KEANEKARAGAMAN JENIS POHON PAKAN BERUANG MADU DI AREAL KONSERVASI PT. RAPP ESTATE MERANTI, RIAU
TUBAGUS M. MAULANA YUSUF
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keanekaragaman Jenis Pohon Pakan Beruang Madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti, Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014 Tubagus M. Maulana Yusuf E351100021
RINGKASAN TUBAGUS M. MAULANA YUSUF. Keanekaragaman Jenis Pohon Pakan Beruang Madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti, Riau. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan BURHANUDDIN MASYUD. Beruang madu termasuk salah satu spesies langka yang ada di Sumatera dan Kalimantan. Areal konservasi PT. RAPP Estate Meranti merupakan habitat beruang madu di Riau, Sumatera. Informasi keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu di areal konservasi PT. RAPP Estate Meranti sampai saat ini belum tersedia. Informasi tersebut dapat dijadikan acuan pengelolaan habitat beruang madu untuk mencegah kurangnya ketersediaan pakan beruang madu. Penelitian dilakukan di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti yang terletak di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu, pola sebaran pohon pakan beruang madu dan faktor lingkungan yang menentukan keberadaan jenis pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti. Metode penelitian yang digunakan adalah studi pustaka, analisis vegetasi dan observasi lapang. Data yang dikumpulkan meliputi nama jenis, jumlah individu, diameter, tinggi pohon, pH tanah, intensitas cahaya matahari dan ketebalan gambut. Pengumpulan data dilakukan pada setiap petak contoh. Metode pengambilan unit contoh yang digunakan adalah stratified random sampling dengan intensitas sampling 0.1%. Jumlah jenis pohon pakan beruang madu yang ditemukan di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti sebanyak 34 jenis. Jenis bengku (Madhuca motleyana) merupakan jenis pohon pakan beruang madu yang paling dominan di areal konservasi. Berdasarkan karakteristik abiotik areal konservasi, keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu paling tinggi ditemukan di areal dengan pH tanah 4.5, ketebalan gambut 5m dan intensitas cahaya matahari <10000 lx. Pola sebaran pohon pakan beruang madu adalah berkelompok. Faktor lingkungan yang menentukan keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti adalah pH tanah dan ketebalan gambut. Kata kunci: areal konservasi, faktor lingkungan, jenis pohon pakan, pola sebaran
SUMMARY TUBAGUS M. MAULANA YUSUF. Diversity of Tree Species As Sun Bear Food in Conservation Area of PT. RAPP Meranti Estate, Riau. Supervised by AGUS PRIYONO KARTONO and BURHANUDDIN MASYUD. Sun bear is one of the rarest species in Sumatera and Kalimantan. Conservation Area of PT. RAPP Meranti Estate is one of the habitat for sun bear in Riau, Sumatera. Information about diversity of tree species as sun bear food sources in this area has not been available until now. These information can be used as a reference for habitat management to prevent the lack of availability of sun bear food. This research was conducted in Conservation Area of PT. RAPP Meranti Estate, Pelalawan, Riau from June to July 2012. The objectives of this research was to identify the diversity and distribution pattern of tree species as sun bear food, and also to identify the environment factor that determine the diversity of tree species as sun bear food sources. The methods of this research was literature review, vegetation analysis, and field observation. Parameters such as the name of species, individual number, the diameter, tree height, soil pH, light intensity and peat thickness were recorded during the survey. The methods of sampling was stratified random sampling with sampling intensity of 0.1%. There was thirty two species of trees for sun bear food sources in conservation area. Madhuca motleyana was species of tree as sun bear food dominant in this area. The area with soil pH 4.5, peat thickness 5 m, and the light intensity <10000 lx was area that has the highest diversity of trees species as sun bear food sources. The distribution pattern of the trees as sun bear food sources was clumped. The environment factors that determine the diversity of tree species as sun bear food sources in the conservation area was soil pH and peat thickness Keywords: conservation area, distribution pattern, environment factor, tree species as sun bear food
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KEANEKARAGAMAN JENIS POHON PAKAN BERUANG MADU DI AREAL KONSERVASI PT. RAPP ESTATE MERANTI, RIAU
TUBAGUS M. MAULANA YUSUF
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.ScF
Judul Tesis : Keanekaragaman Jenis Pohon Pakan Beruang Madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti, Riau Nama : Tubagus M. Maulana Yusuf NIM : E351100021
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi Ketua
Dr Ir Burhanuddin Masyud, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Ervizal A.M. Zuhud, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis yang berjudul “Keanekaragaman Jenis Pohon Pakan Beruang Madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti, Riau” dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Komisi Pembimbing, yaitu Bapak Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si selaku ketua komisi dan Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS selaku anggota komisi yang telah memberi bimbingan dan arahan dalam penyusunan tesis ini. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada PT. Riau Andalan Pulp and Paper yang telah memfasilitasi penulis dalam melakukan penelitian ini. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Tropenbos International Indonesia Programme yang telah memberikan dukungan dan arahan dalam pelaksanaan penelitian. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih terdapat banyak kekurangan, baik mengenai materi maupun bahasannya karena keterbatasan yang dimiliki. Saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk penyempurnaan penulisan di masa yang akan datang sehingga penyusunan tulisan berikutnya dapat menjadi lebih baik. Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2014 Tubagus M. Maulana Yusuf
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
ii iii iv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 2 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Beruang Madu Status Hukum Pola Sebaran Tumbuhan Faktor Lingkungan Mempengaruhi Pertumbuhan Tumbuhan
4 7 7 8
3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Peralatan dan Bahan Data yang Dikumpulkan Metode Pengambilan Unit Contoh Metode Pengumpulan Data Metode Pengolahan dan Analisis Data
12 13 13 13 13 16
4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Luas dan Letak Hidrologi Variasi Lokal Tipe Vegetasi Hutan Gambut Variasi Lokal Ketebalan Gambut
18 18 19 19
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Jenis Pohon Pakan Beruang Madu Pola Sebaran Pohon Pakan Beruang Madu Faktor Lingkungan yang Menentukan Keberadaan Pohon Pakan Beruang Madu Rekomendasi Pengelolaan
19 28 29 30
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
31 31
DAFTAR PUSTAKA
32
LAMPIRAN
37
(i)
DAFTAR TABEL
1 Fungsi unsur hara dan gejala yang ditimbulkan akibat defisiensi unsur hara 2 Bentuk unsur hara yang diserap oleh tumbuhan 3 Kriteria kekuatan hubungan antara variabel yang diuji 4 Jenis pohon yang potensial sebagai sumber pakan beruang madu di areal konservasi 5 Indeks nilai penting pohon pakan beruang madu di areal konservasi
(ii)
8 10 17 20 21
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kerangka pemikiran penelitian Beruang madu di Taman Margasatwa Ragunan Pola sebaran tumbuhan: (a) acak, (b) berkelompok dan (c) seragam Peta areal unit pengelolaan PT. RAPP Estate Meranti Skema penempatan metode kombinasi antara jalur dan garis berpetak Peta kontur ketebalan gambut PT. RAPP Estate Meranti Buah Ficus stricta Buah Artocarpus rigidus Buah Tetramerista glabra Mangifera griffithi: (a) buah dan (b) biji Buah Artocarpus elasticus Buah Campnosperma coriaceum: (a) buah tua dan (b) buah muda Beruang madu sedang memakan buah durian (Durio sp.) di Hutan Lindung Ulu Segama, Malaysia 14 Beruang madu sedang memakan rayap (Dicuspiditermes sp.) ketika periode tidak musim berbuah di Hutan Lindung Ulu Segama, Malaysia
(iii)
3 5 8 12 14 15 22 23 23 24 25 26 27 27
DAFTAR LAMPIRAN
1 Jenis pohon pakan beruang madu di Hutan Lindung Sungai Wain 2 Daftar jenis tumbuhan di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti 3 Hasil perhitungan rasio ragam dan nilai tengah jenis tumbuhan pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti 4 Hasil uji korelasi setiap jenis pohon pakan beruang madu dengan komponen habitat 5 Hasil perhitungan analisis faktor
(iv)
38 40 42 43 46
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Beruang madu (Helarctos malayanus Raffles 1821) merupakan jenis beruang berukuran tubuh paling kecil dari delapan jenis beruang yang ada di dunia. Beruang yang hanya mendiami hutan hujan tropis dataran rendah di Asia Tenggara ini dapat ditemukan di Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja, Vietnam, Malaysia, Indonesia dan Brunei Darussalam (Servheen 1998). Maryanto et al. (2008) menyatakan bahwa distribusi beruang madu di Indonesia tersebar di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Beruang madu menempati tipe habitat hutan rawa, hutan dataran rendah dan hutan pegunungan sampai dengan ketinggian 2000 mdpl (Fredriksson et al. 2008, Sastrapradja et al. 1982). Selain itu, Alikodra (2002) menyatakan bahwa tipe hutan yang juga termasuk habitat beruang madu adalah hutan gambut. Semenanjung Kampar merupakan salah satu ekosistem rawa gambut yang masih tersisa di Pulau Sumatera. Areal konservasi IUPHHK-HTI (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri) PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) Estate Meranti yang termasuk dalam ekosistem gambut di Semenanjung Kampar merupakan salah satu wilayah penyebaran beruang madu (TIIP 2010b). PT. RAPP Estate Meranti memiliki areal pengelolaan dengan luas 45261.19 hektar dimana di dalamnya terdapat areal konservasi. Sesuai dengan kesepakatan FSC (Forest Steward Council), pengelolaan hutan tanaman diwajibkan untuk memelihara dan/atau meningkatkan areal yang memiliki nilai konservasi tinggi melalui penerapan pendekatan kehati-hatian. Salah satu caranya adalah dengan kegiatan pemantauan berkala untuk pemeliharaan atau penilaian terhadap status nilai konservasi tinggi di setiap areal yang terdapat dalam unit pengelolaannya. PT. RAPP sebagai salah satu perusahaan di bawah payung APRIL (Asia Pacific Resources International Holdings Ltd.) telah mendapatkan berbagai sertifikat voluntary. Sertifikat yang telah diperoleh antara lain chain of custody, controlled wood dan sertifikat pengelolaan hutan produksi lestari. Perusahaan ini memiliki komitmen tinggi untuk mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan. Bentuk pengelolaan hutan secara lestari yang akan diterapkan oleh PT. RAPP di setiap unit pengelolaannya harus tetap memperhatikan aspek keanekaragaman hayati. Akan tetapi, informasi ilmiah yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati di Estate Meranti sampai saat ini masih sangat sedikit. Selain itu, studi ilmiah terkait dengan keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu yang terdapat di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti sampai saat ini juga belum pernah dilakukan. Informasi keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu diperlukan oleh PT. RAPP sebagai salah satu pertimbangan dalam merumuskan strategi pengelolaan habitat dalam upaya konservasi beruang madu di areal yang memiliki nilai konservasi tinggi. Informasi tersebut dapat dijadikan acuan pengelolaan
2 habitat beruang madu, sehingga kurangnya ketersediaan pakan beruang madu di areal konservasi dapat dihindari. Menurut Harris (1984), spesies dengan sumber pakan yang tersebar dan langka bisa lebih terancam keberadaannya jika ketersediaan pakannya terganggu. Kurangnya ketersediaan pakan beruang madu di habitat alaminya dapat menyebabkan kondisi fisik beruang madu yang buruk dan dapat mengalami kematian akibat kelaparan (Wong et al. 2004). Selain itu, hal tersebut juga dapat menyebabkan beruang madu mendatangi perkebunan masyarakat untuk mencari pakan, sehingga dapat memicu terjadinya konflik beruang madu dengan manusia (Fredriksson 2005). Informasi mengenai keanekaragaman jenis, pola sebaran dan faktor lingkungan yang menentukan keberadaan pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi Estate Meranti dapat menjadi pertimbangan dalam merencanakan pengelolaan areal tersebut. Jenis pohon pakan beruang madu dapat dijadikan pertimbangan pihak pengelola sebagai jenis tumbuhan yang akan digunakan dalam pengayaan habitat. Selain itu, pola sebaran dan faktor lingkungan yang menentukan keberadaan pohon pakan beruang madu dapat menjadi pertimbangan pihak pengelola untuk merencanakan bentuk pembinaan habitat.
Perumusan Masalah
TIIP (2010b) menyatakan bahwa Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti termasuk salah satu wilayah penyebaran beruang madu di Semenanjung Kampar. Keberadaan beruang madu di areal tersebut menyebabkan diperlukannya suatu upaya konservasi yang tepat agar kelestarian beruang madu dapat terjaga dan terhindar dari ancaman kepunahan. Ancaman tersebut bisa terjadi apabila tidak adanya pengelolaan habitat beruang madu yang optimal. Belum adanya informasi ilmiah mengenai keanekaragaman jenis pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti menyebabkan kurang spesifiknya pengelolaan habitat beruang madu yang dilakukan di areal tersebut. Salah satu aspek yang perlu diketahui untuk menunjang pengelolaan habitat beruang madu adalah keanekaragaman jenis pohon penghasil buah yang potensial sebagai pakan beruang madu. Alikodra (2002) menyatakan bahwa salah satu fungsi habitat adalah penyedia pakan, sehingga perlu diperhatikan untuk menentukan strategi pengelolaan habitat yang tepat. Oleh karena itu, perlu diperhatikan beberapa permasalahan utama dalam pengelolaan penyedia pakan beruang madu di Areal Konservasi Estate Meranti, yaitu: (1) Jenis pohon apa saja yang potensial sebagai pakan beruang madu di Areal Konservasi Estate Meranti? (2) Bagaimana pola sebaran pohon pakan di areal tersebut? (3) Faktor lingkungan apa saja yang menentukan keberadaan pohon pakan di areal tersebut?
