. Kampanye politik, pemerintahan, dan simbol-simbol politik acap kali punya kaitan erat dengan olahraga (khususnya sepakbola). Menggunakan olahraga sebagai modal kultural merupakan hal yang umum bagi beberapa masyarakat dunia. Olahraga sebagai alat hiasan
52
Minky Worden, ed., China’s Great Leap: The Beijing Olympic Games and Human Rights Challenges (New York: Seven Stories Press, 2008). 53 Simon Kuper, Football Against the Enemy (London: Orion Books, 1994), 205. 54 Andrei S. Markovits & Lars Rensmann, Gaming the World: How Sports are Reshaping Global Politics and Culture, 5.
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
belaka telah berubah menjadi fenomena global, menjadi bagian dari kehadiran dan zeitgeist yang tak terelakkan.55 Dalam revolusi politik apartheid di Afrika Selatan, dapat dilihat peranan olahraga dan sepakbola khususnya dalam menjadi suatu bagian dari perubahan besar perlawanan terhadap rasisme. Olahraga berperan sebagai katalisator perubahan dengan kapasitas tidak terbatas dan menjadi mata rantai pembangunan bangsa ketika demokrasi baru yang diusung mengalami goncangan dan menurunnya kapasitas dan kesehatan Nelson Mandela (Madiba). 56 Tim nasional Sepakbola kebanggaan Afrika Selatan (Bafana-bafana) sendiri untuk pertama kalinya kembali menyelenggarakan pertandingan persahabatan melawan Kamerun di kandang dengan skor 1-0 untuk Bafana-bafana setelah kembalinya Afrika Selatan ke dalam dunia sepakbola internasional (setelah masa apartheid).57 Tidak dapat dipungkiri peranan sepakbola dalam membentuk identitas kebangsaan nasional Afrika Selatan sangat besar. Pengaruh politik apartheid dapat terlihat jelas dalam sepakbola Afrika Selatan. Pemisahan federasi sepakbola dan tim nasional sepakbola berdasarkan ras selama masa apartheid menjadi salah satu contoh dan sebab utama pergolakan hubungan Afrika Selatan dengan federasi sepakbola dunia (FIFA). Pada masa transisi, sepakbola berperan penting dalam mencegah terjadinya perang sipil dan mendukung transisi yang mulus dari pemerintahan apartheid menuju demokratisasi. Beberapa diantaranya adalah isu-isu yang berkaitan dengan komposisi SAFA berdasarkan ras, bukan berdasarkan kompetensi, minimnya nilai patriotik dari para pemain Afrika Selatan, isu pembentukkan identitas nasional sebagai „Orang Afrika‟, dan isu seputar pendanaan dan kepemilikan.58 Dalam tata kelola olahraga internasional kita mengenal berbagai organisasi yang menaungi dan mengatur setiap cabang olahraga yang ada di dunia. Sepakbola juga mempunyai suatu badan organisasi internasional yang mengatur dan menaungi 209 asosiasi sepakbola yang berafiliasi langsung pada organisasi yang dikenal dengan FIFA (Fédération Internationale de Football Association). 59 FIFA telah melangsungkan kejuaraan dunia sepakbola sejak tahun 1930. Jules Rimet (1921-1954) merupakan Presiden FIFA pertama 55
Ibid., 9. Grant Jarvie dan Irene Reid, “Sport in South Africa,” dalam dalam James Riordan dan Arnd Kruger ed., The International of Sport in the Twentieth Century (London dan New York: Taylor & Francis e-Library, 2004), 234. 57 Justin van der Merwe, “The road to Africa: South Africa‟s hosting of the „African‟ World Cup,” dalam Development and Dreams: The Urban Legacy of the 2010 Football World Cup, (HSRC Press 2009). 58 Grant Jarvie dan Irene Reid, “Sport in South Africa.” 59 “FIFA Associations,” diakses pada tanggal 6 Juli 2014, http://www.fifa.com/aboutfifa/organisation/associations.html. 56
