KEANEKARAGAMAN BIVALVIA DI PESISIR PANTAI PAYUMB KELURAHAN SAMKAI DISTRIK MERAUKE Lely Kustiyarini*) dan Irba Djaja**)
ABSTRACT Bivalves is one class of the phylum Mollusca and is one of the non-living resources of fish that have high diversity. Research on "Diversity bivalves coastal area Payumb in village Samkai Merauke District "from June until July 2011. This research aim to determine the species diversity of coastal area bivalves Payumb Village Samkai Merauke District. Sampling was taken from three observation stations and each station have been seven replications. The method used is descriptive method. Measurement of physical-chemical parameters of waters carried out directly in the field. Parameters measured include temperature, salinity, pH and substrate type. The results show as many as 10 species of bivalves, consisting of, 8 families, 4 orders, 1 class and a phylum is Anadara granosa, Anomala, Atrina serrata, Mactra janeiroensis, Mactra sp, Meretrix lusoria, Modiolus philippinarum, Polymesoda expansa, Sanguinolaria nuttali, Solen grandis. The value of diversity index (H') bivalves 0.29 to 0.47, the evenness index (e) bivalves 0.56 to 0.97, and bivalves dominance index value 0.46 to 0.52. Physico-chemical quality of coastal waters Payumb have a value that is still relatively normal. Water temperature 26-28 ° C, salinity 26-27% o, pH 6.6, and the type of substrate is a substrate of mud and sandy mud. Keywords : Bivalves, Diversity, Physico-chemical quality
PENDAHULUAN Moluska terutama dari kelas bivalvia merupakan hewan lunak yang mempunyai cangkang, dapat hidup di darat, sungai, laut, ataupun pada daerah estuari (daerah peralihan antara daratan dan lautan). Tercatat ada sebanyak 91 jenis moluska hanya dari satu tempat saja yaitu pulau Seram, Maluku. Jumlahnya tersebut termasuk 33 jenis yang biasanya terdapat pada karang, akan tetapi juga sering mengunjungi daerah mangrove. Beberapa dari 91 jenis kelompok moluska tersebut diketahui hidup dalam tanah, sementara yang lainnya ada yang hidup di permukaan dan ada pula yang hidup menempel pada tumbuh-tumbuhan (Budiman, 1985 dalam Noor dkk, 1999).
*) Mahasiswa pada Jurusan MSP Universitas Musamus **) Staf pengajar pada Jurusan Agroteknologi Universitas Musamus
99
JURNAL AGRICOLA, TAHUN I, NOMOR 2, SEPTEMBER 2011
Anggota moluska yang paling mudah dikenali masyarakat adalah siput (gastropoda) yang memiliki cangkang tunggal, kerang (bivalvia) dengan dua cangkang yang bertangkup, dan cumi-cumi (chepalopoda) yang tidak memiliki cangkang (Kusnadi dkk, 2009). Kelompok bivalvia sebagai organisme secara umum dijumpai di perairan laut terutama daerah pesisir pantai atau daerah intertidal. Diperkirakan terdapat sekitar 1000 jenis bivalvia yang hidup diperairan Indonesia, antara lain yaitu seperti Anadara granosa (Kerang Darah), Anadara antiquate (Kerang Bulu), Mytilus viridis (Kerang Hijau), Crassostrea cucullata (Tiram Bakau) (Nontji, 1993). Pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi daerah daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup kebagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti pengundulan hutan dan pencemaran (Supriharyono, 2009). Ditinjau dari sudut pandang ekologi, kawasan pesisir merupakan sebuah ekosistem alami yang terbentuk puluhan tahun yang silam. Di samping fauna juga terdapat berbagai flora seperti Bakau (Rhizophora spesies), Api-api (Avicennia spesies), Pepada (Sonneratia spesies), Tanjang (Bruguiera spesies), Nyirih (Xylocarpus spesies), Tengar (Ceriops spesies) dan Buta-buta (Exoecaria spesies) yang umum dijumpai dipesisir Indonesia. Adanya tumbuhan mangrove memberi perlindungan dan dukungan bagi kehidupan fauna-fauna di dalamnya (Dahuri, 2002). Daerah pesisir pantai Payumb Kelurahan Samkai Distrik Merauke telah mengalami eksploitasi seperti penggalian pasir secara liar, pembuangan limbah keluarga, serta adanya pemukiman penduduk di sekitar kawasan pesisir pantai (Irba Djaja, 2009). Berbagai aktifitas tersebut dapat mempengaruhi keberadaan biota laut termasuk didalamnya adalah kelompok bivalvia. Sampai saat ini informasi mengenai keanekaragaman bivalvia dipesisir pantai Payumb Kelurahan Samkai Distrik Merauke belum
pernah
“keanekaragaman
didapatkan,
sehingga
perlu
dilakukan
penelitian
mengenai
bivalvia di pesisir pantai Payumb Kelurahan Samkai Distrik
Merauke”. 100
Kustiyarini dan Djaja, Keanekaragaman Bivalvia di Pesisir Pantai Payumb Kelurahan Samkai Distrik Merauke
BAHAN DAN METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Lokasi penelitian ini adalah di kawasan pesisir pantai Payumb Kelurahan Samkai Distrik Merauke, waktu penelitiannya yaitu pada Bulan Juni sampai dengan Bulan Juli 2011. Alatan bahan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : GPS, Soil tester, Termometer skala 0°C-100°C, Salinometer, Ember plastik, Kertas label, Alkohol 70%.