3
Areal konservasi
Habitat beruang madu
Ketersediaan pakan
Pengayaan & pembinaan habitat
Faktor lingkungan: - pH tanah - intensitas cahaya - ketebalan gambut Analisis faktor penentu keberadaan pohon pakan
Keanekaragaman jenis Pohon pakan
Pola sebaran
Kelestarian populasi dan habitat beruang madu Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengidentifikasi: 1. Keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti. 2. Pola sebaran pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti. 3. Faktor lingkungan yang menentukan keberadaan pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai potensi dan pola sebaran pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti, serta faktor lingkungan yang menentukan keberadaan pohon pakan beruang madu di areal tersebut. Beberapa informasi ini nantinya diharapkan dapat dijadikan dasar pertimbangan pihak manajemen dalam menyusun strategi pengelolaan habitat beruang madu yang dapat menunjang kelestarian populasinya di areal tersebut.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Bioekologi Beruang Madu
Klasifikasi dan Morfologi Beruang madu termasuk dalam Ordo Karnivora, Suku Ursidae, dan Genus Helarctos. Beruang madu memiliki nama ilmiah Helarctos malayanus. Spesies ini memiliki nama Inggris sun bear (Lekagul & McNeely 1977, Yasuma & Alikodra 1990, Payne et al. 2000, Maryanto et al. 2008). Selain itu, beruang madu memiliki nama lokal seperti bruang, baruwang, gampul, kibul, bahuang, wayuang, lego, yugam, bawang, berwan, biwang, buang, hugaang, makub, ngue, dan wahgoeng (Maryanto et al. 2007, Maryanto et al. 2008). Beruang madu memiliki rambut pendek berwarna hitam, kecuali di bagian moncong berwarna abu-abu dan di bagian dada berwarna jingga yang membentuk huruf V (Gambar 2). Kaki beruang madu memiliki lima jari yang kuat. Bobot badan beruang madu sekitar 6.5 x 104 g. Panjang badannya mulai 1.125 m sampai 1.260 m, sedangkan panjang ekornya antara 3 x 10-2 sampai 9 x 10-2 m (Maryanto et al. 2008). Payne et al. (2000) menyatakan bahwa bobot badan beruang madu
5 mulai dari 4.8 x 104 g sampai 6.3 x 104 g. Menurut Lekagul & McNeely (1977), spesies ini memiliki telinga yang berukuran kecil dan bulat.
Gambar 2 Beruang madu di Taman Margasatwa Ragunan (dokumen pribadi) Penyebaran Penyebaran beruang madu di dunia meliputi Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatera dan Kalimantan (Yasuma & Alikodra 1990, Payne et al. 2000). Menurut Yasuma & Alikodra (1990), keberadaan beruang madu di Kalimantan tercatat sampai di ketinggian 1500 mdpl di perbatasan SabahSarawak dan 2300 mdpl di Gunung Kinabalu. Lekagul & McNeely (1977) menyatakan bahwa beruang madu dapat ditemukan di bagian selatan Cina. Selain itu, Servheen (1998) menyatakan bahwa beruang madu dapat ditemukan di Brunei Darussalam.
Pakan Menurut Lekagul & McNeely (1977), pakan beruang madu adalah serangga, terutama lebah, rayap, dan cacing tanah. Beruang madu juga memakan hewan pengerat, burung kecil dan reptil (Medway 1978). Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa beruang madu memakan sarang lebah, sarang rayap dan buah (Yasuma & Alikodra 1990, Maryanto et al. 2008). Fredriksson (2005) menyatakan bahwa beruang madu termasuk omnivora oportunistik, yaitu satwa yang juga memakan buah selain inverterbtara. Hasil penelitian Fredriksson et al. (2006a) menyatakan bahwa sumber pakan beruang madu di Hutan Lindung Sungai Wain diantaranya berasal dari 72 jenis pohon pakan selama periode
6 berbuah (Lampiran 1). Buah merupakan pakan yang penting bagi beruang madu karena diperlukan untuk membangun cadangan energi atau memulihkan cadangan energi yang hilang. Menurut Astuti (2006), di kebun binatang seekor beruang madu jantan dewasa dapat memakan buah sebanyak 5142±49.70 g hari-1, sedangkan seekor beruang madu betina dewasa dapat memakan buah sebanyak 4678±14.50 g hari-1.
Perilaku Medway (1978) menyatakan bahwa beruang madu lebih aktif selama periode crepuscular. Spesies ini merupakan pemanjat pohon yang sangat baik (Lekagul & McNeely 1977). Beberapa peneliti menyatakan bahwa spesies ini dapat melakukan aktivitas di atas tanah dan di pohon yang tinggi (Yasuma & Alikodra 1990, Payne et al. 2000, dan Maryanto et al. 2008). Maryanto et al. (2008) menyatakan bahwa beruang madu mampu hidup hingga berumur 20,5 tahun. Selain itu, Kitchener & Asa (2010) menyatakan bahwa catatan terpanjang masa hidup (life span) beruang madu di penangkaran adalah 35 tahun. Salah satu perilaku beruang madu adalah menggali dan membongkar tanah yang bermanfaat untuk mempercepat proses penguraian dan daur ulang yang sangat penting untuk hutan hujan tropis. Selain itu, beruang madu juga memiliki peran penting dalam regenerasi hutan sebagai penyebar biji buah-buahan, yaitu apabila beruang madu memakan buah dengan biji yang ditelan utuh, maka setelah kotorannya dikeluarkan, biji yang ada di dalam kotoran tersebut akan segera tumbuh secara alami di dalam hutan (Fredriksson 2012). Lekagul & McNeely (1977) menyatakan bahwa beruang madu sama seperti beruang lainnya, yaitu sering berdiri dengan kaki belakangnya untuk mendapatkan tampilan yang lebih besar ketika bertemu dengan pesaingnya atau sesuatu yang mengancam baginya. Beruang madu dapat dikatakan sebagai salah satu satwa paling berbahaya bagi manusia bila bertemu di hutan. Selain menggigit dengan taring yang tajam dan rahang yang kuat, beruang madu juga menggunakan cakar yang tajam dan kuat untuk merobek kulit kepala dan membuat luka yang parah pada wajah dan tubuh korban.
Biologi Reproduksi Schwarzenberger et al. 2004 menyatakan bahwa masa bunting beruang madu selama tiga bulan. Frekuensi melahirkan induk betina beruang madu satu kali setiap tahun dengan interval masa etrus mulai dari 140 hari hingga 216 hari. Menurut Sastrapradja et al. (1982), jumlah anak per kelahiran (litter size) beruang madu yaitu satu sampai dua ekor.
Habitat Menurut Payne et al. (2000), beruang madu dapat ditemukan di kawasan hutan yang luas dan kadang memasuki kebun di daerah-daerah terpencil.
7 Fredriksson et al. (2008) menyatakan bahwa beruang madu hidup di hutan primer, hutan sekunder dan sering juga di lahan pertanian. Tipe hutan yang termasuk habitat beruang madu diantaranya adalah hutan tropis dataran rendah, hutan dipterocarpaceae dan hutan pegunungan rendah (Servheen 1998). Selain itu, tipe hutan yang juga termasuk habitat beruang madu adalah hutan gambut (Alikodra 2002).
Status Hukum
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa menyatakan bahwa beruang madu termasuk satwa yang dilindungi di Indonesia. Spesies ini juga termasuk dalam kategori Appendix I CITES, yaitu kategori spesies yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional dan merupakan spesies yang terancam punah. Selain itu, spesies ini juga terdaftar dalam kategori rentan (vulnerable) The IUCN Red List of Threatened Species versi 3.1 tahun 2008.
Pola Sebaran Tumbuhan
Suatu jenis tumbuhan yang hidup dalam suatu ekosistem akan membentuk pola sebaran tertentu. Setiap individu jenis tersebut memiliki toleransi yang berbeda dalam beradaptasi dengan lingkungan. Setiap individu tersebut juga memiliki kondisi lingkungan tertentu dimana ia dapat tumbuh optimal (Poole 1974). Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa dalam komunitas dikenal tiga macam pola sebaran, yaitu acak (random), berkelompok (clumped) dan seragam (uniform) (Gambar 3). Pola sebaran suatu jenis tumbuhan yang acak dalam suatu komunitas diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang homogen dan/atau pola tingkah laku jenis tumbuhan yang tidak selektif. Pola sebaran suatu jenis tumbuhan yang tidak acak (kelompok dan seragam) menggambarkan bahwa ada beberapa faktor pembatas dari lingkungan tempat tumbuhnya yang mempengaruhi kehadiran populasi suatu jenis tumbuhan. Pola sebaran tumbuhan yang mengelompok dapat disebabkan oleh lingkungan yang heterogen, tingkah laku dan model reproduksi suatu jenis tumbuhan. Pola sebaran tumbuhan yang seragam dapat terbentuk akibat dari interaksi antara individu-individu, seperti persaingan untuk mendapatkan nutrisi dan ruang.
8
(a) Gambar 3
(b)
(c)
Pola sebaran tumbuhan: (a) acak, (b) berkelompok dan (c) seragam (Ludwig & Reynolds 1988)
Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tumbuhan
Unsur Hara Unsur hara merupakan unsur yang diperlukan oleh tumbuhan untuk kelangsungan hidupnya (Dwijoseputro 1980; Rosmarkam & Yuwono 2002). Rinsema (1993) menambahkan bahwa unsur hara memiliki peran penting dalam merangsang perkembangan seluruh bagian tumbuhan. Berdasarkan jumlah yang diperlukan tumbuhan, unsur hara dibagi menjadi dua golongan, yaitu unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara makro adalah unsur hara yang dibutuhkan tumbuhan dalam jumlah relatif banyak. Sementara unsur hara mikro merupakan unsur hara yang dibutuhkan tumbuhan dalam jumlah relatif sedikit (Rosmarkam & Yuwono 2002; Winangun 2005; Parnata 2010). Dwijoseputro (1980) menyatakan bahwa tumbuhan yang kekurangan salah satu unsur hara biasanya memperlihatkan tanda-tanda yang dapat dilihat dengan mudah. Tumbuhan yang mengalami defisiensi unsur hara akan tumbuh dan berkembang dengan tidak sempurna. Fungsi unsur hara dan gejala yang ditimbulkan akibat defisiensi unsur hara disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Fungsi unsur hara dan gejala yang ditimbulkan akibat defisiensi unsur hara Jenis unsur hara Unsur hara makro Karbon (C)
Fungsi
Gejala akibat defisiensi
Bahan dasar untuk fotosintesis
Hidrogen (H)
Bahan dasar untuk fotosintesis
Oksigen (O)
Bahan dasar untuk fotosintesis
Metabolisme terhambat dan tumbuhan akan mati Metabolisme terhambat dan tumbuhan akan mati Metabolisme terhambat dan tumbuhan akan mati
9 Tabel 1 Lanjutan Jenis unsur hara Unsur hara makro Nitrogen (N)
Kalium (K)
Kalsium (Ca)
Magnesium (Mg)
Fosfor (P)
Sulfur (S)
Unsur hara mikro Klor (Cl)
Besi (Fe)
Fungsi
Komponen protein, lemak dan Daun tua menguning, kering pembentukan klorofil dan mudah rontok, sedangkan daun yang muda berwarna hijau pucat Mengaktifkan enzim, mem- Daun akan tampak keriting pengaruhi osmosis, membantu atau menggulung serta proses pembentukan karbo- menguning, terdapat bercak hidrat, memperkuat jaringan dan berukuran kecil, biasanya pada membentuk antibodi tumbuhan ujung, tepi dan jaringan antara tulang daun Mengatur fungsi sel, menguat- Daun muda pada titik tumbuh kan dinding sel, penawar racun melengkung, tunas ujung mati, dalam tumbuhan, mengaktifkan pertumbuhan akar dan pucuk pembentukan bulu-bulu akar ranting terhambat, serta batang dan menguatkan batang tumbuhan tidak kokoh Membantu proses pembentukan Daun tua memerah, ujung dan klorofil dan mengaktifkan en- tepi daunnya menggulung zim Membentuk akar, bahan dasar Daun tua berwarna merah protein, mempercepat pema- keunguan, pertumbuhan akar tangan buah dan memperkuat tidak normal, proses pemabatang tumbuhan tangan buah lambat Membantu proses pembentukan Daun berwarna hijau pucat, bintil akar, tunas dan klorofil batang dan ranting tampak kurus dan berbatang pendek Mengatur pertumbuhan akar dan batang, serta meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi tumbuhan Mengatur sintesis protein dan pembawa elektron
Mangan (Mn)
Mengaktifkan enzim dan termasuk komponen struktural dalam membran kloroplas
Boron (B)
Mengatur perkecambahan, pembungaan dan pembelahan sel
Seng (Zn)
Mengatur pembentukan auksin dan mencegah kerusakan molekul klorofil Membantu pembentukan klorofil dan termasuk komponen dalam pembentukan enzim
Tembaga (Cu)
Gejala akibat defisiensi
Produktivitas rendah, tumbuhan menjadi layu dan proses pematangan buah lambat Daun muda mengalami klorosis, yaitu daun berwarna kuning dan mudah rontok Daun muda mengalami klorosis dengan bercak tersebar merata, tumbuhan tampak kerdil, dan pembentukan biji tidak sempurna Tunas pucuk dan cabangcabang lateral mati, daun keriting dan mudah rontok Daun berwarna merah tua dan pertumbuhan akar tidak normal Daun muda menjadi layu tetapi tidak sampai mengalami klorosis
10 Tabel 1 Lanjutan Jenis unsur hara Unsur hara mikro Molibdenum (Mo)
Fungsi
Penyakit akibat defisiensi
Membantu kerja enzim Daun hijau pucat dan mengdalam mereduksi nitrat gulung Sumber: Dwijoseputro (1980), Lakitan (2008) dan Parnata (2010).
