PENGGUNAAN RUANG OLEH BERUANG MADU DI AREAL KONSERVASI PT. RAPP ESTATE MERANTI
NUR ANITA GUSNIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya ilmiah saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Nur Anita Gusnia NIM E351100041
SUMMARY NUR ANITA GUSNIA. Habitat Use of Malayan Sun Bear at Conservation Area of PT. RAPP Meranti Estate. Under supervised by AGUS PRIYONO KARTONO and HARNIOS ARIEF. The malayan sun bear (Helarctos malayanus Raffles 1821) in Indonesia can only be found on the island of Sumatera and Borneo. Malayan sun bear are experiencing populations and habitat threats either caused by natural or humans disturbance. Malayan sun bear that exist in the conservation area of Meranti Estate needs to be efficiently managed so that this species remain sustainable. Conservation efforts need to be supported by scientific information based on the existence and condition of suitable habitat for this species. This research was conducted in Conservation Area of PT. RAPP Meranti Estate, Pelalawan, Riau from June to July 2012. The objectives of this study were to identify the existence and habitat use of sun bear and also to identify dominant habitat components that determine the presence of sun bear. The methods of this study were vegetation analysis, line transect, field observation and drawing the habitat profile. Vegetation analysis were made in two vegetation type that is Tall Pole Forest (TPF) and Transition Forest (TRF). Sixty seven plant species from thirty families were found in TPF. TPF was dominated by Syzygium inophyllum and Madhuca motleyana. Fifty seven plant species from twenty six families were found in TRF. TRF was dominated by Acmena acuminatissima, S. inophyllum, Mangifera griffithii and Blumeodendron tokbrai. The existence of sun bear determined by indirect encounter survey. Habitat use by sun bear was both on TPF and TRF vegetation type. Sun bear only use trees on their daily activity. Average height and diameter at breast height of the trees that used by sun bear was 20 m and 51 cm. Based on factor analysis, the dominant habitat factors that determined the existence of sun bear were vegetation density, canopy cover, the amount of tree and feeding tree individual, the amount of tree and feeding tree species and the distance from production area. Key words: dominant factors, habitat use, malayan sun bear
RINGKASAN NUR ANITA GUSNIA. Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan HARNIOS ARIEF. Keberadaan beruang madu (Helarctos malayanus Raffles 1821) di Indonesia dapat ditemukan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Beruang madu mengalami berbagai ancaman populasi dan habitat baik yang terjadi secara alami maupun akibat manusia. Beruang madu yang dapat ditemukan di kawasan Estate Meranti menyebabkan perlu dilakukan pengelolaan agar keberadaannya tetap lestari. Upaya konservasi yang dilakukan perlu didukung oleh informasi ilmiah mengenai keberadaan populasi dan kondisi habitat yang sesuai bagi spesies tersebut sehingga dapat disusun suatu strategi pengelolaan yang efektif. Penelitian dilakukan di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti yang terletak di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2012. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan beruang madu di Estate Meranti, penggunaan ruang beruang madu dan faktor dominan habitat penduga keberadaan beruang madu di Estate Meranti. Metode penelitian yaitu analisis vegetasi, transek jalur, observasi lapang dan pemetaan diagram profil habitat. Analisis vegetasi dilakukan pada tipe vegetasi hutan tiang tinggi (TPF) dan hutan transisi (TRF). Jumlah jenis vegetasi yang ditemukan pada TPF sebanyak 67 jenis yang termasuk dalam 30 famili dan didominasi oleh kelat putih (Syzygium inophyllum) dan bengku (Madhuca motleyana). Jumlah jenis vegetasi yang ditemukan pada TRF sebanyak 57 jenis yang termasuk dalam 26 famili dan didominasi oleh kelat merah (Acmena acuminatissima), kelat putih (S. inophyllum), salakeo (Mangifera griffithii) dan tempurung bintang (Blumeodendron tokbrai). Keberadaan beruang madu diketahui melalui perjumpaan tidak langsung. Beruang madu menggunakan ruang baik pada tipe vegetasi TPF maupun TRF. Vegetasi yang dijadikan tempat beraktivitas yaitu pohon dengan ketinggian dan diameter rata-rata masing-masing 20 m dan 51 cm. Komponen habitat yang berpengaruh terhadap keberadaan beruang madu yaitu kerapatan vegetasi, penutupan tajuk rata-rata, jumlah jenis pohon dan pohon pakan, jumlah individu pohon dan pohon pakan dan jarak dari kawasan produksi. Kata kunci: beruang madu, faktor dominan, penggunaan ruang
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
PENGGUNAAN RUANG OLEH BERUANG MADU DI AREAL KONSERVASI PT. RAPP ESTATE MERANTI
NUR ANITA GUSNIA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS.
Judul Tesis
: Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti
Nama
: Nur Anita Gusnia
NIM
: E351100041
Program Studi : Konservasi Biodiversitas Tropika
Disetujui Komisi Pembimbing Ketua
Anggota
Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si Ketua
Dr. Ir. Harnios Arief, M.Sc.F Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.
Tanggal Ujian: 28 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Assalamualaikum wr.wb. Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan sebaikbaiknya. Karya ilmiah ini berjudul Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si dan Bapak Dr. Ir Harnios Arief, M.Sc.F selaku dosen pembimbing. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada PT. Riau Andalan Pulp and Paper dan Tropenbos International Indonesia Programme atas fasilitas yang telah diberikan dalam menunjang penelitian penulis di Estate Meranti. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik pada isi maupun teknis penulisan tesis ini. Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Wassalamualaikum wr.wb.
Bogor, September 2013
Nur Anita Gusnia
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur tak hentinya saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala kekuatan, kesempatan dan rezeki yang telah diberikan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan sebaik-baiknya. Banyak pihak yang telah terlibat dalam penulisan karya ilmiah ini. Tidak ada kata yang lebih tepat selain terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berperan dalam membantu penyelesaian karya ilmiah ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Komisi pembimbing; Bapak Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Harnios Arief, M.Sc.F. Terima kasih atas kesediaannya meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, bantuan dan dorongan sehingga tesis ini dapat rampung dengan baik.
2.
Dosen penguji; Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS atas saran dan kritik yang telah diberikan dalam perbaikan karya ilmiah ini.
3.
Dosen-dosen pengajar di Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan banyak ilmu dan wawasan selama penulis menuntut ilmu.
4.
PT Riau Andalan Pulp & Paper atas pemberian izin serta dukungan dana dan fasilitas yang telah diberikan sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan penelitian.
5.
Tropenbos International Indonesia Programme atas supervisi serta bantuan fasilitas dalam penyediaan data penunjang penelitian.
6.
Tubagus M. Maulana Yusuf sebagai rekan dalam pengambilan data juga teman teristimewa yang telah bersedia untuk selalu berbagi dan bertukar pikiran selama penulisan karya ilmiah ini.
7.
Seluruh staf lapang dan pimpinan Departemen Forest Protection di PT. RAPP Estate Meranti atas kesediaannya menerima penulis untuk melakukan penelitian juga akomodasi dan transportasi yang telah diberikan sehingga dapat memudahkan dalam pengambilan data.
8.
Sekretariat Pascasarjana KVT atas dukungan administratif terbaik yang telah diberikan.
9.
Teman-teman KVT dan MEJ 2010 atas berbagai obrolan dan diskusi yang mencerahkan serta kebersamaan dan kekompakan yang telah diberikan.
10. Teman-teman terbaikku; Maria Wawo, Fitri Kartika Sari, Khairunnisa NF, Rentry Augusti, Puji A, Nila Rosa dan Etta Naeni. 11. Kedua orang tua tercinta untuk segala limpahan kasih sayang, doa, dukungan moril dan materil, waktu dan perhatian yang telah diberikan. Kakak dan adikku tersayang Meditha Yukarani dan M. Rafif Aryastya, yang selalu memberikan semangat dan keceriaan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu penulisan tesis ini dan tidak bisa ditulis satu persatu. Semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk pembaca dan penulis. Sekali lagi, terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Allah membalas segala kebaikan yang telah diberikan.
Bogor, September 2013
Nur Anita Gusnia E351100041
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR LAMPIRAN
v
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 3 3 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Beruang Madu Pemilihan Habitat Penggunaan Ruang Status Konservasi Ancaman Populasi dan Habitat
4 7 7 8 8
3 METODE Kerangka Pemikiran Waktu dan Lokasi Alat dan Bahan Data yang Dikumpulkan Metode Pengumpulan Data Analisis Data
9 9 11 11 12 17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan
20 40
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
50 50
DAFTAR PUSTAKA
51
LAMPIRAN
55
(i)
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Klasifikasi penutupan tajuk pohon (Augeri 2005) Jenis, variabel dan sumber data Jejak beruang madu yang ditemukan berdasarkan tipe jejak Jenis-jenis vegetasi yang terdapat jejak beruang madu Indeks nilai penting di setiap tingkat pertumbuhan di TPF Indeks nilai penting di setiap tingkat pertumbuhan di TRF Kerapatan total vegetasi di TPF dan TRF Indeks keanekaragaman jenis vegetasi di TPF dan TRF Indeks kesamaan komunitas antara TPF dan TRF Ketinggian dan diameter pohon rata-rata yang digunakan beruang madu Karakteristik ruang yang sering digunakan oleh beruang madu
(ii)
14 16 22 24 27 27 28 29 30 38 47
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Kerangka pemikiran penelitian Lokasi penelitian Bentuk transek jalur pengamatan beruang madu Metode garis berpetak Klasifikasi bentuk tajuk pohon menurut Dawkins (1958) Klasifikasi bentuk profil pohon menurut Dawkins (1958) Jejak beruang madu Peta sebaran beruang madu berdasarkan tipe variasi lokal vegetasi Jumlah jenis vegetasi di Estate Meranti Frekuensi perjumpaan jejak beruang madu berdasarkan klasifikasi bentuk tajuk pohon Frekuensi perjumpaan jejak beruang madu berdasarkan klasifikasi penutupan tajuk pohon Frekuensi perjumpaan jejak beruang madu berdasarkan klasifikasi penutupan tajuk pohon rata-rata Frekuensi perjumpaan jejak beruang madu berdasarkan kedalaman gambut Peta sebaran beruang madu berdasarkan kedalaman gambut Frekuensi perjumpaan jejak beruang madu berdasarkan jarak dari jalan Peta sebaran beruang madu berdasarkan jarak dari jalan Frekuensi perjumpaan jejak beruang berdasarkan jarak dari sungai Peta sebaran beruang madu berdasarkan jarak dari sungai Frekuensi perjumpaan beruang berdasarkan jarak dari kawasan produksi Peta sebaran beruang berdasarkan jarak dari kawasan produksi Peta penggunaan ruang oleh beruang madu di Estate Meranti Lubang pada pohon Shorea teysmanniana
(iii)
10 11 12 13 14 15 23 25 26 31 32 33 34 34 35 35 36 36 37 37 39 41
DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3 4 5
Daftar jenis vegetasi di Estate Meranti Profil pohon pada setiap jalur transek Hasil perhitungan uji chi square Hasil perhitungan analisis faktor Hasil perhitungan analisis korelasi Pearson
(iv)
56 61 66 68 71
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Beruang madu merupakan spesies beruang terkecil yang dapat ditemukan di Indonesia dari delapan spesies beruang yang ada di dunia (Lekagul & McNeely 1977). Beruang berwarna hitam dengan tanda unik berbentuk huruf U atau V di lehernya ini memiliki kebiasaan bermalas-malasan di bawah sinar matahari sehingga dinamakan juga beruang matahari (sun bear) serta memiliki kegemaran terhadap madu sehingga dinamakan beruang madu (Sastrapradja et al. 1982). Beruang madu termasuk satwa yang dilindungi oleh perundang-undangan di Indonesia. Peranan beruang madu selain menjaga keseimbangan ekosistem hutan juga turut membantu persebaran biji dari buah-buahan yang mereka makan (McConkey & Galetti 1999). Beruang ini juga dapat mengendalikan populasi serangga yang menjadi sumber pakannya. Beruang madu di Indonesia dapat ditemukan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Satwaliar ini menempati tipe habitat rawa, hutan dataran rendah dan hutan pegunungan sampai dengan ketinggian 2000 m di atas permukaan laut (Fredriksson et al. 2008, Sastrapradja et al. 1982). Menurut Fredriksson et al. (2008), meskipun termasuk ordo karnivora, spesies ini merupakan omnivora oportunistik yang memakan rayap, semut, larva kumbang, larva lebah, madu dan berbagai spesies buah-buahan. Satwa ini dapat menjadi hama yang merusak perkebunan coklat, karet dan kelapa sawit (MacKinnon 1986) diduga akibat konversi habitat alami mereka menjadi perkebunan. Beruang madu mengalami berbagai ancaman baik yang terjadi secara alami maupun akibat manusia. Ancaman populasi antara lain penangkapan liar, perdagangan beruang maupun bagian-bagian tubuhnya, pembunuhan beruang ketika terjadi konflik dengan manusia dan beruang yang mati kelaparan akibat kurangnya ketersediaan pakan di habitatnya. Ancaman habitat antara lain fragmentasi dan isolasi habitat, degradasi hutan, konversi lahan, kebakaran dan kekeringan (Servheen 1998). Berbagai permasalahan yang terjadi tersebut apabila tidak segera ditanggulangi maka dapat mempercepat penurunan populasi beruang madu sampai akhirnya dapat menyebabkan kepunahan. Semenanjung Kampar merupakan salah satu ekosistem hutan gambut yang masih tersisa di Sumatera. Kawasan ini memiliki luas 671 125 ha yang terdiri atas hutan gambut dan bakau yang merupakan kawasan perlindungan karbon serta habitat bagi berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar. Sejak tahun 1970-an, sebagian besar Semenanjung Kampar telah dibagikan sebagai konsesi pengusahaan hutan. Meskipun demikian, masih terdapat sejumlah kawasan konservasi dan kawasan perlindungan sempadan sungai yaitu Suaka Margasatwa (SM) Tasik Belat, penyangga (buffer zone) SM Tasik Belat, SM Tasik Besar/Tasik Metas, penyangga SM Tasik Besar/Tasik Metas, penyangga SM Tasik Serkap-Tasik Sarang Burung, dan kawasan perlindungan sempadan sungai (FPP 2010, TIIP 2010a). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 375/Kpts-II/1998 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah di Hutan Produksi, mengharuskan kepada setiap pemegang Hak Pengusahaan Hutan atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman
2 Industri untuk menunjuk sebagian areal kerjanya sebagai KPPN dengan luas minimum 300 hektar dan maksimum 500 hektar. Selain itu, para pemegang HPH atau HPHTI tidak boleh melakukan kegiatan eksploitasi di sepanjang kiri kanan sungai dan kawasan sekitar mata air. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, lebar di sepanjang kiri kanan sungai yang harus dilindungi untuk sungai kecil (<30 m) adalah 50 m dan untuk sungai besar (≥30 m) adalah 100 m. PT. RAPP memiliki kawasan produksi yang terletak di ekosistem gambut Semenanjung Kampar dan dilewati oleh beberapa sungai. Berdasarkan surat keputusan di atas, PT. RAPP khususnya di Estate Meranti menetapkan sebagian kawasannya sebagai areal konservasi. Penetapan areal konservasi tersebut dilakukan untuk menghindari eksploitasi di sepanjang sempadan sungai dan kubah gambut serta membuat jalur hijau atau koridor yang menghubungkan antara sempadan sungai dengan hutan alam juga sebagai habitat bagi satwaliar sehingga diharapkan dapat tercipta kondisi ekologis yang berkesinambungan. Estate Meranti merupakan bagian dari ekosistem dan sistem hidrologi Semenanjung Kampar yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi/KBKT (TIIP 2010a). Parameter yang digunakan dalam identifikasi KBKT meliputi keanekaragaman hayati dalam kawasan, bentang alam, keberadaan ekosistem langka atau terancam punah, jasa lingkungan, kebutuhan dasar masyarakat lokal serta identitas budaya tradisional komunitas lokal. Alokasi kawasan berdasarkan penilaian NKT yang telah dilakukan, areal ini dibedakan menjadi kawasan lindung, kawasan pengembangan masyarakat dan kawasan pengembangan kehutanan terbatas. Kawasan Estate Meranti menjadi habitat bagi beraneka ragam tumbuhan dan satwa liar, baik yang menempati kawasan tersebut secara tetap maupun temporer (TIIP 2010b). Salah satu jenis satwa liar yang dilindungi yang hidup di kawasan Estate Meranti yaitu beruang madu, dimana keberadaan spesies ini menjadi salah satu tolak ukur dalam penentuan nilai penting areal hutan tersebut karena statusnya yang dilindungi baik secara nasional maupun internasional. Selain itu, tersedianya habitat yang dapat memenuhi kebutuhan hidup beruang madu dapat menghindari masuknya beruang ke dalam kawasan hutan tanaman maupun lahan pertanian dan perkebunan dan menjadi hama di lahan tersebut. Oleh karena itu, keberadaan areal konservasi Estate Meranti ini sangat penting dan harus dipertahankan. Upaya pengelolaan atau monitoring populasi dan habitat beruang madu serta tumbuhan dan satwa liar lainnya di kawasan Estate Meranti merupakan tanggung jawab dari perusahaan dengan pengawasan dan/atau keterlibatan dari berbagai pihak terkait baik dari kalangan LSM, masyarakat maupun pemerintahan. Upaya konservasi beruang madu yang dilakukan perlu didukung oleh informasi ilmiah mengenai keberadaan populasi, kondisi habitat serta habitat yang sesuai bagi spesies tersebut sehingga dapat disusun suatu strategi pengelolaan populasi dan habitat beruang madu secara efektif. Kajian mengenai bentuk penggunaan ruang oleh beruang madu merupakan suatu upaya memperoleh informasi dasar mengenai ekologi beruang madu untuk kemudian mengidentifikasi strategi pengelolaan yang sesuai.
3 Perumusan Masalah Beruang madu hanya mendapat sedikit perhatian konservasi di berbagai negara dalam wilayah persebarannya karena beruang madu merupakan satwa yang tidak umum, jarang terlihat dan bersaing dalam hal menarik perhatian dengan spesies utama konservasi di wilayahnya seperti badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau (Panthera tigris), gajah (Elephas maximus), orangutan (Pongo pygmaeus) dan beberapa jenis primata (Wong et al. 2004). Keberadaan beruang madu di Estate Meranti menyebabkan diperlukannya suatu upaya konservasi yang baik agar kelestarian satwa tersebut dapat terjaga dan terhindar dari ancaman kepunahan. Berbagai permasalahan dan penyimpangan banyak terjadi dan dapat mengancam populasi dan habitat satwa liar ini. Kurangnya informasi ilmiah mengenai keberadaan satwa liar tersebut di Estate Meranti menyebabkan kurang spesifiknya pengelolaan dan upaya konservasi yang dilakukan. Salah satu aspek yang perlu diketahui untuk menunjang pengelolaan populasi dan habitat beruang madu di Estate Meranti yaitu aspek penggunaan ruang habitat. Menurut Augeri (2005), bagi sebagian besar spesies beruang, ketersediaan keanekaragaman dan pakan, kondisi habitat dan cover seringkali menjadi faktor ekologi yang paling menonjol yang mempengaruhi mempengaruhi penggunaan habitat. Pembuatan jalan utama dan jalan cabang yang memotong jalur hijau dan sempadan sungai menyebabkan terputusnya jalur penghubung (koridor) antara areal konservasi dengan hutan alam. Kondisi tersebut menyebabkan terbentuknya habitat yang terfragmentasi sehingga populasi satwaliar yang ada di dalamnya menjadi terisolasi. Oleh karena itu perlu diperhatikan beberapa permasalahan utama dalam pengelolaan populasi dan habitat beruang madu di Estate Meranti, yaitu: 1. Dimanakah lokasi-lokasi yang menjadi habitat beruang madu di Estate Meranti? 2. Bagaimana kondisi habitat yang digunakan beruang madu di Estate Meranti? 3. Bagaimana penggunaan ruang habitat oleh beruang madu di Estate Meranti? 4. Apakah faktor-faktor dominan penentu keberadaan beruang madu di Estate Meranti? Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut maka perlu dilakukan penelitian guna mendapatkan data dan informasi tentang faktor-faktor penentu keberadaan serta penggunaan ruang oleh beruang madu di Estate Meranti. Hasil penelitian tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan pengelolaan habitat dan upaya pelestarian populasi beruang madu serta sebagai bentuk monitoring dan evaluasi habitat beruang madu di Estate Meranti.
Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi: 1. Keberadaan beruang madu di Estate Meranti. 2. Penggunaan ruang oleh beruang madu di Estate Meranti. 3. Faktor dominan habitat penduga keberadaan beruang madu di Estate Meranti.
4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai kondisi habitat, penggunaan ruang dan distribusi beruang madu di IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan habitat beruang madu. Habitat yang sesuai dan berkualitas diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan beruang madu sehingga kelestariannya tetap terjaga. Penelitian ini juga bermanfaat sebagai bentuk monitoring dan evaluasi kawasan dalam pengelolaan Estate Meranti.
2 TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Beruang Madu
Taksonomi Beruang adalah satwa karnivora terbesar di dunia yang hidup di darat yang keserupaannya antara satu dengan yang lain sedemikian kuatnya sehingga hampir tidak mungkin tertukar dengan mamalia lainnya (Hoeve 2003). Menurut Fredriksson et al. (2008), beruang madu diklasifikasikan ke dalam kerajaan Animalia, filum Chordata, kelas Mamalia, ordo Carnivora, famili Ursidae, marga Helarctos dan jenis Helarctos malayanus (Raffles 1821). Beruang madu dibedakan menjadi dua sub-spesies yaitu Helarctos malayanus euryspilus yang dapat ditemukan di Borneo dan H. m. malayanus yang dapat ditemukan di dataran utama Asia dan Sumatera (Meijaard 2004).
Morfologi Beruang madu berwarna kehitam-hitaman atau hitam kecoklatan dengan dengan tanda berbentuk V di dada yang berwarna putih kecoklatan atau kekuningan. Moncong beruang madu berwarna lebih cerah dari badannya. Kaki depannya menghadap ke dalam dengan telapak kaki yang licin. Kaki depan dan belakangnya memiliki lima cakar yang panjang melengkung dan kuat yang sangat berguna sebagai alat pemanjat pohon. Panjang rambutnya yang terpendek dibandingkan dengan spesies beruang lainnya karena beradaptasi dengan panasnya lingkungan tropis. Ekornya sangat pendek hingga tak tampak. Gigi gerahamnya lebih lebar dan rata, menandakan macam makanannya yang beranekaragam. Panjang kepala dan badan antara 1.1-1.4 m, tinggi sebahu sekitar 70 cm dan berat antara 27-65 kg (Carter 1978, MacKinnon 1986, Medway 1978, Payne et al. 2000, Sastrapradja et al. 1982, Servheen 1998).
5 Populasi dan Penyebaran Informasi mengenai estimasi populasi beruang madu di dunia sangat sulit untuk diperoleh. Estimasi populasi global beruang madu yang diperoleh dari IUCN Bear Specialist Group yaitu <5000 individu di seluruh dunia (Servheen et al. 1999 diacu dalam Augeri 2005). Populasi beruang madi di kebun binatang di Eropa dan Amerika masing-masing antara 50 dan 60 individu (Schwarzenberger et al. 2004). Menurut Fredriksson et al. (2008), kecenderungan populasi spesies ini semakin menurun. Berkurangnya habitat beruang madu secara cepat di seluruh wilayah penyebarannya menyebabkan populasi spesies ini diduga mengalami penurunan lebih dari 30% selama lebih dari tiga puluh tahun atau tiga generasi beruang. Fosil beruang madu dari zaman Pleistocene telah ditemukan jauh di Cina bagian utara bahkan di Pulau Jawa, akan tetapi spesies ini tidak ditemukan di lokasi tersebut pada masa sejarah (Erdbrink 1953 diacu dalam Fredriksson 2008). Beruang madu pertama kali ditemukan di Myanmar (Pocock 1941), baru kemudian ditemukan di Thailand, Semenanjung Malaya, Indocina, Cina bagian selatan dan Indonesia (Lekagul & McNeely 1977). Menurut Fredriksson et al. (2008), beruang madu merupakan spesies asli di Bangladesh, Brunei Darussalam, Kamboja, Cina, India, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Thailand dan Vietnam. Di Indonesia, beruang madu dapat ditemukan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Spesies ini telah dinyatakan punah di Singapura dan Bangladesh (Fredriksson et al. 2008, UNEP-WCMC 2011).
Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwaliar (Alikodra 2002). Menurut Soemarwoto (1983), habitat suatu organisme pada umumnya mengandung faktor ekologi yang sesuai dengan persyaratan hidup organisme yang menghuninya, dimana persyaratan tersebut merupakan kisaran faktor-faktor ekologi yang ada di dalam habitat dan diperlukan untuk mempertahankan hidupnya. Menurut Alikodra (2002), komponen fisik habitat terdiri atas air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang. Komponen biotik terdiri atas vegetasi, mikrofauna, makrofauna dan manusia. Jika seluruh keperluan hidup satwaliar dapat terpenuhi di dalam suatu habitatnya, maka populasi satwaliar tersebut akan tumbuh dan berkembang sampai terjadi persaingan dengan populasi lainnya. Habitat yang cocok merupakan habitat yang mampu menyediakan semua persyaratan habitat bagi suatu spesies untuk musim tertentu atau sepanjang tahun. Persyaratan tersebut meliputi pakan, penutupan tajuk, dan faktor lain yang dibutuhkan satwaliar untuk bertahan hidup dan menunjang keberhasilan proses reproduksi (Bailey 1984). Beruang madu hidup di hutan-hutan primer, hutan sekunder dan sering juga di lahan-lahan pertanian. Habitat beruang madu adalah hutan hujan tropis dataran rendah, hutan dipterocapaceae dan hutan pegunungan rendah. Beruang madu dapat ditemukan pada ketinggian 0-2000 m dpl. Mereka biasanya berada di pohon pada ketinggian 2-7 meter dari tanah dan suka mematahkan cabang-cabang pohon
6 atau membuatnya melengkung untuk membuat sarang. Umumnya beruang madu membuat sarang lebih dekat dengan batang pohon. Beruang yang hidup di negara tropis ini tidak memerlukan masa hibernasi seperti beruang lain yang tinggal di wilayah empat musim (Fredriksson et al. 2008, Servheen 1998).
Biologi Reproduksi Masa kawin pada beruang madu terjadi setiap waktu dengan masa bunting berlangsung selama tiga bulan. Frekuensi melahirkan yaitu satu kali setiap tahun dengan interval masa estrus antara 140-216 hari (Schwarzenberger et al. 2004). Di alam liar, anak diletakkan di atas tanah, biasanya terlindung diantara akar pohon yang tinggi. Jumlah anak per kelahiran (litter size) yaitu satu sampai dua ekor (Sastrapradja et al. 1982). Masa bunting dari dua betina di penangkaran yaitu masing-masing 95 dan 96 hari. Berat anak beruang madu yang baru lahir yaitu hanya sekitar 325 g. Pertumbuhan anaknya cepat, gigi susu lepas pada tujuh bulan dan gigi dewasa lengkap setelah 18 bulan. Catatan terpanjang masa hidup (life span) di penangkaran yaitu 35 tahun, dimana umur betina ketika pertama kali berkembang biak yaitu 3-4 tahun (Kitchener & Asa 2010).
Perilaku Beruang madu lebih aktif selama periode crepuscular. Beruang jantan lebih sering aktif pada periode diurnal meskipun beberapa individu aktif pada malam hari untuk waktu yang pendek. Aktifitas puncak di pagi hari terjadi pukul 07.00, di siang hari pukul 13.00 dan di sore hari pukul 17.00. Beruang madu dapat memanjat bebas menaiki batang tanpa ranting pada pohon yang tinggi hanya dengan menggunakan cakar sehingga meninggalkan bekas cungkilan. Beruang termasuk satwa yang berbahaya dan buas terhadap manusia, terutama ketika sedang membawa anaknya (Medway 1978, Wong et al. 2004). Kegiatan mencari makan dilakukan pada malam hari. Beruang madu membuat sarang dari ranting untuk beristirahat (Sastrapradja et al. 1982). Beruang madu ahli dalam memanjat dan dapat naik sampai tinggi sekali untuk mencapai sarang tawon dan rayap. Beruang madu mencabut dahan kayu sampai terbuka dengan kuku dan giginya yang kuat untuk menjangkau sarang tersembunyi dari tawon meliponid yang tak bersengat dan memakan isinya yang manis (MacKinnon 1986).
Pakan Beruang madu adalah satwa omnivora yang mengonsumsi baik hewan maupun tumbuhan. Diet alaminya meliputi larva lebah dan madu, rayap, semut, larva kumbang dan beberapa vertebrata kecil yang dapat ditangkap serta buahbuahan dan dedaunan tertentu terutama pucuk-pucuk palem atau umbut dan batang lain yang manis seperti tebu. Selain tumbuhan yang manis, beruang madu juga suka memakan beberapa jenis burung termasuk ayam, tikus dan binatang kecil lain. Berdasarkan analisis kotoran, komposisi pakannya terdiri dari kumbang,
7 larva kumbang, rayap, semut, kecoa hutan dan kalajengking. Binatang ini gemar mencari sarang lebah dengan membongkar celah-celah batang, memasukkan cakar dan kukunya yang tajam, menjilat-jilat madu beserta larva yang ikut terbongkar (MacKinnon 1986, McConkey & Galetti 1999, Medway 1978, Sastrapradja et al. 1982, Wong et al. 2002). Pakan beruang madu di penangkaran dikelola dengan diet campuran nasi, daging, buah dan sayur. Pakan beruang madu di Kebun Binatang New York terdiri dari rasio harian 2 lb (± 0,9 kg) daging mentah, 1 pint susu yang dicampur dengan sereal dan sirup atau madu, 0,5 lb (± 0,23 kg) campuran daging yang telah dipotong-potong, makanan anjing, tulang dan minyak ikan cod (cod liver oil) dan buah-buahan lembut (Medway 1978).
Pemilihan Habitat Satwaliar dapat mengidentifikasi dan memilih habitat yang cocok bagi mereka berdasarkan faktor nutrisi dan struktural (Wecker 1964 diacu dalam Krausman 1997). Pemilihan habitat merupakan proses yang dilakukan oleh satwa untuk memilih komponen dari suatu habitat yang digunakan (Krausman 1997). Svardson (1949) memaparkan bahwa pemilihan habitat merupakan spesialisasi bagi suatu spesies untuk membatasi dirinya terhadap habitat tersebut dan akan mencapai adaptasi yang sesuai untuk menggunakan pakan dan sumber daya penutupan tajuk dari habitat yang dipilih. Habitat dipilih oleh vertebrata pada empat tingkat, yaitu rentang geografis, wilayah jelajah, patch dalam wilayah jelajah dan sumber daya utama yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Pemilihan habitat dapat dipengaruhi oleh spesies lain seperti pesaing dan pemangsa. Seleksi habitat juga tergantung kepadatan populasi (McComb 2008).
Penggunaan Ruang Habitat adalah himpunan sumber daya yang diperlukan untuk mendukung populasi berdasarkan ruang dan waktu dimana setiap populasi dari suatu jenis memiliki kebutuhan habitat yang berbeda. Habitat dapat digunakan untuk mencari pakan, cover, sarang, tempat melarikan diri dari musuh dan lainnya. Satwaliar mendapatkan sumber energi dan nutrisi dari pakan yang mereka konsumsi. Tempat berlindung (cover) dan tempat melarikan diri melindungi satwa dari resiko predasi atau kompetisi (McComb 2008). Penggunaan habitat merupakan suatu cara yang dilakukan satwa untuk menggunakan sumberdaya fisik dan biotik dalam suatu habitat. Satu atau lebih peruntukan habitat ini dapat tumpang tindih atau berada di dalam areal yang sama (Krausman 1997). Evaluasi penggunaan dan pemilihan habitat dapat memberikan indikasi akan kualitas dan pentingnya habitat tersebut (Garshelis 2000). Komponen habitat yang mempengaruhi kehadiran satwa liar antara lain vegetasi hidup, vegetasi mati, fitur-fitur fisik (terbentuk secara alami atau artifisial baik buatan manusia maupun satwa), air, ketersediaan pakan, keberadaan dan kelimpahan kompetitor, predator, parasit, penyakit, tingkat gangguan manusia,
8 intensitas perburuan, iklim dan temperatur serta sejarah keberadaannya (Cooperrider et al. 1986). Menurut Wong et al. (2004), ukuran wilayah jelajah rata-rata beruang madu sekitar 14.8 ± 6.1 km2 dan dapat ditemukan baik di hutan primer maupun di hutan bekas tebangan. Jarak pergerakan harian rata-rata sekitar 1.45 ± 0.24 km dan dipengaruhi oleh ketersediaan pakan, khususnya Ficus spp. Terdapat lima tipe tempat tidur (bedding site) beruang madu, yaitu lubang di pohon tumbang yang berongga (46%), batang pohon (23%), lubang di dasar pohon (19%), lubang di bawah sistem perakaran (8%) dan lubang di bawah pohon tumbang (4%). Pohon yang digunakannya yaitu pohon besar dengan diameter >100 cm dan umumnya dari jenis yang termasuk Dipterocarpaceae.
Status Konservasi Menurut CITES (2011), Helarctos malayanus tergolong satwa Appendix I, yaitu jenis satwa yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional. Perdagangan spesimen dari spesies yang ditangkap di alam bebas adalah ilegal dan diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa. Menurut daftar merah IUCN (IUCN red list) versi 3.1, satwa ini tergolong vulnerable atau rentan mengalami kepunahan kecuali jika penanganan keselamatan dan reproduksinya baik. Beruang madu termasuk satwa yang dilindungi oleh Perundang-undangan di Indonesia (PP No.7 tahun 1999).
Ancaman Populasi dan Habitat Terdapat empat faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup beruang madu, yaitu perburuan, perdagangan beruang dan bagian-bagian tubuhnya, perusakan habitat serta pendirian perkebunan (Meijaard 1999). Servheen (1998) memaparkan bahwa kurangnya pengetahuan mengenai populasi, penyebaran, fragmentasi populasi dan tingkat kematian beruang menimbulkan ancaman bagi populasi beruang madu di seluruh daerah penyebarannya. Banyak populasi beruang madu yang telah mengalami kepunahan akibat perpaduan antara berkurangnya habitat dan peningkatan populasi manusia. Sangat mungkin bahwa populasinya di banyak daerah telah terfragmentasi dan terisolasi menjadi subpopulasi kecil yang dapat meningkatkan angka kematiannya. Menurut Meijaard et al. (2005), degradasi, fragmentasi dan hilangnya habitat hutan tropis beruang madu merupakan ancaman terbesar bagi populasi beruang ini. Hal ini disebabkan terutama oleh perambahan manusia dan penebangan liar baik di dalam maupun di luar kawasan lindung untuk kemudian ditanami kopi, karet dan kelapa sawit. Bencana alam seperti kebakaran dan kekeringan juga telah menyebabkan berkurangnya ketersediaan pakan beruang madu dan habitat yang sesuai (Fredriksson et al. 2008).
9
3 METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Areal Konservasi IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti merupakan bagian dari ekosistem hutan gambut Semenanjung Kampar yang menjadi habitat bagi beruang madu. Kawasan ini berada di dalam area konsesi PT. RAPP di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Hutan alam di Semenanjung Kampar yang telah banyak dikonversi menjadi hutan tanaman mengakibatkan timbulnya ancaman bagi kelestarian beruang madu serta tumbuhan dan satwa liar lainnya karena kualitas dan kuantitas habitat mereka semakin menurun. Tingginya permintaan pasar akan produk kayu dan turunannya menyebabkan meningkatnya kebutuhan pasokan bahan baku pulp dan kertas sementara lahan yang terbatas menyebabkan perusahaan pengusahaan hutan tersebut memperluas konsesinya. Akibatnya, terjadilah konflik yang melibatkan masyarakat sekitar, pemerintah serta para konservasionis yang ingin mempertahankan kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi. Langkah yang dapat ditempuh untuk mengakomodir kebutuhan para pihak yang terkait tersebut yaitu dengan cara menetapkan sejumlah kawasan di areal konsesi menjadi kawasan lindung. Estate Meranti digunakan sebagai habitat oleh beruang madu karena dapat menyediakan kebutuhan dasar hidupnya berupa pakan, air, cover serta berbagai komponen fisik dan abiotik lainnya. Setiap tipe habitat di Estate Meranti memiliki komponen penyusun yang berbeda-beda sehingga tidak seluruhnya digunakan oleh beruang madu sebagai habitat. Penilaian lingkungan, baik yang berkorelasi secara langsung maupun yang tidak langsung terhadap habitat tersebut perlu diketahui untuk menjaga ketahanan populasi. Oleh karena itu perlu dikaji lebih dalam faktor apa saja yang mempengaruhi penggunaan habitat oleh beruang madu di Estate Meranti sehingga dapat diketahui bentuk pengelolaan yang sesuai. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2012. Penelitian berlokasi di Areal Konservasi IUPHHK-HTI, PT Riau Andalan Pulp and Paper, Estate Meranti, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2. Lokasi transek terletak di kawasan lindung sempadan Sungai Kutup sebanyak 2 petak, S. Turip 7 petak, S. Serkap 4 petak, S. Sangar 2 petak, Tanjung Bunga 2 petak dan Tg. Rimba 2 petak.
10
SEMENANJUNG KAMPAR
Hutan Tanaman
Hutan Alam
Konversi hutan alam menjadi hutan tanaman
Estate Meranti
Habitat beruang madu
Populasi beruang madu
Habitat yang digunakan
Faktor abiotik: kedalaman gambut, jarak jejak dari jalan, sungai dan kawasan produksi
Faktor biotik: - struktur & komposisi vegetasi - bentuk, posisi, dan penutupan tajuk pohon
Faktor dominan habitat penduga keberadaan beruang madu
Penggunaan ruang oleh beruang madu di Estate Meranti
Manajemen habitat dan populasi
Kelestarian populasi dan habitat beruang madu
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
11
Gambar 2 Lokasi penelitian
Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Global Positioning System (GPS), binokuler, kamera digital SLR, jam, peta kawasan, peta penutupan lahan, peta kedalaman gambut, peta sungai, peta jalan, kompas, haga altimeter, tali rapia, pita meter, rol meter, tally sheet, perlengkapan pembuatan herbarium (kertas koran, kantung plastik besar, kantung plastik 40x60cm, tali plastik, staples, label gantung, spidol permanen, alkohol 70%), panduan pertanyaan wawancara serta seperangkat komputer. Piranti lunak yang digunakan dalam pengolahan data yaitu ArcView 3.3, AutoCad 2006, SPSS 16 dan Microsoft Office.
Data yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data yang berhubungan dengan keberadaan beruang madu, karakteristik habitat, penggunaan ruang dan faktor dominan habitat penentu keberadaan beruang madu meliputi komponen biotik (jenis, komposisi, struktur vegetasi, bentuk tajuk, posisi tajuk, penutupan tajuk, profil pohon), komponen abiotik (kedalaman gambut, jarak dari jalan, sungai dan kawasan produksi). Keberadaan beruang diketahui dengan perjumpaan tidak langsung melalui jejak cakaran, koyakan dan tapak kaki.
