i DHS-1
MODUL HSR
KATA SAMBUTAN Perubahan yang sangat cepat dalam sektor kesehatan dan sektor lain serta lingkungan nasional/global, memerlukan pola pikir, rencana dan kemimpinan yang strategis, yang mampu melakukan berbagai penyesuaian dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan kesehatan yang sudah disepakati. Dinamika perubahan tersebut juga dialami dan dihadapi oleh tingkat Kabupaten/Kota. Bahkan beberapa Kabupaten/Kota sudah memberikan respons dengan melakukan perubahan, misalnya memberikan pelayanan gratis, mengembangkan sistem asuransi kesehatan, mengembangkan kemitraan dengan swasta dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan, menggerakkan semua sektor dan masyarakat untuk melaksanakan hidup bersih dan sehat, dlsb. Perubahan tersebut memang suatu kebutuhan dan keharusan. Namun harus selalu diingat bahwa perubahan tersebut harus senantiasa dipandu dan dijiwai oleh nilai-nilai normatif yang berlaku universal dalam pembangunan kesehatan, yaitu: (a) Efektivitas dan mutu, (b) Efisiensi, (c) Pemerataan (Equity), (d) Keadilan (Fairness) dan (e) Keberlanjutan (Sustainability) Oleh sebab itu, perubahan tersebut harus direncanakan dengan baik dan tidak boleh menyimpang dari nilai-nilai dan tujuan normatif tersebut diatas. Dalam konteks itulah Proyek DHS-1 mengembangkan Pedoman Reformasi Sektor Kesehatan (Health Sector Reform) seperti tertuang dalam dokumen ini. Dengan adanya Pedoman ini diharapkan reformasi sektor kesehatan yang dilakukan di tingkat Kabupaten/Kota bisa lebih terencana¸ relevan dengan prioritas masalah dan situasi daerah, sekaligus berkelanjutan. Pedoman Reformasi Sektor Kesehatan atau Health Sector Reform ini tersusun berkat kerjasama dan dukungan dari unit terkait dilingkungan Departemen Kesehatan. Pusat Kajian Pembangunan Kesehatan, Biro Perencanaan dan Anggaran, Tim Konsultan 3579 dan Tim Penyusun. Pada kesempatan ini saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pihak yang telah membantu penyusunan Modul dan Pedoman ini, dan Sekretaris Eksekutif Proyek DHS-1 yang secara sistematis memfasilitasi mengembangkan draft awal, mendiskusikannya dengan banyak fihak dan melakukan pelatihan serta bimbingan kepada daerah. Semoga pedoman ini bermanfaat bukan saja bagi daerah, akan tetapi juga bagi tingkat propinsi dan pusat dan siapa saja yang berkepentingan dengan pengembangan dan penguatan Sistem Kesehatan bukan hanya di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota dan juga di Pusat. Jakarta, 5 November 2007 Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan R.I.
Dr. Sri Astuti S. Suparmanto, M.Sc (PH)
ii DHS-1
MODUL HSR
KATA SAMBUTAN Alhamdulillah dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Module Pelatihan untuk meningkakan kapasitas petugas kesehatan dalam melaksanakan proses desentralisasi yang telah mengalami beberapa kali penyesuaian dapat diselesaikan. Module Pelatihan untuk peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dalam kontek desentralisasi ini disusun mengikuti perkembangan kebutuhan dan perubahan-perubahan dalam proses desentralisasi di Indonesia, beberapa pedoman/modul tersebut mengalami beberapa kali penyesuaian dan diuji cobakan di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu, sejak tahun 2005 Proyek DHS-1 difokuskan pada percepatan peningkatan kesehatan Ibu dan Anak, walaupun misinya tetap sama yaitu memperkuat daerah dalam melaksanakan desentralisasi kesehatan. Maka sampai Desember 2007, telah dihasilkan seperangkat pedoman/modul sebagai berikut: 1. Modul Surveilans KIA: Peningkatan Kapasitas Agen Perubahan dan Pelaksana Program Kesehatan Ibu dan Anak 2. Pedoman Surveilans KIA 3. Modul Advocacy Kesehatan Ibu, Neonatal dan Anak atau Maternal Neonatal and Child Health (MNCH) 4. Modul Pelatihan Perencanaan dan Penganggaran Kesehatan Terpadu (P2KT) (Penyesuaian Modul yang lama) 5. Pedoman Reformasi Sektor Kesehatan atau Health Sector Reform (HSR) 6. Modul Advocacy (Penyesuaian Modul yang lama) Modul Pelatihan dan Pedoman ini tersusun berkat kerjasama dan dukungan dari Direktorat Jenderal P2M-PL, Direktorat Kesehatan Ibu, Direktorat Kesehatan Anak, Biro Perencanaan, Pusat Data dan Informasi Kesehatan, Tim TRT Pusat, Tim Konsultan 3579, para Pihak Ketiga yang ditunjuk sebagai Pelaksana Pekerjaan dan Sekretaris Eksekutif Proyek DHS-1 yang telah memfasilitasi penyusunan pedoman dan modul tersebut diatas. Dalam kesempatan ini saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan Modul dan Pedoman ini. Kami menyadari bahwa modul pelatihan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik membangun sangat kami harapkan. Akhirnya, kami berharap Modul dan Pedoman ini bermanfaat bukan saja bagi daerah, akan tetapi juga bagi tingkat Provinsi dan Pusat serta siapa saja yang berkepentingan dengan Pengembangan dan Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan dalam konteks Desentralisasi. Jakarta, 5 November 2007 Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan R.I.
Dr. Bambang Sardjono, MPH NIP. 140 127 292
iii DHS-1
MODUL HSR
DAFTAR ISI Kontributor i Kata Sambutan Dirjen ................................................................................................. ii Kata Sambutan Sekretaris Dirjen................................................................................. iii iv Daftar Isi Pendahuluan................................................................................................................. 1 Bagian I.
Latar bekakang Reformasi Sektor Kesehatan ........................................... 3
Bagian II. 1. 2. 3.
Pengertian dan tujuan Reformasi Sektor Kesehatan ................................. Pengertian ................................................................................................. Tujuan ....................................................................................................... HSR dan Operational Research ................................................................
8 8 8 9
Bagian III. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Prinsip pokok (guiding principles) ........................................................... Stewardship............................................................................................... Evidence based ......................................................................................... Systematik & integrasi.............................................................................. Perencanaan .............................................................................................. Berkelanjutan ............................................................................................ Fleksibel.................................................................................................... Keterlibatan stakeholders.......................................................................... Tanggung jawab pemerintah .....................................................................
11 11 12 12 13 13 14 14 14
Bagian IV. Area reformasi kesehatan dalam konteks desentralisasi ........................... 16 Bagian V. 1. 2. 3. 4. 5.
Langkah-langkah reformasi sektor kesehatan ditingkat daerah ................ Perencanaan .............................................................................................. Baseline data ............................................................................................. Pelaksanaan............................................................................................... Evaluasi HSR............................................................................................ Adopsi dan legitimasi hasil HSR dalam kebijakan formal .......................
19 19 22 22 22 23
Bagian VI. Kriteria pemilihan dan indikator untuk monitoring dan evaluasi reformasi sektor kesehatan........................................................................................ 24 1. Kriteria untuk penentuan area/topik reformasi sektor kesehatan.............. 24 2. Indikator untuk perencanaan dan pemantauan.......................................... 25 3. Indikator untuk evaluasi............................................................................ 26 Bagian VII.Penutup ..................................................................................................... 27 Daftar Pustaka LAMPIRAN CONTOH-CONTOH REFORMASI SEKTOR KESEHATAN
iv DHS-1
MODUL HSR
PENDAHULUAN Selama 3 dekade yang lalu, dan terutama decade terakhir, terjadi perubahan yang sangat besar dan cepat hampir dalam setiap sendi kehidupan, baik pada tingkat global, regional, nasional maupun daerah. Tidak ada yang bisa mengelak dari tuntutan perubahan. Ada perubahan yang sifatnya reaktif, ada yang bersifat "trial and error", ada pula yang bersifat "laises faire", tanpa direncanakan dan tanpa arah dan tujuan yang jelas. Sistem kesehatan di Indonesia tidak luput dari "turbulensi" atau "badai" perubahan tersebut. Perubahan tersebut tidak bisa ditolak atau dielakkan. Pilihannya bukan lagi "berubah" atau "tidak berubah", akan tetapi "berubah secara terencana dan sistematis" atau "berubah secara liar dan laises faire". Pedoman Refomasi Sektor Kesehatan ini disusun untuk membantu penyelenggara kesehatan di tingkat daerah dan nasional menyesuaikan sistem dan program kesehatan dengan tuntutan perubahan yang terjadi secara sistemik di segala aspek kehidupan. Reformasi Sektor Kesehatan adalah suatu keharusan karena kalau tidak dilakukan, sektor kesehatan akan menjadi tidak relevan dengan perkembangan zaman dan sumberdaya yang dipergunakan akan menjadi sia-sia. Perubahan strategi pembangunan nasional, transisi pola penyakit, kebijakan desentralisasi, demokratisasi pembangunan dan tuntutan masyarakat akan mutu dan akuntabilitas pembangunan kesehatan, semua itu menuntut penyesuaian dan perubahan mendasar dalam sektor kesehatan. Selama ini, terutama sejak awal tahun 1980-an, penyesuaian dan perubahan tersebut sudah dilakukan. Namun sifatnya reaktif, "donor driven" dan tidak langgeng (seumur masa proyek yang didanai donor), dan terfragmentasi (misalnya perubahan sistem pelayanan tanpa merubah sistem pembiayaan). Pedoman ini disusun dengan menggunakan berbagai macam referensi serta pengalaman empiris di Indonesia. Draft awal disusun dengan bahan referensi tersebut. Beberapa kali lokakarya dilakukan, dengan melibatkan birokrasi pemerintah di pusat dan daerah, para akademisi serta fihak swasta. Bahan-bahan rujukan yang dipergunakan adalah sebagai berikut: 1. Pengalaman reformasi kesehatan di Indonesia yang secara sistematis telah dilakukan sejak awal tahun 1980-an. Perubahan-perubahan tersebut dilaksanakan dalam rangka berbagai proyek kesehatan yang didanai oleh WHO, UNICEF, USAID, Bank Dunia, ADB, JICA, dll. 2. Dokumen tentang "Health Sector Reform" yang diterbitkan oleh WHO dan UNICEF, yaitu proceeding pertemuan internasional tentang HSR. Juga dipergunakan beberapa dokumen hasil pertemuan WHO tentang Public-private mix di Mexico tahun 1992,
1 DHS-1
MODUL HSR
pertemuan tentang desentralisasi kesehatan di Cartagena, Columbia, pada tahun 1996, pertemuan WHO/SEARO tentang Health Financing Reform di Bangkok tahun, 1993, beberapa pertemuan tentang reformasi sumberdaya manusia untuk kesehatan (human resources for health) di Geneva, pertemuan-pertemuan Global Advisory Board on Nurses and Midwive di Geneva, pertemuan UNICEF di Florence (1992) tentang pengaruh penyesuaian struktural (structural adjustment) terhadap kesehatan ibu dan anak, serta Pertemuan IHPP (International Health Policy Program) yang didanai oleh Bank Dunia (di London, Frankfurt dan New York) pada awal tahun 1990-an. 3. Pengalaman reformasi sektor kesehatan di Indonesia khususnya yang menyangkut Rumah Sakit, yaitu pemberian otonomi yang lebih besar kepada RS milik pemerintah. 4. Penelitian kesehatan di Indonesia yang berkaitan dengan kebijakan kesehatan misalnya penelitian pembiayaan kesehatan untuk penduduk miskin, penelitian biaya satuan pelayanan kesehatan, penelitian dan lokakarya tentang otonomi rumah sakit, pengembangan konsep DUKM (Dana Upaya Kesehatan Masyarakat) dan JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) serta SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), dll. 5. Produk-produk hukum yang menyangkut reformasi sektor kesehatan, seperti misalnya UU tentang desentralisasi dan penyusunan rencana program pembangunan, peraturan tentang penyusunan anggaran dan keuangan negara, dll. Fokus atau isi pedoman ini adalah perubahan mendasar dalam lima area, yaitu reformasi (1) kebijakan kesehatan, (2) jenis upaya (program dan pelayanan) kesehatan, (3) sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan atau "health service delivery system", (4) manajemen sumberdaya kesehatan, dan (5) prioritas sasaran penduduk. Dengan demikian, reformasi "mind set" atau pola pikir serta reformasi untuk menjamin transparansi dan "good governance" tidak menjadi bagian dari pedoman ini. Alasannya, perubahan "mind set" dan bebas KKN adalah persoalan sistemik dalam penyelenggaraan bernegara dan berbangsa secara keseluruhan. Jadi tidak bisa dilakukan partial di satu sektor saja.
2 DHS-1
MODUL HSR
BAGIAN-I LATAR BELAKANG REFORMASI SEKTOR KESEHATAN KENAPA REFORMASI SEKTOR KESEHATAN ? Turbulensi lingkungan Sistem dan sektor kesehatan disemua negara ada dalam turbulensi perubahan lingkungan yang sangat cepat. Teknologi informasi meningkatkan pengetahuan dan merubah sikap, persepsi dan harapan setiap orang di semua pelosok dunia. Mobilitas penduduk didalam negara ataupun antara negara menyebabkan dunia menjadi tempat berbaurnya (the melting pot) berbagai macam budaya dan menciptakan tata nilai baru yang lebih universal. Demikian juga, perkembangan teknologi mempermudah manusia memenuhi kebutuhan hidupnya walaupun kadangkala dengan biaya yang semakin mahal. Arus kuat untuk membuat dunia lebih demokratis dan menjamin hak azasi manusia menyebabkan kebijakan dan program pembangunan tidak bisa lagi dilakukan secara ekslusif oleh sekelompok elit atau penguasa. Hak suara tidak hanya dilimpahkan kepada jenjang administrasi yang lebih rendah, akan tetapi sampai kepada kelompok masyarakat bahkan kepada rumah tangga dan perorangan. Gagalnya sistem ekonomi di negara komunis menambah keyakinan masyarakat dunia akan efektivitas sistem ekonomi pasar bebas. Privatisasi adalah salah satu bentuk perubahan yang disarankan. Namun ternyata privatisasi tidak bisa dilakukan membabi buta untuk sektor kesehatan, karena cisi khas pelayanan kesehatan yang tidak sama dengan komoditas lainnya. Disamping perubahan tersebut diatas, yang sering dikatakan sebagai "kemajuan", ternyata dunia belum bisa mewujudkan cita-cita yang dicetuskan dalam deklarasi hak azasi manusia, yaitu menciptakan kesejahteraan secara adil dan merata bagi setiap warga dunia. Ketimpangan pembangunan dan distribusi serta konsumsi kekayaan dunia terus berlanjut dan meningkat, menghasilkan pertambahan jumlah penduduk miskin di banyak negara. Sistem kesehatan tidak bisa tidak harus disesuaikan dengan perubahan-perubahan tersebut. Apabila tidak, sistem kesehatan tersebut akan teralienasi (terasing) dari sistem sosial, politik dan ekonomi yang terus berubah. Sistem kesehatan akan menjadi semacam barang tua yang tersingkir dari hiruk pikuk pembangunan dan modernisasi kehidupan manusia. Pertanyaanya adalah: apakah perubahan tersebut berlangsung sebagai "laises faire" (terseret arus perubahan) atau sebagai perubahan yang direncanakan secara sistematis. Health Sector Reform (HSR) yang mengemuka sejak Deklarasi Alma Ata 1978, adalah jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu perubahan yang mendasar, yang direncanakan, yang bekelanjutan, sehingga turbulensi lingkungan tersebut diatas tidak membuat tujuan-tujuan pembangunan kesehatan mengalami hambatan.