Endah & Abidin (2002) menyatakan bahwa tumbuhan menyerap unsur hara dari tanah dalam bentuk ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Karena ionion tersebut bermuatan listrik, akan terjadi tarik-menarik antara ion dengan koloid tanah. Hanya ion yang tidak terikat dengan koloid tanah yang akan mudah diserap oleh akar tumbuhan.
Tabel 2 Bentuk unsur hara yang diserap oleh tumbuhan Jenis unsur hara Unsur hara makro Nitrogen Kalium Kalsium Magnesium Fosfor Sulfur Unsur hara mikro Klor Besi Mangan Boron Seng Tembaga Molibdenum Sumber: Endah dan Abidin (2002).
Bentuk yang diserap oleh tumbuhan Kation
Anion
NH4+ K+ Ca2+ Mg2+ -
NO3H2PO4-, HPO42SO42-
Fe , Fe3+ Mn2+ Zn2+ 2+ Cu , Cu3+ -
ClBO32MoO42-
2+
Tingkat Keasaman Tanah Tingkat keasaman tanah (pH tanah) menggambarkan jumlah relatif ion H+ terhadap ion OH- di dalam larutan tanah. Tingkat keasaman tanah mempunyai skala 0-14. Larutan tanah bereaksi asam jika nilai pH berada pada kisaran 0-6, yang berarti larutan tanah mengandung ion H+ lebih besar dibandingkan ion OH-. Sebaliknya, jika ion H+ lebih kecil dibandingkan ion OH-, maka larutan tanah tersebut bereaksi basa atau memiliki nilai pH antara 8-14. Ketersediaan unsur hara di dalam tanah dipengaruhi oleh keasaman tanah. Pada kondisi tanah asam, ketersediaan unsur hara makro cenderung berkurang. Ketersediaan unsur hara makro berada dalam jumlah ideal pada kisaran pH 6-7.5
11 (Endah & Abidin 2002). Selain itu, pH tanah mempunyai pengaruh yang kuat pada ketersediaan unsur hara mikro. Ketersediaan unsur hara mikro (kecuali Mo dan Cl) menurun apabila pH tanah meningkat. Range pH terbaik untuk ketersediaan hara mikro Cu, Zn, Fe dan Mn berturut-turut adalah 5.0-7.0; 5.0-7.0; 4.0-6.5 dan 5.0-6.0 (Winarso 2005). Fitter & Hay (1991) menyatakan bahwa pH tanah sangat berpengaruh terhadap aktivitas enzim yang ada pada tumbuhan. Tingkat keasaman tanah yang optimal untuk kerja enzim tersebut umumnya sekitar 6-8 (Rosmarkam & Yuwono 2002; Abdurahman 2006; Meryandini et al. 2009). Hadrjowigeno (1995) menyatakan bahwa ada tiga alasan utama tingkat keasaman tanah sangat penting untuk diketahui, yaitu: 1. Menentukan mudah tidaknya ion-ion unsur hara diserap oleh tumbuhan. Umumnya, unsur hara mudah diserap oleh akar tumbuhan pada pH tanah netral, karena pada pH tersebut sebagian besar unsur hara mudah terlarut di dalam air. 2. Dapat menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi tumbuhan. Pada tanah asam banyak ditemukan unsur Al yang bersifat racun dan mengikat unsur P, sedangkan pada tanah basa banyak ditemukan unsur Natrium (Na) yang dapat bersifat racun bagi tumbuhan. 3. Berpengaruh terhadap perkembangan mikroorganisme di dalam tanah. Pada pH 5.5-7.0, bakteri pengurai bahan organik dapat berkembang dengan baik.
Ketebalan Gambut Ketebalan gambut dapat mempengaruhi struktur tegakan hutan rawa gambut, seperti kerapatan pohon, volume, dan luas bidang dasar. Variasi jenis pohon di hutan rawa gambut erat kaitannya dengan ketebalan gambut (Mirmanto et al. 2003). Menurut Istomo (2002), kandungan hara tanah gambut semakin menurun dengan meningkatnya ketebalan gambut. Selain itu, ketebalan gambut dapat mengindikasikan kadar abu. Kadar abu tersebut dapat dijadikan gambaran kesuburan tanah gambut. Semakin tinggi ketebalan gambut mengakibatkan kadar abu semakin rendah. Gambut dangkal lebih subur dibandingkan dengan gambut tebal (kubah gambut) (Noor 2001).
Intensitas Cahaya Matahari Cahaya mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan yang dikendalikan oleh cahaya antara lain perkecambahan, memanjangnya batang, membukanya hypocotyl, meluasnya daun, sintesis klorofil, gerakan batang, gerakan daun, dan pembukaan bunga (Fitter & Hay 1991). Selain itu, Mangoendidjojo (2003) menyatakan bahwa cahaya merupakan faktor utama bagi pertumbuhan tumbuhan karena merupakan sumber energi bagi proses fotosintesis yang akan menghasilkan karbohidrat. Setiap jenis tumbuhan mempunyai toleransi yang berlainan terhadap cahaya matahari. Sebagian besar Angiospermae efisien dalam melakukan fotosintesis pada intensitas cahaya rendah daripada intensitas cahaya tinggi, sedangkan
12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan intensitas cahaya yang rendah akan mengganggu jalannya fotosintesis. Oleh karena itu, agar tumbuhan dapat melakukan fotosintesis dengan baik, tumbuhan membutuhkan intensitas cahaya yang optimal.
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Juni hingga bulan Juli 2012. Penelitian berlokasi di Areal Konservasi IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Penelitian dilakukan di areal konservasi yang terdapat di setiap blok unit pengelolaan. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4.
Blok D Blok C Blok B
Blok A
Gambar 4 Peta areal unit pengelolaan PT. RAPP Estate Meranti
13 Peralatan dan Bahan
Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: peta Areal Unit Pengelolaan PT. RAPP Estate Meranti, Global Positioning System (GPS) receiver, soil pH tester digital, lux meter digital, teropong binokuler, buku Panduan Lapangan Mamalia (Payne et al. 2000), haga altimeter, pita ukur, meteran, tali tambang, perlengkapan herbarium, camera digital, tally sheet, personal computer (PC) dengan beberapa perangkat lunak (software) ArcView 3.3, ArcGis 9.3, SPSS 16 dan Microsoft Office 2007, serta pustaka mengenai beruang madu.
Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data komponen biotik habitat beruang madu yang mencakup data vegetasi (tingkat semai dan pancang: nama jenis dan jumlah individu, tingkat tiang dan pohon: nama jenis, jumlah individu, dan diameter). Selain itu, data yang dikumpulkan lainnya mengenai data komponen abiotik habitat beruang madu yang mencakup: pH tanah, intensitas cahaya matahari dan ketebalan gambut.
Metode Pengambilan Unit Contoh
Metode pengambilan unit contoh yang digunakan pada penelitian ini adalah stratified random sampling dengan intensitas sampling 0.1% dari masing-masing luas blok areal konservasi. Pengambilan unit contoh dilakukan pada keempat Blok Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti, yaitu Blok A (4104.42 ha), Blok B (2028.34 ha), Blok C (2062.58 ha) dan Blok D (927.71 ha). Pada setiap blok tersebut dibuat transek-transek dengan panjang 260 m dan lebar 20 m. Jumlah seluruh transek yang diamati adalah 18 transek, yaitu 8 transek pada Blok A, 4 transek pada Blok B, 4 transek pada Blok C dan 2 transek pada Blok D.
Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk memperoleh data mengenai keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu, pola sebaran pohon pakan beruang madu dan faktor lingkungan yang menentukan keberadaan pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti sebagai berikut:
14 a. Studi pustaka Sebelum dilakukannya inventarisasi di lapangan, terlebih dahulu dilakukan studi pustaka yang terkait dengan pakan beruang madu. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh daftar jenis pohon pakan yang dapat dijadikan acuan selama inventarisasi di lapangan. Selain itu, dilakukan juga pengumpulan beberapa peta yang dijadikan pedoman untuk pembuatan peta kerja, seperti peta Areal Unit Pengelolaan PT. RAPP Estate Meranti, peta penutupan lahan, peta sungai di Provinsi Riau, dan peta kontur ketebalan gambut Semenanjung Kampar. b. Wawancara Metode ini dilakukan guna memperoleh informasi tentang jenis pohon pakan beruang madu yang diketahui oleh responden di kawasan. Responden dalam wawancara ini adalah masyarakat sekitar kawasan dan tenaga kerja lapang Bagian Sustainability Departemen Forest Protection Unit Pengelolaan PT. RAPP Estate Meranti. Metode ini dilakukan dengan teknik wawancara terbuka, sehingga tidak dibuat daftar pertanyaan terstruktur seperti pada teknik wawancara tertutup. c. Analisis vegetasi Kegiatan inventarisasi tumbuhan dilakukan untuk mengetahui komposisi dan struktur dari setiap jenis tumbuhan yang terdapat di kawasan. Kegiatan inventarisasi tumbuhan ini dilakukan dengan metode analisis vegetasi yang bertujuan untuk memperoleh data yang mencakup jenis, jumlah jenis, dan jumlah individu setiap jenis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi antara jalur dan garis berpetak dengan ukuran panjang 260 m dan lebar 20 m (Gambar 5). Apabila dalam pencatatan nama jenis tumbuhan belum diketahui sewaktu pengumpulan data di lapangan, maka dilakukan pembuatan herbarium. Tahapan pembuatan herbarium di lapangan mengacu kepada Rugayah (2004), sebagai berikut: 1) Pengumpulan sampel herbarium berupa ranting, daun muda, daun tua, bunga dan buah. 2) Pencatatan data tumbuhan dengan menggunakan buku catatan. 3) Pembuatan label gantung yang diikat pada sampel herbarium. Satu label untuk satu sampel. Pada label ditulis kolektor, nomor koleksi, dan nama lokal tumbuhan. 4) Pengawetan sampel herbarium dengan cara dicelup dalam alkohol, kemudian dimasukkan ke dalam lipatan kertas koran. Lipatan kertas koran tersebut ditumpuk, ditekan lalu dikeringkan dengan cara dijemur untuk mendapatkan panas dari cahaya matahari. 5) Sampel herbarium diidentifikasi nama spesies, genus dan familinya di Herbarium Bogorienses LIPI, Bogor. D A
B
A
B
C
D A
C
D
B
C
Keterangan: A = Petak contoh semai (2x2) m2 B = Petak contoh pancang (5x5) m2
A
B
C
arah rintisan D
260 m
C = Petak contoh tiang (10x10) m2 D = Petak contoh pohon (20x20) m2
Gambar 5 Skema penempatan metode kombinasi antara jalur dan garis berpetak
15 d. Pengukuran pH tanah Pengukuran pH tanah dilakukan dengan menggunakan soil pH tester digital. Pengukuran dilakukan pada setiap petak contoh inventarisasi tumbuhan. e. Pengukuran intensitas cahaya matahari Intensitas cahaya matahari diukur dengan menggunakan lux meter digital. Satuan lux meter digital adalah lux. Lux meter digital yang digunakan dapat menerima cahaya mulai dari 0 lx sampai 200000 lx. Pengukuran dilakukan pada setiap petak contoh. Pengukuran ini dilakukan sebanyak satu kali dalam satu hari antara pukul 12.00 sampai dengan pukul 13.00 WIB. Pengukuran dilakukan pada siang hari dikarenakan matahari mencapai posisi yang dapat menghasilkan intensitas cahaya terbesar yang dapat sampai ke muka bumi. Ketika intensitas cahaya matahari mencapai puncaknya sumber energi yang dibutuhkan tumbuhan untuk reaksi anabolik fotosintesis juga semakin banyak tersedia. Selain itu, pada saat intensitas cahaya matahari tertinggi, ukuran stomata yang terbuka mencapai ukuran maksimal (Lakitan 2008). Wahyudi et al. (2006) menyatakan bahwa keberlangsungan fotosintesis berkorelasi positif dengan ukuran stomata. Stomata berperan dalam masuknya karbondioksida yang diperlukan tumbuhan untuk fotosintesis. f. Pengukuran ketebalan gambut Pengukuran ketebalan gambut dilakukan dengan cara identifikasi ketebalan gambut pada koordinat lokasi pengambilan contoh yang dimasukkan ke dalam peta kontur ketebalan gambut Areal Unit Pengelolaan PT. RAPP Estate Meranti dengan bantuan perangkat lunak ArcView 3.3 (Gambar 6). Masing-masing kontur pada peta tersebut menunjukkan ketebalan gambut di lokasi pengambilan contoh.
