KAJI ANDEFI NI SIKEMI SKI NAN
Di r ekt or atPenanggul anganKemi s ki nan Kedeput i anBi dangKemi s ki nan, Ket enagaker j aandanUKM
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas selesainya rangkaian kegiatan Kajian Definisi Kemiskinan Tahun anggaran 2014. Kajian ini menjadi sangat penting karena tahun 2014 merupakan tahun transisi pemerintahan dari Kabinet Indonesia Bersatu era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah menjalankan roda pemerintahan selama 2 (dua) periode RPJMN ke era Presiden Joko Widodo yang mengusung Kabinet Kerja. Transisi pemerintahan tersebut memiliki konsekuensi pada perubahan strategi penanggulangan kemiskinan sekaligus arah kebijakan dan prioritas pembangunan yang ditujukan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat. Jika upaya penanggulangan kemiskinan pada era RPJMN 2004-2009 dan RPJMN 2010-2014 menitikberatkan pada percepatan pertumbuhan ekonomi dan penanganan kantong-kantong kemiskinan (MP3EI dan MP3KI), periode RPJMN baru 2015-2019 menggarisbawahi 2 (dua) isu utama, percepatan pengurangan kemiskinan dan penurunan ketimpangan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah tidak mampu mengejar tingginya tingkat pertumuhan ekonomi yang dinikmati oleh masyarakat golongan menengah ke atas. Di samping itu, berbagai tantangan yang dihadapi selama periode tersebut mulai dari guncangan ekonomi global yang berdampak pada lesunya ekonomi nasional, berbagai bencana alam besar (tsunami, gempa bumi, gunung meletus), dan berkali-kali kenaikan harga BBM menyebabkan pencapaian target RPJMN di akhir tahun 2009 dan 2014 sedikit meleset. Dari pengalaman tersebut, pengukuran kemiskinan memiliki peran yang penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan karena berbagai parameter yang diukur selama ini adalah indikator kemiskinan moneter, sementara persoalan kemiskinan adalah persoalan multidimensi. Hal inilah yang menyebabkan berbagai kalangan (DPR, pemerintah daerah, dunia akademis, dan LSM) mendesak pemerintah untuk memperbaiki metode pengukuran kemiskinan. Kajian Definisi Kemiskinan ini dimaksudkan untuk menyempurnakan metode perhitungan kemiskinan seiring dengan perubahan kondisi dan dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di Indonesia. Metode pengukuran kemiskinan yang tepat akan menggambarkan kondisi kemiskinan yang lebih riil yang dirasakan oleh masyarakat, sehingga kebijakan yang diambil untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan akan semakin tepat. Sebagian dari data yang disajikan di dalam laporan kajian ini juga merupakan hasil dari Expert Group Meeting on Poverty Report 2014 yang diselenggarana oleh
Organization of Islamic Countries (OIC) di Ankara, Turkey pada bulan November 2014, Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
2
dimana delegasi Pemerintah Indonesia diwakili oleh Bappenas dan BPS. Dari pertemuan tersebut, selain dipresentasikan berbagai metode pengukuran kemiskinan yang digunakan di berbagai negara, dan perkembangan tingkat kemiskinan, serta program-program yang dilakukan, disepakati juga kerjasama antar negara dalam hal pertukaran informasi, pengiriman misi perwakilan negara untuk saling belajar tentang best practices programprogram penanggulangan kemiskinan, dan penyusunan poverty report tahunan sebagai acuan dan monitoring terhadap hasil-hasil pencapaian pemabangunan. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh tim kajian dan semua pihak, termasuk BPS dan K/L terkait, seluruh nara sumber dari Surveymeter Indonesia, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpad, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unhas, pemerintah daerah (Bappeda) di 3 lokasi FGD, Tim Bank Dunia dalam membantu pengumpulan data dan memberikan masukan untuk penyempurnaan laporan kajian ini. Akhir kata, dokumen laporan Kajian Definisi Kemiskinan ini diharapkan dapat menjadi panduan awal untuk pengembangan isu- isu lain terkait kemiskinan yang lebih komprehensif oleh seluruh pemangku kepentingan terkait. Laporan ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan dapat menjadi acuan awal dalam upaya memahami kemiskinan sekaligus perhitungannya yang akan diterapkan dalam berbagai kebijakan penaggulangan kemiskinan sejak tahun pertama pelaksanaan RPJMN 2015-2019. Seiring dengan perubahan dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi, laporan ini membutuhkan masukan, saran, dan kritik untuk perbaikan dan penyempurnaan perhitungan kemiskinan di Indonesia. Jakarta, Desember 2014 Rudy S. Prawiradinata Direktur Penanggulangan Kemiskinan Kementerian PPN/BAPPENAS
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
3
ABSTRAK Dalam melakukan perhitungan kemiskinan di Indonesia, BPS selama ini menggunakan acuan pendekatan kemiskinan dari sisi moneter yang juga telah banyak diterapkan di berbagai negara dengan pertimbangan bahwa dari sisi ketersediaan data maupun keterbandingan antar wilayah dan antar negara dapat dengan mudah dilakukan. Meskipun demikian, banyak negara juga menyadari bahwa terdapat beberapa kekurangan dari pendekatan moneter ini, sehingga membatasi kenyataan bahwa dalam persoalan kemiskinan terdapat banyak dimensi yang saling mempengaruhi. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan dinamika yang terjadi, baik secara lokal, nasional, maupun terkait dengan isu‐isu global, perlu dilakukan tinjauan ulang terhadap definisi, pendekatan, dan perhitungan kemiskinan yang lebih mengedepankan konteks multidimensi. Kajian Definisi Kemiskinan ini mencoba menggali berbagai alternatif pendekatan kemiskinan dan perhitungannya, termasuk berbagai tantangan yang dihadapi di tingkat daerah, misalnya di 3 (tiga) provinsi yang menjadi wilayah fokus kajian, yaitu: Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Dari sisi moneter, terdapat 3 (tiga) exercise terkait penghitungan tingkat kemiskinan, yaitu metode 1998, dengan acuan konsumsi 2.100 Kkal/Kapita/Hari, metode 2014 dengan dengan acuan konsumsi 2.150 Kkal/Kapita/Hari dan komoditas pada basket pangan, serta metode baru (2014) dengan perhitungan Adult Equivalence Scale dan acuan konsumsi 2.500 Kkal/adult/Hari. Selain itu, penyempurnaan juga dilakukan dengan pendekatan multidimensi yang dihitung dengan konsep deprivasi untuk mencapai batas minimum kemampuan atau kebutuhan dasar untuk dapat menggambarkan kemiskinan dengan lebih riil di masyarakat. Meskipun hasil dari kajian ini telah disepakati tidak akan langsung diaplikasikan pada perhitungan kemiskinan di tahun 2015 dengan pertimbangan menunggu hasil pemutakhiran data PPLS 2015 dan penyempurnaan penataan kelembagaan struktur organisasi pemerintahan kabinet baru, paling tidak langkah penyempurnaan perhitungan kemiskinan telah dilakukan. Penyempurnaan ini diharapkan dapat mendukung implementasi tiga strategi utama penanggulangan kemiskinan yang telah dituangkan di dalam dokumen RPJMN 2015‐2019, yaitu (1) perlindungan sosial yang komprehensif, (2) peningkatan akses dan kualitas pelayanan dasar, serta (3) pengembangan penghidupan berkelanjutan. Kedepan, dengan target pengurangan kemiskinan 7‐8% di akhir periode RPJMN 2015‐2019 dan mempertimbangkan kecenderungan pelambatan penurunan angka kemiskinan 5 (lima) tahun terakahir, penyempurnaan terhadap perhitungan kemiskinan harus terus dilakukan.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
4
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................................................................ 2 DAFTAR ISI .............................................................................................................................................. 5 DAFTAR TABEL ...................................................................................................................................... 7 DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................................. 8 BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 9 1.1 LATAR BELAKANG .................................................................................................................................... 9 1.2 IDENTIFIKASI DAN PERUMUSAN MASALAH ............................................................................. 10 1.4 TUJUAN DAN SASARAN ........................................................................................................................ 12 1.5 FOKUS KAJIAN .......................................................................................................................................... 13 BAB II KAJIAN TEORI DEFINISI KEMISKINAN ............................................................................ 15 2.1 PENDEKATAN KEMISKINAN ............................................................................................................. 15 2.2 PENGHITUNGAN KEMISKINAN ........................................................................................................ 18 2.3 PENGHITUNGAN KEMISKINAN DI INDONESIA ......................................................................... 21 2.4 BEBERAPA PERBANDINGAN DENGAN NEGARA LAIN .......................................................... 27 BAB III METODOLOGI KAJIAN ......................................................................................................... 32 3.1 METODE PENGUMPULAN DATA ...................................................................................................... 32 3.2 METODE ANALISIS DATA .................................................................................................................... 36 BAB IV PENYEMPURNAAN METODE PENGHITUNGAN KEMISKINAN ................................ 38 4.1 PERBANDINGAN METODE LAMA DAN METODE BARU ........................................................ 38 4.2 ALTERNATIF PENGHITUNGAN KEMISKINAN DENGAN FAKTOR KOREKSI KANDUNGAN KALORI ........................................................................................................................... 40 4.3 PENGHITUNGAN KEMISKINAN MULTIDIMENSI ...................................................................... 41 BAB V MENGAKOMODASI KEPENTINGAN DAERAH ................................................................ 49 5.1 DAEAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ................................................................................................... 49 5.2 JAWA BARAT ............................................................................................................................................. 52 5.3 SULAWESI SELATAN ............................................................................................................................. 53 BAB VI DAMPAK REDEFINISI KEMISKINAN TERHADAP KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA .................................................................... 57 6.1 DAMPAK PENERAPAN REDEFINISI KEMISKINAN .................................................................. 57 6.1 PENYUSUNAN PETA JALAN DALAM IMPLEMENTASI PENGGUNAAN METODE BARU ............................................................................................................................................................. 66 Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
5
BAB VII PENUTUP ................................................................................................................................ 69 7.1 SIMPULAN .................................................................................................................................................. 69 7.2 REKOMENDASI ........................................................................................................................................ 74 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................................. 75 LAMPIRAN .............................................................................................................................................. 76
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
6
DAFTAR TABEL Tabel 1 Bobot Adult Equivalence Scale .................................................................................................... 22 Tabel 2 Angka Kecukupan Gizi menurut Kelompok Umur ............................................................. 22 Tabel 3 Indikator dan Ukuran Kemiskinan Multidimensi ................................................................ 25 Tabel 4 Perbandingan Metode Kemiskinan Multidimensi dan Kemiskinan Moneter ......... 26 Tabel 5 Acuan Garis Kemiskinan Berbagai Negara ............................................................................. 30 Tabel 6 Perbandingan Penghitungan Garis Kemiskinan Metode Lama dan Metode Baru 39 Tabel 7 Indikator yang Diusulkan dalam Pertanyaan Susenas ...................................................... 40 Tabel 8 Perubahan Kalori dari Kelompok Komoditas Makanan .................................................. 42 Tabel 9 Indikator dalam Kemiskinan Multidimensi ........................................................................... 42 Tabel 10 Tolak Ukur untuk Indikator Kemiskinan Multidimensi ................................................... 43 Tabel 11 Perbandingan antara Indikator MPI OPHI dan IFLS .......................................................... 50 Tabel 12 Ringkasan Hasil Diskusi Kajian Definisi Kemiskinan di 3 (Tiga) Wilayah ............... 55 Tabel 13 Jenis, Sasaran, dan Target Pelayanan Dasar yang terkait dengan Kemiskinan ..... 65
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
7
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Bobot dalam Adult Equivalence Scale ................................................................................. 23 Gambar 2 Jumlah Komoditas Makanan (Food Basket) untuk Penghitungan Garis Kemiskinan di Beberapa Negara ........................................................................................... 28 Gambar 3 Rata‐Rata Jumlah Anggota Rumah Tangga Berbagai Negara Anggota OIC ........ 29 Gambar 4 Level Kebutuhan Kalori untuk Penetapan Garis Kemiskinan Berbagai Negara Anggota OIC .................................................................................................................... 31 Gambar 5 Proses Penyusunan Metodologi Perhitungan Kemiskinan ........................................ 35 Gambar 6 Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi pada Dimensi Kependudukan ........ 44 Gambar 7 Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi menurut Dimensi Pendidikikan .... 45 Gambar 8 Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi menurut Dimensi Kesehatan .......... 46 Gambar 9 Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi menurut Dimensi Perumahan ........ 46 Gambar 10 Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi menurut Dimensi Sanitasi dan Air Bersih ......................................................................................................................................... 47 Gambar 11 Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi menurut Dimensi Energi .................. 47 Gambar 12 Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi menurut Dimensi Kepemilikan Aset .................................................................................................................................................... 48 Gambar 13 Garis Kemiskinan per September 2013 menurut Berbagai Metode Perhitungan Berdasarkan Provinsi ...................................................................................... 58 Gambar 14 Persentase Penduduk Miskin per September 2013 menurut Provini dalam Berbagai Metode Perhitungan ............................................................................................... 59 Gambar 15 Korelasi antara Perubahan Jumlah Penduduk Miskin dan Perbandingan Rata‐ Rata Jumlah Anggota Rumah Tangga ...................................................................... 60 Gambar 16 Trend Persentase Penduduk Miskin dalam Berbagai Metode Tahun 2011‐ 2013 ................................................................................................................................................... 61 Gambar 17 Trend Garis Kemiskinan dalam Berbagai Metode Tahun 2011‐ 2013 ................. 61 Gambar 18 Distribusi Pengeluaran Nasional dengan Berbagai Metode ................................... 612 Gambar 19 Exercise Asosiasi antara 40% RTM dan Air Bersih dan Sanitasi .......................... 633 Gambar 20 Exercise antara Variabel 40% RTM, Kepemilikan Identitas Hukum, dan Tingkat Pendidikan Menengah Atas ................................................................................... 64 Gambar 21 Peta Jalan Sederhana Implementasi Hasil Kajian Definisi Kemiskinan......……… .................................................................................................................. 638
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
8
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Dalam UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005‐2025 dinyatakan bahwa untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan maka penanggulangan kemiskinan merupakan hal utama yang harus dilakukan. Selanjutnya, disebutkan pula bahwa masalah kemiskinan bersifat multidimensi, yaitu bukan hanya menyangkut ukuran pendapatan, tetapi juga menyangkut kerentanan dan kerawanan orang atau masyarakat untuk menjadi miskin. Di sisi lain, berbagai literatur menekankan bahwa kemiskinan juga menyangkut kegagalan dalam pemenuhan hak dasar dan adanya perbedaan perlakuan seseorang atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Landasan hukum yang lain dapat dilihat di dalam UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial yang menegaskan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Sejalan dengan itu, di dalam UU No. 13 Tahun 2011 tentang Fakir Miskin juga dinyatakan bahwa fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya. Dari definisi dan penjelasan beberapa konsep terkait kemiskinan yang diatur di dalam dokumen legal formal sistem administrasi kenegaraan yang berlaku di Indonesia tersebut dapat ditarik satu benang merah bahwa konsep multidimensi merupakan bagian utama dari konsep tentang kemiskinan. Selama ini, perhitungan kemiskinan di Indonesia lebih banyak mengacu pada perhitungan moneter dimana kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar (makanan dan non‐makanan) yang diukur dari sisi pengeluaran. Di sisi lain, disadari bahwa terdapat beberapa kekurangan dari pendekatan moneter ini, diantaranya adalah terlalu fokus pada kebutuhan fisik, sehingga membatasi kenyataan bahwa dalam persoalan kemiskinan juga terkait dengan aspek sosial dan kesejahteraan. Selain itu, pendekatan moneter juga tidak memberikan Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
9
perhatian khusus pada aspek kerentanan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar atau membiayai pengeluaran untuk kelangsungan hidup mereka. Dengan beberapa pertimbangan itulah kajian definisi kemiskinan dalam konteks multidimensi penting dilakukan untuk mendapatkan gambaran kemiskinan yang lebih menyeluruh dalam rangka penyusunan strategi pengentasan kemiskinan yang lebih efektif. Di dalam konsep kemiskinan multidimensi, kemiskinan dilihat dalam struktur yang lebih luas. Dalam halini, kemiskinan multidimensi tidak hanya didefinisikan dalam konteks pendapatan atau konsumsi, tetapi juga dilihat pada keterbatasan akses terhadap pelayanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, serta kualitas hidup, sehingga didapatkan
pemahaman
tentang
kemiskinan
yang
komprehensif.
Dalam
pengukurannya, kemiskinan multidimensi menggunakan konsep deprivasi, dengan mengukur berbagai indikator yang menekankan pada kenyataan pencapaian berbagai indikator standar hidup yang ditentukan. Indikator deprivasi yang digunakan diantaranya adalah aspek legalitas kependudukan, pemenuhan pelayanan dasar (bidang kesehatan dan pendidikan), dan kualitas hidup. Oleh karena itu, jika pengukuran kemiskinan mengkombinasikan pendekatan indikator deprivasi dan garis kemiskinan, maka akan diperoleh gambaran kemiskinan yang lebih lengkap, termasuk kondisi sumberdaya dan pencapaian standar hidup rumah tangga.