3 DHS-1
MODUL HSR
Transisi kesehatan Sektor kesehatan juga mengalami perubahan besar. Yang menonjol adalah transisi demografis. Misalnya di Indonesia, BPS (2005) memproyeksikan bahwa pada tahun 2025 nanti jumlah penduduk usia lanjut (65+) akan naik mencapai sekitar 20 juta orang. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk benua Australia, yang hanya sekitar 19 juta pada tahun 2005. Transisi demografis ini menyebabkan transisi pola penyakit, yang dikenal sebagai "transisi epidemiologi". Data di lapangan menunjukkan semakin tingginya prevalens dan insidens penyakit degeneratif (hipertensi, jantung, stroke, diabetes, gangguan mental, dll), sementara penyakit infeksi tetap ada dan belum teratasi secara memuaskan. Ulah manusia merusak keseimbangan ekologi memacu munculnya penyakit baru (new emerging diseases) seperti SARS, flu burung dan Nipah encephalitis (di Malaysia). Selain itu, lingkungan kumuh disekitar penduduk miskin memancing kembalinya penyakit lama (re-emerging diseases) seperti framboesia, scabies, pes, ebola (di Afrika), dll. Semua ini menghasilkan transisi epidemiologis dengan tiga pola: degeneratif, infeksi baru dan infeksi lama, yang menimbulkan beban multiple dalam pembangunan kesehatan (dikenal dengan "triple burden"). Sementara itu, perubahan lain dalam pola penyakit adalah semakin banyaknya jenis-jenis faktor resiko penyakit: breeding places nyamuk malaria akibat penambangan dan pembukaan hutan, penggunaan bahan berbahaya dalam berbagai produk termasuk produk makanan serta polusi lingkungan dari industri. Faktor resiko lain yang sangat penting adalah perubahan gaya hidup termasuk pola makan, aktivitas fisik dan kegiatan sehari-hari yang semakin menimbulkan "stress". Disamping transisi epidemiologi seperti disebutkan diatas, pembangunan kesehatan juga dihadapkan pada tiga faktor penting, yaitu (a) jumlah penduduk miskin yang tinggi, (b) teknologi kedokteran yang semakin canggih dan efektif akan tetapi mahal, dan (c) inflasi biaya kesehatan dalam keterbatasan dana. Pertama, tentang penduduk miskin; jumlahnya di Indonesia sangat besar yaitu sekitar 40 juta pada tahun 2005 (sekitar 25%). Namun Bank Dunia, dengan menggunakan batasan pendapatan US$1/kapita per tahun, memperkirakan bahwa jumlah penduduk miskin adalah 35-40 juta; dan kalau batas tersebut dinaikkan mejadi US$ 2/kapita/tahun, jumlahnya adalah 104 juta. Dengan demikian 20% penduduk Indonesia adalah miskin dan 30% adalah nyaris miskin (near poor). Jelas ini suatu jumlah yang sangat besar dan spektakuler dan merupakan tantangan besar dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan kesehatan. Konstitusi Indonesia menyatakan bahwa pemeliharaan kesehatan penduduk miskin adalah tanggung jawab negara. Ini berarti sistem pembiayaan kesehatan harus menjamin kecukupan biaya kesehatan untuk penduduk miskin. Kedua, kemajuan teknologi kedokteran menawarkan alat-alat yang lebih canggih. Pada satu sisi teknologi canggih ini lebih efektif, akan tetapi pada umumnya memerlukan biaya yang lebih tinggi. Ketiga, dimana-mana didunia biaya kesehatan mengalami kenaikan dengan laju inflasi lebih tinggi
4 DHS-1
MODUL HSR
dari pada rata-rata inflasi ekonomi. Untuk negara berkembang ini memberi beban berat terhadap biaya kesehatan yang sangat terbatas. Ketiga hal tersebut diatas, yaitu jumlah penduduk miskin yang besar, introduksi alat kedokteran canggih yang mahal dan inflasi biaya kesehatan, memerlukan perubahan mendasar dalam sistem pembiayaan kesehatan. Akuntabilitas publik Pendidikan penduduk meningkat, disertai akses yang lebih baik terhadap informasi. Akibatnya, masyarakat semakin menuntut pelayanan kesehatan yang bermutu dan akuntabel. Stakeholder pembangunan kesehatan juga semakin mengerti indikator-indikator derajat kesehatan yang seharusnya membaik dari waktu kewaktu. Betulkah status gizi penduduk membaik? Kenapa IMR dan MMR tidak sebaik negara tetangga yang dulu tertinggal dari kita, padahal infrastruktur pelayanan kesehatan sudah dibangun secara massal? Kenapa masih ada "outbreak" (KLB) campak padahal cakupan immunisasi sudah mencapai UCI? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah semacam gugatan terhadap akuntabilitas pembangunan kesehatan yang dilaksanakan dengan dana publik. Artinya, masyarakat semakin mengkaitkan alokasi dan penggunaan dana publik dengan indikator kinerja. Dan indikator kinerja tersebut tidak lagi terbatas pada indikator input (sarana fisik dan penempatan tenaga kesehatan), akan tetapi beralih ke indikator output (cakupan program dan utilisasi pelayanan), bahkan terus bergeser ke indikator outcome (perbaikan indikator derajat kesehatan). Reformasi sektor kesehatan: suatu keharusan Turbulensi lingkungan kesehatan, transisi kesehatan dan tuntutan akan akuntabilitas pembangunan kesehatan seperti disampaikan diatas adalah tiga alasan utama kenapa sektor kesehatan harus dirubah secara mendasar. Perubahan mendasar ini oleh WHO disebut sebagai refomasi sektor kesehatan atau "Health Sector Reform" atau HSR. HSR adalah suatu keharusan. Kalau sistem atau sektor kesehatan tidak responsif terhadap perubahan tersebut. maka sistem tersebut akan menjadi tidak relevan. Sumberdaya yang dipergunakan akan menjadi sia-sia, akuntabilitas pembangunan kesehatan tidak bisa dipertanggung jawabkan kepada stakeholder kesehatan, terutama kepada rakyat. PERKEMBANGAN REFORMASI SEKTOR KESEHATAN Reformasi sektor kesehatan bukan hal baru. Pada tingkat internasional sudah dilakukan secara sistematis sejak dicetuskannya "Health for All by 2000" (HFA/2000) dalam "World Health Assembly" tahun 1977 di Geneva. Sebagai follow up dari kesepakatan tersebut, pada tahun 1978 dikeluarkan deklarasi Alma Ata yang menyepakati bahwa untuk
5 DHS-1
MODUL HSR
mewujudkan HFA 2000 tersebut, perlu dilakukan perubahan mendasar dalam sistem kesehatan di setiap negara. Ada dua perubahan mendasar yang disarankan, yaitu: 1. Masing-masing negara hendaknya menyusun Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2. Setiap negara hendaknya mengembangkan Pelayanan Kesehatan Primer (Primary Health Care atau PHC) yang terjangkau (aksesibel) bagi semua penduduk Sejak deklarasi Alma Ata tersebut, banyak negara di dunia menyusun SKN sekaligus mengembangkan sistem pelayanan kesehatan primer yang spesifik untuk negara bersangkutan. Di Indonesia, segera disusun sebuah Sistem Kesehatan Nasional, yang disyahkan pada tahun 1982. Demikian pula, Indonesia mengembangkan beberapa model PHC yang dikenal misalnya dengan istilah PKMD (Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa) dengan melatih Kader Kesehatan (Promotor Kesehatan Desa atau Promokesa), peningkatan jangkauan Puskesmas melalui Puskesmas Pembantu, pengembangan Posyandu, penempatan bidan di desa dan pengembangan Polindes, dll. Selanjutnya, dalam dekade 1980-an, berbagai proyek kesehatan yang dibiayai oleh dana internasional dilakukan di Indonesia. Banyak perubahan-perubahan mendasar yang diintrodusir dalam proyek tersebut, seperti misalnya perubahan tarif RS dan Puskesmas, perbaikan program gizi berbasis pengembangan masyarakat (community based), penggunaan obat secara lebih rasional, peningkatan mutu pelayanan kesehatan, pemberian otonomi kepada fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah, mengembangkan kemitraan dengan swasta, menggerakkan peran serta masyarakat, mengembangkan sistem perencanaan dan penganggaran program dan pelayanan kesehatan, melakukan mobilisasi pendanaan dari masyarakat, melakukan perencanaan dan pengadaan tenaga kesehatan. Perubahan lainnya yang sangat mendasar adalah pelaksanaan desentralisasi kesehatan ke tingkat kabupaten dan kota sejak 1999/2000. Ada beberapa perubahan dalam kebijakan kesehatan nasional yang juga dapat dikatakan sebagai reformasi kesehatan seperti misalnya penggunaan obat generik, penempatan dokter dan bidan melalui sistem kontrak, serta penetapan beberapa program dan pelayanan sebagai paket pelayanan minimum. Secara historis, hal yang mendorong (driving forces) dilakukannya reformasi sektor kesehatan pada awalnya adalah ketidak merataan pembangunan kesehatan, baik antara negara maupun didalam suatu negara. Di Indonesia misalnya, ketidak merataan tersebut sekaligus bersifat vertikal (antara strata sosial-ekonomi) dan bersifat horizontal (antara wilayah - misalnya kota dan desa, antara wilayah timur-barat, Jawa dan luar Jawa). Namun dalam perkembangannya, terutama dalam dekade 1980-an, fakta empiris lain turut mendorong dilakukannya reformasi sektor kesehatan. Fakta empiris tersebut termasuk: (1) sumberdana kesehatan yang semakin terbatas dan berkompetisi dengan kebutuhan sektor lain,
6 DHS-1
MODUL HSR
(2) (3) (4) (5) (6)
inefisiensi penggunaan dana yang terbatas tersebut, rendahnya mutu pelayanan kesehatan, gap antara supply yang didominasi pemerintah dengan "need" dan "demand" masyarakat, tidak jelasnya peranan swasta dan masyarakat dalam sistem kesehatan kinerja pembangunan kesehatan secara umum jauh dibawah harapan seperti terlihat pada angka morbiditas dan mortalitas (7) transisi epidemiologi yang berkaitan dengan transisi demografi (8) globalisasi yang meningkatkan mobilitas manusia, barang dan teknologi antara negara (9) perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang menawarkan alternatif baru untuk pembangunan kesehatan
7 DHS-1
MODUL HSR
BAGIAN II PENGERTIAN DAN TUJUAN REFORMASI SEKTOR KESEHATAN 1. Pengertian Gagasan reformasi sektor kesehatan banyak dicetuskan dalam pertemuan internasional oleh badan-badan yang bersifat multilateral (WHO, UNICEF, Bank Dunia, ADB, dll), maupun badan-badan internasional yang bersifat bilateral seperti USAID, JICA, AusAid, GTZ, dll. Sejalan dengan kegiatan-kegiatan tersebut, ada upaya untuk mendefinisikan arti dari Reformasi Sektor Kesehatan. Salah satu definisi yang dipergunakan luas oleh WHO adalah rumusan yang disampaikan oleh Cassel, yakni sebagai berikut: "Health Sector Reform is a sustained process of fundamental change in policy and institutional arrangements guided by the government, designed to improve the functioning and performance of the health sector and ultimately the health status of the populations." 1 atau: "Reformasi sektor kesehatan adalah proses perubahan kebijakan dan tata kelembagaan yang mendasar dan berkelanjutan, yang dipandu oleh pemerintah, dengan tujuan meningkatkan fungsi dan kinerja sektor kesehatan yang pada akhirnya meningkatkan derajat kesehatan penduduk" 2. Tujuan Secara umum, tujuan reformasi sektor kesehatan adalah meningkatkan kinerja system kesehatan. Pada mulanya tujuan reformasi sektor kesehatan seperti dinyatakan oleh Weil2 terbatas pada tiga hal berikut, yaitu: Meningkatnya efisiensi penggunaan sumberdaya kesehatan yang terbatas (efficiency) Meningkatnya pemerataan pembangunan kesehatan (equity) Meningkatnya mutu dan efektivitas program dan pelayanan kesehatan (quality) Dalam perkembangannya, tujuan reformasi sekktor kesehatan tersebut menjadi lebih luas dan lebih rinci (detail). Sekarang ini, tujuan reformasi sektor kesehatan paling tidak mencakup enam hal sebagai berikut:
1 2
Cassels A. Health sector reform: key issues in less developed countries. J Int Devel 1995;7:329-374 Weil D.E.C. Advancing tuberculosis control within reforming health systems. Int J Tuberc Lung Dis 2000; 4(7): 597-605
8 DHS-1
MODUL HSR
HSR dan Peningkatan Manajemen (Management Improvement) HSR perlu dibedakan dari "Management Improvement" atau peningkatan manajemen, walaupun kadang-kadang tidak mudah membedakannya. HSR adalah perubahan mendasar yang dilakukan terhadap sistem kesehatan yang pengukuran dampaknya adalah kinerja sistem kesehatan secara keseluruhan. Dan kinerja tersebut diukur dengan 6 indikator yang disebutkan diatas. Peningkatan manajemen skalanya lebih sempit, yaitu pada unit-unit organisasi kesehatan termasuk unit administratif dan unit pelayanan kesehatan. Jadi misalnya penyesuaian tarif pelayanan kesehatan terhadap inflasi biaya, bukanlah suatu HSR. Penggunaan komputer untuk mengolah data di Puskesmas, juga bukan suatu HSR, akan tetapi lebih tepat disebut peningkatan sistem manajemen informasi. Penggunaan mesin amano untuk absensi staff Dinas Kesehatan agar lebih rajin masuk kantor, juga tidak bisa disebut HSR. Demikian juga, pelatihan staff Dinkes agar mampu menyusun anggaran berbasis kinerja, juga bukan Health Sector Reform. Akan tetapi, peralihan sistem anggaran dari "line item budget" yang dulu dikenal dengan DIP/DIK menjadi "performance budget", yang sekarang dikenal sebagai anggaran berbasis kinerja, adalah sebuah reformasi sistem anggaran kesehatan pemerintah.
