KATA PENGANTAR Tiada untaian kata yang lebih indah selain ucapan alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir akademis pada Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada baginda Rasulullah SAW yang telah memberikan cahaya kebenaran dan petunjuk kepada umat manusia dengan akhlak dan budi pekertinya menuju peradaban ke arah yang lebih baik, serta para keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang setia dan taat hingga akhir zaman. Karena berkat perjuangan beliaulah sampai detik ini kita masih dapat menikmati manisnya Iman dan Islam. Dengan melalui proses yang melelahkan dan melalui banyak rintangan, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kedudukan Perempuan dalam Keluarga Hindu. Hal ini tidak lepas dari peranan dan dorongan orang-orang disekitar penulis hingga selesainya skripsi ini. Sudilah kiranya penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada yang tercinta dan terkasih. Tiada ungkapan yang pantas diberikan saat ini selain rasa terima kasih yang sangat dalam kepada: 1. Ayahanda (Alm) H. Moch. Amir dan (Almh) Titik Setia, curahan kasih dan sayang yang begitu dalam membuat penulis dapat merasakan kekuatan cinta hingga kini, walaupun dalam waktu yang relatif singkat. Semoga
i
Bapak dan Ibu mendapatkan tempat di sisi-Nya (Amin!!), doa Ananda selalu menyertaimu. 2. Kakak-kakakku, (Alm) Nurla, Mimi, Pipi, terima kasih atas kritikan tajammya yang selalu jadi cambuk penulis agar cepat menyelesaikan skripsinya. Aa dan Mba Ai Serta Keponakanku Adis dan Lula semoga Allah menganugerahi kasih dan sayangnya kepada kalian semua. Amin!!!. Selanjutnya penulis ingin mengucapkan terima kasih penulis kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung skripsi ini, antara lain: 1. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filasafat beserta staf-stafnya, Ibu Dra. Hj. Ida Rosyidah sebagai Ketua Jurusan dan Bapak Maulana, MA sebagai Sekertaris Jurusan Perbandingan Agama, serta Bapak dan Ibu Dosen yang telah
menurunkan ilmunya
kepada penulis. 2. Bapak Drs. H. Roswen Dja’far, selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan mengoreksi skripsi penulis sehingga menjadi lebih baik. penulis haturkan rasa hormat dan terima kasih serta doa agar Sang Pemilik Cinta kiranya menganugerahi kasih dan sayang-Nya kepada Bapak dan keluarga. 3. Pura Amrta Jati Cinere, Ibu Ni Wayan Wartiniasih yang telah banyak meluangkan waktunya dan membantu penulis dalam mengumpulkan datadata yang sesuai dengan judul penulis. 4. Rekan-rekan seperjuangan Perbandingan Agama angkatan 2003: (Any, Hendra, Ria, Eva, Desy, Gugah, Trisna, Rifki, Andru, Leo, Ab, Ginanjar, Lanny, Selly, Tommy, Maul, Farid, Chaerunnisa, Seid). Terima kasih atas ii
cinta, kasih, dan persahabatannya. Kalian adalah sahabat-sahabat yang tidak pernah tergantikan. 5. Orang disekeliling penulis yang selalu siap membuat penulis tertawa bersama dalam suka maupun duka: Mbak Ikom, Mbak Nurul, Yayuk Enci, Tante Nurjanah, Radja. Terima kasih telah mengenalkan sisi lain dari dinamika perjalanan hidup penulis. 6. Special thanks to my beloved Ayang Andri Siregar, yang tak lelah-lelah memberikan motivasi dan kritik yang konstruktif guna cepat selesainya skripsi penulis. Terima kasih yang tulus penulis ucapkan atas dukungan dan perhatiannya selama proses penyusunan skripsi penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan sumbangsihnya kepada penulis hingga selesainya skripsi penulis. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian. Penulis amat menyadari bahwa masih banyak kekurangan skripsi ini yang perlu disempurnakan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Jakarta, Oktober 2008
Penulis
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Yatra naryastu pujyante ramante tatra dewatah,Yatraitastu na pujyante sarwastalah kriyah. Artinya: “Dimana wanita dihormati, disanalah para dewa-dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala.”1 (Manawa Dharmasastra2 III.56)3
Dari ayat diatas perempuan dan laki-laki adalah mahluk yang memiliki kedudukan yang sama. Sama-sama saling menghormati dan dihormati sesuai dengan peranan dan fungsinya agar tercipta harmonisasi. Pada dasarnya, perempuan berhak mendapatkan perhatian yang sangat signifikan di dalam kehidupannya, bahkan perempuan sangat demikian bermakna sebagai insan suci yang patut dijaga dan dihormati, sama halnya dengan kaum laki-laki, terlebih dalam hal luhurnya.4 Menjadi lebih penting lagi ketika keluhuran dan keutamaan
1
Dewa : kepala dari dewa-dewa, dewa kepala (dewa : malaikat, mahluk Tuhan terbuat dari sinar dewata); Mahluk Tuhan sebagai penguasa untuk aspek-aspek tertentu. Menurut ayat ini, dimana bila dalam keluarga itu wanita itu tidak dihormati, dewa-dewa tidak akan senang dengan hal itukarena wanita-wanita tidak lagi akan melakukan upacara agama. Dalam hal seperti demikian itu apapun kriya (karya atau kerja) seseorang tidak akan ada pahalanya. Jadi, kutipan ayat diatas menjelaskan bahwa agama Hindu sangat melindungi dan menghormati kedudukan wanita, apabila wanita tidak dilindugi dan dihormati dengan layak maka akan mengancam keharmonisan keluarga. 2Manawa Dharmasastra adalah kitab yang membicarakan tentang hukum-hukum yang dipakai umat Hindu. Manawa Dharmasastra ini telah diatur secara sistematik dan terbagi atas 12 bab. 3Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, (Jakarta : CV. Felita Nursatama Lestari, 2002), h. 147. 4 I Wayan Sudharma, Membentuk Keluarga Harmonis dan Bahagia, tulisan ini telah diseminarkan oleh Tempek Utan Kayu Pada Tahun Baru Saka 1929 pada tanggal 01 April 2005.
iv
seorang perempuan hendak mendapatkan pengakuan di ranah publik yang kompleks. Didalam teks suci agama Hindu Manawa Dharmasastra dijelaskan bahwasannya kedudukan perempuan sangatlah mulia, karena perempuan adalah sebuah cahaya yang dapat menyinari keluarga, teks suci ini juga mengatur tentang keutamaan dan pentingnya peran perempuan dalam sebuah keluarga.5 Dalam tradisi
agama
Hindu,
biasanya
perempuan
dilihat
sebagai
pembawa
keberuntungan, sebab mereka haid, menjadi isteri (memelihara hidup) dan melahirkan. Disebut juga Sumangali artinya perempuan setelah menikah membawa keberuntungan terhadap suami.6 Perempuan sebagai istri bukanlah pendamping suaminya semata, tetapi hidup bersama menyukseskan swadharma grhastha asrama (masa berumah tangga), membina putra menjadi suputra7dan bersama-sama mengabdi pada jagat alam semesta. Dalam kehidupan berumah tangga menurut Manawa Dharmasastra : Upadhyayandacacarya acaryanam catam pita, sahasram tu pitrinmatta gaurawenatiricyate Artinya : “Seorang Acarya adalah sepuluh kali lebih terhormat dari seorang Upadhyaya, seorang ayah adalah seratus kali lebih terhormat dari seorang guru tetapi
5 Lakukan sesuatu untuk kaum dan agama-mu, tulisan ini diakses pada senin 20 Agustus 2006, www.agnihoma.org/content.com 6Fauzie Ridjal, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1993), h. 5. 7Harapan utama pasangan suami-istri untuk memenuhi tujuan yang diamanatkan yaitu melahirkan putra-putri yang arif, bijaksana, saleh yang terkenal dengan istilah “Suputra” Suputra ini kelak menolong atau menyelamatkan arwah leluhurnya dari neraka.
v
seorang ibu adalah seratus kali lebih terhormat daripada ayah.”8(Manawa Dharmasastra II. 145)9
Ibu rumah tangga atau Pitri matta kedudukannya lebih terhormat dibanding suami. Sebagai istri kedudukannya setara dengan suaminya. Dalam rumah tangga perempuan itu berperan sebagai istri dan ibu rumah tangga yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang cukup berat. Demikian halnya dalam penyelenggara keagamaan (yajnamana) dan sebagai pelanjut keturunan. perempuan di dalam rumah tangga Hindu sering disebut Dewi Laksmi atau Dewi Kemakmuran. Predikat inilah yang sangat diharapkan oleh seorang istri di dalam pernikahannya. Lihat gambar di bawah ini :
Gambar : Dewi Lakshmi di atas menggambarkan kemakmuran, kegembiraan dan keberuntungan. Itu dapat dilihat Dewi lakhsmi menjatuhkan padi yang artinya kemakmuran. Dewi Lakshmi menurut kepercayaan umat Hindu adalah sakti (kekuatan atau tenaga) dari Dewa Wisnu.
8Acarya : guru. Lebih terhormat yaitu lebih tinggi keilmuannya akan lebih dimuliakan. Para komentar mengomentari perbandingan ini dengan mengatakan keistimewaan Acarya dibanding dengan Upadhyaya karena seorang Acarya disamping berkewajiban mengajarkan Weda dan mantra Gayatri, beliau juga mengadakan inisiasi dan demikian pula kedudukan seorang ayah dibandingkan dengan seorang guru karena ayah menyelenggarakan inisiasi dan mengajarkan weda. 9 Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 102.
vi
Konon, tanpa Dewi Lakhsmi, Dewa Wisnu tidak akan memiliki kekuatan apapun.
Rumah tangga yang dihuni perempuan semacam ini dalam agama Hindu akan mendatangkan kedamaian dan suka cita di dalam keluarganya. Tidak saja para perempuan Islam, Kristen dan Buddha yang mengharapkan dalam rumah tangganya menjadi ideal. Begitupun para perempuan Hindu selalu berlombalomba menjadi pendamping suaminya yang ideal (dalam agama Hindu disebut sati10 ), menjadi guru pertama buat anak-anaknya, menjadi teladan sikap sosial dalam bermasyarakat dan dapat memberi contoh cara berbicara yang baik dan sopan.11 Perempuan Hindu diwajibkan melayani suaminya, karena itulah nilai ibadah yang bernilai sangat tinggi bagi perempuan Hindu. Dalam ajaran Hindu suami sesungguhnya adalah jelmaan Tuhan, maka perempuan diwajibkan melakukan pengabdian kepada sang suami. Itulah kewajiban istri. Begitupun sebaliknya suami pun harus setia kepada istri dan menghormati istrinya sebagai ratu rumah tangga.12 Sejatinya di dalam semua ajaran agama, termasuk kaum perempuan Hindu. Perempuan merupakan tulang punggung kemajuan suatu keluarga, ibarat jantung dan nafas di dalam keluarganya. Perempuan memainkan peran yang sangat sentral di dalam kehidupan. Dalam ajaran agama Hindu, istri menolong suami untuk mencapai tujuan hidup manusia melalui 3 sifat atau Tri Warga: Dharma (kewajiban)13, artha (kesuburan dan kekayaan)14 serta kamma (kenikmatan seks)15. Sifat-sifat ini
10 Perempuan yang menikah berkorban untuk menyelamatkan suami agar dapat menebus hutang kepada para dewa. 11 Clotilde Fracassi dan Paul Urbani, Wanita, (Surabaya : Paramita, 2001), h. 8. 12 Clotilde Fracassi dan Paul Urbani, Wanita, h.11. 13 Dharma yaitu, kebenaran yang merupakan dasar dan jiwa dari segala usaha. 14 Artha yaitu, hasil usaha yang berupa harta benda, yang diperoleh dengan melalui jalan dharma yaitu kebenaran. Pemilikan harta benda biasanya dapat menjerumuskan tindakan
vii
sangat diperlukan dalam mencapai tujuan hidup.16 Perempuan menikah biasanya dipandang dalam agama Hindu menolong membayar “hutang”17. Dalam hal ini tanpa istri, ia tidak akan dapat membayar hutangnya, demikian pula dalam hal melakukan kewajiban-kewajiban keagamaan. Karena itu, dalam skripsi ini penulis mengangkat tema “Kedudukan Perempuan dalam Keluarga Hindu”, Guna memahami kedudukan perempuan di dalam keluarga melalui perspektif dalam agama Hindu.
B. Perumusan Masalah Kedudukan perempuan dalam agama Hindu merupakan sosok yang dimuliakan. Hal ini dikarenakan perempuan memiliki peran sebagai penerus generasi yang dapat menebus dosa para leluhur. Kemuliaan perempuan ini membuat perempuan Hindu sangat dihormati di dalam kitab-kitab suci Hindu. Namun seringkali perempuan masih saja mendapatkan perlakuan yang kurang layak dari pria, karena pria lebih mendominasi diberbagai sektor termasuk di dalam keluarga Hindu. Bali merupakan mayoritas agama Hindu yang menganut “azas purusa”. Oleh karena itu, penulis berusaha untuk mengetahui pandangan umat Hindu terhadap kedudukan perempuan dalam agama Hindu.
seseorang, apabila tidak didasari dengan dharma dan tidak diamalkan untuk dharma, maka nerakalah yang akan diterima manusia jika tenggelam dalam kenikmatan harta bendanya. 15 Kamma yaitu, keinginan untuk mendapatkan kesukaan (kenikmatan). Kamma ini pun harus didasari dan dijiwai oleh dharma, karena kamma yang tidak berdasarkan dharma akan mengakibatkan penderitaan. 16 Fauzie Ridjal, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, h.5. 17 Hutang yang dimaksud disini dalam agama Hindu adalah laki-laki sejak lahir memiliki hutang kepada para guru, dewa-dewa dan para leluhur. Maka dengan jalan menikah suami dapat menyelesaikan hutang-hutangnya.
viii
Kedudukan perempuan di dalam keluarga Hindu menjadi sesuatu hal yang patut dikaji. Karena pada dasarnya perempuan dituntut untuk dapat berperan ganda atau multi peran. Sebagai Ibu yang mengurusi Rumah Tangga dengan beban ganda, tetapi disisi lain ia juga dituntut untuk berperan aktif disetiap kegiatan penyelenggaran keagamaan. Dari persoalan diatas, maka masalah ini dirumuskan dalam satu pertanyaan utama : bagaimanakah Kedudukan Perempuan di dalam Keluarga Hindu?.
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Secara formal akademis penelitian ini utuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat-syarat dalam mencapai gelar Sarjana Theologi pada Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bahwa lewat penulisan ini, penulis berharap dapat menyumbangkan sedikit kontribusi pikiran dalam rangka penambah wacana dalam Ilmu Pebandingan Agama. 3. Penulis berharap dengan penyusunan skripsi ini dapat memberikan gambaran yang jelas tentang “Kedudukan Perempuan dalam Keluarga Hindu”.
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
ix
Untuk mengkaji permasalahan ini, Penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library Research), yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dan data-data
ke berbagai tempat, seperti perpustakaan UIN Jakarta,
perpustakaan STF Driyarkara Jakarta, perpustakaan Nasional, perpustakaan Daerah Jakarta Selatan, perpustakaan STAH Adhytia Rawamangun Jakarta, perpustakaan Pura Amrta Jati Cinere, perpustakaan Agung Tirta Bhuana Bekasi, dan lain sebagainya. Selanjutnya untuk memperoleh hasil yang objektif, Penulis mengambil data-data yang bersifat primer sebagai bahan kajian, dan data-data yang bersifat sekunder sebagai bahan pelengkap kajian. Data-data itu berupa sumber-sumber ilmiah seperti buku-buku, ensiklopedi, majalah, diktat, artikel, dan lain sebagainya. Selain itu, pengumpulan data juga dilakukan melalui internet dengan mengunjungi situs-situs terkait yang memiliki data-data tertulis lainnya, yang diperlukan sebagai pendukung. Untuk menambah data tentang “Kedudukan Perempuan” penulis juga melakukan wawancara di Pura Amrta Jati Cinere dengan Ketua PWSHD (Persatuan Wanita Suka Duka Hindu Dharma), Ibu Ni Wayan Wartiniasih untuk mengetahui bagaimana kedudukan perempuan di dalam keluarga dari sudut pandang agama Hindu dan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Agar lebih memahami dan mencapai target dalam sasaran pembahasan itu maka penulis menggunakan metode deskriptif-analisis. Metode deskriptif merupakan metode yang dipergunakan sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau apa adanya. Sedangkan, teknik
x
analisis merupakan salah satu teknik dalam penelitian dengan melakukan analisa-analisa dari data-data yang didapat18. Mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu sepenuhnya pada standar penulisan skripsi dengan buku, “Pedoman Akademik Tahun 2003/2004” yang diterbitkan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2003.
E. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini secara keseluruhan, maka diperlukan suatu sistematika penulisan. Adapun sistematika Penulisan yang dimaksud adalah seperti yang akan diuraikan di bawah ini. Pada bab pertama menguraikan tentang pokok-pokok pikiran yang tertuang dalam pembahasan skripsi ini yang terdiri atas latar belakang masalah yang tujuannya untuk memberikan alasan yang jelas tentang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan teknik penulisan yang dipergunakan dalam rangka memudahkan penulisan dan sistematika penulisan dipergunakan untuk memberikan penjelasan secara garis besar mengenai pembahasan yang akan diuraikan dalam skripsi ini. Bab kedua akan membahas tentang perempuan dan keluarga, yang terbagi menjadi empat bagian, didahului dengan penjelasan definisi perempuan, kemudian dilanjutkan dengan membahas definisi keluarga, yang akan dibagi lagi dalam tiga bagian: tujuan keluarga Hindu, fungsi keluarga Hindu, dan kewajiban
Alimuddin Tuwu (ed), Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 85. 18
xi
keluarga Hindu, bagian yang ketiga membahas samskara di dalam keluarga Hindu, dan bagian terakhir membahas sistem kekerabatan dalam agama Hindu. Pada bab ketiga akan dibahas kedudukan perempuan dalam keluarga Hindu, yang terbagi menjadi tujuh bagian sub yaitu: perempuan sebagai istri, perempuan sebagai ibu rumah tangga, perempuan sebagai penerus keturunan, perempuan dalam membina anak, perempuan di dalam masyarakat dan lingkungan, perempuan sebagai penyelenggara aktivitas keagamaan (yajnamana). Kemudian analisis kritis ditempatkan pada sub bab terakhir. Dan penulisan skripsi ini diakhiri dengan kesimpulan dan lampiranlampiran yang ada pada bab terakhir yaitu, bab empat.
xii
BAB I PENDAHULUAN
F. Latar Belakang Masalah Yatra naryastu pujyante ramante tatra dewatah,Yatraitastu na pujyante sarwastalah kriyah. Artinya: “Dimana wanita dihormati, disanalah para dewa-dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala.”19 (Manawa Dharmasastra20 III.56)21
Dari ayat diatas perempuan dan laki-laki adalah mahluk yang memiliki kedudukan yang sama. Sama-sama saling menghormati dan dihormati sesuai dengan peranan dan fungsinya agar tercipta harmonisasi. Pada dasarnya, perempuan berhak mendapatkan perhatian yang sangat signifikan di dalam kehidupannya, bahkan perempuan sangat demikian bermakna sebagai insan suci yang patut dijaga dan dihormati, sama halnya dengan kaum laki-laki, terlebih dalam hal luhurnya.22 Menjadi lebih penting lagi ketika keluhuran dan keutamaan
19
Dewa : kepala dari dewa-dewa, dewa kepala (dewa : malaikat, mahluk Tuhan terbuat dari sinar dewata); Mahluk Tuhan sebagai penguasa untuk aspek-aspek tertentu. Menurut ayat ini, dimana bila dalam keluarga itu wanita itu tidak dihormati, dewa-dewa tidak akan senang dengan hal itukarena wanita-wanita tidak lagi akan melakukan upacara agama. Dalam hal seperti demikian itu apapun kriya (karya atau kerja) seseorang tidak akan ada pahalanya. Jadi, kutipan ayat diatas menjelaskan bahwa agama Hindu sangat melindungi dan menghormati kedudukan wanita, apabila wanita tidak dilindugi dan dihormati dengan layak maka akan mengancam keharmonisan keluarga. 20Manawa Dharmasastra adalah kitab yang membicarakan tentang hukum-hukum yang dipakai umat Hindu. Manawa Dharmasastra ini telah diatur secara sistematik dan terbagi atas 12 bab. 21Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, (Jakarta : CV. Felita Nursatama Lestari, 2002), h. 147. 22 I Wayan Sudharma, Membentuk Keluarga Harmonis dan Bahagia, tulisan ini telah diseminarkan oleh Tempek Utan Kayu Pada Tahun Baru Saka 1929 pada tanggal 01 April 2005.
xiii
seorang perempuan hendak mendapatkan pengakuan di ranah publik yang kompleks. Didalam teks suci agama Hindu Manawa Dharmasastra dijelaskan bahwasannya kedudukan perempuan sangatlah mulia, karena perempuan adalah sebuah cahaya yang dapat menyinari keluarga, teks suci ini juga mengatur tentang keutamaan dan pentingnya peran perempuan dalam sebuah keluarga.23 Dalam tradisi
agama
Hindu,
biasanya
perempuan
dilihat
sebagai
pembawa
keberuntungan, sebab mereka haid, menjadi isteri (memelihara hidup) dan melahirkan. Disebut juga Sumangali artinya perempuan setelah menikah membawa keberuntungan terhadap suami.24 Perempuan sebagai istri bukanlah pendamping suaminya semata, tetapi hidup bersama menyukseskan swadharma grhastha asrama (masa berumah tangga), membina putra menjadi suputra25dan bersama-sama mengabdi pada jagat alam semesta. Dalam kehidupan berumah tangga menurut Manawa Dharmasastra : Upadhyayandacacarya acaryanam catam pita, sahasram tu pitrinmatta gaurawenatiricyate Artinya : “Seorang Acarya adalah sepuluh kali lebih terhormat dari seorang Upadhyaya, seorang ayah adalah seratus kali lebih terhormat dari seorang guru tetapi
23 Lakukan sesuatu untuk kaum dan agama-mu, tulisan ini diakses pada senin 20 Agustus 2006, www.agnihoma.org/content.com 24Fauzie Ridjal, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1993), h. 5. 25Harapan utama pasangan suami-istri untuk memenuhi tujuan yang diamanatkan yaitu melahirkan putra-putri yang arif, bijaksana, saleh yang terkenal dengan istilah “Suputra” Suputra ini kelak menolong atau menyelamatkan arwah leluhurnya dari neraka.
xiv
seorang ibu adalah seratus kali lebih terhormat daripada ayah.”26(Manawa Dharmasastra II. 145)27
Ibu rumah tangga atau Pitri matta kedudukannya lebih terhormat dibanding suami. Sebagai istri kedudukannya setara dengan suaminya. Dalam rumah tangga perempuan itu berperan sebagai istri dan ibu rumah tangga yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang cukup berat. Demikian halnya dalam penyelenggara keagamaan (yajnamana) dan sebagai pelanjut keturunan. perempuan di dalam rumah tangga Hindu sering disebut Dewi Laksmi atau Dewi Kemakmuran. Predikat inilah yang sangat diharapkan oleh seorang istri di dalam pernikahannya. Lihat gambar di bawah ini :
Gambar : Dewi Lakshmi di atas menggambarkan kemakmuran, kegembiraan dan keberuntungan. Itu dapat dilihat Dewi lakhsmi menjatuhkan padi yang artinya kemakmuran. Dewi Lakshmi menurut kepercayaan umat Hindu adalah sakti (kekuatan atau tenaga) dari Dewa Wisnu.
26Acarya : guru. Lebih terhormat yaitu lebih tinggi keilmuannya akan lebih dimuliakan. Para komentar mengomentari perbandingan ini dengan mengatakan keistimewaan Acarya dibanding dengan Upadhyaya karena seorang Acarya disamping berkewajiban mengajarkan Weda dan mantra Gayatri, beliau juga mengadakan inisiasi dan demikian pula kedudukan seorang ayah dibandingkan dengan seorang guru karena ayah menyelenggarakan inisiasi dan mengajarkan weda. 27 Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 102.
xv
Konon, tanpa Dewi Lakhsmi, Dewa Wisnu tidak akan memiliki kekuatan apapun.
Rumah tangga yang dihuni perempuan semacam ini dalam agama Hindu akan mendatangkan kedamaian dan suka cita di dalam keluarganya. Tidak saja para perempuan Islam, Kristen dan Buddha yang mengharapkan dalam rumah tangganya menjadi ideal. Begitupun para perempuan Hindu selalu berlombalomba menjadi pendamping suaminya yang ideal (dalam agama Hindu disebut sati28 ), menjadi guru pertama buat anak-anaknya, menjadi teladan sikap sosial dalam bermasyarakat dan dapat memberi contoh cara berbicara yang baik dan sopan.29 Perempuan Hindu diwajibkan melayani suaminya, karena itulah nilai ibadah yang bernilai sangat tinggi bagi perempuan Hindu. Dalam ajaran Hindu suami sesungguhnya adalah jelmaan Tuhan, maka perempuan diwajibkan melakukan pengabdian kepada sang suami. Itulah kewajiban istri. Begitupun sebaliknya suami pun harus setia kepada istri dan menghormati istrinya sebagai ratu rumah tangga.30 Sejatinya di dalam semua ajaran agama, termasuk kaum perempuan Hindu. Perempuan merupakan tulang punggung kemajuan suatu keluarga, ibarat jantung dan nafas di dalam keluarganya. Perempuan memainkan peran yang sangat sentral di dalam kehidupan. Dalam ajaran agama Hindu, istri menolong suami untuk mencapai tujuan hidup manusia melalui 3 sifat atau Tri Warga: Dharma (kewajiban)31, artha (kesuburan dan kekayaan)32 serta kamma (kenikmatan seks)33. Sifat-sifat ini
28 Perempuan yang menikah berkorban untuk menyelamatkan suami agar dapat menebus hutang kepada para dewa. 29 Clotilde Fracassi dan Paul Urbani, Wanita, (Surabaya : Paramita, 2001), h. 8. 30 Clotilde Fracassi dan Paul Urbani, Wanita, h.11. 31 Dharma yaitu, kebenaran yang merupakan dasar dan jiwa dari segala usaha. 32 Artha yaitu, hasil usaha yang berupa harta benda, yang diperoleh dengan melalui jalan dharma yaitu kebenaran. Pemilikan harta benda biasanya dapat menjerumuskan tindakan
xvi
sangat diperlukan dalam mencapai tujuan hidup.34 Perempuan menikah biasanya dipandang dalam agama Hindu menolong membayar “hutang”35. Dalam hal ini tanpa istri, ia tidak akan dapat membayar hutangnya, demikian pula dalam hal melakukan kewajiban-kewajiban keagamaan. Karena itu, dalam skripsi ini penulis mengangkat tema “Kedudukan Perempuan dalam Keluarga Hindu”, Guna memahami kedudukan perempuan di dalam keluarga melalui perspektif dalam agama Hindu.
G. Perumusan Masalah Kedudukan perempuan dalam agama Hindu merupakan sosok yang dimuliakan. Hal ini dikarenakan perempuan memiliki peran sebagai penerus generasi yang dapat menebus dosa para leluhur. Kemuliaan perempuan ini membuat perempuan Hindu sangat dihormati di dalam kitab-kitab suci Hindu. Namun seringkali perempuan masih saja mendapatkan perlakuan yang kurang layak dari pria, karena pria lebih mendominasi diberbagai sektor termasuk di dalam keluarga Hindu. Bali merupakan mayoritas agama Hindu yang menganut “azas purusa”. Oleh karena itu, penulis berusaha untuk mengetahui pandangan umat Hindu terhadap kedudukan perempuan dalam agama Hindu.
seseorang, apabila tidak didasari dengan dharma dan tidak diamalkan untuk dharma, maka nerakalah yang akan diterima manusia jika tenggelam dalam kenikmatan harta bendanya. 33 Kamma yaitu, keinginan untuk mendapatkan kesukaan (kenikmatan). Kamma ini pun harus didasari dan dijiwai oleh dharma, karena kamma yang tidak berdasarkan dharma akan mengakibatkan penderitaan. 34 Fauzie Ridjal, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, h.5. 35 Hutang yang dimaksud disini dalam agama Hindu adalah laki-laki sejak lahir memiliki hutang kepada para guru, dewa-dewa dan para leluhur. Maka dengan jalan menikah suami dapat menyelesaikan hutang-hutangnya.
xvii
Kedudukan perempuan di dalam keluarga Hindu menjadi sesuatu hal yang patut dikaji. Karena pada dasarnya perempuan dituntut untuk dapat berperan ganda atau multi peran. Sebagai Ibu yang mengurusi Rumah Tangga dengan beban ganda, tetapi disisi lain ia juga dituntut untuk berperan aktif disetiap kegiatan penyelenggaran keagamaan. Dari persoalan diatas, maka masalah ini dirumuskan dalam satu pertanyaan utama : bagaimanakah Kedudukan Perempuan di dalam Keluarga Hindu?.
H. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: 4. Secara formal akademis penelitian ini utuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat-syarat dalam mencapai gelar Sarjana Theologi pada Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Bahwa lewat penulisan ini, penulis berharap dapat menyumbangkan sedikit kontribusi pikiran dalam rangka penambah wacana dalam Ilmu Pebandingan Agama. 6. Penulis berharap dengan penyusunan skripsi ini dapat memberikan gambaran yang jelas tentang “Kedudukan Perempuan dalam Keluarga Hindu”.
I. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
xviii
Untuk mengkaji permasalahan ini, Penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library Research), yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dan data-data
ke berbagai tempat, seperti perpustakaan UIN Jakarta,
perpustakaan STF Driyarkara Jakarta, perpustakaan Nasional, perpustakaan Daerah Jakarta Selatan, perpustakaan STAH Adhytia Rawamangun Jakarta, perpustakaan Pura Amrta Jati Cinere, perpustakaan Agung Tirta Bhuana Bekasi, dan lain sebagainya. Selanjutnya untuk memperoleh hasil yang objektif, Penulis mengambil data-data yang bersifat primer sebagai bahan kajian, dan data-data yang bersifat sekunder sebagai bahan pelengkap kajian. Data-data itu berupa sumber-sumber ilmiah seperti buku-buku, ensiklopedi, majalah, diktat, artikel, dan lain sebagainya. Selain itu, pengumpulan data juga dilakukan melalui internet dengan mengunjungi situs-situs terkait yang memiliki data-data tertulis lainnya, yang diperlukan sebagai pendukung. Untuk menambah data tentang “Kedudukan Perempuan” penulis juga melakukan wawancara di Pura Amrta Jati Cinere dengan Ketua PWSHD (Persatuan Wanita Suka Duka Hindu Dharma), Ibu Ni Wayan Wartiniasih untuk mengetahui bagaimana kedudukan perempuan di dalam keluarga dari sudut pandang agama Hindu dan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Agar lebih memahami dan mencapai target dalam sasaran pembahasan itu maka penulis menggunakan metode deskriptif-analisis. Metode deskriptif merupakan metode yang dipergunakan sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau apa adanya. Sedangkan, teknik
xix
analisis merupakan salah satu teknik dalam penelitian dengan melakukan analisa-analisa dari data-data yang didapat36. Mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu sepenuhnya pada standar penulisan skripsi dengan buku, “Pedoman Akademik Tahun 2003/2004” yang diterbitkan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2003.
J. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini secara keseluruhan, maka diperlukan suatu sistematika penulisan. Adapun sistematika Penulisan yang dimaksud adalah seperti yang akan diuraikan di bawah ini. Pada bab pertama menguraikan tentang pokok-pokok pikiran yang tertuang dalam pembahasan skripsi ini yang terdiri atas latar belakang masalah yang tujuannya untuk memberikan alasan yang jelas tentang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan teknik penulisan yang dipergunakan dalam rangka memudahkan penulisan dan sistematika penulisan dipergunakan untuk memberikan penjelasan secara garis besar mengenai pembahasan yang akan diuraikan dalam skripsi ini. Bab kedua akan membahas tentang perempuan dan keluarga, yang terbagi menjadi empat bagian, didahului dengan penjelasan definisi perempuan, kemudian dilanjutkan dengan membahas definisi keluarga, yang akan dibagi lagi dalam tiga bagian: tujuan keluarga Hindu, fungsi keluarga Hindu, dan kewajiban
Alimuddin Tuwu (ed), Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 85. 36
xx
keluarga Hindu, bagian yang ketiga membahas samskara di dalam keluarga Hindu, dan bagian terakhir membahas sistem kekerabatan dalam agama Hindu. Pada bab ketiga akan dibahas kedudukan perempuan dalam keluarga Hindu, yang terbagi menjadi tujuh bagian sub yaitu: perempuan sebagai istri, perempuan sebagai ibu rumah tangga, perempuan sebagai penerus keturunan, perempuan dalam membina anak, perempuan di dalam masyarakat dan lingkungan, perempuan sebagai penyelenggara aktivitas keagamaan (yajnamana). Kemudian analisis kritis ditempatkan pada sub bab terakhir. Dan penulisan skripsi ini diakhiri dengan kesimpulan dan lampiranlampiran yang ada pada bab terakhir yaitu, bab empat.
xxi
BAB II PEREMPUAN DAN KELUARGA HINDU
A. Definisi Perempuan Perempuan berasal dari bahasa sansekerta, yaitu “Pu” atau “Empu”, mendapat awalan pe dan akhiran an sehingga menjadi perempuan yang memiliki arti dicintai, dimuliakan, membawa kesejahteraan dan diutamakan.37 Di dalam ajaran Hindu, seperti Kerajaan Majapahit, kata empu adalah istilah yang diberikan kepada mereka yang patut dihormati dan biasanya juga orang-orang suci. Istilah lain dalam perempuan, juga disebutkan dengan “wanita” berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari akar kata kerja “wan memiliki arti menghormati”. Dari akar kata kerja “wan” kemudian menjadi “wanita” setelah mendapat akhiran “hita/ita” yang artinya baik, mulia dan sejahtera. Berpangkal dari kata tersebut, maka pengertian perempuan adalah memiliki sifat yang dicintai karena baik, mulia dan sejahtera.38 Dalam membicarakan perempuan akan lebih tepat apabila, berpijak pada keluarga yang dilandasi harmonisasi. Sesungguhnya perempuan dalam pandangan Hindu amatlah mulia, sehingga sejajar dengan laki-laki. Kenyataan dalam beberapa adat istiadat sering dijumpai perempuan menjadi subordinasi laki-laki, atau sebagai pelaksana kebijakan laki-laki saja. Dikatakan kaum laki-laki diposisikan sebagai pihak yang menguasai, dan perempuan yang dikuasai. Tidak
37 Ni Made Sri Arwati, Swadharma Ibu dalam keluarga Hindu, (denpasar: PT. Upada Sastra, 1993), h. 2. 38 Ni Made Sri Arwati, Swadharma Ibu dalam keluarga Hindu, h. 4.
xxii
keliru akhirnya kalau dengan alasan kesetaran gender, maka lahirlah gagasan untuk dipersamakan peran antara keduanya. Mengacu pada salah satu teori gender yang tetap relevan dijadikan pijakan dalam bermasyarakat adalah teori struktural-fungsional dengan tokoh Talcott Parsons dan Bales bahwa pembagian peran yang sama antara seorang ayah dan ibu
dalam rumah tangga selalu berusaha mewujudkan kesejahteraan dan
keseimbangan dalam suatu masyarakat agar tercipta harmonisasi dan keselarasan antar anggota keluarga. 39 Salah satu ayat di bawah ini menjelaskan pandangan Hindu terhadap kesetaraan gender. Perempuan tidaklah berasal dari tulang rusuk laki-laki.40 Dalam Manawa Dharmasastra dinyatakan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan oleh Tuhan: Dwidha krtwatmano deham ardhena puruso’bhawat, Ardhena nari tasyam sa wirayama smrjat prabhuh Artinya :
39 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina,2001), h. 53. 40 Dalam ajaran Hindu tidak dikenal bahwa perempuan itu berasal dari tulang rusuk lakilaki. Di dalam lontar medang kamulan ada mitologi tentang terciptanya laki-laki dan perempuan. Dalam mitologi itu diceritakan Dewa Brahma menciptakan secara langsung laki-laki dan perempuan. Pada awalnya Dewa Brahma atas kerja sama dengan Dewa Wisnu dan Dewa Siwa membuat manusia dari tanah, air, udara dan api. Sesudah itu Dewa Bayu memberikan nafas dan tenaga, Dewa Iswara memberikan suara dan bahasa. Sang Hyang Acintya memberikan ide sehingga manusia bisa berfikir. Setelah tugas membuat manusia itu selesai ternyata manusia yang diciptakan oleh Dewa Brahma atas penugasan Hyang Widhi itu tidak memiliki kelamin, tidak laki-laki maupun perempuan. Karena itu, Dewa Brahma masuk kedalam diri manusia ciptaanNya itu, kemudian menghadap dan mencipta ke timur laut. Dari ciptaan itu muncullah manusia laki-laki dari timur laut. Kemudian selanjutnya menghadap ke tenggara untuk mencipta maka muncullah manusia perempuan dari arah tenggara. Dari konsepsi terciptanya perempuan ini sudah tergambar bahwa laki-laki dan perempuan secara asasi harkat dan martabat kedudukannya sejajar. Perbedaan laki-laki dan perempuan itu adalah perbedaan yang komplementatif: perbedaan yang saling melengkapi. Artinya, tanpa perempuan laki-laki tidak lengkap inilah yang disebut sebagai keseimbangan alam, begitupun sebaliknya tanpa laki-laki perempuan tidak lengkap. Karena itu dalam Rgveda laki-laki dan perempuan yang sudah menjadi suami istri disebut dengan satu istilah yaitu Dampati artinya, tidak dapat dipisahkan.
xxiii
“Dengan membagi dirinya menjadi sebagian laki-laki dan sebagian perempuan (ardha nari), ia ciptakan wiraja dari perempuan itu.”(Manawa Dharmasastra I. 32)41
Ajaran Hindu memiliki beberapa aspek penting dalam menggambarkan sosok perempuan yang dikemukakan oleh I Wayan Sudarma dalam sebuah makalah dengan judul “Eksistensi dan Keutamaan Perempuan dalamWeda”: “Jaya, yaitu perempuan bukan saja melahirkan anak tetapi dirinya dan suaminya sendiri merasa dilahirkan kembali. Istri dan suami lahir kembali bersama-sama dengan anak yang dilahirkan melalui pertemuan sperma (purusa) dan sel telur (pradhana). Sahadharmini, yaitu perempuan mempunyai kesamaan dalam mengemban tugas dan kewajibannya bersama-sama suaminya, terutama dalam kehidupan spiritual. Persatuan ini melahirkan sinergi yang kuat untuk sampai pada tujuan tertinggi dalam pemujaan kepada Tuhan. Dharma Patni, yaitu perempuan memegang peranan penting dalam hal melaksanakan aktivitas agama, upacara dan pemujaan kepada Tuhan. Disebut Dharma Patni karena perannya yang begitu penting dalam mendharma bhaktikan dirinya untuk kehidupan. Ardha Anggani, yaitu kehidupan dunia dan laki-laki tidak akan sempurna jika tidak didampingi perempuan.”42 Dharma seorang perempuan adalah menjadi anak perempuan yang baik. lalu menjadi menantu, istri, dan ibu yang baik. Menurut dharmanya ini, perempuan mesti belajar dengan baik dan meraih pendidikan yang baik pula. Bila telah memasuki masa rumah tangga (menikah) maka, kewajiban seorang istri melayani keluarga dari suaminya dan suaminya dengan
penuh kasih, merawat anak-
anaknya dan memperhatikan keperluan-keperluan mereka serta pertumbuhan mereka sebagaimana mestinya.
B. Definisi Keluarga Hindu Dalam membicarakan keluarga Hindu terlebih dahulu penulis ingin mengemukakan definisi secara umum. Keluarga adalah unsur atau kelompok yang
41
Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 36. 42 I wayan Sudarma, Eksistensi dan Keutamaan Wanita dalam Veda, makalah yang diseminarkan di STAH Dharma Nusantara, 31 Juli 2005.
xxiv
terkecil dari suatu bangsa.43 Keluarga dalam ajaran agama Hindu adalah unsur yang penting dalam melaksanakan Yadnya dan bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Keluarga berasal dari bahasa sansekerta, yaitu Kula dan Varga. Kula artinya abdi, hamba, dan Varga artinya jalinan, ikatan, pengabdian. Dengan demikian keluarga dapat diartikan sebagai berikut “Suatu jalinan atau ikatan pengabdian antara suami, istri dan anak”.44 Dengan memperhatikan hal tersebut diatas keluarga merupakan persatuan yang terjalin antara seluruh anggota keluarga. Dasar ikatan keluarga adalah “Pengabdian” bukan pengorbanan. Oleh karena itu tidak dibenarkan jika seorang ayah merasa selama ini merasa berkorban atau terpaksa dalam melakukan sesuatu untuk istri dan anak-anaknya. Begitupun sebaliknya istri dan anak-anaknya, jika melakukan sesuatu harus dilandaskan tanpa keterpaksaan. Singkatnya seluruh anggota keluarga yaitu suami, istri dan anak harus menyadari sepenuhnya bahwa apa yang dilakukan di dalam keluarga semata-mata adalah amanat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga semua yang dilakukan berdasarkan ketulusan hati yang suci. 45 Dengan kata lain, keluarga Hindu dilarang untuk melaksanakan Himsa Karma.46 Di dalam ajaran agama Hindu ada beberapa aspek yang harus di perhatikan oleh setiap pasangan Hindu yang hendak menjalin hubungan suamiistri antara lain :
43
H.I.H. Hasan, ed., Potret Wanita Shalehah, (Jakarta: Penamadani, 2004), h. 61. I Gede Jaman, Membina Keluarga Sejahtera, h. 10. 45 I Gede Jaman, Membina Keluarga Sejahtera, h.10. 46 Himsa Karma yaitu perbuatan yang mengorbankan, menyengsarakan, menyakiti orang 44
lain.
xxv
Mahantyapi samrddhani goja widhana dhanyatah, Strisambandhe dacaintani kulani pariwarjayet Artinya : “Dalam memilih istri hendaknya ia menghindari baik-baik kesepuluh macam jenis keluarga tersebut di bawah ini, betapapun terkenalnya, atau kayanya, dengan ternak kuda, biri-biri, padi atau kekayaan lainnya.”47 (Manawa Dharmasastra III.6)48 Hina kriyam nispurusam nicchando roma carcasam, Ksayyamayawya pasmari cwitrikusthi kulani ca. Artinya : “kesepuluh macam ialah, keluarga yang tidak melakukan upacara-upacara suci, keluarga yang tidak memiliki keturunan laki-laki, keluarga yang tidak mempelajari weda, keluarga yang anggota badannya berbulu tebal, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag, penyakit ayan atau lepra”.49 (Manawa Dharmasastra III.7)50
Keluarga biasanya memiliki ikatan bathin yang kuat diantara para anggota keluarga untuk meningkatkan kualitas diri. Maka, dalam agama Hindu Keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak diharapkan memiliki jalinan erat yang dapat disatukan dalam pengabdian yang berpedoman terhadap ajaran-ajaran agama Hindu51 Menurut I Gede Jaman, bagi umat Hindu yang baru akan memasuki kehidupan Grahastha Asrama (berumah tangga). Diberikan pemahaman akan hak dan kewajibannya. Maka ada tiga faktor yang utama dan harus diketahui baik-baik oleh calon suami maupun istri sebelum membina rumah tangga : 1. Tujuan Keluarga Hindu 47 Didalam Manawa Dharmasastra III sloka 6, ada sepuluh ketentuan merupakan syarat harus dihindari didalam memilih calon istri. 48 Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 131. 49 Kesepuluh jenis perempuan dari keluarga yang disebutkan di atas yaitu keluarga yang melakukan pekerjaan rendah (hina kriya) misalnya anak dari keluarga yang mengabaikan upacara dan hukum-hukum agama (di dalam ayat diatas disebutkan mengabaikan upacaraupacara kesucian) anak dari keluarga yang tidak memiliki keturunan laki-laki (mis. Purusa), orang dari keluarga yang tidak mempelajari weda, orang yang dari keluarga yang badannya berbulu tebal, orang dari keluarga berpenyakit hemorrhoid, anak dari keluarga yang berpenyakit phthisis, anak dari keluarga berpenyakit maag, berpenyakit ayan atau dari penyakit lepra. 50 Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 132. 51 I Gede Jaman, Membina Keluarga Sejahtera, h. 8.
xxvi
2. Fungsi Keluarga Hindu 3. Kewajiban-kewajiban Keluarga Hindu Ketiga faktor ini sangat berkaitan erat dalam menciptakan harmonisasi dalam rumah tangga.
1. Tujuan Keluarga Hindu Tujuan dalam Keluarga Hindu adalah membentuk keluarga bahagia (sukhinah) adalah : Keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan material secara layak dan seimbang, diliputi kasih sayang antara anggota keluarga dan lingkungannya dengan selaras, serasi, saling setia, serta mampu mengamalkan, menghayati, dan memperdalam nilainilai sraddha (keimanan) dan bhakti.52 Untuk mewujudkan keluarga sukhinah tidaklah mudah, harus dibarengi usaha dan kerja keras dari setiap anggota keluarga baik suami, istri dan anak. Kesatuan dari tiga elemen keluarga ini adalah pilar-pilar yang membentuk pondasi dalam mewujudkan sebuah keluarga yang sejahtera baik lahir maupun bathin. Sebuah keluarga akan dapat mencapai kesejahteraan, jika setiap elemen yang ada didalamnya mempunyai kekuatan utuh jika agama dijadikan dasarnya. Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, sebagai berikut : “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 53
52
I Wayan Sudharma, Membentuk Keluarga Harmonis dan Bahagia, tulisan ini telah diseminarkan oleh Tempek Utan Kayu Pada Tahun Baru Saka 1929 pada tanggal 01 April 2005. 53 Gede Raka Mas, Perkawinan Yang Ideal, (Surabaya: Paramita, 2003), h. 1.
xxvii
Dengan kata lain keluarga yang dibentuk dari perkawinan tersebut merupakan keluarga bahagia dan sejahtera lahir dan bathin atau keluarga sukhinah. Adbhirewa dwijagryanam warnanam, itaretarkamyaya
kanyadanam
wicisyate,
Itaresam
tu
Artinya : “Pemberian anak perempuan diantara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama”.54 (Manawa Dharmasastra III.35)55
Kehidupan berumah tangga adalah awal dari bersatunya dua jiwa dua pribadi yang disatukan melalui upacara vivaha samskara. Menurut pandangan agama Hindu perkawinan bukan saja bertemunya purusa dan pradhana tetapi lebih kepada peningkatan nilai spiritual yang berdasarkan hukum dalam ajaran Hindu. Perkawinan merupakan terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia, dan keluarga atau rumah tangga bukanlah semata-mata tempat berkumpulnya laki-laki maupun perempuan sebagai pasangan suami istri, namun mengupayakan terbinanya kepribadian dan ketenangan lahir dan bathin. Dikatakan oleh I Wayan Sudarma, tujuan orang membentuk keluarga adalah untuk: “Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajna, sebab di dalam grahastalah aktivitas 54
Pemberian anak perempuan yaitu penyerahan anak perempuan untuk dikawini kepada calon mempelai laki-laki menurut ayat ini merupakan cara yang terbaik untuk dilakukan sebagai acara dalam perkawinan. Kanyadanam adalah pemberian anak perempuan, penyerahan anak perempuan karena merupakan ajaran spiritual. Penyerahan ini sebagai tanda pelaksanaannya dapat dilakukan dengan pemericikan air suci bagi golongan brahmana, sedangkan antara golongan lainnya cukup dengan persetujuan bersama yaitu persetujuan antara calon pengantin perempuan dengan calon pengantin pria. Itaretarkamyaya adalah dengan pernyataan persetujuan bersama. 55 Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 141.
xxviii
yajna dapat dilaksanakan secara sempurna. Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajna dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna). Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.”56
Bila setiap rumah tangga dapat mewujudkan ketiga hal tersebut diatas, maka kesejahteraan dan kebahagiaan akan dapat diwujudkan di dalam rumah tangga.