1.2 IDENTIFIKASI DAN PERUMUSAN MASALAH Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan bangsa yang mendesak dan memerlukan langkah‐langkah penanganan yang lebih sistemik, terpadu dan menyeluruh. Untuk itu, upaya percepatan penanggulangan kemiskinan di Indonesia masih menjadi prioritas program pemerintah. Sepanjang satu dekade terakhir, tingkat kemiskinan dan jumlah penduduk miskin secara nasional terus menurun. Penurunan tersebut tidak lepas dari upaya keras pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan melalui berbagai program penanggulangan kemiskinan yang terus disempurnakan. Namun, penurunan angka kemiskinan ini mengalami perlambatan. Hal ini menunjukan bahwa belum efektif dan optimalnya pelaksanaan program/kegiatan penanggulangan kemiskinan yang menyangkut beberapa hal sebagai berikut:
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
10
1. Ketidaktepatan sasaran, ketidakpaduan lokasi dan waktu, dan koordinasi antar program/kegiatan maupun program/kegiatan pemerintah pusat dan daerah yang belum selaras; 2. Masih adanya social exclusion (marjinalisasi) pada penerima program penanggulangan kemiskinan; 3. Penyediaan pelayanan dasar di daerah tertinggal, terisolir/terpencil, daerah perbatasan masih belum efektif; 4. Peran dan kapasitas (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) di beberapa daerah belum optimal; dan 5. Pemekaran wilayah yang terus menerus menyulitkan dalam perencanaan dan penganggaran. Selain itu, salah satu hal penting yang masih harus terus menjadi perhatian khusus adalah belum optimalnya dukungan dari aspek kebijakan ekonomi makro dalam mendukung upaya penanggulangan kemiskinan. Dari sisi masyarakat, masih rendahnya kesadaran serta pemahaman sebagian masyarakat dalam mengakses layanan dasar, terutama pendidikan dan kesehatan ibu dan anak juga menjadi tantangan serius. Oleh karena itu, di dalam rancangan dokumen RPJMN 2015‐2019 disebutkan bahwa terdapat empat isu strategis dalam percepatan penurunan kemiskinan dan peningkatan pemerataan khususnya bagi masyarakat kurang mampu, yaitu : 1. Pertumbuhan ekonomi yang inklusif 2. Peningkatan penyelenggaraan perlindungan sosial yang komprehensif 3. Perluasan dan peningkatan pelayanan dasar 4. Pengembangan penghidupan berkelanjutan. Dalam konteks kemiskinan multidimensi, dengan terdefinisinya beberapa indikator‐ indikator deprivasi diharapkan pelaksanaan pemenuhan pelayanan dasar bagi masyarakat kurang mampu dan rentan bisa tepat sasaran. Untuk dapat memenuhi sasaran peningkatan akses pelayanan dasar, terdapat tiga arah kebijakan utama yang akan dijalankan. Tiga arah kebijakan dalam memenuhi sasaran peningkatan akses pelayanan dasar berfokus pada: 1. Meningkatkan ketersediaan infrastruktur dan sarana pelayanan dasar bagi masyarakat kurang mampu dan rentan. Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
11
2. Meningkatkan penjangkauan pelayanan dasar bagi penduduk kurang mampu dan rentan. 3. Penyempurnaan
pengukuran
kemiskinan
yang
menyangkut
kriteria,
standardisasi, dan sistem pengelolaan terpadu. Oleh karena itu, pengukuran kemiskinan merupakan hal yang penting dalam upaya pengurangan kemiskinan dan kesenjangan. Dari uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa ruang lingkup kegiatan Kajian Definisi Kemiskinan ini mencakup: 1. Kegiatan
pustaka
(literature
review)
perbandingan
atas
berbagai
konsep/pendekatan definisi kemiskinan serta berbagai lesson learned dan best practices secara internasional. 2. Pemetaan definisi dan tantangan hingga lima tahun ke depan atas kemiskinan di Indonesia. 3. Analisis atas berbagai kesempatan ruang untuk perbaikan definisi kemiskinan hingga tahap pengukuran kemiskinan di Indonesia. 4. Simulasi perhitungan tingkat kemiskinan dengan menggunakan metode pengukuran kemiskinan yang telah diperbaiki. 5. Membuat peta jalan dalam implementasi penggunaan metode baru yang diusulkan.
1.4 TUJUAN DAN SASARAN Tujuan dari Kegiatan Kajian Definisi Kemiskinan ini adalah untuk : a. Mengidentifikasi berbagai pendekatan dalam mendefinisikan kemiskinan, dan melakukan komparasi atas berbagai pendekatan yang ada untuk kemudian mengetahui kelemahan dan kelebihan dari masing‐ masing pendekatan, termasuk di dalamnya ialah best practices dari berbagai negara yang menggunakan salah satu pendekatan tersebut; b. Melakukan pemetaan atas definisi kemiskinan di Indonesia dan identifikasi atas ruang untuk perbaikan dari definisi kemiskinan di Indonesia saat ini dan analisis atas kesempatan atau tantangannya dalam lima tahun mendatang; c. Simulasi penghitungan angka kemiskinan dengan menggunakan metode baru yang diusulkan; Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
12
d. Tahapan atau peta jalan dalam implentasi penggunaan metode baru yang diusulkan. Sementara itu, sasaran dari kegiatan Kajian Definisi Kemiskinan ini adalah dihasilkannya: (1) Beberapa alternatif definisi dan metodologi pengukuran kemiskinan di Indonesia; (2) Rekomendasi atas perbaikan definisi dan pengukuran kemiskinan di Indonesia sebagai bahan untuk ditetapkan bersama dan simulasi angka kemiskinan dengan metode baru.
1.5 FOKUS KAJIAN Kegiatan Kajian Definisi Kemiskinan ini difokuskan pada beberapa hal terkait penyempurnaan terhadap standar penghitungan kemiskinan yang selama ini dilakukan di Indonesia, diantaranya: 1. Metode perhitungan kemiskinan yang sesuai, sebagai bahan perumusan intervensi kebijakan yang lebih efektif dalam penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sesuai dengan amanat Undang‐Undang yang berlaku; 2. Perubahan metode perhitungan memperhatikan intervensi pada kelompok anak‐ anak yang menjadi perhatian utama dalam penanggulangan intergenerational poverty. Dalam metode baru, adult equivalence scale menjadi salah satu pertimbangan dalam perhitungan kemiskinan; 3. Mengakomodasikan perubahan kebutuhan kalori minimum 2.150 Kkal yang telah ditetapkan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2012; 4. Mengakomodasikan perbedaan karakter wilayah (Indonesia Bagian Timur dan Barat), antara lain: a. Komposisi penduduk usia muda pada keluarga miskin dan hampir miskin. b. Perbedaan jenis makanan utama. 5. Mengakomodasi kemiskinan multidimensi dengan menggunakan konsep deprivasi. Fokus kajian tersebut akan mendukung indikator kinerja unit Direktorat Penanggulangan Kemiskinan terhadap Rencana Strategis BAPPENAS, yaitu :
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
13
a. Persentase (%) kesesuaian Rancangan Rencana Strategis K/L terkait Lingkup Penanggulangan Kemiskinan dengan Target/Sasaran dalam Rancangan RPJMN sebesar 100%. b. Persentase (%) kesesuaian Rencana Kerja K/L terkait Lingkup Penanggulangan Kemiskinan dengan RKP dan Pagu Indikatif sebesar 100%. c. Satu Laporan Hasil Koordinasi Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional (termasuk Substansi Rencana dan Pembiayaannya/Rupiah Murni dan PHLN) Terkait Lingkup Penanggulangan Kemiskinan.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
14
BAB II KAJIAN TEORI DEFINISI KEMISKINAN
2.1 PENDEKATAN KEMISKINAN Dari berbagai definisi kemiskinan yang diajukan oleh para ahli maupun lembaga yang memfokuskan perhatian pada isu‐isu kemiskinan, salah satu konsep dasar yang disepakati adalah bahwa kemiskinan merupakan kondisi dimana seseorang atau kelompok orang tidak memiliki atau jauh dari kesejahteraan (wellbeing, welfare). Konsep welfare atau welfare economics merupakan istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan standar hidup (standard of living) yang tidak hanya mencakup pendapatan, produk domestik bruto (GDP), laju inflasi, angka harapan hidup, dan indikator lain yang dapat dikuantifikasi, tetapi juga mencakup hal‐hal yang bersifat kualitatif seperti freedom (kebebasan, kemerdekaan) dan happiness (kebahagiaan). Berdasarakan pendekatan kapabilitas (capability approach) yang dikemukakan oleh Amartya Sen (1976, 1990), kemiskinan diartikan sebagai deprivasi dari kemampuan dasar (deprivation of basic capabilities) seseorang untuk memilih dan berusaha memenuhi tingkat kesejahteraannya. Selanjutnya, Bank Dunia (2000, 2013) memberikan definisi sederhana bahwa kemiskinan merupakan deprivasi dari kesejahteraan (poverty is pronounced deprivation in wellbeing). Berdasarkan konsep tersebut, salah satu benang merah yang dapat ditarik adalah bahwa kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks dan multidimensi, yang tidak cukup hanya diukur menggunakan terminologi moneter, tetapi juga pendekatan non‐moneter. Hal ini dapat dipahami bahwa peningkatan maupun penurunan angka kemiskinan merupakan hasil dari interaksi ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang dihadapi oleh masyarakat miskin. Oleh karena itu, beberapa konsep utama yang perlu dipahami dalam mendefinisikan kemiskinan, antara lain: Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
15
2.1.1 Kemiskinan Secara umum, berdasarakan literatur sosial‐ekonomi yang berkembang selama ini, terutama yang dipakai oleh berbagai negara dalam konteks pembangunan ekonomi, terdapat tiga pendekatan umum untuk mendefinisikan kemiskinan, yaitu antara lain: a.
Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut merujuk pada batas pendapatan yang biasa disebut dengan istilah garis kemiskinan, yaitu batas minimal dimana individu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidupnya. Menurut standar internasional, garis kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi dimana keluarga memperoleh pendapaan kurang dari US $ 1,25 Purchasing Power Parity (PPP) per hari per orang. Meskipun demikian, penentuan garis kemiskinan berdasarkan pendapatan individu terkadang tidak mudah dilakukan, sehingga banyak negara menggunakan metode penghitungan tingkat pengeluaran individu yang kemudian dikonversikan menjadi nilai batas minimal untuk memenuhi kehidupan layak yang ditetapkan oleh masing‐masing negara. Dalam hal ini Indonesia menggunakan pendekatan garis kemiskinan nasional yang dihitung berdasarkan pengeluaran minimal untuk memenuhi kebutuhan hidup yang dianggap layak, baik dari sisi pengeluaran makanan maupun non‐makanan. Dalam definisi sederhana, UNDP (1997: HDR) menyebutkan bahwa absolut poverty measures poverty in relation to the amount of money necessary to meet basic needs. b.
Kemiskinan Relatif
Jika kemiskinan absolut langsung dihitung menggunakan garis kemiskinan, kemiskinan relatif menitikberatkan pada fleksibilitas konteks sosial. UNDP (1997) menyebutkan bahwa relative poverty defines poverty in relation to the economic status of other members of the society: people are poor if they fall below prevailing standards of living in a given societal context. Dengan demikian, kemiskinan relatif merefleksikan kondisi finansial individu, rumah tangga, keluarga, maupun masyarakat yang kurang baik, jika dibandingkan dengan rata‐rata standar hidup di masyarakat setempat. c.
Ekslusi Sosial
Dalam pendekatan ini, kemiskinan diukur tidak hanya dari kelangkaan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dasar, namun juga kelangkaan makanan dan tempat Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
16
tinggal.
Silver
(1994)
mendefinisikan
eksklusi
sosial
(social
exclusion
or marginalization) sebagai social disadvantage and relegation to the fringe of society. Selain itu, pendekatan eksklusi sosial juga memperhitungkan faktor kehilangan nilai‐ nilai kemanusiaan seperti keamanan dan harga diri. 2.1.2 Ketimpangan Meskipun pendekatan di atas, terutama kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif sudah umum digunakan, namun kritik terhadap keduanya sama, yaitu bahwa kemiskinan hanya dipandang dari sisi ekonomi, yaitu pendapatan dan konsumsi. Padahal, sejak lebih dari 6 (enam) dekade lalu, definisi kemiskinan sudah lebih luas dari sekedar pengukuran ekonomi, yaitu menyangkut indikator sosial dan budaya yang menjelaskan kesejahteraan masyarakat (Cobbinah et al. 2013). Selain konsep kemiskinan, istilah lain yang tidak bisa dipisahkandalam kontekspembangunan adalah ketimpangan (inequality). Kuznets (1955) berpendapat bahwa tingginya tingkat ketimpangan ekonomi suatu negara merupakan dampak dari proses pembangunan. Ketimpangan merupakan konsep yang lebih luas dibandingkan kemiskinan, karena menggambarkan seluruh populasi, baik individu atau kelompok masyarakat yang dianggap hidup sejahtera atau layak maupun mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan. Secara sederhana, ketimpangan merupakan kondisi di mana aset, kesejahteraan, dan pendapatan terdistribusi secara tidak merata antara individu dalam suatu kelompok, antara kelompok dalam suatu populasi, atau dalam suatu negara. Bahkan menurut Stiglitz (2013), ketimpangan akan cenderung mengakibatkan perlambatan pertumbuhan dan pembangunan yang tidak efisien (Inequality leads to lower growth and less efficiency). Satu hal yang menarik, menurut Kutnetz (1955), terdapat kecenderungan bahwa negara dengan tingkat perekonomian yang rendah relatif memiliki distribusi kesejahteraan yang merata. Dengan asumsi tersebut, peningkatan ketimpangan cenderung akan terus terjadi terutama pada negara‐negara yang sedang berkembang secara ekonomi, karena distribusi pendapatan yang tidak merata. Di dalam kurva Kuznets, terlihat bahwa hubungan antara tingkat pendapatan dan ketimpangan dalam suatu proses pembangunan, yaitu ketimpangan akan naik dan kemudian turun.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
17
2.2 PENGHITU P UNGAN KE EMISKINA AN 2.2.1 Model Pen nghitungan n Kemiskinan Tradiisonal (Hea adcount In ndex) unt Index adalah metode m peengitungan kemiskin nan dengaan cara Metodee Headcou mengukur proporrsi pendud duk yang tergolong miskin m dalaam sebuah h populasi. Karena dianggaap sebagaii metode yang y palingg sederhana, metode ini paling sering diggunakan dalam mengukurr perkiraan n tingkat kemiskinan (povertyy incident).. Kelemahan dari metodee ini yaitu tidak bisa melihat tin ngkat kedalaman dan n keparahan n kemiskin nan dari populasi yang diu ukur. a.
Povverty Gap In ndex
Metodee Poverty Gap Index secara sp pesifik digu unakan un ntuk mengeetahui perrsentase individ du yang berada dalam m rata‐rataa di bawah h garis kem mikinan, seehingga diperoleh informasi seberap pa besar gap antara tingkat pen ndapatan seseorang s m terhadap minimal pendap patan orangg yang berada di baw wah garis keemiskinan.. Metode in ni biasa diggunakan untuk melihat seberapa s b besar kebu utuhan biaya yang dibutuhkaan untuk alokasi m‐program m penangggulangan kemiskinan dengan metode m cassh transferr dalam program rangka menaikkaan pendapaatan pendu uduk miskin n sampai pada batas p garis kemiskinan. n demikian n, metode poverty p gap p tidak meenunjukkan n perbedaaan keparah han dan Namun kedalam man kemisskinan antaara sesamaa pendudu uk miskin, sehingga tidak dapatt dilihat ketimp pangan diaantara sesama pend duduk miskin. Sebaggai ilustrasi, UNDP (2008) menyusun Poveerty Gap In ndex, kaitaannya denggan headcount indexx dengan formula f sebagai berikut:
Dimanaa, poverty gap (Gn) adalah a pem mbeda anaatara poverrty line (z) dan incom me atau konsum msi dari mereka yangg tergolongg miskin (o orang yangg tidak misskin memiliki nilai povertyy gap 0). I I adalah fu ungsi indik kator samaa dengan 1 1 jika braccketed exp pression benar, dan bernilaai 0 jika seb baliknya. N N adalah tottal populasi.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiiskinan 2014
18
b.
Squared Poverty Gap (Poverty Severity) Index
Poverty Severity Index umumnya digunakan sebagai pelengkap penghitungan poverty gap index karena memperhitungkan faktor inequality diantara sesama penduduk miskin dalam suatu populasi yang dihitung. Dengan kata lain, penghitungan dalam metode ini menitikberatkan pada observasi terhadap populasi yang berada di bawah garis kemiskinan. Oleh karena itu, meskipun interpretasi terhadap index tidak mudah dilakukan, penurunan atau kenaikan nilai index dapat dipengaruhi oleh adanya transfer dari rumah tangga miskin kepada rumah tangga yang lebih miskin atau sebaliknya. c.
Gini Coefficient
Indeks Gini diperkenalkan sosiolog asal Italia Corrado Gini (1997) dan merupakan indeks yang paling umum digunakan dalam pengukuran tingkat ketimpangan distribusi pendapatan penduduk dalam suatu negara. Berdasarkan kurva Lorenz, Indeks Gini menggambarkan kurva frekuensi kumulatif yang membandingkan distribusi dari variabel tertentu (umumnya pendapatan). Nilai Gini Coefficient berkisar antara 0‐1, dimana nilai 0 menunjukkan distribusi yang sangat merata yaitu setiap orang memiliki jumlah penghasilan atau kekayaan yang sama persis. Sementara itu, nilai 1 menunjukkan distribusi yang timpang sempurna, yaitu suatu kondisi dimana satu orang memiliki segalanya dan semua orang lain tidak memiliki apa‐apa. d.
Growth Incidence Curve
Metode penghitungan menggunakan Growth Incidence Curve (GIC) dimaksudkan untuk mengetahui dampak yang dihasilkan dari pertumbuhan terhadap tingkat kemiskinan. Dengan menggunakan GIC, tingkat pertumbuhan pada masing‐masing kuantil per kapita pendapatan dapat diketahui untuk membandingkan tingkat pertumbuhan pada kelompok masyarakat termiskin dan yang lebih sejahtera, serta melihat di quantil berapa yang paling besar menyumbang pertumbuhan. e.