10 DHS-1
MODUL HSR
Untuk keperluan evaluasi HSR, perlu dikumpulkan data dasar (baseline data) yang kelak bisa dipantau dan dievaluasi, apakah reformasi tersebut telah mencapai tujuan atau tidak. Dengan perkataan lain, keberhasilan atau kegagalan HSR dapat dinilai dengan cara membandingkan data dasar dengan data evaluasi. 2. Evidence based dan peranan OR Prinsip kedua, HSR harus didasarkan pada fakta empiris (evidence based). Misalnya reformasi sistem pelayanan kesehatan dasar tidak bisa dilakukan atas dasar model yang belum terbukti dan teruji efektif. Sebagai contoh, sejak lama dipercayai bahwa Growth Monitoring (GM) dalam program gizi akan meningkatkan status gizi ibu dan anak. Ternyata dalam evaluasi program di Bangladesh, tidak ditemukan bukti bahwa GM efektif meningkatkan status gizi ibu dan anak. Pembuktian secara empiris memerlukan aplikasi metode penelitian ilmiah untuk menjamin kesahihan atau validitas hasil evaluasi HSR yang dilakukan. Oleh sebab itu, dalam HSR seringkali diperlukan kegiatan "Operational Resarch", untuk meneliti keberhasilan, kelebihan dan kekurangan suatu reformasi kesehatan yang dilakukan. Ini berarti penelitian ilmiah perlu menyertai HSR. Ini dapat dilakukan apabila Operational Research dilakukan dalam proses HSR tersebut. Untuk tingkat daerah, ada baiknya dipertimbangkan untuk melibatkan institusi penelitian dalam mendesain dan melaksanakan OR tersebut. Namun pelaksanaan penelitian ilmiah tersebut belibatkan penyelengara kesehatan (dalam hal ini Dinas Kesehatan, RSUD dan Puskesmas dan profesi kesehatan). Keterlibatan tersebut mulai dari perencanaan, pelaksanaan, analisis dan pemanfaatan hasil penelitian tersebut. Penelitian semacam ini, yaitu melibatkan penyelenggara program disebut Penelitian Operasional atau Operational Research (OR). 3. Sistematis dan terintegrasi Seringkali reformasi dilakukan secara terfragmentasi, misalnya hanya menyangkut sistem ketenagaan, hanya sistem pelayanan kesehatan, hanya sistem pembiayaan, hanya sistem pembagian wewenang, dan hanya sistem paket pelayanan. Padahal semua itu satu sama lain saling terkait. Perubahan dalam sistem pelayanan misalnya, tentu membawa konsekuensi terhadap sistem ketenagaan, dan sistem pembiayaan. Oleh sebab itu, reformasi kesehatan hendaknya direncanakan dan dilaksanakan sebagai suatu paket reformasi dalam konteks sistem kesehatan suatu wilayah, misalnya wilayah tingkat nasional dan wilayah tingkat daerah. Dalam praktek hal tersebut jarang dilakukan, lebih-lebih karena reformasi kesehatan dilakukan dengan dana bantuan/pinjaman luar negeri yang cenderung hanya menyentuh issue spesifik dan terbatas dalam sub-sistem kesehatan (misalnya terbatas pada "human resources", "health financing", "health information system", dll).
12 DHS-1
MODUL HSR
4. Terencana Dimuka sudah disampaikan bahwa reformasi kesehatan harus berkelanjutan (sustainable). Apalagi karena reformasi tersebut umumnya dilakukan pada sistem kesehatan yang didominasi oleh pemerintah. Seperti diketahui, perubahan-perubahan pada sektor publik biasanya memerlukan proses yang lama dan panjang, karena menyentuh aspek legal/peraturan dan aspek konsensus dari fihak legislatif dan eksekutif. Oleh sebab itu, reformasi sektor kesehatan harus dimasukkan dalam rencana jangka menengah (5 tahunan) dan rencana jangka panjang (15 - 25 tahunan) pembangunan kesehatan nasional dan daerah. Artinya, rencana reformasi kesehatan harus muncul dalam Renstra kesehatan dan RPJP kesehatan. Lebih lanjut, rerformasi yang ada dalam Renstra tersebut harus diterjemahkan dalam rencana tahunan. Seringkali ditemukan "gap" antara substansi Renstra Kesehatan dengan substansi Rencana Tahunan Kesehatan, terutama kalau: (1) perencanaan kesehatan bersifat sentralistis dan top down sehingga sulit bagi daerah untuk menyesuaikan rencana tahunannya dengan Renstra (2) daerah mempunyai Renstra yang tidak berorientasi pada enam tujuan reformasi yang disebutkan dimuka (3) rencana program kesehatan didorong oleh proyek-proyek yang bersifat partial dan fragmented 5. Berkelanjutan Prinsip selanjutnya adalah keberlanjutan atau sustainability. Prinsip ini masih merupakan masalah besar dalam pelaksanaan reformasi sektor kesehatan di Indonesia. Sebagian besar reformasi sektor kesehatan dilakukan dengan dana proyek (hibah atau pinjaman), yang sejak awal desainnya adalah partial dan fragmented. Artinya, proyek tersebut hanya menyangkut elemen tertentu dalam sistem kesehatan. Sehingga waktu proyek tersebut selesai, reformasi yang dikembangkan tidak bisa dilanjutkan karena hambatan ada pada elemen lain dalam sistem kesehatan yang tidak disentuh dalam design reformasi tersebut. Misalnya, sebuah proyek untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan menuntut komitmen waktu yang lebih banyak dari tenaga medis yang melaksanakan pelayanan. Seharusnya reformasi "mutu" tersebut juga menyentuh aspek reformasi "remunerasi" (pendapatan) staff. Karena kalau tidak ada reformasi dalam hal remunerasi, maka sistem peningkatan mutu tersebut tidak bisa berkelanjutan. Masalah keberlanjutan reformasi juga diamati pada perubahan dalam penggunaan teknologi canggih dan mahal, yang hanya bisa beroperasi selama dana proyek mendukung biaya operasional dan pemeliharaan alat-alat canggih tersebut.
13 DHS-1
MODUL HSR
Oleh sebab itu, analisis kelayakan ekonomis sangatlah penting dalam memilih dan merencanakan reformasi sektor kesehatan. Apakah tersedia SDM yang cukup untuk melanjutkan reformasi tersebut? Apakah tersedia anggaran yang cukup (APBN dan APBD atau dana masyarakat) untuk mengadopsi dan melanjutkan reformasi tersebut? Inilah pertanyaan mendasar yang perlu dijawab untuk menilai apakah suatu pilihan dan rencana reformasi dapat berkelanjutan. 6. Fleksibel HSR bukan pemaksaan perubahan kedalam sistem kesehatan. HSR adalah proses untuk meningkatkan kinerja sistem atau program kesehatan yang diukur dengan 6 indikator seperti telah disampaikan dimuka, yaitu (a) equity, (b) quality/effectiveness, (c) efficiency, (d) acceptability, (e) fairness, dan (f) affordability/sustainabiity). Dengan perkataan lain, HSR adalah proses melakukan "scalling up" (peningkatan kinerja) sistem yang sudah ada. Oleh sebab itu, bisa saja perubahan tersebut berbeda dari desain awal ataupun berbeda dari desain yang dibuat secara "top down". Artinya, dalam pelaksanaan HSR harus diterima kenyataan bahwa reformasi yang dilakukan bisa berbeda antara daerah. Namun tujuannya tetap sama, yaitu ke enam indikator diatas. 7. Keterlibatan stakeholders Pertanyaan tentang siapa sebetulnya yang mendorong reformasi kesehatan adalah pertanyaan kritis yang sering dilontarkan dalam forum-forum reformasi kesehatan. Ada sinyalemen yang mengatakan bahwa banyak reformasi yang dilakukan adalah "donor driven", "government driven", "supplier driven", "technology driven", "specialist driven", atau bahkan "official driven" ("pejabat" driven). Kritik-kritik tersebut menyatakan bahwa reformasi demikian selain sering tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, juga mahal, boros, tidak sustainable dan tidak membangkitkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab (sense of responsibility). Oleh sebab itu, reformasi kesehatan harus menampung kebutuhan dan aspirasi semua stakeholder, terutama masyarakat/penduduk sebagai "beneficiaries" (penerima manfaat) program dan pelayanan kesehatan. Pertama, reformasi kesehatan harus didasarkan pada "un-met need" masyarakat, yaitu menyangkut masalah penyakit, menyangkut akses (ekonomi, jarak dan budaya), menyangkut mutu (termasuk kepuasan). Kedua, reformasi sektor kesehatan sebaiknya merefleksikan aspirasi masyarakat misalnya menyangkut sistem pembiayaan yang berkeadilan, pelayanan yang manusiawi, dll. 8. Tanggung jawab pemerintah Prinsip berikutnya, reformasi kesehatan adalah tanggung jawab pemerintah, walaupun pelaku-pelaku reformasi tersebut bisa fihak swasta, fihak masyarakat dan para kumpulan
14 DHS-1
MODUL HSR
profesi. Pemerintah harus menjamin agar reformasi apapun yang dilakukan dan siapapun yang melakukannya, tidak menyimpang dari enam tujuan dan norma reformasi sektor kesehatan seperti telah disampaikan dimuka.
15 DHS-1
MODUL HSR
BAGIAN IV AREA REFORMASI KESEHATAN DALAM KONTEKS DESENTRALISASI Reformasi yang dilakukan dibanyak negara sangat beragam. Bahkan di Indonesia juga sangat banyak jenis reformasi yang dilakukan. Secara umum, reformasi tersebut menyentuh hampir semua aspek dalam sistem kesehatan suatu negara. Dari pengalaman-pengalaman tersebut, reformasi kesehatan yang selama ini telah dilakukan dapat dikelompokkan dalam 5 area, seperti diringkaskan dalam diagram berikut; (dengan beberapa contoh dalam masing-masing area): Kebijakan & Administration Kesehatan
Sumberdaya *Pembiayaan *SDM *Technologi *Obat/bahan *Dll
Pergeseran paradigma
Good governance
Desentralisasi
Lintas sektor
Kemandirian (self reliance)
Perampingan organisasi
Pemberdayaan masyarakat
Kesehatan sbg reduksi kemiskinan
Redefinisi peran pemerintah
Dll
Program/ pelayanan
Sistem pelayanan
*Pelayanan essensial *SPM *MTBS *Dll
*Reformasi RS, *Reformasi PHC *Otonomi *Publ/private mix *Outsourcing *Dll
Sasaran (beneficiaries) *Miskin *Nyaris miskin *Rentan *Terpencil *Dll Ascobatg/02
Area dan Contoh HSR Secara garis besar - seperti tergambar dalam diagram diatas - ada 5 area reformasi sektor kesehatan, yaitu: (1) Reformasi kebijakan dan administrasi kesehatan (2) Reformasi sumberdaya kesehatan (3) Reformasi paket pelayanan kesehatan (4) Reformasi sistem penyampaian pelayanan kesehatan (5) Reformasi target/sasaran pelayanan/program kesehatan
16 DHS-1
MODUL HSR
Berikut ini disampaikan contoh reformasi dalam ke lima area tersebut, yang umumnya dilakukan di banyak negara, termasuk di Indonesia. Reformasi kebijakan dan administrasi kesehatan 1. Pergeseran paradigma (misalnya: dari supply ke demand side approach; dari kuratif ke preventif; kesehatan sebagai investasi, dll) 2. Desentralisasi (desentralisasi kewenangan, desentralisasi fiskal) 3. Kemandirian, misalnya membatasi dana pinjaman maksimum 5% (akhir 1980 sampai awal 1990) 4. Pemberdayaan masyarakat, misalnya mengikut sertakan wakil masyarakat dalam sistem kesehatan dengan membentuk Dewan Kesehatan Daerah, dll 5. Redefinisi peran pemerintah: fokus pada barang publik, dari pelaksana (rowing) ke pengendali (steering), dll 6. Good governance (berbagai reformasi untuk meningkatkan akuntabilitas) 7. Lintas sektor: produk legislatif tentang peran sektor lain, pelaksanaan Amdal dan ADKL, 8. Pembangunan kesehatan sebagai instrumen reduksi kemiskinan (MDG 2015) 9. Reformasi organisasi: reduksi unit struktural dan peningkatan unit fungsional . Reformasi sumberdaya kesehatan 1. Pembiayaan (desentralisasi fiskal dalam sistem pembiayaan pemerintah, pengembangan asuransi, penerapan anggaran berbasis kinerja, dll) 2. Tenaga/SDM kesehatan (outsourcing, sistem kontrak, produksi, distribusi, dll) 3. Teknologi kesehatan (aplikasi teknologi tepat guna, penggunaan RDT atau "rapid diagnostic test" untuk malaria, dll) 4. Obat/bahan kesehatan (kemandirian, obat generik, persaingan harga obat, dll) Reformasi program dan pelayanan kesehatan 1. Penentuan 5 program terpadu melalui Posyandu 2. Penentuan SPM (Standar Pelayanan Minimum) 2. Penerapan MTBS 3. Pengembangan paket pelayanan KIA untuk penurunan AKI dan AKB Reformasi sistem penyelenggaran program dan pelayananan kesehatan (delivery system) 1. Rumah sakit : regulasi dan akreditasi, pemberian otonomi manajemen (misalnya BLU) 2. Otonomi manajemen keuangan Puskesmas 3. Sistem pelayanan primer (Possyandu, Polindes, Poliklinik desa, dll) 3. Public-private mix (integrasi investasi swasta dalam pelayanan pemerintah seperti RSU dan Puskesmas) 4. "Contracting out" atau "outsourcing" (mengontrakkan pelaksanaan fungsi Puskesmas kepada fihak ketiga, misalnya sistem pelayanan kesehatan swasta)
17 DHS-1
MODUL HSR
Reformasi target prioritas program dan pelayanan kesehatan 1. Strategi meningkatkan demand (utilisasi) pelayanan penduduk miskin, nyaris miskin dan kelompok rentan serta tidak miskin 2. Strategi menjangkau penduduk daerah terpencil, 4. Strategi komprehensif untuk pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak 4. Sistem pembiayaan dan pelayanan untuk tenaga kerja sektor formal 5. Dll
18 DHS-1
MODUL HSR
BAGIAN V LANGKAH-LANGKAH REFORMASI KESEHATAN DITINGKAT DAERAH Reformasi sektor kesehatan harus terencana. Oleh sebab itu, sistem kesehatan di tingkat daerah harus dianalisis secara holistik untuk mengetahui kelemahan-kelemahan apa yang terdapat dalam sistem tersebut dan reformasi apa yang perlu dilakukan. Langkah yang perlu dilakukan terdiri dari : (1) langkah perencanaan, (2) langkah pengumpulan data dasar (baseline data) (3) langkah pelaksanaan (pelaksanaan perubahan atau "reform", pemantauan dan supervisi), (4) langkah evaluasi dan (5) langkah adopsi dan legitimasi perubahan menjadi sebuah kebijakan. 1. Perencanaan Penyusunan rencana reformasi hendaknya adalah bagian dari proses penyusunan Renstra Kesehatan atau RPJP Kesehatan daerah. Artinya, rencana reformasi harus dibahas sebagai bagian dari penyusunan rencana berskala agak lama, yaitu jangka menengah (5 tahun) dan atau jangka panjang (15 - 20 tahun). Reformasi mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasinya biasanya memerlukan waktu lebih dari 1 tahun. Namun dalam praktek seringkali inisiatif reformasi terjadi dalam bentuk proyek kesehatan yang "time frame" atau periode waktunya berbeda dari periode waktu RPJM. Dalam hal ini, perlu ada pembahasan dengan stakeholder RPJM (misalnya Pemda dan DPRD) tentang inisiatif reformasi yang "baru" tersebut. Seperti lazimnya perencanaan kesehatan, langkah awal yang perlu dilakukan adalah analisis situasi menyeluruh terhadap sistem kesehatan daerah. Tujuan analisis situasi ini adalah untuk identifikasi masalah yang ada dalam sistem kesehatan tersebut. Langkah berikutnya adalah melakukan analisis tentang kemungkinan penyebab dari masalah tersebut. Sebagai ilustrasi, berikut ini disampaikan rencana reformasi sistem kesehatan disuatu daerah yang berkaitan dengan rendahnya cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga terlatih. a. Masalah: - Cakupan K-4 hanya 15% walaupun K-1 mencapai 60% - Hasil survey khusus menunjukkan 28% ibu hamil dan 20% bayi menderita malaria - 75% persalinan ditolong oleh dukun
19 DHS-1
MODUL HSR
b. Penyebab -
Jumlah penduduk miskin mencapai 78% Biaya transport kefasilitas kesehatan menjadi beban besar bagi keluarga Ibu hamil dan keluarganya membutuhkan pelayanan "non klinis" dukun seperti mencuci, memasak, dll Dukun datang kerumah, keluarga tidak perlu mengeluarkan biaya transport Persepsi masyarakat bahwa mutu pelayanan di Polindes dan Puskesmas tidak memuaskan (misalnya staff sering tidak ada ditempat).
