1
ii
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
KATA PENGANTAR
Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 menunjukkan fakta bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan ke daerah dari tahun ke tahun terus meningkat. Alokasi dana dimaksud diharapkan dapat meningkatkan kinerja daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan termasuk penyediaan layanan publik yang memadai. Tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan tugasnya tersebut adalah bagaimana memanfaatkan sumber-sumber pendanaan yang tersedia untuk menghasilkan output/ pelayanan publik yang optimal. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. Anggaran Belanja Daerah yang tercantum dalam APBD mencerminkan potret pemerintah daerah dalam menentukan skala prioritas terkait program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. Penetapan prioritasprioritas tersebut beserta upaya pencapaiannya merupakan konsekuensi dari meningkatnya peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan demikian, daerah harus memastikan dana tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk program dan kegiatan yang memiliki nilai tambah besar bagi masyarakat. Dengan jumlah daerah yang telah mencapai 539 pemerintah daerah saat ini, maka informasi mengenai APBD secara nasional sangat diperlukan guna menunjang ketepatan pengambilan kebijakan di bidang hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Dalam konteks itulah perlu diperoleh gambaran tentang kondisi fiskal atau keuangan seluruh daerah berdasarkan data yang berasal dari APBD Tahun Anggaran 2014 dari seluruh pemerintah provinsi, Kata Pengantar
iii
kabupaten dan kota. Buku ini akan menyajikan berbagai rasio keuangan aspek pendapatan, belanja, surplus/defisit dan pembiayaan daerahnya yang dapat dilihat baik secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota), per provinsi, kabupaten dan kota per provinsi maupun berdasarkan wilayah (Sumatera, Jawa Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Maluku Papua). Kami mengharapkan agar buku Deskripsi dan Analisis APBD 2014 ini dapat bermanfaat bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan baik di pusat maupun di daerah sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Jakarta,
Juni 2014
Plt. Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah
Rukijo NIP 19670210 199310 1 001
iv
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
RINGKASAN EKSEKUTIF
• Secara agregat, rata-rata pajak yang bisa dipungut oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota hanya 2,1% dari PDRB non migas. Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio pajak tertinggi yaitu sebesar 9,4%. Hal ini tentunya didukung oleh posisi DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian, sehingga perkembangan ekonominya jauh lebih maju dan kemungkinan menggali pajak jauh lebih besar karena basis pajak yang ada di DKI Jakarta cukup banyak. Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah Provinsi Papua Barat yaitu sebesar 0,4%. • Mengingat bahwa kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk memungut pajak daerah bersifat terbatas (closed list) dan sumber penerimaan pajak daerah yang berlaku saat ini cenderung bias ke daerah yang tingkat urbanisasinya tinggi (urban-biased), seperti Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Kendaraan Bermotor, hal ini menyebabkan untuk daerah yang unsur kekotaannya tidak terlalu tinggi, potensi penerimaan pajaknya menjadi kecil. • Provinsi Kalimantan Timur mempunyai ruang fiskal tertinggi yaitu mencapai 61,7%. Tingginya ruang fiskal di Provinsi Kalimantan Timur tentunya didukung oleh penerimaan daerah dari Dana Bagi Hasil yang cukup besar yaitu mencapai 60,6% dari total Pendapatan Daerah. Meskipun Belanja Pegawai di Provinsi Kalimantan Timur mencapai 34,3% dari total pendapatan, namun masih menyisakan ruang fiskal yang besar sehingga porsi Belanja Modalnya pun mencapai 58,4% dari total pendapatannya. • Sementara itu, Provinsi Aceh memiliki ruang fiskal terendah yaitu 22,2%. Porsi Belanja Pegawai pemerintah daerah se-Provinsi Aceh sangat besar
Ringkasan Eksekutif
5
yaitu 42,5% dari total Pendapatan Daerah, sehingga ruang fiskal yang tersisa sangat kecil. Dengan demikian Provinsi Aceh harus memanfaatkan ruang fiskal yang ada dengan merencanakan Belanja Daerah yang tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya. • Dari hasil telaah pembandingan deviasi antara penetapan alokasi transfer oleh Pemerintah dengan penetapan dalam APBD, secara umum untuk alokasi Dana Perimbangan yang penyampaian informasinya ke publik dilakukan segera setelah pengesahan UU APBN oleh DPR RI dapat dimanfaatkan dengan baik oleh daerah dalam menyusun APBD. Adapun untuk DBH yang informasi alokasinya diumumkan lebih lambat dari DAU dan DAK (sekitar Desember hingga Januari) atau setelah APBD ditetapkan oleh daerah, nampak terjadi deviasi yang relatif tinggi antara penetapan alokasi dari Pusat dengan penetapan dalam APBD. • Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio Belanja Pegawai terhadap total Belanja Daerah adalah 42,78%. Rasio ini lebih rendah dari tahun anggaran sebelumnya yang mencapai rata-rata 44,7%. Penurunan rasio belanja pegawai secara konsisten dalam beberapa tahun terakhir, meskipun penurunannya relatif kecil namun menunjukkan upaya rasionalisasi terhadap struktur belanja daerah. • Terdapat 5 provinsi yang memiliki rasio Belanja Pegawai lebih dari 50 %, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Bengkulu, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit provinsiprovinsi tersebut hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk jenis-jenis belanja selain Belanja Pegawainya. Hal ini akan menyebabkan keterbatasan program dan kegiatan daerah di luar Belanja Pegawai yang bisa didanai, khususnya dalam mendukung pemenuhan layanan publik. • Sulawesi adalah wilayah yang memiliki rasio Belanja Pegawai tertinggi, yaitu sebesar 48,65% sedangkan wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah dengan angka sebesar 33,37%. Rasio Belanja Pegawai
6
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
per wilayah terhadap total Belanja Daerahnya masih di bawah 50,0%. Dengan demikian, wilayah Sulawesi mengalokasikan hampir setengah Belanja Daerahnya untuk membayar Belanja Pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi Belanja Daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/kegiatan non pegawai jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. • Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio jumlah guru terhadap total PNSD adalah 49,41%. Rasio ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang mencapai 47,6%. Peningkatan rasio jumlah guru yang diiringi dengan penurunan rasio belanja pegawai secara keseluruhan, sekali lagi menunjukkan bahwa daerah telah menjadi lebih rasional dalam alokasi belanja pegawainya dengan semakin menurunkan porsi jumlah PNS maupun besaran belanja untuk PNS yang bekerja di bidang administrasi. • Rata-rata rasio Belanja Modal terhadap total belanja secara agregat provinsi, kabupaten dan kota sebesar 24,81%. Tahun 2012, rata-rata porsi belanja modal menunjukkan angka yang sedikit lebih rendah yaitu sebesar 23,4%. Dengan demikian telah terjadi shifting dari penurunan porsi belanja pegawai kepada peningkatan belanja modal. Hal ini merupakan indikasi positif terhadap perbaikan kualitas struktur belanja daerah. Provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan angka sebesar 12,59% sedangkan rasio tertinggi terdapat pada Provinsi Kalimantan Timur, yaitu sebesar 44,08%. • Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata pengeluaran daerah untuk Belanja Bantuan Sosial adalah 1,05%. Meskipun relatif kecil, namun belanja bantuan sosial ini perlu dicermati karena mempunyai potensi untuk tumpang tindih dengan belanja yang seharusnya menjadi tanggung jawab SKPD. Selain itu, jenis belanja ini juga cukup rentan terhadap isu politik yang seringkali membuat dispute antara eksekutif dan legislative. Terdapat 9 provinsi yang angka rasionya melebihi angka ratarata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Daerah yang memiliki rasio terbesar secara agregat adalah Provinsi Kepulauan Riau, yaitu sebesar Ringkasan Eksekutif
7
3,71%, diikuti oleh DKI Jakarta, Papua. Papua Barat dan Aceh. Hal ini perlu dicermati mengingat Aceh yang mempunyai Ruang Fiskal terkecil di Indonesia, rasio Belanja Modal kedua terendah di Indonesia, namun mempunyai rasio bantuan sosial yang relatif tinggi dibandingkan daerah lainnya. • Data APBD menunjukkan bahwa adanya kecenderungan daerah untuk menganggarkan defisit dalam APBD-nya. Hal ini terlihat dari 491 kabupaten/kota dan 33 provinsi di Indonesia pada Tahun Anggaran (TA) 2013 sebanyak 457 daerah menganggarkan defisit dalam APBDnya, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 447 daerah yang menganggarkan defisit. Kecenderungan daerah menganggarkan defisit tersebut karena adanya SiLPA dalam APBD mereka, artinya sebenarnya secara umum daerah tidak sedang dalam kondisi defisit secara riil, tetapi mereka menganggarkan defisit karena untuk menyerap SiLPA tahun sebelumnya. Hal lain yang juga menarik untuk dicermati adalah bahwa pada umumnya daerah terbukti mengalami surplus pada saat realisasi. • Rata-rata rasio defisit secara nasional (agregat provinsi, kabupaten, dan kota) adalah 7,5% dengan kontribusi SiLPA untuk menutup defisit tersebut sekitar 91,3% sedangkan kontribusi penerimaan pinjaman dan obligasi daerah 5,9%. Provinsi Kalimantan Timur merupakan daerah dengan rasio defisit terbesar di mana faktor utama penyebab hal tersebut adalah untuk mengakomodasi SiLPA tahun sebelumnya yang jumlahnya cukup besar agar bisa digunakan dalam belanja publik. • Dalam APBD kabupaten, kota dan provinsi terdapat beberapa daerah yang besaran defisit yang dianggarkan tidak bisa ditutup dengan pembiayaan, sehingga defisit ditambah pembiayaan masih bernilai minus. Kabupaten Sarmi merupakan daerah dengan nilai Defisit APBD yang tidak ter-cover oleh pembiayaan terbesar yaitu sebesar Rp80 miliar. Hal ini harus menjadi perhatian Pemerintah Pusat sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan di bidang pengelolaan keuangan, karena fenomena di atas menunjukkan bahwa terdapat daerah-daerah yang 8
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
akan menganggarkan belanja tanpa adanya kepastian sumber dananya. Hal ini secara normatif tidak layak untuk dilakukan karena menimbulkan ketidakpastian dalam alokasi belanja publik. • Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah tertinggi ada di wilayah Kalimantan (15,62%), rata-rata nasional untuk rasio ini adalah sebesar 7,75%, semakin besar rasio menunjukkan semakin besar dana idle yang tidak dapat dimanfaatkan pada tahun 2012, sedangkan rasio terendah SiLPA terhadap belanja terjadi di wilayah Sulawesi (2,93%). • Rasio pinjaman terhadap pendapatan APBD secara rata-rata adalah sebesar 0,7%. Nilai tersebut masih jauh lebih kecil dibanding batas pinjaman yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/ PMK.07/2012, yaitu 6% dari total Pendapatan Daerah untuk masingmasing pemerintah daerah. Secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota tidak tampak daerah yang melampaui batas yang ditentukan, ini disebabkan pemerintah telah menaikkan batas ketentuan yaitu dari 3,5% di TA 2011 (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK07/2010 menjadi 5% di TA 2012 dan TA 2013). Rasio pinjaman tertinggi adalah Sulawesi Tenggara (4,3%). • Pergerakan dana pemda di perbankan pada bulan Desember merupakan titik terendah dalam tiap tahunnya dan kembali meningkat pada awal tahun berikutnya. Besaran dana pemda di perbankan Desember 2012 lebih besar dibanding dengan Desember 2011, hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan besaran SiLPA tahun berkenaan tahun 2012.
Ringkasan Eksekutif
9
Daftar Isi
KATA PENGANTAR...................................................................................iii RINGKASAN EKSEKUTIF............................................................................v Daftar Isi...............................................................................................x Daftar Tabel.......................................................................................xiii Daftar Grafik..................................................................................... xiv BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1 A. Latar Belakang...........................................................................1 B. Gambaran Umum APBD 2014....................................................2 1. Pendapatan Daerah..................................................................5 2. Belanja Daerah.........................................................................7 3. Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah...................................9 C. Trend APBD (2010 – 2014).......................................................11 BAB II ANALISIS PENDAPATAN DAERAH................................................. 21 A. Rasio Pajak (Tax Ratio)..............................................................24 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................25 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi ..........................26 3. Pemerintah Provinsi...............................................................28 4. Per Wilayah............................................................................29 B. Pajak per Kapita (Tax per Capita)..............................................29 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................30 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi............................31 3. Pemerintah Provinsi................................................................32 4. Per Wilayah............................................................................33 C. Ruang Fiskal (Fiscal Space).......................................................34 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................35 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...........................36 3. Pemerintah Provinsi................................................................38 x
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
4. Per Wilayah............................................................................40 D. Rasio Ketergantungan Daerah..................................................41 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................41 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...........................43 3. Pemerintah Provinsi................................................................44 4. Per Wilayah...........................................................................45 E. Deviasi Alokasi Transfer ke Daerah pada APBD.........................46 1. Dana Bagi Hasil (DBH)............................................................48 2. Dana Alokasi Umum (DAU)....................................................50 3. Dana Alokasi Khusus (DAK)....................................................51 BAB III ANALISIS BELANJA DAERAH...................................................... 54 A. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah .............56 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................57 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi............................59 3. Pemerintah Provinsi................................................................61 4. Per Wilayah............................................................................62 B. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah.................64 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...................................65 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi ...........................66 3. Pemerintah Provinsi ...............................................................67 4. Per Wilayah............................................................................68 C. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk......................69 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................70 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi............................71 3. Pemerintah Provinsi................................................................72 4. Per Wilayah............................................................................73 D. Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Daerah.....74 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................75 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi ..........................76 3. Pemerintah Provinsi................................................................77 4. Per Wilayah............................................................................78 BAB IV ANALISIS SURPLUS/DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH............ 80
Daftar Isi
xi
A. Defisit......................................................................................80 1. Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota...................................81 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...........................82 3. Pemerintah Provinsi................................................................83 4. Per Wilayah............................................................................84 5. Daerah dengan Defisit yang tidak dapat ditutup oleh pembiayaan...........................................................................85 B. Pembiayaan Daerah.................................................................88 a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran...........................................91 C. Penerimaan Pembiayaan yang berasal dari Pinjaman................95 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................96 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi............................97 3. Pemerintah Provinsi................................................................97 4. Per Wilayah............................................................................98 5. Daerah yang Melampaui Batas Maksimal Defisit yang Dibiayai Pinjaman...............................................................................99 D. Dana Idle............................................................................... 101 BAB V REALISASI BELANJA DAERAH APBD 2014 SAMPAI DENGAN BULAN MEI 2014................................................................................. 104 DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 110 UCAPAN TERIMA KASIH....................................................................... 111
xii
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Daftar Tabel
Tabel 1.1 Ringkasan APBD 2014 secara Nasional (Konsolidasi)......................2 Tabel 1.2 Pembiayaan Daerah APBD 2014 (Juta Rupiah)...............................5 Tabel 1.3 Rata-rata pertumbuhan (2010 – 2014) SiLPA Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota.....................................................19 Tabel 2.1
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DBH Tertinggi....................................................................................48
Tabel 2.2
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DBH Tertinggi....................................................................................49
Tabel 2.3 Daerah dengan Persentase Deviasi Alokasi DAU Negatif Tertinggi....................................................................................50 Tabel 2.4
Daftar Daerah Persentase Deviasi Positif Alokasi DAU Tertinggi.....51
Tabel 2.5
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DAK Tertinggi....................................................................................52
Tabel 2.6 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DAK Tertinggi....................................................................................53 Tabel 4.1
Daerah dengan Besaran Defisit yang tidak dapat ditutup oleh Pembiayaan................................................................................85
Tabel 4.2
Daerah yang Menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan.................86
Tabel 4.3
Daerah dengan % Pinjaman diatas Batas yang ditetapkan..........100
Daftar Tabel
xiii
Daftar Grafik
Grafik 1.1 Komposisi Pendapatan Daerah APBD 2014....................................4 Grafik 1.2 Komposisi Belanja Daerah APBD 2014...........................................4 Grafik 1.3 Rasio Pendapatan Daerah APBD 2014 Per Wilayah.........................6 Grafik 1.4 Rasio Belanja Daerah APBD 2014 Per Wilayah................................7 Grafik 1.5 Pembiayaan APBD 2014 Per Wilayah.............................................9 Grafik 1.6 Trend APBD TA 2010 – 2014.......................................................11 Grafik 1.7 Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2010 – 2014 ................12 Grafik 1.8 Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014) Pendapatan Daerah per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota..................................14 Grafik 1.9 Trend Belanja Daerah TA 2010 – 2014........................................15 Grafik 1.10 Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014) Belanja Daerah Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota ..................................17 Grafik 2.1 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah.......................................22 Grafik 2.2 Perkembangan Transfer ke Daerah..............................................23 Grafik 2.3 Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota......................26 Grafik 2.4 Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi .............27 Grafik 2.5 Rasio Pajak Pemerintah Provinsi...................................................28 Grafik 2.6 Rasio Pajak per Wilayah..............................................................29 Grafik 2.7 Rasio Pajak per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota......31 Grafik 2.8 Rasio Tax per Kapita Pemerintah Kabupaten dan kota se-Provinsi..................................................................................32 Grafik 2.9 Rasio Tax per Kapita Pemerintah Provinsi.....................................33 Grafik 2.10 Rasio Tax per Kapita Per Wilayah.................................................34
xiv
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 2.11 Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota....................36 Grafik 2.12 Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi ..........38 Grafik 2.13 Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi................................................38 Grafik 2.14 Ruang Fiskal Per Wilayah............................................................40 Grafik 2.15 Rasio Ketergantungan Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota......42 Grafik 2.16 Rasio KetergantunganPemerintahKabupatendan kota Se-Provinsi ................................................................................43 Grafik 2.17 Rasio Ketergantungan Pemerintah Provinsi..................................44 Grafik 2.18 Rasio Ketergantungan Per Wilayah..............................................45 Grafik 3.1 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota........................................58 Grafik 3.2 Rasio Jumlah Guru terhadap Total PNSD Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...................................................................59 Grafik 3.3 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi .................................................60 Grafik 3.4 Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi ..................................................................61 Grafik 3.5 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi......................................................................................62 Grafik 3.6 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah........63 Grafik 3.7 Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah...................64 Grafik 3.8 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...................................................................66 Grafik 3.9 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi .................................................67 Grafik 3.10 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi......................................................................................68 Grafik 3.11 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah..........69 Daftar Grafik
xv
Grafik 3.12 Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...........................................................................................70 Grafik 3.13 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi .................................................................................72 Grafik 3.14 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi ...................73 Grafik 3.15 Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah ...............................74 Grafik 3.16 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota.....................................................76 Grafik 3.17 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi ...............................77 Grafik 3.18 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi ..................................................................78 Grafik 3.19 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah per Wilayah ...............................................................................79 Grafik 4.1 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan, Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota..................................................................81 Grafik 4.2 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi ..................................................................82 Grafik 4.3 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi....83 Grafik 4.4 Rasio Defisit terhadap Pendapatan Per Wilayah............................84 Grafik 4.5 Penerimaan Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota...........................88 Grafik 4.6 Persentase Penerimaan Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaan................................................................................88 Grafik 4.7 Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota................90 Grafik 4.8 Persentase Pengeluaran Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaan................................................................................90 Grafik 4.9 Rasio SiLPA terhadap Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...........................................................................................92
xvi
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 4.10 Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota seProvinsi......................................................................................93 Grafik 4.11 Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi.............94 Grafik 4.12 Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah ...................................95 Grafik 4.13 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...................................................................96 Grafik 4.14 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi .................................................97 Grafik 4.15 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi...........98 Grafik 4.16 Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah ....................................99 Grafik 4.17 Dana Pemda di Perbankan per Bulan (Bulan Desember).............102 Grafik 4.18 Dana Pemda di Perbankan Agregat Kab/kota/Provinsi................103 Grafik 5.1 Perbandingan Realisasi APBD 2011, 2012, 2013 dan 2014 (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%)..............................106 Grafik 5.2 Realisasi Belanja Daerah (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) Bulan Mei 2014 (triliun rupiah) ................................................107 Grafik 5.3 Realisasi Belanja Daerah Secara Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota Per Provinsi Bulan Mei 2014 (%)........................................108
Daftar Grafik
xvii
xviii
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam rangka melaksanakan pelayanan publik di daerah, instrumen utama yang digunakan dalam kebijakan fiskal adalah melalui APBD. Pelaksanaan APBD dimaksud diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan di berbagai sektor. APBD yang direncanakan setiap tahun dengan mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada dasarnya menunjukkan sumber-sumber pendapatan daerah, berapa besar alokasi belanja untuk melaksanakan program/kegiatan, serta pembiayaan yang muncul apabila terjadi surplus atau defisit. Pendapatan daerah bersumber dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, dana transfer dari pemerintah pusat, serta dari lain-lain pendapatan daerah yang sah. Perwujudan pelayanan publik di daerah berkorelasi erat dengan kebijakan belanja daerah. Belanja daerah merupakan seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program/kegiatan yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan publik di daerah. Dalam pelaksanaan penganggaran dapat terjadi selisih antara pendapatan dan belanja daerah (surplus/defisit), dan untuk selanjutnya ditutup dengan kebijakan pembiayaan daerah. Apabila terjadi surplus, daerah harus menganggarkan untuk pengeluaran pembiayaan tertentu, misalnya untuk investasi, atau dapat juga dengan mengoptimalisasi dana tersebut guna mendanai belanja kegiatan yang telah direncanakan. Sebaliknya apabila terjadi defisit, daerah perlu mencari alternatif pembiayaan berupa pinjaman daerah,
Pendahuluan
1
penggunaan SiLPA, atau dapat pula melakukan penghematan anggaran dengan melakukan penyisiran kegiatan yang tidak perlu dilaksanakan atau ditunda pelaksanannya. Untuk melihat gambaran secara komprehensif atas anggaran daerah pada tahun 2014, diperlukan suatu telaah ringkas mengenai APBD 2014 secara agregatif, maupun terpisah antara provinsi dengan kabupaten/kota. Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kondisi fiskal atau keuangan seluruh daerah di Indonesia, berdasarkan data yang berasal dari APBD TA 2014 dari seluruh Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Analisis APBD dilakukan dari aspek pendapatan, belanja, surplus/defisit, dan pembiayaan. Dalam analisis ini juga digunakan beberapa data sekunder lainnya berupa data anggaran sebelum APBD 2014, realisasi APBD tahuntahun sebelumnya, hingga data pendukung lainnya yang digunakan untuk melakukan analisis time-series. Alat analisis utamanya adalah rasio keuangan yang dilakukan secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota), per provinsi, kabupaten dan kota dan berdasarkan wilayah (Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua).
B. Gambaran Umum APBD 2014 Gambaran umum APBD 2014 secara nasional (konsolidasi) dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini. Tabel 1.1 Ringkasan APBD 2014 secara Nasional (Konsolidasi) Uraian
Nasional (Juta Rupiah)
Pendapatan
759.476.113
PAD
180.347.447
Dana Perimbangan
482.221.122
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Belanja
2
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
96.907.544 817.674.081
Uraian
Nasional (Juta Rupiah)
Belanja Barang dan jasa
182.522.886
Belanja Modal
213.669.585
Belanja Pegawai
326.736.914
Belanja Lain-lain Surplus/defisit
94.744.696 (58.197.968)
Pembiayaan Netto
59.197.160
Penerimaan Pembiayaan
74.617.064
SiLPA TA sebelumnya
70.686.810
Pencairan dana cadangan
579.179
Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
65.621
Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah
2.192.461
Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman Pengeluaran Pembiayaan Pembentukan Dana Cadangan Penyertaan Modal (Investasi) Daerah Pembayaran Pokok Utang Pemberian Pinjaman Daerah Pembayaran Kegiatan Lanjutan Pengeluaran Perhitungan Pihak Ketiga
1.092.993 15.419.903 582.866 12.136.858 2.296.522 220.896 15.985 166.777
Sumber: APBD 2014 (data diolah)
Dari Tabel 1.1. di atas, komposisi Pendapatan Daerah dalam APBD 2014 terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Sementara itu, besarnya jumlah dana dan persentase dari masing-masing komposisi Pendapatan Daerah terhadap total dapat dilihat pada Grafik 1.1 di bawah ini. Dari Grafik 1.1 tersebut dapat dilihat bahwa Dana Perimbangan yang bersumber transfer dari pusat masih mendominasi sumber Pendapatan Daerah, yaitu mencapai sebesar Rp482,22 triliun (63,49%). Sementara itu PAD dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah masing-masing hanya mencapai sebesar Rp180,35 triliun (23,75%) dan sebesar Rp96,91 triliun (12,76%).
Pendahuluan
3
Grafik 1.1 Komposisi Pendapatan Daerah APBD 2014 (Dalam Juta Rupiah) 96.907.544 12,76%
180.347.447 23,75%
PAD Dana Perimbangan
482.221.122 63,49%
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
Sumber: APBD 2014 (data diolah)
Grafik 1.2 Komposisi Belanja Daerah APBD 2014 (Dalam Juta Rupiah)
131.995.827 15,44%
182.522.886 21,35%
Belanja Barang dan jasa 326.736.914 38,22%
diolah)
213.669.585 24,99%
Belanja Modal Belanja Pegawai Belanja Lain-lain
Grafik 1.2 Komposisi Belanja DaerahAPBD 2014 (Dalam Juta Rupiah) Sumber: APBD 2014 (data diolah)
4
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Sumber: APBD 2014
Grafik 1.2 menunjukkan komposisi Belanja Daerah secara nasional yang mencapai Rp817,67 triliun. Dari jumlah tersebut, porsi Belanja Pegawai masih mendominasi, yaitu mencapai sebesar Rp326,74 triliun (38,22%), sedangkan Belanja Modal, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Lainnya masing-masing mencapai sebesar Rp213,67 triliun (24,99%), sebesar Rp182,52 triliun (21,35%), dan sebesar Rp131,96 triliun (15,44%). Dari defisit APBD 2014 secara nasional yang mencapai Rp58,20 triliun, memerlukan Pembiayaan sebesar Rp59,20 triliun, yang terdiri dari Penerimaan Pembiayaan (SiLPA, Pinjaman dan lain-lain) sebesar Rp74,62 triliun dan Pengeluaran Pembiayaan sebesar Rp15,42 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.2. Tabel 1.2 Pembiayaan Daerah APBD 2014 (Juta Rupiah)
Pembiayaan
59.197.160
Penerimaan Pembiayaan
74.617.063
Pengeluaran Pembiayaan
(15.419.903)
Sumber: APBD 2014 (diolah)
Selanjutnya, rincian komposisi APBD Tahun 2014 untuk provinsi, kabupaten, dan kota dapat dikelompokkan sesuai dengan wilayah pulaunya masing-masing. Pengelompokan daerah berdasarkan pulau terdiri dari daerahdaerah di Pulau Jawa dan Bali, daerah-daerah di deretan pulau di timur Indonesia antara lain Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, daerah-daerah di pulau Sumatera, pulau Kalimantan, dan pulau Sulawesi.
1. Pendapatan Daerah Potret rasio Pendapatan Daerah berdasarkan data konsolidasi APBD Tahun 2014 pada kabupaten, kota, dan provinsi di beberapa wilayah secara agregat menunjukkan fakta sebagai berikut: Pendahuluan
5
Grafik 1.3 Rasio Pendapatan Daerah APBD 2014 Per Wilayah 80% 70% 60% Persentase
50% 40% 30% 20% 10% 0% PAD/Total Pendapatan
Dana Perimbangan/Total Pendapatan
Lain-lain Pend. Daerah yang sah/Total Pendapatan
Sumatera
15,66%
71,43%
12,91%
Jawa-Bali
37,36%
50,19%
12,45%
Kalimantan
18,83%
73,51%
7,66%
Sulawesi
14,14%
74,55%
11,31%
NT-Maluku-Papua
7,08%
73,14%
19,78%
Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah)
Dari Grafik 1.3 di atas, dapat dilihat bahwa daerah yang mempunyai rasio PAD dibandingkan dengan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah daerah-daerah di wilayah Jawa dan Bali, yaitu mencapai 37,36%. Sementara itu daerah-daerah yang mempunyai rasio terendah berada di wilayah pulau Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, yaitu hanya 7,08%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemandirian seluruh daerah yang berada di wilayah Jawa dan Bali relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Dalam kaitannya dengan rasio Dana Perimbangan apabila dibandingkan dengan total Pendapatan Daerah, dapat dilihat bahwa secara agregat daerahdaerah di wilayah pulau Jawa dan Bali hanya memiliki ketergantungan terhadap Dana Perimbangan paling rendah, yaitu 50,19%. Adapun wilayah yang memiliki tingkat ketergantungan tertinggi terhadap Dana Perimbangan Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah) adalah di wilayah Sulawesi yang mencapai 74,55% persen. Sementara itu
6
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
untuk rasio lain-lain Pendapatan Daerah yang sah terhadap total Pendapatan Daerah dapat disampaikan bahwa wilayah di pulau Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua masih yang tertinggi hingga mencapai 19,78%, sedangkan wilayah Sumatera memiliki rasio sebesar 12,91%. Untuk wilayah Kalimantan memiliki rasio yang paling rendah, yaitu sebesar 7,66%. Salah satu faktor penyebab dua wilayah yaitu pulau Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua serta pulau Sumatera memiliki rasio lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah yang relatif tinggi terutama adanya dana Otonomi Khusus di wilayah tersebut, yaitu di Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat dan Provinsi Aceh.
2. Belanja Daerah Potret rasio Belanja Daerah berdasarkan data konsolidasi APBD Tahun 2014 di kabupaten, kota, dan provinsi pada beberapa wilayah secara agregat menunjukkan fakta sebagai berikut: Grafik 1.4 Rasio Belanja Daerah APBD 2014 Per Wilayah 50%
Persentase
40% 30% 20% 10% 0%
Bel. Pegawai/Tot. Belanja
Bel. Modal/Tot. Belanja
Bel. Barang & Jasa/Tot. Belanja
Sumatera
41,06%
26,56%
22,73%
Jawa-Bali
41,10%
23,86%
21,97%
Kalimantan
32,29%
35,19%
22,94%
Sulawesi
47,52%
22,77%
21,39%
NT-Maluku-Papua
35,75%
25,60%
22,40%
Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah)
Pendahuluan
7
Dari Grafik 1.4. dapat dilihat bahwa Belanja Pegawai masih menempati porsi terbesar dalam Belanja Daerah APBD Tahun 2014, yang selanjutnya diikuti oleh Belanja Modal, serta Belanja Barang dan Jasa. Di wilayah Sulawesi, Belanja Pegawai mencapai 47,52%, atau terbesar apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, sedangkan porsi Belanja Pegawai di wilayah Kalimantan menempati posisi yang terendah, yaitu 32,29%. Sementara itu, apabila dilihat dari rasio jumlah pegawai terhadap total jumlah penduduk di wilayah Sulawesi dan wilayah Kalimantan secara berturut-turut adalah 1:83 dan 1:94. Hal ini berarti bahwa 1 (satu) orang PNSD di wilayah Sulawesi memberikan layanan publik kepada 83 orang penduduk. Sedangkan di wilayah Kalimantan 1 (satu) orang PNSD memberikan layanan publik kepada 94 orang penduduk. Sebagai perbandingan, rasio PNSD dan penduduk di wilayah Jawa dan Bali adalah 1:196. Hal ini dapat diartikan bahwa jumlah PNSD di wilayah Jawa masih sedikit karena total penduduknya sangat banyak, sehingga rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja juga besar, yaitu 41,10%. Berbagai pengeluaran kegiatan yang terangkum dalam akun Belanja Modal di wilayah Jawa dan Bali sangat kecil, yaitu hanya 23,86%. Hal ini dapat memunculkan 2 (dua) pendapat, yaitu kebutuhan infrastruktur di wilayah Jawa dan Bali relatif rendah sehingga setiap daerah di wilayah tersebut tidak perlu menganggarkan terlalu banyak Belanja Modal, atau atau memang APBD di semua daerah di wilayah Jawa dan Bali dirasakan cukup berat untuk diarahkan dalam pemberian pelayanan publik yang dicerminkan dari besarnya jumlah pegawai dan rasio Belanja Pegawai per Total Belanjanya yang juga besar. Untuk daerah-daerah di wilayah Kalimantan menunjukkan perkembangan pembangunan infrastruktur yang paling signifikan. Hal ini tercermin dari rasio Belanja Modalnya yang mencapai 35,19%, demikian pula rasio Belanja Barang dan Jasanya yang juga relatif tinggi yaitu 22,94%.