Sen Index
Amartya Sen (1976) mengembangkan sebuah indeks yang kemudian dikenal dengan Sen Index untuk melihat secara bersamaan efek dari jumlah orang miskin, tingkat kedalaman kemiskinan mereka, dan distribusi kemiskinan dalam kelompok masyarakat
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
19
yang diobservasi. Ciri khas dari metode ini adalah bahwa Sen Index sensitif terhadap distribusi kemiskinan diantara kelompok penduduk miskin. 2.2.2 Metode Alternatif Penghitungan Kemiskinan Dalam rangka melengkapi metode penghitungan kemiskinan yang sudah ada, para ahli kemudian mengembangkan beberapa alternatif yang tidak hanya didasarkan pada pendekatan moneter, tetapi dengan membandingkan beberapa indikator yang relevan dengan kondisi kemiskinan. Beberapa pendekatan tersebut antara lain: a.
Human Development Index (HDI)
HDI atau dikenal juga dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah metode pengukuran kualitas pembangunan manusia dengan cara membandingkan berbagai indikator, seperti angka harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan pendapatan yang diolah menjadi sebuah indeks. IPM pertama kali dikembangkan oleh Amartya Sen dan Mahbub ul Haq pada tahun 1990, dan kemudian dipakai sebagai laporan IPM setiap tahun oleh PBB sebagai dasar evaluasi pembangunan dan klasifikasi negara berdasarakan tingkat kemajuan pembangunan yang dicapai. Di dalam pengukuran HDI, pada tahun 1972, Raja Bhutan Jigme Singye Wangchuck menciptakan Indeks Kebahagiaan yang pada awalnya digunakan dlm upaya membangun perekonomian negaranya berdasarkan budaya dan kepercayaan agama Buddha. Komponen yang dipertimbangkan untuk Indeks Kebahagiaan adalah (a) kepuasan atas hubungan pribadi; (b) pekerjaan; (c) makna dalam tujuan hidup; dan (d) sejauh mana teknologi meningkatkan standar hidup. b.
Multidimensional Poverty Index (MPI)
The Multidimensional Poverty Index (MPI), pertama kali dikembangkanpada tahun 2010 (dimuat dalam HDR) oleh UNDP dan Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI) untuk melengkapi pengukuran aspek moneter dari penghitungan kemiskinan dengan memasukkan beberapa indikator deprivasi. Indikator yang digunakan dalam penghitungan MPI sama dengan tiga indikator HDI dan secara khusus menunjukkan jumlah penduduk yang berada dalam kondisi kemiskinan multidimensi. Model Indeks Kemiskinan Multidimensi (MPI) dapat dibuat untuk mengukur kemiskinan per kawasan, etnis atau kelompok lainnya. Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
20
c.
Inequality of Economic Opportunity (IEO)
Metode ini biasa digunakan untuk meambandingkan kondisi ketimpangan antar negara. Paolo Brunori, Francisco Ferreira dan Vito Peragine (2013) menyebutkan bahwa (a) ketidaksetaraan pendapatan tidak dapat dikaitkan dengan perbedaan usaha atau tanggung jawab masing‐masing individu, namun bisa berasal dari faktor luar seperti latar belakang keluarga, jenis kelamin, ras dan tempat lahir; (b) ketidaksetaraan kesempatan ekonomi berkorelasi positif dengan ketimpangan pendapatan; dan (c) ketidaksetaraan kesempatan ekonomi berkorelasi negatif dengan tindakan perubahan status sosial antargenerasi, baik dalam pendapatan dan jenjang pendidikan. d.
Chronic Poverty
Hulme dan Shepherd (2003) mendefinisikan chronic poverty (kemiskinan kronis) sebagai suatu kondisi dimana seorang individu berada pada kondisi yang tidak pernah keluar dari kemiskinan selama lima tahun berturut‐turut. Metode ini biasa digunakan untuk melihat jumlah sebaran keluarga yang berada dalam kondisi kemiskinan kronis dalam satu wilayah.
2.3 PENGHITUNGAN KEMISKINAN DI INDONESIA Selain penjelasan tentang konsep kemiskinan yang secara internasional dipakai oleh berbagai negara seperti telah diuraikan di atas, berikut ini adalah beberapa pendekatan penghitungan kemiskinan yang diterapkan di Indonesia: 2.3.1 Kemiskinan Berdasarkan Perhitungan Moneter Secara sederhana, penghitungan kemiskinan dari sisi moneter yang dilakukan oleh BPS secara berkala adalah untuk melihat ketidakmampuan penduduk dari sisi ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non‐makanan. Dalam hal ini, seseorang dianggap miskin jika pengeluaran konsumsi rumah tangga (per kapita per bulan) mereka lebih rendah atau berada di bawah garis kemiskinan (GK). Hal ini dihitung dengan: GK = GKM + GKNM
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
21
Dimana GK=Garis Kemiskinan yang, GKM=Garis Kemiskinan Makanan, dan GKNM=Garis Kemiskinan Non Makanan. Berdasarkan pendekatan ekonomi, individu secara rasional bertindak untuk mencapai tujuan ekonomis, kemudian mengambil keputusan yang konsisten dengan tujuan tersebut. Kebutuhan manusia secara individu secara ekonomis dikelompokkan menjdi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Secara sederhan, jika kebutuhan primer tidak dapat terpenuhi maka dapat dikatakan bahwa individu tersebut hidup dibawah garis kemiskinan. Dalam teori Engel, Bray (2008) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga, maka akan semakin rendah presentase pengeluaran untuk konsumsi makanan. Berdasarkan teori klasik ini, maka rumah tangga dapat dikatakan lebih sejahtera jika proporsi pengeluaran untuk makanan sudah mencapai proporsi lebih kecil dari pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan non‐makanan. Hal inilah yang melandasi bahwa kemiskinan di Indonesia tidak hanya diukur melalui pengeluaran untuk makanan tetapi juga non‐makanan. 2.3.2 Kemiskinan dengan Adult Equivalence Scale Penghitungan skala Adult Equivalence pada dasarnya digunakan untuk menghitung konsumsi masing‐masing individu dalam rumah tangga untuk membantu pengalokasian anggaran yang sesuai standar kebutuhan hidup masyarakat. Pertimbangan utama dari penggunaan skala ini adalah untuk mangakomodasi kenyataan bahwa berbagai tingkatan usia memiliki kebutuhan kalori yang berbeda‐beda, termasuk perbedaan kebutuhan kalori untuk pria dan wanita. Berdasarkan National Transfers Account Manual (2013), kriteria pembobotan berdasarkan perbedaan usia untuk kebutuhan kalori adalah sebagai berikut: Tabel 1. Bobot Adult Equivalence Scale Usia Bobot
< 5 tahun
0,4
5 – 19 tahun
0,4 – 1
> 19 tahun
1
Sumber : National Transfers Account Manual, United Nations, 2013
Untuk memberikan ilustrasi yang lebih detail, pembobotan tersebut dapat digambarkan dalam grafik dibawah ini. Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
22
Gambarr 1. Bobot d dalam Adullt Equivalen nce Scale Sum mber: Nation nal Transferss Account M Manual, Uniteed Nations, 2 2013
2.3.3 Kemiskina an dengan n Pemiliha an Angka K Kecukupan n Gizi Angka kecukupan n gizi padaa alternatiff perhitunggan metodee moneter pertama (disebut ( dasarkan hasil h dari Widya W Kary ya Nasionaal Pangan dan d Gizi sebagai PI) ditetaapkan berd (WNPG G) 2012, yaaitu bahwa kecukupan kebutuhaan energi ssecara nasiional pada tingkat konsum msi (per kapita/hari) adalah h sebesar 2.150 KKal. K Sedaangkan allternatif perhitu ungan meto ode monetter kedua (disebut seebagai PII)) dan alterrnatif perhitungan metodee moneter ketiga (kitta sebut seb bagai PIII) menggunaakan skala Adult Equiivalence Scale dimana d pembobotan tingkat konsumsi k dari d data WNPG W 201 12 per adu ult/hari tersebu ut adalah seebagai beriikut:
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiiskinan 2014
23
Tabel 2. Angka Kecukupan Gizi menurut Kelompok Umur ENERGI (KKAL)
KELOMPOK UMUR
(WNPG 2012)
ANAK 0‐6 bln
550
7‐11 bln
725
1‐3 thn
1125
4‐6 thn
1600
7‐9 thn
1850 PRIA
10‐12 thn
2100
13‐15 thn
2475
16‐18 thn
2675
19‐29 thn
2725
30‐49 thn
2625
50‐64 thn
2325
65+ thn (65‐80 thn)
1900
(80+ thn)
1525
PIII PII 2500 2220
Sumber: Hasil Kajian BPS dan Bappenas, 2014
2.3.4 Kemiskinan Multidimensi Perhitungan kemiskinan multidimensi melihat kemiskinan dalam struktur yang lebih luas, yaitu yang didefinisikan secara lintas aspek, seperti keterbatasan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kualitas hidup. Dalam perhitungannya, BPS menggabungkan berbagai indikator untuk menjelaskan kompleksitas kemiskinan, dengan rumus perhitungan sebagai berikut: MPI = H * A MPI = Indeks Kemiskinan Multidimensi H = Jumlah Orang Miskin A = Intensitas (Keparahan) Kemiskinan Dalam metode penghitungan kemiskinan multidimensi, dilakukan penghitungan deprivasi dengan beberapa indikator yang terpilih untuk menunjukkan adanya perbedaan persentase antara penduduk miskin, hampir miskin, dan tidak miskin. Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
24
Berikut adalah perbandingan dimensi dan indikator dari kemiskinan multidimensi menurut beberapa literatur. Tabel 3. Indikator dan Ukuran Kemiskinan Multidimensi Oxford Poverty and Human Development Initiative
UNDP
Kesehatan • Gizi • Angka Kematian Bayi
Panjang Usia
Pendidikan • Lama Sekolah • Partisipasi Sekolah
Pengetahuan
Kualitas Hidup • Bahan Bakar untuk Memasak • Sanitasi • Air Bersih • Sumber Penerangan • Lantai • Aset
Kualitas Hidup
World Summit on Social Development Ekonomi • Pendapatan • Pengeluaran • Pekerjaan Pelayanan Dasar • Pendidikan • Kesehatan • Gizi Infrastruktur • Perumahan • Sanitasi • Lingkungan Sosial
Sumber: Oxford Poverty and Human Development Initiative, UNDP, dan World Summit on Social Development, 2014
Tabel 4 berikut secara lebih jelas menggambarkan perbandingan antara perhitungan kemiskinan multidimensi dan kemiskinan moneter yang dapat dilihat dari berbagai indikator.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
25
Tabel 4. Perbandingan Metode Kemiskinan Multidimensi dan Kemiskinan Moneter Indeks Kemiskinan Multidimensi
Sektor yang Diukur
Kemiskinan Moneter
Ekonomi: Multidimensi: Kemampuan memenuhi kebutuhan Kemiskinan dilihat dalam aspek ekonomi, dasar makanan dan bukan sosial, politik, dsb. makanan.
Cara Pengukuran
MPI = H*A
GK = GKM + GKNM
Menjelaskan penyebab kemiskinan dengan lebih holistik. Kelebihan
Kekurangan
Menjelaskan intensitas (keparahan) kemiskinan Menjelaskan asosiasi antara faktor moneter dan non‐ moneter dalam kemiskinan serta asosiasi antara variabel deprivasi. Sulit untuk dibandingkan karena setiap Negara, bahkan antar wilayah dalam satu negara memiliki indikator yang berbeda.
Memiliki standar yang dapat dibandingkan antar negara.
Terlalu Fisik Adanya Perubahan Harga Relatif Tidak Memperhatikan Aspek Kerentanan Unit Analisis Individu
2.3.5 Indeks Kebahagiaan Pada pertengahan April 2014, dalam berita dan siaran pers Bappenas, BPS, dan Forum Masyarakat Statistik (FMS) membahas mengenai perilisan Indeks Kebahagiaan Indonesia Tahun 2013. Dengan melakukan survey pada sekitar 9.720 sampel dari seluruh Indonesia menghasilkan indeks di level 65,11 dan berada di zona "bahagia". Dalam melakukan survey, BPS menggunakan metode probabilty sampling: PPS Systematic with Replecement. Responden yang disurvey adalah kepala rumah tangga atau pasangan yang dipilih menggunakan kish table yang ditetapkan oleh BPS. Adapun pengumpulan data dilakukan melaui wawancara langsung dengan responden. Wawancara dilakukan secara semi‐private dan tidak terburu‐buru sehingga responden berada dalam keadaan rileks dan dapat secara jujur memberikan jawaban.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
26
Indikator yang digunakan BPS dalam survey ini adalah indikator objektif dan subjektif terkait 10 domain kehidupan esesnsial, yaitu: kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kondisi lingkungan, kondisi keamanan, hubungan sosial, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, dan kondisi rumah dan aset. Tingkat kebahagiaan di suatu tempat berbeda dengan tempat yang lain. Tingkat kebahagiaan di daerah perkotaaan lebih besar (65,92 dari 0‐100) dibandingkan dengan daerah pedesaan (64,32 dari 0‐100). Hal ini didasari pada persoalan pendapatan, daerah perkotaan memang lebih baik. Namun, untuk persoalan keharmonisan rumah tangga dan kondisi lingkungan daerah pedesaan jauh lebih baik. Beberapa hal penting untuk perbaikan perhitungan Indeks Kebahagiaan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: (i) spiritualitas akan dimasukan ke dalam indikator kebahagiaan dalam survey Indeks Kebahagiaan Masyarakat Indonesia tahun‐tahun berikutnya dimana sampai sekarang masih berada dalam tahap pengkajian; (ii) akan memperluas cakupan responden yang lebih beragam untuk survey Indeks Kebahagiaan Masyarakat Indonesia berikutnya.
2.4 BEBERAPA PERBANDINGAN DENGAN NEGARA LAIN Dalam perkembangannya terdapat setidaknya empat pendekatan yang biasa digunakan dalam perhitungan kemiskinan, diantaranya pendekatan moneter (monetary approach), pendekatan kapabilitas (capability approach), eksklusi sosial (social exclusion) dan pendekatan partisipatif (participatory approach). Penentuan metode dalam menggambarkan kondisi kemiskinan tidak mudah untuk dilakukan. Masing‐masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga tidak mudah untuk menentukan metode apa yang paling tepat untuk menghitung kemiskinan di suatu Negara. Hal ini disebabkan oleh banyaknya faktor yang menjadi pertimbangan, terutama terkait dengan kategori negara, termasuk negara maju atau berkembang, serta model sosial masyarakat, sehingga model penghitungan yang dipilih benar‐benar dapat menggambarkan tingkat kemiskinan yang akurat di suatu negara. Definisi kemiskinan dapat dibatasi oleh aspek material, sosial, budaya, dan aspek politik. Selain itu, definisi kemiskinan dapat pula terkait dengan daya guna atau sumber Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
27
daya atau a tingk kat keterseediaan suatu sumber daya atau samp pai pada tingkat penggu unaannya. Disamping D itu, indik kator kemisskinan dap pat bersifatt universal. Dalam beberapa penelitiian disebuttkan bahwaa konteks llokal memp pengaruhi pengertian n terkait n seseorang termasuk kategorii miskin attau tidak miskin, m miisalnya di banyak dengan negara maju pendekatan moneter m dan n social exclusion leb bih banyak digunakan n dalam mengukur tingkatt kemiskin nan karena ukuran ek konomi meenjadi perh hatian yangg utama. Oleh kaarena itu, sampai paada batas tertentu, t metode m dalaam perhitu ungan kem miskinan perlu b bersifat speesifik sesuai dengan ko onteks lokaasi dan mem mbutuhkan n penyesuaaian jika akan diiterapkan d di lokasi yaang berbedaa. Dalam mendefiniisikan kem miskinan, seringkali digunakan d garis kem miskinan. Issu yang mendasar untuk h hal ini adallah mengen nai justifik kasi dalam p pemilihan kriteria peenyusun garis kemiskinan k n. Selain itu u, penting untuk mengetahui bagaimana b garis kem miskinan dapat secara reelatif mem mbedakan penduduk miskin dan tidaak miskin n serta merefleeksikan staandar yang absolut untuk kon ndisi depriivasi. Berd dasarakan metode penghittungan yaang sudah h dilakukaan sejak tahun t 199 98, garis kemiskinan yang digunakan di Ind donesia meerupakan agregat a daari penghitungan keb butuhan ko onsumsi makanaan (diwak kili 52 jeniis komodittas) dan non‐makan n nan (51 jeenis komod ditas di wilayah h perkotaaan dan 47 jenis komo oditas di wilayah w perdesaan). JJika diband dingkan dengan n negara‐n negara lain n, komodittas makanan (food basket) yaang digunaakan di Indoneesia sebenaarnya termaasuk yang berada di ttitik tengah h, sebagaim mana dapatt dilihat pada gaambar beriikut:
Gambar 2. Jumlah Ko omoditas M Makanan (Fo ood Basket)) un ntuk Penghiitungan Garris Kemiskiinan di Beb berapa Nega ara S Sumber: Ses sric Poverty R Report, 2014 4
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiiskinan 2014
28
kinan juga menjadi hal h yang penting p daalam pemb bahasan Unit penghitungaan kemisk kemisk kinan. Kemiskinan daapat dipand dang dari sudut s pand dang individu, keluargga, atau bahkan n unit geoggrafis. Hal ini karena terdapat beberapa b indikator yyang sulit dihitung d pada leevel individ du, seperti sanitasi, aiir bersih, y yang biasan nya diukur pada levell rumah tangga.. Berdasarrkan hasil konferenssi negara‐n negara angggota OIC (Organiza ation of Islamicc Cooperatiion) yang diselenggaarakan di Ankara, Turki pada bulan November 2014, unit rumaah tangga dalam meetode pengghitungan kemiskinan n menjadi sangat pentingg karena setiap s negaara memiliki rata‐ratta jumlah anggota a ru umah tanggga yang beragam, sebagaimana ditam mpilkan pada gambarr berikut:
Gam mbar 3. RattaRata Jum mlah Anggotta Rumah T Tangga Berb bagai Negara Anggota a OIC Sumber: Sessric Poverty Report, 2014
Kemud dian, jika dilihat dari ssudut pandang bahwaa kemiskinaan merupak kan permaasalahan multidiimensi, maaka perhitu ungan kemiiskinan tidak dapat d dilihat hanyya dengan metode moneteer saja. Peersoalannyaa adalah bahwa b hingga saat ini, perhitu ungan kem miskinan multidiimensi yan ng tepat, ap pakah dalam m bentuk indeks agreegat atau m metode lain n, masih terus menjadi m peerdebatan. Faktanya,, secara allamiah tidaak dapat d dipungkiri bahwa seorangg individu u dapat beergerak daari kondissi miskin menjadi tiidak miskin atau sebalik knya dalam m rentangg waktu yang y sanggat beragaam. Maka,, rentang waktu penguk kuran kemikskinan, apakah a dallam hitunggan hari, bu ulan, atau tahun jugaa masih menjad di perdebattan. Terdap pat banyak k hal yangg harus menjadi m peerhatian dalam d men nentukan metode perhitu ungan kemiskinan. Maasing‐masing pendek katan perhittungan kem miskinan m memiliki kelemaahan dan kelebihan n tersendirri. Oleh karena k itu u, pendekaatan perhitungan Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiiskinan 2014
29
kemiskinan harus dapat menyesuaikan kebutuhan dari pengambil kebijakan di lokasi yang spesifik untuk menjadi dasar pengembangan program penanggulangan kemiskinan serta program‐program pembangunan yang lain. Beberapa negara juga mengukur garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan konsumsi kalori per hari atau pengeluaran per hari dari individu. Berikut beberapa contoh acuan garis kemiskinan di beberapa negara: Tabel 5. Acuan Garis Kemiskinan Berbagai Negara No.