Prosedur Penelitian 1. Penentuan Stasiun Pengamatan Stasiun pengamatan ditentukan berdasarkan habitat bivalvia atau lokasi pengambilan bivalvia oleh masyarakat. 2. Pengambilan Sampling bivalvia Pengambilan sampling bivalvia dilakukan pada tiga stasiun yaitu stasiun I (kawasan muara kali Lepro), stasiun II (batas pasang tertinggi), stasiun III (batas surut terendah) yang dilakukan satu hari selama satu minggu, dengan total pengambilan sampling sebanyak 21x. Bivalvia yang ditemukan dihitung individu dan jenisnya, kemudian di identifikasi jenisnya di laboratorium Fakultas Pertanian Unmus.
Variabel Pengamatan dan Analisis Data Variabel yang diamati adalah parameter Fisika-Kimia Perairan yaitu, suhu air, salinitas, pH substrat, Tipe substrat dasar. Analisis Data ditujukan dengan Indeks Keanekaragaman Shannon (H’), Indeks Kemerataan Evenness (E), dan Indeks Dominansi (C).
HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Fisika dan Kimia Hasil pengukuran parameter lingkungan fisika-kimia menunjukkan bahwa suhu air pada ketiga stasiun bervariasi, yaitu berkisar antara 26°C – 28°C, dengan suhu tertinggi terdapat pada stasiun (kawasan muara kali Lepro) sebesar 28°C dan terendah pada stasiun (batas pasang tertinggi) sebesar 26°C. Suhu pada ketiga stasiun
101
JURNAL AGRICOLA, TAHUN I, NOMOR 2, SEPTEMBER 2011
penelitian, masih dapat mendukung bagi kehidupan bivalvia pada perairan tersebut. Nilai salinitas pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 26‰ - 27‰. Salinitas tertinggi di peroleh pada Stasiun (kawasan muara kali Lepro) dan (batas surut terendah) yaitu sebesar 27‰. Sedangkan salinitas terendah terdapat pada Stasiun (batas pasang tertinggi), yaitu sebesar 26‰. Kisaran salinitas 5 – 35‰ merupakan kondisi yang optimal bagi kelangsungan hidup bivalvia Adanya perbedaan salinitas pada tiap–tiap stasiun penelitian berkaitan dengan suhu pada setiap stasiun. Suhu yang tinggi pada stasiun (kawasan muara kali Lepro) dan (batas surut terendah) memungkinkan terjadinya penguapan yang tinggi karena antara penguapan dan kadar garam salinitas adalah berbanding lurus. Menurut Nybakken (1992), semakin tinggi tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka salinitasnya semakin tinggi, dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya.. Hasil pengukuran pH di tiga stasiun menunjukkan nilai pH 6,6 masih berada dalam batas normal. Menurut Odum (1993) pH substrat normal yang memenuhi syarat untuk petumbuhan dan perkembangan bivalvia yaitu berkisar 6,5-7,5. Kordi (2008) bahwa tanah dengan pH netral sampai basa kaya akan garam nutrient yang dapat merangsang pertumbuhan pakan alami dan pakan alami dapat tumbuh dengan baik pada substrat yang mempunyai pH 6,6 – 8,5. Jenis substrat pada stasiun yaitu lumpur sedangkan pada stasiun dan sama yaitu berupa lumpur berpasir. Jenis substrat di tiga stasiun ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan bivalvia, karena pada substratlah bivalvia mendapatkan makanan untuk kelangsungan hidupnya. Menurut Allan (1995), Substrat merupakan aspek fisik yang komplek dan dapat mempengaruhi organisme yang hidup di substrat tersebut.