Gambar 6 Peta kontur ketebalan gambut PT. RAPP Estate Meranti
16 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis Keanekaragaman Jenis Pohon Pakan Beruang Madu Data hasil inventarisasi tumbuhan digunakan untuk mengetahui potensi aktual tumbuhan pakan beruang madu yang terdapat di kawasan. Data potensi aktual tersebut dapat menggambarkan mengenai komposisi, kelimpahan, kemerataan dan dominansi tumbuhan pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti. Data hasil inventarisasi tumbuhan juga digunakan untuk menghitung kerapatan, frekuensi dan indeks nilai penting (INP). INP digunakan untuk mengetahui tingkat dominansi jenis tumbuhan yang menempati suatu daerah (Kartono 2000). Kusmana & Istomo (1995) menjelaskan bahwa kerapatan menunjukkan kelimpahan suatu jenis dalam suatu komunitas, frekuensi menunjukkan derajat penyebaran suatu jenis di dalam suatu komunitas, sedangkan dominansi menunjukkan penguasaan suatu jenis dalam suatu komunitas. Untuk tingkat semai dan pancang, INP merupakan penjumlahan nilai kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR), sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon dijumlahkan lagi dengan nilai dominansi relatif (DR). Beberapa persamaan yang digunakan untuk menghitung KR, FR, DR dan INP (Soerianegara & Indrawan 2005) sebagai berikut: Kerapatan suatu jenis = Kerapatan relatif (KR)
=
Frekuensi suatu jenis
=
Frekuensi relatif (FR)
=
Dominansi suatu jenis
=
Dominansi relatif (DR)
=
Luas bidang dasar suatu jenis INP (tiang dan pohon) INP (semai dan pancang)
x 100%
x 100%
x 100% 2
= ¼πd = KR+FR+DR = KR+FR
Analisis Pola Sebaran Pohon Pakan Beruang Madu Data frekuensi perjumpaan pohon pakan beruang madu di setiap petak contoh yang dilakukan pada kegiatan inventarisasi tumbuhan dianalisis pola sebarannya. Analisis pola sebaran dilakukan dengan menggunakan metode rasio ragam (Ludwig & Reynolds 1988), sebagai berikut: a. Peubah yang diukur dalam metode ini adalah nilai rata-rata dan nilai keragaman (variannya). Rumus yang digunakan untuk menduga rata-rata: 2 ( xi . f i ) x.n n xi . f i 2 = , dan S = X= N 1 N fi
17 Keterangan: X : nilai rata-rata S2 : nilai ragam xi : jumlah individu tiap sub petak fi : frekuensi banyaknya ditemukan jumlah individu n : Σ xi.fi N : Σ fi b. Kemudian digunakan kriteria pengambilan keputusan: Jika S2 = X , maka sebarannya acak. Jika S2 < X , maka sebarannya seragam. Jika S2 > X , maka sebarannya berkelompok. Setelah diketahui pola sebaran pohon pakan beruang madu, dilakukan uji korelasi untuk mengetahui apakah setiap jenis pohon pakan beruang madu memilki korelasi terhadap komponen habitat di areal konservasi. Sarwono (2006) menyatakan bahwa analisis korelasi digunakan untuk mengukur kuat lemahnya hubungan antara variabel bebas dan satu variabel tergantung yang berskala interval atau parametrik. Kriteria kuat atau lemahnya hubungan antara variabel dapat dilihat dari nilai korelasi variabel tersebut (Tabel 3).
Tabel 3
Kriteria kekuatan hubungan antara variabel yang diuji
Kriteria Tidak ada korelasi Korelasi sangat lemah Korelasi cukup kuat Korelasi kuat Korelasi sangat kuat Korelasi sempurna
Nilai korelasi 0 >0-0.25 >0.25-0.50 >0.50-0.75 >0.75-0.99 1
Sumber: Sarwono (2006).
Analisis Faktor Lingkungan yang Menentukan Keberadaan Pohon Pakan Beruang Madu Untuk mengetahui komponen habitat yang menentukan keberadaan seluruh jenis pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti digunakan analisis multivariat dengan pendekatan analisis faktor. Metode yang digunakan dalam analisis faktor adalah analisis komponen utama/principal component analysis (AKU/PCA). Analisis tersebut diolah dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 16. Menurut Timm (2002), AKU merupakan teknik statistik yang mentransformasikan secara linier satu set variabel ke dalam variabel baru dengan ukuran yang lebih kecil dan tidak saling berkorelasi. AKU digunakan untuk menemukan dan menafsirkan ketergantungan yang ada diantara variabel. Selain itu, AKU juga berfungsi untuk menguji hubungan yang mungkin ada diantara variabel. Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa AKU pada dasarnya
18 merupakan teknik statistik multivariat yang berkaitan dengan struktur internal dari matriks. Menurut Rahayu (2005), langkah pertama dalam menggunakan metode AKU adalah memasukkan keseluruhan peubah bebas (komponen biotik dan komponen abiotik) yang diamati dalam analisis faktor. Kemudian dilakukan pemilihan peubah yang layak diproses lebih lanjut atau tidak. Kelayakan tersebut dapat dilihat dari besarnya nilai K-M-O MSA (Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy). K-M-O MSA tersebut menggambarkan ukuran ketepatan dari analisis faktor. Nilai K-M-O MSA ≥ 0.5 maka sampel tersebut dianggap mempunyai ketepatan. Selanjutnya setiap peubah bebas dianalisis untuk mengetahui mana yang dapat diproses lebih lanjut dan mana yang harus dikeluarkan. Rahayu (2005) menyatakan bahwa pedoman untuk mengeluarkan peubah dari analisis adalah dengan melihat nilai anti-image matrices < 0.5. Nilai ini dapat terlihat pada tabel anti image correlation dimana akan terlihat sejumlah angka yang membentuk diagonal yang bertanda ’a’. Setelah sejumlah peubah terpilih, maka dilakukan ekstraksi peubah tersebut hingga menjadi satu atau beberapa faktor.
4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Luas dan Letak
Kawasan IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti merupakan perluasan areal IUPHHK-HTI PT. RAPP yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 327/MenhutII/2009 dengan luas 45261 hektar. IUPHHKHTI PT. RAPP Estate Meranti dibagi menjadi lima areal peruntukan, yaitu areal tanaman pokok, areal tanaman unggulan, areal tanaman kehidupan, areal konservasi, serta areal sarana dan prasarana. Areal konservasi Estate Meranti mencakup sempadan sungai, kubah gambut dan kawasan penyangga (buffer zone). Secara administratif, Kawasan IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti termasuk dalam Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.
Hidrologi
Estate Meranti memiliki satu Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Kampar. Selain itu, Estate Meranti memiliki beberapa sub DAS, yaitu sub DAS Kutup, sub DAS Turip, sub DAS Serkap dan sub DAS Sangar. Seluruh sungaisungai yang mengalir di Estate Meranti bermuara di Sungai Kampar. Air sungai yang mengalir di Estate Meranti berasal dari kubah gambut dan danau (tasik) yang terdapat di dalam kawasan hutan Semenanjung Kampar.
19 Variasi Lokal Tipe Vegetasi Hutan Gambut
TIIP (2010a) menyatakan bahwa kawasan Estate Meranti memiliki empat tipe variasi vegetasi, yaitu hutan tiang dengan tajuk tinggi (Tall Pole Forest), hutan transisi rawa gambut campuran (Transition of Tall Pole Forest and Mixed Peat Swamp Forest), hutan riparian (Riverine Forest) dan semak belukar. Tall Pole Forest dicirikan dengan tajuk pohon yang tinggi dan relatif rata. Kanopi hutannya hanya terdiri atas 2-3 lapis saja. Ukuran pohon-pohon penyusunnya relatif kecil, yakni berdiameter berkisar antara 20-30 cm. Hutan transisi tiang tinggi rawa gambut campuran dicirikan dengan jenis campuran yang didominasi dengan tajuk tinggi dan tidak rata dengan diameter pohon umumnya > 30 cm. Kanopi hutannya terdiri dari beberapa lapisan dengan lapisan utama terbentuk dari tegakan pohon dengan ketinggian berkisar 30-40 m. Hutan riparian umumnya berkembang di wilayah pinggir sungai yang kondisinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sungai. Kanopi hutannya terdiri atas beberapa lapisan dengan beberapa pohon mencuat. Pada pinggir sungai yang selalu tergenang air, vegetasi ripariannya berkembang menjadi komunitas belukar dari marga Pandanus dan rerumputan dari kelompok Cyperaceae atau Hanguana dari suku Flagelariaceae.
Variasi Lokal Ketebalan Gambut
Umumnya, gambut akan membentuk suatu kubah (dome). Semakin mendekati kubah ketebalan gambut semakin meningkat, sedangkan semakin dekat dengan sungai ketebalan gambut akan semakin menipis. Ketebalan gambut di Estate Meranti berkisar antara 5 m hingga 10 m. Hardjowigeno (1996) menyatakan bahwa gambut di bagian tepi kubah pada umumnya memiliki kesuburan yang relatif baik (gambut topogen), sedangkan gambut yang terdapat di tengah-tengah kubah memiliki kesuburan yang rendah (gambut ombrogen).
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Jenis Pohon Pakan Beruang Madu
Hasil inventarisasi tumbuhan di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti menunjukkan bahwa terdapat 70 jenis tumbuhan yang berasal dari 30 suku (Lampiran 2). Berdasarkan hasil studi pustaka yang dibandingkan dengan jenis tumbuhan yang telah diidentifikasi dapat diketahui bahwa di areal konservasi terdapat 34 jenis pohon yang potensial sebagai sumber pakan beruang madu (Tabel 4).
20 Tabel 4 No.
Jenis pohon yang potensial sebagai sumber pakan beruang madu di areal konservasi
Nama lokal
Nama latin
Suku
1
Ara
Ficus stricta Miq
Moraceae
2
Arang-arang
Diospyros maingayi (Hiern.) Bakh.
Ebenaceae
3
Balang-balang
Syzygium rostratum DC.
Myrtaceae
4
Bengku
Madhuca motleyana (de Vriese) J. F. Macbr.
Sapotaceae
5
Cemetik
Garcinia sp.
Clusiaceae
6
Darah-darah
Knema cinerea Warb.
Myristicaceae
7
Durian hutan
Durio carinatus Mast.
Bombacaceae
8
Idan
Xerospermum noronhianum Blume
Sapindaceae
9
Jambu-jambu
Syzygium claviflorum Roxb.
Myrtaceae
10
Kandis
Garcinia parvifolia
Clusiaceae
11
Kedondong hutan
Dacryodes rostrata (Blume) H. J. Lam
Burseraceae
12
Kelat kelam
Syzygium sp.1
Myrtaceae
13
Kelat merah
Acmena acuminatissima (Blume) Merr. & L. M. Perry
Myrtaceae
14
Kelat putih
Syzygium inophyllum DC.
Myrtaceae
15
Kelumpang
Magnolia elegans (Blume) Keng
Magnoliaceae
16
Keranji
Dialium maingayi Baker
Caesalpiniaceae
17
Manggis hutan
Garcinia bancana Miq.
Clusiaceae
18
Medang keladi
Litsea lanceolata (Blume) Koesterm.
Lauraceae
19
Medang lundu
Litsea oppositifolia Gibbs.
Lauraceae
20
Mempening
Quercus sp.
Fagaceae
21
Mesio
Ilex cymosa Blume
Aquifoliaceae
22
Nangka hutan
Artocarpus rigidus Blume
Moraceae
23
Nasi-nasi
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Myrtaceae
24
Parak
Aglaia rubiginosa (Hiern) Pannell
Meliaceae
25
Punak
Tetramerista glabra Miq.
Theaceae
26
Salakeo
Mangifera griffithii Hook. f.
Anacardiaceae
27
Samak
Syzygium sp.2
Myrtaceae
28
Semaram
Palaquium sumatranum Burck
Sapotaceae
29
Seminai
Palaquium ridleyi K. & G.
Sapotaceae
30
Simpoh
Dillenia reticulata King
Dilleniaceae
31
Suntai
Palaquium burckii H. J. Lam
Sapotaceae
32
Terap
Artocarpus elasticus Reinw
Moraceae
33
Terentang
Campnosperma coriaceum (Jack.) Hall. F. Ex Steen
Anacardiaceae
34
Terpis
Polyalthia hypoleuca Hook. f. & Thomson
Annonaceae
Keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu yang ditemukan di areal konservasi lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Fredriksson et al. (2006a) di Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) yang menemukan 72 jenis pohon pakan. Hal ini disebabkan karena perbedaan jenis tanah di kedua lokasi tersebut. Tanah di areal konservasi tergolong tanah gambut, sedangkan tanah di HLSW tergolong tanah mineral. Tingkat keasaman di tanah gambut lebih rendah
21 dibandingkan dengan tingkat keasaman di tanah mineral. Tanah di areal konservasi memiliki kisaran pH tanah 3.0-4.5, sedangkan tanah di HLSW memiliki kisaran pH tanah 5.3-6.6 (Triono et al. 2010). Menurut Irwan (2010), salah satu penyebab jumlah jenis tumbuhan yang ada di hutan rawa gambut tidak banyak adalah tanahnya tergolong tanah yang asam (pH tanah ± 3.2). Hanya tumbuhan yang adaptif terhadap kondisi lebih asam yang dapat tetap hidup (Andriesse 2003). Adimihardja et al. (2006) menyatakan bahwa tanah gambut pada umumnya sangat asam ( pH 3.0-4.5) dan kandungan bahan organik < 5%. Fraksi organik tanah gambut mengandung lignin, selulosa, hemiselulosa, protein, tannin dan resin dalam jumlah yang sedikit. Pada kondisi tersebut, pertumbuhan dan perkembangan akar tumbuhan akan terhambat, sehingga jenis tumbuhan yang dapat tumbuh dan berkembang sangat terbatas. Selain itu, miskinnya unsur hara yang tersedia di tanah gambut mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Hasil perhitungan indeks nilai penting (INP) menunjukkan bahwa jenis bengku (Madhuca motleyana), kelat putih (Syzygium inophyllum), kelat merah (Acmena acuminatissima), arang-arang (Diospyros maingayi) dan punak (Tetramerista glabra) termasuk dalam urutan lima jenis pohon pakan beruang madu dengan INP tertinggi (Tabel 5). Jenis Madhuca motleyana merupakan jenis pohon pakan beruang madu yang memiliki INP paling tinggi, sehingga jenis tersebut dapat juga dikatakan sebagai jenis pohon pakan beruang madu yang paling dominan di areal konservasi. Smith (1977) menyatakan bahwa jenis dominan merupakan jenis yang dapat memanfaatkan lingkungan yang ditempatinya secara efisien daripada jenis yang lain dalam tempat yang sama. Jenis tersebut dapat memanfaatkan komponen habitat yang tersedia di areal konservasi, seperti keasaman tanah (pH tanah) 3.0-4.5, ketebalan gambut 5-8 m dan intensitas cahaya matahari mulai 200 lx hingga 49200 lx.