2. Fungsi Keluarga Dalam membangun keluarga yang bahagia sejahtera, sebaiknya setiap keluarga Hindu memperhatikan fungsi-fungsi yang meliputi keagamaan, perlindungan, ekonomi, kasih sayang,
sosialisasi, pendidikan, budaya serta
pelestarian lingkungan. 57 Fungsi ini digunakan agar mendorong anggota keluarga menjadi unsur yang memiliki ketaqwaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai wadah dalam melanjutkan proses regenerasi agar melahirkan manusia yang berkualitas, dapat memenuhi kebutuhan secara ekonomi di dalam kehidupannya,
keluarga
juga
sebagai tempat perlindungan
yang dapat
mengayomi, memberi rasa aman dan damai.
3. Kewajiban Keluarga Hindu
56
I Made Titib, Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti Pada Anak, (Jakarta: Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, 2003), h. 84. 57
I Wayan Sudarma, Membentuk Keluarga Harmonis dan Bahagia, tulisan ini telah diseminarkan oleh Tempek Utan Kayu Pada Tahun Baru Saka 1929 pada tanggal 01 April 2005.
xxix
Dalam ajaran Hindu mengenal adanya kewajiban yang harus dihormati, dijunjung tinggi dan dipertahankan dengan baik. Karena apabila kewajiban itu dilakukan dengan sepenuh hati akan mendatangkan kebaikan. Seperti yang diuraikan dalam Bhagawadgita III sloka 35: Sreyan sva-dharmo vigunah Para-dharmat sv-anusthitat, Sva-dharme nidhanam sreyah Para-dharmo bhayavahah. Artinya: “Lebih baik mengerjakan kewajiban sendiri walaupun tidak sempurna dari pada dharmanya orang lain yang dilakukan dengan baik; lebih baik mati dalam tugas sendiri daripada dalam tugas orang lain yang sangat berbahaya.”58
Sebagai manusia yang merupakan insan dari Tuhan, pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, manusia selalu menjadi individu yang saling bergantungan dan membutuhkan orang lain. Keluarga Hindu disamping sebagai ikatan atau jalinan pengabdian yang tulus ikhlas antara seorang ayah kepada ibunya dan anak ataupun sebaliknya namun juga mempunyai kewajiban atau swadharma untuk melaksanakan Panca Yadnya. Panca Yadnya adalah lima pengabdian yang tulus Ikhlas kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa: “Dewa yadnya, yaitu merupakan persembahan yang ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pernyataan rasa terima kasih atas anugerahNya karena telah memberikan kehidupan bagi manusia. Pitra Yadnya, yaitu korban suci yang dilakukan oleh umat hindu yang ditujukan kehadapan pitra yang berarti bapak atau ibu leluhur yang terhormat sebagai pernyataan rasa terima kasih atas jasa-jasanya karena telah melahirkan, membesarkan dan memelihara kehidupan didunia ini. Rsi Yadnya, yaitu menghanturkan dunia kepada para pandita yang telah memimpin upacara pada waktu melakukan yadnya. Bhuta Yadnya, yaitu korban suci kepada bhutakala. Manusa Yadnya, yaitu suatu korban suci yang ditujukan kepada manusia sebagai bentuk pemeliharaan, sejak masa di dalam kandungan sampai akhir hidup.”59
G Pudja MA, Bhagawad Gita, (Surabaya: Paramita, 2004), h.99. Gede Raka Mas, Perkawinan Yang Ideal, h. 81. 58
59
xxx
Kewajiban dalam anggota keluarga beragama Hindu yang terdiri dari suami, istri dan anak tidaklah beda dengan agama-agama yang lainnya. Kewajibankewajiban yang harus dijalani dengan penuh suka cita tanpa adanya perasaan lelah sehingga menciptakan suasana yang kurang harmonis. Masing-masing dari kewajibannya dapat melakukan peranannya atas dasar kemampuannya yang dimiliki sehingga dalam keluarga apa yang diharapkan dapat terwujud dengan menjadikan keluarga aman, nyaman, tenang, bahagia dan harmonis. Tentu saja kewajiban-kewajiban itu merupakan tantangan yang harus dihadapi dengan ketabahan hati dan atas dasar sradha yang kuat. 1) Kewajiban seorang suami: a. Melindungi istri dan anak-anaknya. b. Menyerahkan harta dan menugaskan kepada istri sepenuhnya untuk
mengurus rumah tangga serta urusan agama bagi keluarga Arthasya samgraha caiman Wyaye caiwa niyojayet, Cause dharme’ nnapaktyam Ca parinahyasya ceksane
Artinya: “Hendaknya suami mengerjakan istrinya didalam pengumpulan dan pemakaian harta suaminya dalam hal memelihara segala sesuatu tetap bersih, dalam hal melakukan kewajiban-kewajiban keagamaan didalam hal penyediaan santapan suaminya dan menjaga peralatan rumah tangga.”60(Manawa Dharmasastra IX sloka 11)61 c. Menjamin hidup dengan memberi nafkah istri bila karena sesuatu urusan
penting ia meninggalkan istri dan keluarganya keluar daerah.
60
Menurut ayat ini supaya laki-laki tidak melakukan kekerasan di dalam perkawinannya. Karena perempuan adalah mahluk yang halus perasaannya, maka perempuan harus disibukkan dengan mengurus rumah tangga, memepercayai pengurusan keuangan, menyelenggarakan urusan keagamaan di dalam lingkungan rumah tangga dan memelihara kebersihan rumah tangga. 61 Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 528.
xxxi
Widhaya wrttim bharyayah Prawaset karyawannarah Awrttikarsita hi stri Pradusyetsthitim atyapi Artinya: “Seorang laki-laki yang mempunyai urusan diluar daerah ia boleh pergi meninggalkannya setelah menjamin biaya hidup bagi istrinya, karena bagaimanapun bajiknya seorang istri, dapat berbuat serong, tertekan karena kebutuhan hidup.” (Manawa Dharmasastra IX sloka 74)62 d. Memelihara hubungan kesuciannya dengan istri dan saling percaya (setia)
sehingga terjalin hubungan yang rukun, harmonis dalam rumah tangga. Anyonyasyawyabhicaro Bhawedamaranantikah, Esa dharmah samasena Jneyah stripumsayoh parah Artinya: “Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati” singkatnya, ia harus dianggap sebagai hukum yang tertinggi bagi suami dan istri.(Manawa Dharmasastra IX sloka 101)63 e. Menggauli istrinya dan mengusahakan agar tidak timbul perceraian dan
masing-masing tidak melanggar kesuciaan. Rtu kalabhigamisyat Swadarahniratah sada Parwawarjam wrajeccainam Tad wrato rati kamyaya
Artinya: “Hendaknya suaminya menggauli istrinya dalam waktu-waktu tertentu dan merasa selalu puas dengan istrinya seorang, ia juga boleh dengan maksud menyenangkan hati istrinya mendekatinya untuk mengadakan hubungan kelamin pada hari apa saja kecuali hari parwani.” (Manawa Dharmasastra III sloka 45)64
2) Kewajiban seorang Istri: a. Berusaha untuk menghindari bertindak di luar pengetahuan suami atau
orang tuanya Pitra bhartra sutairwapi Necchedwirahamatmanah, Esam hi wirahena stri garhye Kuryadubhe kule
62
Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 545. Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 553. 64 Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 144.
63
xxxii
Artinya: “Ia hendaknya jangan berusaha memisahkan diri dari ayahnya, suami-suami atau putra-putranya dengan meninggalkan mereka ia membuat diri dan keluarganya sendiri serta keluarga suaminya dicela orang”.(Manawa Dharmasastra V sloka 149)65 b. Pandai membawa diri dan pandai mengatur rumah tangga. Sada prahristaya bhawyam Grihakaryesu daksaya, Susamskritopaskaraya wyaye Camuktahastaya Artinya: “Ia hendaknya selalu berwajah cerah, pandai dalam mengatur urusan rumah tangga, cermat dalam membersihkan alat-alat rumah tangga serta hemat dalam pengeluaran biaya”.(Manawa Dharmasastra V sloka 150)66 c. Setia kepada suami dan hendaknya selalu berusaha tidak melanggar
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan unutk hidup suci. Panigrahasya sadhwistri jiwato Wa mritasya wa, Patilokamabhipsanti nacaret Kimcidapriyam Artinya: “Seorang istri yang setia, yang ingin tinggal bersama terus dengan suaminya sampai nanti setelah ia meninggal, haruslah tidak melakukan sesuatu yang menyakiti hati orang yang mengawininya itu, apakah dia masih hidup atau sudah mati.”(Manawa Dharmasastra V sloka 156)67
d. Selalu mengendalikan diri dalam keadaan suci dan selalu ingat kepada suami dan Tuhan, waspada, tahan uji dan menjaga nama baik keluarga.68 e. Istri yang ditinggal tugas oleh suaminya keluar daerah bila tidak diberi nafkah ia dapat bekerja untuk menunjang hidupnya asal tidak bertentangan dengan kesopanan. Widhaya prosite wrttim Jiwenniyamamasthita, Prosite twawidhayaiwa Jiwecchalpairagarhitaih Artinya:
65
Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 321. Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 321. 67 Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 323. 68 Clotilde Fracassi dan Paul Urbani, Wanita, h. 15.
66
xxxiii
“Bila suami bepergian setelah menjamin kebutuhannya, istri harus mengendalikan dirinya dalam kehidupan sehari-hari tetapi bila kepergiannya tanpa memberikan jaminan kebutuhan hidupnya, ia dapat melakukan pekerjaan kasar yang tidak ternoda.”( Manawa Dharmasastra IX sloka 75)69
3) Kewajiban seorang anak: a. Hormat kepada orangtuanya setiap hari, menjaga kesucian diri, berpegang
teguh kepada dharma atau kewajibannya. Imam lokam matrbhaktya Pitrbhaktya tu madhymam, Gurucicrusaya twewam Brahmalokam samacnute Artinya: “Dengan menghormati ibunya ia mencapai kebahagiaan dibumi ini, dengan menghormati ayahnya ia menikmati duni tengah tetapi dengan ketaatan tehadap gurunya ia mencapai alam Brahma”(Manawa Dharmasastra II sloka 233)70 b. Berkepribadian utama dan membantu meringankan beban keluarga Kim jatair bahubhih putraih Soka-santapakarakaih Waramekah kulalambi Yatra visramyate kulam. Artinya: “Apa gunanya melahirkan anak terlalu banyak kalau mereka hanya mengakibatkan kesengsaraan dan selalu memberikan kedukaan. Walaupun hanya seorang anak tetapi berpribadian utama dan membantu keluarga, satu anak yang meringankan keluarga inilah yang paling baik”. (Canakya Nitisastra III sloka 17)71
c. Menjaga nama baik orang tua.
C. Samskara di dalam Keluarga Hindu Menurut Manawa Dharmasastra, melakukan samskara diwajibkan oleh setiap keluarga di dalam masyarakat Hindu, paling tidak dilakukan minimal sekali atau dua kali melaksanakan sepenuhnya selama masa hidupnya. Tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan samskara adalah menyucikan diri secara lahir dan
69
Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 545. Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 125. I Made Darmayasa (Terj.), Canakya Nitisastra, (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha,1995), h. 26. 70 71
xxxiv
bathin, karena seseorang yang pada masa itu nanti harus benar-benar suci tidak terbelenggu kenikmatan duniawi yang semu.72 Oleh karena itu, penyucian (pavana) itu sangat penting artinya dalam masyarakat Hindu. Penyucian ini harus dilakukan sejak mereka mulai diciptakan sampai matinya. Ternyata prakteknya dalam masyarakat Hindu hanya dilaksanakan beberapa macam saja yang dianggap penting, seperti yang telah ditulis oleh redaksi pustaka manikgeni dalam buku yang berjudul “Doa Upacara Manusa Yadnya Sejak Kandungan sampai Perkawinan”. Buku ini dipersembahkan untuk para keluarga muda Hindu guna dijadikan pedoman dalam melaksanakan upacara keagamaan. a. Vivaha (perkawinan), merupakan tingkat hidup grihastha bagi seseorang yang telah menjalani hidup, perkawinan ini merupakan titik awal timbulnya jiwa baru, sehingga demikian kita akan mempunyai hidup yang pertama, walaupun masih dalam bentuk konsepsi. 73 b. Garbhadana
(upacara pembenihan pertama),
Dilakukan saat
kandungan berusia tujuh bulan, ini merupakan samskara pertama kalinya dialami oleh manusia sejak mula diciptakan ke dunia sebagai manusia. Hal ini sangat penting karena pertumbuhan selanjutnya benih tersebut sangat memberikan pengaruh terhadap kehidupannya.74 c. Pumsavana Samskara, upacara ini dilakukan pada saat usia kandungan tiga bulan. Samskara ini biasanya dilakukan untuk meminta anak laki-laki. Pentingnya upacara ini dalam masyarakat
72
Hasil wawancara pribadi oleh Ibu Ni Wayan Wartiniasih, Cinere, 11 Juli 2008. 73 Redaksi Pustaka Manikgeni, Doa Upacara Manusa Yadnya Sejak Kandungan sampai Perkawinan, (Bali: Pustaka Manikgeni, 1995), h. 8. 74 I Made Titib, Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti Pada Anak, (Jakarta: Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, 2003), h. 46.
xxxv
hindu, karena justru anak laki-laki dianggap sebagai penerus keturunan keluarga. 75 d. Jata Karma Samskara, upacara ini biasanya dilakukan setelah sang bayi di bawa pulang ke rumah, upacara ini menyambut kelahiran atau medapetan.76 e. Kepus puser (lepas aon), upacara ini dilakukan setelah bayi berumur 3-5 hari dilakukan pula upacara lepas pusar (lepas aon). Upacara ini maksudnya agar sang bayi mendapat keselamatan lahir bathin, sehingga menumbuhkan kesiapan dalam mengarungi kehidupan di dunia ini kelak.77 f. Nama Dheya Samskara, upacara pemberian nama bayi yang dilakukan pada hari ke 12 setelah lahirnya sang bayi. Nama itu juga memberikan pengaruh terhadap kelangsungan hidupnya selanjutnya. Oleh karena itu, pemberian nama menjadi sangat penting baik bagi dirinya maupun masyarakat, karena nama merupakan identitas seseorang dalam bermasyarakat.78 g. Kambuhan, upacara ini dilakukan setelah bayi memasuki hari ke 42. Tujuan dilaksanakannya upacara ini agar si bayi dan ibu suci lahir
75
Hasil wawancara pribadi oleh Ibu Ni Wayan Wartiniasih, Cinere, 11 juli 2008. Redaksi Pustaka Manikgeni, Doa Upacara Manusa Yadnya Sejak Kandungan sampai Perkawinan,h. 14. 77 Tjok Rai Sudharta, Manusia Hindu dari Kandungan Sampai Perkawinan, (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 21. 78 Redaksi Pustaka Manikgeni, Doa Upacara Manusa Yadnya Sejak Kandungan sampai Perkawinan, h. 21. 76
xxxvi
bathin, disamping itu agar si bayi terbebas dari pengaruh-pengaruh negatif.79 h. Nishkramana Samskara, upacara yang dilakukan setelah anak mencapai umur tiga bulan (105 hari) atau empat bulan setelah hari kelahirannya. Upacara ini tujuannya sebagai persembahan kepada Sang Hyang Surya (matahari). Pada waktu itu si bayi dianggap baru pertama kalinya berhubungan dengan kekuatan-kekuatan alam atau kontak dengan dunia luar. Si bayi juga pertama kali diperbolehkan menginjak tanah (turun tanah) mulai menapak ke bumi meminta kepada pertiwi kekuatan lahir maupun bathin dalam meniti kehidupan selanjutnya.80 i. Anna Prasana Samskara, upacara pemberian makan pertama dan ini biasa dilakukan pada anak berumur 6 bulan, upacara ini disebut upacara satu oton atau wetonan, dinamakan arma prasana ialah karena pada hari itu anak baru boleh diberi makan nasi atau bubur. Makanan adalah
zat
yang
sangat
penting bagi tubuh dalam
upaya
melangsungkan kegiatan duniawi. 81 j. Chuda Karma Samskara, upacara potong rambut pertama kalinya, biasa dilakukan pada waktu bayi berumur 1-3 tahun. Rambut sebagai mahkota sangat penting, oleh karena itu harus dirawat sebaik-baiknya.