12 Metode Pengumpulan Data Teknik penarikan unit contoh yang dilakukan adalah teknik penarikan contoh acak berlapis (Stratified Random Sampling) dengan intensitas sampling 0.1%. Luas areal pengamatan adalah 8.84 ha. Luas 1 petak contoh adalah 0.52 ha dengan jumlah petak contoh yaitu 17. Areal Konservasi Estate Meranti yang dijadikan lokasi pengamatan dibedakan berdasarkan variasi lokal vegetasi penyusunnya, yaitu hutan tiang tinggi (Tall Pole Forest/TPF) dan hutan transisi (Transition TPF-MPSF/TRF). Tipe vegetasi TPF dicirikan dengan ukuran pohonpohon penyusunnya relatif kecil, tajuk pohon yang tinggi dan relatif rata dengan tinggi pohon antara 25-35 m, serta kanopi hutannya hanya terdiri atas 2-3 lapis saja dan umumnya memiliki diameter pohon berkisar antara 20-30 cm. Tipe vegetasi TRF merupakan hutan yang sedang mengalami proses peralihan dari hutan rawa gambut campuran menjadi hutan tiang tinggi. Hutan rawa gambut campuran memiliki ciri umum jenis campuran yang didominasi tajuk tinggi dan tidak rata dengan ketinggian pohon berkisar antara 30-40 m dan diameter >30 cm. Kerapatan hutan cukup tinggi dengan kanopi hutan yang terdiri dari beberapa lapisan (TIIP 2010a). Metode yang digunakan untuk memperoleh data dan informasi mengenai penggunaan ruang beruang madu adalah sebagai berikut: a. Wawancara Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi awal mengenai keberadaan beruang madu di Estate Meranti. Informasi tersebut berupa tipe habitat dan lokasi ditemukannya beruang madu baik secara langsung maupun tidak langsung. Hasil wawancara menjadi acuan sebelum melakukan survey lapang serta peletakan petak pengamatan. Responden dalam wawancara yaitu masyarakat sekitar Estate Meranti, staf lapang dan pengelola Estate Meranti. b. Transek jalur Transek jalur merupakan suatu metode pengamatan populasi satwaliar melalui pengambilan contoh dengan bentuk unit contoh berupa jalur dengan panjang dan lebar jalur pengamatan ditentukan terlebih dahulu (Kartono 2000). Jalur pengamatan ditentukan sepanjang 260 m dan lebar jalur 20 m. Transek jalur dilakukan untuk mengetahui lokasi keberadaan beruang madu. Bentuk dari transek jalur pengamatan beruang madu disajikan pada Gambar 3.
Keterangan: O = posisi pengamat; BM = posisi beruang madu
Gambar 3 Bentuk transek jalur pengamatan beruang madu
13
1)
2) 3) 4)
Cara pengambilan data dengan transek jalur yaitu: Menempatkan sejumlah transek jalur secara sistematis. Jalur transek pertama ditentukan secara acak. Jalur ditempatkan di setiap tipe variasi lokal vegetasi. Menggambarkan letak setiap jalur pada peta kerja. Menentukan arah lintasan pengamatan dengan menggunakan kompas sehingga tidak berpotongan dengan jalur transek lain. Berjalan sesuai jalur pengamatan sembari mengumpulkan dan mencatat data jenis perjumpaan (cakaran/tapak/koyakan), mengambil koordinat lokasi perjumpaan, menuliskan keterangan selengkap mungkin tentang kontak/perjumpaan tersebut pada tally sheet.
c. Analisis vegetasi Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi di lokasi pengamatan. Metode analisis vegetasi yang dilakukan adalah metode garis berpetak sebagaimana disajikan pada Gambar 4. Ketentuan ukuran petak contoh untuk tingkat semai (tinggi <1.5 m) 2 m x 2 m, tingkat pancang (diameter <10 cm dengan tinggi >1.5 m) 5 m x 5 m, tingkat tiang (diameter 10-20 cm) 10 m x 10 m dan tingkat pohon (diameter >20 cm) 20 m x 20 m (Soerianegara & Indrawan 2005). Jalur yang dibuat sepanjang 260 m dengan lebar 20 m.
Keterangan : A = Petak contoh pohon (20x20) m2 B = Petak contoh tiang (10x10) m2 C = Petak contoh pancang (5x5) m2 D = Petak contoh semai (2x2) m2
Gambar 4 Metode garis berpetak d. Observasi lapang: dilakukan untuk mengambil data dan informasi mengenai kondisi fisik dan biotik habitat beruang madu dari variabel-variabel yang diamati. Metode ini juga dilakukan untuk mengambil data spasial berupa titik-titik koordinat perjumpaan beruang madu untuk kemudian diolah dengan ArcView. Data yang diambil dibedakan menjadi : 1) Komponen biotik Komponen biotik yang diamati dalam penelitian ini yaitu struktur dan komposisi vegetasi, bentuk, posisi dan penutupan tajuk serta profil pohon. Data ini diambil untuk mengetahui gambaran kondisi habitat beruang madu dari petak contoh pengamatan yang dibuat, meliputi kerapatan, frekuensi dan dominansi suatu jenis, khususnya vegetasi pakan. Bentuk dan posisi tajuk pohon diukur berdasarkan klasifikasi Dawkins (1958) disajikan pada Gambar
14 5 dan Gambar 6. Tajuk pohon ditentukan berdasarkan observasi lapang kemudian dibedakan berdasarkan klasifikasi Dawkins tersebut. Posisi tajuk pohon ditentukan berdasarkan posisi tajuk dalam menerima cahaya matahari yang datang dari atas.
Gambar 5 Klasifikasi bentuk tajuk pohon menurut Dawkins (1958)
Penutupan tajuk rata-rata (average canopy cover) diduga berdasarkan jumlah vegetasi berdiameter ≥ 10cm yang ada pada petak seluas 100m2. Klasifikasi penutupan tajuk pohon yang digunakan menggunakan klasifikasi dari Augeri (2005) seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi penutupan tajuk pohon (Augeri 2005) Jumlah Pohon 0 1-1.2 1.3-2.4 2.4-3.5 >3.6
% Geographic Coverage 0% 1-25% 26-50% 51-75% 76-100%
Skor 0 1 2 3 4
15
Gambar 6 Klasifikasi bentuk posisi tajuk pohon menurut Dawkins (1958)
2) Komponen abiotik Data komponen abiotik yang dikumpulkan yaitu kedalaman gambut, jarak lokasi perjumpaan beruang terhadap sungai, jalan dan kawasan produksi. Jarak lokasi perjumpaan beruang diukur untuk kemudian dianalisis hubungan dan pengaruh setiap komponen tersebut terhadap keberadaan beruang. Data kedalaman gambut diperoleh dengan cara mengambil koordinat GPS lokasi kemudian melihat informasi kedalaman gambut dari koordinat tersebut dengan menggunakan peta kontur kedalaman gambut. Data kedalaman gambut digunakan untuk mengidentifikasi kemampuan beruang madu dalam berpindah atau mobilisasi. Data jarak jejak dari sungai, jalan dan kawasan produksi diketahui dengan cara mengukur jejak beruang yang ditemukan terhadap tepi sungai, jalan dan kawasan produksi terdekat secara tegak lurus. 3) Faktor dominan habitat Jenis data yang dikumpulkan meliputi data keberadaan beruang madu melalui perjumpaan langsung maupun tidak langsung (tapak, cakaran, kotoran, sisa pakan), kondisi vegetasi dan beberapa faktor fisik dan biotik di habitat tersebut. Jenis, variabel dan sumber data yang diamati disajikan pada Tabel 2.
16 Tabel 2 Jenis, variabel dan sumber data No 1 2 3
Jenis Data Frekuensi perjumpaan jejak Kerapatan vegetasi Bentuk tajuk pohon
Variabel Y X1 X2
4
Posisi tajuk pohon X3
5 6 7 8 9 10
Penutupan tajuk rata-rata Jumlah individu pohon Jumlah jenis pohon Jumlah individu pohon pakan Jumlah jenis pohon pakan Kedalaman gambut
X4 X5 X6 X7 X8
11 12 13
Jarak dari jalan Jarak dari sungai Jarak dari kawasan produksi
X10 X11 X12
X9
Sumber Data Observasi lapang Pengukuran di lapangan Observasi lapang & klasifikasi Dawkins (1958) Observasi lapang & klasifikasi Dawkins (1958) Klasifikasi Augeri (2005) Analisis vegetasi Analisis vegetasi Analisis vegetasi Analisis vegetasi Peta kedalaman gambut (TIIP 2010a) Peta kawasan Peta kawasan Peta kawasan
e. Pembuatan herbarium: dilakukan terhadap jenis-jenis vegetasi yang belum bisa teridentifikasi di lapangan. Tahapan dalam pembuatan herbarium di lapangan adalah sebagai berikut (Bridson & Forman 1998, Rugayah 2004): 1) Pengumpulan material herbarium. Material herbarium yang lengkap mengandung ranting, daun muda dan tua, kuncup, bunga muda dan tua yang mekar, serta buah muda dan tua. 2) Pencatatan data tumbuhan dengan menggunakan buku catatan atau tally sheet. 3) Pembuatan label gantung yang diikat pada material herbarium. Satu label untuk satu spesimen. Pada setiap label gantung ditulis kode (singkatan nama), kolektor, nomor koleksi, nama lokal tumbuhan yang dikumpulkan tersebut. 4) Pengolahan dan pengawetan dengan metode pengeringan bertahap. Material herbarium dicelup terlebih dahulu di dalam air mendidih sekitar 3 menit kemudian dimasukkan ke dalam lipatan kertas koran. Lipatan kertas koran berisi material herbarium tersebut selanjutnya ditumpuk, di press lalu dijemur atau dikeringkan di atas tungku pengeringan. Pengeringan harus segera dilakukan karena jika terlambat akan mengakibatkan material herbarium rontok daunnya dan cepat menjadi busuk. 5) Identifikasi material herbarium. Material herbarium diidentifikasi taksonominya (spesies, genus, famili, ordo) baik dengan cara mencocokkan spesimen dengan buku panduan lapang tumbuhan maupun di lembaga ahlinya seperti Herbarium Bogoriense LIPI. f. Pemetaan diagram profil habitat: dilakukan untuk mengetahui struktur vegetasi dari suatu habitat. Hasil pemetaan ini dapat memberikan gambaran
17 mengenai bentuk penggunaan ruang oleh beruang madu secara vertikal. Vegetasi yang dijadikan unit contoh yaitu pohon. Profil pohon ditentukan dengan cara mengukur dan mencatat jenis, diameter, tinggi bebas cabang, tinggi total, tinggi tajuk, lebar tajuk dan posisi pohon dalam petak contoh berukuran 100 m x 20 m. Pembuatan diagram profil habitat dilakukan dengan menggunakan AutoCad 2006.
Analisis Data Analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Analisis keberadaan beruang madu Keberadaan beruang madu berupa frekuensi total dari perjumpaan jejak cakaran, koyakan dan tapak kaki yang ditemukan. Data sebaran populasi beruang madu tersebut disajikan dalam bentuk gambar dan tabulasi serta dianalisis secara deskriptif kualitatif. Data sebaran populasi juga dianalisis secara spasial dan disajikan dalam bentuk peta. 2. Analisis komponen biotik habitat a. Analisis komposisi dan dominansi jenis vegetasi Hasil analisis vegetasi digunakan untuk mengetahui komposisi jenis dan dominansi. Dominansi suatu jenis pohon ditunjukkan dalam besaran indeks nilai penting (INP). Untuk tingkat tiang dan pohon, INP merupakan penjumlahan nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR) dan dominansi relatif (DR). Persamaan yang digunakan untuk perhitungan besaran-besaran tersebut adalah sebagai berikut (Soerianegara & Indrawan 2005):
Kerapatan suatu jenis
=
Kerapatan relatif (KR) = Frekuensi suatu jenis
x 100%
=
Frekuensi relatif (FR) =
x 100%
Dominansi suatu jenis = Dominansi relatif (DR) = Luas bidang dasar suatu jenis = ¼ π d2 INP (tiang dan pohon) = KR + FR + DR INP (semai dan pancang) = KR + FR
x 100%
18 b. Analisis keanekaragaman jenis vegetasi Kekayaan jenis vegetasi diketahui dengan menggunakan pendekatan Indeks kekayaan Margalef (Krebs 1978) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: Dmg = Keterangan :
Dmg S N
= indeks kekayaan Margalef = jumlah jenis yang teramati = jumlah total individu yang teramati
Kelimpahan jenis vegetasi diketahui dengan menggunakan pendekatan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (Krebs 1978) dengan menggunakan persamaan: H’ = - Σ pi . ln pi Keterangan :
H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Pi = proporsi jumlah individu ke-i dengan seluruh jenis (ni/N)
Indeks keanekaragaman (H’) terdiri dari beberapa kriteria yaitu (Latupapua 2011): : tingkat keanekaragaman sangat tinggi H’ > 3.0 1.5
; Dmax = ln S
Keterangan : J’ = nilai evennes (0-1) H’ = indeks keragaman Shannon-Wiener S = jumlah jenis 3. Analisis komponen abiotik habitat Komponen abiotik habitat yang akan dianalisis terdiri dari kedalaman gambut, jarak jejak dari jalan, sungai dan kawasan produksi. Komponenkomponen tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif. 4. Analisis penggunaan ruang beruang madu Untuk mengetahui hubungan antara frekuensi perjumpaan beruang madu pada tiap peubah digunakan uji Chi-square. Maksud dan tujuan dari pengujian ini adalah membandingkan antara fakta yang diperoleh berdasarkan hasil observasi dengan fakta yang didasarkan secara teoritis atau yang diharapkan. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Walpole 1992) :
19
=∑
(
)
Keterangan : x2 = chi square hitung o = frekuensi data yang diperoleh dari observasi e = frekuensi data yang diharapkan secara teoritis
Hipotesis yang dibangun adalah : H0 : Tidak ada faktor yang mempengaruhi beruang dalam penggunaan ruang H1 : Terdapat faktor yang mempengaruhi beruang dalam penggunaan ruang Keputusan yang diambil adalah : a. Jika x2 hitung ≤ x2(0.05,k-1), maka terima H0 artinya tidak terdapat faktor yang mempengaruhi penggunaan ruang beruang madu b. Jika x2 hitung > x2(0.05,k-1), maka tolak H0 artinya terdapat faktor yang mempengaruhi beruang dalam penggunaan ruang 5. Analisis faktor dominan habitat Penentuan faktor-faktor yang dominan terhadap keberadaan beruang madu diperoleh dengan cara menganalisis variabel bebas dan tidak bebas menggunakan analisis faktor. Hasil analisis akan menunjukkan komponen habitat yang berpengaruh terhadap keberadaan beruang madu. Analisis faktor merupakan salah satu metode multivariate yang digunakan untuk menganalisis variabel-variabel yang memiliki keterkaitan satu sama lain sehingga keterkaitan tersebut dapat dipetakan atau dikelompokkan pada variabel yang tepat (Supangat 2007). Secara prinsip, analisis faktor digunakan untuk mereduksi data atau meringkas sejumlah variabel menjadi lebih sedikit. Apabila terdapat variabel bebas yang saling berkorelasi maka variabel tersebut dihapuskan dan tidak dimasukkan dalam model persamaan regresi berganda. Variabel yang dihapuskan yaitu variabel yang memiliki nilai KMO yang kurang dari 0.5. Analisis faktor dilakukan dengan menggunakan software SPSS 16. 6. Analisis hubungan komponen habitat Analisis korelasi digunakan untuk mengukur kuat lemahnya hubungan antara satu variabel bebas dan satu variabel tergantung yang berskala interval/parametrik. Kriteria kuat atau lemahnya hubungan antara variabel dapat dilihat dari angka korelasi variabel tersebut. Kriteria kekuatan hubungan variabel yang diuji adalah sebagai berikut (Sarwono 2006): 0 : tidak ada korelasi > 0-0.25 : korelasi sangat lemah >0.25-0.5 : korelasi cukup kuat >0.5-0.75 : korelasi kuat >0.75-0.99 : korelasi sangat kuat 1 : korelasi sempurna
20
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Letak dan Luas Kawasan IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti termasuk dalam ekosistem gambut di Semenanjung Kampar (Kampar Ring) dengan luas areal 43400 ha yang terdiri dari hutan produksi (12154 ha) dan hutan produksi terbatas (31246 ha). Estate Meranti dengan Estate Pulau Padang (41205 ha) dan Estate Tasik Belat (12540 ha) merupakan perluasan areal IUPHHK-HT PT RAPP yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 327/MenhutII/2009. Berdasarkan fungsinya, kawasan Estate Meranti dibedakan menjadi tiga yaitu kawasan produksi, kawasan lindung dan kawasan tanaman kehidupan (TIIP 2010b). Kawasan lindung mencakup areal konservasi di sempadan sungai, kubah gambut dan kawasan penyangga (buffer zone) kubah gambut. Luas areal konservasi Estate Meranti yaitu 9123.05 hektar. Areal Konservasi Estate Meranti yang dijadikan lokasi pengambilan data merupakan kawasan sempadan sungai yaitu sempadan Sungai Kutup, S. Turip, S. Serkap dan S. Sangar serta kawasan penyangga kubah gambut yaitu Tanjung Bunga. Secara administratif, Estate Meranti termasuk dalam Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Batas areal NKT Semenanjung Kampar berbatasan dengan (TIIP 2010a): - sebelah utara : Selat Panjang, Pulau Panjang, P. Jadi, P. Tebing Tinggi, P. Rangsang, P. Topang dan P. Menggung. - sebelah timur : Selat Panjang, Pulau Tiga, P. Serapung, P. Lebuh dan P. Mendol. - sebelah selatan : Sungai Kampar, Pulau Muda, P. Ketam, P. Baru dan daratan Riau. - sebelah barat : kawasan gambut sebelah barat Semenanjung Kampar. Penutupan Lahan Tutupan lahan pada Estate Meranti dibedakan menjadi empat tipe variasi vegetasi, yaitu hutan tiang dengan tajuk tinggi (Tall Pole Forest/TPF), hutan transisi tiang tinggi-rawa gambut campuran (Transition of Tall Pole Forest and Mixed Peat Swamp Forest/TRF), hutan riparian (Riverine Forest) dan semak belukar. MPSF dicirikan dengan jenis campuran yang didominasi dengan tajuk tinggi dan tidak rata dengan diameter pohon umumnya >30 cm serta cenderung berkembang di wilayah luar atau dekat tepi sungai dengan ketebalan gambut < 3 m. Hutan riparian pada kawasan gambut umumnya berada sejauh 1,5 km dari tepi sungai atau pinggir pantai. Komposisi jenis penyusun vegetasi ini terdiri atas individu pepohonan yang berukuran kecil (diameter <30 cm) dan dari jenis-jenis sekunder seperti Hibiscus tiliaceus, Macaranga caladifolia dan Buchanania arborescens (TIIP 2010a).
21 Tipe variasi lokal vegetasi yang menjadi lokasi penelitian hanya dibedakan menjadi dua yaitu hutan tiang tinggi (TPF) dan hutan transisi tiang tinggi-rawa gambut campuran (TRF). Tipe vegetasi lain yaitu hutan riparian dan semak belukar tidak dijadikan lokasi penelitian selain karena kondisi vegetasinya yang hanya terdiri dari semai dan tumbuhan bawah, kedua kawasan ini juga tergenang oleh air sehingga tidak memungkinkan dalam pengambilan data. Topografi, Hidrologi dan Tanah Areal hutan tanaman Teluk Meranti disusun oleh tipe ekosistem hutan rawa gambut dataran rendah. Berdasarkan peta land system dari RePPProt, tipe lahan yang menyusun areal Unit Manajemen PT. RAPP Semenanjung Kampar di Estate Meranti terdiri dari mendawai dan gambut. Kawasan bergambut yang berfungsi sebagai daerah resapan air bagi daerah di bawahnya adalah daerah sekitar bagian kubah gambut (peat dome), yang dari segi topografi merupakan daerah atas dan perlu dilindungi supaya fungsi hidrologisnya dapat dipertahankan (TIIP 2010b). Estate Meranti terletak di DAS Kampar dan terdiri dari beberapa sub DAS, yaitu sub DAS Kutup, sub DAS Turip, sub DAS Serkap dan sub DAS Sangar. Seluruh sungai-sungai yang mengalir di Estate Meranti bermuara di Sungai Kampar. Air sungai yang mengalir baik di Estate Meranti maupun Estate Tasik Belat berasal dari kawasan kubah gambut dan danau-danau gambut yang terdapat di dalam kawasan hutan Semenanjung Kampar. Iklim Menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson, iklim di Sektor Pelalawan termasuk tipe A dengan rata-rata curah hujan 2323 mm/tahun. Kisaran curah hujan di TME yaitu antara 2200-2800mm/tahun. Curah hujan paling tinggi ratarata terjadi pada bulan April dan curah hujan paling rendah rata-rata pada bulan Juli dengan banyaknya hari hujan 150 hari/tahun (TIIP 2010b, Yuniawati 2011). Tumbuhan dan Satwaliar Jenis tanaman yang dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman PT. RAPP adalah crassicarpa (Acacia crassicarpa) untuk lahan basah dan mangium (Acacia mangium) untuk lahan kering. Jenis tersebut dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 0-500 m dpl. Kedua jenis tersebut toleran terhadap berbagai tempat tumbuh, termasuk tanah yang miskin hara dan tidak dalam. Perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan biji maupun terubusan. Musim berbunga antara Maret-April dan buah masak pada bulan September-Oktober (Yuniawati 2011). Areal hutan tanaman Estate Meranti merupakan bagian dari kawasan Semenanjung Kampar yang diketahui sebagai ekosistem hutan rawa gambut yang masih tersisa di Provinsi Riau. Areal tersebut menjadi habitat baik tetap maupun temporer bagi berbagai jenis satwa liar yang langka dan dilindungi serta memiliki kekayaan dan keanekaragaman tumbuhan yang tinggi. Keberadaan tumbuhan dan satwa liar tersebut menjadi salah satu parameter dalam penilaian dan penetapan kawasan hutan menjadi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi. Berdasarkan hasil survey lapang NKT yang dilakukan oleh Tropenbos Indonesia pada tahun 2010, pada areal Semenanjung Kampar ditemukan 243 jenis dari 53 famili tumbuhan dimana 15 jenis tumbuhan diantaranya termasuk kategori
22 langka/dilindungi. Jenis-jenis tersebut yaitu sikikau (Anisoptera costata), selumbar terong (Combretocarpus rotundatus), pinang merah (Cyrtostachys lakka), meranti batu (Dipterocarpus coriaseus), tenggek burung (Evodia lanuankenda), ramin (Gonystylus bancanus), kantong semar (Nepenthes sp.), kelat asam (Sandoricum koetjape), meranti bunga (Shorea teysmanniana), meranti batu (Shorea uliginosa), dan resak (Vatica rasak). Jenis satwa liar yang ditemukan di Semenanjung Kampar yaitu 45 jenis mamalia yang termasuk ke dalam 18 famili, 217 jenis burung yang termasuk ke dalam 56 famili, 42 jenis reptil yang termasuk ke dalam 14 famili dan 15 jenis amfibi yang termasuk ke dalam 3 famili. Jumlah jenis satwa liar yang dilindungi yang terdapat di Semenanjung Kampar yaitu terdiri dari 33 jenis mamalia, 52 jenis burung dan 2 reptil. Jenis-jenis tersebut antara lain ungko (Hylobates agilis), harimau (Panthera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus), bangau storm (Ciconia stormi), beberapa jenis elang, punai besar (Treron capellei), sempidan merah (Lophura erythrophthalma), mentok rimba (Cairina scutulata), buaya muara (Crocodilus porosus) dan ular piton (Python reticulatus).