Jenis Bivalvia Hasil penelitian yang dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian didapatkan jumlah jenis bivalvia terdiri dari 4 ordo, dan 8 famili, sedangkan berdasarkan jumlah jenis yang didapatkan paling banyak ditemukan pada stasiun yaitu sebanyak 7 jenis, kemudian diikuti pada stasiun sebanyak 5 jenis, sedangkan pada stasiun hanya didapatkan sebanyak 2 jenis. 102
Kustiyarini dan Djaja, Keanekaragaman Bivalvia di Pesisir Pantai Payumb Kelurahan Samkai Distrik Merauke
Indeks Keanekaragaman Shannon (H’), Indeks Kemerataan Evenness (E), dan Indeks Dominansi (C) Berdasarkan hasil perhitungan nilai indeks keanekaragaman shannon (H’), Indeks Kemerataan Evenness (E), dan Indeks Dominansi (C) bivalvia pada masing – masing Stasiun penelitian didapatkan nilai yang cukup bervariasi. Indeks keanekaragaman (H’) pada stasiun penelitian berkisar antara 0,29 – 0,47. Jika kita berpatokan pada Wilhm and Dorris (1986) yang mengatakan bahwa jika nilai H` < 1, maka tingkat keanekaragamannya rendah, 1 < H` < 3 masuk dalam kategori sedang dan H` > 3 tergolong dalam kategori keanekaragaman tinggi. Maka secara umum indeks H’ bivalvia yang berada di pesisir pantai payumb berada dalam kategori rendah. Rendahnya indeks H’ bivalvia ini dimungkinkan oleh meningkatnya berbagai macam aktifitas manusia di sekitar wilayah perairan tersebut. Penangkapan ikan oleh nelayan, penggalian pasir secara liar, pembuangan limbah rumah tangga oleh penduduk dan berbagai macam aktivitas lain yang intensif dimungkinkan menjadi salah satu faktor penyebabnya. Semakin baik kondisi lingkungan perairan, maka nilai indeks keanekaragaman jenis bivalvia akan semakin tinggi. Begitu juga sebaliknya indeks keanekaragaman jenis akan semakin menurun seiring dengan menurunnya kondisi atau kualitas lingkungan perairan. Tarumingkeng
(1994)
menyebutkan
bahwa
kondisi
lingkungan
akan
mempengaruhi anekaragam bentuk-bentuk hayati dan banyak jenis makhluk hidup atau keanekaragaman hayati. Sebaliknya keanekaragaman dan banyaknya makhluk hidup menentukan
keadaan
lingkungan.
Selanjutnya Clarc
(1974),
keanekaragaman
mengekspresikan variasi spesies yang ada dalam suatu ekosistem, ketika suatu ekosistem memiliki indeks keanekaragaman yang tinggi maka ekosistem tersebut cenderung seimbang. Sebaliknya, jika suatu ekosistem memiliki indeks kenekaragaman yang rendah maka mengindikasikan ekosistem tersebut dalam keadaan tertekan atau terdegradasi.