8
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
3. Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah Potret beberapa rasio yang terkait Pembiayaan Daerah berdasarkan data konsolidasi APBD Tahun 2014 di kabupaten, kota, dan provinsi pada beberapa wilayah secara agregat menunjukkan fakta sebagai berikut: Grafik 1.5 Pembiayaan APBD 2014 Per Wilayah
NT-Maluku-Papua
Sulawesi
Kalimantan
Jawa-Bali
Sumatera -25% Pinjaman/Pendapatan
-20% -15% -10% -5% 0% 5% Sumatera Jawa-Bali Kalimantan 0,29% 0,14% 0,16%
10% 15% 20% 25% Sulawesi NT-Maluku-Papua 0,89% 0,43%
SiLPA/Pendapatan
9,02%
8,85%
21,48%
3,78%
4,56%
Defisit/Pendapatan
-8,18%
-5,99%
-20,52%
-3,83%
-3,79%
Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah)
Besarnya defisit APBD Tahun 2014 yang paling tinggi terjadi di wilayah Kalimantan, yaitu mencapai 20,52%. Untuk menutup defisit tersebut, seluruh daerah di wilayah Kalimantan bisa menggunakan SiLPA tahun lalu dikarenakan persentase SiLPA sudah melampaui defisit tersebut. Namun demikian, bila dilihat dari rasio pinjaman daerah sekitar 0,16%, maka bisa ditengarai bahwa tidak seluruh daerah itu mempunyai SiLPA yang besar untuk menutup defisit anggarannya. Hal ini berarti bahwa bisa juga sebagian
Pendahuluan
9
daerah tersebut mengandalkan penerimaan pembiayaan dari pinjaman untuk menutup defisit anggaran daerahnya. Potret nilai agregat defisit anggaran yang secara langsung bisa ditutup dengan SiLPA tahun sebelumnya juga terlihat di wilayah Sumatera, wilayah Jawa dan Bali, dan wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Di wilayah Sulawesi terlihat sedikit berbeda, dimana secara agregat rasio defisitnya sebesar -3,83% akan tetapi SiLPA-nya hanya 3,78%, sehingga secara agregat pinjaman daerah di wilayah tersebut mencapai 0,89%. Hal ini ditengarai bahwa sebagian besar daerah memutuskan untuk melakukan pinjamam sebagai upaya antisipasi apabila proyeksi pendapatan daerahnya tidak tercapai. Di sisi yang lain sebagian daerah juga membuat kebijakan ekspansi pembangunan dengan mengandalkan sumber pembiayaan berupa pinjaman daerah. Melihat dari besarnya ketergantungan daerah atas dana Transfer ke Daerah serta besarnya resiko fiskal yang ditanggung oleh APBN, maka daerah seyogyanya juga harus memasukkan berbagai resiko fiskal yang terkait dalam proyeksi pendapatan maupun belanja daerah. Porsi Belanja Pegawai yang masih tinggi berdampak terhadap berkurangnya alternatif untuk melakukan efisiensi belanja daerah. Hal ini berarti daerah harus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan PADnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Upaya optimalisasi pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 lebih mengedepankan pada perluasan objek pajak, penambahan jenis pajak baru secara limitatif, serta optimalisasi tarif pajak yang akan dipungut berdasarkan diskresi masing-masing daerah. Perkembangan anggaran pajak daerah dan retribusi daerah setiap tahunnya menunjukkan trend peningkatan yang cukup besar. Apabila pada tahun 2010 total pajak daerah secara nasional hanya sebesar Rp47,68 triliun, maka sejak diberlakukannya UU tersebut seluruh pemerintah daerah pada tahun 2014 telah menganggarkan penerimaan dari pajak daerah sebesar Rp132,93 triliun atau meningkat sebesar 178,80 persen. Begitu juga dengan
10
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
retribusi daerah di mana pada tahun 2010 hanya sebesar Rp8,03 triliun lalu mengalami peningkatan terus setiap tahunnya hingga di tahun 2014 menjadi sebesar Rp13,21 triliun atau meningkat sebesar 64,51%.
C. Tren APBD (2010 – 2014) Tren APBD Tahun 2010-2014 yang telah dikonsolidasikan dapat dijelaskan sebagai berikut: Grafik 1.6 Trend APBD TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah) 1.000.000
Milyar Rupiah
800.000 600.000 400.000 200.000 0 (200.000) Pendapatan
2010
2011
2012
2013
2014
386.338
459.893
551.946
653.512
759.476
Belanja
426.857
495.274
592.660
707.890
817.674
Surplus/defisit
(40.519)
(35.381)
(40.714)
(54.378)
(58.198)
Pembiayaan Netto
40.791
36.119
41.120
54.814
59.197
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (diolah)
Dari Grafik 1.6 di atas dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 20102014, pendapatan daerah setiap tahunnya meningkat rata-rata sebesar 18,42%. Pendapatan Daerah di tahun 2014 menjadi 759,48 triliun, atau meningkat sebesar Rp105,97 triliun (16,21%) dari tahun sebelumnya Rp653,51 triliun. Dalam periode yang sama, trend anggaran belanja daerah
Pendahuluan
11
juga mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata peningkatan 17,66%. Apabila Belanja Daerah pada tahun 2013 sebesar Rp707,89 triliun, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi sebesar Rp817,67 triliun (15,51%). Dari Grafik 1.6 di atas dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 2010-2014, pendapatan daerah setiap tahunnya meningkat Selanjutnya, rata-rata sebesar trend 18,42%. defisit Pendapatan Daerah di tahun 2014 menjadi triliun, ataufluktuatif. meningkat sebesar yang dianggarkan daerah759,48 cenderung Rp105,97 triliun (16,21%) dari tahun2010-2011 sebelumnya Rp653,51 triliun. Dalam penurunan, periode yang sama,maka trend anggaran belanja Apabila dalam tahun mengalami setelah itudaerah juga hingga mengalamitahun peningkatan setiap terus tahunnyamengalami dengan rata-ratapeningkatan, peningkatan 17,66%. Daerah pada tahun 2013 2014 di Apabila manaBelanja defisit anggaran sebesar Rp707,89 triliun, maka pada tahun 2014 meningkat Trend menjadi sebesar Rp817,67 triliunpembiayaan (15,51%). tahun 2014 meningkat 7,02%. peningkatan
netto trend defisit yang dianggarkan cenderung fluktuatif. Apabila dalam tahun 2010-2011 mengalami jugaSelanjutnya, relatif sama polanya setiapdaerah tahun dengan trend defisit. Sementara itu penurunan, maka setelah itu hingga tahun 2014 terus mengalami peningkatan, dimana defisit anggaran tahun 2014 meningkat persentase pembiayaan netto pada tahun 2014 meningkat 8,00% dari tahun 7,02%. Trend peningkatan pembiayaan netto juga relatif sama polanya setiap tahun dengan trend defisit. Sementara itu sebelumnya. persentase pembiayaan netto pada tahun 2014 meningkat 8,00% dari tahun sebelumnya.
Grafik 1.7 Trend Komposisi Pendapatan Daerah TAGrafik 2010 1.7 – 2014 (dalam miliar rupiah) Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah) 500.000
Milyar Rupiah
400.000
300.000
200.000
100.000
0
2010
2011
2012
2013
2014
PAD
71.852
90.393
112.745
140.328
180.347
Dana Perimbangan
292.281
327.368
380.984
433.213
482.221
Lain-lain Pend. Daerah yang Sah
22.205
42.132
58.218
79.971
96.908
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah) Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Komposisi setiap jenis Pendapatan Daerah beserta trend-nya terlihat pada Grafik 1.7 diatas. Secara nasional porsi Dana Perimbangan masih dominan setiap tahunnya, akan tetapi laju peningkatannya lebih rendah apabila dibandingkan dengan
12
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
laju peningkatan PAD. Apabila PAD PAD seluruh daerah secara nasional di tahun 2010 mencapai Rp71,85 miliar, maka pada
Komposisi setiap jenis Pendapatan Daerah beserta trend-nya terlihat pada Grafik 1.7 di atas. Secara nasional porsi Dana Perimbangan masih dominan setiap tahunnya, akan tetapi laju peningkatannya lebih rendah apabila dibandingkan dengan laju peningkatan PAD. Apabila PAD PAD seluruh daerah secara nasional di tahun 2010 mencapai Rp71,85 miliar, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp180,35 miliar rupiah. Secara ratarata, peningkatan PAD tahun 2010 s.d. 2014 adalah 25,88%. Peningkatan terbesar terjadi dari tahun 2013 ke tahun 2014, yaitu meningkat 28,52%. Untuk Dana Perimbangan, secara nasional setiap tahunnya juga mengalami peningkatan. Apabila Dana Perimbangan tahun 2010 baru mencapai sebesar Rp292,28 triliun, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp482,22. Secara rata-rata, peningkatan Dana Perimbangan tahun 2010 s.d. 2014 adalah 25,88%. Peningkatan terbesar terjadi dari tahun 2013 ke tahun 2014, yaitu meningkat 11,31%. Selanjutnya, untuk Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah juga menunjukkan tren yang meningkat. Apabila secara nasional Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah tahun 2010 masih di kisaran Rp22,21 triliun, maka dalam kurun waktu 5 tahun hingga tahun 2014 terdapat peningkatan rata-rata per tahunnya sebesar 46,62%, sehingga pada tahun 2014 sudah mencapai Rp96,91 triliun. Hal ini berarti bahwa Lain-lain Pendapatan yang Sah tahun 2014 meningkat 21,18% dari tahun sebelumnya.
Pendahuluan
13
Selanjutnya, untuk Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah juga menunjukkan tren yang meningkat. Apabila secara nasional Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah tahun 2010 masih di kisaran Rp22,21triliun, maka dalam kurun waktu 5 tahun hingga tahun 2014 terdapat peningkatan rata-rata per tahunnya sebesar 46,62%, sehingga pada tahun 2014 sudah mencapai Rp96,91 triliun. Hal ini berarti bahwa Lain-lain Pendapatan yang Sah tahun 2014 meningkat 21,18% dari tahun sebelumnya.
Grafik 1.8 Grafik 1.8 Rata-rata Pertumbuhan (2010 – Pendapatan 2014) Daerah Pendapatan Daerah Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014) per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 30% PAD
Dana Perimbangan
25% 20% 15% 10%
0%
Bengkulu Papua Malut Sultra Kalteng Maluku Sumbar Babel Sumsel Aceh Riau Kep. Riau Kaltim Jambi Papua Barat Sulsel NTB DI Yogyakarta Sulbar Jawa Tengah NTT Jawa Timur Gorontalo Sulteng Sumut Bali Sulut Kalsel Lampung Kalbar Jawa Barat DKI Jakarta Banten
5%
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah) Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Berdasarkan data trend tahun 2010-2014, juga dapat dilihat gambaran Berdasarkan data trend tahun 2010-2014, juga dapat dilihat gambaranbeserta tingkat pertumbuhan total Pendapatan Daerah tingkat pertumbuhan total Pendapatan Daerah komponen utamanya, beserta komponen utamanya, yaitu PAD dan Dana Perimbangan. Secara agregat pendapatan seluruh daerah per provinsi dapat yaitu PAD dan Dana Perimbangan. Secara agregat pendapatan seluruh daerah per provinsi dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (22,98%), lalu diikuti oleh Provinsi Banten (19,08%) dan Provinsi Jawa Barat (16,45%). Sementara itu, rata-rata pertumbuhan Pendapatan Daerah yang terendah adalah di Provinsi Kalimantan Timur (9,03%), Provinsi Kalimantan Tengah (11,53%), dan Provinsi Maluku (11,98%). Apabila dilihat dari rata-rata pertumbuhan PAD tahun 2010-2014, Provinsi Banten merupakan provinsi yang rata-rata PADnya paling tinggi, yaitu mencapai 26,69%. Selanjutnya diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta yang mencapai 25,74%, dan Provinsi Jawa Barat yang mencapai 22,33%. Untuk daerah yang rata-rata pertumbuhan PADnya paling rendah adalah Provinsi
14
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (22,98%), lalu diikuti oleh Provinsi Banten (19,08%) dan Provinsi Jawa Barat (16,45%). Sementara itu, rata-rata pertumbuhan Pendapatan Daerah yang terendah adalah di Provinsi Kalimantan Timur (9,03%), Provinsi Kalimantan Tengah (11,53%), dan Provinsi Maluku (11,98%). Bengkulu
yang hanya mencapai 5,70%, Provinsi Papua 6,31%, dan Provinsi
Apabila dilihatUtara dari rata-rata pertumbuhan PAD 6,83%. tahun 2010-2014, Provinsi Banten merupakan provinsi yang rata-rata Maluku dengan capaian PADnya paling tinggi, yaitu mencapai26,69%. Selanjutnya diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta yang mencapai 25,74%, dan Provinsi
Di sisi lain, rata-rata pertumbuhan Dana Perimbangan tahun 2010-2014 cenderung lebih merata dan tidak berfluktuasi terlalu tajam, serta berada yang hanya mencapai 5,70%, Provinsi Papua 6,31%, dan Provinsi Maluku Utara dengan capaian 6,83%. dalam rentang 5,52% s.d. 14,99%. Daerah dengan peningkatan Dana Di sisi lain, rata-rata pertumbuhan Dana Perimbangan tahun 2010-2014 cenderung lebih merata dan tidak Perimbangan tertinggi adalah Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan daerah berfluktuasi terlalu tajam, serta berada dalam rentang 5,52% s.d. 14,99%. Daerah dengan peningkatan Dana Perimbangan dengan peningkatan Dana Perimbangan terendah adalah Provinsi Kalimantan tertinggi adalah Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan daerah dengan peningkatan Dana Perimbangan terendah adalah Provinsi Timur. Jawa Barat yang mencapai 22,33%. Untuk daerah yang rata-rata pertumbuhan PADnya paling rendah adalah Provinsi Bengkulu
Kalimantan Timur.
Grafik 1.9 Trend
1.9 – 2014 (dalam Belanja Daerah TAGrafik 2010 Trend Belanja Daerah TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)
miliar rupiah)
350.000 300.000
Milyar Rupiah
250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 0
2010
2011
2012
2013
2014
Belanja Pegawai
198.562
229.081
261.358
296.818
326.737
Belanja Barang dan jasa
82.007
104.116
122.422
148.171
182.523
Belanja Modal
96.179
113.523
137.525
175.808
213.670
Belanja Lain-lain
50.110
48.554
71.355
87.093
94.745
Sumber: Data APBD Konsolidasi Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
2010 - 2014 (Diolah)
Berdasarkan Grafik 1.9 maka dapat dilihat porsi tiap jenis Belanja Daerah setiap tahun dan trend kenaikan/penurunannya antar tahun. Apabila dicermati Belanja Pegawai (langsung dan tidak langsung) secara nasional cenderung Pendahuluan
15
terus meningkat dari tahun 2010 hingga tahun 2014. Total Belanja Pegawai secara nasional tahun 2010 sebesar Rp198,56 miliar, meningkat menjadi Rp326,74 miliar di tahun 2014, dengan rata-rata peningkatan Belanja Pegawai mencapai 13,28%. Namun apabila dilihat dari persentasenya, terdapat penurunan jumlah belanja pegawai sejak tahun 2011 hingga tahun 2014, secara berturut-turut dari yaitu 15,37%, 14,09%, 13,57%, dan 10,08%. Sementara itu, besarnya Belanja Barang dan Jasa juga terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jika pada tahun 2010 total Belanja Barang dan Jasa secara nasional di kisaran Rp82,01 miliar, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp182,52 miliar rupiah. Peningkatan Belanja Barang dan Jasa secara rata-rata dari tahun 2010 hingga 2014 adalah sebesar 22,19%. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, maka peningkatan Belanja Barang dan Jasa secara agregat provinsi, kabupaten/kota cenderung lebih fluktuatif. Jika pada tahun 2011 meningkat 26,96% dari tahun sebelumnya, namun pada tahun 2012 menurun 17,58%, dan meningkat kembali pada tahun 2013 sebesar 21,03%. Pada tahun 2014, persentase peningkatan porsi Belanja Barang dan Jasa juga meningkat 23,18%, yang berarti berada di atas rata-rata peningkatan dalam 5 tahun terakhir sebesar 22,19%. Hal yang sama juga terjadi pada pos Belanja Modal. Dapat kita lihat, dari trend Belanja Modal tahun 2010 hingga 2014. Jika Belanja Modal pada pada tahun 2010 mencapai Rp96,18 miliar, maka pada tahun 2014 sudah mencapai Rp213,67 miliar, yang berarti secara rata-rata mengalami peningkatan 22,14%. Namun demikian, apabila dilihat dari persentasenya, peningkatan Belanja Modal lebih fluktuatif. Jika total Belanja Modal di tahun 2011 meningkat 18,03%, dan meningkat lagi tahun 2013 sebesar 27,84%, namun pada tahun 2014 mengalami penurunan sebesar 21,54%. Dalam periode yang sama, Belanja Lain-Lain juga cenderung fluktuatif. Pada tahun 2010 Belanja Lain-Lain secara total mencapai Rp50,11 miliar, dan
16
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
mengalami penurunan menjadi Rp48,55 miliar di tahun 2011. Selanjutnya pada tahun 2012, 2013, dan 2014 mengalami kenaikan sehingga masingmasing menjadi Rp71,36 miliar, Rp87,09 miliar, dan Rp94,75 miliar. Secara rata-rata peningkatan total Belanja Barang dan Jasa pada tahun 2010 hingga 2014 adalah sebesar 18,67%. Grafik 1.10 Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014) Belanja Daerah Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 35% Belanja Pegawai
Belanja Barang dan jasa
Belanja Modal
30% 25% 20% 15% 10%
0%
Kaltim Kalteng Babel Sumbar Maluku Bengkulu Malut Sultra Sulut Aceh Papua Kep. Riau NTT Gorontalo NTB Kalbar Kalsel Sulteng Sulsel Sumut Sulbar Papua Barat Jambi Riau Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Bali Sumsel Lampung Banten DKI Jakarta
5%
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah) Berdasarkan Grafik 1.7 dapat dilihat mengenai gambaran rata-rata tingkat pertumbuhan total Belanja Daerah beserta
komponen utamanya yaitu Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Modal dari tahun 2010 – 2014. Secara
Berdasarkan Grafik 1.7 dapat dilihat mengenai gambaran rata-rata tingkat pertumbuhan total Belanja Daerah beserta komponen utamanya yaitu Belanja Provinsi Banten (19,14%) dan Provinsi Lampung (16,20%). Sementara itu rata-rata pertumbuhan belanja daerah yang terendah Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Modal dari tahun 2010 terdapat di Provinsi Kalimantan Timur (8,77%), Provinsi Kalimantan Tengah (10,67%), dan Provinsi Bangka Belitung (10,77%). – 2014. Secara agregat, rata-rata pertumbuhan total belanja daerah yang Apabila dilihat berdasarkan rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai per tahunnya, maka secara berurutan yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (21,50%), lalu diikuti oleh Provinsi tertinggi adalah Provinsi Maluku Utara (13,16%), lalu diikuti oleh Provinsi Maluku (12,94%), dan Provinsi Sulawesi Tengah Banten (19,14%) dan Provinsi Lampung (16,20%). Sementara itu rata-rata (12,91%). Sementara itu rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai yang terendah secara berurutan terdapat di Provinsi pertumbuhan daerah yang terendah terdapat Provinsi Kalimantan Kalimantan Timur (6,87%),belanja Provinsi Kepulauan Riau (9,08%), dan Provinsi Sumatera Selatandi (10,07%). agregat, rata-rata pertumbuhan total belanja daerah yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (21,50%), lalu diikuti oleh
Untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang tertinggi terdapat di Provinsi Banten (24,48%), Provinsi Bali (23,59%), dan Provinsi Lampung (21,63%), sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang terendah terdapat di Provinsi Maluku (11,96%), Provinsi Kalimantan Timur (12,45%), dan Provinsi Sulawesi Tenggara
Pendahuluan
17
(13,42%). Secara berurutan rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (29,64%), lalu diikuti oleh Provinsi DI Yogyakarta (25,97%), dan Provinsi Banten (25,07%). Sementara itu, rata-rata pertumbuhan Belanja
Timur (8,77%), Provinsi Kalimantan Tengah (10,67%), dan Provinsi Bangka Belitung (10,77%). Apabila dilihat berdasarkan rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai per tahunnya, maka secara berurutan yang tertinggi adalah Provinsi Maluku Utara (13,16%), lalu diikuti oleh Provinsi Maluku (12,94%), dan Provinsi Sulawesi Tengah (12,91%). Sementara itu rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai yang terendah secara berurutan terdapat di Provinsi Kalimantan Timur (6,87%), Provinsi Kepulauan Riau (9,08%), dan Provinsi Sumatera Selatan (10,07%). Untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang tertinggi terdapat di Provinsi Banten (24,48%), Provinsi Bali (23,59%), dan Provinsi Lampung (21,63%), sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang terendah terdapat di Provinsi Maluku (11,96%), Provinsi Kalimantan Timur (12,45%), dan Provinsi Sulawesi Tenggara (13,42%). Secara berurutan rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (29,64%), lalu diikuti oleh Provinsi DI Yogyakarta (25,97%), dan Provinsi Banten (25,07%). Sementara itu, ratarata pertumbuhan Belanja Modal yang terendah terdapat di Provinsi Bangka Belitung (5,39%), Provinsi Kalimantan Timur (7,55%), dan Provinsi Aceh (7,80%). Khusus untuk belanja modal di Provinsi Aceh relatif terus menurun mengingat pembangunan infrastruktur sejak terjadinya tsunami di Provinsi Aceh lebih didominasi dari bantuan hibah yang masuk pada kelompok Lainlain Pendapatan Daerah yang sah.
18
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Tabel 1.3 Rata-rata pertumbuhan (2010 – 2014) SiLPA Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota No
Se-Provinsi
SiLPA (%)
No
Se-Provinsi
SiLPA (%)
1
Prov. Bangka Belitung
-20,47%
18
Prov. Sulawesi Tengah
5,56%
2
Prov. Sumatera Barat
-20,38%
19
Prov. Jawa Timur
5,68%
3
Prov. Lampung
-18,65%
20
Prov. Bengkulu
8,20%
4
Prov. Nusa Tenggara Timur
-15,74%
21
Prov. Sulawesi Utara
9,91%
5
Prov. Sulawesi Tenggara
-15,48%
22
Prov. Maluku Utara
10,57%
6
Prov. Papua
-9,13%
23
Prov. Kalimantan Timur
10,66%
7
Prov. Aceh
-9,09%
24
Prov. Jawa Tengah
11,68%
8
Prov. Sumatera Utara
-7,34%
25
Prov. Kalimantan Selatan
12,61%
9
Prov. Kepulauan Riau
-5,62%
26
Prov. Sumatera Selatan
13,91%
10
Prov. Sulawesi Selatan
-4,53%
27
Prov. Jambi
14,53%
11
Prov. Nusa Tenggara Barat
-4,37%
28
Prov. Maluku
15,35%
12
Prov. Jawa Barat
-3,54%
29
Prov. Bali
15,88%
13
Prov. Kalimantan Tengah
-0,13%
30
Prov. Banten
21,00%
14
Prov. DI Yogyakarta
1,80%
31
Prov. Riau
22,78%
15
Prov. Papua Barat
1,93%
32
Prov. DKI Jakarta
28,99%
16
Prov. Gorontalo
3,29%
33
Prov. Sulawesi Barat
41,73%
17
Prov. Kalimantan Barat
5,37%
34
Prov. Kalimantan Utara
n/a
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Di sisi Pembiayaan Daerah, bisa dilihat gambaran mengenai rata-rata pertumbuhan SiLPA Daerah agregat provinsi, kabupaten dan kota dalam kurun waktu 2010-2014. Rata-rata pertumbuhan SiLPA yang terendah terdapat di Provinsi Bangka Belitung yaitu (-20,47%), yang diikuti oleh Provinsi Sumatera Barat (-20,38%), dan Provinsi Lampung (-18,65%). Kecenderungan pertumbuhan SiLPA yang negatif setiap tahunnya bisa diartikan bahwa dalam proses perencanaan anggaran secara keseluruhan, Pemerintah Daerah di provinsi tersebut lebih mengedepankan prinsip kehatiPendahuluan
19
hatian dalam melakukan estimasi terhadap sumber pendanaan yang akan diterima pada saat anggaran tahun berjalan atau mengindikasikan daerah tersebut sudah semakin mengoptimalkan pos SiLPAnya dalam anggaran. Sementara itu, daerah dengan rata-rata pertumbuhan SiLPA tertinggi adalah Provinsi Sulawesi Barat (41,73%), Provinsi DKI Jakarta (28,99%), dan Provinsi Riau (22,78%). Kecenderungan ini bisa diartikan bahwa pemerintah daerah di provinsi tersebut lebih optimis terhadap estimasi dana yang akan diterima pada tahun anggaran berjalan, namun tidak berani mengalokasikannya dalam jenis belanja untuk mendanai kegiatan layanan publik di dalam APBD-nya. Di sisi lain, pinjaman daerah belum mempunyai peran yang cukup kuat dalam pembiayaan daerah. Hal ini disebabkan karena SiLPA di daerah relatif masih cukup tinggi, sehingga daerah cenderung akan menutup defisit dari SiLPA, yang notabene merupakan dana dari internal yang bersifat jangka pendek. Selain itu, masih kompleksnya pengajuan dan administrasi pinjaman daerah juga menjadi salah satu faktor belum berkembangnya pinjaman daerah dalam mendanai APBD.
20
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
BAB II ANALISIS PENDAPATAN DAERAH
Desentralisasi fiskal di Indonesia pada dasarnya menekankan pada expenditure assignment, yang ditandai dengan pembagian urusan pada berbagai tingkat pemerintahan. Pemerintah daerah memiliki 31 urusan yang terdiri dari urusan wajib dan pilihan. Dalam mendanai pelaksanaan urusan tersebut, terdapat dua sumber pendanaan utama, yaitu Pendapatan Asli Daerah dan Transfer ke Daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain PAD. Perkembangan PAD dari sebelum pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2001 hingga tahun 2014 dapat dilihat pada grafik 2.1. Jika pada tahun pertama pelaksanaan desentralisasi fiskal PAD meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi Rp15,2 triliun dari sebelumnya Rp5,5 triliun, maka pada tahun 2014 sudah mencapai Rp180,3 triliun, yang berarti meningkat hampir 12 kali lipat. Dari keempat komponen PAD tersebut, peran Pajak Daerah sangat signifikan, terlihat dari total Pajak Daerah tahun 2014 untuk seluruh pemerintah daerah mencapai sebesar Rp132,9 triliun, atau 73,7% dari total PAD. Peningkatan PAD ini didorong antara lain oleh adanya kebijakan penguatan kewenangan perpajakan daerah, pertumbuhan ekonomi, upaya penggalian PAD oleh daerah, dan jumlah daerah.
Analisa Pendapatan Daerah
21
Pajak Daerah tahun 2014 untuk seluruh pemerintah daerah mencapai sebesar Rp132,9 triliun, atau 73,7% dari total PAD. Peningkatan PAD ini didorong antara lain oleh adanya kebijakan penguatan kewenangan perpajakan daerah, pertumbuhan ekonomi, upaya penggalian PAD oleh daerah, dan jumlah daerah.
Sebelum Desentralisasi Fiskal
UU 34/2000
UU 28/2009
131,8
140,3
109,2
2014
2013
2012
2011
2010
67,6
2009
2004
64,7
2008
2003
38,1
52,2
2007
26,7
2006
26
44,7
2005
21,5 2002
5,5
15,2 2001
81,2
7,1
Sumber: Sumber: DJPK, DJPK, (diolah)
180,3
Desentralisasi Fiskal
2000
200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
1999/2000
Rp Triliun
Grafik 2.1 Grafik 2.1 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Perkembangan Pendapatan Asli Daerah
(diolah)
Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, penguatan perpajakan daerah dilakukan, antara lain melalui pemberian diskresi penetapan tarif dan pendaerahan beberapa jenis pajak baru seperti Pajak Rokok, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan – Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2). Outcome dari perubahan kebijakan penguatan perpajakan daerah tersebut terlihat dari peningkatan PAD mulai tahun 2010 sampai dengan 2014 yang mencapai 22,1% secara rata-rata. Sebagai konsekuensi logis dari penyerahan kewenangan/urusan dan sesuai dengan prinsip money follows function, pemerintah pusat setiap tahunnya mengalokasikan dana Transfer ke Daerah kepada pemerintah daerah. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN, jumlah dana yang ditransfer ke daerah selalu meningkat setiap tahunnya, terakhir pada tahun 2014 dialokasikan sebesar Rp592,5 triliun. Dana Transfer ke Daerah dalam APBD diklasifikasikan ke dalam Dana Perimbangan untuk Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), serta Lain-Lain Pendapatan yang Sah untuk Dana Otonomi Khusus, Dana
22
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Sebagai konsekuensi logis dari penyerahan kewenangan/urusan dan sesuai dengan prinsip money follows function, pemerintah pusat setiap tahunnya mengalokasikan dana Transfer ke Daerah kepada pemerintah daerah. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN, jumlah dana yang ditransfer ke daerah selalu meningkat setiap tahunnya, terakhir pada tahun 2014 dialokasikan sebesar Rp592,5 triliun. Dana Transfer ke Daerah dalam APBD diklasifikasikan kedalam Dana Perimbangan untuk Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), serta Lain-Lain
Keistimewaan, dan Dana Penyesuaian. Perkembangan Transfer ke Daerah dari Pendapatan yang Sah untuk Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan, dan Dana Penyesuaian. Perkembangan Transfer ke sebelum pelaksanaan desentralisasi sampai dengan tahun 2014 dapat dilihat Daerah dari sebelum pelaksanaan desentralisasi sampai dengan tahun 2014 dapat dilihat pada grafik 2.2 di bawah ini. pada grafik 2.2 di bawah ini. Grafik 2.2 Grafik 2.2 Perkembangan Transfer ke Daerah Perkembangan Transfer ke Daerah Desentralisasi Fiskal Sebelum Desentralisasi Fiskal
700
292,4 308,6
344,7
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
98,5 116,9
2006
33,9 2000
0
82,4 22,9 1999/2000
100
226,2
253,3
130 149,58
2005
200
2004
300
2003
400
478,8 411,3
2002
500
592,5 529,4
2001
Rp triliun
600
Sumber: DJPK,DJPK, (diolah) (diolah) Sumber:
Jika dilihat dari proporsi antara besaran PAD dan Transfer ke Daerah, maka dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah
dilihat dari antarapusat, besaran Transfer ke potensi Daerah, maka relatif Jika masih tergantung kepadaproporsi dana dari pemerintah kecuali PAD beberapadan daerah yang memiliki PAD yang besar seperti DKIdikatakan Jakarta. Data APBD Tahun 2014 menunjukkan rata-rata secara agregat komposisi transfer dalamkepada pendapatan dapat bahwa pemerintah daerah relatif masih dana tergantung daerah mencapai 81,6%. Fenomena ini perlu dikaji, karena jika dilihat berdasarkan data yang ada, potensi ekonomi potensi yang dimiliki dana dari pemerintah pusat, kecuali beberapa daerah yang memiliki PAD yang besar seperti DKI Jakarta. Data APBD Tahun 2014 menunjukkan rata-rata secara agregat komposisi dana transfer dalam pendapatan daerah mencapai 81,6%. Fenomena ini perlu dikaji, karena jika dilihat berdasarkan data yang ada, potensi ekonomi yang dimiliki daerah untuk mengembangkan PAD masih cukup besar, namun potensi-potensi tersebut belum dapat dimanfaatkan dengan baik. Dalam tulisan ini akan dicoba untuk memberikan gambaran kondisi pendapatan daerah yang tercermin dalam APBD. Beberapa indikator yang akan digunakan dalam analisis ini yaitu rasio pajak daerah, rasio pajak per kapita, rasio ruang fiskal daerah, dan rasio ketergantungan daerah. Setiap
Analisa Pendapatan Daerah
23
perhitungan rasio akan dibagi ke dalam 5 jenis, yaitu perhitungan rasio secara nasional (agregat pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota), rasio seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam satu provinsi, rasio pemerintah provinsi, dan rasio per wilayah (pembagian 5 wilayah yaitu Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali, Sulawesi, serta dan Nusa Tenggara, Maluku, Papua). Untuk rasio pajak terhadap PDRB, mengingat terdapat keterbatasan data untuk Provinsi Kalimantan Utara maka penghitungan masih digabungkan dengan provinsi induknya yaitu Provinsi Kalimantan Timur. Selanjutnya, pada bagian terakhir analisis ini, juga akan dibahas mengenai deviasi antara besaran Dana Perimbangan (DBH, DAU, dan DAK) yang dicantumkan dalam APBD dengan besaran alokasi Dana Perimbangan sebagaimana ditetapkan oleh Kementerian Keuangan untuk melihat sejauh mana informasi transfer ke daerah yang disampaikan oleh pemerintah pusat diakomodir dalam APBD.