Sebaran Populasi Beruang Madu Keberadaan beruang madu di Estate Meranti diketahui melalui perjumpaan secara tidak langsung. Jenis perjumpaan secara tidak langsung yaitu melalui keberadaan cakaran dan koyakan pada batang pohon serta tapak kaki beruang di atas permukaan tanah. Jejak beruang madu hanya ditemukan pada 11 jalur dari 17 transek jalur yang dilakukan, yaitu pada kawasan sempadan S. Kutup, S. Sangar, S. Serkap. S. Turip dan Tg. Rimba. Jejak beruang madu tidak ditemukan pada kawasan penyangga kubah gambut yaitu di jalur transek Tg. Bunga. Berdasarkan tipe jejak yang ditemukan, jejak tersebut dibedakan menjadi jejak cakaran sebanyak 13, koyakan sebanyak 7 dan tapak kaki 1 perjumpaan sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Jejak beruang madu yang ditemukan berdasarkan tipe jejak Tipe jejak Cakaran Koyakan Tapak kaki Total
TPF 9 6 1 16
TRF 4 1 0 5
Keterangan: TPF = Tall Pole Forest; TRF = Transition Forest
Jejak yang paling banyak dijumpai berupa cakaran. Cakaran umumnya dijumpai pada pohon dengan diameter besar dan digunakan beruang madu untuk memanjat pohon. Cakaran beruang madu memiliki bentuk yang khas, dimana kulit pohon sedikit tercungkil dan jejak berupa jalur memanjat dari bagian bawah dekat akar sampai ke atas pohon. Koyakan yang ditemukan di pohon umumnya setinggi beruang madu dewasa. Beruang madu tersebut diduga berdiri di atas permukaan tanah atau di dekat perakaran pohon kemudian mengoyak batang pohon atau lubang yang terdapat di pohon untuk mencari pakan. Jejak tapak kaki
23 sulit dijumpai karena permukaan tanah yang tertutup oleh banyak serasah sehingga tapak kaki beruang yang berpindah atau beraktivitas di atas tanah sulit terdeteksi. Sebanyak 20 jejak beruang madu ditemukan pada vegetasi tingkat pertumbuhan pohon dan hanya satu jejak yang ditemukan di atas permukaan tanah. Bentuk dari jejak yang ditemukan disajikan pada Gambar 7.
a
b
c Gambar 7 Jejak beruang madu; a. cakaran di batang pohon; b. koyakan di batang pohon; c. tapak kaki di permukaan tanah
Jenis-jenis vegetasi yang terdapat jejak beruang madu yaitu parak (Aglaia rubiginosa), kedondong (Dacryodes rostrata), ara (Ficus stricta), bengku (Madhuca motleyana), sonde (Payena leerii), piandang (Quassia borneensis), meranti bunga (Shorea teysmanniana) dan kelat merah (Acmena acuminatissima) seperti yang disajikan pada Tabel 4. Jejak beruang madu paling banyak ditemukan pada pohon A. rubiginosa dan S. teysmanniana. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hussin (1994) yang dikutip dalam Wong (2002) yang menyatakan bahwa jejak beruang madu di hutan sekunder paling banyak dijumpai pada vegetasi dengan genus Shorea (Dipterocarpaceae) dan Aglaia (Meliaceae). Kedua jenis vegetasi tersebut memiliki ciri umum pohon yang tinggi
24 dengan batang yang besar dan tajuk yang lebat. Beruang madu memanfaatkan pohon A. rubiginosa sebagai sumber pakan, tempat berpindah dan berlindung, sedangkan S. teysmanniana hanya sebagai tempat berpindah dan berlindung. Pada salah satu pohon S. teysmanniana yang terdapat jejak beruang, terdapat lubang besar di bagian atas pohon yang diduga dimanfaatkan beruang sebagai tempat untuk tidur atau beristirahat (bedding site).
Tabel 4 Jenis-jenis vegetasi yang terdapat jejak beruang madu No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Latin
Nama Lokal
Famili
Aglaia rubiginosa Dacryodes rostrata Ficus stricta Madhuca motleyana Payena leerii Quassia borneensis Shorea teysmanniana Acmena acuminatissima
Parak Kedondong Ara Bengku Sonde Piandang Meranti bunga
Meliaceae Burseraceae Moraceae Sapotaceae Sapotaceae Simarubaceae Dipterocarpaceae
Kelat merah
Myrtaceae
Total
Jumlah Jejak TPF TRF 7 2 1 0 0 1 1 0 1 1 1 0 2 1 2
0
15
5
Keterangan: TPF = Tall Pole Forest; TRF = Transition Forest
Berdasarkan tipe variasi lokal vegetasi penyusunnya, keberadaan jejak beruang madu dapat ditemukan pada kedua tipe sebaran vegetasi yang diamati (Gambar 8). Jejak beruang madu yang dijumpai di TPF sebanyak 16 jejak dan di TRF sebanyak 5 jejak.
Komponen Biotik dan Abiotik Habitat Faktor-faktor biotik dan abiotik mempengaruhi pilihan habitat pada satwa liar meskipun bersifat acak dan tidak langsung terkait dengan perubahan komunitas. Komponen biotik merupakan komponen hidup (hayati) penyusun habitat yang dapat menunjang kehidupan satwa liar. Komponen biotik meliputi lokasi potensial pada musim kawin, pakan, predator dan parasit. Komponen biotik bersifat lebih realistik, bervariasi dan mampu menciptakan stabilitas populasi (Dugatkin 2004, Wirakusumah 2003). Dalam menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberadaan beruang madu, perlu dikaji terlebih dahulu komponen-komponen utama dari habitat tersebut yang akan diamati. Komponen biotik yang diamati dalam penelitian ini berupa kondisi vegetasi meliputi jumlah individu dan jenis pohon, jumlah individu dan jenis pohon pakan, kerapatan vegetasi, bentuk, penutupan dan posisi tajuk pohon. Vegetasi menjadi komponen biotik yang diutamakan untuk diteliti karena vegetasi terutama pada tingkat pertumbuhan pohon digunakan secara aktif oleh beruang madu untuk
Gambar 8 Peta sebaran beruang madu berdasarkan tipe variasi lokal vegetasi
26 menunjang kehidupannya. Komponen abiotik merupakan komponen yang bersifat non hayati yang dapat diukur dan diketahui pengaruhnya pada makhluk hidup. Komponen abiotik bersifat saling berkaitan dan dapat mempengaruhi komponen biotik suatu habitat. Komponen abiotik yang diukur pada penelitian ini yaitu kedalaman gambut, jarak jejak dari jalan, sungai dan kawasan produksi. Jumlah jenis dan individu pohon Inventarisasi vegetasi yang telah dilakukan menghasilkan informasi berupa komposisi dan struktur vegetasi di TPF dan TRF. Jumlah jenis total yang ditemukan sebanyak 74 jenis dari 30 famili. Tipe vegetasi TPF memiliki jumlah jenis vegetasi pada setiap tingkat pertumbuhan yang lebih banyak dibandingkan di tipe vegetasi TRF (Gambar 9). Jumlah jenis tertinggi terdapat pada tingkat pertumbuhan pohon.
59 60 50
53
44
40 30
50
43 36
34 28
TPF TRF
20 10 0 Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Gambar 9 Jumlah jenis vegetasi di Estate Meranti
Jumlah vegetasi total yang ditemukan di TPF sebanyak 3708 individu yang terdiri dari 1044 individu semai, 1192 individu pancang, 534 individu tiang dan 938 individu pohon. Jumlah famili tumbuhan yang terdapat di TPF sejumlah 30 famili. Famili dengan jumlah jenis terbanyak terdapat pada famili Myrtaceae yaitu sebanyak 10 jenis. Jenis tumbuhan dari famili ini menghasilkan buah, biji atau bunga yang dapat menjadi sumber pakan bagi beruang madu. Tabel 5 menunjukkan jenis-jenis tumbuhan yang paling mendominasi pada tipe vegetasi TPF. Jenis yang paling mendominasi pada tingkat pertumbuhan semai, pancang dan tiang adalah Syzygium inophyllum sedangkan untuk tingkat pohon adalah Madhuca motleyana. Kedua jenis ini merupakan vegetasi pakan beruang madu. Nilai INP tertinggi pada tipe vegetasi TPF terdapat pada tingkat pertumbuhan pohon (33.05%).
27 Tabel 5 Indeks nilai penting di setiap tingkat pertumbuhan vegetasi di TPF No
Nama Ilmiah
SEMAI 1 Syzygium inophyllum 2 Acmena acuminatissima 3
Stemonurus secundiflorus
PANCANG 1 Syzygium inophyllum 2 Ilex cymosa
Nama Lokal
DR (%)
INP (%)
KR (%)
FR (%)
Kelat putih
13.12
10.13
23.25
Kelat merah
13.03
9.70
22.73
Pasir-pasir
10.25
10.34
20.59
Kelat putih
11.74
9.97
21.71
Mesio
10.32
8.41
18.73
Stemonurus secundiflorus
Pasir-pasir
7.89
9.19
17.08
TIANG 1 Syzygium inophyllum 2 Stemonurus secundiflorus
Kelat putih
10.49
9.76
10.79
31.03
Pasir-pasir
10.49
9.76
9.96
30.21
Bengku
10.49
9.09
9.94
29.52
Bengku
12.69
9.45
10.92
33.05
Kelat putih
10.55
10.14
8.32
29.01
7.36
6.58
10.14
24.07
3
3
Madhuca motleyana
POHON 1 Madhuca motleyana 2 Syzygium inophyllum 3
Shorea teysmanniana
Meranti bunga
Jumlah individu total yang ditemukan pada tipe vegetasi TRF sebanyak 843 individu yang terdiri dari 221 individu semai, 344 individu pancang, 88 individu tiang dan 190 individu pohon. Seperti halnya pada TPF, komposisi vegetasi di TRF juga fluktuatif. Jumlah famili dari vegetasi yang ditemukan di TRF sebanyak 26 famili dengan frekuensi perjumpaan tertinggi terdapat pada famili Clusiaceae dan Dipterocarpaceae masing-masing sebanyak 5 jenis. Vegetasi dari famili Clusiacea termasuk vegetasi pakan, sedangkan famili Dipterocarpaceae termasuk vegetasi cover bagi beruang madu. Jenis tumbuhan yang paling dominan pada tipe vegetasi TRF untuk tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon berturut-turut adalah A. acuminatissima, S. inophyllum, Mangifera griffithii dan Blumeodendron tokbrai (Tabel 6). Nilai INP tertinggi pada tipe vegetasi TRF terdapat pada tingkat tiang yaitu sebesar 32,86%.
Tabel 6 Indeks nilai penting di setiap tingkat pertumbuhan vegetasi di TRF No
Nama Ilmiah
SEMAI 1 Acmena acuminatissima
Nama Lokal
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
Kelat merah
19.91
12.87
32.78
2
Ilex cymosa
Mesio
15.38
11.88
25.29
3
Syzygium inophyllum
Kelat putih
13.57
9.90
25.46
PANCANG 1 Syzygium inophyllum
Kelat putih
11.92
13.01
24.93
2
Dacryodes rostrata
Kedondong
18.60
4.88
23.48
3
Acmena acuminatissima
Kelat merah
9.59
9.76
19.35
28 Tabel 6 Lanjutan No
Nama Ilmiah
TIANG 1 Mangifera griffithii 2 Shorea teysmanniana 3
Syzygium inophyllum
FR (%)
DR (%)
Nama Lokal
KR (%)
Salakeo Meranti bunga
10.23
10.84
11.79
32.86
6.82
7.23
9.87
23.92
9.09
6.02
7.51
22.63
7.89
5.13
5.83
18.86
7.37
5.77
5.66
18.80
6.32
6.41
5.52
18.24
Kelat putih
INP (%)
POHON
2
Acmena acuminatissima
Tempurung bintang Kelat merah
3
Shorea teysmanniana
Meranti bunga
1
Blumeodendron tokbrai
Hasil penelitian dari TIIP (2010a) di Semenanjung Kampar menunjukkan jenis tumbuhan yang paling dominan pada tipe variasi lokal vegetasi TPF untuk tingkat semai, pancang, tiang dan pohon berturut-turut adalah A. acuminatissima, mesio (Ilex cymosa) dan terentang (Campnopserma coriaceum). Sedangkan pada tipe vegetasi TRF, jenis tumbuhan yang paling dominan untuk tingkat semai, pancang, tiang dan pohon berturut-turut adalah linau (Licuala spionosa), mesira (Ilex hypoglauca), medang lundu (Alseodaphne coriacea), kelat (Syzigium acutifolium). Nilai INP tertinggi terdapat pada tingkat pertumbuhan pohon. Kerapatan vegetasi Kerapatan vegetasi menunjukkan jumlah individu suatu jenis yang terdapat pada area seluas 1 hektar. Semakin rapat penutupan vegetasi, semakin banyak air hujan yang diuapkan dan diresapkan ke dalam tanah serta semakin berkurang aliran permukaan (Suparman et al. 1985). Kerapatan jenis tertinggi di tipe habitat TPF pada tingkat pertumbuhan semai dan pancang adalah jenis S. inophyllum masing-masing sebanyak 1882 ind/ha dan 308 ind/ha, kerapatan tertinggi pada tingkat tiang terdapat pada jenis S. inophyllum, Stemonurus secundiflorus dan Madhuca motleyana sebanyak 31 ind/ha, dan pada tingkat pohon terdapat pada jenis M. motleyana sebanyak 16 ind/ha. Kerapatan jenis tertinggi di tipe habitat TRF pada tingkat pertumbuhan semai terdapat pada jenis A. acuminatissima sebanyak 2821 ind/ha, tingkat pancang terdapat pada jenis Dacryodes rostrata sebanyak 656 ind/ha, tingkat tiang terdapat pada jenis Mangifera griffithii sebanyak 23 ind/ha dan tingkat pohon terdapat pada jenis Blumeodendron tokbrai sebanyak 10 ind/ha. Kerapatan vegetasi total yang diperoleh pada tipe habitat TPF dan TRF tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian TIIP (2010a), kecuali pada tingkat pertumbuhan semai seperti disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Kerapatan total vegetasi di TPF dan TRF Tingkat Pertumbuhan Semai Pancang
Hasil Pengamatan TPF TRF 14341 14167 2620 3528
TIIP (2010a) TPF TRF 18438 12650 2640 3648
29 Tabel 7 Lanjutan Tingkat Pertumbuhan Tiang Pohon
Hasil Pengamatan TPF TRF 293 226 129 122
TIIP (2010a) TPF TRF 355 216 177 113
Keterangan: TPF = Tall Pole Forest; TRF = Transition Forest
Jenis-jenis dengan kerapatan tertinggi yang mendominasi habitat di TPF dan TRF hampir seluruhnya merupakan jenis yang dimanfaatkan oleh beruang madu sebagai vegetasi untuk berpindah, vegetasi pakan dan vegetasi untuk berlindung. Dari kesembilan jenis dominan tersebut, jenis yang digunakan oleh beruang madu untuk berpindah yaitu I. cymosa, sebagai sumber pakan yaitu S. inophyllum, A. acuminatissima, I. cymosa, M. motleyana dan D. rostrata, serta sebagai tempat berlindung yaitu S. teysmanniana. Vegetasi jenis S. secundiflorus dan B. tokbrai termasuk jenis yang mendominasi tetapi bukan merupakan vegetasi sumber pakan dan tidak ditemukan jejak beruang pada kedua jenis pohon tersebut. Keanekaragaman jenis vegetasi Keanekaragaman vegetasi merupakan indikator yang paling baik pada keseluruhan kekayaan biotik dari suatu area (Supriatna 2008). Menurut Magurran (1988), perhitungan nilai keanekaragaman merupakan indikator dari kesejahteraan suatu sistem ekologi. Keanekaragaman vegetasi di TPF dan TRF diketahui dengan cara menghitung nilai indeks kekayaan, kelimpahan dan kemerataan jenis pada setiap tingkat pertumbuhan vegetasi. Indeks kekayaan jenis menunjukkan banyaknya jenis yang ditemukan dalam suatu komunitas. Indeks kemerataan jenis menunjukkan jumlah individu dari masing-masing jenis yang relatif sama. Indeks kelimpahan jenis menunjukkan proporsi suatu jenis dengan menggabungkan kekayaan dengan kemerataan jenis. Nilai keanekaragaman vegetasi di TPF dan TRF disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Indeks keanekaragaman jenis vegetasi di TPF dan TRF Indeks Dmg H’ J’
Semai 6.186 3.024 0.804
TPF Pancang Tiang 7.482 7.961 3.265 3.317 0.822 0.848
Pohon 8.621 3.466 0.850
Semai 5.187 2.706 0.812
TRF Pancang Tiang Pohon 5.821 8.040 8.386 2.765 3.298 3.490 0.784 0.920 0.922
Keterangan: Dmg = Indeks Kekayaan Jenis Margalef; H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener; J’ = Indeks Kemerataan Jenis Pielou
Kekayaan, kelimpahan dan kemerataan jenis tertinggi pada kedua tipe habitat terdapat pada tingkat pertumbuhan pohon. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan pohon memiliki keanekaragaman jenis tertinggi di TPF dan TRF. Vegetasi pada tingkat pertumbuhan pohon memiliki jumlah jenis yang lebih banyak pada tipe vegetasi TPF, sedangkan pohon lebih beraneka ragam dan menyebar secara merata di tipe vegetasi TRF. Vegetasi pada tingkat
30 pertumbuhan tiang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi pada tipe vegetasi TPF, sesuai dengan definisi komunitas tersebut yaitu hutan tiang tinggi. Tingginya nilai indeks keanekaragaman jenis pada setiap tipe vegetasi menunjukkan bahwa setiap tipe habitat dengan karakteristiknya masing-masing memiliki berbagai jenis vegetasi yang dapat dimanfaatkan dan mendukung kehidupan beruang madu. Kesamaan komposisi dari setiap tingkat pertumbuhan vegetasi antara tipe vegetasi TPF dan TRF dapat diketahui dengan menghitung nilai Index of Similarity (IS) terhadap kedua tipe vegetasi tersebut. Perhitungan nilai IS disajikan pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9 Indeks kesamaan komunitas antara TPF dan TRF Tingkat pertumbuhan vegetasi Semai Pancang Tiang Pohon
IS (%) 73.24 66.67 74.42 75.73
Berdasarkan hasil perhitungan dapat terlihat tingginya nilai indeks kesamaan komunitas pada kedua tipe vegetasi di setiap tingkat pertumbuhan. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat kesamaan komposisi jenis yang besar pada TPF dan TRF. Kedua tipe habitat tersebut dibedakan berdasarkan lokasi geografis, kedalaman gambut, tingkat genangan air, ukuran pohon dan penutupan tajuknya, bukan berdasarkan komposisi vegetasi penyusunnya. Nilai IS tertinggi terdapat pada tingkat pertumbuhan pohon yaitu sebesar 75.73%. Jumlah jenis dan individu pohon pakan Beruang madu merupakan satwa omnivora oportunis yang memakan baik tumbuhan maupun hewan. Tumbuhan pakan yang ditemukan di Areal Konservasi Estate Meranti sebanyak 34 jenis yang termasuk dalam 18 genus dan 17 famili. Jumlah jenis dan individu pohon pakan yang ditemukan di TPF yaitu 31 jenis dan 606 individu sedangkan di TRF sebanyak 21 jenis dan 91 individu. Jenis tumbuhan pakan yang paling mendominasi di TPF yaitu kelat putih (Syzygium inophyllum), kelat merah (Acmena acuminatissima), mesio (Ilex cymosa) dan bengku (Madhuca motleyana). Jenis tumbuhan pakan yang paling mendominasi di TRF yaitu A. acuminatissima, I. cymosa, S. inophillum, kedondong hutan (Dacryodes rostrata), salakeo (Mangifera griffithii) dan tempurung bintang (Blumeodendron tokbrai). Genus dan famili yang paling banyak dijumpai yaitu genus Syzygium dan famili Myrtaceae. Beberapa bagian dari tumbuhan yang dikonsumsi oleh beruang madu yaitu buah, bunga dan biji sedangkan bahan anorganik yang dikonsumsi beruang madu yaitu damar (Fredriksson et al. 2006). Beberapa jenis tumbuhan pakan yang ditemui termasuk dalam jenis tumbuhan yang memiliki dominasi dan kerapatan tertinggi di Estate Meranti. Jenis A. acuminatissima dan S. inophyllum bahkan selalu dijumpai di setiap jalur transek. Keberadaan dan dominasi dari beberapa jenis tumbuhan pakan tersebut mengindikasikan ketersediaan vegetasi sumber pakan bagi beruang madu di masa yang akan datang.