Negara
Poverty Line
1 Bangladesh 2,122 KCal/Day 2 Sri Langka 2,122 KCal/Day 3 China 6.3 Yuan/Day = USD 1.83 4 Malaysia 2,406 KCal; 579 grams of Proteins 5 India 2,400 KCal (Rural) / 2,100 (Urban) 6 Vietnam 2,100 KCal 7 Filiphina 8 Thailand 922 Baht/Person/Month‐ 1163 Baht/Person/Month 9 Kamboja USD 1.115/Day/Capita or 2200 Kcal/Day 10 Pakistan Sumber : UNDP, Bank Dunia, 2014
MPI 0.292 0.056 0.283 0.084 0.064 0.006 0.251 0.264
Sementara itu, jika dibandingkan dengan negara‐negara anggota OIC, penetapan kebutuhan kalori minimal (2.150 KKal) berdasarkan WNPG 2012 sebenarnya cukup rendah (Gambar 4). Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat secara umum, acuan kebutuhan kalori minimal (calorie thresholds) perlu dikaji dan dihitung kembali.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
30
Gambar 4. Level Kebutuhan Kalori untuk Penetapan Garis Kemiskinan di Berbagai Negara Anggota OIC Sumber: Sesric Poverty Report, 2014
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
31
BAB III METODOLOGI KAJIAN
3.1 METODE PENGUMPULAN DATA Mitra kerja utama dalam Kajian Definisi Kemiskinan ini adalah BPS. Dalam hal ini, sesuai dengan amanat Undang‐Undang bahwa BPS berperan dalam seluruh mekanisme penghitungan secara statistik terhadap penetapan garis kemiskinan berdasarkan nilai konsumsi calory trehshold dari sisi moneter dan standar deprivasi dari sisi kemiskinan multidimensi. Sementara itu, Bappenas lebih berperan pada sisi perencanaan, yaitu mulai dari desain awal kajian yang ditujukan untuk mengakomodasi berbagai masukan dari berbagai pihak untuk segera dilakukan tinjauan ulang terhadap standar penghitungan kemiskinan yang selama ini berlaku. Selanjutnya, berdasarkan pertimbangan pencapaian target dan efektivitas pelaksanaan program‐program penanggulangan kemiskinan, Bappenas juga berperan penting dalam hal menilai sejauh mana definisi dan metode perhitungan kemiskinan yang digunakan dapat menjawab persoalan‐ persoalan kemiskinan yang berkembang. Dalam hal ini, penetapan target penurunan kemiskinan, baik dalam konteks perencanaan pembangunan jangka menengah (RPJMN) maupun jangka pendek (RKP) sangat terkait erat dengan stabilitas ekonomi global dan nasional, kondisi politik nasional, dinamika perubahan di daerah, serta metode pengukuran kemiskinan yang sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia yang beragam. Oleh karena itu, dalam rangka mendapatkan data dan informasi yang komprehensif untuk memenuhi kebutuhan di atas, metode pengumpulan data yang dilakukan dalam kajian ini antara lain: 3.1.1 Kajian Pustaka Meliputi segala aktivitas yang terkait dengan desk study (tinjauan pustaka), analisis terhadap dokumen‐dokumen penunjang dan hasil‐hasil riset, data BPS, dan data institusi lain yang mengkaji definisi dan pengukuran kemiskinan. Kajian pustaka ini juga dimaksudkan untuk meperdalam pemahaman terhadap teori, konsep, lessons learned, dan best practices penerapan definisi dan metode pengukuran kemiskinan yang ada. Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
32
Kajian pustaka ini dilakukan sebagai basis data awal untuk menilai sekaligus membandingkan sejauh man definisi dan metode penghitungan kemiskinan yang diterapkan di Indonesia mampu menjawab permasalahan kemiskinan jika dibandingkan dengan negara‐negara lain. 3.1.2 Seminar dan Diskusi Terbatas Seminar dan diskusi terbatas ini dilakukan bersama‐sam dengan BPS melibatkan kementerian/lembaga, para ahli dari universitas dan lembaga penelitian yang secara aktif terlibat dalam berbagai upaya terkait isu‐isu kemiskinan, serta unit‐unit kerja pemerintah terkait di tingkat pusat yang secara langsung menangani isu‐isu kemiskinan. Seminar dan diskusi terbatas difokuskan pada eksplorasi dan identifikasi beberapa hal, antara lain: a.
Komparasi antara definisi dan pengukuran kemiskinan yang selama ini dilakukan dengan penerapan metode baru;
b.
Kerangka konseptual mengenai alternatif metode pengukuran kemiskinan yang baru;
c.
Metode perhitungan kemiskinan multidimensi;
d.
Hasil kajian dan dampak dari penerapan metode perhitungan kemiskinan baru terhadap kondisi kemiskinan di berbagai provinsi di Indonesia.
Selain itu, dalam rangka diseminasi hasil kegiatan, di akhir periode kajian dilakukan lokakarya terbatas untuk membahas: a.
Hasil evaluasi terhadap berbagai alternatif pendekatan definisi/pengukuran kemiskinan;
b.
Alternatif metode pengukuran kemiskinan, baik di daerah yang mewakili Kawasan Barat Indonesia maupun Kawasan Timur Indonesia; dan
c.
Keterkaitan dan manfaat kajian terhadap penentuan target penurunan kemiskinan dan strategi penanggulangan kemiskinan yang kemudian dituangkan kedalam dokumen RPJMN 2015‐2019.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
33
3.1.3 Serial Focused Group Discussion (FGD) Bersama dengan BPS, serial diskusi terfokus (FGD) dilakukan di beberapa daerah dengan mengundang para pakar atau ahli kemiskinan, praktisi di bidang statistik, ekonomi pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat dari universitas, lembaga penelitian, dan LSM, serta dengan para pelaku dan pelaksana program‐program penanggulangan kemiskinan di daerah. Serial FGD ini secara umum dimaksudkan untuk membahas substansi sesuai dengan kebutuhan kajian secara lebih mendalam. Peserta FGD diambil secara purposive, dengan pertimbangan bahwa calon peserta FGD adalah mereka yang memiliki kompetensi khusus, sesuai dengan isu yang didiskusikan. Selain ahli kemiskinan dari universitas atau lembaga penelitian, nara sumber lain yang selalu dihadirkan di semua lokasi FGD adalah pihak pemerintah daerah yang secara langsung menangani program‐program penanggulangan kemiksinan. Ketiga daerah yang menjadi lokasi FGD tersebut antara lain: Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Sulawesi Selatan. 3.1.4 Serial Konsinyering Kegiatan ini bertujuan untuk membahas perkembangan pelaksanaan kegiatan secara internal, yaitu meliputi persiapan awal proses pengumpulan data, analisis data, serta penyusunan, baik laporan awal, laporan pertengahan, dan laporan akhir kajian. Selain itu, kegiatan ini juga dilakukan dalam rangka melakukan sinkronisasi dengan kegiatan lain, seperti kegiatan koordinasi, kegiatan evaluasi pemanfaatan lahan pertanian untuk optimalisasi penanggulangan kemiskinan, dan kegiatan pemantauan kesiapan PNPM Mandiri untuk pelaksanaan program Sustainable Livelihood yang kesemuanya bermuara pada penyusunan dan penyempurnaan dokumen RPJMN 2015‐2019 bidang penanggulangan kemiskinan. 3.1.5 Kunjungan Daerah untuk Observasi Lapangan Kunjungan lapangan ke beberapa daerah dilakukan untuk observasi lapangan dan berdialog dengan pelaku kebijakan di daerah untuk mengetahui sejauh mana perhitungan kemiskinan dengan konteks lokal dilakukan. Lokasi kunjungan lapangan yang menjadi pusat kajian disesuaikan dengan lokasi FGD antara lain; (i) Kota Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
34
Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; (ii) Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat; dan (iii) Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Ketiga daerah tersebut dipilih berdasarakan pertimbangan keterwakilan wilayah Indonesia bagian barat, tengah, dan timur serta mempertimbangkan telah adanya berbagai upaya dan langkah kebijakan penurunan kemiskinan oleh pemerintah daerah. Selain ketiga daerah tersebut, daerah lain yang dijadikan lokasi kunjungan lapangan dalam rangka memperkaya informasi terkait upaya pemerintah daerah dalam hal perbaikan penghitungan kemiskinan di daerah antara lain dilakukan di: Provinsi Kalimantan Timur, Bali, dan Jawa Tengah. Untuk memberikan gambaran lebih rinci tentang metode pengumpulan data yang dilakukan dalam Kajian Definisi Kemiskinan ini, gambar 5 berikut mengilustrasikan proses kajian yang telah dilakukan, terutama serial FGD dan workshop, seminar atau rapat terbatas, pihak‐pihak yang dilibatkan, serta output yang dihasilkan.
Pihak yang terlibat Serial FGD
Evaluasi data kemiskinan yang ada
Output
• •
Workshop Terbatas
BPS, Bappenas, LIPI, SMERU, WB, Akademisi
Exercise alternatif konsep moneter dan deprivasi
Evaluasi data kemiskinan moneter Usulan untuk menghitung variabel Pihak yang terlibat BPS, Bappenas, dan SMERU Output
Rekomendasi alternatif perhitungan moneter dan variabel deprivasi.
Workshop Interdep
terbatas
Pembahasan dengan K/L dan pihak terkait
Pihak yang terlibat K/L terkait, Bappenas, BPS, pihak lainnya Output
Rencana perbaikan perhitungan kemiskinan. Gambar 5. Proses Penyusunan Metodologi Perhitungan Kemiskinan
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
35
3.2 METODE ANALISIS DATA 3.2.1 Analisis Data Sekunder Data sekunder dapat digunakan dalam sebuah penelitian sebagai sumber data, karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data sekunder dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan meramalkan. Langkah‐langkah yang dilakukan dalam penelitian analisis data sekunder ini dimulai dari pengumpulan data sekunder, hasil wawancara, focused group discussion, hingga analisis dari perhitungan yang dilakukan oleh BPS yang kemudian disempurnakan dengan metode analitical hierarchy process (AHP) untuk menggali dan menawarkan alternatif baru metode penghitungan kemiskinan beserta kelebihan dan kelemahannya. Teknik analisis AHP dipergunakan karena merupakan suatu model yang luwes yang dapat dijadikan acuan untuk membangun gagasan‐gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi baru pada masing‐masing alternatif pendekatan untuk memperoleh pendekatan yang paling “layak” dilakukan. Dalam kajian ini, untuk mendapatkan hasil analisis yang logis, ada tiga prinsip yang menjadi acuan, yaitu menyusun hierarki, menetapkan prioritas dan konsistensi logis dari setiap perubahan metode penghitungan kemiskinan yang dipakai. 3.2.2 Analisis Statistik Deskriptif Analisis statistik deskriptif dilakukan untuk dapat menyajikan data‐data statistik, yaitu data hasil perhitungan yang dilakukan BPS sebagai informasi awal yang kemudian dideskripsikan berdasarkan kebutuhan kajian. Analisis statistik deskriptif juga memudahkan data dan informasi yang tersedia untuk dianalisis lebih lanjut. Dalam hal ini, penyempurnaan penghitungan garis kemiskinan dan pengembangan metode penghitungan kemiskinan multidimensi tidak hanya dideskripsikan sebagai sesuatu yang secara langsung dapat diimplementasikan, tetapi harus disesuaikan dengan berbagai isu (politik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat) yang berkembang di Indonesia. Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
36
3.2.3 Analisis Kualitatif Dalam kegiatan kajian ini, seluruh hasil seminar dan diskusi terbatas, FGD, dan diseminasi yang terdiri dari pendapat para ahli atau masukan dari pemerintah daerah dan kementerian/lembaga mengenai pengukuran kemiskinan dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui simpulan atau perbaikan untuk tahap exercise selanjutnya. Secara rinci, metode kualitatif ini dilakukan untuk: 1. Mengetahui kondisi nyata kelemahan dan kelebihan penggunaan definisi dan pengukuran kemiskinan yang berlaku, termasuk dinamika yang dihadapi di tingkat pemerintah daerah, terutama di 3 (tiga) daerah yang menjadi lokasi FGD dan kunjungan lapangan yaitu di kota Yogyakarta, kota Bandung dan kota Makassar. Pemahaman terhadap keragaman keadaan nyata dari penggunaan garis kemiskinan yang ditetapkan BPS secara nasional di kota‐kota tersebut akan membantu Bappenas dalam memahami tantangan yang dihadapi pemerintah daerah dalam implementasi program‐program penanggulangan kemiskinan sesuai dengan karaketrisktik masing‐masing daerah; 2. Mengetahui faktor‐faktor kemiskinan multidimensi sebagai pelengkap dari pendekatan perhitungan kemiskinan moneter yang mencakup berbagai sektor, terutama dari sisi pelaku di sektor tertentu dan hubungannya dengan kebijakan di tingkat kemeterian/lembaga dan pemerintah daerah yang ada. Pengamatan ini juga dilakukan untuk mengetahui kebutuhan kemeterian/lembaga dan pemerintah daerah terhadap kebijakan pemerintah terkait penanggulangan kemiskinan; 3. Mengetahui pandangan pemerintah daerah terhadap definisi dan metode pengukuran kemiskinan yang berlaku serta menggali pengalaman pemerintah daerah dalam penyempurnaan metodologi penghitungan kemiskinan di daerahnya masing‐masing; 4. Menawarkan alternatif penyempurnaan pengukuran kemiskinan dan kebijakan yang tepat berdasarkan kondisi faktual, pandangan para stakeholder (akademisi, aktivis LSM) dan pelaksana program‐program penanggulangan kemiskinan.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
37
BAB IV PENYEMPURNAAN METODE PENGHITUNGAN KEMISKINAN
4.1 PERBANDINGAN METODE LAMA DAN METODE BARU Jika dibandingkan dengan metode perhitungan kemiskinan metode lama (1998), beberapa perubahan penting yang digunakan BPS dalam perhitungan kemiskinan dengan metode baru (2014) antara lain karakteristik wilayah, penambahan jumlah komoditas pada basket pangan, dan nilai acuan besaran kalori untuk konsumsi yang memperhitungkan usia dan jenis kelamin. Karakteristik wilayah yang dimaksud adalah adanya pertimbangan perbedaan antara wilayah Indonesia bagian timur dan Indonesia bagian barat. Dari sisi jumlah basket pangan yang digunakan untuk menghitung nilai kalori konsumsi, dalam metode perhitungan kemiskinan lama hanya dihitung dari 52 (lima puluh dua) komoditas pangan dengan rokok termasuk dalam kategori makanan. Sedangkan dalam metode baru, basket pangan ditambah menjadi 74 (tujuh puluh empat) komoditas, dan rokok dimasukkan kedalam basket non‐makanan. Perubahan ini berpengaruh terhadap acuan besaran kalori dalam perhitungan garis kemiskinan dan sebaran persentase penduduk miskin yang bervariasi, terutama karena perbedaan variasi rata‐rata umur penduduk pada setiap provinsi.
Box 1: Dalam metode pengukuran kemiskinan yang diperbaharui, terdapat dua hal utama
yang ditekankan, yaitu acuan kandungan kalori yang digunakan dan penggunaan
adult equivalence scale agar didapatkan perhitungan kemiskinan yang lebih presisi.