A. Rasio Pajak (Tax Ratio) Kebijakan pajak daerah yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menerapkan closed list system untuk jenis pajak daerah yang dapat dikelola oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dan kota. Pemerintah provinsi diberi kewenangan untuk memungut 5 jenis pajak dan pemerintah kabupaten dan kota diberi kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak. Salah satu kebijakan baru dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah adanya PBB-P2 dan BPHTB dari pusat ke daerah. Dengan adanya pengalihan kewenangan pemungutan kedua pajak tersebut kepada daerah, diharapkan akan menambah peluang bagi daerah untuk melakukan pemungutan secara lebih optimal. Rasio pajak (tax ratio) merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara dalam satu tahun. Di tingkat daerah, rasio pajak merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak daerah dengan PDRB. Rasio
24
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
pajak dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak, mengukur kinerja perpajakan, dan melihat potensi pajak yang dimiliki. PDRB sangat erat kaitannya dengan pajak daerah karena dapat menggambarkan kegiatan ekonomi masyarakat. Jika pertumbuhan ekonomi daerah baik tentunya akan menjadi potensi penerimaan pajak di wilayah tersebut. PDRB yang akan digunakan dalam analisis ini adalah PDRB atas dasar harga berlaku yang merupakan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun. Nilai PDRB ini pada umumnya digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi yang terjadi di suatu wilayah. Perhitungan rasio pajak di berbagai wilayah di Indonesia akan memberikan gambaran hubungan antara penerimaan pajak daerah di wilayah tersebut dengan PDRB-nya, menilai kondisi suatu daerah, dan membandingkannya dengan daerah lain.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 2.3 menunjukkan rasio pajak secara agregat provinsi, kabupaten dan kota pada 33 provinsi seluruh Indonesia. Secara agregat, rata-rata pajak yang bisa dipungut oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota hanya 1,9% dari PDRB non migas. Provinsi Bali memiliki rasio pajak tertinggi, yaitu sebesar 5,3%. Pencapaian tersebut terutama karena didukung oleh posisi Bali sebagai daerah tujuan wisata, sehingga memiliki basis pajak yang cukup besar terutama yang terkait dengan hotel, restoran dan sarana hiburan lainnya. Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah Provinsi Riau dan Provinsi Papua Barat, yaitu masing-masing hanya 0,5%. Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk memungut pajak daerah memang terbatas (closed list). Sumber penerimaan pajak daerah yang
Analisa Pendapatan Daerah
25
posisi Bali sebagai daerah tujuan wisata, sehingga memiliki basis pajak yang cukup besar terutama yang terkait dengan hotel, restoran dan sarana hiburan lainnya. Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah Provinsi Riau dan Provinsi Papua Barat, yaitu masing-masing hanya 0,5%. Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk memungut pajak daerah memang terbatas (closed list). Sumber
berlaku pajak saatdaerah ini yang cenderung bias ke daerah yang urbanisasinya tinggi penerimaan berlaku saat ini cenderung bias ke daerah yangtingkat tingkat urbanisasinya tinggi (urban-biased), (urban-biased), seperti Pajak Hotel, Pajak seperti Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Kendaraan Bermotor.
Restoran, dan Pajak Kendaraan
Bermotor. Grafik 2.3 Grafik 2.3 Rasio Pajak Agregat Provinsi,Kabupaten, Kabupaten, dan Kota dan Kota Rasio Pajak Agregat Provinsi,
*
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah), (*) termasuk Provinsi Kalimantan Utara
(*) termasuk Provinsi Kalimantan Utara
Berdasarkan data rasio pajak di seluruh provinsi, diperoleh gambaran bahwa rata-rata rasio pajak daerah secara nasional adalah 1,9%. Provinsi yang memiliki rasio pajak diatas rata-rata nasional sebanyak 12 provinsi sebagaimana terlihat pada grafik diatas.
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi Grafik 2.4 memperlihatkan rasio pajak per pemerintah kabupaten dan kota untuk masing-masing wilayah provinsi. Rata-rata pajak yang bisa dipungut oleh pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia sebesar 0,53% dari PDRB non migasnya. Rasio ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 0,37%. Hal ini menunjukkan bahwa upaya perluasan objek
26
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Berdasarkan data rasio pajak di seluruh provinsi, diperoleh gambaran bahwa rata-rata rasio pajak daerah secara
pajak dan pengalihan beberapa jenis pajak ke daerah yang diatur dalam UU nasional adalah1,9%. Provinsi yang memiliki rasio pajak diatas rata-rata nasional sebanyak 12 provinsi sebagaimana terlihat 28 Tahun 2009 telah memberikan efek positif kepada penguatan perpajakan pada grafik diatas. daerah. Rasio pajak pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Bali menunjukkan angka yang paling tinggi, yaitu sebesar 3,4%. Sebagai daerah 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi tujuan wisata, sumber penerimaan pajak daerah di Bali berasal dari sektor Grafik 2.4 memperlihatkan rasio pajak per pemerintah kabupaten dan kota untuk masing-masing wilayah provinsi. pariwisata Pajak Hotel, kabupaten Pajak Restoran, dan sebesar Pajak0,53% Hiburan, Rata-rata pajak yangseperti bisa dipungut oleh pemerintah dan kota di Indonesia dari PDRB sehingga non migasnya. potensi penerimaan pajaknya menjadi lebih tinggi dibanding daerah lain. Rasio ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 0,37%. Hal ini menunjukkan bahwa upaya perluasan objek pajak dan pengalihan beberapa jenis pajak ke daerah yang diatur dalam UU 28 Tahun 2009 telah memberikan efek positif
Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat pada pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Papua Barat dan Provinsi Riau, yaitu sebesar 0,1%. paling tinggi, yaitu sebesar 3,4%. Sebagai daerah tujuan wisata, sumber penerimaan pajak daerah di Bali berasal dari sektor Rendahnya angka tersebut disebabkan oleh rendahnya potensi penerimaan pariwisata seperti Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan, sehingga potensi penerimaan pajaknya menjadi lebih tinggi pajak daerah kabupaten dan kota. Potensi penerimaan yang tinggi di Provinsi dibanding daerah lain. Papua Barat dan Riau adalah dari sektor pertambangan, yang merupakan Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat pada pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Papua Barat dan sumber penerimaan Negara, dan selanjutnya akan menjadi sumber Provinsi Riau, yaitu sebesar 0,1%. Rendahnya angka tersebut disebabkan oleh rendahnya potensi penerimaan pajak daerah pendapatan bagi hasil sumber daya alam (DBH SDA) yang dalam rasio ini kabupaten dan kota. Potensi penerimaan yang tinggi di Provinsi Papua Barat dan Riau adalah dari sektor pertambangan, yang tidak dihitung. merupakan sumber penerimaan Negara,dan selanjutnya akan menjadi sumber pendapatan bagi hasil sumber daya alam (DBH kepada penguatan perpajakan daerah. Rasio pajak pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Bali menunjukkan angka yang
SDA) yang dalam rasio ini tidak dihitung.
Grafik 2.4 Grafik 2.4 Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan KotaSe-Provinsi *) Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan KotaSe-Provinsi *)
*
Sumber: APBD 2014 (Diolah),2014 Tidak termasuk DKI Jakarta,Tidak *)termasuk Provinsi Kalimantan Sumber: APBD (Diolah), termasuk DKIUtara Jakarta
*) termasuk Provinsi Kalimantan Utara
Analisa Pendapatan Daerah
27
3. Pemerintah Provinsi 3.
Pemerintah Provinsi
Grafik Grafik 2.5 2.5 Rasio Pajak Pemerintah Provinsi Rasio Pajak Pemerintah Provinsi
*
Sumber: APBD 2014 (Diolah)*)termasuk Provinsi Kalimantan Utara
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Grafik 2.5 memperlihatkan rata-rata Utara pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi sebesar 1,4% dari PDRB non *)termasuk Provinsi Kalimantan migas. Untuk seluruh pemerintah provinsi di Indonesia, rasio pajak tertinggi dicapai oleh Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu
2.5 memperlihatkan rata-rata pajak yanguntuk dipungut oleh pemerintah sebesar Grafik 3,1%. Tingginya rasio pajak provinsi Kalimantan Selatan ini menarik dikaji, mengingat rasio pajak Provinsi Kalimantan tahun 2014 mampu melampaui Provinsi DKI Jakarta. provinsiSelatan sebesar 1,4% dari PDRB non migas.
Untuk seluruh pemerintah provinsi di Indonesia, rasio pajak tertinggi dicapai oleh Riau Provinsi Kalimantan Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat di Provinsi Papua Barat dan Provinsi (0,4%). Hasil ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk sebesar meningkatkan 3,1%. penerimaan Tingginya pajak daerah di kedua tersebut belum optimal mengingat jumlah Selatan, yaitu rasioprovinsi pajak provinsi Kalimantan pajak yang bisaini dipungut dari potensi basis pajak yang ada masih rendah. rasio pajak Provinsi Kalimantan Selatan menarik untuk dikaji, mengingat Selatan tahun 2014 mampu melampaui Provinsi DKI Jakarta. 4.
Per Wilayah
Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat di Provinsi Papua Barat dan Provinsi Riau (0,4%). Hasil ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengeluarkan Provinsi DKI Jakarta dalam perhitungan, rasio pajak di wilayah Jawa dan Bali merupakan wilayah yang rasio meningkatkan penerimaan pajak daerah di kedua provinsi tersebut belum pajaknya paling tinggi dibandingkan 4 wilayah lainnya, yaitu sebesar 2,6%, sedangkan wilayah dengan rasio pajak terendah optimal mengingat jumlah pajak yang bisa dipungut dari potensi basis pajak sebesar 1,37% terdapat di wilayah Sumatera. yang ada masih rendah.
Berdasarkan pembagian 5 wilayah di Indonesia, secara rata-rata rasio pajak per wilayah sebesar 1,97%. Dengan
Grafik 2.6 Rasio Pajak per Wilayah*)
28
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
4. Per Wilayah Berdasarkan pembagian 5 wilayah di Indonesia, secara rata-rata rasio pajak per wilayah sebesar 1,97%. Dengan mengeluarkan Provinsi DKI Jakarta dalam perhitungan, rasio pajak di wilayah Jawa dan Bali merupakan wilayah yang rasio pajaknya paling tinggi dibandingkan 4 wilayah lainnya, yaitu sebesar 2,6%, sedangkan wilayah dengan rasio pajak terendah sebesar 1,37% terdapat di wilayah Sumatera. Grafik 2.6 Rasio Pajak per Wilayah*)
Sumber: APBD 2014 (Diolah), Sumber: APBD 2014 *) Tidak termasuk DKI Jakarta
(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
B. Pajak per Kapita (Tax per Capita) Pajak per kapita (tax per capita) belum banyak digunakan dalam menghitung tingkat keberhasilan pajak sebagai sumber Pendapatan Daerah. Pajak per kapita (tax per capita) belum banyak digunakan dalam menghitung tingkat keberhasilan pajak sebagai Namun begitu, pajak per kapita dapat digunakan sebagai alternatif dalam sumber Pendapatan Daerah.Namun begitu, pajak per kapita dapat digunakan sebagai alternatif dalam menghitung efektifitas menghitung efektifitas pemungutan pajak daerah. Pajak per kapita merupakan pemungutan pajak daerah. Pajak per kapita merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan suatu perbandingan antara jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan suatu daerah daerah dengan jumlah penduduknya, yang berarti pula menunjukkan kontribusi setiap penduduk pada pajak daerah. dengan jumlah penduduknya, yang berarti pula menunjukkan kontribusi Menurut Gregory N. Mankiw1, rasio pajak per PDB merupakan ukuran yang paling umum digunakan. Namun demikian, setiap penduduk pada pajak daerah. semakin tinggi tingkat persentase pajak akan semakin menurunkan PDB penduduk setempat sehingga ukuran tersebut dapat B.
Pajak per Kapita (Tax perCapita)
terlihat bias. Untuk tujuan tertentu (misalnya statistik yang lebih baik), pajak per kapita (tax per personal) dapat digunakan. Pajak per kapita dihitung dengan mengalikan rasio pajak dengan PDRB per kapita, sehingga diperoleh pajak/PDRB x PDRB/personal=pajak / personal.
1.
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Analisa Pendapatan Daerah
29
Menurut Gregory N. Mankiw, rasio pajak per PDB merupakan ukuran yang paling umum digunakan. Namun demikian, semakin tinggi tingkat persentase pajak akan semakin menurunkan PDB penduduk setempat sehingga ukuran tersebut dapat terlihat bias. Untuk tujuan tertentu (misalnya statistik yang lebih baik), pajak per kapita (tax per personal) dapat digunakan. Pajak per kapita dihitung dengan mengalikan rasio pajak dengan PDRB per kapita, sehingga diperoleh pajak/PDRB x PDRB/personal=pajak / personal.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Rata-rata rasio pajak per kapita secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota) sebesar Rp496.217,00. Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio pajak per kapita tertinggi, yaitu sebesar Rp3.189.570,00, yang berarti bahwa secara rata-rata setiap penduduk yang ada di Provinsi DKI Jakarta memberikan kontribusi melebihi Rp3,1 juta untuk Pendapatan Daerah melalui pajak daerah. Sementara itu, Provinsi Kalimantan Utara sebagai daerah otonom baru memiliki rasio pajak per kapita sebesar Rp70.189,00, dan merupakan yang terendah dibandingkan dengan 33 provinsi lainnya di Indonesia. Selanjutnya, pada grafik 2.7, terlihat masih banyak daerah yang rasio pajak per kapitanya berada di bawah rata-rata nasional. Hanya 7 (tujuh) provinsi yang rasio pajak per kapitanya berada di atas rata-rata nasional, yaitu Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Bali, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Banten.
30
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Bali, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Banten.
Grafik 2.7 Grafik 2.7 Pajak perAgregat Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Rasio Pajak perRasio Kapita Provinsi, Kabupaten dan Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah) 2014 Sumber: APBD
2.
(Diolah)
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
2. Rasio Pemerintah Kabupaten dan Kota pajak per kapita pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-Provinsi dalam satu provinsi dapat dilihat pada grafik 2.8.
Rasio tersebut menunjukkan nilai total pajak daerah seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam satu provinsi
Rasio pajak per kapita pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam satu provinsi dapat dilihat pada grafik 2.8. Rasio tersebut menunjukkan nilai Rasio pajak per kapita tertinggi terdapat di Provinsi Bali, yaitu sebesar Rp683.557,00. Sementara itu, Provinsi Nusa total pajak daerah seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam Tenggara Timur memiliki rasio terendah yaitu sebesar Rp37.548,00. Besaran nilai rasio tergantung pada basis pajak yang satu provinsi dibagi dengan total seluruh penduduk di provinsi tersebut. Dalam dimiliki masing-masing daerah, serta jumlah penduduk di daerah tersebut. perhitungan rasio ini, Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan. dibagi dengan total seluruh penduduk di provinsi tersebut. Dalam perhitungan rasio ini, Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan.
2.8 Rasio pajak per kapita tertinggiGrafikterdapat di Provinsi Bali, yaitu sebesar Rp683.557,00. Sementara itu, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki rasio terendah yaitu sebesar Rp37.548,00. Besaran nilai rasio tergantung pada basis pajak yang dimiliki masing-masing daerah, serta jumlah penduduk di daerah tersebut.
Analisa Pendapatan Daerah
31
Grafik 2.8 Tax perPemerintah Kapita Pemerintah Kabupaten Kabupaten dan kotadan se-Provinsi Rasio Tax per Rasio Kapita kota*) se-Provinsi *)
Sumber: APBD 2014APBD (Diolah),Tidak termasuk DKI Jakarta Sumber: 2014 (Diolah)
3.
*)Tidak termasuk DKI Jakarta Pemerintah Provinsi
Pajak per kapita pada seluruh pemerintah provinsi sebagaimana pada grafik 2.9 menunjukkan bahwa Provinsi DKI
3. merupakan Pemerintah Jakarta daerah yang Provinsi memiliki pajak per kapita terbesar, sama dengan pajak per kapita pada agregat provinsi, kabupatenPajak dan kotaper yaitu kapita sebesar Rp3.189.570,00 per kapita. Sementara ituprovinsi dua provinsisebagaimana yang memiliki rasiopada per kapita pada seluruh pemerintah terendah yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar Rp105.087,00, dan Provinsi Kalimantan Utara yang sampai tahun 2014
grafik 2.9 menunjukkan bahwa Provinsi DKI Jakarta merupakan daerah yang memiliki pajak per kapita terbesar, sama dengan pajak per kapita ketimpangan yang cukup besar antara rasio yang tertinggi dan terendah. Rata-rata rasio pajak per kapita pemerintah provinsi pada agregat provinsi, kabupaten dan kota yaitu sebesar Rp3.189.570,00 sebesar Rp380.522,00, dimana sebagian besar diantaranya berada di bawah rata-rata nasional. Dari keseluruhan provinsi, per kapita. Sementara itu dua provinsi yang memiliki rasio per kapita terdapat 28 provinsi yang memiliki rasio pajak per kapita di bawah rata-rata nasional, dan hanya 6 provinsi yang berada di atas terendah yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar Rp105.087,00, dan rata-rata nasional. Provinsi Kalimantan Utara yang sampai tahun 2014 belum menganggarkan penerimaan dari pajak daerah, sehingga rasio pajak per kapita masih nol. Grafik 2.9 Kondisi tersebut menunjukkan yang cukup besar antara rasio Rasioketimpangan Tax per Kapita Pemerintah Provinsi yang tertinggi dan terendah. Rata-rata rasio pajak per kapita pemerintah provinsi sebesar Rp380.522,00, dimana sebagian besar diantaranya berada di bawah rata-rata nasional. Dari keseluruhan provinsi, terdapat 28 provinsi yang memiliki rasio pajak per kapita di bawah rata-rata nasional, dan hanya 6 provinsi yang berada di atas rata-rata nasional.
belum menganggarkan penerimaan dari pajak daerah, sehingga rasio pajak per kapita masih nol. Kondisi tersebut menunjukkan
32
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 2.9 Rasio Tax per Kapita Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2014 (Diolah) Sumber: APBD
4.
2014 (Diolah)
Per Wilayah
4. Per Wilayah Grafik 2.10 memperlihatkan rasio pajak per kapita per wilayah, dengan rasio tertinggi berada di wilayah Kalimantan
yang mencapai sebesar Rp616.227 per kapita, dan rasio terendah di berada wilayah Nusa Tenggara, dan Papua sebesar Grafik 2.10 memperlihatkan rasio pajak per kapita per Maluku, wilayah, dengan Rp224.888 per kapita. Sementara itu, rata-rata rasio pajak per kapita per wilayah sebesar Rp423.495, dan hanya wilayah
rasio tertinggi berada di wilayah Kalimantan yang mencapai sebesar Rp616.227 per kapita, dan rasio terendah di berada wilayah Nusa Tenggara, Jika memasukkan Provinsi DKI Jakarta ke dalam perhitungan, maka rasio pajak di wilayah Jawa dan Bali menjadi Rp934.351 per Maluku, dan Papua sebesar Rp224.888 per kapita. Sementara itu, rata-rata kapita. Terkait dengan tingginya rasio pajak per kapita di Kalimantan, hal ini disebabkan oleh lebih rendahnya jumlah penduduk rasio pajak per kapita per wilayah sebesar Rp423.495, dan hanya wilayah yang menjadi pembagi rasio tersebut. Sementara itu, besarnya rasio pajak per kapita di wilayah Jawa dan Bali disebabkan oleh Kalimantan yang memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Untuk wilayah banyaknya jumlah penerimaan pajak daerah yang diimbangi dengan banyaknya jumlah penduduk. Jawa dan Bali hanya memiliki rasio sebesar Rp558.481. Jika memasukkan Grafik 2.10 Provinsi DKI Jakarta ke dalam Rasio perhitungan, maka rasio pajak di wilayah Jawa Tax per Kapita Per Wilayah*) dan Bali menjadi Rp934.351 per kapita. Terkait dengan tingginya rasio pajak per kapita di Kalimantan, hal ini disebabkan oleh lebih rendahnya jumlah penduduk yang menjadi pembagi rasio tersebut. Sementara itu, besarnya rasio pajak per kapita di wilayah Jawa dan Bali disebabkan oleh banyaknya jumlah penerimaan pajak daerah yang diimbangi dengan banyaknya jumlah penduduk. Kalimantan yang memiliki rasio diatas rata-rata nasional. Untuk wilayah Jawa dan Bali hanya memiliki rasio sebesar Rp558.481.
Analisa Pendapatan Daerah
33
Grafik 2.10 Rasio Tax per Kapita Per Wilayah*)
Sumber: APBD 2014(Diolah), *) Tidak termasuk DKI Jakarta Sumber: APBD 2014(Diolah),
*) Tidak termasuk DKI Jakarta C.
Ruang Fiskal (Fiscal Space) Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah
C. Ruang Fiskal (Fiscal Space) dalam mengalokasikan APBD untuk membiayai kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Semakin besar ruang fiskal yang dimiliki
suatu daerah, maka akan semakin besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan
Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengalokasikan APBD fiskal daerah diperoleh dengan menghitung total Pendapatan Daerah dikurangi Semakin dengan pendapatan hibah, untukRuang membiayai kegiatan yang menjadi prioritas daerah. besar pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) yaitu DAK, Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian serta ruang fiskal yang dimiliki suatu daerah, maka akan semakin besar pula Dana Darurat, dan belanja yang sifatnya mengikat, yaitu Belanja Pegawai dan Belanja Bunga, dan selanjutnya dibagi dengan fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan total pendapatannya. belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah, seperti Ruang fiskal daerah saat ini masih sangat terbatas karena sebagian besar anggaran digunakan untuk belanja rutin pembangunan infrastruktur daerah. belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah, seperti pembangunan infrastruktur daerah.
(Belanja Pegawai). Memperbesar ruang fiskal daerah untuk Belanja Modal sangat penting karena dapat menjadi stimulus
Ruang daerah dengan menghitung total Pendapatan perekonomian daerah.fiskal Untuk itu, Pemerintahdiperoleh Daerah diharapkan dapat membuat kebijakan yang mampu menciptakan iklim Daerah yang dikurangi dengan pendapatan hibah, anggaran pendapatan yang perekonomian kondusif. Selain itu, efektifitas dan efisiensi penggunaan di daerah juga dapatsudah mendukung ditentukan penggunaannya terciptanya ruang fiskal.
(earmarked) yaitu DAK, Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian serta Dana Darurat, dan belanja yang sifatnya 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota mengikat, yaitu Belanja Pegawai dan Belanja Bunga, dan selanjutnya dibagi Grafik 2.11 menunjukkan ruang fiskal secara agregat provinsi, kabupaten dan kota. Dari keseluruhan 34 provinsi, dengan totalmempunyai pendapatannya. Provinsi DKI Jakarta ruang fiskal tertinggi yaitu mencapai 60,64%. Tingginya ruang fiskal di Provinsi DKI Jakarta karena didukung oleh tingginya PAD yang mencapai 61,13% dari total pendapatan. Dengan ruang fiskal sebesar itu, belanja modal yang dianggarkan pada APBD cukup besar yaitu mencapai 44,75% dari total anggaran belanja daerah.
34
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Ruang fiskal daerah saat ini masih sangat terbatas karena sebagian besar anggaran digunakan untuk belanja rutin (Belanja Pegawai). Memperbesar ruang fiskal daerah untuk Belanja Modal sangat penting karena dapat menjadi stimulus perekonomian daerah. Untuk itu, Pemerintah Daerah diharapkan dapat membuat kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif. Selain itu, efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran di daerah juga dapat mendukung terciptanya ruang fiskal.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 2.11 menunjukkan ruang fiskal secara agregat provinsi, kabupaten dan kota. Dari keseluruhan 34 provinsi, Provinsi DKI Jakarta mempunyai ruang fiskal tertinggi yaitu mencapai 60,64%. Tingginya ruang fiskal di Provinsi DKI Jakarta karena didukung oleh tingginya PAD yang mencapai 61,13% dari total pendapatan. Dengan ruang fiskal sebesar itu, belanja modal yang dianggarkan pada APBD cukup besar yaitu mencapai 44,75% dari total anggaran belanja daerah. Sementara itu, Provinsi Aceh memiliki ruang fiskal terendah yaitu 21,63%. Rendahnya ruang fiskal di Provinsi Aceh karena porsi Pendapatan dari Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian pemerintah daerah se Provinsi Aceh cukup besar, yaitu 31,24% dari total Pendapatan Daerah, sehingga ruang fiskal yang tersisa sangat kecil karena pendapatan tersebut telah dibatasi penggunaannya. Dengan demikian, Provinsi Aceh harus memanfaatkan ruang fiskal yang ada dengan merencanakan Belanja Daerah yang tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya.
Analisa Pendapatan Daerah
35
yaitu 31,24% dari total Pendapatan Daerah, sehingga ruang fiskal yang tersisa sangat kecil karena pendapatan tersebut telah dibatasi penggunaannya. Dengan demikian, Provinsi Aceh harus memanfaatkan ruang fiskal yang ada dengan merencanakan Belanja Daerah yang tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya.
Grafik 2.11 Grafik 2.11 Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota 70%
Ruang Fiskal
60%
Rata2
50% 40% 30% 20% 0%
Prov. Aceh Prov. Jawa Tengah Prov. Sumatera Barat Prov. Nusa Tenggara Timur Prov. Nusa Tenggara Barat Prov. DI Yogyakarta Prov. Sulawesi Selatan Prov. Sulawesi Utara Prov. Lampung Prov. Bengkulu Prov. Gorontalo Prov. Sulawesi Tenggara Prov. Sulawesi Tengah Prov. Sumatera Utara Prov. Jawa Timur Prov. Maluku Prov. Papua Prov. Sulawesi Barat Prov. Bali Prov. Jawa Barat Prov. Papua Barat Prov. Jambi Prov. Kalimantan Selatan Prov. Maluku Utara Prov. Kalimantan Barat Prov. Bangka Belitung Prov. Kalimantan Tengah Prov. Banten Prov. Sumatera Selatan Prov. Riau Prov. Kalimantan Utara Prov. Kepulauan Riau Prov. Kalimantan Timur Prov. DKI Jakarta
10%
Sumber: APBD 2014 (Diolah) Sumber: APBD 2013 (Diolah)
Secara agregat, rata-rata ruang fiskal seluruh pemerintah daerah di Indonesia sebesar 39,31%. Dari rata-rata tersebut, terdapat 14 provinsi terdapat 14 provinsi dengan ruang fiskal yang berada di atas rata-rata nasional. dengan ruang fiskal yang berada di atas rata-rata nasional.
Secara agregat, rata-rata ruang fiskal seluruh pemerintah daerah di Indonesia sebesar 39,31%. Dari rata-rata tersebut,
2.
Kabupaten dan Kota Se-Provinsi 2. Pemerintah Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi Ruang fiskal seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota pada satu provinsi digambarkan pada grafik 2.12.
Ruang fiskal seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota pada satu provinsi digambarkan 2.12. rata-rata, pemerintah Dari rata-rata tersebut, terdapat 18 daerah yangpada memiliki grafik ruang fiskal di bawahSecara rata-rata dan 15 daerah lainnya di atas ratakabupaten dan pemerintah kota memiliki ruang fiskal sebesar 34,82% rata nasional. dari Ruang total fiskal pendapatannya. Daridanrata-rata terdapat tertinggi untuk kabupaten kota terdapattersebut, di Provinsi Kalimantan Utara18 yangdaerah mencapai yang sebesar memiliki ruang fiskal di bawah rata-rata dan 15 daerah lainnya di atas rata55,41%.Tingginya angka ini dapat disebabkan oleh pendapatan yang tidak dibatasi penggunaannya, yang didominasi oleh sektor rata nasional. Secara rata-rata, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota memiliki ruang fiskal sebesar 34,82% dari total pendapatannya.
Ruang fiskal tertinggi untuk kabupaten dan kota terdapat di Provinsi Kalimantan Utara yang mencapai sebesar 55,41%. Tingginya angka ini dapat disebabkan oleh pendapatan yang tidak dibatasi penggunaannya, yang didominasi oleh sektor pertambangan dan migas, serta sektor kehutanan. Pendapatan Provinsi Kalimantan Utara didominasi oleh transfer pemerintah pusat berupa DBH yang mencapai 50% dari total pendapatan. Sebagai daerah 36
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
otonom baru, besarnya ruang fiskal yang dimiliki oleh Provinsi Kalimantan Utara diikuti dengan kebijakan penganggaran belanja modal yang mencapai 71% dari total anggaran belanja tahun 2014. Kabupaten dan Kota yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Provinsi Jawa Tengah memiliki ruang fiskal terendah, yaitu sebesar 21,19%. Ruang fiskal kedua provinsi tersebut rendah karena porsi Belanja Pegawai kabupaten/kota di kedua provinsi tersebut mencapai lebih dari 55% dari total pendapatan. Sementara itu, komposisi Pendapatan Daerah pemerintah kabupaten dan kota di kedua provinsi tersebut masih didominasi oleh transfer dari pemerintah pusat terutama dari DAU yang mencapai lebih dari 60% dari total Pendapatan Daerah. Persentase PAD terhadap total Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Tengah hanya sebesar 12,06%, dimana pajak daerah hanya memberikan kontribusi sebesar 4,39% dari total Pendapatan Daerah. Kondisi yang sama juga dialami oleh Provinsi NTB yang memiliki persentase PAD hanya sebesar 8,74% terhadap total pendapatan, dimana pajak daerah hanya memberikan kontribusi sebesar 2,68% terhadap total pendapatan. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa pemerintah daerah di Provinsi NTB dan Jawa Tengah belum mengoptimalkan pemungutan pajak dari basis pajak yang dimilikinya.
Analisa Pendapatan Daerah
37
50%
0%
3.
90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Prov. Nusa Tenggara Barat Prov. Jawa Tengah Prov. Sumatera Barat Prov. DI Yogyakarta Prov. Lampung Prov. Nusa Tenggara Timur Prov. Sulawesi Utara Prov. Gorontalo Prov. Bengkulu Prov. Sulawesi Selatan Prov. Sulawesi Barat Prov. Sulawesi Tengah Prov. Sulawesi Tenggara Prov. Jawa Timur Prov. Sumatera Utara Prov. Maluku Prov. Jawa Barat Prov. Aceh Prov. Bali Prov. Kalimantan Selatan Prov. Bangka Belitung Prov. Jambi Prov. Kalimantan Barat Prov. Maluku Utara Prov. Papua Barat Prov. Kalimantan Tengah Prov. Banten Prov. Papua Prov. Sumatera Selatan Prov. Riau Prov. Kepulauan Riau Prov. Kalimantan Timur Prov. Kalimantan Utara
60%
Prov. Aceh Prov. Papua Prov. Jawa Tengah Prov. Papua Barat Prov. Nusa Tenggara Timur Prov. DI Yogyakarta Prov. Sulawesi Tenggara Prov. Bengkulu Prov. Maluku Prov. Nusa Tenggara Barat Prov. Sulawesi Tengah Prov. Gorontalo Prov. Sulawesi Utara Prov. Maluku Utara Prov. Bangka Belitung Prov. Sumatera Barat Prov. Jambi Prov. Sulawesi Selatan Prov. Lampung Prov. Kalimantan Barat Prov. Sulawesi Barat Prov. Bali Prov. Sumatera Utara Prov. Jawa Timur Prov. Jawa Barat Prov. Riau Prov. DKI Jakarta Prov. Kalimantan Tengah Prov. Banten Prov. Kalimantan Selatan Prov. Sumatera Selatan Prov. Kepulauan Riau Prov. Kalimantan Timur Prov. Kalimantan Utara
mengoptimalkan pemungutan pajak dari basis pajak yang dimilikinya.
Grafik 2.12 Grafik 2.12 Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)
Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *) Ruang Fiskal
Ruang Fiskal
Rata2
40%
30%
20%
10%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2013 (Diolah), *) Tidak termasuk DKI Jakarta
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3. Pemerintah Provinsi
Pemerintah Provinsi Grafik 2.13 Grafik 2.13 Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi
Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi
Rata2
Sumber: APBD 2013 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
provinsi memiliki ruang fiskal sebesar 60,60% dari total pendapatannya. Dalam hal ini, terdapat 19 daerah yang memiliki ruang
menggambarkan ruang fiskal pada2014 masing-masing pemerintah provinsi. Secara rata-rata pemerintah Deskripsi dan Analisis APBD 38Grafik 2.13
fiskal di bawah rata-rata nasional, dan 15 daerah memiliki ruang fiskal di atas rata-rata nasional.