Tabel 5
Indeks nilai penting pohon pakan beruang madu di areal konservasi
No.
Nama Lokal
Nama Latin
1. 2. 3. 4. 5.
Bengku Kelat putih Kelat merah Arang-arang Punak
Madhuca motleyana Syzigium inophyllum Acmena acuminatissima Diospyros maingayi Tetramerista glabra
KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) 10.97 9.14 5.32 2.99 2.08
8.46 8.89 5.03 3.43 2.68
9.22 7.35 4.03 2.79 3.66
28.65 25.38 14.38 9.20 8.41
Waktu pengambilan data yang bertepatan dengan waktu yang masih termasuk dalam musim kemarau menyebabkan tidak semua jenis pohon pakan beruang madu sedang musim berbuah. Hanya jenis ara (Ficus stricta), nangka hutan (Artocarpus rigidus), punak (Tetramerista glabra), salakeo (Mangifera griffithii), terap (Artocarpus elasticus) dan terentang (Campnosperma coriaceum) saja yang dijumpai sedang berbuah. Sunarjono (2008) menyatakan bahwa musim berbuah pohon tropis di Indonesia umumnya terjadi ketika musim hujan.
22 Ara (Ficus stricta) Pohon ara memiliki tinggi yang bervariasi, mulai dari 16 m hingga 26 m. Daun berbentuk oblong dan simetris. Panjang daunnya berkisar 8-14 cm dan lebar berkisar 3.5-6.0.cm. Buah jenis ini berbentuk bulat agak lonjong dan ketika matang berwarna jingga. Menurut Berg & Corner (2005), Ficus stricta mampu tumbuh mulai dari dataran rendah hingga pada ketinggian 2000 m di atas permukaan laut. Jenis ini dapat ditemukan di Cina Selatan, Myanmar, Filipina, Semenanjung Malaya, Sumatera dan Jawa.
Gambar 7 Buah Ficus stricta
Hasil beberapa penelitian terdahulu menyatakan bahwa banyak anggota marga Ficus yang termasuk dalam daftar buah pakan beruang madu, salah satu jenisnya adalah Ficus stricta. Hal ini dikarenakan jenis tersebut merupakan jenis yang berbuah sepanjang tahun (Leighton & Leighton 1983, Lambert & Marshall 1991). Selain itu, buah Ficus stricta dipilih beruang madu sebagai pakan karena buahnya memiliki kandungan kalsium yang termasuk salah satu kandungan nutrisi makanan yang diperlukan tubuhnya (Wee et al. 2008). Nangka hutan (Artocarpus rigidus) Jenis pohon yang dikenal dengan nama lokal nangka hutan dapat ditemukan di areal konservasi Estate Meranti dengan tinggi yang bervariasi, mulai dari 12 m hingga 24 m. Daun nangka hutan berbentuk bulat telur terbalik dengan ujungnya tumpul, serta memiliki panjang berkisar 15-26 cm dan lebar berkisar 3.5-6.5.cm. Buah jenis ini berbentuk bulat, berwarna kuning kehijauan ketika matang berwarna jingga dan memiliki rasa yang manis. Daging buah tertutup oleh duri yang pendek. Ukuran diameter buahnya berkisar 7-15 cm. Chong et al. (2009) menyatakan bahwa Artocarpus rigidus mampu tumbuh di hutan dataran rendah dan hutan pegunungan. Jenis ini dapat ditemukan di India, Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya, Singapura, Sumatera, Kalimantan dan Jawa.
23 Menurut Broto (2003), jenis ini merupakan jenis yang dapat berbuah sepanjang tahun, sehingga dapat berpotensi sebagai pakan beruang madu. Selain itu, beruang madu memilih jenis ini sebagai pakannya diduga karena bermanfaat dalam menjaga kebugaran (fitness) tubuhnya. Hasil penelitian Namdaung et al. (2006) yang diacu dalam Hakim (2011) menyatakan bahwa jenis Artocarpus rigidus memiliki kandungan senyawa santonolid yang bersifat sitotoksik, yaitu dapat bersifat toksik untuk menghambat dan menghentikan pertumbuhan sel kanker.
Gambar 8 Buah Artocarpus rigidus
Punak (Tetramerista glabra) Pohon jenis ini dapat ditemukan dengan tinggi yang bervariasi, mulai dari 13 m sampai 25 m. Diameter batang pohonnya mampu mencapai 150 cm dbh. Tangkai daunnya memiliki susunan alternate, yaitu berselang-seling. Lebar daunnya berkisar 3.5-6.5 cm dan panjangnya berkisar 7-16 cm. Buah berbentuk bulat dan berwarna hijau. Buah matang berwarna kuning jingga. Buah dilapisi exocarp yang tipis seperti kulit. Ukuran diameter buah berkisar 2-4 cm.
Gambar 9 Buah Tetramerista glabra
24 Jenis Tetramerista glabra umumnya dijumpai di hutan gambut dan kadangkadang dapat dijumpai di hutan campuran dipterocarpaceae pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut. Jenis ini dapat ditemukan di Semenanjung Malaya, Sumatera dan Kalimantan (Gavin & Peart 1997). Hasil penelitian Bernard (2009) menyatakan bahwa pohon Tetramerista glabra dapat ditemukan sedang berbuah sepanjang tahun. Pertimbangan jenis ini berpotensi sebagai sumber pakan beruang madu karena buah yang tersedia sepanjang tahun dapat menjadi pilihan pakan beruang madu untuk mencukupi kebutuhan energi beruang madu dalam melakukan aktivitas hariannya. Jenis ini memiliki kandungan air (89.88%) dan karbohidrat (6.64%) yang lebih besar dibandingkan kandungan lainnya (protein, lemak, kadar abu dan serat kasar). Menurut Reksohadiprodjo (1988), karbohidrat mempunyai peranan yang sangat penting di dalam tubuh satwa. Salakeo (Mangifera griffithii) Jenis ini memiliki perawakan pohon yang tingginya mampu mencapai 22 m. Buahnya lebih kecil dibandingkan jenis Mangifera indica dan Mangifera foetida. Buahnya berbentuk bulat panjang (oblong). Daging buahnya berserat, ketika matang daging buah berwarna kuning kemerahan dan kulit buahnya berwarna hijau kekuningan. Batang pohonnya tidak tahan terhadap serangan rayap, sehingga mudah tumbang (Linatoc 1999).
a
b Gambar 10 Mangifera griffithii: (a) buah dan (b) biji
Menurut Litz (2009), Mangifera griffithii banyak ditemukan di daerah rawa. Jenis tersebut berasal dari Kepulauan Andaman, India dan saat ini tersebar di Semenanjung Malaya, Thailand, Sumatera dan di sebelah Barat Kalimantan. Umumnya, jenis ini termasuk evergreen species (jenis yang selalu hijau) atau sedikit yang gugur ketika musim kemarau, sehingga ketersediaan buah jenis tersebut ketika musim kemarau sangat berpotensi sebagai sumber pakan beruang madu (Litz 2009). Jenis ini memiliki kandungan air (86.11%) dan karbohidrat (11.8%) yang paling besar daripada kandungan lainnya. Karbohidrat daging buahnya terdiri dari gula sederhana, tepung dan selulosa. Gula sederhana seperti
25 sukrosa, glukosa, dan fruktosa diduga bermanfaat bagi pemulihan tenaga pada tubuh beruang madu. Terap (Artocarpus elasticus) Pohon terap yang ditemukan di areal konservasi memiliki tinggi yang beraneka ragam, mulai dari 15 m sampai 20 m. Daun tunggal, berseling, berbentuk lonjong dan tebal. Ujung dan pangkal daunnya runcing. Panjang daun berkisar 20-40 cm dan lebarnya berkisar 15-25 cm. Tulang daun menyirip. Bentuk buahnya bulat, kulit daging buah berduri halus dengan ukuran diameter buah berkisar 10-15 cm. Ketika matang buah berwarna kuning kecoklatan dan beraroma yang khas. Latifah (2005) menyatakan bahwa Artocarpus elasticus dapat dijumpai pada hutan dataran rendah sampai dengan ketinggian 1000 m di atas permukaan laut. Spesies yang memiliki nama lokal terap ini tersebar di Semenanjung Malaya, Indonesia dan Filipina.
Gambar 11 Buah Artocarpus elasticus
Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa buah terap ini mengandung senyawa flavonoid, yaitu sekelompok senyawa polifenol dengan berat molekul yang rendah. Flavonoid berperan dalam menghambat pembentukan radikal bebas (Chong et al. 2009, Hakim 2011). Kandungan metabolit sekunder tersebut dapat mempengaruhi fungsi fisiologis satwa yang memakannya, sehingga ketersediaan buah jenis ini di areal konservasi selain bisa sebagai sumber pakan beruang madu juga berpotensi sebagai asupan alami yang bisa menjaga kesehatan tubuh beruang madu. Terentang (Campnosperma coriaceum) Spesies ini dapat dijumpai dengan tinggi pohon mulai 11 m sampai 24 m. Daunnya berwarna hijau mengkilap gelap, kasar dan obovate atau lonjong sungsang (20-50 cm). Tangkai daun memiliki sepasang lobus. Daun muda berwarna coklat kemerahan. Buah tunggal berbentuk bulat telur dengan diameter
26 berkisar 0.5-0.8 cm. Buah berwarna hijau dengan bintik-bintik putih. Ketika matang buah berwarna ungu kehitaman. Umumnya, Campnosperma coriaceum tumbuh di daerah rawa, termasuk rawa gambut. Terentang menyebar di hutan rawa gambut halus, lempung berpasir (kedalaman 3-5 m), ketinggian 10 m di atas permukaan laut dan tipe iklim A. Tumbuhan yang dikenal dengan nama lokal terentang ini tersebar di Semananjung Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Kalimantan. Pohon ini tumbuh baik di hutan sekunder yang telah terbuka. Kondisi tegakan menyebar berkelompok (Kochummen 1989, Danu & Bogidarmanti 2012). Selama pengumpulan data dilakukan, sangat jarang ditemukan buah terentang yang hampir matang. Penampakan buah terentang yang hampir matang disajikan pada Gambar 12a. Akan tetapi, buah terentang yang ditemukan di areal konservasi Estate Meranti lebih banyak yang berbuah muda atau masih berwarna hijau (Gambar 12b). Hasil penelitian Danu & Bogidarmanti (2012) menyatakan bahwa waktu yang diperlukan buah terentang sampai matang secara fisiologis dalam satu malai saja bisa tidak serentak. Sebagian besar Campnosperma coriaceum berbuah muda pada bulan Oktober, kemudian berkembang menjadi buah tua yang sudah matang pada bulan November-Desember. Hal ini mengindikasikan bahwa buah terentang berpotensi sebagai sumber pakan beruang madu ketika bulan-bulan tertentu saja.
a
b
Gambar 12 Buah Campnosperma coriaceum: (a) buah tua dan (b) buah muda
Periode tidak musim berbuah sebagian besar jenis pohon pakan beruang madu menyebabkan informasi terkait dengan cara beruang madu untuk mendapatkan dan memakan buah yang ada di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti sulit untuk diketahui. Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian Wong (2002) dapat diketahui bahwa beruang madu memanjat pohon Ficus sp. mengambil buah untuk dimakan. Buah yang diambil beruang madu terletak di ranting pohon Ficus sp. yang masih terjangkau olehnya. Buah Ficus sp. tersebut dimakan oleh beruang madu dalam bentuk buah yang lengkap dengan kulit dan bijinya. Selain itu, Wong (2013) menyatakan bahwa beruang madu juga mencari buah di lantai hutan. Beruang madu mengambil buah Durio sp. yang jatuh,
27 kemudian beruang madu tersebut membelah kulitnya lalu memakan daging buahnya.
Gambar 13 Beruang madu sedang memakan buah durian (Durio sp.) di Hutan Lindung Ulu Segama, Malaysia (Sumber: Wong 2013)
Periode tidak musim berbuah sebagian besar jenis pohon pakan beruang madu menyebabkan tidak dijumpai aktivitas makan beruang madu, baik secara langsung maupun tanda-tanda bekas aktivitas makannya. Hal tersebut juga yang mengindikasikan beruang madu lebih memilih serangga dibandingkan buah sebagai sumber pakannya. Fredriksson et al. (2006a) menyatakan bahwa hampir 100% pakan beruang madu terdiri atas buah selama periode musim berbuah, sedangkan pada periode tidak musim berbuah pakan beruang madu didominasi oleh serangga.