Dalam metode lama, acuan kalori yang digunakan untuk menghitung garis kemiskinan adalah 2100 KKal/orang/hari, sedangkan dalam metode baru terdapat perubahan acuan kalori menjadi 2150 KKal/kapita/hari atau 2500 KKal/adult/hari. Perubahan ini menyesuaikan dengan penetapan Angka Kecukupan Gizi (AKG) berdasarakan hasil WNPG 2012. Secara lebih jelas, hal tersebut dijelaskan pada tabel 6 di bawah ini: Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
38
Tabel 6. Perbandingan Penghitungan Garis Kemiskinan Metode Lama dengan Metode Baru Tahapan
Metode Lama (BPS 1998)
Metode Baru per Kapita
Metode Baru dengan AES*
Garis Kemiskinan Sementara (GKS)
IHK Umum per Provinsi
IHK Umum per Provinsi
IHK Umum per Provinsi
Populasi Rujukan
20% di atas GKS
20% di atas GKS
20% di atas GKS
Basket Pangan
52 (dengan rokok) jenis pangan nasional
Nilai Kalori
Nilai Kalori 52 Jenis Pangan (dinamis)
Nilai Kalori 74 Jenis Pangan (dinamis)
Nilai Kalori 74 Jenis Pangan (dinamis)
Garis Kemiskinan Makanan (GKM)
2100 KKal/Kapita/Hari
2150 KKal/Kapita/Hari
2500 KKal/Adult/Hari
Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM)
47 Jenis Pengeluaran Non‐ Makanan
47 Jenis Pengeluaran Non‐ Makanan
47 Jenis Pengeluaran Non‐ Makanan
Garis Kemiskinan (GK)
Per Kapita/Bulan
Per Kapita/Bulan
Per Adult/Bulan
74 (tanpa rokok) 74 (tanpa rokok) jenis jenis pangan nasional pangan nasional
Sumber : Hasil Kajian BPS dan Bappenas, 2014
Berdasar hasil exercise pemilihan indikator multidimensi di atas, masih terdapat beberapa indikator dalam Susenas yang belum mencerminkan kemiskinan multidimensi. Seperti halnya indikator dalam dimensi kesehatan yang dipilih adalah pertolongan kelahiran, imunisasi pada balita, dan kebutuhan protein. Indikator tersebut sebetulnya belum mewakili sepenuhnya pengukuran kemiskinan berdasar dimensi kesehatan. Oleh karena itu, telah dirumuskan indikator tambahan yang diharapkan bisa masuk dalam pertanyaan di Susenas. Berikut indikator‐indikator yang diusulkan dalam Susenas:
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
39
Tabel 7. Indikator yang Diusulkan dalam Pertanyaan Susenas
Dimensi Kesehatan Gizi Gizi
Indikator
Keterangan
Persalinan tidak dilaksanakan di fasilitas kesehatan Balita pendek/stunting (TB/U < ‐2SD) Ibu hamil yang mengalami kekurangan energi kronis (KEK)
Untuk menggantikan indikator 4 persalinan nakes
Selain itu, dalam metode baru juga digunakan adult equivalence scale, yaitu dilakukan pembobotan untuk rentang umur tertentu. Hal ini berdampak pada besaran garis kemiskinan yang digunakan, dimana wilayah dengan distribusi penduduk usia dewasa dan tua yang lebih banyak, cenderung akan menghasilkan kebutuhan kalori lebih besar dan dengan demikian akan menghasilkan garis kemiskinan yang lebih tinggi (berlaku sebaliknya). Salah satu hal yang penting untuk dicatat dalam metode baru dengan penerapan adult equivalence scale adalah perubagan satuan garis kemiskinan dari KKal/Kapita/Hari menjadi KKal/Adult/Hari.
4.2 ALTERNATIF PENGHITUNGAN KOREKSI KANDUNGAN KALORI
KEMISKINAN
DENGAN
FAKTOR
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat perubahan untuk banyaknya komoditas yang menjadi acuan dalam menentukan garis kemiskinan dengan metode baru. Pada metode baru dilakukan pemilihan basket komoditas pangan sebagai penentu garis kemiskinan dengan menggunakan 74 (tujuh puluh empat) komoditas, berdasarkan hasil survey pada tahun 2012. Oleh karena itu, terdapat penambahan 24 (dua puluh empat) jenis komoditas pangan tambahan dari hasil survey tahun 1993, dengan perubahan terutama pada: a. Pengalihan konsumsi rokok dan tembakau dari makanan ke non‐makanan. b. Penambahan komoditas sagu dan talas untuk mengakomodasi konsumsi utama beberapa wilayah Indonesia bagian timur. Selain itu, berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2012, terdapat perubahan besaran kalori dari masing‐masing kelompok komoditas yang menjadi acuan dalam menghitung garis kemiskinan. Dari perubahan tersebut didapatkan faktor koreksi Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
40
sebesar 6% (5.99%) besaran kalori dari komoditas makanan lama ke komoditas makanan baru. Tabel 8 menunjukkan secara lebih rinci perubahan kalori dari tiap kelompok komoditas makanan tersebut. Tabel 8. Perubahan Kalori dari Kelompok Komoditas Makanan Kelompok Komoditi
Kalori Lama Kalori Baru Perubahan
Padi‐ Padian
20947,00
21110,00
163,00
Umbi‐ Umbian
14607,40
15010,00
402,60
Ikan
15068,20
16077,00
1008,80
Daging
20557,00
20962,00
405,00
Telur dan Susu
9844,5
10013,92
169,42
Sayur‐ Sayuran
5298,00
7031,00
1733,00
Kacang‐ Kacangan
23156,70
23192,00
35,3
Buah‐ Buahan
10164,40
14110,00
3945,6
720
720
0
2168,00
2210
42
Bumbu‐ Bumbuan
2593
2690
96,2
Konsumsi Lainnya
3185,47
2902,87
‐282,6
991,4
1024
32,6
0
0
0
129301,87
137052,79
7750,92
Minyak dan Lemak Bahan Minuman
Makanan dan Minuman Jadi Tembakau dan Sirih Total
Sumber : WNPG dan BPS, 2014
4.3 PENGHITUNGAN KEMISKINAN MULTIDIMENSI Penghitungan kemiskinan multidimensi dilakukan menggunakan konsep deprivasi. Dalam konsep deprivasi, kemiskinan didefinisikan sebagai kegagalan untuk mencapai batas minimum kemampuan atau kebutuhan dasar. Konsep deprivasi merupakan pendekatan penentuan kebutuhan dasar sehingga terbentuk dimensi dan indikator yang menunjukkan batas ambang individu atau rumah tangga yang dianggap miskin. Hal ini akan memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang sumber daya dan standar hidup individu atau rumah tangga tersebut, sehingga kebijakan yang diambil dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Berikut adalah langkah‐langkah yang dilakukan dalam pengukuran kemiskinan multidimensi dengan konsep deprivasi: Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
41
a. Penentuan kebutuhan dasar, misalnya: Pangan, Kesehatan, Pendidikan, Perumahan, dan Pakaian. b. Penentuan dimensi, misalnya: Perumahan, yaitu akses terhadap air bersih, penerangan (listrik), dan jenis lantai. c. Penentuan satu atau lebih indikator untuk masing‐masing dimensi, misalnya: literacy rate dan berat badan. d. Penentuan nilai pembatas deprivasi untuk setiap indikator. Sumber data yang digunakan dalam menghitung kemiskinan multidimensi adalah Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional). Dari Susenas dapat diperoleh kategorisasi penduduk berdasarkan 3 (tiga) kategori, yaitu miskin, hampir miskin, dan tidak miskin yang dihitung berdasarkan garis kemiskinan secara moneter. Sementara itu, melalui perhitungan kemiskinan multidimensi akan diketahui jumlah masyarakat yang tidak termasuk kedalam kategori miskin secara moneter, tetapi masih terdeprivasi dalam dimensi tertentu, sesuai dengan indikator yang diukur. Dimensi kemiskinan yang digunakan dalam menghitung kemiskinan multidimensi dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 9. Indikator dalam Kemiskinan Multidimensi Dimensi
Indikator
Kependudukan
% ART 0‐ 17 Tahun yang tidak memiliki akte kelahiran dari Kantor Catatan Sipil umur ≤ 17 Tahun. Pendidikan % Anak usia 3‐6 Tahun yang tidak ikut PAUD atau TK % Anak usia 5‐6 Tahun yang tidak ikut TK % ART 7‐15 Tahun yang tidak/belum sekolah % ART 16‐18 Tahun yang tidak/belum sekolah Kesehatan % Balita yang lahir dotolong oleh tenaga non medis % Anak usia 3‐5 tahun yang tidak mendapat imunisasi lengkap (BCG1, DPT3, polio4, campak/morbili1, Hepatitis B1) % Rumah tangga yang tidak mampu mencukupi kebutuhan protein 40 gram Perumahan % Rumah tangga yang jenis lantai terluas adalah tanah % Rumah tangga yang luas lantai per kapita < 7.2 m2 Sanitasi dan Air % Rumah tangga yang sumber air minum tidak terlindung Bersih % Rumah tangga yang sumber air minumnya terlindung, tetapi jaraknya <10 m dari fasilitas buang air besar % Rumah tangga yang yang tidak punya fasilitas buang air besar % Rumah tangga yang jenis klosetnya bukan leher angsa atau tempat Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
42
Dimensi
Indikator
pembuangan akhir tinja bukan septic tank Rumah tangga yang sumber penerangan utamanya bukan listrik Rumah tangga yang bahan bakar memasaknya kayu/briket/arang Kepemilikan Aset Rumah tangga yang tidak memiliki aset bergerak Sumber : Hasil Kajian BPS dan Bappenas, 2014 Energi
Secara lebih rinci, sebagai tolak ukur, indikator deprivasi untuk mengukur kemiskinan secara multidimensi dijelaskan dalam tabel di bawah ini : Tabel 10. Tolak Ukur untuk Indikator Kemiskinan Multidimensi Dimensi
Keterangan
Kependudukan
(Sudah Jelas)
Pendidikan Kesehatan Perumahan
(Sudah Jelas) (Sudah Jelas)
(Sudah Jelas) Air minum yang tidak layak, berasal dari: (i) sumur tidak terlindung, mata air tidak terlindung, air sungai, air hujan, dan lainnya. (ii) jarak < 10 m dari tempat penampungan limbah. Sanitasi dan Air Jamban yang tidak sehat, yaitu: (i) jamban umum, (ii) jenis kloset Bersih plengsengan, cemplung/cubluk, atau tidak memakai kloset, (iii) pembuangan akhir tinja di kolam/sawah, sungai/danau/laut, lubang tanah, pantai/tanah lapang/kebun atau lainnya. Sumber penerangan utama non‐listrik: lampu petromak/aladin, pelita/sentir/obor, dan lainnya. Energi Bahan bakar untuk memasak (kayu, briket, dan arang) Tidak memiliki salah satu jenis aset bergerak, seperti : sepeda motor, Kepemilikan perahu, TV kabel, AC, pemanas air, tabung gas > 12 Kg, lemari es/kulkas, Aset perahu motor, atau mobil. Sumber : Hasil Kajian BPS dan Bappenas, 2014
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
43
Box 2:
Perhitungan kemiskinan multidimensi dilakukan menggunakan konsep deprivasi. Dalam konsep deprivaasi, kemiskinan didefinisikan sebagai kegagalan untuk
mencapai batas minimum kemampuan atau kebutuhan dasar. Konsep
deprivasi merupakan pendekatan penentuan kebutuhan dasar sehingga terbentuk dimensi dan indikator yang menunjukkan batas ambang individu atau rumah
tangga yang dianggap miskin. Hal ini akan memberikan gambaran yang lebih
lengkap tentang sumberdaya dan standar hidup individu atau rumah tangga
tersebut, sehingga kebijakan yang diambil pun dapat disesuaikan dengan
kebutuhan.
Adapun hasil simulasi perhitungan kemiskinan secara multidimensi akan dijelaskan berdasarkan dimensi yang telah ditentukan. Berdasarkan gambar di dibawah ini, diketahui bahwa dalam kepemilikan akte kelahiran dari Kantor Catatan Sipil, masyarakat yang terdeprivasi adalah mereka yang umumnya berasal dari kategori masyarakat miskin, hampir miskin, dan tidak miskin. 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Miskin
Hampir Miskin
Tidak Miskin
ART 0‐17 Tahun yang tidak memiliki akte kelahiran dari Kancapil umur ≤ 17 tahun
Gambar 6. Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi pada Dimensi Kependudukan Sumber : Hasil Simulasi BPS, 2014
Selain itu, pada dimensi pendidikan, sebaran masyarakat yang terdeprivasi juga masih berada pada tiga kategori tersebut. Dari Gambar 7 berikut, diketahui bahwa masyarakat Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
44
miskin dan hampir miskin yang mengalami deprivasi terbanyak adalah pada partisipasi anggota rumah tangga usia 16‐18 tahun yang tidak atau belum bersekolah. Sedangkan fakta lain yang menarik adalah bahwa masyarakat yang termasuk kategori tidak miskin mengalami deprivasi terbanyak pada partisipasi anggota rumah tangga usia 3‐6 Tahun yang tidak mengikuti PAUD/TK. 16 14 12 10 8
Miskin
6
Hampir Miskin
4
Tidak Miskin
2 0 Anak 3‐6 Tahun yang tidak ikut PAUD/TK
Anak 5‐6 Tahun ART 7‐15 Tahun ART 16‐18 Tahun yang tidak ikut TK yang tidak/belum yang tidak/belum sekolah sekolah
Gambar 7. Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi menurut Dimensi Pendidikan Sumber : Hasil Simulasi BPS, 2014
Untuk dimensi kesehatan, sebaran masyarakat yang terdeprivasi juga masih pada tiga kategori tersebut. Namun, dalam indikator kelahiran dengan pertolongan tenaga non‐ medis, terlihat bahwa hanya sedikit (<10%) masyarakat pada tiga kategori tersebut yang mengalami deprivasi. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi terkait persalinan yang harus ditolong oleh tenaga kesehatan telah dilakukan dan harus terus ditingkatkan. Dari Gambar 8 diketahui bahwa masyarakat miskin mengalami deprivasi terbanyak pada indikator rumah tangga yang tidak mampu mencukupi kebutuhan protein senilai 40 (empat puluh) gram. Sedangkan pada indikator imunisasi, terdapat sedikit (<20%) masyarakat yang mengalami deprivasi.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
45
70
Miskin
60
Hampir Miskin
Tidak Miskin
50 40 30 20 10 0 Balita yang penolong kelahirannya Anak 3‐5 Tahun yang tidak mendapat Ruta yang tidak mampu mencukupi non‐ medis imunisasi lengkap kebutuhan protein 40 gram
Gambar 8. Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi menurut Dimensi Kesehatan Sumber : Hasil Simulasi BPS, 2014
Pada dimensi perumahan, masyarat miskin masih mengalami deprivasi dari jenis lantai , yaitutempat tinggal yang terluas adalah tanah dengan luas tempat tinggal <7.2 m2. Dari Gambar 9 diketahui bahwa terdapat masyarakat tidak miskin yang masih mengalami deprivasi dalam hal tersebut, meskipun hanya sebanyak <10%. Namun, seperti diketahui, hal ini dimungkinkan juga karena adanya pengaruh budaya, seperti di beberapa wilayah Indonesia bagian Timur. 25 20 15
Miskin Hampir Miskin
10
Tidak Miskin
5 0 Ruta yang jenis lantai terluas adalah tanah
Ruta yang luas lantai per kapita <7.2 m2
Gambar 9. Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi menurut Dimensi Perumahan Sumber : Hasil Simulasi BPS, 2014
Untuk dimensi sanitasi dan air bersih, terdapat 4 (empat) indikator (Gambar 10) Masyarakat miskin terbanyak mengalami deprivasi dalam hal sanitasi, yaitu jenis kloset bukan leher angsa atau tempat pembuangan akhir tinja bukan septic tank. Dalam hal ini, dari kelompok masyarakat tidak miskin pun, terdapat sebanyak >30% masih mengalami deprivasi terkait akses terhadap sanitasi dan air bersih. Di samping itu, Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
46
dalam hal sumber air minum terlindung dengan ukuran jarak <10 m dari fasilitas buang air besar, hampir semua kelompok masyarakat sudah dapat memenuhi. 70 60 50 40 30 20 10 0 Ruta yang tidak punya Ruta yang sumber air fasilitas buang air besar minumnya terlindung, tetapi jaraknya <10 m dari fasilitas buang air besar Miskin Hampir Miskin Tidak Miskin
Ruta yang sumber air minum tidak terlindung
Ruta yang jenis klosetnya bukan leher angsa atau tempat pembuangan akhir tinja bukan septic tank
Gambar 10. Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi menurut Dimensi Sanitasi dan Air Bersih Sumber : Hasil Simulasi BPS, 2014
Dimensi energi diukur berdasarkan 2 (dua) indikator. Indikator pertama, yaitu sumber energi listrik, menunjukan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan hal ini hampir 100%. Sedangkan, dari indikator kedua yaitu rumah tangga dengan bahan bakar arang atau briket, terdapat hampir 70% masyarakat miskin yang mengalami deprivasi, dan >50% masyarakat hampir miskin, serta hampir 30% masyarakat yang tidak miskin. Hal ini diperkirakan tidak hanya dipengaruhi oleh ketidakmampuan masyarakat, namun juga faktor budaya. 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Ruta yang sumber penerangan utamanya bukan listrik Miskin
Hampir Miskin
Ruta yang bahan bakar memasaknya kayu/briket/arang Tidak Miskin
Gambar 11. Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi menurut Dimensi Energi Sumber : Hasil Simulasi BPS, 2014
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
47
Terakhir, pada dimensi kepemilikan aset, sebaran masyarakat yang terdeprivasi terbanyak adalah masyarakat kategori miskin. Dari Gambar 12 berikut diketahui bahwa masyarakat miskin yang mengalami deprivasi pada dimensi ini sebanyak >50%, dan masyarakat hampir miskin >40%. 60 50 40 30 20 10 0 Miskin
Hampir Miskin
Tidak Miskin
Ruta yang tidak punya aset bergerak
Gambar 12. Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi menurut Dimensi Kepemilikan Aset Sumber : Hasil Simulasi BPS, 2014
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
48