Perbandingan Antar Stasiun Nilai indeks keanekaragaman (H’) pada tiga stasiun penelitian dari hasil perbandingan di peroleh nilai H’ terendah pada stasiun yaitu sebesar 0,29 (2 jenis yaitu
103
JURNAL AGRICOLA, TAHUN I, NOMOR 2, SEPTEMBER 2011
bivalvia Polymesoda expansa dan Sanguinolaria nuttali). Indeks keanekaragaman tertinggi di jumpai pada Stasiun sebesar 0,47. Tingginya indeks keanekaragaman pada Stasiun ini di sebabkan jenis dan jumlah bivalvia yang didapat di stasiun ini paling banyak dan lebih merata dibandingkan Stasiun yaitu sebesar 0,29 dan Stasiun yaitu sebesar 0,39. Pada satsiun didapatkan 7 jenis yaitu Anadara granosa, Atrina serrata, Mactra janeiroensis, Mactra sp, Meretrix lusoria, Modiolus philippinarum, Solen grandis. Menurut Krebs (1985) keanekaragaman yang tinggi menunjukkan semakin besarnya keragaman dan proporsi masing-masing jenis yang semakin merata. Sedangkan menurut Risawati (2002) apabila jumlah spesies dan jumlah individu tiap spesies relatif kecil berarti terjadi ketidakseimbangan ekosistem yang disebabkan gangguan atau tekanan dari lingkungan, hal ini berarti hanya jenis tertentu saja yang dapat bertahan hidup. Indeks kemerataan evenness (E) pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 0,56 – 0,97 dan tergolong sedang – tinggi. Hal ini berarti penyebaran setiap stasiun hampir merata. Menurut Krebs (1985) Jika nilai e < 0,4 maka keseragaman populasi kecil, 0,4 < e < 0,6 masuk dalam kategori keseragaman populasi sedang, e > 0,6 tergolong dalam kategori keseragaman populasi tinggi. Sedang - tingginya nilai kemerataan pada tiga stasiun penelitian diduga jumlah individu tiap jenis hampir sama karena tidak ada jenis yang mendominasi. Indeks dominansi (C) untuk stasiun penelitian , stasiun tergolong dalam indeks dominansi rendah (0,46 – 0,49) sedangkan untuk stasiun penelitian tergolong dalam indeks dominansi tinggi (0,52). Hal ini menurut Odum (1993) bahwa dominasi dinyatakan tinggi jika nilai C = 1, dengan kisaran 0 < C < 0,5 = Tidak ada jenis yang mendominasi, dan 0,5 < C < 1 = Terdapat jenis yang mendominasi. Odum (1993) juga menyebutkan dominan akan lebih sedikit apabila faktor – faktor lingkungan ekstrim. Sedangkan Romimohtarto & juwana (2009) mengatakan kestabilan pantai merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan biota termasuk bivalvia. Di lihat secara keseluruhan, nilai indeks keankeragaman (H’) pada stasiun (0,29) menunjukkan nilai keanekaragaman terendah. Indeks kemerataan pada stasiun (0,97) tergolong tertinggi. Sedangkan indeks dominansinya stasiun (0,52) juga tergolong 104
Kustiyarini dan Djaja, Keanekaragaman Bivalvia di Pesisir Pantai Payumb Kelurahan Samkai Distrik Merauke
tertinggi. Dengan demikian stasiun memiliki Indeks Keanekaragaman terendah tetapi Indeks kemerataan dan dominansinya tertinggi. Spesies yang merata adalah Polymesoda expansa sedangkan spesies yang dominan adalah Sanguinolaria nuttali. Tingginya nilai kemerataan dan nilai dominansi pada stasiun diduga karena kondisi lingkungan pada stasiun lebih cocok untuk hidup dan berkembangnya bivalvia, hal ini dikarenakan pada stasiun banyak di tumbuhi pohon mangrove yang merupakan habitat paling sesuai untuk Sanguinolaria nuttali dan Polymesoda expansa. Menurut Nontji (1993) hutan mangrove memiliki peranan yang sangat penting di sepanjang pesisir pantai dan dapat menopang kehidupan di sekitarnya, salah satunya berfungsi sebagai benih bivalvia. Selanjutnya menurut Supriharyono (2000) mangrove memiliki kadar organik yang tinggi. Tingginya bahan organik di perairan mangrove memungkinkan sebagai tempat pemijahan (Spawning ground), pengasuhan (Nursery ground) dan pembesaran atau mencari makan (Feeding ground). Selain itu kondisi lingkungan fisik – kimia pada stasiun seperti, suhu (28°C), salinitas perairan (27‰), substrat berlumpur dengan pH substrat 6,6 (Tabel 4), ini sangat sesuai sebagai habitat bivalvia. Parenrengi, dkk (1998) menjelaskan bahwa suhu sesuai untuk bivalvia berkisar antara 28°C – 31°C. Di samping itu Barth (1982) menyatakan bahwa hewan bivalvia dapat hidup pada kisaran salinitas 6‰ – 35‰. Selanjutnya menurut Welch (1952) dalam Widhiastuti, dkk (1994) pH yang baik untuk mendukung kehidupan bivalvia berkisar antara 5,0 – 8,0. Sedangkan rendahnya nilai keanekaragaman (H’) diduga pengaruh faktor lingkungan yang kurang mendukung bagi banyaknya bivalvia. Hal ini didukung menurut Woodin (1976) menjelaskan bahwa bivalvia lebih cenderung terdapat melimpah pada perairan didaerah pesisir pantai. Selain itu pada stasiun yang merupakan daerah muara kali memiliki tipe substrat dasar lumpur sehingga menyebabkan rendahnya jumlah bivalvia didaerah tersebut. Hasil ini sejalan dengan Koesoebiono (1979) yang menyatakan perairan berupa pasir dan sedimen halus merupakan lingkungan hidup yang kurang baik bagi hewan benthos salah satunya bivalvia.