Gambar 14 Beruang madu sedang memakan rayap (Dicuspiditermes sp.) ketika periode tidak musim berbuah di Hutan Lindung Ulu Segama, Malaysia (Sumber: Wong 2002)
28 Pola Sebaran Pohon Pakan Beruang Madu
Hasil analisis pola sebaran pohon pakan beruang madu dengan metode rasio ragam menunjukkan bahwa seluruh jenis pohon pakan beruang madu menyebar secara berkelompok (Lampiran 3). Hal ini mendukung pernyataan Krebs (1989) bahwa populasi tumbuhan di alam memiliki kecenderungan tersebar secara berkelompok. Pola sebaran berkelompok disebabkan jenis pohon pakan beruang madu memilih tempat yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa pola sebaran berkelompok mengindikasikan adanya perilaku selektif terhadap faktor-faktor lingkungan tempat tumbuh yang heterogen. Masing-masing jenis pohon pakan beruang madu di areal konservasi memiliki pemilihan kondisi lingkungan tempat tumbuh yang berbeda. Faktor lingkungan yang disukai oleh masing-masing jenis pohon pakan beruang madu dapat diketahui dari nilai korelasi antara jenis pohon pakan beruang madu dengan komponen habitat (Lampiran 4). Berdasarkan hasil uji korelasi dapat diketahui bahwa jenis Litsea lanceolata berkorelasi positif dengan pH tanah pada selang kepercayaan 95%, sedangkan jenis Syzygium claviflorum, Artocarpus elasticus dan Mangifera griffithii berkorelasi positif dengan pH tanah pada selang kepercayaan 99%. Hal ini menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut memiliki daya kemampuan beradaptasi yang rendah terhadap kondisi tanah yang asam, sehingga jenis-jenis tersebut cenderung memilih tempat tumbuh yang memiliki pH tanah yang mendekati netral. Jenis Madhuca motleyana berkorelasi negatif dengan pH tanah pada selang kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tersebut memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap kondisi tanah yang asam. Hal tersebut diperkuat dengan diketahuinya bahwa jenis tersebut merupakan jenis pohon pakan beruang madu yang paling dominan di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa jenis Diospyros maingayi, Durio carinatus dan Syzygium rostratum berkorelasi negatif dengan ketebalan gambut pada selang kepercayaan 95%, sedangkan Artocarpus rigidus, Dialium maingayi dan Campnosperma coriaceum berkorelasi negatif dengan ketebalan gambut pada selang kepercayaan 99%. Hal ini menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut memiliki kecenderungan memilih tempat tumbuh yang ketebalan gambutnya dangkal, dikarenakan jenis-jenis tersebut memiliki daya kemampuan beradaptasi yang rendah pada gambut tebal. Jenis-jenis tersebut diduga mempunyai akar yang pendek, sehingga akar sangat sulit untuk menyerap unsur hara yang terdapat di dasar gambut tebal (Istomo 2002). Jenis Litsea oppositifolia berkorelasi positif dengan ketebalan gambut pada selang kepercayaan 95%, sedangkan jenis Knema cinerea, Ilex cymosa dan Palaquium burckii berkorelasi positif dengan ketebalan gambut pada selang kepercayaan 99%. Hal ini menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut memiliki daya kemampuan beradaptasi yang tinggi pada gambut tebal. Jenis-jenis tersebut diduga mempunyai akar yang mampu menyerap unsur hara yang terdapat di dasar gambut tebal.
29 Berdasarkan hasil uji korelasi dapat diketahui bahwa jenis Dacryodes rostrata berkorelasi positif dengan intensitas cahaya matahari pada selang kepercayaan 95%, sedangkan jenis Ficus stricta berkorelasi positif dengan intensitas cahaya matahari pada selang kepercayaan 99%. Akan tetapi, beberapa peneliti menyatakan bahwa kedua jenis tersebut lebih menyukai tumbuh dan berkembang pada intensitas cahaya matahari rendah (Shanahan 2000; Rasnovi 2006). Hal ini berarti bahwa kedua jenis tersebut memiliki daya kemampuan beradaptasi yang lebih besar dibandingkan jenis pohon pakan beruang madu lainnya terhadap intensitas cahaya matahari yang tinggi. Pola sebaran pohon pakan beruang madu di areal konservasi Estate Meranti yang berkelompok mengindikasikan pola sebaran beruang madu di areal tersebut juga berkelompok. Augeri (2005) menyatakan bahwa ketersediaan vegetasi pakan mempengaruhi penggunaan habitat oleh beruang madu, terutama pola pencarian pakan. Umumnya, pola sebaran pohon sebagai sumber pakan satwaliar mencerminkan pola jelajahnya (Meijaard et al. 2006).
Faktor Lingkungan yang Menentukan Keberadaan Pohon Pakan Beruang Madu
Berdasarkan hasil analisis faktor dengan metode analisis komponen utama (AKU) yang telah dilakukan terhadap komponen habitat pohon pakan beruang madu (pH tanah, ketebalan gambut dan intensitas cahaya matahari) terbentuk satu komponen utama (KU1). Komponen utama (KU1) tersebut mewakili komponen pH tanah dan ketebalan gambut. Kedua komponen habitat tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu yang ditemukan di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti. Semakin besar pH tanah, maka jumlah jenis pohon pakan beruang madu yang ditemukan semakin banyak. Selain itu, semakin dangkal ketebalan gambut, maka jumlah jenis pohon pakan beruang madu yang ditemukan semakin banyak. Hasil perhitungan analisis faktor disajikan pada Lampiran 5. Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh yaitu 0.500. Hal ini menunjukkan bahwa sebesar 50% dari komponen utama yang terbentuk berdasarkan analisis faktor dapat mewakili keseluruhan variabel yang diamati, sedangkan 50% lainnya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diamati. Hampir seluruh komponen habitat yang berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu berkaitan dengan sifat tanah gambut. Hal ini menunjukkan bahwa sifat tanah gambut menjadi faktor pembatas keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa areal konservasi termasuk areal yang miskin hara, sehingga membutuhkan penambahan unsur hara yang dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan seluruh jenis pohon pakan beruang madu. Selain itu, sifat tanah gambut juga berpengaruh terhadap proses penyerapan unsur hara oleh pohon pakan beruang madu. Tanah gambut yang sangat asam dapat mengganggu proses penyerapan unsur hara. Hal tersebut dikarenakan tanah gambut merupakan tanah yang memiliki ion H+ yang tinggi, sehingga unsur hara
30 yang berupa ion negatif (anion) akan terikat dengan koloid tanah gambut (Endah & Abidin 2002). Tingginya konsentrasi ion H+ mengakibatkan keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu rendah. Hanya jenis tumbuhan yang adaptif terhadap konsentrasi ion H+ yang tinggi saja yang dapat ditemukan pada kondisi tanah tersebut. Dwijoseputro (1980) menyatakan bahwa indeks pH 3 menunjukkan bahwa konsentrasi ion H+ yang dimiliki tanah tersebut sebesar 10-3. Menurut Fitter & Hay (1991), tingginya konsentarasi ion H+ yang terdapat di tanah sangat asam (pH 3) dapat bersifat toksik bagi spesies tumbuhan yang mempunyai daya adaptif yang rendah.
Rekomendasi Pengelolaan
Pengalokasian areal konservasi PT. RAPP Estate Meranti sebagai salah satu habitat beruang madu di Semenanjung Kampar perlu diapresiasi, namun perlu juga diikuti dengan penerapan pengelolaan yang baik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak PT. RAPP, khususnya Estate Meranti dalam menentukan bentuk pengelolaan habitat beruang madu yang dapat dilakukan di areal konservasi. Rekomendasi pengelolaan habitat beruang madu yang dapat diberikan kepada pihak pengelola sebagai pertimbangan dalam perencanaan bentuk pengelolaan habitat beruang madu di areal konservasi PT. RAPP Estate Meranti berdasarkan hasil penelitian ini antara lain: 1. Pemantauan ketersediaan pohon pakan beruang madu secara berkala Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi terkini terkait dengan struktur dan komposisi jenis pohon pakan beruang madu yang tersedia di areal konservasi. Pelaksanaan kegiatan ini dapat dijadwalkan setiap 6 bulan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perubahan kondisi habitat beruang madu dalam waktu musim yang berbeda. Ketika musim kemarau mudah terjadi kebakaran hutan, sehingga dikhawatirkan keberadaan pohon pakan beruang madu menjadi berkurang. Dengan demikian, habitat beruang madu yang mengalami gangguan akibat kebakaran hutan dapat segera dipulihkan dan ketersediaan pakannya tetap terjamin. 2. Peningkatan pengamanan habitat beruang madu Kegiatan ini dilakukan untuk mencegah perambahan hutan serta kegiatan ilegal lainnya yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas habitat beruang madu. Meskipun kegiatan pengamanan areal konservasi telah dilakukan oleh pihak pengelola, akan tetapi kegiatan ini perlu ditingkatkan. Pengamanan perlu ditingkatkan pada lokasi-lokasi yang tidak selalu terpantau oleh staf perusahaan. Hal ini dikarenakan pengamanan terlihat lebih terfokus pada lokasi di sekitar jalan utama (access road). Selama penelitian dilakukan ditemukan beberapa areal bekas perambahan, salah satunya di sekitar Sungai Kutup. 3. Pengayaan habitat beruang madu Kegiatan ini dapat dilakukan di setiap lokasi yang terindikasi mengalami perambahan. Selama penelitian dilakukan, dijumpai lokasi bekas perambahan yang tidak produktif. Hal ini dikarenakan belum adanya upaya pengayaan
31 habitat di lokasi tersebut. Pengayaan habitat beruang madu dapat dilakukan dengan penanaman jenis-jenis pohon pakan beruang madu yang juga termasuk jenis tumbuhan asli. Selain itu, jenis yang akan digunakan untuk pengayaan habitat hendaknya merupakan jenis penghasil buah yang disukai oleh beruang madu. Beberapa hasil penelitian terdahulu menyatakan bahwa buah Durio spp., Artocarpus spp., Dacryodes spp. dan Syzygium spp. termasuk jenis yang disukai oleh beruang madu. 4. Pembinaan habitat beruang madu Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas habitat agar pohon pakan beruang madu tetap produktif. Bentuk pembinaan habitat yang dapat dilakukan seperti peningkatan pH tanah melalui pengapuran, peningkatan ketersediaan unsur hara yang diperlukan oleh pohon pakan melalui pemupukan, dan pemangkasan ranting pohon pakan beruang madu untuk merangsang pohon pakan agar berbunga. Kegiatan ini lebih diprioritaskan pada lokasi bekas perambahan yang tidak produktif.
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Jumlah jenis pohon pakan beruang madu yang ditemukan di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti sebanyak 34 jenis. Jenis pohon pakan beruang madu yang paling dominan di areal konservasi adalah Madhuca motleyana. Keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu paling tinggi ditemukan di areal dengan pH tanah 4.5, ketebalan gambut 5m dan intensitas cahaya matahari <10000 lx. Pola sebaran seluruh jenis pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti adalah berkelompok. Faktor lingkungan yang dominan dalam menentukan keberadaan jenis pohon pakan beruang madu adalah pH tanah dan ketebalan gambut.
Saran
Hasil penelitian ini menginformasikan bahwa di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti terdapat beberapa jenis pohon yang berpotensi sebagai sumber pakan beruang madu. Untuk melestarikan keberadaan jenis-jenis pohon tersebut diperlukan adanya pengelolaan habitat. Bentuk pengelolaan yang dapat dijadikan pertimbangan divisi sustainability PT. RAPP sebagai pemegang tanggung jawab pengelola areal konservasi dalam merencanakan bentuk pengelolaan habitat antara lain pemantauan ketersediaan pohon pakan beruang
32 madu secara berkala, peningkatan pengamanan habitat, pengayaan habitat dan pembinaan habitat di lokasi bekas perambahan. Kegiatan pembinaan habitat dimaksudkan agar habitat memiliki faktor lingkungan yang dapat mendukung keberadaan dan produktivitas pohon pakan beruang madu, terutama peningkatan pH tanah untuk menurunkan tingkat keasaman tanah gambut. Selain itu, kegiatan pengayaan habitat juga perlu memperhatikan faktor ketebalan gambut dikarenakan hanya jenis Knema cinerea, Ilex cymosa dan Palaquium burckii saja yang banyak ditemukan pada gambut yang tebal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman D. 2006. Biologi Kelompok Pertanian dan Kesehatan. Bandung (ID): Grafindo Media Pratama. Adimihardja A, Subagyono K, Al-Jabri M. 2006. Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa. Di dalam: Suriadikarta DA, Kurnia U, Mamat HS, Hartatik W, Setyorini D, editor. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian hlm 229-274. Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Jilid 1. Bogor (ID): Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Andriesse JP. 2003. Ekologi dan Pengelolaan Tanah Gambut Tropika. Wibowo C, Istomo, penerjemah. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan IPB. Terjemahan dari: Nature and Management of Tropical Peat Soils. Astuti D. 2006. Konsumsi dan Kecernaan Pakan pada Beruang Madu (Helarctos malayanus) di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Augeri DM. 2005. On the Biogeographic Ecology of the Malayan Sun Bear [dissertation]. Cambridge (GB): University of Cambridge. Berg CC, Corner EJH. 2005. Moraceae (Ficus). Flora Malesiana 17: 1-730. Bernard HCM. 2009. Orangutan Behavioural Ecology in the Sabangau PeatSwamp Forest, Borneo [dissertation]. Cambridge (GB): University of Cambridge. Broto W. 2003. Teknologi Penanganan Pascapanen Buah untuk Pasar. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka. Chong KY, Tan HTW, Corlett RT. 2009. A Checklist of the Total Vascular Plant Flora of Singapore: Native, Naturalised and Cultivated Species. Singapore (SG): Raffles Museum of Biodiversity Research, National University of Singapore 273 pp. Danu, Bogidarmanti R. 2012. Pohon Terentang Sebagai Bahan Baku Alternatif Pulp. Tekno Hutan Tanaman 5: 29-35. Dwijoseputro D. 1980. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta (ID): Gramedia. Endah J, Abidin Z. 2002. Membuat Tanaman Buah Kombinasi. Jakarta (ID): AgroMedia Pustaka.