79
Hasil wawancara Pribadi dengan Ibu Ni Wayan Wartiniasih, Cinere, 11 Juli 2008 I Made Titib, Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti Pada Anak, (Jakarta: Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, 2003), h. 68. 81 Redaksi Pustaka Manikgeni, Doa Upacara Manusa Yadnya Sejak Kandungan sampai Perkawinan, h. 39. 80
xxxvii
Upacara perawatan rambut ini maksudnya tiada lain untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi agar diberi rambut yang baik.82 k. Tumbuh Gigi (Ngempugin), upacara ini dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama. Tujuan upacara ini agar si anak tumbuh dengan baik.83 l. Tanggal gigi pertama (Makupak), upacara ini dilakukan pada saat gigi pertama tanggal. Tujuannya untuk mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu pengetahuan. 84 m. Upanayana Samskara,85 upacara mulai sekolah (Brahmacharya). Sekolah bagi jaman dulu sebenarnya sangatlah penting namun jangkauannya yang belum mampu, oleh karena itu mulai masuk sekolah perlu dibuatkan upacara, agar mengalami kelancaran dan keberhasilan tentunya.86 Sampai saat ini sekolah atau pendidikan menjadi sangat penting, karena tanpa pendidikan manusia itu tidak akan bisa berkembang, baik secara intelektual maupun secara sosial kemasyarakatan. Potensi dimiliki oleh setiap manusia namun bila tidak dikembangkan yang salah satunya adalah melalui sekolah atau pendidikan, maka potensi itu akan sia-sia tanpa memberikan manfaat kepadanya, maupun masyarakat.
82 I Made Titib, Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti Pada Anak, (Jakarta: Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, 2003), h. 73. 83 Redaksi Pustaka Manikgeni, Doa Upacara Manusa Yadnya Sejak Kandungan sampai Perkawinan, h. 44. 84 Redaksi Pustaka Manikgeni, Doa Upacara Manusa Yadnya Sejak Kandungan sampai Perkawinan, h. 47. 85 Upanayana Samskara adalah inti dari semua upacara yang dilakukan. Segala sesuatu yang dipelajari selama masa ini akan menjadi bekal bagi seseorang dalam melanjutkan tingkat hidup yang lebih tinggi. 86 I Made Titib, Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti Pada Anak, (Jakarta: Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, 2003), h. 77.
xxxviii
n. Savitri Samskara, upacara yang harus dilakukan setelah tiga bulan memasuki sekolah atau upanayana. Dalam proses pendidikan pun masih dibuatkan upacara, maksudnya agar cepat selesai dan mendapatkan hasil yang baik, guna meniti kehidupan selanjutnya.87 o. Vivaha Samskara, upacara perkawinan adalah upacara terakhir dari masa hidup yang harus mereka lakukan, karena setelah ini tidak ada lagi upacara lain kecuali upacara kematian.88 p. Antyesti Samskara, upacara kematian dimana upacara dipandang sebagai akhir perjalanan hidup manusia. Dalam upacara kematian inilah nampak sekali kehidupan masyarakat Hindu yang terkenal guyub dan bersatu. Dari semua macam upacara tersebut di atas, upacara kematian dilakukan secara terpisah dari upacara hidup, karena upacara kematian dipandang tidak suci.89 Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka kehidupan manusia didalam masyarakat Hindu penuh dengan samskara yang harus diperhatikan oleh orang tuanya terhadap putra-putrinya sebelum memasuki kehidupan rumah tangga (menikah). Dengan keterangan ini dapat dipahami betapa berat tugas dan kewajiban yang harus dilakukan oleh grihasthin (seseorang yang berumah tangga) menurut masyarakat Hindu.
D. Sistem Kekeluargaan Didalam Agama Hindu
87
I Made Titib, Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti Pada Anak, (Jakarta: Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, 2003), h. 80. 88 Redaksi Pustaka Manikgeni, Doa Upacara Manusa Yadnya Sejak Kandungan sampai Perkawinan, h. 56. 89 Redaksi Pustaka Manikgeni, Doa Upacara Manusa Yadnya Sejak Kandungan sampai Perkawinan, h. 60.
xxxix
“Siang malam perempuan harus dipelihara. Sewaktu kecil ia selalu
dilindungi
oleh
ibunya,
tetapi
setelah
dewasa
suaminyalah
yang
melindunginya”90 Agama Hindu menganut “azas purusa” atau azas kebapakan, sehingga dalam sistem kekeluargaan Hindu mementingkan status anak laki-laki. Azas purusa sangat terlihat kental sekali di Bali (mayoritas penduduk Bali beragama Hindu 93,5 %),91 di mana perempuan setelah menikah mengikuti suaminya, berarti istri mengikuti keluarga suami. Semua hak yang ada di rumahnya ditinggalkan dan memperoleh hak dikeluarga suaminya. Demikian pula anak-anak yang lahir dari perkawinan itu terkait dengan keluarga ayah (suaminya) dan tidak terdapat hubungan menurun dari keluarga ibunya, sehingga keturunan itu berasal dari keluarga suami (ayah) dan tidak pernah dari keluarga ibu (istri). Kewajibankewajiban anak atau cucu juga tertumpah pada keluarga ayah, juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang ia peroleh juga berasal dari pihak ayahnya. Ini bukan berarti bahwa hubungan si anak dengan keluarga ibunya tidak ada sama sekali. Namun secara hukum adat tidak memperoleh hak maupun kewajiban pada keluarga ibu.92 Namun, apabila dari keluarga ayah tidak ada lagi, maka hak dan kewajiban itu dapat diperoleh dari keluarga ibu, seperti memelihara anak-anaknya. Hal ini baru terjadi apabila keluarga laki-laki atau ayah sudah tidak ada lagi. Dengan dianutnya sistem kebapakan, maka hal utama yang menonjol adalah anak laki-laki. Penganut azas purusa meyakini bahwa anak laki-laki akan
90
Bagus Takwin, Aspek Feminin dalam Spiritualitas Hindu: Potret Ilahi Setengah Hati (Jakarta: Jurnal perempuan no.21), h. 79. 91 Perkawinan Hindu di Bali Sebuah Pengamatan Empirik, diakses pada tanggal 10 Juli 2008, www.parisada.org. 92 Hilman Hadikuma, Hukum waris Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Islam, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), h. 67.
xl
meneruskan kehidupan atau keturunan keluarga. Anak laki-laki disebut dengan “sentana”, yang artinya pelanjut keturunan.93 Jadi menurut pemahaman Hindu, anak laki-laki memainkan peran yang sangat penting di dalam keluarga. Ini artinya, keluarga yang belum memiliki keturunan laki-laki, orang tuanya belum terbebas dari api neraka atau dosa-dosa. Kepercayaan inilah yang selalu dipegang teguh oleh umat Hindu sehingga di dalam setiap keluarga selalu menantikan kelahiran anak laki-laki dapat mewarnai kehidupan rumah keluarga Hindu. Biasanya keinginan kehadiran anak laki-laki ditandai dengan diadakan upacara Manusa Yadnya pumsavana samskara yang telah dibahas dalam samskara di dalam keluarga Hindu. Menurut waris adat (tradisi) yang sudah mengakar kuat. Dalam suatu keluarga tidak terdapat anak laki-laki, maka anak perempuan pun bisa dialihkan kedudukannya sebagai sentana yang disebut dengan “sentana Rajeg”, yaitu anak perempuan yang kedudukannya meningkat menjadi anak sentana, berarti dianggap telah mengalami peralihan dari status perempuan ke status laki-laki.94 Dikatakan dalam Manawa Dharmasastra: Dauhitro hyakhilam Rikthama putrasya piturharet Sa ewa dadyad dwau pindau Pitre mata mahayaca Artinya: “Anak dari perempuan yang diangkat statusnya sesungguhnya akan menerima juga harta warisan dari ayahnya sendiri yang tidak berputra laki-laki. Ia akan menyelenggarakan tarpana bagi kedua orang tuanya, ayahnya sendiri dan kepada datuk ibunya.”(sloka 132)95
93 Hilman Hadikuma, Hukum waris Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Islam, h. 90. 94 Hilman Hadikuma, Hukum waris Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Islam, h. 98. 95 Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 526.
xli
Bentuk perkawinan dengan sentana rajeg cukup unik, anak sentana tetap tinggal di rumahnya, tetapi laki-laki yang menikahinya diboyong sang istri untuk mengikutinya. Hal ini berarti keluarga laki-laki memasuki keluarga perempuan. Perkawinan model ini disebut kawin “nyentana”96 atau “nyeburin”. Dalam hal ini anak perempuan yang dialihkan statusnya memiliki kewajiban untuk melanjutkan keturunan atau meneruskan keturunan keluarganya, menumbuhkan garis secara laki-laki (kepurusaan) dan anak-anak mereka menjadi ahli waris.97Dalam budaya Hindu Bali dikenal dengan tiga jenis perkawinan, yaitu perkawinan meminang (Mapadik/Ngindih),
kawin
selarian
(Ngelayat/
Ngerorod)
dan
terakhir
perkawinan Nyentana atau Nyeburin. 1. Mapadik/Ngindih adalah perkawinan meminang yang dilakukan oleh keluarga calon mempelai laki-laki yang datang meminang ke rumah calon mempelai perempuan.98 Meminang dapat dilakukan jika sudah terjadi kesepakatan antara kedua calon mempelai dan keduanya saling mencintai serta pelaksanaannya keluarga laki-laki diminta secara formal pada hari yang dianggap baik untuk meminang selanjutnya
96Nyentana
atau Nyeburin. Nyentana dipandang lebih terhormat dibandingkan dengan nyeburin. Kedua jenis perkawinan ini merupakan kebalikan system perkawinan yang umum, utamanya menyangkut status mempelai laki-laki. Dalam kedua jenis perkawinan ini, mempelai laki-laki tinggal di rumah asal mempelai perempuan dan statusnya sebagai status mempelai perempuan utamanya menyangkut waris dan kewajiban memelihara pura keluarga mempelai perempuan. Dalam perkawinan Nyentana, keluarga memepelai perempuan datang meminang calon mempelai lak-laki. Sedang, dalam nyeburin mempelai laki-laki datang kerumah mempelai perempuan untuk mengikuti upacara perkawinan. Kedua jenis diatas umum dilakukan di Kabupaten Tabanan Bali. 97 Hasil wawancara dengan Ibu Ni Wayan Wartiniasih, Cinere, 11 juli 2008. 98 Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu makna yang Terkandung dalam Upacara Perkawinan Hindu, (Denpasar: Yayasan Dharma Acarya Percetakan Mandara Sastra, 2002), h. 8.
xlii
dilakukan upacara perkawinan sesuai dengan ketentuan dalam agama Hindu.99 2. Ngelayat/Ngerorod adalah biasa disebut kawin lari dimaksudkan bahwa kedua calon mempelai atas dasar suka dan saling mencinta sepakat untuk lari bersama-sama ke rumah pihak ketiga untuk melakukan perkawinan.100 Biasanya, perkawinan ini dilakukan karena tidak mendapat restu oleh orang tua perempuan. Di masa lalu keluargakeluarga tertentu merasa lebih bermartabat jika menempuh perkawinan ini, karena bila meminang, terasa kehormatan laki-laki lebih direndahkan. Dari segi pembiayaan kawin lari ini justru lebih besar. Saat sekarang kawin lari ini mulai ditinggalkan orang. Walaupun, masih ada saja yang melakukannya.101
99
Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu makna yang Terkandung dalam Upacara Perkawinan Hindu ,h. 12. 100 Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu makna yang Terkandung dalam Upacara Perkawinan Hindu ,h. 8. 101 Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu makna yang Terkandung dalam Upacara Perkawinan Hindu ,h. 14.
xliii
BAB III KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA HINDU
A. Perempuan sebagai Istri Istri selalu menempati posisi dibelakang suami, sehingga di mata suami nilai istri tidaklah dapat mengungguli kaum adam. Seorang istri atau ibu dengan predikat yang melekat adalah perempuan yang sepanjang waktu menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja di rumah, dengan beban pekerjaan yang tidak akan pernah terselesaikan. Tetapi, istri sejati yang mengetahui kodratnya secara utuh tanpa pernah mengeluh, mensyukuri apa yang sudah menjadi kewajibannya dan melakukan semuanya dengan baik dan bijaksana. Dalam buku “Wanita” terdapat wejangan Sai Baba yang mengatakan: “Rumah adalah kuil dimana setiap anggota keluarga merupakan kuil-kuil bergerak yang diasuh dan diberi makan. Ibu merupakan pendeta perempuan tertinggi dari Rumah Tuhan. Kerendahan hati adalah dupa yang mengisi rumah itu. Penghormatan adalah lampu yang dinyalakan, dengan kasih sayang sebagai minyak dan keyakinan sebagai sumbunya. Pergunakanlah tahun-tahun kehidupanmu dalam pengabdian bagi pemujaan semacam itu dalam rumah yang kalian miliki dan yang akan dimiliki”102
Sifat-sifat seperti kesopanan, rendah hati dan selalu ingat kepada Tuhan adalah perhiasan yang harus dimiliki setiap perempuan. Dengan memiliki sifatsifat di atas, maka secara tidak langsung akan dijadikan teladan yang akan di
102
Clotilde Fracassi dan Paul Urbani, Wanita, h.28.
xliv
contoh keluarga. Tidaklah heran jika seorang istri memegang kendali dalam pembentukan karakter keluarga. Sai baba juga mengatakan: “Pangkuan ibu sesungguhnya adalah sekolah Pangkuan ibu sesungguhnya adalah kuil Pangkuan ibu sesungguhnya adalah taman bermain Ibu adalah kekayaan utama seseorang”103 Kunci utama seorang istri adalah selalu menjaga nama baik dan kesucian dirinya. Kesucian merupakan nafas kehidupan perempuan dan perhiasan yang tiada ternilai harganya. Berlawanan dengan dharmanyalah bila perempuan melanggar batas-batas kesopanan. Bahkan keagungan sifat perempuan itu akan sirna. Dikatakan oleh Sai Baba, perempuan atau istri yang sopan dan rendah hati tidak
akan
merendahkan
martabatnya
untuk
memperoleh
pujian
dan
penghormatan yang tidak ada manfaatnya, sebaliknya ia lebih suka mencari harga diri yang jauh lebih memuaskan.104 Dengan menjaga nama baik serta kesucian, maka itu adalah kekuatan yang yang dapat menyelamatkan keluarganya dari bencana. Dalam ajaran Hindu mengenal adanya kewajiban. Kewajiban yang harus dihormati, dijunjung tinggi dan dipertahankan dengan baik karena merupakan suatu kebijakan apabila kewajiban tersebut dapat terlaksana dengan sungguh-sungguh. Dewasa ini makin banyak perempuan yang menempuh pendidikan modern. Mereka bekerja di kantor, sekolah dan pabrik. Mereka ada yang mencapai kedudukan yang tinggi dalam berbagai bidang. Namun lepas dari semua itu mereka tidak akan bisa merubah diri sebagai seorang perempuan, istri dan ibu
103 104
Clotilde Fracassi dan Paul Urbani, Wanita, h.29. Clotilde Fracassi dan Paul Urbani, Wanita, h. 6.