BAB V MENGAKOMODASI KEPENTINGAN DAERAH 5.1 DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Seperti telah disebutkan di atas, bahwa sebagai upaya menjaring masukan dan aspirasi dari berbagai pihak termasuk dari pemerintah daerah, serta untuk mengetahui kondisi riil kemiskinan lokal di beberapa wilayah di Indonesia, dilakukan focus group discussion (FGD) di tiga wilayah yang memiliki karakteristik yang berbeda‐beda. Selain sebagai wahana untuk mendapatkan berbagai masukan terkait penghitungan kemiskinan dari sisi moneter, FGD lebih diarahkan untuk mengeksplorasi pengukuran kemiskinan multidimensi sesuai dengan dinamika yang terjadi di masing‐masing daerah. FGD di Daerah Istimewa Yogyakarta dilaksanakan pada bulan Juni 2014 dengan menghadirkan nara sumber Akhmad Akbar Susamto, S.E., M.Phil dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada dengan topik “Konsep Deprivasi dalam Kemiskinan Multidimensi”, dan Firman Witoelar, Ph.D dari Survey Meter Indonesia dengan topik “Gambaran Kondisi Deprivasi dalam Kemiskinan Multidimensi Menurut IFLS”. Kedua nara sumber menekankan bahwa pengukuran kemiskinan dengan alat garis kemiskinan versi moneter tetap berguna karena acuan konsumi atau pengeluaran memiliki dasar teoritis yang kuat. Namun, kemiskinan adalah persoalan multidimensi yang memerlukan penanganan dengan multi‐pendekatan. Beberapa hal yang harus menjadi perhatian di dalam penghitungan multidimensi antara lain: pemilihan indikator yang tepat yang memiliki landasan teoretis yang kuat dalam penentuan bobot setiap komponen yang mencerminkan tradeoff, pertimbangan terhadap karakteristik lokal yang memiliki nilai komparabilitas, aksesibilitas data yang memadai, dan penentuan indeks sebagai target kebijakan. Salah satu fakta yang menarik, dari hasil Indonesia Family Life Survey (IFLS) atau dikenal juga denganSurvey Keluarga Indonesia (Sakerti), berbagai indikor yang digunakan sudah sudah bisa mencerminkan kondisi rumah tangga yang dapat digunakan untuk mengukur kemiskinan multidimensi. IFLS yang sudah dilakukan 5 (lima) kali sejak tahun 1993, 1997, 2000, 2007, dan 2014 dapat dijadikan sebagai salah Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
49
satu pendukung data BPS dalam menghitung kemiskinan multidimensi karena sudah dilakukan di berbagai daerah, yaitu: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan (+Bangka Belitung), DKI, Jawa Barat (+Banten), Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan(+Sulbar). Tahun 2012, survey ini difokuskan di wilayah timur Indonesia (IFLS East 2012), yaitu Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, Papua. Selain itu, beberapa kelebihan dari survey ini antara lain: bersifat longitudinal dengan atrisi yang rendah, multi‐topik (konsumsi, pendapatan, asset, ketenagakerjaan, transfer antar generasi, pengukuran kesehatan baik secara self reported maupun obyektif, penggunaan akses kesehatan, riwayat pendidikan, migrasi, pernikahan, kesehatan reproduksi, sikap pengambilan resiko, kepercayaan, dan keberagamaan), dan merekam catatan fungsional tubuh (kapasitas paru‐paru, kecepatan duduk berdiri, kekuatan genggaman, tekanan darah, dan hemoglobin darah), serta pengukuran kapasitas kognitif dan mental intactness. Sebagaimana ditunjukkan pada tabel 11 berikut, beberapa indikator dalam Multidimensional Poverty Index (MPI) yang digunakan oleh OPHI sudah sejalan dengan berbagai pertanyaan yang digali melalui IFLS. Tabel 11. Perbandingan antara Indikator MPI OPHI dan IFLS
Sumber: Surveymeter, 2014
Sementara itu, brdasarkan aspirasi dari pemerintah daerah provinsi dan kabuaten/kota di DIY, pengukuran kemiskinan multidimensi di DIY menjadi sangat relevan karena fakta bahwa tingkat kemiskinan dari sisi moneter di DIY masih 15,03% (2013) atau Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
50
berada di atas rata‐rata nasional (11%). Sementara itu, jika dilihat dari berbagai indikator pelayanan dasar, misalnya angka partisipasi murni (APM) sekolah, baik sekolah dasar maupun jenjang pendidikan diatasnya, akses terhadap air bersih dan penerangan, akses jalan, bahkan usia harapan hidup (tertinggi) berada jauh lebih baik dari angka rata‐rata nasional. Salah satu faktor kuat yang mendasari adalah alasan soal budaya masyarakat yang di dalam penghitungan kemiskinan menggunakan pendekatan konsumsi (moneter) tidak teridentifikasi. Hal ini tentunya berimplikasi pada kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tidak bisa diseragamkan dengan daerah‐daerah lain. Salah isu yang menjadi sorotan di dalam FGD di DIY adalah banyaknya program penanggulangan kemiskinan yang dialokasikan melalui APBN oleh pemerintah pusat berupa program karikatif yang memberikan bantuan cuma‐cuma seperti raskin, BLT/BLSM, besiswa miskin, jamkesmas, dan rumah gratis kepada masyarakat miskin. Di satu sisi, bantuan tersebut memang meringankan beban pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga miskin, namun di sisi lain menciptakan mental ketergantungan yang dalam konteks masyarakat DIY melunturkan semangat tepo saliro (saling membantu) dan gotong royong, serta etos kerja yang menjadi salah satu akar budaya Jawa, khususnya di Yogyakarta. Terdapat kecenderungan di sebagian masyarakat miskin di DIY untuk “memelihara” diri hidup di bawah garis kemiskinan dengan alasan karena akan selalu mendapatkan bantuan dari pemerintah, meskipun mereka sebenarnya memiliki kemampuan untuk keluar dari garis kemiskinan. Oleh karena itu, beberapa pemerintah daerah kabupaten/kota di DIY bahkan secara langsung mengusulkan agar berbagai bantuan perlindungan sosial tersebut dialihkan kepada program‐program yang lebih produktif dengan persyaratan yang lebih ketat untuk menjaga sikap mandiri dan tidak selalu bergantung pada bantuan pemerintah. 5.2 JAWA BARAT FGD di Provinsi Jawa Barat dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 di Kota Bandung dengan nara sumber utama Dr. Arief Anshory Yusuf dari Pusat Studi Ekonomi dan Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung dengan topik “Kemiskinan multidimensional: Konsep dan relevansinya di Indonesia”. Dalam FGD ini, nara sumber utama menyoroti isu‐su terkait kemiskinan multidimensi, yaitu mulai dari konsep dasar kemiskinan multidimensi, hunbungan antra kesejahteraan dan monetary Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
51
income dalm konteks peran factor atau dimensi lain di Indonesia; serta aplikasi perhitungan kemiskinan multidimesional versi UNDP. Pembahasan kemiskinan multidimensi pada FGD di kota Bandung ini juga difokuskan pada pendekatan Multiple Regression Analysis (MRA) dengan formula W = F(Y,X), dimana W merupakan happines/walfare, Y adalah monetary income, serta X adalah dimension (other factors). Analisis yang ditawarkan adalah: •
If Y is so important and X can be ignored, then in multiple regression analysis X will be zero or statistically insignificant;
•
If it isn’t true then other dimension matters, including in poverty analysis;
•
Multiple regression analysis ‘may’ tell us what the other dimension are more important.
Dengan demikian, beberapa kesimpulan yang diperolah antara lain: a. Dimensi moneter (pendapatan dan atau pengeluaran) hanya sebagian dari dimensi kesejahteraan, termasuk untuk menentukan kemiskinan; b. Dimensi selain pendapatan dan atau pengeluaran sebaiknya difokuskan pada dimensi yang tidak tertangkap nilainya oleh harga pasar tapi penentu kesejahteraan baik yang sifatnya statis (current) maupun dinamis (capabilities); c. Analisis determinan subjective wellbeing bisa menjadi basis rujukan d. Kemiskinan
multidimensional
berkorelasi
kuat
dengan
kemiskinan
konvensional, tetapi keduanya mengandung informasi yang berbeda dan bersifat komplementer; e. Ketika kemiskinan konvensional sudah semakin kecil (dalam waktu dekat) kemiskinan multidimensional bisa menjadi semakin relevan. Hal lain yang penting untuk dicatat adalah bahwa dalam pengukuran kemiskinan dalam konteks kemiskinan multidimensi, sangat memungkinkan adanya sudut pandang lain, misalnya dengan mengukur indeks kebahagian (index of happiness), seperti yang sudah dicoba dilakukan melalui survey IFLS terbaru pada 21.000 sampel individu di tahun 2013 dari sampel 13 (tiga belas) provinsi yang menjadi lokasi survey di tahun 2007. Dari hasil pengukuran index of happiness didapatkan data yang menunjukan bahwa sebanyak 84.7% responden menyatakan bahagia dengan kondisi saat ini, terlepas dari kondisi miskin atau tidak. Meskipun bersifat subjektif, index of happiness bisa dicoba Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
52
menjadi salah satu indikator alternatif untuk melengkapi berbagai indikator yang telah digunakan. 5.3 SULAWESI SELATAN FGD di Provinsi Sulawesi Selatan dilaksanakan pada bulan November 2014 di Kota Makassar dengan menghadirkan 2 (dua) nara sumber yang berasal dari akademisi dan pemerintah daerah, yaitu: Dr. Agus Salim, SE., MS. dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Hasanuddin dengan topik Redefinisi Kemiskinan: Antara Simplisitas dan Kompleksitas; dan Drs. Abdul Wahab mewakili Kepala Bappeda Kabupaten Bantaeng dengan topik Metode Perhitungan Tingkat Kesejahteraan di Kabupaten Bantaeng. Isu utama yang dibahas dalam FGD di Makassar lebih diarahkan pada bagaimana menyesuaikan dan memahami perkembangan paradigma kemiskinan, mulai dari economic based approach atau menekankan pada dimensi ekonomi, misalnya pendapatan dan pengeluaran kuntuk onsumsi, lalu berkembang ke social based approach dimana mulai memasukkan indikator pendidikan, kesehatan, dan perumahan atau dimensi sosial lainnya, dan saat ini berkembang ke moral based apprach dimana mulai memasukan dimensi moral, misalnya kerentanan, ketidakberdayaan, dan voicelessness. Startegi penanggulangan kemiskinan yang selama ini dilakukan juga dianggap belum efektif karena masih terdapat beberapa kesalahan yang seringkali dilakukan oleh stakeholders terkait. Hal ini secara tidak langsung mereduksi definisi kemiskinan yang sebenarnya kompleks, membatasi cara pandang, dan menyederhanakan intervensi. Kecenderungan umum yang terjadi adalah bahwa kemiskinan seringkali dianggap kompleks dalam konteks persoalannya, tetapi disimplifikasi pada upaya penanganannya. Dengan demikian, pemahaman tentang definisi, konsep, dan cara pandang tentang kemiskinan menjadi sangat penting karena hal‐hal tersebut akan bermuara pada bagaimana kebijakan dan cara menangani persoalan kemiskinan. Satu hal yang pasti adalah bahwa persoalan kemiskinan selalu bergerak lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan untuk menyediakan indikator terukur dalam hal intervensi yang harus dilakukan. Dalam konteks lokal Sulawesi, kondisi kemiskinan atau populasi masyarakat miskin di Sulawesi didominasi oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
53
pertanian dan bermukim di wilayah perdesaan. Faktanya, sektor pertanian di Sulawesi Selatan memiliki produktivitas paling rendah dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjawab kondisi ini, misalnya melalui upaya kombinasi sektor pertanian yang lebih produktif dan pembukaan kesempatan kerja di sektor non‐pertanian di perdesaan. Selain itu, isu kemiskinan di Sulawesi juga sangat berhubungan dengan persoalan infrastruktur dasar dan rendahnya pencapaian berbagai indikator Indeks Pembangunan Manusi (IPM). Oleh karena itu, beberapa usulan yang dapat dilakukan untuk dapat mengentaskan kemiskinan di Sulawesi, antara lain : a.
Meningkatkan pertumbuhan pertanian melalui penutupan kesenjangan produktivitas, misalnya perbaikan layanan penyuluhan, dan perluasan akses pembiayaan;
b.
Memperluas kesempatan kerja di sektor non‐pertanian, misalnya menyediakan akses permodalan;
c.
Meningkatkan kualitas SDM, misalnya dengan memperbaiki fasilitas sekolah, dan meningkatkan kualifikasi dan kompetensi tenaga pengajar;
d.
Meningkatkan investasi infrastruktur penghubung antara wilayah perdesaan dan perkotaan.
Dari sisi Pemerintah Daerah Kabupaten Bantaeng, salah satu best practice terhadap perbaikan metode perhitungan tingkat kemiskinan di daerah adalah adanya pelibatan masyarakat melalui pendataan partisipatif. Dalam pengembangan basis data lokal, telah dilakukan verifikasi terhadap profil rumah tangga miskin by name, by address, dan by photo dari data dasar PPLS 2011 yang keluarkan oleh TNP2K atau data dasar lainnya. Hasil dari data yang telah diverifikasi tersebut kemudian diumumkan kepada masyarakat pada forum‐forum pertemuan pleno tingkat desa atau kelurahan. Dengan adanya pengembangan basis data lokal ini dengan pendekatan partisipatif ini, penentuan peringkat kesejahteraan rumah tangga miskin akan lebih falid dan menggambarkan kondisi riil masyarakat berdasarakan kesepakatan bersama. Dalam penentuan peringkat kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Bantaeng, digunakan indikator dan bobot yang sudah disepakati bersama, milsanya: Pendapatan (Skor 7); Kepemilikan Lahan Usaha Produktif (Skor 6); Tingkat Pendidikan Orang Tua (Skor 5);
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
54
Penerangan Rumah (Skor 4); Lantai Rumah (Skor 3); Atap Rumah (Skor 2); Dinding Rumah (Skor 1). Secara umum, beberapa kesimpulan umum yang disepakati dengan para ahli dan pihak pemerintah daerah mengenai pengukuran kemiskinan moneter dan multidimensi, yaitu: a) Perhitungan kemiskinan secara moneter belum cukup menggambarkan kondisi riil kemiskinan di Indonesia. Namun, kemiskinan secara moneter tetap dibutuhkan untuk mengetahui kondisi kemiskinan secara makro dan komparatif di Indonesia; b) Perhitungan
kemiskinan
secara
multidimensi
dibutuhkan
untuk
menggambarkan kemiskinann yang bersifat kompleks dan dalm rangka menyusun kebijakan penanggulangan kemiskinan yang lebih tepat dan efektif; c) Pemilihan dimensi dan indikator kemiskinan multidimensi yang tepat dengan mempertimbangkan karakteristik lokal harus menjadi perhatian utama. Untuk merangkum hasil dari rangkaian FGD yang telah dilakukan di 3 (tiga) lokasi tersebut, tabel 12 berikut menggambarkan beberapa catatan penting, terutama terkait pandangan tentang kemiskinan mutidimensi. Tabel 12. Ringkasan Hasil Diskusi Kajian Definisi Kemiskinan di 3 (Tiga) Wilayah Yogyakarta
Bandung
Makassar
Pengukuran kemiskinan dengan alat garis kemiskinan tetap berguna.
Dimensi moneter hanya merupakan bagian dari dimensi kesejahteraan, termasuk dalam menentukan kemiskinan. Keduanya mengandung informasi yang berbeda dan bersifat komplementer.
Perkembangan konsep kemiskinan : a. Sebelum 1990 : Dimensi Ekonomi b. 1990‐ an : Dimensi Sosial c. Awal 2000‐ an : Dimensi Moral.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
55
Yogyakarta Pengukuran kemiskinan multidimensi multak diperlukan, namun perlu diperhatikan dalam pemilihan indikator, yaitu: a. Menangkap dengan baik dimensi kemiskinan/depriva si. Menangkap karakter lokal, tetapi tetap memiliki komparabilitas. b. Relatif mudah dalam pengumpulan data. Kemiskinan multidimensi mengukur ketidakcukupan terhadap pendapatan dan ketidakcukupan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar untuk mendapatkan kondisi kemiskinan yang lebih riil.
Bandung Selain dimensi pendapatan/pengeluaran, dalam kemiskinan multidimensi, difokuskan pada dimensi yang tidak tertangkap nilainya oleh harga pasar, tetapi penentu kesejahteraan, baik yang sifatnya statis maupun dinamis.
Makassar Definisi, konsep, dan cara pandang tentang kemiskinan selalu bergerak lebih cepat dibandingkan kemampuan menggambarkan dengan indikator terukur.
Analisis determinan Terdapat beberapa keselahan subjective well being dapat dalam memandang kemiskinan menjadi basis rujukan saat ini : dalam menentukan dimensi • Mereduksi Definisi kesejahteraan atau mengukur • Membatasi Cara Pandang kemiskinan. • Menyederhanakan Intervensi Salah satu kunci keberhasilan program penanggulangan kemiskinan adalah pendataan berbasis konteks lokal. (Best practice : Pengembangan Basis Data, Kabupaten Bantaeng)
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
56
BAB VI DAMPAK REDEFINISI KEMISKINAN TERHADAP KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA 6.1 DAMPAK PENERAPAN REDEFINISI KEMISKINAN Selama ini, perhitungan garis kemiskinan, terutama berdasarkan bersaran konsumsi kalori yang dihitung tidak memperhitungkan faktor usia (adult equivalence scale), dan jenis kelamin. Oleh karena itu, batas minimal penentapan rata‐rata kebutuhan kalori tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya karena diambil berdasarkan nilai tengah dari kebutuhan kalori usia anak dan orang dewasa. Dengan memasukkan kedua faktor tersebut, nilai kalori yang dibutuhkan akan bervariasi berdasarkan sebaran usia penduduk di masing‐masing wilayah (provinsi) di Indonesia. Dengan demikian, jika metode baru tersebut diterapkan, beberapa daerah dengan struktur panduduk yang didominasi oleh usia dewasa/tua akan menghasilkan perhitungan kebutuhan kalori lebih banyak, sehingga batas garis kemiskinannya akan naik, dan sebaliknya.