33 Fitter AH, Hay RKM. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Andani S, Purbayanti ED, penerjemah; Srigandono B, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Environmental Physiology of Plants. Fredriksson GM. 2005. Human Sun Bear Conflicts in East Kalimantan, Indonesian Borneo. Ursus 16: 130-137. Fredriksson GM, Wich SA, Trisno. 2006a. Frugivory in Sun Bears (Helarctos malayanus) is Linked to El Nino Related Fluctuations in Fruiting Phenology, East Kalimantan, Indonesia. Biological Journal of the Linnean Society 89: 489-508. Fredriksson GM, Danielsen LS, Swenson JE. 2006b. Impacts of El Nino Related Drought and Forest Fires on Sun Bear Fruit Resources in Lowland Dipterocarp Forest of East Borneo. Biodiversity and Conservation 15: 12711301. Fredriksson GM. 2012. Effects of El Nino and Large-Scale Forest Fires on The Ecology and Conservation of Malayan Sun Bears (Helarctos malayanus) in East Kalimantan, Indonesian Borneo [dissertation]. Amsterdam (NL): University of Amsterdam. Gavin DG, Peart DR. 1997. Spatial Structure and Regeneration of Tetramerista glabra in Peat Swamp Rain Forest in Indonesian Borneo. Plant Ecology 131: 223-231. Hakim A. 2011. Keanekaragaman Metabolit Sekunder Genus Artocarpus (Moraceae). Bioteknologi 8: 86-98. Hardjowigeno S. 1995. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo. Hadrjowigeno S. 1996. Pengembangan Lahan Gambut Untuk Pertanian Suatu Peluang dan Tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanah. Bogor (ID): Insititut Pertanian Bogor. 22 Juni 1996. Harris LD. 1984. The Fragmented Forest: Island Biogeography Theory and The Preservation of Biotic Diversity. Chicago (US): University of Chicago Press. Irwan ZD. 2010. Prinsip-Prinsip Ekologi, Ekosistem, Lingkungan dan Pelestariannya. Jakarta (ID): PT. Bumi Aksara. Istomo. 2002. Kandungan Fosfor dan Kalsium serta Penyebarannya pada Tanah dan Tumbuhan Hutan Rawa Gambut (Studi Kasus di Wilayah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Bagan, Kabupaten Rokan Hilir, Riau) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kartono AP. 2000. Teknik Inventarisasi Satwaliar dan Habitatnya. Bogor (ID): Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Kitchener AC, Asa CS. 2010. Bears and Canids. International Zoo Yearbook 44: 7-15. Kochummen KM. 1989. Anacardiaceae. Di dalam: Ng FSP dan Phil D, editor. Tree Flora of Malaya a Manual for Foresters. Volume Four. Selangor [MY]: Longman Malaysia. Kramer PJ, Kozlowski TT. 1979. Physiology of Woody Plants. Florida (US): Academic Press, Inc. Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York (US): Harper & Row Publisher. Kusmana C, Istomo. 1995. Ekologi Umum. Bogor (ID): Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
34 Lakitan B. 2008. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta (ID): Rajagrafindo Persada. Lambert FR, Marshall AG. 1991. Keystone Characteristics of Bird-Dispersed Ficus in a Malaysian Lowland Rain Forest. Journal of Ecology 79: 793-809. Latifah S. 2005. Inventory and Quality Assessment of tropical Rainforests in the Lore Lindu National Park, Sulawesi, Indonesia. Gottingen [DE]: Cuvillier Verlag. Lekagul B, McNeely JA. 1977. Mammals of Thailand. Thailand (TH): Association for the Conservation of Wildlife. Leighton M, Leighton DR. 1983. Vertebrate Responses to Fruiting Seasonality Within a Bornean Rain Forest. Di dalam : Sutton SL, Whitmore C, Chadwick AC, editor. Tropical Rain Forest: Ecology and Management. Oxford (GB): Blackwell hlm 181–196. Linatoc AC. 1999. Ecology and Taxonomy of Mangifera sp. (Anacardiaceae) in the 50 Ha Plot of Pasoh Forest Reserve, Negeri Sembilan, Peninsular Malaysia [thesis]. Selangor (MY): University Putra Malaysia. Litz RE. 2009. The Mango: Botany, Production and Uses. 2nd Edition. Oxfordshire (GB): CABI. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing. New York (US): Wiley. Mangoendidjojo W. 2003. Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman. Yogyakarta (ID): Kanisius. Maryanto I, Achmadi AS, Sinaga MH. 2007. Nama Daerah Mamalia di Indonesia. Jakarta (ID): LIPI Press. Maryanto I, Achmadi AS, Kartono AP. 2008. Mamalia Dilindungi Perundangundangan Indonesia. Jakarta (ID): LIPI Press. Medway L. 1978. The Wild Mammals of Malaya (Peninsular Malaysia) and Singapore. Second Edition. Kuala Lumpur (MY): Oxford University Press. Meijaard E, Sheil D, Nasi R, Augeri D, Rosenbaum B, Iskandar D, Setyawati T, Lammertink M, Rachmatika I, Wong A, Soehartono T, Stanley S, Gunawan T, O’Brien T. 2006. Hutan Pasca Pemanenan, Melindungi Satwaliar dalam Kegiatan Hutan Produksi di Kalimantan. Bogor (ID): CIFOR. Meryandini A, Widosari W, Maranatha B, Sunarti TC, Rachmania N, Satria H. 2009. Isolasi Bakteri Selulolitik dan Karakterisasi Enzimnya. Makara 13: 3338. Mirmanto E, Muhidin A, Yosman. 2003. Penelitian Pendahuluan Tentang Pola Percabangan dan Perakaran Hutan Rawa Gambut di Sebangau, Kalimantan Tengah. Bogor (ID): Pusat Penelitian Biologi LIPI. Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut, Potensi dan Kendala. Yogyakarta (ID): Kanisius. Parnata AS. 2010. Meningkatkan Hasil Panen dengan Pupuk Organik. Jakarta (ID): AgroMedia Pustaka. Payne J, Francis CM, Phillipps K, Kartikasari SN. 2000. Panduan Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak & Brunei Darussalam. Jakarta (ID): Prima Centra. Poole RW. 1974. An Introduction to Quantitative Ecology. New York (US): McGraw-Hill.
35 Rahayu S. 2005. SPSS Versi 12.00 dalam Riset Pemasaran. Bandung (ID): Alfabeta. Rasnovi S. 2006. Ekologi Regenerasi Tumbuhan Berkayu pada Sistem Agroforest Karet [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Reksohadiprodjo S. 1988. Pakan Ternak Gembala. Yogyakarta (ID): BPFE. Rinsema WT. 1993. Pupuk dan Pemupukan. Jakarta (ID): Bhatara Karya Aksara. Rosmarkam A, Yuwono NW. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Yogyakarta (ID): Kanisius. Rugayah R. 2004. Pengumpulan Data Taksonomi. Di dalam Rugayah R, Widjawa EA, dan Praptiwi. Pedoman Penumpulan Data Keanekaragaman Flora. Jakarta (ID): Pusat Penelitian Biologi LIPI. Sarwono J. 2006. SPSS 14 Panduan Cepat dan Mudah. Yogyakarta (ID): Penerbit Andi. Sastrapradja S, Adisoemarto S, Boeadi, Munaf HB, Pranowo. 1982. Beberapa Jenis Mamalia. Bogor (ID): Lembaga Biologi Nasional-LIPI. Schwarzenberger F, Fredriksson G, Schaller K, Kolter L. 2004. Fecal steroid analysis for monitoring reproduction in the sun bear (Helarctos malayanus). Theriogenology 62: 1677-1692. Servheen C. 1998. Sun Bear Conservation Action Plan. Di dalam: Servheen C, Herrero S dan Peyton B, editor. Status Survey and Conservation Action Plan Bears. Newbury (GB): The Nature Conservation Bureau hlm 219-224. Shanahan MJ. 2000. Ficus Seed Dispersal Guilds: Ecology, Evolution and Conservation Implications [dissertation]. Leeds (GB): University of Leeds. Smith RL. 1977. Element of Ecology and Field Biology. New York (US): Harper and Row. Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Sudomo A. 2007. Pengaruh Jumlah Mata Tunas Terhadap Kemampuan Hidup dan Pertumbuhan Setek Empat Jenis hibrid Murbei. Jurnal Pemulaiaan Tanaman Hutan 1: 1-8. Sunarjono H. 2008. Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. Cetakan 6. Bogor (ID): Swadaya. Timm NH. 2002. Applied Multivariate Analysis. New York (US): Springer-Verlag. [TIIP] Tropenbos International Indonesia Programme. 2010a. Buku I Data dan Informasi Dasar Penilaian Menyeluruh Nilai Konservasi Tinggi Semenanjung Kampar. Bogor (ID). Tidak dipublikasikan. [TIIP] Tropenbos Internasional Indonesia Programme. 2010b. Buku III: Penilaian Menyeluruh Nilai Konservasi Tinggi PT. RAPP Ring Semenanjung Kampar. Tidak Dipublikasikan. Triono T, Mansur M, Waluyo EB, Sidiyasa K, Yafid B, Kalima T, Marfuah, Ismail, Arifin Z, Anggana. 2010. Evaluasi Kelimpahan Jenis, Populasi, Habitat dan Status Regenerasi Beberapa Jenis Gonystylus Terpilih (Non Gonystylus bancanus). Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Badan Litbang Kehutanan. Wahyudi T, Panggabean TR, Pujiyanto. 2006. Panduan Lengkap Kakao, Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Depok (ID): Swadaya.
36 Wee YC, Tsang KC, Chan M, Chan YM, Ng A. 2008. Oriental Pied Hornbill: Two Recent Failed Nesting Attempts on Mainland Singapore. BirdingASIA 9: 72-77. Winangun YW. 2005. Membangun Karakter Petani Organik Sukses dalam Era Globalisasi. Yogyakarta (ID): Kanisius. Winarso S. 2005. Kesuburan Tanah Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Yogyakarta (ID): Gava Media. Wong ST. 2002. The Ecology of Malayan Sun Bears (Helarctos malayanus) in the Lowland Tropical Rainforest of Sabah, Malaysian Borneo [thesis]. Montana (US): University of Montana. Wong ST, Servheen CW, Ambu L. 2002. Food Habits of Malayan Sun Bears in Lowland Tropical Forest of Borneo. Ursus 13: 127-136. Wong ST, Servheen CW, Ambu L. 2004. Home range, movement and activity patterns, and bedding sites of Malayan sun bears Helarctos malayanus in the Rainforest of Borneo. Biological conservation 119 (2): 169-181. Wong ST. 2013. Special Moments with Wan-Wan and Mamatai in the BSBCC Forest Enclosure Part I. http://sunbears.wildlifedirect.org/category/mamatai2/ [diakses 29 Agustus 2013]. Yasuma S, Alikodra HS. 1990. Mammals of Bukit Soeharto Protection Forest. Samarinda (ID): PUSREHUT Universitas Mulawarman.
37
LAMPIRAN
38 Lampiran 1 Jenis pohon pakan beruang madu di Hutan Lindung Sungai Wain No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45.
Nama latin Aglaia sp. Alangium ridley Artocarpus anisophyllus Artocarpus dadah Artocarpus integer Artocarpus nitidus Baccaurea bracteata Baccaurea macrocarpa Baccaurea sp. Barringtonia sp. Crypteronia sp. Cryptocarya sp. Dacryodes rostrata Dacryodes rugosa Dehaasia sp. Dialium indum Diospyros sp.1 Diospyros sp.2 Diospyros sp.3 Durio dulcis Durio graveolens Durio lanceolata Durio oxleyanus Dysoxylum sp. Eugenia polyanthe Ficus benjamina Ficus lowii Ficus sp.1 Ficus sp.2 Ficus sp.3 Ficus sp.4 Ficus sp.5 Ficus sp.6 Garcinia mangostana Garcinia parvifolia Garcinia sp. Horsfieldia sp. Ilex sp. Knema laterica Knema sp. Lansium domesticum Lithocarpus gracilis Lithocarpus sp. Litsea angulata Litsea sp.1
Suku Meliaceae Alangiaceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Lecythidaceae Crypteroniaceae Lauraceae Burseraceae Burseraceae Lauraceae Caesalpiniaceae Ebenaceae Ebenaceae Ebenaceae Bombacaceae Bombacaceae Bombacaceae Bombacaceae Meliaceae Myrtaceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Guttiferae Guttiferae Guttiferae Myristicaceae Aquifoliaceae Myristicaceae Myristicaceae Meliaceae Fagaceae Fagaceae Lauraceae Lauraceae
Bagian yang dimakan Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Bunga Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah
39 Lampiran 1 Lanjutan No.
Nama latin
46. Litsea sp.2 47. Madhuca kingiana 48. Magnolia sp.1 49. Magnolia sp.2 50. Mangifera caesia 51. Magifera foetida 51. Mangifera torquenda 53. Mangifera sp. 54. Microcos sp. 55. Monocarpia kalimantanensis 56. Nephelium sp. 57. Palaquium sp. 58. Polyalthia sp.1 59. Polyalthia sp.2 60. Pternandra sp. 61. Quercus argentata 62. Quercus sp. 63. Santiria oblongifolia 64. Santiria tomentosa 65. Syzigium tawahense 66. Syzigium sp.1 67. Syzigium sp.2 68. Syzigium sp.3 69. Tetramerista glabra 70. Walsura sp. 71. Xerospermum norhonianum 72. Xerospermum sp. Sumber: Fredriksson et al. (2006a).