xlv
yang mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga. Menjadi seorang perempuan yang berbudi pekerti luhur, saleh, jujur, baik hati dan bisa menghargai orang lain. Istri berasal dari kata stri. Stri dalam bahasa sansekertanya berarti “pengikat kasih” fungsinya sebagai istri adalah menjaga jalinan kasih sayang kepada suami dan anak-anaknya. Dalam kehidupan keluarga, istri disebut sebagai “Dewi”, sebagai permaesuri dan juga sebagai ibu yang memegang peranan yang sangat penting setelah suami. 105 Peranan perempuan sebagai istri, mulai diperoleh secara resmi setelah mereka (kedua) mempelai itu selesai melangsungkan pernikahannya. Menurut Undang-undang pokok perkawinan nomor 1 tahun 1974 dalam pasal 30, disebutkan bahwa suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.106 Melalui ikatan perkawinan mereka membentuk keluarga baru. Setelah diresmikan melalui upacara perkawinan (Vivaha Samskara) secara Hindu maka pernikahan dianggap sah apabila dilaksanakannya, disaksikan secara lahir dan bathin melalui Triupasaksi: “Upacara Byakala (Byakaon) kehadapan para butakala, ini adalah upacara inti dalam perkawinan yang ditujukan kepada 2 (dua) unsur kekuatan Hyang Widhi Wasa bersifat negatif (bhutakala) yang selalu mengganggu serta menguji kesadaran manusia. Upacara Byakala merupakan yang paling awal diselenggarakan, bermaksud memberikan korban suci kepada para bhutakala, agar si mempelai yang akan diupacarakan tidak diganggu atau digoda, dan sebaliknya.menyucikan tujuan yang ingin dicapainya, untuk menempuh hidup baru sehingga dapat menyatu lahir dan bathin. Manusia saksinya, dalam upacara ini disaksikan oleh para sanak keluarga baik dari pihak suami ataupun istri dan warga masyarakat. Dewa saksi, manifestasi dari Hyang Widhi Wasa melalui
105 Perempuan dalam Agama Hindu, tulisan ini diakses pada tanggal 10 Oktober 2008, www.agnihoma.org/content.com 106 I Wayan Sudarma, Hikmah Perkawinan, tulisan ini telah diseminarkan di Pura Agung Tirta Bhuana Bekasi, 14 Januari 2007.
xlvi
upacara di tempat suci sang suami dihadapan sanggah Kemulan, yang intinya awal mulai masuk menjadi anggota keluarga yang baru mengabdikan dirinya secara lahir dan bathin.”107
Setelah selesai melaksanakan upacara, kemudian dilanjutkan dengan upacara “Mapejati atau Majauman” ke tempat sang istri yang tujuannya memohon secara resmi kepada keluarga sang istri untuk diboyong suami keluar rumah. Upacara ini dimaksudkan sebagai perubahan status, yang secara lahir ditandai dengan persembahan berupa oleh-oleh Tipat bantal,108 selesai upacara dibagi-bagikan kepada sanak saudara-saudara si istri yang terdekat sebagai tanda mulai mohon diri. Sedangkan di tempat suci sang istri yaitu dihadapan Sanggah Kemulan dipersembahkan upakara atau banten pejati kehadapan para leluhurnya.109 Mohon diri secara bathin. Upacara perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat khusus dalam kehidupan manusia, yaitu awal jenjang “Grihasta” atau memasuki gerbang kehidupan berumah tangga. Dengan demikian, upacara perkawinan itu bagi kedua mempelai (perempuan dan pria) merupakan sejarah dalam hidupnya. Perkawinan menandakan ia sudah mulai terikat dengan orang yang mencintainya sekaligus juga orang yang dicintainya. Kedua mempelai telah masuk ke dalam lembaga yang sacral, penuh dengan tata krama yang dianggap sama maknanya dengan hidup di asrama guru. Kesetiaan dan keikhlasan melayani110 suami dengan penuh
107
Ni Made Sri Arwati, Swadharma Ibu dalam Keluarga Hindu, h. 6. Tipat bantal biasanya terbuat dari janur, yang bentuknya menyerupai seruling dengan panjang 15-20 cm, atau besar kecilnya disesuaikan dengan kebutuhan. Bantal sendiri diartikan sebagai symbol purusa yang mengandung makna sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa dan bentuk ini sebagai pelengkap upacara perkawinan. 109 Ni Made Sri Arwati, Swadharma Ibu dalam Keluarga Hindu, h.7. 110 Melayani disini adalah istri harus berani meluruskan atau menasehati suami apabila melihat suaminya berbuat kekeliruan yang dapat mengancam kelangsungan hidup berumah tangga dan istri harus tanggap terhadap suaminya. 108
xlvii
kasih sayang dianggap sama nilainya dengan sebuah yadnya atau pemujaan terhadap api suci. Menurut ajaran Hindu, perkawinan dipandang sebagai dharma (kewajiban) tentang dharma tersebut. Maha Rsi Manu dalam Manawa Dharmasastra mengatakan sebagai berikut : Prajanartha striyah srstah samtanartham ca manawah, Tasmat sadharano dharmah crutau patnya sahaditah Artinya : “Untuk menjadikan ibu, perempuan diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan upacara keagamaan karena itu ditetapkan didalam weda untuk dilakukan oleh suami bersama dengan istrinya.”111(Manawa dharmasastra XI. 96)112 Kedudukan perempuan sebagai istri dalam rumah tangga selalu berkaitan dengan kewajiban-kewajibannya terutama terhadap suami diuraikan dalam kitab: Asitamaranat ksanta niyata brahmacarini, Yo dharma ekaptninam kangksanti tamanuttamam. Artinya: “Sampai mati hendaknya ia sabar menghadapi kesulitan-kesulitan hidup, mengendalikan diri sendiri dan tetap suci serta berusaha memenuhi tugas-tugas mulia yang ditentukan untuk istri-istri yang mempunya satu suami saja.”113(Manawa Dharmasastra V sloka 158)114
Kehidupan suami-istri, istri biasanya memerlukan perlindungan dari suaminya dan begitupun suami memerlukan kasih sayang dari istrinya. Dalam ajaran agama Hindu disebut “tattwamasi” maksudnya: saya adalah engkau atau engkau adalah saya.115 Biasanya suami-istri dalam ajaran Hindu memiliki
111
Ayat diatas menjelaskan, perempuan diciptakan dengan ditakdirkan menjadi ibu, sedangkan laki-laki diciptakan dengna ditakdirkan menjadi bapak. 112 Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 551. 113 Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang istri harus mampu mengendalikan diri demi kelangsungan hidup berumah tangga, baik dalamucapan maupun perbuatan. 114 Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 323. 115 Ni Made Sri Arwati, Swadharma Ibu dalam Keluarga Hindu, h. 7.
xlviii
pedoman yang dijadikan acuan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Ini terlihat dalam pustaka suci Manawa Dharmasastra III, dalam sloka 60,61,62. Samtusto bharyaya bharta Bharta tathaiwa ca, Yasminnewa kule nityam Kalyanam tatra wai dhruwam Artinya: “Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal.” (sloka 60)116 Yadi hi stri na roceta Pumamsam na pramodayet, Apramodat punah pumsah Prajanam na prawartate Artinya: “Karena kalau istri tidak mempunyai wajah berseri, ia tidak akan menarik suaminya, tetapi jika sang istri tidak tertarik pada suaminya tidak aka nada anak yang akan lahir.” (sloka 61)117 Striya tu rocamanayam Sarwam tadrocate kulam, Tasyam twarocamanayam Sarwamewa na rocate
Artinya: “Jika sang istri selalu berwajah berseri-seri seluruh rumah akan kelihatan bercahaya, tetapi jika ia tidak berwajah demikian semuanya akan kelihatan suram” (sloka 62)118
Istri sebagai pendamping suami yang setia selalu menghayati ajaran agama Hindu tentang “karma phala”119. Pengabdian seorang istri terhadap suami merupakaan kesetiaan yang akan diamalkan kedalam perbuatan sehari-hari dalam kehidupannya baik dalam keluarga maupun masyarakat. Apabila seorang istri melakukan satu kesalahan maka akan mengakibatkan citra yang buruk ditengahtengah masyarakat, jika sudah seprti itu akan sulit sekali mengembalikan citranya semula. Arti dari sebuah kesetiaan dapat pula dilihat dalam mitologi Hindu, Dewi Sinta terhadap suaminya Rama. Dewi Sinta lebih mengutamakan pergi ke hutan
116
Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 148. Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 148. 118 Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 148. 119 Pebuatan yang dilakukan semasa hidup di dunia. 117
xlix
mendampingi suaminya yang sedang menjalankan hukuman selama 14 tahun, daripada tinggal di Istana dengan kehidupan yang mewah tapi harus berpisah dengan
suaminya
yang
dicintainya.
Cerita
diatas
menjelaskan
bahwa
mendampingi suami dikala suka dan duka merupakan pengamalan dari rasa kesetiaannya.120
B. Perempuan Sebagai Ibu Rumah Tangga Ibu Rumah Tangga di dalam keluarga Hindu memiliki tugas pokok yaitu: memelihara rumah tangga, mengatur, berusaha dengan sepenuh hati agar keluarga sebagai pondasi masyarakat dapat berdiri tegak, aman, tentram dan sejahtera. Agar terciptanya keharmonisan antara semua anggota keluarga secara lahir dan bathin. Tugas ini memang begitu memberatkan, tapi itu merupakan kewajiban. Karena mulianya kedudukan dan tugas perempuan sebagai ibu, maka si ibu sering diberi julukan “Ratu Rumah Tangga atau Keluarga”.121 Sebagai seorang ibu rumah tangga berkewajiban mengatur atau memanageri keuangan dalam rumah tangga, mendidik anak-anak, dan menyelenggarakan upacara keagamaan. Peranannya sebagai utama seorang pendidik bagi putra-putrinya yang secara langsung membina kewajiban generasi-generasi penerus dalam keluarga, tidak disangsikan bahwa seorang ibu adalah tiang Negara maka maju mundurnya suatu bangsa akan ditentukan oleh peranan perempuan. Karena dari perempuanlah akan melahirkan tunas-tunas harapan bangsa. Ibulah yang lebih banyak mendidik anakanak dari masa balita sampai anak bisa dianggap mandiri. Sekolah yang paling
120
Imas Kurniasih, Perempuan Pemicu Perang, (Yogyakarta: Pinus Book Publisher,2008),
h. 46. 121
Clotilde Fraccasi dan Paul Urbani, Wanita, h. 11.
l
utama untuk seorang anak adalah keluarga yang guru utamanya adalah Ibu. Sebagai seorang ibu, juga dituntut untuk menciptakan suasana persahabatan. Kekeluargaan didalam melakukan Interaksi Sosial ke dalam masyarakat.
C. Perempuan sebagai Penerus Keturunan Perempuan memiliki kodrat yang sangat mulia didalam kehidupan. Dalam agama Hindu perempuan dikatakan oleh Hyang Widhi Wasa sebagai pencetak kelahiran manusia yang akan meneruskan kehidupannya dimasa datang. Dalam semua agama, amatlah sempurna apabila di dalam bahtera kehidupannya dikaruniai anak. Termasuk keluarga Hindu. Dambaan para perempuan jika sudah menikah terasa lengkap jika rumah tangganya di isi oleh tangisan bayi dan tawa bayi. Kodrat ini disyukuri oleh para perempuan Hindu, karena kelahiran anak, merupakan penyelamat bagi leluhur yang masih terhalang perjalanannya untuk menuju moksa122 sebagai tujuan akhirnya, yang diakibatkan masih adanya noda yang patut ditebus melalui penjelmaan kembali ke dunia ini, dengan jalan berbuat.123 Anak adalah akibat dari proses bertemunya purusa dan pradhana melalui prosesi perkawinan. Dengan demikian anak dapat dikatakan salah satu tujuan berumah tangga. Kehadiran anak memberikan kehangatan dan kebahagiaan seluruh anggota keluarga. Dari segi etimologi anak berarti orang yang memberi pertolongan atau menyelamatkan arwah kehidupan leluhurnya dari neraka. Pernyataan tersebut tertulis dalam Sarasamuccaya 228:
122
Moksa adalah atma yang telah mampu bersatu kembali dengan paratma atau bersatunya dengan tuhan. Moksa adalah tujuan tertinggi umat hindu agar terbebas dari reinkarnasi 123 Ni Made Sri Arwati, Swadharma Ibu dalam Keluarga Hindu, h. 12.
li
Durbalartham balam yasya tyagartham ca parigrahah Pakascaivapacitartham pitarastena putrinah Artinya: “Yang dianggap anak, adalah orang yang menjadi pelindung orang yang memerlukkan pertolongan serta untuk menolong kaum kerabat yang tertimpa kesengsaraan untuk disedekahkan tujuannya, gunanya ia memasak menyediakan makanan untuk orang-orang miskin. Orang yang demikian itu putra sejati namanya.”(Sarasamuccaya 228)124
Ditinjau dari fase kehidupan, ada tahap-tahap yang wajib dilalui oleh umat Hindu. Fase ini dikenal dengan istilah Catur Asrama yaitu: “Brahmacari, adalah masa menuntut ilmu yang merupakan pondasi dan modal yang dapat digunakan dalam menempuh jenjang kehidupan yang berikutnya karena masa brahmacari dimulai sejak kita dalam kandungan sampai kita mati kelak. Grahastha, adalah tingkatan kehidupan dalam waktu membina rumah tangga. Wanaprasta, adalah tingkatan hidup persiapan untuk lebih meningkatkan hidup kerokhanian dan perlahan-lahan membebaskan diri dari ikatan keduniawian. Bhiksuka (sanyasin), adalah tingkatan kehidupan yang lepas dari ikatan keduniawian dan hanya mengabdikan diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa dengan jalan menyebarkan ajaran-ajaran kesucian.”125
Keluarga Hindu biasanya amat menanti-nanti kelahiran seorang anak laki-laki atau biasa dinamakan putera. Karena suatu rahmat dan kebahagiaan apabila mendapatkan seorang anak laki-laki. Pentingnya anak laki-laki dalam keluarga Hindu, karena anak laki-laki dapat melakukan sraddha yaitu upacara kematian orang tua atau nenek moyangnya. Anak laki-laki biasanya tetap tinggal diam di rumah untuk melanjutkan keturunan dan melaksanakan upacara sraddha, sedangkan anak perempuan biasanya akan mengikuti suami jika sudah berumah tangga.126 Awal
124
I Nyoman Kajeng, Sarasamuccaya, (Surabaya: Paramita,1997), h. 174. I Made Titib, Keutamaan Manusia Dan Pendidikan Budhi Pekerti, (Surabaya: Paramita, 2004), h. 8. 125
126
I Wayan Sudarma, Hikmah Perkawinan, tulisan ini telah diseminarkan di Pura Agung Tirta Bhuana Bekasi, 14 Januari 2007.