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
yang juga dikenal sebagai “the father of world championship.” Dalam buku yang ditulisnya Jules memandang penyelenggaraan Piala Dunia dan evolusinya selama lima kali perhelatan telah menjadi sebuah cerita sukses dengan pertumbuhan yang berkelanjutan dan keuntungan yang mengejutkan telah mengubah FIFA. Pasca-Perang Dunia II, kejuaraan dunia sepakbola yang diadakan empat tahun sekali menjadi “the global sporting event number one” dan sebagai perhelatan paling bernilai dalam sepakbola berubah menjadi sebuah bisnis besar.60 FIFA telah banyak menghasilkan pundi-pundi keuangan dari berbagai produk yang coba mereka jual, salah satunya Piala Dunia. Produk ini telah menunjukkan ketahanan yang diingat sepanjang masa, meskipun nama dari produk ini terus berganti. Perubahan-perubahan nama ini tidak berarti sangat signifikan selain ingin memperjuangkan kepemilikan dan hak penggunaan sebagai pemilik Piala Dunia paling bergengsi di dunia oleh FIFA.61 Keberhasilan Afrika Selatan menjadi tuan tuan Piala Dunia Sepakbola tidak dapat dilihat sebagai suatu keberhasilan belaka. Meskipun usaha-usaha Afrika Selatan sudah sangat maksimal pada percobaan pertama merupakan usaha luar biasa bagi Bangsa Afrika. Afrika Selatan juga membawa hak istimewa dapat dipertarungkan oleh negara Afrika saja. Perubahan kebijakan penentuan tuan rumah Piala Dunia oleh FIFA pada tahun 2002 dapat dilihat sebagai kemenangan dini Afrika Selatan. Perubahan dalam mekanisme penentuan tuan rumah dari bidding menjadi rolling dalam tingkatan konfederasi dan meninggalkan mekanisme bidding hanya di dalam konfederasi terkait diberlakukan hanya dalam dua kali penentuan, yaitu Piala Dunia 2010 dan 2014. Piala Dunia 2010 jatuh di tangan Benua Afrika (CAF) dan 2014 Benua Amerika Confederation of North, Central American and Caribbean Association Football (CONCACAF), setelah itu FIFA kembali mengubah kebijakannya menjadi bidding tanpa dua konfederasi yang telah menyelenggarakan dua Piala Dunia sebelumnya. 62 Menelisik perubahan tersebut, pada bagian ini akan dilihat perkembangan hubungan maupun kedekatan FIFA dan Afrika (khususnya Afrika Selatan) sejak terbentuknya CAF, masuknya negara-negara baru di Afrika ke dalam FIFA, dan menganalisa peranan FIFA dalam keberhasilan Afrika Selatan mendapatkan tuan rumah Piala Dunia 2010. Selama lima puluh tahun pertamanya, FIFA didominasi oleh orang-orang Eropa Utara dan Amerika Selatan. Globalisasi sepakbola pada paruh kedua abad ke-20 memberi ancaman potensial bagi tata kelola asosiasi ini. Negara-negara Eropa di FIFA merespon dengan mencoba mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka. Sebagai konsekuensinya, 60
Heidrun Homburg, “Financing World Football. A Business History of the Fédération Internationale de Football Association (FIFA),” dalam Journal of Business History 53, no. 1 (2008), 33. 61 Ibid., 36. 62 FIFA, “Rotation ends in 2018.”