Pengukuran kemiskinan moneter penting untuk mengetahui gambaran kemiskinan di
Indonesia secara makro. Namun, untuk intervensi pengentasan kemiskinan yang lebih
komprehensif, dibutuhkan pengukuran kemiskinan multidimensi yang dapat menggambarkan kondisi riil kemiskinan dari sudut pandang berbagai kebutuhan
dasar. Gambar 13 berikut menunjukkan hasil simulasi yang dilakukan BPS terhadap garis kemiskinan.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
57
700.000 0 600.000 0
Metodee 1998
M Metode Baru p per Kapita
Metode Barru EQS
500.000 0 400.000 0 300.000 0 200.000 0 100.000 0
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Ri Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
0
Gambar 1 13. Garis Ke emiskinan per Septem mber 2013 men nurut Berba agai Metode Perhitung gan Berdassarkan Prov vinsi Sumber :: Hasil Simullasi BPS, 201 14
Dari gaambar di atas, a rata‐rrata garis kemiskinan n yang dih hitung den ngan metod de baru meninggkat di masing‐masin ng provinsii. Namun, terdapat t 12 (dua bellas) provin nsi yang mengallami penurrunan gariss kemiskinaan yang dih hitung den ngan metod de baru perr kapita, yaitu P Provinsi Aceeh, Riau, Su umatera Seelatan, Bengkulu, Ban ngka Belitun ng, DI Yogy yakarta, NTB, Kalimantan K n Barat, Su ulawesi Ten ngah, Sulaw wesi Selattan, Sulaweesi Tenggaara, dan Sulaweesi Barat. Hal ini memperliha m atkan terjaadi perubaahan struk ktur penggeluaran makanaan akibat pengaruh pemilihan basket paangan. Sedaangkan, un ntuk metod de baru dengan n adult equiivalance sca ale (AES) h hanya 1 pro ovinsi yangg mengalam mi penurunaan garis kemisk kinan yaitu provinsi Papua yang P g bisa dipengaruhi oleh pemilih han basket pangan atau dipengaruhi oleh distrib busi usia m muda (<19 ttahun) yan ng lebih dom minan.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiiskinan 2014
58
70,00
Metode 1998
Metode Baru per Kapita
Metode Baru EQS
60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
0,00
Gambar 14. Persentase Penduduk Miskin per September 2013 menurut Provini dalam Berbagai Metode Perhitungan Sumber : Hasil simulasi BPS, 2014
Meskipun secara umum garis kemiskinan yang dihitung dengan metode baru dengan AES dan metode per kapita mengalami peningkatan, jumlah penduduk miskin dengan metode baru di masing‐masing provinsi tidak serta merta meningkat, bahkan beberapa diantaranya mengalami penurunan. Beberapa faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah distribusi umur penduduk dan distribusi pengeluaran. Distribusi pengeluaran yang berubah erat kaitannya dengan perubahan basket pangan yang telah mengakomodasi karakteristik pangan Indonesia Timur. Selanjutnya, keterkaitan antara perubahan jumlah penduduk miskin yang dihitung dengan metode lama dan baru dengan distribusi usia penduduk akan dijelaskan dalam grafik berikut.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
59
X=
7 Δ Metode Baru Tanpa AES & Metode Baru
6 5 4 3 2 1 0 ‐1 0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1
1,1
1,2
1,3
‐2
1,4
1,5
y= Series1 0 Linear (Series1)
‐3 R² = 0,511
‐4 ‐5 ‐6 ‐7
Perbandingan RataRata Jumlah Anggota RT 019 / > 20
Gambar 15. Korelasi antara Perubahan Jumlah Penduduk Miskin dan Perbandingan RataRata Jumlah Anggota Rumah Tangga Sumber : Hasil Exercise Bappenas dan BPS, 2014
Berdasarkan Gambar 15 di atas, dapat dilihat bahwa korelasi antara 2 (dua) variabel adalah sebesar 0.511, dimana berarti terdapat keterakitan antara perubahan jumlah penduduk miskin berdasarkan metode baru tanpa AES dan metode baru dengan distribusi penduduk berdasarkan usia di rumah tangga. Semakin banyak anggota rumah tangga yang berumur antara 0‐ 19 tahun atau berarti penduduk usia muda, maka jumlah penduduk miskin akan berkurang. Secara nasional, dengan menggunakan metode perhitungan baru dengan AES, persentase penduduk miskin meningkat sebesar 0.61%, namun jika dibandingan dengan metode 1998 atau metode lama, terjadi peningkatan sebesar 1.87%. Apabila dibandingkan setiap tahun, berdasarkan Gambar 16 di bawah ini, diketahui bahwa jika dihitung dengan metode baru tanpa AES dari tahun 2011 hingga 2013, maka secara umum akan terjadi penurunan persentase penduduk miskin, meskipun terjadi kenaikan pada selang waktu 2012 hingga 2013. Selain itu, baik dengan perhitungan metode lama atau dengan metode baru dengan AES, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan pada rentang waktu tersebut.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
60
16 14,23 ▲ = ‐0.65 13,46 % = ‐0.9 ▲ 12,36 ▲ = ‐0.7 %
14 12
13,58 12,56 11,66
%
10
▲ = ‐0.24 %▲ = 0.17 %▲ = ‐0.19 %
13,34 12,73 11,47
8 6 4 2 Metode 1998
Metode Kapita
Metode Baru
0 2011
2012
2013
Gambar 16. Trend Persentase Penduduk Miskin dalam Berbagai Metode Tahun 2011 2013 Sumber : Hasil simulasi BPS, 2014
Selanjutnya, trend garis kemiskinan meningkat dari tahun 2011‐2013 dihitung dengan 3 (tiga) metodologi yang berbeda. Jika dibandingkan antar metode perhitungan yang digunakan, seperti yang terlihat dalam Gambar 17, terdapat kenaikan garis kemiskinan yang cukup signifikan melalui metode perhitungan baru AES dengan dua metode lainnya. 400.000 365.246
350.000 324.029 300.000
302.623
250.000
251.045 243.729
305.210 292.951
268.476 259.520 Metode 1998
200.000
Metode Kapita
150.000
Metode Baru
100.000 50.000 0 2011
2012
2013
Gambar 17. Trend Garis Kemiskinan dalam Berbagai Metode Tahun 2011 2013 Sumber : Hasil simulasi BPS, 2014
Seperti yang dijelaskan dalam Gambar 18 dibawah, terdapat perubahan distribusi pengeluaran yang dihitung dengan tiga metode berbeda. Perubahan distribusi pengeluaran tersebut cenderung bergeser ke arah kanan, dimana berarti jumlan Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
61
masyarakat dengan pengeluaran yang lebih besar bertambah atau jumlah masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan berkurang. Hal ini menjelaskan bahwa terdapat penurunan jumlah penduduk miskin dengan metode AES, meskipun terjadi peningkatan garis kemiskinan. 70000000 Metode 1998
Metode Baru per Kapita
Metode Baru EQS
60000000
50000000
40000000
30000000
20000000
10000000
0 50000‐199999 200000‐349999350000‐499999
500000‐ 649999
650000‐799999
800000‐ 949999
>= 950000
Gambar 18. Distribusi Pengeluaran Nasional dengan Berbagai Metode Sumber : Hasil Simulasi BPS, 2014
Dalam kajian definisi kemiskinan ini, dilakukan pula exercise asosiasi dimana mencoba mencari hubungan antara kemiskinan secara moneter dan multidimensi. Dalam hal ini, terdapat 2 (dua) exercise yang dilakukan diantaranya: a.
Hubungan antara 40% RTM dan layanan air bersih dan sanitasi; dan
b.
Hubungan antara 40% RTM dan kepemilikan identitas hukum dan tingkat pendidikan menengah atas.
Dari exercise ini diharapkan dapat diketahui kebutuhan dasar yang perlu didorong sebagai salah satu upaya penanggulangan kemiskinan dan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh masyarakat Indonesia. Exercise asosiasi ini juga dibutuhkan untuk dapat merumuskan kebijakan yang lebih tepat sasaran untuk menjawab permasalahan kemiskinan di Indonesia.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
62
Hasil exercise pertama menunjukan bahwa terdapat 17.61% rumah tangga yang tidak mendapatkan layanan air bersih. Sementara itu, hampir 2/3 RTM tidak mendapatkan sanitasi yang layak, dengan jumlah rumah tangga hampir sekitar 42.18%. Selain itu, diketahui permasalahan air bersih pun tidak hanya dialami oleh RTM, tetapi juga dialami oleh rumah tangga yang tidak miskin dengan jumlah yang cukup besar, yaitu hampir 50%.
RT yang tidak mendapatkan Air Bersih 17,61%
40% RT dengan pengeluaran 12.17% terendah 3.56 %
5.4%
5%
50% Rumah Tangga non‐poor juga belum mendapatkan Air Bersih.
3.65 %
18.7%
14.83%
Sekitar 2/3 RTM belum mendapat sanitasi layak.
RT tidak mendapatkan Sanitasi Layak 42,18%
Gambar 19. Exercise Asosiasi antara 40% RTM dan Air Bersih dan Sanitasi Sumber : Bappenas, diolah dari data Susenas, 2014
Hasil exercise pertama menunjukan bahwa terdapat 9.75% individu yang berada pada 40% berpendapatan terendah tidak memiliki akte lahir. Sementara itu, hampir 78.74% individu yang berada pada 40% berpendapatan terendah tidak bersekolah SMA. Kemudian, diketahui bahwa hampir 90% individu dengan 40% berpendapatan terendah, yang tidak memiliki akte lahir, juga tidak melanjutkann sekolah hingga tingkat menengah atas. Selain itu, diketahui pula bahwa untuk individu dengan pendapatan bukan 40% terendah, juga tidak mengakses pendidikan menengah atas. Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
63
Individu yang tidak memiliki akta lahir 9.75%
Hampir 96% individu yang tidak memiliki akta lahir maka tidak bersekolah SMA.
0.22% 40% individu dengan pengeluaran 0.2% 4.95% terendah 4.38% 7.97% 27.45%
46.91%
Individu yang tidak bersekolah SMA 78.74% Hampir 50% individu non poor juga tidak bersekolah SMA.
Gambar 20. Exercise antara Variabel 40% RTM, Kepemilikan Identitas Hukum, dan Tingkat Pendidikan Menengah Atas Sumber : Bappenas, diolah dari data Susenas, 2014
Berdasarkan perhitungan kemiskinan multidimensi di atas, dan setalah berkoordinasi dengan sektor maupun stakeholder terkait, terumuskanlah pertimbangan dalam menentukan sasaran target strategi perluasan dan peningkatan pelayanan dasar bagi masyarakat miskin dan rentan untuk RPJMN 2015‐2019, sebagaimana dapat dilihat pada tabel 13 berikut.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
64
Tabel 13. Jenis, Sasaran, dan Target Pelayanan Dasar yang terkait dengan Kemiskinan
PAKET PELAYANAN DASAR Identitas Perlindungan Kesehatan Pendidikan Infrastruktur dasar
JENIS PELAYANAN DASAR Pelayanan administrasi kependudukan (akte kelahiran, KTP, surat nikah, kartu keluarga) Sistem pusat pelayanan dan rujukan terpadu Pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan KB PAUD, SD, SMP dan SMA Perumahan, air dan sanitasi, listrik, transportasi, dan komunikasi
SASARAN
TARGET 2019
Berkurangnya proporsi penduduk yang tidak memiliki akte lahir Cakupan imunisasi lengkap Cakupan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan Cakupan persalinan di fasilitas kesehatan Cakupan pelayanan KB Angka Partisipasi Sekolah (7‐12 Tahun) Angka Partisipasi Sekolah (13‐15 Tahun) Angka Partisipasi Sekolah (16‐18 Tahun) Akses penduduk terhadap air minum layak Akses penduduk terhadap sanitasi layak Jangkauan layanan ketenagalistrikan (rasio elektrifikasi) Akses masyarakat berpendapatan rendah terhadap hunian layak Berkurangnya proporsi rumah tangga kumuh di perkotaan
20% 75% 85% 65% 60% 100% 85% 55% 76% 62% 83% 21 Juta Rumah Tangga 0%
6.2 PENYUSUNAN PETA JALAN DALAM IMPLEMENTASI PENGGUNAAN METODE BARU Dari berbagai permasalahan dan tantangan upaya dan penerapan definisi kemiskinan, dalam hal ini terutama terkait dengan penyempurnaan metodologi penghitungan kemiskinan, beberapa langkah ke depan yang perlu dilakukan antara lain: a. Penerapan
metode
penghitungan
kemiskinan
baru
dengan
mempertimbangkan target dan strategi penurunan kemiskinan serta kesiapan kelembagaan di tingkat pusat dan daerah; Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
65
b. Penerapan penghitungan multidmensi yang bersidat lintas sektor dengan mempertimbangkan kesiapan aturan hukum dan kebijakan sektoral terkait untuk mendukung penetapan indikator kemiskinan mulidimensi, misalnya sesuai dengan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang di dalamnya mengamantkan diterapkannya Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk target‐target pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, air bersih dll.); c. Sinkronisasi data base rumah tangga sasaran (RTS) sebagai basis data terpadu untuk targetting program‐program penanggulangan kemiskinan baik di tingkat pemerintah pusat maupunn daerah; Ketiga hal tersebut sangat penting dilakukan mengingat apapun kebijakan yang ada, pemahaman, penghitungan, dan manajemen data kemiskinan yang sistematis dan komprehensif harus dilakukan dalam rangka efisiensi pelaksanaan program dan mempercepat pencapaian target penurunan kemiskinan. Beberapa kondisi yang mendukung pemikiran tersebut antara lain: 1.
Komitmen politik
Kabinet Kerja di bawah komando Presiden Joko Widodo telah menegaskan bahwa hanya ada satu visi Presiden yaitu Trisakti dan misi Nawacita di dalam menjalankan roda pemerintahan selama 5 (tahun) kedepan. Visi dan misi kementerian/lembaga (K/L) tidak ada lagi karena K/L adalah pelaksana operasional program‐program di masing‐masing sektor untuk manjalankan kebijakan dan target pembangunan, termasuk dalam hal penanggulangan kemiskinnan. Momentum ini sangat penting untuk memulai pendekatan penanggulangan kemiskinan yang tidak lagi mengedepankan ego sektoral, tetapi difokuskan kepada indikator‐indikator pencapaian target penurunan kemiskinan. Komitemn politik ini dicerminkan oleh adanya beberapa hal, antara lain: a.
Pembagian kewenangan dan bertanggungjawab yang jelas terhadap semua sektor yang terkait langsung dalam penanggulangan kemiskinan disertai dengan instrumen legalitas pelaksanaanya;
b.
Agenda pembangunan yang jelas dan spesifik untuk mencapai target penurunan kemiskinan yang ditetapkan;
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
66
c.
Menjadikan berbagai program penanggulangan yang telah dilakukan sebagai titik tolak untuk memperbaiki sistem, bukan hanya mencari kesalahan di masa lalu sebagai dasar menciptakan program atau pendekatan baru.
2.
Stabilitas Ekonomi dan Sosial
Kedua hal ini dapat dilihat dari 2 (dua) sisi sekaligus, yaitu: pertama, sebagai sebuah prasyarat untuk dapat melaksanakan berbagai program pembangunan dengan efektif dan efisien, dan kedua, sebagai indikator yang terus diupayakan karena muara dari keberhasilan pembangunan adalah terciptanya stabilitas ekonomi dan sosial masyarakat. Prasyarat ataupun indikator dari terjadinya stabilitas ekonomi dan sosial ini antara lain dapat dilihat jika; a.
Adanya kesadaran kolektif yang menempatkan kemiskinan sebagai masalah bersama yang bersifat multidimensi, sehingga semua pihak merasa bertanggung jawab untuk berkontribusi dan meningkatkan kepedualian untuk bersama‐sama memecahkan persoalan kemiskinan;
b.
Peraturan dan kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi dan investasi, tetapi juga pemerataan pemenuhan berbagai kebutuhan terkait pelayanan dasar yang dibutuhkan masyarakat miskin;
c.
Tata pemerintahan yang baik (Good Governance) yang dicerminkan dengan adanya transparansi dan pertanggungjawaban publik, penegakan hukum, penghapusan birokrasi yang menyulitkan, pemberantasan korupsi, dan koordinasi lintas sektor dan lintas pelaku yang baik. Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, secara spesifik, diterapkannya propoor planning and budgetinng yang dilengkapi dengan sistem monitoring dan evaluasi yang terintegrasi terutama dari tingkat kabupeten/kota samapi ke tingkat desa/kelurahan dimana masyarakat miskin berada akan lebih menjamin percepatan penurunan kemiskinan. Dalam hal ini, studi empiris yang dilakukan oleh Turkewitz (2001 dalam Mawardi dan Sumarto 2003) di beberapa negara menunjukkan bahwa: •
Makin efektif suatu pemerintahan, makin rendah tingkat kematian bayi;
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
67
•
Makin rendah tingkat korupsi di birokrasi pemerintahan, makin tinggi tingkat melek huruf orang dewasa;
•
Makin baik kondisi penegakan hukum suatu negara, makin rendah tingkat kematian bayi; dan
•
Makin sedikit regulasi yang diciptakan pemerintah, makin tinggi tingkat pendapatan per kapita.