31 Observasi lapang yang dilakukan di Estate Meranti juga menemukan beberapa sumber pakan beruang madu selain tumbuhan, yaitu hewan dari jenis kelulut (Trigona spp), capung, rayap, semut dan kecoa hutan serta sarang kelulut, rayap dan semut. Kelulut merupakan sejenis lebah yang tidak menyengat. Bentuk tajuk pohon Kategori yang terdapat pada bentuk tajuk pohon mencoba untuk menangkap potensi fotosintesis pada pohon. Bentuk tajuk merupakan karakteristik arsitektural dan cenderung menggambarkan perkembangan sejarah pada suatu pohon (Dawkins 1958). Bentuk tajuk dikategorikan mulai dari bentuk tajuk yang sangat buruk, buruk, cukup baik, baik dan sempurna. Berdasarkan frekuensi perjumpaan jejak beruang madu pada pohon di lokasi transek, jejak terbanyak berupa koyakan dan cakaran ditemukan pada pohon dengan bentuk tajuk tipe 4 atau bentuk tajuk yang bagus menurut klasifikasi Dawkins (Gambar 10). Bentuk tajuk tipe 4 merupakan tajuk dengan kondisi baik berupa lingkaran yang tidak beraturan (irregular circle). Jejak beruang berupa cakaran juga banyak ditemukan pada pohon dengan bentuk tajuk tipe 5, yaitu tajuk dengan bentuk lingkaran sempurna (complete circle). Pohon dengan bentuk tajuk tipe 3 yang tajuknya hanya setengah dari tajuk normal (half crown) ditemukan satu jejak beruang madu berupa cakaran. Jejak beruang berupa sarang ditemukan di pohon dengan bentuk tajuk tipe 1, yaitu tajuk yang sangat buruk karena hanya memiliki satu atau beberapa cabang. Tipe 0 menunjukkan jejak beruang madu yang ditemukan bukan pada pohon, yaitu berupa tapak kaki yang di permukaan tanah.
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
9
5 TPF 3 1
1 0 0
0
1 0 0
1
TRF 1
0
2 3 4 Klasifikasi bentuk tajuk pohon
5
Gambar 10 Frekuensi perjumpaan jejak beruang madu berdasarkan klasifikasi bentuk tajuk
Penutupan tajuk pohon Penutupan tajuk atau canopy cover adalah area dari permukaan tanah yang tertutup oleh proyeksi vertikal dari tajuk (Jennings et al. 1999). Berdasarkan klasifikasi dari Augeri (2005), jejak beruang madu terbanyak ditemukan pada penutupan tajuk tipe 2 yaitu sebanyak 17 jejak (Gambar 11). Habitat dengan
32 penutupan tajuk tipe 2 termasuk kawasan yang cukup rindang dengan jumlah pohon rata-rata 1.3-2.4 pohon/100m2 atau 26-50% lahan tertutup oleh tajuk. Kondisi habitat pada berbagai tipe penutupan tajuk dapat terlihat dari hasil penggambaran diagram profil pohon (Lampiran 2).
14
12
12 10 8 TRF
3
4 2
TPF
5
6 1
0
0
0 1
2 3 Klasifikasi Penutupan Tajuk Rata-rata
Gambar 11 Frekuensi perjumpaan jejak beruang madu berdasarkan klasifikasi penutupan tajuk pohon rata-rata
Posisi tajuk pohon Profil pohon merupakan gambaran dari kondisi habitat beruang madu secara vertikal dan horizontal. Hasil penggambaran profil pohon dapat menunjukkan posisi tajuk pada pohon yang dijadikan tempat beraktivitas bagi beruang madu. Posisi tajuk pohon dipengaruhi oleh posisi relatif tajuk dalam merefleksikan kondisi cahaya. Akses terhadap cahaya merupakan faktor yang sangat penting yang perlu dipertimbangkan ketika melakukan pengukuran pertumbuhan tanaman di hutan, seperti kenaikan diameter batang atau produksi daun (Cunningham 2001; Latifah 2005). Akses pohon terhadap cahaya dapat diketahui dengan menggunakan alat densiometer atau mengikuti klasifikasi dari Dawkins. Berdasarkan klasifikasi dari Dawkins (1958), bentuk profil pohon dibedakan menjadi 5 kelas, yaitu: lower understorey (no direct light), upper understorey (some side light), some overheadlight, full overheadlight dan emergent. Jejak beruang madu dengan frekuensi perjumpaan tertinggi dapat ditemukan pada profil pohon tipe 4 (full overheadlight), yaitu pohon yang menerima cahaya matahari secara penuh dan tidak terhalang oleh tajuk pohon lain. Frekuensi tertinggi perjumpaan beruang madu ditemukan pada posisi tajuk emergent dan full overhead light (Gambar 12). Kedua posisi tajuk tersebut menunjukkan bahwa pohon dengan jejak beruang madu terbanyak memiliki tajuk yang tidak tersembunyi dari cahaya matahari. Tajuk yang sebagian besar atau seluruhnya terkena cahaya matahari secara langsung memiliki tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang lebih tinggi dibandingkan pohon yang tajuknya tidak terkena cahaya matahari secara langsung, yang dapat terlihat dari kenaikan diameter pohon tersebut. Pohon yang termasuk dalam kedua kelas dalam klasifikasi tersebut merupakan pohon dominan dan kodominan. Beruang madu lebih memilih beraktivitas pada pohon dengan diameter yang cukup besar agar
33 dapat menopang tumbuhnya ketika memanjat batang pohon. Beruang madu tidak memanjat pohon dengan lurus melainkan sedikit berbelok mengitari batang pohon. Cara memanjat tersebut terlihat dari jejak cakaran pada batang pohon.
12
10
10 8 5
6 4 2
1
0
1
0
TRF
2 0 0
TPF
1
0
1
0 0
1
2
3
4
5
Klasifikasi posisi tajuk pohon
Gambar 12 Frekuensi perjumpaan jejak beruang madu berdasarkan klasifikasi posisi tajuk pohon Kedalaman gambut Berdasarkan TIIP (2010b), hampir seluruh daerah Semenanjung Kampar di bagian tengah merupakan kubah gambut yang memiliki kedalaman lebih dari 5 m, sebagian kecil di bagian barat memiliki kedalaman 2.5-5 m dan sebagian kecil di bagian tenggara memiliki kedalaman <2.5 m. Gambut agak dangkal dengan kedalaman <2.5 m dan pada umumnya dijumpai di lokasi sekitar sungai. Semakin jauh dari sungai ke arah rawa belakang, endapan bahan organik cenderung semakin tebal. Kedalaman gambut pada lokasi pengambilan data berkisar antara 4-8 m. Tipe vegetasi TRF yang dijadikan lokasi penelitian memiliki kawasan dengan kedalaman gambut 4-5 m sedangkan pada tipe vegetasi TPF kedalaman gambut antara 5-8 m. Berdasarkan Gambar 13 dan 14, jejak beruang madu dapat ditemukan pada kedalaman gambut 4-7 m dan tidak ditemukan pada kedalaman gambut 8 m. Frekuensi perjumpaan jejak beruang madu tertinggi terdapat pada lokasi dengan kedalaman gambut 6 m, yaitu sebanyak 8 jejak.
34 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
8 6 4 TPF
2 1
TRF
0
0 4
5
6
0 7
0
0 8
Kedalaman gambut (m)
Gambar 13 Frekuensi perjumpaan jejak beruang madu berdasarkan kedalaman gambut
Gambar 14 Peta sebaran beruang madu berdasarkan kedalaman gambut
Jarak jejak dari jalan Berdasarkan hasil pengamatan, jejak beruang madu dapat ditemukan baik pada kawasan yang memiliki jarak kurang dari 1.5 km maupun lebih dari 1.5 km dari jalan (Gambar 15 dan 16). Frekuensi perjumpaan tertinggi terdapat pada kawasan dengan jarak kurang dari 1.5 km, dengan jumlah jejak pada tipe vegetasi TPF yaitu 16 jejak dan pada TRF sebanyak 4 jejak.
35
16
TPF TRF 4 0 <1.5km
1
> 1.5km
Gambar 15 Frekuensi perjumpaan jejak beruang madu berdasarkan jarak dari jalan
Gambar 16 Peta sebaran beruang madu berdasarkan jarak dari jalan
Jarak jejak dari sungai Ketersediaan air merupakan faktor yang sangat besar bagi distribusi tumbuhan karena berbeda dengan satwa yang mampu bergerak mencari air, tumbuhan hanya tertancap pada suatu tempat. Namun demikian, pada satwa liar yang hidupnya tergantung pada tumbuhan sebagai makanannya, maka kesejahteraan satwa akan bergantung pada keberadaan tumbuhan (Wirakusumah 2003). Seluruh jejak beruang madu yang ditemukan baik di tipe vegetasi TPF maupun TRF dijumpai pada lokasi yang cenderung dekat dengan sumber air, yaitu kawasan dengan jarak kurang dari 1.5 km dari sungai (Gambar 17 dan 18).
36 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
16
TPF 5
TRF
0 <1.5km
0
> 1.5km
Gambar 17 Frekuensi perjumpaan jejak beruang berdasarkan jarak dari sungai
Gambar 18 Peta sebaran beruang madu berdasarkan jarak dari sungai
Habitat beruang madu di kawasan lindung Estate Meranti terletak diantara kawasan produksi dan sungai atau kubah gambut. Kawasan lindung berupa hutan riparian memiliki jarak terjauh dari pinggir sungai yaitu 2 km. Sebanyak 33.3% jejak ditemukan pada jarak <500 m, 52.4% pada jarak 500-1000 m dan 14.3% pada jarak >1000 m. Frekuensi yang tinggi pada jarak kurang dari 1 km menunjukkan bahwa beruang madu membutuhkan kawasan berhutan yang dekat dengan sumber air.
37 Jarak jejak dari kawasan produksi Jejak beruang madu dengan frekuensi tertinggi dijumpai pada kawasan dengan jarak kurang dari 1.5 km dari kawasan produksi (Gambar 19 dan 20). Pada tipe vegetasi TPF, sebanyak 13 jejak ditemukan pada kawasan dengan jarak kurang dari 1.5 km dan 3 jejak pada kawasan dengan jarak lebih dari 1.5 km. Kawasan yang jauh dari kawasan produksi tersebut terdapat pada jalur transek di sempadan Sungai Turip bagian Utara yang dekat dengan kubah gambut. Pada tipe vegetasi TRF, jejak beruang madu hanya ditemukan pada kawasan dengan jarak kurang dari 1.5 km yaitu sebanyak 5 jejak. Areal perbatasan antara kawasan produksi dengan kawasan lindung berupa areal yang terbuka. Jejak beruang madu yang ditemukan tidak jauh dari kawasan produksi diduga berkaitan dengan keberadaan pakan berupa serangga yang banyak terdapat di areal tersebut.
14 12 10 8 6 4 2 0
13
TPF 5
0 <1.5km
Gambar 19
TRF
3
> 1.5km
Frekuensi perjumpaan beruang berdasarkan jarak dari kawasan produksi
Gambar 20 Peta sebaran beruang berdasarkan jarak dari kawasan produksi
38 Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu Ruang yang dapat digunakan oleh beruang madu di kawasan lindung Estate Meranti dibedakan menjadi dua tipe variasi lokal vegetasi, yaitu TPF dan TRF. Berdasarkan hasil uji chi-square (X2) antara frekuensi keberadaan beruang madu dengan tipe vegetasi diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara keberadaan beruang madu dengan tipe vegetasi (X2 = 12.519(0.05;2)). Keberadaan jejak beruang madu di kedua tipe vegetasi tersebut membuktikan bahwa terdapat faktor yang menyebabkan beruang madu melakukan pemilihan habitat. Kedua tipe vegetasi tersebut dengan karakteristiknya masing-masing memiliki komponen yang dibutuhkan beruang madu untuk hidup. Berdasarkan hasil uji chi square dengan tingkat kepercayaan 95% antara frekuensi keberadaan beruang madu dengan komponen-komponen habitat yang diamati, diperoleh hasil perhitungan seluruh X2 hitung yang lebih besar dari X2 tabel (Lampiran 3). Hasil tersebut menunjukan bahwa semua komponen habitat yang diamati memiliki hubungan terhadap keberadaan beruang madu. Setiap komponen-komponen habitat yang diamati juga diukur besarnya korelasi dengan menggunakan analisis korelasi Pearson (Lampiran 5). Beruang madu menggunakan vegetasi pada tingkat pertumbuhan pohon untuk beraktivitas. Pohon yang digunakan oleh beruang madu di Estate Meranti termasuk dalam strata B dan C, dimana strata B memiliki tinggi 20-30 m dan strata C memiliki tinggi 10-20 m. Proporsi jejak beruang pada strata B dan C masing-masing sebesar 50%. Ketinggian dan diameter pohon rata-rata yang digunakan oleh beruang madu disajikan pada Tabel 10. Ketinggian pohon memiliki pengaruh terhadap keberadaan beruang madu (X2 = 14.8(0.05;2)). Diameter pohon juga memiliki pengaruh terhadap keberadaan beruang madu (X2 = 11.6(0.05;2)). Tabel 10 Ketinggian dan diameter pohon rata-rata yang digunakan beruang madu TPF TRF Rata-rata
Ketinggian (m) 21.1 17.0 20.1
DBH (cm) 50.6 52.2 51.0
Berdasarkan hasil tumpang tindih (overlay) antara peta kawasan Estate Meranti dengan komponen biotik dan abiotik yang diamati, ruang habitat yang paling sesuai dan paling banyak digunakan beruang madu yaitu kawasan di sempadan S. Turip, S. Serkap dan S. Sangar pada tipe vegetasi TPF (Gambar 21).
Faktor Dominan Habitat Berdasarkan hasil analisis faktor yang telah dilakukan, komponen habitat yang memiliki pengaruh terhadap keberadaan beruang madu adalah kerapatan vegetasi (X1), penutupan tajuk rata-rata (X4), jumlah individu pohon (X5), jumlah jenis pohon (X6), jumlah individu pohon pakan (X7), jumlah jenis pohon pakan (X8) dan jarak dari kawasan produksi (X12). Hasil perhitungan analisis faktor
Gambar 21 Peta penggunaan ruang oleh beruang madu di Estate Meranti
40 disajikan pada Lampiran 4. Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh yaitu 0.723 yang artinya sebesar 72.3% komponen-komponen habitat tersebut dapat menjelaskan mengenai keberadaan beruang madu di Areal Konservasi Estate Meranti. Komponen habitat yang memiliki skor koefisien matrix tertinggi dan yang paling berpengaruh terhadap keberadaan jejak beruang madu adalah jarak dari kawasan produksi. Semakin dekat suatu kawasan dengan kawasan produksi, maka jumlah jejak yang ditemukan semakin banyak.
Pembahasan
Kawasan hutan di areal konsesi IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti merupakan salah satu bagian dari ekosistem gambut yang masih tersisa di Semenanjung Kampar. Kawasan ini yang menjadi salah satu daerah penyebaran populasi beruang madu di Pulau Sumatera. Luasan hutan alam di ekosistem tersebut yang semakin berkurang menyebabkan populasi beruang madu mengalami ancaman berupa fragmentasi dan isolasi habitat yang dapat berujung pada penurunan populasi dan kualitas habitat spesies ini. Pembangunan hutan tanaman di kawasan ini oleh PT. RAPP didesain sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan produksi kayu dengan tetap mempertahankan keberlanjutan fungsi dan manfaat bio-ekologi dan sosial-budaya sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Untuk mempertahankan fungsi bio-ekologi tersebut, PT. RAPP menetapkan sebagian kawasannya menjadi areal konservasi. Areal tersebut merupakan areal yang perlu dilindungi dan dilakukan pengelolaan dengan pendekatan khusus dengan tujuan utama mempertahankan kelestarian sumber daya alam hayati yang ada di dalamnya. Akan tetapi, informasi ilmiah mengenai kondisi populasi dan habitat satwa liar termasuk beruang madu yang menempati areal tersebut masih sangat kurang sehingga upaya konservasi yang dilakukan masih terbatas. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk mengetahui keberadaan populasi serta kondisi biotik dan abiotik habitat beruang madu untuk kemudian diidentifikasi penggunaan ruang oleh beruang madu serta faktor dominan habitat penduga keberadaan beruang madu di Estate Meranti.
Keberadaan Beruang Madu Keberadaan populasi beruang madu di Areal Konservasi Estate Meranti dibuktikan dengan ditemukannya jejak beruang madu di kawasan tersebut. Berdasarkan Augeri (2005), tipe jejak beruang madu yang dapat dijumpai di alam yaitu tanda cakaran (memanjat untuk mencari buah), koyakan pada batang pohon (mencari sarang lebah pada lebah yang tidak menyengat), galian tanah (untuk mencari rayap), tapak kaki, sarang, koyakan pada kayu bulat/gelondongan (mencari serangga), kotoran, rambut dan lubang pada kayu bulat. Tipe jejak yang ditemukan pada penelitian ini hanya cakaran dan koyakan pada batang pohon serta tapak kaki. Jejak cakaran dan koyakan paling banyak dijumpai pada pohon Aglaia rubiginosa dan Shorea teysmanniana. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hussin (1994) yang dikutip dalam Wong et al.