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
Afrika dianggap tidak relevan, dan sampai akhir dekade 1950-an FIFA menolak keinginan Afrika agar FIFA melakukan demokratisasi pada struktur institusional dan kompetisinya. Sebagai contoh, pada paruh pertama dekade 1950-an, konstituen-konstituen FIFA dari Eropa dengan berbagai cara menghalangi upaya Afrika untuk mendapatkan tempat di komite eksekutif FIFA dan pembentukan konfederasi sepakbola Afrika.63 Aliansi dengan individu-individu berkuasa di sepakbola dunia (FIFA) telah memberikan keuntungan dari sepakbola Afrika secara finansial maupun politis. Akan tetapi, aliansi-aliansi ini terkadang menjadi dinamika yang melemahkan dan destruktif terhadap sepakbola di Afrika. Kampanye pencalonan presiden FIFA tahun 1998 menjadi periode instabilitas politik yang tidak hanya menghambat pengembangan sepakbola di sejumlah negara Afrika. Kondisi ini juga mengancam kesatuan pan-Afrika yang menjadi basis pendorong CAF untuk mewujudkan kesetaraan distribusi kekuasaan di FIFA. Jika pengurus sepakbola Afrika ingin memelihara atau membangun di atas kemajuan yang telah mereka capai dalam koridor kekuasaan di sepakbola, ada tiga pelajaran penting yang harus dipahami dari pemilihan 1974, 1998, dan 2002. Pertama adalah bahwa kepentingan Afrika dalam tata kelola pemerintahan sepakbola paling tepat diwujudkan dengan menampilkan diri sebagai sebuah front yang secara politik bersatu. Kedua, figur-figur pimpinan CAF butuh untuk berpikir keras sebelum memutus aliansi tradisional di FIFA yang telah berperan besar dalam memfasilitasi pengembangan sepakbola Afrika. Terakhir, pengurus sepakbola Afrika harus terus bekerja untuk menciptakan dinamika pengembangan yang berdiri sendiri yang akan mengurangi ketergantungan mereka terhadap individu-individu atau blok-blok politik yang mencoba mewujudkan ambisi pribadi mereka di FIFA melalui suara-suara Afrika. Kesimpulan Piala Dunia 2010 tidak hanya kompetisi olahraga, lebih dari perhelatan hiburan, lebih dari pengiklanan massal, lebih dari kesempatan untuk turis internasional untuk datang dan melihat keberagaman dan kebahagiaan dari masa pasca apartheid bagi Afrika Selatan. Waktu dan penempatan perhelatan ini telah membawa Afrika dan Afrika Selatan mendunia, bukan hanya untuk kepentingan pemasaran, ekonomi, dan politik internasional. Piala Dunia 2010 telah menjadi persatuan Afrika, pembuktian Afrika, penegasan eksistensi Afrika, pameran kebudayaan yang selama ini dikesampingkan oleh dunia. Bagi Afrika Selatan Piala Dunia ini
63
Paul Darby, Africa, Football and FIFA Politics, Colonialism and Resistance (London and Portland: Frank Cass, 2002).
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
bukan hanya milik Afrika Selatan, melainkan milik Afrika dan pemasaran bagi seluruh Afrika. Tidak ada Piala Dunia lain yang mengusung tema dengan kebersamaan satu Benua, Korea-Jepang tidak mengusung Piala Dunia 2002 sebagai Piala Dunia Afrika, begitu juga dengan Jerman, Brasil, dan Amerika Serikat. Piala Dunia 2010 bukan hanya menggunakan jargon “it’s time for Africa,” tetapi juga keinginan yang kuat untuk bersatu dan menunjukkan pada dunia bahwa Piala Dunia kali ini adalah ketegasan eksistensi Afrika. Berdasarkan temuan data dan analisa yang dilakukan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa komponen soft power Afrika Selatan yang dominan dalam menghasilkan Piala Dunia 2010 adalah lobby politik, interaksi kepentingan dan solidaritas Afrika yang diusung oleh Afrika Selatan dengan gaung „Afrikanis‟. Saran