lii
mulanya kelahiran anak perempuan dalam suatu keluarga dipandang sebagai bunga keluarga, oleh karena anak perempuan makhluk yang penuh dengan rasa kasih maka harus dijaga dan dirawat. Perempuan itu dapat diibaratkan dewi kemakmuran, yang dinyatakan dalam pustaka suci: Prajanartham mahabhagah pujarha grhadiptayah, Striyah criyacca gehesu na wiceso stri kaccam Artinya: “Diantara perempuan-perempuan yang ditakdirkan untuk mengandung anak, yang menjamin rakhmat pahala, yang layak untuk dipuja dan yang menyemarakkan tempat tinggalnya dan diantara dewi-dewi yang merakhmati terhadap rumah seorang laki-laki tak ada bedanya diantara mereka.”127(Manawa Dharmasastra IX sloka 26)128
Belakangan perempuan acapkali mendapatkan perlakuan-perlakuan buruk di dalam keluarga dan lingkungan. Seandainya umat Hindu tetap berpegang teguh terhadap pedoman suci, seharusnya kehadiran seorang perempuan di dalam keluarga dijadikan tonggak kehidupan. Karena dari seorang perempuanlah akan terlahir generasi penerus yang dalam ajaran Hindu diyakini sebagai penitisan para leluhurnya untuk lahir kedunia memohon jalan menjelma untuk memperbaiki karmanya terdahulu yang belum dapat menyatu atau mencapai moksha. Inilah yang disebut Reinkarnasi. Sebagai penerus keturunan, seorang perempuan diuntut kesabaran dan ketabahannya, karena akan banyak perubahan yang akan dialami dan dihadapi baik secara fisik maupun mental. Seperti: ngidam, hamil, kemudian melahirkan.129 Untuk itulah seorang istri yang sedang hamil dituntut untuk
127
Ayat ini membandingkan kedudukan perempuan didalam rumah tangga sebagai dewi pemberi rakhmat (pahala) dengan seorang istri yang mengurus rumah tangga. Sama sekali tidak ada bedanya antara Cri (Dewi Kemakmuran) dengan istri di rumah, yang dikawinkan dengan tujuan mempunyai keturunan, membawa kebahagiaan, yang layak dipuja sebagai pelita rumah. Sifat-sifat perempuan yang seperti inilah yang selalu dicita-citakan oleh seorang suami. 128 Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 532. 129 I Gede Jaman, Membina Keluarga Sejahtera, h. 36.
liii
melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu jahat) yang merasuki jiwanya.130 Pengekangan yang dimaksud dapat dilakukan dengan: “Wak Capala; Tidak bersikap sombong, angkuh, iri hati, dengki yang menyebabkan keegoisan dalam diri. Wak Parusya; tidak marah, bertutur kata dengan sangat keras dan kasar, tidak dikagetkan ketika bangun tidur walaupun karena ada berita duka atau musibah, seorang istri tidak bisa menghindar dari kewajibannya atau berusaha melimpahkan kepada siapapun, termasuk suami yang dicintai.”131
Pengendalian ini diharapkan kelak ketika sang anak lahir menjadi orang yang berguna. Karena anak yang akan lahir akan menjadi generasi pewarisnya nanti. Saat-saat kehamilan adalah saat dimana calon ibu mengajarkan sifat-sifat positif maka ibu sering disebut sebagai pendidik atau sekolah pertama bagi anak sehingga ibu juga dijadikan barometer keluarga. Hal ini dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra: Utpadanam apatyasya jatasya paripalanam Pratyaham lokayatrayah prtyaksam strihirbandhanam Artinya: “Kelahiran dari pada anak-anak, pemeliharaan terhadap mereka yang lahir itu dan kehidupan sehari-hari bagi orang laki-laki, akan semua kejadian itu nyatanya perempuanlah yang menyebabkannnya.”132(Manawa Dharmasastra IX sloka 27)133
Kewajiban ibu melahirkan anak dapat dilalui, maka yang selanjutnya dilakukan dalam mendidik anak adalah memelihara dengan kasih sayang anak yang telah lahir, sebagai pertanggung jawaban dari rasa kesetiaan dan cintanya yang telah berbuah menjadi anak atau biasa disebut sebagai buah cinta suami dan istri. Kewajiban ibu setelah melahirkan adalah memelihara, melalui perawatan
130
I Gede Jaman, Membina Keluarga Sejahtera, h. 36. I Made Titib, Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti Pada Anak, h. 90. Sloka diatas menjelaskan bahwa melahirkan anak, memelihara yang telah lahir dan berlanjutnya peredaran dunia, perempuanlah yang menjadi sumbernya. 133 Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 533. 131 132
liv
secara lahir dan bathin. Dalam ajaran Hindu apabila pasca melahirkan air susu yang terdapat pada susu ibu, patut dinyadnyakan kepada anaknya.134 Tidak dibenarkan seorang ibu yang habis melahirkan tidak menyusui anaknya dengan alasan apapun. Karena itu sangat bertentangan dengan kodratnya. Seperti dalam pustaka suci Sarasamuccaya sloka 244 : Mangkanang ibu, arata jugasihnira manak ya, Apanwenang tan wenang, saguna, nirguna, daridra, Sugih, ikang anak, kapwa rinaksanira, iningunira ika, Tan hana ta pwa kadi sira, ring masiha mangingwana Artinya: “Demikian si ibu,rata benar cinta kasihnya kepada anak-anaknya, sebab baik cakap ataupun tidak cakap,berkebajikan ataupun tidak berkebajikan, miskin ataupun kaya anak-anaknya itu semua dijaga baik-baik olehnya, dan diasuhnya mereka itu: tidak ada yang melebihi kecintaan beliau dalam hal mengasihi dan mengasuh anak-anaknya.”(Sarasamuccaya sloka 244)135
Sloka di atas menyatakan bahwa ibu tidak akan pernah membedakan kualitas dari anaknya dalam melakukan kewajibannya, sebab baik atau tidak baik anak adalah anugerah yang patut dijaga dan dirawat. Demikianlah tugas mulia dan tanggung jawab seorang ibu yang mengabdikan diri pada anaknya dengan dasar yadnya yang tulus dalam kehidupannya, patut menjadi pedoman penghayatan bagi generasi penerus berikutnya, karena semuanya itu merupakan kodrat, yaitu hanya dari perempuan atau ibulah kelahiran manusia itu, serta lanjut untuk memeliharanya.
D. Perempuan dalam Membina Anak
134 135
Ni Made Sri Arwati, Swadharma Ibu dalam Keluarga Hindu, h. 15. I Nyoman Kajeng, Sarasamuccaya, h. 184.
lv
Sejak anak dalam kandungan peran seorang ibu dalam membina anak barulah dimulai. Ibulah yang pertama kali mengajarkan anak dari balita hingga dewasa, seorang ibulah yang membentuk karakter seorang anak. Disinilah peran ibu dipertaruhkan, apakah kelak anak yang dibimbingnya akan mengangkat namanya atau justru sebaliknya. Di dalam agama Hindu mengasuh seorang anak dibutuhkan kesabaran ekstra, ketika anak dapat berbicara dan mulai pandai mencopy apa yang dilihatnya, maka anakpun sudah mulai diperkenalkan pada ajaran etika dan susila mana yang baik dan mana yang tidak baik. Membimbing dan membina anak merupakan proses pemupukan untuk mengajarkan etika dan susila sejak dini. Seperti dalam ajaran Hindu dikenal dengan ajaran Tri Kaya Parisudha, yaitu berupa tiga pengendalian hawa nafsu untuk dapat berbuat yang baik dan benar seperti: “Manacika, membimbing anak untuk dapat menghargai pendapat orang lain dan berfikir positif dalam memandang sesuatu. Wacika, anak dibimbing supaya dapat bertutur kata yang baik dan sopan. Kayika, anak dibimbing agar dapat berbuat atau berlaksana yang baik sesuai ajaran agama Hindu.”136 Tidak beda dengan agama-agama yang lain. Pengendalian nafsu ini dimaksudkan agar anak mempunyai bekal atau pegangan yang kuat di dalam menjalani hidup berumah tangga kelak dan memutuskan berpisah dari orang tuanya serta sanak saudaranya. Bimbingan atau pendidikan ini bisa ditempuh secara formal yaitu dengan cara belajar di sekolah atau dengan jalan berguru sesuai dengan minat dan bakat masing-masing, secara formal yaitu dengan cara belajar di sekolah. Belajar di luar sekolah ini digunakan oleh seorang ibu untuk memberikan tuntunan kepada putra-putrinya, khususnya dalam bidang susila 136
I Made Titib, Keutamaan Manusia Dan Pendidikan Budhi Pekerti, h. 20.
lvi
(bertingkah laku), agar membiasakan anak-anaknya untuk mengenal dan mengambil pekerjaan yang ada pada rumah tangga, mengajarkan bagaimana menjalankan ajaran agama yang benar dan pekerjaan-pekerjaan lain yang merupakan tangung jawabnya seorang anak.137 Memberikan bimbingan atau nasehat-nasehat kepada anak perlu disesuaikan dengan umurnya sehingga anak mampu menelaah apa yang dinasehatkan oleh orang tuanya, seperti yang dijelaskan dalam Nitisastra: Lalayet panca varsani Dasa varsani tadayet Prapte tu sodase varse Putram mitravadacaret Artinya: “Asuhlah putra dengna cara memnjakannya sampai berumur lima tahun, memberikan hukuman-hukuman selama sepuluh tahun berikutnya. Kalau ia sudah menginjak umur enam belasan tahun didiklah ia dengan cara berteman.”(Canakya Nitisastra III sloka 18)138
Menurut ayat di atas, orang tua diharapkan tidak memanjakan anakanaknya, karena anak yang dimanja cenderung akan menjadi anak yang tidak bertanggung jawab, bahkan lebih fatal lagi bila memanjakan anak berarti peluang si anak untuk berbuat jahat dan tidak mengerti akan kewajibannya sendiri.139 Anak seperti ini terkadang suka menuntut hak yang bukan miliknya. Disinilah pentingnya bimbingan atau pendidikan yang diberikan oleh seorang ibu sebagai bekal, bagi anak-anaknya sebagai anggota masyarakat.
E. Perempuan di dalam Masyarakat dan Lingkungan
137
I Gede Jaman, Membina Keluarga Sejahtera, h. 37. I Made Darmayasa (Terj.), Canakya Nitisastra, h. 26. I Gede Jaman, Membina Keluarga Sejahtera, h. 38.
138 139
lvii
Perempuan Hindu memiliki peranan penting dalam melakukan hubungan sosial di dalam masyarakat maupun lingkungannya. Merupakan suatu kewajiban seorang perempuan dalam menjalin hubungan baik terhadap lingkungan sekitar. Kenyataan ini mengharuskannya untuk berusaha memupuk kemampuan guna dapat mempertahankan dan mengemban kehidupan. Karena itu, setiap manusia tidak dapat lepas dari hubungan dengan kehidupan lain. Artinya setiap manusia pasti membutuhkan manusia lain. Karena ia tidak dapat berdiri sendiri. Seorang perempuan yang sudah berumah tangga (grihasthin) diwajibkan untuk saling bantu-membantu di dalam pelaksanaan ajaran-ajaran agama, membantu warga yang mengalami musibah, berprtisipasi dalam kegiatan yang diadakan lingkungan. Sehingga diharapkan hubungan antara satu keluarga dengan keluarga yang lainnya sangat erat, maka seorang grihasthin dituntut ikut menciptakan lingkungan yang aman, damai dan penuh dengan rasa saling memiliki dan kekeluargaan.
F. Perempuan
sebagai
Penyelenggara
Aktivitas
Agama
atau
Sang
Yajnamana Perempuan dalam ajaran Hindu biasanya sebagai penyelenggara upacaraupacara keagamaan di dalam rumah tangga.140 Seperti diuraikan di dalam Manawa dharmasastra: Apatyam dharmakaryani Cucrusa ratiruttama Daradhinastatha swargah Pitri rnanatmanaccaha Artinya:
140
Ni Made Sri Arwati, Swadharma Ibu dalam Keluarga Hindu, h .24.
lviii
“Keturunan terselenggaranya upacara-upacara keagamaan, pelayanan yang setia, hubungan senggama yang memberi nikmat tertinggi dan mencapai pahala disurga bagi nenek moyang dan seseorang, tergantung kepada istri sendiri.” (Manawa Dharmasastra IX sloka 28)141
Seorang istri yang patut dijadikan teladan, apabila ia juga sebagai penyelenggara upacara-upacara keagamaan yang handal dalam rumah tangga. Perempuan Hindu yang memahami hal ini, akan sangat antusias menyambut datangnya hari raya Hindu, seperti: Galungan, kuningan, saraswati, Piodalan, Nyepi dan sebagainya. Mulai dari mempersiapkan sarana-sarana upakara “mejejahitan”
142
sampai memberikan sesajen sendiri pada hari raya tersebut.
Dalam hal ini, Kontribusi seorang istri justru lebih banyak, dibandingkan pria yang sifatnya hanya membantu. Seperti acara Piodalan yang akan diadakan di Pura Amrta, para ibu-ibu setiap hari datang ke Pura guna mempersiapkan sesajen yang akan digunakan dalam acara Piodalan tersebut. Sesibuk apapun seorang ibu menyempatkan datang ke Pura dengan pembagian hari yang dijadwalkan pengurus Pura dengan sangat terkoordinir. Dengan demikian seorang perempuan atau istri harus diperlakukan dengan selayaknya di dalam keluarga maka ketika ada kegiatan-kegiatan keagamaan, perempuan dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik, sehingga kehidupan rumah tangga itu memiliki cahaya atau langgeng lahir bathin, yang dianugerahkan dari para Dewa (Tuhan). Yadnya dalam agama Hindu sangat penting pelaksanannya, karena menurut pandangan Hindu alam ini tercipta dan diciptakan melalui proses yadnya, artinya
141 142
Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h.533. Mejejahitan berasal dari kata jahit yang berarti menyambung, merangkai, menghubungkan dan mendapat awalan “me” dan akhiran “an”, sehingga merupakan kata kerja yang dalam hal ini merupakan suatu pekerjaanmerangkai. Biasanya yang dijahit dalam konteks ini adalah bahan upakara (daun kelapa atau janur) dan daun-daunan. Jadi mejejahitan adalah sebuah proses atau pembuatan dari suatu keterampilan yang merupakan awal atau bagian dari sebuah upakara.
lix
tanpa yadnya tidak akan ada ciptaan dan tanpa yadnya alam semesta ini akan mengalami kehancuran. Yadnya, yaitu suatu persembahan atau korban suci yang didasari dengan pikiran yang tulus ikhlas terhadap Hyang Widhi Wasa beserta manifestasiNya.143Oleh karena itu, yadnya harus digunakan agar tercipta keseimbangan, dasar utamanya untuk melaksanakan yadnya adalah Panca Maha Yadnya, yaitu: Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya dan Bhuta Yadnya. Dasar utamanya untuk melaksanakan Panca Maha Yadnya adalah Rna (hutang). Ada tiga hutang yang harus dilunasi semasa manusia itu hidup yang disebut Tri Rna.144 Hutang inilah yang menyebabkan orang terikat kepada kewajiban untuk melunasinya. Ketiga hutang itu adalah: “Dewa Rna yaitu, hutang kepada Tuhan dan Para Dewa. Hutang ini diperoleh karena Tuhan memberikan kita jiwa atau atman dan dipelihara oleh para dewa, sehingga kita menjadi manusia yang berjiwa, dan diberikan karunia kehidupan. Dengan demikian, kita mempunyai kewajiban untuk membayarnya dengan melaksanakan dewa yadnya dan bhuta yadnya. Rsi Rna yaitu, hutang yang harus dibayar kepada para rsi atau para penerima wahyu, pendeta, guru yang merupakan sumber pemberi pengetahuan sehingga kita menjadi orang yang berilmu, berbudi pekerti, beriman, dan hidup bahagia adalah karena jasa-jasa beliau. Pitra Rna, yaitu hutang kepada orang tua atau leluhur, karena itu harus dibayar kepada para leluhur dan orang tua yang masih hidup karena kita pelihara, dididik, dibesarkan dan disayangi sampai kita mandiri tanpa mengenal lelah. Disamping kita berhutang kepada orang tua yang masih hidup, kita juga berhutang kepada yang telah meninggal. Cara membayar hutang kepada orang tua yang masih hidup, yaitu selalu menghormati dan menghargai, serta memenuhi kebutuhan hidupnya. Cara membayar hutang ini dengan melakukan Manusa Yadnya dan Pitra yadnya.”145
Semua upacara itu dibuat berdasarkan susila atau etika dan memiliki inti hakekat yang terkandung didalamnya yang disebut dengan tattwa. Dengan
143
Ni Made Sri Arwati, Swadharma Ibu dalam Keluarga Hindu, h. 26. I Ketut Wiana, Makna Upacara Yajna dalam Agama Hindu II, (Surabaya: Paramita, 2004), h. 3. 145 Candrawati, Grihasta Bimbingan Rohani Hindu dalam Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Sinar Agung, 1995), h. 75. 144
lx
demikian, maka pada setiap pelaksanaan upacara agama Hindu, sebenarnya ketiga kerangka agama yang terdiri dari tattwa, susila, atau etika dan upacara telah menyatu dilaksanakan, karena ketiga-tiganya itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak dapat dipisah-pisahkan.