Grafik 2.13 menggambarkan ruang fiskal pada masing-masing pemerintah provinsi. Secara rata-rata pemerintah provinsi memiliki ruang fiskal sebesar 60,60% dari total pendapatannya. Dalam hal ini, terdapat 19 daerah yang memiliki ruang fiskal di bawah rata-rata nasional, dan 15 daerah memiliki ruang fiskal di atas rata-rata nasional. Ruang fiskal tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Utara yang mencapai sebesar 81,94%. Tingginya angka ini karena adanya pendapatan yang tidak dibatasi penggunaannya yang didominasi oleh sektor pertambangan dan migas, serta sektor kehutanan. Pendapatan Provinsi Kalimantan Utara didominasi oleh transfer pemerintah pusat berupa DBH yang mencapai 65,77% dari total pendapatan. Sebagai daerah otonom baru hasil pembentukan tahun 2013, besarnya ruang fiskal yang dimiliki oleh Provinsi Kalimantan Utara perlu diikuti dengan kebijakan penganggaran belanja modal yang lebih ekspansif untuk membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun demikian, Provinsi Kalimantan Utara baru menganggarkan sekitar 22% dari pendapatannya untuk belanja modal pada tahun 2014 ini. Selain itu, Pemda Provinsi Kalimantan Timur juga memiliki ruang fiskal yang tinggi yaitu sebesar 74,51%. Hal ini didukung dari penerimaan DBH dan penerimaan pajak daerah yang cukup besar. Sementara itu porsi Belanja Pegawai jumlahnya tidak terlalu besar sehingga ruang fiskal yang tersedia masih besar. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur perlu memanfaatkan ruang fiskal yang tinggi tersebut untuk kegiatan yang dapat memacu pembangunan di daerahnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak daerah. Sementara itu ,Provinsi Aceh mempunyai ruang fiskal terendah yaitu sebesar 20,22%. Hal ini disebabkan karena kontribusi terbesar pada Pendapatan Daerah Provinsi Aceh adalah pendapatan dari dana otonomi khusus yang sudah dibatasi penggunaannya.
Analisa Pendapatan Daerah
39
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak daerah. Sementara itu ,Provinsi Aceh mempunyai ruang fiskal terendah yaitu sebesar 20,22%. Hal ini disebabkan karena kontribusi terbesar pada Pendapatan Daerah Provinsi Aceh adalah pendapatan dari dana otonomi khusus yang sudah dibatasi penggunaannya.
4. Per Wilayah 4.
PerWilayah
Grafik 2.14 memperlihatkan ruang fiskal yang dimiliki agregat pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia per wilayah di Indonesia. Terlihat wilayah di Indonesia. Terlihat bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang fiskal tertinggi yaitu sebesar 46,49%. Hal ini bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang fiskal tertinggi yaitu sebesar menunjukkan bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang fiskal yang cukup untuk melakukan belanja pemerintah dalam rangka 46,49%. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang pembangunan daerahnya. Percepatan pembangunan di daerah tentunya diharapkan dapat memberikan multiplier effect bagi fiskal yang cukup untuk melakukan belanja pemerintah dalam rangka pertumbuhan ekonomi di daerahnya. pembangunan daerahnya. Percepatan pembangunan di daerah tentunya diharapkan dapat memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi di daerahnya. Grafik 2.14 memperlihatkan ruang fiskal yang dimiliki agregat pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia per
2.14 GrafikGrafik 2.14 Ruang Fiskal Per Wilayah*) Ruang Fiskal Per Wilayah*) 50% Ruang Fiskal
Rata2
46,49%
40% 35,56%
36,30%
Papua-Maluku-Nusa Tenggara
Sumatera
30% 20%
27,29%
30,16%
10% 0% Sulawesi
Jawa-Bali
Kalimantan
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2013 (Diolah), *) Tidak termasuk DKI Jakarta
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Sementara itu, wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal terendah yaitu sebesar 26,66%. Hal ini menunjukkan bahwa
Sementara itu, wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal terendah yaitu sebesar 26,66%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar daerah di rangka pembangunan di daerahnya.Dengan ruang fiskal yang tersedia, diharapkan pemerintah daerah diwilayah Sulawesi dapat wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal yang terbatas untuk melakukan belanja pemerintah dalam rangka pembangunan di daerahnya. Dengan ruang fiskal yang tersedia, diharapkan pemerintah daerah di wilayah Sulawesi dapat mengalokasikan belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah dan mempunyai daya ungkit (leverage) yang tinggi bagi perekonomian daerahnya.
sebagian besar daerah di wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal yang terbatas untuk melakukan belanja pemerintah dalam
40
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
D. Rasio Ketergantungan Daerah Rasio ketergantungan daerah menggambarkan tingkat ketergantungan suatu daerah terhadap bantuan pihak eksternal, baik yang bersumber dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah lain. Rasio ini ditunjukkan oleh rasio PAD terhadap total pendapatan dan rasio dana transfer terhadap total pendapatan. Rasio PAD terhadap total pendapatan memiliki arti yang berkebalikan dengan rasio dana transfer terhadap total pendapatan. Semakin besar angka rasio PAD maka ketergantungan daerah semakin kecil. Sebaliknya, semakin besar angka rasio dana transfer, maka semakin besar tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal. Dengan demikian, daerah yang memiliki tingkat ketergantungan yang rendah adalah daerah yang memiliki rasio PAD yang tinggi, sekaligus rasio dana transfer yang rendah.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 2.15 menggambarkan potret rasio PAD dan dana transfer terhadap pendapatan seluruh pemda yang dikelompokkan menurut provinsi. Perhitungan dilakukan dengan menjumlahkan PAD seluruh pemda pada satu provinsi, dan untuk selanjutnya dibagi dengan total pendapatan untuk wilayah yang sama. Hal yang sama juga berlaku untuk rasio Dana Transfer, yang terdiri dari Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Penyesuaian, yang kemudian dibandingkan dengan total pendapatan daerah tersebut. Secara agregat (provinsi, kabupaten, dan kota), rata-rata rasio PAD terhadap pendapatan sebesar 18,08% dan rata-rata rasio Dana Transfer terhadap Pendapatan sebesar 80,52%. Berdasarkan hasil analisis, Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio PAD yang paling tinggi, yaitu sebesar 61,13%, sekaligus rasio dana transfer terendah yaitu sebesar 31,15%. Sementara itu, Provinsi Papua Barat memiliki rasio PAD terendah sebesar 3,62% sekaligus rasio dana transfer tertinggi yaitu sebesar 95,96%. Hal ini menunjukkan bahwa, Provinsi DKI Jakarta
Analisa Pendapatan Daerah
41
memiliki ketergantungan daerah yang paling rendah dibandingkan provinsiprovinsi yang lain. Sebaliknya, Provinsi Papua Barat menunjukkan tingkat ketergantungan yang paling tinggi, baik dari sisi PAD yang dihasilkan maupun dari sisi dana transfer yang diterima dari pusat. Grafik 2.15
Ketergantungan Rasio Rasio Ketergantungan AgregatAgregat Provinsi,Prov/Kab/Kota Kabupaten dan Kota 120%
PAD/Pdptn
Transfer/Pdptn
Rata2 PAD/Pdptn
Rata2 Transfer/Pdptn
100% 80% 60% 40%
0%
Prov. Papua Barat Prov. Kalimantan Utara Prov. Papua Prov. Maluku Prov. Sulawesi Barat Prov. Maluku Utara Prov. Nusa Tenggara Timur Prov. Aceh Prov. Bengkulu Prov. Sulawesi Tenggara Prov. Sulawesi Tengah Prov. Gorontalo Prov. Jambi Prov. Sulawesi Utara Prov. Kalimantan Tengah Prov. Bangka Belitung Prov. Sumatera Selatan Prov. Sumatera Barat Prov. Riau Prov. Lampung Prov. Kalimantan Barat Prov. Nusa Tenggara Barat Prov. Sulawesi Selatan Prov. Kepulauan Riau Prov. Sumatera Utara Prov. Kalimantan Timur Prov. Jawa Tengah Prov. Kalimantan Selatan Prov. DI Yogyakarta Prov. Jawa Timur Prov. Jawa Barat Prov. Bali Prov. Banten Prov. DKI Jakarta
20%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2013 (Diolah)
Rendahnya tingkat ketergantungan di Provinsi DKI Jakarta tersebut disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD
Rendahnya tingkat ketergantungan di Provinsi DKI Jakarta tersebut khususnya dari pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini sejalan dengan analisis pada bagian rasio pajak yang menempatkan disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD khususnya dari pajak daerah DKI Jakarta pada posisi pertama dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya. Sementara itu, Provinsi Papua Barat memiliki dan retribusi daerah. Hal ini sejalan dengan analisis pada bagian rasio pajak tingkat ketergantungan tertinggi disebabkan oleh rendahnya PAD, khususnya pajak daerah dan retribusi daerah di wilayah yang menempatkan DKI Jakarta pada posisi pertama dibandingkan dengan tersebut, dan tingginya dana transfer yang diterima. provinsi-provinsi lainnya. Sementara itu, Provinsi Papua Barat memiliki tingkat disebabkan oleh rendahnya PAD, khususnya pajak 2. ketergantungan Pemerintah Kabupatentertinggi dan Kota Se-Provinsi daerah dan retribusi daerah di wilayah tersebut, dan tingginya dana transfer Pada Grafik 2.16 terlihat bahwa rata-rata rasio PAD terhadap Pendapatan Daerah adalah 8,5%, sedangkan rata-rata yang rasio dana diterima. transfer terhadap Pendapatan Daerahmencapai91,2%. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota terhadap dana transfer masih sangat tinggi. Rasio PAD terhadap pendapatan tertinggi terdapat pada seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Bali yang mencapai 31,6%, sedangkan yang terendah adalah di pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Papua Barat yaitu hanya sebesar 2,4%.
42
Deskripsi dan Analisis APBD 2014Grafik 2.16 Rasio KetergantunganPemerintahKabupatendan kota Se-Provinsi *)
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi Pada Grafik 2.16 terlihat bahwa rata-rata rasio PAD terhadap Pendapatan Daerah adalah 8,5%, sedangkan rata-rata rasio dana transfer terhadap Pendapatan Daerah mencapai 91,2%. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota terhadap dana transfer masih sangat tinggi. Rasio PAD terhadap pendapatan tertinggi terdapat pada seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Bali yang mencapai 31,6%, sedangkan yang terendah adalah di pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Papua Barat yaitu hanya sebesar 2,4%. Grafik 2.16
Rasio Ketergantungan Kab/Kota Rasio KetergantunganPemerintahKabupatendan kota Se-Provinsi *) 100% 80% 60% 40%
0%
Prov. Papua Prov. Maluku Prov. Papua Barat Prov. Sulawesi Barat Prov. Bengkulu Prov. Kalimantan Utara Prov. Sulawesi Tengah Prov. Kalimantan Tengah Prov. Nusa Tenggara Timur Prov. Sulawesi Utara Prov. Aceh Prov. Jambi Prov. Sulawesi Tenggara Prov. Maluku Utara Prov. Lampung Prov. Kalimantan Barat Prov. Sumatera Selatan Prov. Sumatera Barat Prov. Kalimantan Timur Prov. Riau Prov. Kalimantan Selatan Prov. Gorontalo Prov. Bangka Belitung Prov. Nusa Tenggara Barat Prov. Sulawesi Selatan Prov. Sumatera Utara Prov. Jawa Tengah Prov. Kepulauan Riau Prov. Jawa Timur Prov. DI Yogyakarta Prov. Jawa Barat Prov. Banten Prov. Bali
20%
PAD/Pdptn
Transfer/Pdptn
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Rata2 PAD/Pdptn
Rata2 Transfer/Pdptn
*) Tidak termasuk DKI Jakarta Sumber: APBD 2013 (Diolah), *) Tidak termasuk DKI Jakarta Sementara itu, rasio dana transfer terhadap pendapatan yang tertinggi terdapat di pemerintah kabupaten dan
Sementara dana terhadap pendapatan tertinggi pemerintah kota di Provinsiitu, Papuarasio dan Provinsi Papuatransfer Barat yang mencapai sebesar 97,4%, sedangkanyang yang terendah adalah terdapat di pemerintah dan pemerintah kota pemerintah kabupaten dan pemerintah kotakabupaten di Provinsi Bali yang mencapai sebesar 68,4%.
di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang mencapai sebesar 97,4%, sedangkan yang adalah 3.terendah Pemerintah Provinsi pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Bali yangUntuk mencapai sebesar 68,4%. tingkat pemerintah provinsi, rata-rata rasio PAD terhadap pendapatan adalah sebesar 37,5% dan untuk rasio dana transfer terhadap pendapatan sebesar 60,79%. Dari keseluruhan provinsi, terdapat 18 pemerintah provinsi yang memiliki rasio PAD terhadap pendapatan di atas rata-rata nasional, dan 16 pemerintah provinsi yang memiliki rasio dana transfer
Analisa Pendapatan Daerah
43
terhadap pendapatan di atas rata-rata-rata secara nasional. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih banyak daerah yang sangat bergantung bantuan dana dari pihak eksternal. Pemerintah Provinsi Banten memiliki rasio PAD terhadap pendapatan yang paling tinggi, yaitu sebesar 67,97%,
3. Pemerintah Provinsi Untuk tingkat pemerintah provinsi, rata-rata rasio PAD terhadap pendapatan adalah sebesar 37,5% dan untuk rasio dana transfer terhadap pendapatan sebesar 60,79%. Dari keseluruhan provinsi, terdapat 18 pemerintah provinsi yang memiliki rasio PAD terhadap pendapatan di atas rata-rata nasional, dan 16 pemerintah provinsi yang memiliki rasio dana transfer terhadap pendapatan di atas rata-rata-rata secara nasional. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih banyak daerah yang sangat bergantung bantuan dana dari pihak eksternal. Pemerintah Provinsi Banten memiliki rasio PAD terhadap pendapatan yang paling tinggi, yaitu sebesar 67,97%, sedangkan Pemerintah Provinsi Papua Barat memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 3,87%. Sebaliknya, rasio dana transfer terhadap total pendapatan yang tertinggi terdapat di Provinsi Papua Barat sebesar 96,13%, sedangkan yang terendah terdapat di Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 31,15%. Grafik 2.17
Ketergantungan Provinsi RasioRasio Ketergantungan Pemerintah Provinsi 120% 100% 80% 60% 40% 0%
Prov. Kalimantan Utara Prov. Papua Barat Prov. Papua Prov. Aceh Prov. Maluku Utara Prov. Sulawesi Barat Prov. Gorontalo Prov. Maluku Prov. Nusa Tenggara Timur Prov. Sulawesi Tenggara Prov. Bangka Belitung Prov. Kepulauan Riau Prov. Bengkulu Prov. Sulawesi Tengah Prov. Jambi Prov. Sumatera Selatan Prov. DI Yogyakarta Prov. Riau Prov. Nusa Tenggara Barat Prov. Sulawesi Utara Prov. Kalimantan Tengah Prov. Kalimantan Barat Prov. Sumatera Barat Prov. Kalimantan Timur Prov. Lampung Prov. Sulawesi Selatan Prov. Bali Prov. Sumatera Utara Prov. Jawa Tengah Prov. DKI Jakarta Prov. Kalimantan Selatan Prov. Jawa Timur Prov. Jawa Barat Prov. Banten
20%
PAD/Pdptn
Transfer/Pdptn
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Rata2 PAD/Pdptn
Rata2 Transfer/Pdptn
Sumber: APBD 2013 (Diolah)
4.
Per Wilayah
44
Analisis rasio ketergantungan daerah berdasarkan wilayah dimaksudkan untuk menunjukkan seberapa besar
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
ketergantungan daerah pada 5 kelompok wilayah yang memiliki karakteristik pendapatan yang sama. Grafik 2.18 Rasio Ketergantungan Per Wilayah*)
Transfer/Pdptn
Rata2 PAD/Pdptn
Prov.
Pr
Prov
Prov. N Pr Prov. Prov Pr Prov.
Prov.
Pro
Prov. Nu Prov. Pro Pr
Pr
Prov
PAD/Pdptn
Rata2 Transfer/Pdptn
Sumber: APBD 2013 (Diolah)
4. Per Wilayah 4.
Per Wilayah
Analisis rasio ketergantungan daerah berdasarkan wilayah dimaksudkan untuk menunjukkan seberapa besar ketergantungan daerah pada 5 kelompok wilayah yang memilikiketergantungan karakteristik pendapatandaerah yang sama.pada 5 kelompok wilayah yang memiliki karakteristik pendapatan yang sama.
Analisis rasio ketergantungan daerah berdasarkan wilayah dimaksudkan untuk menunjukkan seberapa besar
Grafik 2.18 Rasio Ketergantungan Per Wilayah*)
Grafik 2.18 Rasio Ketergantungan Per Wilayah*)Per Wilayah Rasio Ketergantungan Agregat Prov/Kab/Kota 100% 80% 60% 40% 20% 0% Papua-Maluku-Nusa Tenggara PAD/Pdptn
Kalimantan TRANSFER/Pdptn
Sulawesi
Sumatera
RATA2 PAD/Pdptn
Jawa-Bali
RATA2 TRANSFER/Pdptn
Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
Berdasarkan pembagian 5 wilayah, secara rata-rata rasio PAD terhadap total pendapatan hanya sebesar 9,04%, sedangkan rata-rata rasio dana transfer terhadap total pendapatan mencapai sebesar 84,01%. Rasio PAD terhadap total pendapatan di wilayah Jawa dan Bali mempunyai rasio yang paling tinggi dibandingkan dengan 4 wilayah lainnya, yaitu sebesar 27,6%. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan pemerintah daerah di wilayah Jawa dan Bali dalam menghasilkan sumber-sumber PAD relatif cukup tinggi. Hal ini berbeda dengan wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang rasio PAD terhadap total pendapatannya sangat rendah, yang hanya mencapai 4,63%. Namun demikian, secara umum ke-5 wilayah tersebut masih memiliki rasio PAD terhadap total pendapatan rata-rata di bawah 50% (sekitar 16%), yang berarti masih memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap Pusat. Analisa Pendapatan Daerah
45
Berdasarkan analisis terhadap rasio dana transfer terhadap pendapatan, wilayah Jawa dan Bali memiliki angka yang paling rendah, yaitu 73,14%. Walaupun angka tersebut masih besar, namun apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, rasio ini menunjukkan bahwa wilayah Jawa dan Bali memiliki tingkat ketergantungan dengan dana transfer yang paling rendah. Sementara itu, rasio dana transfer terhadap total pendapatan yang tertinggi terdapat di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang mencapai sebesar 92,97%. Ini berarti wilayah tersebut memiliki rasio ketergantungan daerah yang tinggi.
E. Deviasi Alokasi Transfer ke Daerah pada APBD Salah satu permasalahan yang sering disampaikan oleh daerah dalam penyusunan APBD adalah terlambatnya informasi alokasi dana Transfer ke Daerah yang ditetapkan dalam APBN setiap tahunnya. Terlambatnya informasi alokasi Transfer ke Daerah dari Kementerian Keuangan yang diterima oleh daerah mempengaruhi perencanaan APBD, terutama dari sisi pendapatan. Kepastian jumlah pendapatan akan mempengaruhi besaran belanja yang akan direncanakan oleh pemerintah daerah. Sebagai gambaran, alokasi dana transfer tahun 2014 dalam UU APBN yang disahkan tanggal 14 November 2013 mencapai Rp592,5 triliun, terdiri dari alokasi Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Berdasarkan UU APBN tersebut, alokasi Dana Alokasi Khusus per daerah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 180/PMK.07/2013 tanggal 13 Desember 2013. Selain itu, informasi alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) per daerah ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 2014 telah dipublikasikan pada tanggal 27 Januari 2014, sedangkan informasi alokasi DBH tahun 2014 yang dimuat dalam PMK baru dapat diterbitkan pada bulan Mei 2014. Namun demikian, untuk mempercepat penyampaian informasi alokasi yang diterima oleh setiap daerah, Kementerian Keuangan telah mengunggah informasi tersebut
46
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
ke website www.djpk.depkeu.go.id setelah UU APBN disahkan pada rapat raripurna DPR pada tanggal 14 November 2013. Untuk melihat apakah keterlambatan informasi alokasi masih menjadi permasalahan dalam penetapan APBD, pada bagian ini akan disajikan mengenai deviasi antara besaran Dana Perimbangan (DBH, DAU, dan DAK) yang dicantumkan dalam APBD dengan besaran alokasi Dana Perimbangan sebagaimana ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. Deviasi negatif diperoleh jika besaran alokasi dalam APBD lebih kecil daripada alokasi dari Kementerian Keuangan. Hal ini juga berarti pemerintah daerah bersikap pesimistis terhadap alokasi yang akan diterima tahun berikutnya. Sebaliknya, deviasi positif diperoleh ketika pemerintah daerah bersikap optimis. Dari hasil telaah pembandingan deviasi antara penetapan Pemerintah dengan penetapan dalam APBD, secara umum dapat disimpulkan bahwa pengumuman alokasi Dana Perimbangan yang dilakukan segera setelah pengesahan UU APBN oleh DPR RI dapat dimanfaatkan oleh daerah dalam menyusun APBD. Hal ini terbukti dari banyaknya daerah yang mengalokasikan DAU dan DAK pada APBD sama besar dengan penetapan pemerintah pusat. Adapun untuk DBH yang informasi alokasinya diumumkan terlambat, yaitu pada Mei 2014 atau setelah APBD ditetapkan oleh daerah, menunjukkan gambaran bahwa seluruh daerah mengalokasikan berbeda dengan alokasi dalam PMK. Berdasarkan hal di atas, dapat disampaikan bahwa peranan kecepatan informasi transfer mempunyai peran penting dalam menekan rendahnya deviasi alokasi transfer pada APBD. Satu hal yang perlu dicermati bahwa deviasi yang terlalu besar, akan mengakibatkan eksekusi APBD menjadi terkendala. Dalam hal dianggarkan jauh terlalu rendah dalam APBD maka akan terjadi potensi pelampauan pendapatan yang lebih lanjut akan berpotensi pada terbentuknya dana idle daerah yang tidak dapat digunakan untuk mendanai belanja publik. Di sisi lain, apabila dianggarkan oleh daerah jauh terlalu tinggi juga akan mengganggu ketersediaan dana untuk mendanai
Analisa Pendapatan Daerah
47
belanja yang telah direncanakan, sehingga kegiatan yang didanai dari APBD dapat mengalami keterlambatan, atau bahkan tidak dapat diselesaikan.
1. Dana Bagi Hasil (DBH) Dalam APBN tahun 2014, DBH yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang APBN adalah sebesar Rp113,71 triliun, yang terdiri dari DBH Pajak sebesar Rp51,78 triliun dan DBH SDA sebesar Rp61,92 triliun. Sementara, dalam beberapa Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang alokasi DBH per daerah (bersifat perkiraan), jumlah yang dialokasikan adalah sebesar Rp104,228 triliun. Adapun total alokasi DBH dalam APBD 2014 adalah sebesar Rp108,042 triliun, yang sedikit lebih besar daripada jumlah alokasi dalam PMK. Secara total, deviasi alokasi antara APBD dan PMK hanya 3,66%, tetapi apabila dilihat per daerah, deviasi tertinggi dalam nominal mencapai Rp5,69 triliun dan dalam persentase mencapai 202,16%. Jumlah daerah dengan deviasi positif (alokasi DBH dalam APBD lebih besar daripada alokasi PMK) lebih sedikit daripada jumlah daerah dengan deviasi negatif, dengan perbandingan 190:349. Berikut disajikan daerah-daerah dengan persentase deviasi tertinggi. Tabel 2.1 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DBH Tertinggi Daerah
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
(354,938,727,913)
-92.78%
31 Dec 2013
Kab. Sabu Raijua
(5,187,440,704)
-91.72%
11 Dec 2013
Kab. Sumba Tengah
(8,489,243,739)
-80.07%
24 Dec 2013
Kab. Tambrauw
(26,989,158,311)
-77.34%
27 Dec 2013
Kab. Landak
(28,145,062,644)
-72.69%
30 Dec 2013
Kab. Mahakam Ulu
Deviasi Alokasi (Rp)
Sumber: DJPK (2014), data diolah
48
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Tabel 2.1 di atas menunjukkan lima daerah yang memiliki persentase deviasi negatif tertinggi. Persentase deviasi yang diperoleh dari lima pemerintah daerah tersebut seluruhnya merupakan pemerintah daerah kabupaten yang berada pada wilayah Kalimantan, serta Nusa Tenggara dan Papua. Kelima daerah tersebut menganggarkan pendapatan DBH pada APBD terlalu pesimis hingga sekitar 90% di bawah alokasi yang akan diterimanya. Tabel 2.2 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DBH Tertinggi Daerah
Deviasi Alokasi (Rp)
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
Kab. Mamuju
28.146.732.024
101,05%
31 Des 2013
Kab. Nagan Raya
27.128.958.019
101,67%
30 Des 2013
Kab. Tanah Karo
19.178.771.472
101,72%
-
Kab. Labuhanbatu Selatan
30.187.140.867
109,61%
03 Mar 2014
121.884.664.177
202,16%
27 Des 2013
Kab. Raja Ampat
Sumber: DJPK (2014), data diolah
Daerah yang melakukan penganggaran dengan optimis akan mengalami deviasi yang positif atas alokasinya. Kabupaten Raja Ampat menganggarkan DBH pada APBD dua kali lebih tinggi daripada alokasi DBH pada PMK alokasi. Dengan persentase tersebut, Kabupaten Raja Ampat memiliki deviasi penganggaran DBH tertinggi. Kabupaten Labuhanbatu Selatan yang cukup lambat dalam penetapan perda APBD mengalami deviasi positif anggaran DBH tertinggi kedua. Secara umum, deviasi antara alokasi DBH pada APBD dan PMK terjadi pada seluruh daerah. Hal ini terjadi karena informasi alokasi DBH belum ditetapkan sampai saat APBD ditetapkan.
Analisa Pendapatan Daerah
49
2. Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Umum (DAU) tahun 2014 dialokasikan sebesar Rp341,2 triliun. Peraturan Presiden yang mengatur alokasi per daerah telah ditetapkan pada tanggal 27 Januari 2014. Sementara itu, DAU dalam APBD dialokasikan sebesar Rp341,34 triliun atau relatif sama besar dengan alokasi dari pemerintah pusat, sehingga secara total deviasi antara APBD dan Perpres relatif tidak signifikan (Rp120,69 juta). Jika dilihat per daerah, sebanyak 490 daerah mengalokasikan DAU sama dengan yang ditetapkan pemerintah pusat, dimana 32 daerah mengalokasikan DAU dengan rentang deviasi +1%, serta 17 daerah dengan deviasi lebih dari +1%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengumuman informasi alokasi yang dilakukan beberapa saat setelah rapat paripurna DPR RI yang mengesahkan RUU APBN 2014 menjadi UU telah diterima dengan baik oleh sebagian besar pemerintah daerah. Walaupun begitu, masih terdapat beberapa daerah yang memiliki deviasi cukup besar walaupun informasi alokasi untuk daerah mereka masingmasing telah dipublikasikan. Tabel 2.3 berikut ini menunjukkan lima daerah dengan persentase deviasi alokasi DAU negatif tertinggi. Kabupaten Bengkalis merupakan daerah dengan persentase deviasi negatif tertinggi dan paling lambat dalam menetapkan APBD dibandingkan 4 daerah lain. Keempat daerah lainnya yang memiliki deviasi negatif dibawah 27% menetapkan APBD sebelum Perpres Alokasi DAU ditetapkan. Tabel 2.3 Daerah dengan Persentase Deviasi Alokasi DAU Negatif Tertinggi Daerah Kab. Bengkalis Kab. Sumba Tengah Kab. Kepulauan Sitaro
50
Deviasi Alokasi
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
(50.961.070.569)
-59,41%
20 Mar 2014
(111.548.944.000)
-26,97%
24 Des 2013
(60.442.761.000)
-15,09%
20 Jan 2014
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Daerah
Deviasi Alokasi
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
Kab. Balangan
(31.589.190.000)
-9,90%
17 Des 2013
Kab. Aceh Barat
(42.832.065.000)
-7,78%
16 Des 2013
Sumber: DJPK (2014), data diolah
Sementara itu, Kabupaten Banggai Kepulauan merupakan daerah dengan persentase deviasi positif tertinggi meskipun perda APBD ditetapkan setelah Perpres Alokasi DAU ditetapkan. Seluruh daerah yang menganggarkan DAU terlalu optimis menetapkan perda APBD setelah Perpres Alokasi DAU ditetapkan kecuali Kota Bandar Lampung yang memiliki deviasi positif sebesar 10,48% dibandingkan alokasi DAU yang diperolehnya. Tabel 2.4 Daftar Daerah Persentase Deviasi Positif Alokasi DAU Tertinggi Daerah
Deviasi Alokasi
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
Kota Dumai
17.250.322.831
4,79%
17 Apr 2014
Kota Bandar Lampung
96.611.339.010
10,48%
27 Sep 2013
Kab. Minahasa Tenggara
60.579.834.000
17,81%
05 Feb 2014
Kab. Sumba Barat Daya
111.548.944.000
36,93%
04 Feb 2014
Kab. Banggai Kepulauan
140.679.186.419
40,54%
04 Apr 2014
Sumber: DJPK (2014), data diolah
3. Dana Alokasi Khusus (DAK) Pada APBN 2013, pemerintah pusat mengalokasikan DAK sebesar Rp31,7 triliun yang terdiri dari Rp29,7 triliun dialokasikan untuk 19 bidang dan bagi seluruh pemerintah daerah, serta Rp2 triliun yang dialokasikan untuk infrastruktur jalan dan pendidikan bagi 183 daerah tertinggal. Dari 539 daerah, terdapat 11 daerah yang tidak mendapatkan alokasi DAK dan seluruh daerah tersebut tidak menganggarkan DAK pada APBD. PMK alokasi
Analisa Pendapatan Daerah
51
DAK ditetapkan lebih awal dibandingkan alokasi DAU yaitu pada tanggal 13 Desember 2013. Sementara itu, alokasi DAK pada APBD mencapai sebesar Rp33 triliun dan anggaran DAK pada APBD 539 daerah berjumlah Rp32,83 triliun. Dibandingkan dengan total DAK yang ditetapkan pemerintah pusat, deviasi yang terjadi tidak signifikan, yaitu hanya -0,49%. Jika dibandingkan per daerah, pola yang sama dengan DAU terjadi pada DAK, yaitu 490 daerah mengalokasikan sama besar dengan DAK yang ditetapkan pemerintah pusat, 32 daerah mengalokasikan DAK dengan deviasi dalam rentang +1%, serta 17 daerah mengalokasikan DAK dengan deviasi diatas rentang +1%. Dari tabel 2.8 di atas dapat dilihat bahwa masih terdapat daerah yang tidak menganggarkan DAK pada APBD sehingga mengakibatkan deviasi daerah tersebut menjadi sebesar 100%. Kab Bekasi menjadi daerah yang memiliki deviasi dengan nominal terbesar sekaligus persentase terbesar. Lima daerah yang memiliki persentase deviasi negatif tertinggi sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini disebabkan karena daerah tersebut tidak menganggarkan DAK pada APBD-nya. Jika dilihat dari penetapan APBD kelima daerah tersebut, seharusnya informasi DAK yang mereka peroleh sudah dapat ditampung dalam APBD. Tabel 2.5 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DAK Tertinggi Daerah
Deviasi Alokasi
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
Kab. Bekasi
(111.171.910.000)
-100,00%
24 Jan 2014
Kab. Mappi
(97.101.660.000)
-100,00%
06 Jun 2014
Kota Tarakan
(3.786.510.000)
-100,00%
31 Des 2013
Kab. Bengkalis
(24.753.430.096)
-69,26%
20 Mar 2014
Prov. Kalimantan Selatan
(29.189.940.000)
-53,87%
27 Des 2013
Sumber: DJPK (2014), data diolah
52
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Kabupaten Kepulauan Meranti menjadi daerah yang menganggarkan DAK tahun 2014 terlalu optimis, dengan persentase deviasi hingga mencapai 900%, Kabupaten Kepulauan Meranti mengalami deviasi penganggaran DAK sebesar Rp17,9 Miliar. Kabupaten tersebut menganggarkan DAK terlalu optimis meskipun tanggal penetapan APBD jauh setelah PMK alokasi DAK ditetapkan. Kecuali Kota Bandar Lampung, daerah yang mengalami deviasi DAK terbesar ini menetapkan perda APBD setelah informasi alokasi DAK dapat diperoleh daerah. Tabel 2.6 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DAK Tertinggi Daerah
Deviasi Alokasi
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
Kota Singkawang
19.657.451.132
41,07%
23 Mei 2014
Kota Bandar Lampung
22.186.410.000
51,79%
27 Sep 2013
Kab. Rokan Hulu
10.076.807.960
95,22%
22 Mei 2014
2.075.221.402
115,14%
10 Apr 2014
17.963.795.695
923,69%
02 Apr 2014
Kab. Tanjung Jabung Barat Kab. Kepulauan Meranti
Sumber: DJPK (2014), data diolah
Analisa Belanja Daerah
53
BAB III ANALISIS BELANJA DAERAH
Dalam dua belas tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia, titik beratnya diletakkan pada desentralisasi di sisi pengeluaran (expenditure assignment) yang ditandai dengan adanya pembagian urusan pada berbagai tingkat pemerintahan. Pemerintah daerah memiliki 31 urusan yang terdiri dari urusan wajib dan pilihan. Sebagai konsekuensi logis dari penyerahan kewenangan/urusan tersebut dan sesuai dengan prinsip money follow function, pemerintah pusat setiap tahunnya mengalokasikan dana Transfer ke Daerah kepada pemerintah daerah. Jumlah Transfer ke Daerah memiliki tren yang meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN. Dalam APBN tahun 2014, alokasi Transfer ke Daerah mencapai sebesar Rp592,5 triliun, yang berarti sekitar 32% dari total belanja APBN telah diserahkan pengelolaannya kepada daerah yang diikuti dengan adanya diskresi yang sangat besar. Hal tersebut diharapkan dapat mempengaruhi pola belanja di daerah yang mampu mendorong adanya peningkatan kinerja pelayanan publik di daerah. Tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan tugasnya tersebut adalah bagaimana memanfaatkan sumber-sumber pendanaan melalui kebijakan perencanaan dan penganggaran yang sejalan dengan prioritas dan kebutuhan di daerah. Implementasi atas kebijakan perencanaan dan penganggaran tersebut adalah melalui Belanja Daerah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran Belanja Daerah akan mempunyai peran riil dalam peningkatan kualitas layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi perekonomian daerah apabila dapat direalisasikan dengan baik. Dengan demikian, Belanja Daerah seharusnya dapat menjadi komponen yang
54
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
penting dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber-sumber daya ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, yang pada gilirannya diharapkan akan memberikan dampak nyata pada perekonomian daerah secara luas. Anggaran Belanja Daerah yang tercantum dalam APBD mencerminkan potret pemerintah daerah dalam menentukan skala prioritas terkait program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. Penyusunan anggaran Belanja Daerah dapat menunjukkan apakah suatu daerah pro poor, growth, and jobs. Pada komponen Belanja Daerah juga nampak seberapa besar porsi belanja langsung yang dapat mendorong pertumbuhan perekonomian daerah dan terkait langsung dalam pemenuhan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menggambarkan seberapa besar belanja pemerintah daerah yang digunakan dalam upaya untuk menyejahterakan penduduk di suatu daerah, dapat digunakan berbagai macam tool, misalnya dengan pengukuran rasio Belanja Daerah terhadap jumlah penduduk (Belanja Daerah per kapita). Semakin besar nilai rasio Belanja Daerah per kapita, semakin besar belanja yang dikeluarkan untuk menyejahterakan satu orang penduduk wilayah tersebut sehingga semakin besar kemungkinan tercapainya. Sebaliknya, semakin kecil angka rasionya, semakin kecil dana yang disediakan pemda untuk menyejahterakan penduduknya. Namun demikian, rasio ini juga dirinci lagi menjadi per jenis belanja sehingga akan lebih menggambarkan kontribusi dari setiap jenis belanja sebagai faktor yang mendorong peningkatan kualitas layanan publik. Berbagai macam pengukuran rasio belanja akan disajikan pada bab ini. Pada prinsipnya, dalam tataran kebijakan, untuk menuju pelaksanaan Belanja Daerah yang berdampak positif kepada masyarakat perlu diupayakan agar pemerintah daerah mempercepat realisasi belanjanya dan menjalankan kebijakan belanja yang baik, antara lain dengan mendorong agar proses penetapan Perda APBD dapat dilakukan secara tepat waktu, menetapkan anggaran Belanja Modal
Analisa Belanja Daerah
55
yang lebih besar dan tepat sasaran, mempertajam penggunaan anggaran Belanja Pegawai, dan sebagainya.
A. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Mengingat bahwa proporsi belanja pegawai menempati porsi terbesar dalam APBD, perlu kita hitung rasio belanja pegawai terhadap total belanja daerah. Tujuan penghitungan rasio Belanja Pegawai terhadap total Belanja Daerah adalah untuk mengetahui proporsi Belanja Pegawai terhadap total Belanja Daerah. Data Belanja Pegawai di sini adalah penjumlahan dari Belanja Pegawai langsung dan Belanja Pegawai tidak langsung. Rasio ini menggambarkan bahwa semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Pegawai. Begitu pula sebaliknya, semakin kecil angka rasio Belanja Pegawai maka semakin kecil proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Pegawai APBD. Mengingat jumlah guru mendominasi jumlah keseluruhan dari Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD), maka menjadi penting untuk melihat proporsi jumlah guru terhadap total PNSD di suatu daerah. Selama ini banyak pihak yang menyoroti dan mengkritisi mengenai jumlah Belanja Pegawai yang dinilai terlalu besar dalam APBD. Kritik tersebut didasarkan pada argumen bahwa hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya alokasi untuk Belanja Modal yang nota bene dipandang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pemenuhan pelayanan publik kepada masyarakat. Namun demikian, dalam peraturan perundangan disebutkan bahwa Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dengan prioritas kepada pelaksanaan urusan daerah yang sifatnya wajib. Salah satu urusan wajib adalah bidang pendidikan, sehingga belanja untuk gaji guru sebenarnya dilakukan dalam rangka untuk mendukung pelaksanaan urusan daerah yang sifatnya wajib.
56
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio Belanja Pegawai terhadap total Belanja Daerah sebesar 40,87%. Rasio ini lebih rendah apabila dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya yang mencapai rata-rata 42,78% pada tahun 2013 dan sebesar 44,7% pada tahun 2012. Meskipun relatif kecil, penurunan rasio belanja pegawai secara konsisten dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya upaya rasionalisasi terhadap struktur belanja daerah. Rasio belanja pegawai agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan bahwa 15 provinsi rasionya lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 19 provinsi yang lain memiliki rasio belanja pegawai yang melebihi rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai paling kecil adalah Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 22,79%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah Provinsi Jawa Tengah dengan rasio yang mencapai sebesar 51,62%. Grafik 3.1 menunjukkan adanya 3 provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai lebih dari 50%, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Provinsi Jawa Tengah, meskipun rasionya masih lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun lalu. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit provinsi-provinsi tersebut hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk jenis-jenis belanja di luar belanja pegawai. Dengan kata lain, kondisi tersebut akan menyebabkan semakin terbatasnya sumber pendanaan yang dapat digunakan untuk mendanai program dan kegiatan yang dapat mendukung pemenuhan layanan publik.
Analisa Belanja Daerah
57
dibandingkan dengan tahun lalu. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit provinsi-provinsi tersebut hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk jenis-jenis belanja di luar belanja pegawai.Dengan kata lain, kondisi tersebut akan menyebabkan semakin terbatasnya sumber pendanaan yang dapat digunakan untuk mendanai program dan kegiatan yang dapat mendukung pemenuhan layanan publik.
Grafik Grafik 3.13.1 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
60%
51,62%
50% 40,87% 40% 30%
22,79%
20%
0%
DKI Jakarta Kalimantan Utara Papua Barat Kalimantan Timur Papua Kepulauan Riau Riau Banten Sumatera Selatan Kalimantan Tengah Aceh Kalimantan Selatan Maluku Utara Bangka Belitung Kalimantan Barat Jambi Jawa Barat Sulawesi Barat Bali Maluku Sulawesi Tenggara Jawa Timur Sulawesi Tengah Lampung Gorontalo Sulawesi Utara Sumatera Utara Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Bengkulu DI Yogyakarta Sumatera Barat Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah
10%
Sumber: APBD 2014 (Diolah) Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Rasio Jumlah Guru b.b. Rasio Jumlah Guru Terhadap PNSDTerhadap
PNSD
Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio jumlah guru terhadap total PNSD adalah 51,0%, lebih Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio jumlah guru terhadap total PNSD adalah 51,0%, lebih tinggi dibandingkan dengan rasio jumlah guru yang diiringi dengan penurunan rasio belanja pegawai secara keseluruhan menunjukkan bahwa daerah rasio tahun sebelumnya yang mencapai 49,41%. Sama seperti deskripsi semakin rasional dalam alokasi belanja pegawainya yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya porsi jumlah PNS maupun sebelumnya, peningkatan rasio jumlah guru yang diiringi dengan penurunan besaran belanja untuk PNS yang bekerja di bidang administrasi. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD agregat provinsi, rasio belanja pegawai secara keseluruhan menunjukkan bahwa daerah kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan adanya 20 provinsi mempunyai rasio lebih rendah dari rata-rata semakin rasional dalam alokasi belanja yang yang ditunjukkan dengan nasional, sedangkan 14 provinsi yang lain memiliki rasio di atas pegawainya rata-rata nasional. Provinsi memiliki rasio paling kecil semakin menurunnya porsi jumlah PNS maupun besaran belanja untuk PNS yang bekerja di bidang administrasi. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan adanya 20 provinsi mempunyai rasio lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 14 provinsi yang lain memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki rasio paling kecil adalah Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu sebesar 43,6%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah Provinsi DKI Jakarta dengan rasio sebesar 64,0%. tinggi dibandingkan dengan rasio tahun sebelumnya yang mencapai 49,41%. Sama seperti deskripsi sebelumnya, peningkatan
58
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
adalah Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu sebesar 43,6%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah Provinsi DKI Jakarta dengan rasio sebesar 64,0%.
Grafik 3.2 Grafik 3.2 Rasio Jumlah Guru terhadap Total PNSD Rasio Jumlah Guru terhadap Total PNSD Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 70%
64,0%
60% 50%
51,0% 43,6%
40% 30% 20%
0%
Kalimantan Tengah Sulawesi Tenggara Aceh Sulawesi Tengah Bengkulu Nusa Tenggara Barat Kalimantan Selatan Bali Kalimantan Timur Papua Maluku Utara Kepulauan Riau Gorontalo Sulawesi Barat Riau Sulawesi Utara Kalimantan Barat Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Sumatera Selatan Jawa Timur Papua Barat Jambi Lampung Jawa Barat Bangka Belitung DI Yogyakarta Jawa Tengah Sumatera Barat Sumatera Utara Banten Kalimantan Utara Maluku DKI Jakarta
10%
Sumber: DJPK Sumber: DJPK (Data Diolah)(Data
Diolah)
2.2. Pemerintah Pemerintah Kabupaten Kabupaten dan Kota se-Provinsi a.
dan Kota se-Provinsi
Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Grafik 3.3 memperlihatkan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi terhadap
total belanjanya. tersebut terlihat bahwa semua belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota Grafik Dari 3.3grafik memperlihatkan rasiorasio belanja pegawai pemerintah kabupaten se-provinsi memiliki rasio di atas 30%, kecuali Provinsi Kalimantan Utara (25,94%) Provinsi Kalimantan Dari Timur (29,72%). dan pemerintah kota se-provinsi terhadap totaldanbelanjanya. grafik Sementara itu, rata-rata rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi terhadap total
tersebut terlihat bahwa semua rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi memiliki rasio di atas 30%, kecuali Provinsi 2013 yaitu sebesar 49,26% dan tahun 2012 yang mencapai 50,9%. Dengan demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan Kalimantan Utara (25,94%) dan Provinsi Kalimantan Timur (29,72%). pemerintah kota se-provinsi mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai daerah. Dari Sementara itu, rata-rata rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan angka rata-rata tersebut, terdapat 14 provinsi yang memiliki rasio Belanja Pegawai yang lebih rendah, dan 19 provinsi memiliki pemerintah kota terhadap total pada APBD 2014 rasio belanja pegawai yang se-provinsi lebih besar. Pemerintah kabupaten dan belanjanya pemerintah kota se-Provinsi Daerah Istimewa adalah sebesar 48,61%, yangyaituberarti lebih sedangkan rendahpemerintah apabila dibandingkan Yogyakartamemiliki rasio belanja pegawai terbesar, sebesar 59,42%, kabupaten dan pemerintah kota se-Provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah terkecil, sebesar 25,94%.yang dengan rata-rata tahun 2013 yaitu sebesar 49,26% dan yaitu tahun 2012 mencapai 50,9%. Dengan demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai daerah. Dari angka rata-rata tersebut, terdapat 14 provinsi yang memiliki rasio Belanja Pegawai yang lebih belanjanya pada APBD 2014 adalah sebesar 48,61%, yang berarti lebih rendah apabila dibandingkan dengan rata-rata tahun
Analisa Belanja Daerah
59
rendah, dan 19 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih besar. Pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki rasio belanja pegawai terbesar, yaitu sebesar 59,42%, sedangkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-Provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah terkecil, yaitu sebesar 25,94%. Grafik 3.3 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
35%
30,08%
30% 25% 20%
17,65%
15% 10%
8,21%
0%
Papua Barat Jawa Barat Papua Banten Kalimantan Timur Aceh Kalimantan Utara Kepulauan Riau Sumatera Selatan Sumatera Utara Riau Jawa Timur Kalimantan Tengah Lampung Jawa Tengah Sulawesi Barat Kalimantan Selatan Sulawesi Selatan Bangka Belitung DI Yogyakarta Kalimantan Barat Sumatera Barat Nusa Tenggara Timur Jambi Bali Sulawesi Tengah Nusa Tenggara Barat DKI Jakarta Gorontalo Sulawesi Utara Maluku Sulawesi Tenggara Maluku Utara Bengkulu
5%
Sumber: APBD Sumber: APBD 2014 (Diolah)2014
(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta 4. a.b.
Per Wilayah
Rasio Jumlah PNSD Rasio Belanja PegawaiGuru terhadapTerhadap Total Belanja Daerah
Grafik 3.6 memperlihatkan rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total belanja daerah. Berdasarkan grafik Grafik 3.4 memperlihatkan rasio jumlah guru pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi terhadap total PNSD-nya. Dari grafik tersebut wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 32,29%. Rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total terlihat bahwa semua rasio jumlah guru terhadap total PNSD kabupaten belanja daerah masih di bawah 50,0%. Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, wilayah Sulawesi dan kota se-provinsi di atas 45%, dengan rata-rata sebesar 54,7%. Dengan mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi belanja demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/kegiatan non pegawai. mengalokasikan lebih dari setengah belanja pegawai daerahnya untuk Grafik 3.6 membayar gaji guru daerah. Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah
tersebut, dapat diketahui bahwa wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu sebesar 47,52%, sedangkan
60
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Rasio jumlah guru terhadap total PNSD agregat kabupaten dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan bahwa 19 provinsi rasio jumlah guru terhadap total PNSD-nya lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 14 provinsi yang lain memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki rasio paling kecil adalah Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu sebesar 46,9%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah Provinsi Maluku yang mencapai sebesar 62,9%. Grafik 3.4 Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *) 70%
62,9% 54,7%
60% 50%
46,9%
40% 30% 20% 0%
Kalimantan Tengah Sulawesi Tenggara Aceh Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tengah Bali Kalimantan Selatan Bengkulu Papua Kalimantan Timur Kepulauan Riau Maluku Utara Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Sumatera Selatan Kalimantan Barat Sulawesi Utara Riau Jawa Timur Sulawesi Barat Gorontalo Jawa Barat Papua Barat Kalimantan Utara Jawa Tengah Lampung Jambi Banten Sumatera Utara Sumatera Barat Bangka Belitung DI Yogyakarta Maluku
10%
Sumber: DJPK (Data Diolah) 2013 *)Sumber: Tidak termasukDJPK DKI Jakarta
(Data Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta 3. a.
Pemerintah Provinsi Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
3. Pemerintah Provinsi
Pada tahun 2014, rasio belanja pegawai pemerintah provinsi di seluruh Indonesia memiliki persentase rata-rata
sebesar 17,65%, yang berarti lebih rendah apabila dibandingkan denganBelanja rasionya di Daerah tahun 2013, yaitu sebesar 19,33% dan a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total tahun 2012 yang hanya mencapai sebesar 21%. Dari jumlah tersebut, sebanyak 17 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang
Pada tahun 2014, rasio belanja pegawai pemerintah provinsi di seluruh Indonesiabahwa memiliki persentase rata-rata sebesar berarti lebih memperlihatkan pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai17,65%, terbesar adalahyang Pemerintah ProvinsiBengkulu rendah apabila dibandingkan dengan rasionya di tahun 2013, yaitu dengan rasio sebesar 30,08%, sedangkan pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai terkecil adalahsebesar Pemerintah 19,33%Barat danyaitutahun 2012Grafik yang hanya mencapai 21%. Dariprovinsi jumlah ProvinsiPapua sebesar 8,21%. tersebut menunjukkan bahwa rasiosebesar belanja pegawai pemerintah relatif
lebih rendah dibandingkan rata-rata rasio tersebut, sedangkan 17 provinsi memiliki rasio di atas rata-rata. Grafik 3.5
lebih rendah jika dibandingkan dengan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi.
Analisa Belanja Daerah
61
tersebut, sebanyak 17 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih rendah dibandingkan rata-rata rasio tersebut, sedangkan 17 provinsi memiliki rasio di atas rata-rata. Grafik 3.5 memperlihatkan bahwa pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai terbesar adalah Pemerintah Provinsi Bengkulu dengan rasio sebesar 30,08%, sedangkan pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai terkecil adalah Pemerintah Provinsi Papua Barat yaitu sebesar 8,21%. Grafik tersebut menunjukkan bahwa rasio belanja pegawai pemerintah provinsi relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi. Grafik 3.5 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi 35%
30,08%
30% 25% 20%
17,65%
15% 10%
8,21%
0%
Papua Barat Jawa Barat Papua Banten Kalimantan Timur Aceh Kalimantan Utara Kepulauan Riau Sumatera Selatan Sumatera Utara Riau Jawa Timur Kalimantan Tengah Lampung Jawa Tengah Sulawesi Barat Kalimantan Selatan Sulawesi Selatan Bangka Belitung DI Yogyakarta Kalimantan Barat Sumatera Barat Nusa Tenggara Timur Jambi Bali Sulawesi Tengah Nusa Tenggara Barat DKI Jakarta Gorontalo Sulawesi Utara Maluku Sulawesi Tenggara Maluku Utara Bengkulu
5%
Sumber: APBD Sumber: APBD 2014 (Diolah)2014
(Diolah)
Per Wilayah 4. Per Wilayah
4. a.
Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Daerah Grafik 3.6 memperlihatkan rasio belanja pegawai per wilayahBelanja terhadap total belanja daerah.
Berdasarkan grafik
tersebut, dapat diketahui bahwa wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu sebesar 47,52%, sedangkan
Grafik 3.6 memperlihatkan rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total belanja daerah. Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui bahwa belanja daerah masih di bawah 50,0%. Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, wilayah Sulawesi wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu sebesar
wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 32,29%. Rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total
mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi belanja daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/kegiatan non pegawai.
62
Grafik 3.6 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah
47,52%, sedangkan wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 32,29%. Rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total belanja daerah masih di bawah 50,0%. Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, wilayah Sulawesi mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi belanja daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/ kegiatan non pegawai. Grafik 3.6 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah 47,52%
50% 41,10%
41,06%
40%
39,54% 32,29%
35,75%
30%
20%
10%
0% Jawa Bali
Sumatera
Sulawesi
Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumber: APBD 2014 2014 (Diolah) Sumber: APBD (Diolah)
b.
b. Rasio Rasio Guru JumlahJumlah Guru Terhadap PNSD Terhadap PNSD Grafik 3.7 menggambarkan rasio jumlah guru terhadap total PNSD per wilayah. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD
Grafik 3.7 menggambarkan rasio jumlah guru terhadap total PNSD per wilayah. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD per wilayah di Indonesia Jawa dan Bali memiliki rasio jumlah guru tertinggi, yaitu sebesar 54,19%, sedangkan untuk wilayah Kalimantan memiliki rasio memiliki persentase rata-rata sebesar 50,41%. Dari grafik tersebut dapat yang terendah yaitu sebesar 47,66%. Dengan demikian, wilayah Jawa dan Bali mengalokasikan lebih dari setengah belanja dilihat bahwa untuk wilayah Jawa dan Bali memiliki rasio jumlah guru tertinggi, pegawainya untuk membayar belanja pegawai bagi guru daerah. yaitu sebesar 54,19%, sedangkan untuk wilayah Kalimantan memiliki rasio Di wilayah Sulawesi terdapat fakta yang cukup menarik, di satu sisi dalam dua tahun terakhir mengalokasikan Belanja yang terendah yaitu sebesar 47,66%. Dengan demikian, wilayah Jawa dan per wilayah di Indonesia memiliki persentase rata-rata sebesar 50,41%. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk wilayah
Pegawai tertinggi, namun di sisi yang lain jumlah guru di wilayah Sulawesi adalah rendah. Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah Sulawesi alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia. Terhadap hal ini, terdapat pandangan bahwa alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif inilah yang menjadi sorotan masyarakat karena dinilai terlalu “gemuk” dan tidak efisien.
Analisa Belanja Daerah
Grafik 3.7 Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah*)
63
Bali mengalokasikan lebih dari setengah belanja pegawainya untuk membayar belanja pegawai bagi guru daerah. Di wilayah Sulawesi terdapat fakta yang cukup menarik, di satu sisi dalam dua tahun terakhir mengalokasikan Belanja Pegawai tertinggi, namun di sisi yang lain jumlah guru di wilayah Sulawesi adalah rendah. Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah Sulawesi alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia. Terhadap hal ini, terdapat pandangan bahwa alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif inilah yang menjadi sorotan masyarakat karena dinilai terlalu “gemuk” dan tidak efisien. Grafik 3.7 Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah*) 56% 54,19% 54% 51,99% 52% 50,41%
50% 48,22% 48%
50,00% 47,66%
46% 44% Jawa Bali
Sumatera
Sulawesi
Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumber: DJPK (Data Diolah) Sumber: DJPK 2014 (Data Diolah)
B.
Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah
B. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Porsi belanja modal dalam APBD merupakan komponen belanja yang sangat penting karena realisasi belanja modal Daerah akan memiliki multiplier effect dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. Oleh karena itu, semakin tinggi angka rasionya, diharapkan akan semakin baik pengaruhnya ekonomi. Sebaliknya, semakin rendah angkanya, semakin Porsi belanja modal terhadap dalam pertumbuhan APBD merupakan komponen belanja yang berkurang pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi.belanja sangat penting karena realisasi
modal akan memiliki multiplier effect
Alokasi Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah mencerminkan porsi belanja daerah yang dibelanjakan untuk membiayai Belanja Modal. Belanja Modal ditambah Belanja Barang dan Jasa merupakan belanja pemerintah daerah yang
64
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
mempunyai pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah, di samping pengaruh dari sektor swasta, rumah tangga, dan luar negeri.
dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. Oleh karena itu, semakin tinggi angka rasionya, diharapkan akan semakin baik pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, semakin rendah angkanya, semakin berkurang pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Alokasi Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah mencerminkan porsi belanja daerah yang dibelanjakan untuk membiayai Belanja Modal. Belanja Modal ditambah Belanja Barang dan Jasa merupakan belanja pemerintah daerah yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah, di samping pengaruh dari sektor swasta, rumah tangga, dan luar negeri.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 3.8 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja secara agregat provinsi, kabupaten dan kota. Rata-rata rasio belanja modal terhadap total belanja secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah sebesar 25,86%, lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio belanja modal pada APBD 2013 sebesar 24,81%. Sementara itu, rata-rata porsi belanja modal dalam APBD 2012 menunjukkan angka yang sedikit lebih rendah, yaitu sebesar 23,4%. Hal ini menunjukkan adanya shifting atau pergeseran dari penurunan porsi belanja pegawai kepada peningkatan belanja modal, yang berarti dapat menjadi indikasi positif terhadap perbaikan kualitas struktur belanja daerah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 18 provinsi masih memiliki rasio belanja modal di bawah rata-rata, sedangkan 16 provinsi lainnya berada di atas rata-rata. Dari keseluruhan agregat provinsi, kabupaten, dan kota tersebut, provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu sebesar 15,30%, sedangkan Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio tertinggi, yaitu sebesar 44,75%. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi di Indonesia masih menganggarkan belanja modal dengan proporsi yang kecil, yaitu di bawah 25%.
Analisa Belanja Daerah
65
Dari keseluruhan agregat provinsi, kabupaten, dan kota tersebut, provinsi yang memiliki rasio terendah adalah ProvinsiDaerah Istimewa Yogyakarta, yaitu sebesar 15,30%, sedangkan Provinsi DKI Jakartamemiliki rasio tertinggi, yaitu sebesar 44,75%. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi di Indonesia masih menganggarkan belanja modal dengan proporsi yang kecil, yaitu dibawah 25%.
Grafik 3.8 Grafik 3.8 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 50%
44,75%
40% 25,86%
30% 20%
15,30%
0%
DI Yogyakarta Jawa Tengah Bali Jawa Barat Jawa Timur Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sumatera Barat Nusa Tenggara Timur Bengkulu Gorontalo Maluku Sulawesi Barat Sulawesi Utara Lampung Sumatera Utara Bangka Belitung Aceh Kalimantan Barat Kepulauan Riau Papua Maluku Utara Sulawesi Tenggara Papua Barat Kalimantan Tengah Sumatera Selatan Banten Jambi Kalimantan Selatan Riau Kalimantan Timur Kalimantan Utara DKI Jakarta
10%
Sumber APBD Sumber : APBD :2014 (Diolah) 2014 2.2.
(Diolah)
Pemerintah KabupatenKabupaten dan Kota se-Provinsidan Kota se-Provinsi Pemerintah Rasio belanja modal terhadap belanja daerah yang ditunjukkan pada grafik 3.9 memperlihatkan bahwa secara rata-
Rasio belanja modal terhadap belanja daerah yang ditunjukkan pada grafikrata-ratanya 3.9 memperlihatkan secara nasional, belanja dengan pada tahun 2013 sebesar bahwa 25,36%, serta tahun 2012rata-rata sebesar 24,1%.Dari rata-rata rasio tersebut,terdapat 14 modal belanja sebesar 26,14%, yang berarti lebih tinggi provinsi yangterhadap memiliki rasio belanja modal daerah lebih besar dari rata-rata, sedangkan 19 provinsi memiliki rasio yang lebih kecil dari rata-rata. Pemerintah kabupaten dandengan pemerintah rata-ratanya kota di Provinsi Kalimantan memiliki rasio belanja modal 25,36%, yang terbesar apabila dibandingkan padaUtara tahun 2013 sebesar yaitu sebesar 45,82%, sedangkan pemerintahkabupaten pemerintah kota ditersebut, Provinsi Daerahterdapat Istimewa Yogyakarta memiliki serta tahun 2012 sebesar 24,1%. dan Dari rata-rata 14 provinsi rasio terkecil yaitu 15,73%. yang memiliki rasio belanja modal lebih besar dari rata-rata, sedangkan 19 Grafik 3.9 provinsi memiliki rasio yang lebihModal kecil dari rata-rata. Pemerintah kabupaten Rasio Belanja Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *) dan pemerintah kota di Provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio belanja modal yang terbesar yaitu sebesar 45,82%, sedangkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki rasio terkecil yaitu 15,73%. rata nasional, rasio belanja modal terhadap belanja daerah sebesar 26,14%, yang berarti lebih tinggi apabila dibandingkan
66
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 3.9 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *) 50%
45,82%
40% 30%
26,14%
20% 15,73%
0%
DI Yogyakarta Jawa Tengah Bali Sumatera Barat Nusa Tenggara Barat Jawa Barat Jawa Timur Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Barat Sulawesi Utara Maluku Lampung Bengkulu Sumatera Utara Bangka Belitung Aceh Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara Maluku Utara Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Banten Jambi Kalimantan Selatan Papua Papua Barat Sumatera Selatan Riau Kalimantan Timur Kalimantan Utara
10%
Sumber: APBD Sumber: APBD 2014 (Diolah) 2014 *) Tidak termasuk DKI Jakarta
(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3.
Pemerintah Provinsi
Gambaran mengenai rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja daerah dapat dilihat pada Grafik 3. Pemerintah Provinsi 3.10. Grafik tersebut menunjukkan bahwa rata-rata rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja
Gambaran mengenai rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total2012belanja daerah 3.10. tahun sebesar 17,4%. Dilihat dari dapat rata-ratanya,dilihat terdapat 20pada pemerintahGrafik provinsi yang memiliki Grafik rasio belanjatersebut modal lebih menunjukkan bahwa rata-rata rasio belanja modal pemerintah provinsi besar dari rata-rata, sedangkan 14 provinsi lainnya lebih kecil dari rata-rata. Dari keseluruhan provinsi, Provinsi Jawa Barat memilikisebesar rata-rata rasio belanja modalpemerintah provinsiterhadap terhadap total belanja daerah adalah 19,56%, yang berarti lebih belanja daerahyang terendah yaitu sebesar 6,56%, sedangkan Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio belanja modalpemerintah tinggi jika dibandingkan dengan rasio pada tahun 2013 sebesar 18,85%, provinsiterhadap belanja daerah tertinggi yaitu sebesar 44,75%.Dilihat dari rata-ratanya, terdapat 20 serta tahun 2012 sebesar 17,4%. Grafik 3.10 pemerintah provinsiRasio yang rasio modal Belanjamemiliki Modal Terhadap Belanja belanja Daerah Pemerintah Provinsilebih besar dari ratarata, sedangkan 14 provinsi lainnya lebih kecil dari rata-rata. daerahadalah sebesar 19,56%, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio pada tahun 2013 sebesar 18,85%, serta
Dari keseluruhan provinsi, Provinsi Jawa Barat memiliki rata-rata rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap belanja daerah yang terendah yaitu sebesar 6,56%, sedangkan Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio belanja
Analisa Belanja Daerah
67
modal pemerintah provinsi terhadap belanja daerah tertinggi yaitu sebesar 44,75%. Grafik 3.10 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi 50%
44,75%
40% 30% 19,56%
20%
0%
6,56%
Jawa Barat Jawa Timur Bali Jawa Tengah Sulawesi Tengah DI Yogyakarta Sulawesi Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Barat Nusa Tenggara Timur Bengkulu Sumatera Utara Nusa Tenggara Barat Maluku Lampung Kalimantan Utara Papua Sulawesi Utara Riau Gorontalo Sulawesi Barat Aceh Bangka Belitung Sumatera Barat Banten Kepulauan Riau Kalimantan Tengah Papua Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Jambi Maluku Utara Sulawesi Tenggara DKI Jakarta
10%
Sumber: APBD Sumber: APBD 2014 (Diolah) 2014
(Diolah)
4.4. Per Per Wilayah Wilayah Grafik 3.11 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja daerah di 5 wilayah yaitu Sumatera, Jawa dan
Grafik Sulawesi, 3.11 serta menunjukkan belanja modal totalrata-rata belanja Bali, Kalimantan, dan Nusa Tenggara,rasio Maluku, dan Papua. Grafik tersebutterhadap menunjukkanbahwa rasio daerah 5 wilayah Sumatera, Jawaadalah dansebesar Bali,26,80%, Kalimantan, Sulawesi, belanja modaldi terhadap total belanjayaitu daerahdi5 wilayah di Indonesia yang berarti lebih tinggi jika serta dan Nusa Tenggara, Maluku, dan25,85%. Papua. Grafik tersebut dibandingkan dengan rata-rata rasio pada tahun 2013 sebesar Dari grafik tersebut juga dapatmenunjukkan dilihat bahwa rasio belanja modal rata-rata terhadap total belanja di 4 wilayah yaitu Jawa dan Bali, Sumatera, serta daerah dan Nusa Tenggara, bahwa rasiodaerah belanja modal terhadap total Sulawesi, belanja di 5 Maluku, dan Papuamemiliki rasio lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata rasio secara nasional. Sementara itu, wilayah di Indonesia adalah sebesar 26,80%, yang berarti lebih tinggi untuk jika wilayah Kalimantan memiliki rasio lebih besar darirata-rata rasionya secara nasional. Adapun Belanja Modal yang tertinggi dibandingkan dengan rata-rata rasio pada tahun 2013 sebesar 25,85%. terdapat di wilayah Kalimantan, yaitu sebesar 35,19%, dan yang terkecil terdapat di wilayah Sulawesi, yaitu sebesar 22,77%. Dari grafik tersebut juga dapat dilihat bahwa rasio belanja modal terhadap total belanja daerah di 4 wilayah yaitu Jawa dan Bali, Sumatera, Sulawesi, serta dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua memiliki rasio lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata rasio secara nasional. Sementara itu, untuk wilayah Kalimantan memiliki rasio lebih besar dari rata-rata rasionya secara nasional. Adapun Belanja Modal yang tertinggi terdapat di wilayah Kalimantan, Grafik 3.11 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*)
68
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
yaitu sebesar 35,19%, dan yang terkecil terdapat di wilayah Sulawesi, yaitu sebesar 22,77%. Grafik 3.11 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*) 40% 35,19% 30%
26,56%
26,80% 22,77%
20%
25,60%
23,86%
10%
0% Jawa Bali
Sumatera
Sulawesi
Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumber: APBD 2014 (Diolah) Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta *) Tidak termasuk DKI Jakarta
C.
Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk terhadap Jumlah Penduduk C. Rasio Belanja Modal Untuk mengetahui seberapa besar belanja modal yang dialokasikan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur
Untuk mengetahui seberapa besar belanja modal yang dialokasikan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur daerah per penduduk, dalam agregat provinsi, agregat kabupaten/kota, maupun per wilayah. Rasio belanja modal per kapita memiliki hubungan yang erat sub bab ini akan digambarkan mengenai rasio belanja modal per kapita, dengan pertumbuhan ekonomi mengingat belanja modal merupakan salah satu jenis belanja pemerintah yang menjadi baik secara nasional, agregat provinsi, agregat kabupaten/kota, maupun per pendorong pertumbuhan ekonomi. Rasio ini bermanfaat untuk menunjukkan perhatian pemerintah dalam meningkatkan wilayah. Rasio belanja modal per kapita memiliki hubungan yang erat dengan perekonomian penduduknya yang dilihat dari alokasi belanja yang dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur. pertumbuhan ekonomi mengingat belanja modal merupakan salah satu jenis belanja pemerintah yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Rasio ini 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota bermanfaat untuk menunjukkan perhatian pemerintah dalam meningkatkan Grafik 3.12 menunjukkan rasio belanja modal per kapita seluruh provinsi (agregat provinsi, kabupaten dan kota), dan perekonomian penduduknya yang dilihat dari alokasi belanja yang dikeluarkan memperlihatkan rata-rata rasio belanja modal per kapita tahun 2014 sebesar Rp1,586 juta, yang berarti lebih tinggi jika untuk pembangunan infrastruktur. daerah per penduduk, dalam sub bab ini akan digambarkan mengenai rasio belanja modal per kapita, baik secara nasional,
dibandingkan dengan rata-ratanya dalam tahun 2013 sebesar Rp1,25 juta. Dari data tersebut, hanya 10 provinsi yang memiliki
rasio belanja modal perkapita lebih besar dari rata-rata nasional, sedangkan 24 provinsi lainnya memiliki rasio belanja modal perkapita lebih rendah dari rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita
Analisaadalah Belanja Daerah 69 tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Utara sebesar Rp7,836 juta, sedangkan yang terendah Provinsi Jawa Barat sebesar Rp0,302 juta.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 3.12 menunjukkan rasio belanja modal per kapita seluruh provinsi (agregat provinsi, kabupaten dan kota), dan memperlihatkan rata-rata rasio belanja modal per kapita tahun 2014 sebesar Rp1,586 juta, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-ratanya dalam tahun 2013 sebesar Rp1,25 juta. Dari data tersebut, hanya 10 provinsi yang memiliki rasio belanja modal per kapita lebih besar dari rata-rata nasional, sedangkan 24 provinsi lainnya memiliki rasio belanja modal per kapita lebih rendah dari rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi yang memiliki rasio belanja modal per kapita tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Utara sebesar Rp7,836 juta, sedangkan yang terendah adalah Provinsi Jawa Barat sebesar Rp0,302 juta. Grafik 3.12 Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
9.000.000
7.836.252
8.000.000 7.000.000 6.000.000 5.000.000 4.000.000 3.000.000 1.586.001
2.000.000 -
302.451 Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur DI Yogyakarta Nusa Tenggara Barat Banten Lampung Bali Sumatera Utara Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Sulawesi Barat Sulawesi Tengah Kalimantan Barat Gorontalo Bengkulu Sumatera Selatan Sulawesi Utara Maluku Jambi Bangka Belitung Sulawesi Tenggara Kalimantan Selatan Kepulauan Riau Aceh Riau Kalimantan Tengah Maluku Utara DKI Jakarta Papua Kalimantan Timur Papua Barat Kalimantan Utara
1.000.000
Sumber: APBD Sumber: APBD 2014 (Diolah)2014
2.
(Diolah)
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi Rasio belanja modal perkapita kabupaten dan kota se-provinsi menggambarkan besaran belanja modal yang
dibelanjakan untuk pembangunan infrastruktur kabupaten dan kota per penduduk di setiap provinsi. Dari data APBD dapat dilihat bahwa provinsi-provinsi yang menganggarkan APBD untuk belanja modal yang besar atau di atas rata-rata nasional adalah provinsi yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang besar, dan atau memperoleh alokasi Transfer ke Daerah
dandariAnalisis APBD 2014 Khusus. 70 besar dariDeskripsi yang pusat terutama DBH SDA dan Dana Otonomi Grafik 3.13 menunjukkan rasio belanja modal per kapitapemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi. Secara nasional, rata-rata rasio belanja modalper kapita kabupaten dan kota se-provinsi tahun 2014 adalah Rp1,248 juta, atau
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi Rasio belanja modal per kapita kabupaten dan kota se-provinsi menggambarkan besaran belanja modal yang dibelanjakan untuk pembangunan infrastruktur kabupaten dan kota per penduduk di setiap provinsi. Dari data APBD dapat dilihat bahwa provinsi-provinsi yang menganggarkan APBD untuk belanja modal yang besar atau di atas rata-rata nasional adalah provinsi yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang besar, dan atau memperoleh alokasi Transfer ke Daerah yang besar dari pusat terutama dari DBH SDA dan Dana Otonomi Khusus. Grafik 3.13 menunjukkan rasio belanja modal per kapita pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi. Secara nasional, rata-rata rasio belanja modal per kapita kabupaten dan kota se-provinsi tahun 2014 adalah Rp1,248 juta, atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-ratanya dalam tahun 2013 sebesar Rp0,97 juta. Pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi yang memiliki rasio belanja modal per kapita lebih rendah dari rata-rata sebanyak 25 provinsi, sedangkan yang di atas rata-rata sebanyak 8 provinsi. Kabupaten dan kota se-provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio belanja modal per kapita tertinggi yaitu sebesar Rp7,216 juta, sedangkan kabupaten dan kota se-Provinsi Jawa Barat memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar Rp0,271 juta.
Analisa Belanja Daerah
71
Grafik 3.13 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *) 8.000.000
7.216.717
7.000.000 6.000.000 5.000.000 4.000.000 3.000.000 2.000.000 -
1.248.389 271.755 Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Nusa Tenggara Barat Lampung Bali Sumatera Utara Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Sulawesi Barat Sumatera Barat Sulawesi Tengah Gorontalo Kalimantan Barat Bengkulu Bangka Belitung Sulawesi Utara Sumatera Selatan Jambi Maluku Aceh Sulawesi Tenggara Kalimantan Selatan Kepulauan Riau Riau Maluku Utara Kalimantan Tengah Papua Papua Barat Kalimantan Timur Kalimantan Utara
1.000.000
Sumber: 2014 (Diolah) Sumber: APBD APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
*) Tidak termasuk DKI Jakarta 3.
Pemerintah Provinsi
3. Pemerintah Provinsi Grafik 3.14 menunjukkan rasio belanja modal per kapita pemerintah provinsi. Rata-rata nasional rasio belanja modal
per kapita pemerintah provinsi tahun 2014 sebesar Rp0,374 juta, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata
Grafik 3.14 menunjukkan rasio belanja modal per kapita pemerintah provinsi. Rata-rata nasional rasio belanja modal per kapita pemerintah provinsi penduduk di bawah rata-rata nasional, yaitu sebanyak 26 provinsi, serta hanya 8 provinsi yang memiliki rasio di atas rata-rata tahun 2014 sebesar Rp0,374 juta, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan nasional. Pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita tertinggi adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dengan rata-rata tahun sebelumnya sebesar Rp0,28 juta. Sebagian besar yaitu sebesar Rp2,916 juta sedangkan yang terendah adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yaitu sebesar Rp0,031 juta. pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal terhadap jumlah penduduk di bawah rata-rata nasional, yaitu sebanyak 26 provinsi, serta hanya 8 provinsi yang memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja modalGrafikper 3.14 kapita tertinggi adalah Pemerintah Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp2,916 juta sedangkan yang terendah adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yaitu sebesar Rp0,031 juta. tahun sebelumnya sebesar Rp0,28 juta. Sebagian besar pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal terhadap jumlah
72
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 3.14 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi 3.200.000
2.916.738
2.800.000 2.400.000 2.000.000 1.600.000 1.200.000 800.000 -
374.329 30.696 Jawa Barat Jawa Timur Jawa Tengah Nusa Tenggara Timur Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Bali Sumatera Utara Nusa Tenggara Barat Lampung DI Yogyakarta Sumatera Selatan Kalimantan Barat Banten Sumatera Barat Bengkulu Maluku Sulawesi Utara Sulawesi Barat Gorontalo Sulawesi Tenggara Jambi Riau Kalimantan Tengah Bangka Belitung Kalimantan Selatan Maluku Utara Kepulauan Riau Aceh Kalimantan Utara Papua Kalimantan Timur Papua Barat DKI Jakarta
400.000
Sumber: APBD 2014 (Diolah) Sumber: APBD 2014 (Diolah)
4. Per Wilayah 4.
Per Wilayah
Rasio belanja modal per kapita per wilayah yang ditunjukkan pada grafik belanja modal perkapita per wilayah yang ditunjukkan pada grafik 3.15 memperlihatkan bahwa rasio rata-rata 3.15Rasio memperlihatkan bahwa rasio rata-rata belanja modal per kapita adalah belanja modal perkapita adalah sebesar Rp1,31 juta. Rasio belanja modal perkapita tertinggi berada di wilayah Kalimantan, sebesar Rp1,31 juta. Rasio belanja modal per kapita tertinggi berada di yaitu sebesar Rp2,48 juta. Hal ini menandakan bahwa anggaran belanja modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah Kalimantan, yaitu sebesar Rp2,48 juta. Hal ini menandakan bahwa wilayah Kalimantan lebih tinggi di bandingkan dengan daerah lain. Sementara itu, rasio belanja modal perkapita terendah adalah anggaran belanja modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah di wilayah Jawa dan Bali, yaitu sebesar Rp0,55 juta. Kalimantan lebih tinggi di bandingkan dengan daerah lain. Sementara itu, rasio belanja modal per kapita terendah adalah di wilayah Jawa dan Bali, yaitu sebesar Rp0,55 juta.
Grafik 3.15 Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah *)
Analisa Belanja Daerah
73
Grafik 3.15 Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah *) 3.000.000 2.482.181
2.500.000 2.000.000
1.550.466 1.500.000
1.309.836
1.000.000
1.057.273
913.355
Sumatera
Sulawesi
545.903 500.000 Jawa Bali
Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumber: APBD 2014 Sumber: APBD 2014 (Diolah)(Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
*) Tidak termasuk DKI Jakarta D.
Rasio Belanja Bantuan SosialTerhadap Total Belanja Daerah Belanja Bantuan Sosial merupakan salah satu pos dalam belanja tidak langsung. Secara Total definisi, bantuan sosial D. Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
adalah pemberian bantuan yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif dalam bentuk uang/barang kepada masyarakat
atau organisasi profesi yang bertujuan untuk kepentingan umum. Dalam bantuan sosial ini termasuk di dalamnya antara lain
Belanja Bantuan Sosial merupakan salah yaitu bantuan partai politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
satu pos dalam belanja tidak langsung. Secara definisi, bantuan sosial adalah pemberian bantuan yang Dari sisi pemerintah daerah, bantuan sosial ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kegiatan dengan kegiatan sifatnya tidak terusdaerah menerus dan keduanya selektifmenggunakan dalam bentuk uang/barang yang dilakukan oleh satuansecara kerja perangkat (SKPD) mengingat dana dari APBD. Sebagai contoh, kepada organisasi profesi yangbantuan bertujuan untuk kepentingan bantuan sosial masyarakat kepada masyarakatatau di lingkungan kumuh, pondok pesantren, untuk bidang sanitasi, serta penyediaan umum. bantuan sosialolehiniSKPD. termasuk di pemantauan dalamnya antara yaitu akses air bersih,Dalam yang dalam juga dilaksanakan Oleh karena itu, terhadap jumlah lain anggaran yang dialokasikan Belanjapolitik Bantuan sesuai Sosial perlu dilakukan peraturan pemantauan dalam pelaksanaannya. Agar pengelolaan Belanja bantuanuntuk partai dengan perundang-undangan. Bantuan Sosial dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, saat ini Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam
Dari sisi pemerintah daerah, bantuan sosial ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kegiatan dengan kegiatan yang dilakukan oleh satuan kerja Pendapatan dan Belanja Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012. perangkat daerah (SKPD) mengingat keduanya menggunakan dana dari Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap total Belanja Daerah mencerminkan porsi Belanja Daerah yang dibelanjakan APBD. Sebagai contoh, bantuan sosial kepada masyarakat di lingkungan untuk Belanja Bantuan Sosial. Semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk kumuh, pesantren, bantuan untuk bidang serta penyediaan Belanja Bantuanpondok Sosial, demikian juga sebaliknya semakin kecil angka rasio Belanjasanitasi, Bantuan Sosial maka semakin kecil pula akses air bersih, yang dalam juga dilaksanakan oleh SKPD. Oleh karena itu, proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial. pemantauan terhadap jumlah anggaran yang dialokasikan untuk Belanja Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran
74
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Bantuan Sosial perlu dilakukan pemantauan dalam pelaksanaannya. Agar pengelolaan Belanja Bantuan Sosial dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, saat ini Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012. Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap total Belanja Daerah mencerminkan porsi Belanja Daerah yang dibelanjakan untuk Belanja Bantuan Sosial. Semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial, demikian juga sebaliknya semakin kecil angka rasio Belanja Bantuan Sosial maka semakin kecil pula proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Rata-rata pengeluaran daerah untuk belanja bantuan sosial pada APBD 2014 secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah sebesar 0,92%, yang berarti lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata pada tahun 2013 sebesar 1,05%. Dari 34 provinsi di Indonesia, yang memiliki angka rasio di bawah angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah 26 provinsi, dan sisanya sebanyak 8 provinsi memiliki angka rasio yang lebih besar dari angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi Sumatera Selatan memiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah yang terkecil, yaitu sebesar 0,17%, sedangkan daerah yang memiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah terbesar secara agregat adalah Provinsi Papua, yaitu sebesar 3,06%. Gambaran ini dapat dilihat pada Grafik 3.16 di bawah ini.
Analisa Belanja Daerah
75
34 provinsi di Indonesia, yang memiliki angka rasio dibawah angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah 26 provinsi, dan sisanya sebanyak8 provinsi memiliki angka rasio yang lebih besar dari angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi Sumatera Selatanmemiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah yang terkecil, yaitu sebesar0,17%, sedangkan daerah yang memiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah terbesar secara agregat adalah ProvinsiPapua, yaitu sebesar 3,06%. Gambaran ini dapat dilihat pada Grafik 3.16 di bawah ini.
Grafik 3.16 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Grafik 3.16 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
3,50%
3,06%
3,00% 2,50% 2,00% 1,50% 1,00% 0,50%
0,92% 0,17% Sumatera Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Kalimantan Barat Sulawesi Tengah Riau Lampung Maluku Kalimantan Selatan Bangka Belitung Kalimantan Timur Jawa Barat Sumatera Utara Jawa Tengah Sulawesi Utara Sumatera Barat Maluku Utara Jawa Timur Gorontalo Kalimantan Utara Nusa Tenggara Timur Kalimantan Tengah Jambi Banten Sulawesi Barat DI Yogyakarta Bali Nusa Tenggara Barat DKI Jakarta Aceh Bengkulu Kepulauan Riau Papua Barat Papua
0,00%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah) 2.
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
2. Pemerintah dan Kota se-Provinsi Rata-rata rasio belanjaKabupaten bantuan sosial terhadap total belanja daerah dalam APBD 2014 pada pemerintah kabupaten
dan pemerintah kota se-provinsi adalah sebesar 0,87% dari total belanja daerah, yang berarti lebih rendah jika dibandingkan
Rata-rata rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah dalam APBD 2014 pada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi belanja bantuan sosial yang lebih kecil dari rata-rata, dan sebanyak 7 provinsi memiliki rasio yang lebih besar dari rata-rata. adalah sebesar 0,87% dari total belanja daerah, yang berarti lebih rendah jika Dari Grafik 3.17 terlihat bahwa pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di ProvinsiPapuaBarat memiliki rasio belanja dibandingkan dengan rasio pada APBD tahun anggaran sebelumnya sebesar bantuan sosial yang tertinggi, yaitu sebesar 4,03%, sedangkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di ProvinsiSumatera 0,93%. hal tersebut, sebanyak 26 provinsi memiliki rasio belanja bantuan Selatan memilikiDari rasio terendah, yaitu sebesar 0,20%. sosial yang lebih kecil dari rata-rata, dan sebanyak 7 provinsi memiliki rasio yang lebih besar dari rata-rata. Dari Grafik 3.17 terlihat bahwa pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Papua Barat memiliki rasio belanja bantuan sosial yang tertinggi, yaitu sebesar 4,03%, sedangkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Sumatera Selatan memiliki rasio terendah, yaitu sebesar 0,20%. dengan rasio pada APBD tahun anggaran sebelumnya sebesar 0,93%. Dari hal tersebut, sebanyak 26 provinsi memiliki rasio
76
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 3.17 Grafik 3.17 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah Rasio BelanjaPemerintah Bantuan Sosial Terhadap Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *) 4,50%
4,03%
4,00% 3,50% 3,00% 2,50% 2,00% 1,50%
0,87%
1,00% 0,00%
0,20% Sumatera Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah Kalimantan Barat Riau Maluku Lampung Kalimantan Tengah Bengkulu Kalimantan Selatan Maluku Utara Bali Sulawesi Utara Bangka Belitung Banten Jawa Barat Kalimantan Timur Nusa Tenggara Timur Sumatera Utara Jawa Tengah Jambi Sumatera Barat Jawa Timur Sulawesi Barat Kalimantan Utara Gorontalo DI Yogyakarta Aceh Nusa Tenggara Barat Kepulauan Riau Papua Papua Barat
0,50%
Sumber: APBD 2014 (Diolah) Sumber: APBD 2014 *) Tidak termasuk DKI Jakarta
(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta 3.
Pemerintah Provinsi Dalam APBD 2014, rasio belanja bantuan sosial terhadap belanja daerah pemerintah provinsi memperlihatkan bahwa
3. Pemerintah Provinsi
secara rata-rata rasio belanja bantuan sosial adalah sebesar 1,05% dari total belanja daerah, yang berarti lebih rendah jika
Dalam rasio bantuan sosial daerah dibandingkan denganAPBD rasio pada2014, APBD 2013 sebesarbelanja 1,06%. Berdasarkan angka rata-rataterhadap rasio belanja belanja bantuan sosial tersebut, terdapat 22 provinsi yang memiliki rasio lebih kecil dari angka rata-rata, sedangkan 12 provinsi lainnya memiliki yang lebih pemerintah provinsi memperlihatkan bahwa secara rata-rata rasiorasiobelanja besar dari angkasosial rata-rata.Dari kondisisebesar tersebut, terdapat 3 provinsi tidak menganggarkan belanja bantuan dalam bantuan adalah 1,05% dariyangtotal belanja daerah, yangsosial berarti APBD 2014,rendah yaitu Provinsi Barat, Provinsidengan Sulawesi Selatan, ProvinsiAPBD Sulawesi 2013 Tenggara. sebesar Grafik 3.18 lebih jikaSumatera dibandingkan rasio danpada menunjukkan Pemerintah ProvinsiBengkulu memiliki rasio belanjabelanja bantuan social tertinggi dalam APBDtersebut, 2014, yaitu 1,06%.bahwa Berdasarkan angka rata-rata rasio bantuan sosial sebesar 7,86% dari total belanja daerah, namun dalam APBD 2013 Provinsi Bengkulu tidak menganggarkan belanja bantuan
terdapat 22 provinsi yang memiliki rasio lebih kecil dari angka rata-rata, sedangkan 12 provinsi lainnya memiliki rasio yang lebih besar dari angka 0,0002% dari total belanja daerah. rata-rata. Dari kondisi tersebut, terdapat 3 provinsi yang tidak menganggarkan belanja bantuan sosial dalam APBD 2014, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Grafik 3.18 Rasio Belanja BantuanProvinsi Sosial Terhadap Belanja Daerah Tenggara. Grafik 3.18 Provinsi Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Pemerintah Provinsi menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi Bengkulu memiliki rasio belanja bantuan sosial tertinggi dalam APBD 2014, yaitu sebesar 7,86% dari total belanja daerah, namun dalam APBD 2013 Provinsi Bengkulu tidak
sosial. Adapun Provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Pemerintah ProvinsiKalimantan Selatan yang memiliki rasio sebesar
Analisa Belanja Daerah
77
menganggarkan belanja bantuan sosial. Adapun Provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan yang memiliki rasio sebesar 0,0002% dari total belanja daerah. Grafik 3.18 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi 7,86%
1,05% 0,00% Sumatera Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Sumatera Utara Kalimantan Barat Lampung Kalimantan Timur Bangka Belitung Jawa Timur Jawa Barat Gorontalo Sulawesi Tengah Riau Jawa Tengah Kalimantan Utara Maluku DI Yogyakarta Papua Barat Sulawesi Utara Sulawesi Barat Jambi Maluku Utara Banten Kepulauan Riau Nusa Tenggara Timur Papua DKI Jakarta Nusa Tenggara Barat Kalimantan Tengah Aceh Bali Bengkulu
8% 7% 6% 5% 4% 3% 2% 1% 0%
Sumber: APBD 2014 (Diolah) Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Wilayah 4.4. Per Per Wilayah Untuk memetakan rasio belanjarasio bantuan belanja sosial terhadap total belanja sosial daerah berdasarkan clustering wilayah, daerah Untuk memetakan bantuan terhadap total belanja didaerah Indonesia dibagi menjadi 5 wilayah. Grafik 3.19 memperlihatkan rasio di belanja bantuan sosialdibagi terhadap menjadi total belanja berdasarkan clustering wilayah, bahwa daerah Indonesia daerah per wilayah di Indonesia memiliki rata-rata rasio sebesar 0,93%. Dengan perhitungan rasio ini, dapat diketahui bahwa
5 wilayah. Grafik 3.19 memperlihatkan bahwa rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah per wilayah di Indonesia memiliki rata-rata belanja bantuan sosial terendah adalah Sulawesi yaitu sebesar 0,39%. rasio sebesar 0,93%. Dengan perhitungan rasio ini, dapat diketahui bahwa Grafik 3.19 wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua memiliki rasio tertinggi yaitu Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah per Wilayah *) sebesar 2,02%, sedangkan wilayah yang memiliki rasio belanja bantuan sosial terendah adalah Sulawesi yaitu sebesar 0,39%. wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua memiliki rasio tertinggi yaitu sebesar 2,02%, sedangkan wilayah yang memiliki rasio
78
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 3.19 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah per Wilayah *) 2,50% 2,02%
2,00%
1,50%
1,00%
0,93%
0,92% 0,82%
0,50%
0,39%
0,52%
0,00% Jawa Bali
Sumatera
Sulawesi
Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumber: APBD 2014 (Diolah) Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI *) Tidak Jakarta termasuk DKI Jakarta
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
79
BAB IV ANALISIS SURPLUS/DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH
APBD disusun sebagai suatu perencanaan terkait pendapatan dan belanja. Dalam anggaran, apabila pendapatan lebih besar daripada belanja, maka akan terjadi surplus, dan sebaliknya jika belanja lebih besar daripada pendapatan, maka akan terjadi defisit. Apabila dalam APBD direncanakan akan terdapat surplus/defisit, maka APBD tersebut wajib mencantumkan pos pembiayaan yang meliputi anggaran Penerimaan Pembiayaan dan Pengeluaran Pembiayaan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pos Penerimaan Pembiayaan berfungsi untuk menutupi defisit, sedangkan pos Pengeluaran Pembiayaan berfungsi untuk menyalurkan dana surplus. Dari data APBD 2014 yang diterima dari daerah dapat diketahui bahwa sebagian besar pemerintah daerah menyusun APBDnya defisit.
A. Defisit Sejak pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang diterapkan tahun 2001, daerah diberikan keleluasaan dalam penyusunan APBD apakah menerapkan pola anggaran berimbang, surplus, ataupun defisit. Berdasarkan data APBD TA 2014 diketahui jumlah daerah otonom adalah sebanyak 505 kabupaten/kota dan 34 provinsi. Daerah yang menerapkan anggaran defisit sebanyak 472 daerah, meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 447 daerah. Sementara itu, daerah yang menerapkan anggaran surplus sebanyak 51 daerah, lebih sedikit apabila dibandingkan dengan tahun
80
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
sebelumnya sebanyak 68 daerah, sedangkan sisanya sebanyak 16 daerah menerapkan pola anggaran berimbang. Banyaknya daerah yang menerapkan pola anggaran defisit selain ditujukan untuk menutupi kebutuhan anggaran belanja yang dibiayai dari pinjaman daerah, juga ditujukan untuk menampung SiLPA tahun anggaran sebelumnya. Berdasarkan data realisasi APBD-nya, daerah-daerah yang berpola anggaran defisit tersebut justru mengalami surplus pada saat realisasi anggaran. Kondisi tersebut memunculkan sejumlah pertanyaan dalam hal kesiapan daerah dalam melakukan perencanaan dan penganggaran di APBD. Di bawah ini akan disajikan rasio defisit terhadap pendapatan, yang berarti semakin besar persentase rasionya, maka semakin besar pula Penerimaan Pembiayaannya (SiLPA dan Pinjaman Daerah) yang diperlukan untuk menutupi anggaran belanjanya.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota Rasio suplus/defisit terhadap Pendapatan (agregat propinsi, kabupaten, dan kota) dapat dilihat pada grafik 4.1. di bawah ini.
-20%
-40%
-60%
-48,6% -30,3% -21,2% -16,4% -15,3% -11,9% -11,6% -10,9% -9,9% -9,8% -7,7% -7,5% -6,9% -6,8% -6,4% -6,2% -5,5% -4,9% -4,7% -4,5% -4,3% -4,3% -4,1% -3,7% -3,7% -3,5% -3,4% -3,2% -2,9% -2,9% -2,8% -1,9% -1,1% -0,3%
0%
Kaltara Kaltim Riau Kalsel Kepri Bali Banten Babel Jambi Aceh Jabar Sumbar Kalteng DIY Jatim Jateng Sultra Bengkulu Papbar Sulut Gorontalo Kalbar Papua Sulsel Lampung NTT Maluku Sulbar Malut NTB Sumut Sulteng Sumsel Jakarta
Grafik 4.1 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan, Rasio Surplus/defisit Pendapatan, Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Agregat terhadap Provinsi, Kabupaten, dan Kota
-7,7%
Sumber: APBD 2014 (Diolah) Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Grafik 4.1. di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit secara nasional (agregat provinsi, kabupaten, dan kota) adalah sebesar 7,7%, di mana defisit tersebut akan ditutup dengan menggunakan pembiayaan. Sumber penerimaan pembiayaan terbesar berasal dari SiLPA, dengan kontribusi sebesar 94,7% dari penerimaan pembiayaan. Sumber penerimaan
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
81
pembiayaan terbesar kedua adalah berasal dari pinjaman daerah, namun kontribusinya sangat kecil yaitu hanya sebesar 2,94%
dari penerimaan pembiayaan. Dari grafik di atas terlihat bahwa daerah yang menduduki posisi rasio defisit terbesar adalah Kalimantan Utara (48,6%). Secara rasio, Kalimantan Timur (30,3%) dan Riau (21,2%) lebih rendah dari Kalimantan Utara ,
Grafik 4.1. di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit secara nasional (agregat provinsi, kabupaten, dan kota) adalah sebesar 7,7%, di mana defisit tersebut akan ditutup dengan menggunakan pembiayaan. Sumber penerimaan pembiayaan terbesar berasal dari SiLPA, dengan kontribusi sebesar 94,7% dari penerimaan pembiayaan. Sumber penerimaan pembiayaan terbesar kedua adalah berasal dari pinjaman daerah, namun kontribusinya sangat kecil yaitu hanya sebesar 2,94% dari penerimaan pembiayaan. Dari grafik di atas terlihat bahwa daerah yang menduduki posisi rasio defisit terbesar adalah Kalimantan Utara (48,6%). Secara rasio, Kalimantan Timur (30,3%) dan Riau (21,2%) lebih rendah dari Kalimantan Utara, namun secara nilai, Kalimantan Timur (Rp.9,3 triliun) dan Riau (Rp.5,9 triliun) lebih tinggi dari Kalimantan Utara (Rp.3,8 triliun).
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi Rasio suplus/defisit terhadap Pendapatan (pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi) dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Kaltara Kaltim Riau Kalsel Kepri Banten Jambi Babel Bali Sumbar Jabar Jatim Jateng Kalteng DIY Sultra Kalbar Bengkulu Malut Lampung Sumsel Sulut NTB NTT Maluku Sulsel Gorontalo Sumut Papua Aceh Sulbar Sulteng Papbar
Grafik 4.2 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
-21,9% -16,4% -14,1% -12,4% -9,6% -8,8% -8,6% -8,3% -7,5% -7,1% -6,9% -6,6% -6,1% -5,2% -5,1% -4,8% -4,7% -4,4% -4,3% -4,2% -4,0% -4,0% -3,3% -3,3% -3,2% -3,2% -3,0% -2,8% -2,0% -1,7% -0,9%
00%
-40%
-55,0% -33,9%
-20%
-08%
-60% Sumber: APBD 2014 (Diolah) Sumber: *) Tidak termasukAPBD DKI Jakarta2014
(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta Grafik 4.2 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah kabupaten dan kota sepropinsi adalah 8,4%. Daerah yang mempunyai persentase rasio defisit terbesar adalah kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Utara (55,0%), dan kemudian diikuti kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Timur (33,9%), kabupaten dan kota di Deskripsi Analisis APBD 2014
82
wilayah Riau (21,9%), dan kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Selatan (16,4%). Karena sebagian besar defisit daerah ditutup dengan menggunakan SiLPA maka semakin besar defisit daerah mengindikasikan semakin besar pula SiLPA daerah yang bersangkutan. Provinsi yang anggaran defisitnya paling kecil (terbaik) adalah Provinsi Papua Barat (0,9%), Provinsi Sulawesi
Grafik 4.2 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah kabupaten dan kota se-propinsi adalah 8,4%. Daerah yang mempunyai persentase rasio defisit terbesar adalah kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Utara (55,0%), kemudian diikuti kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Timur (33,9%), kabupaten dan kota di wilayah Riau (21,9%), dan kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Selatan (16,4%). Karena sebagian besar defisit daerah ditutup dengan menggunakan SiLPA maka semakin besar defisit daerah mengindikasikan semakin besar pula SiLPA daerah yang bersangkutan. Provinsi yang anggaran defisitnya paling kecil (terbaik) adalah Provinsi Papua Barat (0,9%), Provinsi Sulawesi Tengah (1,7%), dan Provinsi Sulawesi Barat (2,0%).
3. Pemerintah Provinsi Rasio suplus/defisit terhadap Pendapatan (pemerintah provinsi) dapat dilihat pada grafik di bawah ini. Grafik 4.3 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi 8,9%
15% 1,0% 3,2%
10% 5%
-10% -15% -20% -25%
Aceh -19,7% Kepri -16,5% Riau -16,1% -14,8% Babel -13,8% Kaltim -13,4% Bali -12,0% Kalsel -11,8% Kaltara -11,4% Papbar -9,5% Jambi -7,6% Gorontalo -7,4% DIY -6,9% Banten -6,8% Papua -6,5% Jabar -6,4% Sulbar -6,3% Sultra -5,8% Kalteng -5,3% Sulut -5,0% Bengkulu -4,4% Sulsel -3,6% Maluku -3,2% Sumbar -2,6% Sulteng -2,4% Jatim -1,9% Jateng -0,7% Kalbar -0,6% NTT -0,5% Lampung -0,4% Sumut -0,3% Jakarta NTB Malut Sumsel
0% -5%
-05%
Sumber: APBD 2014(Diolah) Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Grafik 4.3 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah provinsi adalah sebesar 4,9%. Sementara itu, pemerintah provinsi yang mempunyai rasio di atas 10,0% secara berturut-turut dari yang tertinggi adalah Provinsi Aceh (19,7%), Provinsi Kepulauan Riau (16,5%), Provinsi Riau (16,11%), Provinsi Bangka Belitung (14,8%), Provinsi Kalimantan Timur (13,8%), Provinsi Bali (13,4%), Provinsi Kalimantan Selatan (12,0%), Provinsi Kalimantan Utara (11,8%) dan Provinsi Papua Barat (11,4%).