c. Kemungkinan intervensi: -
Dana kesehatan untuk Gakin dipergunakan untuk subsidi biaya transport ibu yang akan melahirkan Bidan diminta melakukan kunjungan rumah pada trimester terakhir kehamilan (setiap bumil) untuk melakukan ANC dan menyusun "rencana persalinan" dengan ibu yang bersangkutan bersama keluarganya Bidan diberikan biaya atau alat transport untuk melakukan kunjungan tersebut Bidan memberikan insentif uang kepada dukun yang mengirimkan ibu hamil agar persalinannya ditolong bidan (misalnya dari dana APBD) Fasilitas untuk persalinan di Polindes dan Puskesmas ditingkatkan sesuai standar Mengatur sistem remunerasi bidan apabila ia menolong persalinan di fasilitas Puskesmas
d. Reformasi yang diperlukan Berbagai macam intervensi tersebut diatas berbeda dari kebijakan dan sistem yang ada sekarang. Pertanyaannya, perlukah kebijakan dan system yang ada sekarang dirubah (reform). Menurut kebijakan dan sistem yang ada, pembiayaan kesehatan untuk penduduk miskin dipergunakan untuk 5 kegiatan pokok, yaitu: a. Pembayaran kepada bidan (sesuai jumlah persalinan yang ditolongnya) b. Biaya Puskesmas yang terdiri dari: b.1. Pelayanan kesehatan dasar bagi pasien miskin b.2. Revitalisasi Posyandu termasuk biaya transport kader b.3. Biaya operasional Puskesmas c. Pembayaran kepada rumah sakit untuk kasus yang dirujuk Oleh sebab itu, dalam perencanaan reformasi, semua kemungkinan intervensi tersebut diatas disusun menjadi rencana perubahan, yang intervensinya bisa
20 DHS-1
MODUL HSR
mencakup semua area seperti telah disampaikan dimuka; seperti disampaikan dalam matriks berikut: Area reformasi
No Intervensi/reformasi yang dilakukan 1 Prioritas bagi ibu hamil yg akan melahirkan Penggunaan dana gakin untuk subsidi transport bumil yang melahirkan di fasilitas kesehatan atau 2 bidan
Prioritas sasaran x
5 6 7
Financing Kebijakan system kesehatan x
x
Kunjungan bidan trimester terakhir untuk ANC dan 3 perencanaan persalinan 4
Paket Delivery pelayanan system
x
x
Tambahan biaya transport bidan untuk kunjungan trimester terakhir Bidan memberikan insentif kepada dukun utk mengirim bumil yang akan melahirkan Peningkatan fasilitas Polindes dan Puskesmas untuk persalinan Mengatur sistem remunerasi bidan apabila menolong persalinan di Puskesmas
x
x x
x x
x
x
Identifikasi penyebab-penyebab dalam proses diatas menghasilkan daftar kebutuhan intervensi yang dilakukan. Proses selanjutnya adalah menilai dan menentukan intervensi mana yang perlu dilakukan dan intervensi tersebut memerlukan perubahan mendasar dan permanen dalam sistem kesehatan daerah. Tidak semua jenis intervensi yang sudah diidentifisir harus ditindak lanjuti. Suatu intervensi perlu selanjutnya dilaksanakan kalau: (1) Kontribusinya terhadap pengurangan masalah cukup besar atau susbtansial (2) Tersedia cukup sumberdaya untuk melakukannya (3) Intervensi tersebut layak dan dapat diterima oleh stakeholder (adanya komitment berkelanjutan terutama dari pegambil keputusan) (4) Hasil intervensi tersebut dapat dipertahankan dalam jangka panjang (sustainability), misalnya perlu didukung dengan keputusan legalistik Rencana reformasi terdiri dari daftar kegiatan sebagaimana halnya sebuah rencana proyek. Untuk setiap kegiatan disusun jadwal pelaksanaannya dan juga indikatornya. Pada dasarnya, sebuah rencana refomasi identik dengan sebuah rencana proyek. Sebaiknya rencana reformasi dimasukkan sebagai bagian dari rencana strategis, terutama kalau reformasi tersebut memerlukan waktu beberapa tahun (multi year ). Kalau demikian, perlu juga disusun rencana implementasinya dalam tahunan (rencana tahunan). Dalam kenyataan hampir semua kegiatan reformasi sektor kesehatan adalah proyek-proyek kesehatan yang seringkali dibiayai dengan dana hibah atau pinjaman. Dana hibah dan
21 DHS-1
MODUL HSR
pinjaman ada batas waktunya. Biasanya 5 tahun walaupun cukup banyak proyek kesehatan yang terpaksa diperpanjang 1 - 3 tahun karena penyerapan dananya tidak lancar. Pengalaman menunjukkan bahwa banyak proyek yang hasilnya tidak sustainable karena begitu dana proyek dihentikan, dana dari sistem kesehatan tidak cukupatau tidak ada samasekali untuk melanjutkan hasil-hasil proyek tersebut. Oleh sebab itu, dalam perencanaan reformasi sektor kesehatan yang didanai dari bantuan atau pinjaman berjangka waktu terbatas, pada fase perencanaannya sudah dibuat skenario "exit strategy". Rencana "exit strategy" adalah rencana menjamin keberlanjutan hasil reformasi, baik dalam hal pembiayaan, ketenagaan dan komitment. 2. Baseline data Karena pada dasarnya rencana reformasi mirip dengan rencana sebuah proyek, maka perlu dikembangkan indikator tertentu untuk keperluan pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi). Sebelum reformasi tersebut dilaksanakan, perlu dikumpulkan data dasar (baseline data) tentang indikator tersebut, sehingga kemudian bisa dinilai apakah ada perubahan yang terjadi setelah reformasi dilaksanakan. Seperti disampaikan dimuka, fokus HSR adalah pemerataan, efektivitas/mutu, efisiensi, akseptability, affordability dan sustainability. Oleh sebab itu, perlu ditentukan indikator untuk mengukur hal tersebut dalam kaitannya dengan reformasi yang akan dilakukan. Indikator ini dipergunakan dalam pengumpulan data dasar (baseline data). 3. Pelaksanaan Pelaksanaan reformasi sebaiknya merupakan bagian integral dari sistem yang berlaku atau berjalan. Dengan demikian pelaksanaan reformasi tersebut tidak "artifisial" dan tidak "ekslusif". Ini penting misalnya dalam sistematika dan prosedur penyusunan dan realisasi anggarannya. Indikator-indikator yang dikembangkan (misalnya indikator input, proses, output, effect dan impact) dipergunakan untuk memonitor pelaksanaan kegiatan reformasi. 4. Evaluasi HSR Tujuan utama evaluasi HSR adalah untuk mengetahui apakah tujuan reformasi tercapai atau tidak. Untuk evaluasi ini kadang-kadang perlu dilakukan sebuah penelitian khusus (Operational Research) yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif: (a) apakah reformasi tersebut efektif meningkatkan kinerja pembanguan kesehatan, (b) apakah reformasi tersebut meningkatkan efisiensi, (c) apakah daerah "committed" dan mampu mengadopsi hasil reformasi tersebut secara berkelanjutan, dll.
22 DHS-1
MODUL HSR
Evaluasi HSR akan menjadi lebih mudah apabila pada tahap awal reformasi dilakukan pengumpulan data dasar (baseline data). Banyak proyek-proyek kesehatan yang kegiatannya adalah reformasi sistem kesehatan, akan tetapi tidak melakukan pengumpulan data dasar, atau kalaupun dikumpulkan, pengumpulan data dasar tersebut tidak dirancang untuk keperluan evaluasi. Ada pula proyek kesehatan yang mengumpulkan data dasar tersebut tidak pada awal proyek akan tetapi pada tahun ke 3 setelah proyek berjalan (dari 5 tahun masa proyek). 5. Adopsi dan legitimasi hasil HSR dalam kebijakan formal Langkah yang sangat penting dalam HSR adalah mengadopsi dan implementasi hasil HSR menjadi kebijakan yang implementasinya lebih luas. Issue pokok disini adalah "replicability"; yaitu sejauh mana reformasi yang berhasil disuatu lokalitas (daerah) dapat diterapkan didaerah lain. Kalau hasil evaluasi menyunjukkan "evidence" yang valid atau meyakinkan bahwa reformasi tersebut berhasil baik, maka hasil refromasi tersebut dapat diadopsi dalam kebijakan.
23 DHS-1
MODUL HSR
BAGIAN VI KRITERIA PEMILIHAN DAN INDIKATOR UNTUK MONITORING DAN EVALUASI REFORMASI SEKTOR KESEHATAN Dalam sistem kesehatan yang sedang dalam masa transisi seperti halnya dengan situasi di Indonesia, banyak sekali topik atau area reformasi yang perlu dilakukan. Namun perlu diingat bahwa reformasi kesehatan adalah suatu kegiatan yang relatif "mahal". Umumnya kegiatan reformasi kesehatan memerlukan sumberdaya yang besar. Oleh sebab itu, dari sekian banyak kebutuhan reformasi kesehatan, perlu dilakukan pemilihan atau penetapan prioritas, reformasi apa yang perlu dilakukan. Selanjutnya, reformasi sektor kesehatan perlu dilengkapi dengan indikator-indikator. Indikator tersebut diperlukan untuk (1) monitoring atau pemantauan dan (4) evaluasi. 1. Kriteria untuk penentuan area/topik reformasi sektor kesehatan Dimuka sudah disampaikan adanya 5 area utama reformasi sektor kesehatan. Dalam masing-masing area ada beberapa topik spesifik yang sudah dan sedang dilakukan di banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam konteks sistem kesehatan daerah (kabupaten/kota), proses identifikasi kebutuhan reformasi bisa menghasilkan sejumlah topik yang cukup banyak, misalnya dalam bidang pembiayaan, ketenagaan, peran serta masyatakat, fasilitas kesehatan, manajemen kesehatan, peran swasta, dll. Keterbatasan sumberdaya dan keterbatasan kemampuan kadangkala tidak memungkinkan semua topik reformasi tersebut dilakukan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penentuan prioritas. Pertanyaannya apa kriteria yang harus dipergunakan ? Salah satu pendekatan adalah menelaah reformasi mana yang laik (feasible) untuk dilakukan. Dengan perkataan lain, mana reformasi yang paling besar kemungkinannya untuk berhasil. Ini menyangkut issue issue sebagai berikut: (1) (2) (3) (4) (5)
Dukungan stakeholder termasuk komitment politis Tersedianya dana secara berkelanjutan Expertise untuk reformasi tersebut tersedia (misalnya tenaga konsultan) Indikator keberhasilan reformasi dapat dirumuskan dengan jelas dan dapat diukur Time frame awal dan akhir reformasi tersebut sebaikya tidak lebih dari 5 tahun (jangka waktu RPJM)
24 DHS-1
MODUL HSR
Sebagai contoh, tabel berikut membantu penetapan prioritas reformasi yang akan dipilih: No 1 2 3 4 5 6
Expert Indikator Dukungan Dana Pilihan reformasi kesehatan stakeholder tersedia tersedia terukur Waktu Skore + 4 + + Profesional PH (S2) untuk staff Dinkes + Otonomi RS +/+ + 2,5 Pengembangan asuransi kesehatan + +/+/+/+/3,0 + + +/+ 3,5 Penempatan SKM di Puskesmas +/+ 1,5 Pelayanan gratis di Puskesmas + + +/+ 3,5 Penerapan paket pelayanan esensial
Misalnya hasil analisis sistem kesehatan di suatu daerah mengidentifikasi 6 topik reformasi kesehatan yang penting dilakukan dalam pelaksanaan desentralisasi. Keterbatasan kemampuan tidak memungkinkan pelaksanaan semua topik tersebut. Melalui proses pembahasan dengan stakeholder daerah (Dinas Kesehatan, RSUD, Puskesmas, Pemda, DPRD, LSM, Toma/Toga), diputuskan topik mana yang menjadi prioritas daerah bersangkutan. Nilai atau tanda dalam sel-sel tabel/matriks diatas hanyalah alat bantu, bukan skore untuk mengambil keputusan. Keputusan harus didasarkan pada hasil kesepakatan atau konsensus, setelah 5 aspek atau kriteria dalam tabel tersebut dipertimbangkan. 2. Indikator untuk perencanaan dan pemantauan Untuk menilai perencanaan dan pemantauan dapat dipergunakan indikator seperti lazimnya dalam format "logical framework". Yang dipergunakan adalah indikator (1) input, (2) proses dan (3) output. Jenis-jenis indikator operasional spesifik untuk masing-masing kelompok indikator tersebut harus disesuaikan dengan topik atau jenis reformasi yang dilakukan. Sebagai contoh, apabila reformasi yang dilakukan adalah mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan melalui asuransi kesehatan, maka indikator input-proses-output yang mungkin cocok adalah sebagai berikut: Contoh indikator untuk perencanaan dan pemantauan pengembangan asuransi kesehatan No 1
Unsur Input
2 3
Proses Output
Indikator operasional/spesifik Adanya Bapel yang profesional, jaringan PPK yang bermutu dan mudah dijankau (accessible) Effektivitas pengumpulan premi, prosedur penggunaan oleh peserta Jumlah cakupan kepesertaan, jumlah premi yang terkumpul, contact rate/ utilisasi, jumlah klaim, dll.