Suku
Bagian yang dimakan
Lauraceae Sapotaceae Magnoliaceae Magnoliaceae Anacardiaceae Anacardiaceae Anacardiaceae Anacardiaceae Tiliaceae Annonaceae Sapindaceae Sapotaceae Annonaceae Annonaceae Melastomataceae Fagaceae Fagaceae Burseraceae Burseraceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Tetrameristaceae Meliaceae Sapindaceae Sapindaceae
Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah
40 Lampiran 2 Daftar jenis tumbuhan di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti No.
Nama lokal
Nama latin
Suku
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Ara Arang-arang Asam-asam Balang-balang Basung-basung Bengku Bintangur Cemetik Darah-darah Duku-duku Durian hutan Garam-garam Geronggang Idan Jambu-jambu Jangkang Kandis Katur Kedondong hutan Kelakap Kelat kelam
Ficus stricta (Miq.)Miq. Diospyros maingayi (Hiern.) Bakh. Antidesma coriaceum Tul. Syzygium rostratum DC. Alstonia pneumatophora Backer ex den Berger Madhuca motleyana (de Vriese) J.F.Macbr Calophyllum pulcherrimum Wall. Garcinia sp. Knema cinerea Warb. Sandoricum koetjape (Burm. f.) Merr. Durio carinatus Mast. Stemonurus scorpioides Becc. Cratoxylum arborescens (Vahl) Blume Xerospermum noronhianum Blume Syzygium claviflorum Roxb. Xylopia altissima Boerl. Garcinia parvifolia Dryobalanops sp1. Dacryodes rostrata (Blume) H.J.Lam Melanarrhoea sp. Syzygium sp.1 Acmena acuminatissima (Blume) Merr. & L.M.Perry Syzygium inophyllum DC. Magnolia elegans (Blume) Keng Koompassia malaccensis Benth Dialium maingayi Baker Timonius flavescens (Jacq.) Baker Canarium sp. Macaranga semiglobasa J.J. Sm. Parastemon urophyllus (A.DC. ex Wall.) A.DC. Garcinia bancana Miq. Rhodamnia cinerea Jack. Litsea lanceolata (Blume) Koesterm. Litsea oppositifolia Gibbs. Quercus sp. Shorea rugosa Heim Shorea teysmanniana Dyer ex Brandis Anisoptera curtisii Dyer ex King Ilex cymosa Blume Artocarpus rigidus Blume Artocarpus rigidus Blume Syzygium zeylanicum (L.) DC. Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser Aglaia rubiginosa (Hiern) Pannell
Moraceae Ebenaceae Euphorbiaceae Myrtaceae Apocynaceae Sapotaceae Clusiaceae Clusiaceae Myristicaceae Meliaceae Bombacaceae Icacinaceae Hypericaceae Sapindaceae Myrtaceae Annonaceae Clusiaceae Dipterocarpaceae Burseraceae Anacardiaceae Myrtaceae
22. Kelat merah 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44.
Kelat putih Kelumpang Kempas Keranji Kopi-kopi Lalan Mahang Malas Manggis hutan Marpoyan Medang keladi Medang lundu Mempening Meranti bakau Meranti bunga Mersawa Mesio Nangka hutan Nasi-nasi Pakam Parak Pasak linggo
Myrtaceae Myrtaceae Magnoliaceae Caesalpiniaceae Caesalpiniaceae Rubiaceae Burseraceae Euphorbiaceae Chrysobalanaceae Clusiaceae Myrtaceae Lauraceae Lauraceae Fagaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Aquifoliaceae Moraceae Moraceae Myrtaceae Rhizophoraceae Meliaceae
41 Lampiran 2 Lanjutan No.
Nama lokal
45. Pasir-pasir 46. Pelawan 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67.
Petai hutan Piandang Pisang-pisang Pulai Punak Rambai hutan Ramin Rengas Resak Salakeo Samak Selumar Semaram Seminai Senduk-senduk Simpoh Sonde Suntai Tempurung bintang Tenggek burung Terap
68. Terentang 69. Terpis 70. Trenggayun
Nama latin
Suku
Cotylelobium melanoxylon (Hook.f.) Pierre Tristaniopsis merguensis (Griff.) Wilson & Waterhouse Archidendron clypearia (Jack)I.C.Nielsen Quassia borneensis Noot. Goniothalamus tapis Miq. Alstonia angustiloba Miq. Tetramerista glabra Miq. Baccaurea bracteata Muell.Arg. Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz Gluta renghas L. Vatica rassak (Korth.) Blume Mangifera griffithii Hook.f. Syzygium sp.2 Jackiopsis ornata (Wall.) Ridsdale Palaquium sumatranum Burck Palaquium ridleyi K. & G. Endospermum diadenum (Miq.) Airy Shaw Dillenia reticulata King Payena leerii (Teijsm. & Binn.) Kurz Palaquium burckii H.J.Lam Blumeodendron tokbrai (Blume) Kurz Euodia lunuankenda (Gaertn.) Merr. Artocarpus elasticus Reinw Camnosperma coriaceum (Jack.) Hall. F. Ex Steen Polyalthia hypoleuca Hook.f. & Thomson Parartocarpus sp1.
Dipterocarpaceae Myrtaceae Fabaceae Simarubaceae Annonaceae Apocynaceae Theaceae Euphorbiaceae Thymelaeaceae Anacardiaceae Dipterocarpaceae Anacardiaceae Myrtaceae Rubiaceae Sapotaceae Sapotaceae Euphorbiaceae Dilleniaceae Sapotaceae Sapotaceae Euphorbiaceae Rutaceae Moraceae Anacardiaceae Annonaceae Moraceae
42 Lampiran 3 Hasil perhitungan rasio ragam dan nilai tengah jenis tumbuhan pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34.
Nama lokal Ara Arang-arang Balang-balang Bengku Cemetik Darah-darah Durian hutan Idan Jambu-jambu Kandis Kedondong hutan Kelat kelam Kelat merah Kelat putih Kelumpang Keranji Manggis hutan Medang keladi Medang lundu Mempening Mesio Nangka hutan Nasi-nasi Parak Punak Salakeo Samak Semaram Seminai Simpoh Suntai Terap Terentang Terpis
Ragam (S2)
Nilai tengah (X)
Pola sebaran*
0.074 4.172 0.087 6.200 0.064 1.166 0.108 3.810 0.765 0.440 1.124 0.071 9.275 10.298 0.024 0.116 0.589 1.884 0.667 0.019 3.492 0.929 1.237 0.221 0.654 1.213 0.155 0.042 0.245 0.155 1.200 0.076 1.142 0.311
0.058 1.188 0.072 1.678 0.058 0.611 0.087 0.375 0.192 0.154 0.418 0.034 1.779 2.462 0.014 0.053 0.303 0.505 0.332 0.010 1.375 0.192 0.404 0.144 0.236 0.620 0.063 0.034 0.212 0.063 0.226 0.038 0.602 0.178
Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok
*Kriteria pola sebaran: S2= X , maka sebarannya acak; S2< X , maka sebarannya seragam; S2 > X , maka sebarannya berkelompok.
43 Lampiran 4 Hasil uji korelasi setiap jenis pohon pakan beruang madu dengan komponen habitat Correlations Jenis pH tanah Ara
Arang-arang
Balang-balang
Bengku
Cemetik
Darah-darah
Durian hutan
Idan
Jambu-jambu
Kandis
Kedondong hutan
Kelat kelam
Pearson Correlation Sig. (1- tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N
Ketebalan gambut
Intensitas cahaya
0.078
-0.058
0.242**
0.117 234
0.189 234
0.000 234
0.080
-0.131*
-0.049
0.111 234
0.022 234
0.230 234
-0.028
-0.117*
-0.032
0.336 234
0.037 234
0.315 234
-0.127*
-0.034
-0.089
0.026 234
0.301 234
0.088 234
0.019
0.033
-0.024
0.385 234
0.309 234
0.358 234
-0.001
0.171**
-0.032
0.493 234
0.004 234
0.313 234
0.046
-0.113*
-0.054
0.240 234
0.042 234
0.207 234
0.043
0.088
0.060
0.258 234
0.089 234
0.180 234
0.167**
0.100
-0.020
0.005 234
0.064 234
0.378 234
0.100
0.073
-0.003
0.064 234
0.135 234
0.483 234
0.093
-0.052
0.121*
0.079 234
0.215 234
0.033 234
-0.140*
-0.030
-0.052
0.016 234
0.325 234
0.216 234
44 Lampiran 4 Lanjutan Correlations Jenis pH tanah Kelat putih
Kelumpang
Keranji
Manggis hutan
Medang keladi
Medang lundu
Mempening
Mesio
Nangka hutan
Nasi-nasi
Parak
Punak
Salakeo
Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N
Ketebalan gambut
Intensitas cahaya
0.015
0.062
-0.031
0.411 234
0.172 234
0.320 234
0.042
0.043
0.052
0.260 234
0.256 234
0.215 234
0.101
-0.248**
-0.062
0.061 234
0.000 234
0.174 234
0.067
0.022
0.015
0.152 234
0.370 234
0.411 234
0.139*
-0.045
0.037
0.017 234
0.246 234
0.286 234
0.007
0.120*
-0.020
0.460 234
0.033 234
0.381 234
0.086
0.065
-0.008
0.094 234
0.162 234
0.450 234
0.028
0.168**
-0.018
0.335 234
0.005 234
0.392 234
-0.035
-0.184**
-0.031
0.300 234
0.002 234
0.319 234
0.053
-0.036
0.026
0.210 234
0.292 234
0.346 234
-0.055
-0.001
-0.005
0.200 234
0.493 234
0.471 234
0.027
0.085
-0.095
0.340 234
0.098 234
0.074 234
0.162**
0.217**
-0.064
0.007 234
0.000 234
0.166 234
45 Lampiran 4 Lanjutan Correlations Jenis pH tanah Samak
Semaram
Seminai
Simpoh
Suntai
Terap
Terentang
Terpis
Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N
Ketebalan gambut
Intensitas cahaya
0.086
0.065
-0.021
0.094 234
0.162 234
0.373 234
0.027
0.104
0.103
0.338 234
0.057 234
0.059 234
0.003
-0.081
-0.063
0.481 234
0.110 234
0.167 234
0.042
-0.104
-0.037
0.260 234
0.057 234
0.287 234
0.024
0.280**
-0.072
0.359 234
0.000 234
0.135 234
0.164**
0.071
-0.014
0.006 234
0.140 234
0.416 234
-0.115
-0.200**
0.111
0.039 234
0.001 234
0.045 234
-0.100
-0.083
0.051
0.064 234
0.104 234
0.219 234
*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
46 Lampiran 5 Hasil perhitungan analisis faktor
KMO and Bartlett's Test
a
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. Bartlett's Test of Sphericity
.500
Approx. Chi-Square
4.825
df
1
Sig.
.028
a. Based on correlations
Anti-image Matrices ketebalan_gamb pH_tanah Anti-image Covariance
pH_tanah ketebalan_gambut
Anti-image Correlation
ut
.979
-.141
-.141
.979
a
-.144
pH_tanah
.500
ketebalan_gambut
-.144
.500
a. Measures of Sampling Adequacy(MSA)
Communalities Raw Initial
Rescaled
Extraction
Initial
Extraction
pH_tanah
.003
6.047E-5
1.000
.021
ketebalan_gambut
.301
.301
1.000
1.000
Extraction Method: Principal Component Analysis.
a
47 Lampiran 5 Lanjutan Total Variance Explained Initial Eigenvalues Component Raw
Total
% of Variance
a
Extraction Sums of Squared Loadings
Cumulative %
1
.301
99.073
99.073
2
.003
.927
100.000
Rescaled 1
.301
99.073
99.073
2
.003
.927
100.000
Total
% of Variance Cumulative %
.301
99.073
99.073
1.021
51.051
51.051
Extraction Method: Principal Component Analysis. a. When analyzing a covariance matrix, the initial eigenvalues are the same across the raw and rescaled solution.
Component Matrix
a
Raw
Rescaled
Component
Component
1
1
ketebalan_gambut
.549
1.000
pH_tanah
.008
.145
Extraction Method: Principal Component Analysis. a. 1 components extracted.
Component Score Coefficient Matrix
a
Component 1 pH_tanah ketebalan_gambut
.001 1.000
Extraction Method: Principal Component Analysis. Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization. a. Coefficients are standardized.
48 RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Jakarta pada tanggal 4 April 1987. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Tubagus M. Arief, SE dan Tuti Khairani, SE. Pendidikan sarjana ditempuh penulis di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan program mayor Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB pada tahun ajaran 2005 dan menamatkannya pada tahun 2010. Penulis melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010. Sebuah artikel dengan judul Keanekaragaman Jenis Pohon Pakan Beruang Madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti akan diterbitkan pada jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam pada tahun 2014.