146
Dalam pelaksanaan upacara yadnya sesa,
dilaksanakan dalam bentuk upacara setiap hari, yang diwujudkan berupa banten sekaligus
berfungsi
sebagai
alat
atau
sarana.
Adapun
waktu
mempersembahkannya yaitu setelah selesai memasak sebelum makan adalah susila atau etikanya, memiliki makna mendahulukan Hyang Widhi Wasa atau manifestasiNya telah membantu penyelesaian proses memasak hingga selesai dan siap untuk disajikan. Makna dan tujuan dari pelaksanaan upacara yadnya sesa, yaitu berfungsi ucapan terima kasih manusia atas karunia Hyang Widhi Wasa karena telah membantu uamtNya memberi perlindungan dalam bentuk makanan atau kesegaran dan kesehatan perkembangan tubuhnya. Selain itu juga bermakna untuk memohon maaf atas segala kesalahan, kekurangan yang mungkin diperbuat selama melaksanakan proses tersebut.147 Adapun doa yang dirapalkan dalam upacara yadnya sesa adalah: Om sarva bhuta suka Prtebhyahsvaha Artinya: “Om Sang Hyang Widhi Wasa, hamba berikan sedikit kepada sarva bhuta agar ia bahagia”.148
Disamping itu juga, Persembahan atau yadnya itu merupakan wakil atau sarana wujud nyata dari manusia untuk mengucapkan rasa terima kasihnya, yang kesemuanya itu juga sarananya berasal dari segala ciptaanNya. Dengan demikian,
146
Ni Made Sri Arwati, Swadharma Ibu dalam Keluarga Hindu, h. 26. Ni Made Sri Arwati, Swadharma Ibu dalam Keluarga Hindu, h. 28. 148 Himpunan doa agama Hindu, (Jakarta: Pengurus Harian Parisada Pusat, 2006), h. 17.
147
lxi
maka fungsi pokok dari pelaksanaan upacara dan upakara itu adalah secara lahir untuk mewujudkan keseimbangan antara yang memberi dengan yang menikmati dan secara bathin merupakan pengendalian hawa nafsu dari manusia terhadap Tuhan selaku sumberNya. Pelaksanaan ini didasarkan atas tuntunan pustaka suci Bhagawadgita III dalam ajaran Karmayoga, yang termuat pada sloka 10, 11, 12, 13, 14 : Saha yajnah prajah srstva Purovaca prajapatih Anena prasavisyadhvam Esa vo ‘stv ista-kama-dhuk Artinya: “Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, Tuhan setelah menciptakan manusia melalui yadna, berkata: dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagaimana sapi perah yang memenuhi kenginanmu (sendiri)."149 (sloka 10)150 Devan bhavayatanena Te deva bhavayatu vah Parasparam bhavayantah Sreyah param avapsyatha Artinya: “Adanya para dewa adalah karena ini, semoga mereka menjadikan engkau demikian, dengan saling memberi engkau akan memperoleh kebajikan paling utama.” (sloka 11)151 Istan bhogan hi vo deva Dasyante yajna bhavitah Tair dattan apradayaibhyo Yo bhunkte stena eva sah Artinya: “Sesungguhnya keinginan untuk mendapat kesenangan telah diberikan kepadamu oleh para dewa karena Yadnya mu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yadna sesungguhnya adalah pencuri.” (sloka 12)152 Yajna sistasinah santo Mucyante sarva-kilbisaih
149
Dalam hal ini manusia diibaratkan seperti lembu perahan yang akan diperah terus menerus untuk memenuhi keinginan yang timbul pada diri manusia itu sendiri. 150 G Pudja MA, Bhagawad Gita, h. 84. 151 G Pudja MA, Bhagawad Gita, h. 85. 152 G Pudja MA, Bhagawad Gita, h. 85.
lxii
Bhunjate te tv agham papa Ye pacanty atma-karanat Artinya: “Ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, (tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi diri sendiri,sesungguhnya makan dosa.”153(sloka 13)154 Annad bhavanti bhutani Parjanyad anna-sambhavanah, Yadnad bhavanti parjanyo Yadnah karma-samudbhavah
Artinya: “Adanya mahluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yadnya, adanya yadnya karena karma”. (sloka 14)155
Demikian
dasar-dasar
dari
pelaksanaan
upacara-upacara
yang
dilaksanakan dengan yadnya. Sehingga bila hal itu disimpulkan, bahwa hidup ke dunia ini adalah merupakan yadnya, maka itu harus ditempuh dengan beryadnya pula, karena Hyang Widhi Wasa yang merupakan sumbernya ini melaksanakan semua yang ada di muka bumi ini beserta segala isinya, adalah melalui yadnya pula. Penyelenggaraan upacara agama tersebut umumnya ditempuh melalui jalan bhakti marga dan karma marga. Di lain pihak juga bagi mereka yang batinnya sudah kuat dan pengendalian dirinya sudah tinggi, maka jalan Jnana Marga dan Raja Marga ada pula yang melaksanakan, yaitu melalui berdoa dan memakai mantra.156 Kewajiban itu sebagai penyelenggara aktivitas keagamaan sangatlah dominan yaitu dari membuat, mempersembahkan dengan doa atau mantra, yang 153
Adapun yang dikatakan sisa yadnya adalah semua makanan yang diperoleh setelah terlebih dahulu sebagian disajikan (disuguhkan) kepada yang patut diberi sesajian (dalam hal ini kepada para dewa). Orang yang menyantap makanan sisa dari yang telah disajikan itu, dianggap bebas dari dosa dan kesalahan. 154 G Pudja MA, Bhagawad Gita, h. 86. 155 G Pudja MA, Bhagawad Gita, h. 87. 156 Ni Made Sri Arwati, Swadharma Ibu dalam Keluarga Hindu, h. 30.
lxiii
pada dasarnya adalah untuk memohon keselamatan diri pribadi dan keluarga serta leluhur di dalam keluarganya setiap hari. Selain itu juga kewajiban ibu menyelenggarakan upacara berkala, misalnya setiap kliwon yaitu masegeh (mempersembahkan korban suci berupa suguhan nasi dengan lauk pauk bawang merah, jahe dan garam) Kepada para bhutakala, yang mungkin mengganggu kelalaian manusia dalam kehidupannya. Untuk menyemarakan pelaksanaannya, disertai pula dengan kidung wargasari, yang juga sebagai besar didukung oleh ibu-ibu dan kaum perempuan lainnya seperti yang masih remaja-remaja untuk kelangsungannya juga kepada generasi penerus, patut dibimbing oleh para kaum ibu masing-masing keluarganya. Demikian
kewajiban
seorang
ibu
sebagai
penyelenggara
aktivitas
keagamaan, yang dilakukan pada mereka yang sudah memasuki kehidupan tahap Grihasta (berumah tangga).
G. Analisis Kritis Dari paparan di atas. Penulis berusaha mengajak Pembaca untuk melihat terlebih dahulu bagaimana kedudukan perempuan di dalam keluarga Hindu. Penulis sadar penjelasaan di atas masih dalam konsep normatifnya, namun dalam tradisi empirisnya konsepsi itu tidak dapat berjalan sesuai rencana. Mengapa??. Patut kita ketahui bahwa di dalam semua agama, perempuan selalu ditempatkan dalam posisi kelas kedua, dimana posisi pertama ditempati oleh Laki-laki. Kesadaran inilah acapkali membuat perempuan mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya. Ajaran-ajaran setiap agama, maupun kitab suci dari setiap
lxiv
agama selalu menempatkan perempuan dengan posisi amat mulia, mahluk yang harus dikasihi, mahluk yang harus dilindungi, dipelihara dll. Semua yang ada di dunia diciptakan berpasangan langit-bumi, siang-malam, hitam-putih,
kelahiran-kematian,
laki-perempuan.
Coba
bayangkan
jika
perempuan tidak ada, dunia hanya diisi oleh laki-laki. Bagaimana proses regenerasi akan berjalan optimal sedangkan semua mahluk tidak memiliki rahim dalam proses persalinan. Maka duniapun dapat diprediksi akan punah. Dengan perkembangan zaman yang semakin menanjak, mengapa kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini semakin brutal diberitakan?. Akibat dari krisis ekonomi yang datangnya bertubi-tubi mendera negara-negara khususnya Indonesia membuat kebanyakan orang dinaungi sensitifitas yang tinggi. Dalam hal ini istrilah yang sering terkena dampak sensisitifitas yang didapat suami dari lingkungan luar. Maka, tidaklah heran jika dewasa ini perempuan berusaha keluar dari belenggu yang menjerat istri yang hanya tinggal diam dirumah menunggu suami pulang, memelihara anak-anak dengan pekerjaan yang tak akan ada habisnya. Bangkitnya perempuan, diisi dengan memperoleh pendidikan tinggi, mandiri secara finansial. Walaupun tidak keluar dari kodratnya dalam memelihara keluarga. Dengan bangkitnya kaum perempuan di ranah publik diharapkan dapat meminimalisir tindak kekerasan yang terjadi terhadap istri. Agama Hindu sangat apresiatif terhadap perempuan. Dalam tataran teorinya perempuan dikatakan sejajar dengan laki-laki, nilai-nilai ajaran Hindu sangat menghormati perempuan, tetapi dalam prakteknya masyarakat Hindu di Bali masih menomorduakan perempuan. Pendiskriminasian masih saja terjadi kepada kaum perempuan dikarenakan penerapan hukum budaya adat yang
lxv
dijadikan hukum Hindu. Salah satu contoh terjadinya diskriminasi adalah masalah hak waris atau hukum waris. Di dalam agama Hindu di tanah Bali, perempuan tidak berhak menerima hak waris. Mengapa??. Kondisi ini disangkut pautkan dengan sistem masyarakat Bali yang menganut patrilineal yang melihat bahwa warisan keluarga tidak lazim jika diturunkan ke anak perempuan. Perempuan dipandang sebagai sosok yang tidak dapat menjalankan kewajiban-kewajiban seorang ahli waris. Di Bali salah satu kewajiban ahli waris adalah menjaga dan memelihara Pura. Atas persepsi inilah, diskriminasi sering terjadi terhadap perempuan. Perempuan yang menikah inilah yang tidak akan mendapatkan hak waris dari orang tuanya. Lantas bagaimana dengan
perempuan yang tidak
menikah??. Ada contoh kasus Dalam majalah Sarad tahun 2002 tentang kisah Ni Nyoman Darmi lajang asal Bali yang guna mencari keadilaan untuk mendapatkan hak waris atas kekayaan orang tuanya. Merasa tidak diperlakukan adil oleh saudara laki-lakinya dengan alasan bahwa anak perempuan jika mendapatkan warisan, keluarga bisa terkena kutukan.157 Hukum adat yang masih diskriminatif terhadap perempuan terdapat dalam kitab Manawa Dharmasastra: Bharya putracca dasacca Traya ewadhanah smrtah, Yatte samadhigacchanti Yasya te tasya taddhanam Artinya: “Seorang istri, seorang anak, seorang budak, ketiga-tiganya dinyatakan tidak mempunyai hak milik,kekayaan yang mereka peroleh diperoleh untuk ia yang memilikinya.” (VIII sloka 417)158
Ayat diatas didukung juga oleh kitab sarassamuccaya Na stribhyah kincidanyadvai
157 Hasil wawancara dengan ibu Ketut salah satu umat Hindu di Pura Amrta Jati Cinere. Tanggal 19 Oktober 2008. 158 Gede Pudja & Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 524.
lxvi
Papiyo bhuvi vidyate, Striyo mulamanarthanam Manasapi ca cintitah Artinya: “Diantara sekian banyak yang dirindukan, tidak ada yang menyamai perempuan dalam hal membuat kesengsaraan, apalagi memperolehnya dengan cara yang jahat, karenanya singkirkanlah perempuan itu, meskipun hanya diangan-angan, hendaklah ditinggalkan saja.” (Sloka 424)159
Ayat-ayat di atas sangatlah berusaha memojokkan kaum perempuan di mana kaum perempuan dikatakan mahluk manipulatif dan membawa dampak kesengsaraan. Sampai saat ini peran perempuan tidak pernah sampai pada kesimpulan. Mereka terombang-ambing dalam ambiguitas akhir cerita. Seyogyangya, Teksteks wacana diatas tidak dimonopoli kaum laki-laki, sehingga perempuan dapat terhindar dari kekerasaan yang diskriminatif.
159
I Nyoman Kajeng, Sarasamuccaya, h. 317.
lxvii
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Agama Hindu memberikan penghormatan yang luar biasa terhadap perempuan, karena perempuan adalah pencetak generasi yang produktif dan mengemban tugas sebagai penyelamat para leluhur yang masih terbelenggu dosadosa dan api neraka. Tanpa perempuan, laki-laki Hindu tidak akan dapat menebus hutang kepada para leluhur, sehingga sudah sepantasnya perempuan diberikan penghormatan yang demikian tinggi di dalam keluarga Hindu. Kedudukan perempuan sangatlah sentral di dalam keluarga Hindu, perempuan memainkan peran utama dalam drama kehidupan di dunia ini. Perempuan dengan kesetiaannya memantulkan rahmat Tuhan, yang diharapkan dapat menciptakan harmonisasi keluarga yang sukhinah dengan menjalankan tugas-tugasnya
dengan kecintaan,
sehingga
memperoleh rahmat Tuhan.
Perempuan macam ini ibarat Dewi Laksmi atau Dewi Kemakmuran yang membawa kegembiraan dan keberuntungan bagi rumah tangganya. Perempuan yang mengerti akan kewajiban-kewajibannya dan berusaha mempraktekannya di dalam kehidupan khususnya
keluarga,
akan
mendatangkan surga
bagi
keluarganya. Maka, dapat dikatakan, perempuan merupakan nafas kehidupan, sebab melalui mereka lahirlah generasi-generasi yang suputra. Perempuan dalam kehidupannya memiliki dua predikat sekaligus, pertama sebagai pembimbing serta pendamping suami dan kedua sebagai guru pertama bagi anak-anaknya. Perempuan diharapkan dapat memelihara dan menjaga, ia
lxviii
juga dituntut untuk selalu mencontoh tindakan yang baik agar ucapan dan kelakuannya dapat dijadikan teladan di dalam keluarga maupun lingkungan. Tahta “Ratu Rumah Tangga” untuk perempuan Hindu begitu melekat, maka secara otomatis nama baik seluruh keluarga tergantung pada kaum perempuan.
lxix
lxx