Penelitian ini merekomendasikan penelitian lebih lanjut mengenai soft power, hubungan sepakbola dan hubungan internasional, serta pendalaman penelitian FIFA sebagai INGO. Minimnya perhatian terhadap isu-isu ini menjadikan banyaknya peluang untuk melakukan eksplorasi mendalam bagi analis hubungan internasional di Indonesia. Hal ini dapat memberikan pemahaman bagi peneliti selanjutnya bagaimana hal yang dianggap sebagai suatu hiburan dapat dikonversi menjadi kekuatan dan cara untuk menggapai kekuasaan. Penelitian ini juga dapat dilanjutkan dengan permasalahan yang dihadapi Brasil dalam penyelenggaraan Piala Dunia 2014, karena perbedaan dan keunikan masing-masing masalah yang dihadapi. Selanjutnya penelitian ini merekomendasikan pentingnya pembangunan dan eksploitasi sumber-sumber soft power dengan suatu strategi yang matang dan komitmen dari para elite. Eksploitasi olahraga, visi Afrikanis, demokratisasi dan strategi kebijakan luar negeri yang matang memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia untuk dapat melakukan eksplorasi sumber-sumber soft power yang dapat dikonversi menjadi kekuatan baru. Secara lebih khusus, eksploitasi sumber pop culture (sepakbola) yang dilakukan Afrika Selatan dapat menjadi contoh bagi Indonesia yang juga memiliki berbagai kemampuan dan pasar yang sangat besar untuk dapat mengkonversi sepakbola menjadi salah satu soft power Indonesia. Selain itu, perhatian lebih lanjut diberikan kepada keberpihakan elite seperti apa yang dilakukan Nelson Mandela dan penerusnya dalam menjaga konsistensi perjuangan mendapatkan tuan rumah Piala Dunia. Hal ini juga berkaitan dengan perhatian yang diberikan
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
oleh elite negara-negara Eropa (Tony Blair dan Gerhard Schröder) yang juga memberikan perhatian lebih kepada sepakbola. Para elite Indonesia dewasa ini telah memberikan perhatian khusus terhadap sepakbola dalam kehidupan masyarakat, namun hal ini sering kali disalahgunakan untuk kepentingan sesaat (politik kekuasaan). Daftar Referensi “FIFA
Associations.”
Diakses
pada
tanggal
6
Juli
2014.
8
Desember
2013.
http://www.fifa.com/aboutfifa/organisation/associations.html. “Piala
Dunia
yang
telah
berlangsung.”
Diakses
pada
http://www.fifa.com/worldcup/archive/index.html. Associated Press. “FIFA: At least 1 billion saw Cup final.” Diakses pada 18 November 2013. http://espn.go.com/sports/soccer/news/_/id/6758280/least-1-billion-saw-part-2010world-cup-final. Beck, Peter J. “For World Footballing Honours: England versus Italy, 1933, 1934 and 1939.” J.A. Mangan (ed.). Europe, Sport, World: Shaping Global Society–European Sports History Review, Vol. 3. London: Frank Cass, 2001. Black, David Ross dan Van Der Westhuizen. “The Allure of Global Games for SemiPeripheral Polities: A Research Agenda.” Third World Quarterly: 2004. Bound, Kirsten. Cultural Diplomacy. London: Demos, 2007. Cha ,Victor D. “Japan-Korea Relations: The World Cup and Sports Diplomacy.” diakses pada tanggal 5 Juli. http://csis.org/files/media/csis/pubs/0202qjapan_korea.pdf. Cornelissen, Scarlett. “Sport Mega-Events in Africa: processes, impacts and prospects.” Tourism and Hospitality Planning & Development. 2004. Cornelissen, Scarlett dan Kamilla Swart. The 2010 Football World Cup as a political construct: the challenge of making good on an African promise. Blacwell Publishing Ltd: 2006. Darby, Paul. ”Africa, the FIFA Presidency, and the Governance of World Football: 1998, and 2002.” Africa Today, Vol. 50, No. 1 (Spring – FIFA.
“Legacy
Report.”