25 DHS-1
MODUL HSR
3. Indikator untuk evaluasi Untuk evaluasi reformasi sektor kesehatan, pertanyaanya apakah tujuan normatif refromasi tersebut tercapai atau tidak. Untuk itu perlu dikembangkan indikator spesifik untuk masingmasing tujuan. Dalam tabel berikut disampaikan contoh beberapa indikator yang bisa dan perlu di kembangkan lebih lanjut. Contoh indikator untuk evaluasi reformasi sektor kesehatan
Seperti terlihat dalam tabel diatas, indicator untuk evaluasi tersebut adalah indicator "canggih" dalam evaluasi program kesehatan pada umumya. Pengukurannya memerlukan instrument dan desain penelitian khusus. Oleh sebab itu, disarankan agar evaluasi terhadap suatu reformasi kesehatan didaerah dilakukan oleh fihak ketiga yang memiliki kemampuan, khususnya kemampuan dalam hal prinsip dan desain Penelitian Operasional (Operational Research).
26 DHS-1
MODUL HSR
BAGIAN VII PENUTUP Sejarah telah menunjukkan bahwa masalah kesehatan penduduk serta faktor-faktor yang mempengaruhinya senantiasa terus berubah. Konsekuensinya, Sistem Kesehatan disuatu negara dan daerah harus mampu mengakomodir perubahan-perubahan tersebut. Artinya, system kesehatan juga harus berubah. Namun perubahan tanpa arah dan tujuan dan tanpa prinsip serta norma yang jelas, akan bermuara pada pemborosan dan kegagalan. Health Sector Reform adalah suatu cara untuk melakukan perubahan secara terencana, sistematis dan taat pada prinsip dan norma yang telah disepakati secara umum. Namun Health Sector Reform bukan proses mudah yang boleh dilakukan secara amatir (tidak professional). Health Sector Reform juga tidak bisa dilakukan secara terburu-buru, karena memerlukan pemantauan dan evaluasi secara hati-hati. Kehati-hatian dalam melakukan Health Sector Reform mutlak diperlukan, karena dampaknya sangat besar terhadap keberhasilan atau kegagalan sebuah sektor yang mengurusi kesehatan dan hidup-matinya penduduk. Contoh-contoh Health Sector Reform yang disampaikan dalam dokumen ini (lihat Box) menunjukkan bahwa Health Sector memerlukan keakhlian khusus untuk mendesain, melaksanakan, memantau dan mengevaluasinya serta tidak jarang memerlukan waktu yang panjang. Ini bukan berarti Health Sector Reform tidak bisa dilakukan ditingkat Kabupaten/Kota. Beberapa contoh yang disampaikan adalah reformasi yang di-inisiasi dan dilaksanakan oleh daerah, walaupun evaluasinya umumnya memerlukan fihak ketiga atau fihak luar. Oleh sebab itu disarankan agar daerah mempertimbangkan keterlibatan para akhli dalam pelaksanaan Health Sector Reform tersebut.
27 DHS-1
MODUL HSR
DAFTAR PUSTAKA 1. Cassels, Andrew: Health Sector reform: Key Issues in Less Developed Countries. WHO, Geneva, July, 1995. 2. Saltman, Richard. Applying Planned Market Logic to Developing Countris Health System: An Initial Exploration. WHO, Geneva,1995. 3. Jeffers, James R: Pengaruh Faktor Penawaran, Permintaan dan Ekonomi Sosial terhadap Kebijaksanaan Kesehatan. Prisma, No. 6, XIX, 1990. 4. Ascobat, G: Mobilisasi Dana Kesehatan. Prisma, No. 6, XIX, 1990. 5. The Privatization Council: Public-Private Partnerships in Health Care. Conference Report, Kuala Lumpur, February-March, 1989. 6. WHO: Interregional Meeting on The Public/Private Mix in National Health System and the Role Of Ministry of Health. Cocoyoc, Mexico, July 1991. 7. Ascobat G. Reformulation and redistribution of functions in Health Sector Reform. WHO Technical Consultation of Experts on Health Sector Reform. Non-Aligned Countries Movement. Cartagena, Colombia. February 9-21, 1997. 8. Berman, Peter (Ed). Health Sector Reform in Developing Countries. Havard University Press, Boston, 1995. 9. Ascobat Gani. Improving Quality in Public Hospital in Indonesia. Int. Journal of Health Planning and Management. Vol 11, 1996. 10. Ascobat G. Proposed Health Sector Adjustment to Protect the Healh of thee Poor and the Vulnerble. Seminar on Policy Reform to Minimize the Impact of the Economic Crisis. Badan Litbang Depkes RI dan UNICEF, Jakarta, July 15, 1998. 11. Hossain, SM et al. An evaluation of the impact of a US$60 million nutrition program in Bangladesh. Health Policy and Planning; 20 (1): 35-40, 2005 DAFTAR BUKU/BACAAN YANG DISARANKAN 1. Berman, Peter (Ed). Health Sector Reform in Developing Countries. Havard University Press, Boston, 1995. 2. Cassels, Andrew: Health Sector reform: Key Issues in Less Developed Countries. WHO, Geneva, July, 1995.
28 DHS-1
MODUL HSR
BAHAN UNTUK BOX BOX-1 Reformasi paradigma pembangunan kesehatan Sejak 1980-an, pada tingkat global terjadi perkembangan dan perubahan paradigma (cara pandang) tentang pembangunan kesehatan. Perubahan paradigma tersebut berkembang secara empiris di banyak negara dan di "endorsed" oleh badan-badan dunia seperti WHO, Unicef, Bank Dunia, UNDP, dll. Beberapa reformasi paradigma yang perlu digaris bawahi adalah sebagai berikut: Kesehatan sebagai investasi Pandangan yang melihat kesehatan sebagai konsumsi bergeser ke pandangan yang melihat kesehatan sebagai investasi. Paradigma "health as an investment" ini berkembang sejak decade 1970-an. (WHO 1992: Saitama Declaration, WB: WDR 1993 - Investing in Health, WHO 2000: Commission on Macroeconomic and Health) Dari orientasi sakit ke orientasi sehat Paradigma lama bahwa pembangunan kesehatan adalah upaya pengobatan penyakit semata ditinggalkan dan berganti dengan paradigma bahwa pembangunan kesehatan adalah upaya untuk membangun kesehatan penduduk, termasuk didalamnya upaya promotif dan preventif disamping upaya kuratif. Paradigma ini merupakan arus tengah dalam visi "Indonesia Sehat 2010". Kesehatan dan pembangunan ekonomi Semula kesehatan dianggap sebagai produk kemajuan ekonomi. Semakin baik tingkat ekonomi penduduk, semakin baik derajat kesehatannya. Hubungan ini dilihat sebagai hubungan satu arah (kesehatan sebagai "dependent variabel" dan kemajuan ekonomi sebagai "independent variabel"). Namun sejak akhir 1970-an cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa kesehatan juga merupakan determinan (penentu) kemajuan ekonomi. Semakin sehat penduduk, semakin tinggi produktivitasnya dan semakin baik keadaan ekonominya. (Commission on Macroeconomic and Health, WHO, 2000). Kesehatan dan reduksi kemiskinan Pada tahun 2000, pertemuan 146 pemimpin dunia menegaskan kembali bahwa pembangunan kesehatan adalah strategi yang sangat penting (instrumen esensial) dalam pengurangan kemiskinan (Poverty Reduction). Ini dinyatakan dalam Millenium Development Goal (MDG). Dari 8 tujuan dalam MDG, ada 5 kegiatan yang merupakan upaya kesehatan, yaitu (1) kurangi kelaparan, (2) turunkan kematian ibu, (3) turunkan kematian anak, (4) berantas penyakit menular, utamanya malaria, tbc dan HIV/AIDS dan (5) tingkatkan akses terhadap air bersih . MDG juga sudah di ratifikasi oleh Indonesia dan target-target MDG tersebut juga mewarnai target-target RPJMN dan RPJPK bidang kesehatan.
DHS-1
MODUL HSR
BOX-2 Reformasi pembiayaan kesehatan Reformasi sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia telah berlangsung sejak lama, dimulai dari upaya mengembangkan Dana Sehat (Community Health Financing) selama decade 1970-an. Upaya tersebut tidak begitu berhasil, paling tidak dalam hal efektivitasnya memobilisasi dana kesehatan secara bermakna. Pada tahun 1982, Depkes mengambil inisiatif mengembangkan sistem asuransi kesehatan, yang konsepnya dikenal sebagai DUKM (Dana Upaya Kesehatan Masyarakat). Pada tahun 1989, melalui proyek "Health Sector Financing" yang dibiayai oleh USAID, konsep DUKM dijabarkan menjadi lebih operasional yang dikenal sebagai JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) (UU N0. 23/1992). Sejak itu banyak Bapel (Badan Penyelenggara) JPKM dibentuk. Dalam tahun 2000-an, secara sistematis dikembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang kemudian diundangkan dalam UU SJSN (tahun 2004). Pengembangan sistem asuransi kesehatan tersebut menghadapi beberapa kendala, antara lain (a) hambatan akses terhadap pelayanan terutama bagi penduduk miskin dan terpencil, (b) mutu pelayanan yang belum sesuai demand atau permintaan penduduk mampu, (c) jumlah penduduk miskin sangat besar yang preminya harus ditanggung pemerintah, (d) perkembangan sektor formal yang terhambat oleh krisis ekonomi sehingga penduduk lebih banyak bekerja di sektor in-formal; oleh karenanya pengumpulan premi menjadi sulit. Reformasi pembiayaan kesehatan menuju system asuransi memerlukan reformasi system pelayanan kesehatan secara serentak (tingkatkan akses dan mutu). Kedua hal tersebut, reformasi pembiayaan dan pelayanan kesehatan, terpengaruh oleh pemulihan ekonomi secara keseluruhan. Dengan demikian reformasi pembiayaan menuju sistem asuransi masih terus berlanjut dan memerlukan waktu yang panjang. Uraian diatas adalah sebuah contoh reformasi sistem pembiayaan kesehatan yang secara bertahap berkembang dari Dana Sehat (terbatas, sukarela), menjadi DUKM (masih konsepsual, terbatas dan sukarela), JPKM (sudah operasional, juga terbatas dan sukarela) dan akhirnya SJSN (menyeluruh atau universal coverage dan wajib). Perlu dicatat bahwa setelah kebijakan otonomi daerah diterapkan, banyak inisiatif local berupa pengembangan system pembiayaan ditingkat daerah. Inisiatif local tersebut bervariasi. Sebagai contoh JKJ Jembrana, Jamkesos Tobasa (Toba Samosir), Pelayanan Primer Gratis di Medan, Batam, dll
DHS-1
MODUL HSR
BOX-3 Rerfomasi anggaran "line item" menjadi anggaran "kinerja" Pada tahun 1980-an sudah diketahui bahwa sistem anggaran pemerintah melalui mekanisme DIP (Daftar Isian Proyek) dan DIK (Daftar Isian Kegiatan) bukan sistem anggaran yang baik karena (a) anggaran investasi yang ada dalam DIP tidak berkaitan dengan anggaran operasional yang ada dalam DIK, (b) orientasinya adalah pengadaan input (line item) yang tidak berkaitan dengan kinerja tertentu yang akan dicapai. Dengan system anggaran seperti itu, program-program kesehatan mengalami kekurangan anggaran operasional, yaitu untuk membiayai kegiaan langsung pada tingkat masyarakat. Pada tahun 2002 dilakukan reformasi terhadap sistem anggaran tersebut, yaitu dengan keluarnya Kepmendagri No. 29/2002 (yang kemudian diperbaharui dengan Permendagri No. 13/2006 dan selanjutnya diperbaharui lagi dengan Permendagri No. 59/2007). Sejak itu diberlakukan sistem anggaran berbasis kinerja, dengan ciri sebagai berikut: a. Setiap anggaran berhubungan dengan kinerja tertentu yang akan dicapai dengan indikator kinerja yang jelas b. Ada klasifikasi yang jelas antara anggaran langsung (pelayanan langsung kepada masyarakat) dan anggaran tidak langsung (membiayai kegiatan penunjang/ manajemen) Diharapkan dengan sistem anggaran berbasis kinerja ini, kebutuhan biaya operasional dan biaya langsung untuk melayani masyarakat akan tercukupi. Asumsinya adalah bahwa anggaran biaya operasional dan biaya langsung akan memacu kinerja pelayanan dan program kesehatan.
DHS-1
MODUL HSR
BOX-4 Refomasi distribusi tenaga kesehatan "Contracting out" sudah lama disarankan dalam reformasi kesehatan dan Indonesia sudah melaksanakannya sejak awal tahun 1990-an, yaitu dengan kebijakan mengontrak dokter untuk bekerja di Puskesmas dan mengontrak bidan untuk bekerja di desa. Semula, sejak 1975 diberlakukan "dokter Inpres" (Instruksi Presiden), dimana semua dokter yang baru lulus wajib bekerja di Puskesmas selama 5 tahun (di daerah tidak terpencil seperti Jawa dan Bali pada umumnya) dan 3 tahun didaerah terpencil (luar Jawa dan Bali pada umumnya). Kebijakan ini telah berhasil memeratakan distribusi dokter ke sebagian besar wilayah Indonesia. Namun sistem ini menyebabkan jumlah tenaga kesehatan dengan status PNS meningkat dari tahun ke tahun, bertentangan dengan trend global untuk mengurangi tenaga sektor public seperti disarankan dalam konsep "re-inventing government". Penambahan jumlah PNS menyebabkan beban anggaran pemerintah, terutama untuk biaya pensiun dan tunjangan-tunjangan hari tua. Sistem dokter kontrak selama 3 tahun, yang dikenal sebagai dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) menggantikan sistem Inpres cukup berhasil memeratakan distribusi dokter ke hampir semua Puskesmas. Sistem kontrak juga diberlakukan untuk penempatan Bidan di desa. Alasan pokok kebijakan ini adalah karena secara empiris sudah terbukti bahwa sekitar 76% variasi kematian ibu diantara negara didunia, ditentukan oleh persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih. Demikian juga, data empiris di Indonesia menunjukkan bahwa 35% variasi angka kematian bayi ditentukan oleh persalinan oleh tenaga telatih. Sampai akhir 1998, sekitar 56.000 bidan berhasil ditempatkan di desa-desa. Namun kedua kebijakan tersebut, yaitu dokter PTT dan Bidan PTT, mengalami kemunduran setelah terjadi krisis ekonomi dan setelah kebijakan desentralisasi diterapkan. Hal ini disebabkan, selain semakin sulitnya ekonomi penduduk (dokter dan bidan juga mendapat tambahan penghasilan dari praktek), juga tidak jelasnya peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam membiayai dokter PTT dan bidan PTT. Khusus untuk bidan, faktor lain yang menyebabkan penyusutan jumlah/keberadaannya di desa adalah karena usianya rata-rata masih muda (setelah mendapat pasangan ikut suami) dan masih kuatnya demand masyarakat terhadap pelayanan dukun bayi. Pengembangan sistem remunerasi, kejelasan peran dan tanggung jawab daerah, peningkatan kemampuan klinis, adalah beberapa issue yang menjadi tantangan kedepan dalam melanjutkan reformasi ketenagaan melalui sistem kontrak ini.