Dengan kondisi yang kondusif tersebut, pemikiran ke depan untuk penyusunan peta jalan dalam implementasi penggunaan metode penghitungan kemiskinan serta penyempurnaan terhadap berbagai pendekatan pengukuran kemiskinan dapat dilakukan secara terus menerus sejalan dengan dinamika yang terjadi di masyarakat. Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas gambar 21 berikut menunjukkan peta jalan sederhana redefinisi kemiskinan berdasarkan hasil kajian ini:
Gambar 21. Peta Jalan Sederhana Implementasi Hasil Kajian Definisi Kemiskinan Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
68
BAB VII PENUTUP
7.1 SIMPULAN Sesuai dengan amanat perundangan dan desakan beberapa fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), perubahan metodologi perhitungan kemiskinan dilakukan agar data penduduk miskin dapat menjawab kondisi riil kemiskinan di masyarakat. Dalam perjalanan pembangunan di Indoensia, terutama terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan, terdapat tiga metode perhitungan kemiskinan moneter yang dapat digunakan dalam menghitung tingkat kemiskinan. Pertama, metode 1998, dimana penghitungan garis kemiskinan hanya menggunakan 52 (lima puluh dua) komoditas makanan yang dihitung dengan acuan nilai konsumsi 2.100 Kkal/Kapita/Hari. Kedua, metode baru yang sudah dilakukan penambahan terhadap jumlah basket pangan menjadi sebanyak 74 (tujuh puluh empat) komoditas makanan, yang kemudian dihitung dengan acuan nilai konsumsi 2.150 Kkal/Kapita/Hari. Terakhir, metode baru dengan penyempurnaan perhitungan Adult Equivalence Scale, yaitu disamping sudah dilakukan update terhadap jumlah basket pangan menjadi sebanyak 74 (tujuh puluh empat) komoditas, acuan nilai konsumsi yang digunakan adalah 2.500 Kkal/Adult/Hari, sehingga distribusi usia penduduk akan menjadi faktor penting yang menentukan tingkat kemiskinan. Kemiskinan merupakan persoalan multidimensi. Oleh karena itu, pendekatan moneter tidak cukup menggambarkan kondisi kemiskinan yang sesungguhnya. Dari hasil Kajian Definisi Kemiskinan, kemiskinan dengan pendekatan multidimensi yang dilakukan dengan konsep deprivasi akan mempertajam perhitungan kemiskinan sekaligus mempertajam strategi penanganannya. Perlu dicatat bahwa dalam konsep deprivasi, kemiskinan didefinisikan sebagai kegagalan untuk mencapai batas minimum kemampuan atau kebutuhan dasar, tidak sekedar diukur berdasarakan kebutuhan konsumsi. Maka, dalam kemiskinan multidimensi dilakukan perhitungan yang lebih komprehensif, yaitu banyaknya masyarakat yang terdeprivasi berdasarkan kategori miskin, hampir miskin, dan tidak miskin, yang mancakup paling tidak 9 (sembilan) Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
69
dimensi kebutuhan dasar yang diukur berdasarkan indikator yang telah ditentukan. Berdasarkan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pemerintah daerah bertanggungjawab terhadap pencapaian standar pelayanan minimal terkait pelayan dasar yang mencakup 6 (enam) urusan, yaitu pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat, serta urusan sosial. Hal ini sejalan dengan penghitungan berbagai dimensi kemiskinan multidimensi yang dihitung oleh BPS. Selain karena adanya desakan dari beberapa fraksi di DPR yang menghendaki adanya pembaharuan metodologi penghitungan kemiskinan, Kajian Definisi Kemiskinan ini dilakukan pada tahun anggaran 2014 yang merupakan tahun transisi pemerintahan dari Kabinet Indonesia Bersatu II era Presiden Soesilo Bambang Yodhoyono ke Kabinet Kerja era Presiden Joko Widodo. Oleh karena itu, beberapa catatan penting yang perlu digarisbawahi antara lain: 1. Penentuan target sasaran tingkat kemiskinan di dalam dokumen RPJMN 20152019. Pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan pada dua periode RPJMN secara signifikan. Namun demikian, target sasaran tingkat kemiskinan tidak tercapai, yaitu 8,2% pada RPJMN 2004‐2009 (realisasi 14, 5%) dan 9‐10,5 % pada RPJMN 2010‐2014 (realisasi 11,25 %). Tantangan penurunan angka kemiskinan menjadi lebih berat ketika Presiden Joko Widodo menetapkan bahwa target penurunan tingkat kemiskinan Kabinet Kerja di akhir periode RPJMN 2015‐2019 adalah 5‐6%. Oleh karena itu, selain berupaya melakukan penyempurnaan terhadap metodologi perhitungan kemsikinan, melalui Kajian Definisi Kemiskinan ini juga berhasil dilakukan berbagai pertemuan, FGD, dan rapat terbatas dengan BPS, para ahli kemiskinan, serta mempertimbangkan perhitungan proyeksi kemiskinan berdasarkan berbagai faktor yang mempengaruhi. Hasilnya disepakati bahwa penetapan target sasaran tingkat kemiskinan yang ditetapkan Presiden Joko Widodo sebesar 5‐6% dianggap terlalu optimis dan akan susah untuk dicapai, sehingga pada akhirnya dikoreksi menjadi 7‐8% yang dicantumkan di dalam dokumen Rancangan Teknokratik RPJMN 2015‐2019. Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
70
2. Strategi Baru Penanggulangan Kemiskinan Pendekatan “klastering” yang membagi program‐program penanggulangan menjadi 4 klaster (perlindungan sosial, pemberdayaan masyarakat, pengembangan UMKM, dan pelaksanaan program‐program pro‐rakyat), dan kemudian disempurnakan dengan adanya pendekatan Quick Wins, yaitu “keroyokan” secara lintas sektor pada daerah‐ daerah yang merupakan lokasi kantong kemiskinan selama dua periode RPJMN dari tahun 2004‐2014 tidak serta merta dapat diadopsi, apalagi dilanjutkan pada periode RPJMN 2015‐2019. Hal ini dikarenakan dinamika politik, ekonomi, dan sosial masyarakat serta tantangan yang dihadapi terus berubah dan semakin kompleks. Oleh karena itu, telah dilakukan upaya transformasi berbagai program penanggulangan kemiskinan menjadi 3 (tiga) strategi utama, yaitu: perlindungan sosial yang komprehensif, peningkatan akses dan kualitas pelayanan dasar, dan pengembangan penghidupan berkelanjutan. Keberhasilan pencapaian target sasaran kemiskinan sebagaimana disebutkan di atas sangat bergantung pada efektivitas pelaksanaan berbagai program yang dilaksanakan, serta keterlibatan berbagai pihak. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Banerjee dan Duflo (2011), bahwa “We are all part of the solution”. Metodologi perhitungan garis kemiskinan yang digunakan sebenarnya tidak secara langsung berkorelasi dengan 3 (tiga) strategi utama penanggulangan kemiskinan yang telah ditetapkan karena sifatnya yang umum. Meskipun demikian, metodologi baru menggunakan AES sebenarnya dapat membantu dalam hal pemetaan struktur kelompok usia produktif rumah tangga miskin di masing‐masing provinsi. Misalnya, pelaksanaan program Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan (P2B) yang difokuskan untuk peningkatan kapasitas ekonomi rumah tangga miskin, dan identifikasi berbagai kebutuhan terkait pelayanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu, diadopsinya beberapa komoditas makanan baru dan tambahan dari wilayah timur Indonesia juga akan memperkaya data untuk kepentingan agenda Presiden Joko Widodo terkait ketahanan pangan, dalam arti jenis komoditas makanan apa saja yang benar‐benar dibutuhkan masyarakat dan tercatat secara berkala di dalam survey‐ survey yang dilakukan BPS.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
71
3. Penerapan Metodologi Baru Perhitungan Garis Kemiskinan Berdasarakan AES Jika dilihat dari tingkat akurasi perhitungan batas kecukupan nilai kalori yang dibutuhkan, perhitungan metodologi baru dengan menggunakan Adult Equivalence Scale akan sangat bermanfaat dalam hal treatment atau pendekatan program penanggulangan kemiskinan berdasarkan karakteristik masing‐masing provinsi. Sebagai contoh, daerah dengan struktur penduduk usia tua lebih banyak, misalnya Daerah Istimewa Yogyakarta, akan lebih efekif jika yang dioptimalkan adalah program‐ program yang berkaitan dengan upaya perlindungan sosial, sementara daerah lain yang didominasi oleh penduduk usia muda akan lebih efektif jika yang dioptimalkan adalah program‐program terkait pendidikan dan pemberdayaan amsyarakat. Namun, dengan adanya pertimbangan politis, kesiapan struktur pemerintahan di masa transisi, dan kesiapan daerah yang mengalami peningkatan garis kemiskinan yang signifikan, penggunaan metodologi baru disepakati untuk tidak diterapkan terlebih dahulu sambil menunggu momentum yang paling tepat, termasuk rencana updating (pemutakhiran) basis data terpadu PPLS 2011 yang akan dilakukan pada tahun 2015. 4. Kemiskinan Multidimensi Kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks dan menyangkut berbagai aspek, tidak hanya ekonomi, tetapi juga non‐ekonomi. Oleh karena itu, dalam pengukurannya, kemiskinan juga akan dihitung lebih dari sekedar melalui pendekatan moneter. Saat ini, dengan menggunakan pendekatan deprivasi, mulai dikembangkan pengukuran kemiskinan multidimensi. Meskipun demikian, masih banyak hal yang perlu dikaji misalnya mengenai kriteria dan indikator yang tepat digunakan dan metode perhitungan atau pembobotan menjadi indkes tertentu yang akan dipakai. Dengan perkembangan kemiskinan multidimensi ini, diharapkan kebijakan penanggulangan kemiskinan pun akan menjadi lebih tepat dan menyasar pada akar permasalahan kemiskinan, bukan symptoms atau gejala‐gejalanya saja.
7.2 REKOMENDASI Dari kajian yang telah dilakukan, terdapat beberapa rekomendasi terkait sebagai berikut:
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
72
1. Meskipun penerapan metodologi baru dalam perhitungan garis kemiskinan menggunakan AES belum dapat diterapkan di tahun 2015, secara bertahap harus terus dilakukan penyempurnaan metodologi yang memungkinkan “pemotretan” yang lebih akurat terhadap penduduk miskin, sehingga program‐program yang diarahkan untuk menurunkan tingkat kemsikinan sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat dapat berjalan lebih efektif. Pola konsumsi dan distribusi usia penduduk merupakan faktor yang menentukan tingkat kemiskinan di dalam metodologi baru. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai pola konsumsi berdasarkan karakteristik wilayah dan persebaran penduduk; 2. Perhitungan kemiskinan moneter memang harus terus dilakukan dan diperbaiki terutama sebagai acuan perencanaan pembangunan jangka pendek dan menengah, namun tidak menjadi satu‐satunya acuan mengingat kemiskinan bersifat multidimensi. Oleh karena itu, dibutuhkan analisis lebih lanjut untuk mengetahui keterkaitan antardimensi. Dengan demikian, pengukuran kemiskinan multidimensi juga diharapkan menjadi pegangan secara lintas sektor dalam menetapkan indikator‐indikator output dan outcome pada proses perencanaan reguler di kementerian/lembaga; 3. Data yang digunakan dalam kemiskinan multidimensi sebaiknya bukan hanya berdasarkan data yang tersedia dalam Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional), melainkan juga data yang memang relevan dalam menggambarkan kemiskinan sesungguhnya, misalnya terkait dengan isu kesehatan, pendidikan, dan akses terhadap berbagai palayanan dasar yang lain.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
73
DAFTAR PUSTAKA Banerjee, A. dan Duflo, E. 2011. Poor Economics: A Radical Rethinking of the Way to Fight Global Poverty. New York: PublicAffairs. Bray, J.P. 2008. Consumer Behaviour Theory and Approach. Bournemouth University. Dapat diakses di http://eprints.bournemouth.ac.uk/10107/. Cobbinah, P. B., R. Black and R. Thwaites. 2013. “Dynamics of Poverty in Developing Countries: Review of Poverty Reduction Approaches”. Journal of Sustainable Development Vol. 6 (9): pp. 25‐35. Eriyanto. 2007. Teknik Sampling Analisis Opini Publik. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. Hulme, D. dan A. Shepherd. 2003. “Conceptualizing Chronic Poverty”. World Development, Vol. 31. Kuznets, S. 1955. “Economic Growth and Income Inequality” American Economic Review, Vol. 45: pp. 1‐28. Mawardi, Sulton dan Sumarto, S. 2003. Kebijakan Publik yang Memihak Orang Miskin (Fokus: ProPoor Budgeting). Lembaga Penelitian Smeru. Sen, Amartya. 1976. “Poverty, An Ordinal Approach to Measurement”, Econometrica, Vol. 44: (2), pp. 219‐231. Sen, Amartya. 1990. Development as Capability Expansion, in Keith Griffin and John Knight (Eds.), Human Development and the International Development Strategy for the 1990s. Macmillan: London. SESRIC. 2014. Poverty Report 2014. The Statistical, Economic and Social Research and Training Centre for Islamic Countries. Silver, Hilary. 1994. “Social Exclusion and Social Solidarity.” International Labour Review, Vol. 133 (5‐6): pp. 531‐78. Stiglitz, Joseph. 2013. The Price of Inequality: How Today's Divided Society Endangers Our Future. New York: W. W. Norton & Company. UNDP. 1997, 2003, 2010. Human Development Reports; Dapat diakses online di: http://hdr.undp.org/en. United Nations. 1998. Millennium Development Goal Indicators. Dapat diakses online di http://mdgs.un.org/unsd/mdg/Metadata.aspx?IndicatorId=0&SeriesId=584. World Bank. 2013. A Unified Approach to Measuring Poverty and Inequality. Washington DC. Gini, C. 1997. "Concentration and dependency ratios". English translation in Rivista di Politica. Economica, Vol. 87: Pp. 769–789.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
74
LAMPIRAN HASIL SIMULASI DAN ANALISIS Peta Persentase Penduduk Miskin Menurut Koridor Wilayah
Perhitungan tingkat kemiskinan per koridor menunjukkan tren yang berbeda.
Koridor (provinsi) yang mengalami kenaikan dibandingkan metode yang lama adalah koridor Kalimantan dan Papua.
Koridor (provinsi) yang mengalami penurunan dibandingkan metode yang lama adalah koridor Sumatera, Jawa, Bali‐NT, Sulawesi, dan Papua‐Maluku.
Hal ini dipengaruhi oleh struktur umur penduduk miskin dan perubahan pola konsumsi.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
75
KOMODITAS MAKANAN UNTUK MENGHITUNG GARIS KEMISKINAN (1)
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
76
KOMODITAS MAKANAN UNTUK MENGHITUNG GARIS KEMISKINAN (2)
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
77
PERUBAHAN PERSENTASE BERBAGAI INDIKATOR KEMISKINAN MULTIDIMENSI BERDASARKAN PERUBAHAN METODE Metode 1998
Indikator
M
Metode Baru
HM
TM
Total
M
HM
TM
Total
% ART 0‐17 tahun yang tidak memiliki akte 49.96 kelahiran dari kancapil umur <= 17 tahun
40.36
23.91
29.68
53.10
43.04
27.50
33.17
% Anak umur 3‐4 tahun yang tidak ikut PAUD
92.47
87.54
85.39
86.67
91.05
89.67
87.22
88.00
% ART 7‐15 tahun yang tidak/Belum Sekolah 10.15 (7‐15) tahun
6.69
3.60
4.94
13.03
7.10
3.83
5.67
% ART 7‐18 tahun yang tidak/Belum Sekolah 20.14 (7‐18) tahun
16.18
11.08
12.97
22.40
15.38
9.58
12.32
% Balita yang penolong (NonMedis‐NonMedis)
28.27
23.76
13.08
16.69
35.93
28.28
16.94
20.79
% Anak usia 3‐5 tahun yang tidak mendapat imunisasi lengkap ((BCG‐1, DPT‐3, polio‐4, 84.46 campak/morbili‐1, Hepatitis B‐1))
84.76
81.98
82.67
86.84
86.76
83.41
84.24
%Ruta yang tidak mampu kebutuhan protein 40gr
mencukupi
69.13
42.07
13.05
21.07
58.80
36.78
12.71
21.07
%Ruta yang tidak mampu kebutuhan protein 57gr
mencukupi
97.46
91.40
54.43
61.99
94.61
86.20
53.28
61.99
Kelahirannya
%Ruta yang jenis lantai terluas adalah tanah
20.70
17.49
7.19
9.43
20.70
17.49
7.19
9.43
%Ruta yang luas lantai per kapita kurang dari 30.69 8m2
21.01
9.97
12.96
30.69
21.01
9.97
12.96
%Ruta yang sumber air minum tidak 29.25 terlindung
22.48
12.92
15.36
29.25
22.48
12.92
15.36
%Ruta yang sumber air minumnya terlindung 22.28 tapi jaraknya <10 m dari fasbab
19.36
25.12
24.13
22.28
19.36
25.12
24.13
%Ruta yang yang tidak punya fasilitas buang 33.72 air besar
29.25
14.01
17.31
33.72
29.25
14.01
17.31
%Ruta yang jenis klosetnya bukan leher angsa atau empat pembuangan akhir tinja bukan 68.90 septic tank
61.01
37.09
42.35
68.90
61.01
37.09
42.35
%Ruta yang sumber penerangan utamanya 12.15 bukan listrik
7.60
3.45
4.66
12.15
7.60
3.45
4.66
%Ruta yang bahan bakar memasaknya 71.57 kayu/briket/arang
62.00
32.03
38.59
71.57
62.00
32.03
38.59
%Ruta yang tidak punya aset
57.41
45.68
22.83
28.25
57.41
45.68
22.83
28.25
92.30
87.93
70.63
74.43
87.90
82.72
66.09
70.60
% ruta yang tidak pernah mengakses internet
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014
78