41 (2002) yang menyatakan bahwa jejak beruang madu di hutan sekunder paling banyak dijumpai pada vegetasi dengan genus Shorea (famili Dipterocarpaceae) dan Aglaia (famili Meliaceae). Pohon A. rubiginosa merupakan salah satu vegetasi sumber pakan sedangkan S. teysmanniana merupakan vegetasi shelter dan cover bagi beruang madu. Kedua jenis ini merupakan jenis pohon yang mendominasi pada tipe vegetasi TPF dan TRF. Vegetasi yang dijadikan tempat berlindung dan beristirahat oleh beruang madu di Estate Meranti berasal dari tingkat pertumbuhan pohon. Pohon dipilih karena dapat menopang tubuh beruang madu serta memiliki lubang pohon atau tajuk yang rindang yang dapat menyamarkan keberadaannya. Famili dari vegetasi yang dijadikan cover berasal dari famili Dipterocarpaceae. Jenis vegetasi yang termasuk dalam famili Dipterocarpaceae dan terdapat di Estate Meranti yaitu S. teysmanniana dan S. uliginosa. Meskipun demikian, jejak beruang madu tidak ditemukan pada pohon S. Uliginosa sehingga diduga vegetasi yang digunakan beruang madu sebagai cover yaitu S. teysmanniana. Hal tersebut diperkuat dengan ditemukannya jejak cakaran memanjat pada salah satu batang pohon S. teysmanniana yang memiliki lubang pohon dan diduga digunakan oleh beruang madu sebagai tempat tidur (bedding site) (Gambar 22). Jenis S. teysmanniana memiliki tingkat dominansi yang lebih tinggi pada tipe vegetasi TPF (24.07%) dibandingkan TRF (18.24%).
Gambar 22 Lubang pada pohon Shorea teysmanniana
Hubungan antara keberadaan jejak dengan bentuk dan posisi tajuk pohon Jejak beruang madu pada tipe vegetasi TPF dan TRF lebih sering dijumpai pada pohon dengan bentuk tajuk tipe 4 (irregular circle) dan posisi tajuk tipe 4 (full overheadlight). Bentuk tajuk irregular circle yaitu kondisi tajuk pohon yang sangat baik menyerupai lingkaran yang tidak beraturan tetapi rindang dan sudah
42 dapat memberikan naungan. Posisi tajuk full overhead light menunjukkan pohon dengan tajuk yang terkena cahaya matahari secara langsung dari atas tetapi terlindung atau terhalang oleh tajuk pohon lain dari samping. Kecenderungan beruang madu dalam menggunakan tajuk seperti itu berkaitan dengan keamanan serta ketersediaan pakan beruang madu. Hasil penelitian Augeri (2005) di Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Kayan Mentarang menyatakan bahwa beruang madu di wilayah studi tersebut lebih memilih keamanan (security) dibandingkan pakan sehingga memiliki implikasi terhadap kelangsungan hidupnya. Bentuk tajuk irregular circle dapat meningkatkan keamanan beruang ketika sedang beraktivitas khususnya ketika tingkat kewaspadaan sedang rendah, seperti saat beristirahat atau tidur. Hasil penelitian Tan et al. (2013) menyatakan bahwa aktivitas dengan frekuensi tertinggi pada beruang madu yaitu aktivitas istirahat. Oleh karena itu, jejak beruang madu lebih sering dijumpai pada pohon dengan tajuk yang rindang yang dapat menyamarkan atau menutupi keberadaan beruang madu. Posisi tajuk pohon dalam menerima cahaya berkaitan dengan ketersediaan pakan beruang madu. Posisi tajuk pohon full overhead light yang banyak menerima cahaya matahari secara langsung berarti memiliki potensi yang sangat tinggi dalam melakukan proses fotosintesis tetapi tetap dapat memberikan keamanan bagi beruang madu. Proses fotosintesis menghasilkan glukosa kemudian karbohidrat, protein, vitamin dan zat-zat lainnya yang disimpan di dalam batang, umbi, daun, biji dan buah yang dapat menjadi cadangan makanan bagi tumbuhan. Proses fotosintesis juga berkaitan dengan proses masaknya buah dari buah muda sampai tua dan masak dan banyak mengandung zat-zat yang penting bagi tubuh (Irwan 2003). Meningkatnya cadangan makanan pada suatu pohon dalam bentuk biji dan buah berarti meningkatkan ketersediaan sumber pakan bagi beruang madu sehingga dapat meningkatkan frekuensi perjumpaan beruang madu pada pohon dengan kondisi tajuk yang baik atau sempurna.
Hubungan antara keberadaan jejak dengan penutupan tajuk pohon Jejak beruang madu paling sering dijumpai pada kawasan dengan penutupan tajuk rata-rata tipe 2 atau antara 26-50% lahan tertutup oleh tajuk. Hasil tersebut menunjukkan bahwa beruang madu di Estate Meranti lebih sering dijumpai pada areal yang cukup terbuka dengan penutupan tajuk pohon yang tidak terlalu rapat. Areal yang terbuka di dalam suatu habitat menyebabkan meningkatkan aksesibilitas beruang madu dalam berpindah. Areal terbuka juga meningkatkan heterogenitas ruang yang dapat mendukung peningkatan populasi serangga yang merupakan sumber pakan beruang madu. Krebs (1978) memaparkan bahwa semakin heterogen suatu lingkungan fisik maka semakin kompleks komunitas flora dan fauna di tempat tersebut.
Hubungan antara keberadaan jejak dengan kedalaman gambut Beruang madu di lokasi penelitian hanya dijumpai pada kedalaman gambut 4-7 m. Kawasan dengan kedalaman 8 m atau lebih merupakan kawasan yang semakin mendekati kubah gambut. Kawasan kubah gambut memiliki keanekaragaman vegetasi yang lebih rendah dibandingkan kawasan gambut
43 lainnya. Tipe vegetasi TPF yang lebih mendekati kubah gambut memiliki nilai Indeks Shannon-Wiener sebesar 3.466 sedangkan TRF sebesar 3.490. Kawasan tersebut juga memiliki kerapatan vegetasi yang lebih rendah sehingga kurang sesuai sebagai tempat beraktivitas beruang madu. Hal tersebut dibuktikan melalui analisis korelasi antara kedalaman gambut dengan kerapatan vegetasi yang menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut berkorelasi negatif sebesar 20,2% meskipun korelasinya cukup lemah dan tidak signifikan. Anwar et al. (1984) memaparkan bahwa komunitas vegetasi pada hutan rawa gambut ke arah kubah memiliki kecenderungan penurunan kesuburan (konsentrasi hara) yang tercermin oleh pembentukan vegetasinya. Secara bertahap terjadi penurunan tinggi tajuk dan populasi pohon penyusun pada komunitas hutan rawa gambut dari daerah pinggir menuju kubah gambut. Selain tinggi tajuk, penurunan diameter dan kerapatan juga berlangsung pada pohon-pohon penyusun vegetasi hutan rawa gambut yang diikuti oleh penurunan biomassa total persatuan luas. Jalur transek yang memiliki kedalaman gambut 8 m terdapat pada kawasan daerah penyangga kubah gambut yaitu Tanjung Rimba. Gambar diagram profil pohon pada jalur transek Tanjung Rimba (Lampiran 2) pun memperlihatkan bahwa pada jalur tersebut kerapatan pohonnya rendah dan penutupan tajuknya sangat terbuka.
Hubungan antara keberadaan jejak dengan jarak dari jalan akses Sebagian besar kawasan dari Areal Konservasi Estate Meranti yang merupakan kawasan sempadan sungai dilewati atau berdekatan dengan jalan akses dan kawasan produksi sehingga faktor abiotik berupa jarak jejak dari jalan, sungai dan kawasan produksi perlu diperhitungkan untuk menduga keberadaan beruang madu. Penetapan batasan jarak kawasan 1.5 km didasarkan pada jarak pergerakan harian rata-rata beruang madu yaitu 1.45 ± 0.24 km (Wong et al. 2004). Pembangunan jalan akses utama (main road/access road) sebagai infrastruktur utama dari kawasan kantor di Estate Meranti sampai blok-blok kawasan produksi. Pembangunan jalan bertujuan untuk keperluan sarad, memudahkan proses pengangkutan kayu ke tempat pengangkutan kayu, jalan utama menuju lokasi pengolahan, kegiatan penebangan serta pemantauan dan pengamanan kawasan. Dampak negatif dari pembangunan jalan terhadap habitat beruang madu yaitu memfragmentasi habitat sehingga mengurangi luas kawasan berhutan, membatasi pergerakan beruang dan mengurangi kesejahteraan beruang serta satwa liar lainnya terutama bagi beberapa jenis satwa liar yang sensitif terhadap gangguan. Jejak beruang madu dengan frekuensi perjumpaan tertinggi terdapat pada kawasan dengan jarak kurang dari 1.5 km dari jalan akses. Dilihat dari dekatnya jarak antara lokasi perjumpaan beruang dengan jalan akses, terlihat bahwa beruang madu di Estate Meranti tidak menghindari jalan akses dan tetap beraktivitas pada kawasan tersebut. Kawasan di tepi jalan akses yang lebih terbuka memiliki intensitas cahaya yang lebih tinggi dan berpengaruh terhadap peningkatan suhu udara serta penurunan kelembapan udara di kawasan tersebut. Selain itu, pada kawasan yang jauh dari jalan akses, penutupan tajuk yang lebih rapat menyebabkan cahaya matahari sulit menembus lantai hutan sehingga komunitas vegetasi sangat terbatas memperoleh masukan energi dan berpengaruh
44 terhadap sirkulasi atmosfer dan siklus air (Wirakusumah 2003). Suhu yang meningkat pada kawasan yang lebih terbuka di dekat jalan akses menyebabkan keringnya lantai hutan sehingga jumlah genangan berkurang dan area tersebut lebih mudah dilewati. Menurut Farina (1998), pembangunan jalan yang menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat akan merubah beberapa apek tingkah laku satwa seperti pergerakan dan pencarian makan dimana satwa akan bergerak dalam jarak yang lebih jauh. Hal tersebut berbeda dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian. Beruang madu lebih banyak ditemukan pada kawasan yang lebih dekat dengan jalan karena beruang tidak sensitif terhadap efek tepi meskipun tingkat gangguan dan ancaman lebih tinggi dibandingkan di dalam kawasan berhutan. Kawasan berhutan yang dekat dengan jalan akses pun masih dapat menyediakan kebutuhan hidup terutama pakan bagi beruang madu.
Hubungan antara keberadaan jejak dengan jarak dari sungai Keberadaan sungai sebagai salah satu sumber air bagi satwa liar menjadi komponen yang dipertimbangkan untuk diketahui hubungan atau pengaruhnya terhadap keberadaan beruang madu di Estate Meranti. Kualitas sungai turut mempengaruhi kualitas suatu habitat. Kunci utama dalam sistem sungai yang baik dalam lanskap terbuka yaitu keberadaan koridor yang menghubungkan habitat alami dan semi-alami. Meskipun demikian, potensi sungai untuk mendukung satwa liar telah banyak terganggu oleh kegiatan manajemen dan degradasi kualitas air (Sutherland & Hill 1995). Beruang madu merupakan satwa liar yang memiliki sifat dan perilaku alami yang menyukai air dan dapat berenang dengan baik sehingga air merupakan komponen penting bagi kelangsungan hidup beruang madu. Satu jejak berupa tapak kaki beruang madu di Estate Meranti ditemukan di tepi kanal yang berbatasan langsung dengan Sungai Turip. Beruang madu di kebun binatang dan pusat penyelamatan satwa terlihat melakukan aktivitas minum, yaitu dengan cara memasukkan cairan ke dalam mulut dengan cara dijilat kemudian menelannya. Aktivitas minum dilakukan 3,14% dari waktu aktifnya (Indarwati 2007). Sumber air permukaan utama bagi beruang madu berasal dari sungai, anak sungai, kanal dan genangan. Sumber air bagi beruang madu juga berasal dari air yang terkandung dalam pakannya. Kawasan Estate Meranti yang berada di Semenanjung Kampar dengan tipe tanah gambut menyebabkan ketersediaan air permukaan bergantung pada musim dan curah hujan. Seluruh jejak beruang madu ditemukan pada kawasan dengan jarak kurang dari 1,5 km dari sungai. Beruang madu beraktivitas di kawasan yang dekat dengan sungai dapat dikarenakan kawasan hutan di sekitar sungai merupakan kawasan yang paling stabil kondisi vegetasinya karena tidak adanya proses pemanenan oleh pihak pengelola sehingga sering didatangi oleh beruang madu. Keberadaan air sungai yang selalu ada sepanjang tahun menyebabkan tersedianya kebutuhan air yang diperlukan oleh beruang madu terutama pada musim kemarau. Selain itu, vegetasi yang menjadi sumber pakan beruang madu cukup banyak ditemukan pada kawasan yang dekat dengan sungai. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil analisis korelasi dimana hubungan antara jarak dari sungai dengan jumlah individu pohon pakan beruang madu yaitu berkorelasi positif. Besarnya peranan
45 jarak dari sungai terhadap perubahan jumlah individu pohon pakan beruang madu sebesar 22.6%. Lokasi perjumpaan jejak yang dekat dengan sungai dan kanal juga dapat mengindikasikan aktivitas beruang dalam mencari pakan berupa capung maupun berbagai jenis herpetofauna seperti kura-kura dan kadal. Capung merupakan kelompok serangga yang berkaitan langsung dengan air dan banyak dijumpai pada habitat sawah, ladang, sungai, kolam (Kahono et al. 2003). Kurakura yang termasuk langka yaitu biuku (Callagur borneoensis) masih banyak dijumpai masyarakat yang masuk ke dalam perangkap ikan di Semenanjung Kampar termasuk di Sungai Serkap (TIIP 2010a).
Hubungan antara keberadaan jejak dengan jarak dari kawasan produksi Areal konservasi Estate Meranti dengan kawasan produksi dipisahkan oleh kanal dan berbatasan langsung dengan kawasan tanaman unggulan atau kawasan riparian. Kedua kawasan tersebut merupakan areal terbuka dengan genangan air yang cukup luas dan dalam. Jejak beruang madu dengan frekuensi tertinggi dijumpai pada kawasan dengan jarak kurang dari 1,5 km dari kawasan produksi. Jejak beruang madu yang ditemukan tidak jauh dari kawasan produksi diduga berkaitan dengan aktivitas beruang madu mencari keberadaan pakan berupa serangga yang banyak terdapat di areal tersebut. Penelitian yang dilaksanakan pada musim kemarau dimana vegetasi pohon sumber pakan beruang madu sedang tidak musim berbuah menyebabkan perubahan aktivitas serta komposisi dan proporsi pakan beruang madu. Fredriksson et al. (2006) menyatakan bahwa hampir 100% pakan beruang madu ketika musim berbuah adalah tumbuhan (buah, bunga dan intisarinya) sementara pada musim kemarau adalah serangga. Berdasarkan hasil analisis kotoran beruang madu yang dilakukan oleh Wong et al. (2002) di Hutan Lindung Ulu Segama, Sabah, Malaysia, sumber pakan dari jenis invertebrata yang dikonsumsi oleh beruang madu antara lain rayap, semut, kumbang, larva kumbang, lebah dan kecoa hutan. Jenis vertebrata yang dikonsumsi oleh beruang madu antara lain kura-kura, reptil dan telur burung. Keberadaan serangga di lebih sering ditemukan pada areal terbuka termasuk kawasan di dekat jalan akses atau di tepi areal konservasi. Beberapa rayap hidup di dalam habitat bawah tanah yang lembap dan lain-lainnya hidup di habitat yang kering di atas tanah. Rayap-rayap kayu kering yang hidup di atas tanah hidup di patok-patok, potongan-potongan batang pohon, pepohonan dan bangunan yang terbuat dari kayu (Borror et al. 1992). Arthropoda terestrial sanggup bertahan hidup pada lingkungan yang kering serta suhu yang lebih tinggi (Kahono et al. 2003). Keberadaan jejak beruang di kawasan yang dekat dengan kawasan produksi dapat menunjukkan aktivitas beruang yang mencari pakan di kawasan tersebut.
Penggunaan ruang oleh beruang madu Alcock (2009) menyebutkan bahwa dalam memilih tempat untuk hidup, banyak satwa yang secara aktif memilih tempat tertentu dibandingkan tempattempat lainnya. Jika mendiami tipe habitat tertentu dapat meningkatkan kualitas hidup satwa, maka habitat yang dipilih individu jenis tersebut harus memiliki
46 tingkat kesesuaian yang lebih tinggi dibandingkan tempat lainnya, kecuali jika mereka dipaksa untuk berbagi tempat yang paling mereka inginkan dengan pesaing dari jenis yang sama. Pemilihan ruang hidup sering terjadi dalam konteks meninggalkan satu tempat ke tempat yang lain, seperti ketika hewan dalam kelas umur remaja meninggalkan tempat di mana mereka dilahirkan untuk pergi mencari tempat tinggal baru. Beruang madu di Estate Meranti tidak melakukan pemilihan habitat berdasarkan tipe variasi lokal vegetasi karena beruang madu dapat ditemukan di kedua tipe vegetasi yang diamati, yaitu TPF dan TRF. Berdasarkan TIIP (2010b), beruang madu di Semenanjung Kampar juga dapat dijumpai pada tipe vegetasi MPSF (Mixed Peat Swamp Forest) dan LPF (Low Pole Forest). Tipe-tipe habitat tersebut dibedakan berdasarkan lokasi geografis, kedalaman gambut, ukuran pohon dan penutupan tajuknya, bukan berdasarkan komposisi vegetasi penyusunnya. Tingginya nilai indeks kesamaan komunitas pada setiap tingkat pertumbuhan vegetasi menunjukkan komposisi jenis vegetasi pada TPF dan TRF hampir sama, terutama pada tingkat pertumbuhan pohon. Pohon merupakan tingkat pertumbuhan vegetasi yang digunakan secara langsung oleh beruang madu untuk beraktivitas baik untuk mencari pakan maupun berlindung. Oleh karena itu, kondisi vegetasi berupa keberadaan pohon tertentu menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab beruang ditemukan di suatu habitat dan tidak ditemukan di habitat lainnya. Persentase habitat yang digunakan oleh beruang madu yaitu berdasarkan jumlah transek yang ditemukan jejak beruang pada setiap tipe vegetasi yaitu sebanyak 65.22% menggunakan tipe vegetasi TPF dan hanya 34.78% menggunakan TRF. Nilai tersebut menunjukkan habitat yang lebih sering digunakan oleh beruang madu yaitu pada tipe vegetasi TPF. TPF juga merupakan kawasan dengan atribut komponen habitat yang paling banyak yang dibutuhkan dan dipilih beruang madu untuk beraktivitas sebagaimana terlihat pada Gambar 4.14. Kawasan yang paling sesuai tersebut terdapat pada Areal Konservasi di sempadan Sungai Serkap, S. Turip dan S. Sangar. Ketiga kawasan tersebut termasuk dalam tipe vegetasi TPF yang memiliki kawasan dengan penutupan hutan yang lebih luas dibandingkan kawasan lainnya. Meskipun jejak beruang madu dapat ditemukan di tipe vegetasi TRF, kawasan ini kurang mendukung sebagai habitat beruang madu di Estate Meranti. Pada tipe vegetasi TRF, kawasan berhutan yang termasuk dalam Areal Konservasi hanya terdapat di sempadan S. Kutup sedangkan di Tanjung Rimba merupakan kawasan tanaman kehidupan yang ditanami tanaman karet sehingga tujuan utama pengelolaan kawasan bukan untuk pelestarian sumberdaya alam hayati. Kawasan sempadan S. Kutup berada dekat muara S. Kampar yang merupakan sungai besar dengan arus lalu lintas yang cukup ramai. Kawasan hutan di sempadan S. Kutup juga memiliki kerapatan vegetasi yang lebih rendah dan banyak didominasi oleh tanaman pandan Pandanus sp. dibandingkan dengan vegetasi pohon pakan dan cover beruang madu. Banyaknya tumbuhan pandan menyebabkan meskipun penutupan kawasan cukup terbuka dari pohon dan tajuknya tetapi aksesibilitas kawasan cukup sulit untuk dilalui baik manusia maupun satwa mamalia besar termasuk beruang madu.