DHS-1
MODUL HSR
BOX-5 Penentuan Standar Pelayanan Minimum (SPM) Desentralisasi memerlukan kejelasan pembagian wewenang dan tanggung jawab antara jenjang administrasi, yaitu antara pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Untuk itu kementrian/lembaga tertentu (termasuk Depkes, Depdiknas, dan Impraswil) diminta menetapkan Standar Pelayanan Minimum (SPM), yaitu sejumlah pelayanan dasar yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah di daerah. Depkes kemudian menyusun SPM sejak tahun 2002 dan menghasilkan 31 jenis program/pelayanan dengan 54 indikator yang menunjukkan kinerja masing-masing program/pelayanan tersebut (Kepmenkes No. 1457/2003). Dari 31 jenis program/pelayanan tersebut, 26 bersifat nasional dan 5 bersifat spesifik lokal (tergantung apakah masalah tersebut ada atau tidak didaerah bersangkutan, termasuk malaria, kusta,filaria, kesehatan kerja dan kesehatan usila). Pelaksanaan SPM mengalami hambatan karena banyak daerah tidak mampu membiayai semua jenis program dan pelayanan yang ada dalam Kepmenkes No.1457/2003 tersebut. Memang belum ada kejelasan apakah pusat perlu membantu daerah yang tidak mampu menyediakan seluruh biaya SPM. Ketidak jelasan ini antara lain disebabkan PP tentang SPM belum dikeluarkan, karena kementerian/lembaga lain sampai 2006 belum juga selesai merumuskan SPM-nya masing-masing. Dalam sektor kesehatan sendiri dilakukan pembahasan lebih lanjut tentang SPM. Dinilai bahwa 31 jenis program/pelayanan terlalu banyak. Sementara itu pada tahun 2004 terjadi perubahan tentang UU Desentralisasi, yaitu dikeluarkannya UU No,. 32 dan 33/2004 menggantikan UUN0. 22 dan 25/1999. Dalam UU No, 32/2004 disebutkan bahwa SPM harus mencakup program/pelayanan yang: (1) menjamin hak konstitusi penduduk (2) penting untuk meningkatkan kesejahteraan dan menjaga keutuhan NKRI (3) merupakan kesepakatan global yang sudah diratifikasi oleh Indonesia Dengan evaluasi SPM versi pertama serta pertimbangan terhadap pesan UU No. 32/2004 tersebut diatas, Depkes RI sampai akhir 2006 telah menyusun draft daftar SPM yang lebih sederhana, yaitu terdiri dari 8 program dengan 28 indikator. Sampai awal 2007 proses penyempurnaan SPM tersebut masih berlangsung. Contoh diatas adalah sebuah reformasi dalam menentukan prioritas program/pelayanan yang harus dilakukan daerah dalam konteks desentralisasi. Reformasi tersebut berkaitan dengan kebijakan desentralisasi dan menjamin ketersediaan pelayanan/program kesehatan yang dianggap essensial untuk penduduk. Proses penentuan SPM tersebut melibatkan banyak fihak, termasuk unit-unit fungsional di Depkes, Perguruan Tinggi, dan daerah.
DHS-1
MODUL HSR
BOX-6 Kemitraan Dukun dan Bidan, Kabupaten Siak, Riau Keputusan untuk menempatkan bidan di desa-desa didasarkan pada data empiris bahwa kematian ibu terutama (70%) disebabkan oleh perdarahan, eklampsia dan infeksi. Selain itu, kematian bayi - yang sebagian besar terjadi pada usia neonatal - terutama disebabkan oleh asfiksia/pneumonia. Dengan adanya bidan didesa, diharapkan persalinan akan ditolong oleh tenaga terlatih, sehingga sebab-sebab kematian tersebut dapat ditangani langsung, atau cepat dirujuk apabila bidan tidak mampu mengatasinya. Dengan strategi ini diharapkan angka kematian ibu dan bayi dapat diturunkan lebih cepat. Di Kabupaten Siak, 21,4% persalinan masih ditolong oleh dukun, setara dengan 1.800 persalinan. Pada tahun 2005, tercatat 101 kematian bayi dan 16 kematian ibu. Pada tahun itu pula, dikembangkan program kemitraan dukun-bidan, yaitu dicapainya kesepakatan (MoU) antara Bidan dan Dukun yang disaksikan oleh Camat dan Kepala Desa. Isi kesepakatan tersebut adalah sebagai berikut: -
-
Setiap dukun yang menolong persalinan wajib melapor ke bidan untuk registrasi, pendampingan dan rujukan apabila terjadi penyulit persalinan. Kepada dukun diberikan biaya transport sebesar Rp 10.000 untuk setiap kali melapor. Apabila dukun merujuk ibu hamil ke bidan untuk mendapat pertolongan persalinan oleh bidan bersangkutan, maka dukun tersebut akan diberikan insentif yang besarnya bervariasi antara kecamatan, yaitu antara Rp 100.000 sampai Rp 150.000. Apabila dukun tidak melapor dan melakukan penolongan persalinan, akan dikenakan denda, yaitu membayar sebesar 50% dari besar insentif yang seharusnya ia terima. Dana untuk transport dan insentif dukun tersebut disediakan dari APBD Kabupaten Siak. Sebulan sekali diadakan pembinaan dukun di Puskesmas, yang melibatkan Camat dan staff Puskesmas.
Sampai dengan pertengahan tahun 2006, tercatat beberapa perubahan positif, yaitu: persalinan oleh tenaga kesehatan naik dari 76,8% menjadi 80.05%, cakupan pemberian tablet Fe (3x) naik dari 72,8% menjadi 75,6%, dan cakupan K4 naik dari 88,6% menjadi 89,9%. Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi dari reformasi diatas, yaitu (a) adanya partisipasi dari fihak-fihak yang terlibat dalam pelayanan masyarakat, yaitu dukun, bidan, kepala desa, Puskesmas dan Camat, (2) adanya komitmen politis dari Bupati dan Camat, (2) adanya komitmen anggaran berupa alokasi APBD, dan (3) pembinaan teratur kepada dukun.
DHS-1
MODUL HSR
BOX-7 Reformasi sistem pembiayaan kesehatan, Kabupaten Jembrana, Bali Kabupaten Jembrana, Bali, mempunyai penduduk sebanyak 253.503 jiwa, yang terdiri dari 68.817 KK. Sebanyak 6.999 KK (10,2%) termasuk keluarga miskin. Untuk menjamin akses dan mutu pelayanan bagi seluruh penduduk pada tahun 2002 dikembangkan system Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) melalui SK Bupati No. 672/2002, yang kemudian dikukuhkan melalui Perda No. 3/2006 tentang Jaminan Pemeliharaan Sosial Daerah Kabupaten Jembrana. Bapel JKJ sudah aktif sejak 2003. Peserta JKJ adalah seluruh penduduk yang memiliki KTP Jembrana dan kepada mereka diberikan kartu JKJ. Pemegang kartu JKJ berhak mendapat pelayanan rawat jalan gratis disemua PPK tingkat-1, baik di sarana pelayanan Pemerintah maupun Swasta seperti bidan, dokter, dokter gigi dan dokter spesialis praktek swasta serta poliklinik Balai Pengobatan dan RS swasta. Khusus untuk pelayanan di Bidan hanya berlaku pelayanan Ante Natal Care dan KB. Sedangkan untuk pelayanan persalinan dan pelayanan rawat inap peserta membayar sesuai dengan tarif yang berlaku kecuali yang bersangkutan mengikuti program JKJ tahap berikutnya. Keluarga miskin dibebaskan dari seluruh biaya pengobatan dan perawatan baik di sarana pelayanan rawat jalan Pemerintah dan swasta maupun sarana pelayanan rawat inap Pemerintah. Bagi keluarga miskin yang melahirkan di bidan praktek swasta biayanya ditanggung sesuai dengan ketentuan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin, termasuk biaya transportasi dari rumah ketempat melahirkan. Pembiayaan JKJ bersumber dari pengalihan subsidi pemerintah untuk biaya obat-obatan RS dan Puskesmas, yang jumlahnya mencapai Rp 3,5 milyar/tahun. Sumber lain adalah dana JPKMM yang berasal dari APBN. Pembayaran kepada PPK dilakukan secara "fee for services" sesuai dengan tarif yang ditetapkan oleh Pemda.
DHS-1
MODUL HSR
Beberapa indikator menurut data Susenas 2000 dan 2005, Kabupaten Jembrana, Bali Indikator
2000
2005
Perubahan
% penduduk berobat jalan
61.6%
65.7%
+4.1%
CPR (Contraceptive Prevalence Rate)
66.2%
72.8%
+6.6%
Persalinan ditolong tenaga kesehatan
84.7%
85.3%
+ 0.6%
JKJ adalah sebuah contoh reformasi system pembiayaan kesehatan di sebuah Kabupaten, yang menerapkan salah satu prinsip SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), yaitu cakupan menyeluruh (universal coverage). Sekaligus dilakukan reformasi sistem pelayanan kesehatan, yaitu melibatkan provider swasta sebagai PPK. Dari analisis data Susenas 2000 dan 2005 terlihat adanya kenaikan utilisasi rawat jalan serta kenaikan Contraceptive Prevalence Rate (CPR) dan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan. Evaluasi yang lebih mendalam masih perlu dilakukan untuk melihat mutu (kepuasan pasien) dan kepuasan PPK, terutama PPK milik swasta.
DHS-1
MODUL HSR
BOX - 8 Peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan pembiayaan Balai Kesehatan, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara Untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan dasar di desa-desa terpencil dan sulit dijangkau di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, dikembangkan Bakesra (Balai Kesehatan Rakyat) yang didukung dengan Akesra (Asuransi Kesehatan Rakyat). Bakesra dikelola oleh tenaga berstatus tidak tetap yang diangkat dengan SK Kepala Dinas Kesehatan. Tenaga tersebut bervariasi, terdiri dari Akademi Perawat, Akademi Kebidanan dan Sekolah Perawat Kesehatan. Pelayanan yang diberikan di Bakesra terdiri dari (1) Promosi kesehatan, (2) KIA dan gizi, (3) Pengobatan dasar dan (4) Rujukan medik. Gedung Bakesra dibangun dengan dana dari Pemerintah Daerah. Sampai 2006 sudah ada sebanyak 45 Bakesra di Kolaka, atau menggunakan rumah penduduk setempat yang dimodifikasi menjadi Bakesra. Untuk biaya operasional Bakesra, dikembangkan Akesra. Namun sampai 2006 Akesra tersebut baru dikembangkan di 2 desa. Di dua desa tersebut, setiap keluarga membayar uang muka sebesar Rp 10.000 dan iuran/premi sebesar Rp 5.000 per bulan. Besar uang muka dan iuran tersebut merupakan kesepakatan yang dicapai dalam forum rembug desa. Uang yang terkumpul dikelola oleh Komite Kesehatan Desa. Catatan selama 12 bulan (2004) menunjukkan bahwa dari 30 Bakesra yang datanya tersedia, kunjungan berobat rata-rata adalah 259/tahun atau 1 kunjungan per hari, dengan variasi terendah sebanyak 78 kunjungan dan tertinggi 1.545 kunjungan. Penyakit terbanyak adalah ISPA, diare, malaria dan lain-lain. Cakupan K1 dan K4 selama 2004 masing-masing adalah 47,47% dan 47.8%. Pertolongan persalinan di desa 30 Bakesra tersebut adalah 44.4% oleh bidan, 34.2% oleh dukun dan 21,4% oleh tenaga lainnya. Pelayanan gizi yang dilaksanakan adalah pemberian Vitamin A dengan sasaran bayi, balita dan ibu masa nifas. Selain itu juga ada pemberian makanan tambahan (PMT) Contoh diatas adalah sebuah reformasi untuk meningkatkan akses pelayanan bagi penduduk desa terpencil dan sulit dijangkau. Evaluasi komprehensif masih perlu dilakukan untuk melihat perkembangan tingkat utilisasi pelayanan serta peranan dana Akesra dalam menunjang biaya operasional Bakesra. Hasil analisis data Susenas 2000 dan 2005 untuk beberapa indikator penting disampaikan dalam tabel berikut. Beberapa indikator menurut data Susenas 2000 dan 2005, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Indikator CPR Persalinan oleh tenaga kesehatan Penduduk sakit yang berobat jalan Kurang gizi balita (berat menurut umur)
DHS-1
2000
2005
Perubahan
52.8% 33.8% 23.4% 31.6%
54.5% 51.1% 29.3% 31.9%
+ 2.7% + 17.3% + 5.9% + 0.3%
MODUL HSR
Walaupun angka-angka tersebut menunjukkan perbaikan akses dan utilisasi jenis pelayanan tertentu, angka pada tahun 2005 masih jauh dari standar atau target nasional. Secara umum memang terlihat bahwa tingkat utilisasi Bakesra masih rendah, sehingga daya ungkitnya terhadap kinerja sistem pelayanan secara umum belum tampak bermakna.