4.
Per Wilayah
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
83
-15% -20% -25%
Aceh -19,7% Kepri -16,5% Riau -16,1% Babel -14,8% Kaltim -13,8% Bali -13,4% Kalsel -12,0% Kaltara -11,8% Papbar -11,4% Jambi -9,5% Gorontalo -7,6% DIY -7,4% Banten -6,9 Papua -6,8 Jabar -6,5 Sulbar -6,4 Sultra -6,3 Kalteng -5,8 -5, Sulut Bengkulu -5, -4 Sulsel Maluku Sumbar Sulteng Jatim Jateng Kalbar NTT Lampung Sumut Jakarta NTB Malut Sumsel
-10%
Grafik 4.3 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah provinsi adalah sebesar 4,9%. Sementara itu, pemerintah provinsi yang mempunyai rasio di atas 10,0% secara berturutSumber: APBD 2014(Diolah) turut dari yang tertinggi adalah Provinsi Aceh (19,7%), Provinsi Kepulauan Riau (16,5%), Provinsi Riau (16,11%), Provinsi Bangka Belitung (14,8%), Grafik 4.3 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah provinsi adalah sebesar Provinsi Kalimantan Timur (13,8%), Provinsi Bali (13,4%), Provinsi 4,9%. Sementara itu, pemerintah provinsi yang mempunyai rasioKalimantan di atas 10,0% secara yangProvinsi tertinggi adalah Kalimantan Selatan (12,0%), Provinsi Utaraberturut-turut (11,8%)dari dan Provinsi Papua Aceh (19,7%), Provinsi Kepulauan Riau (16,5%), Provinsi Riau (16,11%), Provinsi Bangka Belitung (14,8%), Provinsi Barat (11,4%). Kalimantan Timur (13,8%), Provinsi Bali (13,4%), Provinsi Kalimantan Selatan (12,0%), Provinsi Kalimantan Utara (11,8%) dan Provinsi 4. PapuaPer Barat (11,4%). Wilayah 4.
Rasio Defisit terhadap Pendapatan (per Wilayah) dapat dilihat pada grafik dibawah ini. Per Wilayah
Rasio Defisit terhadap Pendapatan (per Wilayah) dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Grafik Grafik 4.44.4 Rasio Defisit terhadap Pendapatan Per Wilayah*) Rasio Defisit terhadap Pendapatan Per Wilayah*) Kalimantan
Sumatera
Jawa_Bali
NT Maluku Papua
Sulawesi
0% -5%
-3,9% -7,8%
-10%
-3,7% -08%
-6,9%
-15% -20%
-18,8%
Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
Grafik 4.4 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan per wilayah yang mencapai sebesar 8%. Selanjutnya, wilayah yang memiliki rasio rata-rata defisit tertinggi adalah wilayah Kalimantan (18,8%), sedangkan yang paling rendah adalah wilayah Sulawesi (3,7%). Semakin besar persentase rasio defisit berarti semakin besar pula anggaran
84
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
belanja yang tidak dapat ditutupi oleh Pendapatan Daerah. Dengan demikian, daerah harus mencari sumber-sumber penerimaan lain sebagai pembiayaan, antara lain yaitu SiLPA, Pinjaman Daerah, Penerimaan kembali dana yang dipinjamkan, serta Pencairan Dana Cadangan. Jika dilihat sumber Penerimaan Pembiayaan terbesar anggaran defisit adalah berasal dari SiLPA, maka terlihat bahwa wilayah Kalimantan dan wilayah Sumatera merupakan wilayah dengan SiLPA yang paling besar dibandingkan dengan tiga wilayah lainnya.
5. Daerah dengan Defisit yang tidak dapat ditutup oleh pembiayaan Tabel 4.1. di bawah merupakan gambaran daerah yang menerapkan pola penganggaran defisit, akan tetapi penerimaan pembiayaannya belum seluruhnya dapat menutupi defisit yang dianggarkan, sehingga apabila diakumulasikan antara besaran defisit dengan besaran pembiayaan masih mempunyai nilai minus. Tabel 4.1 Daerah dengan Besaran Defisit yang tidak dapat ditutup oleh Pembiayaan No
Nama Daerah
Surplus/Defisit (Juta Rupiah)
Pembiayaan (Juta Rupiah)
Surplus/Defisit + Pembiayaan (Juta Rupiah)
1
Kab. Halmahera Utara
-13.882,9
-5.000,0
-18.882,9
2
Kab. Yahukimo
-37.258,0
22.615,2
-14.642,9
3
Kab. Sukamara
-35.117,9
34.740,0
-377,9
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Dari tabel 4.1. di atas dapat dilihat bahwa Kabupaten Halmahera Utara mempunyai nilai defisit anggaran terbesar yang tidak dapat ditutup melalui pembiayaan, yaitu sebesar Rp18,88 miliar. Daerah yang APBD-nya dianggarkan defisit namun penerimaan pembiayaannya tidak seluruhnya Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
85
dapat menutupi defisit, berangsur-angsur berkurang dari 20 daerah di tahun 2012, menjadi 15 daerah di tahun 2013, dan pada tahun anggaran 2014 menjadi 3 daerah. Melihat kondisi tersebut, diharapkan pada tahun-tahun mendatang tidak ada lagi daerah yang menganggarkan APBD-nya defisit tanpa ada kejelasan sumber pembiayaan untuk menutupi defisit. Untuk itu, pembinaan daerah dibidang pengelolaan keuangan perlu terus dilakukan agar daerah dapat menerapkan pola penganggaran yang lebih realistis. Secara normatif, anggaran defisit yang tidak dapat ditutupi seluruhnya oleh pembiayaan tidak layak dilakukan karena akan menimbulkan ketidakpastian dalam alokasi belanja publik. Sementara itu pada sisi yang lain terdapat daerah yang tidak memanfaatkan seluruh dana yang dimilikinya untuk membiayai anggaran belanja maupun pengeluaran pembiayaan dalam APBD-nya. Daerah-daerah tersebut justru menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan di akhir tahun 2014. Beberapa daerah yang menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan disajikan dalam tabel 4.2 berikut. Tabel 4.2 Daerah yang Menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan No
Nama Daerah
Surplus/ Defisit
Pembiyaan Daerah
SILPA tahun Berkenaan (miliar Rupiah)
(1)
(2)
(3)
(2)+(3)
1
Prov. Jawa Timur
-417,4
651,3
233,9
2
Kab. Siak
-585,3
711,3
126,0
3
Kab. Mamasa
4
Prov. Maluku Utara
5
Kab. Barito Utara
6
Prov. Sumatera Barat
7
Kab. Lamandau
8
Kab. Indragiri Hilir
86
2,0
93,0
94,9
52,5
27,5
80,0
-32,6
110,0
77,3
-111,6
171,1
59,5
-26,8
83,9
57,1
-376,3
430,9
54,6
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
No
9
Nama Daerah
Surplus/ Defisit
Pembiyaan Daerah
SILPA tahun Berkenaan (miliar Rupiah)
(1)
(2)
(3)
(2)+(3)
Kab. Rokan Hilir
-96,2
132,1
35,9
-36,9
72,2
35,2
21,2
11,5
32,7
-77,6
109,1
31,4
13 Kab. Tanah Laut
-419,1
445,0
25,9
14 Prov. Jawa Barat
-1.286,4
1.305,2
18,8
-58,0
70,9
12,9
10 Kab. Barito Selatan 11 Kab. Buru 12 Kab. Kepulauan Aru
15 Kab. Kotawaringin Barat Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Kemungkinan alasan mengapa daerah melakukan hal tersebut, diantaranya adalah untuk keperluan pembayaran gaji pegawai di awal tahun, yang diindikasikan dari penerimaan DAU yang lebih kecil dari belanja pegawai khususnya belanja pegawai tidak langsung, seperti halnya Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Siak, Kabupaten Rokan Hilir, dan Kabupaten Tanah Laut. Namun demikian, adanya penganggaran SILPA pada tahun berkenaan dirasa kurang sesuai dengan peran pemerintah daerah sebagai penyedia layanan dasar kepada masyarakat, sehingga dana yang ada seyogianya digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk disimpan.
B. Pembiayaan Daerah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan apabila anggaran diperkirakan defisit, maka daerah harus menetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dan demikian sebaliknya apabila anggaran diperkirakan surplus, maka daerah harus menetapkan penggunaaan surplus tersebut. Penerimaan pembiayaan yang merupakan bagian terbesar untuk menutupi defisit APBD 2014 berasal dari SiLPA, sedangkan yang terkecil berasal dari Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan. Untuk
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
87
B.
Pembiayaan Daerah
Grafik 4.5 Penerimaan Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan apabila anggaran diperkirakan defisit, maka daerah harus menetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dan demikian sebaliknya apabila anggaran
diperkirakan surplus, maka daerah harus menetapkan penggunaaan surplus tersebut. Penerimaan pembiayaan yang merupakan
penerimaan maupun pengeluaran pembiayaan, bagianmanampung terbesar untuk menutupi defisit APBD pembiayaan 2014 berasal dari SiLPA, sedangkan yang terkecil berasal dari Hasil Penjualan maka dalam APBD terdapat pos penerimaan pembiayaan yangmaupun bertujuan untuk menutup Kekayaan Daerah yang Dipisahkan. Untuk manampung pembiayaan pengeluaran pembiayaan, maka dalam 4.5. untuk danmenutup grafikdefisit 4.6. berikut APBDdefisit terdapat anggaran. pos pembiayaan Grafik yang bertujuan anggaran. Grafik menggambarkan 4.5. dan grafik 4.6. berikut penerimaan pembiayaan provinsi dan kabupaten/kota. menggambarkan penerimaan pembiayaan provinsi dan kabupaten/kota. Grafik 4.5 Grafik 4.5 Penerimaan Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota Penerimaan Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Grafik 4.6
Persentase Penerimaan Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaa Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Provinsi
Kabupat
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Grafik 4.6 Grafik 4.6 Persentase
Persentase Penerimaan Pembiayaanterhadap terhadap total Penerimaan Pembiayaan Penerimaan Pembiayaan total Penerimaan
Provinsi Provinsi 0,33% 2,61% 1,04% 0,00%
SiLPA TA sebelumnya
Pembiayaan
Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota 0,97% 0,13%
3,08% 1,65%
Pencairan dana cadangan
96,02%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah
94,18 %
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Penerimaan pembiayaan baik provinsi, kabupaten, maupun kota didominasi oleh SiLPA. Di tingkat provinsi, penerimaan pembiayaan mencapai 96,02%, sedangkan tingkat kabupaten/ kota mencapai 94,18%, sebagaimana tampak pada
Deskripsi dan Analisis 2014 grafik 4.688di atas. Besarnya porsi SiLPA dalam APBD penerimaan pembiayaan APBD mengindikasikan adanya penyerapan belanja pada tahun anggaran sebelumnya kurang optimal, sehingga terdapat sisa anggaran yang terakumulasi dalam SiLPA. Sumber pembiayaan lainnya untuk menutup defisit adalah Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah, yang mencapai sebesar 2,61% untuk
Penerimaan pembiayaan baik provinsi, kabupaten, maupun kota didominasi oleh SiLPA. Di tingkat provinsi, penerimaan pembiayaan mencapai 96,02%, sedangkan tingkat kabupaten/ kota mencapai 94,18%, sebagaimana tampak pada grafik 4.6 di atas. Besarnya porsi SiLPA dalam penerimaan pembiayaan APBD mengindikasikan adanya penyerapan belanja pada tahun anggaran sebelumnya kurang optimal, sehingga terdapat sisa anggaran yang terakumulasi dalam SiLPA. Sumber pembiayaan lainnya untuk menutup defisit adalah Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah, yang mencapai sebesar 2,61% untuk provinsi, sebesar 3,08 untuk kabupaten/kota. Sumbersumber lain penerimaan pembiayaan di luar SiLPA dan Pinjaman Daerah adalah Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Penerimaan Kembali Pinjaman yang jumlahnya relatif kecil, yakni di bawah 1%. Secara umum, pengeluaran pembiayaan terbesar dalam APBD adalah untuk Penyertaan Modal Pemerintah daerah pada badan-badan usaha milik daerah yang merupakan bagian dari Kekayaan Daerah yang Dipisahkan. Secara nominal, besaran Penyertaan Modal Pemerintah provinsi lebih besar daripada Penyertaan Modal Pemerintah kabupaten/kota. Hal tersebut diduga terjadi karena ruang fiskal pemerintah provinsi lebih besar dibandingkan dengan ruang fiskal pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, pembayaran pokok pinjaman kabupaten/kota yang jauh lebih besar daripada pokok utang provinsi menunjukkan adanya beban pemerintah kabupaten/kota yang jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan pemerintah provinsi. Selanjutnya, rincian Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/kota dapat dilihat pada grafik 4.7 di bawah ini.
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
89
Grafik 4.7 Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD Sumber: APBD 2014 (Diolah)2014
(Diolah)
Grafik 4.8 Grafik 4.8 Grafik 4.8 Persentase Pengeluaran Pembiayaan terhadap Penerimaan Persentase Pengeluaran Pembiayaan terhadap totaltotal Penerimaan Pembiayaan Pembiayaan Persentase Pengeluaran Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaan
Provinsi Provinsi
Provinsi
0,49% 7,69% 0,49% 7,69%
Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota
1,12% 1,12%
Pembentukan Dana Dana Pembentukan Cadangan Cadangan
Kabupaten/Kota
0,30% 0,30%3,12% 3,20% 3,20%
8,81% 3,12%
8,81%
Penyertaan Modal Penyertaan Modal (Investasi) Daerah
(Investasi) Daerah
Pembayaran Pokok Utang
Pembayaran Pokok Utang 28,49%
28,49%
Pemberian Pinjaman Pemberian Pinjaman Daerah 90,70%
90,70%
Daerah Kegiatan Pembayaran Lanjutan Pembayaran Kegiatan
56,06%
56,06%
Pengeluaran LanjutanPerhitungan Pihak Ketiga
Pengeluaran Perhitungan Pihak Ketiga Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Secara persentase, pola Penerimaan Pembiayaan provinsi dan kabupaten/kota mempunyai kemiripan, namun berbeda
Secara persentase, pola Penerimaan Pembiayaan provinsi dan kabupaten/ halnya jika dilihat dari sisi Pengeluaran Pembiayaan. Pengeluaran Pembiayaan tingkat provinsi hanya didominasi oleh Secara persentase, pola Penerimaan Pembiayaan dan kabupaten/kota mempunyai kemiripan, kota mempunyai kemiripan, namunprovinsi berbeda halnya jika dilihat darinamun sisi berbeda halnya jika dilihat dari sisi Pengeluaran Pembiayaan. Pengeluaran Pembiayaan tingkat provinsi hanya didominasi oleh
90
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Pengeluaran Pembiayaan. Pengeluaran Pembiayaan tingkat provinsi hanya didominasi oleh Penyertaan Modal Pemerintah Daerah, sedangkan pada kabupaten/kota terdapat 2 (dua) komponen yang dominan, yaitu (i) Penyertaan Modal Pemerintah Daerah, dan (ii) Pembayaran Pokok Utang. Pembayaran Pokok Utang terbesar untuk tingkat kabupaten/kota ditempati oleh Kabupaten Ogan Ilir (Rp119,5 Miliar), dan untuk Penyertaan Modal Pemerintah Daerah terbesar ditempati oleh Kabupaten Muara Enim (Rp124,3 miliar). Sementara itu untuk tingkat provinsi, daerah yang menganggarkan penyertaan modal terbesar ditempati oleh Provinsi DKI Jakarta (Rp7,1 triliun). Selanjutnya, penjelasan lebih detil mengenai pembiayaan dapat dijelaskan pada bahasan di bawah ini.
a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Selisih pengurangan pendapatan terhadap belanja pada realisasi APBD merupakan sisa dana yang dapat bernilai minus ataupun positif. Apabila sisa dana tersebut bernilai minus disebut defisit, dan jika positif disebut surplus, yang dalam APBD dinamakan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA). Besaran SiLPA yang tercantum dalam APBD tahun anggaran 2014 merupakan perkiraan besaran SiLPA yang akan terjadi pada akhir tahun anggaran berkenaan. Apabila terdapat nilai SiLPA yang sangat besar, hal ini mengindikasikan adanya kekurangcermatan dalam penyusunan anggaran maupun terdapat kendala dalam pelaksanaannya, sehingga penyerapan anggaran belanja berpotensi kurang optimal. Anggaran belanja yang sudah dialokasikan semestinya dapat terserap pada tahun anggaran berkenaan. Penyerapan yang kurang optimal akan mengakibatkan adanya saldo (SiLPA) yang merupakan dana idle yang belum dimanfaatkan. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai rasio SiLPA terhadap belanja yang merupakan persentase porsi belanja yang tidak terserap atau tertunda. Rasio tersebut dapat dilihat dalam grafik 4.9 berikut :
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
91
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 4.9
25% 20% 15% 10% 5% 0%
09%
Malut Sulteng Gorontalo Sumut NTB Sulsel Lampung NTT Sultra Papua Sulut Kalbar Sumsel Sulbar Bengkulu Maluku Papbar Jateng Jatim DIY Sumbar Jabar Kalteng Aceh Jambi Babel Jakarta Bali Banten Kepri Kalsel Riau Kaltim Kaltara
30%
1,9% 2,0% 2,4% 2,6% 2,8% 3,4% 3,5% 4,2% 4,4% 4,8% 4,8% 5,1% 5,1% 5,2% 5,3% 5,3% 5,6% 6,3% 6,7% 7,6% 7,7% 8,1% 9,1% 9,2% 9,7% 10,3% 10,8% 11,3% 11,9% 13,1% 14,4% 17,8% 23,8% 32,5%
Rasio SiLPA terhadap Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 35%
Sumber: APBD 2014 (Diolah) Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Rasio rata-rata SiLPAbelanja terhadap belanja daerah secara agregat provinsi, Rasio rata-rata SiLPA terhadap daerah secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah sebesar 8,6%, kabupaten dan kota adalah sebesarsebesar 8,6%, yang berarti naik sebesar 1,2% dari yang berarti naik sebesar 1,2% dari tahun sebelumnya 7,4%. Sementara itu, pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA terhadap belanja daerah adalah Provinsi Kalimantan Utara (32,5%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (23,8%). tahun sebelumnya sebesar 7,4%. Sementara itu, pemegang posisi tertinggi Selanjjutnya untuk rasioterhadap terendah (terbaik) adalah Provinsi Maluku adalah Utara (1,9%),Provinsi yang diikuti oleh Provinsi Sulawesi Utara Tengah rasio SiLPA belanja daerah Kalimantan (2,0%). (32,5%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (23,8%). Selanjjutnya untuk rasio terendah (terbaik) adalah Provinsi Maluku Utara (1,9%), yang 2.diikutiPemerintah KabupatenSulawesi dan Kota Se-Provinsi oleh Provinsi Tengah (2,0%). Grafik 4.10
35,8%
Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *
25,7%
40%
10%
0%
Gorontalo Sulteng Malut Papbar Sumut Aceh NTB Papua Sulsel Sultra Lampung NTT Sulut Sulbar Sumsel Bengkulu Maluku Kalbar DIY Jatim Jateng Jabar Sumbar Bali Babel Kalteng Jambi Banten Kepri Kalsel Riau Kaltim Kaltara
20%
1,6% 1,8% 1,9% 2,1% 3,0% 3,2% 3,4% 3,7% 3,7% 4,2% 4,2% 4,2% 4,4% 4,8% 5,1% 5,2% 5,5% 5,5% 6,7% 6,8% 7,0% 7,6% 7,9% 8,5% 8,8% 9,0% 9,7% 11,4% 12,5% 15,3% 18,4%
30%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
92
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
08%
yang berarti naik sebesar 1,2% dari tahun sebelumnya sebesar 7,4%. Sementara itu, pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA terhadap belanja daerah adalah Provinsi Kalimantan Utara (32,5%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (23,8%). Selanjjutnya untuk rasio terendah (terbaik) adalah Provinsi Maluku Utara (1,9%), yang diikuti oleh Provinsi Sulawesi Tengah (2,0%).
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi 2.
Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Grafik 4.10 Grafik 4.10
Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi*) 35,8%
Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *
25,7%
40%
10%
0%
08%
Gorontalo Sulteng Malut Papbar Sumut Aceh NTB Papua Sulsel Sultra Lampung NTT Sulut Sulbar Sumsel Bengkulu Maluku Kalbar DIY Jatim Jateng Jabar Sumbar Bali Babel Kalteng Jambi Banten Kepri Kalsel Riau Kaltim Kaltara
20%
1,6% 1,8% 1,9% 2,1% 3,0% 3,2% 3,4% 3,7% 3,7% 4,2% 4,2% 4,2% 4,4% 4,8% 5,1% 5,2% 5,5% 5,5% 6,7% 6,8% 7,0% 7,6% 7,9% 8,5% 8,8% 9,0% 9,7% 11,4% 12,5% 15,3% 18,4%
30%
Sumber: APBD 2014 (Diolah) Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi adalah 8,2%, yang berarti naik 1,4% dari tahun lalu sebesar 6,8%. Pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA terhadap belanja pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi adalah Provinsi Kalimantan Utara (35,8%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (25,7%). Sementara itu, yang terendah (terbaik) adalah adalah Provinsi Gorontalo (1,6%), dan diikuti olrh Provinsi Sulawesi Tengah (1,8%)
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
93
* Tidak termasuk DKI Jakarta
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi adalah 8,2%, yang berarti naik 1,4% dari tahun lalu sebesar 6,8%. Pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA terhadap belanja pemerintah kabupaten dan kota seprovinsi adalah Provinsi Kalimantan Utara (35,8%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (25,7%). Sementara itu, yang terendah (terbaik) adalah adalah Provinsi Gorontalo (1,6%), dan diikuti olrh Provinsi Sulawesi Tengah (1,8%)
3. Pemerintah Provinsi 3.
Pemerintah Provinsi
Grafik 4.11 Grafik 4.11
16% 12% 8% 4% 0%
08%
NTB Sumut Lampung Sulsel Malut Jateng Kalbar Sulteng NTT Sumsel Maluku Jatim Gorontalo Sultra Bengkulu Sulut Sulbar Sumbar Kalteng Papua Jabar Kalsel DIY Jambi Banten Jakarta Papbar Babel Kepri Kaltim Riau Kaltara Aceh Bali
20%
0,4% 0,4% 0,6% 1,5% 1,9% 2,1% 2,7% 2,8% 3,3% 4,3% 4,6% 4,6% 4,6% 5,1% 5,5% 6,0% 6,2% 6,2% 7,3% 7,4% 7,5% 8,2% 8,4% 8,7% 10,3% 10,8% 11,1% 12,9% 13,0% 13,0% 13,9% 15,8% 16,5% 16,7%
Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2014 (Diolah) Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja daerah pemerintah provinsi Rasio rata-rataatau SiLPA terhadap belanja daerah adalah 8,4%6,6%. atau naik 1,8% dari tahun lalu sebesar adalah 8,4% naik 1,8% daripemerintah tahun provinsi lalu sebesar Pemegang posisi 6,6%. Pemegang posisi tertinggi SiLPA terhadap belanja pemerintah provinsi adalah Provinsi Bali (16,7%), dan diikuti oleh tertinggi rasio SiLPArasio terhadap belanja pemerintah provinsi adalah Provinsi Provinsi Aceh (16,5%). Sementara itu, yang terendah (terbaik) adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (0,4%), dan diikuti oleh Bali (16,7%), dan diikuti oleh Provinsi Aceh (16,5%). Sementara itu, yang Provinsi Sumatera Utara (0,4%). terendah (terbaik) adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (0,4%), dan diikuti oleh Provinsi Sumatera Utara (0,4%). 4.
Per Wilayah
rata-rata SiLPA terhadap belanja per wilayah adalah 8,1%, atau naik 0,3% dari sebelumnya sebesar 7,75%. 4. PerRasio Wilayah Pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah wilayah Kalimantan (16,7%), dan diikuti oleh wilayah Sumatera (8,0%). Sementara
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja per wilayah adalah 8,1%, atau naik 0,3% darirata-rata sebelumnya sebesar posisi tertinggi rasio Secara lebih detil, rasio SiLPA antar wilayah tersebut7,75%. dapat dilihatPemegang pada grafik dibawah ini. ini adalah wilayah Kalimantan (16,7%), dan diikuti oleh wilayah Sumatera (8,0%). Sementara itu, yang terendah (terbaik) adalah wilayah Sulawesi (3,5%), dan diikuti oleh wilayah Nusa Tenggara Maluku Papua (4,5%). Secara lebih detil, rasio rata-rata SiLPA antar wilayah tersebut dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
itu, yang terendah (terbaik) adalah wilayah Sulawesi (3,5%), dan diikuti oleh wilayah Nusa Tenggara Maluku Papua (4,5%).
94
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik Grafik 4.12 4.12 Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah *) Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah * 20% 16,7% 15% 10% 8,1% 5%
3,5%
7,3%
8,0%
Jawa_Bali
Sumatera
4,5%
0% Sulawesi
NT Maluku Papua
Kalimantan
Sumber: APBD 2014 (Diolah) Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta * Tidak termasuk DKI Jakarta
C.
Penerimaan Pembiayaan yangPembiayaan berasal dari Pinjaman yang berasal dari C. Penerimaan Pos pembiayaan dalam struktur APBD dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu (i) Penerimaan Pinjaman
Pembiayaan, dan
(ii) Pengeluaran Pembiayaan. Untuk Penerimaan Pembiayaan, sumber dana yang paling dominan adalah SiLPA dan Pinjaman
Pos pembiayaan dalam struktur APBD dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu (i) Penerimaan Pembiayaan, dan (ii) Pengeluaran Pembiayaan. Untuk Daerah. Pinjaman Daerah sangat diperlukan untuk menutupi defisit APBD. Pinjaman Daerah dapat bersumber dari Pemerintah, Penerimaan Pembiayaan, sumber dana yang paling dominan adalah SiLPA Penerusan Pinjaman melalui Pemerintah, Pemerintah daerah lain, Lembaga keuangan bank, Lembaga keuangan bukan bank, dan Pinjaman Daerah, sedangkan untuk Pengeluaran Pembiayaan adalah maupun Obligasi Daerah. Berikut disajikan rasio Pinjaman Pendapatan Daerah dilihat dari pembagian lima wilayah, Penyertaan Modalini Pemerintah Daerahterhadap dan Pengembalian Pinjaman Daerah. pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi, pemerintah provinsi. Pinjaman Daerah sangat dan diperlukan untuk menutupi defisit APBD. Pinjaman Daerah dapat bersumber dari Pemerintah, Penerusan Pinjaman melalui Pemerintah, daerah lain, Lembaga keuangan bank, Lembaga 1. Agregat Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan Kota keuangan bukan bank, maupun Obligasi Daerah. Berikut ini disajikan rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah dilihat dari pembagian lima wilayah, pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi, dan pemerintah provinsi. Daerah, sedangkan untuk Pengeluaran Pembiayaan adalah Penyertaan Modal Pemerintah Daerah dan Pengembalian Pinjaman
Grafik 4.13 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
95
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 4.13 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 2,5%
3,0%
1,5% 1,0% 0,5% 0,0%
0,3%
Jambi DIY Sulut Banten Babel Kepri Kaltara Bali NTT Jabar Aceh Kalsel Kaltim Kalteng Maluku Jatim Jateng Sumut Papbar Sulbar Papua Sumsel Sumbar Riau Jakarta Sulteng Bengkulu Kalbar Sulsel Lampung NTB Malut Sultra Gorontalo
2,0%
0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,1% 0,1% 0,1% 0,1% 0,1% 0,1% 0,2% 0,3% 0,3% 0,3% 0,4% 0,4% 0,4% 0,5% 0,6% 0,6% 0,9% 1,0% 1,3% 1,5% 1,7%
2,5%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah) Dari grafik 4.13 di atas terlihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap pendapatan agregat provinsi, kabupaten, dan
Dari grafik 4.13 di atas terlihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap pendapatan agregat provinsi, kabupaten, dan kota adalah sebesar 0,3%. 125/PMK.07/2013, dan kalau dirata-ratakan adalah sebesar 4,31%. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa tidak ada daerah Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan yang melampaui batas rasio yang telah ditentukan. Pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi Gorontalo (2,5%.) Dari dalam Nomor 125/PMK.07/2013, dan kalau adalah grafik di atasPMK juga dapat dilihat terdapat 10 wilayah provinsi dari 33 wilayah provinsi dirata-ratakan tidak menganggarkan penerimaan sebesar 4,31%. pinjaman dalam APBD-nya. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa tidak ada daerah yang melampaui batas rasio yang telah ditentukan. Pemegang posisi tertinggi rasio 2.ini adalah Pemerintah KabupatenGorontalo dan Kota se-Provinsi Provinsi (2,5%.) Dari grafik di atas juga dapat dilihat Grafikwilayah 4.14 terdapat 10 wilayah provinsi dari 33 provinsi tidak menganggarkan Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi * penerimaan pinjaman dalam APBD-nya.
kota adalah sebesar 0,3%. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan dalam PMK Nomor
1,2% 1,3% 1,6% 1,9% 2,1%
2,5% 2,0%
0,5% 0,0%
96
00%
Jambi DIY Sulut Banten Babel Kepri Kaltara Bali NTT Jabar Aceh Kalsel Kaltim Kalteng Sulsel Maluku Jatim Jateng Sumut Papbar Sulbar Sumsel Papua Sumbar Riau Sulteng Kalbar Bengkulu Lampung Sultra NTB Malut Gorontalo
1,0%
0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,1% 0,1% 0,1% 0,1% 0,1% 0,2% 0,2% 0,2% 0,4% 0,4% 0,5% 0,5% 0,5% 0,6% 0,7% 0,7%
1,5%
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Dari grafik 4.13 di atas terlihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap pendapatan agregat provinsi, kabupaten, dan kota adalah sebesar 0,3%. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan dalam PMK Nomor 125/PMK.07/2013, dan kalau dirata-ratakan adalah sebesar 4,31%. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa tidak ada daerah yang melampaui batas rasio yang telah ditentukan. Pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi Gorontalo (2,5%.) Dari grafik di atas juga dapat dilihat terdapat 10 wilayah provinsi dari 33 wilayah provinsi tidak menganggarkan penerimaan 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi pinjaman dalam APBD-nya.
2.
Grafik 4.14 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Grafik 4.14 Kabupaten dan Kota se-Provinsi *) * RasioPemerintah Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
1,2% 1,3% 1,6% 1,9% 2,1%
2,5% 2,0%
0,5% 0,0%
00%
Jambi DIY Sulut Banten Babel Kepri Kaltara Bali NTT Jabar Aceh Kalsel Kaltim Kalteng Sulsel Maluku Jatim Jateng Sumut Papbar Sulbar Sumsel Papua Sumbar Riau Sulteng Kalbar Bengkulu Lampung Sultra NTB Malut Gorontalo
1,0%
0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,1% 0,1% 0,1% 0,1% 0,1% 0,2% 0,2% 0,2% 0,4% 0,4% 0,5% 0,5% 0,5% 0,6% 0,7% 0,7%
1,5%
Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap pendapatan daerah pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi adalah sebesar 0,3%, Sementara itu, pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi Gorontalo (2,1%), yang diikuti oleh Provinsi Maluku Urata (1,9%).Dalam hal ini terdapat 13 daerah yang rasio pinjamannya di atas nilai rata-rata.
3. Pemerintah Provinsi Untuk tingkat Provinsi terdapat 4 pemerintah provinsi yang menganggarkan pinjaman dalam APBD-nya, sebagaimana dapat dilihat dalam grafik 4.15. Keempat Pemerintah provinsi tersebut adalah Provinsi Sulawesi Selatan (3,7%), Provinsi Gorontalo (3,5%), Provinsi Sulawesi Tenggara (3,4%), dan Provinsi DKI Jakarta (0,4%). Jika berdasarkan nilai pinjaman, maka Provinsi DKI Jakarta (Rp269,4 miliar) merupakan daerah dengan pemegang posisi nilai terbesar.
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
97
3.