105
JURNAL AGRICOLA, TAHUN I, NOMOR 2, SEPTEMBER 2011
PENUTUP a. Kesimpulan Jumlah bivalvia yang ditemukan di pesisir pantai Payumb sebanyak 10 spesies yaitu Anadara granosa, Anomala, Atrina serrata, Mactra janeiroensis, Mactra sp, Meretrix lusoria, Modiolus philippinarum, Polymesoda expansa, Sanguinolaria nuttali, Solen grandis. Indeks keanekaragaman (H’) bivalvia yang hidup di pesisir pantai Payumb tergolong rendah yaitu (0,29 – 0,47), Indeks kemerataan (E) tergolong sedang sampai tinggi antara 0,56 sampai 0,97 dan Indeks dominansinya (C) tergolong rendah sampai tinggi antara 0,46 sampai 0,52. b. Saran Untuk memperoleh data yang lebih lengkap tentang keanekaragaman bivalvia maka perlu penelitian yang dilaksanakan dalam jangka waktu relatif lama dan area sampling yang lebih luas. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor fisika dan kimia yang lain terhadap keanekaragaman bivalvia di pesisir pantai Payumb.
DAFTAR PUSTAKA Allan. 1995. Substrate influence. (0nline) Anonim, 2007. Kelimpahan dan Pola Sebaran Kerang-Kerangan (bivalvia) di Ekosistem Padang Lamun, Perairan Barth, R.H. 1982. The Invertebrata World. EBS Colleage Publishing United States of America. P. Clark, J. 1974. Coastal Ecosystems. Ecological Considerations For Management Of The Coastal Zona. Washington D.C. Publications Departement The Conservations. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Hayati Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramitha , R. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan Ketiga. Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta. Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. Jakarta: PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Hari, H. 1999. Beberapa Aspek Bioekologi Komunitas Bivalvia Di Kawasan Hutan Mangrove Teluk Kalisusu Kab. Muna Propinsi Sulawesi Tenggara.Tesis Pasca Sarjana IPB Bogor. Irba Djaja. 2009. Strategi Pengelolaan Kawasan Pesisir Kabupaten Merauke. Tesis Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar. Tidak diterbitkan.
106
Kustiyarini dan Djaja, Keanekaragaman Bivalvia di Pesisir Pantai Payumb Kelurahan Samkai Distrik Merauke
Koesoebiono. 1979. Dasar-dasar Ekologi Umum bagian IV (Ekologi Perairan). Program Pasca Sarjana, Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. IPB. (Tidak dipublikasikan). Krebs, C.J. 1985. Ecology the Eksperimental Analysis of Distribution and Abundance. Third Edition. Haeper and Row Publisher. New York. Krebs, J.C. 1989. Ecologycal Methodology. Harper Collins Publisher, University of British Of Columbia. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara: Djambatan. Jakarta. Noor, Y. R., Khazali, M., dan Suryadiputra I.N.N. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor Nybakken, James W. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa Oleh: H. Muhammad Eidman Jakarta: PT.Gramedia. , J. W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa Eidman Jakarta: PT. Gramedia.
oleh: H. M.
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Indonesia. Parenrengi, A., Syarifuddin. T dan Sri. I. 1998. Studi Jenis Kelimpahan Plankton pada Berbagai Kedalaman dan Hubungannya dengan Komposisi Makanan Tiram Mabe (Pteria penguin). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol IV.No. V. Jakarta. Risawati, D. 2002. Struktur Komunitas Moluska (Gastropoda dan Bivalvia) Serta Asosiasinya Terhadap Ekosistem Mangrove, di Kawasan Muara Sungai Bengawan Solo, Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan. Romimohtarto, K. 1985. Kualitas Air Dalam Budidaya Laut. WBL/05/WP-13. Bandar Lampung 28 Okt-1 Nov 1985
107