Diakses
pada
1974,
Summer, 2003). 19
Desember
2013.
http://www.fifa.com/mm/document/afsocial/environment/01/57/12/66/2006fwcgreeng oallegacyreport_en.pdf. Gevisser, M.. Thabo Mbeki: The Dream Deferred. Johannesburg and Cape Town: Jonathan Ball Publishers, 2007.
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
Griffith, Edward. Bidding for Glory. Johannesburg: Jonathan Ball Publisher Ltd., 2000. Hill, Christoper. “Prologue.” Levermore, & Budd, (eds.), Sport and International Relations – An Emerging Relationship. New York: Routeledge, 2004. Hill, Christopher. The changing poltics of foreign affairs. New York: Palgrave Macmillan, 2003. Homburg, Heidrun. “Financing World Football. A Business History of the Fédération Internationale de Football Association (FIFA).” Journal of Business History 53, no. 1, 2008. Jarvie, Grant dan Irene Reid. “Sport in South Africa.” James Riordan dan Arnd Kruger ed.. The International of Sport in the Twentieth Century. London dan New York: Taylor & Francis e-Library, 2004. Kuper, Simon. Football Against the Enemy. London: Orion Books, 1994. Levermore, Roger & Adrian Budd, (eds.). Sport and International Relations – An Emerging Relationship. New York: Routeledge, 2004. Mail & Guardian. “Eye on the ball? Or: eyes on the brands?” Diakses pada tanggal 4 April 2013. http://archive.mg.co.za/MGArchive/FrameSet.asp?Src=Adv. Markovits, Andrei S. & Lars Rensmann. Gaming the World: How Sports are Reshaping Global Politics and Culture. Princeton & Oxford: Princeton University Press, 2010. Mbeki, Thabo. Presentasi dalam bidding Piala Dunia 2010 Afrika Selatan di FIFA. Diakses pada 6 April 2013. http://www.info.gov.za. Muller, Annette. “Women in sport and society.” James Riordan dan Arnd Kruger ed.. The International of Sport in the Twentieth Century. London dan New York: Taylor & Francis e-Library, 2004. Murray, Stuart. ”Sports-Diplomacy: a hybrid of two halves.” Diakses pada 6 Mei 2013. http://www.culturaldiplomacy.org/culturaldiplomacynews/content/articles/participant papers/2011-symposium/Sports-Diplomacy-a-hybrid-of-two-halves--Dr-StuartMurray.pdf. Ndlovu, Sifiso Mxolisi. “Sport as cultural diplomacy: the 2010 FIFA World Cup in
South
Africa‟s foreign policy.” Soccer & Society Vol. 11, Januari-Maret (2010). Nye, Joseph S., Jr. “Soft Power.” Foreign Policy, No. 80, 1990. Nye, Joseph S., Jr. “Sports as Cultural Diplomacy.” Diakses pada 5 Mei 2013. http://www.hks.harvard.edu/news-events/publications/insight/international/josephnye.
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014
Nye,
Joseph
S.,
Jr.
“Public
Diplomacy
and
Soft
Power.”
Diakses
dari
http://ann.sagepub.com/content/616/1/94.full.pdf. Papp, Daniell S.. Contemporary International Relations, Frameworks for Understanding. United States of America: Allyn and Bacon, 1997. Roche. Mega-Events & Modernity – Olympics and Expos in the Growth of Global Culture. London: Routledge, Taylor and Francis Group, 2000. Szymanski, S. & T. Kuypers. Winners and Losers: The Business Strategy of Football. London: Viking, 1999. Worden, Minky, ed.. China’s Great Leap: The Beijing Olympic Games and Human Rights Challenges. New York: Seven Stories Press, 2008. Van der Merwe, Justin. “The road to Africa: South Africa‟s hosting of the „African‟ Cup.” Development and Dreams: The Urban Legacy of
World
the 2010 Football World
Cup. HSRC Press, 2009.
Keberhasilan Afrika..., O K Fachru Hidayat, FISIP, 2014