Pemerintah Provinsi Untuk tingkat Provinsi terdapat 4 pemerintah provinsi yang menganggarkan pinjaman dalam APBD-nya, sebagaimana
dapat dilihat dalam grafik 4.15. Keempat Pemerintah provinsi tersebut adalah Provinsi Sulawesi Selatan (3,7%), Provinsi Gorontalo (3,5%), Provinsi Sulawesi Tenggara (3,4%), dan Provinsi DKI Jakarta (0,4%). Jika berdasarkan nilai pinjaman, maka
4.15 posisi nilai terbesar. Provinsi DKI Jakarta (Rp269,4 miliar) merupakan daerahGrafik dengan pemegang 4.15 Rasio Pinjaman terhadap Grafik Pendapatan Pemerintah Provinsi 3,4% 3,5% 3,7%
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi 4,0% 3,0%
0,0%
0,2%
Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Jabar Jateng DIY Jatim Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Bali NTB NTT Maluku Papua Malut Banten Babel Kepri Papbar Sulbar Kaltara Jakarta Sultra Gorontalo Sulsel
1,0%
0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,4%
2,0%
Sumber: APBD 2014 (Diolah) Sumber: APBD 2014 (Diolah
Dari grafik di atas terlihat Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah yang melampaui batas maksimal
Dari grafik di atas terlihat Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah yang melampaui batas maksimal pinjaman sesuai ketentuan terlebih dahulu dari Menteri Keuangan. Besaran pinjaman Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 3,7% dari pendapatan daerah PMK Nomor 125/PMK.07/2013, sehingga wajib mendapatkan persetujuan sedangkan batasan yang ditetapkan dalam PMK tersebut adalah sesuai kapasitas fiskalnya, yaitu 3,5% dari pendapatan daerah. pelampauan defisit terlebih dahulu dari Menteri Keuangan. Besaran pinjaman Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 3,7% dari pendapatan daerah sedangkan 4. Per Wilayah batasan yang ditetapkan dalam PMK tersebut adalah sesuai kapasitas Secara total, daerah di wilayah Tenggara, Maluku,daerah. dan Papua mempunyai rasio pinjaman terhadap pendapatan fiskalnya, yaitu 3,5% dariNusa pendapatan pinjaman sesuai ketentuan PMK Nomor 125/PMK.07/2013, sehingga wajib mendapatkan persetujuan pelampauan defisit
per wilayah tertinggi (0,4%), atau sedikit di atas rasio rata-rata (0,3%). Sementara itu, wilayah dengan rasio pinjaman terendah
4. Per Wilayah Secara total, daerah di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua mempunyai rasio pinjaman terhadap pendapatan per wilayah tertinggi (0,4%), atau sedikit di atas rasio rata-rata (0,3%). Sementara itu, wilayah dengan rasio pinjaman terendah adalah wilayah Kalimantan (0,1%). Selanjutnya, rasio per-wilayah dan penyebarannya dapat dilihat pada grafik 4.16 di bawah ini.
98
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
adalah wilayah Kalimantan (0,1%). Selanjutnya, rasio per-wilayah dan penyebarannya dapat dilihat pada grafik 4.16 di bawah ini.
Grafik 4.16 Grafik 4.16 Rasio pinjaman/pendapatan wilayah *) Rasio pinjaman/pendapatan per per wilayah * 0,50% 0,39%
0,40% 0,30% 0,20%
0,29%
0,32%
0,26% 0,12%
0,15%
0,10% 0,00% Kalimantan
Sulawesi
Jawa_Bali
Sumatera
NT Maluku Papua
Sumber: APBD 2014 (Diolah) Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
* Tidak termasuk DKI Jakarta
Defisit yang Dibiayai Pinjaman Dalam tahun 2014, pembatasan maksimal defisit yang dapat dibiayai dari pinjaman diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan 5.
Daerah Melampaui Batas Melampaui Maksimal Defisit yang DibiayaiMaksimal Pinjaman 5. yang Daerah yang Batas
Nomor 125/PMK.07/2013 tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit APBD, Batas Maksimal Defisit APBD dan Batas Maksimal Dalam tahun 2014, pembatasan maksimal defisit yang dapat dibiayai Kumulatif dari Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2014. Dalam PMK tersebut ditetapkan batas maksimal kumulatif defisit APBD pinjaman diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/
tentangadalah Batas Kumulatif Defisithalnya, APBD, (nasional)PMK.07/2013 yang dibiayai dari pinjaman sebesarMaksimal 0,3% dari proyeksi PDB. Demikian batas Batas maksimal defisit Maksimal dan Batas Maksimal Kumulatif Daerah Tahunyaitu 6,5% masing-masing daerah Defisit terhadap APBD pendapatannya juga tidak boleh terlampaui sesuaiPinjaman kategori kapasitas fiskalnya Anggaran Dalam tersebut kumulatif untuk kategori kapasitas2014. fiskal sangat tinggi;PMK 5,5% untuk kategoriditetapkan kapasitas fiskalbatas tinggi; maksimal 4,5% untuk kategori kapasitas fiskal defisit APBD (nasional) yangrendah. dibiayai adalah sebesar 0,3% sedang; dan 3,5% untuk kategori kapasitas fiskal Apabiladari APBD pinjaman melampaui batas defisit yang ditentukan, maka daerah daridahulu proyeksi PDB.persetujuan Demikian halnya,defisit batas defisit harus terlebih mendapatkan pelampauan darimaksimal Menteri Keuangan c.q. masing-masing Dirjen Perimbangan Keuangan. daerah terhadap pendapatannya juga tidak boleh terlampaui sesuai kategori kapasitas fiskalnya yaitu 6,5% untuk kategori kapasitas fiskal sangat tinggi; terlampaui. 5,5% untuk kategori kapasitas fiskal tinggi; 4,5% untuk kategori kapasitas Tabel 4.3 fiskal sedang; dan 3,5% untuk kategori kapasitas fiskal rendah. Apabila Sumber: APBD 2014 (Diolah) APBD melampaui batas defisit yang ditentukan, maka daerah harus terlebih Dari tabel dimendapatkan atas dapat dilihat persetujuan adanya 19 daerah yang pinjamannya melampaui yang ditentukan. Untuk posisi dahulu pelampauan defisit dari batas Menteri Keuangan tertinggi adalah KabupatenPerimbangan Buton (11,4%). Apabila daerah Tabel yang defisit akanini ditutup dengan pinjaman telah c.q. Dirjen Keuangan. 4.3.anggarannya di bawah menunjukkan
Tabel 4.3. di bawah ini menunjukkan beberapa pemda yang batas persentase pinjaman untuk menutup defisitnya telah
melampaui batas yang ditentukan, maka daerah tersebut harus terlebih dahulu meminta ijin pelampauan defisit untuk
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
99
beberapa pemda yang batas persentase pinjaman untuk menutup defisitnya telah terlampaui. Tabel 4.3 Daerah dengan % Pinjaman diatas Batas yang ditetapkan
No Nama Daerah
Batas Sesuai Pendapatan dengan (miliar PMK 125 rupiah) tahun 2013
Pinjaman Daerah dan Obligasi (miliar rupiah)
% Pinjaman
1
Kab. Buton
3,5%
878,8
100,0
11,4%
2
Kab. Halmahera Selatan
5,5%
701,
77,8
11,1%
3
Kab. Boalemo
3,5%
540,4
51,0
9,4%
4
Kab. Keerom
5,5%
750,5
60,0
8,0%
5
Kab. Lombok Barat
3,5%
1.133,6
90,0
7,9%
6
Kab. Mukomuko
3,5%
648,4
47,5
7,3%
7
Kab. Lampung Selatan
3,5%
1.263,4
91,0
7,2%
8
Kab. Temanggung
3,5%
1.094,3
76,5
7,0%
9
Kab. Morowali
4,5%
516,6
33,3
6,5%
10 Kota Mataram
3,5%
961,1
60,0
6,2%
11 Kab. Bangkalan
3,5%
1.417,4
87,5
6,2%
12 Kab. Muara Enim
4,5%
1.730,3
97,3
5,6%
13 Kab. Puncak
4,5%
1.075,3
60,0
5,6%
14 Kab. Pesawaran
3,5%
902,
50,0
5,5%
15 Kab. Kampar
4,5%
2.157,3
113,0
5,2%
16 Kab. Sambas
3,5%
1.171,7
48,6
4,1%
17 Prov. Sulawesi Selatan
3,5%
5.593,9
207,5
3,7%
18 Kab. Sidenreng Rappang
3,5%
822,7
30,0
3,6%
19 Kota Gorontalo
3,5%
789,3
28,5
3,6%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Dari tabel di atas dapat dilihat adanya 19 daerah yang pinjamannya melampaui batas yang ditentukan. Untuk posisi tertinggi adalah Kabupaten
100
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Buton (11,4%). Apabila daerah yang defisit anggarannya akan ditutup dengan pinjaman telah melampaui batas yang ditentukan, maka daerah tersebut harus terlebih dahulu meminta ijin pelampauan defisit untuk mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. Dari 19 daerah tersebut di atas, baru Kabupaten Bualemo yang telah mengajukan ijin pelampauan defisit.
D. Dana Idle Rekening kas umum daerah merupakan rekening daerah untuk menampung uang masuk maupun uang keluar yang dibuka pada bank umum dan BPR. Seiring dengan pelaksanaan anggaran, pergerakan arus uang masuk dan uang keluar milik daerah dapat diketahui melalui bank sentral yaitu Bank Indonesia. Apabila arus uang masuk lebih besar daripada arus uang keluar, maka akan terjadi penumpukan dana (idle). Dana idle ini merupakan akumulasi dari penerimaan berupa pendapatan, transfer dana perimbangan, penerimaan pembiayaan setelah dikurangi belanja. Dana Idle terjadi antara lain karena pemerintah daerah menahan dana untuk tujuan berjaga-jaga apabila terdapat kegiatan yang membutuhkan pendanaan segera, sementara arus uang masuk belum dapat diprediksi. Akan tetapi, jika dana idle terlalu besar dan ditahan terlalu lama justru akan menghambat kegiatan pemberian layanan masyarakat. Pergerakan dana pemda di perbankan dapat dilihat dalam grafik 4.17 berikut :
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
101
daerah menahan dana untuk tujuan berjaga-jaga apabila terdapat kegiatan yang membutuhkan pendanaan segera, sementara arus uang masuk belum dapat diprediksi. Akan tetapi, jika dana idle terlalu besar dan ditahan terlalu lama justru akan menghambat kegiatan pemberian layanan masyarakat. Pergerakan dana pemda di perbankan dapat dilihat dalam grafik 4.17 berikut :
Grafik Grafik4.17 4.17 Dana Pemda Perbankan Bulan (Bulan Desember) DanadiPemda di Perbankanper per Bulan (Bulan Desember) 120.000 99.240 100.000
94.313
miliar rupiah
80.446 80.000
66.905
62.088
66.881
51.927
60.000 38.743 40.000
28.519
32.336
2011
2012
27.432
23.345 20.000 0 2010 Nasional
Sumber: Bank (Diolah) Indonesia Sumber: Bank Indonesia
Provinsi
2013
Kota/kabupaten
(Diolah)
Besaran simpanan pemda di perbankan setiap bulannya selalu berfluktuasi dan pada 4 tahun terakhir ini selalu
Besaran simpanan pemda di perbankan setiap bulannya selalu berfluktuasi dan pada 4 tahun terakhir ini selalu mencapai titik terendah tersebut digunakan sebagai acuan besaran dana pemda yang menganggur (idle). Dari grafik di atas terlihat besaran dana idle pada bulan Desember. Dengan demikian, data dana pemda di perbankan provinsi pada tahun 2013 mengalami penurunan jika dibanding dengan tahun 2012, namun untuk kabupaten/kota justru pada posisi bulan Desember tersebut digunakan sebagai acuan besaran dana pemda yang menganggur (idle). Dari grafik di atas terlihat besaran dana idle provinsi pada tahun 2013 mengalami penurunan jika dibanding dengan tahun 2012, namun untuk kabupaten/kota justru mengalami peningkatan. Dana pemda di perbankan secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota per provinsi dapat dilihat pada grafik 4.18 di bawah ini. mencapai titik terendah pada bulan Desember. Dengan demikian, data dana pemda di perbankan pada posisi bulan Desember
102
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
mengalami peningkatan. Dana pemda di perbankan secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota per provinsi dapat dilihat pada grafik 4.18 di bawah ini.
Grafik 4.18 Grafik 4.18 Dana Pemda di Perbankan Kab/kota/Provinsi Dana Pemda di Perbankan AgregatAgregat Kab/kota/Provinsi
14.000
Miliar Rupiah
12.000 10.000 8.000 6.000 4.000
GORONTALO MALUT SULBAR MALUKU NTB SULTENG LAMPUNG BENGKULU BABEL KALBAR SULUT SULTRA KEPRI DIY SULSEL JAMBI SUMSEL NTT SUMBAR KALTENG SUMUT Papua Barat PAPUA BALI ACEH BANTEN KALSEL RIAU JATIM JABAR JAKARTA JATENG KALTIM
2.000
Sumber: Bank Indonesia (Diolah)
Sumber: Bank Indonesia (Diolah)
Daerah yang menduduki posisi tertinggi simpanan pemda di perbankan agregat provinsi, kabupaten, dan kota bulan DesemberDaerah 2013 adalahyang Provinsi menduduki Kalimantan Timur, kemudian oleh Provinsi Jawa Tengah,pemda dan Provinsidi DKIperbankan Jakarta. posisidisusul tertinggi simpanan Secara sekilas urutan tersebut berkaitan dengan besaran nilai APBD daerah yang bersangkutan artinya semakin besar nilai
agregat provinsi, kabupaten, dan kota bulan Desember 2013 adalah Provinsi Kalimantan Timur, kemudian disusul oleh Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi besaran nilai APBD terhadap besaran nilai simpanan pemda di bank umum dan BPR adalah sebesar 83,7%. DKI Jakarta. Secara sekilas urutan tersebut berkaitan dengan besaran nilai APBD daerah yang bersangkutan artinya semakin besar nilai APBD suatu daerah, maka semakin besar pula nilai simpanan daerah tersebut di bank umum dan BPR. Adapun nilai korelasi besaran nilai APBD terhadap besaran nilai simpanan pemda di bank umum dan BPR adalah sebesar 83,7%. APBD suatu daerah, maka semakin besar pula nilai simpanan daerah tersebut di bank umum dan BPR. Adapun nilai korelasi
Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei 2014
103
BAB V REALISASI BELANJA DAERAH APBD 2014 SAMPAI DENGAN BULAN MEI 2014
Guna merespon tuntutan yang tinggi atas kecepatan informasi penyerapan belanja daerah yang bersifat periodik dengan interval waktu yang relatif singkat, telah dibuat sebuah instrumen yang dapat digunakan untuk memonitor besarnya penyerapan belanja APBD secara bulanan. Instrumen ini didasarkan pada data-data sekunder untuk dapat membuat proxy penyerapan belanja daerah per bulan per provinsi, yang merupakan agregasi penyerapan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota dalam satu wilayah provinsi. Dengan cakupan informasi penyerapan belanja yang lebih luas, diharapkan dapat memberikan bahan masukan yang lebih baik bagi Pemerintah Pusat untuk mendesain kebijakan keuangan ke daerah. Pendekatan ini merupakan proxy dengan menggunakan data dana pemerintah daerah di perbankan per bulan dari Bank Indonesia, data realisasi transfer per bulan dan proxy realisasi PAD. Laporan estimasi penyerapan bulanan ini mempunyai lag time kurang dari 20 hari setelah akhir bulan yang bersangkutan. Lag time ini terjadi karena salah satu sumber informasi utama yang dijadikan sebagai basis estimasi adalah informasi dana pemda di Bank Umum per provinsi yang baru dapat diterima setelah 15 hingga 20 hari setelah berakhirnya bulan yang diobservasi (sumber dari Bank Indonesia). Dalam analisis ini, data yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Dana pemerintah daerah di perbankan per bulan (sumber : Bank Indonesia);
104
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
2. Realisasi transfer per bulan (sumber : Ditjen Perimbangan Keuangan); 3. Laporan realisasi PAD per triwulan (sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan). Adapun cara perhitungan yang dipakai menggunakan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Langkah Pertama - Menghitung total realisasi dana transfer yang disalurkan ke daerah berdasarkan nomor SP2D per provinsi; - Mengestimasi realisasi PAD yang berasal dari laporan realisasi APBD per triwulan, dibedakan antara realisasi PAD Kabupaten/Kota/Provinsi. 2. Langkah Kedua - Menghitung realisasi belanja dengan rumus sebagai berikut : Belanja = DPdP(t-1)+DT(t)+PAD(t)-DPdP(t) Keterangan : DPdP = Dana Pemerintah Daerah di Perbankan DT = Dana Transfer PAD = Estimasi Penerimaan dari PAD t = bulan ke t 3. Langkah Ketiga Menghitung prosentase belanja dengan rumus sebagai berikut : % Belanja = estimasi belanja / anggaran belanja APBD Analisis ini memiliki beberapa kelemahan yaitu : 1. Hanya dapat membuat estimasi realisasi belanja pemerintah daerah secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk masing-masing provinsi. 2. Realisasi belanja yang diperoleh adalah realisasi belanja secara total, tidak per jenis belanja. 3. Masih terdapat lag 15 - 20 hari untuk dapat menyajikan laporan realisasi bulanan per provinsi. Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei 2014
105
Menghitung prosentase belanja dengan rumus sebagai berikut : % Belanja = estimasi belanja / anggaran belanja APBD Analisis ini memiliki beberapa kelemahan yaitu :
total anggaran belanja daerah (Rp815,91 triliun), lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
1. Hanya dapat membuat belanja pemerintah daerah secara agregat provinsi, dan kota untuk 2013 yaitu sebesarestimasi 4,1% danrealisasi tahun 2012 yaitu sebesar 4,9%. Sedangkan pada akhir triwulan I tahun kabupaten, 2014, estimasi realisasi Atasbelanja dasar metode proxy tersebut di atas, sampai dengan bulan Mei masing-masing provinsi. daerah adalah sebesar 11,7%, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
2014 2013, yaitu sebesar 13,6% dan tahun 2012 yaitu sebesar 13,3%. Realisasi bulan Mei 2014diperkirakan sebesar 24,6%, lebih dapat diketahui bahwa realisasi belanja daerah adalah sebesar 24,6%. Hal ini 2. Realisasi belanja yang diperoleh adalah realisasi belanja secara total, tidak per jenis belanja. rendah jikadibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 yaitu sebesar 26,9% dan tahun 2012 yaitu sebesar 26,3%. bisa dilihat pada 5.1menyajikan berikut. 3. Masih terdapat lag 15 - 20Grafik hari untuk dapat laporan realisasi bulanan per provinsi. Pada Grafik 5.1 terlihat bahwa selama 5 bulan sejak Januari s.d. Mei 2014, estimasi realisasi belanja daerah
Atas dasar metode proxydibandingkan tersebut didengan atas,periode sampai dengan bulan Mei sebelumnya. 2014 dapat diketahui bahwa realisasi belanja diperkirakan lebih rendah yang sama tahun-tahun
daerah adalah sebesar 24,6%. Hal ini bisa dilihat pada GrafikGrafik 5.1 berikut.5.1
Grafik 5.2 2011, 2012, 2013 dan Grafik 5.1 Perbandingan Realisasi APBD Realisasi Belanja Daerah (Agregat Kabupaten Perbandingan Realisasi APBD 2011, 2012,Provinsi, 2013 dan 2014 dan Kota) (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%) Bulan Mei 2014 (triliun rupiah) (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%)
100
2014
800.000 700.000
80 Miliar Rupiah
600.000
%
60
500.000 400.000
40
Anggaran (Milyar)
300.000 200.661
20
151.986
200.000 100.000
0 2014 2013 2012 2011
Jan 4,0
32.600
Feb
63.235
Mar
95.441
815.907
Apr
Mei
7,8 11,7 Maret 18,6 Januari Februari
24,6 April
Jun Mei
Jul Juni
Agt Juli
Agustus
Sep
Okt
Nov
Des
Septem Novemb Desemb Oktober ber er er
4,1 2014 8,4 13,6 95.440 20,5 151.98 26,9 200.66 34,3 44,8 50,6 57,6 66,6 75,5 96,1 32.600 63.235 4,9 2013 8,3 13,3 96.144 20,2 145.35 26,3 190.85 34,6 242.6642,8317.30 50,8 75,5 680.84 96,2 28.838 59.534 358.55 58,7 407.72 66,6 472.02 534.68 29.024 49.297 301.56 58,8 348.25 67,1 395.34 448.10 4,8 2012 8,4 14,0 78.875 20,3 119.89 26,8 155.99 33,1 205.0842,4253.98 54,4 76,1 570.72 98,8
Anggaran 708.214 (Milyar)
593.506
815.907
495.274 708.214 593.506 495.274
2011 23.650 41.927 69.545 100.64 132.85 164.16 210.62 269.92 291.52 332.77 377.68 490.44 Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)Perimbangan Keuangan (data diolah) Realisasi penyerapan belanja secara persentase menunjukkan perbandingan besaran realisasi penyerapan Grafik 2 menggambarkan realisasibelanja daerah yang menunjukkan perkiraanantara penyerapan belanja daerah hingga
penyerapan secara persentase menunjukkan denganRealisasi anggaran belanja persentase, penyerapan belanja pada bulan Januari sebesar 4,0% dari bulan Mei 2014.(konsolidasi). Secara nominalSecara realisasi bulanbelanja Mei tahun 2014diperkirakan sebesar 200,66 triliunadalah (total belanja daerah sebesar 815,91 triliun), lebih tinggijika dibandingkan dengan estimasi realisasi belanja daerah pada periode yang sama tahun perbandingan antara besaran realisasi penyerapan dengan anggaran belanja (konsolidasi). Secara persentase, penyerapan belanja pada bulan Januari adalah sebesar 4,0% dari total anggaran belanja daerah (Rp815,91 triliun), lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun 2013 yaitu sebesar 4,1% dan tahun 2012 yaitu sebesar 4,9%. Sedangkan pada akhir triwulan I tahun 2014, estimasi realisasi belanja daerah adalah sebesar 11,7%, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun 2013, yaitu sebesar 13,6% dan tahun 2012 yaitu sebesar 13,3%. Realisasi bulan Mei 2014 diperkirakan sebesar 24,6%, lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 yaitu sebesar 26,9% dan tahun 2012 yaitu sebesar 26,3%.
106
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
PAD = Estimasi Penerimaan dari PAD total anggaran belanja daerah (Rp815,91 triliun), lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun t = bulan ke t 2013 yaitu sebesar 4,1% dan tahun 2012 yaitu sebesar 4,9%. Sedangkan pada akhir triwulan I tahun 2014, estimasi realisasi 3. Langkah Ketiga belanja daerah adalah sebesar 11,7%, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun Menghitung prosentase belanja dengan rumus sebagai berikut : 2013, yaitu sebesar 13,6% dan tahun 2012 yaitu sebesar 13,3%. Realisasi bulan Mei 2014diperkirakan sebesar 24,6%, lebih Pada %Grafik 5.1 belanja terlihat bahwa selama 5 bulan sejak Januari Belanjadengan = estimasi anggaran belanja rendah jikadibandingkan periode yang/sama tahun 2013APBD yaitu sebesar 26,9% dan tahun 2012 yaitu sebesar 26,3%.
s.d. Mei 2014,Analisis estimasi realisasi belanja daerah diperkirakan lebih rendah ini memiliki beberapa kelemahan yaitu : Pada Grafik 5.1 terlihat bahwa selama 5 bulan sejak Januari s.d. Mei 2014, estimasi realisasi belanja daerah 1. Hanya dapat membuat estimasi realisasi belanja daerah secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk dibandingkan dengan periode yang sama tahun-tahun sebelumnya. diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan periode yang pemerintah sama tahun-tahun sebelumnya. masing-masing provinsi. 2. Realisasi belanja yang diperoleh adalah realisasi belanja secara total, tidak per jenis belanja. Grafik Grafik 5.2 5.2 3. Masih terdapat lag 15 20 hari untuk dapat menyajikan laporan Realisasi Belanja Daerah (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) realisasi bulanan per provinsi.
Realisasi Belanja Daerah (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) Bulan Mei 2014 (triliun rupiah)
Bulan Mei 2014 (triliun rupiah) Atas dasar metode proxy tersebut di atas, sampai dengan bulan Mei 2014 dapat diketahui bahwa realisasi belanja daerah adalah sebesar 24,6%. Hal ini bisa dilihat pada Grafik 5.1 berikut.
800.000
Grafik 5.1
700.000 Perbandingan Realisasi APBD 2011, 2012, 2013 dan 2014
(Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%) 100
500.000 400.000
80
300.000
60
200.661
%
Miliar Rupiah
600.000
200.000 100.000 2014 2013 2012 2011
151.986
40
32.600 20
63.235
95.441
Septem Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus 0 ber Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep 32.600 63.235 7,895.44011,7151.9818,6200.66 2014 4,0 24,6 28.838 59.534 8,496.14413,6145.3520,5190.85 2013 4,1 26,9 242.66 34,3 317.30 44,8 358.55 50,6 407.72 57,6 29.024 49.297 8,378.87513,3119.8920,2155.99 2012 4,9 26,3 205.08 34,6 253.98 42,8 301.56 50,8 348.25 58,7 23.650 41.927 8,469.54514,0100.6420,3132.85 2011 4,8 26,8 164.16 33,1 210.62 42,4 269.92 54,4 291.52 58,8
Anggaran (Milyar)
Oktober Okt
Novemb Desemb er er Nov Des
472.02 680.84 66,6 534.68 75,5 96,1 395.34 570.72 66,6 448.10 75,5 96,2 332.77 490.44 67,1 377.68 76,1 98,8
Anggaran (Milyar) 815.907 708.214
815.907 593.506 708.214 495.274 593.506
495.274
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah) Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
penyerapan belanja secaradaerah persentase antara besaran realisasi Grafik 2Realisasi menggambarkan realisasibelanja yang menunjukkan menunjukkanperbandingan perkiraan penyerapan belanja daerahpenyerapan hingga
Grafik 2 menggambarkan realisasi belanjapadadaerah yangsebesar menunjukkan dengan Secara penyerapan belanja bulan Januari bulan Mei 2014.anggaran Secara belanja nominal(konsolidasi). realisasi bulan Meipersentase, tahun 2014diperkirakan sebesar 200,66 triliun adalah (total belanja 4,0% daerahdari perkiraan penyerapan belanja daerah hingga bulan Mei 2014. Secara sebesar 815,91 triliun), lebih tinggijika dibandingkan dengan estimasi realisasi belanja daerah pada periode yang sama tahunnominal realisasi bulan Mei tahun 2014 diperkirakan sebesar 200,66 triliun (total belanja daerah sebesar 815,91 triliun), lebih tinggi jika dibandingkan dengan estimasi realisasi belanja daerah pada periode yang sama tahun 2013 yaitu sebesar 190,85 (total belanja daerah sebesar 708,21 triliun) dan tahun 2012 yaitu sebesar 155,99 triliun (total belanja daerah sebesar 593,51 triliun). Pada Grafik 5.2 terlihat bahwa secara nominal, estimasi realisasi belanja daerah dari Januari s.d. Mei 2014 selalu lebih tinggi jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, kecuali
Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei 2014
107
2013 yaitu sebesar 190,85 (total belanja daerah sebesar 708,21 triliun) dan tahun 2012 yaitu sebesar 155,99 triliun (total belanja daerah sebesar 593,51 triliun).
realisasi belanja daerah pada akhir triwulan I tahun 2014 yang diperkirakan Pada Grafik 5.2 terlihat bahwa secara nominal, estimasi realisasi belanja daerah dari Januari s.d. Mei 2014 selalu hanya sebesar 95,44 triliun, lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi lebih tinggi jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, kecuali realisasi belanja belanja daerah pada tahunhanya sebelumnya. daerah pada akhir triwulan I tahunbeberapa 2014 yang diperkirakan sebesar 95,44 triliun, lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi belanja daerah pada beberapa tahun sebelumnya.
Grafik 5.3 Realisasi Belanja Grafik 5.3Daerah Secara Realisasi Belanja Daerah Secara Agregat Provinsi, Kabupaten, danProvinsi Kota Per Provinsi Bulan Mei 20142014 (%) Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota Per Bulan Mei (%) 40,0
34,4
35,0 30,0 %
25,0
24,6
20,0 15,0 10,0 5,0
9,6 Kalimantan Utara Kalimantan Timur Riau Aceh Kalimantan Selatan Papua Papua Barat Kalimantan Barat Bangka Belitung Jambi DI Yogyakarta Nusa Tenggara Timur Banten DKI Jakarta Kepulauan Riau Bengkulu Sumatera Barat Sulawesi Tenggara Bali Sumatera Selatan Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Tengah Sumatera Utara Kalimantan Tengah Maluku Jawa Barat Nusa Tenggara Barat Lampung Sulawesi Selatan Gorontalo Sulawesi Barat Sulawesi Utara
0,0
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah) Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Grafik 5.3 menunjukkan persentase penyerapan belanja secara agregat Grafik 5.3 menunjukkan persentase penyerapan belanja secara agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota di provinsi yang Provinsi, Kabupaten dan Kota di provinsi yang sama sampai dengan bulan sama sampai dengan bulan Mei 2014. Rata-rata realisasi belanja daerahbulan Mei 2014 agregat per provinsi diperkirakan Mei 2014. Rata-rata belanja daerah adalah sebesar 24,6 %, lebih rendahrealisasi jika dibandingkan dengan periode yang sama bulan tahun 2013 Mei sebesar 2014 26,9%. agregat per provinsiSementara diperkirakan adalah sebesar 24,6 belanja %, lebih dibandingkan itu, terdapat 13 daerah yang mempunyai realisasi di bawah rendah rata-rata danjika 21 daerah mempunyai realisasi belanja di atasyang rata-rata. Yang menarik adalah beberapa daerah di Jawa yang meliputi Provinsi Banten dan DI dengan periode sama tahun 2013 sebesar 26,9%. Yogyakarta memiliki rata-rata realisasi belanja daerah di bawah rata-rata.
Sementara itu, terdapat 13 daerah yang mempunyai realisasi belanja di bawah rata-rata dan 21 daerah mempunyai realisasi belanja di atas rata-rata. Yang menarik adalah beberapa daerah di Jawa yang meliputi Provinsi Banten dan DI Yogyakarta memiliki rata-rata realisasi belanja daerah di bawah ratarata. Provinsi Sulawesi Utara memiliki realisasi belanja pemerintah daerah secara agregat yang paling baik dibandingkan dengan provinsi lainnya. Hal
108
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
ini dapat dilihat dari Grafik 5.3, di mana penyerapan belanja daerahnya pada bulan Mei 2014 sebesar 34,4%. Adapun Provinsi Kalimantan Utara memiliki realisasi belanja daerah yang paling rendah jika dibandingkan dengan provinsi lainnya, dimana realisasi penyerapan belanja Pemda di Provinsi Kalimantan Utara hanya sebesar 9,6%, yang berarti jauh di bawah standar belanja yang ideal.
Daftar Pustaka
109
DAFTAR PUSTAKA
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. __________, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012. __________, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.07/2013 tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2014. __________ , Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. __________ , Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. __________ , Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. __________ , Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. __________ , Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. __________ , Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Bank Indonesia, Dana Pemerintah Daerah di Perbankan. Mankiw, Gregory, http://gregmankiw.blogspot.com/2010/03/taxes-per-person. html.
110
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyusunan buku “Deskripsi dan Analisis APBD 2014” dilaksanakan dengan teamwork yang solid dan tidak akan mungkin terselesaikan tanpa kontribusi dan kerjasama dari seluruh pihak yang berperan. Oleh karena itu apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya diejawantahkan dalam ucapan berikut ini: -
Ucapan terima kasih ditujukan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan – Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E. – dan Plt. Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah – Rukijo, S.E., M.M. – yang telah memberikan arahan dan bimbingan hingga diselesaikannya penyusunan buku ini.
-
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Subdirektorat Data Keuangan Daerah Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah yang telah menyediakan data Ringkasan APBD 2014 melalui Sistem Informasi Keuangan Daerah.
-
Tak lupa kami juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Subdirektorat Dana Alokasi Umum, Subdirektorat Pelaksanaan Transfer I dan Subdirektorat Pelaksanaan Transfer II - Direktorat Dana Perimbangan, yang telah menyediakan data guru, PNSD, dan realisasi transfer pemerintah daerah.
-
Selanjutnya terima kasih kepada tim dari Subdirektorat Evaluasi Dana Desentralisasi dan Perekonomian Daerah (Ubaidi Socheh Hamidi, S.E., M.M.; Ahmad Iskandar, SE, M.Fin.Mgt.; Prasetyo Indro S., SE, ME; Armansyah Sinaga, S.E.; Faisal, S.E., Ak.; Edi Soeprijono, S.Sos; Nanag Garendra Timur, S.Si; Maryadi, S.E., M.Si.; Chrisliana Tri Ferayanti, SE, ME; Radies Kusprihanto Purbo, S.E., M.Sc., Ganjar Prihatmoko, S.E.; Desain Kristian Gulo, S.E.; Virgin Marthalia, A.Md. dan Lukman Adi Ucapan Terima kasih
111
Santoso, S.E., M.E.; yang telah melakukan pengolahan data dan sekaligus mendukung penulisan buku, melakukan editing hingga melakukan setting layout pencetakan buku ini. Terima kasih atas kerja kerasnya.
112
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
113
114
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
115