47 Tipe vegetasi TPF menjadi habitat yang lebih sering digunakan oleh beruang madu karena kawasan tersebut memiliki karakteristik ruang yang sesuai untuk digunakan oleh beruang madu seperti yang disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Karakteristik ruang yang sering digunakan oleh beruang madu No
Karakteristik Komponen Habitat
1
Biotik - kerapatan vegetasi 104-140 pohon/hektar - bentuk tajuk tipe 4 (lingkaran tidak beraturan/irregular circle). - posisi tajuk pohon tipe 4 (full overheadlight) - penutupan tajuk tipe 2 (jumlah pohon 1.3-2.4 individu/100m2 atau 26-50% lahan tertutup oleh tajuk) - jumlah individu pohon 41-57 individu - jumlah jenis pohon 18-23 jenis - jumlah individu pohon pakan 36-51 individu - jumlah jenis pohon pakan 12-15 jenis Abiotik - kedalaman gambut <8 m - jarak dari jalan akses < 1.5 km - jarak dari sungai <1.5 km - jarak dari kawasan produksi < 1.5 km
2
Komponen biotik berupa kerapatan vegetasi berkorelasi positif dan memiliki hubungan yang signifikan dengan penutupan tajuk rata-rata, jumlah individu dan jenis pohon serta jumlah individu dan jenis pohon pakan. Semakin banyak jumlah individu pohon maka kerapatan vegetasi dan penutupan tajuk ratarata semakin besar. Tipe vegetasi TPF memiliki jumlah jenis dan individu pohon dan pohon pakan yang lebih banyak dibandingkan TRF. Demikian juga dengan kerapatan dan dominansi vegetasi cover dimana tipe vegetasi TPF memiliki jumlah individu pohon cover yang lebih banyak dibandingkan TRF. Sebagai satwa yang lebih mengutaman kemanan dibandingkan pakan, maka keberadaan cover sangat penting bagi beruang madu. Komunitas pohon pada tipe vegetasi TPF khususnya di sempadan S. Sangar, S. Serkap dan S. Turip didominasi oleh pohon pakan dan cover beruang madu. Jenis-jenis pohon pakan yang paling mendominasi pada ketiga kawasan tersebut yaitu Acmena acuminatissima, Syzygium inophyllum dan Madhuca motleyana. Jenis pohon Shorea teysmanniana sebagai pohon cover juga mendominasi ketiga kawasan tersebut dan paling mendominasi pada kawasan sempadan S. Turip. Keberadaan dan dominansi dari berbagai jenis pohon itulah yang menjadi salah satu penyebab ketiga kawasan sempadan sungai tersebut paling sesuai sebagai habitat beruang madu. Dari ketiga kawasan yang sesuai sebagai habitat beruang madu, kawasan yang paling sesuai yaitu di sempadan S. Turip. Dilihat dari komunitas vegetasinya, areal konservasi di sempadan S. Turip didominasi oleh S. teysmanniana yang dapat menyediakan tempat berlindung, S. inophyllum dan Madhuca motleyana
48 sebagai penghasil buah sumber pakan beruang madu. Kawasan ini memiliki kawasan berhutan yang terluas karena berbatasan dengan daerah penyangga kubah gambut. Kawasan ini juga memiliki tingkat gangguan yang lebih rendah dibandingkan kawasan S. Serkap yang banyak digunakan masyarakat sekitar untuk mencari ikan. Selain itu kawasan hutan di sempadan S. Serkap juga menjadi habitat dari harimau sumatera karena kondisi rawanya yang tidak terlalu dalam dibandingkan di daerah tengah seperti S. Turip (TIIP 2010a) Karakteristik dari pohon yang digunakan oleh beruang madu di Estate Meranti yaitu memiliki kisaran tinggi antara 12-28 m dengan rata-rata 20.1 m dan DBH antara 24.8-114.6 m dengan rata-rata 51 cm. Pohon tertinggi yang ditemukan jejak beruang madu yaitu kelat merah (Acmena acuminatissima) dengan tinggi 28 m sedangkan pohon dengan ketinggian terendah yaitu pohon parak (Aglaia rubiginosa) dengan tinggi 12 m. Berdasarkan Wong (2002), ketinggian rata-rata pada pohon yang diduga menjadi bedding site bagi beruang madu di Sabah, Malaysia yaitu 26.4 m dengan kisaran antara 10-40 m. DBH ratarata yaitu 117.57 cm dengan kisaran antara 35-190 cm. Hasil penelitian Augeri (2005), ketinggian rata-rata pohon yang digunakan beruang di Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) Kalimantan Timur dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Sumatera Utara yaitu 18.4 m dengan kisaran 1-55 m. DBH ratarata yaitu 43,7 cm dengan kisaran antara 3.3-926,.4 cm. Perbedaan rata-rata tinggi pohon serta kisaran tinggi pohon lokasi beraktivitas ataupun jejak beruang madu memperlihatkan bahwa terdapat kriteria tertentu bagi beruang madu dalam menggunakan suatu pohon. Beruang madu pada habitat dengan tingkat gangguan yang rendah seperti di TNKM dan TNGL cenderung memiliki variasi yang lebih tinggi dalam menggunakan pohon sebagai tempat beraktivitas. Rendahnya tingkat gangguan menyebabkan beruang madu merasa aman untuk beraktivitas sampai ke ketinggian yang rendah sekalipun. Lain halnya dengan penggunaan pohon di kawasan lindung Estate Meranti. Banyaknya gangguan habitat berupa aktivitas manusia menyebabkan beruang madu cenderung menggunakan pohon yang tinggi untuk beraktivitas.
Faktor dominan habitat Komponen habitat yang berpengaruh terhadap keberadaan beruang madu yaitu kerapatan vegetasi, penutupan tajuk rata-rata, jumlah individu pohon dan pohon pakan, jumlah jenis pohon dan pohon pakan serta jarak dari kawasan produksi. Hampir seluruh komponen habitat yang berpengaruh terhadap keberadaan beruang madu merupakan komponen biotik. Hal tersebut menunjukkan bahwa beruang madu membutuhkan karakteristik vegetasi tertentu untuk menunjang kehidupannya. Kerapatan vegetasi dan penutupan tajuk rata-rata berkaitan dengan aksesibilitas dan keamanan bagi beruang madu. Jumlah jenis dan individu pohon dan pohon pakan berpengaruh terhadap ketersediaan cover, shelter dan pakan bagi beruang madu. Beruang madu menyukai habitat dengan penutupan lahan yang agak terbuka sehingga memudahkan pergerakannya. Beruang madu juga menyukai habitat dengan karakteristik pohon yang bertajuk rindang dan terkena cahaya matahari secara langsung.
49 Komponen habitat yang paling berpengaruh terhadap keberadaan jejak beruang madu adalah jarak dari kawasan produksi. Hubungan antara kedua variabel ini yaitu berkorelasi negatif. Semakin jauh jarak kawasan dengan kawasan produksi, maka semakin sedikit jumlah jejak yang ditemukan. Waktu pengambilan data yang dilakukan pada musim kemarau menyebabkan beruang madu mencari pakan serangga karena pohon pakannya yang sedang tidak berbuah. Keberadaan serangga lebih banyak ditemukan pada kawasan terbuka seperti di tepi hutan areal konservasi yang berbatasan dengan kawasan produksi.
Implikasi Pengelolaan Hutan produksi sebagian besar merupakan habitat alami hutan hujan tropika dataran rendah yang dikenal memiliki kekayaan jenis yang berlimpah, dan belum semua jenis yang ada diketahui dan dimanfaatkan secara optimal. Hutan produksi dimanfaatkan untuk menunjang kebutuhan bahan baku, sumber devisa dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan berbagai hasil hutan. Hutan produksi memiliki proporsi tertinggi dari luas seluruh kawasan hutan di Indonesia. Hutan konservasi di areal produksi diperlukan sebagai habitat maupun tempat pengungsian atau migrasi satwa liar. Meskipun demikian, upaya konservasi biodiversitas di hutan produksi hanya merupakan upaya pelengkap sehingga tidak akan memberi output yang sama dengan hutan konservasi. Hutan produksi memiliki fungsi utama untuk menghasilkan bahan baku bagi berbagai hasil hutan. Seiring dengan perkembangan zaman, perusahan dengan IUPHHK-HTI dituntut untuk menghasilkan produk yang memiliki sertifikasi lestari. Sertifikasi Produksi Hutan Tanaman Lestari mensyaratkan perusahaan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam faktor produksi, ekologi dan sosial sehingga dapat memperoleh sebutan pengelola hutan tanaman yang lestari dan bebas konflik. Faktor ekologi yang harus dipenuhi yaitu dengan menyediakan sebagian lahannya untuk ditetapkan sebagai areal konservasi. PT. RAPP telah menetapkan sebagian lahannya menjadi areal konservasi yang terdapat di setiap sektor pengelolaan. Areal tersebut ditentukan berdasarkan hasil penilaian NKT. Upaya konservasi yang dilakukan di hutan produksi mempunyai peranan penting dan strategis untuk mempertahankan keberadaan dari jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar serta kelangsungan produktivitas hasil hutan serta penunjanng peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan konservasi di hutan produksi akan dapat dicapai melalui pembaharuan dan pemantapan pengelolaan hutan produksi, serta keterlibatan secara terpadu berbagai sektor (Soedarsono 1992). Keberadaan beruang madu di areal konservasi Estate Meranti dipengaruhi oleh beberapa komponen habitat yang dapat dimodifikasi oleh pengelola antara lain penutupan tajuk, jumlah individu pohon dan jumlah jenis pohon pakan. Ketiga komponen tersebut memiliki korelasi positif dengan keberadaan beruang madu. Bentuk pengelolaan yang dapat dilakukan yaitu dengan cara pengkayaan jenis pada areal konservasi dengan jenis lokal yang merupakan sumber pakan dan cover bagi beruang madu. Bentuk pengelolaan lainnya yaitu dengan mengalokasikan areal tertentu sebagai jalur-jalur hutan diantara unit manajemen sehingga terbentuk sistem koridor yang dapat menghubungkan setiap areal
50 konservasi di Estate Meranti. Habitat yang berhubungan satu sama lain secara kontinyu akan menjamin keterwakilan berbagai tipe tutupan lahan dan tipe variasi vegetasi sehingga dapat mengurangi fragmentasi dan isolasi habitat yang terjadi pada penerapan sistem blok kawasan produksi di Estate Meranti.
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Keberadaan populasi beruang madu di Areal Konservasi IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti menyebar di kedua tipe vegetasi Tall Pole Forest (TPF) dan Transition Forest (TRF) pada sempadan Sungai Kutup, S. Sangar, S. Serkap dan S. Turip. Habitat beruang madu pada tipe vegetasi TPF didominasi oleh Syzygium inophyllum dan Madhuca motleyana sedangkan pada tipe vegetasi TRF didominasi oleh Acmena acuminatissima, S. inophyllum dan Mangifera griffithii. Beruang madu lebih sering menggunakan ruang pada tipe vegetasi TPF. Karakteristik ruang yang digunakan beruang madu yaitu kerapatan vegetasi sedang, bentuk tajuk rindang, penutupan tajuk cukup terbuka, posisi tajuk terkena cahaya matahari secara langsung, kedalaman gambut <8 m, jarak dari jalan, sungai dan kawasan produksi <1.5 km. Kawasan areal konservasi di sempadan S. Turip, S. Serkap dan S. Sangar memiliki atribut komponen habitat terbanyak yang dapat menunjang kehidupan beruang madu. Komponen habitat yang memiliki pengaruh terhadap keberadaan beruang madu yaitu kerapatan vegetasi, penutupan tajuk rata-rata, jumlah individu pohon dan pohon pakan, jumlah jenis pohon dan pohon pakan serta jarak dari kawasan produksi. Faktor pembatas bagi penggunaan ruang oleh beruang madu yaitu ketersediaan pakan.
Saran Lokasi dengan karakteristik yang sesuai sebagai habitat yang digunakan oleh beruang madu perlu diproteksi dengan baik dan ditingkatkan efektivitas pengelolaannya. Pengkayaan vegetasi cover dan pakan bagi beruang madu di Areal Konservasi Estate Meranti sehingga diharapkan dapat meningkatkan luas kawasan yang sesuai bagi beruang madu. Jenis vegetasi tersebut antara lain Aglaia rubiginosa, Artocarpus rigidus, Ficus stricta, Koompassia malaccensis dan Shorea teysmanniana. Perlu dilakukan validasi dengan cara penelitian serta monitoring populasi dan habitat beruang madu secara menyeluruh di Areal Konservasi IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti.
51
DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid 1. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Augeri DM. 2005. On the Biogeographic Ecology of the Malayan Sun Bear [disertasi]. Cambridge (GB): Department of Anatomy Faculty of Biological Sciences University of Cambridge. Bailey JA. 1984. Principles of Wildlife Management. Canada: Wiley Science. Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Partosoedjono S, penerjemah; Brotowidjoyo MD, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insects. Bridson DM, Forman L. 1998. The Herbarium Handbook 3rd Edition. London: Royal Botanic Garden. Carter WV. 1978. Mamalia Darat Indonesia. Jakarta: PT Intermasa. [CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 2011. Appendices I, II and III. http://www.cites.org/eng/app/2011/E-Dec22.pdf [Diakses 28 Desember 2011]. Cooperrider AY, Boyd RJ, Stuart HR. 1986. Inventory and Monitoring of Wildlife Habitat. Denver (US): US Department of the Interior, Bureau of Land Management. Cunningham AB. 2001. Applied Ethnobotany: People, Wild Plant Use and Conservation. Cambridge (GB): Earthscan. Dawkins HC. 1958. The Management of Tropical High Forest. University of Oxford. Imperial Forestry Institute Paper No. 34. Dugatkin LA. 2004. Principles of Animal Behaviour. New York, USA (US): W.W. Norton & Company, Inc. Farina A. 1998. Principals and Methods in Landscape Ecology. London (GB): Chapman & Hall Ltd. [FPP] Forest Peoples Programme. 2010. Indonesia: indigenous peoples and the Kampar Peninsula http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/publication/2010/05/kamparpeninsula-2009-briefing.pdf [Diakses 30 Januari 2012]. Fredriksson GM, Danielsen LS, Swenson JE. 2006. Impacts of El Nino related drought and forest fires on sun bear fruit resources in lowland dipterocarp forest of East Borneo. Biodiversity and Conservation 16(6): 1823-1838. Fredriksson GM, Steinmetz R, Wong ST, Garshelis DL. 2008. Helarctos malayanus. In: IUCN 2011. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2011.2. <www.iucnredlist.org>. [Diakses 19 Desember 2011].
52 Garshelis DL. 2000. Delusions in habitat evaluation: Measuring use, selection and importance. New York (US): Columbia University Press. Hoeve VW van. 2003. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna: Mamalia 2. Jakarta (ID): PT. Ikrar Mandiriabadi. Indarwati I. 2007. Pemilihan Pakan dan Aktivitas Makan Beruang Madu (Helarctos malayanus) pada Siang Hari di Pusat Penyelamatan Satwa Gadog Ciawi. Bogor. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Irwan ZD. 2003. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem, Komunitas, dan Lingkungan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Jennings SB, Brown ND, Sheil D. 1999. Assesing forest canopies and understorey illumination: canopy closure, canopy cover and other measures. Forestry 72: 59-73. Kahono S, Amir M, Aswari P, Erniwati, Ubaidillah R, Pujiastuti RE, Noerdjito WA, Suwito A. 2003. Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat. JICA Biodiversity Conservation Project LIPI-Departemen Kehutanan. Kartono AP. 2000. Teknik Inventarisasi Satwaliar dan Habitatnya. Laboratorium Ekologi Satwaliar Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Kitchener AC, Asa CS. 2010. Bears and Canids. International Zoo Yearbook 44: 7-15. Krausman PR. 1997. Some Basic Principles of Habitat Use (Launchbaugh K, Sanders K, Mosley J, Eds.). Habitat: 85-90. Krebs CJ. 1978. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York (US): Harper & Row. Latifah S. 2005. Inventory and Quality Assessment of Tropical Rainforests in the Lore Lindu National Park (Sulawesi, Indonesia). Göttingen (DE): Cuvillier Verlag. Lekagul B, McNeely JA. 1977. Mammals of Thailand. Thailand (TH): Association for the Conservation of Wildlife. MacKinnon K. 1986. Alam Asli Indonesia: Flora, Fauna dan Keserasiannya. Jakarta (ID): PT. Gramedia. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and It’s Measurement. London (GB): Croom Helm Limited. McComb BC. 2008. Wildlife Habitat and Management: Concepts and Applications in Forestry. New York (US): Taylor & Francis Group, LLC, CRC Press. McConkey K, Galetti M. 1999. Seed Dispersal by the Sun Bear Helarctos malayanus in Central Borneo. Journal of Tropical Ecology 15: 237-241. Medway L. 1978. The Wild Mammals of Malaya (Peninsular Malaysia) and Singapore Second Edition. Kuala Lumpur (MY): Oxford University Press.
53 Meijaard E. 1999. Human-imposed threats to sun bears in borneo. Ursus 11:185192. Meijaard E. 2004. Craniometric differences among Malayan sun bears (Ursus malayanus); Evolutionary and taxonomic implications. Raffles Bulletin of Zoology 52: 665-672. Meijaard E, Sheil D, Nasi R, Augeri D, Rosenbaum B, Iskandar D, Setyawati T, Lammertink M, Rachmatika I, Wong A, Soehartono T, Stanley S, O'Brien T. 2005. Life after Logging: Reconciling Wildlife Conservation and Production Forestry in Indonesian Borneo. Bogor: CIFOR-UNESCO. Payne J, Francis CM, Philipps K, Kartikasari SN. 2000. Buku Panduan Lapangan Mamalia Di Kalimantan, Sabah, Serawak & Brunei Darussalam. Bogor (ID): Indonesia. Pocock. 1941. The Fauna of British India. Mammalia Vol II. London (GB): Taylor Francis LTD. Rugayah R. 2004. Pengumpulan Data Taksonomi. Dalam Rugayah R, Widjawa EA, dan Praptiwi. Pedoman Penumpulan Data Keanekaragaman Flora. Jakarta (ID): Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sarwono J. 2006. SPSS 14 Panduan Cepat dan Mudah. Yogyakarta (ID): Penerbit Andi. Sastrapradja S, Adisoemarto S, Boeadi, Munaf HB, Pranowo. 1982. Beberapa Jenis Mamalia. Bogor (ID): Lembaga Biologi Nasional-LIPI. Servheen C. 1998. Sun Bear Conservation Action Plan. Chapter 11: 219-224. Dalam Servheen C, Herrero S, dan Peyton B. 1998. Bears. Status Survey and Conservation Action Plan. IUCN/SSC Bear and Polar Bear Specialist Groups. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. x + 309 pp. Schwarzenberger F, Fredriksson G, Schaller K, Kolter L. 2004. Fecal steroid analysis for monitoring reproduction in the sun bear (Helarctos malayanus). Theriogenology 62 (2004): 1677–1692. Soedarsono MA. 1992. Sistem Konservasi di Hutan Produksi. Disampaikan dalam Lokakarya Konservasi Biodiversity di Hutan Produksi di Fakultas Kehutanan IPB. Bogor, 29-30 April 1992. Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Suparman DS, Hariadi, Elias, Manalu AP, Suhendang E. 1985. Proyek Penelitian Pengembangan Efisiensi Penggunaan Sumber-sumber Kehutanan. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Supriatna J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Svardson G. 1949. Competition and habitat selection in birds. Oikos 1: 157-174. Tan HM, Ong SM, Langat G, Bahaman AR, Sharma RSK, Sumita S. 2013. The influence of enclosure design on diurnal activity and stereotypic behaviour
54 in captive Malayan Sun Bears (Helarctos malayanus). Research in Veterinary Science 94: 228–239. Thompson B. 1984. Canonical Correlation Analysis: Uses and Interpretation. California (US): SAGE Publications, Inc. [TIIP] Tropenbos Internasional Indonesia Programme. 2010a. Buku I: Data dan Informasi Dasar Penilaian Menyeluruh Nilai Konservasi Tinggi Semenanjung Kampar. Tidak Dipublikasikan. [TIIP] Tropenbos Internasional Indonesia Programme. 2010b. Buku III: Penilaian Menyeluruh Nilai Konservasi Tinggi PT. RAPP Ring Semenanjung Kampar. Tidak Dipublikasikan. UNEP-WCMW Species Database. 2011. Helarctos malayanus. http://www.unepwcmc-apps.org/isdb/Taxonomy/tax-speciesresult.cfm?SpeciesNo=9760&tabname=distribution [Diakses 19 Desember 2011]. Walpole RE. 1992. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. Wirakusumah S. 2003. Dasar-dasar Ekologi Menopang Pengetahuan Ilmu Lingkungan. Jakarta (ID): Penerbit Universitas Indonesia. Wong ST. 2002. The Ecology of Malayan Sun Bears (Helarctos malayanus) in the Lowland Tropical Rainforest Of Sabah, Malaysian Borneo. Montana (US): University of Montana. Wong ST, Servheen C, Ambu L. 2002. Food Habits of Malayan Sun Bears in Lowland Tropical Forest of Borneo. Ursus 13: 127-136. Wong ST, Servheen C, Ambu L. 2004. Home range, movement and activity patterns, and bedding sites of Malayan sun bears Helarctos malayanus in the Rainforest of Borneo. Biological Conservation 119: 169-181. Wong ST. 2010. Sun Bear BOLEH series: Sun bear can swim!. http://sunbears.wildlifedirect.org/category/sun-bear-boleh/ [Diakses 19 Desember 2011]. Yuniawati. 2011. Pendugaan Potensi Massa Karbon Dalam Hutan Tanaman Kayu Serat di Lahan Gambut: Studi Kasus di Areal HTI Kayu Serat PT. RAPP Sektor Pelalawan, Propinsi Riau [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
55
LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar jenis vegetasi di Estate Meranti No. 1
Nama Lokal Ara
Nama Ilmiah Ficus stricta (Miq.)Miq.