DHS-1
MODUL HSR
BOX-9 Desentralisasi Perencanaan Kesehatan melalui P2KT Sampai dengan tahun 2000 perencanaan kesehatan di Indonesia dilaksanakan secara "top down" dan sentralistis. Kabupaten/Kota berfungsi sebagai rencana kesehatan yang ditetapkan oleh Pusat. Peranan pusat sangat dominan, antara lain karena 75% anggaran kesehatan daerah berasal dari pusat. Banyak kekurangan dari sistem sentralistis dan top down tersebut. Ada program tertentu yang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah. Kalaupun sesuai, target yang ditetapkan tidak sesuai masalah dan kapasitas daerah. Selain itu, sistem sentralistis dan "top down" juga tidak mendorong perkembangan kemampuan manajemen di daerah. Pada tahun 1994, dikembangkan sistem perencanaan kesehatan daerah yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: "bottom up", komprehensif, menggunakan data daerah berbasis fasilitas dan berbasis populasi, terintegrasi dan menggunakan perhitungan anggaran berbasis kinerja. Sistem perencanaan tersebut disebut Perencanaan dan Penganggaran Kesehatan Terpadu atau P2KT (dalam bahasa Inggris disebut Integrated Health Planning and Budgeting atau IHPB). Perbedaan P2KT dengan sistem perencanaan kesehatan daerah dimasa lalu disampaikan dalam tabel berikut:
DHS-1
MODUL HSR
Reformasi sistem perencanaan kesehatan daerah 1
Perencanaan “top down” Analisis situasi program spesisfik
2
Target berdasarkan ketetapan program (pusat)
3
Kebutuhan biaya sesuai plafond anggaran
4
Anggaran “line item”
5
Anggaran investasi tidak terkait anggaran operasional Budget based targeting Input oriented
6 7
P2KT Analisis situasi komprehensif (wilayah kabupaten/kota) Target berdasarkan besar masalah, trend pencapaian dan kemampuan daerah (affordability) Kebutuhan biaya dihitung sesuai target dan volume kegiatan (activity based costing) Anggaran kinerja (performance budgeting) Anggaran investasi mempengaruhi anggaran operasional Target based budgeting Output dan outcome oriented
P2KT telah mengalami beberapa kali revisi sejalan dengan perkembangan desentralisasi di Indonesia. Revisi tersebut dilakukan sebagai bagian dari proyek DHS 1. Edisi terakhir (2007) telah disesuaikan dengan UU No. 25 tentang perencanaan Pembangunan serta Kepmendagri No. 13/2006 tentang penyusunan RKA (Rencana Kerja dan Anggaran) berbasis kinerja. P2KT telah dilatihkan di banyak Propinsi termasuk seperti disampaikan dalam tabel berikut. Propinsi dan daerah yang telah mendapat pelatihan P2KT Lokasi Sumsel Sulawesi Tengah Jawa Barat Sulawesi Tengah Jawa Barat DIY Jawa Timur Papua
Semua propinsi DHS-1 (NAD, Bengkulu, Kepri, Riau, Sulut, Sulteng, Sultra, Bali) Kepri
DHS-1
Kabupaten Muara Enim Lahat Pare-Pare Kab. Bandung Semua Semua Kabupaten Semua Kabupaten Semua Kabupaten Kerom Merauke Sorong Semua Kabupaten
Sasaran pelatihan Staff Kab/Kota Staff Kab/Kota Staff Kab/Kota Staff Kab/Kota TOT Propinsi Staff Kab/Kota Staff Kab/Kota Staff Kab/Kota Staff Kab/Kota Staff Kab/Kota Staff Kab/Kota TOT Propinsi
Sumber dana ADB/WHO ADB/WHO ADB/WHO ADB/WHO JICA PHP-II APBD Propinsi APBD Propinsi EU/APBD Prop EU/APBD Prop EU/APBD Prop DHS-1/ADB
Tahun 1994 1994 1994 1994 2002 2002 2006 2006 2006 2006 2006 2002
Semua Kabupaten
Staff Kab/Kota
DHS-1/ADB
2007
MODUL HSR
Evaluasi terhadap pemanfaatan dan efektivitas P2KT telah dilakukan di daerah-daerah proyek DHS-1. Elemen P2KT yang dievaluasi termasuk hal-hal sebagai berikut: (a) Pelaksanaan analisis situasi secara komprehensif (b) Derajat/masalah kesehatan serta determinan kesehatan (lingkungan dan perilaku) (c) Penentuan target tahunan atas dasar "gap" pencapaian, trend masa lalu, kebijakan nasional dan prospek sumberdaya (d) Penentuan kegiatan sesuai pedoman program (e) Penggunaan indikator kegiatan dan pencapaian target (f) Perhitungan kebutuhan biaya (activity based costing) (g) Penyusunan anggaran berbasis kinerja sesuai peraturan (h) Pemanfaatan hasil P2KT untuk advocacy (i) Perubahan (kenaikan alokasi) anggaran (j) Kecukupan biaya operasional (k) Pemanfaatan P2KT untuk Monev Rangkuman hasil evaluasi terhadap butir-butir diatas disampaikan dalam tabel berikut: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Elemen P2KT & Pemanfaatannya Analisis situasi Penentuan target Penentuan kegiatan Penggunaan indikator Analisis kebutuhan biaya Penganggaran berbasis kinerja Advocacy rencana dan anggaran Peningkatan alokasi anggaran kesehatan Kecukupan biaya operasional Penggunaan untuk Monev Total %
Ya 50 49 49 49 45 52 50 42 38 50 474 89.3%
Tidak 2 3 3 3 7 1 2 11 15 3 50 9.4%
Tak Jelas 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 7 1.3%
Secara keseluruhan, P2KT telah meningkatkan kemampuan dan efektivitas perencanaan kesehatan oleh kabupaten/kota. Namun dalam tabel diatas P2KT belum efektif disemua kabupaten/kota dalam meningkatkan anggaran kesehatan dan lebih-lebih kecukupan biaya operasional (masing-masing efektivitasnya adalah 79% untuk meningkatkan alokasi dan 72% untuk meningkatkan kecukupan biaya operasional). Masalah yang dialami dalam peningkatan kemampuan perencanaan kesehatan daerah dengan P2KT adalah tingginya "turn over" staff yang sudah dilatih. Hampir semua daerah yang dievaluasi menyarankan agar pelatihan P2KT dilaksanakan secara berkala setiap 3 - 5 tahun sekali.
DHS-1
MODUL HSR
BOX-10 Gerakan Hidup Sehat Ramah Lingkungan di Kota Bitung, Sulawesi Utara Pada tanggal 10 Maret 2006 dicanangkan Gerakan Hidup Sehat Ramah Lingkungan di Kota Bitung, Sulawesi Tengah. Pencanangan tersebut dilakukan oileh Walikota Bitung, dilandasi oleh pertimbamgan-pertimbangan berikut: i. ii. iii. iv. v.
Status kesehatan masyarakat yang belum baik/target belum tercapai Adanya otonomi/desentralisasi Sumber daya terbatas/masyarakat belum dilibatkan secara aktif Adanya paradigma baru, yaitu paradigma sehat Perlunya pembedayaan masyarakat dalam program kesehatan
Tujuan gerakan ini adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Kota Bitung dengan mewujudkan Kota Bersih, Indah dan Sehat serta masyarakat yang hidup dengan pola ramah lingkungan Persiapan dan kegiatan yang dilakukan untuk melaksanakan gerakan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Diterbitkannya SK Walikota dan Perda yang mendukung program Kota Sehat - Membentuk Tim atau Forum Kota Sehat - Membentuk Presidium Gerakan Hidup Sehat Ramah Lingkungan di Kota Bitung - Pembentukan Tim Pembina Kota Sehat - Membentuk Komite Pembangunan Kesehatan - Menunjuk Dinas /Badan penanggung jawab lokasi kebersihan lingkungan 2.
Melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: a. Melakukan sosialisasi Pembangunan berwawasan kesehatan b. Menentukan tatanan Kota Sehat c. Memisahkan sampah medis dan sampah biasa di Puskesmas dan Rumah Sakit d. Mengaktifkan incinerator pembakar sampah medis e. Sampah rumah tangga dipisahkan sampah organic dan anorganik, dikelola melalui pengomposan f. Merubah image Puskesmas dengan cara mengganti warna cat Puskesmas g. Membentuk Technical Review Team/Core Team/District Team Problem Solving h. Mempersiapkan truk pengangkut sampah i. Membagikan tong-tong sampah sementara diseluruhkelurahan dan tempat strategis
DHS-1
MODUL HSR
j. Petugas penyapu jalan dan pengangkut sampah diperbanyak dengan honor yang cukup k. Mengaktifkan Gerakan Hidup Bersih dengan motto 'Hidup Sehat Ramah Lingkungan l. Mengajak seluruh PNS, Honor, PTT dan Guru Kontrak untuk melakukan Jumat Bersih m. Mengajak TNI dan POLRI sebagai motivator dan activator n. Para Camat dan Lurah mengajak masyarakat turut bekerja sama dengan motto 'Hidup Sehat Ramah Lingkungan o. Melibatkan TP-PKK, Dharma Wanita Persatuan, Organisasi Profesi, Organisasi Keagamaan, LSM, KNPI, BKSAUA p. Mengajak seluruh masyarakat untuk menanam pohon pelindung di pinggir jalan sebagai upaya menurunkan polusi q. Di taman kota, kompleks perumahan, kompleks perkantoran dibuatkan taman yang ditanami dengan bunga-bunga hias r. Para Camat dan Lurah mengajak masyarakat untuk memangkas ranting yang mengganggu fasilitas umum dan yang member kesan kotor Semua kegiatan tersebut didukung oleh dana dari berbagai sumber, termasuk (1) DHS-1 ADB : Biaya Sosialisasi/Advokasi dan Pelatihan (2) APBD : Biaya operasional, pengangkatan/kontrak tenaga (3) Masyarakat : Pembiayaan pelayanan, Dana sehat Evaluasi pada tahun 2007 sudah menunjukkan hasil positif dari Gerakan Hidup Bersih dan Ramah Lingkungan di Kota Bitung. Beberapa hasil yang menonjol adalah sebagai berikut: 1. Kota Bitung dianugerahi ADIPURA sebagai Kota Kecil terbersih oleh Presiden RI pada tahun 2007 2. Peran serta masyarakat meningkat dalam menjaga kebersihan lingkungan 3. Angka kesakitan yang menurun
DHS-1
MODUL HSR
Tren Angka Kesakitan Kota Bitung 2500
2000
1500
2005 2006
1000
2007
500
0 DBD
MALARIA
DIARE
ISPA
Hasil lain dari gerakan hidup bersih tersebut termasuk hal-hal berikut : -
Angka Sekitar 90% keluarga miskin/rentan sudah dapat pelayanan kesehatan dasar Keluhan masyarakat pada pelayanan kesehatan semakin berkurang Kepedulian masyarakat/swasta terhadap upaya kesehatan di Kota Bitung makin berkembang antara lain pembentukan Dana Sehat, Komite Kesehatan, Badan Penyantun Puskesmas, PP Partnership. APBD untuk bidang kesehatan mulai naik Adanya Perda yang mendukung program kesehatan Penambahan tenaga yang berkompeten
DHS-1
MODUL HSR
BOX-11 Pengembagan SIMKESDA (Sistem Informasi Kesehatan Daerah) di Bali Beberapa masalah dalam pengumpulan dan pengadaan data kesehatan termasuk penggunaan format yang terlalu banyak yang membingungkan penyedia dan pengumpul data. Berbagai format tersebut menghasilkan informasi yang berbeda, pengisiannya tidak lengkap dan penririmannya tidak tepat waktu (terlambat). Untuk mengatasi masalah tersebut, di Porpinsi Bali dikembangkan Sistem Informasi Kesehatan Puskesmas (SIK Puskesmas) terpadu dengan menyederhanakan format yang dipergunakan. Data yang dikirimkan oleh Puskesmas diolah dan direkapitulasi oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Dinas Kesehatan juga mengintegrasikan data Puskesmas tersebut dengan data RSU Kabupaten/Kota. Data yang dikumpulkan meliputi data SPM termasuk kegiatan luar gedung. Sistem ini menghasilkan bank data kesehatan kabupaten/kota. Penggunaan teknologi informasi memungkinkan bank data ini akan dipublikasikan oleh masing-masing kabupaten/ kota ke unit yang membutuhkan dan data dimanfaatkan untuk peningkatan kinerja. Pengelompokan penyakit dalam Simkesda tersebut menggunakan ICD X sehingga tetap mengacu kepada ketentuan Depkes. Dengan demikian data yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan lokal dan nasional. Dalam tabel berikut disampaikan kegiatan yang telah dilakukan untuk mengembangkan Simkesda tersebut serta sumber pembiayaan untuk masing-masing kegiatan tersebut. No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kegiatan
Prototype SIK Provinsi Bali tahun 2002 dan 2003 Pendidikan Tenaga dibidang HIS tahun 2003, 2005, Pengadaan komputer untuk Puskesmas dan Rumah Sosialisasi dan Avokasi tahun 2005 Pelatihan HMIS tahun 2006 Pelatihan SIK tahun 2007 ( Kab. Klungkung) Pelatihan Pengelola SIK tahun 2008 ( Kab/kota) Penyempurnaan Software SIK Puskesmas Pendampingan penggunaan Software di Puskesmas Supervisi ke puskesmas yang telah mendapat Pengembangan SIK Puskesmas di Kota Denpasar
Sumber pembiayaan
DHS1 DHS1 DHS1 DHS1 DHS1 DHS1 DHS1 APBN, APBD1, APBD APBN, APBD1, APBD APBN, APBD1, APBD APBN, APBD1, APBD
Kegiatan SIMKESDA dilakukan secara bertahap. Uji coba prototype SIK tersebut dilakukan di Puskesmas Densel II (Sanur) dan Mengwi pada tahun 2004 dan 2005. Pada tahun 2006 dikembangkan di 10 Puskesmas dan pada tahun 2007 di 13 Puskesmas (lihat tabel berikut)
DHS-1
MODUL HSR
2006 Kabupaten Puskesmas Jembrana Kaliakah Tabanan Selemadeg I Tabanan II Gianyar Tampaksiring II Klungkung Klungkung I Banjarangkan II Klungkung II Susut I Bangli Tembuku I
2007 Kabupaten Puskesmas Badung Kuta I Denpasar Denbar II Gianyar Ubud I Sukawati I Dawan I Klungkung Banjarangkan I Dawan II Bangli I Bangli Seririt I Buleleng Seririt II Seririt III Karangasem Karangasem I
Sejak Simkesda diterapkan, dipergunakan Software yag menghubungkan (linkage) antara puskesmas dengan kabupaten/kota. Pada tahun 2007 kabupaten Klungkung sudah menerapkan SIK online di seluruh puskesmas daratan. Di kota Denpasar dikembangkan SIK online di semua Puskesmas (dana dari APBD II). Untuk tingkat provinsi di kembangkan SIK online dengan Departemen Kesehatan, melalui jaringan online nasional yang dikembangkan oleh Pusdatin (Provinsi Bali merupakan salah satu wilayah yang menjadi pilot pengembangannya). Dalam tabel berikut disampaikan evaluasi Simkesda di salah satu Puskesmas percontohan (Densel II). No
Indikator
Sebelum
Sesudah
1
Kelengkapan data
60%
90%
2
Timely
Lebih dari tanggal 5
Tanggal 1
3
Validitas
65%
90%
Catatan : data kegiatan dalam gedung saja Pengembangkan Simkesda memperbaiki sistem kesehatan didaerah khususnya system informasi kesehatan dimana pengumpulan data dilaksanakan secara lengkap, tepat waktu, dan pengiriman data yang kontinue sehingga dapat dipergunakan oleh para pengambil keputusan.