Famili Moraceae
2
Arang-arang
Diospyros maingayi (Hiern.) Bakh.
Ebenaceae
3
Asam-asam
Antidesma coriaceum Tul.
Euphorbiaceae
4
Balang-balang
Syzygium rostratum DC.
Myrtaceae
5
Basung-basung
Alstonia pneumatophora Backer ex den Berger
Apocynaceae
6
Bengku
Madhuca motleyana (de Vriese) J.F.Macbr.
Sapotaceae
7
Bintangur
Calophyllum pulcherrimum Wall.
Clusiaceae
8
Cemetik
Garcinia sp.
Clusiaceae
9
Pakan
Cover
Sarang lebah
√
√
√
√
-
-
-
-
-
√
-
-
-
-
-
√
-
-
-
-
-
√
-
-
Cempedak/pudu
Artocarpus rigidus Blume
Moraceae
√
√
√
10
Darah-darah
Knema cinerea Warb.
Myristicaceae
√
-
-
11
Duku-duku
Sandoricum koetjape (Burm. f.) Merr.
Meliaceae
-
-
-
12
Durian hutan
Durio carinatus Mast.
Bombacaceae
√
-
√
13
Garam-garam
Stemonurus scorpioides Becc.
Icacinaceae
-
-
-
14
Geronggang
Cratoxylum arborescens (Vahl) Blume
Hypericaceae
-
-
-
15
Idan
Xerospermum noronhianum Blume
Sapindaceae
√
-
-
16
Jambu-jambu
Syzygium claviflorum Roxb.
Myrtaceae
√
-
-
17
Jangkang
Xylopia altissima Boerl.
Annonaceae
-
-
-
18
Kandis
Garcinia parvifolia (Miq.)Miq.
Clusiaceae
√
-
-
19
Katur
Dryobalanops sp1.
Dipterocarpaceae
-
√
-
20
Kedondong hutan
Dacryodes rostrata (Blume) H.J.Lam
Burseraceae
√
-
-
21
Kelakap
Melanarrhoea sp.
Anacardiaceae
-
-
-
22
Kelat kelam
Syzygium sp.1
Myrtaceae
√
-
-
Lampiran 1 Lanjutan
No. 23
Nama Lokal Kelat merah
24
Kelat putih
Nama Ilmiah Acmena acuminatissima (Blume) Merr. & L.M.Perry Syzygium inophyllum DC.
Famili Myrtaceae
Pakan
Cover
Sarang Lebah
√
-
√
Myrtaceae
√
-
√
25
Kelumpang
Magnolia elegans (Blume) Keng
Magnoliaceae
√
-
-
26
Kempas
Koompassia malaccensis Benth
Caesalpiniaceae
√
√
√
27
Keranji
Dialium maingayi Baker
Caesalpiniaceae
-
-
-
28
Kopi-kopi
Timonius flavescens (Jacq.) Baker
Rubiaceae
√
-
-
29
Lalan
Canarium sp.
Burseraceae
√
-
-
30
Mahang
Macaranga semiglobasa J.J. Sm.
Euphorbiaceae
-
√
-
31
Malas
Parastemon urophyllus (A.DC. ex Wall.) A.DC.
Chrysobalanaceae
-
-
-
32
Manggis hutan
Garcinia bancana Miq.
Clusiaceae
√
-
-
33
Marpoyan
Rhodamnia cinerea Jack.
Myrtaceae
-
-
-
34
Medang keladi
Litsea lanceolata (Blume) Koesterm.
Lauraceae
√
-
-
35
Medang lundu
Litsea oppositifolia Gibbs.
Lauraceae
√
-
-
36
Mempening
Quercus sp.
Fagaceae
√
-
-
37
Meranti bakau
Shorea rugosa Heim
Dipterocarpaceae
-
√
-
38
Meranti bunga
Shorea teysmanniana Dyer ex Brandis
Dipterocarpaceae
-
√
√
39
Mersawa
Anisoptera curtisii Dyer ex King
Dipterocarpaceae
-
-
-
40
Mesio
Ilex cymosa Blume
Aquifoliaceae
√
-
-
41
Nasi-nasi
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Myrtaceae
√
-
-
42
Pakam
Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser
Rhizophoraceae
-
-
-
43
Parak
Aglaia rubiginosa (Hiern) Pannell
Meliaceae
√
√
√
Lampiran 1 Lanjutan No. 44
Nama Lokal Pasak linggo
Nama Ilmiah Cotylelobium melanoxylon (Hook.f.) Pierre
Famili Dipterocarpaceae
Pakan
Cover
Sarang lebah
-
√
-
45
Pasir-pasir
Stemonurus secundiflorus Blume
Icacenaceae
46
Pelawan
Myrtaceae
47
Petai belalang
Tristaniopsis merguensis (Griff.) Wilson & Waterhouse Archidendron clypearia (Jack)I.C.Nielsen
-
-
-
-
-
√
Fabaceae
48
Piandang
-
-
-
Quassia borneensis Noot.
Simarubaceae
-
-
√
49 50
Pisang-pisang
Goniothalamus tapis Miq.
Annonaceae
-
-
-
Pulai
Alstonia angustiloba Miq.
Apocynaceae
-
-
-
51
Punak
Tetramerista glabra Miq.
Theaceae
√
-
-
52
Rambai hutan
Baccaurea bracteata Muell.Arg.
Euphorbiaceae
√
-
-
53
Ramin
Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz
Thymelaeaceae
-
-
-
54
Rengas
Gluta renghas L.
Anacardiaceae
-
-
-
55
Resak
Vatica rassak (Korth.) Blume
Dipterocarpaceae
-
-
-
56
Salakeo
Mangifera griffithii Hook.f.
Anacardiaceae
√
-
-
57
Samak
Syzygium sp.2
Myrtaceae
√
-
-
58
Selumar
Jackiopsis ornata (Wall.) Ridsdale
Rubiaceae
-
-
-
59
Semaram
Palaquium sumatranum Burck
Sapotaceae
√
-
-
60
Seminai
Palaquium ridleyi K. & G.
Sapotaceae
√
-
-
61
Senduk-senduk
Endospermum diadenum (Miq.) Airy Shaw
Euphorbiaceae
-
√
-
62
Simpoh
Dillenia reticulata King
Dilleniaceae
-
-
-
63
Simpur
Dillenia pulchella (Jack) Gilg
Dilleniaceae
-
-
-
64
Sonde
Payena leerii (Teijsm. & Binn.) Kurz
Sapotaceae
-
-
√
65
Suntai
Palaquium burckii H.J.Lam
Sapotaceae
√
-
-
Lampiran 1 Lanjutan
No. 66
Nama Lokal Tempurung bintang
Nama Ilmiah Blumeodendron tokbrai (Blume) Kurz
Famili Euphorbiaceae
Pakan
Cover
Sarang Lebah
67
Tenggek burung
Euodia lunuankenda (Gaertn.) Merr.
Rutaceae
-
√
-
-
-
68
Terap
Artocarpus elasticus Reinw
Moraceae
√
-
√
69
Terentang
Anacardiaceae
70
Terpis
Camnosperma coriaceum (Jack.) Hall. F. Ex Steen Polyalthia hypoleuca Hook.f. & Thomson
-
√
-
Annonaceae
71
Trenggayun
Parartocarpus sp1.
√
-
√
Moraceae
-
-
-
60 Lampiran 2 Profil pohon pada setiap jalur transek a. Profil pohon pada tipe vegetasi TRF
Profil pohon transek jalur S. Kutup1
Profil pohon transek jalur S. Kutup2
Profil pohon transek jalur Tg. Rimba
61 b. Profil pohon pada tipe vegetasi TPF
Profil pohon transek jalur S. Sangar1
Profil pohon transek jalur S. Sangar2
Profil pohon transek jalur S. Serkap1
62
Profil pohon transek jalur S. Serkap2
Profil pohon transek jalur S. Serkap3
Profil pohon transek jalur S. Serkap4
63
Profil pohon transek jalur S. Turip1
Profil pohon transek jalur S. Turip2
Profil pohon transek jalur S. Turip3
64
Profil pohon transek jalur S. Turip4
Profil pohon transek jalur S. Turip5
Profil pohon transek jalur S. Turip6
65
Profil pohon transek jalur S. Turip7
Profil pohon transek jalur Tg. Bunga
66 Lampiran 3 Hasil perhitungan uji chi square a. jenis jejak dengan tipe vegetasi jejak
F0
(F0-FH)2
FH
a
9
4,952
b
4
c
6
d
(F0-FH)2/FH 16,383
3,308
1,548
6,014
3,886
2,667
11,111
4,167
1
0,833
0,028
0,033
e
1
0,381
0,383
1,006
f
0
0,119
0,014
0,119
chi square hitung
12,519
chi square tabel (P=0,05)
7,815
b. jenis jejak dengan jarak dari jalan jejak
F0
(F0-FH)2
FH
(F0-FH)2/FH
a
16
7,619
70,240
9,219
b
4
2,381
2,621
1,101
c
0
0,381
0,145
0,381
d
1
0,119
0,776
6,519
chi square hitung
17,220
chi square tabel (P=0,05)
5,991
c. jenis jejak dengan jarak dari kawasan produksi jejak
F0
(F0-FH)2
FH
(F0-FH)2/FH
a
13
6,857
37,735
5,503
b
5
2,143
8,163
3,810
c
3
1,143
3,449
3,018
d
0
0,357
0,128
0,357
chi square hitung
12,688
chi square tabel (P=0,05)
5,991
d. jenis jejak dengan kedalaman gambut jejak
F0
(F0-FH)2
FH
(F0-FH)2/FH
a
2
2,667
0,444
0,167
b
5
0,833
17,361
20,833
c
14
5,333
75,111
14,083
d
0
1,667
2,778 chi square hitung chi square tabel (P=0,05)
1,667 36,750 5,991
67 e. jenis jejak dengan penutupan tajuk rata-rata jejak
F0
(F0-FH)2
FH
(F0-FH)2/FH
a
2
0,762
1,533
2,012
b
0
0,238
0,057
0,238
c
11
6,095
24,057
3,947
d
5
1,905
9,580
5,030
e f
3
1,143
3,449
3,018
3
0,357
6,985
19,557
chi square hitung
33,802
chi square tabel (P=0,05)
7,815
f. jenis jejak dengan strata ketinggian pohon jejak
F0
(F0-FH)2
FH
(F0-FH)2/FH
a
6
3,750
5,063
1,350
b
4
1,250
7,563
6,050
c
9
3,750
27,563
7,350
d
1
1,250
0,063 chi square hitung
0,050 14,800
chi square tabel (P=0,05)
5,991
g. jenis jejak dengan diameter pohon jejak a b c d e f
F0
FH 11 4 2 0 2 1
(F0-FH)2 5,625 1,875 0,750 0,250 1,125 0,375
(F0-FH)2/FH 28,891 4,516 1,563 0,063 0,766 0,391
chi square hitung chi square tabel (P=0,05)
5,136 2,408 2,083 0,250 0,681 1,042 11,600 7,815
68 Lampiran 4 Hasil perhitungan analisis faktor
KMO and Bartlett's Test
a
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square
.723 99.955
df
21
Sig.
.000
a. Based on correlations
Anti-image Matrices KWP Anti-image Covariance
Anti-image Correlation
KV
PT
NPO
SPO
SPA
KWP
.581
.055
-.179
-.011
-.061
-.057
.057
KV
.055
.056
-.021
-.041
.014
-.016
-.010
PT
-.179
-.021
.445
-.030
-.038
-.002
.063
NPO
-.011
-.041
-.030
.049
-.035
-.023
.007
SPO
-.061
.014
-.038
-.035
.149
.111
-.101
NPA
-.057
-.016
-.002
-.023
.111
.171
-.082
SPA
.057
-.010
.063
.007
-.101
-.082
.117
.305
-.352
-.063
-.206
-.180
.220
a
-.134
-.774
.151
-.165
-.121
a
-.200
-.149
-.007
.274
a
-.407
-.249
.092
a
.694
-.766
KWP
.656
a
KV
.305
.800
PT
-.352
-.134
.806
NPO
-.063
-.774
-.200
.782
SPO
-.206
.151
-.149
-.407
NPA
-.180
-.165
-.007
-.249
.694
.689
SPA
.220
-.121
.274
.092
-.766
-.582
a. Measures of Sampling Adequacy(MSA) Communalities Raw Initial KWP KV PT NPO SPO NPA SPA
NPA
517727.985 1024.913 .235 236.390 26.375 195.110 7.654
Rescaled Extraction 517727.442 189.576 .003 28.248 .553 27.438 1.353
Initial 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Extraction Method: Principal Component Analysis.
Extraction 1.000 .185 .014 .119 .021 .141 .177
.573
a
-.582 .716
a
69 Total Variance Explained Co mpo nent Raw
Initial Eigenvalues % of Variance
Total
a
Extraction Sums of Squared Loadings
Cumulative %
1
517974.613
99.760
99.760
2
1149.683
.221
99.982
3
67.424
.013
99.995
4
18.507
.004
99.998
5
7.498
.001
100.000
6
.835
.000
100.000
7
.104
1.994E-5
100.000
Rescaled 1
517974.613
99.760
99.760
2
1149.683
.221
99.982
3
67.424
.013
99.995
4
18.507
.004
99.998
5
7.498
.001
100.000
6
.835
.000
100.000
7
.104
1.994E-5
100.000
Total
% of Variance
Cumulative %
517974.613
99.760
99.760
1.657
23.675
23.675
Extraction Method: Principal Component Analysis. a. When analyzing a covariance matrix, the initial eigenvalues are the same across the raw and rescaled solution.
70 Component Matrix
KWP KV SPA NPA NPO SPO PT
a
Raw
Rescaled
Component
Component
1
1
-719.533 13.769 1.163 5.238 5.315 .743 -.058
-1.000 .430 .420 .375 .346 .145 -.120
Extraction Method: Principal Component Analysis. a. 1 components extracted.
Component Score Coefficient Matrix
a
Component 1 KWP KV PT NPO SPO NPA SPA
-1.000 .001 .000 .000 .000 .000 .000
Extraction Method: Principal Component Analysis. Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization. a. Coefficients are standardized.
Lampiran 6 Hasil perhitungan analisis korelasi Pearson Correlations
Y Y
Pearson Correlation
TPF 1
Sig. (1-tailed) N TPF
Pearson Correlation
.010
Sig. (1-tailed)
.485
N TRF
Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N
JLN
Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N
SGU
Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N
KWP
JLN
SGU
KWP
SPO
NPA
SPA
.200
-.165
.000
-.344
.068
.075
.174
.099
.485
.164
.482
.013
.221
.263
.499
.088
.397
.388
.252
.353
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
*
-.023
-.240
.044
.465
.176
-.261
-.370
-.155
-.023
.261
-.284
-.099
-.229
.156
.072
.276
.465
.156
.134
.352
.188
-.426
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
-.253
-.261
1
.114
-.069
-.237
-.521*
-.154
-.077
-.151
.074
-.398
-.094
.164
.156
.332
.396
.180
.016
.277
.385
.281
.389
.057
.359
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
-.012
-.370
.114
1
.130
-.201
-.365
-.049
-.133
-.015
.348
-.134
.102
.482
.072
.332
.310
.220
.075
.426
.305
.477
.086
.304
.348
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
*
-.155
-.069
.130
1
-.140
-.346
.000
-.133
-.007
-.011
.226
.080
.013
.276
.396
.310
.296
.087
.500
.305
.490
.483
.191
.379
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
.331
*
.121
-.345
-.144
-.374
-.420*
.097
.043
.322
.088
.290
.069
.047
17
17
17
17
17
17
17
*
.015
-.223
.537
17
-.237
-.201
-.140
Sig. (1-tailed)
.221
.465
.180
.220
.296
17
17
17
17
17
-.165
.261
*
-.365
-.346
.331
.263
.156
.016
.075
.087
.097
17
17
17
17
17
17
N
NPO
-.012
-.023
Sig. (1-tailed)
PT
-.253
.200
Pearson Correlation
KV
.010
1
.537
KDG
*
Pearson Correlation N
KDG
17
TRF
-.521
1 17
1 17
-.429
-.202
-.130
-.262
-.468
.219
.310
.155
.029
.478
.194
17
17
17
17
17
17
Lampiran 6 Lanjutan
Y KV
KDG
KV
PT
.000
-.429
*
-.202
Sig. (1-tailed)
.499
.134
.277
.426
.500
.043
.219
17
17
17
17
17
17
17
17 **
Pearson Correlation
1
**
17
17
17
1
*
.367
.342
.005
.034
.074
.089
17
17
17
17
1
**
**
.385
.305
.305
.322
.310
.010
17
17
17
17
17
17
17
17
17
**
**
Sig. (1-tailed)
.397
.188
.281
.477
.490
.088
.155
.000
.005
.698
.001
17
17
17
17
17
17
17
-.426
*
.074
.348
-.011
-.144
-.468
Sig. (1-tailed)
.388
.044
.389
.086
.483
.290
.029
.005
.034
.001
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
**
.367
**
.000
.074
.000
.128
.174
-.023
-.398
-.134
.226
-.374
.015
Sig. (1-tailed)
.252
.465
.057
.304
.191
.069
.478
N
17
17
17
17
17
17
17
Pearson Correlation
.099
-.240
-.094
.102
.080
-.420
*
-.223
Sig. (1-tailed)
.353
.176
.359
.348
.379
.047
17
17
17
17
17
17
N
*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
.610
.809
**
17
.452
.075
Pearson Correlation
17
.611
.611
Pearson Correlation
*
.452
*
.767
.000
17
17
17
**
1
.292
.698
.767
17
.000 17 .779
**
17
17
17
.292
1
17
17
.194
.000
.089
.000
.000
.001
17
17
17
17
17
17
.779
**
.698
**
.001
.342
**
**
.000
**
.818
.818
.128
17 .806
**
**
.352
.960
.806
17
.088
-.262
**
17
-.130
-.345
SPA
.809
.000
.121
-.007
**
.000
-.133
-.015
NPA
.610
.005
-.133
-.151
**
.000
-.077
-.229
SPO
.960
.010
-.099
.068
.560
NPO
.560
-.344
Pearson Correlation
N
SPA
KWP
-.049
N
NPA
SGU
-.154
N
SPO
JLN
-.284
Sig. (1-tailed)
NPO
TRF
.000
N PT
TPF
Pearson Correlation
17
17
**
1
.698
17
73
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bogor pada tanggal 25 Agustus 1988. Penulis adalah putri kedua dari dua bersaudara dari pasangan Samsul Hidayat, SH dan Yeni Apriyanti, S.Pd. Pendidikan sarjana ditempuh penulis di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dengan mayor Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata serta minor Agroforestry, Fakultas Kehutanan pada tahun ajaran 2005 dan menamatkannya pada tahun 2010. Penulis melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010. Sebuah artikel berjudul “Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti” akan diterbitkan pada Jurnal Biologi Indonesia vol. 9(2) 2013 pada bulan Desember 2013. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari hasil penelitian penulis di bawah bimbingan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si dan Dr. Ir. Harnios Arief, M.Sc.F.