DHS-1
MODUL HSR
BOX-12 Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja (Kepri) Pengembangan Pelayanan Kesehatan Reprodukasi Remaja adalah sebuah reformasi sektor kesehatan yang sedang berjalan di Kabupaten Bintan, propinsi Kepri. Tujuan reformasi ini adalah berfungsinya pelayanan kesehatan reproduksi remaja untuk meningkatkan kepedulian dan tanggung jawab remaja terhadap kesehatan reproduksinya, khususnya dalam mencegah penggunaan narkoba dan praktek seks bebas. Sasaran utama pelayanan kesehatan reproduksi remaja ini adalah pelajar SLTP (2.353) dan SLTA (2.647). Jenis pelayanan yang diberikan termasuk pembinaan dan pelayanan kesehatan melalui Puskesmas, pelayanan konseling dan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi. Beberapa indikator yang dipergunakan untuk menilai efektivitas pelayanan kesehatan reproduksi remaja tersebut adalah: (a) Persentase remaja putra dan putri yang mendapat penyuluhan tentang kesehatan reproduksi (b) Persentase remaja putra dan putri yang mendapat pelayanan kesehatan (c) Jumlah remaja putra dan putri yang mendapatkan pelayanan konseling Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan adalah unit utama yang menggerakkan pengembangan pelayanan kesehatan reproduksi remaja tersebut, bekerja sama dengan sektor-sektor lain termasuk: (1) (2) (3) (4) (5)
Bappeda Dinas Pendidikan Tim Penggerak PKK BKKBN Jaringan LSM
Pada pertengahan tahuan 2007 dilaksanakan baseline survey. Perkembangan kegiatan reformasi ini belum dapat dinilai, diperlukan waktu 1 - 3 tahun mendatang untuk mengevaluasinya.
DHS-1
MODUL HSR
Box-13 TQM Sulawesi Tengah Gagasan untuk melakukan peningkatan mutu pelayanan di Sulawesi Tengah melalui TQM (Total Quality Management) didorong oleh kritik masyarakat terhadap mutu pelayanan Puskesmas yang disampaikan dalam mass media pada bulan April 1999. Sebagai respons, Kepala Dinas Kesehatan melakukan orientasi dan pelatihan TQM kepada staff Puskesmas, bekerja sama dengan FK-UGM. Pelatihan tersebut diberikan kepada 135 Puskesmas, termasuk 12 Puskesmas di Kota Palu. Pelatihan tersebut melibatkan semua staff Puskesmas. Peningkatan mutu melalui TQM tersebut juga ditunjang dengan peningkatan mutu fisik dan peralatan Puskesmas yang didukung oleh proyek DHS-1, khususnya mulai tahun 2002. Keberhasilan peningkatan mutu biasanya dinilai melalui survei kepuasan pelanggan maupun kepuasan provider. Secara tidak langsung, peningkatan mutu bisa juga dinilai dari perubahan tingkat utilisasi pelayanan yang diberikan oleh Puskesmas. Untuk menilai perubahan utilisasi tersebut, dilakukan analisis data Susenas 2000 dibandingkan dengan Susenas 2005. Hasilnya untuk Kota Palu disampaikan dalam tabel berikut: Indikator hasil TQM (tidak Iangsung) 1 % orang sakit yang berobat (RI atau RJ) 2 % perempuan 15-49 th ber KB 3 % persalinan ditolong tenaga kesehatan 4 % cakupan immunisasi campak
Susenas 2000 32.70% 40.60% 78.90% 67.10%
Susenas 2005 45.70% 49.40% 87.60% 89.60%
Kenaikan 13.00% 8.80% 8.70% 22.50%
Tabel diatas menunjukkan adanya perbaikan utilisasi beberapa jenis pelayanan yang dapat diasumsikan juga disebabkan oleh adanya peningkatan mutu pelayanan di Kota Palu. Apakah TQM sebagai salah satu reformasi pelayanan kesehatan di Sulawesi Tengah efektif secara keseluruhan ? Ternyata hasilnya beragam. Persentase orang sakit berobat naik di Banggai, Poso dan Toli-toli, akan tetapi menurun di Donggala. Penggunaan kontrasepsi naik di Banggai, Poso dan Donggala, akan tetapi menurun di Toli-toli. Demikian juga, persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan megalami kenaikan di Banggai, Poso dan Donggala, dan mengalami penurunan di Toli-toli. Sedangkan cakupan immunisasi campak naik di Poso akan tetapi mengalami penurunan di Banggai, Donggala dan Tolitoli. Hasil yang beragam seperti disampaikan diatas menunjukkan perlunya memonitor dan evaluasi pelakanan TQM di daerah-daerah tersebut. Kalau TQM akan diperlakukan sebagai salah satu reformasi pelayanan kesehatan di Sulawesi Tengah, maka perlu diperhatikan konsistensi dan pelatihan dan pelaksanaanya secara berkelanjutan.
DHS-1
MODUL HSR
Box-14 Pemberian otonomi untuk RSUD, konsep Badan Layanan Umum (BLU) Pada awal tahun 1980 telah dikemukakan bahwa RS milik pemerintah mengalami ketidak cukupan biaya operasional. Secara teoretis, sebetulnya RS bisa mengatasi masalah tersebut dengan meningkatkan pendapatannya, yaitu melalui mekanisme tarif dan peningkatan utilisasi. Namun hal tersebut sulit dilakukan RS. Pertama, tarif RS, khsususnya RSUD, ditetapkan melalui Perda yang seringkali diwarnai oleh kebijakan populis untuk menekan tarif serendah mungkin, walaupun ada segmen masyarakat yang sebetulnya mampu membayar lebih tinggi. Kedua, ICW (Indische Compatabilet Wet) yang dikeluarkan dalam tahun 1920-an oleh Pemerintah Hindia Belanda - dan masih berlaku - menetapkan bahwa semua pendapatan lembaga negara harus disetor ke kas negara, dan tidak boleh dipergunakan langsung. Kedua keadaan ini tidak memberikan insentif bagi RS untuk meningkatkan pendapatannya. Gagasan otonomi pengelolaan pendapatan secara langsung mendapat peluang pada tahun 1991 dengan keluarnya Keputusan Presiden tentang Unit Swadana, disusul Keputusan Menteri Keuangan pada tahun 1992 tentang petunjuk pengelolaan Unit Swadana. Menurut SK tersebut, RS boleh menggunakan langsung penerimaan fungsionalnya dan 35% dari penerimaan tersebut dipergunakan untuk insentif staff. Otonomi pengelolaan keuangan ini mengalami kemunduran pada tahun 1997 dengan keluarnya peraturan tentang RS sebagai pengelola PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). PNBP 1997 mengharuskan kembali RS menyetorkan semua pendapatannya. Perubahan cukup besar terjadi pada tahun 2000, khususnya untuk RSUD. Pada tahun tersebut dikeluarkan Kepres No. 40, yang memberi dua opsi status kelembagaan RSUD, yaitu (a) menjadi BUMD atau (b) menjadi LPTD (Lembaga Pelaksana Teknis Daerah). Diasumsikan dengan status tersebut RSUD bisa lebih leluasa menangkap potensi pasar melalui penyesuaian tarif dan diversifikasi pelayanan serta menggunakan langsung pendapatannya. Belum lama opsi tersebut berjalan, pada awal tahun 2000-an Asosiasi RS Daerah (Arsada) menyusun konsep otonomi RSUD yang dikelola sebagai sebuah korporasi publik. Konsep RSUD sebagai "public enterprise" dikemukakan dalam Kongres Arsada di Bali pada tahun 2002. Pada tahun 2004, dikeluarkan PP No. 23, yang membolehkan RSUD menjadi sebuah "public enterprise" yang disebut BLU (Badan Layanan Umum). BLU bukan privatisasi dan tetap nirlaba (tidak mencari keuntungan). Dengan status BLU, RSUD mendapat otonomi untuk melakukan diversifikasi pelayanan, namun tetap harus menyediakan pelayanan kesehatan esensial dan melayani penduduk miskin dengan biaya dari pemerintah. BLU juga mengatur sistem remunerasi personil yang cukup luas (terdiri dari 7 macam remunerasi), yang besarnya diputuskan oleh manajemen RS bersangkutan. Tujuan memberikan status BLU adalah agar RSUD lebih leluasa menetapkan prinsipprinsip manajemen sebuah korporasi, mampu menyehatkan keuangannya, menjamin mutu pelayanan, dan tetap melayani penduduk miskin. Tidak semua RSUD layak menjadi BLU dan analisis kelayakan ini harus dilakukan sebelumnya, termasuk keharusan menyusun sebuah Rencana Strategis Bisnis (RBS). Di beberapa RSUD, umumnya kelayakan dan penyusunan RBS tersebut disusun oleh pihak ketiga. Sampai sekarang (2006) belum ada evaluasi menyeluruh terhadap RSUD sebagai BLU. Sehingga pertanyaan-pertanyaan
DHS-1
MODUL HSR
normatif tujuan reformasi sektor kesehatan belum bisa terjawab: Apakah BLU telah meningkatkan mutu, efisiensi, dan pemerataan berkeadilan? Apakah BLU telah menyehatkan keuangan RSUD?
DHS-1
MODUL HSR
Box-16 Pemberian otonomi untuk Puskesmas, studi kasus di Kabupaten Tangerang Gagasan memberikan otonomi kepada Puskesmas, seperti halnya otonomi RSU/RSUD, telah berkembang sejak dekade 1990-an. Didaerah tertentu - misalnya di kota-kota masyarakat membutuhkan lebih dari pelayanan dasar yang disediakan oleh Puskesmas, termasuk misalnya pelayanan dokter spesialis dan tindakan-tindakan diagnosis lebih canggih seperti USG, dll. Di Kabupaten Tangerang, dilakukan uji coba otonomi tersebut di 2 Puskesmas. Melalui peran serta aktif staff Puskesmas, Pemda dan DPRD, dikembangkan model otonomi Puskesmas, yang terdiri dari 12 kewenangan. Otonomi tersebut diberikan melalui SK Bupati No. 445/Kep.174-Huk/2005, yang meliputi: 1.
Menambah jenis pelayanan (diversifikasi produk pelayanan sesuai permintaan masyarakat) 2. Memungut biaya pelayanan tertentu dengan tarif atas dasar Unit Cost 3. Menyusun rencana anggaran tahunan 4. Mengelola langsung pendapatan 5. Mengelola usaha ventura (misalnya kantin, parkir, dll) 6. Bekerja sama dengan fihak swasta (misalnya dalam pengadaan peralatan) 7. Melaksanakan akuntansi keuangan 8. Menambah dan mengurangi SDM (diluar status PNS) 9. Menentukan sistem insentif dan dis-insentif bagi staff 10. Merencanakan dan melaksanakan sistem pendidikan dan pelatihan 11. Mengadakan peralatan/sarana 12. Menata tugas dan fungsi staff Evaluasi terhadap otonomi tersebut dinilai dengan menggunakan 4 area dalam "balance scorecard", yaitu (a) perspektif pelangan, (b) perspektif keuangan, (c) perspektif operasional internal Puskesmas dan (d) perspektif pertumbuhan dan pembelajaran organisasi. Setelah 6 bulan terlihat adanya perubahan (kemajuan) - dibandingkan denga Puskesmas kontrol, sebagai berikut: (a) keuangan: peningkatan pendapatan dan peningkatan remunerasi staff), (b) operasional Puskesmas: penyusunan rencana kerja yang lebih baik, Pelaksanaan sistem akuntansi, (c) pertumbuhan dan pembelajaran: diversifikasi pelayanan, kemampuan SDM, Uraian tugas dan fungsi staff, dan pengembangan sistem insentif/disinsentif Namun pada evaluasi 6 bulan tersebut belum terlihat kemajuan bermakna dalam hal kepuasan pelanggan dan kinerja cakupan program. Reformasi pemberian otonomi Puskesmas ini memerlukan evaluasi lebih lanjut sebelum diadopsi sebagai kebijakan daerah. Selain evaluasi kinerja Puskesmas (cakupan dan kepuasan pelanggan), perlu dievaluasi dampaknya terhadap rasa keadilan staff Puskesmas lain yang berada di daerah kurang mampu, dimana
DHS-1
MODUL HSR
model otonomi seperti diatas tidak layak diterapkan. Perbedaan remunerasi staff antara Puskesmas berbeda bisa menimbulkan rasa tidak puas staff Puskesmas lainnya. Otonomi Puskesmas seperti disampaikan diatas belum merupakan menjadi reformasi sistem pelayanan kesehatan karena sifatnya uji cobat dan belum menjadi kebijakan formal di Kabupaten Tangerang. Namun uji coba tersebut dapat dikatakan sebagai proses reformasi yang sedang berjalan.
DHS-1
MODUL HSR
Box-16 Insentif untuk meningkatkan kinerja program Malaria, Kabupaten Sumba Timur, NTT Kabupaten Sumba Timur, sebagaimana halnya dengan daerah lain di NTT, adalah daerah endemik malaria. AMI (Annual Malaria Index) mencapai 540,84/1000 pada tahun 2004. Kasus Malaria falciparum juga sangat tinggi, yaitu mencapai 90-95% dari total kasus. Malaria menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar, dan merupakan perangkap kemiskinan bagi penduduk Sumba Timur yang angka kemiskiannya cukup tinggi. Diperkirakan kerugian berupa hilangnya waktu produktif karena sakit malaria ditambah biaya transport untuk berobat nilainya mencapai Rp 13.618.410.000 (2004). Jumlah ini termasuk biaya pengobatan, biaya transport untuk berobat dan hilangnya waktu produktif karena malaria. Jadi belum termasuk kerugian akibat kematian. Dalam pengobatan malaria faciparum, resistensi adalah salah satu masalah yang dihadapi, sehingga sejak tahun 2005, dipergunakan Artesunat + amodiaquin, obat malaria yang relatif baru dan cukup "cost effective" untuk pengobatan Malaria falciparum tersebut. Disamping masalah resistensi, "case finding", dan kepatuhan makan obat adalah masalah lain yang dihadapi. Mulai tahun 2004 pemberantasan malaria di Sumba Timur mendapat bantuan dari dana Global Fund. Salah satu strategi yang dikembangkan adalah mendirikan Pos Malaria Desa (Posmaldes) didesa-desa terpencil dan sulit dijangkau, yang pada tahun 2006 jumlahnya mencapai 126 buah. Posmaldes ditangani oleh Kader Malaria (tahun 2006 berjumlah 147 orang) dan kepada mereka diberikan insentif sebesar Rp 75.000/bulan. Strategi ini telah meningkatkan jumlah temuan dan pengobatan kasus malaria. Evaluasi menunjukkan hasil yang sangat positif, yaitu turunnya AMI berturut turut dari 540/1000 (2004), menjadi 330/1000 (2005) dan 153/1000 (2006). Biaya yang dikeluarkan untuk program malaria pada tahun 2004/2005 berjumlah Rp 2.758.548.869, terdiri dari dana APBD (Rp 267.955.000) dan dana Global Fund (Rp 2.490.593.869). Turunnya AMI antara 2004 dan 2005 telah mengurangi kerugian ekonomi sebesar Rp 7.161.310.000 (turun dari Rp 13.618.410.000 pada tahun 2004 menjadi Rp 6.457.100.000 pada tahun 2005). Dari angka diatas dapat dihitung perbandingan "manfaat" (kerugian yang dikurangi) dengan biaya, yaitu 2,6 kali. Contoh diatas menunjukkan bahwa pemberdayaan sistem pelayanan ditingkat masyarakat, terutama didaerah terpencil, disertai dengan komitmen menyediakan anggaran operasional, berhasil meningkatkan kinerja program kesehatan (dalam hal ini program pemberantasan malaria).
DHS-1
MODUL HSR